DISKUSI AWAL PENGELOLAAN PENGETAHUAN PEMBANGUNAN MASYARAKAT Sari Diskusi Pengelolaan Pengetahuan Pembangunan Masyarakat, 11 Juni 2012
1. PENGANTAR Pada hari Senin, 11 Juni 2012, Studio DriyaMedia Bandung bekerjasama dengan PNPM Support Facility (PSF) menyelenggarakan Diskusi Pengelolaan Pengetahuan Pembangunan Masyarakat. Diskusi dilatarbelakangi oleh keprihatinan mendalam terhadap munculnya kecenderungan yang ditengarai sebagai ketertinggalan Indonesia dalam pengembangan pengetahuan dalam ranah pembangunan masyarakat. Ketertinggalan ini antara lain ditandai oleh: (1) Kurangnya usaha yang sistematis untuk mengenbangakn pengetahuan dan mendokumentasikannya dengan baik dan mudah diakses publik; (2) Tumpang tindih pengetahuan pada semua tataran baik sektor, isu program, wilayah, maupun level pemerintahan; (3) Kelambanan pertukaran pengetahuan di kalangan praktisi pembangunan, baik pemerintah maupun non pemerintah; (4) Rendahnya kesadaran lembaga dan praktisi untuk mendokumentasikan kerja-kerja pembangunan yang sudah dilakukan serta berbagi dengan lembaga-lembaga lainnya. Kecenderungan ini merugikan. Pertama, kelangkaan dokumen program pembangunan membuat khazanah pengetahuan pembangunan masyarakat miskin dengan gagasan atau temuan tentang strategi-strategi baru yang bisa menginspirasi banyak orang. Kedua, pengetahuan tentang inovasi-inovasi baru hanya beredar di lingkungan terbatas. Pengalaman baru komunitas tetap menjadi pengetahuan yang tidak terungkap (tacit knowledge) karena para praktisi pembangunan di lapangan gagal menangkap dan mengabadikannya secara eksplisit. Ketiga, inefisiensi biaya program. Miskinnya tradisi mengelola pengetahuan menyebabkan kerja-kerja pembangunan yang muncul kemudian lebih merupakan pengulangan dari kerja-kerja sebelumnya yang mungkin tidak lebih baik. Keempat, keengganan para praktisi mengkomunikasikan pengalaman secara eksplisit sesungguhnya berarti menutup hak dan kebebasan masyarakat akan informasi pembangunan dirinya sendiri. Studio DriyaMedia dan PSF memandang perlu masalah-masalah seputar pengelolaan pengetahuan tersebut mulai didiskusikan. Diskusi diharapkan dapat menemukenali inisiatif-inisiatif pengelolaan pengetahuan pembangunan yang sudah dilakukan berbagai lembaga pembangunan masyarakat, dan menggagas 1
kemungkinan kolaborasi diskusi.
antar lembaga tersebut lembaga-lembaga peserta
2. PROSES DISKUSI Diksusi berlangsung sehari, diikuti 47 peserta , terdri dari LSM, perguruan tinggi, lembaga pemerintah dan perusahaan. Proses diskusi disiarkan langsung via video streaming , ditonton oleh lebih dari 1000 orang Diskusi dilaksanakan dalam tiga tahapan, sebagai berikut: (1) Arahan Dasar tentang Kecenderungan Pengelolaan Pengetahuan di Indonesia Sebagai pembuka diskusi DR Pungky Sumadi, Direktur Jasa Keuangan dan Analisis Moneter Bappenas memaparkan gambarn umum dan pokok-pokok pikiran tentang apa dan mengapa pengelolaan pengetahuan serta kecenderungan praktek pengelolaan pengetahuan di Indonesia. (2) Orientasi Praktek Pengelolaan Pengetahuan Arena diskusi menyediakan empat stand “pameran” praktek pengelolaan pengetahuan yang masing-masing diisi oleh Studio DriyaMedia, PNPM Perkotaan, PSF, dan Kelurahan Sumbermulyo. Studio DriyaMedia “memamerkan” kerja pengembangan teknologi pertanian lahan-kering dan pertukaran pengetahuan dan pengalaman antar petani di Nusa Tenggara, PNPM Perkotaan mempresentasikan praktek pengembangan media warga, PSF membagi pengalaman dalam media tracking untuk program penanggulangan kemiskinan oleh PSF, dan Kelurahan Sumbermulyo memaparkan pengalamannya dalam pengembangan sistem informasi dan komunikasi kewargaan. Setiap peserta diskusi yang dibagi menjadi beberapa kelompok secara bergiliran mendengarkan pemaparan dan berdiskusi di setiap stand. (3) Eksplorasi dan Pendalaman Pengelolaan Pengetahuan Pembangunan Masyarakat Pada tahap ini peserta dibagi menjadi empat kelompok yang secara paralel mendiskusikan praktek-praktek pembangunan masyarakat di empat tingkatan, yakni di tingkat masyarakat, di tingkat lembaga, dalam program multipihak, serta dalam komunitas praktisi pengembangan masyarakat secara umum. Pada tahap ini juga peserta berdiskusi menggagas apa yang mungkin dilakukan bersama-sama.
2
3. HASIL-HASIL DISKUSI Dalam diskusi kelompok para peserta mengekplorasi pengalamannya dalam pengelolaan pengetahuan Pada umumnya semua lembaga peserta sudah melakukan berbagai upaya pengelolaan pengetahuan , walaupun masih sporadic dan sepotong – sepotong. Tidak ditemukan satu lembaga (pengembang program) yang melakukan pengelolaan pengetahuan yang terorganisisr dengan sistematis. Diskusi juga mengidentifikasi beberapa pokok persoalan sebagai berikut: (1) Ketertinggalan Pengelolaan Pengetahuan di Indonesia Kerja-kerja pembangunan di Indonesia sudah dilakukan sejak lama, tetapi ada kecenderungan bahwa pengetahuan tidak dikenali sebagai modal pembangunan yang penting (disamping dana dan tenaga), bahkan di kalangan lembaga-lembaga pemerintah yang menjadi aktor utama sekalipun. Kelangkaan dukungan dan insentif riset bagi pelaku pembangunan, minimnya penghargaan terhadap kreativitas riset, kelangkaan jurnal yang kredibel dan representatif, lemahnya kemampuan para peneliti pembangunan dalam menuliskan dan mempublikasikan karya mereka adalah potret sempurna ketertinggalan pengelolaan pengetahuan pembangunan di Indonesia. Salah satu akibat ketertinggalan itu adalah bahwa banyak keputusan politik atau kebijakan pembangunan seringkali lahir bukan berdasarkan pengetahuan yang memadai melainkan dari pertimbangan-pertimbangan politik serta generalisasi berlebihan pengalaman subjektif para pengambil keputusan yang penuh bias dan prasangka kepentingan., (2) Apresiasi Kritis terhadap Pengetahuan Tradisional Masyarakat sudah memiliki pengetahuan yang kaya tentang kehidupan, diri dan lingkungan mereka sendiri. Pengetahuan ini, yang lazim disebut sebagai kearifan tradisional atau indegenous knowledge berkembang dan diwariskan secara lisan dan turun-temurun melalui berbagai media tradisional. Pengetahuan-pengetahuan lokal jenis ini harus diapresiasi, tetapi perlu disadari bahwa ada aspek-aspek pengetahuan tradisional yang merupakan penjelasan magis dan mitologis yang dikembangkan dalam keterbatasanketerbatasan yang dihadapi nenek-moyang masyarakat masa lalu dan pada saat ini sesungguhnya tidak patut dipertahankan. Karenanya indigenous knowledge itu perlu dipertahankan dengan kesadaran kritis. Masyarakat semestinya diajak untuk menelisik pengetahuan tersebut dengan cara memikirkan kembali (rethinking), melakukan objektivasi, dan memperbarui (reinventing) melalui riset-riset aksi yang melibatkan mereka, sehingga tumbuh kesadaran dan cara pandang baru yang lebih adaptif terhadap pengetahuan yang sudah mereka miliki. 3
Disadari oleh kalangan praktisi bahwa praktek-praktek pembangunan yang dijalankan selama ini masih terdapat yang melemahkan pengetahuan lokal dan meminjam istilah Robert Chambers, penuh “bias orang luar”. Target proyek seringkali menjadi lebih penting. Kajian-kajian tentang pengetahuan lokal yang dilakukan lebih sering merupakan upaya untuk sekedar mengugurkan kewajiban formal dan “capture by project”. Pengetahuan lokal yang ada dan media distribusi dan pertukaran pengetahuan masyarakat sudah banyak yang memudar, terutama pada masyarakat yang sistem sosialnya tidak terlalu kuat. Dipandang perlu untuk mengidentifikasi pengetahuan masyarakat dan memuliskannya dalam berbagai bentuk dokumentasi yang lebih ‘modern’ ketimbang bertutur secara lsan, agar pengetahuan masyarakat yang ada tidak hilang, terdistorsi dan mudah diakses oleh generasi baru praktisi pembangunan. (3) Terlalu Sibuk untuk Berbagi Praktisi pembangunan adalah kalangan yang sangat fasih mengucapkan katakata “koordinasi”, “kolaborasi”, “aliansi”, “jejaring”, “koalisi multipihak” atau apapun kata-kata yang berkonotasi kerja, berbagi, dan belajar bersama. Namun dalam praktek, mereka sendiri sulit mewujudkan kerjasama dalam kerja-kerja pembangunan yang kongkret di lapangan. Fragmentasi dan matinya banyak jejaring organisasi masyarakat sipil adalah salah satu bukti paling nyata tentang hal ini. Lembaga-lembaga ini terlalu sibuk dengan dirinya sendiri dan proyek-proyek yang mereka tangani serta enggan berbagi pengetahuan yang dimilikinya, bahkan ketika mereka tergabung dalam sebuah jejaring sekalipun. Mereka merasa punya “juragan” dan khalayak programnya masing-masing dan tak ada urusannya dengan kerja-kerja serupa yang mungkin sedang dilakukan koleganya di tempat yang sama. Semua lembaga punya “politik informasi” masing-masing. Jika kita mendengar bahwa mereka sedang bekerjasama, yang lebih sering terjadi sebenarnya adalah kerja sendiri-sendiri pada waktu dan tempat yang sama. Karena itu pengelolaan pengetahuan menjadi semakin sulit dilakukan dalam program-program multipihak. Jika hendak dilakukan, pengelolaan pengetahuan harus dipikirkan dan didesain sejak awal program dan membutuhkan kebijakan khusus untuk itu. (4) Media LSM, Media Untuk Diri Sendiri Banyak LSM menerbitkan media yang konon diperuntukan berbagi pengetahuan dan pengalaman. Namun ada kecenderungan lembaga-lembaga itu untuk mempromosikan kerja-kerja pembangunan yang dilakukannya 4
dalam berbagai bentuk media, cetak dan elektronik, audio dan audiovisual, online dan offline. Kita membaca dan menyaksikan kalangan LSM riuh rendah menerbitkan beragam newsletter, buku, milis, website, dan berbagai bentuk social media yang agendanya lebih membangun citra lembaganya daripada berbagi pengalaman secara otentik. Kecenderungan ini masih harus ditelisik lebih jauh apakah mencerminkan tumbuhnya kesadaran tentang urgensi pengelolaan pengetahuan ataukah sekedar mode dan euforia yang muncul berbarengan dengan perkembangan teknologi interaksi online melalui web 2.0. Yang bisa ditangkap sekarang adalah kesan kuat bahwa berbagai media tersebut lebih merupakan media-media iseng sendiri, ditulis sendiri, didistribusikan sendiri, beredar di kalangan kolega sendiri, dan dibaca sendiri. Sekarang masyarakat sudah bisa bersuara sendiri melalui media-media sosial, dan media-media LSM umumnya gagal menjadi amplifier yang bisa menyuarakan lebih keras dan lebih luas aspirasi komunitas yang didampinginya.
4. GAGASAN DAN AGENDA TINDAK LANJUT Hasil diskusi kelompok kemudian dibahas bersama dalam pertemuan pleno dengan interkatif, dan sebagian besar peserta bertahan hingga akhir sesi pleno tersebut.. Tertangkap kesan peserta mulai memahami dengan kritis konsep pengelolaan pengetahuan, menganggap hal ini sebagai sesuatu yang penting, dan ingin belajar lebih cepat. Dalam diskusi tentang kemungkinan tindak-lanjut pertemuan ini, membangun jejaring dan muncul juga tawaran dari lembaga-lembaga yang selama ini menggeluti teknologi shared learning untuk membantu peserta berbagi pengetahuan melalui beberapa perangkat lunak. Beberapa agenda yang berhasil disusun sebagai tindak lanjut diskusi ini adalah (1) Penyusunan concept note tentang urgensi pengelolaan pengetahuan di kalangan praktisi pembangunan, lembaga pemerintah dan non pemerintah serta upayaupaya pengembangannya. Studio DriyaMedia , Fakultas Komunikasi dan ilmu Perpustakaan UNPAD , PNPM dan Combine didaulat untuk menginisiasi hal ini. (2) Inisiasi pengembangan sistem pengelolaan pengetahuan tingkat lembaga di Studio DriyaMedia, PNPM Perkotaan, dan JRKI. (3) Asistensi dan dukungan teknis dari Combine dan Jaringan Radio Komunitas Indonesia (JRKI) kepada lembaga-lembaga yang berminat membangun sistem 5
pengelolaan pengetahuan teknologi informasi
internal
lembaganya
dengan
memanfaatkan
(4) Memfasilitasi pertukaran katalog dan sumber-sumber pengetahuan masingmasing lembaga yang berminat dengan program aplikasi teknologi (5) Mengembangkan dokumentasi pengetahuan pengembangan masyarakat berbasis web dengan sistem crowd-sourcing system (model wikimedia) dengan menggunakan perangkat lunak tertentu (6) Memperkuat peran dan kapasitas lembaga – lembaga pengembang program dalam menyuarakan pengetahuan masyarakat sebagai dasar pengambilan kebijakan.
5. PENUTUP Pengelolaan pengetahuan bukanlah suatu gagasan yang baru dan kepentingannya bukan tidak disadari oleh para praktisi pengembangan masyarakat. Banyaknya prakarsa di kalangan praktisi pembangunan untuk mendokumentasikan pengalaman mereka melalui berbagai cara, meskipun dalam lingkup yang kecil, sporadis dan parsial juga dengan berbagai keterbatasan penafsiran, menunjukkan hal itu. Namun apa yang sudah dilakukan itu masih jauh dari cukup dan potensi pendekatan pengelolaan pengetahuan yang sistematis untuk meningkatkan relevansi dan kinerja lembaga-lembaga pengembangan masyarakat belum lagi terwujud. Diskusi sehari ini meneguhkan kembali keyakinan sejumlah kecil praktisi pengembangan masyarakat untuk meletakkan pengelolaan pengetahuan dalam perspektif yang lebih luas sebagai salah satu instrumen pengawal perubahan sosial. Berdasarkan itu dirumuskan beberapa gagasan prakarsa untuk mulai mendayagunakan pengelolaan pengetahuan sebagai kerangka kerja dalam pengembangan masyarakat. Disadari bahwa rencana tindak-lanjut itu masih sangat sederhana dan terbatas dan hanya melibatkan segelintir dari pemangku kepentingan pengembangan masyarakat. Harapannya tentu bahwa prakarsa kecil itu bisa terwujud dan dikemudian hari bisa dikembangkan menjadi prakarsa yang lebih luas dan bermakna bagi komunitas praktisi pengembangan masyarakat.
6