2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Pulau-pulau Kecil dan Batasan Pulau berdasarkan UNCLOS 1982, Bab VIII Pasal 121 ayat 1: ”Pulau adalah massa daratan yang terbentuk secara alami, dikelilingi oleh air dan selalu mucul di atas permukaan air pasang tinggi” (Bengen dan Retraubun 2006). Pulau memiliki batasan pulau yang memiliki dimensi berubah-ubah dari waktu ke waktu (Ongkosongo 1998). Pulau kecil mula-mula dibatasi sebagai pulau yang luasnya kurang dari 10.000 km2, kemudian turun menjadi kurang dari 5.000 km2, kemudian berubah lagi menjadi kurang dari 2.000 km2 dan bahkan kurang dari 100 km2, kemudian ada pula yang membatasi berdasarkan lebarnya saja yaitu kurang dari 3 km (Husni 1998; Brookfield 1990; Nakajima dan Machida 1990; Sugandhy 1999; Dahuri 1998; Tresnadi 1998; Hehanusa et al. 1998). Batasan pulau kecil yang ditetapkan DKP (2001) pulau kecil dengan ukuran kurang dari atau sama dengan 2.000 km2 beserta ekosistemnya dan dengan jumlah penduduk kurang dari atau sama dengan 20.000 orang (UNESCO 1991, UU No. 27 Tahun 2007 pasal 1 ayat 3). PPK dapat terbagi atas 3 kelompok (Bengen 2008) berdasarkan asal-usul geologi dan evolusi tektonik: 1.
Pulau-pulau Sistem Busur. Secara geomorfologi memiliki karakteristik: terletak pada zona subduksi membentuk rantai busur pulau-pulau vulkanik yang berasosiasi dengan cekungan laut dalam hingga 6.000 m, aktivitas vulkanik yang baru terjadi lebih menonjol, fokus gempa lebih dalam dari 70 km, laut dangkal pada sisi daratan dari busur, aliran panas tinggi pada sisi daratan dari busur dan sangat jelas terlihat pada lingkar Pasifik: mulai dari sisi utara Selandia Baru, terus ke Melanesia hingga Indonesia, Filipina, Jepang, Kep. Kuril, dan sisi timur melalui kepulauan Aleutian. Pulau-pulau ini memiliki 75 % dari gunung api aktif maupun yang baru mati berada di lingkar Pasifik seperti di Samudera Hindia, yang terjadi di Jawa dan Sumatera.
2.
Pulau-pulau Oseanik. Proses pembentukannya terbentuk dari pengangkatan material ke atas permukaan laut dari zona sempit gunung api bawah laut, proses vulkanik umumnya terkonsentrasi pada sumbu dari lembah
12
perbukitan simetris yang membentuk pulau. Klasifikasi pulau-pulau Oseanik terbagi atas 4 kategori: a) Pulau vulkanik formasi baru: biasanya berukuran kecil, berpantai curam dengan rataan yang sempit. Komunitas biologis memiliki jumlah jenis dan kelimpahan yang terbatas, b) Pulau vulkanik formasi tua: terbentuk dari beberapa kali erupsi yang sebagian besar berumur tersier. Tanahnya subur, dan pesisirnya terbentuk formasi karang, khususnya karang tepi (fringing reef), c) Pulau vulkanik dengan laguna dan karang penghalang: terjadi karena penenggelaman dan pertumbuhan formasi karang, sehingga pulau dikelilingi oleh terumbu berlaguna. Pada sisi yang terkena gelombang (windward) pertumbuhan karang yang cepat membentuk terumbu yang lebih tebal, sedangkan pada sisi terlindung tidak terkena gelombang (leeward) terumbu karang lebih tipis. Tanahnya subur, dan sumberdaya lautnya kaya dan, d) Pulau Atol: proses penenggelaman dan naiknya terumbu yang menutupi laguna. Tanahnya kapur dan tidak subur. Sumberdaya air di pulau atol terbatas. 3.
Pulau-pulau berasosiasi dengan dinamika Paparan Benua. Pembentukan pulau-pulau yang berasosiasi dengan Dinamika Paparan Benua adalah: i). terbentuk dari hasil aktivitas tektonik yang menonjol pada daerah paparan benua, ii). pulau yang terbentuk umumnya lebih besar dan bergunung dari pada sistem busur maupun pulau oseanik. Contohnya: Kepulauan Fiji, Solomon
dan
Seychelles
di
Pasifik
dan
iii).
aktivitas
tektonik
direpresentasikan oleh seringnya gempa yang berdampak besar namun memiliki sumberdaya mineral: hidrokarbon, nikel, tembaga, mangan dll. Pulau dapat dikelompokkan atas 2 kelompok yaitu pulau oseanik (pulau kecil) dan pulau kontinental (pulau besar). Pulau oseanik dapat dibagi atas 2 kategori yaitu pulau vulkanik dan pulau koral. Karakteristik topografi pulau-pulau kecil (Oseanik) tidak mempunyai pola yang tetap dan tergantung kepada tipe pulau (Bengen 2008): i). Pulau-pulau vulkanik cenderung lebih curam dan memiliki area yang lebih tinggi; ii). Pulau-pulau koral atau atol cenderung lebih
12
13
landai dan berbentuk dataran yang luas dan; iii). Pulau-pulau komposit yang berada beberapa meter di atas permukaan laut tergolong ke dalam pulau-pulau makatea, dimana substratnya berterumbu koral, namun sebagian vulkanik. Karakteristik PPK dibandingkan dengan pulau besar dan benua berdasarkan karakteristik geografis, geologi, biologi dan ekonomi tertera pada Tabel 2. Tabel 2. Perbandingan karakteristik pulau kecil, pulau besar dan benua Pulau Kecil/Oseanik Jauh dari benua Dikelilingi oleh laut luas
Area kecil Suhu udara stabil Iklim sering berbeda dengan pulau besar terdekat
Umumnya karang atau vulkanik Sedikit mineral penting Tanahnya porous/ permeabel Keanekaragaman hayati rendah Pergantian spesies tinggi Tinggi pemijahan massal hewan laut bertulang belakang Sedikit sumberdaya daratan Sumberdaya laut lebih penting Jauh dari pasar
Pulau Besar/Kontinental Karakteristik Geografis Dekat dari benua Dikelilingi sebagian oleh laut yang sempit Area besar Suhu udara agak bervariasi Iklim mirip benua terdekat
Karakteristik Geologi Sedimen atau metamorphosis beberapa mineral penting Beragam tanahnya Karakteristik Biologi Keanekaragaman hayati sedang Pergantian spesies agak rendah sering pemijahan massal hewan laut bertulang belakang Karakteristik Ekonomi sumberdaya daratan agak luas sumberdaya laut lebih penting lebih dekat pasar
Benua Area sangat besar Suhu udara bervariasi Iklim musiman
Sedimen atau metamorfosis beberapa mineral penting Beragam tanahnya Keanekaragaman hayati tinggi Pergantian spesies biasanya rendah sedikit pemijahan massal hewan laut bertulang belakang sumberdaya daratan luas sumberdaya laut sering tidak penting pasar relatif mudah
Sumber : Modifikasi Salm et al. (2000) dalam Bengen dan Retraubun (2006) Pulau Weh secara evolusi tektonik merupakan pulau oseanik dan secara karakteristik topografi pulau sebagai pulau komposit dengan tebing terjal (cliff) substrat terumbu koral di sisi barat dan vulkanik di sisi timur pulau. Klasifikasi Brookfield (1990) mengemukakan sifat khas pulau-pulau kecil diantaranya adalah: 1.Pulau kecil yang berlokasi di daerah yang strategis untuk perdagangan atau berada di dekat pulau besar atau benua, karena ukuran kecil akan menjadi pembatas struktural yang mengakibatkan tidak adanya fleksibilitas pemanfaatan sumberdaya untuk merespon adanya perubahan peluang. Ruang dan
14
sumberdaya alam menjadi sangat terbatas. Persediaan air tawar/air tanah juga sangat terbatas atau terdapat intrusi air laut sehingga pada pulau-pulau yang terletak di daerah yang jarang turun hujan akan menghadapi bahaya kekeringan, 2. Pulau kecil mempunyai kendala utama pada transportasi sehingga hubungan dengan daerah lain menjadi terbatas atau mahal dan 3. Pulau kecil sangat rentan baik secara fisik maupun ekologis. Secara fisik pulau kecil menghadapi bahaya tenggelam akibat kenaikan permukaan laut, proporsi erosi tanah lebih besar akibat sedikitnya
daerah
resapan
air
(catchment
area).
Briguglio
(1995)
mengidentifikasikan karakteristik PPK bersifat unik yaitu berukuran kecil, terisolasi dari pulau besar (mainland), ketergantungan, rentan dan secara ekonomi hal ini tidak menguntungkan karena akan menimbulkan keterbatasan sokongan sumberdaya,
ketergantungan
kisaran
diversifikasi
produk,
keterbatasan
mempengaruhi perubahan harga produk, keterbatasan kompetensi lokal dan pengembangan skala ekonomi. PPK memiliki kendala dan keterbatasan yang kompleks seperti Pulau Weh dengan luas 153 km2 merupakan wilayah yang rawan bencana alam sehingga perlu dilakukan upaya mitigasi. Mitigasi bencana di pesisir dan PPK terdapat dalam UU No 27 pasal 56. 2.2 Aspek Peraturan Perundangan Mitigasi Pesisir dan PPK Pengelolaan
bencana
merupakan
salah
satu
bagian
pembangunan nasional dalam serangkaian kegiatan baik sebelum, pada
dari saat
maupun sesudah terjadinya bencana. Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana pada prinsipnya mengatur tahapan bencana meliputi
prabencana,
saat tanggap,
dan
pascabencana.
Penyelenggaraan
penanggulangan bencana dilaksanakan berdasarkan 4 aspek meliputi: a) sosial, ekonomi dan budaya masyarakat, b) kelestarian lingkungan hidup, c) kemanfaatan dan efektivitas; dan d) lingkup luas wilayah (Pasal 31 UU No. 24 tahun 2007). Undang-undang Nomor 27 Tahun 2007 mengamanatkan bahwa dalam menghadapi ancaman bencana di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dilakukan upaya mitigasi
bencana.
Mitigasi bencana adalah upaya untuk
mengurangi risiko bencana, baik secara struktur atau fisik melalui pembangunan fisik alami dan/atau buatan maupun nonstruktur atau nonfisik melalui peningkatan
14
15
kemampuan menghadapi ancaman bencana di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil (Pasal 1 PP No 64 tahun 2010).
Mitigasi bencana di wilayah pesisir dan
ppk dilakukan melalui kegiatan: a). struktur fisik dan b). nonstruktur/non fisik (Pasal 14 PP No. 64 tahun 2010). Kegiatan struktur/ fisik untuk mitigasi terhadap jenis bencana tsunami meliputi: a) penyediaan sistem peringatan dini dalam penelitian ini dilakukan dengan vegetasi pantai seperti ekosistem mangrove.b) penggunaan bangunan peredam tsunami, c) penyediaan fasilitas penyelamatan diri, d) penggunaan konstruksi bangunan ramah bencana tsunami, e) penyediaan prasarana dan sarana kesehatan, f) vegetasi pantai dan g) pengelolaan ekosistem pesisir (ayat 2 Pasal 15 PP No 64 tahun 2010) Menyikapi Pasal 15 No 64 tahun 2010 dalam ayat 2 huruf f usaha mitigasi yang dilakukan di daerah penelitian menitik beratkan pada ekosistem mangrove dalam mereduksi tsunami. Dampak dari tsunami mengakibatkan terjadi erosi pantai sehingga dilakukan upaya mitigasi sesuai dengan ayat 9 pasal 15 PP No 64 tahun 2010 meliputi: a) pembangunan bangunan pelindung pantai, b) peremajaan pantai, c) vegetasi pantai dan d) pengeloaan ekosistem pesisir. Aplikasi yang dilakukan di daerah penelitian khususnya di Pulau Rubiah dengan vegetasi pantai dan pengelolaan ekosistem pesisir. Prinsip integrasi antara ekosistem darat dan laut serta antara science dan management menjadi acuan dalam penyusunan rencana tata ruang dan zonasi wilayah menyangkut: 1. mengetahui pola dan karakteristik wilayah pesisir yang akan disusun tata ruang dan zonasinya secara ekobiofisik, sosial ekonomi, dan budaya; 2. menentukan pola ruang di darat apakah kompatibel atau tidak dengan zonasi di kawasan perairan;
3. mengevaluasi dampak kegiatan dalam blok-blok
zona tata ruang dengan zonasi kawasan perairan dan habitat-habitat pesisir penting misalnya mangrove, terumbu karang, dan lamun; 4. dampak skenario bencana alam untuk wilayah tersebut terhadap struktur dan pola ruang di kawasan daratan baik yang datang dari arah laut maupun daratan; 5. menentukan kawasan setback atau sempadan pantai yang perlu dialokasikan sebagai kawasan lindung dalam rencana pola ruang terhadap ancaman bencana yang datang dari laut (Diposaptono 2009).
16
Kawasan setback atau sempadan pantai adalah daratan sepanjang tepian yang lebarnya proposional dengan bentuk dan kondisi fisik pantai, minimal 100 meter dari titik pasang tertinggi ke arah darat (ayat 1 Pasal 56 PP No. 26/2008). Dalam PP No. 26/2008 Pasal 56 ayat 1b kriteria dari sempadan pantai merupakan daratan sepanjang tepian laut yang bentuk dan kondisi fisik pantainya curam atau terjal dengan jarak proporsional terhadap bentuk dan kondisi fisik pantai. Penetapan sempadan mengikuti ketentuan: 1.
perlindungan terhadap gempa
dan/atau tsunami; 2. perlindungan pantai dari erosi dan abrasi; 3. perlindungan sumberdaya buatan di pesisir, dari badai, banjir, dan bencana alam lainnya; 4. perlindungan terhadap ekosistem pesisir, seperti lahan basah, mangrove, terumbu karang, padang lamun, gumuk pasir, estuari dan delta; 5. pengaturan akses publik; serta pengaturan untuk saluran air dan limbah (ayat 2 pasal 31 UU no. 27/2007). Fungsi sempadan pantai: sebagai kawasan lindung, yang melindungi kawasan pantai dari pengaruh negatif yang datang dari laut maupun dari darat. Selain itu, sempadan pantai diharapkan akan merahabilitasi sumber daya wilayah pantai beserta seluruh ekosistem yang ada di dalamnya. 2.3 Bencana Alam Pulau-pulau Kecil dan Kerentanan PPK cenderung rentan terhadap bencana alam dan memiliki ekosistem yang rapuh. Kaly et al. (2004) menyatakan bahwa faktor-faktor yang menyebabkan kerentanan selain bencana alam, juga karena keterpencilan, masalah perbatasan, migrasi, kerusuhan, pemisahan secara geografis, pemanfaatan ekonomi, pasar internal yang kecil dan kerusakan sumberdaya. Kerentanan merupakan multi dimensi meliputi: kerentanan ekonomi, kerentanan lingkungan, kerentanan sosial, kerentanan perdagangan, kerentanan perubahan cuaca dan kerentanan perubahan iklim. Kerentanan di PPK meliputi: 1. Exposure Kondisi lingkungan yang mudah terkena gangguan akibat letaknya yang berhadapan langsung dengan samudera luas sebagai area terbuka (open acess). Karena bersifat terbuka maka sumberdaya alam di perairan dapat bebas diambil tanpa pengawasan atau kontrol dari pemda setempat, sehingga terjadi penurunan
sumberdaya
alam.
Adrianto
dan
Matsuda
(2003)
mengidentifikasikan bahwa pulau kecil yang berhadapan langsung dengan
16
17
samudera luas menerima aktifitas gelombang dari segala arah. Lebih lanjut pulau kecil mudah mendapat bencana daripada pulau besar atau pulau utama. Karena letaknya berhadapan dengan samudera luas maka bencana yang terjadi adalah abrasi, dan kemungkinan tenggelamnya pulau karena kenaikan muka air laut (sea level rise), sehingga sumberdaya alam menjadi berkurang dan menyebabkan ekonomi pulau mengalami penurunan. 2. Ukuran yang kecil (Smallness) Konsekuensi dari ukuran yang kecil adalah keterbatasan lahan produktif untuk mendukung daya dukung lingkungan untuk kebutuhan hidup manusia. Ukuran yang kecil juga mempunyai konsekuensi eratnya hubungan antar ekosistem sehingga rentan secara ekologis terhadap gangguan pembangunan pada salah satu ekosistem. Luas pulau yang kecil itu sendiri bukanlah suatu kelemahan, jika barang dan jasa yang diproduksi dan dikonsumsi oleh penduduk hanya terdapat di dalam pulau tersebut. 3. Bencana Alam (Natural Disaster) Jenis bencana alam yang terjadi di PPK adalah bencana geologi (geological disaster) yang sering dimaksudkan adalah gempabumi, kegiatan gunung api khususnya letusan gunung api, gerakan tanah dan lahar dingin. Selain bencana geologi juga bencana oseanografi seperti gelombang pasang, badai tropis, erosi pantai dan kenaikan muka air laut. Bencana alam mengakibatkan penurunan sumberdaya alam. Adrianto dan Matsuda (2002) mengemukakan bahwa kelemahan pulaupulau kecil berupa ukuran yang kecil, insular, terpencil dan cenderung terkait dengan aktifitas laut, maka bahaya bencana alam dan lingkungan lebih besar, dibandingkan dengan pulau utama (mainland). Lebih lanjut dikemukakan bahwa dari perspektif ekonomi, pulau-pulau kecil memiliki kekuatan yang sama dengan kelemahannya. Keuntungan pulau kecil secara ekonomi meliputi kemampuannya untuk menghasilkan barang-barang dan pelayanan khusus seperti bidang perikanan dan turisme. PPK dipengaruhi oleh sifat kerentanan (vulnerability) dan daya lenting (resilience) (Gambar 3). Kerentanan (vulnerability) PPK disebabkan oleh fakorfaktor dari luar (exogenous) seperti; tekanan ekonomi, ukuran pulau yang kecil
18
dan bencana lingkungan. Sedangkan daya lenting (resilience) disebabkan oleh faktor-faktor dari dalam (endogenous) seperti; ketersediaan sumber daya alam dan dinamika populasi. Kerentanan
Faktor Dalam Faktor Luar
• • •
Tekanan Ekonomi
Ukuran Pulau Kecil
Keberlanjutan di Wilayah Pulau-pulau Kecil
• • •
Bencana Lingkungan
•
Sumberdaya Alam Dinamika Populasi
Perekonomian Pulaupulau kecil seperti perikanan, pariwisata Specialized economy,
Daya Lenting
Gambar 3. Sistem kerentanan pulau-pulau kecil. (Adrianto 2007, dimodifikasi) Definisi kerentanan (vulnerability) adalah kondisi kerentanan ditentukan oleh fisik, sosial, ekonomi dan faktor-faktor lingkungan atau proses-proses, sehingga terjadi peningkatan kerawanan yang dapat menyebabkan bencana. Faktor-faktor yang berperan dalam kerentanan adalah peningkatan kemampuan masyarakat untuk mengatasi bencana (Birkmann 2006) Konsep kerentanan didefinisikan sebagai tingkat yang menerangkan sebuah sistem (dalam konteks ini sistem pesisir dan pulau-pulau kecil) mengalami bencana disebabkan karena pesisir dan pulau-pulau kecil berada di wilayah terpapar (exsposure) sehingga mudah terkena tekanan dan gangguan (Ardianto 2007). Kerentanan memiliki sisi ekternal dan internal (Birkmann 2006). Sisi internal adalah coping yang dapat diartikan kemampuan untuk mengantisipasi, menanggulangi dengan cara bertahan dan memperbaiki akibat dari bencana; berbeda dengan sisi eksternal termasuk exposure yang berhadapan dengan risiko dan gangguan. Bencana alam yang terjadi di Pulau Weh bersifat episodik dan kronik. Bersifat episodik adalah gempabumi, tsunami, angin/badai tropis, sedangkan
18
19
bersifat kondisi kronik adalah abrasi, kenaikan permukaan laut (sea level rise) dan penurunan permukaan (land subsidence). Bencana episodik terjadi 26 Desember 2004 mengakibatkan terjadi inundasi/genangan akibat hempasan tsunami yang mencapai pesisir sejauh sampai beberapa km. Kejadian ini menyebabkan terjadinya kerusakan infrastruktur. besarnya kekuatan gempabumi.
Kerusakan infrastruktur berkaitan dengan Kekuatan gempabumi berkorelasi dengan
percepatan tanah. Berdasarkan analisis probalistik bahaya gempa wilayah Indonesia terbagi dalam 6 wilayah gempa (Standar Perancangan ketahanan Gempa untuk Struktur Gedung-SNI 03-1726-2002) (Gambar 4) dimana Pulau Weh berada pada wilayah gempa 4 sebesar 0.20 g. Berarti daerah tersebut kemungkinan tinggi terjadi gempa. Dalam mengukur kerusakan bangunan dengan cara wilayah gempa dikalikan dengan g (percepatan grafitasi bumi = 9.81 m/det), sebagai contoh gempa yang terjadi di Pulau Weh 0.2 dikalikan 9.81 m/det = 1.962 m/det, menunjukkan pada saat gempa terjadi percepatan tanah sebesar 1,962 m/det yang berpengaruh terhadap struktur bangunan.
Gambar 4. Pembagian wilayah gempa di Indonesia. (BMKG 2007)
2.4 Bencana Gempabumi Gempabumi terjadi sebagai akibat terlepasnya energi yang tersimpan di dalam bumi. Inti bumi bersifat cair terdiri atas material utama nikel-besi dengan
20
temperatur
6.000-10.000oC.
Reaksi
kimia-fisika
dalam
bentuk
cairan
menimbulkan proses arus konveksi. Pergerakan antar lempeng terjadi karena arus konveksi di dalam bumi. Gerak antar lempeng dapat terjadi dalam bentuk tumbukan/tabrakan dan pemisahan. Pemisahan biasanya terjadi pada retakan kulitbumi di dasar laut, lempeng dasar samudera tumbuh dan bergerak saling menjauh karena desakan carian magma yang keluar dari dalam bumi. Bilamana lempeng-lempeng bertabrakan/bertumbukan secara frontal, lempeng Samudera biasanya menujam/menyusup di bawah lempeng Benua. Proses ini disebut proses subduksi. Salah satu ciri utama dari daerah wilayah/zona benturan antar lempeng adalah tingkat kegempaan yang tinggi. Dengan demikian gempabumi adalah serangkaian proses pembentukan dan penyimpanan energi yang terjadi akibat benturan antar lempeng. Pada dasarnya energi yang tersimpan dalam lempenglempeng kulit bumi ini akan terlepas bila telah melampui batas plasitas tegangan (Suparka 1994). Tumbukan antar Lempeng Samudera yang menujam di bawah Lempeng Benua, pada saat bersamaan Lempeng Benua akan tertarik turun dan terjadi akumulasi tegangan. Tegangan akan mencapai batasnya dari Lempeng Benua sehingga terjadi patahan dan melenting ke atas menyebabkan gempabumi (Gambar 5). Permukaan air laut bergerak naik dan turun. Perubahan permukaan air laut ini mengikuti perubahan deformasi vertikal di dasar laut sehingga membangkitkan gelombang. Gempabumi dapat menimbulkan tsunami jika 1). Gempa di laut dengan kekuatan >6.5 SR atau > 6 MW, 2). Kedalaman puncak gempa <60 km ,3). Terjadi deformasi vertikal dasar laut yang cukup besar dan 4). Biasanya terjadi di zona subduksi/tumbukan lempeng tektonik (Kato et al. 2010; Iida 1963) (Gambar 6). 2.5 Pengertian Tsunami Secara harfiah tsunami berasal dari Bahasa Jepang. Tsu berarti pelabuhan dan nami adalah gelombang. Secara umum tsunami diartikan sebagai gelombang laut yang berasal dari pelabuhan (Levin dan Nosov 2009).
Istilah tsunami
dikenal luas oleh masyarakat dunia setelah adanya kejadian gempa besar 15 Juni 1896, yang menimbulkan tsunami besar melanda kota Pelabuhan Sanriku (Jepang).
20
21
22
Tsunami sebagai gelombang laut dengan periode panjang yang ditimbulkan gangguan implusif yang terjadi pada medium laut. Gangguan implusif bisa berupa gempabumi tektonik di laut, erupsi vulkanik (meletusnya gunung api) di laut, longsoran (land slide) di laut atau jatuhnya meteor di laut. Akibat dari gangguan impulsive menyebabakan terjadinya gelombang laut yang datang tiba-tiba, sebagai akibat terganggunya kestabilan air laut, yang menghempas pantai dan menimbulkan bencana (Bien 2005). 2.5.1 Karakter Tsunami Tsunami yang ditimbulkan oleh gaya implusif bersifat transien, artinya tsunami semakin melemah dengan bertambahnya waktu dan hanya berlangsung sesaat (Kajiura dan Shuto 1994). Gelombang tsunami berbeda dengan gelombang pasang surut yang dibangkitkan oleh gaya tarik benda-benda langit terutama matahari dan bulan terhadap bumi dan gelombang angin yang digerakkan oleh tiupan angin di permukaan laut. Meijde (2005) dan UNESCO-IOC (2006) menjelaskan bahwa ada perbedaan yang jelas antara tsunami dengan gelombang laut akibat angin seperti terlihat pada (Gambar 7). Tsunami yang memiliki ketinggian satu meter di laut dalam (kedalaman air >30 m) dapat meninggi hingga puluhan meter pada garis pantai dan merupakan gelombang panjang. Berbeda dengan gelombang laut yang terjadi karena terpaan angin yang hanya mengganggu kestabilan permukaan laut, maka energi tsunami meluas sampai ke dalam lautan (kolom air). Saat mendekati pantai, energi tsunami terkonsentrasi pada arah vertikal karena berkurangnya kedalaman air dan berubah arah menjadi horizontal ketika memendeknya panjang gelombang yang diakibatkan perlambatan gerak gelombang (UNESCO-IOC 2006). CDIT (2007) menjelaskan bahwa perlambatan gerak gelombang ini disebut sebagai attenuasi jarak akibat penyebaran tsunami ke segala arah. Tsunami memiliki karakteristik dalam hal panjang gelombang, jarak antar puncak gelombang, periode, dan tinggi gelombang yang membedakannya dengan jenis gelombang lain (Synolakis 2003). UNESCO-IOC (2006) menerangkan bahwa,
kecepatan
tsunami
tergantung
pada
kedalaman
perairan,
yang
mengakibatkan terjadinya percepatan atau perlambatan sesuai dengan bertambah atau berkurangnya kedalaman dasar laut. 22
23
Sebagaimanai diuraikan pada persamaan (1) c=
…………………………………………………………………. (1)
dimana: c = Kecepatan tsunami g = 9,8 m/s h = Kedalaman air
Gambar 7. Perbedaan gelombang akibat angin dan gelombang tsunami. (Meijde 2005) Cepat rambat tsunami tergantung pada kedalaman laut. Semakin besar kedalaman semakin besar kecepatan rambatnya. Pada kedalaman 5.000 m cepat rambat tsunami mencapai 230 m/detik (sekitar 830 km/jam), sedangkan pada kedalaman 100 m tsunami memiliki kecepatan sekitar 110 km/jam. Tinggi gelombang tsunami bervariasi dari 0,5 m sampai 30 m dan periode dari beberapa menit sampai sekitar satu jam. Panjang gelombang tsunami yaitu jarak antara dua puncak gelombang yang berurutan bisa mencapai 200 km. Di
lokasi
pembentukan tsunami (daerah episentrum gempa) tinggi gelombang tsunami diperkirakan antara 1,0 m dan 2,0 m. Selama penjalaran dari tengah laut (pusat terbentuknya tsunami) menuju pantai tinggi gelombang menjadi semakin besar.
Proses ini disebabkan oleh
pengaruh perubahan kedalaman laut, saat mendekati pantai, kecepatannya melambat menjadi beberapa puluh kilometer per jam seperti terlihat pada Gambar 8.
24
Gambar 8. Karakteristik tsunami di lautan lepas saat mendekati pantai. (Meijde 2005) Setelah sampai di pantai gelombang naik/gelombang datang (run up) ke daratan dengan kecepatan tinggi yang bisa menghancurkan kehidupan di daerah pantai. Wilayah yang mempunyai dataran rendah bisa jadi tergenang. Kembalinya air laut setelah mencapai puncak gelombang (run down) bisa menyeret segala sesuatu kembali ke laut. (Triatmodjo 1999). Kerusakan akibat tsunami diketahui dari survei pasca tsunami dengan memperhatikan karakteristik tsunami yang meliputi tinggi gelombang datang (run up) dan dampak yang ditimbulkan oleh tsunami. Run up tsunami didefinisikan sebagai elevasi air laut vertikal yang dapat dicapai oleh tsunami ke arah darat diukur dari muka air laut rata-rata (MSL) atau garis pantai saat tsunami (Gambar 9). Estimasi hubungan antara gempabumi dengan ketinggian gelombang datang (run up) tsunami dapat ditunjukkan pada Tabel 3.
24
25
26
Kekasaran pantai berpengaruh terhadap tinggi tsunami (USDA-NRCS, 1986). Keberadaan material permukaan dapat menunjukkan tingkat kekasaran pantai. Dampak positif kekasaran pantai adalah semakin padat material permukaan akan semakin besar energi tsunami yang terendam, sedangkan dampak negatif adalah semakin lepas material permukaan akan semakin besar kerusakan sarana dan prasarana berikut kehilangan jiwa. Uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kondisi alam yang mempengaruhi perubahan gelombang pasang akibat tsunami: 1. geometri (kelengkungan pantai), 2. topografi (kemiringan pantai) dan batimetri, 3. lokasi muara di pantai dan 4. kekasaran pantai. Pencatatan tsunami telah dikembangkan suatu hubungan antara tinggi tsunami di daerah pantai dan magnitude/besaran tsunami dinyatakan dalam m. Besaran tsunami bervariasi mulai dari m = -2.0 yang memberikan tinggi gelombang kurang dari 0,3 m sampai m = 5 untuk gelombang lebih besar dari 32 m, seperti tertera dalam Tabel 4. Tabel 4. Hubungan magnitudo dan tinggi tsunami di pantai Magnitude Tsunami (m) 5,0 4,5 4 3,5 3 2,5 2 1,5 1 0,5 0 -0,5 -1 -1,5 -2
Tinggi tsunami/H (meter) >32 24-32 16-24 12 -16 8-12 6-8 4-6 3-4 2-3 1,5-2 1-1,5 0,75-1 0,5-0,75 0,3-0,5 <0,3
Sumber : Iida 1963 Kejadian tsunami yang disebabkan oleh gempabumi di laut tergantung pada beberapa faktor yaitu: a). kedalaman pusat gempa (epicentrum) di bawah dasar laut h (km), b).kekuatan gempa M yang dinyatakan dengan skala Richter dan c). kedalaman air di atas episentrum d (m).
26
27
28
29
dengan pemodelan numerik sehingga dapat dilakukan upaya mitigasi untuk mengeliminir kerusakan. Tabel 5. Hubungan antara magnitude tsunami (m), ketinggian tsunami (meter), dan skala kerugian No.
Skala Magnitudo
Ketinggian Tsunami
Kerusakan
1.
-1
< 50 cm
Tidak ada
2.
0
1m
Sangat sekidit
3.
1
2m
Kerusakan sepanjang pantai dan kapal
4.
2
4–6m
5.
3
10 – 20 m
6.
4
30 m
Sedikit sampai di daratan dan kerugian dari segi manusia Kerusakan yang nyata di garis pantai lebih dari 400 km Kerusakan yang nyata di garis pantai lebih dari 500 km
Sumber: Immamura dan Iida 1949 dalam Diposaptono 2008 2.5.2 Pemodelan Numerik Tsunami UNESCO-IOC (2006) mendefinisikan pemodelan numerik tsunami adalah uraian matematis yang digunakan untuk menjelaskan tsunami yang telah diamati berdasarkan kejadian masa lalu beserta pengaruh-pengaruhnya. Pemodelan ini digunakan untuk memperkirakan bencana tsunami di masa mendatang. Pemodelan numerik tsunami oleh Borah (2007) dibagi menjadi tiga tahapan pemodelan yaitu : 1) Pembangkitan (Generation) Pada tahap pemodelan ini memperkirakan pembentukan ganguan permukaan laut akibat tenaga pemicu (gempa bumi, meteor, letusan gunung api dasar laut) yang menyebabkan deformasi di dasar laut. Data yang dibutuhkan dalam tahap ini yaitu data patahan (panjang dan lebar patahan), besarnya strike, dip dan slip, kedalaman patahan, dislokasi dan magnitudo gempa. 2) Perambatan (Propagation) Perambatan gelombang tsunami menyebar ke seluruh wilayah dari sumber pembangkitnya, pergerakan tersebut dipengaruhi oleh batimetri dan parameter oseanografi. Data yang digunakan yaitu batimetri,
30
kelengkungan bumi (earth curvature), dan parameter oseanografi seperti pasang surut, kecepatan dan arah arus laut. 3) Penggenangan (Inudation) Penggenangan terjadi karena perambatan gelombang yang mengenangi daerah pesisir akibat dari tinggi gelombang datang/run up. Data yang dibutuhkan yaitu batimetri di perairan dangkal, topografi daratan, morfologi pantai seperti muara, teluk, gumuk pasir dan lainlain. Kerusakan akibat tsunami di pesisir dapat dilihat dari seberapa jauh genangan/inundasi yang terjadi di pesisir dengan memperhatikan tinggi gelombang datang pada saat tsunami terjadi. Pada saat genangan/inundasi terjadi maka akan menggenangi penggunaan lahan di daerah pesisir pantai, sehingga terjadi kerusakan di daerah pesisir. Penelitian ini, menggunakan model genangan/inundasi sesuai perhitungan matematis Persamaan (4) dengan bantuan spasial analisis yang ada pada perangkat lunak SIG. Parameter yang digunakan adalah tinggi tsunami terburuk yang mungkin dapat terjadi akibat proses perambatan tsunami menurut skala ImamuraIida. Tinggi gelombang datang (run up) dikombinasikan dengan aliran air yang mengalir di permukaan topografi yang kasar, sebagai contoh gumuk, vegetasi pantai, bangunan-bangunan, topografi yang tidak teratur,
sungai-sungai dan
semua tutupan lahan di permukaan merupakan unsur yang sangat penting untuk mengetahui seberapa jauh genangan yang mungkin terjadi (Barryman 2006). Pendekatan variabel untuk menahan gelombang datang (run up) menggunakan model Berryman (2006) yaitu dengan koefisien kekasaran permukaan (surface roughness coefficient). Uraian di atas diperjelas dengan menampilkan Tabel 6. Tabel 6. Nilai kekasaran permukaan untuk masing-masing jenis penutup lahan Jenis penutup lahan Lumpur, salju, lahan terbuka Daerah permukiman Pusat kota Hutan Sungai, Danau Sumber: Berryman 2006
30
Koefisien kekasaran permukaan 0,015 0,035 0,1 0.07 0,007
31
Menghitung jarak inundasi wilayah pesisir yang datang, persamaan yang digunakan untuk mengetahui jarak inundasi ke arah darat mengacu prakarsa Tsunami UK menggunakan persamaan (3).
X maks
4 3
0,06 (H0 ) .…….................…………….………..……………..….…. (3) n2
dimana : X maks = Jarak inundasi dari garis pantai ke arah darat H0
= Ketinggian gelombang tsunami di garis pantai
n
= Koefisien kekasaran permukaan Persamaan (3) oleh Hawke‟s Bay dan Wellington dimodifikasi untuk
memasukkan variabel varisasi ketinggian permukaan (Berryman 2006). Variasi ketinggian permukaan direpresentasikan oleh besarnya lereng. Persamaan modifikasi seperti terlihat pada Persamaan (4). 167 n 2 5 Sin S ...………….....................…………..................................... H loss 1/3 H0
(4)
dimana : Hloss
= Hilangnya ketinggian tsunami per 1 m dari jarak inundasi
n
= Koefisien kekasaran permukaan
H0
= Ketinggian gelombang tsunami di garis pantai
S
= Besarnya lereng permukaan Koefisien kekasaran permukaan dibedakan berdasarkan jenis penggunaan
lahan (Putra 2008) yang merupakan hasil modifikasi dari klasifikasi kekasaran permukaan berdasarkan tipe penutup lahan yang dibuat Berryman (2006). Tabel 7 merupakan tabel kekasaran permukaan modifikasi Putra (2008). 2.6 Tingkat Kebencanaan, Integrasi Pengelolaan Pesisir di Daerah Bencana dan Analisis Bentuklahan untuk Bahaya Tsunami Perencanaan tata ruang berbasis bahaya tsunami sangat diperlukan pada wilayah yang rentan bencana.
Penentuan tingkat kebencanaan
dengan
pendekatan dari wilayah yang tergenang pada penggunaan lahan, tinggi elevasi dan bentuklahan.
32
Tabel 7. Nilai kekasaran permukaan berdasarkan penggunaan lahan Jenis Penggunaan Lahan Koefisien Kekasaran Permukaan Empang Laut Rawa Sungai Tambak Bukit Pasir Hutan Rawa Hutan Rapat Rumput Semak Jalan Arteri Jalan Kolektor Jalan Lain Jalan Lokal Kebun Ladang Permukiman/Lahan Terbangun Trotoar Sawah Tanah Kosong Sumber: Putra 2008
0,007 0,001 0,015 0,007 0,010 0,018 0,025 0,070 0,020 0,040 0,010 0,010 0,013 0,013 0,035 0,030 0,045 0,015 0,020 0,015
Kejadian tsunami 26 Desember 2004 yang dibangkitkan dari gempabumi di Sumatera dengan kekuatan 9.0-9.3 MW mengakibatkan kerusakan di pesisir pantai India, Andaman dan kepulauan Nikobar, Indonesia, Sri Lanka, Malaysia dan Thailand, kejadian tsunami terjadi setelah dua jam kejadian gempa bumi. Dampak dari tsunami mengakibatkan kerusakan di sejumlah wilayah (Lay et al. 2005). Tingkat kompleksitas masalah di wilayah pesisir menjadi perhatian khusus ICZM sebagai mekanisme pemerintah untuk mengetahui berbagai jenis aspek aktivitas manusia dan pengelolaannya. Pandangan World Bank terhadap ICZM sebagai pendekatan yang interdisplin dan intersektoral (Xue et al. 2004). Selanjutnya, diadakan workshop bekerja sama dengan WWF, Wet Land international untuk konservasi pasca tsunami dan tantangan bahwa pendekatan ICZM adalah perlu untuk rekonstruksi. Sebagai contoh pasca tsunami di India dilakukan pengamatan wilayah yang terkena bencana. Akibat dari bencana tsunami sektor perikanan dan pariwisata menderita kerusakan parah yang berdampak pula pada terumbu karang sebagai objek wisata dan tempat kehidupan
32
33
ikan karang. Rusaknya terumbu karang berdampak pula pada mata pencaharian penduduk yang hidup bergantung pada sektor pariwisata dan perikanan. Konflik penggunaan sumberdaya pesisir terjadi antar sektor dan pengelolaan yang tidak terintegrasi juga berdampak pada degradasi ekosistem pesisir (Chua et al. 1997; Xue et al. 2004). Kejadian tsunami mengakibatkan kerentanan sumberdaya alam di pesisir. Kejadian bencana tidak dapat dielak, kerentanan dapat direduksi oleh perencanaan yang tepat (Sonak et al. 2008). Kompleksitas pesisir meliputi dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan pemulihan/rekonstruksi di area/wilayah bencana merupakan tantangan besar. Dengan demikian perlu memahami dinamika kompleksitas pesisir dan jenis-jenis tantangan yang dihadapi oleh beberapa stakeholder seperti kelangsungan dalam pengelolaan pesisir, tanggung jawab dan partisipasi komuniti. ICZM sebagai “proses dari pemerintahan kerangka kerja
institusional untuk meyakinkan
yang terdiri dari legal dan bahwa pembangunan dan
rencana pengelolaan untuk pesisir diintegrasikan dengan lingkungan dan sasaransasaran sosial, dan dibangun secara partisipasi dari yang terkena bencana” (Xue et al.
2004). Kerangka kerja pengelolaan
ICZM digunakan untuk pesisir dan
masalah-masalah kelautan lingkungan dan konflik-konflik untuk memperoleh pemanfaatan kesesuaian sumberdaya pesisir dalam pembangunan wilayahwilayah. Namun terdapat sejumlah tantangan dan terdapat keterbatasan konsep ICZM. ICZM terdiri atas ekologi, institusional dan dimensi sosial-ekonomi. Peningkatan kelangsungan kegiatan ICZM, melalui beberapa faktor-faktor meliputi: 1. memerlukan hubungan manajemen untuk meningkatkan kondisi biofisik,
2.
pentingnya
peraturan
partisipasi
stakeholder
dalam
proses
pengambilan keputusan, dan 3. kontribusi untuk pemulihan ekonomi dan mata pencaharian (White et al. 2005). Terdapat peningkatan sosial dan pemanfaatan lingkungan yang dilakukan oleh masyarakat merupakan hal yang logis dalam pengelolaan pesisir secara berkelanjutan. Hal ini merupakan faktor yang utama dalam pengelolaan pesisir (Christie et al. 2005). Pencapaian tujuan Integrated Coastal Management (ICM) memerlukan gambaran yang jelas dari kemajuan program yang disusun, kondisi lingkungan
34
dan pengaruh faktor-faktor anthropogenik memberikan tantangan yang signifikant (Bowen dan Riley 2003). Konsep ICZM yang mencakup sasaran dan dasar integrasi pengetahuan lingkungan dan pengetahuan sosial. Dalam kenyataannya terdapat jarak komunikasi yang luas antara peneliti dengan disiplin ilmu yang berbeda, sebagaimana halnya antara berbagai stakeholder. Sebagai tambahan, pemecahan konflik antara tradisional dan industri masih perlu pemikiran. Lebih lanjut, pengoperasian ICM melalui serangkaian tahapan dan aksi dalam proses kebijakan harus tepat diperlukan dan pada tempat yang tepat (Olsen 2003). Program ICM bersifat lokal maupun regional harus bertanggung jawab dan memberikan keuntungan pada pemilik stakeholder (Bowen dan Riley 2003). Bentuk ICM yang tidak terintegrasi seperti kejadian tsunami di India dengan banyaknya korban akibat kejadian tsunami disebabkan tidak adanya sistem peringatan Tsunami di India karena Samudera Hindia jarang terjadi tsunami. Berbeda dengan Samudera Pasifik yang memiliki frekuensi aktivitas seismik lebih tinggi. Perjalanan waktu dari sumber gempa hingga terjadi tsunami yang mengakibatkan kerusakan di pesisir memerlukan waktu 5 hingga 30 menit. Sebagai contoh, tsunami terjadi 8 menit setelah gempa bumi yang terjadi di Hokkaido-Nansei-Oki pada 12 Juli 1993. Pada saat kejadian tsunami menerjang desa dengan ketinggian gelombang datang (run up) 12 m, di lokasi lain gelombang mencapai 5 hingga 10 m. Lokasi bencana dekat dengan sumber gempa dan peringatan tsunami terjadi 5 menit setelah gempa, merupakan sistem peringatan yang baik dengan tersedianya teknologi. Pada saat kejadian bencana korban sangat sedikit karena penduduk segera menyelamatkan diri berlari ke tempat yang lebih tinggi segera setelah merasakan getaran gempa bumi tanpa menunggu peringatan. Hal ini terjadi karena penduduk mengikuti program pelatihan penyelamatan dan informasi umum tentang bencana. Usaha-usaha rekonstruksi meliputi persiapan dalam masyarakat yang dapat meningkatkan ketahanan (resilience) komunitas pesisir terhadap tsunami dan bencana alam pesisir lainnya, dimana usaha tersebut memerlukan penyelesaian dalam waktu yang lama dalam skenario pasca tsunami (Gambar 12).
34
35
Kajian Kondisi Terkini
Memerlukan Kajian
Pendekatan ICZM untuk Rekonstruksi Wilayah Akibat Tsunami
Rehabilitasi/Rekonstruksi
Ekologi: Terumbu Karang Mangrove
Pengelolaan Bencana
Sosial-Ekonomi Kerentanan Masyarakat
Partisipasi Stakeholder Tanggung Jawab
Teknologi Signal Peringatan
Persiapan Komunitas Perencanaan Penggunaan Lahan
Partisipasi Stakeholder Tanggung Jawab
Rencana Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan Pengambilan Keputusan
Gambar 12. Model integrasi pengelolaan wilayah pesisir akibat tsunami. (Sonak et al. 2008, dimodifikasi) Penilaian bahaya tsunami dilakukan melalui analisis bentuklahan (landform) terutama dari aspek morfogenesis untuk mengetahui kerentanannya dan aspek morfometri. Verstappen (1983) mengklasifikasikan bentuklahan secara morfogenesis menjadi
sepuluh
(10)
macam
bentuklahan
asal
proses,
yaitu:
1. Bentuklahan asal proses vulkanik (V), merupakan kelompok besar satuan bentuklahan yang terjadi akibat aktivitas gunung api. Contoh bentuklahan ini antara lain: Lereng Vulkanik Denudasional, Perbukitan Vulkanik Denudasional. 2. Bentuklahan asal proses struktural (S), merupakan kelompok besar satuan bentuklahan yang terjadi akibat pengaruh kuat struktur geologis. Pegunungan lipatan, pegunungan patahan, perbukitan, dan kubah, merupakan contoh-contoh untuk bentuklahan asal struktural.3. Bentuklahan asal fluvial (F), merupakan kelompok besar satuan bentuklahan yang terjadi akibat aktivitas sungai. Dataran banjir, rawa belakang, teras sungai, dan tanggul alam merupakan contoh-contoh satuan bentuklahan ini. 4. Bentuklahan asal proses solusional (S), merupakan kelompok besar satuan bentuklahan yang terjadi akibat proses pelarutan pada batuan yang mudah larut, seperti batu gamping dan dolomite, karst menara, karst
36
kerucut, doline, uvala, polye, goa karst, dan logva, merupakan contoh-contoh bentuklahan ini.5. Bentuklahan asal proses denudasional (D), merupakan kelompok besar satuan bentuklahan yang terjadi akibat proses degradasi seperti longsor dan erosi. Contoh satuan bentuklahan ini antara lain: bukit sisa, lembah sungai, peneplain, dan lahan rusak. 6. Bentuklahan asal proses eolin (E), merupakan kelompok besar satuan bentuklahan yang terjadi akibat proses angin. Contoh satuan bentuklahan ini antara lain: gumuk pasir barchan, parallel, parabolik, bintang, lidah, dan transversal. 7. Bentuklahan asal proses marine (M), merupakan kelompok besar satuan bentuklahan yang terjadi akibat proses laut oleh tenaga gelombang, arus, dan pasang-surut. Contoh satuan bentuklahan ini adalah: daerah pasang surut (tidal flat), gisik pantai (beach), bura (spit), tombolo, laguna, dan beting gisik (beach ridge). Pada umunya sungai bermuara ke laut, maka seringkali terjadi bentuklahan yang terjadi akibat kombinasi proses fluvial dan proses marine. Kombinasi ini disebut proses fluvio-marine. Contoh-contoh satuan bentuklahan yang terjadi akibat proses fluvio marine ini antara lain delta dan estuari.8. Bentuklahan asal glasial (G), merupakan kelompok besar satuan bentuklahan yang terjadi akibat proses gerakan es (gletser). Contoh satuan bentuklahan ini antara lain lembah menggantung dan morine.9. Bentuklahan asal organik (O), merupakan kelompok besar satuan bentuklahan yang terjadi akibat pengaruh kuat aktivitas organisme (flora dan fauna). Contoh satuan bentuklahan ini adalah mangrove dan terumbu karang. 10. Bentuklahan asal antropogenik (A), merupakan kelompok besar satuan bentuklahan yang terjadi akibat aktivitas manusia. Waduk, kota, dan pelabuhan, merupakan contoh-contoh satuan bentuklahan hasil proses antropogenik. Morfogenesis bentuklahan yang sesuai dengan lokasi penelitian adalah: 1. Bentuklahan asal proses vulkanik (V), merupakan kelompok besar satuan bentuklahan yang terjadi akibat aktivitas gunung api. Contoh bentuklahan ini antara lain: Lereng Vulkanik Denudasional, Perbukitan Vulkanik Denudasional. 2. Bentuklahan asal proses marine (M), merupakan kelompok besar satuan bentuklahan yang terjadi akibat proses laut oleh tenaga gelombang, arus, dan pasang-surut. Contoh satuan bentuklahan ini adalah: daerah pasang surut (tidal flat), gisik pantai (beach).
36
37
Morfometri merupakan aspek kuantitatif pantai seperti kemiringan pantai, ketinggian, elevasi, panjang pantai, dan kelerengan pantai. Dalam penelitian ini dilakukan pengukuran karakteristik pantai. Informasi dari bentuklahan di wilayah yang rentan akan bahaya tsunami dapat diketahui kemampuan wilayah tersebut dalam menerima ancaman bahaya, dengan demikian dapat dipetakan bentuklahan mana saja yang rentan. Diketahuinya wilayah yang rentan maka di wilayah tersebut pemanfaatan penggunaan lahan perlu diperhatikan. 2.7 Mitigasi Tsunami dengan Ekosistem Mangrove 2.7.1 Sifat Mangrove Tsunami dapat direduksi dengan ekosistem mangrove dengan cara menanam sabuk hijau (green belt) (Coachard et al. 2008). Mangrove tanaman yang banyak dijumpai di pantai-pantai daerah tropik dan dapat hidup pada kondisi air payau. salinitas tinggi, dan pasir lumpur. Keterkaitan antara faktor lingkungan dengan penyebaran jenis-jenis mangrove dapat dilihat pada Tabel 8. Vegetasi mangrove mempunyai sistem perakaran yang bervariasi (Gambar 13) yaitu 1. Akar udara (Aerial root): Struktur yang menyerupai akar, keluar dari batang, menggantung di udara dan bila sampai ke tanah dapat tumbuh seperti akar biasa. Beberapa kadang-kadang menyerupai struktur akar yang dimiliki oleh famili Rhizophoraceae, 2. Akar banir/papan (Buttress) : Akar berbentuk seperti papan miring yang tumbuh pada bagian bawah batang dan berfungsi sebagai penunjang pohon, 3. Akar lutut (Knee root) : Akar yang muncul dari tanah kemudian melengkung ke bawah sehingga bentuknya menyerupai lutut, 4. Akar nafas (Pneumatophore) : Akar yang tumbuhnya tegak, muncul dari dalam tanah, pada kulitnya terdapat celah-celah kecil yang berguna untuk pernafasan, 5. Akar tunjang (Stilt-root) : Akar yang tumbuh dari batang diatas permukaan dan kemudian memasuki tanah, biasanya berfungsi untuk penunjang mekanis. (Kusmana et al. 2005 dan Marpaung 2008).
38
39
Tabel 8. Keterkaitan antara faktor-faktor lingkungan dengan penyebaran beberapa jenis pohon mangrove secara alami Zonasi
Type Pasang Surut
Pinggir Pantai
Harian
Frekwensi Penggenangan (hari/bulan) 20
Tengah
Harian
10-19
10-30
Berdebu sampai liat berdebu
Pedalaman
Tergenang hanya saat pasang purnama
4-9
0-10
Berdebu-liat berdebu sampai liat
Pinggir sungai
Jarang tergenang: air tawar-payau
2
0-10
Berpasir sampai liat berdebu
Sumber: Kusmana 2005
Salinitas (ppt)
Substrat dasar
Jenis-jenis Pohon Mangrove
10-30
Koral, berpasir, lempung berpasir
Avicennia marina, Sonneratia, S. Caseolaris, Rhizopora stylosa dan Rh. Apiculata A.alba, A. Officinalis, Rh.mucronata, Aegiceras corniculatum, A. Floridum, Bruguiera gymnorhiza, B. Sexangula, Ceriops tagal, C.decandra, Excoecaria agallocha, Lumnitzera recemosa, Xylocarpus granatum A.alba, B.sexangula.C.tagal, E. Agallocha, Heritiera littoralis,, Scyphiphora hydrophylacea, Xylocarpus granatum. X. mekongensis, Nypa fruticans Muara sungai: Avicennia marina, A.officinalis, Aegiceras corniculatum, A.floridum, Camptostemon philipinensis, Rh apiculata, Rh. Mucronata, Rh. Stylosa Hulu sungai: A. Alba, A.officianalis, Aegiceras corniculatum, A. Floridium, Bruguiera cylindrica, B. Gymnorhiza, Bparviflora, Carntostemon philipinensis, E. Agallocha, Heritera litoralis, Nypa fructicans, Rh. Mucronata, Rh.apiculata, Xylocarpus granatum, X. mekongensis
40
41
memiliki konfigurasi yang meruncing keatas dan daun yang lebat sehingga pada saat terjadi gelombang tsunami dapat mereduksi gelombang (Mazda et al. 2006). Komposisi substrat perairan dangkal menuju daerah pasang surut di Red Delta Vietnam (Quartel 2007)
adalah lumpur dengan dibagian atas pasir
kemudian lumpur yang merupakan tempat tumbuh mangrove. Umumnya mangove tumbuh pada daerah intertidal yang substrat dasarnya berlumpur, berlempungan atau berpasir (Bengen 2001b). Komposisi substrat perairan dangkal menuju daerah pasang surut di Red Delta Vietnam (Quartel 2007)
adalah lumpur dengan dibagian atas pasir
kemudian lumpur yang merupakan tempat tumbuh mangrove. Umumnya mangove tumbuh pada daerah intertidal yang substrat dasarnya berlumpur, berlempungan atau berpasir (Bengen 2001b). Mangrove yang tumbuh pada substrat yang memiliki bagian dasarnya lempung dapat mereduksi gelombang tsunami, disamping itu juga kepadatan vegetasi mangrove tersebut yang terdiri dari batang, cabang dan akar, contoh mangrove spesies Kandelia candel (Quartel 2007). Faktor yang menentukan mangrove dapat mereduksi tsunami meliputi: lebar hutan, kemiringan hutan, kerapatan pohon, diameter pohon, proporsi biomassa di atas permukaan tanah yang terdapat di akar, tinggi pohon, tekstur tanah, lokasi hutan, tipe vegetasi dataran rendah yang berdekatan dengan vegetasi mangrove, keberadaan habitat tepi pantai (padang rumput padang lamun, terumbu karang, bukit), ukuran dan kecepatan tsunami, jarak dari kejadian tektonik, dan sudut datang tsunami yang relatif terhadap garis pantai (Alongi 2005). Ilustrasi berikut Gambar 15, memperlihatkan keberadaan vegetasi pantai dapat berfungsi sebagai penghalang ketika tsunami menerjang pantai dan menahan kapal-kapal atau perahu sehingga tidak ke darat.
42
43
obyek berdasarkan konvergensi bukti atau ciri-ciri yang mengarah pada obyek tersebut. Berikutnya pengenalan objek didasarkan pada karakteristik dan atributnya pada citra (Sutanto 1986), untuk memudahkan proses interpretasi maka dapat menggunakan unsur interpretasi yaitu: 1. Rona : tingkat kecerahan relatif objek pada citra, 2. menggunakan
Warna:
ujud
spektrum sempit, 3.
menggambarkan
konfigurasi
yang Bentuk:
tampak
oleh
variabel
mata kualitatif
dengan yang
atau kerangka suatu objek, 4. Ukuran: atribut
objek yang berupa jarak, luas, tinggi, lereng dan volume sesuai skala citra, 5. Tekstur:
frekuensi perubahan rona pada gambar objek, 6.
Pola : susunan
keruangan objek, 7. Situs: letak objek relatif terhadap objek lain di sekitarnya, 8. Asosiasi: keterkaitan antara objek yang satu dengan objek yang lain, 9. Bayangan. Aplikasi dari penginderaan jauh digunakan untuk klasifikasi Penggunaan Lahan dan Bentuklahan. 2.8.2 Citra Quickbird Quickbird adalah satelit resolusi tinggi milik Digital Globe, yang dioperasikan secara langsung oleh perusahaan tersebut. Quickbird menggunakan sensor BGIS 2000. Sensor dengan derajad kedetilan resolusi 0.61 meter. Citra satelit ini merupakan sumber yang sangat baik dalam pemanfaatannya untuk studi lingkungan dan analisis perubahan penggunaan lahan, pertanian, dan kehutanan. Dalam bidang perindustrian, citra satelit ini dapat dimanfaatkan untuk eksplorasi dan produksi minyak/gas, teknik konstruksi, dan studi lingkungan. Satelit Quickbird diluncurkan 24 September 1999 di USA memiliki dua macam sensor yaitu sensor Pankromatik (hitam-putih): 0,6 m (nadir) hingga 72 cm (25o off-nadir), dan Multi Spektral (berwarna) : 2,44 m (nadir) hingga 2,88 m (25 o off-nadir). Periode orbit dari satelit ini adalah 93,4 menit dengan sudut inklinasi 980 dan ketinggiannya 450 km di atas permukaan bumi. Cakupan citra 16.5 km x 16.5 km pada nadir dan minimum area yang terliput oleh citra satelit Quickbird adalah 8x 8 km Tabel 9.
2
, adapun panjang gelombang satelit Quickbird tertera dalam
44
Tabel 9. Karakteristik satelit Quickbird Kanal Panjang gelombang Cahaya ( m)
1 2 3 4
0,45 – 0,52 0,52 – 0,60 0,63 – 0,69 0,76 – 0,90
biru hijau merah Infra Red dekat
Panchromatic 0,45 – 0,90
Panchromatic
Sumber: www.satimagingcorp.com/satellite-sensors/quickbird.html Pada penelitian ini citra Qiuckbird digunakan untuk interpretasi penggunaan lahan dan bentang lahan. Wilayah yang tertutup awan, interpretasi dapat dibantu dengan Peta RBI. 2.8.3 Citra ALOS AVNIR-2 Satelit ALOS merupakan satelit yang dikembangkan oleh Jepang yang digunakan untuk tujuan observasi bumi, kelautan dan atmosfer (Shimada 2007). Secara lebih spesifik tujuan diluncurkannya satelit ini adalah untuk kartografi, observasi wilayah, monitoring bencana, dan survei sumberdaya
alam. Citra
ALOS AVNIR-2 diperoleh dari JAXA merupakan Badan penyedia data citra ALOS. Satelit ALOS memiliki PALSAR. Masing-masing
tiga
sensor
sensor memiliki
yaitu
PRISM,
karakteristik
AVNIR-2
dan
dan keunggulan
masing-masing. Untuk menjamin sensor bekerja secara maksimal, satelit ALOS dirancang dapat bergerak dengan cepat, memiliki kapasitas yang besar serta memiliki presisi dalam hal orbit maupun ketinggiannya. Satelit ALOS diluncurkan pada 24 Januari 2006 dari Tanegashima Space Center Jepang, mengorbit secara sun-synchronous sub-recurrent dengan ketinggian terbang 691,65 km (di equator), serta memiliki sudut inklinasi 98,16°, untuk dapat mengitari bumi secara menyeluruh, dibutuhkan waktu 46 hari. Sensor AVNIR-2 memiliki dua saluran yaitu saluran tampak dan saluran inframerah dekat. Keunggulan sensor ini yaitu dapat digunakan untuk pemetaan penutup lahan secara detail dan monitoring wilayah. Resolusi spasial yang dihasilkan yaitu 10 meter pada saluran tunggal dan 16 meter pada saluran multispektral dengan cakupan area 70 km. Karakterisitk sensor ALOS AVNIR-2 dapat ditunjukkan pada Tabel 10.
44
45
Tabel 10. Karakteristik sensor ALOS AVNIR-2 Multispektral Parameter Jumlah saluran Panjang gelombang
AVNIR-2 4 (tampak dan inframerah) Saluran 1 : 0,42 - 0,50 μm Saluran 2 : 0,52 - 0,60 μm Saluran 3 : 0,61 - 0,69 μm Saluran 4 : 0,76 - 0,89 μm 10 meter
Resolusi spasial
Sumber : Shimada 2007 Citra satelite ALOS
terdiri atas beberapa level yang menunjukkan
pemrosesan produk AVNIR-2 yang diperjelas dalam Tabel 11. Citra ALOS AVNIR-2
digunakan
untuk interpretasi penggunaan lahan. Wilayah yang
tertutup awan, interpretasi dibantu dengan peta Rupa Bumi Indonesia (RBI). Tabel 11.Tingkat pemrosesan produk ALOS AVNIR-2 Multispektral Level IA 1B1
Keterangan Citra masih dalam level 0 atau citra mentah (raw data). Sudah dilakukan koreksi radiometrik, dan sudah dikalibrasi absolut. Sumber : Shimada 2007 2.8.4 Sistem Informasi Geografis (SIG) SIG
dalam pengertian
Puntodewo,
Sonya,
dan
Jusupta (2003)
merupakan suatu komponen yang terdiri dari perangkat keras, perangkat lunak, data geografis dan sumberdaya manusia yang bekerja bersama secara efektif untuk menangkap,
menyimpan,
memperbaiki,
memperbaharui,
mengelola, memanipulasi, mengintegrasikan, menganalisis, dan menampilkan data dalam suatu informasi berbasis geografis. Analisis spasial yang ada di dalam SIG memungkinkan adanya pemodelan numerik tsunami yaitu pemodelan genangan/inundasi tsunami berdasarkan nilai koefisein permukaan (Berryman 2006). Format data yang dibutuhkan adalah raster. Format data ini sesuai untuk membuat model spasial dan analisis aliran atau pola data yang merepresentasikan permukaan relief bumi dan pemodelan inundasi yang terjadi di wilayah penelitian. ESRI (2001) spasial analisis menunjukkan perspektif lokasi dalam masing-masing lokasi sel dan nilai diasosiasikan dengan identitas sel. Fungsi
dengan sel raster dapat
46
dilakukan pemodelan, dengan perlakukan pada satu sel (fungsi lokal), sel dan
tetangganya, sel dan zonanya (fungsi zonal), dan perlakuan sel secara
menyeluruh pada satu raster (fungsi global). Fungsi yang digunakan untuk pemodelan
genangan/inundasi tsunami
adalah
fungsi
cost-distance
(Berryman 2006). Fungsi cost-distance menyediakan pemodelan untuk membuat harga permukaan dan menghitung koridor optimum di permukaan (ESRI 2006 a,b). Fungsi cost-distance menghitung setiap harga akumulatif sel piksel yang paling kecil ke lokasi sumber yang spesifik melalui harga permukaan. Costdistance adalah prasyarat untuk menentukan bagian harga yang paling kecil dan koridornya.
46