BAB 6 PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN TERORISME
Pencegahan dan penanggulangan aksi teror merupakan agenda pemerintah yang akan dilaksanakan secara berkelanjutan. Di samping melakukan peningkatan kemampuan aparat keamanan dan peningkatan intensitas kegiatan penanggulangan terorisme, upaya pencegahan dan penanggulangan terorisme dilakukan melalui peran serta masyarakat. Dengan ditandai oleh situasi keamanan yang kondusif dan tidak adanya aksi teror yang berskala internasional, seperti bom Bali pada tahun 2002, bom di JW Marriot pada tahun 2003, bom di depan kedutaan besar Australia pada tahun 2004, dan bom Bali II pada tahun 2005, membuktikan agenda penanggulangan terorisme telah mencapai kemajuan yang cukup signifikan. Penangkapan para pelaku teror kelompok Abu Dujana dan orang-orang yang diduga terlibat dalam aksi teror makin memperluas spektrum pengungkapan jaringan teroris nasional dan internasional yang beroperasi di Indonesia. Namun, belum tertangkapnya beberapa tokoh utama terorisme, seperti Nurdin M. Top yang memiliki keahlian dalam merekrut anggota, merupakan tantangan tersendiri bagi aparat keamanan dalam penanganan aksi terorisme. Oleh karena
itu, dalam rangka melaksanakan pencegahan dan penanggulangan terorisme diupayakan peningkatan kinerja aparat keamanan dan unsur intelijen yang semakin andal yang didukung peran serta masyarakat dalam mengantisipasi, menangani, serta mencegah aksi teror.
I.
Permasalahan yang Dihadapi
Indikator sosial, seperti tingkat kemiskinan, kesenjangan sosial, permasalahan demokrasi, atau pemahaman yang sempit terhadap keyakinan dan ideologi, patut diduga merupakan media tumbuh suburnya sel-sel terorisme di Indonesia. Terungkapnya jaringan dan pelaku aksi teror yang melibatkan kelompok masyarakat yang kurang beruntung secara ekonomi mengindikasikan keberhasilan tokoh-tokoh terorisme dalam merekrut anggotanya. Pandangan yang muncul di masyarakat terhadap aksi teror seringkali dikaitkan dengan upaya kelompok masyarakat tertentu yang memprotes atau menyuarakan pendapatnya terhadap ketidakadilan. Terorisme juga seringkali dikaitkan dengan konspirasi segelintir golongan atas berbagai kepentingan dalam upayanya untuk memecah belah kehidupan bernegara. Dengan demikian, antisipasi dan kewaspadaan dari seluruh elemen bangsa terhadap potensi aksi teror merupakan suatu keharusan. Adanya sikap solidaritas sekelompok masyarakat terhadap para tersangka pelaku teror, termasuk proses penangkapan tersangka, harus dapat dijadikan pertimbangan dalam menetapkan kebijakan penanggulangan dan pencegahan terorisme selanjutnya, yang tidak boleh mengabaikan hak tersangka, hak keluarga, dan efek traumatis bagi keluarga tersangka tindak pidana terorisme. Selama ini upaya pencegahan dan penanggulangan gerakan terorisme di Indonesia telah menunjukkan hasil yang cukup signifikan. Hingga tahun 2006 sudah ratusan tersangka pelaku teror berhasil ditangkap, ditahan, diadili dan divonis sesuai dengan hukum yang berlaku. Keberhasilan Polri menguak jaringan dan metodologi operasi pelaku teror menyebabkan kecenderungan kelompok pelaku teror melakukan perubahan strategi ke arah yang lebih pasif dengan tidak melakukan kekerasan, namun, tetap melakukan konsolidasi 06 - 2
dalam upaya memperkuat jaringan mereka yang sebagian besar telah berhasil dilumpuhkan. Meskipun demikian, aksi teror masih menjadi ancaman potensial bagi stabilitas keamanan nasional Indonesia. Hal ini mengingat masih belum tertangkapnya beberapa tokoh kunci aksi terorisme di Indonesia, seperti Zulkarnaen, Dulmatin, Umar Patek, dan Noordin M. Top, serta jaringannya. Beberapa faktor lain yang memperkuat eksistensi gerakan terorisme di Indonesia adalah adanya kelompok-kelompok radikal tertentu yang mengadakan pelatihan semimiliter, serta tersebarnya sejumlah elemen Jamaah Islamiyah (JI) ke berbagai wilayah terutama di daerah rawan konflik, seperti Aceh, Poso dan Papua yang dimanfaatkan sebagai medan jihad. Adanya indikasi para narapidana kasus teror dapat saling berinteraksi dengan tanpa hambatan, antara lain ditandai oleh kemampuan narapidana Imam Samudera dalam menyebarkan faham kekerasan melalui jaringan internet dari dalam lembaga pemasyarakatan (LP). Beberapa narapidana kejahatan teror yang telah bebas juga tidak dapat dijamin kepatuhannya kepada hukum yang berlaku dan tidak melalukan kegiatan yang sama merupakan permasalahan tersendiri dalam penanggulangan terorisme. Interaksi antarnarapidana kasus teror dapat dijadikan sebagai ruang saling sharing kemampuan dan faham kekerasan. Disamping itu, terdapat indikasi kuat lain yang menunjukan bahwa pelaku teror, baik yang telah diproses hukum maupun yang belum tertangkap selalu berusaha bergabung dengan kelompok yang mengakar pada kelompok pelaku teror di masa Orde Baru dan Orde Lama. Kelompok yang memiliki “sel-sel tidur” (sleeping cell) cukup luas di beberapa daerah yang apabila tidak diwaspadai dapat bangkit dan berkembang menjadi besar dan berpotensi menyerang melalui pemanfaatan kelalaian pemerintah dan masyarakat. Selain permasalahan tersebut, berbagai kendala yang masih dihadapi dalam upaya pencegahan dan penanggulangan terorisme di Indonesia, antara lain, adalah belum adanya payung hukum atau landasan hukum yang kuat bagi kegiatan operasi intelijen penanggulangan terorisme. Dalam hubungan ini masih ada pemahaman yang sempit dari sementara kalangan umat beragama dengan persepsi yang salah menyatakan bahwa perang melawan terorisme dinilai atau dianggap memerangi Islam. Selain itu, belum 06 - 3
terjangkaunya upaya hukum bagi para pemimpinnya, belum adanya pembatasan aktivitas napi teroris, belum adanya pembinaan yang dapat merubah pemikiran radikal menjadi moderat, belum adanya pengawasan/penertiban terhadap kegiatan pelatihan militer oleh sekelompok masyarakat, serta belum adanya pengaturan pengawasan terhadap penjualan bahan peledak juga merupakan kendala yang dihadapi dalam upaya pencegahan dan penanggulangan terorisme. II.
Langkah Kebijakan dan Hasil yang Dicapai
A.
Langkah Kebijakan
Selama perjalanan pembangunan, upaya penanggulangan aksi teror di Indonesia telah mendapatkan pengalaman yang sangat berharga sekaligus menjadi masukan penting guna peningkatan kesiapan seluruh potensi bangsa dalam menghadapi aksi terorisme. Meskipun demikian, ancaman kejahatan terorisme terhadap sistem keamanan nasional Indonesia diperkirakan masih berpotensi terjadi dan dapat mengganggu kinerja pembangunan di semua bidang. Beberapa langkah yang telah dilakukan dan akan ditempuh dalam pencegahan dan penanggulangan terorisme adalah sebagai berikut. 1.
peningkatan koordinasi dan kapasitas lembaga pemerintah dalam pencegahan dan penanggulangan terorisme;
2.
penguatan kesatuan antiteror dalam mencegah, menindak, dan mengevakuasi aksi teror;
3.
penegakan hukum penanggulangan terorisme berdasarkan prinsip demokrasi dan HAM yang terbebas dari unsur diskriminasi dan pendiskreditan;
4.
peningkatan operasional penggulangan aksi teror melalui penangkapan tokoh-tokoh utama pelaku teror; dan
5.
peningkatan ketahanan masyarakat dalam mengantisipasi aksiaksi teror.
06 - 4
B.
Hasil yang Dicapai
Agenda pencegahan dan penanggulangan gerakan terorisme di Indonesia telah menunjukkan hasil yang sangat menggembirakan dengan banyaknya pelaku teror yang berhasil ditangkap. Pada bulan Maret 2007, Polri berhasil menangkap tersangka aksi teror Sarwo Edi beserta kelompoknya (8 orang) di Yogyakarta dan Jawa Tengah sekaligus mampu menyita sejumlah senjata api laras panjang dan pendek, ribuan amunisi, ratusan bahan peledak potasium klorat, dan TNT, serta ratusan detonator. Keberhasilan tersebut tidak hanya menjadi bukti keberhasilan pengungkapan kasus teror yang membahayakan di Indonesia, tetapi sekaligus keberhasilan mencegah terjadinya kasus teror yang jauh lebih besar. Disamping itu, prestasi menonjol yang lain adalah keberhasilan menyita sejumlah dokumen yang berisi rencana aksi kekerasan di beberapa tempat dan bentuk organisasi baru serta jaringan lama. Keberhasilan Polisi dalam melakukan penangkapan Abu Dujana pada bulan Juni 2007 di Desa Kebarongan, Banyumas, diharapkan dapat mengungkap lebih lanjut jaringan terorisme yang ada di wilayah Indonesia. Abu Dujana yang merupakan salah satu tokoh kunci jaringan pelaku terorisme dan sekaligus sebagai pemimpin dalam struktur Jamaah Islamiah (JI) akan sangat membantu aparat keamanan dalam mengungkap lebih lanjut pelakupelaku tindak kejahatan terorisme. Polisi juga berhasil menangkap Zarkasi alias Mbah yang diduga kuat merupakan pemimpin JI yang juga menjadi pimpinan Abu Dujana sekaligus tersangka berbagai tindak pidana terorisme di Indonesia sejak bom Bali I tahun 2002. Keberhasilan upaya penindakan tersebut sangat besar manfaatnya dalam upaya mempersempit ruang gerak jaringan teroris atau melemahkan kemampuan jaringan teror untuk melakukan aksi kekerasan lagi. Peningkatan kapasitas kelembagaan dalam pencegahan dan penanggulangan terorisme, antara lain, dilakukan melalui kerja sama dengan beberapa negara, baik secara multilateral maupun bilateral. Dalam konteks kerja sama multilateral, Indonesia terlibat dalam ASEAN–Joint Declaration for Cooperation to Combat International 06 - 5
Terrorism dengan berbagai negara seperti Amerika, Australia, Jepang, Korea Selatan, New Zaeland, dan Uni Eropa. Dalam kelompok regional Asia Tenggara kerja sama paling relatif baru adalah kesepakatan yang dituangkan dalam ASEAN Summits pada Januari 2007. Dalam kesempatan tersebut telah diresmikan kerja sama melalui penandatanganan ASEAN Convention on Counter Terrorism. Kerja sama ini secara berkelanjutan selalu dikembangkan dalam forum dialog Expert Working Group on ASEAN Convention on Counter Terrorism (JEWG on ACCT). Di samping dalam forum tersebut, Indonesia juga aktif dalam forum APEC yang secara rutin mengadakan Counter Terrorisme Task Force (CTTF), yaitu sebuah forum ekonomi yang juga selalu membahas tentang penanganan terorisme. Selanjutnya kerja sama yang cukup erat dalam penanggulangan terorisme adalah dengan Australia. Kerja sama dengan Australia merupakan salah satu yang selalu diupayakan untuk ditingkatkan seperti halnya kesepakatan antar-Menteri Luar Negeri kedua negara beberapa bulan yang lalu. Upaya preventif lainnya adalah peningkatan kemampuan profesionalisme kontraintelijen dalam melindungi kepentingan nasional dari berbagai ancaman, tantangan, hambatan, dan gangguan termasuk dalam hal pencegahan dan penanggulangan terorisme. Dalam rangka mengantisipasi perkembangan teknologi informasi, Lembaga Sandi Negara (Lemsaneg) telah melakukan upaya peningkatan kemampuan sumber daya manusia (SDM) dengan mengirimkan personil yang kompeten untuk mengikuti berbagai workshop nasional maupun internasional serta pendidikan dan pelatihan yang dilakukan dalam lingkungan lembaga atau kerja sama dengan perguruan tinggi dalam negeri dan luar negeri maupun penyelenggaraan Sekolah Tinggi Sandi Negara (STSN). Di samping itu, dalam upaya mendukung penyelenggaraan persandian dalam rangka antiterorisme dilaksanakan gelar Jaring Komunikasi Sandi (JKS) meliputi JKS VVIP, JKS Intern Instansi Pemerintah, JKS Antarinstansi Pemerintah, dan JKS Khusus. Di samping upaya penindakan kepada para pelaku kejahatan teror yang dilakukan oleh Polri, upaya pencegahan dan penanggulangan terorisme melalui lembaga intelijen yang dilakukan 06 - 6
oleh BIN (Badan Intelijen Negara) adalah dengan melaksanakan kegiatan melalui enam strategi, yaitu supremasi hukum, independensi, indiskriminasi, koordinasi, demokrasi dan partisipasi. Melalui supremasi hukum, pemerintah melakukan penegakan hukum sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Meskipun demikian, keberadaan Undang Undang Nomor 16 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Terorisme dirasakan masih belum dapat memberikan landasan hukum yang kuat bagi kegiatan intelijen dalam pencegahan dan penanggulangan terorisme. Melalui prinsip independensi, upaya kontra-terorisme dilakukan secara inisiatif mandiri semata-mata untuk menegakkan keamanan dan ketertiban umum serta melindungi keselamatan masyarakat. Strategi indiskriminasi penegakan hukum terhadap para pelaku tindak teror dilakukan tanpa pandang bulu dan tidak mengarah pada penciptaan image negatif kepada kelompok-kelompok masyarakat di Indonesia. Prinsip indiskriminasi juga dilakukan sebagai upaya untuk menghindari terjadinya ekses negatif yang berbau SARA. Dalam upaya penanggulangan terorisme secara menyeluruh, strategi koordinasi antarinstansi terkait dan antar komunitas intelijen harus benar-benar dilaksanakan. Strategi demokrasi diterapkan sebagai usaha untuk meredam gejolak radikalisme dan terorisme di kalangan masyarakat karena sumbatan-sumbatan aspirasi yang terjadi. Strategi-strategi di atas dibarengi pula dengan strategi partisipasi agar masyarakat dapat meningkatkan perannya secara aktif dalam penanggulangan tindak terorisme.
III.
Tindak Lanjut yang Diperlukan
Penanggulangan terorisme merupakan agenda pemerintah yang dilaksanakan oleh aparat keamanan bersama dengan masyarakat yang bertujuan untuk mencegah serta mengungkap pelaku, motif, dan jaringan terorisme. Selanjutnya dilakukan tindakan tegas, konsisten, serta obyektive sesuai dengan prosedur penanggulangan terorisme berdasarkan peraturan perundangundangan yang berlaku dan memperhatikan hak azasi manusia (HAM). Dengan mengingat bahwa pelaku kejahatan teror memiliki
06 - 7
jaringan yang bersifat lintas negara, penanggulangan kejahatan tersebut harus juga dilakukan melalui kerja sama internasioal yang mensyaratkan saling menghormati kedaulatan dan terwujudnya ketertiban dunia. Dalam rangka itu sangat diperlukan peningkatan lembaga dengan fungsi satuan antiteror yang profesional dan terpadu yang merupakan kerja sama seluruh jajaran aparat pemerintah baik Polri maupun TNI dengan mengedepankan kemitraan sejajar. Peningkatan kinerja pemerintah dalam bidang pencegahan dan penanggulangan terorisme akan dilaksanakan melalui program pengembangan penyelidikan, pengamanan dan penggalangan keamanan negara dengan kegiatan pokok : (1) peningkatan kualitas dan kuantitas pelaksanaan operasi kontraintelijen; (2) peningkatan pencarian, penangkapan, dan pemrosesan tokoh-tokoh kunci operasional terorisme; (3) operasi dan koordinasi dalam hal deteksi dini untuk meningkatkan keamanan, ketertiban, dan menanggulangi kriminalitas, mencegah dan menanggulangi konflik, separatisme, dan terorisme; (4) peningkatan kerja sama bilateral dalam rangka pengungkapan jaringan terorisme internasional dan kerja sama kawasan dan regional dalam penanggulangan dan pencegahan aksiaksi teror akan dilaksanakan melalui kerja sama terpadu baik antarkomunitas intelijen (Intelligence Community) di dalam negeri serta melalui kerja sama internasional berupa intelligence exchange dan mutual legal assistance; (5) pengembangan sistem informasi intelijen (SII), pengadaan intelligence device, peralatan komunikasi, kendaraan operasional, dan pembangunan jaringan komunikasi pusat dan daerah guna menunjang kelancaran arus informasi intelijen secara cepat, tepat, dan aman; dan (6) peningkatan kualitas dan kuantitas pelaksanaan pendidikan intelijen untuk mendukung operasi kontraterorisme. Di samping yang dilaksanakan oleh BIN, Lembaga Sandi Negara (Lemsaneg) juga melaksanakan upaya preventif melalui program pengembangan pengamanan rahasia negara dengan kegiatan (1) peningkatan kualitas dan kuantitas pelaksanaan pendidikan ahli sandi untuk mendukung operasi kontraterorisme; (2) penyelenggaraan operasional persandian antiterorisme untuk mengantisipasi adanya upaya penyadapan dari pihak terorisme; dan 06 - 8
(3) penggelaran jaringan komunikasi sandi counter surveilance di kantor Kedutaan Besar RI di luar negeri. Program penanggulangan terorisme lain yang ditetapkan untuk dilaksanakan adalah program pemantapan keamanan dalam negeri melalui kegiatan (1) peningkatan kelembagaan badan koordinasi penanggulangan terorisme; (2) peningkatan kemampuan komponen kekuatan pertahanan dan keamanan bangsa dalam menangani tindak terorisme; (3) restrukturisasi operasional institusi keamanan dalam penanganan terorisme termasuk pengembangan standar operasional dan prosedur pelaksanaan latihan bersama; (4) peningkatan pengamanan terbuka simbol-simbol negara untuk meminimalkan kemungkinan terjadinya aksi teror dan memberikan rasa aman bagi kehidupan bernegara dan berbangsa; (5) melakukan sosialisasi kepada masyarakat untuk meminimalkan efek terorisme; (6) komunikasi dan dialog serta pemberdayaan kelompok masyarakat secara intensif dalam kerangka menjembatani aspirasi, mencegah berkembangnya potensi terorisme, serta secara tidak langsung melakukan delegitimasi motif teror; (7) peningkatan kerja sama regional negara-nagara ASEAN dalam upaya menangkal dan menanggulangi aksi terorisme (8) penanganan terorisme secara multilateral di bawah PBB, termasuk peredaran senjata konvensional dan senjata pemusnah massal (Weapon of Mass Destruction (WMD)); (9) penangkapan dan pemrosesan secara hukum tokohtokoh kunci operasional terorisme; (10) pengawasan lalu lintas uang dan pemblokiran aset kelompok teroris; dan (11) peningkatan pengawasan keimigrasian serta upaya interdiksi darat, laut, dan udara.
06 - 9