KONSUMSI ROKOK KEPALA RUMAH TANGGA DAN KEBUTUHAN DASAR RUMAH TANGGA MISKIN DI INDONESIA Nugrahana Fitria Ruhyana *)
Tim Website Bappeda Kabupaten Sumedang
ABSTRAK Indonesia merupakan salah satu negara dengan konsumsi rokok terbesar di dunia. Konsumsi rokok memiliki potensi menjebak orang miskin dalam lingkaran setan kemiskinan dan kesehatan yang buruk. Beberapa penelitian membuktikan bahwa pengeluaran rumah tangga miskin masih menempatkan rokok sebagai porsi pengeluaran pangan terbesar setelah padi-padian. Penelitian ini dimaksudkan untuk melengkapi kajian tentang fenomena kemiskinan, khususnya dikaitkan dengan perilaku merokok kepala rumah tangga dan dampaknya terhadap pemenuhan kebutuhan dasar rumah tangga. Berdasarkan data IFLS tahun 2007 dan garis kemiskinan Bank Dunia sebesar PPP US$ 2, sebanyak 63% kepala rumah tangga yang tergolong miskin merupakan perokok. Rokok kretek merupakan jenis rokok yang paling banyak dikonsumsi, diikuti dengan rokok linting dan rokok putih, bahkan sebagian kepala rumah tangga mengkonsumsi lebih dari satu jenis rokok. Prevalensi merokok masih lebih tinggi pada kepala rumah tangga dengan gender laki-laki, usia produktif, tingkat pendidikan sekolah dasar, menikah, dan tinggal di perdesaan. Hasil penelitian ini membuktikan bahwa konsumsi rokok kepala rumah tangga berhubungan dengan taraf hidup yang lebih rendah diantara rumah tangga miskin di Indonesia. Terdapat perbedaan total pengeluaran rumah tangga per kapita pada rumah tangga dengan kepala rumah tangga perokok, apapun jenis rokoknya, dibandingkan dengan kepala rumah tangga yang bukan perokok setelah dikontrol dengan variabel penjelas yang juga memiliki hubungan kuat dengan pengeluaran rumah tangga, yaitu karakteristik kepala rumah tangga (meliputi umur, tingkat pendidikan, gender, dan status perkawinan), ukuran dan komposisi anggota rumah tangga, serta domisili rumah tangga. Kata kunci : konsumsi rokok, kebutuhan dasar, rumah tangga miskin.
PENDAHULUAN Tingkat kesejahteraan masyarakat salah satunya bisa dilihat dengan memperhatikan pola konsumsi rumah tangga. Rumah tangga miskin biasanya memiliki pola konsumsi yang relatif tetap akibat pendapatan yang tidak banyak berubah. Penelitian terkait pola konsumsi masyarakat miskin misalnya pada rumah tangga petani padi, dimana pengeluaran rumah tangga terbesar adalah pengeluaran makanan pokok, diikuti pengeluaran tembakau/sirih dan pangan hewani (Purwantini & Ariani 2008). Indonesia merupakan salah satu negara dengan konsumsi tembakau terbesar di dunia, dan berada pada urutan keempat setelah China, USA dan Rusia (Eriksen et al. 2012). Sebagian besar tembakau dikonsumsi dalam bentuk rokok kretek dengan proporsi 80,4% dari total produk tembakau (GATS 2012). Jumlah batang rokok dikonsumsi di Indonesia meningkat dari 182 milyar batang di tahun 1998 menjadi 260,8 milyar batang pada tahun 2009 (Ahsan et al. 2012). Studi yang dilakukan Kosen (2012) dengan menggunakan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2010, diketahui penduduk Indonesia berusia
lebih dari 15 tahun yang merupakan perokok aktif adalah 34,7%, dan sebanyak 35% dari perokok aktif tergolong dalam kelas sosial ekonomi rendah (kuintil 1) yang didominasi petani, nelayan dan buruh dengan prevalensi 50,3%. Pengeluaran tembakau pada kuintil termiskin 3 kali lebih besar dari biaya pendidikan dan 4,3 kali lebih besar dari biaya kesehatan. Konsumsi rokok memiliki potensi menjebak orang miskin dalam lingkaran setan kemiskinan dan kesehatan yang buruk. Konsekuensi kesehatan yang merugikan dari penggunaan tembakau terkonsentrasi lebih banyak pada kaum miskin (Bobak et al. 1996). BPS mengidentifikasi kelompok pangan yang cukup mendominasi pengeluaran masyarakat miskin adalah nasi dengan lauk dan rokok kretek filter, bahkan rokok kretek selalu menempati urutan kedua setelah beras pada komoditi makanan bagi mereka yang berada di bawah garis kemiskinan. Lembaga Demografi UI juga mencatat dari tahun 2003-2006, pengeluaran rumah tangga termiskin selalu menempatkan tembakau dan sirih pada peringkat kedua setelah padi-padian (Ahsan et al. 2010). Fakta ini menunjukkan bahwa sebagian besar pendapatan penduduk miskin baik di perkotaan maupun di perdesaan, selain dialokasikan untuk membeli beras, juga dialokasikan untuk membeli rokok. Fenomena
Konsumsi Rokok Kepala Rumah Tangga dan Kebutuhan Dasar Rumah Tangga Miskin di Indonesia – Nugrahana F.R.
1
keterkaitan konsumsi rokok dengan kemiskinan menarik untuk dicermati mengingat besarnya dampak konsumsi rokok bagi rumah tangga berpendapatan rendah. Penelitian ini dimaksudkan untuk melengkapi kajian tentang fenomena kemiskinan, khususnya dikaitkan dengan perilaku merokok kepala rumah tangga dan dampaknya terhadap pemenuhan kebutuhan dasar rumah tangga. Selanjutnya hasil penelitian ini diharapkan bisa memperkuat arah kebijakan pengendalian tembakau yang lebih intensif mengingat konsumsi rokok khususnya bagi kaum miskin seolah sudah membudaya yang berdampak pada penurunan standar hidup sehingga menyulitkan mereka untuk keluar dari perangkap kemiskinan. Hasil studi di beberapa negara menyatakan bahwa jika pengeluaran rokok dialihkan pada makanan dan kebutuhan pokok lainnya dapat meningkatkan kemampuan rumah tangga untuk memenuhi kebutuhan pangan dan gizi dan dapat meningkatkan taraf hidup (Efroymson et al. 2001; Hu et al. 2005; Djibuti et al. 2007; Xin et al. 2009; Njoumemi et al. 2012).
HUBUNGAN ROKOK DAN KEMISKINAN Perilaku Konsumen dan Konsumsi Rokok Komoditas rokok menurut Barber et al. (2008) merupakan barang normal karena semakin tinggi harga barang tersebut maka jumlah permintaannya akan semakin berkurang. Akan tetapi pengaruh kenaikan harga terhadap permintaan rokok diperkirakan kecil, artinya elastisitas permintaan karena harga (price elasticity of demand)-nya kecil, karena barang tersebut bersifat adiktif (Hidayat & Thabrany 2010). Sifat adiktif rokok juga terlihat dari dua hal, pertama adanya efek menarik kembali porokok untuk kembali mengkonsumsi rokok ketika ia berusaha untuk berhenti merokok, dan kedua seringkali dampak buruk merokok baru dirasakan pada akhir masa kehidupan seorang perokok (Suranovic et al. 1999). Dalam penelitian Triana (2011), respon permintaan rumah tangga miskin pada komoditi rokok meningkat dengan persentase yang lebih tinggi terhadap perubahan tambahan proporsi pengeluarannya. Apabila ada tambahan proporsi pengeluaran sebesar satu persen maka alokasi pengeluaran untuk rokok meningkat lebih besar dari satu persen bahkan hingga mencapai dua persen. Elastisitas pengeluaran rokok ternyata lebih tinggi di perdesaan dibandingkan perkotaan. Hal ini mengindikasikan bahwa rumah tangga miskin di perdesaan mengalokasikan lebih banyak untuk tambahan persentase konsumsi rokok apabila ada tambahan proporsi pengeluaran.
Jha et al. (2001) mengemukakan pentingnya intervensi pada pasar tembakau disebabkan terdapat kegagalan pasar. Pertama, kegagalan informasi tentang risiko kesehatan dari merokok yang ditandai dengan banyaknya konsumen yang tidak tahu risiko merokok. Kedua, ada kegagalan informasi tentang potensi adiktif tembakau sehingga banyak perokok, terutama remaja, menjadi kecanduan dan menghadapi biaya yang sangat tinggi ketika tidak mampu untuk berhenti merokok. Kegagalan pasar ketiga adalah biaya eksternal merokok, yaitu biaya yang dikenakan oleh perokok pada orang lain. Biaya eksternal yang paling jelas terlihat adalah efek kesehatan bagi perokok pasif. Dalam kerangka memahami keputusan konsumen dalam mengkonsumsi barang dan jasa, teori ekonomi menyatakan bahwa jika perokok mengkonsumsi rokok dengan informasi lengkap tentang konsekuensi kesehatan dan potensi adiktif rokok, serta menanggung semua biaya dan manfaat dari pilihan mereka sendiri, maka akan mampu mengoreksi kegagalan pasar tersebut (Jha et al. 2001). Kesempatan yang Hilang Akibat Konsumsi Rokok Peningkatan konsumsi rokok berdampak pada makin tingginya beban penyakit akibat rokok dan bertambahnya angka kematian prematur. Banyak kajian internasional terkait dampak jangka panjang dari merokok terhadap kesehatan dan kesejahteraan seseorang. Akibat penyakit yang ditimbulkan kebiasaan merokok maka ada beban biaya untuk pengobatan maupun biaya yang hilang akibat tidak dapat bekerja atau beraktivitas. Penelitian Ross et al. (2007) di Vietnam tahun 2005 menunjukkan bahwa biaya akibat rokok mencapai US$ 77,5 juta atau 0,22 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB), sedangkan studi McGhee et al. (2006) di Hong Kong mendapatkan bahwa biaya yang dikeluarkan akibat perokok aktif tahun 1998 mencapai US$ 532 juta dan perokok pasif US$ 156 juta. Setiap tahun kematian akibat penyakit yang berhubungan dengan kebiasaan merokok mencapai 200.000 orang (Barber et al. 2008). Studi yang dilakukan Jha et al. (2013) mengungkapkan bahwa perokok setidaknya kehilangan satu dekade dari harapan hidup jika dibandingkan mereka yang tidak merokok. Merokok juga dalam jangka pendek berdampak pada menurunnya standar hidup rumah tangga dengan teralihkannya sumber pendapatan rumah tangga untuk kebutuhan dasar. Pengeluaran rokok dapat mengurangi status kecukupan gizi bagi rumah tangga berpenghasilan rendah karena berkurangnya alokasi pengeluaran untuk makanan dan perawatan kesehatan. Besarnya alokasi pengeluaran tembakau pada rumah tangga miskin dengan mengorbankan
Konsumsi Rokok Kepala Rumah Tangga dan Kebutuhan Dasar Rumah Tangga Miskin di Indonesia – Nugrahana F.R.
2
kebutuhan esensial, juga berdampak pada status gizi anak-anak sebagai human capital yang sebetulnya diharapkan bisa meningkatkan taraf hidup rumah tangga di masa mendatang. Lebih dari 70 juta orang dewasa di Indonesia merokok secara rutin dan 90% diantaranya merokok di rumah di sekitar anakanaknya (Thabrany 2012) Hubungan antara pengeluaran rokok rumah tangga dengan status gizi balita menunjukkan adanya kecenderungan penurunan status gizi balita dengan meningkatnya pengeluaran rokok rumah tangga (Sudikno et al. 2011). Bahkan hasil penelitian di berbagai negara di dunia menunjukkan bahwa kebiasaan merokok di kalangan mereka yang miskin berhubungan dengan banyaknya kasus gizi buruk yang dialami anak-anak (Semba et al. 2007; Collishaw 2010). Pengeluaran untuk tembakau menyebabkan kesempatan yang hilang diukur dari kebutuhan utama rumah tangga, khususnya pada pemenuhan pangan baik kuantitas maupun kualitasnya. Sumber pendapatan rumah tangga miskin yang terbatas ketika dibelanjakan untuk konsumsi tembakau, maka dipastikan akan mengorbankan kebutuhan pokok rumah tangga yang jauh lebih bermanfaat. Konsumsi Rokok dan Lingkaran Kemiskinan Berbagai studi juga mengungkapkan adanya suatu hubungan negatif antara kecenderungan merokok dan status sosial ekonomi perokok. Hubungan antara kebiasaan merokok dan kemiskinan digambarkan oleh Hu (2002) dalam sebuah kerangka pemikiran sebagai berikut.
pakaian, perumahan, kesehatan dan pendidikan yang berujung pada kondisi keterbatasan ekonomi. Kebiasaan merokok juga akan berdampak pada buruknya kondisi kesehatan di samping faktor lain yang turut berpengaruh terhadap kondisi kesehatan seseorang. Dampak konsumsi tembakau terhadap kesehatan di masa yang akan datang berdampak pada human capital yang rendah (sakit, cacat, bahkan kematian) sehingga menyebabkan produktivitas rendah, selain tingginya biaya pengobatan. Kondisi ini juga akan berdampak pada terkurasnya sumber ekonomi rumah tangga miskin yang menyebabkan sulitnya mereka keluar dari lingkaran kemiskinan. METODE PENELITIAN Unit Analisa, Sumber dan Jenis Data Unit analisa penelitian ini adalah rumah tangga. Sumber data yang digunakan merupakan data sekunder yang berasal dari Indonesian Family Live Surveys (IFLS) gelombang ke empat tahun 2007. Dalam penelitian ini jumlah observasi dibatasi pada 3.371 unit rumah tangga dengan pengeluaran per kapita per hari kurang dari PPP US$ 2 atau setara dengan Rp. 306.752,- per kapita per bulan. Jenis data dalam penelitian ini adalah cross section. Model dan Operasionalisasi Variabel Model dalam penelitian ini diadopsi dari penelitian Hu et al. (2005) dan Njoumemi et al.(2012) dirumuskan sebagai berikut: Ei = β0 + β1hand_roll + β2cigarrete + β 3white_cig + β4combine_cig + β5hhh_age15_24 + β6hhh_age25_34 + β7hhh_age35_44 + β8hhh_age45_54 + β9hhh_age55_64 + β10hhh_primary + β11hhh_jun_sch + β12hhh_high_sch + β13hhh_university + β14hhh_male + β15hhh_married + β16hh_size + β17n_hhm_18yr + β18n_hhm_65yr + β19urban + Ui
Tabel 1. Ringkasan Variabel yang Digunakan dalam Penelitian No A
Gambar 1. Hubungan Merokok dan Kemiskinan (Sumber: Hu 2002)
Dengan kerangka pemikiran yang hampir sama, Bonu et al. (2005) memaparkan keterkaitan konsumsi rokok dan kemiskinan seperti digambarkan pada kerangka pemikiran di atas. Pada kelompok pendapatan rendah, kebiasaan merokok akan berdampak signifikan pada disposable income yang pada akhirnya akan mengurangi alokasi pemenuhan kebutuhan dasar seperti untuk belanja makanan,
Nama variabel Variabel Terikat
1
pcenotob
2
pcxfoodnotob
3 4 5 6 B 1 a
pcxcloth pcxhouse pcxeduc pcxmedic Variabel Bebas Status merokok KRT hand_roll
Definisi Operasional Nominal besarnya pengeluaran per kapita per bulan (Rp) Total pengeluaran per kapita rumah tangga dikurangi pengeluaran tembakau per kapita Pengeluaran makanan per kapita dikurangi pengeluaran tembakau per kapita Pengeluaran pakaian per kapita Pengeluaran perumahan per kapita Pengeluaran pendidikan per kapita Pengeluaran kesehatan per kapita Kategori(dummy variable) : 1: KRT hanya mengkonsumsi rokok linting, 0: lainnya
Konsumsi Rokok Kepala Rumah Tangga dan Kebutuhan Dasar Rumah Tangga Miskin di Indonesia – Nugrahana F.R.
3
No
Nama variabel
b
cigarette
c
white_cig
d
combine_cig
2
Umur KRT
a
hhh_age15_24
b
hhh_age25_34
c
hhh_age35_44
d
hhh_age45_54
e
hhh_age55_64
3
Pendidikan KRT
a
hhh_primary
b
hhh_jun_sch
c
hhh_high_sch
d
hhh_university
4
hhh_male
5
hhh_married
6
hh_size
7
n_hhm_18yr
8
n_hhm_65yr
9
urban
Definisi Operasional 1: KRT hanya mengkonsumsi rokok kretek, 0: lainnya 1: KRT hanya mengkonsumsi rokok putih, 0: lainnya 1: KRT mengkonsumsi lebih dari satu jenis rokok, 0: lainnya Kategori(dummy variable) : 1: umur KRT antara 15 s/d 24 th 0: lainnya 1: umur KRT antara 25 s/d 34 th, 0: lainnya 1: umur KRT antara 35 s/d 44 th, 0: lainnya 1: umur KRT antara 45 s/d 54 th, 0: lainnya 1: umur KRT antara 55 s/d 64 th, 0: lainnya Kategori(dummy variable) : 1: Tingkat pendidikan tertinggi KRT sampai SD, 0: lainnya 1: Tingkat pendidikan tertinggi KRT sampai SLTP, 0: lainnya 1: Tingkat pendidikan tertinggi KRT sampai SLTA, 0: lainnya 1: Tingkat pendidikan tertinggi KRT sampai Perguruan Tinggi, 0: lainnya Gender KRT, 1: Laki-laki, 0: Perempuan Status Perkawinan KRT, 1: menikah & tinggal bersama pasangan, 0: single/berpisah Jumlah Anggota RT Jumlah Anggota RT yg berusia di bawah 18 th Jumlah Anggota RT yg berusia di atas 65 th Domisili RT, 1: Kota, 0: Desa
Koefisien untuk status merokok (β1, β2, β3, β4) memuat informasi tentang besarnya dampak dari konsumsi rokok kepala rumah tangga pada pengeluaran per kapita rumah tangga dengan asumsi variabel lain konstan. Umur, pendidikan, gender dan status perkawinan kepala rumah tangga, ukuran rumah tangga, anggota rumah tangga yang berusia di bawah 18 tahun dan di atas 65 tahun, serta lokasi/domisili rumah tangga merupakan variabel kontrol yang penting dan dianggap dapat menjelaskan pola pengeluaran rumah tangga. Metode Analisis Data Untuk menguji hubungan konsumsi rokok terhadap total pengeluaran per kapita rumah tangga dan kebutuhan dasar lainnya digunakan analisis regresi berganda dengan metode Ordinary Least Square (OLS). Meskipun dalam penelitian ini menggunakan beberapa persamaan, namun regresor yang digunakan adalah sama untuk setiap persamaan, sehingga OLS akan identik dengan GLS/SUR (Greene 2002; Wooldridge 2002). Untuk memudahkan pengolahan data, digunakan software STATA versi 12.
HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Deskriptif Karakteristik Sampel dan Konsumsi Rokok Kepala Rumah Tangga Persentase kepala rumah tangga yang mengkonsumsi rokok lebih banyak dibandingkan dengan yang tidak merokok, yaitu sebesar 63% perokok dan 37% bukan perokok. Jenis rokok kretek merupakan rokok yang paling banyak dikonsumsi responden, yaitu sebanyak 35% dari total kepala rumah tangga. 11% memilih hanya mengkonsumsi rokok yang dilinting sendiri, 5% hanya mengkonsumsi rokok putih, dan sebanyak 13% responden mengkonsumsi lebih dari satu jenis rokok. Proporsi perokok berdasarkan jenis rokok ini sejalan dengan survey lainnya yang dilakukan di Indonesia (WHO 2012; Ahsan et al. 2012). Berdasarkan kelompok umur responden, diketahui kepala rumah tangga yang banyak mengkonsumsi rokok berada pada usia produktif antara 25 hingga 54 tahun. Tingkat pendidikan kepala rumah tangga miskin didominasi oleh tingkat sekolah dasar. Hal ini merupakan indikasi bahwa tingkat pendidikan kepala rumah tangga yang rendah berhubungan dengan rendahnya produktivitas dan pendapatan yang diterimanya yang akhirnya berujung pada kemiskinan. Kepala rumah tangga juga masih didominasi oleh laki-laki. Dari 84% kepala rumah tangga laki-laki hanya 22% saja yang tidak merokok, selebihnya adalah para perokok. Sedangkan pada kepala rumah tangga perempuan, hanya satu persen saja yang mengkonsumsi rokok. Kebiasaan merokok juga lebih banyak dijumpai pada kepala rumah tangga yang sudah menikah dan tinggal dengan pasangan serta anggota rumah tangga lainnya dibandingkan dengan yang belum menikah atau yang bercerai. Fakta ini menyiratkan dampak konsumsi rokok akan semakin besar pada kualitas hidup rumah tangga miskin yang memiliki kepala rumah tangga laki-laki yang merokok mengingat paparan asap rokok yang ditimbulkannya akan berdampak pada anggota rumah tangga lainnya bahkan dapat menstimulus anggota rumah tangga lain untuk menjadi perokok. Jumlah anggota rumah tangga miskin pada umumnya cukup banyak, bahkan proporsi yang beranggotakan lebih dari 5 orang mencapai 42% dari total sampel. Hal ini mengindikasikan beban hidup mereka semakin bertambah dengan banyaknya anggota rumah tangga, terutama jika diperhatikan jumlah anggota rumah tangga yang berusia kurang dari 18 tahun yang proporsinya juga cukup besar. Sementara jumlah anggota rumah tangga yang berusia lebih dari 65 tahun lebih sedikit dibandingkan dengan rumah tangga yang tidak memiliki anggota berusia lanjut.
Konsumsi Rokok Kepala Rumah Tangga dan Kebutuhan Dasar Rumah Tangga Miskin di Indonesia – Nugrahana F.R.
4
Tabel 2. Karakteristik Sosiodemografi Rumah Tangga Sampel (IFLS 2007) Status Merokok KRT RoRoRokok kok kok LinKrePuting tek tih
daripada di perkotaan seperti yang juga dilaporkan dalam beberapa survey dan penelitian (Ahsan et al. 2012; Barber et al. 2008; Kosen 2012; WHO 2012).
Total Sampel
Bukan Perokok
15-24 th
4
1
0
1
0
1
25-34 th
24
7
1
10
2
3
35-44 th
27
9
2
11
1
3
45-54 th
19
7
3
7
1
2
55-64 th
13
5
2
3
0
2
> 65 th Level Pendidikan KRT (%) Tidak sekolah/informal
13
6
3
2
0
2
13
7
2
2
0
1
SD
57
19
8
20
2
9
SLTP
15
5
1
6
1
2
SLTA
13
5
0
6
1
1
2
1
-
0
0
0
Laki-laki
84
22
11
34
5
13
Perempuan Status perkawinan KRT (%) Menikah & tinggal bersama Single, cerai/berpisah
16
15
0
0
0
0
86
25
11
33
4
12
14
12
1
1
0
1
< 2 orang
12
7
2
1
0
1
3-4 orang
46
16
5
16
2
7
> 5 orang
42
14
4
17
2
5
∑ ART < 18 th (%) 0 (tidak ada ART < 18 th)
16
7
3
3
0
2
1-2 orang
57
21
6
21
3
8
> 3 orang
27
9
2
11
2
3
∑ ART > 65 th (%) 0 (tidak ada ART > 65 th)
68
23
6
26
3
9
> 1 orang
32
14
5
8
1
3
35
15
2
14
2
3
65 3.371 100
22 1.243
9 377
21 1.169
3 155
10 427
37
11
35
5
13
Variabel
Rokok Cam -pur*
Umur KRT (%)
Perguruan Tinggi Gender KRT (%)
Ukuran RT (%)
Domisili (%) Kota Desa ∑ Observasi % Observasi *)
Mengkonsumsi lebih dari 1 jenis rokok (linting/kretek/putih)
Domisili rumah tangga miskin pada umumnya berada di perdesaan dengan proporsi sebanyak 65% dan sissanya berada di perkotaan. Sebuah indikasi bahwa kemiskinan lebih banyak ditemui di perdesaan dibandingkan di perkotaan. Demikian pula halnya dengan konsumsi rokok, dimana lebih banyak kepala rumah tangga miskin di perdesaan yang merokok
Proporsi Pengeluaran Rumah Tangga Berdasarkan Konsumsi Rokok Kepala Rumah Tangga Tabel 3 memperlihatkan proporsi pengeluaran rumah tangga menurut status merokok kepala rumah tangga miskin di Indonesia di perkotaan dan perdesaan. Kelompok rumah tangga dengan ratarata pengeluaran per kapita tertinggi ada pada rumah tangga dengan kepala rumah tangga perokok dengan jenis rokok putih di perkotaan dan rokok kretek di perdesaan. Sementara mereka yang mengkonsumsi rokok linting memiliki rata-rata pengeluaran per kapita yang lebih rendah. Hal ini mengindikasikan bahwa jenis rokok yang dikonsumsi berhubungan dengan kemampuan daya beli kepala rumah tangga, dimana rokok putih dan rokok kretek biasa dikonsumsi oleh kepala rumah tangga dengan daya beli yang lebih tinggi dan rokok linting lebih banyak diminati oleh mereka yang lebih miskin. Sementara kepala rumah tangga yang mengkonsumsi lebih dari satu jenis rokok memiliki kemampuan konsumsi sedikit lebih baik dari perokok linting saja. Adapun rumah tangga dengan kepala rumah tangga bukan perokok memiliki ratarata pengeluaran per kapita di bawah rumah tangga perokok putih dan rokok kretek, namun masih di atas pengeluaran rumah tangga perokok linting dan mereka yang mengkonsumsi lebih dari satu jenis rokok. Kepala rumah tangga perokok akan berusaha mengalokasikan sebagian dari pengeluaran rumah tangganya untuk membeli rokok walaupun harus mengurangi kebutuhan lainnya. Jika diperhatikan pada alokasi untuk pengeluaran lainnya, maka rumah tangga dengan kepala rumah tangga yang tidak merokok akan memiliki lebih banyak porsi pengeluaran untuk kebutuhan rumah tangga dibandingkan rumah tangga dengan perokok, khususnya yang merokok linting. Akan ada banyak kesempatan bagi kepala rumah tangga bukan perokok untuk memaksimumkan pemenuhan kebutuhan lainnya seperti transportasi, listrik, air bersih, hingga olahraga dan hiburan. Berdasarkan perbedaan konsumsi rata-rata per hari, diketahui bahwa kepala rumah tangga yang mengkonsumsi rokok putih memiliki kebiasaan merokok yang lebih banyak, yaitu dengan 13 batang per hari di perdesaan dan 11 batang per hari di perkotaan. Sementara kepala rumah tangga yang hanya mengkonsumsi jenis rokok linting, setiap harinya rata-rata menghabiskan 10 batang rokok baik di kota maupun desa, dan kepala rumah tangga perokok kretek biasa menghisap rokok 10 batang per hari di kota dan 11 batang per hari di desa, serta yang mengkonsumsi lebih dari satu jenis rokok hanya menghabiskan 8 batang per hari di perkotaan dan 9
Konsumsi Rokok Kepala Rumah Tangga dan Kebutuhan Dasar Rumah Tangga Miskin di Indonesia – Nugrahana F.R.
5
batang per hari di perdesaan. Secara rata-rata konsumsi rokok di perdesaan memang lebih tinggi dibandingkan di perkotaan, sejalan dengan hasil penelitian Ahsan et al. (2012) dan laporan WHO (2012). Tabel 3. Proporsi Pengeluaran Rumah Tangga Berdasarkan Status Merokok Kepala Rumah Tangga (IFLS 2007) Status Merokok Kepala Rumah Tangga Rata-rata Pengeluaran Bukan Rokok Rokok Rokok Rumah Tangga perokok Linting Kretek Putih Bulanan (n=1243) (n=377) (n=1169) (n=155) Total(Rp) Kota 997.101 808.675 1.126.468 1.202.606 Desa 837.690 797.729 986.925 969.683 Makanan(%) Kota 53 58 49 50 Desa 59 60 56 55 Pakaian(%) Kota 3 3 3 3 Desa 3 2 3 3 Perumahan(%) Kota 11 11 11 9 Desa 9 8 8 8 Pendidikan(%) Kota 7 5 7 6 Desa 8 5 6 5 Kesehatan(%) Kota 2 1 1 1 Desa 2 2 1 1 Tembakau(%) Kota 2 5 10 9 Desa 2 5 10 13 Lainnya(%) Kota 22 17 19 22 Desa 18 16 16 16 Rata-rata konsumsi rokok (batang/hari) Kota 10 10 11 Desa 10 11 13
Rokok Campur (n=427) 947.812 838.784
Pengujian Statistik dan Analisis Hasil Regresi Dari Tabel 4 dapat diketahui adanya perbedaan pada total pengeluaran rumah tangga miskin yang kepala rumah tangganya mengkonsumsi rokok dengan yang bukan perokok. Berdasarkan joint test significance diketahui signifikan secara statistik pada tingkat kepercayaan 99% bahwa status merokok kepala rumah tangga berhubungan negatif dengan total pengeluaran per kapita, pengeluaran pangan per kapita, dan pengeluaran pendidikan per kapita. Adapun untuk pengeluaran pakaian per kapita dan pengeluaran kesehatan per kapita masing-masing signifikan pada tingkat kepercayaan 95% dan 90%. Sementara untuk pengeluaran perumahan per kapita tidak signifikan. Secara umum dapat dikatakan bahwa perilaku merokok kepala rumah tangga menyebabkan perbedaan pada rata-rata pengeluaran rumah tangga dibandingkan dengan rumah tangga yang kepala rumah tangganya tidak merokok, setelah dikontrol
52 58 2 3 11 8 8 6 1 1 8 7 18 17 8 9
dengan variabel umur, tingkat pendidikan, gender, dan status perkawinan kepala rumah tangga, ukuran dan komposisi anggota rumah tangga, serta domisili. Dengan kata lain status merokok kepala rumah tangga merupakan salah faktor yang memberikan dampak pada lebih rendahnya pengeluaran per kapita rumah tangga dengan pengeluaran per kapita per hari kurang dari PPP US$2. Hasil ini sesuai dengan penelitian Hu et al. (2005) dan Njoumemi et al.(2012). Pada total pengeluaran per kapita yang sudah dikurangi pengeluaran tembakau per kapita, perbedaan terbesar ada pada kepala rumah tangga yang mengkonsumsi rokok jenis rokok linting dengan koefisien sebesar 24662,435, dan koefisien terkecil ada pada kepala rumah tangga dengan konsumsi jenis rokok putih, yaitu sebesar 12170,413. Hal ini mengindikasikan bahwa kepala rumah tangga pengguna rokok linting, yang memang memiliki daya beli lebih rendah, akan mengalami penurunan kualitas hidup yang lebih besar dibandingkan dengan konsumen rokok putih yang umumnya memiliki daya beli yang lebih baik. Artinya setiap anggota rumah tangga pada rumah tangga yang kepala rumah tangganya mengkonsumsi rokok linting, akan kehilangan sebesar Rp. 24.662 per bulan dibandingkan dengan anggota rumah tangga yang kepala rumah tangganya tidak merokok, asumsi ceteris paribus. Demikian pula untuk kepala rumah tangga yang mengkonsumsi jenis rokok kretek, rokok putih, juga yang merokok lebih dari satu jenis rokok, memiliki pengeluaran per kapita yang lebih rendah masingmasing sebesar Rp. 13.437, Rp. 12.170, dan Rp. 17.791 dibandingkan anggota rumah tangga yang tinggal bersama kepala rumah tangga tidak merokok. Berdasarkan pengujian statistik ini maka status merokok pada kepala rumah tangga berdampak pada berkurangnya alokasi pengeluaran kebutuhan dasar rumah tangga, khususnya pada total pengeluaran per kapita setelah dikurangi pengeluaran tembakau per kapita. Koefisien yang hampir seluruhnya bertanda negatif menunjukkan bahwa konsumsi rokok kepala rumah tangga akan mereduksi pemenuhan kebutuhan dasar rumah tangga jika dibandingkan dengan rumah tangga yang kepala rumah tangganya tidak merokok dengan asumsi variabel bebas lainnya sama untuk setiap rumah tangga. Secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa kepala rumah tangga dengan karakteristik tidak merokok, berada pada rentang usia 45-54 tahun, tingkat pendidikan perguruan tinggi, menikah dan tinggal bersama anggota rumah tangga, serta berdomisili di perkotaan, memiliki pengeluaran per kapita yang lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata rumah tangga yang terkategori miskin berdasarkan garis kemiskinan Bank Dunia (PPP US$2).
Konsumsi Rokok Kepala Rumah Tangga dan Kebutuhan Dasar Rumah Tangga Miskin di Indonesia – Nugrahana F.R.
6
Tabel 4. Hasil Regresi OLS dengan Robust Standard Error Total Food Variable Expenditure Clothing (- tobacco) (- tobacco) Smoking Status hand_roll cigarrete white_cig combine_cig
Age hhh_age15_24 hhh_age25_34 hhh_age35_44 hhh_age45_54 hhh_age55_64 Level Education hhh_primary hhh_jun_sch hhh_high_sch hhh_university hhh_male hhh_married hh_size n_hhm_18yr n_hhm_65yr urban Constant
-24662.435*** -13437.362*** -12170.413*** -17791.763***
Housing
Education
Medical
-8918.998*** -4979.804*** -965.706 -6606.717***
-853.371*** -146.033 211.302 -639.880*
-1965.181* -160.669 -1856.843 -1598.919
-4125.584*** -2667.062*** -4826.948*** -863.802
-89.356 -882.305** -1044.119** -963.417**
-17704.206*** -15245.012*** -7698.846** -5651.138* -3723.207 -6053.048** 5999.468 -3057.664 -1123.996 -1493.745
1392.592** 390.756 614.627* 945.191*** 228.308
-643.244 -2815.087** -3502.206*** -2446.280* -3351.457**
-1338.341 -2394.776** 5350.004*** 8820.568*** 2572.727**
-147.935 76.227 -459.524 138.270 619.245
1030.545*** 1642.676*** 2206.364*** 2917.642***
1120.662 2348.780* 3817.886*** 9302.465***
2199.514** 3785.695*** 4986.317*** 15111.874***
-745.981* 506.861 20.088 -45.639 -211.715 76.762 4707.402***
949.576 -5042.370*** -1987.567*** -978.517*** -128.991 8150.054*** 34141.717***
-732.587 337.924 -298.388 3364.580*** -619.262 1490.747** 4058.851***
9951.180*** 12361.993*** 24089.644*** 52134.910***
211.111 -3840.895 803.902 7812.110
-4559.039 -4747.167 9199.363** 9232.734*** -5006.580*** -4278.907*** -3648.645*** -2220.176*** -4949.475*** -3242.952*** 12489.665*** -4022.224*** 227834.226*** 152385.555***
53.146 714.017 925.103* 116.571 -81.809 844.396* -2.998 48.657 38.935 -227.936 2587.552***
Joint Significance (p-values) Smoking status 0.000*** 0.006*** 0.035** 0.192 0.000*** 0.089* Age 0.000*** 0.010** 0.027** 0.095* 0.000*** 0.212 Level Education 0.000*** 0.116 0.000*** 0.002*** 0.001*** 0.167 F 23.591 13.864 7.392 17.881 27.406 1.449 R2 .1105714 .0708391 .0340553 .1182366 .1363256 .0068557 # of obs. 3371 3371 3371 3371 3371 3371 * p<0.1, ** p<0.05, *** p<0.01
IMPLIKASI KEBIJAKAN Mengacu pada hasil penelitian ini dan juga hasil-hasil penelitian sebelumnya yang menjadi referensi penulis, diperoleh informasi penting bahwa bagi rumah tangga miskin di seluruh dunia, termasuk di Indonesia, konsumsi rokok merupakan kategori konsumsi penting yang telah menggeser konsumsi rumah tangga lainnya, khususnya untuk pangan, pendidikan, pakaian, dan kesehatan. Crowding out akibat konsumsi rokok yang ditandai dengan berkurangnya asupan nutrisi bagi anggota rumah tangga miskin, fasilitas pendidikan anak yang kurang memadai hingga perawatan kesehatan keluarga yang berkurang akibat mempertahankan konsumsi rokok, akan memberikan dampak negatif pada kesejahteraan
individu dan rumah tangga, serta perekonomian secara makro melalui pengurangan investasi pada modal manusia. Permasalahan lain yang perlu diperhitungkan adalah dampak langsung merokok yang dapat merugikan kesehatan perokok dan orangorang di sekitarnya sehingga menurunkan produktivitas bahkan menyebabkan kematian prematur pencari nafkah. Hal ini akan menambah beban berat bagi masyarakat miskin yang kepala rumah tangganya memiliki kebiasaan merokok dibandingkan dengan rumah tangga bukan perokok. Dalam upaya meminimalisir dampak buruk konsumsi rokok bagi rumah tangga miskin, maka penulis memberikan beberapa rekomendasi untuk dipertimbangkan pengambil kebijakan sebagai berikut:
Konsumsi Rokok Kepala Rumah Tangga dan Kebutuhan Dasar Rumah Tangga Miskin di Indonesia – Nugrahana F.R.
7
1.
2.
Meningkatkan program edukasi bagi masyarakat agar memiliki pola hidup sehat dan menumbuhkan kesadaran untuk mengurangi bahkan menghentikan kebiasaan merokok, khususnya bagi kepala rumah tangga miskin. Upaya edukasi yang dapat dilakukan untuk mengatasi permasalahan ini perlu sinergi diantara beberapa pihak, antara lain : a. Pemerintah, sebagai penentu kebijakan sudah seharusnya menjadi pihak yang paling peduli dengan edukasi masyarakat, misalnya dengan melakukan penyuluhan ke tengah masyarakat secara intensif dengan berbagai media. b. Lembaga pendidikan/sekolah, penting untuk memberikan informasi yang tepat mengenai resiko dan dampak buruk rokok pada anak didiknya terutama pada remaja yang cukup rentan dengan pengaruh lingkungan sekitar, termasuk mencoba untuk mengkonsumsi rokok. c. Lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang peduli dengan kesehatan lingkungan atau organisasi yang gencar melakukan gerakan anti merokok, dapat menyelenggarakan berbagai kegiatan yang bertujuan menggugah kesadaran masyarakat untuk berhenti merokok, misalnya melalui seminar dan kegiatan masal lainnya. d. Pemuka agama dan tokoh masyarakat, khususnya ulama di kalangan umat Islam yang merupakan mayoritas penduduk Indonesia, diharapkan berperan aktif untuk membantu memberikan edukasi bagi masyarakat terkait perilaku merokok ditinjau dari aspek agama. e. Masyarakat umum, perlu meningkatkan kepedulian terhadap anggota keluarganya yang masih memiliki kebiasaan merokok sebagai bentuk kasih sayang terhadap keluarga agar terhindar dari dampak buruk rokok, memberikan dukungan untuk mengurangi konsumsi rokok hingga mampu menghentikan kebiasaan merokoknya. Upaya pengentasan kemiskinan akan terhambat jika tidak ada perubahan pada pola konsumsi rumah tangga miskin yang masih menempatkan konsumsi rokok sebagai kebutuhan rumah tangga setelah beras/padi-padian (BPS 2012). Kebijakan yang dapat ditempuh antara lain : a. Bagi pemerintah, menetapkan peraturan yang lebih ketat terhadap segala bentuk iklan, sponsor dan sarana promosi lainnya terutama di daerah yang tidak terdapat industri rokok dan bukan penghasil tembakau, karena akan membebani anggaran pemerintah daerah dalam menanggulangi dampak buruk akibat rokok.
3.
4.
b. Bagi masyarakat, diharapkan dapat membantu membangun persepsi di berbagai media baik cetak maupun elektronik, termasuk sosial media, bahwa tidak merokok merupakan investasi, baik bagi diri sendiri, keluarga, masyarakat bahkan negara, sehingga dapat memperbaiki opini keliru yang berkembang di masyarakat akibat iklan rokok. Kepala rumah tangga miskin yang mengkonsumsi rokok memiliki peluang untuk keluar dari garis kemiskinan dan meningkatkan kualitas hidup seandainya kepala rumah tangga mampu menghentikan kebiasaan merokok dan mengalihkan alokasi pengeluaran rokok pada kebutuhan rumah tangga yang lebih penting. Pemberian subsidi bersyarat (salah satunya tidak merokok) diharapkan dapat mengurangi perilaku merokok rumah tangga miskin penerima bantuan. Pemerintah perlu meningkatkan komitmen dalam kebijakan pengendalian tembakau yang lebih serius untuk melindungi masyarakat, terutama kaum miskin yang menerima dampak buruk terbesar dari adiksi rokok, serta menghindari kebijakan yang bersifat myopic, tidak melihat jauh kedepan dari kebijakan yang ada saat ini. Hal ini terlihat dari fakta sebagai berikut : a. Komitmen pelaksanaan berbagai instrumen kebijakan dalam pengendalian tembakau yang sudah ada, seperti Peraturan Daerah tentang kawasan tanpa rokok atau UndangUndang Kesehatan Nomor 36 Tahun 2009 tentang pengamanan produk tembakau sebagai zat adiktif bagi kesehatan. Selama ini kebijakan yang dikeluarkan pemerintah belum bisa dilaksanakan sepenuhnya dan terkesan lebih mementingkan penerimaan dari cukai rokok dibandingkan menjaga kualitas hidup masyarakat. Secara makro, dampak penggunaan tembakau di Indonesia pada tahun 2010 menyebabkan pengeluaran yang tidak perlu sebesar Rp. 231,27 trilyun, yang terdiri dari Rp. 138 trilyun untuk pembelian rokok dan Rp. 2,11 trilyun untuk biaya perawatan medis rawat inap dan rawat jalan, serta Rp. 91,16 trilyun dari kehilangan produktivitas karena kematian prematur dan morbiditas-disabilitas (Kosen 2012). Bandingkan dengan total pendapatan dari cukai tembakau pada tahun yang sama sebesar Rp. 55 trilyun. b. Hingga saat ini Indonesia belum menjadi bagian FCTC sementara 174 negara (mewakili 88% populasi dunia) telah menjadi bagian dari FCTC (Eriksen et al. 2012). Faktanya saat ini kebijakan pengendalian tembakau di Indonesia masih jauh dengan hal-hal yang diatur dalam FCTC sehingga makin
Konsumsi Rokok Kepala Rumah Tangga dan Kebutuhan Dasar Rumah Tangga Miskin di Indonesia – Nugrahana F.R.
8
5.
memperburuk dampak sosial ekonomi akibat merokok. Apabila Indonesia tidak segera memperkuat komitmen pengendalian tembakau, maka epidemi tembakau dunia bisa saja terkonsentrasi di Indonesia mengingat Indonesia saat ini menempati peringkat ke empat di dunia dalam konsumsi rokok dan besarnya jumlah penduduk Indonesia dapat menjadi konsumen potensial bagi industri rokok. Hal ini dapat membawa bangsa Indonesia kepada keterpurukan karena beban ekonomi yang tinggi dari produk tembakau dan berbagai penyakit yang ditimbulkannya. Mengingat produk yang dihasilkan oleh industri rokok lebih banyak menghasilkan eksternalitas negatif, maka pemerintah perlu mengeluarkan kebijakan untuk mengatur tanggung jawab sosial dari perusahaan rokok, antara lain: a. Mengarahkan bentuk tanggung jawab sosial perusahaan rokok pada aspek kesehatan masyarakat, terutama bagi kelompok masyarakat miskin yang sangat rentan dengan dampak buruk rokok. Selama ini bentuk tanggung jawab sosial perusahaan rokok lebih banyak pada pencitraan dan bahkan menjadi jalan pemasaran, misalnya dengan menjadi sponsor kegiatan olahraga dan seni, walaupun ada juga pemberian beasiswa dan pelestarian lingkungan. Akan tetapi masih sangat minim tanggung jawab sosial berkaitan dengan kesehatan yang lebih banyak ditimbulkan oleh asap rokok, misalnya pendanaan untuk penderita kanker, jantung, dan penyakit lainnya yang berhubungan dengan rokok. Hal lain yang masih diabaikan adalah dampak bagi perokok pasif sebagai pihak yang harus menanggung biaya eksternal merokok, terlebih bagi masyarakat miskin efek yang diterima anggota rumah tangga akan lebih besar lagi, tidak hanya masalah kesehatan namun kualitas hidup yang semakin menurun. b. Pemerintah juga dapat memberikan aturan bagi industri rokok untuk melakukan penelitian dan pengembangan (research and development) untuk mengurangi kadar tar dan nikotin serta zat-zat berbahaya lainnya yang terkandung dalam rokok yang dijual kepada masyarakat, serta mencantumkan komposisi bahan-bahan yang digunakan dengan jelas pada kemasan rokok agar informasi yang diterima perokok lebih lengkap tentang produk yang akan dikonsumsinya.
DAFTAR PUSTAKA Ahsan, A. et al., 2012. Bunga Rampai Fakta Tembakau dan Permasalahannya di Indonesia Tahun 2012 4th ed. Tim Pemutakhiran Buku Tembakau, ed., Jakarta: Tobacco Control Support Center - Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (TCSC IAKMI). Available at: cokyfauzialfi.files.wordpress.com/2013/ 02/buku-fakta-tembakau.pdf. Ahsan, A. et al., 2010. Dampak Tembakau dan Pengendaliannya di Indonesia, Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Barber, S. et al., 2008. Ekonomi Tembakau Di Indonesia, Depok: Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Bobak, M. et al., 1996. Poverty and smoking. In P. Jha & C. Frank, eds. Tobacco Control in Developing Countries. Oxford University Press. Bonu, S. et al., 2005. Does use of tobacco or alcohol contribute to impoverishment from hospitalization costs in India? Health policy and planning, 20(1), pp.41–9. Available at: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/ pubmed/15689429 [Accessed June 23, 2013]. BPS, 2012. Berita Resmi Statistik No. 45/07/Th. XV, 2 Juli 2012, Available at: http://www.bps.go.id/brs_file/ kemiskinan_02jul12.pdf. Collishaw, N.E., 2010. The millennium development goals and tobacco control. Global health promotion, 17(1 Suppl), pp.51–9. Available at: http://www.ncbi.nlm. nih.gov/pubmed/20595354 [Accessed May 15, 2013]. Djibuti, M. et al., 2007. Influence of household demographic and socio-economic factors on household expenditure on tobacco in six New Independent States. BMC public health, 7, p.222. Available at: http://www. pubmedcentral.nih.gov/articlerender.fcgi?artid=2031 901&tool=pmcentrez&rendertype=abstract [Accessed May 14, 2013]. Efroymson, D. et al., 2001. Hungry for tobacco : an analysis of the economic impact of tobacco consumption on the poor in Bangladesh. Tobacco control, 10, pp.212– 217. Eriksen, M., Mackay, J. & Ross, H., 2012. The Tobacco Atlas Fourth Edition, American Cancer Society and World Lung Foundation. Available at: www.tobaccoatlas.org. GATS, 2012. Fact Sheet Global Adult Tobacco Survey Indonesia 2011, Greene, W.H., 2002. Econometric Analysis 5th ed., New Jersey: Pearson Education, Inc. Hidayat, B. & Thabrany, H., 2010. Cigarette smoking in Indonesia: examination of a myopic model of addictive behaviour. International journal of environmental research and public health, 7(6), pp.2473–85. Available at: http://www. pubmedcentral.nih.gov/articlerender.fcgi?artid=2905 561&tool=pmcentrez&rendertype=abstract [Accessed May 14, 2013]. Hu, T., 2002. Smoking and Poverty. In Trading Tobacco for Health Initiative. University of California, Berkeley. Hu, T. et al., 2005. Smoking, standard of living, and poverty in China. Tobacco control, 14(4), pp.247–50. Available at: http://www.pubmedcentral.nih.gov/articlerender. fcgi?artid=1748057&tool=pmcentrez&rendertype=ab stract [Accessed May 13, 2013].
Konsumsi Rokok Kepala Rumah Tangga dan Kebutuhan Dasar Rumah Tangga Miskin di Indonesia – Nugrahana F.R.
9
Jha, P. et al., 2013. 21st-century hazards of smoking and benefits of cessation in the United States. The New England journal of medicine, 368(4), pp.341–50. Available at: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/ 23343063 [Accessed May 1, 2013]. Jha, P., Musgrove, P. & Chaloupka, F.J., 2001. The economic rationale for intervention in the tobacco market. In Tobacco Control in Developing Countries. pp. 153– 174. Kosen, S., 2012. Isu Terkini Mengenai Rokok: Lindungi Generasi Muda Dan Selamatkan Masa Depan Bangsa. In E-learning Program for the Youths HIV-AIDS Prevention, Universitas Indonesia, 1 Maret 2012. McGhee, S.M. et al., 2006. Cost of tobacco-related diseases, including passive smoking, in Hong Kong. Tobacco control, 15(2), pp.125–30. Available at: http://www.pubmedcentral.nih.gov/articlerender.fcgi ?artid=2563564&tool=pmcentrez&rendertype=abstra ct [Accessed May 14, 2013]. Njoumemi, Ngah, E. & A, N., 2012. The effects of tobacco smoking expenditures on household basic needs in urban slums of Yaoundé, Cameroon.pdf. Journal of Medicine and Medical Sciences, 2, pp.133–147. Available at: www.internationalscholarsjournals.org. Purwantini, T.B. & Ariani, M., 2008. Pola Konsumsi Pangan Pada Rumah Tangga Petani Padi. , pp.219–232. Ross, H., Trung, D.V. & Phu, V.X., 2007. The costs of smoking in Vietnam: the case of inpatient care. Tobacco control, 16(6), pp.405–9. Available at: http://www.pubmedcentral.nih.gov/articlerender.fcgi ?artid=2807195&tool=pmcentrez&rendertype=abstra ct [Accessed May 14, 2013].
Semba, R.D. et al., 2011. Paternal smoking is associated with greater food insecurity among poor families in rural Indonesia. Asia Pacific Journal of Clinical Nutrition, 20(June), pp.618–623. Semba, R.D. et al., 2007. Paternal smoking is associated with increased risk of child malnutrition among poor urban families in Indonesia. Public health nutrition, 10(1), pp.7–15. Available at: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/ pubmed/17212837 [Accessed May 13, 2013]. Sudikno et al., 2011. Hubungan Pengeluaran Rokok Rumah Tangga Dengan Status Gizi Balita Di Indonesia (Analisis Data Riskesdas 2010). Gizi Indonesia, 34(2), pp.129– 142. Suranovic, S.M., Goldfarb, R.S. & Leonard, T.C., 1999. An economic theory of cigarette addiction. Journal of Health Economics, 18, pp.1–29. Thabrany, H., 2012. Indonesia: The Heaven For Cigarette Companies and the Hell For People H. Thabrany & P. Sarnantio, eds., Depok: Center for Anti Smoking, Faculty of Public Health Universitas Indonesia. Triana, R.A.L., 2011. Pengaruh Kebijakan Subsidi Beras Miskin dan Bantuan Langsung Tunai terhadap Pengeluaran Telekomunikasi dan Rokok Rumah Tangga Miskin di Pulau Jawa. Institut Pertanian Bogor (IPB). WHO, 2012. Global Adult Tobacco Survey: Indonesia Report 2011 S. Kosen, ed., World Health Organization, Regional Office for South East Asia. Wooldridge, J.M., 2002. Econometric Analysis of Cross Section and Panel Data, London: The MIT Press. Xin, Y. et al., 2009. The impact of smoking and quitting on household expenditure patterns and medical care costs in China. Tobacco control, 18(2), pp.150–5. Available at: http://www.pubmedcentral.nih.gov/ articlerender.fcgi?artid=2655040&tool=pmcentrez&re ndertype=abstract [Accessed May 14, 2013].
Konsumsi Rokok Kepala Rumah Tangga dan Kebutuhan Dasar Rumah Tangga Miskin di Indonesia – Nugrahana F.R.
10