Perspektif Kelembagaan Lumbung Pangan Non Beras dalam Mendukung Kedaulatan Pangan Lokal
PERSPEKTIF KELEMBAGAAN LUMBUNG PANGAN NON BERAS DALAM MENDUKUNG KEDAULATAN PANGAN LOKAL Institutional Perspective of Non-rice Storage to Support Local Food Sovereignty Kurnia Suci Indraningsih Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Jl. A. Yani 70 Bogor 16161 E-mail:
[email protected]
ABSTRACT Consumption patterns (particularly for urban dwellers) increasingly rely on rice as food source, although non rice food consumption can still be found, especially in rural and isolated communities. One alternative to reduce food dependency on rice and to support food sovereignty, especially in locality is to seek and establish a mechanism that could manage local nonrice storage. This paper aims to: (1) analyze the performance of the existing institution of non-rice storage, and (2) analyze the functional of existing communal management of local nonrice food. Through a review of several studies, it is concluded that institutional leadership and conventional institution both play very important role, because they are able to predict the amount and types of food demanded by community. Besides, they are also more apt for the purpose of transferring information and making decision regarding to local food issues. Moreover, based on their accumulated experience, they could also make recommendation on cultivation strategies for the interest of local communities. In conclusion, community-based approach is a strategy that could be expected to improve the community social resilience, while at the same time maintain the ecosystem sustainability of non-rice food in local communities. Keywords: institution, food storage, non rice, food sovereignty
ABSTRAK Pola konsumsi masyarakat (terutama perkotaan) semakin bergantung pada sumber pangan beras, walaupun tradisi konsumsi pangan non beras masih dapat dijumpai, terutama pada wilayah perdesaan dan masyarakat yang terisolir. Salah satu alternatif untuk mengurangi ketergantungan pangan beras adalah menata kelembagaan lumbung pangan non beras yang ada di wilayah Indonesia sebagai upaya mewujudkan kedaulatan pangan lokal. Tulisan ini bertujuan untuk: (1) Menganalisis kelembagaan lumbung pangan non beras untuk mewujudkan kedaulatan pangan lokal, dan (2) Menganalisis manajemen pangan komunal non beras. Melalui review beberapa hasil penelitian, dalam proses alih informasi dan pengambilan keputusan, salah satu elemen pendekatan yang memegang peranan penting adalah lembaga kepemimpinan (leadership) dan kelembagaan adat yang mampu memprediksi jumlah dan jenis pangan beserta strategi budidayanya untuk kepentingan komunal. Pendekatan berbasis komunitas (community-based approach) merupakan suatu strategi terapan yang dapat meningkatkan ketangguhan sosial (social resilience)
421
Kurnia Suci Indraningsih
masyarakat sekaligus mempertahankan keberlanjutan ekosistem pangan non beras pada komunitas lokal. Kata kunci: kelembagaan, lumbung pangan, non beras, kedaulatan pangan
PENDAHULUAN
Hampir sebagian besar masyarakat Indonesia mengkonsumsi beras sebagai pangan pokok, yang menyebabkan ketergantungan masyarakat Indonesia pada beras. Untuk mencukupi kebutuhan beras, Indonesia masih melakukan impor. Dalam jangka waktu yang lama bila impor beras masih dilakukan dapat mengancam ketahanan nasional. Walaupun impor beras Indonesia dari tahun ke tahun mengalami penurunan, namun jumlahnya masih dinilai relatif besar. Sebagai sumber pangan pokok, beras tidak hanya telah membudaya dalam pola konsumsi pangan penduduk Indonesia namun juga memiliki citra pangan yang baik dari sisi sosial. Sementara komoditas sumber karbohidrat lainnya yang biasa dikonsumsi di masa lampau, saat ini semakin kurang diminati, karena dinilai sebagai pangan inferior. Angka konsumsi beras per kapita per tahun rata-rata penduduk Indonesia yang digunakan pada perhitungan saat ini adalah 139,15 kg/kapita/tahun yang dihitung dari neraca stock awal, produksi dan impor, dikurangi kebutuhan untuk benih, bahan baku industri, pakan ternak, rumah makan dan tercecer. Jumlah beras yang dikonsumsi langsung di dalam rumah tangga berdasarkan data Susenas 2010 sebesar 100,76 kg/kapita/tahun (Ditjen Tanaman Pangan, 2012). Tingginya dominasi beras dalam pola konsumsi pangan penduduk Indonesia berimplikasi bahwa upaya penurunan konsumsi beras sebagai pangan sumber karbohidrat utama dalam pola konsumsi pangan penduduk Indonesia merupakan suatu upaya yang tidak dapat ditawar lagi dan memerlukan sinergitas lintas sektor dalam pencapaiannya. Salah satu alternatif untuk mengurangi ketergantungan pangan beras adalah menata kelembagaan lumbung pangan non beras yang ada di wilayah Indonesia sebagai upaya mewujudkan kedaulatan pangan lokal. Menurut Yosalfa (2013) konsumsi pangan dan pilihan ragam pangan seseorang dipengaruhi berbagai faktor, seperti kebiasaan makan, norma agama, adat-istiadat, ketersediaan dan keragaman pangan yang tersedia, keterjangkauan, kebutuhan fisik tubuh, pengetahuan tentang pangan, kemampuan keluarga/per orang, ketersediaan waktu untuk belanja dan memasak, ketersediaan sarana penyimpanan dan memasak, serta iklan. Salah satu faktor tersebut, yaitu kebiasaan makan terjadi dalam kehidupan masyarakat perkotaan sehari-hari misalnya kebiasaan memakan nasi dari beras putih. Orang mengatakan bahwa jika belum makan nasi maka belum bisa dinyatakan sudah makan. Secara tradisional masyarakat telah membangun sistem cadangan pangan desa dan rumah tangga, salah satunya dalam bentuk kelembagaan lumbung pangan.
422
Perspektif Kelembagaan Lumbung Pangan Non Beras dalam Mendukung Kedaulatan Pangan Lokal
Lumbung pangan telah dikenal sebagai salah satu institusi cadangan pangan di perdesaan dan membantu mengatasi kerawanan pangan masyarakat di masa paceklik dan masa bencana. Pengetahuan mendalam tentang sistem cadangan pangan masyarakat terutama kelembagaan pengelolaan serta faktor yang mempengaruhinya akan sangat berguna dalam rangka membangun kembali sistem kelembagaan pangan masyarakat terutama di daerah rawan pangan, dan hal ini akan sangat berarti dalam merumuskan kebijakan dalam mengatasi kerawanan pangan masyarakat (Rachmat et al., 2010). Tulisan ini bertujuan untuk: (1) Menganalisis kelembagaan lumbung pangan non beras untuk mewujudkan kedaulataan pangan lokal, dan (2) Menganalisis manajemen pangan komunal non beras. Tulisan ini merupakan review dari berbagai hasil penelitian dan referensi yang relevan.
KELEMBAGAAN LUMBUNG PANGAN NON BERAS UNTUK MEWUJUDKAN KEDAULATAN PANGAN LOKAL
Kelembagaan Lumbung Pangan Pengelolaan cadangan pangan oleh masyarakat secara kolektif dalam bentuk lumbung pangan telah lama ada dan menjadi tradisi masyarakat Indonesia. Lumbung pangan mengalami perkembangan yang pesat pada tahun 1930-an sewaktu masa krisis ekonomi dunia (malaise). Setelah Indonesia merdeka, pemerintah juga mengembangkan beberapa kebijakan pengembangan cadangan pangan. Pada tahun 1969 Pemerintah Orde Baru berdasarkan Inpres Bantuan Pembangunan Desa mendukung pengembangan lumbung desa. Program itu memungkinkan dibangunnya banyak lumbung desa di berbagai wilayah di Indonesia (Witoro et al., 2006). Keberadaan lumbung di masyarakat pasang surut dan perannya terus berkembang disesuaikan dengan dinamika yang terjadi. Lumbung pangan tidak hanya berperan sebagai gudang pangan untuk mengatasi masalah kekurangan pangan pada masa paceklik dan kondisi bencana, tetapi juga berkembang menjadi kelembagaan pembiayaan yang melayani kebutuhan modal dan sarana produksi bagi masyarakat. Kelembagaan lumbung pangan masyarakat saat ini pada umumnya masih pada tingkatan sederhana dan berorientasi sosial. Oleh karenanya lumbung desa perlu direkontruksi peran dan fungsinya serta memperkuat kemampuannya. Lumbung diharapkan tidak hanya membantu ketahanan pangan masyarakat dalam skala terbatas, namun dalam jangka panjang dapat ditingkatkan lagi menjadi lembaga ekonomi andalan bagi petani di pedesaan. Pemberdayaan dilakukan secara sistematis, utuh, terpadu dan berkesinambungan dengan melibatkan seluruh unsur terkait. Upaya ini diharapkan akan mampu memberikan kontribusi yang signifikan terhadap perwujudan ketahanan pangan, dan lembaga sosial ekonomi masyarakat ini mampu menjadi lembaga penggerak ekonomi pedesaan (Jayawinata, 2003). Lumbung pangan yang ada di masyarakat meliputi: (a) Lumbung lndividu, yang merupakan tempat penyimpanan produksi individu rumah tangga yang 423
Kurnia Suci Indraningsih
memproduksi pangan (padi/jagung). Menyimpan stok bahan pangan rumah tangga selama periode tertentu (musiman, tahunan). Lumbung berada di dalam rumah atau di luar rumah, (b) Lumbung Kelompok, yaitu lumbung yang dibangun oleh kelompok atau masyarakat dengan tujuan mengatasi kerawanan pangan kelompok tertentu, dengan anggota: kelompok masyarakat rawan pangan, dengan tujuan mengatasi masalah kerawanan pangan bagi anggota kelompok, dan (c) Lumbung Desa, yaitu lumbung yang dibangun atas prakarsa aparat desa dalam mengatasi kerawanan pangan kelompok masyarakat desa, pemerintah desa memfasilitasi dalam pendirian lumbung. Lumbung beranggotakan semua anggota masyarakat terlibat. Lumbung bisa dalam beberapa kelompok lumbung menurut dusun. Umumnya masih bertahan di desa yang menghadapi kendala kerawanan pangan. Beberapa anggota lumbung telah memperluas kegiatannya seperti ke arisan, simpan pinjam, dan persewaan alat alat (Rachmat et al., 2010). Tabel 1. Fungsi Lumbung Pangan bagi Masyarakat Perdesaan No. 1.
Fungsi Sosial
Uraian Menumbuhkan modal sosial berupa kepercayaan, solidaritas dan kerjasama warga untuk memenuhi kebutuhan pangan, meningkatkan usahatani. Warga desa secara bersama bahu-membahu, saling membantu, dan merasa senasib sepenanggungan dalam mengatasi masalah kekurangan pangan dan membangun desanya Membangun kemandirian petani dan pertanian berkelanjutan Penopang ketahanan pangan, prestise, atau lambang status sosial
2.
Ekonomi
Sarana untuk meningkatkan posisi tawar petani yang selama ini lemah ketika berhadapan dengan dunia usaha dan pemerintah Mengendalikan suplai produksi pertanian, produk para petani disimpan dulu di dalam lumbung sambil menunggu harga yang lebih baik, saat harga baik simpanan produksi itu mereka jual ke pasar sehingga dapat memperoleh harga dan keuntungan yang baik Dengan kondisi mandiri, petani tak akan mudah dipermainkan oleh perusahaan-perusahaan yang memainkan harga dan distribusi Bukti pencapaian tingkat kesejahteraan ekonomi, dengan memfungsikan sebagai kelembangaan pembiayaan yang melayani kebutuhan modal dan sarana produksi bagi masyarakat
3.
Teknis (proses pembelajaran)
Melalui kelembagaan lumbung pangan, petani dapat membuat sendiri aneka input bahkan alat pertanian untuk kebutuhan bertani atau bahkan dijual di pasar
Sumber: Witoro et al., 2006 (data diolah)
424
Perspektif Kelembagaan Lumbung Pangan Non Beras dalam Mendukung Kedaulatan Pangan Lokal
Lumbung pangan merupakan lembaga pangan yang sejak lama ada dan terbukti mampu menjadi andalan petani dan warga desa lainnya dalam memenuhi pangan sepanjang musim. Lumbung pangan di tingkat desa menujukkan bahwa pangan sungguh berada di tangan rakyat sehingga mudah diakses sepanjang waktu. Keberadaan dan peran lumbung desa semakin memudar seiring dengan kebijakan pengembangan cadangan pangan nasional pada masa Orde Lama dan liberalisasi pasca 1997. Sebagai akibatnya pangan tidak lagi ada di tangan rakyat, tetapi berada di tangan para perusahaan-perusahaan.
Kedaulatan Pangan Kedaulatan pangan menjadi prinsip dalam pengembangan kelembagaan pangan non beras, mengingat: (1) Kedaulatan pangan berbeda dengan konsep ketahanan pangan. Ketahanan pangan adalah kondisi kecukupan pangan yang tidak mempedulikan dari mana pangan diproduksi; (2) Kedaulatan pangan cenderung menjunjung tinggi hak setiap warga dan masyarakat lokal sebagai satu kesatuan untuk memproduksi, mendistribusikan dan memenuhi kebutuhan pangan di atas semua kepentingan lain, termasuk perdagangan; (3) Menghormati dan memperkuat kearifan tradisional serta pengetahuan lokal dalam memproduksi pertanian pangan lokal sebagai landasan sistem produksi pangan berkelanjutan; (4) Pengakuan dan penghormatan terhadap budaya yang khas dalam memilih dan mengkonsumsi pangan serta hak untuk menentukan sendiri apa yang akan dimakan dalam jumlah yang cukup, bergizi, dan aman; (5) Rakyat desa berdaulat dalam menentukan kebijakan dan strategi produksi, distribusi dan konsumsi pangannya sendiri, terutama untuk memprioritaskan peningkatan produksi anekaragam pangan untuk pemenuhan pangan seluruh warga desa itu sendiri; (6) Keluarga miskin dan kurang pangan yang ada di desa mendapat prioritas untuk mengakses berbagai sumber produktif, seperti tanah, air, hutan, teknologi, benih dan permodalan (Witoro et al., 2006; Wahyono et al., 2011). Tekanan berbagai institusi internasional terhadap pemerintah menyebabkan hilangnya peran negara untuk melindungi kepentingan petani dalam negeri. Berbagai tekanan inilah yang menyebabkan terkikisnya kedaulatan dan kemandirian negara dalam membangun sistem pangan nasional yang kokoh dan berkelanjutan (Witoro, 2005). Sebagai hak asasi, pangan harus ada dalam kendali rakyat agar pemenuhannya terjamin dan berkelanjutan. Oleh karenanya hak atas pangan harus dikembalikan kepada rakyat. Mengembalikan hak rakyat atas pangan dapat dilakukan dengan melokalisasikan pangan atau memperkuat sistem pangan komunitas agar lebih tahan atau lentur terhadap gempuran globalisasi. Pemenuhan pangan dengan memproduksi secara lokal akan menurunkan bahkan menghilangkan pemborosan biaya transpor dan pencemaran yang diakibatkan pengiriman pangan dari negara-negara lain yang jaraknya ratusan ribu kilometer. Pembaruan ini akan memberi pilihan leluasa kepada komunitas lokal guna membuat kebijakannya sendiri dalam mengelola produksi, penyimpanan, distribusi, dan konsumsi pangan. Sistem pangan lokal merupakan alternatif atau bentuk perlawanan terhadap menguatnya sistem pangan global. Sistem pangan desa dapat terwujud jika warganya bergotong royong memproduksi sendiri aneka 425
Kurnia Suci Indraningsih
pangan yang dibutuhkan dengan memanfaatkan berbagai sumber produksi pangan yang ada di wilayahnya. Hasil produksi diutamakan untuk memenuhi kebutuhan seluruh warga. Sisanya disimpan di lumbung keluarga atau komunitas sebagai cadangan pangan untuk mengantisipasi paceklik. Perdagangan dilakukan saat kebutuhan pangan hingga musim berikut telah terjamin. Perdagangan lokal menjadi prioritas dengan memperpendek jarak dan meningkatkan hubungan antara produsen dan konsumen. Dalam meningkatkan peran kelembagaan cadangan pangan pemerintah (Kementerian Pertanian) berupaya melakukan penumbuhan lumbung pangan melalui pembinaan dan pemberian insentif bantuan modal. Upaya pembinaan tersebut ditujukan dalam rangka: (1) peningkatan partisipasi mesyarakat dalam kelompok lumbung, (2) peningkatan permodalan usaha kelompok (tabungan kelompok); (3) peningkatan produksi dan produktivitas usaha tani dan pendapatan anggota kelompok tani penerima bantuan; (4) perubahan perilaku dari kebiasaan bekerja sendiri menjadi bekerja berkelompok atau secara bersama menumbuhkan kelompok tani yang maju. Beberapa faktor lain yang diduga ikut berperan dalam eksistensi dan kesinambungan suatu lembaga adalah sumberdaya manusia, struktur dan organisasi sosial, manajemen sosial (seperti pengambilan keputusan, dan akuntabilitas) gotong royong di antara anggota kelompok, kepemimpinan, keterbukaan antar anggota dalam satu lembaga, serta pendampingan. Pangan non beras pada umumnya adalah pangan alternatif yang tersedia secara lokal dan berasal dari tanaman kurang termanfaatkan (underutilized crops) seperti suweg (Amorphophallus campanulatus), uwi (Dioscorea alata) dan ganyong (Canna edulis) disamping berbagai tanaman kacang-kacangan, jamur dan lainlain. Status tanaman pangan kurang termanfaatkan umumnya terbatas pada posisi suplementer (pelengkap) atau komplementer (pendukung), baik dalam potensinya sebagai bahan pangan, maupun sebagai bahan lain (seperti obat-obatan). Posisi kurang termanfaatkan disebabkan antara lain oleh faktor-faktor warisan budaya, keterdedahan manfaat rendah, ketiadaan dukungan sistem produksi dan perbenihan, kurang perhatian dalam penelitian dan pengembangan serta kekurangan informasi umum lainnya. Di berbagai daerah, terutama di wilayah timur Indonesia, sagu (Metroxylon sp.) merupakan pangan pokok komunitas yang bermukim sekitar hutan sagu. Di Papua, selain sagu, pangan pokok non beras antara lain adalah kasbi (ubikayu), hipere (ubijalar), suweg, talas, dan berbagai tanaman kacang-kacangan dan tanaman hutan (Suradisastra et al., 1990). Buah merah (Pandanus sp.) yang kini mulai tersebar luas pemanfaatannya sebagai salah satu bahan obat alternatif adalah salah satu jenis tanaman kurang termanfaatkan yang merupakan bagian menu sehari-hari (Yusron dan Suradisastra, 1992). Gedi (Abelmoschus manihot) memberikan manfaat sebagai suplemen pangan dan bahan obat herbal. Di pantai selatan Papua, sejenis tanaman perdu yang dikenal dengan nama lokal pohon wati dimanfaatkan etnis Marind (Marind Anim) sebagai obat tidur (sedatif). Di lokasi terpencil seperti desa Buttu Batu di Kecamatan Baraka, Kabupaten Enrekang, jawawut merupakan salah satu pangan komplementer (Suradisastra dan Kasim, 1992), dan bagi etnis Sakai di Provinsi Riau, tiwul mentah merupakan bagian menu sehari-hari. 426
Perspektif Kelembagaan Lumbung Pangan Non Beras dalam Mendukung Kedaulatan Pangan Lokal
Hasil penelitian Rachmat et al. (2010) mengungkapkan bahwa lumbung Toktain terutama digunakan selain untuk penyimpanan jagung dalam bentuk tongkol hasil iuran, juga untuk menyimpan asam milik masing-masing anggota kelompok. Asam merupakan hasil penting di Desa Tuafanu dan sekitarnya. Hampir semua rumah tangga di daerah ini menanam pohon asam, sehingga daerah ini dikenal sebagai penghasil asam penting di Nusa Tenggara Timur dan banyak pedagang yang datang ke daerah ini untuk membeli asam. Asam juga merupakan sumber penghasilan yang cukup dapat diandalkan, bahkan pada saat tanaman pangan tidak menghasilkan karena kemarau panjang. Jagung yang disimpan di lumbung digunakan untuk cadangan pangan kelompok dan sekaligus berorientasi bisnis. Seperti umumnya berlaku di masyarakat, setiap jagung yang dipinjam harus dibayar dengan komoditas yang sama dengan jumlah dua kali lipat. Walaupun bunga tersebut tergolong relatif tinggi, namun anggota kelompok menganggap bahwa hasilnya akan dinikmati secara bersama-sama. Hampir di seluruh penduduk Kabupaten Timor Tengah Selatan jagung merupakan bagian dari makanan pokok selain beras, namun khusus untuk desa-desa lahan kering porsi jagung lebih besar, dan merupakan komoditas penting. Perlu dikemukakan bahwa pada desadesa lahan kering, masyarakatnya mampu melakukan diversifikasi pangan. Pada saat pangan pokok khususnya jagung dan padi tidak tersedia, masyarakat menggantinya dengan sumber karbohidrat lain seperti, kayu, ubi jalar, pisang dan buah-buahan lainnya. Di Pedukuhan Mojo, Desa Wates, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah, terdapat bangunan lumbung pangan warga yang relatif sederhana, berdinding anyaman bambu, beratap genteng, dan berlantai tanah. Dari lumbung pangan tersebut warga menggantungkan harapan, bila suatu ketika tertimpa musibah, warga tidak perlu cemas kekurangan pangan. Lumbung pangan akan memberikan pinjaman pangan tanpa ada kewajiban untuk mengembalikan. Hal tersebut bersifat bantuan dan besarannya tergantung tingkat kerusakan dan kesepakatan warga. Begitu pula bila musim kemarau datang lebih lama, warga tak perlu panik kekurangan makanan. Lumbung pangan akan membantu warga yang dilanda paceklik. Warga yang kekurangan benih untuk musim tanam berikutnya, misalnya karena benih cadangan ikut terjual untuk kebutuhan anak sekolah, dapat meminjam benih dari lumbung pangan tersebut. Lumbung ini tidak hanya menyimpan gabah kering giling, umbi-umbian, atau kacang-kacangan, tetapi juga keperluan petani lainnya seperti benih (Prabowo, 2009). Pekarangan merupakan lumbung hidup masyarakat pedesaan. Petani menanam aneka umbi yang tahan bertahun-tahun dan adaptif dengan segala musim dan cuaca, semacam suweg, iles-iles, ketela, gadung, ganyong, garut, dan sebagainya. Tanaman jenis ini pada umumnya memerlukan waktu tumbuh yang cukup lama. Aneka umbi itu dapat dibiarkan di dalam tanah pekarangan meskipun sudah siap panen (Junaedi, 2006). Tanaman tahunan seperti sukun, nangka, dan pisang juga merupakan tanaman pangan yang sering dibudidayakan di pekarangan. Berbagai jenis tanaman tersebut dapat dijadikan sumber pangan alternatif ketika paceklik, gagal panen, atau akibat kebijakan yang menyebabkan masyarakat kesulitan memperoleh bahan pangan pokok. Dengan demikian, pekarangan mempunyai fungsi sosial ekonomi penting karena hasilnya dapat
427
Kurnia Suci Indraningsih
dipanen saat dibutuhkan, dan menjadi salah satu cadangan pangan untuk menjamin ketersediaan pangan masyarakat pedesaan saat paceklik. Menghidupkan dan memperkuat lumbung desa merupakan jalan untuk merebut kembali kedaulatan rakyat atas pangan dari kepentingan perusahaan yang bermotif utama memaksimalkan keuntungan. Membangun kembali lumbung pangan yang selama ini terpinggirkan bukanlah persoalan sederhana, tetapi sebuah tantangan yang besar. Diperlukan kebijakan yang sungguh-sungguh dari Pemerintah untuk melindungi sekaligus dukungan yang kuat untuk memperkuat lumbung yang sederhana menjadi lumbung yang berperan untuk menjamin kecukupan pangan warga desa dan menjadi lembaga ekonomi yang tangguh dan menguntungkan seluruh warga desa. Tabel 2. Karakteristik Lumbung Pangan Kedaulatan Pangan Lokal No. 1.
Karakteristik Bentuk Lumbung
Non
Beras
untuk
Mewujudkan
Uraian Lumbung individu, berupa lahan pekarangan atau tegalan yang ditanami pangan non beras unggulan spesifik wilayah Lumbung masyarakat (desa), berupa bangunan atau gudang, disesuaikan kondisi wilayah
2.
Pengelola
Lumbung individu: rumah tangga Lumbung kelompok: pengurus yang dipilih masyarakat, dengan memperhatikan adat istiadat wilayat setempat yang berlaku Berbadan hukum, sehingga mempunyai posisi tawar yang kuat
3.
Fungsi
Sosial, ekonomi, dan teknis
4.
Penguatan Kelembagaan
Administrasi (teknis), manajerial, membangun kemitraan
5.
Dukungan kebijakan Pemda wilayah setempat
Penerbitan Perda untuk memperoleh alokasi anggaran Melalui penyuluh perlu dilakukan sosialisasi kepada masyarakat bahwa pangan lokal non beras bukan merupakan pangan inferior
Penguatan terhadap lumbung desa perlu dilakukan untuk memperbaiki kelembagaan, kegiatan usaha, administrasi, manajerial, dan pemantauan serta evaluasinya. Mengingat sebagian besar petani merupakan petani kecil berlahan sempit, maka untuk dapat bertahan dan berkembang dalam situasi perdagangan yang adil dilakukan melalui kerjasama di antara mereka. Kerjasama ini dilakukan untuk mengimbangi kelemahannya untuk melakukan penghematan akan sumbersumber dan memperoleh kemajuan skala ekonomi. Lumbung desa dapat dikelola 428
Perspektif Kelembagaan Lumbung Pangan Non Beras dalam Mendukung Kedaulatan Pangan Lokal
seperti koperasi produsen kecil untuk membangun kekuatan bersama. Kerjasama secara tradisional dari koperasi lumbung desa adalah melakukan pembelanjaan bahan-bahan baku secara kolektif, produksi dan memperdagangkan hasil produksi, pengangkutan bahan baku dan hasil produksi, penyimpanan bahan baku dan hasil produksi, pengolahan bahan atau industri kecil pengolahan pangan, dan sebagainya. Penguatan lebih lanjut dilakukan dengan membangun kemitraan dengan lembaga pangan lain atau gerakan pangan lokal lainnya. Gerakan pangan lokal mempersatukan para aktivis masyarakat, petani kecil, pecinta lingkungan, guru, pengusaha kecil, dan konsumen pangan sehat. Gerakan ini berpotensi untuk mewujudkan kedaulatan pangan di tingkat lokal. Sukses yang telah dicapai di beberapa negara menunjukkan bahwa program pangan lokal dapat menjadi landasan pembangunan di tingkat lokal atau desa, memperbaiki ketahanan pangan dan gizi, meningkatkan solidaritas masyarakat, dan mendukung berkembangnya usaha tani keluarga petani kecil (Schwind, 2005).
MANAJEMEN PANGAN KOMUNAL NON BERAS
Dari sisi ketahanan dan kedaulatan pangan terdapat hubungan yang kuat antara sistem sosial kelembagaan dengan sistem ekologi (ekosistem) yang merupakan pijakan bagi produksi pangan. Mengutip pendapat Tompkins dan Adger (2004), pengelolaan lahan berbasis komunitas (community-based land management), baik secara komunal maupun secara individual, memiliki peran kuat dalam membangun ketangguhan sosial dan ekosistem serta merupakan suatu cara efektif dalam menangani perubahan lingkungan yang dicirikan oleh risiko yang tidak terduga. Secara implisit, pendapat ini menggambarkan bahwa tindak komunal (collective action) dalam pengelolaan lahan dan lingkungan atau ekosistem memiliki potensi meningkatkan produksi dan ketersediaan pangan. Tindakan kolektif bersifat komprehensif dan memiliki potensi untuk meningkatkan ketangguhan sosial dan ekologi karena selain berbasis komunitas, tindak kolektif masyarakat senantiasa mempertimbangkan elemen-elemen iklim dan biofisik serta penggunaan lahan, ketersediaan nutrisi lahan, nilai dan norma sosial dan kebijakan lokal lainnya. Secara diagramatis, interaksi antara sistem sosial kelembagaan dengan ekosistem penghasil pangan digambarkan dalam Gambar 1. Gambar 1 menunjukkan aliran kebutuhan manusia (sistem sosial) akan pangan melalui upaya eksploitasi sumber daya yang tersedia, baik sumber daya hutan, maupun sumber daya lahan pertanian. Dalam implementasinya, pergerakan sistem sosial dalam mengelola lahan dan implementasi teknis serta penerapan teknologi tetap berada dalam arahan kelembagaan adat lokal, baik lembaga kepemimpinan (leadership), maupun lembaga organisasi adat kesukuan. Seluruh upaya yang dilakukan oleh elemen-elemen sistem sosial diarahkan ke upaya pemanfaatan secara optimal yang mampu memprediksi jumlah dan jenis pangan beserta strategi budidayanya untuk kepentingan komunal dalam rangka
429
Kurnia Suci Indraningsih
pemenuhan kebutuhan dan ketahanan pangan (Suradisastra dan Indraningsih, 2011). LEMBAGA LOKAL
SISTEM SOSIAL
ANGGOTA SISTEM
PANGAN
NON-BERAS
BERAS
EKOSISTEM HUTAN
EKOSISTEM PERTANIAN
MERAMU
BUDIDAYA
KETAHANAN PANGAN
Gambar 1. Interaksi Hipotetis Sosio-Ekosistem Suradisastra dan Indraningsih, 2011)
Produksi
Pangan
(Sumber:
Manajemen komunal dan teknik lumbung hidup di beberapa lokasi di Indonesia mampu mengurangi kerentanan sosial melalui upaya-upaya konsolidasi jejaring sosial. Dalam menghadapi kondisi alam yang berat, pola manajemen komunal lahan penghasil pangan mampu menjamin ketersediaan dan keberlanjutan ketersediaan pangan bagi individu dan komunitasnya. Dalam suatu sistem pengelolaan komunal, mengambil keputusan yang dapat diterima secara aklamasi pada umumnya memerlukan waktu dan proses panjang. Keputusan komunal akan selalu mempertimbangkan dampak yang mungkin terjadi dan risiko yang akan dihadapi bila ternyata keputusan tersebut menimbulkan respon yang tidak adaptif. Salah satu kelemahan kelembagaan tradisional pengatur pangan adalah sifatnya yang eksklusif, hanya berlaku secara lokal seperti pada tingkat ekosistem (lingkungan DAS, lereng, dan sebagainya), atau tingkat ketetanggaan. Dalam mendukung upaya pengembangan kelembagaan pangan non beras diperlukan pendekatan berbasis komunitas untuk mendedahkan (meng-expose) lembaga 430
Perspektif Kelembagaan Lumbung Pangan Non Beras dalam Mendukung Kedaulatan Pangan Lokal
lokal guna memperluas cakrawala pemikirannya. Selanjutnya dilakukan pendekatan terarah dan terencana guna mengembangkan dan mengevolusikan peran dan struktur kelembagaan yang berorientasi pada pendekatan produksi dan kecukupan pangan menuju kedaulatan pangan non beras (Suradisastra dan Indraningsih, 2011). Pendekatan berbasis komunitas senantiasa mencakup konteks sosial dan ekosistem, untuk itu upaya pengembangan strateginya harus secara eksplisit mempertimbangkan dimensi manusia dan hubungan (linkage) antara sistem sosial, ekologi dan sistem ekonomi. Walaupun sistem sosial sangat jauh berbeda dengan sistem ekologi, namun sistem sosial mampu beradaptasi terhadap perubahan tata peraturan dan hukum bila terjadi perubahan ekosistem. Sistem sosial juga mampu mengembangkan proses percobaan secara sistematik dalam berbagai bentuk dan perubahan kelembagaan. Dalam konteks ini, peran tokoh atau lembaga pemimpin sangat penting dalam proses pengelolaan komunal dan perubahan sistem sosial. Seorang figur pemimpin harus mampu menampung, menyeleksi dan mengadaptasi perubahan sosial-ekologi dalam konteks lingkungan dimana komunitasnya berada. Suradisastra (2004) menyimpulkan bahwa peran lembaga kepemimpinan merupakan celah masuk utama dalam memberdayakan, menata dan mempertahankan kelangsungan hidup kelembagaan. Fungsi kepemimpinan antara lain adalah sebagai mobilisator, penyaring dan penyalur informasi eksternal, penasehat sosial kemasyarakatan dan berbagai fungsi lainnya termasuk sebagai enforcer atau penegak penerapan dan pelaksanaan nilai dan norma sosial komunitasnya serta sebagai enforcer untuk norma dan tata peraturan formal yang diintroduksikan oleh pemerintah (Undang-undang dan Peraturan Pemerintah). Menurut Wahyono et al. (2011) kelembagaan lumbung pangan non beras harus diisi perwakilan pemangku kepentingan (stakeholders) yang memiliki pengaruh, kepedulian, komitmen, dan berjiwa relawan untuk mempertahankan kedaulatan pangan lokal non beras. Bila dalam pengelolaannya diisi oleh figur-figur yang dipercaya masyarakat, kompeten, jujur, berpengalaman, dan memiliki jaringan yang luas, diharapkan menghasilkan kebijakan-kebijakan yang bersifat kolektif yang merepresentasikan berbagai kepentingan dan kompetensi yang ada dalam masyarakat. Proses pengambilan keputusan, terutama yang menyangkut kepentingan masyarakat banyak, dilakukan secara musyawarah, demokratis, partisipatif, terbuka, dan pro rakyat atau diorientasikan kepada kebutuhan pangan lokal non beras masyarakat. Ruang partisipasi yang kondusif untuk pelaksanaan, pemanfaatan, dan keberlanjutan lumbung pangan non beras dibuka seluasluasnya bagi masyarakat lokal, termasuk dari kelompok masyarakat yang selama ini terpinggirkan. Untuk itu perlu membangun kebersamaan, solidaritas sosial dan gerakan masyarakat yang mendorong tingkat konsumsi pangan lokal non beras dan yang membuat masalah kedaulatan pangan menjadi perhatian masyarakat secara bersama. Upaya lain yang tidak kalah penting adalah meningkatkan potensi masyarakat rentan melalui peningkatan kapasitas, keterampilan dan membuka peluang untuk dapat berpartisipasi dalam kegiatan Lumbung Pangan Non beras sehingga lebih berdaya baik secara sosial maupun ekonomi.
431
Kurnia Suci Indraningsih
KESIMPULAN
Pendekatan berbasis komunitas (community-based approach) merupakan suatu strategi terapan yang dapat meningkatkan ketangguhan sosial (social resilience) masyarakat sekaligus mempertahankan keberlanjutan ekosistem pangan non beras pada komunitas lokal. Salah satu elemen pendekatan yang memainkan peran penting dalam proses alih informasi dan pengambilan keputusan adalah lembaga kepemimpinan (leadership) dan kelembagaan adat yang mampu memprediksi jumlah dan jenis pangan beserta strategi budidayanya untuk kepentingan komunal. Peralihan fungsi lahan komunal penghasil pangan non beras menjadi lahan dengan fungsi lain hendaknya dihindari atau dibatasi agar tidak memarjinalkan peran dan posisi pangan non beras. Peralihan kontrol atau kepemilikan lahan komunal hendaknya menjadi perhatian utama dengan mengimplementasikan amanat perundang-undangan yang bertujuan melindungi lahan pertanian pangan berkelanjutan.
DAFTAR PUSTAKA Direktorat Jenderal Tanaman Pangan. 2012. Roadmap Peningkatan Produksi Beras Nasional (P2BN) Menuju Surplus Beras 10 Juta Ton pada Tahun 2014. http://tanamanpangan.deptan.go.id/doc_upload/44_BAB%20I%20dan%20II.pdf (Diunduh 1 Oktober 2013). Jayawinata, A. 2003. Pemberdayaan Lumbung Pangan Masyarakat. Harian Suara Pembaruan Kamis 24 April 2003. Junaedi, 2006. Reinkarnasi Lumbung Desa, Mungkinkah? Harian Kompas Sabtu 7 Oktober 2006. Prabowo, HE. 2009. Belajar dari Kearifan Petani Kecil. Harian Kompas Rabu 14 Oktober 2009. Rachmat M, B. Rachman, R. Kustiari, Supriyati, GS. Budhi, WK. Sejati, D. Hidayat. 2010. Kajian Sistem Kelembagaan Cadangan Pangan Masyarakat Perdesaan untuk Mengurangi 25 persen Resiko Kerawanan Pangan. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Bogor. Suradisastra, K, M.Yusron, MH. Sawit (eds). 1990. Analisis Agro-ekosistem untuk Pembangunan Masyarakat Pedesaan Irian Jaya. Kelompok Penelitian Agro-ekosistem. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Pusat Studi Lingkungan Hidup Universitas Cenderawasih, dan The Ford Foundation. Suradisastra, K. dan H. Kasim. 1992. Analisis Agro-ekosistem Kabupaten Enrekang: Analisis Sistem Kecamatan Baraka dan Kasus Lahan Kering Desa Buttu Batu. Kelompok Penelitian Agro-ekosistem. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian dan Proyek Pengembangan Wilayah Sulawesi.
432
Perspektif Kelembagaan Lumbung Pangan Non Beras dalam Mendukung Kedaulatan Pangan Lokal
Suradisastra, K. 2004. Strategi Pemberdayaan Kelembagaan Petani. Forum Penelitian Agro Ekonomi, 26(2): 82-91. Suradisastra, K, KS. Indraningsih. 2011. Mendukung Gagasan Pengembangan Kelembagaan Bank Pangan Non beras untuk Meningkatkan Ketahanan Pangan. Makalah disampaikan pada FGD Penelitian Kompetitif SDHI LIPI, 24 November 2011. Jakarta. Schwind, K. 2005. Going Local on a Global Scale: Rethinking Food Trade in the Era of Climate Change, Dumping, and Rural Poverty, Foodfirst, Spring/Summer 2005. Tompkins, E. L. and W. N. Adger. 2004. Does adaptive management of natural resources enhance resilience to climate change? Ecology and Society 9(2): 10. [online] URL: http://www.ecologyandsociety.org/vol9/iss2/art10/ Wahyono, A., D. Wardiat, U. Tahajudin, H. Warsilah. 2011. Studi Pengembangan Kelembagaan Bank Pangan Non Beras. Makalah FGD Penelitian Kompetitif SDHI LIPI, 24 November 2011. Jakarta. Witoro. 2005. Revitalisasi Lumbung Desa. Harian Kompas, Jumat 24 Juni 2005. Witoro, Y. Napiri, M Sihaloho. 2006. Lumbung Pangan: Jalan Menuju Keterjaminan Pangan. Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP). Bogor. Yosalfa, A. 2013. Makanan Pokok Tidak Hanya Beras Lo. Majalah Intisari. http://intisarionline.com/read/makanan-pokok-tak-hanya-beras-lo (Diunduh 1 Oktober 2013). Yusron, M., K. Suradisastra. 1992. Analisis Agro-ekosistem Kabupaten Enrekang: Pendekatan Untuk Pembangunan Wilayah. Kelompok Penelitian Agro-ekosistem. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian dan Proyek Pengembangan Wilayah Sulawesi.
433