5
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Ekosistem Mangrove
2.1.1. Keadaan Umum Ekosistem Mangrove Pada wilayah pesisir pantai, terdapat beberapa sifat khas, yaitu adanya kandungan bahan organik yang tinggi, terutama di daerah pesisir estuari yang mendapat pengaruh pasang surut dengan kelimpahan dan keanekaragaman biota yang cukup besar (Odum 1971). Ekosistem mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis yang didominasi oleh beberapa jenis pohon yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang surut pantai berlumpur. Hutan mangrove biasa ditemukan di pantai-pantai teluk yang dangkal, estuaria, delta, dan daerah pantai yang terlindung. Karakteristik habitat hutan mangrove menurut Bengen (2000) umumnya tumbuh pada daerah intertidal yang jenis tanahnya berlumpur, berlempung atau berpasir. 2.1.2. Fungsi ekosistem mangrove Mangrove biasanya berada di daerah muara sungai atau estuari sehingga merupakan daerah tujuan akhir dari partikel-partikel organik ataupun endapan lumpur yang terbawa dari daerah hulu akibat adanya erosi. Dengan demikian, daerah mangrove merupakan daerah yang subur, baik daratannya maupun perairannya, karena selalu terjadi transportasi nutrien akibat adanya pasangsurut.
Mangrove
mempunyai berbagai fungsi, yaitu fungsi fisik, biologis, dan ekonomis. Fungsi fisiknya yaitu untuk menjaga kondisi pantai agar tetap stabil, melindungi tebing pantai dan tebing sungai, mencegah terjadinya abrasi dan intrusi air laut, serta sebagai perangkap zat pencemar. Fungsi biologis mangrove adalah sebagai habitat benih ikan, udang, dan kepiting untuk hidup dan mencari makan, sebagai sumber keanekaragaman biota akuatik dan nonakuatik, seperti burung, ular, kera, kelelawar, dan tanaman anggrek, serta sumber plasma nutfah. Fungsi ekonomis mangrove yaitu sebagai sumber bahan bakar (kayu, arang), bahan bangunan (balok, papan), serta bahan tekstil, makanan, dan obat-obatan. Mangrove mengangkut nutrien dan detritus ke perairan pantai sehingga produksi primer perairan di sekitar mangrove cukup tinggi dan penting bagi kesuburan perairan. Dedaunan, ranting, bunga, dan buah dari tanaman mangrove yang mati
6
dimanfaatkan oleh makrofauna, misalnya kepiting kemudian didekomposisi oleh berbagai jenis mikroba yang melekat di dasar mangrove dan secara bersama-sama membentuk rantai makanan. Detritus selanjutnya dimanfaatkan oleh hewan akuatik yang mempunyai tingkatan lebih tinggi seperti bivalvia, gastropoda, berbagai jenis juvenil ikan dan udang, serta kepiting. Karena keberadaan mangrove sangat penting, maka pemanfaatan mangrove untuk budidaya perikanan harus rasional. Ahmad dan Mangampa (2000) dalam Gunarto (2004) menyarankan hanya 20% saja dari lahan mangrove yang dikonversi menjadi pertambakan. 2.1.3. Hubungan mangrove dengan Produksi udang windu dan Ikan Bandeng Mangrove merupakan kawasan yang memiliki produktivitas tinggi. Pada ekosistem laut proses produksi berlangsung melalui pemanfaatan energi matahari oleh organisme autotrop, baik mikro maupun makro. Organisme autotrop mampu merubah bahan anorganik menjadi bahan organik dengan melibatkan cahaya matahari. Sumber-sumber bahan anorganik dalam ekosistem laut banyak berasal dari kawasan pantai. Kawasan mangrove sebagai tanah pembibitan udang telah menjadi salah satu faktor pembatas untuk kelimpahan udang di perairan lepas pantai ( Martusubroto & Naamin 1977). Ekosistem pantai terutama mangrove mensuplai nutrien atau bahan anorganik dalam jumah relatif banyak. Bahan organik dari pohon-pohon mangrove berupa serasah-serasah daun yang terdekomposisi menjadi bahan anorganik. Nutrien inilah yang menjadi nutrisi bagi organisme autotrof. Organisme autotrof mensuplai bahan organik bagi organisme konsumen seperti ikan. Mangrove merupakan salah satu sumber nutrisi bagi organisme di laut. Mangrove juga memiliki peran yang sangat penting bagi kehidupan organisme di laut. Mangrove berperan dalam siklus hidup jenis-jenis ikan laut. Fungsi ekologis mangrove sebagai nursery ground, feeding ground dan spawning ground menunjukkan peran ekosistem ini yang sangat penting bagi kehidupan di laut. Guguran daun, biji, batang dan bagian lainnya dari mangrove sering disebut serasah. Mangrove mempunyai peran penting bagi ekologi yang didasarkan atas produktivitas primernya dan produksi bahan organik berupa serasah, dimana bahan organik ini merupakan dasar rantai makanan. Serasah dari tumbuhan mangrove ini akan terdeposit pada dasar perairan dan terakumulasi terus menerus dan akan
7
menjadi sedimen yang kaya akan unsur hara yang merupakan tempat yang baik untuk kelangsungan hidup fauna makrobenthos (McConnaughey and Zottol 1983 dalam Taqwa 2010). 2.2. Kondisi Lingkungan 2.2.1. Suhu Suhu air merupakan salah satu faktor abiotik yang memegang peranan penting bagi kehidupan organisme. Pada perairan tropika suhu relatif tinggi (> 250C) sepanjang tahun, sehingga demikian suhu relatif stabil dan umumnya jarang menunjukkan gejala stratifikasi (Nur 2002). Peningkatan suhu dapat menyebabkan kecepatan metabolisme dan respirasi organisme air. Peningkatan suhu sebesar 10 0C menyebabkan konsumsi oksigen meningkat sekitar 2-3 kali lipat. Kisaran suhu optimum bagi pertumbuhan fitoplankton di perairan adalah sebesar 20 0C - 30 0C (Effendi 2003). Menurut Poernomo (1988) kisaran suhu yang diperbolehkan dalam pemeliharaan udang windu adalah 26 0C - 32 0C sedangkan untuk pemeliharaan benih bandeng
di tambak, temperatur air bervariasi antara 24 0C – 38,5 0C (
Bardach et al 1973). 2.2.3 Derajat Keasaman (pH) Derajat keasaman (pH) didefinisikan sebagai logaritme negatif dari konsentrasi ion hidrogen [H+] yang mempunyai skala antara 0 sampai 14. Nilai pH mengindikasikan apakah air tersebut netral, basa atau asam. Air dengan pH dibawah 7 termasuk asam dan diatas 7 termasuk basa. Parameter pH merupakan variabel kualitas air yang dinamis dan berfluktuasi sepanjang hari. Pada perairan umum yang tidak dipengaruhi aktivitas biologis yang tinggi, nilai pH jarang mencapai diatas 8,5. Tetapi pada tambak ikan atau udang, pH air dapat mencapai 9 atau lebih. Dibidang perikanan nilai pH perairan sangat menentukan dalam usaha budidaya ikan. Perairan dengan pH rendah akan berakibat fatal bagi kehidupan ikan, yaitu akan memperlambat laju pertumbuhan. Sebagian besar biota akuatik sensitif terhadap perubahan pH dan menyukai nilai pH sekitar 7 – 8,5. Pada pH < 4, sebagian besar tumbuhan air mati karena tidak dapat bertoleransi terhadap pH rendah (Effendi 2003). Perubahan keasaman pada air buangan, baik ke arah alkali (pH naik) maupun ke arah asam (pH menurun), akan sangat mengganggu kehidupan
8
ikan dan hewan air di sekitarnya. Nilai pH air normal adalah antara pH 6 sampai 8, sedangkan pH air terpolusi, berbeda-beda nilainya tergantung dari jenis buangan (Fardiaz 1992). Kriteria baku mutu kualitas air dapat dilihat pada tabel 1. 2.2.4. Salinitas Salinitas dapat didefinisikan sebagai total konsentrasi ion-ion terlarut dalam air. Dalam budidaya perairan, salinitas dinyatakan dalam permil (°/oo) atau ppt atau gram/liter.
Salinitas suatu perairan dapat ditentukan dengan menghitung
jumlah kadar klor yang ada dalam suatu sampel (klorinitas). Sebagian besar petambak membudidayakan udang dalam air payau (15-30 ppt). Menurut Khordi (1997) ikan bandeng akan memiliki pertumbuhan optimum pada kisaran salinitas 10-35 per mil. Sedangkan udang windu (Penaeus monodon), dan udang peci (P. merguensis ) akan tumbuh dengan baik pada kisaran salinitas 15-22O/oo. Kriteria baku mutu kualitas air dapat dilihat pada tabel 1.
2.2.5. Oksigen Terlarut Oksigen merupakan salah satu gas yang terlarut dalam perairan. Kadar oksigen yang terlarut dalam perairan alami bervariasi, tergantung pada suhu, salinitas, turbulensi air dan tekanan atmosfer (Effendi 2003). Kehidupan makhluk hidup di dalam air (tumbuhan dan biota air) tergantung dari kemampuan air untuk mempertahankan konsentrasi oksigen terlarut atau dissolved oxygen (DO) minimal yang diperlukan.
Oksigen terlarut dalam air dapat berasal dari hasil proses
fotosintesis oleh fitoplankton atau tanaman air lainnya, dan difusi dari udara (Hariyadi et al. 1992). Kadar oksigen terlarut di perairan dipengaruhi oleh proses aerasi, fotosintesis, respirasi, dan oksidasi bahan organik (Effendi 2003). Terdapat suatu hubungan antara kadar oksigen dengan suhu, dimana semakin tinggi suhu maka kelarutan oksigen semakin berkurang. Peningkatan suhu sebesar 10C akan meningkatkan konsumsi oksigen sebesar 10%. Hampir semua organism akuatik menyukai kondisi dengan kelarutan oksigen > 5 mg/liter (Effendi 2003). Kriteria baku mutu kualitas air dapat dilihat pada tabel 1.
9
2.2.6. Klorofil a Klorofil yang lebih dikenal dengan zat hijau daun merupakan pigmen yang terdapat pada organisme produsen yang berfungsi sebagai pengubah karbondioksida menjadi karbohidrat melalui proses fotosintesis. Klorofil mempunyai rumus kimia C55H72O5N4Mg dengan atom Mg sebagai pusatnya. Klorofil-a merupakan salah satu parameter yang sangat menentukan produktivitas primer di laut. Sebaran dan tinggi rendahnya konsentrasi klorofil-a sangat terkait dengan kondisi oseanografis suatu perairan. Beberapa parameter fisik-kimia yang mengontrol dan mempengaruhi sebaran klorofil-a, adalah intensitas cahaya, nutrien (terutama nitrat, fosfat, dan silikat). Perbedaan parameter fisika-kimia tersebut secara langsung merupakan penyebab bervariasinya produktivitas primer di beberapa tempat di laut. Selain itu “grazing” juga memiliki peran besar dalam mengontrol konsentrasi klorofil-a di laut (Hatta 2002 dalam Herawaty 2008). Kesuburan suatu perairan pada dasarnya akan mencerminkan tinggi rendahnya produktivitas perairan setempat. Produktivitas primer suatu perairan sangat tergantung pada kemampuan perairan tersebut dalam mensitesis bahan organik menjadi bahan organik melalui proses fotosintesis. Dalam hal ini, peranan organisme yang mengandung klorofil sangat besar. Sebagaimana
diketahui
bahwa
fitoplankton
merupakan
organisme
yang
mengandung klorofil-a dengan grup terbesar di lautan dan merupakan individu yang penting di laut karena peranannya sebagai produsen utama (primary producer). Fitoplankton mempunyai kemampuan menyerap langsung energi matahari untuk proses fotosintesis yang dapat mengubah zat anorganik menjadi zat organik yang dikenal sebagai prodiktivitas primer. Klorofil-a merupakan salah satu pigmen yang terkandung dalam fitoplankton dan merupakan bagian terpenting dalam proses fotosintesis. Klorofil-a sebagian besar dikandung oleh sebagian besar dari jenis fitoplankton yang hidup di dalam laut (Carolita et. al. 1999 dalam Herawaty 2008).
2.2.7. Alkalinitas Alkalinitas menunjukkan konsentrasi basa atau bahan yang mampu menetralisir keasamaan dalam air. Alkalinitas biasanya dinyatakan dalam satuan ppm (mg/L) kalsium karbonat (CaCO3). Air dengan kandungan kalsium karbonat lebih dari 100 ppm disebut sebagai alkalin, sedangkan air dengan kandungan kurang
10
dari 100 ppm disebut sebagai lunak atau tingkat alkalinitas sedang. Pada umumnya lingkungan yang baik bagi kehidupan ikan adalah dengan nilai alkalinitas diatas 20 ppm (Effendi 2003). Kriteria baku mutu kualitas air dapat dilihat pada tabel 1.
2.2.8 Nitrogen Senyawa nitrogen terdapat di perairan laut dalam bentuk yang beragam, mulai dari molekul nitrogen terlarut hingga bentuk anorganik dan organik. Senyawa nitrogen dalam air laut terdapat dalam tiga bentuk yaitu amonia, nitrit, dan nitrat. Senyawa nitrogen tersebut sangat dipengaruhi oleh kandungan oksigen bebas dalam air. Pada saat oksigen rendah, nitrogen bergerak menuju amonia, sedangkan pada saat kadar oksigen tinggi nitrogen bergerak menuju nitrat. Dengan demikian, nitrat merupakan akhir dari oksidasi nitrogen dalam air (Hutagalung dan Rozak 1997). Bentuk senyawa nitrogen yang paling dominan adalah ion nitrat (NO3-) yang sangat penting bagi pertumbuhan fitoplankton. Sedangkan amonia (NH3) adalah hasil buangan yang penting dari zooplankton yang selanjutnya siap untuk dioksidasi menjadi ion nirit (NO2-) dan tahap berikutnya akan dioksidasi menjadi ion nitrat (NO3-). Pada kondisi yang anoksik, penurunan nitrat menjadi amonia atau molekul nitrogen dapat terjadi akibat aktivitas bakteri denitrifikasi. Nitrat (NO3-) adalah nutrien utama bagi pertumbuhan fitoplankton dan algae. Nitrat sangat mudah larut dalam air dan bersifat stabil yang dihasilkan oleh proses oksidasi sempurna senyawa nitrogen di perairan. Konsentrasi nitrat di suatu perairan diatur dalam proses nitrifikasi. Oksidasi amonia menjadi nitrit dilakukan oleh bakteri Nitrosomonas dan oksidasi nitrit menjadi nitrat dilakukan oleh bakteri Nitrobacter. Kedua jenis bakteri ini adalah bakteri kemotrofik yaitu bakteri yang mendapatkan energi dari proses kimiawi (Effendi 2003). Amonia dan garam-garamnya bersifat mudah larut dalam air laut. Sumber amonia di perairan adalah hasil pemecahan nitrogen organik dan nitrogen anorganik yang terdapat dalam tanah dan air. Selain itu, sumber amonia dapat berasal dari dekomposisi bahan organik (biota akuatik yang telah mati) yang dilakukan oleh mikroba dan jamur yang dikenal dengan istilah ammonifikasi. Amonia dapat bersifat toksik bagi organisme akuatik. Persentase amonia bebas meningkat dengan meningkatnya pH dan suhu perairan (Effendi 2003).
11
2.2.9. Fosfor Fosfor yang tersedia di hidrosfer sangat sedikit, namun keberadaannya sangat penting bagi metabolisme biologi (Wetzel 1975). Fosfor yang terdapat dalam air laut, baik terlarut maupun tersuspensi, memiliki bentuk anorganik dan organik. Pemanfaatan fosfat oleh fitoplankton terjadi selama proses fotosintesis. Ketika fitoplankton mati, fosfor organik dengan cepat berubah menjadi fosfat melalui proses fosforilases. Proses dekomposisi fitoplankton yang mati menghasilkan fosfor anorganik dengan bantuan bakteri. Mackentum (1969) in Basmi (1999) menyatakan bahwa senyawa orthofosfat merupakan faktor pembatas bila kadarnya di bawah 0,004 ppm, sementara pada kadar lebih dari 1,0 ppm PO4-P dapat menimbulkan blooming. Menurut Prowse (1962) dan Mackentum (1969) in Basmi (1999), kandungan fosfat yang optimum bagi pertumbuhan fitoplankton adalah 0,25x10-3 – 5,51x10-3 mg/l. Jenis diatom mendominasi perairan yang berkadar fosfat rendah (0,00-0,02 mg/l), pada kadar 0,02-0,05 mg/l banyak tumbuh Chlorophyceae, dan pada kadar lebih tinggi dari 0,1 mg/l banyak terdapat Cyanophyceae. Fosfat merupakan suatu elemen penting dalam aktifitas biologi suatu organisme. Bentuk senyawa fosfor yang dapat langsung dimanfaatkan oleh organisme nabati (bakteri, fitoplankton dan makifita) adalah orthophosphat (Hariyadi et al. 1992). Kriteria baku mutu kualitas air dapat dilihat pada tabel 1 Tabel 1. Kriteria Kualitas air tambak Parameter Satuan Suhu °C Salinitas ‰ TSS mg/l pH DO mg/l Nitrat mg/l Nitrtit mg/l NH4 mg/l BOD mg/l Alkalinitas mg/l Total P mg/l keterangan :
Baku mutu
Pustaka
27‐32 (a) 10‐35 (a) <20 (a) 6‐9 (b) >3 (b) <20 (b) <0,06 (b) <0,3 (a) <6 (b) 90‐150 (a) <1 (b)
26‐33 (c) 10‐35 (c) 0‐150 (c) 7,5‐8,7 (c) 3‐12 (c) 0‐200 (c) <0,25 (c) <0,25 (c) <10 (c) > 20 (d)
a = Dirjen perikanan Budidaya 2007 b= PP RI no.82 thn 2001 c = Senarath 1998 d= Effendi 2003
12
2.3. Silvofishery Silvofishery
merupakan
pola
pemanfaatan
hutan
mangrove
yang
dikombinasikan dengan dengan tambak/empang (Dewi 1995). Pola ini dianggap paling cocok untuk pemanfatan hutan mangrove saat ini. Dengan pola ini diharapkan kesejahteraan masyarakat dapat ditingkatkan sedangkan hutan mangrove masih tetap terjamin kelestariannya. Silvofishery
atau
tambak
tumpangsari
merupakan
suatu
bentuk
“agroforestry” yang pertama kali diperkenalkan di Birma, dimana bentuk tersebut dirancang agar pemerintah dapat membangun hutan buatan dengan biaya murah (Dewi 1995). Pada dasarnya prinsip tambak tumpangsari adalah perlindungan tanaman hutan mangrove dengan memberikan hasil lain dari segi perikanan. Hal ini dapat dimengerti karena sebagian besar masyarakat yang tinggal di sekitar hutan mangrove adalah nelayan pencari ikan. Dengan demikian pengembangan tambak sistem tumpangsari disamping memang sesuai dari segi kondisi ekologis, juga selaras dengan pola hidup masyarakat sekitarnya. Jenis ikan yang biasanya dipelihara dalam sistem ini antara lain udang, bandeng, mujair, belanak, dan jenis lain seperti kepiting. Disamping hasil ikan yang dibudidayakan dalam sistem tambak tumpang sari sebagai hasil utama, petani juga masih dapat memperoleh hasil sampingan dari luar tambak berupa udang dan ikan (Soewardi 1994). Menurut Sofiawan (2000) in Puspita et al (2005), terdapat beberapa tipe tambak pada sistem silvofishery, diantaranya adalah (1) tipe empang parit tradisional, (2) tipe komplangan, (3) tipe empang terbuka, (4) tipe kao-kao dan (5) tipe tasik rejo. Kegiatan rehabilitasi dengan pola tersebut tentunya tergantung dari kondisi lahan yang akan dikonversi, sebab tiap pola memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Bentuk tipe atau model tambak pada sistem silvofishery dapat dilihat pada Gambar 2.
13
(1) Tipe empang tradisional
( 2) Tipe Komplangan
(3) Tipe empang terbuka
(4) Tipe kao-kao
(5) Tipe tasik rejo
Keterangan :
A. B. C. D.
Pintu air (inlet/outlet) Empang Saluran air Pelataran tanaman lain
Gambar 2 . Tipe atau model tambak pada sistem silvofishery (Puspita et al 2005)
2.4. Udang Udang merupakan organisme yang aktif mencari makan pada malam hari (nocturnal), menggali ke dalam substrat dasar di siang hari dan muncul pada malam hari untuk mencari makanan sebagai pengumpan bentik. Jenis makanannya sangat bervariasi tergantung pada tingkatan umur udang. Pada stadia benih, makanan utamanya adalah plankton (fitoplankton dan zooplankton). Apabila keadaan lingkungan tambak cukup baik, udang jarang sekali menampakkan diri pada siang hari. Di lingkungan tambak udang, apabila udang tampak aktif bergerak di waktu siang hari, hal tersebut merupakan tanda bahwa ada kondisi yang tidak sesuai didalam tambak. Ketidakesuaian ini dapat disebabkan oleh jumlah makanan yang kurang, kadar garam meningkat, suhu meningkat, kadar oksigen menurun, ataupun karena timbulnya senyawa-senyawa beracun (Suyanto & Mujiman 2003) . Secara morfologi udang terdiri dari dua bagian, yaitu bagian depan dan bagian belakang. Bagian depan disebut kepala yang sebenarnya terdiri dari bagian kepala dan dada yang menyatu, yang disebut kepala dada (Chepalothorax). Bagian
144
peerut terdapat ekor di belakangnya. S Semua bagiaan badan beeserta anggottanya terdirii daari ruas-ruass (segmen). Kepala dadda terdiri daari 13 ruas, dan perut teerdiri dari 6 ru uas. Seluruh h tubuh tertuutup oleh kkerangka luaar yang diseebut eksoskkeleton yangg teerbuat dari Chitin. Baagian kepalla-dada terttutup oleh sebuah kelopak yangg diinamakan kelopak k kepala atau caangkang keppala (carapaace). Di bagian depan,, keelopak kepaala memanjan ng dn merunncing, yang pinggirnya bbergigi-gigi yang seringg diinamakan cu ucuk kepala (rostrum). Salah satu s jenis ud dang adalah uudang winduu (Penaeus monodon m Fabb.) memilikii siifat-sifat dann ciri khas yang mem mbedakannyaa dengan uudang-udang g yang lain.. U Udang winduu bersifat Eu uryhaline, yyakni secara alami bisa hidup di peerairan yangg beerkadar garaam dengan rentang r yangg luas, yaknii 5-45 ‰. K Kadar garam m ideal untukk peertumbuhan udang wind du adalah 19-35 1 ‰. Siifat lain yanng juga men nguntungkann addalah ketahaanannya terrhadap perubbahan suhuu yang dikennal sebagai eurythemall (S Suyanto & Mujiman M 20003) (Gambarr 3)
Gaambar 3. Uddang windu (ppenaeus monodon) 2..5.
Ikan Bandeng B (C Chanos chan nos) Bandeng termasuk keluarga k Chhanidae. Cha anos diangkkat ke tingkaat genusnyaa
olleh Lacepedde pada tahu un 1803. M Meskipun Klluzinger adaalah taksono omi pertamaa yaang menggu unakan namaa Chanos chaanos tahun 1871, 1 namunn ahli biologgi Denmark,, Petrus Forskal, pada aw walnya mengggambarkann ikan banddeng sebagaii jenis ikann beelanak dan menamakann m nya chanos m mugil pada 1775 1 (Garciaa 1990) (Gam mbar 4).
15
Gambar 4 Bandeng (Chanos chanos) Ikan bandeng mempunyai badan yang memanjang seperti torpedo dengan sirip ekor bercabang sebagai tanda bahwa ikan bandeng merupakan ikan perenang cepat. Kepala ikan bandeng tidak besisik dengan mulut kecil terlihat di ujung rahang tanpa gigi dan lubang hidung terletak di depan mata. Mata diseliputi selaput bening (subcutaneus). Warna badan putih keperak-perakan dan punggung biru kehitaman. Ikan bandeng mempunyai sirip punggung yang jauh di belakang tutup insang, dengan 14-16 jari-jari sirip dada, 11-12 sirip perut, 10-11 jari-jari sirip anus dan pada sirip ekor berlekuk simetris dengan 19 jari-jari. (Khordi 1997). Makanan ikan bandeng umumnya berupa ganggang benang (Chlorophyceae), diatom, Rhizopoda, Gastropoda, dan beberapa jenis plankton lainnya. Makanan bandeng juga sering disebut sebagai klekap. Klekap merupakan campuran berbagai macam jasad renik yang tumbuh didasar tambak penyusun utamanya adalah Diatom dan Cyanophyceae. Guna pertumbuhannya klekap menghendaki tekstur tanah dasar berupa tanah liat berpasir dan airnya jernih dengan kedalaman 15-45 cm, salinitas 25-30 pr mil, suhu 25o-36oC, dan pH sekitar 7,8-8,5 (Suyanto & Mujiman 2003).