DISKURSUS TEKNOLOGI: POSISI PENGETAHUAN LOKAL MENDUKUNG KEDAULATAN PANGAN* Oleh: Ferdinal Asmin1)2) 1)
Mahasiswa S-3 Kebijakan dan Manajemen Lingkungan, Prodi Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Sekolah Pascasarjana IPB, Bogor, Indonesia (Email:
[email protected]) 2) Bekerja pada Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Barat, Padang, Indonesia
Abstrak Teknologi dapat dinilai sebagai ruang kebijakan yang selalu digunakan oleh ilmuwan atau peneliti untuk mempengaruhi pengambil kebijakan, termasuk dalam isu-isu ketahanan pangan dan kedaulatan pangan. Tulisan ini berusaha menjelaskan perbedaan cara berpikir ilmuwan atau peneliti sebagai sebuah diskursus teknologi yang berkaitan dengan produksi pengetahuan dalam pemenuhan kecukupan pangan. Metode yang digunakan adalah analisis diskursus secara kualitatif yang diperkaya dengan pengalaman-pengalaman lapangan. Pembahasan dilakukan dengan mengelaborasi kasus pengetahuan lokal budidaya lebah madu dan agroforestry di Sumatera Barat. Hasil kajian menunjukkan bahwa diskursus teknologi dapat dibagi dalam 2 teknik, yaitu teknik otoriter dan teknik demokratis. Masyarakat lokal dengan pengetahuan lokalnya menciptakan teknologi dalam kategori teknik demokratis, sedangkan ilmuwan atau peneliti dapat berada dalam kategori teknik otoriter atau teknik demokratis. Kata Kunci: Diskursus, Pengetahuan Lokal, Teknik Demokratis, Teknik Otoriter
Abstract Technology can be judged as a policy space which is always used by scientists or researchers to influence decision makers, including the issues of food security and food sovereignty. This paper describes differences of scientists or researchers discourse as a discourse of technology in related to knowledges production in fulfillment of food sufficiency. We used qualitative discourse analysis that is enriched with field experiences. The discussions are conducted by elaborating cases of beekeeping and agroforestry in West Sumatra. The results showed that technological discourses can be divided into 2 technics, authoritarian and democratic technics. Local communities with their local knowledge create a technology in democratic technics category, while scientists or researchers can be in authoritarian technics or democratic technics. Keywords: Authoritarian Technics, Democratic Technics, Discourse, Local Knowledge
PENDAHULUAN Ketersediaan pangan menjadi isu pokok bagi negara-negara berpenduduk besar di berbagai belahan dunia dan negara-negara yang sumber dayanya terbatas. China dan India, *
Disampaikan pada Seminar Nasional “Ketahanan Pangan dan Pertanian Berkelanjutan : Tantangan dan Peluang Implementasi Teknologi Dalam Perspektif Nasional” tanggal 7 Oktober 2015 di Politani Payakumbuh
1
yang jumlah penduduknya terbesar di dunia, memenuhi kebutuhan pangan warganya dengan mengoptimalkan sumber daya yang dimiliki dan menilai pentingnya pengembangan teknologi (lihat Khan et al. 2009:349-360; Dilip 2013:313-319). Pada belahan dunia lainnya, seperti Benua Afrika, kerentanan pangan dinilai tinggi seiring dengan ancaman perubahan iklim sehingga banyak Pemerintah setempat mendorong modernisasi dan revitalisasi sektor pertanian (Challinor et al. 2007:381-399). Banyak negara kemudian memenuhi kecukupan pangannya bukan hanya dengan produksi dalam negeri, tapi juga dengan mengimpor produkproduk luar negeri dalam mekanisme perdagangan internasional. Hal tersebut menunjukkan bahwa solusi pangan berkelanjutan adalah tidak sederhana dan memerlukan inovasi teknologi (Godfray et al. 2010:817). Pangan telah menjadi salah satu isu utama dalam pembangunan berkelanjutan (sustainable development), terutama dalam aspek produksi, konsumsi, dan distribusinya. Cara pandang permasalahan pangan di tingkat lokal, nasional, dan internasional terbagi menjadi 3 paradigma, yaitu ketahanan pangan, kemandirian pangan, dan kedaulatan pangan. Dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan, ketiga paradigma tersebut menjadi dasar penyelenggaraan pangan di Indonesia. Akan tetapi, ketahanan pangan merupakan paham yang selama ini dianut dalam pembangunan pertanian di Indonesia dan didefinisikan sebagai akses fisik dan ekonomi semua orang terhadap pangan secara cukup, aman, dan bergizi pada setiap waktu untuk hidup aktif, sehat, dan produktif (Swastika 2011:108). Ketahanan pangan merupakan pilihan yang objektif mengingat Indonesia masih kesulitan dalam mengurangi penduduk miskin yang rawan pangan (Warr 2011:12). Sampai saat ini, penyelenggaraan pangan dalam kerangka kemandirian pangan masih belum maksimal, apalagi dalam mencapai prinsip-prinsip kedaulatan pangan yang dikembangkan oleh Via Campesina (Windfuhr dan Jonsén 2005:45-47), yaitu (1) menempatkan pangan sebagai hak azazi, (2) mendorong reformasi agraria, (3) melindungi sumber daya alam, (4) mendorong reorganisasi perdagangan pangan, (5) mengatasi kelaparan penduduk secara global, (6) mewujudkan keadilan sosial, dan (7) mengembangkan pengendalian yang demokratis. Penyelenggaraan pangan menuju kedaulatan pangan lebih dinilai sebagai sebuah gerakan politik dibandingkan dengan ketahanan pangan yang dianggap lebih teknis menyentuh problematika ekonomi dan pangan saat ini. Dalam diskursus lingkungan, kemudian, kedaulatan pangan dikategorikan sebagai rasionalisme hijau sedangkan ketahanan pangan dikategorikan sebagai rasionalisme ekonomi (Lee 2007:13). Namun demikian, dalam World Forum on Food Sovereignty di Havana Kuba pada tahun 2001, kedaulatan pangan juga menjadi sebuah gerakan melawan neoliberalisme dalam pertanian. Neoliberalisme bukan hanya menyangkut politik bangsa dan negara (nation-state) dalam skala makro, tapi juga menyangkut pengetahuan dalam skala mikro, yakni melalui akumulasi pengetahuan dan etos mandiri (lihat Ong 2007:3-8). Oleh karena itu, selain alasan politik, kedaulatan pangan juga memperdebatkan ilmu pengetahuan dan teknologi yang digunakan dalam pembangunan pertanian umumnya dan pangan khususnya. Ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) merupakan instrumen penting dalam pembangunan pertanian. Iptek juga telah menyediakan ruang kebijakan yang memungkinkan ilmuwan dan peneliti mempengaruhi pengambil kebijakan, sehingga muncul banyak diskursus tentang Iptek. Ketika teknologi dianggap melibatkan penerapan metode dan teknik yang didukung oleh ilmu pengetahuan, maka teknologi dapat berpusat pada sistem (system centered) atau berpusat pada manusia (man centered) yang kemudian dalam politik teknologi disebut dengan teknik otoriter versus teknik demokratis (Mumford 1964:2). Kedua teknik tersebut juga menjadi terpolarisasi dalam diskursus teknologi yang menyangkut pangan nasional. Seringkali, teknik otoriter terlalu mendominasi dalam pengembangan teknologi pertanian, sementara itu, teknik demokratis terabaikan, seperti pengetahuan lokal masyarakat. 2
Tulisan ini menjelaskan diskursus teknologi dengan mengedepankan kerangka peran pengetahuan lokal dalam mendukung kedaulatan pangan. Pengetahuan lokal yang dielaborasi adalah pengetahuan budidaya lebah madu di Nagari Koto Tangah Kabupaten Agam dan kebun parak (agroforestry) di Nagari Koto Malintang Kabupaten Agam dan Nagari Alam Pauh Duo Kabupaten Solok Selatan. Tulisan ini menggunakan konsep diskursus sebagai cara berpikir, pandangan, sistem nilai, dan prioritas yang memarjinalkan cara berpikir lainnya yang memungkinkan (Sutton 1999:6). METODOLOGI Tulisan ini ditulis berdasarkan pengalaman lapangan pada saat mengunjungi peternak lebah madu di Nagari Koto Tangah Kabupaten Agam dan melihat praktek kelola parak (agroforestry) di Nagari Koto Malintang Kabupaten Agam dan Nagari Alam Pauh Duo Kabupaten Solok Selatan. Kedua praktek tersebut mengandung keunggulan pengetahuan lokal yang seharusnya menjadi dasar bagi ilmuwan dan peneliti menjalankan politik teknologi untuk mempengaruhi pengambil kebijakan. Kajian dalam tulisan ini diperkuat dengan telaahan berbagai literatur terkait, termasuk peraturan perundang-undangan. Metode analisis adalah analisis diskursus yang dikembangkan oleh Sutton (1999:6). Analisis diskursus teknologi berupaya untuk mengeksplisitkan nilai-nilai dan ideologi yang implisit dari suatu penamaan dan klasifikasi. Diskursus teknologi juga dapat mengacu pada dialog, bahasa, dan percakapan. Diskursus teknologi dibedakan menurut Mumford (1964:2), yaitu teknik otoriter dan teknik demokratis. Teknik otoriter dicirikan oleh produksi massal, kendali politik dan birokrasi, adanya standarisasi, dan didukung oleh argumentasi ilmiah. Teknik demokratis dicirikan oleh produksi skala kecil, kendali kuat oleh petani, lebih mudah adaptasi, dan didukung oleh sejarah budaya. PENGETAHUAN LOKAL DAN DISKURSUS TEKNOLOGI Kehidupan masyarakat lokal dan/atau masyarakat hukum adat selalu memunculkan banyak diskursus di negara-negara berkembang, terutama terkait dengan pengetahuan lokal tentang hutan dan kehutanan (Arts et al. 2010:67). Pengetahuan dan sumber daya lokal menjadi sangat penting untuk menjaga identitas suatu masyarakat seperti sudah dinyatakan oleh Posey dan Dutfield (1996:78). CIPR (2002:73) telah menegaskan bahwa manusia dalam komunitas selalu membangkitkan, memperbaiki, dan menyebarluaskan pengetahuan dari generasi ke generasi karena pengetahuan merupakan salah satu bagian dari identitas budaya yang penting. Buktinya, penggunaan dan penanaman berbagai tanaman oleh petani lokal sebagai asosiasi pengetahuan mereka memegang peranan esensial dalam sistem pertanian di negara-negara berkembang. Pengetahuan lokal dipahami sebagai pengetahuan, tahu bagaimana, keterampilan, inovasi atau praktek yang berkembang dari generasi ke generasi dalam konteks tradisi yang merupakan bagian gaya hidup masyarakat lokal dan masyarakat hukum adat (WIPO 2012:8). Karena pengetahuan lokal sebagai pengetahuan, maka pengetahuan tersebut merupakan keyakinan yang dapat dibenarkan (van Kerkhoff dan Lebel 2006:447), terutama bagi masyarakat lokal dan masyarakat hukum adat. Jika pengetahuan adalah tahu bagaimana, maka kearifan adalah tahu kenapa, apa, dan bagaimana melakukan sesuatu (Rowley 2006b:257). Rowley (2006a:1246) menyebutkan kearifan sebagai kapasitas mengambil tindakan sesuai perilaku yang paling tepat, mempertimbangkan apa yang diketahui, dan apa yang paling baik (pertimbangan etika dan sosial), serta merupakan elemen kunci kepemimpinan. Rowley (2006b:257) menyatakan kearifan merupakan ekspresi dari penggabungan pengetahuan, etika, dan
3
tindakan, sedangkan Kaufman (2006:130) mengartikan kearifan sebagai sintesa dari kecerdasan dan penilaian yang bijak. Banyak studi tentang pengetahuan lokal mencoba mengkategorikan sifat lokal, praktis, dan tradisional dari pengetahuan masyarakat dan dilihat sebagai sesuatu yang berbeda dari pengetahuan ilmiah yang berciri kebaratan, rasional, dan modern (Agrawal 2002:293). Upaya penyatuan pengetahuan lokal dan pengetahuan ilmiah kemudian memasuki perdebatan epistemologi yang memunculkan diskursus tersendiri. Diskursus tersebut menyangkut pengistilahan keotentikan (authentic indigeneity), romantisme, dan primitif dalam pembahasan pengetahuan lokal (Philip 2001:7292-7297). Pertanyaan menarik tentang pengetahuan lokal pernah diungkapkan oleh Suku Kiswahili di Tanzania seperti ditulis Briggs (2005:99), yaitu: “Jika pengetahuan lokal tersebut sangat baik, kenapa petani kami masih miskin?” Briggs (2005:99-114) kemudian menjelaskan sebagaimana diskursus yang telah ada bahwa hal tersebut terjadi karena: (1) konsep pengetahuan lokal sering dianggap seragam pada lintas komunitas, (2) bahaya romantisme berlebihan, dan (3) diterapkan secara top-down. Sebenarnya, agar jangan terjebak dalam diskursus yang berkembang, ilmuwan dan peneliti juga perlu mendominasi diskursus dalam upaya penyatuan hak masyarakat lokal dan masyarakat hukum adat dalam kebijakan dan hukum yang mengatur akses pengetahuan dan sumber daya serta distribusi manfaatnya dalam istilah yang dapat disetujui (Mauro dan Hardison 2000:1267). Diskursus tentang pengetahuan lokal seringkali termarjinalkan dalam diskursus teknologi, termasuk dalam penyelenggaraan pangan. Buktinya, dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan, istilah teknologi menjadi subjek bagi ciri-ciri kelokalan penyelenggaraan pangan (dengan nama kearifan lokal dan budaya lokal/masyarakat) yang diletakkan sebagai objek. Pelaku utama dalam penyelenggaraan pangan menjadi dominasi pemerintah dan pelaku usaha yang mengalahkan peran petani dan nelayan. Pelaku utama sebagai subjek kemudian mendominasi pengembangan teknologi. Dalam hal ini, teknologi dapat menjadi teknik otoriter dalam kategori Mumford (1964:2) karena terpusat dan didorong oleh kekuasaan yang melekat pada pelaku utama. Melihat ciri pelaku utama sebagai subjek dan posisi masyarakat sebagai objek dalam undang-undang tersebut, kita tentunya dapat mengkategorikan bahwa penyelenggaraan pangan cenderung berdasarkan ketahanan pangan. Oleh karena itu, setiap diskursus teknologi dalam paradigma ketahanan pangan akan selalu didominasi oleh pemerintah dan pelaku usaha sebagai pemegang kuasa pengetahuan utama. Diskursus teknologi dapat menjadi alat legitimasi nilai-nilai yang dianut oleh pemegang kuasa pengetahuan. Dalam paham neoliberalisme, diskursus yang terjadi kemudian melegitimasi liberalisme pasar, desentralisasi usaha, serta fleksibilitas produksi dan ketenagakerjaan seperti diskursus teknologi digital yang dijelaskan Fisher (2010:229-240). Diskursus teknologi, dalam konteks relasi sosial, melayani elit-elit sosial yang juga dapat mengambil kuasa pengetahuan dari masyarakat lokal/tradisional. Hal ini kemudian dijelaskan Lemke (1990:435-460) dengan menggunakan istilah diskursus teknokrat. Dengan demikian, diskursus teknologi menyangkut pangan selalu melibatkan aktor-aktor sebagai pemegang kuasa pengetahuan utama dengan memanfaatkan ruang politik yang tersedia untuk menghasilkan kebijakan pangan yang akan dijalankan. Ketika aktor-aktor pemegang kuasa pengetahuan bukan berasal dari masyarakat dan mereka memiliki kesempatan politik yang lebih luas, maka diskursus teknologi di bidang pangan cenderung menghasilkan narasi-narasi kebijakan yang memarjinalkan pengetahuan lokal. Dalam penyelenggaraan pangan yang berdasarkan kedaulatan pangan, pengetahuan lokal seharusnya menjadi basis bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan mengedepankan masyarakat lokal sebagai pemegang kuasa pengetahuan utama. Pertanyaannya adalah bagaimana memprioritaskan pengetahuan lokal dalam kebijakan pangan 4
nasional. Colfer et al. (2005:175) telah menawarkan 5 isu dalam membahas pengetahuan dan kearifan lokal, khususnya terkait dengan sumber daya hutan sebagai salah satu sumber pangan nasional, yaitu: (1) hak milik intelektual, (2) perbedaan dalam masyarakat, (3) perbedaan standar pengetahuan dan validitas, (4) kehutanan multiguna, dan (5) sistem pengetahuan lokal dan hubungan antara pengetahuan, mata pencaharian, dan lahan. Isu-isu tersebut dapat dipertimbangkan menjadi subjek yang dielaborasi lebih mendalam melalui penelitian dan pengembangan oleh ilmuwan dan peneliti. CONTOH KASUS BUDIDAYA LEBAH MADU Masyarakat Sumatera Barat yang didominasi oleh suku Minangkabau telah mengenal lebah sebagai satwa yang sering bersarang di pinggir atau paran rumah gadang. Keberadaan lebah berkaitan dengan lingkungan yang asri di sekitar rumah gadang. Raudha Taib, seorang pakar adat dan kebudayaan Minangkabau, dalam berita Kompas tanggal 29 Maret 2001 menjelaskan bahwa lebah yang bersarang di atap rumah gadang sudah menjadi hal biasa bagi masyarakat Minangkabau dan diyakini sebagai konsekuensi dari penataan tanaman perkarangan yang lestari di sekitar rumah gadang. Lebah telah diketahui menghasilkan madu yang baik untuk konsumsi. Bahkan, perpindahan sarang lebah ke atas atau dekat pintu rumah kemudian dimaknai sebagai sebuah peringatan, yaitu akan datang tamu yang tidak disukai. Budidaya lebah madu di Sumatera Barat telah diintroduksikan secara masif oleh pemerintah sejak tahun 1980-an dalam serangkaian program dan kegiatan perlebahan yang merupakan bahagian dari kebijakan perhutanan sosial dan pengembangan aneka usaha kehutanan. Sebelumnya, masyarakat di Sumatera Barat juga telah mengenal pengambilan madu dari lebah hutan yang bersarang atau berkoloni pada pepohonan yang berada di hutan. Hampir seluruh Kabupaten/Kota di Sumatera Barat diperkenalkan dengan budidaya lebah madu, terutama lebah lokal (Apis cerana). Namun, sampai tahun 2010, hanya beberapa kabupaten/ kota saja yang dapat bertahan seperti Kabupaten Padang Pariaman dan Kabupaten Agam. Salah satu wilayah atau nagari yang masih memelihara dan membudidayakan lebah madu adalah Nagari Koto Tangah Kabupaten Agam. Banyak masyarakat di sana memiliki kotak lebah (lebih dikenal dengan istilah stup) di halaman rumah mereka masing-masing. Keberhasilan budidaya lebah madu di nagari tersebut juga tak terlepas dari peran seorang petani yang bernama Pak Ajis. Pak Ajis merupakan seorang petani, yang bukan hanya mengembangkan budidaya lebah madu pada tanah miliknya sebagai usaha sampingan, tapi juga menyuplai kebutuhan stup kepada petani-petani yang berminat dalam membudidayakan lebah madu. Ia memelihara lebah madu dalam stup berbentuk segi empat yang terbuat dari batang kelapa yang banyak tumbuh di daerah tersebut. Sebenarnya, stup untuk sarang lebah jenis Apis cerana juga bisa dalam bentuk bulat berupa batang kelapa yang dilubangi (atau sering diistilahkan dengan gelodokan), seperti yang sering dibuat oleh peternak lebah di Kabupaten Pariaman. Masyarakat suku Naga di India, bahkan, memelihara lebah ini dalam tanah (underground bee hive) yang digali dengan kedalaman 1.5 kaki dan kerangkanya terbuat dari susunan kayu atau bambu, terutama di musim dingin (Singh 2014:584). Koloni lebah yang dipelihara Pak Ajis tidak selalu bersarang dalam stup yang telah dibuat dan banyak lebah lebih memilih bersarang pada pepohonan yang tumbuh di sekitarnya atau pada sisa-sisa batang pohon dan tumbuhan yang telah tumbang. Pak Ajis mengamati bahwa lebih banyak koloni lebah bersarang pada lubang batang pinang yang telah tumbang dan dibakar. Melihat hal tersebut, Pak Ajis memiliki ide untuk memanfaatkan sisa-sisa pohon pinang yang telah tumbang tersebut dan melubangi bagian dalamnya. Masing-masing pohon dibagi menjadi bagian-bagian dengan panjang berkisar 1 – 1.5 meter kemudian dibakar dengan api bagian dalamnya sampai berwana hitam kecoklatan-coklatan. Bagian 5
atasnya dibuat seperti pintu dan diberi beberapa lubang untuk menjadi tempat bersarang lebah yang lari dari stup. Pak Ajis memberikan nama “Jaelangkung” karena fungsinya untuk menghimbau koloni lebah yang lari dari stup. “Jaelangkung” kemudian diletakkan di kebunnya dan, ternyata, sebagian besar lebah tersebut memang bersarang didalamnya. Koloni lebah dalam “Jaelangkung” tersebut dapat dipindahkan kembali ke dalam stupnya masing-masing. Pengetahuan lokal Pak Ajis menghasilkan teknologi yang dalam konsep Mumford (1964:2) dikategorikan sebagai teknik demokratis. Pak Ajis mengembangkan teknologi tersebut untuk produksi madu dalam skala kecil karena usaha perlebahan yang dilakukannya dianggap sebagai usaha sampingan. Pak Ajis memantau langsung keberadaan koloni lebah dalam “Jaelangkung” yang telah disiapkan dan mengendalikan produksi dan distribusinya. Teknologi yang digunakan Pak Ajis juga kemudian diadopsi oleh sebagian besar masyarakat di kampung tersebut dan beradaptasi dengan mudah. Teknologi yang dikembangkan oleh Pak Ajis juga tidak dapat dilepaskan dari sejarah budaya masyarakat setempat yang telah mengenal lebah sebagai satwa yang dapat dipelihara dan menghasilkan makanan yang dapat dikonsumsi. Pengalaman Pak Ajis menarik perhatian Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Barat, sehingga Pak Ajis dijadikan sebagai petani pakar dalam usaha perlebahan yang banyak didorong oleh pemerintah sejak tahun 2010. Pengembangan usaha perlebahan di Indonesia memang menjadi domain fungsi dan tugas pemerintahan yang dijalankan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (dulu Kementerian Kehutanan). Di daerah, usaha perlebahan didorong oleh pemerintah provinsi dan kabupaten/kota melalui dinas teknis yang ada (terutama yang berkaitan dengan urusan kehutanan). Dalam penelitian dan pengembangan teknologi, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan memberikan dukungan teknis melalui Balai Penelitian Tanaman Serat Tanaman Hutan (BPTSTH) yang berada di Kuok Provinsi Riau. Lebah dibudidayakan untuk menghasilkan madu, tepung sari, royal jelly, lilin lebah dan propolis yang dapat meningkatkan pendapatan masyarakat dan memperbaiki mutu gizi masyarakat (BPTSTH 2012:1). Bagi Kementerian Kehutanan, kegiatan perlebahan merupakan salah satu aneka usaha kehutanan yang ditujukan bagi pemberdayaan masyarakat sekitar hutan untuk menghindari degradasi dan deforestasi hutan. Kegiatan ini kemudian seringkali diarahkan untuk menghasilkan manfaat sosial ekonomi yang maksimal, sehingga peran teknologi dalam peningkatan kuantitas dan kualitas usaha lebah menjadi penting. Peran teknologi dielaborasi oleh peneliti kehutanan dalam Roadmap Penelitian Perlebahan (BPTSTH 2012:2) sebagai berikut: “Pada umumnya saat ini para peternak lebah masih melakukan budidaya dengan teknologi tradisional, memiliki permodalan terbatas, dan sulit memasarkan produk karena produk yang dihasilkan tidak sesuai dengan permintaan pasar. Untuk itu perlu adanya upaya peningkatan pengetahuan dan keahlian peternak lebah dalam melakukan kegiatan perlebahan dengan dihasilkannya teknologi terkini yang handal dan efisien. Upaya ini dapat mendukung peningkatan manfaat, nilai tambah dan daya saing produk perlebahan berserta turunannya, serta mendukung kegiatan pengelolaan sumber daya alam hutan sehingga dapat memberikan manfaat ekonomi dan sosial secara optimal. Disinilah peran lembaga penelitian dan pengembangan perlebahan dibutuhkan untuk melakukan aktivitas penelitian dan pengembangan di bidang perlebahan” Pernyataan di atas dapat dipahami bahwa pengetahuan peternak lebah, seperti yang dikembangkan oleh Pak Ajis, harus menghasilkan teknologi yang handal dan efisien. Kata handal dan efisien seringkali menunjukkan pentingnya sebuah produktivitas dalam setiap usaha. Peneliti kehutanan menilai budidaya lebah madu harus menggunakan teknologi yang 6
produktivitasnya lebih tinggi, mendapatkan akses permodalan yang lebih luas, dan kualitas produk yang sesuai dengan standar berlaku. Berdasarkan hal tersebut, keberhasilan usaha budidaya lebah dinilai dari manfaat ekonomi yang maksimal, produksi yang berkelanjutan, dan kualitas produk sesuai Standar Nasional Indonesia/SNI (BPTSTH 2012:7-8). Riset tentang perlebahan kemudian diarahkan pada upaya-upaya mencapai keberhasilan usaha perlebahan sebagaimana standar yang telah dibuat dan mengikuti perkembangan state of the art penelitian perlebahan yang diyakini. Fokus penelitian perlebahan ditetapkan 3 hal, yaitu mengeksplorasi jenis lebah produktif, peningkatan kualitas produk, dan hubungan pakan lebah dengan hasil produk (BPTSTH 2012:21). BPTSTH berupaya membuat produksi madu lebih besar dengan kualitas yang diterima oleh pasar. Pengembangan lebah madu dijalankan dalam tradisi birokrasi yang telah biasa dilakukan, seperti sosialisasi, demontrasi teknologi, dan sebagainya. BPTSTH mendorong agar produksi lebah dari para peternak mengikuti standar-standar yang berlaku di pasaran. Untuk mendukung itu semua, BPTSTH dengan tradisi ilmiahnya memberikan argumentasiargumentasi ilmiah melalui serangkaian penelitian empiris agar mendapat kepercayaan dari pengguna, terutama peternak lebah. Berdasarkan hal tersebut, teknologi yang dintroduksikan oleh BPTSTH dapat dikategorikan sebagai teknik otoriter (Mumford 1964:2) yang berpusat pada sistem usaha perlebahan yang diyakini oleh BPTSTH dan disebarluaskan dengan kewenangan yang dimilikinya. Akan tetapi, Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Barat lebih suka menggunakan pengetahuan Pak Ajis sebagai rujukan perluasan pengembangan usaha perlebahan di Sumatera Barat. Seluruh kelompok sasaran pengembangan usaha perlebahan diperkenalkan dengan cara yang telah dikembangkan Pak Ajis. Calon-calon peternak lebah diberikan kesempatan belajar (studi lapangan) ke tempat Pak Ajis. Oleh karena itu, cara budidaya lebah madu di Sumatera Barat dapat dikatakan hampir seragam. Usaha perlebahan kemudian menjadi bagian dari program dan kegiatan unggulan Gerakan Pensejahteraan Petani (GPP) yang didorong Pemerintah Provinsi Sumatera Barat. Namun, sampai saat ini, perkembangan usaha perlebahan masih kurang berkembang dan hanya beberapa kelompok yang masih berbudidaya lebah, terutama di Kabupaten Padang Pariaman. Kita menganalisis bahwa Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Barat menjalankan diskursus teknokratik seperti yang dijelaskan Lemke (1990:435-460) dengan memanfaatkan pengetahuan lokal Pak Ajis untuk kemudahan manajemen. Teknologi Pak Ajis dianggap lebih mudah untuk disebarluaskan dan menjadi pilihan rasional untuk memperluas budidaya lebah madu secara besar-besaran. Dengan kekuatan birokrasi yang dimiliki, Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Barat mendorong kabupaten/kota untuk dapat merealisasikannya. Tetapi, adopsi pengetahuan lokal juga harus mempertimbangkan adanya perbedaan diantara masyarakat seperti yang dijelaskan Colfer et al. (2005:175). Sebenarnya, teknik yang digunakan oleh Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Barat adalah sama dengan BPTSTH, yaitu teknik otoriter (Mumford 1964:2). Pertanyaan yang masih tersisa adalah apakah teknik otoriter tersebut telah gagal dalam mendorong perluasan usaha perlebahan di Sumatera Barat. Hal ini yang perlu dikaji lebih lanjut. CONTOH KASUS AGROFORESTRY Masyarakat Sumatera Barat memiliki pengetahuan dan kearifan lokal dalam pengelolaan sumber daya alam yang melahirkan praktek-praktek kelola sumber daya alam seperti rimbo larangan dan parak. Praktek-praktek tersebut merupakan sebagian representasi dari filosofi masyarakat yang ada dalam petatah-petitih “nan lereang jadikan parak, nan bancah jadikan sawah, ka rimbo babungo kayu, ka sawah babungo ampiang (yang lereng jadikan kebun, yang datar jadikan sawah, ke hutan berbunga kayu, ke sawah berbunga padi)”. 7
Bahkan, praktek parak yang dilakukan masyarakat Sumatera Barat dinilai Sardjono et al. (2003) sebagai pengetahuan lokal yang merupakan salah satu bentuk wanatani (agroforestry), di samping bentuk lainnya seperti Munaant (suku Dayak Tanjung Kalimantan Timur), Simpukng (suku Dayak Benuaq Kalimantan Timur), Tembawang (Kalimantan Barat), dan Rempong Damar (Lampung). Salah satu praktek parak yang telah dikenal luas yaitu parak yang dikembangkan masyarakat Nagari Koto Malintang Kabupaten Agam. Parak biasanya dikembangkan pada areal perbukitan dan didominasi oleh kulit manis, durian, dan tanaman tahunan lainnya dalam suatu lanskap (Martial et al. 2012:487). Parak juga merupakan bentuk kelola lahan sebagai sistem penyangga yang efektif bagi perlindungan hutan alam (Michon et al. 1986:335) atau rimbo-rimbo yang mereka miliki. Pengakuan terhadap parak di Nagari Koto Malintang dibuktikan dengan anugerah Kalpataru yang diterima pada tahun 2013 dan menjadi salah satu Nagari Peduli Kehutanan di Sumatera Barat. Praktek parak juga merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dalam pengelolaan sumber daya hutan secara keseluruhan seperti yang dilakukan masyarakat Jorong Simancuang Nagari Alam Pauh Duo Kabupaten Solok Selatan dengan konsep hutan nagari. Masyarakat Jorong Simancuang berhasil menjadi pionir bagi perluasan hutan nagari di Sumatera Barat yang mengkolaborasikan konsep parak dan rimbo, bahkan nagari mereka menjadi pusat pembelajaran pengelolaan hutan berbasis masyarakat (PHBM) bagi Pemerintah Provinsi Sumatera Barat dan juga menjadi salah satu Nagari Peduli Kehutanan di Sumatera Barat. Parak merupakan suatu agroekosistem yang lebih kompleks dan dibangun dengan teknik agroforestry. Kajian yang dilakukan oleh Balai Penelitian Kehutanan (BPK) Aek Nauli (2012:27) bekerjasama dengan Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Barat menunjukkan bahwa cadangan karbon parak kulit manis pada kawasan hutan nagari di Jorong Simancuang Nagari Alam Pauh dihitung sebesar 85.82 MgC/ha dan nilai tersebut lebih tinggi daripada cadangan karbon Hutan Tanaman Industri (HTI) yang menurut Sekretariat RAN GRK hanya mencapai 64 MgC/ha. Cadangan karbon tersebut sesuai dengan Nair et al. (2010) dalam Jose dan Bardhan (2012:105-106) yang memperkirakan stok karbon pada lahan agroforestry berkisar dari 0.29 sampai 15.21 MgC/ha/tahun di atas permukaan tanah dan 30– 300 MgC/ha pada kedalaman lebih dari 1 m dari permukaan tanah. Keunggulan agroforestry juga telah dibuktikan oleh banyak ilmuwan dan peneliti di berbagai belahan dunia. Agroforestry unggul dalam keanekaragamannya dan kemampuannya mengurangi limpasan permukaan, sedimentasi, dan kehilangan hara. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Udawatta et al. (2002:1224), setelah tiga tahun perlakuan agroforestry pada rotasi jagung dan kacang-kacangan, limpasan permukaan dan kehilangan fosfor berkurang masing-masingnya 1 % dan 17 %. Atta-Krah et al. (2004:187) menyatakan bahwa agroforestry merupakan sistem tata guna lahan yang meningkatkan keragaman, khususnya dalam konteks keragaman antar spesies, karena adanya tanaman musiman, tumbuhan semak, pohon, termasuk hewan ternak dalam suatu lahan. Arnold dan Dewees (1997) dalam Atta-Krah et al. (2004:190) menilai bahwa petani pada umumnya peduli terhadap keragaman sistem pertaniannya, terutama petani subsisten yang hanya memiliki lahan kecil di daerah-daerah tropis. Petani menanam pohon untuk peningkatan pendapatan, manajemen resiko, kecukupan pangan keluarga, serta optimalisasi lahan, tenaga kerja, dan modal. Hal demikian juga terlihat pada masyarakat Nagari Koto Malintang dan Nagari Alam Pauh Duo. Teknologi parak atau agroforestry berkembang dengan luas pada tingkat petani. Keputusan petani dalam membudidayakan tanaman di areal parak ditentukan secara independen oleh petani itu sendiri. Parak kemudian berkembang luas menjadi praktek pengelolaan lahan yang diadopsi secara turun temurun oleh masyarakat Sumatera Barat. Parak telah menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan dari budaya masyarakat Sumatera Barat. Dalam konteks tersebut, teknologi parak dapat dikategorikan sebagai teknologi 8
demokratis menurut Mumford (1964:2). Meskipun masih kurang mendapatkan dukungan politik dari pemerintah, parak mampu bertahan lama sebagai praktek kelola lahan yang berbasiskan sejarah budaya masyarakat itu sendiri. Keberhasilan praktek agroforestry di beberapa daerah kemudian menjadi dasar bagi peneliti kehutanan untuk berupaya menyebarluaskan praktek tersebut. Hal tersebut dituangkan dalam visi strategi nasional penelitian agroforestry 2013-2030 (Rohadi et al. 2013:11), dengan bunyi sebagai berikut: “Agroforestri diadopsi secara luas oleh masyarakat sebagai sistem penggunaan lahan terpadu dalam rangka peningkatan produktivitas lahan untuk memenuhi kebutuhan pangan, papan, energi dan jasa lingkungan, didasarkan atas pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sesuai dengan kearifan lokal masyarakat” Pemenuhan kebutuhan pangan dalam visi di atas dimaknai dalam kerangka ketahanan pangan. Pemanfaatan lahan kehutanan melalui agroforestry menjamin pencapaian program ketahanan pangan nasional, karena sumber daya hutan memiliki 3 fungsi utama dalam konteks ketahan pangan, yaitu sebagai penyedia jasa lingkungan yang memungkinkan terjadinya produksi pangan secara berkelanjutan, penyedia sumber genetik yang bisa memperkuat produksi pangan, dan sebagai penyedia lahan (Rohadi et al. 2013:5-6). Pertanyaan kita adalah kenapa peneliti kehutanan menempatkan kontribusi agroforestry dalam kerangka ketahanan pangan. Cara berpikir ini mungkin dapat kita maknai dari rumusan tantangan yang sedang dan akan dihadapi dalam pengembangan agroforestry, yaitu kemiskinan, konflik lahan hutan dan degradasi sumber daya hutan, tarik menarik kepentingan antara konservasi dan pembangunan, lambatnya implementasi pemerintah terkait pelibatan masyarakat dalam pengelolaan hutan, antisipasi terhadap masalah perubahan iklim global, dan praktek penyelenggaraan penelitian yang kurang sistematis (Rohadi et al. 2013:15-24). Hal yang berbeda ditunjukkan dalam status riset agroforestry di Indonesia yang dibuat oleh Firdaus et al. (2013:1-135), konteks ketahanan pangan memang kurang menjadi fokus dalam penelitian agroforestry. Kita belum dapat menjelaskan lebih lanjut kenapa peneliti kehutanan menggunakan kerangka ketahanan pangan dan kenapa tidak mendorong agroforestry dalam kerangka kedaulatan pangan. Peneliti kehutanan dalam strategi nasional di atas berupaya tetap mempertahankan teknologi agroforestry sebagai teknologi yang bersumber dari dan harus sesuai dengan pengetahuan dan kearifan lokal masyarakat setempat. Akan tetapi, kita mengkhawatirkan bagaimana cara peneliti memperluas adopsi teknologi agroforestry, apalagi dalam kerangka politik neoliberalisme yang meluas. Jika adopsi teknologi berjalan dalam tatanan politik dan birokrasi yang berkuasa, disebarluaskan dengan standarisasi yang telah ditentukan, dan menjadikan diskursus ilmiah sebagai alat pendorong, maka kita dapat berhipotesa bahwa teknologi agroforestry dikemudian hari akan menjadi teknik otoriter yang terikat dalam suatu sistem yang telah ditentukan dan dijalankan dengan pengaruh kekuasaan tetapi akan cenderung tidak stabil (Mumford 1964:2). Tentunya, kita boleh mempertanyakan apakah teknik otoriter akan mengalami kegagalan dalam memperluas agroforestry, seperti yang terjadi dalam kasus pengembangan lebah madu di atas. Hal ini dapat menjadi kajian dalam penelitian-penelitian berikutnya. KESIMPULAN DAN SARAN Ilmuwan dan peneliti dapat memainkan diskursus untuk mempengaruhi pengambil kebijakan dalam rangka adopsi teknologi yang telah diciptakannya. Diskursus ilmuwan dan peneliti tentang teknologi dapat dikategorikan dalam teknik otoriter dan teknik demokratis. Teknik otoriter berpusat pada sistem yang telah dibangun (seperti sistem ketahanan pangan) dengan memanfaatkan ruang politik yang tersedia (seperti didukung oleh undang-undang). 9
Teknik demokratis berpusat pada manusia (seperti masyarakat lokal dengan pengetahuan lokalnya), meski memiliki ruang politik yang terbatas. Namun demikian teknik demokratis dapat bertahan lebih lama dibandingkan dengan teknik otoriter. Pengetahuan lokal yang menghasilkan teknologi lokal, seperti “Jaelangkung” dan parak, merupakan teknik demokratis, meskipun hanya untuk produksi pertanian skala kecil, tapi mampu berkembang dan bertahan lebih lama dalam kendali petani itu sendiri. Teknologi lokal juga menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan dalam sejarah budaya suatu masyarakat. Ketika petani mampu menjadi pelaku utama dalam membudayakan teknologi pertanian, maka penyelenggaraan pangan dalam kerangka kedaulatan pangan seharusnya dapat diwujudkan. Hal ini merupakan tantangan masa depan bagi ilmuwan dan peneliti. Mereka perlu memainkan diskursus teknologi dalam kerangka kedaulatan pangan demi kemajuan bangsa dan negara Indonesia. UCAPAN TERIMA KASIH Penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) Kementerian Keuangan atas kesempatan melanjutkan studi S-3 sehingga penulis berkesempatan membuat tulisan-tulisan yang memberikan kontribusi bagi kemajuan Indonesia. Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Barat dan jajarannya yang memberikan dukungan bagi tulisan ini.
DAFTAR PUSTAKA Agrawal A. 2002. Indigenous knowledge and the politics of classification. ISSJ. 173:288297. Arts B, Appelstrand M, Kleinschmit D, Pülzl H, dan Visseren-Hamakers I. 2010. Discourses, Actors and Instruments in International Forest Governance. Di dalam: Rayner J, Buck A, dan Katila P (editor). Embracing Complexity: Meeting the Challenges of International Forest Governance. Vienna. The Global Forest Expert Panel on the International Forest Regime, IUFRO World Series Volume 28. pp.57-73. Atta-Krah K, Kindt R, Skilton JN, dan Amaral W. 2004. Managing biological and genetic diversity in tropical agroforestry. Agroforestry Systems. 61: 183–194. [BPK] Balai Penelitian Kehutanan Aek Nauli. 2012. Laporan Hasil Kegiatan: Pembangunan Plot Sampel Permanen (PSP) sebagai Upaya Penyediaan Data dan Monitoring Stok Karbon serta Perubahan Stok Karbon pada Berbagai Tipe Tutupan Hutan di Hutan Nagari, Provinsi Sumatera Barat. Bogor. Puspijak Kementerian Kehutanan. [BPTSTH] Balai Penelitian Teknologi Serat Tanaman Hutan. 2012. Roadmap Penelitian Perlebahan. Kuok. BPTSTH Kementerian Kehutanan. Briggs J. 2005. The use of indigenous knowledge in development: problems and challenges. Progress in Development Studies. 5(2):99–114. Challinor AJ, Wheeler TR, Garforth C, Craufurd P, dan Kassam A. 2007. Assessing the vulnerability of food crop systems in Africa to climate change. Climatic Change. 83(3):381-399. [CIPR] Commission on Intellectual Property Rights. 2002. Integrating Intel-lectual Property Rights and Development Policy. Report of the Commission on Intellectual Property Rights. London. Commission on Intellectual Prop-perty Rights.
10
Colfer CJP, Colchester M, Joshi L, Puri R, Nygren A, dan Lopez C. 2005. Traditional Knowledge and Human Well-Being in the 21st Century. Di dalam: Mery G, Alfaro RI, Kanninen M, dan Lobovikov M (editor). Forests in the Global Balance-Changing Paradigms. Vienna. IUFRO World Series No.v.17. pp.173-182. Dilip JK. 2013. Food security in India. Online International Interdisciplinary Research Journal. III(V):313-319. Firdaus N, Sudomo A, Suhaendah E, Widyaningsih TS, Sanudin, dan Kuswantoro DP. 2013. Status Riset Agroforestri di Indonesia. Ciamis. Balai Penelitian Teknologi Agroforestry. Fisher E. 2010. Contemporary technology discourse and the legitimation of capitalism. European Journal of Social Theory. 13(2):229-240. Godfray HCJ, Beddington JR, Crute IR, Haddad L, Lawrence D, Muir JF, Pretty J, Robinson S, Thomas SM, dan Toulmin C. 2010. Food security: The challenge of feeding 9 billion people. Science. 327:812-818. Kaufman DA. 2006. Knowledge, wisdom, and the philosopher. Philosophy. 81:129-151. Khan S, Hanjra MA, dan Mu J. 2009. Water management and crop production for food security in China: A review. Agricultural Water Management. 96:349 – 360. Jose S dan Bardhan S. 2012. Agroforestry for biomass production and carbon sequestration: an overview. Agroforest Syst. 86:105–111. Lee R. 2007. Food security and food sovereignty. Centre for Rural Economy Discussion Paper Series. 11:1-16. Lemke JL. 1990. Technical Discourse and Technocratic Ideology. Di dalam: Halliday MAK, Gibbons J, dan Nicholas H (editors). Learning, Keeping, and Using Language: Selected Papers from the 8th AILA World Congress of Applied Linguistics (Volume II). Amsterdam. John Benjamins. Pp.435-460. Martial T, Helmi, Effendi N, dan Martius E. 2012. Land and tree tenure rights on agroforestry (parak) system at communal land in West Sumatra, Indonesia. Journal of Agricultural Extension and Rural Development. 4(19): 486-494. Mauro F dan Hardison PD. 2000. Traditional knowledge of indigenous and local communities: International debate and policy initiatives. Ecological Applicationis. 10(5):1263-1269. Michon G, Mary F, dan Bompard J. 1986. Multistoried agroforestry garden system in West Sumatra, Indonesia. Agroforestry Systems. 4:315-338. Mumford L. 1964. Authoritarian and democratic technics. Technology and Culture. 5(1):18. Ong A. 2007. Neoliberalism as a mobile technology. Trans Inst Br Geogr. 32:3–8. Philip KS. 2001. Indigenous knowledge: Science and technology studies. International Encyclopedia of the Social & Behavioral Sciences. pp.7292-7297. Posey DA dan Dutfield G. 1996. Beyond Intellectual Property: Toward Traditional Resource Rights for Indigenous Peoples and Local Communities. Ottawa. International Development Research Centre. Rohadi D, Herawati T, Firdaus N, Maryani R, dan Permadi P. 2013. Strategi Nasional Penelitian Agroforestri 2013-2030. Bogor. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peningkatan Produktivitas Hutan, Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Rowley J. 2006a. What do we need to know about wisdom? Management Deci-sion. 44(9):1246-1257. Rowley J. 2006b. Where is the wisdom that we have lost in knowledge? Journal of Documentation. 62(2):251-270. Sardjono MA, Djogo T, Arifin HS, dan Wijayanto N. 2003. Klasifikasi dan Pola Kombinasi Komponen Agroforestri. Bogor. World Agroforestry Centre (ICRAF). 11
Singh AK. 2014. Traditional beekeeping shows great promises for endangered indigenous bee Apis cerana. Indian Journal of Traditional Knowledge. 13(3):582-588. Sutton R. 1999. The policy process: An overview. Working Paper 118. London. Overseas Development Institute. Swastika DKS. 2011. Membangun kemandirian dan kedaulatan pangan untuk mengentaskan petani dari kemiskinan. Pengembangan Inovasi Pertanian. 4(2): 103-117. Udawatta RP, Krstansky JJ, Henderson GS, dan Garrett HE. 2002. Agroforestry practices, runoff, and nutrient loss: A paired watershed comparison. J. Environ. Qual. 31:12141225. van Kerkhoff L dan Lebel L. 2006. Linking knowledge and action for sustainable development. Annu. Rev. Environ. Resour. 31:445–77. Warr P. 2011. Food security vs food self-sufficiency: The Indonesian case. Working paper No. 2011/04. Canberra. The Australian National University. Windfuhr M dan Jonsén J. 2005. Coastal Zones and Marine Ecosystems. Di dalam: McCarthy et al. (editor). Climate Change 2001: Impacts, Adaptation, and Vulnerability. Cambridge University Press. [WIPO] World Intellectual Property Organization. 2012. Intellectual Property and Genetic Resources, Traditional Knowledge and Traditional Cultural Expressions: An Overview. Geneva. World Intellectual Property Orga-nization.
12