UNIVERSITAS INDONESIA
DISENGAGEMENT; STRATEGI PENANGGULANGAN TERORISME DI INDONESIA
TESIS
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Kriminologi
FAKHRI USMITA 1006745625
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK PROGRAM STUDI KRIMINOLOGI DEPOK JULI 2012 i Universitas Indonesia
Disengagement strategi..., Fakhri Usmita, FISIP UI, 2012
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS
Tesis ini adalah hasil karya saya sendiri, dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya nyatakan dengan benar.
Nama
: Fakhri Usmita
NPM
: 1006745625
Tanda Tangan :
Tanggal
: 2 Juli 2012
ii Universitas Indonesia
Disengagement strategi..., Fakhri Usmita, FISIP UI, 2012
HALAMAN PENGESAHAN
Tesis ini diajukan oleh
:
Nama
: Fakhri Usmita
NPM
: 1006745625
Program studi
: Kriminologi
Judul Tesis
: Disengagement; Strategi Penanggulangan Terorisme di Indonesia
Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Magister Kriminologi pada Program Studi Kriminologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia
DEWAN PENGUJI
Pembimbing
: Prof. Adrianus E. Meliala, M.Sc. Ph.D
Penguji
: Prof. Dr. Irfan Idris, MA
Ketua Sidang
: Prof. Dr. M. Mustofa, MA
(
)
Sekretaris Sidang : Kisnu Widagso, S.Sos., M.T.I.
Ditetapkan di
: Depok
Tanggal
: 2 Juli 2012
iii Universitas Indonesia
Disengagement strategi..., Fakhri Usmita, FISIP UI, 2012
UCAPAN TERIMA KASIH
Akhirnya, Puji syukur kepada Sang Pencipta, Maha Berkehendak yang telah memberikan rahmat dan karuniaNya sehingga tesis berjudul Disengagement; Strategi Penanggulangan Terorisme di Indonesia ini dapat diselesaikan tepat pada (ujung) waktunya. Penelitian
ini
bertujuan
memberi
tawaran
alternatif
strategi
penanggulangan terorisme di Indonesia. Tanpa pretensi berlebihan, penelitian ini diharapkan dapat memberi perluasan khasanah berpikir kita bahwa ada strategi penanggulangan terorisme lain dalam ranah counterterrorism selain deradikalisasi dan inkapasitasi, yaitu disengagement. Disengagement, suatu istilah yang relatif belum populer sebagai strategi penanggulangan terorisme di Indonesia, sehingga masih sulit menemukan padanan kata dalam bahasa Indonesia. Walau ada beberapa istilah yang memiliki kedekatan makna dengan disengagement
seperti “menarik-keluar”, atau
“memutus-ikatan”, namun istilah-istilah ini belum mewakili secara lengkap makna yang dimaksud, untuk itu penulis tetap menggunakan “disengagement”. Pada kesempatan ini, dengan segala kerendahan hati penulis ingin mengucapkan rasa terima kasih yang tak terhingga kepada semua pihak, sejak masa perkuliahan hingga selesainya penyusunan tesis ini. Penghargaan dan terima kasih penulis sampaikan kepada Prof. Adrianus E. Meliala, M.Si., M.Sc. Ph.D, selaku pembimbing tesis yang telah sangat membantu dan sabar mengarahkan penulis menyelesaikan tesis ini. Suatu kebanggaan tersendiri di bawah bimbingan beliau. Penghargaan dan terima penulis sampaikan kepada Prof. Dr. Irfan Idris, MA selaku Penguji Ahli, Prof. Dr. M. Mustofa, MA sebagai Ketua Sidang dan telah memberi banyak masukan termasuk istilah “memutus-ikatan” sebagai padanan kata “disengagement”, Prof. Bambang Widodo Umar, M.Si, Dr. M. Kemal Dermawan, dan Mas Kisnu Widagso, S.Sos., M.T.I yang telah memberikan masukan dan perbaikan dalam tesis ini.
iv Universitas Indonesia
Disengagement strategi..., Fakhri Usmita, FISIP UI, 2012
Ucapan terima kasih dan perhargaan juga penulis sampaikan kepada seluruh narasumber pada penelitian ini, Prof. Dr. M. Baharun, SH., MA; H. M. Zarkasih; K.H. Hasyim Muzadi; K.H. Ahmad Syafii Mufid MA, A.P.U; H. M. Nasir Djamil, S.Ag; Ahmad Yani, SH., MH; Prof. Dr. Sarlito W. Sarwono, dan Al Chaidar, yang telah bersedia ”diganggu” demi penelitian ini. Ucapan terima kasih dan penghargaan penulis sampaikan kepada Mas Arif Zamhari, Bung Sahril (Staf Ahmad Yani, SH., MH), Najimuddin SH (Staf Pak Adang Daradjatun), Mas Wili (Staf Prof. Sarlito), Mas Wahyu Gumilang (Staf Deputi I BNPT), Bang Zulkifli, S.Si., M.Si, Bang Sahriyon Tridel, S.Ip., M.Si, Bung Iqbal (Krim Ekstensi) yang telah memberi bantuan penulis menghubungi dan menemui narasumber. Ucapan terimakasih dan penghargaan tak terhingga kepada Mbak Herlina, Mas Yogo, Mas Eko, Mas Olii, Pak Dadang, Mbak Mamik, Mbak Tinuk dan seluruh tim pengajar Kriminologi yang telah memberikan pengetahuan yang sangat berharga bagi penulis, dan kepada staf administrasi Departemen Kriminologi Fisip UI yang telah ikut direpotin oleh penulis. Kepada seluruh kawan-kawan paskasarjana Kriminologi angkatan 2010, Cak Rake, Bang Angga, Mas Adit, Bung Rifai, Bung Fahmi, Bang Munir, Bos Edi, dan Mbak Yani (sepertinya kurang seorang ya?) terima kasih atas semua kerjasama dan pembelajarannya, keberuntungan tersendiri seangkatan dengan kalian semua. Kepada keluarga besar wisma Roberta, Ikatan Mahasiswa Paskasarjana Aceh-Jakarta, Komunitas Mahasiswa Paskasarjana Riau-Jakarta, keluarga besar Hang Tuah Insani Center, dan seluruh pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, terima kasih atas bantuan, dukungan, dan masukan-masukan yang sangat berarti bagi penelitian ini. Terakhir kepada keluargaku tercinta, Ayahanda Drs. Usman Ismail dan Ibunda Midayati, Amd, iringan do’a dan restuinya senantiasa mengiringi setiap langkahku; Adik-adikku, Lisma Dahriamita, SPd dan Fajri Iwan Taqwa, SPd., M.Pd yang mendukungku tanpa henti; dan Siti Syamsiah, S.Ip., M.Si untuk cinta tanpa syarat.
v Universitas Indonesia
Disengagement strategi..., Fakhri Usmita, FISIP UI, 2012
Dengan selesainya tulisan ini, menambah senarai kisah perjalanan sejarah hidup penulis, seakan penulis dibawa kembali ke titik awal, untuk lebih menyelami samudra ilmu kriminologi, mereguk ilmu yang tidak pernah mengenal kata “akhir”. Semoga Tuhan Yang Maha Esa memberkati, we must prevent crime based on social justice.
Depok,
Juli 2012
Penulis
Fakhri Usmita
vi Universitas Indonesia
Disengagement strategi..., Fakhri Usmita, FISIP UI, 2012
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama
: Fakhri Usmita
NPM
: 1006745625
Program Studi : Kriminologi Departemen
: Kriminologi
Fakultas
: Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Jenis Karya
: Tesis
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Indoneisa Hak bebas royalty noneksklusif (non-exclusive royalty-free right) atas karya ilmiah saya yang berjudul: Disengagement: Strategi Penanggulangan Terorisme di Indonesia Beserta perangkat yang ada. Dengan hak bebas royalty noneksklusif ini Universitas Indonesia berhak menyimpan, mengalihmedia/format-kan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat, dan mempublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di: Depok Pada tanggal: 2 Juli 2012 Yang menyatakan
Fakhri Usmita
vii Universitas Indonesia
Disengagement strategi..., Fakhri Usmita, FISIP UI, 2012
ABSTRAK Nama : Fakhri Usmita Program Studi : Kriminologi Judul : Disengagement; Strategi Penanggulangan Terorisme di Indonesia Penelitian ini bertujuan guna mengetahui peluang dan hambatan penerapan disengagement sebagai strategi penanggulangan terorisme di Indonesia. Pendekatan ini merupakan jawaban atas kebuntuan pendekatan deradikalisasi dalam menghadapi anggota kelompok teroris Islam berbasis ideologi agama. Penelitian dengan menggunakan metode kualitatif ini diharapkan dapat memberikan informasi yang mendalam tentang peluang dan hambatan penerapan disengagement di Indonesia. Pada penelitian ini diperoleh sebagian besar narasumber berpendapat bahwa strategi disengagement dapat diterapkan dalam upaya penanggulangan terorisme di Indonesia. Peluang penerapan disengagement lebih dimungkinkan karena mayoritas ummat muslim di Indonesia merupakan kalangan moderat, adanya ikatan kekeluargaan yang kuat, adanya kemungkinan perbedaan pendapat di kalangan kelompok teroris di Indonesia, dan pendekatan humanis yang dilakukan Polri dapat menjadi pintu keberhasilan strategi ini. Walaupun terdapat kendala, namun kendala tersebut dapat diatasi bila ada itikad baik dari seluruh elemen masyarakat dan menjadikan terorisme sebagai musuh bersama. Kata kunci: Disengagement, Faktor Pendorong, Faktor Penarik
viii Universitas Indonesia
Disengagement strategi..., Fakhri Usmita, FISIP UI, 2012
ABSTRACT
Name : Study Program : Title :
Fakhri Usmita Criminology Disengagement; Strategy of Counter Terrorism in Indonesia
This Purpose of the research is to understand opportunity and barriers of implementation of disengagement as a strategy of counter terrorism in Indonesia. In lower level than deradicalization, this approach is answer to the deadlock of deradicalization approach. The research approach use a qualitative study with depth interview in the primary data collection opinion same interviewer about opportunities and barriers of implementation of disengagement in Indonesia. This research found most interviewer argued that disengagement strategy can be applied to counter terrorism in Indonesia. The opportunities is possible because the majority of Muslim community in Indonesia is among the moderates, the existence of strong family ties, the possibility of disagreements among terrorist groups in Indonesia, and humanis approach of Indonesian Police can be the right way to successful this strategy. Some problem found in this research, but basicly are not an obstacle for the successful of this strategy if we has unity of effort and make terrorism as a common enemy. Key Words: Disengagement, Pull Factor, Push Factor
ix Universitas Indonesia
Disengagement strategi..., Fakhri Usmita, FISIP UI, 2012
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ………………………………………………… HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ………………………. HALAMAN PENGESAHAN ………………………………………… UCAPAN TERIMA KASIH …………………………………………… LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ……… ABSTRAK …………………………………………………………….. DAFTAR ISI ………………………………………………………… DAFTAR TABEL …………………………………………………… DAFTAR GAMBAR ………………………………………………… DAFTAR LAMPIRAN ……………………………………………….
i ii iii iv vii viii x xii xiii ix
1. PENDAHULUAN ………………………………………………… 1.1. Latar Belakang ……………………………………………….. 1.1.1. Terorisme di Indonesia …………………………………… 1.1.2. Counter Terrorism di Indonesia ………………………… 1.1.3. Deradikalisasi di Indonesia ……………………………. 1.2. Permasalahan ………………………………………………….. 1.3. Pertanyaan Penelitian …………………………………………… 1.4. Tujuan Penelitian ………………………………………………. 1.4.1. Signifikansi Praktis ……………………………………… 1.4.2. Signifikansi Akademis ………………………………….
1 1 2 6 7 14 16 16 16 16
2. TINJAUAN PUSTAKA …………….…………………………….. 2.1. Teror, Teroris, dan Terorisme ………………………………….. 2.2. Anti Teror dan Counter-Terrorism ……………………………… 2.3. Disengagement ………………………………………………… 2.4. Alur Pikir ……………………………………………………..
17 17 23 26 33
3. METODE PENELITIAN …………………………………………… 3.1. Pendekatan ……………………………………………………. 3.2. Pengumpulan Data ……………………………………………… 3.3. Nara Sumber …………………………………………………… 3.3.1. Prof. Dr. M. Baharun, SH., MA ………………………… 3.3.2. K.H. Hasyim Muzadi …………………………………… 3.3.3. AKBP. H. M. Zarkasih …………………………………. 3.3.4. K.H. Ahmad Syafii Mufid, MA., APU ………………… 3.3.5. H. M. Nasir Jamil, SAg …………………………………. 3.3.6. Ahmad Yani, SH., MH ………………………………… 3.3.7. Prof. Dr. Sarlito Wirawan Sarwono ……………………. 3.3.8. Al Chaidar ………………………………………………. 3.4. Analisa ………………………………………………………… 3.5. Sistematika Penulisan ……………………………………………
35 35 37 38 39 39 40 40 41 41 41 42 42 43
4. GENEALOGY KONSEP DISENGAGEMENT SEBAGAI UPAYA PENANGGULANGAN TERORISME ……………….
44
x Universitas Indonesia
Disengagement strategi..., Fakhri Usmita, FISIP UI, 2012
5. PENGALAMAN PENANGGULANGAN TERORISME DENGAN STRATEGI DISENGAGEMENT DI BEBERAPA NEGARA ……………………………………….. 5.1. Inggris ………………………………………………………….. 5.2. Eropa Barat ……………………………………………………… 5.3. Kolombia ……………………………………………………….. 5.4. Kawasan Timur Tengah ………………………………………… 5.5. Asia Tenggara ………………………………………………… 5.6. Ringkasan ……………………………………………………..
48 48 50 52 55 57 59
6. HASIL …………………………………………………………….. 6.1. Terorisme di Indonesia ………………………………………… 6.2. Disengagement ……………………………………………….. 6.3. Peran Elemen Masyarakat ………………………………………. 6.4. Peran Keluarga ………………………………………………… 6.5. Lemahnya Sinergisitas Antar Instansi Terkait …………………. 6.6. Ringkasan ……………………………………………………….
62 62 65 72 76 79 81
7. PEMBAHASAN …………………………………………………… 7.1. Terorisme di Indonesia …………………………………………. 7.2. Anti Teror dan Counter Terrorism ……………………………… 7.3. Disengagement …………………………………………………. 7.4. Disengagement di Indonesia ……………………………………. 7.4.1. Faktor Penunjang ………………………………………. 7.4.2. Faktor Penghambat …………………………………….. 7.4.3. Instrumen ……………………………………………….
84 84 87 88 91 92 96 97
8. KESIMPULAN DAN SARAN ……………………………………. 8.1. Kesimpulan …………………………………………………… 8.2. Saran ……………………………………………………………
99 99 100
DAFTAR REFERENSI ……………………………………………….
103
LAMPIRAN Lampiran 1. Daftar Singkatan Lampiran 2. Pedoman Wawancara
xi Universitas Indonesia
Disengagement strategi..., Fakhri Usmita, FISIP UI, 2012
DAFTAR TABEL
1. Rangkaian Peledakan Bom yang Dilakukan Oleh JI
..........................
5
2. Pengelompokkan Tersangka atau Narapidana Teroris ……………….
10
3. Contoh Aktifitas Jaringan Teroris
.....................................................
12
4. Anti Teror dan Counter-terror ……………………………………….
26
5. Perbedaan Deradikalisasi, Disengagement dan Inkapasitasi ...............
30
6. Faktor Penarik dan Pendorong Disengagement ..................................
32
7. Tahapan Pengumpulan Data ..................................................................
38
8. Pelaksanaan Disengagement di Beberapa Negara ……………………
60
9. Hasil Wawancara …………………………………………………….
82
xii Universitas Indonesia
Disengagement strategi..., Fakhri Usmita, FISIP UI, 2012
DAFTAR GAMBAR
1. Alur Pikir
………………………………………………………
34
xiii Universitas Indonesia
Disengagement strategi..., Fakhri Usmita, FISIP UI, 2012
LAMPIRAN
1. Daftar Singkatan 2. Pedoman Wawancara
xiv Universitas Indonesia
Disengagement strategi..., Fakhri Usmita, FISIP UI, 2012
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Dunia dikejutkan dengan peristiwa runtuhnya gedung World Trade Center pada 11 September 2001 (kemudian dikenal sebagai tragedi 9/11), menewaskan sekitar tiga ribu
orang. Satu kata yang kemudian menjadi bahan utama
pembicaraan dan berita di media massa bahwa dalang tragedi tersebut adalah terorisme, dan dimulailah kampanye perang melawan teroris yang dimotori Amerika Serikat dan sekutunya. Dalam tinjauan sejarah dunia, terdapat tiga gelombang teroris modern, yaitu teror dalam memperjuangkan kemerdekaan suatu bangsa dan sparatis etnis, teroris sayap kiri, dan teroris beratribut agama-Islamis- (Shughart II, 2006, 7; Golose, 2009, 8) atau dikenal sebagai ”new terrorist”, yaitu suatu kekerasan yang dikaitkan dengan agama atau dimotivasi oleh dorongan keyakinan agama, menafikan
keberagaman yang ada di muka bumi, dan merasa hanya
bertanggungjawab kepada ”Dewata” atau apa yang mereka sembah, atau kepada yang bersifat transendental atau sesuatu yang bersifat mistis (Crenshaw, 2000, 411). Umumnya ”new terrorist” lebih dikaitkan pada teroris Islamis (Khan, 2006, 5). Berbeda dengan teroris era terdahulu yang cenderung pada tujuan jangka pendek (revolusioner), ”new terrorist” bertujuan ingin membentuk ”tatatan dunia baru” (Crenshaw, 2000, 411). Demikian pula dengan penanggulanan terhadap terorisme, telah terdapat banyak program penanggulanganya. Fink dan Hearne (2008, 2) mengutip Audrey Cronin bahwa salah satu penanggulangan terorisme yang dilakukan adalah ”decapitation”
(memisahkan
pemimpinannya),
sehingga
menyebabkan
ketidakmampuan kelompok untuk meneruskan nilai-nilai kepada generasi berikutnya, memperlemah partisipasi kelompok dalam proses politik atau negosiasi, hilangnya dukungan masyarakat, rendahnya prestasi yang dirasakan oleh kelompok.
1 Universitas Indonesia
Disengagement strategi..., Fakhri Usmita, FISIP UI, 2012
2
1.1.1. Terorisme di Indonesia Tidak kalah dengan negara lain, Indonesia juga memiliki banyak catatan tentang aksi teror yang terjadi, bahkan sejak awal kemerdekaan Indonesia. Gelombang perlawanan terhadap pemerintahan ataupun hukum formal awalnya muncul karena ketidakpuasan terhadap pemerintah pada saat itu. Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) misalnya, kelompok ini didirikan oleh tokoh-tokoh yang sebelumnya turut melakukan perlawanan terhadap pihak kolonial Belanda sebelum kemerdekaan Indonesia, namun kemudian melakukan perlawanan termasuk secara militer kepada pemerintahan yang sah yang dianggap ”murtad’ karena menolak menerapkan syariat Islam dan ingin mendirikan daulah Islamiyah di Indonesia (Solahudin 2011, 53). Gerakan ini telah muncul sejak tahun 1948, namun baru diproklamirkan pada 7 Agustus 1949 oleh Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo (Solahudin 2011, 65). Gerakan DI/TII ini dianggap sebagai cikal bakal kelompok-kelompok perlawanan berlatar agama di Indonesia. Walau secara formal gerakan ini berhasil ditumpas pada tahun 1962 yang ditandai dengan ditanggkapnya Kartosuwirjo pada 4 Juni 1962, dan kemudian dieksekusi pada 5 September 1962 setelah grasinya ditolak Presiden (Solahudin, 2011, 77), namun gerakan ini sebenarnya tidak benar-benar mati. Sekitar tahun 1970-an, beberapa mantan anggota DI berkonsolidasi untuk membentuk kembali NII dengan struktur baru, dan terpilihlah Teungku Daud Bereueh sebagai imam NII. Pada masa ini disebut sebagai periode Komando Jihad dan membentuk sel-sel pergerakan yang melakukan fa’i (perampokan), hingga aksi-aksi teror dengan tujuan menimbulkan ketidakstabilan situasi keamanan dalam negeri dan menarik perhatian luar negeri (terutama Libya) untuk memberikan bantuan (Solahudin 2011, 82). Sel-sel ini juga melakukan penyusupan ke organisasi lain guna merekrut anggota baru, termasuk kepada Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Ba’asyir (Pengurus pesantren Ngruki dan DDII Solo yang kemudian pada tahun 1993 membentuk jamaah sendiri bernama Jama’ah Islamiyah) yang dibai’at oleh Haji Ismail Pranoto seorang tokoh Komando Jihad pada Desember 1976.
Universitas Indonesia
Disengagement strategi..., Fakhri Usmita, FISIP UI, 2012
3
Selain kelompok DI, terdapat kelompok lain yang bukan bagian dari DI walau masih terkait dengan DI, seperti kelompok Husein Al-Habsyi yang dianggap bertanggungjawab terhadap peledakan bom di kompleks Seminari Al Kitab Asia Tenggara Kompleks Gereja Kepasturan Katolik pada 24 Desember 1984 dan di Candi Borobudur pada 21 Januari 1985. Kelompok ini memperoleh bahan peledak dengan bantuan Abdul Kadir Baraja, seorang aktivis DI Lampung. Kelompok Al-Habsyi juga merencanakan penculikan dan pembunuhan terhadap beberapa tokoh yang dianggap bertanggungjawab terhadap peristiwa Tanjung Priok (September 1984), walau rencana ini kemudian dibatalkan. Kelompok ini juga berencana melakukan pemboman beberapa tempat di Pulau Bali pada Maret 1985, namun bom meledak sebelum tiba di Bali. Hal ini kemudian menyebabkan aparat memburu beberapa orang yang diduga terkait kasus ini, termasuk Abu Bakar Ba’asyir dan Abdullah Sungkar. Pada Februari 1985, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyetujui UU Nomor 3 Tahun 1985 tentang Pancasila sebagai azas tunggal setiap organisasi dan partai politik, yang kemudian dijadikan ”alat” untuk memberangus mereka yang dianggap menentang pemberlakuan azas tunggal termasuk Abu Bakar Ba’asyir dan Abdullah Sungkar, dan kali ini dilakukan dengan memanfaatkan kasus hukum keduanya yang belum diputuskan oleh MA (Solahudin 2011, 198). Pada Maret 1985 putusan MA keluar, namun sehari sebelum pembacaan putusan tersebut keduanya telah meninggalkan Solo, dan pada April 1985 mereka menuju Tanjung Balai Asahan untuk selanjutnya menyeberang ke Malaysia (Solahudin 2011, 199). Pada pertengahan 1985 keduanya kemudian mengunjungi Arab Saudi dan Afganistan untuk mencari dukungan dana dan kerjasama lainnya. Dari beberapa kalangan di Arab Saudi mereka memperoleh bantuan dana, sedang di Afganistan mereka berhasil memperoleh program pelatihan militer bagi anggota DI. Maka pada tahun 1985 DI mengirim kadernya untuk mengikuti pelatihan militer selama enam semester di Afganistan. Program ini terus berlanjut hingga terhenti pada tahun 1992 mengingat kondisi Afganistan yang tidak menentu pada saat itu (Solahudin 2011, 203-212). Sementara itu pada tahun 1987, DI berhasil melakukan rekonsolidasi dan terpilih Ajengan Abdullah Masduki sebagai Imam DI, dengan Abdullah Sungkar
Universitas Indonesia
Disengagement strategi..., Fakhri Usmita, FISIP UI, 2012
4
sebagai Kuasa Usaha Komandemen Tertinggi Luar Negeri (seperti Menteri Luar Negeri) dan Abu Bakar Ba’asyir sebagai Menteri Kehakiman. Namun sekitar tahun 1990 terjadi perselisihan antara Abdullah Sungkar dengan Ajengan Masduki yang dipicu oleh perbedaan pandangan terhadap negara Islam, selain juga mengenai tata beribadat Ajengan Masduki yang lebih kepada aliran sufi dan dianggap menyimpang oleh Sungkar. Hal ini berujung pada tahun 1992 Sungkar dan kawan-kawan menyatakan diri keluar dari DI, dan pada tahun 1993 mendirikan jamaah baru yang diberi nama Jama’ah Islamiyah (Golose 2009, 33; Solahudin 2011, 227). Awalnya, perlawanan JI lebih ditujukan kepada regime Orde Baru yang dianggap murtad. Gagasan memerangi Amerika dan sekutunya mengemuka setelah fatwa Osama bin Laden tentang keutamaan membunuh orang-orang Amerika. Seruan ini menimbulkan kubu pro Osama yang dipimpin oleh Hambali dan Ali Gufron, dan kubu kontra yang menganggap lebih penting memerangi pemerintah yang murtad atau musuh terdekat yang dipimpin oleh Thoriqun dan Ahmad Roihan. Pro-kontra ini mereda seiring munculnya konflik komunal di Ambon dan Poso pada 1999-2000 (Solahudin 2011, 228). Setelah konflik Ambon dan Poso mereda pada pertengahan 2001, peristiwa WTC 9 September 2001 kembali menginspirasi Hambali dan kawankawan untuk menyerang Amerika Serikat dan kepentingannya, dan pada 12 Oktober 2002 mereka meledakkan dua buah pusat hiburan di Bali dengan korban jiwa sebanyak 200 orang dan 300an orang luka-luka (Solahudin 2011, 228). Walau aksi teroris telah ada di Indonesia sebelum peristiwa Bom Bali I (Oktober 2002), namun sejak peristiwa Bom Bali I tersebut terdapat perubahan pola serangan dari kelompok teroris. Sebelum peristiwa Bom Bali I, aksi serangan teroris sangat jarang mengorbankan pelaku, namun pada peristiwa Bom Bali I telah menggunakan martyr atau pelaku bom bunuh diri (hal ini dapat terlihat pada tabel 1). Penggunaan martyr ini menunjukkan serangan yang dilakukan mulai diarahkan kepada sasaran yang lebih khusus, serta menunjukkan adanya kerelaan berkorban dari pelaku. Dan setelah peristiwa Bom Bali I, Indonesia kian tersadar akan bahaya teroris sehingga mulai disusun strategi penanggulangan terorisme.
Universitas Indonesia
Disengagement strategi..., Fakhri Usmita, FISIP UI, 2012
5
Tabel 1. Beberapa Rangkaian Peledakan Bom yang terjadi di Indonesia No 1
Tanggal 1 Agustus 2000
Lokasi
Korban Tewas Besar 2 orang
Kediaman Duta Filipina, Jakarta 2 24 Desember Sejumlah gereja di Batam, 2000 Pekanbaru, Jakarta, Sukabumi, Mojokerto, Mataram 3 1 Januari 2002 Gerai KFC, Makassar 4 12 Oktober 2002 Paddy’s Pub dan Sari Club di Kuta, Bali 5 5 Desember 2002 Gerai McDonald, Makassar 6 5 Agustus 2003 Hotel JW Marriot 7 10 Januari 2004 Cafe di Palopo, Sulawesi Selatan 8 9 September Kantor Kedutaan Besar 2004 Australia 9 12 Desember Gereja Immanuel 2004 10 1 Oktober 2005 RAJA’s Bar dan Restaurant, Bali 11 31 Desember Pasar Tradisional di Palu, 2005 Sulawesi Tengah 12 17 Juli 2009 Hotel JW Marriott dan RitzCarlton, Jakarta 13 15 April 2011 Masjid Polresta Cirebon 14 25 September GBIS Solo 2011 Sumber: Golose (2009, 32)
Korban Luka 21 orang
16 orang
96 orang
202 orang
300 orang
3 orang 11 orang 4 orang
11 orang 152 orang -
9 orang
161 orang
-
-
22 orang
102 orang
8 orang
45 orang
9 orang 1 orang 1 orang
25 orang 3 orang
Keberadaan kelompok teroris di Indonesia tidak dapat dipisahkan dengan jaringan teroris internasional. Ramakrishna dan See Seng Tan menggambarkan keterkaitan Al-Qaeda dengan organisasi atau kelompok lainnya termasuk Jamaah Islamiyah yang berada di Kawasan Asia Tenggara. Menurut keduanya, bagi kelompok teroris lain Al-Qaeda adalah: pemimpin atau rujukan dasar aktifitas spiritual; sebagai penyedia tempat pelatihan di Afganistan, Pakistan, dan lain sebagainya; sebagai penyedia pelatih; sebagai penyedia dana bagi aktifitas regional; sebagai penyedia logistik dan bahan peledak; dan sebagai yang menentukan atau meminta sasaran operasi di tingkat regional (Ramakrishna dan See Seng Tan 2003, 7).
Universitas Indonesia
Disengagement strategi..., Fakhri Usmita, FISIP UI, 2012
6
1.1.2. Counter Terrorism di Indonesia Dalam kurun waktu 2000-2010 saja, Polri mencatat sebanyak 298 orang tewas akibat serangan teroris, 838 orang luka-luka, belum termasuk 19 orang polisi yang tewas dan 29 orang yang luka-luka (”298 Orang Tewas Akibat Serangan Teroris”, antaranews.com), selain menimbulkan korban jiwa, serangan teroris juga menimbulkan kerugian materi, ekonomi dan sosial (terutama terhadap hubungan antar umat beragama). Sebagai
salah
satu
bentuk
keseriusan
Indonesia
dalam
upaya
penanggulangan tindak teroris ini, maka Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme disahkan oleh DPR RI menjadi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003. Hal ini ditunjang pula dengan telah diratifikasinya konvensi yang terkait dengan upaya pemberantasan aksi teror lainnya seperti konvensi internasional tentang Pemberantasan Pendanaan Terorisme, 1999 (International Convention For The Suppression Of The Financing Of Terrorism, 1999) ditandai dengan disahkannya Undang-undang Nomor 6 Tahun 2006. Undang-Undang nomor 6 tahun 2006 ini kemudian dipertajam dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, karena disadari bahwa kegiatan teroris di suatu negara dapat terkait dengan kegiatan teroris di negara lainnya. Dalam upaya institusionalisasi dan penerapan undang-undang tersebut, Pemerintah Indonesia menyusun instansi primer yang terkordinasi dengan instansi terkait baik dari tingkat nasional maupun daerah (Desk Koordinasi Pemberantasan Terorisme, 2004; 10). Adapun instansi primer ini terdiri dari Polri, Departemen Dalam Negeri, Departemen Luar Negeri, Departemen Pertahanan, Tentara Nasional Indonesia, Badan Intelijen Negara, Departemen Kesehatan, dan instansi lainnya
yang
terkait
penanganan
bencana/darurat
(Desk
Koordinasi
Pemberantasan Terorisme, 2004; 10). Dalam lingkup penegakan hukum, Indonesia kemudian membentuk Satuan Tugas Bom (Satgas Bom) dan Detasemen Khusus (Densus) 88. Kedua badan ini merupakan bagian dari kepolisian guna menangani kasus-kasus teroris. Dan dalam
Universitas Indonesia
Disengagement strategi..., Fakhri Usmita, FISIP UI, 2012
7
lingkup yang lebih luas dibentuk Badan Nasional Penanggulangan Teroris (BNPT), saat ini di bawah kordinasi Kementerian Politik, Hukum dan Keamanan. Pelibatan berbagai institusi dalam upaya penanggulangan terorisme ini beranjak dari kesadaran bahwa terorisme tidak hanya disebabkan oleh suatu faktor tunggal, melainkan dari suatu permasalahan yang kompleks (Amin, 2007, 5). Sehingga, diperlukan pendekatan yang tepat dalam upaya penanggulangan terorisme guna menekan semakin suburnya penggunaan cara-cara teror dalam mencapai suatu tujuan. Crenshaw (2000, 416) menyarankan bahwa dalam penyusunan kebijakan counter-terrorism, pemerintah atau pihak berwenang hendaknya jangan hanya berdasarkan asumsi bahwa pemberian ancaman hukuman yang berat atau dengan penggunaan kekuatan militer akan dapat menekan aksi teror. Karena menurutnya, dalam beberapa kasus, pemberian hukuman atau penggentarjeraan justru semakin memperkuat keyakinan terorisme (Crenshaw 2000, 416). Dalam konteks Indonesia, hal ini dapat kita lihat pada munculnya reaksi baik pro maupun kontra terhadap pemberian hukuman mati, dan saat-saat menjelang eksekusi mati Imam Samudra dan beberapa anggota kelompoknya. Selain itu, pemberian hukuman maksimal terhadap pelaku teror ternyata tidak serta merta menghentikan terjadinya peristiwa teror di Indonesia. Hal ini terbukti dari aksi teror yang tidak berhenti hanya pada peristiwa Bom Bali I, namun masih ada peristiwa seperti Bom Kedutaan Australia (2004), Bom Bali II (2005), serta Bom Hotel Marriot dan Hotel Ritz Carlton (2009) dimana telah melibatkan orangorang selain anggota JI, dan orang-orang baru yang sebelumnya bukan penganut Salafi Jihadi (Solahudin, 2011, 268).
1.1.3. Deradikalisasi di Indonesia Menurut Golose, tanpa mengenyampingkan pendekatan hard line approach, secara umum Indonesia saat ini lebih menggunakan soft line approach. Hal ini didasari adanya kesadaran bahwa penggunaan kekerasan dalam mengatasi aksi teror tidak benar-benar berhasil menyelesaikan permasalahan terorisme hingga ke akarnya. Oleh karena itu, penanggulangan aksi teroris di Indonesia – yang dilakukan secara khusus oleh Satuan Tugas Bom (Satgas Bom) Polri–
Universitas Indonesia
Disengagement strategi..., Fakhri Usmita, FISIP UI, 2012
8
kemudian menerapkan program deradikalisasi. Program deradikalisasi yang dilaksanakan oleh Polri ini merupakan realisasi dari pendekatan yang umum dikenal sebagai pendekatan soft line approach (Golose, 2009, 86-88). Hal ini sejalan dengan pendapat Bjorgo dan Horgan bahwa walau menerapkan soft line approach, namun tetap tidak mengenyampingkan kemungkinan penggunaan kekuatan militer (hard line approach), terutama dalam hal pelucutan senjata (Bjorgo, dan Horgan, 2009, 3). Sedangkan tujuan utama dari deradikalisasi yaitu adanya perubahan paham seorang jihadis (Rabasa et. al. 2010, 2). Dalam konteks Indonesia, Rabasa, et.al. menilai bahwa pendekatan deradikalisasi dijalankan pada dua tingkatan; pertama penempatan atau pengawasan intelijen pada jaringan atau pergerakan kelompok teroris, dan kedua pada upaya mengembalikan mereka yang telah menjalani masa penghukuman kembali ke masyarakat. Jadi kunci deradikalisasi di Indonesia adalah bukan pada tataran upaya merubah pola pikir pelaku, melainkan lebih pada penegakan hukum dengan mengedepankan operasi intelijen pada jaringan teroris guna mencegah terjadinya serangan dari para teroris (Rabasa, et.al. 2010, 107). Dimana pada saat menjalani masa hukuman diharapkan si pelaku memperoleh ”keinsyafan”. Dalam lingkup tertentu, penanganan teroris di Indonesia patut diberi apresiasi positif karena telah berhasil mengungkap banyak peristiwa teror yang terjadi dalam waktu yang relatif cepat. Rabasa misalnya, secara khusus memuji prestasi dan inisiatif Detasemen 88 yang merupakan bagian dari Badan Nasional Penanggulangan Teroris yang lebih memilih soft approach dalam menangani teroris. Menurut Rabasa, terdapat perbedaan pendekatan yang digunakan oleh petugas di Indonesia dengan penanganan teroris di negara tetangga seperti Malaysia atau Singapura. Petugas di Indonesia lebih menempatkan pemuka agama sebagai pemegang peranan utama dalam mengubah pandangan para anggota teroris terhadap ajaran Islam. Selain itu, BNPT juga telah melibatkan komponen dengan beragam latar belakang kompetensi. Hal ini terlihat dari pemeriksaan yang dilakukan oleh polisi dan dibantu oleh mantan militan, hingga adanya bimbingan dari ahli psikolog (Rabasa,et. al. 2010; 107), sehingga lebih dari setengah anggota teroris yang tertangkap menjadi koperatif dengan pihak kepolisian, termasuk dalam memberikan informasi tentang jaringan dan tempat persembunyian
Universitas Indonesia
Disengagement strategi..., Fakhri Usmita, FISIP UI, 2012
9
(Rabasa, et. al. 2010, 115). Kemauan bekerjasama atau ”koperatif” dengan pihak kepolisian ini pula yang menjadi kriteria klasifikasi Polri terhadap para tersangka atau narapidana teroris, adapun klasifikasi ini terlihat seperi pada tabel 2. Adapun pelaksana utama program ini yaitu: penyidik kasus terorisme, tokoh agama, mantan anggota JI (seperti Nasir Abbas, Ali Imron dan lain-lain), para tersangka atau narapidana yang telah sadar dan berkeinginan untuk membantu keberhasilan program tersebut, dan dari kalangan akademisi (Golose 2009, 88). Sedangkan sasaran dari program ini yaitu: narapidana kasus terorisme, tersangka terorisme, keluarga narapidana teroris, anggota kelompok teroris yang belum terlibat aksi teror, para simpatisan, dan masyarakat secara luas (Golose 2009, 89). Namun dalam pelaksanaannya, program deradikalisasi memiliki tantangan tersendiri terutama dalam hal upaya merubah pemahaman mereka yang dikategorikan sebagai ”sangat radikal atau ideolog” dalam kelompoknya. Hal ini dimungkinkan karena mereka ini telah memiliki ”filter” terhadap pemikiranpemikiran yang berbeda dengan apa yang mereka yakini selama ini. Selain itu, para radikalis ini telah melabel para mantan anggota JI yang mau bekerja sama dengan petugas (polisi) sebagai penghianat atau bahkan murtad, yaitu orang yang keluar dari ajaran Islam (”Nasehat Ust. Abu Bakar Ba’asir Untuk Nasir Abbas”; International Crisis Group, 2007, 16). Belum efektifnya pelaksanaan deradikalisasi dalam penanggulangan terorisme juga disampaikan oleh Asyad Mbai. Hal ini tercatat dalam Risalah Rapat Dengar Pendapat Komisi I DPR RI dengan Kepala BIN dan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) pada tanggal 4 April 2011. Menurut Mbai : ”... sudah lebih 600 orang teroris tertangkap. Lebih 600 orang. Dari 600 orang itu lebih kurang 500 sudah diajukan ke Pengadilan. Itu good news, tetapi ada bad news. Sampai hari ini 210 teroris sudah keluar di penjara dan diantaranya terbukti kembali melakukan dan bahkan jadi tokoh” Rasa pesimis Mbai ini cukup beralasan bila kita melihat laporan Internatioanl Crisis Group (ICG) tahun 2007 tentang penanggulangan terorisme di Indonesia. Menurut ICG, program deradikalisasi di Indonesia akan mengalami
Universitas Indonesia
Disengagement strategi..., Fakhri Usmita, FISIP UI, 2012
10
kegagalan jika tidak diikuti dengan upaya reformasi penjara yang lebih luas (International Crisis Group, 2007). Selain pemilihan elemen-elemen apa saja yang terlibat dalam upaya penanggulangan terorisme, sinergisitas antara institusi penanggulangan dari hulu hingga hilir juga berperan penting dalam keberhasilan ”memutus” terorisme di Indonesia. Polri sebagai ”gerbang” pertama sistem peradilan pidana, telah menyusun klasifikasi para tersangka teroris berdasarkan tingkat kerjasama mereka dengan pihak kepolisian. Klasisifikasi ini menjadi dasar pendekatan yang akan digunakan bagi para tersangka kasus teroris tersebut. Artinya, telah terdapat pembedaan pendekatan yang digunakan kepada mereka anggota kelompok teroris berdasarkan kriteria tertentu. Pengelompokan tersebut seperti terlihat pada tabel 2.
Tabel 2. Pengelompokan Tersangka atau Narapidana Terorisme No 1.
Jenis Tingkatan Klasifikasi I
Keterangan Kelompok yang mau menerima bantuan, mengakui kesalahan, dan mau membantu kepolisian (memberikan pencerahan atau membantu mengungkap jaringan).
2.
Klasifikasi II
Kelompok yang mau menerima bantuan, mengakui kesalahan, tetapi tidak bersedia membantu kepolisian.
3.
Klasifikasi III
Kelompok yang mau menerima bantuan, tetapi tidak mengakui kesalahan, dan tidak bersedia membantu kepolisian.
4.
Klasifikasi IV
Kelompok yang mau menerima bantuan, tidak mengakui kesalahan, tapi bersedia membantu kepolisian.
5.
Klasifikasi V
Kelompok yang tidak mau menerima bantuan, tidak mengakui kesalahan, dan tidak bersedia membantu kepolisian.
6.
Klasifikasi VI
Kelompok dalam proses pembinaan atau belum dilakukan pembinaan
Sumber: Golose (2009; 97)
Universitas Indonesia
Disengagement strategi..., Fakhri Usmita, FISIP UI, 2012
11
Namun sayang, pembinaan yang telah diupayakan oleh pihak kepolisian seakan tidak berlanjut di institusi lainnya. Lembaga pemasyarakatan yang seharusnya menjadi tempat resosialisasi para narapidana justru dianggap telah memperlemah upaya yang telah dilakukan pihak kepolisian (International Crisis Group, 2007, 20). Ketidaksinambungan pembinaan terhadap pelaku aksi teror tentu berdampak pada tingkat keberhasilan ”keinsyafan” para pelaku teror. Selain belum mendatangkan ”cukup keinsyafan” pada mereka, menempatkan terpidana teroris dengan pelaku kejahatan jenis lainnya telah membuka peluang munculnya permasalah baru terkait terorisme, seperti pembelajaran tentang jenis kejahatan yang berbeda, baik bagi pelaku teror ataupun pelaku kejahatan jenis lainnya, sebagai tempat mereka merekrut anggota baru, atau bahkan konsolidasi kelompok-kelompok teroris. Hal ini tergambar dalam laporan International Crisis Group (2007; 10-13), dimana kelompok Imam Samudra (di Lapas Grobokan, Bali) berhasil merekrut ”A”, ”H” dan Beni (Beni adalah seorang sipir yang semula dikenal sangat ”baik” karena mudah disuap, kemudian menjadi sangat militan). Ataupun kasus Oman (di lapas Suka Miskin, Bandung), yang berhasil merekrut Gema Ramadhan. Pada tabel 3 terlihat beberapa contoh belum efesiennya penanggulangan terorisme dengan pendekatan deradikalisasi yang ada pada saat ini, hal ini terutama disebabkan karena penanganan yang belum tepat di lapas. Menurut ICG (2007), terkendalanya keberhasilan deradikalisasi terutama di lapas, karena sebagian besar pegawai lapas belum memahami pola penanganan terhadap narapidana kasus terorisme, aturan penanganan narapidana, masih adanya diskriminasi, dan masih maraknya praktik korupsi di dalam lapas yang dilakukan oleh petugas lapas sendiri. Sementara, inkapasitasi juga merupakan salah satu strategi counterterorism, dimana si pelaku menjalani masa hukumannya sebagai ”balasan” atas kejahatan atau kriminalitas yang telah dilakukannya. Namun ironisnya, lapas justru menjadi tempat yang aman bagi mereka melaksanakan aksi, mulai dari merancang atau merencanakan hingga mengatur aksi, menyebarluaskan faham, ataupun melakukan perekrutan anggota kelompok.
Universitas Indonesia
Disengagement strategi..., Fakhri Usmita, FISIP UI, 2012
12
Tabel 3. Beberapa Aktifitas Jaringan Teroris Nama Abu Tholut
Sebelumnya Menjalani 8,5 tahun penjara, peledakan Atrium Plaza tahun 2001 Indra Warman Perampokan alias Toni (fa’i) Bank Togar Lippo Medan (2003) Fadli Sadama Perampokan (fa’i) Bank Lippo Medan (2003)
Kasus Merencanakan Perampokan (fa’i) CIMB Medan dan pelatihan militer di Aceh
Sumber www.nasional.vivan ews.com/news/read/ 193071-gembongteroris-abu-tholutditangkap-di-kudus Perencana perampokan www.hariansumutpo (fa’i) CIMB Medan 18 s.com/arsip/?p=6451 Agustus 2010 1
Pelaku Perampokan (fa’i) http://nasional.vivan CIMB Medan 18 Agustus ews.com/news/read/ 2010 192192-fadlirancang-teror-miripdi-mumbai-india Ustadz Oman 7 tahun penjara Sebelumnya anggota Laporan ICG 2007 Abdurahman karena melatih Jamaah Tauhid Wal Jihad, merakit bom bergabung dengan JI di Lapas SukamiskinBandung Gema Awal Penganiayaan Bergabung dengan JI di Laporan ICG 2007 Ramadhan dan pelajar IPDN Lapas Sukamiskindelapan siswa Bandung IPDN lainnya Imam Samudra Terlibat Bom Merencanakan Bom Bali Laporan ICG 2007 Bali I II dari Lapas Grobokan Beni Irawan Sipir Lapas Membantu memasukkan Laporan ICG 2007 Krobokan-Bali, laptop untuk Imam mualaf Samudra di sel tahanan Sumber: diadaptasi dari beberapa sumber Pada tabel 3 tergambar adanya mantan terpidana kasus teroris yang mengulangi perbuatannya melakukan tindak teror, ataupun anggota suatu kelompok teroris yang kemudian bergabung dengan kelompok yang lebih besar (JI) setelah berada di lapas. Adapula terpidana kejahatan jenis lain atau bahkan seorang sipir yang kemudian bergabung dengan kelompok teroris setelah kerap berinteraksi dengan ideolog radikal. Gema Ramadhan (pada saat menjalani hukuman di Lapas Suka Miskin masih tercatat sebagai mahasiswa IPDN, dihukum karena kasus penganiayaan) kemudian menjadi sangat militan setelah menjadi anggota kelompok teroris, bahkan dia telah disiapkan sebagai ”pengantin” (pelaku bom bunuh diri), serta diduga turut mencarikan tempat bagi pelatihan teroris di Aceh.
Universitas Indonesia
Disengagement strategi..., Fakhri Usmita, FISIP UI, 2012
13
Pada peristiwa perampokan CIMB di Medan pada 18 Agustus 2010 misalnya, walau diantara pelakunya terdapat residivis pelaku teror (Abu Thalut dan Toni Togar), namun sebagian besar pelakunya belum dikenal sebagai anggota teroris, melainkan terpidana kejahatan jenis lainnya seperti mantan terpidana kasus penyalahgunaan narkoba dan lain sebagainya. Dalam hal ini, kemampuan mereka merekrut calon anggota baru dan ”mengubah” mereka menjadi sangat militan merupakan suatu hal yang patut diwaspadai. Adanya pengulangan aksi teror yang dilakukan oleh mantan terpidana kasus teroris mengindikasikan bahwa strategi pendekatan deradikalisasi terhadap anggota kelompok teroris yang tertangkap masih memiliki kelemahan, dan bahkan lembaga pemasyarakatan yang seharusnya menjadi tempat pembinaan dan resosialisasi para terpidana, malah menjadi tempat penyebaran paham radikal (dalam hal ini adalah terorisme). Adanya pengulangan aksi sebagai indikasi belum berhasilnya program deradikalisasi, terdapat pula kecenderungan para mantan anggota yang telah keluar dari kelompoknya untuk membentuk kelompok baru atau bergabung dengan kelompok garis keras lainnya. Selain tingkat kemauan bekerjasamanya sebagai dasar bentuk pendekatan dan pembinaan (seperti pada tabel 1), menarik untuk disimak pernyataan Sidney Jones dalam buku yang diterbitkan oleh Tim Penanggulangan Terorisme (2007, 54) tentang beragamnya motivasi yang melatari seseorang bergabung dengan kelompok teror, selain motif individu yang berbeda. Menurut Jones, berbeda daerah, berbeda pula motivasi yang melatarinya. Seperti mereka yang berasal dari Jawa Barat, umumnya termotivasi untuk mengikut jejak Kartosuwiryo, sedangkan kelompok Poso lebih karena dendam atas terbunuhnya anggota keluarga mereka. Bila melihat beragamnya motivasi melakukan aksi teror, tentu saja berbeda pula pendekatan dan pembinaan yang diterapkan kepada mereka (Tim Penanggulangan Terorisme 2007, 54). Berdasarkan beragamnya motivasi yang melatarbelakangi seseorang melakukan
aksinya,
seharusnya
berbeda
pula
bentuk
pendekatan
dan
pembinaannya sesuai latar belakang yang memicu seseorang melakukan aksinya. Sehingga kita tidak ”memberikan satu pola penyelesaian untuk beragam akar
Universitas Indonesia
Disengagement strategi..., Fakhri Usmita, FISIP UI, 2012
14
permasalahan yang ada”. Untuk itu diperlukan pendekatan persuasif berupa dialog antara pelaksana program dengan pelaku guna diperoleh gambaran sebenarnya yang melatarbelakangi individu tersebut terlibat aksi teror. Setelah diketahui akar permasalahan yang melatarbelakangi individu memilih untuk menggunakan caracara teror, barulah ditentukan program apa yang sebaiknya dapat diterapkan pada individu tersebut. Dalam studi terorisme, banyak peneliti lebih memfokuskan studi pada motivasi psikologis yang melatarbelakangi seseorang untuk terlibat atau bergabung dengan kelompok teroris, namun sangat sedikit yang meneliti tentang motivasi yang mendorong seorang anggota kelompok teror untuk keluar dari kelompoknya (Crenshaw, 2000, 142; Bjorgo dan Horgan, 2009, 3; Noricks, 2009, 299; Horgan, 2005, 121). Dengan asumsi yang sama, bahwa dengan mengetahui latarbelakang keterlibatan seseorang dengan kelompok teroris, maka dapat disusun kebijakan untuk mencegah berkembangnya organisasi teroris. Maka mengetahui motivasi seseorang meninggalkan aktifitas kelompoknya juga merupakan komponen penting guna menyusun kebijakan yang tepat terkait upaya mereduksi aksi teroris.
1.2. Permasalahan Sejauh ini, program deradikalisasi yang dipercaya dapat memutus mata rantai terorisme diindikasikan belum memberikan perubahan yang signifikan dalam penanggulangan terorisme di Indonesia. Belum berjalannya program deradikalisasi ini mengharuskan pemerintah segera menemukan alternatif baru dalam upaya penanganan terorisme. Strategi yang terukur, dengan parameter keberhasilan yang jelas, sehingga lebih efektif dan efesien dalam upaya memutus mata rantai terorisme. Terkait dengan ide ini, menarik menyimak pernyataan Bandura dalam Reich [ed] (2003, 208) bahwa “orang biasanya tidak akan terlibat dalam tindakan yang tercela sampai dia sendiri secara pribadi membenarkan moralitas tindakannya”. Sehingga menurut Crenshaw, untuk memutus mata rantai itu, individu tersebut harus “ditarik” keluar atau dipisahkan dari mekanisme internalnya yang memperbolehkan melakukan kekerasan (2000, 410). Guna
Universitas Indonesia
Disengagement strategi..., Fakhri Usmita, FISIP UI, 2012
15
menjawab hal itu, Horgan menawarkan pendekatan yang dia sebut sebagai disengagement. Suatu pendekatan yang diyakini dapat menjadi jalan keluar dari kebuntuan pendekatan deradikalisasi yang utopis. Disadari bahwa tidak mudah untuk “memutus-ikatan” seorang teroris dari kelompoknya yang umumnya bertipe organisasi tertutup, namun hal ini lebih mudah untuk dilakukan dibanding harus merubah komitmen atau mengikis ideologinya, karena lebih mudah melakukan upaya perubahan perilaku dibanding mengupayakan perubahan sikap atau atitut (Horgan, 2008, 125, 5). Hal ini dikarenakan, tidak pernah diketahui secara pasti berapa lama waktu yang diperlukan untuk seseorang dapat terkikis ideologinya, serta apakah orang tersebut telah benar-benar mengalami perubahan ideologi atau komitmen terhadap kelompoknya atau perubahan tersebut hanya ketika dalam proses treatment saja. Berbeda halnya dengan ketika seseorang tersebut telah mengalami perubahan perilaku atau prioritas dari perbuatannya, hal ini dapat dengan mudah kita ketahui ketika seseorang tersebut tidak lagi melakukan atau memilih penggunaan kekerasan sebagai cara utama dalam mencapai tujuannya, maka perilakunya dapat diindikasikan telah berubah. Selanjutnya hal ini perlu ditopang dengan ketersediaan alternatif-alternatif pilihan yang lebih menjanjikan dibanding seseorang tersebut harus berkomitmen dengan kelompoknya atau dengan penggunaan cara-cara yang menyimpang. Berdasarkan penelitian ICG (2007), kendala “penarikan keluar” itu dapat berupa kuatnya ikatan antara individu dengan kelompoknya (seperti ikatan pernikahan atau kekeluargaan), bila ia meninggalkan kelompoknya, berarti dia akan terpisah atau dikucilkan oleh keluarganya. Peran komunitas yang sangat kuat pada dirinya, misalnya dalam hal dukungan ekonomi kepada keluarganya ketika ia berada di camp pelatihan, pada masa pelarian atau selama menjalani masa hukuman, ataupun dukungan sosial dari komunitasnya, sesuatu yang tidak diperoleh dari masyarakat luas yang cenderung menstigma mereka. Selain itu, tidak adanya jaminan keselamatan bagi mereka yang meninggalkan kelompoknya, baik bagi keluarga maupun dirinya, karena tidak jarang dalam organisasi bertipe tertutup seperti kelompok teroris terdapat ancaman keselamatan bagi mereka yang meninggalkan kelompoknya (penelitian Crenshaw, 2004).
Universitas Indonesia
Disengagement strategi..., Fakhri Usmita, FISIP UI, 2012
16
1.3.Pertanyaan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan permasalahan, diduga penerapan deradikalisasi sebagai upaya penanggulangan terorisme di Indonesia belum menunjukkan hasil sesuai dengan yang diharapkan. Di sisi lain, munculnya disengagement sebagai alternatif baru
dalam penanggulangan terorisme
diperkirakan dapat lebih efektif dan efesien. Untuk itu, perlu dilakukan penelitian tentang kemungkinan penerapannya. Agar penelitian ini lebih terarah, maka penulis mengajukan pertanyaan penelitian sehingga diharapkan adanya alternatif strategi bagi penanggulangan terorisme di Indonesia antara lain: Bagaimana kemungkinan penerapan disengagement terhadap anggota teroris dalam rangka penanggulangan terorisme di Indonesia? Faktor pendukung dan penghambat apa yang akan ditemukan dalam penerapan disengagement teroris?
1.4.Tujuan Penelitian 1.4.1. Signifikansi Praktis Penelitian ini bertujuan untuk memberikan perluasan khasanah strategi penanganan dan pembinaan bagi anggota-anggota kelompok radikal (teroris). Penggunaan disengagement sebagai penanggulangan teroris masih baru dan merupakan studi yang penting bagi upaya mengakhiri terorisme. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan pemikiran bagi strategi penanggulangan terorisme.
1.4.2. Signifikansi Akademis Penelitian tentang disengagement sebagai penanggulangan terorisme belum pernah ada dilakukan sebelumnya, sehingga penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber bacaan bagi penelitian-penelitian lanjutan khususnya tentang upaya penanggulangan kelompok radikal atau teroris di Indonesia.
Universitas Indonesia
Disengagement strategi..., Fakhri Usmita, FISIP UI, 2012
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2. 1. Teror, Teroris, dan Terorisme Kata ”teror” mulai dikenal luas pada era Revolusi Prancis (1793 – 1794). Berawal dari dibentuknya lembaga Terror of The Committee of Public Safety (dimana
Robespierre
merupakan
seorang
anggotanya),
yang
bertugas
menanggulangi para pembangkang terhadap monarkhi. Lembaga ini selanjutnya banyak melakukan pembunuhan terhadap pendukung republik (republikan) dan menghukum tanpa melalui proses peradilan. Kekuasaan lembaga ini sangat besar, mereka menangkap tidak kurang dari 300.000 orang, menghukum dan mengeksekusi lebih dari 17.000 orang. Setelah Robespierre berkuasa, ia tidak menghentikan aksinya, bahkan semakin mengerikan. Oleh karena itu, masyarakat pada saat itu kemudian menjulukinya sebagai ”terorisme”, serta aparat atau agen yang mendukung aksi Robespierre ini kemudian dijuluki sebagai ”teroris”, istilah ini kemudian menyebar ke Eropa hingga seluruh dunia (Thackrah, 2004, 264). Perdebatan tentang pendefinisian teroris diantaranya dapat terlihat dari tulisan Shughart II ataupun Thackrah. Shughart II misalnya, mengkritisi karakteristik ”penggunaan kekerasan secara tidak sah” (ilegal atau melawan hukum) sebagai kriteria guna menentukan seseorang sebagai teroris. Thackrah mencontohkan aksi pejuang pembebasan Amerika yang dicap sebagai teroris karena melawan hukum konstitusi Raja George III (pada saat Amerika masih dalam koloni Inggris, dan diberlakukan hukum buatan Inggris). Satu pihak menganggap mereka sebagai teroris, tapi di pihak lain menganggap sebagai pejuang kemerdekaan atau patriot (Thackrah, 2004, 264). Untuk lebih memperjelas, Shughart II mengutip pernyataan Yaser Arafat : "the difference between the revolutionary and the terrorist lies in the reason for which each fights. For whoever stands by a just cause and fights for the freedom and liberation of his land from the invaders, the settlers and the colonialists, cannot possibly be called a terrorist..."(Shughart II, 2006, 10). Dari pemikiran Shughart II ini diperoleh gambaran bagaimana relatifitas pendefinisian teroris.
17 Universitas Indonesia
Disengagement strategi..., Fakhri Usmita, FISIP UI, 2012
18
Ada banyak definisi teror, teroris, dan terorisme, namun hingga saat ini belum ada suatu definisi baku tentang teror, teroris, dan terorisme. Pada tulisan ini penulis belum memiliki suatu definisi khusus tentang teror, teroris, dan terorisme, melainkan hanya mencantumkan beberapa indikasi atau kriteria yang umum digunakan oleh peneliti-peneliti terdahulu. Secara umum teroris memiliki kriteria: penggunaan kekerasan ilegal (secara melawan hukum); terencana, terukur; terhadap kalangan sipil (non combatan); dilakukan oleh kelompok, profesional sebagai bagian dari negara, ataupun individu; adanya publikasi terhadap aksi mereka; demi mencapai tujuan (perubahan) politik, ideologi atau agama; mengintimidasi individu, kelompok atau negara; menimbulkan rasa ketakutan atau ketidakamanan;
(Whittaker, 2002;
Tunell, 1993; Al-Makasari, 2003; Laquer, 1999); merupakan tindakan yang terencana, penuh perhitungan dan sistematik; tidak berpegang pada hukum atau norma perang (Hoffman dalam Shughart II 2006, 10; Lutz dan Lutz, 2004, 8); direncanakan untuk menyebabkan ketakutan (guncangan psikologis) bagi korban atau target (Hoffman dalam Shughart II 2006, 10); umumnya muncul karena adanya kekuatan yang tidak seimbang dan penggunaan cara-cara politik yang tidak biasa (Tilly, 2004, 8). Adapun motivasi seseorang untuk menjadi teroris sangatlah beragam, bahkan setiap individu teroris memiliki alasannya tersendiri. Beberapa pengamat seperti Gurr (1970) dan Moore (2003) berpendapat bahwa kesediaan untuk menjadi ”pengantin” atau suicide bomber akibat dari kemiskinan dan pengangguran, merupakan turunan atau dampak relatif dari luasnya jarak antara harapan dengan kenyataan yang mereka terima. Namun teori ini dibantah oleh Brym, dan Araj yang mengajukan bukti bahwa pelaku bom bunuh diri antara tahun 1980 hingga 2003, sebagian besar memiliki pendidikan yang cukup bagus, lebih banyak berasal dari kalangan menengah dibanding orang miskin ataupun pengangguran (Brym dan Araj, 2006, 1971). Brym dan Araj juga menunjukkan bahwa pelaku pembajakan pesawat pada penyerangan ke Amerika Serikat (11 September 2001) sebagian besar berasal dari keluarga terhormat (kelas menengah) dan terpelajar.
Universitas Indonesia
Disengagement strategi..., Fakhri Usmita, FISIP UI, 2012
19
Tidak mengikuti hukum atau norma perang, penggunaan kekerasan tanpa ”tanpa pandang bulu”, ini yang kemudian menjadi pembeda antara aksi teroris dengan pejuang kemerdekaan, revolusioner, anggota oposisi demokratis, ataupun tentara pembebasan nasionalis (Lutz dan Lutz, 2004, 8) Selain itu, untuk membedakan antara aksi teroris dengan kejahatan jenis lainnya, Levin melihatnya dari sisi motivasi dan dampaknya yang luas. Menurut Levin, motivasi dan dampaknya yang luas ini merupakan karakteristik pembeda secara sederhana antara kejahatan konfensional dengan kejahatan teroris. Menurutnya, kejahatan jalanan atau kejahatan konfensional pada umumnya hanya berorientasi pada harta, uang atau menyakiti korbannya secara fisik. Namun pada kejahatan teror, secara umum bertujuan untuk membangkitkan gejolak sosial ataupun mengirim pesan-pesan ancaman atau intimidasi yang dapat menimbulkan instabilitas keamanan secara luas, dan dapat mendorong terjadinya perubahan politik ataupun perubahan kebijakan (dari pihak lawan). Selain itu, terkadang juga dilatarbelakangi oleh motivasi pribadi dimana aksi teror sebagai jalan untuk memperoleh keuntungan, menjadi terkenal, atau mendapat perhatian dari musuhnya (Levin, 2006, 6). Sedangkan berdasarkan tujuannya, serangan teroris umumnya ditujukan kepada instalasi pemerintah atau fasilitas publik (Konvensi PBB, 1973), dengan tujuan politik, agama, dan/atau ideologi (US Department of Defense, 1990), sehingga dapat mengancam keamanan dan ketertiban nasional maupun internasional (Undang-Undang No 15 Tahun 2003). Memandang dampak yang luas akibat suatu perbuatan teroris, maka Pemerintah Indonesia dalam Undang-Undang No 15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Pasal 6 selain memberikan definisi terhadap tindak pidana terorisme, juga memberikan sanksi hukum terhadap pelaku perbuatan tersebut. Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda orang lain, atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-
Universitas Indonesia
Disengagement strategi..., Fakhri Usmita, FISIP UI, 2012
20
obyek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional, dipidana dengan pidana mati atau penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun (Pasal 6 UU No 15 Tahun 2003).
Untuk
membedakan
menambahkan kriteria yang
dengan
jenis
kejahatan
lainnya,
Witthaker
umumnya dapat ditemui pada kelompok teroris
yaitu: kegiatan terencana, dilandasi tujuan politik, menggunakan kekerasan untuk menyerang atau mengintimidasi pemerintah atau masyarakat secara umum, menimbulkan ketakutan atau ketidakstabilan keamanan, melanggar hukum, ingin melakukan perubahan pada pemerintah, sebagai strategi dari sub-revolusi, kelompok sub-nasional, individu penyusup yang memiliki maksud, tujuan, target dan akses, adanya publikasi. Awalnya bersifat lokal dalam negeri tetapi kemudian dapat berkembang lintas negara (2000, 10). Selanjutnya, pemberian akhiran ”-isme” pada kata ”teror” lebih menunjukkan karakter yang sistematik dibanding pada tataran teoritis. Dimana secara pilosofi politik menunjuk pada aksi ataupun sebuah sikap. Terkadang juga dilekatkan pada kualitas dari doktrin, namun sebagian besar lebih melihatnya sebagai pemikiran untuk bebas bertindak (Thackrah, 2004, 264). Paulus (2007) menambahkan terorisme adalah cara berfikir yang diwujudkan dalam tindakan menggunakan teror sebagai tehnik untuk mencapai tujuan. Paulus (buletin Litbang Dephan, 2007) memberikan ciri-ciri dari terorisme. Berdasarkan matrik perbandingan karakteristik kelompok pengguna tindak kekerasan guna mencapai tujuannya, dapat disimpulkan ciri - ciri terorisme adalah sebagai berikut:
Memiliki pengorganisasian yang baik, berdisiplin tinggi, militan. Organsisasinya merupakan kelompok-kelompok kecil, disiplin dan militansi ditanamkan melalui indoktrinasi dan latihan yang bertahuntahun.
Mempunyai tujuan politik, tetapi melakukan perbuatan kriminal untuk mencapai tujuan.
Universitas Indonesia
Disengagement strategi..., Fakhri Usmita, FISIP UI, 2012
21
Tidak mengindahkan norma - norma yang berlaku, seperti agama, hukum, dan lain-lain.
Memilih sasaran yang menimbulkan efek psykologis yang tinggi untuk menimbulkan rasa takut dan mendapatkan publikasi yang luas.
Kegiatan terorisme mempunyai tujuan untuk membuat orang lain merasa ketakutan sehingga dengan demikian dapat menarik perhatian orang, kelompok atau suatu bangsa. Biasanya perbuatan teror digunakan apabila tidak ada jalan lain yang dapat ditempuh untuk melaksanakan kehendaknya. Terorisme digunakan sebagai senjata psikologis untuk menciptakan suasana panik, tidak menentu serta menciptakan ketidak percayaan masyarakat terhadap kemampuan pemerintah dan memaksa masyarakat atau kelompok tertentu untuk mentaati kehendak pelaku teror. Terorisme tidak ditujukan langsung kepada lawan, akan tetapi perbuatan teror justru dilakukan dimana saja dan terhadap siapa saja. Dan yang lebih utama, maksud yang ingin disampaikan oleh pelaku teror adalah agar perbuatan teror tersebut mendapat perhatian yang khusus atau dapat dikatakan lebih sebagai psywar. Seperti halnya kejahatan yang dikelompokkan ke dalam extra ordinary crime lainnya, kejahatan teroris memerlukan usaha yang lebih untuk dapat diungkap. Terlebih ketika organisasi ini mulai berkembang, tidak lagi bersifat lokal, melainkan telah berhubungan dengan organisasi serupa lintas negara sehingga aksi mereka semakin mutakhir, baik secara teknis, perlengkapan, maupun finansial. Disadari bahwa penanggulangan atau penanganan terhadap aksi teror dengan hanya menggunakan kekuatan (hard line approach) tidak mendatangkan hasil sesuai yang diinginkan. Seperti pendapat Angell dan Gunaratna, bahwa kita bisa saja melakukan perang melawan mereka dengan menangkap, menghukum, atau bahkan membunuh mereka sekalipun, namun tidak akan dapat sepenuhnya memenangkan pertarungan. Untuk itu diperlukan strategi yang baik dan tepat (apakah itu hard approach, soft approach, ataupun gabungan keduanya) untuk dapat memenangi hati dan pikiran, sehingga kelak dalam upaya pencegahan tindak teror yaitu dengan membangun ikatan sosial dengan masyarakat, dan
Universitas Indonesia
Disengagement strategi..., Fakhri Usmita, FISIP UI, 2012
22
bentuk rehabilitasi pelaku dengan mengintegrasikannya kembali ke tengah masyarakat (Angell, dan Gunaratna, 2012; 349). Mengingat terorisme yang semakin berkembang, Cronin (2009,6) menyarankan harus segera ditemukan strategi penanggulangan terorisme yang efektif dan efesien, tidak hanya berdasarkan pertanyaan ”apa yang seharusnya kita lakukan?” tapi juga ”bagaimana ini diakhiri?”. Strategi yang digunakan haruslah lentur agar dapat segera beradaptasi terhadap perubahan strategi yang diterapkan kelompok teroris. Forrest (2007, x) menyarankan, dalam menyusun suatu strategi penanggulangan terorisme, terlebih dahulu diperoleh gambaran jelas apakah yang dihadapi adalah pejuang kemerdekaan (pasukan pembebesan), ataupun gerakan bersenjata lainnya. Setelah memperoleh gambaran jelas tentang apa yang akan dihadapi, selanjutnya dilakukan identifikasi terhadap ideologi, politik dan aspek sosioekonomi dari organisasi
termasuk dukungan finansial, rekruitmen dan
simpatisan (Forrest, 2007, x). Mengingat strategi harus dapat beradaptasi terhadap kemungkinan perubahan strategi yang dilakukan oleh kelompok teroris, maka pemerintahpun harus menyiapkan beberapa alternatif strategi. Dimana pemilihan strategi yang digunakan harus juga mempertimbangkan faktor peluang keberhasilan dan kegagalan dari penerapan strategi tersebut (Forrest, 2007, x), dimana strategi digunakan untuk mencapai tujuan jangka panjang dan jangka pendek yang ingin dicapai (Forrest, 2007, x). Menurut Forrest, strategi penanggulangan terorisme adalah penggunaan semua potensi kekuatan bangsa yang ada dalam upaya mereduksi keberadaan dan kemampuan kelompok teroris mengkomunikasikan dan melaksanakan rencana mereka dan memisahkan mereka dari sekutunya (Forrest, 2007, 4). Forrest mengutip NSCT 2006 (the Nasional Strategy for Combating Terrorism): ”Our strategy also recognizes that the War on Terror is a different kind of war. From the beginning, it has been both a battle of arms and a battle of ideas. Not only do we fight our terrorist enemies on the battlefield, we promote freedom and human dignity as alternatives to the terrorists’ perverse vision of oppression and totalitarian rule. The paradigm for combating terrorism now involves the application of all elements of our
Universitas Indonesia
Disengagement strategi..., Fakhri Usmita, FISIP UI, 2012
23
national power and influence. Not only do we employ military power, we use diplomatic, financial, intelligence, and law enforcement activities to protect the Homeland and extend our defenses, disrupt terrorist operations, and deprive our enemies of what they need to operate and survive” (Forrest, 2007, 5). Forrest mencontohkan, ”grand strategy” Amerika Serikat dalam upaya penanggulangan terorisme adalah demokratisasi, dan kemudian diturunkan dalam beberapa strategi yang bertujuan untuk mereduksi tindakan-tindakan terorisme, diantaranya: ”National Strategy for Homeland Security (published July 2002), the National Strategy to Combat Weapons of Mass Destruction (December 2002), the National Strategy to Secure Cyberspace (February 2003), the National Strategy for the Physical Protection of Critical Infrastructure and Key Assets (December 2003), the National Drug Control Strategy (February 2002), and the National Strategy for Maritime Security (September 2005)” (Forrest, 2007, 4). Dari penjelasan Forrest tersebut, diperoleh gambaran bahwa instrumen pelaksana dari strategi adalah semua komponen bangsa, termasuk kekuatan militer, intelijen, penegak hukum, dan komponen masyarakat lainnya.
2. 2. Anti Teror dan Counter-Terrorism Pada dasarnya,
counter-terrorism
adalah upaya
pencegahan dan
pengendalian terhadap terorisme (Witthaker, 2002, 169). Sandler (2005, 78) mengemukakan bahwa terdapat dua kategori utama dalam kebijakan anti teror yaitu proaktif dan defensif. Proaktif (ofensif) ditujukan pada para teroris, segala sumberdaya mereka, atau para pendukung mereka secara langsung. Konsep utamanya adalah melemahkan aktifitas mereka, mengurangi frekuensi, dan kemampuan mereka menyerang sasaran. Tindakan proaktif atau ofensif ini termasuk operasi militer terhadap camp teroris, membunuh pemimpin teroris, pembekuan aset teroris, pembalasan atau pemberian sanksi terhadap negara pendukung teroris, operasi intelijen, dan penyusupan ke dalam kelompok teroris.
Universitas Indonesia
Disengagement strategi..., Fakhri Usmita, FISIP UI, 2012
24
Sedangkan upaya defensif (pasif), adalah kebijakan yang bertujuan untuk melindungi target-target potensial dari serangan atau memperbaiki kerusakan atau kerugian yang diakibatkan oleh serangan teroris. Upaya defensif antara lain penambahan teknologi pencegah terjadinya kejahatan (seperti anjing pelacak bom, pendeteksi metal, atau alat identifikasi biometrik), penguatan terhadap target, peningkatan kualitas personil keamanan, dan institusi penanggulangan dini teroris (Sandler, 2005, 78). Counter-terrorism merupakan tindakan yang rumit dimana terdiri dari respon terhadap aksi teror, dan upaya pencegahan terhadap aksi teror di masa datang (Stohl, dalam Richardson, edt. 2006, 57). Hampir sama dengan Sandler, berdasarkan kebijakan counter-terrorism Amerika Serikat, Whitthaker (2002, 182) melihat kebijakan counter-terrorisme tersebut dari beberapa sisi, yaitu objective, unified effort, the need for perseverance and restraint, dan security. Objek dari counter terrorism adalah keberadaan kelompok teroris. Dalam program countering terrorism, hal ini meliputi upaya penetralisasian kelompok teroris. Netralisasi dalam konteks ini adalah membatasi atau memutus aliran dana atau sumbangan kepada pihak teroris, tanpa perlu membunuh para teroris. Selanjutnya objek dari counter-terrorism ini dipahami sebagai pencegahan serangan dan meminimalisir dampak dari yang mungkin ditimbulkan, termasuk di dalamnya adalah pelemahan organisasi teroris dan penguatan kepada potensial target sehingga sukar untuk diserang. Counter-terrorism termasuk melemahkan aksi, penggentarjeraan, dan responsif. Counter-terrorism harus dilakukan dengan sabar dan tekun, berlandaskan pada informasi yang akurat. Selanjutnya dibutuhkan unity of effort, yaitu keselarasan pandang antara negara-negara terhadap apa itu terorisme ataupun antar lembaga lokal, sehingga diharapkan adanya keselarasan dalam penanggulangan teroris dan tidak terjadi tumpang tindih antara lembaga atau antar negara dalam penanggulangan terorisme. Demikian pula dengan legitimasi setiap aksi atau penggunaan kekuatan militer
dalam
melakukan
penanggulangan
terorisme.
Walau
legitimasi
penggunaan kekuatan militer dalam penanggulangan teroris secara internasional diakui seiring kesepahaman bahwa aksi teror merupakan kejahatan terhadap
Universitas Indonesia
Disengagement strategi..., Fakhri Usmita, FISIP UI, 2012
25
kemanusiaan dan perdamaian, maka penggunaan kekuatan militer dapat dibenarkan. Namun tetap harus diusahakan seoptimal mungkin meminimalisir jatuhnya korban yang tidak semestinya akibat pendekatan keamanan yang dilakukan. Tidak jarang kelompok teroris memperoleh dukungan dari masyarakat sekitarnya sehingga banyak kendala bagi keberhasilan penanggulangan kelompok seperti ini. Untuk itu diperlukan kesabaran dan ketekunan dalam upaya pertahanan, operasi intelijen dalam memantau aktifitas mereka dapat dilakukan, namun jangan sampai mereka terlebih dahulu melakukan serangan. Keberhasilan penanggulangan sangat diperlukan, namun stabilitas keamanan tetap harus dijaga. Selain
itu,
”menahan
diri”
juga
sangat
penting
dalam
upaya
penanggulangan terorisme. Upaya penindakan yang prematur dapat berdampak pada penanggulangan terorisme secara keseluruhan. Oleh karena itu, akurasi informasi sangat diperlukan, termasuk adanya legitimasi hukum, dan persiapan yang matang sehingga meminimalisir jatuhnya korban yang tidak seharusnya. Sedangkan ”keamanan” sangat diperlukan dalam penanggulangan teroris (anti teror) termasuk keamanan fisikal, keamanan operasional, dan perlindungan terhadap semua personal. Pada sisi ini, peran intelijen sangatlah penting terutama dalam mengumpulkan informasi selengkapnya tentang kelompok teroris seperti kekuatan, keahlian, persenjataan, ketersediaan logistik, profil pemimpin, sumberdaya pendukung, taktik dan informasi khusus yang dibutuhkan lainnya termasuk tujuan kelompo, afiliasi, kesediaan terbunuh atau membunuh, sejarah, peristiwa simbolik atau penggunaan martir. Dimana hal ini berguna untuk memprediksi kemungkinan-kemungkinan yang akan dihadapi dalam upaya penanggulangan teroris termasuk mengantisipasi ancaman aksi teror. Pada tabel 4 dapat kita lihat dalam ranah counter-terrorism lebih menggunakan pendekatan lunak (soft approach), dimana di dalamnya dapat dilakukan dengan deradikalisasi, disengagement, ataupun inkapasitasi.
Universitas Indonesia
Disengagement strategi..., Fakhri Usmita, FISIP UI, 2012
26
Secara sederhana, penjelasan Sandler dan Witthaker seperti pada tabel 4. Tabel 4. Anti Teror dan Counter-terror Anti Teror - Pelemahan aktifitas dan sumber potensi pendukung - Mengurangi frekuensi serangan - Memperlemah daya serang - Penggunaan kekuatan militer atau intelijen - Membunuh pemimpin teroris - Membekukan aset teroris - Memberi sanksi kepada negara pendukung teroris
Konsep
Teknik
Counter terror - Pengamanan target dan penanganan paska aksi
- Penguatan target - Instalasi teknologi - Peningkatan kualitas personil keamanan - Institution of terrorist alert - Penggentarjeraan
Sumber: diadaptasi dari Sandler (2005) dan Witthaker.
Menurut Sandler (2005, 75-84) pemberian sanksi kepada pelaku (yang kemudian diharapkan memberikan efek penggentarjeraan baik khusus maupun umum) termasuk upaya defensif lainnya, bertujuan agar para pelaku teror mempertimbangkan ulang efektifitas penggunaan aksi teror dalam mencapai tujuan mereka. Walau kedua kebijakan ini menggunakan jalan yang berbeda, namun memiliki tujuan utama yang sama yaitu memberi rasa aman kepada masyarakat umum. Oleh karena itu, kebijakan ini sering diterapkan secara bersama. Ketika pelaku teror tidak lagi menemukan efektifitas penggunaan aksi teror dalam mencapai tujuan politisnya, maka diharapkan yang bersangkutan akan meninggalkan penggunaan cara-cara teror dan beralih ke cara lainnya yang dianggap lebih efektif dalam upaya pencapaian tujuan mereka. Terkait dengan upaya perubahan perilaku, ini yang kemudian menjadi asumsi dasar dalam penelitian ini.
2.3. Disengagement Deradikalisasi maupun disengagement merupakan bagian dari upaya counter-terrorism. Berbeda dengan deradikalisasi yang diartikan sebagai moderatisasi pemikiran, disengagement di sini lebih diartikan sebagai ”memutusikatan” atau dalam hal ini menarik keluar pelaku dengan merubah perilaku –
Universitas Indonesia
Disengagement strategi..., Fakhri Usmita, FISIP UI, 2012
27
dengan tidak lagi memilih, atau meninggalkan jalan– penggunaan kekerasan. Karena belum menemukan padanan kata dalam bahasa Indonesia, maka untuk selanjutnya penulis tetap menggunakan ”disengagement”. Menurut Hochschild (1975), teori ini pertama kali dikemukakan Cumming et.al tahun 1960 dalam bunga rampai ”Growing Old” dalam artikel Elaine Cumming dan William Henry yang menggunakan pendekatan psikologis mencoba menjelaskan fenomena berubahnya seseorang menjadi ”menyendiri” terpisah dari sosialnya. Cumming dan Henry menyusun teori ini berdasarkan asumsi adanya hubungan saling mempengaruhi antara individu dengan lingkungan sosialnya, ataupun sebaliknya, kemudian menggambarkan ”penarikan diri” seseorang dari lingkungannya (desosialisasi) terjadi seiring bertambahnya umur. Konsep utama mereka adalah ’culture-free’ dari yang sebelumnya ’culture-bound’ (Hochschild, 1975, 555). Teori ini kemudian berkembang, salah satunya yang dikemukakan oleh Albert Bandura dengan teorinya moral disengagement. Bandura mengembangkan teori ini untuk menganalisa perilaku individu. Menurut Bandura (1990), seperti dikutip Crenshaw, sumber prinsipil dari tindakan destruktif karena adanya dorongan yang tak terkendali. Konsekuensinya, Bandura membuktikan proses psikologis pada diri seseorang dapat di disengage dalam mekanisme regulasi internal untuk mengendalikan kekerasan (Crenshaw 2000, 409-410). Bandura mengidentifikasi tiga poin penting yang membangun proses self-regulatory: ”when reprehensible conduct can be reconstrued as justifiable, its detrimental effects minimized or distorted, and the victim blamed or devalued. In terms of causal agency, he also noted a tendency to displace responsibility onto the enemy or diffuse it within the group” (Crenshaw, 2000, 410). Teori ini juga dikembangkan dan digunakan untuk menyusun kebijakan penanggulangan terorisme. Menurut Horgan, aksi teroris merupakan: hasil dari proses interaksi dalam suatu kelompok teror; juga dapat memberikan semangat baru bagi anggota kelompok dan daya tarik tersendiri bagi calon anggota untuk membangun komitmen dan terikat lebih erat (2005, 121). Untuk itu, aksi teror harus dicegah dengan menarik ”keluar” pelaku dari apa yang akan dikerjakannya.
Universitas Indonesia
Disengagement strategi..., Fakhri Usmita, FISIP UI, 2012
28
Berdasarkan laporan Fink dan Hearne (2008, 3), pada umumnya deradikalisasi dan disengagement diterapkan secara bersama sebagai suatu program yang saling melengkapi antara pendekatan sosial (disengagement) dan pendekatan psikologi (deradikalisasi). Dimana disengagement diarahkan pada perubahan perilaku seperti keluarnya seseorang dari kelompoknya, atau perubahan
aturan
hidup
seseorang
terhadap
kelompoknya.
Sedangkan
deradikalisasi lebih pada perubahan kognisi, perubahan yang mendasar pada pemahaman. Namun menurut Noricks, disengagement lebih realistis untuk dicapai dibanding program deradikalisasi. Dalam penelitian ini, penulis mengacu pada pemikiran Horgan dan Bjorgo. Horgan mengartikan disengagement sebagai ”melepaskan” atau ”meninggalkan” norma sosial yang dianut bersama (kelompoknya), nilai-nilai, sikap-sikap dan aspirasi yang ditanamkan selama menjadi anggota kelompok teroris (2005, 124). Pendekatan disengagement, difokuskan pada bagaimana individu tersebut keluar dari kelompoknya atau tidak lagi memilih melakukan kekerasan sebagai jalan mencapai tujuannya. Lebih lanjut, Horgan membagi ranah disengagement menjadi: disengagement secara psikologis dan disengagement secara fisik. Horgan mengidentifikasi faktor-faktor yang dapat mempengaruhi disengagement secara psikologis yaitu: 1. Adanya pengaruh negatif akibat dari keberlangsungannya sebagai anggota kelompok, 2. Adanya perubahan prioritas, yang muncul karena mereka merasa tidak diterima oleh masyarakat atau negara, 3. Tumbuhnya rasa ketidakpercayaan terhadap keberhasilan apa yang dicitacitakan bila menggunakan jalan yang selama ini ditempuh (Horgan, 2005; 129).
Faktor-faktor psikologi inilah yang dijadikan pintu masuk bagi strategi disengagement secara fisik guna ”menarik keluar” anggota kelompok radikal dari perbuatan radikalnya. Untuk pendekatan psikologis ini diperlukan pendekatan persuasif terhadap individu pelaku guna memunculkan kesadaran tentang dampak
Universitas Indonesia
Disengagement strategi..., Fakhri Usmita, FISIP UI, 2012
29
negatif yang dia atau keluarganya akan rasakan akibat si individu tersebut bergabung dengan kelompok teror. Pengalaman tidak menyenangkan, terutama apa yang dia rasakan selama hidup dalam persembunyian, terpisah dari keluarganya, hidup dikucilkan oleh masyarakat, dan lain sebagainya. Selain itu, rasa empati terhadap sesama manusia juga dapat dibangkitkan dalam fase ini, selain diberi pemahaman bahwa masih ada strategi lain yang dapat digunakan guna mencapai tujuan perjuangan, tanpa harus melakukan kekerasan. Adanya pengalaman-pengalaman yang tidak menyenangkan sebagai konsekuensi dari keterlibatan mereka dalam kelompok teroris tersebut diistilahkan Horgan sebagai benih bagi disengagement secara psikologis (Horgan 2005, 124). Disengagement secara fisik lebih mudah untuk diketahui, yaitu ketika orang tersebut telah mengalami perubahan sikap (aturan) dari dalam dirinya, yang ditandai dengan tidak lagi melibatkan diri dalam aksi kekerasan, tanpa harus merubah atau mengurangi dukungannya terhadap kelompok (Horgan, 2005, 129). Hal ini dapat dipengaruhi antara lain oleh:
Ketakutan terhadap penegak hukum, atau ancaman hukuman.
Adanya tekanan dari kelompok akibat mengabaikan perintah, mungkin di”mutasi” ke tugas lainnya, atau bahkan dieksekusi (dibunuh).
Dipindahtugaskan ke aktifitas lainnya di kelompok, disesuaikan dengan keahliannya, atau dipindahkan ke jalur politik.
Ditolak atau dijauhkan dari aktifitas gerakan atau perjuangan kelompoknya.
Perubahan dari prioritas, sebagai bagian dari psikological disengagement.
Dari sini tergambar bahwa disengagement tidak hanya menyaratkan mereka untuk meninggalkan secara penuh apa yang telah mereka peroleh selama bergabung dengan kelompok teroris, namun juga adanya perubahan perilaku (Horgan, 2005, 130), paling tidak, aktifitasnya sudah sesuai dengan tatanan yang sah berlaku di tengah masyarakat (Ferracuti, 1998, 77). Seperti pendekatan psikologis lainnya, strategi disengagement juga sangat memperhatikan faktor personal individu. Dimana, dalam pendekatan psikologis, motivasi seseorang yang terlibat dalam kelompok teror adalah berbeda satu sama lainnya, untuk itu diperlukan perlakuan yang berbeda pula antar individu satu Universitas Indonesia
Disengagement strategi..., Fakhri Usmita, FISIP UI, 2012
30
dengan yang lainnya (Horgan 2005, 137). Untuk mengetahui motivasi seseorang dengan detail, Horgan mengutip Crenshaw, diperlukan kecakapan dalam memberikan pertanyaan yang tepat pada saat interview terhadap pelaku (Horgan 2005, 39). Walau pada umumnya program disengagement dilakukan pada tingkatan individu-individu, namun pada kelompok tertentu dapat dilakukan secara kolektif, terutama pada kelompok yang memiliki kepemimpinan yang kuat, memiliki garis komando yang jelas dan kontrol yang kuat, dan mereka menyadari bahwa penggunaan perlawanan bersenjata tidak menguntungkan mereka (ICSR 2010,3). ICSR menjelaskan, yang dimaksud dengan disengagement kolektif terjadi ketika seorang pemimpin suatu kelompok meninggalkan penggunaan cara-cara kekerasan dalam mencapai tujuannya, kemudian ini diikuti oleh anggota kelompoknya. Perbedaan antara deradikalisasi dan disengagement tergambar pada tabel 5: Tabel 5. Perbedaan Deradikalisasi, Disengagement dan Inkapasitasi No 1
Deradikalisasi Disengagement Sumber Perubahan pada Perubahan pada tingkat Horgan, tingkat kognitif perilaku (keterlibatan dalam 2009 (ideologi) tindak terorisme)
2
Proses memoderasi belief tanpa perlu meninggalkan organisasi
3
Produk dari faktor- Produk dari faktor-faktor faktor psikologis psikologis (seperti perasaan saja kecewa) dan faktor-faktor fisik (seperti pemenjaraan) Tidak dapat Dapat dilakukan dengan dilakukan dengan pemaksaan oleh pihak lain pemaksaan, melainkan harus dengan kesadaran pelaku sendiri Mencakup Mencakup perubahan perubahan instrumental pada perilaku fundamental pada tujuan Lebih sulit Lebih mudah dilakukan
4
5
6
Proses perubahan perilaku Rabasa dengan meninggalkan et.al, 2010 kekerasan dan keluar dari organisasi radikal Horgan, 2009
Inkapasitasi Tidak lagi melakukan tindak pidana (Gottfredson, dan Gottfredson 1985, 135) Proses penyadaran, sama halnya dengan jenis kejahatan lainnya (Harvard Law Review 2002, 1226) Produk dari faktorfaktor fisik (pemenjaraan)
Horgan, 2009
Dilakukan pemaksaan
Frieden, 1999; Rabasa et.al, 2010 Rabasa
Penggentarjeraan khusus dan umum
Lebih
dengan
mudah
Universitas Indonesia
Disengagement strategi..., Fakhri Usmita, FISIP UI, 2012
31
7
8
9
10
11
dilakukan dibanding disengagement Jika ideologi berubah atau mengalami moderasi, maka kemungkinan keluar dari terorisme sangat besar Pada kelompok radikal Islam yang berbasis ideologi keagamaan, deradikalisasi lebih sulit dilakukan karena ideologi jihad merupakan salah satu ajaran agama yang tidak mungkin dihilangkan dari alam pikiran penganutnya Deradikalisasi, jika terjadi, sudah pasti akan menimbulkan disengagement Value atau ideologi bisa berubah dan bisa pula tidak berubah ketika seseorang keluar dari kelompok terorisme Sebagian individu meninggalkan pandangan yang radikal sebagai konsekuensi meninggalkan kelompok
dibanding deradikalisasi
et.al, 2010
dilakukan dibanding disengagement
Perilaku bisa berubah, Ashour, tetapi tujuan dan ideologi 2009; tetap ada Bjorgo & Horgan, 2009
Selama di penjara, maka tidak melakukan tindak pidana teror (Gottfredson, dan Gottfredson 1985, 136)
Pada kelompok radikal Islam, disengagement sangat mungkin dilakukan dengan memberikan katalisasi politik, ekonomi dan budaya
Dapat dilakukan pada semua kelompok radikal, memandang tindakan teroris sebagaimana jenis kejahatan lainnya
Frieden, 1999; Rabasa et.al, 2010
Disengagement belum tentu Horgan, menimbulkan deradikalisasi 2008; 2009
Inkapasitasi belum tentu menghasilkan deradikalisasi dan disengagement
Sebagian teroris atau Bjorgo, radikalis melakukan 2009 disengagement tanpa mengalami deradikalisasi
Meninggalkan kelompok Bjorgo, tidak selalu disebabkan 2009 karena perubahan pandangan atau ideologi
Sumber: Laporan Debat Akademik ”Terorisme Antara Deradikalisasi dan Disengagement”, Oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme Republik Indonesia dan Universitas Indonesia pada 27 Oktober 2011 Hampir senada dengan Horgan, Bjorgo juga mengemukakan ide disengagement dalam upaya penanggulangan terorisme. Berdasarkan asumsi
Universitas Indonesia
Disengagement strategi..., Fakhri Usmita, FISIP UI, 2012
32
bahwa seseorang individu sebenarnya tidak mau melakukan tindakan teror, namun dia mau melakukan tindakan tersebut setelah dia bergabung dengan kelompok garis keras. Maka konsekuensinya, menurut Bjorgo (seperti dikutip Fink dan Hearne, 2008, 3; Noricks dalam Davis dan Cronin 2009, 302) orang itu harus ditarik keluar dari sosialnya. Dan untuk menarik keluar seseorang dari kelompok sosialnya memerlukan faktor ”pendorong” dan ”penarik” yang berpengaruh pada keputusan untuk keluar dari kelompoknya. Faktor pendorong adalah faktor adanya pengaruh negatif atau kekuatan sosial yang menyebabkan tidak lagi menarik jika terus tetap berada dalam kelompok atau menjadi bagian dari organisasi (Noricks dalam Davis dan Cronin, 2009, 302). Adapun faktor penarik adalah adanya peluang atau kekuatan sosial yang menarik perhatian seseorang karena merupakan alternatif yang lebih menjanjikan. Secara sederhana faktor ”penarik” dan ”pendorong” dapat dilihat pada tabel 6: Tabel 6. Faktor Penarik dan Pendorong Disengagement Pendorong Keadaan yang tidak menyenangkan atau tekanan sosial yang membuat tidak lagi menyenangkan untuk tetap berada dalam kelompok teroris Adanya pertentangan (oposisi) dalam kelompok Perubahan cara pandang orang yang membawanya bergabung dalam kelompok teroris Ancaman hukuman baik dari negara maupun kelompoknya Munculnya empati terhadap sesama manusia (terutama kepada korban) Tujuan perjuangan kelompok yang tidak pernah tercapai Kecewa terhadap kepemimpinan kelompok Tidak ingin lagi hidup dalam persembunyian (terkucilkan) Ideologi kelompok tidak lagi bersesuaian dengan dirinya Sumber: diadaptasi dari Fink dan Hearne
Penarik Adanya peluang ekonomi yang lebih menjanjikan Keinginan untuk hidup ”normal” seperti membangun rumah tangga Tekanan dari keluarga atau teman dekat Keinginan untuk memperoleh pekerjaan atau pendidikan yang menjanjikan sosioekonomi yang lebih baik Adanya perubahan prioritas Adanya jaminan keamanan Adanya ideologi atau keyakinan baru atau yang lebih menarik
(2008); Noricks (dalam Davis dan
Cronin,2009, 303)
Universitas Indonesia
Disengagement strategi..., Fakhri Usmita, FISIP UI, 2012
33
Noricks dalam Davis dan Cronin (2009, 301) mengutip hasil penelitian Garfinkel’s (2007) yang menyimpulkan bahwa deradikalisasi lebih mengarah pada pengalaman spiritual seseorang, dan trauma atau pengalaman terhadap sesuatu yang tidak diharapkan telah menyebabkan seseorang untuk pindah dari melakukan kekerasan ke tidak lagi melakukan kekerasan. Adanya trauma ini, oleh Rabasa disebut sebagai faktor pendorong seseorang untuk tidak lagi melakukan tindak teror atau meninggalkan kelompoknya (Rabasa et.al, 2010, 11). Selain deradikalisasi dan disengagement, kebijakan inkapasitasi juga diterapkan kepada para pelaku teroris yang tertangkap. Ide penerapan inkapasitasi sebagai upaya penanggulangan terorisme didasari oleh pemikiran bahwa seseorang pelaku tidak dapat melakukan aksinya jika dia dipenjara (Gottfredson dan Gottfredson 1985, 136), memandang tindakan teroris sebagaimana kejahatan jenis lainnya (Harvard Law Review 2002, 1226), dan program ini memberikan peluang perluasan peran intelijen maupun militer dalam upaya penegakan hukum (Harvard Law Review 2002, 1226). Penggunaan inkapasitasi ini seperti yang dilakukan oleh pemerintah Amerika Serikat dalam penanggulangan teroris. Noricks dalam Davis dan Cragin (2009, 300) mengutip Horgan yang menggarisbawahi fakta dalam perspektif counterterrorism, bahwa disengagement lebih
penting
dibanding
deradikalisasi.
Walau
deradikalisasi
maupun
disengagement dapat diupayakan selama mereka menjalani masa hukuman di lapas, namun terdapat perbedaan mendasar dengan inkapasitasi di sini, yaitu terletak pada cara memandang terpidana teroris, dimana tidak membedakan pelaku teror dengan pelaku kejahatan jenis lainnya. Tentu hal ini juga terkait dengan perlakuan yang akan diberikan nantinya.
2.4. Alur Pikir Teror, teroris, dan terorisme telah membawa permasalahan sosial tersendiri bagi Indonesia, selain menimbulkan korban harta, benda, bahkan jiwa, hingga menganggu hubungan antar kelompok masyarakat. Tentu saja hal ini mendatangkan reaksi sosial berupa upaya anti teror maupun counter terrorism. Adapun bentuk dari counter terrorism antara lain adalah deradikalisasi dan
Universitas Indonesia
Disengagement strategi..., Fakhri Usmita, FISIP UI, 2012
34
disengagement. Walau terkadang disengagement dianggap sama dengan deradikalisasi,
namun
sebenarnya
merupakan
dua
hal
yang
berbeda.
Deradikalisasi dititikberatkan pada wilayah kognitif ataupun pemikiran seseorang, sedangkan disengagement pada wilayah perilaku atau materi dalam arti luas. Dengan menimbang segala potensi baik pendukung maupun penghambatnya, maka kemudian diharapkan adanya masukan alternatif pemikiran berupa strategi penanggulangan teror, teroris, dan terorisme yang diproyeksikan dapat lebih efektif dan efesien menimbang kekhasan yang dimiliki dan dihadapi Indonesia.
Teror, Teroris, Terorisme
Anti Teror dan Counter Terrorism
Deradikalisasi
Disengagement
Strategi
Gambar 1. Alur Pikir
Universitas Indonesia
Disengagement strategi..., Fakhri Usmita, FISIP UI, 2012
BAB 3 METODE PENELITIAN
3.1. Pendekatan Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pendapat beberapa tokoh tentang kemungkinan penerapan disengagement sebagai strategi penanggulangan terorisme di Indonesia, dan apa hambatan penerapannya. Penelitian tentang terorisme memiliki banyak asumsi dasar. Sebagian peneliti menempatkan teroris sebagai psikotik, ada juga peneliti yang melihatnya sebagai akibat dari rasa fanatik ataupun narsis yang berlebihan, namun peneliti lain melihatnya sebagai suatu pilihan yang sangat rasional dari si individu dengan penggunaan perencanaan yang sangat baik, tidak hanya dilengkapi persenjataan modern, melainkan melibatkan ideologi dan informasi yang cukup tentang objek aksinya (Crenshaw 2000, 407; Margolin 1977, 271). Menurut Margolin, kesemua asumsi tersebut dapat valid untuk semua penelitian atau hanya dapat valid pada satu waktu tertentu. Namun yang jelas (menurut Margolin, 1977, 271), harus diasumsikan bahwa teroris adalah manusia, dengan segala sisi kemanusiaannya. Terlepas apakah rasional atau irasional, pelaku teror seperti halnya kita semua, sama dalam aturan atau hukum perilaku (law of behavior). Crenshaw mencatat setidaknya terdapat tiga fase perkembangan lingkup utama penelitian tentang terorisme, yaitu: fase pertama lebih difokuskan pada pendefinisian perbuatan teror. Kedua, walau masih belum selesai dengan pendefinisian, penelitian mulai berkembang pada ragam-ragam aktifitas teroris; dan fase ketiga, penelitian telah lebih difokuskan pada upaya penemuan strategi atau kebijakan penanggulangan terorisme. Menurut Crenshaw, studi tentang terorisme telah ada sejak awal tahun 1970an. Pada fase awal ini umumnya peneliti berusaha menyusun definisi konsep dari terorisme, mengumpulkan data empiris, dan membangun teori integratif. Umumnya definisi yang diberikan belum secara jelas membedakan terorisme dengan fenomena kejahatan jenis lainnya. Pada fase ini, terorisme didefinisikan sebagai suatu perbuatan ilegal, bukan sebagai penggambaran dari bihavioral.
35 Universitas Indonesia
Disengagement strategi..., Fakhri Usmita, FISIP UI, 2012
36
Teror umumnya ditujukan kepada simbol-simbol tertentu, sebagai bagian dari aktifitas militer gerilya, dilakukan untuk mengintimidasi pihak lain. Pada fase ini, peneliti telah meneliti keterlibatan negara atau pemerintah dalam suatu tindakan teror. Di penghujung fase ini, mulai muncul tema-tema ideologi revolusi, dan anti imperialisme (Crenshaw 2000, 406). Pada fase kedua, telah ada peneliti yang menggunakan pendekatan psikologi. Pada era ini, peneliti melihat adanya perbedaan antara pelaku teror dengan masyarakat secara umum, dan menganggap pelaku teror sebagai ”tidak normal” seperti temuan Silke (1990) ataupun Pearlstein (1991). Crenshaw mengutip kesimpulan Pearlstein, bahwa pelaku yang terlibat dalam gerakan teroris politik (political terrorist) umumnya dibentuk oleh gangguan kepribadian narsistik (Crenshaw 2000, 407). Pada masa ini menurut Crenshaw, beberapa peneliti melihat adanya pengaruh perbedaan gender terkait keterlibatan pelaku dalam aktifitas kelompok teroris, seperti penelitian Pearlstein (1991) ataupun Steinhoff (1996). Fase ketiga ditandai mulai adanya perbedaan pendapat antara peneliti tentang mengaitkan perilaku teroris dengan faktor keperibadian pelaku. Menurut sebagian mereka, bahwa pelaku teroris ”sakit” secara psikologi. Sementara peneliti lain beranggapan bahwa tindakan teroris adalah suatu yang rasional, dan tidak lagi memandang perbedaan gender secara signifikan. Pada fase ketiga ini, telah ada peneliti yang lebih fokus pada penyebaran ideologi dan solidaritas kelompok dibanding karakteristik individu pelaku. Penelitian lainnya telah mengarah pada upaya penanggulangan terorisme dengan tidak lagi menggunakan pendekatan hukum atau intelijen. Umumnya studi lebih difokuskan pada penyusunan kebijakan berdasarkan kemungkinan resiko yang ditimbulkan. Namun secara umum, para peneliti telah menerima pendekatan psikologis untuk menjelaskan fenomena terorisme, dengan menggunakan beberapa tingkatan analisis tentang keterkaitan antara individu dengan kelompoknya, dan individu dengan masyarakat lingkungannya (Crenshaw, 2000, 406).
Universitas Indonesia
Disengagement strategi..., Fakhri Usmita, FISIP UI, 2012
37
Sedangkan dalam lingkup kriminologi, menurut Nitibaskara (2006, 97), secara garis besar yang menjadi fokus studi kriminologis tentang teroris meliputi faktor-faktor: 1. Pelaku terorisme. 2. Motif-motif dilakukannya terorisme. 3. Kausa-kausa di balik motif yang mendorong munculnya terorisme. 4. Ruang lingkup jangkauan teror dan modus operandi. 5. Korban dan simbolisasi sasaran. 6. Reaksi sosial, pemerintah dan dunia internasional. 7. Upaya-upaya penanggulangan terorisme. 8. Ketentuan hukum. Dalam hal ini penulis akan memfokuskan pada pendapat beberapa tokoh tentang kemungkinan penerapan disengagement
sebagai strategi penanggulangan
terorisme di Indonesia. Untuk mengetahui pendapat beberapa tokoh tentang penanggulangan terorisme di Indonesia, maka digunakan pendekatan kualitatif yang terdiri dari beberapa tahapan utama, yaitu pengumpulan data baik sekunder maupun primer, pemilihan narasumber, dan analisa data.
3.2. Pengumpulan Data Penelitian ini dilakukan dengan beberapa tahap. Pertama, pengumpulan informasi awal berupa data sekunder melalui tinjauan literatur. Tahap selanjutnya melakukan wawancara mendalam guna memperoleh data primer kepada beberapa tokoh. Adapun tahapan pengumpulan data dalam penelitian ini seperti tampak pada tabel 7. Pada tabel 7 terlihat bahwa pengumpulan data sekunder tinjauan tekstual terhadap konteks dari penelitian, yang diperoleh dati buku-buku, jurnal penelitian maupun artikel internet. Pengumpulan data sekunder ini terutama ingin melihat pengalaman penerapan disengagement dalam penanggulangan terorisme di beberapa negara. Selanjutnya dilakukan wawancara mendalam kepada pihak-pihak yang dianggap memahami upaya-upaya penanggulangan terorisme mengenai pendapat
Universitas Indonesia
Disengagement strategi..., Fakhri Usmita, FISIP UI, 2012
38
mereka tentang kemungkinan penerapan disengagement sebagai strategi counterterrorism di Indonesia. Tabel 7. Tahapan Pengumpulan Data Sumber Penelitian Target Data 1. Literatur - Penerapan disengagement di berbagai negara - Penanggulangan terorisme di Indonesia 2. Pihak - Kendala dan Peluang Berkompeten penerapan disengagement
Instrumen Sumber Analisis isi, berupa - Buku teks, tinjauan tekstual - Jurnal/hasil terkait konseptual penelitian, penelitian - artikel internet -
Wawancara mendalam
- Pejabat Densus 88 - Peneliti terorisme - Tokoh Agama - Anggota DPR RI
Untuk itu, memerlukan alat penelitian berupa:
Pedoman wawancara, disusun berdasarkan penelusuran literatur terutama tentang studi disengagement terkait penanggulangan terorisme. Pedoman wawancara digunakan dalam wawancara mendalam kepada mereka yang berkompeten ataupun memberi perhatian kepada upaya penanggulangan terorisme di Indonesia. Pertanyaan dapat berkembang sesuai pernyataan yang diberikan oleh narasumber. Pada saat penelitian, wawancara direkam dengan menggunakan alat perekam (voice recorder), dan dicatata dalam catatan penelitian. Catatan penelitian berisi pernyataan-pernyataan khusus dari narasumber.
Catatan lapangan, yaitu catatan tentang perkembangan penelitian yang ditemui pada saat penelitian.
3.3. Narasumber Narasumber dipilih berdasarkan pernyataan atau pendapat mereka yang terdapat di media masa terkait dengan konsep yang akan diteliti. Selain itu, narasumber juga dipilih berdasarkan rekomendasi narasumber sebelumnya (snawball interview). Narasumber pada penelitian ini adalah mereka yang memiliki intens menyampaikan ide-ide dalam upaya penanggulangan terorisme di Indonesia. Pemilihan narasumber berasal dari kalangan pejabat yang berwenang, maupun tokoh agama yang sering dilibatkan dalam upaya penanggulangan perkembangan terorisme di Indonesia. Diasumsikan mereka telah memiliki
Universitas Indonesia
Disengagement strategi..., Fakhri Usmita, FISIP UI, 2012
39
kompetensi dan memahami genologi terorisme di Indonesia, sehingga diharapkan dapat memberikan pemikiran terhadap penanggulangan terorisme di masa datang. Sebagian besar narasumber dalam penelitian ini merupakan pemikirpemikir yang fokus kepada permasalahan-permasalahan sosial terutama yang timbul akibat dari tindakan teroris, memiliki pengalaman pribadi dalam berinteraksi dengan terorisme, ataupun memiliki kapasitas formal dalam melihat permasalahan terorisme secara nasional. Sebelum melakukan wawancara, penulis menyampaikan uraian singkat tentang tujuan penelitian. Narasumber diberi pertanyaan pokok yang relatif sama guna melihat benang merah dari pemikiran yang berkembang, namun pertanyaan-pertanyaan tersebut kemudian berbeda satusama lain sesuai dengan pernyataan-pernyataan yang narasumber berikan. 3.3.1. Prof. Dr. Muhammad Baharun, SH., MA Merupakan salah satu ahli tentang pemikiran Islam. Sejak tahun 2009 hingga sekarang menjabat rektor Universitas Nasional PASIM Bandung. Saat ini beliau menjadi salah seorang Pengurus Majelis Ulama Indonesia. Beliau sering menjadi pembicara ataupun narasumber dalam Training of Trainer tentang penanggulangan terorisme atau kekerasan berbasis agama. Pemikiran-pemikiran beliau tentang dinamika pemikiran dan kelompok Islam di Indonesia banyak tertuang dalam berbagai artikel maupun buku. Beliau juga menjadi pembicara di LEMHANAS. Tanya-jawab kepada narasumber dilakukan melalui surat elektronik (email). Hal ini penulis lakukan atas saran dari narasumber mengingat padatnya agenda kegiatan beliau.
3.3.2. K.H. Hasyim Muzadi Beliau pernah menjadi Ketua Umum Nahdlatul Ulama, dan pernah menjadi kandidat wakil presiden berpasangan dengan Megawati pada Pemillu 2004. Beliau sering menjadi narasumber diskusi maupun wawancara tentang tema-tema Islam dan Pluralisme. Beliau juga dikenal sebagai tokoh NU yang moderat. Saat ini menjabat sebagai presiden World Conference on Religions for Peace (WCRP), dan Sekretaris Jenderal International Conference for Islamic Scholars Universitas Indonesia
Disengagement strategi..., Fakhri Usmita, FISIP UI, 2012
40
Tanya jawab dilakukan di rumah kediaman narasumber di kompleks pesantren Al Hikam, Keluruhan Kukusan, Kotamadya Depok, Jawa Barat. Wawancara dilakukan pada 26 Mei 2012, pukul 19.00 WIB, yang sebelumnya telah diagendakan oleh menantu beliau, Arif Zamhari.
3.3.3. AKBP. H. M. Zarkasih Beliau adalah salah seorang anggota POLRI yang telah terlibat dalam penanggulangan terorisme sejak dibentuknya DENSUS 88. Beliau juga merupakan anggota ”Tim Kecil” Densus 88, suatu tim yang bertugas melakukan pemeriksaan kepada anggota kelompok teroris yang baru tertangkap. Selain melalui wawancara langsung, beberapa tanya-jawab dilakukan melaui e-mail. Wawancara dilakukan di Gedung TNCC Mabes POLRI pada Senin 28 Mei 2012 pukul 09.00 WIB. Sebelum wawancara, terlebih dahulu dilakukan komunikasi dengan narasumber melalui layanan pesan singkat, telepon, dan surat elektonik (e-mail). Sebelum wawancara, penulis mengirimkan bio data, dan pedoman wawancara melalui e-mail.
3.3.4. K.H. Ahmad Syafii Mufid, MA, APU Selain sebagai ahli peneliti utama di Lembaga Penelitian dan Pengembangan Departemen Agama Republik Indonesia, beliau juga sebagai salah seorang Pengurus MUI DKI Jakarta. Saat ini juga sebagai Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) DKI Jakarta dan Direktur INSEP (Indonesian Institute For Society Empowerment), yaitu suatu lembaga non pemerintah
yang
memiliki
konsentrasi
pada
peningkatan
kemampuan
(empowerment) masyarakat. Beliau juga aktif sebagai ketua di Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian (LaKIP). Melalui INSEP, beliau berkonstribusi dalam penelitian-penelitian ataupun kerja nyata dalam upaya ”memutus-ikatan” anggotaanggota kelompok ekstrimis radikal yang ada di Indonesia. Wawancara dilakukan di kantor Forum Komunikasi Umat Beragama (FKUB) DKI Jakarta, Jl Suryo Pranoto No 8 Lt 9. Jakarta Pusat, pada Kamis 7 Juni 2012, Pukul 13.00. Wawancara dengan narasumber berdasarkan rekomendasi H. M. Zarkasih.
Universitas Indonesia
Disengagement strategi..., Fakhri Usmita, FISIP UI, 2012
41
3.3.5. H. Muhammad Nasir Djamil, SAg Beliau adalah wakil ketua Komisi III DPR RI Periode 2009-2014 dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera Daerah Pemilihan Aceh I dengan Nomor Anggota A-44, ini merupakan periode kedua beliau menjabat sebagai anggota dewan. Beliau penulis jadikan narasumber atas saran dari Ketua Komisi I DPR RI, Drs. Mahfudz Siddiq yang sebelumnya penulis temui. Adapun mitra kerja dari Komisi III DPR RI adalah: Kementerian Hukum dan Hak Azasi Manusia; Kejaksaan Agung; Kepolisian Negara Republik Indonesia; Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK); Komisi Nasional HAM (KOMNAS HAM); Setjen Mahkamah Agung; Setjen Mahkamah Konstitusi; Setjen MPR; Setjen DPD; Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK); Komisi Yudisial; Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban; Badan Narkotika Nasional (BNN); dan Badan Nasional Penanggulan Terorisme. Wawancara dilakukan di Ruang Makan Komisi III DPR RI pada Senin, 11 Juni 2012 Pukul 10.15 WIB. Wawancara kepada narasumber berdasarkan rekomendasi Ketua Komisi I DPR RI, Drs. Mahfudz Siddiq, M.Si.
3.3.6. Ahmad Yani, SH., MH Beliau saat ini sebagai anggota Komisi III DPR RI. Politisi Partai Persatuan Pembangunan sebelumnya pernah sebagai advokat dan dosen pada Universitas Nasional dan Univeritas Islam Atthariyah. Wawancara dilakukan di Ruang Kerja narasumber di Gedung Nusantara I DPR RI pada Selasa, 12 Juni 2012 Pukul 10.15 WIB.
3.3.7. Prof. Dr. Sarlito Wirawan Sarwono Merupakan Guru Besar Psikologi yang mendalami bidang Psikologi Sosial. Menjabat sebagai Ketua Program Studi Ilmu Kepolisian Universitas Indonesia (2007-2012). Sejak tahun 2001 aktif melakukan penelitian terkait counter-terrorism dan sebagai salah seorang penasehat BNPT. Wawancara dilakukan pada hari Rabu, 13 Juni 2012, 15.00-15.45 WIB di Gedung H Lantai 2 Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, Depok. Wawancara
Universitas Indonesia
Disengagement strategi..., Fakhri Usmita, FISIP UI, 2012
42
terhadap narasumber berdasarkan rekomendasi K.H. Ahmad Syafii Mufid, MA, APU.
3.3.8. Al Chaidar Merupakan staf pengajar di Universitas Malukussaleh, Loksemawe, Aceh. Pernah mengeluarkan beberapa buku terkait perjuangan dan pemikiran Islam, beliau juga sebagai peneliti dan pengamat terorisme, sering diminta tanggapan tentang peristiwa-peristiwa teror. Hal ini selain karena beliau adalah seorang peneliti, juga tidak terlepas dari latar belakang beliau yang pernah menjabat sebagai Bupati Bekasi NII KW (Komandemen Wilayah) 9 hingga tahun 1996 dan telah menyatakan keluar dari NII KW 9 dibawah Komandan Tertinggi (KT) Panji Gumilang. DI atau NII diproklamirkan pada 7 Agustus 1949 di Cisampak, Kabupaten Tasikmalaya (Solahudin, 2011, 65). NII dianggap sebagai cikal bakal munculnya aksi teroris di Indonesia. Hal ini terkait keberadaan pendiri JI seperti Abdulah Sungkar dan Abu Bakar Ba’asyir merupakan mantan petinggi NII. Beliau juga pernah memiliki pengalaman dalam kehidupan keseharian kelompok DI di Malaysia, Mindanau, dan Thailan. Sebelum melakukan wawancara, komunikasi telah dibangun pada beberapa kesempatan pertemuan dimana beliau menjadi pembicara, serta melalui layanan pesan singkat. Wawancara dilakukan pada hari Kamis, 14 Juni 2012 pukul 14.00 WIB di Perpustakaan Pusat Universitas Indonesia, Depok.
3.4. Analisa
Data literatur dilakukan dengan menganalisa isi artikel yang terkait dengan penelitian ini.
Analisa dilakukan terhadap pendapat beberapa tokoh tentang kemungkinan penerapan disengagement di Indonesia. Hasil wawancara dalam bentuk transkrip wawancara selanjutnya diinterpretasikan dengan menelaah informasi dan data yang telah diperoleh, baik melalui literatur, wawancara, maupun catatan lapangan. Setelah dibaca, ditelaah dan dipelajari seluruh informasi atau data, kemudian dirangkum dalam bentuk kategorisasi sesuai masalah dan tujuan penelitian. Selanjutnya kategori-kategori yang telah diklasifikasikan
Universitas Indonesia
Disengagement strategi..., Fakhri Usmita, FISIP UI, 2012
43
kemudian dikonstruksikan dengan rujukan teori yang digunakan hingga memungkinkan untuk diambil kesimpulan.
3.5. Sistematika Penulisan
Bab Satu; Pendahuluan. Berisikan gambaran tentang latar belakang permasalahan yang mendasari penelitian ini, kebijakan counter-terrorism, dan penerapan deradikalisasi dalam penanggulangan terorisme di Indonesia.
Bab Dua; Tinjauan Pustaka. Berisikan definisi konsep dan kerangka teori yang akan digunakan untuk menganalisa data.
Bab Tiga; Metode Penelitian. Berisikan langkah-langkah yang akan dilakukan guna memperoleh data serta gambaran tentang informan, cara pengumpulan dan analisa data dalam penelitian ini dan sistematika penulisan.
Bab
Empat;
Genealogy
Disengagement.
Bab
ini
menggambarkan
perkembangan atau genealogi dari teori disengagement hingga digunakan dalam upaya penanggulangan terorisme.
Bab Lima; Pengalaman Penanggulangan Terorisme Melalui Disengagement di Beberapa Negara. Bab ini berisikan pengalaman pelaksanaan disengagement dalam penanggulangan terorisme di beberapa negara, baik keberhasilan, hambatan dan instrumen pelaksananya.
Bab Enam; Hasil Wawancara. Berisikan beberapa catatan lapangan dan hasil wawancara yang telah dilakukan.
Bab Tujuh; Pembahasan. Pada bab ini, data-data yang tersaji pada bab lima dan bab enam akan diterangkan dengan teori yang terdapat pada bab dua berkaitan dengan kemungkinan dan kendala penerapan disengagement sebagai upaya penanggulangan terorisme di Indonesia.
Bab Delapan; Kesimpulan dan Saran. Bab ini berisikan kesimpulan dan rekomendasi terkait wacana penerapan disengagement dalam
upaya
penanggulangan terorisme di Indonesia.
Universitas Indonesia
Disengagement strategi..., Fakhri Usmita, FISIP UI, 2012
BAB 4 GENEALOGY KONSEP DISENGAGEMENT SEBAGAI UPAYA PENANGGULANGAN TERORISME
Menurut Hochschild (1975, 553), teori disengagement pertama kali dikemukakan Cumming et. al tahun 1960 dalam bunga rampai ”Growing Old”. Konsep ini terdapat dalam artikel Elaine Cumming dan William Henry yang menggunakan pendekatan psikologis guna menjelaskan fenomena seseorang menjadi ”penyendiri”, terpisah dari lingkungan atau kelompok sosialnya. Cumming dan Henry menyusun teori tentang perilaku individu ini berdasarkan asumsi adanya hubungan saling mempengaruhi antara individu dengan
sosialnya,
ataupun
sebaliknya.
Selanjutnya
mereka
kemudian
menggambarkan ”memutusikatan” seseorang dari lingkungannya (desosialisi) terjadi seiring bertambahnya umur. Dengan konsep utama mereka ”culture-free” dari yang sebelumnya ”culture-bound” (Hochschild, 1975, 555). Sistem sosial akan mencapai keseimbangannya kembali setelah melepaskan beberapa peran sosial, dimana hal ini ditandai dengan perubahan sejumlah kebiasaan seseorang yang terkait dengan pengurangan jumlah orang-orang yang terus berinteraksi dengannya (Mercer dan Butler 1967, 89), dimana seseorang itu berperan dalam memposisikan dirinya dengan lingkungan sosialnya (Cumming et.al. 1960, 23). Merujuk faktor pertambahan usia yang dikemukakan oleh Cumming dan Henry, beberapa peneliti lain kemudian mengkaitkan isu pertambahan usia dengan isu-isu lain yang mempengaruhi keterikatan seseorang dengan lingkungan atau komunitas sosialnya. Yaitu antara lain: struktur keluarga, dan kesediaan untuk terlibat dengan dunia sekitarnya (Mercer dan Butler 1967, 90), tingkat depresi dan ini dipengaruhi oleh pengalaman keagamaan (Roozen 1980, 428). Mercer dan Butler (1967) menggunakan konsep disengagement dalam meneliti tentang tingkat partisipasi kelompok umur terhadap kegiatan politik. Sedangkan Roozen (1980) dengan menggunakan konsep yang sama meneliti pada orang-orang dewasa yang semula bergabung dan aktif dalam kegiatan ibadah
44 Universitas Indonesia
Disengagement strategi..., Fakhri Usmita, FISIP UI, 2012
45
keagamaan, namun seiring bertambahnya usia mereka mulai menarik diri dari kegiatan keagamaan yang sebelumnya mereka aktif di dalamnya. Perkembangan selanjutnya,
dengan tetap melihat pada ”perilaku
seseorang” terkait dengan cultural bounding, Albert Bandura mengemukakan ide moral disengagement untuk menjelaskan seseorang yang melakukan perbuatan tercela. Bandura dalam Reich mengatakan bahwa penerapan sanksi-diri menjadi kontrol utama dalam aturan nilai dari kemanusiaan. Tentu saja, menurutnya, sosialisasi, standar moral yang menjadi pengarah dan pembatas bagi nilai tersebut. Ketika kontrol diri telah dibangun, seseorang mengatur tindakannya dengan menerapkan sanksi terhadap dirinya sendiri. Orang tersebut akan melakukan sesuatu yang dia pikir akan memberikan kepuasan dan rasa harga diri. Dia akan menahan diri untuk tidak melanggar standar moral itu karena hal ini akan membawanya pada rasa bersalah (menyalahkan diri sendiri). Sanksi diri ini akan menjadikan nilai-nilai yang berjalan sesuai aturannya dengan standar internal yang ada tersebut (Bandura dalam Reich 1990, 161). Dengan konsepnya ini Bandura menjelaskan bagaimana seseorang yang sebelumnya dikenal sebagai orang yang ”religius”, mencela perbuatan kekerasan, kemudian dapat berubah menjadi ”mesin pembunuh” yang efektif, melakukan tindak kekejaman dengan tanpa merasa bersalah bahkan dengan penuh kebanggaan (Bandura dalam Reich 1990, 161). Dijelaskan Bandura, seseorang dapat
dirubah
menjadi
”mesin
pembunuh”
bukan
dengan
mengubah
kepribadiannya, membawanya menjadi agresif, ataupun standar moral yang dianutnya, melainkan restrukturisasi kognitif nilai-nilai moral dari ”membunuh” itu, sehingga si pelaku tidak menyalahkan dirinya. Dia (si pelaku) kemudian menganggap dirinya sebagai pejuang pembebasan dari penindasan, melindungi nilai-nilai hidup, menjaga perdamaian dunia, melindungi nilai-nilai kemanusiaan, dan kehormatan dari bangsanya (Bandura dalam Reich 1990, 161). Menurut Bandura (1990) seperti dikutip Crenshaw, bahwa sumber prinsipil dari tindakan destruktif seseorang karena adanya dorongan yang tak terkendali. Konsekuensinya, Bandura membuktikan proses psikologis pada diri seseorang dapat di disengage dalam mekanisme regulasi internal untuk mengendalikan kekerasan (Crenshaw 2000, 409-410). Bandura mengidentifiksai
Universitas Indonesia
Disengagement strategi..., Fakhri Usmita, FISIP UI, 2012
46
tiga poin penting yang membangun proses self-regulatory: ”when reprehensible conduct can be reconstrued as justifiable, its detrimental effects minimized or distorted, and the victim blamed or devalued. In terms of causal agency, he also noted a tendency to displace responsibility onto the enemy or diffuse it within the group” (Crenshaw, 2000, 410). Kemudian pemikiran ini lebih dikembangkan oleh Bandura (1999) dan juga digunakan dalam menjelaskan ”perilaku seseorang” teroris. Menurut Bandura, terdapat enam proses penyebab terjadinya moral disengagement: (1) Euphemistic labeling, adalah penggunaan teknik berbahasa untuk melegitimasi suatu perbuatan sehingga tidak bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan. (2) Distortion and minimization of consequences, ”memperdebatkan” bahwa kerusakan yang dihasilkan sangat kecil bila dibandingkan dengan penderitaan atau ketidakadilan yang mereka terima. (3) Moral justification diamana kekerasan kemudian dirasionalisasikan sebagai kewajiban atas penindasan terhadap nilainilai moral. (4) Diffusion and displacement of responsibility, dimana kekerasan yang dilakukan sebagian bagian dari upaya menolong sesama. (5) Penggunaan kekerasan dianggap lebih menguntungkan bila dibanding melalui jalan damai. (6) Dehumanization and victim-blaming, menganggap sasarannya bukan sebagai manusia dan menyalahkan korban (McAlister 2001, 88). Masih dalam pendekatan perilaku guna menjelaskan perilaku teroris, Tore Bjorgo dan John Horgan juga mengemukakan konsep disengagement. Berbeda dengan Bandura yang menjelaskan bagaimana seseorang itu mau melakukan kekerasan atau perbuatan tercela, Bjorgo maupun Horgan lebih pada upaya alasan seseorang untuk tidak lagi melakukan kekerasan. Menariknya, Bjorgo dan Horgan masing-masing memiliki konsep tersendiri terhadap penerapan disengagement, namun pada kesempatan lainnya mereka bekerjasama sebagai editor pada buku ”Leaving Terrorism Behind, Individual and Collective Disengagement”. Disengagement yang dikemukakan oleh Horgan difokuskan pada bagaimana individu tersebut keluar dari kelompoknya atau tidak lagi memilih melakukan kekerasan sebagai jalan mencapai tujuannya. Lebih lanjut Horgan membagi ranah disengagement menjadi: disengagement secara psikologis dan disengagement secara fisikis. Bagi Horgan, pendekatan psikologis menjadi jalan
Universitas Indonesia
Disengagement strategi..., Fakhri Usmita, FISIP UI, 2012
47
masuk bagi keberhasilan disengagement secara fisikis. Horgan mengidentifikasi faktor-faktor yang dapat mempengaruhi disengagement secara psikologi yaitu: 4. Adanya pengaruh negatif akibat dari keberlangsungannya sebagai anggota kelompok, 5. Adanya perubahan prioritas, mereka merasa tidak diterima oleh masyarakat atau negara, suatu yang tidak mereka alami sebelum bergabung dengan kelompoknya, 6. Tumbuhnya rasa ketidakpercayaan terhadap keberhasilan apa yang dicitacitakan bila menggunakan jalan yang selama ini ditempuh (Horgan, 2005; 129). Walau sama-sama mengarah pada teknis penerapan disengagement dalam upaya penanggulangan terorisme, tidak seperti Horgan yang membagi disengagement ke dalam dua tahap, Bjorgo langsung berbicara pada faktor-faktor pendorong dan penarik seseorang untuk keluar dari kelompoknya.
Menurut
Bjorgo, faktor pendorong adalah adanya pengaruh negatif yang menyebabkan adanya persepsi tidak lagi menarik atau tidak lagi nyaman jika terus tetap berada dalam kelompok teroris. Sedangkan faktor penarik adalah adanya peluang atau kekuatan sosial yang atraktif dan mampu menarik perhatian seseorang untuk keluar dari kelompoknya.
Universitas Indonesia
Disengagement strategi..., Fakhri Usmita, FISIP UI, 2012
BAB 5 PENGALAMAN PENANGGULANGAN TERORISME DENGAN STRATEGI DISENGAGEMENT DI BEBERAPA NEGARA
Disadari upaya penanggulangan terorisme tidak hanya dilakukan melalui pendekatan militer, yang tidak jarang bukan menyelesaikan permasalahan, namun bahkan menghasilkan permasalahan baru. Untuk itu beberapa negara berinisiatif menerapkan pendekatan lain sesuai akar permasalahan yang mereka hadapi. Oleh karena itu, pendekatan-pendekatan yang dilakukan oleh negara-negara tersebut memiliki perbedaan satu sama lainnya, disesuaikan dengan karakteristik sumber permasalahan yang mereka hadapi. Namun pada umumnya memiliki kesamaan dalam hal lingkup perlakuan (treat) yang diberikan, yaitu mengupayakan perubahan pola perilaku untuk tidak lagi mendukung atau menggunakan cara-cara kekerasan.
5.1. Inggris Pemerintah Inggris memiliki pengalaman terhadap ancaman teroris, mulai yang berasal dari PIRA (Provinsional Irish Republican Army, 1970an) hingga AlQaeeda. Lambert (2008) menggambarkan penanggulangan terhadap aksi terorisme PIRA di Inggris dengan lebih mengedepankan penegakan hukum dan negosiasi kepada para elitnya, serta mengarahkan mereka untuk terlibat dalam proses politik formal (Horgan, 2005, 123). Pendekatan ini dinilai lebih berhasil dibanding pendekatan militer kepada kelompok tersebut. Kemudian keberhasilan program ini diadaptasi dalam program penanggulangan kelompok Al-Qaeda. Penanggulangan terorisme kelompok Al-Qaeda di Inggris didasari pada temuan bahwa kelompok-kelompok Islam di Inggris (yang kemudian menjadi sumber potensi rekrutmen anggota kelompok Al-Qaeda) sangat terikat dengan aturan keluarga dan umumnya tidak mematuhi pada aturan pemerintah konvensional. Dari temuan ini kemudian disusun suatu program yang dikhususkan guna menanggulangi permasalahan teror yang disebabkan oleh kelompok ini. Program ini diterapkan sejak 2007 dengan menempatkan polisi lokal (polisi setempat) dan komunitas Muslim sebagai ujung tombak program ini. 48 Universitas Indonesia
Disengagement strategi..., Fakhri Usmita, FISIP UI, 2012
49
Program ini menuntut adanya kerjasama antara unit kepolisian lokal tersebut dengan komunitas Muslim. Polisi lokal ini merupakan unit kecil (umumnya terdiri dari delapan personil petugas) dengan keahlian khusus terutama dalam hal negosiasi.
Sedangkan
komunitas
Muslim
berperan
guna
meminimalisir
recruitment anggota teroris. Menurut Lambert, pelibatan pemuka atau tokoh-tokoh komunitas Muslim dalam menanggkal pengaruh faham yang disebarkan Al-Qaeda memberikan dampak tersendiri, dimana kemudian banyak para pengikut tokoh komunitas tersebut menjaga jarak dengan kelompok atau mereka yang terkait dengan jaringan Al-Qaeda. Dampak ini yang kemudian oleh Lambert disebut “passive disengagement”(Lambert, 2008, 33). Program ini dilakukan dalam dua tahap. Pertama, pihak kepolisian melakukan pendekatan negosiasi dan menjalin kerjasama dengan pemimpin kelompok Muslim untuk membawa atau mengarahkan kelompok mereka dari bersifat subversif menjadi kelompok yang lebih demokratis, yaitu mau menempuh jalur politik formal; selanjutnya pemimpin kelompok ini melakukan negosiasi kepada para pemuda Muslim (anggota kelompok mereka) untuk ditarik atau dijauhkan dari kelompok Al-Qaeda. Dan bagi mereka yang tidak berhasil ditarik atau dijauhkan dari aktifitas kelompok teroris, maka para pemimpin komunitas agama tersebut akan melaporkannya kepada pihak berwenang. Program ini cukup berhasil dalam menekan tingkat rekrutmen anggota teroris, terutama pada kelompok-kelompok atau komunitas kecil (marginal), pada kasus individu yang tidak berdampak luas, dan pada kelompok yang memiliki kecenderungan pemikiran yang jelas (Lambert, 2008, 31). Pengalaman “membawa” tokoh-tokoh radikal ke dalam proses politik formal di Inggris telah berhasil mengubah perilaku dan sikap banyak tokoh-tokoh tersebut, terutama ketika mereka telah menjabat sebagai anggota senat atau parlemen. Hal ini seperti digambarkan dalam penelitian Searing (1986, 341), menurutnya kebijakan sosio-ekonomi di parlemen telah membawa perubahan sikap mereka (para tokoh-tokoh radikal) menjadi lebih moderat dibanding anggota partai mereka lainnya (yang masih radikal).
Universitas Indonesia
Disengagement strategi..., Fakhri Usmita, FISIP UI, 2012
50
Lambert mengutip Oliver (2007) dan Manningham-Buller (2006) yang mengatakan bahwa program ini lebih berhasil dibanding program pengawasan sepanjang waktu oleh petugas counterterrorism seperti mengganggu aktifitas kelompok radikal, atau memberi tawaran yang menarik bagi mata-mata Al-Qaeda dan para pendukungnya (Lambert, 2008, 31). Pada program ini polisi lebih mengedepankan kemampuan negosiasi mereka kepada komunitas-komunitas Muslim yang menjadi tempat potensi bagi rekrutmen anggota teroris dibanding pendekatan hukum (sehingga program ini sering disebut sebagai nonjudgmental approach). Program ini merupakan hasil dari perubahan cara pandang (terutama pihak yang berwenang), dimana sebelum peristiwa 9/11 komunitas Muslim sering terabaikan. Namun setelah peristiwa 9/11, perhatian mulai diberikan kepada komunitas Muslim. Dimana di dalam kepolisian kemudian dibentuk Muslim Contact Unit (MCU), yaitu unit khusus, umumnya terdiri dari maksimal delapan orang petugas kepolisian (berlatar Muslim dan non Muslim) di bawah Komando Counter-Terrorism dari Metropolitan Police Service di New Scotland Yard (lihat catatan kaki, Lambert, 2008, 35). Adapun yang menjadi kendala dalam program ini umumnya adalah berasal dari dinamika internasional, terutama ketika Inggris turut terlibat dan mendukung serangan militer ke Iraq, sehingga kembali membangkitkan sentimen negatif dari kalangan komunitas Muslim Inggris kepada pemerintah dan ini menyulitkan upaya negosiasi. Untuk itu, diperlukan suatu upaya membangun kembali kepercayaan komunitas Muslim terhadap proses politik formal di Inggris. Upaya membangun kembali kepercayaan tersebut selain dilakukan oleh beberapa anggota perlemen, juga dilakukan oleh pihak kepolisian (sebagai ujung tombak membangun komunikasi) dengan menunjukkan sikap bersahabat kepada komunitas muslim, termasuk mendukung kampanye “hentikan perang di Iraq” atau “ Justice for Palestine” (Lambert, 2008).
5.2. Eropa Barat Di kawasan Eropa Barat, program disengagement sebagai strategi penanggulangan terorisme pertama kali diterapkan oleh Norwegia, kemudian
Universitas Indonesia
Disengagement strategi..., Fakhri Usmita, FISIP UI, 2012
51
ditiru oleh Swedia dan Jerman. Program ini pertama diterapkan kepada kelompok ekstrimis nasionalis atau “neo-Nazi” yang umumnya beranggotakan para remaja atau pemuda. Fink dan Hearne (2008, 3) mengutip Bjorgo, bahwa para remaja atau pemuda itu menjadi pelaku kekerasan dan memiliki kesetiakawanan yang tinggi antar sesama anggota kelompoknya setelah mereka bergabung dengan kelompok garis keras berhaluan “kiri”. Di Norwegia, lembaga-lembaga swadaya masyarakat yang perduli dengan anak dan remaja telah melatih 700 orang untuk program ini termasuk pihak orang tua dari keluarga yang memiliki anggota keluarga yang terlibat dalam kelompok garis keras. Program ini mengedepankan sinergisitas antara pekerja sosial, ahli terapis, guru, dan penegak hukum. Awalnya, program disengagement di kawasan ini dimunculkan oleh kalangan akademis, pegawai pemerintahan, LSM, dan petugas penegak hukum, pada perkembangan selanjutnya memperoleh dukungan kuat dari pihak keluarga yang ingin menarik keluar anggota keluarga dari kelompok teroris (Fink dan Hearne 2008, 4). Menurut Fink dan Hearne (2008, 5), program ini bertujuan untuk: 1. Membantu dan mendukung pemuda yang ingin keluar dari kelompok ekstrimis; 2. Menyediakan bantuan dan dukungan bagi keluarga aktifis; 3. Memperluas pengetahuan kepada para profesional sehingga dapat membantu dalam menyelesaikan masalah.
Pelibatan orang tua dalam program ini terbukti cukup berhasil, di Norwegia program ini memiliki tingkat keberhasilan hingga 90%, yang mengindikasikan besarnya pengaruh pelibatan para orangtua dalam inisiatif dan mengarahkan (Fink dan Hearne, 2008, 5). Keterlibatan pihak keluarga dalam program disengagement di Norwegia secara signifikan sangat efektif dalam menarik anak-anak mereka dari keterlibatan dengan kelompok ekstrimis. Dalam program ini, para orang tua yang menghadapi permasalahan serupa atas kesadarannya sendiri membentuk suatu komunitas dan saling berbagi informasi antar mereka dan saling mendukung satu sama lain.
Universitas Indonesia
Disengagement strategi..., Fakhri Usmita, FISIP UI, 2012
52
Selain itu, untuk mereka yang memerlukan jaminan keamanan, pemerintah Norwegia dan Swedia menyediakan rumah perlindungan, dengan tingkat keamanan yang sangat tinggi (Fink dan Hearne (2008, 5). Fink dan Hearne (2008, 5) mengutip pendapat Bjorgo, bahwa kunci keberhasilan dari program ini adalah keberhasilan memutus komunikasi antara individu dengan kelompoknya. Menurut Fink dan Hearne, kendala pelaksanaan pada program ini yaitu yang dilaksanakan oleh NGO (terutama di Jerman), dimana umumnya mereka memiliki keterbatasan (baik dana maupun sumberdaya lainnya seperti orangorang yang memiliki keahlian khusus) dalam upaya memantau atau mengawasi mereka-mereka yang telah menjalani program tersebut. Keterbatasan NGO inilah yang kemudian menyebabkan keberhasilan pendekatan disengagement yang dilakukan oleh NGO lebih rendah dibanding yang dilakukan oleh aparat keamanan atupun pihak pemerintah. Sehingga sulit untuk mengetahui secara akurat tentang sejauh mana keberhasilan program ini. Untuk itu, mengutip Bjorgo, Fink dan Hearne menyarankan perlunya integrasi antara agen-agen lokal, seperti polisi di berbagai tingkatan, dengan NGO dalam hal pengambilan inisiatif (Fink dan Hearne, 2008, 5). Fink dan Hearne (2008, 5) mengutip Bjorgo bahwa keberhasilan program penanggulangan kelompok garis keras di Eropa Barat karena adanya integrasi dari petugas setempat seperti polisi, pemerintah kota, dan LSM dalam hal inisiatif. Selanjutnya mereka telah berhasil memutus jalinan komunikasi antara individu dengan kelompoknya, konsekuensi menjauhkan mereka dari bergabung kembali dengan kelompok yang melakukan kekerasan.
5.3. Kolombia Fink dan Hearne (2008, 3) mengutip laporan Marcella Ribetti tentang pelaksanaan program disengagement di Kolombia oleh AUC (Autodefensas Unidas de Columbia atau United Self-defense Forces of Columbia) terhadap para anggota Fuerzas Armadas Revolucionarias de Columbia (FARC). FARC didirikan pada tahun 1964, merupakan perpaduan yang aneh antara tujuan politik dan tujuan kejahatan. Semula FARC adalah sayap militer dari Partai Komunis atau Columbian Comunist Party (Cronin, 2009, 150). FARC memiliki wilayah
Universitas Indonesia
Disengagement strategi..., Fakhri Usmita, FISIP UI, 2012
53
kekuasaan tersendiri, dengan perilaku seperti militer. Mereka terlibat dalam perdagangan narkotika, melakukan penyerangan terhadap instalasi militer, dan lawan-lawan politik mereka, pada tahun 2007 FARC tercatat beranggotakan 12.000 kombatan (Cronin, 2009, 150). Menurut Fink dan Hearne (2008, 5), AUC mengidentifikasi alasan anggota FARC keluar dari kelompoknya, yang dijadikan “pintu masuk” program ini adalah: 1. personal trauma, such as combat experience or the loss of a friend or colleague due to violent ideologies or hatreds; 2. disillusionment with the group’s leadership; 3. stress of staying with the group/exhaustion of illicit lifestyle; 4. desire for a normal “civilian” life, such as through marriage, finding a career, or beginning a family; 5. competing social relationships or pressure by family/friends—especially parents and partners/spouses who may use social relationships to highlight “pull” factors.
Kesemuanya daftar alasan ini seperti dikutip Fink dan Hearne, menjadi fokus para petugas dalam membuka pemikiran dan cara pandang anggota kelompok FARC. Di sini, kekuatan ikatan sosial termasuk kenangan indah sebelum mereka menjadi anggota FARC menjadi sangat berperan. Pada awalnya, program ini ditentang oleh petinggi militer yang merasa “kehilangan muka” bila pemerintah membuka
negosiasi dengan pihak
pemberontak, demikian pula dari kalangan politisi modern yang menginginkan penguatan Negara, reformasi institusi, serta mendorong terwujudnya perdamaian dengan cara mereka (sebagain besar politisi modern). Sebagian besar dari politisi modern tersebut memandang negosiasi dengan pemberontak merupakan bukti melemahnya kekuatan Negara (Whittaker, 2003, 192). Whittaker juga mengutip keprihatinan Antonio Caballero akan program ini, terutama terhadap kebijakan membuka 500.000 lapangan pekerjaan yang diprioritaskan bagi mereka para teroris yang merupakan kelompok minoritas, dan seakan mengenyampingkan kelompok mayoritas, lebih lanjut hal ini akan dapat menimbulkan kecemburuan
Universitas Indonesia
Disengagement strategi..., Fakhri Usmita, FISIP UI, 2012
54
nantinya, yang oleh Caballero disebut “political time bomb” (Whittaker, 2003, 192). Kendala lain datang dari adanya ancaman sanksi atau hukuman dari pemimpin FARC. Hal ini telah menjadi halangan tersendiri bagi setiap anggota kelompok teroris yang ingin meninggalkan kelompoknya. Untuk itu, proses disengagement dilakukan dengan merelokasi mereka yang mau “ditarik keluar” dari kampung halamannya ke kota lain, pemberian insentif ekonomi, menyediakan lapangan pekerjaan, dan mengintegrasikan mereka dengan masyarakat sipil. Dengan kata lain, mereka memulai suatu kehidupan baru (Fink dan Hearne, 2008, 5). Pada pelaksanaannya, yang menyebabkan program ini menjadi kurang efektif adalah karena pengambilan keputusan terkait tempat relokasi bukanlah pilihan bebas dari partisipan (partisipan adalah mereka yang mau mengikuti program ini), melainkan telah ditentukan oleh pemimpin pada level pengambil kebijakan yang ingin merelokasi partisipan dalam jumlah besar (Fink dan Hearne, 2008, 5). Kendala lainnya karena para mantan aktifis tersebut masih saling menjalin komunikasi satu sama lainnya. Selain itu, terutama pada partisipan berusia muda sebagian besar mereka menolak pengikuti program pendidikan ataupun latihan keterampilan kerja, sehingga sebagian besar mereka menganggur dan kemudian mempersulit diri mereka sendiri untuk berintegrasi kembali dengan masyarakat luas (Fink dan Hearne, 2008, 6). Namun secara umum, Ribetti seperti dikutip oleh Fink dan Hearne (2008, 6) menilai disengagement di Kolombia relatif berhasil. Ribetti mengapresiasi inisiatif pemerintah yang memberikan perhatian kepada individu yang berinisiatif meninggalkan kelompoknya sebagai resolusi penyelesaian konflik dengan cara non kekerasan. Dari pengalaman penerapan disengagement di Kolombia, Fink dan Hearne (2008, 6) mencatat kebijakan disengagement secara masal sebaiknya dihindari atau tidak disarankan. Sebaliknya tugas pemerintah menyediakan kebutuhan dasar seperti pendidikan dan lapangan kerja
harus lebih diperhatikan guna
memunculkan inisiatif dari individu yang terlibat kelompok teroris untuk dengan
Universitas Indonesia
Disengagement strategi..., Fakhri Usmita, FISIP UI, 2012
55
kesadarannya keluar dari kelompoknya. Selain itu, yang tidak boleh dilupakan adalah sumberdaya lokal yang mendukung, termasuk kondisi si individu tersebut.
5.4. Kawasan Timur Tengah Beberapa Negara di kawasan ini tidak hanya melakukan pendekatan militer, tetapi telah menerapkan program deradikalisasi, disengagement, ataupun menggabungkan keduanya (deradikalisasi dan disengagement). Hal ini tergambar dalam laporan Fink dan Hearne (2008) yang mencatat penanggulangan terorisme di beberapa negara kawasan Timur Tengah seperti Yaman, Arab Saudi, dan Mesir. Yaman dianggap sebagai pionir penerapan deradikalisasi di kawasan ini, dimana penanggulangan terorisme yang dilakukan oleh pemerintah Yaman sejak tahun 2002 lebih mengedepankan dialog ataupun debat intelektual, dengan tujuan untuk membujuk aktivis garis keras atau mereka yang ditahan atas tuduhan terorisme
meninggalkan
aktivitas
mereka
dengan
memperkenalkan
(mempromosikan) kepada mereka pemahaman Islam yang mendeligitimasi penggunaan kekerasan (Fink dan Hearne, 2008, 6). Berbeda dengan Yaman, Arab Saudi lebih dikenal dengan program deradikalisasi, dengan menggunaan instrumen utama berupa pendekatan “kekuatan”, pendekatan ideology, dan pendekatan uang. Program yang dikenal dengan Prevention, Rehabilitation, and Aftercare (PRAT) dimana sasarannya adalah segala sesuatu yang diidentifikasi sebagai pendukung terorisme. Program ini mengadopsi banyak pendekatan kepada “kelompok menyimpang”. Program ini melibatkan pemerintah, bekerjasama dengan dokter, psikiater, dan para ulama terutama dalam hal mengikis ideologi ekstrimis. Peran ulama semakin terlihat sejak dikeluarkannya Fatwa Ulama pada bulan Ramadhan tahun 2007 yang menyerukan untuk mengakui bahwa semua perbuatan teroris tersebut adalah akibat kesalahan posisi para pelaku teroris. Untuk itu perlu dilakukan perbaikan posisi dengan menganggap bahwa perbuatan teroris adalah suatu yang salah. Selain itu dilakukan pula kampanye informasi publik yang menggambarkan dampak dari kekerasan kepada korban, hal ini kemudian semakin memperlemah
Universitas Indonesia
Disengagement strategi..., Fakhri Usmita, FISIP UI, 2012
56
dukungan publik terhadap taktik dan retorika para teroris (Fink dan Hearne, 2008, 6). Program ini disusun berdasarkan asumsi bahwa tindakan terorisme dilakukan karena kesalahan dalam memahamani ajaran Islam. Untuk itu, dilakukan “reedukasi” individual dan mempromosikan secara lebih lengkap dan lebih luas pemahaman ajaran agama yang anti kekerasan. Di sinilah peran ulama (terutama ulama yang independen, bukan bagian dari pemerintah) yang secara kultural menjadi anutan bagi sebagian besar masyarakat Arab Saudi dalam menanamkan pemahaman akan ajaran agama yang benar. Di beberapa wilayah, program ini jauh lebih efektif dibanding dengan penggunaan pendekatan keamanan. Dimana program ini merubah cara pandang ekstrimis, bahwa mereka akan mencederai agama Islam jika mereka melakukan aksi kekerasan dengan mengatasnamakan agama (Fink dan Hearne, 2008, 6). Fink dan Hearne juga menggambarkan penanggulangan terorisme di Mesir yang juga memiliki pendekatan khas berdasarkan kekhasan kultur yang berkembang di sana. Fink dan Hearne mengutip paparan Diaa Rashwan’s yang menjelaskan perubahan kebijakan pemerintah dalam penanggulanan terorisme menjadi lebih lunak (soft approach) ketika kelompok Gama’a al-Islamiyah’s lebih memilih menggunakan taktik damai dibanding penggunaan kekerasan “berdarah”. Kebijakan
pemerintah
yang
melunak
dicontohkan
diantaranya
dengan
memfasilitasi pertemuan di dalam penjara antara pemimpin kelompok dengan anggota kelompoknya. Selanjutnya pada kasus kelompok “Jihad”, dimana banyak anggotanya memutuskan untuk keluar karena didorong oleh apa yang mereka lihat dari hasil yang diterima dari keputusan kelompok Gama’a al-Islamiyah sebelumnya. Keputusan Dr. Sayyid Imam al-Sharif kemudian berpengaruh besar pada ideologi jihad, suatu dampak yang signifikan bagi “tidak lagi” mengikuti terorisme, khususnya ketika dia tidak menyepakati perjanjian dengan Ayman al-Zawahiri (deputi Al-Qaida, dan merupakan orang kepercayaan Osama bi Laden). Menurut Fink dan Hearne, pengalaman penanggulangan terorisme di Mesir membuktikan keberhasilan (adanya kumulasi positif) dari disengagement
Universitas Indonesia
Disengagement strategi..., Fakhri Usmita, FISIP UI, 2012
57
kepada suatu kelompok untuk mengakhiri penggunaan kekerasan dapat mempengaruhi kelompok lainnya (2008, 8).
5.5. Asia Tenggara Keberhasilan program “dialog komunitas” di Yaman menginspirasi pendekatan penanggulangan terorisme di kawasan Asia Tenggara, terutama di Singapura, Malaysia, dan Indonesia dengan ide dasar untuk memfasilitasi anggota kelompok radikal untuk tidak lagi menggunakan kekerasan tanpa harus mereka meninggalkan tujuan mereka mewujudkan pemerintahan-negara berlandaskan Syari’ah (Fink dan Hearne, 2008, 8). Pada catatan kakinya, Fink dan Hearne mencontohkan pendekatan yang telah dilakukan kepada Ali Imron, dimana Ali Imron mau bekerjasama dengan pihak berwenang, terutama dalam menyerukan untuk menolak penggunaan kekerasan yang dilakukan oleh kelompoknya (JI), walau dia tetap ingin mewujudkan Negara berlandaskan Syari’ah (catatan kaki no. 17, 2008, 8). Untuk penanggulangan terorisme di kawasan Asia Tenggara, Fink dan Hearne mengutip diskripsi yang dikemukakan oleh Zachary Abuza. Menurut Abuza, target utama dalam penanggulangan terorisme di kawasan Asia Tenggara adalah kelompok Jamaah Islamiyah. Suatu kelompok yang menurut Abuza bertanggung jawab terhadap serangkaian aksi kekerasan sejak tahun 2002. Menurut Abuza, kelompok ini sangat rapat dan sulit untuk disusupi (oleh agen intelijen), kelompok ini terdiri dari keluarga-keluarga yang saling terhubung, dimana pemimpinnya dengan sangat hati-hati menggunakan ikatan keluarga dan pernikahan untuk menjaga kepercayaan kepada anggotanya. Hubungan pribadi ini dipercaya
memperkuat
ketahanan
organisasi
teroris,
dimana
para
ahli
menempatkannya sebagai dasar konstruksi sosial pada kelompok teroris (Fink dan Hearne, 2008, 8). Abuza menggambarkan, di sisi lain, anggota JI berasal dari latar belakang yang beragam. Walau ada yang didorong oleh kekecewaan politik, tapi ada juga karena pengaruh radikal setelah perkenalan dengan kelompok tersebut. Demikian pula dengan anggotanya, ada yang merupakan “alumni” pejuang Afganistan, sekuleris, atau juga memiliki pendidikan tinggi. Untuk itu menurut Abuza,
Universitas Indonesia
Disengagement strategi..., Fakhri Usmita, FISIP UI, 2012
58
diperlukan pula pendekatan yang lebih beragam dan menantang untuk penanggulangan kelompok ini (Fink dan Hearne, 2008, 8). Di Indonesia, secara umum menjalankan program yang dikenal sebagai deradikalisasi. Dalam program ini, ulama dan mantan kombatan menempati posisi yang sangat penting, terutama dalam hal memunculkan keinsyafan bahwa tindakan yang telah mereka lakukan adalah bertentangan dengan agama. Bahkan sebelum interogasi oleh pihak polisi, mantan JI telah didatangkan untuk melakukan negosiasi dan diskusi tentang tindakan yang telah mereka lakukan adalah suatu perbuatan yanga salah. Program yang lebih bersifat rehabilitasi, termasuk adanya grasi ataupun amnesty atau kehidupan yang relatif nyaman bagi beberapa mantan anggota JI sebagai reward dari kesediaan untuk bekerjasama dan berperilaku baik selama dalam peradilan pidana, hal ini tentu mendatangkan penolakan dari masyarakat umum maupun korban (Fink dan Hearne, 2008, 8). ICG mencatat Nasir Abas dan Ali Imron yang merupakan dua mantan petinggi JI, yang kemudian keluar dari kelompoknya. Berdasarkan laporan ICG tahun 2007 disebutkan bahwa Abas masih meyakini dan membenarkan penggunaan kekuatan (militer) untuk membela agama dan sesama Muslim. Namun Abas menentang penggunaan kekuatan tersebut untuk menyerang warga sipil. Hal yang berbeda dengan Ali Imron, selain masih membenarkan penggunaan kekuatan, termasuk melakukan aksi pemboman di Indonesia. Namun menurut Imron saat ini belum saatnya melakukan gelar kekuatan, selain kekuatan yang belum seimbang, tidak adanya identifikasi terhadap korban yang mungkin jatuh, ada atau tidak dukungan dari masyarakat Muslim, dan ada atau tidak manfaat bagi masyarakat Muslim secara keseluruhan (ICG 2007, 14-15). Sementara di Singapura juga menjalankan program rahabilitasi. Program ini melibatkan psikologis, sesi konseling kepada partisipan dan keluarganya, rehabilitasi religious, inilah komponen utama dari program yang dijalankan Singapura (Fink dan Hearne, 2008 : 8). Menurut Fink dan Hearne, Singapura telah menginvestasi sumberdaya yang besar dalam program disengagement dan menuai hasil yang dirasakan sangat besar manfaat (2008 : 9). Selain itu, pemerintah Singapura telah mendidik secara khusus para ulama, dan mengeluarkan “sertifikasi” bagi ulama-ulama tersebut guna memberikan penyadaran kepada
Universitas Indonesia
Disengagement strategi..., Fakhri Usmita, FISIP UI, 2012
59
komunitasnya. Dimana seorang ulama yang telah bersertifikat, bertanggung jawab terhadap penyadaran pemahaman yang ada di komunitasnya. Berbeda dengan Indonesia dan Singapura, program disengagement di Malaysia lebih didominasi karena adanya “unsur paksaan” dan unsur acaman hukuman. Hal ini dilakukan dengan menerapkan undang-undang keamanan dalam negeri yang berlaku, yang memungkinkan adanya penahanan dalam waktu yang lama sebelum diajukan ke pemeriksaan pengadilan (Fink dan Hearne, 2008 : 9). Undang-undang
keamanan
dalam
negeri
Malaysia
memberi
perluasan
kewenangan kepada petugas keamanan untuk dapat menangkap dan menahan seseorang yang patut dicurigai tanpa harus didukung kelengkapan alat bukti terlebih dahulu. Selain itu, seperti Kolombia dan Banglades yang meyakini bahwa kondisi sosioekonomi merupakan bahan bakar utama untuk merekrut anggota kelompok kekerasan, maka untuk mencegah potensi residivisme, Pemerintah Malaysia juga memberikan pendampingan ekonomi ataupun memberi kompensasi kepada istriistri atau keluarga dari pelaku teroris yang dipenjara atau yang terbunuh (Fink dan Hearne, 2008 : 9).
5.6. Ringkasan Pengalaman beberapa negara dalam menanggulangi permasalahan yang ditimbulkan akibat adanya aktifitas kelompok ekstrimis berbasis ideologi tersebut menunjukkan kebijakan pemerintahan negara yang bersangkutan untuk lebih memilih pendekatan soft line dalam upaya mereduksi berkembangnya aktifitas kelompok teroris. Pemilihan pendekatan soft line tersebut didasari kesadaran bahwa pendekatan hard line belum tentu dapat menyelesaikan permasalahan yang ada. Penerapan strategi disengagement dalam penanggulangan permasalahan terorisme pada umumnya melibatkan komponen-komponen non pemerintahan. Hal ini dinilai lebih efektif dan efesien dalam meminimalisir daya tolak kelompokkelompok teroris tersebut atas interfensi yang dilakukan oleh pemerintah. Secara ringkas,
pengalaman
penerapan
strategi
disengagement
dalam
upaya
penanggulangan terorisme di beberapa negara tergambar pada tabel 8.
Universitas Indonesia
Disengagement strategi..., Fakhri Usmita, FISIP UI, 2012
60
Tabel 8. Pelaksanaan Disengagement di Beberapa Negara Negara Inggris
Tekanan - Negosiasi - Penegakan hukum
Hasil Mereduksi rekrutmen kelompok teroris
Norwegia
-
90% anggota ditarik keluar
-
Kolombia
-
Mesir
Yaman
Pelaksana Utama - Pemimpin komunitas agama - Pihak keluarga Membantu mereka yang - Keluarga dari ingin keluar anggota kelompok Mendukung keluarga - Anggota aktifis masyarakat yang peduli Memperluas pengetahuan profesional untuk membantu menyelesaikan masalah Relokasi Aparat pemerintah Insentif ekonomi Reedukasi (pendidikan formal/keterampilan) Pembukaan lapangan kerja Reintegrasi sosial Reedukasi Aparat pemerintah Soft Approach termasuk memberi kemudahankemudahan bagi yang koperatif
- Dialog dan intelektual - Reedukasi
debat Ulama intelektual
telah
Belum maksimal
- Kelompok Gama’a al-Islamiyah tidak lagi menggunakan kekerasan - Banyak anggota alJihad keluar dari kelompoknya dan Banyak dari mereka meninggalkan kelompoknya
Arab Saudi
Pendekatan kultural guna Ulama Melemahnya dukungan mengembalikan pada masyarakat kepada pemahaman ajaran agama kelompok teroris yang benar Indonesia Rehabilitasi Ulama dan mantan - Nasir Abas kombatan - Ali Imron - Chaerul Ghazali Singapura Rehabilitasi religius Psikolog, ulama (sertifikasi ulama) Malaysia Penerapan hukum Pemerintah Sumber: diadaptasi dari beberapa sumber Selain pengalaman Nasir Abas dan Ali Imron, Chaerul Ghazali juga merupakan contoh dari disengagement di Indonesia. Ghazali memiliki kemampuan dalam menyalurkan pemikirannya ke dalam bentuk tulisan. Potensi
Universitas Indonesia
Disengagement strategi..., Fakhri Usmita, FISIP UI, 2012
61
ini kemudian difasilitasi oleh sebuah LSM untuk menerbitkan hasil karya tulisnya dalam bentuk novel yang berisi pengalaman beliau selama bergabung dengan kelompok teroris, dan secara tidak langsung sebagai kampanye penyadaran bahwa penggunaan cara-cara teror bukanlah sarana yang tepat untuk mencapai tujuan. Dari pengalaman penerapan disengagement di beberapa negara tersebut di atas,
tergambar
bahwa
keberhasilan
program
ini
diperoleh
melalui
pengkombinasian dengan beberapa pendekatan lainnya. Selain itu, mereka yang keluar tetap memerlukan adanya jaminan keamanan, dukungan komunitas, serta upaya reintegrasi dengan masyarakat, dan adanya pengakuan akan keberadaan mereka. Pada negara tertentu yang memiliki beberapa kelompok teroris seperti pengalaman Mesir, keberhasilan disengagement kepada satu kelompok dapat mempengaruhi bagi keberhasilan bagi kelompok lainnya. Pelibatan mantan anggota teroris juga mempunyai peranan penting dalam program ini. Menilik pengalaman Norwegia dan Inggris, program ini lebih berhasil bila ditujukan kepada kelompok remaja atau pemuda, dan dalam hal mereduksi rekruitmen anggota baru kelompok ekstrimis. Selain itu, pelibatan keluarga terutama orang tua cukup signifikan, terutama dalam hal mengusahakan anak-anak mereka keluar dari kelompok ekstrimis.
Universitas Indonesia
Disengagement strategi..., Fakhri Usmita, FISIP UI, 2012
BAB 6 H A S I L
Bab ini berisi gambaran hasil wawancara terhadap pendapat narasumber terkait
kemungkinan
penerapan
strategi
disengagement
dalam
upaya
penanggulangan terorisme di Indonesia. Walau terdapat beberapa perbedaan pendapat, namun secara umum narasumber dalam penelitian ini memberikan apresiasi positif terhadap ide kemungkinan penerapan strategi disengagement. Selain Baharun, keseluruhan narasumber berpendapat disengagement dapat dijadikan sebagai strategi dalam upaya penanggulangan terorisme di Indonesia. Adanya perbedaan pendapat ini dimungkinkan karena tidak semua narasumber memiliki pengetahuan dan pemahaman yang baik atau sama tentang disengagement sebagai upaya penanggulangan terorisme. Selain narasumber sebagai manusia yang tidak terlepas dari segala sifat manusiawi, sehingga narasumber dapat bias atau memiliki kepentingan tersendiri (personal interest), sehingga penilaian mereka terhadap disengagement menjadi berbeda satu sama lain. Pada penelitian ini penulis sengaja tidak memilih narasumber dari BNPT demi menghindari bias, karena mereka dipersepsikan memiliki interest tersendiri dalam penerapan strategi penanggulangan terorisme yang ada saat ini. Oleh karena itu, penelitian ini memilih narasumber dari kalangan luar BNPT. Walau ternyata narasumber yang terpilihpun berkemungkinan tidak terbebas dari kepentingannya.
6.1. Terorisme di Indonesia Baharun memandang, munculnya teroris di Indonesia akibat adanya jaringan teroris internasional, di mana di dalam organisasi tersebut mereka: “….mendapatkan pemahaman agama secara salah melalui para tutor yang melakukan cuci otak, dengan cara memberikan materi ajaran Islam secara sempit versi mereka. Inilah proses radikalisasi yang dilakukan para ‘dalang’ terorisme ini. Sedangkan para ‘operator’ ini setelah dicuci otaknya, langsung dilepas ke lapangan untuk melakukan aksi atas nama 62 Universitas Indonesia
Disengagement strategi..., Fakhri Usmita, FISIP UI, 2012
63
jihad yang menurut pemahaman sempitnya merupakan tuntutan agama versi mereka” (jawaban narasumber melalui e-mail). Sedangkan Muzadi berpendapat bahwa : “…dimulai dari “warning” dari teori Huntington [Samuel P. Huntington] tentang dalam bukunya tentang The Clash of Civilitation, saya baca semuanya itu. Tapi kesimpulan saya sebenarnya hmmm bukan clash of civilitation, sebenarnya
clash of interest antara Barat dan Timur.
Beberapa saat setelah buku itu terbit kemudian ada peristiwa WTC, serangan terhadap World Trade Center dan Pentagon. mulai itu lalu pada tahun 2001 Amerika mulai melakukan perang terbuka dengan terorisme internasional. Terorisme internasional itu menurut Amerika merupakan adalah reaksi Amerika terhadap serangan 11 September itu. Tapi serangan itu sendiri belakangan dipolemikkan, apakah itu serangan betulan ataupun rekayasa? Tapi terlepas dari pada itu Amerika telah menyerang Timur Tengah habis-habisan. Nah menyerang ini titik utamanya ternyata Iraq. Yang lain-lain itu lingkar kedua dari titik serang Amerika itu. Hasilnya seperti Pakistan, Afganistan, Yaman, ini disamping Iraq lalu menjadi sasaran serbuan Amerika, nah perlawanan terhadap serbuan itu yang kemudian belakangan disebut dengan terorisme. Jadi terorisme itu didalam faktanya adalah merupakan reaksi dari sebuah kejadian. Bukan terorisme ada dulu kemudian diserang, gitu ya. Nah, karena mereka diserang disana dan kemanangan dalam tanda petik diraih oleh Amerika, maka sebagian dari mereka datang ke Indonesia” (wawancara dengan Muzadi 26 Mei 2012) Selanjutnya Muzadi menambahkan: “…pertama mindset Islam mereka, mindset luar negeri. Bukan mindset Indonesia. Yang kedua, mereka membawa situasi luar negeri yang perang ke sini, gitu. Maka dia akan menganggap Indonesia sama dengan Afganistan dan sebagainya, dan sebagainya. Nah disinilah lalu ada perlawanan terhadap pemerintah formal di Indonesia, bukan hanya perlawanan kepada Amerika kan. Nah eksesnya yang ketiga, pilar ketiga
Universitas Indonesia
Disengagement strategi..., Fakhri Usmita, FISIP UI, 2012
64
adalah dia menyerang juga orang islam yang tidak sepaham dengan mereka” (wawancara dengan Muzadi 26 Mei 2012). Muzadi menyebutkan terorisme dapat tumbuh di Indonesia karena adanya: “pertama, gerakan anti Amerika, yang kedua eee gerakan anti Negara Pancasila, dan yang ketiga, gerakan untuk melakukan benturan-benturan sosial, baik di dalam Islam sendiri maupun di dalam lintas agama” (wawancara dengan Muzadi 26 Mei 2012). Keraguan akan realitas eksistensi terorisme di Indonesia juga datang dari Jamil dan Yani. Menurut Jamil, teroris memang ada di Indonesia, namun belum terlalu mengkhawatirkan, kalaupun ada, itu merupakan ekses dari dinamika global (wawancara 11 Juni 2012). Jamil juga mempercayai bahwa aksi teror yang terjadi di Indonesia merupakan hasil dari suatu rekayasa (by design). Menurut Jamil: “….di Indonesia inikan teroris ini muncul ketika ada isu-isu, ketika ada isu berat di negeri ini, kemudian di cut , sehingga pemberantasan terorisme, sehingga orang berfikir jangan-jangan karena adanya pengalihan isu-isu tertentu saja, jadi ketika sedang seru-serunya “tup”.. muncul terorisme, lupa semunya” (wawancara dengan Jamil, 11 Juni 2012). Sikap kehati-hatian juga disampaikan oleh Yani. Menurut Yani: “…itu dulu disebut EKA-EKI [ekstrimis kanan – ekstrimis kiri, pen] itu, kita sangat tahu itu. Dulu yang namanya Komando Jihad, bagaimana Woyla direkrut sedemikian rupa, bagaimana kawan-kawan DI/TII yang direkrut khusus oleh Ali Murtopo, …pola ini menurut saya, hampir sama juga yang digunakan sekarang ini, pola ini digunakan. Buku Busyro Mukoddas [Hegemoni Rezim Intelijen, pen] ini, sebenarnya menjawab itu semua” (wawancara dengan Yani, 12 Juni 2012). Senada dengan Muzadi, Zarkasih melihat munculnya kembali gerakan teroris di Indonesia karena adanya kesamaan visi dan misi antara terorisme internasional dengan beberapa kelompok di dalam negeri, : ”…. adanya kesamaan keiinginan, yaitu sama-sama merencanakan mendirikan Negara Islam. Indonesia dengan NII-nya, lalu internasional dengan global chaliphat-nya. Ya itu, ketemu persamaan, jadi itu yang membuat mereka merasa ini merupakan jaringan internasional” (wawancara dengan Zarkasih 28 Mei 2012). Sedangkan NII,
Universitas Indonesia
Disengagement strategi..., Fakhri Usmita, FISIP UI, 2012
65
menurut Zarkasih, Sarwono, dan Al Chaidar adalah cikal bakal kelompok teroris yang ada di Indonesia pada saat ini. Menurut Al Chaidar, terorisme yang terjadi di Indonesia saat ini tidak terlepas dari sejarah bangsa ini dimana awalnya muncul dari keinginan DI mendirikan Negara Islam Indonesia. Pada perkembangannya, JI yang merupakan sempalan DI ingin mendirikan Daulah Islamiyah, yang dilakukan dengan berbagai cara, termasuk penggunaan kekerasan (wawancara dengan Al Chaidar 14 Juni 2012).
6.2. Disengagement Terdapat perbedaan pendapat tentang penerapan disengagement di Indonesia. Baharun tidak memandang penting wacana disengagement untuk diterapkan dalam upaya penanggulangan terorisme di Indonesia. Menurut Baharun: “Upaya menarik keluar itu tidak penting, yang lebih penting bagaimana melakukan deradikalisasi. Artinya menjelaskan proses pendidikkan yang salah jika agama ini diartikulasikan dengan secara ekstrem dan keras. Islam yang damai itu adalah Islam yang luas pandangan tidak sempit masuk ke lorong buntu. Islam yang menghargai kemanusiaan. Ada hablun minallah ada juga hablun minannas (hubungan dengan Allah yang sinkron dengan hubungan dengan sesama manusia)” (jawaban narasumber melalui e-mail). Menurut Baharun hal ini karena seseorang menjadi teroris karena telah memperoleh pemahaman radikal dan pemahaman yang salah tentang ajaran agama. Menurut Baharun, “pelaku telah mendapatkan pemahaman agama yang salah melalui tentor yang melakukan cuci otak, dengan cara memberikan materi ajaran Islam secara sempit versi mereka” (jawaban Baharun melalui e-mail). Sedangkan Muzadi meragukan disengagement akan berhasil bila hanya mengandalkan pemberian bantuan keuangan atau hanya memberikan perkerjaan. Menurut Muzadi: “Di Indonesia juga ada yang seperti itu, tapi masih sedikit. Diberi uang, Indonesia sendiri masih banyak pengangguran” (wawancara dengan Muzadi 26 Mei 2012).
Universitas Indonesia
Disengagement strategi..., Fakhri Usmita, FISIP UI, 2012
66
Menurut Muzadi, kalaupun ada anggota teroris yang keluar dari kelompoknya, umumnya hal itu bukan karena mereka telah insyaf, melainkan karena mereka menemui jalan buntu, karena mereka takut tertangkap (wawancara dengan Muzadi 26 Mei 2012). Walau Muzadi meragukan keberhasilan disengagement bila hanya mengedepankan pemberian kompensasi berupa uang ataupun pekerjaan, namun Muzadi menganggap disengagement dapat dilakukan dengan moderasi pemikiran ummat muslim Indonesia, dan menumbuhkan semangat kebangsaan. Pendapat yang hampir sama datang dari Al Chaidar. Menurut Al Chaidar, pemberian pekerjaan seperti usaha dalam tahap tertentu dapat mereduksi mereka menggunakan cara-cara kekerasan. “Namun ketika usaha mereka tidak berhasil, mereka akan kembali lagi” (wawancara dengan Al Chaidar, 14 Juni 2012). Menurut Mufid: kecemburuan sosial mungkin terjadi namun hal tersebut dapat diminimalisir bila bantuan yang diberikan secara terbuka, karena bantuan tersebut dilakukan kepada korban seperti halnya korban bencana. Menurut Mufid: “program-program rehabilitasi, itu juga terbuka, jadi ormas, pemerintah, LSM, atau pihak-pihak perusahaan yang mau membantu mereka itu juga harus terbuka, bantuan ini dalam rangka bantuan korban, kalau ada bencana alam itu kan ada bantuan dari mana-mana, kan gitu? siapa sih yang mau dapat bencana? Lha mereka ini bencana, kena bencana, gitu lho” (wawancara dengan Mufid, 7 Juni 2012). Muzadi lebih menyetujui upaya disengagement melalui mempersempit ruang gerak kelompok-kelompok terorisme dengan cara menumbuhkan semangat kebangsaan mayoritas orang Indonesia. Untuk itu, menurut Muzadi, diperlukan penguatan kelompok moderat yang merupakan mayoritas di Indonesia guna mereduksi potensi munculnya tindakan-tindakan ekstrim melalui pengakuan dan penghargaan akan keberagaman. “…. mindset keagamaan orang Indonesia itu moderat. Moderat itu cirinya dia punya eksistensi tapi dia punya toleran. Secara seimbang. Kalau hanya toleran tidak punya eksistensi, diakan ndak punya pendirian. Sementara orang yang punya eksistensi ndak punya toleran, dia cenderung eksklusif, kemudian ekstrim, kemudian ada benturan-benturan
Universitas Indonesia
Disengagement strategi..., Fakhri Usmita, FISIP UI, 2012
67
lintas agama dan sosial. Tetapi mindset yang mayoritas ini silent majority, sedangkan mereka yang masuk itu aktif minority. Sehingga tetap saja yang terbaca gerakan itu adalah yang aktif minority
ini”
(wawancara dengan Muzadi 26 Mei 2012). Penguatan kelompok moderat ini dilakukan melalui pencerahan dan penguatan semangat kebangsaan keindonesiaan, yang ditanamkan oleh tidak hanya pihak terkait secara formal, melainkan juga pihak non formal seperti tokoh agama. Pelibatan tokoh agama di sini karena Muzadi menganggap telah melemahnya kemampuan pemerintah dalam membangun partisipasi kebangsaan rakyatnya. Menurut Muzadi, saat ini “…kemampuan untuk menggerakkan partisipasi masyarakat, pemerintah sekarang kan lemah. Masyarakat lebih cenderung apatis” (wawancara dengan Muzadi 26 Mei 2012), Untuk itu diperlukan peran pemimpin nonformal lainnya yaitu ulama. Diantaranya “…. Ulama bisa memberitahukan keluarga, hati-hati kalau anaknya itu. Tapi itu semuanya tidak terjadi mas. Jadi apatisme rakyat itu mengkhawatirkan. Ya untung-untung masih banyak temen yang konsen, di koran membentuk opini, tapi itu saja tidak cukup mas” (wawancara dengan Muzadi 26 Mei 2012). Dari pernyataan Muzadi di atas, tersirat pula adanya peran ulama dalam upaya penguatan faktor penarik seseorang untuk keluar dari kelompoknya, yaitu keluarga pelaku. Namun sayang, peran ulama dan komunitas mayoritas muslim yang moderat ini menurut Muzadi belum dioptimalkan dalam meminimalisir pengaruh terorisme di Indonesia. Peran tokoh agama sangat penting, karena salah satu penyebab awal munculnya kelompok terorisme di Indonesia adalah karena adanya pemahaman tentang ajaran Islam yang cenderung bersifat parsial, tekstual atau sepenggalsepenggal (Muzadi, Mufid, Baharun). Untuk itu perlu diberikan pemahaman yang lebih lengkap, sehingga mereka tidak lagi terlibat dengan aksi terorisme. Ketiga narasumber menyetujui bahwa diperlukan peran ulama
guna memberi
penginsyafan dan pengimbangan pemikiran kepada anggota kelompok teroris. Dalam program deradikalisasi maupun disengagement, salah satu kunci keberhasilannya adalah dialog, dan salah satu komponen yang dapat membuka
Universitas Indonesia
Disengagement strategi..., Fakhri Usmita, FISIP UI, 2012
68
jalan dialog dengan kelompok teroris yang mengatasnamakan agama adalah adanya peran tokoh agama. Pendapat bahwa disengagement dapat diterapkan dalam penanggulangan teroris juga disampaikan oleh Zarkasih, Mufid, Jamil, Yani, dan Al Chaidar. Menurut pengalaman dan pengamatan Sarwono, hingga saat ini Indonesia belum melaksanakan deradikalisasi dalam penanggulangan terorismenya. Menurutnya, program yang ada saat ini belum menyentuh wilayah ideologi para pelaku. Sarwono menceritakan bahwa ia pernah mengadakan diskusi kelompok anggota teroris dengan seorang moderator yang kebetulan “anak buahnya” pak Qurais Syihab, ataupun melibatkan ustadz-ustadz dari Johor (Malaysia) maupun dari AlAzhar, dengan dasar pemikiran bahwa kepada anggota kelompok teroris ini bisa dilakukan re-doktrinisasi, ternyata kegiatan tidak mencapai target yang diinginkan (wawancara dengan Sarwono, 13 Juni 2012). Karena menurut Sarwono, ketika pembicaraan dengan pelaku mulai memasuki ranah ideologi, mereka kemudian cenderung protektif, sehingga menemui kebuntuan dalam dialog. Untuk itu, level penanganan harus diturunkan tidak lagi di ranah ideologi, melainkan pada tingkatan kehidupan sehari-hari (wawancara dengan Sarwono, 13 Juni 2012). Menurut Sarwono: “….gerakan deradikalisasi yang anda maksud itu memang belum pernah terjadi, yang ada hanyalah eksperimen-ekperimen kecil saja, ……yang banyak. Apalagi yang dulunya yang namanya lembaga permasayarakatan itu, kosong sama sekali deradikalisasi itu, itu tidak ada, mereka tidak mengerti mana yang baik itu, bahkan bedanya teroris dengan narkoba itu tak ngerti, dicampur saja di dalam, tidak ada lapas khusus. Sementara Singapura, Australia itu mereka sangat canggih, dan di penjara-penjara mereka lakukan persis dengan teori, misalnya orang yang sangat tinggi kejahatannya diisolasi dengan yang kelas teri biar tidak ikut-ikutan, jadi memang diisolasi beneran. Tidak seperti disini, diisolasi tapi tetap boleh pakai handphone” (wawancara dengan Sarlito, 13 Juni 2012). Sarwono juga menambahkan: “…namanya bukan deradikalisasi, kalau daradikalisasi kita masuk di ideologinya, kita rubah ideologinya, kemudian ideologi radikalnya tidak
Universitas Indonesia
Disengagement strategi..., Fakhri Usmita, FISIP UI, 2012
69
serta-merta
diubah,
yang
penting
sekarang,
disintegrasi
yaitu
memutuskan, menghentikan ya perbuatan violence itu dari jihad, itu. Boleh jihad tapi jihad yang tidak violence, yang dihentikan violence nya. bukan jihadnya..begitu...” (wawancara dengan Sarwono, 13 Juni 2012). Sarwono juga menggambarkan, bahwa anggota kelompok teroris akan menutup diri ketika dialog mulai mengarah pada ideologi. Untuk itu, menurut Sarwono, dialog tidak lagi masuk pada ranah ideologi, melainkan pada permasalahan lainnya. Sarwono mengatakan: “…jadi saya masuk pada level yang lebih rendah, jangan masuk pada ideologi, misalnya berbicara mengenai kehidupan sehari-hari, anakanaknya, istrinya, mengenai contoh-contoh rasul.. ya.. kasus-kasuslah baru setelah itu, yang terkhir kami coba menggunakan kasus bom Marriot II membahas soal itu, ternyata mereka berbeda pendapat. Ada yang mengataklan itu boleh, wajib, fardhu a’in, karena negara yang toghut, yang lain mengatakan tidak bisa karena yang korban itu adalah manusia, umat Islam juga dan tidak ada perang, tidak ada tentara jadi tidak boleh jadi tidak boleh itu, dengan dalil menggunakan sia-sia, melakukan perbuatan seperti ini karena musuh lebih kuat lebih banyak mudhoratnya dari pada manfaatnya, kita ikutilah contohnya Rasulullah, katika dia masih lemah dia istirahat dulu di Madinah setelah kuat dia baru kembali lagi, jadi disitu saya melihat bahwa mereka bisa berdiskusi bisa mendengar asal tidak masuk ke ideologi” (wawancara dengan Sarwono, 13 Juni 2012). Selain membuka jalan dialog, disertakan pula program pemberdayaan sesuai keahlian atau keterampilan yang mereka miliki. Sarwono menggambarkan: “… kemudian saya bawa ke dakwah, dakwah yang damai yang tidak mengusik orang, yang tidak takafirun, itu ternyata bisa.. jadi kemudian pada tahun 2011, itu… itu pada tahun 2009 eksperimen itu. 2011 saya buat lagi eksperimen dengan dana yang lebih besar, dengan membuat mereka dalam kelompok-kelompok, di sepuluh kota di Indonesia ini, sampai ke Ambon yang terjauh itu. Dan mereka itu diberi dana untuk melakukan dakwah sesuai dengan keahlian masing-masing, yang bisa bikin sablon bikin sablon, bisa bikin bulletin bikin bulletin, yang biasa khutbah di
Universitas Indonesia
Disengagement strategi..., Fakhri Usmita, FISIP UI, 2012
70
masjid-masjid ya silahkan, ada lagi yang… bikin TPA, tempat penitipan anak itu silahkan, tapi pokoknya tetap ada misi dakwahnya. Satu, dakwah itu harus anti kekerasan, dan harus mencantumkan nama mereka sebagai alumni-alumni entah Afganistan, entah Poso, entah Filipina. Jadi dicantumkan status mereka, dengan demikian orang-orang mendengar wah.. nama mereka, sosok mereka yang mantan-mantan teroris dan mau damai, itukan dilakukan selama enam bulan berturut-turut, dan dirawat betul, jadi didatangi .. jadi selain ada kordinator daerah itu tim saya datang ke daerah-daerah itu tiap sebulan sekali nganterin duit, duitnya itu tidak di transfer melalui bank, tapi dianterin langsung, disampaikan dengan tangan begitu, ngobrol istilahnya itu silaturrahmi,….” (wawancara dengan Sarwono 13 Juni 2012). Menurut Al Chaidar, disengagement dapat dilakukan melalui gerakan afirmatif yaitu melunakkan gerakan-gerakan yang ada. Untuk melakukan itu dapat dilakukan dengan reinterpretasi makna jihad yang dianut oleh kelompokkelompok ekstrim tersebut. Ia mencontohkan reinterpretasi yang dimaksudkannya dengan kegiatan donor darah. Menurutnya donor darah merupakan reinterpretasi dari bekam yang dicontohkan nabi. Namun menurut Al Chaidar, pada pemerintahan yang Islamophobia, pelunakan kelompok-kelompok tersebut lebih cenderung melakukan defeksi, yaitu merekrut mereka-mereka yang “membelot” untuk kemudian membuat perpecahan dari dalam kelompok tersebut (wawancara dengan Al Chaidar 14 Juni 2012). Al Chaidar mencontohkan: “Seperti Panji Gumilang itu kan?.. pesantren Al-Zaitun, itukan sebenarnya NII palsu itu, defeksi itu program pemalsuan. Kalau di Aceh dulu dilakukan, defeksi itu oleh pemerintah terhadap GAM. Ada GAM yang palsu, ada GAM yang asli. Kedua-duanya mengoperasikan cara-cara yang sama, tapi tujuannya beda, yang satu duitnya untuk beli senjata untuk memerdekakan Aceh yang asli, yang palsu ini duitnya digunakan untuk ABRI” (wawancara dengan Al Chaidar 14 Juni 2012). Dukungan
terhadap
penerapan
strategi
disengagement
dalam
penanggulangan terorisme di Indonesia juga diberikan oleh Mufid. Mufid
Universitas Indonesia
Disengagement strategi..., Fakhri Usmita, FISIP UI, 2012
71
memandang disengagement dapat dilakukan dengan pertama-tama memisahkan antara pemimpin dengan pengikutnya, selanjutnya diadakan dialog guna melakukan disengagement ideology. Disengagement ideology
yang dimaksud
Mufid ini adalah upaya penyadaran berdasarkan rujukan sejarah bahwa perjuangan-perjuangan dengan menggunakan pendekatan terorisme tidak pernah berhasil. Hal ini kemudian diperkuat dengan mempertemukan pelaku dengan korban. Keberhasilan program ini menyaratkan perubahan paradigma petugas terkait dalam memandang pelaku. Para pelaku harus juga dipandang sebagai korban, bahwa mereka korban manipulasi dari pemimpinnya, ataupun korban dari ketidakadilan atas mereka, mereka adalah korban bencana sosial. Dengan ini, menurut Mufid, maka landasan intervensi kita adalah “menolong” mereka sebagai korban (wawancara Mufid 7 Juni 2012). Jamil memandang disengagement sebagai bagian dari soft approach penting dilakukan demi memutus “dendam” dari kalangan ummat Islam kepada aparatur Negara (wawancara dengan Jamil 11 juni 2012). Jamil mencontohkan tindakan operasi militer seperti menembak seorang target operasi di depan anggota keluarga. Menurut Jamil: “… anaknya sebenarnya tidak
tahu apa-apa, hal ini akan membuat
anaknya dendam dan benci, jadi timbullah sakit hati, …. jangan sampai kemudian memerangi terorisme ini malah membangun musuh bersama umat islam dengan badan-badan yang berusaha untuk memberantas terorisme tadi itu, nah, sekarang kita sedang menunggu mampu tidak BNPT ini memutuskan jaringan – jaringan radikalisme itu, jaringanjaringan terorisme yang bersumber dari radikalisme itu” (wawancara dengan Jamil 11 juni 2012). Hal yang hampir sama juga disampaikan oleh Mufid. Menurut Mufid, dalam upaya memutusikatan tersebut, keluarga mereka juga harus diperhatikan, karena mereka pada hakikatnya adalah korban juga. Menurut Mufid: “Kita jangan cuma membantu kayak dia orang fakir miskin itu, kita berikan pendidikan keterampilan apa untuk bekerja, kita carikan dia modal untuk bekerja. Anak-anaknya, nah ini yang bahaya, anak-anaknya itu kalau dikumpulkan jadi satu, dididik, ooo jadi teroris lagi. Balas dendam
Universitas Indonesia
Disengagement strategi..., Fakhri Usmita, FISIP UI, 2012
72
wong bapaknya dibunuh. Mesti harus dipisahkan. Dan dia harus diberikan apa namanya, penjelasan yang arif sehingga mereka mengetahui bahwa apa yang dilakukan oleh bapaknya itu adalah korban, bapaknya begitu adalah korban, dan dia jadi begini bagian dari korban” (wawancara dengan Mufid 7 Juni 2012). Sebenarnya keberhasilan strategi disengagement dapat juga dilihat pada keluarnya salah seorang narasumber penelitian ini yaitu Al Chaidar dari kelompoknya NII KW 9, yang pada saat itu telah menjabat sebagai Bupati Bekasi NII KW 9, dan saat ini tercatat sebagai salah seorang dosen pada sebuah universitas negeri di Provinsi Aceh, sesuatu yang “terlarang” dalam bingkai pemikiran NII. Walau telah mengatakan “keluar” namun Al Chaidar masih merasa memiliki keterikatan dengan faksi NII lainnya (selain NII KW 9), terutama karena masih memegang komitmen dari bai’at yang pernah diikutinya (wawancara dengan Al Chaidar, 14 Juni 2012). Pengalaman Al Chaidar mungkin khusus. Menurutnya, pada awal ia menyatakan keluar dari NII KW 9, ia sempat mengalami penolakan, hingga diperiksa (disidang oleh NII) atas tuduhan penghianatan. Namun semua tuduhan tersebut tidak terbukti, sehingga secara berangsur-angsur ia kembali diterima oleh anggota-anggota NII. Dan Al Chaidar memposisikan diri sebagai peneliti, yang harus memiliki jarak tidak terlelu jauh ataupun terlalu dekat dengan objek penelitiannya (wawancara dengan Al Chaidar, 14 Juni 2012). Menurut Sarwono, pada dasarnya setiap orang menginginkan hal yang menyenangkan, hal ini yang memotivasi seseorang untuk melakukan sesuatu, tinggal siapa yang dapat memberikannya. Sarwono memberikan contoh, para remaja yang sedang membutuhkan banyak informasi ataupun tantangan, dan merasa menemukannya ketika bergabung dengan NII (wawancara dengan Sarwono, 13 Juni 2012).
6.3. Peran Elemen Masyarakat Semua narasumber berpendapat bahwa dalam penanggulangan terorisme tidak hanya merupakan tanggungjawab satu pihak saja, polisi, atau BNPT saja. Baharun berpendapat: “Kalau dasar yang melatar belakangi mereka radikal itu
Universitas Indonesia
Disengagement strategi..., Fakhri Usmita, FISIP UI, 2012
73
adalah agama, maka jangan polisi yang melakukan pendekatan agama, tapi para ulama. Para ulama pun yang selektif, artinya yang mengerti paham mereka itu” (jawaban narasumber melalui e-mail). Pendekatan keagamaan dipandang penting oleh Muzadi, terutama sebagai upaya pencegahan perkembangan paham-paham ekstrim. Menurut Muzadi: “…mereka melakukannya itukan karena wawasan agama yang keliru, yang kedua karena interfensi politik transnasional, yang ketiga dia belum mendalami wawasan keindonesiaan. Kan tiga ini sebetulnya. Maka untuk prevensi sebelum represi, untuk menghentikan mereka harus orang yang sama-sama mengerti agama kan mas? Kan polisi ndak bisa memberi fatwa kepada teroris, dalam hal ini ulamanya belum digunakan. Masalahnya kenapa tidak? Kan gitu? Lalu, setelah masalah agama, baru masalah hukum. Kalau dia melanggar, ya masuk wilayah hukum. Kalau hukum itu sudah menjadi teror, wah, baru represif. Inikan langsung represif. Sehingga yang menyadarkan mereka ndak ada mas. Ndak ada. Ya, adalah, tapi sikit-sikit, ndak imbang” (wawancara Muzadi, 26 Mei 2012). Untuk itu diperlukan peran tokoh agama atau ulama. Peran ulama juga tergambar dalam pernyataan Zarkasih: “… kita tahukan, kelompok ini seperti memakai “kaca mata kuda”, jadi hanya mendapat pelajaran hanya dari satu sumber, satu ulama misalnya, satu guru, yang kalau gurunya bilang “A” dia akan ngikutin “A” terus. Padahal ada guru lain yang mungkin bisa bilang “B’ bisa bilang “C”. kalau perlu kita berikan guru lain untuk bahan pembanding, diunjukki: “anda pakai ayatnya mana? Hadist yang mana? Hadist itu terpotong, baru setengah, ini ada lanjutannya tuh”. Dibacakan lanjutannya, baru dia ter-ngeh: “ooo, berarti kami dapatnya sepotong-sepotong”. Kan gitu? Diberikan yang utuhnya gini, bahwa perintah membunuh itu tidak berhenti sampai disitu. Ada lagi, khusus bagi yang memerangi ummat Islam, menzhalimi. Kan gitu? Ada hadist-hadist yang kadang terpotongpotong, nah mereka taunya itu. Nah kalau ada yang lebih moderat, lagi yang lebih terbuka menjelaskan “hadist yang anda pakai salah”. Jadi kita buka kaca matanya, tadi gini (mencontohkan seperti kaca mata kuda,
Universitas Indonesia
Disengagement strategi..., Fakhri Usmita, FISIP UI, 2012
74
dengan telapak tangan saling menghadap di samping wajah), sekarang dia gini (sambil mencontohkan kedua telapak tangan yang masih di samping wajah menghadap ke depan). “oooh ya ada dunia di sana” gitu. Dia bilang pondok pesantren adalah pusat gerakan, seolah-oleh harus radikal. Kita tunjukan ada pondok pesantren yang lebih Islami, moderat, yang masih perlu perhatian kita. Yang miskin, yang susah, kita kadangkadang mantan napi kita unjukkin ke sana, baru mereka terbuka. Bahwa jangan lagi mengatakan bahwa hanya kepentingan sesaat merusak Islam sendiri yang nota bene adalah rahmatan lil alamin. Kan gitu” (wawancara dengan Zarkasih 28 Mei 2012). Kaitan dengan wacana disengagement dalam upaya penanggulangan terorisme, ulama juga berperan dalam “meluruskan” kembali (melakukan eufemistik) tentang makna “jihad” yang dipahami oleh kelompok teroris selama ini. Hal ini tergambar pada pernyataan Zarkasih: “…. mereka sendiri mengatakan bahwa mereka ini bukan pelaku kriminal, mereka adalah pejuang agama, nah itu kan beda. Jadi membunuh, buat mereka itu perang agama, melakukan pemboman, merampok bank, yang dia bilang fa’i itu. Dan buat mereka, “gua bukan kriminal, ini perintah agama untuk melakukan ini”. Maka treat-nya beda. Kita melibatkan juga saat itu orang-orang dari ahli agama, alim ulama, kita ajak untuk berdialog selama prosedur di polisinya” (wawancara dengan Zarkasih 28 Mei 2012). Ulama yang dimaksud di sini adalah mereka yang independent, tidak condong kepada kepentingan suatu pihak saja baik itu kalangan pelaku, terlebih lagi kepada pemerintah, tidak hanya memiliki pemahamanan keagamaan yang bagus, tapi juga harus memahami kearifan lokal yang ada (wawancara dengan Mufid 7 Juni 2012; wawancara dengan Yani 12 Juni 2012). Menurut Al Chaidar, bagi kalangan Islam radikal, ulama yang telah terkoptasi oleh pemerintah disebut sebagai ulama “buruh”, sehingga mereka tidak akan mendengar masukanmasukan yang diberikan oleh ulama-ulama seperti ini (wawancara Al Chaider, 14 Juni 2012).
Universitas Indonesia
Disengagement strategi..., Fakhri Usmita, FISIP UI, 2012
75
Selain kepada pelaku, Ulama juga diharapkan dapat memberikan pencerahan kepada masyarakat. Masyarakat yang telah memperoleh pencerahan diharapkan dapat meminimalisir potensi sumberdaya recruitment anggota terorisme, hal ini menjadi faktor pelemah tersendiri bagi aktifitas suatu kelompok teroris. Idealnya, mereka yang berpikiran moderat dapat menjadi potensi sumberdaya pembendung atau pereduksi terorisme. Ditambahkan Muzadi, “masyarakat itu sebenarnya tidak suka pada teroris, dan membenci teror. Tapi kalau ada terror mereka berfikir sudahlah biar dikerjain oleh pemerintah saja” (wawancara dengan Muzadi 26 Mei 2012). Sedangkan Zarkasih mengatakan bahwa: “Masyarakat…. harus diberikan pencerahan dulu oleh instansi terkait, awareness-nya itu, kalau mereka sudah tahu jadi mereka bisa menangkal unsur-unsur luar yang mau mempengaruhi mereka. Bisa menangkal setelah mereka tahu. Ya itu, mereka berperan tadi itu, bisa juga sebagai ya, agent untuk early detection untuk kalau dia tahu ada hal yang mencurigakan sudah tahu kriterianya berdasarkan pencerahan tadi maka dia punya kewajiban, istilah kita kan beban moril untuk bagaimana menghadapi, apakah beliau melaporkan ke aparat kepolisian, ataukah dengan lingkungannya sendiri melakukan upaya pencegahan itu. Peran masyarakat sangat penting” (wawancara dengan Zarkasih 28 Mei 2012). Rasa optimis akan keberhasilan disengagement datang dari Zarkasih, walau keberhasilannya tidak 100%, asalkan semua instansi terkait dapat bersinergi dan bahu-membahu melaksanakannya. Menurut Zarkasih: “…. kalau peluangnya sih cukup kuat, kuat, karena ya itu, kalau kita bekerja sama-sama semua instansi yang sesuai bidangnya, ada Kemeterian Agama, MUI, mungkin tadi masalah tenaga kerja, pelatihannya kan, itu kita berharap akan sangat berhasil. Tapi kita tidak bisa berharap berhasil 100%. Tapi pasti berhasil daripada ndak dikerjakan sama sekali” (wawancara dengan Zarkasih 28 Mei 2012).
Universitas Indonesia
Disengagement strategi..., Fakhri Usmita, FISIP UI, 2012
76
6.4. Peran Keluarga Kuatnya peran keluarga dalam kehidupan sosial dan kultural di Indonesia, dapat dijadikan jalan menarik keluar seseorang anggota teroris dari kelompoknya. Hal ini seperti pendapat Zarkasih dan Muzadi. Menurut Zarkasih, selain program deradikalisasi ada juga ada yang dikenal dengan counter deradikalisasi yang diarahkan kepada pihak di luar atau di sekitar pelaku dalam hal ini terutama adalah keluarga. Menurut Zarkasih: “…. counter radikalisasi, nah counter ini adalah pihak lain di luar para pelaku itu yang pernah terkontaminasi terus kita lakukan pendekatan, pencerahan, sehingga berharap dari keluarganya sendiri, bisa, mau memberikan pengertian, ya kan. Memang tidak gampang, karena mereka sendiri biasanya kelompoknya itu masih di lingkungan saudaranya sendiri. Kalau saudaranya sudah kita berikan pencerahan, sekali waktu datang kan, dia bisa saling memberi masukan. Karena kita tahukan, kelompok ini seperti memakai “kaca mata kuda”, jadi hanya mendapat pelajaran hanya dari satu sumber” (wawancara dengan Zarkasih 28 Mei 2012). Senada dengan hal tersebut, ketika Muzadi, ditanyakan tentang peran keluarga dalam penanggulangan terorisme, Muzadi mengatakan: “… peran keluarga itu besar, dan peran keluarga itu juga ditentukan oleh peran lingkungannya. Lingkungan ini sebetulnya ulama-ulama bisa memberitahukan keluarga, hati-hati kalau anaknya itu” (wawancara dengan Muzadi 26 Mei 2012). Dari pernyataan Zarkasih tersebut di atas tersirat peran keluarga sebagai suatu kekuatan pendorong seseorang untuk keluar dari kelompok terorisnya, juga dapat sebagai jembatan untuk upaya dialogis dengan anggota teroris tersebut. Untuk memperlancar upaya dialogis tersebut, polisi (menurut Zarkasih) harus dapat melakukan pendekatan yang lebih persuasif. Menurut Zarkasih pendekatan humanis yang dilakukan oleh pihak kepolisian terutama selama pemeriksaan dapat menjadi peluang bagi kesuksesan program ini, karena dengan pendekatan yang lebih humanis menjadi jalan bagi terbukanya komunikasi yang lebih intens dengan mereka. Zarkasih menceritakan pengalamannya:
Universitas Indonesia
Disengagement strategi..., Fakhri Usmita, FISIP UI, 2012
77
“…dari awal sejak ditangkap, mereka, kita perlakukan mereka dengan hati-hati, tidak lagi (seperti) zaman-zaman dulu, di era-era orde lama, orde baru. Nah, kita tangani mereka dengan manusiawi, dengan cukup baik, simpatik, sehingga mereka cenderung mungkin selama proses di kepolisian sampai menunggu vonis terkadang sudah vonispun sudah eksekusi, mereka meminta kalau bisa ada di kepolisian. Ya karena itu, mungkin kita perlakukan seperti itu, dan mereka punya tempat selama di dalam sel, mereka cukup merasa nyaman barangkali, walaupun bukan hotel gitu. Ini, yang mereka banyak. Abu Bakar Ba’asyir saja coba, masih pengen. Pernah waktu eksekusi mau dipindahkan ke kejaksaan, okelah kalau begitu, kita di Mabes Polri aja, di Bareskrim. Karena apapun bebas, mau shalat. Mungkin tempat lain bisa saja sama kayak di Lapas, tapi tidak suasananya. Sehingga banyak, sebagian besar mereka berharap seperti itu. Bukan berarti dimanjakan, bukan” (wawancara dengan Zarkasih 28 Mei 2012). Zarkasih juga mencontohkan: “…saya dengan tim kecil itu, kontek dengan mereka, saya dialog dengan mereka. Waktu shalat, saat shalat kita berhenti pemeriksaan umpamanya, shalat bareng-bareng, mereka menjadi imamnya, kita jadi ma’mumnya. Jadi lama-lama mereka lihat, “ooo yang selama ini yang dibilang pemerintah atau polisi ini thogut, kok ndak ya? kok sama shalatnya bareng? Ternyata mereka kan mendapat pemahaman yang salah di luar sana itu. Bahwa pemerintah itu musuh, thogut. Mungkin agamanya, Islamnya juga beda. Ternyata setelah sama-sama, lho? Apalagi mereka dipercayakan menjadi imam, yang lainnya ma’mum polisinya, trus penanganannya tidak seperti dunia sana itu, di dunia barat umpamanya, mereka diperlakukan, diborgol kanan-kiri. Kitakan endak kalau diperiksa, itu yang membuat mereka nyaman dan terbuka, ooo ternyata dia salah. Banyak yang merasa: “oooo salah”. Pemerintah ndak seperti itu, digambarkan, propagandanya, pokoknya ditangkap polisi pasti dipukuli, digebuki, diestrum, ternyata enggak. Malah kadang-kadang kayak kafe gitu. Kita Tanya: “mau minum apa Ki? Teh apa kopi?”, “teh saja pak”,
Universitas Indonesia
Disengagement strategi..., Fakhri Usmita, FISIP UI, 2012
78
karena kita tau dia nggak ngopi kan. “kalau mau merokok, monggo”, “maaf pak, kami nggak merokok”, jadi kita tawarkan hal-hal seperti itu. Saat waktu shalat tadi: “eh kita shalat dulu akhi yuk, udah waktunya ini”, “oh iya pak”. Dia wadhu, kita siapkan ruangan khusus, kita shalat bareng, nanti maghrib berhenti lagi, kita shalat, kita makan bareng-bareng gitu kan. Nasi bungkus ni kita beli mungkin dia dua, kita dua, kita beli empat, makan bareng tu. Ada ndak treat yang seperti itu? Belum tentu ada, di dunia sana. Tapi kita mulai kayak gitu. Aneh memang, tapi kita belajar dari culture, budaya Indonesia, ya budaya kelompok-kelompok ini sehingga ketemu. Mereka kadang-kadang memanggil kita “akhi” juga. Berarti kalau sudah seperti itu, kita berharap bisa tune in, link nya itu bisa, radio itu salurannya bisa ketemu, ndak beda frekuensi. Indikasi adanya upaya personil Densus 88 untuk menggunakan “bahasa” yang sama dengan pelaku teroris juga penulis temui pada saat akan melakukan wawancara dengan narasumber Zarkasih. Sebelum wawancara dilakukan, narasumber disambut oleh seseorang berpakaian sipil, yang dari name tagnya tertulis “Densus 88” dimana orang tersebut berpelukan serta saling berciuman pipi dengan narasumber. Selain itu, narasumber juga memiliki jenggot. Hal ini menjadi catatan lapangan penulis. Menurut Sarwono ini telah menjadi tradisi di Densus 88 sejak dipimpin Surya Darma dengan konsep “membaikin” para terperiksa maupun keluarganya (wawancara dengan Sarwono, 13 Juni 2012). Pendekatan disengagement diprediksi dapat diterapkan kepada anggota kelompok teroris dari semua tingkatan pemahaman. Walau kepada para ideolog mungkin memerlukan waktu yang lebih lama dibanding kepada organisator ataupun simpatisannya (wawancara dengan Mufid, 7 Juni 2012). Hal ini tergambar dari pernyataan Zarkasih: “Kalau yang hard core, kita memang tidak, tidak, kita berusaha untuk tetap tidak putus asa, pendekatan terus dengan bagaimana cara, melibatkan juga segala pihak gitu, tapi kembali, kalau mereka bertahan dengan seperti itu, ya, kita hanya mereduksi, kita mereduksi pola pendekatan yang tersebut, maka biarkanlah, yang penting kita tunjukkan bahwa bahwa pemerintah ini tidak membenci person, dengan tidak memusuhi agama dan
Universitas Indonesia
Disengagement strategi..., Fakhri Usmita, FISIP UI, 2012
79
sebagainya, tapi, yang, yang di-ini-kan, yang ditindak adalah kelakuan apa? perilaku kriminalnya itu” (wawancara dengan Zarkasih 28 Mei 2012). Namun usaha apapun demi penanggulangan terorisme patut dilakukan. Sarwono meyakini pendekatan ini dapat diterapkan kepada anggota teroris dari semua tingkatan karena yang dituju adalah kesadarannya, bukan kesadaran akan pemahaman mereka, melainkan kesadaran bahwa tindakan yang mereka lakukan adalah salah dan melanggar hukum (wawancara dengan Sarwono, 13 Juni 2012).
6.5. Lemahnya Sinergisitas Antar Instansi Terkait Lemahnya sinergisitas antar instansi terkait dalam upaya penanggulangan terorisme di Indonesia diakui oleh hampir keseluruhan narasumber penelitian ini. Hal ini dapat terjadi karena masih adanya ego sektoral antar instansi, sehingga menganggap paling berkompeten dalam upaya penanggulangan terorisme. Belum dijadikannya terorisme sebagai musuh bersama dan belum adanya sinergisitas antara instansi pemerintah baik secara vertical maupun horizontal telah menjadi hambatan tersendiri dalam penanggulangan terorisme di Indonesia, tidak hanya bagi program disengagement, tapi juga semua program yang diterapakan. Hal ini sesuai dengan pendapat semua narasumber. Menurut Muzadi: “Ya bareng, jadi misalnya pemerintah mempunyai konsepsi, bareng dilakukan secara masif ke bawah. Inikan ndak ada masifnya. Saya berkalikali ngomong kepada Depdagri, Depag, yang punya alat ke bawah itu, polisi, MUI ini bergabung pada segala tingkatan menggerakkan masyarakat kan bisa mas. Misalnya sekarang bupati, mengumpulkan semuanya, beri penjelasan. Tingkat kecamatan juga begitu. Tetapi ini tidak dilakukan” (wawancara dengan Muzadi 26 Mei 2012). Menurut Baharun: “…semua pihak yang berkepentingan dengan keamanan harus berperan. Bahkan guru-guru di sekolah pun sedini mungkin harus menjelaskan kepada para siswanya, bahkan juga mahasiswa akan hal bahaya terorisme
Universitas Indonesia
Disengagement strategi..., Fakhri Usmita, FISIP UI, 2012
80
yang diawali dengan radikalisme ini. Sebab para operator terorisme ini umumnya adalah anak-anak muda yang memiliki vitalitas dan semangat yang tinggi.” (jawaban narasumber melalui e-mail). Menurut Zarkasih: “….BNPT mempunyai peran core sebagai kordinator semua kementerian termasuk TNI-Polri untuk bahu-membahu melaksanakan program ini. Tentu saja harus organisasi itu harus komprehensif, integral, sementara ini kita kan keknya berjalan masing-masing, sektoral. Ya, Polri sendiri, mungkin TNI sendiri, BNPT sendiri, kementerian agama jalan sendiri” (wawancara dengan Zarkasih 28 Mei 2012). Namun saat ini, masing-masing instansi merasa sebagai yang paling berjasa dalam keberhasilan meminimalisir atau menanggulangi terorisme, bahkan Mufid menganalogikannya sebagai “sesama bis kota yang saling mendahului” (wawancara dengan Mufid, 7 Juni 2012). Sarwono menceritakan, bahwa BNPT sering mengundang beberapa Menteri dari kementerian terkait dalam rangka kordinasi, namun sering dihadiri bukan oleh menteri yang bersangkutan, bahkan tidak jarang adalah pejabat eselon IV, yang bukan penentu kebijakan, dan pejabat yang diutus sering berganti-ganti (wawancara dengan Sarwono, 13 Juni 2012). Menurut Sarwono, “semua unsur pemerintah ini harus berkoordinasi, ada sebuah penelitian,..penelitian itu hasilnya penting banget, kalo BNPT itu mau menerjemahkan, harus seluruh badan pemerintah tergabung, tidak bisa BNPT sendiri” (wawancara dengan Sarwono, 13 Juni 2012). Bahkan menurut Jamil, bila semua instansi termasuk kementerian yang ada dapat bekerja optimal dan saling bahu-membahu, maka tidak perlu lagi ada yang namanya BNPT, karena tidak ada lagi celah-celah untuk munculnya gerakan terorisme. Jamil berkata: “sebenarnya kemeterian di bawah presiden ini harus bekerja secara maksimal, kemeterian agama misalnya, harus bisa melindungi dan menjaga pesantren-pesantren, kementrian ketenaga kerjaan harus bisa membuat lowongan kesempatan kerja, jadi jangan presiden dibuat susah oleh menteri-menterinya ini. Kalaulah menteri-menteri ini bekerja secara
Universitas Indonesia
Disengagement strategi..., Fakhri Usmita, FISIP UI, 2012
81
maksimal dengan mementingkan kepentingan bangsa dan Negara, tentu tidak perlu lagi ada yang namanya badan penanggulangan terorisme dan sebagainya, karena tidak perlu lagi ada badan-badan itu sebenarnya.. karena sudah saling bekerja sama menutup celah-celah terjadinya peluangpeluang orang berpaham radikal dan melakukan gerakan-gerakan teror” (wawancara dengan Jamil, 11 Juni 2012).
6.6. Ringkasan Terdapat beberapa perbedaan pendapat narasumber dalam melihat fenomena permasalahan terorisme di Indonesia, hal ini tentu berhubungan dengan konsep penanggulangan terorisme yang paling efektif dan efesien menurut mereka. Secara ringkas, hasil wawancara tergambar pada tabel 9.
Universitas Indonesia
Disengagement strategi..., Fakhri Usmita, FISIP UI, 2012
82
Tabel 9. Hasil Wawancara
Prof. Dr. H. M. Baharun, SH., MA
K. H. Hasyim Muzadi
H. M. Zarkasih
H. Drs. Ahmad Syafi’i Mufid, MA, APU
H. Muhammad Nasir Djamil, SAg
Terorisme di Indonesia
Dampak dari - Reaksi terhadap - Berakar “Kecelakaan” - Belum pemahaman serbuan dari sejarah dalam perjuangan mengkhawatir agama yang - Adanya sejak kan salah pengaruh perjuangan - Ekses dari dengan pihak kemerdeka terorisme asing an (NII) global - Adanya gerakan - Adanya - By design ingin pengganti kesamaan Azas Pancasila visi dengan teroris asing
Disengagem ent
lebih penting deradikalisa si Apatis
Memandang disengageme nt Hambatan
Militansi yang tinggi
-
-
Ahmad Yani, SH., MH
Prof. Sarlito W. Sarwono
By design - Ketidakpuasan Akibant terhadap dinamika kebijakan global pemerintah - Sejarah perjuangan DI/TII
Dapat dilakukan
Dapat dilakukan
Dapat dilakukan
Dapat dilakukan
Harus dilakukan
Diterapkan
Skeptis
Optimis
Optimis
optimis
optimis
optimis
Indonesia masih berhadapan dengan masalah ekonomi dan penyediaan lapangan pekerjaan Wibawa
Sinergisitas antar instansi yang lemah -
Wibawa pemerintah yang rendah Pelaksanaan yang kurang serius -
Aturan hukum yang belum tertib Tingkat kesejahteraan yang masih rendah Transparansi yang rendah Adanya
Al Chaidar
Lemahnya kordinasi antar instansi
- Escapism dari kenyataan sosial - Akarnya adalah DI, ingin mendirikan Negara Islam Indonesia - Abdulah Sungkar mendirikan JI, ingin mewujudkan daulah islamiyah, termasuk dengan menggunakan teknik perang Penting dilakukan agar mereduksi aksi teroris optimis
- Masih sulitnya kordinasi antar instansi - Tidak akan berhasil jika berorientasi sebagai proyek
-
Kesejahteraan yang tidak merata Masih banyaknya celah untuk merekruit anggota teroris seperti banyaknya korupsi di Indonesia Hanya menjadi
Universitas Indonesia
Disengagement strategi..., Fakhri Usmita, FISIP UI, 2012
83
pemerintah yang rendah Potensi kekuatan penunjang keberhasilan
-
Melalui
-
Fungsional
-
- Mayoritas adalah kelompok moderat - Adanya ancaman hukuman - Penguatan komponen kebangsaan/ kelompok moderat - Keseimbangan dengan pihak Asing - Sinergisitas lembaga pemerintahan - Penguatan peran keluarga
Teroris menengah ke bawah secara ideologis
diskriminasi
Indonesia didominasi kalangan moderat/modera si pemahaman
peran elemen masyarakat yang moderat
birokratisasi
Penguatan peran masyarakat ulama independen
Seluruh elemen mayarakat, termasuk pemerintah
Islam mengajarkan untuk lebih condong pada perdamaian
- Pendekata n humanis, dialogis - Memenuhi permintaa n selagi rasional - Sinergisita s antar lembaga - Peran keluaga
- Perubahan - Peranserta Dialog, - Sinergisitas - reintepretatif makna paradigma ormas-ormas terutama oleh semua elemen - Reintegrasi - Pemerataan dalam keagamaan ulama terkait memandang - Pemberian - Dialog empat pembangunan pelaku alternative mata - Peran aktif lain - Persuasif ulama - Pemerataan - Pemberdayaan “independent” kesejahteraan - Pendekatan (netral) cultural, narasi - Pemisahan alternative tokoh dan - Pengawasan follower dan bimbingan - Reedukasi dan diberdayakan Teroris Kepada Terorisme tidak Kepada Di semua Kalangan dengan menengah keseluruhannya, muncul lagi tokoh-tokoh tingkatan pemahaman ke bawah termasuk mereka pemahaman menengah ke bawah secara ideolog ideologis
Sumber: Hasil Wawancara Narasumber
Universitas Indonesia
Disengagement strategi..., Fakhri Usmita, FISIP UI, 2012
BAB 7 PEMBAHASAN
7.1. Terorisme di Indonesia Menurut Forest (lihat Bab 2 halaman 22), sebelum menentukan strategi yang akan digunakan, terlebih dahulu diidentifikasi “organisasi apa” atau “siapa” yang akan kita hadapi. Untuk permasalahan terorisme di Indonesia, akar perkembangan kelompok teroris talah ada bahkan sejak sebelum Indonesia merdeka, sebagian mereka yang terlibat teroris bahkan pernah ikut dalam perjuangan kemerdekaan. Gerakan ini berawal dari rasa ketidakpuasan atau kekecewaan terhadap kebijakan yang diambil oleh pemerintah pada saat itu. Pada awalnya gerakan ini mengambil pola-pola militer dan memiliki susunan layaknya struktur pemerintahan formal. Kelompok teroris yang ada di Indonesia saat ini tidak terlepas dari keinginan DI untuk mendirikan Negara Islam Indonesia, pada perkembangan selanjutnya JI (merupakan sempalan DI) kemudian berkeinginan mendirikan global chalipath yang memiliki persamaan visi dan misi dengan kelompok teroris internasional sehingga terjalin kerjasama dan kemudian manjadi bagian dari jaringan teroris internasional. Dalam pemahaman perjuangan JI, saat ini Negara Islam Indonesia sudah tidak ada, sehingga perjuangan mereka dilakukan dengan cara-cara “perang” (wawancara dengan Al Chaidar 14 Juni 2012), suatu cara yang oleh Mufid dianggap sebagai “kecelakaan” dalam perjuangan, karena tidak akan pernah berhasil mencapai tujuan perjuangan yang ditempuh dengan menggunakan jalan terorisme (wawancara dengan Mufid, 6 Juni 2012). Pada awalnya, kelompok JI memfokuskan perlawanan kepada rezim orde baru yang dianggap sebagai pemerintahan yang telah murtad dan wajib diperangi, namun setelah peristiwa serangan terhadap World Trade Center dan Pentagon pada 11 September 2001, yang memberikan inspirasi baru bagi anggota JI untuk melakukan penyerangan kapada seluruh kepentingan Amerika Serikat dan sekutunya di manapun berada, sebagai jawaban atas maklumat Osama bin Laden pada 1998 (Solahudin 2011, 227). 84 Universitas Indonesia
Disengagement strategi..., Fakhri Usmita, FISIP UI, 2012
85
Berdasarkan karakteristik umum kelompok teroris yang dikemukakan oleh Whittaker (2010, 10), maka perjuangan JI dengan menggunakan tindakantindakan kekerasan yang terencana dalam upaya pencapaian tujuan politik berupa terwujudnya kembali khalifah (pemerintahan berlandaskan ajaran Islam) hingga menyebabkan jatuhnya korban yang tidak seharusnya, mengintimidasi pihak lain, dan menimbulkan rasa ketakutan khalayak luas, dan menimbulkan ketidakstabilan keamanan, ini yang kemudian menempatkan kelompok ini sebagai kelompok teroris. Walau kelompok JI melakukan kampanye “perang”nya, namun “perang” yang mereka lakukan tidak seperti perang konfensional pada umumnya. Berdasarkan target atau sasaran dari serangan mereka, umumnya ditujukan kepada fasilitas umum ataupun orang-orang sipil tanpa “pandang bulu”. Hal ini menempatkan aksi-aksi yang dilakukan oleh kelompok JI ini bertentangan dengan hukum humaniter (Konvensi Jenewa tentang perang). Hal inilah yang menjadi pembeda antara aksi teroris dengan pejuang kemerdekaan, revolusioner, anggota oposisi demokratis, ataupun tentara pembebasan nasionalis (Lutz dan Lutz 2004, 8). Berdasarkan karakteristik sasaran dari serangannya yang dikemukakan oleh Lutz dan Lutz (2004), maka aksi-aksi yang dilakukan oleh kelompok JI ataupun sel-selnya bukanlah suatu bentuk gerakan perjuangan pembebasan atau revolusi nasionalis, melainkan suatu tindakan teroris. Sehingga pendekatan yang dilakukanpun haruslah berbeda dengan pendekatan yang pemerintah lakukan terhadap kelompok perjuangan pembebasan lainnya. Selain itu, aksi-aksi teroris juga harus dibedakan dengan tindakan kejahatan konfensional pada umumnya. Untuk membedakan kejahatan terorisme dengan kejahatan konfensional lainnya dapat dilihat dari motivasi yang melatari aksi tersebut (Levin, 2006, 6). Pada awalnya gerakan perlawanan DI didasari oleh rasa ketidakpuasan terhadap kebijakan pemerintah pada saat itu, namun seiring berkembangnya faksi-faksi dalam gerakan ini, motivasinyapun menjadi berbeda. Salah satunya adalah JI (merupakan sempalan dari DI), yang berkeinginan membentuk pemerintahan Islami universal, mencakup kawasan Asia Tenggara dan Australia. Hal ini tentu berbeda dengan motivasi yang melatari terjadinya
Universitas Indonesia
Disengagement strategi..., Fakhri Usmita, FISIP UI, 2012
86
kejahatan jenis lainnya seperti perampokan, pembunuhan, atau pencurian yang dimotivasi oleh tujuan ekonomi. Seperti kelompok induknya, JI juga menaiki agama dengan menggunakan isu-isu, jargon-jargon maupun simbol-simbol agama guna memperlancar aksiaksinya, termasuk sebagai upaya pembenaran atau netralisasi terhadap aksi kekerasan yang mereka lakukan. Tindakan-tindakan kekerasan yang mereka anggap benar berdasarkan jargon-jargon atau dalil-dalil pembenaran terhadap perbuatan mereka ini menurut Bandura sebagai bukti keberhasilan rekonstruksi suatu perbuatan tercela menjadi suatu perbuatan yang dapat dibenarkan. Menurut Bandura, hal inilah yang menyebabkan para pelaku dapat melakukan suatu perbuatan yang bagi kalangan umum dianggap sebagai “kejam” atau “tidak masuk akal” menjadi suatu hal yang bagi mereka suatu “keharusan” bahkan “membanggakan”. Seperti pendapat Paulus (2007), bahwa terorisme adalah cara berfikir yang diwujudkan dalam tindakan berupa penggunaan aksi teror sebagai teknik untuk mencapai tujuan. Demikian pula dengan JI, dimana untuk mencapai tujuannya, melakukan beragam aktivitas, mulai dari menyebarkan propaganda-propaganda, rekrutmen, pelatihan, pengumpulan dana, dan aksi-aksi teror. Tindakan mereka saat ini umumnya ditujukan kepada simbol-simbol kepentingan Amerika Serikat dan sekutunya, maupun kepada kelompok-kelompok yang dianggap bertentangan dengan pemahaman yang mereka anut. Pemikiran-pemikiran yang membenarkan penggunaan cara-cara kekerasan dalam upaya pencapaian tujuan politik mereka ini kemudian ditransformasikan kepada anggota atau pengikut lainnya melalui –yang diistilahkan oleh Baharun– “cuci otak”. Menyadari akan besarnya dampak yang dapat ditimbulkan dari tindakan teroris ini, maka Indonesia memberikan ancaman hukuman yang relatif berat terhadap tindak pidana teroris ini berupa minimal 4 (empat) tahun penjara, atau terberat adalah hukuman mati (Pasal 6 UU No 15 Tahun 2003). Manyadari bahwa penanggulangan aksi teror tidak cukup hanya dengan pendekatan militer ataupun penegakan hukum semata, melainkan perlu dilakukan pula upaya pendekatan lain guna mereduksi berkembangnya kelompok teroris di Indonesia.
Universitas Indonesia
Disengagement strategi..., Fakhri Usmita, FISIP UI, 2012
87
7.2. Anti Teror dan Counter-Terrorism Tindakan anti teror secara sederhana diartikan sebagai kebijakan “memotong jalan” dalam upaya penanggulangan terorisme, dimana kebijakan ini lebih mengedepankan kepada pendekatan intelijen, militer, ataupun kekuasaan pemerintah. Kebijakan anti teror umumnya memberikan peluang bagi militer ataupun intelijen melakukan upaya-upaya penanggulangan terorisme. Sedangkan counter-terrorism, selain berupa respon terhadap serangan teroris, tetapi terdapat juga upaya pencegahan terhadap aksi teror di masa datang (Stohl, dalam Richardson .edt, 2006, 57). Perbedaan antara anti teror dan counterterrorism dapat terlihat pada tabel 4. Upaya pelemahan kelompok ekstrimis sebenarnya pernah diterapkan dalam mereduksi aktifitas kelompok ekstrimis di Indonesia. Pelemahan kelompok-kelompok tersebut lebih cenderung melalui pendekatan defeksi, yaitu merekrut mereka-mereka yang “membelot” atau menyusupkan agen-agen intelijen guna membuat perpecahan dari dalam kelompok tersebut. Namun adanya aksi-aksi teror yang terjadi merupakan bukti belum berhasilnya operasi intelijen yang dilakukan. Pada perkembangan selanjutnya, pendekatan militeristik di banyak negara dianggap kurang efektif dalam penanggulangan terorisme, sehingga dilakukan upaya-upaya lain dalam penanggulangan terorisme ini. Di Inggris misalnya, berdasarkan pengalaman penanggulangan aksi teror oleh kelompok PIRA, dimana pemerintah Kerajaan Inggris lebih mengedepankan penegakan hukum dan negosiasi kepada para elit PIRA daripada penggunaan kekuatan militer. Pada perkembangannya ternyata pendekatan ini dinilai berhasil mereduksi aksi terror oleh kelompok tersebut. Kemudian keberhasilan program ini diadaptasi dalam program penanggulangan kelompok Al-Qaeda di Inggris. Di Inggris, upaya menetralisir kekuatan kelompok ekstrimis tersebut dilakukan dengan meminimalisir potensi sumberdayanya, termasuk sumberdaya pendanaan, dan rekruitmen anggota baru. Hal ini dilakukan melalui pembentukan tim polisi lokal khusus yang memiliki keahlian dalam negosiasi guna mengadakan pendekatan kepada tokoh-tokoh agama ataupun orang-orang yang memahami seluk-beluk dan sepak terjang kelompok Al Qaeda. Selanjutnya tokoh-tokoh
Universitas Indonesia
Disengagement strategi..., Fakhri Usmita, FISIP UI, 2012
88
agama ini berperan aktif dalam membentengi pemuda-pemuda komunitasnya dari keterlibatan dengan kelompok ekstrimis. Upaya counter-terrorism di Inggris ini berupaya mengubah perilaku seseorang
melalui
pendekatan
kekeluargaan
ataupun
komunitas,
guna
mengalihkan gerakan perjuangan yang membenarkan penggunaan perbuatan yang bertentangan dengan hukum menjadi perjuangan dengan menggunakan jalur-jalur politik formal. Upaya untuk merubah perilaku dari melakukan cara-cara kekerasan menjadi cara-cara non kekerasan ini juga dikenal sebagai pendekatan behavioral, dan salah satu bentuk dari pendekatan behavioral adalah disengagement.
7.3. Disengagement Penanggulangan terorisme dengan menerapkan pendekatan disengagement di Inggris, lebih ditujukan kepada lingkup komunitas yang relatif kecil ataupun terbatas pada kasus-kasus individu, namun demikian program ini telah dapat meminimalisir perkembangan kelompok ekstrimis dalam hal ini Al-Qaeda. Program ini selain menempatkan polisi, juga meletakkan tokoh agama dan pihak keluarga sebagai “ujung tombak”nya. Upaya disengagement kelompok teroris di Inggris diawali dengan dibangunnya komunikasi ataupun negosiasi antara pihak polisi lokal dengan tokoh-tokoh agama, dengan target awal para tokoh agama tersebut dapat menjadi lebih demokratis dan mau memperjuangkan aspirasinya melalui jalur politik formal. Selanjutnya tokoh agama tersebut melakukan pendekatan kepada keluarga-keluarga yang ada dikomunitasnya untuk melakukan negosiasi terutama kepada kaum muda mereka agar menjauhi kelompok Al-Qaeda. Namun bila hal tersebut tidak berhasil, maka sang tokoh agama tersebut akan melaporkannya kepada pihak keamanan guna dilakukan pendekatan hukum. Walau program ini terkesan sebagai upaya “memecah belah” komunitas, namun secara keseluruhan dianggap berhasil menghambat laju pertumbuhan organisasi ekstrimis. Peran tokoh agama atau ulama serta keluarga dalam hal melindungi anggota keluarga atau komunitasnya dari keterlibatan dengan kelompok teroris. Penempatan anggota keluarga sebagai “ujung tombak” dalam upaya disengage anggota
Universitas Indonesia
Disengagement strategi..., Fakhri Usmita, FISIP UI, 2012
89
kelompok teroris juga berhasil diterapkan di kawasan Eropa Barat, terutama di Norwegia. Penempatan pihak keluarga sebagai ujung tombak strategi disengagement cukup beralasan, karena menurut Bjorgo (seperti dikutip Fink dan Hearne, 2008; Noricks 2009) pihak keluarga adalah salah satu faktor penarik bagi keluarnya seseorang dari kelompoknya. Strategi ini dilakukan melalui pendampingan dan penguatan kepada keluarga inti dari pelaku, dan pemberian pemahamanpemahaman
tentang
perilaku
yang
tidak
bertentangan
dengan
hukum
dihadapi
Indonesia,
pelibatan
pihak
(mainstream). Dalam
permasalahan
yang
keluargapun dapat dilakukan sebagai bentuk dari counter radikalisasi, yaitu suatu upaya pencerahan kepada pihak-pihak yang pernah terkontaminasi paham-paham radikal, dan diharapkan kemudian pihak keluarga ini memberi penguatan bagi upaya penyadaran anggota keluarganya. Dalam kultur sosial Indonesia, peran keluarga masih cukup kuat dalam menentukan kehidupan anggotanya, dan hal ini menjadi suatu kekuatan tersendiri bagi keberhasilan strategi ini di Indonesia. Untuk itu, pihak keluarga dari anggota terorispun harus diberi konseling dan pendampingan, karena pada dasarnya mereka juga adalah korban yang harus ditolong bahkan pendampingan dalam upaya reintegrasi sosial. Tentu saja keberhasilan program ini tidak hanya disebabkan oleh satu atau beberapa elemen saja, melainkan harus saling bahu-membahu antar semua elemen yang ada hingga memperkuat daya penarik bagi seseorang untuk keluar dari kelompok ekstrimis. Yang menarik bila kita melihat program yang dijalankan oleh pemerintah Kolombia, dimana Pemerintah Kolombia selain melakukan dialog dan pendekatan psikologis, pemerintah Kolombia telah memberikan “kompensasi” kepada anggota FARC yang mau meninggalkan kelompoknya berupa relokasi, prioritas memperoleh pekerjaan, maupun pendidikan atau keterampilan (Whittaker 2009, 192; Fink dan Hearne 2008, 5). Program yang diterapkan kepada partisan program ini diawali dengan mengidentifikaasi faktor “pendorong” dan faktor “penarik” seseorang keluar dari kelompoknya. Adapun faktor pendorong yang sering digunakan adalah adanya rasa trauma karena kehilangan teman seperjuangan, rasa tidak puas terhadap
Universitas Indonesia
Disengagement strategi..., Fakhri Usmita, FISIP UI, 2012
90
pimpinan kelompok, rasa tertekan karena hidup dalam pelarian, keinginan untuk hidup normal, dan adanya tekanan dari pihak keluarga (Fink dan Hearne 2008, 5). Kebijakan pemerintah Kolombia ini sesuai dengan konsep disengagement yang dikemukakan oleh Bjorgo tentang faktor “penarik” dan “pendorong” seseorang untuk keluar dari kelompoknya. Selain itu, tidak jarang upaya membangkitkan kenangan indah sebelum mereka menjadi anggota FARC dijadikan “pintu masuk” bagi upaya menarik mereka dari kelompoknya. Upaya membangkitkan kenangan indah ini kemudian akan menjadi bahan perbandingan atas apa yang mereka alami selama bergabung dengan FARC. Hal ini sesuai dengan pendapat Horgan, bahwa untuk mendisengage seseorang secara fisik dari kelompoknya, dilakukan melalui disengagement psikis terlebih dahulu, karena menurut Horgan, kenangan indah masa lalu dapat mempengaruhi keberhasilan disengagement psikologis. Walau program yang diterapkan pemerintah Kolombia ini belum berhasil 100%, namun program ini patut diapresiasi mengingat itikad baik pemerintah memberi perhatian kepada individu yang ingin keluar dari kelompoknya. Adapun kendala keberhasilan program ini di Kolombia terutama pada mereka yang berusia muda, sebagian besar menolak mengikuti program pendidikan ataupun latihan keterampilan, hal ini menyebabkan mereka tidak dapat bekerja dengan baik dan benar sehingga sebagian besar kemudian menganggur, dan menyulitkan mereka untuk berinteraksi kembali dengan masyarakat. Selain itu merelokasi mereka secara masal kemudian mendatangkan permasalahan tersendiri, sehingga banyak dari mereka kembali ke daerah asalnya (Fink dan Hearne 2008, 6). Berdasarkan laporan Fink dan Hearne (2008) bahwa keputusan kelompok Gama’a al Islamiyah di Mesir tidak lagi menggunakan kekerasan telah berpengaruh kepada kelompok lainnya seperti al-Jihad, demikian pula pada anggota kelompok ini. Banyak diantara anggota kelompok al-Jihad yang keluar dari kelompoknya setelah melihat fasilitas yang diterima anggota kelompok Gama’a al-Islamiyah. Merujuk pendapat Bjorgo, keberhasilan disengagement individu ataupun kelompok lain, terlebih bila diikuti pemberian kompensasi dapat menjadi “penarik” bagi individu atau kelompok lainnya untuk tidak lagi menggunakan cara-cara kekerasan (Fink dan Hearne 2008; Noricks 2009).
Universitas Indonesia
Disengagement strategi..., Fakhri Usmita, FISIP UI, 2012
91
7.4. Disengagement di Indonesia Seperti pendapat Forest (pada Bab 2), sebelum menetapkan suatu strategi, terlebih dahulu diidentifikasi kelompok yang akan dihadapi, komponenkomponen pendukungnya, serta faktor-faktor penghambat dan penunjang keberhasilan strategi yang akan diterapkan. Mengingat akar permasalahan terorisme di Indonesia berbeda dengan akar permasalahan terorisme di negara lain, serta perbedaan potensi kekuatan yang dimiliki Indonesia, maka strategi yang diterapkanpun berbeda, walau tidak tertutup untuk mengadopsi strategi yang telah berhasil diterapkan oleh negara lain. Dari hasil pengumpulan data diperoleh bahwa tidak semua narasumber menyetujui penerapan disengagement sebagai strategi penanggulangan terorisme di Indonesia. Baharun menganggap tidak penting untuk ‘memutus-ikatan” seseorang teroris dengan kelompoknya, melainkan yang terpenting adalah melakukan deradikalisasi pemikiran orang tersebut (lihat Bab 6, Hasil Wawancara). Menarik disimak pernyataan Sarwono tentang pelaksanaan program deradikalisasi di Indonesia yang belum dilakukan sesuai konsep idealnya. Selain menemui kebuntuan ketika diskusi yang dilakukan mulai masuk dalam ranah ideologi pelaku, juga perlakuan yang diberikan oleh petugas terkait belum mencerminkan keinginan yang serius untuk melakukannya (wawancara dengan Sarwono, 13 Juni 2012). Untuk itu, menurut Sarwono, level pendekatan harus diturunkan. Tidak lagi masuk dalam ranah ideologi, melainkan pada level keseharian atau dengan kata lain ranah perilaku (behavioral). Hal ini sesuai dengan pendapat Rabasa et.al (2010), bahwa pendekatan deradikalisasi pada kelompok radikal berbasis agama Islam akan lebih sulit dilakukan, karena bagi mereka, ideologi jihadi merupakan ajaran agama yang tidak mungkin dihilangkan dari pemahaman mereka. Oleh karena itu perlu dipertimbangkan penggunaan strategi lain yaitu disengagement dalam upaya penanggulangan terorisme di Indonesia.
Universitas Indonesia
Disengagement strategi..., Fakhri Usmita, FISIP UI, 2012
92
Tentu saja, sebelum pemilihan penggunaan disengagement dalam upaya penanggulangan terorisme di Indonesia terlebih dahulu perlu diperhitungkan potensi-potensi yang dapat menjadi faktor penunjang maupun penghambat keberhasilan strategi ini.
7.4.1. Faktor Penunjang Dari hasil wawancara terhadap pendapat beberapa tokoh dan tinjauan naskah tekstual diperoleh faktor penunjang yang memungkinkan pelaksanaan disengagement di Indonesia antara lain: kuatnya ikatan keluarga di Indonesia, kemampuan dan kemauan pemerintah memenuhi kebutuhan atau keinginan dari anggota teroris yang ingin keluar, masyarakat dan komunitas Muslim yang didominasi oleh kalangan moderat, serta perubahan paradigma Polri dalam penanganan pelaku teroris. Selain ikatan kekeluargaan yang masih kuat di tengah-tengah masyarakat Indonesia, pemberian insentif juga dapat dilakukan sebagai bagian dari strategi disengagement di Indonesia. Fink dan Hearne (2008); Noricks (2009) mengutip keyakinan Bjorgo bahwa pemberian insentif ekonomi sebagai kompensasi bagi individu
dapat menjadi faktor
penarik seseorang untuk
meninggalkan
kelompoknya. Walau hal ini dianggap kurang tepat untuk diterapkan di Indonesia. Setidaknya demikian pendapat yang dikemukakan oleh Muzadi dan Al Chaidar. Menurut Muzadi, pemberian kompensasi seperti pemberian uang ataupun pekerjaan bagi anggota kelompok teroris yang mau meninggalkan kelompoknya dianggap belum menyelesaikan permasalahan yang ada, mengingat secara umum Indonesia saat ini menghadapi permasalahan ekonomi dan terbatasnya lapangan pekerjaan. Hal ini menurut Muzadi hanya akan menimbulkan permasalahan baru seperti kecemburuan sosial bagi mereka yang berasal dari ekonomi lemah, tidak mempunyai pekerjaan, dan bukan teroris (wawancara dengan Muzadi, 26 Mei 2012). Menurut Al Chaidar, pemberian kompensasi berupa bantuan ekonomi atau pekerjaan, keberhasilannya hanya untuk sementara waktu. Sebatas uang mereka belum habis atau ketika mereka belum menemui suatu permasalahan sulit yang
Universitas Indonesia
Disengagement strategi..., Fakhri Usmita, FISIP UI, 2012
93
tidak terselesaikan terkait pekerjaannya. Bila uang mereka telah habis, atau menemui suatu permasalahan yang tidak terselesaikan, maka mereka sangat mungkin untuk kembali lagi ke kelompoknya. Sebenarnya keraguan Al Chaidar dan Muzadi ini telah diantisipasi oleh Mufid dan Sarwono. Menurut Mufid, kecemburuan sosial itu dapat ditekan jika bantuan yang diberikan dilakukan secara terbuka dan transparan, bahwa bantuan tersebut diberikan bukan kepada pelaku kejahatan, melainkan kepada korban, yaitu korban bencana sosial (wawancara dengan Mufid, 7 Juni 2012). Sarwono berkeyakinan bahwa kepada mereka yang ingin keluar dari kelompoknya dapat diberikan lapangan usaha sesuai dengan keahlian mereka, dan dilakukan pendampingan maupun bantuan secara berkala. Hal ini bertujuan selain memantau aktifitas mereka agar tidak lagi menyimpang, memberikan solusi-solusi atas permasalahan yang mereka temui, juga sebagai bentuk perhatian yang tidak lepas kepada mereka (wawancara dengan Sarwono, 13 Juni 2012). Menurut pendapat Sarwono tentang pemberian bantuan ekonomi, bukan pada besarnya jumlah bantuan tersebut, namun pada kesinambungan bantuan dan pendampingan terhadap pemanfaatan bantuan tersebut. Walau kurang menyetujui pemberian kompensasi berupa bantuan ekonomi kepada mantan anggota teroris, namun Muzadi berpendapat bahwa upaya mereduksi terorisme dapat dilakukan dengan mendisengage kelompok teroris dengan potensi sumberdayanya,
yaitu
masyarakat ataupun keluarganya.
Sumberdaya tersebut baik berupa sumber potensi rekrutmen anggota, juga sumber dana bagi operasional mereka. Untuk itu, masyarakat Indonesia yang di dominasi oleh kalangan moderat harus diberikan perhatian khusus terutama terkait pemberian edukasi tentang semangat kebangsaan. Hal ini sesuai dengan pendapat Whitthaker, dimana dalam upaya counterterrorism maka kelompok teroris harus dapat dipisahkan dari masyarakat sekitarnya, karena tidak jarang kelompok teroris memperoleh dukungan dari masyarakat, atau bahkan menjadikan masyarakat sebagai perisai mereka (Witthaker 2002, 182). Upaya pemisahan itu harus dilakukan secara bertahap, mulai dari pengumpulan data intelijen, hingga membangun kesadaran dan penguatan daya tolak terhadap kelompok teroris.
Universitas Indonesia
Disengagement strategi..., Fakhri Usmita, FISIP UI, 2012
94
Penguatan masyarakat ini secara tidak langsung akan memperlemah kelompok-kelompok menyimpang, sehingga menjadi faktor penarik bagi anggota kelompok untuk keluar dari kelompoknya. Kelompok masyarakat yang moderat, yang menolak penggunaan cara-cara kekerasan yang semena-mena, tentu tidak akan membenarkan penggunaan cara-cara teror, sehingga akan mengucilkan pengguna cara-cara teror dari kehidupan sosial yang normal. Bila hal ini terjadi, menurut Horgan (2005), ini dapat menjadi “bibit” bagi tumbuhnya disengagement secara psikologis. Demikian Horgan memandang peran penting dari masyarakat bagi keberhasilan penanggulangan terorisme. Menurut Bjorgo, seperti dikutip Fink dan Hearne (2008) dan Noricks (2009), masyarakat dapat menjadi faktor penarik bagi seseorang untuk keluar dari kelompoknya. Di sini, masyarakat yang moderat dapat menjadi penarik bagi mereka yang ingin keluar dari kelompoknya dengan lebih membuka diri menerima reintegrasi mereka yang telah keluar dari kelompoknya. Faktor penunjang lainnya adalah adanya itikad dan kesanggupan pemerintah untuk memenuhi keinginan dari seorang pelaku, selagi permintaan itu masuk akal dan dapat dipenuhi. Menurut Sarwono, motivasi seseorang berbeda satu sama lain,
namun pada dasarnya cenderung pada hal-hal yang
menyenangkannya. Untuk itu, Horgan (2005, 39) mengutip Crenshaw bahwa terlebih dahulu diperlukan untuk mengetahui motivasi yang melatari seseorang untuk mau melakukan tindak teror. Hal ini bertujuan agar pihak terkait dapat memberikan sesuatu yang lebih menjanjikan atau tawaran yang lebih menyenangkan sebagai bentuk motivasi “tandingan”, sehingga diharapkan mereka tidak lagi melakukan tindak kekerasan. Melalui perubahan motivasi ini, diharapkan dapat merubah orientasi ataupun skala prioritas dari seseorang dalam mengambil keputusan. Perubahan orientasi (terutama para ideolog atau para pemimpin kelompok) dan skala prioritas merupakan faktor pendorong sekaligus penarik bagi seseorang untuk keluar dari kelompoknya. Perubahan skala prioritas menurut Bjorgo (seperti dikutip Fink dan Hearne, 2008; Noricks, 2009) merupakan faktor penarik seseorang untuk meninggalkan penggunaan cara-cara terorisme. Faktor penarik ini berpengaruh
Universitas Indonesia
Disengagement strategi..., Fakhri Usmita, FISIP UI, 2012
95
pada seseorang ketika orang tersebut dihadapkan pada adanya pilihan lain yang dianggapnya lebih menguntungkan atau lebih menyenangkan dibanding terlibat dalam kelompok teroris, sehingga orang tersebut lebih memilih tawaran yang dianggapnya menyenangkan dan meninggalkan kelompoknya. Selain itu, perubahan orientasi dapat terjadi seiring pengalaman yang mereka peroleh selama menjalani proses pemeriksaan di kepolisian. Hal ini menjadi faktor pendukung lain bagi kemungkinan keberhasilan penerapan disengagement. Pada proses pemeriksaan yang dilakukan oleh kepolisian Indonesia, Polri telah menerapkan pendekatan yang humanis. Pendekatan humanis dilakukan oleh kepolisian ini telah banyak mengubah persepsi anggota teroris terhadap aparat pemerintah khususnya kepada pihak kepolisian, sehingga mereka menjadi lebih terbuka kepada pihak Polri. Apa yang telah dilakukan oleh Polri ini mendapat apresiasi positif setidaknya dari Rabasa dalam Rabasa et.al. (2010, 107). Selain pendekatan humanis, Polri dalam hal ini Densus 88 telah berupaya untuk menggunakan simbol-simbol maupun istilah-istilah yang sama dengan yang digunakan oleh kalangan terorisme, seperti penggunaan kata-kata “akhi”, “ikhwan”, berpelukan serta berciuman pipi, dan lain sebagainya. Hal ini menurut Zarkasih dapat merubah persepsi pelaku teroris terhadap para penegak hukum dalam hal ini Polri, yang mana menurut Bjorgo kemudian dapat menjadi pendorong mereka untuk bekerjasama dengan pihak kepolisian. Kemauan untuk bekerjasama dengan aparat penegak hukum ini dapat menjadi indikasi awal mereka mulai mengakui adanya struktur hukum formal. Laporan ICG pada tahun 2007 menyebutkan bahwa perubahan orientasi pada Nasir Abas dan Ali Imron telah berkontribusi positif bagi upaya penanggulangan terorisme di Indonesia. Hal ini sesuai dengan penjelasan Bjorgo yang dikutip oleh Fink dan Hearne (2008), bahwa perubahan cara pandang para petinggi kelompok teroris dapat menjadi faktor pendorong terutama bagi pengikut atau mereka yang direkrut oleh yang bersangkutan untuk juga meninggalkan penggunaan cara-cara terorisme. Faktor pendukung lainnya adalah ummat Muslim di Indonesia. Secara umum, ummat Muslim di Indonesia memiliki kecenderungan pemikiran yang
Universitas Indonesia
Disengagement strategi..., Fakhri Usmita, FISIP UI, 2012
96
jelas, terdiri dari dua kelompok besar yakni Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama, dimana masing-masing memiliki pengikut yang cukup banyak dan tersebar luas di Indonesia. Pemberdayaan komunitas-komunitas agama yang memiliki kecenderungan pemikiran yang jelas dalam rangka mereduksi pertumbuhan kelompok teroris ini sesuai dengan apa yang digambarkan oleh Lambert (2008, 31), serta strategi yang telah diterapkan oleh Kerajaan Inggris . Komunitas muslim yang didominasi oleh kelompok yang memiliki kecenderungan pemikiran yang jelas ini merupakan kekuatan tersendiri bagi keberhasilan disengagement anggota kelompok terorisme, minimal mereduksi perkembangan kelompok teroris melalui upaya pencegahan rekrutmen anggota kelompok teroris. Pada wilayah ini, tokoh agama masing-masing komunitas sangat berperan guna menyebarkan faham agama yang benar, yang mendelegitimasi penggunaan cara-cara kekerasan, melalui rekonstruksi makna perbuatan tercela (Crenshaw, 2000, 410). Dengan adanya rekonstruksi makna tersebut, diharapkan akan mendeligitimasi
penggunaan
kekerasan,
sehingga
akan
meminimalisir
pengulangan dan peniruan penggunaan kekerasan dalam upaya mencapai tujuan.
7.4.2. Faktor Penghambat Al Chaidar berkeyakinan peluang keberhasilan disengagement lebih besar dibanding hambatannya (wawancara dengan Al Chaidar, 14 Juni 2012). Berdasarkan
data
primer
penelitian,
hambatan
utama
dari
penerapan
disengagement sebagai strategi penanggulangan terorisme di Indonesia adalah lemahnya sinergisitas antar instansi terkait dalam upaya penanggulangan terorisme di Indonesia. Pendapat bahwa lemahnya sinergisitas antar instansi ini setidaknya datang dari Muzadi, Zarkasih, Mufid, Sarwono, dan Al Chaidar. Menurut
mereka,
lemahnya
kerjasama
ini
dikarenakan
masih
mengedepankan ego korps atau instansi, menganggap paling berjasa, atau bahkan merasa bukan tanggung jawab instansinya, sehingga terorisme belum dianggap sebagai musuh bersama. Sarwono
mencontohkan,
dalam
rangka
kordinasi
BNPT
pernah
mengundang menteri-menteri terkait, namun tidak jarang yang diutus adalah
Universitas Indonesia
Disengagement strategi..., Fakhri Usmita, FISIP UI, 2012
97
pejabat bukan pengambil kebijakan, ataupun pejabat yang hadir tidak sering berganti-ganti (wawancara dengan Sarwono, 13 Juni 2012). Adanya kasamaan pandangan terhadap apa itu terorisme merupakan salah satu syarat penunjang keberhasilan penanggulangan terorisme. Hal ini sesuai dengan pendapat Whitthaker (2002, 182), bahwa dalam upaya penanggulangan terorisme diperlukan adanya unity of effort, atau kesamaan pandang terhadap apa itu terorisme, sehingga lembaga-lembaga yang ada dapat saling bahu-membahu dalam upaya penanggulangan terorisme. Bila kesamaan pandang ini belum terbentuk, maka sebagus apapun konsep strategi penanggulangan terorisme di Indonesia, tidak akan berhasil sebagaimana yang diharapkan. Belum mampunya Indonesia mewujudkan kemakmuran yang merata bagi seluruh rakyatnya diyakini oleh sebagian besar narasumber merupakan hambatan tersendiri bagi penerapan disengagement di Indonesia (Muzadi, Mufid, Sarwono, Jamil, Al Chaidar). Walau faktor kemiskinan ekonomi masih menjadi perdebatan sebagai faktor pendorong langsung seseorang untuk bergabung dengan kelompok terorisme, setidaknya sanggahan datang dari Brym dan Araj (2006, 1971). Namun menurut Bjorgo (seperti dikutip Fink dan Hearne, 2008; Noricks, 2009), pemberian insentif ekonomi ataupun kesempatan memperoleh perbaikan kondisi ekonomi dapat menarik seseorang untuk keluar dari kelompoknya.
7.4.3. Instrumen Mengingat aksi-aksi terorisme di Indonesia yang menunggangi agama sebagai pembenaran mereka, sebenarnya kalangan agamalah yang paling dirugikan oleh adanya aksi terorisme ini, maka kalangan agama juga berkepentingan untuk melakukan upaya mereduksi terorisme ini. Untuk itu peran ulama perlu lebih ditingkatkan (strategi yang diterapkan Arab Saudi dan Mesir seperti pada Bab 5). Dalam rangka pencapaian tujuan jangka pendek (lihat Forest pada Bab 2), peran tokoh agama (ulama) dapat menjadi sentral dalam upaya menanamkan pemahaman agama yang benar, tidak lagi tekstual, melainkan lebih kontekstual dalam
bingkai
keIndonesiaan.
Melalui
peran
ulama
diharapkan
dapat
mengedukasi masyarakat luas tentang makna dan aplikasi yang sebenarnya dari
Universitas Indonesia
Disengagement strategi..., Fakhri Usmita, FISIP UI, 2012
98
ajaran-ajaran agama (Lihat Bandura, Bab 2). Di sinilah peran ulama sebagai pendorong keberhasilan seseorang keluar dari kelompoknya (lihat tabel 6 pada Bab 2). Instrument lainnya yang dapat menjadi ujungtombak pelaksanaan disengagement di Indonesia adalah pihak keluarga, mengingat masih kuatnya ikatan kekeluargaan di tengah masyarakat Indonesia. Namun dalam kekuatan tersebut, kalangan keluargapun tidak jarang menjadi sumber potensi mereka merekrut anggota kelompoknya. Oleh karena itu, keluarga harus mendapat perhatian khusus dalam upaya penanggulangan terorisme di Indonesia. Adapun perhatian tersebut berupa penguatan terhadap keluarga baik bersifat pemahaman, ekonomi, dan sosial. Adapun secara teknis dapat dilakukan dengan pemberian insentif dalam rangka pemberdayaan potensi mereka guna memperbaiki taraf ekonomi. Namun hal ini bukan sebagai kompensasi, melainkan sebagai bantuan yang berkelanjutan hingga mereka mandiri. Untuk ini, dapat didukung oleh lembaga pendamping dalam hal memberi solusi-solusi atas permasalah yang mereka hadapi. Kemandirian ekonomi dapat menjadi faktor penarik bagi seseorang untuk keluar dari kelompoknya (lihat tabel 6 pada Bab 2; wawancara dengan Sarwono Bab 6, 65; wawancara dengan Mufid pada Bab 6).
Universitas Indonesia
Disengagement strategi..., Fakhri Usmita, FISIP UI, 2012
BAB 8 KESIMPULAN DAN SARAN
8.1. Kesimpulan Disadari bahwa terorisme merupakan permasalahan yang kompleks, sehingga
tidak
ada
satu
pendekatan
yang
benar-benar
efektif
dalam
penanggulangannya (Lutz dan Lutz, 2004, 224), untuk itu diperlukan pengetahuan yang luas terhadap pola-pola yang dapat diterapkan dalam upaya penanggulangan terorisme. Sebagai sebuah strategi alternatif penanggulangan terorisme, faktor apa saja yang memungkinkan penerapan disengagement dalam penanggulangan terorisme di Indonesia, dan apa yang menjadi kendala penerapannya di Indonesia? Pendekatan disengagement merupakan jawaban atas kebuntuan yang ditemui pendekatan deradikalisasi ketika berhadapan dengan kelompok teroris Islam yang berbasis ideologi agama. Hal ini diperoleh dengan menurunkan tingkatan “wilayah” perhatian penanganan, tidak lagi terpusat pada ideologi, melainkan pada tataran perilaku (behavioral). Pendekatan disengagement merupakan salah satu pendekatan psikologis yang dapat digunakan dalam upaya penanggulangan terorisme di Indonesia mengingat terdapat beberapa faktor pendorong dan penarik yang kuat seseorang untuk keluar dari kelompok teroris, yang secara empiris terdapat dalam sosiokultur masyarakat Indonesia. Berbeda dengan pendekatan psikologis lainnya yang mengutamakan untuk meneliti motivasi seseorang untuk bergabung dalam kelompok teroris, pendekatan disengagement lebih fokus pada mempelajari motivasi seseorang untuk keluar dari ikatan kelompoknya. Dari penelitian diperoleh data bahwa faktor-faktor penarik seseorang untuk disengage dengan kelompoknya antara lain: mayoritas ummat Islam di Indonesia pada dasarnya merupakan kalangan moderat yang cinta damai dan toleran; ikatan kekerabatan atau kekeluargaan yang masih kuat di tengah masyarakatnya, dan pada beberapa kasus, bagi mereka dapat diberi perlindungan keamanan. Sedangkan faktor pendorong seseorang untuk disengage dari kelompoknya antara lain: adanya peluang untuk berbeda pendapat antar sesama 99 Universitas Indonesia
Disengagement strategi..., Fakhri Usmita, FISIP UI, 2012
100
anggota kelompok. Walaupun sebagian besar anggota kelompok teroris di Indonesia pernah mengikuti pelatihan militer, namun mereka masih memiliki ruang untuk melakukan diskusi ataupun berargumentasi dengan sesama mereka. Hal ini semakin memperbesar peluang terjadinya perubahan cara pandang dari anggota tersebut. Adanya beberapa petinggi kelompok teroris yang memutuskan untuk tidak lagi menggunakan cara-cara kekerasan dapat menjadi faktor pendorong tersendiri bagi rekan-rekannya yang lain untuk juga meninggalkan penggunaan cara-cara kekerasan dalam mencapai tujuan. Mayoritas ummat Islam yang pada dasarnya berasal dari kalangan moderat, dan ternyata di kalangan anggota terorispun terdapat peluang untuk berbeda pendapat, hal ini dapat dijadikan pintu masuk untuk mereinterpretasi pemahaman-pemahaman yang cenderung parsial. Faktor pendorong lainnya adalah kinerja kepolisian terutama Densus 88 patut diberi apresiasi positif karena mampu mengungkap sebagian besar peristiwa yang terjadi dengan waktu yang relatif cepat, dan lebih memilih pendekatan humanis dalam menangani mereka yang tertangkap. Walaupun terdapat kendala dalam penerapannya, namun penulis meyakini kendala tersebut dapat diatasi bila ada itikad baik dari semua elemen bangsa yang ada, dan menjadikan terorisme sebagai musuh bersama. Adapun beberapa faktor penghambat bagi keberhasilan penanggulangan terorisme –tidak hanya berlaku pada pendekatan disengagement-, terutama adalah tingkat kemakmuran yang belum merata, masih adanya diskriminasi, maupun penegakan hukum yang belum sebagaimana mestinya. Hal ini yang kemudian menjadikan bahan mereka untuk mengembangkan faham mereka, atau kembali ke dalam kelompoknya dan melakukan aktifitas teror.
8.2. Saran Sebagai kejahatan yang dikategorikan extra ordinary crime, seharusnya penanganan dan penanggulangan terorisme juga memerlukan perlakukan dan perhatian khusus. Kajian akademis terhadap penempatan terpidana kasus teroris dalam suatu lembaga pemasyarakatan khusus patut dilakukan.
Universitas Indonesia
Disengagement strategi..., Fakhri Usmita, FISIP UI, 2012
101
Sebagai kejahatan luar biasa yang ditimbulkan oleh suatu permasalahan yang kompleks, dan dampak yang ditimbulkannyapun cukup luas. Untuk itu dituntut peningkatan sinergisitas antar institusi, saling bahu membahu, melupakan ego korps, dan menjadikan terorisme sebagai musuh bersama. Selain itu dituntut peningkatan peran serta semua elemen masyarakat sebagai community policing ataupun early alert dalam upaya meminimalisir munculnya kelompok-kelompok atau tindakan-tindakan teroris. Pendidikan yang diarahkan untuk membangun nilai-nilai kebangsaan hendaknya tidak hanya sebatas seremonial, dan mengejar target pelaksanaan, melainkan harus dilakukan secara berkesinambungan. Demikian pula dengan media komunikasi massa, termasuk melalui da’wah ataupun seni tutur dapat dijadikan media mengkampanyekan reinterpretasi makna jihad atau makna perjuangan melalui pemilihan kata-kata yang lebih bijak. Melihat dari pengalaman penerapan disengagement di beberapa negara, walau tidak semuanya menunjukkan hasil sesuai yang diharapkan, dan dapat diterapkan di Indonesia mengingat akar permasalahan dan sosiokultur yang berbeda. Untuk itu Indonesia harus dapat memformulasikan pola pendekatan yang tepat yang dapat diterapkan dalam upaya penanggulangan terorisme di Indonesia. Dalam upaya pemberdayaan mereka yang mau “memutus-ikatan” dengan kelompoknya, ataupun kepada keluarga mereka yang ditinggalkan selama mereka menjalani masa pidana, maka sebaiknya tidak hanya diberikan keterampilan, tetapi
juga
diberikan
pinjaman
modal
guna
mereka
memulai
atau
mengembangkan usaha. Pemberian modal dalam bentuk pinjaman lunak yang ditujukan untuk memperkuat ikatan mereka dengan mainstream sosial, dimana ada suatu kewajiban bagi mereka untuk mengembalikan bantuan modal tersebut, sehingga mereka akan berusaha lebih giat guna melunasi pinjaman yang ada. Selain itu, diperlukan pula pendampingan terhadap usaha mereka, terutama dalam hal penyelesaian permasalahan terkait usaha yang mereka jalankan. Walau terorisme tergolong dalam kejahatan luar biasa, tidak berarti hak memperoleh grasi, ataupun amnesti bagi anggota teroris (terutama bagi mereka yang diidentifikasi telah mengalami perubahan cara pandang) kemudian dihapuskan. Hal ini bertujuan untuk mempercepat proses resosialisasi mereka,
Universitas Indonesia
Disengagement strategi..., Fakhri Usmita, FISIP UI, 2012
102
suatu pendekatan yang dicontohkan oleh pemerintah Prancis kepada para anggota kelompok teroris. (Marret 2009, 14). Kemunculan terorisme dengan segala aksi terornya tidaklah disebabkan oleh suatu faktor tunggal saja, tidak jarang merupakan dampak dari suatu permasalahan yang kompleks. Untuk itu, penanggulangan terorispun hendaklah lebih menyeluruh dan tidak tertutup pada hanya satu pendekatan saja. Ke depan, penggunaan metode wawancara mendalam dapat dilakukan untuk penelitian lanjutan yang diarahkan kepada anggota atau mantan anggota kelompok teror guna memperoleh pemahaman yang mendalam tentang ikatan mereka dengan kelompok, termasuk “kekuatan” bai’at yang sangat berpengaruh pada setiap individu yang telah di bai’at.
Universitas Indonesia
Disengagement strategi..., Fakhri Usmita, FISIP UI, 2012
DAFTAR REFERENSI
Buku Al-Makassary, Ridwan. (2003). Terorisme Berjubah Agama. Jakarta, Pusat Bahasa dan Budaya UIN Syarif Hidayatullah dan Konrad Adenauer Stiftung. Alba-Juez, Laura (2009). Perspectives on Discourse Analysis: Theory and Practice. Newcastle, Cambridge Scholars Publishing. Amin, Ma’aruf (2007). Melawan Terorisme dengan Iman. Jakarta, Tim Penanggulangan Terorisme. Angell, Ami. and Gunaratna, Rohan. (2012). Terrorist Rehabilitation The U.S. Experience in Iraq. Boca Raton, London, New York, CRC Press Taylor & Francis Group. Bandura, Albert. ”Mekanisme Merenggangnya Moral”. dalam Reich, Walter (Ed.) (Haryanto, Sugeng. penterjemah), 2003. Origin of Terrorism Tinjauan Psikoogi, Ideologi, Teologi dan Sikap Mental. Jakarta, RajaGrafindo Persada. --------, ”The Role of Selective Moral Disengagement in Terrorism and Counterterrorism” dalam Moghaddam, M. Fathali dan Marsella, J. Anthony. Ed., (2005). Undertanding Terrorism Psychosocial Roots, Consequences, and Interventions. Washington DC, American Psychological Association. --------, (1990). ”Mechanisms of moral disengagement”. Dalam W. Reich (Ed.), Origins of Terrorism: Psychologies, ideologies, theologies, states of mind (pp. 161-191). Cambridge: Cambridge University Press. Bjorgo, Tore dan Horgan, John (ed). (2009). Leaving Terrorism Behind individual and Collective Disengagement. New York, Routledge. Cronin, Audrey Kurth (2009). How Terrorism Ends Understanding the Decline and Demise of Terrorist Campaigns. New Jersey, Princeton and Oxford. Forest, J.F. James. (Edt, 2007). Countering Terrorism And Insurgency In The 21st Century International Perspectives Volume 1: Strategic And Tactical Considerations. Westport, Connecticut, London; Praeger Security International. Fink, Naureen Chowdhury.,dan Hearne, Ellie B (2008). Beyond Terrorism: Deradicalization and Disengagement from Violent Extremism, October 2008, International Peace Institute, www.ipinst.org. 103 Universitas Indonesia
Disengagement strategi..., Fakhri Usmita, FISIP UI, 2012
104
Gilsinan, F. James. (1990), Criminology and Public Policy An Introduction, New Jersey; Prentice Hall. Golose, Petrus Reinhard. (2009). Deradikalisasi Terorisme Humanis, Soul Approach dan Menyentuh Akar Rumput. Jakarta; Yayasan Pengembangan Kajian Ilmu Kepolisian. Horgan, John. (2005). The Psychology Of Terrorism. London and New York, Routledge. The International Centre for Study of Radicalisation and Political Violence (2010). “Prison and Terrorism Radicalisation and De-radicalisation in 15 Countries”. United Kingdom. ICSR. Khan, L Ali. (2006). A Theory of International Terrorism Understanding Islamic Militancy. Leiden / Boston, Martinus Nijhoff Publishers. Levin, Jack. (2006). The Roots of Terrorism Domestic Terrorism. New York, Chelsea House. Lutz, M. James and Lutz, J. Brenda (2004). Global Terrorism. London and New York, Routledge. International Crisis Group (2007). “Deradikalisasi dan Lembaga Pemasyarakatan di Indonesia.” Asia Report No 142 – 19 November 2007. Jakarta, Brussels, International Crisis Group. Margolin, Joseph. “Psycological Perspectives in Terrorism”, dalam Alexander, Yonah dan Finger, Seymour Maxwell. Edt. (1977). Terrorism: Interdisciplinary Perpectives. New York, The Ralph Bunche Institute on the United Nations and The Institute for Studies in International Terrorism. Marret, Jean-Luc (2009). Prison De-radicalization and Disengagement: The French Case. France, Fondation pour la Recherche Stratégique. Nitibaskara, Ronny Rahman. (2006). Tegakkan Hukum Gunakan Hukum. Jakarta, Penerbit Buku Kompas. Noricks, Darcy. (2009). “Disengagement and Deradicalization: Processes and Programs,” dalam Davis, K. Paul., Cragin, Kim (ed). Social Science for Counterterrorism Putting the Pieces Together. Santa Monica, Arlington, Pittsburgh, Rand Corporation. Rabasa, Angel., [et al.]. (2010). Deradicalizing Islamist Extremists. Pittsburg, National Security Research Division. Rabasa, Angel [et al.]. (2006). Beyond al-Qaeda. Part 1. The Global Jihadist Movement. Pittsburg, Rand Corporation.
Universitas Indonesia
Disengagement strategi..., Fakhri Usmita, FISIP UI, 2012
105
Solahudin (2011). NII Sampai JI Salafy Jihadisme Di Indonesia. Jakarta, Komunitas Bambu. Stohl, Michael S. “Counterterrorism and Repression”, dalam Richardson, Louise., edt (2006). The Roots of Terrorism. New York dan London, Routledge Taylor & Francis Group. Thackrah, John Richard. (2004). Dictionary Of Terrorism Second Edition. London and New York, Routledge. Tim Penanggulangan Terorisme. (2007). Percakapan Dengan Sidney Jones dan Nasir Abbas Seputar Jamaah Islamiyah. Jakarta. Tunnell, Kenneth D. (1993). Political Crime in Contemporary America A Critical Approach. New York & London; Garland Publishing, Inc. Wagner, Richard V., Long, Katherine R. “Terrosim From A Peace psychology Perspective” dalam Moghaddam, Fathali M., dan Marsella, Anthony J (2005). Understanding Terrorism Psychosocial Roots, Consequences, And Interventions. Washinton DC; American Psychological Association. Whittaker, J. David. (2002). Terrorism Understanding The Global Threat. London, New York, Toronto, Sydney, Singapore, Hong Kong, Cape Town, New Delhi, Madrid, Paris, Amsterdam, Munich, Milan, Stockholm; Pearson Education. ----------- (2003). The Terrorism Reader. London and New York, Routledge Taylor and Francis Group. Jurnal Ashour, Omar. “Lions Tamed? An Inquiry into the Causes of De-Radicalization of Armed Islamist Movements: The Case of the Egyptian Islamic Group”. Middle East Journal, Vol. 61, No. 4 (Autumn, 2007), pp. 596-625. Middle East Institute. www.jstor.org/stable/4330450. Accessed: 03/03/2012 03:12 Brym, Robert J. and Araj, Bader . “Suicide Bombing as Strategy and Interaction: The Case of the Second Intifada”. Social Forces, Vol. 84, No. 4 (Jun., 2006), pp. 1969-1986. University of North Carolina Press. www.jstor.org/stable/3844485. Accessed: 10/11/2011 00:14. “Responding to Terrorism: Crime, Punishment, and War”. Harvard Law Review, Vol. 115, No. 4 (Feb., 2002), pp. 1217-1238. The Harvard Law Review Association. www.jstor.org/stable/1342633. Accessed: 14/06/2012 00:36 Cumming, Elaine., et.al. (1960). “Disengagement-A Tentative Theory of Aging”. Sociometry, Vol. 23, No. 1 (Mar., 1960), pp. 23-35. American Sociological Association. www.jstor.org/stable/2786135. Accessed: 10/12/2011 01:14
Universitas Indonesia
Disengagement strategi..., Fakhri Usmita, FISIP UI, 2012
106
Crenshaw, Martha. “The Psychology of Terrorism: An Agenda for the 21st Century”. Political Psychology, Vol. 21, No. 2 (Jun., 2000), pp. 405-420. International Society of Political Psychology. www.jstor.org/stable/3791798. Accessed: 03/03/2012 03:11. Gottfredson, Stephen D. and Gottfredson, Don M. “Selective Incapacitation?” Annals of the American Academy of Political and Social Science, Vol. 478, Our Crowded Prisons (Mar., 1985), pp. 135-149. Sage Publications, Inc. in association with the American Academy of Political and Social Science. www.jstor.org/stable/1045955. Accessed: 14/06/2012 00:23.
Horgan, John. “Deradicalization or Disengagement? A Process in Need of Clarity and a Counterterrorism Initiative in Need of Evaluation”. Perspectives on Terrorism a Journal of the Terrorism Reseach Initiative. Vol 2, No 4 (2008). Hochschild, Arlie Russell. “Disengagement Theory: A Critique and Proposal”, American Sociological Review, Vol. 40, No. 5 (Oct., 1975), pp. 553-569. American Sociological Association. www.jstor.org/stable/2094195. Accessed: 10/12/2011 00:33. McAlister, Alfred L. “Moral Disengagement: Measurement and Modification”. Journal of Peace Research, Vol. 38, No. 1 (Jan., 2001), pp. 87-99. Sage Publications, Ltd. www.jstor.org/stable/425784. Accessed: 10/12/2011 00:32. Mercer, Jane R. and Butler, Edgar W. “Disengagement of the Aged Population and Response Differentials in Survey Research”. Social Forces, Vol. 46, No. 1 (Sep., 1967), pp. 89-96. Oxford University Press. www.jstor.org/stable/2575325. Accessed: 10/12/2011 00:34 Lambert, Robert. “Empowering Salafis and Islamists against Al-Qaeda: A London Counterterrorism Case Study”, PS: Political Science and Politics, Vol. 41, No. 1 (Jan., 2008), pp. 31-35. American Political Science Association. www.jstor.org/stable/20452106. Accessed: 25/01/2012 00:06. Riethof, Marieke. “Changing Strategies of the Brazilian Labor Movement: From Opposition to Participation”. Latin American Perspectives, Vol. 31, No. 6, The Struggle Continues- Consciousness,Social Movement, and Class Action (Nov., 2004), pp. 31-47. Sage Publications, Inc. www.jstor.org/stable/4141606. Accessed: 09/11/2011 23:24. Roozen, David A. “Church Dropouts: Changing Patterns of Disengagement and Re-Entry”. Review of Religious Research, Vol. 21, No. 4, Supplement: The Unchurched American: A Second Look (1980), pp. 427-450. Religious
Universitas Indonesia
Disengagement strategi..., Fakhri Usmita, FISIP UI, 2012
107
Research Association, Inc. www.jstor.org/stable/3510682. 10/12/2011 00:33.
Accessed:
Sandler, Todd. “Collective versus Unilateral Responses to Terrorism”. Public Choice, Vol. 124, No. 1/2, Policy Challenges and Political Responses: Public Choice Perspectives on the Post-9/11 World (Jul., 2005), pp. 75-93. Springer, www.jstor.org/stable/30026704. Accessed: 17/03/2012 04:09. Searing, Donald D. “A Theory of Political Socialization: Institutional Support and Deradicalization in Britain”. British Journal of Political Science, Vol. 16, No. 3 (Jul., 1986), pp. 341-376. Cambridge University Press. www.jstor.org/stable/193816. Accessed: 09/11/2011 23:06. Shughart II, William F. An Analytical History of Terrorism, 1945-2000”. Public Choice. Vol. 128, No. 1/2, The Political Economy of Terrorism (Jul., 2006), pp.7-39. Springer. www.jstor.org/stable/30026632. Accessed: 01/01/2012 21:48. Smith, F. M. Adrian (2001), “Public Policy Issues as a Route to Statistical Awareness”, International Statistical Review / Revue Internationale de Statistique, Vol. 69, No. 1(Apr., 2001), pp. 17-20. International Statistical Institute (ISI). www.jstor.org/stable/1403526. Accessed: 20/12/2010 00:34 Tilly, Charles. “Terror, Terrorism, Terrorists”. Sociological Theory, Vol. 22, No. 1, Theories of Terrorism: A Symposium (Mar., 2004), pp. 5-13. American Sociological Association. www.jstor.org/stable/3648955. Accessed: 31/10/2011 05:33. Victoroff, Jeff. ”The Mind of the Terrorist: A Review and Critique of Psychological Approaches”. The Journal of Conflict Resolution, Vol. 49, No. 1 (Feb., 2005), pp. 3-42. Sage Publications, Inc. www.jstor.org/stable/30045097. Accessed: 31/10/2011 05:18. . Sumber Lain ”298 Orang Tewas Akibat Serangan Teroris”, www.antaranews.com/print/1285336073. WIB.
diakses 30 Januari 2012, 20.00
”Nasehat Ust. Abu Bakar Ba’asir Untuk Nasir Abbas”. http://www.jurnalislam.com/nasehat-ust-abu-bakar-baasyir-untuk-nasirabbas.htm. diakses tanggal 25 Februari 2012, pukul 12.00 WIB.
www.buletinlitbang.dephan.go.id/index.asp?vnomor=8&mnorvtisi=2. pada tanggal 16 Desember 2011.
diakses
Universitas Indonesia
Disengagement strategi..., Fakhri Usmita, FISIP UI, 2012
108
HIP
Jabar; Deradikalisasi = Deislamisasi, www.hizbuttahrir.or.id/2011/12/08/hip-jabar-deradikalisasi-deislamisasi/. Diakses 13 Maret 2012, pukul 20.00 wib.
“Risalah Rapat Dengar Pendapat Komisi I DPR RI dengan Kepala BIN dan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT)”. http://www.dpr.go.id/complorgans/commission/commission1/risalah/K1_ris alah_RDP_Komisi_I_DPR_RI_dengan_Kepala_BIN_dan_Kepala_BNPT.p df. diakses 6 Juni 2012 pukul 20.00 WIB.
Wawancara H. Muhammad Zarkasih. di kantor Densus 88 Anti Teror Polri gedung TNCC lantai 5, Jalan Trunojoyo No 3 Kebayoran Baru Jakarta Selatan, hari Selasa tanggal 21 Juni 2011 pukul 09.00 WIB. Prof. Dr. H. Muhammad Baharun, SH., MA. Melalui e-mail. K. H. Hasyim Muzadi, wawancara dilakukan di rumah narasumber, Kompleks Pondok Pesantren Al-Hikam. Kelurahan Kukusan, Kotamadya Depok, pada hari Sabtu 26 Mei 2012 Pukul 19.00 WIB. K. H. Drs. Ahmad Syafi’i Mufid, MA., APU. Wawancara di kantor Forum Komunikasi Umat Beragama (FKUB) DKI Jakarta, Jl Suryo Pranoto No 8 Lt 9. Jakarta Pusat, pada Kamis 7 Juni 2012, Pukul 13.00. H. Muhammad Nasir Djamil, Sag. Wawancara dilakukan di Ruang Makan Komisi III DPR RI pada Senin, 11 Juni 2012 Pukul 10.15 WIB. Ahmad Yani, SH., MH. Wawancara dilakukan di Ruang Kerja narasumber di Gedung Nusantara I DPR RI pada Selasa, 12 Juni 2012 Pukul 10.15 WIB. Prof. Dr. Sarlito Wirawan Sarwono. Wawancara dilakukan pada hari Rabu, 13 Juni 2012, 15.00-15.45 WIB di Gedung H Lt 2, Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, Depok. Al Chaidar. Wawancara dilakukan pada hari Kamis, 14 Juni 2012 di Perpustakaan Pusat Universitas Indonesia, Depok.
Universitas Indonesia
Disengagement strategi..., Fakhri Usmita, FISIP UI, 2012
109
Lampiran 1. Pedoman Wawancara
PEDOMAN WAWANCARA DISENGAGEMENT; STRATEGI PENANGGULANGAN TERORISME DI INDONESIA
1. Bagaimana Anda memandang tentang terorisme di Indonesia? 2. Menurut Anda, apa yang dicari seseorang hingga bergabung (tetap bergabung) dengan kelompok teroris? 3. Menurut Anda, siapa yang paling berperan dalam penanggulangan terorisme di Indonesia? 4. Bagaimana Anda melihat penanggulangan terorisme di Indonesia 5. Menurut Anda, sudah efektifkah penanggulangan terorisme di Indonesia? 6. Apakah ada program lain selain yang telah diterapkan selama ini, yang mungkin dapat diterapkan dalam penanggulangan terorisme di Indonesia? 7. Apa yang kemudian harus dilakukan oleh pemerintah? 8. Selain pemerintah, siapa lagi yang berperan dalam penanggulangan terorisme di Indonesia? 9. Apa yang harus mereka (pihak-pihak tersebut) lakukan? 10. Seberapa sering mengikuti diskusi tentang terorisme? 11. Ide apa yang paling sering muncul (berkembang) dalam diskusi tersebut? 12. Apakah ada ide untuk mengupayakan menarik keluar anggota teroris dari kelompoknya? 13. Bagaimana menurut Anda sendiri tentang ide “menarik keluar” anggota teroris dari kelompoknya? 14. Kekuatan atau potensi apa yang kita miliki yang dapat digunakan untuk menarik keluar anggota teroris dari kelompoknya? 15. Apa kendala dalam upaya menarik keluar anggota teroris dari kelompoknya? 16. Kepada anggota teroris yang mana program tersebut akan efektif? 17. Harapan Anda terhadap penanggulangan terorisme di Indonesia ke depan
Universitas Indonesia
Disengagement strategi..., Fakhri Usmita, FISIP UI, 2012
110
Lampiran 2: Daftar Singakatan
DAFTAR SINGKATAN
BNPT
: Badan Nasional Penanggulangan Teroris
Densus 88
: Detasemen Khusus 88
Depdagri
: Departemen Dalam Negeri
DDII
: Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia
DI/TII
: Darul Islam/Tentara Islam Indonesia
DPR
: Dewan Perwakilan Rakyat
GBIS
: Gereja Bethel Injil Sepenuh
GI
: Gamaah Islamiyah (Mesir)
ICG
: International Crisis Group
IPDN
: Institut Pemerintahan Dalam Negeri
JI
: Al-Jamaah Al-Islamiyah = Jemaah Islamiyah = Jamaah Islamiyah
Juknik
: Petunjuk Teknik
KW
: Komandemen Wilayah
Lapas
: Lembaga Pemasyarakatan
LSM
: Lembaga Swadaya Masyarakat
MA
: Mahkamah Agung
MUI
: Majelis Ulama Indonesia
NGO
: Non Government Organization (Lembaga Swadaya Masyarakat)
NII
: Negara Islam Indonesia
PIRA
: Provinsional Irish Republican Army
Polri
: Polisi Republik Indonesia
Satgas Bom : Satuan Tugas Bom TNI-AD
: Tentara Nasional Indonesia-Angkatan Darat
UU
: Undang-undang
Universitas Indonesia
Disengagement strategi..., Fakhri Usmita, FISIP UI, 2012