Judul
: MEDIASI PENAL DALAM PENYELESAIAN TINDAK PIDANA YANG DILAKUKAN OLEH ANAK
Disusun oleh : Hadi Mustafa NPM
: 11100008
FAKULTAS : HUKUM UNIVERSITAS SLAMET RIYADI SURAKARTA
ABSTRAK Tujuan Penelitian ini adalah Mengkaji masalah Mediasi Penal dalam Penyelesaian Tindak Pidana yang dilakukan oleh Anak. Kenakalan/tindak pidana anak merupakan wujud dari respon diri anak terhadap situasi yang ada di luar diri mereka yang bisa datang dari keluarga, lingkungan, ataupun perkembangan global. Salah satu kritik yang mengemuka adalah penerapan hukum pidana yang mengedepankan sisi formalitas yang cenderung represif serta kurang mengapresiasi posisi korban maupun pelaku tindak pidana, sehingga terkesan hukum pidana yang diberlakukan hanya sebagai alat pembalasan belaka. Penanganan anak dalam proses hukumnya memerlukan pendekatan, pelayanan, perlakuan, perawatan serta perlindungan yang khusus bagi anak dalam upaya memberikan perlindungan hukum terhadap anak yang berhadapan dengan hukum. Mediasi penal atau kesepakatan untuk diversi menjadi solusi dalam penyelesaian tindak pidana yang dilakukan anak karena menjauhkan anak dari perampasan kemerdekaan dan memberikan ruang untuk mengetahui dan menyadari kesalahannya. Metode penelitian dalam skripsi ini menggunakan penelitian normatif karena mencakup asas-asas hukum, taraf sinkronisasi hukum serta perbandingan hukum terhadap mediasi penal dalam penyelesaian tindak pidana anak sebelum dan setelah adanya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Berdasarkan pada hasil kajian pustaka dan analisa yang dilakukan penulis, Mediasi Penal sebagai upaya penyelesaian tindak pidana anak menurut UU Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak adalah bahwa anak-anak masih memerlukan perlindungan dari negara dan masyarakat untuk jangka waktu ke depan yang masih panjang dan tujuan dari adanya proses diversi adalah untuk mencapai perdamaian antara korban dan anak, menyelesaikan perkara anak melalui mediasi penal sehingga menghindarkan anak dari perampasan kemerdekaan.
Kata kunci : Mediasi Penal, Diversi
1
A. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalah Anak adalah bagian dari generasi muda sebagai salah satu sumber daya manusia yang merupakan potensi dan penerus cita-cita perjuangan bangsa di masa yang akan datang, yang memiliki peran strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus, memerlukan pembinaan dan perlindungan dalam rangka menjamin pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental, dan sosial secara seimbang. Fakta-fakta sosial yang belakangan ini terjadi dalam kehidupan bermasyarakat adalah permasalahan yang terkait anak, dimana dalam kehidupan sosial yang sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor tersebut kita dihadapkan lagi dengan permasalahan penanganan anak yang diduga melakukan tindak pidana. Kenakalan/tindak pidana anak merupakan wujud dari respon diri anak terhadap situasi yang ada di luar diri mereka yang bisa datang dari keluarga, lingkungan, ataupun perkembangan global. Perilaku negatif anak merupakan cerminan orang dewasa dalam mendidik mereka. Pola asuh sejak dini menjadi vital dalam proses tumbuh kembang anak. Pendidikan karakter perlu diberikan mulai dari keluarga, lingkungan bermain, hingga sekolah. Tuntutan belajar yang tinggi dari sekolah tidak menjamin anak dapat menikmatinya. Yang ada adalah tingkat stress anak meningkat. Untuk Anak Berhadapan Hukum (ABH), masih sering ditemui fakta anak dikeluarkan dari sekolah
2
karena kasus yang dialami. Mereka mengalami diskriminasi di dalam kehidupan pasca-penjara. Salah satu kritik yang mengemuka adalah penerapan hukum pidana yang mengedepankan sisi formalitas yang cenderung represif serta kurang mengapresiasi posisi korban maupun pelaku tindak pidana, sehingga terkesan hukum pidana yang diberlakukan hanya sebagai alat pembalasan belaka, contoh kasus tindak pidana yang kerap terjadi di masyarakat seperti pencurian ataupun penganiayaan ringan, dimana pihak korban maupun pelaku telah sepakat untuk berdamai namun pihak kepolisian tetap saja meneruskan kasus hingga ke meja hijau. Ini merupakan sebuah contoh nyata bagaimana hukum pidana diberlakukan sebagai formalitas tanpa memperhatikan kepentingan korban maupun pelaku. Pemidanaan anak mestinya tidak harus langsung dilakukan, jika anak bermasalah dengan hukum. Pemidanaan anak menjadi upaya terakhir, setelah dilakukan upaya lain untuk membuat anak tidak mengulangi perbuatannya. Sebab jika anak dipidana, apalagi menjalani penahanan di penjara, akan berdampak buruk pada psikologisnya. Hak-hak mereka menjadi tidak terpenuhi. Meskipun mereka ditempatkan di ruang khusus tahanan anak-anak, hal itu tidak menjamin anak mendapatkan haknya. Dari segi pendidikan, anak yang bermasalah juga kerap kehilangan haknya. Ketika anak menjadi korban suatu peristiwa hukum, terkadang membuatnya dikeluarkan dari sekolah. "Apalagi anak yang menjadi pelaku, yang dianggap kriminal, langsung dikeluarkan. Hak anak mendapat pendidikan, menjadi tidak terpenuhi”.
3
Mediasi penal untuk pertama kali dikenal dalam peristilahan hukum positif
di
Indonesia
sejak
keluarnya
Surat
Kapolri
No
Pol:
B/3022/XII/2009/SDEOPS tanggal 14 Desember 2009 tentang Penanganan Kasus Melalui Alternative Dispute Resolution (ADR) meskipun sifatnya parsial. Pada intinya prinsip-prinsip mediasi penal yang dimaksud dalam Surat Kapolri ini menekankan bahwa penyelesaian kasus pidana dengan menggunakan ADR, harus disepakati oleh pihak-pihak yang berperkara namun apabila tidak terdapat kesepakatan baru diselesaikan sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku secara profesional dan proporsional. Alternative Dispute Resolution khususnya dalam bentuk mediasi saat ini tengah booming dan sedang Go Internasional dalam wacana pembaharuan sistem peradilan pidana di Indonesia, khususnya pada penyelesaian tindak pidana yang dilakukan oleh anak. Pada saat ini pula sedang terjadi transisi pelaksanaan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang mensyaratkan terjadinya Restorative Justice diversi melalui mediasi para pihak. 2. PERUMUSAN MASALAH Berdasarkan pada uraian tersebut di atas yang mendasari penelitian ini, maka penulis merumuskan masalah yang akan dibahas dalam penelitin ini adalah sebagai berikut : Bagaimana Mediasi Penal sebagai upaya penyelesaian tindak pidana anak menurut UU Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak ?
4
B. METODE PENELITIAN 1. Jenis Penelitian Ada dua jenis penelitan hukum yaitu penelitian hukum normatif dan penelitian hukum empiris (sosiologis)………(Mukti Fajar ND, 2010:153) Soerjono Soekanto mengemukakan bahwa penelitian hukum itu berdasarkan tujuannya terdiri atas pertama, penelitian hukum normatif, yang mencakup penelitian terhadap asas-asas hukum, penelitian terhadap sistematika hukum, penelitian terhadap taraf sinkronisasi hukum, penelitian sejarah hukum, dan penelitian perbandingan hukum. Kedua, penelitian hukum sosiologis atau empiris yang mencakup, penelitian terhadap identifikasi hukum (tidak tertulis) dan penelitian terhadap efektifitas hukum………(Soerjono Soekanto, 1983:51) Dalam penelitian ini digunakan pendekatan penelitian normatif, karena mencakup asas-asas hukum, taraf sinkronisasi hukum serta perbandingan hukum terhadap mediasi penal dalam penyelesaian tindak pidana anak sebelum dan setelah adanya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. 2. SIFAT PENELITIAN Penelitian ini bersifat diskriptif analitis, yang mengungkapkan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan teori-teori hukum yang menjadi objek penelitian. Demikian juga hukum dalam pelaksanaannya di dalam masyarakat yang berkenaan objek penelitian………..(Zainuddin Ali, 2011:105 – 106) Oleh karenanya Penelitian ini bersifat diskriptif analitis
5
sebab bertujuan menggambarkan
pentingnya Mediasi
Penal
Dalam
Penyelesaian Tindak Pidana Yang Dilakukan Oleh Anak. 3. ALAT PENGUMPULAN DATA Alat pengumpulan data dalam penelitian ini adalah studi pustaka. Penelitian ini dilakukan melalui teknik Studi Pustaka, yaitu merupakan cara pengumpulan data dengan cara mempelajari bahan-bahan hukum, baik bahan hukum primer, bahan hukum sekunder maupun bahan hukum tersier dan atau bahan non hukum. Penelusuran bahan-bahan hukum tersebut dapat dilakukan dengan membaca, melihat, mendengar, maupun sekarang banyak dilakukan penelusuran
bahan
hukum
tersebut
dengan
melalui
media
internet………(Mukti Fajar ND, 2010:160)
C. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Mediasi Penal sebagai upaya penyelesaian tindak pidana anak menurut UU Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak Dalam Hukum Positif Indonesia perkara pidana tidak dapat diselesaikan di luar proses pengadilan, akan tetapi dalam hal-hal tertentu dimungkinkan pelaksanaanya. Dalam praktiknya penegakan hukum pidana di Indonesia, walaupun tidak ada landasan hukum formalnya perkara pidana sering diselesaikan di luar proses pengadilan melalui diskresi aparat penegak hukum, mekanisme perdamaian, lembaga adat dan sebagainya. Konsekuensi makin diterapkan eksistensi mediasi penal sebagai salah satu alternatif penyelesaian perkara dibidang hukum pidana melalui restitusi dalam proses
6
pidana menunjukkan, bahwa perbedaan antara hukum pidana dan perdata tidak begitu besar dan perbedaan itu menjadi tidak berfungsi. Mediasi Penal yang menerapkan nilai-nilai Keadilan Restoratif bukanlah barang baru bagi masyarakat Indonesia, malahan sekarang keadilan ini dikatakan sebagai pendekatan yang Progresif. Alasan dipergunakan mediasi penal dalam penyelesaian perkara pidana adalah karena ide dari mediasi penal berkaitan dengan masalah pembaharuan hukum pidana (Penal Reform), berkaitan juga dengan masalah pragmatisme, alasan lainnya adalah adanya ide perlindungan korban, ide harmonisasi, ide restorative justice, ide mengatasi kekakuan (formalitas) dan efek negatif dari sistem peradilan pidana dan sistem pemidanaan yang berlaku, serta upaya pencarian upaya alternatif pemidanaan (selain penjara). Sebenarnya dalam masyarakat Indonesia penyelesaian suatu perkara baik perdata maupun pidana dengan Mediasi Penal bukan hal baru, hal ini dibuktikan dengan adanya penyelesaian dengan pendekatan musyawarah. Bila dilihat secara histories kultur (budaya) masyarakat Indonesia sangat menjunjung tinggi pendekatan consensus, yang lebih mengutamakan pengambilan keputusan secara tradisional dan penyelesaian melalui mekanisme adat. Salah satu upaya penerapan keadilan restoratif yang dapat dilakukan oleh kepolisian dalam memaksimalkan penyelesaian dengan menggunakan mekanisme mediasi Penal. Penyelesaian perkara-perkara ini dapat dilakukan oleh kepolisian selaku garda utama sistem peradilan pidana, dengan kewenangannya yaitu diskresinya dalam menyelesaikan suatu perkara pidana
7
perlindungan konsumen. Bahkan pelaksanaan nilai-nilai keadilan Restoratif oleh aparat kepolisian telah diberikan suatu dasar hukum berupa Surat telegram rahasia Kabareskrim Kepolisian Negara Republik Indonesia No : STR/583/VII/2012 Tanggal 8-8-2012 Tentang Contoh Penanganan Kasus yang berkaitan dengan Konsep Restorative Justice, yang intinya menyatakan bahwa Restorative Justice walaupun belum terdapat payung hukum yang jelas (sudah ada 1 Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana anak yang mengadopsi nilai-nilai restorative justice melalui mekanisme diversi). Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana anak memiliki tujuan agar dapat terwujud peradilan yang benar-benar menjamin perlindungan kepentingan yang terbaik terhadap anak. Mediasi Penal dalam penanggulangan kejahatan terhadap anak pelaku tindak pidana di dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tampak dengan adanya penerapan Diversi dan Keadilan Restoratif yang dimasukkan dalam proses sistem peradilan pidana anak. Diversi dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 harus selalu diupayakan pada setiap proses pemeriksaan perkara Anak, atau dengan kata lain proses diversi merupakan bagian yang tidak terlepas dari sistem peradilan pidana. Tujuan dari dilakukannya Proses Diversi dalam Pasal 6 UndangUndang Nomor 11 Tahun 2012 ialah: a) mencapai perdamaian antara korban dan Anak; b) menyelesaikan perkara Anak di luar proses peradilan;
8
c) menghindarkan Anak dari perampasan kemerdekaan; d) mendorong masyarakat untuk berpartisipasi; dan e) menanamkan rasa tanggung jawab kepada Anak. Sehingga dalam pelaksanannya, Proses Diversi wajib memperhatikan: a) kepentingan korban; b) kesejahteraan dan tanggung jawab Anak; c) penghindaran stigma negatif; d) penghindaran pembalasan; e) keharmonisan masyarakat; dan f) kepatutan, kesusilaan, dan ketertiban umum. Dalam Pasal 7 (1) diatur tentang diversi yaitu pada tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan perkara Anak di pengadilan negeri wajib diupayakan Diversi, hal ini menunjukkan bahwa penyelesaian diluar pengadilan atau mediasi non-penal menjadi hal wajib dan penting untuk dilakukan dalam penyelesaian perkara tindak pidana anak. Ketentuan tersebut menunjukkan bahwa penyelesaian permasalahan tindak pidana anak diupayakan sejauh mungkin dari proses pengadilan dan pidana kurungan hal ini sesuai dengan salah satu asas dalam hukum pidana yaitu “pidana sebagai Ultimum Remidium” adalah pidana merupakan langkah terakhir apabila cara lain tidak dapat menyelesaikan permasalahan tersebut. Umur anak dalam ketentuan ini dimaksudkan untuk menentukan prioritas pemberian Diversi dan semakin muda umur anak, semakin tinggi prioritas Diversi.
9
Hal ini terlihat dalam Pasal 21 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 mengatur bahwa Anak belum berumur 12 (dua belas) tahun melakukan atau diduga melakukan tindak pidana, Penyidik, Pembimbing Kemasyarakatan, dan Pekerja Sosial Profesional mengambil keputusan untuk: (1) menyerahkan kembali kepada orangtua/Wali; atau (2) mengikutsertakannya dalam program pendidikan, pembinaan, dan pembimbingan di instansi pemerintah atau (Lembaga Penyelenggara Kesejahteraan Sosial) LPKS di instansi lain yang menangani bidang kesejahteraan sosial, baik di tingkat pusat maupun daerah, paling lama 6 (enam) bulan. (3) hasil penelitian kemasyarakatan dari Bapas; dan (4) dukungan lingkungan keluarga dan masyarakat. Ada beberapa perbedaan apabila dilihat dari dokumen yang tersusun dalam kesepakatan perdamaian dalam mediasi penal sebelum dan setelah diberlakukannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. PERBEDAAN MEDIASI PENAL SEBELUM DAN SETELAH PEMBERLAKUAN UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK KETERANGAN
SIFAT
SEBELUM UU SPPA
Mediasi penal yang dilakukan bersifat sukarela dari kedua belah pihak yang berkonflik.
10
SETELAH UU SPPA Mediasi yang dilakukan merupakan kewajiban yang diatur dalam undangundang
SYARAT
Dapat dilaksanakan karena kepentingan masyarakat meskipun korban tidak sepakat adanya mediasi.
INISIATOR
Inisiator dari penyelenggaraan mediasi berasal dari pihak-pihak yang berkonflik
PIHAK YANG TERLIBAT
Pihak yang berkonflik, Tokoh Masyarakat, Tokoh Agama dan Tokoh Adat.
TUJUAN MEDIASI
Terwujudnya kembali kehidupan yang harmonis di dalam masyarakat.
FOKUS MEDIASI
GANTI RUGI
Keharmonisan masyarakat; dan kepatutan, kesusilaan, dan ketertiban umum.
Bukan merupakan faktor penting dalam mediasi.
11
Tidak dapat dilaksanakan tanpa persetujuan korban Inisiator dari penyelenggaraan mediasi dibebankan kepada aparat penegak hukum, yaitu Polisi pada tingkat Penyidikan, Jaksa pada tingkat Penuntutan dan Hakim pada tingkat pemeriksaan di pengadilan. Anak yang berkonflik, orang tua kedua belah anak yang berkonflik, pekerja sosial professional, Balai Pemasyarakatan (BAPAS), Aparat penegak hukum(Polisi/Jaksa/Hakim). Mencapai perdamaian antara korban dan Anak; menyelesaikan perkara Anak di luar proses peradilan; menghindarkan Anak dari perampasan kemerdekaan; mendorong masyarakat untuk berpartisipasi; dan menanamkan rasa tanggung jawab kepada Anak. Kepentingan korban; kesejahteraan dan tanggung jawab Anak; penghindaran stigma negarif; penghindaran pembalasan; keharmonisan masyarakat; dan kepatutan, kesusilaan, dan ketertiban umum.
Merupakan faktor yang menentukan hasil kesepakatan dalam mediasi.
TINDAK LANJUT
Kesepakatan perdamaian dan pencabutan laporan di Kepolisian dalam hal perkara sudah dilaporkan. Dalam hal Polisi menganggap sebagai pidana murni dan tetap melanjutkan proses maka proses hukum tetap berjalan.
Penetapan Pengadilan Negeri atas kesepakatan yang di hasilkan sebagai keputusan yang bersifat final, memberikan kekuatan hukum tetap dan mengikat.
Dari paparan di atas penulis berpendapat bahwa mengingat filosofi sistem peradilan pidana anak adalah mengutamakan perlindungan dan rehabilitasi terhadap pelaku anak sebagai orang yang masih mempunyai sejumlah keterbatasan dibandingkan dengan orang dewasa. Anak-anak masih memerlukan perlindungan dari negara dan masyarakat untuk jangka waktu ke depan yang masih panjang dan tujuan dari adanya proses diversi adalah untuk mencapai perdamaian antara korban dan anak, menyelesaikan perkara anak di luar proses peradilan sehingga menghindarkan anak dari perampasan kemerdekaan. Proses diversi dalam penyelesaian kasus dengan pelaku anak merupakan bentuk perlindungan hukum terhadap anak yang berhadapan dengan hukum, proses diversi juga merupakan proses yang dapat memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada anak agar mendapatkan bimbingan dan binaan dari orang tua serta dari lembaga-lembaga terkait.
12
D. PENUTUP Kesimpulan Mediasi penal melalui diversi sebaiknya dilakukan terhadap anak yang melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara di bawah 7 (tujuh) tahun dan bukan merupakan pengulangan tindak pidana pada tingkat penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan perkara anak di pengadilan negeri karena
mengingat
filosofi
sistem
peradilan
pidana
anak
adalah
mengutamakan perlindungan dan rehabilitasi terhadap pelaku anak sebagai orang yang masih mempunyai sejumlah keterbatasan dibandingkan dengan orang dewasa. Anak-anak masih memerlukan perlindungan dari negara dan masyarakat untuk jangka waktu ke depan yang masih panjang dan tujuan dari adanya proses diversi adalah untuk mencapai perdamaian antara korban dan anak, menyelesaikan perkara anak melalui mediasi penal sehingga menghindarkan anak dari perampasan kemerdekaan. Pelaksanaan diversi sesuai dengan asas pidana sebagai ultimum remidium atau langkah terakhir apabila langkah lain tidak dapat menyelesaikannya. Proses diversi dalam penyelesaian kasus dengan pelaku anak merupakan bentuk perlindungan hukum terhadap anak yang berhadapan dengan hukum, proses diversi juga merupakan proses yang dapat memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada anak agar mendapatkan bimbingan dan binaan dari orangtua serta dari lembaga-lembaga terkait.
13
DAFTAR PUSTAKA BUKU-BUKU Mukti Fajar ND. 2010. Dualisme Penelitian Hukum Normatif & Empiris. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Soerjono Soekanto. 1983. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press. Zainuddin Ali. 2011. Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Sinar Grafika.
14