Pengaruh kebijakan perpajakan, undang-undang perpajakan, dan administrasi perpajakan terhadap motivasi manajemen perusahaan dalam melakukan tax planning pada perusahaan tekstil di eks karisidenan Surakarta
Disusun oleh : Novrian Satria Perdana NIM F0305083
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Perpajakan di Indonesia 1. Definisi Pajak Terdapat bermacam-macam batasan atau definisi tentang pajak yang dikemukakan oleh para ahli diantaranya adalah: Menurut Adriani, pajak adalah iuran masyarakat kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan umum (Undang-Undang) dengan tidak mendapat prestasi kembali yang langsung dapat ditunjuk dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum yang berhubungan dengan tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan. Menurut Soemitro, pajak adalah iuran rakyat kepada Kas Negara berdasarkan Undang-Undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal (kontra prestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum.
Definisi tersebut kemudian dikoreksi yang akhirnya berbunyi, Pajak adalah peralihan kekayaan dari pihak rakyat kepada Kas Negara untuk membiayai pengeluaran rutin dan surplusnya digunakan untuk public saving yang merupakan sumber utama untuk membiayai public investment. Sedangkan menurut Anderson Herschel M., & Brock Horace R, pajak adalah suatu pengalihan sumber dari sektor swasta ke sektor pemerintah, bukan akibat pelanggaran hukum, namun wajib dilaksanakan, berdasarkan ketentuan yang ditetapkan lebih dahulu, tanpa mendapat imbalan yang langsung dan proporsional, agar pemerintah dapat melaksanakan tugastugasnya untuk menjalankan pemerintahan. Pajak dari perspektif ekonomi dipahami sebagai beralihnya sumber daya dari sektor privat kepada sektor publik. Pemahaman ini memberikan gambaran bahwa adanya pajak menyebabkan dua situasi menjadi berubah. Pertama, berkurangnya kemampuan individu dalam menguasai sumber daya
untuk
kepentingan
penguasaan
barang
dan
jasa.
Kedua,
bertambahnya kemampuan keuangan negara dalam penyediaan barang dan jasa publik yang merupakan kebutuhan masyarakat. Pajak menurut Pasal 1 UU No.28 Tahun 2007 tentang Ketentuan umum dan tata cara perpajakan adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang Undang, dengan tidak mendapat timbal balik secara langsung dan
digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
2. Ciri Pajak Dari berbagai definisi yang diberikan terhadap pajak baik pengertian secara ekonomis (pajak sebagai pengalihan sumber dari sektor swasta ke sektor pemerintah) atau pengertian secara yuridis (pajak adalah iuran yang dapat dipaksakan) dapat ditarik kesimpulan tentang ciri-ciri yang terdapat pada pengertian pajak antara lain sebagai berikut: a. Pajak dipungut berdasarkan undang-undang. Asas ini sesuai dengan perubahan ketiga UUD 1945 pasal 23A yang menyatakan "pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dalam undang-undang." b. Tidak mendapatkan jasa timbal balik (konraprestasi perseorangan) yang dapat ditunjukkan secara langsung. Misalnya, orang yang taat membayar pajak kendaraan bermotor akan melalui jalan yang sama kualitasnya dengan orang yang tidak membayar pajak kendaraan bermotor. c. Pemungutan pajak diperuntukkan bagi keperluan pembiayaan umum pemerintah dalam rangka menjalankan fungsi pemerintahan, baik rutin maupun pembangunan.
d. Pemungutan pajak dapat dipaksakan. Pajak dapat dipaksakan apabila wajib pajak tidak memenuhi kewajiban perpajakan dan dapat dikenakan sanksi sesuai peraturan perundang-undangan. e. Selain fungsi budgetair (anggaran) yaitu fungsi mengisi Kas Negara/ Anggaran Negara yang diperlukan untuk menutup pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan, pajak juga berfungsi sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijakan negara dalam lingkup ekonomi dan sosial (fungsi mengatur / regulerend). 3. Fungsi Pajak Pajak mempunyai peranan yang sangat penting dalam kehidupan bernegara, khususnya di dalam pelaksanaan pembangunan karena pajak merupakan
sumber
pendapatan
negara
untuk
membiayai
semua
pengeluaran termasuk pengeluaran pembangunan. Berdasarkan hal diatas maka pajak mempunyai beberapa fungsi, yaitu: a. Fungsi anggaran (budgetair) Sebagai sumber pendapatan negara, pajak berfungsi untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran negara. Untuk menjalankan tugas-tugas rutin negara dan melaksanakan pembangunan, negara membutuhkan biaya. Biaya ini dapat diperoleh dari penerimaan pajak. Dewasa ini pajak digunakan untuk pembiayaan rutin seperti belanja pegawai, belanja barang, pemeliharaan, dan lain sebagainya. Untuk pembiayaan pembangunan, uang dikeluarkan dari tabungan pemerintah, yakni penerimaan dalam negeri dikurangi pengeluaran rutin. Tabungan
pemerintah ini dari tahun ke tahun harus ditingkatkan sesuai kebutuhan pembiayaan pembangunan yang semakin meningkat dan ini terutama diharapkan dari sektor pajak. b. Fungsi mengatur (regulerend) Pemerintah
bisa
mengatur
pertumbuhan
ekonomi
melalui
kebijaksanaan pajak. Dengan fungsi mengatur, pajak bisa digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan. Contohnya dalam rangka menggiring penanaman modal, baik dalam negeri maupun luar negeri, diberikan berbagai macam fasilitas keringanan pajak. Dalam rangka melindungi produksi dalam negeri, pemerintah menetapkan bea masuk yang tinggi untuk produk luar negeri. c. Fungsi stabilitas Dengan adanya pajak, pemerintah memiliki dana untuk menjalankan kebijakan yang berhubungan dengan stabilitas harga sehingga inflasi dapat dikendalikan. Hal ini bisa dilakukan antara lain dengan jalan mengatur peredaran
uang di
masyarakat,
pemungutan
pajak,
penggunaan pajak yang efektif dan efesien. d. Fungsi redistribusi pendapatan. Pajak yang sudah dipungut oleh negara akan digunakan untuk membiayai semua kepentingan umum, termasuk juga untuk membiayai pembangunan sehingga dapat membuka kesempatan kerja, yang pada akhirnya akan dapat meningkatkan pendapatan masyarakat.
4. Pengelompokkan Pajak Pajak dikelompokkan sebagai berikut ( Mardiasmo, 2003) 1. Menurut Golongannya 1) Pajak Langsung Yaitu pajak yang besarannya harus dipikul sendiri oleh Wajib Pajak dan tidak dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain. Contoh: Pajak Penghasilan (PPh) 2) Pajak tidak langsung Yaitu pajak
yang pada akhirnya dapat
dibebankan atau
dilimpahkan kepada orang lain. Contoh : Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 2. Menurut Sifatnya 1) Pajak Subyektif Yaitu pajak yang berpangkal atau berdasarkan pada subyeknya. Contoh: Pajak Penghasilan (PPh) 2) Pajak Obyektif Yaitu pajak yang berpangkal pada obyeknya, tanpa memperhatikan keadaan diri Wajib Pajak. Contoh : Pajak Pertambahan Nilai (PPN), dan Pajak PPN-Bm 3. Menurut Lembaga Pemungutnya 1) Pajak Pusat
Yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat dan digunakan untuk membiayai rumah tangga negara. Contoh: PPN, PPh, PBB, dan sebagainya 2) Pajak daerah Yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah dan digunakan untuk membiayai rumah tangga daerah. Pajak Daerah terdiri dari : a) Pajak Daerah Tingkat I (provinsi) Contoh : Pajak Kendaraan bermotor b) Pajak Daerah Tingkat II ( Kabupaten/ Kotamadya) Contoh : Pajak Penerangan Jalan 5. Syarat Pemungutan Pajak Tidaklah mudah untuk membebankan pajak pada masyarakat. Bila terlalu tinggi, masyarakat akan enggan membayar pajak. Namun bila terlalu rendah, maka pembangunan tidak akan berjalan karena dana yang kurang. Agar tidak menimbulkan berbagai masalah, maka pemungutan pajak harus memenuhi persyaratan yaitu: a. Pemungutan pajak harus adil (Syarat Keadilan) Seperti halnya produk hukum, pajak pun mempunyai tujuan untuk menciptakan keadilan dalam hal pemungutan pajak. Adil dalam perundang-undangan maupun adil dalam pelaksanaannya. Contohnya: 1) Dengan mengatur hak dan kewajiban para wajib pajak
2) Pajak diberlakukan bagi setiap warga negara yang memenuhi syarat sebagai wajib pajak 3) Sanksi atas pelanggaran pajak diberlakukan secara umum sesuai dengan berat ringannya pelanggaran b. Pemungutan pajak harus berdasarkan Undang-Undang (Syarat Yuridis) Sesuai dengan Pasal 23 UUD 1945 yang berbunyi: "Pajak dan pungutan yang bersifat untuk keperluan negara diatur dengan UndangUndang", ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam penyusunan Undang-Undang tentang pajak, yaitu: 1) Pemungutan pajak yang dilakukan oleh negara yang berdasarkan Undang-Undang tersebut harus dijamin kelancarannya 2) Jaminan hukum bagi para wajib pajak untuk diperlakukan secara adil. 3) Jaminan hukum akan terjaganya kerahasiaan bagi para wajib pajak. c. Pungutan pajak tidak mengganggu perekonomian (Syarat Ekonomis) Pemungutan pajak harus diusahakan sedemikian rupa agar tidak mengganggu
kondisi
perekonomian,
baik
kegiatan
produksi,
perdagangan, maupun jasa. Pemungutan pajak jangan sampai merugikan kepentingan masyarakat dan menghambat lajunya usaha masyarakat pemasok pajak, terutama masyarakat kecil dan menengah. d. Pemungutan pajak harus efesien (Syarat Finansiil) Biaya-biaya yang dikeluarkan dalam rangka pemungutan pajak harus diperhitungkan. Jangan sampai pajak yang diterima lebih rendah
daripada biaya pengurusan pajak tersebut. Oleh karena itu, sistem pemungutan pajak harus sederhana dan mudah untuk dilaksanakan. Dengan demikian, wajib pajak tidak akan mengalami kesulitan dalam pembayaran pajak baik dari segi penghitungan maupun dari segi waktu. e. Sistem pemungutan pajak harus sederhana Bagaimana pajak dipungut akan sangat menentukan keberhasilan dalam pungutan pajak. Sistem yang sederhana akan memudahkan wajib pajak dalam menghitung beban pajak yang harus dibiayai sehingga akan memberikan dampak positif bagi para wajib pajak untuk meningkatkan kesadaran dalam pembayaran pajak. Sebaliknya, jika sistem pemungutan pajak rumit, orang akan semakin enggan membayar pajak. Contoh: 1) Bea materai disederhanakan dari 167 macam tarif menjadi 2 macam tarif 2) Tarif PPN yang beragam disederhanakan menjadi hanya satu tarif, yaitu 10% 3) Pajak perseorangan untuk badan dan pajak pendapatan untuk perseorangan disederhanakan menjadi pajak penghasilan (PPh) yang berlaku bagi badan maupun perseorangan (pribadi).
6. Asas Pemungutan Pajak
a. Asas pemungutan pajak menurut para ahli Menurut Adam Smith dalam bukunya Wealth of Nations dengan ajaran yang terkenal "The Four Maxims", asas pemungutan pajak adalah sebagai berikut: 1) Asas Equality (asas keseimbangan dengan kemampuan atau asas keadilan), yaitu pemungutan pajak yang dilakukan oleh negara harus sesuai dengan kemampuan dan penghasilan wajib pajak. Negara tidak boleh bertindak diskriminatif terhadap wajib pajak. 2) Asas Certainty (asas kepastian hukum), yaitu semua pungutan pajak harus berdasarkan UU, sehingga bagi yang melanggar akan dapat dikenai sanksi hukum. 3) Asas Convinience of Payment (asas pemungutan pajak yang tepat waktu atau asas kesenangan), yaitu pajak harus dipungut pada saat yang tepat bagi wajib pajak (saat yang paling baik), misalnya disaat wajib pajak baru menerima penghasilannya atau disaat wajib pajak menerima hadiah. 4) Asas Effeciency (asas efesien atau asas ekonomis), yaitu biaya pemungutan pajak diusahakan sehemat mungkin, jangan sampai terjadi biaya pemungutan pajak lebih besar dari hasil pemungutan pajak. Menurut W.J. Langen, asas pemungutan pajak adalah sebagai berikut:
1) Asas daya pikul, yaitu besar kecilnya pajak yang dipungut harus berdasarkan besar kecilnya penghasilan wajib pajak. Semakin tinggi penghasilan maka semakin tinggi pajak yang dibebankan. 2) Asas manfaat, yaitu pajak yang dipungut oleh negara harus digunakan untuk kegiatan-kegiatan yang bermanfaat untuk kepentingan umum. 3) Asas kesejahteraan, yaitu pajak yang dipungut oleh negara digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. 4) Asas kesamaan, yaitu dalam kondisi yang sama antara wajib pajak yang satu dengan yang lain harus dikenakan pajak dalam jumlah yang sama (diperlakukan sama). 5) Asas beban yang sekecil-kecilnya, yaitu pemungutan pajak diusahakan
sekecil-kecilnya
dibandingkan
sengan
nilai
(serendah-rendahnya) obyek
pajak.
Sehingga
jika tidak
memberatkan para wajib pajak. b. Asas Pengenaan Pajak Agar negara dapat mengenakan pajak kepada warganya atau kepada orang pribadi atau badan lain yang bukan warganya, tetapi mempunyai keterkaitan dengan negara tersebut, tentu saja harus ada ketentuanketentuan yang mengaturnya. Sebagai contoh di Indonesia, secara tegas dinyatakan dalam Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 bahwa segala pajak untuk keuangan negara ditetapkan berdasarkan
undang-undang.
Untuk
dapat
menyusun
suatu
undang-undang
perpajakan, diperlukan asas-asas atau dasar-dasar yang akan dijadikan landasan oleh negara untuk mengenakan pajak. Terdapat beberapa asas yang dapat dipakai oleh negara sebagai asas dalam menentukan wewenangnya untuk mengenakan pajak, khususnya untuk pengenaan pajak penghasilan. Asas utama yang paling sering digunakan oleh negara sebagai landasan untuk mengenakan pajak adalah: 1) Asas
domisili
atau
disebut
juga
asas
kependudukan
(domicile/residence principle), berdasarkan asas ini negara akan mengenakan pajak atas suatu penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan, apabila untuk kepentingan perpajakan, orang pribadi tersebut merupakan penduduk (resident) atau berdomisili di negara itu atau apabila badan yang bersangkutan berkedudukan di negara itu. Dalam kaitan ini, tidak dipersoalkan dari mana penghasilan yang akan dikenakan pajak itu berasal. Itulah sebabnya bagi negara yang menganut asas ini, dalam sistem
pengenaan
pajak
terhadap
penduduknya
akan
menggabungkan asas domisili (kependudukan) dengan konsep pengenaan pajak atas penghasilan baik yang diperoleh di negara itu maupun penghasilan yang diperoleh di luar negeri (world-wide income concept).
2) Asas sumber, Negara yang menganut asas sumber akan mengenakan pajak atas suatu penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan hanya apabila penghasilan yang akan dikenakan pajak itu diperoleh atau diterima oleh orang pribadi atau badan yang bersangkutan dari sumber-sumber yang berada di negara itu. Dalam asas ini, tidak menjadi persoalan mengenai siapa dan apa status dari orang atau badan yang memperoleh penghasilan tersebut sebab yang menjadi landasan pengenaan pajak adalah objek pajak yang timbul atau berasal dari negara itu. Contoh: Tenaga kerja asing bekerja di Indonesia maka dari penghasilan yang didapat di Indonesia akan dikenakan pajak oleh pemerintah Indonesia. 3) Asas kebangsaan atau asas nasionalitas atau disebut juga asas kewarganegaraan (nationality/citizenship principle).Dalam asas ini, yang
menjadi
landasan
pengenaan
pajak
adalah
status
kewarganegaraan dari orang atau badan yang memperoleh penghasilan. Berdasarkan asas ini, tidaklah menjadi persoalan dari mana penghasilan yang akan dikenakan pajak berasal. Seperti halnya dalam asas domisili, sistem pengenaan pajak berdasarkan asas nasionalitas ini dilakukan dengan cara menggabungkan asas nasionalitas dengan konsep pengenaan pajak atas world wide income.
Terdapat beberapa perbedaan prinsipil antara asas domisili atau kependudukan dan asas nasionalitas atau kewarganegaraan di satu pihak, dengan asas sumber di pihak lainnya. Pertama, pada kedua asas yang disebut pertama, kriteria yang dijadikan landasan kewenangan negara untuk mengenakan pajak adalah status subjek yang akan dikenakan pajak, yaitu apakah yang bersangkutan berstatus sebagai penduduk atau berdomisili (dalam asas domisili) atau berstatus sebagai warga negara (dalam asas nasionalitas). Di sini, asal muasal penghasilan yang menjadi objek pajak tidaklah begitu penting. Sementara itu, pada asas sumber, yang menjadi landasannya adalah status objeknya, yaitu apakah objek yang akan dikenakan pajak bersumber dari negara itu atau tidak. Status dari orang atau badan yang memperoleh atau menerima penghasilan tidak begitu penting. Kedua, pada kedua asas yang disebut pertama, pajak akan dikenakan terhadap penghasilan yang diperoleh di mana saja (world-wide income), sedangkan pada asas sumber, penghasilan yang dapat dikenakan pajak hanya terbatas pada penghasilan-penghasilan yang diperoleh dari sumber-sumber yang ada di negara yang bersangkutan. Kebanyakan negara, tidak hanya mengadopsi salah satu asas saja, tetapi mengadopsi lebih dari satu asas, bisa gabungan asas domisili dengan asas sumber, gabungan asas nasionalitas dengan asas sumber, bahkan bisa gabungan ketiganya sekaligus. 7. Teori Pemungutan Pajak
Menurut R. Santoso Brotodiharjo SH, dalam bukunya Pengantar Ilmu Hukum Pajak, ada beberapa teori yang mendasari adanya pemungutan pajak, yaitu: a. Teori asuransi, menurut teori ini, negara mempunyai tugas untuk melindungi warganya dari segala kepentingannya baik keselamatan jiwanya maupun keselamatan harta bendanya. Untuk perlindungan tersebut diperlukan biaya seperti layaknya dalam perjanjian asuransi deiperlukan adanya pembayaran premi. Pembayaran pajak ini dianggap sebagai pembayaran premi kepada negara. Teori ini banyajk ditentang karena negara tidak boleh disamakan dengan perusahaan asuransi. b. Teori kepentingan, menurut teori ini, dasar pemungutan pajak adalah adanya kepentingan dari masing-masing warga negara. Termasuk kepentingan dalam perlindungan jiwa dan harta. Semakin tinggi tingkat kepentingan perlindungan, maka semakin tinggi pula pajak yang harus dibayarkan. Teori ini banyak ditentang, karena pada kenyataannya bahwa tingkat kepentingan perlindungan orang miskin lebih tinggi daripada orang kaya. Ada perlindungan jaminan sosial, kesehatan, dan lain-lain. Bahkan orang yang miskin justru dibebaskan dari beban pajak. 8. Sistem Pemungutan Pajak Sebelum adanya tax reform tahun 1983 sistem pemungutan pajak adalah Official Assessment System. Dalam sistem ini wewenang
pemungutan pajak ada pada fiskus. Fiskus berhak menentukan besarnya utang pajak Wajib Pajak dengan mengeluarkan surat ketetapan pajak, yang merupakan bukti timbulnya suatu utang pajak. Wajib pajak pasif menunggu ketetapan fiskal mengenai utang pajaknya. Akan tetapi setelah tax reform tahun 1983, sistem pemungutan pajak diubah menjadi Self Assessment System. Berbeda dengan Official Assessment System, Self Assessment System memberikan kepercayaan sepenuhnya kepada Wajib Pajak untuk menghitung, menyetor, melapor dan memperhitungkan sendiri besarnya pajak yang terutang, sehingga dalam sistem ini Wajib Pajak dituntut untuk berperan aktif dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya, serta diperlukan tingkat kepatuhan yang tinggi terhadap peraturan perundang-undangan perpajakan. 9. Penerimaan Pajak di Indonesia Target penerimaan negara Indonesia di sektor pajak tahun 2008 secara nasional sebesar Rp 390 trilyun atau mengalami peningkatan 20 persen dari 2007 lalu. Penerimaan negara dari perpajakan dalam APBN 2008 mencapai Rp.402,1 triliun. Target penerimaan itu antara lain berasal dari: a. Pajak Penghasilan (PPh) Rp.198,22 triliun. b. Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPN dan PPnBM) Rp.126,76 triliun. c. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) Rp.15,67 triliun.
d. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) Rp.5,06 triliun. e. Penerimaan pajak lainnya Rp.2,76 triliun. Pada dasarnya, pengeluaran uang untuk pembayaran pajak akan disenangi oleh wajib pajak apabila ketika wajib pajak mengeluarkan uang untuk membayar pajak, saat itulah pemerintah dianggap harus memberikan kontra prestasi yang seimbang dengan uang yang dibayarkan. Tentunya hal ini sulit dan rasanya tidak masuk di akal, karena jumlah wajib pajak sangat banyak dan dengan jumlah yang berbeda pula antara satu wajib pajak dengan wajib pajak yang lain, di sisi lain pemerintah harus memikirkan dan menyediakan kontra prestasi yang langsung dan sesuai dengan nilai uang yang diterima dari wajib pajak untuk pembayaran pajaknya. Kesimpulannya agar wajib pajak senang membayar pajak, prinsip pemungutan pajak harus sesuai dengan prinsip cost dan benefit. Masalahnya bukan pada tidak adanya kontra prestasi secara langsung, yang menyebabkan ada usaha-usaha wajib pajak untuk mengatur jumlah pajak yang harus dibayarnya. Apabila ditinjau dari wajib pajak –seperti badan usaha –pajak panghasilan dapat dianggap sebagai beban yang mengurangi laba pemegang saham yang juga menjadi pemilik dari badan usaha tersebut. Sesuai dengan definisi di atas, pajak dipungut berdasarkan undangundang, meskipun demikian tidak semua orang rela mengeluarkan uangnya untuk dibayarkan pajak. Karena menganggap pajak itu sebagai
beban, maka timbul keinginan untuk mengurangi pajak tersebut, sama halnya keinginan untuk mengurangi beban-beban yang lain. Atas dasar inilah banyak wajib pajak (pribadi atau badan), melakukan usaha-usaha untuk mengatur jumlah pajak yang harus dibayar dengan melakukan Perencanaan Pajak (tax planning).
B. Perencanaan Pajak (Tax Planning)
1. Definisi, Tujuan dan Manfaat Tax Planning
Perencanaan pajak adalah sarana untuk memenuhi kewajiban perpajakan dengan benar tetapi jumlah pajak yang dibayar dapat ditekan serendah mungkin
untuk
memperoleh
laba
dan
likuiditas
yang
diharapkan
(Lumbartoruan, 1994). Secara umum perencanaan pajak adalah suatu proses mengorganisasi usaha wajib pajak sedemikian rupa sehingga hutang pajaknya berada dalam posisi minimal sepanjang hal ini dimungkinkan oleh ketentuan peraturan perpajakan yang berlaku (Tjahjono, 1997). Ada beberapa ukuran yang biasa digunakan dalam mengukur kepatuhan perpajakan wajib pajak yaitu :
a. Tax Avoidance adalah upaya wajib pajak untuk mengecilkan jumlah pajak yang harus dibayar secara legal dengan memanfaatkan kelemahan Undang-Undang tanpa melanggar Undang-Undang tersebut. b. Tax Evasion adalah upaya wajib pajak mengecilkan jumlah pajak yang harus dibayar secara ilegal dengan cara menyembunyikan keadaan yang sebenarnya.
Seorang perencana pajak (tax planner) hanya menggunakan dua cara yaitu tax avoidance dan tax saving karena keduanya merupakan perbuatan yang tidak melanggar Undang-undang. Tujuan dari tax planning seperti diutarakan oleh James W. Pratt, Jane O. Burns dan William N. Kulsrud dalam buku Individual Taxation 1989 Edition (1989 : 1-37) adalah : “The obvious goal of most tax planning is the minimization of the amount that a person or other entity must transfer to the government.”
Perencanaan pajak dilakukan oleh wajib pajak baik badan maupun perseorangan dalam rangka meminimalkan pajak terutang yang harus dibayar kepada negara. Didalam melakukan perencanaan pajak, seorang wajib pajak harus tetap berpedoman pada peraturan perpajakan yang berlaku. Perencanaan pajak menurut Suandy adalah tahap pertama dalam penghematan pajak. Strategi penghematan pajak disusun pada saat perencanaan, perencanaan pajak merupakan upaya legal yang bisa dilakukan
oleh wajib pajak. Tindakan tersebut legal karena penghematan pajak hanya dilakukan dengan memanfaatkan hal-hal yang tidak diatur (Suandy, 2000) Perencanaan pajak pada umumnya selalu dimulai dengan meyakinkan apakah suatu transaksi tersebut terkena pajak. Bila transaksi tersebut terkena pajak apakah dapat diupayakan untuk dikecualikan atau dikurangi jumlah pajaknya. Dalam perencanaan pajak terdapat aspek formal dan aspek administrasi serta material yang harus diperhatikan. Aspek formal dan administrasi perencanaan pajak, kewajiban perpajakan bermula dari implementasi Undang-undang perpajakan. Oleh karena itu ketidakpatuhan terhadap Undang-undang dapat dikenakan sanksi baik administrasi maupun sanksi pidana. Sanksi administrasi maupun pidana merupakan pemborosan sumber daya sehingga perlu dieliminasi melalui suatu perencanaan pajak yang baik. Untuk dapat menyusun perencanaan pemenuhan kewajiban perpajakan yang baik diperlukan pemahaman terhadap
peraturan
perpajakan.
Selanjutnya
selaras
dengan
mengelompokkan hukum pajak aspek formal administratif maupun aspek material substantif perlu untuk dimengerti dan dipahami untuk dapat mengeliminir administratif maupun pidana. Aspek administrasi kewajiban
perpajakan
meliputi
kewajiban
mendaftarkan
diri
dari untuk
memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak dan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak. Menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan, membayar pajak, menyampaikan Surat Pemberitahuan, disamping memotong atau memungut pajak. Dalam sistem perpajakan selalu dipisahkan antara assessment dan
payment system. Assessment yang berlaku saat ini adalah self assessment dengan kewajiban untuk menghitung sendiri, membayar sendiri dan melaporkan sendiri. Sedangkan sistem pembayaran (payment system) yang berlaku dapat dilakukan sendiri oleh wajib Pajak (self payment) maupun melalui pemotongan oleh pihak ketiga (with-holding system). Aspek material dalam perencanaan pajak adalah pajak dikenakan terhadap objek pajak yang dapat berupa keadaan, perbuatan maupun peristiwa. Basis penghitungan pajak adalah objek pajak, maka dalam rangka optimalisasi alokasi sumber dana manajemen akan merencanakan pembayaran pajak yang tidak lebih dan tidak kurang, untuk itu objek pajak harus dilaporkan secara benar dan lengkap. Pelaporan objek pajak yang benar dan lengkap harus bebas dari berbagai rekayasa negatif. Dalam praktek terdapat banyak cara yang dilakukan perusahaan untuk mengurangi
pajak.
Apabila
cara
yang
dibenarkan
menurut
hukum
dinamakan menghindarkan pajak (tax Avoidance) sebagai lawan dari cara yang bertentangan dengan hukum yang dikenal dengan menyelundupkan pajak (tax evasion). Menghindarkan pajak sering juga disebut usaha menghemat pajak (tax saving) sering dilakukan perencanaan pajak yang baik, oleh sebab itu disebut manajemen pajak. Manfaat perencanaan pajak pada prinsipnya adalah untuk penghematan kas keluar, karena pajak yang merupakan unsur biaya dapat dikurangi, dan untuk mengatur aliran kas, karena dengan perencanaan pajak yang matang dapat
diestimasi kebutuhan kas untuk pajak dan menentukan saat pembayaran sehingga perusahaan dapat menyusun anggaran kas secara lebih akurat.
2. Strategi dalam Tax Planning
Ada beberapa cara yang biasanya dilakukan atau dipraktekkan wajib pajak untuk meminimalkan pajak yang harus dibayar, misalnya seperti yang dikemukakan oleh Sophar Lumbantoruan dalam bukunya akuntansi pajak ( 1996: 489 ) yaitu : a. Pergeseran pajak (shifting), ialah pemindahan atau mentransfer beban pajak dari subjek pajak kepada pihak lain, dengan demikian, orang atau badan yang dikenakan pajak mungkin sekali tidak menanggungnya. b. Kapitalisasi, ialah pengurangan harga objek pajak sama dengan jumlah pajak yang akan dibayarkan kemudian oleh pembeli. c. Transformasi, ialah cara pengelakan pajak yang dilakukan oleh pabrikan dengan cara menanggung beban pajak yang dikenakan terhadapnya. d. Tax Evasion, ialah penghindaran pajak dengan melanggar ketentuan peraturan perpajakan. e. Tax Avoidance, ialah penghindaran pajak dengan menuruti peraturan yang ada.
Jadi dapat disimpulkan, bahwa ada strategi-strategi yang bisa diambil oleh wajib pajak –terutama badan, dalam usahanya melaksanakan tax planning
dengan tujuan mengatur atau dengan kata lain meminimalkan jumlah pajak yang harus dibayar. Diantara strategi-strategi tersebut ada yang legal maupun ilegal. Untuk strategi-strategi atau cara-cara yang legal –sesuai dengan aturan undang-undang yang berlaku, biasanya dilakukan dengan memanfaatkan halhal yang tidak diatur dalam dalam undang-undang atau dalam hal ini memanfaatkan celah-celah yang ada dalam undang-undang perpajakan (loopholes ).
Gambar II. 1 Strategi-strategi dalam Pengelakan Pajak
3. Pendekatan Lain dalam Tax Planning
Ada dua pendekatan lain yang bisa dilakukan sebagai suatu strategi dalam usaha memperkecil laba yang akhirnya juga mengurangi pajak yang harus dibayar yaitu : a. Dengan memperkecil pendapatan atau penerimaan b. Dengan memperbesar biaya atau pengeluaran.
Seperti yang disebutkan di atas, bahwa usaha untuk mengatur jumlah pajak yang harus dibayar dapat dilakukan dengan dua pendekatan yaitu memperkecil pendapatan atau penerimaan dan memperbesar jumlah beban
atau pengeluaran. Alternatif atau cara yang pertama umumnya berisiko cukup besar, karena hal ini biasanya dilakukan dengan pemalsuan dokumen atau membukukan jumlah yang fiktif, dimana pencatatan transaksi dilakukan tidak benar. Pendekatan yang ke dua juga ada risikonya, dan cara yang atau jalan yang ditempuh juga sama dengan alternatif pertama, hanya saja peraturan pajak memberikan beban-beban yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto untuk menentukan jumlah pajak yang harus dibayar. (Undang-Undang Pajak Penghasilan Tahun No 17 Tahun 2000 pasal 6) Sebenarnya pembayaran pajak dapat dengan mudah dihindari dengan tidak melakukan perbuatan yang memberi alasan untuk dikenai pajak, yaitu dengan meniadakan atau tidak melakukan hal-hal yang dapat dikeanakan pajak. Hal ini biasanya dilakukan dengan penahanan diri atau dengan penggunaan surogat – barang yang tidak atau barang yang kurang dikenakan pajak. Misalnya cukai tembakau atas rokok putih (luar negeri) dapat dihindari melalui pemuasan diri dengan rokok klobot. Perlu diketahui bahwa pembayaran jumlah pajak yang kurang dari yang seharusnya, bukan hanya dapat dilakukan dengan suatu perencanaan– tax planning, tapi bisa juga karena kelalaian wajib pajak itu sendiri, misalnya dalam hal: a.
Ignorance atau ketidaktahuan, adalah wajib pajak tidak sadar atau tidak tahu akan adanya ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan tersebut.
b.
Error atau kesalahan, adalah wajib pajak paham dan mengerti mengenai ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, tetapi salah dalam menghitung datanya.
c.
Misunderstanding atau kesalahpahaman, adalah wajib pajak salah menafsirkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
d.
Negliance atau kealpaan, adalah wajib pajak alpa untuk menyimpan buku beserta bukti-bukti secara lengkap.
Wajib pajak terkadang kurang menyadari akan tugas dan kewajibannya sebagai warga negara yang baik, pada sebagian terbesar di antara rakyat tidak akan pernah meresap kewajibannya membayar pajak sedemikian rupa, sehingga
memenuhinya
tanpa
keberatan.
Bahkan
bila
ada
sedikit
kemungkinan saja, mereka pada umumnya cenderung untuk meloloskan diri dari setiap pajak. Hal ini telah dan bukan hanya terjadi saat sekarang ini saja tetapi sejak lama, dan tidak hanya terjadi di beberapa negara saja, melainkan, pada setiap orang, baik itu secara pribadi maupun kelompok -badan di banyak negara memiliki kecenderungan untuk melakukan perlawanan terhadap pajak. R. Santoso Brotodihardjo dalam buku Pengantar Ilmu Hukum Pajak, (1993) lebih lanjut membedakan perlawanan terhadap pajak menjadi dua yaitu : a. Perlawanan pasif. Perlawanan pasif meliputi hambatan-hambatan yang mempersukar pemungutan pajak yang erat hubungannya dengan struktur ekonomi
suatu negara, perkembangan intelektual dan moral penduduk serta sistem dan cara pemungutan pajak itu sendiri. b. Perlawanan aktif. Perlawanan aktif meliputi semua usaha dan perbuatan yang secara langsung ditujukan kepada fiskus dan bertujuan untuk menghindari pajak. Perlawanan aktif ini meliputi penghindaran diri dari pajak, pengelakan pajak dan melalaikan pajak.
Jadi bisa disimpulkan bahwa usaha-usaha dengan menggunakan strategi yang bertujuan untuk penghematan pajak atau meminimalkan jumlah pajak yang harus dibayar atau mengatur jumlah pajak yang dibayar yang dilakukan oleh wajib pajak, dikategorikan sebagai perlawanan aktif.
4. Formula umum dari Tax Planning Ada formula umum yang dapat digunakan untuk mendesain tax planning dengan mendasarkan pada penghitungan pajak penghasilan yang terutang atas penghasilan kena pajak yaitu :
Jumlah seluruh penghasilan…………………………
xxx
Penghasilan yang dikecualikan …………………..
xxx (-)
Penghasilan bruto ……………………………………
xxx
Biaya fiskal…………………………………………
xxx (-)
Penghasilan netto.......................................................
xxx
Kompensasi kerugian.................................................
xxx (-)
Penghasilan kena pajak..............................................
xxx
Tarif pajak.................................................................
xxx (x)
Pajak terutang............................................................
xxx
Kredit pajak ..............................................................
xxx (-)
Pajak yang lebih/ kurang dibayar .........................
xxx
5. Maksimalisasi Penghasilan yang dikecualikan
Untuk penggunaan formula di atas, perlu diketahui komponen-komponen yang ada dalam formula tersebut. Yang pertama adalah maksimalkan penghasilan yang dikecualikan. Usaha maksimalisasi penghasilan yang dikecualikan adalah usaha memaksimalkan penghasilan yang bukan objek pajak dengan mendasarkan pada variabel penghasilan yang bukan sebagai objek pajak. Peluang ini tercantum dalam pasal 4 ayat 3 Undang-Undang Pajak Penghasilan No. 17 tahun 2000, yang mengatur tentang penghasilan yang tidak termasuk objek pajak, yaitu : a. Bantuan atau sumbangan b. Harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, dan oleh badan keagamaan atau badan pendidikan atau badan sosial atau pengusaha kecil termasuk koperasi c. Warisan d. Harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan perseroaan terbatas, perseroaan komanditer, perseroaan lainnya, badan usaha milik negara dan badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun,
persekutuan, perkumpulan, firma, kongsi, koperasi, yayasan atau organisasi yang sejenis, lembaga, dana pensiun, dan bentuk badan usaha lainnya sebagai pengganti saham atau sebagai penyertaan modal. e. Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh dalam bentuk natura dan kenikmatan dari wajib pajak atau pemerintah. f. Pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi sehubungan dengan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa. g. Dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroaan terbatas sebagai wajib pajak dalam negeri, koperasi, yayasan atau organisasi yang sejenis, badan usaha milik negara, atau badan usaha milik daerah, dari penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan bertempat kedududukan di Indonesia. h. Iuran yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh menteri keuangan, baik yang dibayar oleh pemberi kerja maupun pegawai, dan penghasilandari modal yang ditanamkan dalam bidang-bidang tertentu yang ditetapkan oleh menteri keuangan. i. Bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroaan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma dan kongsi. j. Bunga laba yang diterima atau diperoleh perusahaan Reksa Dana
k. Penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura berupa bagian laba dari badan pasangan usaha yang didirikan dan menjalankan usaha atau kegiatan di Indonesia dengan syarat badan pasangan tersebut : 1. Merupakan perusahaan kecil, menengah, atau yang menjalankan kegiatan dalam sektor-sektor usaha yang ditetapkan oleh menteri keuangan 2. Sahamnya tidak diperdagangkan dibursa efek di Indonesia.
6. Memaksimalisasi Biaya-biaya Fiskal Tindakan ini merupakan tindakan yang dilakukan dengan meningkatkan biaya-biaya yang dapat dikurangkan atau menekan biaya yang tidak dapat dikurangkan/ dialihkan ke biaya-biaya yang dapat dikurangkan. Peluang ini tercantum dalam pasal 6 dan pasal 9 Undang-Undang Pajak Penghasilan No. 17 tahun 2000. Pasal 6 mengatur biaya-biaya yang dapat dikurangkan yaitu : a. Biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan, termasuk beban pembelian bahan, berkenaan dengan pekerjaan atau jasa termasuk upah, gaji, honorarium, bonus, gratifikasi, dan tunjangan yang diberikan dalam bentuk uang, bunga, sewa, royalti, beban perjalanan, biaya pengolahan limbah, piutang nyata-nyata tidak dapat ditagih, premi asuransi, beban administrasi, dan pajak kecuali pajak penghasilan. b. Penyusutan dan pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud dan amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh hak dan atas beban lain yang mempunyai manfaat lebih dari 1 tahun.
c. Iuran kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh menteri keuangan. d. Kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang dimiliki dan digunakan dalam perusahaan atau yang dimiliki untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan. e. Kerugian karena selisih kurs mata uang asing f. Kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang dimiliki dan digunakan dalam perusahaan atau yang dimiliki untuk mendapatkan, menagih, dan memlihara penghasilan. g. Biaya penelitian dan pengembangan perusahaan yang dilakukan di Indonesia h. Biaya bea siswa, magang, dan pelatihan Beban-beban yang dapat dikurangkan ini nantinya yang harus diperbesar oleh perusahaan, sehingga pengurang terhadap penghasilan bruto juga akan semakin besar, akibatnya pajak yang akan dibayar semakin kecil.
Sedangkan pasal 9 Undang-Undang Pajak Penghasilan No. 17 Tahun 2000, mengatur biaya-biaya yang tidak dapat dikurangkan, antara lain : a. Pembagian laba dengan nama dan dalam bentuk apapun seperti dividen, termasuk dividen yang dibayarkan oleh perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi.
b. Biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi pemegang saham, sekutu atau anggota c. Pembentukan atau pemupukan dana cadangan kecuali cadangan piutang tak tertagih untuk usaha bank dan sewa guna usaha dengan hak opsi, cadangan untuk usaha asuransi, dan cadangan biaya reklamasi untuk usaha pertambangan yang ketentuan dan syaratnya ditentukan oleh menteri keuangan d. Premi asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa, yang dibayar oleh wajib pajak orang pribadi, kecuali jika dibayar oleh pemberi kerja dan premi tersebut dihitung sebagai penghasilan bagi wajib pajak yang bersangkutan e. Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan kenikmatan, kecuali yang berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan yang ditetapkan dengan keputusan Menteri Keuangan f. Jumlah yang melebihi kewajaran yang dibayarkan g. Harta yang dihibahkan, bantuan atau sumbangan, dan warisan sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat (3) huruf a dan b h. Pajak penghasilan i. Biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan wajib pajak atau orang yang menjadi tanggungannya j. Gaji yang dibayarkan kepada anggota persekutuan, firma atau perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham
k. Sanksi administrasi berupa bunga, denda yang berkenaan dengan pelaksanaan peraturan perundang-undangan dibidang perpajakan.
7. Akibat-akibat dari Tax avoidance dan Tax evasion
Penghindaran pajak yang dilakukan oleh wajib pajak, khususnya badan dalam bentuk tax avoidance, memang dimungkinkan atau dalam hal ini tidak bertentangan dengan undang-undang atau ketentuan hukum yang berlaku, karena dianggap praktek-praktek yang berhubungan dengan tax avoidance lebih kepada pemanfaatan lubang-lubang atau celah-celah atau bisa juga kekosongan-kekosongan dalam undang-undang perpajakan. Pemerintah dalam hal ini Direktorat Jendral Pajak tidak bisa berbuat apa-apa – melakukan penuntutan secara hukum, meskipun praktek tax avoidance ini akan mempengaruhi penerimaan negara dari sektor pajak. Praktek tax avoidance ini sebenarnya suatu dilema bagi pemerintah, karena wajib pajak melakukan pengurangan jumlah pajak yang harus dibayar, tetapi dilakukan dengan tidak bertentangan dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku. Sebenarnya praktek tax avoidance inipun tidak dapat selalu dilaksanakan, sebab tidak dapat menghindari semua unsur atau fakta yang dapat dikenakan pajak. Menurut R. Santoso Brotodihardjo mengungkapkan akibat-akibat pengelakan pajak yang dilakukan secara ilegal (tax evasion) yaitu (1993: 19) a.
Dalam bidang keuangan. Pengelakan pajak (tax evasion) sebagaimana juga halnya dengan penghindaran diri dari pajak (tax avoidance) berarti pos kerugian yang
penting bagi negara. Praktek-praktek di atas dapat menyebabkan ketidakseimbangan anggaran dan konsekuensi-konsekuensi lain yang berhubungan seperti penaikan tarif pajak. b.
Dalam bidang ekonomi Pengelakan pajak sangat mempengaruhi persaingan sehat di antara para pengusaha, sebab suatu perusahaan yang dengan mengelakkan pajak, menekan beban-bebannya secara tidak legal, mempunyai posisi yang lebih menguntungkan daripada saingan-saingannya yang tidak berbuat demikian.
8. Petunjuk Praktis dalam Melakukan Tax Planning a.
Mengusahakan
agar
terdapat
penghasilan
yang
stabil
untuk
menghindarkan pengenaan pajak dari kelas penghasilan yang tarifnya tinggi (top rate brackets) b.
Mempercepat atau menunda beberapa penghasilan dan biaya-biaya untuk memperoleh keuntungan dari kemungkinan perubahan tarif pajak yang tinggi atau yang rendah, seperti penangguhan PPN, PPN yang ditanggung pemerintah dan seterusnya
c.
Menyebarkan penghasilan menjadi penghasilan dari beberapa wajib pajak, seperti pembentukkan group-group perusahaan
d.
Menyebarkan penghasilan menjadi penghasilan beberapa tahun untuk mencegah penghasilan tersebut termasuk dalam kelas penghasilan
yang tarifnya tinggi dan dan tunda pembayaran pajaknya, seperti penjualan cicilan, kredit dan seterusnya e.
Transformasikan penghasilan biasa menjadi capital gain jangka panjang .
f.
Mengambil keuntungan sebesar-besarnya dari ketentuan-ketentuan mengenai pengecualian dan potongan-potongan
g.
Mendirikan perusahaan dalam satu jalur usaha sedemikian rupa sehingga dapat diatur secara keseluruhan penggunaan tarif pajak, potensi menghasilkan, kerugian-kerugian dan asset yang dapat dihapus.
h.
Mempergunakan uang dari hasil pembebasan pengenaan pajak untuk keperluan perluasan perusahaan yang mendapatkan kemudahan – kemudahan.
C. Industri Tekstil Tekstil berasal dari bahasa latin, yaitu textiles yang berarti menenun atau tenunan. Namun secara umum tekstil diartikan sebagai sebuah barang/benda yang bahan bakunya berasal dari serat (umumnya adalah kapas, poliester,
rayon)
yang
dipintal
(spinning)
menjadi
benang
dan
kemudian
dianyam/ditenun (weaving) atau dirajut (knitting) menjadi kain yang setelah dilakukan penyempurnaan (finishing) digunakan untuk bahan baku produk tekstil. Produk tekstil disini adalah pakaian jadi (garment), tekstil rumah tangga, dan kebutuhan industri. Sejarah pertekstilan Indonesia dapat dikatakan dimulai dari industri rumahan tahun 1929 dimulai dari sub-sektor pertenunan (weaving) dan perajutan (knitting) dengan menggunakan alat Textile Inrichting Bandung (TIB) Gethouw atau yang dikenal dengan nama Alat Tenun Bukan Mesin (ATBM) yang diciptakan oleh Daalennoord pada tahun 1926 dengan produknya berupa tekstil tradisional seperti sarung, kain panjang, lurik, stagen (sabuk), dan selendang. Penggunaan ATBM mulai tergeser oleh Alat Tenun Mesin (ATM) yang pertama kali digunakan pada tahun 1939 di Majalaya-Jawa Barat, dimana di daerah tersebut mendapat pasokan listrik pada tahun 1935. Dan sejak itu industri TPT Indonesia mulai memasuki era teknologi dengan menggunakan ATM. Tahun 1960-an, sesuai dengan iklim ekonomi terpimpin, pemerintah Indonesia membentuk Organisasi Perusahaan Sejenis (OPS) yang antara lain seperti OPS Tenun Mesin; OPS Tenun Tangan; OPS Perajutan; OPS Batik; dan lain sebagainya yang dikoordinir oleh Gabungan Perusahaan Sejenis (GPS) Tekstil dimana pengurus GPS Tekstil tersebut ditetapkan dan diangkat oleh Menteri Perindustrian Rakyat dan berkembang hingga sekarang. Industri Tekstil sampai sekarang masih merupakan industri terbesar di Indonesia
setelah industri rokok, dan turut berupaya membangun perekonomian negara dengan memperkerjakan karyawan dalam jumlah yang cukup besar, dan sebagainya. Produk tekstil adalah hasil pengolahan lebih lanjut dari tekstil, baik yang setengah jadi maupun yang telah jadi. Yang termasuk dalam produk tekstil adalah: ·
Pakaian jadi/ clothing/ garment adalah berbagai jenis pakaian yang siap pakai (ready to wear) dalam berbagai ukuran standar, antara lain: pakaian pria dan wanita (dewasa dan anak-anak), pakaian pelindung (mantel, jacket, sweater), pakaian seragam, pakaian olah raga, dan lain-lain. Pakaian jadi ini harus dibedakan dengan apparel, karena apparel ini selain mencakup pakaian jadi juga mencakup berbagai accessories seperti: sepatu, tas, perhiasan, tutup kepala atau kerudung, dasi, kaos kaki, dan accessories lainnya.
·
Tekstil rumah tangga/ house hold, seperti: bed linen, table linen, toilet linen, kitchen linen, curtain, dan lain-lain.
·
Kebutuhan industri/ industrial use, antara lain: canvas, saringan, tekstil rumah sakit, keperluan angkatan perang termasuk ruang angkasa, dan lain-lain.
D. Faktor-Faktor Yang Memotivasi Perencanaan Pajak (Tax Planning)
1. Kebijakan Perpajakan (Tax Policy) Self assesment system merupakan salah satu faktor yang dapat memotivasi manajemen melakukan tax planning. Hal ini disebabkan, dalam self assesment system para Wajib Pajak dapat merencanakan sendiri pajaknya dengan cara menghitung serta membayar sendiri pajaknya serta melakukan pembukuan. Dengan adanya kepercayaan yang diberikan kepada Wajib Pajak, maka hal ini membuat Wajib Pajak termotivasi merencanakan pelaporan pajaknya. Oleh karena diberlakukannya sistem tersebut, hal ini juga akan membuka peluang bagi manajer perusahaan untuk mengimplementasikan tax planning dalam pengendalian pemenuhan kewajiban perpajakan perusahaan. Pada perusahaan yang memperoleh penghasilan kena pajak yang telah dikenakan tarif tertinggi (diatas Rp 100 juta) dan pengenaan PPh Badannya tidak final, diupayakan seminimal mungkin memberikan kesejahteraan karyawan dalam bentuk natura dan kenikmatan karena pengeluaran ini tidak dapat dibebankan sebagai biaya. Perusahaan yang PPh Badannya dikenakan pajak secara final, sebaiknya memberikan kesejahteraan karyawan dalam bentuk natura dan kenikmatan, karena pemberian natura dan kenikmatan kepada karyawan tidak termasuk obyek PPh pasal 21, sedangkan pengeluaran untuk pemberian natura dan kenikmatan tersebut tidak mempengaruhi besarnya PPh Badan, karena PPh Badan final, dihitung dari presentase atas penghasilan bruto sebelum dikurangi biaya-biaya. Apabila perusahaan mengalami kerugian, maka
pemberian natura dan kenikmatan akan menurunkan PPh Pasal 21, sementara PPh badan tetap nihil. Dengan demikian, maka wajib pajak akan termotivasi untuk melakukan tax planning yang baik untuk pengendalian kewajiban perpajakan perusahaan.
2. Undang-Undang Perpajakan (Tax Law) Undang-Undang Perpajakan adalah sekumpulan peraturan-peraturan yang mengatur masalah perpajakan. Pada kenyataannya, dimanapun tidak ada undang-undang yang mengatur setiap permasalahan secara sempurna, maka dalam pelaksanaannya selalu diikuti oleh ketentuan-ketentuan lain (Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, Keputusan Menteri Keuangan dan Direktur Jenderal Pajak), maka tidak jarang ketentuan pelaksanaan tersebut
bertentangan
dengan
undang-undang
itu
sendiri
karena
disesuaikan dengan kepentingan pembuat kebijaksanaan dalam mencapai tujuan yang lain yang ingin dicapainya. Seperti diketahui tax planning merupakan suatu proses yang mendeteksi cacat teoritis dalam ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan tersebut. Melaksanakan tax planning dengan memanfaatkan celah-celah (loopholes) dari peraturan perundang-undangan yang berlaku. Keadaan ini menyebabkan munculnya celah bagi Wajib Pajak untuk menganalisis dengan cermat atas kesempatan tersebut untuk digunakan merencanakan pajak yang baik. Wajib Pajak dapat mencari kelemahan dan memperbaiki kembali rencana pajaknya.
Hasil suatu tax planning bisa dikatakan baik atau tidak tergantung dengan apa yang kita lakukan dan semua itu harus sesuai dengan kebutuhan perusahaan. Kadang-kadang suatu rencana harus diubah mengingat adanya peranturan perundang-undangan. Tindakan perubahan tersebut harus tetap dijalankan walaupun diperlukan penambahan biaya/ kemungkinan keberhasilannya sangat kecil. Sepanjang masih besar penghematan pajak yang bisa diperoleh rencana tersebut harus tetap dijalankan, karena bagaimanapun juga kerugian yang ditanggung merupakan kerugian minimal. Meskipun suatu tax planning sudah berjalan, masih perlu mempertimbangkan setiap perubahan yang terjadi termasuk perubahan undang-undang.
3. Administrasi Perpajakan (Tax Administration) Tax planning yang akan diterapkan oleh perusahaan akan berjalan dengan baik bila ditunjang oleh tax administration yang baik. Pada dasarnya tax administration merupakan bagian dari sistem perusahaan (Harsono, 1990) Administrasi pajak pada dasarnya adalah kelanjutan dari pelaksanaan tax planning. Administrasi pajak adalah metode untuk meyakinkan bahwa apa yang dilaksanakan telah sesuai dengan yang direncanakan. Pada intinya, administrasi adalah bentuk dari suatu sistem untuk mengendalikan masalah pajak perusahaan. Hal yang memotivasi perusahaan untuk melakukan tax planning adalah agar terhindar dari sanksi administrasi maupun pidana karena adanya
penafsiran antara aparat dan fiskus dan wajib pajak akibat dari begitu luasnya peraturan perpajakan yang berlaku dan sistem informasi yang masih belum efektif. Wajib pajak harus menguasai peraturan perpajakan untuk menghindari tax penalty sehingga dapat menghindari sanksi perpajakan. Sanksi administrasi berupa bunga, denda atau kenaikan yang dapat menyebabkan pemborosan sumber daya yang seharusnya tidak terjadi bila wajib pajak mengerti dan mematuhi ketentuan peraturan perpajakan. Untuk menghindari sanksi administratif, wajib pajak harus mengetahui sarana, batas, waktu, angsuran dan penundaan pembayaran pajak. Dengan demikian wajib pajak dapat merencanakan kebutuhan kas untuk pajak dan menentukan saat pembayaran sehingga perusahaan dapat menyusun cash budget dengan lebih akurat.
E. Penelitian Terdahulu Penelitian ini mengacu pada penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Martha
(2006)
membahas
tentang
”Faktor-Faktor
yang
Memotivasi
Manajemen Perusahaan Melakukan Tax Planning” mengemukakan bahwa tax planning sangat berkembang dalam sistem perpajakan perusahaan, sehingga menimbulkan ketertarikan untuk diteliti. Penyebaran kuesioner pada penelitian ini dibatasi hanya pada perusahaan-perusahaan yang terdaftar pada SIER. Tujuan
penelitian
ini
adalah
untuk
mengetahui
faktor-faktor
yang
mempengaruhi manajemen melakukan tax planning dan bermanfaat untuk memberikan
informasi
tentang
faktor-faktor
yang
mempengaruhi
pemberlakuan tax planning oleh manajemen perusahaan dan dapat menjadi masukan bagi pihak manajemen bank untuk mengevaluasi penerapan tax planning. Instrumen yang digunakan berupa kuesioner dengan menggunakan skala Likert dan Semantik berskala 5 yang disebarkan kepada 95 perusahaan yang melakukan tax planning. Unit analisis dalam penelitian ini adalah perusahaan yang terdaftar di SIER di Surabaya. Pengolahan dan analisa data menggunakan Structural Equation Modeling (SEM) dengan alat bantu perangkat lunak (software) Lisrel 8.30. Penelitian ini membuktikan bahwa kebijakan
perpajakan,
undang-undang
perpajakan,
dan
administrasi
perpajakan berpengaruh terhadap tax planning. Penelitian yang hampir sama juga telah dilakukan oleh Indriani (2003), membahas tentang ”Efektivitas Perencanaan Pajak sebagai Alat Penghematan Biaya Pajak”. Populasi penelitian yang dilakukan Indriani adalah Wajib Pajak badan (restoran dan perhotelan) di Surakarta, kemudian dilakukan penyebaran kuesioner. Populasi ini diambil berdasarkan keinginan peneliti untuk mengetahui sejauh mana upaya-upaya Wajib Pajak Orang Pribadi dalam merencanakan jumlah pajak yang akan dibayar. Hasil dari penelitian ini adalah 67,80 % Wajib Pajak Badan memanfaatkan perencanaan pajak sebagai alat penghematan biaya pajak. Penelitian Ginting (1998) dengan judul ”Perencanaan Pajak sebagai Alat Penghematan Biaya Pajak” juga meneliti tentang efektivivas perencanaan pajak untuk meminimalisasi biaya pajak yang terutang. Peneliti menyebar kuesioner ke beberapa perusahaan Manufaktur di wilayah eks karesidenan
Surakarta. Hasilnya sebanyak 56,67 % Wajib Pajak badan memanfaatkan perencanaan pajak sebagai alat penghematan biaya pajak.
F. Kerangka Pemikiran Dengan adanya kepercayaan yang diberikan kepada wajib pajak dalam menghitung besarnya pajak yang harus dibayar, menentukan kapan harus membayar pajak dengan tepat waktu, maka hal ini dapat memotivasi wajib pajak untuk merencanakan pajaknya. Pemanfaatan celah-celah dari peraturan perundang-undangan yang berlaku, pemahaman peraturan dan administrasi perpajakan yang ada, Wajib Pajak berpeluang untuk merencanakan pajaknya. Dengan Adanya kebijakan perpajakan (Tax Policy) dari pemerintah yang memberikan kepercayaan penuh bagi Wajib Pajak untuk melaporkan pajaknya sendiri, banyaknya celah-celah dalam Undang-Undang perpajakan (Tax Law), dan pemahaman tentang administrasi perpajakan (Tax Admnistration) dapat mempengaruhi manajemen perusahaan (Wajib Pajak) untuk melakukan perencanaan pajak (tax planning) dengan baik untuk meminimalisasi beban pajak yang terutang. Berdasarkan fakta di atas dan penelitian-penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, maka peneliti tertarik untuk meneliti tentang ”Pengaruh Kebijakan Perpajakan, Undang-Undang Perpajakan, dan Administrasi Perpajakan Terhadap Motivasi Manajemen Perusahaan dalam Melakukan Tax Planning pada Perusahaan Tekstil di
Eks Karesidenan Surakarta.”
Penelitian ini dilakukan dengan penyebaran kuesioner pada Perusahaanperusahaan Tekstil se eks karesidenan Surakarta. Untuk lebih memperjelas alur pemikiran, maka dapat dilihat pada kerangka pemikiran dibawah ini:
GAMBAR II. 2 KERANGKA PEMIKIRAN Kebijakan Perpajakan (Tax Policy) Undang-Undang Perpajakan (Tax Law)
Tax Planning
Administrasi Perpajakan (Tax Administration)
Keterangan: Berpengaruh secara parsial Berpengaruh secara bersama-sama
G.
Pengembangan Hipotesis
1. Kebijakan Perpajakan (Tax Policy) dan motivasi manajemen perusahaan untuk melakukan tax planning.
Self assesment system merupakan salah satu faktor kebijakan perpajakan yang dapat memotivasi manajemen melakukan tax planning. Dalam sistem ini para Wajib Pajak dapat merencanakan sendiri pajaknya dengan cara menghitung, membayar sendiri pajaknya serta melakukan pembukuan. Oleh karena diberlakukannya sistem tersebut, hal ini akan membuka peluang bagi manajer perusahaan untuk mengimplementasikan tax planning dalam pengendalian pemenuhan kewajiban perpajakan perusahaan. Penelitian ilmiah yang dilakukan Martha (2006) mengungkapkan bahwa adanya kebijakan perpajakan, yaitu self assesment system, mempengaruhi manajemen perusahaan untuk merencanakan pajaknya agar beban pajak menjadi lebih kecil. Berdasarkan landasan teori dan hasil penelitian terdahulu di atas, maka dapat ditarik hipotesis pertama, sebagai berikut ini.
H1 : Kebijakan Perpajakan (Tax Policy) berpengaruh terhadap motivasi manajemen perusahaan dalam melakukan tax planning .
2. Undang-Undang Perpajakan (Tax Law) dan motivasi manajemen perusahaan dalam melakukan tax planning.
Undang-Undang peraturan
Perpajakan
pemerintah
kenyataannya,
tidak
yang ada
merupakan
mengatur
sekumpulan
masalah
undang-undang
peraturan-
perpajakan.
Pada
mengatur
setiap
yang
permasalahan secara sempurna, maka dalam pelaksanaannya selalu diikuti oleh ketentuan-ketentuan lain (Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, Keputusan Menteri Keuangan dan Direktur Jenderal Pajak). Keadaan ini menimbulkan pemanfaatan celah-celah (loopholes) bagi Wajib Pajak untuk menganalisis dengan cermat dan merencanakan pajaknya atas ketidaksempurnaan peraturan perundang-undangan. Pasal 6 dan pasal 9 Undang-Undang Pajak Penghasilan No. 17 tahun 2000 merupakan salah satu celah yang paling potensial dan paling sering dimanfaatkan oleh Wajib Pajak untuk merencanakan pajaknya. Penelitian ilmiah yang dilakukan Indriani (2003) mengungkapkan bahwa sebanyak 63,7 % wajib pajak badan termotivasi melakukan tax planning
dengan
cara
memanfaatkan
celah-celah
dari
peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Berdasarkan landasan teori dan hasil penelitian terdahulu di atas, maka dapat ditarik hipotesis pertama, sebagai berikut ini. H2 : Undang-Undang Perpajakan (Tax Law) berpengaruh terhadap motivasi manajemen perusahaan dalam melakukan tax planning . 3. Administrasi
Perpajakan
(Tax
Administration)
dan
manajemen perusahaan dalam melakukan tax planning.
motivasi
Administrasi adalah bentuk dari suatu sistem untuk mengendalikan masalah pajak perusahaan. Untuk menghindari sanksi administratif, wajib pajak harus mengetahui sarana, batas, waktu, angsuran dan penundaan pembayaran pajak, dan sebagainya. Dengan demikian wajib pajak dapat merencanakan kebutuhan kas untuk pajak dan menentukan saat pembayaran sehingga perusahaan dapat menyusun cash budget dengan lebih akurat. Penelitian ilmiah yang dilakukan Ginting (1998) mengungkapkan bahwa adanya tingkat pemahaman dari manajemen tentang Administrasi Perpajakan (Tax Administration), mempengaruhi manajemen perusahaan untuk merencanakan pajaknya agar beban pajak menjadi lebih kecil. Berdasarkan landasan teori dan hasil penelitian terdahulu di atas, maka dapat ditarik hipotesis pertama, sebagai berikut ini. H3 : Administrasi Perpajakan (Tax Administration) berpengaruh terhadap motivasi manajemen perusahaan dalam melakukan tax planning . 4. Kebijakan Perpajakan (Tax Policy), Undang-Undang Perpajakan (Tax Law), dan Administrasi Perpajakan (Tax Administration) dan motivasi manajemen perusahaan dalam melakukan tax planning. H4 : Kebijakan Perpajakan (Tax Policy), Undang-Undang Perpajakan (Tax Law),
dan
Administrasi
Perpajakan
berpengaruh secara bersama-sama terhadap perusahaan dalam melakukan tax planning.
(Tax
Administration)
motivasi manajemen