DISEBERANG KEBIJAKAN NEOLIB, KEBIJAKAN EKONOMI YANG BERPIHAK PADA PEREMPUAN KETENAGAKERJAAN DAN PERBURUHAN Oleh: Ari Sunarijati*) I.
PENDAHULUAN Pena sejarah telah menorehkan catatannya bahwa sejak Indonesia merdeka buruh menjadi perhatian pemerintah meskipun berbeda dari rezim ke rezim. Pada masa pemeritahan Soekarno yang kemudian disebut Orde Lama (ORLA) telah menerbit UU No. 12 Tahun 1948 yang kemudian di berlakukan untuk seluruh Indonesia dengan No. 01 Tahun 1951 tentang Undang-undang Kerja, yang mengatur jam kerja, istirahat, libur mingguan, cuti tahunan, cuti panjang, hak-hak buruh perempuan seperti : buruh perempuan tidak boleh diwajibkan pada saat haid hari pertama dan kedua; istirahat gugur kandung; istirahat melahiran, pelarangan buruh anak dan lain-lain. UU No. 23 Tahun 1948 yang diberlakukan untuk seluruh Indonesia dengan No. 03 Tahun 1951 tentang Pengawasan Perburuhan, yang salah satu gunanya untuk mengawasi berlakunya UU dan peraturan perburuhan. Meratifikasi Konvensi ILO No. 98 disah melalui UU No. 18 Tahun 1956 tentang Kebebasan Berserikat dan Berunding Bersama. Artinya UU ini mendorong buruh berserikat dan berunding dengan pengusaha maupun pihak-pihak terkait. Meratifikasi Konvensi ILO No. 100 disahkan melalui UU No. 80 Tahun 1957 tentang Upah yang sama/setara bagi Pekerja Laki-laki dan Perempuan untuk pekerjaan yang sama nilainya. Ini indikasi bahwa pemeritah masa itu sudah menaruh perhatian yang serius terhadap hak-hak buruh perempuan. UU No. 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan; UU No. 21 Tahun 1954 tentang tentang Perjanjian Perburuhan antara Serikat Buruh dan Majikan; dan UU No. 12 Tahun 1964 tentang PHK di Perusahaan Swasta;
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------*) Ketua Dewan Pimpinan Nasional (DPN) Federasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia Reformasi (FSPSI Reformasi)
II.
PROSES PEMISKINAN TERHADAP PEKERJA KHUSUSNYA PEKERJA PEREMPUAN Pemerintah Orde Baru (ORBA) menjalankan program pembangunan yang dikenal sebagai Pembangunan Lima Tahun (PELITA). Dalam program lima tahun diantaranya pembangunan ekonomi. Untuk mengejar ketinggalan dari negara maju (industrialis). Langkah yang diambil antara lain adalah industrialisasi di sektor industri pengolahan (manufacturing), meskipun Indonesia berbasis agraris. Alasan industrialisasi di sektor industri pengolahan adalah untuk mengejar ketinggalan kemajuan ekonomi dari negara industrialis. Selain itu tujuan membesarkan konglomerasi agar dapat merembes ke rakyat (trickle down effect). Pemerintah mengundang investor agar berinvestasi ke Indonesia dengan promosi antara lain: upah buruh murah, menjamin tidak ada serikat buruh yang kuat (hubungan Industrial Pancasila mengedepankan harmonis), tax holiday 5 tahun, menyediakan kawasan industri, kemudahan kredit investasi, dan lain-lain. Dibukalah industri di kota-kota besar seperti Jakarta dan sekitarnya, Bandung, Surabaya dan sekitarnya Batam dan Kep. Riau lainnya, Lampung dan lain-lain. Industri yang masuk ke Indonesia saat itu sektor industri yang di negara asal sudah masuk industri terbenam (sunset) tidak lagi dianggap produktif sudah ganti dengan alat-alat tehnologi tinggi. Industri dimaksud adalah garmen, tekstil, sepatu dari merk-merk Nieke, Adidas, Reebock, Puma, GAP dan lain-lain masih banyak merk-merk lain. Elektronik juga mulai masuk, semua itu buruh (pekerja) mayoritas perempuan. Industri tersebut adalah industri padat karya, pada awal bekerja tidak dituntut dengan ketrampilan khusus, namun kalau sudah terlatih mengerjakan beberapa bulan sudah lancar karena sistem kerjanya juga sistem ban berjalan. Sektor ini dianggap patut dikerjakan oleh perempuan membutuhkan ketekunan, ketelitian dan perempuan tidak banyak menuntut. Indonesia mendapat quota untuk mengirim produksi pakaian jadi, sepatu tekstil ke negara kreditor Indonesia seperti Amerika, negara-negara Eropa. Amerika bahkan memberikan keringanan bea masuk export (General Service Preference) pakaian jadi Indonesia. Budaya patriarkhi dijadikan alat menindas pekerja perempuan di industri. Selain tekun dan lain-lain, perempuan dianggap pencari upah tambahan, meski bekerja dengan jam kerja yang panjang, bekerja hingga larut malam lembur terus, apalagi bila mau export bisa dipekerjakan hingga pagi hari kemudian. Sampai-sampai ada buruh/perempuan yang penat dan stres saat dirawat di Rumah Sakit teriak-teriak “nggak mau lembur......nggak mau lembur”. Selain industrialisasi Pemerintah ORBA juga melaksanakan program lima tahun di bidang peningkatan pangan yang saat itu di sebut Revolusi Hijau. Alat pertanian di design tidak ramah terhadap perempuan maka perempuan petani kehilangan pekerjaan di sawah. Jalan keluarnya pergi ke kota urbanisasi menjadi buruh pabrik dan atau pergi migrasi ke luar negeri karena terpaksa. Mereka masuk kerja ke ranah rumah tangga (Domestic Worker) yang resikonya tinggi bahkan mengalami kekerasan, pemerkosaan hingga hukuman pancung dari negara Arab. Buruh migran ke dalam negeri memasukan remitensi di luar negeri mencetak devisa tetapi perlindungan dari negara sangat tidak standar. Industri yang tidak disiapkan dengan baik membuat masalah pada saat membuang limbah merusak lingkungan. Seharusnya pabrik yang produksinya sejenis di letakkan menjadi satu area dengan demikian biaya pengolahan limbah dapat ditanggung bersama-sama oleh
produsen-produsen itu supaya ringan. Mahalnya biaya pengolahan limbah pertama banyak perusahaan yang melanggar tidak mengolah terlebih dahulu langsung dibuang begitu saja, kedua biaya pengolahan limbah akan mengurangi labour cost. Penyebab rendahnya labour cost antara lain adalah: promosi pemerintah dalam mengundang investor upah buruh murah; biaya perijinan tinggi dan lama prosesnya; suku bunga bank untuk investasi tinggi; pengolahan limbah industri yang ditanggung secara sendiri – sendiri oleh perusahaan membebani biaya tinggi; pungutan-pungutan diluar pajak tidak dapat dihindarkan. Tahun 1992 Pemerintah menerbitkan UU No. 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja (JAMSOSTEK) yang mengukuhkan Asuransi Tenaga Kerja (ASTEK) menjadi UU dan tambah satu program yaitu Jaminan Pemeliharaan Kesehatan (JPK) untuk keluarga dan keluarganya. Pekerja mendapatkan JPK ini iurannya di bayar oleh Pengusaha, meski telah ada perintah UU, pekerja tidak langsung menikmatinya tetapi tetap harus berjuang menuntut pengusaha agar mengikut sertakan kaum pekerjanya ke dalam program JPK. Tahun 1995 Indonesia menandatangani persetujuan lahirnya World Trade Organisation (WTO), untuk itu diberi waktu 10 tahun tepatnya hingga tahun 2005 masih mendapat quota export pakaian jadi, sepatu tekstil. Tahun 1998, serikat buruh/pekerja semakin banyak jumlahnya karena gerakan reformasi telah mendorong pemerintah meratifikasi Konvensi ILO tentang hak-hak dasar buruh/pekerja yang belum diratifikasi, yaitu Konvensi ILO NO. 87 tentang Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak Beroraganisasi; No. 105 tentang Penghapusan Kerja Paksa. Tahun 2000 terbitlah UU No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh (SP/SB). Sejak itu SP/SB tumbuh seperti jamur dimusim penghujan ada 100 federasi di tingkal nasional ditambah serikat pekerja/serikat buruh lokal. Banyaknya SP/SB ternyata juga kurang bagus karena bersaing satu dengan yang lain dan fungsionarisnya juga belum tentu memahami apa sejatinya SP/SB itu. Pemerintah hanya mengakomodir dalam tripartit dari serikat pekerja yang konfederasi saja. Bersamaan dengan itu mulai berlaku Otonomi Daerah (OTODA), tidak semua kementerian mempunyai struktur komando kebawah. Kementerian Tenagakerja dan Transmigrasi tidak mempunyai struktur kebawah, jadi pegawai Dinas Tenagakerja di wilayah baik yang di tingkat Provinsi maupun Kabupaten/Kota adalah pegawai Pemerintah Daerah (PEMDA). Artinya penempatan pegawai yang berada di Dinas/Suku Dinas Naker adalah wewenang penuh Kepala Daerah. Apa yang terjadi dengan wewenang penuh penempatan pegawai/pejabat ini ditangan Kepala Daerah? Kepala Daerah bisa menempatkan orang dari dinas instansi lain menjadi Kepala Dinas naker meskipun orang tersebut tidak mengetahui masalah ketenagakerjaan. Tenaga ahli yang pernah dilatih menjadi Pengawas Ketenagakerjaan dipindah oleh Bupati/Walikota ke Dinas lain dan digantikan oleh pejabat baru yang belum pernah mendapatkan pendidikan sebagai pengawas. Padahal pengawas itu fungsi dan tanggung jawabnya mengawasi jalannya peraturan perundangan dan sekaligus sebagai Penyidik Sipil terhadap pelanggaran yang sanksinya pidana. Artinya pajabat pengawas yang tidak mengetahui cakupan kerjanya pastilah tidak akan berfungsi sebagaimana yang seharusnya alias tidak berbuat apa-apa bagi perlindungan pekerja terlebih lagi pekerja perempuan. Akibat dari itu membuat penanganan masalah ketenagakerjaan hampir selalu berakhir dengan kerugian dipihak pekerja.
Tahun 2003, pasar bebas di ASEAN mulai berlaku, produk dari luar negeri masuk pasar Indonesia kebanyakan produk pakaian jadi, sepatu, mainan anak, alat-alat rumah tangga yang di Indonesia produk itu di kerjakan oleh pekerja perempuan. Banjirnya barang luar negeri tersebut di pasar Indonesia mulai dari kota besar hingga pasar-pasar di daerah terpencil di Indonesia membuat banyak pabrik-pabrik yang memproduksi barang dimaksud tutup dan PHK terhadap pekerja perempuan. PHK ada yang mendapat pesangon ada yang tidak, pengusaha pergi tanpa bertanggung jawab. Kecuali PT. Sony yang pindah ke Malaysia buruh yang di PHK di Indonesia kurang lebih 21.000 orang mendapat pesangon. Di Malaysia PT. Sony memberi upah pekerjanya 5 x lipat dari upah pekerjanya di Indonesia. Di Malaysia urusan perijinan usaha sangat mudah, bunga bank untuk investasi juga murah hanya 3 % per tahun, dan kemudahan lain oleh negara, oleh sebab itu bisa memberi upah pekerjanya lebih tinggi. Para perempuan mantan pekerja ini menjadi pengangguran dan tidak mudah alih profesi dari buruh ke bidang lain. Pengusaha yang mau pergi juga tidak menyiapkan para pekerjanya dengan bekal ketrampilan atau pelatihan lain misal mengelola uang pesangon bagi pengusaha yang memberi pesangon. Pada tahun yang sama Indonesia menerbitkan UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. UU ini menuai kontroversial diantara elit Serikat Pekerja. Cuti haid yang mengalami pergeseran yaitu ada kata “dalam haid merasa sakit” karena semangat pemerintah pada saat itu mau menghapus pasal yang mengatur haid. Tahun 2004 terbit UU No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI), yang mengatur mekanisme penyelesaian bermuara ke Pengadilan Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, sebagai ganti UU No. 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan. Pengadilan PPHI ini adalah Pengadilan khusus (adhoc) Majelis Hakim terdiri dari Kepala dari Hakim karier dengan anggota Hakim dari unsur Serikat Pekerja dan Hakim dari unsur APINDO. Filosofis dibentuknya Pengadilan khusus dengan susunan majelis hakim seperti tersebut diatas untuk mencapai keadilan bagi pekerja yang menuntut keadilan. Tahun 2005 Indonesia benar-benar tidak memperoleh quota berarti harus bersaing dengan pengusaha dari negara lain untuk dapat export seperti semula. Pengusaha mulai membuat macam-macam cara untuk menggusur pekerja perempuan yang menjadi buruh tetap dan diganti dengan buruh kontrak, pekerja perempuan semakin menderita. Nah bersamaan dengan itu pula didalam negeri juga kebanjiran barang import seperti pakaian jadi, mainan anak-anak, tas, sepatu yang produk itu mengalahkan pasaran produk dalam negeri. Dampaknya PHK bagi pekerja perempuan dan sering pengusaha pergi begitu saja tanpa membayar pesangon pada pakerjanya. Sejak itu Pengusaha mulai relokasi industri ke daerah lain yang upah buruhnya masih sangat rendah diduga ke Sukabumi, Jawa Barat (tidak ada data). Upah Minimum Kabupaten di Sukabumi tahun 2013 Rp. 800.000,-(delapan ratus ribu rupiah)/bulan saat itu di Jakarta Rp. 2.200.000,- (dua juta dua ratus ribu rupiah)/bulan; tahun 2014 di Sukabumi naik menjadi Rp. 1.200.000,- (satu juta dua ratus ribu rupiah) dan di Jakarta Rp. 2.400.000,- (dua juta empat ratus ribu rupiah). Perbedaan UMK antara Sukabumi dengan Jakarta sangat tinggi padahal harga kebutuhan hidup tidak seberapa berbeda. Logikanya keuntungan pengusaha yang di Sukabumi tentu jauh lebih besar.
Derita pekerja perempuan belum cukup masih harus dilengkapi dengan upahnya juga hanya UMP/UMK, meskipun telah berkeluarga statusnya dianggap lajang. a. potongan pajak penuh tidak kepotong tanggungan keluarga; b. di beberapa perusahaan memberlakukan tunjangan melahirkan hanya diberikan kepada pekerja laki-laki yang isterinya melahirkan karena pekerja laki-laki itu kepala keluarga, sedang pekerja perempuan yang melahirkan tidak memperoleh tunjangan melahirkan karena dianggap menjadi tanggungan suami. c. Di banyak perusahaan yang masih memberlakukan peraturan perusahaan maupun Perjanjian Kerja Bersama (PKB) bagi buruh perempuan yang mengambil cuti melahirkan harus dapat menunjukkan surat nikah, jika tidak dapat menunjukkan surat nikah maka ia hanya mendapat libur harinya saja tanpa upah. Isi PKB kebanyakan belum mengakomodir kepentingan pekerja perempuan. Hal ini disebabkan oleh karena tim perunding PKB tidak ada perempuannya dan pengurus laki-laki tidak mempunyai perspektif mengenai hak-hak asasi pekerja perempuan. Sedang pekerja perempuan sendiri sebagian besar masih menganggap bahwa urusan organisasi itu urusan laki-laki, urusan mengambil keputusan itu urusan laki-laki. UU No.39 Tahun 2004 tentang PPTKILN dari 108 pasal yang mengatur perlindungan hanya 8 pasal, sungguh tidak memadai apabila dilihat dari sisi perlindungan. Maka hendak di revisi memperbaiki perlindungan dari semua aspek kepentingan pekerja migran. UU No. 40 tentang SJSN jo UU 26 Tahun 2011 tentang BPJS, peralihan dari JAMSOSTEK ke BPJS Ketenagakerjaan ini oleh pengusaha juga dibuat sebagai peluang untuk mengambil keuntungan. Contoh yang benar-benar terjadi (ada kasus yang kami tangani) seorang pekerja mengalami kecelakaan kerja biaya pengobatan untuk penyembuhan pekerja ini pengusaha tidak mau membiayai terlebih dahulu, pekerja yang disuruh membayar dahulu. Begitu pula untuk BPJS Kesehatan, pengusaha terlambat membayar iuran BPJS Kesehatan, pada saat kosong Pengusaha belum membayar pekerja ada yang malahirkan menggunakan kartu JPK/JAMSOSTEK ditolak karena pengusaha belum membayar lalu pekerja membayar dulu dengan uangnya karena kalau tidak membayar dulu tidak ada tindakan medis. Dua contoh diatas sedang kami alami dan kami terus berjuang untuk anggota kami tersebut. Perusahaan yang kami hadapi ini adalah pemegang Merk beken di dunia, juga mempunyai kode perilaku (code of conduct). Temuan lain dilapangan Perusahaan Asing saat datang ke Indonesia memang mendaftarkan sebagai penanam modal (investor) asing ke Badan Koordinator Penanaman Modal (BKPM) Nasional, tetapi kurun waktu 2 – 5 tahun berubah menjadi Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) pemiliknya berganti orang Indonesia dengan badan hukumnya dibuktikan dengan akte notaris. Jual beli perusahaan itu hal yang biasa saja tetapi kami menemui yang aneh yakni pembeli perusahaan itu 2 (dua) orang satu sekretaris Direktur dan satu lagi bagian pemasaran. Secara logika gajih seorang sekretais itu sebulan untuk hidup layak saja sulit harus ada pengiritan disana sini begitu pula seorang pemasaran dan dalam masa kerja 2 - 5 tahun kok bisa membeli saham yang nilai milyaran rupiah. Disaat sudah berubah menjadi PMDN toh orang asing pemilik saham lama masih juga bekerja dan berkuasa di perusahaan yang telah berubah wajah menjadi PMDN. Setelah itu beberapa tahun kemudian tutup dengan meninggalkan buruh tanpa pesangon seperti apa yang diatur Undang-undang. Praktek ini tidak ada data yang pasti (karena kami punya kasus), dan tidak dapat ditelusuri kemana perginya dan meski di daerah lain banyak perusahaan yang
produksi sejenis dengan yang tutup di wilayah JABODETABEK tetapi nama perusahaan kan beda dan pemiliknya juga beda. BKPM Nasional maupun Daerah juga tidak tahu sudah tentu tidak punya data. Hal-hal seperti diatas belum tersentuh atau tepatnya belum ada jalan keluarnya untuk perbaikan keadaan, kita sudah sampai pada kondisi global yang mau tidak mau Indonesia harus mengikuti permain glabal ini dengan kenyataan seperti berikut: A. Indonesia memperoleh bonus demografi; Penduduk Indonesia yang produktif menurut BPS Sakernas Agustus 2013 (yang dikases oleh Kementerian PP & PA) dari usia 15 – 64 tahun ada 176.662.097 perempuannya ada 88.473.069 orang dan 60 % perempuan ini berpendidikan SD kebawah. Apabila orang perempuan usia produktif ini mayoritas berpendidikan SD kebawah berarti perlu segera ada intervensi pemerintah untuk memberi pelatihan ketrampilan, pemahaman akan potensi desa dan lingkungannya, mengorganisir mereka untuk berkelompok kemudian bisa merumuskan apa yang dapat mereka lakukan supaya dapat menghasilkan ekonomi dengan bergotong royong berdasar pada potensi lokal tersebut. Dengan demikian bisa produktif, tidak lari ke kota sebagai urban dan migrasi ke negaranegara lain yang belum tentu aman. Kalaupun harus bermigrasi karena kerelaan dan siap bekal yang memadai agar tidak menjadi korban kekerasan. Penanganan masalah ini harus segera tidak dapat ditunda lagi karena akan menjadi bencana kalau dibiarkan. Pemerintah jangan sampai lengah seperti pemerintah terdahulu hanya mengandalkan investor asing yang akan tanam modal di Indonesia dan tanpa memikirkan pemberdayaan potensi lokal. Sesungguhnya Indonesia telah ketinggalan dalam pemberdayaan ekonomi lokal ini terlalu terkesima dengan konsep konglomerasi meskipun telah gagal. Terbukti kebutuhan akan beras, jagung, kedelai, singkung, daging, garampun sudah import lama, padahal Indonesia negara agraris. Ada salah dari konsep pendidikan kita, kurikulum dari Sabang hingga Merauke jangan sama lah, harus juga disesuaikan dengan potensi lokal, ini memotivasi siswa untuk menciptakan pemberdayakan ekonomi lokal. B. Satu ekonomi ASEAN; Pasar bebas di ASEAN ini benarkah dapat dinikmati oleh rakyat Indonesia, pasar bebas ini selain bebas perdagangan juga bebas perpindahan tenaga kerja di kawasan ASEAN. Lalu dimana posisi pekerja khususnya pekerja perempuan. Situasi hari ini banyak pabrik garmen, sepatu elektronik yang pekerjanya mayoritas perempuan banyak yang mulai tutup dan pindah/relokasi. Kemana relokasinya tidak ada data yang pasti yang dapat di asumsikan ke negara – negara ASEAN lain seperti Vietnam, Miyanmar, Birma, Laos, dan lain-lain. Artinya ini meninggalkan pengangguran besar-besaran di Indonesia mayoritas pekerja perempuan, tanpa kita tahu pasti bagaimana para mantan pekerja ini melanjutan kehidupan mereka. Disaat yang sama tenaga kerja luar negeri dari negara - negara ASEAN seperti Philipina, Malaysia, dan lain-lainnya. Rata-rata dari Philipina ini ahli managemen, dari Malaysia khususnya yang orang-orang India ahli IT. Mereka dengan bebas masuk pasar kerja di Indonesia, pengusaha merasa senang menerima mereka sebagai pekerjanya selain mereka memang ahli dibidangnya, mereka juga berbahasa Inggris dengan baik. Nah, posisi
pekerja perempuan Indonesia meski kita sedang dalam era bonus demografi apakah bisa bersaing dengan pekerja-pekerja asing dimaksud. Terlebih lagi sesungguhnya ada hal yang tidak boleh kita lupakan adalah ASEAN sendiri telah mempunyai kesepakatan dengan negara-negara Asia lainnya seperti China, Jepang, Korea untuk dapat melaksanakan perdagangan ke seluruh kawasan ASEAN. Sekarang saja di pasar-pasar kita sudah banjir barang-barang China yang tidak dapat dibendung lagi. Tenaga kerja Indonesia sesungguhnya dibutuhkan di Malaysia, Singapura, Brunai Darussalam, tetapi hanya Pekerja Rumah Tangga, atau pekerja di konstruksi bangunan, perkebunan intinya pekerjaan yang kasar dan berat ditambah murah upahnya. Penduduk Malaysia, Brunai, Singapura tidak mau lagi melakukan pekerjaan yang kasar seperti itu. Mereka sudah masuk pada level pekerjaan profesional dengan gajih yang tinggi, mereka kalau cuti tahunan saja bisa piknik ke Bali sekeluarga, sedang pekerja migran kita disana hanya jadi umpan kekasaran mereka. Gambaran ini bukan suatu pesimistis, tetapi atas dasar realita dan logika dan pengalaman selama ini. Indonesia dengan Malaysia, Singapura dan Brunai Darussalam mengenai pekerja migran juga hanya mempunyai MOU dengan isi yang tidak melindungi pekerja migran. MOU stautus kan hanya semacam kesepakatan pelanggarannya tidak dapat di gugat. Sampai hari ini belum berhasil meningkatkan status MOU menjadi bilateral agreement dengan pasalpasal yang melindungi pekerja migran Indonesia. C. Indonesia tahun 2015 masuk kategori negara yang ekonomi tinggal landas (G20). Indonesia harus mengejar ketinggal semua ini karena ketika dianggap sebagai negara yang sedang tinggal landas harus tunduk pada permainan sebagaimana seharusnya negara yang tinggal landas. Bantuan internasional untuk kemanusiaan juga dikurangi atau bahkan berhenti dan malah harus membantu negara-negara lain yang masih tertinggal atau lazim disebut negara ketiga. D.
Indonesia dianggap berhasil melaksanakan 8 (delapan) program MDG’s: 1. Penanggulangan kemiskinan dan kelaparan; 2. Memberikan pendidikan dasar yang universal; 3. Kesetaraan gender dan penberdayaan perempuan; 4. Mengurangi tingkat kematian bayi; 5. Meningkatkan kesehatan ibu; 6. Menangani HIV/AIDS, malaria dan lain-lain; 7. Memastikan pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan; 8. Membangun kemitraan global dalam pembangunan.
Memberikan pendidikan dasar yang universal ini pada prakteknya belum berhasil terbukti data BPS menunjukkan angka SD kebawah untuk perempuan 60%, ini kegagalan program pemerintah melaksanakan pendidikan. Akar masalahnya ada dimana, apa karena miskin perut lapar jadi enggan berangkat ke sekolah lebih baik kerja seadanya untuk dapat makan pada hari itu.
Kesetaraan gender belum dipahami sebagai hak perempuan yang harus dihormati oleh semua anggota masyarakat baik yang perempuan maupun laki-laki. Jangan kalau bekerja ke Arab boleh, uang dikirim ke suami di desa. Suami mengelola uang itu untuk senang-senang sendiri, akhirnya perempuan di exploitasi lagi, belum lagi oleh pihak-pihak lain. Kita tahu angka kematian ibu saja jika dibandingkan tahun 2003 angka kemagian ibu 220/100.000, sedang sekarang 326/100.00, artinya mengalami kemerosotan. Penyebabnya antara lain karena kekurangan gizi disebabkan pendapatan rendah/miskin; kurang pengetahuan mengenai pemeliharaan kehamilan; peloayanan kesehatan dari pemerintah terhadap orang miskin tidak ada. Intinya Indonesia belum sampai pada tahap berhasil, jadi apabila dianggap berhasil, maka harus mengejar ketinggalan itu dengan kerja keras dan sungguh-sungguh. Programnya jelas, anggaran tersedia, kalau tidak tidak dapat dinikmati rakyat. III. ANALISIS SITUASI YANG BERKAITAN DENGAN DUNIA PERBURUHAN Sejak masa ORBA buruh memang dianggap komoditi yang dapat diperlakukan sehendak penyelenggara negara tanpa mengindahkan aspek hak-hak sebagai manusia dan berhak mempunyai kehidupan yang layak bagi kemanusiaan. Pekerja Perempuan telah memberikan: 1. Bekerja dengan jam kerja yang panjang untuk memproduksi barang yang akan di export ke negara kreditor Indonesia seperti Amerika, Eropa, Jepang dan lain-lain; 2. Hari Minggu dan juga hari libur nasional juga harus lembur, samapi-sampai tidak sempat bergaul di masyarakat; 3. Membayar pajak lebih besar daripada pekerja laki-laki karena meski telah berkeluarga statusnya dianggap lajang; 4. Bagi pekerja migran perempuan, menghasil remitensi ke desa-desa asal dan devisa dinegara tujuan kerja; 5. PRT di dalam negeri memilih pekerjaan itu karena tidak ada pilihan lain sedang perlindungannya malah belum ada sama sekali; Negara/Pemerintah memberikan apa pada pekerja perempuan: 1. Pemerintah tidak aktif dalam melaksanakan perintah Undang-undang akan pengawasan terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh pengusaha baik soal jam kerja, penggunaan cuti haid, cuti melahirkan; 2. Kebijakan yang tidak berpihak pada pekerja perempuan, seperi kebijakan pembayaran pajak; 3. Pemerintah tidak melakukan pembinaan terhadap serikat pekerja agar menjadi kuat dan mampu bernegosiasi; 4. Upah pekerja dari mulai masuk kerja hingga masa pensiun hanya UMP/UMK; 5. Hubungan industrial masih didistorsi dengan hubungan yang harmonis. Penyebab rendahnya labour cost antara lain adalah: 1. promosi pemerintah dalam mengundang investor dengan upah buruh murah; 2. biaya perijinan tinggi dan lama prosesnya; 3. suku bunga bank untuk investasi tinggi;
4. 5. IV.
pengolahan limbah industri yang ditanggung secara sendiri – sendiri oleh perusahaan membebani biaya tinggi; pungutan-pungutan diluar pajak tidak dapat dihindarkan.
REKOMENDASI 1. Promosi upah pekerja murah harus dihentikan sekarang juga; 2. Status lajang bagi pekerja perempuan yang telah berkeluarga harus dihapuskann agar potongan pajak tidak tinggi hingga dapat untuk menambah biaya hidup bersama keluarganya; 3. Pengambilan cuti melahirkan tanpa harus menunjukan surat nikah dan bagi yang hanya nikah siri tetap mempunyai hak cuti melahirkan; 4. Membangun industri baru harus melibatkan ahli tata ruang industri agar limbah yang dihasilkan dapat diolah dengan biaya murah, sehingga tidak merugiak buruh dengan rendahnya labour cost; 5. Pemerintah harus menguatkan serikat pekerja yang ada tanpa kecuali baik yang afiliasi dengan Konfederasi maupun yang hanya Federasi; 6. Konsep pendidikan sebaiknya diubah disesuaikan dengan potensi lokal, sehingga dapat memberi motivasi pada anak didik untuk berkreasi di daerahnya sendiri tidak tergoda untuk urbanisasi menjadi buruh pabrik dan PRT maupun bermigrasi; 7. Segera wujudkan revisi UU No. 39 Tahun 2004 tentan PPTKILN; 8. Segera wujudkan Perlindungan PRT dengan membahas dan mengesahkan UUnya; 9. Pembangunan koperasi di lingkungan kaum pekerja perempuan menjadi penting agar pekerja perempuan tidak terjerat hutang rente. 10. Potensi lokal untuk membangkitkan perekonomian lokal/pedesaan sangat penting, agar tidak tergantung pada investor besar/asing yang biasanya banyak persyaratan yang membuat posisi tawar negara lemah. 11. Bunga bank untuk investasi atau untuk kepentingan usaha baik besar, sedang, kecil harus rendah agar bekerja keras bukan hanya untuk membayar bunga bank; 12. Perijinan usaha harus dipermudah dan gratis; 13. Pengolahan limbah harus menjadi perhatian supaya tidak merusak lingkungan, laut dll; 14. Pungutan liar harus bisa dihentikan 15. Pengawasan pelaksanakan peraturan per-Undang-undangan harus diaktifkan agar pekerja benar-benar terlindungi; 16. Hapuskan praktek kerja kontrak, yang membuat pekerja tidak tenang hidup; 17. Pengusaha jika hendak relokasi ke daerah lain atau ke luar negeri harus menyiapkan dulu pekerja yang hendak di PHK di beri pelatihan alih profesi, mengelola uanga pesangon, ini harus menjadi persyaratan dalam perijinan; 18. Relokasi kemana harus lapor pemerintah terlebih dahulu jangan datang mendaftarkan diri sebagai PMA ketika pergi tidak lapor sehingga tidak bisa diketahui ini harus menjadi persyaratan dari Badan Koordinator Penanaman Modal Nasional; 19. Visi misi Presiden terpilih yakni pekerja dengan situasi kerja layak, upah layak dan hidup layak harus benar-benar diwujudkan.
Jakarta, 15 Oktober 2014