Divan dan Hujan >>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>> >>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>> “Ternyata gue salah nilai lu, Yud. Lu yang selama ini jadi sosok sahabat yang baik di mata gue, lu yang udah gue anggap kayak saudara sendiri, ternyata…” “Van…” “Lu nggak lebih baik dari si Bayu. Lu munafik, Yud.” “VAN! Cukup, Van! Cukup!” “Coba kalo tadi gue nggak dateng, mungkin lu udah bertindak jauh sama si Mita, jangan-jangan kalian mau… Hah, hahahaha... kalian bawa pengaman nggak? Hah?” Divan memaksakan diri tertawa getir. Wajahnya seakan mengejek pahit pada Yudi. Mendadak emosi Yudi memuncak. Dia memukul wajah Divan. Divan tersungkur. Pipinya terasa panas. Dari sudut bibirnya keluar darah. Melihat keadaan Divan, Yudi merasa bersalah. Dia lalu menghampiri Divan.
“Van, sori Van, lu nggak apa-apa? Gue nggak bermaksud....” Yudi mencoba untuk membangkitkan tubuh Divan. Divan tertunduk. “Van, stop being childhist. Kita harus bicara serius,” ujar Yudi sambil membantu Divan untuk berdiri. Tiba-tiba Divan bangkit. Dia menatap Yudi dengan tatapan kebencian. Sebuah tinjuan mendarat di perut Yudi. Yudi terjatuh. Tangannya memegangi perutnya yang kesakitan. “Enak banget jadi lu, Yud! Setelah lu ngerusak segalanya, ngebunuh cinta gue buat Mita, lu tinju muka gue, lengkap! Bener-bener lengkap kekecewaan gue selama setahun sekolah bareng-bareng lu dan anakanak. Gue gagal dapet cinta, gue juga dikhianatin sama sahabat sendiri! Tololnya seorang Divan!” Divan kalap. “Van, tenang Van, lu harus mau denger penjelasan gue,” ujar Yudi sambil menahan rasa sakitnya. “Nggak perlu ada lagi penjelasan! Semua udah jelas. Gue emang ditakdirin untuk ngalamin semua ini. Dari dulu Yud! Dari dulu! Cinta emang nggak bakalan pernah ada di pihak gue!” 2
“Van, lu lebay. Lu nggak boleh ngomong gitu. Dengerin gue dulu!” “Halah, persetan dengan lu! Emangnya lu siapa? Sahabat gue? Temen gue? Nggak! You are nothing!” “Van, lu dikeliling banyak cinta! Cuma lunya aja yang nggak sadar. Lu terlalu larut di harapan-harapan lu terhadap cinta yang sempit, lu cuma terpaku sama cewek-cewek itu. Sinta, Juni, Mita. Lu tahu? Cinta nggak cuma sampe di situ, Van.” “BERISIK! Lu selalu bikin gue bingung dengan makna cinta. Cinta bukan ini, cinta bukan itu, cinta adalah ini, cinta adalah itu, semua BULLSHIT! Gue nggak mau peduli lagi sama cinta! Semua bohong!” “Van, inget cinta hakiki, Van!” “Halah? Pengkhianat seperti lu tahu apa tentang cinta hakiki? Hah? Atau buat lu yang namanya cinta hakiki itu adalah cinta yang didapet dari hasil nusuk temen lewat belakang? GITU?” “Van! Jangan kalap gitu Van! Gue sahabat lu, gue nggak mungkin nyakitin lu. Lu udah gue anggap kayak pengganti almarhum adik gue, Van. Begitu juga dengan 3
teman-teman yang lain, Van. Mereka sayang sama lu.” Yudi mencoba menghampiri Divan. “DIAAM! Berhenti di situ! Atau gue loncat ke sungai! Lu selalu aja bilang jangan ini, jangan itu, harus ini, harus itu. Persaudaraan, persahabatan, HALAH! Apa gue harus percaya lagi sama kata-kata lu setelah kejadian tadi?” “Tadi itu nggak seperti apa yang lu lihat ,Van!” “BERISIK! Gue nggak peduli yang gue lihat tadi bener atau nggak. Yang jelas gue muak sama lu, sama Mita, sama cinta, sama segala hal yang berhubungan dengan itu! Gue nggak mau lihat lu dan Mita lagi!” “VAN! Denger gue sekali aja! Gue deketin Mita tuh buat lu. Gue pengen nyomblangin kalian. Masalah Mita yang suka sama gue, itu bukan kehendak gue. Itu di luar batas ingin gue, Van! Lu harus ngerti posisi gue.” Divan melongo. “Van, kadang cinta itu dateng kayak hujan. Nggak bisa kita tebak dan kita kendaliin. Bahkan prakiraan cuaca yang ada di tv itu bisa salah. Dan itu di luar
4
kendali kita. Gue nggak mungkin dong ngendaliin Mita buat jatuh cinta ke gue atau ke elu. Ngerti lu?” Divan tercengang pada penjelasan Yudi. Ingin rasanya dia mendengar kembali penjelasan Yudi agar dia
masih
bisa
mempertahankan
pijaran
persahabatannya untuk Yudi. Divan gamang. Dia bingung harus berbuat apa. Dia tidak tahu apakah harus percaya pada Yudi atau pada isyarat curiga yang tertanam
di
hatinya.
Tapi
belum
sempat
dia
mendapatkan jawaban itu, tiba-tiba dia terpeleset. Kepalanya membentur batu. Tubuhnya bergulingguling di sepanjang tebing lalu tercebur ke dalam aliran sungai. “AAAAAAAAHHHH!” “ASTAGA! DIVAN!”
>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>
5
TENTANG PENGARANG Sigit Rais a.k.a. Ighiw lahir di Bandung pada 22 Desember 1984.
Beberapa
dimuat
di
tulisannya
sejumlah
media,
antara lain Pikiran Rakyat, Radar Bandung, Bandung Post, Lampung Post, Fantasi, www.sarikata.com, Gaul, BEN! Yogyakarta, buletin Literat, Dinamika & Kriminal, majalah Aksara (Imajio), majalah Islam Message, majalah HAI, Pawon, majalah Cerita Kita, majalah Say. Tulisannya yang sudah dibukukan, antara lain: Green Jomblo (Azka Media, 2009), Si Dodol vs Si Gokil (Kubus, 2009), Jadi Jutawan dari Hobi (Indonesia Tera, 2009), 99 Bisnis bagi Pensiunan (Penebar Plus, 2009), Turbulensi (Hasfa Publisher, 2011), Antologi Kisah-kisah dari Sarang (Bintangberkisah, 2012), Antologi Ayah dan Kisah-kisah yang Menggelisah (Bintangberkisah, 2012), Antologi Cinta 6
Pertama (Insist Press, 2005), Roh: Kumpulan Puisi Penyair Bali-Jawa Barat (bukupop, 2005), Kumpulan Puisi Tunggal Parade Kegelapan (2005), Kumpulan Puisi Pagi di Buntiris (Selasar, 2005), Kumpulan puisi Untuk Ibu (Selasar, 2005), Bunga Rampai Kritik Sastra (Selasar, 2006), Kumpulan Puisi dan Essai Ode Kampung (Rumah Dunia, 2006), dan antologi puisi Jogja 5,9 Skala Richter (Bentang, 2006). Prestasi kepenulisan, antara lain pernah menjadi juara II dalam lomba cipta puisi hari AIDS Internasional yang diadakan oleh Institut Perempuan dan Unicef (2004), juara III sayembara menulis puisi Nasional Pusat Bahasa Depdiknas (2006), dan menjadi finalis dalam beberapa lomba menulis cerpen. Di
bidang
diikutsertakan
seni dalam
rupa
karya-karyanya
pameran
puisi
pernah
visual
di
Universitas Airlangga (2006). Di bidang seni peran pernah mementaskan beberapa judul drama dan kabaret, antara lain Epilepsi (1996), Masyitoh Abad XXI (2000), Cerita Cinta (2001), BOM (2002), Sisit Kadal (2004), Petang di Taman (2005), dan lain-lain. Sejak 7
kuliah hinga tahun 2009 aktif mengajar seni peran untuk anak-anak di lingkungan rumahnya. Selain pernah aktif sebagai pemimpin redaksi serta ilustrator buletin Literat, saat masih kuliah aktif juga di buletin Qalam Rata sebagai redaktur cerpen, dan sebagai penata letak di media Selasar. Dua film karyanya, yaitu The Black Death dan Skripsi pernah ditayangkan di televisi swasta lokal. Kini menetap dan bekerja di Jakarta. Bisa dikontak melalui akun twitter @ighiw.
8