UNIVERSITAS INDONESIA
PENERAPAN STRATEGI PENGGENTARAN DALAM UPAYA PENANGGULANGAN TERORISME DI SINGAPURA, MALAYSIA, FILIPINA, DAN INDONESIA
TESIS
ANGGALIA PUTRI PERMATASARI 1006743424
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK PROGRAM TERORISME DALAM KEAMANAN INTERNASIONAL DEPOK JANUARI 2013
Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
UNIVERSITAS INDONESIA
PENERAPAN STRATEGI PENGGENTARAN DALAM UPAYA PENANGGULANGAN TERORISME DI SINGAPURA, MALAYSIA, FILIPINA, DAN INDONESIA
TESIS Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains
ANGGALIA PUTRI PERMATASARI 1006743424
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK PROGRAM STUDI TERORISME DALAM KEAMANAN INTERNASIONAL DEPOK JANUARI 2013
Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat dan rahmat-Nya, penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Penulisan tesis ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Magister Sains pada Program Studi Terorisme dalam Keamanan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia. Penulis menyadari bahwa tanpa bimbingan dan dukungan dari berbagai pihak, sangat sulit bagi penulis untuk menyelesaikan tesis ini. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada: (1) Ibunda penulis, Indrawati, atas segala doa dan cinta kasihnya kepada penulis, kepada siapa penulis berhutang budi untuk setiap prestasi yang penulis capai hingga saat ini. (2) Evi Fitriani, Ph.D selaku dosen pembimbing yang telah menyediakan waktu, tenaga, dan pikiran untuk mengarahkan penulis dalam penyusunan tesis ini dan atas segala inspirasi serta pengetahuan baru dalam setiap bimbingannya. (3) Dr. Edy Prasetyono selaku penguji ahli tesis ini yang telah memberi banyak masukan reflektif yang sangat berharga untuk memperbaiki tesis ini. (4) Dr. Hariyadi Wirawan dan Asra Virgianita, S.Sos., MA selaku Ketua dan Sekretaris Sidang yang telah banyak membantu penulis dalam aspek substantif maupun teknis tesis ini. (5) Vitri Mayastuti, M.Si atas segala inspirasinya yang membuat penulis bertahan untuk melanjutkan kuliah dan menyelesaikan tesis ini. (6) Teman-teman seperjuangan di Angkatan Pertama Kajian Terorisme UI (7) Teman-teman di Perkumpulan HuMa atas dukungan dan toleransi yang diberikan kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini sambil tetap bekerja. (8) Agung Muhamad Ihsan, sahabat di segala aspek kehidupan penulis, yang telah merelakan waktu, tenaga dan pikirannya untuk mendukung penulis dalam penyelesaian tesis ini. Akhir kata, penulis berharap bahwa Tuhan Yang Maha Esa berkenan membalas segala kebaikan semua pihak yang telah membantu penyelesaian tesis ini. Semoga tesis ini membawa manfaat bagi perkembangan ilmu dan bagi bangsa dan negara.
Jakarta, 14 Januari 2013 Penulis iv Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
ABSTRAK Nama Program Studi Judul
: Anggalia Putri Permatasari : Terorisme dalam Keamanan Internasional : Penerapan Strategi Penggentaran dalam Upaya Penanggulangan Terorisme di Singapura, Malaysia, Filipina, dan Indonesia
Tesis ini membandingkan upaya penanggulangan terorisme di Singapura, Malaysia, Filipina, dan Indonesia pasca-serangan 9/11 untuk mengetahui faktorfaktor di tingkat negara yang menjadikan Indonesia target serangan teroris transnasional terbanyak di Asia Tenggara dalam satu dekade terakhir. Data mengenai penanggulangan terorisme di keempat negara dianalisis secara kualitatif dengan menggunakan kerangka teori penggentaran. Hasil penelitian menyarankan bahwa agar tidak secara default menjadi target serangan yang paling menarik, Indonesia perlu memperkuat instrumen tumpul penanggulangan terorismenya, terutama dalam hal kontrol perbatasan maritim, kontrol imigrasi, mitigasi dampak serangan, dan regulasi finansial, sembari memperbaiki instrumen tajamnya melalui revisi bersyarat UU Anti-Terorisme dan penguatan sistem penahanan serta pengawasan pasca-penahanan. Kata kunci: Terorisme gelombang keempat, penanggulangan terorisme, penggentaran, penggentaran melalui penangkalan, penggentaran melalui hukuman, anti- dan kontra-terorisme
vi Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
ABSTRACT Name Study Program Title
: Anggalia Putri Permatasari : Terrorism in International Security : Application of Deterrence Strategy in Countering Terrorism in Singapore, Malaysia, the Philippines, and Indonesia
This study compares post-9/11 counter-terrorism efforts in Singapore, Malaysia, the Philippines, and Indonesia to understand factors at the state level, which allows Indonesia to become the most attractive target of transnational terrorist attacks in Southeast Asia during the last decade. Data in this study are analyzed through the lens of deterrence theory using qualitative-comparative approach. This study suggests that in order to prevent Indonesia from becoming a default site for transnational terrorist attacks, it must strengthen its blunt counterterrorism instruments, especially with regards to maritime borders security, immigration control, impact mitigation, and financial regulation. Meanwhile, it must improve its sharp instrument, namely intelligence-driven law operation, by cautiously strengthening its anti-terrorism legislation and improving its detention and post-detention system. Key words: Fourth-wave terrorism, counter-terrorism and deterrence by denial, deterrence by punishment
anti-terrorism,
vii Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
deterrence,
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .................................................................................................... PERNYATAAN ORISINALITAS .............................................................................. HALAMAN PENGESAHAN...................................................................................... KATA PENGANTAR ................................................................................................. HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ................................ ABSTRAK ................................................................................................................... ABSTRACT ................................................................................................................... DAFTAR ISI ................................................................................................................ DAFTAR TABEL ........................................................................................................ DAFTAR GAMBAR ................................................................................................... DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................................ BAB 1 PENDAHULUAN .................................................................................. 1.1. Latar Belakang ......................................................................................... 1.2. Rumusan Masalah .................................................................................... 1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian ................................................................ 1.3.1. Tujuan Penelitian .......................................................................... 1.3.2. Manfaat Penelitian ..................................................................... 1.4. Tinjauan Pustaka ...................................................................................... 1.4.1. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kemunculan Terorisme di Suatu Negara................................................................................. 1.4.1.1 Tipologi Bjorgo: Empat Faktor Penyebab Kemunculan Terorisme .......................................................................... 1.4.1.2 Faktor-Faktor Sosial Politik yang Mempengaruhi Kemunculan Terorisme ................................................... 1.4.2. Upaya Penanggulangan Terorisme di Suatu Negara .................... 1.4.2.1 Pengertian Anti-Terorisme dan Kontra-Terorisme .......... 1.4.2.2 Elemen-Elemen Upaya Penanggulangan Terorisme ....... Suatu Negara .................................................................... 1.4.2.3Penggentaran sebagai Strategi Penanggulangan Terorisme yang Komprehensif ......................................... 1.4.3. Terorisme di Asia Tenggara pasca-9/11 dan Upaya Penanggulangannya ..................................................................... 1.4.4. Perbandingan Strategi Penggentaran di Singapura, Malaysia, Filipina, dan Indonesia ................................................................ 1.5. Asumsi Penelitian ..................................................................................... 1.6. Kerangka Teori ........................................................................................ 1.7. Operasionalisasi Variabel ........................................................................ 1.8. Model Analisis ......................................................................................... 1.9. Metode Penelitian .................................................................................... 1.10. Pembabakan Tesis ...................................................................................
i ii iii iv v vi vii viii xiv xv xvi 1 1 5 5 5 6 7 8 8 10 12 12 14 16 26 29 30 31 33 35 36 37
BAB 2 PENERAPAN STRATEGI PENGGENTARAN DALAM UPAYA MENANGGULANGI TERORISME DI SINGAPURA ......................... 40 2.1. Singapura dan Terorisme ........................................................................... 40 2.2. Kebijakan Keamanan Nasional Singapura terhadap Terorisme................. 41
viii Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
2.3.
2.4.
2.5. 2.6.
2.2.1. Persepsi Pemerintah Singapura mengenai Terorisme di Era Kontemporer ................................................................................. 2.2.2. Pengembangan Arsitektur Keamanan Nasional Baru untuk Menanggulangi Terorisme ............................................................ 2.2.2.1 Penguatan Koordinasi dan Jaringan Badan Pemerintah dan Lembaga Keamanan .................................................. 2.2.2.2 Penyusunan Struktur Keamanan Nasional Baru ............... Pengurangan Insiden Terorisme melalui Penggentaran melalui Penangkalan .............................................................................................. 2.3.1. Pengurangan Insiden Terorisme melalui Penghilangan Peluang untuk Melangsungkan Serangan ................................................... 2.3.1.1 Pengetatan Keamanan Bandara dan Penerbangan ............ 2.3.1.2 Pengetatan Keamanan Maritim dan Pelabuhan ................ 2.3.1.3 Pengetatan Keamanan Transportasi Publik Darat ............ 2.3.1.4 Pengerasan Target Infrastruktur dan Instalasi Kritis ........ 2.3.2. Pengurangan Insiden Terorisme melalui Penghilangan Kapabilitas untuk Melangsungkan Serangan ............................... 2.3.2.1 Pengetatan Kontrol dan Pengelolaan Perbatasan.............. 2.3.2.2 Kontrol Senjata dan Bahan Peledak ................................. 2.3.2.3 Kontrol Pendanaan ........................................................... 2.3.2.4 Kontrol Dunia Maya ......................................................... 2.3.2.5 Pengintaian Elektronik ..................................................... 2.3.3. Pengurangan Insiden Terorisme melalui Penghilangan Motivasi untuk Melangsungkan Serangan ................................... 2.3.3.1 Respons dan Mitigasi Serangan ........................................ 2.3.3.2 Pertahanan Sosial dan Kontra-Radikalisasi ...................... Pengurangan Insiden Terorisme melalui Hukuman.. ................................. 2.4.1. Penegakan Hukum terhadap Tindak Terorisme ........................... 2.4.2. Pembunuhan Bersasaran dan Retaliasi Masif ............................... Pengurangan Insiden Terorisme melalui Penawaran Insentif Politik dan Ekonomi .............................................................................................. Simpulan ....................................................................................................
BAB 3 PENERAPAN STRATEGI PENGGENTARAN DALAM UPAYA MENANGGULANGI TERORISME DI MALAYSIA .......................... 3.1. Malaysia dan Terorisme ............................................................................. 3.2. Kebijakan Keamanan Nasional Malaysia terhadap Terorisme .................. 3.2.1. Persepsi Pemerintah Malaysia mengenai Terorisme Kontemporer dan Upaya Penanggulangannya ............................. 3.2.2. Strategi Malaysia dalam Menghadapi Terorisme Kontemporer: Pendekatan Keras dan Lunak ....................................................... 3.2.3. Kelembagaan Penanggulangan Terorisme di Malaysia: Pemanfaatan Struktur Keamanan Lama ....................................... 3.3. Pengurangan Jumlah Serangan Teroris melalui Penggentaran melalui Penangkalan ............................................................................................... 3.3.1. Pengurangan Insiden Terorisme melalui Penghilangan Peluang untuk Melangsungkan Serangan ................................................... 3.3.1.1 Pengetatan Keamanan Bandara dan Penerbangan ............
ix Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
43 45 46 47 51 52 53 57 62 65 66 66 71 72 74 74 75 76 77 79 79 83 83 85
89 89 92 93 95 97 99 99 100
3.4.
3.5.
3.6.
3.3.1.2 Pengetatan Keamanan Maritim dan Pelabuhan ................ 3.3.1.3 Pengetatan Keamanan Transportasi Publik Darat ............ 3.3.1.4 Pengerasan Target Infrastruktur dan Instalasi Kritis ........ 3.3.2. Pengurangan Insiden Terorisme melalui Penghilangan Kapabilitas untuk Melangsungkan Serangan .............................. 3.3.2.1 Pengetatan Kontrol dan Pengelolaan Perbatasan.............. 3.3.2.2 Kontrol Senjata dan Bahan Peledak ................................. 3.3.2.3 Kontrol Pendanaan ........................................................... 3.3.2.4 Kontrol Dunia Maya ......................................................... 3.3.3. Pengurangan Insiden Terorisme melalui Penghilangan Motivasi untuk Melangsungkan Serangan ................................... 3.3.3.1 Mitigasi Dampak Serangan dan Pemulihan PascaSerangan ............................................................................ 3.3.3.2 Perang Ideologi untuk Menghilangkan Motivasi Teroris ............................................................................... Pengurangan Insiden Terorisme melalui Penggentaran melalui Hukuman .................................................................................................... 3.4.1. Penegakan Hukum terhadap Tindak Terorisme ........................... 3.4.2. Pembunuhan Bersasaran dan Retaliasi Masif ............................... Pengurangan Insiden Terorisme melalui Insentif Politik dan Ekonomi .... 3.5.1. Insentif Ekonomi dalam Bentuk Pendekatan Kesejahteraan ........ 3.5.2. Insentif Politik dalam Bentuk Demokratisasi ............................... Simpulan ....................................................................................................
BAB 4 PENERAPAN PENGGENTARAN DALAM UPAYA MENANGGULANGI TERORISME DI FILIPINA ............................. 4.1. Filipina dan Terorisme ............................................................................... 4.1.1. Sekilas Tentang Filipina............................................................... 4.1.2. Terorisme di Filipina .................................................................... 4.2. Kebijakan Keamanan Nasional Filipina terhadap Terorisme ..................... 4.2.1. Persepsi Pemerintah Filipina mengenai Terorisme Kontemporer .................................................................................. 4.2.2. Strategi Filipina dalam Menghadapi Terorisme Kontemporer dan Upaya Penanggulangannya .............................. 4.2.3. Kelembagaan Penanggulangan Terorisme di Filipina................... 4.3. Pengurangan Jumlah Serangan Teroris melalui Penggentaran melalui Penangkalan 141 4.3.1. Pengurangan Insiden Terorisme melalui Penghilangan Peluang Keberhasilan Serangan (Penangkalan di Tingkat Taktis) ............................................................................................ 4.3.1.1 Pengetatan Keamanan Bandara dan Penerbangan ............ 4.3.1.2 Pengetatan Keamanan Maritim dan Pelabuhan ................ 4.3.1.3 Pengetatan Keamanan Transportasi Publik Darat ............ 4.3.1.4 Pengerasan Target: Perlindungan Infrastruktur dan Instalasi Kritis .................................................................. 4.3.2. Pengurangan Insiden Terorisme melalui Penghilangan Kapabilitas untuk Melangsungkan Serangan ............................... 4.3.2.1 Pengetatan Kontrol dan Pengelolaan Perbatasan..............
x Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
102 105 106 107 107 109 110 112 113 113 114 117 118 121 121 121 122 124
127 128 128 130 131 132 133 137
141 142 144 148 149 150 150
4.3.2.2 Kontrol Senjata dan Bahan Peledak ................................. 4.3.2.3 Kontrol Pendanaan ........................................................... 4.3.3. Pengurangan Insiden Terorisme melalui Penghilangan Motivasi untuk Melangsungkan Serangan (Penangkalan di Tingkat Strategis) .......................................................................... 4.3.3.1 Mitigasi Dampak Serangan dan Pemulihan PascaSerangan ........................................................................... 4.3.3.2 Perang Ideologi untuk Menghilangkan Motivasi Teroris ............................................................................... 4.4. Pengurangan Insiden Terorisme melalui Penggentaran melalui Hukuman 160 4.4.1. Penegakan Hukum terhadap Tindak Terorisme ............................ 4.4.1.1 Human Security Act: UU Anti-Terorisme yang Tidak Pernah Digunakan ............................................................... 4.4.2. Pembunuhan Bersasaran dan Retaliasi Militer .............................. 4.5. Pengurangan Insiden Terorisme melalui Insentif Politik dan Ekonomi ...... 4.5.1. Insentif Ekonomi dalam Bentuk Pendekatan Kesejahteraan ......... 4.5.2. Insentif Politik dalam bentuk Negosiasi dengan Insurgen ............ 4.6. Simpulan .................................................................................................... BAB 5 5.1.
5.2.
5.3.
PENERAPAN PENGGENTARAN DALAM UPAYA MENANGGULANGI TERORISME DI INDONESIA ......................... Indonesia dan Terorisme ............................................................................ 5.1.1. Sekilas Tentang Indonesia ............................................................ 5.1.2. Insiden Terorisme Kontemporer di Indonesia .............................. Kebijakan Keamanan Nasional Indonesia terhadap Terorisme .................. 5.2.1. Persepsi Pemerintah Indonesia mengenai Terorisme Kontemporer dan Strategi Penanggulangannya ........................... 5.2.2. Kelembagaan Penanggulangan Terorisme di Indonesia ............... 5.2.2.1 Lembaga Koordinasi Kebijakan dan Operasi Penanggulangan Terorisme .............................................. 5.2.2.2 Detasemen Khusus 88: Ujung Tombak Penanggulangan Terorisme Indonesia .............................. 5.2.2.3 Kontroversi mengenai Peran Militer dalam Penanggulangan Terorisme di Indonesia .......................... 5.2.2.4 Koordinasi Intelijen .......................................................... 5.2.2.5 Persaingan Antar-Lembaga .............................................. Pengurangan Jumlah Serangan Teroris melalui Penggentaran melalui Penangkalan ............................................................................................... 5.3.1. Pengurangan Insiden Terorisme melalui Penghilangan Peluang Keberhasilan Serangan .................................................. 5.3.1.1 Pengetatan Keamanan Bandara dan Penerbangan ............ 5.3.1.2 Pengetatan Keamanan Maritim dan Pelabuhan ................ 5.3.1.3 Pengerasan Target: Perlindungan Infrastruktur dan Instalasi Kritis .................................................................. 5.3.2. Pengurangan Insiden Terorisme melalui Penghilangan Kapabilitas untuk Melangsungkan Serangan (Penangkalan di
xi Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
155 156
157 158 159
161 162 164 165 165 166 167
169 170 170 174 176 177 182 183 185 187 189 190
192 192 193 196 202
5.4.
5.5.
5.6. BAB VI
6.1. 6.2. 6.3. 6.4. 6.5. 6.6.
Tingkat Operasional).................................................................... 5.3.2.1 Pengetatan Kontrol dan Pengelolaan Perbatasan.............. 5.3.2.2 Kontrol Senjata dan Bahan Peledak ................................. 5.3.2.3 Kontrol Pendanaan ........................................................... 5.3.2.4 Kontrol Internet ................................................................ 5.3.3. Pengurangan Insiden Terorisme melalui Penghilangan Motivasi untuk Melangsungkan Serangan ................................... 5.3.3.1 Mitigasi Dampak Serangan dan Pemulihan PascaSerangan ............................................................................ 5.3.3.2 Deradikalisasi dan Kontra-Radikalisasi: Sebuah Upaya Perang Ideologi .................................................................. Pengurangan Insiden Terorisme melalui Penggentaran melalui Hukuman .................................................................................................... 5.4.1. Penegakan Hukum terhadap Tindak Terorisme ........................... 5.4.1.1 Respon Legislasi: UU Anti-Terorisme yang Terlalu Lunak.................................................................................. 5.4.1.2 Praktik Penegakan Hukum terhadap Tindak Terorisme ... 5.4.2. Pembunuhan Bersasaran dan Retaliasi Masif ............................... Pengurangan Insiden Terorisme melalui Insentif Ekonomi dan Politik .... 5.5.1. Insentif Ekonomi sebagai Bagian dari Inisiatif Deradikalisasi Polri .............................................................................................. 5.5.2. Insentif Politik .............................................................................. Simpulan ................................................................................................... PERBANDINGAN PENGGENTARAN DI SINGAPURA, MALAYSIA, FILIPINA, DAN INDONESIA DALAM MENANGGULANGI TERORISME ..................................................... Perbandingan Kebijakan Nasional Penanggulangan Terorisme ............... Perbandingan Penerapan Penggentaran melalui Penangkalan di Tingkat Taktis ............................................................................................ Perbandingan Penerapan Penggentaran melalui Penangkalan di Tingkat Operasional ................................................................................... Perbandingan Penerapan Penggentaran melalui Penangkalan di Tingkat Strategis ......................................................................................... Perbandingan Penerapan Penggentaran melalui Hukuman ....................... Perbandingan Penerapan Penggentaran melalui Pemberian Insentif .........
BAB VII SIMPULAN DAN REKOMENDASI ..................................................... 7.1. Hasil Analisis Tingginya Serangan Terorisme Transnasional di Indonesia Berdasarkan Teori Penggentaran .............................................. 7.1.1. Upaya Menggentarkan Teroris di Singapura ................................ 7.1.2. Upaya Menggentarkan Teroris di Malaysia ................................. 7.1.3. Upaya Menggentarkan Teroris di Filipina.................................... 7.1.4. Upaya Menggentarkan Teroris di Indonesia ................................ 7.1.5. Perbandingan Upaya Penggentaran Teroris di Singapura, Malaysia, Filipina, dan Indonesia ................................................. 7.2. Refleksi Teoretik tentang Penerapan Teori Penggentaran dalam Penanggulangan terorisme di Singapura, Malaysia, Filipina, dan
xii Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
203 203 206 207 209 210 211 212 220 221 221 224 227 228 228 229 231
234 238 247 256 262 267 273 277 278 278 280 282 284 286
7.3.
Indonesia .................................................................................................... 288 Rekomendasi .............................................................................................. 293
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................. 296
xiii Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
DAFTAR TABEL Tabel 1.1. Tabel 1.2. Tabel 4.1. Tabel 5.1. Tabel 5.2. Tabel 5.3.
Tabel 5.4. Tabel 6.1. Tabel 6.2. Tabel 6.3. Tabel 6.4. Tabel 6.5. Tabel 6.6. Tabel 6.7.
Potensi Penerapan Strategi Penggentaran Berdasarkan Intensitas Motivasi Teroris dan Preferensi Hasil..................................................... Operasionalisasi Variabel Penggentaran yang Menjadi Kriteria Pembanding dalam Penelitian ................................................................. Pilar Penanggulangan Terorisme Filipina dalam Perspektif Strategi Penggentaran. .......................................................................................... Rangkaian Peledakan Bom yang Dilakukan oleh JI (2000-2009) .......... Aktivitas Pokok Penanggulangan Terorisme Indonesia dalam Perspektif Strategi Penggentaran.................................................. Pengelompokan dan Jumlah Tersangka dan Narapidana Teroris Berdasarkan Tingkat Perbaikan Diri dalam Inisiatif Deradikalisasi Polri ......................................................................................................... Data Penegakan Hukum Terhadap Tindak Terorisme. ........................... Karakteristik Singapura, Malaysia, Filipina, dan Indonesia Terkait Terorisme. ............................................................................................... Perbandingan Kebijakan Keamanan Nasional terhadap Terorisme di Singapura, Malaysia, Filipina, dan Indonesia. ........................................ Perbandingan Penggentaran melalui Penangkalan di Tingkat Taktis di Singapura, Malaysia, Filipina, dan Indonesia. .................................... Perbandingan Penggentaran melalui Penangkalan di Tingkat Operasional di Singapura, Malaysia, Filipina, dan Indonesia. ............... Perbandingan Penggentaran melalui Penangkalan di Tingkat Strategis di Singapura, Malaysia, Filipina, dan Indonesia. ..................... Perbandingan Penggentaran melalui Hukuman di Singapura, Malaysia, Filipina, dan Indonesia. .......................................................... Perbandingan Penggentaran melalui Pemberian Insentif di Singapura, Malaysia, Filipina, dan Indonesia . ........................................................
xiv Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
21 34 136 175 179
214 225 235 239 248 257 263 268 274
DAFTAR GAMBAR Gambar 1.1. Wilayah Operasional Jamaah Islamiah (Mantiqi I-IV) ...................... Gambar 1.2. Frekuensi Serangan Terorisme Transnasional yang Melibatkan JI (2001-2010) ........................................................................................ Gambar 1.3. Frekuensi Serangan Terorisme Transnasional yang Melibatkan JI (2001-2010) ........................................................................................ Gambar 1.4. Kerangka Teori ................................................................................... Gambar 1.5. Model Analisis. ................................................................................... Gambar 2.1. Peta Singapura .................................................................................... Gambar 3.1. Peta Malaysia ...................................................................................... Gambar 4.1. Peta Filipina ........................................................................................ Gambar 4.2. Segitiga Transit Teroris. ..................................................................... Gambar 5.1. Peta Indonesia ..................................................................................... Gambar 5.2. Gambaran Strategi Penanggulangan Terorisme BNPT ...................... Gambar 5.3. Pendapat Para Pakar Mengenai Strategi Kontra-Radikalisasi di Indonesia ............................................................................................
xv Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
2 3 4 32 35 41 90 128 152 171 182 217
DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1 Lampiran 2
Kondisi-Kondisi Spesifik Penyebab Terorisme di Empat Tingkat ...... 314 Kesimpulan Studi Empiris mengenai Penyebab Terorisme ................ 315
xvi Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
BAB 1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
1.1
Saat ini, terorisme telah menjadi isu global yang mengemuka dan menjadi hirauan banyak pihak, baik di kalangan pemerintah maupun akademik. Tragedi 9/11 memusatkan perhatian dunia pada apa yang saat ini diklaim sebagai terorisme gelombang keempat atau fourth wave terrorism1 (Hoffman, 2008) yang dipandang sebagai titik tonggak historis dalam praktik dan studi keamanan internasional (Gray 2007, h. 119). Meskipun terorisme yang melintasi batas-batas negara telah dikenal setidaknya sejak tahun 60-an dan terorisme berbasis agama mulai diperhatikan sejak tahun 70-an, intensitas dan dampak serangan 9/11 dikatakan telah menciptakan sebuah era baru di mana Perang Global melawan Teror (GWOT) yang dipimpin oleh Amerika Serikat menjadi narasi strategis utama baru menggantikan narasi Perang Dingin dan globalisasi (Gunaratna, 2003). Asia Tenggara sempat ditunjuk sebagai „front kedua‟ oleh AS dalam Perang Global Melawan Teror setelah Afganistan dan Timur Tengah (Gersman 2002, h. 60), sebuah label yang dilekatkan AS setelah melihat keberadaan dan aktivitas jejaring Al-Qaeda di kawasan tersebut. Menurut Gunaratna, pascaserangan AS ke Afganistan pada tahun 2001, operator, penyandang dana, dan perancang serangan Al-Qaeda terdesentralisasi dari pusatnya di PakistanAfganistan dan menyebar ke berbagai wilayah periferi, salah satunya adalah Asia Tenggara. Di kawasan ini, Al-Qaeda dikatakan telah berhasil membangun jejaring dengan berbagai organisasi teroris dan mengko-optasi para pemimpin mereka sehingga menjadi perpanjangan tangannya (Gunaratna, 2003). Salah satu organisasi teroris paling prominen di Asia Tenggara yang dikatakan telah berhasil dipenetrasi Al-Qaeda adalah Jemaah Islamiyah (JI), yang jejaringnya terbentang dari Thailand Selatan hingga Australia. Menurut Gunaratna
1
Menurut Hoffman, terorisme gelombang keempat merujuk pada terorisme berbasis agama yang ditujukan untuk menimbulkan sebanyak-banyaknya korban (mass casualties) dan dicirikan dengan penggunaan taktik bunuh diri (suicide mission).
1 Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
2
(2003), JI membagi wilayah tanggung jawab, personel, infrastruktur, dan operasinya ke dalam empat wilayah yang disebut sebagai Mantiqi. Mantiqi I mencakup Malaysia, Singapura, dan Thailand Selatan. Mantiqi II mencakup seluruh Indonesia, kecuali Sulawesi dan Kalimantan. Mantiqi III mencakup wilayah Maguindanao, Filipina, dan Kalimantan, termasuk Brunei dan Serawak, sementara Mantiqi IV mencakup kawasan Australia. Wilayah operasional JI dapat dilihat dalam peta berikut ini.
Gambar 1.1 Wilayah Operasional Jamaah Islamiah (Mantiqi I-IV) Sumber: http://www.freerepublic.com/focus/f-news/2798352/posts
JI bukanlah satu-satunya organisasi teroris yang dikatakan sebagai perpanjangan tangan Al-Qaeda di Asia Tenggara.2 Akan tetapi, Guanaratna berargumen bahwa JI adalah mitra Al-Qaeda yang paling penting dan berperan sebagai „mother group‟ bagi organisasi-organisasi militan lainnya (2003, h. 16). Al-Qaeda dan JI dikatakan telah merencanakan dan melangsungkan banyak aksi
2
Selain JI, Al-Qaeda juga dikatakan berhasil mendirikan, menginfiltrasi, atau mempengaruhi berbagai organisasi dan kelompok teror lainnya, misalnya Jamaah Salafiyah di Thailand Selatan, Kumpulan Militan Malaysia (KMM) di Malaysia; Laskar Jundullah in Indonesia dan Moro Islamic Liberation Front (MILF) di Filipina Selatan.
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
3
teror di Asia Tenggara meskipun sebagian di antaranya berhasil digagalkan.3 Berbagai aksi teror ini seakan luput dari kesadaran publik nasional dan regional hingga terjadinya serangan terhadap World Trade Center di New York pada tanggal 11 September 2001 dan Bom Bali I pada tanggal 12 Oktober 2012 yang dapat dikatakan membangunkan kawasan ini dari tidur lelapnya. Meskipun jejaring sentral JI turut mencakup Indonesia, Filipina, Malaysia, dan Singapura sementara kelompok-kelompok yang terpengaruhi atau berafiliasi dengannya ada di lebih banyak lagi negara Asia Tenggara, pada sepuluh tahun terakhir ini (2001-2010), serangan teroris transnasional yang disebut-sebut melibatkan JI paling banyak terjadi di Indonesia, yakni sebesar 75% (RAND Database, 2011). Persentasenya meningkat menjadi 100% apabila yang dihitung hanya serangan JI yang benar-benar bersifat internasional. Serangan terbanyak kedua bertempat di Filipina (25%), sedangkan di Malaysia dan Singapura tidak ada serangan terorisme transnasional sama sekali (lihat Gambar 1.2 dan 1.3). Fenomena tersebut sempat disebut sebagai ‟ekspor terorisme‟ dari negara-negara Asia Tenggara lain ke Indonesia4 (Republika Online, 28 September 2011).
Indonesia
25% 75%
Filipina
Gambar 1.2. Frekuensi Serangan Terorisme Transnasional yang Melibatkan JI (2001-2010) Sumber: Diolah dari RAND Database of Worldwide Terrorism Incidents, 2011
3 Sebagai contoh, Al-Qaeda dan JI berencana membunuh Paus John Paul II dan Presiden Bill Clinton di Manila dan mencoba meledakan 11 bom di Asia Pasifik pada awal tahun 1995. Sebelum itu, pada tahun 1994 Al-Qaeda berhasil meledakan bom di penerbangan Philippine Airlines. Sementara itu, JI dianggap bertanggung jawab atas pemboman kediaman Duta Besar Filipina di Jakarta dan pemboman berantai 30 gereja di Jakarta, Jawa Barat, Sumatera Utara, Riau, Bandung, Jawa Timur, dan Nusa Tenggara pada tahun 2000. Di Malaysia, sel Al-Qaeda dikatakan menaungi para perancang pemboman USS Cole di Filipina dan menyediakan pelatihan serta dukungan pendanaan. 4 Yang mengemukakan istilah ‟ekspor terorisme‟ adalah Muhadjir Effendy, seorang pengamat intelijen Indonesia.
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
4
Malaysia 0%
Filipina 0%
Singapura 0%
Indonesia 100%
Gambar 1.3. Frekuensi Serangan Terorisme yang Sepenuhnya Bersifat Internasional (2001-2010) Sumber: Diolah dari RAND Database of Worldwide Terrorism Incidents, 2011
Jika kita cermati, terlihat bahwa kemampuan jejaring teror untuk bergerak melintasi batas-batas negara menjadikan Indonesia seringkali menerima serangan yang sebenarnya dirancang untuk dilangsungkan di negara lain. Sebagai contoh, ketika pemerintah Singapura berhasil mengungkap dan menghancurkan sel JI di negaranya, kepemimpinan sel tersebut langsung berpindah ke Indonesia. Mereka kemudian menyusun rencana untuk menabrakan pesawat ke Bandara Internasional Changi di Singapura dari Indonesia (Republika Online, 28 September 2011). Dari data RAND di atas, terlihat bahwa Indonesia mengalami dampak terorisme transnasional yang relatif lebih besar dibandingkan dengan negaranegara lain di Asia Tenggara, baik dari segi frekuensi (jumlah serangan) maupun fatalitas (jumlah korban). Dari segi fatalitas, Indonesia pernah mengalami serangan terorisme paling berdarah di Asia Tenggara, yakni Bom Bali I yang terjadi pada bulan Oktober 2002 di mana 202 orang tewas dan ratusan lainnya terluka (Chow, 2005). Serangan ini kemudian menjadi ‟tipping point‟ dari berbagai kerja sama regional dan sub-regional di ASEAN serta kerja sama internasional dengan berbagai negara di luar kawasan seperti AS, Australia, Uni Eropa, dan Jepang (Chow, 2005). Meskipun berbagai kerja sama di tingkat regional telah dilakukan (melalui ASEAN) dan secara domestik Indonesia telah menggalakkan angkah-langkah penanggulangan terorisme (termasuk dengan mengeluarkan legislasi anti-terorisme pada tahun 2003), tingkat serangan teroris transnasional di Indonesia tetap relatif lebih tinggi dibandingkan dengan tiga negara lain yang tercakup ke dalam wilayah sasaran JI, yakni Singapura, Malaysia, dan Filipina. Fenomena ini menarik untuk diteliti, khususnya mengenai
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
5
faktor-faktor yang mungkin menyebabkan tingginya serangan teroris transnasional di Indonesia relatif terhadap tiga negara lain yang menghadapi keberadaan jejaring teror yang sama.
1.2
Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, masalah dalam
penelitian ini dirumuskan sebagai berikut: Mengapa Indonesia menjadi target serangan terorisme transnasional terbanyak di Asia Tenggara dalam periode 2001-2010?
1.3
Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.3.1
Tujuan Penelitian Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran
mengenai faktor-faktor yang mungkin menyebabkan tingginya serangan terorisme transnasional di sebuah negara relatif terhadap negara-negara lain di sekitarnya yang menghadapi keberadaan jejaring terorisme transnasional yang sama. Faktorfaktor yang menyebabkan suatu negara atraktif bagi serangan teroris transnasional sangat penting untuk diketahui karena terorisme transnasional telah menimbulkan banyak kerugian secara global, baik langsung maupun tidak langsung. Secara langsung, serangan teroris menimbulkan korban jiwa dan kerugian material. Secara tidak langsung, serangan teroris seringkali menimbulkan dampak ikutan yang lebih serius, misalnya hilangnya investasi akibat menyebarnya citra negara tersebut sebagai „sarang teroris.‟ Serangan teroris yang tidak dikelola dengan baik juga dapat menimbulkan ketidakstabilan politik dan sosial yang menghambat kegiatan ekonomi, bahkan dapat menurunkan legitimasi pemerintah di mata rakyatnya sehingga mengganggu efektivitas jalannya pemerintahan di negara tersebut. Yang terakhir, serangan teroris transnasional dapat pula mengganggu hubungan bilateral suatu negara dengan negara lain. Sebagai negara yang pernah menjadi korban serangan terorisme transnasional terfatal di Asia Tenggara, Indonesia pun sempat mengalami hal-hal
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
6
di atas (Lindborg, Gwi, dan Steer, 2003).5 Hingga saat ini, pemerintah Indonesia tampak masih berjuang untuk memulihkan kondisi keamanan dan ketertiban domestik di tengah ancaman serangan teroris yang seakan dapat terjadi kapan saja. Dengan demikian, memahami faktor-faktor yang menyebabkan tingginya serangan teroris transnasional di suatu negara dengan mengikutsertakan variabel kondisi dan upaya penanggulangan terorisme yang dilakukan pemerintah negaranegara lain menjadi penting, tidak hanya untuk belajar mengenai pencegahan dan penanggulangan serangan teroris yang efektif, tetapi juga agar negara tersebut tidak secara default menjadi tempat yang paling kondusif untuk melangsungkan serangan atau mengembangkan jejaring teroris. Untuk tujuan itulah penelitian ini dilakukan.
1.3.2
Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: Secara teoretis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi
berupa penambahan perspektif regional dalam studi mengenai faktor-faktor yang menyebabkan tingginya insiden terorisme di suatu negara sehingga upaya penanggulangannya tidak hanya dipelajari dalam kondisi yang absolut (di negara itu
saja),
tetapi
juga
dengan
mempertimbangkan
upaya
dan
kondisi
6
penanggulangan terorisme di negara-negara lain. Selain itu, penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan sumbangan keilmuan dalam studi HI, yaitu dengan mengumpulkan basis data empiris mengenai teori penggentaran (deterrence theory) yang digunakan sebagai kerangka teoretik utama dalam penelitian ini sehingga dapat diterapkan tidak hanya dalam konteks hubungan antarnegara, tetapi juga dalam hubungan antara negara dan aktor non-negara, yakni dalam konteks penanggulangan terorisme.
5
Sebagai contoh, pasca-serangan Bom Bali I dan II, wisatawan yang datang ke Bali langsung anjlok disertai dengan pemangkasan pegawai dan penurunan omset hingga 60% dari berbagai Usaha Kecil dan Menengah yang ada di Bali. Hal ini juga didukung oleh Kamakhrisna yang menyatakan bahwa pelabelan Asia Tenggara sebagai „tempat berlindung teroris‟ membawa implikasi ekonomi yang besar bagi kawasan ini yang belum sepenuhnya pulih dari krisis finansial 1997-1998, khususnya di sektor pariwisata yang terpukul karena pengeluaran travel advisories oleh banyak pemerintah Barat. 6 Di kawasan yang sama, yang diperlakukan sebagai suatu sistem, di mana negara-negara di dalamnya dipandang sebagai sub-sistem.
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
7
Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi para pembuat kebijakan yang berwenang menanggulangi terorisme di Indonesia agar dapat mengatasi berbagai celah keamanan yang ada sehingga Indonesia tidak secara default menjadi target serangan teroris yang lebih menarik dibandingkan dengan negara-negara Asia Tenggara lainnya.
1.4
Tinjauan Pustaka Bagian ini mengkaji berbagai literatur untuk mencari penjelasan mengenai
tingginya jumlah serangan teroris transnasional di Indonesia dibandingkan dengan di Singapura, Malaysia, dan Filipina. Literatur yang dikaji di bagian ini terbagi menjadi dua jenis. Yang pertama adalah literatur mengenai faktor-faktor yang dapat mempengaruhi tingginya insiden terorisme di suatu negara. Yang kedua adalah literatur mengenai upaya penanggulangan terorisme yang dapat menekan jumlah serangan teroris dengan penggentaran sebagai salah satu strategi spesifik. Dalam kategori kedua ini, dibahas pula berbagai penelitian terdahulu mengenai penanggulangan
terorisme
di
kawasan
Asia
Tenggara
dan
penerapan
penggentaran secara empiris di beberapa negara dalam konteks penanggulangan terorisme.
1.4.1
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kemunculan Terorisme di Suatu Negara Literatur mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi kemunculan
terorisme di suatu negara penting untuk ditinjau karena munculnya terorisme di suatu negara mempengaruhi kemungkinan terjadinya serangan teroris di negara tersebut, yang pada gilirannya mempengaruhi frekuensi dan fatalitasnya. Bagian ini membahas literatur mengenai tipologi penyebab terorisme dari Bjorgo (2005) yang menyatakan bahwa terdapat empat tingkatan faktor yang dapat menyebabkan munculnya terorisme serta studi Ozdogan (2006) yang secara spesifik mengkaji faktor-faktor sosial-politik yang mempengaruhi kemunculan terorisme di suatu negara. Tipologi Bjorgo ditinjau karena cakupannya yang komprehensif (turut mencakup penyebab terorisme di tingkat struktur dan agensi) sementara studi Ozdogan ditinjau karena memuat studi empiris-kuantitatif yang menguji faktor-
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
8
faktor sosial-politik apa yang benar-benar berkorelasi dengan tingginya serangan teroris di suatu negara. Tipologi Bjorgo menyediakan kerangka teoretik yang komprehensif mengenai apa saja yang dapat memunculkan terorisme di suatu negara sementara studi Ozdogan melengkapinya dengan bukti empiris.
1.4.1.1 Tipologi Bjorgo: Empat Faktor Penyebab Terorisme Untuk menjawab pertanyaan mengenai mengapa terorisme dapat muncul di suatu negara (yang pada gilirannya mempengaruhi tingginya serangan teroris di negara tersebut), tipologi penyebab terorisme Bjorgo dapat menjadi awal yang baik karena tipologi tersebut memiliki cakupan yang luas dan turut mencakup faktor-faktor penyebab di tingkat struktural (negara dan lingkungan global) maupun agensial (kelompok dan individu teroris). Menurut Bjorgo (2005), ada empat tingkatan penyebab (level of causation) yang menyebabkan munculnya terorisme di suatu negara, yaitu faktor struktural, fasilitator, motivasional, dan pemicu (h. 3-4).
a. Faktor Struktural Faktor struktural sering juga disebut sebagai faktor yang mendasari kemunculan terorisme (underlying causes). Beberapa pakar menyebutnya sebagai kondisi yang harus ada sebelumnya (precondition atau antecedent conditions). Faktor struktural adalah faktor-faktor yang mempengaruhi kehidupan seseorang dalam tataran makro/abstrak yang dapat memunculkan bibit terorisme. Meskipun faktor ini tidak memiliki korelasi langsung atau hanya berkorelasi lemah dengan terorisme serta tidak dapat memunculkan terorisme jika berdiri sendiri, faktor-faktor ini harus ada untuk memunculkan hal tersebut (a necessary but insufficient factor).
b. Faktor Fasilitator/Akselerator Faktor fasilitator atau akselerator adalah faktor yang menjadikan terorisme mudah atau menarik untuk dilakukan tanpa menjadi faktor penggerak utama. Yang termasuk ke dalam faktor fasilitator antara lain perkembangan media
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
9
global, teknologi transportasi dan komunikasi, teknologi dan sirkulasi senjata, serta operasi bisnis internasional.
c. Faktor Motivasional Faktor motivasional adalah faktor penyebab yang bersumber dari pengalaman-pengalaman di tingkat individu dan kelompok yang mendorong mereka untuk menggunakan metode terorisme untuk mencapai tujuan-tujuan mereka. Faktor ini berada di tingkat agensial (kelompok dan individu) dan bukan di tingkat struktur (negara) sehingga tidak menjadi fokus di dalam penelitian ini.
d. Faktor Pemicu Faktor pemicu adalah faktor yang secara langsung mengakibatkan serangan teroris dan biasanya merupakan sebuah peristiwa yang spesifik, misalnya kejadian yang provokatif, tragedi politik, aksi yang dilakukan pihak musuh, atau kejadian lain yang menimbulkan aksi balasan dari kelompok teroris (Bjorgo 2005, h. 10) dalam suatu gejala aksi-reaksi (Crenshaw 2009, h. 385). Kasus-kasus yang menjadi landasan empiris pembangunan tipologi di atas antara lain terorisme di Timur Tengah (yang diasosiasikan secara kuat dengan penindasan asing dan negara yang otoriter), insurgensi Macan Tamil di Sri Lanka (yang diasosiasikan secara kuat dengan deprivasi dan diskriminasi etnis dan agama), kegagalan negara di Libanon, dukungan negara terhadap terorisme, terorisme revolusioner di Amerika Latin dan Eropa, keterkaitan terorisme dengan jejaring kriminal terorganisasi, dan dampak penanganan pemerintah terhadap teorisme (koersif atau konsiliatoris) (Bjorgo 2005, h. 6-14). Berbagai kondisi spesifik dari keempat tingkatan di atas yang dianggap mempengaruhi kemunculan terorisme di suatu negara dapat dilihat di lampiran 1. Faktor-faktor yang teridentifikasi dan tercantum dalam tabel tersebut adalah faktor-faktor yang secara teoretik dianggap relevan dengan kemunculan terorisme/tingginya serangan terorisme di suatu negara. Kajian empiris mengenai faktor-faktor
tersebut
mengarahkan
Bjorgo
pada
kesimpulan-kesimpulan
mengenai faktor penyebab terorisme yang dapat dilihat di lampiran 2.
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
10
Menurut Bjorgo (2005, h. 281), penelitian yang berfokus pada akar penyebab terorisme dapat menemui jalan buntu apabila yang dikaji adalah isu-isu yang sifatnya sangat umum seperti kemiskinan, globalisasi, dan modernisasi yang tingkatnya terlalu makro dan sangat sulit untuk diubah. Oleh karena itu, Bjorgo menyarankan agar penelitian-penelitian terorisme difokuskan pada kondisikondisi yang secara spesifik memotivasi dan memfasilitasi aksi terorisme. Penelitian ini difokuskan pada kajian mengenai faktor-faktor fasilitator terorisme yang spesifik sebagaimana disarankan Bjorgo. Faktor-faktor penyebab terorisme dalam tipologi Bjorgo yang diadopsi dalam penelitian ini adalah kontrol perbatasan, pergerakan senjata dan bahan peledak, dan pergerakan uang. Faktor-faktor di atas diambil karena terletak di tingkat struktur (negara) sehingga relevan dengan penelitian ini yang berfokus pada upaya penanggulangan terorisme yang dilakukan negara. Selain itu, faktor-faktor di atas secara konsisten terus-menerus disebutkan dan dianggap penting dalam berbagai literatur mengenai terorisme dan penanggulangannya, baik di tingkat regional (Asia Tenggara) maupun di Indonesia.
1.4.1.2 Faktor-Faktor
Sosial-Politik
yang
Mempengaruhi
Kemunculan
Teroris di Suatu Negara Jika dikelompokan
Bjorgo ke
mengemukakan dalam
tingkatan
tipologi
penyebab
struktur
terorisme
(negara)
dan
yang agensi
(kelompok/individu teroris), Ozdogan (2006) mengajukan sebuah model teoretik mengenai kondisi-kondisi spesifik suatu negara yang mungkin berhubungan dengan munculnya teroris. Model ini mencakup tiga variabel, yaitu 1) struktur sosial, 2) institusi politik, dan 3) posisi sebuah negara dalam sistem dunia. Kondisi-kondisi spesifik dalam ketiga hal ini dikatakan dapat menimbulkan kesenjangan di antara ekspektasi dan peluang yang pada akhirnya mengakibatkan kondisi patologis seperti deprivasi relatif, deprivasi absolut, dan perebutan kekuasaan ekonomi dan politik (Ozdogan 2006, h. 4). Kajian kuantitatif terhadap model teoretik di atas menunjukkan bahwa ada faktor-faktor yang terbukti secara empiris berkorelasi dengan jumlah serangan teroris dan ada yang tidak. Faktor-faktor kelembagaan politik dan posisi sebuah
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
11
negara dalam sistem dunia memiliki basis empiris sebagai faktor penyebab terorisme sedangkan faktor-faktor sosial struktural tidak. Setelah menerapkan model regresi binomial dalam analisis cross-sectional dan time series terhadap faktor-faktor
di
atas,
Ozdogan
menemukan
bahwa
faktor-faktor
yang
mempengaruhi kemunculan teroris di sebuah negara secara signifikan adalah posisi negara tersebut dalam sistem dunia (inti, periferi atau semi-periferi) dan faktor-faktor politik-institusional (bentuk pemerintahan dan tingkat demokrasi di suatu negara) sementara faktor sosial-struktural tidak mempengaruhi jumlah teroris yang dihasilkan (Ozdogan 2006, h. 39). Lebih lanjut lagi, dari studi ini, ditemukan bahwa bentuk kelembagaan politik dan tingkat demokrasi memiliki pengaruh yang paling signifikan dibandingkan faktor-faktor lainnya. Sebagai contoh, negara dengan bentuk federasi mengalami insiden terorisme 43% lebih sedikit dibandingkan negara yang tidak menganut sistem tersebut. Selain itu, tingkat demokrasi suatu negara mempengaruhi jumlah teroris yang dihasilkan dalam bentuk U tidak simetris. Negara yang paling tidak demokratik ditemukan memproduksi paling banyak teroris. Sementara itu, negara yang paling demokratik memproduksi lebih banyak teroris dibandingkan negara yang agak tidak demokratik, namun lebih sedikit dibandingkan dengan negara yang paling tidak demokratik. Selain itu, durasi rezim pemerintahan juga mempengaruhi jumlah teroris yang dihasilkan di mana rezim yang lebih langgeng memproduksi lebih sedikit teroris (Ozdogan 2006, h. 39). Penelitian di atas relevan dengan penelitian ini karena menyelidiki faktor penyebab terorisme di tingkat negara. Untuk kepentingan penelitian ini, faktor penyebab kemunculan terorisme yang akan ditinjau adalah tingkat demokrasi karena selain merupakan salah satu faktor yang paling signifikan dalam mempengaruhi banyaknya teroris yang muncul di sebuah negara, ia juga disebutkan sebagai salah satu faktor fasilitator terorisme.
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
12
1.4.2
Upaya Penanggulangan Terorisme di Suatu Negara (Kontra- dan Anti-Terorisme) Literatur di bagian sebelumnya telah membahas faktor-faktor yang
ditengarai berpengaruh pada kemunculan terorisme di suatu negara, yang pada gilirannya menentukan tinggi-rendahnya jumlah serangan teroris di negara tersebut. Bagian ini akan membahas literatur mengenai respon negara terhadap terorisme
yang
dapat
mempengaruhi
jumlah
serangan,
yakni
upaya
penanggulangan terorisme yang lazim disebut sebagai anti- dan kontra-terorisme. Literatur mengenai topik ini sangat banyak karena literatur mengenai terorisme hampir selalu disertai dengan pembahasan mengenai upaya penanggulangannya. Meskipun demikian, anti- dan kontraterorisme kurang memiliki conceptual clarity karena setiap pakar atau negara cenderung memberikan ruang lingkup, definisi, elemen, dan fokus yang berbeda. Bagian ini terbagi menjadi tiga sub-bagian. Pertama-tama, akan dibahas literatur mengenai definisi, elemen, serta ruang lingkup anti- dan kontra-terorisme untuk mendapatkan gambaran awal mengenai dua pendekatan penanggulangan terorisme tersebut. Sub-bagian kedua akan membahas literatur mengenai konsepsi teoretik dari penggentaran sebagai salah satu strategi penanggulangan terorisme, yang kemudian dilanjutkan dengan pembahasan literatur mengenai penerapan penggentaran di beberapa negara dalam konteks penanggulangan terorisme.
1.4.2.1 Pengertian Anti-Terorisme dan Kontra-Terorisme Sebagaimana telah dikemukakan di atas, tinggi-rendahnya jumlah serangan teroris di suatu negara dapat dikaitkan secara langsung dengan upaya penanggulangan terorisme yang dijalankan oleh negara tersebut, yang sering disebut sebagai langkah anti- dan kontra-terorisme. Dengan demikian, pembahasan mengenai konsepsi dan pengertian dari kedua konsep ini menjadi penting. Apa yang dimaksud dengan anti-terorisme dan kontra-terorisme? Apakah ada perbedaan makna di antara keduanya dan apa saja elemen-elemennya? Istilah anti-terorisme dan kontra-terorisme seringkali dipertukarkan dan pemaknaannya pun berbeda-beda dari satu tokoh ke tokoh lainnya, terkadang bahkan tumpang-tindih. Dalam perspektif Amerika Serikat, misalnya, anti-
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
13
terorisme adalah langkah-langkah „defensif‟ melawan terorisme, misalnya perlindungan keamanan fisik ketika terjadi serangan teroris. Sementara itu, kontra-terorisme adalah upaya-upaya yang sifatnya lebih proaktif dengan ruang lingkup yang lebih luas dari sekadar pertahanan dan ditujukan untuk mengendalikan dan mengurangi insiden teroris (Pillar 2001, h. 10). Pengertian lain datang dari Ganor (2007) yang berasal dari Israel. Menurutnya, anti-terorisme mencakup upaya-upaya untuk mengeliminasi teror, mulai dari mengatasi akar masalah, menghilangkan motivasi kelompok radikal, hingga mewujudkan Carthaginian Peace dengan menghancurkan semua teroris. Meskipun demikian, istilah anti-terorisme ini dapat pula mencakup upaya-upaya untuk mengendalikan kerusakan akibat insiden teroris seperti perlindungan fasilitas-fasilitas strategis dan pencegahan munculnya taktik teror baru. Sementara itu, kontra-terorisme diartikan Ganor sebagai upaya-upaya untuk mengendalikan eskalasi teror dengan cara mengendalikan konflik dan jejaring teror. Di luar gagasan mengenai Carthaginian Peace yang oleh Ganor dimasukkan ke dalam kategori anti-terorisme (oleh AS dimasukkan ke dalam kategori kontra-terorisme), perspektif AS dan Ganor mengenai anti-/kontra-terorisme secara umum senada. Sementara itu, menurut Sommer (2009), anti-terorisme mencakup pula upaya-upaya untuk mengumpulkan dan menyebarluaskan informasi serta mempromosikan wacana publik yang menentang terorisme, mendorong kebijakan dan legislasi untuk mengurangi kekerasan, mengadili teroris secara sipil, dan mengorganisasikan institusi-institusi sosial untuk menjalankan fungsi-fungsi ini. Sementara itu, kontra-terorisme didefinisikannya sebagai pendekatan taktis yang digunakan oleh pemerintah, militer, penegak hukum, dan pihak-pihak lain dalam menangani teroris, yang mencakup upaya-upaya intelijen dan penggunaan kekuatan (force) untuk mengeliminasi teroris. Senada dengan pandangan Sommers, militer AS mendefinisikan kontra-terorisme sebagai “operasi-operasi yang meliputi langkah-langkah ofensif untuk mencegah, menangkal, menyerang terlebih dulu (preempt), dan merespon terorisme” (U.S. Department of Defense, 2007). Jadi, dapat dikatakan bahwa secara umum, para ahli memandang kontraterorisme sebagai upaya yang bersifat ofensif, represif dan supresif sementara
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
14
anti-terorisme lebih bersifat defensif dan lebih merupakan upaya tidak langsung, termasuk upaya di tingkat struktural seperti kebijakan. Dari berbagai definisi di atas, kita dapat melihat fokus atau penekanan pada elemen yang berbeda di kalangan para ahli. Untuk kepentingan penelitian ini, kontra-terorisme diartikan sebagai kebijakan dan langkah-langkah taktis, ofensif, represif, dan supresif untuk mengendalikan krisis yang terjadi pada saat ini dan bukan untuk menghilangkan akar penyebab terorisme sedangkan antiterorisme dipandang sebagai upaya-upaya strategis jangka panjang untuk mengurangi dan menghentikan terorisme dengan menghilangkan akar penyebab dan mengubah lingkungan yang mendorong terjadinya aksi teroris, serta langkahlangkah defensif untuk melindungi fasilitas-fasilitas strategis yang menjadi sasaran serangan teroris. Sebagaimana akan dibahas di bagian selanjutnya, strategi penggentaran menggabungkan kedua pendekatan ini.
1.4.2.2 Elemen-Elemen Upaya Penanggulangan Terorisme Suatu Negara Berbagai literatur di atas memiliki fokus atau penekanan yang berbeda mengenai elemen-elemen apa saja yang sebaiknya dimasukkan ke dalam upaya penanggulangan terorisme suatu negara. Menurut Pillar (2001, h. 73) dalam studinya mengenai upaya penanggulangan terorisme AS, penanggulangan terorisme harus mencakup penggunaan diplomasi, sistem hukum pidana (criminal justice), pembekuan aset finansial, kekuatan militer, intelijen, operasi bawah tanah (covert operation), serta perang melawan ancaman ideologi. Berkebalikan dengan Pillar yang menekankan penggunaan diplomasi, Howard (2009) berpendapat bahwa pendekatan diplomatik dan ekonomi tidak dapat diterapkan ketika berhadapan
dengan
kelompok
teroris
transnasional
dan
menyarankan
dijalankannya strategi menyerang lebih dulu (preemptive). Sementara itu, menurut Byman (2009), elemen-elemen penanggulangan terorisme di suatu negara harus dapat menghancurkan kelompok teroris beserta kemampuan operasionalnya serta mengubah keseluruhan lingkungan yang memotivasi mereka untuk menggunakan terorisme atau setidaknya mempersulit kelompok teroris untuk mendapatkan sumber daya finansial dan melakukan rekrutmen. Menurutnya, strategi terbaik untuk memerangi teroris seperti Al-
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
15
Qaeda adalah dengan pembendungan (containment) (2009, h. 443). Senada dengan argumen Byman, Levitt (2009) berargumen bahwa upaya penanggulangan terorisme harus dapat mempersempit lingkungan operasional atau ruang gerak teroris untuk mengumpulkan dana, mendapatkan dokumen, dan melaksanakan aktivitas-aktivitas pendukung untuk dapat melangsungkan serangan. Menurutnya, salah satu cara yang paling efektif untuk melakukan hal ini adalah dengan menghancurkan jejaring pendukung logistik kelompok teroris (h. 514). Dari berbagai literatur di atas, dapat disimpulkan bahwa dalam hal strategi dan taktik, setidaknya terdapat konsensus bahwa upaya penanggulangan terorisme harus menggabungkan hard power atau force (baik kekuatan militer maupun penegakan hukum) dan soft power (diplomasi, perang ideologi, dan sebagainya) meskipun terdapat variasi fokus dan penekanan dari setiap pakar. Selain literatur yang membahas upaya penanggulangan terorisme secara umum, terdapat pula berbagai literatur yang lebih spesifik membahas tentang upaya untuk menanggulangi faktor-faktor fasilitator terorisme. Salah satu literatur menyatakan bahwa kita harus menggeser fokus penanggulangan terorisme dari apa yang sering disebut sebagai „akar penyebab‟ (misalnya kemiskinan dan penindasan) dan memfokuskan upaya untuk mengubah keputusan kelompok teror untuk melangsungkan serangan (Forest 2007, h. 724). Keputusan suatu kelompok atau individu untuk melangsungkan serangan dipengaruhi dan difasilitasi oleh sejumlah faktor, mulai dari ideologi hingga proliferasi senjata dan keberadaan jejaring kriminal di suatu negara. Menurut Forest, sebuah negara harus mampu mengembangkan upaya untuk mengeliminasi elemen-elemen fasilitator terorisme sebagai bagian dari strategi komprehensif dalam memerangi terorisme. Faktorfaktor yang dibahas Forest mencakup: 1) sponsor negara terhadap terorisme, 2) rendahnya tingkat demokrasi, 3) pemerintah yang otoriter dan korup, 4) negara yang gagal, dan masalah kontrol perbatasan. Sementara itu, dari dimensi ekonomi dan penegakan hukum, yang menjadi fokus adalah proliferasi senjata, pendanaan teroris, keberadaan jejaring dan organisasi kriminal, serta keterkaitan dengan perdagangan obat-obatan terlarang dan kejahatan transnasional lainnya, misalnya pembajakan (Forest 2007, h. 748).
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
16
Dari berbagai literatur di atas, kita dapat melihat bahwa konsep „penanggulangan terorisme‟ memiliki banyak sekali elemen di dalamnya, yang seringkali berbeda dari satu pakar ke pakar yang lain. Uraian di bawah ini akan membahas mengenai penggentaran sebagai sebuah strategi yang dapat menggabungkan
serta
mengkombinasikan
elemen-elemen
penanggulangan
terorisme tersebut.
1.4.2.3 Penggentaran sebagai Strategi Penanggulangan Terorisme yang Komprehensif Penggentaran (deterrence) adalah kerangka teoretik utama dalam penelitian ini yang akan digunakan untuk menjelaskan, setidaknya secara parsial,7 mengapa serangan teroris transnasional di Asia Tenggara dalam satu dekade terakhir ini paling banyak terjadi di Indonesia. Sebagaimana akan dijelaskan lebih lanjut di bawah ini, penggentaran dipilih sebagai kerangka teoretik untuk mengkaji upaya-upaya yang dilakukan Indonesia, Singapura, Malaysia, dan Filipina dalam rangka penanggulangan terorisme karena konsep ini ternyata memiliki spektrum yang luas, yang mencakup hampir seluruh elemen penanggulangan terorisme yang telah disebutkan di atas. Dengan spektrum yang komprehensif
tersebut,
konsep
ini
sangat
berguna
untuk
membantu
mengorganisasikan dan menganalisis data mengenai penanggulangan terorisme di masing-masing negara untuk menyelidiki mengapa salah satu negara mengalami jumlah serangan terorisme transnasional yang lebih tinggi. Gagasan mengenai penggentaran terhadap teroris memang tidak konvensional dan merupakan perkembangan baru dalam teori penggentaran itu sendiri. Secara tradisional, strategi penggentaran berada dalam kamp realisme yang berfokus pada hubungan antarnegara. Dalam pandangan ini, negara dipandang sebagai aktor yang setara, setidaknya secara konseptual. Gagasan penggentaran tradisional ini mulai berkembang sejak era Perang Dingin dan pada
7
Penjelasan yang didapatkan dari penelitian ini hanya dapat bersifat parsial karena hanya melihat dari faktor struktural (negara) dan tidak mencakup hal-hal yang berada di tingkat agensial, yakni pembuatan keputusan di dalam organisasi atau jaringan JI itu sendiri. Penjelasan yang utuh hanya dapat didapatkan dengan menggunakan pendekatan strategis-relasional (SRA) yang mencakup penjelasan di kedua tingkatan, yang karena berbagai keterbatasan tidak dapat dilakukan oleh penelitian ini.
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
17
awalnya berfokus pada penggentaran nuklir di antara Amerika Serikat dan Uni Soviet. Dalam hal ini, penggentaran diletakkan dalam situasi yang simetris (Knopf, 2010). Pasca-Perang Dingin dan terutama setelah peristiwa 9/11, teori penggentaran mengalami pergeseran fokus dan perkembangan ruang lingkup. Jika sebelumnya teori ini hanya berfokus pada hubungan antarnegara, setelah 9/11 berkembang apa yang menurut Knopf (2010) merupakan gelombang keempat dalam studi penggentaran. Gelombang keempat ini mencerminkan pergeseran fokus dari situasi yang simetris menuju situasi yang asimetris. Dengan kata lain, penggentaran mulai dikembangkan untuk menangani ancaman-ancaman yang sifatnya asimetris, terutama terorisme. Konsekuensi terpenting dari pergeseran fokus ini adalah meluasnya konsep penggentaran. Perluasan fokus tersebut bukan hanya terjadi dalam hal aktor (yang tadinya hanya mencakup aktor negara), melainkan juga isu sehingga saat ini penggentaran tidak lagi hanya mencakup langkah-langkah yang bersifat militer. Konsep penggentaran dalam gelombang keempat ini bahkan mencakup pula penggunaan informasi atau wacana sebagai sumber pengaruh (Knopf, 2010). Konsep penggentaran gelombang keempat ini masih diwarnai banyak perdebatan, namun telah terdapat konsensus bahwa strategi penggentaran dapat diterapkan dan relevan dalam menghadapi teroris meskipun ia bukan aktor negara (Knopf, 2010). Berkaitan dengan hal ini, kondisi yang diharapkan dari penerapan penggentaran untuk menanggulangi terorisme bukanlah mutual deterrence seperti halnya pada masa Perang Dingin. Sebaliknya, yang didorong adalah penggentaran satu arah, di mana negara dapat menggentarkan teroris, tetapi tidak sebaliknya. Dalam hal ini, penggentaran tidak difokuskan untuk mencapai jaminan kesuksesan secara menyeluruh, tetapi untuk mengurangi tingkat keberhasilan serangan teroris di suatu negara (Knopf, 2010). Tinjauan literatur mengenai hal ini mencakup pembahasan mengenai perdebatan teoretik dari penggentaran sebagai strategi penanggulangan terorisme dan penerapannya secara empiris di beberapa negara. Bagian di bawah ini terbagi menjadi empat sub-bagian, yaitu definisi penggentaran,
penggentaran
melalui
penangkalan,
penggentaran
melalui
hukuman, dan potensi keberhasilan penggentaran untuk menanggulangi terorisme.
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
18
a. Definisi Penggentaran Strategi penggentaran dapat diartikan sebagai upaya untuk mencegah pihak musuh melakukan suatu tindakan tertentu yang akan merugikan kita (Bowen 2002, h. 4). Dalam konteks terorisme, strategi penggentaran dapat diartikan sebagai upaya untuk mencegah kelompok teroris melangsungkan serangan terorisme. Pada dasarnya, strategi penggentaran terdiri dari dua elemen, yaitu: 1) ancaman atau aksi yang dirancang untuk meningkatkan persepsi akan dampak negatif (cost) dalam melakukan suatu tindakan tertentu, dan (2) tatanan atau kondisi alternatif yang ditawarkan ketika pihak tersebut tidak melakukan tindakan tersebut. Menurut Trager et al., penggentaran dapat dilakukan melalui dua cara, yaitu melalui penangkalan (deterrence by denial) dan melalui hukuman (deterrence by punishment) (Trager, Robert, dan Zagorcheva, 2005/6). Kedua pendekatan tersebut akan dibahas di bagian di bawah ini.
b. Penggentaran melalui Penangkalan (Deterrence by Denial) Penggentaran
melalui
penangkalan
adalah
upaya-upaya
untuk
meningkatkan kemungkinan gagalnya serangan teroris atau untuk membuat serangan teroris tampak sulit atau tidak mungkin untuk dilakukan. Pendekatan ini seringkali disebut sebagai pengerasan target. Selain itu, pendekatan ini juga mencakup upaya-upaya untuk meyakinkan pihak teroris bahwa pemerintah tidak akan memberikan konsesi pada mereka dalam bentuk apapun (Trager, Robert, dan Zagorcheva, 2005/6, h. 91). Pendekatan ini dilandasi oleh asumsi bahwa teroris, bahkan yang paling keras sekalipun, tidak akan melakukan serangan yang resiko kegagalan operasionalnya terlalu tinggi dan tingkat kesuksesannya tidak pasti. Yang termasuk ke dalam pendekatan ini antara lain langkah-langkah pengetatan keamanan dalam negeri (homeland security measures) dan langkah-langkah defensif (defensive measures) untuk mencegah teroris melakukan serangan yang spektakuler (Davis and Jenkins 2002 dalam Knopf 2010, h. 12). Pendekatan ini mencakup pula langkah-langkah untuk meringankan dan mengelola dampak serangan
teroris
serta
mempercepat
pemulihan
pasca-serangan
guna
menghilangkan efek serangan tersebut. Yang tidak kalah penting dalam
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
19
pendekatan ini adalah upaya untuk meningkatkan ketahanan masyarakat terhadap serangan teroris. Ketahanan masyarakat terhadap serangan teroris mengirimkan pesan bahwa taktik ini tidak akan mengantarkan teroris pada tujuan mereka (Brimmer dan Hamilton 2008, h. 3 dan 10). Salah satu aspek terpenting dalam strategi penggentaran adalah meyakinkan kelompok-kelompok teror bahwa meskipun serangan mereka berhasil, tujuan akhir mereka tidak akan pernah tercapai (The National War College Student Task Force on Combating Terrorism 2002 dalam Knopf, 2010). Dengan kata lain, teroris dapat dicegah dari melakuan serangan dengan meningkatkan ekspektasi akan kegagalan strategis (strategic failure) dari penggunaan metode terorisme untuk mencapai tujuan-tujuan politik mereka (Gray, 2003 dalam Knopf, 2010). Smith dan Talbot (2008) mengemukakan hal yang hampir serupa. Menurut mereka, penggentaran melalui penangkalan dapat diterapkan di tiga tingkat, yaitu tingkat taktis, operasional, dan strategis. Upaya-upaya untuk memperketat pengamanan dalam negeri dan meningkatkan resiko operasional dalam serangan teroris termasuk ke dalam penggentaran pada level taktis, yang disebut juga sebagai „penghilangan peluang‟ atau „denial of opportunity.‟ Pada level operasional, yang menjadi tujuan penggentaran adalah hilangnya kapabilitas teroris untuk melangsungkan serangan atau disebut juga sebagai „denial of capability.‟ Hal ini dilakukan misalnya dengan mencegah kelompok-kelompok teroris mendapatkan sumber daya yang mereka butuhkan (uang, senjata, tempat berlindung, dan sebagainya). Yang terakhir, yaitu pada tingkat strategis, penggentaran melalui penangkalan mencakup upaya-upaya untuk menghilangkan motivasi atau tujuan dari kelompok teroris atau „denial of objectives.‟ Hal ini dilakukan dengan menunjukkan bahwa teroris tidak akan dapat mencapai tujuan akhir mereka melalui penggunaan metode terorisme. Menurut Dutter dan Seliktar (2007), penangkalan di level ini adalah yang paling penting, tapi juga paling sulit untuk dilakukan.
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
20
c. Penggentaran melalui Hukuman (Deterrence by Punishment) Penggentaran melalui hukuman dapat diartikan sebagai ancaman untuk mengakibatkan kerusakan pada apa yang bernilai bagi musuh jika ia melakukan tindakan tertentu yang tidak kita ingingkan. Hukuman yang diancamkan kepada pihak musuh tidak terbatas pada serangan teroris itu sendiri, tetapi juga langkahlangkah atau tindakan-tindakan yang dipercaya akan mendahului serangan (Trager, Robert dan Zagorcheva, 2005/6). Sebagaimana direkam dalam studi Knopf (2010), penggentaran melalui hukuman masih diselimuti banyak perdebatan, terutama berkaitan dengan retaliasi masif yang diterapkan di era Perang Dingin dan hukuman kolektif yang menargetkan keluarga atau komunitas yang mendukung teroris. Terdapat dua kubu yang bertentangan dalam menyikapi perdebatan ini. Kubu pertama secara eksplisit mendukung retaliasi masif dan berargumen bahwa teroris hanya dapat digentarkan dengan cara mengancam akan menghukum keluarga dan komunitas mereka. Dengan kata lain, teroris harus diyakinkan bahwa pemerintah “bersedia menempuh seluruh cara” (“willing to go all the way”) untuk menghukum teroris, tidak hanya yang melakukan serangan, tapi juga keluarga dan komunitas mereka (Steinberg, 2001; Merari, 2002; Bar, 2008; Malka; 2008 dalam Knopf, 2010).8 Berkebalikan dengan kubu pertama, kubu kedua berargumen bahwa retaliasi acak terhadap keluarga dan komunitas teroris justru akan menghilangkan legitimasi moral pemerintah dan mendorong lebih banyak orang bergabung sebagai teroris (Davis dan Jenkins, 2002 dalam Knopf, 2010). Kubu ini mengedepankan alternatif hukuman lain selain retaliasi militer, termasuk pembunuhan para pemimpin atau operatif tingkat menengah (targeted killling) dan penegakan hukum untuk memidanakan teroris (Knopf, 2010). Langkahlangkah menghukum ini harus ditunjang oleh penyediaan tatanan alternatif lain selain terorisme, yakni dengan meningkatkan peluang bagi teroris atau pendukung teroris untuk berpartisipasi dalam politik dan masyarakat sipil secara damai (Knopf, 2010).
d.
Potensi Keberhasilan Strategi Penggentaran 8
Banyak dari analis dari kubu ini berasal dari Israel seperti Ariel Merari, Smhuel Bar, dan Amos Malka.
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
21
Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, masih banyak perdebatan mengenai efektivitas penggentaran untuk menanggulangi terorisme. Menurut Knopf (2010), keberhasilan strategi penggentaran bergantung pada dua hal, yaitu: 1) pihak yang dijadikan sasaran penggentaran harus memahami ancaman implisit dan eksplisit yang dikeluarkan pemerintah, dan 2) pengambilan keputusan pihak yang dijadikan sasaran penggentaran harus dipengaruhi oleh kalkulasi untung-rugi (cost and benefit). Menurut Trager dan Dessilava (2005), strategi penggentaran dapat diterapkan kepada kelompok teroris karena mereka memiliki hirarki tujuan dan memilih strategi terbaik untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut. Secara umum, dapat dikatakan bahwa penggentaran melalui hukuman lebih sulit dilakukan daripada penggentaran melalui penangkalan, terutama untuk kelompok-kelompok teroris dengan motivasi tinggi. Hal ini disebut sebagai „permasalahan motivasi.” sementara penggentaran melalui penangkalan dapat dilakukan secara efektif terhadap teroris dengan motivasi tinggi maupun teroris dengan motivasi rendah. Potensi strategi penggentaran berdasarkan dua kriteria, yakni intensitas motivasi teroris dan dapat-tidaknya tujuan teroris diakomodasi dapat dilihat di tabel berikut. Tabel 1.1 Potensi Penerapan Strategi Penggentaran Berdasarkan Intensitas Motivasi Teroris dan Preferensi Hasil Apakah Tujuan Teroris Dapat Diakomodasi? Ya Tidak Intensitas Motivasi Teoris?
Penggentaran melalui hukuman: Rendah (teroris lebih tujuan politis dan non-politis memilih hidup menjadi sasaran ancaman daripada tercapainya tujuan) Penggentaran melalui penangkalan Tinggi Penggentaran melalui hukuman: (teroris lebih tujuan politis menjadi sasaran memilih tercapainya ancaman tujuan daripada hidup) Penggentaran sementara melalui hukuman
Penggentaran melalui hukuman: tujuan politis menjadi sasaran ancaman Penggentaran melalui penangkalan Penggentaran sementara melalui hukuman.
Penggentaran melalui penangkalan
Penggentaran melalui penangkalan
Sumber: Tragger dan Dessilava (2005)
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
22
Salah satu ahli hubungan internasional yang berpendapat bahwa penggentaran tidak memiliki peran yang signifikan dalam mengatasi ancaman teroris adalah Richard Betts. Sebuah studi dari RAND juga menyatakan bahwa konsep penggentaran hanya memiliki peran yang terbatas dalam perang melawan terorisme, bahkan dikatakan terlalu naif untuk diterapkan. Presiden Bush juga memiliki pandangan yang sama mengenai hal ini, yakni bahwa strategi penggentaran tidak dapat diterapkan untuk melawan teroris (Trager dan Dessislava, 2005). Menurut kubu ini, strategi penggentaran tidak dapat diterapkan untuk menanggulangi terorisme karena tiga hal berikut: 1) teroris bersifat irasional dan tidak responsif terhadap kalkulasi rasional (untung-rugi) yang menjadi syarat penerapan strategi penggentaran, 2) sebagaimana dikemukakan Robert Pape, teroris kontemporer bersedia mengorbankan hidup mereka sehingga tidak dapat digentarkan dengan rasa takut, dan 3) „hukuman‟ atau retaliasi terhadap teroris tidak dapat dijalankan karena kelompok teroris tidak memiliki „alamat‟ yang tetap (Trager dan Dessislava, 2005). Berdasarkan argumen kalangan ini, strategi penggentaran tidak akan efektif dalam mencegah tindak terorisme. Menurut Trager dan Dessislava (2005), jika
penggentaran ditolak
sebagai
sebuah solusi, akan
timbul
jurang
penanggulangan terorisme untuk mengatasi terorisme berbasis agama serta penggunaan metode bunuh diri atau suicide terrrorism yang saat ini semakin mengalami peningkatan (baik dalam hal frekuensi maupun fatalitas). Jurang ini terjadi karena berbagai strategi yang berusaha untuk mengatasi akar penyebab teroris adalah langkah-langkah jangka panjang yang tidak dapat mengatasi ancaman jangka pendek yang terus berkembang. Berkebalikan dengan argumen kubu yang meragukan efektivitas penggentaran, beberapa penelitian menunjukkan bahwa strategi penggentaran secara empiris dapat diterapkan untuk kasus terorisme (Trager, 2005/6). Berdasarkan penelitiannya, Trager berargumen bahwa meskipun tampak fanatik dan disetir oleh motivasi keagamaan yang kuat, teroris bukanlah aktor yang irasional. Mereka dapat digentarkan jika tujuan politik mereka (alih-alih hanya nyawa atau kebebasan mereka) dihadapkan pada ancaman.
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
23
Trager lebih lanjut berargumen bahwa penggentaran dapat diterapkan untuk terorisme karena: (1) hubungan antara teroris dan negara bukan merupakan hubungan zero-sum, dan (2) negara dapat menyasar posisi politik kelompok teroris yang merupakan tujuan utama mereka. Meskipun demikian, Trager mengingatkan bahwa pendekatan penggentaran hanya salah satu strategi yang dapat diterapkan di samping berbagai strategi lain, yang meliputi persuasi, bantuan ekonomi dan demokratisasi, pemenuhan tuntutan (appeasement), dan kekuatan militer (Trager dan Dessislava, 2005, h. 89).
e. Studi Kasus Penerapan Strategi Penggentaran untuk Menanggulangi Terorisme Bagian ini akan membahas mengenai studi kasus penerapan strategi penggentaran untuk menanggulangi terorisme. Studi kasus pertama adalah upaya pemerintah Filipina untuk menanggulangi gerakan Moro Islamic Liberation Front (MILF). Meskipun tergolong ke dalam gerakan insurgensi, MILF menggunakan metode teror dan dikatakan memiliki ikatan dengan JI dalam hal pelatihan, suplai senjata, dan bantuan finansial. Pada awalnya, pendekatan pemerintah Filipina terhadap kelompok ini adalah pendekatan militer yang berhasil menghancurkan basis kelompok ini, namun tidak dapat menghentikan serangan teroris dan tuntutan-tuntutan mereka (Trager dan Dessislava, 2005). Pasca-peristiwa 9/11, pemerintah Filipina akhirnya bersedia mengakomodasi beberapa tuntutan MILF sehingga MILF dapat dicegah dari melakukan tindak teror dan mengejar cita-cita mereka membentuk negara yang terpisah dari Filipina. Dalam hal ini, ancaman keterlibatan AS dikatakan dapat menggentarkan MILF dan memutuskan rantai kerja sama organisasi tersebut dengan Al-Qaeda, JI, dan Abu Sayyaf Group (ASG). Sementara itu, aksi pemerintah Filipina yang bersedia mengakomodasi beberapa tuntutan mereka menyediakan insentif positif. Kombinasi di antara tawaran atau reward berupa bantuan ekonomi dan ancaman penggunaan kekuatan bersenjata dikatakan memiliki efek penggentaran sehingga MILF bersedia mengikuti perundingan damai dengan pemerintah Filipina, bahkan bersedia membantu pemerintah Filipina untuk memburu anggota Al-Qaeda dan JI di wilayahnya. Menurut Trager, kasus ini menunjukkan potensi keberhasilan
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
24
ancaman koersi yang ditujukan pada kelompok-kelompok non-negara yang pernah atau tengah menggunakan metode terorisme (Trager dan Dessislava, 2005). Meskipun kesimpulannya bernada positif, studi di atas tersebut cukup sulit untuk diterapkan dalam kasus JI karena platform politik dua kelompok tersebut berbeda. Tujuan JI yang berorientasi transnasional dan berbasis agama lebih dekat kepada Al-Qaeda daripada MILF yang bersifat lokal/teritorial dan lebih berbasis nasionalisme (meskipun dibungkus dengan sentimen agama). Meskipun demikian, jika kita melihat lebih dalam, JI pun sesungguhnya memiliki trajektori politik jangka panjang (Panduan Umum Perjuangan Jemaah Islamiyah, Tanpa Tahun) dan tujuan strategis yang berbeda dengan Al-Qaeda dan para pengikutnya di Asia Tenggara
sehingga
strategi
ini
mungkin
dilakukan
dengan
berbagai
keterbatasannya. Penelitian lain yang mengkaji penerapan strategi penggentaran sebagai salah satu strategi kontra-terorisme adalah studi Don Radlauer (2010) mengenai strategi penggentaran sebagai bagian dari langkah kontra-terorisme Israel. Salah satu strategi penggentaran yang dijalankan pemerintah Israel adalah „hukuman kolektif‟ terhadap masyarakat Palestina sebagai retribusi terhadap aksi teror yang dilancarkan sebagian kelompok Palestina kepada Israel dan penduduknya, misalnya dalam bentuk pemblokiran jalan atau lalu lintas rakyat Palestina. Sementara itu, untuk membalas serangan bunuh diri, pemerintah Israel mengarahkan hukuman pada rakyat yang tidak berdosa, yaitu dengan menghancurkan rumah sang pelaku dan keluarganya. Menurut Trager, strategi ini secara umum dapat dikatakan gagal karena potensi keuntungan (di dunia dan di akhirat) yang diterima pelaku bunuh diri jauh lebih besar daripada kerugian yang akan dideritanya. Strategi lain yang dijalankan Israel adalah „targeted killing‟ dan penangkapan tokoh-tokoh dan pemimpin organisasi/kelompok teror, yang dikatakan lebih efektif tapi juga memiliki banyak kelemahan (Radlaur, 2010). Studi di atas menyoroti satu topik yang menarik, yakni strategi penggentaran di tingkat masyarakat. Premis yang dinyatakan studi ini adalah sebagai berikut: Terorisme berlangsung dalam sebuah konteks sosial tertentu. Di dalam masyarakat yang tidak merestui terorisme, kelompok teroris cenderung
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
25
berukuran kecil dan bersifat marjinal dan begitu pula sebaliknya. Dengan demikian, agar penggentaran dapat dilakukan secara efektif, dukungan masyarakat di sekeliling kelompok/jejaring teror harus dikurangi atau dihilangkan („dry the swamp approach’). Selain itu, studi ini juga berkesimpulan bahwa hukuman kolektif sebagai strategi penggentaran di tingkat masyarakat tidak efektif dan bahkan kontraproduktif (Radlaur, 2010). Di tingkat organisasi/kelompok teroris, studi ini juga menyimpulkan bahwa strategi penggentaran tidak akan efektif jika diterapkan terhadap kelompok-kelompok yang terdesentralisasi (leaderless resistance), namun mungkin diterapkan terhadap organisasi yang bersifat hirarkis (Radlaur, 2010). Dalam konteks Indonesia, yang membuat masalah menjadi lebih rumit adalah evolusi jejaring teror di Indonesia yang berubah menjadi semakin terdesentralisasi dan terpecah menjadi berbagai gerakan sempalan dengan dominasi JI yang semakin menurun. Berbagai literatur di atas cenderung membawa kita kepada kesimpulan bahwa strategi penggentaran sangat sulit untuk diterapkan terhadap terorisme kontemporer, khususnya dalam konteks terorisme di Asia Tenggara yang relatif terdesentralisasi dan tidak hirarkis (setelah JI tercerai-berai). Akan tetapi, dua penelitian di atas hanya membahas salah satu bentuk strategi penggentaran, yaitu penggentaran melalui hukuman yang dikatakan relatif sulit untuk diterapkan terhadap terorisme kontemporer. Padahal, di samping penggentaran melalui hukuman (deterrence by punishment), ada pula jenis strategi penggentaran yang lain, yaitu penggentaran melalui penangkalan (deterrence by denial), yang lebih mungkin untuk diterapkan secara efektif terhadap terorisme gelombang keempat. Studi Wynq Bowen (2002) mengenai strategi penggentaran terhadap Al-Qaeda menyoroti hal ini. Premis dari strategi ini adalah sebagai berikut: penggentaran melalui penangkalan dapat dicapai apabila pihak yang bertujuan melakukannya mampu menunjukkan kapabilitas untuk menangkal atau meminimalkan kerusakan yang
berpotensi
ditimbulkan
oleh
kelompok
teroris,
termasuk
dengan
menggunakan informasi intelijen, kekuatan militer, dan penegakan hukum untuk mencegah pelaku melakukan tindak terorisme. Selain itu, memperkuat elemenelemen kunci strategi kontra-terorisme juga dikatakan dapat menimbulkan efek
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
26
penggentaran secara umum. Salah satu hal yang menarik dari kesimpulan di atas yang relevan dengan penelitian yang akan dilaksanakan ini adalah konsekuensi dari dijalankannya strategi penggentaran jenis ini, yaitu berpindahnya serangan teroris dari wilayah yang paling terlindungi menuju wilayah yang paling tidak terlindungi (Bowen 2002, h. 4).
1.4.3
Terorisme
di
Asia
Tenggara
pasca-9/11
dan
Upaya
Penanggulangannya Tipologi Bjorgo mengenai faktor-faktor penyebab terorisme adalah model teoretik yang disarikan dari kajian empiris mengenai berbagai kasus terorisme di berbagai belahan dunia. Begitu juga faktor-faktor penyebab kemunculan terorisme yang dikemukakan Ozdogan, yang didapatkan dari kajian statistik atas data terorisme secara global. Setelah mengkaji literatur dalam konteks global tersebut, pembahasan literatur di bagian ini akan difokuskan pada faktor-faktor yang dianggap menyebabkan tingginya serangan terorisme di Asia Tenggara dan berbagai upaya penanggulangannya. Literatur mengenai hal ini penting untuk dibahas untuk menyoroti elemen-elemen penting yang digarisbawahi para ahli berkaitan dengan kemunculan dan penanggulangan terorisme di Asia Tenggara. Kawasan Asia Tenggara menjadi penting karena sempat dilabeli sebagai „terrorist haven‟ atau tempat berlindung para teroris karena keberadaan organisasi-organisasi teror lokal yang berafiliasi dengan atau menyokong AlQaeda pasca-invasi AS ke Afghanistan pada tahun 2001. Kawasan ini juga sempat diindikasikan sebagai „hotbed of terrorism‟ atau kawasan yang kondusif bagi perkembangan terorisme karena banyaknya jejaring dan organisasi Islam militan dan cepatnya perkembangan pemikiran Islam radikal di kalangan populasi muslim yang jumlahnya sangat besar (Ramakrishna dan Tan, 2004). Sementara itu, Ramakrishna dan Tan (2010) menyoroti faktor-faktor lingkungan keamanan regional Asia Tenggara yang berkontribusi pada sulitnya penanggulangan terorisme di kawasan tersebut. Faktor-faktor ini dapat juga dikatakan sebagai faktor-faktor fasilitator terorisme, yang mencakup: (1) perbatasan yang mudah ditembus dan kontrol imigrasi yang lemah (terutama dalam hal persyaratan administrasi), yang diperburuk dengan tingginya korupsi, (2) hubungan
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
27
perdagangan dan ekonomi yang kuat di antara Asia Tenggara dan Timur Tengah dan Asia Selatan, di mana transaksi finansial dilakukan di luar saluran-saluran resmi sehingga sulit untuk diawasi oleh pemerintah, (3) maraknya aktivitas kriminal, terutama perdagangan obat-obatan terlarang, yang pada gilirannya memfasilitasi pergerakan sumber daya kelompok teroris, dan (4) banyaknya suplai senjata, baik yang berasal dari sumber-sumber lokal maupun impor (h. 20). Dari literatur di atas, dapat diamati bahwa berbagai faktor yang sama terus-menerus ditekankan oleh para ahli berkaitan dengan tingginya jumlah serangan teroris di suatu tempat, yaitu keberadaan ideologi radikal dan lemahnya kontrol negara atas perbatasan, pergerakan uang, senjata, dan wilayah yang mengarah pada lingkungan yang kondusif bagi perkembangan teroris. Faktorfaktor ini beresonansi dengan dan memperkuat teori mengenai faktor-faktor yang memfasilitasi terorisme di dalam tipologi Bjorgo. Sebagai catatan, hirauan mengenai ideologi tidak akan dibahas di dalam penelitian ini karena lebih mengarah
pada
faktor
motivasional
yang
berada
di
tingkat
agensial
(individu/kelompok teroris) sedangkan analisis penelitian ini difokuskan pada faktor-faktor yang berada di tingkat struktural (negara). Sementara itu, berkenaan dengan respon negara-negara di Asia Tenggara terhadap terorisme transnasional berbasis agama, Gunaratna menyoroti beberapa elemen penting, yakni penguatan sistem hukum pidana dalam rangka pencegahan serangan, penutupan ruang gerak teroris, pencegahan perkembangan jejaring teror, khususnya dengan menutup akses terhadap empat hal, yaitu informasi intelijen (intelligence), dana (funds), senjata (weapons), dan tempat berlindung (sanctuary), serta pentingnya mengkriminalisasi jejaring pendukung teroris (yang seringkali merupakan entitas legal), hatred speech dan propaganda yang mengarah pada dukungan terhadap terorisme di berbagai media, termasuk di internet. Dengan kata lain, Gunaratna mengadvokasikan diadopsinya zerotolerance policy terhadap terorisme dan komunitas yang mendukungnya (Gunaratna, Tanpa Tahun). Literatur Gunaratna di atas menyebutkan elemen-elemen penanggulangan terorisme yang kemudian ditinjau oleh penelitian ini. Akan tetapi, literatur di atas tidak melakukan perbandingan secara sistematis mengenai elemen-elemen
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
28
penanggulangan terorisme tersebut, khususnya di Indonesia, Malaysia, Singapura, dan Filipina. Dengan demikian, meskipun telah ada pembahasan yang mengarah kepada jawaban rumusan permasalahan ini, tidak ada komparasi yang eksplisit dan sistematis mengenai elemen-elemen penanggulangan terorisme di keempat negara tersebut. Penelitian lain yang dilakukan oleh Congressional Research Service (CRS) juga membahas perkembangan terkini mengenai terorisme di beberapa negara Asia Tenggara, yaitu
Indonesia, Filipina, Malaysia, Thailand, dan
Singapura (Vaughn 2005, h. 9) dan turut mengandung respon negara terhadap terorisme. Meskipun demikian, studi ini juga tidak ditujukan sebagai studi komparasi sehingga tidak ada perbandingan yang sistematis berdasarkan seperangkat kriteria pembanding yang sama di antara negara-negara yang menjadi fokus studi. Dari hasil studi literatur di atas, didapat kesimpulan bahwa masih sulit untuk
menemukan
komparasi
mengenai
elemen-elemen
penanggulangan
terorisme di antara negara-negara di Asia Tenggara berdasarkan seperangkat kriteria
pembanding
yang
seragam,
kecuali
dalam
hal
perbandingan
hukum/legislasi anti-terorisme. Dalam hal ini, Victor V. Ramraj et al., dalam bukunya, Global Anti-Terrorism Law and Policy (2005), melakukan studi komparasi mengenai kebijakan dan hukum (legislasi) anti-terorisme yang mencakup Singapura, Malaysia, Indonesia, Filipina, Jepang, India, dan Hong Kong. Elemen-elemen yang dibandingkan adalah sebagai berikut: 1) hukum pidana, 2) hukum yang mengatur perang terhadap pendanaan terorisme, 3) hukum yang mengatur teknologi dalam kaitannya dengan terorisme, 4) keamanan penerbangan, dan 5) keamanan maritim. Meskipun elemen-elemen hukumnya cukup komprehensif dan turut menyinggung elemen penanggulangan terorisme yang dibahas di dalam penelitian ini, studi di atas hanya mencakup pembahasan mengenai hukum/kebijakan dan tidak mencakup pembahasan mengenai faktor-faktor lainnya yang termasuk ke dalam elemen strategi penggentaran. Selain itu, meskipun studi tersebut mengadopsi pendekatan komparatif secara terbuka, tidak ada analisis mengenai apa sebenarnya yang sama dan apa yang berbeda di antara berbagai legislasi
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
29
tersebut serta apa dampak dari persamaan dan perbedaannya terhadap masingmasing negara yang dibahas. Dari uraian studi literatur di atas, dapat disimpulkan bahwa literatur yang berbicara tentang faktor-faktor yang menyebabkan kemunculan/tingginya serangan terorisme di suatu negara mencakup kondisi-kondisi yang melekat pada negara tersebut (embedded qualities) seperti tingkat demokrasi, kelembagaan politik, faktor-faktor sosial-struktural, dan upaya aktif pemerintah negara tersebut untuk menanggulangi terorisme. Akan tetapi, beberapa studi empiris yang telah dilakukan membantah beberapa faktor di atas. Faktor-faktor sosial-struktural, misalnya, dinyatakan gugur oleh beberapa penelitian sedangkan faktor-faktor lain seperti tingkat demokrasi dan faktor-faktor fasilitator justru ditekankan. Sementara itu, upaya penanggulangan terorisme secara konsisten sangat ditekankan oleh berbagai literatur untuk mengurangi insiden terorisme di suatu negara. Berkenaan dengan hal ini, strategi penggentaran dinyatakan sebagai strategi yang relevan untuk mengurangi tingkat serangan terorisme. Dari uraian di atas, terlihat bahwa sebenarnya ketiga topik literatur yang di bahas di atas saling berkaitan satu sama lain. Strategi penggentaran, khususnya penggentaran melalui penangkalan, dapat digunakan untuk mengatasi dan menghilangkan faktor-faktor fasilitator terorisme dan berisikan kebijakankebijakan yang termasuk ke dalam elemen kontra- dan anti-terorisme. Sementara itu, tingkat demokrasi yang merupakan kualitas yang melekat di dalam negara berhubungan dengan strategi penggentaran yang berhubungan dengan penyediaan kondisi/tatanan alternatif. Dengan demikian, ketiga topik di atas beririsan dan dapat disusun menjadi kerangka analisis yang baru.
1.4.4
Perbandingan
Strategi
Penggentaran
di
Singapura,
Malaysia,
Filipina, dan Indonesia Meskipun dibangun di atas penelitian-penelitian sebelumnya mengenai upaya penanggulangan terorisme, penelitian ini berbeda dalam hal ia memperlakukan negara-negara yang dibandingkan sebagai sebuah „sistem‟ di mana perubahan dalam salah satu unit/sub-sistem akan mempengaruhi unit-unit yang lain. Dalam penelitian ini, pembahasan mengenai masing-masing negara
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
30
tidak hanya ditujukan agar masing-masing negara dapat belajar dari pengalaman negara lain (kekuatan dan kelemahannya), tetapi juga untuk menekankan dampak upaya penanggulangan terorisme yang dijalankan di satu negara terhadap negara lain. Dengan demikian, penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi berupa penambahan perspektif regional dalam kajian mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat serangan terorisme di suatu negara (khususnya terorisme transnasional) sehingga upaya penanggulangan terorisme di suatu negara tidak hanya dipelajari dalam kondisi absolut, tetapi juga dikaitkan dengan upaya penanggulangan terorisme di negara-negara lain yang relevan. Hal ini menjadi penting di tengah masih lemahnya kerja sama penanggulangan terorisme di tingkat regional (ASEAN) karena belum kuatnya koordinasi dan kolaborasi di antara negara-negara anggotanya (Singh dalam Tan dan Ramakrishna, 2003). Selain itu, di tengah konstelasi literatur yang telah disebutkan di atas, penelitian ini diharapkan dapat berkontribusi pada akumulasi pengetahuan empiris mengenai
penerapan
strategi
penggentaran
sebagai
salah
satu
strategi
penanggulangan terorisme yang menurt Knopf (2010) masih memerlukan banyak dukungan empiris.
1.5
Asumsi Penelitian Dari pembahasan berbagai literatur di atas, didapat pemahaman bahwa
penerapan strategi penggentaran di suatu negara berpotensi memindahkan resiko serangan teroris ke wilayah yang paling tidak terlindungi. Berdasarkan hal tersebut, penelitian ini berasumsi bahwa suatu negara akan mengalami lebih sedikit serangan terorisme, khususnya terorisme transnasional, apabila ia berhasil melakukan penggentaran terhadap kelompok teroris secara relatif lebih efektif dibandingkan dengan negara-negara lain di kawasan yang sama yang juga menjadi target. Berdasarkan kajian literatur sementara, diduga terdapat perbedaan dalam hal kekuatan penanggulangan terorisme di Singapura, Malaysia, Filipina, dan Indonesia untuk menggentarkan teroris. Perbedaan-perbedaan ini mengarah pada terbentuknya kondisi yang mungkin menjadikan Indonesia lebih rawan terhadap serangan terorisme transnasional di Asia Tenggara. Proses atau kondisi
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
31
demikian secara tentatif akan disebut sebagai protection race.9 Untuk mengkaji apakah hal tersebut memang benar terjadi dan bagaimana hal tersebut terjadi, diperlukan gambaran kualitatif mengenai penerapan strategi penggentaran di masing-masing negara dan analisis mengenai kekuatan relatifnya terhadap satu sama lain. Perlu ditekankan bahwa fokus penelitian ini adalah menggali kesenjangan upaya penanggulangan terorisme di antara keempat negara melalui studi perbandingan untuk menjelaskan dari sisi struktur (negara) mengapa Indonesia menjadi target serangan teroris transnasional terbanyak di Asia Tenggara dalam satu dekade terakhir. Penelitian ini tidak berusaha menjelaskan faktor-faktor yang berada di sisi agensial, misalnya persepsi dan proses pembuatan keputusan di tingkat kelompok dan individu teroris itu sendiri meskipun hal tersebut adalah bagian tidak terpisahkan dari respon negara.
Kerangka Teori
1.6
Berdasarkan asumsi penelitian di atas, peneliti menggunakan strategi penggentaran sebagai kerangka teori utama untuk mengkaji perbedaan kondisi penanggulangan terorisme di Singapura, Malaysia, Filipina, dan Indonesia, yang mengarah pada perbedaan jumlah serangan teroris transnasional di masing-masing negara. Kerangka teori yang disusun peneliti dapat dilihat di dalam Gambar 1.4. di halaman berikut:
9
Protection race bukan merupakan konsep yang well-established, akan tetapi gagasan atau makna yang terkandung di dalamnya bisa dikatakan telah dianggap sebagai common-sense.
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
32
Penggentaran sebagai Strategi Penanggulangan Terorisme
A. Penggentaran melalui Penangkalan 1. Tingkat Taktis (penghilanga n peluang)
2. Tingkat Operasional (penghilangan kapabilitas)
Keamanan bandara, pelabuhan, transportasi publik darat, infrastruktur kritis
B. Penggentaran melalui Hukuman
3. Tingkat Strategis (penghilangan motivasi)
1. Retaliasi Masif
2. Sistem Hukum Pidana
3.Pembunu -han Bersasaran
C. Penyediaan Insentif Positif/Tatanan Alternatif
Kontrol wilayah, perbatasan, senjata, pendanaan, internet
Insentif ekonomi dan politik
Gambar 1.4 Kerangka Teori Sumber: Peneliti, 2012
Penjelasan kerangka teori di atas adalah sebagai berikut: Menurut Bjorgo (2005) dan Ozdogan (2006), tingginya serangan teroris di suatu negara secara signifikan disebabkan oleh tingginya faktor-faktor fasilitator yang terdapat di dalam negara tersebut, khususnya tempat perlindungan bagi teroris, mudahnya mendapatkan senjata dan sumber finansial untuk melangsungkan serangan, mudahnya bergerak melintasi batas-batas negara dan mendapatkan dokumen, serta mudahnya mendapatkan informasi. Oleh karena itu, tingginya serangan teroris berkaitan langsung dengan upaya penanggulangan yang dilakukan pemerintah, salah satunya adalah melalui strategi penggentaran yang ditujukan untuk
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
33
mengatasi hal-hal di atas. Dengan demikian, untuk menjawab mengapa serangan terorisme transnasional di Indonesia relatif lebih tinggi dibandingkan dengan di Malaysia, Singapura, dan Filipina, dapat dikaji perbedaan kualitas dari faktorfaktor di atas melalui sebuah studi perbandingan.
1.7
Operasionalisasi Variabel Variabel yang akan dioperasionalkan dalam penelitian ini terutama
diturunkan dari teori penggentaran yang beririsan dengan faktor-faktor penanggulangan terorisme. Variabel ini akan digunakan untuk memandu komparasi (sebagai kriteria pembanding). Operasionalisasi variabel penggentaran dapat dilihat di Tabel 1.2 berikut ini.
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
34
Tabel 1.2. Operasionalisasi Variabel Penggentaran yang Menjadi Kriteria Pembanding dalam Penelitian Variabel A. Penggentaran melalui Penangkalan 1. Level Taktis (penghilangan peluang)
Penjabaran (Sub-variabel)
Operasionalisasi
Memperketat keamanan dalam negeri Intelijen, pertahanan fisik, pengamanan (homeland security measures) objek vital dan infrastruktur kritis Memperbaiki sistem pertahanan terhadap serangan teroris (defensive measures) Meningkatkan resiko kegagalan operasional dari serangan teroris 2. Level Operasional Mencegah organisasi teroris 1. Kontrol perbatasan dan wilayah(penghilangan mendapatkan sumber daya yang wilayah yang dapat dijadikan basis kapabilitas) mereka butuhkan untuk perlindungan melangsungkan serangan (kontrol 2. Kontrol pergerakan senjata dan bahan atas faktor-faktor fasilitator peledak, termasuk bahan-bahan kimia terorisme) berbahaya 3. Kontrol sumber-sumber internet yang dapat mendukung perencanaan dan pelangsungan serangan teroris 4. Kontrol atau regulasi finansial 5. Kontrol dokumen dan imigrasi 3. Level Strategis Meyakinkan teroris bahwa 1. Meningkatkan ketahanan masyarakat (penghilangan penggunaan metode teror tidak akan terhadap serangan teroris. tujuan) mewujudkan tujuan strategis mereka. 2. Mengelola dan meringankan dampak serangan teroris. 3. Mempercepat pemulihan pascaserangan 4. Menghindari reaksi berlebihan terhadap serangan teroris 5. Menangkal narasi dan wacana yang mendukung terorisme (kontraideologi dan kontraradikalisasi)
B. Penggentaran Pemidanaan melalui sistem hukum melalui Hukuman (criminal justice)
1. 2.
Targeted killing
3.
Ancaman retaliasi masif
4.
Insentif politik C. Penyediaan Tatanan Alternatif
Insentif ekonomi
5.
6.
Legislasi antiteror Sistem penjara dan perlakuan pascapenahanan Kebijakan dan implementasi pembunuhan bersasaran Kebijakan dan implementasi retaliasi masif Meningkatkan partisipasi politik secara damai dan keterlibatan dalam masyarakat sipil: tingkat demokrasi Menyediakan tatanan atau kondisi ekonomi yang lebih baik bagi teroris dan masyarakat luas
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
35
1.8
Model Analisis Model analisis penelitian ini dapat dilihat dalam gambar berikut:
Indonesia
Penangkalan
Malaysia
STRATEGI PENGGENTARAN
Hukuman
Apakah Indonesia target serangan paling atraktif karena upaya penggentaran nya paling lemah?
Singapura
Insentif Filipina
Gambar 1.5 Model Analisis Sumber: Peneliti, 2012
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
36
1.9.
Metode Penelitian Untuk menjawab pertanyaan mengapa jumlah serangan terorisme
transnasional dalam satu dekade terakhir paling banyak terjadi di Indonesia dibandingkan di Singapura, Malaysia, dan Filipina, penelitian ini dirancang sebagai studi komparasi. Metode komparatif digunakan untuk mendapatkan data mengenai kekuatan relatif upaya penanggulangan terorisme di keempat negara yang diasumsikan mempengaruhi tingginya serangan teroris transnasional di Indonesia. Keempat negara tersebut dipilih karena merupakan wilayah operasi utama Jemaah Islamiyah yang dinyatakan dalam Panduan Umum Perjuangan Jemaah Islamiyah (PUPJI). Variabel utama yang digunakan sebagai kriteria pembanding dalam penelitian ini adalah langkah-langkah penanggulangan terorisme yang termasuk ke dalam strategi penggentaran (lihat operasionalisasi variabel di Tabel 1.2). Sementara itu, pendekatan penelitian yang akan digunakan adalah pendekatan kualitatif. Pendekatan ini digunakan untuk mendapatkan gambaran kualitatif yang rinci mengenai upaya-upaya yang dilakukan pemerintah keempat negara yang secara teoretik dihubungkan dengan tinggi-rendahnya jumlah insiden teroris. Data yang akan dikumpulkan mencakup data kualitatif dan kuantitatif. Data dalam penelitian ini dikumpulkan dari berbagai sumber, sebagian besar merupakan sumber sekunder yang terdiri dari data resmi pemerintah (buku putih strategi dan kebijakan, undang-undang, dokumen lembaga, dan sebagainya) dan laporan penelitian mengenai langkah-langkah penanggulangan terorisme di keempat negara. Data primer didapatkan berupa statistik mengenai serangan terorisme di keempat negara yang didapatkan dari beberapa situs database terorisme. Studi komparasi ini memiliki beberapa keterbatasan. Karena cakupan pembahasan di masing-masing negara cukup banyak, maka informasi yang tercakup di dalam penelitian ini tidak menyeluruh atau exhaustive. Meskipun demikian, informasi di dalam penelitian ini dapat memberikan indikasi mengenai sejauh mana penerapan berbagai elemen penggentaran di masing-masing negara sebagai basis untuk melakukan perbandingan upaya penanggulangan terorisme yang dilakukan pemerintah di tingkat regional dan sub-regional. Penelitian ini
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
37
tidak berambisi untuk menentukan keberhasilan atau efektivitas masing-masing langkah penggentaran yang memerlukan penelitian tersendiri dengan memasukan elemen aksi-reaksi di antara pemerintah dan kelompok teroris. Keterbatasan lain dari penelitian ini adalah dominasi penggunaan data pemerintah dan dokumen resmi. Karena keterbatasan waktu dan biaya, triangulasi data melalui pengumpulan data lapangan tidak dapat dilakukan oleh penelitian ini.
1.10
Pembabakan Tesis Untuk menjawab pertanyaan penelitian, yaitu mengapa jumlah serangan
teroris transnasional di Indonesia paling banyak jika dibandingkan dengan di Malaysia, Singapura, dan Filipina, tesis ini dibagi menjadi enam bab. Bab pertama, Pendahuluan, memaparkan latar belakang penelitian yang mengangkat permasalahan terorisme transnasional di Asia Tenggara yang memiliki afiliasi dengan terorisme global serta fenomena serangan teroris transnasional JI dalam satu dekade terakhir yang paling banyak terjadi di Indonesia. Bab ini memuat juga tinjauan literatur mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi kemunculan terorisme di suatu negara dan upaya-upaya negara untuk menanggulanginya, termasuk dengan menggunakan strategi penggentaran. Tinjauan literatur ini berkulminasi pada uraian mengenai asumsi penelitian, kerangka teori, operasionalisasi konsep, dan model analisis, dilanjutkan dengan uraian mengenai metode penelitian dan sistematika penulisan hasil penelitian. Bab kedua hingga bab kelima memaparkan upaya pemerintah Singapura, Malaysia, Filipina, dan Indonesia dalam menggentarkan teroris di negaranya masing-masing. Masing-masing negara dibahas tersendiri dalam tiap bab yang berbeda. Pembahasan di tiap-tiap bab diawali dengan uraian kebijakan keamanan nasional masing-masing negara terhadap terorisme dan kemudian difokuskan pada lima hal. Yang pertama adalah langkah-langkah pengetatan keamanan di berbagai sektor kritis guna memperkecil peluang terjadinya serangan (penggentaran melalui penangkalan di tingkat taktis). Yang kedua adalah pengendalian faktor-faktor yang dapat memfasilitasi serangan teroris, termasuk kontrol senjata, pendanaan, perbatasan, dan sumber daya internet (penggentaran melalui penangkalan di tingkat operasional). Yang ketiga adalah upaya pemulihan
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
38
dari serangan teroris dan penguatan masyarakat, termasuk perang ideologi untuk melawan ideologi teroris (penggentaran melalui penangkalan di tingkat strategis). Yang keempat adalah upaya penegakan hukum terhadap tindak terorisme (penggentaran melalui hukuman). Yang kelima adalah uraian mengenai pemberian insentif politik dan ekonomi untuk mengurangi insiden terorisme. Data mengenai upaya penggentaran teroris di setiap negara dipaparkan dalam satu bab tersendiri untuk masing-masing negara, diawali dengan Singapura, dilanjutkan dengan Malaysia, Filipina, dan diakhiri dengan Indonesia. Bab keenam memaparkan analisis komparatif mengenai penerapan strategi penggentaran di keempat negara dalam rangka penanggulangan terorisme untuk melihat persamaan dan perbedaan upaya serta menganalisis kekuatan relatif di antara keempat negara untuk setiap elemen penggentaran. Bab ketujuh dan terakhir adalah simpulan dan rekomendasi. Simpulan terbagi menjadi dua bagian, yaitu simpulan upaya penggentaran di masing-masing negara dan simpulan perbandingan upaya perbandingan di antara keempat negara.
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
BAB 2 PENERAPAN STRATEGI PENGGENTARAN DALAM UPAYA MENANGGULANGI TERORISME DI SINGAPURA Telah dijelaskan di bab sebelumnya bahwa penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan mengapa serangan teroris transnasional di Indonesia dalam satu dekade terakhir ini lebih tinggi dibandingkan dengan di Singapura, Malaysia, dan Filipina. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, penelitian ini membandingkan upaya-upaya yang dilakukan pemerintah Singapura, Malaysia, Filipina, dan Indonesia dalam rangka mengurangi jumlah serangan teroris di negaranya masingmasing dengan menggunakan teori penggentaran sebagai organizing framework atau kerangka analisis. Bab pembahasan pertama ini memuat paparan tentang langkah-langkah yang dijalankan pemerintah Singapura untuk menanggulangi terorisme di negaranya. Data tentang hal ini dianalisis dengan menggunakan kerangka teori penggentaran yang menurut Smith dan Talbot (2008) terdiri dari tiga elemen, yaitu penggentaran melalui penangkalan (deterrence by denial), penggentaran melalui hukuman (deterrence by punishment), dan penawaran insentif politikekonomi yang akan dipaparkan berturut-turut di bawah ini. Bab ini terdiri dari enam bagian. Sebelum memasuki pemaparan mengenai ketiga elemen penggentaran di atas, bagian pertama dan kedua di bawah ini akan membahas terlebih dahulu mengenai Singapura dan persinggungannya dengan terorisme, yang dilanjutkan dengan kebijakan keamanan nasional Singapura secara umum untuk mendapatkan gambaran besar mengenai bagaimana pemerintah Singapura mempersepsikan ancaman terorisme saat ini dan „membayangkan‟ upaya penanggulangannya. Bagian ketiga, keempat, dan kelima akan membahas mengenai penggentaran melalui penangkalan di tiga tingkat (taktis, operasional, dan strategis), penggentaran melalui hukuman, dan insentif politik dan ekonomi untuk menanggulangi terorisme, diakhiri dengan simpulan. Bab ini menemukan bahwa strategi penggentaran yang dijalankan oleh pemerintah Singapura dalam rangka menanggulangi terorisme didominasi oleh dua pendekatan, yaitu penangkalan serangan di tingkat taktis dan operasional yang 39 Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
40
berada di wilayah pertahanan dan penggentaran melalui hukuman dengan ISA sebagai ujung tombak. Efektivitas strategi ini ditunjang oleh kelembagaan yang kuat dalam hal koordinasi, kepemilikan teknologi yang canggih, standar ekonomi yang tinggi, dan kondisi sosial-politik Singapura yang memungkinkan dijalankannya kontrol negara yang kuat atas kehidupan warga negaranya. Keseluruhan langkah ini membuat serangan teroris sangat sulit dilakukan di wilayah Singapura.
2.1
Singapura dan Terorisme Singapura adalah negara dengan perekonomian paling maju di Asia
Tenggara dengan pendapatan per kapita sebesar US$ 61.692 (Ministry of Trade and Industry, 2012). Saat ini, pendapatan domestik Singapura setara dengan negara-negara maju di Eropa Barat (Central Intelligence Agency, 2012), begitu pula karakteristik perekonomiannya yang didominasi oleh sektor jasa, finansial, dan tergolong sebagai pasar kapitalisme bebas. Dengan status perekonomiannya, dapat dikatakan bahwa Singapura adalah negara maju di tengah negara-negara tetangga yang statusnya masih negara berkembang. Singapura pun menikmati hubungan istimewa dengan Amerika Serikat dan menjadi sekutu AS dalam Perang Global Melawan Teror. Dua karakteristik ini membuat Singapura dipandang rentan terhadap serangan teroris transnasional (National Security Coordination Centre, 2004). Berkebalikan dengan perekonomiannya, dari segi luas wilayah dan jumlah penduduk, Singapura adalah negara yang tergolong kecil, terutama jika dibandingkan dengan negara-negara tetangganya. Luas wilayahnya hanya 697 km persegi dan panjang garis pantainya hanya 193 km. Jumlah penduduknya pun hanya sekitar 5,3 juta orang, yang didominasi oleh etnis China (76,8%), diikuti oleh etnis Melayu dan India (masing-masing 13,9% dan 7,9%). Penduduk Singapura mayoritas beragama Budha (42,5%), namun jumlah penduduk Muslimnya cukup besar, yakni sekitar 14,9% (Central Intelligence Agency, 2012) sehingga homegrown terrorism menjadi kehawatiran tersendiri di Singapura. Luas wilayah dan jumlah penduduk yang kecil digabungkan dengan sumber daya ekonomi yang besar membuat pemerintah Singapura relatif lebih
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
41
mudah untuk mengontrol perbatasan dan masyarakatnya, terlebih karena Singapura adalah negara yang masyarakatnya dikatakan telah menginternalisasi rule of law sedemikian rupa sehingga pengawasan pemerintah (state surveillance) telah berubah menjadi pengawasan diri sendiri (self-surveillance) (Voragen, 2011). Sebagaimana akan dijelaskan lebih lanjut, karakteristik internal masyarakat Singapura sangat membantu dalam upaya penanggulangan terorisme yang dijalankan pemerintah. Meskipun wilayahnya kecil, letak Singapura di kawasan begitu strategis. Singapura adalah focal point rute laut Asia Tenggara dan pelabuhannya adalah pelabuhan yang tersibuk di dunia (Central Intelligence Agency, 2012). Singapura, seperti Filipina, memang hanya memiliki perbatasan laut. Hal ini membuat langkah-langkah pengamanan maritim dan sektor penerbangan menjadi sangat ditekankan dalam upaya penanggulangan terorisme di Singapura.
Gambar 2.1. Peta Singapura Sumber: dpi.vic.gov.au
2.2
Kebijakan Keamanan Nasional Singapura terhadap Terorisme Kebijakan keamanan nasional suatu negara adalah kerangka besar
sekaligus cetak biru dari setiap upaya penanggulangan terorisme di negara tersebut. Terkait dengan hal ini, bagaimana suatu negara mempersepsikan ancaman keamanan nasionalnya, termasuk bagaimana ia memandang terorisme, akan menentukan jenis pendekatan yang akan diambil untuk menanggulanginya. Dengan demikian, kebijakan keamanan nasional suatu negara terhadap terorisme
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
42
beserta persepsinya mengenai terorisme kontemporer penting untuk dibahas sebelum beranjak pada pembahasan mengenai langkah-langkah penanggulangan terorisme yang dijalankan pemerintah negara tersebut. Bahkan sejak sebelum terjadinya serangan 9/11, pemerintah Singapura dikatakan telah menjalankan aksi kontraterorisme yang agresif hingga The Strait Times menyebutnya sebagai “aksi lawan balik yang efektif dan brutal” (National Security Coordination Centre 2004, h. 21). Pasca-serangan 9/11, Singapura menjalankan langkah-langkah penanggulangan terorisme yang sangat sistematis dan relatif terdokumentasi dengan baik, mulai dari tingkat strategis hingga berbagai upaya taktis di tingkat sektoral. Upaya penanggulangan terorisme ini tidak hanya diejawantahkan dalam strategi domestik, melainkan juga strategi internasional dengan menjadi sekutu AS dalam perang global melawan teror. Sebagai panduan strategis penanggulangan terorisme, pada tahun 2004 pemerintah Singapura mengeluarkan buku putih untuk memerangi terorisme. Dokumen ini dibuat terbuka dan dapat diakses dengan mudah oleh publik (NSCC 2004, h. 15).1 Bagian pertama ini secara umum membahas tentang strategi dan kebijakan nasional Singapura untuk melawan terorisme yang termanifestasikan dalam buku putih tersebut. Pembahasan dalam bagian ini terdiri dari dua elemen, yaitu paparan mengenai persepsi Singapura mengenai terorisme di era kontemporer yang kemudian mempengaruhi persepsi Singapura mengenai upaya penanggulangannya serta paparan mengenai respon kelembagaan Singapura terhadap
ancaman
terorisme
kontemporer
yang
diwujudkan
melalui
pengembangan arsitektur keamanan nasional baru. Keduanya adalah langkah mendasar dan berperan sebagai pondasi dalam upaya penanggulangan terorisme di Singapura.
1
Strategi ini dipublikasikan agar warga Singapura dapat memahami kondisi yang dihadapi negara saat ini dan dapat berpartisipasi dalam upaya memerangi terorisme. Tujuan yang dinyatakan dalam strategi adalah mencegah berkembangnya ancaman keamanan sebelum terbentuk, melindungi Singapura dari ancaman yang telah terbentuk, merespon ancaman tersebut jika upaya pencegahan dan perlindungan gagal, dan memulihkan Singapura secepat mungkin jika terjadi serangan.
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
43
Persepsi
2.2.1
Pemerintah
Singapura
mengenai
Terorisme
di
Era
Kontemporer Pembahasan mengenai persepsi pemerintah suatu
negara mengenai
terorisme menjadi penting karena negara yang memandang terorisme dengan cara yang berbeda akan memiliki strategi penanggulangan yang berbeda pula. Singapura adalah negara yang relatif aman dan belum pernah mengalami satu kali serangan teroris pun di abad ke-21 (Corsi 2008, h. 3). Meskipun demikian, negara ini mempersepsikan terorisme di era kontemporer sebagai ancaman keamanan serius dan menekankan pentingnya kewaspadaan terus-menerus2 dari seluruh komponen bangsa untuk melawannya (National Security Coordination Centre, 2004). Dari segi persepsi, pemerintah Singapura memandang dirinya sebagai „target empuk‟ serangan teroris karena sikapnya yang non-kompromistis terhadap terorisme, keterlibatan aktifnya dalam perang global memerangi terorisme yang dipimpin AS,3 serta masyarakatnya yang sekular dan beragam dalam hal ras dan agama (National Security Coordination Centre 2004, h. 59). Alasan pertama dan kedua yang disebutkan di atas adalah konsekuensi dari kebijakan pemerintah Singapura itu sendiri sementara alasan ketiga berakar dari karakteristik inheren negara tersebut yang dipandang menimbulkan kerentanan khusus. Dalam strategi keamanan nasionalnya, Pemerintah Singapura tampak lebih mengkhawatirkan dampak serangan teroris terhadap perekonomian dan tatanan sosial masyarakatnya dibandingkan dengan integritas teritorial negara itu sendiri atau kedaulatannya sebagai negara yang independen. Karena inilah sensitivitas Singapura terhadap serangan teroris sangat tinggi karena teroris tidak harus menaklukan negara tersebut untuk dapat dikatakan mencapai tujuan strategisnya, melainkan cukup dengan memicu terjadinya guncangan ekonomi, politik, dan sosial di negara tersebut.
2
Sikap Singapura terhadap terorisme yang menekankan kewaspadaan yang terus-menerus di atas tercermin dalam pernyataan Wakil Perdana Menteri sekaligus Menteri Koordinator Keamanan Singapura, Tony Ten Keng Yam, yang mengajak warga negara Singapura untuk “…bersiap menjalani perjuangan panjang melawan terorisme dan hidup dengan kemungkinan terjadinya serangan teroris yang nyata...”. 3 Termasuk dukungannya terhadap Amerika Serikat di Afghanistan dan Irak dan dalam perang melawan terorisme di tingkat regional.
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
44
Dari gambaran strategi keamanan nasionalnya, dapat dikatakan bahwa pemerintah Singapura sangat mengeksploitasi persepsi akan kerentanan negeri ini untuk menanamkan dan memelihara sikap waspada di kalangan pemerintah, bisnis, dan publik, serta memandang „complacency’ (sikap merasa aman) sebagai musuh utama yang harus dihindari. Persepsi Pemerintah Singapura mengenai terorisme kontemporer berbeda jauh dari persepsinya mengenai terorisme di masa lalu yang dipandang bersifat “episodik” dan “terisolasi” (Corsi 2008, hh. 2-3).4 Pasca-9/11, Pemerintah Singapura mempersepsikan terorisme kontemporer sebagai sesuatu yang terorganisasi dan bersifat jangka panjang (National Security Coordination Centre 2004, h. 7). Terorisme kontemporer pimpinan Al-Qaeda dengan Jamaah Islamiyah (JI) sebagai „kepanjangan tangan‟-nya di kawasan Asia Tenggara dianalisis sebagai gerakan yang mengandung dimensi ideologis yang amat kuat, memiliki kemampuan bergerak melintasi batas-batas negara, berkapasitas teknologi canggih, dan memiliki kemampuan strategis yang tinggi sehingga mampu mengadakan serangan beruntun yang terkoordinasi dan tersinkronisasi (National Security Coordination Centre 2004, h. 27). Kata kunci yang mencirikan persepsi Singapura terhadap ancaman terorisme kontemporer adalah sifatnya yang strategis (National Security Coordination Centre 2004, h. 8).5 Di samping itu, pemerintah Singapura menekankan bahwa kelompok teroris kontemporer sangat berbahaya dan mematikan karena mereka dapat membunuh “tanpa hambatan moral” (National Security Coordination Centre 2004 h. 23). Berkaitan dengan persepsi ini, upaya melawan teroris kontemporer kemudian dikonstruksikan dalam bentuk oposisi biner sebagai pertempuran di antara “orang-orang yang berusaha mewujudkan perdamaian dan keamanan” dan “orang-orang fanatikyang kejam” (National Security Coordination Centre 2004, h. 4
Pada tahun 1965, Singapura mengalami serangan bom di restoran McDonald oleh pihakpihak yang menentang penyatuan antara Singapura dan Malaysia dalam Federasi Malaysia. Hampir satu dekade kemudian, terjadi apa yang dinamakan sebagai insiden Laju di mana beberapa anggota Japanese Red Army dan Popular Liberation Front of Palestine mencoba menyerang kompleks penyulingan minyak milik Shell untuk mengganggu suplai minyak dari Singapura ke negara-negara yang diduduki AS dalam rangka melawan komunisme. Pada tahun 1991, terjadi pembajakan pesawat Singapore Airlines oleh anggota Pakistan Peoples Party yang menuntut pembebasan para anggota mereka. 5 Tony Ten Keng Yam mengekspresikan hal ini dengan menyatakan terorisme transnasional sebagai “long-term peril” sebagai kebalikan dari “passing menace” seperti terorisme di masa lalu.
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
45
12). Respon kebijakan yang kemudian diformulasikan oleh pemerintah Singapura dalam bentuk strategi untuk melawan terorisme dengan sifat-sifat seperti ini adalah “mengeraskan Singapura” dalam jangka pendek dan “pendekatan total”6 dalam jangka panjang (National Security Coordination Centre 2004, h. 14). Persepsi mengenai terorisme di era kontemporer di atas kemudian mempengaruhi respon strategis pemerintah Singapura dalam hal kelembagaan. Untuk melawan terorisme yang memiliki kemampuan strategis untuk melancarkan serangan jangka panjang, pemerintah Singapura kemudian mengembangkan upaya counter-measure dengan cara mengembangkan arsitektur keamanan nasional baru yang akan dibahas di bawah ini.
2.2.2
Pengembangan
Arsitektur
Keamanan
Nasional
Baru
untuk
Menanggulangi Terorisme Setelah membahas persepsi mengenai terorisme kontemporer yang ciri utamanya adalah memiliki kemampuan strategis, bagian ini akan memaparkan respon strategis-institusional Pemerintah Singapura untuk menanggulangi ancaman tersebut. Yang dimaksud dengan respon strategis-institusional adalah langkah-langkah pemerintah Singapura untuk memperkuat kebijakan dan kelembagaan keamanan nasionalnya berkaitan dengan upaya penanggulangan terorisme. Berkaitan dengan hal ini, ada dua hal yang menjadi fokus dalam strategi keamanan nasional Singapura, yaitu penguatan koordinasi dan jaringan di antara berbagai badan pemerintah dan lembaga-lembaga keamanan yang ada dan penyusunan struktur keamanan baru untuk menanggulangi terorisme secara lebih efektif.
2.2.2.1 Penguatan Koordinasi dan Jaringan Badan Pemerintah dan Lembaga Keamanan Munculnya terorisme transnasional yang memiliki sifat-sifat yang telah dijelaskan di atas dipandang telah mengaburkan batas-batas keamanan internal (domestik) dan keamanan eksternal sehingga pemerintah Singapura menganggap bahwa pendekatan lama untuk menjaga keamanan nasional tidak lagi relevan 6
Pendekatan total diartikan sebagai pendekatan yang mencakup pertahanan eksternal, internal, ekonomi, dan sosial.
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
46
(National Security Coordination Centre 2004, h. 8). Pemerintah Singapura menyebut fenomena ini sebagai „konvergensi strategis‟ yang dipicu oleh ancaman teroris transnasional. Langkah yang diambil pemerintah Singapura untuk menghadapi ancaman baru yang menyebabkan terjadinya konvergensi ini adalah memperkuat koordinasi dan integrasi di antara badan-badan pemerintah dan badan-badan keamanan yang menjadi batu pijakan pendekatan keamanan nasional baru Singapura. Langkah lain yang berkaitan dengan hal ini adalah penyusunan struktur-struktur keamanan baru yang melampaui batas-batas tradisional yang ada sebelumnya (National Security Coordination Centre 2004, h. 31). Untuk mencapai tujuan koordinatif di atas, yang dilakukan pemerintah Singapura adalah mengubah pendekatan kelembagaan keamanannya yang semula bersifat hirarkis dan terspesialisasi menjadi pendekatan jejaring yang lebih menekankan konvergensi dan integrasi (National Security Coordination Centre 2004, h. 31). Pendekatan jejaring ini diadopsi dengan mengingat ukuran negara Singapura yang kecil dan sumber dayanya yang terbatas. Jejaring ini diarahkan dan dikoordinasikan oleh sebuah struktur baru, yakni sebuah „pusat‟ yang diberi kewenangan untuk menggerakkan berbagai badan pemerintah yang memiliki tugas dan fungsi yang berbeda7 (National Security Coordination Centre 2004, h. 35). Pendekatan yang melibatkan berbagai kementerian ini disebut sebagai „multiministry approach‟ (National Security Coordination Centre 2004, h.36).8
2.2.2.2 Penyusunan Struktur Keamanan Nasional Baru Elemen kedua dari respon strategis-institusional pemerintah Singapura adalah pengembangan struktur keamanan nasional baru untuk menguatkan elemen koordinasi dalam arsitektur keamanan yang telah ada. Arsitektur keamanan nasional baru ini memiliki tiga pilar penting, yaitu koordinasi di tingkat kebijakan, 7
Untuk memperkuat koordinasi dalam konteks konvergensi strategis, pemerintah Singapura mengambil langkah-langkah spesifik berikut: 1) menciptakan sebuah pusat yang kuat, yang bertugas menetapkan arah kebijakan, 2) menyelenggarakan forum-forum strategis untuk mendorong adanya pemahaman bersama mengenai isu keamanan di kalangan para pembuat kebijakan dan praktisi keamanan, 3) melembagakan perencanaan keamanan strategis nasional dan proses kebijakan keamanan nasional, 4) mendorong terbentuknya aliansi di antara berbagai badan pemerintah dan menghindari duplikasi sumber daya dan kapabilitas, dan menumbuhkan budaya kolaborasi dengan mendorong diadopsinya visi bersama dan pembangunan tim. 8 Sebelumnya, pertahanan dari ancaman eksternal berada di tangan Kementerian Pertahanan dan Pasukan Bersenjata Singapura (SAF) sementara keamanan internal menjadi tanggung jawab bersama kepolisan (SPF) dan Kementerian Urusan Dalam Negeri (Home Affairs).
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
47
koordinasi di tingkat operasional, dan koordinasi dalam hal pengembangan kapabilitas (National Security Coordination Centre 2004, hh. 37-40). Apa saja yang dilakukan pemerintah Singapura untuk menguatkan hal-hal di atas dalam rangka penanggulangan terorisme akan dijabarkan di bawah ini.
a. Koordinasi Kebijakan Koordinasi di tingkat kebijakan dalam rangka penanggulangan terorisme sangat penting karena tingkat ini adalah tingkat yang paling tinggi, meskipun abstrak dan bersifat umum. Tanpa adanya arahan kebijakan keamanan yang jelas, terkoordinasi, dan dan efektif, badan-badan keamanan yang diserahi tanggung jawab akan mengalami disorientasi dalam menjalankan tugasnya sehingga tidak mampu menanggulangi terorisme secara efektif. Permasalahan koordinasi ini disoroti oleh banyak literatur, salah satunya adalah oleh Tan dan Ramakrishna (2004) yang menyatakan bahwa miskoordinasi dan persaingan yang tidak sehat di antara badan-badan keamanan suatu negara berkontribusi pada lemahnya upaya penanggulangan terorisme di negara tersebut. Pemerintah Singapura menyadari hal ini sejak awal sehingga mencoba mengatasinya di tingkat paling tinggi, yakni di tingkat kebijakan dan strategi. Untuk memperkuat koordinasi di tingkat kebijakan, langkah pertama yang dilakukan pemerintah Singapura adalah mendirikan Komite Pengkajian Kebijakan Keamanan atau Security Policy Research Center (SPRC) yang sifatnya dapat dikatakan high-level dan terdiri dari berbagai kementerian (National Security Coordination Centre 2004, h. 37).9 Di bawah Komite ini, didirikan Sekretariat Koordinasi Keamanan Nasional atau National Security Coodination Secetariat (NSCS) yang berperan sebagai central hub dari berbagai badan pemerintah dan berlokasi di kantor Perdana Menteri. Lembaga ini bertugas menyusun perencanaan keamanan nasional serta melakukan koordinasi kebijakan dan intelijen. Khusus untuk koordinasi intelijen, di bawah Sekretariat didirikan Komite Koordinasi Intelijen yang bertanggung jawab mengkoordinasikan seluruh 9
Komite ini dikepalai oleh Menteri Koordinator Keamanan dan Pertahanan dan beranggotakan Menteri Pertahanan, Menteri Urusan Dalam Negeri, dan Menteri Luar Negeri dan bertugas untuk memberi arahan strategis dalam hal pengambilan kebijakan dan pengembangan kapasitas keamanan nasional, mendiskusikan isu-isu kritis, dan mengkaji langkah-langkah keamanan nasional yang ada saat ini.
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
48
upaya intelijen dalam rangka penanggulangan terorisme (National Security Coordination Centre 2004, h. 37). Sekretariat ini memainkan peran yang sangat penting bagi koordinasi kebijakan karena wewenangnya untuk menyusun rencana keamanan nasional. Selain itu, dengan adanya lembaga ini, tersedia lembaga permanen untuk mengkoordinasikan badan-badan keamanan dan intelijen. Hal ini sangat vital dalam penanggulangan terorisme karena dalam berbagai literatur, penanggulangan terorisme dikatakan sering terhambat karena masalah koordinasi dan ego sektoral di kalangan komunitas intelijen. Dalam menjalankan fungsinya, Sekretariat Koordinasi Keamanan Nasional di atas ditunjang oleh dua lembaga lain yang bertugas melalukan kajian dan asesmen, yaitu Pusat Koordinasi Keamanan Nasional atau National Security Coordination Centre (NSCC) dan Pusat Kontraterorisme Gabungan atau Joint Counter-Terrorism Centre (JCTC). Pusat Koordinasi Keamanan Nasional terdiri dari beberapa kelompok yang bertujuan untuk mengkaji kebijakan, menyusun perencanaan, dan melakukan risk assessment serta horizon-scanning. Sementara itu, JCTC melakukan asesmen intelijen dan ancaman teroris untuk memfasilitasi upaya kontraterorisme (National Security Coordination Centre 2004, hh. 37-38). Dengan demikian, dalam hal koordinasi kebijakan, Singapura memiliki struktur koordinasi yang lengkap, mulai di tingkat tertinggi yang sifatnya lebih politis (Komite), yang kurang politis namun strategis (Sekretariat), dan pusat-pusat kajian yang mendukung kerja mereka.
b. Koordinasi Operasional Sejak tahun 1978, pemerintah Singapura telah memiliki institusi multiagensi khusus untuk mengelola krisis yang disebut dengan Grup Eksekutif atau Executive Group (EG) (National Security Coordination Centre 2004, h. 38). Grup ini telah berpengalaman dalam menangani situasi-situasi kritis, mulai dari bencana alam, terorisme (misalnya pembajakan Singapore Airlines pada tahun 1991), hingga penyebaran penyakit berbahaya.10 Untuk
meningkatkan
kinerja
koordinasi
di
tingkat
operasional,
Kementerian Urusan Dalam Negeri mendirikan sebuah Sistem Manajemen Krisis 10
Tugas Grup Eksekutif adalah mengkoordinasikan respon nasional, mengalokasikan sumber daya, serta mengelola dampak dan implikasi yang sangat luas cakupannya.
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
49
Dalam Negeri. Sistem ini terdiri dari Komite Kementerian Krisis Dalam Negeri11 atau Home Crisis Executive Group Committee (HCMC) dan Grup Eksekutif Krisis atau Home Crisis Executive Group (HCEG). Komite Kementerian Krisis Dalam Negeri bertujuan untuk menyediakan panduan strategis dan politik dalam hal penanganan krisis dengan tujuan untuk mempertahankan kondisi normal sebisa mungkin ketika terjadi serangan. Sementara itu, Grup Eksekutif Krisis adalah kelompok pengambil kebijakan yang terdiri dari berbagai kementerian dan badan-badan pemerintahan.12 Dari uraian mengenai koordinasi di tingkat kebijakan dan operasional di atas, dapat dilihat bahwa ada pola yang dapat diidentifikasi. Pertama, di tingkat tertinggi, pemerintah Singapura mendirikan sebuah Komite yang berada di tingkat kementerian. Dari jabaran tugas dan keanggotaannya, dapat dikatakan bahwa Komite adalah forum koordinasi tingkat tinggi yang menangani hal-hal yang sifatnya lebih politis, baik dalam hal kebijakan maupun operasional. Keberadaan Komite adalah untuk memastikan kebijakan masing-masing Kementerian tidak bertabrakan atau saling bertentangan dalam hal penanggulangan terorisme. Di bawah Komite, didirikan lembaga yang sifatnya masih terkait dengan kebijakan (strategis), namun sifatnya lebih teknis dan bertugas mengoperasionalkan keputusan-keputusan Komite. Dalam hal koordinasi kebijakan, lembaga ini adalah Sekretariat Koordinasi Keamanan Nasional yang terletak di lokasi yang sangat strategis, yaitu di kantor Perdana Menteri. Satu hal penting yang harus ditekankan adalah adanya lembaga permanen untuk mengkoordinasikan badan-badan keamanan nasional dan intelijen dalam hal penanggulangan terorisme dan pusat kajian serta asesmen ancaman yang menunjangnya. Dalam hal koordinasi operasional, keberadaan Grup Eksekutif untuk menangani koordinasi dalam situasi krisis sangat penting, khususnya dengan wewenang yang dimilikinya untuk menentukan jenis respon dan mengalokasikan sumber daya yang sangat penting bagi kelancaran penanganan situasi krisis.
11
Komite Kementerian Krisis Dalam Negeri dikepalai oleh Kementerian Urusan Dalam Negeri dan terdiri dari menteri-menteri kabinet lainnya. 12 Grup ini bertanggung jawab untuk menyediakan arahan kebijakan dan mengambil keputusan strategis mengenai manajemen krisis skala besar dan memberikan dukungan koordinasi operasional kepada Komite Kementerian, menyelesaikan isu-isu antarkementerian, dan memastikan bahwa keputusan dan arahan dari Komite Kementerian dijalankan di lapangan.
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
50
c. Koordinasi Pengembangan Kapabilitas Pengembangan kapabilitas sangat penting untuk menanggulangi sebuah isu baru atau menerapkan pendekatan baru. Untuk mengembangkan kapasitas badan-badan pemerintahan dan lembaga-lembaga keamanan dalam menjalankan pendekatan keamanan baru yang bertumpu pada koordinasi dan kemampuan berjaringan, pemerintah Singapura menjalankan berbagai program yang terfokus pada interaksi antaragensi, di antaranya kursus keamanan nasional untuk para praktisi keamanan senior. Program lainnya adalah seminar tahunan untuk badanbadan keamanan nasional yang berfungsi untuk menerangkan tujuan-tujuan keamanan terkini. Pemerintah Singapura juga menjalankan program untuk mengembangkan kemampuan mengantisipasi kejutan strategis, yaitu asesmen resiko dan horizon-scanning (National Security Coordination Centre 2004, h. 39). Dari program-program yang disebutkan di atas, pemerintah Singapura tampak berusaha mewujudkan setidaknya konvergensi visi dan misi di kalangan praktisi keamanan
senior
dalam
hal
tujuan
keamanan,
termasuk
dalam
hal
penanggulangan terorisme. Pertukaran antaragensi juga dapat memfasilitasi konvergensi ini sekaligus meningkatkan hubungan baik antarlembaga sehingga diharapkan dapat mengurangi masalah komunikasi dan ego sektoral. Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa respon strategis-institusional (kelembagaan) pertama yang diambil pemerintah Singapura untuk menanggulangi terorisme transnasional adalah mengubah bentuk dan kerja badan-badan keamanannya menjadi mode jejaring. Beberapa struktur baru didirikan untuk memperkuat koordinasi antar-lembaga keamanan di tingkat kebijakan dan operasional. Sementara itu, dalam hal pengembangan kapabilitas, dibentuk program-program yang menekankan komunikasi dan interaksi antar-agensi. Karena lapis pertahanan terpenting bagi Singapura yang dinyatakan dalam strategi keamanan nasionalnya adalah pencegahan, maka koordinasi kebijakan dan operasional dalam hal intelijen menjadi tekanan penting. Secara umum, arsitektur baru keamanan nasional Singapura atas bekerja di tiga wilayah yang komprehensif, yaitu wilayah pencegahan, perlindungan, dan respon atau pemulihan serangan.
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
51
2.3
Pengurangan Insiden Terorisme melalui Penggentaran melalui
Penangkalan Setelah membahas persepsi Singapura mengenai terorisme kontemporer dan pendekatan keamanan nasional barunya yang difokuskan pada penguatan koordinasi dan penyusunan struktur keamanan baru, pembahasan akan dilanjutkan dengan kajian mengenai langkah-langkah penanggulangan terorisme Singapura yang dapat dikategorikan sebagai upaya penggentaran melalui penangkalan (deterrence by denial). Menurut Smith dan Talbot (2008), teroris dapat dicegah dari melangsungkan serangan melalui penggentaran melalui penangkalan yang dapat dilakukan di tiga tingkat, yaitu tingkat taktis, operasional, dan strategis. Ketiganya akan diuraikan di bawah ini. Jika teroris dapat dicegah dari melangsungkan serangan, secara otomatis jumlah serangan teroris pun akan menurun. Di dalam strategi keamanan nasional Singapura untuk menanggulangi terorisme, elemen-elemen penggentaran melalui penangkalan ditempatkan sebagai sesuatu yang sangat penting dan mendasar. Hal ini tercermin jelas dalam pernyataan berikut
ini
mengenai
pendekatan
penanggulangan terorisme
Singapura: “Pendekatan kita harus membuat teroris sangat sulit untuk menjalankan niat jahatnya dan memastikan bahwa kita siap untuk mengatasi dampak yang akan timbul jika serangan benar-benar terjadi” (National Security Coordination Centre 2004, h. 8). Upaya untuk mempersulit terjadinya serangan melalui pengetatan keamanan, yang sering disebut sebagai „pengerasan target,‟ serta langkah-langkah untuk membangun ketahanan (resilience) masyarakat jika terjadi serangan beresonansi penuh dengan teori penggentaran melalui penangkalan yang telah diuraikan di bab sebelumnya, khususnya penangkalan peluang (denial of opportunity) di tingkat taktis dan penangkalan motivasi (denial of objective) di tingkat strategis. Sebagaimana telah disebutkan di atas, bab ini terbagi menjadi tiga bagian. Yang pertama adalah pembahasan mengenai penangkalan di tingkat taktis, yaitu upaya untuk menghilangkan atau meminimalkan peluang kelompok teroris untuk melangsungkan serangan. Yang kedua adalah penangkalan di tingkat operasional,
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
52
yaitu upaya untuk menghilangkan kapabilitas teroris untuk melangsungkan serangan dengan mempersempit ruang fungsionalnya, termasuk dalam hal pengadaan senjata, uang, dan sumber daya manusia. Yang terakhir adalah penangkalan di tingkat strategis, yaitu dengan menghilangkan motivasi teroris untuk menjalankan metode teror itu sendiri dengan memberi sinyal yang kredibel bahwa metode tersebut tidak akan berhasil mencapai tujuannya.
2.3.1
Pengurangan Insiden Terorisme melalui Penghilangan Peluang untuk Melangsungkan Serangan (Penangkalan di Tingkat Taktis) Sebagaimana diuraikan oleh Smith dan Talbot (2008), di tingkat taktis,
strategi penggentaran dilakukan dengan memastikan bahwa kelompok teroris tidak memiliki ruang atau kesempatan untuk melangsungkan serangan meskipun mereka telah membuat rencana atau bahkan dalam proses mengeksekusi serangan tersebut. Penggentaran di tingkat taktis juga dilakukan dalam bentuk memperkuat pertahanan fisik pada saat terjadinya serangan. Upaya yang sering disebut sebagai pengerasan target ini dilakukan dengan memperketat keamanan objek-objek yang memiliki nilai simbolik atau strategis untuk dijadikan target serangan teroris. Penggentaran melalui penangkalan di tingkat taktis adalah lapisan pertahanan pertama yang berada dalam wilayah pencegahan sebagaimana disebutkan di dalam strategi keamanan nasional Singapura. Pengerasan target diharapkan dapat membuat rencana serangan teroris diurungkan karena peluang keberhasilannya terlalu kecil. Bagian ini akan membahas langkah-langkah pemerintah Singapura untuk menggentarkan teroris melalui penangkalan di tingkat taktis. Kerangka besar kebijakan dalam penggentaran melalui penangkalan taktis adalah pengetatan keamanan dalam negeri (homeland security measures), termasuk langkah-langkah pencegahan seperti intelijen, pertahanan fisik, dan pengamanan objek vital (pengerasan target). Upaya-upaya pemerintah Singapura untuk menangkal teroris di tingkat taktis yang akan dibahas di bawah ini mencakup pengetatan keamanan penerbangan (bandara), maritim (pelabuhan), transportasi darat dan instalasi kritis, termasuk di dalamnya langkah-langkah pencegahan melalui intelijen dan pengintaian masyarakat (surveillance).
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
53
2.3.1.1 Pengetatan Keamanan Bandara dan Penerbangan Keamanan bandara dan penerbangan adalah hal yang sangat vital dalam penanggulangan terorisme. Selain menjadi salah satu cara keluar masuk teroris, 9/11 menunjukkan bahwa pesawat terbang dapat dijadikan salah satu senjata mematikan untuk serangan bunuh diri. Dalam konteks Singapura, bandara menjadi target terorisme yang sangat rawan karena negara tersebut memiliki status sebagai hub penerbangan internasional.13 Dalam hal ini, perekonomian dan citra Singapura bergantung pada statusnya sebagai tempat transit (Deb 2009, para. 1) sehingga bandara menjadi target serangan teroris yang sangat strategis. Bandara utama di Singapura adalah Changi. Bandara tersebut dikelola oleh Otoritas Penerbangan Sipil Singapura atau CAAS dan merupakan salah satu bandara tersibuk di dunia (Deb 2009, para. 1).14 Bagian ini akan membahas elemen-elemen keamanan bandara tersebut, yang mencakup sistem keamanan bandara secara umum yang dirancang untuk mengantisipasi serangan teroris dan perkembangan-perkembangan keamanan penting pasca-9/11, termasuk keamanan kargo yang diangkut melalui udara.
a. Sistem Keamanan Bandara Changi dalam Merespon Terorisme Sebagai respons segera terhadap serangan 9/11, pada bulan Desember 2002 pemerintah Singapura mendirikan Satuan Tugas (Satgas) Keamanan Penerbangan untuk mengkaji ulang keamanan Bandara Changi secara komprehensif (National Security Coordination Secretariat 2004, h.20)..15 Saat ini, sistem keamanan bandara Changi berada di tangan Divisi Polisi Bandara atau
13
Bandara Changi merupakan basis dari maskapai Singapore Airlines, SIA Cargo, Silk Air, Tiger Airways, Jetstar Asia Airways, Valuair and Jett8 Airlines Cargo. Bandara ini merupakan penghubung utama bagi maskapai Garuda Indonesia dan penghubung sekunder bagi Qantas yang menjadikan Changi tempat transit dalam rute antara Australia dan Eropa dan berlokasi hanya sekitar 17,2 km dari pusat komersial Singapura 14 Berdasarkan data pada bulan Juni 2009, bandara ini melayani sekitar 4.340 penerbangan setiap minggunya, yang melibatkan 80 maskapai dengan tujuan lebih dari 130 kota di 59 negara. Pada periode Januari hingga April 2009, Bandara Changi melayani hampir 12 juta penumpang. Selain melayani penerbangan komersial, bandara ini merupakan salah satu bandara kargo tersibuk di dunia dan menangani lebih dari 1,89 juta ton kargo pada tahun 2007 dan 153.340 ton pada tahun 2009. 15 Pemerintah Singapura telah memasang sistem screening bagasi khusus dengan menggunakan alat deteksi bahan peledak tercanggih.
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
54
Airport Police Division (APD) yang berada di bawah Pasukan Polisi Singapura (SPF). Program keamanan bandara Changi disebut sebagai ASP (Airport Security Program).16 Dalam menjalankan tugasnya, APD bekerja sama dengan pihak otoritas bandara (CAAS), operator pesawat, bahkan organisasi keamanan swasta (National Security Coordination Secretariat 2004, hh. 20-22).17 Dalam hal teknologi, Bandara Changi tergolong sebagai bandara dengan perlengkapan paling canggih. Pemerintah Singapura sangat mengandalkan teknologi untuk memperkuat pertahanan bandara. Sejak serangan 11 September, bandara ini secara proaktif menerapkan berbagai lapisan pertahanan di dalam dan di luar bangunannya serta di lokasi di sekitarnya. Selain screening manual, bandara ini juga memasang perlengkapan x-ray konvensional, sistem EDS, dan sistem video hampir di seluruh penjuru terminal (Deb 2009, para. 6). Di samping itu, keamanan di dalam maskapai utama Singapura telah ditingkatkan, terutama dalam hal akses ke kokpit untuk mengantisipasi potensi serangan teroris. Dua maskapai utama Singapura, SIA, dan SilkAir telah memasang pintu tahan peluru dan kamera pengintai di wilayah kokpit. Pengetatan keamanan ketika pesawat telah mengudara dilakukan dengan mengerahkan polisi udara (air marshall), meskipun masih hanya dalam penerbangan-penerbangan tertentu. Sementara itu, kapabilitas pertahanan udara terus ditingkatkan untuk mengantisipasi pembajakan pesawat untuk dijadikan senjata bunuh diri (National Security Coordination Secretariat 2004, h. 49).
b. Perkembangan Keamanan Bandara Pasca-9/11 Sejak serangan 9/11, keamanan bandara Changi ditingkatkan secara drastis. Akses menuju area-area tertentu di Bandara Changi selalu dijaga ketat dan diawasi. Selain itu, Bandara pun dijaga bersama oleh patroli polisi dan tentara yang dilengkapi dengan senjata laras panjang. Personel Kontingen Gurkha
16
Program ini bertujuan untuk melindungi keamanan, mempertahankan regularitas dan efisiensi penerbangan sipil internasional di bandara, serta mencegah tindakan-tindakan pelanggaran hukum yang ditujukan pada penumpang pesawat, personel pesawat, terminal bandara, instalasi, dan peralatan navigasi. 17 Misalnya SAT Security Services dan Aetos Security Management.
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
55
(Singapore Police Force, 2012)18 juga diturunkan untuk mengawasi area transit (Deb 2009, para. 8). Dalam hal intelijen, selama tujuh tahun terakhir pemerintah Singapura menjalankan kerja sama internasional dalam hal tukar-menukar informasi terkait keamanan penerbangan. Dalam hal ini, polisi Singapura bekerja sama dan berbagi intelijen dengan agen-agen keamanan lokal seperti Departemen Keamanan Internal, Kantor Keamanan Dalam Negeri (HSO), dan Pusat Kontraterorisme Gabungan (JCTC) (Deb 2009, para. 7). Di tingkat taktis, sejak tahun 2005, screening bagasi tidak lagi dilakukan secara terbuka sebelum check-in, melainkan dilakukan di ruangan tertutup. Bagasi yang dibawa ke kabin dan screening penumpang tetap dilakukan di setiap pintu keberangkatan sementara bagasi yang dimasukkan ke pesawat diperiksa di ruangan tertutup. Selain itu, sistem pengintaian di bandara Changi mencakup 400 kamera yang dapat mengawasi aktivitas penumpang pesawat dan barang-barang yang mencurigakan. Pemeriksaan penumpang dilakukan secara lebih ketat untuk penumpang penerbangan ke AS dan Inggris (Deb 2009, para. 9). Menurut Sushant Deb, terminal penumpang dan bangunan kargo di bandara Changi adalah yang paling canggih dalam hal perlengkapan keamanan, termasuk dalam hal pemeriksaan elektronik terhadap para penumpang pesawat.19 Untuk memperketat keamanan, bandara Changi bahkan menerapkan kebijakan „diskriminasi‟ dengan menerapkan prosedur keamanan yang berbeda untuk para penumpang dari negara-negara tertentu sejak bulan Agustus 2007, di antaranya adalah dari Australia, AS, India, dan beberapa negara lain dengan total 60 negara (Deb 2009, para. 21).20
c. Keamanan Kargo Udara Mengenai keamanan kargo yang diangkut lewat udara, pada bulan September 2008, bandara Changi meluncurkan sistem RCAR atau Regulated Air 18
Kontingen Gurkha adalah pasukan khusus Kepolisian Singapura yang didirikan pada tahun 1949. Tugas mereka adalah memadamkan ancaman spesifik yang berada dalam spektrum paramiliter, termasuk kerusuhan sipil, pengejaran teroris, perlindungan VIP, dan patroli khusus 19 Meskipun demikian, menurut Deb pemeriksaan elektronik memiliki kelemahan tersendiri, yakni dalam hal frekuensi kalibrasi alat-alat ini. Menurutnya, percakapan antara personel keamanan dan penumpang pesawat yang dapat digunakan sebagai instrumen pemeriksaan keamanan manual seperti halnya diterapkan di bandara Israel sulit dilakukan di bandara Changi. 20 Meskipun prosedur ini belum diterapkan untuk para kru pesawat.
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
56
Cargo Agents Regime.21 Sistem ini dikelola oleh Divisi Polisi Bandara untuk melindungi kargo udara yang diberangkatkan dari atau transit di bandara Changi dari interferensi (Deb 2009, para. 11). Meskipun kecanggihan perlengkapan dan sistem keamanan bandara Changi tidak diragukan lagi, menurut Sushant Deb, masih terdapat peluang teroris untuk menginfiltrasi keamanan bandara dengan menyamar menjadi pekerja bandara, termasuk pekerja dari beratus-ratus tenant yang ada di bandara Changi. Celah interferensi keamanan lain adalah keamanan pengelolaan hangar pesawat yang seringkali disub-kontrakkan dan pengawasan jalur landasan pesawat (runway surveillance)22 (Deb 2009, para. 17). Dari uraian di atas, dapat dikatakan bahwa berbagai langkah pengetatan keamanan bandara telah dijalankan oleh pemerintah Singapura dan pihak berwenang
bandara
Changi
sebagai
respon
terhadap
serangan
teroris
transnasional, khususnya pasca-serangan 9/11. Secara umum, pengetatan keamanan tersebut dijalankan melalui peningkatan kapabilitas teknologi dalam hal pemeriksaan orang dan barang, pengawasan dan pengintaian lokasi, pengetatan keamanan kargo, penambahan personel keamanan untuk patroli, pengetatan prosedur keamanan bagi pihak-pihak yang bekerja di bandara, serta peningkatan koordinasi dan tukar-menukar informasi dalam hal intelijen. Kesemua langkah pengetatan keamanan tersebut membuat bandara Changi sulit dipenetrasi oleh kelompok teroris, yang menimbulkan efek penggentaran di tingkatan taktis untuk sektor penerbangan.
2.3.1.2 Pengetatan Keamanan Maritim dan Pelabuhan Selain bandara Changi, pelabuhan Singapura juga merupakan nadi perekonomian Singapura. Saat ini, POS atau Port of Singapore adalah salah satu pusat perdagangan internasional utama dan tersibuk di dunia (Deb 2010, para.
21
Rezim ini juga diterapkan oleh Hong Kong, Inggris, Perancis, Jepang, Australia, dan Selandia Baru. 22 Beberapa langkah yang direkomendasikan oleh Sushant Deb untuk meningkatkan keamanan bandara adalah menerapkan prosedur „bercakap-cakap‟ dengan penumpang untuk mendeteksi ancaman, mendirikan sistem dokumentasi untuk memantau kalibrasi mesin deteksi, termasuk sejarah perbaikannya, dan mengontrol seleksi pegawai, termasuk pegawai para tenant yang ada di bandara, serta menerapkan teknologi „iFerret‟ untuk memantau jalur landasan, hangar, dan pembawa pesawat.
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
57
7).23 POS dikelola oleh Otoritas Maritim dan Pelabuhan Singapura atau MPA yang berwenang memberi izin bagi kapal untuk berlabuh, mengatur berbagai layanan dan fasilitas pelabuhan, serta mengelola lalu lintas kapal (Deb 2010, para. 2). Salah satu lokasi yang paling dikhawatirkan oleh Singapura dari segi keamanan adalah Selat Malaka. Setiap tahun, selat ini dilewati sekitar 50.000 kapal yang mengangkut suplai minyak bumi untuk Asia dari Timur Tengah, 2/3 gas alam, dan ¼ barang dagangan. Menurut Teo (2007), Selat Malaka menjadi kekhawatiran masyarakat internasional karena keberadaan para pembajak karena pembajakan dapat digunakan untuk mempersiapkan serangan teroris (Corsi 2008, h. 11). Secara umum, tanggung jawab keamanan maritim di Singapura berada di tangan beberapa instansi, yaitu Angkatan Laut, pihak otoritas pelabuhan (MPA), dan polisi pantai (PCG) (Deb 2010, para. 11).24 Pada tahun 2008, pemerintah Singapura mendirikan Pusat Keamanan Maritim yang melibatkan perwakilan ketiga instansi ini. Lembaga ini berperan sebagai „think tank‟ yang memberi masukan mengenai isu-isu strategis berkenaan dengan keamanan maritim, termasuk dalam hal kontraterorisme di perairan (Deb 2010, para. 12). Bagian ini akan membahas strategi keamanan maritim Singapura secara umum dan langkahlangkah taktis pengamanan pelabuhan untuk mengantisipasi serangan teroris.
a. Strategi Keamanan Maritim Singapura Secara garis besar, kebijakan keamanan maritim Singapura mencakup dua hal, yaitu perlindungan dan pemulihan. Perlindungan berarti pengerasan target untuk mencegah serangan. Pemulihan dilakukan jika serangan terjadi untuk
23
POS berada di pusat jalur lalu lintas perdagangan dunia. Setiap harinya, sekitar 1.400 kapal melewati Selat Malaka dan Selat Singapura. Pelabuhan Singapura sendiri menampung sekitar 140 ribu kapal per tahun, yang membawa sekitar 30 juta kontainer, 500 juta ton kargo, dan satu juta penumpang. Pada tahun 2008, pelabuhan ini menangani lebih dari 515,4 juta ton kargo, termasuk minyak bumi. Dengan jumlah kargo yang masuk, pelabuhan ini merupakan salah satu pelabuhan tersibuk di dunia, juga yang paling efisien dan paling aman. 24
Kerja sama di antara berbagai badan kelautan di atas difasilitasi oleh jaringan pengintai dan informasi di Pusat Kendali Operasi Pelabuhan yang dikenal sebagai VTIS (Vessel Traffic Information System). Sistem tersebut dapat memberikan informasi terkini kepada kapal-kapal yang tengah melewati selat-selat Singapura dan perairan teritorial. Pemerintah Singapura juga mendirikan Satuan Tugas Keamanan Kelautan untuk mencari cara untuk meningkatkan keamanan maritim dan perbatasan Singapura.
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
58
mengembalikan fungsi normal industri maritim secepat mungkin. Dua garis kebijakan ini dilakukan dengan mengimplementasikan beberapa konvensi keamanan maritim internasional pasca- 9/11. Selain itu, setelah serangan 9/11, pihak otoritas pelabuhan Singapura menjalankan pengawasan 24 jam terhadap lalu lintas kapal dan aktivitas di pelabuhan melalui divisinya yang bernama Unit Keamanan Maritim. Selain itu, rute perjalanan kapal diubah untuk menghindarkan kapal-kapal berlayar mendekati pulau atau area tempat instalasi-instalasi penting didirikan. Saat ini, kapal-kapal hanya dapat bersandar di lokasi yang telah ditentukan sehingga mempermudah kontrol terhadap kapal yang memasuki pelabuhan Singapura dan penanganan ketika terjadi kondisi gawat darurat (Deb 2010, para. 8). Konsisten dengan strategi kontraterorisme Singapura secara umum yang menekankan
koordinasi
antar-badan
keamanan,
pemerintah
Singapura
mengadopsi pendekatan antar-instansi untuk meningkatkan efektivitas respon terhadap serangan. Sebagai contoh, pihak otoritas pelabuhan (MPA), Angkatan Laut Singapura, Polisi Pantai (PCG), dan Otoritas Pemeriksaan Imigrasi (ICA) menjalankan patroli gabungan dan pemeriksaan rutin terhadap kapal-kapal yang memasuki pelabuhan (Deb 2010, para. 11). 25 Sebagaimana disebutkan di atas, pemerintah Singapura telah menerapkan semua peraturan atau kode keamanan maritim yang ada. Pada tahun 2004, Pelabuhan Singapura telah menerapkan seluruh persyaratan yang ditetapkan oleh Peraturan Internasional mengenai Keamanan Kapal dan Fasilitas Pelabuhan atau ISPS (Deb 2010, para. 13).26 Pihak otoritas pelabuhan juga telah mengembangkan „Manual Keamanan Pelabuhan‟ atau PSM yang berisikan informasi mengenai keamanan maritim. Selain itu, dari segi kerja sama internasional, Singapura 25
Pemerintah Singapura juga memperketat keamanan di beberapa jalur laut, termasuk Singapore Cruise Centre dan Terminal Feri Tanah Merah serta perairan di sekitar Sembawang Wharves dan pulau-pulau seperti pulau Burkom. 26 Kode ISPS adalah serangkaian langkah pengetatan keamanan kapal dan fasilitas pelabuhan yang wajib diterapkan oleh semua negara penandatangan SOLAS (Kovensi Keselamatan Hidup di Laut) pasca-serangan 9/11 (Maritime Port Authority of Singapore, 2009). Singapura juga telah melampaui berbagai ketentuan Organisasi Kelautan Internasional dengan melengkapi kapal-kapal yang lebih kecil dengan Harbor Craft Transponder System (HARTS). Sistem ini mengharuskan kapal kecil dan kapal pesiar (sekitar 3000 buah) untuk memasang alat pelacak kecil. Sistem ini memungkinkan pemerintah Singapura untuk mengawasi pergerakan hampir seluruh kapal laut di perairan Singapura (Yun Yun Teo, 2007 dalam Corsi 2008).
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
59
bersama Malaysia dan Indonesia meluncurkan „Mekanisme Kooperatif‟ pada tahun 2008 untuk meningkatkan keamanan dan keselamatan navigasi di Selat Malaka serta mendirikan Forum Koordinasi dan Komite Koordinasi Proyek. Selain telah memenuhi standar keamanan maritim internasional dari ISPS, Pelabuhan Singapura juga menerapkan langkah-langkah keamanan tambahan yang mencakup Peraturan Keamanan Kapal di Dermaga, Peraturan Keamanan Kapal Pesiar, Asesmen Keamanan Kapal Mandiri, dan pembatasan akses di sekitar instalasi kunci (Deb 2010, para. 13). Asesmen Keamanan Kapal Mandiri adalah serangkaian prosedur keamanan berupa check-list yang harus dipenuhi oleh kapal-kapal non-ISPS yang hendak memasuki wilayah Pelabuhan Singapura. Fitur ini merupakan salah satu fitur keamanan yang unik dan pertama kali diterapkan oleh Singapura di kawasan Asia (Deb 2010, para. 13). Selain ISPS, inisiatif lainnya yang dijalankan pemerintah Singapura adalah „Perlindungan Jalur Kapal Vital‟ dari Organisasi Maritim Internasional (IMO). Singapura juga telah meratifikasi Perjanjian Regional untuk Memerangi Pembajakan dan Perampokan Kapal di Asia atau ReCAAP (Deb 2010, para. 13). Selain berbagai Konvensi Internasional di atas, Singapura juga menjadi negara pertama di Asia yang mengimplementasikan US Container Security Initiative (CSI)27 pada bulan Januari 2003. Inisiatif ini bertujuan untuk memeriksa kontainer-kontainer beresiko tinggi sebelum tiba di pelabuhan AS (Deb 2010, para. 9).
b. Langkah-Langkah Taktis Pengamanan Pelabuhan Langkah-langkah taktis pengamanan pelabuhan di Singapura sebagian besar bersandar pada teknologi. Langkah-langkah ini mencakup pemasangan piranti keras (hardware) dan piranti lunak (software) keamanan. Piranti keras keamanan yang paling banyak digunakan di Singapura adalah sistem alarm, sistem kontrol akses, CCTV, sistem monitoring alarm pusat, mesin X-ray, dan
27
US Container Initiative Security adalah program pemerintah AS yang bertujuan untuk meningkatkan keamanan kargo yang dikirimkan melalui laut ke AS dari seluruh dunia. CSI bertujuan mencegah penyelundupan senjata melalui laut yang dapat digunakan untuk kegiatan terorisme. Saat ini, 58 pelabuhan di seluruh dunia telah mengadopsi CSI (US Customs and Border Protection, Tanpa Tahun, para. 1).
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
60
sistem kontrol pintu masuk. Sementara itu, piranti lunak keamanan mencakup sistem anti-virus dan firewall. Desain Pelabuhan Singapura membagi pusat kendali menjadi beberapa bagian yang terletak di empat terminal utamanya. Bentuk jejaring ini ditujukan untuk meningkatkan efisiensi operasional melalui integrasi pengintaian di keempat terminal dan untuk memudahkan penerapan berbagai jenis teknologi yang diperlukan (Deb 2010, para. 18). Untuk memaksimalkan fungsi pengawasan dan pengintaian, MPA meningkatkan efektivitas kamera dan infrastruktur kabel optik dengan menggunakan teknologi terkini X-Net Nano encoder dan transmisi Ethernet sementara wilayah yang luas dan tersebar diawasi secara efektif dengan teknologi CCTV. Selain itu, sejak bulan Maret 2009, Angkatan Laut Singapura yang berpatroli di sekitar pelabuhan telah memasang teknologi LRAD atau Alat Akustik Jarak Jauh yang dapat mengarahkan suara dan sistem komunikasi kapal mulai dari jarak 300 hingga 1500 meter. Sistem ini dapat mempengaruhi perilaku kapal, menuntut kepatuhan kapal, dan mengidentfikasi niatan kapal. Selain itu, sejak bulan September 2009, Pelabuhan Singapura juga telah menerapkan teknologi scanning kontainer yang baru dengan menggunakan analisis spektral untuk memverifikasi isi kontainer yang dapat mendeteksi keberadaan bahan nuklir khusus (Deb 2010, para. 9).28 Selain langkah-langkah yang bersandar pada teknologi di atas, untuk mencegah serangan teroris lewat laut, sebuah divisi Kepolisian Singapura bernama Polisi Penjaga Pantai (PCG) berpatroli di perairan sekitar pelabuhan dengan menggunakan kapal patroli. Pada tahun 2009, dengan bantuan AS, PCG melengkapi kapal patroli dengan sistem pengintaian yang lebih canggih, radar, dan perlengkapan lainnya sehingga dapat mengidentifikasi dan melacak pergerakan perahu dan kapal (Deb 2010, para. 12). Langkah lain yang dijalankan pemerintah Singapura adalah mendirikan koalisi regional untuk melindungi Selat Malaka yang disebut sebagai „Mata di Angkasa‟ (Eyes-in-the-Sky) atau EiS. Yang tergabung dalam koalisi regional ini
28
Pelabuhan Singapura juga telah menerapkan teknologi-teknologi taktis berikut: ANMS, X-Ray, sistem deteksi logam, perlengkapan pelacakan kontainer, ShipLoc, AIS, SS-V, dan Contraffic.
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
61
adalah Angkatan Laut Singapura, Indonesia, dan Malaysia, bekerja sama dengan badan-badan keamanan di darat untuk mendengarkan transmisi dan segera melaporkan jika ada transmisi atau insiden yang mencurigakan (National Security Coordination Secretariat 2004, h. 23). Selain perbatasan darat, titik perbatasan lain yang memiliki nilai strategis dalam pencegahan terorisme adalah garis pantai. Singapura memiliki garis pantai sepanjang 193 km (Central Intelligence Agency Tanpa Tahun, h. 1). Untuk mencegah dan mengatasi serangan dari laut, kebijakan yang diambil pemerintah Singapura adalah meningkatkan kapabilitas Pasukan Polisi Penjaga Pantai (PCG) dan meningkatkan kekuatan perlengkapan Patroli Pantai. Pelatihan juga menjadi titik perhatian penting. Untuk ini, pemerintah Singapura mendirikan Pusat Pelatihan Taktis Terintegrasi pada tahun 2009.29 Dari uraian di atas, dapat dikatakan bahwa Singapura telah menjalankan semua langkah pengamanan maritim yang efektif dalam menangkal terorisme, termasuk koordinasi dari berbagai lembaga di berbagai tingkat, review langkahlangkah keamanan secara reguler, kerja sama regional, dan partisipasi aktif dalam berbagai forum internasional mengenai praktik-praktik terbaik dalam keamanan maritim (National Security Coordination Secretariat 2006, h.9). Kesemua langkah itu membuat Singapura dinilai sebagai negara yang paling pro-aktif dan paling siap secara teknologi untuk mengantisipasi serangan teroris dari laut (Teo, 2007 dalam Corsi 2008, h.12).30
2.3.1.3 Pengetatan Keamanan Transportasi Publik Darat Selain bandara dan pelabuhan, transportasi publik darat di Singapura adalah salah satu sasaran empuk serangan teroris karena banyaknya orang yang berkumpul di satu tempat dalam satu waktu (National Security Coordination 29
Baru-baru ini, pemerintah Singapura menambah sepuluh unit kendaraan Patroli Pantai dan melengkapinya dengan sistem pengintai, radar, dan perlengkapan lainnya untuk melacak pergerakan kendaraan 30 Meskipun demikian, menurut para ahli, masih ada celah keamanan. Sushant Deb (2010), ahli kontraterorisme dan keamanan penerbangan-maritim memprediksikan bahwa peluang serangan terorisme maritim di Singapura paling besar dilakukan melalui serangan bunuh diri kapal kecil atau kapal cepat untuk menghancurkan kapal yang lebih besar atau pembajakan kapal penumpang. Celah keamanan yang masih ada saat ini terletak pada kapal-kapal nelayan atau kapal-kapal kecil yang tidak diharuskan untuk melakukan pengecekan latar belakang pada kru mereka.
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
62
Secretariat 2007, h. 10). Di negara kecil seperti Singapura, serangan terhadap transportasi publik adalah cara yang sangat efektif untuk menimbulkan jumlah korban yang besar sekaligus menimbulkan guncangan ekonomi karena perannya yang vital dalam kehidupan masyarakat dan perekonomian sehari-hari. Secara umum, sistem transportasi publik utama di Singapura terdiri dari Mass Rapid Transit (MRT), Light Rapid Transit (LRT), serta bis umum31 dan taksi. Keseluruhan moda transportasi publik di atas mengangkut sekitar 5,1 juta penumpang setiap hari. Sistem transportasi publik di Singapura dibangun berdasarkan konsep saling keterhubungan sehingga fasilitas transportasi yang satu terintegrasi dengan fasilitas transportasi yang lain (National Security Coordination Secretariat 2007). Oleh karena itu, jika satu jaringan transportasi lumpuh, jaringan lain akan terganggu pula. Pendekatan yang diadopsi pemerintah Singapura untuk mengamankan sistem transportasi publik di darat mencakup pengerasan target-target potensial, melatih respons dan mitigasi jika terjadi serangan teroris, serta menyiapkan pemulihan dengan mempersiapkan dan melatih rencana gawat darurat (National Security Coordination Secretariat 2007).32 Pendekatan ini serupa dengan pendekatan keamanan di sektor penerbangan dan maritim sehingga dapat dikatakan bahwa Singapura memiliki strategi yang konsisten dalam hal pengerasan target di bidang transportasi. Dari sisi kelembagaan, pada bulan April 2004, pemerintah Singapura mendirikan Komite Keamanan Transportasi Publik atau PTSC. Komite ini bertugas untuk mengidentifikasi celah dan kelemahan dalam sistem keamanan transportasi publik Singapura dan menerapkan langkah-langkah keamanan untuk mengatasi hal tersebut.33 Selain itu, dari sisi legal, pemerintah Singapura juga 31
Sistem bis umum Singapura mengoperasikan 2.800 bis dan menjalankan 27.500 perjalanan mengangkut 2,1 juta penumpang setiap harinya. Total jarak yang ditempuh oleh keseluruhan bis tersebut mencapai 622.000 km per hari, sama dengan mengelilingi bumi sekitar 14 kali. 32 Selain itu, dilakukan pula langkah-langkah untuk meningkatkan kewaspadaan dan kesadaran keamanan di kalangan penumpang dan latihan-latihan keamanan untuk menguji respon antar-lembaga terhadap serangan serentak. 33 Komite ini beranggotakan personel dari Kementerian Transportasi, Otoritas Transportasi Darat, Kementerian Urusan Dalam Negeri, Departemen Keamanan Internal, Pasukan Kepolisian, Pasukan Pertahanan Sipil, Pusat Koordinasi Keamanan Nasional, Pusat Kontraterorisme Gabungan, dan Operator Transportasi Publik (Mass Rapid Transit, SBB Transit). Salah satu program dari Komite ini adalah meningkatkan kesadaran di kalangan para siswa, terutama siswa
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
63
mengamandemen beberapa undang-undang untuk memberi kewenangan lebih besar bagi para staf di lapangan untuk menegakkan keamanan, misalnya kewenangan untuk menangkap (National Security Coordination Secretariat 2007, h.5). Sebagaimana disebutkan di atas, untuk menggentarkan teroris dari menyerang sistem transportasi umum, langkah penangkalan taktis pertama adalah pengerasan target. Yang termasuk ke dalam langkah ini antara lain meningkatkan kekuatan pagar di sekitar jalur pejalan kaki dalam sistem MRT, penerjunan personel keamanan di stasiun-stasiun transit MRT dan bis (Transit Security Officers atau TSO), pengecekan tas penumpang, penerjunan unit-unit polisi MRT yang disebut sebagai PMU, dan pengawasan/pengintaian elektronik dengan memasang CCTV di sepanjang jaringan MRT. Pada bulan Maret 2004, setelah terjadi pengeboman kereta api di Madrid, Spanyol, pemerintah Singapura mengadakan tinjauan ulang akan keamanan transportasi darat di negara tersebut dan mengetatkan keamanan lebih jauh dengan mengerahkan pasukan keamanan di lokasi-lokasi kunci. Unit kepolisian yang mengawasi sistem transportasi, misalnya, ditingkatkan hingga mencakup 400 personel polisi untuk mengawasi sistem bis dan MRT (Yuit 2009, para. 22). Untuk sistem bis umum, dilakukan pemeriksaan reguler terhadap kendaraan dan fasilitas transit bis dan penyelenggaraan program peningkatan kesadaran keamanan untuk para staf34 dan penumpang, terutama untuk mendeteksi penumpang dan tas atau paket yang mencurigakan (Yuit 2009, para. 22). Selama ini, komunitas transportasi publik di Singapura saat ini telah menjalankan pendekatan komunikasi dan sensori yang terintegrasi dalam hal pengelolaan keamanan, yang mencakup kombinasi dari sistem pengintaian, pelacakan, dan kontrol lalu lintas untuk mendeteksi hal-hal yang tidak biasa untuk mencegah
insiden.
Menurut
Richard
Ng,
pendekatan
keamanan
yang
sekolah dasar dan menengah, mengenai keamanan transportasi darat, sehingga dapat menjadi “mata” dan “telinga” yang dapat membantu pihak berwenang mengungkap plot teroris, terutama JI, dan dapat mengatasi situasi gawat darurat seperti serangan teroris, dengan baik. 34 Seluruh „kapten bis‟ dilatih dalam protokol HOT, yakni prosedur operasional dan evaluasi ancaman di dalam bis. Kapten bis selalu menjalankan pemeriksaan bis di setiap akhir perjalanan. Peran kapten bis ini sangat besar karena bis di Singapura hanya dijalankan oleh satu orang (one man operation) sehingga tanggung jawab keamanan kapten bis sangat besar.
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
64
mengkombinasikan ketiga sistem ini telah meningkatkan keamanan secara efektif di berbagai titik pemeriksaan dengan membatasi dan mengawasi kendaraan di wilayah-wilayah sensitif (Public Transport Security Committee 2007, h. 15). Menurut Harrison, langkah kontraterorisme berlapis yang dijalankan oleh pemerintah Singapura membuat serangan teroris dalam skala masif sulit untuk dilakukan terhadap sistem transportasi darat (Public Transport Security Committee 2007, h. 6).
2.3.1.4 Pengerasan Target Infrastruktur dan Instalasi Kritis Sejak serangan 11 September, pemerintah Singapura telah meningkatkan keamanan infrastruktur kritis di negara tersebut, antara lain melalui pemasangan kamera-kamera pengintai di pembangkit-pembangkit listrik dan jaringan air. Untuk mengkaji kerentanan infrastruktur kritis Singapura, pemerintah mendirikan Komite Pemastian Keamanan Infrastruktur Kritis Nasional. Badan tersebut bertugas merekomendasikan langkah-langkah perlindungan yang harus diambil. Selain itu, keamanan di berbagai instalasi lokal dan asing seperti Kedutaan juga diperkuat. Instalasi kritis lainnya yang dijaga semakin ketat setelah 9/11 adalah instalasi petrokimia Singapura yang dijaga oleh Pasukan Bersenjata untuk meningkatkan perlindungan, bekerja sama dengan Pasukan Polisi Pantai dan pasukan keamanan privat yang menjaga akses laut dan darat menuju Pulau Jurong. Selain instalasi kritis, tempat-tempat publik seperti hotel dan tempattempat hiburan serta pertemuan-pertemuan internasional juga diperketat (National Security Coordination Secretariat 2004, h.47). Untuk
mengeraskan
target-target
lunak,
pemerintah
Singapura
mengeluarkan peraturan yang mengharuskan pemilik gedung mengambil langkahlangkah keamanan untuk menghindarkan serangan teroris. Selain itu, pada bulan November 2003, pemerintah Singapura meluncurkan Skema Kelompok Pemantauan Keamanan (SWG) sebagai platform jejaring kepolisian untuk berkolaborasi dengan sektor komersial dalam hal pengerasan target lunak. Dalam hal ini, bangunan-bangunan di sektor komersial tertentu dikelompokan menjadi berbagai cluster. Di setiap cluster, setiap bangunan harus menjalankan tiga tahapan proses, yaitu asesmen ancaman, audit sistem keamanan, dan
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
65
penggabungan sumber daya. Untuk meningkatkan efektivitas skema ini, Pasukan Pertahanan Sipil Singapura (SCDF) bergabung untuk bersama-sama mengelola skema tersebut dan pada tahun 2006 skema ini berkembang menjadi Skema Kelompok Pemantauan Keselamatan dan Keamanan (SSWG). Pada bulan Mei 2011, terdapat 132 cluster SSWG dengan 862 gedung sebagai anggotanya.
2.3.2
Pengurangan Insiden Terorisme melalui Penghilangan Kapabilitas untuk
Melangsungkan
Serangan
(Penangkalan
di
Tingkat
Operasional) Penggentaran melalui penangkalan di tingkat operasional pada dasarnya adalah langkah-langkah keamanan untuk mencegah individu atau organisasi teroris dari mendapatkan sumber daya atau kapabilitas yang mereka butuhkan untuk melangsungkan serangan. Bagian tentang penangkalan operasional ini mencakup langkah-langkah pemerintah Singapura untuk melakukan hal tersebut, yaitu dengan mengontrol dan mengelola perbatasan (termasuk kontrol dokumen dan imigrasi), pergerakan senjata dan bahan peledak, pendanaan yang dapat digunakan untuk membiayai kegiatan terorisme, dan sumber daya internet yang dapat mendukung perencanaan dan pelangsungan serangan teroris.
2.3.2.1 Pengetatan Kontrol dan Pengelolaan Perbatasan Tidak diragukan lagi bahwa kontrol perbatasan memainkan peran penting dalam mencegah terjadinya serangan teroris. Menurut Tan dan Ramakrishna (2004), salah satu kelemahan struktural negara-negara di Asia Tenggara adalah perbatasannya yang longgar. Pemerintah Singapura merespon serangan 9/11 dengan mengkaji sistem keamanannya secara menyeluruh, termasuk dalam hal kontrol dan pengelolaan perbatasan. Untuk meningkatkan kontrol atas imigrasi, pada bulan April 2003, pemerintah Singapura mendirikan Otoritas Titik Pemeriksaan dan Imigrasi atau ICA,35 sebuah lembaga terintegrasi yang bertanggung jawab atas kontrol dan keamanan perbatasan Singapura. Lembaga ini bertanggung jawab untuk memastikan bahwa semua orang dan barang yang memasuki dan keluar dari perbatasan Singapura tidak melanggar hukum. ICA 35
Lembaga ini menyatukan fungsi kontrol perbatasan Customs and Excise Department dan Singapore Immigration and Registration.
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
66
juga menangani administrasi dan menjalankan hukum imigrasi, kependudukan, dan registrasi nasional. Lembaga ini menggenggam mandat yang besar karena Singapura adalah negara transit yang sibuk (Chua 2007, h. 13).36 Untuk memastikan Singapura tetap menjadi tujuan pariwisata dan transit tanpa mengkompromikan keamanan, ICA mengadopsi strategi dua sisi. Di satu sisi,
strategi
tersebut
berupaya
mengurangi
resiko
keamanan
dengan
memfokuskan perhatian pada „kelompok beresiko tinggi‟ dan mendayagunakan teknologi untuk mempermudah izin bagi kelompok „beresiko rendah‟ yang sudah pernah diidentifikasi sebelumnya. Elemen kedua dari strategi ini adalah meminimalkan dan memitigasi resiko keamanan dengan menerapkan proses clearance berlapis, yang terdiri dari pre-clearance, primary clearance, dan secondary clearance (Chua: 2006, h. 13).
a. Pemeriksaan Orang Proses pemeriksaan orang adalah elemen yang sangat penting dalam kontrol perbatasan. Proses ini terdiri dari tiga tahap, yaitu mengidentifikasi identitas pengunjung, mengidentifikasi tujuan perjalanan, dan memastikan keaslian dokumen perjalanan. Dalam proses pre-clearance yang disebutkan di atas, yang menjadi instrumen utama pemeriksaan adalah visa. ICA mengadopsi „pendekatan terkalibrasi‟ dan terus-menerus memperbaiki persyaratan visa untuk memastikan bahwa pengunjung yang melewati perbatasan Singapura memenuhi kriteria bona fide. Untuk memeriksa keaslian visa, ICA mengimplementasikan Sistem Transmisi Elektronik Visa atau VETS (National Security Coordination Secretariat 2007, h. 13). Sementara itu, dalam proses primary clearance, seluruh pengunjung harus melewati pemeriksaan tatap muka di titik pemeriksaan. Para petugas ICA dilatih untuk melakukan profiling dengan menanyai dan mengamati para pengunjung di samping memeriksa dokumen perjalanan mereka. Sementara itu, Sistem Kontrol Keluar Masuk (EECUS) dipasang di konter primary clearance untuk melakukan screening keamanan kepada para pengunjung dan menjaring informasi mengenai alasan masuk atau keluar dari Singapura. Selain itu, untuk mendeteksi pemalsuan paspor, dipasang pula scanner Matrix/Sentinal untuk 36
Sebagai ilustrasi, pada tahun 2006 saja, ICA mengatur keluar masuk lebih dari 135 juta orang, 1,5 juta kargo dalam kontainer, dan lebih dari 5 juta kargo biasa.
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
67
memeriksa halaman biodata pemegang paspor. Untuk mencegah masuknya pergerakan orang-orang yang tidak diinginkan dan memperketat kontrol perbatasan, ICA menerapkan teknologi biometrik (Corsi 2008, h. 9).37 Pengenalan paspor biometrik (BioPass) ditujukan untuk menghambat mobilitas teroris dan meningkatkan peluang untuk mendeteksi tersangka teroris setelah terjadi serangan (Ho 2006, para. 9). Selain itu, sejak tahun 1997, otoritas imigrasi menerapkan Sistem Clearance Imigrasi Otomatis (IACS). Sistem ini dapat memeriksa data biometrik pengunjung dalam waktu kurang dari 12 detik (Ho 2006, para. 9). Lebih jauh lagi, untuk mencegah peredaran dan pemalsuan paspor yang hilang atau dicuri, pemerintah Singapura tengah mengembangkan upaya untuk melacak paspor hilang/dicuri dan sistem untuk membagi informasi tersebust dengan berbagai badan keamanan di kawasan (Ho 2006, para. 9). Dalam proses secondary clearance, teknologi biometrik digunakan untuk menjaring orang-orang yang dicurigai atau yang pernah melakukan pelanggaran imigrasi serta orang-orang yang dicari oleh pihak keamanan. Pada bulan Juni 2005, pihak otoritas imigrasi mengembangkan Database Biometrik untuk Clearance Imigrasi (BDIC) untuk memeriksa informasi biometrik pengunjung dengan menggunakan teknologi pencocokan sidik jari. Perlengkapan scanning standar yang dipasang antara lain mesin x-ray untuk memeriksa bagasi, Detektor Logam Walkthrough (WTMD), dan detektor genggam lainnya untuk memastikan tidak ada penyelundupan barang-barang yang berbahaya (National Security Coordination Secretariat 2007, h. 13).
b. Pemeriksaan Barang Para pedagang diwajibkan untuk mendeklarasikan barang dagangannya dan harus mendapatkan izin sebelum barang-barangnya memasuki Singapura melalui sistem yang dikenal sebagai TradeNet. ICA menggunakan informasi di TradeNet untuk melakukan profiling dan menjalankan pre-clearance berdasarkan aturan dan kriteria tertentu. Selain itu, petugas ICA juga melakukan analisis
37
Pada tahun 2005, ICA memperkenalkan paspor biometrik yang mengandung chip untuk mengidentifikasi wajah dan sidik jari. Langkah pengamanan ini lebih ketat dibandingkan AS yang baru memperkenalkan paspor biometrik pada tahun 2007, yang hanya dapat mengenali wajah dan tidak sidik jari.
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
68
daring terhadap seluruh barang impor (National Security Coordination Secretariat 2007, h. 14). Di tahap primary clearance, ICA menerapkan teknologi radiografis yang non-intrusif untuk meningkatkan kemampuan mendeteksi barang-barang yang „tidak diinginkan.‟ Sebagai contoh, Sistem Inspeksi Kendaraan dan Kargo (VACIS) dan Sistem Inspeksi Kargo Terintegrasi (ICIS) menerapkan teknologi scanning tercanggih untuk “melihat” isi kontainer atau wadah kargo tanpa harus memeriksanya secara fisik. Kontainer atau wadah yang dianggap mencurigakan oleh petugas ICA akan menjalani pemeriksaan sekunder dengan menggunakan detektor bahan peledak, radiasi, dan kimia. ICA juga bekerja sama erat dengan pihak imigrasi luar negeri, Tim Dalam Negeri (Home Team), Homefront (HF), dan mitra-mitra strategis lainnya (National Security Coordination Secretariat 2007, h. 14). Di tingkat internasional, ICA bekerja sama dengan Badan Perlindungan Perbatasan dan Imigrasi AS (CBP) dalam menjalankan Program Inisiatif Keamanan Kontainer sejak Maret 2003. Dalam program ini, kontainer-kontainer beresiko tinggi yang mengarah ke AS diwajibkan menjalani inspeksi dan deteksi radiografis. ICA juga berpartisipasi dalam Inisiatif Deteksi Radiasi yang diluncurkan oleh Departemen Energi AS. Dalam Inisiatif ini, perlengkapan deteksi radiasi dipasang di pelabuhan-pelabuhan besar dunia untuk mencegah, mendeteksi, dan menginterdiksi senjata nuklir dan bahan-bahan radioaktif (National Security Coordination Secretariat 2007, h. 14). Di dalam negeri, ICA dan Pasukan Pertahanan Sipil Singapura (SCDF) bersama-sama menerapkan Sistem Verifikasi Identitas Pengendara (DIVS) pada bulan April 2003 di Titik Pemeriksaan Tuas untuk memeriksa bahan-bahan berbahaya atau yang disebut sebagai HAZMAT (National Security Coordination Secretariat 2007, h. 14). Sistem ini juga menggunakan teknologi biometrik untuk mengecek dan memverifikasi identitas pengendara dan untuk memverifikasi bahwa ia memiliki Surat Izin Pengendara Transportasi Bahan-Bahan Berbahaya (HDTP). ICA juga menjalankan operasi reguler dengan badan-badan keamanan dalam negeri lainnya seperti Kepolisian Singapura dan Biro Narkotika Pusat untuk menghentikan aktivitas penyelundupan (National Security Coordination Secretariat 2007, h. 14).
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
69
Sebagaimana di sektor-sektor keamanan lainnya, di sektor kontrol perbatasan pun pihak berwenang Singapura selalu menjalankan latihan dan uji coba respon di saat kritis. Latihan Hydra dan Carina, misalnya, diselenggarakan untuk menguji dan mengevaluasi respon terhadap simulasi ledakan bom dan kebocoran bahan kimia di titik-titik pemeriksaan darat. Contoh latihan lain adalah Sparrowhawk II, latihan respon terhadap pandemik flu yang melibatkan langkahlangkah kontrol perbatasan (National Security Coordination Secretariat 2007, h. 14).38
c. Deteksi CBRN Salah satu kekhawatiran besar mengenai kapabilitas teroris di era kontemporer adalah kemampuan untuk menggunakan senjata pemusnah massal, termasuk senjata kimia, biologis, radiologis, dan nuklir. Pemerintah Singapura saat ini telah memiliki Fasilitas Analitik dan Perlindungan (PAF) untuk melakukan pengecekan dan screening pada kendaraan yang melalui lintasan darat melalui Titik Pemeriksaan Tuas untuk mendeteksi bahan-bahan yang mengandung bahan kimiawi, biologis, radiologis, dan nuklir (CBRN). Selain mengecek barang dan kendaraan, pemerintah Singapura juga tengah mengembangkan sistem deteksi manusia yang lebih menyeluruh, yang mencakup pemeriksaan biometrks (sidik jari, wajah, telapak tangan, retina, iris, pola suara, tanda tangan, telinga, posisi tubuh, tekstur kulit, dan vena jari) untuk memverifikasi identitas orang-orang yang melintasi perbatasan Singapura (Wong Kan Seng 2009, para. 6).
2.3.2.2 Kontrol Senjata dan Bahan Peledak Selain perbatasan, faktor lain yang memainkan peran vital dalam memampukan teroris untuk melangsungkan serangan adalah ketersediaan senjata dan bahan peledak. Dengan demikian, kontrol mengenai hal ini adalah langkah
38
Keseluruhan langkah di atas berhasil mengungkap berbagai dokumen perjalanan palsu secara efektif. Sebagai contoh, pada tahun 2006, sekitar 1.107 dokumen palsu dan 20.630 kasus penyelundupan terdeteksi di berbagai titik pemeriksaan dengan total 5.248 orang yang melewati masa tinggalnya dan 3.760 orang imigran ilegal.
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
70
penting dalam menangkal kapabilitas teroris untuk melangsungkan serangan. Dalam hal ini, Singapura memiliki hukum pengawasan senjata yang sangat ketat untuk mencegah kelompok teroris mendapatkan senjata. Secara umum, hukum yang mengatur kontrol senjata dan peledak di Singapura adalah UU Senjata dan Bahan Peledak (bagian 4), UU Pelanggaran Hukum Bersenjata (Bagian 2 dan 6), dan Peraturan Anti-Terorisme PBB No 7A, 7B, dan 7C yang telah menjadi hukum nasional (Interpol Tanpa Tahun, h. 162). Dengan menggunakan UU Senjata dan Bahan Peledak, Kementerian Urusan Dalam Negeri dapat melarang impor senjata api, pistol, senapan tangan, bahan peledak, dan bahan-bahan militer lainnya. Orang yang melakukan penyelundupan senjata dapat dihukum seumur hidup atau dijatuhi hukuman mati dengan minimal hukuman cambuk enam kali. Hukuman ini juga berlaku bagi pihak-pihak yang mengimpor, memproduksi, dan mendistribusikan senjata tanpa izin. Untuk mencegah penyebaran senjata pemusnah massal, Singapura menjadi pelabuhan percontohan di bawah inisiatif CSI yang telah dibahas sebelumnya (Interpol Tanpa Tahun, h. 162). Dari uraian singkat di atas, terlihat bahwa kekuatan regulasi kontrol senjata di Singapura adalah hukum yang berlapis, di mana hukum yang berasal dari dalam negeri diperkuat dengan regulasi internasional yang diadopsi menjadi hukum nasional. Hal ini dapat mempersulit teroris untuk mendapatkan senjata di Singapura untuk melangsungkan serangan. Digabungkan dengan kontrol perbatasan yang ketat, hal ini cukup untuk menggentarkan teroris dari melangsungkan serangan di wilayah Singapura karena terlalu sulit dan beresiko untuk dilakukan, terlebih karena ancaman hukuman maksimalnya adalah hukuman mati.
2.3.2.3 Kontrol Pendanaan Faktor lain yang sangat penting dalam memfasilitasi terjadinya serangan teroris adalah pendanaan. Tanpa adanya dana, kelompok teroris tidak akan mampu mendapatkan dukungan logistik yang memadai untuk melangsungkan serangan atau serangan dengan skala besar. Singapura adalah salah satu negara
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
71
yang dinilai sangat agresif dalam menekan pendanaan terhadap terorisme (Corsi: 2008, h. 7; Interpol Tanpa Tahun, h. 162).39 Pada bulan Desember 2001, Singapura menandatangani Konvensi PBB untuk Menekan Pendanaan Terorisme dan meratifikasinya pada tahun 2002. Dengan meratifikasi Konvensi tersebut, Singapura dapat menyita dan membekukan aset teroris bahkan tanpa ada dakwaan kriminal (National Security Coordination Secretariat 2006, h. 69). Berdasarkan studi mendalam mengenai upaya menekan pendanaan terorisme di sepuluh negara Asia Tenggara oleh Aurel Croissant dan Daniel Barlow (2007, h. 134), Singapura dan Thailand adalah negara dengan peringkat tertinggi di Asia Tenggara dalam hal memerangi pendanaan teroris. Menurut studi ini, Singapura adalah 1) salah satu negara dengan kerangka hukum yang paling komprehensif, 2) memiliki nilai tinggi dalam hal kerangka administratif (Unit Intelijen Keuangan), 3) merupakan salah satu dari 4 negara Asia Tenggara yang memiliki pendekatan komprehensif untuk menekan pendanaan terorisme dengan memastikan kepatuhan perbankan dalam hal sistem transfer nilai informal (IVTS), penukaran uang, kasino, dan badan amal.
Menurut Croissant dan Barlow, dalam hal penegakan hukum,
Singapura adalah satu dari empat negara Asia Tenggara yang telah menjalankan “upaya yang kredibel” untuk menegakkan aturan anti-pencucian uang dan pendanaan teroris (Corsi 2008, h.7). Selain melakukan berbagai upaya domestik, Singapura pun bekerja sama dengan AS untuk mengidentifikasi dan membekukan aset teroris. Salah satu celah pendanaan terorisme di Singapura adalah pembukaan dua kasino di Singapura pada tahun 2010. Untuk itu, Singapura telah melakukan amandemen hukum dan peraturan yang melibatkan transaksi uang tunai di kasino-kasino untuk memenuhi standar internasional anti-pencucian uang dan rezim kontraterorisme dalam bidang finansial (Interpol Tanpa Tahun, h. 162). Saat ini, Singapura telah 39
Singapura memiliki setidaknya 9 UU yang berbeda untuk menekan pendanan terorisme, yaitu UU Otoritas Moneter Singapura (MAS) Bagian 27 A, Peraturan MAS FSG 5/2001, 6/2001, 47/2001, 48/2001, Peraturan Anti-Terorisme PBB No. 4, 6, 7, UU PBB, UU Penukaran dan Pengiriman Uang, Bab 187, Bagian 6, UU Penekanan Pendanaan Terorisme, 23 Mei 2002, Klausul 32, UU Organisasi Kemasyarakatan, UU Badan Amal dan Peraturan Badan Amal dan Penggalangan Dana Asing.
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
72
menerapkan Rekomendasi Khusus FATF untuk memerangi terorisme dan telah mengajukan permohonan untuk menjadi anggota Egmont Group of Financial Intelligence Units untuk meningkatkan akses berbagi informasi dengan negaranegara lain (Interpol Tanpa Tahun, h. 162). Selain hukum yang berasal dari Konvensi PBB di atas, berlaku pula peraturan-peraturan Otoritas Moneter Singapura (MAS) untuk lembaga-lembaga keuangan. Selain itu, Singapura juga mewajibkan kelompok penggalangan dana untuk
mendaftarkan
transaksi
dan
perolehan
dana
mereka
serta
mendeklarasikannya setiap tahun. Selain itu, Societies Act juga memberi kewenangan pada pemerintah untuk meminta dan mendapatkan informasi kapanpun. Salah satu kegiatan yang seringkali menjadi celah pendanaan teroris, badan amal, juga harus mendaftarkan diri di Komisioner Badan Amal yang dapat melakukan pemeriksaan menyeluruh. Seluruh organisasi lain yang ingin menggalang dana harus mendapat izin kegiatan amal dan melakukan pelaporan serta memenuhi persyaratan akunting dan audit (Interpol Tanpa Tahun, h. 162). Berdasarkan
UU
Otoritas
Moneter
Singapura,
pemerintah
dapat
memerintahkan lembaga keuangan untuk membekukan dana kelompok-kelompok yang dikategorikan oleh Dewan Keamanan PBB sebagai kelompok teroris tanpa memandang lokasi mereka. Otoritas Moneter Singapura juga berwenang memeriksa dan membuat keputusan mengenai transaksi yang mencurigakan. Selain itu, badan ini juga mengatur perbankan dan lembaga-lembaga keuangan sementara Departemen Urusan Komersial di Kepolisian menjadi badan penegak hukum di sektor finansial. Untuk kepentingan penegakan hukum, dibentuk sebuah Kantor Pelaporan Transaksi yang Mencurigakan yang diteruskan ke Kepolisian. Untuk menangani transfer dan pengiriman uang dari luar negeri (remittance), Singapura juga memiliki dan menerapkan UU Penukaran dan Pengiriman Uang (Interpol Tanpa Tahun, h. 163).
2.3.2.4 Kontrol Dunia Maya Untuk mengantisipasi fenomena spionase dan terorisme dunia maya, pemerintah Singapura mendirikan Otoritas Keamanan Teknologi Infokom Singapura untuk melindungi infrastruktur IT yang kritis (Yuit 2009, para. 21).
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
73
Sejak tahun 1995, kebijakan dan regulasi atas konten internet menjadi wewenang Otoritas Penyiaran Singapura (SBA) dan pada tahun 2003 diserahkan ke Otoritas Pengembangan Media Singapura (MDA). Berdasarkan studi Gomez (2002) yang dikutip oleh Lee (2005), pemerintah Singapura memiliki kemampuan untuk mengontrol politik melalui internet karena mampu menghadang pesan elektronik pada saat akan dikirim dan diterima. Pengintaian elektronik ini menjadi lebih mudah bagi pemerintah Singapura karena ketiga Penyedia Layanan Internet (ISP) utama di Singapura dimiliki oleh pemerintah atau secara langsung terkait dengan pemerintah (Lee 2005, hh. 84-85). Dengan demikian, pemerintah Singapura dapat dengan memudah mengontrol dan melarang konten situs-situs yang dianggap mengancam keamanan nasional.
2.3.2.5 Pengintaian Elektronik Singapura terkenal akan metode pengintaian elektroniknya yang sangat pervasif, bahkan dalam kehidupan pribadi warga negaranya. Dalam laporan HAM AS tahun 2007, disebutkan bahwa Singapura memiliki “jaringan yang ekstensif” dan kapabilitas “yang sangat canggih” untuk memonitor percakapan telepon dan percakapan pribadi lainnya. Untuk melakukan hal ini, pemerintah Singapura tidak memerlukan izin pengadilan. Hukum Singapura juga memungkinkan pemerintah untuk mengawasi seluruh penggunaan internet. Menurut Lee, pemerintah Singapura mengawasi aktivitas internet dengan sangat ketat (Lee 2005, h. 85). Dari uraian di atas, terlihat beberapa pola sebagai berikut yang berkontribusi pada kuatnya penggentaran teroris di tingkat operasional di Singapura: (1) pemerintah Singapura memiliki orientasi kebijakan keamanan yang jelas dan konsisten di masing-masing sektor, (2) adanya otoritas yang memiliki wewenang yang besar dan fungsi yang terintegrasi dan adanya penekanan pada koordinasi antar-lembaga di masing-masing sektor yang diketatkan keamanannya, (3) adanya lembaga yang melakukan kajian menyeluruh mengenai resiko dan kelemahan keamanan, memberikan rekomendasi, dan memastikan adanya perbaikan, (4) adanya hukum dan peraturan berlapis di setiap sektor, termasuk dukungan kuat dari hukum internasional, (5) tersedianya sistem teknologi yang canggih, dan (6) adanya kultur pengintaian (surveillance) yang kuat di masyarakat
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
74
Singapura, yang memungkinkan pemerintah Singapura melakukan pengawasan yang ketat atas kehidupan warga negaranya.
2.3.3 Pengurangan Insiden Terorisme melalui Penghilangan Motivasi untuk Melangsungkan Serangan (Penangkalan di Tingkat Strategis) Setelah penangkalan di tingkat yang paling segera, yakni di tingkat taktis dan di tingkat operasional, elemen terakhir dari penggentaran melalui penangkalan menurut Smith dan Talbot (2008) adalah penangkalan di tingkat strategis, yang dikatakan paling sulit untuk dilakukan. Penggentaran melalui penangkalan di tingkat strategis pada dasarnya adalah upaya memberi sinyal kepada teroris bahwa penggunaan metode teror tidak akan berhasil mewujudkan tujuan mereka, yaitu mengguncangkan masyarakat untuk mendapatkan konsesikonsesi politik. Penangkalan di tingkatan ini adalah yang paling sulit dan menantang untuk dilakukan karena faktor ideologi seringkali lebih dominan dibandingkan faktor pilihan rasional di dalam kelompok atau organisasi teror kontemporer. Sebagaimana telah diuraikan dalam tinjauan pustaka, penangkalan di tingkat strategis memiliki beberapa spektrum, mulai dari upaya mengelola dan meringankan dampak serangan teroris, mempercepat pemulihan pasca-serangan, menghindarkan reaksi yang berlebihan (misalnya kepanikan yang meluas), meningkatkan ketahanan masyarakat dari serangan teroris (community resilience), hingga menangkal narasi dan wacana yang mendukung terorisme. Spektrum penangkalan strategis ini sangat luas sehingga beberapa elemen hanya dapat dipaparkan secara singkat, survey-like, untuk mengetahui keberadaan langkahlangkah khusus yang dijalankan untuk tujuan ini. Bagian ini difokuskan pada dua elemen yang dilakukan pemerintah Singapura, yaitu respons dan mitigasi serangan serta upaya mewujudkan pertahanan sosial melalui penangkalan wacana yang mengarah pada terorisme.
2.3.3.1 Respons dan Mitigasi Serangan Respons dan mitigasi serangan adalah bagian integral dari strategi keamanan nasional Singapura untuk menghadapi terorisme ketika pertahanan
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
75
lapis pertama_pencegahan_gagal. Tujuan dari respon terhadap serangan teroris adalah mengembalikan keadaan negara ke kondisi normal secepat mungkin sehingga tujuan strategis teroris, yaitu mengguncangkan masyarakat, tidak tercapai. Upaya-upaya yang dilakukan berkaitan dengan hal ini mencakup menyelamatkan jiwa, meringankan dampak serangan, hingga mengembalikan aktivitas ekonomi ke kondisi normal. Untuk tujuan ini, Badan-badan Pasukan Pertahanan Sipil Singapura (SCDF)40 dan rumah-rumah sakit mengadakan latihan bersama secara berkala untuk menguji proses dan prosedur menangani bencana, termasuk serangan terorisme (Singapore Civil Defense Force General 2012, para. 1). Untuk mempersiapkan masyarakat umum dan sektor bisnis dalam menghadapi serangan teroris, Tim Dalam Negeri Singapura, termasuk Polisi dan Pasukan Pertahanan Sipil Singapura, menyelenggarakan simulasi nasional berskala besar secara rutin dengan tema-tema tertentu. Latihan ini juga ditujukan agar
kewaspadaan
warga
tidak
turun.
Pada
tahun
2006,
pemerintah
menyelenggarakan Latihan Northstar V yang mensimulasikan serangan teroris terhadap sistem transportasi darat Singapura berdasarkan skenario pengeboman Madrid pada bulan Maret 2003 dan pengeboman London pada tahun 2005. Pada tahun 2009, Latihan Northstar VII didasarkan pada skenario serangan Mumbai yang difokuskan pada target-target lunak seperti hotel, restoran, dan jaringan transportasi (Yuit 2009, para. 21). Selain memiliki efek penyiapan publik, latihan ini juga dapat menimbulkan efek penggentaran dengan mendemonstrasikan kapabilitas pemerintah Singapura dalam merespon serangan dan memulihkan keadaan, yang mengirimkan sinyal bahwa penggunaan metode teror tidak akan dapat mengguncang masyarakat Singapura secara serius. Dalam kerangka kebijakan keamanan nasional yang lebih besar, upaya mempersiapkan masyarakat ketika terjadi serangan teroris dimasukkan ke dalam kategori pilar pertahanan psikologis (bagian dari pendekatan „pendekatan total‟)
40
Pasukan Pertahanan Sipil Singapura adalah organisasi yang bertugas menangani peristiwa-peristiwa bencana yang mengancam nyawa, termasuk menangani kebakaran, mengadakan penyelamatan darurat, menyediakan layanan ambulans, dan meringankan dampak insiden secara umum.
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
76
yang ditujukan untuk mempersiapkan mental warga Singapura agar warga Singapura tetap tenang dan rasional (Corsi 2008, h. 1). Untuk menyiapkan mental dan fisik masyarakat umum dalam menghadapi serangan teroris, pemerintah Singapura bahkan telah menetapkan Hari Kesiapan Gawat Darurat atau Emergency Preparedness Day (EP). EP ditujukan untuk menyiapkan masyarakat untuk menghadapi ancaman-ancaman non-konvensional seperti serangan bom dan senjata kimia melalui demonstrasi langsung dan validasi instalasi kesiapan gawat darurat. Pemerintah Singapura juga memiliki kebijakan melibatkan sektor swasta, khususnya industri perhotelan, institusi finansial, dan industri kimia, untuk menyiapkan diri menghadapi situasi krisis dengan berpartisipasi dalam latihan kesiapan gawat darurat dan dengan menjalankan langkah-langkah pengerasan target secara mandiri (Theo Chee Hean 2002, h. 1).
2.3.3.2 Pertahanan Sosial dan Kontra-Radikalisasi Selain berbagai pertahanan fisik di atas, sebagai bagian dari „pendekatan total‟-nya, pemerintah Singapura juga menempatkan pertahanan sosial sebagai sesuatu yang sangat penting. Dalam konteks terorisme, pertahanan sosial ditujukan untuk mencegah adanya interpretasi ajaran agama yang ekstrim dan bibit-bibit intoleransi di Singapura (Nasional Security Coordination Center 2004, h. 65). Pada tahun 2002, setelah serangan 9/11, pemerintah Singapura mendirikan Lingkar Kepercayaan Antar-Ras (IRCCs) untuk mempromosikan multirasialisme dan harmoni di antara berbagai ras dan komunitas yang berbeda. Salah satu tujuannya adalah menghilangkan “rasa takut yang tidak rasional” di antara berbagai komunitas yang memiliki agama dan ras yang berbeda. Hingga saat ini, IRCC telah didirikan di 84 konstituensi di Singapura (Nasional Security Coordination Center 2004, h. 66). Pemerintah Singapura secara resmi mengkhawatirkan adanya hubungan di antara terorisme dan peningkatan religiusitas (Lee, 2001).41 Oleh karena itu, salah satu penekanan pemerintah Singapura untuk menjaga harmoni sosial dan agama 41
Lee Kuan Yew, Perdana Menteri Singapura dari tahun 1959 hingga 1990, menyatakan bahwa semakin ketatnya cara berperilaku warga muslim Singapura (misalnya dalam hal pemilihan makanan, cara berpakaian, dan cara bergaul) menimbulkan kekhawatiran dan bahkan memfasilitasi rekrutmen warga muslim Singapura untuk bergabung dengan kelompok-kelompok teror yang memiliki kaitan dengan Al-Qaeda.
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
77
adalah mencoba merangkul komunitas-komunitas muslim untuk memastikan bahwa mereka tidak menyimpan dendam atas penangkapan banyak warga muslim dengan menggunakan ISA. Salah satu lembaga yang digunakan pemerintah Singapura dalam menjalankan strategi ini adalah MUIS, Dewan Keagamaan Islam Singapura. Salah satu inisiatif pemerintah Singapura yang melibatkan komunitas muslim adalah Grup Rehabilitasi Keagamaan (RRG) yang mencoba „mengobati‟ ideologi teroris (Feisal Tanpa Tahun dalam Corsi 2008, h. 16). RRG terdiri dari sekitar 30 guru agama Islam yang mencoba melakukan deradikalisasi (Hussain 2008 dalam Corsi 2008, h. 19). Meskipun demikian, menurut Bruce Hoffman, program RRG Singapura lebih berguna untuk mendapatkan pemahaman tentang mindset
teroris
dan
memformulakan
argumen
kontra-ideologis
mereka
dibandingkan menderadikalisasi anggota JI atau Al-Qaeda (Hoffman, 2005). Penelitian ini tidak mendapatkan data yang cukup untuk dapat menentukan apakah langkah-langkah yang telah diuraikan di atas memiliki efek penggentaran kepada teroris transnasional karena sifatnya yang sangat tidak langsung. Meskipun demikian, berbagai langkah di atas memiliki fungsi yang sangat vital dalam dirinya sendiri yang berkontribusi pada keamanann nasional dengan cara meminimalkan guncangan di tingkat masyarakat akibat serangan teroris dan meredam dampak strategisnya, yaitu disharmoni di antara pemeluk agama dan ras yang berbeda yang merupakan ancaman nasional dalam dirinya sendiri.
2.4
Pengurangan Insiden Terorisme melalui Hukuman (Penggentaran melalui Hukuman) Penggentaran melalui hukuman adalah upaya mencegah kelompok atau
individu teror dari melaksanakan serangan dengan memberi sinyal bahwa tindakan tersebut akan menimbulkan kerusakan yang lebih besar pada diri atau kepentingan mereka dibandingkan dengan keuntungan yang mereka dapatkan. Berdasarkan literatur mengenai penggentaran dalam konteks terorisme, beberapa langkah yang tercakup ke dalam kategori ini adalah penegakan hukum dan langkah-langkah yang lebih keras, baik legal maupun ilegal, misalnya pembunuhan bersasaran (targeted killing) dan retaliasi masif terhadap pihak-pihak
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
78
yang terkait dengan pelaku serangan (keluarga atau komunitas). Bagian di bawah ini akan membahas ketiga langkah tersebut.
2.4.1
Penegakan Hukum terhadap Tindak Terorisme UU Pidana Singapura (Penal Code) tidak mengandung bagian tersendiri
untuk menghukum tindak terorisme. Meskipun demikian, UU tersebut mengkriminalkan aksi-aksi yang dapat dimasukkan ke dalam rangkaian proses perencanaan, persiapan, dan pelaksanaan terorisme, misalnya pembunuhan, tindakan
yang
mengakibatkan
luka-luka,
pembajakan,
dan
penculikan.
Pembunuhan dan penculikan dapat dihukum dengan hukuman mati sementara tindak pelanggaran serius lainnya diancam dengan hukuman cambuk (Interpol Tanpa Tahun, h. 161). Selain UU Pidana, Singapura seringkali menggunakan Internal Security Act (ISA) untuk mencegah dan menanggulangi terorisme (Internal Security Act, 1960).42 UU ini memberi kekuatan yang sangat besar kepada pihak keamanan untuk menangkap dan menahan seseorang yang dicurigai terlibat dalam tindak terorisme. Sebagai contoh, ISA memungkinkan pihak keamanan untuk menahan seseorang selama 30 hari untuk melindungi sumber-sumber intelijen (Interpol Tanpa Tahun, h. 161). Selain itu, ISA juga memberikan wewenang bagi Kementerian Urusan Dalam Negeri, dengan persetujuan Presiden, untuk memerintahkan penahanan tanpa pengadilan jika seorang individu telah ditetapkan sebagai ancaman keamanan nasional (Internal Security Act 1985, Bab II). Singapura adalah negara pertama di Asia Tenggara yang berhasil mengungkap keberadaan jejaring JI di negaranya (Corsi 2008, h. 1) dan ISA memainkan peran besar dalam hal ini serta penghancuran jejaring JI di Singapura setelahnya. Sejak akhir tahun 80-an, sebagian besar individu yang ditahan dengan menggunakan ISA adalah anggota atau simpatisan JI yang tengah merencanakan
42
ISA diberlakukan pada bulan September 1963 di Singapura ketika Singapura masih menjadi bagian dari Malaysia dan direvisi pada tahun 1985. Secara umum, ISA bertujuan untuk menjaga keamanan internal Singapura dan mencakup penahanan pencegahan (preventive detention), pencegahan subversi, dan penanggulangan kekerasan yang terorganisasi di wilayahwilayah Singapura.
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
79
serangan teror (Tsen-Ta Lee 2012, para. 25). Pada bulan Desember 2001, Departemen Keamanan Internal Singapura (ISD) membongkar jejaring JI beserta rencana mereka untuk menyerang berbagai kepentingan Barat di Singapura. Penangkapan para anggota JI sel Singapura ini mengawali penggrebekan dan penangkapan sel-sel JI lain di kawasan Asia Tenggara (Australian Department of Foreign Affairs and Trade 2004, h. 56 dalam Corsi 2008, h. 4). Pada bulan Desember 2001, ISD menangkap 13 anggota JI yang tengah merencanakan serangkaian pengeboman di Singapura (Singapore Ministry of Home Affairs 2003, h. 11-13 dalam Corsi 2008, h. 4). Pada bulan Agustus 2002, ISD menangkap 19 anggota JI (Singapore Ministry of Home Affairs 2003, h. 11-13 dalam Corsi 2008, h. 1). Pada bulan Januari dan September tahun 2002, 31 orang ditangkap dan ditahan dalam dua operasi penggrebekan. Dalam periode bulan Oktober hingga Desember tahun yang sama, 7 orang lagi ditangkap dan ditahan (Yuit 2009, para. 5). Sementara itu, pada bulan Januari 2004, pemerintah Singapura mengeluarkan perintah penahanan terhadap 12 orang yang dicurigai sebagai anggota, simpatisan, atau pendukung JI dengan menggunakan ISA. Dalam periode ini, badan-badan keamanan Singapura berhasil menggagalkan plot serangan bunuh diri teroris yang hendak menabrakan pesawat ke bandara Changi (Corsi 2008, h. 24). Operasi penggrebekan sel JI dilangsungkan kembali pada bulan Juli 2006, yang menurut Hearn Yuit berhasil melumpuhkan jaringan JI di Singapura. Pada bulan Januari 2008, pihak berwenang Singapura menangkap tiga orang dengan menggunakan ISA atas dasar tuduhan merakit bahan peledak dan berupaya bergabung dengan jaringan mujahidin untuk berjihad di Afghanistan, Palestina, dan Chechnya (Singapore Ministry of Home Affairs 2008 dalam Yuit 2009, para. 7). Seluruh penangkapan dan penahanan di atas dilakukan dengan menggunakan kekuatan ISA (Singapore Ministry of Home Affairs 2002 dalam Corsi 2008, h. 4). UU ini mengizinkan pemerintah untuk menangkap dan menahan seseorang hanya berdasarkan kecurigaan jika individu tersebut dicurigai mengancam keamanan nasional Singapura. Mereka dapat ditahan hingga dua tahun dan dapat diperpanjang kembali selama dua tahun tanpa pengadilan (International Security Act dalam Corsi 2008, h. 5). Menurut Corsi (2008, h. 1),
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
80
ISA adalah alat kontraterorisme yang sangat kuat yang memungkinkan pemerintah Singapura untuk menghentikan serangan teroris di tahap yang sangat dini. ISA juga memungkinkan pihak keamanan Singapura untuk menahan dan menginterogasi anggota JI, di antaranya untuk menyelidiki motivasi mereka. Dari interogasi ini, pemerintah Singapura mengetahui motivasi sel JI untuk mendirikan Daulah Islamiyah Nusantara yang terdiri dari Malaysia, Indonesia, dan Mindanao, yang turut mencakup Singapura dan Brunei Darussalam tanpa terkecuali (Singapore Ministry of Home Affairs, Tanpa Tahun dalam Corsi 2008, h. 5). Selain dapat menangkap individu hanya atas dasar „informasi‟ dan menahannya tanpa pengadilan selama dua tahun, ISA juga memungkinkan pemerintah untuk menindak individu atau kelompok yang mengadakan latihan militer atau semacamnya, termasuk yang mengenakan berbagai atributnya seperti seragam, emblem, dan sebagainya. Dengan adanya dasar hukum ini, pemerintah dapat dengan mudah menindak kelompok yang melakukan latihan militer atau semi-militer seperti yang dilakukan di Aceh (yang tidak dapat dilakukan pemerintah Indonesia). Dengan ISA, pemerintah juga dapat melarang pencetakan dan penjualan berbagai publikasi atau dokumen yang mengandung anjuran untuk melakukan kekerasan atau pelanggaran hukum atau yang dapat mengarah pada gangguan ketertiban dan perdamaian di antara ras atau kelas penduduk yang berbeda atau yang dipandang mengancam kepentingan nasional dan ketertibankeamanan umum (Internal Security Act 1986, Bagian II Bab III Pasal 20). Selain itu, ISA juga memungkinkan pemerintah untuk menutup sekolah atau lembaga pendidikan yang mengancam kepentingan umum Singapura atau yang digunakan sebagai tempat pertemuan yang melanggar hukum. Meskipun ada pengecualian untuk lembaga pendidikan yang „murni untuk kepentingan keagamaan,‟ berbagai ketentuan lainnya dapat digunakan untuk menutup pesantren atau lembaga keagamaan lainnya yang mengajarkan ajaran-ajaran radikal. Oleh karena, dapat dikatakan bahwa keberadaan ISA sendiri, yang memungkinkan dilakukannya penahanan preventif dalam jangka waktu yang tak terbatas, menimbulkan efek penggentaran yang sangat kuat untuk mencegah perilaku subversif maupun serangan teror di Singapura (Josiah 2011, h. 28).
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
81
Selain hukum yang berasal dari dalam negeri, Singapura juga secara efektif mengimplementasikan berbagai instrumen hukum internasional mengenai terorisme yang kemudian diadopsi menjadi hukum nasional (Interpol Tanpa Tahun, h. 161).43 Untuk itu, Singapura mendirikan Satuan Tugas Anti-Terorisme Antar-Kementerian44 yang berada di bawah Jaksa Agung dan Menteri Luar Negeri dan
Hukum,
yang
bertugas
memperbarui
hukum
nasional
untuk
mengimplementasikan berbagai instrumen hukum internasional dan meningkatkan koordinasi antarlembaga. Selain itu, karena telah meratifikasi Konvensi AntiTerorisme PBB, Kementerian Hukum memiliki wewenang untuk menerapkan peraturan internasional yang mengandung langkah-langkah anti-terorisme, khususnya resolusi Dewan Keamanan PBB 1373, yang melarang semua jenis dukungan terhadap tindak terorisme. Dalam proses penegakan hukum terhadap tindak terorisme, selain penangkapan, sistem penahanan pun memainkan peran penting. Di Singapura, para terdakwa teroris ditempatkan di fasilitas khusus yang terpisah dengan para narapidana lain dan dibatasi dengan sangat ketat sehingga mereka tidak dapat mempropagandakan pandangan mereka kepada masyarakat luas (Interpol Tanpa Tahun, h. 162).
2.4.2
Pembunuhan Bersasaran dan Retaliasi Masif Penelitian ini tidak menemukan dokumen atau sumber mengenai upaya-
upaya penggentaran melalui hukuman lain yang berada di luar pendekatan legal/kriminalisasi baik melalui ISA maupun hukum-hukum lainnya, termasuk pembunuhan bersasaran (targeted killing) terhadap para pemimpin organisasi teror maupun retaliasi masif terhadap keluarga atau komunitas individu-individu yang terlibat terorisme.
43
Singapura dilengkapi dengan hukum-hukum berikut, dalam dan luar negeri, untuk mencegah dan menindak terorisme: UU PBB, 29 Oktober 2001, Bagian 2, Peraturan AntiTerorisme PBB 13 November 2001 No. 2,4,5,9; UU Interpretasi, Bagian 2, ISA, Bagian 5 dan 8, UU Pidana, UU Imigrasi. 44 Satgas ini beranggotakan pejabat senior berbagai kementerian, Kejaksaan Agung, Otoritas Moneter Singapura (MAS), dan Kepolisian.
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
82
2.5
Pengurangan Insiden Terorisme melalui Penawaran Insentif Politik dan Ekonomi Strategi penggentaran terdiri dari dua sisi, yaitu hukuman dan insentif atau
imbalan. Bagian ini memaparkan sisi lain dari penggentaran, yaitu insentif dalam bentuk tatanan alternatif yang dapat ditawarkan kepada kelompok atau organisasi teroris apabila ia berniat untuk menghentikan kegiatannya. Berdasarkan studi literatur mengenai penggentaran dalam konteks terorisme (lihat bagian sebelumnya mengenai kerangka teori), imbalan dapat ditawarkan setidaknya melalui dua cara, yaitu meningkatkan partisipasi politik masyarakat sipil secara damai dan menyediakan kondisi atau tatanan alternatif lain yang lebih baik untuk menghilangkan kondisi deprivasi. Partisipasi politik secara damai sering diasosiasikan dengan tingkat demokrasi sementara kondisi yang lebih baik dikaitkan dengan insentif ekonomi. Dilihat dari berbagai indikator ekonomi, dapat dikatakan bahwa penduduk Singapura menjalani kehidupan yang layak secara ekonomi dengan pendapatan per kapita tahun 2011 sebesar US$ 52. 569 (UNDP 2011a, Tabel 1). Dilihat dari sisi Indeks Pembangunan Manusia pun, Singapura termasuk ke dalam negara dengan tingkat pembangunan manusia yang sangat tinggi, yaitu peringkat ke-26 dari 187 negara (UNDP 2011b, h. 1). Sebagaimana kota-kota besar lain di dunia, tingkat ketidaksetaraan pendapatan di Singapura (koefisien gini)45 cukup tinggi, yakni 0,473 pada tahun 2011, meskipun pajak dan upaya redistributif pemerintah lain menurunkannya hingga 0,452 (Department of Statistics Singapore 2011, h. 2). Tingkat ketidaksetaraan pendapatan yang cukup tinggi dapat menjadi salah satu faktor ketidakpuasan atau deprivasi. Akan tetapi, hal ini dimitigasi oleh tingkat kesejahteraan rata-rata penduduk Singapura yang di atas garis kemiskinan meskipun pendapatannya tergolong rendah. Dari segi demokrasi, Singapura tidak dapat dikatakan sebagai negara demokrasi, khususnya demokrasi liberal yang ditandai oleh kebebasan sipil warga negaranya. Sejak tahun 1959, partai pemerintah, People’s Action Party (PAP) terus memegang kekuasaan dan dominasi di Parlemen. Secara politik, ChanlettAvery (2008) menyatakan bahwa Pemerintah Singapura membatasi kebebasan 45
Koefisien Gini adalah indikator yang mengukur ketidaksetaraan pendapatan, mulai dari nol jika pendapatan sepenuhnya setara dan satu jika pendapatan sepenuhnya tidak setara.
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
83
politik atas nama melindungi dan mempertahankan pertumbuhan ekonomi yang tinggi (hal. 1). Di Singapura, terdapat semacam “kontrak” di antara para pemimpin dan penduduk bahwa hak-hak individu tertentu dapat dibatasi untuk mewujudkan masyarakat yang stabil dan makmur secara ekonomi dengan standar hidup yang tinggi (h. 3). Singapura juga dikatakan memiliki kebebasan pers yang rendah (h. 6). Dari segi kontraterorisme, pemerintah Singapura jelas tidak menawarkan konsesi politik dalam hal kebebasan yang lebih bagi suara-suara yang bertentangan dengan pemerintah dan pengaturan masyarakat yang sangat tinggi yang selama ini diterapkan di Singapura. Tidak ada langkah-langkah insentif politik khusus, misalnya, dengan mendorong partisipasi politik yang lebih luas untuk kelompok-kelompok minoritas di luar kerangka politik konvensional di Singapura yang didominasi oleh satu partai. Begitu pula dari segi ekonomi. Di dalam strategi keamanan nasional Singapura untuk memerangi terorisme tidak ada penyebutan langkah-langkah atau insentif ekonomi untuk menanggulangi terorisme di negaranya. Dalam kasus Singapura, pertumbuhan dan standar hidup yang tinggi digabungkan dengan kebebasan politik serta demokrasi yang rendah membuat kontraterorisme di Singapura berjalan efektif dengan bertumpu pada penggentaran melalui penangkalan dan hukuman. Akan tetapi, hal ini menimbulkan kerawanan tersendiri jika pertumbuhan ekonomi Singapura melambat atau jika Singapura mengalami krisis ekonomi yang menyebabkan kepuasan penduduknya menurun.
2.6
Simpulan Dalam pembahasan di atas, telah dipaparkan mengenai penerapan strategi
penggentaran di Singapura dalam rangka penanggulangan terorisme melalui tiga hal, yaitu penggentaran melalui penangkalan di tingkat taktis, operasional, dan strategis; penggentaran melalui hukuman; dan penawaran insentif politikekonomi. Berdasarkan data yang telah dipaparkan di atas, dapat disimpulkan bahwa pemerintah Singapura telah menjalankan langkah-langkah yang ekstensif dalam hal penangkalan di tingkat taktis pasca-serangan 9/11 yang mencakup pengerasan target di sektor keamanan penerbangan, maritim, transportasi darat,
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
84
dan infrastruktur serta instalasi kritis yang membuat serangan teroris secara teknis sulit dilakukan di Singapura. Pentingnya penangkalan di tingkat taktis tercermin di dalam Strategi Keamanan Nasional Singapura yang diadopsi pada tahun 2004 yang menyebutkan penangkalan taktis sebagai lapis pertahanan pertama (pencegahan). Beberapa fitur yang menonjol dari penerapan penggentaran melalui penangkalan di tingkat taktis yang dijalankan pemerintah Singapura adalah sifatnya yang sistematis, mulai dari tingkat strategi yang menginduk ke strategi keamanan nasional 2004 hingga program yang konsisten di setiap sektor kritis, termasuk sektor penerbangan, maritim, transportasi darat, dan instalasi kritis. Fitur-fitur lain yang juga menonjol adalah kuatnya fokus pada koordinasi antarlembaga di masing-masing sektor, adanya kajian atau review menyeluruh untuk mencari celah keamanan di setiap sektor, dilengkapi dengan lembaga yang bertugas untuk mengatasinya, adanya hukum-hukum yang ekstensif, menyeluruh, dan memberi kewenangan yang besar pada lembaga keamanan, adanya respons yang sangat cepat untuk meratifikasi instrumen-instrumen hukum internasional dan regional dalam hal anti-terorisme dan lembaga yang memastikan standar hukum tertinggi, adanya program terstruktur mengenai pengembangan kapasitas sumber daya manusia yang terlembagakan di setiap sektor, adanya teknologi yang canggih terutama dalam hal pengawasan, pengintaian, dan deteksi, adanya program latihan dan drill secara berkala untuk menjaga tingkat kewaspadaan badan pemerintah dan publik, serta adanya faktor kerja sama internasional yang kuat, terutama dengan AS. Begitu pula halnya dengan penggentaran di tingkat operasional, yang mencakup kontrol perbatasan, senjata, pendanaan terorisme (regulasi finansial), dan kontrol sumber internet. Faktor-faktor seperti teknologi canggih, kajian menyeluruh di awal, evaluasi, serta pengembangan kapasitas yang terlembagakan, penguatan koordinasi dan integrasi fungsi kelembagaan, hukum nasional dan internasional yang ekstensif, serta kerja sama internasional muncul secara konsisten di setiap sektor yang berperan dalam menghilangkan kapabilitas teroris. Penggentaran di tingkat strategis yang lebih samar efeknya dilangsungkan melalui program-program pertahanan sosial yang mencakup perangkulan
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
85
komunitas-komunitas muslim moderat dan rehabilitasi, juga upaya-upaya mengurangi dampak serangan dengan mempersiapkan proses respons dan mitigasi serangan. Perlu diingat bahwa upaya „lunak‟ ini berada dalam konteks pengendalian ketat masyarakat Singapura untuk mempertahankan harmoni sosial dan politik, termasuk dengan penggunaan ISA untuk mencegah penyebaran paham radikal di tengah masyarakat. Dalam konteks ini, tangan yang lembut merangkul selalu didampingi oleh tangan yang keras memukul, bahkan dalam pertahanan sosial yang seharusnya bersifat lunak. Secara
keseluruhan,
dapat
dikatakan
bahwa
penerapan
strategi
penggentaran melalui penangkalan di ketiga tingkat di atas bersandar pada konsolidasi kelembagaan dan koordinasi di antara badan-badan pemerintah di tingkat kebijakan dan operasional; penggunaan teknologi tinggi yang menunjang upaya pencegahan dan perlindungan; penyiapan respons terhadap serangan dan upaya pemulihan; penegakan hukum yang kuat di area-area yang dapat memfasilitasi tindak terorisme; serta upaya kontraradikalisasi dan rehabilitasi yang mencerminkan pendekatan pertahanan sosial yang luas. Sementara itu, penggentaran melalui hukuman, terutama penggunaan ISA dapat dikatakan sebagai ujung tombak efektivitas kontraterorisme Singapura dan menimbulkan efek penggentaran yang tinggi untuk kegiatan terorisme secara luas (bukan
hanya
ketika
serangan,
tetapi
sejak
tahap
perencanaan
dan
pembangunan/perkembangan jaringan). Keberadaan ISA sangat menunjang hukum pidana dan hukum-hukum sektoral lainnya, di samping hukum-hukum internasional yang telah dijadikan hukum nasional karena elemen penahanan pencegahannya. Dari data yang ditemukan di dalam penelitian ini, penegakan hukum adalah satu-satunya langkah penggentaran melalui hukuman yang dilakukan pemerintah Singapura karena tidak ditemukan data yang menunjukkan Singapura melakukan upaya-upaya pembunuhan bersasaran atau retaliasi masif. Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pendekatan „stick’ dalam bentuk penangkalan (terutama di tingkat taktis berupa pengerasan target dan di tingkat operasional melalui kontrol fasilitator terorisme) dan hukuman (terutama dengan menggunakan ISA) lebih dominan dibandingkan pendekatan „carrot’ atau tawaran insentif politik dan ekonomi kepada organisasi teroris untuk mencegah
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
86
mereka melangsungkan serangan teror. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pemerintah Singapura tampak lebih berhasil menjalankan penggentaran yang efektif melalui penangkalan dan hukuman dan bukan dari penyediaan tatanan alternatif yang dari segi politik dihubungkan dengan tingkat demokrasi yang lebih tinggi. Sementara itu, mungkin karena baseline ekonomi Singapura saat ini relatif tinggi, pemerintah Singapura tidak menjadikan insentif ekonomi langsung (kepada organisasi teroris) sebagai bagian dari strategi penanggulangan terorisme di negaranya, juga karena kemiskinan tidak dipandang sebagai alasan bergabungnya warga negara Singapura ke dalam jaringan teror. Gabungan antara baseline ekonomi, khususnya dalam hal pertumbuhan ekonomi, standar hidup, dan indeks pembangunan manusia yang tinggi dan relatif kecilnya tekanan demokratik yang dapat membatasi langkah-langkah keamanan pemerintah (misalnya kebebasan pers dan oposisi politik) membuat langkah-langkah keamanan Singapura yang tergolong „keras,‟ dapat dijalankan secara leluasa. Dalam hal ini, tingkat demokrasi Singapura yang rendah justru mendukung efektivitas penggentaran Singapura untuk mencegah serangan teroris dan perkembangan terorisme secara luas. Meskipun demikian, karena semuanya bergantung pada tingkat perekonomian yang tinggi, Singapura memiliki resiko yang sangat tinggi untuk mengalami kekacauan jika perekonomiannya mengalami krisis yang menyebabkan masyarakatnya mengalami penurunan taraf hidup.
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
BAB 3 PENERAPAN STRATEGI PENGGENTARAN DALAM UPAYA MENANGGULANGI TERORISME DI MALAYSIA Setelah bab sebelumnya membahas mengenai penggentaran teroris di Singapura, bab ini akan mengulas tentang penerapan penggentaran dalam penanggulangan terorisme di Malaysia. Elemen-elemen yang akan dibahas sama dengan bab sebelumnya, yakni sekilas tentang Malaysia dan terorisme, kebijakan dan strategi keamanan nasional Malaysia dalam menghadapi terorisme, serta penerapan penggentaran melalui penangkalan, hukuman, dan penawaran insentif. Sebagai negara kedua yang dibahas, analisis perbandingan mulai diperkenalkan di bab ini meskipun tidak secara menyeluruh. Bab ini menemukan bahwa upaya penggentaran terhadap terorisme di Malaysia didominasi oleh penggentaran melalui hukuman dengan menggunakan UU Keamanan Internal (ISA). Berhubungan dengan persepsi pemerintah Malaysia bahwa negara tersebut bukanlah target serangan teroris, penggentaran melalui penangkalan di tingkat taktis dan operasional yang berada dalam ranah pertahanan fisik kurang ditekankan sebagaimana halnya di Singapura. Fokus lain dari penggentaran teroris di Malaysia adalah penggentaran melalui penangkalan di tingkat strategis melalui program disengagement, kontrol ideologis negara terhadap masyarakatnya dalam bentuk konstruksi Islam moderat versi pemerintah („Islam Hadhari‟) dan pendekatan kesejahteraan yang bersama-sama menyusun pendekatan „memenangkan hati dan pikiran.‟
3.1
Malaysia dan Terorisme Bagian ini akan membahas sekilas tentang Malaysia dan terorisme.
Malaysia adalah salah satu negara pendiri ASEAN dan berdasarkan GDP per kapita merupakan negara ketiga terkaya di Asia Tenggara (Richest Country in Asia, 2012).1 Malaysia berbentuk federasi dan terdiri dari 13 negara bagian. Negara ini terdiri dari dua bagian yang terpisah secara geografis, yaitu Semenanjung Malaysia dan Malaysia Barat. Keduanya dipisahkan oleh Laut 1
Setelah Singapura dan Brunei Darussalam.
89 Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
90
China Selatan. Semenanjung Malaysia berbatasan dengan Thailand di sebelah utara dan perairan di sebelah barat (Selat Malaka), timur (Laut China Selatan), dan selatan (Selat Johor). Sementara itu, Malaysia Barat yang terletak di pulau Kalimantan berbatasan dengan Indonesia dan Brunei Darussalam (lihat Gambar 3.1 di bawah ini). Di pulau Kalimantan, Malaysia memiliki perbatasan darat yang sangat panjang dengan Indonesia, yaitu 1.782 km. Negara ini juga memiliki perbatasan darat yang cukup panjang dengan Thailand, yaitu sepanjang 506 km (Library of Congress, 2006). Wilayah Malaysia yang diapit dan berbatasan langsung dengan Thailand dan Indonesia, di mana banyak terdapat aktivitas terorisme, membuat negara ini seringkali digunakan sebagai tempat transit atau tempat merencanakan aksi teror meskipun tidak ada serangan teror di wilayah negara Malaysia dalam satu dekade terakhir (Asia One News, 2012).
Gambar 3.1 Peta Malaysia Sumber: lonelyplanet.com
Dari segi wilayah, Malaysia adalah negara yang cukup besar. Luas total daratan Malaysia adalah 329,758 km2 sementara total luas perbatasan daratnya adalah 2,669 km2. Sementara itu, panjang garis pantainya mencapai 4,675 km2. Perbatasan darat dan garis pantai yang panjang ini menimbulkan tantangan tersendiri dalam hal pengawasan perbatasan terkait penanggulangan terorisme. Sementara itu, penduduk
Malaysia yang berjumlah sekitar 29 juta orang
didominasi oleh Melayu Muslim (50,2%), disusul oleh etnis Tionghoa (24,5%), masyarakat asli (11%), dan etnis India (7,2%). Komposisi etnis ini seringkali
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
91
menimbulkan ketegangan rasial karena Pemerintah Malaysia sering dianggap menerapkan kebijakan diskriminatif terhadap penduduk non-Melayu. Kondisi deprivasi secara teoretis banyak disebut sebagai akar penyebab terorisme. Oleh karena itu, harmoni rasial dijadikan isu keamanan nasional oleh Pemerintah Malaysia. Akan tetapi, komposisi multirasial ini justru diklaim Pemerintah Malaysia sebagai salah satu alasan tidak dijadikannya Malaysia sebagai target utama serangan terorisme transnasional (Sta Marta, 2011). Dari segi ekonomi, Malaysia adalah negara berpenghasilan menengah dengan pendapatan per kapita mencapai US$ 9000 pada tahun 2011 (NewStraitTimes, 14 Februari 2012). Malaysia adalah negara yang mementingkan pembangunan ekonomi di atas segala-galanya, termasuk pembangunan politik dan demokrasi. Karena pembangunan ekonomi mensyaratkan iklim keamanan yang kondusif, pencegahan dan penanggulangan terorisme dinilai sangat penting oleh Pemerintah Malaysia, bukan hanya sebagai tujuan dalam dirinya sendiri, tetapi juga sebagai prakondisi untuk pembangunan ekonomi Malaysia. Setelah terjadinya 9/11, terjadi pergeseran persepsi mengenai Malaysia dalam kaitannya dengan jaringan terorisme global. Malaysia yang sebelumnya dipandang sebagai negara yang relatif aman tiba-tiba dipandang sebagai salah satu negara yang terimplikasi terorisme global. Padahal, tidak seperti Filipina, Indonesia, dan Thailand, saat ini Malaysia dikatakan tidak memiliki kelompok separatis atau insurgen lokal yang berjuang dengan menggunakan metode terorisme. Hal ini diperkuat oleh Vaughn et al (2009, h. 105) yang menyatakan bahwa kelompok-kelompok teroris yang saat ini ada di Malaysia lebih bersifat eksternal. Akan tetapi, setelah peristiwa 9/11, Malaysia dipandang sebagai „hot spot‟ terorisme karena beberapa orang yang merencanakan serangan 9/11 dilaporkan menggunakan Kuala Lumpur sebagai tempat transit dan mengadakan pertemuan untuk merencanakan aksi teror. Sebutan hot spot ini juga berkaitan dengan keberadaan kelompok Islam ekstrim yang bertujuan menggulingkan pemerintah moderat dan menggantinya dengan pemerintah fundamentalis (United States Action, Tanpa Tahun). Malaysia juga dimanfaatkan oleh Jamaah Islamiyah sebagai tempat untuk menggalang dana (Mantiqi I) seperti halnya Singapura (Australian Government Department of Foreign Affairs and Trade, 2004).
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
92
Meskipun
Malaysia
belum
pernah
mengalami
serangan
teroris
transnasional di wilayahnya dalam satu dekade terakhir, negara tersebut masih dinilai rawan aktivitas terorisme karena pengawasan perbatasannya dinilai lemah, terutama dalam hal keamanan maritim (United States Department of State, 2011). Pengawasan perbatasan menjadi sorotan internasional karena negara ini berbatasan dengan Thailand, Filipina, dan Indonesia yang sering disebut sebagai safe haven2 teroris (U.S Department of State, 2011). Kelemahan ini dikatakan telah dimanfaatkan oleh kelompok teroris transnasional dengan menggunakan Malaysia sebagai negara transit (United States Department of State, 2011). Pengalaman Malaysia dengan terorisme sendiri berasal dari perjuangan melawan insurgensi komunis sejak zaman penjajahan Inggris. Perjuangan ini mewariskan hukum yang sangat represif, namun efektif dalam mengendalikan keamanan dalam negeri, yakni Internal Security Act (ISA) yang sangat berperan dalam upaya penanggulangan terorisme Malaysia dan penggentaran teroris di era kontemporer. Pada masa itu, perlawanan melawan teroris komunis dipandang sebagai „perang‟ sehingga era tersebut disebut sebagai masa Darurat (Humpreys, 2010).
Kebijakan Keamanan Nasional Malaysia terhadap Terorisme
3.2.
Langkah pertama untuk memeriksa upaya penanggulangan terorisme di Malaysia dan menganalisisnya dari kaca mata penggentaran adalah dengan mengkaji kebijakan keamanan nasional Malaysia. Pemaparan di bawah ini membahas mengenai strategi umum Malaysia untuk melawan terorisme kontemporer. Pembahasan difokuskan pada dua hal. Yang pertama adalah persepsi Pemerintah Malaysia tentang terorisme kontemporer dan upaya penanggulangan yang dibayangkan berdasarkan persepsi tersebut. Yang kedua adalah kelembagaan penanggulangan terorisme sebagai respon strategisinstitusional terhadap ancaman terorisme kontemporer.
2
Safe haven teroris adalah wilayah fisik yang kurang terawasi, tidak terawasi, atau tidak terawasi dengan baik di mana teroris dapat melakukan perencanaan serangan, menggalang dana, berkomunikasi, merekrut orang, melatih, transit, dan beroperasi secara relatif aman karena kurangnya kapasitas dan kemampuan pemerintah, kurangnya kehendak politik, atau kedua-duanya.
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
93
Dari kajian terhadap kebijakan keamanan nasional Malaysia, ditemukan bahwa Pemerintah Malaysia mempersepsikan terorisme kontemporer sebagai ancaman keamanan, namun dalam bentuk tindak kriminal/kejahatan dan bukan ancaman perang. Berdasarkan persepsi ini, Pemerintah Malaysia menggunakan pendekatan kriminalisasi sebagai pendekatan represif-koersif utama dalam memerangi terorisme yang dilengkapi dengan dua pendekatan lunak, yaitu pendekatan kesejahteraan dan pendekatan ideologis. Sementara itu, dari sisi kelembagaan, Malaysia memanfaatkan arsitektur yang telah ada (yang sifatnya memang sudah represif) dan tidak membentuk kelembagaan baru. Hal ini menyebabkan timbulnya masalah lama yang kronis, yaitu koordinasi antarlembaga. Pemaparan lengkap tentang persepsi, strategi, dan respon kelembagaan Malaysia dalam penanggulangan terorisme dapat dilihat di bawah ini.
3.2.1
Persepsi Pemerintah Malaysia mengenai Terorisme Kontemporer dan Upaya Penanggulangannya Tidak seperti Singapura, Pemerintah Malaysia tidak memiliki dokumen
resmi yang menjabarkan secara utuh persepsi negara tersebut tentang terorisme kontemporer dan upaya penanggulangannya. Oleh karena itu, untuk menggali hal tersebut, penelitian ini mengobservasi pernyataan pemerintah yang tersebar di berbagai dokumen resmi dan yang dimuat di berbagai media massa . Dari pernyataannya di berbagai forum diplomatik internasional, tampak bahwa Pemerintah Malaysia memandang terorisme sebagai variasi lain dari kejahatan transnasional. Keduanya hampir selalu disebutkan bersama sebagai ancaman keamanan non-tradisional di abad ke-21 (Ministry of Foreign Affairs Malaysia, 2011). Persepsi ini mencerminkan dua hal. Yang pertama, terorisme dipandang
sebagai
ancaman
keamanan
nasional
yang
memungkinkan
dilakukannya sekuritisasi terhadap isu terorisme dan melegitimasi penggunaan aturan-aturan keamanan nasional (termasuk ISA). Yang kedua, terorisme dipersepsikan sebagai kejahatan (crime), yang mencerminkan pendekatan legal (kriminalisasi) sebagai pendekatan represif utama yang digunakan pemerintah (alih-alih penggunaan kekuatan militer seperti halnya AS terhadap Al-Qaeda, Sri Lanka terhadap LTTE, atau Filipina terhadap ASG).
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
94
Tidak
seperti
pemerintah
Singapura,
Pemerintah
Malaysia
tidak
memandang negaranya sebagai target utama serangan teroris maupun tempat perekrutan teroris. Mencerminkan pendapat para pakar, Malaysia memandang dirinya hanya sebagai „tempat transit‟ atau „tempat berlindung‟ („haven‟). Perbedaan persepsi di antara Singapura dan Malaysia ini cukup menarik karena kedua negara tersebut sesungguhnya lebih banyak memiliki persamaan dibandingkan perbedaan. Keduanya sama-sama belum pernah mengalami serangan teroris dalam sepuluh tahun terakhir ini, sama-sama memiliki masyarakat yang plural dari segi ras maupun agama, dan sama-sama memprioritaskan pertumbuhan dan modernisasi ekonomi. Satu hal yang menyebabkan perbedaan besar adalah komposisi etnis dan agama di kedua negara tersebut dan hubungan mereka dengan AS. Mayoritas etnik di Singapura adalah China sementara mayoritas etnik di Malaysia adalah Melayu Muslim. Dengan penduduk
muslim
yang
minoritas,
Pemerintah
Singapura
dapat
mengkonstruksikan terorisme kontemporer sebagai musuh yang berasal dari luar (ancaman eksternal), apalagi tidak ada homegrown terrorism3 yang signifikan di Singapura. Dengan eksternalisasi ancaman ini, mudah bagi pemerintah Singapura untuk menarik garis batas antara „kita‟ (yang terancam/di dalam) dan „mereka‟ (yang mengancam/di luar). Oleh karena itu, Singapura memiliki fokus yang sangat kuat pada penggentaran melalui penangkalan di wilayah pertahanan dan pemulihan pasca-serangan di samping penggentaran melalui hukuman melalui hukum yang represif. Sementara itu, jauh lebih sulit bagi Pemerintah Malaysia untuk menarik garis batas yang tegas antara negaranya dengan Islam yang diusung sebagai ideologi terorisme kontemporer. Hal ini bahkan cenderung tidak mungkin karena akan mengalienasi warga negaranya sendiri. Oleh karena itu, Pemerintah Malaysia mengkonstruksikan dikotomi antara Islam yang „direstui‟ negara dan Islam yang mengancam keamanan dan perdamaian serta harmoni sosial. Selanjutnya, pemerintah menjalankan langkah-langkah ketat untuk merepresi jenis Islam yang kedua ini, salah satunya melalui kriminalisasi atau penggunaan hukum yang sejenis dengan Singapura, yakni hukum keamanan internal negara (ISA). Persepsi 3
Homegrown terrorism adalah istilah untuk menggambarkan teroris yang muncul dan berkembang dari dalam negara tersebut.
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
95
mengenai terorisme kontemporer yang telah diuraikan di atas kemudian mempengaruhi strategi atau pendekatan penanggulangan terorisme yang diambil pemerintah Malaysia, yang akan dibahas di bawah ini.
3.2.2
Strategi Malaysia dalam Menghadapi Terorisme Kontemporer: Pendekatan Keras dan Lunak Tidak
seperti
Singapura
yang
memiliki
buku
putih
tentang
penanggulangan terorisme, Malaysia tidak memiliki dokumen resmi tunggal yang menggambarkan strategi dan langkah-langkah penanggulangan terorisme secara sistematis. Oleh karena itu, untuk mengetahui strategi Malaysia mengenai hal ini, penelitian ini melacak dan menurunkannya dari kebijakan keamanan nasional Malaysia secara umum dan berbagai pernyataan, submisi, atau pidato pemerintah dalam forum-forum resmi terkait terorisme. Kebijakan keamanan Malaysia yang ada pada saat ini terbentuk ketika negara (yang saat itu masih dijajah Inggris) dipandang sedang berada dalam situasi darurat karena ancaman insurgensi (pemberontakan) komunis. Era itu berkisar di antara tahun 1948 hingga 1960. Pada era tersebut, pemerintah Kolonial Inggris mengeluarkan Peraturan-Peraturan Darurat yang sifatnya sangat represif yang membentuk karakter kebijakan keamanan Malaysia hingga saat ini. Kebijakan keamanan nasional Malaysia saat ini dikatakan bersifat opresif di level operasional, namun juga memiliki sisi lunak, yaitu elemen ideologis yang difokuskan pada upaya menangani „akar penyebab‟ guna menghilangkan ancaman terorisme secara menyeluruh. Oleh karena itu, pendekatan kebijakan keamanan nasional Malaysia untuk mengatasi terorisme dapat dikatakan terdiri dari dua elemen utama, yaitu elemen represif-koersif (keras) dan elemen ideologis serta pendekatan „memenangkan hati dan pikiran‟ (lunak) (Humphreys 2010, h. 22). Gabungan antara pendekatan keras dan lunak di atas pada awalnya dirancang oleh pemerintah Barisan Nasional pimpinan Mahathir Muhammad dan dilanjutkan di era Abdullah Badawi. Untuk mematahkan kekuatan ideologis AlQaeda, Pemerintah Malaysia mempromosikan jenis Islam moderat yang cocok dengan konsep pembangunan modern. Berbagai pakar menyatakan bahwa pendekatan ini juga dirancang untuk pencitraan sehingga Malaysia tampak
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
96
sebagai model negara Islam moderat dunia (Humphreys 2010, h. 21). Secara garis besar, pendekatan lunak atau pendekatan “memenangkan hati dan pikiran” ini mencakup langkah-langkah peningkatan ekonomi dan standar kehidupan masyarakat, serta beririsan dengan program penghapusan kemiskinan, penyediaan layanan publik (misalnya pendidikan dan kesehatan), dan penyediaan lapangan pekerjaan (Razak 2002 dalam Humphreys 2010, h. 32). Langkah-langkah peningkatan kesejahteraan ini mencerminkan fokus Malaysia pada penanganan akar penyebab sebagai sisi lain dari pendekatan represif dan ideologis. Pendekatan keras dan lunak yang telah dijelaskan di atas dikatakan sebagai pendekatan penanggulangan terorisme yang „komprehensif.‟ Mengenai fokus penanggulangan terorisme Malaysia, dapat dikatakan bahwa ada empat hal yang menjadi fokus atau prioritas pemerintah Malaysia, yaitu penangkapan, pengawasan tahanan dan bekas tahanan teroris, pengawasan warga asing dan imigran yang mencurigakan, serta program deradikalisasi (APEC, 2011). Dari empat fokus tersebut, terlihat bahwa yang kemudian memainkan peran dominan adalah sistem hukum, pengawasan masyarakat (surveillance), termasuk intelijen, dan perangkat ideologis negara. Berkaitan dengan hal ini, terdapat beberapa klaim mengenai kesuksesan penanggulangan terorisme Malaysia. Menurut Radzi (2010), Malaysia sukses dalam menanggulangi terorisme karena pendekatan multi-elemen yang dianut Pemerintah Malaysia. Faktor-faktor yang menyumbang pada kesuksesan ini di antaranya adalah penanganan akar penyebab terorisme, penegakan hukum yang keras, peningkatan kapasitas badan-badan penegak hukum, dan peningkatan kerja sama antar-lembaga. Selain strategi domestik, Pemerintah Malaysia juga memiliki strategi internasional untuk menanggulangi terorisme, yaitu melalui diplomasi di berbagai forum multilateral. Posisi pemerintah Malaysia ini dapat dikatakan unik jika dibandingkan dengan posisi negara-negara ASEAN lainnya. Pemerintah Malaysia aktif mengadvokasikan disusunnya satu definisi terorisme yang dapat diterima secara universal oleh seluruh negara di dunia, sesuatu yang belum pernah berhasil dilakukan, baik di tataran praktis maupun akademis. Pemerintah Malaysia juga aktif mengadvokasikan dimasukkannya elemen teror negara (state terror) dalam
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
97
definisi tersebut. Posisi ini membuat Malaysia bertentangan dengan AS dan Israel yang mengekslusikan teror negara dalam definisinya mengenai terorisme (Ministry of Foreign Affairs Malaysia, 2011). Dari uraian di atas, dapat dikatakan bahwa di tingkat strategi, elemen penggentaran yang dominan adalah penggentaran melalui penegakan hukum yang keras, yang difokuskan pada pencegahan. Tentu saja elemen-elemen lain pun berperan di wilayah ini, misalnya intelijen yang termasuk ke dalam wilayah pencegahan dan membantu penggentaran melalui penangkalan di tingkat taktis. Selain itu, Pemerintah Malaysia juga mementingkan elemen-elemen penggentaran di tingkat strategis, yakni bagaimana menghilangkan motivasi kelompok teroris untuk menyerang Malaysia. Hal ini berbeda dengan Singapura yang fokusnya lebih komprehensif dan mementingkan seluruh elemen penggentaran di dalam strateginya.
Kelembagaan Penanggulangan Terorisme di Malaysia: Pemanfaatan
3.2.3
Struktur Keamanan Lama Setelah membahas mengenai persepsi dan strategi, pembahasan di bawah ini mengulas mengenai kelembagaan penanggulangan terorisme di Malaysia untuk melihat apakah ada arsitektur atau struktur baru yang dibentuk untuk menghadapi terorisme transnasional. Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, Di dalam strategi keamanan nasional Malaysia, terorisme dimasukkan ke dalam kelompok keamanan internal non-tradisional (NSC, 2007 dalam Radzi, 2010). Isu-isu keamanan internal di Malaysia ditangani dan dikoordinasikan oleh sebuah lembaga bernama Dewan Keamanan Nasional atau NSC.4 Lembaga ini adalah lembaga eksekutif yang dikepalai oleh Perdana Menteri (NSC, 1997). Dewan Keamanan Nasional Malaysia adalah satu-satunya lembaga yang berwenang untuk mengarahkan kebijakan terkait keamanan dan arahannya harus dijalankan oleh lembaga-lembaga lainnya. Dalam situasi-situasi keamanan tertentu, Dewan Keamanan Nasional berwenang menunjuk organisasi tertentu untuk memimpin penanganan terorisme di berbagai tingkat, mulai dari tingkat federal, negara bagian, hingga distrik. Dewan Kemanan Nasional berperan sebagai pengarah 4
Lembaga ini dibentuk untuk memobilisasi dan mengorganisasikan respons terhadap ancaman rasial, politik, dan ekonomi, serta kemaslahatan Malaysia secara umum.
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
98
kebijakan, namun tugasnya tidak dispesifikkan sebagai lembaga untuk mengkoordinasi lembaga-lembaga pemerintah lain yang tugasnya berkaitan dengan penanggulangan terorisme. Penelitian inian ini tidak menemukan data tentang ada tidaknya lembaga koordinasi khusus seperti yang terdapat di Singapura dan Indonesia. Hal ini berpotensi menimbulkan masalah koordinasi, yang menurut Radzi (2010, h. 7) tidak terhindarkan karena lembaga-lembaga keamanan terkait penanggulangan terorisme di Malaysia tersebar di 30 departemen dan lembaga pemerintah serta di 13 negara bagian. Sementara itu, meskipun Malaysia berfokus pada keamanan internal (seperti halnya Indonesia, Singapura, dan Filipina) (NSC, 1997 dalam Radzi 2010), negara ini tidak mendirikan Departemen Keamanan Dalam Negeri seperti AS. Di Malaysia, kementerian yang bertanggung jawab atas penanggulangan terorisme adalah Kementerian Dalam Negeri atau Ministry of Home Affairs (MoHA) (APEC, 2011), sama seperti di Singapura. Meskipun demikian, Malaysia tidak mengembangkan struktur baru sebagaimana halnya Singapura, melainkan memanfaatkan organisasi dan mekanisme yang telah ada dengan kepolisian sebagai ujung tombaknya. Dalam situasi kritis, dikatakan bahwa kepolisian dapat meminta bantuan kepada pasukan khusus di tubuh militer (Radzi, 2010), namun mekanismenya tidak dispesifikkan. Meskipun tidak mendirikan lembaga baru untuk mengkoordinasikan lembaga-lembaga keamanan tradisionalnya, pemerintah Malaysia mendirikan lembaga baru untuk meningkatkan kapasitas kontraterorisme dengan ruang lingkup regional, yakni The Southeast Asia Regional Centre for Counter Terrorism (SEARCCT). Lembaga ini menyediakan pelatihan pengembangan kapasitas bagi para penegak hukum dan keamanan di Asia Tenggara (SEARCCT, 2012).5 Lembaga ini juga berpotensi memainkan peran agenda-setting dengan memprioritaskan elemen-elemen tertentu dari penanggulangan terorisme sesuai dengan perspektif Malaysia.
5
SEARCCT juga mempromosikan perspektif Malaysia mengenai langkah penanggulangan terorisme yang efektif menurut negara tersebut, yakni mencari definisi terorisme yang diterima secara internasional, mengkaji akar penyebab terorisme, menanggulangi terorisme secara komprehensif dan tidak hanya bersandar pada kekuatan militer, dan memenangkan hati dan pikiran masyarakat.
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
99
3.3
Pengurangan Jumlah Serangan Teroris melalui Penggentaran melalui Penangkalan Setelah mengulas tentang strategi kebijakan dan kelembagaan terkait
penanggulangan terorisme, bagian di bawah ini akan memaparkan langkahlangkah Pemerintah Malaysia yang termasuk ke dalam elemen pertama dari penggentaran terhadap teroris, yakni penggentaran melalui penangkalan. Esensi dari penggentaran melalui penangkalan adalah menghilangkan hal-hal yang diperlukan oleh teroris untuk melangsungkan serangan. Hal-hal yang diperlukan tersebut adalah peluang (penangkalan di tingkat taktis), kapabilitas menyerang (penangkalan di tingkat operasional), dan motivasi (penangkalan di tingkat strategis). Masing-masing elemen penggentaran melalui penangkalan tersebut akan dipaparkan dalam ketiga bagian di bawah ini.
3.3.1 Pengurangan Insiden Terorisme melalui Penghilangan Peluang untuk Melangsungkan Serangan (Penangkalan di Tingkat Taktis) Bagian di bawah ini akan membahas tentang langkah-langkah yang dijalankan Pemerintah Malaysia untuk menghilangkan peluang keberhasilan serangan teroris. Upaya ini dikategorikan ke dalam penggentaran melalui penangkalan di tingkat taktis. Dalam upaya ini, elemen yang ditangkal adalah peluang keberhasilan teroris untuk melaksanakan serangan dengan cara membuat pertahanan target serangan (tampak) tidak dapat ditembus. Efek penggentaran terhadap teroris dapat diciptakan ketika pengamanan terhadap target serangan begitu ketat sehingga peluang keberhasilan untuk menyerang menjadi sangat kecil, bahkan nol. Ada empat aspek yang akan dibahas dalam bagian ini, yakni pengetatan keamanan di sektor penerbangan, maritim, transportasi darat, dan infrastruktur kritis.
3.3.1.1 Pengetatan Keamanan Bandara dan Penerbangan Sektor penerbangan adalah salah satu target favorit teroris karena perannya yang vital dalam perekonomian suatu negara dan sifatnya yang dapat menghasilkan dampak serta publikasi yang spektakuler. Terlebih sejak serangan
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
100
9/11, pengetatan keamanan bandara menjadi salah satu agenda pengerasan target utama di berbagai negara di dunia. Malaysia adalah negara yang memiliki cukup banyak bandara. Pada tahun 2004, Malaysia tercatat memiliki 117 bandara dan satu helipot. Bandara-bandara utama yang melayani penerbangan internasional ada enam, yaitu Kota Kinabalu, Kuala Lumpur, Kuching, Langkawi, Pulau Pinang (Penang), and Senai (APEC, 2011). Di sepanjang sejarah Malaysia, „hanya‟ ada empat serangan terhadap bandara/penerbangan (dua di tahun 1977 dan dua di tahun 1991)6 (RAND, 2012). Namun dalam dua dekade terakhir, tidak ada lagi serangan yang berhasil dijalankan terhadap bandara atau pesawat di Malaysia. Pasca-9/11, data dari Pemerintah Malaysia menyatakan bahwa Malaysia telah menjalankan langkah-langkah peningkatan keamanan bandara untuk mengantisipasi serangan teroris. Lembaga yang bertanggung jawab untuk hal ini adalah sebuah Departemen khusus yang menangani penerbangan sipil, yakni Departemen Penerbangan Sipil atau DCA. Meskipun demikian, data mengenai pengamanan bandara di Malaysia tidaklah banyak dan mendetil sebagaimana halnya data pemerintah Singapura. Salah satu langkah peningkatan keamanan bandara yang dipublikasikan adalah penerapan prosedur dan perlengkapan pengecekan bagasi yang baru di seluruh bandara internasional di Malaysia. Langkah ini diklaim Pemerintah Malaysia sebagai langkah yang sangat efektif. Selain pengamanan bagasi, Pemerintah Malaysia juga menyatakan telah meningkatkan keamanan pintu dek sejak bulan April 2003 seperti halnya Singapura. Selain itu, dalam hal keamanan kargo udara, Pemerintah Malaysia menyatakan telah mengadopsi panduan ICAO dan mengembangkan program pengamanan kargo udara dengan berkolaborasi dengan International Air Transport Association (IATA) (APEC, 2011). Selain upaya peningkatan di atas, Pemerintah Malaysia juga menjalankan upaya peningkatan keamanan yang lebih terlembaga dan rutin dalam bentuk audit keamanan. Inisiatif audit keamanan ini juga datang dari tingkat internasional, 6
Insiden terorisme di sektor penerbangan Malaysia terdiri dari pengeboman dan pembajakan. Pada tahun 1977, sebuah bom meledak di bandara Kuala Lumpur. Pada tahun yang sama, pesawat Malaysian Airlines dibajak dan meledak di Selat Johor, menewaskan 100 penumpangnya. Pada tahun 1991, ditemukan bom namun berhasil dinetralisir sementara pembajakan yang terjadi pada tahun yang sama berhasil digagalkan.
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
101
yakni berdasarkan standar ICAO (International Civil Aviation Organization) di mana Malaysia adalah salah satu anggotanya. Departemen Penerbangan Sipil Malaysia telah dua kali diaudit di bawah Program Audit Keamanan Universal atau Universal Security Audit Program (USAP)7 dari ICAO, yaitu pada tahun 2006 dan 2011. Meskipun demikian, audit ini hanya menghasilkan rekomendasi untuk pemerintah. Sementara itu, belum ada data yang menunjukkan implementasi rekomendasi-rekomendasi tersebut. Selain audit ICAO, SEAARCT, pusat kontraterorisme regional ASEAN yang berlokasi di Malaysia juga telah mengeluarkan kajian tentang bandara dan terorisme dan menekankan pentingnya keamanan bandara sebagai penghalang terakhir terorisme yang memanfaatkan pesawat. Tidak ada data mengenai respon pemerintah Malaysia terhadap rekomendasi SEAARCT ini. Program ICAO lain yang diterapkan pemerintah Malaysia adalah penyusunan dan implementasi Program Kendali Kualitas Keamanan Penerbangan Sipil Nasional atau NCASQCP sejak Desember 2005. Seluruh pemangku kepentingan di sektor keamanan penerbangan di Malaysia pun telah diwajibkan untuk mengembangkan prosedur standar operasi dalam hal pengawasan keamanan penerbangan dan kendali kualitas berdasarkan program tersebut (APEC, 2011). Jika diamati dari uraian data di atas, dapat dikatakan bahwa peningkatan keamanan bandara di Malaysia sebagian besar berasal dari inisiatif internasional yang diwajibkan bagi seluruh anggota ICAO. Sayangnya penelitian ini tidak mendapatkan data mengenai pelaksanaan inisiatif-inisiatif tersebut secara rinci karena kurangnya sumber tertulis mengenai hal tersebut dan keterbatasan penelitian ini sendiri untuk mengecek kondisi di lapangan. Dibandingkan dengan Singapura yang memaparkan semua inisiatifnya secara rinci dan sistematis, data mengenai upaya penanggulangan terorisme Malaysia di sektor penerbangan dapat dikatakan sangat sedikit dan tercerai-berai.
3.3.1.2 Pengetatan Keamanan Maritim dan Pelabuhan 7
Pasca-serangan 9/11, negara-negara yang tergabung dalam International Civil Aviation Organization atau ICAO mengadopsi deklarasi tentang penyalahgunaan pesawat terbang sebagai senjata dalam aksi teroris. Salah satu langkah yang disetujui adalah dilaksanakannya audit keamanan untuk negara-negara yang menjadi anggota organisasi internasional ini. Audit ini bersifat rutin dan wajib.
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
102
Setelah membahas tentang penangkalan peluang serangan teroris di sektor penerbangan, bagian ini akan membahas mengenai pengetatan keamanan sektor kelautan atau maritim untuk mencegah serangan teroris. Sektor kelautan sangat penting bagi negara-negara yang berada di sekitar Selat Malaka, termasuk Malaysia. Nilai ekonominya yang sangat tinggi membuatnya rentan untuk menjadi target serangan teroris. Selain itu, teroris juga sering menggunakan jalur laut untuk berpindah dari satu negara Asia Tenggara ke negara lainnya. Lebih jauh lagi, menurut Robertson (2004), shipping atau pengapalan barang adalah target serangan teroris yang lebih rentan dibandingkan dengan pembajakan pesawat (Ooi, 2007) karena teroris dapat membajak barang-barang ilegal yang dikirim lewat laut. Sebelum dijalankannya langkah-langkah keamanan pasca-serangan 9/11, wilayah pantai Malaysia dikatakan sebagai salah satu wilayah yang paling rentan dari segi keamanan (Bhattacharjee, 2004 dalam Ooi, 2007). Kerentanan ini disebabkan oleh minimnya koordinasi antar-instansi karena sifat penegakan hukum maritim yang sektoral,8 tumpang tindih kewenangan dalam hal pengawasan garis pantai, dan kurangnya sumber daya.9 Pembahasan di bawah ini mengulas tentang langkah-langkah Pemerintah Malaysia untuk menangkal peluang keberhasilan serangan teroris di sektor kelautan. Lembaga yang memiliki wewenang mengurusi keamanan maritim di Malaysia adalah Malaysian Maritime Enforcement Agency10 atau MMEA. Badan ini didirikan pada tahun 2004 melalui UU dengan nama yang sama, yang merupakan repson legal Pemerintah Malaysia terhadap ancaman terorisme di perairan (Ooi, 2007). Badan ini juga bisa dikatakan sebagai lembaga penjaga pantai atau coast guard (Ooi, 2007) yang sangat esensial mengingat garis pantai Malaysia yang sangat panjang. Melalui badan ini pula, Malaysia menerapkan UU
8
Setidaknya ada 11 lembaga pemerintah yang berwenang mengatur subjek yang berbedabeda di wilayah perairan. Hal ini sering mengakibatkan kebingungan yurisdiksi. 9 Hanya ada sekitar 5000 personil dan 400 kapal di bawah 11 lembaga pemerintah di atas. Menurut Ooi ini sangat tidak memadai untuk mengawasi garis pantai Malaysia yang sangat panjang, lebih dari 2000 km. 10 Badan ini didirikan untuk mengkonsolidasikan langkah dan sumber daya untuk meningkatkan keamanan maritim di Zona Maritim Malaysia. Sejak 15 Agustus 2011, badan ini adalah satu-satunya badan penegak hukum dalam bidang maritim di Malaysia.
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
103
Keamanan Maritim atau Maritime Security Act pada tahun 2011 untuk mengatasi tindak kekerasan di perairan. Respon kelembagaan dalam bentuk pendirian MMEA ini mendatangkan perubahan besar. Penegakan hukum di wilayah kelautan yang tadinya terceraiberai sekarang diintegrasikan ke dalam satu lembaga sehingga langkahnya menjadi lebih terpadu dan efektif. Badan ini pun diberi kewenangan yang besar oleh UU, termasuk kewenangan untuk menghentikan dan memeriksa kapal/kargo dan untuk menangkap orang, bahkan untuk melakukan pengejaran atau hot pursuit terhadap pembajak atau teroris hingga memasuki perairan wilayah negara lain (Ooi, 2007). Aspek lain dari keamanan laut adalah pengamanan pelabuhan. Pelabuhan berperan penting sebagai titik keluar dan masuk wilayah perairan suatu negara, terlebih Malaysia. Pelabuhan utama di Malaysia dengan volume kargo terbesar11 ada enam buah, yaitu Bintulu, Pasir Gudang (Johor), Port Dickson, Pulau Pinang (Penang), Sabah, dan Port Klang (Kelang). Yang terakhir adalah pelabuhan resmi Pemerintah Malaysia untuk menangani kargo melalui laut. Dalam hal keamanan pelabuhan, respon Malaysia pada awalnya berasal dari inisiatif internasional terkait Perjanjian ISPS sebagaimana halnya Singapura. ISPS mensyaratkan negara-negara untuk melakukan peningkatan keamanan maritim dan pelabuhan. Pada tahun 2011, Malaysia melalui Dewan Keamanan Nasional mengawali serangkaian audit verifikasi di seluruh pelabuhan Malaysia yang telah menerima sertifikasi ISPS. Dalam hal pengujian keamanan, Malaysia baru berencana menyelenggarakan latihan nasional dalam hal keamanan maritim pada tahun 2012 atau 2013, di samping pelatihan dan seminar-seminar keamanan maritim lain yang disyaratkan ISPS. Sementara itu, dalam hal peningkatan kapasitas personel keamanan, Pemerintah Malaysia telah menyelenggarakan pelatihan Petugas Keamanan Fasilitas Pelabuhan atau Marine Facility Security Officer (MFSO) untuk seluruh personel keamanan pelabuhan pada tahun 2011. Khusus untuk regulasi bahan biologis, kimia, dan radiologis, sejak tahun 2009,
11
Dari tahun 1996 hingga 2005, volume kargo yang ditangani oleh pelabuhan-pelabuhan ini meningkat dari 152,3 juta ton menjadi 369,4 ton sementara kargo yang menggunakan kontainer meningkat dari 2,1 juta ton TEUs menjadi 12,1 ton TEUs.
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
104
Pemerintah Malaysia telah menerapkan „insiatif Megaport‟ untuk mendeteksi bahan-bahan radioaktif dan nuklir. Tapi, pemeriksaan ini baru ada di Port Klang dan Pelabuhan Tanjung Pelepas. Secara umum, dapat dikatakan bahwa respon Malaysia terhadap standar internasional dalam hal keamanan maritim ini relatif terlambat dibandingkan negara
tetangganya,
Singapura.
Namun,
langkah
Pemerintah
Malaysia
mengintegrasikan kewenangan keamanan maritim di satu lembaga membuat pengawasan dan enforcement menjadi lebih efektif. Langkah pengintegrasian wewenang ini, disertai pemberian kewenangan yang besar, sama dengan langkah yang diambil oleh Pemerintah Singapura. Sebagaimana halnya data tentang keamanan di sektor penerbangan, data tentang keamanan di sektor kelautan juga terbatas pada hal-hal yang bersifat normatif (respon legal dan kelembagaan) dan belum menyentuh pada praktik di lapangan sebagaimana halnya Singapura. Sementara itu, dalam hal kapabilitas pengamanan perbatasan di laut, Malaysia dikatakan memiliki sumber daya yang memadai (Comer, 2008), terutama jika dibandingkan dengan Indonesia dan Filipina. Angkatan Laut dan Polisi Pantai Malaysia dikatakan yang paling terlatih dibandingkan dengan kedua negara tetangganya yang sama-sama bertanggung jawab atas wilayah perairan di sekitar Sulawesi yang dikatakan sebagai wilayah transit teroris. Akan tetapi, menurut Comer (2008), Malaysia terlalu berorientasi pada Selat Malaka sehingga mengabaikan wilayah di sekitar Laut Sulawesi ini. Dalam hal hubungan antar-instansi, Malaysia dikatakan mengalami masalah ego sektoral yang sama dengan Filipina terkait dengan persaingan di antara Angkatan Laut dan Polisi Pantai. Sebagaimana halnya di Filipina, tugas dan misi yang spesifik di antara kedua lembaga tersebut belum dinyatakan secara jelas (Comer, 2008). Persaingan di antara Kepolisian dan Angkatan Laut Malaysia pun memperumit pengamanan maritim di wilayah transit teroris tersebut. Perbedaan
persepsi
keamanan
maritim
di
antara
keduanya
dikatakan
menyebabkan kerja sama multilateral sulit untuk dilakukan. Kepolisian memandang wilayah tersebut dalam perspektif keamanan transnasional sedangkan Angkatan Laut lebih menggunakan perspektif kedaulatan negara (Comer, 2008).
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
105
Dalam hal bantuan luar negeri, Malaysia akhirnya bersedia menerima bantuan AS untuk meningkatkan kapasitas pengamanan maritimnya. Seperti halnya Filipina dan Indonesia yang akan dibahas lebih lanjut, Malaysia saat ini tengah membangun Sistem Pengintaian Maritim yang Terintegrasi di sepanjang pesisir Sabah dan mengembangkan Common Operating Picture untuk wilayah Laut Sulawesi (Comer, 2008).
3.3.1.3 Pengetatan Keamanan Transportasi Publik Darat Penelitian ini mengalami kesulitan untuk mendapatkan data tentang transportasi darat Malaysia terkait dengan penanggulangan terorisme. Aspek penting dari hal ini adalah pengerasan target transportasi darat seperti terminal bis, rel kereta, dan lainnya. Pengetatan keamanan transportasi darat di Singapura menjadi salah satu elemen penangkalan di tingkat taktis. Namun, di dalam Rencana Induk Transportasi Publik Nasional Malaysia (2012), tidak ada satu pun bahasan tentang terorisme atau pengerasan target terkait ancaman teroris. Padahal, pada tahun 2010, Malaysia telah mendirikan Komisi Transportasi Umum Darat yang disebut dengan SPAD. Hal ini mungkin disebabkan karena dari asesmen ancaman keamanan Malaysia, negara tersebut tidak memandang dirinya sebagai target potensial serangan teroris dan hanya sebagai tempat transit.
3.3.1.4 Pengerasan Target Infrastruktur dan Instalasi Kritis Sebagaimana disebutkan sebelumnya, Malaysia tidak memandang dirinya sebagai target serangan teroris, tapi hanya sebagai tempat transit atau tempat berlindung. Oleh karena itu, elemen pengerasan target tampak kurang ditekankan. Satu-satunya referensi yang penelitian ini dapatkan terkait pengerasan target instalasi kritis terkait penanggulangan terorisme adalah mengenai Pasukan Khusus Angkatan Udara Malaysia yang juga merupakan unit taktis kontraterorisme di sektor udara. Meskipun demikian, pengamanan infrastruktur kritis menjadi salah satu program di bawah Southeast Asia Regional Centre for Counter-Terrorism (SEARCCT) yang berada di bawah pengawasan Kementerian Luar Negeri Malaysia (SEARCCT, 2007).
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
106
Penelitian ini juga tidak mendapatkan data mengenai daftar infratsruktur yang digolongkan sebagai infrastruktur kritis oleh Pemerintah Malaysia (kemungkinan karena alasan keamanan itu sendiri) dan langkah-langkah peningkatan keamanannya. Meskipun demikian, dari berbagai lembaga penelitian, didapatkan bahwa dua hal yang termasuk ke dalam infrastruktur kritis di Malaysia adalah instalasi informasi/komunikasi dan listrik (BIS, 2004). Dua hal ini adalah yang paling sering dibahas dalam kaitannya dengan perlindungan infrastruktur kritis. Dalam hal pengamanan infrastruktur teknologi informasi dan komunikasi, yang memainkan peran sentral adalah Komisi Komunikasi dan Multimedia Malaysia. Badan ini didirikan berdasarkan UU dengan nama yang sama. Terkait perlindungan infrastruktur kritis di sektor privat, didirikan sebuah lembaga bernama Pusat Respon Darurat dan Dewan Keamanan ICT. Fokus pada infratstruktur informasi dan komunikasi ini tidak ada di sektor lainnya, misalnya sektor bisnis secara umum (hotel, pariwisata, gedung perkantoran, tempat hiburan, dan sebagainya). Dalam bidang ICT pun, Pemerintah Malaysia dinilai masih memiliki hambatan koordinasi dan pertukaran informasi yang tidak memadai dalam hal perlindungan infrastruktur kritis (BIS, 2004).
3.3.2
Pengurangan Insiden Terorisme melalui Penghilangan Kapabilitas untuk
Melangsungkan
Serangan
(Penangkalan
di
Tingkat
Operasional) Bagian di atas membahas mengenai penangkalan di tingkat taktis yang substansinya adalah penghilangan peluang untuk melangsungkan serangan terhadap target-target potensial. Bagian berikut beranjak pada pembahasan mengenai penangkalan teroris di tingkat operasional. Pada dasarnya, penggentaran melalui penangkalan di tingkat ini adalah upaya untuk menghilangkan akses teroris terhadap hal-hal yang diperlukan untuk melangsungkan serangan (kapabilitas). Ada empat hal yang akan dibahas, yaitu upaya untuk menghilangkan akses terhadap wilayah (kontrol perbatasan), akses terhadap pendanaan (kontrol pendanaan), akses terhadap senjata (kontrol senjata), dan akses terhadap sumber internet (kontrol internet).
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
107
3.3.2.1 Pengetatan Kontrol dan Pengelolaan Perbatasan Telah banyak disebutkan di berbagai literatur bahwa salah satu faktor yang menyebabkan terorisme mudah beraktivitas di negara-negara Asia Tenggara adalah kontrol perbatasan yang relatif lemah, termasuk dalam hal imigrasi. Dalam laporan yang disusun oleh US State Department (2012), Malaysia dinyatakan tidak mengalami insiden terorisme serius dalam beberapa tahun terakhir ini. Meskipun demikian, negara ini dikatakan masih rentan terhadap aktivitas teroris. Malaysia di antaranya masih digunakan sebagai tempat transit dan tempat merencanakan serangan teroris. Menurut laporan ini pula, meskipun Pemerintah Malaysia telah menjalankan langkah-langkah pengetatan kontrol perbatasan, pengawasan perbatasannya masih terbilang lemah, terutama di wilayah-wilayah yang berbatasan dengan Thailand (Malaysia sebelah utara). Selain itu, masih ada celah keamanan maritim di wilayah-wilayah yang berbatasan dengan Filipina Selatan, Indonesia, dan Sabah. Apa saja langkah-langkah yang sudah dijalankan oleh Pemerintah Malaysia untuk memperketat kontrol perbatasan dan imigrasinya? Dalam hal dokumen imigrasi, sejak bulan Juni 2011, Pemerintah Malaysia telah menerapkan sistem biometrik seperti halnya pemerintah Singapura. Sistem ini merekam sidik jari telunjuk kanan dan kiri orang-orang yang memasuki titik masuk wilayah Malaysia. Di samping itu, Pemerintah Malaysia telah memiliki sistem registrasi warga asing yang memasuki wilayahnya, yang bernama The National Foreigners Enforcement and Registration System. Sistem ini terhubung dengan Sistem Identifikasi Sidik Jari Biometrik yang dimiliki kepolisian Malaysia. Menurut kepolisian Malaysia, dalam beberapa hari pertama setelah pemasangannya saja sistem ini telah berjasa dalam menahan seorang operatif JI asal Indonesia.12 Pemerintah Malaysia juga telah memulai upaya nasional untuk mendata para pekerja asing yang selama ini kurang terdokumentasikan dengan baik (United States Department of State, 2011). Badan yang bertanggung jawab untuk mengatur imigrasi di Malaysia adalah Royal Malaysian Customs atau RMC. Badan ini mengklaim diri telah 12
Agus Salim, operatif JI asal Indonesia yang pernah ditangkap dan dideportasi pada tahun 2009, namun kembali memasuki Malaysia dengan menggunakan nama lain.
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
108
mengadopsi standar sistem imigrasi yang disarankan oleh UN/EDIFACT. Saat ini, RMC menggunakan Customs Verification Initiative (CVI) sebagai alat untuk mendeteksi, menganalisis, dan mengatasi resiko imigrasi. RMC juga telah mengadopsi WCO Customs Data Model version 1.0 dan menerapkan Container Security Initiative, sama seperti Singapura. Sementara itu, untuk meningkatkan keamanan perbatasan, Pemerintah Malaysia telah mempertimbangkan untuk menerapkan Advanced Passenger Screening System (APSS) atau Advance Passenger Information System (API), sebuah inisiatif yang diusulkan oleh Kementerian Dalam Negeri Malaysia pada tahun 2010. APSS adalah sistem pre-screening penumpang penerbangan internasional yang bertujuan untuk memberi informasi awal atau peringatan kepada pihak imigrasi Malaysia mengenai orang-orang yang berada di dalam daftar pengawasan sebelum kedatangan atau keberangkatan mereka. Saat ini Pemerintah Malaysia masih mengkaji apakah diperlukan amandemen legislasi atau peraturan untuk menerapkan hal ini (United States Department of State, 2011). Dalam hal kontrol dokumen perjalanan, Pemerintah Malaysia telah menerapkan
standar
mesin
untuk
membaca
dokumen
perjalanan
dan
memperkenalkan sistem perekaman sidik jari biometrik untuk warga negara asing di seluruh titik pintu masuk udara, laut, dan darat sejak bulan Juni 2011. Prosedur kontrol dokumen yang diterapkan Malaysia saat ini disusun berdasarkan standar ICAO. Pemerintah Malaysia juga telah memberi perhatian pada integritas para petugas perbatasan dengan mengembangkan program pelatihan kerja dan pelatihan antar-agensi. Di tingkat strategis, Pemerintah Malaysia juga telah menyusun rencana induk keamanan negara yang salah satunya membahas tentang upaya menghentikan korupsi. Dalam kasus pencurian dokumen perjalanan atau paspor, Malaysia juga telah mengikuti prosedur keamanan standar dengan mengharuskan pemilik paspor untuk melapor ke polisi. Informasi mengenai dokumen perjalanan yang hilang secara rutin dikomunikasikan oleh Kepolisian Malaysia kepada Interpol. Prosedur ini sama dengan yang diterapkan di Singapura meskipun Singapura lebih dulu menerapkannya dan kontrol perbatasannya lebih berlapis.
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
109
3.3.2.2 Kontrol Senjata dan Bahan Peledak Kontrol imigrasi dan perbatasan adalah wilayah penting dalam penanggulangan terorisme Malaysia, terutama karena negara tersebut berada di tengah lalu lintas mobilitas teroris transnasional. Akan tetapi, kontrol senjata tidak kalah pentingnya karena Malaysia pernah dinyatakan sebagai salah satu titik penyelundupan senjata transnasional. Dari segi pengaturan normatif, Malaysia telah memiliki UU Senjata sejak tahun 1960 dan UU Bahan Peledak sejak 1957 (Report of Malaysia‟s Implementation, 2011). UU ini mengatur perizinan dan produksi, impor, ekspor, dan transit senjata api. Produsen senjata api harus mendapatkan izin, begitu pula yang menggunakan Malaysia sebagai negara transit. Pelabuhan untuk transit pun ditunjuk pemerintah. Selain itu, pada tahun 2011, Malaysia menerapkan UU Perdagangan Strategis atau Strategic Trade Act yang mengatur ekspor, transit, dan pemindahtanganan senjata militer.
Dari
segi kerangka normatif, kontrol senjata dan bahan peledak di Malaysia dilakukan secara ketat. Malaysia memiliki banyak sekali legislasi yang mengatur senjata api. Secara total, ada tujuh legislasi yang dapat mengkriminalkan pemilikan atau pemindahtanganan ilegal senjata api dan bahan peledak di Malaysia. Selain senjata konvensional, kapabilitas teroris transnasional untuk mendapatkan senjata kimia, biologis, radiologis, dan nuklir juga penting untuk ditangkal. Dalam hal ini, Malaysia memiliki sebuah badan yang berwenang untuk mengatur bahan-bahan radioaktif dan nuklir, yaitu The Atomic Energy Licensing Board (AELB). Pada tahun 2007, badan ini telah merestui diterapkannya aturan International Atomic Energy Agency (IAEA) mengenai keamanan sumber-sumber bahan radioaktif (APEC, 2011). Akan tetapi, seperti halnya dengan pengetatan keamanan di sektor penerbangan, kelautan, dan transportasi darat, data mengenai kontrol senjata di Malaysia berhenti pada analisis kerangka normatif sehingga masih ada jurang pengetahuan dalam hal implementasinya di lapangan.
3.3.2.3 Kontrol Pendanaan Upaya menekan dan menghilangkan pendanaan teroris adalah salah satu inisiatif terawal komunitas internasional pasca-serangan 9/11. Negara-negara
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
110
anggota PBB diminta untuk menyesuaikan kerangka legislasinya dengan persyaratan internasional untuk menekan pendanaan teroris. Selain, itu kontrol pendanaan adalah isu penting bagi Malaysia karena wilayahnya ditetapkan sebagai wilayah penggalangan dana (Mantiqi I) oleh Jamaah Islamiyah. Sebagai respon terhadap inisiatif internasional di atas, pada tahun 2002 Malaysia mengeluarkan legislasi untuk menekan pendanaan terorisme dan pencucian uang. Legislasi ini bernama Anti-Money Laundering and AntiTerrorism Financing Act (AMLATF). UU ini mewajibkan lembaga-lembaga tertentu untuk melaporkan transaksi yang melebihi jumlah tertentu dan transaksi yang dianggap mencurigakan. Selain lembaga keuangan, para pengacara dan advokat pun diwajibkan untuk melaporkan transaksi keuangan klien mereka yang dianggap mencurigakan.13 Selain itu, UU ini juga mengatur tentang pendirian unit intelijen finansial. Unit Intelijen Finansial ini memiliki wewenang luas untuk mengadakan kerja sama dengan badan pemerintah dalam negeri maupun luar negeri. Saat ini, Unit Intelijen Finansial Malaysia menjadi bagian integral dari Bank Sentral Malaysia, yakni Bank Negara Malaysia (BNM). UU ini juga memberi wewenang bagi pemerintah untuk membekukan dan menyita properti yang dicurigai terlibat dalam pendanaan teroris dan pencucian uang. Selain UU ini, hukum pidana Malaysia juga mengkriminalkan bantuan finansial untuk mendanai kegiatan terkait terorisme. Sementara itu, dari sisi kelembagaan, terdapat setidaknya 12 lembaga di Malaysia yang berwenang untuk mengatur dan menindak hal-hal terkait pencucian uang dan pendanaan terorisme,14 di antaranya Kejaksaan Agung, Departemen Keamanan Internal, Kepolisian, dan Komisi AntiKorupsi. Bagaimana ke-12 lembaga di atas mengkoordinasikan upaya mereka untuk menekan pendanaan teroris tidak diketahui dan tidak diatur dalam UU ini. Pada tahun 2011, Malaysia memperbaiki kerangka legislasi untuk mengkriminalkan pendanaan teroris dengan mengeluarkan UU Bisnis Layanan Uang atau the Money Service Business Act (MSBA) yang menggantikan tiga
13
UU ini bahkan dapat menghapus hak istimewa terkait kerahasiaan di antara pengacara dan kliennya jika terdapat indikasi bahwa transaksi sang klien terkait dengan pendanaan teroris. 14 Yaitu Kementerian Dalam Negeri, Kepolisian Malaysia, Komisi Anti-Korupsi Malaysia, Komisi Sekuritas, Badan Bea Cukai Malaysia, Departemen Imigrasi, Otoritas Jasa Finansial, Kejaksaan Agung, Kementerian Keuangan, Kementerian Keamanan Internal, dan Kementerian Perdagangan Domestik, Koperasi, dan Konsumerisme.
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
111
legislasi yang lama. UU ini mengatur bisnis penukaran uang, layanan remittance non-bank, dan bisnis penukaran mata uang skala besar yang berada di bawah Bank Sentral Malaysia (United States Department of State, 2011). Meskipun demikian, laporan asesmen AS tahun 2010 menyatakan bahwa belum ada investigasi maupun pemrosesan secara hukum dengan menggunakan UU ini. Menurut laporan tersebut, Pemerintah Malaysia terlalu bergantung pada ISA untuk menahan orang-orang yang dicurigai sebagai teroris sebagai langkah preventif dan kurang banyak mengadakan penyelidikan dengan menggunakan hukum pidana biasa.
3.3.3.4 Kontrol Dunia Maya Internet dapat digunakan oleh teroris untuk melakukan propaganda dan rekrutmen, juga sebagai saluran komunikasi untuk mengorganisasikan diri mereka sendiri (command and control). Dengan demikian, kontrol internet adalah salah satu cara untuk menangkal kapabilitas teroris untuk melangsungkan serangan. Seperti halnya Singapura, Malaysia adalah negara dengan kontrol yang kuat atas warga negaranya. Berbagai restriksi dijalankan di negara tersebut, misalnya restriksi atas pers dan juga regulasi konten internet. Data yang penelitian ini dapatkan menyebutkan bahwa pada tahun 2009, Pemerintah Malaysia berencana mengembangkan sistem penyaringan informasi internet untuk memerangi pornografi, perjudian, dan terorisme. Akan tetapi, rencana ini menimbulkan protes dari sejumlah organisasi non-pemerintah, media, dan anggota partai oposisi Malaysia. Setelah itu, pemerintah mengumumkan secara formal bahwa proyek tersebut dihentikan (Reuteurs, 2009). Sumber lain menyatakan bahwa pemerintah Malaysa memang mengawasi situs-situs internet radikal, namun memilih untuk tidak menutup situs-situs tersebut agar dapat mengikuti aktivitas mereka (United States Department, 2010). Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa Pemerintah Malaysia menjalankan pengawasan dan kontrol atas sumber-sumber internet, namun tidak dengan menutup situs-situs radikal, melainkan menjadikannya sumber intelijen. Langkah ini memiliki kekuatan dan kelemahan. Dengan membiarkan situs-situs radikal beroperasi, Pemerintah Malaysia memang dapat mengawasi setidaknya wacana dan pergerakan kelompok radikal. Akan tetapi,
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
112
situs-situs ini juga dapat menjadi alat disinformasi untuk menyesatkan pemerintah, selain tentunya instrumen propaganda terhadap warga Malaysia yang masih dapat mengakses situs-situs tersebut. Meskipun demikian, dapat dikatakan bahwa Pemerintah Malaysia mengambil resiko tersebut dan mengkompensasinya dengan melancarkan kontra-wacana atau perang ideologis yang sangat intensif dan didukung oleh perangkat ideologis maupun represif negara, yang akan dipaparkan lebih jauh di bagian penggentaran melaui penangkalan di tingkat strategis di bawah ini.
3.3.3 Pengurangan Insiden Terorisme melalui Penghilangan Motivasi untuk Melangsungkan Serangan (Penangkalan di Tingkat Strategis) Dua bagian sebelumnya telah membahas mengenai penggentaran melalui penangkalan peluang teroris di tingkat taktis serta penangkalan kapabilitas teroris di tingkat operasional. Elemen ketiga dari penggentaran melalui penangkalan adalah penangkalan motivasi teroris atau penangkalan di tingkat strategis. Penangkalan di tingkat ini adalah yang paling sulit untuk dilakukan, terutama untuk kelompok teroris yang tergolong bermotivasi tinggi dan memiliki akar ideologis yang kuat. Pada dasarnya, penangkalan di tingkat strategis dilakukan dengan menghilangkan motivasi teroris untuk melangsungkan serangan atau untuk menggunakan metode teroris sebagai untuk mencapai tujuannya. Secara umum, hal ini dapat dilakukan melalui dua hal, yaitu perang ideologis (menghilangkan atau melawan ideologi yang mendasari serangan) dan mitigasi dampak serangan (memastikan bahwa serangan teroris yang berhasil dijalankan tidak mencapai tujuan strategisnya, yakni menimbulkan kekacauan dan kepanikan). Kedua hal di atas akan dibahas di bagian berikut ini.
3.3.3.1 Mitigasi Dampak Serangan dan Pemulihan Pasca-Serangan Mitigasi dampak serangan dan pemulihan pasca-serangan adalah hal yang sangat penting untuk dilakukan karena beberapa alasan. Yang pertama adalah untuk menyelamatkan korban serangan teroris itu sendiri. Yang kedua adalah untuk mengendalikan keadaan sehingga kerusakan yang terjadi akibat serangan tidak meluas, baik kerusakan fisik maupun kerusakan psikologis. Yang ketiga
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
113
adalah agar serangan tersebut tidak menimbulkan dampak ikutan atau dampak tidak langsung di sektor-sektor lain, misalnya keresahan sosial atau guncangan ekonomi yang tidak dapat dipulihkan. Selain beberapa alasan di atas, memitigasi dampak serangan dan memulihkan kondisi pasca-serangan teroris secara cepat dapat juga menimbulkan efek penggentaran di tingkat strategis. Hal ini diwujudkan dengan cara memastikan bahwa metode teror tidak berhasil mencapai tujuan strategisnya (yakni menimbulkan kekacauan dan kepanikan) sehingga metode ini akhirnya ditinggalkan dan diganti dengan metode lain yang tidak menggunakan kekerasan.
Mitigasi dampak serangan dan pemulihan pasca-
serangan adalah bagian dari konsep pengelolaan insiden (incident management) yang menjadi salah satu tugas pokok Departement of Homeland Security AS (Anonim, 2010).15 Namun, memitigasi dampak serangan dan memulihkan kondisi pasca-serangan tidak termasuk sebagai salah satu fokus kontraterorisme yang tertulis di rencana kontraterorisme Malaysia (APEC, 2011). Membangun model manajemen krisis untuk melindungi orang-orang yang transit memang menjadi salah satu komitmen Kementerian dan pemimpin Malaysia pada tahun 2011 (APEC, 2011). Akan tetapi, penelitian ini tidak menemukan dokumen khusus yang menjabarkan adanya lembaga khusus untuk mengelola situasi krisis sebagaimana halnya ditemukan di Singapura atau rencana manajemen krisis nasional yang mencakup sektor-sektor penting. Yang penelitian ini temukan hanyalah data mengenai program peningkatan kapasitas dalam hal krisis manajemen terorisme yang menggunakan senjata kimia dan biologis. Ketiadaan rencana induk atau rencana nasional untuk manajemen insiden cukup mengkhawatirkan. Perhatian akan hal ini sebenarnya telah datang dari berbagai lembaga penelitian di Malaysia, termasuk dari SEARCCT yang memasukan manajemen insiden ke dalam salah satu programnya. Akan tetapi, tidak ada data mengenai apa yang telah dijalankan pemerintah sendiri dalam sepuluh tahun ini berkaitan dengan persiapan merespon serangan teroris ketika serangan itu terjadi. Kurangnya penekanan dalam hal ini mungkin berkaitan dengan persepsi negara tersebut bahwa Malaysia bukanlah target potensial serangan teroris transnasional. 15
Pengelolaan insiden terdiri dari empat fase, yaitu fase mitigasi (pengurangan resiko serangan di masa depan), kesiapan (proses penyiapan untuk merespon serangan), respon (upaya penyelamatan di tempat), dan pemulihan.
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
114
3.3.3.2 Perang Ideologi untuk Menghilangkan Motivasi Teroris Selain respon terhadap serangan dan pemulihan pasca-serangan, aspek lain dari penangkalan di tingkat strategis adalah perang ideologi untuk menangkal pengaruh wacana radikal. Di Malaysia, perang ideologis memainkan peran sentral dan dimasukkan sebagai salah satu fokus kontraterorisme. Ada dua hal terkait hal ini yang akan dibahas di bawah ini. Yang pertama adalah kontra-ideologi yang dijalankan Pemerintah Malaysia secara luas untuk warga negaranya dan yang kedua adalah program yang ditujukan untuk merehabilitasi tahanan teroris, yang disebut program rehabilitasi atau disengagement (ada juga sumber yang menyebutnya deradikalisasi).
a. Kontra-Ideologi: Promosi Islam versi Pemerintah Sebagaimana disebutkan di atas, Malaysia memandang dirinya sebagai contoh Islam moderat dunia. Pemerintah Malaysia sangat aktif memerangi pemikiran atau aliran pemikiran yang tidak sejalan dengan pemerintah. Hal ini juga berlaku dalam pemikiran atau aliran Islam. Aliran yang dianggap „radikal‟ segera menjadi musuh negara dan dianggap membahayakan keamanan nasional Malaysia. Di samping melarang dan merepresi aliran-aliran Islam yang dianggap berbahaya,
Pemerintah
Malaysia
juga
aktif
mengkonstruksikan
dan
mempromosikan aliran Islam yang direstui pemerintah untuk menandingi dan memerangi ideologi Islam radikal. Ideologi Islam versi pemerintah ini dikenal sebagai „Islam Hadhari.‟ Konsep ini terdiri dari 10 prinsip dan secara umum mengandung elemen kebebasan beragama, beragama tanpa kekerasan, pentingnya pengetahuan, serta perkembangan ekonomi. Menurut Humphreys (2010, h. 37), ideologi Islam versi negara ini dikonstruksi untuk menampilkan Islam sebagai agama pembangunan dan bukan agama kekerasan. Untuk menyebarkan konsep Islam Hadhari ini, pemerintah melalui Departemen Khusus Kementerian Informasi melancarkan kampanye lima tahun di berbagai forum. Kampanye ini diikuti oleh para pemuka agama, jurnalis, akademisi, pengacara, dan psikolog. Pada tahun 2007, pemerintah Badawi bahkan memberi 50.000 ringgit kepada
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
115
setiap anggota Parlemen untuk meningkatkan kesadaran masyarakat di masingmasing wilayah anggota parlemen tersebut. Secara konseptual, konsep ini dapat berperan sebagai ideologi tandingan. Akan tetapi, menurut Humphreys (2010), komitmen Pemerintah Malaysia untuk benar-benar menerapkan konsep ini di tingkat operasional patut dipertanyakan. Menurutnya, konsep ini hanya digunakan untuk menjustifikasi represi pemerintah terhadap aliran-aliran yang dianggap menyimpang secara ideologis. Sebagai contoh, pada tahun 2004, 70 anggota tarikat Samaniah Ibrahim Bonjol ditangkap di Selangor oleh otoritas syariah. Pada tahun 2005, aliran Kerajaan Langit di Terengganu dibubarkan oleh pemerintah karena dianggap bertentangan dengan Islam. Pemimpinnya, Ayah Pin, dituduh sebagai ancaman terhadap keamanan nasional karena memiliki anggota lebih dari 45.000 orang (Lau 2004 dalam Humphreys 2010, h. 38). Pemaksaan aliran Islam versi pemerintah ini dapat menimbulkan efek negatif tersendiri yang kemudian memicu perkembangan aliran Islam radikal di Malaysia. Penelitian ini tidak menemukan data yang menjabarkan bagaimana Pemerintah Malaysia bersiap untuk menangani resiko ini.
b. Kontra-Ideologi melalui Sistem Pendidikan Sistem pendidikan adalah salah satu sistem yang dikontrol pemerintah secara ketat. Segera setelah serangan 9/11, Pemerintah Malaysia meluncurkan kampanye untuk mencegah radikalisme dalam sistem pendidikan. Kebijakan ini ditujukan untuk mencegah penyimpangan ajaran dengan mengontrol pengajaran agama di tangan pemerintah nasional (Ressa 2003, h. 76 dalam Humphreys 2010, h. 32). Pemerintah juga mengawasi sekolah-sekolah swasta dan kurikulum mereka (Noor 2007, h. 185 dalam Humphreys 2010, h. 34). Akan tetapi, sebagaimana konsep Islam Hadhari, beberapa pihak berargumen bahwa isu radikalisme dalam pendidikan ini juga digunakan oleh Pemerintah Malaysia untuk menekan pihak oposisi. Pada bulan Oktober 2001, pemerintah mengeluarkan pernyataan bahwa Taman Kanak-Kanak, sekolah, dan kampus yang dijalankan oleh partai oposisi, Partai Islam Pan-Malaysia atau PAS akan dimasukkan ke dalam pengawasan karena
dicurigai
mengajarkan
paham
ekstrimisme
(Humphreys,
2010).
Sebagaimana disebutkan di atas, persepsi masyarakat bahwa pemerintah hanya
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
116
menggunakan isu ini untuk mempertahankan posisi rezim yang berkuasa justru dapat memicu pertumbuhan radikalisme yang pada gilirannya berpotensi meningkatkan jumlah insiden terorisme. c. Program Disengagement Sebagaimana disebutkan di atas, Pemerintah Malaysia sangat menekankan upaya untuk mengatasi ideologi ekstrim di negaranya yang melandasi aktivitas terorisme. Dalam hal ini, pemerintah melalui Kepolisian dan Departemen Pengembangan Islam menjalankan program „disengagement’ untuk para tersangka teroris di Penjara Kamunting Malaysia. Program ini melibatkan aktivitas-aktivitas konseling keagamaan dan sosial serta pelatihan keterampilan. Sebuah komite didirikan untuk mengevaluasi kemajuan tersangka teroris yang ditahan dan mengikuti program ini. Laporan komite ini kemudian dikaji oleh sebuah panel dari pusat penahanan dan Kementerian Dalam Negeri. Tersangka teroris yang dibebaskan tetap berada di bawah pengawasan dan dibatasi aktivitasnya, termasuk dikenai jam malam dan dilarang mengadakan perjalanan atau kontak dengan pihak-pihak tertentu (United States Department of State, 2011). Di beberapa negara lain (misalnya Indonesia), upaya semacam ini disebut sebagai program deradikalisasi, yakni upaya untuk melepaskan para pelaku teror dan simpatisan mereka dari ideologi teror. Selain mencakup program rehabilitasi menyeluruh bagi para tahanan, program ini juga mencakup pendidikan ulang bagi para keluarga dan pasangan tahanan. Selain itu, Pemerintah Malaysia juga menjalankan program pendidikan komunitas untuk menghilangkan ideologi militan dan mengurangi kebencian pada Barat (Malaysia Counter-Terrorism Plan, 2011). Meskipun Pemerintah Malaysia menyatakan bahwa program ini sangat sukses, menurut laporan AS, tidak ada ukuran yang memadai mengenai kesuksesan atau kegagalannya (United States Department of State, 2011).
3.4
Pengurangan Insiden Terorisme melalui Penggentaran melalui Hukuman Penggentaran melalui hukuman pada dasarnya dilakukan dengan
mengancam akan merusak atau menghilangkan sesuatu yang berharga bagi pihak
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
117
lawan. Dalam kasus terorisme, penggentaran melalui hukuman dapat dijalankan melalui langkah yang paling menggunakan kekerasan hingga langkah yang represif namun menggunakan kekerasan dalam jumlah minimal. Contoh penggentaran melalui hukuman yang menggunakan kekerasan dalam jumlah besar adalah retaliasi masif, membalas serangan teroris dengan balas menyerang dan menyasar keluarga atau komunitas teroris. Langkah lain adalah dengan membidik dan membunuh tokoh-tokoh pemimpin teroris tertentu. Langkah yang paling tidak kontroversial dan paling umum digunakan oleh negara-negara adalah penegakan hukum atau kriminalisasi. Dengan kata lain, pendekatan ini mengambil kebebasan teroris (dalam beberapa kasus nyawa mereka) untuk menciptakan efek penggentaran. Di negara-negara yang mengklaim diri sebagai negara demokratis dan memandang teroris sebagai aksi kriminal (bukan perang), penegakan hukum biasanya menjadi pendekatan koersif utama.
3.4.1
Penegakan Hukum terhadap Tindak Terorisme Di Malaysia, dapat dikatakan bahwa pendekatan hukum menjadi fokus
kontraterorisme dan bersifat dominan (APEC, 2012; United States Department of State, 2010). Sistem hukum Malaysia untuk menanggulangi terorisme tersusun oleh sejumlah UU represif, yang meliputi Internal Security Act (ISA), UU Pers dan Publikasi, UU Darurat, dan UU Rahasia Negara (Humphreys 2010, h.23). Berbagai legislasi di atas menekankan pendekatan preventif dan dilengkapi dengan wewenang penahanan preventif. Perlu dicatat bahwa bahwa berbagai UU di atas sering dikatakan sebagai alat pemerintah yang berkuasa untuk mempertahankan status quo politik dan melenyapkan oposisi fisik maupun ideologis terhadap rezim yang berkuasa (Humphreys, 2010). Pembahasan di bawah ini akan mengulas tentang terorisme dalam sistem hukum Malaysia dan langkah-langkah yang telah dijalankan Malaysia untuk menjerat teroris dengan sistem hukum.
a. Terorisme dalam Sistem Hukum Pidana Malaysia Dalam hukum pidana Malaysia, terorisme dipandang sebagai sebuah metode kriminal dan disamakan dengan tindak kriminal lainnya, misalnya
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
118
penyerangan dan pembunuhan. Sebelum serangan 9/11, tidak ada ketentuan pidana khusus untuk mengkriminalisasi terorisme atau kegiatan-kegiatan terkait terorisme, kecuali dalam bagian „Tindak Pidana Melawan Negara.‟ Bagian ini mengkategorikan terorisme ke dalam aksi perang melawan negara dan Yang Dipertuan
Agung
(Bon
Tai
Soon,
2004).
Kadangkala,
terorisme
dikriminalisasikan sebagai perbuatan makar. Karena JI bertujuan untuk mendirikan negara Islam, berdasarkan ketentuan ini aksi teroris transnasional dapat dikategorikan sebagai makar dan dikriminalisasikan melalui hukum pidana. Pasca serangan-9/11, Malaysia mengamandemen hukum pidananya dengan memasukkan kategori terorisme dan kegiatan-kegiatan terkait terorisme sebagai bagian tersendiri. Meskipun demikian, hukum pidana ini banyak dikritik karena definisi terorisme yang dianutnya dianggap terlalu luas. Selain itu, hukum pidana Malaysia juga telah menambahkan kriminalisasi bantuan finansial terhadap terorisme dengan hukuman maksimal hukuman mati. Hukum Acara Pidana Malaysia juga memberi wewenang yang luas kepada pihak kepolisian dan Kejaksanaan Agung untuk melakukan investigasi, termasuk dengan menyadap komunikasi (Bon Tai Soon, 2004). Selain beberapa elemen hukum pidana ini, Malaysia belum memiliki legislasi anti-terorisme khusus lainnya dan banyak menggunakan undang-undang keamanan internal atau ISA. Akan tetapi, pada bulan Februari 2012, Perdana Menteri Malaysia menyatakan bahwa negara tersebut akan menyusun sebuah UU anti-terorisme berdasarkan standar praktikpraktik terbaik internasional (Bernama Media, 3 Februari 2012). Hingga saat ini, bentuk maupun isi dari undang-undang tersebut belum diketahui. Meskipun pada dasarnya hukum pidana Malaysia dapat mengkriminalkan terorisme sebagai aksi makar maupun aksi kriminal dengan kategori tersendiri, ternyata hukum atau UU yang paling sering digunakan pemerintah untuk menjerat teroris adalah ISA, yang akan dibahas di bawah ini.
b.
Internal Security Act sebagai Perangkat Hukum Utama untuk Menanggulangi Terorisme ISA hanyalah satu dari beberapa undang-undang Malaysia yang dapat
digunakan untuk mengkriminalisasi terorisme. Meskipun demikian, ISA telah
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
119
menjadi perangkat hukum utama untuk menangani hal ini. Hal ini disebabkan karena karakteristik inheren ISA yang memberi kewenangan yang sangat besar bagi pemerintah. Salah satu instrumen hukum yang sangat bermanfaat untuk mencegah serangan teroris adalah penahanan preventif yang terdapat dalam ISA dan tidak terdapat dalam perangkat hukum yang lain. Dengan menggunakan instrumen ini, pemerintah dapat menangkap dan menahan orang-orang yang dicurigai terlibat dalam perencanaan aksi teroris atau terlibat dalam jaringan teroris tanpa melalui pengadilan. UU ini memberi wewenang bagi polisi untuk menahan „tersangka teroris‟ selama 60 hari. Setelah batas waktu tersebut, orang yang ditahan tersebut dapat ditahan oleh Kementerian Dalam Negeri hingga batas waktu 2 tahun. Namun, masa penahanan ini dapat terus-menerus diperpanjang. Ketentuan ini persis sama dengan ISA Singapura. Penahanan preventif terhadap seseorang ini tidak dapat dibatalkan melalui judicial review. Peradilan juga tidak dapat memeriksa substansi surat perintah Kementerian untuk mengecek apakah fakta-fakta yang melatarbelakangi perintah penahanan tersebut memadai atau tidak (Bon Tai Soon, 2004). Sebagai pelengkap dari ISA, Sedition Act melarang seluruh aktivitas yang dipandang dapat menyebabkan berkurangnya rasa hormat terhadap pemerintah. Karena sifatnya yang preventif, Wah (2007) menyamakan perangkat koersif ini dengan serangan pre-emptive AS (Humphrey 2010, h. 24). Data tentang tersangka teroris yang ditahan dengan menggunakan ISA menunjukkan bahwa hukum inilah yang paling sering digunakan. Sejak akhir Agustus 2001, Pemerintah Malaysia semakin intensif menggunakan ISA. Hingga Agustus 2004, Pemerintah Malaysia telah menahan 75 orang yang dicurigai sebagai anggota JI dan 12 orang Kumpulan Militan Malaysia atau KMM. Menurut Bon Tai Soon, banyak masa penahanan yang telah berkali-kali diperpanjang hingga saat ini. Tahanan yang dianggap sudah mengalami rehabilitasi dibebaskan bersyarat, namun kehidupan mereka masih dibatasi. Hingga saat ini, tidak ada tersangka teroris yang dibawa ke pengadilan. Para tersangka teror yang ditahan dengan menggunakan ISA tidak menjalani peradilan formal. Menurut laporan asesmen tahunan US Department of State tahun 2010, penegakan hukum di Malaysia dalam menanggulangi terorisme dapat dikatakan
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
120
efektif. Hal ini ditunjang oleh dekatnya kerja sama di antara Malaysia dan beberapa negara tetangganya di Asia Tenggara, terutama Singapura. Akan tetapi, lapran yang sama juga menyebutkan bahwa efektivitas kepolisian Malaysia dalam mengidentifikasi jejaring teror dibatasi oleh penggunaan ISA itu sendiri. Dengan menggunakan ISA, kepolisian dapat menahan tersangka hanya atas dasar informasi intelijen dan bukan informasi yang didapat dari hasil penyelidikan (United States Department of State, 2011) untuk dibuktikan di pengadilan sehingga membatasi informasi yang ada mengenai jejaring teror.
3.4.2
Pembunuhan Bersasaran dan Retaliasi Masif Pemerintah Malaysia tidak mengadopsi pendekatan perang dalam
melawan terorisme kontemporer. Penelitian ini tidak menemukan data mengenai dijalankannya strategi pembunuhan bersasaran, terlebih lagi retalias masif. Secara umum, Malaysia tidak mungkin menjalankan strategi retaliasi masif karena akan mengalienasi penduduknya sendiri yang mayoritas muslim. Sementara itu, pembunuhan bersasaran sebenarnya dapat disamarkan melalui penegakan hukum. Akan tetapi, lain halnya dengan kepolisian Indonesia yang banyak membunuh teroris dalam pengejaran atau penggrebekan, tidak ada data yang menyatakan hal yang sama untuk Malaysia.
3.5
Pengurangan Insiden Terorisme melalui Insentif Politik dan Ekonomi
3.5.1
Insentif Ekonomi dalam Bentuk Pendekatan Kesejahteraan Sebagaimana dibahas sebelumnya, insentif politik dan ekonomi adalah sisi
lain dari strategi penggentaran. Meskipun demikian, secara teoretis, pemberian insentif politik dan ekonomi secara langsung kepada teroris kontemporer dinyatakan kurang efektif karena teroris di era ini termasuk ke dalam kategori „bermotivasi tinggi.‟ Dengan demikian, langkah-langkah yang dilakukan Pemerintah Malaysia adalah pendekatan kesejahteraan untuk warga negara Malaysia secara umum dan mereka yang telah ditahan, bukan dengan berusaha “menyuap” teroris yang masih aktif secara langsung. Pendekatan kesejahteraan ini konsisten dengan pendekatan pembangunan yang dianut negara itu sendiri. Malaysia adalah negara pembangunan yang
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
121
memprioritaskan pembangunan ekonomi di atas segala-galanya. Negara memegang peranan besar dalam mengarahkan kehidupan warga negaranya dan memberikan batasan-batasan politik yang tidak boleh dilanggar guna menciptakan kestabilan keamanan yang merupakan prasyarat pembangunan ekonomi. Sejak awal krisis ekonomi global, Malaysia memperkuat pernyataannya tentang hubungan di antara kondisi ekonomi dan ekstrimisme yang melahirkan terorisme. Sebelumnya, Malaysia selalu menyatakan pentingnya menanggulangi „akar penyebab‟ terorisme yang salah satunya adalah kondisi ekonomi yang buruk. Pada bulan Juni 2008 dalam forum Pertemuan Kejahatan Transnasional ASEAN, Menteri Dalam Negeri Malaysia mengaitkan memburuknya kondisi ekonomi dunia dengan potensi peningkatan serangan teroris (Vaughn 2009, h. 107). Sesuai dengan persepsi tersebut, kebijakan peningkatan ekonomi menjadi salah satu langkah Malaysia untuk mencegah menyebarluasnya ideologi ekstrim di negara tersebut. Akan tetapi, penelitian ini belum menemukan insentif ekonomi atau langkah-langkah peningkatan ekonomi yang ditawarkan kepada Jamaah Islamiyah atau Kumpulan Mujahidin Malaysia (KMM) secara langsung dalam rangka menghilangkan motivasi kelompok tersebut untuk menyerang. Dapat disimpulkan bahwa insentif ekonomi yang dijalankan Pemerintah Malaysia tidak ditujukan secara langsung kepada teroris itu sendiri, melainkan secara tidak langsung dengan menggunakan pendekatan kesejahteraan kepada warga negaranya agar tidak bergabung dengan teroris.
3.5.2
Insentif Politik dalam Bentuk Demokratisasi Secara retorik, Malaysia mengklaim diri sebagai negara demokrasi.
Konsep Islam Hadhari yang diusung Malaysia untuk menandingi wacana radikal menyebutkan praktik-praktik demokrasi dan pemerintahan yang baik sebagai kunci untuk memerangi radikalisme. Islam Hadhari dikonstruksikan sebagai pendekatan yang dapat mewujudkan hal tersebut. Elemen-elemen yang dipropagandakan oleh pemerintah adalah muslim yang „modern, demokratis, toleran, dan kompetitif secara ekonomi‟ (Humphreys 2010, h. 37). Meskipun demikian, Humphreys berargumen bahwa ideologi yang dikonstruksikan oleh Pemerintah Malaysia tersebut seringkali lebih ditujukan
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
122
untuk menjaga kelangsungan rezim yang berkuasa (Barisan Nasional) yang telah memegang tampuk kepemimpinan sejak kemerdekaan Malaysia tahun 1957 ketimbang untuk mengatasi ancaman keamanan nasional yang nyata (Humphreys 2010, h. 22). Menurutnya, lembaga dan instrumen negara telah menjadi satu dan sebangun dengan rezim penguasa di mana yang satu mendukung dan memperkuat yang lain (ibid). Seluruh kekuasaan negara dipegang oleh pihak Eksekutif yang didominasi oleh rezim Barisan Nasional. Pihak yang sama mengontrol sepenuhnya persepsi mengenai keamanan nasional. Dalam konteks ini, perang melawan teror digunakan untuk mempromosikan kepentingan pemerintah yang berkuasa,
membatasi
berkembangnya
gagasan-gagasan
alternatif,
dan
menjustifikasi penggunaan aparat koersif negara dan rezim Barisan Nasional itu sendiri (Humphrey 2010, h. 23). Dengan demikian, penelitian ini berpendapat bahwa demokratisasi tidak dijadikan kunci penanggulangan terorisme dalam jangka panjang sebagaimana diklaim oleh Pemerintah Malaysia. Sebaliknya, sebagaimana telah dijelaskan di atas, Pemerintah Malaysia justru gencar melarang dan menutup aliran-aliran Islam yang dianggap tidak sesuai dengan pemerintah (arus utama) dengan berbagai undang-undang yang ada, termasuk Sedition Act dan UU Pers dan Publikasi. Aliran dan kelompok radikal tidak diberi ruang dalam pemerintahan. Sebaliknya, rezim yang berkuasa justru sering menggunakan isu radikalisme untuk menghambat partai oposisi, misalnya dengan menuduh PAS (partai oposisi Malaysia) memiliki afiliasi dengan kelompok-kelompok radikal. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa insentif politik untuk menggentarkan teroris dengan cara mencoba mengintegrasikan mereka dalam sistem politik yang lebih damai bukan pilihan Pemerintah Malaysia.
3.6
Simpulan Tingkat aktivitas terorisme di Malaysia relatif rendah dibandingkan di
negara-negara Asia Tenggara lainnya. Dalam satu dekade terakhir tidak ada satu pun serangan terorisme yang berhasil dilakukan di wilayah Malaysia, baik yang bersifat transnasional maupun homegrown. Hal ini sebagian dapat diatributkan kepada langkah-langkah penanggulangan terorisme yang telah dilakukan Pemerintah Malaysia. Pembahasan di atas memaparkan langkah-langkah tersebut,
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
123
yang kemudian dianalisis dari kaca mata teori penggentaran. Pembahasan di atas mencakup tiga elemen penggentaran, yaitu penggentaran melalui penangkalan, hukuman, dan insentif. Terkait dengan penggentaran melalui penangkalan, ada tiga sub-elemen yang dibahas, yaitu penghilangan peluang keberhasilan serangan (penangkalan di tingkat taktis), penghilangan kapabilitas teroris untuk melangsungkan serangan (penangkalan di tingkat operasional), dan penghilangan motivasi teroris (penangkalan di tingkat strategis). Elemen lain yang dibahas adalah penggentaran melalui hukuman dan pemberian insentif politik dan ekonomi. Dari uraian di atas, ada beberapa hal yang dapat disoroti. Pertama, Pemerintah Malaysia tidak memiliki data yang lengkap, sistematis, dan terintegrasi mengenai strategi penanggulangan terorisme dan implementasinya seperti halnya Singapura. Keberadaan strategi nasional penanggulangan terorisme adalah salah satu hal yang dapat diukur untuk menilai kesistematisan langkahlangkah penanggulangan terorisme di suatu negara. Selain itu, meskipun Pemerintah Malaysia menyatakan bahwa pendekatan kontraterorismenya bersifat komprehensif, tidak ada dokumen yang menjabarkan beberapa hal penting dalam pencegahan serangan teroris, salah satunya adalah pengerasan target. Kedua, penggentaran melalui penangkalan di tingkat taktis (penangkalan peluang) telah dijalankan oleh Pemerintah Malaysia dengan penekanan pada sektor penerbangan dan kelautan. Lagi-lagi hanya ada sedikit data yang menjabarkan langkah-langkah pengetatan keamanan detil di dua sektor ini (tidak seperti Singapura). Secara umum, dapat dikatakan bahwa pendekatan Malaysia dalam hal ini sepenuhnya mengadopsi standar dan inisiatif internasional, yaitu standar ICAO untuk penerbangan dan Kode ISPS serta CSI untuk kelautan. Dibandingkan dengan Singapura, Malaysia relatif terlambat dalam mencapai kepatuhan terhadap beberapa standar internasional tersebut. Sementara itu, tidak seperti Singapura, pengerasan target di sektor transportasi darat tampak tidak menjadi penekanan. Data pun sulit ditemukan mengenai klasifikasi infrastruktur kritis dan langkah-langkah perlindungannya, kecuali infratstruktur informasi dan komunikasi. Tidak ada data mengenai prosedur pengamanan infrastruktur ekonomi yang menjadi prioritas Malaysia.
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
124
Secara keseluruhan, dapat dikatakan bahwa penangkalan di tingkat taktis yang bersandar pada pengerasan target tidak menjadi tekanan atau prioritas Pemerintah Malaysia. Hal ini mungkin disebabkan karena Malaysia tidak memandang dirinya sebagai target potensial terorisme seperti halnya Singapura. Hal ini dapat menjadi blunder di kemudian hari karena sebenarnya Malaysia sangat strategis untuk dijadikan target. Fakta bahwa negara tersebut berniat menjaga perekonomiannya dengan cara apapun dan persepsi Islamnya yang modernistik membuatnya rentan dijadikan target serangan. Sementara itu, tidak adanya data mengenai pengerasan target dapat memberi sinyal bahwa pemerintah kurang menekankan hal tersebut sehingga menimbulkan persepsi adanya peluang yang baik untuk diserang. Ketiga, dalam hal penangkalan di tingkat operasional (penangkalan kapabilitas), terutama kontrol senjata, dan pendanaan, data mengenai upaya Malaysia lebih banyak mengulas tentang respon legislasi sementara data mengenai implementasinya sangat sedikit. Sementara itu, masalah perbatasan lebih ditekankan oleh Malaysia karena negara ini sering digunakan sebagai negara transit oleh teroris. Dalam hal ini, Malaysia bersandar pada dua hal, yaitu standardisasi
teknologi
dengan
negara-negara
lain
yang
lebih
maju
(mempromosikan sistem biometrik) dan integrasi sistem komunikasi dan informasi dengan badan-badan intelijen. Keempat, penggentaran di tingkat strategis (upaya menghilangkan motivasi teroris) menjadi salah satu fokus kontraterorisme Malaysia selain penggentaran melalui hukuman. Meskipun demikian, elemen yang ditekankan pemerintah adalah perang ideologis, sementara data mengenai strategi mitigasi dan pemulihan pasca-serangan hampir tidak ada. Tidak ada data yang menunjukan bahwa Malaysia memiliki strategi, rencana, atau prosedur nasional mengenai respon dan pemulihan pasca-serangan (manajemen insiden) seperti halnya Singapura. Hal ini dapat memberi sinyal kepada teroris bahwa mereka dapat menciptakan dampak yang sangat besar dan meluas dengan mematahkan imunitas Malaysia terhadap serangan teroris di dalam dekade ini. Untuk menghindari pengawasan yang ketat, teroris dapat melangsungkan perencanaan di luar Malaysia.
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
125
Kelima, elemen penggentaran yang tampak paling dominan dalam upaya penanggulangan terorisme di Malaysia adalah penggentaran dengan menggunakan hukum yang represif. Meskipun Malaysia memiliki hukum pidana biasa yang dapat digunakan untuk menghukum aksi terorisme, ternyata yang paling sering digunakan untuk menahan tersangka teroris adalah ISA. Instrumen penahanan preventif yang dimiliki oleh ISA dinilai sangat efektif untuk mencegah terjadinya serangan teroris di Malaysia dan melumpuhkan sel JI Malaysia dengan menangkapi anggota-anggota kuncinya sebelum sempat merencanakan serangan. Dengan instrumen ini, pemerintah tidak perlu bersusah payah melakukan penyelidikan dan pembuktian di pengadilan untuk menahan orang-orang yang dicurigai terlibat teroris. Sistem hukum yang represif serta ketatnya pengawasan (surveillance) di Malaysia secara umum adalah faktor dominan yang menyebabkan tidak adanya serangan teroris di Malaysia. Perdana Menteri Malaysia mengkonfirmasi hal itu dengan menyatakan bahwa kesuksesan penanggulangan terorisme di Malaysia berasal dari langkah-langkah „proaktif‟ dan „pre-emptif‟ yang dilakukan pemerintah negara tersebut. Dua hal yang diklaim efektif meniadakan serangan teroris di Malaysia menurut pemerintah adalah ISA dan aktivitas polisi dalam membongkar jaringan terorisme yang tersisa di Malaysia (Vaughn et al. 2004, h. 114). Rezim hukum yang kuat ini dapat mencegah teroris dalam fase yang sangat dini, bahkan hingga fase rekrutmen dan indoktrinasi (Acharya, 2005). Hukum yang represif tanpa pandang bulu ini juga menciptakan efek penggentaran secara meluas terhadap warga negara Malaysia. Jadi, dengan adanya ISA, Pemerintah Malaysia bukan hanya menggentarkan teroris transnasional untuk menyerang, tetapi juga menggentarkan warga negaranya untuk bergabung atau membantu aktivitas teroris, dengan demikian turut menciptakan penggentaran untuk homegrown terrorism. Akan tetapi, dalam jangka panjang hal ini sulit untuk dipertahankan jika perekonomian Malaysia atau dunia mengalami guncangan karena legitimasi pemerintah yang bersandar pada tingginya standar hidup akan melemah. Ketidakpuasan terhadap pemerintah digabungkan dengan kondisi represif dapat menimbulkan kondisi deprivasi yang merupakan penyebab struktural terorisme.
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
126
Selain hukum yang represif, Malaysia tidak menjadi korban serangan terorisme dekade ini karena intelijennya yang kuat (Acharya, 2005), masyarakatnya yang multi-ras, dan sikapnya yang “bersahabat” (Sta Maria, 2011). Tidak jelas dari pernyataan ini apa yang dimaksud dengan “bersahabat.” Namun, mungkin hal ini merujuk pada sikap Malaysia yang tidak segan menentang AS di forum-forum internasional mengenai serangan ke Irak dan Afghanistan dan selalu mengangkat isu penyelesaian konflik Palestina. Akan tetapi, Malaysia juga terbilang kooperatif dengan AS dalam perang global melawan terorisme, misalnya dalam hal kerja sama intelijen dan penguatan hukum, misalnya hukum antipemboman dan anti-pendanaan teroris, hanya saja pencitraan yang dibangun adalah tidak terlalu dekat dengan AS atau tampak seperti menuruti kata-kata AS. Beberapa pakar yang lain juga memasukkan faktor kapasitas pasukan khusus yang dinilai sangat baik („extremely good‟) (Gunaratna, 2005) sebagai faktor penggentar teroris di Malaysia. Menurutnya, meskipun ancaman teroris dalam lima tahun terakhir ini tidak menurun, kapasitas penanggulangan terorisme Pemerintah Malaysia telah meningkat (Malaysian Institute of Accountant, 2005). Sementara itu, Menurut Acharya, Malaysia menganut sikap „zero tolerance‟ terhadap terorisme (sebagaimana sikap yang dinyatakan oleh pemerintah Singapura). Keenam, dapat dikatakan bahwa insentif ekonomi menjadi bagian dari strategi penggentaran Malaysia, namun bukan secara langsung ditujukan kepada teroris. Insentif ini menjadi bagian integral dari strategi pendekatan kesejahteraan yang diadopsi Pemerintah Malaysia, seperti halnya yang dilakukan pemerintah Singapura. Sementara itu, strategi penggentaran Malaysia tidak mencakup insentif politik kepada teroris dalam bentuk pelibatan mereka dalam sistem pemerintahan. Kelompok-kelompok yang radikal dan dianggap menyimpang justru semakin dipinggirkan dalam pemerintahan. Sama seperti Singapura, dengan kondisi umum yang represif, legitimasi penanggulangan terorisme di Malaysia bergantung pada pemertahanan standar hidup yang tinggi dan oleh karenanya menjadi rentan terhadap guncangan perekonomian.
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
BAB 4 PENERAPAN PENGGENTARAN DALAM UPAYA MENANGGULANGI TERORISME DI FILIPINA Dua bab sebelumnya telah mengulas mengenai penerapan penggentaran untuk menanggulangi terorisme di Singapura dan Malaysia. Bab ini akan beranjak pada pembahasan mengenai upaya penggentaran teroris yang dijalankan oleh pemerintah Filipina sebagai negara ketiga dalam studi komparasi ini. Sebagaimana dua bab sebelumnya, bab ini akan diawali dengan pembahasan mengenai karakteristik umum Filipina dan masalah terorisme yang dihadapinya. Pembahasan kemudian akan dilanjutkan dengan analisis mengenai respon kebijakan keamanan nasional Filipina yang mencakup persepsi pemerintah Filipina mengenai terorisme kontemporer serta strategi penanggulangan terorisme ideal yang dibayangkan berdasarkan persepsi tersebut. Selanjutnya, bab ini akan memaparkan upaya penanggulangan terorisme Filipina yang termasuk ke dalam strategi penggentaran. Ada tiga elemen penggentaran yang akan dibahas di bab ini, yaitu penggentaran melalui penangkalan (penangkalan peluang, kapabilitas, dan motivasi teroris untuk melangsungkan serangan), penggentaran melalui hukuman (mencegah serangan melalui efek punitif terhadap teroris), dan menanggulangi teroris melalui pemberian insentif politik-ekonomi. Bab ini menyimpulkan bahwa dibandingkan dengan dua negara yang dibahas sebelumnya, Filipina masih berada dalam tahap awal pengembangan kapasitas dalam hal penanggulangan terorisme kontemporer. Meskipun strategi penggentarannya sangat komprehensif, implementasinya masih terhalang oleh kurangnya kapasitas pemerintah. Selain itu, keberadaan insurgensi domestik yang berjalin-kelindan dengan terorisme lokal membuat perbedaan besar dalam hal cara pemerintah dalam menanggulangi terorisme, dengan militer sebagai ujung tombaknya. Karakter Filipina sebagai negara demokrasi yang belum matang pun membuat perbedaan, di mana pemerintah pusat seringkali menjadi lemah sehingga berdampak negatif pada upaya penanggulangan terorisme.
127 Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
128
4.1
Filipina dan Terorisme
4.1.1
Sekilas Tentang Filipina Filipina adalah negara Asia Tenggara ketiga yang dibahas di dalam
penelitian ini. Dibandingkan dengan dua negara sebelumnya, negara ini banyak memiliki perbedaan, baik dalam hal sistem pemerintahan, tatanan sosial, maupun karakter etnis penduduknya. Filipina adalah negara kepulauan yang besar (meskipun tidak sebesar Indonesia) dan terdiri dari lebih dari 7.000 pulau. Negara ini dikelilingi oleh perairan dan sebagian besar provinsi dan unit pemerintahan lokalnya berlokasi di sekitar pantai.1 Populasi Filipina pada tahun 2010 adalah 92,34 juta orang (Philippine National Statistical Office, 2012). Karena terdiri dari banyak pulau, Filipina memiliki garis pantai yang sangat panjang, yakni 36.289 km. Sementara itu, luas wilayah daratannya hampir mencapai 30.000 km persegi (Mendoza, 2009). Filipina tidak memiliki perbatasan darat dan akses keluarmasuknya didominasi oleh jalur maritim. Oleh karena itu, pengawasan perbatasan dan pengamanan maritim menjadi dua hal yang sangat penting dan menjadi tantangan tersendiri dalam penanggulangan terorisme di Filipina. Wilayah Filipina yang terfragmentasi dapat dilihat di peta di bawah ini.
Gambar 4.1 Peta Filipina Sumber: Mendoza, 2009
1
Unit pemerintahan sub-nasional Filipina adalah provinsi, kota, kabupaten, dan unit pemerintahan lokal bernama barangay.
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
129
Komposisi penduduk Filipina didominasi oleh etnis Tagalog (30%) dan Cebuani (24%) yang merupakan penduduk asli Filipina. Etnis lain yang memiliki jumlah cukup besar adalah etnis China, yaitu 10% (Philippine National Statistical Office, 2012). Sebagian besar penduduk Filipina beragama Katolik (83%). Meskipun demikian, di bagian Selatan Filipina, banyak penduduk Muslim yang secara nasional persentasenya mencapai 5%2 (Philippine National Statistical Office, 2012; Eusaquito, 2004). Wilayah yang didominasi Muslim di Filipina adalah Basilan, Tawi-Tawi, dan Mindanao dan terletak di bagian selatan Filipina (lihat peta). Filipina yang didominasi penduduk Katolik mengalami insurgensi dan pemberontakan selama berpuluh-puluh tahun dari bangsamoro yang beragama Muslim di bagian Selatan. Hingga hari ini, hal ini masih menjadi sumber ketegangan meskipun telah ada negosiasi politik parsial yang mendirikan Wilayah Otonom Muslim Mindanao (ARMM) (Mendoza, 2009). Insurgensi di Filipina menjadi konteks lahirnya berbagai kelompok teror dalam negeri yang kemudian menjalin jaringan dengan organisasi teror regional (Jamaah Islamiyah), dan internasional (Al-Qaeda). Dari segi ekonomi, Filipina adalah salah satu pendiri ASEAN, namun pendapatannya adalah salah satu yang terkecil di kawasan tersebut. Baru pada tahun 2011 pendapatan per kapita negara ini menembus US$ 2.000 per tahun (Dela Cruz, 2011). Saat ini, Bank Dunia masih menggolongkan Filipina sebagai negara berpenghasilan menengah ke bawah (The World Bank, 2012). Kemiskinan masih cukup tinggi di negeri ini, yaitu 26,5% dari total populasi (2009) (The World Bank, 2012). Kemiskinan dan taraf hidup yang rendah sering dikaitkan dengan mudahnya seseorang direkrut menjadi teroris atau simpatisan teroris dan menjadi tantangan tersendiri bagi pemerintah Filipina untuk menjaga kestabilan domestik. Dalam hal sistem politik, meskipun secara nominal Filipina adalah negara demokrasi dan kondisi politiknya tidak represif, pada kenyataannya kehidupan politik Filipina dikatakan masih didominasi oleh segelintir keluarga elit (Eadie, 2011) sehingga tidak dapat dikatakan masyarakat yang egaliter. Selain itu, korupsi dan pembunuhan di luar pengadilan (extra judicial killing) juga dikatakan masih 2
Saat ini, 13 dari 67 provinsi Filipina memiliki jumlah penduduk Muslim yang signifikan.
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
130
marak di negeri ini (Eadie, 2011). Negara yang masih dalam proses demokratisasi menimbulkan dinamika tersendiri dalam penanggulangan terorisme, yang akan dibahas lebih dalam di bagian selanjutnya.
4.1.2
Terorisme di Filipina Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, permasalahan keamanan yang
dihadapi Filipina di wilayah selatan bersumber dari gerakan Muslim Moro yang berusaha memisahkan diri dari Filipina. Pada tahun 70-an, gerakan insurgensi ini dipimpin oleh Moro National Liberation Front (MNLF) dan pada tahun 80-an didominasi oleh Moro Islamic Liberation Font (MILF), pecahannya yang lebih radikal. Abu Sayyaf Group kemudian muncul pada awal tahun 90-an sebagai sempalan dari dua gerakan sebelumnya (Eusaquito, 2004) dan saat ini dianggap sebagai ancaman teroris sekaligus kriminal utama bagi pemerintah Filipina (International Crisis Group, 2004).3 Jika seluruh serangan domestik maupun transnasional yang terjadi di negara ini dihitung, Filipina adalah negara ASEAN yang paling banyak mengalami insiden terorisme, yang jumlahnya hampir mencapai 600 insiden selama 40 tahun (1969-2009) (RAND, 2012). Sumber lain bahkan menyatakan bahwa Filipina telah mengalami lebih dari 1.000 insiden dan merupakan negara dengan insiden teroris terbanyak di dunia (Eusaquito, 2004). Dari jumlah korban, Human Rights Watch menyatakan bahwa korban ekstrimis Islam di Filipina sejak tahun 2000 hingga 2007 telah mencapai lebih dari 1.700 orang (Eadie, 2011; Human Rights Watch, 2007).4 Bahkan sejak sebelum 9/11, terorisme yang dialami Filipina terdiri dari berbagai macam jenis, mulai dari pembajakan pesawat, penyerangan instalasi militer dan kota-kota, pengeboman target-target lunak, dan penculikan. Serangan teror di Filipina paling banyak dilakukan oleh MNLF, meskipun yang dianggap paling ekstrim dan berbahaya dilakukan oleh MILF dan ASG (Eusaquito, 2004).
3
Jumlah teroris di Filipina dikatakan hanya segelintir bila dibandingkan dengan kaum insurgen, yakni MNLF dan MILF yang dianggap legitimate. Namun, teroris seringkali berlindung di balik tameng insurgensi dan seringkali mendorong kaum insurgen kembali berperang dengan pemerintah. 4 Perlu dicatat juga bahwa operasi kontrainsurgensi dan kontraterorisme pemerintah Filipina juga telah menewaskan lebih dari 160.000 orang dan memindahkan sekitar 2 juta orang.
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
131
Jaringan internasional yang dimiliki MNLF kemudian membuka peluang masuknya JI (International Crisis Group, 2004)5 (Abuza, 2003). Filipina kemudian dimanfaatkan oleh JI sebagai tempat meningkatkan kapabilitas operasional atau tempat latihan (Mantiqi III) dan juga tempat berlindung (Eusaquito, 2004). Dapat dikatakan bahwa maraknya serangan terorisme transnasional
di
Indonesia
berkaitan
langsung
dengan
berlarut-larutnya
penyelesaian konflik di Filipina Selatan dan penutupan kamp-kamp insurgensi di sana (Eusaquito, 2004). Pasca 9/11, pemerintah Filipina semakin mengakui besarnya ancaman organisasi teroris asing di negaranya.6 Ancaman utama dari teroris transnasional yang dipersepsikan pemerintah Filipina adalah transfer pengetahuan dan keterampilan kepada kelompok teroris lokal sehingga dapat memfasilitasi atau menyuburkan aktivitas teroris domestik dengan adanya bantuan dana atau kerja sama operasional (Armed Forces of the Phillipines, 2010). Di era kontemporer ini, baik terorisme lokal maupun transnasional sama-sama menjadi ancaman bagi pemerintah Filipina. Kebijakan keamanan nasional Filipina untuk merespon hal tersebut akan dibahas di bawah ini.
Kebijakan Keamanan Nasional Filipina terhadap Terorisme
4.2.
Untuk menanggulangi permasalahan insurgensi dan terorisme di atas, pemerintah Filipina telah menyusun kebijakan kontrainsurgensi/kontraterorisme yang secara umum dapat dikatakan tumpang-tindih dan akan dibahas di bagian ini. Mengapa kebijakan penting untuk dibahas? Menurut Eusaquito (2004), adanya kebijakan yang koheren merupakan sumber daya yang sangat berharga dalam penanggulangan terorisme dan penanggulangan terorisme sepenuhnya bergantung pada sumber daya. Keberadaan kebijakan yang koheren menjadi lebih mendesak bagi Filipina karena menurut Eusaquito (2004), respon pemerintah 5
JI mulai berlatih di Mindanao sejak tahun 1994 dengan memanfaatkan hubungan yang dibangun di Afghanistan pada akhir tahun 80-an JI memiliki kamp pelatihan di Maguindanao di bawah perlindungan MILF. Pada tahun 1998, kamp tersebut menjadi markas besar JI di Filipina dan menjadi bagian dari Mantiqi III yang mencakup pula Sulawesi dan Kalimantan Timur dan Sabah. Pimpinan teroris dari Indonesia, Umar Patek, dan beberapa anggota JI juga bekerja sama dengan ASG. 6 Pada tahun 2010, diperkirakan terdapat 50 anggota organisasi teroris asing di Filipina, 28 di antaranya adalah anggota JI.
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
132
Filipina terhadap terorisme selama ini cenderung lebih bersifat ad hoc dan reaktif, bukan strategis dan decisive. Kebijakan penanggulangan terorisme dapat mencakup rencana, arsitektur kelembagaan, pengadaan perlengkapan, pelatihan, dan juga peraturan atau undang-undang, termasuk perjanjian internasional. Pembahasan mengenai kebijakan ini terbagi menjadi tiga bagian, yaitu analisis persepsi Filipina mengenai terorisme kontemporer, strategi umum penanggulangan terorisme/insurgensi di Filipina, dan arsitektur kelembagaan untuk menanggulangi terorisme kontemporer.
4.2.1 Persepsi Pemerintah Filipina mengenai Terorisme Kontemporer dan Upaya Penanggulangannya Bagian ini akan membahas persepsi Filipina mengenai terorisme konteporer dan upaya penanggulangan ideal yang dibayangkan berdasarkan persepsi tersebut. Bagi Filipina, terorisme tidak dapat dilepaskan dari insurgensi, baik di masa lalu maupun di era kontemporer. Meskipun demikian, kebijakan nasional pemerintah Filipina menyatakan terorisme kontemporer bukan sebagai aksi perang (act of war) seperti halnya AS, melainkan aksi kriminal yang memiliki sifat politis (Philippine National Police, 2006). Sebagaimana halnya Singapura, pemerintah Filipina menyatakan menganut sikap tidak berkompromi terhadap teroris jenis ini (meskipun dalam praktiknya hal ini diragukan)7 dan mendukung segala upaya internasional untuk melawan teroris (Philippine National Police, 2006). Dalam hal definisi, Pemerintah Filipina mendefinisikan terorisme sebagai tindakan yang ditujukan untuk menciptakan ketakutan dan kepanikan yang meluas dan luar biasa di kalangan penduduk guna memaksa pemerintah untuk memenuhi tuntutan mereka yang tidak sesuai dengan hukum (Armed Forces of the Philippine, 2010, h. 36). Sama seperti Singapura dan berbeda dari Malaysia, Filipina memandang dirinya sebagai target potensial serangan teroris transnasional karena posisinya
7
Pemerintah Filipina tidak dapat dipandang menganut sikap no-concession karena ia pernah membiarkan Libya membayar tebusan untuk penculikan yang dilakukan ASG. Selain itu, karena insurgensi di Filipina juga kadang-kadang menggunakan metode teroris, namun pemerintah harus bernegosiasi dengan mereka. Di sinilah pendefinisian dan pengkategorian siapa itu teroris menjadi penting, dan insurgensi tidak digolongkan sebagai teroris oleh pemerintah AS dan Filipina.
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
133
sebagai sekutu AS dalam perang melawan terorisme global (GWOT) 8(The Government
of
Philippine,
2011;
Eusaquito
2004).
Mengenai
upaya
penanggulangannya, Pemerintah Filipina telah sampai pada kesimpulan bahwa cara mengalahkan terorisme adalah dengan mencegah adanya peluang untuk melangsungkan serangan atau mengatasi kerentanan negara terhadap terorisme. Hal ini adalah penggentaran melalui penangkalan di tingkat taktis dan dimasukkan ke dalam pertahanan lapis pertama dan kedua, yakni intelijen dan pengamanan target rentan (Philippine National Police 2006, h. 10). Lebih jauh lagi, menurut pemerintah Filipina, yang harus dilakukan adalah menghilangkan daya tarik terorisme
sebagai
senjata
politik
untuk
mengendalikan
massa
dengan
menggunakan rasa takut (Philippine National Police 2006, h. 10). Hal ini masuk ke dalam penggentaran melalui penangkalan di tingkat strategis. Jika dianalisis lebih jauh, terlihat ada ketidaksesuaian di antara persepsi di atas dan upaya penanggulangan terorisme yang dijalankan. Meskipun terorisme dipersepsikan
sebagai
kriminal,
lembaga
yang
menjadi
ujung
tombak
penanggulangan terorisme di Filipina adalah militer sementara kepolisian hanya ditugaskan
untuk
membantu
tugas
militer.
Arsitektur
kelembagaan
penanggulangan terorisme kontemporer akan diulas lebih dalam di bagian di bawah ini.
Strategi Filipina dalam Menghadapi Terorisme Kontemporer
4.2.2
Dalam hal kebijakan dan strategi penanggulangan terorisme, dapat dikatakan bahwa Pemerintah Filipina tidaklah kekurangan dokumen, khususnya pasca-serangan 9/11. Pemerintah Filipina telah mengeluarkan Rencana Keamanan Internal Nasional (NISP) pada tahun 2002 untuk menanggulangi terorisme kontemporer. Selain itu, sejak tahun 2010, baik kabinet, militer, maupun kepolisian telah memiliki strategi dan rencana aksi penanggulangan terorisme mereka masing-masing.
8
Sebagai sekutu setia AS di kawasan, pada tahun 2002 pemerintah Filipina mengeluarkan kebijakan untuk bergabung dalam perang global melawan terorisme, termasuk dengan menyediakan pangkalan udaranya untuk digunakan AS.
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
134
Pemerintah Filipina pun telah mengeluarkan dokumen Kebijakan Keamanan Nasional terbaru (2011-2016) yang meletakan ancaman teroris sebagai prioritas keamanan kedua setelah insurgensi di Mindanao. Kelompok teroris yang ditekankan sebagai ancaman nasional adalah Abu Sayyaf Group (ASG) dan jaringan teror internasionalnya, termasuk JI (The Government of Philippine, 2011; Armed Forces of the Phillipines, 2010). Dalam hal strategi umum, Presiden Aquino III memberi tiga arahan besar untuk menanggulangi terorisme di Filipina. Yang pertama adalah security countermeasures untuk melindungi target-target potensial. Intelijen memainkan peran penting dalam tahap ini. Yang kedua adalah langkah-langkah hukum bagi aktivitas terorisme. Yang ketiga adalah pencegahan rekrutmen teroris dengan memperhatikan kebutuhan sosial-ekonomi komunitas-komunitas rentan (The Government of Philippine, 2011). Ketiga arahan besar tersebut jatuh ke dalam kategori penggentaran melalui penangkalan di tingkat taktis, penggentaran melalui hukuman, dan insentif politik-ekonomi. Sama seperti Singapura (dan berbeda dari Malaysia), pertahanan fisik disebutkan sebagai prioritas pemerintah di tataran strategis. Ketiga negara sama-sama menekankan penegakan hukum. Namun, sebagaimana akan dibahas di bagian selanjutnya, terdapat perbedaan mendasar di antara Filipina dan dua negara lainnya dalam hal penegakan hukum untuk menanggulangi terorisme. Selain arahan umum di atas, pada bulan Oktober 2001, pemerintah Filipina sebenarnya telah mengeluarkan 14 pilar Kebijakan Penanggulangan Terorisme yang mencakup banyak hal. Pilar pertama adalah implementasi dan pengawasan kebijakan dan langkah-langkah penanggulangan terorisme oleh pemerintah. Pilar kedua adalah koordinasi intelijen. Pilar ketiga adalah penanggulangan terorisme internal (penindakan) dengan dua lembaga sebagai ujung tombak, yaitu militer dan kepolisian.9 Pilar keempat adalah pengawasan dan inventori seluruh perusahaan publik dan swasta yang dicurigai menjadi pendukung gerakan teroris.10 Pilar kelima adalah kerja sama internasional, terutama ASEAN. Pilar 9
Dalam jangka panjang, pemerintah Filipina memiliki visi untuk mengembalikan tanggung jawab kontraterorisme kepada kepolisian. Namun, pada saat ini militer masih menjadi ujung tombak kontraterorisme. 10 Hal ini menjadi kewenangan Departemen Dalam Negeri, Pemerintahan Lokal dan the Securities and Exchange Commission.
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
135
keenam adalah penegakan hukum.11 Pilar ketujuh adalah mempromosikan solidaritas umat Kristen dan Islam. Pilar kedelapan adalah adalah pengetatan keamanan untuk mencegah pergerakan teroris, persenjataan, dan pendanaan. Pilar kesembilan adalah Rencana Pemulihan.12 Pilar kesepuluh adalah rencana pengamanan menyeluruh untuk infrastruktur kritis.13 Pilar kesebelas adalah perlindungan tenaga kerja Filipina di luar negeri. Pilar kedua belas adalah modernisasi militer dan kepolisian Filipina. Pilar ketiga belas adalah dukungan media. Pilar keempat belas adalah kebijakan politik, sosial, dan ekonomi.14 (Phillipine National Police 2006, h. 9). Dari analisis mengenai ke-14 pilar di atas, dapat dikatakan bahwa di tingkat strategi, Filipina adalah negara dengan elemen penggentaran yang paling komprehensif, mulai dari penangkalan di ketiga tingkat (taktis, operasional, strategis), penggentaran melalui hukuman, dan pemberian insentif sosial-politik (lihat tabel 4.1 berikut). Sementara itu, pemerintah Filipina sebenarnya telah memasukan unsur pengawasan implementasi dan peningkatan koordinasi di dalam strateginya, juga telah mengalokasikan tugas dan kewenangan kepada lembagalembaga yang ada sebelumnya sehingga strategi tersebut dilengkapi dengan mekanisme pelaksanaan. Akan tetapi, penelitian ini tidak menemukan data mengenai implementasi ke-14 pilar strategi tersebut di dalam dokumen strategi sebagaimana yang bisa didapatkan di dalam buku putih penanggulangan terorisme Singapura. Sebagaimana akan dibahas di bawah ini, beberapa pilar di atas tidak memiliki rincian pelaksanaan atau bahkan rencana pelaksanaan yang detil. Banlaoi (2003) bahkan berargumen bahwa meskipun telah terdapat berbagai dokumen dan arahan umum penanggulangan terorisme sebagaimana telah disebutkan di atas, kerangka kebijakan pemerintah Filipina dalam penanggulangan terorisme masih belum bisa dikatakan menyeluruh. 11
Departemen Kehakiman diberi tugas mendirikan tim khusus untuk mengurusi aspek hukum penanggulangan terorisme, termasuk peradilan yang cepat, deportasi, dan esktradisi tersangka teroris. 12 Filipina memiliki sebuah lembaga khusus untuk menyusun rencana pemulihan jika terjadi serangan teroris, yakni Pusat Koordinasi Bencana Nasional. 13 Uang menjadi tanggung jawab Komite Pengawas Kabinet 14 Komisi yang didirikan untuk mengatasi kemiskinan, Komisi Nasional Anti-Kemiskinan, ditugaskan untuk melakukan studi untuk memformulasikan kebijakan politik, sosial, dan ekonomi untuk mengatasi akar terorisme, yakni fanatisme dan ‘kekerasan yang tidak rasional’
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
136
Tabel 4.1. Pilar Penanggulangan Terorisme Filipina dalam Perspektif Strategi Penggentaran Elemen Penggentaran I. Penggentaran Melalui Penangkalan a. Penangkalan di Tingkat Taktis b. Penangkalan di Tingkat Operasional c.
Penangkalan di Tingkat Strategis
II. Penggentaran Melalui Hukuman a. Penegakan Hukum b. Pembunuhan Bersasaran c. Retaliasi Masif II. Insentif Politik dan Ekonomi a. Negosiasi politik dengan insurgen b. Langkah-langkah pendekatan peningkatan kesejahteraan
Pilar Penanggulangan Terorisme
Pilar ke-10 Pilar ke-8
Pilar ke-9 Pilar ke-7
Pilar ke-6 Pilar ke-12
Pilar ke-14
Deskripsi
Rencana pengamanan menyeluruh untuk infrastruktur kritis Pengetatan keamanan untuk mencegah pergerakan teroris, persenjataan, dan pendanaan. Rencana Pemulihan Mempromosikan solidaritas umat Kristen dan Islam
Penegakan hukum Modernisasi militer dan kepolisian Filipina Tidak dilakukan (secara resmi) Kebijakan politik, sosial, dan ekonomi.
Sumber: Diolah dari Phillipine National Police, 2006
Selain strategi domestik, pemerintah Filipina pun dapat dikatakan memainkan strategi internasional untuk menanggulangi terorisme kontemporer di negaranya, yaitu dengan menjadi sekutu AS di Asia Tenggara dalam perang global melawan terorisme (GWOT). Untuk memerangi ASG, misalnya, AS menerjunkan pasukannya untuk membantu menjadi penasihat lapangan pasukan Filipina meskipun dilarang mengadakan kontak senjata langsung dengan teroris. Namun, selain memberi manfaat langsung dalam menghabisi kapabilitas teroris, pendekatan ini juga membuat Filipina semakin rentan sebagai target terorisme transnasional karena kedekatan dan posisinya sebagai sekutu AS, sama halnya dengan Singapura.
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
137
Kelembagaan Penanggulangan Terorisme di Filipina
4.2.3
Kelembagaan adalah isu penting dalam penanggulangan terorisme karena berkaitan langsung dengan implementasi kebijakan. Terkadang pemerintah suatu negara memiliki strategi atau kebijakan yang baik tentang suatu hal, namun tidak ada lembaga yang ditunjuk untuk mengimplementasikannya. Terkadang, lembaga yang berwenang terlalu banyak sehingga menimbulkan tumpang tindih wewenang dan masalah koordinasi. Fungsi kelembagaan pertama yang diamati dalam penelitian ini adalah fungsi koordinasi yang sangat penting untuk melawan terorisme kontemporer karena mode jejaring yang dimilikinya. Dalam hal ini, di tingkat tertinggi pemerintah Filipina mendirikan sebuah Komite bernama Komite Pengawas Kabinet untuk Keamanan Internal atau COC-IS yang didirikan pada tahun 2001 (Eusaquito 2004). Selain sebagai pengawas, lembaga ini juga berperan sebagai badan koordinasi dan integrasi berbagai aktivitas keamanan internal. Uniknya, lembaga ini juga bertugas menangani situasi krisis di level nasional dan juga membawahi Dewan Perdamaian dan Ketertiban Nasional (NPOC). Jika dibandingkan dengan Singapura, lembaga ini menjalankan fungsi koordinasi kebijakan, supervisi, sekaligus koordinasi manajemen krisis seperti Komite Eksekutif Krisis di Singapura. Komite yang terdiri dari berbagai Kementerian ini diharapkan dapat mencegah inkoherensi kebijakan di tingkat tertinggi. Meskipun demikian, Komite Filipina ini dinilai tidak cukup agresif untuk menghancurkan jejaring teroris sebagaimana dinyatakan pemerintahan AS, Australia, dan Inggris (Eusaquito 2004).15 Selain Komite Kabinet, pasca-serangan 2001, Pemerintah Filipina juga mengaktifkan kembali beberapa lembaga keamanan negara seperti Dewan Keamanan Nasional (2002) dan Komisi Anti-Kriminal Nasional (2002) (Philippine National Police, 2006).16 Dalam hal intelijen, Filipina memiliki badan intelijen dan keamanan yang tersebar di berbagai kantor kabinet sehingga koordinasi dan pembagian informasi sangat sulit untuk dilakukan. Lembaga yang ditunjuk untuk mengkoordinasi 15
Peringatan yang sama diberikan AS ke Indonesia sebelum bom Bali pertama pada Oktober 2002. 16 Komisi Anti-Kriminal Nasional bertugas mengembangkan kebijakan, mode koordinasi, dan pengawasan implementasi kebijakan terkait dengan pencegahan dan penanganan aksi-aksi kriminal.
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
138
seluruh sumber intelijen domestik Filipina untuk keperluan penanggulangan terorisme adalah National Security Advisor (Phillipine National Police, 2006). Dalam hal pengumpulan informasi intelijen, Pemerintah Filipina memerintahkan pemerintahan lokal untuk memiliki aktivitas intelijen di setiap desa (barangay), perumahan, dan wilayah komersial (Armed Forces of the Phillipine, 2010).17 Dalam hal ini, setiap warga negara dijadikan ‘intel’ dalam artian mata dan telinga pemerintah untuk mengawasi dan melaporkan orang atau benda yang mencurigakan. Beberapa organisasi dan jaringan intelijen yang merupakan manifestasi dari kebijakan ini di antaranya Barangay Information Networks, AntiCrime Watch Organization, Neighborhood Watch, MATAPAT, dan sebagainya (Philippine National Police 2006). Di luar dua hal di atas, wewenang mengenai aspek-aspek penanggulangan terorisme lainnya diberikan kepada badan-badan pemerintah lain yang telah ada sebelum 9/11. Dalam hal penindakan terhadap teroris, pemerintah Filipina bersandar pada militer (Eusaquito, 2004) meskipun persepsinya terhadap terorisme adalah persepsi kriminal. Ketidaksesuaian di antara persepsi dan kebijakan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut. Pada awalnya, ujung tombak keamanan internal Filipina, termasuk insurgensi dan terorisme, memang berada di tangan Kepolisian (PNP). Akan tetapi, mandat ini kemudian dipindahkan ke militer (AFP) karena skala ancaman dipandang membesar (Republic Act 8551). Saat ini, kepolisian hanya diberi mandat untuk mendukung militer dalam penanganan insurgensi dan teroris.18 Dalam desain kelembagaan penanggulangan terorisme, militer dan kepolisian dirancang untuk bekerja bersama dalam sebuah unit taktis untuk mengatasi serangan atau situasi teroris yang dinamakan ‘operations group.’ Jadi, secara resmi pemerintah Filipina menggabungkan militer dan polisi di tingkat operasional dan taktis. Kelompok operasi ini terdiri dari komponen militer dan kepolisian (reguler dan unit khusus) dan badan-badan lain yang terkait dengan isu
17
Unit Pemerintah Lokal memainkan peran penting dalam strategi keamanan internal Filipina. Jaringan pemerintahan lokal Filipina terdiri dari 80 provinsi, 122 kota, 22 kota urban, 5 kota mandiri, 84 kota komponen, 1512 municipalities, dan 42,023 barangay. 18 Meskipun demikian, pemerintah Filipina menekankan bahwa secara tradisional, badan penegak hukum memainkan peran utama dalam hal kontrainsurgensi dan kontraterorisme. Di masa yang akan datang, pemerintah Filipina berencana mengembalikan mandat asli dua lembaga ini.
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
139
keselamatan publik. Tugas mereka adalah mengamankan lokasi serangan dan menjalankan intervensi untuk menetralisir ancaman jika diperlukan (Philippine National Police 2006, h. 15). Untuk melancarkan kerja sama di antara keduanya, pemerintah Filipina mengeluarkan Aturan Implementasi Bersama yang mengatur kemitraan kepolisian dan militer dalam menjalankan berbagai operasi Keamanan Internal (ISO) (Philippine National Police, 2006).19 Aturan di level implementasi ini menjadi penting untuk mengatasi celah hukum di antara peraturan yang lebih tinggi dan lebih rendah dalam hal kerja sama militer dan kepolisian dalam penanggulangan terorisme. Dengan adanya aturan implementasi ini, penggunaan militer untuk membantu otoritas sipil (dan sebaliknya) mendapatkan dasar legal yang juga dapat mengatasi ‘keengganan’ kedua lembaga untuk bekerja sama dengan alasan tidak ada aturan operasional yang melandasinya meskipun alasan sebenarnya seringkali adalah ego sektoral. Karena
menggunakan
militer,
strategi
yang
dijalankan
untuk
menanggulangi terorisme adalah strategi pertempuran (combat). Dalam hal ini, Tentara Filipina (AFP) menjalankan strategi mengisolasi kelompok-kelompok teroris dan menggunakan kekuatan militer untuk menghancurkan mereka. Istilah yang digunakan oleh AFP dalam hal ini adalah ‘intelligence-driven combat operation’ (Armed Forces of the Philippines, 2010). Upaya mengisolasi teroris mencakup upaya memutus jaringan dengan organisasi-organisasi teror asing dalam hal transfer pengetahuan dan keterampilan, juga mencegah adanya tempat berlindung yang termasuk ke dalam penggentaran melalui penangkalan kapabilitas. Seperti militer di manapun, peran pertempuran selalu diiringi dengan peran pembangunan komunitas. Peran ini dimainkan AFP melalui pembangunan infrastruktur
sosial
dasar
di
wilayah-wilayah
yang
mengalami
vakum
pemerintahan (Armed Forces of the Philippines, 2010). Strategi ini dapat dikatakan sebagai bagian lain dari strategi penangkalan kapabilitas, khususnya 19
Perintah Presiden No. 110 Tahun 1999. Surat perintah ini memerintahkan kepolisian Filipinan untuk mendukung militer dalam operasi-operasi keamanan internal untuk menanggulangi insurgensi dan ancaman keamanan nasional lainnya. Dibentuk juga sebuah sistem bersama militerkepolisian. Sistem ini menyediakan mekanisme, struktur, dan prosedur kerja sama kedua lembaga, termasuk dalam hal asesmen situasi keamanan, perencanaan, koordinasi, implementasi, dan pengawasan terpadu.
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
140
kapabilitas safe haven di mana teroris dapat berlindung karena tidak adanya pemerintahan yang efektif di wilayah tersebut. Dalam bahasa JI, strategi ini ditujukan untuk menggusur atau menghilangkan qaidah aminah (tempat yang aman) di mana teroris dapat mengembangkan jejaringnya. Jika dianalisis lebih lanjut, strategi Tentara Filipina untuk menanggulangi terorisme ini sama dengan strateginya untuk menanggulangi insurgensi dan hal ini menimbulkan beberapa komplikasi. Menurut International Crisis Group, disamakannya insurgensi dan teroris membuat kelompok insurgen yang legitimate semakin dekat dengan kelompok teroris yang dicoba dihancurkan (International Crisis Group, 2004). Persoalan lainnya adalah pelanggaran HAM yang sempat membuat Filipina berada dalam daftar pengawasan PBB (Eadie, 2011). Keduanya justru berpotensi menghambat kesuksesan penanggulangan terorisme dalam jangka panjang. Di sisi lain, kepolisian yang menjadi pendukung militer dalam upaya penanggulangan terorisme di Filipina juga memiliki strategi tersendiri yang lebih menekankan pada anti-terorisme atau langkah-langkah defensif terhadap teroris. Sistem pertahanan yang dianut kepolisian Filipina adalah pertahanan tiga lapis (three-tier defense). Sistem ini terdiri dari terdiri dari tiga tahap atau komponen, yaitu 1) intelijen, 2) pengerasan target, dan 3) manajemen insiden (Philippine National Police 2006, h. 10). Dapat dilihat bahwa peran kepolisian lebih kepada penggentaran melalui penangkalan peluang dan pertahanan fisik dari serangan (serta ketika terjadi serangan), dan bukan penindakan atau respon aktif seperti halnya di Singapura dan Malaysia (Philippine National Police, 2006, h. 11).20 Polisi juga diserahi tugas menjangkau komunitas dengan membangun kemitraan dengan masyarakat, terutama unit pemerintahan lokal.
Meskipun demikian, disebutkan pula bahwa kepolisian dapat melakukan ‘pre-emptive strike’ terhadap jaringan teroris, penangkapan dan perburuan teroris. Tugas lain yang disebutkan adalah komunikasi dan kerja sama dengan komunitas, peningkatan kesadaran dan kesiagaan publik mengenai teroris, pembagian intelijen, pengawasan perbatasan dan warga negara asing, patroli dan sistem pelaporan melalui SMS. 20
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
141
4.3
Pengurangan Jumlah Serangan Teroris melalui Penggentaran melalui Penangkalan Setelah mengulas mengenai kebijakan, strategi, dan kelembagaan
penanggulangan terorisme, bagian ini akan membahas mengenai elemen penggentaran pertama, yaitu penggentaran melalui penangkalan (deterrence by denial). Penggentaran melalui penangkalan adalah salah satu prioritas penanggulangan terorisme pemerintah Filipina sebagaimana tercermin di dalam strategi keamanan nasionalnya. Lembaga utama yang diserahi tugas ini adalah kepolisian. Dalam rangka menanggulangi terorisme, hal pertama yang ditekankan oleh kepolisian Filipina adalah sistem pertahanan, yang bersandar pada penguatan intelijen, pengamanan target rentan, dan penguatan respons dan pemulihan pascaserangan (Philippine National Police, 2006). Bab ini akan mengulas tentang upaya yang telah dilakukan pemerintah Filipina untuk menggentarkan teroris dengan cara menangkal tiga hal, yakni peluang mereka untuk melangsungkan serangan (penangkalan di tingkat taktis), kapabilitas mereka untuk melangsungkan serangan (penangkalan di tingkat operasional), dan motivasi mereka untuk melangsungkan serangan (penangkalan di tingkat strategis).
4.3.1 Pengurangan Insiden Terorisme melalui Penghilangan Peluang Keberhasilan Serangan (Penangkalan di Tingkat Taktis) Penangkalan di tingkat taktis dilakukan dengan mempersulit atau bahkan membuat target tidak mungkin untuk diserang oleh teroris. Hal ini biasa disebut sebagai pengerasan target yang dilakukan dengan cara memperketat keamanan di sekitar target. Filipina adalah negara dengan insiden teroris terbanyak di Asia Tenggara dan sebagian besar terkait dengan insurgensi yang masih berlangsung di negara ini. Oleh karena itu, pengerasan target menjadi sangat menantang untuk dilakukan karena banyaknya target potensial serangan teroris, mulai dari target keras seperti instalasi militer hingga target-target lunak seperti pasar dan transportasi publik. Menurut database insiden terorisme RAND, lima besar target serangan teroris di Filipina adalah target dan properti sipil (22,43%), properti bisnis (16,86%), kantor pemerintah (13,83%), gedung diplomatik (5,9%), dan institusi atau tokoh religius (5,73%). Target polisi dan militer hanya 8% dari total
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
142
jumlah serangan (RAND Worldwide Terrorism Database, 2008) sementara target bandara, maritim, dan transportasi masing-masing 1,85%, 0,67%, dan 3,88%. Bagian ini akan membahas mengenai pengerasan target di sektor penerbangan, maritim, transportasi publik, dan infrastruktur kritis yang menyusun penggentaran melalui penangkalan di tingkat taktis. Meskipun secara statistik jumlahnya sedikit, serangan terhadap bandara dan pelabuhan akan membawa dampak yang sangat besar karena dua sektor ini adalah satu-satunya jalan keluarmasuk Filipina dan merupakan salah satu tumpuan ekonomi negara ini. Terorisme maritim juga dapat menyebabkan korban jiwa yang besar dan dan kelumpuhan ekonomi, misalnya kasus pengeboman Superferry 14 yang mengakibatkan korban jiwa sebanyak 166 orang, hampir sebanyak Bom Bali I yang menewaskan lebih dari 200 orang.
4.3.1.1 Pengetatan Keamanan Bandara dan Penerbangan Sebagai negara kepulauan, layanan penerbangan sangat vital bagi transportasi antarpulau dan juga bagi kesehatan ekonomi Filipina (Mendoza, 2009).21 Hal ini membuat sektor penerbangan menjadi target serangan teroris yang sangat menarik. Dalam sejarah terorisme, Filipina pernah mengalami 11 kali serangan terhadap bandara dan maskapai penerbangan (RAND Worldwide Terrorism Database, 2012). Pasca-9/11, perhatian pemerintah terhadap keamanan bandara dan penerbangan semakin meningkat. Sebagaimana halnya Singapura dan Malaysia, Filipina adalah salah satu negara pihak Konvensi Penerbangan Sipil (sejak tahun 1947) dan merupakan anggota Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (ICAO) sejak Juni 2002 (relatif terlambat dibandingkan dua negara lainnya). Sebagai negara pihak dan anggota, Filipina berkewajiban untuk mematuhi semua standar internasional untuk mengamankan penerbangan internasional, termasuk langkah-langkah pengamanan dari serangan terorisme global.
21
Filipina memiliki 84 bandara di negaranya, sepuluh di antaranya adalah bandara internasional. Sementara itu, industri penerbangan mengangkut sekitar 27 juta penumpang domestik dan 3 juta penumpang internasional setiap tahunnya, termasuk 366 juta kg kargo domestik dan internasional.
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
143
Untuk
meningkatkan
kepatuhan
Filipina
terhadap
standar-standar
keamanan internasonal, langkah pertama yang dilakukan pemerintah Filipina adalah mengeluarkan UU Otoritas Keamanan Transportasi Filipina yang mendirikan Kantor Keamanan Transportasi atau OTS di bawah Departemen Transportasi dan Komunikasi (Transportation Security Authority Act, 2010). Lembaga di atas adalah satu-satunya badan yang bertanggung jawab mengenai keamanan transportasi di Filipina. Di sektor penerbangan, OTS bertanggung jawab untuk menyusun, mengimplementasikan, dan mengawasi penerapan standar-standar ICAO. Biro yang mengurusi keamanan transportasi udara adalah Biro Keamanan Penerbangan Sipil atau CASB. Lembaga ini pun dilengkapi dengan unit intelijen sendiri (Civil Aviation Security Bureau, 2010). Selain itu, Pemerintah Filipina juga mengaktifkan kembali Dewan Nasional untuk Keamanan Penerbangan Sipil (NCCAS) dan Komite Keamanan Penerbangan Sipil Nasional (NCASC). Sesuai dengan mandat ICAO, pemerintah Filipina telah menyusun Program Keamanan Penerbangan Sipil. Biro Keamanan Penerbangan Sipil pun telah mendirikan unit Kendali Kualitas untuk menjalankan audit, uji coba, survey, dan inspeksi keamanan. Berdasarkan hasil kunjungan PBB pada tahun 2006, Program Kendali Kualitas Filipina dinilai baik. Dapat dikatakan bahwa seluruh inisiatif peningkatan keamanan penerbangan Filipina didasarkan pada mandat dan persyaratan yang telah ditetapkan oleh ICAO seperti halnya di Singapura dan Malaysia.
Berdasarkan
pengalaman,
pengamanan
untuk
bandara-bandara
domestik yang tidak terlalu besar dirasa cukup standar. Pengamanan tambahan yang dirasakan pasca-9/11 adalah dikerahkannya anjing pelacak untuk memeriksa bagasi penumpang. Sebelum masuk ke bandara untuk diperiksa dengan mesin xray, bagasi penumpang dibariskan di luar bandara untuk diperiksa oleh anjing pelacak. Sementara itu, dari segi peningkatan kapasitas teknologi, Filipina banyak mendapat bantuan internasional, salah satunya adalah dari Australia. Sebagai bagian dari program Pengembangan Keterampilan Regional, Australia memberi bantuan teknologi kepada Biro Imigrasi Filipina dalam bentuk sistem pemeriksaan dokumen tercanggih yang ada saat ini untuk dipasang di bandara internasional
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
144
Ninoy Aquino (Australian Embassy the Philippines, 2012). Akan tetapi, dalam hal teknologi, negara ini belum dapat disandingkan dengan Singapura yang telah memasang berbagai perlengkapan canggih terkini dalam hal imigrasi dan sistem pengawasan bandara.
4.3.1.2 Pengetatan Keamanan Maritim dan Pelabuhan Selain sektor penerbangan, sektor maritim Filipina juga rentan terhadap serangan teroris, bahkan kerentanannya dapat dikatakan lebih tinggi. Filipina memang terletak di persilangan jalur perdagangan maritim, yakni di antara Laut China Selatan dan Samudera Pasifik. Sebagian besar kapal dari Selat Malaka dan 50% kargo dunia melewati perairan Filipina (Mendoza, 2009).22 Selain itu, sebagai sebuah negara kepulauan, transportasi laut sangat vital bagi sistem transportasi Filipina, yakni akses utama keluar masuk Filipina (Economy Report of Philippine Maritime Security, Tanpa Tahun).23 Sistem transportasi maritim Filipina adalah target serangan teroris yang sangat strategis karena dapat menimbulkan korban jiwa dan dampak yang spektakuler, seperti halnya pengeboman Superferry 14 yang menewaskan 166 orang. Sayangnya, dengan garis pantai lebih dari 30.00 km dan 475 pelabuhan,24 meningkatkan keamanan pelabuhan dan maritim adalah salah satu hal yang paling menantang bagi Filipina, terlebih karena negara ini mengalami kekangan anggaran seperti halnya Indonesia. Bagian ini akan membahas mengenai berbagai upaya pemerintah Filipina untuk meningkatkan keamanan di sektor maritim untuk menanggulangi terorisme. Beberapa aspek yang akan dibahas antara lain respon pemerintah Filipina terhadap standar internasional dalam hal kelembagaan, strategi, serta berbagai inisiatif dan kerja sama internasional untuk meningkatkan keamanan maritim terkait dengan terorisme.
22
Sistem ini digunakan oleh sekitar 43 juta penumpang domestik dan mengangkut sekitar 145 juta ton kargo domestik dan internasional setiap tahun. 23 Selain itu, sembilan puluh lima persen barang dan kargo di Filipina dikirimkan lewat laut. Filipina memiliki sekitar 465 pelabuhan dan 895 kapal yang terdaftar. 24 Pelabuhan dengan angkutan domestik terbanyak berlokasi di Manila, Subic, Olongapo, Batangas, Cebu, Davao, Cagayan De Oro, General Santos, Zamboanga And Polloc in Parang, Maguindanao. Daerah Zamboanga dan Maguindanao adalah daerah operasi MILF, MNLF, ASG, dan JI.
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
145
a. Kelembagaan Pengamanan Maritim Sebagaimana halnya peningkatan keamanan di sektor penerbangan, inisiatif peningkatan keamanan di sektor maritim pasca-9/11 juga datang dari tingkat internasional. Jika sektor penerbangan memiliki ICAO, sektor maritim memiliki Organisasi Maritim Internasional atau IMO. Pasca-serangan 9/11, Organisasi Maritim Internasional (IMO) mengeluarkan Kode ISPS25 untuk mencegah dan menekan tindak terorisme di perairan, khususnya terhadap kapal yang sedang berlayar. Kode ini berlaku secara efektif mulai Juli 2004. Sebagai respon terhadap Kode ini, Filipina mendirikan Kantor Keamanan Transportasi atau OTS sebagai badan tunggal yang berwenang mengatur keamanan sistem transportasi di negara tersebut. Yang bertanggung jawab khusus atas keamanan sistem transportasi maritim adalah Biro Keamanan Infrastruktur Maritim dan Transportasi Laut di bawah OTS (Economy Report on Maritime Security, Tanpa Tahun). Integrasi kewenangan di satu badan ini adalah salah satu langkah yang baik untuk meningkatkan efektivitas kelembagaan. Kita dapat melihat trend yang sama di Singapura di setiap sektor dan di Malaysia dalam hal pengawasan perbatasannya (lihat pembahasan di dua bab sebelumnya). Di
tingkat
operasional,
lembaga-lembaga
yang
berperan
dalam
peningkatan keamanan maritim di Filipina adalah Angkatan Laut Filipina (AFP) dan Polisi Penjaga Pantai (PCG). PCG adalah pasukan kecil yang lepas dari AL Filipina pada tahun 1986. Sejak saat itu, AL Filipina dan PCG bersaing dalam hal perebutan pangkalan, kapal, dan personel. Hingga saat ini, hubungan di antara kedua lembaga dikatakan tidak begitu baik sehingga menghambat upaya penanggulangan terorisme di sektor maritim (Comer, 2008). Karena AL menjadi salah satu tulang punggung keamanan maritim di Filipina, modernisasi AL menjadi hal yang imperatif meskipun terkekang oleh anggaran. Sebagai jalan keluar, pemerintah Filipina meminta bantuan kepada AS untuk membantu memodernisasi AL-nya (Banlaoi, 2008). Meskipun demikian, menurut Banlaoi (2008), otoritas maritim Filipina terhambat oleh tidak adanya hukum anti-terorisme yang efektif karena hukum keamanan maritimnya terlalu usang. Meskipun pemerintah Filipina telah mendirikan Badan Keamanan 25
Lihat Bab sebelumnya untuk penjelasan mengenai ISPS Code.
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
146
Transportasi (OTS) untuk menyusun draft hukum keamanan maritim yang sesuai dengan persyaratan Kode ISPS pada tahun 2004, badan tersebut dikatakan belum menghasilkan apa-apa (Banlaoi, 2008).
b. Strategi Peningkatan Keamanan Maritim Salah satu hal mendasar yang diperlukan untuk meningkatkan keamanan maritim adalah strategi yang menyeluruh. Salah satu kritik Banlaoi (2003) dalam hal ini adalah tidak adanya kerangka strategis menyeluruh dalam penanggulangan terorisme di Filipina sehingga responnya lebih bersifat reaktif daripada strategis (Banlaoi, 2008).26 Atas bantuan pemerintah Australia, pemerintah Filipina berhasil menyusun sebuah Program Keamanan Nasional untuk Transportasi Laut dan Infratsruktur Maritim. Program ini menetapkan langkah-langkah keamanan yang harus diikuti oleh kapal-kapal komersial dan pelabuhan-pelabuhan yang melayani perdagangan domestik. Program ini menciptakan pula konsep Transport Security Precint di lokasi-lokasi yang rentan, di mana tedapat pula infrastruktur jalan raya dan penerbangan27 (Economy Report on Maritime Security, Tanpa Tahun). Selain kerja sama dengan Australia, pemerintah Filipina juga bekerja sama dengan AS melalui Program Inisiatif Megaport (MIP) sebagaimana yang dijalankan di Malaysia dan Singapura. Kerja sama ini pada dasarnya adalah kerja sama untuk mencegah penyebarluasan nuklir secara ilegal agar tidak jatuh ke tangan teroris. Kerja sama ini dijalankan oleh Institut Penelitian Nuklir Filipina dan Otoritas Pelabuhan Filipina (PPA) serta Biro Bea Cukai. Program ini bertujuan untuk mendeteksi, mencegah, dan dan mencegat penyebarluasan bahan nuklir dan radioaktif lain melalui sistem maritim global. Untuk keperluan ini, didirikan 19 portal monitoring (RPM) di Pelabuhan Utara dan Selatan di Manila (Economy Report on Maritime Security, Tanpa Tahun). Dalam hal kesiapan menghadapi serangan, tidak seperti Singapura, Filipina belum banyak 26
Misalnya, pada tahun 2005, ASG mengebom tiga kota di Filipina pada waktu yang bersamaan. Baru setelah itu, polisi pantai Filipina meningkatkan keamanan di pelabuhanpelabuhan utama di negara tersebut (Banlaoi, 2008). Kelompok Maritim PNP juga memperketat keamanan di daerah Visayas dan Mindanao. Setidaknya enam polisi laut mendampingi setiap kapal yang berlayar di Filipina. Setelah itu, marinir Filipina pun menjadi rutin berpatroli di berbagai pelabuhan. 27 Saat ini, konsep tersebut tengah diujicobakan di Mindanao dan Visayas.
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
147
mengadakan latihan reguler atau drill untuk menguji keamanan maritimnya dan masih berada dalam tahap pengembangan kapasitas (sama seperti Malaysia). Beberapa langkah yang diagendakan pemerintah Filipina di masa depan adalah latihan di pelabuhan-pelabuhan kunci untuk menguji keamanannya, termasuk kemampuan koordinasi di antara berbagai badan pemerintah yang terlibat.
c. Kapasitas Teknologi dan Sumber Daya Manusia Selain kelembagaan dan strategi, aspek penting keamanan maritim lainnya adalah teknologi dan sumber daya manusia. Tidak seperti Singapura dan Malaysia, Filipina mengalami kekangan anggaran untuk memasang berbagai perlengkapan canggih seperti mesin X-Ray, Sistem Manajemen Lalu Lintas Kapal atau VTMAS, dan meningkatkan jumlah kapal patroli. Sebagian besar Jalur Laut Utama (SRHN) di Filipina belum dilengkapi dengan mesin X-Ray dan perlengkapan sensor serta pengintai lainnya (Economy Report on Maritime Security, Tanpa Tahun). Untuk meningkatkan kapasitas badan pemerintah Filipina untuk memerangi terorisme, Filipina mendapat bantuan peningkatan kapasitas dari Australia melalui The Philippine-Australia Port Security Capacity Building Project (PAPSCBP). Proyek ini dimulai sejak tahun 2004 hingga 2008 dengan nilai proyek sebesar 4,57 juta dollar Australia. Proyek ini mencakup program pelatihan mengenai Kode ISPS dan pelatihan mengenai audit verifikasi, juga inspeksi ke pelabuhan-pelabuhan kunci di sepanjang jalur laut utama di Filipina (Economy Report on Maritime Security, Tanpa Tahun).
d. Program Kerja Sama Internasional Lainnya Filipina adalah salah satu negara Asia Tenggara yang paling banyak menerima bantuan asing dalam hal pengembangan kapasitas di bidang maritim. Dengan bantuan AS, Filipina menjalankan program Ships Regulated Ports atau SRP, yang di antaranya mencakup pembentukan konsep Strong Republic Nautical Highway (SRNH). Konsep ini adalah menggabungkan perlindungan jaringan jalan raya dan pelabuhan di berbagai wilayah Filipina yang dianggap penting.28 Selain itu, di tingkat regional, Setiap tahun, Filipina berpartisipasi dalam latihan bersama 28
SRNH menghubungkan tiga pulau utama Filipina, yaitu Luzon, Visayas, dan Mindanao.
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
148
ASEAN yang disponsori Jepang untuk meningkatkan kemampuan komunikasi antar-badan pemerintah, command, dan control (Economy Report on Maritime Security, Tanpa Tahun).
4.3.1.3 Pengetatan Keamanan Transportasi Publik Darat Selain bandara dan pelabuhan, sistem transportasi lain yang sering menjadi target serangan teroris di Filipina adalah transportasi darat. Meskipun tidak sespektakuler terorisme penerbangan dan maritim, serangan teroris ke transportasi publik lebih mudah dilakukan sehingga lebih sering terjadi. Sistem transportasi darat di Filipina mencakup jalur kereta api, angkutan umum, bis, dan angkutan pribadi (Mendoza, 2009).29 Seperti halnya dua sektor di atas, lembaga yang bertanggung jawab untuk mengurusi keamanan transportasi darat di Filipina adalah Kantor Keamanan Transportasi (OTS), khususnya Biro Keamanan Transportasi Darat. Tidak banyak data yang menjabarkan secara rinci langkah-langkah yang dijalankan pemerintah Filipina untuk meningkatkan keamanan transportasi darat di negaranya. Salah satu langkah yang dipublikasikan adalah adalah inspeksi teratur di seluruh stasiun MRT (Mass Rapid Transit) dan LRT (Light Rapid Transit) dan terminal bis. Meskipun demikian, tidak jelas seberapa rutin dan berapa persen terminal dan stasiun yang dijangkau. Selain itu, dijalankan pula langkah rutin berupa investigasi setiap insiden keamanan di berbagai fasilitas publik tersebut dan koordinasi dengan otoritas Metro Manilla untuk menghilangkan struktur yang membahayakan keamanan fasilitas MRR dan penumpang (Mendoza, 2009). Data mengenai langkah-langkah keamanan ini tidak cukup mendetil seperti halnya data pemerintah Singapura mengenai sistem transportasi daratnya. Namun, data mengenai hal ini lebih tersedia dibandingkan data Malaysia mengenai sistem transportasi daratnya. Jika dibandingkan dengan peningkatan keamanan di sektor maritim dan penerbangan, terlihat bahwa
29
Jalur kereta komuter Filipina memanjang hingga 45,5 km di Metro Manilla dan mengangkut sekitar 950.000 penumpang setiap harinya. Jalur kereta nasional Filipina memanjang hingga 478 km dan melewati 5 provinsi dari Metro Manila. Sementara itu, angkutan bis umum Filipina berjumlah lebih dari 4500 unit dan mengangkut sekitar 450.000 penumpang setiap harinya. Bis antar-provinsi yang berjumlah lebih dari 8500 unit mengangkut sekitar 520.000 penumpang setiap harinya.
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
149
pengamanan untuk transportasi darat relatif lebih longgar, mungkin karena skala prioritas dan sumber daya yang terbatas
4.3.1.4 Pengerasan Target: Perlindungan Infrastruktur dan Instalasi Kritis Perlindungan infrastruktur dan instalasi kritis adalah salah satu prioritas pemerintah Filipina dalam penanggulangan terorisme, terutama kepolisian. Hal ini menjadi pilar ke-10 dari 14 pilar strategi penanggulangan terorisme di Filipina yang memandatkan penyusunan rencana pengamanan menyeluruh untuk infrastruktur kritis. Tugas ini menjadi tanggung jawab Komite Pengawas Kabinet. Pada saat penelitian dilakukan, rencana pengamanan menyeluruh ini belum dibuat atau tidak dipublikasikan. Sementara itu, infrastruktur kritis yang dimaksud oleh pemerintah Filipina mencakup pembangkit tenaga listrik dan energi, instalasi minyak dan gas, fasilitas publik, instalasi komunikasi, bangunan publik dan privat, serta pusat komersial dan industri (Phillipine National Police 2006, h. 9).30 Daftar ini cukup menyeluruh meskipun tidak sekomprehensif AS dan relatif tersedia jika dibandingkan dengan di Malaysia. Di tingkat operasional, tugas perlindungan infrastruktur kritis menjadi tugas kepolisian Filipina. Di dalam strategi kepolisian, dinyatakan bahwa pengerasan target adalah pertahanan lapis kedua. Hal ini didefinisikan sebagai upaya mempersulit teroris untuk sukses dalam menyerang targetnya (tepat seperti definisi penangkalan di tingka taktis). Cara melakukan ini adalah dengan mendirikan ‘payung keamanan’ di sekitar target potensial, yaitu melalui penambahan personel keamanan, termasuk elemen militer; peningkatan perlengkapan dan teknologi pengaman, penyelenggaraan survey dan inspeksi keamanan untuk menilai kemampuan pertahanan, pendidikan dan pelatihan untuk personel keamanan, latihan keamanan, dan pemulihan keamanan (Philippine National. Selain strategi, dalam hal kelembagaan pun pemerintah Filipina telah mendirikan Satuan Tugas untuk Keamanan Infrastruktur Kritis (TFSCI) pada tahun 2003. Lembaga ini bertugas mengintegrasikan program dan prosedur untuk 30
Contoh instalasi vital yang disebutkan di strategi kepolisian: kantor pemerintah, saluran listrik, bandara, pelabuhan, tempat penyimpanan air, stasiun media, depot minyak, mal, pasar, teater, lokasi wisata, terminal bis, taman, gereja, sekolah, lapangan parkir, dan sebagainya.
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
150
melindungi
infrastruktur
kritis
dan
vital
dalam
kerangka
kebijakan
penanggulangan terorisme pemerintah. Satuan ini mendaftar apa saja infrastruktur yang harus ditingkatkan keamanannya. Daftar tersebut mencakup (a) Energi (b) Suplai Air (c) Informasi dan Komunikasi (d) Transportasi (e) Perbankan dan Keuangan (f) Kesehatan Publik (g) Layanan Darurat (h) Pertanian dan Pangan (i) Industri Manufaktur (j) Layanan Pemerintah dan (k) Pusat Komersial Strategis (Magtibay, 2010). Meskipun daftar ini telah disusun, tidak ada data yang menjabarkan langkah-langkah kongkrit yang telah dijalankan pemerintah Filipina untuk meningkatkan keamanan di sektor-sektor tersebut. Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa data yang tersedia mengenai peningkatan keamanan infrastruktur kritis hanya tersedia di tingkat kebijakan dan belum pada implementasinya di lapangan ataupun asesmen mengenai efektivitasnya
4.3.2
Pengurangan Insiden Terorisme melalui Penghilangan Kapabilitas Melangsungkan
untuk
Serangan
(Penangkalan
di
Tingkat
Operasional) Elemen
kedua
dari
penggentaran
melalui
penangkalan
adalah
penangkalan di tingkat operasional yang berarti mencegah teroris mendapatkan hal-hal yang ia perlukan (kapabilitas) untuk melakukan serangan. Di Filipina dan Asia Tenggara secara umum, hal ini sangat sulit untuk dilakukan karena kawasan ini terkenal pula dengan aktivitas kriminal transnasionalnya, misalnya penjualan obat-obatan terlarang, human traficking, dan penyelundupan senjata. Bagian ini akan mengulas tentang upaya pemerintah Filipina untuk menangkal kapabilitas teroris, yang mencakup pengamanan perbatasan, kontrol senjata dan bahan peledak, kontrol pendanaan, dan kontrol pendanaan. Karena data yang ditemukan sangat sedikit, kontrol dunia maya atau internet tidak dimasukkan ke dalam pembahasan ini.
4.3.2.1 Pengetatan Kontrol dan Pengelolaan Perbatasan Karena akses keluar-masuk Filipina hanya dapat dilakukan dengan menggunakan kapal atau pesawat, manajemen perbatasan di Filipina difokuskan pada pengawasan keluar-masuk barang dan orang di pelabuhan dan bandara
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
151
internasional (Philippine Border Management Project, 2005). Dibandingkan dengan Singapura dan Malaysia, dapat dikatakan bahwa sistem pengawasan perbatasan Filipina kurang canggih. Pada tahun 2006, pemerintah Filipina mendapatkan bantuan dari Komisi Eropa dan Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM) untuk meningkatkan efektivitas upaya penanggulangan terorisme di Filipina melalui peningkatan kontrol perbatasan (Xinhua, 22 Maret 2006). Bantuan ini dinamakan sebagai The Philippine Border Management Project (PBMP).31 Program ini melakukan peningkatan kapasitas otoritas pengelola perbatasan Filipina untuk memenuhi standar pengelolaan perbatasan internasional dan memfasilitasi komunikasi di antara berbagai badan pemerintah Filipina terkait pengelolaan perbatasan32 (tidak seperti Singapura dan Malaysia, Filipina tidak mengintegrasikan otoritas pengelolaan perbatasannya pasca-9/11). Selain itu, program ini juga mendorong pemerintah Filipina untuk meningkatkan integritas dokumen perjalanannya (Philippine Border Management Project, 2005). Karena perbatasan Filipina didominasi oleh perbatasan laut, pembahasan di bagian ini lebih difokuskan pada pengelolaan perbatasan laut di sekitar wilayah Filipina. Hal ini banyak berhubungan dengan peningkatan keamanan maritim yang telah diuraikan di atas. Pembahasan akan difokuskan pada pengelolaan wilayah yang dinamakan sebagai Tri-Border Area atau TBA, sebuah wilayah yang terkenal sebagai wilayah transit teroris di antara Filipina, Indonesia, dan Malaysia. . a. Tri-Border Area: Segitiga Transit Teroris Perbatasan laut Filipina dinilai sangat mudah ditembus karena kondisi geografis negara ini yang terdiri dari banyak pulau dan kapasitas pengawasan dan penegakan hukum pemerintah pusat yang terbatas. Banyak wilayah dan pulau yang tidak terawasi oleh pemerintah pusat berkembang menjadi lalu lintas perdagangan senjata, obat-obatan terlarang, dan digunakan oleh kaum insurgen
31
Saat ini, program ini baru diujicobakan di lima daerah, yaitu Cebu, Davao, Laoag, Metro Manila and Zamboanga. 32 Yang mencakup enam lembaga, yaitu Biro Imigrasi (BI) dan Biro Bea Cukai (BOC), Badan Koordinasi Intelijen Nasional (NICA), Departemen Luar Negeri (DFA), Otoritas Pengembangan Ekonomi Nasional (NEDA), serta Pusat Kejahatan Transnasional Filipina (PCTC).
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
152
serta teroris transnasional sebagai tempat berlindung, tempat mendapatkan senjata, dan menjalin hubungan antar-organisasi (safe haven). Wilayah utama yang menjadi permasalahan di Filipina dan di Asia Tenggara secara umum adalah wilayah perairan Laut Sulawesi dan Kepulauan Sulu yang berbatasan dengan Indonesia dan Malaysia. Wilayah ini sering juga disebut sebagai Wilayah Tiga Perbatasan atau Tri-Border Area/TBA (lihat wilayah yang dilingkari oleh garis merah di peta di bawah ini) (Rabasa dan Chalk, 2012). Wilayah ini disebut juga oleh AS sebagai T3 atau Terrorist Transit Triangle.33 Comer (2008) menyebut wilayah ini ‘under-governed’ oleh ketiga negara pantai yang bertanggung jawab atasnya, yakni, Filipina, Malaysia, dan Indonesia. Untuk kasus Filipina, pemerintahnya memang telah lama mengabaikan wilayah Mindanao, khususnya daerah yang telah disepakati sebagai Wilayah Otonom Muslim Mindanao (ARMM). Selain itu, Tentara Nasional Filipina (AFP) memang kekurangan anggaran, terutama sejak pemerintah Filipina menutup pangkalan militer AS pada tahun 1992. Sejak tahun 1991 hingga 2002, tidak ada penunjukan atau pembentukan unit kontra-teror di dalam tubuh AFP (Comer, 2008).34
Gambar 4.2 Segitiga Transit Teroris Sumber: Rabasa dan Chalk, 2012
33
Nama lain adalah jalur tikus, rute infiltrasi, dan koridor teroris. Pada tahun 2004, terjadi sebuah insiden yang menunjukkan betapa kurangnya anggaran untuk Angkatan Laut Filipina. AL Filipina tidak dapat mencegat ASG di perairan terbuka karena bahan bakar yang dialokasikan untuk kapal-kapalnya telah dijual kepada nelayan lokal. 34
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
153
Banyaknya pulau kecil di wilayah tersebut juga menyulitkan pengawasan pemerintah. Berbagai aktivitas legal dan ilegal berlangsung di sana, termasuk migrasi, perdagangan, dan bahkan pariwisata. Berdasarkan laporan AS pada tahun 2011, Indonesia, Malaysia, dan Filipina telah meningkatkan upaya mereka untuk mengontrol perbatasan maritim mereka. AS pun memberikan bantuan dalam bentuk pembangunan jejaring radar Coast Watch South untuk meningkatkan pengawasan di wilayah Selatan Mindanao. Namun, menurut laporan ini pengawasan yang ada pun tetap masih belum memadai. Inisiatif lain yang disponsori AS adalah Trilateral Interagency Maritime Law Enforcement Working Group (TIAMLEW) yang dijalankan sejak 2008. Inisiatif ini dikatakan telah berhasil meningkatkan koordinasi Malaysia, Indonesia, dan Filipina dalam hal keamanan maritim (U.S Department of State, 2012).
b. Inisiatif Coast Watch System Sebagaimana telah disinggung di atas, negara yang sangat prihatin dengan pengamanan di wilayah TBA adalah AS karena ia memiliki kepentingan kontraterorisme global. Untuk mengamankan wilayah ini, AS memberi bantuan dengan mendirikan Sistem Pengawasan Pantai atau CWS (Coast Watch System) pada tahun 2011. Sistem ini ditujukan untuk mengkoordinasikan berbagai operasi pengamanan maritim dan melindungi perbatasan maritim Filipina agar tidak dijadikan tempat transit para militan ekstrimis (U.S Department of State, 2011). Sistem ini melibatkan banyak sekali lembaga pemerintah,35 mulai dari Kementerian, militer, kepolisian, hingga badan-badan pemerintah lain yang berdiri sendiri (Economy Report on Maritime Security, Tanpa Tahun). Menurut Rabasa dan Chalk (2012), sistem ini telah meningkatkan keamanan maritim Filipina secara drastis. CWS dikoordinasikan sepanjang waktu oleh The Maritime Research Information Center (MRIC) yang berbasis di Manila. Jika 35
Sistem ini beranggotakan Dewan Keamanan Nasional, Departemen Pertahanan, Departemen Kehakiman, Departemen Dalam Negeri dan Pemerintahan Lokal, Departemen Pertanian, Departemen Energi, Departemen Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam, Departemen Kesehatan, Departemen Transportasi dan Komunikasi, Kantor Keamanan Transportasi, Angkatan Laut Filipina, Kepolisian Filipina, Penjaga Pantai Filipina, Badan Narkotika Filipina, Biro Imigrasi, Biro Bea Cukai, Biro Sumber Daya Air, Badan Koordinasi Intelijen Nasional, dan Pusat Kejahatan Transnasional Filipina.
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
154
dikembangkan, menurut riset RAND sistem ini dapat menjadi basis untuk membentuk sistem keamanan maritim yang terintegrasi di antara Filipina, Malaysia, dan Indonesia yang bertanggung jawab atas Tri-Border Area. Meskipun demikian, sistem ini menghadapi beberapa tantangan, yaitu keterbatasan sumber daya manusia dan sumber daya fisik (termasuk personel), belum adanya protokol perjanjian di antaran Indonesia, Malaysia, dan Filipina untuk menjalankan sistem ini36, belum diterimanya konsep sistem ini secara luas di antara para pemangku kepentingan kunci di tiga negara, masih lemahnya koordinasi antar-agensi, kurangnya kemampuan pemeliharaan logistik, serta kurangnya aset intelijen (Rabasa dan Chalk, 2012).
c. Kerja Sama Internasional dalam Pengelolaan Perbatasan Maritim Masalah keamanan maritim dan perbatasan bukanlah masalah individual suatu negara, melainkan selalu melibatkan negara lain. Keamanan maritim menjadi masalah bersama Filipina dan Indonesia karena hubungan di antara JI dan Abu Sayyaf serta MILF. Ketiga organisasi teroris tersebut sering menggunakan wilayah tri-border (TBA) di antara Filipina, Indonesia, dan Malaysia, untuk mendapatkan logistik bagi aktivitas terorisme mereka (wilayah ini terkenal juga dengan sebutan ‘backdoor corridor’). Dengan Indonesia, Komite Perbatasan Filipina mengadakan kerja sama dalam hal pertukaran intelijen dan informasi mengenai terorisme, penyelundupan, dan masalah-masalah perbatasan lainnya sejak November 2011 (Lacorte, 2011). Hal lain yang juga penting selain intelijen adalah patroli bersama yang disepakati oleh Filipina dan Indonesia (Lacorte, 2011). Kerja sama ini memang relatif baru dan dapat dikatakan terlambat, namun mensinyalkan peningkatan dalam hal keamanan perbatasan. Hal ini penting karena Indonesia dan Filipina sama-sama terkekang masalah kapasitas sumber daya Angkatan Laut dalam hal pengamanan maritim.
36
Menurut Comer (Tanpa Tahun), hubungan Indonesia, Malaysia, dan Filipina yang bertanggung jawab atas Tri-Border Area seringkali diwarnai ketegangan (terutama karena Filipina dan Malaysia memiliki klaim yang tumpang tindih di wilayah ini) sehingga sulit untuk menyusun protokol bersama untuk mengintegrasikan keamanan maritim. Faktor lain yang memperumit keadaan adalah keterlibatan AS dan kedekatan Filipina dan AS secara umum yang seringkali menjadi sumber kecurigaan Indonesia dan Malaysia.
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
155
4.3.2.2 Kontrol Senjata dan Bahan Peledak Selain akses terhadap wilayah dan tempat berlindung, kapabilitas lain yang penting untuk ditangkal agar teroris tidak berhasil melangsungkan seranganya adalah kapabilitas untuk mendapatkan senjata dan atau bahan peledak. Peredaran senjata gelap adalah salah satu masalah besar bagi Filipina yang telah dilanda insurgensi dan terorisme selama berpuluh-puluh tahun. Saking besarnya, masalah senjata ini telah dianggap sebagai ‘meta-problem’ yang menyuburkan tindaktindak kriminal lainnya (Republic of the Philippines, 2008). Peredaran senjata juga memfasilitasi serangan terorisme di negara tersebut. Di tingkat kerangka normatif, Pemerintah Filipina telah memiliki hukum untuk mencegah peredaran senjata gelap. Beberapa regulasi yang diterapkan untuk tujuan tersebut antara lain penerapan tarif, bea cukai, dan kontrol ekspor, pendirian Sistem Manajemen Informasi Senjata Api dan pemberian tanda serta pelacakan senjata api, dan hukum yang membatasi kepemilikan senjata api (UU Kontrol Senjata Filipina dikeluarkan tahun 1997). Pemerintah Filipina juga memiliki Program Kendali Senjata Api Nasional untuk mengatur end-use dari senjata api yang didapatkan di Filipina (Office of the Special Envoy on Transnational Crime, Tanpa Tahun). Meskipun demikian, upaya untuk mengontrol melalui hukum ini mengalami beberapa hambatan. Yang pertama adalah pendekatan yang digunakan tidak memadai untuk mengatasi masalah di lapangan. Pendekatan yang digunakan pemerintah saat ini adalah pengontrolan pada sisi supply-demand. Dengan kata lain, yang diatur adalah pabrik senjata dan individu pengguna senjata. Sementara itu, peredaran senjata gelap sebagian besar terjadi karena adanya pengalihan penggunaan yang legal tersebut. Permasalahan kedua adalah lemahnya pengawasan perbatasan Filipina, terutama di zona-zona konflik di mana kehadiran pemerintah tidak dirasakan. Ada juga masalah privatisasi keamanan dalam bentuk tentara bayaran dan perusahaan keamanan privat yang juga memiliki lisensi mendatangkan senjata (Office of the Special Envoy on Transnational Crime, Tanpa Tahun). Berbagai permasalahan kontrol senjata ini mempersulit penanggulangan terorisme di Filipina.
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
156
4.3.2.3 Kontrol Pendanaan Selain kontrol senjata, kontrol pendanaan menjadi sangat vital bagi pemerintah Filipina karena dana dari luar, khususnya Al-Qaeda, menjadi salah satu sumber pembiayaan utama homegrown terrorism di Filipina. Sebagai contoh, Al-Qaeda menggunakan organisasi amal, The Islamic International Relief Organization (IIRO), untuk mendistribusikan dana untuk membeli senjata bagi ASG dan MILF (Abuza, 2003). Solusi untuk hal ini pertama kali datang dari tingkat internasional sebagaimana halnya peningkatan keamanan di sektor penerbangan dan maritim. Seperti halnya Singapura dan Malaysia, Filipina adalah anggota Financial Action Task Force regional dan Asia Pacific Group on Money Laundering (APG) (U.S Department of State, 2011). Selain itu, Filipina juga mendukung inisiatif PBB untuk menekan pendanaan teroris dengan cara berusaha memenuhi segala persyaratan
yang
dikeluarkannya,
salah
satunya
adalah
legislasi
yang
mengkriminalkan bantuan pendanaan untuk aktivitas terorisme. Sejak tahun 2001, Filipina telah memiliki UU Anti-Pencucian Uang atau AMLA sebagai salah satu syarat yang diterapkan PBB untuk negara-negara anggotanya. Pada tahun 2007, Filipina pun mendirikan Dewan Anti-Pencucian Uang atau AMLC dan Dewan Anti-Terorisme (ATC). Akan tetapi, meskipun Filipina telah mengeluarkan UU Anti-Pendanaan Teroris (dan Pencucian Uang), aturan ini tidak bisa menyasar sistem transfer uang informal yang disebut dengan hawala. Selain itu, US Departmen of State menyatakan bahwa minimnya komunikasi di antara badan-badan penegak hukum Filipina dan Dewan AntiPencucian Uang (AMLC) menghambat implementasi UU tersebut (US Department of State, 2011). Selain itu, pada bulan Maret 2012, US Department of State mengeluarkan laporan yang menyebutkan bahwa Filipina telah gagal memperbaiki kekurangan dari UU Anti-Pencucian Uang (AMLA) yang telah dimilikinya sejak tahun 2001 (Mabasa, 2012). Sebelumnya, pemerintah Filipina telah berkomitmen untuk mengamandemen UU tersebut pada bulan Desember 2011. Kekurangan yang disebutkan mencakup kurangnya transparansi finansial, kurangnya kewenangan Unit Intelijen Finansial untuk mengakses informasi bank dan membekukan aset
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
157
teroris tanpa izin pengadilan, dan periode kewajiban melaporkan transaksi mencurigakan yang dinilai terlalu pendek. Karena kekurangan ini, Filipina disebutkan sebagai salah satu dari 66 negara surga pencucian uang di dunia. Presiden Benigno Aquino III menanggapi kritik ini dengan mendorong amandemen AMLA di Parlemen. Sebagai hasilnya, pada tahun 2012, Parlemen Filipina mengeluarkan UU Anti-Pendanaan Terorisme baru atau The Terrorism Financing Prevention and Suppression Act. Berdasarkan UU baru ini, AMLC diberi wewenang untuk membekukan aset tersangka teroris, baik atas inisiatif sendiri maupun atas permintaan ATC dalam jangka waktu sesegera mungkin tanpa harus mendapatkan surat perintah pengadilan (Terrorism Financing Prevention and Suppression Act, 2012). Parlemen Filipina juga mengeluarkan legislasi lain yang membatalkan kewajiban AMLC untuk memberi notifikasi pada pihak yang sedang diawasi (Bordadora, 2012). Dengan keluarnya legislasi ini dan satu legislasi lainnya, Filipina keluar dari daftar hitam FATF (Financial Action Task Force)37, yakni negara yang dinilai tidak membuat kemajuan yang signifikan dalam upaya menekan pencucian uang dan pendanaan teroris global. Dengan keputusan pada tahun 2012 ini, Filipina tinggal selangkah lagi untuk mencapai tingkat kepatuhan (compliance) terhadap standar internasional (Bordadora, 2012).
4.3.3 Pengurangan Insiden Terorisme melalui Penghilangan Motivasi untuk Melangsungkan Serangan (Penangkalan di Tingkat Strategis) Setelah membahas mengenai penangkalan peluang di tingkat taktis dan penangkalan kapabilitas di tingkat operasional, bagian ini akan membahas mengenai penangkalan di tingkat strategis yang dilakukan melalui upaya menghilangkan motivasi teroris untuk melakukan serangan. Bagian ini terbagi menjadi dua sub-bagian. Yang pertama adalah upaya menangkal motivasi teroris untuk melakukan serangan dengan cara menunjukan inefektivitas metode terorisme untuk mencapai tujuan strategisnya. Hal ini dilakukan dengan memitigasi dampak serangan dan mempercepat pemulihan pasca-serangan
37
FATF adalah lembaga antarpemerintah yang dibentuk pada tahun 1989 atas dasar inisiatif negara-negara G-7. Badan ini bertugas menetapkan standar dan memonitor implementasi berbagai standar tersebut untuk memerangi pencucian uang, pendanaan teroris, dan ancaman-ancaman lain terhadap sistem finansial global.
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
158
sehingga keadaan kembali normal. Yang kedua adalah upaya menangkal motivasi teroris
untuk
menyerang
dengan
menandingi
wacana
ideologis
yang
melandasinya. Hal ini dilakukan dengan kontra-radikalisasi atau perang ideologis.
4.3.3.1 Mitigasi Dampak Serangan dan Pemulihan Pasca-Serangan Mitigasi dampak serangan dan pemulihan pasca-serangan adalah aspek yang disebutkan secara berulang-ulang dalam strategi penanggulangan terorisme Filipina. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pemerintah Filipina sangat menyadari arti pentingnya langkah ini, kemungkinan karena Filipina telah dan masih mengalami banyak serangan teroris hingga saat ini. Hal ini juga menjadi bagian strategis dari strategi pertahanan berlapis kepolisian Filipina sebagaimana halnya strategi Singapura (yang tidak disebutkan di dalam strategi Malaysia).38 Untuk meningkatkan kemampuan pemulihan kondisi pasca-serangan teroris, pada bulan Oktober 2012, Presiden Aquino III mendirikan organisasi manajemen krisis nasional dan lokal (San Pedro, 2012). Tugas Komite ini adalah untuk mempersiapkan prosedur emergensi awal beserta sumber dayanya dan berkoordinasi dengan berbagai lembaga nasional dan lokal (Philippine National Police 2006, h. 12). Yang menarik, Komite ini juga diberi tugas dan wewenang untuk mengelola media dan menentukan prioritasi upaya yang harus dilakukan ketika pihak berwenang memasuki daerah. Di tingkat yang lebih strategis, Komite ini juga harus menyusun, menjalankan, dan mengkaji dokumen keamanan publik yang bernama Integrated Area/Community Public Safety Plan (IA/CPSP) dan menunjuk seorang Pengelola Insiden dan Tim Pengelola Krisis di semua wilayah target potensial. Aktivitas-aktivitas yang tercakup dalam elemen pemulihan pasca-serangan ini adalah pengarahan dan pengawasan dari pemerintah lokal, aktivasi Tim Manajemen Krisis privat jika diperlukan sebelum Komite Manajemen Krisis datang ke lokasi serangan, aktivasi Komite Manajemen Krisis, dan aktivasi Pos Komando di lokasi. Dengan keberadaan organisasi ini, kewenangan, tugas, dan tanggung jawab pengelolaan krisis di Filipina menjadi lebih jelas. Dalam hal manajemen 38
Mungkin karena Malaysia menganggap dirinya bukan target serangan potensial seperti halnya Singapura yang belum pernah diserang namun selalu menekankan pada kesiap-siagaan maupun Filipina yang selama ini telah merasakan kenyataan terorisme sehari-hari.
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
159
krisis, Dewan Keamanan Nasional berperan sebagai Komite Eksekutif atau Komite Manajemen Krisis Nasional (EXECOM/NCMC) yang memiliki kewenangan tertinggi untuk menetapkan kebijakan terkait manajemen krisis di tingkat nasional. Selain di tingkat nasional, didirikan pula Komite Pengelolaan Krisis di tingkat regional, provinsi, municipality, dan desa (barangay) (San Pedro, 2012). Meskipun dengan ini Filipina telah memiliki badan pengelola krisis yang terintegrasi, setidaknya di level tinggi (tingkat Kementerian), wewenang untuk mengurusi ancaman terorisme dan keamanan maritim ternyata berada di dua Kementerian yang berbeda, yaitu di tangan Sekretaris Eksekutif (untuk terorisme), dan Departemen Luar Negeri dan Departemen Pertahanan (untuk keamanan maritim) padahal keamanan maritim adalah salah satu aspek dari penanggulangan terorisme. Tumpang-tindih ini berpotensi menimbulkan masalah yurisdiksi kewenangan dan koordinasi, terutama jika Komite ini justru menjadi arena politik birokrasi. Di dalam tubuh kepolisian sendiri, pada tahun 2002, pemerintah Filipina mendirikan sebuah tim bernama Police Anti-Crime and Emergency Response (PACER). Jangkauan tugas tim khusus ini mencakup pembendungan dan netralisasi ancaman teroris, baik lokal maupun internasional, termasuk manajemen krisis (Philippine National Police, 2006). Di tingkat lintas-lembaga, didirikan juga National Crisis Action Force yang menggabungkan unit darat, laut, dan udara ke dalam unit tunggal untuk merespon serangan teroris atau krisis lainnya. Dalam hal ini, terdapat pembagian peran di antara kepolisian dan militer di tingkat operasional (U.S Department of State, 2011).39
4.3.3.2 Perang Ideologi untuk Menghilangkan Motivasi Teroris Penangkalan motivasi teroris juga dapat dilakukan dengan menandingi wacana ideologis yang melandasinya, meskipun hal ini adalah langkah yang sangat sulit untuk dilakukan di Filipina. Secara domestik, terorisme di Filipina dilandasi oleh ketidakpuasan politik, sosial, dan ekonomi. Elemen transnasional yang muncul di era kontemporer dan diperkenalkan oleh JI mempersulit keadaan karena akar ideologis yang kuat, tidak hanya ketidakpuasan material. 39
Dengan semakin meningkatnya peran kepolisian dalam pengamanan internal, militer dapat memfokuskan diri pada peningkatan keamanan maritim dan pertahanan teritorial.
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
160
Salah satu langkah yang dijalankan pemerintah Filipina untuk memenangkan hati dan pikiran warga Muslin adalah dengan mendirikan sebuah lembaga bernama Komisi Nasional Muslim Filipina. Lembaga ini ditugasi menampung segala aspirasi dan keluhan warga Muslim Filipina. Sementara itu, khusus di wilayah konflik, pemerintah menjalankan program kontra-radikalisasi yang dinamakan PAMANA atau Payapa at Masaganang Pamayanan (Ketahanan Komunitas di Wilayah Konflik). Program ini dijalankan oleh Kantor Penasihat Presiden untuk Proses Perdamaian (yang juga dimandatkan untuk menangani insurgensi) dan ditujukan untuk membangun perdamaian dan membangun wilayah konflik. Dalam skala yang lebih luas, pemerintah Filipina juga menjalankan program Bayanihan Leaders. Program ini mengidentifikasi para pemangku kepentingan kunci dari setiap komunitas (termasuk anggota militer dan kepolisian, Departemen Pendidikan, dan Departemen Kesejahteraan Sosial dan Pembangunan, pemerintah lokal, komunitas keagamaan, dan kaum pemuda) untuk menjadi pembicara dan mentor bagi para pemuda Filipina. Program ini ditujukan untuk mendidik para audiensnya mengenai bahaya rekurtmen organisasi ekstrim (hampir mirip dengan sistem di Singapura dan Malaysia). Selain itu, program ini juga mengembangkan dialog antar-agama dan mentoring (U.S Department of State, 2011). Dari uraian di atas, terlihat bahwa upaya kontra-radikalisasi atau perang ideologis pemerintah Filipina lebih mengarah pada pembangunan perdamaian di wilayah konflik dan pertahanan sosial terhadap wacana ekstrimis dan tidak mencakup program deradikalisasi tahanan teroris seperti halnya di Singapura dan Malaysia.
4.4
Pengurangan Insiden Terorisme melalui Penggentaran melalui Hukuman Di Singapura dan Malaysia, penggentaran melalui hukuman adalah elemen
penggentaran yang dominan. Kedua negara memiliki Internal Security Act, hukum luar biasa yang sangat efektif dalam mencegah terorisme karena membolehkan penahanan preventif. Sebagai negara demokrasi tertua di Asia Tenggara, Filipina tidak memiliki hukum semacam itu. Bagian ini akan mengulas tentang penegakan hukum terhadap teroris di Filipina dan langkah-langkah hukuman lainnya yang
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
161
dapat menimbulkan efek penggentaran. Karena Filipina menggunakan militer untuk menindak teroris (juga untuk teroris transnasional yang bekerja sama dengan teroris domestiknya), akan dibahas pula mengenai pembunuhan bersasaran (meskipun retalias masif tidak dijalankan, setidaknya secara resmi).
4.4.1
Penegakan Hukum terhadap Tindak Terorisme Filipina memiliki banyak sekali hukum internasional yang diratifikasi
menjadi hukum nasional. Dari segi ini, Filipina adalah negara Asia Tenggara yang paling banyak meratifikasi konvensi internasional terkait kontraterorisme, yakni 12 dari 16 konvensi yang ada (United Nations Office for Drugs and Crime, 2011). Secara domestik, kebijakan penanggulangan terorisme Filipina diletakkan dalam beberapa ‘parameter legal’ yang terdiri dari hukum dan peraturan pidana yang telah ada sebelumnya mengenai pembajakan dan penyanderaan (2002) serta terorisme di sektor penerbangan (2002) (Philippine National Police, 2006). Sebelum dikeluarkannya UU Anti-Terorisme Filipina pada tahun 2007 sebagai hasil dari tekanan AS, Filipina tidak memiliki hukum anti-terorisme tersendiri melainkan hanya menggunakan elemen-elemen hukum pidana yang telah ada sebelumnya. Sebelumnya, kebutuhan akan hukum anti-terorisme dirasa tidak perlu oleh pemerintah
Filipina.
Sebagaimana
telah
dijelaskan
sebelumnya,
unit
penanggulangan terorisme utama di Filipina adalah militer. Selama bertahuntahun, pemerintah Filipina memerangi terorisme tanpa adanya hukum yang khusus mengkodifikasi aksi terorisme. Selain itu, United Nations Office on Drugs and Crime (UNDOC) pun berargumen bahwa tanpa hukum anti-terorisme pun, pemerintah Filipina telah berhasil mengadili teroris, misalnya dalam kasus pengeboman Superferry 14 yang menewaskan 166 orang (Eadie, 2011). Akan tetapi, penanganan dengan pendekatan militer menimbulkan protes dari kelompok HAM. Untuk sementara waktu, Filipina bahkan dimasukkan ke dalam daftar pengawasan PBB untuk pelanggaran HAM (Lyew, 2010). Menurut Eadie (2011), karena tekanan AS, Filipina pada akhirnya mengeluarkan UU Anti-Terorisme tersendiri pada tahun 2007.
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
162
4.4.1.1 Human Security Act: UU Anti-Terorisme yang Tidak Pernah Digunakan Hukum anti-terorisme di Filipina yang dikeluarkan pada tahun 2007 ini bernama agak unik, yaitu UU Keamanan Manusia atau Human Security Act (HSA).40
Meskipun
namanya
mencerminkan paradigma
keamanan
pro-
masyarakat, hukum anti-terorisme ini justru sempat menimbulkan protes dari kelompok masyarakat sipil karena dianggap melanggar kebebasan sipil dan dipandang mudah disalahgunakan oleh pemerintah (Eadie, 2011). HSA memang memberi wewenang besar kepada kepolisian atau badan penegak hukum yang lain untuk mengintai, mencegat, dan menyadap komunikasi anggota organisasi teroris atau orang yang telah disangka atau dicurigai hendak melakukan terorisme berdasarkan surat perintah dari pengadilan (Eadie, 2011).41 Selain itu, HSA juga memberi wewenang untuk menangkap orang yang dicurigai sebagai teroris tidak hanya pada kepolisian atau badan penegak hukum, tetap juga warga negara biasa yang menyaksikan aksi terorisme atau perencanaannya (sama seperti di Singapura). Hukuman yang ditetapkan oleh HSA untuk tindak terorisme cukup tinggi, yaitu 40 tahun tanpa ada kesempatan bebas bersyarat (Maliwanag, 2007). Namun, tidak seperti ISA di Singapura dan Malaysia, HSA tidak memberikan kewenangan kepada pihak berwenang Filipina untuk melakukan penahanan preventif. Pada awalnya badan penegak hukum dapat menahan seseorang yang dicurigai sebagai teroris selama 3 hari. Namun, setelah 3 hari itu tersangka harus dibawa ke pengadilan untuk ditetapkan sebagai tersangka teroris. Setelah menjadi tersangka teroris, pemerintah dapat menahan tersangka tersebut tanpa batas waktu, yang dikritisi oleh para pegiat HAM (Maliwanag, 2007). Hal lain yang dikritisi oleh pengamat HAM adalah definisi tindak terorisme di dalam hukum ini yang didefinisikan secara luas sehingga dapat mengkriminalisasi aksi protes yang legitimate (Maliwanag, 2011).42 Bahaya lain yang disebutkan dari 40
Dikenal juga sebagai UU Republik No 9372: UU untuk Mengamankan Negara dan Melindungi Warga Negara Kita dari Terorisme. 41 Meskipun demikian, HSA juga menetapkan hukuman untuk anggota kepolisian atau badan penegak hukum yang melakukan penyadapan secara ilegal. Jika terbukti tidak bersalah, orang yang ditahan dengan menggunakan ISA berhak mendapat ganti rugi sebesar 500.000 peso per hari ia ditahan. 42 Berkebalikan dengan posisi berbagai kelompok HAM, pemerintah Filipina justru mendesak Parlemen untuk memperkuat HSA, misalnya dengan mencabut kewajiban pemerintah
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
163
definisi ini adalah fakta bahwa ia tidak membedakan antara insurgensi dan terorisme (Eadie, 2011). Menurut International Crisis Group (2004), menyatukan kontrainsurgensi dan kontraterorisme justru berpotensi membuat teroris lebih dekat kepada kelompok insurgen dan dapat berlindung di tengah kaum insurgen. Dalam hal efek penggentaran, menurut Pereire (2007), HSA dapat menggentarkan teroris di masa yang akan datang karena mereka tidak dapat lagi merencanakan atau menjalankan aksi teroris tanpa diproses secara hukum. Meskipun demikian, hingga tahun 2011 legislasi ini belum satu kalipun berhasil diterapkan untuk membawa teroris ke pengadilan. Menurut Eadie (2011), ketentuan pembayaran ganti rugi dan ancaman hukuman penjara untuk penegak hukum yang melanggar ketentuan HSA dalam hal penyadapan atau pemeriksaan rekening bank adalah ‘jebakan’ legal yang membuat UU ini tidak pernah digunakan hingga saat ini. Kondisi ini mirip dengan yang terjadi di Malaysia meskipun dengan alasan yang berbeda. Meskipun memiliki UU Anti-Terorisme tersendiri dan juga Hukum Pidana biasa yang dapat mengkriminalisasi tindak terorisme, pemerintah Malaysia lebih memilih menggunakan ISA karena lebih efektif untuk mencegah serangan teroris dengan klausul penahanan preventifnya. Secara lebih umum, penegakan hukum untuk menanggulangi terorisme di Filipina dinilai masih memiliki banyak masalah sistemik di luar konten legislasi itu sendiri. US Department State, misalnya, menyebutkan bahwa sistem penegakan hukum Filipina memiliki beberapa kelemahan dalam hal moral yang rendah, gaji yang kecil, kesulitan dalam hal rekrutmen, dan sulitnya kerja sama di antara kepolisian dan kejaksaan untuk memproses teroris secara hukum (US Department of State, 330). Satu masalah lain yang juga hadir adalah korupsi sistemik. Korupsi tidak hanya hadir di tubuh kepolisian dan militer, tetapi juga di dalam birokrasi. Menurut Eusaquito, sebuah studi menemukan bahwa korupsi terbukti berdampak negatif pada upaya penanggulangan terorisme Filipina (Eusaquito, 2004).
untuk menginformasikan pengintaian dan ketentuan yang menyatakan bahwa hukum ini tidak dapat diterapkan menjelang dan segera sesudah pemilihan umum.
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
164
4.4.2
Pembunuhan Bersasaran dan Retaliasi Militer Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, militer adalah ujung tombak
kontraterorisme Filipina pada saat ini. Pemerintah menggunakan operasi militer untuk menghancurkan kapabilitas teroris, termasuk teroris transnasional seperti JI. Untuk menghancurkan ASG, misalnya, pemerintah Filipina meluncurkan operasi besar-besaran berjudul ‘Balikatan’ selama 6 bulan pada tahun 2002 dengan bantuan pasukan AS (Eusaquito, 2004). Sekitar 1300 pasukan diturunkan, termasuk 160 pasukan khusus. Operasi tersebut dikatakan berhasil mengurangi kapabilitas ASG dari beberapa ribu orang menjadi hanya beberapa ratus orang saja (Rabasa, 2003 dalam Eusaquito, 2004). Operasi lainnya adalah Oplan Ultimatum pada bulan Agustus 2006. Operasi tersebut menyasar sekitar 500 operatif ASG di Sulu dan beberapa target ‘tingkat tinggi’ seperti Umar Patek dan Dulmatin dan berlangsung selama 9 bulan (International Crisis Group, 2004). Penggunaan militer ini menunjukkan bahwa kontrainsurgensi dan kontraterorisme di Filipina berbeda tipis, bahkan saling tumpang-tindih di Filipina. International Crisis Group (2004) memperingatkan bahwa pendekatan COIN/CT yang tidak dibedakan dapat berbalik arah dan membuat kelompok teroris seperti ASG dan JI justru lebih dekat kepada insurgen (MILF dan MNLF) yang legitimate dan harus dirangkul pemerintah. Menurut ICG, yang seharusnya dilakukan pemerintah Filipina adalah mengisolasi ASG dan JI sehingga tidak dapat berlindung di tengah kaum insurgen. Meskipun pemerintah Filipina telah menggunakan kekuatan militernya secara masif untuk memadamkan konflik di Filipina Selatan sekaligus menghentikan terorisme yang berasal dari sana, ada satu faktor yang membuat upaya militer pemerintah Filipina tidak membuahkan hasil yang maksimal, yaitu politik klan (Kreuzer, 2005, h.3). Dinamika mikro tersebut telah terintegrasikan di dalam sistem kekerasan yang bersifat multidimensional di Filipina Selatan. Para klan lokal dan ‘orang kuat’ yang memiliki tentara pribadi dan ‘preman’ turut menjadi agen kekerasan di wilayah tersebut, ditambah geng kriminal yang memiliki koneksi dengan politisi dan gerilyawan MILF (Kreuzer, 2005, h.4). Di permukaan, konflik utama seakan terjadi di antara gerilyawan MILF/MNLF dan tentara pemerintah, namun sebenarnya terjadi pula di antara berbagai klan yang
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
165
saling bertarung untuk menguasai politik lokal dan menutupi kepentingan mereka dengan alasan berjuang demi hak untuk menentukan nasib sendiri (Kreuzer, 2005, h. 5). Faktor dinamika mikro yang rumit ini menghambat upaya penanggulangan teror pemerintah Filipina di wilayah Selatan yang bertumpu pada pendekatan militer.
4.5
Pengurangan Insiden Terorisme melalui Insentif Politik dan Ekonomi Insentif politik dan ekonomi adalah bagian integral dari strategi
kontrainsurgensi dan kontraterorisme Filipina karena secara historis, terorisme di Filipina muncul sebagai sempalan dari insurgensi. Bagian ini akan membicarakan dua hal tersebut, yakni insentif ekonomi dalam bentuk pendekatan kesejahteraan dan insentif politik dalam bentuk konsesi dan negosiasi serta insentif demokratis.
4.5.1
Insentif Ekonomi dalam Bentuk Pendekatan Kesejahteraan Pemerintah Filipina memandang perbaikan kondisi hidup masyarakat di
wilayah teroris sebagai salah satu prioritas penanggulangan terorisme. Menurut Rabasa (2003), pemerintah Filipina terus berusaha memperbaiki kondisi kehidupan masyarakat di Basilan melalui peningkatan layanan dasar (misalnya layanan medis dan infratsruktur) (Eusaquito, 2004). Pemerintah Filipina dengan bantuan AS (melalui USAID) juga menjadikan pendekatan militer dan sosialekonomi sebagai pendekatan kontrainsurgensi di selatan. Langkah-langkah yang dilakukan mencakup pembangunan ekonomi dan bantuan sosial. Akan tetapi, menurut International Crisis Group (2004), pendekatan ini tidak menyelesaikan masalah karena yang diinginkan oleh kaum insurgen adalah penyelesaian politik, bukan semata-mata peningkatan kesejahteraan. Sebagaimana halnya di dua negara sebelumnya, pendekatan kesejahteraan ini tidak ditujukan kepada anggota teroris secara langsung, terlebih kepada anggota JI yang beroperasi di Filipina, melainkan ditujukan kepada komunitas yang berada di sekitar mereka dengan harapan akan dapat menghentikan rantai regenerasi dan rekrutmen teroris.
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
166
4.5.2
Insentif Politik dalam bentuk Negosiasi dengan Insurgen MNFL dan MILF tidak tepat untuk disebut sepenuhnya sebagai organisasi
teroris, melainkan lebih tepat untuk disebut sebagai kelompok insurgen. Akan tetapi, kedua organisasi ini juga menggunakan metode terorisme dalam perjuangannya. Dengan mereka, jelas bahwa pemerintah Filipina terlibat dalam negosiasi politik untuk memberi mereka insentif agar menghentikan perang dengan pemerintah. Insentif politik yang paling nyata adalah dengan membentuk Wilayah Otonom Muslim Mindanao (ARMM) yang negosiasinya masih berlangsung hingga saat ini. Insentif politik dan ekonomi terhadap kelompok insurgen juga membantu untuk memisahkan mereka dari kelompok teroris atau sayap militer yang ekstrim di tubuh mereka. Hal ini sudah menampakkan sedikit kesuksesan ketika MILF bersedia bekerja sama untuk menangkap para anggota ASG. Namun, kerja sama ini masih sangat rentan dan masih terdapat resiko tinggi keadaan akan berbalik jika pemerintah dianggap tidak menepati janjinya dalam negosiasi politik. Mengenai demokratisasi sebagai insentif politik kepada warga negara secara luas, pemerintah Filipina tidak menekankan hal tersebut karena secara nominal negaranya termasuk ke dalam kategori negara demokrasi. Akan tetapi, menurut Acharya (2002), demokratisasi terkadang justru memberi amunisi terhadap terorisme (Eusaquito, 2004). Demokratisasi tampak memberi efek buruk jika membandingkan upaya penanggulangan Malaysia dan Singapura yang bersandar pada ISA dan upaya Indonesia dan Filipina yang mengikuti (setidaknya secara normatif) prinsip-prinsip HAM dan demokratisasi (Acharya, 2002 dalam Eusaquito, 2004). Selain itu, Eubank dan Weinberg (2000) menyatakan bahwa politik demokrasi telah mengakibatkan kemunculan kembali terorisme. Ia menyatkan bahwa kelompok teroris berkemungkinan 3,5 kali lebih besar muncul di negara demokratis dibandingkan di negara yang non-demokratis. Dalam hal penanggulangan terhadap terorisme, kondisi Filipina yang demokratis justru menempatkannya lebih rendah dalam hal efektivitas penanggulangan terorisme dibandingkan dengan Singapura dan Malaysia yang tidak demokratis.
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
167
4.6
Simpulan Uraian di atas membahas apa saja yang telah dijalankan pemerintah
Filipina untuk menggentarkan teroris di negaranya pasca–serangan 9/11. Dalam hal karakteristik, Filipina berbeda dengan dua negara yang dibahas sebelumnya, yakni Singapura dan Malaysia. Filipina adalah negara yang hingga saat ini masih dilanda insurgensi. Pemerintah Filipina lebih memfokuskan diri pada terorisme dan insurgensi domestik sementara terorisme transnasional menjadi kekhawatiran karena menyuburkan aktivitas terorisme domestik. Konteks insurgensi membuat strategi penanggulangan terorisme di Filipina lebih banyak berada di tangan militer (AFP) sementara dua negara lainnya mengutamakan kepolisian sebagai ujung tombak kontraterorisme mereka. Dari segi strategi penanggulangan terorisme yang disusun pasca-9/11, dapat dikatakan bahwa Filipina memiliki spektrum penggentaran teroris yang paling lengkap (setidaknya di atas kertas), mulai dari penangkalan di tingkat taktis, operasional, strategis, penggentaran melalui hukuman dan retaliasi militer, hingga insentif politik dan ekonomi. Akan tetapi, data mengenai implementasi strategi atau kebijakan di atas sangat sedikit sehingga kita tidak tahu bagaimana sebenarnya implementasinya di lapangan. Dalam hal penggentaran melalui penangkalan di tingkat taktis dan operasional, sektor penerbangan dan maritim menjadi dua hal yang diprioritaskan oleh pemerintah Filipina. Di kedua sektor ini, juga dalam hal kontrol pendanaan, Filipina masih berjuang untuk meningkatkan tingkat kepatuhannya terhadap standar-standar internasional yang sudah ditetapkan. Dapat dikatakan bahwa Filipina masih berada di belakang Singapura dan Malaysia dalam hal kapasitas kelembagaan dan teknologi dan tengah berjuang untuk meningkatkan hal tersebut dengan bantuan asing, terutama AS dan Australia. Ego sektoral dan pesaingan antar-lembaga, juga korupsi, masih mewarnai dan menghambat penanggulangan terorisme di negara ini. Sementara itu, elemen penggentaran teroris melalui hukuman di Filipina lebih bervariasi dibandingkan dengan di dua negara sebelumnya karena Filipina turut menjalankan retaliasi militer kepada teroris. Namun, berbeda dengan dua negara sebelumnya, instrumen hukum tidak memainkan peran dominan di dalam penanggulangan terorisme di Filipina meskipun di dalam strategi dan
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
168
kebijakannya, pendekatan kontraterorisme negara ini jatuh di dalam kategori pendekatan kriminalisasi. Meskipun telah memiliki UU Anti-Terorisme (2007), Filipina belum pernah menggunakannya untuk memproses teroris (sama seperti Malaysia yang lebih memilih menggunakan ISA). Bahaya yang tampak dalam penggentaran melalui hukuman ini, baik retaliasi militer maupun penegakan hukum, adalah penyamaan insurgensi dan teroris yang justru dapat mendorong kolaborasi lebih jauh di antara keduanya. Mengenai insentif politik dan ekonomi, Filipina adalah satu-satunya negara yang ‘dipaksa’ untuk mengadakan negosiasi politik dengan kelompok yang menggunakan metode terorisme, terutama MNLF dan MILF yang lebih tepat disebut sebagai kelompok insurgensi meskipun menjalankan cara-cara teror. Di luar itu, pemerintah Filipina menjalankan pendekatan kesejahteraan kepada komunitas-komunitas yang dekat dengan kelompok teror, yakni di wilayah Filipina Selatan, yang cukup menantang karena Filipina masih termasuk ke dalam negara berpenghasilan menengah ke bawah. Pendekatan politik dikatakan lebih efektif untuk mengatasi insurgensi dibandingkan pendekatan ekonomi sehingga pemerintah Filipina disarankan untuk lebih memfokuskan diri pada hal ini. Sementara itu, mengenai demokratisasi sebagai insentif politik, yang terjadi di Filipina hal ini justru seringkali membawa dampak buruk pada kontrainsurgensi dan kontraterorisme, terutama ketika partai politik konservatif mengambil alih. Secara umum dapat dikatakan bahwa di Filipina, demokrasi yang belum matang, politik klan, dan pemerintah pusat yang lemah, baik dalam hal otoritas maupun kapasitas, menciptakan lebih banyak ketidakstabilan yang menyuburkan aktivitas terorisme dan menghambat efektivitas penanggulangan terorisme.
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
BAB 5 PENERAPAN PENGGENTARAN DALAM UPAYA MENANGGULANGI TERORISME DI INDONESIA Setelah sebelumnya membahas tentang upaya pemerintah Singapura, Malaysia, dan Filipina dalam menggentarkan teroris, bab kelima ini akan membahas tentang penggentaran yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia dalam rangka penanggulangan terorisme. Indonesia menjadi negara terakhir yang akan dibahas di dalam penelitian ini sebelum beranjak pada analisis perbandingan keempat negara. Bab ini terbagi menjadi enam bagian. Bagian pertama membahas tentang persinggungan antara Indonesia dan terorisme. Bagian kedua membahas mengenai kebijakan keamanan nasional Indonesia terhadap terorisme di era kontemporer yang kemudian dianalisis berdasarkan teori penggentaran. Bagian ketiga membahas mengenai penggentaran melalui penangkalan, yakni upaya untuk menghilangkan peluang, kapabilitas, dan motivasi teroris. Bagian keempat mengulas tentang upaya penggentaran melalui hukuman yang dilakukan melalui penegakan hukum terhadap tindak terorisme. Bagian kelima menguraikan insentif politik dan ekonomi yang ditawarkan pemerintah untuk menanggulangi teroris sementara bagian keenam dan terakhir memuat simpulan bab. Terkait dengan penggentaran terhadap terorisme di Indonesia, bab ini menyimpulkan bahwa saat ini pendekatan Indonesia masih didominasi dan dipimpin oleh upaya penggentaran melalui hukuman yang difokuskan pada pemberantasan
jejaring
teroris
melalui
pemidanaan.
Pendekatan
ini
dikombinasikan dengan penggentaran melalui penangkalan di tingkat strategis, yaitu penangkalan motivasi teroris dalam bentuk inisiatif deradikalisasi dan kontra-radikalisasi yang masih berada di tahap awal implementasi dan kurang terlembagakan. Karena berbagai kelemahan inheren dalam legislasi antiterorisme, sistem penahanan, dan pengawasan pasca-penahanan, kriminalisasi teroris di Indonesia baru memperlihatkan efek pengentaran melalui penangkalan, khususnya di tingkat operasional (penangkalan kapabilitas) dan belum memperlihatkan efek penjeraan. Keterbatasan sumber daya membuat pendekatan penanggulangan terorisme di Indonesia cenderung bersifat resource-driven dan ditekankan pada pengasahan instrumen tajam (penegakan hukum berbasis 169 Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
170
intelijen) sementara instrumen yang lebih tumpul, yang terwakili oleh berbagai spektrum penggentaran lainnya, masih terpinggirkan. Upaya penggentaran terhadap teroris di Indonesia masih diwarnai berbagai masalah, terutama masalah sumber daya (termasuk strategi yang koheren), koordinasi antar-badan keamanan, komitmen politik, serta persaingan dan kapasitas kelembagaan. Uraian rinci mengenai penggentaran terhadap teroris di Indonesia akan dimulai dengan pembahasan mengenai persinggungan Indonesia dan terorisme di bawah ini.
5.1
Indonesia dan Terorisme Pasca-serangan 9/11 dan di dalam Perang Global Melawan Terorisme,
Indonesia sempat dikatakan sebagai ‘sarang teroris’ di mana organisasi teroris yang berbasis di Indonesia, Jemaah Islamiyah, dipandang sebagai perpanjangan tangan Al-Qaeda di Asia Tenggara (Gunaratna, 2003). Indonesia juga menjadi korban serangan teror paling mematikan se-Asia Tenggara, yakni Bom Bali I yang merenggut nyawa lebih dari 200 orang. Satu dekade berlalu dan saat ini Indonesia dipandang sebagai negara yang paling berhasil dalam meningkatkan kemampuan penanggulangan terorismenya (Abuza, 2010). Unit kontraterorisme Indonesia yang berada di bawah kepolisian, Densus 88, bahkan disebut sebagai unit kontrateror paling canggih se-Asia Tenggara (Muradi, 2012). Akan tetapi, di waktu yang sama, Indonesia pun dianggap sebagai salah satu negara yang paling lemah dalam hal pengawasan perbatasan, sistem hukum, dan regulasi finansial untuk menekan pendanaan teroris. Indonesia pun masih diwarnai oleh beberapa ciri negara gagal: korupsi sistemik, konflik komunal, dan intoleransi sosial yang semakin lama semakin meningkat. Uraian di bawah ini akan membahas dua hal. Bagian pertama membahas sekilas tentang Indonesia dan karakteristiknya yang relevan dengan penanggulangan terorisme sementara bagian kedua membahas tentang insiden terorisme kontemporer di Indonesia.
5.1.1
Sekilas Tentang Indonesia Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia dengan 17.448
buah pulau dan total luas wilayah sekitar 3,1 juta km2. Sebagai negara kepulauan, sebagian besar perbatasan Indonesia adalah perbatasan laut. Indonesia berbatasan
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
171
laut dengan sepuluh negara tetangga dan berbatasan darat hanya dengan tiga negara, yaitu Timor Leste, Malaysia, dan Papua Nugini (lihat peta). Indonesia juga memiliki garis pantai yang sangat panjang, yakni kira-kira 81.000 km, tiga buah alur laut kepulauan Indonesia (ALKI) utara-selatan, serta beberapa buah chokepoints (alur pelayaran yang sempit dan penting) sebagai jalan masuk dan keluar dari wilayah Indonesia (Sumakul, 2011). Luasnya wilayah perairan dan panjangnya garis pantai Indonesia merupakan tantangan tersendiri bagi penanggulangan terorisme di Indonesia karena lemahnya pengawasan perbatasan Indonesia seringkali digunakan sebagai pintu masuk teroris dan penyelundupan senjata, terutama yang berasal dari wilayah Filipina Selatan, di mana terdapat banyak kamp insurgen yang digunakan sebagai tempat pelatihan teroris (Comer, 2010). Sementara itu, total panjang perbatasan darat Indonesia pun luar biasa, yaitu mencapai 29.141 km, yang juga menjadi tantangan pengawasan perbatasan.
Gambar 5.1 Peta Indonesia Sumber: lonelyplanet.com, 2012
Berdasarkan sensus tahun 2010, Indonesia dihuni oleh 237.641.326 jiwa (BPS, 2011). Komposisi etnis Indonesia didominasi oleh suku Jawa (40,6%), Sunda (15%), Madura (3,3%), Minangkabau (2,7%), Betawi (2,4%), Bugis (2,4%), Banten (2%), Banjar (1,7%), dan suku lainnya (29,9%). Mayoritas penduduk Indonesia menganut agama Islam (86,1%), Protestan (5,7%), Katolik (3%), Hindu (1,8%), dan kepercayaan lainnya (3,4%) (CIA World Factbook,
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
172
2007). Keberagaman tersebut menjadikan Indonesia kaya akan budaya dan nilainilai lokal, namun keberagaman pula yang pada akhirnya menjadi ancaman internal bagi Indonesia ketika muncul peristiwa terorisme yang pada umumnya dilakukan oleh kelompok yang mengusung nilai-nilai agama tertentu sebagai dasar aksi mereka yang berujung pada konflik horizontal di dalam masyarakat. Secara ekonomi, Indonesia tergolong negara berpendapatan menengah. Pada tahun 2011, laju pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 6,5% dengan pendapatan per kapita sebesar $4,700. Namun, ketidaksetaraan di Indonesia semakin lama semakin tinggi dengan koefisien gini sebesar 0,41, yang tertinggi pasca-kemerdekaan (Suara Karya, 6 September 2012). Meningkatnya kesenjangan sosial ini turut meningkatkan kerentanan Indonesia sebagai target serangan teroris. Menurut beberapa pengamat, Indonesia menarik sebagai target serangan dan ‘sarang’ teroris karena beberapa faktor. Dua faktor utama adalah lemahnya kontrol pemerintah pusat dan maraknya ketidakstabilan sosial-politik seperti halnya Filipina. Faktor lain yang juga menentukan adalah populasinya yang mayoritas beragama Islam (Faesol, 2010). Pemerintah pusat Indonesia dikatakan mulai melemah ketika terkena krisis finansial Asia pada tahun 1997-1998 dan berlanjut di era reformasi yang mengiringinya. Ketika rezim Soeharto jatuh, ia digantikan oleh rezim pemerintahan yang lebih demokratis, namun juga lebih lemah. Sebagai akibatnya, elemen-elemen politik Islam dan Islam radikal yang selama ini direpresi dan dimarjinalkan oleh pemerintah tidak dapat lagi dikontrol. Selain itu, konflik komunal antar-agama yang sering terjadi di Indonesia, misalnya di antara umat Kristiani dan Islam, juga menarik kelompok-kelompok Islam radikal ke Indonesia, termasuk jaringan Al-Qaeda (U.S Department of State, 2010). Secara historis, Indonesia sebenarnya memiliki sejarah terorisme yang berkaitan dengan insurgensi untuk mendirikan negara Islam, bahkan sejak sebelum Indonesia merdeka. Di era kontemporer, Jemaah Islamiyah bahkan telah aktif sejak tahun 90-an. Namun, titik balik terorisme dan kontraterorisme di era kontemporer adalah ketika terjadi serangan Bom Bali I pada bulan Oktober 2002. Pemerintah RI yang sebelumnya selalu menyangkal bahwa negaranya digunakan sebagai basis terorisme internasional akhirnya mengakui keberadaan JI dan
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
173
hubungannya dengan Al-Qaeda (Wise, 2005). JI kemudian dipandang sebagai organisasi terorisme transnasional utama yang berbasis di Indonesia dan memiliki wilayah operasi yang mencakup negara-negara di Asia Tenggara dan Australia. Karena aksi-aksinya, PBB mengkategorikan JI sebagai organisasi teroris dalam Resolusi PBB No. 1267 (Golose, 2009). Dalam konteks perang global melawan terorisme atau GWOT, pemerintah Indonesia pada awalnya dihadapkan pada situasi dilematis. Karena tekanan politik domestik yang cenderung anti-AS, Presiden Megawati pada saat itu sangat berhati-hati dalam hal penanggulangan terorisme agar tidak terlihat menyerang Islam. Di mata internasional, Pemerintah Indonesia saat itu dikatakan resisten terhadap desakan untuk menghancurkan kelompok-kelompok Islam radikal.1 Wise (2005) menyebut periode ini sebagai periode ‘inaction.’ Di era ini, AS dan negara-negara tetangga ASEAN (terutama Singapura dan Malaysia) berkali-kali mengekspresikan harapan mereka agar Indonesia bersikap lebih keras dalam menindak jaringan Islam radikal dan organisasi teror di negaranya. Resistensi Indonesia sebagaimana dikemukakan oleh Presiden Megawati pada saat itu dikaitkan dengan ketiadaan hukum yang represif seperti ISA di Singapura dan Malaysia. Alasan lain yang dikemukakan pemerintah Indonesia adalah besarnya jumlah penduduk Muslim dan relatif lemahnya pemerintahan pusat dibandingkan dengan di Singapura dan Malaysia (Wise 2005). Setelah Bom Bali I meledak, di era SBY Indonesia dikatakan lebih asertif dalam menanggulangi terorisme. Sesaat setelah pelantikannya sebagai Presiden RI pada tahun 2004, SBY langsung menyatakan ‘perang’ melawan terorisme internasional (Wise, 2005).
1
Di era pemerintahan Megawati, banyak teroris atau militan Islam dari Indonesia justru ditangkap di negara lain. Di Filipina, misalnya, Kepolisian Filipina menangkap al-Ghozi dan tiga orang lainnya, dua di antaranya merupakan tokoh politik di Indonesia (Agus Dwikarna dan Yamsil Linrung). Melalui tekanan diplomatik, Megawati mencoba mencegah agar mereka tidak dipenjara, namun pengadilan Filipina tetap memvonis ketiganya.
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
174
5.1.2
Insiden Terorisme Kontemporer di Indonesia Terorisme di Indonesia sesungguhnya bukanlah hal yang baru. Menurut
Global Terrorism Database (GTD), sejak tahun 70-an hingga 2011, telah terjadi 607 insiden terorisme di Indonesia. Bagian ini tidak akan membahas sejarah terorisme di Indonesia,2 melainkan akan memfokuskan diri pada insiden kontemporer pasca-9/11. Insiden terorisme yang terjadi dalam satu dekade terakhir (2001-2011) mencapai setidaknya 267 serangan, sebagian besar di antaranya berupa pengeboman dan penyerangan bersenjata (Global Terrorism Database, 2012). Sebelum serangan 9/11 yang mengubah tatanan keamanan dunia dan membuat publik Indonesia sadar akan besarnya ancaman terorisme, sebenarnya telah terjadi beberapa pengeboman di Indonesia, misalnya pengeboman Masjid Istiqlal (1999), rumah Duta Besar Filipina, rumah Duta Besar Malaysia, Bursa Efek Jakarta, Bom Malam Natal (2000), serta Bom Atrium Plaza dan HKBP (2001) (Soetriadi, 2008). Akan tetapi, yang menyadarkan publik Indonesia akan adanya jejaring terorisme transnasional adalah peristiwa Bom Bali I (2002) yang menewaskan lebih dari 200 orang. Setelah itu, dalam kurun waktu 2002 hingga 2005, Indonesia tampak rutin mengalami satu insiden teroris besar dengan target asing setiap tahunnya, mulai dari Bom Marriot I (2003), Bom Kedubes Australia (2004), dan Bom Bali II (2005). Serangan besar kembali terjadi pada tahun 2009 dengan serangan Bom Marriot II (lihat Tabel 5.1 di halaman berikutnya). Sementara itu, pada tahun 2010-2011, tidak ada insiden terorisme transnasional skala besar. Namun, jumlah serangan teroris dalam skala kecil tampak meningkat. Sebagian besar serangan teroris tersebut bersifat homegrown dengan polisi sebagai target utamanya (Jones, 2012). Fenomena ini kemudian dikaitkan dengan kecenderungan desentralisasi jejaring teror di Indonesia terkait pecah dan menurunnya dominasi JI.
2
Telah banyak sekali tulisan yang membahas tentang hal ini, mulai dari gerakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia di Jawa Barat, Sulawesi Selatan, dan Aceh yang pecahannya kemudian mendirikan JI pada tahun 90-an hingga gerakan separatis di Aceh (Gerakan Aceh Merdeka) dan Papua (Operasi Papua Merdeka) (lihat Golose, 2009).
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
175
Tabel 5.1. Rangkaian Peledakan Bom yang Dilakukan oleh JI (2000-2009) No.
1 2
3 4 5 6 7 8 9
10 11
12
Tanggal
Lokasi Pengeboman
Korban Tewas
1 Agustus 2000 24 Desember 2000
Kediaman Duta Besar Filipina, Jakarta
2 orang
Korban LukaLuka 21 orang
Sejumlah gereja di Batam, Pekan Baru, Jakarta, Sukabumi, Mojokerto, Kudus, dan Mataram
16 orang
16 orang
12 Oktober 2001 12 Oktober 2002 5 Desember 2002 5 Agustus 2003 10 Januari 2004 9 September 2004 12 Desember 2004 1 Oktober 2005 31 Desember 2005 17 Juli 2009
Gerai KFC, Makassar, Sulawesi Selatan
-
-
Paddy’s Pub dan Sari Club di Kuta, Bali
202 orang
300 orang
Gerai McDonald, Makassar, Sulawesi Selatan Hotel JW Marriot, Kuningan, Jakarta
3 orang
11 orang
11 orang
152 orang
Sebuah Cafe di Palopo, Sulawesi Selatan
4 orang
-
Kantor Kedutaan Besar Australia
9 orang
161 orang
Gereja Immanuel, Palu, Sulawesi Tengah
-
-
RAJ’s Bar dan Restaurant, Bali
22 orang
102 orang
Pasar Tradisional di Palu, Sulawesi Tengah
8 orang
45 orang
Hotel JW Marriot dan Ritz-Carlton, Jakarta
9 orang
-
Sumber: Kompas, diadaptasi oleh Golose, 2009
Kelompok teroris kontemporer di Indonesia pun mengalami evolusi. Menurut berbagai pakar terorisme, JI sebagai organisasi teroris kontemporer utama di Indonesia mengalami dinamika internal yang kemudian mengubah lansekap terorisme di Indonesia. Menurut Shari Villarosa (2011), sebelum Bom Bali 2002, JI adalah organisasi struktural yang rigid dan dimpimpin oleh para alumni Afghanistan (termasuk yang memiliki ikatan dengan Al-Qaeda). Namun, organisasi ini kemudian mengalami perpecahan. Sebagian di antara anggotanya lebih memilih untuk memfokuskan diri pada dakwah dan edukasi dibandingkan gerakan teror. Setelah itu muncul Jamaah Ansharut Tauhid (JAT) dan beberapa kelompok pecahan JI yang kemudian banyak melakukan teror di Indonesia. Namun, kelompok-kelompok ini juga dikatakan telah berhasil dilemahkan setelah
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
176
Polri melakukan berbagai penangkapan dan pembongkaran sel, termasuk kamp pelatihan di Aceh pada tahun 2010. Menurut Villarosa dan Hwang (2011), pergeseran taktik teroris ke target-target lokal dengan skala kecil mencerminkan kesuksesan penangulangan terorisme di Indonesia yang berhasil menangkap dan menewaskan banyak pimpinan teroris yang memiliki keahlian tinggi dalam merancang serangan besar. Saat ini, terdapat banyak kelompok atau jaringan teroris yang independen dan bergerak sendiri-sendiri tanpa adanya struktur organisasi yang rigid ataupun pemba’iatan sebagaimana di era JI. Modus yang seringkali terjadi akhir-akhir ini adalah penyerangan ke kantor polisi, upaya pengeboman tempat-tempat ibadah seperti Mesjid dan Gereja, dan upaya pengeboman kepada individu-individu tertentu (targeted killing) seperti dalam kasus Bom Buku.
5.2.
Kebijakan Keamanan Nasional Indonesia terhadap Terorisme Sebagaimana disebutkan sebelumnya, Bom Bali I adalah titik balik isu
terorisme di Indonesia, termasuk dalam hal upaya penanggulangannya. Sebelumnya, terorisme dianggap sebagai isu keamanan internal dan diatasi dengan menggunakan kekuatan militer dan intelijen. Pasca-serangan 9/11 dan Bom Bali yang bertepatan dengan era transisi demokrasi di Indonesia, pendekatan dan kebijakan yang diambil pemerintah Indonesia terhadap terorisme sangat berlainan, yang menunjukkan kuatnya pengaruh situasi politik terhadap cara penanggulangan terorisme di Indonesia. Bagian ini akan membahas mengenai kebijakan
keamanan nasional
Indonesia terhadap terorisme di era kontemporer yang terbagi menjadi dua, yaitu pembahasan mengenai persepsi Pemerintah Indonesia mengenai terorisme kontemporer dan strategi penanggulangannya serta pembahasan mengenai kelembagaan penanggulangan terorisme di Indonesia yang menjadi ujung tombak implementasi strategi tersebut. Sebagaimana di ketiga negara yang dibahas sebelumnya, persepsi elit mengenai terorisme kontemporer menjadi salah satu penentu
strategi
penanggulangan
yang
dibayangkan
sementara
strategi
menentukan seluruh langkah yang kemudian dijalankan oleh pemerintah dalam rangka menanggulangi terorisme di negaranya.
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
177
Persepsi Pemerintah Indonesia mengenai Terorisme Kontemporer
5.2.1
dan Strategi Penanggulangannya Pasca-serangan 9/11, pemerintahan Megawati memerintahkan Menteri Koordinator Politik dan Keamanan untuk menyusun kebijakan menyeluruh untuk menanggulangi terorisme.3 Akan tetapi, hingga saat ini, Indonesia belum memiliki buku putih penanggulangan terorisme maupun strategi penanggulangan terorisme resmi yang telah dipublikasikan dan dapat dijadikan panduan publik.4 Tanpa adanya buku putih terorisme, persepsi Pemerintah Indonesia mengenai terorisme kontemporer dapat dilihat dari pernyataan Presiden dan badan-badan penegak hukum serta di dalam hukum atau Undang-Undang Anti-Terorisme Indonesia. Pada dasarnya, Pemerintah Indonesia memandang terorisme sebagai tindak kejahatan atau kriminalitas, sama seperti Singapura, Malaysia, dan Filipina. Namun, mengingat besarnya dampak dari kejahatan ini, pemerintah Indonesia mengakui sifatnya yang ‘luar biasa’ sehingga dalam peraturan Indonesia, terorisme digolongkan ke dalam kejahatan luar biasa (extraordinary crime) dan atau kejahatan terhadap kemanusiaan (crime against humanity) (Soetriadi, 2008).5 Konsekuensi dari persepsi ini adalah penekanan pada penegakan hukum (kriminalisasi)
dan
Kepolisian
sebagai
ujung
tombak
kontraterorisme
sebagaimana dinyatakan oleh Presiden SBY sendiri. Memang, respon kebijakan Presiden Megawati ketika Bom Bali meledak adalah respon hukum dengan menitahkan
Kapolri
untuk
mengusut
kasus
tersebut
dan
kemudian
memberlakukan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) untuk memprosesnya secara hukum. Sejak saat itu, Indonesia secara konsisten berada di jalur penegakan hukum atau pendekatan kriminalisasi dengan Kepolisian dan Kejaksaan sebagai ujung tombaknya. Meskipun demikian, persepsi elit Indonesia mengenai ancaman terorisme tidak sekuat Singapura dan Filipina yang menganggap negaranya target utama serangan teroris. Hal ini akan dibahas lebih jauh di bab enam dalam analisis perbandingan kebijakan nasional. 3
Instruksi Presiden No. 4 tahun 2002 Meskipun saat ini Badan Nasional Penanggulangan Terorisme dikatakan telah menyusun sebuah draft Strategi Penanggulangan Terorisme, draft tersebut belum dibuka untuk umum maupun dikonsultasikan kepada publik. 5 Keterangan Pemerintah tentang diterbitkannya Perpu Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang disampaikan oleh Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, tahun 2002 4
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
178
Sebelum didirikannya Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) pada bulan September 2010 yang kemudian ditugasi untuk menyusun strategi penanggulangan terorisme, penanganan terorisme di Indonesia bertumpu pada strategi masing-masing lembaga keamanan terkait. Arahan strategis yang bersifat lintas-sektoral hanya ditemukan di dalam dokumen Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). Pada tahun 2005, dokumen tersebut menyebutkan arah dan sasaran kebijakan penanggulangan terorisme di Indonesia yang dapat dikatakan sebagai pseudo-strategy,6 yaitu peningkatan daya cegah dan tangkal dengan tekanan pada peningkatan kualitas intelijen, peningkatan ketahanan masyarakat, dan peningkatan kapasitas kelembagaan (Bappenas, 2005). Bappenas pun menjabarkan beberapa kegiatan pokok yang dijalankan pemerintah, yaitu 1) penyiapan kebijakan dan koordinasi penanggulangan terorisme (termasuk peningkatan kapasitas kelembagaan), 2) peningkatan kemampuan komponen kekuatan pertahanan dan keamanan bangsa, 3) restrukturisasi operasional institusi keamanan dalam penanganan terorisme, termasuk pengembangan standar operasional dan prosedur pelaksanaan latihan bersama, 4) peningkatan pengamanan terbuka simbol-simbol negara untuk meminimalkan kemungkinan terjadinya aksi terorisme, 5) peningkatan pengamanan tertutup area-area publik untuk mengoptimalkan kemampuan deteksi dini dan pencegahan langsung di lapangan, 6) melakukan sosialisasi kepada masyarakat untuk meminimalkan efek terorisme, 7) komunikasi dan dialog serta pemberdayaan kelompok masyarakat secara intensif dalam kerangka menjembatani aspirasi, mencegah berkembangnya potensi terorisme, serta secara tidak langsung melakukan delegitimasi motif teror, 8) peningkatan kerjasama regional negara-negara ASEAN dalam upaya menangkal dan menanggulangi aksi terorisme, 9) penanganan terorisme secara multilateral di bawah PBB, termasuk peredaran senjata konvensional dan Weapon of Mass Destruction (WMD), 10) penangkapan dan pemrosesan secara hukum tokoh-tokoh kunci operasional terorisme, 11) pengawasan lalu lintas uang dan pemblokiran aset kelompok teroris, 12) peningkatan pengawasan keimigrasian serta upaya interdiksi darat, laut, dan udara, dan 13) peningkatan pengawasan 6
Dalam artian ia memberi arahan kebijakan, namun tidak selengkap dan serinci strategi nasional yang juga menjelaskan apa tujuan strategis dan bagaimana cara mencapainya, termasuk dengan menjabarkan sumber daya dan mekanisme untuk mencapainya.
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
179
produksi dan peredaran serta pelucutan senjata dan bahan peledak sebagai bagian global disarmament. Ke-13 aktivitas pokok di atas sebenarnya mirip dengan 14 pilar penanggulangan terorisme di Filipina yang merupakan arahan eksekutif. Meskipun demikian, tanpa adanya strategi nasional yang berkekuatan hukum tetap dan terintegrasi, pelaksanaan ke-13 hal di atas dapat dikatakan masih berupa respon ad hoc ketimbang respon strategis, meskipun cakupannya sangat komprehensif dan mencakup keseluruhan elemen penggentaran (lihat Tabel 5.2 berikut). Namun, tidak ada data yang memadai mengenai rencana dan praktik implementasi masing-masing aktivitas tersebut dan bagaimana yang satu berkaitan dengan yang lain untuk mencapai tujuan strategis penanggulangan terorisme. Tabel 5.2. Aktivitas Pokok Penanggulangan Terorisme Indonesia dalam Perspektif Strategi Penggentaran Elemen Penggentaran Aktivitas Pokok Penanggulangan Terorisme I. Penggentaran Melalui Penangkalan a. Penangkalan di Peningkatan pengamanan terbuka simbol-simbol negara untuk Tingkat Taktis meminimalkan kemungkinan terjadinya aksi terorisme Peningkatan pengamanan tertutup area-area publik untuk mengoptimalkan kemampuan deteksi dini dan pencegahan langsung di lapangan b. Penangkalan di Pengawasan lalu lintas uang dan pemblokiran aset kelompok Tingkat Operasional teroris Peningkatan pengawasan keimigrasian serta upaya interdiksi darat, laut, dan udara Peningkatan pengawasan produksi dan peredaran serta pelucutan senjata dan bahan peledak sebagai bagian global disarmament. c. Penangkalan di Melakukan sosialisasi kepada masyarakat untuk meminimalkan Tingkat Strategis efek terorisme Komunikasi dan dialog serta pemberdayaan kelompok masyarakat secara intensif dalam kerangka menjembatani aspirasi, mencegah berkembangnya potensi terorisme, serta secara tidak langsung melakukan delegitimasi motif teror II. Penggentaran Melalui Hukuman a. Penegakan Hukum Penangkapan dan pemrosesan secara hukum tokoh-tokoh kunci operasional terorisme b. Pembunuhan Bersasaran III. Insentif Politik-Ekonomi -
Sumber: Diolah dari Bappenas, 2012
Peran Bappenas dalam penanggulangan terorisme menimbulkan beberapa pertanyaan. Di berbagai literatur, lembaga ini tidak pernah dimasukkan sebagai bagian dari lembaga penanggulangan terorisme di Indonesia. Akan tetapi, arahan
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
180
strategis penanggulangan terorisme di Indonesia secara formal justru ditemukan di dalam dokumen lembaga ini (setidaknya tahun 2006), meskipun dalam versi daringnya tidak jelas merupakan bagian dari dokumen apa.7 Peran Bappenas dalam penanggulangan terorisme di Indonesia lebih bersifat umum karena terorisme dipandang sebagai salah satu masalah pembangunan, yakni dalam bidang keamanan. Bappenas memiliki unit kerja bernama Direktorat Pertahanan dan Keamanan yang salah satu bagiannya adalah sub-direktorat pengembangan keamanan. Tugas dari sub-direktorat ini adalah mengkaji kebijakan dan menyiapkan rencana pembangunan nasional di bidang pengembangan keamanan, serta melaksanakan pemantauan, evaluasi, penilaian, dan pelaporan atas pelaksanaannya (Bappenas, 2010). Isu penanggulangan terorisme yang menjadi bagian dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) jatuh di dalam tugas unit kerja ini. Karena sifatnya hanya perencanaan pembangunan, maka arahan strategis Bappenas dalam penanggulangan terorisme pun sangat luas dan menyeluruh, namun tidak disertai rencana atau strategi implementasinya. Selain itu, dimasukkannya isu penanggulangan terorisme di Bappenas juga memiliki fungsi penganggaran. Di dalam dokumen Bappenas tahun 2006 mengenai penanggulangan terorisme, disebutkan bahwa instansi yang bertanggung jawab menjadi pelaksana arahan strategis Bappenas dan sekaligus penyandang anggaran adalah BIN, Lembaga Sandi Negara, dan Menko Polhukam. Polri tidak termasuk ke dalam rencana anggaran Bappenas ini karena Polri hingga saat ini masih berada langsung di bawah Presiden dan bukan di bawah Menko Polhukam. Sementara itu, sejak 1 Januari 2012, BNPTmemiliki kebebasan anggaran dan tidak lagi berada di bawah anggaran Menko Polhukam (Sargent dan Campbell, 2012). Di tengah kevakuman strategi nasional yang koheren dan terintegrasi (yang sebenarnya menjadi tugas BNPT), dapat dikatakan bahwa strategi penanggulangan terorisme Indonesia di tingkat operasional dan taktis bertumpu pada strategi Kepolisian yang ditunjuk sebagai lembaga penanggulangan terorisme utama. Secara umum, strategi penanggulangan terorisme di Indonesia terbagi dua, yaitu pendekatan keras (hard approach) dan pendekatan lunak (soft 7
Versi daring dari dokumen ini, yang dapat diunduh di situs Bappenas, hanya memiliki judul bab (Bab 5) sementara judul dokumen induknya tidak diketahui.
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
181
approach). Pendekatan keras (hard-approach) dijalankan melalui pendekatan kriminalisasi atau penegakan hukum tindak pidana terorisme dengan Kepolisian sebagai ujung tombak. Proses ini terdiri dari tahap penyelidikan, penindakan, penyidikan,
persidangan
dan
proses
menjalani
hukuman
di
Lembaga
Pemasyarakatan. Di pihak lain ada soft-approach sebagai alternatif lain, di mana strategi ini tidak berorientasi pada penggunaan kekerasan, salah satunya adalah inisiatif deradikalisasi (Ashgar, 2011). Baru-baru ini, BNPT mengeluarkan pernyataan bahwa pihaknya telah menyusun sebuah draft Strategi Penanggulangan Terorisme. Ada empat strategi yang disebutkan. Yang pertama adalah penyempurnaan dari strategi sebelumnya, yakni penegakan hukum yang diimbangi dengan upaya pencegahan, perlindungan dan deradikalisasi untuk memperoleh hasil yang komprehensif. Yang kedua adalah memanfaatkan seluruh potensi sumber daya negara melalui pelibatan unsur terkait dalam suprastruktur, infrastruktur dan substruktur. Yang ketiga adalah mensinergikan semua lini sektoral dalam penanggulangan terorisme agar tidak terkotak-kotak melalui penyusunan aturan koordinasi antar-komponen dan optimalisasi
peran
BNPT.
Sementara
itu,
yang
keempat
adalah
meningkatkan kerja sama luar negeri di bidang penanggulangan terorisme secara maksimal untuk menekan jaringan terorisme yang memiliki afiliasi internasional serta menyelesaikan akar permasalahan yang melibatkan isu di luar teritorial Indonesia (Viva News, 2 Agustus 2011). Secara garis besar, strategi ini sebenarnya adalah strategi penegakan hukum dengan melibatkan unsur koordinasi dan integrasi sektoral serta unsur diplomasi internasional. Penyusunan strategi ini dapat dikatakan sangat terlambat jika dibandingkan, misalnya, dengan Singapura yang telah merombak arsitektur keamanan nasionalnya untuk memperkuat koordinasi dan integrasi antar-lembaga guna menanggulangi terorisme sejak tahun 2004. Meskipun demikian, adanya strategi nasional penanggulangan terorisme yang berkekuatan hukum kuat dan dapat digunakan sebagai alat untuk ‘memaksa’ badan-badan keamanan terkait untuk bekerja sama akan menjadi tambahan sumber daya yang sangat diperlukan dalam rangka penanggulangan terorisme yang efektif. Sayangnya, masih belum jelas kapan strategi ini akan dikeluarkan dan dibuat publik dan juga masih banyak
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
182
keraguan
mengenai
kapasitas
kelembagaan
dan
politik
BNPT
untuk
menjalankannya hingga diterima berbagai institusi keamanan lain seperti TNI dan Polri. Sebagaimana tiga negara lainnya, selain strategi domestik, Indonesia juga memiliki strategi internasional untuk menanggulangi terorisme. Jika dicermati, poin keempat dari strategi BNPT (kerja sama luar negeri) adalah strategi internasional yang ditujukan untuk mengatasi permasalahan domestik. Strategi internasional Indonesia dalam menanggulangi terorisme dapat dikatakan terdiri dari dua elemen, yaitu kerja sama internasional dan penyelesaian konflik internasional yang menjadi akar masalah terorisme (misalnya konflik di Filipina dan Palestina yang terus mendorong semangat untuk jihad global). Tidak seperti Malaysia, Indonesia tidak mendorong adanya suatu definisi tunggal mengenai terorisme di tingkat internasional maupun mendorong dimasukkannya terorisme negara sebagai bagian dari definisi terorisme.
Gambar 5.2 Gambaran Strategi Penanggulangan Terorisme BNPT
Penegakan Hukum (termasuk pencegahan, perlindungan dan deradikalisasi)
Pemanfaatan seluruh potensi sumber daya melalui pelibatan suprastruktur, infrastruktur, dan substruktur
Sinergi semua lini sektoral dan koordinasi antarkomponen
Peningkatan kerja sama luar negeri dan menyelesaikan akar masalah yang melibatkan isu di luar wilayah Indonesia (diplomasi)
Sumber: Diolah dari BNPT, 2011
5.2.2
Kelembagaan Penanggulangan Terorisme di Indonesia Isu kelembagaan adalah isu yang sangat penting dalam pelaksanaan suatu
kebijakan, terlebih kebijakan untuk mengatasi permasalahan yang genting dan membutuhkan sumber daya yang besar seperti terorisme. Di beberapa negara yang
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
183
telah dibahas sebelumnya, koordinasi antar-lembaga pemerintah menjadi tekanan penting dalam upaya mengatasi terorisme di era pasca-9/11. Singapura adalah negara yang paling eksplisit dan sistematis dalam hal kebijakan dan kelembagaan penanggulangan terorisme di negaranya. Dari awal, negara ini mengeluarkan strategi
publik
yang
menjabarkan
kebijakan
penanggulangan
terorisme
pemerintah, arsitektur kelembagaan, dan ruang partisipasi publik. Indonesia belum memiliki dokumen seperti itu. Bagian ini akan membahas mengenai respon kelembagaan pemerintah terhadap isu terorisme dan gambaran mengenai situasi kelembagaan yang ada pada saat ini berkaitan dengan upaya penanggulangan terorisme, yang mencakup lembaga koordinasi dan penindakan, termasuk BNPT, TNI, dan Polri.
5.2.2.1 Lembaga Koordinasi Kebijakan dan Operasi Penanggulangan Terorisme Respon pertama Indonesia pasca-serangan 9/11 terkait kelembagaan adalah perintah Presiden Megawati kepada Menteri Koordinator Politik dan Keamanan untuk mengkoordinasikan langkah pemerintah dalam menanggulangi terorisme. Sepuluh hari setelah Bom Bali meledak, pada tanggal 22 Oktober 2002 Indonesia mendirikan Desk Koordinasi Penanggulangan Terorisme di bawah Kementerian Koordinator Politik dan Keamanan. Desk ini dikepalai oleh Ansyaad Mba’i dari Kepolisian RI. Desk ini memiliki spektrum tugas yang luas dan bersifat koordinatif terhadap lembaga-lembaga pemerintah dan badan keamanan yang telah ada sebelumnya, termasuk Kepolisian dan Militer. Ia memiliki tiga peran utama. Yang pertama adalah mengkoordinasikan dan mengintegrasikan penyusunan kebijakan dan strategi pemerintah dalam menanggulangi terorisme, termasuk aktivitas intelijen. Yang kedua adalah mengkoordinasikan aktivitas di bidang penyelidikan dan penuntutan dan langkah-langkah hukum lainnya. Yang ketiga adalah mengkoordinasikan kerja sama internasional di bidang kelembagaan dan peningkatan kapasitas melalui kerja sama teknis, kepolisian, dan kerja sama intelijen.8 Menurut Wise (2005), Desk ini telah menyusun sebuah draft strategi 8
Dapat dikatakan bahwa deskripsi tugas Desk ini mengambil alih peran sub-direktorat pengembangan keamanan Bappenas dalam penyusunan kebijakan dan strategi penanggulangan terorisme karena deskripsi tugasnya hampir sama meskipun tugas BNPT lebih spesifik.
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
184
nasional penanggulangan terorisme, namun tidak dapat menerapkannya karena hambatan birokrasi dan persaingan antar-lembaga pemerintah. Selain itu, Desk ini dikatakan tidak memiliki cukup staf dan berada di luar lingkaran lembaga operasional yang ada. Karena itu, di awal masa kerjanya, Desk ini hanya mengkoordinasikan beberapa aktivitas bantuan luar negeri, bukan tugas utamanya untuk
mengkoordinasikan
kebijakan,
strategi,
rencana,
dan
aktivitas
penanggulangan terorisme Indonesia (Wise, 2005). Di tahun 2010, Desk ini kemudian berevolusi menjadi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) yang kepalanya dapat mengikuti rapat kabinet sehingga dapat dikatakan sejajar dengan Kementerian. BNPT membawahi tiga deputi. Deputi pertama bertanggung jawab atas pencegahan, perlindungan, dan deradikalisasi. Deputi kedua bertanggung jawab atas operasi dan peningkatan kapabilitas, dan deputi ketiga bertanggung jawab atas kerja sama internasional (United States Department, 2011).9 Detasemen Khusus 88, ujung tombak penindakan terorisme Indonesia saat ini, kemudian ditaruh di bawah deputi operasi dan kapabilitas, namun tetap berada di bawah komando Kapolri. Sebagaimana telah disebutkan di atas, BNPT yang dikepalai oleh perwira Polisi (pensiun) bintang dua, Ansyad Mba’i mengalami hambatan yang dapat dikatakan berakar pada resistensi lembaga-lembaga yang berada di bawah koordinasinya (Polri, khususnya Densus 88, TNI, dan BIN) yang dikepalai oleh perwira yang pangkatnya lebih tinggi. Pasca-pembentukan BNPT tahun 2010, dilontarkan pertanyaan apakah lembaga tersebut lahir hanya untuk mati (Jakarta Post, 16 September 2010). Dapat dikatakan bahwa lembaga-lembaga keamanan Indonesia masih enggan membiarkan kekuatan yang berada di tangannya digerakan oleh BNPT meskipun hanya dalam segi koordinasi. Pembahasan berikut ini difokuskan pada Densus 88, ujung tombak penanggulangan terorisme Indonesia pasca-9/11.
9
Dengan adanya elemen kerja sama internasional, peran Bappenas dalam menggalang kerja sama internasional terkait penanggulangan terorisme juga tergeser oleh BNPT.
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
185
5.2.2.2 Detasemen Khusus 88: Ujung Tombak Penanggulangan Terorisme Indonesia Sejak Bom Bali meledak, Kepolisian RI memegang peran utama dalam penanggulangan terorisme di Indonesia. Lembaga ini merespon Bom Bali I secara kelembagaaan pula. Pada bulan April 2003, Kapolri mendirikan Direktorat atau Unit Anti-Terorisme di bawah Markas Besar Polri. Direktorat ini ditugasi untuk mengembangkan strategi dan kebijakan serta mengontrol berbagai unit operasional di Indonesia. Unit ini menjadi inti dari Detasemen 88, unit kontraterorisme Polri yang dibantu didirikan dengan bantuan AS pada tahun 2003 dan secara formal didirikan pada tahun 2004. Detasemen 88 dikatakan sebagai mekanisme pemerintah untuk mengelola rencana dan kebijakan kontraterorisme, pelatihan, dan juga dana bantuan. Lembaga ini juga mengirimkan berbagai unit taktis anti-teror ke seluruh penjuru Indonesia (Wise, 2005). Saat ini, unit ini diperkirakan memiliki sekitar 400 personel. Saat ini, peran strategi dan kebijakan serta pengelolaan pelatihan dan bantuan secara resmi berada di BNPT di mana Polri adalah salah satu lembaga yang berada di bawah koordinasinya. Unit Densus 88 kemudian menjadi unit ‘catch’ and ‘capture’ teroris dan juga ujung tombak disrupsi sel dan jaringan teror (Wise, 2005). Saat ini, kedudukan Densus 88 masih berada langsung di bawah Kapolri meskipun juga berada di bawah koordinasi salah satu deputi BNPT. Ia membawahi 10 Satuan Tugas Wilayah (Satgaswil) yang terdiri dari wilayah Sumatera Bagian Utara, Sumatera Bagian Selatan, Metro-Banten; Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali-NTB-NTT, Kalimantan, Sulawesi, Maluku-Papua (Ashgar, 2011). Densus sendiri membawahi empat sub-detasemen (subden), yakni subden intelijen, penindakan, investigasi, dan subden bantuan (Priatmodjo, 2010). Kinerja Densus 88 dalam menangkap teroris dan membongkar jaringan teror di Indonesia dinilai sangat baik oleh berbagai pihak, termasuk pihak luar negeri. Hal lain yang juga banyak mendapat pujian adalah kemampuan Polri untuk menyelidiki kasus dan mengumpulkan bukti-bukti untuk mengadili tersangka teroris di pengadilan. Keberhasilan Densus 88 ini kemungkinan besar disebabkan oleh besarnya sumber daya yang diterimanya, sebagian besar dari Amerika Serikat. Sebagaimana dinyatakan oleh Abuza (2010), Densus 88 dilatih
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
186
dengan baik, dibayar cukup, dan terbebas dari korupsi endemik yang dialami Kepolisian dan birokrasi Indonesia. Meskipun demikian, menurut Wise (2005), persaingan di antara birokrat menyebabkan pemerintah Indonesia tidak dapat mengerahkan seluruh sumber dayanya untuk mengungkap aksi teroris. Menurut Wise (2005), terdapat bukti bahwa militer dan unit intelijen militer berusaha melemahkan upaya Polri dalam penanggulangan terorisme, misalnya dalam penyelidikan kasus Bom Bali I. Hal ini merupakan satu dari sekian indikasi adanya persaingan di antara Polri dan militer yang meruncing di bidang penanggulangan terorisme ini, terutama setelah ada Densus 88 yang membuat ketimpangan di antara TNI dan Polri semakin kentara. Selain Densus, Polri juga memiliki unit paramiliter yang ditujukan untuk menggelar berbagai operasi keamanan internal, yakni Brigade Mobil (Brimob). Unit ini juga disiapkan untuk berbagai misi penanggulangan terorisme seperti pembebasan sandera dan penjinakan bom. Meskipun demikian, menurut Wise (2005), Brimob tidak mendapatkan pelatihan terspesialisasi maupun perlengkapan yang memadai untuk misi penanggulangan terorisme seperti halnya Densus dan pasukan-pasukan khusus. Salah satu kekurangan yang masih ada saat ini adalah tidak adanya mekanisme manajemen krisis di tubuh kepolisian, khususnya untuk menerjunkan tim penanggulangan terorismenya ke wilayah-wilayah Indonesia yang jauh jika diperlukan. Saat ini, belum ada mekanisme untuk penerjunan pasukan darurat di antara Brimob dan Densus 88. Sementara itu, menurut Muradi (2012), kelembagaan penanggulangan terorisme saat ini masih diwarnai masalah koordinasi antar-instansi, khususnya di antara Densus, BNPT, BIN, dan komunitas intelijen yang lain karena adanya egosektoral yang tinggi. Selain itu, menurut Muradi (2012), saat ini Densus masih dikendalikan oleh kepentingan politik karena berada langsung di bawah kendali Kapolri. Selain kepolisian, lembaga lain yang juga sangat berperan dalam penegakan hukum terhadap tindak terorisme adalah Kejaksaan Agung. Menurut laporan Asian Development Bank (ADB), Kantor Kejaksaan Agung Indonesia memiliki struktur yang militeristik, kompleks, dan kaku. Kantor Kejaksaan Agung Pusat memiliki tujuh lapis manajemen, lebih dari 280 posisi manajemen
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
187
struktural, dan total staf lebih dari 2.200 orang. Secara keseluruhan, menurut laporan ADB, Kejaksaan Agung memiliki kinerja yang buruk karena kurangnya anggaran, lemahnya fungsi penganggaran, dan peraturan kepegawaian yang tidak mendorong kinerja yang baik (Wise, 2005). Kepolisian juga sering mengeluhkan kurangnya pemahaman jaksa terhadap UU anti-terorisme yang baru. Meskipun demikian, menurut laporan U.S Department of State (2010), penegakan hukum untuk tindak terorisme di Indonesia justru menunjukan derajat kerja sama yang luar biasa di antara Polri dan Kejaksaan.
5.2.2.3 Kontroversi
mengenai
Peran
Militer
dalam
Penanggulangan
Terorisme di Indonesia Militer adalah lembaga lain yang dulu memegang peran utama dalam penanggulangan terorisme di Indonesia namun, sekarang terpinggirkan. Masih banyak perdebatan dan kontroversi di seputar peran militer dalam penanggulangan terorisme di Indonesia, terlebih karena catatan pelanggaran HAM TNI yang kelam di masa lalu dan hubungan antara TNI dan Polri yang seringkali diwarnai persaingan dan ketegangan. Berdasarkan UU Indonesia
saat ini, operasi
penanggulangan terorisme adalah salah satu misi keamanan internal di mana TNI dapat berperan secara sah. Presiden SBY maupun Menteri pertahanan Indonesia bahkan telah menyatakan bahwa TNI dapat memainkan peran dalam penanggulangan terorisme di Indonesia, yaitu sebagai pendukung Polri. Salah satu Deputi di bawah BNPT pun dikepalai oleh pejabat militer, yakni Deputi Pencegahan, Perlindungan, dan Deradikalisasi (Sargent dan Campbell, 2012). Beberapa pejabat senior TNI telah menyatakan bahwa seharusnya TNI memainkan peran yang lebih besar dalam penanggulangan terorisme di Indonesia karena TNI memang telah memiliki kapabilitas anti-teror sejak dulu, bahkan sebelum Densus 88 didirikan. Unit utama dalam tubuh militer yang dilatih untuk operasi penanggulangan terorisme adalah Unit 81 (sering juga disebut Detasemen Penanggulangan Teror atau Dengultor) yang merupakan bagian dari Kopassus.10 Unit ini disiapkan untuk menjalankan operasi anti-pembajakan dan pembebasan 10
Unit 81 dikatakan melatih 250 personel setiap tahunnya untuk misi penanggulangan terorisme. Selain itu, unit ini pun dikatakan telah menjalin kerja sama dengan bandara internasional untuk mengadakan pelatihan anti-teror.
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
188
sandera meskipun saat ini unit ini dikatakan mengalami keterbatasan dalam hal perlengkapan dan kapabilitas terkini (Wise, 2005). Selain Unit 81, TNI pun memiliki batalion penyerbu yang dilatih dalam hal penanggulangan terorisme. Selain itu, Angkatan Laut dan Angkatan Udara pun memiliki satuan anti-teror di angkatannya masing-masing, yaitu Detasemen Jala Mangkara (Denjaka) di AL dan Detasemen Bravo 90 (Denbravo) di AU (Priatmodjo, 2010). TNI memang menginginkan peran yang lebih besar dalam hal penindakan terhadap teroris (Wise, 2005). Menurutnya, militer tidak berkeberatan dengan peran Polri dalam hal pencegahan serangan, pengumpulan, analisis, dan penyebarluasan intelijen, maupun penangkapan teroris sebelum serangan terjadi dan penyelidikan pasca-serangan. Namun, mereka berkeberatan dengan peran Polri dalam hal respon terhadap serangan, terutama yang menyangkut serangan terhadap pesawat, kapal laut, dan kereta api, yang dianggap sebagai misi tentara (Wise, 2005). Dengan kata lain, TNI meminta peran lebih besar dalam hal penyerbuan/penindakan. Kelebihan lain dari TNI yang dikatakan dapat membantu penanggulangan terorisme adalah Sistem Komando Teritorial (Koter) yang tidak dimiliki oleh Polri. Di bawah sistem ini, TNI memiliki petugas di setiap desa di seluruh wilayah Indonesia yang dapat dimanfaatkan sebagai aset intelijen untuk mencegah insiden terorisme sebelum terjadi. TNI juga memiliki sistem yang dinamakan Babinsa (Bintara Pembina Desa). TNI dikatakan telah mengaktifkan Babinsa untuk membina masyarakat guna menghidupkan kembali sistem laporan cepat, sistem lapor tamu, dan sistem keamanan lingkungan setidaknya di wilayah Jakarta dan sekitarnya (Kompas, 14 Oktober 2005). Akan tetapi, banyak pihak yang khawatir jika TNI kembali diberi peran besar dalam penanggulangan terorisme, baik dengan menggunakan force atau hanya dalam hal intelijen. Meskipun memiliki banyak sumber daya yang siap digunakan (existing resources) dan kapabilitas, TNI dipandang sebagai instrumen yang tumpul dan berbahaya jika digunakan untuk mengatasi masalah keamanan internal. Menurut Sidney Jones (2012), keterlibatan TNI dalam penanggulangan terorisme bukanlah ide yang baik dan hanya akan mendatangkan kebingungan, persaingan, dan duplikasi upaya karena TNI tidak memiliki pengetahuan yang
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
189
terspesialisasi mengenai cara kerja jejaring teror di Indonesia saat ini seperti halnya Polri. Menurut Jones, TNI pun tidak dapat diharapkan melakukan operasi yang rapi (surgical) tanpa banyak menimbulkan korban (meskipun TNI mengkritik Polri dalam hal ini pada saat operasi penangkapan Dulmatin) (Jones, 2012). Pihak-pihak lain menganggap keterlibatan TNI dapat dilakukan dengan beberapa syarat. Andi Widjajanto berpendapat bahwa TNI dapat berperan dalam hal operasi intelijen dengan tiga alternatif, yaitu membentuk satuan tugas intelijen, memberikan data intelijen di Badan Intelijen Strategis TNI ke Badan Intelijen Negara, dan memberdayakan fungsi intelijen di Koter (Kompas, 14 Oktober 2005). Sementara itu, menurut Edy Prasetyono (2005), Koter dapat digunakan untuk membantu menanggulangi terorisme berdasarkan kerangka legal ketentuan tentang operasi militer selain perang (OMSP) seperti yang dimaksudkan dalam UU No 34 tentang TNI. Namun, harus ada keputusan pengerahan yang dibuat presiden dengan persetujuan DPR (Prasetyono, 2005). Selain itu, operasi intelijen yang dilakukan Koter (di luar intelijen tempur dan perang yang menjadi inti kegiatan intelijen Koter) harus terbatas pada pengumpulan informasi dan peringatan dini tanpa otoritas untuk melakukan penindakan/eksekusi seperti halnya intelijen Densus.
5.2.2.4 Koordinasi Intelijen Selain
memerintahkan
Kemenkopolkam
untuk
menyusun
strategi
penanggulangan terorisme, langkah awal pemerintahan Megawati setelah Bom Bali meledak adalah mengeluarkan Instruksi Presiden kepada Kepala Badan Intelijen Nasional (BIN) untuk memperkuat dan meningkatkan peran BIN dalam aktivitas komunitas intelijen Indonesia. Hal ini menandakan pentingnya peran intelijen, tidak hanya dalam hal pencegahan serangan teroris tapi juga dalam hal penindakan dan disrupsi jaringan teror. Menurut UU Intelijen yang baru disahkan pada bulan November 2011, intelijen negara memang tidak diselenggarakan di bawah satu atap, melainkan tersebar di beberapa lembaga negara, yaitu TNI (intel militer), Polri (intel keamanan), Kejaksaan (intel penegakan hukum), dan kementerian atau lembaga pemerintah lainnya. Keseluruhan intelijen itu
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
190
dikoordinasikan oleh Badan Intelijen Negara (BIN) sebagai pusat intelijen Indonesia (UU No. 17 Tahun 2011). Keberadaan komunitas intelijen yang terkotak-kotak ini membuat fungsi koordinasi menjadi kunci utama. Menurut Wise (2005), koordinasi intelijen Indonesia sangat lemah meskipun Presiden Megawati telah mengeluarkan Inpres untuk memperkuat koordinasi intelijen untuk penanggulangan teror. Meskipun pada saat itu kepala BIN sempat mengadakan pertemuan dengan anggota komunitas intelijen lainnya, menurut Wise (2005) mereka tidak mendirikan mekanisme apapun untuk mengkoordinasikan berbagai misi, fungsi, dan operasi mereka. Menurut Imparsial, bahkan hingga saat ini badan-badan intelijen belum dapat mengatasi masalah keterkotak-kotakan lembaga intelijen sehingga penanggulangan terorisme menjadi agak lambat (Andhika, 2012). Kelemahan dari sisi intelijen membuat aspek pencegahan serangan Indonesia belum sekuat yang dibutuhkan untuk mengurangi insiden terorisme.
5.2.2.5 Persaingan Antar-Lembaga dalam Penanggulangan Terorisme Bagian ini mencoba merangkum permasalahan kelembagaan dalam upaya penanggulangan terorisme di Indonesia yang berkaitan dengan persaingan antarlembaga (institutional rivalry). Selain masalah koordinasi yang disebabkan oleh ego sektoral, dapat dianalisis bahwa akar permasalahan persaingan antar-lembaga di Indonesia juga terletak pada perebutan sumber daya atau anggaran. Ego sektoral masing-masing badan keamanan, khususnya di antara Polri dan TNI, memang telah ada sejak lama dan semakin meruncing sejak keduanya berpisah pada tahun 1999. Persaingan ini juga tercermin dalam BIN. Meskipun secara nominal BIN merupakan badan sipil, lembaga ini selalu dipimpin oleh seorang mantan perwira militer hingga tahun 2009 ketika Sutanto yang berasal dari Kepolisian mengambil alih kepemimpinan BIN (Meijer, 2012). BIN tampak enggan menyerahkan peran dominannya dalam penanggulangan terorisme (bersama TNI), mungkin karena adanya perasaan superioritas ataupun karena pengalamannya selama ini yang terbilang kaya (Meijer, 2012). Sementara itu, ada pula beberapa lembaga lain yang kurang mendapat sorotan namun terlibat dalam upaya penanggulangan terorisme, di antaranya Bappenas dan Kejaksaan Agung.
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
191
Sebagaimana disebutkan di bagian sebelumnya, lembaga-lembaga tersebut juga dikatakan memiliki masalah tersendiri berkaitan dengan kapasitas kelembagaan dan perebutan anggaran yang oleh Meijer disebut sebagai ‘nationalist enterpreneur.’ Isu perebutan anggaran sangat kental dalam menyebabkan persaingan antar-lembaga yang kemudian menghambat upaya penggentaran di Indonesia. Lembaga
yang
paling
banyak
mendapatkan
alokasi
dana
terkait
isu
penanggulangan terorisme adalah Polri. Selain mendapat bantuan langsung dalam bentuk kerja sama kontrateror dengan AS dan Australia senilai puluhan juta dollar, anggaran Polri pun terus mengalami kenaikan. Pada tahun 2012, Presiden SBY menyetujui permintaan tambahan anggaran Polri hingga mencapai Rp 48,89 triliun (Liu, 2012). Selain itu, sebelum BNPT beroperasi maksimal, dana bantuan luar negeri untuk penanggulangan terorisme dikelola langsung oleh Polri. Namun, setelah BNPT terbentuk, lembaga ini kemudian diberi wewenang untuk mengelola dana kerja sama penanggulangan terorisme. Hal ini mungkin menjadi salah satu sumber ketidaksukaan Polri terhadap BNPT karena anggaran kedua lembaga tersebut memang sejak dulu terpisah. Sebelumnya, BNPT berada di bawah Menko Polhukam, termasuk dari segi anggaran, sedangkan Polri langsung berada di bawah Presiden. Sejak tahun 2012, BNPT memiliki kebebasan anggaran sehingga peluangnya untuk mengelola dana penanggulangan terorisme yang berlimpah, khususnya dari luar negeri, semakin terbuka. Anggaran BNPT pun terus ditambah hingga mencapai Rp 126,8 miliar untuk tahun 2012 dan 152,1 miliar untuk tahun 2013 (Afrido, 2012). Menurut Mahfudz Siddiq, anggota Komisi I DPR yang mengawasi pertahanan, berbagai badan keamanan di Indonesia sesungguhnya memiliki banyak uang. Namun, mereka saling berkompetisi untuk memperbesar anggaran mereka masing-masing. Fakta ini menimbulkan kekhawatiran bahwa terorisme sengaja dipelihara agar uang tetap mengalir (Soegiarto, 2012). Sementara itu, seorang pengamat terorisme menyatakan bahwa anggaran terbesar mengalir ke Densus 8811 dan BNPT sedangkan komunitas intelijen mendapatkan jatah yang 11
Akan tetapi, perlu dicatat bahwa menurut Tito Karnavian, Deputi sebagian besar pekerjaan Densus 88 adalah pekerjaan intelijen, yakni 70% sedangkan penindakan oleh Densus hanyalah 5% (Nur, 2011).
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
192
jauh lebih kecil. Hal ini, menurutnya, menyebabkan banyak informasi intelijen yang tidak dibagikan, juga menyebabkan buruknya sistem peringatan dini intelijen Indonesia (Soegiarto, 2012). Lembaga lain yang termarjinalkan dari segi anggaran penanggulangan terorisme adalah TNI yang tidak mendapatkan bantuan luar negeri yang signifikan kecuali untuk Angkatan Laut dalam hal pengawasan dan pengintaian maritim (aspek non-lethal).
5.3
Pengurangan Jumlah Serangan Teroris melalui Penggentaran melalui Penangkalan Setelah membahas tentang strategi dan kelembagaan penanggulangan
terorisme di Indonesia, pembahasan akan dilanjutkan dengan penerapan penggentaran terhadap teroris untuk mengurangi insiden terorisme. Elemen pertama yang akan dibahas adalah penggentaran melalui penangkalan, yang terdiri dari penangkalan di tiga tingkat (taktis, operasional, dan strategis). Pada dasarnya, penggentaran melalui penangkalan adalah upaya untuk memastikan bahwa teroris tidak mendapatkan apa yang ia butuhkan untuk melangsungkan sebuah serangan. Secara konseptual, ada tiga hal yang dapat ditangkal, yakni peluang (penangkalan di tingkat taktis), kapabilitas (penangkalan di tingkat operasional), dan motivasi (penangkalan di tingkat strategis). Uraian di bawah ini akan membahas ketiga hal tersebut.
5.3.1 Pengurangan Insiden Terorisme melalui Penghilangan Peluang Keberhasilan Serangan (Penangkalan di Tingkat Taktis) Penangkalan di tingkat taktis adalah upaya untuk menghilangkan peluang teroris untuk melangsungkan serangan dengan cara meningkatkan keamanan target sehingga teroris menganggapnya tidak dapat ditembus. Dengan menurunkan potensi keberhasilan serangan, teroris dapat dicegah dari melangsungkan serangan ke target-target tertentu yang sangat penting bagi negara dan masyarakat. Pembahasan di bagian ini akan difokuskan pada empat hal, yaitu pengetatan keamanan bandara dan penerbangan, maritim dan pelabuhan, serta
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
193
perlindungan infrastruktur kritis dan target-target potensial lainnya untuk mencegah serangan terorisme.12
5.3.1.1 Pengetatan Keamanan Bandara dan Penerbangan Pasca-9/11, keamanan bandara dari aksi terorisme menjadi perhatian dunia. Secara tradisional, terorisme di sektor penerbangan terbatas pada dua hal, yaitu pembajakan pesawat dan pengeboman bandara/maskapai. Setelah terbukti bahwa pesawat terbang dapat dijadikan senjata pemusnah massal, keamanan bandara menjadi lebih penting lagi. Dalam sejarah terorisme di Indonesia, serangan terhadap pesawat baru terjadi satu kali, yaitu pembajakan pesawat Garuda Indonesia pada tahun 1981. Di masa itu (1980-82), memang terjadi paling banyak pembajakan pesawat di dunia, yakni 105 serangan dalam tiga tahun (Direktorat Keamanan Penerbangan, 2012). Meskipun target terorisme transnasional di Indonesia hingga saat ini masih mengarah pada target asing dan kepolisian, bukan berarti bandara tidak akan menjadi target berikutnya. Bagian ini akan membahas langkah-langkah pengetatan keamanan bandara di Indonesia untuk mencegah serangan terorisme. Peningkatan keamanan bandara di seluruh Indonesia sangat menantang karena jumlahnya yang sangat banyak. Saat ini Indonesia memiliki 29 bandara internasional dan 204 bandara domestik (ICAO, 2012). Terdapat 20 maskapai penerbangan yang memiliki izin dan 227 rute domestik yang diotorisasi oleh Dirjen Perhubungan Udara, menghubungkan 107 kota di Indonesia. Untuk penerbangan internasional, terdapat sekitar 53 rute (ICAO, 2012). Pada tahun 2011, penumpang pesawat tercatat hampir 60 juta orang dan kargo lebih dari 70.000 ton. Lembaga yang berwenang untuk mengatur dan mengawasi seluruh aspek penerbangan sipil di Indonesia adalah Dirjen Perhubungan Udara yang berada di bawah Kementerian Perhubungan. Data yang sistematis mengenai langkah-langkah pengamanan bandara di Indonesia terkait penanggulangan terorisme cukup sulit untuk didapatkan. Namun, karena Indonesia adalah negara anggota ICAO (Organisasi Penerbangan Sipil 12
Karena data yang peneliti temukan tentang pengamanan transportasi publik darat sangat sedikit dan tidak signifikan, bagian ini akhirnya tidak dimasukkan ke dalam salah satu upaya penggentaran melalui penangkalan di tingkat taktis.
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
194
Internasional), maka Indonesia berkewajiban untuk mematuhi seluruh prosedur keamanan dan keselamatan bandara dan penerbangan yang telah ditetapkan oleh ICAO. Dari segi teknis, misalnya, seluruh bandara di Indonesia dilengkapi dengan mesin deteksi logam dan x-ray. Indonesia pun telah menjalani audit keamanan universal ICAO seperti halnya Singapura, Malaysia, dan Filipina. Dari hasil audit universal yang dijalankan ICAO pada tahun 2007 dan aksi korektif yang dipenuhi oleh otoritas bandara Indonesia, tingkat kepatuhan Indonesia terhadap standar ICAO telah mencapai 80% (ICAO, 2012). Di tingkat strategis atau kebijakan, Indonesia telah mengeluarkan UU Penerbangan Indonesia yang baru disahkan pada 12 Januari 2009 (sebagai upaya harmonisasi UU nasional sesuai mandat ICAO). UU ini mewajibkan dibentuknya sebuah program keamanan penerbangan nasional, yang telah ditetapkan pada tahun 2010 melalui Peraturan Menteri Perhubungan,13 juga sebuah Komisi Nasional. Sayangnya, ketika ditelusuri pada saat penelitian ini, lampiran mengenai Program Keamanan Penerbangan Nasional yang seharusnya menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari Permenhub yang dimaksud justru tidak tersedia di badan Permenhub tersebut. Sementara itu, di dalam Cetak Biru Transportasi Udara tahun 2005-2024 (masih berupa konsep akhir), terorisme menjadi isu keamanan yang disebutkan paling awal dan telah ditetapkan langkah-langkah untuk mencegah dan menanggulanginya. Selain telah menyusun Program Keamanan Penerbangan Nasional, Indonesia juga telah menyusun Program Nasional Kendali Keamanan Penerbangan Sipil sebagaimana disyaratkan ICAO. Di tingkat kebijakan, beberapa hal yang telah diwajibkan untuk setiap bandara di Indonesia adalah membentuk Komite Keamanan Bandara, menyusun rencana darurat (contingency plan), serta melaksanakan audit, inspeksi, dan tes keamanan (meskipun latihan atau drill untuk menguji rencana penanganan kondisi darurat masih relatif jarang, yakni satu kali dalam 2 tahun) (Departemen Perhubungan, 2005). Selain itu, di forum internasional, Indonesia aktif mendorong pengamanan bandara yang lebih ketat. Pada bulan September 2012, Indonesia mengusulkan kewajiban untuk dilakukan pemeriksaan keamanan secara 100% bagi para personil di bandara selain para penumpang. Sejauh ini, Indonesia sendiri telah 13
Peraturan Menteri Perhubungan KM 9 Tahun 2010
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
195
mengatur kewajiban untuk dilakukan pemeriksaan keamanan secara 100% bagi para personil di bandara selain para penumpang. Langkah ini dilakukan sebagai bentuk pencegahan terhadap kejahatan penerbangan yang kemungkinan dilakukan oleh orang di dalam bandara selain penumpang, mengacu kejadian serangan teoris terhadap WTC pada tanggal 11 September 2001. Pencegahan terhadap kejahatan penerbangan meliputi pencegahan terhadap pembajakan pesawat udara, sabotase pesawat, sabotase Bandar udara dan fasilitasnya serta serangan teroris. Peningkatan pengamanan juga dilakukan dalam hal kargo udara. Saat ini, Direktorat Jenderal Perhubungan Udara telah menerbitkan 12 (dua belas) Sertifikat bagi perusahaan Regulated Agent yang diberikan kewenangan untuk melakukan pemeriksaan keamanan kargo dan pos di daerah publik, dan akan disusul dengan 9 (sembilan) perusahaan lagi yang saat ini dalam proses sertifikasi (Dirjen Perhubungan Udara, 2012). Meskipun langkah-langkah pengamanan sektor penerbangan dapat diketahui dari dokumen perencanaannya, implementasi berbagai kebijakan di atas belum diketahui, terutama karena program keamanan penerbangan nasional Indonesia baru baru berusia dua tahun dan tidak ada laporan implementasinya yang dibuat publik. Di tingkat implementasi, selain di bandara Soekarno-Hatta, pengetatan pengamanan bandara di Indonesia tampak masih lebih bersifat reaktif dibandingkan strategis. Pengetatan keamanan hanya dilakukan ketika terjadi aksi teror seperti yang terjadi di Solo. Pasca-aksi teror yang terjadi berturut-turut di kota tersebut pada bulan September 2012, misalnya, pengamanan bandara Ahmad Yani diperketat dengan menurunkan 10 personel Polri dan 15 personel TNI (Kabar17, 9 September 2012). Hal yang sama terjadi di Makassar, Sulawesi Selatan. Pasca-pelemparan bom terhadap Gubernur Sulawesi Selatan pada bulan November 2012, aparat polisi, TNI, dan petugas keamanan bandara Sultan Hasanudin melakukan razia terhadap penumpang dan pengantar untuk mencegah teroris kabur melalui bandara tersebut (MetroTVNews.com, 13 November 2012). Hal yang sama terjadi di Bali pada bulan September lalu ketika aksi teror marak di Jawa Tengah dan pasca-bom Cirebon pada bulan April 2011 (Tempo.co.id, 17 April 2012). Pengetatan keamanan dan demonstrasi kekuatan ketika terjadi eskalasi teror memang merupakan salah satu langkah penggentaran, namun
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
196
pengetatan keamanan secara strategis dan tidak hanya dilakukan saat eskalasi teror meningkat akan menghasilkan dampak penggentaran yang lebih permanen.
5.3.1.2 Pengetatan Keamanan Maritim dan Pelabuhan Indonesia adalah negara kepulauan. Sebagian besar perbatasan Indonesia adalah perbatasan laut. Jalur laut memiliki arti strategis dan ekonomis yang tidak tergantikan bagi Indonesia (Sumakul, 2011; Comer, 2010).14 Tanpa adanya ancaman terorisme pun keamanan maritim adalah kepentingan nasional yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Namun, telah banyak disebutkan bahwa perbatasan maritim Indonesia adalah salah satu yang paling porous dan pengawasannya paling menantang untuk dilakukan (Comer, 2010). Menurut Comer, ada beberapa alasan untuk hal ini, yaitu kondisi geografis berupa kepulauan dengan lebih dari 17.000 pulau; hubungan Indonesia yang seringkali diwarnai ketegangan dengan negara-negara tetangganya mengenai perbatasan, terutama dengan Malaysia; dan kapabilitas Angkatan Laut yang minim jika dibandingkan dengan luas wilayah yang harus dijaga.
a. Tri-Border Area: Wilayah Transit Teroris di Laut Sulawesi Hingga saat ini, belum ada aksi terorisme di laut Indonesia yang spektakuler seperti halnya yang terjadi di Filipina dengan pengeboman Superferry 14. Oleh karena itu, terkait terorisme, keamanan maritim tampak lebih berhubungan dengan pengamanan perbatasan (untuk interdiksi) dibandingkan dengan antisipasi serangan teroris. Dalam hal ini, ada satu wilayah yang memiliki kerentanan khusus karena sering digunakan sebagai jalur keluar-masuk teroris dari Indonesia ke Filipina, Malaysia, dan juga jalur penyelundupan senjata. Wilayah ini disebut sebagai Tri-Border Area (TBA) atau segitiga transit teroris yang berada di sekitar Laut Sulawesi dan Selat Makassar (Comer, 2010) (Lihat Gambar 4.3 di bagian sebelumnya).
14
Alur pelayaran transit Selat Malaka dewasa ini dilewati oleh 60.000 kapal berbagai jenis per tahun, merupakan sepertiga volume perdagangan dunia dengan jumlah US$ 390 milyar. Selat Lombok, dilewati 3.900 kapal per tahun dengan nilai US$ 40 milyar. Selat Sunda dilintasi 3.500 kapal per tahun dengan nilai US$ 5 milyar. Selain itu, Selat Makasar yang berbatasan dan terhubung dengan Laut Sulawesi adalah sumber gas alam terbesar kedua di dunia dan dikatakan sebagai salah satu jalur laut terpenting dalam hal pengangkutan energi.
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
197
Wilayah di sekitar Laut Sulawesi ini tercatat sebagai wilayah transit teroris yang terdiri dari berbagai rute. Rute terpanas saat ini adalah yang menghubungkan Manado di Indonesia dan General Santos City di Filipina. Rute ini disoroti setelah pecahnya konflik Poso di Sulawesi Tengah pada bulan Maret 2007. Di sepanjang konflik ini, senjata dan kader-kader terlatih dari kelompok fundamentalis Islam didatangkan dari Filipina melalui rute ini. Rute ini juga mencakup beberapa tempat transit seperti Pulau Karkarekelong dan Ternate di Pulau Halmahera sebelum sampai di Sulawesi Tengah. Dengan melalui rute ini, mereka dapat menghindari pelabuhan Manado dan Bitung yang penjagaannya lebih ketat (Comer, 2010). Menurut Comer (2010), longgarnya pengamanan di wilayah maritim yang rentan ini terjadi karena dua hal, yaitu terbatasnya anggaran TNI-AL dan paradigma yang masih Jawa-sentris. Karena letaknya jauh dari Jawa, wilayah TBA ini menjadi kurang diperhatikan oleh badan-badan keamanan Indonesia. Selain itu, Indonesia pun dipandang tidak terlalu memandang serius keterkaitan JI dengan kelompok-kelompok Islam ekstrim yang melalui Jalur Sulawesi-Filipina. Indonesia dianggap lebih fokus pada ancaman-ancaman lain yang dipersepsikan sebagai pelanggaran kedaulatan RI, seperti perompakan,15 penangkapan ikan ilegal, penyelundupan flora dan fauna, pembalakan liar, dan penyelundupan manusia. Dua negara yang sangat prihatin dengan kondisi pengamanan maritim Indonesia adalah AS dan Australia yang kemudian menawarkan banyak kerja sama dan bantuan. Akan tetapi, kerja sama keamanan dengan negara lain, terutama dua negara maju tersebut, dikatakan masih diwarnai oleh kecurigaankecurigaan neokolonial (Comer, 2010). Dari sisi anggaran dan kapabilitas, sebagaimana halnya Angkatan Laut Filipina, Angkatan Laut Indonesia (TNI-AL) memang sangat kekurangan
15
Tingkat perompakan di Selat Malaka dikatakan semakin menurun drastis. Menurut Biro Maritim Internasional, kejahatan laut bersenjata di Selat Malaka menurun dari 38 pada 2004 menjadi nol pada 2011. Berdasarkan data Unit Regional Cooperation Agreement on Combating Piracy and Armed Robbery against Ships in Asia (ReCAAP), tingkat perompakan di Selat Malaka juga mengalami penurunan dari 35 pada 2005 menjadi nol pada 2011. Sementara menurut data TNI Angkatan Laut, perompakan menurun dari dari 34 kali pada 2004 menjadi hanya satu kali pada 2011.
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
198
anggaran (Comer, 2010).16 TNI-AL pun memiliki jangkauan patroli yang pendek sehingga semakin jauh wilayahnya dari ibu kota, semakin lemah pula pengawasannya. Sebagian besar kekuatan TNI-AL berpatroli tidak jauh dari pangkalan mereka karena kurangnya anggaran operasional dan kondisi kapal yang buruk. Hal ini berdampak negatif pada keamanan maritim dan perbatasan di wilayah TBA. Saat ini, sebagian besar aset TNI-AL terkonsentrasi di pulau Jawa. Markas TNI-AL yang bertanggung jawab atas keamanan Laut Sulawesi atau TBA berlokasi di Suarabaya, hampir 1.300 km jaraknya dari segitiga transit teroris tersebut (Comer, 2010).17 Perang Global Melawan Terorisme di satu sisi adalah berkah bagi Angkatan Laut Indonesia karena AS kembali mengucurkan bantuannya untuk penanggulangan terorisme yang juga sampai ke Angkatan Laut. Sebelumnya, hubungan AS dengan militer Indonesia sempat memburuk karena pelanggaran HAM yang dilakukan pemerintah Indonesia di Timor-Timur, Aceh, dan beberapa lokasi lainnya. Indonesia sempat menjalani embargo sejak tahun 1992 hingga 2005 yang memperburuk kondisi TNI, termasuk TNI-AL. Hingga saat ini, bantuan AS untuk militer Indonesia pun hanya diberikan pada hal-hal yang bersifat tidak mematikan (non-lethal), termasuk keamanan maritim dan pengembangan kapasitas TNI untuk menangani bencana.18 Bantuan AS kepada TNI AL dalam hal penanggulangan terorisme memang lebih bersifat peningkatan kapasitas surveillanve. Sebagaimana halnya di Malaysia dan Filipina, AS membantu Indonesia untuk mendirikan Integrated Maritime Surveillance Stations (IMSSs) di sepanjang Selat Malaka dari ujung barat Sumatera hingga ke dekat Singapura dan dari Nunukan, sebelah selatan Laut Sulawesi, hingga ujung selatan dari wilayah Tri-Border Area.19 Selain itu, TNIUntuk menutupi kekurangan anggaran, TNI-AL dikatakan sering ‘memalak’ kapal-kapal yang melalui jalur laut, baik yang ilegal maupun yang legal. 17 TNI-AL memang memiliki beberapa pangkalan AL kecil di sebelah selatan wilayah TBA. Pangkalan TNI-AL di Nunukan bertanggung jawab atas keamanan Kepulauan Sulu. Sementara itu, pangkalan TNI-AL di Bitung di Sulawesi Timur menjaga wilayah menuju General Santos City. Akan tetapi, keterbatasan sumber daya operasional menyebabkan mereka tidak dapat beroperasi jauh dari pangkalan mereka. 18 Dari tahun 2006 hingga tahun 2008, Indonesia menjadi penerima bantuan Departemen Pertahanan AS (DOD) dengan jumlah bantuan mencapai 57 juta dolar AS atau sekitar Rp 510 miliar) 19 IMSS adalah jaringan terintegrasi di antara kapal laut dengan pantai yang berbasiskan sensor, perangkat komunikasi, dan komputasi yang mengumpulkan, mengirimkan, menganalisis 16
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
199
AL menerima bantuan dalam hal kapasitas interdiksi maritim. Indonesia juga dijanjikan untuk menerima bantuan pesawat pengintai maritim (Comer, 2010). Selain membantu dalam hal pengindraan, deteksi, dan pelacakan, AS pun memberikan bantuan dalam hal pengamanan pelabuhan. Pada tahun 2012, AS memberi bantuan berupa peralatan dan pelatihan (training) senilai lebih dari 1 juta dollar untuk membantu pendeteksian dan pencegahan bahan-bahan radiologi gelap dan nuklir (Sherlita, 2012). Tidak seperti Singapura, Malaysia, dan Filipina, Indonesia belum menjadi anggota Proliferation Security Initiative (PSI), inisiatif AS untuk mencegah penyebarluasan bahan radiologis yang memungkinkannya melakukan interdiksi di atas laut. Dalam hal keamanan maritim, selain TNI-AL, Indonesia juga memiliki Polisi Maritim Indonesia yang bernama POLAIR. Akan tetapi, badan keamanan ini juga mengalami masalah yang sama dengan TNI-AL, yakni masalah sumber daya. Meskipun pos POLAIR biasanya berdekatan dengan pangkalan TNI-AL, menurut Comer (2010), tidak ada kerja sama yang berarti di antara dua lembaga ini. Di wilayah perbatasan, memang ada tanda-tanda kerja sama di antara TNI-AL dan POLAIR, namun menurut Comer, tidak ada kerja sama yang terlembagakan di Jakarta (Comer, 2010).
b. Manajemen Keamanan Kelautan yang Tidak Efektif dan Tumpang Tindih Wewenang Kelembagaan Selain dari sisi kemauan politik dan kapabilitas, sektor maritim Indonesia juga mengalami inefektivitas manajemen karena masalah koordinasi dan tumpang tindih wewenang kelembagaan. Selain itu, Indonesia pun tidak memiliki kebijakan dan strategi nasional yang komprehensif dan solid karena tumpang tindih pun terjadi di tingkat UU yang bersifat sektoral (Ali, 2008). Dari segi kelembagaan, sesungguhnya Indonesia secara hukum mempunyai sebuah institusi sipil yang mengemban fungsi negara di laut sejak 1939, yakni Jawatan Pelayaran (sekarang dan menampilkan larik yang luas mengenai data kelautan. Dalam sistem ini, tercakup pula sistem identifikasi otomatis (AIS), radar permukaan, kamera pengintai, sistem pemosisi global (GPS), monitor peralatan, dan transmisi radio lalu lintas maritim di daerah operasional yang luas. Sistem pengawasan tersebut ditempatkan di beberapa lokasi strategis, seperti Selat Malaka, Laut Sulawesi, dan Selat Maluku. Pengoperasian IMSS secara penuh dikatakan akan meningkatkan kemampuan Indonesia untuk mendeteksi, melacak, serta memantau kapal-kapal yang melewati perairan Indonesia dan internasional.
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
200
Direktorat Jenderal Perhubungan Laut (Ditjen Hubla). Namun, menurut Ali (2008), kewenangan menjalankan fungsi pemerintahan di laut ini mengalami hambatan dalam beberapa dekade terakhir karena lahirnya perundang-undangan sektoral. Menurut Ali (2008), inkonsistensi kebijakan pemerintah dalam penanganan keamanan dan keselamatan maritim justru kian memprihatinkan di era reformasi. Saat ini, Ditjen Hubla hanya mengemban tugas keselamatan maritim dan tidak mencakup keamanan maritim (Ali, 2008). Sebagai akibat dari tidak adanya sinkronisasi kebijakan perundang-undangan yang terkait dengan laut, sekarang setidaknya ada 12 instansi yang beroperasi di laut berdasarkan 10 dasar hukum yang berbeda-beda,20 tujuh di antaranya mengklaim yurisdiksi atas operasi dan kebijakan keamanan maritim (Comer, 2010). Padahal, untuk mengefektifkan pengawasan dan pengamanan, seharusnya ada satu instansi sipil tunggal yang bertanggung jawab terhadap masalah keamanan dan keselamatan maritim, yang di masa darurat maupun perang dapat menjadi kekuatan pengganda bagi Angkatan Laut (Ali, 2008). Sebenarnya, pemerintah telah berupaya memperbaiki masalah koordinasi dan memperjelas tugas dan kewenangan di wilayah maritim, yakni dengan memberi mandat pada sebuah lembaga untuk mengintegrasikan keamanan maritim, yang diberi nama BAKORKAMLA (Badan Koordinasi Keamanan Laut). Akan tetapi, menurut Comer (2010), BAKORKAMLA justru memperumit proses koordinasi multilateral karena lembaga ini tidak menerima instruksi yang jelas mengenai perannya. Masih menjadi pertanyaan apakah badan tersebut merupakan badan pembuat kebijakan dan koordinasi, badan yang menjalankan kebijakan (operasional), atau kombinasi dari keduanya (Comer, 2010).21 Selain itu, BAKORKAMLA juga tidak memiliki kewenangan untuk memberi perintah pada berbagai badan keamanan maritim. Misalnya, lembaga ini tidak berwenang untuk meminta TNI-AL untuk mengembangkan kebijakan dan prosedur keamanan tertentu. Akhirnya, lembaga ini harus berjuang dengan seperangkat hukum yang 20
Menurut Ali, dari 10 instansi tersebut, sesungguhnya hanya dua instansi yang mempunyai kewenangan di laut bila mengacu pada UNCLOS 1982 dan peraturan internasional di bidang maritim lainnya. Sisanya merupakan instansi yang basis alamiahnya di daratan dan tak mempunyai keterkaitan langsung dengan laut. 21 Kebingungan dan ketidakjelasan ini juga kini terjadi pada Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) yang menurut Muradi (2012) mulai merambahi tingkat operasional dengan pembentukan Satuan Tugas BNPT.
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
201
usang dan seringkali bertentangan satu sama lain. Dua faktor lain yang memperburuk keadaan adalah tidak adanya lembaga ekuivalen BAKORKAMLA di Malaysia dan Filipina yang dapat dijadikan focal point koordinasi dan tidak adanya budaya berbagi informasi di kalangan badan keamanan Indonesia (Comer, 2010). Ali (2008) juga berpendapat bahwa BAKORKAMLA yang dibentuk berdasarkan keputusan bersama Menteri Hankam/Pangab, Menteri Keuangan, Menteri Kehakiman dan Jaksa Agung pada 1972 tidak efektif ketika Indonesia memasuki era reformasi yang ditandai dengan pemisahan Polri dan ABRI.22 Selain itu, Bakorkamla 1972 hanyalah suatu badan ad hoc yang tidak menghilangkan kewenangan sektoral masing-masing instansi yang tergabung di dalamnya. Bakorkamla baru yang dibentuk tahun 2005 pun dikatakan justru memperumit manajemen keamanan maritim itu sendiri (Ali, 2008; Comer, 2010). Eksistensi Bakorkamla justru membuat kian kompleksnya manajemen keamanan maritim karena kini ada 13 instansi yang mempunyai kewenangan di laut dan 13 strategi yang ditujukan untuk mengelola satu hal, yakni keamanan maritim. Desentralisasi menambah satu masalah lagi. Menurut Supit (2009), terjadi pula konflik kewenangan di antara instansi pemerintah di pusat dan di daerah karena tidak jelasnya rincian kewenangan, jenis, kriteria serta klasifikasi obyek yang menjadi sumber konflik. Hingga saat ini, tidak jelas mana yang didesentralisasikan, didekonsentrasikan, atau yang masih disentraliasikan sehingga menimbulkan interpretasi yang beragam dan potensi konflik. Satu hal lagi dalam pengamanan maritim yang menjadi sorotan para pakar adalah ketiadaan pengawal laut dan pantai (sea and coast guard) yang saat ini sedang dalam proses pembentukan. Singapura, Malaysia, dan Filipina saat ini telah memiliki coast guard. Bakorkamla menekankan pentingnya lembaga ini untuk ditetapkan sebagai Otoritas Maritim Nasional yang bertanggung jawab terhadap keselamatan dan keamanan di laut dan berada langsung dan bertanggung jawab kepada Presiden meskipun secara teknis administrasi berada di Kementerian yang berkompeten (Supit, 2009).
22
yang disusul dengan klaim sepihak Polri bahwa keamanan nasional, termasuk keamanan laut, adalah kewenangannya.
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
202
5.3.1.3 Pengerasan Target: Perlindungan Infrastruktur dan Instalasi Kritis Target-target lunak seperti hotel dan tempat-tempat yang sering dikunjungi turis Barat adalah target favorit teroris di Indonesia setelah beralih dari targettarget keras seperti kedutaan. Peralihan tersebut adalah pilihan rasional teroris yang mempertimbangkan tingkat keberhasilan serangan dan kapabilitas yang dibutuhkan untuk melangsungkan serangan tersebut. Penelitian ini tidak menemukan data tentang daftar terpadu mengenai fasilitas, infrastruktur, atau instalasi yang termasuk ke dalam kategori ‘kritis’ seperti halnya yang terdapat di AS, Singapura, dan Filipina. Namun, di tingkat strategis, perlindungan infrastruktur
kritis
selalu
dimasukkan
ke
dalam
salah
satu
langkah
penanggulangan terorisme. Arahan strategis Bappenas misalnya, menyatakan bahwa salah satu langkah yang telah dilakukan adalah melakukan pengamanan pada pusat-pusat kegiatan masyarakat, objek vital, proyek vital, dan transportasi massal yang dilakukan Polri dan TNI (Bappenas, 2005). Selain itu, Bappenas juga menyatakan bahwa telah dilakukan peningkatan pengamanan terbuka simbolsimbol negara dan peningkatan pengamanan tertutup area-area publik untuk mengoptimalkan kemampuan deteksi dini dan pencegahan langsung di lapangan. Dalam arahan ini, disebutkan bahwa yang termasuk ke dalam objek-objek vital yang mendapatkan pengamanan tambahan adalah perkantoran pemerintah, perkantoran asing, pusat-pusat bisnis dan perbelanjaan, hotel dan tempat wisata, bandara, pelabuhan, serta kawasan industri. Langkah utama yang dilakukan di tempat ini adalah penempatan personel dan alat deteksi teror pada objek-objek vital tersebut, yang dikatakan secara signifikan mampu menekan aksi terorisme (Bappenas, 2005). Indonesia tidak memiliki strategi menyeluruh dan tersendiri mengenai perlindungan infrastruktur kritis sebagaimanan halnya AS, Singapura, dan Filipina, melainkan lebih pada upaya insidental untuk meningkatkan keamanan di tempat-tempat tertentu ketika diperlukan (misalnya ketika terjadi eskalasi teror). Karena akhir-akhir ini eskalasi teror meningkat dengan serangan utama kepolisian, maka pengamanan yang ditingkatkan akhir-akhir ini justru kantor polisi itu sendiri.
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
203
Pengurangan Insiden Terorisme melalui Penghilangan Kapabilitas
5.3.2
untuk
Melangsungkan
Serangan
(Penangkalan
di
Tingkat
Operasional) Elemen
kedua
dari
penggentaran
melalui
penangkalan
adalah
penangkalan di tingkat operasional, yakni upaya untuk menangkal kapabilitas operasional teroris agar tidak dapat melangsungkan serangan. Ada empat jenis penangkalan kapabilitas yang akan dibahas di bawah ini, yaitu akses terhadap wilayah
(pengawasan
perbatasan),
senjata
(kontrol
senjata),
pendanaan
(pengetatan regulasi finansial), dan kontrol internet yang merupakan cross-cutting issue karena internet dapat digunakan untuk menggalang dana, control and command, hingga melakukan propaganda untuk perekrutan.
5.3.2.1 Pengetatan Kontrol dan Pengelolaan Perbatasan Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, perbatasan Indonesia adalah salah satu yang paling porous atau longgar di Asia Tenggara (Comer, 2010). Berdasarkan laporan tahunan US Department of State (2011), perbatasan Indonesia hingga kini masih rentan karena kurang ketatnya pengamanan dan pengawasan. Menurut Perwita (2012), teroris memanfaatkan wilayah perbatasan yang tidak terkontrol ini dengan baik. Sebagai contoh, teoris memanfaatkan perbatasan Indonesia dengan Thailand, Malaysia, dan Singapura dalam merancang dan mempersiapkan terorisme di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir. Menurutnya, perbatasan di Thailand Selatan melalui provinsi Satun ke kepulauan Riau melalui perairan Malaysia di sekitar Langkawi-Penang merupakan jalur darat dan laut favorit untuk mengalirkan dana, senjata, dan bahan peledak untuk melakukan aktivitas terorisme. Selain itu, perbatasan Filipina Selatan dari Zamboanga dan Davao (Mindanao) menuju kepaulauan Sulu menuju ke Sarawak dan Nunukan di Kalimantan serta Kepulauan Sangihe Talaud di Sulawesi Utara menuju Maluku dan Sulawesi Tengah juga ditengarai menjadi jalur penyaluran senjata dan manusia untuk melakukan kegiatan terorisme di wilayah timur Indonesia. Pintu masuk ini dipercaya masih digunakan oleh berbagai kelompok teroris, termasuk MILF (Moro Islamic Liberation Front) dan ASG (Abu Sayyaf Group) yang berbasis di Filipina untuk menyelundupkan
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
204
senjata api dan bahan peledak. Wilayah ini juga digunakan oleh pelarian dan mereka yang sedang menjalani pelatihan teroris sebagai penghubung antara Indonesia dan Filipina (Comer, 2010). Gubernur Lembaga Pertahanan Nasional (Lemhanas), juga mengakui bahwa lemahnya sistem keamanan kawasan dimanfaatkan para penyeludup untuk memasukkan senjata api ke Indonesia, dengan sasaran daerah konflik (Soepandji, 2011). Satu hal positif yang terjadi belakangan ini adalah mulai munculnya peningkatan kesadaran di negara-negara yang terkait dengan perbatasan Indonesia untuk meningkatkan kerja sama di antara mereka. Pada tahun 2011, misalnya, Indonesia sepakat untuk meningkatkan kerja sama dengan Filipina di bidang pertukaran informasi intelijen dan penguatan pengawasan perbatasan (Lacorte, 2011). Selain perbatasan laut yang telah dibahas di bagian keamanan maritim, Indonesia juga memiliki perbatasan darat yang luas dengan tiga negara (Malaysia, Timor Leste, dan Papua Nugini). Perbatasan darat dengan Malaysia di pulau Kalimantan memanjang hingga lebih dari 2000 km. Di Kalimantan Barat saja, terdapat lima kabupaten yang berbatasan langsung dengan Malaysia, ditambah dua ratusan jalan tidak resmi (Tempo.co, 24 September 2012). Yang menjadi ujung tombak pengamanan perbatasan darat di Indonesia adalah tentara dan polisi, serta satuan tugas pengamanan perbatasan (Satgas Pamtas). Pada tahun 2009, Komando Daerah Militer (Kodam) VI Tanjungpura, Kalimantan Timur, berhasil mengidentifikasi 54 titik jalur pelarian teroris dari kelompok Jamaah Islamiyah di perbatasan Indonesia-Malaysia di Kalimantan (Viva News, 21 Juli 2009). Dari hasil indentifikasi TNI, jalur tikus inilah yang diduga digunakan sebagai jalur koordinasi, pengiriman logistik serta jalur pelarian usai melakukan aksi teror di Indonesia. Kodam VI menyatakan akan memperketat penjagaan perbatasan dengan menambah 2 batalion pasukannya di kawasan tersebut. Sementara itu, Komandan Kodim 0911/Nunukan Kalimantan Timur pun menyatakan siap mengantisipasi masuknya teroris ke Indonesia melalui Kabupaten Nunukan. Langkah-langkah yang akan dan telah dilakukan adalah mengintensifkan koordinasi dengan aparat dari Satgas Pamtas dan kepolisian untuk menjaga pintu masuk dari Malaysia yang digunakan selama ini. Selain itu,
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
205
TNI pun telah melaksanakan patroli gabungan di wilayah perbatasan antara TNI AD dari Satgas Pamtas dengan Tentara Diraja Malaysia (TDM) untuk menutup ‘jalur tikus,’ (Kompas, 28 September 2012). Ketika eskalasi teror meningkat, Polri pun pasti meningkatkan pengamanan perbatasan. Misalnya, Polres Tarakan mengetatkan pengamanan di pelabuhan dan bandara pasca-penembakan anggota Densus 88. Daerah lain yang penjagaannya diperketat adalah perbatasan Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Tengah. Penampilan kekuatan di tempat-tempat tertentu memang dapat menjadi efek penggentar untuk sementara, namun efeknya tidak akan permanen apabila tidak ada upaya peningkatan keamanan perbatasan secara strategis yang terlembaga dan didanai dengan baik. Penelitian ini belum menemukan data mengenai upaya strategis untuk meningkatkan keamanan perbatasan, dimulai dari rencana atau program atau bahkan strategi nasional peningkatan keamanan perbatasan. Hal ini sulit dilakukan karena sifat pengelolaan perbatasan yang sektoral. Selain pengamanan fisik, hal lain yang menentukan dalam hal pengawasan perbatasan adalah administrasi keimigrasian. Teroris dapat dengan mudah memasuki dan keluar wilayah Indonesia karena dokumen imigrasi relatif mudah didapat atau dipalsukan. Untuk memperketat pengawasan atas dokumen keimigrasian, sejak tahun 2006, pembuatan paspor mengharuskan diambilnya seluruh sidik jari tangan seseorang. Meskipun demikian, berdasarkan laporan U.S Department of State pada tahun 2010, dokumen imigrasi palsu masih sangat mudah didapatkan di Indonesia (U.S Department of State, 2010). Indonesia pun belum menerapkan teknologi biometrik (The Parliament of the Commonwealth of Australia, 2010) dan belum memiliki database yang terintegrasi untuk mengecek identitas seseorang dan menjaring teroris yang menggunakan dokumen palsu seperti Singapura dan Malaysia. Indonesia juga tidak mengintegrasikan otoritas perbatasannya seperti halnya di kedua negara tersebut sehingga masih terkotakkotak antara imigasi, bea cukai, dan keamanan perbatasan. Selain itu, seperti telah dibahas sebelumnya dalam pembahasan mengenai keamanan maritim, tumpangtindih wewenang instansi, persaingan antar-lembaga, dan kurangnya koordinasi antara badan keamanan yang bertugas mengawasi perbatasan maritim juga
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
206
berkontribusi pada lemahnya pengawasan perbatasan Indonesia dan harus diatasi dengan langkah strategis mulai harmonisasi kebijakan hingga reformasi kelembagaan, termasuk dengan menghilangkan korupsi di kalangan aparat imigrasi dan petugas keamanan perbatasan.
5.3.2.2 Kontrol Senjata dan Bahan Peledak Senjata dan bahan peledak (serta bahan-bahan yang dapat digunakan untuk membuat bahan peledak) adalah kapabilitas yang harus ada dalam setiap serangan teror sehingga upaya untuk menangkal kapabilitas ini menjadi sangat penting. Di masa awal pemerintahan SBY, pengetatan izin kepemilikan senjata menjadi salah satu langkah awal peningkatan daya tangkal terhadap terorisme (Golose, 2009). Selain pengetatan izin kepemilikan senjata, langkah lain yang dilakukan adalah razia kepemilikan senjata api. Operasi tersebut dilaksanakan oleh sejumlah instansi pelaksana dan dikoordinasikan oleh Menkopolkam (Golose, 2009). Hukum yang mengatur senjata api dan bahan peledak di Indonesia memang sudah sangat tua, yaitu UU Darurat No 12 Tahun 1951 untuk Senjata Api, UU No. 8 Tahun 1948 tentang Pendaftaran dan Pemberian Izin Pemakaian Senjata Api, dan Ordonansi Bahan Peledak tahun 1931.23 Masyarakat sipil mendorong agar pemerintah memperbarui Undang-Undang yang mengatur senjata api dan bahan peledak karena sudah tidak relevan (Tempo.co.id, 5 Mei 2012). Dari segi konten, menurut laporan Small Arms and Light Weapons Survey di Asia Tenggara pada tahun 2001, legislasi Indonesia juga masih memiliki banyak kekurangan, yaitu belum adanya ketentuan untuk mengatur transportasi domestik senjata dan bahan peledak, penyimpanan bahan peledak, broker senjata, inspeksi, demobilisasi dan reintegrasi, pengumpulan dan penghancuran, serta registrasi berbasis komputer (Kramer, 2001). Menurut International Crisis Group, jika dibandingkan dengan beberapa negara tetangga seperti Filipina dan Thailand, kontrol senjata di Indonesia relatif lebih baik dan Indonesia tidak memiliki ‘kultur senjata’ seperti di kedua negara tersebut. Akan tetapi, implementasi hukum yang mengontrol senjata dan bahan 23
Peraturan yang terbaru adalah Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia nomor 2 tahun 2008 tentang Pengawasan, Pengendalian, Dan Pengamanan Bahan Peledak Komersial.
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
207
peledak di Indonesia dinilai kurang baik dan masih terlalu longgar (Creagh, 2010). Faktor yang menyebabkan hal ini menurut laporan ICG adalah korupsi (ICG, 2010). Yang perlu diperketat berdasarkan laporan ini adalah pengawasan perizinan senjata untuk masyarakat sipi dan, yang lebih penting lagi, pengawasan terhadap gudang-gudang senjata militer dan polisi.24 Selain itu, yang diperlu diperketat pengawasannya adalah industri senjata rakitan dan senjata ‘airsoft’ yang diiklankan di berbagai majalah dan situs-situs radikal (ICG, 2012).
5.3.2.3 Kontrol Pendanaan Pendanaan adalah kapabilitas yang wajib dimiliki teroris, khususnya jika ingin melangsungkan serangan teror dengan skala besar seperti Bom Bali I, Hotel Marriot, dan serangan lain terhadap target asing di Indonesia. Dana untuk teroris dapat digalang secara mandiri maupun didapatkan dari luar (‘donor’). Biasanya, untuk serangan skala besar, ada aliran dana yang besar pula dari para donor, termasuk dari luar negeri (misalnya Al-Qaeda). Karena pentingnya hal ini, upaya menekan pendanaan internasional menjadi salah satu perhatian khusus di tingkat internasional. Berbagai upaya Indonesia untuk menekan pendanaan teroris yang dibahas di bawah ini secara umum adalah upaya-upaya untuk meningkatkan kepatuhan (compliance) terhadap hukum dan standar internasional (sama halnya dengan keamanan bandara dan maritim). Indonesia merupakan anggota dari AsiaPacific Group on Money Laundering, semacam Financial Action Task Force di tingkat regional. Dengan menjadi anggota, Indonesia diwajibkan memenuhi standar-standar regulasi finansial tertentu, dimulai dengan mengharmonisasikan legislasi nasional dengan hukum internasional. Langkah pertama pemerintah Indonesia untuk memenuhi standar internasional adalah dengan mengeluarkan UU No. 15/2002 tentang Pencucian Uang yang direvisi melalui UU No. 25 Tahun 2003. UU ini sekaligus mendirikan sebuah Unit Intelijen Finansial yang dinamakan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Finansial (PPATK) yang bertugas mencegah dan memberantas pencucian uang. UU Pencucian Uang ini sekaligus mengkriminalisasi pendanaan teroris. Meskipun demikian, UU ini dinilai tidak efektif dan tidak memadai (U.S. 24
Pada tahun 2010, dua orang polisi diadili karena menjual senjata pada kelompok jihad.
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
208
Department of State, 2011). Pada bulan Oktober 2011, FATF memutuskan bahwa Indonesia belum membuat kemajuan yang signifikan dalam hal implementasi dan pengembangan peraturan dan berbagai instrumen legal lainnya yang diperlukan untuk membekukan aset teroris sebagaimana disyaratkan oleh Resolusi Dewan Keamanan PBB. Menurut FATF, ketentuan dalam UU Indonesia mengenai pembekuan dan penyitaan aset teroris belum jelas. Selain itu, untuk membekukan dan menyita aset teroris, masih diperlukan dakwaan/sangkaan kriminal. Selain itu, Indonesia dinilai belum memiliki UU anti-pendanaan teroris yang komprehensif sesuai dengan standar FATF dan standar internasional. Mekanisme di dalam UU ini juga dinilai sulit untuk dijalankan secara efektif. Kekurangan lain yang disebutkan oleh FATF adalah tidak adanya legislasi dan kapasitas kelembagaan untuk memonitor organisasi-organisasi non-profit. Secara umum, dapat dikatakan bahwa badan amal dan lembaga-lembaga religius di Indonesia belum diatur dengan baik seperti halnya di Singapura dan Indonesia masih dalam tahap menyusun mekanisme untuk melakukan hal ini. Pada bulan Oktober 2011, misalnya, Komite Koordinasi Nasional telah mengadopsi Strategi Nasional untuk Mencegah dan Menghentikan Tindak Kriminal Pencucian Uang dan Pendanaan Teroris untuk tahun 2012-2016. Terdapat 12 wilayah fokus di dalam strategi tersebut, mulai dari penggunaan teknologi yang lebih baik hingga menyusun peraturan baru untuk meningkatkan implementasi hukum dan peraturan yang ada pada saat ini (U.S Department of State, 2011). Dalam hal perbaikan legislasi, sejak 2011, PPATK dan Kementerian Hukum dan HAM bekerja sama untuk menyusun UU baru sehingga Indonesia dapat mencapai tahap kepatuhan yang disyaratkan oleh FATF dan praktik global (U.S Department of State, 2011). Namun, berdasarkan laporan terakhir dari Financial Action Task Force (FATF) pada tahun 2012, Indonesia masih dikategorikan sebagai negara yang beresiko tinggi dan tidak bekerja sama (highrisk and non-cooperative jurisdiction). Meskipun Indonesia telah menjalankan langkah-langkah untuk memperbaiki rezim legislasi anti-pencucian uangnya (salah satunya dengan merevisi UU di atas), Indonesia dinilai belum membuat cukup kemajuan dalam menjalankan rencana aksinya sehingga masih terdapat banyak kelemahan dalam rezim anti-pencucian uang di Indonesia. Menurut FATF
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
209
(2012), Indonsia masih harus memperbaiki rezim hukum untuk mengkriminalisasi pendanaan teroris, mendirikan dan menjalankan prosedur yang memadai untuk mengidentifikasi dan membekukan aset teroris, dan mengubah serta menjalankan pelbagai hukum dan instrumen lainnya untuk mengimplementasikan Konvensi Anti-Pendanaan Teroris PBB.
5.3.2.4 Kontrol Internet Internet adalah salah satu faktor fasilitator yang sangat berguna bagi teroris. Internet digunakan sebagai sarana berkomunikasi, propaganda untuk menjaring simpatisan, rekrutmen, untuk menggalang dana, mencari informasi tentang target serangan, dan bahkan untuk melangsungkan serangan itu sendiri dalam bentuk cyber-terrorism. Berdasarkan laporan US Department of State pada tahun 2011, internet masih menjadi sumber ‘inspirasi’ bagi teroris di Indonesia. Beberapa dari mereka mengalami self-radicalization setelah mengikuti situs-situs ekstrimis. Selain itu, radikalisasi juga terjadi melalui situs-situs jejaring sosial (US Department of State, 2011). Potensi internet untuk menjangkau masyarakat Indonesia sangat besar. Pada tahun 2009 saja, pengguna internet telah di Indonesia telah mencapai 25 juta orang dengan tingkat penetrasi 10,5% dari total penduduk Indonesia (Golose, 2009). Salah satu kasus radikalisasi melalui internet yang sempat terdeteksi di Indonesia adalah situas anshar.net (Golose, 2009). Hingga tahun 2008, Polri menemukan sebelas situs yang dikelola oleh kelompok radikal dan empat situs yang dikelola oleh organisasi teroris, yang ditulis dalam bahasa Indonesia dan Malaysia (Golose, 2009). Respon legislasi Indonesia terhadap ancaman terorisme di dunia maya adalah dengan mengeluarkan UU tentang Kejahatan di Dunia Maya (Muhammad, 2010) dan menjalankan patroli cybercrime dengan cara memantau para peretas atau ahli IT teroris. Hasil monitoring aktivitas peretas tersebut dilaporkan ke Mabes Polri dan ditindaklanjuti oleh Densus 88. Hal ini telah berujung pada penangkapan salah satu peretas terkait teroris di Bandung, Jawa Barat. (Lodaya Web, 2012). Pemerintah Indonesia juga telah menutup situs-situs tertentu yang mengajak melakukan tindak teroris seperti anshar.net di atas. Akan tetapi, masih banyak situs-situs yang tergolong ‘garis keras’ namun tidak dapat dikategorikan
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
210
ke dalam tindak terorisme. Hukum anti-terorisme di Indonesia memang hanya dapat mengkriminalisasi seseorang atau sesuatu yang telah melewati garis batas kekerasan (mengajak atau mendorong orang melakukan kekerasan secara eksplisit), bukan yang baru melewati garis batas radikal atau garis keras (berbeda dengan di Singapura dan Malaysia yang memiliki sedition act atau hukum untuk mengkriminalisasi ajakan atau dorongan untuk membenci pemerintah). Karena Indonesia tengah berjalan menuju demokrasi, kebebasan berekspresi dan menyampaikan pendapat, termasuk kebebasan pers, dianggap sebagai salah pilar yang tidak dapat dikorbankan demi alasan keamanan. Saat ini, BNPT tengah berusaha agar RUU Perbaikan UU Anti-Terorisme dapat disahkan. UU tersebut akan
memberi
badan
keamanan
wewenang
yang
lebih
besar
untuk
mengkriminalisasi hate-speech dan propaganda teror, termasuk yang disiarkan melalui situs-situs di dunia maya.
5.3.3
Pengurangan Insiden Terorisme melalui Penghilangan Motivasi untuk Melangsungkan Serangan (Penangkalan di Tingkat Strategis) Setelah membahas mengenai penggentaran melalui penangkalan di tingkat
taktis (menangkal peluang) dan operasional (menangkal kapabilitas), pembahasan selanjutnya akan difokuskan pada penggentaran melalui penangkalan di tingkat strategis, yakni upaya untuk menghilangkan motivasi teroris agar ia tidak melangsungkan serangan. Upaya ini dilakukan melalui dua pendekatan yang berkaitan dengan pertahanan sosial atau peningkatan ketahanan masyarakat terhadap serangan teroris. Yang pertama adalah dengan memitigasi dampak serangan dan mempercepat pemulihan pasca-serangan untuk mencegah kepanikan dan ketakutan yang meluas yang merupakan tujuan strategis serangan teroris. Yang kedua adalah dengan mengubah mindset teroris dan calon teroris yang seringkali disebut sebagai upaya deradikalisasi dan kontra-radikalisasi yang berada di ranah perang ideologi.
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
211
5.3.3.1 Mitigasi Dampak Serangan dan Pemulihan Pasca-Serangan Mitigasi dampak serangan dan pemulihan pasca-serangan adalah hal yang relatif jarang mendapatkan perhatian, padahal merupakan bagian penting dari penggentaran (selain manfaat praktisnya di lapangan untuk para korban). Dengan memastikan bahwa serangan teroris tidak mencapai tujuan strategisnya (salah satunya adalah menimbulkan kepanikan yang meluas), teroris dapat dipersuasi untuk mencari cara lain di luar terorisme yang lebih efektif dalam mencapai tujuannya. Menurut Sudarto (2012), esensi manajemen krisis adalah upaya untuk menekan faktor ketidakpastian dan faktor resiko hingga tingkat serendah mungkin. Dalam hal penanganan situasi pasca-serangan teroris, kedua istilah manajemen krisis seringkali digunakan. Di dalam arahan Bappenas, penelitian ini tidak menemukan manajemen dampak atau manajemen krisis pasca-serangan sebagai salah satu fokus sasaran pencegahan dan penanggulangan terorisme. Akan tetapi, hal tersebut disebutkan dalam strategi kepolisian mengenai langkahlangkah yang harus dilakukan ketika terjadi serangan teroris dan telah dipraktikan sejak Bom Bali I. Pada pengeboman Bali pertama tahun 2002, keberadaan tim dari pusat manajemen krisis di Australia dinilai sangat membantu pemerintah Indonesia dalam menangani krisis yang ada pada saat itu (Wise, 2005). Yang lebih ditekankan di dalam dokumen strategi Bappenas adalah pencegahan dampak sosial yang meluas setelah terjadi serangan teror, misalnya untuk mencegah terjadinya konflik SARA. Untuk menekan dampak aksi terorisme lokal yang menyebabkan munculnya pertentangan SARA, Pemerintah melalui Pemerintah Daerah dan aparat keamanan dikatakan secara terus-menerus melakukan pendekatan kepada tokoh masyarakat dan tokoh agama. Menurut Bappenas (2005), pembinaan kerukunan beragama dan dialog antaragama di daerah-daerah rawan konflik secara signifikan telah mampu memperkecil dampak aksi terorisme. Dalam hal ini, pemerintah melakukan sosialisasi untuk meyakinkan bahwa aksi-aksi terorisme yang selama ini terjadi bukan berasal dari aktivitas SARA. Di samping itu, pemerintah juga menyatakan telah melakukan upaya-upaya untuk meningkatkan kewaspadaan masyarakat melalui berbagai penyuluhan untuk menangkal aksi terorisme melalui media cetak dan elektronik,
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
212
simulasi proses evakuasi korban teror bom di gedung-gedung pemerintah dan gedung perkantoran komersial, atau pemberian insentif dalam bentuk material ataupun perlindungan keamanan bagi para saksi dan pelapor tentang keberadaan jaringan dan pelaku terorisme (Bappenas, 2005). Semua langkah tersebut lebih mengarah pada pertahanan sosial seperti yang akan dipaparkan di bawah ini.
5.3.3.2Deradikalisasi dan Kontra-Radikalisasi: Sebuah Upaya Perang Ideologi Deradikalisasi dan kontra-radikalisasi adalah dua konsep yang mirip dan sama-sama berada di ranah ideologis, namun maknanya sedikit berbeda. Menurut Golose (2009), deradikalisasi adalah segala upaya untuk menetralisasi pahampaham radikal melalui pendekatan interdisipliner seperti hukum, psikologi, agama, dan sosial-budaya bagi mereka yang terpengaruh atau terpapar paham radikal atau mereka yang pro-kekerasan. Deradikalisasi diwujudkan melalui program
re-orientasi
motivasi,
re-edukasi,
re-solisalisasi,
dan
dengan
mengupayakan kesejahteraan sosial dan kesetaraan bagi mereka yang pernah terlibat terorisme dan para simpatisannya. Istilah deradikalisasi ini kemudian dalam praktiknya menyempit pada upaya untuk ‘menyadarkan’ para tahanan teroris dan keluarganya. Kontra-radikalisasi pada dasarnya hampir sama namun ditujukan untuk audiens yang lebih luas, yakni masyarakat yang belum tersentuh dan memiliki resiko terpapar paham radikal. Kontra-radikalisasi lebih bersentuhan dengan upaya pertahanan sosial agar masyarakat umum tidak mudah terpengaruh oleh ideologi radikal. Selain dengan menghilangkan motivasi teroris untuk melangsungkan serangan, strategi ini pun bermanfaat untuk mencegah perkembangan jejaring teror dengan mencegah berkembangnya simpatisan dan komunitas pendukung (dry the swamp approach). Kedua pendekatan tersebut akan dibahas di bawah ini.
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
213
a. Deradikalisasi: Upaya Mengubah Mindset Tersangka dan Narapidana Teroris Inisiatif deradikalisasi Polri adalah salah satu elemen penanggulangan terorisme di Indonesia yang dapat dikatakan paling disoroti selain penegakan hukum itu sendiri. Indonesia seringkali dijadikan contoh negara demokrasi yang sukses menjalankan penegakan hukum (hard approach) dan pendekatan lunak (soft approach) yang dikatakan lebih baik dibandingkan dengan pendekatan AS yang hanya berfokus pada hard approach. Inisiatif ini pun dinyatakan sebagai inisiatif penanggulangan terorisme yang ‘inovatif’ di dalam Kepolisian, di mana peran Polri menjadi tidak terbatas pada penyelidikan dan penyidikan, tetapi berkembang hingga merangkul teroris dan keluarganya agar tidak menjadi radikal (Golose, 2009). Meskipun banyak dipuji, pelaksanaan inisiatif ini belum dilengkapi
dengan
payung
hukum
berupa
undang-undang
pelaksanaan
deradikalisasi terorisme sehingga tidak ada kejelasan pengaturan hukum mengenainya (Golose, 2009). Hal ini tentunya berimplikasi pada anggaran untuk pelaksanaannya. Saat ini, inisiatif deradikalisasi Polri dilaksanakan oleh beberapa pihak, yaitu penyidik kasus terorisme, tokoh agama yang didatangkan, eks-anggota JI seperti Nasir Abas, para tersangka atau napi yang telah sadar dan mau bekerja sama dengan pihak kepolisian, dan pihak akademisi di bidang psikologi (Golose, 2009). Deradikalisasi saat ini ditujukan kepada para napi terorisme, tersangka terorisme, keluarga napi terorisme, anggota organisasi teroris yang belum terlibat aksi teror, para simpatisan, dan masyarakat luas (ibid.) Karena tidak ada anggaran khusus untuknya, fasilitas yang digunakan sangat ‘kreatif,’ antara lain fasilitas dinas, fasilitas umum, sekolah, pondok pesantren, rumah pribadi anggota Polri, ruang tahanan Polri, LP, restoran, hotel, pusat perbelanjaan, tempat wisata, dan tempat keramaian umum. Inisiatif ini belum teranggarkan secara memadai karena belum terlembagakan. Pendanaan kegiatan tersebut saat ini berasal dari anggaran dukungan dinas untuk operasi Satgas Bom Polri dan dana bantuan masyarakat Indonesia (Golose, 2009; Global Times, 2012).25
25
Setelah ada BNPT, masalah anggaran menjadi lebih teratasi. Saat ini, BNPT dikatakan tengah menyiapkan dana untuk merehabilitasi para tahanan teroris di fasilitas pelatihan khusus
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
214
Dalam pelaksanaannya oleh Satgas Bom Polri, deradikalisasi saat ini mencakup hal-hal berikut: (1) fokus penanganan terpadu26, (2) pendekatan dengan polisi atau jaksa atau sipir, (3) bantuan sosial dan ekonomi, termasuk kepada keluarga yang miskin, (4) penggabungan dan pertemuan dengan napi yang sudah kooperatif, dan (5) pemberian hak-hak napi secara bertahap (Golose, 2009). Untuk mengevaluasi perkembangan para tersangka atau napi selama menjalani proses hukuman dan program deradikalisasi, Satgas Bom Polri melakukan klasifikasi sebagai berikut:
Tabel 5.3 Pengelompokan dan Jumlah Tersangka dan Narapidana Teroris berdasarkan Tingkat Perbaikan Diri dalam Inisiatif Deradikalisasi Polri No. 1
Jenis Tingkatan Klasifikasi I
2
Klasifikasi II
3
Klasifikasi III
4
Klasifikasi IV
5
Klasifikasi V
6
Klasifikasi VI
Keterangan
Jumlah
Kelompok yang mau menerima bantuan, mengakui kesalahan, dan mau membantu kepolisian (memberi pencerahan atau membantu mengungkap jaringan) Kelompok yang mau menerima bantuan, mengakui kesalahan, tapi tidak mau membantu kepolisian Kelompok yang mau menerima bantuan, tapi tidak mau mengakui kesalahan dan tidak bersedia membantu kepolisian Kelompok yang mau menerima bantuan, tidak mengakui kesalahan, tapi bersedia membantu kepolisian Kelompok yang tidak mau menerima bantuan, tidak mengakui kesalahan, dan tidak bersedia membantu kepolisian Kelompok yang sedang dalam proses pembinaan atau belum dilakukan pembinaan.
103
TOTAL
12 8
3
26
86 238 orang
Sumber: Tim Deradikalisasi Polri, dikutip dalam Golose, 2009
Menurut Golose (2009), pengelompokan di atas lebih baik dibandingkan dengan program deradikalisasi yang dijalankan di Singapura, yang hanya menggolongkan hasil menjadi teroris yang sadar dan yang tidak (belum) sadar. Di tengah ketiadaan payung hukum dan anggaran khusus yang memadai, inisiatif Polri ini layak diapresiasi. Meskipun demikian, sebagaimana dicatat oleh Abuza yang berlokasi di Sentul. Kepala BNPT menyatakan bahwa terdapat 200 tahanan yang akan direhabilitasi di fasilitas tersebut. 26 Mencakup pemberian perhatian secara khusus kepada narapidana terorisme sesuai dengan tingkatan keradikalannya, memperhatikan hubungan antara napi terorisme dan napi nonterorisme, melindungi dan mencegah agar napi terorisme tidak melakukan penyebaran ideologi, perekrutan di dalam penjara, maupun mempengaruhi kembali narapidana yang sudah sadar.
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
215
(2010), program deradikalisasi ini belum memiliki aspek tindak lanjut (pengawasan pasca-penahanan) seperti halnya di Singapura dan Malaysia yang melengkapi program tersebut dengan pekerja sosial, psikolog, petugas pengawas, dan konselor keluarga. Menurutnya, program deradikalisasi Indonesia yang ada saat ini bahkan bukan program sama sekali, melainkan hanya respon yang bersifat ad hoc. Dengan demikian, program ini perlu diberi payung hukum, dilembagakan (dibuat program yang lebih strategis), dan dilengkapi dengan anggaran, staf, serta sarana dan prasarana yang memadai. Dengan pembentukan BNPT yang salah satu programnya
adalah
deradikalisasi
dan
penyusunan
strategi
nasional
penanggulangan terorisme, diharapkan inisiatif ini akan mulai mendapatkan suntikan anggaran dan staffing seperti yang seharusnya.
b. Kontra-Radikalisasi: Perang Ideologi di tengah Masyarakat Sebagaimana telah disebutkan di atas, pada dasarnya kontra-radikalisasi adalah upaya untuk mencegah terpaparnya masyarakat luas dari paham radikal yang dapat mendorong pada kekerasan, khususnya terorisme. Kontra-radikalisasi dapat dipandang sebagai upaya ‘pertahanan’ masyarakat dari paparan radikalisme (sering disebut sebagai pertahanan sosial), tapi dapat juga dilihat sebagai upaya ‘penyerangan’ (ofensif) untuk membuat lingkungan masyarakat di sekitar teroris semakin tidak bersahabat pada gerakan teroris dengan tujuan menggentarkan teroris agar tidak melangsungkan serangannya di wilayah tersebut (karena gerakan teroris diasumsikan selalu memiliki tujuan strategis yang pada akhirnya membutuhkan dukungan masyarakat). Gagasan mengenai kontra-radikalisasi adalah respon kritis terhadap inisiatif deradikalisasi yang dilakukan Polri. Banyaknya kasus residivisme membawa pada kesimpulan bahwa deradikalisasi yang selama ini dijalankan tidak cukup dan dibutuhkan program lain yang lebih sistematis untuk menjangkau masyarakat yang lebih luas.27
27
Salah satu organisasi non-pemerintah yang sangat vokal dalam menekankan pentingnya kontra-radikalisasi adalah International Crisis Group (ICG). Mereka menekankan menekankan pentingnya program untuk komunitas, alternatif media radikal, dan program pasca-penahanan. Menurut mereka, beberapa program kontra-radikalisasi dan deradikalisasi yang telah ada saat ini diragukan kemanfaatannya sehingga perlu disusun suatu strategi kontra-radikalisasi yang koheren.
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
216
Pada tahun 2010, Indonesia mendirikan BNPT yang ditugasi untuk menjalankan program kontra-radikalisasi dan program-program disengagement atau deradikalisasi sebagaimana sering disebut di Indonesia. Meskipun demikian, menurut laporan U.S Department of State, hingga saat ini, yang memimpin gerakan kontra-radikalisasi di Indonesia justru organisasi-organisasi nonpemerintah (NGOs). Beberapa NGOs bekerja di tingkat kampus untuk menyebarkan gagasan mengenai toleransi dan mencegah radikalisasi di kalangan pemuda (U.S Departmenf of State, 2011). Salah satu organisasi yang aktif melakukan aktivitas pencegahan radikalisme adalah ASKOBI atau Asosiasi Korban Bom Indonesia yang menjalankan pendidikan publik di sekolah dan berbagai komunitas di Indonesia (U.S Department of State, 2010). Menurut Agus Surya Bakti, Deputi Bidang Pencegahan, Perlindungan, dan Deradikalisasi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), ada empat masalah pokok dalam pelaksanaan penanggulangan terorisme melalui metode pendekatan lunak atau soft approach (yang mencakup kontra-radikalisasi). Yang pertama adalah belum optimalnya strategi, yang kedua adalah kurangnya sumber daya, yang ketiga adalah kurangnya sinergi antarsektor, dan yang keempat adalah belum optimalnya kerja sama dengan luar negeri (Budi Susilo Soepandji, 2011). Masalah strategi akan diuraikan lebih lanjut di bawah ini.
Cetak Biru Program Kontra-Radikalisasi Nasional Masalah strategi adalah masalah yang relatif lebih mudah diselesaikan dibandingkan denngan masalah-masalah lain. Sebagaimana pernah disebutkan sebelumnya, strategi adalah sumber daya dalam dirinya sendiri dan dapat menjadi instrumen untuk mengalokasikan sumber daya lainnya yang diperlukan. Saat ini, wakil Presiden RI, Boediono, mendapat mandat dari Presiden untuk mengkoordinasikan penyusunan cetak biru program kontra-radikalisasi nasional. Ia kemudian memerintahkan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dan semua pihak terkait, termasuk masyarakat sipil, untuk mensinkronkan upaya menyusun Program Nasional Kontra- Radikalisasi Terorisme (Kustiati, 2012). Menurut Kustiati (2012), pemerintah berencana melibatkan masyarakat sipil, seperti ulama, tokoh masyarakat, dan lembaga swadaya masyarakat, untuk
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
217
menangkal radikalisme. BNPT dikatakan akan melibatkan 24 lembaga pemerintah dan non-pemerintah dalam program ini, termasuk Majelis Ulama Indonesia, Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, Yayasan Lazuardi Biru yang memiliki program deradikalisasi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Universitas, Kepolisian, TNI, Kementerian Urusan Agama, Kementerian Pendidikan, Kementerian Pemuda dan Olahraga, Bappenas, dan Kementerian Keuangan (Soegiarto, 2012). Terkait penyusunan strategi tersebut, karena direktorat pencegahan di bawah BNPT tidak memiliki pengalaman yang cukup dalam hal gerakan radikal dan tidak memadai untuk menjalankan kontra-radikalisasi di lebih dari 800.000 mesjid dan 30.000 sekolah Islam di Indonesia, menurut Jones (2012) perlu diadakan pemetaan mendasar untuk menghasilkan strategi yang lebih terarah dengan target yang lebih sempit. Berkaitan dengan strategi kontra-radikalisasi, penelitian ini merangkum beberapa pendapat para pakar yang dapat digunakan sebagai masukan terhadap proses penyusunan cetak biru tersebut. Rangkuman tersebut dapat dilihat di Gambar 5.3 berikut dengan penjelasan di bawahnya.
Gambar 5.3 Pendapat Para Pakar Mengenai Strategi Kontra-Radikalisasi di Indonesia
Jones (2012)
Faesol (2010)
Kriminalisasi hate-speech (revisi UU Antiterorisme)
Segitiga Emas Religiusitas: Pesantren, MUI, Departemen Agama
Program Pencegahan radikalisasi di sekolahsekolah menengah
Amrullah (2012)
Damayanti (2012)
Konferensi nasional/inter -nasional untuk menggalang konsensus
Program pencegahan radikalisasi di sekolah dan sekolah agama
melibatkan seluruh kalangan Islam, termasuk Islam garis keras
Kelembagaa n yang memimpin: Kementerian Pendidikan dan Kementerian Agama
Hwang (2011)
Di deerah damai: fatwa ulama yang valid Di daerah konflik: trustbuilding
Sumber: Diolah dari Berbagai Sumber, 2012
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
218
Kriminalisasi Hate-Speech dan Dilema yang Ditimbulkannya Salah satu masalah terbesar dalam hal kontra-radikalisasi di Indonesia saat ini adalah hate speech. Indonesia saat ini tidak memiliki hukum langsung untuk mengkriminalisasi hate speech yang dapat mendorong orang untuk melakukan kekerasan (UU Anti-Terorisme saat ini hanya mengkriminalisasi orang yang merencakan atau menggerakan aksi teror secara langsung). Selain itu, menurut ICG (2012), belum ada konsensus di dunia Muslim sendiri mengenai apa yang termasuk ke dalam hate speech itu sendiri. Untuk menangani hate speech, kelompok ini menyarankan pemerintah melakukan apa yang bisa dilakukan saat ini, yakni menetapkan standar untuk berbagai bentuk majlis taklim yang diadakan di lembaga-lembaga pemerintahan dan menarik bantuan keuangan untuk lembaga atau individu-individu yang menyebarkan kebencian. Sayangnya, menurut ICG, menteri urusan agama saat ini dipandang lebih sering berpihak para kelompok Islam garis keras (2012). Upaya untuk mengkriminalisasi hate speech ini memang menimbulkan dilema di dua kubu yang bertentangan. Di kalangan muslim garis keras, upaya ini dapat (telah) dipandang sebagai upaya untuk mengkriminalisasi dakwah mereka. Sementara itu, di kalangan pejuang demokrasi, upaya ini dipandang sebagai ancaman terhadap kebebasan berekspresi yang merupakan pilar demokrasi. Dari pengamatan di berbagai media, penelitian ini berpendapat bahwa pemerintah (BNPT) memang belum terlalu jelas dalam mensosialisasikan atau menjelaskan kepada publik apa yang dimaksud dengan hate speech dan regulasi semacam apa yang diajukan pemerintah. Ketidakjelasan ini menyebabkan banyak timbulnya reaksi yang negatif (seperti halnya mengenai usulan sertifikasi pendakwah yang mendapat penolakan keras dari berbagai organisasi Islam). Penelitian ini berpandangan bahwa hate speech memang harus diatur sebagai bagian dari aturan demokrasi. Namun, sebelumnya, harus ada upaya penggalangan konsensus di kalangan organisasi muslim yang berpengaruh untuk mendefinisikan atau menyusun panduan terhadap apa saja yang termasuk ke dalam hate speech dan apa saja yang tidak. Setelah itu, pemerintah harus lebih gencar lagi dalam mensosialisasikan aspek regulasi hate speech ini sehingga pemahaman masyarakat terhadapnya tidak parsial.
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
219
Segitiga Emas Kontra-Radikalisasi, Penggalangan Konsensus, dan TrustBuilding Saat ini, telah banyak diakui bahwa upaya kontra-radikalisasi tidak mungkin dilakukan oleh satu institusi saja (BNPT). Faesol (2010) mengajukan konsep ‘segitiga emas’ atau ‘segitiga religiusitas’ dalam hal kontra-radikalisasi. Menurutnya, ada tiga institusi penting yang harus digabungkan dalam sebuah forum kerja sama untuk mencegah penyebaran ideologi terorisme, yaitu Pesantren, Majelis Ulama Indonesia (MUI), dan Departemen Agama (Faesol, 2010). Sementara itu, Damayanti (2012) berpendapat bahwa program pencegahan radikalisasi dapat dipimpin oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dan Menteri Urusan Agama dengan menjalankan program di sekolah-sekolah dan sekolahsekolah keagamaan. Sejalan dengan ini, Jones (2012) berargumen bahwa karena pola rekrutmen teroris sekarang berubah (lebih menyasar pada sekolah menengah umum) sehingga diperlukan upaya penjangkauan komunitas untuk mendidik orang tua, guru, dan kepala sekolah. Sementara itu, Amrullah (2012), menekankan aspek konsensus untuk menjalankan kontra-radikalisasi. Menurutnya, yang pertama-tama harus dilakukan adalah menghimpun seluruh ulama untuk menggelar konferensi berskala internasional atau setidaknya nasional. Konferensi ini harus melibatkan seluruh golongan Islam di Indonesia, baik Sunni, Syi’ah, Wahabiyah dan lainya. Khusus untuk konteks Indonesia, proses ini harus melibatkan semua pihak mulai dari pelosok desa hingga kota, baik
dari kalangan Nahdlatul Ulama (NU),
Muhammadiyah, Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Majlis Ulama Indonesia (MUI), FPI (Front Pembela Islam) dan lainya. Sayangnya Amrullah tidak menspesifikasi elemen spesifik apa yang dapat digali dari kontra-radikalisasi yang dapat mempersatukan keseluruh golongan yang sangat beragam tersebut. Penelitian ini berpendapat bahwa elemen yang dapat dijadikan titik awal minimal (the least common denominator) adalah anti-kekerasan dan upaya sosial-ekonomi. Elemen
lain
dari
program
kontra-radikalisasi
adalah
program
pembangunan kembali komunitas yang sebelumnya dilanda konflik (transformasi konflik). Hal ini berkaitan dengan studi Hwang (2011) yang menemukan bahwa proses disengagement anggota JI dari kekerasan bergantung pada beberapa hal
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
220
yang berbeda di antara daerah konflik dan daerah damai. Di Jawa hal tersebut bergantung pada adanya fatwa yang valid dan kompensasi finansial, sedangkan, di Poso hal tersebut bergantung pada adanya ekspektasi bahwa mereka tidak akan kembali diserang. Oleh karena itu, menurutnya proses disengagement pemerintah harus mencakup program pembangunan kepercayaan atau trust-building.
5.4
Pengurangan Insiden Terorisme melalui Penggentaran melalui Hukuman Setelah membahas mengenai upaya penggentaran teroris melalui
penangkalan peluang, kapabilitas, dan motivasi, bagian di bawah ini akan membahas mengenai elemen penggentaran kedua, yakni penggentaran melalui hukuman. Pada dasarnya, penggentaran melalui hukuman dijalankan melalui ancaman akan direnggutnya hal-hal yang berharga dari diri teroris. Sebagaimana dijelaskan di bagian-bagian sebelumnya, penggentaran melalui hukuman dikatakan tidak terlalu efektif ketika diterapkan kepada kelompok teroris yang bermotivasi tinggi, yang bersedia kehilangan tidak hanya kebebasan, tetapi juga nyawa mereka. Akan tetapi, penegakan hukum terhadap teroris adalah elemen penanggulangan terorisme Indonesia yang dipandang paling sukses dan diakui banyak pihak. Abuza (2010) bahkan menyatakan bahwa Indonesia adalah negara yang paling layak mendapat pujian atas peningkatan kapasitas dan kapabilitas operasi kontraterorisnya. Menurutnya, Indonesia adalah satu-satunya negara yang dapat mengklaim berhasil mengembangkan kekuatan kontrateroris yang kuat dan efektif sekaligus menjaga transisi demokrasinya di waktu yang bersamaan. Dari uraian di bawah ini, dapat disimpulkan bahwa ternyata penegakan hukum di Indonesia mungkin tidak menciptakan efek penggentaran yang kuat sebagaimana halnya ISA di Singapura dan Malaysia. Kesuksesan penegakan hukum di Indonesia dalam menanggulangi terorisme tampak lebih berkaitan dengan kemampuannya untuk mendisrupsi jaringan teror dan mekansime command and control teroris sehingga melumpuhkan kapabilitasnya untuk melangsungkan serangan. Perlu dicatat bahwa salah satu elemen dari kesuksesan sistem penegakan hukum di Indonesia adalah inisiatif deradikalisasi. Terlepas dari segala kekurangannya, inisiatif ini mampu berperan sebagai peredam efek balas
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
221
dendam teroris, yang oleh Golose (2009) disebut sebagai vendetta cycle. Simpulan mengenai efek penggentaran melalui penegakan hukum ini memang belum konklusif dan dibutuhkan penelitian lebih lanjut untuk menguji apakah ada efek penegakan hukum yang melampaui penghilangan kapabilitas dan benar-benar menghasilkan efek penggentaran seperti halnya ISA di Malaysia dan Singapura. Uraian di bawah ini akan membahas mengenai penegakan hukum sebagai pendekatan utama dalam menanggulangi terorisme di Indonesia.
Penegakan Hukum terhadap Tindak Terorisme
5.4.1
Uraian penegakan hukum terhadap tindak terorisme ini terdiri dari dua bagian, yaitu respon legislasi Indonesia terhadap terorisme kontemporer dan praktiknya di lapangan.
5.4.1.1 Respon Legislasi: UU Anti-Terorisme yang Terlalu Lunak Respon hukum awal pemerintah Indonesia pasca-serangan Bom Bali I pada bulan Oktober 2002 adalah dikeluarkannya dua buah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu), yaitu Perpu No 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Terorisme dan Perpu Nomor 2 Tahun 2002 tentang pemberlakuan Perpu Nomor 1 tahun 2002 untuk Bom Bali I. Pada tahun 2003, kedua Perpu tersebut dijadikan UU, yakni UU No. 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dan UU No. 16 Tahun 2003 tentang asas retroaktif (yang kemudian dinyatakan tidak mengikat secara hukum karena melanggar Konstitusi). UU Anti-Terorisme Indonesia ini sekaligus memuat endorsement tentang ketentuan-ketentuan yang dikeluarkan Perserikatan BangsaBangsa (PBB) dalam Convention Against Terorism Bombing (1997) dan Convention on the Suppression of Financing Terorism (1997).28 Selain itu, UU ini juga berperan sebagai UU Pencucian Uang dan mengkriminalkan dukungan pendanaan terhadap aktivitas teroris (Soetriadi, 2008). Hukuman yang diancamkan di dalam UU ini berkisar di antara hukuman mati atau penjara seumur hidup dan penjara minimal 4 tahun dan maksimal 20 tahun. Untuk pihak yang merencanakan atau menggerakan orang lain untuk 28
Dua Konvensi ini diratifikasi oleh Indonesia pada tahun 2006.
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
222
melakukan tindak pidana teroris, hukumannya adalah pidana mati atau penjara seumur hidup. UU ini memberi wewenang pada kepolisian untuk menangkap seseorang hingga 7 hari tanpa harus disertai bukti kuat bahwa orang tersebut telah melakukan tindak teroris. Selanjutnya, untuk kepentingan investigasi, seorang tersangka teroris dapat ditahan selama enam bulan.29 Selain itu, UU ini juga menyatakan bahwa laporan intelijen dapat dijadikan bukti utama di pengadilan setelah disetujui oleh pengadilan dengan proses yang tidak boleh melebihi 3 hari (Praja, 2007). Bagi pemerintah, khususnya aparat penegak hukum, Undang-Undang Anti-Terorisme yang ada pada saat ini masih memiliki banyak kelemahan. Kepala BNPT, Ansyad Mba’i, bahkan menyebut hukum anti-terorisme Indonesia sebagai yang terlembek di dunia (Fatimah, 2012). UU ini hanya memberikan kewenangan kepada polisi setelah bom meledak sehingga aspek pencegahan tidak terberdayakan. Di dalam UU ini, informasi dari intelijen tidak dapat langsung menjadi jadi dasar bagi polisi untuk bertindak. Selain itu, menurut Mba’i, di negara lain aparat keamanan diperkenankan untuk menangkap seseorang yang dinilai telah melakukan propaganda teror (hate speech) sedangkan di Indonesia hal ini belum dipraktikkan. Padahal, menurut Mba’i, yang menjadi kunci penanggulangan terorisme adalah menangkap orang yang memulai propaganda untuk menanamkan kebencian (Setara Institute, 2011). Selain itu, masa penahanan teroris di Indonesia juga dinilai tidak sebanding dengan kerugian yang mereka timbulkan. Mba’i mencontohkan bahwa telah ada sekitar 250 orang teroris yang keluar dari penjara dan kembali menjalankan fungsi penting dalam jaringan terorisme di Indonesia karena masa pemidanaannya terlalu pendek. Indonesia dipandang harus belajar dari Malaysia yang menerapkan aturan ketat dan tegas terhadap orang-orang yang berpotensi melakukan tindak pidana terorisme. Indonesia selama ini dipandang terlalu longgar dalam mengawasi para pelaku terorisme. Menurut Mba’i, indikasinya adalah dilipihnya Indonesia sebagai tempat untuk melancarkan aksinya di tanah air oleh gembong teroris internasional, 29
Rancangan Perubahan UU No. 15 Tahun 2003 mencakup ketentuan-ketentuan sebagai berikut: batas waktu penahanan untuk kepentingan penyidikan paling lama 120 (seratus dua puluh) hari; - untuk kepentingan penuntutan paling lama 60 (enam puluh) hari; perpanjangan penahanan masing-masing terhadap proses penyidikan dan penuntutan dilakukan paling lama 30 (tiga puluh) hari dan dapat diperpanjang 1 (satu) kali untuk waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari;
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
223
Noordin M. Top dan Azhari karena mereka tidak punya ruang gerak di negerinya untuk melakukan rekrutmen dan terlebih lagi pelatihan militer (Fatimah, 2012). Pernyataan Kepala BNPT ini menunjukan adanya persepsi mengenai protection race di antara Indonesia dan negara-negara tetangga yang menerapkan ISA, yakni Malaysia dan Singapura. Protection race ini bukan disebabkan karena langkahlangkah pengetatan keamanan dalam bentuk pengerasan target yang sifatnya defensif, melainkan karena adanya langkah-langkah dan operasi hukum yang sifatnya ofensif sekaligus preventif. Untuk memperbaiki kelemahan di atas, pemerintah telah mengajukan RUU Revisi UU Anti-Terorisme. Dalam rancangan tersebut, orang yang menyebarkan kebencian atau permusuhan yang dapat mendorong orang, mempengaruhi orang atau merangsang terjadinya terorisme akan dikriminalisasi (Setara Institute, 2011). Rancangan tersebut juga memuat ketentuan bahwa laporan intelijen dapat menjadi salah satu alat bukti di pengadilan. Di UU yang ada pada saat ini, laporan inteleijen hanya dapat menjadi bukti permulaan untuk melakukan penangkapan. Di dalam revisi ini, dinyatakan bahwa laporan intelijen yang diperoleh selama masa penyidikan dan penuntutan dapat digunakan sebagai alat bukti. Rancangan ini juga menambah satu bab yang menegaskan keberadaan BNPT sebagai badan baru yang bertugas melakukan pencegahan, perlindungan, penindakan,
pemberantasan,
deradikalisasi,
kerjasama
internasional,
dan
penyiapan kesiapsiagaan nasional terkait tindak pidana terorisme (Setara Institute, 2011). Berkaitan dengan upaya perbaikan UU tersebut, saat ini Indonesia telah menjalin kerja sama jangka panjang dengan UNODC30 untuk meningkatkan kapasitas dalam hal penegakan hukum dan pencegahan tindak terorisme. Salah satu programnya adalah memastikan Indonesia mengadopsi legislasi antiterorisme yang sesuai dan mengimplementasikannya dengan baik. Program kerja sama ini dipimpin oleh BNPT dan melibatkan Kementerian Luar Negeri, Kementerian Hukum dan HAM, Bappenas, Kejaksaan Agung, Kapolri, dan PPATK. Salah satu aktivitas yang saat ini tengah dijalankan adalah memperkuat UU anti-terorisme Indonesia dan membantu Indonesia meratifikasi beberapa 30
United Nations Office on Drugs and Crime.
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
224
hukum internasional yang relevan, salah satunya adalah International Convention for the Suppression of Acts of Nuclear Terrorism (2005) (UNODC, 2011).
UU Intelijen Selain UU Anti-Terorisme, UU lain yang sangat relevan adalah UU intelijen. Pada bulan Oktober 2011, Parlemen Indonesia mengesahkan UU Intelijen Negara. UU ini memberi wewenang pada Badan Intelijen Nasional (BIN) untuk menyadap seluruh bentuk komunikasi, termasuk komunikasi elektronik, setelah mendapat surat izin pengadilan. Kejaksaan dan Kepolisian dapat menjadikan penyadapan ini sebagai bukti di pengadilan. UU ini juga memberi wewenang pada BIN untuk meminta data finansial dan menginterogasi orang yang dicurigai tanpa harus menangkap mereka guna mencegah serangan teroris atau aksi lain yang mengancam keamanan nasional. Sebagai catatan, UU ini diprotes oleh organisasi-organisasi non-pemerintah karena dianggap terlalu luas jangkauannya (US Department of State, 2011).
5.4.1.2 Praktik Penegakan Hukum terhadap Tindak Terorisme Perdebatan mengenai legislasi masih berjalan dan Rancangan Revisi UU Anti-Terorisme pun masih belum disetujui. Meskipun demikian, praktik penegakan hukum terhadap tindak terorisme terus dilakukan oleh Polri dengan Densus 88 sebagai ujung tombaknya. Pada tahun 2011 saja, terdapat 93 orang ditangkap atas tuduhan terorisme, 121 orang diadili di pengadilan, dan 33 orang menunggu proses pengadilan. Selain itu, pada bulan Juni 2011, Abu Bakar Ba’asyir divonis 15 tahun penjara karena dinilai terbukti bersalah atas keterlibatan dalam kamp pelatihan teroris di Aceh (U.S Department of State, 2011). Selain itu, kepolisian pun berhasil membongkar kamp pelatihan teroris di Aceh dan menangkap lebih dari 120 orang (U.S Department of State, 2011). Berdasarkan hasil pengungkapan oleh Densus 88, sampai dengan bulan Mei 2011 diperoleh data sebagai berikut (ada perbedaan data di antara beberapa sumber)31
31
Penjelasan Kapolri Jenderal Pol. Timur Pradopo pada Rapat Kerja dengan Komisi III DPR, Senin, 13 Juni 2011
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
225
Tabel 5.4 Data Penegakan Hukum Terhadap Tindak Terorisme Keterangan Tersangka yang ditangkap Tersangka yang Meninggal Dunia di TKP Sudah divonis Sudah bebas/keluardari Lapas Tersangka Mengulang TP (residivis) Sedang menjalani hukuman Proses sidang Proses Sidik
Ashgar 694 orang 65 orang 347 orang 210 orang 22 orang 137 orang 18 orang 47 orang
Muradi 600 orang 90 orang 500 orang 300 orang n/a n/a n/a n/a
Sumber: Ashgar (2011) dan Muradi (2012)
a. Kesuksesan Penegakan Hukum terhadap Tindak Terorisme
Sebagaimana telah disebutkan di atas, proses penegakan hukum di Indonesia dinilai sukses karena berhasil menangkap begitu banyak tersangka dan memprosesnya secara hukum berdasarkan UU yang berlaku (tanpa ada instrumen khusus yang sangat represif seperti ISA atau sistem penjara Guantanamo). Pada tahun 2008, AS memuji upaya penanggulangan terorisme di Indonesia, terutama dalam hal penangkapan dan pendakwaan teroris dan organisasi ekstrimis (U.S Department of State, 2011). Bukan hanya penangkapan dan pendakwaan teroris yang dipandang efektif dalam mengurangi insiden teroris di Indonesia, tapi juga pembunuhan figur-figur penting dalam kelompok teroris. Salah satu langkah yang dianggap efektif mereduksi kapabilitas teroris transnasional adalah pembunuhan Noordin M. Top. AS menilai bahwa kesuksesan kepolisian Indonesia dalam menangkap dan atau membunuh para pemimpin teroris dan ahli bom tingkat tinggi sejak 2009 telah membuat teroris tidak dapat lagi melangsungkan serangan terhadap target-target high-profile (US Department of State, 2011). Selain itu, berbagai penangkapan dan pembunuhan ini dinilai telah membuat JI tidak lagi memiliki kapabilitas sebagai organisasi regional. Dari segi struktur administratif, dapat dikatakan bahwa saat ini JI hanya ada di Indonesia saja (U.S Department of State, 2011). Penggrebekan kamp pelatihan di Poso, Sulawesi Tengah, pada tahun 2007 juga dikatakan telah menghabiskan anggota JI di sana (meskipun terbukti bahwa hingga tahun 2012 pun di Poso masih terjadi beberapa insiden). Ikatan JI dengan Al-Qaeda pun dikatakan telah melemah (U.S Department of State, 2011). Selain itu, pada tahun 2008, pada akhirnya pengadilan Indonesia mendeklarasikan JI
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
226
sebagai organisasi ilegal setelah bertahun-tahun menolak menekan organisasi tersebut karena khawatir menimbulkan kemarahan penduduk Muslim. Senada dengan argumen tersebut, sebuah studi yang dilakukan oleh Mazerolle,
LaFree,
dan
White
(2011)
menyatakan
bahwa
aktivitas
penanggulangan terorisme di Indonesia lebih efektif dibandingkan dengan Filipina dan Thailand. Berdasarkan studi tersebut, intervensi yang dilakukan pemerintah Indonesia untuk mencegah serangan teroris dapat menghilangkan resiko serangan selama 17 hari setelah intervensi tersebut dilakukan (di Filipina hanya 13 hari sementara di Thailand 0 hari).
b. Kelemahan dalam Sistem Penahanan dan Pasca-Penahanan
Meskipun mencetak prestasi dalam hal jumlah teroris yang ditangkap dan diproses secara hukum, sistem kriminal Indonesia masih memiliki titik-titik lemah yang berbahaya, yakni dalam hal sistem penahanan dan pasca-penahanan yang berimplikasi pada tingkat residivisme teroris yang tinggi. Ketika polisi menyerbu kamp pelatihan teroris di Aceh, mereka menangkap lebih dari 120 orang, 18 di antaranya residivis. Tingkat residivisme yang tinggi ini dinilai sebagai salah satu masalah terbesar dalam sistem penegakan hukum Indonesia pada saat ini. Hal ini berhubungan dengan kondisi lembaga pemasyarakatan yang masih banyak menyimpan masalah, di antaranya masalah kapasitas rehabilitasi, prosedur keamanan, struktur organisasi, dan pelatihan (United States Department of State, 2011). Salah satu hal yang menunjukan permasalahan sistemik di penjara adalah fakta bahwa para terdakwa teroris di dalam penjara masih dapat berhubungan dengan jaringan teroris di luar karena bantuan petugas penjara. Sebagai contoh, salah satu sipir LP Krobokan di Bali membantu Imam Samudra untuk mendapatkan laptop yang memungkinkannya merancang Bom Bali II (Golose, 2009). Selain itu, saat ini narapidana terorisme masih ditahan bersama dengan narapidana kriminal biasa. Meskipun tidak ditempatkan di dalam satu sel, mereka masih dapat berinteraksi di dalam penjara sehingga radikalisasi justru terjadi di penjara. Sistem pengawasan dan pengelolaan penjara yang buruk menyebabkan teroris yang ditahan di penjara-penjara Indonesia justru dapat menyebarkan pesan-
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
227
pesan radikal mereka tidak hanya ke sesama rekan tahanan, tetapi juga ke dunia luar (US Department of State, 2011). Ketika Abu Bakar Ba’asyir ditahan, ia bahkan dapat menyelenggarakan konferensi pers dan dikunjungi oleh beberapa pejabat pemerintah. Oleh karena itu, reformasi sistem penjara menjadi salah satu agenda krusial yang tidak dapat ditawar lagi. Selain sistem penahanan di penjara, hal lain yang menjadi kelemahan penegakan hukum di Indonesia adalah perlakuan atau pengawasan pascapenahanan. Hingga saat ini, belum ada strategi yang komprehensif untuk melacak tahanan teroris yang telah dibebaskan (Beech, 2010). Singapura dan Malaysia memiliki program pengawasan pasca-penahanan yang terlembaga (di Singapura berkaitan langsung dengan proses deradikalisasi atau disengagement) sedangkan di Indonesia sifatnya masih sangat ad hoc dan terbatas pada orang-orang tertentu (lihat Golose, 2009). Menurut Damayanti (2012), Indonesia harus menyusun program pasca-pelepasan tahanan atau aftercare seperti di Singapura dan Malaysia yang turut mencakup bantuan seperti asistensi untuk mendapatkan pekerjaan. Saat ini, program aftercare yang diketahui ada di Indonesia dijalankan justru oleh sebuah organisasi non-pemerintah, yakni Yayasan Prasasti Perdamaian pimpinan Nur Huda. Program ini pun skalanya kecil dan terbatas. Penyusunan program pasca-penahanan yang sistematis dan terlembagakan untuk semua narapidana teroris tentunya membutuhkan strategi, alokasi anggaran dan staffing yang memadai.
5.4.2
Pembunuhan Bersasaran dan Retaliasi Masif Pembunuhan bersasaran dan retaliasi masif sama sekali tidak masuk ke
dalam strategi penanggulangan teror Indonesia, bahkan di kelompok hard approach. Meskipun banyak pimpinan teroris yang tewas pada saat upaya penangkapan, hal tersebut tidak pernah menjadi bagian dari kebijakan resmi pemerintah sehingga tidak akan dibahas di sini.
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
228
5.5
Pengurangan Insiden Terorisme melalui Insentif Ekonomi dan Politik Insentif adalah sisi lain dari penggentaran terhadap teroris. Penawaran
insentif yang dikombinasikan dengan ancaman hukuman diharapkan dapat mencegah teroris untuk melanjutkan aksi teror mereka. Insentif dalam pembahasan ini mencakup pemberian insentif ekonomi dan politik.
5.5.1
Insentif Ekonomi sebagai Bagian dari Inisiatif Deradikalisasi Polri Pemberian insentif ekonomi kepada para narapidana teroris telah menjadi
bagian dari inisiatif deradikalisasi Indonesia. Memang, penawaran insentif ekonomi ini tidak dilakukan langsung kepada kelompok teroris yang masih aktif, melainkan yang telah tertangkap dan atau tengah menjalani masa hukuman dan ditujukan untuk melepaskan mereka dari aksi kekerasan (disengagement). Insentif ekonomi yang telah dijalankan oleh Indonesia dilakukan oleh Polri, yang mencakup program bantuan ekonomi dan sosial kepada narapidana teroris dan keluarganya. Hal-hal yang diberikan mencakup bantuan biaya medis untuk tersangka, narapidana, mantan narapidana, dan keluarganya, bantuan modal usaha kepada keluarga, bantuan biaya sekolah, bantuan biaya pembelian pakaian yang layak selama di dalam tahanan penyidik, kejaksaan, maupun di lembaga pemasyarakatan, bantuan kepada narapidana dan mantan narapidana untuk melanjutkan sekolah tinggi, bantuan biaya pindah penahanan, bantuan biaya pembebasan bersyarat, bantuan biaya penginapan untuk keluarga tersangka atau narapidana yang akan berkunjung dari luar kota, bantuan biaya transportasi untuk keluarga tersangka, hingga bantuan biaya pernikahan untuk narapidana yang hendak menikah (Golose, 2009). Inisiatif deradikalisasi Indonesia juga memberikan ‘fasilitas’ (tidak dispesifikasi bentuknya) kepada para mantan tentara Afghanistan dan Mindanao Selatan dan para narapidana yang telah sadar dan mau bekerja sama dengan Satgas Bom Polri (Golose, 2009). Secara lebih luas, insentif ekonomi untuk masyarakat umum juga masuk ke
dalam
strategi
pemerintah
untuk
menanggulangi
terorisme.
BNPT
menyebutkan beberapa langkah yang dapat diambil pemerintah, yaitu melalui perwujudan pembangunan perekonomian di daerah tertinggal, peran instansi bidang pengawasan terhadap kinerja lembaga di daerah serta pemanfaatan
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
229
anggaran dan fasilitas pemerintah guna mendukung kelompok yang marginal (Viva News, 2 Agustus 2011).
Insentif Politik
5.5.2
Insentif politik diberikan dengan landasan bahwa gerakan sosial yang memilih teror sebagai metodenya adalah gerakan yang terasing dari sistem politik arus utama atau kelompok-kelompok yang disenfranchised. Menurut Golose (2009), alasan suatu organisasi melakukan aksi radikal adalah karena aspirasi politiknya tidak dapat disalurkan melalui jalur politik formal berdasarkan kaidah hukum yang berlaku. Karena itu, mereka memilih terobosan kontoversial untuk menyampaikan pesan organisasi tersebut ke masyarakat luas. Di zaman Soeharto, pasca-gagalnya pemberontakan DI/TII, politik Islam memang mengalami represi. Era reformasi yang mengawali transisi demokrasi menghilangkan represi tersebut sehingga berbagai kelompok politik dapat bergerak dengan bebas, termasuk kelompok-kelompok radikal. Dalam hal ini, demokratisasi dapat dipandang sebagai bentuk insentif politik universal yang juga menyasar kelompok teroris. Dalam hal ini, Indonesia lebih banyak memiliki kemiripan dengan Filipina (demokrasi tertua di Asia Tenggara) dibandingkan dengan Singapura dan Malaysia. Negara tersebut juga memberikan insentif politik kepada kelompok insurgen yang juga menggunakan metode teror namun tidak termasuk ke dalam kelompok teror32 dalam bentuk konsesi atau negosiasi politik (yakni dengan MNLF dan MILF). Indonesia melakukan hal yang sama untuk Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Filipina tidak melakukan hal serupa untuk kelompok yang telah digolongkan sebagai teroris seperti Abu Sayyaf Group atau JI. Indonesia pun tidak. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa insentif politik yang diberikan oleh pemerintah Indonesia bukan insentif politik untuk memenuhi keinginan strategis teroris (appeasement), melainkan memberi ruang yang lebih besar bagi simpatisan atau kelompok teroris untuk menggunakan cara-cara damai yang tidak melanggar hukum dalam memajukan aspirasi dan kepentingannya. Kembali ke isu demokratisasi, menurut beberapa pihak demokratisasi di Indonesia justru menjadi bagian dari masalah terkait penanggulangan terorime 32
Perlu dicatat bahwa penggolongan suatu kelompok sebagai kelompok teror atau insurgen yang legitimate terutama adalah keputusan politik.
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
230
yang efektif. Pandangan tersebut kebanyakan datang dari elit otoriter di kawasan yang menganggap demokratisasi sebagai penyebab maraknya aktivitas teroris di Indonesia (Acharya, 2007). Mereka menganggap Indonesia ‘terbelakang’ dalam hal penanggulangan terorisme karena Indonesia tidak memiliki UU yang represif dan komprehensif seperti ISA di Singapura dan Malaysia. Saat ini, Indonesia memang sedang dalam transisi menuju konsolidasi demokrasi. Jatuhnya rezim orde baru merupakan tahapan pertama dari proses perkembangan demokrasi sedangkan tahapan kedua dan ketiga adalah masa transisi dan konsolidasi demokrasi. Dengan demikian, Indonesia pada saat ini sedang berada pada tahapan transisional. Secara teoretik, sebagaimana telah diuraikan di bagian kerangka teori, negara yang sedang menuju demokrasi dengan usia rezim yang belum terlalu lama memang cenderung mengalami peningkatan aktivitas terorisme karena kontrol pemerintah pusat melemah. Ada pandangan bahwa masa ini merupakan masa krisis karena demokrasi belum menemukan bentuk yang ideal (Arifin, 2007). Menurut Wise (2005), Indonesia di era reformasi adalah ‘lahan subur’ bagi kelompok Islam radikal untuk menyerang pemerintah. Hal ini berkaitan dengan kekuatan negara vis-à-vis kelompok sosial. Menurut Rabasa dalam Wise (2005), lingkungan politik di era transisi demokrasi dicirikan oleh menurunnya kapasitas negara untuk mengontrol tidak hanya wilayahnya, tetapi juga warga negaranya. Selain itu, terorisme juga marak karena Indonesia mengalami kerentanan politik dan ekonomi serta belum dapat menyelesaikan isu politik Islam. Meskipun demikian, menurut International Crisis Group (2012), politik demokrasi masih memiliki potensi untuk mengalokasikan sumber daya di Indonesia secara adil sehingga dapat mengurangi potensi kekerasan dalam jangka panjang. Meskipun demikian, hal tersebut tidak dapat terjadi jika partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan rendah (meskipun partisipasi dalam Pemilihan Umum tinggi) dan jika korupsi terus terjadi. Dengan demikian, meskipun demokratisasi di Indonesia yang masih berjalan menimbulkan ketimpangan kapabilitas dalam hal kontrol negara atas masyarakat jika dibandingkan dengan Singapura dan Malaysia, bukan berarti demokrasi harus ‘diaborsi’ agar lebih efektif dalam menanggulangi terorisme. Dalam jangka panjang, kembali ke era represi berarti
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
231
kembali menanam bibit deprivasi yang menurut Bjorgo (2005) justru merupakan faktor struktural penyebab terorisme. Sebagaimana dikemukakan oleh Keliat (2011), yang harus dilakukan adalah mencari keseimbangan di antara keamanan (penanggulangan terorisme yang efektif) dan demokrasi. Menurutnya, penguatan negara dalam hal keamanan justru ditujukan untuk melindungi demokrasi, bukan untuk menghancurkannya.
5.6
Simpulan Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa dalam satu dekade terakhir,
upaya penanggulangan terorisme di Indonesia didominasi oleh aktivitas penegakan hukum terhadap tindak terorisme. Perkembangan dalam hal penegakan hukum, terutama penangkapan, penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemidanaan jauh melampaui aspek-aspek penangulangan terorisme lainnya, terutama yang sifatnya defensif dan dampaknya lebih tidak langsung (misalnya perlindungan infrastruktur kritis, pengawasan perbatasan, kontrol senjata, dan sebagainya). Dapat dikatakan bahwa Indonesia memfokuskan diri untuk menggunakan instrumen yang paling tajam (Densus 88) dengan target yang paling spesifik (jaringan teror aktif) dan menomorduakan instrumen yang lebih tumpul dengan sifat penanggulangan yang lebih umum dan lebih tidak langsung. Dominasi pendekatan ini juga merupakan konsekuensi logis dari sumber daya yang tersedia, di mana bantuan luar negeri terfokus pada aspek ini. Meskipun demikian, pendekatan utama ini pun belum bisa lepas dari permasalahan kronis lembaga pemerintah di Indonesia, yaitu politik birokrasi dan korupsi. Yang menarik, dari perspektif penggentaran, penegakan hukum di Indonesia dapat dikatakan lebih menghasilkan efek penangkalan kapabilitas dibandingkan penggentaran melalui hukuman. Efek penggentaran yang paling langsung dan paling pasti dari penegakan hukum di Indonesia adalah hilangnya kapabilitas-kapabilitas kunci yang diperlukan teroris untuk melangsungkan serangan, seperti kepemimpinan, pembuatan bom, perekrutan, dan penggalangan dana. Hasilnya, skala serangan terorisme di Indonesia menurun drastis. Efek penggentaran melalui hukuman masih diragukan karena masih tingginya tingkat residivisme. Masih dalam paradigma yang sama, yaitu paradigma menghilangkan
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
232
kapabilitas jejaring teror, Indonesia menambahkan unsur deradikalisasi dan kontra-radikalisasi yang mewakili elemen penangkalan motivasi (penggentaran di tingkat strategis) meskipun kesuksesan implementasinya masih harus dilihat. Dalam spektrum penangkalan peluang teroris, dapat dikatakan bahwa upaya penanggulangan terorisme Indonesia masih lebih bersifat reaktif dibandingkan strategis. Sangat sulit menemukan strategi perlindungan yang terelaborasi dengan baik seperti halnya ditemukan di Singapura, misalnya dalam hal perlindungan fasilitas umum, transportasi publik, infrastruktur kritis, dan lainnya. Tidak adanya data yang sistematis dan terintegrasi dalam hal strategi dan rencana dalam sebuah buku putih penanggulangan terorisme (atau setidaknya strategi nasional) membuat upaya Indonesia terkesan terkotak-kotak, tidak serempak, dan insidentil. Dalam hal penangkalan peluang teroris di sektor penerbangan dan maritim, misalnya, kemajuan sektor penerbangan tampak lebih pesat. Selain adanya strategi yang terintegrasi, sektor penerbangan memiliki arsitektur kelembagaan yang relatif lebih rapi sedangkan sektor maritim mengalami masalah kronis dalam hal tumpang tindih kebijakan dan wewenang kelembagaan. Hal ini sebenarnya dapat diatasi dengan pemusatan otoritas dan penyusunan strategi yang terintegrasi seperti halnya dilakukan di Singapura dan Malaysia. Dalam spektrum penangkalan kapabilitas teroris, sektor keamanan perbatasan patut untuk diprioritaskan, terutama di laut. Dalam hal kontrol imigrasi, Indonesia masih harus mengejar ketertinggalan dalam hal sistem dan teknologi pengawasan perbatasan terkini yang telah diterapkan di negara tetangga. Hal lain yang dapat menambah efektivitas kontrol imigrasi adalah pemusatan atau integrasi otoritas perbatasan seperti yang dilakukan di Singapura dan Malaysia. Momentum penanggulangan terorisme dapat digunakan oleh Indonesia untuk meningkatkan kapabilitas ‘instrumen tumpul’-nya ini. Dalam hal penangkalan kapabilitas lainnya seperti senjata dan pendanaan, Indonesia juga harus mengambil manfaat dari berbagai proses internasional yang tengah berlangsung, yang merupakan sumber daya tersendiri. Syarat untuk melakukan hal ini adalah adanya mekanisme program atau rencana aksi yang pelaksanaannya dievaluasi secara terus menerus sehingga ada mekanisme pendorong (beserta lembaga yang
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
233
mengawasinya) untuk terus meningkatkan standar. Dalam hal ini, kontrol pendanaan memiliki prospek yang lebih cerah dibandingkan dengan kontrol senjata. Sementara itu, dalam hal penangkalan di tingkat strategis, satu hal yang kurang diperhatikan Indonesia adalah manajemen dampak serangan dan strategi pemulihan pasca-serangan yang diperlukan untuk membangun ketahanan masyarakat dalam mengatasi serangan teroris. Dalam hal penggentaran melalui hukuman, sebagaimana telah disebutkan di awal simpulan, Indonesia tampak belum dapat menciptakan efek hukuman yang memadai untuk teroris, terutama jika dibandingkan dengan kepemilikan ISA di Singapura dan Malaysia. Akan tetapi, perhatian pemerintah untuk memperbaiki kelemahan ini dapat dikatakan berlimpah sementara hasilnya bergantung pada proses politik yang melibatkan DPR dan opini publik. Sementara itu, dalam hal insentif ekonomi, yang saat ini dijalankan pemerintah Indonesia masih berupa bantuan ekonomi ad hoc untuk narapidana teroris dan keluarganya. Perlu disusun strategi tersendiri untuk menguatkan perekonomian kelompok marjinal yang dimasukkan ke dalam strategi nasional penanggulangan terorisme. Dari sisi politik, insentif dalam bentuk demokratisasi terus berjalan. Transisi demokrasi yang telah melemahkan kontrol negara sejak era reformasi memberi peluang tumbuhnya jaringan teror di Indonesia dan meningkatnya insiden terorisme sebagai konsekuensinya. Karena itu, penguatan negara untuk melindungi dan mempercepat proses transisi menuju konsolidasi demokrasi mutlak untuk dilakukan sembari memperkuat kapabilitas defensif-preventif dan ketahanan sosial terhadap serangan teroris.
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
BAB 6 PERBANDINGAN PENGGENTARAN DI SINGAPURA, MALAYSIA, FILIPINA, DAN INDONESIA DALAM MENANGGULANGI TERORISME Penelitian ini berusaha untuk menjawab pertanyaan mengapa jumlah serangan terorisme transnasional dalam satu dekade terakhir paling banyak terjadi di Indonesia dibandingkan dengan di Singapura, Malaysia, dan Filipina. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, penelitian ini dirancang sebagai studi komparasi dengan menjabarkan dan membandingkan upaya penanggulangan terorisme yang dilakukan keempat negara dalam rangka mencegah dan mengurangi insiden terorisme di negaranya yang termasuk ke dalam strategi penggentaran (deterrence). Empat bab sebelumnya menjabarkan upaya penggentaran yang dijalankan pemerintah keempat negara dalam rangka penanggulangan teroris di negaranya masing-masing. Ada enam elemen yang dibahas, yaitu kebijakan nasional masingmasing negara untuk menanggulangi terorisme, penggentaran teroris melalui penangkalan di tingkat taktis (penangkalan peluang), penggentaran teroris melalui penangkalan di tingkat operasional (penangkalan kapabilitas), penggentaran teroris melalui penangkalan di tingkat strategis (penangkalan motivasi), penggentaran melalui hukuman, dan penggentaran melalui pemberian insentif politik-ekonomi. Berdasarkan enam elemen di atas, bab ini disusun menjadi enam bagian. Yang pertama adalah perbandingan kebijakan nasional keempat negara dalam menanggulangi terorisme. Yang kedua adalah perbandingan penerapan penggentaran melalui penangkalan di tingkat taktis. Yang ketiga adalah perbandingan
penerapan
penggentaran
melalui
penangkalan
di
tingkat
operasional. Yang keempat adalah perbandingan penerapan penggentaran melalui penangkalan di tingkat strategis. Yang kelima dan keenam adalah perbandingan penerapan penggentaran melalui hukuman dan pemberian insentif politik dan ekonomi. Sebelum beranjak pada perbandingan kebijakan nasional keempat negara dalam menanggulangi terorisme, Tabel 6.1 berikut memperlihatkan perbedaan dan persamaan karakteristik inheren keempat negara yang berkaitan dengan penanggulangan terorisme.
234 Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
235 Tabel 6.1. Karakteristik Singapura, Malaysia, Filipina, dan Indonesia terkait Terorisme Negara Singapura
Karakteristik Geografis
Perekonomian
Luas wilayah (darat): 697 km2
Status perekonomian: Maju
Jumlah penduduk: 5,3 juta orang
Panjang garis pantai: 193 km
Pendapatan per kapita: US$ 61.692 (2012)
Komposisi etnis: Etnis China (76,8%), Melayu (13,9%), India (7,9%).
Total Perbatasan Darat: -
Luas wilayah (darat): 329,758 km2
Status perekonomian: Menengah atas
Panjang garis pantai: 4,675 km
Pendapatan per kapita: US$ 9000 (2011)
Total Perbatasan Darat: 2,669 km
Luas wilayah (darat): 30.000 km2
Tantangan Penanggulangan Terorisme
Dikelilingi negara dengan tingkat aktivitas terorisme yang tinggi
Jumlah penduduk Muslim: 14,9% Jumlah penduduk: 29,2 juta orang
Jumlah penduduk Muslim yang signifikan
Luas wilayah yang besar Perbatasan yang panjang Garis pantai panjang Dikelilingi negara dengan tingkat aktivitas terorisme yang tinggi Koordinasi dan ego sektoral
Komposisi etnis: Melayu, (50,2%), Tionghoa (24,5%), masyarakat asli (11%), dan India (7,2%)
Jumlah penduduk Muslim: 50%
Akses masuk: Darat, laut dan udara
Filipina
Faktor yang Menarik Terorisme Transnasional Kedekatan hubungan dengan AS/menjadi sekutu AS dalam Perang Global melawan Terorisme Masyarakatnya yang sekular dan beragam dalam hal ras dan agama
Agama mayoritas: Budha (42,5%),
Akses masuk: Laut dan udara
Malaysia
Penduduk
Status perekonomian: Menengah bawah
Jumlah penduduk: 92,34 juta orang (2012)
Konflik di Filipina Selatan (insurgensi Moro) Kedekatan hubungan dengan
Pengawasan pemerintah pusat yang lemah di wilayah-wilayah yang jauh dari ibu kota
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
236 Lanjutan Tabel 6.1 Panjang garis pantai: 36.289 km2
Pendapatan per kapita: US$ 2000 (2011)
Total Perbatasan Darat: -
AS/menjadi sekutu AS dalam Perang Global melawan Terorisme
Jumlah penduduk Muslim: 5%
Luas wilayah : 1,9 juta km2
Status perekonomian: Menengah
Jumlah penduduk: 237, 6 juta orang (2011)
Total Perbatasan Darat: 2,830 km
Pendapatan per kapita: US$ 4000 (2011)
Komposisi etnis: Jawa (40,6%), Sunda (15%), Madura (3,3%), Minangkabau (2,7%), Betawi (2,4%), Bugis (2,4%), Banten (2%), Banjar (1,7%), dan suku lainnya (29,9%).
Panjang garis pantai: 54,716 km Akses masuk: Darat, laut dan udara
Agama mayoritas: Katolik (83%).
Akses masuk: Laut dan udara
Indonesia
Komposisi etnis: Tagalog (30%) dan Cebuani (24%), China (10%)
Jumlah penduduk Muslim yang signifikan Gerakan politik Islam dan insurgensi untuk mendirikan negara Islam yang telah ada sejak awal kemerdekaan
Agama mayoritas: Islam (86,1%)
Korupsi Peredaran senjata ilegal Pengawasan perbatasan yang lemah Keleluasaan bergerak karena demokratisasi Kapabilitas badan-badan pemerintah/keamanan Koordinasi dan ego sektoral
Pengawasan pemerintah pusat yang lemah di wilayah-wilayah yang jauh dari ibu kota Korupsi Pengawasan perbatasan yang lemah Keleluasaan bergerak karena demokratisasi yang belum terkonsolidasi Kapabilitas badan-badan pemerintah/keamanan Koordinasi dan ego sektoral
Jumlah penduduk Muslim: 86,1%
Sumber: Diolah dari berbagai sumber, 2012
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
237
Dari Tabel 6.1 tersebut, terlihat bahwa Indonesia memang menghadapi tantangan yang lebih besar terkait penanggulangan terorisme jika dilihat dari karakteristik inherennya. Dibandingkan ketiga negara lainnya, luas wilayah Indonesia adalah yang terbesar, begitu pula panjang perbatasan dan luas perairannya. Dari segi populasi, jumlah penduduk Indonesia juga merupakan yang terbanyak sehingga lebih sulit untuk diawasi. Dibandingkan dengan negara terkecil dalam perbandingan ini, Singapura, jumlah penduduk Indonesia mencapai 46 kali lipat. Sayangnya, luas wilayah yang besar dan jumlah penduduk yang banyak ini tidak diimbangi dengan kapasitas negara yang memadai dalam hal pengawasan
dan
penyelenggaraan
pemerintahan
yang
efektif.
Hal
ini
berhubungan dengan kapasitas ekonomi Indonesia. Dibandingkan dengan Filipina, pendapatan per kapita Indonesia memang lebih besar, namun masih tertinggal jauh dibandingkan Malaysia dan Singapura yang jumlah penduduknya jauh lebih sedikit. Kapasitas ekonomi suatu negara sangat terkait dengan sumber daya untuk menanggulangi terorisme dan dalam penyelenggaraan pemerintahan yang efektif di seluruh wilayahnya. Sebagaimana dinyatakan di dalam studi literatur, teroris selalu berkembang di wilayah-wilayah yang undergoverned di mana kehadiran pemerintah tidak terasa dan hal ini berhubungan dengan ketersediaan anggaran untuk menyelenggarakan pemerintahan yang efektif. Karakteristik lain yang menjadikan Indonesia lebih menarik bagi terorisme transnasional dibandingkan dengan ketiga negara lainnya adalah jumlah penduduk muslim yang signifikan, yaitu lebih dari 80%. Mereka dapat menjadi operative sekaligus audiens bagi aksi terorisme transnasional. Meskipun saat ini Indonesia tidak sedang mengalami insurgensi aktif seperti halnya pemberontakan Moro di Filipina, terorisme transnasional di Indonesia saat ini berakar dan berkembang dari sebuah gerakan pemberontakan untuk mendirikan negara Islam yang sudah lahir bahkan di awal era kemerdekaan. Keberlangsungan sejarah ini membuat Indonesia menjadi tempat pilihan untuk mengembangkan sel terorisme transnasional, bukan hanya melangsungkan serangan. Faktor lain yang membuat Indonesia lebih menarik untuk saat ini adalah dihilangkannya represi terhadap pers dan warga negara pasca-reformasi sehingga relatif terdapat keleluasaan
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
238
bergerak bagi para teroris setidaknya dibandingkan dengan Singapura dan Malaysia. Dari segi karakteristik inheren yang telah dibahas, dapat dikatakan bahwa saat ini Indonesia mengalami asimetri dalam hal resiko dan peluang serangan jika dibandingkan dengan Singapura dan Malaysia. Kedua negara tersebut memiliki keuntungan berupa luas wilayah dan populasi yang lebih kecil, kendali pemerintah yang kuat atas warga negaranya, dan penerapan hukum yang dapat dikatakan lebih baik. Kedua negara juga memiliki keuntungan atas Indonesia karena perekonomiannya lebih maju sehingga kapasitas penyelenggaraan pemerintahan dan kapabilitas serta sumber daya penanggulangan terorismenya lebih besar. Singapura dan Malaysia juga memiliki rezim pemerintahan yang lebih panjang dan stabil dibandingkan Indonesia dan Filipina pada saat ini, yang di dalam beberapa literatur dihubungkan dengan jumlah insiden teroris yang lebih sedikit. Asimetri dengan Filipina yang paling mencolok disebabkan oleh jumlah populasi Muslim yang besar di Indonesia yang dapat dijadikan anggota gerakan, operator, sekaligus audiens bagi gerakan politik Islam radikal. Filipina memang memiliki konteks insurgensi Muslim di Selatan, namun orientasinya dapat dikatakan lebih nasional dibandingkan global dan lebih mudah menyeberangi garis untuk kembali ke jalur politik arus utama.
6.1
Perbandingan Kebijakan Nasional Penanggulangan Terorisme di Singapura, Malaysia, Filipina, dan Indonesia Kebijakan nasional dalam dirinya sendiri merupakan salah satu sumber
daya yang penting untuk menanggulangi terorisme. Ada dua hal yang diperhatikan dalam kebijakan nasional terhadap terorisme di dalam studi ini, yaitu persepsi pemerintah terhadap terorisme kontemporer dan strategi penanggulangan ideal yang dibayangkan. Tabel 6.2 di bawah ini memperlihatkan perbandingan keempat negara di bidang kebijakan nasional dalam hal penanggulangan terorisme dalam hal bentuk kebijakan, persepsi, strategi, dan kelembagaan.
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
239 Tabel 6.2. Perbandingan Kebijakan Keamanan Nasional terhadap Terorisme di Singapura, Malaysia, Filipina, dan Indonesia Negara Singapura
Malaysia
Bentuk Kebijakan Nasional
Buku putih penanggulangan terorisme, “The Fight Against Terror” (2004) yang menjabarkan strategi menyeluruh penanggulangan terorisme pemerintah Singapura sekaligus sebagai panduan publik untuk berpartisipasi
Tidak ada buku putih tentang penanggulangan terorisme Tidak ada dokumen
Persepsi terhadap Terorisme Kontemporer Ancaman keamanan yang terorganisasi dan bersifat jangka panjang Memiliki kemampuan strategis yang tinggi Sangat berbahaya karena dapat membunuh tanpa hambatan moral Terorisme kontemporer adalah serangan dari ‘luar’ (eksternalisasi ancaman) Singapura adalah target utama serangan teroris transnasional karena dekat dengan barat/AS dan kepentingan kapitalis
Terorisme sebagai ancaman keamanan Terorisme sebagai kejahatan (bukan tindakan perang)
Respon Strategis terkait Penanggulangan Terorisme Strategi domestik ‘Mengeraskan Singapura’ dalam jangka pendek (perlindungan) dan “pendekatan total” dalam jangka panjang (pertahanan eksternal, internal, ekonomi, dan sosial) Strategi internasional Bersekutu dengan AS dalam Perang Global Melawan Terorisme Mendukung PBB dan ASEAN dan berbagai upaya multilateral/regional dalam memerangi terorisme Diplomasi regional di ASEAN untuk mendorong negara-negara lain (terutama Indonesia) agar lebih keras dalam penanggulangan terorisme
Strategi domestik Kombinasi pendekatan keras dan pendekatan lunak Pendekatan kriminalisasi sebagai pendekatan keras
Respon Kelembagaan
Inovasi kelembagaan = penguatan koordinasi di tingkat kebijakan, operasional, dan pengembangan kapasitas Mengubah struktur kelembagaan yang hirarkis dan terspesialisasi menjadi terintegrasi dan konvergen (multiministry approach) Penyusunan struktur keamanan baru untuk mengatasi masalah koordinasi di lima tingkat: 1) lembaga koordinatif di tingkat kebijakan tertinggi (Komite Pengkajian Kebijakan Keamanan), 2) lembaga koordinatif di tingkat eksekutif (Sekretariat Koordinasi Keamanan Nasional), 3) lembaga koordinatif dalam hal kajian dan asesmen (Pusat Koordinasi Keamanan Nasional) 4) lembaga koordinasi intelijen, dan 5) lembaga koordinatif di tingkat operasional (Komite Krisis Dalam Negeri) Kepolisian dan Departemen Keamanan Internal (yang memiliki wewenang sama seperti Kepolisian) menjadi ujung tombak penanggulangan terorisme
Bersandar pada arsitektur kelembagaan lama/yang telah ada sebelumnya Ada lembaga koordinatif di tingkat kebijakan tingkat tinggi yang telah ada sebelumnya (Dewan Keamanan Nasional)
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
240 Lanjutan Tabel 6.2
kebijakan tunggal yang terintegrasi mengenai strategi penanggulangan terorisme yang dibuat publik Terorisme disebutkan di dalam arahan kebijakan keamanan nasional Malaysia
Tidak ada penyebutan terorisme kontemporer sebagai ancaman strategis seperti halnya pemerintah Singapura Ditekankan bahwa Malaysia bukan target utama serangan terorisme transnasional maupun tempat rekrutmen teroris, melainkan hanya sebagai tempat transit
(represif-koersif) utama Pendekatan lunak dalam bentuk insentif ekonomi/peningkatan kesejahteraan Pendekatan lunak, tapi represif melalui perang ideologis dengan mengkonstruksi Islam moderat versi pemerintah dan merepresi interpretasi lain yang dianggap menyimpang Fokus penanggulangan terorisme: penangkapan, pengawasan tahanan, pengawasan imigran, dan deradikalisasi (sistem hukum, pengintaian, dan perangkat ideologis negara)
Lembaga koordinatif di tingkat operasional, termasuk intelijen, tidak dipesifikkan Ada lembaga peningkatan kapasitas penanggulangan terorisme di tingkat regional The Southeast Asia Regional Centre for Counter Terrorism (SEARCCT) Kepolisian (Royal Malaysian Police) sebagai ujung tombak penanggulangan terorisme
Strategi internasional Diplomasi di berbagai forum multilateral Mendorong definisi tunggal terorisme yang juga memasukan unsur teror negara (state terror) Berhati-hati agar tidak terlalu dekat dengan AS dan menunjukkan dapat menentang AS di tingkat internasional untuk menggalang dukungan dan
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
241 Lanjutan Tabel 6.2
Filipina
14 Pilar Penanggulangan Terorisme (2001) sebagai langkahlangkah ad hoc/arahan eksekutif dalam penanggulangan terorisme Rencana Keamanan Internal Nasional (2002) Strategi internal Kabinet, Militer, dan Kepolisian (2010) Dokumen Kebijakan Keamanan Nasional Lima Tahunan (2011)
Terorisme sebagai kejahatan yang memiliki sifat politis, bukan tindakan perang Terorisme tidak dapat dipisahkan dari konteks insurgensi Muslim di Filipina Selatan Filipina ditekankan sebagai target potensial serangan terorisme transnasional karena kedekatannya dengan AS Fokus pada terorisme lokal
memperkuat legitimasi penanggulangan terorisme dalam negeri Diplomasi regional di ASEAN untuk mendorong negara-negara lain (terutama Indonesia) agar lebih keras dalam penanggulangan terorisme
Strategi domestik Tiga arahan besar: 1) perlindungan target-target potensial (security countermeasures), 2) penegakan hukum terhadap tindak terorisme, 3) langkahlangkah peningkatan kondisi sosial-ekonomi di wilayahwilayah rentan Di tataran praktik, penekanan pada operasi militer (combat operation)
Strategi internasional Menjadi sekutu AS di Asia Tenggara dalam Perang Global Melawan Teror Menerima bantuan AS dalam hal operasi militer untuk menggempur wilayah teroris
Inovasi kelembagaan = penyusunan lembaga koordinatif di tingkat pengambilan kebijakan tertinggi: Komite Pengawas Kabinet untuk Keamanan Internasional (COC-IS) (2001) Lembaga koordinatif kebijakan disatukan dengan koordinasi penanganan krisis Pengaktifan kembali berbagai lembaga keamanan nasional: Dewan Keamanan Nasional dan Komisi Anti-Kriminal Nasional (2002) Lembaga koordinatif di tingkat intelijen = Penasihat Keamanan Nasional Pembentukan jejaring intelijen hingga ke tingkat kampung (Barangay) Militer sebagai ujung tombak penanggulangan terorisme (tidak sesuai dengan strategi yang menekankan penegakan hukum). Kepolisian memainkan peran pendukung (lebih ke arah perlindungan, pencegahan, dan pemulihan/stabilisasi kondisi) Ada platform kerja sama kepolisian dan militer di tingkat taktis (dalam bentuk operasi militer)
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
242 Lanjutan Tabel 6.2
Indonesia
Tidak ada buku putih penanggulangan terorisme Sudah ada Draft Strategi Nasional Penanggulangan Terorisme (2012), tapi belum dibuat publik Pseudo-strategy di dalam dokumen Perencanaan Nasional (Bappenas) (2005) ‘Strategi’ internal Kepolisian (best practice)
Terorisme sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime) dan atau kejahatan terhadap kemanusiaan (crime against humanity) Terorisme dipandang sebagai ancaman keamanan nasional
Strategi domestik: Kombinasi pendekatan keras (penegakan hukum) dan pendekatan lunak (deradikalisasi dan kontraradikalisasi, peningkatan kesejahteraan)
Strategi internasional: Diplomasi untuk menekan jaringan terorisme yang memiliki afiliasi internasional dan mendorong penyelesaian konflik di luar teritorial Indonesia yang menjadi akar masalah terorisme
Upaya koordinatif ad hoc di tingkat kebijakan dan operasional= Desk Koordinasi Penanggulangan Terorisme (Kementerian Koordinator Politik dan Keamanan) (2002) Lembaga koordinatif di tingkat kebijakan dan operasional yang lebih permanen = Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (2010) Kepolisian sebagai ujung tombak penanggulangan terorisme, khususnya Detasemen Khusus 88 Militer sebagai peran pendukung (pengamanan dan pencegahan, termasuk intelijen, tanpa elemen penindakan)
Sumber: Diolah dari berbagai sumber, 2012
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
243
Di dalam studi ini, Singapura adalah satu-satunya negara yang memiliki dokumen strategi nasional mengenai terorisme dan upaya penanggulangannya di era kontemporer yang komprehensif dan tersedia untuk publik, yaitu dalam bentuk buku putih penanggulangan terorisme (2004). Data mengenai apa yang dilakukan pemerintah terkait penanggulangan terorisme dapat ditemukan di buku putih tersebut, termasuk informasi yang dianggap sensitif seperti pengamanan objek vital dan infrastruktur kritis. Tersedianya informasi tersebut secara publik dapat dipandang sebagai bagian dari upaya penggentaran itu sendiri untuk memberi sinyal kepada teroris bahwa Singapura adalah negara yang dijaga secara ketat dan tidak dapat ditembus. Berbeda dengan Singapura, ketiga negara lain tidak memiliki buku putih penanggulangan terorisme. Arahan mengenai strategi penanggulangan terorisme di Malaysia ditemukan di dalam kebijakan keamanan nasionalnya secara umum yang juga meliputi ancaman-ancaman keamanan lain. Sementara itu, meskipun tidak memiliki buku putih ataupun strategi nasional penanggulangan terorisme, Filipina memiliki cukup banyak arahan eksekutif mengenai langkah-langkah penanggulangan terorisme di era kontemporer. Sama seperti Filipina dan Malaysia, Indonesia juga tidak mengeluarkan buku putih penanggulangan terorisme meskipun sejak tahun 2002 Indonesia telah memiliki mandat untuk menyusun sebuah strategi nasional. Hingga Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) berdiri pada tahun 2010, belum ada strategi nasional penanggulangan terorisme yang dikeluarkan secara publik (meskipun draftnya dikabarkan sudah tersedia). Dapat dikatakan bahwa strategi penanggulangan terorisme yang dijalankan Indonesia pada saat ini sebagian besar merupakan strategi internal kelembagaan kepolisian dan BNPT yang merupakan best practice dari langkah-langkah penanggulangan terorisme kedua lembaga tersebut. Dalam hal persepsi ancaman, Pemerintah Singapura adalah yang paling tinggi persepsi ancamannya terkait serangan terorisme transnasional. Di mata pemerintah Singapura, Singapura adalah target serangan utama terorisme transnasional sehingga pencegahan dan perlindungan menjadi hirauan utama. Pemerintah Singapura memang mempersepsikan ancaman teror kontemporer
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
244
sebagai ancaman strategis yang sangat berbahaya dan akan hadir dalam jangka panjang. Persepsi ini berkaitan erat dengan strategi umum Singapura untuk menanggulangi teror, yaitu ‘mengeraskan’ Singapura dalam jangka pendek (sehingga tidak dapat diserang) dan ‘pendekatan total’ dalam jangka panjang (pertahanan di segala bidang). Sama halnya dengan Singapura, Filipina juga menekankan kerentanannya sebagai target serangan terorisme transnasional, namun fokus pemerintah tetap terletak
pada
insurgensi
dan
terorisme
domestik.
Pemerintah
Filipina
mendefinisikan terorisme sebagai bagian dari tindak kejahatan (kriminal) yang bersifat politis. Namun, karena konteks insurgensi yang dimilikinya, pendekatan utama pemerintah bukan pendekatan kriminalisasi melainkan pendekatan militer (meskipun
arahan
eksekutif
menyatakan
bahwa
yang
menjadi
fokus
penanggulangan terorisme adalah penegakan hukum). Pemerintah Filipina bertujuan untuk mengarahkan kembali penanggulangan terorisme di negaranya ke ranah hukum. Namun, karena penanggulangan terorisme di Filipina tumpang tindih dengan kontrainsurgensi, selama insurgensi di Filipina Selatan masih berlangsung, pendekatan militer tampak akan terus dijalankan. Berbeda dengan Singapura dan Filipina, pemerintah Malaysia justru menekankan bahwa negaranya bukanlah target utama serangan terorisme transnasional dan hanya digunakan sebagai tempat transit. Terorisme memang dipersepsikan sebagai ancaman terhadap keamanan dan perdamaian, tetapi bukan tindakan perang (act of war). Untuk menanggulangi terorisme di negaranya, pemerintah Malaysia membayangkan sebuah strategi yang mengkombinasikan pendekatan keras dengan pendekatan lunak. Pendekatan keras yang dimaksud mencakup penegakan hukum yang represif, sebagian besar dengan menggunakan UU Keamanan Internal (ISA) sementara pendekatan lunak mencakup upaya peningkatan kesejahteraan dan perang ideologis dengan mempromosikan Islam moderat versi pemerintah. Meskipun sifatnya lunak, perang ideologi di Malaysia dapat dikategorikan sebagai langkah yang represif karena pemerintah Malaysia tetap menjalankan hukum-hukum yang keras untuk menekan interpretasi Islam yang dianggap menyimpang oleh pemerintah, termasuk Islam radikal.
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
245
Dalam hal persepsi, bagi pemerintah Indonesia terorisme adalah kejahatan (kriminal), meskipun sifatnya luar biasa, dan sekaligus ancaman terhadap keamanan nasional. Strategi yang dibayangkan pemerintah
Indonesia sama
dengan pemerintah Malaysia, yaitu penegakan hukum (pendekatan keras) dan pendekatan lunak dalam bentuk perang ideologis (deradikalisasi dan kontraradikalisasi) serta upaya peningkatan kesejahteraan kelompok-kelompok marjinal. Di era pasca-9/11, yang bertepatan dengan era transisi demokrasi di Indonesia, penegakan hukum menjadi pendekatan utama pemerintah tanpa disertai hukumhukum Draconian yang sebelumnya diterapkan di era Soeharto dan masih dijalankan di Singapura dan Malaysia. Selain strategi domestik, keempat negara juga menjalankan strategi internasional untuk menanggulangi terorisme transnasional di dalam negeri mereka. Singapura memilih menjadi sekutu AS dalam perang global melawan teror, sama seperti Filipina. Singapura juga menggunakan diplomasi internasional untuk mendorong agar negara-negara tetangganya lebih keras dalam mengatasi terorisme. Berkebalikan dengan Singapura, Malaysia justru mengambil posisi berseberangan dengan AS dengan mengadvokasikan dimasukannya unsur terorisme negara (state terror) dalam definisi terorisme global. Pemerintah Malaysia juga berhati-hati agar tidak dipersepsikan terlalu dekat dengan AS untuk mendapatkan legitimasi yang lebih tinggi dari warga negaranya guna memerangi teror di dalam negeri. Sementara itu, Indonesia juga menjalankan strategi internasional, yaitu diplomasi untuk menekan jaringan terorisme yang memiliki afiliasi internasional dan mendorong penyelesaian konflik di luar wilayah Indonesia yang menjadi akar masalah terorisme. Pada era pemerintahan Megawati, seperti halnya Malaysia, Indonesia berusaha menjaga jarak dengan AS. Namun, di era pemerintahan SBY, jarak tersebut tidak terlalu dipertahankan dan Indonesia mendapatkan bantuan yang sangat besar dari AS dalam hal peningkatan kapasitas unit anti-terornya. Strategi internasional keempat negara di atas mencerminkan peran AS yang besar di kawasan Asia Tenggara. Negara-negara yang penduduk muslimnya besar seperti Indonesia dan Malaysia berusaha menunjukkan independensinya dari AS untuk meraih legitimasi yang lebih tinggi dalam hal penanggulangan terorisme
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
246
dalam negeri. Padahal, baik Malaysia dan Indonesia sama-sama menerima bantuan AS dalam jumlah besar terkait peningkatan kapasitas penanggulangan terorisme. Sementara itu, Singapura dan Filipina yang merupakan sekutu tradisional AS tetap konsisten dalam mendukung AS dalam perang global melawan teror di Asia Tenggara, yang di satu sisi justru meningkatkan kerentanan mereka akan serangan teror transnasional. Singapura sepenuhnya menyadari hal ini dan menjadikan perlindungan dan pencegahan sebagai lapis pertahanan utama. Sementara itu, strategi Filipina untuk mengantisipasi hal ini agak kurang jelas dan bervariasi dari satu pemerintahan ke pemerintahan lainnya. Selain kebijakan, kelembagaan pun merupakan sumber daya yang menentukan dalam penanggulangan terorisme. Di Singapura, Malaysia, dan Indonesia, lembaga yang menjadi ujung tombak penanggulangan terorisme adalah lembaga penegak hukum (di Singapura selain kepolisian ada pula Departemen Keamanan Internal yang menjalankan ISA sedangkan di Malaysia ISA dijalankan oleh kepolisian). Pasca-9/11, satu aspek kelembagaan yang sangat penting dalam penanggulangan terorisme adalah koordinasi antar-lembaga keamanan karena terorisme kontemporer menganut prinsip kerja seperti jejaring agar leluasa bergerak. Singapura adalah satu-satunya negara di dalam penelitian ini yang strateginya mencakup perombakan arsitektur kelembagaan keamanan untuk menyesuaikan diri dengan mode jejaring ini dengan memperkuat koordinasi dan mengubah orientasi badan keamanannya dari hirarki-spesialisasi menjadi integrasi-konvergensi. Berbeda dari Singapura, Malaysia tidak membangun struktur baru melainkan menggunakan lembaga-lembaga keamanan yang telah ada. Sementara itu, pasca-9/11, Filipina mendirikan beberapa lembaga baru untuk mengkoordinasikan upaya penanggulangan terorismenya dan mengaktifkan kembali beberapa lembaga keamanan nasional lama. Indonesia melakukan upaya yang sama dengan mendirikan Desk Koordinasi Penanggulangan Terorisme (2002) yang menjadi permanen pada tahun 2010 dalam bentuk Badan Nasional Penanggulangan Terorisme. Akan tetapi, koordinasi dalam penanggulangan terorisme di Indonesia dapat dikatakan masih terhambat oleh politik birokrasi dan ego sektoral yang tinggi karena BNPT tidak disertai dengan wewenang yang memadai.
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
247
6.2
Perbandingan Penerapan Penggentaran melalui Penangkalan di Tingkat Taktis di Singapura, Malaysia, Filipina, dan Indonesia Penggentaran di tingkat taktis yang dibahas di dalam studi ini meliputi
langkah-langkah pengerasan target di sektor penerbangan, maritim, transportasi darat, dan infratstruktur kritis. Tabel 6.3 di bawah ini memperlihatkan perbandingan langkah-langkah keempat negara dalam upaya menghilangkan peluang keberhasilan serangan teroris di keempat sektor tersebut. Dalam hal penggentaran melalui penangkalan di tingkat taktis, langkahlangkah yang dijalankan pemerintah Singapura adalah yang paling lengkap. Pengerasan target untuk menangkal peluang keberhasilan serangan teroris adalah prioritas Pemerintah Singapura yang strategi penanggulangan terorismenya memang sangat menekankan pertahanan lapis pertama (pencegahan dan perlindungan). Di seluruh sektor yang disebutkan di atas, pasca-serangan 9/11 pemerintah Singapura melakukan review keamanan komprehensif untuk menutup celah-celah keamanan yang ada dan memasang perlengkapan serta menjalankan prosedur tercanggih untuk memperbaiki pengawasan dan pengontrolan. Di sektor penerbangan dan maritim, Singapura telah memenuhi kriteria kepatuhan di bidang penerbangan (ICAO) dan maritim (ISPS), bahkan telah menambahkan langkah-langkah pengamanan sukarela melampaui standar internasional. Di sektor transportasi darat dan perlindungan infrastruktur kritis pun pemerintah Singapura melakukan hal yang sama, mulai dari kajian keamanan secara komprehensif hingga implementasi langkah-langkah korektif untuk meningkatkan keamanan. Meskipun belum pernah mengalami serangan teroris dalam satu dekade terakhir, Singapura mengambil pelajaran dari trageditragedi besar seperti pengeboman London dan Madrid untuk mengoreksi sistem keamanan sektor transportasi publik daratnya.
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
248 Tabel 6.3. Perbandingan Penggentaran Melalui Penangkalan di Tingkat Taktis di Singapura, Malaysia, Filipina, dan Indonesia dalam Penanggulangan Terorisme Singapura Malaysia Filipina Indonesia Penggentaran melalui Tidak termasuk ke dalam Disebutkan di dalam Dimasukkan ke dalam Menjadi prioritas Penangkalan di Tingkat Taktis fokus/prioritas strategi penanggulangan salah satu aktivitas pokok pemerintah Singapura penanggulangan terorisme terorisme dan termasuk ke penanggulangan terorisme Malaysia dalam prioritas Presiden, (Bappenas) dengan penekanan pada perlindungan infrastruktur kritis a. Pengetatan Keamanan Preseden serangan Preseden serangan Preseden serangan Preseden serangan Bandara Tidak ada Ada (pembajakan dan Ada (pembajakan dan Ada (pembajakan) pengeboman bandara) pengeboman bandara) Respon Legal Kelembagaan Kelembagaan Kelembagaan UU Penerbangan Indonesia Pemusatan kewenangan di yang baru (2009) satu instansi = Otoritas Pemusatan kewenangan di Pendirian otoritas Penerbangan Sipil satu instansi = Departemen keamanan bandara yang Kelembagaan: Singapura (CAAS) Penerbangan Sipil (DCA) terintegrasi sebagai upaya peningkatan kepatuhan Pemusatan kewenangan di Otoritas keamanan khusus Otoritas keamanan khusus terhadap standar satu instansi = Dirjen bandara tidak dispesifikkan. bandara tidak dispesifikkan. internasional = Biro Penerbangan Udara Ada Satuan Tugas Ada kajian keamanan umum Keamanan Penerbangan Komite Keamanan Bandara Keamanan Penerbangan oleh SEAARCT, namun Sipil di bawah Kantor (2002) untuk mengkaji respon pemerintah tidak Keamanan Transportasi ulang keamanan Bandara diketahui Program keamanan (OTS) (2010) Changi secara komprehensif Penyusunan Program Pengaktifan kembali Program keamanan Keamanan Penerbangan Dewan Nasional Keamanan Program keamanan Nasional dan Komisi Penyusunan dan Penerbangan Sipil dan Keamanan Penerbangan Program keamanan bandara implementasi Program Komite Keamanan Nasional dan Program (Airport Security Program) Kendali Kualitas Keamanan Penerbangan Sipil Nasional Kendali Kualitas dan Program Kendali Penerbangan Sipil Nasional Keamanan Penerbangan Kualitas Keamanan (2005) Program keamanan Sipil Nasional (2010) Penerbangan Sipil Nasional Penyusunan dan (tahun tidak diketahui) Operasional
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
249 Lanjutan Tabel 6.3 Kepolisian bandara Operasional Pengamanan utama oleh Airport Police Division (APD) di bawah Pasukan Polisi Singapura (SPF). Pengamanan tambahan dengan patroli gabungan tentara dan polisi dan penerjunan pasukan khusus (Kontingen Gurkha)
b.
Pengetatan Keamanan Maritim dan Pelabuhan
Taktis Paling canggih dalam hal teknologi pengintai dan pemeriksaan elektronik terhadap para penumpang pesawat. Peningkatan prosedur keamanan dalam hal imigrasi, screening bagasi, pintu dek (kokpit) dan kargo udara (2008) Compliant dengan standar keamanan penerbangan ICAO Preseden serangan Tidak ada Kelembagaan Wewenang umum = Otoritas Maritim dan Pelabuhan Singapura
Taktis Peningkatan prosedur keamanan dalam hal pengecekan bagasi dan pintu dek (kokpit), dan kargo udara Compliant dengan standar keamanan penerbangan ICAO
implementasi Program Keamanan Penerbangan Nasional dan Program Kendali Kualitas Keamanan Penerbangan Sipil Nasional (2006) Operasional Kepolisian bandara (Komando Keamanan Penerbangan) Taktis Dalam hal teknologi masih mendapat bantuan peningkatan kapasitas dari Australia (teknologi pemeriksaan dokumen) Masih meningkatkan kepatuhan terhadap standar ICAO
Preseden serangan Tidak ada, namun wilayah pantai Malaysia dikatakan sebagai salah satu wilayah keamanan yang paling rentan
Operasional Kepolisian bandara, dengan patroli gabungan bersama militer jika terjadi eskalasi teror Taktis Peningkatan keamanan kargo udara, pemeriksaan latar belakang personel bandara, Masih meningkatkan kepatuhan terhadap standar ICAO (80%)
Preseden serangan Ada
Preseden serangan Tidak ada
Kelembagaan Instansi yang berwenang atas keamanan maritim = Biro Keamanan
Kelembagaan Wewenang umum = Dirjen Perhubungan Laut
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
250 Lanjutan Tabel 6.3 (MPA) Keamanan maritim di tangan tiga instansi = MPA, Angkatan Laut, dan Polisi Pantai (PCG) Pendirian Pusat Keamanan Maritim (2008) untuk kajian dan koordinasi yang melibatkan ke-3 lembaga di atas Program keamanan Manual keamanan maritim Penerapan beberapa konvensi keamanan maritim internasional Compliant terhadap Kode ISPS (Peraturan Internasional mengenai Keamanan Kapal dan Fasilitas Pelabuhan) dari Organisasi Maritim Internasional (2004) yang sifatnya mandatory (wajib) Penerapan langkah-langkah keamanan tambahan secara suka rela: Peraturan Keamanan Kapal di Dermaga, Peraturan Keamanan Kapal Pesiar, Asesmen Keamanan Kapal Mandiri, dan pembatasan akses kapal di sekitar instalasi kunci
Respon legal UU Keamanan Maritim (2011) untuk mencegah kekerasan di perairan Kelembagaan Pemusatan wewenang penegakan hukum di satu instansi = Malaysian Maritime Enforcement Agency (MMEA) (2004) Ada lembaga penjaga pantai (coast guard) dengan wewenang luas, mulai dari inspeksi, penangkapan, hingga hot pursuit (MMEA) Program keamanan Peningkatan kepatuhan terhadap standar ISPS untuk pengamanan pelabuhan = audit verifikasi sertifikasi ISPS Peningkatan kapasitas = Pelatihan Petugas Keamanan Fasilitas Pelabuhan (2011) Inisiatif Megaport untuk deteksi bahan kimia dan radioaktif di dua pelabuhan Proliferation Security Iniative (AS) Menerima bantuan AS
Infrastruktur Maritim dan Transportasi Laut (di bawah OTS) Keamanan maritim di tangan Angkatan Laut dan Pasukan Penjaga Pantai (PCG)
Program keamanan Program Keamanan Nasional di sektor maritim (bantuan Australia) Penerapan Inisiatif Megaport Proliferation Security Iniative (AS)
Tantangan Keterbatasan anggaran dan kapasitas teknologi Ego sektoral di antara Angkatan Laut dan Polisi Pantai
Ada 12 instansi yang mengklaim yurisdiksi atas laut, 7 mengklaim yurisdiksi atas keamanan laut Upaya koordinatif = Badan Koordinasi Keamanan Laut (Bakorkamla) (2005) Belum ada pasukan penjaga pantai (coast guard), masih dalam wacana Polisi Air (POLAIR)
Program keamanan Menerima bantuan AS untuk mendirikan Sistem Pemantauan Maritim yang Terintegrasi untuk peningkatan keamanan di sekitar Laut Sulawesi Tantangan Kapabilitas Angkatan laut dan Polisi Air Kebijakan keamanan maritim yang tumpang tindih dan sektoral Tumpang tindih wewenang kelembagaan dan
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
251 Lanjutan Tabel 6.3 Perlindungan Jalur Kapal Vital Penerapan Container Security Initiative (2003) Inisiatif Megaport = scanning khusus untuk mendeteksi bahan radioaktif/nuklir Peningkatan kapabilitas = Pusat Pelatihan Taktis Terintegrasi Proliferation Security Iniative (AS)
Taktis Peningkatan perlengkapan pengintaian di pelabuhan dan perairan Pemasangan teknologi tercanggih di kapal serta kapal patroli untuk meningkatkan pemantauan Lainnya Fokus pengamanan di Selat Malaka Suportif terhadap inisiatif kerja sama keamanan subregional (Indonesia, Malaysia, Singapura)
untuk mendirikan Sistem Pemantauan Maritim yang Terintegrasi di sepanjang pesisir Sabah dan peningkatan keamanan di sekitar Laut Sulawesi
persaingan antarlembaga sehingga manajemen keamanan maritim tidak efektif Upaya koodinatif melalui Bakorkamla tidak efektif
Lainnya Kapabilitas Angkatan Laut yang memadai untuk melakukan pengawasan di perairan Malaysia Terlalu fokus pada Selat Malaka, kurang ada political will untuk kerentanan di wilayah Laut Sulawesi (segitiga transit teroris) Tantangan: Penegakan hukum maritim bersifat sektoral Adanya tumpang tindih kewenangan dalam pengawasan perbatasan (pantai) dan kurangnya koordinasi antar-instansi, terutama di antara Angkatan Laut dan Polisi Penjaga Pantai -
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
252 Lanjutan Tabel 6.3 c.
Pengetatan Keamanan Transportasi Darat
Preseden serangan Tidak ada, tapi mengambil pelajaran dari negara-negara lain (Tragedi Madrid dan London) Kelembagaan dan legal Dilakukannya kajian keamanan komprehensif = Komite Keamanan Transportasi Publik (2004) Amademen UU untuk memberi wewenang kepada staf keamanan transportasi untuk melakukan penangkapan
d.
Perlindungan Infrastruktur Kritis
Operasional dan taktis Pengerasan target di tingkat taktis (pagar, personel keamanan, screening) Sistem pengintaian terintegrasi untuk mencegah insiden Preseden serangan Tidak ada preseden Kelembagaan dan program keamanan Ada kajian kerentanan infratsruktur kritis = pendirian Komite Pemastian Keamanan Infrastruktur
Preseden serangan Tidak ada Kelembagaan dan strategi Tidak ada penyebutan terorisme di dalam Rencana Induk Transportasi Publik Nasional Malaysia (2012) Pendirian Komite Transportasi Umum Darat/SPAD (2010)
Preseden serangan Banyak preseden (lebih sering dibandingkan serangan di sektor maritim dan penerbangan)
Tidak ada data
Kelembagaan Otoritas keamanan transportasi darat = Biro Keamanan Transportasi Darat di bawah OTS
Operasional dan taktis Tidak ada data mengenai langkahlangkah taktis pengerasan target di sektor transportasi darat
Operasional dan taktis Kurang data mengenai langkah-langkah operasional dan taktis selain inspeksi keamanan teratur di fasilitasi transportasi umum
Preseden serangan Tidak ada preseden
Preseden serangan Banyak preseden serangan terhadap infrastruktur kritis
Preseden serangan Banyak, terutama target lunak (hotel dan tempat wisata/hiburan)
Kelembagaan dan program keamanan Ada mandat untuk menyusun rencana
Kelembagaan dan program keamanan Polri dan TNI Pengamanan pada
Kelembagaan dan program keamanan Tidak ada program nasional, tapi ada program di bawah SEAARCT
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
253 Lanjutan Tabel 6.3 Kritis Nasional. Ada data (publik) tentang daftar infrastruktur kritis Pengeluaran peraturan untuk mengeraskan target lunak (hotel, perkantoran, dan sebagainya) dan pembentukan Skema Kelompok Pemantau Keamanan (2003) dengan sistem cluster untuk memperketat pengawasan dan memudahkan pemulihan Operasional dan taktis Pemasangan sistem pengintaian dan pengetatan penjagaan oleh aparat keamanan
Tidak ada data publik mengenai daftar infrastruktur kritis Perlindungan infrastruktur komunikasi dan informasi = Komisi Komunikasi dan Multimedia Malaysia dan Pusat Respon Darurat dan Dewan Keamanan ICT
Operasional dan taktis Tanggung jawab unit taktis kontraterorisme (untuk sektor udara)
pengamanan menyeluruh untuk infrastruktur kritis (status terakhir tidak diketahui) Ada data publik mengenai kategori infrastruktur kritis Ada Satuan Tugas untuk Keamanan Infrastruktur Kritis (2003)
Operasional dan taktis Di tingkat operasional, menjadi tanggung jawab kepolisian, tapi melibatkan pula unsur militer (strategi payung keamanan)
pusat-pusat kegiatan masyarakat, objek vital, proyek vital, dan transportasi massal Ada data objek vital yang termasuk ke dalam target perlindungan tambahan Tidak memiliki strategi menyeluruh dan tersendiri mengenai perlindungan infrastruktur kritis
Operasional dan taktis Pemasangan detektor logam dan bahan peledak di berbagai gedung perkantoran dan tempat umum Penambahan personel keamanan
Sumber: Diolah dari berbagai sumber, 2012
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
254
Dalam kasus Malaysia, data yang ditemukan terkait penggentaran melalui penangkalan di tingkat taktis, khususnya di sektor keamanan penerbangan, maritim, transportasi darat, dan infrastruktur kritis sangat sedikit. Dalam hal keamanan penerbangan dan maritim, pemerintah Malaysia menyatakan terus meningkatkan kepatuhannya terhadap standar internasional (ICAO dan ISPS). Sementara itu, di sektor transportasi publik darat tidak ada data yang dapat diandalkan untuk menunjukkan bahwa pemerintah telah menjalankan langkahlangkah pengerasan target untuk mengantisipasi serangan teroris transnasional. Begitu pula halnya dengan perlindungan infrastruktur kritis. Hal ini mungkin berkaitan dengan persepsi pemerintah Malaysia yang tidak memandang negaranya sebagai target serangan teroris potensial seperti halnya Singapura, Filipina, dan Indonesia. Padahal, jika dibandingkan dengan Indonesia dan Filipina, Malaysia dapat dikatakan sebagai negara yang mampu dari segi ekonomi. Oleh karena itu, dalam kasus penggentaran di tingkat taktis di Malaysia, seringkali yang kurang adalah political will. Sementara itu, Filipina dapat dikatakan sedang berusaha meningkatkan kepatuhannya terhadap standar internasional dalam hal pengamanan sektor penerbangan dan bandara. Dalam hal ini, Filipina banyak mendapat bantuan dari negara–negara maju, terutama Australia dan AS. Filipina adalah negara yang paling banyak mengalami serangan teroris domestik di seluruh sektor transportasinya. Akan tetapi, tidak banyak data mengenai langkah-langkah pengerasan target sistematis yang tergolong ke dalam penggentaran di sektor transportasi publik darat kecuali inspeksi umum dan penerjunan personel keamanan yang lebih banyak. Dapat dikatakan bahwa penggentaran melalui penangkalan di tingkat taktis bukan strategi terkuat pemerintah Filipina. Di Indonesia, pengerasan target disebutkan sebagai salah satu aktivitas pokok penanggulangan terorisme, setidaknya di atas kertas (arahan Bappenas). Di sektor penerbangan dan maritim, Indonesia baru beberapa tahun terakhir ini mengejar kepatuhan terhadap standar ICAO dan ISPS, termasuk dengan mengeluarkan beberapa legislasi baru. Meskipun demikian, sektor maritim Indonesia masih mengandung banyak celah yang dapat dieksploitasi untuk aktivitas terorisme. Sementara itu, dalam hal infrastruktur kritis, yang menjadi
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
255
penekanan di Indonesia adalah berbagai upaya ad hoc seperti sosialisasi bahaya terorisme dan pengetatan keamanan di saat eskalasi teror meningkat. Indonesia belum memiliki strategi menyeluruh dan tersendiri mengenai perlindungan infrastruktur kritis, terutama yang tergolong sebagai target-target lunak. Banyak dan beragamnya target serangan lunak di Indonesia terkait kepentingan asing yang kurang terlindungi membuat Indonesia menarik sekaligus rentan sebagai tempat dilangsungkannya serangan terorisme transnasional begitu ada kapabilitas untuk melangsungkan serangan. Dengan demikian, yang tampak menjadi penekanan di Indonesia bukanlah penggentaran melalui penangkalan di tingkat taktis karena peluang yang harus ditangkal terlalu luas, melainkan penggentaran melalui penangkalan kapabilitas yang akan dibahas selanjutnya. Dari uraian di atas, terlihat bahwa bukan berarti Indonesia tidak melakukan pengerasan target atau perlindungan target-target potensial untuk mengantisipasi serangan terorisme transnasional, melainkan relatif lebih lemah dibandingkan dengan negara-negara tertentu. Upaya penangkalan peluang serangan di Indonesia paling tertinggal jika dibandingkan dengan Singapura yang negaranya dapat dikatakan paling sulit diserang. Dibandingkan dengan Singapura, berbagai langkah yang dijalankan pemerintah Indonesia tampak kurang sistematis, koheren, dan cenderung meningkat hanya saat terjadi eskalasi teror. Hal ini menimbulkan kondisi yang asimetris di mana perlindungan ekstra ketat di Singapura menjadikan Indonesia target yang lebih menarik untuk melangsungkan serangan teror transnasional. Selain lebih lemah, Indonesia juga bernilai strategis tinggi untuk perkembangan gerakan terorisme transnasional, yaitu sebagai basis gerakan (safe base atau qaidah aminah). Kondisi asimetris yang terjadi akibat karakteristik inheren Indonesia dipertinggi oleh relatif lebih lemahnya upaya penangkalan di tingkat taktis yang dijalankan pemerintah Indonesia untuk menggentarkan teroris dari melangsungkan serangan di negeri ini.
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
256
6.3
Perbandingan Penerapan Penggentaran melalui Penangkalan di Tingkat Operasional di Singapura, Malaysia, Filipina, dan Indonesia Penggentaran melalui penangkalan di tingkat operasional adalah upaya
menggentarkan teroris dengan menghilangkah kapabilitas menyerang mereka. Aspek-aspek penggentaran melalui penangkalan di tingkat operasional yang dibahas di dalam studi ini adalah akses terhadap wilayah (kontrol perbatasan), kontrol senjata, pendanaan dan sumber daya internet. Perbandingan aspek-aspek di atas di keempat negara terangkum dalam Tabel 6.4 di bawah ini. Dalam hal kontrol perbatasan, Singapura tetap memimpin dibandingkan tiga negara lainnya. Negara ini adalah yang pertama menerapkan sistem biometrik untuk pemeriksaan orang yang melewati perbatasannya dan merupakan satu-satunya negara di dalam studi ini yang mengintegrasikan wewenang imigrasi dan keamanan perbatasan ke dalam satu lembaga agar pengawasan perbatasan lebih efektif. Malaysia baru-baru ini juga meningkatkan pengawasan keimigrasiannya dengan menerapkan sistem yang sama dengan Singapura sementara Indonesia dan Filipina belum menerapkan sistem tersebut. Untuk Filipina, Malaysia, dan Indonesia, kondisi geografis membuat perbatasan maritim lebih rentan terhadap inflitrasi kelompok teroris. Ada sebuah wilayah rentan di antara ketiga negara litoral ini yang dinamakan wilayah transit teroris atau tri-border area, yaitu di sekitar Laut Sulawesi. Dua di antara tiga negara litoral ini, yakni Indonesia dan Filipina, sama-sama memiliki masalah keterbatasan anggaran dan kapabilitas Angkatan Laut, ego sektoral, serta orientasi yang terlalu mengarah ke pusat (Jakarta dan Manilla-sentris). Sementara itu, kelemahan Malaysia lebih ke arah political will dan orientasi yang terpusat ke Selat Malaka. Masih dalam hal keamanan maritim, Indonesia adalah satusatunya negara di dalam studi ini yang belum membentuk otoritas penjaga pantai sebagaimana disyaratkan Organisasi Maritim Internasional. Secara kelembagaan, sektor maritim Indonesia juga masih mengalami masalah tumpang tindih peraturan
dan
wewenang
antar-instansi
yang
menghambat
efektivitas
pengamanan maritim, khususnya di wilayah yang sering dijadikan rute masuk dan pelarian teroris.
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
257 Tabel 6.4. Perbandingan Penggentaran melalui Penangkalan di Tingkat Operasional di Singapura, Malaysia, Filipina, dan Indonesia dalam Penanggulangan Terorisme Penggentaran melalui Singapura Malaysia Filipina Indonesia Penangkalan di Tingkat Operasional a. Kontrol Perbatasan Kelembagaan Kelembagaan Perbatasan Filipina Indonesia memiliki seluruhnya adalah perbatasan darat maupun Integrasi antara kontrol Imigrasi = Royal perbatasan laut sehingga laut yang porous dan imigrasi dan keamanan Malaysian Customs pengawasan sangat luas perbatasan = Otoritas perbatasannya terkait Titik Pemeriksaan dan Kebijakan, strategi, program dnegan keamanan Imigrasi (ICA) Kelembagaan Penerapan sistem maritim Yang menjadi ujung Fasilitas khusus untuk biometrik untuk Masih berada di tahap tombak pengawasan deteksi CBRN (Fasilitas pemeriksaan orang di pengembangan kapasitas perbatasan darat adalah Analitik dan seluruh titik pemeriksaan mengenai pengawasan kepolisian, militer, dan Perlindungan) darat, laut, dan udara perbatasan dengan satuan tugas pengaman (2011) bantuan luar negeri perbatasan (Satgas Kebijakan, strategi, program Sistem registrasi warga (Komisi Eropa dan AS) Pamtas) Pemisahan kelompok asing = The National Pengawasan perbatasan Tidak ada integrasi beresiko tinggi dan Foreigners Enforcement maritim Filipina masih kelembagaan di antara beresiko rendah and Registration System lemah, terutama di keamanan perbatasan dan Proses clearance berlapis Telah mengadopsi standar wilayah transit teroris imigrasi seperti di (pre-clearance, primary UN/Edifact untuk (tri-border area) di Singapura clearance, dan secondary imigrasi sekitar Laut Sulawesi clearance) baik untuk Customs Verification karena kapasitas Kebijakan, strategi, program orang maupun barang Initiative (CVI) untuk penegakan hukum dan Tidak ditemukan strategi (kargo) mendeteksi dan pengawasan pemerintah khusus peningkatan Sistem pemeriksaan menganalisis resiko yang lemah keamanan perbatasan biometrik imigrasi selain respon ad hoc Sedang Kelembagaan Kerja sama intenasional mempertimbangkan Komite Perbatasan dengan Filipina untuk kebijakan pre-screening Filipina meningkatkan melalui Advanced Pendirian lembaga pengawasan perbatasan Passenger Screening pengawasan pantai baru dan pertukaran intelijen
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
258 Lanjutan Tabel 6.4
b.
Kontrol Senjata
Hukum pengawasan senjata yang sangat ketat dengan ancaman hukuman mati dan minimal hukuman cambuk Menerapkan CSI untuk mencegah penyebaran senjata pemusnah massal
System Program peningkatan kapasitas personel imigrasi dan pencegahan korupsi
Hukum pengawasan senjata yang ketat dan berlapis (tujuh legislasi) Menerapkan CSI untuk mencegah penyebaran senjata pemusnah massal dan menerapkan aturan IAEA tentang keamanan sumber bahan radioaktif (2007)
dengan bantuan AS, Maritime Research Information Center Kebijakan, strategi, program Inisiatif Coast Watch System (CWS) dengan bantuan AS untuk mengamankan wilayah segitiga transit teroris Trilateral Interagency Maritime Law Enforcement Working Group (TIAMLEW) yang disponsori AS untuk meningkatkan koordinasi keamanan maritim Malaysia, Indonesia, dan Filipina Belum menerapkan sistem biometrik dalam hal pemeriksaan dokumen imigrasi Ada berbagai hukum dan regulasi yang mengatur dan membatasi kepemilikan senjata dan bahan peledak Ada Program Kendali Senjata Api Nasional Adanya tantangan karena peredaran senjata gelap disebabkan oleh
Belum menerapkan sistem biometrik dalam hal pemeriksaan dokumen imigrasi
Operasional dan taktis Penambahan personel keamanan (militer) di jalur tikus perbatasan darat Indonesia-Malaysia di Kalimantan Patroli gabungan perbatasan di antara TNI dan tentara Malaysia Pengerahan personel keamanan (polisi dan Polri) di wilayah perbatasan dan jalur masuk-keluar (darat, laut, udara) ketika terjadi eskalasi teror
Ada berbagai hukum dan regulasi mengenai senjata dan bahan peledak yang dinilai cukup memadai meskipun sudah sangat tua dan didorong untuk diperbarui Implementasi hukum dan regulasi di atas dinilai masih terlalu longgar,
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
259 Lanjutan Tabel 6.4
c.
Kontrol Pendanaan
Agresif dalam menekan pendanaan terhadap terorisme Menempati peringkat tertinggi di Asia Tenggara dalam hal menekan pendanaan teroris Ratifikasi Konvensi PBB untuk Menekan Pendanaan terhadap Terorisme (2002) Memiliki kerangka hukum dan administratif (Unit Intelijen Finansial) yang paling komprehensif, termasuk bagi sistem perbankan,
Mengeluarkan legislasi pasca-9/11 tentang AntiMoney Laundering and Anti-Terrorism Financing Act (AMLATF). Mendirikan Unit Intelijen Finansial di dalam Badan Negara Malaysia (BNM) Ada 12 lembaga yang berwenang mengatur dan menindak pencucian uang dan pendanaan terorisme. Tidak ada data mengenai koordinasi antar-lembaga Perbaikan legislasi tentang bisnis layanan uang (Money Service Business Act) untuk
pengalihan suplai senjata legal dan kebijakan serta hukum yang ada belum dapat menangani permasalahan ini Kontrol perbatasan yang lemah di zona konflik membuat pengawasan peredaran senjata gelap masih marak Adanya masalah privatisasi keamanan yang memiliki lisensi untuk mendatangkan senjata Telah memiliki UU AntiPencucian Uang (AMLA) sejak 2001 dan mengeluarkan UU AntiPendanaan Terorisme baru (2012) untuk meningkatkan kepatuhan terhadap standar internasional Mendirikan Dewan AntiPencucian Uang (AMLC) dan Dewan AntiTerorisme (ATC) (2007) Keluar dari daftar hitam Financial Action Task Force pada tahun 2012 karena legislasi baru yang dikeluarkannya yang memberi wewenang lebih
terutama mengenai pengawasan perizinan senjata untuk masyarakat sipil, senjata rakitan, serta pengawasan gudang senjata dan polisi Dibandingkan dengan Filipina, Indonesia dinilai tidak memiliki ‘kultur senjata’
Telah mengeluarkan UU Anti-Pencucian Uang (2003) Telah mendirikan Unit Intelijen Finansial dalam bentuk Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Legislasi tahun 2003 dinilai tidak efektif dalam menekan pendanaan teroris dan belum memenuhi standar internasional Indonesia sedang menyusun legislasi baru untuk memenuhi standar internasional, namun
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
260 Lanjutan Tabel 6.4 transfer informal, kasino, dan badan amal
d.
Kontrol Internet
Kelembagaan dan kebijakan Otoritas Keamanan Teknologi Infokom untuk mencegah terorisme dunia maya Regulasi atas konten internet melalui Otoritas Penyiaran Singapura (SBA) dan Otoritas Pengembangan Media Singapura (2003) Operasional dan taktis Pemerintah dapat menghadang pesan elektronik ketika akan dikirim dan diterima Pengintaian elektronik mudah dilakukan karena ketiga layanan internet publik di Singapura dimiliki atau berafiliasi langsung dengan pemerintah
meningkatkan kepatuhan terhadap standar internasional (2011) Hingga tahun 2010, belum ada investigasi maupun pemrosesan dengan legislasi terbaru ini karena pemerintah Malaysia terlalu mengandalkan ISA Kebijakan Pemerintah melakukan restriksi atas kebebassan pers dan meregulasi konten internet Sempat berencana melakukan penyaringan informasi internet pada tahun 2009 tapi dibatalkan karena tentangan publik Pemerintah melakukan pengawasan atas situssitus radikal, namun memilih tidak menutupnya untuk mengawasi pergerakan kelompok radikal
besar untuk membekukan aset teroris tanpa perintah pengadilan
Tidak ada cukup data
hingga tahun 2012, Indonesia masih dikategorikan sebagai yurisdiksi yang beresiko tinggi untuk pencucian uang dan non-kooperatif dalam hal pemenuhan standar
Kebijakan Respon legislasi dalam bentuk UU Kejahatan Dunia Maya (2010) Hukum Indonesia belum dapat mengkriminalisasi propaganda kebencian atau hate speech Operasional dan taktis Menjalankan patroli dunia maya dengan cara memantau peretas atau ahli IT kelompok teror yang kemudian ditindaklanjuti oleh Densus 88 Penutupan situs-situs radikal seperti anshar.net
Sumber: Diolah dari berbagai sumber, 2012
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
261
Dalam hal kontrol senjata, Indonesia dapat dikatakan masih lebih baik dibandingkan dengan Filipina yang dilanda insurgensi di mana kontrol pemerintah di wilayah konflik sangat lemah sehingga perdagangan senjata gelap menjadi marak di wilayah tersebut. Singapura memiliki hukum senjata yang keras dengan hukuman maksimal hukuman mati dan pengawasan dilakukan secara ketat pula. Sementara itu, Malaysia memiliki legislasi yang berlapis mengenai pengwasan senjata dan bahan peledak, namun implementasinya kurang diketahui. Dibandingkan dengan di Singapura dan Malaysia, kontrol senjata di Indonesia dan Filipina dapat dikatakan relatif lebih longgar dalam hal implementasi legislasi dan peraturan. Di Indonesia, yang menjadi permasalahan hingga saat ini adalah implementasi hukum dan regulasi senjata di lapangan yang tidak konsisten, terutama terhadap aparat keamanan sendiri yang sering didapati menjual senjata dan bahan peledak secara ilegal atau dengan sengaja melemahkan pengawasannya. Pengalihan senjata yang legal untuk kepentingan ilegal inilah yang masih menjadi permasalahan di Filipina dan Indonesia dan sering dieksploitasi untuk aktivitas terorisme. Dalam hal kontrol pendanaan terorisme, Indonesia masih menempati peringkat terbawah dibandingkan ketiga negara lainnya. Singapura menempati peringkat tertinggi di Asia Tenggara dalam menekan pendanaan teroris sementara Malaysia dan Filipina telah meningkatkan kepatuhannya terhadap standar internasional hingga keluar dari daftar hitam Financial Action Task Force (FATF), meninggalkan Indonesia sendiri di daftar tersebut. Indonesia dianggap belum cukup melakukan upaya untuk menekan pendanaan terorisme, khususnya yang berhubungan dengan badan-badan amal dan sistem keuangan informal sehingga masih dikategorikan ke dalam negara yang beresiko tinggi dan non-kooperatif. Dalam hal pengendalian sumber internet agar tidak digunakan untuk kegiatan terorisme, pemerintah Singapura lagi-lagi memiliki keuntungan karena seluruh penyedia layanan internet di negara tersebut dimiliki atau berafiliasi langsung dengan pemerintah sehingga konten internet mudah dikontrol. Sementara itu, pemerintah Malaysia memiliki kontrol atas konten internet, namun memilih untuk tidak menutup situs-situs radikal agar dapat mengawasi
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
262
pergerakan kelompok radikal. Sementara itu, Indonesia baru-baru ini telah mengeluarkan legislasi mengenai kejahatan dunia maya (cybercrime) dan bahkan telah mengadakan patroli dunia maya dengan cara memantau ahli IT kelompok teror. Sebelumnya, pemerintah Indonesia juga telah menutup situs-situs radikal yang mengarah pada terorisme seperti anshar.net. Akan tetapi, saat ini pemerintah Indonesia masih terkendala belum adanya hukum yang dapat mengkriminalisasi propaganda kebencian atau hate speech yang banyak dilakukan di situs-situs internet untuk menggalang simpatisan.
6.4
Perbandingan Penerapan Penggentaran melalui Penangkalan di Tingkat Strategis di Singapura, Malaysia, Filipina, dan Indonesia Perbandingan selanjutnya adalah dalam hal upaya menghilangkan
motivasi teroris untuk menyerang (penggentaran melalui penangkalan di tingkat strategis). Ada dua hal yang diperhatikan dalam hal ini, yaitu respon terhadap serangan-pemulihan pasca-serangan dan perang ideologis untuk menghilangkan motivasi teroris. Perbandingan upaya penggentaran melalui penangkalan di tingkat strategis di keempat negara terangkum di Tabel 6.5 di bawah ini. Di dalam strategi penanggulangan terorisme, hanya Singapura dan Filipina yang secara eksplisit menyebutkan mitigasi dampak serangan dan pemulihan pasca-serangan sebagai bagian dari fokus pemerintah. Di tingkat kelembagaan, hanya Singapura dan Filipina yang memiliki Komite Eksekutif Krisis/Komite Manajemen Krisis di tingkat nasional dan sub-nasional untuk mengantisipasi dan mengelola dampak serangan teroris. Lebih jauh lagi, di tingkat praktis, hanya Singapura yang mengadakan latihan kesiapan berkala secara nasional untuk mengantisipasi serangan teroris (dimudahkan dengan wilayah yang sangat kecil dan jumlah penduduk yang sangat sedikit jika dibandingkan dengan ketiga negara yang lain).
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
263
Penggentaran melalui Penangkalan di Tingkat Strategis a. Mitigasi Dampak dan Pemulihan Pasca-Serangan
Tabel 6.5. Perbandingan Penggentaran melalui Penangkalan di Tingkat Strategis di Singapura, Malaysia, Filipina, dan Indonesia dalam Penanggulangan Terorisme Singapura Malaysia Filipina
Kebijakan dan program Bagian integral dari strategi penanggulangan terorisme Singapura, dinyatakan secara eksplisit Latihan berkala di antara SCDF dan rumah sakit untuk penanggulangan terorisme Simulasi nasional skala besar secara berkala Emergency Preparedness Day untuk seluruh warga masyarakat dengan melibatkan berbagai industri rentan (perhotelan, industri kimia, dsb) Kelembagaan Komite Eksekutif Krisis Pasukan Pertahanan Sipil Singapura (SCDF)
Kebijakan dan program Mitigasi dampak dan pemulihan serangan tidak disebutkan sebagai fokus kontraterorisme Malaysia Kementerian Malaysia berkomitmen untuk membangun model manajemen krisis untuk melindungi mereka yang transit di Malaysia (2011) Ada program manajemen insiden di bawah SEAARCT, namun tidak ada data mengenai implementasinya Kelembagaan Tidak ditemukan lembaga khusus untuk menangani krisis akibat serangan teroris
Kebijakan dan program Secara eksplisit disebutkan dan menjadi salah satu fokus penanggulangan terorisme di Filipina Kelembagaan Di tingkat nasional, didirikan Komite Eksekutif/Komite Manajemen Krisis Nasional yang dipegang oleh Dewan Keamanan Nasional Didirikan organisasi manajemen krisis nasional dan lokal bernama Komite Manajemen Krisis (2012) yang diberi mandat mempersiapkan rencana gawat darurat dan berwenang menentukan prioritas aksi ketika serangan terjadi Pemerintah menunjuk Pengelola Insiden dan Tim Pengelola Krisis di semua wilayah target potensial Di tingkat antar-lembaga
Indonesia
Kebijakan dan program Tidak disebutkan secara eksplisit di tingkat strategi (Bappenas), namun merupakan salah satu langkah yang telah dilakukan oleh pihak Kepolisian sejak Bom Bali I (best practice) Di tingkat strategi, lebih ditekankan pada pencegahan dampak yang meluas, misalnya konflik SARA pasca-serangan Tidak ada program simulasi berskala besar/nasional seperti di Singapura Kelembagaan Tidak ada lembaga yang khusus dibentuk untuk menangani krisis terorisme di tingkat nasional. Secara praktis, penanganan krisis dipimpin oleh Kepolisian
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
264 Lanjutan Tabel 6.5 pada tataran operasional, didirikan Unit Aksi Krisis Nasional yang menggabungkan unit darat, laut, dan udara ke dalam unit tunggal
b.
Perang Ideologi
Kebijakan dan program Pertahanan sosial untuk mencegah ekstrimisme agama dan bibit intoleransi Kontra-radikalisasi Lingkar Kepercayaan Antar-Ras (IRRC) (2002) di berbagai konsituensi Grup Rehabilitasi Keagaman (RRG) = inisiatif deradikalisasi untuk mengobati ideologi teroris
Merupakan salah satu fokus kontraterorisme pemerintah Malaysia Mengkonstruksikan ideologi Islam yang moderat dan direstui pemerintah dengan nama ‘Islam Hadhari’ untuk mencegah interpretasi radikal dari agama Merepresi aliran-aliran Islam yang tidak direstui oleh pemerintah dan dianggap sebagai penyimpangan, termasuk dengan membubarkan dan menangkap pemimpinnya Kontra-radikalisasi melalui sistem pendidikan dengan kampanye publik dan
Kebijakan dan program Secara umum lebih ditujukan untuk komunitas di wilayah konflik Mengadakan program kontra-radikalisasi di wilayah konflik yang bernama Ketahanan Komunitas di Wilayah Konflik (PAMANA) Pencegahan rekrutmen pemuda dan masyarakat di akar rumput dengan merekrut tokoh masyarakat sebagai mentor dalam program Bayanihan Leaders. Tidak ada data mengenai program deradikalisasi tersangka teroris
Operasional dan taktis Penyuluhan kepada masyarakat untuk menangkal aksi terorisme melalui media cetak dan elektronik Simulasi proses evakuasi korban bom di gedung pemerintah dan komersial
Kebijakan dan program Perang ideologi terbagi menjadi dua, yaitu deradikalisasi (fokus pada mengobati ideologi tersangka dan tahanan teroris) dan kontraradikalisasi (mencegah pengaruh ideologi teroris secara lebih luas) BNPT sedang menyusun Strategi KontraRadikalisasi Nasional yang melibatkan berbagai instansi pemerintah dan non-pemerintah Pemerintah mengajukan penguatan UU AntiTerorisme yang dapat mengkriminalisasi hate speech
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
265 Lanjutan Tabel 6.5 Kelembagaan Majelis Ulama Islam Singapura Dewan Keagamaan Islam Singapura
kontrol kurikulum serta represi lembaga pendidikan yang dicurigai mengajarkan ajaran yang radikal/menyimpang, seringkali milik oposisi Program deradikalisasi atau disengagement untuk para tersangka teroris, termasuk pengawasan pasca-penahanan
Kelembagaan Mendirikan Komisi Nasional Muslim Filipina untuk menampung aspirasi warga muslim Filipina
Kelembagaan Saat ini, secara praktik dijalankan oleh Densus 88 di bawah kepolisian. Mandat ini berada di bawah BNPT
Sumber: Diolah dari berbagai sumber, 2012
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
266
Dalam kasus Indonesia, respon terhadap serangan dan pemulihan pascaserangan tidak disebutkan secara eksplisit di dalam dokumen ‘strategi’ penanggulangan terorisme, namun merupakan salah satu langkah yang dilakukan Polri sejak Bom Bali I. Dibandingkan dengan Singapura dan Filipina, Indonesia belum memiliki program kesiapan berskala besar yang komprehensif dan belum ada lembaga tersendiri yang memimpin penanganan krisis ketika terjadi serangan teroris mulai dari tingkat pusat hingga ke lokalitas tempat kejadian serangan kecuali elemen-elemen Polri. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa upaya pemerintah dalam hal respon terhadap serangan dan pemulihan pasca-serangan di Indonesia belum efektif untuk dapat menciptakan efek penggentaran. Elemen kedua, perang ideologi, adalah titik tekan dan salah satu fokus upaya penanggulangan terorisme di Malaysia dan Indonesia yang jumlah penduduk muslimnya dominan. Pemerintah Malaysia menjalankan program rehabilitasi (‘deradikalisasi’) terhadap tahanan teroris dan juga mempromosikan Islam moderat yang direstui pemerintah melalui kampanye publik dan pendidikan. Singapura juga melakukan hal ini dengan fokus pada para tahanan teroris. Sementara itu, upaya perang ideologi Filipina lebih difokuskan pada kontra-radikalisasi di wilayah konflik. Di Indonesia, selama tahun-tahun awal pasca-Bom Bali, Indonesia menjalankan apa yang disebut sebagai inisiatif deradikalisasi Polri yang ditujukan pada tahanan dan mantan tahanan teroris beserta keluarganya. Dilihat dari tingkat residivisme yang cukup tinggi, inisiatif ini dapat dikatakan belum dapat menghilangkan motivasi teroris di Indonesia namun tetap menjadi program ‘unggulan’ penanggulangan terorisme di Indonesia dalam kategori pendekatan lunak. Merespon berbagai kritik terhadap inisiatif ini, pada tahun 2012, BNPT mengumumkan akan mengeluarkan strategi kontra-radikalisasi Indonesia yang cakupannya lebih luas dibandingkan deradikalisasi, namun masih berupa wacana. Hingga saat ini, dapat dikatakan bahwa upaya penggentaran melalui penghilangan motivasi teroris belum berlangsung secara maksimal. Radikalisasi masih marak di Indonesia, terutama di kelompok usia muda, dan upaya kontraradikalisasi justru dipimpin oleh lembaga-lembaga masyarakat sipil di tengah belum adanya strategi yang koheren dan komprehensif dari pemerintah.
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
267
6.5
Perbandingan
Penerapan
Penggentaran
melalui
Hukuman
di
Singapura, Malaysia, Filipina, dan Indonesia Selain melalui penangkalan, penggentaran dapat pula dilakukan melalui hukuman, yang mencakup kriminalisasi dengan menggunakan hukum pidana, retaliasi masif, dan pembunuhan bersasaran. Tabel 6.6 di bawah ini memperlihatkan perbandingan upaya penggentaran melalui hukuman yang dilakukan pemerintah Singapura, Malaysia, Filipina, dan Indonesia dalam menanggulangi terorisme. Bentuk hukuman yang dominan di keempat negara, kecuali Filipina, adalah penegakan hukum. Hanya Filipina yang menjalankan retaliasi militer terhadap teroris di negaranya sementara kebijakan pembunuhan bersasaran tidak diadopsi secara terbuka di keempat negara, namun mungkin dilakukan mengingat cukup banyak tersangka teroris yang tewas di dalam proses penangkapan, terutama di Indonesia.
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
268
Penggentaran Melalui Hukuman a. Penegakan Hukum
Tabel 6.6. Perbandingan Penggentaran melalui Hukuman di Singapura, Malaysia, Filipina, dan Indonesia dalam Penanggulangan Terorisme Singapura Malaysia Filipina Kebijakan dan peraturan Hukum pidana Singapura tidak menspesifikkan tindak terorisme, tapi mengkriminalisasi elemenelemen perencanaan, persiapan, dan pelaksanaannya (pembunuhan, penculikan, dsb.). Hukuman tertinggi adalah hukuman mati. Singapura sering menggunakan Internal Security Act untuk mencegah dan menghukum tindak terorisme Ada klausul penahanan preventif di mana Departemen Keamanan Internal dapat menahan seseorang yang dicurigai teroris tanpa pengadilan jika ditetapkan sebagai ancaman keamanan nasional Sejak tahun 80-an, sebagian besar yang ditahan dengan menggunakan ISA adalah simpatisan JI.
Kebijakan dan peraturan Represi terorisme melalui penegakan hukum adalah pendekatan dominan di Malaysia dan merupakan fokus kontraterorisme pemerintah Malaysia. Fokus pemerintahan Malaysia adalah pada pencegahan (penahanan preventif, sama dengan Singapura) Terdapat sejumlah legislasi represif yang dapat digunakan untuk mencegah dan menekan perkembangan terorisme: Internal Security Act (sama dengan Singapura), UU Pers dan Publikasi, UU Kondisi Darurat, Sedition Act, dan UU Rahasia Negara UU Pidana Malaysia memiliki seksi tersendiri untuk mengkriminalisasi terorisme dan sedang menyusun hukum antiterorisme khusus . Akan tetapi, hukum yang
Kebijakan dan peraturan Upaya penanggulangan terorisme yang dominan di Filipina adalah operasi militer dan tumpang tindih dengan kontrainsurgensi. Operasi militer dikatakan menciptakan efek penggentaran hingga tahap tertentu. Dari segi hukum, Filipina adalah negara Asia Tenggara yang paling banyak meratifikasi konvensi internasional terkait terorisme Hukum pidana Filipina saat ini tidak menspesifikasikkan tindak terorisme. Karena tekanan AS, Filipina mengeluarkan UU Anti- Terorisme tersendiri (2007) yang bernama Human Security Act (HSA) HSA tidak memiliki klausul penahanan preventif dan belum pernah digunakan hingga saat ini Pencegahan dan penjeraan
Indonesia Kebijakan dan peraturan Memiliki UU khusus terorisme (UU AntiTerorisme) (2003), namun dianggap terlalu lemah untuk mencegah terorisme di tahap dini Di sisi lain, penegakan hukum terhadap pelaku teror di Indonesia dipandang sebagai kisah sukses penanggulangan terorisme di dunia Indonesia sedang dalam tahap mmenyusun peraturan baru untuk meningkatkan kepatuhan terhadap standar internasional Tidak memiliki ISA dan tidak ada klausa penahanan preventif yang dapat digunakan untuk terorisme Kelembagaan Kepolisian (Densus 88) sebagai aktor utama penegakan hukum dan disrupsi jaringan teror beserta kejaksaan agung
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
269 Lanjutan Tabel 6.6
Sejak 2001, pemerintah Singapura melakukan pembongkaran dan penangkapan orang-orang yang dicurigai sebagai anggota atau simpatisan JI ISA dapat menghentikan rencana teroris di tahap yang sangat dini Keleluasaan dalam menahan tersangka teroris memberi peluang besar untuk melakukan interogasi ISA mengkriminalisasi pula aksi-aksi terkait terorisme, misalnya latihan militer dan penyebaran publikasi yang menganjurkan kekerasan atau yang dipandang mengancam keamanan nasional ISA juga dapat menutup sekolah atau lembaga pendidikan publik yang dipandang mengancam keamanan nasional dan ketertiban umum ISA menciptakan efek penggentaran yang kuat untuk melakukan tindak subversif secara umum di Singapura sehingga
paling sering digunakan adalah ISA yang sangat efektif menekan terorisme karena memiliki klausul penahanan preventif.
Operasional dan taktis Kepolisian Malaysia memimpin dalam penegakan hukum terhadap terorisme Hingga tahun 2004, pemerintah Malaysia telah menangkap dan manahan 75 orang yang dicurigai sebagai anggota atau simpatisan JI Penegakan hukum dengan bertumpu pada ISA dinilai menciptakan efek penggentaran melalui hukuman yang kuat
melalui penegakan hukum (kriminalisasi) belum menjadi pendekatan utama untuk menggentarkan teroris Operasional dan taktis Militer memimpin (untuk penjeraan dan penghilangan kapabilitas) dan kepolisian memainkan peran pendukung (lebih ke arah pencegahan dan pemulihan). Efek penggentaran melalui hukuman di Filipina lebih dihasilkan oleh operasi militer dibandingkan penegakan hukum dengan menggunakan hukum pidana maupun hukum anti-terorisme
dan sistem justisia Operasional dan taktis Telah menangkap lebih dari 694 tersangka teroris, dan memvonis lebih dari 347 orang Bermasalah dalam hal pencegahan (intelijen), sistem penahanan (manajemen penjara), dan pengawasan pascapenahanan (residivisme) Penegakan hukum belum bisa dikatakan menciptakan efek penggentaran melalui hukuman (dibuktikan dengan tingkat residivisme yang cukup tinggi). Penegakan hukum saat ini lebih berperan menciptakan penggentaran melalui penangkalan kapabilitas dengan menghilangkan kepemimpinan dan keterampilan untuk melangsungkan serangan skala besar.
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
270 Lanjutan Tabel 6.6
membuat teroris sulit bergerak untuk perencanaan, pelaksanaan, dan pengembangan jejaring teror Terus memperbarui hukum nasionalnya agar tidak tertinggal dari perkembangan hukum internasional terkini terkait perang melawan terorisme dengan mendirikan Satgas Kementerian AntarPemerintah untuk harmonisasi dan implementasi legislasi internasional dan meningkatkan koordinasi antar-lembaga
Kelembagaan Yang berwenang menangkap dengan menggunakan ISA = Departemen Keamanan Internal yang memiliki kekuasaan penangkapan dan penyelidikan yang sama dengan Kepolisian Kepolisian Singapura (untuk menegakan hukum pidana biasa)
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
271 Lanjutan Tabel 6.6 Operasional dan taktis Sejak 2001, telah menangkap setidaknya 85 orang yang dicurigai sebagai anggota atau simpatisan JI Dari segi penahanan , terdapat fasilitas penahanan khusus untuk tersangka teroris (tidak dicampur dengan narapidana biasa) Penegakan hukum dengan bertumpu pada ISA dinilai menciptakan efek penggentaran melalui hukuman yang kuat b.
Pembunuhan Bersasaran
Tidak disebutkan ssebagai strategi resmi, tidak ada data mengenai tersangka teroris yang tewas pada saat penangkapan
Tidak disebutkan sebagai strategi resmi, tidak ada data mengenai tersangka teroris yang tewas pada saat penangkapan
c.
Retaliasi Masif
Tidak diadopsi secara resmi
Tidak diadopsi secara resmi
Pembunuhan bersasaran secara praktis dilangsungkan ketika melakuan combat operation atau operasi militer untuk menghancurkan kapabilitas teroris Tidak diadopsi secara resmi
Tidak disebutkan sebagai strategi resmi, namun 10% tersangka teroris tewas dalam proses penangkapan oleh Densus 88
Tidak diadopsi secara resmi
Sumber: Diolah dari berbagai sumber, 2012
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
272
Dalam hal penciptaan efek penggentaran melalui hukuman, Singapura dan Malaysia dapat dikatakan lebih berhasil karena memiliki UU Keamanan Internal atau Internal Security Act (ISA) yang represif dan sangat efektif menghukum terorisme di tahap yang sangat dini karena memiliki klausul penahanan preventif. Selain ISA, hadir juga berbagai hukum represif lainnya yang dapat mengkriminalisasi propaganda teror atau hate speech (dan kebebasan menyampaikan pendapat secara umum) sehingga secara umum lebih sulit untuk mengembangkan jejaring teror di kedua negara tersebut dibandingkan dengan Indonesia. Filipina dan Indonesia tidak memiliki hukum yang membolehkan adanya penangkapan preventif atau mengkriminalisasi hate speech karena kondisi politik kedua negara yang menjunjung prinsip-prinsip demokrasi liberal yang di dalamnya terkandung kebebasan sipil sebagai elemen yang sangat penting. Filipina memiliki hukum anti-terorisme sendiri, namun tidak pernah digunakan sejak diundangkan, berkebalikan dengan Indonesia yang sangat aktif menggunakan UU anti-terorismenya sejak Bom Bali I. Penegakan hukum di Indonesia dikatakan sebagai contoh penanggulangan terorisme yang sukses mempertahankan transisi demokrasi. Akan tetapi, dibandingkan dengan Singapura dan Malaysia, penegakan hukum di Indonesia lebih berperan dalam hal penghilangan kapabilitas teroris dibandingkan penciptaan efek penggentaran melalui hukuman (penjeraan). Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, penekanan upaya penggentaran di Indonesia saat ini adalah penghilangan kapabilitas jejaring teror agar tidak dapat melangsungkan serangan
teror
berskala
besar
(dengan
cara
menghilangkan
elemen
kepemimpinan dan orang-orang dengan keterampilan teknis tinggi). Karena hukuman yang dijatuhkan kepada para terdakwa aktivitas terorisme di Indonesia masih tergolong ringan, efek penggentaran melalui hukuman dapat dikatakan masih belum tercipta seperti halnya di Singapura dan Malaysia. Banyaknya teroris yang diproses melalui sistem pidana Indonesia juga menimbulkan masalah dalam hal sistem penahanan dan pasca-penahanan yang belum dapat diatasi oleh pemerintah Indonesia sehingga tingkat residivisme cukup tinggi.
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
273
6.6
Perbandingan Penerapan Penggentaran melalui Pemberian Insentif di Singapura, Malaysia, Filipina, dan Indonesia Elemen terakhir dari penggentaran yang dibahas di dalam studi ini adalah
pemberian insentif yang mencakup insentif politik dan ekonomi. Tabel 6.7 di bawah ini memperlihatkan perbandingan elemen ini di Singapura, Malaysia, Filipina, dan Indonesia. Dalam hal insentif ekonomi, tampak dari tabel tersebut bahwa semua negara menjadikan insentif ekonomi sebagai bagian dari upaya penanggulangan terorismenya kecuali Singapura. Pemerintah Malaysia dan Indonesia menjanjikan peningkatan kesejahteraan bagi kelompok-kelompok yang marjinal sementara pemerintah Filipina menjalankan peningkatan kesejahteraan di wilayah konflik sebagai salah satu langkah kontraterorisme/kontrainsurgensinya. Pemerintah Filipina juga menjadikan insentif ekonomi sebagai bagian dari negosiasi politiknya secara langsung dengan kelompok insurgen untuk menekan koalisi di antara insurgen dan teroris.
.
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
274
Penggentaran Melalui Pemberian Insentif a. Insentif Politik
Tabel 6.7. Perbandingan Penggentaran melalui Pemberian Insentif di Singapura, Malaysia, Filipina, dan Indonesia dalam Penanggulangan Terorisme Singapura Malaysia Filipina
Tidak ada insentif politik kepada warga negara secara umum dalam bentuk demokratisasi atau partisipasi politik yang lebih luas bagi kelompokkelompok minoritas Tidak ada konsesi politik kepada para tersangka atau simpatisan teroris yang telah ditahan. Yang ada adalah program rehabilitasi
Pemerintah Malaysia tidak menawarkan konsesi politik kepada kelompok teroris dan insentif politik kepada warga negara dalam bentuk demokratisasi. Demokratisasi tidak dipandang sebagai langkah jangka panjang untuk menanggulangi terorisme, justru dianggap kontraproduktif untuk keamanan dan stabilitas. Kerentanan Malaysia sama dengan Singapura, yaitu potensi krisis politik jika terjadi resesi ekonomi
Pemerintah Filipina memberikan insentif politik kepada MNLF dan MILF melalui otonomi yang lebih luas di wilayah Filipina Selatan Insentif politik (dan ekonomi) yang lebih luas menjadi bagian dari penawaran pemerintah agar kedua kelompok insurgensi tersebut berhenti memberikan perlindungan untuk Abu Sayyaf Group dan JI Pemerintah Filipina masih berada dalam proses negosiasi politik dengan kelompok-kelompok insurgen untuk otonomi yang lebih luas di Filipina Selatan
Indonesia
Indonesia yang sedang berusaha mengkonsolidasikan demokrasinya dapat dipandang sebagai insentif politik untuk menanggulangi terorisme dalam jangka panjang Secara langsung, belum terlihat insentif politik nyata kepada kelompokkelompok terkait terorisme yang memang menolak untuk masuk ke dalam saluran politik arus utama
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
275 Lanjutan Tabel 6.7 b.
Insentif Ekonomi
Tidak ada penyebutan langkah-langkah peningkatan ekonomi atau kesejahteraan bagi kelompok-kelompok minoritas maupun tersangka/narapidana teroris dan keluarganya Dengan situasi seperti ini, Singapura menghadapi kerentanan jika terjadi resesi ekonomi yang mengakibatkan standar hidup warganya
Kebijakan peningkatan ekonomi dan kesejahteraan menjadi salah satu langkah pemerintah Malaysia untuk mencegah penyebaran ideologi ekstrim. Target atau sasaran kebijakan ini kurang jelas apakah kepada seluruh masyarakat atau difokuskan pada komunitas-komunitas tertentu dan tersangka/tahanan teroris
Insentif ekonomi dalam bentuk peningkatan kehidupan masyarakat dan layanan publik di Basilan menjadi bagian integral dari strategi penanggulangan terorisme/insurgensi pemerintah Filipina
Insentif ekonomi menjadi bagian integral dari upaya deradikalisasi Polri (Densus 88) yang ditujukan kepada tersangka dan narapidana teroris beserta keluarga dan simpatisannya. Hal ini masih berupa upaya ad hoc dan belum terlembagakan Insentif ekonomi dalam bentuk peningkatan kesejahteraan yang lebih luas kepada kelompokkelompok marjinal (seperti halnya di Filipina) menjadi bagian dari Draft Strategi kontra-radikalisasi BNPT, namun belum jelas rencana implementasinya
Sumber: Diolah dari berbagai sumber, 2012
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
276
Dalam hal insentif politik, hanya Filipina dan Indonesia yang menjadikan partisipasi politik yang lebih luas dalam konteks demokratisasi sebagai bagian dari upaya penanggulangan terorisme di negaranya dalam jangka panjang. Hanya Pemerintah Filipina yang melakukan negosiasi politik secara langsung (dengan kelompok-kelompok insurgen) untuk menekan insurgensi sekaligus terorisme di negaranya (dikombinasikan dengan pendekatan militer). Indonesia seperti halnya Filipina memandang demokratisasi sebagai insentif politik jangka panjang untuk menanggulangi terorisme, namun tidak secara langsung menawarkan konsesi politik kepada kelompok-kelompok teror yang memang menolak untuk berpartisipasi dalam saluran politik resmi arus utama. Efek penggentaran dari insentif politik ini belum terlihat karena sifatnya yang jangka panjang dan ditujukan untuk mengatasi penyebab yang sifatnya struktural. Demokratisasi yang masih prosedural-transisional dan disertai pelemahan negara justru memberi jalan bagi eskalasi teror di Indonesia dalam satu dekade terakhir. Meskipun demikian, dalam jangka panjang, demokratisasi masih dipandang sebagai sesuatu yang dapat menanggulangi akar penyebab terorisme di Indonesia sehingga yang harus dipercepat adalah konsolidasi demokrasi dan penguatan negara dalam menjalankan rule of law untuk menjaga demokrasi
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
BAB 7 SIMPULAN DAN REKOMENDASI
Pasca-serangan 9/11, Asia Tenggara sempat dikatakan sebagai the second front dalam Perang Global Melawan Teror karena aktivitas teroris terkait AlQaeda di kawasan tersebut. Terorisme gelombang keempat yang menggunakan agama sebagai justifikasi dengan sudut pandang yang bersifat transnasional, bahkan global, dikatakan berkembang di Asia Tenggara dengan JI sebagai organisasi induknya. Organisasi tersebut menetapkan wilayah kerja yang turut mencakup Indonesia, Malaysia, Singapura, dan Filipina. Pada sepuluh tahun terakhir
(2001-2010),
serangan
teroris
transnasional
yang
disebut-sebut
melibatkan JI paling banyak terjadi di Indonesia, yakni sebesar 75% (RAND Database, 2011). Persentasenya meningkat menjadi 100% apabila yang dihitung hanyalah serangan JI yang benar-benar bersifat internasional. Peringkat kedua ditempati oleh Filipina (25%) sedangkan di Malaysia dan Singapura tidak ada insiden terorisme transnasional sama sekali. Terlibatnya anggota kelompok teroris transnasional yang berasal dari luar Indonesia namun merencanakan dan melancarkan serangan di Indonesia sempat menimbulkan kekhawatiran akan fenomena ‟ekspor teroris‟ ke Indonesia yang menyebabkan insiden terorisme transnasional di Indonesia lebih tinggi jika dibandingkan dengan negara-negara tetangga. Penelitian ini berusaha untuk menjawab pertanyaan mengapa jumlah serangan terorisme transnasional dalam satu dekade terakhir paling banyak terjadi di Indonesia dibandingkan dengan di Singapura, Malaysia, dan Filipina. Penelitian ini mencari jawaban dari sisi negara, yakni langkah-langkah yang dilakukan atau tidak dilakukan pemerintah untuk mengurangi insiden terorisme di negaranya yang pada gilirannya mempengaruhi jumlah serangan terorisme di negara tersebut. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, penelitian ini menggunakan metode komparasi dengan menjabarkan dan membandingkan upaya penanggulangan terorisme yang dilakukan keempat negara dalam rangka mencegah dan mengurangi insiden terorisme di negaranya. Teori yang digunakan di dalam penelitian ini untuk menganalisis langkah-langkah penanggulangan terorisme 277 Universitas Indonesia
Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
278
pemerintah masing-masing negara adalah teori penggentaran (deterrence) yang terbagi menjadi tiga elemen, yaitu penggentaran melalui penangkalan (deterrence by denial), penggentaran melalui hukuman (deterrence by punishment), dan penggentaran melalui insentif politik dan ekonomi. Data dan analisis mengenai upaya menggentarkan teroris di masing-masing negara dipaparkan secara individual dari bab 2 hingga 5. Sementara itu, bab 6 menganalisis ketiga elemen penggentaran di atas dalam mode perbandingan di keempat negara. Bab terakhir ini terbagi menjadi dua bagian, yaitu simpulan dan saran.
7.1
Hasil Analisis Tingginya Serangan Terorisme Transnasional di Indonesia Berdasarkan Teori Penggentaran Simpulan penelitian di bagian ini dibagi menjadi dua bagian. Yang
pertama adalah simpulan mengenai penerapan penggentaran di masing-masing negara secara individual dan yang kedua adalah simpulan mengenai perbandingan upaya penggentaran teroris di keempat negara yang menggali kekuatan relatif masing-masing negara.
7.1.1
Upaya Menggentarkan Teroris di Singapura Sebagaimana dipaparkan di bab 3, penerapan penggentaran untuk
menanggulangi terorisme di Singapura dijalankan secara sangat ekstensif di seluruh elemen penggentaran yang dibahas, kecuali dalam hal pemberian insentif politik dan ekonomi. Di tingkat kebijakan, pemerintah Singapura telah mengeluarkan kebijakan yang koheren, komprehensif, dan terintegrasi untuk memandu
langkah
penanggulangan
terorisme
di
negaranya
dengan
mempublikasikan buku putih penanggulangan terorisme yang sekaligus ditujukan sebagai panduan partisipasi publik dalam penanggulangan terorisme. Adanya kebijakan yang koheren ini menjadi sumber daya yang penting dalam penanggulangan terorisme yang bersifat lintas-sektoral. Dalam hal kelembagaan, pemerintah Singapura telah mengubah orientasi lembaga keamanannya dari pendekatan hirarkis-terspesialisasi menjadi lebih konvergen dan terintegrasi dan melembagakan peningkatan koordinasi di antara badan-badan pemerintah dan lembaga keamanannya.
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
279
Strategi
penanggulangan
terorisme
Singapura
yang
menekankan
pencegahan dan perlindungan fisik sebagai pertahanan lapis utama serta kewaspadaan terus-menerus dari segenap komponen bangsa mencerminkan persepsi ancaman Pemerintah Singapura yang sangat tinggi terkait terorisme transnasional. Pemerintah Singapura mempersepsikan negaranya sebagai target utama serangan terorisme kontemporer karena kedekatannya dengan AS dan kepentingan kapitalis. Terorisme dipandang sebagai sebuah ancaman strategis jangka panjang yang sewaktu-waktu dapat menghantam Singapura jika mereka lengah sedikit saja. Dalam hal penggentaran melalui penangkalan di tingkat taktis, Pemerintah Singapura
menjalankan
langkah-langkah
pengetatan
keamanan
yang
komprehensif pasca-serangan 9/11 di sektor penerbangan, maritim, transportasi publik darat, dan infrastruktur kritis. Singapura telah melampaui standar internasonal di beberapa sektor ini dan memiliki mekanisme review dan perbaikan celah keamanan di masing-masing sektor. Meskipun dapat dikatakan sebagai informasi yang sensitif, langkah-langkah pengamanan yang dijalankan pemerintah Singapura di berbagai sektor ini dipublikasikan secara terbuka, termasuk dalam hal perlindungan infrastruktur kritis. Dibukanya langkah-langkah pengamanan ini dapat dikatakan sebagai upaya penggentaran tersendiri untuk memberi sinyal yang jelas bahwa pertahanan Singapura tidak bisa ditembus. Dalam hal penggentaran melalui penangkalan di tingkat operasional (penangkalan kapabilitas teroris), Pemerintah Singapura juga telah melakukan langkah-langkah pengetatan keamanan dengan pola yang sama dengan penangkalan di tingkat taktis yang mencakup kontrol perbatasan, senjata, pendanaan terorisme (regulasi finansial), dan kontrol sumber internet. Dalam hal teknologi dan prosedur kontrol perbatasan dan kontrol pendanaan, Singapura adalah yang terbaik di Asia Tenggara. Data lebih detil mengenai penangkalan kapabilitas teroris di Singapura dapat dilihat di bagian 2.3.2. Dalam hal penggentaran melalui penangkalan di tingkat strategis atau penghilangan motivasi teroris, langkah-langkah yang dijalankan Pemerintah Singapura mencakup inisiatif deradikalisasi atau rehabilitasi tahanan dan tersangka teroris, kampanye publik, dan restriksi penyebaran wacana radikal
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
280
melalui hukum-hukumnya yang represif. Hal ini juga dijalankan melalui pembangunan ketahanan masyarakat terhadap serangan teroris melalui langkahlangkah persiapan terhadap serangan dan pemulihan pasca-serangan yang direncanakan secara sistematis mulai dari strategi hingga kelembagaan penanganan krisis. Efek dari penggentaran di tingkat ini lebih samar, namun tidak kalah penting karena mensinyalkan kepada teroris bahwa penggunaan metode terorisme tidak akan dapat mengguncang negara ini untuk waktu lama sehingga tidak akan dapat mencapai tujuan strategisnya. Dalam hal penggentaran melalui hukuman, yang menjadi ujung tombak penciptaan efek tersebut di Singapura adalah UU Keamanan Internal atau ISA yang memiliki elemen penahanan preventif. Penegakan hukum melalui ISA yang represif adalah satu-satunya langkah penggentaran melalui hukuman yang dilakukan pemerintah Singapura karena tidak ditemukan data yang menunjukkan bahwa Singapura melakukan upaya-upaya pembunuhan bersasaran atau retaliasi masif terhadap teroris. Sementara itu, penawaran insentif politik dan ekonomi tidak menjadi bagian dari kebijakan penanggulangan terorisme, baik secara langsung maupun tidak langsung. Akan tetapi, dapat dikatakan bahwa legitimasi penanggulangan
terorisme
pemerintah
Singapura
bergantung
pada
laju
perekonomian yang tinggi dan penurunan standar hidup warga negara Singapura dapat berakibat fatal terhadap upaya penanggulangan terorisme di negara tersebut yang cenderung mengandalkan pendekatan represif dan kontrol yang ketat terhadap kehidupan warga negaranya.
7.1.2
Upaya Menggentarkan Teroris di Malaysia Data mengenai upaya penggentaran teroris di Malaysia yang dipaparkan di
bab 3 tidak selengkap Singapura. Dalam hal kebijakan, Malaysia tidak memiliki sebuah dokumen yang koheren dan terintegrasi mengenai penanggulangan terorisme seperti halnya Singapura. Persepsi ancaman pemerintah Malaysia pun berbeda dalam hal Malaysia tidak dipersepsikan sebagai target serangan teroris, melainkan hanya sebagai tempat transit. Dalam hal kelembagaan, Malaysia pun tidak melakukan inovasi yang eksplisit seperti halnya di Singapura, melainkan tetap bersandar pada arsitektur kelembagaan keamanan yang lama.
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
281
Dalam hal penggentaran melalui penangkalan di tingkat taktis, data publik yang dapat diakses sangat sedikit dan tidak elaboratif. Di bidang pengerasan target, pemerintah Malaysia menekankan pada pengetatan keamanan di sektor penerbangan dan maritim dengan berusaha meningkatkan tingkat kepatuhannya terhadap standar internasional. Langkah-langkah peningkatan keamanan tersebut banyak yang baru berusia beberapa tahun, relatif lebih lambat dibandingkan Singapura. Tidak adanya data mengenai pengamanan transportasi darat dan infratstruktur kritis, termasuk target-target lunak, menunjukkan bahwa pengerasan target tidak menjadi tekanan pemerintah Malaysia sebagaimana halnya di Singapura atau sengaja tidak disediakan secara publik demi alasan keamanan itu sendiri. Sementara itu, di bidang penangkalan di tingkat operasional atau penangkalan kapabilitas, data yang tersedia menekankan pengetatan dalam hal kontrol perbatasan. Pemerintah Malaysia telah mulai menerapkan teknologi dan prosedur pemeriksaan orang dan barang yang telah diterapkan di Singapura (misalnya sistem biometriks) meskipun baru belakangan ini. Akan tetapi, masih ada celah dalam hal pengamanan perbatasan maritim yang juga berbatasan dengan Indonesia, khususnya di wilayah-wilayah yang cukup jauh dari Selat Malaka. Di tingkat strategis atau penghilangan motivasi teroris, yang menjadi titik tekan pemerintah Malaysia adalah perang ideologis yang diunggulkan sebagai pendekatan lunak (sama seperti Indonesia). Perang terhadap ideologi radikal ini dijalankan melalui perangkat negara yang dapat dikatakan juga bersifat represif dengan hukum-hukum yang mengkriminalisasi dan menekan setiap ajaran Islam yang menyimpang dari Islam moderat yang direstui dan dipromosikan negara. Malaysia juga memiliki program rehabilitasi tahanan dan tersangka teroris seperti halnya Singapura dan juga dilengkapi dengan sistem penahanan dan pascapenahanan yang lebih sistematis dan terprogram dibandingkan Indonesia. Beranjak pada penggentaran melalui hukuman, sama seperti di Singapura, yang menjadi ujung tombak pemerintah Malaysia adalah ISA dengan elemen penahanan preventifnya. Dengan menggunakan ISA, pemerintah Malaysia mengklaim telah membongkar jejaring terorisme transnasional di negaranya tanpa harus bersusah payah membuktikan di pengadilan seperti halnya di Indonesia dan
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
282
Filipina. Rezim hukum yang kuat ini dapat mencegah teroris dalam fase yang sangat dini, bahkan hingga fase rekrutmen dan indoktrinasi. Sistem hukum yang represif serta ketatnya pengawasan (surveillance) di Malaysia secara umum adalah faktor dominan yang menggentarkan teroris di Malaysia, sama halnya seperti di Singapura. Yang terakhir, dalam hal pemberian insentif politik, meskipun Malaysia mengklaim diri sebagai negara demokratik, partisipasi politik masyarakat yang lebih luas dalam konteks demokratisasi tidak dijadikan sebagai trayektori penanggulangan terorisme di Malaysia oleh rezim yang berkuasa saat ini. Sementara itu, dalam hal insentif ekonomi, pemerintah Malaysia lebih menyandarkan diri pada insentif warga negara Malaysia secara umum melalui peningkatan kesejahteraan dan pemertahanan standar hidup yang tinggi. Seperti halnya Singapura, pendekatan represif pemerintah Malaysia bergantung pada consent warga negaranya yang pada gilirannya bergantung pada laju pertumbuhan perekonomian yang tinggi. Negara ini rentan terhadap penurunan legitimasi penanggulangan terorismenya jika terjadi penurunan standar hidup.
7.1.3
Upaya Menggentarkan Teroris di Filipina Sebagaimana dipaparkan di bab 4, Filipina memiliki konteks yang berbeda
dibandingkan ketiga negara Asia Tenggara lainnya dalam hal ia memiliki insurgensi domestik yang hingga saat ini masih berlangsung wilayah Selatan negaranya. Meskipun bersaing dengan Indonesia dalam hal jumlah serangan terorisme transnasional yang terjadi, orientasi penanggulangan terorisme pemerintah Filipina yang utama tetap pada insurgensi dan terorisme domestik yang disuburkan dan menyuburkan aktivitas terorisme transnasional. Dalam hal kebijakan dan kelembagaan, pemerintah Filipina tidak memiliki dokumen yang koheren dan terintegrasi seperti halnya Singapura, namun memiliki arahan eksekutif yang cukup komprehensif, setidaknya di atas kertas. Dalam hal kebijakan, seluruh elemen penggentaran yang dibahas di dalam studi ini menjadi bagian dari upaya penanggulangan terorisme pemerintah Filipina di era kontemporer, termasuk retaliasi militer. Dalam hal kelembagaan, pemerintah Filipina menyusun struktur baru sekaligus mengaktifkan kembali lembaga-
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
283
lembaga keamanan yang lama. Masalah ego sektoral dan koordinasi antarpemerintah masih banyak disebutkan sebagai penghambat upaya penanggulangan terorisme di Filipina, sama seperti di Malaysia dan Indonesia. Dalam hal penggentaran melalui penangkalan di tingkat taktis, upaya pengerasan target yang dijalankan pemerintah Filipina paling terlihat di sektor penerbangan dan maritim yang memang dipandu oleh standar internasional. Di bidang transportasi darat dan perlindungan infrastruktur kritis, dijalankan pula berbagai langkah peningkatan keamanan. Namun, karena jumlah target di Filipina sangat banyak dan tersebar, wilayah Filipina tidak mungkin dapat terlindungi sepenuhnya. Di tingkat operasional, yang mencakup kontrol senjata, pendanaan, perbatasan, dan sumber daya internet, pemerintah Filipina dapat dikatakan masih berada di tahap peningkatan kapasitas dengan bantuan dari negara-negara maju. Pengawasan keamanan maritim yang bersinggungan dengan wilayah Indonesia adalah salah satu celah keamanan yang paling rawan. Sementara itu, di tingkat strategis pemerintah Filipina memasukkan respon terhadap serangan dan pemulihan pasca-serangan serta kontra-radikalisasi hingga ke tahap akar rumput dengan tekanan pada pembangunan komunitas di wilayah konflik. Dalam upaya menggentarkan teroris melalui hukuman, retalias militer melalui berbagai operasi penghilangan kapabilitas teroris yang dipimpin militer Filipina memimpin di depan sementara Kepolisian memainkan peran pendukung. Filipina memiliki hukum anti-terorisme tersendiri yang baru dikeluarkan lima tahun lalu, namun belum pernah digunakan untuk memproses teroris karena berbagai kelemahan inherennya. Tumpang-tindihnya kontrainsurgensi dan kontraterorisme di Filipina menimbulkan resiko tersendiri akan terjalinnya koalisi yang lebih erat di antara insurgen yang kadang-kadang menggunakan metode terorisme dan kelompok teror murni, termasuk teroris transnasional. Hukuman dalam bentuk retaliasi militer dan pemberian insentif politik dan ekonomi adalah dua sisi mata uang dalam kontrainsurgensi/kontraterorisme yang dijalankan di Filipina. Insentif politik diberikan secara langsung melalui pemberian konsesi politik pada insurgen dan negosiasi kekuasaan sementara insentif ekonomi ditawarkan melalui upaya peningkatan kesejahteraan di wilayah konflik.
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
284
7.1.4
Upaya Menggentarkan Teroris di Indonesia Indonesia secara inheren memiliki kerentanan terhadap terorisme
transnasional karena JI lahir di Indonesia dan memiliki keberlangsungan historis dengan gerakan untuk mendirikan negara Islam di Indonesia yang telah terbentuk bahkan sejak awal kemerdekaan. Kerentanan lebih jauh di Indonesia hadir dari proses demokratisasi yang memberi ruang bergerak yang leluasa bagi teroris untuk mendapatkan kapabilitas dan peluang menyerang karena negara dan pemerintah pusat mengalami pelemahan sejak era reformasi. Di tingkat kebijakan, Indonesia belum memiliki kebijakan yang koheren, menyeluruh, dan terintegrasi seperti halnya buku putih Singapura meskipun sejak tahun 2002 pemerintah Indonesia telah memandatkan penyusunan sebuah strategi nasional. Dapat dikatakan bahwa yang memandu penanggulangan terorisme di Indonesia saat ini adalah strategi internal Kepolisian yang didasarkan pada best practices penanggulangan terorisme. Karena itulah, di era kontemporer, langkah penanggulangan terorisme yang paling terlihat adalah penegakan hukum, khususnya penangkapan dan pembongkaran sel-sel teroris dan pemidanaan dengan menggunakan UU Anti-Terorisme. Hal ini berkorespondensi dengan persepsi Indonesia tentang terorisme kontemporer yang memandang terorisme sebagai kejahatan (kriminal) sekaligus ancaman keamanan nasional. Di tingkat kelembagaan, pemerintah menyusun struktur keamanan baru yang berupaya mengatasi masalah koordinasi dalam penanggulangan terorisme yang kemudian berevolusi menjadi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). Akan tetapi, di usianya yang masih muda, lembaga ini dikatakan masih berjuang dengan kapasitas kelembagaannya sehingga belum maksimal dalam hal upaya mengkoordinasikan langkah penanggulangan terorisme di Indonesia. Sementara itu, masih terdapat kebingungan dan perdebatan mengenai peran militer dan intelijennya, ditambah dengan persaingan antar-lembaga yang berakar pada ego sektoral dan perebutan sumber daya (anggaran). Dalam hal penangkalan peluang keberhasilan serangan teroris di tingkat taktis, seperti halnya Filipina, luas wilayah Indonesia yang besar dan target yang sangat banyak mengakibatkan perlindungan fisik tidak mungkin sempurna. Indonesia tidak memiliki strategi perlindungan infrastruktur kritis dan transportasi darat yang terintegrasi seperti halnya Singapura dan yang dapat dilihat hanyalah
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
285
upaya meningkatkan keamanan sektor penerbangan dan maritim sesuai standar internasional. Sektor maritim Indonesia memiliki kerentanan yang lebih tinggi karena masalah kronis dalam hal tumpang-tindih peraturan, wewenang instansi, ego sektoral, dan kapabilitas pengawasan dan interdiksi Angkatan Laut. Dalam hal penggentaran melalui penangkalan di tingkat operasional, masalah
kontrol
perbatasan
masih
menjadi
celah
keamanan
yang
mengkhawatirkan. Indonesia belum menerapkan sistem kontrol perbatasan yang canggih seperti halnya Singapura dan Malaysia dan pengetatan perbatasan masih bersifat ad hoc ketika terjadi eskalasi teror di wilayah tertentu. Dalam hal kontrol senjata dan pendanaan pun Indonesia masih harus mengejar implementasi yang efektif di lapangan dan ketertinggalan dalam hal kepatuhan terhadap standar internasional. Sementara itu, dalam hal kontrol internet, Indonesia tidak memiliki keleluasaan yang besar seperti Singapura dan Malaysia untuk mengontrol konten yang
radikal
karena
belum
ada
hukum
yang
memadai
untuk
mengkriminalisasinya. Dalam hal penggentaran melalui penangkalan di tingkat strategis, inisiatif deradikalisasi ad hoc Polri yang kemudian menjadi salah satu program BNPT menjadi fokus pendekatan lunak Indonesia, sama seperti Malaysia. Kritik terhadap pendekatan ini mendorong BNPT untuk menyusun strategi kontraradikalisasi yang sifatnya lebih luas seperti yang dilakukan di Malaysia yang hingga saat ini belum dipublikasikan. Dalam hal penggentaran melalui hukuman, Indonesia menyandarkan diri pada penegakan hukum berdasarkan UU Anti-Terorisme yang telah banyak memidanakan teroris, namun masih memiliki kelemahan fatal dalam hal sistem penahanan, pengawasan pasca-penahanan, dan kriminalisasi aktivitas teroris di tahap dini. Karena berbagai kelemahan inheren di dalam UU Anti-Terorisme dan proses pemidanaan, dapat dikatakan bahwa penegakan hukum di Indonesia lebih berperan dalam hal penggentaran melalui penangkalan kapabilitas sel teror dibandingkan dalam hal penggentaran melalui hukuman. Sementara itu, insentif politik diberikan secara tidak langsung melalui peningkatan peluang partisipasi politik dalam konteks demokratisasi dan insentif ekonomi diberikan secara langsung maupun tidak langsung melalui inisiatif deradikalisasi Polri dan juga
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
286
upaya meningkatkan layanan publik dan kesejahteraan pada kelompok-kelompok marjinal (yang tercantum di tingkat kebijakan namun implementasinya belum diketahui).
7.1.5
Perbandingan Upaya Penggentaran Teroris di Singapura, Malaysia, Filipina, dan Indonesia Organisasi teroris transnasional utama di kawasan Asia Tenggara, Jemaah
Islamiyah, dapat dikatakan berawal di Indonesia dan juga memilih Indonesia sebagai wilayah operasi dan rekrutmen. Fakta bahwa organisasi tersebut berakar di Indonesia dan memutuskan untuk melangsungkan operasi dan rekrutmennya di Indonesia menimbulkan asimetri resiko dibandingkan dengan ketiga negara lainnya. Akan tetapi, keputusan tersebut juga dipengaruhi oleh upaya penanggulangan teror oleh pemerintah Indonesia yang secara keseluruhan mempertinggi asimetri resiko yang telah ada tersebut dan hal itulah yang menjadi fokus penelitian ini. Penelitian ini membandingkan upaya pemerintah Singapura, Malaysia, Filipina, dan Indonesia dalam menggentarkan teroris di negaranya masing-masing dalam rangka mencegah dan mengurangi insiden terorisme. Dibandingkan dengan Singapura yang memandang dirinya sebagai target utama serangan teroris dan menekankan upaya pencegahan serta perlindungan, Indonesia tertinggal jauh dalam hal pertahanan fisik terhadap serangan teroris. Sementara itu, dalam hal penangkalan kapabilitas yang dibutuhkan untuk melangsungkan serangan teroris, Indonesia tertinggal dalam hal kontrol perbatasan, terutama di sektor maritim. Indonesia pun tertinggal dari Singapura dan Malaysia dalam hal teknologi kontrol perbatasan. Titik lemah lain Indonesia dibandingkan dengan Singapura, Malaysia, dan Filipina adalah kontrol pendanaan terhadap teroris yang masih belum memenuhi standar Financial Action Task Force sehingga masih berada di dalam daftar hitam atau negara yang beresiko tinggi. Selain itu, Indonesia pun belum memiliki strategi pemulihan pasca-serangan yang sistematis dan terlembagakan seperti halnya negara yang banyak mengalami serangan seperti Filipina atau bahkan Singapura yang justru belum pernah mengalami serangan teroris di era kontemporer namun memiliki rencana pemulihan pasca-serangan yang elaboratif.
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
287
Seluruh kelemahan relatif di atas membuat asimetri resiko terjadinya serangan teroris di Indonesia semakin besar. Akan tetapi, studi ini menemukan bahwa asimetri yang paling mencolok dan membuat Indonesia berada di dalam posisi yang tidak menguntungkan dibandingkan negara-negara tetangganya adalah dari segi hukum. Berakhirnya rezim Soeharto yang represif dan era UU antisubversi di Indonesia bersamaan dengan lahirnya transisi demokrasi yang belum selesai membuat Indonesia sendirian di tengah-tengah negara-negara tetangga yang masih menjalankan hukum represif (Singapura dan Malaysia) sehingga peluang untuk melakukan aktivitas-aktivitas terkait terorisme secara default menjadi lebih besar di Indonesia. Penelitian ini menemukan bahwa dengan hukum Anti-Terorisme yang ada saat ini, di mana aspek-aspek kegiatan teror di tahap dini belum bisa dikriminalisasi secara optimal (misalnya hate speech), Indonesia menyediakan ruang gerak yang lebih besar untuk perkembangan teror. Penegakan hukum yang ada pada saat ini pun belum memperlihatkan efek penggentarannya jika dibandingkan dengan klausul penahanan preventif ISA yang dijalankan pemerintah Singapura dan Malaysia, meskipun sukses dalam mengurangi kapabilitas jaringan teroris untuk melangsungkan serangan teror skala besar. Kesemua itu membuat Indonesia dipandang sebagai „surga‟ bagi gerakan terorisme. Meskipun demikian, proses demokrasi Indonesia pun membawa berbagai peluang untuk penanggulangan terorisme jangka panjang. Pendekatan lunak Indonesia dalam bentuk kontra-radikalisasi (bukan hanya deradikalisasi) yang masih berada di tahap perencanaan jika dijalankan dengan baik berpotensi menghasilkan efek penggentaran jangka panjang yang lebih genuine dibandingkan pendekatan ideologis yang represif seperti yang dijalankan di Malaysia dan Singapura sehingga perlu mendapat penekanan dan sumber daya yang memadai, termasuk dalam hal strategi dan kelembagaan. Sejak Bom Bali I pada tahun 2002, penanggulangan terorisme di Indonesia difokuskan pada pembongkaran sel dan pemidanaan. Pilihan untuk memfokuskan diri pada instrumen yang tajam ini memang rasional karena dengan wilayah yang luas dan jumlah penduduk yang sangat besar serta sumber daya yang terbatas, operasi penegakan hukum yang diarahkan oleh intelijen (yang merupakan
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
288
instrumen tajam) diperlukan untuk mengefisienkan sumber daya. Akan tetapi, Indonesia secara umum tampak masih melupakan instrumen tumpulnya, terutama dalam hal kontrol perbatasan dan kontrol faktor-faktor fasilitator seperti peningkatan pengawasan dokumen keimigrasian, kontrol senjata, dan pendanaan yang dapat mempersulit teroris untuk melangsungkan serangan di Indonesia. Peminggiran instrumen tumpul ini mempertinggi asimetri resiko dan peluang serangan yang telah ada sehingga harus diperbaiki.
7.2
Refleksi Teoretik tentang Penerapan Teori Penggentaran dalam Penanggulangan Terorisme di Singapura, Malaysia, Filipina, dan Indonesia Telah dipaparkan di bagian tinjauan pustaka bahwa penggunaan teori
penggentaran dalam konteks penanggulangan terorisme bukanlah sesuatu yang konvensional. Secara tradisional, kerangka teori penggentaran digunakan untuk menganalisis hubungan antar-negara yang diasumsikan berada dalam kondisi yang simetris, misalnya hubungan AS dan Uni Soviet di masa Perang Dingin. Sebaliknya, dalam konteks penanggulangan terorisme, situasi yang terjadi adalah situasi asimetris di mana negara yang memiliki kedaulatan dan monopoli atas penggunaan kekuatan bersenjata berhadap-hadapan dengan kelompok teroris yang memiliki kapabilitas beragam, namun biasanya lebih lemah dalam hal kekuatan militer konvensional. Dalam kacamata tradisional pula, kerangka teori penggentaran hanya berhubungan dengan hal-hal yang berkaitan dengan militer sedangkan dalam konteks penanggulangan terorisme, teori penggentaran turut mencakup elemen-elemen non-militer, misalnya informasi dan wacana (bahkan ideologi) sebagai sumber pengaruh. Perluasan cakupan aktor dan isu dalam teori penggentaran ini mencerminkan pergeseran studi penggentaran di dunia akademik pasca-serangan 9/11 yang kemudian disebut sebagai studi penggentaran gelombang keempat (Knopf, 2010). Ketepatan penggunaan kerangka teori penggentaran untuk menganalisis langkah-langkah penanggulangan terorisme negara masih menjadi perdebatan di antara dua kubu. Kubu pertama berpandangan bahwa penggentaran tidak dapat diterapkan kepada teroris gelombang keempat yang mencirikan era kontemporer
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
289
karena basisnya sangat ideologis dan bukan kalkulasi rasional, sedangkan penggentaran bersandar pada asumsi bahwa aktor yang terlibat melakukan pembuatan keputusan secara rasional. Secara praktis, kubu ini memandang bahwa penggentaran tidak dapat dilakukan karena terorisme seringkali tidak memiliki basis yang tetap dan menyebar di antara masyarakat (Knopf, 2010). Sementara itu, kubu kedua berargumen bahwa penggentaran tetap relevan dan dapat diterapkan untuk kasus terorisme, bahkan yang irasional sekalipun, karena memiliki elemen penangkalan dan bukan hanya hukuman. Mereka berargumen bahwa secara praksis, penggentaran memainkan peran penting untuk menjembatani upayaupaya penanggulangan akar penyebab terorisme yang membutuhkan waktu yang sangat panjang dan langkah-langkah taktis pemberantasan terorisme melalui penggunaan kekuatan militer yang seringkali justru bersifat kontraproduktif. Berbagai studi kasus mengenai penerapan strategi penggentaran secara empiris menunjukkan bahwa penggentaran dapat dilakukan untuk menanggulangi terorisme meskipun kesuksesannya bervariasi dan bergantung pada karakteristik teroris yang dihadapi. Gabungan penggentaran melalui hukuman dan insentif, misalnya, efektif untuk menghadapi kelompok insurgen yang berjalin-kelindan dengan kelompok teroris, yang juga menggunakan metode terorisme untuk mencapai tujuannya di Filipina Selatan. Sementara itu, penggentaran melalui hukuman retalias masif juga dipraktikkan secara meluas oleh Israel, terlepas dari kontroversi dan inefektivitasnya dalam memadamkan perlawanan rakyat Palestina dan HAMAS. Dari kedua contoh kasus tersebut, dapat dikatakan bahwa penggentaran yang bersandar pada kombinasi tradisional ancaman hukuman dan insentif lebih efektif dalam menghadapi kelompok yang memiliki tujuan strategis (yaitu untuk memperoleh kekuasaan politik dalam kerangka tatanan sosial yang sama) dan bukan hanya dorongan ideologi. Biasanya kelompok teroris jenis ini adalah yang berbasis etnis atau nasionalis dan lebih berorientasi lokal atau nasional dibandingkan global. Penelitian ini mengkaji penerapan penggentaran untuk menghadapi kelompok teroris transnasional di Asia Tenggara yang diwakili oleh JI, organisasi dan gerakan Islam yang bertujuan mendirikan negara Islam di Asia Tenggara. Di satu sisi, organisasi ini bersifat hirarkis dan memiliki trayektori politik jangka
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
290
panjang (merebut kekuasaan politik negara) sehingga memiliki liabilitas strategis yang dapat dimanfaatkan untuk menerapkan penggentaran melalui hukuman (yang diancam adalah resonansi dan relevansinya di masyarakat sebagai target yang dicoba dipengaruhi). Akan tetapi, di sisi lain, karena interaksi dengan gerakan jihad global yang dipimpin Al-Qaeda, organisasi ini sedikit banyak menjadi berorientasi global dan kehilangan kalkulasi strategisnya dan akhirnya terpecah menjadi kelompok-kelompok sempalan yang lebih ideologis dan tidak memiliki komando sentral, yang lebih sulit digentarkan melalui hukuman atau penawaran insentif. Dinamika dan evolusi organisasi ini menyebabkan penerapan penggentaran terhadapnya menciptakan dampak yang bervariasi. Dari keempat negara yang dibahas dalam penelitian ini, hanya Filipina yang masih bersandar pada pendekatan operasi militer dalam menggentarkan teroris transnasional. Hal ini disebabkan oleh konteks insurgensi Moro yang melanda Filipina. Kelompok teror transnasional memanfaatkan situasi insurgensi tersebut untuk membangun aliansi dan mengembangkan gerakan mereka. Filipina secara spesifik dimanfaatkan sebagai tempat pelatihan militer dan juga tempat melangsungkan serangan. Terlihat dalam kasus Filipina bahwa situasi sosialpolitik, dalam hal ini insurgensi, menentukan pendekatan yang diambil pemerintah untuk menangani terorisme. Kondisi demografis Filipina di mana penduduk muslim tidak signifikan mengurangi kekangan pemerintah untuk menggunakan pendekatan militer terbuka yang mungkin akan menimbulkan reaksi keras jika diterapkan di Indonesia seperti yang terjadi di era penumpasan GAM. Dalam kasus Filipina, dapat dikatakan bahwa penggentaran secara tradisional dalam bentuk ancaman hukuman (retaliasi militer dan penegakan hukum) dan insentif (konsesi politik) dapat diterapkan untuk menanggulangi terorisme, meskipun efektivitasnya terhambat oleh kompleksitas politik lokal yang berbasis klan. Dalam kasus Singapura dan Malaysia yang tidak memiliki basis terorisme domestik yang signifikan seperti halnya di Indonesia dan memiliki situasi sosialpolitik yang hampir sama, penggentaran yang secara efektif dijalankan adalah penggentaran melalui penangkalan dan hukuman. Dalam kasus Singapura, kombinasi di antara penggentaran melalui penangkalan di tiga tingkat (taktis,
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
291
operasional, dan strategis, namun terutama di tingkat taktis dan operasional) terbukti berhasil menggentarkan teroris dari melakukan serangan ke wilayahnya dengan cara membuatnya tidak mungkin untuk dilakukan secara praktis. Penggentaran lain yang sangat efektif dijalankan di Singapura (dan juga Malaysia) adalah penahanan preventif dengan menggunakan ISA. ISA dalam hal ini berperan ganda sebagai penangkal dan juga penghukum. Penggentaran melalui penangkalan di tingkat strategis yang bersandar pada perang ideologis belum terlihat keberhasilannya karena memang sifatnya jangka panjang. Hal yang sama terjadi di Malaysia, meskipun tekanannya pada perang ideologi lebih besar dibandingkan dengan Singapura. Jadi, untuk dua kasus tersebut, dapat dikatakan bahwa jenis penggentaran yang efektif adalah penggentaran di tingkat taktis dalam bentuk intelijen dan perlindungan fisik, di tingkat operasional berupa kontrol yang ketat terhadap faktor-faktor fasilitator terorisme (dalam hal ini wilayah, senjata, dan pendanaan) dan kontrol masyarakat secara umum dengan menggunakan hukum yang represif. Situasi sosial-politik sangat menentukan di sini, di mana masyarakat Singapura dan Malaysia yang masih terkontrol dan belum memasuki tahap transisi demokrasi membuat pemerintah mudah untuk menjalankan kebijakan penggentarannya. Persepsi elit yang memandang kestabilan keamanan dan politik di atas segala-galanya juga menentukan dalam memprioritaskan langkah-langkah penggentaran teroris, termasuk dengan menekan warga negaranya sendiri. Untuk kasus Indonesia, dalam satu dekade ini, dapat dikatakan bahwa satu-satunya
penggentaran
yang
bekerja
adalah
penggentaran
melalui
penangkalan kapabilitas teroris melalui pembongkaran sel-sel teror dan pemidanaan tokoh-tokoh kunci jejaring teror. Dalam hal pertahanan fisik, wilayah Indonesia yang sangat luas, target yang sangat banyak, serta sumber daya yang terbatas (termasuk dalam hal strategi) membuat penggentaran melalui penangkalan peluang serangan tidak berjalan secara maksimal. Dalam hal ini, kelemahan intelijen (sebagian menyebutnya „kegagalan intelijen‟) berperan besar dalam kegagalan Indonesia menekan jumlah terorisme menjadi nol seperti halnya pemerintah Singapura dan Malaysia.
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
292
Sebaliknya, upaya penggentaran melalui hukuman yang dijalankan pemerintah Indonesia melalui pemrosesan secara hukum dianggap salah satu yang paling sukses dalam ukuran sel teror yang berhasil dibongkar dan jumlah teroris yang berhasil dipenjarakan. Yang menarik, karena kelemahan inheren dalam substansi legislasi anti-teror Indonesia, digabungkan dengan masih bobroknya pengelolaan sistem penahanan (termasuk korupsi yang endemik), dan tidak adanya pengawasan pasca-penahanan yang memadai, upaya penggentaran melalui hukuman tidak berjalan secara maksimal (dalam hal efek penjeraan dan pencegahan), melainkan baru berhasil dalam tahap penghilangan kapabilitas kunci teroris, yakni sumber daya manusia yang memiliki keterampilan tinggi dalam mengorganisasi, merencanakan, dan mengeksekusi serangan teror. Oleh karenanya, sejak serangan besar terakhir pada tahun 2009, di Indonesia belum ada lagi serangan teror yang bersifat masif dan berskala besar. Kecenderungan bentuk teror di Indonesia justru beralih pada perang urban di antara kelompok-kelompok bersenjata dan polisi dan serangan-serangan yang lebih bersifat individual dalam suatu rangkaian aksi-reaksi dan hal ini dapat diklaim sebagai keberhasilan penggentaran dalam bentuk penangkalan kapabilitas di tingkat operasional, khususnya kapabilitas sumber daya manusia. Dengan demikian, secara teoretik penelitian ini memperlihatkan bahwa kerangka teori penggentaran dapat diterapkan untuk kasus terorisme yang berlandaskan ideologi dan dianggap irasional seperti di Asia Tenggara dan khususnya Indonesia. Namun, elemen penggentaran yang lebih dominan memang elemen penggentaran yang sifatnya lebih pasif, yakni penangkalan. Sementara itu, keberhasilan elemen penggentaran yang lebih aktif, yakni ancaman hukuman, kurang terlihat. Terlihat pula bahwa pemberian insentif secara langsung sebagai bagian dari strategi penggentaran tidak efektif karena karakter teroris yang resisten terhadap tatanan politik dan sosial arus utama. Pemberian insentif ekonomi sebagai bagian dari strategi penggentaran hanya dapat dilakukan dalam skala terbatas untuk para tahanan teroris dengan efektivitas yang masih belum bisa diprediksi karena potensi relapse masih mungkin terjadi. Hasil penelitian ini memperkuat tipologi Trager et al. mengenai potensi keberhasilan penggentaran untuk menangani teroris yang menyatakan bahwa
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
293
teroris bermotivasi tinggi (ideologis) yang tujuannya tidak dapat dikompromikan seperti di Indonesia dapat digentarkan melalui penangkalan yang mengarah pada pertahanan fisik dan penangkalan kapabilitas (perusakan jejaring logistik), serta penghilangan dukungan masyarakat melalui perang wacana. Dari sisi teoretik, penelitian ini merekomendasikan dilakukannya penelitian lanjutan mengenai salah satu elemen penggentaran yang spesifik di Indonesia dalam bentuk studi kasus yang mendalam sehingga didapatkan pengetahuan mengenai efektivitas elemen penggentaran tersebut. Untuk mengatasi kelemahan penelitian ini yang hanya melihat dari sisi negara, penelitian lanjutan didorong untuk mengadopsi pendekatan strategis-relasional (SRA) yang mengambil sisi negara (struktur) maupun kelompok atau individu (agen) sebagai unit analisis, termasuk interaksi timbal-balik di antara mereka.
7.3
Rekomendasi Kapasitas
penanggulangan
terorisme
Indonesia
telah
mengalami
peningkatan sejak serangan bom di Bali pada tahun 2002 berkat banyaknya bantuan luar negeri yang mengalir ke Indonesia. Upaya penegakan hukum melalui pembongkaran sel dan pemidanaan teroris menjadi fokus yang mendominasi upaya penanggulangan teroris di Indonesia dalam satu dekade ini. Fokus pada operasi hukum yang diarahkan intelijen yang merupakan instrumen tajam adalah pilihan rasional di tengah sumber daya yang terbatas. Akan tetapi, celah penegakan hukum juga merupakan faktor asimetri yang membuat Indonesia lebih menarik untuk diserang dibandingkan dua negara tetangganya, Singapura dan Malaysia, yang memiliki ISA. Studi ini tidak merekomendasikan diadopsinya kembali ISA yang memiliki elemen pencegahan preventif dan penahanan tanpa batas seperti di kedua negara tersebut karena hal tersebut justru akan meningkatkan kerentanan Indonesia terhadap serangan teroris dalam jangka panjang. Legitimasi penanggulangan terorisme yang bergantung pada consent terhadap represi yang bersandar pada pertumbuhan ekonomi yang tinggi sangat rapuh dan rentan terhadap perubahan ekonomi global. Akan tetapi, karena inadekuasi hukum menjadi faktor utama mengapa terjadi „protection race,’ khususnya di antara
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
294
Indonesia dengan Singapura dan Malaysia, revisi bersyarat UU anti-terorisme menjadi sebuah keharusan sambil menjaga transisi demokratik. Revisi ini harus dilakukan dengan membuat segala wewenang tambahan yang diberikan kepada pemerintah terawasi dan dapat ditanggung-gugat. Faktor yang penting dalam revisi UU ini adalah kriminalisasi aktivitas terorisme di tahap dini, misalnya pengendalian hate speech yang harus didampingi dengan faktor oversight badan keamanan yang bersifat eksternal dan independen. Dalam hal akuntabilitas, Indonesia dapat memetik pelajaran dari UU anti-terorisme Filipina (Human Security Act) yang menekankan akuntabilitas, namun tidak pernah digunakan karena persyaratannya terlalu rumit. Dari uraian di atas, terlihat pula bahwa Indonesia tampak mengabaikan instrumen tumpulnya karena terlalu fokus pada intrumen tajamnya. Kontrol perbatasan, terutama di sektor maritim, dan peningkatan kontrol imigrasi melalui penerapan sistem biometriks adalah dua hal yang perlu diprioritaskan dalam agenda penanggulangan pemerintah. Integrasi wewenang keamanan perbatasan dan kontrol imigrasi serta bea cukai perlu dipertimbangkan untuk meningkatkan efisiensi. Integrasi wewenang pengamanan maritim dalam bentuk coast guard dan klarifikasi peran Bakorkamla juga harus segera dilakukan untuk menutup celah dengan ketiga negara lainnya. Selain itu, peningkatan kapabilitas maritim Angkatan Laut untuk mengawasi daerah perbatasan yang selama ini terabaikan, khususnya wilayah transit teroris di sekitar Laut Sulawesi, harus diprioritaskan untuk mengurangi wilayah-wilayah yang undergoverned. Dalam hal ini, pemerintah Indonesia dapat dan harus memanfaatkan momentum penanggulangan terorisme global untuk mengoptimalkan bantuan luar negeri di luar ranah-ranah yang dikuasai oleh Kepolisian, yang juga dapat mengurangi kecemburuan antarinstansi. Bantuan yang dimaksud bukan hanya bantuan pendanaan atau teknologi dalam bentuk bantuan bilateral seperti yang diberikan AS dan Australia, tetapi juga dapat berupa bantuan teknis dan administratif dari berbagai organisasi internasional dengan fokus yang terspesialisasi untuk meningkatkan standar keamanan Indonesia. Meskipun tidak secara langsung berkaitan dengan pembongkaran sel-sel teroris, meningkatnya kapabilitas pengawasan dan administrasi pemerintahan negara adalah no regret policy yang harus segera
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
295
diambil. Elemen instrumen lain yang juga kurang mendapatkan perhatian adalah rencana respon terhadap serangan dan pemulihan pasca-serangan yang berkontribusi pada pembangunan ketahanan sosial masyarakat terhadap serangan teroris. Yang terakhir, sembari „mengeraskan‟ perbatasan dan memperkuat penegakan hukumnya, janji peningkatan kesejahteraan yang diberikan pemerintah Indonesia,
khususnya
untuk
kelompok-kelompok
yang
marjinal,
harus
direalisasikan dalam bentuk peningkatan layanan sosial dasar dan penyediaan ruang publik yang memadai untuk menanpung aspirasi warga negara. Langkah kesejahteraan ini haruslah berbasis pemenuhan Hak Asasi Manusia, khususnya hak-hak sosial, ekonomi, dan budaya untuk mengurangi kecenderungan program peningkatan kesejahteraan yang berbasis proyek dan cenderung bersifat tambalsulam. Fokus pendekatan kesejahteraan ini haruslah mengembalikan kuasa dan sarana produksi kepada kelompok marjinal untuk mengurangi ketimpangan pemilikan sumber daya dan sarana produksi yang menimbulkan kesenjangan serta deprivasi. Sebagaimana dinyatakan oleh Tan dan Ramakrishna (2004), hal ini harus dilakukan agar tidak terjadi dilema “negara kuat” yang justru mengalienasi dan meradikalisasi warga negaranya sendiri. Keseluruh langkah di atas tidak akan dapat dilaksanakan secara koheren tanpa adanya strategi nasional penanggulangan terorisme yang komprehensif, sistematis, dan dibuat publik, yang harus segera dikeluarkan. Draft yang telah disusun oleh BNPT harus segera dikonsultasikan secara luas dengan elemen-elemen masyarakat sipil dan pakar serta harus disusun dalam bentuk yang dapat digunakan untuk memandu partisipasi publik dalam upaya penanggulangan terorisme pemerintah. Tanpa adanya langkah pertama tersebut, langkah-langkah lainnya beresiko akan terus menjadi upaya ad hoc yang menghasilkan efek penggentaran yang tambal sulam dan tidak permanen.
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
296
DAFTAR PUSTAKA
Abuza, Zachary. (2010). Indonesian counter-terrorism: The great leap forward. Terrorism Monitor Volume: 8 Issue: 14 Januari 2010. 6 Oktober 2012. http://www.jamestown.org/single/?no_cache=1&tx_ttnews%5Btt_news%5 D=35910 Abuza, Zachary. (2003). Militant Islam in Southeast Asia: Crucible of terror. Colorado: Lynne Acharya, Amitav. (2002). State-society relations: Asian and world order after September 11. Dalam Ken Booth and Tim Dunne. World in Collision. NY: Palgrave Macmillan. Dikutip dalam Eusaquito, Manalo P. (2004, Desember). The Philippine response to terrorism: the Abu Sayyaf Group. Tesis Master of Arts In Security Studies pada Naval Postgraduate School. 26 September 2012. www.fas.org/irp/world/para/manalo.pdf Afrido, Rico. (2012). 2012-2013, anggaran BNPT meningkat Rp 25,2 M. Sindonews. Com, 10 September 2012. 14 Januari 2013. http://m.sindonews.com/read/2012/09/10/33/671473/2012-2013-anggaranbnpt-meningkat-rp25-2-m Ali, Alman Helvas. (2008). Coast guard dan manajemen keamanan maritim. Forum Kajian Pertahanan dan Maritim. 9 Oktober 2012. http://www.fkpmaritim.org/?p=990 Amrullah, Muhammad. (2012). Strategi menghabisi terorisme dan radikalisme sampai akarnya. Nahdlatul Ulama Online. 8 Oktober 2012. http://nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,4-id,37696-lang,id-c,kolomt,Strategi+Menghabisi+Terorisme+dan+Radikalisme+sampai+Akarnya.phpx Andhika, Donny. (2012). Koordinasi intelijen antarlembaga lemah hadapi teror. Media Indonesia.com, 9 September 2012. 19 November 2012. http://www.mediaindonesia.com/read/2012/09/09/346941/284/1/Koordina si-Intelijen-Antarlembaga-Lemah-Hadapi-Teror Antisipasi Aksi Teror, Pengamanan Bandara Diperketat. Kabar17, 9 September 2012. 19 November 2012. http://kabar17.com/2012/09/antisipasi-aksiteror-pengamanan-bandara-diperketat/ Ashgar, Ali. (2011). Penanggulangan terorisme di Indonesia. Republik Pena. 25 September 2012. http://wwwaliasghar.blogspot.com/2011/08/penanggulangan-terorisme-diindonesia.html
Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
297
Armed Forces of the Phillipines. (2010). Internal peace and security plan. 26 September 2012. www.afp.mil.ph/pdf/IPSP%20Bayanihan.pdf Australian Embassy the Philippines. (Tanpa Tahun). Australia gifts Bureau of Immigration with state-of-the-art document examination equipment. 10 November 2012. http://www.australia.com.ph/mnla/medrel120921.html Australian Department of Foreign Affairs and Trade. (2004). Transnational terrorism: the threat to australia. 10 Februari 2012. http://www.dfat.gov.au/publications/terrorism/ dikutip dalam Corsi, Vincent. (2008, 30 April). Singapore counterterrorism measures. 15 Maret 2012. www.asiancrime.org/pdfdocs/Singapore_CT_Efforts_Corsi.doc Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. (2010, 23 Desember). Direktorat pertahanan dan keamanan. 14 Januari 2013. http://bappenas.go.id/node/50/2795/direktorat-pertahanan-dan-keamanan-/ Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. (2006). BAB 6: Pencegahan dan penanggulangan gerakan terorisme. 25 September 2012. www.bappenas.go.id/get-file-server/node/6122/ Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. (2005). BAB 6: Pencegahan dan penanggulangan terorisme. 8 Oktober 2012. www.bappenas.go.id/get-fileserver/node/3327/ Badan Pusat Statistik. (2011). Penduduk Indonesia hasil SP2010. 16 November 2012. http://pasuruankab.bps.go.id/index.php/pelayanan-statistik/sensusrilis/release-sp2010/release-sp2010-indonesia Banlaoi, Rommel C. (2008). Al-harakatul al-Islamiyyah: Essays on the Abu Sayyaf Group. Philippine Institute for Political Violence and Terrorism Research. 26 September 2012. http://pipvtr.com/pipvtr/files/Book_AHAI_Essays_on_ASG_Book_Banla oi_2008.pdf Banlaoi, Rommel. (2003). The war on terrorism in Southeast Asia. Quezon City: Strategic and Integrative Studies Center. Dikutip dalam Eusaquito, Manalo P. (2004, Desember). The Philippine response to terrorism: the Abu Sayyaf Group. Tesis Master of Arts In Security Studies pada Naval Postgraduate School. 26 September 2012. www.fas.org/irp/world/para/manalo.pdf Bar, Shmuel. (2008). Deterring terrorists: What Israel has learned. Policy Review, No. 149 (June/July).
Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
298
Beech, Hannah. (2010). What Indonesia can teach the world about counterterrorism. Time Magazine.com, 7 Juni 2010. 6 Oktober 2012. http://www.time.com/time/magazine/article/0,9171,1992246,00.html#ixzz 28VQCzJkd Bjorgo, Tore (ed). (2005). Root causes of terrorism: myths, reality, and ways forward. London and New York: Routledge. Bordadora, Norman. (2012). Philippines avoids international blacklist. Business Inquirer, 23 Juni 2012. 28 September 2012. http://business.inquirer.net/66937/philippines-avoids-internationalblacklist Bowen, Wynq. (2002). Deterring mass-casualty terrorism. The Global War on Terrorism. 15 Februari 2011. www.dtic.mil/doctrine/jel/jfq_pubs/0731.pdf Brimmer, Esther dan Daniel S. Hamilton. (2008). Introduction: five dimensions of homeland and international security dalam Knopf, Jeffrey W. (2010). The fourth wave in deterrence research. 20 Februari 2011. http://www.contemporarysecuritypolicy.org/assets/CSP-31-1%20Knopf.pdf Central Intelligence Agency. (2012). The world factbook. 22 September 2012. https://www.cia.gov/library/publications/the-worldfactbook/fields/2060.html Central Intelligence Agency (CIA). The World Factbook: Indonesia. 10 Oktober 2012. http://califia.pbworks.com/f/The+World+Factbook+-+Indonesia.pdf Chanlett-Avery, Emma. (2008). Singapore: Background and U.S. relations. Congressional Report Service. 23 September 2012. http://fpc.state.gov/documents/organization/115912.pdf Chua Sze How. (2007, 14 Januari). Border control and management. Presentasi dalam Asia-Pacific Programme for Senior National Security Officers (APPSNO) 14-20 Januari 2007. Chow, Jonathan T. (2005). Asean counterterrorism cooperation since 9/11. Asian Survey, Vol. 45, No. 2 (Mar. - Apr.) pp. 302-321. Published by: University of California Press Stable. 30 September 2010. http://www.jstor.org/stable/4497099 Comer, Charles. (2008). The parting of the Sulawesi Sea: How U.S. strategy in the region is slowly transforming the multinational environment in Southeast Asia’s Terrorist Transit Triangle. 10 November 2012. http://fmso.leavenworth.army.mil/documents/SulawesiSea.pdf
Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
299
Corsi, Vincent. (2008, 30 April). Singapore counterterrorism measures. 15 Maret 2012. www.asiancrime.org/pdfdocs/Singapore_CT_Efforts_Corsi.docDeb, Sushant. (2010, 29 Januari). Port of singapore’s counter terrorism preparedness. South Asia Analysis Group, Paper No. 3637. 21 September 2012. http://www.southasiaanalysis.org/%5Cpapers37%5Cpaper3637.html COT Institute for Safety, Security, and Crisis Management. (2008). Concepts of terrorism: Analysis of the rise, decline, trends and risk. Transnational Terrorism, Security, and The Rule Of Law. 17 Oktober 2011. www.transnationalterrorism.eu. Creagh, Sunanda. (2010). Indonesia's lax gun control a boon for militants – report, Reuters, 6 September 2010. 21 November 2012. http://www.reuters.com/article/2010/09/06/oukwd-uk-indonesia-gunsidAFTRE68516W20100906 Crenshaw, Martha. (2009). The logic of terrorism: terrorist behavior as a product of strategic choice. Dalam Howard, Russel D. et.al, (eds.). (2009). Terrorism and counterterrorism: understanding the new security environment, readings and interpretation third edition. NY: McGraw-Hill. Damayanti, Angel. (2012). Counterterrorism in Indonesia is a triumph?. Jakarta Post.com, 8 Mei 2012. 6 Oktober 2012. http://www.thejakartapost.com/news/2012/05/08/counterterrorismindonesia-a-triumph.html Davis dan Jenkins. (2002). Deterrence and influence in counterterrorism (note 45) dalam Knopf, Jeffrey W. (2010). The Fourth Wave in Deterrence Research. 20 Februari 2011. http://www.contemporarysecuritypolicy.org/assets/CSP31-1%20Knopf.pdf Deb, Sushant. (2009, 28 Desember). Counter terrorism efforts at singapore’s changi airport. South Asia Analysis Group, Paper No. 3573. 23 September 2012. http://www.southasiaanalysis.org/%5Cpapers36%5Cpaper3573.html Dela Cruz, Roderick T. (2011). Philippines’ per capita income hits $2,000, finally. Manila Standard Today, 4 April 2011. 11 November 2012. http://www.pinoyexchange.com/forums/showthread.php?t=506668 Departemen Perhubungan. (2005). Cetak biru transportasi udara (konsep akhir). Website Departemen Perhubungan. 19 November 2012.. http://hubud.dephub.go.id/files/dokumen/Cetak%20Biru%20Transportasi %20Udara%202005-2024.pdf Department of Statistics Singapore. (2011). Press release: household income increased in 2011 for all income groups. 23 September 2012. http://www.singstat.gov.sg/news/news/press14022012.pdf
Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
300
Dirjen Perhubungan Udara. (2012). Indonesia usulkan wajib periksa keamanan 100% bagi personil di bandara. 15 November 2012. http://hubud.dephub.go.id/?id+news+detail+1633 Dutter, Lee E. dan Ofira Seliktar. (2007). To martyr or not to martyr: Jihad is the question, what policy is the answer? Studies in Conflict & Terrorism, Vol. 30, No. 5 (May 2007), hh. 435–6 dalam Knopf, Jeffrey W. (2010). The Fourth Wave in Deterrence Research. 20 Februari 2011. http://www.contemporarysecuritypolicy.org/assets/CSP-31-1%20Knopf.pdf Eadie, Pauline E. (2011). Legislating for terrorism: The Philippines’ Human Security Act 2007. 9 November 2012. Journal of Terrorism Research. https://www.st-andrews.ac.uk/~cstpv/jtr/v2i3/jtr_v2i3_eadie.pdf Economy Report of Philippine Maritime Security. Tanpa Tahun. 10 November 2012. Eubank, William Lee dan Leonard Weinberg. (2000). Terrorism and political violence. Dikutip dalam Peter Benesh. The growing menace from traders in terror. Violence and Terrorism. Connecticut: Dushkin/McGraw Hill. Editorial: Born to die? (2010). Jakarta Post, 16 September 2010. 14 Januari 2013. http://www.thejakartapost.com/news/2010/09/16/editorial-born-die.html Empat stategi pemberantasan teroris versi BNPT. Viva News, 2 Agustus 2011. 8 Oktober 2012. http://nasional.news.viva.co.id/news/read/237532-4-stategipemberantasan-teroris-menurut-bnpt Eusaquito, Manalo P. (2004, Desember). The Philippine response to terrorism: the Abu Sayyaf Group. Tesis Master of Arts In Security Studies pada Naval Postgraduate School. 26 September 2012. www.fas.org/irp/world/para/manalo.pdf Faesol, Achmad. (2010). Rekonstruksi kekuatan sosial masyarakat lokal sebagai strategi preventif menanggulangi terorisme. Volume 13 Nomor 1 Januari Juni 2010. 8 Oktober 2012. http://ejournal.umm.ac.id/index.php/salam/article/viewFile/454/461_umm _scientific_journal.pdf Fatimah, Susi. (2012). Hukum Indonesia terlembek soal terorisme. Okezone.com, 17 Maret 2012. 10 Oktober 2012. http://news.okezone.com/read/2012/03/17/339/594994/hukum-indonesiaterlembek-soal-terorisme Financial Action Task Force (FATF). (2012). Public statement: High-risk and non-cooperative jurisdictions, 19 Oktober 2012. 13 November 2012.
Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
301
http://www.fatf-gafi.org/topics/high-riskandnoncooperativejurisdictions/documents/fatfpublicstatement19october2012.html Forest, James J. F. (ed.). (2007). Counterring terrorism and insurgency in the 21st century: international perspectives, Vol 2, combating the sources and facilitators. Westport et al.: Preager Security Internasional. Frey, Bruno S. (2004). Dealing with terrorism – stick or carrot?. Cheltenham: Edward Elgar dalam Knopf, Jeffrey W. (2010). The Fourth Wave in Deterrence Research. 20 Februari 2011. http://www.contemporarysecuritypolicy.org/assets/CSP-31-1%20Knopf.pdf Gavin Chua Hearn Yuit. (2009, 3 Desember). Singapore’s approach to counterterrorism. Combating Terrorism Center. 15 Maret 2012. http://www.ctc.usma.edu/posts/singapore%E2%80%99s-approach-tocounterterrorism Gershman, John. (2002). Southeast Asia: A second front?. Foreign Affairs, Vol. 81, No. 4 (Jul. – Aug), pp. 60. 30 November 2010. http://www.jstor.org/stable/20033240 Golose, Petrus Reinhard. (2009). Deradikalisasi terorisme: Humanis, soul approach, dan menyentuh akar rumput. Jakarta: Yayasan Pengembangan Kajian Kepolisian (YPKK). Gray, Colin. (2003). Maintaining effective deterrence dalam Knopf, Jeffrey W. (2010). The Fourth Wave in Deterrence Research. 20 Februari 2011. http://www.contemporarysecuritypolicy.org/assets/CSP-31-1%20Knopf.pdf Gray, Colin S. (2007). War, peace and international relations: an introduction to strategic history. USA and Canada: Routledge. Global Terrorism Database dalam www.start.umd.edu/gtd/ Gunaratna, Rohan. (2003). “Understanding Al Qaeda and its Network in Southeast Asia.” Bab 5 dalam Buku Ramakhrisna, Kumar dan See Seng Tan. (2003). After Bali: The threat of terrorism in Southeast Asia. Singapore: Institute of Defence and Strategic Studies. Gunaratna, Rohan. (Tanpa Tahun). Terrorism in Southeast Asia: Threat and response. Center for Eurasian Policy Occasional Research Paper Series II (Islamism in Southeast Asia). 30 November 2010. http://counterterrorismblog.org/site-resources/images/GunaratnaTerrorism%20in%20Southeast%20Asia-Threat%20and%20Response.pdf Ho Peng Kee. (2006, 12 April). Ceramah kunci dalam konferensi internasional mengenai terorisme di asia tenggara: ancaman dan respon. Institute for
Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
302
Security and Defense Studies. 12 Februari 2011. http://www.singaporeunited.sg/cep/index.php/web/NewsRoom/International-Conference-on-Terrorism-in-Southeast-Asia-KeynoteSpeech-by-Assoc-Prof-Ho-Peng-Kee Hoffman, Bruce. (2008). Concepts of terrorism: Analysis of the rise, decline, trends and risk. Transnational Terrorism, Security, and the Rule of Law. 17 Oktober 2011. www.transnationalterrorism.eu. Hoffman, Bruce. (2005, 29 September). Evolving counterterrorism strategy. 20 Maret 2012. http://foreignaffairs.house.gov/archives/itnhear.htm
Hukum terorisme Indonesia tidak tegas, 29 Juli 2010. 10 Oktober 2012. http://indonesia.ucanews.com/2010/07/29/hukum-terorisme-indonesiatidak-tegas/ Hussain, Zakir. (2008, 23 April). See ISD’s work in context: PM Lee says that the agency has won respect both at home and abroad. The Straits Times dalam Corsi, Vincent. (2008, 30 April). Singapore counterterrorism measures. 15 Maret 2012. www.asiancrime.org/pdfdocs/Singapore_CT_Efforts_Corsi.doc Hwang, Chernov dan Villarosa, Shari. (2011). Presentasi dalam Seminar CounterTerrorism Strategy in Indonesia: Adapting to a Changed Threat. 6 Oktober http://www.usindo.org/resources/counter-terrorism-strategy-in2012. indonesia-adapting-to-a-changed-threat-2 Indonesia to fund terrorist rehabilitation program. (2012). Global Times. 6 Oktober 2012. : http://www.globaltimes.cn/content/732963.shtml Inilah Bantuan Militer AS untuk Keamanan Maritim Indonesia. Republika.co.id, 1 Februari 2012. 8 Oktober 2012. http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/12/02/01/lypsgg-inilahbantuan-militer-as-untuk-keamanan-maritim-indonesia International Civil Aviation Organization (ICAO). Indonesia: A strategicallylocated archipelago. ICAO Journal Issue 2 2012. 17 November 2012. www. ICAO. Intl International Crisis Group. (2008, 14 Mei). The Philippines: Counter-insurgency vs. Counter-terrorism in Mindanao Crisis Group Asia Report °152. 26 September 2012. http://www.crisisgroup.org/~/media/Files/asia/southeastasia/philippines/152_counterinsurgency_vs_counter_terrorism_in_mindan ao.pdf
Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
303
International Crisis Group. (2010). Illicit arms in Indonesia. 21 November 2012. http://www.crisisgroup.org/en/publication-type/mediareleases/2010/asia/illicit-arms-in-indonesia.aspx International Crisis Group. (2012). Indonesia: From vigilantism to terrorism in Cirebon. 15 November 2012. http://www.crisisgroup.org/en/publicationtype/media-releases/2012/asia/indonesia-from-vigilantism-to-terrorism-incirebon.aspx Interpol (Tanpa Tahun). Singapore. 21 September 2012. https://www.interpol.int/Public/BioTerrorism/NationalLaws/Singapore.pdf Internal Security Act. (1985). Chapter II Powers of Preventive Detention. Pasal 8 ayat (1) dan (2). 21 September 2012. Singapore Statutes Online, http://statutes.agc.gov.sg/ Internal Security Act. (1985). Section II, Chapter III Special Powers to Relating to Subversive Publications etc, Pasal 20. Singapore Statutes Online. 21 September 2012 http://statutes.agc.gov.sg/ Internal Security Act. (1985). Chapter 143. Attorney General’s Chamber. 23 September 2012. http://statutes.agc.gov.sg/aol/search/display/view.w3p;page=0;query=DocI d%3A5ba26ddb-fd4c-4e2e-8071478c08941758%20Depth%3A0%20ValidTime%3A02%2F01%2F2011%2 0TransactionTime%3A30%2F03%2F1987%20Status%3Ainforce;rec=0;wh ole=yes Jemaah Islamiyah. (Tanpa Tahun). Panduan Umum Perjuangan Jamaah Islamiyah (PUPJI). Jones, Sidney. (2012). TNI and Counter-Terrorism: Not a Good Mix. Strategic Review, 9 Januari 2012. 6 Oktober 2012. http://www.crisisgroup.org/en/regions/asia/south-east-asia/indonesia/tniand-counter-terrorism-not-a-good-mix.aspx Keliat, Makmur. (2011). Security and democracy in Indonesia: The need to strike a balance. The Indonesian Quarterly. No. 2 Vol. 39. http://perpustakaan.bappenas.go.id/lontar/opac/themes/bappenas4/template Detail.jsp?id=107913&lokasi=lokal Knopf, Jeffrey W. (2010). The Fourth Wave in Deterrence Research. 20 Februari 2011. http://www.contemporarysecuritypolicy.org/assets/CSP-311%20Knopf.pdf Kramer, Katherine. (2001). Legal controls on small arms and light weapons in Southeast Asia. Small Arms Survey Occasional Paper No. 3. 21 November
Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
304
2012. http://www.smallarmssurvey.org/fileadmin/docs/B-Occasionalpapers/SAS-OP03-Southeast-Asia.pdf Kreuzer, Peter. (2005). Political clans and violence in the Southern Philippines. Peace Research Institute Frankfurt Report No. 71. 13 Januari 2013. hsfk.de/downloads/PRIF-71.pdf Kustiati, Retno. (2012). Bersama Menghadapi Terorisme. Jurnal Nasional. 12 September 2012. http://www.jurnas.com/halaman/6/2012-09-12/220923 Lacorte, Germelina. (2011). Philippines, Indonesia deepen cooperation vs terrorism, smuggling, trafficking. Inquirer Mindanao, 25 November 2011. 10 November 2012. http://newsinfo.inquirer.net/100217/philippinesindonesia-deepen-cooperation-vs-terrorism-smuggling-trafficking Lazuardi, Adi. (2012). Amankan laut menjadi "lagu wajib." Antara News, 12 Februari 2012. http://www.antaranews.com/berita/296768/amankan-lautmenjadi-lagu-wajib Lee Kuan Yew. (2002, 7 Juni). Speech for the 1st munich economic summit. 20 Maret 2012. http://www.munich-economicsummit.com/mes_2002/speech-LeeKwanYew.htm Lee, Terrence. (2005). Internet control and auto-regulation in singapore. Surveillance and Society 3(1): 74-95. 21 September 2012. http://www.surveillance-and-society.org/Articles3%281%29/singapore.pdf Liu, Hindra. (2012). Presiden setujui anggaran Polri ditambah. Kompas.com, 17 Januari 2012. 14 Januari 2013. http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2012/01/17/1804522/Presiden.Set uju.Anggaran.Polri.Ditambah Lyew, Brent H. (2010). An examination of the Philippines’ antiterror law: Suaviter in modo, fortiter in re. Pacific Rim Law & Policy Journal Association. 8 November 2012. http://digital.law.washington.edu/dspacelaw/bitstream/handle/1773.1/502/19PacRimL%26PolyJ187%282010%29. pdf?sequence=4 Mabasa, Roy C. (27 Maret 2012). PH fails in counter-terrorist financing commitment. Manila Bulletin. 28 September 2012. http://mb.com.ph/node/355573/ph-fail Magtibay, Antonio. (2010). Disaster preparedness for water utilities. 10 November 2012. http://www.lwua.gov.ph/technical_matters_10/disaster_preparedness.htm Malaysia ekspor teroris ke Indonesia. (2011, 28 September). Republika Online. 17 Oktober 2011.
Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
305
http://www.republika.co.id/berita/nasionhttp://www.republika.co.id/berita/n asional/umum/11/09/28/ls7jv6-malaysia-ekspor-teroris-keindonesiaal/umum/11/09/28/ls7jv6-malaysia-ekspor-teroris-ke-indonesia Maliwanag, Dennis Atienza. (2011). Palace: Philippine anti-terror law needs more teeth. Business Inquirer.Net, 10 September 2011. 9 November 2012. http://newsinfo.inquirer.net/56483/palace-philippine-anti-terror-law-needsmore-teeth Malka, Amos. (2008). Israel and asymmetrical deterrence. Comparative Strategy, Vol. 27, No. 1 dalam Knopf, Jeffrey W. (2010). The Fourth Wave in Deterrence Research. 20 Februari 2011. http://www.contemporarysecuritypolicy.org/assets/CSP-31-1%20Knopf.pdf Maritime Port Authority of Singapore. (2009, Tanpa Tanggal). International ship and port facility code. 21 September 2012. http://www.mpa.gov.sg/sites/port_and_shipping/port/port_security/isps_cod e.page Mazerolle, LaFree, dan White. (2011). Effectiveness of counter-terrorism strategies in Indonesia, The Philippines and Thailand. 20 September 2012. http://www.ceps.edu.au/research/extending-frontiers-researchprogram/effectiveness-of-counter-terrorism-strategies-in-indonesia--thephilippines-and-thailand Meijer, Roel (ed.). (2012). Counter terrorism strategies in Indonesia, Algeria, and Saudi Arabia. Netherlands Institute of International Relations ‘Clingendael.’ 14 Januari 2013. www.nctv.nl/.../wodc-report-counterterrorism-strategies-in-indonesi... Mendoza, Leandro R. (2009, April). Transportation security in the Philippines. 6th APEC Transportation Ministerial Meeting. 30 September 2012. www.apec-tptwg.org.cn/.../Transportation%20Security%20Philippine... Merari, Ariel. (2002). Deterring fear: Government responses to terrorist attacks. Harvard International and Review (Winter 2002), hh. 29–30. Ministry of Trade and Industry Republik of Singapore. (2012). Singapore in brief 2012. 24 November 2012. http://www.singstat.gov.sg/pubn/reference/sib2012.pdf Muhammad, Firman. (2010). Pemerintah lawan teror dengan UU Cyber Crime. Viva News, 12 Maret 2010. 6 Oktober 2012. http://fokus.news.viva.co.id/news/read/135964pemerintah_lawan_teror_uu_dengan_cyber_crime
Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
306
Muradi. (2012). Fokus penanggulangan terorisme di Indonesia. Presentasi dalam Kuliah Umum yang diselenggarakan Kajian Terorisme dalam Keamanan Internasional Universitas Indonesia, 26 September 2012. National Security Coordination Secretariat. (2007, 5 Februari). Land transport security in singapore: Current realities, future possibilities. Land transport workshop report. 20 Maret 2012. http://www.rsis.edu.sg/publications/conference_reports/Land%20Transport %20Security.pdf National Security Coordination Secretariat. (2006). 1826 days. A diary of resolve: Securing Singapore since 9/11. 23 September 2012. http://app.nscs.gov.sg/public/download.ashx?id=46 National Security Coordination Centre. (2004). The fight against terror: Singapore’s national security strategy. Singapore: Penulis. Nur, Bachtiar. (2011). 70 persen pengungkapan teroris akibat peran intelijen. Indonesia Media.com, 4 Agustus 2011. 6 Oktober 2012. http://www.indonesiamedia.com/2011/08/04/70-persen-pengungkapanteroris-akibat-peran-intelijen/ Office of the Special Envoy on Transnational Crime. (Tanpa Tahun). Philippine laws and programs on small arms and light weapons. 5 November 2012. http://www.unrcpd.org.np/uploads/conferences/file/Philippine%20Laws% 20and%20Regulations%20Final_b.pdf Ozdogan, Ali. (2006). Where do terrorists come from?. Social Science Research Network. 15 Februari 2012. http://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=904523 Pasca bom Cirebon, 12 bandara perketat pengamanan. Tempo.co.id, 17 April 2011. 19 November 2012. http://www.tempo.co/read/news/2011/04/17/078328052/Pasca-BomCirebon-12-Bandara-Perketat-Pengamanan Parliament of the Commonwealth of Australia. (2010). Report of the Australian Parliamentary Delegation to Indonesia and Singapore by the Senate Standing Committee on Legal and Constitutional Affairs. 6 Oktober 2012. http://www.aph.gov.au/~/media/05%20About%20Parliament/International %20program/Outgoing%20delegations%2042nd%20parliament/Legal%20 and%20Constitutional%20Affairs%20%20Indonesia%20and%20Singapore.ashx Pembentukan sea and coast guard agar digesa. Bisnis-Kepri.com, 18 Mei 2012. 9 Oktober 2012. http://www.bisniskepri.com/index.php/2012/05/pembentukan-sea-and-coast-guard-agardigesa/
Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
307
Pemerintah Didesak Rampungkan UU Kontrol Senjata. Tempo.co.id, 5 Mei 2012. 21 November 2012. http://www.tempo.co/read/news/2012/05/05/063401849/PemerintahDidesak-Rampungkan-UU-Kontrol-Senjata Peraturan Kementerian Perhubungan KM 9 Tahun 2010 tentang Program Keamanan Penerbangan Nasional. (2010). Website Departemen Perhubungan. 19 November 2012. http://hubud.dephub.go.id/?id+regulasi_km+detail+{JUM}&page=3 Perbatasan Indonesia, Surga Pasokan Senjata Teroris. (2012). Kompas, 9 September 2012. 6 Oktober 2012. : http://www.arsip.in/perbatasanindonesia-surga-pasokan-senjata-teroris/ Pereire, Kenneth. (2007). Analysis and review of the Philippines Human Security Act 2007. International Centre for Political Violence and Terrorism Research. 9 November 2012. http://www.pvtr.org/pdf/Legislative%20Response/revisedPhilippines%20 CT%20LAW2007newi.pdf Perekonomian Indonesia belum berkualitas. Suara Karya Online, 6 September 2012. 3 Desember 2012. http://www.suarakaryaonline.com/news.html?id=310725 Perwita, Anak Agung Banyu. (2012). Perbatasan negara dan keamanan nasional. Uni Sosial Demokrat. 6 Oktober 2012. http://www.unisosdem.org/article_detail.php?aid=6093&coid=3&caid=31 &gid=3 Philippine Border Management http://www.iom.int/pbmp/
Project.
(2005).
10
November
2012.
Phillipine National Police. (2006). Handbook on PNP: Three-tiered defense system against terrorism. 26 September 2012. Philippine National Statistical Office. (2012). The 2010 census of population and housing reveals the Philippine population at 92.34 million. 11 November 2012. http://www.census.gov.ph/content/2010-census-population-andhousing-reveals-philippine-population-9234-million http://www.pro13pnp.org/main/download/%28BOOKLET%29%20PNP%20Thre e-Tiered%20Defense%20System%20%28Terrorism%29.pdf Philippines signs international agreements to improve border control. (2006, 22 Maret). Xinhua melalui www.people.com. 10 November 2012. http://english.peopledaily.com.cn/200603/22/eng20060322_252421.html
Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
308
Pillar, Paul R. (2001). Terrorism and U.S. foreign policy. Washington: Brooking Institution Press. Polda Jabar antisipasi aksi teroris melalui patroli cyber crime. (2012). Lodaya Web, 5 September 2012. 6 Oktober 2012. http://www.lodaya.web.id/?p=11878 Polisi Pelototi Perbatasan Kalimantan Timur. Tempo.co.id, 24 September 2012. 6 Oktober 2012. : http://www.tempo.co/read/news/2012/09/24/078431622/Polisi-PelototiPerbatasan-Kalimantan-Timur Praja, Juhaya S. (2007). Islam post 9-11: Indonesia’s experience. 10 November 2012. http://www.unafei.or.jp/english/pdf/RS_No71/No71_10VE_Praja2.pdf Priatmodjo, Galih. (2010). Densus 88: the Undercover Squad. Jakarta: Narasi. Prasetyono, Edy. (2005). Koter dan penanggulangan terorisme. Kompas. 8 Oktober 2012. http://www.csis.or.id/PublicationsOpinionsDetail.php?id=393 Rabasa, Angel. (2003, 1 Juli). Political Islam in Southeast Asia: Moderates, radicals and terrorists. The Adelphi Papers, Oxford Journals. Dalam Eusaquito, Manalo P. (2004, Desember). The Philippine response to terrorism: the Abu Sayyaf Group. Tesis Master of Arts In Security Studies pada Naval Postgraduate School. 26 September 2012. www.fas.org/irp/world/para/manalo.pdf Rabasa, Angel dan Peter Chalk. (2012). Non-traditional threats and maritime domain awareness in the tri-border area of Southeast Asia: The Coast Watch System of the Philippines. National Defense Research Institute (RAND). 10 November 2012. http://www.rand.org/content/dam/rand/pubs/occasional_papers/2012/RAN D_OP372.pdf Radlauer, Don. (2010). Rational choice deterrence and Israeli counter-terrorism. 15 Februari 2012. www.springerlink.com/index/q8436pw82qv342n1.pdf Ramakrishna & Chin (eds). (2007, Januari). Visit to the maritime and port authority of Singapore (MPA): Port and ship security. Laporan Konferensi Asia Pacific Programme for Senior National Officers 14-20 Januari 2007. Ramraj, Victor V. et al. (2005). Global terrorism law and policy. Cambridge: Cambridge University Press. RAND Database of Worldwide Terrorism Incidents. 17 Oktober 2011. http://smapp.rand.org/rwtid/search.php
Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
309
Razia Teroris Digelar di Bandara Sultan Hasanuddin. MetroTV News, 13 November 2012. 19 November 2012. http://www.metrotvnews.com/read/newsvideo/2012/11/13/163985/RaziaTeroris-Digelar-di-Bandara-Sultan-Hasanuddin/1 Russell D., Howard et al. (2009). Terrorism and counterterrorism: understanding the new security environment. Boston et al.: McGraw and Hill. Republic of the Philippines. (2008). 2008 Integrated national report on the implementation of the international tracing instrument and the SALW programme of action. 28 September 2012. http://www.un.org/disarmament/convarms/BMS/bms3/1BMS3Pages/1Nati onalReports/Philippines.pdf Republic of the Philippines. (2011). National security policy 2011-2016: Securing the gains of democracy. 26 September 2012. www.gov.ph/.../NATIONALSECURITY-POLICY-2011-2016.pdf Republic of the Philippines. (Tanpa Tahun). Economy of philipine maritime security report. 28 September 2012. www.apec-tptwg.org.cn Rienner Publishers dalam Manalo, Eusaquito P. (2004, Desember). The Philippine response to terrorism: the Abu Sayyaf Group. Tesis Master of Arts In Security Studies pada Naval Postgraduate School. 26 September 2012. www.fas.org/irp/world/para/manalo.pdf San Pedro, Dexter. (2012). PNoy creates crisis management groups to address terrorism, maritime border disputes, mutinies. InterAksyon.com, 10 Oktober 2012. 10 November 2012. http://www.interaksyon.com/article/45228/pnoy-creates-crisismanagement-groups-to-address-terrorism-maritime-border-disputesmutinies Sargent, Ron dan James Campbell. (2012). Special Detachment 88 smart power, Indonesian style. Asia Pacific Defense Forum, 1 Juli 2012. 14 Januari 2013.http://apdforum.com/en_GB/article/rmiap/articles/print/features/2012 /07/01/feature-pr-12 See Seng Tan dan Kumar Ramakrishna. (2004). Interstate and intrastate dynamics in Southeast Asia's war on terror. SAIS Review Vol. XXIV no. 1 hh. 91105. 26 September 2012. faculty.maxwell.syr.edu/rdenever/...docs/Tan_SEAsiaWarTerror.pdf Seniwati; Sani, Mohd. Azizuddin Mohd; Nadaraja, K. (2010). Cooperation between Indonesia and ASEAN to counter terrorism in Indonesia. Academic Research International. 28 September 2012. www.savap.org.pk/journals/ARInt./Vol.2(1)/2012(2.1-66).pdf
Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
310
Setara Institute.(2011). Ringkasan Analisa atas RUU Intelijen dan Revisi RUU http://www.setaraTerorisme. 13 November 2012. institute.org/en/content/ringkasan-analisa-atas-ruu-intelijen-dan-revisi-ruuterorisme Sherlita, Wella. (2012). AS bantu indonesia alat dan pelatihan pengamanan pelabuhan. Atjeh Post, 29 April 2012. 9 Oktober 2012. http://atjehpost.com/read/2012/04/29/7743/23/8/AS-Bantu-Indonesia-Alatdan-Pelatihan-Pengamanan-Pelabuhan Sing, Dalijit. (2004). ASEAN counter-terror strategies and cooperation: How effective? Singapore and Indonesia conduct joint counter-terrorism exercise. Stretegic Defense Intelligence.com, 18 Juli 2012. 6 Oktober 2012. http://www.strategicdefenceintelligence.com/article/iU3jRuc11Qo/2012/0 7/18/singapore_and_indonesia_conduct_joint_counter-terrorism_exer/ Singapore Civil Defense Force General. (2012, 4 Januari). General: About us. 23 September 2012. http://www.scdf.gov.sg/content/scdf_internet/en/general/about-us.html Singapore Ministry of Home Affairs. (2002, 16 September). Singapore government statement on further arrests under the internal security act. http://www.mha.gov.sg/news_details.aspx?nid=469, dalam Corsi, Vincent. (2008, 30 April). Singapore counterterrorism measures. 15 Maret 2012. www.asiancrime.org/pdfdocs/Singapore_CT_Efforts_Corsi.doc Singapore Police Force. (2012, 15 Juni). Safety and security watch group scheme: Introduction. 23 September 2012. http://www.spf.gov.sg/cterror/sswg_index.htm. 23 September 2012 Singapore Police Force. (2012, Tanpa Bulan). Gurkha contingent. Singapore Police Force. 21 September 2012. http://www.spf.gov.sg/abtspf/gc.htm Smith, James M. dan Brent J. Talbot. (2008). Terrorism and deterrence by denial dalam Viotti, Paul R.; Michael A. Opheim; dan Nicholas Bowen (eds). Terrorism and homeland security: Thinking strategically about policy. Boca Raton, FL: CRC Press. Soegiarto, Yanto. (2012). The thinker: A lack of intelligence. Jakarta Globe.com, 12 September 2012. 6 Oktober 2012. http://www.thejakartaglobe.com/opinion/the-thinker-a-lack-ofintelligence/543863 Soepandji, Budi Susilo. (2011). Penanggulangan terorisme masih menemui kendala. Suara Pembaruan, 2 Agustus 2011. 25 September 2012.
Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
311
http://www.suarapembaruan.com/home/penanggulangan-terorisme-masihmenemui-kendala/9719 Soetriadi, Ewit. (2008). Kebijakan penanggulangan tindak pidana terorisme dengan hukum pidana. Tesis pada Program Magister Ilmu Hukum Universitas Diponegoro Semarang. 13 November 2012. http://eprints.undip.ac.id/17291/1/EWIT_SOETRIADI.pdf Sudarto. (2012). Manajemen krisis dalam penanggulangan terorisme. Kementerian Pertahanan, 23 Mei 2012. 13 Oktober 2012. http://www.kemhan.go.id/kemhan/?pg=73&id=220 Sumakul, Willy F. (2011). Fenomena baru ancaman terhadap keamanan maritim. Forum Kajian Pertahanan dan Maritim. 9 Oktober 2012. http://www.fkpmaritim.org/?p=351 Supit, Hengky. (2009). Sistim administrasi pemerintahan negara di laut. Badan Koordinasi Keamanan Laut. 10 Oktober 2012. http://www.bakorkamla.go.id/images/doc/isbn9786028741026.pdf Suprasetyo. (2012). Strategi nasional dan internasional di bidang keamanan penerbangan sipil. Direktorat Keamanan Penerbangan Dirjen Perhubungan Udara. 19 November 2012. http://www.gloopic.net/prasarana/strategi-nasional-dan-internasional-dibidang-keamanan-penerbangan-sipilTNI tangkal masuknya teroris lewat Nunukan. Media Indonesia.com, 28 September 2012. 6 Oktober 2012. http://www.mediaindonesia.com/read/2012/09/09/351679/127/101/TNITangkal-Masuknya-Teroris-Lewat-Nunukan Steinberg, Gerald M. (2001, 2 Desember). Rediscovering deterrence after September 11, 2001. Jerusalem Letter/Viewpoints, No. 467-Jerusalem Center for Public Affairs. 15 Februari 2012. www.jcpa.org/jl/vp467.htm Tan, See Seng dan Kumar Ramakirshna. (2004). Interstate and intrastate dynamics in Southeast Asia's war on terror. SAIS Review Vol. XXIV no. 1 hh. 91-105. 26 September 2012. faculty.maxwell.syr.edu/rdenever/...docs/Tan_SEAsiaWarTerror.pdf Terrorism Financing Prevention and Suppression Act, 2012 The National War College Student Task Force on Combating Terrorism. (2002, November). Combating terrorism in a globalized world dalam Knopf, Jeffrey W. (2010). The Fourth Wave in Deterrence Research. 20 Februari 2011. http://www.contemporarysecuritypolicy.org/assets/CSP-311%20Knopf.pdf TNI dan mekanisme perbantuan. Kompas, 14 Oktober 2005. 8 Oktober 2012. http://www.csis.or.id/FeaturesDetail.php?id=136
Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
312
Trager, Robert dan Zagorcheva, Dessislava P. (2005/6). Deterring terrorism it can be done. International Security, Volume 30, Number 3, Winter 2005/06, hh. 87-123. www.polsci.wvu.edu/faculty/.../TragerDeteringTerrorismIS2006.pdf Tsen-Ta Lee, Jack. (2012, 5 Juni). The Past, present, and future of the internal security act. Singapore Public Law. 15 September 2012. http://singaporepubliclaw.com/2012/06/05/internal-security-act/ Undang-Undang No. 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan. (2009). 19 November 2012. hukum.unsrat.ac.id/uu/uu_1_2009.pdf Undang-Undang No. 17 Tahun 2011 Tentang Intelijen. (2011). Website Departemen Dalam Negeri . 19 November 2012. http://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=1 &ved=0CB8QFjAA&url=http%3A%2F%2Fwww.depdagri.go.id%2Fmedi a%2Fdocuments%2F2011%2F11%2F25%2Fu%2Fu%2Fuu_no.172011.doc&ei=ZxaqUO3KBcmmrAeJx4DgCg&usg=AFQjCNFp1VmoCiD bMRbO-WiyI3vKJtJTjQ&sig2=yyXP_I4AGjWdSpDq95V-Kg&cad=rja United Nations Development Programme. (2011a). Human development indicators, country profile: singapore. 23 September 2012. http://hdrstats.undp.org/en/countries/profiles/SGP.html. United Nations Development Program. (2011b). Human development report 2011: Singapore explanatory note. 23 September 2012. http://hdrstats.undp.org/images/explanations/SGP.pdf United Nations Office for Drugs and Crime. (2011). Philippines acts to strengthen counter-terrorism law. UNODC East Asia and Pacific. 9 November 2012. http://www.unodc.org/eastasiaandpacific/en/2011/09/ctphilippines/story.html UNODC. (2011). Indonesia and UNODC strengthen counter-terrorism collaboration. 6 Oktober 2012. http://www.unodc.org/eastasiaandpacific/en/2011/12/ctindonesia/story.html US Customs and Border Protection. (Tanpa Tahun). CSI: Container security initiative. 21 September 2012. http://www.cbp.gov/xp/cgov/trade/cargo_security/csi/ U.S. Department of State. (2004, 29 April). Patterns of global terrorism 2003: East Asia overview. 29 April 2004. 3 Juni 2004. http://www.state.gov/s/ct/rls/pgtrpt/2003/31611pf.htm. Dikutip dalam World
Bank. (2012). Philippines. 11 http://data.worldbank.org/country/philippines
November
Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
2012.
313
U.S. Department of State. (2011). Country reports on terrorism 2011. 28 September 2012. http://www.state.gov/documents/organization/195768.pdf U.S Department of State. (2012). Terrorist safe havens: Strategies, tactics, and tools for disrupting or eliminating safe havens. 10 November 2012. http://www.state.gov/j/ct/rls/crt/2011/195549.htm Vaughn, Bruce et al. (2005). Terrorism in Southeast Asia. The Library of Congress: Congressional Research Service. 15 Februari 2011. www.fas.org/sgp/crs/terror/RL34194.pdf Villarosa, Shari. (2011). Presentasi dalam seminar counter-terrorism strategy in indonesia: adapting to a changed threat. 6 Oktober 2012. http://www.usindo.org/resources/counter-terrorism-strategy-in-indonesiaadapting-to-a-changed-threat-2 Voragen, Roy. (2011). The thinker: System Singapore. Jakarta Globe. 25 http://www.thejakartaglobe.com/opinion/the-thinkerNovember 2012. system-singapore/448058 Wise, William M. (2005). Indonesia’s war on terror. United States–Indonesia Society. 28 September 2012. usindo.org/wpcontent/uploads/2010/08/WarOnTerror.pdf Wong Kan Seng. (2009, 17 Maret). Key note speech: singapore steps up efforts of counterterrorism. Singapore United. 20 Maret 2011. http://www.singaporeunited.sg/cep/index.php/Our-News/Singapore-stepsup-efforts-to-counter-terrorism Yun Yun Teo. (2007, 1 Juni). Target malacca straits: maritime terrorism in southeast asia. Studies in Conflict & Terrorism vol. (30) no. 6 hh. 541-542 dalam Corsi, Vincent. (2008, 30 April). Singapore counterterrorism measures. 15 Maret 2012. www.asiancrime.org/pdfdocs/Singapore_CT_Efforts_Corsi.doc Zee, Josiah. (2011). Defending singapore’s internal security act: balancing the need for national security with the rule of law. eLaw Journal: Murdoch University Electronic Journal of Law (2011) 18(1), h. 28. 23 September 2012. http://elaw.murdoch.edu.au/index.php/elawmurdoch/article/view/88/46 54 titik jalur teroris di Kalimantan dikenal sebagai tempat atau jalur pelarian anggota teroris kelompok JI. Viva News, 21 Juli 2009. 6 Oktober 2012. http://nasional.news.viva.co.id/news/read/76735tni_temukan_54_titik_jalur_teroris_di_kaltim
Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
314
LAMPIRAN 1: Kondisi-Kondisi Spesifik Penyebab Terorisme di Empat Tingkat
Tokoh Gupta, Post
Struktural Kemiskinan absolut dan deprivasi ekonomi
Ahmed, Hisham
Konteks politik nasional: deprivasi, dehumanisasi, demonisasi, perampasan hak, hilangnya martabat, opresi. Konflik Barat-Timur pada masa Perang Dingin Rezim diktator Ketidaksetaraan, penindasan, dan ketidakadilan di tingkat kawasan Ketidakadilan yang disebabkan oleh sistem kapitalis Deprivasi dalam pendidikan, ekonomi, demografi, dan penindasan kebudayaan Modernisasi yang sangat cepat Hegemoni dan ketidaksetaraan kekuasaan Kurangnya partisipasi politik Penindasan oleh kekuasaan asing Diskriminasi etnis dan agama Adanya sejarah kekerasan politik Globalisasi, ketidaksetaraan dan polarisasi sosial antarbangsa dan munculnya berbagai kaum minoritas baru
AYS Mohammad
Kaarthikeyan
Khazen
Gotchev
Fasilitator Teknologi komunikasi, transportasi, kapabilitas senjata
Motivasional Keuntungan pribadi (finansial, status sosial) Keuntungan bagi kelompok (dorongan ideologis) Rasa takut tidak diterima kelompok Perasaan dipermalukan dan tidak ada harapan Adanya peluang strategis untuk mencapai tujuan
Pemicu
Globalisasi, modenisasi, bisnis internasional
Adanya pemimpin yang karismatik
Terbunuhnya pemimpin kelompok
Kegagalan negara
Adanya ideologi yang ekstrim
Penggunaan kekerasan oleh pihak pemerintah/ap arat keamanan Perjanjian damai
Melemahnya kontrol negara
Sumber: Diolah dari Bjorgo (2005)
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013
315
LAMPIRAN 2: Kesimpulan Studi Empiris mengenai Penyebab Terorisme Berdasarkan kajian empiris mengenai faktor-faktor penyebab terorisme, Bjorgo menyimpulkan beberapa hal berikut:1 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
9. 10. 11.
12. 13. 14. 15. 16. 17.
18. 19. 20.
Hubungan antara kemiskinan dan terorisme lemah dan bersifat tidak langsung Dukungan negara (state-sponsorship) bukan merupakan akar penyebab terorisme Terorisme bunuh diri tidak hanya disebabkan oleh agama tertentu (Islam) Teroris bukan orang berpenyakit jiwa atau aktor yang tidak rasional Tingkat demokrasi, kebebasan sipil, serta penegakan hukum yang rendah adalah penyebab dasar dari banyak bentuk terorisme domestik Lemahnya negara dalam mengawasi teritorinya dan mempertahankan monopoli penguasaan kekerasan adalah faktor fasilitator yang menentukan Modernisasi yang sangat cepat berkorelasi erat dengan terorisme ideologis Ideologi ekstrim, baik sekular maupun religius, adalah penyebab intermediat dari terorisme, namun adopsi ideologi tersebut ditentukan oleh motivasi personal atau politis Keberadaan aktivitas kriminal yang bertujuan mendapatkan profit dapat melanggengkan terorisme Tidak adanya jalan keluar dari kelompok teroris melanggengkan terorisme Sejarah kekerasan politik dan perang sipil, revolusi, kediktatoran, dan okupasi asing mempertinggi toleransi masyarakat terhadap aksi kekerasan politik, termasuk terorisme Hegemoni dan ketidaksetaraan kekuasaan di tingkat global mempengaruhi kemunculan terorisme. Pemerintah yang tidak legitimate dan korup memfasilitasi kemunculan terorisme untuk mengganti rezim. Aktor asing yang kuat dan mendukung pemerintah yang tidak legitimate mempengaruhi kemunculan terorisme. Represi oleh kekuasaan asing sangat mempengaruhi kemunculan terorisme. Diskriminasi berdasarkan etnis atau agama adalah akar penyebab utama terorisme etnonasionalis. Ketidakmampuan atau penolakan negara untuk mengintegrasikan kelompokkelompok marjinal atau kelas sosial tertentu dapat mengarah pada alienasi dari sistem politik. Persepsi akan ketidakadilan sosial adalah akar motivasi utama dari terorisme revolusioner. Keberadaan pemimpin yang karismatik adalah faktor yang menentukan dari kemunculan kelompok teroris. Peristiwa-peristiwa tertentu dapat memicu serangan teroris secara langsung, misalnya tindak kekerasan dari aparat keamanan.
Sumber: Diolah dari Bjorgo, 2005
Universitas Indonesia Penerapan strategi..., Angalia Putri Permatasari, FISIP, 2013