Guiliano sebagai kepala pasukan pribadinya. Orang-orang ini juga pandai, dengan caranya sendiri. Beberapa bahkan orang-orang paling licik yang pernah tinggal di Sisilia. Mereka tidak menyimpan kejengkelan karena Don membangun kekuasaan; mereka memercayainya. Tapi bahkan orang yang paling cerdas di dunia terkadang keliru. Dan mereka percaya perasaan Don terhadap Guiliano merupakan satu-satunya kegagalan yang muncul dari labirin benaknya. Don Croce menyelenggarakan makan siang mewah bagi keenam kepala Mafia di kebun Hotel Umberto di Palermo, di sana kerahasiaan dan keamanannya terjamin. Orang yang paling menakutkan dan vokal di antara para pemimpin ini adalah Don Siano, yang menguasai kota Bisacquino. Ia telah setuju berbicara atas nama yang lain dan ia melakukannya dengan kesopanan kasar yang merupakan peraturan Friends of the Friends di tingkat tertinggi. “Don Croce yang baik,” kata Don Siano, “kau tahu kami semua menghormati clirimu. Kau ť yang mengangkat kami dan keluarga kami. Kami sangat berutang budi kepadamu. Jadi kami Derbicara terus terang sekarang semata-mata demi keuntunganmu. Si bandit Turi Guiliano sudah terlalu kuat. Kita terlalu meremehkannya. Dia hanya bocah kecil namun dia sudah menantang wewenangmu dan wewenang kami. Dia merampok perhiasan klien-klien kita yang paling kaya. Dia merampas zaitun, anggur, jagung dari man-man tanah kita yang paling kaya. Dan sekarang dia menunjukkan kekurangajaran terbesar yang tidak bisa kita abaikan. Dia menculik Pangeran Ollorto yang dia tahu berada dalam perlindungan kita. Tapi, meskipun begitu, kau terus berbaik hati padanya, kau terus menawarkan persahabatan dengannya. Aku tahu dia kuat, tapi apa kita tidak lebih kuat? Dan kalau kita membiarkan dia bertindak semaunya, apa dia tidak jadi lebih kuat lagi? Kami, semua setuju sekaranglah saatnya memecahkan masalah ini. Kita harus mengambil semua langkah yang mungkin untuk meruntuhkan kekuatannya. Kalau kita tak memedulikan penculikan Pangeran Ollorto, kita semua akan menjadi bahan tertawaan di seluruh Sisilia.” Don Croce mengangguk-angguk seakan-akan menyetujui semua ucapannya. Tapi ia tidak berbicara. Guido Quintana, yang kedudukannya paling rendah di antara yang hadir, berkata dengan nada hampir-hampir sedih, “Aku Wali Kota Montelepre dan semua orang tahu aku salah satu Friends. Tapi tidak ada yang datang kepadaku meminta pendapat, ganti rugi, atau hadiah. Guiliano memimpin kota dan mengizinkan diriku tinggal di sana agar tidak memprovokasi pertengkaran dengan kalian. Tapi aku tidak bisa mencari nafkah. Aku tidak punya wewenang. Aku hanya boneka. Selama Guiliano masih hidup, Friends tidak eksis di Montelepre. Aku tidak takut terhadap bocah ini. Aku pernah mengalahkannya sekali. Sebelum dia menjadi bandit Kurasa dia tidak pedu ditakuti. Kalau dewan setuju, aku akan berusaha menyingkirkannya. Aku sudah menyusun rencana dan hanya menunggu persetujuan kalian untuk melaksanakannya.” Don Piddu dari Caltanissetta dan Don Arzana dari Piani dei Greci mengangguk. Don Piddu berkata, “Di mana kesulitannya? Dengan sumber daya yang kita miliki, kita bisa mengirimkan mayatnya ke Katedral Palermo dan menghadiri pemakamannya seperti kalau kita menghadiri pernikahan.” Pemimpin-pemimpin lain, Don Marcuzzi dari Villamura, Don Buccilla dari Partinico, dan Don Arzana menyuarakan persetujuan mereka. Lalu mereka menunggu. Don Croce mengangkat kepalanya yang besar. Hidungnya yang tinggi seolah menusuk mereka bergantian sewaktu ia bicara. “Teman-temanku, aku menyetujui semua yang kalian rasakan,” katanya. “Tapi kupikir kalian merendahkan pemuda ini. Dia lihai melebihi usianya dan mungkin sama beraninya dengan siapa pun di antara kita di sini. Dia tak akan bisa dibunuh semudah itu. Aku juga melihat kegunaan dirinya di masa depan, bukan hanya bagi diriku sendiri tapi bagi kita semua. Para provokator Komunis menghajar orang-orang Sisilia sampai jadi gila sehingga
mereka mengharapkan kehadiran Garibaldi yang lain, dan kita harus memastikan Guiliano tidak dipuja sebagai juru selamat mereka. Aku tidak perlu memberitahu kalian apa konsekuensinya kalau orang-orang biadab itu sampai memerintah Sisilia. Kita harus membujuknya agar berjuang di pihak kita. Posisi kita belum lagi aman sehingga kita tidak bisa menyia-nyiakan kekuatannya dengan membunuhnya.” Don mendesah, melahap sebongkah roti dan melancarkan jalannya dengan segelas anggur, lalu membersihkan mulut dengan serbet. “Bantu aku. Biar aku membujuknya, terakhir lcalinya. Kalau dia menolak, lakukan apa yang menurut kalian harus kalian lakukan. Akan kuberikan jawabannya dalam waktu tiga hari Hanya saja beri aku kesempatan terakhir untuk mencapai kesepakatan logis.” Don Siano yang pertama mengangguk setuju. Bagaimanapun, orang bijak mana yang begitu tidak sabar melakukan pembunuhan sehingga tidak bisa menunggu tiga hari? Setelah mereka berlalu, Don Croce memanggil Hector Adonis ke rumahnya di Villaba. Don bersikap terus terang terhadap Adonis. “Batas kesabaranku terhadap putra baptismu sudah habis,” katanya kepada pria kecil itu. “Kini dia harus bergabung dengan kami atau menentang kami. Penculikan Pangeran Ollorto merupakan penghinaan langsung terhadapku, tapi aku bersedia memaafkan dan melupakannya. Bagaimanapun dia masih muda, dan aku ingat sewaktu masih seusianya aku juga sama bersemangatnya. Seperti yang selalu kukatakan, aku mengaguminya karena itu. Dan percayalah, aku menghargai kemampuannya. Aku akan sangat senang kalau dia bersedia menjadi tangan kananku. Tapi dia harus menyadari tempatnya di lingkup kbih luas. Ada pemimpm-pemimpin lain yang tidak sekagum diriku, tidak penuh pengertian seperti aku. Aku tidak akan bisa menahan mereka. Jadi temui putra baptismu dan sampaikan apa yang kukatakan kepadamu. Dan beritahu aku jawabannya paling lambat besok. Aku tidak bisa menunggu lebih lama lagi” Hector Adonis ketakutan. “Don Croce, kusadari kedermawananmu dalam hati dan perbuatan. Tapi Turi penuh tekad dan seperti semua anak muda, terlalu yakin akan kekuatannya sendiri. Dan memang benar dia tidak bisa dibilang tidak berdaya. Kalau dia berperang melawan Friends of the Friends, aku tahu dia tidak akan menang. Tapi kerusakan yang timbul bisa menakutkan. Apa ada hadiah yang bisa kujanjikan kepadanya?” Don berkata, “Janjikan ini padanya. Dia akan mendapat kedudukan tinggi di Friends, dan dia akan mendapat kesetiaan dan kasih pribadiku. Lagi pula dia tidak bisa tinggal di pegunungan selamanya. Akan ada waktunya dia ingin mengambil tempat di masyarakat, hidup dalam perlindungan hukum di tengah keluarganya. Pada saat hari itu tiba, aku satu-satunya orang di Sisilia yang bisa menjamin pengampunannya. Dan aku sangat senang kalau bisa melakukannya. Aku benar-benar tulus dalam hal ini.” Dan memang sewaktu Don berbicara dengan gaya seperti itu, ia tidak bisa tidak dipercayai, ia tidak bisa ditolak. Sewaktu Hector Adonis naik ke gunung untuk menemui Guiliano, ia sangat bingung dan takut akan nasib putra baptisnya dan membulatkan tekad untuk berbicara terus terang. Ia ingin Guiliano memahami bahwa kasih di antara mereka merupakan yang paling utama, bahkan lebih daripada kesetiaannya kepada Don Croce. Saat ia tiba, kursi-kursi dan meja’ lipat telah ditata di tepi tebing. Turi dan Aspanu duduk berdua di sana. Adonis berkata kepada Guiliano, “Aku harus berbicara empat mata denganmu.” Pisciotta berkata marah, “Orang kecil, Turi tidak merahasiakan apa pun dariku.” Adonis tak mengacuhkan penghinaan itu. Ia berkata tenang, “Turi bisa menceritakan padamu apa yang kukatakan, kalau dia mau. Itu urusannya. Tapi aku tidak bisa memberitahumu. Aku tidak bisa menerima tanggung jawab itu.” Guiliano menepuk bahu Pisciotta. “Aspanu, tinggalkan kami berdua. Kalau kau harus mengetahuinya, aku akan memberitahumu nanti” Pisciotta bangkit berdiri dengan tiba-tiba, menatap tajam ke arah Adonis, dan berlalu.
Hector Adonis menunggu cukup lama. Lalu ia mulai bicara. ‘Turi, kau putra baptisku. Aku menyayangimu sejak kau masih bayi. Aku yang mengajarimu, memberimu buku-buku untuk dibaca, membantumu sewaktu kau menjadi pelanggar hukum. Kau salah satu dari sedikit orang di dunia yang menjadikan hidupku ada gunanya. Tapi sepupumu Aspanu menghinaku tanpa sepatah kata teguran pun darimu.” Guiliano -berkata, “Aku memercayai dirimu lebih daripada aku memercayai siapa pun kecuali ibu dan ayahku.” “Dan Aspanu,” lanjut Hector Adonis menegur. “Tidakkah dia terlalu haus darah untuk bisa dipercaya?” Guiliano menatapnya lurus-lurus dan Adonis terpaksa mengagumi ketulusan damai di wajahnya. “Ya, harus kuakui, aku lebih memercayai Aspanu daripada dirimu. Tapi -aku menyayangimu sejak aku kecil. Kau membebaskan pemikiranku melalui bukubukumu dan kecerdasanmu. Aku tahu kau membantu ibu dan ayahku dengan uangmu. Dan kau menjadi teman sejati dalam kesulitanku. Tapi kulihat kau terlibat Friends of the Friends, dan firasatku mengatakan itu alasan kedatanganmu kemari hari ini.”— Sekali lagi, Adonis terpesona akan naluri putra baptisnya. Ia menyampaikan masalahnya kepada Turi. “Kau harus mengadakan kesepakatan dengan Don Croce,” ujarnya. “Bukan dengan Raja Prancis, bukan dengan Raja Dua Sisilia, bukan dengan Garibaldi, bahkan bukan dengan Mussolini yang pernah menghancurkan Friends of the Friends. Kau tidak bisa berharap memenangkan perang melawan Don Croce. Kumohon buadah kesepakatan. Mulanya kau memang harus tunduk padanya, tapi siapa yang tahu posisimu di masa depan. Kuberitahukan ini demi kehormatan-mu dan demi ibumu yang sama-sama kita puja: Don Croce percaya pada kejeniusanmu dan menyayangimu. Kau akan menjadi pewarisnya, putra kesayangan. Tapi untuk kali ini, kau harus tunduk pada peraturannya.” Ia bisa melihat Turi tergerak oleh penjelasannya dan menanggapinya sangat serius. Hector Adonis berkata penuh semangat, “Turi, pikirkanlah ibumu. Kau tidak bisa tinggal di pegunungan selamanya, mempertaruhkan keselamatanmu agar bisa menemuinya beberapa hari setiap tahun. Bersama Don Croce, kau punya harapan mendapat pengampunan.” Pemuda itu membutuhkan beberapa lama untuk berpikir, lalu berbicara kepada ayah baptisnya dengan nada lambat dan serius. “Pertama-tama aku berterima kasih atas kejujuranmu,” ujarnya. ‘Tawaran itu sangat menarik. Tapi aku sekarang terikat untuk memerdekakan kaum miskin di Sisilia, dan aku tidak percaya Friends memiliki tujuan sama. Mereka pelayan orang kaya.dan politisi di Roma, dan merekalah musuh bebuyutanku. Kita tunggu dan lihat saja. Jelas aku sudah menculik Pangeran Ollorto dan menyakiti mereka. Tapi aku membiarkan Quintana tetap hidup padahal aku sangat membencinya. Aku menahan diri karena rasa hormatku kepada Don Croce. Katakan itu padanya. Sampaikan itu dan beritahukan padanya aku berdoa untuk hari ketika kami bisa menjadi mitra sejajar. Pada saat kepentingan-kepentingan kami tidak berselisih jalan. Sedangkan mengenai para pemimpinnya, biarkan mereka melakukan apa yang mereka inginkan. Aku tidak takut terhadap mereka.” Dengan berat hati Hector Adonis membawa jawaban itu kepada Don Croce, yang menganggukkan kepalanya yang bagai singa, seakan telah menduga jawaban itu. Dalam bulan berikutnya tiga upaya dilakukan untuk menghabisi Guiliano. Guido Quintana diizinkan melakukan upaya pertama. Ia merencanakannya begitu rumit sehingga layak disejajarkan dengan keluarga Borgia keluarga terkenal di zaman Renaissance yang para anggotanya sangat berbakat, cerdas, namun licik, jahat dan keji Ada jalan yang sering digunakan Guiliano bila ia turun gunung. Di sepanjang tepi jalan terdapat padang-padang subur yang dipenuhi Quintana dengan sekawanan besar domba. Tiga penggembala yang tampaknya tidak berbahaya menjaga kawanan itu, ketiganya penduduk asli kota Corleone dan teman-teman lama Quintana.
Selama hampir seminggu, setiap kali Guiliano terlihat menyusuri jalan itu, para penggembala menyapanya penuh hormat dan, sesuai tradisi lama, mencium tangannya. Guiliano mengajak mereka bercakap-cakap ramah; para penggembala sering kali menjadi anggota paro waktu kelompoknya dan ia selalu mencari orang yang bisa direkrut Ia tidak merasakan bahaya apa pun
274 karena ia hampir selalu bepergian bersama pengawal dan sering kali bersama Pisciotta, yang kekuatannya setidaknya sama dengan dua orang. Para penggembala itu tidak bersenjata dan mengenakan pakaian tipis yang tidak bisa digunakan untuk menyembunyikan senjata. Tapi para penggembala itu menyembunyikan lupara dan sabuk peluru di perut beberapa ekor domba di tengah kawanan. Mereka menunggu kesempatan saat Guiliano sendirian atau tidak dikawal seketat itu. Tapi Pisciotta sudah mencurigai keramahan para penggembala itu, kemunculan kawanan domba yang tiba-tiba, dan ia menyelidikinya melalui jaringan mata-mata. Para penggembala itu teridentifikasi sebagai para pembunuh yang dipekerjakan oleh Quintana. Pisciotta tidak membuang-buang waktu. Ia mengajak sepuluh anggota kelompoknya sendiri dan mengepung ketiga penggembala itu. Ia menanyai mereka mengenai pemilik domba, sudah berapa lama mereka menjadi gembala, di mana mereka dilahirkan, nama-nama ibu dan ayah mereka, istri dan anak-anak mereka. Para’ penggembala tampaknya menjawab dengan jujur, tapi Pisciotta mendapat bukti mereka berbohong. Penggeledahan menemukan senjata-senjata yang disembunyikan di sela-sela bulu domba. Pisciotta pasti akan membunuh para penipu itu kalau Guiliano tidak melarang. Bagaimanapun tidak ada kerugian yang terjadi dan penjahat yang sebenarnya adalah Quintana. Jadi para penggembala dipaksa membawa kawanan domba ke Montelepre. Dan di alunalun kota mereka harus menyanyi, “Datang dan ambillah hadiah dari Turi GuiHano. Seekor domba untuk setiap rumah,
275 anugerah dari Turi GuiJiano.” Lalu para penggembala itu akan menjagal dan menguliti domba bagi siapa pun yang meminta layanan itu. “Ingat,” tegas Pisciotta kepada mereka, “kuminta kalian sepatuh gadis penjaga toko di Palermo, seakan-akan kalian mendapat komisi untuk itu. Dan sampaikan salam serta ucapan terima kasihku kepada Guido Quintana.” Don Siano tidak serumit itu. Ia mengirim dua utusan untuk membujuk Passatempo dan Terranova agar menentang Guiliano. Tapi Don Siano tidak bisa memahami kesetiaan yang dibangkitkan Guiliano bahkan dalam diri orang sekasar Pas*satempo. Sekali lagi Guiliano menolak membunuh, tapi Passatempo sendiri mengirim kedua utusan itu kembali dengan bekas-bekas bastinado. Upaya ketiga dilakukan Quintana lagi. Dan ini menghabiskan kesabaran Guiliano.
Seorang pastor datang ke Montelepre, pastor pengelana yang menyandang berbagai bekas luka Kristus di tabuhnya. Ia memimpin Misa di gereja setempat pada suatu Minggu pagi dan menunjukkan-luka-luka sucinya. Namanya Pater Dodana, dan ia pria jangkung atletis yang berjalan begitu sigap sehingga jubah hitamnya berkibar-kibar di udara di atas sepatu kulitnya yang pecah-pecah. Rambutnya pirang kusut, wajahnya keriput dan secokelat kacang walaupun usianya masih muda. Dalam waktu sebulan ia telah menjadi legenda di Montelepre, karena ia tidak takut bekerja keras; ia membantu para petani menuai ladang, ia memarahi anak-anak nakal di jalanan, ia mengunjungi wanita-wanita tua yang sakit di rumah mereka untuk mendengarkan pengakuan dosa mereka. Dan suatu hari Minggu sewaktu ia berdiri di luar gereja sesudah memimpin Misa, Maria Lombardo Guiliano tidak terkejut sewaktu sang pater menghentikan dirinya dan menanyakan kalau-kalau ada yang bisa dilakukan untuk putranya. “Jelas-kau menglmawatirkan jiwanya,” kata Pater Dodana. “Lain kali kalau dia datang mengunjungimu, panggil aku dan akan kudengarkan pengakuan dosanya.” Maria Lombardo^ tidak menyukai pastor meskipun ia religius. Tapi pria ini membuatnya terkesan. Ia tahu” Turi tidak akan pernah melakukan pengakuan dosa, tapi mungkin ia bisa memanfaatkan orang suci yang bersimpati terhadap tujuan perjuangannya. Ia memberitahu sang pastor ia akan meneruskan tawaran itu kepada putranya. Pater Dodana berkata, “Aku bahkan bersedia ke pegunungan untuk membantunya. Beri tahukan padanya. Satu-satunya urusanku adalah menyelamatkan jiwa yang terancam bahaya neraka. Apa yang dilakukan orang adalah urusannya sendiri.” Turi Guiliano mengunjungi ibunya seminggu kemudian. Maria Lombardo mendesaknya menemui pastor dan mengaku dosa. Mungkin Pater Dodana bersedia memberikan Komuni baginya. Maria Lombardo akan merasa lebih enak kalau dosa-dosa Guiliano ber-kurang. Turi Guiliano sangat tertarik, dan ini mengejutkan ibunya. Ia setuju menemui pastor itu dan mengirim Aspanu Pisciotta ke gereja untuk menjemputnya dan mengajaknya ke rumah Guiliano. Seperti dugaan Guiliano, sewaktu Pater Dodana muncul, pria itu bergerak jauh lebih mirip orang yang biasa beraksi; ia terlalu bersemangat dan terlalu bersimpati terhadap tujuan Guiliano Pater Dodana berkata, “Anakku, aku akan mendengarkan pengakuan dosa di kamar tidurmu. Dan sesudah itu aku akan memberimu Jamuan Kudus. Aku membawa semua keperluanku di sini.” Ia menepuk kotak kayu di ketiaknya. “Jiwamu akan semurni jiwa ibumu, dan kalau kejahatan menimpamu, kau akan langsung ke surga.” Maria Lombardo menyela, “Kubuatkan kopi dan makanan untukmu dan bapa suci.” Ia pergi ke dapur. “Kau bisa mendengar pengakuan dosaku di sini,” ujar Turi Guiliano sambil tersenyum. Pater Dodana melirik Aspanu Pisciotta. “Temanmu harus keluar” sarannya. Turi tertawa “Dosaku sudah diketahui umum. Dosaku dipublikasikan di setiap koran. Selain itu jiwaku murni, kecuali satu hal. Harus kuakui aku memiliki sifat curiga. Jadi aku ingin melihat apa isi kotak di ketiakmu itu.” “Roti untuk Komuni,” jawab Pater Dodana. “Akan kutunjukkan.” Ia hendak membuka kotak itu, tapi pada saat itu Pisciotta menekankan sepucuk pistol ke belakang lehernya. Guiliano mengambil kotak itu dari tangan Pater. Pada saat itu mereka bertukar pandang. Guiliano membukanya. Sepucuk pistol otomatis biru kehitaman yang ditempatkan di atas beludru bersinar ke arahnya. Pisciotta melihat wajah Guiliano memucat, matanya yang bertepi keperakan
menggelap karena kemarahan yang ditekan. Guiliano menutup kotak dan memandang sang pastor. “Kupikir sebaiknya kita ke gereja dan berdoa bersama-sama,” ajaknya. “Kita akan mendoakan dirimu dan Quintana. Kita akan berdoa agar Tuhan yang baik mau mengambil kejahatan dari dalam hati Quintana dan keserakahan dari dalam hatimu. Berapa banyak bayaran yang dijanjikannya padamu?” Pater Dodana tidak khawatir. Calon-calon pembunuh lainnya dibebaskan begitu mudah. Ia mengangkat bahu dan tersenyum. “Hadiah dari pemerintah dan tambahan lima juta lira.” “Harga yang bagus,” puji Guiliano. “Aku tidak menyalahkan dirimu karena berusaha mendapatkan kekayaan. Tapi kau sudah menipu ibuku dan itu tidak bisa kumaafkan. Kau benar-benar pastor?” “Aku?” tanya Pater Dodana menghina. ‘Tidak pernah. Tapi kukira takkan ada yang mencurigaiku.” Mereka bertiga menyusuri jalanan bersama-sama, Guiliano membawa kotaknya, Pisciotta mengikuti di belakang. Mereka memasuki gereja. Guiliano memaksa Pater Dodana berlutut di depan altar, lalu mengambil pistol otomatis itu dari dalam kotak. “Kau punya waktu semenit untuk berdoa,” kata Guiliano. Keesokan paginya Guido Quintana bangun dan berniat ke kafe untuk menikmati kopi paginya. Sewaktu membuka pintu rumahnya, ia terkejut oleh bayangan besar yang menghalangi sinar matahari pagi. Detik berikutnya salib kayu besar yang kasar buatannya jatuh ke dalam, hampir-hampir menimpa dirinya. Di salib itu terpaku mayat Pater Dodana yang dipenuhi peluru. Don Croce mempertimbangkan kegagalan-kegagalan ini. Quintana mendapat peringatan. Ia harus mengabdikan diri pada tugas-tugasnya sebagai wali kota atau Montelepre terpaksa mengatur diri sendiri. Jelas kesabaran Guiliano sudah habis dan mungkin akan melancarkan perang habis-habisan terhadap Friends. Don Croce menyadari keyakinan seorang pakar dalam pembalasan Guiliano. Hanya satu serangan lagi yang bisa dilakukan dan tidak boleh gagal. Don Croce tahu ia harus, aldiirnya, berpihak. Dan kendati bertentangan dengan pendapat dan kemauannya, ia mengirim pembunuhnya yang paling bisa diandalkan, seseorang bernama Stefan Andolini, yang juga dikenal dengan julukan Fra Diavalo. Bab 14 GARNISUN di Montelepre ditingkatkan menjadi lebih dari seratus carabinieri, dan saat Guiliano diam-diam turun ke kota untuk menghabiskan malam bersama keluarganya, yang jarang dilakukannya, ia selalu merasa takut kalau-kalau carabinieri menyergap mereka. Pada suatu malam seperti itu, saat mendengarkan ayahnya membicarakan masa lalu di Amerika, gagasan itu melintas dalam benaknya. Salvatore Senior tengah menikmati anggur dan membahas masa lalu dengan teman lama dan tepercaya yang juga pernah ke Amerika dan kembali ke Sisilia bersamanya, dan mereka saling memarahi karena bertindak begitu bodoh. Pria yang satu lagi, tukang kayu bernama Alfio Dorio, mengingatkan ayah Guiliano akan tahun-tahun pertama mereka di Amerika sebelum bekerja pada Godfather, Don Corleone. Mereka dipekerjakan untuk membangun terowongan raksasa di bawah sungai, entah ke New Jersey atau ke Long Island, mereka memperdebatkannya. Mereka mengenang betapa mengerikannya bekerja di bawah sungai yang mengalir, mereka takut tabung penahan airnya runtuh dan mereka semua akan tenggelam bagai tikus. Dan tiba-tiba gagasan itu melintas dalam benak Guiliano. Kedua orang ini, dibantu beberapa orang yang bisa dipercaya, mampu membangun terowongan dari rumah orangtuanya ke kaki pegunungan yang hanya berjarak seratus meter. Pintu . keluarnya akan disembunyikan di balik bebatuan granit raksasa dan mulut terowongan di rumah bisa disembunyikan di salah satu lemari pakaian atau di bawah tungku di dapur. Kalau rencana itu terlaksana, Guiliano bisa datang dan
pergi sesuka hati. Kedua pria yang lebih tua mengatakan rencana itu mustahil, tapi ibunya begitu gembira membayangkan putranya bisa datang dan tidur di ranjangnya diam-diam selama musim dingin. Alfio Dorio mengatakan bahwa mengingat pentingnya kerahasiaan, jumlah orang yang bisa dipekerjakan terbatas, dan karena pekerjaan itu hanya bisa dilakukan malam hari, butuh waktu sangat lama menyelesaikan terowongan seperti itu. Lalu masih ada masalah-masalah lainnya. Bagaimana membuang tanah galian tanpa terlihat? Padahal tanah di sini penuh batu. Bagaimana kalau mereka membentur sederet batu granit di bawah tanah? Dan bagaimana kalau salah satu penggali terowongan membocorkan keberadaannya? Tapi keberatan paling utama kedua pria lebih tua itu adalah pembangunannya membutuhkan waktu sedikitnya satu tahun. Dan Guiliano menyadari mereka mengajukan keberatan ini karena jauh di lubuk hati mereka percaya dirinya tidak akan hidup selama itu. Ibunya juga menyadarinya. Ia berkata kepada kedua pria yang lebih tua: “Putraku meminta kalian berdua melakukan sesuatu yang mungkin membantu menyelamatkan dirinya. Kalau kalian terlalu malas melakukannya, aku akan turun tangan. Setidaknya kita bisa mencoba. Apa ruginya kecuali tenaga kita? Dan apa yang bisa dilakukan pihak berwenang kalau mereka menemukan terowongan itu? Kita berhak sepenuhnya menggali tanah kita sendiri. Kita katakan saja kita membuat gudang bawah tanah untuk sayur-mayur dan anggur. Coba pikir. Mungkin suatu hari kelak terowongan ini akan menyelamatkan nyawa Turi. Apa itu tidak layak dilakukan?” Hector Adonis juga hadir. Adonis mengatakan ia akan mencari buku-buku tentang penggalian dan perlengkapan yang diperlukan. Ia juga mengusulkan variasi yang menyenangkan mereka semua: mereka akan membangun cabang menuju rumah lain di Via Belia, jalan lain seandainya pintu keluar terowongan diketahui atau dikhianati mata-mata. Terowongan cabang ini akan digali terlebih dulu, dan hanya oleh kedua pria tua dan Maria Lombardo. Tidak boleh ada orang lain yang mengetahuinya. Dan menggali terowongan cabang ini tidak memerlukan waktu lama. Mereka berdiskusi panjang-lebar mengenai rumah mana yang layak. Ayah Guiliano menyarankan rumah orangtua Aspanu Pisciotta. Tapi usul itu segera ditolak .Guiliano. Rumah itu terlalu dicurigai, akan diawasi dengan ketat. Dan ada terlalu banyak kerabat yang tinggal di sana. Terlalu banyak orang yang akan mengetahuinya. Lagi pula, hubungan Aspanu dengan keluarganya kurang baik. Ayah kandungnya telah meninggal, dan sewaktu ibunya menikah lagi, Aspanu tidak pernah memaafkannya. Hector Adonis menawarkan rumahnya tapi letaknya terlalu jauh, dan Guiliano tidak ingin membahayakan bapak baptisnya. Karena kalau terowongan itu ditemukan, pemilik rumah jelas akan ditangkap. Kerabat dan 283 teman-teman lainnya dipertimbangkan dan ditolak, dan akhirnya ibu Guiliano berkata, “Hanya ada satu orang. Wanita ini tinggal seorang diri, hanya empat rumah jauhnya dari kita. Suaminya tewas di tangan carabinieri, dia membenci mereka. Dia teman terbaikku dan dia menyayangi Turi, dia menyaksikan Turi tumbuh dari anak-anak menjadi pria dewasa. Bukankah dia yang mengirimi Turi makanan sepanjang musim dingin yang dihabiskan anakku di pegunungan? Dia teman sejatiku dan aku memercayainya sepenuhnya.” Ia diam sejenak sebelum melanjutkan, “La Venera.” Dan tentu saja sejak diskusi dimulai, mereka menantikan dirinya menyebutkan nama itu. Sejak awal, La Venera merupakan satu-satunya pilihan logis dalam benak mereka. Tapi mereka pria Sisilia dan tidak bisa mengajukan saran seperti itu. Kalau La Venera setuju dan cerita ini terungkap, reputasinya akan hancur selamalamanya. Ia janda muda. Ia akan memberikan hak pribadi dan dirinya kepada seorang pria muda. Siapa yang yakin ia tak akan kehilangan kendali? Tak ada seorang pria pun di Sisilia bagian ini yang mau menikahi atau bahkan menghormati
wanita seperti itu.-Memang benar La Venera sedikitnya lima belas tahun lebih tua daripada Turi Guiliano. Tapi ia belum lagi empat puluh. Dan meskipun wajahnya tidak cantik, tapi cukup menarik, dan ada daya tarik tertentu dalam matanya. Pokoknya, ia wanita dan Turi laki-laki, dan melalui terowongan itu mereka bisa berduaan saja. Oleh karena itu, tidak diragukan lagi mereka akan menjadi sepasang kekasih, karena tidak ada orang Sisilia yang percaya seorang laki-laki dan seorang wanita yang berduaan, tidak peduli seberapa besar perbedaan
284 usia mereka, bisa menahan diri. Jadi terowongan ke rumah La Venera, yang mungkin suatu hari kelak menyelamatkan nyawa Turi Guiliano, juga bisa menandai dirinya sebagai wanita bereputasi buruk. Kecuali Turi Guiliano sendiri, mereka semua paham kepolosan seksual Guiliano menimbulkan kekhawatiran. Itu tidak wajar bagi pria Sisilia. Ia hampir-hampir kaku. Anak buahnya pergi ke Palermo untuk mengunjungi pelacur; hubungan asmara Aspanu Pisciotta hampir-hampir merupakan skandal. Pimpinan banditnya, Terranova dan Passatempo dikenal sebagai kekasih janda-janda miskin yang mereka beri hadiah. Passatempo bahkan dikenal sebagai pria yang menggunakan bujuk rayu kasar yang lebih mirip pemerkosa daripada pelamar, walaupun kini ia lebih berhati-hati karena berada di bawah perintah Guiliano. Guiliano menetapkan hukuman mati bagi anak buahnya yang memerkosa. Karena semua alasan inilah mereka terpaksa menunggu ibu Guiliano mengajukan nama temannya, dan mereka agak terkejut sewaktu Maria Lombardo melakukannya. Maria Lombardo Guiliano orang yang religius, wanita kuno yang tidak ragu menyebut gadis-gadis muda di kota sebagai pelacur kalau mereka berjalan-jalan di alunalun desa tanpa pengawal. Mereka tidak tahu apa yang diketahui Maria Lombardo. Bahwa La Venerakarena kesulitan persalinannya, kurangnya perawatan medistidak lagi bisa hamil. Mereka tidak mungkin tahu Maria Lombardo telah memutuskan La Venera bisa menjadi penghiburan terbaik bagi putranya dengan cara yang paling aman. Putranya pelanggar hukum dengan harga atas kepalanya dan bisa begitu mudah dikhianati wanita. Ia masih muda dan rapuh
285 dan membutuhkan wanitaadakah yang lebih baik daripada wanita lebih tua yang tidak bisa memiliki anak, dan yang tidak bisa menuntut pernikahan? Dan La Venera memang tidak ingin menikahi bandit. Untuk itu ia sudah mendapat cukup pengalaman. Suami yang ditembak mati di depan matanya. Pengaturan yang sempurna. Hanya reputasi La Venera yang dipertaruhkan, jadi ia harus mengambil keputusan sendiri. Kalau La Venera setuju, ia akan menanggungnya sendiri. Sewaktu ibu Guiliano mengajukan permintaan itu beberapa hari kemudian, ia terkejut La Venera menjawab ya dengan bangga dan sukacita. Sikap La Venera menegaskan kecurigaan dirinya jatuh hati kepada Turi. Terserahlah, pikir Maria Lombardo sambil memeluk La Venera dan menangis penuh syukur. Terowongan cabang diselesaikan dalam waktu empat bulan; terowongan utama membutuhkan waktu setahun. Secara teratur Guiliano menyelinap ke kota di malam hari dan mengunjungi keluarganya dan tidur di ranjang hangat, sesudah menyantap masakan panas ibunya selalu ada pesta. Baru menjelang musim semi Guiliano mendapati clirinya perlu menggunakan terowongan cabang. Patroli carabinieri
menyusuri Via Belia dan melintas di dekatnya. Mereka bersenjata lengkap. Keempat pengawal Guiliano yang bersembunyi di rumah-rumah di dekatnya telah siap bertempur. Tapi mereka berlalu. Kendati begitu masih ada ketakutan bahwa dalam perjalanan kembali, carabinieri memutuskan menyerbu rumah Guiliano. Jadi Turi Guiliano turun ke terowongan melalui tingkap di kamar tidur orangtuanya. Terowongan cabang disembunyikan di balik panel kayu yang ditutupi tanah setebal sekitar tiga puluh sentimeter sehingga para pekerja terowongan utama tidak mengetahui keberadaannya. Guiliano harus menyingkirkan tanah dan mencabut lempengan kayunya Ia memerlukan waktu lima belas menit lagi untuk merangkak melewati lorong sempit yang menuju bawah rumah La Venera. Tingkap terowongan di sana berada di dapur dan tertutup tungku besi besar. Guiliano mengetuknya sesuai sinyal yang disepakati dan menunggu. Ia mengetuk lagi. Ia tidak pernah takut terhadap peluru, tapi ia takut kegelapan ini. Akhirnya terdengar suara samar di atasnya dan tingkap - itu terangkat. Tingkap itu tidak bisa terangkat sepenuhnya karena tungku di atasnya telah mematahkan engselnya. Guiliano harus menerobos celah yang ada dan berguling menelungkup di lantai dapur La Venera. Kendati saat itu tengah malam, La Venera masih mengenakan gaun hitamnya yang kebesaran, tanda dukacita kendati sang suami telah tiga tahun meninggal. Kakinya telanjang. Ia tidak mengenakan kaus kaki, dan sewaktu Guiliano beranjak bangkit dari lantai ia bisa melihat kulit kaki La Venera begitu putih, sangat kontras dengan kulit wajahnya yang kecokelatan terbakar matahari dan rambut hitam pekat kasar yang tebal dijalin. Untuk pertama kalinya Guiliano menyadari wajah La Venera tidaklah selebar sebagian besar wanita lebih tua di kotanya, wajahnya hampir segitiga, dan meskipun matanya cokelat tua, ada sedikit bintik hitam di sana yang belum pernah dilihat Guiliano. La Venera memegang sekop penuh batu bara menyala seakan siap melemparkannya ke dalam terowongan. Sekarang dengan tenang ia mengembalikan batu bara itu ke tungku dan menutupnya. Ia tampak agak ketakutan. Guiliano berusaha menenangkannya. “Hanya patroli yang berkeliaran. Sesudah mereka kembali ke barak, aku akan pergi. Tapi jangan khawatir, ada teman-temanku di jalan.” Mereka menunggu. La Venera menyeduh kopi dan mereka bercakap-cakap. Ia menyadari Guiliano tidak menunjukkan gerakan-gerakan gugup sebagaimana suaminya dulu. Turi tidak mengintip ke luar jendela, tubuhnya tidak menegang mendengar suara tibatiba dari jalan. Turi tampak tenang sepenuhnya. La Venera tidak tahu Turi melatih diri bersikap begitu karena ceritanya sendiri tentang suaminya dan karena Turi tidak mau orangtuanya khawatir, terutama ibunya. Ia memancarkan kepercayaan diri begitu besar sehingga tidak lama kemudian La Venera melupakan bahaya yang menghadang Turi dan mereka bergosip tentang kejadian-kejadian kecil di kota. La Venera menanyakan apakah Turi menerima makanan yang dikirimkannya sesekali ke pegunungan. Turi mengucapkan terima kasih dan mengatakan betapa ia dan temantemannya sangat menggemari makanan kiriman La Venera seolah itu pemberian orang Majus. Betapa anak buahnya memuji-muji masakannya. Turi tidak menceritakan lelucon kasar yang dilontarkan beberapa rekannya, bila permainan cinta La Venera menyamai masakannya berarti ia sungguh-sungguh wanita berharga. Sementara itu Turi mengawasinya dengan tajam. La Venera tidak bersikap seramah biasanya ia tidak menunjukkan perasaan sayang seperti yang selama ini ditunjukkannya di depan umum. Turi berpikir-pikir apakah ia telah menyinggung perasaannya. Sesudah bahaya berlalu dan tiba waktunya pergi bagi Turi, mereka saling bersikap resmi. Dua minggu kemudian Guiliano mengunjunginya lagi. Musim dingin hampir berakhir, tapi pegunungan masih dilanda hujan badai dan altar-altar para orang suci yang tergembok di sepanjang jalan meneteskan air hujan. Guiliano di dalam guanya
memimpikan masakan ibunya, mandi air panas, ranjang empuk di kamar masa kecilnya. Dan bercampur dengan kerinduan itu, yang mengejutkannya, adalah kenangan akan putihnya kulit kaki La Venera. Malam telah turun sewaktu ia bersiul memanggil para pengawalnya dan menyusuri jalan ke Montelepre. Keluarganya menyambut dengan sukacita. Ibunya mulai memasak makanan kesukaannya dan sambil menunggu masakan matang, ia menyiapkan air panas untuk mandi. Ayah Turi tengah menuangkan segelas anisette ketika salah satu mata-mata datang ke rumah dan melapor bahwa patroli-patroli carabinieri mengepung kota dan Maresciallo sendiri akan memimpin satu skuadron gerak cepat dari Barak Bellampo untuk menyerbu rumah Guiliano. Guiliano masuk ke terowongan melalui tingkap di lemari pakaian. Terowongan itu berlumpur karena hujan dan tanah menempel di tubuhnya, dan mempersulit perjalanannya. Sewaktu ia merangkak keluar, ke dapur La Venera, pakaiannya tertutup lumpur, wajahnya hitam. Sewaktu La Venera melihatnya, ia tertawa. Dan seingat Guiliano itu pertama kalinya ia melihat La Venera tertawa. “Kau tampak seperti bangsa Moor,” komentarnya. Dan sesaat Turi merasakan kekecewaan anak-anak, mungkin karena bangsa Moor selalu menjadi penjahat dalam sandiwara boneka di Sisilia, dan bukannya pahlawan yang tengah menghadapi bahaya, ia malah dipandang sebagai penjahat. Atau mungkin karena tawa La Venera menyebabkan wanita itu terasa tidak bisa dijangkau keinginan dalam dirinya. La Venera tahu entah dengan cara bagaimana ia telah melukai perasaan Turi. “Akan kuisi bak mandi dan kau bisa membersihkan diri,” katanya. “Ada beberapa pakaian suamiku yang bisa kaupakai sementara kubersihkan pakaianmu.” Ia menduga Turi akan menolak, bahwa Turi merasa terlalu gugup untuk mandi dalam situasi begitu berbahaya. Suaminya dulu begitu tegang ketika mengunjungi dirinya sehingga tak pernah menanggalkan pakaian, tak pernah meninggalkan pistol di luar jangkauan tangannya. Tapi Guiliano tersenyum dan menanggalkan jaket tebal dan pistolnya dan meletakkannya di atas kotak kayu tempat kayu bakar. Butuk waktu untuk memanaskan berpanci-panci air dan mengisi bak mandi kaleng. La Venera memberinya kopi sementara mereka menunggu. Ia mengamati Turi dengan saksama. Turi setampan malaikat, pikirnya, tapi dirinya tidak tertipu. Suaminya dulu sama tampannya dan juga membunuh orang. Dan peluru yang membunuhnya menyebabkan tampang suaminya lumayan jelek, pikirnya sengsara; jatuh cinta pada wajah bukanlah tindakan cerdas, apalagi di Sisilia. Dirinya dulu menangis, tapi diam-diam lega luar biasa. Kematian suaminya sudah pasti, begitu ia menjadi bandit, dan setiap hari La Venera menanti, berharap suaminya tewas di pegunungan atau kota yang jauh. Tapi suaminya ditembak di depan matanya. Dan sejak dirinya tidak mampu melarikan diri dari perasaan malu, bukan karena suaminya bandit, tapi karena kematiannya sama sekali tidak mengagumkan dan berani. Suaminya menyerah dan memohon ampun, dan carabinieri membantainya di hadapannya. Syukurlah putrinya tidak menyaksikan ayahnya dibantai. Itu anugerah kecil dari Kristus. Ia tahu Turi Guiliano mengamatinya dengan ekspresi tertentu di wajahnya, yang mengisyaratkan keinginan dalam diri semua pria. La Venera tahu benar. Anak buah suaminya sering kali memancarkan ekspresi begitu. Tapi ia tahu Turi tidak akan mencoba merayunya, karena perasaan hormat kepada ibunya, perasaan hormat atas pengorbanan dirinya mengizinkan pembangunan terowongan itu. La Venera meninggalkan dapur dan menuju ruang duduk kecil agar Turi bisa mandi sendirian. Sesudah kepergiannya, Guiliano menanggalkan semua pakaian dan masuk ke dalam bak mandi. Bertelanjang di dekat wanita menyebabkan ia terangsang. Ia mandi dengan sangat hati-hati, lalu mengenakan pakaian suami La Venera. Celana panjangnya agak kependekan dan kemejanya agak ketat di sekitar dada sehingga Turi terpaksa membiarkan kancing teratas terbuka. Handuk yang dihangatkan La Venera di dekat tungku hanya sedikit lebih baik daripada kain lap, tubuh Turi masih lembap, dan untuk pertama kalinya ia menyadari betapa miskin La Venera dan
membulatkan tekad untuk memberinya uang melalui ibunya. Ia berseru kepada La Venera, memberitahu dirinya telah berpakaian dan La Venera kembali ke dapur. Wanita itu memandangnya dan berkata, “Tapi kau belum mencuci rambutmu, sepasukan tokek bisa bersarang di sana.” Kata-katanya kasar tapi dilontarkan begitu hangat sehingga Turi tidak tersinggung. Seperti nenek tua La Venera mengelus rambut Turi yang kusut, lalu meraih lengannya dan membimbingnya ke wastafel. Guiliano merasakan kehangatan ketika tangan La Venera menyentuh kepalanya. Ia bergegas menyurukkan kepala ke bawah keran dan La Venera menyiram rambutnya dengan air dan mengeramasinya dengan sabun dapur kuning; ia tidak punya sabun lain. Pada saat itu tubuh dan kakinya bersentuhan dengan tubuh Guiliano dan Guiliano tiba-tiba merasakan dorongan kuat untuk menyentuh payudaranya, menyentuh perut La Venera yang lembut Usai mencuci rambut Guiliano, La Venera memaksanya duduk di salah satu kursi enamel dapur yang kehitaman dan mengeringkan rambut Guiliano dengan handuk cokelat kasar yang sudah lusuh. Rambut Guiliano begitu panjang sehingga menutupi kerah kemejanya “Kau tampak seperti bangsawan bajingan Inggris dalam film-film,” ujarnya. “Aku harus memotong rambutmu, tapi tidak di dapur. Rambutmu akan beterbangan ke panci-panciku dan merusak makan malammu. Ayo ke ruangan lain.” Guiliano geli melihat ketegasan La Venera. Ia bersikap layaknya seorang bibi atau ibu yang menutupi kemunculan perasaan lain yang lebih lembut. Turi menyadari seksualitas yang ada di balik sikap itu, tapi ia waspada. Di bidang ini ia kurang berpengalaman dan tidak ingin tampak bodoh. Rasanya seperti perang gerilya yang dilakukannya di pegunungan; ia tidak akan maju sebelum kemungkinan menang ada di pihaknya. Ini bukan wilayah yang telah dijelajahi. Tapi memimpin dan membunuh orang yang dilakukannya tahun lalu menyebabkan ketakutan alamiah kekanak-kanakan-nya terasa lucu, toh penolakan wanita tidak akan melumpuhkan egonya. Dan meskipun terkenal tidak pernah berhubungan dengan wanita, ia pernah ke Palermo bersama temantemannya untuk mengunjungi pelacur. Tapi kejadiannya sebelum ia menjadi pelanggar hukum dan mendapat penghormatan sebagai kepala bandit, dan tentu saja pahlawan romantis tidak akan pernah berbuat begitu. La Venera membimbingnya ke ruang duduk kecil yang dipenuhi perabotan, meja kecil yang bagian atasnya terbuat dari kayu bepernis hitam. Di meja-meja ini terdapat foto-foto almarhum suaminya dan anaknya, seorang diri atau bersama-sama. Beberapa foto La Venera bersama keluarganya. Foto-foto itu berbingkai kayu oval hitam, cetakannya agak kecokelatan. Guiliano terkejut melihat kecantikan La Venera sewaktu muda, di hari-hari bahagianya, terutama sewaktu ia mengenakan pakaian yang bagus dan bergaya. Ada foto resmi dirinya seorang diri, mengenakan gaun merah tua, yang sangat memesona Guiliano. Dan sejenak ia teringat akan suami La Venera dan berapa banyak kejahatan yang pasti telah dilakukannya untuk memberikan gaun seindah itu kepada istrinya. “Jangan memandangi potret-potret itu,” tukas La Venera sambil tersenyum sedih. “Itu saat aku mengira dunia bisa membahagiakan diriku.” Guiliano menyadari salah satu alasan La Venera mengajaknya ke ruangan ini adalah agar ia melihat foto-foto itu. La Venera menendang bangku bulat kecil dari sudut ruangan dan Guiliano duduk di atasnya. Dari kotak kulit, indah buatannya dan dijahit dengan emas, La Venera mengeluarkan gunting, pisau cukur, dan sisir salah satu hasil kejahatan bandit Candeleria yang dibawa pulang sebagai hadiah Natal. Lalu ia pergi ke kamar tidur dan mengambil sehelai kain putih yang dibentangkan menutupi bahu Guiliano. Ia juga membawa mangkuk kayu yang diletakkannya di meja di sampingnya. Jip melintas
di depan rumah. Ia berkata, “Apa sebaiknya kuambilkan pistolmu dari dapur? Kau lebih nyaman kalau begitu?” Guiliano memandangnya tenang. Ia tampak benar-benar damai. Ia tidak ingin membuat La Venera gugup. Mereka berdua tahu jip yang melintas tadi penuh carabinieri dalam perjalanan menyerbu rumah Guiliano. Tapi Guiliano tahu dua hal: Kalau carabinieri datang kemari dan mencoba melewati pintu berpalang, Pisciotta dan anak buahnya akan membantai mereka semua dan sebelum meninggalkan dapur ia telah menggeser tungkunya sehingga tidak seorang pun bisa membuka tingkap terowongan. Ia menyentuh lembut lengan La Venera. “Tidak,” katanya. “Aku tidak membutuhkan pistolku kecuali kau merencanakan menggorok leherku dengan pisau cukur itu.” Mereka berdua tertawa. Lalu La Venera mulai memotong rambut Turi Guiliano. Ia melakukannya begitu hatihati dan lambat, meraih segenggam rambut untuk digunting, lalu meletakkan potongan rambut itu ke mangkuk kayu. Guiliano duduk sangat tenang. Terpesona oleh desir pelan gunting, ia menatap dinding-dinding kamar. Di dinding tergantung potret-potret besar suami La’ Venera, bandit hebat Candeleria. Tapi hebat hanya di provinsi kecil Sisilia, pikir Guiliano, harga diri masa mudanya bersaing dengan suami yang tewas itu. Rutillo Candeleria dulu pria yang tampan. Ia memiliki kening lebar yang dikepung rambut cokelat berombak yang dipotong cermat, dan Guiliano penasaran apakah istrinya yang memotong rambutnya. Wajah Candeleria dihiasi kumis kavaleri yang membuatnya tampak lebih tua, kendati baru berusia 35 tahun sewaktu carabinieri menembaknya. Sekarang wajahnya menunduk dari potret oval itu, memandang hampir ramah, memberkati. Hanya mata dan mulutnya yang menunjukkan kekejaman. Namun wajahnya pada saat yang sama memancarkan kepasrahan, seakan-akan tahu nasibnya. Seperti semua orang yang pernah menentang dunia dan mencabik harapan mereka dari dunia itu melalui kekerasan dan pembunuhan, seperti orang-orang lainnya yang menciptakan hukum sendiri dan mencoba mengendalikan masyarakat dengan hukum itu, ia akhirnya harus mati mendadak. Mangkuk kayunya terisi rambut cokelat mengilap, berjejalan bagai sarang burungburung kecil. Guiliano merasakan kaki La, Venera menekan punggungnya; panas tubuhnya menerobos kain katun kasar gaunnya. Sewaktu La Venera pindah ke depan untuk memotong rambut di sekitar dahinya, ia berdiri agak jauh dari kaki Guiliano, tapi sewaktu harus membungkuk, payudaranya hampir menyapu bibir Guiliano dan aroma bersih tubuhnya menyebabkan wajah Guiliano panas seakan-akan ia tengah berdiri di depan api. Potret-potret di dinding berubah kabur. La Venera memutar pinggulnya yang bulat untuk meletakkan potongan rambut lain di mangkuk kayu. Sejenak pahanya menempel pada lengan Guiliano dan Guiliano bisa merasakan kulitnya yang sehalus sutra dari balik gaun hitamnya yang tebal. Guiliano menegangkan tubuh hingga sekeras batu. La Venera menyandar semakin keras. Untuk menahan diri tidak mengangkat rok La Venera dan mencengkeram pahanya, Guiliano bergurau, “Apa kita ini Samson dan Delilah?” La Venera tiba-tiba melangkah menjauh. Dan Guiliano terkejut melihat air mata mengalir di wajahnya Tanpa berpikir ia menyentuh tubuh La Venera dan menariknya mendekat Perlahan-lahan La Venera mengulurkan tangan dan meletakkan gunting peraknya di atas tumpukan rambut cokelat yang memenuhi mangkuk kayu. Kemudian kedua tangan Guiliano telah berada di balik gaun hitam berkabungnya dan mencengkeram pahanya yang hangat La Venera membungkuk dan menutupi mulut Guiliano dengan mulutnya sendiri seakan-akan hendak menelannya. Kelembutan awal mereka merupakan bunga api kedua yang meraung menjadi nafsu hewani yang dipicu kejandaan La Venera selama tiga tahun, kebangkitan Guiliano dari nafsu pemuda
yang tidak pernah merasakan cinta wanita kecuali dari para pelacur yang dibayar. Sesaat Guiliano kehilangan seluruh perasaan tentang dirinya dan dunianya. Tubuh La Venera begitu meng— gairahkan, dan terasa panas hingga menembus tulang belulangnya. Payudara La Venera lebih penuh daripada yang pernah dibayangkan; gaun hitam kejandaannya menyamarkan dan melindunginya dengan baik. Saat melihat kedua bulatan itu, Guiliano merasakan darah menderu di kepalanya. Lalu keduanya berguling di lantai, bercinta, dan menanggalkan pakaian mereka pada saat bersamaan. La Venera terus-menerus berbisik, “Turi, Turi,” dengan suara nelangsa, tapi Guiliano diam saja. Ia tenggelam dalam aroma, panas, dan tubuh La Venera. Sesudahnya, La Venera mengajaknya ke kamar* tidur dan mereka kembali bercinta. Guiliano tak bisa memercayai kenikmatan yang ditemukannya pada tubuh La Venera, bahkan merasa jengkel atas kepasrahannya sendiri dan hanya terhibur karena La Venera lebih pasrah lagi. Sewaktu Guiliano tidur La Venera lama menatap wajahnya. Ia mengingat-ingamya karena takut tidak akan pernah melihat Guiliano dalam keadaan hidup lagi. Karena ia teringat malam terakhir dirinya tidur dengan suaminya sebelum sang suami tewas, sewaktu ia memunggunginya setelah bercinta lalu tidur, dan sejak -itu tidak pernah bisa mengingat topeng manis yang memancar di setiap wajah kekasih. Ia memunggungi suaminya karena tidak tahan pada kegugupan dan ketakutan suaminya saat berada di rumah, kengeriannya dijebak sehingga suaminya itu tidak pernah benar-benar tidur, bagaimana suaminya terkejut kalau dirinya turun dari tempat tidur untuk memasak atau melakukan tugas-tugas rumah tangga. La Venera kini bertanya-tanya akan ketenangan Guiliano; ia mencintai Guiliano karenanya. Ia mencintai Guiliano karena, tidak seperti suaminya, Guiliano tidak membawa pistol ke ranjang, Guiliano tidak menyela percintaan mereka untuk mendengarkan suara-suara musuh yang mungkin mengintai, Guiliano tidak merokok atau minum atau menceritakan ketakutanketakutannya. Guiliano lembut dalam berbicara, tapi menikmati kesenangannya tanpa takut dan dengan gairah terfokus. La Venera beranjak bangkit tanpa suara dari ranjang dan Guiliano tetap tidak terjaga. Ia menunggu sebentar dan keluar ke dapur untuk memasakkan hidangan terbaik bagi Guiliano. Sewaktu Guiliano meninggalkan rumah La Venera di pagi hari, ia melalui pintu depan, melangkah keluar sembarangan tapi senjata tersembunyi di balik jaketnya. Ia mengatakan pada La Venera bahwa ia tidak akan mampir untuk berpamitan kepada ibunya dan meminta La Venera melakukannya, memberitahu ibunya bahwa dirinya baik-baik saja. La Venera ketakutan melihat keberaniannya, ia tidak tahu Guiliano memiliki sepasukan kecil anak buah di kota, tidak menyadari Guiliano membiarkan pintu terbuka selama beberapa menit sebelum melangkah keluar sehingga Pisciotta tahu niatnya dan menyingkirkan carabinieri mana pun yang kebetulan lewat La Venera menciumnya malu-malu sebagai salam perpisahan, yang menyebabkan Guiliano tergerak, lalu wanita itu berbisik, “Kapan kau datang kemari lagi?” “Setiap kali mengunjungi ibuku, aku akan ke tempatmu sesudahnya,” jawab Guiliano. “Di pegunungan aku memimpikan dirimu setiap malam.” Dan dengan katakata itu La Venera merasakan arus sukacita yang menyebabkan ia bahagia. Ia menunggu hingga tengah hari sebelum menyusuri jalan ke rumah ibu Guiliano. Maria Lombardo hanya perlu melihat wajahnya dan tahu apa yang terjadi. La Venera tampak sepuluh tahun lebih muda. Di mata cokelat tuanya terdapat bintik-bintik hitam menari-nari, pipinya kemerahan, dan untuk pertama kalinya selama hampir empat tahun ia mengenakan gaun yang bukan hitam. Ia mengenakan gaun berenda beludru yang dikenakan gadis yang hendak menjumpai ibu kekasihnya. Maria Lombardo bersyukur terhadap temannya, atas kesetiaan dan keberaniannya, dan juga kepuasan tertentu karena rencananya berjalan begitu baik. Pengaturan ini bagus sekali bagi putranya, wanita yang tidak akan pernah menjadi pengkhianat, wanita yang tidak bisa mengklaim dirinya secara permanen. Sekalipun Maria Lombardo
sangat mencintai putranya, ia tidak cemburu. Kecuali ketika La Venera menceritakan bagaimana ia memasak hidangan terbaiknya, pai isi daging kelinci dan potongan-potongan keju keras yang ditaburi merica, dan betapa Turi menyantap habis jatah lima orang dan bersumpah belum pernah menyantap hidangan selezat itu seumur hidupnya. Bab 15 BAHKAN di Sisilia, tanah tempat orang-orang saling bunuh dengan antusiasme sama hebatnya seperti antusiasme orang Spanyol membantai banteng, kesintingan maut penduduk Corleone memicu ketakutan umum. Keluarga-keluarga yang bersaing saling menghabisi dalam pertengkaran yang disebabkan sebatang pohon zaitun, tetangga bisa saling bunuh hanya karena jumlah air yang diambil dari sungai umum, orang bisa tewas karena cintayakni jika ia menatap dengan sangat tidak hormat istri atau anak perempuan seseorang. Bahkan Friends of the. Friends yang paling tenang pun pasrah terhadap kesintingan ini dan cabang-cabang mereka yang berbeda berperang sampai mati di Corleone hingga akhirnya Don Croce mendamaikan mereka. Di kota seperti itulah, Stefan Andolini mendapat julukan Fra Diavalo, Saudara Iblis. Don Croce memanggilnya dari Corleone dan memberinya instruksi Ia harus bergabung dengan kelompok Guiliano dan mendapatkan kepercayaan mereka. Ia harus tinggal bersama mereka sampai Don Croce memberikan perintah berikutnya. Sementara itu ia harus mengirimkan informasi mengenai kekuatan Guiliano yang sebenarnya, tentang kesetiaan Passatempo dan Terranova. Karena kesetiaan Pisciotta tidak diragukan lagi, yang tersisa hanyalah mengevaluasi kelemahan pemuda itu. Dan kalau ada kesempatan, Andolini harus membunuh Guiliano. Andolini tidak takut terhadap Guiliano yang agung. Selain itu, karena rambutnya merah, dan rambut merah termasuk langka di Italia, Stefan Andolini diam-diam percaya dirinya telah dibebaskan dari keharusan berbuat baik. Seperti halnya penjudi memercayai sistemnya tidak akan pernah kalah, Stefan Andolini percaya dirinya begitu cerdik sehingga tidak pernah bisa dikalahkan. Ia mengajak dua orang picriotti, atau pembunuh magang, menemaninya. Ini sebutan bagi mereka yang belum diterima di Mafia tapi berharap mendapatkan kehormatan tersebut. Mereka pergi ke pegunungan tempat Guiliano berkeliaran, membawa ransel dan lupara. Dan jelas, mereka pun bertemu patroli yang dipimpin Pisciotta. Pisciotta mendengarkan cerita Stefan Andolini dengan wajah tanpa ekspresi. Andolini mengaku dicari carabinieri dan Polisi Keamanan atas pembunuhan terhadap agitator Sosialis di Corleone. Kisahnya ada benarnya. Yang tidak dikatakan Andolini adalah polisi dan carabinieri tidak memiliki bukti dan mencari dirinya sekadar untuk ditanyai.. Interogasinya akan berlangsung ramah dan tidak melelahkan berkat pengaruh Don Croce. Andolini juga mengatakan kedua picriotti yang menemaninya adalah orang-orang yang dicari polisi sebagai ko-konspirator dalam pembunuhan itu. Ini juga benar. Tapi sementara ia bercerita, Stefan Andolini merasa semakin tidak nyaman. Pisciotta mendengarkan dengan ekspresi orang yang bertemu kenalannya atau orang yang sudah sering didengarnya. Andolini mengatakan ia datang ke pegunungan berharap bisa bergabung dengan kelompok Guiliano. Lalu ia memainkan kartu asnya. Ia telah mendapat persetujuan dari ayah Guiliano sendiri. Ia, Stefan Andolini, adalah sepupu Don Vito Corleone yang agung di Amerika. Pisciotta mengangguk. Andolini melanjutkan. Don Vito Corieone dilahirkan sebagai seorang Andolini di desa Corleone. Setelah ayahnya tewas terbunuh, dan dirinya diburu sewaktu masih kanak-kanak, Don Vito Corleone berhasil, melarikan diri ke Amerika, di sana ia menjadi Godfather yang hebat Sewaktu kembali ke Sisilia untuk membalas dendam kepada para pembunuh ayahnya, Stefan Andolini merupakan salah satu picriotti Don Corleone. Setelah kejadian itu ia pernah mengunjungi Don di Amerika untuk menerima upahnya. Di sana ia
bertemu ayah Guiliano yang bekerja sebagai tukang batu di rumah mewah Don yang baru di Long Island. Mereka bersahabat, dan Andolini, sebelum pergi ke pegunungan, singgah di Montelepre untuk mendapatkan persetujuan Salvatore Guiliano Senior. Ekspresi Pisciotta berubah sangat serius selagi mendengarkan kisah ini. Ia tidak memercayai orang ini, rambut merahnya, wajah pembunuhnya. Dan Pisciotta tidak menyukai air muka kedua picriotti yang datang bersama si Malpek itu, begitulah ia menyebut si rambut merah dalam gaya Sisilia. Pisciotta berkata, “Akan kubawa kau menemui Guiliano, tapi biarkan lupara tetap di bahu sampai dia berbicara denganmu. Jangan menurunkannya tanpa izin.” Stefan Andolini tersenyum lebar dan berkata sangat gembira, “Tapi aku mengenalmu, Aspanu. Aku percaya padamu. Ambillah lupara dari bahuku dan anak buahmu bisa mengambil lupara para picciotti-ku ini. Sesudah kita berbicara dengan Guiliano aku yakin dia akan mengembalikan senapan kami.” Pisciotta berkata, “Kami bukan hewan beban untuk membawakan senjata kalian. Bawa saja sendiri.” Dan ia memimpin jalan melintasi pegunungan menuju tempat persembunyian Guiliano di tepi tebing yang menghadap ke Montelepre. Lebih dari lima puluh anggota kelompok bertebaran di sekitar tebing, membersihkan senjata dan memperbaiki peralatan. Guiliano duduk di meja, mengawasi melalui teropongnya. Pisciotta berbicara pada Guiliano sebelum membawa calon anggota baru itu menghadap. Ia menceritakan situasinya dan akhirnya berkata, “Turi, menurutku dia agak berjamur” “Berjamur” merupakan idiom orang Sisilia untuk mata-mata. “Dan menurutmu kau pernah melihatnya?” tanya Guiliano. “Atau mendengar tentangnya,” sahut Pisciotta. “Entah bagaimana aku merasa mengenalnya, tapi rambut merah jarang ada. Seharusnya aku ingat.” Guiliano berkata pelan, “Kau mendengar tentangnya dari La Venera. Dia menyebut pria itu Malpelodia tidak tahu namanya Andolini. La Venera juga menceritakannya padaku. Orang ini bergabung dengan kelompok suaminya. Sebulan kemudian suaminya disergap dan dibunuh carabinieri. La Venera juga tidak memercayainya. Dia penuh tipuan, katanya.” Silvestro mendekati mereka. “Jangan memercayai si rambut merah. Aku pernah melihatnya di markas besar Palermo untuk kunjungan pribadi pada Komandan Carabinieri.” Guiliano berkata, “Pergilah ke Montelepre dan jemput ayahku kemari. Sementara itu awasi mereka.” Pisciotta mengirim Terranova menjemput ayah Guiliano dan ia sendiri menemui ketiga orang itu, yang duduk di tanah. Ia membungkuk dan meraih senjata Stefan Andolini. Anggota kelompok lainnya mengepung ketiganya bagaikan serigalaserigala mengelilingi mangsa yang telah jatuh. “Kau tidak keberatan kalau kubantu membawakan senjatamu sekarang?” tanya Pisciotta sambil tersenyum. Stefan Andolini terkejut sejenak, wajahnya mengerut menyeringai. Lalu ia mengangkat bahu. Pisciotta melemparkan lupara itu ke salah satu anak buahnya. Ia menunggu beberapa saat, memastikan anak buahnya siap. Lalu ia membungkuk mengambil lupara kedua picciotti Andolini. Salah satu di antaranya, lebih karena takut daripada niat jahat, mendorong Pisciotta menjauh dan memegang senapan taburnya. Detik berikutnya, secepat ular menjulurkan dan menarik kembali lidahnya, sebilah pisau muncul di tangan Pisciotta. Tubuhnya melesat maju dan pisau itu menggorok leher si picdotto. Darah merah segar menyembur ke udara pegunungan yang bersih dan picdotto itu merosot ke samping. Pisciotta menahannya, membungkuk, dan satu tusukan cepat lagi menyelesaikannya. Lalu,
dengan serangkaian tendangan cepat, ia menggulirkan mayat itu ke sungai kering Anak buah Guiliano lainnya berlompatan bangkit
304 dan mengarahkan senjatanya. Andolini, duduk di tanah, mengangkat tangan ke udara dan memandang sekitarnya dengan bingung. Tapi picciotta yang satu lagi menerjang ke arah senjatanya dan mencoba mengayunkannya. Passatempo, yang berdiri di belakangnya dan menyeringai gembira, menghabiskan peluru pistolnya ke kepala orang itu. Tembakannya menggema ke seluruh pegunungan. Mereka semua membeku, Andolini memucat dan gemetar ketakutan, Passatempo masih menggenggam pistolnya. Lalu suara Guiliano dari tepi tebing berkata pelan, “Singkirkan mayat-mayatnya dan ikat Malpelo itu ke pohon sampai ayahku tiba.” Mayat-mayat itu dibungkus jaring bambu dan dibawa ke jurang yang dalam. Mereka melemparkan batu-batu sesudah mayat-mayat itu agar baunya tidak membubung, menurut kepercayaan kuno. Ini tugas Passatempo, yang merampok mayat-mayat itu sebelum membuangnya. Guiliano harus berjuang terus-menerus mengatasi perasaan jijik terhadap Passatempo. Tidak ada rasionalisasi sebesar apa pun yang bisa mengubah hewan itu menjadi kesatria. Senja telah turun, hampir tujuh jam kemudian, sewaktu ayah Guiliano akhirnya tiba di kamp. Stefan Andolini dibebaskan dari pohon dan dibawa ke gua yang diterangi lampu minyak tanah. Ayah Guiliano marah begitu melihat kondisi Andolini. “Tapi orang ini temanku,” katanya kepada putranya. “Kami berdua pernah bekerja untuk Godfather di Amerika. Kuberitahukan padanya dia bisa bergabung dengan kelompokmu, dan dia akan diperlakukan dengan baik” Ia berjabatan dengan Andolini dan berkata, “Aku minta maaf. Putraku pasti salah mengerti atau mendengar gosip tentang dirimu.” Ia diam sejenak, perasaannya tidak enak. Ia tertekan melihat teman lamanya begitu ketakutan. Karena Andolini hampir-hampir tidak bisa berdiri. Andolini yakin dirinya akan dibunuh. Bahwa semua ini hanya pura-pura. Bagian belakang lehernya sakit karena otot-otomya menegang, mengantisipasi kedatangan peluru. Ia hampir-hampir menangis karena begitu nekat telah meremehkan Guiliano. Pembunuhan cepat atas kedua picciotti-nya menyebabkan ia terguncang. Signor Guiliano merasa temannya terancam oleh putranya. Ia berkata, “Turi, seberapa sering aku memintamu, melakukan sesuatu untukku? Kalau ada keberatanmu terhadap orang ini, maafkan dan lepaskan dia. Dia baik padaku di Amerika dan dia menguimimu hadiah sewaktu kau dibaptis. Aku memercayainya dan memegang erat-erat persahabatannya.” Guiliano berkata, “Sekarang sesudah kau mengidentifikasi dirinya, dia akan diperlakukan sebagai tamu terhormat Kalau dia ingin tinggal sebagai anggota kelompokku, dia diterima.” Ayah Guiliano diantar kembali ke Montelepre dengan kuda agar bisa tidur di ranjangnya sendiri. Dan sesudah kepergiannya Guiliano berbicara dengan Stefan Andolini seorang diri. “Aku tahu tentang dirimu dan Candeleria,” katanya. “Kau mata-mata Don Croce sewaktu bergabung dengan kelompok Candeleria. Sebulan kemudian Candeleria tewas. Jandanya masih ingat dirimu. Dari apa yang diceritakannya kepadaku, tidak sulit
bagiku memperkirakan apa yang terjadi. Kita orang Sisilia
306 pandai memecahkan teka-teki pengkhianatan. Kelompok-kelompok pelanggar hukum mulai menghilang Pihak berwenang harus sangat pintar. Aku duduk di pegununganku dan berpikir sepanjang hari. Aku memikirkan pihak berwenang di Palermomereka tidak pernah sepintar itu sebelumnya. Lalu aku tahu Menteri Kehakiman di Roma dan Don Croce bersahabat erat. Dan kita tahu, kau dan aku, Don Croce cukup pandai melihat kepentingan mereka berdua. Jadi Don Croce-lah yang membersihkan bandit-bandit ini untuk Roma. Dan kupikir tak lama lagi giliranku akan tiba untuk mendapat kunjungan mata-mata Don Croce. Dan aku menunggu dan menunggu dan penasaran kenapa Don memerlukan waktu begitu lama. Karena, dengan segala kerendahan hati, akulah hadiah terbesar di antara semuanya. Dan hari ini aku melihat kalian bertiga melalui teropongku. Dan kupikir,Ha, si Malpelo lagi. Aku senang bisa menemuinya.Tapi tetap saja aku harus membunuhmu. Aku tidak ingin menyebabkan ayahku tertekan, jadi mayatmu akan menghilang.” Stefan Andolini kehilangan rasa takutnya sejenak karena murka. “Kau menipu ayahmu sendiri?” teriaknya. “Kau mengaku putra orang Sisilia?” Ia meludah ke tanah. “Kalau begitu bunuhlah aku dan pergilah ke neraka.” Pisciotta, Terranova, dan Passatempo juga tertegun. Tapi mereka telah tertegun berulang-ulang di masa lalu. Guiliano yang begitu terhormat yang membanggakan diri selalu menepati janji, yang selalu membicarakan keadilan bagi semua orang, bisa tiba-tiba berubah dan mengambil tindakan yang di mata mereka begitu jahat. Bukannya mereka keberatan ia membunuh Andoliniia bisa membunuh seratus Andolini, seribu malah. Tapi ia melanggar janjinya kepada ayahnya dan menipu ayahnya, rasanya tidak bisa dimaafkan. Hanya Kopral Silvestro yang mengerti dan berkata, “Dia tidak boleh membahayakan keselamatan kita semua hanya karena ayahnya berhati lembut.” Guiliano berkata pelan kepada Andolini, “Berdamailah dengan Tuhan.” Ia memberikan isyarat kepada Passatempo. “Kau punya waktu lima menit.” Rambut merah Andolini seolah berdiri tegak di seluruh kepalanya. Ia berkata panik, “Sebelum kau membunuhku, berbicaralah dengan Kepala Biara Manfredi.” Guiliano tertegun menatapnya dan pria berambut merah itu berbicara tergesa-gesa. “Kau pernah mengatakan kepada Kepala Biara kau berutang budi padanya. Bahwa dia bisa meminta apa saja kepadamu.” Guiliano ingat dengan baik janjinya itu. Dari mana orang ini mengetahuinya? Andolini melanjutkan, “Ayo kita temui dia dan dia akan memohonkan ampun bagiku.” Pisciotta berkata jijik, “Turi, butuh waktu satu hari lagi untuk mengirim kurir dan mendapat jawaban dari Kepala Biara. Apa Kepala Biara lebih berpengaruh bagimu daripada ayahmu sendiri?” Guiliano kembali menyebabkan mereka tertegun. “Ikat tangannya dan ikat kakinya dengan beban agar dia bisa berjalan tapi tidak bisa lari. Siapkan sepuluh pengawal. Akan kubawa dia ke biara, dan kalau Kepala Biara tidak memohonkan ampun baginya, dia bisa melakukan pengakuan dosa terakhirnya. Akan kuekse-kusi dia dan kuberikan mayatnya kepada para biarawan untuk dimakamkan.” Guiliano dan kelompoknya tiba di gerbang biara saat matahari terbit dan para biarawan tengah dalam perjalanan untuk bekerja di ladang. Turi Guiliano mengawasi mereka sambil tersenyum. Bukankah baru dua tahun lalu ia pergi ke
ladang bersama biarawan-biarawan ini, mengenakan jubah cokelat dan topi fedora Amerika lusuh di kepalanya? Ia teringat betapa kegiatan ini membuatnya gembira. Siapa yang pada saat itu memimpikan masa depan begini buas? Nostalgia tentang masa damai bekerja di ladang itu melintas. Kepala Biara sendiri keluar ke gerbang untuk menyapa mereka. Sosok jangkung berjubah hitam itu ragu-ragu sewaktu sang tawanan melangkah maju, lalu membentangkan lengannya. Stefan Andolini menghambur ke dalam pelukan pria tua itu, mencium kedua pipinya dan berkata, “Bapa, orang-orang ini akan membunuhku, hanya kau yang bisa menyelamatkan diriku.” Kepala Biara mengangguk. Ia mengulurkan tangan ke arah Guiliano, yang melangkah maju untuk memeluknya. Guiliano sekarang memahami segalanya. Aksen yang* aneh pada kata “Bapa” bukanlah cara seseorang memanggil pendetanya, melainkan cara putra memanggil orangtuanya. Kepala Biara berkata, “Kumohon kau mengampuni orang ini, sebagai pembalasan utang budi padaku.” Guiliano menanggalkan tali yang mengikat tangan dan kaki Andolini. “Dia milikmu,” kata Turi Guiliano Andolini merosot ke tanah; ketakutan yang menyembur keluar dari tubuhnya menyebabkan ia lemas. Kepala Biara mendukungnya dengan sosoknya sendiri yang rapuh. Ia berkata kepada Guiliano, “Masuklah ke ruang makanku. Anak buahmu akan kuberi makan dan kita bertiga bisa membicarakan apa yang harus kita lakukan.” Ia berpaling kepada Andolini dan berkata, “Putraku yang baik, kau masih belum lolos dari bahaya. Apa pendapat Don Croce kalau tahu semua ini? Kita harus mendiskusikannya atau kau akan salah jalan.” Kepala Biara mempunyai ruang kecilnya sendiri dan ketiganya duduk nyaman. Keju dan roti disajikan bagi kedua pria yang lebih muda ini. Kepala Biara berpaling dan tersenyum sedih kepada Guiliano. “Salah satu dari sekian banyak dosaku. Aku menjadi ayah bagi orang ini sewaktu masih muda. Ah, tidak ada yang mengetahui godaan-godaan yang dialami pastor di Sisilia. Aku tidak menolaknya. Skandal itu ditutupi dan ibunya menikah dengan seorang Andolini. Sejumlah besar uang diberikan dan aku bisa mendapat kenaikan jabatan di Gereja. Tapi ironi surga tidak bisa diperkirakan manusia. Putraku tumbuh dewasa menjadi pembunuh. Dan itu salib yang harus kutanggung sekalipun ada begitu banyak dosaku sendiri yang harus ku-pikul.” Nada Kepala Biara berubah sewaktu ia berpaling kepada Andolini. Ia berkata, “Dengarkan baik-baik, anakku. Untuk kedua kalinya kau berutang nyawa padaku. Pahamilah kepada siapa kesetiaanmu yang pertama. Sekarang kepada Guiliano. “Kau tidak bisa kembali kepada Don. Dia akan bertanya-tanya, Kenapa Turi membiarkan dirimu tetap hidup dan menghabisi kedua rekanmu? Dia akan mencurigai adanya pengkhianatan dan itu berarti kematianmu. Yang harus kaulakukan adalah mengabai semuanya kepada Don dan meminta tetap bergabung dengan kelompok Guiliano. Kau akan memberinya informasi dan berfungsi sebagai penghubung antara Friends of the Friends dan pasukan Guiliano. Aku sendiri akan menemui Don dan memberitahukan keuntungan pengaturan ini. Akan kukatakan juga kepadanya kau akan tetap setia kepada Guiliano, tapi bukan berarti merugikan Don Croce. Dia mungkin mengira kau akan mengkhianati orang yang sudah membiarkan dirimu tetap hidup ini. Tapi asal kau tahu, kalau kau tidak setia kepada Guiliano, aku akan mengetukmu selama-lamanya. Kau akan menanggung kutukan ayahmu sampai mati.” Ia kembali berpaling kepada Guiliano. “Jadi sekarang aku meminta bantuan kedua padamu, Turi Guiliano yang baik. Terimalah putraku dalam kelompokmu. Dia akan berjuang untukmu dan aku bersumpah dia akan setia kepadamu.”
Guiliano memikirkannya hati-hati. Ia yakinseiring perjalanan waktudapat memenangkan hati Andolini, dan ia tahu pengabdian orang ini kepada ayahnya, si Kepala Biara. Oleh karena itu kemungkinan ia berkhianat sangat kecil dan bisa diawasi. Stefan Andolini akan menjadi kepala operasi kelompoknya, bahkan lebih berharga lagi sebagai sumber informasi mengenai kekaisaran Don Croce. Guiliano bertanya, “Apa yang akan kaukatakan kepada Don Croce?” Kepala Biara diam sejenak. “Aku akan berbicara kepada Don. Aku memiliki pengaruh terhadapnya. Lalu kita lihat saja. Sekarang, bersediakah kau menerima putraku dalam kelompokmu?” “Ya, aku bersumpah padamu,” kata Guiliano. “Tapi kalau dia mengkhianatiku, doadoamu tidak akan cukup cepat menangkap jiwanya dalam perjalanannya ke neraka.” Stefan Andolini telah menjalani kehidupan di dunia di mana hanya ada sedikit kepercayaan, mungkin itulah alasan kenapa wajahnya selama bertahun-tahun ini membentuk semacam topeng pembunuh. Ia paham dalam tahun-tahun mendatang ia akan berakrobat bagaikan artis trapeze, harus terus menjaga keseimbangan di atas tali kematian. Tidak ada pilihan aman. Ia senang semangat pengampunan yang memancar dari diri Guiliano menyelamatkan dirinya. Tapi ia tidak berharap banyak. Turi Guiliano satu-satunya orang yang pernah menyebabkan ia ketakutan. Sejak hari itu Stefan Andolini menjadi anggota kelompok Guiliano. Dan selama bertahun-tahun kemudian ia begitu terkenal akan kebuasan dan kesalehannya sehingga julukannya, Fra Diavalo, termasyhur di seluruh Sisilia. Kesalehannya berasal dari fakta bahwa setiap hari Minggu ia menghadiri Misa. Ia biasanya pergi ke Villaba, tempat Pater Benjamino menjadi pastor. Dan dalam ruang pengakuan dosa ia mengungkapkan berbagai rahasia kelompok Guiliano kepada pendengar pengakuan dosanya, untuk disampaikan kepada Don Croce. Tapi bukan rahasia yang oleh Guiliano dilarang diceritakan. BUKU III MICHAEL CORLEONE 1950 Bab 16 FIAT itu menyusuri tepi kota Trapani dan mengambil jalan di sepanjang pantai. Michael Corleone dan Stefan Andolini tiba di sebuah vila, lebih besar daripada kebanyakan vila lainnya, dengan tiga rumah mencolok di sekitarnya. Vila itu dikepung dinding kecuali celah di sisi yang menghadap pantai. Gerbang vila dijaga dua pria, dan tepat di baliknya Michael bisa melihat pria gendut yang mengenakan pakaian yang kelihatan asing di sini: jas sport dan celana panjang dilengkapi kaus polo rajutan yang terbuka. Saat mereka menunggu gerbang dibuka, Michael melihat senyum di wajahnya yang lebar dan tertegun menyadari pria itu Peter Clemenza. Clemenza tangan kanan ayah Michael Corleone di Amerika. Apa yang dilakukannva di sini? Mchael terakhir kali bertemu dengannya pada malam fatal saat Clemenza membuang pistol yang digunakan Michael membunuh kapten polisi dan si Turki, Sollozzo. Ia teringat ekspresi sedih dan iba pada wajah Clemenza saat itu, dua tahun lalu Sekarang Clemenza benar-benar gembira bertemu michael ia menarik keluar dari Fiat mungil itu dan hampir-hampir meremukkan dirinya dengan pelukanya yang bagaikan pelukan beruang. “Michael, senang bertemu denganmu. Aku menanti bertahun-tahun untuk mengatakan betapa bangga diriku padamu. Kerjamu hebat Dan sekarang semua masalahmu sudah beres. Seminggu lagi kau akan berkumpul bersama keluargamu, akan ada perayaan besar. Semua orang menantikanmu, Mikey.” Ia menatap wajah Michael penuh sayang sambil memeganginya sejauh kedua lengannya yang besar, dan sementara itu menilainya. Pemuda ini bukan lagi sekadar pahlawan perang yang belia. Selama keberadaannya di Sisilia, bocah ini telah tumbuh menjadi laki-laki. Maksudnya,
wajah Michael tidak lagi memancarkan keterbukaan; wajahnya memancarkan ekspresi bangga yang tersembunyi, khas kelahiran Sisilia. Michael siap mengambil posisi dalam keluarga. Michael gembira melihat sosok Clemenza yang tinggi besar, wajahnya yang lebar. Ia menanyakan kabar keluarganya kepada Clemenza. Ayahnya telah pulih dari usaha pembunuhan, tapi kesehatannya tidak bagus. Clemenza menggeleng sedih. “Tak bagus bagi siapa pun kalau tubuhnya berlubang,” kata 1 Clemenza, “tak peduli seberapa baik mereka pulih. Tapi ini bukan pertama kali ayahmu ditembak. Dia seperti banteng. Dia akan pulih. Sonny tewas terbunuh, itu yang merusak ayah dan ibumu. Pembunuhannya brutal, Mikeymereka mencincang Sonny dengan senapan mesin. Itu tidak benar, mereka tidak perlu berbuat begitu. Itu jahat Tapi kita sedang menyusun rencana. Ayahmu akan memberitahukannya padamu begitu kau pulang Semua senang kau kembali.” Stefan Andolini mengangguk kepada Clemenza; mereka jelas pernah bertemu. Ia menjabat tangan Michael dan mengatakan dirinya harus pergiada yang harus dilakukannya di Montelepre. “Ingat ini, meski apa pun yang kaudengar,” katanya, “aku tetap setia kepada Turi Guiliano dan dia memercayai diriku sampai akhir. Kalau dia dikhianati, bukan aku yang mengkhianatinya.” Ia tergagap namun tulus. “Dan aku tidak akan mengkhianati dirimu.” Michael memercayainya. “Kau mau masuk, beristirahat, dan makan atau minum terlebih dulu?” tanyanya. Stefan Andolini menggeleng. Ia masuk ke Fiat-nya dan melaju keluar melalui gerbang yang segera ditutup di belakangnya. Clemenza mengajak Michael melintasi lapangan terbuka menuju vila utama. Orangorang bersenjata berpatroli di dinding-dinding dan di pantai tempat lahan itu membuka ke arah laut. Dermaga kecil membentang ke arah pantai Afrika di kejauhan, dan di sana tertambat perahu motor besar ramping, bendera Italia berkibar di perahu itu. Di dalam vila menanti dua wanita tua berpakaian hitam, tanpa satu pun warna lebih terang pada diri mereka, kulit mereka gelap terbakar matahari, syal hitam menutupi kepala. Clemenza meminta mereka membawakan semangkuk buah-buahan ke kamar tidur Michael. Teras kamar tidur menghadap ke Laut Mediterania yang biru dan tampak seakan terbelah di tengah-tengah sewaktu seberkas cahaya matahari pagi menghantamnya. Kapal-kapal nelayan dengan layar biru dan merah cerah terayun-ayun di kaki langit bagai bola berlompatan di air. Ada meja kecil di teras yang tertutup kain tebal berwarna cokelat tua, dan keduanya duduk di kursi di sekitarnya. Sepoci espresso dan sekaraf anggur merah tersedia di sana. “Kau tampak lelah,” ujar Gemenza. “Tidurlah dulu, nanti kuceritakan semua rmtiatinya kepadamu.” “Tidur ada gunanya,” kata Michael. “Tapi terlebih dulu, katakan, apa ibuku baikbaik saja?” “Dia baik-baik saja,” jawab Clemenza. “Dia menunggu kepulanganmu. Kami tidak.ingin mengecewakannya, terlalu berat baginya sesudah apa yang terjadi pada Sonny.” Michael bertanya lagi, “Dan ayahku, dia sudah pulih sepenuhnya?” Clemenza tertawa; tawa yang buruk. “Jelas. Lima Keluarga akan mengetahuinya. Ayahmu hanya menunggu kepulanganmu, Mike. Dia punya rencana-rencana besar
untukmu. Kita tidak boleh mengecewakannya Jadi jangan terlalu mengkhawatirkan Guiliano kalau dia muncul kita akan membawanya. Kalau dia terus-menerus mengacau, kita akan meninggalkannya di sini.” “Apa itu perintah ayahku?” tanya Michael. Clemenza berkata, “Ada kurir yang datang melalui udara setiap hari ke Tunisia dan aku berperahu ke sana untuk berbicara dengannya. Itu perintah yang kuterima kemarin. Mula-mula Don Croce seharusnya membantu kita, atau begitulah yang dikatakan ayahmu sebelum aku meninggalkan Amerika. Tapi kau tahu apa yang terjadi di Palermo sesudah kepergianmu kemarin? Ada yang mencoba menghabisi Don Croce. Mereka datang menerobos dinding kebun dan membunuh empat pengawalnya. Tapi Croce berhasil lolos. Jadi apa yang sebenarnya terjadi?” Michael berkata, “Ya Tuhan.” Ia teringat langkah-langkah penjagaan yang dilakukan Don Croce di sekitar hotel. “Kupikir itu perbuatan teman kita Guiliano. Kuharap kau dan ayahku tahu apa yang kalian lakukan. Aku terlalu lelah untuk berpikir.” Clemenza beranjak bangkit dan menepuk bahunya. “Mikey, tidurlah dulu. Setelah bangun nanti kau akan bertemu saudaraku. Orang hebat, sama seperti ayahmu, sama pandainya, sama tangguhnya, dan dia bos di wilayah ini, persetan dengan Croce.” Michael menanggalkan pakaian dan naik ke ranjang. Ia belum tidur selama lebih dari tiga puluh jam, tapi benaknya terus melompat-lompat dan tidak membiarkan tubuhnya beristirahat. Ia bisa merasakan panasnya matahari pagi meskipun telah menutup daun jendela yang tebal. Semerbak bunga dan pepohonan lemon mencapai hidungnya. Benaknya bekerja memikirkan kejadian-kejadian yang berlangsung selama beberapa hari ini. Bagaimana Pisciotta dan Andolini bisa berkeliaran sebebas itu?. Kenapa Guiliano seolah memutuskan Don Croce adalah musuhnya di saat paling tidak tepat ini? Kesalahan seperti itu bukanlah ciri orang Sisilia. Bagaimanapun, orang itu telah tujuh tahun hidup di pegunungan sebagai pelanggar hukum. Sudah cukup. Ia pasti menginginkan kehidupan yang lebih baiktidak mungkin di sini, tapi jelas di Amerika. Dan ia pasti memiliki rencana semacam itu, kalau tidak, ia tidak akan mengirim tunangannya yang hamil ke Amerika, mendului dirinya. Pemikiran yang mencerahkan itu menyatakan padanya bahwa jawaban atas semua misteri ini adalah Guiliano tengah melakukan pertempuran terakhir. Bahwa ia tidak takut mati di tanah kelahirannya ini. Bahwa ada berbagai rencana dan persekongkolan yang tengah menuju titik akhir di mana ia, Michael tidak menyadarinya dan karenanya ia harus waspada. Karena Michael Corleone tidak ingin mati di Sisilia. Ia bukan bagian dari mitos yang satu ini. Michael terjaga di kamar tidur luas itu dan membuka jendela-jendelanya, yang mengayun keluar ke balkon batu putih yang berkilau tertimpa cahaya matahari pagi. Di bawah balkon, Laut Mediterania bergulung-gulung bagai permadani biru tua yang membentang ke kaki langit. Berkas-berkas kemerahan menoreh air, dan di atasnya kapal-kapal nelayan berlayar sampai lenyap dari pandangan. Michael mengawasi mereka selama beberapa menit, terpesona oleh keindahan laut dan keanggunan tebing-tebing Erice yang membentang sepanjang pantai ke utara. Ruangan itu penuh perabotan besar gaya pedesaan. Meja dengan baskom dan seguci air di atasnya. Di kursi tersampir handuk cokelat kasar. dindingnya tergantung lukisan para orang suci dan Bunda Maria, yang bayi Yesus. Michael mencuci muka, lalu meninggalkan kamar. Di dasar
enamel biru Di dindingmenggendong tan