DISERTASI PENGARUH KAPASITAS RUMAH TANGGA, BUDAYA DAN PEMBERDAYAAN TERHADAP SIKAP SERTA KEBERDAYAAN RUMAH TANGGA MISKIN DI KABUPATEN KARANGASEM
NYOMAN SUARTHA
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2013
PENGARUH KAPASITAS RUMAH TANGGA, BUDAYA DAN PEMBERDAYAAN TERHADAP SIKAP SERTA KEBERDAYAAN RUMAH TANGGA MISKIN DI KABUPATEN KARANGASEM
Disertasi untuk Memperoleh Gelar Doktor Pada Program Doktor, Program Studi Ilmu Ekonomi, Program Pascasarjana Universitas Udayana
NYOMAN SUARTHA NIM 0990671009
PROGRAM DOKTOR PROGRAM STUDI ILMU EKONOMI PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2013
Disertasi ini Telah Diuji pada Ujian Tertutup Tanggal 5 Juli 2013
Panitia Penguji Disertasi Berdasarkan Surat Keputusan Rektor Universitas Udayana Nomor:1016/UN14.4/HK/2013 Tanggal 21 Juni 2013
Ketua
: Prof. Dr. I Ketut Sudibia, SE., S. U
Anggota
:
1. 2. 3. 4. 5. 6.
Prof. Dr. Made Suyana Utama, S. E., M. S Prof. Dr. Md. Kembar Sri Budhi, Drs. M.P Prof. Dr. I Wayan Sudirman, SE. SU Prof. Dr. I Gede Astra Wesnawa, M.Si Dr. I. N. Mahaendra Yasa, S. E., M. Si. Dr. I.G.W. Murjana Yasa, S. E., M. Si.
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmatNya penulis dapat menyelesaikan disertasi yang berjudul “Pengaruh Kapasitas Rumah Tangga, Budaya, dan Pemberdayaan Terhadap Sikap Serta Keberdayaan Rumah Tangga Miskin di Kabupaten Karangasem”. Penulis menyadari bahwa disertasi ini tidak akan berhasil tanpa bimbingan dan pengarahan dari berbagai pihak yang telah meluangkan waktunya dalam penyusunan disertasi ini. Dalam kesempatan ini, penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Prof. Dr. I Ketut Sudibia, S.E., S.U., sebagai promotor yang dengan penuh perhatian telah memberikan dorongan, semangat, bimbingan, dan saran selama penulis mengikuti Program Doktor Ilmu Ekonomi, terutama dalam penyelesain disertasi ini. Terima kasih pula penulis sampaikan kepada Prof. Dr. Made Suyana Utama, S.E., M.S., dan Dr. I.G.W. Murjana Yasa, S.E., M.Si., selaku kopromotor yang dengan penuh perhatian dan kesabaran telah memberikan saran, bimbingan, dan semangat kepada penulis. Ucapan yang sama juga ditujukan kepada Rektor Universitas Udayana atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Program Doktor Ilmu Ekonomi di Universitas Udayana. Ucapan terima kasih ini juga penulis sampaikan kepada Prof. Dr. dr. A. A. Raka Sudewi, Sp. S (K) selaku Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana, atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk menjadi mahasiswa Program Doktor pada Pogram Ilmu Ekonomi Pascasarjana Universitas Udayana. Tidak lupa pula ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Prof. Dr. I Gusti Bagus Wiksuana, S.E., M.S., selaku Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Udayana atas ijin yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti pendidikan Program Doktor Ilmu Ekonomi . Pada kesempatan ini pula penulis sampaikan ucapan terima kasih kepada tim penguji yaitu Prof. Dr. Made Kembar Sri Budhi, Drs. M.P., sekaligus sebagai Ketua Program Studi Program Doktor Ilmu Ekonomi, Prof. Dr. I Wayan Tjatera, M.Sc (almarhum), Prof. Dr. I Wayan Sudirman, SE. SU., Prof. Dr. I Gede Astra Wesnawa, M.Si., Dr. I. N. Mahaendra Yasa, S.E., M.Si., Dr. I Gede Sudjana Budiasa, SE. MSi., yang telah memberi masukan, saran, sanggahan, dan koreksi sehingga disertasi ini dapat terwujud. Terima kasih yang besar penulis sampaikan kepada seluruh responden yang telah bersedia meluangkan waktu untuk membantu proses penulisan disertasi ini. Tidak lupa penulis sampaikan terima kasih kepada Bupati Kabupaten Karangasem dan seluruh kepala desa yang telah member izin dan informasi yang bermanfaat bagi penyelesaian disertasi ini. Terima kasih yang tulus disertai penghargaan juga penulis sampaikan pada seluruh staf pengajar di lingkungan Program Doktor Ilmu Ekonomi Universitas Udayana. Akhir kata, penulis sampaikan terima kasih kepada istri tercinta Prof. Dr. Ni Wayan Sri Suprapti, S.E., M.Si dan ananda tercinta dr. Putu Novindra Pradipta S.Ked dan Ade Devia Pradipta, S.E; M.A yang tak pernah lelah membantu dan memberi semangat kepada penulis untuk menyelesaikan disertasi ini. Semoga bimbingan dan bantuan yang diberikan oleh seluruh pihak yang berkontribusi atas terwujudnya disertasi ini mendapat pahala yang setimpal atas karunia Ida Sang Hyang Widhi Waca. Akhir kata disertasi ini diharapkan dapat memberi manfaat baik secara akademis maupun praktis.
Denpasar, Juli 2013
Penulis Nyoman Suartha
ABSTRAK PENGARUH KAPASITAS RUMAH TANGGA, BUDAYA DAN PEMBERDAYAAN TERHADAP SIKAP SERTA KEBERDAYAN RUMAH TANGGA MISKIN DI KABUPATEN KARANGASEM Kemiskinan bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri, tetapi terwujud sebagai hasil interaksi antara berbagai aspek yang ada dalam kehidupan manusia, terutama aspek sosial dan aspek ekonomi. Bila kedua aspek ini tidak ditangani dengan baik maka akan dapat menimbulkan kerawanan sosial yang pada akhirnya dapat mengancam ketahanan nasional. Kemiskinan tidak dapat dianalisis dengan pendekatan ekonomi semata, seperti perilaku masyarakat sangat dipengaruhi oleh ketidak berdayaan masyarakat diberbagai aspek seperti aspek sosial dan budaya. Kemiskinan disebabkan oleh faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal lebih banyak disebabkan oleh heterogenitas personal dan budaya yang dimiliki oleh keluarga miskin sedangkan faktor eksternal lebih banyak disebabkan faktor lingkungan dan struktur sosial kemasyarakatan. Persoalan kemsikinan tidak hanya menjadi persoalan keluarga miskin semata tetapi juga menjadi persoalan yang pelik bagi pemerintah. Perkembangan keluarga miskin dari waktu kewaktu bisa berkembang dan bergeser dari satu tempat ke tempat lain sesuai dengan kebijakan pemerintah. Kebijakan pemerintah Kabupaten Karangasem Provinsi Bali dalam penanggulangan kemiskinan tidak hanya melalui pemeberdayaan Rumah Tangga Miskin (RTM) juga melalui meningkatkan partisipasi masyarakat miskin untuk merubah sikap negatif menjadi positif untuk tidak hanya menerima keadaan yang sedang dialami. Studi ini merupakan studi eksplanatori dengan menggunakan metode survei. Survei dilakukan kepada kepala rumah tangga miskin (RTM) sebagai anggota sampel di Kabupaten
Karangasem . Anggota sampel ditentukan dengan metode non-probability sampling khususnya purposive sampling dari masing-masing desa. Data dikumpulkan secara cross section dengan menggunakan daftar pertanyaan yang selanjutnya dianalisis secara kuantitatif dan kualitatif. . Lebih lanjut data dianalisis dengan metode campuran (mixed method) dengan pendekatan SEM (Structural Equation Model. Tujuan penelitian menganalisis pengaruh kapasitas rumah tangga, budaya dan pemberdayaan terhadap sikap dan keberdayaan rumah tangga miskin Hasil penelitian, dilihat dari pengaruh langsung secara parsial, kapasitas rumah tangga miskin paling kuat menentukan terbentuknya sikap untuk keluar dari kemiskinan dibandingkan dengan pemberdayaan dan budaya, sedangkan dalam menentukan keberdayaan maka yang paling kuat menentukan adalah pemberdayaan. Namun demikian, dilihat dari pengaruh tak langsungnya dalam menentukan keberdayaan (yang dimediasi oleh sikap untuk keluar dari kemiskinan), maka yang paling menentukan adalah kapasitas rumah tangga miskin, sedangkan bila dilihat dari pengaruh totalnya, maka yang paling menentukan tingkat keberdayaan adalah upaya pemberdayaan. Temuan penelitian sikap dan budaya memiliki peran yang sangat penting didalam penanggulangan kemiskinan Saran bagi peneliti berikutnya terbatasnya wilayah dan sampel penelitian yang membawa konsekuensi generalisasi hasil penelitian menjadi terbatas pula maka kepada peneliti berikutnya diharapkan untuk meliput wilayah lain yang lebih luas. Selain itu diharapkan pula menggunakan indikator kemiskinan yang lebih banyak sehingga kondisi kemiskinan yang dipotret menjadi lebih komprehensif. Kata Kunci: kemiskinan, kapasitas rumah tangga, budaya, pemberdayaan, sikap, dan keberdayaan
ABSTRACT THE EFFECT OF DOMESTIC CAPACITY, CULTURE, AND EMPOWERING TOWARD ATTITUDE AND POOR HOUSEHOLDS EMPOWERMENT IN KARANGASEM REGENCY
Poverty is not something that stands alone, but as a result of the interaction between variuous aspect of human life, especially in social and economics aspect. When both of this aspect not handled properly, its can cause social problems that endanger the national security. Poverty caused by internal and eksternal factors. Eksternal factors caused by personal heterogenity and culture of the poor households, and internal factors caused by environment and social structure in society. Poverty problems are not only the issue for, but also be a tricky issue for the government. The development of poor family can evolve and shift from one place to another depends on the government policy. The policy of Karangasem Regency in Bali Province about tackling the poverty not only empowering the poor households, but also increasing their participation to change the bad attitude and to not only accept their situation that is being experienced. This study was conduct in Karangasem Regency. Karangasem was choosen because this regency has many poor house holds and highest proportionof poor households in Bali. The aim of this study is to analyzed the effect of domestic capacity, culture, and empowering towards attitude and poor households empowerment. Survey method with 150 sample of poor households was choosen to collect the data. More, this study was analyzed by using mixed method Structural equation model approach. Refer to the direct partial effect, domestic capacity is the powerful factors that formed attitude to come out from poverty, compared to empowerment and culture. On other hand, the forceful factor to determined poor households empowerment is empowering. However, refer to indirect effect, the forceful factor to determined empowerment is domestic capacity, who mediated by attitude to come out from poverty. On other side, refer to total effect, the powerful factor to determined empowerment is empowering. The subsequent study should be use larger sample and area, so the results can be generalized. More, the other indicators of poverty should be used to get more comprehensive views about poverty.
Keywords: poverty, domestic capacity, culture, attitude, empowering, empowerment.
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
i
SAMPUL DALAM………………………………………………………..
ii
PERSYARATAN GELAR……………………………………………….
iii
LEMBAR PERSETUJUAN PROMOTOR……………………………..
iv
PENETAPAN PANITIA PENGUJI……………………………………..
v
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT
vi
UCAPAN TERIMAKASIH.………………………………………… …..
vii
ABSTRAK…………………………………………………………………
ix
ABSTRACT……………………...………………………………………..
xi
DAFTAR ISI………………………………………………………………
xii
DAFTAR TABEL…………………………………………………………
xvi
DAFTAR GAMBAR……………………………………………………...
xix
DAFTAR LAMPIRAN……………………………………………………
xx
BAB I PENDAHULUAN…………………………………………………
1
1.1
Latar Belakang………………..……………………………………..
1
1.2
Rumusan Masalah………..…………………………………….........
15
1.3
Tujuan Penelitian…………..………………………………………..
15
1.4
Manfaat Penelitian..…………………………………………………
16
BAB II KAJIAN PUSTAKA……………………………………………..
18
2.1
Kemiskinan………………...………………………………….........
18
2.2
Persepsi Kemiskinan…………………………….…………………
27
2.3
Penyebab Kemiskinan……………………………………..….........
32
2.4
Lingkungan dan Kemiskinan………………………………..……..
36
2.5
Sikap Terhadap Kemiskinan…………………………….…………
38
2.6
Rumah Tangga ……………………………………………….........
44
2.7
Budaya dan Kemiskinan……………….…………………………..
47
2.8
Pemberdayaan Rumah Tangga Miskin……..……………………...
53
2.9
Keberdayaan………….……………………………………………
58
2.10
Studi Empiris Tentang Kemiskinan ……..………………………...
63
2.11
Orisinalitas Penelitian……………...………………………………
71
2.12
Teori-teori Kemiskinan yang Mendukung Penelitian……………..
74
BAB III KERANGKA BERPIKIR KONSEP, DAN HIPOTESIS…….
79
3.1
Kerangka Berpikir…………………………………………………...
79
3.2
Kerangka Konsep Penelitian………………………...………………
80
3.3
Hipotesis…………………………………………………………….
84
BAB IV METODE PENELITIAN………………………………….......
85
4.1
Rancangan Penelitian …………………………………………........
85
4.2
Lokasi Penelitian…………………………………...……………….
85
4.3
Subyek dan Obyek Penelitian…………………………………........
88
4.4
Indentifikasi dan Definisi Operasional……………………….……..
88
4.4.1 Variabel Penelitian…………………………………..………..
88
4.4.2 Definisi Operasional……………………………...…………...
90
4.5
4.6
4.7
4.4.3 Skala Pengukuran
94
Jenis dan Sumber Data………………………………………………
95
4.5.1 Data Kualitatif…………………………………………………
95
4.5.2 Data Kuantitatif……………………………...………………..
99
Metode Pengambilan Sampel…………………………...…………..
100
4.6.1 Penentuan Sampel Penelitian…………………………..……...
100
4.6.2 Pemilihan Responden………………………………...……….
101
Kerangka Analisis…………………………………………………...
104
4.7.1 Analisis Deskriptif……………………………..…………….
104
4.7.2 Model Persamaan Struktural (SEM)…………………………
104
4.7.3 Langkah-langkah Permodelan SEM………….………………
106
BAB V HASIL PENELITIAN…………………………………………..
128
5.1
Gambaran Umum Lokasi Penelitian………………………………..
128
5.2
Karakteristik Sosial Demografi Responden………………………..
133
5.2.1
134
Umur Responden……………………………………………
5.2.2. Pendidikan Responden…………………………………….
134
5.2.3 Jenis Pekerjaan Responden………………………………..
135
5.24
Pendapatan Responden…………………………….………
136
5.2.5
Rata-rata Pengeluaran Responden…………………………
137
5.2.6 Jumlah Anggota Keluarga dan Beban Tanggungan………..
139
5.2.7
Luas Lahan Rumah yang Ditempati………………………..
141
5.2.8
Kepemilikan Asset…………………………………………
142
5.2.9
Kepemilikan Kamar Mandi Cuci dan Kakus (MCK)…........
142
5.2.10 Sumber Air Bersih………………………………..…………
143
Deskripsi Variabel Penelitian……………………………….………
144
5.3.1 Kapasitas Rumah Tangga……………………………………..
144
5.3.2 Pemberdayaan…………………………….…………………..
146
5.3.3 Budaya…………………….…………………………………
147
5.3.4 Sikap untuk Keluar dari Kemiskinan….………………………
148
5.3.5 Keberdayaan…………….…………………………………….
149
5.4
Pengujian Instrumen Penelitian….………………………………….
149
5.5
Pengujian Asumsi………...…………………………………………
151
5.6
Pengujian Hipotesis………………………………………………….
154
5.6.1 Uji Model Pengukuran………………………………………..
154
5.6.2 Uji Model Struktural………………………………………….
168
5.6.3 Pengujian Hipotesis……………………………………….
171
Pengaruh Langsung, Pengaruh Tak Langsung, dan Pengaruh Total
173
BAB VI PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN………………………
175
5.3
5.7
6.1
Pembahasan Hasil Deskripsi Variabel Penelitian…………………...
175
6.1.1 Kapasitas Rumah Tangga Miskin……………………………..
175
6.2
6.1.2 Pemberdayaan…………………………………………………
179
6.1.3 Budaya………………………………………………………...
183
6.1.4 Sikap Untuk Keluar dari Kemiskinan…………………………
187
6.1.5 Keberdayaan…………………………………………………..
189
Pembahasan Hasil Pengujian Hipotesis……………………………..
190
6.2.1 Pengaruh Kapasitas RTM terhadap Sikap Keluar dari
190
Kemiskinan…………………………………………………… 6.2.2 Pengaruh Kapasitas RTM terhadap Keberdayaan…………….
192
6.2.3 Pengaruh Pemberdayaan terhadap Sikap untuk Keluar dari
193
Kemiskinan…………………………………………………… 6.2.4 Pengaruh Pemberdayaan terhadap Keberdayaan……………...
194
6.2.5 Pengaruh Budaya terhadap Sikap untuk Keluar dari
196
Kemiskinan…………………………………………………… 6.2.6 Pengaruh Budaya terhadap Keberdayaan……………………..
198
6.2.7 Pengaruh Sikap Keluar dari Kemiskinan terhadap
198
Keberdayaan…………………………………………………..
BAB VII PENUTUP……………………………………………………...
200
7.1
Simpulan…………………………………………………………….
200
7.2
Kontribusi dan Implikasi Penelitian………………………………..
202
7.2.1 Kontribusi dan Impilkasi Teoritis…………………………...
202
7.2.2 Kontribusi dan Implikasi Praktis………………………………
203
Keterbatasan Penelitian……………………………………………...
204
7.3
7.4
Saran…………………………………………………………………
205
7.4.1 Bagi Pengambil Kebijakan…………………………………….
205
7.4.2 Bagi Penelitian Berikutnya……………………………………
206
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………….
207
LAMPIRAN
217
DAFTAR TABEL
Hal.
Tabel
1.1
Jumlah dan Laju Pertumbuhan Penduduk, Rumah Tangga, dan Rumah Tangga Miskin Provinsi Bali Tahun 2010
8
1.2
Jumlah RT Miskin di Tiap Kecamatan di Kabupaten Karangasem Tahun 2010
12
2.1
Tahapan Pemberdayaan Knowledge, Attitudes, Practice Dengan Pendekatan Aspek Afektif, Kognitif, Psikomotorik Dan Konatif
62
4.1
Jenis Konstruk dan Indikator Penelitian
89
4.2
Profil Narasumber Penelitian
97
4.3
Distribusi RT dan RT Miskin di Kecamatan Karangasem Tahun 2010
102
4.4
Distribusi RT dan RT Miskin di Kecamatan Manggis Tahun 2010
103
4.5
Distribusi Sampel di Masing-masing Kecamatan dan Desa/Kelurahan Karngasem
104
4.6
Indeks Kesesuaian (Goodness of-fit Index)
124
5.1
Distribusi Penduduk Menurut Jenis Kelamin, Rasio Jenis Kelamin Orang (RJK) dan Kepadatan Penduduk Dirinci per Kecamatan di Kabupaten Karangasem Tahun 2010
129
5.2
Perbandingan Perkembangan Indeks Kedalaman dan Keparahan Kemiskinan Kabupaten Karangasem dengan Provinsi Bali 2008-2010
130
5.3
Distribusi Responden Menurut Umur di Kecamatan Karangasem dan Kecamatan Manggis Tahun 2012
134
5.4
Pendidikan Responden di Kecamatan Karangasen dan Kecamatan Manggis Tahun 2012
135
5.5
Jenis Pekerjaan Responden di Kecamatan Karangasem dan Kecamatan Manggis Tahun 2012
135
5.6
Pekerjaan Sampingan Responden di Kecamatan Karangasem dan Kecamatan Manggis Tahun 2012
136
5.7
Rata-rata Pendapatan Responden di Kecamatan Karangasem dan Kecamatan Manggis Tahun 2012
137
5.8
Rata-rata Pengeluaran Responden di Kecamatan Karangasem dan Kecamatan Manggis Tahun 2012
138
5.9
Pemanfaatan Pendapatan Setelah Pemenuhan Kebutuhan Pokok di Kecamatan Karangasem dan Kecamatan Manggis Tahun 2012
138
5.10
Rata-rata Pengeluaran untuk Kegiatan Adat/Agama/ Sosial perbulan di Kecamatan Karangasem dan Kecamatan Manggis Tahun 2012
139
5.11
Jumlah Anggota Rumah Tangga di Kecamatan Karangasem dan Kecamatan Manggis Tahun 2012
140
5.12
Jumlah Tanggungan di Kecamatan Karangasem dan Kecamatan Manggis Tahun 2012
141
5.13
Luas Lahan Rumah yang Ditempati di Kecamatan Karangasem dan Kecamatan Manggis Tahun 2012
141
5.14
Taksiran Nilai Asset yang Dimiliki di Kecamatan Karangasem dan Kecamatan Manggis Tahun 2012
142
5.15
Kepemilikian MCK di Kecamatan Karangasem dan Kecamatan Manggis Tahun 2012
143
5.16
Sumber Air untuk Kebutuhan Keluarga di Kecamatan Karangasem dan
143
Kecamatan Manggis Tahun 2012 5.17
Distribusi Frekuensi Variabel Kapasitas Rumah Tangga di Kecamatan Karangasem dan Kecamatan Manggis Tahun 2012
145
5.18
Distribusi Variabel Pemberdayaan di Kecamatan Karangasem dan Kecamatan Manggis Tahun 2012
146
5.19
Distribusi Frekuensi Variabel Budaya di Kecamatan Karangasem dan Kecamatan Manggis Tahun 2012
147
5.20
Distribusi Frekuensi Variabel Sikap untuk Keluar dari Kemiskinan di Kecamatan Karangasem dan Kecamatan Manggis Tahun 2012
148
5.21
Distribusi Frekuensi Variabel Keberdayaan di Kecamatan Karangasem dan Kecamatan Manggis Tahun 2012
149
5.22
Hasil Uji Validitas Instrumen Penelitian di Kecamatan Karangasem dan Kecamatan Manggis Tahun 2012
150
5.23
Hasil Uji Reliabilitas Konstruk Penelitian di Kecamatan Karangasem dan Kecamatan Manggis Tahun 2012
151
5.24
Hasil Uji Normalitas Data di Kecamatan Karangasem dan Kecamatan Manggis Tahun 2012
152
5.25
Koefisien Korelasi antar Konstruk Penelitian di Kecamatan Karangasem dan Kecamatan Manggis Tahun 2012
153
5.26
Indeks Kesesuaian Konstruk Kapasitas Rumah Tangga di Kecamatan Karangasem dan Kecamatan Manggis Tahun 2012
155
5.27
Koefisien Loading Factor Indikator Konstruk Kapasitas Rumah Tangga di Kecamatan Karangasem dan Kecamatan Manggis Tahun 2012
156
5.28
Reliabilitas Konstruk Kapasitas Rumah Tangga di Kecamatan Karangasem dan Kecamatan Manggis Tahun 2012
156
5.29
Indeks Kesesuaian Konstruk Pemberdayaan di Kecamatan Karangasem dan Kecamatan Manggis Tahun 2012
158
5.30
Koefisien Loading Factor Indikator Konstruk Pemberdayaan di Kecamatan Karangasem dan Kecamatan Manggis Tahun 2012
158
5.31
Relibilitas Konstruk Pemberdayaan di Kecamatan Karangasem dan Kecamatan Manggis Tahun 2012
159
5.32
Indeks Kesesuaian Konstruk Budaya di Kecamatan Karangasem dan Kecamatan
160
Manggis Tahun 2012 5.33
Koefisien Loading Factor Indikator Konstruk Budaya di Kecamatan Karangasem dan Kecamatan Manggis Tahun 2012
161
5.34
Reliabilitas Konstruk Budaya di Kecamatan Karangsem dan Kecamatan Manggis Tahun 2012
162
5.35
Indeks Kesesuaian Konstruk Sikap untuk Keluar dari Kemiskinan di Kecamatan Karangasem dan Kecamatan Manggis Tahun 2012
164
5.36
Koefisien Loading Factor Indikator Konstruk Sikap untuk Keluar dari Kemiskinan di Kecamatan Karangasem dan Kecamatan Manggis Tahun 2012
164
5.37
Reliabilitas Konstruk Sikap untuk Keluar dari Kemiskinan di Kecamatan Karangasem dan Kecmatan Manggis Tahun 2012
164
5.38
Indeks Kesesuaian Konstruk Keberdayaan di Kecamatan Karangasem dan Kecamatan Manggis Tahun 2012
166
5.39
Koefisien Loading Factor Indikator Konstruk Keberdayaan di Kecamatan Karangasem dan Kecamatan Manggis Tahun 2012
167
5.40
Reliabilitas Konstruk Keberdayaan di Kecamatan Karangasem dan Kecamatan Manggis Tahun 2012
167
5.41
Indeks Kesesuaian Model Persamaan Struktural Pengaruh Kapasitas Rumah Tangga, Budaya, dan Pemberdayaan Terhadap Sikap Serta Keberdayaan Rumah Tangga Miskin di Kabupaten Karangasem
169
5.42
Koefisien Regresi Hubungan Antar Variabel di Kecamatan Karangasem dan Kecamatan Manggis Tahun 2012
170
5.43
Pengaruh Langsung, Tak Langsung, dn Total Antar Variabel di Kecamatan Karangasem dan Kecamatan Manggis Tahun 2012
173
DAFTAR GAMBAR
Gambar
Hal
2.1
Lingkaran Setan Kemiskinan (Vicious Circle of Poverty)
33
2.2
Tahapan Pemberdayaan
55
3.1
Kerangka Berfikir
79
3.2
Kerangka Konsep Penelitian
80
4.1
Lokasi Penelitian
86
4.2
Diagram Jalur Penanggulangan Kemiskinan di Kabupaten Karangasem
108
4.3
Model Pengukuran Variabel Kapasitas Rumah Tangga
109
4.4
Model Pengukuran Variabel Budaya
110
4.5
Model Pengukuran Variabel Pemberdayaan
111
4.6
Model Pengukuran Variabel Sikap untuk Keluar dari Kemiskinan
112
4.7
Model Pengukuran Variabel Keberdayaan
113
5.1
Garis Kemiskinan Kabupaten Karangasem di Bandingkan dengan Garis Kemiskinan Kabupaten/Kota Lainnya di Provinsi Bali 2012
131
5.2
Hubungan Indikator dengan Konstruk Kapasitas RTM
157
5.3
Hubungan Indikator dengan Konstruk Pemberdayaan
159
5.4
Hubungan Indikator terhadap Konstruk Budaya
162
5.5
Hubungan Indikator dengan Konstruk Sikap
165
5.6
Hubungan Indikator dengan Keberdayaan
168
5.7
Model Persamaan Struktural Pengaruh Kapasitas Rumah Tangga, Budaya, Dan Pemberdayaan Terhadap Sikap serta Keberdayaan RTM di Kabupaten Karangasem
171
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Sejak kebijakan otonomi daerah diterapkan, setiap daerah mulai tingkat provinsi sampai kabupaten/ kota diharapkan mampu menggali potensi daerahnya dalam upaya meningkatkan pendapatan daerah sekaligus mampu menangani setiap masalah yang timbul sebagai dampak aktivitas pembangunan. Pengenalan terhadap potensi daerah, baik yang bisa digali sebagai kekuatan atau keunggulan maupun yang berpotensi sebagai kendala atau kelemahan merupakan masukan yang sangat berharga guna merancang strategi untuk mencapai tujuan pembangunan yang telah ditetapkan. Salah satu potensi yang dimiliki suatu daerah adalah penduduk. Penduduk yang ada di suatu wilayah memegang peran ganda. Di satu sisi, jumlah penduduk yang banyak merupakan modal potensial sebagai subyek pembangunan, sedangkan di sisi lain, hal itu juga berpotensi menimbulkan berbagai masalah. Jumlah penduduk yang banyak dapat menimbulkan masalah bila tidak ditangani dengan tepat. Satu contoh yang bisa dikemukakan adalah terjadinya urbanisasi penduduk dari desa ke kota akan dapat menimbulkan masalah kependudukan yang berkaitan dengan munculnya kantongkantong pemukiman yang kumuh, ruwetnya pendataan para pendatang, serta timbulnya masalahmasalah kriminal. Masalah lain yang sering ditimbulkan oleh banyaknya jumlah penduduk adalah berhubungan dengan rendahnya kualitas penduduk tersebut. Seperti misalnya ketidakmampuan
mengakses kesempatan kerja karena rendahnya tingkat pendidikan dan tingkat keterampilan. Kondisi demikian berdampak pada makin tingginya tingkat pengangguran yang pada akhirnya menciptakan kemiskinan. Selain karena rendahnya kualitas penduduk atau sumber daya manusia, kemiskinan juga sering muncul akibat terjadinya ketimpangan distribusi pendapatan seiring dengan kemajuan perekonomian di suatu Negara. Tambunan (2001) menyebutkan bahwa ketimpangan hasil pembangunan mengakibatkan terjadinya kelompok masyarakat yang berpendapatan
tinggi dan
kelompok masyarakat berpendapatan rendah yang diukur dalam garis kemiskinan (poverty line). Beberapa hasil penelitian menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi yang pesat selalu diikuti dengan meningkatnya kesenjangan, terutama pada tahap awal proses pembangunan ekonomi (Adelman dan Morris dalam Kuznet, 1996). Hasil penelitian ini telah mengembangkan anggapan yang menyatakan bahwa antara pertumbuhan ekonomi yang pesat dan pemerataan pembangunan terdapat suatu trade-off. Pertumbuhan ekonomi yang pesat akan membawa konsekuensi meningkatnya ketimpangan pembangunan dan hasil-hasilnya, sementara pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya yang cukup baik akan dicapai dengan pertumbuhan ekonomi yang relatif lambat. Permasalahan ketimpangan pendapatan tidak dapat dipisahkan dari permasalahan kemiskinan dan hal itu biasanya terjadi pada negara miskin dan berkembang. Menurut Arsyad (2004), banyak negara sedang berkembang yang mengalami tingkat pertumbuhan ekonomi tinggi pada tahun 1960-an mulai menyadari bahwa pertumbuhan semacam itu hanya sedikit manfaatnya dalam memecahkan masalah kemiskinan. Lebih lanjut disebutkan bahwa pertumbuhan ekonomi yang tinggi gagal untuk mengurangi bahkan menghilangkan besarnya kemiskinan absolut di Negara sedang berkembang. Dengan kata lain, pertumbuhan GNP (Gross National Product) per kapita yang cepat tidak secara otomatis meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Ketimpangan pembangunan yang selama ini berlangsung menampakkan wujudnya dalam berbagai bentuk, aspek, dan dimensi. Misalnya ketimpangan hasil pembangunan dalam hal pendapatan perkapita atau pendapatan daerah dan ketimpangan kegiatan atau proses pembangunan itu sendiri.
Munculnya kawasan-kawasan kumuh di tengah beberapa kota besar dan di sisi lain hadirnya kantongkantong pemukiman mewah di tepian kota atau bahkan di pedesaan adalah suatu bukti nyata ketimpangan yang terjadi. Perbedaan gaya hidup masyarakat merupakan bukti lain dari ketimpangan, dan tidak terjadinya
“trickle down effect” dalam pembangunan ekonomi. Sebagian besar negara
sedang berkembang yang mengalami laju pertumbuhan relatif tinggi tidak membawa manfaat yang berarti bagi penduduk miskin (Arsyad, 2004). Ketimpangan juga sering terjadi secara nyata antar daerah kabupaten/kota di wilayah provinsi itu sendiri (Alisjahbana, 2005). Kemiskinan bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri, tetapi terwujud sebagai hasil interaksi antara berbagai aspek yang ada dalam kehidupan manusia, terutama aspek sosial dan aspek ekonomi. Bila kedua aspek ini tidak ditangani dengan baik maka akan dapat menimbulkan kerawanan sosial yang pada akhirnya dapat mengancam ketahanan nasional. Kemiskinan dianalisis dengan pendekatan ekonomi semata padahal perilaku masyarakat sangat dipengaruhi oleh ketidakberdayaan masyarakat diberbagai aspek seperti aspek sosial dan budaya. Pandangan para kaum neo-liberal kemiskinan merupakan persoalan individual yang disebabkan oleh kelemahan-kelemahan individu yang berangkutan. Kemiskinan akan hilang dengan sendirinya seiring dengan pertumbuhan ekonomi. Penanganan kemiskinan lebih banyak bersifat residual, dalam waktu pendek peran negara tidak dibutuhkan. Berbeda halnya dengan pandangan teori sosial demokrat, kemiskinan bukanlah persoalan individual melainkan struktural seperti: ketimpangan dalam masyarakat, ketidakadilan serta tersumbatnya akses-akses untuk memenuhi kebutuhan pokok bagi orang miskin. Menurut Lewis, 1998 untuk menanggulangi kemiskinan perbaikan dan perubahan struktur kemasyarakatan perlu mendapat perhatian, karena di dalam struktur masyarakat memiliki budaya yang tercermin dalam bentuk nilai-nilai dan norma yang mengarah pada perilaku disebut dengan budaya kemiskinan. Budaya kemiskinan merupakan suatu adaptasi atau penyesuaian dan reaksi kaum miskin terhadap kedudukan marginal mereka dalam masyarakat. Orang miskin memiliki kebiasaan sendiri yang berbeda dengan masyarakat kebanyakan. Sikap negatif, seperti: malas , fatalisme atau menyerah pada nasib, perasaan tidak berharga, tidak berdaya, ketergantungan yang tinggi dan rasa rendah diri
tidak memiliki jiwa kewirausahaan dan kurang menghormati etos kerja. Sikap yang diambil suatu rumah tangga akan memberikan pengaruh terhadap keberdayaan. Sharp 1996 Kemiskinan disebabkan oleh berbagai hal, menyebutkan bahwa kemiskinan disebabkan oleh tiga faktor utama yaitu: (1) ketidaksamaan pola kepemilikan sumber daya; (2) perbedaan kualitas pemilikan sumber daya; dan (3) perbedaan akses dalam modal. Sementara itu, menurut Suyono(1996), kemiskinan disebabkan oleh faktor internal, eksternal, nilai budaya yang kurang mendukung, dan kurangnya akses terhadap pemanfaatan pembangunan. Rendahnya akses terhadap pembangunan berhubungan dengan kapasitas rumah tangga seperti rendahnya pendidikan, banyaknya jumlah anggota keluarga yang harus ditanggung dan rendahnya kepemilikan aset. Hasil penelitian Gustafsson dan Yue (2006) menyimpulkan rumah tangga yang hidup dengan banyak anggota, dengan kepala rumah tangga yang pendidikannya rendah, maka anak-anak menghadapi risiko kemiskinan yang lebih tinggi dari orang lain. Rumah tangga yang memiliki anggota keluarga lebih dari 4 orang memiliki peluang 1,312 kali lebih besar untuk menjadi miskin dengan pendidikan kepala rumah tangga SMP ke bawah. Selanjutnya Sen (1998) mengklasifikasi bahwa kemiskinan bersumber dari empat hal seperti berikut. 1) Heterogenitas personal; artinya adanya keragaman yang dimiliki oleh seseorang mencerminkan peri kehidupan yang terjadi dalam masyrakat. Ada orang yang pekerjaannya baik dengan pendapatan tinggi dengan sosial ekonomi yang baik, demikian sebaliknya ada yang memang dilahirkan dalm keluarga yang tidak mampu dengan lingkungan budaya yang tidak memiliki kemauan untuk meningkatkan sosial ekonomi (malas), sehingga mereka hidup dalam keluarga miskin. Keanekaragaman (heterogenitas) ini memberikan cerminan strata yang terjadi dalam masyarakat. Menurut Sen keragaman yang dimiliki seseorang merupakan modal penting dalam pengembangan diri. Kemampuan yang melekat dalam diri manusia dapat memperbanyak opsi yang terbuka untuk meningkatkan kualitas hidupnya.
2) Keragaman lingkungan; keragaman lingkungan memberikan cerminan keragaman potensi yang dimiliki lingkungan itu sendiri. Bagi masyarakat yang hidup dilingkungan potensi alamnya dengan topografi yang tidak merata dan tandus memberikan potensi terciptanya lingkungan masyarakat miskin. Sebaliknya mereka yang hidup di daerah yang subur dengan potensi alam yang dapat dimanfaatkan akan tercipta masyarakat yang makmur. 3) Perbedaan iklim; perbedaan iklim yang berbeda antar satu daerah dengan daerah lain menciptakan perbedaan perilaku masyarakat untuk memanfaatkan lingkungannya dalam menjaga kelangsungan hidupnya. Akan tetapi jika lingkungan yang tercipta ini berbeda dengan iklim yang biasanya akan menciptakan perubahan yang sangat besar terhadap tatanan kehidupan, seperti terjadinya banjir disertai longsor, gempa dan lain sebagainya. Mereka yang mengalami peristiwa ini akan berubah dari tidak miskin menjadi miskin. 4) Perbedaan kebiasaan konsumsi; pola konsumsi merupakan cerminan gaya hidup memberikan kontribusi terciptanya kemiskinan, bagi daerah-daerah yang memiliki budaya konsumtif dengan dalih untuk mempertahankan adat istiadat melakukan ritualnya dengan berbagi pengorbanan tanpa mempertimbangan kemampuan yang dimiliki. Pengeluaran tersier diutamakan dibandingkan dengan pengeluaran primer sebagai akibat dari adanya kebiasaan untuk mempertahankan pristise keluarga. Di negara sedang berkembang seperti Indonesia, kemiskinan merupakan persoalan yang sampai saat ini belum dapat diatasi sepenuhnya. Data menunjukkan, sampai bulan Maret 2010 kemiskinan di Indonesia mencapai angka 13,33 persen dari total penduduk sebanyak 237.556.363 jiwa. Ini berarti bahwa sekitar 32 juta penduduk berada dalam keadaan miskin. Angka ini menandakan kemiskinan di Indonesia merupakan masalah yang sangat penting dan membutuhkan penanganan yang menyeluruh (BPS Indonesia, 2010). Upaya pemberdayaan masyarakat miskin untuk meningkatkan keberdayannya melalui program-progam sektoral maupun regional yang selama ini dilakukan masih kurang efektif dan tidak tepat sasaran karena dilaksanakan secara parsial, kurangnya monitoring dan tidak berkelanjutan.
Program pengentasan kemiskinan diharapkan tidak selalu sesuai dengan kebutuhan jangka pendek masyarakat miskin setempat, namun lebih mengarah pada perubahan struktur kemasyarakatan seperti petani mengalih ke pekerja proyek (buruh). Hasil penelitian Aditjondro (2010) menunjukkan bahwa pemberdayaan melalui program PNPM tidak menemukan dampak positif yang berarti terhadap tingkat keberdayaan dan kemandirian masyarakat miskin. Lebih lanjut dikatakan bahwa pembangunan proyekproyek parasarana dan program pinjaman lunak kepada masyarakat hanya menekankan pada pengembalian pinjaman tidak menjangkau rumah tangga-rumah tangga miskin dan hanya menciptakan kesempatan kerja. Sementara yang terbatas pada pengerahan tenaga warga masyarakat yang dibayar dengan sistem hari orang kerja (HOK) serta mendorong pengalihan profesi sebagai warga masyarakat dari bidang pertanian ke bidang jasa. Bali dikenal sebagai salah satu provinsi dengan tingkat pendapatan per kapita cukup tinggi dibandingkan dengan beberapa provinsi lain di Indonesia. Pada tahun 2010, pendapatan per kapita penduduk Provinsi Bali mencapai Rp.16,21 juta, meningkat tajam dari tahun sebelumnya Rp. 12,24 juta.
Meskipun demikian, ternyata Bali tetap menghadapi persoalan kemiskinan. Hasil sensus
penduduk tahun 2010 menunjukkan bahwa penduduk Provinsi Bali berjumlah 3.890.757 jiwa, dan jumlah penduduk miskin sebanyak 215.700 jiwa atau sebanyak 5,54 persen. Jumlah penduduk Provinsi Bali terdiri atas 1.040.074 rumah tangga, dan ternyata jumlah rumah tangga miskin masih sebanyak yakni 134.804 rumah tangga atau 12,96 persen. Secara rinci, data jumlah penduduk, jumlah rumah tangga, dan jumlah rumah tangga miskin tiap kabupaten/kota di Provinsi Bali disajikan pada Tabel 1.1.
Tabel 1.1 Jumlah dan Laju Pertumbuhan Penduduk, Rumah Tangga, dan Rumah Tangga Miskin Provinsi Bali Tahun 2010 Kabupaten/Kota
Laju Pertumbuhan
Jumlah
Jumlah RT
Proporsi RT
Penduduk (%)
RT
Miskin
Miskin
Jembrana
1,22
72.905
5.927
8,13
Tabanan
1,12
106.204
11.624
10,94
Badung
4,63
147.313
3.826
2,60
Gianyar
1,81
103.611
7.759
7,49
Klungkung
0,94
43.613
7.988
18,32
Bangli
1,06
55.742
13.724
24,62
Karangasem
0,97
103.673
34.898
33,66
Buleleng
1,12
173.057
45.487
26,28
Denpasar
4,00
233.956
3.571
1,53
Bali
2,14
1.040.074
134.804
12,96
Sumber: BPS Provinsi Bali (Hasil SP 2010) dan Bappeda Kabupaten/Kota, (Kabupaten/Kota Dalam Angka)
Tabel 1.1 menunjukkan bahwa walaupun tingkat pertumbuhan penduduk di Kabupaten Karangasem paling rendah (0,97 persen) akan tetapi jumlah rumah tangga miskin di kabupaten ini masih cukup besar yaitu sebanyak 34.898 rumah tangga, yang menempati posisi nomor dua setelah Kabupaten Buleleng. Namun demikian jika diperhatikan proporsi RT miskin, ternyata paling banyak dijumpai di Kabupaten Karangasem yaitu sebanyak 33,66 persen. Secara geografis Kabupaten Karangasem terletak di ujung timur Pulau Bali. Kondisi alamnya memiliki topografi yang sangat variatif serta tandus sebagai akibat dari letusan Gunung Agung yang terjadi pada tahun 1963. Lahan persawahan hanya 8,5 % dan selebihnya (91,5 %) bukan lahan persawahan, ketersediaan prasarana jalan sangat terbatas sehingga pemasaran hasil produksi juga terbatas jangkauannya. Kemiskinan di kabupaten ini tidak hanya disebabkan oleh faktor alam semata akan tetapi juga disebabkan oleh faktor sikap mental dan budaya. Hasil observasi menunjukkan bahwa
sebagian besar para pengemis di jalanan atau yang datang ke rumah-rumah penduduk di Bali terutama di Kota Denpasar dan Kabupaten Badung berasal dari desa-desa miskin Kabupaten Karangasem. Publikasi Badan Pembangunan Masyarakat Desa (BPMD) Kabupaten Karangasem tahun 2011 menyebutkan bahwa ada anggapan di kalangan masyarakat miskin dari Kabupaten Karangasem bahwa menjadi pengemis memperoleh pendapatan lebih besar dibandingkan dengan menjadi pekerja untuk memperoleh upah langsung (Laporan BPMD Kabupaten Karangasem 2012). Adanya sikap yang hanya menerima keadaan miskin sebagai sebuah takdir menyebabkan keengganan mereka berusaha untuk dapat keluar dari lingkaran kemiskinan. Apa yang telah dikaruniai oleh Tuhan sekarang ini patut disyukuri dan akan membawa kebaikan di kemudian hari. Di samping itu adanya kebiasaan masyarakat untuk memanfaatkan waktu untuk hal–hal yang tidak produktif seperti berjudi, minum-minum dan lain sebagainya merupakan pemandangan umum yang selalu tampak di daerah pedesaan. Kondisi demikian ditambah lagi dengan budaya konsumtif yang masih banyak dilakukan masyarakat, yaitu bagian dari penghasilannya sebagai pengemis lebih banyak dimanfaatkan untuk halhal yang kurang bermanfaat. Menurut Stewart 1992 terbentuknya budaya lokal lebih banyak dipengaruhi oleh lingkungan fisik (alam). Setiap nilai budaya masyarakat akan mencerminkan keadaan lingkungan dimana ia berada sehingga berpengaruh pada sikap mentalnya. Budaya meminta-minta yaitu mengharapkan bantuan dan sedekah merupakan cerminan dari budaya kemiskinan. Menurut Dhana dkk (2008) kebiasaan meminta-minta bersumber dari kebudayaan kemiskinan yang dianut, meminta-minta merupakan pilihan terbaik dan logis. Adanya sikap mental semacam ini menyebabkan terciptanya budaya kemiskinan terutama kemiskinan kultural. Jika hal semacam ini tidak segera ditanggulangi maka dapat menyebabkan terciptanya persistent poverty, yaitu kemiskinan yang semakin kronis atau turun temurun, terutama di wilayah yang memiliki sumberdaya alam yang kritis dan atau terisolasi. Ketidakberdayaan atau ketidakmampuan (powerlessness) tersebut menumbuhkan perilaku miskin yang
bermuara pada hilangnya kemerdekaan untuk berusaha dan menikmati kesejahteraan secara bermartabat (Sumodiningrat, 2000). Agar mampu keluar dari kemiskinan dibutuhkan adanya perubahan sikap dan perubahan perilaku, karena adanya sikap menerima keadaan (pasrah) merupakan cermin dari keluarga miskin. Teori sikap yang dikembangkan oleh Fishbein dan Azjen (1975 dalam Schiffman dan Kanuk, 2007) menyebutkan sikap seseorang sangat dipengaruhi oleh stimuli yang diterima dan stimuli ini berpengaruh terhadap perilaku. Berperilaku ditentukan oleh sikap seseorang, seseorang akan lebih mudah melakukan tindakan tertentu bila telah memiliki sikap positif terhadap perilaku itu sendiri. Perubahan perilaku merupakan upaya singkat untuk meningkatkan keberdayaan rumah tangga miskin. Menurut Azwar (2011) menyebutkan 85 persen keberhasilan seseorang sangat ditentukan oleh sikap terhadap persoalan yang dihadapi, selebihnya ditentukan oleh kemampuan diri sendiri. Blomquistt (2002) yang melakukan penelitian pada masyarakat migran Amerika Latin di Amerika menyebutkan 36 persen penduduk migran miskin disebabkan oleh tidak adanya sikap untuk keluar dari kemiskinan dan sangat tergantung dari bantuan pemerintah. Hal ini mencerminkan masyarakat miskin enggan memafaatkan sumberdaya yang dimiliki untuk mengubah nasibnya. Sikap masyarakat yang enggan untuk segera keluar dari kemiskinan juga ditunjukkan masyarakat di Kabupaten Karangasem, mereka lebih banyak meluangkan waktunya untuk kegiatankegiatan tidak produktif seperti berjudi. Adanya pandangan msayarakat yang menyatakan kondisi terjadi sekarang ini harus diterima sebagai takdir, lebih-lebih lingkungan alam yang tidak mendukung/tandus, pemerintah bertanggung jawab atas terjadinya kemiskinan ini Adanya kondisi semacam itu menyebabkan jumlah penduduk di bawah garis kemiskinan di Kabupaten Karangasem cukup besar. Rata-rata pengeluaran untuk makanan per kepala per bulan berada di bawah angka rata-rata provinsi yaitu Rp. 195.049. Nilai ini merupakan nilai terendah jika dibandingkan dengan kabupaten-kabupaten lainnya di Provinsi Bali, demikian pula jika ditambahkan pengeluaran bukan makanan juga masih berada di bawah rata-rata provinsi.
Proporsi rumah tangga miskin di Kabupaten Karangasem terdiri atas 34.898 RT yang tersebar di delapan kecamatan dengan rincian seperti disajikan pada Tabel 1.2. Jika jumlah anggota rumah tangga rata-rata empat jiwa maka jumlah penduduk miskin di kabupaten ini sebanyak 139.592 jiwa, dan jumlah ini akan makin banyak jika rata-rata jumlah anggota keluarga lebih dari empat orang. Tabel 1.2 menunjukkan bahwa di antara delapan kecamatan di Kabupaten Karangasem, Kecamatan Karangasem menunjukkan kondisi paling buruk karena memiliki RT miskin paling banyak (8.577 RT) dengan proporsi yang juga paling tinggi (24,58%) dari total rumah tangga miskin di Kabupaten Karangasem. Tabel 1.2 Jumlah RT Miskin di Tiap Kecamatan di Kabupaten Karangasem Tahun 2010 Kecamatan Jumlah Jumlah RT Proporsi Miskin Desa (bh) RT Miskin (%) Rendang
6
1.612
4,62
Sidemen
10
2.636
7,55
Manggis
12
1.521
4,37
Karangasem
11
8.577
24,58
Abang
14
6.503
18,63
Bebandem
8
5.806
16,64
Selat
8
2.032
5,82
Kubu
9
6.211
17,79
Kabupaten
62
34.898
100,0
Sumber: Karangasem Dalam Angka, 2010 (diolah) Berdasarkan laporan BPS Provinsi Bali (2010), kecamatan ini terdiri atas 11 desa memiliki jumlah rumah tangga sangat miskin (RTSM) yang paling tinggi yaitu sebanyak 1563 RT. Sebagai ibu kota kabupaten tentunya daerah ini memiliki sarana dan prasarana yang lebih baik dibandingkan dengan daerah lainnya di luar ibukota kabupaten. Menjadi pertanyaan mengapa daerah yang memiliki
fasilitas lebih baik memiliki jumlah rumah tangga miskin paling banyak dibandingkan daerah lain yang fasilitasnya lebih terbatas. Pada dasarnya penduduk desa melakukan migrasi ke kota dengan harapan dapat meningkatkan kesejahteraannya. Sesuai dengan teori migrasi Everett S. Lee (Mantra, 2000), migrasi penduduk dari desa ke kota disebabkan oleh dua kekuatan utama yaitu factor penarik (pull factor) dan faktor pendorong (push factor). Akan tetapi, tidak selamanya penduduk yang berada di wilayah perkotaan memiliki tingkat kesejahteraan yang lebih baik dibandingkan penduduk yang ada di wilayah pedesaan, meskipun mungkin pendapatannya relatif lebih tinggi dari pada pendapatan penduduk di wilayah pedesaan. Sementara itu Kecamatan yang jumlah rumah tangga miskinnya paling sedikit terdapat di Kecamatan Manggis
(1.521 RTM) dengan proporsi kurang dari 5 persen. Lokasi
Kecamatan Manggis adalah di ujung selatan Kabupaten Karangasem berbatasan dengan Kabupaten Klungkung dan dilalui oleh jalur utama yang menghubungkan kabupaten-kabupaten lainnya di Bali Selatan.
Daerah ini memiliki daerah landai hingga perbukitan dan sebagian besar penduduknya
bekerja pada sektor perdagangan dan pertanian. Rendahnya jumlah rumah tangga miskin di daerah ini di samping disebabkan adanya beberapa aktivitas ekonomi yang semakin berkembang seperti pelabuhan Padang Bai dan Depo minyak Pertamina juga disebabkan banyaknya penduduk yang bekerja dan menetap di daerah lain seperti di Kabupaten Klungkung, Gianyar, dan Denpasar. Hal ini menunjukkan masyarakat di daerah ini memiliki motivasi dan sikap lebih kuat untuk keluar dari lingkaran kemiskinan. Di samping itu ada daerah tertentu justru tidak memiliki lahan sebagai milik pribadi melainkan lahan atau tanah ayahan desa. Pemerintah Kabupaten Karangasem telah melakukan berbagai upaya untuk menanggulangi kemiskinan melalui berbagai program pengentasan kemiskinan, seperti: pemberdayaan ekonomi keluarga miskin melalui pemberian bantuan ekonomi produktif pada Kelompok Usaha
Bersama
(KUBE) anyaman Ate sebagai produk unggulan Kabupaten Karangasem. Usaha ini menyerap tenaga kerja paling banyak dibandingkan dengan sektor lainnya dan 35 persen dari total pengerajin berada di daerah seraya. Kondisi geografis, infrastruktur dan terbatasnya kemampuan sumberdaya manusia
menyebabkan hasil produksi tidak bisa dipasarkan langsung ke pasar. Pengrajin lebih banyak berhubungan dengan perantara dan terbatasnya pengetahuan tentang pasar, sehingga harga ditentukan oleh perantara. Semakin panjangnya mata rantai penjualan, tidak adanya dana pendamping
dan
mendesaknya kebutuhan, para pengrajin menjual hasil kerajinan berupa barang setengah jadi dimana harga ditentukan oleh perantara. Pendapatan pengrajin menjadi kecil akibatnya produksi dan jumlah pengrajin makin hari semakin sedikit, sehingga upaya pemberdayaan yang dilakukan pemerintah mengalami kegagalan. Demikian pula program pemerintah untuk bantuan pendidikan dan kesehatan untuk menciptakan keluarga harapan (PKH), Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PNPM) dan Program Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan (P2KP). Program-program ini dimaksudkan untuk memberikan bantuan pendapingan, pelatihan serta bantuan langsung kepada keluarga miskin. Tidak validnya data yang dikumpulkan serta adanya sikap masyarakat yang lebih mengutamakan haknya, para relawan mengalami kesulitan dalam mendistribusikan bantuan. Sering terjadi anak yang seharusnya sekolah hingga tamat sekolah dasar (SD) dipaksa untuk membantu orang tua bekerja tanpa memperhatikan kelangsungan sekolahnya sehingga si anak menjadi putus sekolah. Jumlah penduduk usia sekolah yang putus sekolah di Kabupaten Karangasem menempati posisi paling tinggi (33,45 persen) dibandingkan dengan kabupaten-kabupaten lainnya di Bali, sebagian besar berhenti ketika memasuki jenjang SLTP. Demikian pula jumlah penduduk usia 15 tahun ke atas buta aksara reltif tinggi mencapai 34,05 persen (Karangasem dalam angka 2010). Upaya pemerintah melalui pemberdayaan dimaksudkan untuk menanggulangi kemiskinan di Kabupaten Karangasem mengalami kegagalan sehingga kemsikinan yang terjadi di daerah ini masih cukup tinggi.
1.2 Rumusan Masalah Berkaitan dengan kondisi kemiskinan yang terjadi di Kabupaten Karangasem, maka dapat dirumuskan permasalahan penelitian sebagai berikut.
1.
Bagaimanakah pengaruh kapasitas rumah tangga miskin terhadap sikap untuk keluar dari kemiskinan?
2.
Bagaimanakah pengaruh kapasitas rumah tangga miskin terhadap keberdayaan rumah tangga miskin?
3.
Bagaimanakah pengaruh pemberdayaan terhadap sikap untuk keluar dari kemiskinan?
4.
Bgaimanakah pengaruh pemberdayaan terhadap keberdayaan rumah tangga miskin?
5.
Bagaimanakah pengaruh budaya terhadap sikap untuk keluar dari kemiskinan?
6.
Bagaimanakah pengaruh budaya terhadap keberdayaan rumah tangga miskin?
7.
Bgaimanakah pengaruh sikap untuk keluar dari kemiskinan terhadap keberdayaan rumah tangga miskin?
1.3 Tujuan Penelitian Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan kondisi kemiskinan di Kabupaten Karangasem. Secara lebih spesifik, tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut. 1.
Untuk menganalisis pengaruh kapasitas rumah tangga miskin terhadap kemiskinan.
2.
Untuk menganalisis pengaruh kapasitas rumah tangga miskin terhadap keberdayaan rumah tangga miskin.
3.
Untuk menganalisis pemberdayaan terhadap sikap rumah tangga untuk keluar dari kemiskinan.
4.
Untuk menganalisis pengaruh pemberdayaan terhadap keberdayaan rumah tangga miskin.
5.
Untuk menganalisis pengaruh budaya terhadap sikap rumah tangga untuk keluar dari kemiskinan.
6.
Untuk menganalisis apakah budaya berpengaruh terhadap keberdayaan rumah tangga miskin.
7.
Untuk menganalisis pengaruh
sikap rumah tangga untuk keluar dari kemiskinan terhadap
keberdayaan rumah tangga miskin.
1.4 Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini meliputi manfaat pengembangan ilmu dan manfaat praktis dapat diuraikan sebagai berikut: 1.
Manfaat pengembangan ilmu, hasil penelitian ini memberi variasi tentang hasil-hasil studi tentang kemiskinan. Meskipun suatu kondisi kemiskinan di wilayah tertentu didekati dengan menggunakan teori atau perspektif yang sama dan diukur dengan alat ukur yang sama, sedikit banyak hasilnya akan memberi gambaran yang berbeda dengan kondisi kemiskinan dari wilayah lainnya. Hal ini disebabkan oleh kondisi kemiskinan itu sendiri sering bersifat kontekstual yang tidak bisa dipisahkan dari budaya dan lingkungan masyarakatnya Dengan kata lain, rumah tangga miskin di suatu wilayah tertentu belum tentu termasuk miskin di wilayah lainnya.
2.
Manfaat praktis, hasil penelitian ini diharapkan memberi gambaran yang lebih komprehensif dan faktual tentang kondisi kemiskinan yang terjadi di Kabupaten Karangasem, sehingga dapat dijadikan referensi bagi pemimpin wilayah dalam menentukan langkah-langkah atau upaya penanggulangan kemiskinan yang lebih tepat sasaran sesuai dengan kondisi wilayah dan karakteristik masyarakatnya.
BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1. Kemiskinan Istilah kemiskinan muncul ketika seseorang, kelompok atau keluarga tidak mampu mencukupi kemakmuran ekonomi yang dianggap sebagai kebutuhan minimal dari standar hidup tertentu. Konsep, definisi, dan ukuran kemiskinan dipaparkan pada bagian berikut. Berdasarkan Undang-undang Nomor 25 tahun 2000, kemiskinan adalah kondisi sosial ekonomi seseorang atau sekelompok orang yang tidak terpenuhi hak-hak dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat. Kebutuhan dasar manusia mencakup kebutuhan pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, perumahan, air bersih, pertanahan, sumber daya alam, lingkungan hidup, rasa aman dari perlakuan atau ancaman tindak kekerasan dan hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial politik. Definisi kemiskinan ini beranjak dari pendekatan berbasis hak yang mengakui bahwa masyarakat miskin, baik laki-laki maupun perempuan, mempunyai hak-hak dasar yang sama dengan anggota masyarakat lainnya. Kemiskinan tidak lagi dipahami hanya sebatas ketidakmampuan ekonomi, tetapi juga kegagalan pemenuhan hak-hak dasar dan perbedaan perlakuan bagi seseorang atau sekelompok orang, laki-laki dan perempuan, dalam menjalani kehidupan secara bermartabat. Peran wanita memiliki pengaruh signifikan dalam meningkatkan kesejahteraan keluarga. Partisipsi angkatan kerja mampu meningkatkan pendapatan keluarga (Rana dan Tasnim, 2009). Hak-hak dasar terdiri atas hak-hak yang dipahami masyarakat miskin sebagai hak mereka untuk dapat menikmati kehidupan yang bermartabat dan hak yang diakui dalam peraturan perundang-undangan. Hak-hak dasar yang diakui secara umum antara lain meliputi terpenuhinya kebutuhan pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, perumahan, air bersih, pertanahan, sumberdaya alam dan lingkungan hidup, rasa aman dari perlakukan atau ancaman tindak kekerasan dan hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial-politik, baik bagi perempuan maupun laki-laki.
Hak-hak dasar tidak berdiri sendiri-sendiri tetapi saling mempengaruhi satu sama lain sehingga tidak terpenuhinya satu hak dapat mempengaruhi pemenuhan hak lainnya. Menurut Suparlan (1995) kemiskinan didefinisikan sebagai standar kehidupan yang rendah, yaitu adanya suatu tingkat kekurangan materi pada jumlah atau golongan orang dibandingkan dengan standar kehidupan yang umum berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. Standar kehidupan yang rendah ini dapat mempengaruhi tingkat kesehatan, kehidupan moral, dan rasa harga diri dari mereka yang tergolong sebagai orang miskin. Secara teoritis konsep kemiskinan dapat diukur dari empat perspektif Laderich, et al.2003 (Dinar, 2008) yaitu: 1.
Pendekatan moneter (the monetary approach) yaitu kemiskinan sebagai kekurangan individu untuk mencapai tingkat konsumsi (pendapatan) secara minimum yang biasanya diukur dengan garis kemiskinan.
2.
Pendekatan kemampuan (the capability approach) yaitu pendekatan yang lebih menitikberatkan pada indikator kebebasan untuk menafkahi kehidupan itu sendiri, kemiskinan merupakan kehilangan kemampuan individu untuk mencapai kemampuan minimal.
3.
Pendekatan pengucilan sosial (social exclusion approach) yang sering terjadi di negara maju, yaitu terjadinya proses marjinalisasi dan pencabutan hak-hak dasar ekonomi.
4.
Perspektif partisipasi (participation methods) yaitu melihat kemiskinan dari sisi kaum miskin itu sendiri (views of poor people themselves) dan keterlibatan mereka dalam pengambilan keputusan untuk mendefinisikan kaum miskin dan besaran kemiskinannya. Konsep yang terakhir ini diadopsi dari konsep participatory rural appraisal (PRA), yaitu metode memampukan masyarakat lokal untuk berbagi, merencanakan, dan bertindak. Secara praktikal metode ini dibagi menjadi tiga katagori, yaitu: (1) diasosiasikan dengan penentuan diri dan pemberdayaan; (2) peningkatan efisiensi program; dan (3) menekankan pada pembelajaran yang saling menguntungkan (mutual learning).
Untuk kondisi di Indonesia, publikasi dari Bappenas (2004) mengemukakan definisi kemiskinan sebagai kondisi seseorang atau sekelompok orang, laki-laki dan perempuan, tidak mampu memenuhi hak dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat. Hak-hak dasar masyarakat desa antara lain terpenuhinya kebutuhan pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, perumahan, air bersih, pertanahan, sumberdaya alam dan lingkungan hidup, rasa aman dari perlakukan atau ancaman tindak kekerasan, dan hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosialpolitik, baik bagi perempuan maupun laki-laki. Untuk mewujudkan hak dasar masyarakat miskin ini, Bappenas menggunakan beberapa pendekatan utama, antara lain pendekatan kebutuhan dasar, pendekatan pendapatan, pendekatan kemampuan dasar, dan pendekatan objektif dan subjektif. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) suatu rumah tangga/keluarga dikatakan miskin jika minimal 9 variabel dari 14 variabel belum terpenuhi yaitu: 1. Luas lantai bangunan tempat tinggal kurang dari 8 m2 per orang. 2. Jenis lantai tempat tinggal terbuat dari tanah/ bambu / kayu murahan. 3. Jenis dinding tempat tinggal dari bambu / rumbia / kayu berkualitas rendah / tembok tanpa diplester. 4. Tidak memiliki fasilitas buang air besar / bersama-sama dengan rumah tangga lain. 5. Sumber penerangan rumah tangga tidak menggunakan listrik. 6. Sumber air minum berasal dari sumur / mata air tidak terlindung / sungai /air hujan. 7. Bahan bakar untuk memasak sehari-hari adalah kayu bakar / arang / minyak tanah. 8. Hanya mengkonsumsi daging / susu / ayam satu kali dalam seminggu. 9. Hanya mampu membeli satu stel pakaian baru dalam setahun. 10.Hanya sanggup makan sebanyak satu / dua kali dalam sehari. 11.Tidak sanggup membayar biaya pengobatan di puskesmas / poliklinik. 12.Sumber penghasilan kepala rumah tangga adalah : petani dengan luas lahan 500 m2, buruh tani, nelayan, buruh bangunan, buruh perkebunan dan atau pekerjaan lainnya dengan pendapatan dibawah Rp. 600.000,- per bulan.
13.Pendidikan tertinggi kepala rumah tangga : tidak sekolah / tidak tamat SD/ hanya SD. 14.Tidak memiliki tabungan / barang yang mudah dijual dengan minimal Rp. 500.000,- seperti sepeda motor kredit / non kredit, emas, ternak, kapal motor, atau barang modal lainnya. Pendekatan kebutuhan dasar, melihat kemiskinan sebagai suatu ketidakmampuan seseorang, keluarga, dan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan minimum, antara lain pangan, sandang, papan, pelayanan kesehatan, pendidikan, penyediaan air bersih dan sanitasi. Sementara itu menurut pendekatan pendapatan, kemiskinan disebabkan oleh rendahnya penguasaan aset dan alat produktif seperti tanah dan lahan pertanian atau perkebunan sehingga secara langsung memengaruhi pendapatan seseorang dalam masyarakat. Pendekatan ini, menentukan secara kaku standar pendapatan seseorang di dalam masyarakat untuk membedakan kelas sosialnya. Pendekatan ketiga yaitu pendekatan kemampuan dasar menilai kemiskinan sebagai keterbatasan kemampuan dasar seperti kemampuan membaca dan menulis untuk menjalankan fungsi minimal dalam masyarakat. Keterbatasan kemampuan ini menyebabkan tertutupnya kemungkinan bagi orang miskin terlibat dalam pengambilan keputusan. Padahal pendidikan sangat besar pengaruhnya terhadap pengambilan keputusan artinya semakin tinggi pendidikan seseorang semakin rasional di dalam pengambilan keputusan. Menurut Philip (2008), penanggulangan kemiskinan struktural dapat dilakukan melalui pendekatan individualistik dan struktural modal manusia melalui pendidikan. Pendidikan, pelatihan dan kesehatan dapat mempengaruhi keuntungan dan produktivitas melalui rangsangan kognitif yang pada akhirnya mampu untuk keluar dari lingkaran kemiskinan. Empat pendekatan obyektif atau sering juga disebut sebagai pendekatan kesejahteraan menekankan pada penilaian normatif dan syarat yang harus dipenuhi agar keluar dari kemiskinan, sedangkan pendekatan subyektif menilai kemiskinan berdasarkan pendapat atau pandangan orang miskin itu sendiri. Selain Bappenas dan BPS, konsep atau definisi tentang kemiskinan juga dirumuskan oleh Badan Koordinasi Keluarga Berencana (BKKBN, 2004). Menurut badan ini, kemiskinan adalah suatu keadaan dimana seseorang tidak sanggup memelihara dirinya sendiri dengan taraf kehidupan yang
dimiliki dan juga tidak mampu memanfaatkan tenaga, mental maupun fisiknya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Keluarga miskin dibagi menjadi dua yaitu : pertama, miskin sekali merupakan keluarga yang tidak dapat memenuhi kebutuhan pokoknya dikarenakan alasan ekonomi sehingga tidak dapat memenuhi salah satu atau lebih indikator meliputi: makan dua kali sehari atau lebih ; anggota keluarga memliki pakaian yang berbeda untuk dirumah, bekerja/sekolah dan bepergian; bagian lantai yang terluas dari tanah. Kedua keluarga miskin yaitu keluarga karena alasan ekonomi tidak dapat memenuhi salah satu atau lebih indikator meliputi :memiliki lantai rumah minimal 8 m 2 untuk tiap penghuni, paling tidak sekali semingggu keluarga miskin makan makanan yang mengandung protein seperti daging, ikan, telur dan memperoleh minimal satu stel pakaian dalam tahun terakhir Indikator penentu kemiskinan adalah indikator yang ada pada tahapan keluarga prasejahtera dan keluarga sejahtera yang dapat menggambarkan kemampuan keluarga dalam memenuhi kualitas sandang, pangan dan papan. Berdasarkan Petunjuk teknis Direktorat Pelaporan dan Statistik BKKBN Pusat (2007) tahapan-tahapan keluarga sejahtera dikatagorikan sebagai berikut : Indikator Keluarga Sejahtera I “(1) pada umumnya anggota keluarga makan dua kali sehari atau lebih, (2) anggota keluarga memiliki pakaian yang berbeda untuk di rumah, bekerja/sekolah dan bepergian, (3) rumah yang ditempati keluarga memiliki atap, lantai dan dinding yang baik, (4) bila ada anggota keluarga sakit dibawa ke sarana kesehatan, (5) bila pasangan usia subur ingin ber KB pergi ke sarana pelayanan kontrasepsi, (6) semua anak umur 7-15 tahun dalam keluarga bersekolah. Apabila satu atau lebih dari indicator di atas tidak terpenuhi maka keluarga tersebut digolongkan keluarga prasejahtera” Indikator Keluarga Sejahtera II “(1) pada umumnya keluarga melaksanakan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing, (2) paling kurang seminggu seluruh keluarga makan daging/ikan/telur, (3) seluruh anggota keluarga memperoleh paling kurang satu pasang pakaian baru dalam setahun, (4) luas latai rumah paling kurang 8m2 untuk setiap penghuni rumah, (5) tiga bulan terakhir keluarga dalam keadaan sehat sehingga dapat melaksanakan tugas/fungsi masing-masing, (6) ada seorang atau lebih anggota keluarga yang berkerja untuk memperoleh penghasilan, (7) seluruh anggota keluarga yang berusia 10-60 tahun bisa baca tulis latin, (8) pasangan usia subur dengan anak dua atau lebih menggunakan alat/obat kontrasepsi, apabila salah satu atau lebih indikator di atas tidak terpenuhi maka keluarga tersebut digolongkan keluarga sejahtera I.”
Indikator Keluarga Sejahtera III “(1) keluarga berupaya meningkatkan pengetahuan agama , (2) sebagian penghasilan keluarga ditabung dalam bentuk uang maupun barang, (3) kebiasaan keluarga makan bersama paling kurang seminggu sekali dimanfaatkan untuk berkomunikasi, (4) keluarga ikut untuk kegiatan masyarakat di lingkungan tempat tinggal, (5) keluarga memperoleh informasi dari surat kabar/majalah/radio/TV, apabila salah satu lebih dari indikator di atas tidak terpenuhi maka keluarga tersebut digolongkan keluarga sejahtera II.” Indikator Keluarga Sejahtera III Plus “(1) keluarga secara teratur dengan sukarela memberikan sumbangan materiil untuk kegiatan social, (2) ada anggota keluarga yang aktif sebagai pengurus perkumpulan sosial/yayasan/institusi masyarakat. Apabila salah satu atau lebih dari indikator di atas tidak terpenuhi maka keluarga tersebut digolongkan keluarga sejahtera III. Apabila keseluruhan indikator tersebut di atas terpenuhi , maka keluarga tersebut digolongkan keluarga sejahtera III plus.” Dalam pencapaian tingkat kesejahteraan BKKBN mengelompokkan pentahapan keluarga sejahtera menjadi lima tahapan yaitu : pertama Keluarga Prasejahtera (Pra-Ks) adalah keluarga yang belum dapat memenuhi kebutuhan dasarnya, seperti kebutuhan akan pangan, sandang papan, spiritual kesehatan dan pendidikan. Secara operasional mereka tampak tidak memiliki kemampuan untuk memenuhi salah satu indikator : a) makan mnimal dua kali sehari, b) pakaian lebih dari satu pasang, c) sebagian besar lantai rumah dari tanah, d) jika sakit dibawa ke sarana kesehatan, e) menjalankan ibadah sesuai dengan agamanya;
kedua Keluarga Sejahtera Tahap I (Ks-I) yaitu
keluarga yang telah dapat memenuhi kebutuhan dasarnya secara minimal, tetapi belum dapat memenuhi keseluruhan kebutuhan dasar psikologisnya (sosio psychological needs) seperti kebutuhan ibadah, makan protein hewani, pakaian, ruang untuk interaksi keluarga, dalam keadaan sehat, mempunyai penghasilan, bisa tulis latin dan keluarga berencana; ketiga Keluarga Sejahtera Tahap II yaitu keluarga yang di samping telah dapat memenuhi kebutuhan dasarnya juga telah dapat memenuhi psikologisnya, akan tetapi belum dapat memenuhi seluruh kebutuhan psikologisnya, akan tetapi belum dapat memenuhi kebutuhan perkembangannya(developmental needs) seperti kebutuhan untuk meningkatkan agama, menabung berinteraksi dalam keluarga, ikut melaksanakan kegiatan dalam masyarakat dan mampu memperoleh informasi. Secara operasional mereka tidak mampu memenuhi salah satu indikator :a) Minmal seminggu makan daging/telur/ikan, b) minimal memiliki
baju baru sekali dalam setahun, c) luas lantai rumah tidak kuran dari 8 m2 per anggota keluarga, d) menjalankan ibadah secara teratur, e) tidak ada nggota keluarga usia 10-60 tahun buta huruf, f) semua anak berusia 7 sampai dengan 15 tahun bersekolah, g) salah satu anggota keluarga berpenghasilan tetap dan h) dalam tiga bulan terakhir tidak sakit dan masih melaksanakan f ungsinya dengan baik ; keempat, Keluarga Sejahtera Tahap III yaitu keluarga yang telah dapat memenuhi kebutuhan dasarnya, juga telah dapat memenuhi kebutuhan psikologisnya, dan kebutuhan perkembangannya namun belum dapat memberikan kontribusi yang maksimal terhadap masyarakat, seperti secara teratur memberikan sumbangan dalam bentuk material dan keuangan untuk kepentingan sosial kemasyarakatan atau yayasan sosial, keagamaan, kesenian, olah raga pendidikan dan sebagainya; kelima, Keluarga Sejahtera Tahap III Plus keluarga yang telah dapat memenuhi kebutuhan dasar, psikologis, pengembangan dan dapat memberikan sumbangan yang nyata dan berkelanjutan bagi masyarakat Keluarga sejahtera merupakan salah satu tujuan pokok yang ingin dicapai atau diidamkan oleh setiap keluarga. Konsep keluarga yang sejahtera di antaranya meliputi suatu keadaan keluarga yang stabil, aman, penuh keharmonisan, sehat, dan berkecukupan secara ekonomis, serta adanya saling pengertian yang baik di dalam kehidupan keluarga. Konsep ini dapat terealisir, bila terdapat saling pengertian dan kepercayaan yang cukup dalam keluarga. Baik itu antara anak dan orang tua, ataupun antara orang tua sendiri. Hasil penelitian Moore dan Lindsay (2001), menemukan banyak keluarga-keluarga yang tidak harmonis berada dalam lingkaran kemiskinan, bagi keluarga yang harmonis, penundaan perkawinan adalah hal yang sangat penting. Kawin muda sangat riskan terhadap kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Ada lima ketidakberuntungan yang melingkari kehidupan orang atau keluarga miskin (Chamber,1983) yaitu : (1) kemiskinan (poverty); (2) fisik yang lemah (physical weakness); (3) kerentanan (vulnerability); (4) keterisolasian (isolation); dan (5) ketidakberdayaan (powerlessness). Kelima ketidak beruntungan ini menyebabkan terjadinya benang kusut kemiskinan pada keluarga
miskin. Ujung pangkalnya menjadi tidak menentu karena sulit menentukan apakah ketidakberdayaan disebabkan oleh kondisi miskin atau karena secara fisik tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan hidup dan lain sebagainya. Hasil penelusuran terhadap berbagai konsep, definisi, dan ukuran kemiskinan seperti diuraikan di atas menunjukkan bahwa seseorang atau sebuah rumah tangga tergolong miskin dapat dilihat dari dua ukuran yaitu ukuran objektif dan ukuran subyektif. Ukuran obyektif menggunakan indikator atau kriteria yang ditentukan berdasar kesepakatan bersama dengan melihat hal-hal yang tampak (observable) sedangkan ukuran subjektif lebih menekankan pada persepsi seseorang yang merasakan kondisi kemiskinan itu sendiri dan sebagaimana namanya ukuran ini bersifat relatif karena mengandung komparasi terhadap pihak lain atau lingkungan terdekatnya. 2.2. Persepsi Kemiskinan Kemiskinan pada masyarakat merupakan bentuk adaptasi suatu masyarakat terhadap kondisi miskin yang dihadapi dalam berbagai dimensi. Kemiskinan dapat dilihat dari kondisi riil masyarakat mengenai tersedianya sandang, pangan, dan perumahan yang ada. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa tingkat kemiskinan berhubungan langsung dengan erat tidaknya ikatan-ikatan sosial pedesaan dan secara khusus berkaitan dengan berfungsi tidaknya extended family di dalam mengatasi berbagai kesulitan ekonomi anggotanya. Berbagai definisi dari kemiskinan memberikan gambaran tentang kekurangan atau keterbatasan yan dimiliki. Kekurangan ini memiliki makna yang bersifat relatif dan subyektif, oleh karena itu pengertian kemiskinan memiliki pengertian beragam tergantung dari sudut pandangnya. Jika kemiskinan dari sudut pandang ekonomi, maka faktor-faktor ekonomi yang diukur sebagai variabel kemiskinan, demikian pula dari sudut pandang budaya dan lain sebagainya. Kemiskinan banyak yang mengartikan kurang makan, hidup di bawah standar, tingkat ekonomi rendah, ketatnya adat istiadat, kurang gizi dan sebagainya. Pendapat tersebut tidak salah karena secara umum kemiskinan adalah keadaan yang serba kurang dilihat dari berbagai aspek dan menurut kepentingan. Cara pandang tersebut akan berbeda dari satu orang atau kelompok jika
kepentingan yang dimiliki juga berbeda, sehingga pengertian tentang kemiskinan akan berbeda satu sama lain, tergantung dari persepsinya Persepsi merupakan sebuah proses yang dilalui seseorang untuk memilih, mengorganisasikan dan menginterpretasi stimuli ke dalam sebuah gambaran tentang dunia atau kehidupan, yang memiliki arti atau makna dan bersifat koheren (Suprapti, 2010).
Persepsi pada hakekatnya adalah proses
kognigtif yang dialami setiap orang di dalam memahami informasi tentang lingkungannya, baik lewat penglihatan, pendengaran, penghayatan, perasaan dan penciuman. Setiap orang memberi arti kepada stimulus, maka individu yang berbeda akan melihat yang sama dengan cara yang berbeda. Menurut Wirawan (1997) persepsi merupakan proses pencarian informasi untuk dipahami. Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa persepsi adalah proses individual untuk menerima informasi, menilai informasi yang diterima melaui panca indera serta mengelola informasi tersebut berdasarkan pengalaman pribadi. Persepsi seseorang tidak timbul begitu saja, melainkan muncul dari beberapa faktor. Siagian (2004) mengatakan ada 3 faktor yang bisa menimbulkan persepsi yaitu: 1. Diri orang yang bersangkutan sendiri Apabila seseorang melihat sesuatu dan berusaha memberikan interprestasi tentang apa yang dilihatnya itu, ia dipengaruhi oleh karakteristik individual yang turut berpengaruh seperti sikap, motif, kepentingan, minat, pengalaman dan harapannya. 2. Sasaran persepsi Sasaran mungkin berupa orang, benda, atau peristiwa. Sifat-sifat sasaran biasanya berpengaruh terhadap persepsi orang yang melihatnya. Sasaran dapat menimbulkan persepsi yang berbeda dari orang yang melihatnya. 3. Faktor Situasi Persepsi harus dilihat secara konstektual yang berarti dalam situasi mana persepsi itu timbul haruslah mendapat perhatian. Situasi merupakan faktor yang berperan dalam menimbulkan persepsi seseorang.
Menurut Jazulli (2005) persepsi orang miskin tentang kemiskinan adalah fenomena obyektif yang diterima sebagai suatu keniscayaan yang tidak terelakkan dan bagian dari kewajaran. Menurut Gustafsson dan Yue (2006) kemiskinan adalah orang yang hidup dalam rumah tangga dengan banyak anggota rumah tangga, dengan kepala rumah tangga yang pendidikannya rendah, dan anak-anak menghadapi risiko kemiskinan yang lebih tinggi dari orang lain. Dengan demikian telah telah tercipta kebudayaan kemiskinan yang memandang kesenjangan dan ketimpangan sebagai akibat nasib dan takdir dari Tuhan. Kepasrahan adalah sikap yang mesti dilakukan ; bekerja hanya untuk dapat menyambung hidup dengan mengkonsumsi makanan yang ada pada lingkungannya. Tidak ada upaya untuk mengubah keadaan yang sedang dihadapi. Persepsi kemiskinan menurut masyarakat Desa Lok Cantung dapat dilihat dari kepemilikan lahan kurang dari 0,5 ha, status dan kondisi rumah yang ditempati, barang atau benda yang dimiliki, gaya berpakaian dan pola makan harian Jumarianta (2010). Pada tahun 2005 telah terjadi perubahan paradigma tentang kemiskinan dalam „tubuh‟ World Bank yaitu, memandang kemiskinan tidak hanya disebabkan oleh faktor berdimensi ekonomi semata, tetapi juga oleh faktor-faktor dengan banyak dimensi (politik, sosial, budaya, lingkungan, hukum), dan juga
disebut
kemiskinan
multidimensi.
Kemiskinan
multidimensi
yang
tidak
langsung
mengartikulasikan bahwa kemiskinan tidak begitu saja terjadi tetapi tentu ada penyebabnya sehingga kemiskinan itu terjadi. Perubahan paradigma ini menyebabkan terjadinya berbagai persepsi tentang kemiskinan.
1.
Pandangan Pemerintah Tentang Kemiskinan.
Cara pandang tentang kemiskinan yang dibuat
Bappenas tahun 2002 (Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan) menyebutkan bahwa kemiskinan berkaitan dengan aspek ekonomi, sosial, budaya, dan politik serta merumuskan kemiskinan mencakup unsur-unsur: a) ketidakmampuan dalam memenuhi kebutuhan dasar (pangan, pendidikan, kesehatan, perumahan, air bersih, transportasi, dan sanitasi); b) kerentanan; (c) ketidakberdayaan; d) ketidakmampuan menyalurkan aspirasinya. Juga diungkapkan bahwa sebagai penyebab dari kemiskinan itu, antara lain: struktural, kultural, dan alamiah”.
2.
Pandangan Masyarakat Sipil Tentang Kemiskinan. Secara teoritis, substansi pandangan antara pemerintah dan masyarakat sipil tidaklah jauh berbeda, namun yang terjadi di lapangan, substansi pandangan antar keduanya sangat jauh berbeda. Hal ini dapat dilihat secara hakiki pemaknaan kemiskinan oleh masyarakat sipil. Kemiskinan adalah kondisi tidak terpenuhinya kebutuhan asasi sebagai manusia, yang meliputi kebutuhan akan subsistensi, afeksi, keamanan, identitas, Proteksi, kreasi, kebebasan, partisipasi, dan waktu luang. Kemiskinan subsistensi terjadi karena rendahnya pendapatan, tak terpenuhinya kebutuhan akan sandang, pangan dan papan serta kebutuhan lainnya. Kemiskinan perlindungan terjadi karena meluasnya budaya kekerasan atau tidak memadainya sistem perlindungan atas hak dasar dan kebutuhan masyarakat. Kemiskinan afeksi karena adanya bentuk-bentuk penindasan, pola hubungan eksploitatif antar manusia dan antara manusia dengan alam. Kemiskinan pemahaman terjadi karena kualitas pendidikan yang rendah, selain faktor kuantitas tidak mampu memenuhi kebutuhan. Kemiskinan partisipasi karena adanya diskriminasi dan peminggiran pada masyarakat dari proses pengambilan keputusan-keputusan. Kemiskinan identitas terjadi karena adanya pemaksaan yang caranya langsung ataupun tidak langsung tentang nilai-nilai asing terhadap budaya lokal, pada akhirnya mengakibatkan hancurnya nilai-nilai sosialbudaya di tingkat lokal.
2.3 Penyebab Kemiskinan Kemiskinan dan keterbelakangan dipengaruhi oleh
persoalan aksesibilitas Adanya
keterbatasan dan ketiadaan akses menyebabkan masyarakat mempunyai keterbatasan (bahkan tidak ada) pilihan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya kecuali menjalankan dengan terpaksa apa yang saat ini dapat dilakukan (bukan apa seharusnya dilakukan). Hasil produksi, kemampuan diri (skill) serta informasi menjadi terhambat sebagai akibat terbatasnya aksesibilitas. Dengan demikian masyarakat mempunyai
keterbatasan
dalam
melakukan
pilihan,
akibatnya
potensi
masyarakat
untuk
mengembangkan kehidupannya menjadi terhambat. Kondisi semacam ini akan dapat menciptakan keparahan kemiskinan yang akan dialami oleh suatu daerah. Selanjutnya Kuncoro (2000) yang mengutip pendapat Sharp (1999) menyatakan bahwa penyebab kemiskinan adalah sebagai berikut. 1.
Secara mikro kemiskinan minimal karena adanya ketidaksamaan pola kepemilikan sumberdaya yang menimbulkan distribusi pendapatan yang timpang. Penduduk miskin hanya memiliki sumber daya dalam jumlah terbatas serta kualitasnya rendah.
2.
Kemiskinan muncul akibat perbedaan kualitas pemilikan sumberdaya yang rendah. Sumber daya rendah berarti produktivitasnya rendah yang pada gilirannya upah yang diterima juga rendah. Rendahnya kualitas sumber daya manusia ini karena rendahnya tingkat pendidikan, nasib kurang beruntung, adanya diskriminasi atau karena keturunan.
3.
Kemiskinan muncul akibat perbedaan akses dalam modal. Ketiga penyebab kemiskinan ini dapat dijelaskan degan pendekatan
teori lingkaran
kemiskinan yang tak berujung pangkal (vicious circle of poverty) seperti disajikan pada Gambar 2.1. Adanya keterbelakangan, ketidak sempurnaan pasar, dan kurangnya modal menyebabkan rendahnya produktivitas sehingga mengakibatkan rendahnya pendapatan yang mereka terima. Rendahnya pendapatan akan berimplikasi pada rendahnya tabungan
dan akhirnya rendahnya investasi dan
berakibat kembali pada keterbelakangan, demikian seterusnya. Logika berpikir ini dikemukakan oleh Ragnar Nurkse (1953) dalam Kuncoro (2000) dengan menyatakan bahwa ”a poor country is poor because it is poor” (negara miskin itu miskin karena ia miskin). Gambar 2.1 Lingkaran Setan Kemiskinan (Vicious circle of poverty) Ketidak Sempurnaan Pasar Keterbelakangan
Kekurangan
Ketertinggalan
Modal Investasi
Produktivitas
Rendah
Rendah
Tabungan Rendah Sumber: Nurkse Ragnar 1953
Pendapatan Rendah
Mubyarto (1984) menyimpulkan sekurang-kurangnya ada empat faktor yang diduga menjadi penyebab kemiskinan di desa yaitu: 1.
Adanya pemusatan pemilikan tanah yang dibarengi dengan adanya proses fragmentasi pada arus bawah masyarakat pedesaan.
2.
Nilai tukar hasil produksi warga pedesaan khususnya sektor pertanian jauh tertinggal dibandingkan dengan hasil produksi lainnya, termasuk kebutuhan sehari-hari warga pedesaan.
3.
Lemahnya posisi masyarakat desa khususnya petani dalam mata rantai perdagangan.
4.
Karena karakter struktur sosial masyarakat pedesaan yang terpolarisasi. Lebih lanjut Mubyarto mengatakan bahwa akan sangat menyedihkan jika ke empat faktor
tersebut bersama-sama dialami oleh suatu desa. Akibatnya warga pedesaan yang miskin bukan saja semakin tertinggal oleh laju pembangunan, tetapi ada kemungkinan mereka justru akan menjadi korban dari pembangunan itu sendiri. Menurut Ghosh, (2002), tingginya kemiskinan yang terjadi di pedesaan dikarnakan adanya kesalahan alokasi sumberdaya dan strategi pembangunan. Investasi yang dilakukan tidak sepenuhnya didasari pada pertimbangan keadilan dan efisiensi ekonomi.
Sektor
pedesaan mendapatkan bagian yang lebih kecil dari sumber daya diinvestasikan, dan karena itu pendapatan masyarakat pedesaan, output dan kesempatan kerja sangat rendah dan tidak optimal. Untuk ukuran Indonesia, menurut Kantor Menteri Negara Kependudukan/Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (1996) menyebutkan ada beberapa faktor yang menyebabkan keluarga masuk dalam katagori Pra Sejahtera dan Keluarga Sejahtera I, yaitu:
1.
Faktor internal, seperti: kesakitan, kebodohan, ketidaktahuan, ketidakterampilan, ketinggalan teknologi, dan ketidakpunyaan modal.
2.
Faktor eksternal yaitu struktur sosial ekonomi yang menghambat peluang untuk berusaha dan meningkatkan pendapatan.
3.
Nilai-nilai dan unsur-unsur budaya yang kurang mendukung peningkatan kualitas keluarga.
4.
Kurangnya akses untuk dapat memanfaatkan fasilitas pembangunan. Menurut pendapat Sen (2000) menyatakan bahwa kemiskinan paling tidak bersumber dari
empat jenis, yaitu: 1.
Heterogenitas personal (kecenderungan sakit pada seseorang).
2.
Keragaman lingkungan.
3.
Perbedaan iklim.
4.
Perbedaan kebiasaan konsumsi (misalnya karena perampasan oleh si kaya). Lebih lanjut dikemukakan oleh Sen bahwa kemiskinan menimbulkan kelaparan, sementara
kelaparan disebabkan oleh penurunan secara tajam pada pendapatannya, sehingga menurunkan daya beli terhadap kebutuhan dasar, akibat perampasan hak masyarakat oleh golongan atau kelompok tertentu dalam negara. Andriwardhana (2009), menyebutkan bahwa pendapatan yang rendah umumnya disebabkan oleh karena mereka menganggur sehingga terjadi penurunan upah riil, yang menyebabkan terjadinya penurunan permintaan terhadap produk. Kondisi ini akan tetap menimbulkan kelaparan meskipun penawaran produk tidak turun. Banyak faktor yang berpengaruh secara signifikan terhadap pendapatan rumah tangga di pedesaan antara lain tingkat pendidikan kepala rumah tangga, luas lahan dan umurrumah tangga, yang berarti bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan, semakin luas lahan yang dimiliki maka akan semakin besar pula pendapatan yang diterima oleh rumah tangga. 2.4 Lingkungan dan Kemiskinan Lingkungan merupakan kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, makhluk hidup termasuk manusia dan perilakunya yang mempengaruhi perikehidupan dan kesejahteraan manusia dan
makhluk hidup lainnya (UU.R I No. 32 tahun 2009). Lingkungan terdiri dari tiga komponen yaitu lingkungan fisik, lingkungan biotik dan lingkungan sosial. Ketiga komponen ini sangat mempengaruhi perilaku masyarakat di sekitarnya. Jika lingkungan fisiknya merupakan pegunungan dengan curah hujan dan banyaknya tumbuhan maka masyarakatnya akan banyak beraktivitas pada sektor pertanian. Jika sebuah masyarakat berada pada lingkungan dengan kepadatan penduduk yang cukup padat maka penduduknya beraktivitas di bidang produksi dan atau jasa. Berkaitan dengan lingkungan, ada dua kondisi yang menyebabkan terjadinya kemiskinan yakni kemiskinan alamiah dan kemiskinan buatan. Kemiskinan alamiah terjadi karena lingkungan alamnya yang tidak mendukung seperti terbatasnya sumber daya alam, Menurut Yanling et. al. (2010), mereka yang tinggal di daerah yang memiliki topografi yang tinggi dan seringnya terjadi bencana memungkinkan terjadinya kemiskinan. Demikian pula bagi mereka yang tinggal pada lingkungan miskin (kumuh) yang disertai dengan rendahnya pendidikan mengalami tingkat kematian atau harapan hidupnya lebih rendah dibandingkan mereka yang bertempat tinggal pada lingkungan yang tidak kumuh (Rachel, 2003) Berkaitan dengan kemiskinan buatan terjadi karena lembaga-lembaga yang ada dalam masyarakat tersebut membuat anggotanya tidak mampu mengurusi sarana ekonomi, seperti lembaga sosial kemasyarakatan yang mengharuskan anggotanya aktif dalam kegiatan sosial sehingga waktu yang dicurahkan pada kegiatan sosial lebih banyak dibandingkan dengan kegiatan mencari penghidupan atau kegiatan ekonomi. Hasil penelitian Helder (2007) menunjukkan terjadinya hubungan positif antara kemiskinan dan guncangan politik yang disebabkan oleh kelompok-kelompok ekonomi yang kuat menguasai struktur pasar. Kondisi semacam ini seringkali terjadi di wilayah pedesaan sehingga tidak salah jika terdapat anggapan bahwa kemiskinan identik dengan daerah pedesaan. Bagi masyarakat pedesaan, sistem kekerabatan masih berlaku sangat kental. Perilaku individunya selalu dilandasi oleh konsep kekeluargaan dan kebersamaan yang lebih banyak berorientasi pada tradisi dan status, sehingga sering
kali budaya semacam ini berpengaruh pada produktivitas kerja yang pada akhirnya mempengaruhi tingkat pendapatan. Lingkungan luas atau lingkungan eksternal yang berada di luar diri pribadi seseorang yang kemudian berinteraksi dengan karakteristik pribadi dan psikologisnya akan sangat menentukan perilakunya. Perilaku dalam hal ini meliputi berbagai aspek, termasuk perilaku untuk keluar dari kondisi kemiskinan atau perilaku untuk meningkatkan kesejahteraan keluarga. Karakteristik individu di sini meliputi jenis kelamin, usia, pendidikan, pekerjaan, status keluarga, ukuran keluarga, dan penghasilan, sedangkan karakteristik psikologis meliputi motivasi, persepsi, pembelajaran, dan sikap (Schiffman dan Kanuk, 2007). Schiffman dan Kanuk (2007) menyatakan bahwa motivasi merupakan kekuatan pendorong di dalam diri seseorang yang memaksanya untuk bertindak. Kekuatan pendorong ini dihasilkan oleh suatu keadaan yang menekan, yang terjadi akibat kebutuhan dan keinginan yang tak terpenuhi. Untuk memenuhi kebutuhan dan keinginannya itu, individu akan bertindak atau berperilaku sehingga ia terbebas dari tekanan yang dirasakannya. Sementara itu persepsi didefinisikan sebagai sebuah proses yang dilalui seorang individu untuk memilih, mengorganisasi, dan mengintepretasi stimuli ke dalam sebuah gambaran tentang dunia, yang memiliki arti atau makna dan bersifat koheren. Selanjutnya, pembelajaran adalah suatu perubahan dalam perilaku yng relatif permanen sebagai akibat pengalaman masa lalu, sedangkan sikap merupakan ekspresi perasan seseorang yang merefleksikan kesukaan atau ketidaksukaannya terhadap suatu obyek. 2.5 Sikap Terhadap Kemiskinan Perilaku manusia disebabkan oleh banyak faktor, salah satunya adalah sikap terhadap objek perilaku itu. Seseorang melakukan tindakan atau perilaku tertentu sangat ditentukan oleh apakah objek perilaku itu menyenangkan atau tidak. Dengan kata lain seseorang melakukan tindakan atau perilaku tertentu sangat ditentukan oleh apakah ia memiliki sikap positif atau negatif terhadap objek perilaku itu. Sikap memegang peran penting dalam mencapai tujuan kehidupam. Penelitian Rahayuningsih
(dalam Mussawir, 2009) menunjukkan bahwa sebanyak 85persen kesuksesan seseorang disebabkan oleh sikap, sedangkan 15 persen sisanya ditentukan oleh kemampuannya. Goldon Alport (Assael, 2004) menyatakan bahwa sikap adalah predisposisi yang dipelajari untuk merespon suatu obyek atau sekelompok obyek dalam suatu cara yang menyenangkan atau tidak menyenangkan secara konsisten. Thurstone dalam (Azwar, 2005) menyatakan bahwa sikap merupakan bentuk reaksi terhadap perasaan. Sikap seseorang mendukung atau menolak suatu obyek akan memiliki arti ketika diwujudkan dalam perilaku. Walaupun pembentukan sikap sering tidak disadari oleh orang yang bersangkutan, akan tetapi sikap bersifat dinamis dan terbuka terhadap kemungkinan perubahan disebabkan interaksi seseorang dengan lingkungan di sekitarnya, sehingga sikap selalu dikaitkan dengan perilaku yang berada dalam kenormalan dan merupakan respon atau reaksi terhadap lingkungan sosial. Sikap seseorang terhadap keadaan yang sedang dihadapi akan berbeda dengan orang lain, karena persoalan yang dihadapi berbeda pula. Sikap ini memegang peran penting dalam mengambil keputusan. Sikap dapat bersifat positif dan bersifat negatif. Sikap positif kecenderungan tindakan adalah mendekati, menyenangi, mengharapkan obyek tertentu, sedangkan sikap negatif menunjukkan kecenderungan untuk menjauhi, menghindari, membenci, tidak menyukai obyek tertentu. Teori sikap yang dikembangkan oleh Fishbein dan Azjen (1975) yang dituangkan dalam sebuah Model Sikap Terhadap Perilaku (Attitude Toward Behavior Model) mengemukakan bahwa niat berperilaku ditentukan oleh sikap seseorang terhadap perilaku tersebut (dalam Schiffman dan Kanuk, 2007). Hasil-hasil penelitian di bidang keperilakuan yang didasari oleh teori sikap ini menyatakan bahwa seseorang akan lebih mudah melakukan tindakan tertentu bila telah memiliki sikap positif terhadap perilaku itu sendiri. Sikap memiliki tiga sifat berikut (Assael, 2004). 1.
Sikap merupakan kecenderungan yang dipelajari. Sikap yang relevan dengan perilaku tertentu terbentuk sebagai suatu hasil pengalaman langsung dengan objek perilaku itu, sosialisasi dari keluarga khususnya orangtua, atau informasi yang diperoleh dari pihak lain
2.
Sikap memiliki konsistensi. Sikap bersifat relatif konsisten dengan perilaku yang direfleksikannya. Niat untuk melakukan tindakan tertentu biasanya didahului oleh sikap positif terhadap tindakan itu.
3.
Sikap terjadi dalam sebuah situasi. Suatu situasi spesifik dapat menyebabkan seseorang memiliki sikap tertentu namun tidak menyebabkan terjadinya perilaku yang konsisten dengan sikap terhadap tersebut. Sesuai dengan strukturnya, sikap memiliki tiga komponen, yaitu komponen kognitif,
komponen afektif, dan komponen konatif (Asael, 2004; Schiffman dan Kanuk, 2007). a.
Komponen kognitif merupakan suatu keyakinan yang terbentuk oleh pengetahuan dan persepsi yang diperoleh melalui kombinasi pengalaman langsung dengan objek sikap dan informasi berbagai sumber.
b.
Komponen afektif merupakan emosi atau perasaan seseorang mengenai objek sikap.
c.
Komponen konatif atau keperilakuan merupakan kecenderungan atau tendensi (niat yang kuat) seseorang untuk berperilaku terhadap obyek sikap. Menurut Azwar (2005) faktor yang menentukan respon individu terhadap stimulus yang
diterimanya antara lain latar belakang pengalaman individu dan motivasi.
Lebih lanjut Azwar
mengatakan faktor yang mempengaruhi sikap seseorang terhadap suatu obyek adalah sebagai berikut. a. Pengalaman pribadi Untuk dapat menjadi dasar pembentukan sikap, pengalaman pribadi haruslah meninggalkan kesan yang kuat. Karena itu, sikap akan lebih mudah terbentuk apabila pengalaman pribadi tersebut terjadi dalam situasi yang melibatkan faktor emosional. b. Pengaruh orang lain yang dianggap penting Pada umumnya, individu cenderung untuk memiliki sikap yang konformis atau searah dengan sikap orang yang dianggap penting. Kecenderungan ini antara lain dimotivasi oleh keinginan untuk berafiliasi dan keinginan untuk menghindari konflik dengan orang yang dianggap penting tersebut. c. Pengaruh kebudayaan
Tanpa disadari kebudayaan telah menanamkan garis pengaruh sikap kita terhadap berbagai masalah. Kebudayaan telah mewarnai sikap anggota masyarakatnya, karena kebudayaanlah yang memberi corak pengalaman individu-individu masyarakat asuhannya. d. Media massa Dalam pemberitaan surat kabar maupun radio atau media komunikasi lainnya, berita yang seharusnya faktual disampaikan secara obyekstif cenderung dipengaruhi oleh sikap penulisnya, akibatnya berpengaruh terhadap sikap konsumennya. e. Lembaga pendidikan dan lembaga agama Konsep moral dan ajaran dari lembaga pendidikan dan lembaga agama sangat menentukan sistem kepercayaan tidaklah mengherankan jika kalau pada gilirannya konsep tersebut mempengaruhi sikap.
f. Faktor emosional Kadang kala, suatu bentuk sikap merupakan pernyataan yang didasari emosi yang berfungsi sebagai semacam penyaluran frustasi atau pengalihan bentuk mekanisme pertahanan ego. Rahayuningsih 2008 selanjutnya menyatakan bahwa sikap berorientasi kepada hal-hal berikut. 1) Respon, sehingga sikap suatu bentuk dari perasaan yaitu perasaan mendukung atau memihak (favourable) maupun perasaan tidak mendukung (unfavourable) pada suatu obyek. 2) Berorientasi kepada kesiapan respon sehingga sikap merupakan kesiapan untuk bereaksi terhadap suatu obyek dengan cara-cara tertentu, apabila dihadapkan pada suatu stimulus yang menghendaki adanya respon.
3) Berorientasi kepada skema triadik sehingga sikap merupakan konstelasi komponen-komponen kognitif, afektif, dan konatif yang saling berinteraksi dalam memahami, merasakan, dan berperilaku terhadap suatu obyek di lingkungan sekitarnya. Uraian tentang sikap seperti diungkapkan di atas menjadi penting untuk dihubungkan dengan upaya pemberdayaan masyarakat miskin agar keluar dari kondisi kemiskinan, artinya bahwa seseorang akan dengan mudah diberdayakan agar segera keluar dari kondisi kemiskinan apabila ia memiliki sikap tertentu terhadap kemiskinan itu sendiri. Mengacu pada ketiga komponen sikap di atas maka seseorang akan relatif lebih mudah dikondisikan untuk keluar dari kemiskinan apabila: (1) memiliki keyakinan yang diperoleh dari pengetahuan dan pengalaman langsung bahwa kemiskinan merupakan suatu kondisi yang bisa diubah dan bukan merupakan suatu takdir; (2) memiliki perasaan tidak menyenangkan terhadap kondisi kemiskinan atau dengan kata lain memiliki perasaaan yang menyenangkan untuk keluar dari kondisi kemiskinan; dan (3) memiliki niat yang kuat untuk bisa keluar dari kondisi kemiskinan itu sendiri. Bagi seseorang yang berada dalam keadaan miskin dan memiliki sikap positif untuk keluar dari kondisi kemiskinan akan berusaha dengan memanfaatkan seluruh kemampuannya untuk keluar dari kemiskinan. Sebaliknya, mereka yang memiliki sikap negatif tidak hanya menerima keadaan yang sedang dihadapi tetapi juga malas dan pasrah terhadap keadaan. Tricahyono (2010) yang meneliti tentang kondisi kemiskinan di Desa Branta Tinggi Kecamatan Tlanakan Kabupaten Pamekasan menghasilkan temuan bahwa sikap mental berpengaruh sigifikan terhadap kemiskinan masyarakat. Secara lebih spesifik, studi ini menyatakan bahwa orang miskin memiliki kebiasaan sendiri yang berbeda dengan masyarakat kebanyakan seperti memiliki sikap negatif yaitu malas, fatalisme atau menyerah pada nasib, tidak memiliki jiwa kewirausahaan dan kurang menghormati etos kerja. Penelitian lainnya di Ambon yang dilakukan oleh Chiljon (2006) menghasilkan temuan bahwa 40,2 persen perilaku rumah tangga (RTM) termasuk dalam perilaku kurang produktif. Perilaku kurang produktif ini disebabkan oleh: (a) 69,3 persen karena rendahnya pengetahuan RTM; (b) 60,0 persen disebabkan oleh rendahnya sikap mental; (c) 51,9% karena rendahnya tingkat pendidikan; dan (d)
rendahnya derajat kesehatan RTM. Demikian pula penelitian Blomquist (2002) menunjukkan bahwa 36 persen penduduk Amerika yang berasal dari Amerika Latin tidak memiliki upaya untuk keluar dari kemiskinan, padahal mereka sangat menyadari kebutuhan generasi mendatang akan semakin meningkat. Indikator-indikator sikap terhadap kemiskinan: 1.
Keyakinan bahwa kondisi kemiskinan yang dihadapi bisa diubah.
2.
Keyakinan bahwa kemiskinan bukan merupakan suatu takdir.
3.
Perasaan tidak senang terhadap kondisi kemiskinan yang dihadapi.
4.
Perasaan senang untuk bisa keluar dari kondisi kemiskinan.
5.
Niat yang kuat untuk bisa keluar dari kondisi kemiskinan.
6.
Bersedia untuk keluar dari kondisi kemiskinan.
2.6 Rumah Tangga Istilah rumah tangga sering kali diidentikkan dengan keluarga, padahal keduanya memiliki arti yang berbeda. Agar tidak menimbulkan kerancuan, berikut dijelaskan perbedaan antara kedua konsep itu. Dalam kamus besar Bahasa Indonesia, kata rumah tangga diberi arti berkeluarga, membentuk suatu ikatan suami istri, tinggal dalam satu atap dan kemudian melahirkan anak-anak sebagai anggota rumah tangga itu sendiri. Menurut Undang –undang No. 23 tahun 2004 pasal 2, rumah tangga diartikan sebagai tempat tinggal orang -orang yang punya hubungan darah dan pengertian ini akhirnya diperluas yaitu bahwa rumah tangga terdiri atas siapapun yang berada dalam rumah tersebut, tidak terkecuali pembantu juga dimasukkan sebagai anggota rumah tangga. Menurut Biro Pusat Statistik (BPS.2008) rumah tangga adalah seseorang atau sekelompok orang yang mendiami sebagian atau seluruh bangunan dan tinggal bersama serta makan dari satu dapur. Yang dimaksud dengan makan satu dapur adalah jika pemenuhan kebutuhan makan sehariharinya dikelola bersama menjadi satu. Rumah tangga dapat dibedakan menjadi dua, yaitu :
1.
Rumah tangga biasa (Ordinary Household) adalah seorang atau sekelompok orang yang mendiami sebagian atau seluruh bangunan fisik, dan biasanya tinggal bersama dan makan dari satu dapur.
2. Rumah tangga khusus (Special Household) adalah orang orang yang tinggal di asrama, tangsi, panti asuhan, lembaga pemasyarakatan, atau rumah tahanan yang pengurusan sehari-harinya dikelola oleh suatu yayasan atau lembaga serta sekelompok orang yang mondok dengan makan (indekos) dan berjumlah 10 orang atau lebih. Dengan demikian rumah tangga adalah sebuah unit yang terdiri atas beberapa orang yang menghuni satu unit tempat tinggal. Penghuni rumah tangga merupakan anggota rumah tangga dan dikepalai oleh seorang kepala rumah tangga. Kepala rumah tangga ini bertanggung jawab atas kebutuhan sehari-hari rumah tangga. Tempat tinggal itu bisa berupa rumah, apartemen, atau beberapa kamar yang dirancang untuk ditempati sebagai tempat tinggal terpisah. Rumah tangga dapat berupa berbagai kelompok sosial yang berbeda. Sebagian besar rumah tangga terdiri atas unit-unit keluarga. Keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terbentuk sebagai akibat adanya perkawinan berdasarkan agama dan hukum yang sah (Undang-undang No1 tahun 1974 tentang Perkawinan). Sebuah keluarga diartikan sebagai dua orang atau lebih yang hidup bersama karena memiliki hubungan darah atau perkawinan. Berdasarkan uraian itu, rumah tangga dapat diklasifikasi menjadi rumah tangga keluarga dan rumah tangga bukan keluarga. Dengan demikian, keluarga merupakan salah satu kategori rumah tangga. Keluarga dapat dibedakan menjadi keluarga inti (nuclear family) dan keluarga luas (extended family). Keluarga inti terdiri atas sepasang orangtua dan anakanaknya yang tinggal bersama, sedangkan keluarga luas terdiri atas keluarga inti dan satu orang atau lebih yang masih memiliki hubungan darah dan tinggal bersama dalam satu rumah tangga (misalnya kakek, nenek, ipar, keponakan, dan keluarga terdekat lainnya). Pencapaian fungsi-fungsi rumah tangga ini akan membentuk suatu komunitas yang berkualitas dan menjadi lingkungan yang kondusif untuk pengembangan potensi setiap anggota rumah tangga. Hal ini akan membentuk ketahanan rumah tangga yang mejadi landasan untuk ketahanan
masyarakat, ketahanan wilayah dan lebih jauh lagi mendukung ketahanan nasional yang berpengaruh positif sebagai daya tangkal terhadap pertahanan Negara. Namun jika rumah tangga tersebut miskin masalah ketahanan menjadi rentan seperti tingkat pendidikan dan kesehatan yang rendah. Rendahnya tingkat ketahanan ini memiliki kemungkinan mengalami kematian lebih tinggi, apa lagi tidak adanya jaminan kesehatan yang dimilik. Seperti hasil penelitian Rachel (2001) yang dilakukan di Canada menyimpulkan bahwa rumah tangga migran mengalami resiko gangguan mental dibandingkan rumah tangga nonmigran, hal ini disbebakan oleh rumah tangga migran tingkat kemiskinannya lebih parah dibandingkan dengan rumah tangga nomigran yang memiliki beban tanggungan lebih dari empat orang. Berdasarkan pemaparan di atas peran rumah tangga memiliki peran ganda baik sebagai subyek maupun obyek kemiskinan. Sebagai subyek rumah tangga dengan jumlah, komposisi dan pendidikan yang dicapai memberikan kontribusi terhadap derajat kemiskinan yang dialami oleh sebuah rumah tangga. Jika jumlah anggota rumah tangga banyak, komposisi yang bekerja lebih sedikit dengan yang tidak bekerja demikian pula pendidikan yang dicapai rendah maka kontribusi kapasitas terhadap tingkat kemiskinan menjadi sangat tinggi. Sebagai obyek rumah tangga miskin dengan berbagai keterbatasan yang dimiliki akan menjadi prioritas pemerintah dalam pelaksanaan program-program pengentasan kemiskinan.
2.7 Budaya dan Kemiskinan Budaya merupakan segala sesuatu yang berhubungan dengan budi dan akal dan segala sesuatu yang dihasilkan oleh akal dan budi (Koentjaraninggrat, 1993). Budaya merupakan sesuatu yang kompleks yang merefleksikan setiap makna dan tradisi yang terdapat dalam suatu masayarakat. Menurut E. B. Tylor
(Geert Hofstede, 1991) bahwa kebudayaaan adalah keseluruhan yang kompleks,
yang didalamnya terkandung ilmu pengetahuan yang lain serta kebiasaan yang didapat manusia sebagai anggota masyarakat.
Budaya merupakan seperangkat nilai, keyakinan, dan kebiasaan yang diperoleh atau dipelajari, yang diterima oleh masyarakat tertentu secara turun temurun sebagai suatu kesatuan yang membantu mengarahkan perilaku para anggotanya. Nilai-nilai ini lebih lanjut disampaikan kepada anggotanya melalui bahasa dan simbul-simbul. Beberapa karakteristik yang terkandung di dalamnya: 1.
Nilai-nilai budaya adalah dipelajari, dalam hal ini nilai-nilai budaya ditanamkan kepada anak-anak sejak usia dini sebagai proses dari pembelajaran. Pembelajaran bisa bersifat informal (meniru kebiasaan orang tua) dan formal
2. Nilai-nilai budaya merupakan panduan untuk berperilaku. Nilai-nilai budaya memandu dan mengarahkan perilaku seseorang melalui penetapan norma-norma budaya. Norma-norma ini merupakan standar berperilaku yang baik berkaitan dengan hubungan sosial. 3. Nilai-nilai budaya bersifat permanen, nilai-nilai ini menjadi permanen, karena orang tua menanamkan kepada anaknya sejak usia dini, sehingga sulit untuk berubah dalam jangka waktu pendek 4. Nilai-nilai budaya bersifat dinamis, nilai-nilai budaya dapat berubah sesuai dengan perubahan masyarakat, seperti perubahan berbagai aspek kehidupan sehingga cara pandang terhadap sesuatu juga berubah 5. Nilai-nilai budaya dipegang secara luas. Tiap masyarakat memiliki nilai-nilai budaya tertentu yang dipegang secara luas Nilai-nilai ini akan mempengaruhi cara pandang seseorang/kelompok tentang kemiskinan yang pada akhirnya bisa menciptakan budaya miskin. Menurut Surya (2009) merupakan pola pikir, model tingkah laku yang tidak kondusif untuk meraih tingkat ekonomi. Fenomena budaya kemiskinan ini sudah sering dijumpai dalam kehidupan bermasyarakat di Indonesia baik yang disadari maupun yang tidak disadari menjadi bagian dalam kehidupan bermasyarakat. Keterampilan, kebiasaan, dan gaya hidup adalah sumber stratifikasi dalam suatu keluarga. Budaya linguistik keluarga menentukan pengembangan keterampilan kognitif anak, dan keterampilan kognitif sangat menentukan masa depan. Sebagian besar penduduk anglo amerika dan hispanik mengalami prestasi akademik yang tidak baik
karena rendahnya budaya dalam lingkungan keluarga (Farkas, 1997). Budaya kemiskinan menjadi salah satu aspek mengapa sebagian besar masayarakat Indonesia masih berada di bawah garis kemiskinan. Menurut Oscar Lewis budaya kemiskinan merupakan adaptasi kaum miskin terhadap kedudukan kedudukan marginal mereka di dalam masyarakat, mencakup nilai-nilai, sikap dan pola kelakuan. Ciri-ciri kebudayaan kemiskinan bagi masyarakat miskin menurut Astika (2010) adalah sebagai berikut: a. Kurang efektifnya partisipasi dan integrasi kaum miskin kedalam lembaga-lembaga utama masyarakat, akibatnya muncul rasa ketakutan, kecurigaan tinggi, apatis dan perpecahan. b. Pada tingkat komunitas lokal secara fisik ditemui pemukiman yang kumuh, dan tingkat organisasi keluarga inti dan keluarga luas sangat rendah. c. Pada tingkat keluarga inti ditandai oleh masa kanak-kanak yang singkat dan kurang pengasuhan oeh orang tua sehingga terjadi perkawinan usia dini. d. Pada tingkat individu dengan cirri yang dominan adalah kuatnya perasaan tidak berharga, tidak berdaya, ketergantungan yang tinggi, dan rasa rendah diri. e. Tingginya tingkat kesengsaraan karena beratnya penderitaan, lemahnya struktur pribadi dan kuatnya orientasi masa kini. f. Terbentuknya orientasi yang sempit dari kelompok, mereka hanya mengetahui kesulitan-kesulitan kondisi setempat dan lingkungan tetangga Budaya kemiskinan terbentuk disebabkan oleh „sesuatu‟, baik sesuatu itu disadari ataupun tidak disadari kerena merupakan tradisi turun temurun yang telah menjadi kebiasaan dan bagian dalam hidupnya. Sesuatu tersebut misalnya adalah basic need (kebutuhan dasar). Kebutuhan dasar tersebut bisa dikatakan belum terpenuhi dengan sempurna sehingga membentuk perilaku yang bisa menghambat kemajuan individu. Dalam teori kebutuhan yang dikemukakan oleh Maslow,1954 (dalam Solomon, 2007), basic need terdiri dari : kebutuhan fisiologis (kebutuhan homeostatis), kebutuhan rasa aman (kebutuhan keamanan, keteraturan), kebutuhan cinta dan memiliki (kebutuhan kasih sayang keluarga) serta
kebutuhan penghargaan diri (kebutuhan prestise dari orang lain). Diskripsi masing-masing jenis kebutuhan tersebut dapat dipaparkan sebagai berikut: Pertama Kebutuhan fisiologis yang merupakan kebutuhan paling dasar dari basic need. Kebutuhan homeosatatis tubuh misalnya makanan sangat berpengaruh dalam perilaku manusia untuk memenuhinya. Manusia akan melakukan apa saja untuk memenuhinya. Misalnya budaya meminta adalah perilaku meminta atau mengemis dengan alasan untuk mendapatkan sesuap nasi. Fenomena ini sudah menjadi hal umum saat ini. Di setiap tempat sering kali dijumpai pengemis baik di rumah maupun di tempat umum. Mengemis merupakan pekerjaan mereka tiap hari. Pekerjaan pengemis hanya mengandalkan belas kasihan orang lain, tidak ada kemauan untuk berusaha dari individu yang melakukannya sehingga budaya malas dalam hal ini merupakan penyebab utama daripada kemiskinan. Hanya untuk memenuhi kebutuhan makan, sebagian masyarakat ada yang rela menjual harga diri dengan menjadi pengemis demi memenuhi kebutuhan pokoknya. Hasil penelitian Sonhaji (2006) menunjukkan; kegiatan meminta-minta dilakukan di kota Surakarta sebagian besar dilakukan oleh perempuan dewasa secara berkelompok, dimana yang paling menonjol di Kecamatan Laweyan dan Pasarkliwon pada hari kamis dan jumat. Kegiatan meminta-minta ini menjadi sumber penghasilan lain multiple sources of income. Pendapatan pengemiis relatif sama berkisar Rp.10.000 - Rp20.000/hari. Kedua, kebutuhan akan rasa aman yaitu kebutuhan akan keteraturan dan keamanan masa depan. Hidup pada lingkungan dimana ia dilahirkan dengan nilai-nilai sosial budaya yang masih kental merasa lebih aman dibandingkan mereka bertempat tinggal di daerah lain atau di perkotaan yang nilainilai sosial kemasyarakatan yang ada seperti di tempat kelahiran tidak di perolehnya lagi, sehingga mereka akan merasa lebih aman dan nyaman untuk tinggal di daerah asal. Ketiga, kebutuhan akan cinta dan memiliki dalam hal ini akan dijelaskan pada konteks keluarga. Ada pepatah jawa mengatakan „Mangan ora mangan asal kumpul. Nrimo ing pandum‟. Pepatah Jawa tersebut mengandung pengertian yaitu makan tidak makan asal kumpul selalu menerima apa yang diberikan alam atau takdir. Jika dilihat dari teori kebutuhan Maslow, masyarakat Jawa yang masih memegang pepatah tersebut saat ini masih berfokus pada kebutuhan akan cinta dan memiliki.
Cinta yang begitu kuat, sampai-sampai membuat semangat, kreativitas dan keinginan untuk maju terkekang. Keempat, kebutuhan akan keberhargaan diri. Untuk mendapatkan penghargaan seseorang berperilaku konsumtif, dimana bagian dari pendapatan yang diterima tidak hanya dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya saja melainkan untuk pengeluaran lain yang bersifat sekunder, yang besarnya bahkan lebih besar daripada pendapatan yang diterima. Perilaku konsumtif ini merupakan manifestasi dari pemenuhan kebutuhan akan keberhargaaan diri. Budaya konsumtif ini mungkin juga disebabkan oleh tidak adanya pemikiran untuk kehidupan jangka panjang. Jika masyarakat berpikiran kedepan maka mereka akan menginvestasikan uangnya untuk hari tua, misalnya dengan investasi, tabungan ataupun asuransi. Akan tetapi apa yang terjadi, prestise lebih berharga daripada kehidupan masa depan. Menurut Suryawati (2005) kemiskinan kultural mengacu kepada persoalan sikap seseorang atau masyarakat yang disebabkan oleh faktor budaya, seperti tidak mau berusaha memperbaiki tingkat kehidupan, malas, pemboros, tidak kreatif meskipun ada bantuan dari pihak luar. Lebih lanjut Suryawati (2005) menjelaskan pola hidup konsumtif pada petani dan nelayan ketika panen raya, adatistiadat yang konsumtif juga banyak mewarnai masyarakat pedesaan seperti berbagai pesta rakyat atau upacara perkawinan, kelahiran, bahkan kematian yang dibiayai di luar kemampuan karena prestise dan keharusan budaya. Budaya merupakan kebiasaan yang telah dilakukan secara turun temurun dan diterima sebagai norma yang berlaku menjadi panduan bagi masyarakat untuk berperilaku untuk mencapai tujuannya. Peran dari budaya ini sangat mempengaruhi wujud dari kemiskinan, jika budaya yang dimiliki memiliki peran untuk mengurai benang kusut kemiskinan melalui pranata sosialnya dengan sendirinya mampu memberikan kontribusi terhadap kemiskinan. Sebaliknya jika budaya dengan nilai-nilai yang ada dipertahankan tanpa memperhatikan kemampuan masyarakatnya serta relevansi dalam perkembangannya perlu disesuikan dengan keadaan yang dialami rumah tangga miskin maka budaya memberikan kontribusi terhadap terciptanya kemiskinan kultural.
2.8 Pemberdayaan Rumah Tangga Miskin Pemberdayaan muncul sebagai solusi atas fakta ketimpangan struktur kekuasaan, masyarakat haus akan kebutuhan untuk mendapatkan kekuasaan dalam mengatur diri mereka sendiri. Pemberdayaan pada intinya bagaimana individu, kelompok ataupun komunitas berusaha mengontrol kehidupan mereka sendiri dan mengusahakan masa depan sesuai dengan keinginan mereka. Individu dapat menentukan pilihan dalam mengatasi masalah yang dihadapi. Ini menunjukkan bahwa setiap manusia dalam hal ini keluarga miskin memiliki potensi yang dapat dikembangkan Kemiskinan tidak hanya sebagai gambaran buruk tetapi juga merupakan cerminan ketidakberhasilan dari program suatu daerah. Semakin banyak jumlah penduduk miskin suatu daerah akan memberikan cerminan semakin terbelakangnya daerah tersebut. Memberdayakan masyarakat adalah upaya untuk meningkatkan harkat dan martabat lapisan masyarakat yang dalam kondisi sekarang tidak mampu untuk kemudian dapat melepaskan diri dari perangkap kemiskinan dan keterbelakangan. Memberdayakan mempunyai dua makna, yakni mengembangkan, memandirikan, menswadayakan dan memperkuat posisi tawar menawar masyarakat lapisan bawah terhadap kekuatankekuatan penekan di segala bidang dan sektor kehidupan. Makna lainnya adalah melindungi, membela dan berpihak kepada yang lemah, untuk mencegah terjadinya persaingan yang tidak seimbang dan terjadinya eksploitasi terhadap yang lemah. Dengan dibeberbagai keterbatasan masyarakat miskin akan selalu menghadapi kendala didalam mengaktualisasi dirinya. Dalam pandangan Pearse dan Stiefel (1996) dinyatakan bahwa pemberdayaan mengandung dua kecenderungan, yakni primer dan sekunder. Kecenderungan primer berarti proses pemberdayaan menekankan proses memberikan atau mengalihkan sebagian kekuasaan, kekuatan atau kemampuan kepada masyarakat agar individu menjadi lebih berdaya. Selanjutnya kecenderungan sekunder melihat pemberdayaan sebagai proses menstimulasi, mendorong atau memotivasi individu agar mempunyai kemampuan atau keberdayaan untuk menentukan apa yang menjadi pilihannya (Prijono dan Pranarka, 1996).
Menurut Wrihatnolo dan Nugroho (2007) Pemberdayaan pada dasarnya merupakan suatu proses yang dijalankan dengan kesadaran dan partisipasi penuh dari para pihak untuk meningkatkan kapasitas dan kapabilitas masyarakat sebagai sumberdaya pembangunan agar mampu mengenali permasalahan yang dihadapi dalam mengembangkan dan menolong diri menuju keadaan yang lebih baik, mampu menggali dan memanfaatkan sumberdaya yang tersedia untuk kepentingan diri dan kelompoknya, serta mampu mengeksistensikan diri secara jelas dengan mendapat manfaat darinya. Pemberdayaan adalah sebuah ”proses menjadi”, bukan ”proses instan”. Sebagai proses, pemberdayaan mempunyai tiga tahapan yaitu penyadaran, pengkapasitasan, dan pendayaan, lebih lanjut dapat digambarkan seperti Gambar 2.2. Gambar 2.2 Tahapan Pemberdayaan
Penyadaran Pengkapasitasan
Pendayaan
Sumber : Wrihatnolo dan Nugroho (2007). Tahap penyadaran, target sasaran yaitu masyarakat miskin diberikan pemahaman bahwa mereka mempunyai hak untuk menjadi berada. Di samping itu mereka juga diberikan penyadaran bahwa mereka mempunyai kemampuan untuk keluar dari kemiskinannya. Pada tahap ini, masyarakat miskin dibuat mengerti bahwa proses pemberdayaan itu harus berasal dari diri mereka sendiri. Diupayakan pula agar komunitas ini mendapat cukup informasi. Melalui informasi aktual dan akurat terjadi proses penyadaran secara alamiah. Proses ini dapat dipercepat dan dirasionalkan hasilnya dengan hadirnya upaya pendampingan.
Tahap Pengkapasitasan, tahap ini bertujuan untuk memampukan masyarakat miskin sehingga mereka memiliki keterampilan untuk mengelola peluang yang akan diberikan. Tahap ini dilakukan dengan memberikan pelatihan-pelatihan, lokakarya dan kegiatan sejenis yang bertujuan untuk meningkatkan life skill dari masyarakat miskin. Pada tahap ini sekaligus dikenalkan dan dibukakan akses kepada sumberdaya kunci yang berada di luar komunitasnya sebagai jembatan mewujudkan harapan dan eksistensi dirinya. Selain memampukan masyarakat miskin baik secara individu maupun kelompok, proses memampukan juga menyangkut organisasi dan sistem nilai. Pengkapasitasan organisasi melalui restrukturisasi organiasasi pelaksana sedangkan pengkapasitasan sistem nilai terkait dengan ”aturan main” yang akan digunakan dalam mengelola peluang. Tahap Pendayaan, pada tahap ini masyarakat miskin diberikan peluang yang disesuaikan dengan kemampuan yang dimiliki melalui partisipasi aktif dan berkelanjutan yang ditempuh dengan memberikan peran yang lebih besar secara bertahap sesuai dengan kapasitas dan kapabilitasnya, diakomodasi aspirasinya serta dituntun untuk melakukan self evaluation terhadap pilihan dan hasil pelaksanaan atas pilihan. Upaya pemberdayaan ini akan sangat bermanfaat jika dilaksanakan evaluasi atau monitoring terhadap program pemberdayaan itu sendiri. Banyaknya pelaksanaan program bantuan pemerintah yang telah dilaksanakan tidak dilakukan monitoring, akibatnya bantuan pemerintah tidak tepat sasaran dan tidak sesuai dengan peruntukannya. Masyarakat yang membutuhkan bantuan tidak mendapatkan seperti yang diharapkan, akibatnya program pemberdayaan dirasakan oleh keluarga miskin kurang bermanfaat. Monitoring dapat memberikan gambaran sekaligus menetukan berhasil tidaknya suatu program yang telah dilaksanakan. Karena fungsi dari monitoring ini adalah melakukan pengawasan dalam kaitannya dengan mengindentifikasi komitmen terhadap tindakan yang ditujukan untuk hasil dari pelaksanaan program pemberdayaan rumah tangga miskin. Melalui pemberdayaan, masyarakat akan mampu menilai lingkungan sosial ekonominya serta mampu mengidentifikasi bidang-bidang yang perlu dilakukan perbaikan. Tahapan selanjutnya dari pemberdayaan adalah mewujudkan masyarakat yang mandiri berkelanjutan. Mandiri adalah langkah
lanjut yang rasional dari masyarakat yang telah sejahtera. Dalam kata mandiri telah terkandung pengertian ada usaha untuk memenuhi kebutuhannya sendiri dengan usaha sendiri tanpa tergantung pada orang lain. Dalam pemandirian masyarakat miskin hendaknya tidak mengabaikan potensi dan kapasitas yang tersisa dalam diri maupun kelompoknya serta menghindarkan diri dari budaya cepat puas dan merasa cukup. Dalam pemandirian masyarakat miskin diajak untuk mengembangkan jejaring komunikasi sehingga mereka bisa menambah wawasan dan selalu diingatkan untuk memiliki pikiran yang maju berwawasan jauh ke depan untuk menjangkau kondisi yang lebih baik. Memberdayakan masyarakat dalam melaksanakan program penanggulangan kemiskinan harus mampu meningkatkan partisipasi dan rasa memiliki terhadap program yang dilaksanakan. Jadi dalam melaksanakan program penanggulangan kemiskinan bukanlah jumlah bantuan yang diutamakan tetapi bagaimana menggerakkan partisipasi masyarakat sehingga menciptakan pembangunan yang berbasis kepada masyarakat. Pemberdayaan masyarakat terkait erat dengan faktor internal dan eksternal. Tanpa mengecilkan arti dan peranan salah satu faktor, sebenarnya kedua faktor tersebut saling berkontribusi dan mempengaruhi secara sinergis dan dinamis. Proses pemberdayaan masyarakat sebaiknya didampingi oleh suatu tim fasilitator yang bersifat multidisplin. Tim pendamping ini merupakan salah satu faktor eksternal dalam pemberdayaan masyarakat. Peran tim pada awal proses sangat aktif tetapi akan berkurang secara bertahap selama proses berjalan sampai masyarakat sudah mampu melanjutkan kegiatannnya secara mandiri. Dalam operasionalnya inisiatif tim pemberdayaan masyarakat (PM) akan pelan-pelan dikurangi dan akhirnya berhenti. Peran tim PM sebagai fasilitator akan dipenuhi oleh pengurus kelompok atau pihak lain yang dianggap mampu oleh masyarakat. Pemberdayaan dimaknai sebagai segala usaha untuk membebaskan masyarakat miskin dari belenggu kemiskinan yang menghasilkan suatu situasi di mana kesempatan-kesempatan ekonomis tertutup bagi mereka, karena kemiskinan yang terjadi tidak bersifat alamiah semata, melainkan hasil berbagai macam faktor yang menyangkut kekuasaan dan kebijakan, maka upaya pemberdayaan juga harus melibatkan kedua faktor tersebut. Menurut Benediktus (2010) pengentasan kemiskinan melalui
peningkatan jiwa kewirausahaan merupakan pemeberdayaan yang paling efektif. Karena dengan program kewirausahaan mampu menciptakan lapangan pekerjaan dan meningkatkan investasi.
2.9 Keberdayaan Pemberdayaan sebagai proses menunjuk pada serangkaian tindakan yang dilakukan secara sistematis dan mencerminkan pentahapan kegiatan atau upaya mengubah masyarakat yang kurang atau belum berdaya, berkekuatan, dan berkemampuan menuju keberdayaan. Makna memperoleh daya, kekuatan atau kemampuan menunjuk pada sumber inisiatif dalam rangka mendapatkan atau meningkatkan daya, kekuatan atau kemampuan sehingga memiliki keberdayaan. Untuk bisa berdaya akan sangat tergantung dari obyek pemberdayaan itu sendiri, oleh karena itu masyarakat miskin hendaknya menyadari untuk keluar dari benang kusut kemiskinan perlu memperoleh daya atau kemampuan sebagai stimuli. Upaya pemecahan dengan mengoptimalkan sumberdaya yang dimiliki diharapkan mampu menciptakan nilai-nilai yang diharapkan masyarakat miskin untuk bisa keluar dari kemiskinan, tercermin dengan meningkatnya harkat dan martabat hidup. Upaya pemecahan masalah kemiskinan melalui pemberdayaan dilakukan secara berkesinambungan mengingat pencapaian tujuan pemberdayaan bukan hanya untuk mampu memenuhi kebutuhan pokok saja (kebutuhan primer), tetapi juga kebutuhan batiniah (sekunder) seperti ikut berpartisipasi dalam kegiatan kemasyarakatan. Bagi masyarakat pedesaan yang memegang teguh nilai-nilai tradisional, nilai kekerabatan menjadi sangat penting sehingga tidak jarang masyarakat mengorbankan kebutuhan primernya untuk memenuhi kebutuhan sekunder. Dipenuhinya kebutuhan ini semata-mata untuk menunjukkan rasa kebersamaan sebagai bagian dari lingkungan kerabatnya. Pencapaian tujuan pemberdayaan dapat diwujudkan dalam keberdayaan. Suatu masyarakat dikatakan berdaya jika masyarakat yang awalnya tidak mampu memenuhi kebutuhan hidupnya secara bermartabat menjadi masyarakat yang mampu tidak hanya kebutuhan pokok juga mampu melakukan
alternatif pilihan tindakan agar terwujudnya keinginan yang diharapkan. Sumarjo (1999) mengatakan ciri-ciri masyarakat berdaya yaitu: 1.
Mampu memahami diri dan potensinya, mampu merencanakan (mengantisipasi kondisi perubahan ke depan).
2.
Mampu mengarahkan dirinya sendiri.
3.
Memiliki kekuatan untuk berunding.
4.
Memiliki bargaining power yang memadai dalam melakukan kerjasama yang saling menguntungkan.
5.
Bertanggungjawab atas tindakannya. Keberdayaan tidak hanya mampu memenuhi kebutuhan pokok batiniah dan lahiriah tapi juga bertambahnya nilai kepemilikan, aksesibilitas serta keikutsertaan berpartisipasi dalam aktivitas kemasyarakatan. Hal ini sangat penting artinya bagi masyarakat miskin, karena meningkatnya kemampuan memberikan motivasi untuk terus meningkatkan sumberdayanya guna mewujudkan harapan yang dinginkan. Pemerintah sebagai lembaga yang berperan membantu masyarakat untuk meningkatkan kemampuan masyarakat menjadi masyarakat yang berdaya menjadi tumpuan harapan agar apa yang telah dicapai (berdaya) bisa berkesinambungan.
Implementasi dari pemberdayaan sering mendapat hambatan dalam pelaksanaannya, mengingat keanekragaman persepsi individu maupun kelompok sosial yang ada di masyarakat. Menurut Watson (Adi, 2003) beberapa kendala yang dihadapi dalam pemberdayaan masyarakat berasal dari: a. Kepribadian individu; kestabilan (homeostatis), kebiasaan (habit),seleksi Ingatan dan Persepsi (selective perception and retention), ketergantungan (dependence), super-ego, yang terlalu kuat, cenderung membuat seseorang tidak mau menerima pembaharuan, dan rasa tak percaya diri (selfdistrust).
b. Sistem sosial; kesepakatan terhadap norma tertentu (conformity tonorms), yang mengikat sebagian anggota masyarakat pada suatu komunitas tertentu, kesatuan dan kepaduan sistem dan budaya (systemic and cultural coherence), kelompok kepentingan (vested Interest), hal yang bersifat sakral (The Sacrosanct), dan penolakan terhadap Orang Luar (rejection of outsiders). Hambatan pemberdayaan dalam rangka keberdayaan masyarakat tidak hanya disebabkan oleh faktor individu dan sistem sosial tetapi juga terjadi karena hambatan psikologis seperti masalah gender. Dalam penelitian Marhaeni (2010) menyimpulkan faktor hambatan sosial psikologis berpengaruh signifikan terhadap tingkat keberdayaan perempuan Bali dalam jabatan eselon. Ini mencerminkan semakin kuat hambatan social psikologis yang dialami kaum perempuan maka semakin rendah tingkat keberdayaan kaum perempuan dalam jabatan eselon. Tujuan yang hendak dicapai dari pemberdayaan masyarakat adalah untuk membentuk individu dan masyarakat menjadi mandiri. Kemandirian tersebut meliputi kemandirian berpikir, bertindak dan mengendalikan apa yang mereka lakukan. Kemandirian masyarakat merupakan suatu kondisi yang dialami oleh masyarakat yang ditandai dengan kemampuan memikirkan, memutuskan serta melakukan sesuatu yang dipandang tepat demi mencapai pemecahan masalah-masalah yang dihadapi dengan mempergunakan daya/kemampuan yang dimiliki Sulistiyani (2004). Daya kemampuan yang dimaksud adalah kemampuan kognitif, konatif, psikomotorik dan afektif serta sumber daya lainnya yang bersifat fisik/material. Lebih lanjut Sulistiyani,
mengatakan bahwa
terjadinya keberdayaan pada empat aspek tersebut dapat memberikan kontribusi pada terciptanya kemandirian masyarakat yang dicita-citakan. Tahapan pemeberdayaan melalui pendekatan tersebut di atas dapat disajikan pada Tabel 2.1. Tabel 2.1 Tahapan Pemberdayaan Knowledge, Attitudes, Practice Dengan Pendekatan Aspek Afektif, Kognitif, Psikomotorik Dan Konatif Tahapan Afektif
Tahapan Kognitif
Tahapan Psikomotorik
Tahapan Konatif
Belum merasa sadar
Belum memiliki
Belum memiliki
Tidak berperilaku
& peduli
Wawasan pengetahuan
ketrampilan dasar
membangun
Tumbuh rasa
Menguasai pengetahuan
Menguasai keterampilan
Bersedia terlibat
dasar
dasar
Kesadaran &
dalam pembangunan
kepedulian Memupuk semangat
Mengembangkan
Mengembangkan
Berinisiatif untuk
kesadaran &
pengetahuan
ketrampilan dasar
mengambil peran
kepedulian
dasar
Merasa
Mendalami pengetahuan
dalam pembangunan
membutuhkan kemandirian
pada tingkat lebih tinggi
Memperkaya
Berposisi secara
variasi
Mandiri untuk
ketrampilan
membangun diri
yang dan lingkungan
Sumber: Sulistiyani (2004) Tingkat keberdayaan bisa diakibatkan secara langsung dan tidak langsung dari program yang dilaksanakan baik oleh pemerintah maupun lembaga lain yang peduli terhadap ketidakberdayaan masyarakat (kemiskinan). Hasil penelitian Firmansyah (2012) menyimpulkan empat parameter derajat keberdayaan masyarakat, yaitu: a) Tingkat kesadaran dan keinginan untuk berubah (power within); b) Tingkat kemampuan meningkatkan kapasitas untuk memperoleh akses (power to); c) Tingkat kemampuan menghadapi hambatan (power over) dan d) Tingkat kemampuan membangun kerjasama dan solidaritas (power with). Lebih lanjut Firmansyah mengatakan program pemberdayaan masyarakat baru bisa dianggap berhasil ketika ia mampu mewujudkan power with pada kelompok sasaran. Namun demikian, parameter-parameter lainnya – meskipun tingkatannya lebih rendah dianggap sebagai entrypoint untuk mewujudkan power with.
Keberhasilan pemberdayaan keluarga masyarakat miskin dapat dilihat dari keberdayaan mereka yang menyangkut kemampuan ekonomi, kemampuan mengakses manfaat kesejahteraan, dan kemampuan kultural dan politis (Suharto 2003). Dengan semakin meningkatnya kemampuan ekonomi memberikan kebebasan lebih luas bagi masyarakat miskin untuk mengekpresikan keinginan yang diharapkan. Keberdayaan masyarakat dapat tercermin dari kebebasan mobilitas yaitu: kemampuan untuk pergi ke luar rumah atau wilayah tinggalnya, seperti ke pasar, fasilitas medis, tempat hiburan, rumah ibadah. Kemampuan membeli komoditas kecil seperti membeli barang-barang kebutuhan rumah tangga sehari-hari (beras, minyak tanah, minyak goreng, bumbu dan lain-lain). Kemampuan membeli komoditas besar atau kemampuan membeli barang-barang sekunder atau tersier, seperti almari pakaian, TV, radio, handphone, dan pakaian keluarga. 2.10 Studi Empiris Tentang Kemiskinan Studi empiris tentang kemiskinan telah banyak dilakukan karena merupakan suatu topik yang menarik, namun sampai saat ini belum bisa memberi solusi untuk menuntaskan persoalan kemiskinan yang dihadapi oleh sebagian besar negara berkembang termasuk Indonesia. Studi-studi seperti itu secara rutin dilakukan oleh lembaga pemerintah untuk keperluan perumusan kebijakan atau dilakukan oleh peneliti independen untuk keperluan ilmiah. Di Indonesia, Biro Pusat Statistik (BPS) merupakan lembaga yang hampir tiap tahun melakukan analisis terhadap kemiskinan. Dalam perhitungannya, data yang digunakan bersumber dari hasil survei ekonomi nasional. Dalam melakukan analisis terhadap penduduk miskin, metode yang digunakan selalu sama dari tahun ke tahun yaitu dengan menggunakan pendekatan kebutuhan dasar. Kemiskinan dikonseptualisasikan sebagai kemampuan dalam memenuhi kebutuhan dasar, baik kebutuhan dasar makanan maupun kebutuhan dasar bukan makanan sehingga kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan pangan maupun non pangan yang bersifat mendasar seperti sandang, pangan, perumahan, pendidikan, kesehatan, dan sebagainya. Selain melakukan perhitungan penduduk miskin, BPS juga menyertakan hasil analisis tentang karakteristik rumah tangga miskin yang menggambarkan kondisi rumah tangga miskin berdasarkan
karakteristik sosial demografi, pendidikan, kesehatan,
sumber penghasilan, rasio ketergantungan,
kondisi perumahan, ketenaga kerjaan, dan lain sebagainya. Karakteristik-karakteristik yang memiliki keterkaitan erat dengan konsep kemiskinan antara lain: (1) jumlah anggota rumah tangga; (2) pendidikan kepala rumah tangga yang rendah dan buta huruf; (3) kepala rumah tangga yang berstatus janda; (4) perbedaan geografis antara kota dan desa; (5) lapangan usaha dan status pekerjaan; (6) penguasaan luas lantai per kapita; (6) rumah tangga tanpa akses terhadap air bersih; (7) fasilitas air bersih; (8) fasilitas buang air besar; dan (9) pemanfaatan listrik. Namun dalam penelitian ini tidak dijelaskan karakteristik mana yang paling berpengaruh terhadap kondisi kemiskinan Penelitian lain yang terkait dilakukan oleh Tim Peneliti LPEM FE-UI pada tahun 1994, dengan judul Profil dan Penanggulangan Kemiskinan. Penelitian ini menjelaskan bahwa salah satu keberhasilan program pembangunan sangat tergantung pada ketepatan pengindentifikasian target group dan target area, sehingga diketahui siapa yang sebenarnya bisa dikatagorikan miskin dan keberadaannya di daerah mana. Profil kemiskinan merupakan hal yang mendasar perlu dibuat, dimana profil kemiskinan ini memuat tentang karakteristik kemiskinan berupa karakteristik ekonomi seperti sumber pendapatan, pola konsumsi, besarnya beban tanggungan, dan lain sebagainya. Disamping itu karakteristik non ekonomi memuat tentang karakteristik demografi, pendidikan, fasilitas kesehatan, jumlah anggotarumah tangga, cara memperoleh air bersih, penerangan, dan sosial budaya. Namun dalam penelitian ini tidak membahas sikap rumah tangga miskin terhadap kemiskinan yang sedang dialami Faturrochman dan Molo (1994) yang melakukan penelitian tentang karakteristik rumah tangga miskin di daerah Istimewa Yogyakarta lebih banyak menekankan pada aspek ekonomi. Kemiskinan ekonomi berawal dari pendapatan yang rendah. Rendahnya pendapatan tampaknya berkaitan dengan usaha yang kurang produktif seperti buruh dan mereka yang bekerja di sektor pertanian di Jawa atau DIY pada khususnya. Mereka masuk ke dalam sektor yang kurang produktif karena kualitas mereka juga kurang memadai seperti dicerminkan dengan pendidikan yang rendah. Pendapatan yang rendah ini akan lebih kecil lagi porsinya bila dibagi anggota rumah tangga yang banyak yang pada umumnya
juga tidak produktif. Dengan pendapatan per kapita yang rendah ini maka pengeluaran untuk berbagai kebutuhan juga kecil jumlahnya. Akibatnya, kemampuan mereka untuk memelihara lingkungan rumah tangga serta memenuhi kebutuhan lain seperti informasi dan pendidikan anak juga kurang baik. Selanjutnya, keadaan lingkungan, akses informasi, dan lainnya juga tidak baik. Dalam penelitian ini lebih banyak menekankan aspek ekonomi, aspek lainnya seperti budaya dan sikap kepala rumah tangga miskin tidak dimasukkan dalam pembahasan. Penelitian yang dilakukan oleh Lembaga Pengkajian Ekonomi dan Pembangunan (LPEP) Fakultas Ekonomi Universitas Andalas (2004) menjelaskan bahwa terdapat beberapa hal yang menjadi karakteristik kemiskinan di Sumatera Barat. Karakteristik pertama dijelaskan adalah jumlah penduduk miskin ditambah dengan jumlah penduduk hampir miskin. Selanjutnya siapa kepala rumah tangga penduduk miskin tersebut, dimana dijelaskan terlebih dahulu melihat status perkawinan. Untuk melihat bagaimana perubahan status keluarga dapat mempengaruhi kelompok keluarga miskin. Terjadinya perceraian dalam rumah tangga, baik cerai mati atau hidup mengakibatkan kepala rumah tangga kadang kala pindah ke wanita. Perubahan status ini diperkirakan akan dapat meningkatkan kemiskinan, dimana keluarga yang dikepalai wanita cenderung akan lebih miskin dibandingkan dengan keluarga dikepalai oleh laki-laki. Selanjutnya kemiskinan lebih banyak disebabkan oleh rendahnya tingkat pendidikan sehingga pendapatan sangat rendah akibat akses kepada kesempatan kerja sangat sempit. Temuan tersebut menjelaskan perlunya pendidikan dalam mendorong pembangunan dan pertumbuhan ekonomi. Jika pendidikan semakin baik maka akan lebih mudah melakukan penyesuaian dengan kebutuhan atau tuntutan pekerjaan sehingga akan lebih mudah pula memperoleh kesempatan kerja. Hal itu akan mengurangi pengangguran dan pada akhirnya dapat mengurangi kemiskinan. Rasidin (2007) yang meneliti peran investasi dan pertumbuhan ekonomi dalam mengurangi tingkat kemiskinan di Sumatera Utara menyimpulkan bahwa penanaman investasi, baik dalam bentuk penanaman modal asing (PMA) maupun penanaman modal dalam negeri (PMDN) memiliki pengaruh sangat signifikan terhadap pengurangan tingkat kemiskinan. Temuan lainnya adalah keberadaan rumah tangga, jumlah anggota keluarga, dan tingkat pendidikan berpengaruh positif terhadap kemiskinan.
Tingginya tingkat kemiskinan pada tahun-tahun sebelumnya dapat ditekan melalui regulasi kebijakan pemerintah dalam usaha merangsang investor menanamkan modalnya di Sumatera Utara. Selanjutnya Rasidin (2007) menyatakan bahwa investasi sumberdaya manusia dan transfer pendapatan mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi, dan meningkatnya pertumbuhan ekonomi memberikan efek ganda terhadap kemiskinan, yaitu meningkatnya pendapatan dan terciptanya lapangan pekerjaan. Jika lapangan pekerjaan yang tercipta mampu diakses oleh keluarga miskin dan anggota keluarganya maka akan mampu menambah sumber pendapatan keluarga. Azis (2006)
dalam penelitiannya tentang kemiskinan di Sumatera Barat menyimpulkan
bahwa karakteristik rumah tangga seperti jumlah anggota keluarga, pendidikan, kesehatan, dan keberadaan rumah tangga berhubungan dengan kemiskinan. Makin banyak anggota rumah tangga jumlah beban tanggungan akan semakin besar, maka peluang terjadinya keemiskinan semakin besar. Makin tinggi tingkat pendidikan menyebabkan makin luasnya kesempatan untuk memperoleh kesempatan kerja, sehingga kemiskinan yang dialami semakin menurun. Demikian pula halnya dengan tingkat kesehatan, semakin sehat seseorang menyebabkan semakin produktif tenaga yang dimiliki untuk melakukan pekerjaan, sehingga mempengaruhi tingkat pendapatan yang diperolehnya, kesempatan untuk memperoleh pendapatan yang lebih baik akan terwujud. Satriawan (2008) yang melakukan penelitian tentang kemiskinan bagi para nelayan di Desa Labuhan Kuris Kabupaten Sumbawa menemukan bahwa kemiskinan masyarakat nelayan Desa Labuhan Kuris sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai dan tradisi yang dianut seperti pandangan mereka tentang makna hidup, pandangan mereka tentang fungsi kerja dan budaya kerja yang mereka jalani, tidak memiliki motivasi yang kuat untuk berusaha dan memiliki etos kerja yang rendah. Selain itu, kemiskinan yang terjadi pada masyarakat nelayan tersebut juga dipengaruhi oleh faktor-faktor sosial ekonominya. Berdasarkan temuan tersebut dinyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi tidak akan terjadi selama lembaga sosial, kondisi politik, dan nilai-nilai moral suatu masyarakat tidak menunjang. Kemiskinan juga terjadi dikarenakan tidak stabilnya keluarga akibat banyaknya orang tua kawin cerai. Temuan ini dihasilkan oleh Harrison (2010), yang melakukan penelitian di Amerika
khususnya terhadap warga kulit hitam. Tingginya budaya kawin cerai kalangan warga kulit hitam menyebabkan para wanitanya harus bekerja keras untuk menanggung anak-anak yang cukup banyak yang tidak dihiraukan oleh mantan suaminya. Karena rendahnya kemampuan untuk mengakses kesempatan kerja, maka sektor pertanian menjadi andalan utama untuk memperoleh sumber pendapatan, sehingga daya tawarnya menjadi relatif lebih rendah daripada daya tawar penduduk kulit putih. Hasil penelitian Handoko (2003) tentang faktor-faktor yang mempengaruhi kemiskinan di daerah Gunung Kidul Yogyakarta menyimpulkan bahwa pendapatan dari sektor pertanian memiliki probabilitas untuk mengentaskan petani dari kemiskinan lebih besar daripada pendapatan non pertanian. Secara lebih jelas penelitian ini menunjukkan bahwa sektor pertanian lebih berperan dalam pengentasan kemiskinan diandingkan sektor lain. Di samping itu anggota keluarga, tingkat pendidikan kepala keluarga, total lahan yang diusahakan, pemanfaatan kredit, dan partisipasi dalam penyuluhan, kesemuanya berpengaruh signifikan positif terhadap selisih pendapatan dengan garis kemiskinan, yang berarti pula berpengaruh positif dalam mengentaskan petani dari kemiskinan. Lebih lanjut Handoko menyatakan bahwa penerapan garis kemiskinan yang berbeda-beda tidak mengubah kemampuan variabel penjelas dalam menjelaskan variabel kemiskinan. Penelitian Dhana. dkk (2008) strategi penanggulangan kemiskinan di desa Tianyar Barat Kecamatan Kubu Kabupaten Karangasem menyimpulkan faktor kultural dan struktural menyebabkan kegiatan mengemis. Faktor kultural tersebut adalah kebudayaan kemiskinan yang mereka miliki, sedangkan faktor struktural adalah struktur keluarga dan struktur masyarakat setempat. Lebih lanjut Dhana dkk (2008) mengatakan akan sangat sulit menghapus kemiskinan yang terjadi di daerah ini yang telah memiliki budaya kemiskinan berupa mengemis. Budaya sejenis ini telah diberlakukan sejak nenek moyang mereka. Menurut Mubyarto (1984) adalah sangat sulit untuk mengubah atau mengganti buadaya yang sudah melekat sejak lama, apalagi kebudayaan yang dimaksud adalah menyangkut mata pencaharian.
Penelitian Muninjaya (2009) mengenai ketahanan pangan keluarga miskin di Desa Pengotan Bangli yang dikaji dari aspek gizi masyarakat menyimpulkan bahwa kemiskinan di daerah ini disebabkan oleh rendahnya pendidikan dan pendapatan rumah tangga miskin. Kondisi ini diperburuk oleh terbatasnya akses pemasaran produk pertanian yang dihasilkan serta mobilitas penduduk usia produktif yang sangat rendah. Marhaeni (2011), dalam penelitiannya tentang tingkat keberdayaan perempuan Bali dalam jabatan esolon di Provinsi Bali menemukan bahwa ada 6 faktor berpengaruh signifikan terhadap tingkat keberdayaan perempuan Bali dalam jabatan eselon yaitu : faktor motivasi berprestasi, human capital, hambatan sosial psikologis sebagi faktor internal berpengaruh negatif dan faktor demografi, budaya, serta hambatan struktural sebagai faktor eksternal berpengaruh positif. Dan faktor-faktor yang berpengaruh negatif memiliki kekuatan lebih tinggi dibandingkan dengan faktor yang memiliki pengaruh positif, terutama hambatan social psikologis (faktor internal) dan budaya (faktor eksternal). Kondisi kemiskinan yang terdapat di Negara Cina diungkapkan oleh Yangling dan Zhuang (2011) yang melakukan penelitian tentang faktor-faktor yang berpengaruh dalam kemiskinan rumah tangga petani di Daerah Minoritas di Cina. Hasil penelitian ini menyebutkan bahwa karakteristik lingkungan memiliki hubungan terhadap kemiskinan rumah tangga petani. Karakteristik lingkungan yang dimaksudkan di sini meliputi kondisi topografi dan frekuensi terjadinya bencana alam. Para petani yang tinggal di daerah pegunungan cenderung lebih miskin dibandingkan penduduk yang berada di daerah perkotaan. Kondisi ini disebabkan oleh kondisi topografi yang labil serta lebih sering terkena bencana alam, sehingga lahan yang menjadi sumber pekerjaannya sering terkena bencana alam. Tingginya frekuensi kejadian seperti itu menyebabkan penduduk berada dalam kondisi kemiskinan. 2.11 Orisinalitas Penelitian Ulasan tentang kajian pustaka yang membahas acuan teori yang digunakan serta penelusuran terhadap hasil-hasil studi empiris terdahulu merupakan salah satu rangkaian proses penelitian untuk
mengetahui sejauh mana studi-studi sebelumnya telah
membahas mengenai keberdayaan rumah
tangga miskin yang ada hubungannya dengan kapasitas rumah tangga, budaya, pemberdayaan, dan sikap. Paparan tentang kajian pustaka tersebut yang kemudian dibandingkan dengan fenomena yang akan diteliti memberikan gambaran tentang keaslian penelitian yang akan dilakukan serta kontribusi yang ingin diberikan. Penelitian tentang masalah kemiskinan telah banyak dilakukan akan tetapi variabel-variabel yang secara spesifik dihubungkan dengan kemiskinan masih terbatas. Azis (2006) yang meneliti tentang kemiskinan di Sumatera Utara Menemukan bahwa kemiskinan rumah tangga berhubungan dengan karakteristik rumah tangga seperti jumlah anggota keluarga, pendidikan, kesehatan rumah tangga. Penelitian ini secara khusus menyebutkan, rata-rata keluarga miskin menanggung lebih dari empat orang dengan tingat pendidikan dan tingkat kesehatan sangat rendah sehingga beban tanggungan keluarga menjadi besar. Muninjaya (2009) yang mengkaji keluarga miskin di Desa Pengotan Bangli melalui pendekatan gizi memperoleh hasil bahwa rendahnya tingkat gizi masyarakat dikarenakan rendahnya pendidikan dan pendapatan rumah tangga miskin serta diperburuk oleh terbatasnya akses penduduk, sehingga hasil produksi tidak bisa dipasarkan ke luar daerah. Kedua penelitian tersebut membahas tentang kapasitas rumah tangga seperti jumlah anggota keluarga, pendidikan, kesehatan dan akses rumah tangga, namun belum meliputi variabel kapasitas lainnya seperti variabel kepemilikan asset. Kemiskinan rumah tangga juga dapat dijelaskan dari perspektif budaya. Studi Dhana dkk (2008) tentang kemiskinan di Desa Tianyar Barat Kecamatan Kubu Karangasem menunjukkan bahwa mengemis yang dilakukan oleh kebanyakan anggota masyarakat Desa Tianyar disebabkan oleh faktor budaya. Perilaku masyarakat untuk mengemis dianggap sebagai tindakan yang logis dalam menanggulangi kemiskinan. Hasil penelitian yang hampir sama terdapat dalam studi Sonhaji (2006) yang menyatakan bahwa kegiatan meminta-minta di Kabupaten Surakarta dilakukan oleh para wanita dewasa setiap Hari Kemis dan Jumat. Perilakau seperti ini diterima sebagai suau kegiatan yang sudah dilakukan secara turun temurun sebagai sumber penghasilan lain (multiple sources of income). Kedua penelitian tersebut lebih banyak membahas budaya dalam aspek perilaku keluarga miskin namun
belum memasukkan aspek budaya secara umum sebagai tatanan kehidupan bermasyarakat khususnya yang berlaku bagi masyarakat di Bali. Konsep tentang keberdayaan dapat diterapkan pada obyek yang berbeda, seperti ditunjukkan oleh studi Suyanto (2003) dan Marhaeni (2011). Suyanto (2003) tentang pengentasan kemiskinan di Kabupaten Kota Waringin Timur dalam upaya meningkatkan keberdayaan masyarakat. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pelaksanaan program pengentasan kemiskinan melalui proyek penyantunan ternyata tidak mudah dan selalu menghadapi kendala.
Sementara Marhaeni (2011)
meneliti variabel keberdayaan dalam organisasi formal khsususnya bagi perempuan Bali yang menduduki jabatan eselon di jajaran Provinsi Bali. Penelitian ini menemukan temuan bahwa faktor internal yang terdiri atas motivasi berprestasi, human capital, dan hambatan sosial psikologis berpengaruh negatif terhadap keberdayaan perempuan, sedangkan faktor eksternal yang meliputi faktor demografi, budaya, serta hambatan struktural berpengaruh positif terhadap keberdayaan perempuan. Peningkatan keberdayaan rumah tangga miskin juga diharapkan dari adanya perubahan sikap dan perilaku anggota rumah tangga itu sendiri. Hasil penelitian Rahayuningsish yang dikutip oleh Mussawir (2009) menyebutkan 85 persen keberhasilan seseorang sangat ditentukan oleh sikap terhadap persoalan yang dihadapi, selebihnya ditentukan oleh kemampuan diri sendiri. Hasil penelitian Blomquistt (2002) menunjukkan bahwa 36 persen penduduk migran dari Amerika Latin yang tinggal di Amerika Serikat merupakan keluarga miskin disebabkan tidak adanya sikap untuk keluar dari kemiskinan dan sangat tergantung pada bantuan pemerintah. Penelitian ini tidak hanya memasukkan variabel sikap keluarga miskin tetapi juga memasukkan variabel budaya keluarga miskin yang mempengaruhi kemiskinan. Hasil-hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kemiskinan dapat dikurangi atau rumah tangga miskin dapat diberdayakan untuk ke luar dari kondisi kemiskinan bila anggota rumah tangga yang bersangkutan memiliki sikap yang kuat untuk ke luar dari kondisi kemiskinan itu serta perilaku yang menunjukkan perwujudan sikap tersebut.
Berdasarkan pemaparan singkat di atas, maka penelitian tentang kemiskinan rumah tangga yang mengambil obyek kondisi kemiskinan bagi rumah tangga miskin di Kabupatenn Karangasem ini mencoba untuk meneropong kemiskinan dan upaya pemberdayaannya dari aspek-aspek di atas menjadi sebuah model yang lebih terintegrasi atau lebih komprehesif. Khusus untuk kapasitas rumah tangga, penelitian ini mencoba untuk menambahkan satu variabel lagi yaitu aset yang dimiliki oleh rumah tangga miskin. Selain itu, variabel budaya yang diangkat tidak saja meliputi budaya individu melainkan juga budaya kelompok dan budaya masyarakat di mana rumah tangga miskin itu berada.
2.12 Teori-Teori Kemiskinan yang mendukung penelitian 1. Teori Budaya Kemiskinan oleh Lewis (dalam Suharto Edy 2009) Teori ini muncul ketika kemiskinan dianalisis dengan pendekatan ekonomi semata padahal perilaku masyarakat sangat dipengaruhi oleh ketidakberdayaan masyarakat diberbagai aspek seperti aspek sosial dan budaya. Pandangan para kaum liberal kemiskinan yang terjadi akan berubah seiring dengan perubahan ekonomi. Menurut Lewis untuk menanggulangi kemiskinan perbaikan dan perubahan struktur kemasyarakatan perlu mendapat perhatian, karena didalam struktur masyarakat memiliki budaya yang tercermin dalam bentuk nilai-nilai dan norma yang mengarah pada perilaku. Orang miskin memiliki kebiasaan sendiri yang berbeda dengan masyarakat kebanyakan. Sikap negatif, seperti : malas , fatalisme atau menyerah pada nasib, tidak memiliki jiwa kewirausahaan dan kurang menghormati etos kerja. Sikap yang diambil suatu rumah tangga akan memberikan pengaruh terhadap keberdayaan.
2. Teori kemisinan Neo Liberal Kaum liberal memandang kemiskinan merupakan persoalan individual yang disebabkan oleh kelemahan-kelemahan dan pilihan-pilihan individu yang bersangkutan. Kemiskinan akan hilang
dengan sendirinya jika kekuatan-kekuatan pasar diperluas sebesar-besarnya dan pertumbuhan ekonomi dipacu setinggi-tingginya. Secara langsung strategi penanggulangan kemiskinan harus bersifat “residual “, sementara dan hanya melibatkan keluarga, kelompok-kelompok swadaya atau lembagalembaga keagamaan. Peran negara relatif kecil hanya sebagai penyeimbang, pemerintah baru berperan jika kemiskinan tidak dapat ditangani oleh keluarga miskin dan lingkungnnya serta menimbulkan dampak yang besar terhadap pertumbuhan ekonomi melalui campur tangan manakala lembagalembaga di atas tidak mampu lagi menjalankan tugasnya. Menurut teori ini, pada dasarnya kemiskinan disebabkan oleh kelemahan dan pilihan dalam individu orang tersebut. Serta kemiskinan itu tidak disebabkan oleh faktor di luar individu.
3. Teori Kemiskinan Sosial Demokrat Teori ini memandang bahwa kemiskinan bukanlah persoalan individual, melainkan struktural. Karena adanya sistem yang diberlakukan dalam masyarakat menyebabkan keluarga miskin sangat sulit untuk berperan dalam sistem yang diberlakukan. Kemiskinan disebabkan oleh adanya ketidakadilan dan ketimpangan dalam masyarakat akibat tersumbatnya akses-akses kelompok tertentu sebagai sumber kemasyarakatan. Dengan demikian penyebab kemiskinan timbul karena bukan disebabkan oleh individu melainkan oleh kemiskinan struktural. Oleh karena itu kelompok sosial demokrat berpandangan, strategi kemiskinan haruslah bersifat institusional (melembaga). Peran pemerintah dan masyarakat memiliki peran yang cukup besar dalam menciptakan sekaligus mengawasi lembagalembaga yang dapat mengeleminir terjadinya struktur kemasyarakatan yang dapat menciptakan kemiskinan. Dari kedua kelompok ini yang selalu berlawanan di dalam memandang penyebab dari kemiskinan disebabkan oleh adanya falsafah hidup yang berbeda dari kaum liberal maupun kaum sosial demokrat, sehingga sistem ekonomi yang dianutpun berbeda signifikan.
4. Teori Lingkaran Setan (Vicious circle of poverty)
Menurut Nurkse (1953) (dalam Kuncoro ,1997) Vicious circle merupakan lingkaran yang tak berujung pangkal, miskin itu disebabkan oleh kemiskin itu sendiri baik ditinjau dari sisi permintaan maupun penawaran. Nurkse mengemukakan bahwa negara miskin itu miskin karena mereka miskin (a poor country is poor because it is poor). Menurut Nurkse dalam teori lingkaran setan kemiskinan mengungkapkan bahwa adanya keterbelakangan, ketidaksempurnaan pasar dan kurangnya modal menyebabkan
rendahnya
produktivitas.
Rendahnya
produktivitas
mengakibatkan
rendahnya
pendapatan yang mereka terima. Rendahnya pendapatan akan berimplikasi pada rendahnya tabungan dan ivestasi, dan rendahnya investasi berakibat pada keterbelakangan dan seterusnya (Suyana, 2000:45). Keterbatasan sumberdaya memberikan kontribusi atas terjadinya kemiskinan meskipun dilakukan perubahan dan kebijakan ekonomi, output yang duihasilkan masih tetap rendah. Randahnya output ini dikarenakan rendahnya produktivitas, oleh karena itu apa yang dinyatakan oleh Nurkse penanggulangan langan kemiskinan tidak
hanya dilakukan dengan pendekatan ekonomi semata
melainkan melalui sikap dari simiskin itu sendiri apakah mau keluar atau tidak dari lingkaran kemiskinan. 3.Teori Sikap Teori sikap yang dikembangkan oleh Fishbein dan Azjen (1975) (dalam Schiffman dan Kanuk, 2007). yang dituangkan dalam sebuah Model Sikap Terhadap Perilaku (Attitude Toward Behavior Model) mengemukakan bahwa niat berperilaku ditentukan oleh sikap seseorang terhadap perilaku tersebut. Seseorang akan lebih mudah melakukan tindakan tertentu bila telah memiliki sikap positif terhadap perilaku itu sendiri. Sesuai dengan strukturnya, sikap memiliki tiga komponen, yaitu komponen kognitif, komponen afektif, dan komponen konatif. Mengacu pada ketiga komponen sikap ini maka seseorang akan relatif lebih mudah dikondisikan untuk keluar dari kemiskinan apabila: (a) memiliki keyakinan yang diperoleh dari pengetahuan dan pengalaman langsung bahwa kemiskinan merupakan suatu kondisi yang bisa diubah dan bukan merupakan suatu takdir; (2) memiliki perasaan tidak menyenangkan terhadap kondisi kemiskinan atau dengan kata lain memiliki perasaaan yang
menyenangkan untuk keluar dari kondisi kemiskinan; dan (3) memiliki niat yang kuat untuk bisa keluar dari kondisi kemiskinan itu sendiri. Sikap untuk keluar dari kemiskinan merupakan tindakan positif yang harus dilakukan oleh rumah tangga miskin untuk dapat keluar dari lingkaran kemiskinan.
4.Teori Amartya Sen Amartya Sen, seorang peneliti dari negara India mengemukakan sebuah teori tentang kemiskinan yang dikenal dengan teori kemiskinan. Selanjutnya Sen (1998) mengklasifikasi bahwa kemiskinan bersumber dari empat hal seperti berikut. 1) Heterogenitas personal, artinya adanya keragaman yang dimiliki oleh seseorang mencerminkan peri kehidupan yang terjadi dalam masyrakat. Menurut Sen keragaman yang dimiliki seseorang merupakan modal penting dalam pengembangan diri. Kemampuan yang melekat dalam diri manusia dapat memperbanyak opsi yang terbuka untuk meningkatkan kualitas hidupnya. 2) cerminan keragaman
Keragaman lingkungan, keragaman lingkungan memberikan
potensi yang dimiliki lingkungan itu sendiri. Suatu
daerah ada memiliki
lingkungan yang sangat subur dengan berbagai potensi sumberdaya demikian pula sebaliknya ada daerah yang kondisi lingkungannya tandus dengan peotensi sumberdaya alamnya sangat terbatas (3) Perbedaan iklim, terdapat perbedaan iklim antar satu daerah dengan daerah lain menciptakan perbedaan perilaku masyarakat untuk memanfaatkan lingkungannya dalam menjaga kelangsungan hidupnya. 4). Perbedaan kebiasaan konsumsi. Pola konsumsi merupakan cerminan gaya hidup memberikan kontribusi terciptanya kemiskinan.
BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP, DAN HIPOTESIS 3.1 Kerangka Berpikir Berdasarkan tinjauan tentang konsep-konsep kemiskinan dan penelusuran terhadap hasil-hasil studi tentang kemiskinan dapat dinyatakan bahwa kemiskinan disebabkan oleh faktor eksternal dan
faktor internal. Faktor eksternal meliputi (1) budaya seperti kentalnya kekerabatan, kuatnya tradisi turun temurun, ketatnya adat istiadat, keengganan untuk merantau, budaya untuk kumpul bersama; (2) topografi wilayah; (3) kebijakan pemerintah yang menyangkut keputusan dalam membangun kurangnya infrastruktur. Sementara itu yang termasuk faktor internal antara lain (1) karakteristik demografi seperti usia, jenis kelamin, pendidikan, jumlah anggota keluarga, pekerjaan, penghasilan; (2)
motivasi; (3) persepsi; (4) budaya individu seperti malas dan tidak mau memanfaatkan
kemampuan yang dimiliki, tidak disiplin, lebih suka meminta dibandingkan dengan berusaha. Berdasarkan landasan teori dan kerangka pikir yang dipaparkan maka kerangka berpikir dalam penelitian ini dapat digambarkan seperti Gambar 3.1.
KEMISKINAN Gambar 3.1 Kerangka Berpikir 3.2
Kerangka Konsep Penelitian Berdasarkan kerangka berpikir di atas penelitian yang akan dilaksanakan di Kecamatan
Karangasem akan mengambil beberapa variabel seperti disajikan pada Konsep penelitian seperti pada Gambar 3.2 yang selanjutnya diikuti dengan perumusan hipotesis penelitian.
Penyadaran (X31)
Pengkapasitasan (X32)
Pendidikan
Pemberdayaan
(X11) Jml.Angota Kl
(X2)
(X12) Jml Tanggungan
Kapasitas
(X13)
RTM
Pendapatan (X14) Pemilikan aset (X15)
Peningkatan Kontinyuitas Pengetahuan/Keterampila (X34) n (Y21)
Pendayaan (X33)
H2 H1
H5 5 5555
Peningkatan Aksessibilitas (Y22)
H6
H6
Keberdayaan
H7
RTM
(X1)
(Y2) Sikap (Y)
H4
Peningkata n Partisipasi (Y23)
Peningkatan Keragaman dan Kualitas Produk yang Dibeli (Y24)
Peningkatan aset Budaya (X3)
Pasrah (X21)
Malas (X22)
(Y25)
Kebiasaan (X23)
Perilaku konsumtif (X24)
Gambar 3.2 Kerangka Konsep Penelitian : Indikator
: Hubungan langsung
: Variabel laten
: Hubungan dimensional
Model penelitian seperti Gambar 3.2 dapat dijelaskan sebagai berikut: Berhasil atau tidak suatu keluarga miskin keluar dari kemiskinan sangat tergantung dari sikap dari keluarga itu sendiri. Adanya sikap mental miskin (sikap negatif) akan memperlambat proses suatu keluarga untuk keluar dari kemiskinan. Berdasarkan laporan BPMD Kabupaten Karangasem, kemiskinan yang terjadi di kabupaten ini bukan semata-mata karena faktor alam dan budaya tetapi karena adanya sikap mental miskin masyarakat. Sikap masyarakat berserah diri akan keadaan yang sedang dialami dan tidak mau atau malas untuk bekerja mengakibatkan sulitnya rumah tangga miskin untuk keluar dari kemiskinan. Kapasitas rumah tangga merupakan karakteristik dari rumah tangga miskin yang merupakan kemampuan yang dimiliki suatu rumah tangga seperti pendidikan, pendapatan, jumlah anggota rumah tangga, jumlah tanggungan, dan kepemilikan aset. Karakteristik rumah tangga dapat mempengaruhi sikap mental terhadap kemiskinan. Hasil penelitian Tricahyono (2010) di Kecamatan Paseh
Kabupanten Bandung Jawa Barat menemukan bahwa sikap mental berpengaruh signifikan terhadap kemiskinan masyarakat. Menurut Lewis (dalam Suharto Edy 2009); orang miskin memiliki kebiasaan sendiri yang berbeda dengan masyarakat kebanyakan. Sikap negatif, seperti : malas , fatalisme atau menyerah pada nasib, tidak memiliki jiwa kewirausahaan dan kurang menghormati etos kerja. Sikap yang diambil suatu rumah tangga akan memberikan pengaruh terhadap keberdayaan. Budaya merupakan seperangkat nilai, keyakinan, dan kebiasaan yang diperoleh atau dipelajari, yang diterima oleh masyarakat tertentu secara turun temurun sebagai suatu kesatuan yang membantu mengarahkan perilaku para anggotanya. Nilai-nilai inilah menjadi panduan bagi masyarakatnya untuk berperilaku sebagai wujud dari sikap melalui penetapan norma-norma yang berlaku di suatu tempat. Sistem nilai budaya merupakan tingkat yang paling abstrak dari adat. Dimana adat itu sendiri terdiri dari konsepsi-konsepsi, yang hidup dalam alam pikiran masyarakat, mengenai hal-hal yang harus mereka anggap amat bernilai dalam hidup. Menurut Koentjaraningrat (2009),
sikap mental bersumber pada sistem nilai budaya,
seperti berorientasi kepada masa lalu, ketergantungan pada kelompok dan kurang percaya pada kemampuan diri sendiri. Beragamnya sikap mental masyarakat Indonesia disebabkan oleh beragamnya budaya yang dimiliki oleh bangsa Indonesia. Hasil penelitian Satriawan (2008) menemukan bahwa kemiskinan masyarakat nelayan Desa Labuhan Kuris sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai dan tradisi yang dianut seperti pandangan mereka tentang makna hidup, pandangan mereka tentang fungsi kerja dan budaya kerja yang mereka jalani, tidak memiliki motivasi yang kuat untuk berusaha dan memiliki etos kerja yang rendah. Filosofi pemberdayaan lebih diarahkan pada proses pembelajaran warga miskin dengan perubahan pengetahuan, sikap, dan perilaku kelompok miskin secara lebih konstruktif. Tahap pemberdayaan
diawali dari 1) tahap
penyadaran melalui sosialisasi program, 2) tahap
pengkapasitasan melalui pendidikan dan penyuluhan dan 3) tahap pendayaan melalui pemberian bantuan dan 4) evaluasi. Pelaksanaan penanggulangan kemiskinan kadangkala mengalami kegagalan. Kegagalan terjadi disebabkan karena lebih banyak berfokus pada bantuan sosial dan kedermawanan
pemerintah seperti bantuan dana (BLT). Untuk itu penanggulangan melalui program pemberdayaan sebaiknya terlebih dahulu mengetahui penyebab terjadinya kemiskinan disuatu daerah. Sehingga program bemberdayaan mampu memberikan rangsangan untuk mengubah faktor-faktor penyebab kemiskinan seperti bantuan teknis dan bantuan modal. Program bantuan yang berorientasi pada kedermawanan pemerintah ini justru dapat memperburuk moral dan perilaku masyarakat miskin. Program bantuan untuk orang miskin sebaiknya lebih difokuskan untuk menumbuhkan budaya ekonomi produktif dan mampu membebaskan ketergantungan penduduk yang bersifat permanen. Melalui pemberdayaan, masyarakat akan mampu menilai lingkungan sosial ekonominya serta mampu mengidentifikasi bidang-bidang yang perlu dilakukan perbaikan. Pemberdayaan merupakan sebuah konsep untuk memotong lingkaran yang tidak berujung pangkal
yang menghubungkan power dengan pembagian kesejahteraan yang bersumber pada
kekuatan atau kemampuan dengan menyerap unsur-unsur dari luar. Tujuan dari pemberdayaan di samping melepaskan belenggu kemiskinan dan keterbelakangan juga memperkuat posisi lapisan masyarakat dalam struktur kekuasaan. Mandela, 1995 (dalam Ginanjar, 1996) menyatakan bahwa pemberdayaan tergantung pada kemampuan masyarakat untuk memenuhi kebutuhannya sendiri, karena kemiskinan mencerminkan ketiadaan pilihan bagi seseorang. Kepastian ekonomi adalah esensial agar masyarakat mempunyai kemandirian dan kemampuan untuk menguasai kekuatan (power) sehingga terwujud keberdayaan.
Keberdayaan bukan hanya meliputi penguatan individu warga
masyarakat, melainkan juga pranata-pranatanya. Demikian pula pembaharuan institusi-institusi sosial dan pengintegrasiannya ke dalam kegiatan pembangunan serta peran masyarakat di dalamnya. Menurut Ginanjar, keberdayaan menyangkut perubahan bukan hanya kemampuan, melainkan juga sikap, maka pemberdayaan adalah sebuah konsep kebudayaan. Melalui pemberdayaan masyarakat tidak hanya akan menghasilkan emansipasi ekonomi dan politik masyarakat di lapisan bawah, tetapi juga akan menjadi wahana transformasi budaya. Melalui pemberdayaan, masyarakat akan memiliki keyakinan yang lebih besar akan kemampuan dirinya. Mereka tidak lagi harus menyerah kepada nasib, bahwa kemiskinan adalah bukan takdir.
3.3 Hipotesis Berdasarkan kerangka konseptual yang digambarkan pada Gambar 3.2 dan tujuan studi, maka hipotesis dirumuskan. 1. Kapasitas rumah tangga miskin berpengaruh positif terhadap sikap rumah tangga untuk keluar dari kemiskinan. 2. Kapasitas rumah tangga miskin berpengaruh positif terhadap keberdayaan rumah tangga miskin. 3. Pemberdayaan berpengaruh positif terhadap sikap rumah tangga untuk keluar dari kemiskinan. 4. Pemberdayaan berpengaruh positif terhadap keberdayaan rumah tangga miskin. 5. Budaya berpengaruh negatif terhadap sikap rumah tangga untuk keluar dari kemiskinan. 6. Budaya berpengaruh negatif terhadap keberdayaan rumah tangga miskin. 7. Sikap rumah tangga untuk keluar dari kemiskinan berpengaruh positif terhadap keberdayaan rumah tangga miskin.
BAB IV METODE PENELITIAN
4.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode campuran (Mixed Methode). Data diperoleh dengan melaksanakan survei lapangan, dan kepala rumah tangga miskin sebagai anggota sampel. Anggota sampel ditentukan dengan metode non-probability sampling khususnya purposive sampling dari masing-masing desa. Data dikumpulkan secara cross section dengan menggunakan daftar pertanyaan yang selanjutnya dianalisis secara kuantitatif dan kualitatif. Analisis kuantitatif menggunakan alat statistik, baik statistik deskripstif maupun statistik inferensial. Statistik deskriptif dimaksudkan untuk menggambarkan karakteristik responden dan deskripsi variabel penelitian, sedangkan statistik inferensial menggunakan Structural Equation Modeling (SEM)
dimaksudkan untuk menguji hipotesis penelitian. Selanjutnya hasil analisis
kuantitatif dibahas secara kualitatif dengan menguraikan setiap variabel penelitian dan membahas hubungan antar variabel untuk kemudian dibandingkan dengan hasil-hasil penelitian sebelumnya. 4.2. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Karangasem. Daerah ini dipilih secara purposive, dengan dasar pertimbangan bahwa kabupaten ini memiliki jumlah rumah tangga miskin dengan proporsi paling tinggi (33,66) persen dibandingkan dengan kabupaten-kabupaten lainnya di Bali. Peta lokasi penelitin dapat diperhatikan pada Gambar 4.1. Gambar 4.1 Peta lokasi penelitian
Karakteristik kemiskinan yang terjadi daerah ini diakibatkan oleh faktor alam yang tandus, tingkat pendidikan yang rendah, terbatasnya infrastruktur, dan sikap mental dan budaya yang dimiliki. Di samping itu, jumlah penduduk di bawah garis kemiskinan cukup besar dan rata-rata pengeluaran untuk makanan per kepala berada di bawah rata-rata pengeluaran untuk makanan provinsi yaitu Rp. 195.049. Nilai ini merupakan nilai terendah jika dibandingkan dengan kabupaten-kabupaten lainnya di
Bali, demikian pula jika ditambahkan pengeluaran bukan makanan juga masih berada di bawah ratarata Provinsi. Kemiskinan yang terjadi di daerah ini lebih dicirikan oleh sikap mental masyarakat yang kurang mau untuk segera keluar dari lingkaran kemiskinan, sehingga motivasi untuk bekerja produktif masih rendah. Menurut I Wayan Geredeg (Wawancara, 2013) sulitnya penanganan kemiskinan di daerahnya disebabkan masih adanya sikap mental yang cenderung membudaya seperti kebiasaan sengaja hidup miskin seperti upacara besar-besaran diikuti pesta dalam waktu lama dan disertai judi. Pengorbanan tidak hanya berupa material tapi juga non material seperti waktu dan tenaga yang dicurahkan untuk kegiatan upacara, lebih-lebih upacara yang dilaksanakan dalam waktu cukup lama. Bagi mereka yang bekerja pada instansi atau karyawan perusahaan merasa hal ini sebagai delema sangat sulit untuk dipecahkan. Namun dipihak lain adanya tajen justru mendapatkan kesempatan untuk melaksanakan kebiasaan yang harus dilakukan, bahkan ada desa yang melaksanakan kegiatan tajen setiap hari kamis hingga sabtu. Indikasi sikap negatif dari masyarakat ini menyebabkan indeks keparahan(0,30) dan kedalam kemiskinan (1,21) yang terjadi di kabupaten ini jauh lebih besar dari pada indeks kemiskinan (0,18) dan keparahan (0,79) yang dimiliki oleh Provinsi Bali. Kemiskinan memerlukan penanganan secara konprehensif tidak secara parsial, mengingat kemiskinan yang terjadi di Kabupaten Karangasem menjadi masalah multi dimensional. Penanganan kemiskinan selama ini banyak terkendala pada sikap mental masyarakat untuk segera keluar dari masalah kemiskinan, yakni selalu mengharapkan bantuan orang lain. Upaya pemerintah melakukan bantuan langsung kepada RTM sangat dirasakan manfaatnya, akan tetapi adanya perbedaan data RTM yang mendapat bantuan dari tahun ke tahun selalu mengalami perubahan mengakibatkan banyak RTM tidak mendapatkan lagi bantuan langsung terutama bantuan raskin yang digantikan oleh rumah tangga miskin lain. Padahal rumah tangga miskin yang tidak mendapat bantuan raskin masih berada dalam keadaan miskin seperti sebelumnya.
4.3 Subyek dan Obyek Penelitian
Dalam studi ini yang menjadi obyek penelitian adalah kemiskinan dalam hubungannya dengan kapasitas rumah tangga, budaya, pemberdayaan terhadap sikap dan keberdayaannya. Karena itu, yang menjadi subyek penelitian adalah kepala rumah tangga miskin yang terpilih sebagai sampel di Kabupaten Karangasem. 4.4 Indentifikasi dan Definisi Operasional Variabel 4.4.1 Variabel penelitian Sesuai dengan tujuan studi yang ingin dicapai sesuai dengan kerangka penelitian studi ini menggunakan variabel-variabel yang tidak bisa diukur secara langsung melainkan secara tak langsung. Variabel seperti ini disebut dengan konstruk (variabel laten). Dalam penelitian ini ada dua jenis konstruk, yaitu konstruk eksogen dan konstruk endogen. Konstruk eksogen terdiri atas konstruk kapasitas rumah tangga, budaya, dan upaya pemberdayaan, sedangkan konstruk endogennya terdiri atas konstruk sikap terhadap kemiskinan dan konstruk keberdayaan rumah tangga miskin. Tiap konstruk dengan indikator masing-masing disajikan dalam Tabel 4.1.
Jenis konstruk Eksogen
Tabel 4.1 Jenis Konstruk dan Indikator Penelitian Nama Konstruk Indikator 1. Kapasitas rumah tangga
2. Pemberdayaan
3. Budaya
Simbol
1.1 1.2 1.3 1.4 1.5 2.1 2.2 2.3 2.4
Pendidikan Jumlah anggota keluarga Jumlah tanggungan Pendapatan Pemilikan aset Penyadaran Pengkapasitasan Pendayaan Kontinyuitas
X1.1 X1.2 X1.3 X1.4 X1.5 X2.1 X2.2 X2.3 X2.4
3.1 3.2 3.3 3.4
Rendah diri Malas Pasrah Perilaku konsumtif
X3.1 X3.2 X3.3 X3.4
Endogen
1. Sikap
2. Keberdayaan
1.1 Keyakinan kondisi yang sedang dihadapi dapat dirubah 1.2 Kemiskinan bukan takdir 1.3 Tidak senang terhadap kemisinan 1.4 Senang bisa keluar dr kemiskinan 1.5 Niat yang kuat untuk keluar dari kemiskinan 1.6 Bersedia keluar dari kemiskinan
Y1.1
1.1 1.2 1.3 1.4
Y2.1
Peningkatan pengetahuan/keterampilan Peningkatan aksesibelitas Peningkatan partisipasi Peningkatan keragaman dan kualitas barang yang dibeli 1.5 Peningkatan pemilikan aset
Y1.2 Y1.3 Y1.4 Y1.5 Y1.6
Y2.2 Y2.3 Y2.4 Y2.5
4.4.2 Definisi operasional Masing-masing konstruk dan indikatornya dijelaskan dalam definisi operasional berikut. 1.
Kapasitas rumah tangga miskin merupakan kemampuan dan potensi rumah tangga dalam kondisi tertentu. Konstruk ini diukur melalui lima indikator berikut : a.
Pendidikan, merupakan pendidikan formal terakhir yang ditamatkan
kepala rumah
tangga responden, dikatagorikan atas tidak pernah sekolah, tidak tamat sekolah dasar, tamat sekolah dasar/sederajat, tamat sekolah lanjutan tingkat pertama, tamat sekolah lanjutan tingkat atas. b.
Jumlah anggota rumah tangga adalah banyaknya anggota rumah tangga yang tinggal/menetap bersama dalam satu atap dan hidup dari penghasilan yang sama termasuk tidur, makan dan memasak dalam satu dapur.
c.
Jumlah tanggungan adalah banyaknya anggota rumah tangga yang menjadi tanggungan kepala keluarga dalam suatu rumah tangga, dikatagorikan atas tanggungan biaya hidup (makan, pakaian), biaya sekolah dan biaya kesehatan.
d.
Pendapatan adalah besarnya rata-rata penghasilan yang diterima per bulan dari bekerja sebelum wawancara dilakukan baik pendapatan tetap maupun pendapatan sampingan.
e.
Pemilikan aset adalah jumlah nilai barang-barang yang dimiliki baik yang bergerak maupun tidak bergerak, yang diukur dengan nilai pasar yang berlaku
2.
Pemberdayaan, adalah upaya untuk menciptakan/meningkatkan kapasitas masyarakat, baik secara individu maupun berkelompok, dalam memecahkan berbagai persoalan terkait upaya peningkatan kualitas hidup, kemandirian dan kesejahteraannya untuk keluar dari lingkaran kemiskinan. Konstruk ini diukur melalui empat indikator berikut : a. Penyadaran adalah upaya-upaya yang dilakukan oleh pemerintah atau lembaga lain untuk memperkenalkan program-program pengentasan kemiskian. Keluarga miskin memperoleh penjelasan/sosialisasi tentang program penanggulangan kemiskinan, baik dilihat dari jenis kegiatan maupun lokasi kegiatan. Frekuensi kegiatan penyadaran memiliki pengaruh yang cukup besar terhadap pemberdayaan semakin sering dilaksanakan kegiatan ini maka semakin bermanfaat bagi rumah tangga miskin. b.
Pengkapasitasan adalah upaya yang dilakukan pemerintah atau lembaga lain melalui pelatihan-pelatihan, lokakarya dan kegiatan sejenis yang bertujuan untuk meningkatkan life skill dari masyarakat miskin. Pada tahap ini sekaligus dikenalkan dan dibukakan akses kepada sumberdaya kunci yang berada di luar komunitasnya sebagai jembatan mewujudkan harapan dan eksistensi dirinya.
c.
Pendayaan, pada tahap ini masyarakat miskin diberikan peluang yang disesuaikan dengan kemampuan yang dimiliki melalui partisipasi aktif dan berkelanjutan yang ditempuh dengan memberikan peran yang lebih besar secara bertahap sesuai dengan kapasitas dan kapabilitasnya, diakomodasi aspirasinya serta dituntun untuk melakukan self evaluation terhadap pilihan dan hasil pelaksanaan atas pilihan. Manfaat yang diterima keluarga miskin setelah melewati tahap pengkapasitasan.
d.
Kontinyuitas, Adanya usaha pemerintah atau lembaga lain secara kontinyu memberikan program bantuan pemberdayaan keluarga miskin.
3.
Sikap terhadap kemiskinan merupakan predisposisi untuk melakukan atau tidak melakukan suatu perilaku tertentu, dengan penuh kesadaran untuk keluar dari kemiskinan. Indikatorindikator dari variabel ini : a. Keyakinan kondisi dapat diubah, adanya keyakinan atas kondisi yang dialami selama menjadi keluarga miskin dapat menjadi keluarga tidak miskin b. Kemiskinan bukan takdir, kemiskinan yang dialami bukan takdir/nasib, melainkan kondisi yang dialami akan bisa berubah jika keluarga miskin memiliki keinginan yang kuat untuk mengubah nasibnya. c. Tidak senang terhadap kemiskinan adalah sikap dari keluarga miskin bahwa kemiskinan adalah bagian dari berbagai kekurangan/keterbatasan yang dimiliki baik sandang, pangan maupun papan. d. Senang bisa keluar dari kemiskinan adalah suatu keadaan yang diharapkan rumah tangga miskin miskin sebagai wujud dari perubahan yang dinginkan. e. Niat yang kuat keluar dari kemiskinan adalah keinginan yang kuat dari keluarga miskin untuk keluar dari lingkaran kemiskinan. f. Bersedia keluar dari kemiskinan adalah kesediaan untuk melakukan berbagai kegiatan dengan menerima imbalan atas aktivitas yang dilakukan.
4.
Budaya kemiskinan adalah kebiasaan-kebiasan yang dilakukan rumah tangga miskin yang menyebabkan mereka sulit untuk keluar dari lingkaran kemiskinan. Konstruk ini diukur melalui lima indikator sebagai berikut: a. Pasrah merupakan keyakinan yang dimiliki oleh rumah tangga miskin, bahwa kondisi yang dialami saat ini adalah nasib yang harus diterima. b. Malas merupakan keengganan rumah tangga miskin untuk memanfaatkan sumberdaya yang dimiliki seperti kurang memanfaatkan waktu untuk kegiatan produktif. c. Rendah diri, suatu perasaan menganggap diri lebih rendah dari masyarakat kebanyakan dalam perekonomian rumah tangga.
d. Kebiasaan, kegiatan yang dilakukan secara rutin seperti melaksanakan kegiatan adat istiadat, kegiatan tidak produktif yang berlaku secara turun temurun. e. Perilaku konsumtif, Tindakan yang dilakukan lebih banyak bersifat konsumtif tanpa memperhitungkan besarnya pendapatan semata-mata untuk mendapatkan pengakuan dari masyarakat. 5.
Keberdayaan, merupakan dampak yang muncul sebagai pengaruh dari proses pemberdayaan yang telah dilalui oleh seseorang seperti, peningkatan taraf hidup ke arah positif, pengembangan hasil belajar pada lingkungan sekitarnya dan berperan serta dalam kegiatan pembangunan masyarakat. Konstruk ini diukur melalui empat indikator berikut: a.
Peningkatan pengetahuan dan keterampilan, adanya peningkatan pendidikan dan keterampilan memberikan peluang untuk mandiri dalam melakukan aktivitas ekonomi guna meningkatkan pendapatan
b.
Peningkatan aksessibilitas, Meningkatnya akses/ jaringan sehingga terciptanya peluang untuk meningkatnya kemampuan mendapatkan informasi dan pendapatan
c.
Peningkatan partisipasi, menigkatnya pengetahuan dan keterampilan serta meningkatnya pendapatan memberikan peluang untuk berpartispasi dalam berbagai kegiatan baik kegiatan, ekonomi, adat maupun agama yang sebelumnya masih sangat terbatas.
d.
Peningkatan keragaman dan kualitas produk yang dibeli, meningkatnya aktivitas ekonomi memberikan peluang meningkatkan pendapatan akan memberikan peluang untuk membeli beragam produk dan kualitas yang lebih baik dibandingkan dengan sebelumnya.
e.
Peningkatan aset, aset merupakan nilai barang yang dimiliki suatu rumah tangga akan mengalami peningkatan. Meningkatnya aset menandakan kesejahteraan semakin baik dibandingkan dengan sebelumnya.
4.4.3 Skala Pengukuran Pada penelitian ini terdapat beberapa konstruk yang digunakan mengukur sikap dan persepsi rumah tangga miskin. Konstruk-konstruk ini dijabarkan menjadi beberapa indikator-indikator variabel
yang kemudian indikator-indikator tersebut dijadikan titik tolak untuk mengukur item-item instrument yang dapat berupa pertanyaan atau pernyataan. Jawaban setiap instrumen ini diukur dengan menggunakan skala Likert dan mempunyai jenjang nilai dari sangat setuju sampai dengan sangat tidak setuju. Untuk keperluan analisis kuantitatif, maka jawaban dapat diberi skor sebagai berikut: 1.
Sangat setuju diberi skor
5
2.
Setuju diberi skor
4
3.
Ragu/netral diberi skor
3
4.
Tidak setuju diberi skor
2
5.
Sangat tidak setuju
1
4.5 Jenis dan Sumber Data Secara garis besar, data dapat dibedakan menjadi dua, yaitu data kualitatif dan data kuantitatif . Data kualitatif bersumber pada (1) wawancara mendalam
(depth interview) kepada
beberapa informan kunci; (2) observasi nonpartisipasi;; dan (3) analisis isi (content analysis) dan bahan-bahan tertulis. Sedangkan data kuantitatif bersumber pada (1) data primer yaitu hasil wawancara terstruktur terhadap responden dengan menggunakan daftar pertanyaan yang telah dipersiapkan sebelumnya; (2) data sekunder yaitu data yang dikumpulkan oleh instansi, terutama instansi yang berkaitan dengan penelitian ini. Uraian lebih lanjut mengenai kedua jenis data tersebut dipaparkan berikut ini.
4.5.1 Data Kualitatif Data kualitatif diperoleh melalui wawancara mendalam , observasi, dan analisis isi. Metode ini digunakan agar data dapat diperoleh sesuai dengan tujuan penelitian di samping itu untuk memecahkan masalah yang sama dan saling cek dan recek disebut teknik “triangulasi” (Maleong 2000, Brannen, 2002; dan Mantra, 2004). Dengan teknik triangulasi kelemahan salah satu metode dapat diatasi oleh kekuatan metode lainnya (Tashakkori dan Teddlie, 1998). Jenis data yang dibutuhkan antara lain: pendidikan, jenis pekerjaan, kepemilikan asset, motivasi bekerja dan pengggunaan
penghasilan, pekerjaan sampingan, pemberdayaan,
sikap untuk keluar dari kemiskinan, budaya
kemiskinan, pemberdayaan dan keberdayaan rumah tangga miskin. Berikut ini dijelaskan pelaksanaan masing-masing metode tersebut di atas sebagai berikut : a. Wawancara Mendalam Dalam wawancara mendalam ini dikumpulkan informasi dari beberapa informan kunci (key informant) untuk mendapatkan penjelasan lebih dalam terhadap suatu materi yang belum terungkap dalam wawancara dengan responden utama. Informasi yang dimaksudkan adalah: (1) kepala desa di mana responden berada; (2) prajuru banjar atau adat dan (3) pihak-pihak tertentu yang ditunjuk oleh kepala desa setempat atau yang berwenang, seperti tertera pada Tabel 4.2 Data hasil wawancara secara mendalam ini dikumpulkan langsung oleh peneliti, yang nantinya digunakan untuk memperkuat penjelasan atas data yang dikumpulkan. Sebagian besar data yang dikumpulkan dalam studi ini adalah data primer yang diperoleh langsung dari para responden dengan menggunakan instrumen penelitian berupa kuesioner. Kuesioner dirancang sedemikian rupa, sebagian besar terdiri atas pertanyaan atau pernyataan yang jawabannya berupa beberapa pilihan semi tertutup. Dikatakan semi tertutup karena bila di antara beberapa pilihan jawaban itu ada yang tidak sesuai dengan kondisi responden, maka responden dimungkinkan untuk mengemukakan pendapatnya sendiri dengan menambahkan pada ruang yang telah disediakan. Data yang dibutuhkan dalam wawancara mendalam ini seperti kebiasaan masyarakat, sikap masyarakat menghadapi kemiskinan, dan program pemberdayaan. Tabel 4.2 Profil Narasumber Penelitian No
Nama
1
Komang Gegel
2
Usia (Tahun)
Desa/ Kelurahan
Keterangan
53
Kelurahan Karangasem
Kepala Desa
K.Agus Surasena
52
Kelurahan Karangasem
Pemuka Adat
3
Wayan Dangin
53
Desa Tagalinggah
Kepala Desa
4
Gede Daging
57
Desa Tagalinggah
Pemuka Adat
5
Wayan Geden
52
Desa Seraya
Kepala Desa
6
Ketut Karma
64
Desa Seraya
Pemuka Adat
7
Ketut Deresta, SH
51
Desa Angentelu Kelod
Kepala Desa
8
Wayal Linggih
67
Desa Angentelu Kelod
Pemuka Adat
9
I Made Badri
56
Desa Antiga
Kepala Desa
10
I Nyoman Kawia
51
Desa Antiga
Pemuka Adat
11
I Komang Naya
54
Desa Gegelang
Kepala Desa
12
I Wayan Suwita
59
Desa Gegelang
Pemuka Adat
Sumber: Hasil wawancara Data dari responden dikumpulkan oleh petugas lapangan yang sebelumnya sudah dilatih. Dalam operasinya, para petugas lapangan terlebih dahulu melakukan pendekatan kekeluargaan. Mengingat sebagian besar responden berpendidikan relatif rendah, maka untuk memperoleh data sesuai harapan, kuesioner tidak diserahkan kepada responden untuk dijawab sendiri melainkan ditanyakan langsung oleh petugas lapangan melalui wawancara terstruktur. Urutan pertanyaan yang diajukan oleh pewawancara disesuaikan dengan kondisi responden dan alur wawancara yang terbangun di antara keduanya. b. Observasi Observasi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah observasi non partisipasi. Dalam hal ini seseorang yang mengadakan observasi tidak ikut mengambil bagian dalam aktivitas masyarakat dan perikehidupan orang-orang yang diobservasi. Penerapan metode observasi nonpartisipasi dalam penelitian ini mengingat dalam metode survai petugas lapangan tidak lama bertempat tinggal di daerah penelitian sehingga tidak mungkin menerapkan metode observasi. Aspek-aspek yang diobservasi meliputi dua aspek, yaitu aspek umum dan aspek khusus. Aspek umum mencakup (1) posisi geografis;
(2) kondisi infrastruktur, (3) aktivitas ekonomi penduduk dan aspek khusus mencakup (1) karakteristik responden; (2) sikap responden terhadap kemiskinan; (3) pemberdayaan; (4) kebiasaan-kebiasaan responden.
c. Analisis isi Dalam penelitian ini dikumpulkan data melelui penelusuran terhadap dokumen-dokumen yang isinya relevan dengn materi yang dibahas
Analsis semacam ini menurut Fisher disebut content
analysis atau analisis isi. Selain hasil penelitian, jurnal, buku-buku teks dalam kajian penelitian ini juga dilakukan penelusuran terhadap peraturan-peraturan tentang penduduk dan kemiskinan maupun publikasi-publikasi lainnya melalui media cetak atau media elektronik. Cara ini ditempuh untuk memperoleh gambaran yang lebih utuh dan obyektif tentang fenomena yang diteliti untuk dibandingkan dengan data yang diperoleh melalui wawancara.
4.5.2 Data Kuantitatif Dalam penelitian ini data kuantitatif banyak dipergunakan dan bersumber dari data sekunder. Hal ini dipergunakan dengan pertimbangan bahwa analisis yang dikerjakan lebih banyak bersifat makro, terutama hal-hal yang terkait dengan perkembangan penduduk dan kemiskinan. Jenis data tersebut antara lain: gambaran umum daerah penelitian, luas lahan yang ditempati, luas garapan, luas rumah yang ditempati, rata-rata penghasilan dan rata-rata pengeluaran rumah tangga dan lama bekerja pada pekerjaan utama. Selain bersumber dari data sekunder, data kuantitatif juga dapat diperoleh dari data primer melalui wawancara terstruktur dengan menggunakan daftar pertanyaan (quetionare) yang telah dipersiapkan sebelumnya. Daftar pertanyaan yang digunakan untuk mengumpulkan data terlebih dahulu dilakukan uji coba (try out). Uji coba ini bertujuan untuk melihat efektivitas dari berbagai pertanyaan yang telah disusun dalam daftar pertanyaan dan jawaban responden terhadap pertanyaan tersebut. Bentuk dari pertanyaan ada yang berbentuk tertutup, artinya responden akan memilih salah
satu dari beberapa pertanyaan tanpa memberikan alternatif pilihan. Sedangkan pertanyaan terbuka, responden diberikan untuk menjawab dari pertanyaan-pertanyaan dalam daftar pertanyaan dengan mengisi kolom yang telah disediakan sesuai dengan alasan-alasannya. Pertanyaan ini dilakukan, sehubungan dengan sulitnya mengindentifikasi permasalahan untuk dicantumkan dalam daftar pertanyaan. 4.6
Metode Pengambilan Sampel
4.6.1 Penentuan sampel penelitian Populasi dalam penelitian ini adalah rumah tangga miskin (RTM) di dua kecamatan dan pada tahun 2010 berjumlah 10.098 RTM sedangkan jumlah total 34.898 RTM. Sampel penelitian diambil di dua kecamatan dari delapan kecamatan yang ada di Kabupaten Karangasem, yaitu Kecamatan Karangasem dan Kecamatan Manggis. Penentuan lokasi pengambilan sampel di kedua kecamatan ini berdasarkan atas : 1) Kecamatan Karangasem memiliki jumlah (8577 RTM) paling banyak dengan proporsi paling tinggi (24,58 persen) sedangkan Kecamatan Manggis memiliki jumlah rumah tangga miskin paling sedikit (1521 RTM) dengan proporsi paling rendah (4,37 persen). 2) Kedua kecamatan memiliki jumlah desa hampir sama yakni Kecamatan Karangasem (11 Desa) dan Kecamatan Manggis sebanyak (12 Desa). 3) Kedua kecamatan memiliki karakteristik wilayah dengan topografi hampir sama, dari daerah landai hingga daerah yang ketinggian melebihi 500 meter. Masing-masing Kecamatan diambil tiga desa sampel, didasari atas perbedaan karakteristik wilayah, demografi dan sosial ekonomi serta besarnya tingkat proporsi kemiskinan yang dimiliki dari masing-masing desa. Desa sampel dikelompokkan sebagai berikut: a.
Kecamatan Karangasem terdiri dari Kelurahan Karangasem, Desa Tagalinggah dan Desa Seraya Timur.
b.
Kecamatan Manggis terdiri dari Desa Gegelang, Antiga Kelodan, dan Antiga. Penelusuran terhadap kondisi kemiskinan di kedua kecamatan ini diharapkan akan dapat
memberi penjelasan tentang faktor penyebab dan upaya yang dapat dilakukan untuk keluar dari kondisi
kemiskinan tersebut. Kondisi lingkungan RT miskin yang berbeda, baik secara eksternal maupun internal dapat menyebabkan kemiskinan dengan karakteristik yang berbeda pula. 4.6.2
Pemilihan Responden Responden dalam penelitian ini adalah kepala rumah tangga. Rumah tangga miskin yang
dimaksud dalam studi ini adalah rumah tangga yang secara administratif tercatat di dusun/banjar sampel yang ditunjukkan melalui kartu KK (Kepala Keluarga). Di samping itu rumah tangga sampel yang dimaksud adalah rumah tangga yang terdiri dari ayah dan ibu beserta anak-anaknya dan keluarga dekatnya, semuanya makan dalam satu dapur. Sampel diambil secara purposive
yang
merupakan rumah tangga miskin dan berbanjar adat dan dinas di daerah target penelitian. Dari populasi berjumlah 10.098 rumah tangga miskin besarnya sampel ditentukan dengan menggunakan metode Slovin dengan tingkat kekeliruan pengambilan sampel yang ditolerir sebesar 10 % (Sedarmayanti dan Hidayat,2002) dengan rumus sebagai berikut.
n
N 1 Ne 2
Dimana; N = populasi N = ukuran sampel e = tingkat kekeliruan pengambilan sampel yang ditolerir. Menggunakan rumus tersebut, maka besarnya sampel (n) sebanyak 100 (dibulatkan) rumah tangga miskin. Perhitungannya disajikan sebagai berikut: n=
10.098 1 10.098(0,1) 2
n=
10.098 1 10.098(0,01)
n = 99,019 dibulatkan menjadi 100 Karena persyaratan SEM minimal sampel sebanyak 100 dan kasimal 200 sampel, maka diambil jalan tengah, jumlah sampel yang diambil dalam penelitian ini sebanyak 150 sampel. Dari total sampel ini
dimasing-masing kecamatan diambil sampel sebanyak 75 rumah tangga miskin. Agar memperoleh anggota sampel yang lebih merata, jumlah kepala rumah tangga tersebut selanjutnya akan didistribusikan pula secara proporsional berdasarkan jumlah RTM yang ada di masing-masing Desa di dua kecamatan tersebut seperti disajikan pada Tabel 4.3 dan Tabel 4.4.
Tabel 4.3 Distribusi RT dan RT Miskin di Kecamatan Karangasem Tahun 2010
Desa/Kelurahan
Jml RT (KK)
J Jml.RT Miskin (KK)
Proporsi
Bugbug
2.531
553
21,8
Pertima
1.769
575
32,50
Subagan
3.480
946
27,2
Padangkerta
2.283
799
35,0
Karangasem
4.681
1.548
33,07
Tumbu
1.005
198
19,7
844
634
75,1
Bukit
1.328
928
69,9
Seraya barat
1.712
808
47,2
Seraya
2.837
907
31,97
Seraya timur
1.432
681
47,55
Total
23.902
8.577
35,9
Tegallinggah
Sumber: Kecamatan dalam Angka (2010) dan data diolah
Tabel 4.4
Distribusi RT dan RT Miskin di Kecamatan Manggis Tahun 2010 Desa/Kelurahan
Jml RT (KK)
JJml.RT Miskin (KK)
Proporsi
Antiga
1.385
232
16,75
Gegelang
1.508
196
12,99
Padangbai
769
96
12,48
Ulakan
1.140
113
9,91
Manggis
1.291
173
11,37
Selubung
1.829
152
8,31
Ngis
587
67
11,41
Nyuhtebel
582
75
12,87
Tenganan
1.203
123
10,22
Antiga Kelod
1.027
183
17,82
Sengkidu
590
54
9,15
Pesedahan
506
57
11,26
1.521
12,25
Total
12.407
Sumber: Kecamatan dalam Angka (2010) dan data diolah Dari jumlah rumah tangga miskin di masing-masing kecamatan diambil masing-masing tiga desa. Pengambilan tiga desa ini didasari atas karakteristik wilayah, demografi dan sosial ekonomi serta pertimbangan atas a) sebagai pusat pemerintahan yang memiliki jumlah rumah tangga miskin paling banyak, b) sebagai daerah perbatasan, dan c) sebagai daerah lokasinya paling jauh dengan pusat pemerintahan. Distribusi sampel masing-masing Desa/Kelurahan di Kecamatan Karangasem dan Kecamatan Manggis dapat disajikan pada pada Tabel 4.4. Berdasarkan jumlah sampel pada masing-masing desa, selanjutnya akan ditentukan responden sasaran secara purposive, yaitu menyasar rumah tangga yang menjadi anggota banjar adat setempat.
Hal ini sesuai dengan salah satu tujuan penelitian yaitu menjelaskan karakteristik rumah tangga miskin di Kabupaten Karangasem Tabel 4.5 Distribusi Sampel di Masing-masing Kecamatan dan Desa/Kelurahan Karangasem Desa/Kelurahan Jumlah Jumlah Desa/Kelurahan Jumlah Jumlah RTM Sampel RTM Sampel Karangasem
1.541
40
Antiga
232
29
Tegalinggah
634
17
Gegelang
186
24
Seraya Timur
672
18
Antiga kelod
176
22
2. 847
75
Total
594
75
Total
Sumber: Hasil olahan 4.7 Kerangka Analisis Dalam penelitian ini dilakukan beberapa metode analisis, yaitu statistic deskriptif, analisis jalur (path analysis) dengan menggunakan SPSS. Analisis faktor digunakan untuk memperoleh skor faktor dari variabel laten yang dibentuk oleh variabel indikator. 4.7.1 Analisis Deskriptif Penerapan statistik deskriptif dalam penelitian ini antara lain perhitungan rata-rata, standar deviasi, tabel-tabel, gambar-gambar dan sebagainya yang dibuat atau dihitung dengan paket program SPSS dan Excel. 4.7.2 Model Persamaan Struktural (SEM) Model Persamaan Struktural atau Structural Equation Modeling (SEM) adalah teknik-tehnik statistika yang memungkinkan pengujian suatu rangkaian hubungan yang relatif kompleks secara simultan. Hubungan yang kompleks dapat dibangun antara satu atau beberapa variabel dependen dengan satu atau beberapa variabel independen. Mungkin juga terdapat suatu variabel yang berperan ganda yaitu sebagai variabel independen pada suatu hubungan, namun menjadi variabel dependen pada
hubungan lain mengingat adanya hubungan kausalitas yang berjenjang. Masing-masing variabel dependen dan independen dapat berbentuk faktor (atau konstruk, yang dibangun dari beberapa variabel indikator). Demikian juga bisa saja diantara variabel-variabel itu dapat berbentuk sebuah variabel tunggal yang diobservasi atau yang diukur langsung dalam sebuah proses penelitian. Model Persamaan Struktural semacam itu telah dikenal luas dalam penelitian-penelitian sosial melalui berbagai nama antara lain: causal modeling, causal analysis, simulataneous equation modeling atau analisis struktur kovarians. Seringkali SEM juga disebut sebagai Path Analysis atau Confirmatory Factor Analysis, karena sesungguhnya kedua nama ini adalah jenis-jenis SEM yang khusus. Model penelitian melalui SEM memungkinkan seorang peneliti dapat menjawab pertanyaan penelitian yang bersifal regresif maupun dimensional (yaitu mengukur apa dimensi-dimensi dari sebuah konsep). Pada saat seorang peneliti menghadapi pertanyaan penelitian berupa identifikasi dimensi-dimensi sebuah konsep atau konstruk dan pada saat yang sama peneliti ingin mengukur pengaruh atau derajat hubungan antar faktor yang telah diidentifikaskan dimensi-dimensinya itu. SEM memberikan alternatif jawaban yang layak. Itulah sebabnya dapat dikatakan bahwa pada dasarnya SEM adalah kombinasi antara analisis faktor dan analisis regresi berganda. 4.7.3 Langkah-langkah Pemodelan SEM Sebuah pemodelan SEM yang lengkap pada dasarnya terdiri dari Measurement Model dan Structural Model. Measurement Model atau Model Pengukuran ditujukan untuk mengkonfirmasi sebuah dimensi atau faktor berdasarkan indikator-indikator empirisnya. Structural Model adalah model mengenai struktur hubungah yang membentuk atau menjelaskan kausalitas antara faktor. Untuk membuat pemodelan yang lengkap beberapa langkah berikut ini perlu dilakukan. 1) Pengembangan model berbasis teori. 2) Pengembangan diagram jalur untuk menunjukkan hubungan kausalitas. 3) Konversi diagram alur kedalam serangkaian persamaan struktural dan pengukuran.
spesifikasi model
4) Pemilihan matriks input dan tehnik estimasi atas model yang dibangun. 5) Menilai problem identifikasi. 6) Evaluasi model.
,
7) Interpretasi dan Modifikasi model. Masing-masing langkah itu akan diuraikan pada bagian berikut ini. 1) Langkah pertama: Pengembangan Model Teoritis Langkah pertama dalam pengembangan model SEM adalah pencarian atau pengembangan sebuah model yang mempunyai justifikasi teoretis yang kuat. Azis (2006) dalam penelitiannya tentang kemiskinan menyimpulkan bahwa karakteristik rumah tangga seperti jumlah anggota rumah tangga, pendidikan, kesehatan, dan keberadaan rumah tangga berhubungan dengan kemiskinan. Dengan melakukan telaah terhadap berbagai literatur mengenai teori-teori baku dan pengembangan pengembangan baru dalam bidang demografis khususnya masalah kemiskinan, diperoleh justifikasi bahwa: a.
Kapasitas rumah tangga miskin berpengaruh terhadap sikap untuk keluar dari kemiskinan;
b.
Kapasitas rumah tangga miskin yang terdiri dari tingkat pendidikan yang dicapai, jumlah anggota rumah tangga, jumlah beban tanggungan, besarnya pendapatan yang diterima serta jumlah kepemilikan atas aset berpengaruh terhadap keberdayaan rumah tangga miskin;
c.
Budaya berpengaruh terhadap sikap rumah tangga untuk keluar dari kemiskin;
d.
Budaya berpengaruh terhadap keberdayaan rumah tangga miskin;
e.
Upaya pemberdayaan berpengaruh terhadap sikap rumah tangga untuk keluar dari kemiskinan;
f.
Pemberdayaan berpengaruh terhadap keberdayaan rumah tangga miskin;
g.
Sikap terhadap kemiskinan berpengaruh terhadap keberdayaan rumah tangga miskin.
2) Langkah kedua: Pengembangan diagram alur (Path diagram)
Berdasarkan model teoretis yang telah diuraikan pada langkah pertama di atas, sebuah path diagram dapat dikembangkan, seperti yang dinyatakan dalam Gambar 4.2.
X11
1
X12
1
X13
1
Kapasitas RTM (X1)
X31
X32
X33
X34
1
1
1
1 Y21
Pemberdayaan (X3)
Y22
X14
1
X15
Keberdayaan (Y2)
1 X21 X22 X23
Budaya (X2)
Y23
Y24
X24
Y25
Sikap thd kemiskina n (Y1) Gambar 4.2. Diagram Jalur Penanggulangan Kemiskinan di Kabupaten Karangasem. Y11 Y12 Y13 Y14 Y15
Y16
3) Langkah ketiga: Konversi diagram alur kedalam persamaan Setelah teori atau model teoretis dikembangkan dan digambarkan dalam sebuah diagram alur, peneliti dapat mulai mengkonversi spesifikasi model tersebut ke dalam rangkaian persamaan. Persamaan yang dibangun antara lain meliputi:
i)
Persamaan-persamaan struktural (structural equations). Persamaan ini dirumuskan untuk menyatakan hubungan kausalitas antar berbagai konstruk. Persamaan struktural pada dasarnya dibangun dengan pedoman berikut ini. Y1 = β1 X1 + β2X2 + β3X3 + z1 ......................................................(01) Y2 = β4 X1 + β5X2 + β6X3 + β7 Y1 + z2 ...............................................(02) Keterangan: X1 = Kapasitas rumah tangga miskin X2 = Pemberdayaan X3 = Budaya Y1 = Sikap untuk keluar dari kemiskinan Y2 = Keberdayaan rumah tangga miskin Z = Kesalahan struktural (Structural error)
ii) Persamaan spesifikasi model pengukuran (measurement model). Pada spesifikasi bertujuan menentukan serangkaian matriks yang menunjukkan, korelasi yang dihipotesakan antara konstruk dengan variabel indikator. a.
Persamaan untuk Measurement Model konstruk Kapasitas RTM. Model pengukuran faktor kapasitas rumah tangga mengacu pada tulisan Faturrochman dan Molo (1994) Kuncoro (1997); Adriwardhana (2009); Rachel (2011); hasil penelitian Hedler dan ferrira (2007) dibentuk melalui 5 (lima) indikator seperti disajikan dalam dalarn Gambar 4.3 sebagai berikut:
Gambar 4.3. Model Pengukuran Variabel Kapasitas Rumah Tangga Gambar model pengukuran variabel kapasitas rumah tangga di atas dapat dikonversi menjadi persamaan berikut: X11 = λ1 X1 + e11 .......................................................................(03) X12 = λ1 X1 + e12 .......................................................................(04) X13 = λ1 X1 + e13 .......................................................................(05) X14 = λ1 X1 + e14 .......................................................................(06) X15 = λ1 X1 + e15 .......................................................................(07) Keterangan : X1 = Kapasitas rumah tangga X11 = Pendidikan X12 = Jumlah anggota keluarga X13 = Jumlah tanggungan X14 = Pendapatan X15 = Pemilikan aset e = Kesalahan pengukuran (measurement error)
b.
Persamaan untuk Measurement Model atau model pengukuran konstruk budaya. pengukuran faktor budaya
Model
mengacu pada hasil penelitian Satriawan (2008); Rana dan
Tasmin (2009); William dalam Marini (2006); Stewart (Kuncoro,1997), Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa (2011); Rahayuningsih (Mussawir,2009); Farkas dan George (1997); dibentuk melalui 4 (empat) indikator seperti disajikan pada Gambar 4.4.
e21
X21
e21
X22
e21
X23
e21
X24
Budaya (X2)
Gambar 4.4. Model Pengukuran Variabel Budaya Gambar model pengukuran variabel budaya di atas dapat dikonversi menjadi persamaan berikut: X21 = λ1 X2 + e21 .....................................................................(11) X22 = λ1 X2 + e22 .....................................................................(12) X23 = λ1 X2 + e23 .....................................................................(13) X24 = λ1 X4 + e24 .....................................................................(14) Keterngan X21 = Rendah diri X22 = Malas X23 = Pasrah X24 = Prilaku konsumtif; e c.
= Kesalahan pengukuran (measurement error).
Persamaan untuk Measurement Model atau model pengukuran konstruk
pemberdayaan.
Model pengukuran faktor pemberdayaan mengacu pada tulisan Pearse dan Stiefel (Prijono
dan Pranarka, 1996); Wriatnolo dan Riant Nugroho (2007) dan Binediktus (2010), dibentuk melalui 4 (empat) indikator seperti disajikan pada Gambar 4.5.
e31
e32
e33
e34
X31
X32
X33
X34
Pemberdayaan (X3) Gambar 4.5. Model Pengukuran Variabel Pemberdayaan Gambar model pengukuran variabel pemberdayaan di atas dapat dikonversi menjadi persamaan berikut: X31 = λ1 X3 + e31 ......................................................................(15) X32 = λ1 X3 + e32 ......................................................................(16) X33 = λ1 X3 + e33 ......................................................................(17) X34 = λ1 X3 + e34 ......................................................................(18) Keterangan : X31 = Penyadaran X32 = Pengkapasitasan X33 = Pendayaan X34 = Kontinyuitas E
= Kesalahan pengukuran (measurement error)
d. Persamaan untuk Measurement Model atau model pengukuran konstruk
Sikap. Model
pengukuran faktor sikap untuk keluar dari kemiskinan mengacu pada tulisan Goldon Sonhaji (2006); Alport (Assael, 2004); Fishbein dan Azjen (1975); Schiffman dan Kanuk (2007); Assael (2004); Rahayuningsih (Mussawir, 2009); Tricahyono (2010); Chiljon dan Eddy Papilaya (2006); Blonquist (2002) dibentuk melalui 6 ( enam) indikator disajikan dalam Gambar 4.6.
Sikap RTM (Y1)
1
Y11
Y12
1 e41
1 e42
Y13
Y14
e43
e44
1
Y15
Y16
e45
e46
1
Gambar 4.6. Model Pengukuran Variabel Sikap untuk Keluar dari Kemiskinan Gambar model pengukuran variabel Sikap di atas dapat dikonversi menjadi persamaan berikut: Y11 = = λ1 Y1 + e41 ...................................................................(19) Y12 = = λ1 Y1 + e42 ..................................................................(20) Y13 = = λ1 Y1 + e43 ...................................................................(21) Y14 = = λ1 Y1 + e44 ..................................................................(22) Y15 = = λ1 Y1 + e45 ..................................................................(23) Y16 = = λ1 Y1 + e46 ..................................................................(24)
Keterangan : Y11 = Keyakinan kondisi dapat dirubah Y12 = Kemiskinan bukan takdir Y13 = Tidak senang terhadap kemiskinan Y14 = Senang bisa keluar dari kemiskinan Y15 = Niat yang kuat untuk keluar dari kemiskinan Y16 = Bersedia keluar dari kemiskinan e = Kesalahan pengukuran (measurement error).
e. Persamaan untuk Measurement Model atau model pengukuran konstruk keberdayaan. Model pengukuran faktor keberdayaan
mengacu pada hasil penelitian Rachel (2011), Suyono
(2002); William (Marini, 2006); Chairuman (2002); Handoko (2003); Marhaeni (2011) dibentuk melalui 5 (lima) indikator digambarakan pad Gambar 4.7.
1 e51
Y21
1 1 Keberdayaan RTM (Y2)
e52
Y22
1 Y23
e53
1 Y24
e54
Y25
e55
Gambar 4.7. Model Pengukuran Variabel Keberdayaan Gambar model pengukuran variabel keberdayaan di atas dapat dikonversi menjadi persamaan berikut:
Y21 = = λ1 Y2 + e41 ....................................................................(25) Y22 = = λ1 Y2 + e42 ...................................................................(26) Y23 = = λ1 Y2 + e43 ....................................................................(27) Y24 = = λ1 Y2 + e44 ....................................................................(28) Y25 = = λ1 Y2 + e45 ....................................................................(29) Keterangan : Y21 = Peningkatan pengetahuan/keterampilan Y22 = Peningkatan aksesibilitas Y23 = Peningkatan partisipasi Y24 = Peningkatan keragaman dan kualitas produk yang dibeli Y25 = Peningkatan aset e = Kesalahan pengukuran (measurement error).
4) Langkah keempat : Memilih Matriks Input dan Estimasi Model Perbedaan SEM dengan teknik-teknik multivariat lainnya adalah dalam input data yang digunakan dalam permodelan dan estimasinya. SEM hanya menggunakan matriks Varians/Kovarians atau matriks korelasi sebagai data input untuk keseluruhan estimasi yang dilakukannya. Input-input ini akan dikonversi kedalam bentuk matriks kovarians atau matriks korelasi sebelum estimasi dilakukan. SEM hanya menggunakan matrik varian/kovarian atau matrik korelasi sebagai data input untuk keseluruhan estimasi yang dilakukan. Matrik korelasi mempunyai rentang yang sudah umum dan tertentu yaitu 0 sampai dengan ±1 dan karena itu memungkinkan untuk melakukan perbandingan yang langsung antara koefisien dalam model. Matrik kovarian umumnya lebih banyak digunakan dalam penelitian mengenai hubungan seperti direkomendasi oleh Baumgartner dan Homburg (Ferdinand, 2002:34), sebab stándard error yang dilaporkan dari berbagai penelitian, umumnya menunjukkan angka yang kurang akurat bila matrik korelasi digunakan sebagai input. Pada penilitian ini pengolahan dilakukan dengan bantuan program komputer yaitu AMOS, yang merupakan salah satu program yang handal untuk analisis model kausalitas. Karena jumlah sampel dalam penelitian ini berada antara 100 sampai dengan 200, maka teknik analisis yang dipilih adalah Maximum Likelihood Estimation (ML) dan Generalized Least Square Estimation (GLS). 5) Langkah kelima : Kemungkinan munculnya masalah Identifikasi
Masalah identifikasi pada prinsipnya adalah masalah mengenai ketidakmampuan dari model yang dikembangkan untuk menghasilkan estimasi yang unik. Masalah identifikasi dapat muncul melalui gejala-gejala sebagai berikut : a)
Standard error untuk satu atau beberapa koefisien adalah sangat besar.
b) Program tidak mampu menghasilkan matrik informasi yang seharusnya disajikan. c)
Muncul angka-angka yang aneh seperti adanya varians error yang negatif.
d) Munculnya korelasi yang sangat tinggi antar koefisien estimasi yang didapat misalnya lebih dari 0,9. 6) Langkah 6: Evaluasi Kriteria Goodness-of-fit Pada langkah ini kesesuaian model dievalusi, melalui telaah terhadap berbagai kriteria goodness-of-fit. Untuk itu tindakan pertama yang dilakukan adalah mengevaluasi apakah data yang digunakan dapat memenuhi asumsi- asumsi SEM. Bila asumsi ini sudah dipenuhi, maka model dapat diuji melalui berbagai cara uji yang akan diuraikan pada bagian ini. Pertama-tama akan diuraikan di sini mengenai evaluasi atas asumsi asumsi SEM yang harus dipenuhi. Asumsi-Asumsi SEM Asumsi-asumsi yang harus dipenuhi dalam prosedur pengumpulan dan pengolahan data yang dianalisis dengan pemodelan SEM adalah sebagai berikut: (1) Ukuran Sampel Ukuran sampel yang harus dipenuhi dalam pemodelan ini adalah minimum berjumlah 100 dan selanjutnya menggunakan perbandingan 5 observasi untuk setiap indikator. Oleh karena karena itu bila dikembangkan model dengan 24 indikator, maka minimum sampel yang harus digunakan adalah sebanyak 120 sampel. (2) Normalitas dan Linearitas. Sebaran data harus dianalisis untuk melihat apakah asumsi normalitas dipenuhi sehingga data dapat diolah lebih lanjut untuk pemodelan SEM ini. Normalitas dapat diuji dengan melihat gambar
histogram data atau dapat diuji dengan metode-metode statistik. Uji normalitas ini perlu dilakukan baik untuk normalitas terhadap data tunggal maupun normalitas multivariat dimana beberapa variabel digunakan sekaligus dalam analisis akhir. Uji linearitas dapat dilakukan dengan mengamati scatterplots dari data yaitu dengan memilih pasangan data dan dilihat pola penyebarannya untuk menduga ada tidaknya linearitas.
(3) Outliers Outliers adalah observasi yang muncul dengan nilai-nilai ekstrim baik secara univariat maupun multivariat yaitu yang muncul karena kombinasi kharakteristik unik yang dimilikinya dan terlihat sangat jauh berbeda dari observasi-observasi lainnya. Dapat diadakan treatment khusus pada outliers ini asal diketahui bagaimana munculnya outliers itu. Outlier pada dasarnya dapat muncul dalam empat kategori. Pertama, outliers muncul karena kesalahan prosedur seperti kesalahan dalam memasukkan data atau kesalahan dalam mengkoding data. Misalnya nilai 7 diketik 70 sehingga jauh berbeda dengan nilai-nilai lainnya dalam sebuah rentang jawaban responden antara 1 - 10. Bila hal semacam ini lolos dapat supervisi pengetikan data untuk pengolahan melalui komputer, maka angka 70 dapat menjadi sebuah nilai ekstrim. Kedua, outliers, dapat saja muncul karena keadaan yang benar-benar khusus yang memungkinkan profil datanya lain daripada yang lain, tetapi peneliti mempunyai penjelasan mengenai apa penyebab munculnya nilai ekstrim itu. Misalnya pertumbuhan wisatawan yang negatif karena adanya dampak tragedi bom Bali. Ketiga, outliers dapat muncul karena adanya sesuatu alasan tetapi peneliti tidak dapat mengetahui apa penyebabnya atau tidak ada penjelasan mengenai sebab-sebab munculnya nilai ekstrim itu. Contohnya, sama dengan survey pendapat mengenai asap rokok tadi pada responden ibu-ibu tidak hamil dan tidak merokok, dimana datanya menunjukkan hanya ada 1 orang ibu yang sangat senang
dengan asap rokok, tetapi bila ditanya mengapa, ia tidak tahu apa alasannya, "pokoknya senang". Jawaban ini akan menjadi outliers, dimana peneliti tidak tahu penyebab munculnya nilai ekstrim itu. Keempat, outliers dapat muncul dalam range nilai yang ada, tetapi bila dikombinasi dengan variabel lainnya, kombinasinya menjadi tidak lazim atau sangat ekstrim. Inilah yang disebut dengan multivariate outliers. (4) Multicollinearity dan singularity Multikolinearitas dapat dideteksi dari determinan matriks kovarians. Nilai determinan matriks kovarians yang sangat kecil (extremely small) memberi indikasi adanya problem multikolinearitas atau singularitas. Pada umumnya program-program komputer SEM telah menyediakan fasilitas "warning", setiap kali terdapat indikasi multikolinearitas atau singularitas. Bila muncul pesan itu, telitilah ulang data yang digunakan untuk mengetahui apakah terdapat kombinasi linear dari variabel yang dianalisis. Perlakukan data (data treatment) yang dapat diambil adalah keluarkan variabel yang menyebabkan singularitas itu. Bila singularitas dan multikolinearitas ditemukan dalam data yang dikeluarkan itu, salah satu treatment yang dapat diambil adalah dengan menciptakan "composite variables", lalu gunakan composite variables itu dalam analisis selanjutnya. Setelah asumsi asumsi SEM dilihat, hal berikutnya adalah menentukan kriteria yang akan digunakan untuk mengevaluasi model dan pengaruh-pengaruh yang ditampilkan dalam model, yang diuraikan pada bagian berikut ini. 7) Langkah 7. Uji Kesesuaian & Uji Statistik Dalam analisis SEM tidak ada alat uji statistik tunggal untuk mengukur atau menguji hipotesis mengenai model (Hair dalam Ferdinand 2002 ) umumnya terhadap berbagai jenis fit index yang digunakan untuk mengukur derajad kesesuaian antara model yang dihipotesiskan dengan data yang disajikan. Peneliti diharapkan untuk melakukan pengujian dengan menggunakan beberapa fit index untuk mengukur 'kebenaran" model yang diajukannya. Beberapa indeks kesesuaian dan nilai cutoff yang digunakan dalam menguji apakah sebuah model dapat diterima atau ditolak.
(1) Chi Square Statistic ( ) 2
Chi-square statistic merupakan alat uji paling fundamental untuk mengukur overall fit. Chisquare ini bersifat sangat sentitif terhadap besarnya sampel yang digunakan. Karena itu bila jumlah sampel adalah cukup besar yaitu lebih dari 200 sampel, maka statistik chi-square ini harus didampingi oleh alat uji lainnya, Model yang diuji akan dipandang baik atau memuaskan bila nilai chi-squarenya rendah. Semakin kecil nilai
2
semakin baik model itu (karena dalam uji beda chi-square,
2 = 0,
berarti benar-benar tidak ada perbedaan, H0 diterima) dan diterima berdasarkan probabilitas dengan cutoff value sebesar p> 0.05 atau p> 0.10 (Hulland et al, 1996, dalam Ferdinand 2002). Karena tujuan analisis adalah mengembangkan dan menguji sebuah model yang sesuai dengan data atau yang fit terhadap data, maka yang dibutuhkan justru sebuah nilai
2
yang tidak
signifikan, yang menguji hipotesa nol bahwa estimated population covarince tidak sama dengan sample covariance. Nilai
2
untuk mendapatkan nilai
2
ini dapat juga dibandingkan dengan degrees of freedom (derajat bebas) relatif, dan digunakan untuk membuat kesimpulan bahwa nilai
2
relatif yang tinggi menandakan adanya perbedaan yang signifikan antara matriks kovarians yang diobservasi dan yang diestimasi. Dalam pengujian ini nilai
2
yang rendah yang menghasilkan sebuah tingkat signifikansi
yang lebih besar dari 0.05 akan mengindikasikan tak adanya perbedaan yang signifikan antara matriks kovarians data dan matriks kovarians yang diestimasi Seperti dikemukakan diatas, chi-square bersifat sangat sensitive terhadap besarnya sampel yaitu terhadap sampel yang telalu kecil (n<50) maupun terhadap sampel yang terlalu besar (n>50). Oleh karena itu penggunaan chi-square hanya sesuai bila ukuran sampel adalah antara 100 dan 200 sampel. Bila ukuran sampel ada diluar rentang itu, uji signifikansi akan menjadi kurang reliabel. Oleh karena itu pengujian ini perlu dilengkapi dengan alat uji yang lainnya.
(2) RMSEA (The Root Mean Square Error of Approximation) RMSEA adalah sebuah indeks yang dapat digunakan untuk mengkompensasi chi-square statistic dalam sampel yang besar. Nilai RMSEA menunjukkan goodness-of-fit yang dapat diharapkan bila model diestimasi dalam populasi (Hair et al. dalam, Ferdinand.A.2002). Nilai RMSEA yang lebih kecil atau sama dengan 0,08 merupakan indeks untuk dapat diterimanya model yang menunjukkan sebuah close fit dari model itu berdasarkan degrees of freedom (Browne, M.W & Cudeck, R.1993, dalam Ferdinand 2002). (3) GFI (Goodness of Fit Index) Indeks kesesuaian (fit index) ini akan menghitung proposi tertimbang dari varians dalam matriks kovarians sampel yang dijelaskan oleh matriks kovarians populasi yang terestimasikan (Tanaka, J. S & Huba, Ferdinand.A.2002 ). GFI adalah sebuah ukuran non-statistikal yang mempunyai rentang nilai antara 0 (poor fit) sampai dengan 1.0 (perfect fit). Nilai yang tinggi dalam indeks ini menunjukkan sebuah 'better fit". (4) AGFI (Adjusted Goodness-of-Fit Index) Tanaka & Huba (dalam Ferdinand.A.2002) menyatakan bahwa GFI adalah anjlog dari R2 dalam regresi berganda. Fit Index ini disesuaikan terhadap degress of freedom yang tersedia untuk menguji diterima tidaknya model (Arbuckle, J.L. Ferdinand.A.2002). Indeks ini diperoleh dengan rumus sebagai berikut.
AGFI 1 (1 GFI )
db ........................................................ (4.1) d
Di mana: db adalah jumlah sampel moment, sedangkan d adalah degrre of freedom. Menurut Hair et al. dan Hulland et al. (dalam Ferdinand.A.2002) bahwa tingkat penerimaan yang direkomendasikan adalah bila AGFI mempunyai nilai sama dengan atau lebih besar dari 0,90. Perlu diketahui bahwa baik GFI maupun AGFI adalah kriteria yang memperhitungkan proporsi tertimbang dari varians dalam sebuah matriks kovarians sampel, Nilai sebesar 0.95 dapat diinterpretasikan sebagai
tingkatan yang baik-good overall model fit (baik) sedangkan besaran nilai antara 0.90 - 0.95 menunjukkan tingkatan cukup-adequate fit. (5) CMIN/DF Indeks fit ini merupakan the minimum sample discrepancy function (CMIN) dibagi dengan degree of freedomnya akan menghasilkan indeks CMIN/DF. Umumnya para peneliti melaporkannya sebagai salah satu indikator untuk mengukur tingkat fitnya sebuah model. Dalam hal ini CMIN/DF tidak lain adalah statistik chi-square,
2 dibagi
DFnya sehingga disebut chi square relatif. Nilai
2 relatif kurang dari 2.0 atau bahkan kadang kurang dari 3.0 menunjukkan
antara model dan data fit
(Arbuckle, 1997 dalam Ferdinand 2002). Selain indeks-indeks yang dibahas sebelumnya, dalam evaluasi pemodelan SEM, terdapat beberapa indeks yang merupakan pembandingan terhadap sebuah model yang lain, yang disebut baseline model. Dalam output AMOS terdapat dua model baseline yang tersajikan bersama dengan model yang dianalisis (disebut default model) yaitu: 1) Saturated Model: Model ini diprogram dengan jumlah parameter yang diestimasi sama dengan jumlah "distinct sample moments"nya, sehingga diperoleh degrees of fredom sebesar nol. Karena itu saturated model akan menghasilkan chi-square = 0.00 dan df = 0. Itulah sebabnya saturated model disebut juga full atau perfect model. Dalam saturated model tidak ada constraints yang ditempatkan dalam moments populasi. Dengan chi-square sebesar 0.00, berarti saturated model akan menghasilkan
sebuah "perfect fit" terhadap data manapun yang digunakan.
2) Independence Model: Model ini diprogram sebagai sebuah model dimana semua variabelnya dibuat tidak berkorelasi (uncorrelated). Dalam model ini jumlah parameter sama dengan jumlah variabel yang diobservasi. Sebagai kebalikan dari saturated model, dalam independence model, semua variabel yang diobservasi diasumsikan tidak berkorelasi satu sama yang lain. Karena itu dapat dibayangkan bahwa hasil dari model independens ini adalah "poor fit" terhadap satu set data yang digunakan. Dengan kata lain, chi-square yang dihasilkan akan menjadi sangat besar.
Indeks-indeks yang dapat digunakan untuk mengukur kesesuaian model yang dianalisis dibandingkan dengan sebuah baseline model adalah sebagai berikut: (6) TLI (Tucker Lewis Index) TLI merupakan sebuah alternatif incremental fit index yang membandingkan sebuah model yang diuji terhadap sebuah baseline model .
Nilai
yang
direkomendasikan sebagai acuan untuk
diterimanya sebuah model adalah penerimaan > 0.95 dan nilai yang sangat mendekati 1 menunjukkan a very good fit (Arbuckle, 1997, dalam Ferdinand 2002). Indeks ini diperoleh dengan rumus sebagai berikut:
Cˆ Cˆ Cˆ TLI b / b 1..............................................................(4.2) db d db Dimana C adalah diskrepansi dari model yang dievaluasi dan d adalah degrees of freedom, sementara Cb dan db adalah diskrepansi dan degrees of freedom dari baseline model yang dijadikan pembanding. (7) CFI (Comparative Fit Index) Indeks ini mempunyai rentang nilai antara 0 sampai dengan 1. Semakin mendekati 1, mengindikasikan adanya a very good fit (Arbuckle, 1997 dalam Ferdinand.A.2002). direkomendasikan adalah CFI > 0,95.
Nilai
yang
Indeks ini adalah bahwa indeks ini besarannya tidak
dipengaruhi oleh ukuran sampel karena itu sangat baik untuk mengukur tingkat penerimaan sebuah model. Indeks CFI adalah identik dengan Relative Noncentrality Index (RNI) dari MC.Donald dan Marsh (dalam Ferdinand.A.2002),yang diperoleh dari rumus berikut ini:
CFI RNI 1
Cd .................................................................(4.3) Cb d b
Dimana C adalah diskrepansi dari model yang dievaluasi dan d adalah degrees of freedom, sementara Cb dan db adalah diskrepansi dan degrees of
freedom dari baseline model yang
dijadikan pembanding. Dalam penilaian model, indeks TLI dan CFI sangat dianjurkan untuk digunakan karena indeks indeks ini relatif tidak sensitif terhadap besarnya sampel dan kurang dipengaruhi pula oleh kerumitan model (Hulland et al., 1996 dalam Ferdinand 2002). Dengan
demikian
indeks-indeks
yang dapat
digunakan untuk menguji kelayakan sebuah model adalah seperti yang diringkas dalam Tabel 4.6. Tabel 4.6 Indeks Kesesuaian (Goodnes Of-Fit Index) Goodness of fit index X2-Chi Square
Cut-off Value Diharapkan kecil
Significance Probability
≥ 0,05
RMSEA
≤ 0,08
GFI
≥ 0,90
AGFI
≥ 0,90
CMIN / DF
≤ 2,00
TLI
≥ 0,95
CFI
≥ 0,95
8) Langkah 8. Uji Reliabilitas Setelah melakukan kesesuaian model diuji (model fit), evaluasi lain yang harus dilakukan adalah penilaian unidimensionalitas dan reliabilitas. Unidimensionalitas adalah sebuah asumsi yang digunakan dalam menghitung reliabilitas dari model yang menunjukkan bahwa dalam sebuah model satu dimensi, indikator indikator yang digunakan memiliki derajat kesesuaian yang baik. Penggunaan ukuran ukuran reliabilitas seperti α-Cronbach, tidak mengukur unidimensionalitas, melainkan
mengasumsikan bahwa unidimensionalitas itu sudah ada pada waktu α-Cronbach dihitung. Karena itu peneliti dianjurkan untuk melakukan uji unidimensionaltas terhadap semua konstruk konstruk multiindikator, sebelum menilai reliabilitasnya. Pendekatan yang dianjurkan dalam menilai sebuah model pengukuran (measurement model) adalah menilai besaran composite reliability serta variance extracted dari masing masing konstruk. Reliabilitas adalah ukuran mengenai konsistensi internal dari indikator indikator sebuah konstruk yang menunjukkan derajad sampai dimana masing masing indikator itu mengindikasikan sebuah konstruk/faktor laten yang umum. Dengan kata lain bagaimana hal hal yang spesifik saling membantu dalam menjelaskan sebuah fenomena yang umum. Construct reliability diperoleh melalui rumus berikut ini:
Construct reliability
=
(∑ Std. Loading)2
……………(4.4)
(∑ Std. Loading)2 + ∑εj dimana: Standardize loading diperoleh langsung dari standaridzed loading untuk tiap tiap indikator εj adalah measurement error dari tiap-tiap indikator. Batas nilai yang digunakan untuk menilai sebuah tingkat reliabilitas yang dapat diterima adalah 0,70, walaupun angka itu bukanlah sebuah ukuran yang "mati". Artinya, bila penelitian yang dilakukan bersifat eksploratori, maka nilai di bawah 0,70 pun masih dapat diterima sepanjang disertai dengan alasan-alasan empirik yang terlihat dalam proses eksplorasi. 9 Langkah 9: Interpretasi dan Modifikasi Model Langkah terakhir adalah menginterpretasikan model dan memodifikasikan model bagi modelmodel yang tidak memenuhi syarat pengujian yang dilakukan. Setelah model diestimasi, residualnya
haruslah kecil atau mendekati nol dan distribusi frekwensi dari kovarians residual harus bersifat simetrik (Tabachnick dan Fidell,1 996, dalam Ferdinand 2002). Dalam konteks SEM, residual yang dimaksud bukanlah residual dari score seperti pada pemodelan multivariat lainnya, melainkan merupakan residual dari kovarians. Semua program komputer SEM menghasilkan diagnosa terhadap residual ini. Distribusi frekwensi dari residual yang tidak semetris merupakan signal atas sebuah model yang kurang baik - a poorly-fitting model dan menunjukkan bahwa dalam proses estimasi, model telah mengestimasi beberapa kovarias secara memuaskan tetapi kovarians yang lainnya kurang begitu baik diestimasi. Hair, dkk (dalam Ferdinand 2002) memberikan sebuah pedoman untuk mempertimbangkan perlu tidaknya modifikasi sebuah model yaitu dengan melihat jumlah residual yang dihasilkan oleh model. Batas keamanan untuk jumlah residual adalah 5%. Bila jumlah residual lebih besar dari 5% dari semua residual kovarians yang dihasilkan oleh model, maka sebuah modifikasi mulai perlu dipertimbangkan. Selanjutnya bila ditemukan bahwa nilai residual yang dihasilkan oleh model itu cukup besar (> 2.58), maka cara lain dalam memodifikasi adalah dengan mempertimbangkan untuk menambah sebuah, jalur baru terhadap model yang diestimasi itu. Modifikasi yang mungkin terhadap sebuah model yang diuji dapat dilakukan dengan pertama kali menguji standardized residual yang dihasilkan oleh model itu. Cut-off value sebesar 2,58 (Hair et al., 1998; Joreskog, 1993, dalam Ferdinand, 2002) dapat digunakan untuk menilai signifikan tidaknya residual yang dihasilkan oleh model. Nilai residual yang lebih besar atau sama dengan ±2.58 diinterpretasikan sebagai signifikan secara statistik pada taraf 5%, dan residual yang signifikan ini menunjukkan adanya prediction error yang substansial untuk sepasang indikator. Bagaimana modifikasi dapat dilakukan, peneliti dapat menggunakan bantuan indeks modifikasi. Salah satu alat untuk menilai ketepatan sebuah model yang telah dispesifikasi adalah melalui modification index, yang dikalkulasi oleh program untuk masing-masing hubungan antar variabel yang tidak diestimasi. Indeks modifikasi memberikan gambaran mengenai rnengecilnya nilai chi-square atau pengurangan nilai chi-square bila sebuah koefisien diestimasi. Sebuah indeks modifikasi sebesar
4.0 (Arbuckle 1999, Hair dkk, 1998, dalam Ferdinand (2002) atau bahkan lebih besar dari itu memberikan indikasi bahwa bila koefisien itu diestimasi, maka akan terjadi pengecilan nilai chi-square yang signifikan. Perlu diingat bahwa dalam memperbaiki tingkat kesesuaian dengan cara memodifikasi modelnya harus didukung dan dijustifikasi dengan pertimbangan teoretis yang cukup. BAB V HASIL PENELITIAN
5.1 Gambaran Umum Daerah Penelitian Kabupaten Karangasem merupakan satu dari delapan kabupaten di Provinsi Bali, terletak di ujung timur Pulau Bali. Wilayah Kabupaten Karangasem memiliki daerah pantai dan pegunungan yang terbentang dari timur ke barat dengan batas wilayah sebagai berikut: sebelah utara adalah Laut Bali, sebelah timur adalah Selat Lombok, sebelah selatan adalah Samudra Indonesia, dan sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Klungkung, Kabupaten Bangli, dan Kabupaten Buleleng. Luas Kabupaten Karangasem adalah 839,54 Km² atau 14,90 persen dari luas Provinsi Bali (5.632,86 Km²). Bila dilihat dari peruntukan tanahnya, sebanyak 7.140 Ha (8,50 persen) merupakan lahan persawahan, sedangkan bukan lahan sawah sebanyak 76.814 Ha (91,50 %), yang sebagian besar di antaranya merupakan lahan kering atau lahan kritis. Banyaknya lahan kering disebabkan oleh rendahnya curah hujan (Karangasem dalam Angka 2010). Kabupaten Karangasem terdiri atas 8 (delapan) kecamatan, yakni Kecamatan Manggis, Kecamatan Karangasem, Kecamatan Rendang, Kecamatan Sidemen, Kecamatan Abang, Kecamatan Bebandem, Kecamatan Selat, dan Kecamatan Kubu. Dari delapan kecamatan tersebut, Kubu merupakan kecamatan terluas sedangkan yang paling sempit adalah Kecamatan Sidemen.
Sampai tahun 2010 jumlah penduduk di Kabupaten Karangasem sebanyak 448.537 orang dengan komposisi 225.386 orang penduduk laki-laki dan 223.151 orang penduduk perempuan, yang
tersebar ke dalam 34.898 rumah tangga. Jumlah penduduk ini meningkat 1,31 persen dibandingkan tahun sebelumnya yang hanya sebanyak 432.791 orang. Kenaikan jumlah penduduk ini tidak hanya disebabkan oleh pertumbuhan alami (lahir dan mati) melainkan juga karena adanya migrasi penduduk dari daerah lain, terutama menuju Kecamatan Karangasem. Luas wilayah 839,54 Km 2, kepadatan penduduk mencapai 522 orang/km2 .
Tabel 5.1 Distribusi Penduduk Menurut Jenis Kelamin, Rasio Jenis Kelamin orang (RJK) Dan Kepadatan Dirinci per Kecamatan di Kabupaten Karangasem Tahun 2010
Kecamatan 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Rendang Sidemen Manggis Karangasem Abang Bebandem Selat Kubu Jumlah
Laki 18.038 17.511 24.303 43.115 34.664 24.904 20.664 36.392
Perempuan 18.225 17.751 23.907 42.648 34.419 24.722 21.159 36.053
Jumlah 36.263 35.262 48.210 85.763 69.083 49.626 41.823 72.445
98,97 98,65 101,66 101,10 100,71 100,74 97,66 100,94
Luas Wilayah (Km2) 109,70 35,15 69,83 94,23 134,05 81,51 80,35 234,72
219.591
218.884
438.475
100,32
839,54
Penduduk (orang)
RJK
Kepadatan (Orang/Km2) 331 1.003 690 910 515 609 521 309 522
Sumber: Karangasem Dalam Angka Tahun 2011. Tingkat pertumbuhan penduduk Kabupaten Karangasem adalah 0,96 persen dengan tertinggi dicapai oleh Kecamatan Rendang (1,84) persen dan terendah di Kecamatan Karangasem (1,48) persen. Kabupaten Karangasem yang terdiri atas delapan kecamatan memiliki persebaran penduduk yang tidak merata, sebagian besar penduduk bermukim di bagian utara terutama Kecamatan Kubu dan kecamatan Abang sedangkan di bagian selatan penduduk terkonsentrasi di kecamatan Karangasem dan Manggis, dimana Kecamatan Karangasem sebagai ibukota kabupaten sekaligus sebagai pusat pemerintahan dan perekonomian. Kecamatan Karangasem merupakan kecamatan dengan jumlah penduduk terbesar mencapai 87.282 orang atau sekitar 19,46 persen dari total penduduk kabupaten. Selanjutnya ditinjau dari kemiskinan terungkap bahwa Kabupaten Karangasem memiliki proporsi rumah tangga miskin terbesar di Provinsi Bali, yang mencapai 33,66 persen. Artinya setiap 3
rumah tangga terdapat 1 rumah tangga miskin. Kedalaman kemiskinan maupun keparahan kemiskinan di didaerah ini sangat tinggi dibandingkan dengan indeks yang di miliki Provinsi. Keadaan ini dapat dlihat lebih jelas pada Tabel 5.2. Tabel 5.2 Perbandingan Perkembangan Indeks Kedalaman dan Keparahan Kemiskinan Kabupaten Karangasem Dengan Provinsi Bali Periode 2008-2010 Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1)
Indeks Keparahan Kemiskinan (P2)
2008
2009
2010
2008
2009
2010
Kab. Karangasem
1,90
0,81
1,21
0,53
0,22
0,30
Provinsi Bali
1,29
0,82
0,79
0,36
0,28
0,18
Wilayah
Sumber: Bali Dalam Angka 2012 diolah (berdasarkan hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional ) Tingginya indeks kedalaman kemiskinan di Kabupaten Karangasem menandakan masih tingginya rata-rata kesenjangan pengeluaran penduduk miskin terhadap garis kemiskinan. Demikian pula indeks keparahan kemiskinan yang terjadi di Kabupaten Karangasem lebih tinggi di bandingkan dengan Provinsi Bali. Garis kemiskinan Kabupaten Karangasem per kapita per bulan Rp. 205 860 jauh lebih rendah dari garis kemiskinan Provinsi Bali (246 598). Gambaran garis kemiskinan Kabupaten Karangasem dibandingkan dengan garis kemiskinan Kabupaten/Kota lainnya di Provinsi Bali seperti Gambar 5.1.
Gambar 5.1 Garis Kemiskinan Kabupaten Karangasem Dibandingkan Dengan Garis Kemiskinan Kabupaten/Kota Lainnya Di Provinsi Bali 2012 Garis kemiskinan yang terjadi baik Kabupaten Karangasem maupun kabupaten lainnya di Bali terus mengalami perubahan dari tahun sebelumnya, Kenaikan garis kemiskinan Kabupaten Karangasem jauh dibawah garis kemiskinan propinsi dan kabupaten/Kota lainnya. Hanya Kabupaten Klungkung yang hampir mendekati garis kemsikinan Kabupaten Karangasem. Ini menunjukkan kesejahteraan penduduk
Kabupaten Karangasem jauh lebih rendah dibandingkan dengan tingkat
kesejahteraan yang dicapai kabupaten-kota lainnya. Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Karangasem dan Kecamatan Manggis. Kecamatan Karangasem sebagai pusat Ibukota Kabupaten Karangasem dan pusat perekonomian, memiliki jumlah penduduk 87.282 orang atau sekitar 19,46 persen dari total penduduk kabupaten, dengan tingkat pertumbuhan 1,48 persen. Penduduk di daerah ini sangat heterogen yang terdiri dari berbagai etnis dan agama. Sebagai pusat pemerintahan kecamatan ini memiliki jenis pekerjaan lebih banyak dibandingkan dengan kecamatan-kecamatan lainnya, terutama disektor jasa dan perdagangan. Berbeda dengan kecamatan Manggis yang jumlah penduduknya sebanyak 48.106 orang dengan tingkat pertumbuhan 1,36 persen dan lebih bersifat homogen ditinjau dari etnis dan agama. Walaupun daerah
ini dilalui oleh lalu lintas antar kota dan provinsi pertumbuhan ekonominya sangat lambat. Sebagian besar penduduk bekerja di sektor pertanian dan perkebunan terutama pisang dan kelapa, dan sebagian kecil sebagai nelayan. Kedua daerah ini memiliki kondisi geografis relatif sama yaitu daerah landai dari daerah pesisir hingga perbukitan. Kecamatan Karangasem memiliki jumlah RTM paling banyak (8577 RTM) dibandingkan dengan dengan kecamatan lainnya di Kabupaten Karangasem, sebaliknya Kecamatan Manggis memiliki jumlah RTM paling sedikit hanya (1521 RTM) paling rendah. Konsentrtasi kemiskinan dimasing-masing-masing wilayah, untuk Kecamatan Karangasem terjadi di Desa/Kelurahan Karangasem dengan keparahan dan kedalaman terjadi di Desa Seraya Timur. Untuk Kecamatan Manggis konsentrasi kemiskinan terjadi di Desa Antiga. Kemiskinan di daerah ini disebabkan oleh beberapa faktor yakni: 1. Faktor alam. Alam yang dimiliki di daerah ini sama-sama mulai daerah landai daerah pesisir hingga perbukitan. Bagi penduduk yang tinggal di daerah pesisir pekerjaan pokoknya nelayan sedangkan yang di perbukitan lebih banyak petani lahan kering. 2. Faktor budaya. Adanya kebiasaan penduduk untuk melakukan aktivitas yang tidak produktif seperti berjudi (tajen/sambung ayam) yang dilaksanakan setiap Hari kemis hingga Sabtu dari siang sampai sore dan hari Minggu dari pagi hari, dan minum-minum terutama minum tuak dan arak, lebih-lebih jika ada upacara kematian. Menurut Kades Seraya Timur ( Wayan Geden) biaya minum arak sangat besar karena setiap mereka yang hadir dalam upacara wajib disuguhi minuman arak. 3. Rendahnya akses terhadap pembangunan. Hal ini terutama disebabkan rendahnya kapasitas rumah tangga yaitu rendahnya pendidikan yang hanya berpendidikan sekolah dasar (SD) ke bawah dan masih banyak penduduk tidak bersekolah, rata-rata beban tanggungan setiap RTM tiga orang lebih, dan masih banyaknya infrastruktur yang rusak. 5.2 Karakteristik Sosial Demografi Responden
Seperti telah diungkapkan pada bab sebelumnya bahwa penelitian ini dilaksanakan di Kecamatan Manggis dengan jumlah sampel 75 orang kepala rumah tangga miskin. Gambaran tentang karakteristik sosial demografi responden seperti umur, pendidikan, jensi pekerjaan, pendapatan, pengeluaran, jumlah anggota rumah tangga, luas lahan tempat tinggal, kepemilikan aset, kepemilikan MCK, dan sumber air bersih dipaparkan berikut ini. 5.2.1 Umur responden Ditinjau dari umur, responden berada pada rentang 20 tahun keatas, digolongkan menjadi lima kelompok umur seperti disajikan pada Tabel 5.3. Data menunjukkan, usia responden yang tergolong miskin di Kecamatan Karangasem cenderung menyebar pada semua kelompok umur, sedangkan di Kecamatan Manggis lebih terkonsentrasi pada rentang usia 30-59 tahun.
Tabel 5.3 Distribusi Responden Menurut Umur di Kecamatan Karangasem dan Kecamatan Manggis Tahun 2012 Umur Kec. Karangasem (tahun) Jumlah Persen 20-29 13 17,30 30-39 23 30,70 40-49 13 17,30 50-59 13 17,30 60 + 13 6,70 Total 75 100,00 Sumber: Lampiran 3
Kec. Manggis Jumlah Persen 3 4,00 23 30,70 32 42,70 15 20,00 2 2,67 75 100,00
Total 16 46 45 28 15 150
Persen 10,66 30,67 30,00 18,67 10,00 100,00
5.2.2 Pendidikan responden Tingkat pendidikan responden disajikan pada Tabel 5.4. Umumnya kondisi kemiskinan berkorelasi positif dengan tingkat pendidikan yang mampu dicapai. Data menunjukkan bahwa hanya
sebagian kecil saja (3,33 persen) yang telah tamat SLTA. Proporsi responden yang tidak sekolah masih cukup besar (14,67 persen). Secara keseluruhan, tingkat pendidikan yang mampu dicapai oleh resnponden di Kecamatan Karangasem relatif lebih tinggi dari pada tingkat pendidikan responden di Kecamatan Manggis. Tabel 5.4 Pendidikan Responden di Kecamatan Karangasem dan Kecamatan Manggis Tahun 2012 Pendidikan
Kec. Karangasem Jumlah Persen 11 14,67 23 30,67 18 24,00 19 25,33
Tidak Sekolah Tdk. Tamat SD Tamat SD Tamat SMTP Tamat SMTA Jumlah Sumber: Lampiran 3
4 75
5,33 100,00
Kec. Manggis Jumlah Persen 11 14,67 24 32,00 24 32,00 15 20,00 1 75
1,33 100,00
Jumlah
Persen
22 47 42 34
14,67 31,33 28,00 22,67
5 150
3,33 100,00
5.2.3 Jenis pekerjaan responden Jenis pekerjaan kepala RTM di Kecamatan Karangasem dan Kecamatan Manggis menunjukkan pola yang hampir sama. Gambaran jenis pekerjaan yang ditekuni oleh kepala RTM di daerah ini disajikan pada Tabel 5.5. Umumnya mereka bekerja sebagai petani penyakap, buruh, pedagang, dan kerja serabutan.
Tabel 5.5 Jenis Pekerjaan Responden di Kecamatan Karangasem dan Kecamatan Manggis Tahun 2012 Pekerjaan Petani penyakap
Kec.Karangasem Jumlah Persen 29 38,67
Kec. Manggis Jumlah Persen 18 24,00
Total 47
Persen 31,33
Buruh Pedagang Tukang bangunan Sopir Serabutan Tidak bekerja Total Sumber: Lampiran 3
23 2 4 2 7 8 75
30,67 2,67 5,33 2,66 9,33 10,67 100,00
12 14 4 1 23 3 75
16,00 18,67 5,33 1,33 30,67 4,00 100,00
35 16 8 3 30 11 150
23,33 10,67 5,33 2,00 20,00 7,3 100
Jika dibandingkan di kedua kecamatan, menjadi petani penyakap dan buruh mendominasi jenis pekerjaan responden di Kecamatan Karangasem, dan proporsinya lebih banyak dari pada di Kecamatan Manggis. Sementara itu, selain sebagai petani penyakap dan buruh, jenis pekerjaan yang digeluti oleh responden di Kecamatan Manggis adalah pedagang dan kerja serabutan. Sebanyak 7,3 persen responden tidak memiliki pekerjaan dan kondisi itu lebih banyak terjadi di Kecamatan Karangasem. Untuk menopang kondisi ekonomi rumah tangga, sebanyak 18 persen responden yang bekerja (139 orang) mencari pendapatan tambahan dengan bekerja sampingan, namun pekerjaan sampingan itu juga tidak berbeda jauh dari pekerjaan orang lain yaitu sebagai buruh, pedagang, atau kerja serabutan. Mereka yang memiliki pekerjaan sampingan lebih banyak berdomisili di Kecamatan Karangasem dan umumnya mereka adalah petani penyakap. Secara rinci, datanya disajikan pada Tabel 5.6.
Tabel 5.6 Pekerjaan Sampingan Responden di Kecamatan Karangasem dan Jenis Pekerjaan Kec. Karangasem Kec. Manggis Total Sampingan Jumlah Persen Jumlah Persen Buruh 6 30,00 3 60,00 9 Dagang 4 20,00 1 20,00 5 Serabutan 10 50,00 1 20,00 11 Total 20 100,00 5 100,00 25 Sumber: Lampiran 3
5.2.4 Pendapatan responden
Persen 36,00 20,00 44,00 100,00
Rata-rata pendapatan yang mampu diperoleh responden dalam sehari ditunjukkan pada Tabel 5.7. Secara keseluruhan, masih banyak (18 persen) yang hanya mampu memperoleh pendapatan sehari kurang dari Rp. 300.000,- baik di Kecamatan Karangasem maupun di Kecamatan Manggis. Data juga menunjukkan bahwa rata-rata pendapatan di kota (Kecamatan Karangasem) relatif lebih tinggi dari pada di desa (Kecamatan Manggis). Hal ini dapat dilihat dari proporsi pendapatan pada kelompok Rp. 600.000,- ke atas lebih banyak di Kecamatan Karangasem dari pada di Kecamatan Manggis. Tabel 5.7 Rata-rata Pendapatan Responden di Kecamatan Karangasem dan Kecamatan Manggis Tahun 2012. Rata-rata Pendapatan per bulan (Rp) 0.000 – < 300.000 300.000 – < 600.000 600.000 – < 900.000 900.000 – < 1.200.000 1.200.000 + Total Sumber: Lampiran 3
Karangasem Jumlah Persen 14 19,44 14 19,44 24 33,34 15 20,84 5 6,94 72 100,00
Manggis Jumlah Persen 11 16,41 24 35,81 18 26,88 13 19,40 1 1,50 67 100
Jumlah 25 38 42 28 6 139
Persen 18,00 27,33 30,22 20,14 4,31 100,00
5.2.5 Rata-rata pengeluaran responden Data tentang pengeluaran responden perbulan yang disajikan pada Tabel 5.8 adalah pengeluaran untuk kebutuhan pokok saja, belum termasuk kebutuhan lainnya seperti bermasyarakat atau keperluan adat/agama.
Rata-rata pengeluaran perbulan menunjukkan pola yang tidak jauh
berbeda dengan rata-rata pendapatan, karena umumnya rumah tangga miskin baru mampu menutupi sebagian kebutuhan pokoknya. Besar kecilnya pengeluaran sangat ditentukan oleh ukuran rumah tangga atau banyaknya anggota rumah tangga yang ditanggung. Data pada Tabel 5.8 menunjukkan rata-rata pengeluaran responden perbulan untuk kebutuhan pokok terkonsentrasi pada tiga kelompok lebih kecil dari Rp.900.000 perbulan. Tabel 5.8 Rata-rata Pengeluaran Responden per bulan di Kecamatan Karangasem dan
Kecamatan Manggis Tahun 2012. Rata-rata Pengeluaran per bulan (Rp) 0.000 – < 300.000 300.000 – < 600.000 600.000 – < 900.000 900.000 – < 1.200.000 1.200.000 + Total Sumber: Lampiran 3
Kec. Karangasem Jumlah Persen 30 41,67 11 15,28 25 34,72 5 6,94 1 1,39 72 100,00
Kec. Manggis Jumlah Persen 2 3,00 36 53,73 24 35,82 1 1,48 4 5,97 67 100,00
Total 32 47 49 6 5 139
Persen 23,02 33,81 35,25 4,32 3,60 100,00
Selain untuk kebutuhan pokok, pendapatan yang diperoleh digunakan untuk kebutuhan lainnya seperti membayar utang, biaya sekolah anak, keperluan adat/agama/bermasyarakat, dan keperluan atau kesenangan pribadi sebagaimana ditampilkan pada Tabel 5.9.
Tabel 5.9 Pemanfaatan Pendapatan setelah Kebutuhan Pokok di Kecamatan Karangasem dan Kecamatan Manggis Tahun 2012. Pemanfaatan Pendapatan setelah Kec. Karangasem Kec. Manggis Total Persen Kebutuhan Pokok Jumlah Persen Jumlah Persen Bayar Utang Sekolah Anak Upacara Adat/Agama/Sosial Kebutuhan pribadi/hobi Lainnya Jumlah Sumber: Lampiran 3
24 25 10 5 3 67
36,00 37,00 15,00 7,50 4,50 100,00
30 17 25 0,00 0,00 72
41,67 23,61 34,72 0,00 0,00 100,00
54 42 35 5 3 139
38,90 30,20 25,20 3,60 2,10 100,00
Di Kecamatan Manggis membayar utang merupakan prioritas pertama pemanfaatan pendapatan, disusul kemudian untuk menyekolahkan anak, dan keperluan upacara adat/agama/sosial. Berbeda dengan yang terjadi di Kecamatan Karangasem pemanfaatan pendapatan setelah pemenuhan kebutuhan pokok diutamakan untuk menyekolahkan anak, setelah itu baru diprioritaskan untuk membayar utang dan selanjutnya untuk upacara adat/agama/sosial. Besarnya proporsi responden yang menyatakan bahwa membayar utang merupakan prioritas utama bagi pemanfaatan pendapatannya selain memenuhi kebutuhan pokok, sangat berkaitan dengan besarnya beban yang dipikul untuk memenuhi kebutuhan kegiatan adat/agama/sosial. Hal ini
ditunjukkan pada Tabel 5.10. Proporsi terbesar untuk pengeluaran adat/agama/social berada pada kisaran Rp. 50.000,- sampai dengan kurang dari Rp. 75.000,- disusul oleh kisaran Rp. 75.000,- sampai dengan kurang dari Rp. 100.000,-. Mereka yang mengaku mengeluarkan dana Rp. 100.000,- ke atas mencapai 10 persen.
Tabel 5.10 Rata-rata Pengeluaran untuk Kegiatan Adat/Agama/Sosial perbulan di Kecamatan Karangasem dan Kecamatan Manggis Tahun 2012. Pengeluaran Adat/Agama /Sosial perbulan (Rp) < 25.000 25.000 – <50.000 50.000 – <75.000 75.000 – <100.000 ≥100.000 Jumlah Sumber: Lampiran 3
Kec. Karangasem Jumlah Persen 17 23,60 15 20,84 19 26,39 10 13,89 11 15,28 72 100,00
Kec. Manggis Jumlah Persen 1 1,50 13 19,40 28 41,80 22 32,83 3 4,47 67 100,00
Total
Persen
18 28 47 32 14 139
12,95 20,15 33,81 23,02 10,07 100,00
5.2.6 Jumlah anggota rumah tangga dan beban tanggungan Data tentang jumlah anggota rumah tangga disajikan pada Tabel 5.11. Proporsi terbanyak ditempati oleh kelompok jumlah anggota rumah tangga 4-5 orang disusul oleh kelompok 2-3 orang. Mereka yang hidup sendiri tampak cukup banyak (8,67 persen), hampir berimbang dengan yang memiliki anggota rumah tangga 6-7 orang (9,33 persen) dan hanya 1,33 persen yang memiliki jumlah anggota rumah tangga lebih banyak dari tujuh orang. Jika dibandingkan, responden di Kecamatan Manggis memiliki ukuran rumah tangga yang lebih banyak daripada responden di Kecamatan Karangasem. Hal ini tampak pada proporsi anggota rumah tangga 4-5 orang di Kecamatan Manggis menempati separuh lebih (50,67 persen) dari jumlah responden, sedangkan di Kecamatan Karangasem hanya sebanyak 34,67 persen.
Tabel 5.11
Jumlah Anggota Rumah tangga di Kecamatan Karangasem dan Kecamatan Manggis Tahun 2012. Jml. Ang.Kel Kec. Karangasem (Orang) Jumlah Persen 1 7 9,33 2 - 3 33 44,00 4 - 5 26 34,67 6 - 7 8 10,67 >7 1 1,33 Jumlah 75 100,00 Sumber: Lampiran 3
Kec. Manggis Jumlah Persen 6 8,00 24 32,00 38 50,67 6 8,00 1 1,33 75 100,00
Jumlah
Persen
13 57 64 14 2 150
8,67 38,00 42,67 9,33 1,33 100,00
Jumlah anggota rumah tangga seperti dipaparkan di atas belum sepenuhnya menunjukkan beban hidup yang harus ditanggung oleh responden karena seringkali terjadi ada orang lain yang menjadi tanggungan seperti keponakan. Atau sebaliknya, jumlah yang ditanggung lebih kecil dari jumlah anggota rumah tangga karena ada anggota rumah tangga lainnya yang sudah bekerja. Secara rinci, data jumlah tanggungan disajikan pada Tabel 5.12. Data menunjukkan, beban tanggungan paling banyak terdapat pada kelompok 2-3 orang disusul kelompok 4-5 orang.
Jumlah Tanggungan (Orang) 1 2 - 3 4 - 5 6 - 7 >7 Jumlah Sumber: Lampiran 3
Tabel 5.12 Jumlah Tanggungan di Kecamatan Karangasem dan Kecamatan Manggis Tahun 2012. Kec. Karangasem Kec. Manggis Total Jumlah Persen Jumlah Persen 2 38 33 1 1 75
2,67 50,67 44,00 1,33 1,33 100,00
7 40 22 5 1 75
9,33 53,33 29,33 6,67 1,33 100,00
9 78 55 6 2 150
Persen 6,00 52,00 36,67 4,00 1,33 100,00
5.2.7 Luas lahan rumah yang ditempati Salah satu indikator rumah tangga miskin adalah luas lahan yang ditempati sebagai rumah. Data yang disajikan pada Tabel 5.13 menunjukkan sebagian besar responden hanya menempati lahan
untuk rumah seluas kurang dari 50 M2 dan itu lebih banyak terdapat di Kecamatan Karangasem dari pada di Kecamatan Manggis. Hanya 4,66 persen responden menempati lahan rumah 50 M 2 ke atas. Meski sebetulnya luas lahan yang tersedia di pekarangan rumahnya cukup luas, namun karena keterbatasan kemampuan maka lahan yang dimanfaatkan untuk tempat tinggal sangat sempit. Tabel 5.13 Luas Lahan Rumah yang Ditempati di Kecamatan Karangasem dan Kecamatan Manggis Tahun 2012. Luas Lahan (M2)
25 25 - < 50 50 - < 75 75 – 100 Jumlah Sumber: Lampiran 3
Kec.Karangasem Jumlah Persen 45 60,00 27 36,00 2 2,67 1 1,33 75 100,00
Kec. Manggis Jumlah Persen 24 32,00 47 62,67 3 4,00 1 1,33 75 100,00
Total
Persen
69 74 5 2 150
46,00 49,34 3,33 1,33 100,00
5.2.8 Kepemilikan aset Indikator lain yang menunjukkan rumah tangga miskin adalah kepemilikan aset seperti ternak (babi, ayam), barang-barang elektronik (tape recorder, televisi, handphone) dan kendaraan (sepeda motor, sepeda ontel). Seluruh aset tersebut ditaksir dengan harga pasar yang berlaku sehingga taksiran nilainya dapat disajikan pada Tabel 5.14. Sebagian besar dari aset yang dimiliki hanya bernilai kurang dari Rp. 500.000,-. Hanya beberapa di antaranya yang memiliki sepeda motor bekas, nilai asetnya di atas Rp. 500.000,Tabel 5.14 Taksiran Nilai Aset yang Dimiliki di Kecamatan Karangasem dan Kecamatan Manggis Tahun 2012. Taksiran Nilai Aset (Rp.) < 200.000 200.000 – <300.000 300.000 – <400.000 400.000 – <500.000
Kec. Karangasem Jumlah Persen 17 22,67 20 26,67 16 21,33 17 22,67
Kec. Manggis Jumlah Persen 17 22,67 23 30,67 20 26,67 13 17,33
Total
Persen
44 43 36 30
29,33 28,67 24,00 20,00
≥500.000 Jumlah Sumber: Lampiran 3
5 75
6,71 100,00
2 75
2,67 100,00
7 150
4,67 100,00
5.2.9 Kepemilikan kamar mandi cuci dan kakus (MCK) Data tentang keberadaan fasilitas mandi, cuci, dan kakus (MCK) disajikan pada Tabel 5.15. Hampir separuh responden (47,33 persen) belum memiliki fasilitas tersebut sehingga harus melakukannya di luar rumah seperti pergi ke sungai, ke tegalan dekat rumah, atau ke tempat lainnya. Hal yang menarik adalah bahwa responden yang tidak memiliki fasilitas tersebut justru lebih banyak di Kecamatan Karangasem dari pada di Kecamatan Manggis. Tabel 5.15 Kepemilikan MCK di Kecamatan Karangasem dan Kecamatan Manggis Tahun 2012. Fasilitas MCK Ada
Kec. Karangasem Jumlah Persen 31 41,33
Kec. Manggis Jumlah Persen 48 64,00
Total
Persen
78
52,67
Tidak ada
44
58,67
27
36,00
71
47,33
Jumlah
75
100,00
75
100,00
150
100,00
Sumber: Lampiran 3
5.2.10 Sumber air bersih Air bersih untuk keperluan memasak belum sepenuhnya dapat dipenuhi oleh sumber air bersih seperti PDAM. Data yang disajikan pada Tabel 5.16 menunjukkan bahwa PDAM baru mampu diakses oleh 28,67 persen responden, sisanya ada yang memanfaatkan sumur, cubang, atau sumber lainnya (seperti dari sungai atau bulakan). Sumber air dari sumur hanya ada di Kecamatan Manggis, sedangkan di Kecamatan Karangasem tidak ada mengingat topografi wilayahnya cukup tinggi. Sebaliknya, masyarakat di wilayah ini banyak yang memanfaatkan cubang untuk menampung air hujan, tetapi di Kecamatan Manggis tidak ada.
Tabel 5.16 Sumber Air Untuk Kebutuhan Rumah Tangga di Kecamatan Karangasem dan Kecamatan Manggis Tahun 2012. Sumber Air Kec. Karangasem Bersih Jumlah Persen PDAM 33 44,00 Sumur 0 0,00 Cubang 11 14,67 Lainnya 31 41,33 Jumlah 75 100,00 Sumber: Lampiran 3
Kec. Manggis Jumlah Persen 10 13,33 62 82,67 0 0,00 3 4,00 75 100,00
Total
Persen
43 62 11 34 150
28,67 41,33 7,33 22,67 100,00
5.3 Deskripsi Variabel Penelitian Pada bagian ini disajikan deskripsi variabel-variabel penelitian yang diukur melalui indikator masing-masing. Umumnya variabel seperti itu disebut dengan konstruk, yang terdiri atas konstruk eksogen yaitu Kapasitas Rumah Tangga (X1), Pemberdayaan (X2), dan Budaya (X3) serta konstruk endogen yang terdiri atas Sikap Untuk Keluar dari Kemiskinan (Y1) dan Keberdayaan (Y2). Sebelum dilakukan pengujian terhadap hipotesis yang menunjukkan hubungan antar konstruk tersebut, maka terlebih dahulu dideskripsikan datanya satu persatu pada bagian berikut. Selain variabel Kapasitas Rumah Tangga Miskin, distribusi frekuensi yang disajikan, didasarkan atas tabulasi data dari jawaban responden terhadap indikator atau item pernyataan dalam kuesioner yang diberi nilai mulai 1=Sangat Tidak Setuju sampai dengan 5=Sangat Setuju. Pada kolom terakhir dari setiap tabel distribusi frekuensi tersebut, disajikan nilai rerata skornya yang menunjukkan posisi nilai indikator tersebut pada rentang nilai 1-5.
5.3.1
Kapasitas Rumah Tangga Variabel kapasitas rumah tangga (selanjutnya disingkat RTM) menunjukkan potensi atau
kemampuan yang dimiliki rumah tangga miskin, yang diukur melalui lima indikator yaitu pendidikan, jumlah anggota rumah tangga, jumlah tanggungan, pendapatan, dan kepemilikan aset. Secara parsial, setiap indikator dari variabel RTM ini telah disajikan pada Tabel 5.4, Tabel 5.7, Tabel 5.11, Tabel
5.12, dan Tabel 5.14. Akan tetapi, untuk keperluan pembentukan variabel atau konstruk RTM, kelima indikator tersebut dikonversi menjadi lima kelompok yang diberi nilai mulai 1 sampai dengan 5 untuk menunjukkan tingkatan dari yang terendah sampai tertinggi. Untuk lebih jelasnya, konversi tersebut diuraikan seperti berikut. 1) Indikator pendidikan (X1.1) dikonversi menjadi nilai 1=tidak sekolah; 2=tidak tamat SD; 3=tamat SD; 4=tamat SMP; dan 5=tamat SMA. 2) Indikator jumlah anggota rumah tangga (X1.2) dan jumlah tanggungan (X1.3) masing-masing dikonversi menjadi nilai 1=jumah anggota 7 orang lebih; 2=jumlah anggota 6-7 orang; 3=jumlah anggota 4-5 orang; 4=jumlah anggota 2-3 orang; dan 5= jumlah anggota 1 orang. 3) Indikator pendapatan (X1.4) dikonversi menjadi nilai 1< Rp. 300.000 atau kurang; 2=Rp. 300.000 –
Indikator
1. Pendidikan 2. Jumlah anggota RT 3. Jumlah tanggungan 4. Pendapatan 5. Kepemilikan aset Sumber: Lampiran 3
Simbol
X1.1 X1.2 X1.3 X1.4 X1.5
Distribusi Frekuensi (persen) N=150 1 2 3 4 5 14,7 31,3 28,0 22,7 3,3 0,0 9,3 42,7 38,0 10,0 0,0 4,0 36,7 52,0 7,3 24,0 25,3 28,0 18,7 4,0 22,7 28,7 24,0 20,0 4,7
Rerata Skor 2,69 2,51 2,37 2,53 2,55
Data pada Tabel 5.17 menunjukkan bahwa variabel Kapasitas RTM terkonsentrasi pada nilai 2 dan 3 dan secara keseluruhan memiliki rerata skor lebih kecil dari 3. Ini berarti Kapasitas RTM memang berada pada kondisi di bawah rata-rata.
5.3.2
Pemberdayaan Untuk variabel pemberdayaan yang juga terdiri atas empat indikator, distribusi jawaban
seperti disajikan pada Tabel 5.18 menunjukkan bahwa pemberdayaan belum dirasakan dengan baik oleh responden karena tiga dari empat indikator itu memiliki nilai rata-rata di bawah 3. Itu berarti pemberdayaan yang dilakukan pihak pemerintah selama ini dinilai responden belum mampu meningkatkan penyadaran, pengkapasitasan, dan pendayaan bagi masyarakat, kecuali kontinyuitas programnya dianggap sudah cukup karena memiliki rerata skor sedikit di atas 3.
Tabel 5.18. Distribusi Frekuensi Variabel Pemberdayaan di Kecamatan Karangasem dan Kecamatan Manggis Tahun 2012. No.
Indikator
1. Penyadaran 2. Pengkapasitasan 3. Pendayaan 4. Kontinyuitas program Sumber: Lampiran 3
Simbol
X3.1 X3.2 X3.3 X3.4
Distribusi Frekuensi (persen) N=150 1 2 3 4 12,7 25,3 31,3 23,3 16,7 20,7 31,3 22,7 10,7 25,3 36,7 26,0 7,3 25,3 34,0 23,3
Rerata Skor 5 7,3 8,7 1,3 10,0
2,87 2,86 2,82 3,03
5.3.3 Budaya Budaya yang dimaksudkan di sini meliputi setiap kebiasaan, tradisi, dan perilaku responden berkaitan dengan kondisi kemiskinannya. Empat indikator yang digunakan untuk mengukur budaya antara lain bahwa miskin menjadikan yang bersangkutan merasa rendah diri, selalu berharap ada bantuan dari pihak lain, selalu pasrah menghadapi kondisi kemiskinan, dan konsumtif. Kosumtif disini diartikan sebagai memaksakan diri untuk berbelanja hal-hal yang berada di luar jangkauan terutama yang sifatnya eksternal karena desakan kewajiban sebagai warga masyarakat adat/sosial. Hasil tabulasi data untuk variabel ini disajikan pada Tabel 5.19.
Tabel 5.19. Distribusi Frekuensi Variabel Budaya di Kecamatan Karangasem dan Kecamatan Manggis Tahun 2012. No.
Indikator
1. 2.
Miskin menjadi rendah diri Mengharap bantuan orang lain 3. Pasrah menghadapi kemiskinan 4. Konsumtif Sumber: Lampiran 3
Simbol
X2.1
Distribusi Frekuensi (persen) N=150 1 2 3 4 5 14,0 26,0 32,0 24,0 4,0
Rerata Skor
X2.2
0,7
18,0
36,0
33,3
12,0
3,38
X2.3 X2.4
17,3 8,0
34,0 22,7
24,7 32,0
18,0 30,7
6,0 6,7
2,61 3,05
3,38
Data menunjukkan bahwa secara keseluruhan distribusi jawaban responden cenderung terkonsentrasi pada nilai 2-3 dan setiap indikator memiliki rerata skor di atas 3 kecuali indikator ketiga. Melihat makna dari indikator-indikatornya, dapat diartikan bahwa budaya yang dimaksudkan di sini adalah budaya negatif yang menyebabkan terjadinya kondisi kemiskinan. Berdasarkan distribusi jawaban tersebut dapat diartikan bahwa secara keseluruhan memang responden memiliki budaya yang cenderung negatif.
5.3.4 Sikap untuk keluar dari kemiskinan Sikap merupakan predisposisi atau kecenderungan seseorang terhadap perilaku tertentu. Dalam penelitian ini perilaku yang dimaksud adalah perilaku untuk keluar dari kondisi kemiskinan, yang mencerminkan keyakinan, keinginan, dan niat responden untuk keluar dari kemiskinan tersebut. Data yang disajikan pada Tabel 5.20 menunjukkan bahwa separuh dari enam indikator variabel sikap ini memiliki skor di bawah 3, separuh lagi memiliki skor di atas 3. Itu berarti tiga indikator pertama yang menunjukkan keyakinan responden untuk keluar dari kemiskinan masih relatif
rendah, akan tetapi tiga indikator kedua menunjukkan bahwa mereka punya keinginan dan optimisme yang cukup tinggi untuk keluar dari kondisi kemiskinan tersebut. Tabel 5.20. Distribusi Frekuensi Variabel Sikap untuk Keluar dari Kemiskinan di Kecamatan Karangasem dan Kecamatan Manggis Tahun 2012. No.
Indikator
1 2 3
Kemiskinan dapat diubah Miskin disebabkan takdir Percaya bisa keluar dari kemiskinan 4 Punya niat keluar dari kemiskinan 5 Bekerja keras dapat mengurangi kemiskinan 6 Mampu mengatasi kemiskinan Sumber: Lampiran 3
Simbol
Y1.1 Y1.2
Distribusi Frekuensi (persen) N=150 1 2 3 4 5 10,0 23,3 38,7 22,0 6,0 11,3 23,3 34,7 24,0 6,7
Rerata Skor
Y1.3
10,7
22,0
36,7
24,7
6,0
2,93
Y1.4
2,7
15,3
41,3
36,7
4,0
3,24
Y1.5
4,0
20,7
53,3
14,7
7,3
3,01
Y1.6
7,3
22,0
36,0
26,7
8,0
3,06
2,91 2,91
5.3.5 Keberdayaan Distribusi jawaban responden terhadap variabel keberdayaan yang merupakan variabel utama dalam penelitian ini disajikan pada Tabel 5.21 Secara keseluruhan, indikator-indikator variabel ini menunjukkan kinerja yang baik karena mampu mencapai rerata skor di atas 3 kecuali indikator terakhir. Itu berarti responden merasa pengetahuannya meningkat, punya aksesibilitas yang lebih baik, berpartisipasi lebih banyak dalam kegiatan ekonomi/sosial, dan memperoleh pendapatan tambahan. Akan tetapi mereka belum merasa mampu menambah kepemilikan asetnya.
Tabel 5.21. Distribusi Frekuensi Variabel Keberdayaan di Kecamatan Karangasem dan Kecamatan Manggis Tahun 2012. No.
Indikator
Simbol
Distribusi Frekuensi (persen)
Rerata
1 2 3
Peningkatan pengetahuan Peningkatan aksesibilitas Partisipasi dalam kegiatan ekonomi/sosial 4 Penambahan pendapatan 5 Penambahan kepemilikan aset Sumber: Lampiran 3.
Y2.1 Y2.2 Y2.3 Y2.4 Y2.5
1 0,0 0,0
2 11,3 16,0
N=150 3 40,0 38,0
4 38,0 35,3
5 10,7 10,7
Skor 3,48 3,41
0,0 0,0
22,0 16,7
34,0 36,7
31,3 36,0
12,7 10,7
3,35 3,41
0,0
25,3
60,7
14,0
0,0
2,89
5.4 Pengujian Instrumen Penelitian Pengujian terhadap instrumen penelitian dilakukan untuk mengetahui validitas setiap indikator dari masing-masing konstruk yang digunakan untuk mengumpulkan data. Hasil pengolahan data disajikan pada Tabel 5.22. Dilihat dari koefisien korelasi Pearson Correlation yang memiliki nilai ≥ 0,5 atau koefisien signifikansinya ≤ 0,05 maka dapat dinyatakan bahwa seluruh indikator dalam instrumen penelitian telah valid. Selain ukuran validitas, pengujian terhadap instrumen penelitian juga dilakukan dengan menggunakan ukuran reliabilitas. Reliabilitas yang digunakan adalah reliabilitas konstruk, yang datanya disajikan pada Tabel 5.23. Seluruh koefisien Cronbach‟s Alpha untuk kelima konstruk penelitian menunjukkan hasil lebih besar dari 0,6 yang merupakan ukuran nilai minimum reliabilitas.
Tabel 5.22 Hasil Uji Validitas Instrumen Penelitian di Kecamatan Karangasem dan Kecamatan Manggis Tahun 2012. Konstruk 1 Kapasitas rumah tangga (X1)
Indikator 2 X11 X12 X13
Pearson Correlation 3 0,832 0,659 0,647
Sig. (2-tailed) 4 0,000 0,000 0,000
Keterangan 5 Valid Valid Valid
Pemberdayaan (X2)
Budaya (X3)
Sikap (Y1)
Keberdayaan (Y2)
X14 X15 X21 X22 X23 X24 X31 X32 X33 X34 Y11 Y12 Y13 Y14 Y15 Y16 Y21 Y22 Y23 Y24 Y25
0,894 0,880 0,888 0,854 0,889 0,828 0,954 0,965 0,930 0,944 0,773 0,829 0,719 0,731 0,624 0,680 0,658 0,573 0,590 0,747 0,459
0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000
Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid
Sumber: Lampiran 4 Tabel 5.23. Hasil Uji Reliabilitas Konstruk Penelitian di Kecamatan Karangasem dan Kecamatan Manggis Tahun 2012. Jumlah Cronbach‟s Konstruk Item Alpha Keterangan Kapasitas rumah tangga (X1)
5
0,847
Reliabel
Pemberdayaan (X2)
4
0,886
Reliabel
Budaya (X3)
4
0,962
Reliabel
Sikap (Y1)
6
0,821
Reliabel
Keberdayaan (Y2)
5
0,610
Reliabel
Sumber: Data primer, diolah. 5.5
Pengujian Asumsi Penggunaan Model SEM Asumsi-asumsi yang harus dipenuhi dalam penggunaan teknik model persamaan struktural
antara lain: ukuran sampel, normalitas dan linearitas data, outliers, serta multikolinearitas dan singularitas (Ferdinand, 2002:51). 1) Ukuran Sampel
Penggunaan teknik model SEM menghendaki ukuran sampel minimum sebanyak 100 atau sebanyak 5 (lima) jumlah parameter yang ingin diestimasi. Jika dihitung berdasar jumlah parameter yang dilihat dari jumlah indikatornya yaitu 24 indikator maka ukuran sampel minimum dalam penelitian ini seharusnya 120. Ukuran sampel dalam penelitian ini telah memenuhi kedua asumsi tersebut karena menggunakan sampel dengan ukuran 150 kepala rumah tangga miskin. 2) Normalitas Data Untuk mendapat melihat apakah asumsi normalitas data terpenuhi atau tidak sehingga dapat diolah lebih lanjut dalam pendekatan permodelan SEM, sebaran data hendaknya dianalisis terlebih dahulu, baik data univariat maupun multivariat. Distribusi data bisa dikatakan normal dengan tingkat signifikansi 0,01 bila Critical Ratio (CR) dari tingkat kemiringan (skewness) atau tingkat keruncingan (curtosis) tidak lebih dari ± 2,58 (Santoso, 2007:74). Hasil uji normalitas disajikan pada Tabel 5.24.
Tabel 5.24 Hasil Uji Normalitas Data di Kecamatan Karangasem dan Kecamatan Manggis Tahun 2012. Variable X11 X12 X13 X14 X15 X21 X22 X23 X24 X31 X32
min 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
max 5 4 4 5 5 5 5 5 5 5 5
skew 0,103 -0,083 0,145 0,202 0,254 -0,045 0,008 0,338 -0,174 0,027 -0,010
c.r. 0,517 -0,415 0,726 1,010 1,271 -0,223 0,042 1,691 -0,870 0,133 -0,052
kurtosis -0,860 -0,456 -0,136 -0,943 -0,951 -0,797 -0,717 -0,741 -0,673 -0,780 -0,884
c.r. -2,151 -1,139 -0,341 -2,359 -2,378 -1,993 -1,794 -1,852 -1,681 -1,951 -2,211
X33 1 X34 1 Y11 1 Y12 1 Y13 1 Y14 1 Y15 1 Y16 1 Y21 2 Y22 2 Y23 2 Y24 2 Y25 2 Multivariate Sumber: Lampiran 8
5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 4
-0,229 0,059 -0,026 -0,033 -0,101 -0,351 0,263 -0,071 0,029 0,050 0,123 0,026 0,075
-1,143 0,295 -0,128 -0,167 -0,503 -1,757 1,315 -0,357 0,143 0,252 0,615 0,129 0,373
-0,736 -0,667 -0,496 -0,644 -0,590 -0,100 0,322 -0,534 -0,556 -0,720 -0,910 -0,754 -0,432 20,586
-1,840 -1,668 -1,240 -1,610 -1,475 -0,250 0,805 -1,336 -1,390 -1,800 -2,275 -1,884 -1,080 3,569
Data menunjukkan bahwa secara univariat, data dalam penelitian ini dapat dinyatakan berdistribusi normal karena nilai critical ratio tingkat kemiringan dan tingkat keruncingan tidak ada yang lebih besar dari ± 2,58. Akan tetapi, secara multivariat, kriteria itu tidak mampu dipenuhi karena, baik tingkat kemiringan maupun tingkat keruncingannya mnunjukkan nilai critical ratio yang lebih besar dari ± 2,58.
3) Uji Outlier Multivariate Pengujian terhadap asumsi tidak terdapat outlier dalam data dapat dilihat dari jarak Mahalanobis dengan ketentuan yaitu tidak lebih dari nilai chi-square yang diperoleh berdasarkan derajat bebasnya (yang sama dengan jumlah parameternya). Berdasarkan data yang disajikan pada Lampiran 8 nilai Mahalanobis sebesar 40765 sedangkan nilai chi-square dengan derajat bebas 24 adalah sebesar 42,980 dengan tingkat signifikansi satu persen. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa data dalam penelitian ini bebas dari outlier multivariate. 4) Uji Multikolinearitas
Pengujian terhadap adanya multikolinearitas dapat dilihat dari data koefisien korelasi antara konstruk eksogen (X1, X2, dan X3) yang disajikan pada Tabel 5.25. Tabel 5.25. Koefisien Korelasi Antar Konstruk Penelitian di Kecamatan Karangasem dan Kecamatan Manggis Tahun 2012. X1 X1 1,000 X2 0,390 X3 0,346 Y1 0,554 Y2 0,758 Sumber: Lampiran 8
5.6
X2
X3
Y1
Y2
1,000 0,411 0,513 0,833
1,000 0,491 0,751
1,000 0,966
1,000
Pengujian Hipotesis Seperti telah diuraikan pada metode penelitian, pengujian terhadap hipotesis yang telah
dirumuskan dilakukan melalui dua tahap sesuai dengan tahap-tahap dalam analisis SEM yaitu berupa uji model pengukuran dan uji model struktural. Keduanya dijelaskan pada bagian berikut. 5.6.1 Uji model pengukuran Uji model pengukuran dengan teknik analisis faktor konfirmatori digunakan untuk mengetahui unidimensionalitas masing-masing konstruk yang ada dalam model penelitian. Pada tahap ini, hasil pengujian akan menunjukkan apakah konstruk yang diamati dapat mencerminkan faktor yang dianalisis. Adapun ukuran-ukuran yang digunakan dalam pengujian ini adalah indeks kesesuaian (goodness-of-fit index), nilai koefisien standar loading factor (standardized loading factor) dan nilai criticaal ratio (CR) setiap item yang terdapat dalam konstruk yang bersangkutan. 1)
Pengukuran konstruk Kapasitas Rumah Tangga (X1) Komponen-komponen indeks kesesuaian konstruk kapasitas rumah tangga (X1) disajikan dalam Tabel 5.26. Data menunjukkan probabilitas sebesar 0,197 (≥ 0,05). Itu berarti hipotesis nol yang menyatakan bahwa terdapat perbedaan antara matriks kovarians sampel dan matriks kovarians populasi yang diestimasi tidak dapat ditolak. Dengan kata lain tidak terdapat perbedaan antara
matriks kovarian sampel dan matriks kovarian populasi yang diestimasi dan karena itu, model konstruk rumah tangga ini dapat diterima. Ukuran indeks lainnya juga menunjukkan nilai yang melebihi nilai batas yang diharapkan sehingga memberi informasi yang lebih kuat terhadap diterimanya model tersebut. Selain dari ukuran kesesuaiannya, diterimanya model pengukuran konstruk Kapasitas Rumah Tangga juga dapat dilihat dari koefisien loading factor untuk setiap indikatornya.
Tabel 5.26. Indeks Kesesuaian Konstruk Kapasitas Rumah Tangga di Kecamatan Karangasem dan Kecamatan Manggis Tahun 2012. Indeks Kesesuaian X2-Chi Square
Nilai Batas Diharapkan kecil
Derajat bebas
Nilai yang Diperoleh 7,335
Keterangan
5
CMIN/DF
≤ 2,00
1,467
Baik
Probabilitas
≥ 0,05
0,197
Baik
RMSEA
≤ 0,08
0,056
Baik
GFI
≥ 0,90
0,980
Baik
AGFI
≥ 0,90
0,939
Baik
TLI
≥ 0,95
0,986
Baik
CFI
≥ 0,95
0,993
Baik
Sumber: Lampiran 9 Hasil analisis seperti disajikan pada Tabel 5.27 menunjukkan kondisi yang baik pula karena masing-masing koefisien loading factor berada di atas batas nilai yang diharapkan yaitu lebih
besar dari 0,4 dengan nilai critical ratio lebih besar dari 2,0 (Ferdinand, 2002:168). Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa konstruk Kapasitas Rumah Tangga telah memenuhi unsur unidimensional. Tabel 5.27. Koefisien Loading Factor Indikator Konstruk Kapasitas Rumah Tangga di Kecamatan Karangasem dan Kecamatan Manggis Tahun 2012 Indikator
Koefisien Loading Factor
Critical Ratio
Keterangan
X11
0,762
Signifikan
X12
0,570
6,774
X13
0,567
6,816
Signifikan
X14
0,883
10,764
Signifikan
X15
0,853
10,553
Signifikan
Signifikan
Sumber: Lampiran 9 Tabel 5.28 Reliabilitas Konstruk Kapasitas Rumah Tangga di Kecamatan Karangasem dan Kecamatan Manggis Tahun 2012 Estimasi unstandardized standardized X11 1.000 0,778 X12 0.543 0,570 X13 0.468 0,578 X14 1.206 0,873 X15 1.186 0,846 Jumlah 3,645 Sumber: Lampiran 8 Indikator
Construct reliability
=
= = 0,855
S.E 0,079 0,066 0,109 0,110 0,364 (∑ Std. Loading)2 (∑ Std. Loading)2 + ∑εj
C.R
P
6.870 7.061 11.035 10.766
0.000 0.000 0.000 0.000
Dengan nilai Construct reliability sebesar 0,855 lebih besar dari 0,70 menandakan bahwa konstruk Kapasitas Rumah Tangga adalah reliable.
Hubungan indikator dengan kapasitas rumah tangga dapat digambarkan pada Gambar 5.2
,58 e11
X11
,33
e12
X12
e13 e14
,32 ,57 X13 ,88 ,78 ,85 X14
e15
X15
,76
,57 Kapasitas RTM (X1)
,73
UJI HIPOTESIS Chi-Square =7,335 Probability =,197 CMIN/DF =1,467 GFI =,980 TLI =,986 CFI =,993 RMSEA =,056 AGFI =,939
Gambar 5.2 Hubungan Indikator dengan Konstruk Kapasitas RTM Berdasarkan Gambar 5.2 maka persamaan konstruk Kapasitas RTM dapat dibuat sebagai berikut: X11 = X12 = X13 = X14 = X15 =
0,762 X1 + e11 0,570 X1 + e12 0,567 X1 + e13 0,883 X1 + e14 0,853 X1 + e15
......................................................................(01) .....................................................................(02) ......................................................................(03) ......................................................................(04) .......................................................................(05)
Keterangan : X1 = Kapasitas rumah tangga X11 = Pendidikan X12 = Jumlah anggota rumah tangga X13 = Jumlah tanggungan X14 = Pendapatan X15 = Pemilikan aset e = Kesalahan pengukuran (measurement error) 2)
Pengukuran konstruk Pemberdayaan (X2) Komponen-komponen indeks kesesuaian konstruk pemberdayaan (X2) disajikan dalam Tabel 5.29. Tabel 5.29. Indeks Kesesuaian Konstruk Pemberdayaan di Kecamatan Karangasem dan Kecamatan Manggis Tahun 2012 Indeks Kesesuaian Nilai Batas Nilai yang Keterangan Diperoleh
X2-Chi Square
Diharapkan kecil
Derajat bebas
5,582 2
CMIN/DF
≤ 2,00
2,791
Kurang Baik
Probabilitas
≥ 0,05
0,061
Baik
RMSEA
≤ 0,08
0,110
Kurang Baik
GFI
≥ 0,90
0,981
Baik
AGFI
≥ 0,90
0,907
Baik
TLI
≥ 0,95
0,969
Baik
CFI
≥ 0,95
0,990
Baik
Sumber: Lampiran 9 Data menunjukkan probabilitas sebesar 0,061 (≥ 0,05). Itu berarti hipotesis nol yang menyatakan bahwa terdapat perbedaan antara matriks kovarians sampel dan matriks kovarians populasi yang diestimasi tidak dapat ditolak. Dengan kata lain tidak terdapat perbedaan antara matriks kovarian sampel dan matriks kovarian populasi yang diestimasi dan karena itu, model konstruk pemberdayaan ini dapat diterima. Ukuran indeks lainnya juga sebagian besar menunjukkan nilai yang melebihi nilai batas yang diharapkan, kecuali untuk indeks CMIN/DF dan RMSEA menunjukkan kondisi kurang baik. Meski ada dua komponen indeks kesesuain yang kurang baik, namun dilihat dari koefisen loading factor masing-masing indikatornya seperti disajikan pada Tabel 5.30, seluruhnya berada di atas nilai 0,4 dengan critical ratio lebih besar dari 2,0. Dengan demikian, secara keseluruhan, konstruk pemberdayaan dapat dinyatakan telah memenuhi unsur unidimensional. Tabel 5.30. Koefisien Loading Factor Indikator Konstruk Pemberdayaan di Kecamatan Karangasem dan Kecamatan Manggis Tahun 2012 Indikator Koefisien Loading Factor Critical Ratio Keterangan X21
0,860
Signifikan
X22
0,816
11,556
Signifikan
X23
0,862
12,560
Signifikan
X24
0,738
10,432
Signifikan
Sumber: Lampiran 9
Indikator X21 X22
Tabel 5.31. Reliabilitas Konstruk Pemberdayaan di Kecamatan Karangasem dan Kecamatan Manggis Tahun 2012 Estimasi S.E C.R unstandardized standardized 1.000 0,885 0.781 0,798 0,067 11.610
P 0.000
X23 X24
1.010 0.821
0,846 0,743 3,272
Jumlah Sumber: Lampiran 8
Construct reliability
0,079 0,076 0,222
12.835 10.841
0.000 0.000
(∑ Std. Loading)2 (∑ Std. Loading)2 + ∑εj
= =
= 0,891 Hubungan indikator dengan Konstruk Pemberdayaan digambarkan pada Gambar 5.3.
e21
,74 X21
,74
,67 X22
,86
e24
e23
e22
,86 ,82
X23
,74
Pemberdayaan (X2)
,54 X24
UJI HIPOTESIS Chi-Square =5,582 Probability =,061 CMIN/DF =2,791 TLI =,969 CFI =,990 RMSEA =,110 AGFI =,907
Gambar 5.3 Hubungan Indikator dengan Konstruk Pemberdayaan Berdasarkan Gambar 5.3 maka persamaan konstruk Pemberdayaan sebagai berikut: X21 = 0,860 X2 + e21 .....................................................................(06) X22 = 0,816 X2 + e22 .....................................................................(07) X23 = 0,862 X2 + e23 .....................................................................(08) X24 = 0,738 X4 + e24 ......................................................................(09) Keterangan : X31 = Penyadaran X32 = Pengkapasitasan X33 = Pendayaan X34 = Kontinyuitas e = Kesalahan pengukuran (measurement error) 3) Pengukuran konstruk Budaya (X3)
Komponen-komponen indeks kesesuaian konstruk Budaya (X3) disajikan dalam Tabel 5.32. Tabel 5.32. Indeks Kesesuaian Konstruk Budaya di Kecamatan Karangasem dan Kecamatan Manggis Tahun 2012 Indeks Kesesuaian X2-Chi Square
Nilai Batas
Nilai yang Diperoleh
Diharapkan kecil
2,654
Derajat bebas
Keterangan
2
CMIN/DF
≤ 2,00
1,327
Baik
Probabilitas
≥ 0,05
0,265
Baik
RMSEA
≤ 0,08
0,047
Baik
GFI
≥ 0,90
0,992
Baik
AGFI
≥ 0,90
0,958
Baik
TLI
≥ 0,95
0,997
Baik
CFI
≥ 0,95
0,999
Baik
Sumber: Lampiran 9 Data menunjukkan probabilitas sebesar 0,265 (≥ 0,05). Itu berarti hipotesis nol yang menyatakan bahwa terdapat perbedaan antara matriks kovarians sampel dan matriks kovarians populasi yang diestimasi tidak dapat ditolak. Dengan kata lain tidak terdapat perbedaan antara matriks kovarian sampel dan matriks kovarian populasi yang diestimasi dan karena itu, model konstruk budaya ini dapat diterima. Ukuran indeks lainnya juga menunjukkan nilai yang melebihi nilai batas yang diharapkan sehingga memberi informasi yang lebih kuat terhadap diterimanya model tersebut. Selain dari ukuran kesesuaiannya, diterimanya model pengukuran konstruk budaya juga dapat dilihat dari koefisien loading factor untuk setiap indikatornya. Hasil analisis seperti disajikan pada Tabel 5.33 menunjukkan kondisi yang baik pula karena masing-masing koefisien loading factor berada di atas batas nilai yang diharapkan yaitu lebih besar dari 0,4 dengan nilai critical ratio lebih besar dari 2,0 (Ferdinand, 2002:168). Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa konstruk budaya telah memenuhi unsur unidimensional. Tabel 5.33.
Koefisien Loading Factor Indikator Konstruk Budaya di Kecamatan Karangasem dan Kecamatan Manggis Tahun 2012 Indikator X31
Koefisien Loading Factor 0,937
Critical Ratio
Keterangan Signifikan
X32
0,959
24,267
Signifikan
X33
0,905
19,818
Signifikan
X34
0,923
21,144
Signifikan
Sumber: Lampiran 9 Tabel 5.34. Reliabilitas Konstruk Budaya di Kecamatan Karangasem dan Kecamatan Manggis Tahun 2012 Estimasi Indikator S.E C.R unstandardized standardized X31 1.000 0.937 X32 1.081 0.956 0.045 24.118 X33 0.840 0.905 0.042 19.844 X34 0.952 0.926 0.044 21.476 Jumlah 3,724 0,131
Sumber: Lampiran 8 Construct reliability
=
(∑ Std. Loading)2 (∑ Std. Loading)2 + ∑εj
= = 0,963
Hubungan indikator dengan Konstruk Budaya digambarkan pada Gambar 5.4
P 0.000 0.000 0.000
,88 e31 e32
X31
,92
,94
,96
X32
e33
,82 ,91 ,92 X33
e34
X34
,85
Budaya (X3)
UJI HIPOTESIS Chi-Square =2,654 Probability =,265 CMIN/DF =1,327 GFI =,992 TLI =,997 CFI =,999 RMSEA =,047 AGFI =,958
Gambar 5.4 Hubungan Indikator terhadap Konstruk Budaya
Berdasarkan Gambar 5.4 maka persamaan konstruk Budaya dapat dibuat sebagai berikut: X21 = 0,937 X2 + e21 .....................................................................(10) X22 = 0,959 X2 + e22 ......................................................................(11) X23 = 0,905 X2 + e23 ......................................................................(12) X24 = 0,923 X4 + e24 .......................................................................(13) Keterangan: X21 = Rendah diri X22 = Malas X23 = Pasrah X24 = Perilaku konsumtif e = Kesalahan pengukuran (measurement error).
4) Pengukuran konstruk Sikap untuk keluar dari kemiskinan (Y1) Komponen-komponen indeks kesesuaian konstruks sikap untuk keluar dari kemiskinan (Y1) disajikan dalam Tabel 5.32. Data menunjukkan angka probabilitas model pengukuran sebesar 0,149 (≥ 0,05). Itu berarti hipotesis nol yang menyatakan bahwa terdapat perbedaan antara matriks kovarians sampel dan matriks kovarians populasi yang diestimasi tidak dapat ditolak. Dengan kata lain tidak terdapat perbedaan antara matriks kovarian sampel dan matriks kovarian populasi yang diestimasi dan karena itu, model konstruk sikap ini dapat diterima. Ukuran indeks lainnya juga menunjukkan nilai yang melebihi nilai batas yang diharapkan sehingga memberi informasi yang lebih kuat terhadap diterimanya model tersebut.
Selain dari ukuran kesesuaiannya, diterimanya model pengukuran konstruk sikap juga dapat dilihat dari koefisien loading factor untuk setiap indikatornya. Hasil analisis seperti disajikan pada Tabel 5.35 menunjukkan kondisi yang baik pula karena masing-masing koefisien loading factor berada di atas batas nilai yang diharapkan yaitu lebih besar dari 0,4 dengan nilai critical ratio lebih besar dari 2,0 (Ferdinand, 2002:168) sehingga dapat dinyatakan bahwa konstruk sikap telah memenuhi unsur unidimensional. Tabel 5.35. Indeks Kesesuaian Konstruk Sikap untuk Keluar dari Kemiskinan di Kecamatan Karangasem dan Kecamatan Manggis Tahun 2012 Indeks Kesesuaian X2-Chi Square
Nilai Batas Diharapkan kecil
Derajat bebas
Nilai yang Diperoleh 14,570
Keterangan
2
CMIN/DF
≤ 2,00
1,457
Baik
Probabilitas
≥ 0,05
0,149
Baik
RMSEA
≤ 0,08
0,055
Baik
GFI
≥ 0,90
0,972
Baik
AGFI
≥ 0,90
0,942
Baik
TLI
≥ 0,95
0,975
Baik
CFI
≥ 0,95
0,983
Baik
Sumber: Lampiran 9
Tabel 5.36 Koefisien Loading Factor Indikator Konstruk Sikap untuk Keluar dari Kemiskinan di Kecamatan Karangasem dan Kecamatan Manggis Tahun 2012 Indikator
Koefisien Loading Factor
Critical Ratio
Keterangan
Y11
0,720
7,393
Signifikan
Y12
0,824
7,858
Signifikan
Y13
0,643
6,704
Signifikan
Y14
0,672
-
Signifikan
Y15
0,544
5,863
Signifikan
Y16
0,507
5,576
Signifikan
Sumber: Lampiran 6 Tabel 5.37 Reliabilitas Konstruk Sikap untuk Keluar dari Kemiskinan di Kecamatan Karangasem dan Kecamatan Manggis Tahun 2012 Estimasi Indikator S.E C.R P unstandardized standardized Y11 1.313 0,735 0.168 7.838 0.000 Y12 1.513 0,813 0.179 8.432 0.000 Y13 1.100 0,604 0.167 6.592 0.000 Y14 1.000 0,683 Y15 0.872 0,566 0.140 6.251 0.000 Y16 1.054 0,588 0.164 6.438 0.000 Jumlah 3,989 0,818 Sumber: Lampiran 8 Construct reliability
=
(∑ Std. Loading)2 (∑ Std. Loading)2 + ∑εj
= = 0,828.
Hubungan Indikator dengan Konstruk Sikap digambarkan pada Gambar 5.5.
Sikap RTM (Y1)
,72 ,82,64 ,51 ,67 ,54 ,52 ,68 ,41 ,45 ,30 Y11
Y12
Y13
Y14
Y15
Y16
e41
e42
e43
e44
e45
e46
,26
UJI HIPOTESIS Chi-Square =14,570 Probability =,149 CMIN/DF =1,457 GFI =,972 TLI =,975 CFI =,983 RMSEA =,055 AGFI =,942
Gambar 5.5 Hubungan Indikator dengan Konstruk Sikap. Berdasarkan Gambar 5.5 maka persamaan konstruk sikap dapat dibuat sebagai berikut: Y11 = = 0,720 Y1 + e41 .......................................................................(14) Y12 = = 0,824 Y1 + e42 .......................................................................(15) Y13 = = 0,643 Y1 + e43 .......................................................................(16) Y14 = = 0,672 Y1 + e44 .......................................................................(17) Y15 = = 0,544 Y1 + e45 .......................................................................(18) Y16 = = 0,507 Y1 + e46 .......................................................................(19) Keterangan :
5)
Y11 = Keyakinan kondisi dapat dirubah Y12 = Kemiskinan bukan takdir Y13 = Tidak senang terhadap kemiskinan Y14 = Senang bisa keluar dari kemiskinan Y15 = Niat yang kuat untuk keluar dari kemiskinan Y16 = Bersedia keluar dari kemiskinan e = Kesalahan pengukuran (measurement error). Pengukuran terhadap konstruk Keberdayaan (Y2) Komponen-komponen indeks kesesuaian konstruk Keberdayaan (Y2) disajikan dalam Tabel 5.38.
Tabel 5.38. Indeks Kesesuaian Konstruk Keberdayaan di Kecamatan Karangasem dan Kecamatan Manggis Tahun 2012 Indeks Kesesuaian Nilai Batas Nilai yang Keterangan Diperoleh X2-Chi Square Diharapkan kecil 8,545 Derajat bebas 5
CMIN/DF Probabilitas RMSEA GFI AGFI TLI CFI Sumber: Lampiran 9
≤ 2,00 ≥ 0,05 ≤ 0,08 ≥ 0,90 ≥ 0,90 ≥ 0,95 ≥ 0,95
1,709 0,129 0,069 0,978 0,935 0,892 0,946
Baik Baik Baik Baik Baik Kurang Baik Kurang Baik
Data menunjukkan angka probabilitas model pengukuran sebesar 0,265 (≥ 0,05). Itu berarti hipotesis nol yang menyatakan bahwa terdapat perbedaan antara matriks kovarians sampel dan matriks kovarians populasi yang diestimasi tidak dapat ditolak. Dengan kata lain tidak terdapat perbedaan antara matriks kovarian sampel dan matriks kovarian populasi yang diestimasi dan karena itu, model konstruk keberdayaan ini dapat diterima. Ukuran indeks lainnya juga menunjukkan nilai yang melebihi nilai batas yang diharapkan, kecuali dua indeks yang kondisinya kurang baik yaitu TLI dan GFI. Model pengukuran konstruk keberdayaan juga menunjukkan kondisi yang kurang baik karena dua di antara lima indikatornya menunjukkan nilai koefisien loading factor kurang dari 0,4 seperti disajikan pada Tabel 5.39. Meski demikian, jika dilihat dari nilai critical rationya, seluruh indikator telah menunjukkan hasil lebih besar dari 2,0. Dengan demikian, model pengukuran konstruk keberdayaan masih dapat dinyatakan memenuhi unsur unidimensional.
Tabel 5.39. Koefisien Loading Factor Indikator Konstruk Keberdayaan di Kecamatan Karangasem dan Kecamatan Manggis Tahun 2012 Indikator
Koefisien Loading Factor
Y21
0,465
Y22
0,362
3,229
Signifikan
Y23
0,436
3,268
Signifikan
Y24
0,783
3,115
Signifikan
Y25
0,338
2,891
Signifikan
Sumber: Lampiran 9.
Critical Ratio
Keterangan Signifikan
Tabel 5.40. Reliabilitas Konstruk Keberdayaan di Kecamatan Karangasem dan Kecamatan Manggis Tahun 2012 Estimasi Indikator S.E C.R P unstandardized standardized Y21 1.000 0,583 Y22 0.565 0,311 0,149 3.784 0.000 Y23 0.835 0,427 0,164 5.090 0.000 Y24 1.083 0,590 0,164 6.586 0.000 Y25 0.582 0,456 0,108 5.402 0.000 Jumlah 2,367 0,585 Sumber: Lampiran 8 Construct reliability
=
(∑ Std. Loading)2 (∑ Std. Loading)2 + ∑εj
= = 0,594
Hubungan indikator dengan Konstruk Keberdayaan digambarkan pada Gambar 5.6. ,22
UJI HIPOTESIS Chi-Square =8,545 Probability =,129 CMIN/DF =1,709 GFI =,978 TLI =,892 CFI =,946 RMSEA =,069 AGFI =,935
Y21 ,47
,36 Keberdayaan RTM (Y2)
Y22
,44 ,78 ,34
,13 ,19
Y23
e51 e52 e53
,61 Y24
,11
Y25
e54 e55
Gambar 5.6 Hubungan Indikator dengan Keberdayaan
Berdasarkan Gambar 5.6 maka persamaan konstruk Keberdayaan sebagai berikut:
Y21 = = 0,465 Y2 + e41 .......................................................................(20) Y22 = = 0,362Y2 + e42 ........................................................................(21) Y23 = = 0,436 Y2 + e43 .......................................................................(22) Y24 = = 0,783 Y2 + e44 .......................................................................(23) Y25 = = 0,338 Y2 + e45 .......................................................................(24) Keterangan : Y21 = Peningkatan pengetahuan/keterampilan Y22 = Peningkatan aksesibilitas Y23 = Peningkatan partisipasi Y24 = Peningkatan keragaman dan kualitas produk yang dibeli Y25 = Peningkatan aset e = Kesalahan pengukuran (measurement error). 5.6.2 Uji model struktural Setelah melalui pengujian model pengukuran maka langkah selanjutnya adalah melakukan pengujian terhadap model struktural. Hasil pengolahan data yang menunjukkan ukuran kesesuaian disajikan pada Tabel 5.41. Data pada Tabel 5.41 menunjukkan nilai probabilitas sebesar 0,176 (≥ 0,05). Itu berarti hipotesis nol yang menyatakan bahwa terdapat perbedaan antara matriks kovarians sampel dan matriks kovarians populasi yang diestimasi tidak dapat ditolak. Dengan kata lain tidak terdapat perbedaan antara matriks kovarian sampel dan matriks kovarian populasi yang diestimasi dan karena itu, model struktural penelitian ini dapat diterima. Penerimaan terhadap model struktural ini juga didukung oleh nilai indeks kesesuain lainnya yang menunjukkan kondisi baik, kecuali untuk indeks GFI dan AGFI hanya berada dalam kondisi cukup baik. Namun demikian, secara keseluruhan, hasilnya masih dapat diterima. Tabel 5.41. Indeks Kesesuaian Model Persamaan Struktural Pengaruh Kapasitas Rumahtangga, Budaya, Dan Pemberdayaan Terhadap Sikap Serta Keberdayaan Rumahtangga Miskin Di Kabupaten Karangasem Indeks Kesesuaian X2-Chi Square Derajat bebas
Nilai Batas Diharapkan kecil
Nilai yang Diperoleh 262,353 242
Keterangan
CMIN/DF
≤ 2,00
1,084
Baik
Probabilitas
≥ 0,05
0,176
Baik
RMSEA
≤ 0,08
0,024
Baik
GFI
≥ 0,90
0,879
Cukup Baik
AGFI
≥ 0,90
0,849
Cukup Baik
TLI
≥ 0,95
0,988
Baik
CFI
≥ 0,95
0,990
Baik
Sumber: Lampiran 9 Hasil analisis data yang menunjukkan koefisien regresi hubungan model struktural antara seluruh variabel penelitian disajikan pada Tabel 5.36. Seluruh hubungan antar variabel tersebut menunjukkan koefisien regresi yang signifikan. Selanjutnya model persamaan struktural Pengaruh Kapasitas Rumahtangga, Budaya, dan Pemberdayaan Terhadap Sikap Serta Keberdayaan Rumahtangga Miskin di Kabupaten Karangasem digambarkan pada Gambar 5.7. Tabel 5.42. Koefisien Regresi Hubungan Antar Variabel di Kecamatan Karangasem dan Kecamatan Manggis Tahun 2012 Hubungan Variabel KRTM (X1) Sikap (Y1) KRTM (X1) Keberdayaan (Y2) Pemberdayaan (X2) Sikap (Y1) Pemberdayaan (X2) Keberdayaan (Y2) Budaya (X3) Sikap (Y1) Budaya (X3) Keberdayaan (Y2) Sikap (Y1) Keberdayaan (Y2) Sumber: Lampiran 9.
Koefisien Regresi Ustandardized Standardized 0,355 0,247 0,234 0,135
Critical Ratio 3,740 2,816
Keterangan
0,270
0,165
2,987
Signifikan
0,371
0,188
4,394
Signifikan
-0,262 -0,255
-0,145 -0,117
3,036 3,302
Signifikan Signifikan
0,520
0,432
4,530
Signifikan
Berdasarkan Gambar 5.8 diperoleh persamaan struktural sebagai berikut: Y1 = 0,247 X1 + 0,165 X2 + 0,145 X3 ................................................(25) Y2 = 0,135 X1 + 0,188 X2 + 0,117 X3 + 0,432 Y1 ……………............(26) Keterangan:
Signifikan Signifikan
X1 = Kapasitas rumah tangga miskin X2 = Pemberdayaan X3 = Budaya Y1 = Sikap terhadap keluar dari kemiskinan Y2 = Keberdayaan rumah tangga miskin e21
X22 ,88
,39
,61 e11
X11
e12
,33
,72
,64
X21
e24
e23
e22
,78
X23
,85 ,80
,55 X24
,74
Upaya Pemberdayaan (X2)
,34 ,37
,78
Y21
X12
,33 ,57 ,58 X13 ,87 ,76 ,85 X14
e13 e14
,58
,31
,23
Kapasitas RTM (X1)
,27
,72
e15
X15
1,18
,41 ,35,26
,34
e32 e33
X31
,91
Y25
,35 ,21
e52 e53 e54 e55
,46
,91 ,82 ,93 X33
Budaya (X3)
,26
Sikap RTM (Y1)
z1
,73 ,81,60 ,68 ,57 ,59 ,54 ,66 ,36 ,47 ,32
,86 e34
,18
e51
z2
,94
,96
X32
Y23 Y24
,52
,88 e31
Y22
,43 ,59 ,46
Keberdayaan RTM (Y2)
,10
X34 Y11
Y12
Y13
Y14
Y15
Y16
e41
e42
e43
e44
e45
e46
,35
UJI HIPOTESIS Chi-Square =262,353 Probability =,176 CMIN/DF =1,084 GFI =,879 TLI =,988 CFI =,990 RMSEA =,024 AGFI =,849
Gambar 5.7. Model Persamaan Struktural Pengaruh Kapasitas Rumahtangga, Budaya, dan Pemberdayaan Terhadap Sikap Serta Keberdayaan Rumahtangga Miskin di Kabupaten Karangasem
5.6.3 Pengujian hipotesis Untuk menguji hipotesis yang telah dirumuskan, data yang digunakan adalah data tentang hubungan antar variabel sesuai dengan model struktural seperti disajikan pada Tabel 5.42 Secara rinci hasil pengujian tiap hipotesis dijelaskan di bawah ini.
1) ) Kapasitas rumah tangga miskin (X1) berpengaruh positif terhadap Sikap (Y1) memperoleh dukungan signifikan. Ini ditunjukkan dengan koefisien regresi sebesar 0,355 dengan p<0,001 atau critical ratio sebesar 3,740 (≥2,0). 2) Kapasitas Rumah Tangga Miskin (X1) berpengaruh positif terhadap Kerberdayaan (Y2) memperoleh dukungan signifikan. Ini ditunjukkan dengan koefisien regresi sebesar 0,234 dengan p ≤0,01 atau critical ratio sebesar 2,816 (≥2,0). 3) Pemberdayaan (X2) berpengaruh positif terhadap Sikap (Y1) memperoleh dukungan signifikan. Ini ditunjukkan dengan koefisien regresi sebesar 0,270 dengan p ≤0,01 atau critical ratio sebesar 2,987 (≥2,0). 4) Pemberdayaan (X2) berpengaruh positif terhadap Kerberdayaan (Y2) memperoleh dukungan signifikan. Ini ditunjukkan dengan koefisien regresi sebesar 0,371 dengan p ≤0,001 atau critical ratio sebesar 4,394 (≥2,0). 5) Budaya (X3) berpengaruh negatif signifikan terhadap Sikap (Y1). Ini ditunjukkan dengan koefisien regresi sebesar -0,262 dengan p ≤0,01 atau critical ratio sebesar -3,036 (≥2,0). 6) Budaya miskin (X3) berpengaruh negatif signifikan terhadap Sikap (Y1) memperoleh dukungan signifikan. Ini ditunjukkan dengan koefisien regresi sebesar -0,262 dengan p ≤0,01 atau critical ratio sebesar -3,036 (≥2,0). 7) Sikap (Y1) berpengaruh positif terhadap Kerberdayaan (Y2) memperoleh dukungan signifikan. Ini ditunjukkan dengan koefisien regresi sebesar 0,520 dengan p ≤0,001 atau critical ratio sebesar 4,530 (≥2,0). 5.7 Pengaruh Langsung, Pengaruh Tak Langsung, dan Pengaruh Total Penggunaan model persamaan struktural memungkinkan untuk mengetahui adanya pengaruh langsung, pengaruh tak langsung, dan pengaruh total dari berbagai hubungan yang diidentifikasi dalam model struktural. Hasil perhitungan atas ketiga jenis pengaruh itu disajikan pada Tabel 5.38. Tabel 5.43.
Pengaruh Langsung, Tak Langsung, dan Total antar Variabel di Kecamatan Karangasem dan Kecamatan Manggis Tahun 2012 Hubungan Variabel Sifat Koefisien Regresi Hubungan RTM (X1) Sikap (Y1) Langsung 0,355 Pemberdayaan (X2) Sikap (Y1)
Langsung
0,270
Budaya (X3) Sikap (Y1)
Langsung
-0,262
RTM (X1) Keberdayaan (Y2)
Langsung
0,234
Pemberdayaan (X2) Keberdayaan (Y2)
Langsung
0,371
Budaya (X3) Keberdayaan (Y2)
Langsung
-0,255
Sikap (Y1) Keberdayaan (Y2)
Langsung
0,520
RTM (X1) Keberdayaan (Y2) melalui Sikap (Y1)
Tak langsung
0,185
Pemberdayaan (X2) Keberdayaan (Y2) melalui Sikap (Y1)
Tak langsung
0,141
Budaya (X3) Keberdayaan (Y2) melalui Sikap (Y1)
Tak langsung
-0,136
RTM (X1) Keberdayaan (Y2)
Total
0,419
Pemberdayaan (X2) Keberdayaan (Y2)
Total
0,512
Budaya (X3) Keberdayaan (Y2)
Total
-0,392
Sumber: Lampiran 10
Koefisien pengaruh langsung antara dua variabel identik dengan koefisien regresi yang digunakan untuk pengujian hipotesis, sedangkan pengaruh tak langsung menunjukkan hubungan satu variabel eksogen (dalam hal ini RTM, Pemberdayaan, dan Budaya) dengan satu variabel endogen yang menjadi pusat perhatian akhir (yaitu Keberdayaan) melalui satu variabel endogen lainnya sebagai variabel perantara (yaitu Sikap keluar dari kemiskinan). Sementara itu, pengaruh total menunjukkan pengaruh keseluruhan masing-masing variabel
eksogen terhadap variabel endogen akhir, yang
merupakan penjumlahan pengaruh langsung dan pengaruh tak langsung.
BAB VI PEMBAHASAN
6.1 Pembahasan Hasil Deskripsi Variabel Penelitian 6.1.1 Kapasitas rumah tangga miskin Deskripsi variabel Kapasitas Rumah Tangga Miskin (selanjutnya disingkat Kapasitas RTM) telah disajikan pada Tabel 5.17. Seluruh indikator Kapasitas RTM menunjukkan kondisi responden yang kurang baik. Mulai dari tingkat pendidikan sampai kepemilikan aset, berada pada kondisi di bawah rata-rata. Penelitian Azis (2006) menemukan bahwa karakteristik rumah tangga seperti jumlah anggota rumah tangga, pendidikan, kesehatan, dan keberadaan rumah tangga berhubungan dengan kemiskinan. Makin banyak anggota rumah tangga, maka beban tanggungan akan semakin besar. Hal ini membuat peluang terjadinya kemiskinan semakin besar. Di lain sisi, tingkat pendidikan yang semakin tinggi menyebabkan semakin luasnya kesempatan untuk memperoleh pekerjaan, yang pada akhirnya tingkat kemiskinan akan semakin menurun. Demikian pula halnya dengan tingkat kesehatan. Semakin tinggi tingkat kesehatan seseorang, maka produktivitasnya pun akan meningkat sehingga orang tersebut akan mampu meningkatkan pendapatannya. Hasil penelitian menunjukkan responden yang tidak lulus SD berjumlah 31,3 persen, pernah bersekolah sebanyak 14,7 persen, dan yang mampu menamatkan SD sebanyak 28 persen. Sisanya ternyata sudah mampu menamatkan pendidikan sampai tingkat SMP bahkan SMA. Kondisi ini sesuai dengan temuan penelitian yang dilakukan oleh Faturrochman dan Melo (1994) yang menyatakan bahwa masyarakat yang bekerja sebagai buruh dan petani serta berpendidikan rendah memiliki produktivitas yang rendah pula. Hal ini kemudian berdampak pada rendahnya pendapatan yang mereka peroleh. Rendahnya produktivitas tersebut disebabkan oleh adanya sikap subsistem manded, yaitu bekerja hanya untuk memenuhi kebutuhan pokok tanpa mau memanfaatkan potensi lebih besar untuk meningkatkan pendapatan rumah tangga. Dilihat dari jumlah anggota rumah tangga dan beban tanggungan rumah tangga, data menunjukkan bahwa kondisi rumah tangga miskin tidak berbeda jauh dengan kondisi rumah tangga pada umumnya, yaitu ukuran rumah tangga rata-rata sebanyak lima orang atau kurang. Hanya sebagian
kecil saja (kurang dari 10 persen) yang memiliki anggota rumah tangga atau beban tanggungan lebih dari lima orang. Sementara itu, dilihat dari rata-rata pendapatan kepala rumah tangga per hari, hampir separuh (49,3 persen) hanya mampu memperoleh pendapatan < Rp. 600.000,- sehari, sebanyak 28,0 persen memperoleh pendapatan antara Rp. 600.000,- sampai Rp. 900.000,- dan sisanya sebanyak 22,7 persen memperoleh pendapatan > Rp. 900.000,-. Jika dihubungkan dengan jumlah anggota rumah tangga dan beban tanggungan, maka dengan rata-rata perolehan pendapatan tersebut responden masih berada pada kondisi miskin. Lebih lagi, ditemukan bahwa nilai kepemilikan aset menunjukkan angka yang sangta kecil. Lebih dari separuh responden (95,33 persen) asetnya hanya bernilai kurang dari Rp. 500.000,-. Dengan demikian indikator ini semakin menunjukkan bahwa kondisi responden memang miskin. I Wayan Ranis (responden no 60) dari Banjar Tegalinggah, Desa Tegalinggah, menyatakan bahwa dari sejak orang tuanya masih hidup sampai saat penelitian ini dilakukan, kehidupannya serba kekurangan. Lebih lanjut Ranis mengatakan: “Tiang ten medue napi, napi malih pipis. Gaen tiang nandu dicarik duen pak Gede sane delod telabahe niki, duang tuluk sareng Wayan Rangga. Ajengan titiang wantah ngerereh dicarike sakadi jukut antug-atugan lan beras bantuan raskin saking kepala dusun”(17 Oktober 2012). (saya tidak punya apa-apa, apalagi uang. Pekerjaan saya hanya sebagai petani penyakap lahan pak Gede di sebelah selatan parit bersama pak wayan Rangga. Kebutuhan makan lebih banyak saya peroleh dari sawah seperti sayur-sayuran dan beras diperoleh dari raskin yang diberikan kepala Dusun). Hasil studi ini mendukung studi Gustafsson, Bjorn and Yue, Ximing (2006), yaitu rumah tangga dengan banyak anggota rumah tangga serta kepala rumah tangga yang berpendidikan rendah, maka anak-anak tersebut menghadapi risiko kemiskinan yang lebih tinggi dari orang lain. Selanjutnya Affandi (2011), memperoleh temuan penelitian bahwa rumah tangga yang memiliki anggota rumah tangga lebih dari empat orang dengan tingkat pendidikan SMP ke bawah memiliki peluang 1,312 kali lebih besar untuk menjadi miskin dibandingkan dengan rumah tangga miskin yang memiliki pendidikan di atas SMP. Seperti yang dialami oleh Ketut Kaler (responden no 53) dengan jumlah anak
sebanyak 4 orang menyatakan merasa berat menanggung beban hidup rumah tangga. Lebih lanjut ia mengatakan Pekerjaan sebagai sopir dengan mendapat penghasilan Rp.550.000 per bulan merasa berat untuk memenuhi kebutuhan keluarga dan menyekolahkan anak meskipun sudah ada bantuan pemerintah, akan tetapi biaya hidup dan kebutuhan sekolah lainnya kadang-kadang saya harus meminjam sama keluarga atau tetangga.Saat ini saya masih punya hutang tidak hanya dengan keluarga tetapi juga ditempat saya bekerja sehingga penghasilan yang saya terima tidak utuh. Muninjaya (2009) menyatakan bahwa kemiskinan di suatu daerah disebabkan oleh rendahnya pendidikan dan pendapatan rumah tangga miskin. Kondisi ini diperburuk oleh terbatasnya akses pemasaran produk pertanian yang dihasilkan, serta mobilitas penduduk usia produktif yang sangat rendah. Faturrochman dan Molo (1994) menyatakan bahwa karakteristik rumah tangga sangat berpengaruh terhadap tingkat kemiskinan. Bagi mereka yang pendidikannya rendah dengan pekerjaan sebagai buruh dan petani, memiliki produktivitas kerja yang rendah sehingga pendapatan yang diterima juga rendah. Rendahnya pendapatan yang diperoleh merupakan indikator utama dalam persoalan kemiskinan. Menurut Yanling, Xinhong, dan Zhuang (2010), masyarakat yang tinggal di daerah dengan topografi yang tinggi dan sering mengalami bencana memungkinkan terjadinya kemiskinan. Selain itu, masyarakat yang tinggal di lingkungan miskin (kumuh) yang disertai dengan rendahnya pendidikan, mengalami tingkat kematian lebih tinggi atau harapan hidupnya lebih pendek dibandingkan mereka yang bertempat tinggal di lingkungan yang tidak kumuh (Rachel, 2003). Menurut Andriwardhana (2009), pendapatan rumah tangga miskin rendah karena mereka lebih banyak menganggur sehingga terjadi penurunan upah riil. Hal ini berimbas pada penurunan permintaan produk-produk kebutuhan pokok. Selain itu, faktor lain yang berpengaruh secara signifikan terhadap pendapatan rumah tangga di pedesaan antara lain tingkat pendidikan kepala rumah tangga, luas lahan, dan umur kepala rumah tangga. 6.1.2 Pemberdayaan Pemberdayaan merupakan upaya untuk menciptakan atau meningkatkan kapasitas masyarakat, baik secara individu maupun berkelompok, guna memecahkan berbagai persoalan terkait upaya
peningkatan kualitas hidup, kemandirian dan kesejahteraannya untuk keluar dari lingkaran kemiskinan. Seperti dikemukakan oleh Wrihatnolo dan Nugroho (2007) bahwa pemberdayaan pada dasarnya merupakan suatu proses yang dijalankan dengan kesadaran dan partisipasi penuh dari para pihak yang berwenang untuk meningkatkan kapasitas dan kapabilitas masyarakat sebagai sumberdaya pembangunan. Tujuannya adalah agar mampu mengenali permasalahan yang dihadapi dalam mengembangkan dan menolong diri menuju keadaan yang lebih baik, mampu menggali dan memanfaatkan sumberdaya yang tersedia untuk kepentingan diri dan kelompoknya, serta mampu mengeksistensikan diri secara jelas dengan mendapat manfaat darinya. Proses ini dibagi menjadi tiga tahap, yaitu: tahap penyadaran, pengkapasitasan dan pendayaan. Upaya pemberdayaan yang ditujukan untuk peningkatan penyadaran, pengkapasitasan, dan pendayaan belum begitu kuat dirasakan manfaatnya oleh rumah tangga miskin. Pemberdayaan yang dilakukan pihak pemerintah selama ini dinilai responden belum mampu meningkatkan penyadaran, pengkapasitasan, dan pendayaan bagi masyarakat, kecuali kontinyuitas programnya dianggap sudah cukup. Pemeberdayaan pemerintah terhadap rumah tangga miskin di Karangasem tersebut disajikan pada Tabel 5.18. Sebagai contoh terdapat program untuk peningkatan pendayaan yang disebut PKH (Program rumah tangga Harapan). Program ini merupakan upaya pemberian bantuan kesehatan dan pendidikan oleh Dinas Sosial setempat. Akan tetapi, program mulia ini sering kali kurang efektif karena tidak didukung oleh data yang akurat. Tidak jarang terjadi antara data yang disajikan secara statistik berbeda dengan data yang digunakan oleh pihak Dinas Sosial sehingga pemberian bantuan menjadi tidak tepat sasaran. Selain itu, kekurangefektifan program ini juga berasal dari pihak penerima bantuan. Pihak rumah tangga miskin yang menerima bantuan tidak menunjukkan kerja sama yang baik untuk mewujudkan keberhasilan program ini. Bantuan yang diterima semata-mata hanya dipandang sebagai bantuan yang sifatnya insidental, bukan dipandang sebagai perangsang untuk memacu tindakan selanjutnya yang bersifat jangka panjang. Misalnya, bantuan dana untuk peralatan pendidikan tidak dimanfaatkan sebagaimana peruntukkannya melainkan digunakan untuk hal-hal lain kurang produktif.
Meskipun upaya pemberdayaan pada mulanya dirasa memberi nilai tambah, tapi akibat tidak didukung oleh kemampuan lainnya, hal itu akhirnya tidak memberi manfaat yang signifikan. Sebagai contoh adalah pemberian pelatihan untuk menganyam perabotan dari bahan “ate”. I Wayan Geden selaku Kepala Desa Seraya Timur mengatakan: Program pemerintah melalui pemberdayaan masyarakat, awalnya disambut antusias oleh masyarakat. Pemerintah melaksanakan pelatihan keterampilan menganyam ate menjadi sandal, tempat tisu, asbak dan lain sebagainya, akan tetapi karena penyaluran produksi tidak berkelanjutan dan bahan baku ate yang didatangkan dari luar daerah harganya sangat mahal, akibatnya produksi tidak berkelanjutan (11 Januari 2013).
Keterampilan tersebut awalnya mampu memberi tambahan penghasilan. Namun, karena ketidakmampuan menjangkau pasar menyebabkan pihak perajin sangat dikendalikan oleh pengepul sehingga tidak menikmati harga yang layak untuk hasil produksinya. Selain itu, ternyata bahan baku “ate” cukup sulit diperoleh dan harus didatangkan dari luar daerah. Hal ini juga menyebabkan harga jual produk menjadi cukup mahal. Perajin menjadi berada pada posisi terjepit di tengah. Kondisi inilah yang menyebabkan upaya pemberdayaan untuk peningkatan pendayaan menjadi kurang efektif. Hal positif bagi upaya pemberdayaan yang dipandang cukup baik oleh responden adalah keberlanjutan program, yang menunjukkan keberlangsungan upaya pemerintah memberikan bantuan kepada rumah tangga miskin. Tindakan nyata dan sudah umum dikenal adalah berupa pembagian beras miskin. Meskipun kondisi kekurangakuratan data juga seringkali terjadi di lapangan, namun sejauh ini program tersebut menjadi semacam “penahan” rasa sakit bagi penyakit kemiskinan yang selama ini dirasakan. Secara konseptual, program pemberdayaan yang dilakukan pemerintah sesuai dengan konsep Laderich, et al.(2003) tentang participatory rural appraisal (PRA). Konsep ini menyatakan bahwa melalui metode memampukan masyarakat lokal untuk berbagi, merencanakan, dan bertindak, maka kemiskinan akan mampu untuk dientaskan. Hasil penelitian di lapangan menunjukkan bahwa RTM bersikap tidak proaktif atas program-program yang digulirkan oleh pemerintah. Mereka beranggapan upaya penyadaran, pengkapasitasan dan pendayaan dirasakan belum mampu merubah kemiskinan
yang dialami. RTM lebih mengharapkan pemberdayaan berupa bantuan langsung terhadap permasalahan yang sedang dihadapi seperti pemenuhan kebutuhan pokok, permodalan, pendidikan gratis, dan bantuan fisik lainnya seperti bedah rumah. Harapannya program-program bantuan ini hendaknya dilaksanakan secara berkesinambungan. Pelaksanaan bantuan langsung oleh pemerintah seperti pembagian beras miskin (raskin) ternyata banyak mengalami masalah. Selain karena banyak dari rumah tangga miskin yang lokasinya terpencil sehingga sulit diakses, masalah juga disebabkan oleh ketidakakuratan data di lapangan. Kurang akuratnya data disebabkan oleh perbedaan acuan yang digunakan sebagai dasar penetapan jumlah rumah tangga miskin. Sebagai contoh, pembagian raskin sebelum tahun 2012 menggunakan data acuan yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik, sedangkan mulai tahun 2012, acuan yang digunakan adalah data dari TNP2K (Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan). Seperti disampaikan oleh Ketut Deresta, SH selaku Kepala Desa Angantelu Kelod, bahwa sangat sulit untuk mendistribusikan bantuan raskin mengingat jumlah RTM yang mendapat raskin tahun 2011 sebanyak 197 KK dan pada tahun 2012 berubah drastis menjadi 265 KK. Ketika di lapangan, ternyata dijumpai ada sejumlah RTM yang betul-betul miskin dan tidak memperoleh bantuan raskin karena tidak tercantum dalam daftar penerima bantuan, sehingga hal itu menyulitkan petugas lapangan. Lebih lanjut Deresta mengatakan: “Semeton deriki sami nagih aluh, program pemerintah sane nenten preside ngicenen bantuan langsung sekadi beras, bedah rumah lan tiosan, warga meweh jagi nyarengin program pemberdayan sekadi pelatihan, ceramah, keterampilan, nak ten nekang pipis semeton ten sampun rauh”(3November 2012). (Warga disini maunya gampang program pemerintah yang tidak memberikan bantuan langsung seperti bantuan raskin, bedah rumah dan serta program pemberdayaan berupa pelatihan, ceramah mereka tidak mau hadir karena dianggap tidak menghasilkan uang. Dari hasil wawancara di atas diperoleh gambaran bahwa RTM di Karangasem ternyata lebih mengharapkan pada program pendayaan berupa bantuan langsung dan penanganannya disesuikan dengan permasalahan yang sedang dihadapi rumah tangga miskin
6.1.3 Budaya
Budaya yang dimaksud di sini lebih berkonotasi negatif yaitu meliputi nilai, keyakinan, kebiasan atau perilaku yang menyebabkan seseorang sulit untuk keluar dari kondisi kemiskinan. Budaya di sini diukur melalui empat indikator dan hasilnya telah disajikan pada Tabel 5.19. Kondisi kemiskinan telah menyebabkan responden merasa cukup rendah diri dan umumnya mengharapkan bantuan orang atau pihak lain. Hal menarik yang diperoleh adalah mereka tampaknya cukup konsumtif. Konsumtif yang dimaksudkan di sini, responden bersedia mengeluarkan biaya untuk sesuatu meskipun seringkali tidak punya dana untuk hal tersebut sehingga selalu mencari bantuan atau utang di sana-sini. Biaya-biaya tersebut umumnya meliputi kewajiban yang berhubungan dengan pelaksanaan ritual adat dan kekerabatan seperti hari kelahiran yang dirayakan secara besar-besaran (upacara 42 hari, tiga bulanan, atau enam bulanan harus pakai babi guling), upacara kawin harus “ngejot” ke banyak tetangga, upacara kematian atau ngaben harus menyembelih babi dan ada acara minum arak bagi warga yang berkunjung ke rumah duka. Kewajiban untuk melaksanakan ritual yang ditujukan kepada leluhur dan rasa bakti kepada Tuhan telah menjadi tradisi yang sulit untuk tidak diikuti. Mereka terbelenggu pada tradisi yang sudah diterima secara turun temurun dan tidak memiliki keberanian untuk mengubah atau menolaknya. Cibiran, ucapan dan pandangan negatif kerabat atau masyarakat sekitar saat tidak bisa melaksanakan suatu kegiatan ritual seringkali membebani dan mengganggu perasaan responden. Demi tidak ingin dikucilkan atau menjadi buah bibir maka mereka berupaya sekuat tenaga untuk memenuhi kewajiban tersebut. Semua itu membutuhkan biaya yang tidak sedikit sehingga utang makin menumpuk seperti digambarkan Tabel 5.9. Terdapat anggapan bahwa melaksanakan kegiatan sosial merupakan tanggung jawab kepala rumah tangga yang sudah dilakukan secara turun temurun dan pantang untuk tidak dilaksanakan meskipun mengorbankan pekerjaan. Seperti disampaikan oleh I Nengah Serinada dari Banjar Tukad Tiis Desa Seraya timur (responden no 85) sebagai berikut: “Kegiatan ritual dan sosial kemasyarakatan wajib dilakukan meskipun mengeluarkan biaya. Kami selalu berusaha untuk melaksanakan kegiatan tersebut untuk mendapatkan ketenangan dan ketenteraman rumah tangga. Ada perasaan kurang atau bersalah jika tidak melakukan kebiasaan yang telah dilakukan secara turun temurun” (4 November 2012).
Perasaan tidak “berani” ditinggalkan oleh kerabat dan masyarakat sekitar juga cukup besar pengaruhnya pada kondisi makin memburuknya keadaan. Sudah menjadi semacam “transaksi” sosial bahwa bila seseorang rajin memberikan atau menyumbang, baik dalam bentuk materi atau non materi, maka ia bisa berharap diperlakukan sama di kemudian hari. Kondisi demikian memberi rasa “aman” baginya dalam kehidupan sosial. Selain transaksi sosial tersebut, terdapat faktor eksternal yang cukup kuat mengungkung responden sehingga cukup sulit keluar dari kondisi kemiskinan. Kekuatan awig-awig di desa adat atau pakraman masing-masing yang “memaksa” anggotanya untuk memenuhi kewajiban tertentu juga berhubungan signifikan dengan kemiskinan rumah tangganya. Keharusan hadir secara fisik dalam kegiatan tertentu (yang frekuensinya cukup tinggi) telah menyebabkan produktivitas kerja responden menjadi sangat rendah. Hukuman yang dibebankan, baik hukuman ekonomis maupun hukuman “sosial” telah membuat responden seringkali harus mengorbankan peluang kerjanya yang mampu memberinya ruang untuk sedikit memperbaiki kondisi hidupnya. Hal yang menarik adalah, hukuman sosial justru lebih kuat atau lebih menakutkan dari pada hukuman ekonomis, dan hal ini merupakan lingkaran “setan” yang menyebabkan responden akhirnya kembali kepada kondisi kemiskinan itu sendiri. Seperti yang dialami I Made Sudiarta (responden 68) yang terpaksa berhenti bekerja sebagai penjaga gudang dikarenakan tidak dapat mentaati aturan perusahaan ditempat bekerja karena sering ijin. Lebih lanjut ia mengatakan: “Mangkin tiang sampun ten mekarya kurenan titiang pateh ten mekarya pianak kalih kari alit-alit, yen wenten semeton mediolas tiang sanggup ngisinin pinunas ipun mangda preside antuk ngicenin anak alit ajengan. Utang tiang sampun makueh ring koperasi”(29 September 2012) (Sekarang saya sudah tidak bekerja demikian pula istri saya dengan dua anak masih kecilkecil, jika ada warga minta tolong melakukan pekerjaan saya selalu bersedia demi kelangsungan hidup dan utang di koperasi sudah banyak). Hasil di lapangan ini mendukung pendapat Suryawati (2005) yang menyatakan kemiskinan kultural mengacu kepada persoalan sikap seseorang atau masyarakat yang disebabkan oleh faktor
budaya, seperti tidak mau berusaha memperbaiki tingkat kehidupan, malas, pemboros, tidak kreatif meskipun ada bantuan dari pihak luar. Lebih lanjut
Suryawati (2005) menjelaskan pola hidup
konsumtif pada petani dan nelayan ketika panen raya, adat-istiadat yang konsumtif juga banyak mewarnai masyarakat pedesaan seperti berbagai pesta rakyat atau upacara perkawinan, kelahiran, bahkan kematian yang dibiayai di luar kemampuan karena prestise dan keharusan budaya. Demikian juga penelitian oleh Satriawan (2008) yang menemukan bahwa kemiskinan masyarakat nelayan Desa Labuhan Kuris sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai dan tradisi yang dianut seperti pandangan mereka tentang makna hidup, pandangan mereka tentang fungsi kerja dan budaya kerja yang mereka jalani, tidak memiliki motivasi yang kuat untuk berusaha dan memiliki etos kerja yang rendah. Hasil studi ini juga mendukung teori budaya kemiskinan Lewis yang menyatakan orang miskin memiliki kebiasaan sendiri yang berbeda dengan masyarakat kebanyakan. Mereka memiliki kebiasaan negatif seperti malas, fatalisme atau menyerah pada nasib, rendah diri, tidak memiliki jiwa kewirausahaan dan kurang menghormati etos kerja. Meskipun responden merasa cukup rendah diri, sering mengharapkan bantuan orang lain, dan cenderung
konsumtif,
mereka
rupanya
tidak
pasrah
menghadapi
kondisi
kemiskinan.
Kekurangpasrahan ini menunjukkan indikasi bahwa sebenarnya mereka masih punya harapan untuk melakukan sesuatu agar bisa keluar dari kondisi kemiskinan.
6.1.4 Sikap untuk keluar dari kemiskinan Sesuai dengan Teori Sikap dari Fishbein dan Azjen (1975 dalam Schiffman dan Kanuk, 2007), niat seseorang untuk berperilaku ditentukan oleh sikapnya terhadap perilaku tersebut dan norma subyektifnya terhadap perilaku itu. Perilaku yang dimaksudkan di sini adalah tindakan seseorang dalam konteks tertentu, seperti misalnya membeli produk, menggunakan komputer, menggunakan alat kontrasepsi, membayar pajak, dan sejenisnya. Berkaitan dengan konteks kemiskinan, maka niat berperilaku yang dimaksudkan adalah niat untuk keluar dari kemiskinan, sehingga sesuai dengan teori tersebut maka yang menentukan niat itu adalah sikap untuk keluar dari kemiskinan itu.
Hasil penelitian terhadap konstruk sikap telah disajikan pada Tabel 5.20. Data menunjukkan hal yang menarik. Separuh dari enam indikator menunjukkan komponen sikap yang kurang baik, sisanya menunjukkan komponen yang cukup baik. Responden tidak cukup punya keyakinan atau kepercayaan bahwa kemiskinan bisa diubah. Mereka juga tidak cukup percaya bahwa mereka bisa keluar dari kemiskinan. Di lain sisi, mereka juga tidak cukup percaya bahwa kemiskinan disebabkan oleh takdir. Dalam kondisi demikian, responden memiliki keinginan yang cukup kuat untuk keluar dari kemiskinan, cukup percaya bahwa kemiskinan dapat diatasi dengan bekerja keras, serta cukup percaya akan mampu mengatasi kemiskinan. Cukup rendahnya keyakinan bahwa kondisi kemiskinan bisa diubah dapat dijelaskan oleh pendapat Sen (1998) yang menyatakan bahwa kemiskinan terjadi karena seseorang dilahirkan dirumah tangga tidak mampu dengan lingkungan budaya yang tidak memiliki kemauan untuk meningkatkan status sosial ekonomi, sehingga mereka hidup dikeluarga miskin. Blomquistt ( 2002) yang melakukan penelitian pada masyarakat migran Amerika Latin di Amerika memperoleh hasil bahwa 36 persen penduduk migran miskin disebabkan oleh tidak adanya sikap untuk keluar dari kemiskinan dan sangat tergantung dari bantuan dari pihak lain. Hasil penelitian yang menunjukkan bahwa responden memiliki persepsi yang cukup baik tentang “kemiskinan dapat diubah dengan bekerja keras” didukung oleh data bahwa lebih dari 19 persen responden yang bekerja ternyata memiliki pekerjaan sampingan. Tujuannya adalah untuk menambah penghasilan sehingga bisa sedikit demi sedikit dapat mengubah kondisi kemiskinannya. Selain itu ada juga di antaranya yang memperluas akses pekerjaannya setelah memiliki aset seperti alat komunikasi berupa telepon genggam. Hasil wawancara mendalam terhadap tukang bangunan I Made Sudiarta (responden no 119) dari Banjar Ketug Desa Antiga menunjukkan bahwa upayanya menambah penghasilan makin tampak sejak memiliki telepon genggam. Kepemilikan telepon genggam ini mempermudah dirinya untuk memperoleh kesempatan bekerja sampai ke luar desa bahkan ke luar kota, sedangkan sebelumnya hanya terbatas di seputar desanya saja. Lebih lanjut Sudiarta mengatakan:
“Kewentenan HP niki titiang nenten meweh nyobiahin sareng semeton sane ajak tiang mekarya lan nenten perlu titian ngerauhin. Mangkin yen wenten idadane nunas tukang cukup mengubungi nomor HP titiang. Dumun sadurung titian meduwe HP karya nukangin manteh ring desa deriki manten, mangkin sampun kota lan sane tiosan”(8 Desember 2012). (Keberadaan HP membuat saya merasa dibantu karena jika ada sesuatu yang harus diputuskan tidak perlu datang dan bagi warga yang berkeinginan mencari saya cukup menghubungi lewat HP. Pekerjaan nukang sekarang tidak hanya bisa saya lakukan di desa ini saja, tetapi sudah sampai ke kota lainnya. Hal serupa juga dirasakan oleh I Made Kariasa (responden no 93) dari Banjar Tukad buah Seraya Timur. Sejak memiliki kendaraan ia bisa mengantar istrinya ke pasar lebih pagi untuk membeli barang-barang dagangan guna memenuhi kebutuhan pelanggan dan setelah itu kendaraan dimanfaatkan sebagai ojek. Titiang jam tiga sampun bangun jagi nganter kurenan titiang ke pasar karangasem numbas bahan-bahan dagangan jagi keadol deriki.Yen tengaaian kedik ten polih jukut-jukut sane seger, nak sampun layu. Tiosan nika malih meweh ring pasar mesesek sampun makeh semeton sane tiosan mebelanja ring pasar (8 Desember 2012) (saya jam tiga sudah bangun untuk mengantar istri ke pasar kota Karangasem untuk membeli bahan-bahan dagangan. Jika kesiangan bahan-bahan yang akan di beli sudah tidak segar, disamping itu di pasar sudah ramai dan sesak sehingga sulit untuk memilih bahan dagangan).
Demikian pula penelitian Tricahyono (2010) yang menyimpulkan sikap mental berpengaruh sigifikan terhadap kemiskinan masyarakat. Adanya sikap untuk segera keluar dari kemiskinan menyebabkan budaya malu dan rendah diri atas keadaan yang dialami, sehingga rumah tangga miskin memiliki tekad untuk segera keluar dari belenggu kemiskinan, dengan memanfaatkan potensinya untuk bisa meningkatkan pendapatan rumah tangga melalui pemanfaatan waktu untuk bekerja dan peningkatan pendidikan anak.
6.1.5 Keberdayaan Keberdayaan dalam konteks kemiskinan menunjukkan kondisi seseorang untuk membantu dirinya sendiri keluar dari situasi kemiskinan setelah melalui berbagai upaya, baik yang sifatnya internal maupun eksternal. Hasil penelitian tentang tingkat keberdayaan rumah tangga miskin di dua kecamatan di Kabupaten Karangasem telah disajikan pada Tabel 5.21. Empat dari lima indikator
kemiskinan yaitu peningkatan pengetahuan, peningkatan aksesibilitas, peningkatan partisipasi dalam kegiatan sosial ekonomi, serta peningkatan penghasilan menunjukkan responden berada pada tingkat keberdayaan yang cukup, sedangkan satu indikator terakhir yaitu penambahan aset masih cukup rendah. Meskipun demikian, secara keseluruhan dapat dinyatakan responden telah berada pada kondisi keberdayaan yang cukup. Sumarjo (1999) mengatakan ciri-ciri masyarakat berdaya yaitu: 1) mampu memahami diri dan potensinya, mampu merencanakan (mengantisipasi kondisi perubahan ke depan), 2) mampu mengarahkan dirinya sendiri, 3) memiliki kekuatan untuk berunding, 4) memiliki bargaining power yang memadai dalam melakukan kerjasama yang saling menguntungkan, dan (5) bertanggungjawab atas tindakannya. Keberdayaan tidak hanya mampu memenuhi kebutuhan pokok batiniah dan lahiriah, tapi juga bertambahnya nilai kepemilikan, aksesebilitas serta partisipasi dalam aktivitas kemasyarakatan. 6.2
Pembahasan Hasil Pengujian Hipotesis
6.2.1 Pengaruh Kapasitas RTM terhadap Sikap Keluar dari Kemiskinan Hasil pengujian hipotesis menunjukkan bahwa kapasitas rumah tangga miskin berpengaruh positif dan signifikan terhadap sikap untuk keluar dari kemiskinan dengan koefisien regresi 0,355. Hasil ini menunjukkan bahwa baik buruknya kapasitas rumah tangga responden menentukan baik buruknya atau positif tidaknya sikap responden untuk keluar dari kondisi kemiskinan. Temuan studi ini mendukung hasil studi Philip (2008) yang menyatakan bahwa upaya keluar dari kemiskinan dapat dilakukan melalui pendekatan individualistik dan struktural modal manusia melalui pendidikan. Philip (2008) juga menemukan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, akan semakin rasional orang tersebut dan sikapnya makin positif dalam menghadapi persoalan kemiskinan. Hasil penelitian ini juga mendukung studi Chiljon (2006) yang menghasilkan temuan bahwa 40, 2 persen perilaku rumah tangga miskin (RTM) termasuk dalam perilaku kurang produktif, disebabkan oleh rendahnya pengetahuan RTM, dan rendahnya sikap mental disebabkan rendahnya
tingkat pendidikan. Demikian pula penelitian Blomquist (2002)
menunjukkan bahwa 36 persen
penduduk Amerika yang berasal dari Amerika Latin tidak memiliki upaya untuk keluar dari kemiskinan, padahal mereka sangat menyadari kebutuhan generasi mendatang akan semakin meningkat. Berdasarkan hasil distribusi frekuensi (Tabel 5.20) separuh dari indikator sikap (kemiskinan dapat diubah, miskin disebabkan oleh takdir dan percaya bisa keluar dari kemiskinan) memiliki ratarata skor di bawah 3. Ini menandakan bahwa sikap RTM untuk bisa keluar dari kemiskinan memiliki kadar rendah. Berbeda dengan indikator lainnya (punya niat untuk keluar dari kemiskinan, bekerja keras dapat mengurangi kemiskinan dan mampu mengatasi kemiskinan) memiliki skor di atas 3. Ini berarti sikap RTM memiliki nilai positif, mereka percaya mampu mengatasi kemiskinan yang sedang dialami dengan didasari niat yang kuat dan bekerja keras. 6.2.2 Pengaruh Kapasitas RTM terhadap Keberdayaan Hasil hipotesis menunjukkan kapasitas rumah tangga miskin (RTM) berpengaruh positif dan signifikan terhadap keberdayaan dengan koefisien regresi sebesar 0,234. Ini berarti baik buruknya kapasitas rumah tangga menentukan tingkat keberdayaan responden (dalam hal ini kepala rumah tangga miskin tersebut). Hasil penelitian ini mendukung teori Sen (1998) bahwa kemiskinan terjadi karena seseorang dilahirkan dirumah tangga tidak mampu dengan lingkungan budaya yang tidak memiliki kemauan untuk meningkatkan sosial ekonomi (malas), sehingga mereka hidup dalam kondisi miskin. Lingkunganrumah tangga miskin berada pada lingkungan terpencil dengan akses yang sangat tidak memadai. Hasil penelitian ini juga mendukung temuan Faturrochman dan Molo (1994), yaitu kemiskinan ekonomi berawal dari pendapatan yang rendah. Rendahnya pendapatan tampaknya berkaitan dengan usaha yang kurang produktif seperti buruh dan mereka yang bekerja di sektor pertanian. Mereka masuk ke dalam sektor yang kurang produktif karena kualitas mereka juga kurang memadai seperti dicerminkan dengan pendidikan yang rendah. Pendapatan yang rendah ini akan lebih kecil lagi porsinya bila dibagi anggota rumah tangga yang banyak yang pada umumnya juga tidak produktif. Dengan pendapatan per kapita yang rendah ini maka pengeluaran untuk berbagai kebutuhan
juga kecil jumlahnya. Akibatnya, kemampuan mereka untuk memelihara lingkungan rumah tangga serta memenuhi kebutuhan lain seperti informasi dan pendidikan anak juga kurang baik. Demikian pula hasil studi ini mendukung temuan Azis (2006) yang menyimpulkan karakteristik rumah tangga seperti jumlah anggotarumah tangga, pendidikan, kesehatan, dan keberadaan rumah tangga berhubungan dengan kemiskinan. Makin banyak anggotarumah tangga, makin besar beban tanggungan, maka peluang terjadinya kemiskinan semakin besar dan tingkat keberdayaan semakin rendah. Makin tinggi tingkat pendidikan menyebabkan makin luasnya kesempatan untuk memperoleh kesempatan kerja, sehingga keberdayaan mengalami peningkatan dan kemiskinan akan semakin menurun. Hasil penelitian ini juga mendukung penelitian yang dilakukan oleh Lembaga Pengkajian Ekonomi dan Pembangunan (LPEP) Fakultas Ekonomi Universitas Andalas (2004) dengan temuan kemiskinan lebih banyak disebabkan oleh rendahnya tingkat pendidikan sehingga pendapatan sangat rendah akibat akses kepada kesempatan kerja sangat sempit. Jika pendidikan semakin baik maka akan lebih mudah melakukan penyesuaian dengan kebutuhan atau tuntutan pekerjaan sehingga akan akan lebih mudah pula memperoleh kesempatan kerja dan pada akhirnya mampu meningkatkan keberdayaanya. 6.2.3 Pengaruh Pemberdayaan terhadap Sikap Keluar dari Kemiskinan Hasil hipotesis menunjukkan pemberdayaan berpengaruh positif dan signifikan terhadap sikap untuk keluar dari kemiskinan dengan koefisien regresi sebesar 0,270. Ini berarti adanya upaya pemberdayaan menyebabkan terbentuknya sikap RTM untuk keluar dari kemiskinan. Dengan kata lain kuat lemahnya upaya pemberdayaan menentukan kuat lemahnya sikap RTM untuk keluar dari kondisi kemiskinan. Temuan studi yang disajikan secara deskriptif pada Tabel 5.19 menunjukkan variabel pemberdayaan memiliki skor rerata di bawah 3. Ini berarti upaya pemberdayaan yang dilakukan pemerintah terhadap RTM masih relatif rendah. Program pemberdayaan tidak banyak menyentuh kepentingan masyarakat seperti pemenuhan kebutuhan pokok dan kebutuhan lainnya yang sangat
dibutuhkan oleh RTM. Hal ini ikut memberi kontribusi dalam membentuk sikap responden yang belum begitu kuat untuk keluar dari kondisi kemiskinannya. Hasil studi ini mendukung konsep persepsi kemiskinan Jazulli (2005) yang menyatakan bahwa persepsi orang miskin tentang kemiskinan adalah fenomena obyektif yang diterima sebagai suatu keniscayaan yang tidak terelakkan dan bagian dari kewajaran. Upaya pemberdayaan dengan pendekatan penyadaran dan pengakapasitasan tidak dibutuhkan, mereka lebih membutuhkan bantuan keterampilan yang dapat meningkatkan pendapatan dan bantuan diharapkan dapat dilaksanakan secara berkesinambungan. 6.2.4. Pengaruh Pemberdayaan terhadap Keberdayaan Pemberdayaan berpengaruh positif dan signifikan terhadap kerberdayaan dengan koefisien regresi sebesar 0,371. Ini berarti upaya pemberdayaan memberikan kontribusi terhadap keberdayaan RTM. Hasil penelitian menunjukkan skor rerata frekuensi distribusi keberdayaan untuk empat indikator mendapat nilai di atas tiga seperti tertera pada Tabel 5.16, sedangkan satu indikator lainnya masih berada di bawah tiga. Sebagaimana dikemukakan oleh oleh Wrihatnolo dan Nugroho (2007), pada dasarnya upaya pemberdayaan merupakan suatu proses yang dijalankan dengan kesadaran dan partisipasi penuh dari para pihak untuk meningkatkan kapasitas dan kapabilitas guna mampu mengenali permasalahan yang dihadapi dalam mengembangkan dan menolong diri seseorang untuk mencapai keadaan yang lebih baik. Jika dikaitkan dengan pendapat Wrihatnolo dan Nugroho (2007) tersebut, maka hasil penelitian ini mengindikasikan bahwa upaya pemberdayaan telah berhasil menyebabkan terjadinya keberdayaan bagi RTM di dua kecamatan yang menjadi lokasi penelitian. Karena jumlah aset yang dimiliki setelah dilaksanakan pemberdayaan tidak mengalami peningkatan secara signifikan, hal ini dapat dilihat skor rerata kepemilikan aset seperti tertera Tabel 5.21
memiliki nilai di bawah 3. Hasil studi ini juga tidak sepenuhnya mendukung penelitian yang
dilakukan Suharto (2003) yang menyatakan Keberdayaan masyarakat dapat tercermin dari kebebasan
mobilitas yaitu: kemampuan untuk pergi ke luar rumah atau wilayah tinggalnya, seperti ke pasar, fasilitas medis, tempat hiburan, rumah ibadah. Kemampuan membeli komoditas kecil seperti membeli barang-barang kebutuhanrumah tangga sehari-hari (beras, minyak tanah, minyak goreng, bumbu dan lain-lain). Kemampuan membeli komoditas besar atau kemampuan membeli barang-barang sekunder atau tersier, seperti almari pakaian, TV, radio, handphone, dan pakaian rumah tangga miskin. Pemberdayaan masyarakat sangatlah tidak mudah dilakukan mengingat keterbatasan yang dimiliki oleh RTM seperti hasil penelitian Suyanto (2003) yang menyimpulkan bahwa pelaksanaan program pengentasan kemiskinan melalui proyek penyantunan ternyata tidak mudah dan selalu menghadapi kendala seperti tidak sesuainya kebutuhan yang diharapkan olehrumah tangga miskin, juga berbedanya data dilapangan antara jumlah seharusnya berbeda dengan senyata. Banyak rumah tangga miskin yang seharusnya mendapat bantuan justru tidak mendapat bantun, sedangkan di lain pihak ada bantuan diberikan kepada rumah tangga yang tidak perlu mendapat bantuan. Hasil studi ini juga mendukung pendapat Ghosh (2002) yang menyatakan bahwa kemiskinan yang terjadi di pedesaan dikarenakan adanya kesalahan alokasi sumber daya dan strategi pembangunan. Sebagai tahap kedua dari pemberdayaan adalah pengkapasitasan yakni memberikan pelatihan keterampilan dan bantuan ekonomi produktif guna menumbuhkan sikap kewirausahan. Hal ini sesuai dengan pendapat Benediktus (2010) bahwa pengentasan kemiskinan melalui peningkatan jiwa kewirausahaan merupakan pemberdayaan yang paling efektif karena dengan program kewirausahaan mampu menciptakan lapangan pekerjaan dan meningkatkan pendapatan. Hasil penelitian ini mendukung pendapat Rasidin (2007) yang menyatakan bahwa investasi sumberdaya manusia dan transfer pendapatan mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi, dan meningkatnya pertumbuhan ekonomi memberikan efek ganda terhadap kemiskinan, yaitu meningkatnya pendapatan dan terciptanya lapangan pekerjaan. Jika lapangan pekerjaan yang tercipta mampu diakses oleh rumah tangga miskin dan anggota rumah tangganya maka akan meningkatkan keberdayaan.
6.2.5 Pengaruh Budaya terhadap Sikap Keluar dari Kemiskinan Budaya berpengaruh negatif dan signifikan terhadap sikap untuk keluar dari kemiskinan dengan koefisien regresi sebesar -0,262. Ini berarti budaya yang dianut atau dimiliki oleh rumah tangga miskin menyebabkan sikapnya untuk keluar dari kondisi kemiskinan tidak kuat atau memiliki sikap yang lemah untuk keluar dari kemiskinan. Dengan kata lain budaya yang selama ini menjadi kebiasaan, nilai yang dianut, atau cara pandang yang dimiliki kepala rumah tangga miskin menyebabkan yang bersangkutan kurang atau tidak memiliki sikap yang kuat untuk keluar dari kemiskinan. Hasil pengujian hipotesis ini tidak berbeda dengan hipotesis yang dirumuskan yang menyatakan bahwa budaya berpengaruh negatif terhadap sikap untuk keluar dari kemiskinan. Hasil mendukung teori Sen (1998) bahwa kemiskinan terjadi karena seseorang dilahirkan dirumah tangga tidak mampu dengan lingkungan budaya yang tidak memiliki kemauan untuk meningkatkan sosial ekonomi (malas). Menurut Sen (1998), salah satu dari empat hal yang menyebabkan seseorang menjadi miskin adalah kebiasaan konsumsi yang tercermin dari gaya hidupnya sehingga memberikan kontribusi terciptanya kemiskinan. Hasil penelitian ini juga sesuai dengan Teori Budaya Kemiskinan oleh Lewis (dalam Suharto Edy, 2009) yang menyatakan bahwa struktur masyarakat memiliki budaya yang tercermin dalam bentuk nilai-nilai dan norma yang mengarah pada perilaku. Orang miskin memiliki kebiasaan sendiri yang berbeda dengan masyarakat kebanyakan. Kebiasaan seperti itu akhirnya menyebabkan orang miskin memiliki sikap negatif seperti malas, fatalisme atau menyerah pada nasib, tidak memiliki jiwa kewirausahaan dan kurang menghormati etos kerja. Uraian atas dua teori ini memberi penjelasan bahwa budaya yang dibahas adalah budaya yang menyebabkan seseorang menjadi miskin atau budaya kemiskinan. Kebiasaan, nilai, atau cara pandang yang ada di dalamnya menghambat terbentuknya sikap untuk keluar dari kondisi kemiskinan. 6.2.6 Pengaruh Budaya terhadap Keberdayaan
Budaya berpengaruh negatif dan signifikan terhadap keberdayaan dengan koefisien regresi sebesar -0,255. Hasil pengujian hipotesis ini juga tidak berbeda bahkan mendukung dengan hipotesis penelitian yang menyatakan budaya berpengaruh negatif terhadap keberdayaan. Penjelasan terhadap hasil ini juga tidak jauh berbeda dengan penjelasan atas hubungan budaya dengan sikap. Mengingat budaya yang ditunjukkan oleh rumah tangga miskin adalah kebiasaan, nilai, atau cara pandang yang mencerminkan nilai-nilai negatif yang menyebabkan seseorang menjadi miskin maka kondisi itu pula yang menghambat terwujudnya keberdayaan. 6.2.7 Pengaruh Sikap Keluar dari Kemiskinan terhadap Keberdayaan Sikap RTM untuk keluar dari kemiskinan berpengaruh positif dan signifikan terhadap kerberdayaan dengan koefisien regresi 0, 520. Ini berarti kuat lemahnya sikap yang ditunjukkan RTM untuk keluar dari kemiskinan menentukan tinggi rendahnya tingkat keberdayan yang dicapai oleh RTM. Deskripsi hasil penelitian yang disajikan pada tabel frekuensi menunjukkan separuh indikator sikap memiliki skor di atas 3, 0 dan separuh lagi memiliki rerata skor di bawah 3, 0 seperti tertera pada Tabel 5.20. Indikator di atas 3,0 mengindikasikan adanya sikap yang cukup kuat untuk keluar dari kondisi kemiskinan dan hal ini merupakan modal yang baik untuk mendorong terjadinya keberdayaan bagi RTM.
Tercapainya keberdayaan ditunjukkan oleh kondisi empat indikator (peningkatan
pengetahuan, peningkatan aksesibilitas, partisipasi dalam kegiatan sosial ekonomi dan penambahan penghasilan) memiliki skor di atas 3,0. Hal ini bisa diartikan bahwa adanya sikap RTM untuk keluar dari kemiskinan mampu menyebabkan tercapainya keberdayaan dalam kondisi cukup. Dikatakan cukup karena salah satu indikatornya yaitu kepemilikan aset masih berada pada rerata skor di bawah 3,0. Hasil studi ini mendukung hasil penelitian Marhaeni (2010) yang menghasilkan temuan bahwa faktor keberdayaan dipengaruhi oleh faktor internal yaitu motivasi, sikap, dan perilaku RTM itu sendiri dan faktor eksternal seperti budaya, lingkungan, dan program pemerintah dalam pengentasan
kemiskinan. Lebih lanjut Marhaeni menyatakan justru faktor internal memberikan pengaruh negatif sedangkan faktor eksternal menimbulkan pengaruh positif.
BAB VII PENUTUP
Berdasar pemaparan hasil penelitian dan pembahasan atas temuan yang diperoleh, pada bagian ini disajikan simpulan penelitian, kontribusi dan implikasi penelitian, keterbatasan penelitian, serta saran yang diajukan baik bagi peneliti berikutnya maupun pihak-pihak yang terkait dengan hasil penelitian ini. 7.1 Simpulan Bila dikaitkan dengan tujuan penelitian, maka ada tujuh simpulan yang dihasilkan. Namun demikian, berdasar hasil pembahasan diperoleh satu simpulan akhir yang menyajikan peran konstruk eksogen dalam menjelaskan konstruk endogen. Secara rinci, simpulan penelitian disajikan sebagai berikut.
1. Kapasitas rumah tangga miskin berpengaruh positif dan signifikan terhadap sikap untuk keluar dari kemiskinan. Makin baik kapasitas rumah tangga miskin maka sikapnya untuk keluar dari kondisi kemiskinan menjadi makin kuat.
2. Kapasitas rumah tangga miskin berpengaruh positif dan sigifikan terhadap keberdayaan. Makin baik kapasitas rumah tangga miskin maka tingkat keberdayaannya menjadi makin tinggi.
3. Pemberdayaan berpengaruh positif dan signifikan terhadap sikap untuk keluar dari kemiskinan. Makin baik upaya pemberdayaan yang ditujukan bagi rumah tangga miskin maka sikapnya untuk keluar dari kondisi kemiskinan menjadi makin kuat.
4. Pemberdayaan berpengaruh positif dan signifikan terhadap keberdayaan. Makin baik upaya pemberdayaan yang ditujukan bagi rumah tangga miskin maka tingkat keberdayaannya menjadi makin tinggi.
5. Budaya miskin berpengaruh negatif dan signifikan terhadap sikap untuk keluar dari kemiskinan. Makin kuat budaya kemiskinan yang melingkupi rumah tangga miskin maka sikapnya untuk keluar dari kondisi kemiskinan menjadi makin lemah atau sebaliknya.
6. Budaya miskin berpengaruh negatif dan signifikan terhadap keberdayaan. Makin kuat budaya kemiskinan yang melingkupi rumah tangga miskin maka tingkat keberdayaannya menjadi makin rendah atau sebaliknya.
7. Sikap RTM untuk keluar dari kemiskinan berpengaruh positif dan signifikan terhadap kerberdayaan. Makin kuat sikap rumah tangga miskin untuk keluar dari kondisi kemiskinan menyebabkan tingkat keberdayaannya makin tinggi.
8. Dilihat dari pengaruh langsung secara parsial, kapasitas rumah tangga miskin paling kuat menentukan terbentuknya sikap untuk keluar dari kemiskinan dibandingkan dengan pemberdayaan dan budaya, sedangkan dalam menentukan keberdayaan maka yang paling kuat menentukan adalah pemberdayaan. Namun demikian, dilihat dari pengaruh tak langsungnya dalam menentukan keberdayaan (yang dimediasi oleh sikap untuk keluar dari kemiskinan), maka yang paling menentukan adalah kapasitas rumah tangga miskin, sedangkan bila dilihat dari pengaruh totalnya, maka yang paling menentukan tingkat keberdayaan adalah upaya pemberdayaan.
7.2 Kontribusi dan Implikasi Penelitian 7.2.1 Kontribusi dan implikasi teoritis Temuan penelitian yang merupakan konstribusi hasil penelitian ini dalam bidang akademis dapat dilihat dari hasil analisis pengaruh total tiga konstruk eksogen (Kapasitas RTM, Pemberdayaan, dan Budaya) terhadap konstruk endogen (Keberdayaan). Di antara tiga konstruk tersebut, pemberdayaan menunjukkan pengaruh total yang paling tinggi (0,512) terhadap keberdayaan dibandingkan dua konstruk lainnya yaitu Kapasitas RTM (0,419) dan budaya (-0,392). Itu berarti
program pemberdayaan yang terdiri atas upaya penyadaran, pengkapasitasan, dan pendayaan lebih kuat menyebabkan terjadinya keberdayaan dari pada kapasitas RTM dan budaya. Pemberdayaan selama ini dikenal merupakan program yang sifatnya intervensi dari pihak luar terutama pemerintah dan dibantu pihak-pihak lain yang secara sengaja ditujukan untuk membantu rumah tangga miskin keluar dari kondisi kemiskinan. Jika dihubungkan dengan hal ini, maka hasil penelitian yang diperoleh menunjukkan bahwa keberdayaan rumah tangga miskin memang sangat ditentukan oleh keberhasilan program pemberdayaan dibandingkan hanya dengan mengandalkan faktor internal yaitu kapasitas RTM dan budaya. Namun demikian, pengaruh pemberdayaan ini lebih kecil dari pada pengaruh sikap terhadap keberdayaan (0,520). Sikap yang merupakan predisposisi atau dorongan seseorang untuk melakukan suatu tindakan tertentu (dalam hal ini tindakan untuk keluar dari kemiskinan) lebih merupakan inisiatif dari dalam diri sendiri yang didorong oleh stimuli internal atau eksternal. Kuatnya pengaruh sikap terhadap keberdayaan mencerminkan bahwa membentuk atau membangun sikap yang kuat dalam diri seseorang yang miskin akan sangat menentukan terwujudnya keberdayaan orang miskin tersebut. Itu berarti membangun sikap untuk keluar dari kemiskinan sangat ditentukan pula oleh kuatnya program keberdayaan, membaiknya kapasitas RTM, dan menurunnya budaya kemiskinan. Dengan demikian sikap sangat berperan dalam memediasi hubungan antara kapasitas RTM, pemberdayaan, dan budaya dengan terwujudnya keberdayaan di antara rumah tangga miskin. 7.2.2 Kontribusi dan implikasi praktis Kontribusi dan implikasi yang sifatnya praktis disumbangkan bagi pihak pemerintah sebagai pengambil kebijakan atau pihak lain yang berkepentingan atas pengentasan kemiskinan. 1.
Bila pemerintah berkeinginan untuk meningkatkan keberdayaan RTM maka tidak hanya terfokus pada pemberdayaan saja yang bersifat eksternal tetapi juga menekankan pada faktor internal untuk keluar dari kemiskinan. Faktor internal akan mampu mendukung faktor eksternal sebagai upaya pemerintah dalam pengentasan kemiskinan
2.
Adanya budaya negatif menghambat keberdayaan, hal ini memberikan konsekuensi kepada semua pihak untuk mengeliminir budaya negatif, dengan melakukan sosialisasi bahwa
pengeluaran-pengeluaran
konsumtif
seperti
pengeluaran
untuk
upacara
kekerabatan, yadnya hendaknya disesuaikan dengan kemampuan sehingga penghasilan dapat dipergunakan untuk hal-hal yang bersifat produktif. 3.
Sikap untuk keluar dari kemiskinan sebagai variabel internal sangat menetukan tingkat keberdayaan yang dicapai. Sebagai tindak lanjut dari sikap dapat diwujudkan dalam bentuk perilaku. Jika perilaku tidak menunjukkan perubahan sebagaimana yang biasa dilakukan ketika mengalami berbagai tekanan sebagai RTM miskin, ini menandakan adanya sikap negtif yang lebih lanjut berimplikasi pada tidak berubahnnya masalah kemiskinan yang dihadapi RTM.
4.
Temuan studi ini dapat digunakan sebagai referensi atau acuan oleh pemerintah khususnya pemerintah Kabupaten Karangasem dalam menanggulangan permasalahan kemiskinan yang dihadapi oleh masyarakatnya. Pengentasan kemiskinan yang selama ini dilakukan oleh pemerintah lebih banyak bersifat program rutin tanpa menyentuh permasalahan subtansial yang dihadapi keluarga miskin, sehingga timbul pandangan bahwa pemerintah berperilaku sebagai dermawan yang mengakibatkan keluarga miskin akan selalu menanti kewajiban pemerintah untuk membantu kebutuhan hidupnya. Keadaan ini menciptakan budaya kemiskinan yang berkelanjutan tanpa mmemperhatikan kapasitas dan keberdayaannya.
7.3 Keterbatasan Penelitian Setiap penelitian tentu memiliki keterbatasan. Beberapa keterbatasan yang ada dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. 1.
Penelitian ini hanya dilakukan satu kabupaten sehingga hasilnya tidak bisa digeneralisasi di luar wilayah penelitian.
2.
Variabel dan indikator yang digunakan dalam penelitian ini masih bersifat terbatas, mengingat masih banyak variabel dan indikator yang dapat mempengaruhi kemiskinan.
7.4
Saran
7.4.1
Bagi pengambil kebijakan Saran yang dapat diajukan bagi pengambil kebijakan, dalam hal ini pihak pemerintah yang
diwakili oleh dinas terkait adalah sebagai berikut. 1.
Meningkatkan kapasitas rumah tangga miskin, dengan mendorong rumah tangga miskin agar mau menyekolahkan anak-anaknya, bukan malah memanfaatkannya untuk bekerja guna menambah penghasilan keluarga. Keterlibatan pihak eksternal diperlukan untuk secara berkesinambungan memberikan penyadaran kepada para orangtua agar memiliki perspektif bahwa pendidikan akan memberi manfaat jangka panjang bagi masa depan anak-anak sekaligus masa depan keluarga, bukan hanya berpikir jangka pendek dengan melihat hasil jerih payah saat ini saja.
2.
Meningkatkan kesadaran dan kemampuan
rumah tangga miskin untuk lebih banyak
memafaatkan waktu luangnya untuk kegiatan produktif guna dapat meningkatkan pendapatan keluarga dengan menumbuhkembangkan jiwa kewirausahaan di kalangan rumah tangga miskin. Pemanfaatan sumberdaya dapat menciptakan produk yang laku dijual seperti seperti pemanfaatan daun lontar atau daun kelapa untuk membuat sarana upacara. 3.
Karena banyaknya anggota keluarga dan jumlah tanggungan maka diperlukan penyuluhan dan penerangan keluarga berencana bahwa keluarga kecil dan bahagia adalah keluarga sejahtera. Bagi anggota keluarga yang berusia produktif hendaknya melakukan kegiatan yang dapat memberikan tambahan pendapatan keluarga sehingga beban keluarga menjadi lebih ringan.
4.
Kekurangakuratan data kemiskinan menyebabkan pendistribusian bantuan sering tidak tepat sasaran, untuk itu sistem pelaporan keberdayaan dan jumlah rumah tangga miskin sebaiknya
dilaporkan dari bawah ke atas serta diperlukan adanya sinergitas antar instansi sehingga keakuratan data dapat dipertanggungjawabkan dan program penanganan kemiskinan menjadi tepat sasaran. 5.
Meminimalisir budaya kemiskinan melalui perubahan pola pikir (mindset) dan mengubah sikap negatif menjadi positif, tidak pasrah dan tidak malas dan tidak kosumtif serta memiliki keyakinan bahwa keadaan yang sedang dialami bisa diubah.
7.4.2
Saran bagi penelitian berikutnya Terbatasnya wilayah dan sampel penelitian yang membawa konsekuensi generalisasi hasil
penelitian menjadi terbatas pula maka kepada peneliti berikutnya diharapkan untuk meliput wilayah lain yang lebih luas. Selain itu diharapkan pula menggunakan indikator kemiskinan yang lebih banyak sehingga kondisi kemiskinan yang dipotret menjadi lebih komprehensif.
DAFTAR PUSTAKA
_______. 2004 Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 Tentang Otonomi Daerah _______. 2000. Undang-undang Nomor 25 tahun 2000 tentang Propenas _______. 2009. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup serta penjelasannya. _______. 2004. Undang-undang Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Adi, I.R. 2003. Pemberdayaan Pengembangan Masyarakat dan Intervensi Komunitas: Pengantar Pada Pendekatan Praktis. Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Jakarta Aditjondro, G.J. 2010. “Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri: Proyek Buta Tuli terhadap Aspirasi Masyarakat Desa”. Riset. PNPM INFID. Afandi,W.N. 2011. “Identifikasi Karakteristik Rumah Tangga Miskin di Kabupaten Padang Pariaman (Studi Kasus Nagari Malai V Suku)”. Tesis. Fakultas Ekonomi Universitas Andalas. Andriwardhana, A.H. 2009. “Analisis Distribusi Pendapatan Rumah-Tangga Di Pedesaan: Studi Kasus Desa Klaseman Kecamatan Gending Kabupaten Probolinggo”. Jurnal Agritek Vol. 7 hal 35. Alisjahbana, A. 2005. Sisi Gelap Perkembangan Kota Yogyakarta. Yogyakarta: Laksbang Pressindo. Arsyad Lincolin,. 2004. Ekonomi Pembangunan. Yogyakarta: Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi YKPN. Astika, Sudhana Ketut.2010. Budaya Kemiskinan Di Masyarakat:Tinjauan kondisi Kemiskinan Dan Kesadaran Budaya Miskin Di Masyarakat. Jurnal Ilmiah Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Unud Vol. I No. 01, Tahun 2010. Assael, Henry.2004. Costumer Behavior And Marketing Action, Keat Publishing Company, Boston. Azwar.S. 2001.Sikap Manusia Teori dan Pengukurannya. Pustaka Pelajar. Yogyakarta Aziz, U. 2006. Karakteristik Kemiskinan dan Pengaruhnya Terhadap Kondisi Kemiskinan di Sumatera Utara. Jurnal Kebijakan Ekonomi. Universitas Indonesia, Jakarta. Azwar, S. 2005. Sikap Manusia Teori dan Pengukurannya. Yogyakarta: Liberty. Badan Pusat Statistik Karangasem. 2010. Karangasem Kabupaten Karangasem.
Dalam Angka. Karangasem: Bappeda
Badan Pusat Statistik Karangasem. 2009. Kecamatan Karangasem Dalam Angka. Karangasem : Bappeda Kabupaten Karangasem.
Badan Pusat Statistik 2010 Jumlah Penduduk Indonesia dan Komposisinya, Badan Pusat Statistik Propinsi Bali. Bappenas. 2004. PPA Partisipatory Poverty Assesment. Jakarta : Bappenas – KIKIS Kantor Menteri Negara Kependudukan/BKKBN, Pembangunan Keluarga Sejahtera dalam Rangka Peningkatan Penanggulangan kemiskinan, Jakarta, 1996
Kantor Menteri Negara Kependudukan/BKKBN,, Panduan Pembangunan Keluarga Sejahtera dalam rangka Peningkatan Penanggulangan Kemiskinan, Kantor Menteri Negara Kependudukan/BKKBN, Jakarta, 2004 Benediktus, E. 2010. “Entrepreneurship Training and Poverty Alleviation Empowering the poor in the Eastern Free State of South Africa”. Department of Economics, University of the Free State, Qwaqwa,South Africa. Blomquist, J. 2002. “Public Attitudes Matter: A Conceptual Frame for Accounting for Political Economy in Safety Nets and Social Assistance Policies.” Social Protection Discussion Paper No. 0233. Washington, D. C: World Bank. Chambers, R. 1983. Pembangunan Desa-Mulai Dari Belakang. Jakarta: LP3ES. Chambers. R, 1996. PRA-Participatory Rural Appraisal Memahami Desa Secara Par Mubyarto.2001. Pemberdayaan ekonomi rakyat dan peranan ilmu-ilmu sosial: BPFE, Yogyakarta. Chairuman. 2002. “Pengaruh Budaya terhadap Efektivitas Organisasi”. JAAI. Volume 6 No. 1, Juni 2002. hal: 103. Chiljon, Eddy Papilaya, B.G.S. 2006. “The Roots And The Strategy For Poverty Alleviation In The City Of Ambon, Mollucas And In The District Of Boalemo, Gorontalo”: Jurnal Penyuluhan. Vol. 2, No. 412. Hal: 23. Dinar, B. 2008. “Analisis Sosial Ekonomi Rumah Tangga Kaitannya dengan Kemiskinan di Pedesaan: Studi Kasus di Kabupaten Tapanuli Tengah”, Wahana Hijau. Vol. 4 No. 1. Dhana, I Nyoman, dkk. 2008: Strategi Penanggulangan Kemiskinan di Desa Tianyar Barat Kecamatan. Donald, R.P. and H. W Marsh. 1990. “Choosing a Multivariate Model: Noncentrality ang Goodness of Fit”. Psychological Bulletin. Vol. 107. Pp: 247-255.Kubu, Kabupaten karangasem. Faturochman, Marcelinus. M. 1994. “Karakteristik Rumah Tangga Miskin di Daerah Jogyakarta”. Populasi. Volume 7.
Istimewa
Ferdinand, A. 2002. Structural Equation Modeling dalam Penelitian Manajemen. Semarang: BP UNDIP.
Farkas George. 1997. Human Capital or Cultural Capital. Ethnicity and Poverty Groups in an Urban School District. Cookson, Peter. Contemporary Sociology. Firmansyah, Hairi.2012. Tingkat Keberdayaan Masyarakat dalam Program Pemberdayaan Masyarakat di Kota Banjarmasin dan Kabupaten Tanah Laut Jurnal Agribisnis Perdesaan. Volume 02 Nomor 01 Maret 2012. Lambung Mangkurat Fisher, Andrew A. et al. 1998. Hand Book of Family Planning Operations Research Design. New York: Population Council. Geert Hofstede, 1991. Culture and Organization. Insttitute for Research on Intercultural Cooperation. University of Limburg at Maastricht, Netherlands Ginandjar. 1996. Pembangunan Untuk Rakyat: Memadukan Pertumbuhan Dan Pemerataan. Jakarta : Pustaka CIDESINDO. Ghosh, B. 2002. “Allocative inefficiency and rural poverty in India”: International Journal of Social Economics . Vol 29: No. 1. Pp: 87-96. Gustafsson, Bjorn and Ximing Yue. 2006. “Rural People's Perception of Poverty in China”. IZA Discussion Paper. No. 2486. Gregorius, Sahdan. 2005. Penanggulangan Kemiskinan Desa”. Artikel Ekonomi Rakyat dan Kemiskinan. Jurnal Ekonomi Rakyat.Edisi bulan Maret. Yogyakarta. Hadi, Julius Mulyadi. 1996. Pertumbuhan Ekonomi, Perubahan Struktural dan Perilaku Konsumen, Jurnal Ekonomi Indonesia. Vol. 8 No. 1, Universitas Indonesia. Helder, Ferreira. D.M. 2007. “Economic transparency and poverty”: José Simão Filho. Banca Nazionale del Lavoro Quarterly Review 60. 240.Mar 2007.: 33-48. Paolo Sylos Labini Association Italia. Hulland. J, Y. H. Chow, & S. Lam. 1996. “Use of causal models in marketing research: A review”. International Journal of Research in Marketing. Vol. 13. Pp: 181- 197. Handoko. 2003. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kemiskinan di Gunung Kidul Thesis Fakultas Ekonomi Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. Harrison. 2010. “Black Feminization of Poverty”. The Journal of Developing Areas. Vol. 44: no.1. pg. 149-167. Harvie, Charles (2003), “Regional SMEs and Competition in the Wake of the Financial and Economic Crisis”, in Tran Van Hoa and Charles Harvie (eds.), New Asian Regionalism: Responses to Globalization and Crises, Palgrave Macmillan, 96-124. Hastuti, Endang. 1999. Integrasi Wanita dalam pembangunan Pedesaan”. Warta Studi Wanita. Vol. 2: No.2. hal: 7-12.
Ismawan, Mudrajad. 2000. Pemberdayaan Orang Miskin: Refleksi Seorang Pegiat LSM. Ed: Chandra Gautama. Jakarta: Puspa Swara. _______, 2003. Analisis Tingkat Kinerja Penyuluh Pertanian dalam Memberdayakan Petani di Kabupaten Kampar Riau, IPB. Jazulli, A. 2005. “Perspektif Orang Miskin Tentang Kemsikinan: Studi Kasus di Desa Sumberkerto, Kecamatan Pegak Kabupaten Malang”. Tesis.Universitas Brawijaya. Jumarianta. 2010. Potret Kemiskinan di Desa Lok Cantung, Kecamatan Simpang Empat Kabupaten Banjar, Banjarmasin. Jurnal Of Rural and Development.Vol.1. No1 Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Achmad Yani Banjarmasin. Karangasem.2012. UNR Peduli Kemiskinan Karangasem Bupati Penanganan-Nya Harus intergrated. Media Center Bali. Direktorat Jendral Informasi dan Komunikasi Publik. Kementerian Komunikasi dan Informatika. http://infopublik.org/mc/bali/?page=news&newsid=36583 Kuncoro, M. 1997. Ekonomika Pembangunan: Teori, Masalah dan Kebijakan. UPP Edisi Keempat. Yogyakarta: STIM YKPN. Koentjaraningrat, 1993. Kebudayaan, Mentalitet, dan Pembangunan: Gramedia, Jakarta. Koentjaraningrat (ed.). Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djambatan. 2002. Kompas, 31 Agustus 2009. Kuznets, S. 1996. Modern Economic Growth : Rate, Structure, and Spread. London: Yale University Press. Komite
Penanggulangan Kemiskinan. 2002. Pembangunan Nasional, ,Jakarta.
Perempuan
Pengarustamaan
Jender
Dalam
Komite Penanggulangan Kemiskinan. 2004. Rencana Pembangunan Jangka Menengah 204-2009. Bappenas. Lewis, Oscar. 1988. Kisah Lima Keluarga. Telaah-telaah Kasus Orang Meksiko dalam Kebudayaan Kemiskinan: Yayasan Obor Indonesia, Jakarta. Lian, Daniel. 2003. Capital Creation-The Next Step Up, dalam Thailand Economics. Mantra, IB. 2002. Demografi Umum. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset. ______, 2004. Metodelogi Penelitian Survei. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Marini. 2006. “Peranan Perempuan Bali Dalam Mingkatkan Kesejahteraan Keluarga di Desa Pekraman Denpasar Timur”. Tesis. Universitas Hindu Indonesia. Maslow, A (1954). Motivation and personality. New York, NY: Harper. p. 236.
Marhaeni, A.A.I.N. 2011. “Tingkat Keberdayaan Perempuan Bali dalam Jabatan Eselon di Propvinsi Bali: Ditinjau dari Demensi Internal dan eksterna”. Disertasi. Pasca Sarjana Universitas Gajah Mada. Yogyakarta. Mubyarto. 1984. Nelayan dan Kemiskinan: Studi Ekonomi Antropologi di Dua Desa Pantai. Jakarta: CV. Rajawali. _______, 2001. Pemberdayaan Ekonomi Rakyat dan Peranan Ilmu-ilmu Sosial. Yogyakarta: BPFE UGM. Muninjaya. 2009. “Ketahanan Pangan Keluarga Miskin di Desa Pangotan Bangli Dikaji Dikaji Dari Aspek Gizi Masyarakat”. Penelitian Unggulan Universitas Udayana. Murni. 2007. “Analisis Pengaruh Jam Kerja Total dan Eksploitasi terhadap Kemiskinan Petani Padi Sawah di Kabupaten Labuhan Batu”. Disertasi. Universitas Sumatera Utara. Murjana Yasa.2012 “Strategi Bertahan Diatas Garis Kemiskinan”: Studi Kasus Penduduk yang Telah Entas dari Kemiskinan di Kota Denpasar. Mussawir. 2009. “Analisis masalah kemiskinan nelayan tradisional di Desa Padang Panjang Kecamatan Susoh Kabupaten Aceh Barat Daya Provinsi Nanggroe Aceh Darusalam”. Tesis. Magister Sekolah Pasca Sarjana, Universitas Sumatera Utara. Moore, Mignon R; Lindsay.C.L. 2001.” Sexual intercourse and pregnancy among African American girls in high-poverty neighborhoods”: The role of family and perceived community environment.Journal of Marriage and Family.No.63. Hal 1146-1157 Neher, Philip A Economic Growth and Development : A Mathematical Introduction, John Wiley & Sons, Inc, New York, Vol. 7.Hal 207-255. Noegroho, Soelistianingsih. 2007. “Analisis Disparitas Pendapatan Kabupaten/ Kota Di Propinsi Jawa Tengah Dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pertumbuhan Ekonomi Regional”. Makalah Seminar Urban & Regional. Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia. Nurkse.R.1953. Problems of Capital Formation in Underdeveloped Countries. Oxford Basis Blackwell Novida. 2006. “Analisis Faktor yang mempengaruhi Kemiskinan di Kota Medan: Studi Kasus di Kawasan Kumuh”. Tesis. Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara. Prijono dan Pranarka (1996). Pemberdayaan; Konsep, Kebijakan dan Implementasi. Jakarta. CSIS. Pemerintah Republik Indonesia. Undang-undang No 322004 Tentang Pemerintahan Daerah. Jakarta. Philip Young P. Hong. 2008.”Human capital as structural vulnerability of US poverty” George Warren Brown School of Social Work,Washington University in St Louis, St Louis, Missouri, USA. Prabowo. 2004. “Developent of Small and Medium-sized Enterprise”. Makalah. Disampaikan pada seminar The Tokyo seminar on Indonesia 25-26 Agustus 2004, di Tokyo Jepang.
Prapti, L. 2006. “Keterkaitan Pertumbuhan Ekonomi dan Distribusi Pendapatan: Studi Kasus di 35 Kabupaten Jawa Tengah. Tesis. Program Pasca Sarjana Universitas Diponegoro Semarang. Rasidin. 2007. “Dampak Investasi Sumberdaya Manusia dan Transfer Pendapatan terhadap Distribusi Pendapatan dan Kemiskinan di Indonesia”. Disertasi. Institut Pertanian Bogor. Rana, Ejaz, AO. Ali Khan, & Tasnim. 2009. “Labor Force Participation of Married Women in Punjab (Pakistan)”: Journal of Economic and social research 11. No.2 .Hal 77-106 Rashid, A.K. and Zainab Bibi. 2011. “Women‟s Socio-Economic Empowerment Through Participatory Approach. Pakistan Economic and Social Review.Volume 49, No. 1 (Summer 2011), pp. 133-148. Rachel Mc.Cartney.2003, Higher Risk Of Death In Rural Blacks And Whites Than Urbanites Is Related To Lower Incomes,Education, Mental Health Journal. Vol. 39, No. 2, April 2003. Rahayuningsih, 2008. Faktor yang Mempengaruhi Pembentukan Sikap. Jakarta: Universitas Indonesia Santoso, S. 2004. Statistik Non Parametrik. Jakarta: Elex Media Komputindo Sayogyo. 1998. “Pendekatan Konsepsional dan Metodelogis Kegiatan”: Ekonomi Produktif Wanita di Sektor Informal dan formal dalam Penelitian Tingkat Mikro : Studi Peranan dan Status Sosial Wanita dalam Keluarga, Rumah Tangga dan Masyarakat Luas, Makalah disampaikan pada Pertemuan Teknis dan Lokakarya Indikator Kegiatan Ekonomi Produktif wanita di Sektor Informal dan Formal, Kerja sama BPS dan UNICEP, 21-23 Maret, Jakarta. Satriawan, A. 2008. “Faktor-faktor Sosial Ekonomi Penyebab Kemiskinan Nelayan Tradisional di Labuhan Kuris Kabupaten Sumbawa”. Tesis. Institut Pertanian Bogor. Schiffman, L.G. and L.L Kanuk.2007. Consumen Behaviour. Ninth Edition. New Jersey: Prentice Hall International. Sen, Amartya. 2000. Development As Freedom. New York: A Division of random house, Inc. ________, 1998. “The Possibility of Social Choice”. Noble lecture. Desember, 8, 1998. Sekaran, Uma and Bougie, Roger.2009. “Research Methods fo Business”: A Skill Building Approach. John Wiley & Sons Ltd. Sharp, Ansal M., et.al, 1996, Economics of Social Issues, 12rd, Chicago: Richard D. Irwin Siagian Sondang, P. 2004. Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta: Bumi Aksara. Soetrisno, Noer. 2003. Menuju Pembangunan Ekonomi Berkeadilan Sosial. Jakarta: STEKPI. Sonhaji. 2002. “Budaya Kemiskinan :Studi Penjajagan Atas Kegiatan Miminta-minta Kelompok Pengemis Mingguan di Surakarta”. Spirit Publik. Vol.2.No.1. Hal 37-50l.
Schiffman, L.G. and Leon L. Kanuk. 2007. Consumer Behavior. Ninth Edition. New Jersey: Prentice Hall International Soetrisno. 2002. Pendekatan Klaster Bisnis dalam Pemberdayaan UKM. Surabaya: Lutfansah. Suharto, Edi. 2009. Membangun Masyarakat Dan Memberdayakan Rakyat : Kajian Strategis Pembangunan Kesejahteraan social dan Pekerjaan Sosial. Bandung: PT. Rafika Aditama. ___________. 2004. Pekerjaan Sosial Di Dunia Industri. Memperkuat Tanggung JawabSosialPerusahaan(CorpprateSocial Responcibility,), Bandung. Refika Aditama. Sumarjo.1999. Transformasi Penyuluhan Pertanian menuju Pengembangan Kemandirian Petani. Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Stillman, Robert D, Equity Financing for Technology, makalah pada Expert Meeting on Improving the Competitiveness of SME Through Enhancing Productive Capacity : Financing for Technology 28-30 october 2002. Sudibia, I Ketut. 2004. “Kebutuhan Pekerja Migran Nonpermanen di Sektor Pertanian Pada Masa Panen dan di Industri Genteng di Daerah Pedesaan Kabupaten Tabanan”. Disertasi. Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. Sugiyono. 2008. Metode Penelitian Bisnis. Alfabeta. Bandung Sulistiyani, Ambar Teguh. 2004.Kemitraan dan Model-model Pemberdayaan. Gava Media.Yogyakarta Suparlan. 1995. Kemiskinan di Perkotaan. Jakarta: Yayasan Obor. Sumodiningrat, G. 2000. Pemberdayaan Masyarakat. Jakarta: Gramedia. Suprapti, Sri. 2010, Perilaku Konsumen: Pemahaman Dasar dan Aplikasinya Dalam Strategi Pemasaran. Denpasar: Udayana University Press. Surya, Alwin. 2009. “Studi Deskriptif Potret dan Kehidupan Keluarga Nelayan Tradisional Medan Labuhan”. Jurnal Sain, Teknologi Kesehatan Sosial Ekonomi & Informatika. Vol. 2: No. 1. Suryawati, Chriswardani. 2005. Memahami Kemiskinan Secara Multidimensional Fakultas Kesehatan Masyarakat dan Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat, Jurnal Pembangunan, Vol.08.No.03 Universitas Diponegoro, Semarang, Jawa Tengah. Tambunan. 2001, Perekonomian Indonesia : Teori dan Temuan Empiris, Ghalia Indonesia, Jakarta. Tashakkori, Abbas and Teddlie Charles. 1998. Mixed Methodology: Combining Qualitative and Quantitative Approaches. London: SAGE Publications. Tashakkori, Abbas. 2010. Mixed Methodology: Mengombinasikan Pendekatan Kualitatif dan Kuantitatif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar .
Tricahyono, 2010 Hubungan Mental Lokal dengan Perilaku Mengemis (Studi Kasus Desa Branta Tinggi Kecamatan Tlanakan Kabupaten Pamekasan). Universitas Brawijaya Todaro. 2004. Ekonomi Pembangunan. Yogyakarta: BPFE Universitas Gadjah Mada. Urata. S. 2000 Policy Recommendation for SME Promotion in the Republic of Indonesia, JICAReport, Jakarta. Watson, C.W., 2000, Multiculturalism. Buckingham-Philadelphia: Open University Press Wirawan, Sarlito. 1999. Psikologi Sosial. Jakarta: Balai Pustaka World Bank. 2007. Laporan Pembangunan Dunia: Pembangunan dan Generasi Mendatang. Washington DC: Bank Dunia. Wrihatnolo, Randy dan Rianto Nugroho D. 2007. Manajemen Pemberdayaan: Sebuah Pengantar dan Panduan untuk Pemberdayaan Masyarakat. Jakarta. PT. Elex Media Komputindo. Yunus, M. 2007. Creating A World With Out Poverty. New York: Public affairs. Yanling Li, Xinhong Fu, and Zhuang.T. 2011. “An Empirical Research on Influential Factors in Poverty of Peasant Households in Minority Regions in China”. Journal of Agricultural Science. Maret Vol. 3, No.1.Toronto.hal 218-228.
Lampiran Daftar Pertanyaan
Survei Kemiskinan PENGARUH KAPASITAS RUMAHTANGGA, BUDAYA DAN PEMBERDAYAAN TERHADAP SIKAP SERTA KEBERDAYAAN RUMAHTANGGA MISKIN DI KABUPATEN KARANGASEM
Yth.
Bapak/Ibu Kepala Keluarga yang terpilih sebagai sampel penelitian di Kec. Karangasem dan Kec. Manggis
Saya yang bertandatangan di bawah ini: Nama Alamat Pekerjaan
: Nyoman Suartha : Jl. Nangka Selatan Gg. Cendrawasih 30 Denpasar : Dosen FE Universitas Ngurah Rai Denpasar
saat ini sedang menempuh pendidikan pada Program Doktor Ilmu Ekonomi di Fakultas Ekonomi Universitas Udayana Denpasar. Untuk keperluan penyelesaian tugas akhir pendidikan, saya melakukan survei tentang kemiskinan di Kecamatan Karangasem dan Kecamatan Manggis. Untuk itu, dengan hormat dan kerendahan hati saya mohon kesediaan Bapak/Ibu yang terpilih sebagai sampel untuk berpartisipasi dan memberikan bantuan dalam survei ini dengan cara menjawab seluruh pertanyaan yang tercantum dalam Daftar Pertanyaan terlampir atau yang diajukan melalui wawancara. Seluruh informasi yang Bapak/Ibu berikan hanya akan digunakan untuk kepentingan ilmiah, bukan untuk kepentingan lainnya. Karena itu, saya sangat mengharapkan Bapak/Ibu memberikan jawaban yang jujur dan sesuai dengan kenyataan yang dihadapi atau dirasakan. Informasi yang diberikan akan dijaga kerahasiaannya. Atas partisipasi dan bantuan yang Bapak/Ibu berikan, saya ucapkan terimakasih. Semoga Ida Sang Hyang Widhi Waca senantiasa melindungi dan menganugrahkan keselamatan untuk Bapak/Ibu sekeluarga. Denpasar, September 2012
Nyoman Suartha
DAFTAR PERTANYAAN
Nomor Responden
I. IDENTITAS RESPONDEN 1. Nama
:
...................................................................................
2. Alamat
:
Banjar ....................................................................... Desa .......................................................................... Kecamatan: 1. Karangasem
3. Umur
:
................... tahun
4. Pendidikan
:
1. TS
5. Agama
2. Tt. SD
2. Manggis
3.SD. 4.SMTP
1. Hindu 2. Islam 3. Budha
5. SLTA
4. Kristen 5. Protestan
6. Status bekerja
:
1. Bekerja
7. Jenis pekerjaan Utama
:
1. Petani/penyakap
2. Buruh
3. Pedagang
4. Tukang bangunan
5. Sopir
6. Kernet
7. Tukang parkir
8. Pegawai toko
2. Tidak bekerja
9. Lainnya (sebutkan................................................)
8.
Jumlah anak kandung
9.
Jumlah tanggungan (di luar anak kandung)
10. Jumlah anggota keluarga yang sudah bekerja 11. Tingkat pendidikan tertinggi yang dicapai anak 1.
TS. 2.TTSD
3. TSD 4. SLTP 5.SLTA
5.PT
II. PEMILIKAN ASET 1. Lahan yang Bapak tempati sekarang ini 1. Milik sendiri 5. Ayahan desa
2. Sewa 3. Pinjam 4. Milik Keluarga besar 6. Lainnya (…………………………………….)
2. Luas lahan yang ditempati 1. Kurang 50 M2 2. 50 M2 s/d <75M2 3. 75 M2 s/d <100 M2 4. Lebih dari 100 M2 3.
Luas lahan garapan 1. Kurang 50 M2 2. 50 M2 s/d <75M2 3. 75 M2 s/d <100 M2 4. Lebih dari 100 M2
4. Rumah yang ditempati 1. Milik sendiri 3. Pinjam 5. Numpang
2. Sewa/kontrak 4. Milik keluarga besar 6. Lainnya (…………………………………….)
5. Luas rumah yang ditempati saat ini. 1. 2. 3. 4. 5.
Kurang 25 M2 25 M2 s/d <50 M2 50 M2 s/d <75 M2 75 M2 s/d 100 M2 Lebih dari 100 M2
6. Barang-barang apa saja yang Bapak miliki? Alat elektronik (Radio, TV, Kulkas,Tape, VCD) 1. Kendaraan (Sepeda, sepeda motor) 2. Perhiasan 3. Tanah (Sawah, kebun/tegalan, tambak) 4. Ternak (Sapi, babi, ayam) 5. Tabungan/deposito 6. Alat komunikasi (HP) 7. Lainnya, sebutkan……………………………………………………………………. 7. Apakah ada sarana penerangan/ Listrik? 1.Ada 2. Tidak ada (langsung ke nomor 8)
8. Jika ada listrik, maka dayanya diperoleh dari: 1. 2. 3. 4.
Milik sendiri Berbagi dengan keluarga lain (keluarga besar) dan dibayar bersama. Berbagi dengan keluarga lain (keluarga besar) tapi tidak bayar. Lainnya (sebutkan……………………..)
9. Jika tidak ada listrik, sarana yang digunakan sebagai penerangan rumah. 1. 2. 3.
Lampu templok Lampu strongking Lainnya (sebutkan)
Sumber air untuk keperluan rumah tangga. 1. PDAM 2. Sumur 3. Cubang 4. Lainnya (sebutkan ……………………….…………….) 10. Sarana mandi, cuci, kakus 1. 2. 3.
Punya sarana MCK Hanya ada jamban Tidak punya sarana MCK
11. Mandi dilakukan di: 1. 2. 3. 4.
Di sungai Kamar mandi umum Numpang ditetangga Lainnya (sebutkan…………………………………………)
12. Buang hajat dilakukan 1. 2. 3. 4.
Ditegalan/di kandang hewan Di sungai/selokan WC umum Lainnya (sebutkan……… ………………………………)
13. Air buangan rumah tangga dialirkan ke: 1. 2. 3. 4.
Drainase/saluran air Biarkan begitu saja, nanti juga kering Ke tegalan/kandang Lainnya (sebutkan…………………………………………)
III. MOTIVASI BEKERJA DAN PENGGUNAAN PENGHASILAN 14. Berapa lama Bapak sudah bekerja untuk pekerjaan utama yang sekarang? 1. Kurang dari 1 tahun 2. 1 s/d 2 tahun 3. Lebih dari 2 tahun
15. Jam kerja selama seminggu yang lalu? Hari 1 2 3 4 5 6 7 8
Lamanya bekerja
……………jam ……………jam ……………jam ……………jam ……………jam ……………jam ……………jam T o ta l …………...jam
16. Kapan pekerjaan Bapak dilaksanakan? a. b. c. d. e.
Dini hari hingga siang hari Pagi hari hingga siang hari Siang hari hingga malam hari Malam hari Tidak tentu
17. Dalam jangka waktu apakah upah/gaji yang Bapak terima? 1. 2. 3. 4.
Harian Mingguan Bulanan Tidak tentu sesuai dengan pesanan
19 Berapa rata-rata penghasilan yang diperoleh? Harian (Rp.000)
Bulanan (Rp.000)
a
0,0
-
< 10
a
0,00
-
< 300
b
10
-
< 20
b
300
-
< 600
c
20
-
< 30
c
600
-
< 900
d
30
-
< 40
d
e
40 +
e
900
-
1.200 +
< 1.200
20.
Apakah selain pekerjaan utama, Bapak memiliki pekerjaan sampingan? 1. Tidak
21.
2. Ya
Apa jenis pekerjaan sampingan itu? 1. Petani/penyakap 2. Buruh 3. Pedagang 4. Tukang bangunan 5. Sopir 6. Kernet 7. Tukang parkir 8. Pegawai toko 9. Lainnya (sebutkan.................................................)
22.
Rata-rata penghasilan yang diterima dari pekerjaan sampingan 1. Harian, dengan nilai Rp……………… 2. Mingguan, dengan nilai Rp……………… 3. Bulanan, dengan nilai Rp……………… 4. Tidak tentu sesuai dengan pesanan dengan nilai Rp……………
23.
Selain untuk pemenuhan kebutuhan pokok sehari-hari, untuk apa lagi penghasilan yang diperoleh? (boleh pilih lebih dari satu tetapi urut sesuai kepentingannya) 1. Membayar utang (untuk ………………………………….) ( ) 2. Memenuhi kebutuhan upacara/adat/sosial ( ) 3. Memenuhi kebutuhan sekolah anak-anak ( ) 4. Memenuhi kebutuhan kesenangan pribadi ( ) 5. Lainnya (sebutkan ............................................................) ( )
24. Berapa rata-rata pengeluaran rumah tangga dalam sehari? 1. 2. 3. 4. 5.
Kurang dari 10.000 10.000 s/d <20.000 20.000 s/d <30.000 30.000 s/d <40.000 ≥ 40.000
25. Apakah jumlah yang disebutkan di atas sudah termasuk pengeluaran untuk kegiatan sosial (upacara agama/adat)? a. Sudah (langsung ke nomor 27)
b. Belum
26. Jika belum, berapa rata-rata yang dibutuhkan untuk setiap kali ada kegiatan tersebut? 1. 2. 3. 4. 5. 27.
Kurang dari Rp.25.000,Rp.25.000,-s/d Rp.50.000,Rp.50.000,-s/d Rp.75.000,Rp.75.000,-s/d Rp.100.000,Rp.100.000 ke atas.
Pengeluaran untuk apakah yang dirasakan paling memberatkan? (pilih salah satu) 1. 2. 3. 4.
Untuk kebutuhan pokok sehari-hari Untuk biaya sekolah anak-anak Untuk kegiatan sosial (upacara agama/adat) Lainnya (sebutkan .......................................
IV. PEMBERDAYAAN 1. Apakah Bapak/Ibu pernah mengikuti program yang berhubungan dengan upaya pengentasan kemiskinan? 1.Pernah 2. Tidak
2. Jika pernah, yang manakah dari program berikut diikuti? a.
Sosialisasi dari pemerintah atau lembaga lainnya 1. Ya 2. Tidak
b.
Bantuan sembako 2. Ya
2. Tidak
Bantuan bedah rumah 1. Ya
2. Tidak
Bantuan pelatihan keterampilan 1. Ya
2. Tidak
c.
d.
Untuk hal-hal yang ditanyakan pada bagian berikut, mohon Bapak/Ibu memberikan jawaban yang sejujurnya sesuai dengan kondisi yang sebenarnya tanpa ada beban apapun. Tidak ada jawaban yang salah atau benar karena hanya menanyakan pendapat pribadi, cara pandang, atau sikap terhadap kondisi kemiskinan yang dialami. Karena itu untuk setiap pertanyaan atau pernyataan yang diajukan, Bapak/Ibu hanya memberi penilaian dari sangat tidak setuju sampai sangat setuju, tergantung pada pendapat masing-masing. STS
No.
PERNYATAAN
SIKAP TERHADAP KELUAR DARI KEMISKINAN 1.
Saya yakin kondisi saat ini dapat diubah.
2. 3.
Kondisi miskin yang saya alami saat ini adalah memang nasib atau takdir. Tidak senang terhadap kemiskinan yang saya alami
4.
Senang bisa keluar dari kemiskinan
5.
Saya berniat untuk keluar dari kemiskinan ini.
6.
Bersedia untuk keluar dari kemiskinan
SS
STS
TS
N
S
SS
STS
No.
PERNYATAAN
BUDAYA: 7. 8.
Kondisi kemiskinan membuat saya menjadi rendah diri. Mengharapkan bantuan orang lain merupakan jalan keluar mengatasi kemiskinan 9. Saya pasrah menerima kondisi saat ini dan menjalani seperti apa adanya. 10. Saya harus mengikuti kebiasaan yang sudah berlaku secara turun menurun meski harus mengorbankan waktu dan mengeluarkan biaya yang tidak terjangkau PEMBERDAYAAN 11.
Saya mengetahui bahwa ada program pemerintah untuk pengentasan kemiskinan. 12. Saya diberi kesempatan oleh pihak pemerintah mengikuti pelatihan untuk memiliki/ meningkatan keterampilan tertentu. 13. Saya diberi bantuan dan bimbingan oleh tim dari pemerintah untuk memperoleh jalan keluar dari kondisi kemiskinan. (kualitatif) 14. Pemerintah melakukan upaya pengentasan kemiskinan secara berkelanjutan. KEBERDAYAAN 15. 16. 17.
18.
19.
Saya memperoleh pengetahuan tentang peluang untuk pengentasan kemiskinan dari pemerintah. Saya lebih mudah mendapatkan informasi untuk memperoleh bantuan dalam upaya pengentasan kemiskinan. Pendapatan saya bertambah setelah mengikuti pemberdayaan sehingga bisa berpartisipasi dalam kegiakegiatan yang dilaksanakan di desa Program pengentasan kemiskinan yang disertai pendampingan dan pembimbingan mampu memberikan tambahan penghasilan saya untuk membeli barang yang lebih beragam dan kualitas yang lebih baik dari sebelumnya Program pengentasan kemiskinan yang dilaksanakan pemerintah telah mampu menambah kepemilikan barang tahan lama (aset) Terimakasih
STS
SS
TS
N
S
SS
Lampiran 4. Uji Validitas Instrumen
Correlations
Correlations X11 X11
X12
X13
X14
X15
JX1
Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N
1 150 ,420** ,000 150 ,479** ,000 150 ,668** ,000 150 ,648** ,000 150 ,832** ,000 150
X12 ,420** ,000 150 1 150 ,249** ,002 150 ,548** ,000 150 ,458** ,000 150 ,659** ,000 150
**. Correlation is signif icant at the 0.01 level (2-tailed).
Lampiran 4. Uji Validitas Instrumen (Lanjutan)
Correlations
X13 ,479** ,000 150 ,249** ,002 150 1 150 ,467** ,000 150 ,518** ,000 150 ,647** ,000 150
X14 ,668** ,000 150 ,548** ,000 150 ,467** ,000 150 1 150 ,753** ,000 150 ,894** ,000 150
X15 ,648** ,000 150 ,458** ,000 150 ,518** ,000 150 ,753** ,000 150 1 150 ,880** ,000 150
JX1 ,832** ,000 150 ,659** ,000 150 ,647** ,000 150 ,894** ,000 150 ,880** ,000 150 1 150
Correlati ons X21 X21
X22
X23
X24
JX2
Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N
1 150 ,668** ,000 150 ,724** ,000 150 ,669** ,000 150 ,888** ,000 150
X22 ,668** ,000 150 1 150 ,730** ,000 150 ,593** ,000 150 ,854** ,000 150
X23 ,724** ,000 150 ,730** ,000 150 1 150 ,603** ,000 150 ,889** ,000 150
X24 ,669** ,000 150 ,593** ,000 150 ,603** ,000 150 1 150 ,828** ,000 150
JX2 ,888** ,000 150 ,854** ,000 150 ,889** ,000 150 ,828** ,000 150 1 150
**. Correlation is signif icant at the 0.01 lev el (2-tailed).
Lampiran 4. Uji Validitas Instrumen (Lanjutan)
Correlations Correlati ons X31 X31
X32
X33
X34
JX3
Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N
1 150 ,893** ,000 150 ,854** ,000 150 ,870** ,000 150 ,954** ,000 150
X32 ,893** ,000 150 1 150 ,872** ,000 150 ,888** ,000 150 ,965** ,000 150
**. Correlation is signif icant at the 0.01 lev el (2-tailed).
X33 ,854** ,000 150 ,872** ,000 150 1 150 ,820** ,000 150 ,930** ,000 150
X34 ,870** ,000 150 ,888** ,000 150 ,820** ,000 150 1 150 ,944** ,000 150
JX3 ,954** ,000 150 ,965** ,000 150 ,930** ,000 150 ,944** ,000 150 1 150
Lampiran 4. Uji Validitas Instrumen (Lanjutan)
Correlations
Correlations Y11 Y11
Y12
Y13
Y14
Y15
Y16
JY1
Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N
1 150 ,575** ,000 150 ,428** ,000 150 ,490** ,000 150 ,400** ,000 150 ,458** ,000 150 ,773** ,000 150
Y12 ,575** ,000 150 1 150 ,537** ,000 150 ,524** ,000 150 ,437** ,000 150 ,502** ,000 150 ,829** ,000 150
**. Correlation is signif icant at the 0.01 lev el (2-tailed). *. Correlation is signif icant at the 0.05 lev el (2-tailed).
Y13 ,428** ,000 150 ,537** ,000 150 1 150 ,437** ,000 150 ,343** ,000 150 ,351** ,000 150 ,719** ,000 150
Y14 ,490** ,000 150 ,524** ,000 150 ,437** ,000 150 1 150 ,415** ,000 150 ,401** ,000 150 ,731** ,000 150
Y15 ,400** ,000 150 ,437** ,000 150 ,343** ,000 150 ,415** ,000 150 1 150 ,205* ,012 150 ,624** ,000 150
Y16 ,458** ,000 150 ,502** ,000 150 ,351** ,000 150 ,401** ,000 150 ,205* ,012 150 1 150 ,680** ,000 150
JY1 ,773** ,000 150 ,829** ,000 150 ,719** ,000 150 ,731** ,000 150 ,624** ,000 150 ,680** ,000 150 1 150
Lampiran 4. Uji Validitas Instrumen (Lanjutan)
Correlations Correlati ons Y 21 Y 21
Y 22
Y 23
Y 24
Y 25
JY 2
Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N
1 150 ,308** ,000 150 ,184* ,024 150 ,332** ,000 150 ,184* ,024 150 ,658** ,000 150
Y 22 ,308** ,000 150 1 150 ,038 ,641 150 ,275** ,001 150 ,085 ,302 150 ,573** ,000 150
Y 23 ,184* ,024 150 ,038 ,641 150 1 150 ,351** ,000 150 ,089 ,279 150 ,590** ,000 150
Y 24 ,332** ,000 150 ,275** ,001 150 ,351** ,000 150 1 150 ,279** ,001 150 ,747** ,000 150
**. Correlation is signif icant at the 0.01 lev el (2-tailed). *. Correlation is signif icant at the 0.05 lev el (2-tailed).
Tabel Uji Validitas Instrumen Penelitian
Konstruk Kapasitas RTM (X1)
……….(X2)
Instrumen
Pearson Correlation
Sig. (2tailed)
Keterangan
X11
0,832
0,000
Valid
X12
0,659
0,000
Valid
X13
0,647
0,000
Valid
X14
0,894
0,000
Valid
X15
0,880
0,000
Valid
X21
0,888
0,000
Valid
X22
0,854
0,000
Valid
Y 25 ,184* ,024 150 ,085 ,302 150 ,089 ,279 150 ,279** ,001 150 1 150 ,459** ,000 150
JY 2 ,658** ,000 150 ,573** ,000 150 ,590** ,000 150 ,747** ,000 150 ,459** ,000 150 1 150
............(X3)
………(Y1)
………(Y2)
X23
0,889
0,000
Valid
X24
0,828
0,000
Valid
X31
0,954
0,000
Valid
X32
0,965
0,000
Valid
X33
0,930
0,000
Valid
X34
0,944
0,000
Valid
Y11
0,773
0,000
Valid
Y12
0,829
0,000
Valid
Y13
0,719
0,000
Valid
Y14
0,731
0,000
Valid
Y15
0,624
0,000
Valid
Y16
0,680
0,000
Valid
Y21
0,658
0,000
Valid
Y22
0,573
0,000
Valid
Y23
0,590
0,000
Valid
Y24
0,747
0,000
Valid
Y25
0,459
0,000
Valid
Sumber: Lampiran 4
Lampiran 5. Uji Reliabilitas instrumen
Reliability X1 Reliabi lity Statisti cs Cronbach's Alpha ,847
N of Items 5
Reliability X2
Reliabi lity Statisti cs Cronbach's Alpha ,886
N of Items 4
Reliability X3 Reliabi lity Statisti cs Cronbach's Alpha ,962
N of Items 4
Reliability Y1 Reliabi lity Statisti cs Cronbach's Alpha ,821
N of Items 6
Reliability Y2 Reliabi lity Statisti cs Cronbach's Alpha ,610
N of Items 5
Lampiran 6. Distribusi Frekuensi Variabel Penelitian Variabel X11 X12 X13 X14 X15 X21 X22 X23 X24 X31 X32 X33 X34 Y11 Y12 Y13 Y14 Y15 Y16 Y21 Y22 Y23 Y24 Y25
1 22 15 11 36 34 21 1 26 12 19 25 16 11 15 17 16 4 6 11 0 0 0 0 0
Sumber: Lampiran 3 (diolah)
Skor dan Frekuensi (orang) 2 3 4 47 42 34 57 64 14 78 55 6 38 42 28 43 36 30 39 48 36 27 54 50 51 37 27 34 48 46 38 47 35 31 47 34 38 55 39 38 51 35 35 58 33 35 52 36 33 55 37 23 62 55 31 80 22 33 54 40 17 60 57 24 57 53 33 51 47 25 55 54 38 91 21
5 5 0 0 6 7 6 18 9 10 11 13 2 15 9 10 9 6 11 12 16 16 19 16 0
Sampel (orang) 150 150 150 150 150 150 150 150 150 150 150 150 150 150 150 150 150 150 150 150 150 150 150 150
Lampiran 7. Distribusi Frekuensi Relatif dan Rata-rata Skor Variabel Penelitian Skor dan Frekuensi (persen) Mean Sampel Variabel 1 2 3 4 5 (persen) Scor X11
14,7
31,3
28,0
22,7
3,3
100
2,69
X12
10,0
38,0
42,7
9,3
0,0
100
2,51
X13
7,3
52,0
36,7
4,0
0,0
100
2,37
X14
24,0
25,3
28,0
18,7
4,0
100
2,53
X15
22,7
28,7
24,0
20,0
4,7
100
2,55
X21
14,0
26,0
32,0
24,0
4,0
100
2,78
X22
0,7
18,0
36,0
33,3
12,0
100
3,38
X23
17,3
34,0
24,7
18,0
6,0
100
2,61
X24
8,0
22,7
32,0
30,7
6,7
100
3,05
X31
12,7
25,3
31,3
23,3
7,3
100
2,87
X32
16,7
20,7
31,3
22,7
8,7
100
2,86
X33
10,7
25,3
36,7
26,0
1,3
100
2,82
X34
7,3
25,3
34,0
23,3
10,0
100
3,03
Y11
10,0
23,3
38,7
22,0
6,0
100
2,91
Y12
11,3
23,3
34,7
24,0
6,7
100
2,91
Y13
10,7
22,0
36,7
24,7
6,0
100
2,93
Y14
2,7
15,3
41,3
36,7
4,0
100
3,24
Y15
4,0
20,7
53,3
14,7
7,3
100
3,01
Y16
7,3
22,0
36,0
26,7
8,0
100
3,06
Y21
0,0
11,3
40,0
38,0
10,7
100
3,48
Y22
0,0
16,0
38,0
35,3
10,7
100
3,41
Y23
0,0
22,0
34,0
31,3
12,7
100
3,35
Y24
0,0
16,7
36,7
36,0
10,7
100
3,41
Y25
0,0
25,3
60,7
14,0
0,0
100
2,89
Sumber: Lampiran 3 (diolah)
Lampiran 8. Hasil Olahan Data Model Persamaan Struktural (Lanjutan) Variable Summary (Group number 1) Observed, endogenous variables
X11 X12 X13 X14 X15 X21 X22 X23 X24 X31 X32 X33 X34 Y11 Y12 Y13 Y14 Y15 Y16 Y21 Y22 Y23 Y24 Y25
Unobserved, exogenous variables
E11 E12 E13 E14 E15 E21 E22 E23 E24 E31 E32 E33 E34 E41 E42 E43 E44 E45 E46 E51 E52 E53 E54 E55 X1 X2 X3 Z1 Z2
Unobserved, endogenous variables
Y1 Y2
Lampiran 8. Hasil Olahan Data Model Persamaan Struktural (Lanjutan) Assessment of normality Variable X11 X12 X13 X14 X15 X21 X22 X23 X24 X31 X32 X33 X34 Y11 Y12 Y13 Y14 Y15 Y16 Y21 Y22 Y23 Y24 Y25 Multivariate
min 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 2 2 2 2 2
max 5 4 4 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 4
skew 0.103 -0.083 0.145 0.202 0.254 -0.045 0.008 0.338 -0.174 -0.027 0.010 0.229 -0.059 -0.026 -0.033 -0.101 -0.351 0.263 -0.071 0.029 0.050 0.123 0.026 0.075
c.r. 0.517 -0.415 0.726 1.010 1.271 -0.223 0.042 1.691 -0.870 -0.133 0.052 1.143 -0.295 -0.128 -0.167 -0.503 -1.757 1.315 -0.357 0.143 0.252 0.615 0.129 0.373
kurtosis -0.860 -0.456 -0.136 -0.943 -0.951 -0.797 -0.717 -0.741 -0.673 -0.780 -0.884 -0.736 -0.667 -0.496 -0.644 -0.590 -0.100 0.322 -0.534 -0.556 -0.720 -0.910 -0.754 -0.432 20.586
c.r. -2.151 -1.139 -0.341 -2.359 -2.378 -1.993 -1.794 -1.852 -1.681 -1.951 -2.211 -1.840 -1.668 -1.240 -1.610 -1.475 -0.250 0.805 -1.336 -1.390 -1.800 -2.275 -1.884 -1.080 3.569
Lampiran 8. Hasil Olahan Data Model Persamaan Struktural (Lanjutan) Observations farthest from the centroid (Mahalanobis distance) Observation number 81 96 58 135 17 30 95 121 60 80 132 55 89 21 23 22 16 52 143 102 139 112 116 103 79 32 146 123 83 46 148 136 24 90 99 140 18 39
Mahalanobis d-squared 40.765 40.699 40.410 40.365 40.322 38.468 38.315 37.768 37.153 36.595 36.494 35.768 35.448 35.226 35.186 34.469 34.206 34.202 34.038 33.942 33.888 33.670 33.383 33.115 32.752 32.491 32.355 32.053 31.061 30.686 30.434 30.354 30.334 30.228 30.136 29.672 29.307 29.257
p1 0.018 0.018 0.019 0.020 0.020 0.031 0.032 0.037 0.042 0.048 0.049 0.058 0.062 0.065 0.066 0.077 0.081 0.081 0.084 0.086 0.087 0.091 0.096 0.102 0.109 0.115 0.118 0.126 0.152 0.163 0.171 0.173 0.174 0.177 0.180 0.196 0.209 0.211
P2 0.931 0.753 0.556 0.337 0.177 0.323 0.210 0.186 0.185 0.186 0.121 0.160 0.140 0.112 0.069 0.113 0.101 0.062 0.047 0.032 0.020 0.017 0.017 0.017 0.022 0.022 0.018 0.021 0.100 0.133 0.145 0.119 0.086 0.073 0.060 0.106 0.149 0.120
109 40 35 67 106 78 71 20 34 9 84 142 122 97 87 27 33 92 82 108 120 70 145 19 133 49 68 7 47 56 104 86 29 53 131 88 124 31 128 62 100 138 118 110
29.230 28.831 28.736 28.324 27.973 27.729 27.642 27.494 27.360 27.335 27.331 27.202 27.037 26.734 26.712 26.164 25.781 25.401 25.163 25.153 25.141 24.974 24.929 24.896 24.887 24.812 24.718 24.586 24.455 24.378 24.331 24.326 24.295 24.181 24.170 24.038 23.699 23.676 23.537 23.493 23.447 23.389 23.296 23.282
0.212 0.227 0.230 0.247 0.261 0.272 0.275 0.282 0.288 0.289 0.289 0.295 0.303 0.317 0.318 0.345 0.364 0.384 0.397 0.397 0.398 0.407 0.410 0.411 0.412 0.416 0.421 0.429 0.436 0.440 0.443 0.443 0.445 0.451 0.452 0.459 0.479 0.480 0.488 0.491 0.494 0.497 0.502 0.503
0.091 0.142 0.125 0.195 0.265 0.303 0.277 0.278 0.273 0.227 0.178 0.174 0.182 0.242 0.200 0.378 0.508 0.638 0.693 0.636 0.579 0.601 0.560 0.512 0.451 0.426 0.412 0.419 0.425 0.403 0.365 0.308 0.267 0.266 0.220 0.226 0.331 0.286 0.297 0.264 0.233 0.209 0.201 0.163
134 66 115 37 74 77 25 113 73 75 65 72 11 149 129 63 5 126
23.201 23.142 22.816 22.759 22.723 22.467 22.284 22.173 22.111 22.110 21.867 21.853 20.967 20.945 20.800 20.559 20.445 20.386
0.508 0.511 0.531 0.534 0.536 0.551 0.562 0.569 0.573 0.573 0.587 0.588 0.641 0.642 0.650 0.665 0.671 0.675
0.151 0.134 0.212 0.189 0.160 0.216 0.248 0.247 0.224 0.178 0.232 0.190 0.610 0.557 0.576 0.650 0.651 0.620
Lampiran 8. Hasil Olahan Data Model Persamaan Struktural (Lanjutan)
Regression Weights: (Group number 1 - Default model)
Y1 Y1 Y1 Y2 Y2 Y2 Y2 X11 X12 X13 X14 X15 X21 X22 X23 X24 X31 X32 X33 X34 Y11 Y12 Y13 Y14 Y15 Y16 Y21 Y22 Y23 Y24 Y25
<--<--<--<--<--<--<--<--<--<--<--<--<--<--<--<--<--<--<--<--<--<--<--<--<--<--<--<--<--<--<---
X1 X2 X3 X1 X2 X3 Y1 X1 X1 X1 X1 X1 X2 X2 X2 X2 X3 X3 X3 X3 Y1 Y1 Y1 Y1 Y1 Y1 Y2 Y2 Y2 Y2 Y2
Estimate 0.247 0.165 -0.145 0.135 0.188 -0.117 0.432 1.000 0.543 0.468 1.206 1.186 1.000 0.781 1.010 0.821 1.000 1.081 0.840 0.952 1.313 1.513 1.100 1.000 0.872 1.054 1.000 0.565 0.835 1.083 0.582
S.E. 0.066 0.055 0.048 0.048 0.043 0.035 0.095
C.R. 3.740 2.987 -3.036 2.816 4.394 -3.302 4.530
P 0.000 0.003 0.002 0.005 0.000 0.000 0.000
Label Par_15 Par_19 Par_16 Par_20 Par_17 Par_21 Par_18
0.079 0.066 0.109 0.110
6.870 7.061 11.035 10.766
0.000 0.000 0.000 0.000
Par_3 Par_1 Par_2 Par_4
0.067 0.079 0.076
11.610 12.835 10.841
0.000 0.000 0.000
Par_12 Par_26 Par_25
0.045 0.042 0.044 0.168 0.179 0.167
24.118 19.844 21.476 7.838 8.432 6.592
0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000
Par_5 Par_6 Par_7 Par_14 Par_13 Par_11
0.140 0.164
6.251 6.438
0.000 0.000
Par_27 Par_28
0.149 0.164 0.164 0.108
3.784 5.090 6.586 5.402
0.000 0.000 0.000 0.000
Par_8 Par_9 Par_10 Par_
Lampiran 8. Hasil Olahan Data Model Persamaan Struktural (Lanjutan) Standardized Regression Weights: (Group number 1 - Default model)
Y1 Y1 Y1 Y2 Y2 Y2 Y2 X11 X12 X13 X14 X15 X21 X22 X23 X24 X31 X32 X33 X34 Y11 Y12 Y13 Y14 Y15 Y16 Y21 Y22 Y23 Y24 Y25
<--<--<--<--<--<--<--<--<--<--<--<--<--<--<--<--<--<--<--<--<--<--<--<--<--<--<--<--<--<--<---
X1 X2 X3 X1 X2 X3 Y1 X1 X1 X1 X1 X1 X2 X2 X2 X2 X3 X3 X3 X3 Y1 Y1 Y1 Y1 Y1 Y1 Y2 Y2 Y2 Y2 Y2
Estimate 0.355 0.270 -0.262 0.234 0.371 -0.255 0.520 0.778 0.570 0.578 0.873 0.846 0.885 0.798 0.846 0.743 0.937 0.956 0.905 0.926 0.735 0.813 0.604 0.683 0.566 0.588 0.583 0.311 0.427 0.590 0.456
Tabel Hubungan Antarvariabel Penelitian
Estimate Hubungan Antarvariabel
Standardized
Unstandardized
S.E.
C.R.
P
Keterangan Signifikan
Y1
<---
X1
0.355
0.247
0.066
3.740
0.000
Y1
<---
X2
0.270
0.165
0.055
2.987
0.003
Signifikan
Y1
<---
X3
-0.262
-0.145
0.048
-3.036
0.002
Signifikan
Y2
<---
X1
0.234
0.135
0.048
2.816
0.005
Signifikan
Y2
<---
X2
0.371
0.188
0.043
4.394
0.000
Signifikan
Y2
<---
X3
-0.255
-0.117
0.035
-3.302
0.000
Signifikan
Y2
<---
Y1
0.520
0.432
0.095
4.530
0.000
Signifikan
Lampiran 8. Hasil Olahan Data Model Persamaan Struktural (Lanjutan) Implied (for all variables) Correlations (Group number 1 - Default model) X2
X3
X1
Y1
X2
1.000
X3
-0.412
1.000
X1
0.387
-0.340
1.000
Y1
0.516
-0.494
0.549
1.000
Y2
0.836
-0.745
0.750
0.967
Y2
1.000
Lampiran 8. Hasil Olahan Data Model Persamaan Struktural (Lanjutan) Uji Validitas Konstruk Penelitian
X11 <--X12 <--X13 <--X14 <--X15 <--Sub Jumlah X21 <--X22 <--X23 <--X24 <--Sub Jumlah X31 <--X32 <--X33 <--X34 <--Sub Jumlah Y11 <--Y12 <--Y13 <--Y14 <--Y15 <--Y16 <---
X1 X1 X1 X1 X1 X2 X2 X2 X2 X3 X3 X3 X3 Y1 Y1 Y1 Y1 Y1 Y1
Estimate 0,778 0,570 0,578 0,873 0,846 3,645 0,885 0,798 0,846 0,743 3,272 0.937 0.956 0.905 0.926 3,724 0,735 0,813 0,604 0,683 0,566 0,588
S.E.
V.Konstruk
0,079 0,066 0,109 0,110 0,364
0,855
0,067 0,079 0,076 0,222 0.045 0.042 0.044 0,131 0,168 0,179 0,167 0,140 0,164
0,891
0,963
0,828
Sub Jumlah 3,989 0,818 Y21 <--- Y2 0,583 Y22 <--- Y2 0,311 0,149 Y23 <--- Y2 0,427 0,164 Y24 <--- Y2 0,590 0,164 0,594 Y25 <--- Y2 0,456 0,108 Sub Jumlah 2,367 0,585 Construct reliability diperoleh melalui rumus berikut ini:
Construct reliability =
(∑ Std. Loading)2 (∑ Std. Loading)2 + ∑εj
dimana:
Std.Loading diperoleh langsung dari standarized loading untuk tiap tiap indikator ε2j adalah measurement error dari tiap-tiap indikator
Lampiran 8. Hasil Olahan Data Model Persamaan Struktural (Lanjutan)
Implied (for all variables) Correlations (Group number 1 - Default model) X2
X3
X1
Y1
Y2
Y25
Y16
Y15
X24
Y11
Y13
X34
Y12
Y14
X31
X2
1.000
X3
-0.412 1.000
X1
0.387 -0.340 1.000
Y1
0.516 -0.494 0.549
1.000
Y2
0.836 -0.745 0.750
0.967
1.000
Y25
0.381 -0.340 0.342
0.441
0.456
1.000
Y16
0.303 -0.291 0.323
0.588
0.569
0.259
1.000
Y15
0.292 -0.280 0.311
0.566
0.547
0.250
0.333
1.000
X24
0.743 -0.306 0.288
0.383
0.621
0.283
0.225
0.217
1.000
Y11
0.379 -0.363 0.403
0.735
0.710
0.324
0.432
0.416
0.282
1.000
Y13
0.311 -0.298 0.331
0.604
0.583
0.266
0.355
0.342
0.231
0.444
X34
-0.382 0.926 -0.315 -0.458 -0.690 -0.315 -0.269 -0.259 -0.284 -0.336 -0.276 1.000
Y12
0.419 -0.402 0.446
0.813
0.785
0.358
0.478
0.460
0.311
0.597
0.490 -0.372 1.000
Y14
0.352 -0.337 0.374
0.683
0.660
0.301
0.402
0.386
0.262
0.502
0.412 -0.313 0.555
X31
-0.386 0.937 -0.318 -0.463 -0.698 -0.319 -0.272 -0.262 -0.287 -0.340 -0.280 0.868 -0.376 -0.316 1.000
X33
-0.373 0.905 -0.308 -0.447 -0.675 -0.308 -0.263 -0.253 -0.277 -0.329 -0.270 0.839 -0.364 -0.305 0.849
X32
-0.394 0.956 -0.325 -0.472 -0.712 -0.325 -0.278 -0.267 -0.293 -0.347 -0.285 0.885 -0.384 -0.322 0.895
X11
0.301 -0.264 0.778
0.427
0.584
0.266
0.251
0.242
0.224
0.314
0.258 -0.245 0.347
0.291 -0.248
X14
0.338 -0.297 0.873
0.479
0.655
0.299
0.282
0.271
0.251
0.352
0.289 -0.275 0.389
0.327 -0.278
1.000
1.000
Lampiran 8. Hasil Olahan Data Model Persamaan Struktural (Lanjutan) Standardized Total Effects (Group number 1 - Default model)
Y1 Y2 X11 X12 X13 X14 X15 X21 X22 X23 X24 X31 X32 X33 X34 Y11 Y12 Y13 Y14 Y15 Y16 Y21 Y22 Y23 Y24 Y25
X1 0.355 0.419 0.778 0.570 0.578 0.873 0.846 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.261 0.288 0.214 0.242 0.201 0.209 0.244 0.130 0.179 0.247 0.191
X2 0.270 0.512 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.885 0.798 0.846 0.743 0.000 0.000 0.000 0.000 0.199 0.220 0.163 0.184 0.153 0.159 0.298 0.159 0.218 0.302 0.234
X3 -0.262 -0.392 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.937 0.956 0.905 0.926 -0.193 -0.213 -0.158 -0.179 -0.148 -0.154 -0.228 -0.122 -0.167 -0.231 -0.179
Y1 0.000 0.520 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.735 0.813 0.604 0.683 0.566 0.588 0.303 0.162 0.222 0.307 0.237
Y2 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.583 0.311 0.427 0.590 0.456
Lampiran 8. Hasil Olahan Data Model Persamaan Struktural (Lanjutan) Standardized Direct Effects (Group number 1 - Default model)
Y1 Y2 X11 X12 X13 X14 X15 X21 X22 X23 X24 X31 X32 X33 X34 Y11 Y12 Y13 Y14 Y15 Y16 Y21 Y22 Y23 Y24 Y25
X1 0.355 0.234 0.778 0.570 0.578 0.873 0.846 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000
X2 0.270 0.371 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.885 0.798 0.846 0.743 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000
X3 -0.262 -0.255 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.937 0.956 0.905 0.926 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000
Y1 0.000 0.520 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.735 0.813 0.604 0.683 0.566 0.588 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000
Y2 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.583 0.311 0.427 0.590 0.456
Lampiran 8. Hasil Olahan Data Model Persamaan Struktural (Lanjutan) Standardized Indirect Effects (Group number 1 - Default model)
Y1 Y2 X11 X12 X13 X14 X15 X21 X22 X23 X24 X31 X32 X33 X34 Y11 Y12 Y13 Y14 Y15 Y16 Y21 Y22 Y23 Y24 Y25
X1 0.000 0.185 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.261 0.288 0.214 0.242 0.201 0.209 0.244 0.130 0.179 0.247 0.191
X2 0.000 0.141 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.199 0.220 0.163 0.184 0.153 0.159 0.298 0.159 0.218 0.302 0.234
X3 0.000 -0.136 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 -0.193 -0.213 -0.158 -0.179 -0.148 -0.154 -0.228 -0.122 -0.167 -0.231 -0.179
Y1 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.303 0.162 0.222 0.307 0.237
Y2 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000
Lampiran 9. Uji Model Pengukuran Kapasitas RTM (X1) Regression Weights: (Group number 1 - Default model) Estimate
S.E.
C.R.
P
Label
X11
<---
X1
1,000
X12
<---
X1
0,554
0,082
6,774
***
par_3
X13
<---
X1
0,469
0,069
6,816
***
par_1
X14
<---
X1
1,246
0,116
10,764
***
par_2
X15
<---
X1
1,221
0,116
10,553
***
par_4
Standardized Regression Weights: (Group number 1 - Default model) Estimate X11
<---
X1
0,762
X12
<---
X1
0,570
X13
<---
X1
0,567
X14
<---
X1
0,883
X15
<---
X1
0,853
Tabel Hubungan Antarvariabel pada Konstruk Kapasitas RTM (X1) Estimate Hubungan Antarvariabel
Standardize d
Unstandardized
S.E.
C.R.
P
Keterangan
X11
<---
X1
0,762
1,000
Signifikan
X12
<---
X1
0,570
0,554
0,082
6,774
***
Signifikan
X13
<---
X1
0,567
0,469
0,069
6,816
***
Signifikan
X14
<---
X1
0,883
1,246
0,116
10,764
***
Signifikan
X15
<---
X1
0,853
1,221
0,116
10,553
***
Signifikan
Sumber: Lampiran 9
Implied (for all variables) Correlations (Group number 1 - Default model) X1
X11
X14
X13
X12
X1
1,000
X11
0,762
1,000
X14
0,883
0,673
1,000
X13
0,567
0,432
0,501
1,000
X12
0,570
0,434
0,503
0,323
1,000
X15
0,853
0,650
0,753
0,484
0,486
X15
1,000
Model Fit Summary
CMIN
Model
NPAR
CMIN
DF
P
CMIN/DF
Default model
10
7,335
5
0,197
1,467
Model Number 2
10
7,335
5
0,197
1,467
Model Number 3
10
7,335
5
0,197
1,467
Model Number 4
10
7,335
5
0,197
1,467
Saturated model
15
0
0
5
335,994
10
0
33,599
RMR
GFI
AGFI
PGFI
Default model
0,021
0,98
0,939
0,327
Model Number 2
0,021
0,98
0,939
0,327
Model Number 3
0,021
0,98
0,939
0,327
Model Number 4
0,021
0,98
0,939
0,327
Saturated model
0
1
0,479
0,463
0,195
0,309
Independence model
RMR, GFI
Model
Independence model
Baseline Comparisons
NFI
RFI
IFI
TLI
Delta1
rho1
Delta2
rho2
Default model
0,978
0,956
0,993
0,986
0,993
Model Number 2
0,978
0,956
0,993
0,986
0,993
Model Number 3
0,978
0,956
0,993
0,986
0,993
Model Number 4
0,978
0,956
0,993
0,986
0,993
Saturated model
1
Independence model
0
0
0
0
RMSEA
LO 90
HI 90
PCLOSE
Default model
0,056
0,000
0,136
0,380
Model Number 2
0,056
0,000
0,136
0,380
Model Number 3
0,056
0,000
0,136
0,380
Model Number 4
0,056
0,000
0,136
0,380
Independence model
0,468
0,426
0,511
0,000
Model
1
1
RMSEA
Model
CFI
0
,58 e11
X11
,33
e12
X12
e13 e14
,32 ,57 X13 ,88 ,78 ,85 X14
e15
X15
UJI HIPOTESIS Chi-Square =7,335 Probability =,197 CMIN/DF =1,467 GFI =,980 TLI =,986 CFI =,993 RMSEA =,056 AGFI =,939
,76
,57 Kapasitas RTM (X1)
,73
Lampiran 10. Analisis Model Pengukuran Upaya Pemberdayaan (X2)
Regression Weights: (Group number 1 - Default model) Estimate
S.E.
C.R.
P
Label
X21
<---
X2
1,000
X22
<---
X2
0,822
0,071
11,556
***
par_1
X23
<---
X2
1,059
0,084
12,560
***
par_3
X24
<---
X2
0,839
0,080
10,432
***
par_2
Standardized Regression Weights: (Group number 1 - Default model) Estimate X21
<---
X2
0,860
X22
<---
X2
0,816
X23
<---
X2
0,862
X24
<---
X2
0,738
Tabel Hubungan Antarvariabel pada Konstruk Pemberdayaan (X2)
Estimate Hubungan Antarvariabel
Standardize d
Unstandardized
S.E.
C.R.
P
Keterangan
X21
<---
X2
0,860
1,000
Signifikan
X22
<---
X2
0,816
0,822
0,071
11,556
***
Signifikan
X23
<---
X2
0,862
1,059
0,084
12,560
***
Signifikan
X24
<---
X2
0,738
0,839
0,080
10,432
***
Signifikan
Sumber: Lampiran 10
Implied (for all variables) Correlations (Group number 1 - Default model) X2
X24
X21
X23
X2
1,000
X24
,738
1,000
X21
,846
,624
1,000
X23
,861
,635
,728
1,000
X22
,818
,603
,692
,704
X22
1,000
Model Fit Summary CMIN Model
NPAR
CMIN
DF
P
CMIN/DF
Default model
8
5,582
2
0,061
2,791
Model Number 2
8
5,582
2
0,061
2,791
Model Number 3
8
5,582
2
0,061
2,791
Model Number 4
8
5,582
2
0,061
2,791
Saturated model
10
0
0
4
347,45
6
0
57,908
RMR
GFI
AGFI
PGFI
Default model
0,023
0,981
0,907
0,196
Model Number 2
0,023
0,981
0,907
0,196
Model Number 3
0,023
0,981
0,907
0,196
Model Number 4
0,023
0,981
0,907
0,196
Saturated model
0
1
0,581
0,424
0,041
0,255
Independence model
RMR, GFI
Model
Independence model
Baseline Comparisons
NFI
RFI
IFI
TLI
Delta1
rho1
Delta2
rho2
CFI
Default model
0,984
0,952
0,990
0,969
0,990
Model Number 2
0,984
0,952
0,990
0,969
0,990
Model Number 3
0,984
0,952
0,990
0,969
0,990
Model Number 4
0,984
0,952
0,990
0,969
0,990
Saturated model
1
Independence model
0
0
0
0
RMSEA
LO 90
HI 90
PCLOSE
Default model
0,110
0,000
0,222
0,129
Model Number 2
0,110
0,000
0,222
0,129
Model Number 3
0,110
0,000
0,222
0,129
Model Number 4
0,110
0,000
0,222
0,129
Independence model
0,618
0,564
0,674
0,000
Model
1
1
RMSEA
Model
0
e21
,74 X21
,74
,67 X22
,86
e24
e23
e22
X23
,86 ,82
,54 X24
,74
Upaya Pemberdayaan (X2)
UJI HIPOTESIS Chi-Square =5,582 Probability =,061 CMIN/DF =2,791 GFI =,981 TLI =,969 CFI =,990 RMSEA =,110 AGFI =,907
Lampiran 11. Analisis Model Pengukuran Budaya (X3) Regression Weights: (Group number 1 - Default model)
Estimate
S.E.
C.R.
P
Label
X31
<---
X3
1
X32
<---
X3
1,085
0,045
24,267
***
par_1
X33
<---
X3
0,841
0,042
19,818
***
par_2
X34
<---
X3
0,949
0,045
21,144
***
par_3
Standardized Regression Weights: (Group number 1 - Default model)
Estimate X31
<---
X3
0,937
X32
<---
X3
0,959
X33
<---
X3
0,905
X34
<---
X3
0,923
Tabel Hubungan Antarvariabel pada Konstruk Pemberdayaan (X3) Estimate Hubungan Antarvariabel
Standardize d
Unstandardized
S.E.
C.R.
P
Keterangan
X31
<---
X3
0,937
1
Signifikan
X32
<---
X3
0,959
1,085
0,045
24,267
***
Signifikan
X33
<---
X3
0,905
0,841
0,042
19,818
***
Signifikan
X34
<---
X3
0,923
0,949
0,045
21,144
***
Signifikan
Sumber : lampiran 11
Model Fit Summary
CMIN
Model
NPAR
CMIN
DF
P
CMIN/DF
Default model
8
2,654
2
0,265
1,327
Model Number 2
8
2,654
2
0,265
1,327
Model Number 3
8
2,654
2
0,265
1,327
Model Number 4
8
2,654
2
0,265
1,327
Saturated model
10
0
0
4
723,747
6
0
120,624
Independence model
RMR, GFI
Model
RMR
GFI
AGFI
PGFI
Default model
0,007
0,992
0,958
0,198
Model Number 2
0,007
0,992
0,958
0,198
Model Number 3
0,007
0,992
0,958
0,198
Model Number 4
0,007
0,992
0,958
0,198
Saturated model
0
1
0,812
0,308
-0,154
0,185
NFI
RFI
IFI
TLI
Delta1
rho1
Delta2
rho2
CFI
Default model
0,996
0,989
0,999
0,997
0,999
Model Number 2
0,996
0,989
0,999
0,997
0,999
Model Number 3
0,996
0,989
0,999
0,997
0,999
Model Number 4
0,996
0,989
0,999
0,997
0,999
Saturated model
1
Independence model
0
Independence model
Baseline Comparisons
Model
1
0
0
1
0
0
RMSEA
Model
RMSEA
LO 90
HI 90
PCLOSE
Default model
0,047
0
0,176
0,388
Model Number 2
0,047
0
0,176
0,388
Model Number 3
0,047
0
0,176
0,388
Model Number 4
0,047
0
0,176
0,388
Independence model
0,896
0,842
0,952
0
,88 e31
X31
e32
X32
,92
,94
,96
e33
,82 ,91 ,92 X33
e34
X34
UJI HIPOTESIS Chi-Square =2,654 Probability =,265 CMIN/DF =1,327 GFI =,992 TLI =,997 CFI =,999 RMSEA =,047 AGFI =,958
Budaya (X3)
,85
Lampiran 12. Analisis Model Pengukuran Sikap RTM ( Y1) Regression Weights: (Group number 1 - Default model) Estimate
S.E.
C.R.
P
Label
Y11
<---
Y1
1,307
0,177
7,393
***
par_3
Y12
<---
Y1
1,558
0,198
7,858
***
par_2
Y13
<---
Y1
1,190
0,177
6,704
***
par_1
Y14
<---
Y1
1,000
Y15
<---
Y1
0,851
0,145
5,863
***
par_4
Y16
<---
Y1
1,025
0,184
5,576
***
par_5
Standardized Regression Weights: (Group number 1 - Default model)
Estimate Y11
<---
Y1
0,720
Y12
<---
Y1
0,824
Y13
<---
Y1
0,643
Y14
<---
Y1
0,672
Y15
<---
Y1
0,544
Y16
<---
Y1
0,507
Tabel Hubungan Antarvariabel pada Konstruk Sikap (X4)
Estimate Hubungan Antarvariabel
Standardize d
Unstandardized
S.E.
C.R.
P
Keterangan
Y11
<--- Y1
0,720
1,307
0,177
7,393
***
Signifikan
Y12
<--- Y1
0,824
1,558
0,198
7,858
***
Signifikan
Y13
<--- Y1
0,643
1,190
0,177
6,704
***
Signifikan
Y14
<--- Y1
0,672
1,000
Y15
<--- Y1
0,544
0,851
0,145
5,863
***
Signifikan
Y16
<--- Y1
0,507
1,025
0,184
5,576
***
Signifikan
Sumber : lampiran 12
Signifikan
Implied (for all variables) Correlations (Group number 1 - Default model)
Y1
Y16
Y15
Y11
Y13
Y12
Y1
1,000
Y16
0,507
1,000
Y15
0,544
0,276
1,000
Y11
0,720
0,365
0,392
1,000
Y13
0,643
0,326
0,350
0,463
1,000
Y12
0,824
0,418
0,448
0,594
0,530
1,000
Y14
0,672
0,341
0,366
0,484
0,432
0,554
Model Fit Summary CMIN
Model
NPAR
CMIN
DF
P
CMIN/DF
Default model
11
14,57
10
0,149
1,457
Model Number 2
11
14,57
10
0,149
1,457
Model Number 3
11
14,57
10
0,149
1,457
Model Number 4
11
14,57
10
0,149
1,457
Saturated model
21
0
0
6
286,586
15
0
19,106
Independence model
Y14
1,000
RMR, GFI
Model
RMR
GFI
AGFI
PGFI
Default model
0,063
0,972
0,942
0,463
Model Number 2
0,063
0,972
0,942
0,463
Model Number 3
0,063
0,972
0,942
0,463
Model Number 4
0,063
0,972
0,942
0,463
Saturated model
0
1
0,384
0,5
0,3
0,357
Independence model
Baseline Comparisons
Model
NFI
RFI
IFI
TLI
Delta1
Rho1
Delta2
rho2
CFI
Default model
0,949
0,924
0,983
0,975
0,983
Model Number 2
0,949
0,924
0,983
0,975
0,983
Model Number 3
0,949
0,924
0,983
0,975
0,983
Model Number 4
0,949
0,924
0,983
0,975
0,983
Saturated model
1
Independence model
0
RMSEA
1 0
0
1 0
0
Model
RMSEA
LO 90
HI 90
PCLOSE
Default model
0,055
0
0,113
0,391
Model Number 2
0,055
0
0,113
0,391
Model Number 3
0,055
0
0,113
0,391
Model Number 4
0,055
0
0,113
0,391
Independence model
0,349
0,314
0,384
0
Sikap RTM (Y1)
,72 ,82,64 ,51 ,67 ,54 ,52 ,68 ,41 ,45 ,30 Y11
Y12
Y13
Y14
Y15
Y16
e41
e42
e43
e44
e45
e46
,26
UJI HIPOTESIS Chi-Square =14,570 Probability =,149 CMIN/DF =1,457 GFI =,972 TLI =,975 CFI =,983 RMSEA =,055 AGFI =,942
Lampiran 13. Analisis Model Pengukuran Keberdayaan RTM (Y5) Regression Weights: (Group number 1 - Default model)
Estimate
S.E.
C.R.
P
Y21
<---
Y2
1,000
Y22
<---
Y2
0,825
0,256
3,229
0,001
Y23
<---
Y2
1,069
0,327
3,268
0,001
Y24
<---
Y2
1,798
0,577
3,115
0,002
Y25
<---
Y2
0,540
0,187
2,891
0,004
Standardized Regression Weights: (Group number 1 - Default model)
Estimate Y21
<---
Y2
0,465
Y22
<---
Y2
0,362
Y23
<---
Y2
0,436
Y24
<---
Y2
0,783
Y25
<---
Y2
0,338
Tabel Hubungan Antarvariabel pada Konstruk Keberdayaan Rumah Tangga (X5) Estimate Hubungan Antarvariabel
Standardize d
Unstandardized
S.E.
C.R.
P
Y21
<--- Y2
0,465
1,000
Y22
<--- Y2
0,362
0,825
0,256
3,229
0,001
Y23
<--- Y2
0,436
1,069
0,327
3,268
0,001
Y24
<--- Y2
0,783
1,798
0,577
3,115
0,002
Y25
<--- Y2
0,338
0,540
0,187
2,891
0,004
Sumber: lampiran 13
Implied (for all variables) Correlations (Group number 1 - Default model)
Y2
Y25
Y24
Y21
Y22
Y23
Y2
1,000
Y25
0,338
1,000
Y24
0,783
0,265
1,000
Y21
0,465
0,157
0,364
1,000
Y22
0,362
0,122
0,284
0,169
1,000
Y23
0,436
0,147
0,341
0,203
0,158
1,000
Model Fit Summary
CMIN
Model
NPAR
CMIN
DF
P
CMIN/DF
Default model
10
8,545
5
0,129
1,709
Model Number 2
10
8,545
5
0,129
1,709
Model Number 3
10
8,545
5
0,129
1,709
Model Number 4
10
8,545
5
0,129
1,709
Saturated model
15
0
0
5
75,496
10
0
7,55
Independence model
RMR, GFI
Model
RMR
GFI
AGFI
PGFI
Default model
0,036
0,978
0,935
0,326
Model Number 2
0,036
0,978
0,935
0,326
Model Number 3
0,036
0,978
0,935
0,326
Model Number 4
0,036
0,978
0,935
0,326
Saturated model
0
1
0,146
0,809
0,714
0,539
RMSEA
LO 90
HI 90
PCLOSE
Default model
0,069
0
0,146
0,286
Model Number 2
0,069
0
0,146
0,286
Model Number 3
0,069
0
0,146
0,286
Model Number 4
0,069
0
0,146
0,286
0,21
0,167
0,255
0
Independence model
RMSEA
Model
Independence model
,22
UJI HIPOTESIS Chi-Square =8,545 Probability =,129 CMIN/DF =1,709 GFI =,978 TLI =,892 CFI =,946 RMSEA =,069 AGFI =,935
Y21 ,47
,36 Keberdayaan RTM (Y2)
Y22
,44 ,78 ,34
,13 ,19
Y23
e51 e52 e53
,61 Y24
Y25
,11
e54 e55