ISSN 1979–715X
JURNAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN JURUSAN EKONOMI PEMBANGUNAN FAKULTAS EKONOMI UNNES Volume 2, Nomor 2, September 2009
DAFTAR ISI
Dampak Perubahan Upah terhadap Output dan Kesempatan Kerja Industri Manufaktur di Jawa Tengah Imam Juhari dan Hastarini Dwi Atmanti .................................................................................... 91 –- 103
Disparitas dan Spesialisasi Industri Manufaktur Kabupaten/Kota di Jawa Tengah Kusumantoro ............................................................................................................................... 104 – 113
Anatomi Makro Ekonomi Regional: Studi Kasus di Propinsi DIY Ahmad Ma’ruf .............................................................................................................................. 114 – 125
Neoliberalisme: Antara Mitos dan Harapan Etty Soesilowati ........................................................................................................................... 126 – 134
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kerawanan Pangan Rumah Tangga Miskin di Desa Wiru Kecamatan Bringin Kabupaten Semarang Mardiana Ratna Sari dan Bambang Prishardoyo ................................................................... 135 – 143
Perencanaan Pengembangan Sektor Pertanian Sub Sektor Tanaman Pangan di Kabupaten Kulonprogo Fafurida ....................................................................................................................................... 144 – 155
Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Investasi PMA di Batam Muhammad Zaenuddin .............................................................................................................. 156 – 166
Identifikasi Potensi Ekonomi Daerah Boyolali, Karanganyar, dan Sragen Kartika Hendra Titisari ............................................................................................................... 167 – 182
INDEK ............................................................................................................................................
183
PENGANTAR REDAKSI
ÉΟŠÏm§9$# Ç⎯≈uΗ÷q§9$# «!$# ÉΟó¡Î0 Puji syukur redaksi JEJAK panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena kali ini redaksi mampu hadir kembali dengan menyajikan berbagai artikel di bidang ekonomi pembangunan pada khususnya. Pada edisi ini JEJAK volume 2 nomor 2 kali ini tetap konsisten terbit dengan 8 artikel hasil penelitian, dan dari 8 artikel tersebut, 4 artikel (50 persen) merupakan artikel dari luar Institusi FE UNNES. Artinya, JEJAK makin tetap terus digemari oleh khalayak akademika di luar FE UNNES. Artikel pertama mencoba mengkaji dampak perubahan upah terhadap output dan kesempatan kerja industri manufaktur di Jawa Tengah, yang ditulis oleh Imam Juhari dan Hastarini Dwi Atmanti. Berkaitan tentang kajian industri, artikel kedua yang ditulis oleh Kusumantoro juga menganalisis tentang industri manufaktur terutama tentang disparitas dan spesialisasi industri manufaktur pada Kabupaten dan Kota di Jawa Tengan. Artikel ketiga dan keempat menganalisis tentang makro ekonomi dan sistem perekonomian, yakni yang ditulis oleh Ahmad Ma’ruf menganalisis tentang Ekonomi regional dan yang ditulis oleh Etty Soesilowati menganalisis tentang sistem neoliberalisme antara mitos dan harapan. Selanjutnya, artikel lain cenderung menganalisis tentang persoalan perencanaan dan kebijakan ekonomi di daerah. Artikel tersebut antara lain membahas tetang; faktor-faktor yang mempengaruhi kerawanan pangan rumah tangga miskin di Kabupaten Semarang yang ditulis oleh Mardiana Ratna Sari dan Bambang Prishardoyo, serta artikel tentang perencanaan pengembangan sektor pertanian pada sub sektor tanaman pangan di Kabupaten Kulonprogo yang ditulis oleh Fafurida. Selanjutnya, analisis tentang faktor-faktor yang mempengaruhi kebijakan investasi PMA di Batam telah ditulis oleh Muhammad Zaenuddin, dan identifikasi potensi ekonomi daerah Boyolali, Karanganyar dan Sragen ditulis oleh kartika Hendra Titisari. Demikian isi artikel dalam edisi kali ini, akhir kata Redaksi mengucapkan banyak terima kasih kepada para penulis dan mitra bestari atas kerjasama yang baik selama ini. Harapan Redaksi, semoga artikel ini dapat bermanfaat bagi para pembaca yang budiman. Wassalamualaikum wr. Wb.
Semarang, September 2009 Pimpinan Redaksi
DAMPAK PERUBAHAN UPAH TERHADAP OUTPUT DAN KESEMPATAN KERJA INDUSTRI MANUFAKTUR DI JAWA TENGAH Imam Juhari 1 Hastarini Dwi Atmanti 2 Fakultas Ekonomi Universitas Diponegoro Semarang email:
[email protected]
ABSTRACT The study arms to analyze the impact of changes in wages manufacturing sector’s output and employment in the manufacturing sector in Central Java Province, and to analyze the manufacturing sector linkages with other sectors, both connections to the forward and backward linkages in Central Java Province. To analyze the manufacturing sector linkages analysis used backward and forward linkages. While to analyze the impact of a wage increase manufacturing sector’s output and employment, the first step taken is to determine the amount of wage increase manufacturing sector which then serve as a shock. The second step is to analyze the influence of wage increases shock on output and employment in the manufacturing sector in Central Java Province. In this study use Input Output tables of Central Java in 2004. The result showed that 35 sub sectors in manufacturing industry sector based on I_O tables of Central Java in 2004, 25 sub sectors have relevance to a larger rear. The increase in wages in manufacturing sector in 2005 led to the manufacturing industry sector in Central Java to increase its output of 2,879,359.31 million dollars. The increase in output that occurs later will have an impact on increasing employment opportunities in manufacturing sector of 43,529 inhabitants. Keywords: impact of rising wages, the manufacturing industry. PENDAHULUAN12 Provinsi Jawa Tengah merupakan salah satu provinsi di Pulau Jawa dengan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) pada tahun 2005 sebesar 143.051.213,88 juta rupiah (BPS Jawa Tengah, 2006). Pada tahun 2001 sampai 2005 sektor yang paling besar kontribusinya adalah sektor industri. Pada tahun 2005 kontribusi sektor industri sebesar 32,23% dari total PDRB Jawa Tengah, diikuti sektor perdagangan dan sektor pertanian dengan kontribusi masing-masing sebesar 21,01% dan 20,92%. Sesuai dengan Tabel 1 di bawah, output yang dihasilkan oleh sub sektor pada sektor industri manufaktur pada tahun 2001 sampai dengan 2005 relatif fluktuatif. Secara total terjadi kenaikan nilai output sektor industri manufaktur pada tahun 2005 dibandingkan tahun sebelumnya, nilai output sektor industri manufaktur pada tahun 2005 mencapai Rp65.350.215,00. Untuk masing-masing sub sektor industri manufaktur, sub sektor yang mengalami kenaikan nilai output pada tahun 2005 dibandingkan 1) 2)
Alumnus Sarjana Ekonomi FE UNDIP Staf Pengajar Jurusan Ekonomi Pembangunan FE UNNDIP
tahun sebelumnya, adalah subsektor tekstil, subsektor kertas dan kimia, subsektor non logam dan logam, sedangkan untuk subsektor makanan dan subsektor lain, nilai outputnya cenderung turun. Subsektor tekstil merupakan subsektor yang memiliki nilai output paling tinggi yaitu sebesar Rp19.036.925 pada tahun 2005. Peran setiap sektor dalam pertumbuhan ekonomi regional tentu akan berdampak pada keadaan ketenagakerjaan. Setiap sektor ekonomi akan dapat menyerap tenaga kerja dalam perekonomian regional tersebut. Penyerapan tenaga kerja yang cukup tinggi berarti terjadi peningkatan kesejahteraan di dalam masyarakat. Tabel 2 menggambarkan banyaknya tenaga kerja yang ada di sektor industri manufaktur menurut subsektor industri manufaktur. Jumlah tenaga kerja yang bekerja pada sektor industri manufaktur periode tahun 2001 sampai dengan tahun 2005 relatif fluktuatif. Untuk tahun 2005 jumlah total tenaga kerja yang bekerja pada sektor industri manufaktur sebesar 62.0849 jiwa, kondisi ini meningkat dari tahun sebelumnya sebesar 555.231 jiwa. Subsektor pada sektor industri manufaktur yang mengalami kenaikan jumlah tenaga kerja yang bekerja pada
JEJAK, Volume 2, Nomor 2, Septermber 2009
91
Tabel 1. Nilai Output Industri Manufaktur Per Sub Sektor Di Jawa Tengah 2001-2005 (Juta Rupiah) Sub Sektor
2001
2002
2003
2004
2005
Makanan Tekstil Kertas & Kimia Mineral Non Logam & Logam Lainnya
19.021.010 17.275.078 10.357.772 3.211.367 9.600.340
20.874.748 19.554.761 9.812.779 2.730.092 7.442.670
19.775.980 17.211.850 7.649.218 3.475.153 8.839.266
18.784.910 19.024.495 12.738.769 4.788.399 8.561.863
17.165.547 19.036.925 15.017.682 5.751.792 8.378.267
Total
59.465.569
60.415.052
56.951.468
63.898.439
65.350.215
Sumber: Jawa Tengah Dalam Angka, 2007
Tabel 2. Tenaga Kerja yang Bekerja pada Industri Manufaktur per Subsektor di Jawa Tengah tahun 2001-2005 Sub Sektor
2001
2002
2003
2004
2005
154.701 217.786 92.770 24.308 114.342
154.578 214.933 98.915 13.489 104.514
155.090 205.044 89.386 22.296 103.542
149.313 200.235 79.892 20.204 105.587
161.924 243.368 83.086 19.950 112.521
Total 603.907 Sumber: Jawa Tengah Dalam Angka, 2007
586.429
575.358
555.231
620.849
Makanan Tekstil Kertas & Kimia Mineral Non Logam & Logam Lainnya
Tabel-3 menunjukkan, bahwa produktivitas tenaga kerja di masing-masing subsektor industri manufaktur. Produktivitas merupakan perbandingan antara hasil yang dicapai (keluaran) dengan keseluruhan sumber daya (masukan) yang dipergunakan persatuan waktu. Produktivitas masing-masing faktor produksi dapat dilakukan secara bersama-sama maupun sendiri (Payaman, 2001: 38-39).
dan ekonomi. Melalui fungsi sosial berarti bahwa sistem pengupahan itu harus dapat menjamin kehidupan yang layak bagi pekerja dan keluarganya. Melalui fungsi ekonomi berarti bahwa upah yang diterima oleh setiap pekerja harus cukup atau memenuhi kebutuhan hidup minimalnya supaya produktivitas kerjanya dapat ditingkatkan. (Payaman J. Simanjuntak, 1982: 23). Tetapi di sisi lain peningkatan upah akan mengakibatkan penurunan permintaan tenaga kerja, dan peningkatan upah yang terlalu tinggi akan meningkatkan beban bagi pengusaha, kondisi ini memungkinkan pengusaha akan mengurangi para pekerjanya.
Untuk negara berkembang seperti Indonesia, tingkat produktivitas kerja buruh secara umum masih rendah. Sistem pengupahan memiliki fungsi sosial
Usaha peningkatan kesejahteraan masyarakat tidak terlepas dari usaha peningkatan upah pekerja dalam sektor ekonomi. Bagi pekerja upah merupakan
tahun 2005 adalah subsektor makanan, subsektor tekstil, subsektor kertas dan kimia dan subsektor lainnya. Sedangkan, subsektor yang mengalami penurunan jumlah tenaga kerja yang bekerja adalah subsektor mineral non logam dan logam.
Tabel 3. Produktivitas Tenaga Kerja Sektor Manufaktur Menurut Subsektor di Jawa Tengah tahun 2001-2005 Sub Sektor Makanan Tekstil Kertas & Kimia Mineral Non Logam & Logam Lainnya Sumber: BPS Data Diolah, 2007
92
2001
2002
2003
2004
2005
122.953 79.321 111.650 132.112 83.962
135.043 90.981 99.204 202.394 71.212
127.513 83.942 85.575 155.864 85.369
125.809 95.011 159.450 237.003 81.088
106.010 78.223 180.749 288.310 74.460
Dampak Perubahan Upah .... (Juhari & Atmanti : 91 – 103)
salah satu sarana untuk meningkatkan kesejahteraan pekerja dan keluarganya secara langsung, karena kenaikan upah akan berdampak langsung pada meningkatnya pendapatan nominal mereka. Pokok masalah yang perlu dijawab dalam penelitian ini adalah bagaimana dampak perubahan upah terhadap output dan kesempatan kerja pada sektor industri manufaktur di Propinsi Jawa Tengah. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis dampak perubahan upah sektor indutri manufaktur terhadap output dan kesempatan kerja pada sektor industri manufaktur di Provinsi Jawa Tengah serta untuk menganalisis keterkaitan sektor industri manufaktur dengan sektor-sektor lainnya, baik keterkaitan ke depan maupun keterkaitan ke belakang, sehingga penelitian ini dapat mengetahui sektor mana yang dapat dijadikan sebagai prioritas dalam pembangunan ekonomi.
tuhan para pekerja (Sadono, 1985: 297-298). Upah yang diterima pekerja merupakan pendapatan bagi pekerja dan keluarganya sebagai balas jasa atau imbalan atas pekerjaan yang dilakukan dalam proses produksi. Bagi perusahaan upah merupakan biaya dari pengggunaan faktor produksi sebagai input dari proses produksi, dengan demikian besar kecilnya upah akan berpengaruh terhadap biaya produksi perusahaan. Selanjutnya, Arfida BR (2003: 159-161) menyebutkan beberapa alasan penyebab dinamiknya upah adalah sebagai berikut: 1. Produktivitas Karena produktivitas merupakan sumber yang dapat menambah pendapatan perusahaan, maka bila produktivitas naik maka upah juga cenderung naik. 2. Besarnya penjualan Penjualan adalah sumber pendapatan usaha yang menentukan kemampuan membayar.
LANDASAN TEORI Teori Permintaan Tenaga Kerja
3. Laju inflasi
Permintaan tenaga kerja timbul sebagai akibat dari permintaan konsumen atas barang dan jasa, sehingga permintaan tenaga kerja merupakan permintaan turunan (derived demand) (Payaman, 2001: 89). Menurut Arfida BR. (2003: 62) menyatakan pengaruh output terhadap permintaan tenaga kerja dimulai dari penurunan upah pasar. Turunnya upah pasar, biaya produksi perusahaan akan mengalami penurunan. Dalam pasar persaingan sempurna, jika diasumsikan harga produk konstan, maka penurunan biaya ini akan menaikkan kuantitas output yang memaksimalkan keuntungan. Untuk alasan tersebut perusahaan akan memperluas penggunaan tenaga kerja. Sementara itu, upah diartikan sebagai pembayaran ke atas jasa-jasa fisik maupun mental yang disediakan oleh tenaga kerja kepada para pengusaha. Upah dibedakan menjadi dua pengertian upah: upah uang dan upah riil. Upah uang adalah jumlah uang yang diterima pekerja dari pengusaha sebagai pembayaran atas tenaga mental maupun fisik para pekerja yang digunakan dalam proses produksi. Upah riil adalah tingkat upah pekerja yang diukur dari sudut kemampuan upah tersebut membeli barang dan jasa yang diperlukan untuk memenuhi kebu-
Bagi sebuah rumah tangga, daya beli merupakan unsur yang penting dari upah yang diterima dan bukan upah nominalnya. Oleh sebab itu, laju inflasi yang digunakan untuk mendeflasi upah nominal menjadi upah riil sangat penting. 4. Sikap pengusaha Kecepatan perubahan tingkat upah tergantung sikap pengusaha dalam menghadapi hal-hal yang dapat mengakibatkan upah berubah. 5. Institusional Undang-undang mengharuskan perusahaan besar untuk mengadakan kesepakatan kerja bersama dengan serikat pekerja yang memang diinginkan oleh anggotanya. Oleh karena itu dalam perusahaan di mana ada serikat pekerja tingkat upahnya diharapkan lebih dinamis mengikuti perkembangan dari pada perusahaan tanpa serikat pekerja Produktivitas tenaga kerja didefinisikan sebagai rasio antara output yang dihasilkan oleh seorang individu dengan jam kerja yang digunakan untuk memperoleh upah (McConnel dan Brue, 1995 dalam Wildan Syafitri, 2003: 26). Sadono Sukirno (2002: 356) menyatakan produktivitas sebagai produksi
JEJAK, Volume 2, Nomor 2, Septermber 2009
93
yang diciptakan oleh seorang pekerja pada suatu waktu tertentu. Upah riil yang diterima tenaga kerja sangat tergantung pada produktivitas tenaga kerja tersebut. Hubungan upah dan produktivitas juga dijelaskan melalui teori produktivitas marjinal. Teori ini menjelaskan bahwa pengusaha tetap akan menambah pekerja hingga jumlah tertentu yaitu nilai produktivitas masih cukup atau lebih baik untuk membiayai upah pekerja tersebut. Pada praktiknya teori ini lebih memperhitungkan tingkat produktivitas pekerja. Pengusaha akan menambah pekerja hanya sampai tingkat tertentu, yaitu pertambahan produktivitas marjinal sama dengan upah yang diberikan kepada mereka (Roger, 2000: 569-571). Produktivitas dan Kesempatan Kerja Menurut Mc Eachern , A. William (2000: 497), produktivitas adalah rasio antara ukuran output tertentu terhadap ukuran input tertentu, seperti misalnya output per jam tenaga kerja. Produktivitas sendiri menurut Payaman J. Simanjuntak (2001: 38) merupakan perbandingan antara hasil yang dicapai dengan keseluruhan sumber daya yang digunakan per satuan waktu. Produktivitas tenaga kerja juga memberikan pengertian tingkat kemampuan tenaga kerja dalam menghasilkan produk (Wildan, 2003: 26). Selanjutnya, Payaman, (2001: 95) menyatakan pertambahan produktivitas kerja dapat mempengaruhi kesempatan kerja, di mana akan terjadi perubahan permintaan tenaga kerja dalam jangka panjang melalui: 1. Peningkatan produktivitas kerja dengan jumlah hasil produksi yang sama diperlukan tenaga kerja dengan jumlah yang lebih sedikit. 2. Peningkatan produktivitas tenaga kerja yang diperoleh atas keberhasilan penurunan biaya produksi per unit, sehingga dapat menurunkan harga jual, kemudian diikuti dengan bertambahnya permintaan akan produksi tersebut. Akhirnya mendorong pertambahan akan produksi yang hal ini akan menambah permintaan tenaga kerja. 3. Upah pekerja bertambah besar sehubungan dengan peningkatan produktivitas kerja. Hal ini akan meningkatkan pendapatan dan daya beli 94
pekerja, sehingga permintaan akan barangbarang konsumsi bertambah juga. Kondisi ini pada akhirnya akan mendorong peningkatan produksi barang. Sehingga hal ini akan meningkatkan permintaan tenaga kerja. Penawaran Tenaga Kerja Penawaran terhadap pekerja adalah hubungan antara tingkat upah dan jumlah satuan pekerja yang disetujui oleh pensuplai untuk ditawarkan. Secara khusus kurva penawaran tenaga kerja yang dimaksud adalah menggambarkan berbagai kemungkinan tingkat upah dan jumlah maksimum satuan pekerja yang ditawarkan oleh pensuplai pekerja pada waktu tertentu ( Aris, 1990: 27). Arfida BR. (2003: 64) menyebutkan jumlah tenaga kerja keseluruhan yang disediakan suatu perekonomian tergantung pada (1) jumlah penduduk, (2) persentase jumlah penduduk yang memilih masuk dalam angkatan kerja, dan (3) jumlah jam kerja yang ditawarkan oleh angkatan kerja. Lebih lanjut, masing-masing dari ketiga komponen ini dari jumlah tenaga kerja keseluruhan yang ditawarkan tergantung pada upah pasar. Payaman, (2001: 102) menyatakan besarnya waktu yang disediakan atau dialokasikan oleh suatu keluarga untuk keperluan bekerja merupakan fungsi dari tingkat upah. Pada tingkat upah tertentu penyediaan waktu bekerja dari keluarga bertambah bila tingkat upah bertambah. Setelah mencapai tingkat upah tertentu, pertambahan upah lebih lanjut justru mengurangi waktu yang disediakan oleh keluarga untuk keperluan bekerja. Hal ini disebut backward bending supply curve, atau kurva penawaran yang membelok (mundur). Kurva penawaran tenaga kerja yang membalik ke belakang terjadi jika efek pendapatan kenaikan upah lebih besar dari pada efek subtitusi kenaikan upah. Bila efek subtitusi akibat kenaikan upah lebih besar dari pada efek pendapatan, jumlah tenaga kerja yang ditawarkan naik bersamaan kenaikan upah. Di atas tingkat upah tertentu, efek pendapatan lebih besar dari pada efek subtitusi. Di atas tingkat upah tersebut, kurva penawaran bengkok ke belakang, kenaikan upah lebih lanjut mengurangi jumlah tenaga kerja yang ditawarkan (Mc Eachern, 2000: 221).
Dampak Perubahan Upah .... (Juhari & Atmanti : 91 – 103)
METODE PENELITIAN Dalam penelitian ini digunakan model inputoutput statis, di mana di dalam model input-output leontief statis kegiatan ekonomi dibagi dalam n sektor dan menggambarkan adanya aliran input yang digunakan dan output yang dihasilkan untuk masingmasing sektor. Output yang dihasilkan oleh masingmasing sektor akan digunakan untuk input antara permintaan akhir. Jika dituliskan dalam rumus sebagai berikut: Xi =
n
∑ zij + Yi
(1)
j
Dimana: Xi : output yang dihasilkan oleh sektor i zij : output yang dihasilkan oleh sektor i yang digunakan oleh sektor j sebagai input antara Yi : permintaan akhir terhadap output sektor i Dari persamaan (1) tersebut dapat dijabarkan dalam model leontief: X1 = z11 + z12 + ………. + z1n + Y1 X2 = z21 + z22 + ………. + z2n + Y2 Xn = zn1 + zn2 + ………. + znn + Yn
(2)
Besarnya koefiensi input langsung terhadap output atau sering disebut koefisien teknologi adalah: aij = z atau, ij
Xj
zij = aij Xj
(3)
aij adalah jumlah input sektor i yang diperlukan sebagai bahan baku (input) untuk menghasilkan satu unit output di sektor j. Setelah mendapatkan koefisien teknologi aij, maka persamaan (2) dapat ditulis sebagai berikut: X1 = a11X1 + a12X2 + ………. +a1nXn +Y1 X2 = a21X1 + a22X2 + ………. +a2nXn +Y2 Xn = an1X1 + an2X2 + ………. +annXn +Yn
(4)
Persamaan (4) dapat ditulis dalam bentuk notasi matriks yang lebih sederhana sebagai: X = (I-A)-1 Y dimana:
X : Vektor total output A : Matrik koefisien teknologi I : Matrik identitas (n x n)
(I-A)-1 : Matrik inverse loentief Y : Permintaan akhir Analisis Perubahan Output
Untuk menganalisis dampak perubahan upah minimum terhadap output digunakan model input output dengan pendekatan supply side. Dalam analisis ini input primer menjadi faktor eksogen. Artinya pertumbuhan perekonomian baik secara sektoral maupun total, dipengaruhi oleh perubahan pada input primer (Firmansyah, 2006: 41). Dalam model input-output dengan pendekatan supply bentuk persamaannya adalah secara kolom yaitu: n
X j = ∑ z ij + Vj
(6)
i
Dalam bentuk aljabar dapat ditulis: X1 = z11 + z21 + ………. zn1 + V1 X2 = z12 + z22 + ………. zn2 + V2 Xn = z1n + z2n + ………. znn + Vn Dan nilai koefisien output aij adalah: r r zij aij = atau A = ( Xˆ )–1 Z Xj
(7)
(8)
dimana Z adalah matriks transaksi yang memiliki unsur zij r sehingga Z = ( Xˆ ) A (9) dengan menggunakan persamaan (8) dan persamaan (7) dengan analogi yang sama dengan persamaan (4) maka didapatkan hasil: r X’ = V (I – A )–1 (10) X’ menunjukkan bahwa X adalah vektor baris, yang merupakan transpose dari X vektor kolom seperti sebelumnya. A : Output koefisien r V : Vektor input primer (I – A )–1 : Matrik output inverse Jika tingkat upah dinotasikan (w), maka perubahan output yang (5) ditimbulkan sebagai akibat perubahan (w) adalah : r (11) ΔX’ = Δw (I – A )–1
JEJAK, Volume 2, Nomor 2, Septermber 2009
95
Analisis Perubahan Kesempatan Kerja
Analisis Keterkaitan
Karena terjadi perubahan input karena adanya perubahan tingkat upah, akan mengakibatkan perubahan total input, maka perubahan total input tersebut akan menyebabkan berubahnya total output. Secara langsung atau tidak langsung perubahan total output akan menyebabkan perubahan permintaan akhir. Perubahan permintaan akhir karena perubahan output dapat ditulis: r (12) X = (I – A )–1 Y r (13) ΔX = (I – A )–1 ΔY
Selain menganalisis dampak perubahan upah minimum terhadap output dan kesempatan kerja, penelitian ini juga menganalisis keterkaitan sektor industri pengolahan dengan sektor lainnya. Analisis keterkaitan ini terdiri dari keterkaitan ke belakang langsung, keterkaitan ke belakang total, keterkaitan ke depan langsung, dan keterkaitan ke depan total.
ΔY = ΔXT (I – A)
(14)
Persamaan (14) dapat digunakan untuk menggambarkan perubahan output karena adanya kenaikan upah yang menyebabkan perubahan kesempatan kerja, hal pertama yang dilakukan adalah dengan menyusun matrik koefisien tenaga kerja. Koefisien tenaga kerja ini menunjukkan hubungan antara tenaga kerja dengan output yaitu banyaknya tenaga kerja yang dibutuhkan untuk menghasilkan satu satuan output, secara matematik dapat ditulis: ni =
n
Bdj = ∑ a ij
(17)
i=1
di mana aij adalah koefisien input yang merupakan elemen dari koefisien input. Keterkaitan ke belakang total adalah penjumlahan dari elemen matrik kebalikan input atau matrik kebalikan leontief (Firmansyah, 2006: 48). Dengan persamaan matematis: n
Li Xi
(15)
Bd+idj = ∑ a ij
(18)
i=1
ni : Koefisien tenaga kerja Li : Jumlah tenaga kerja sektoral Xi : Jumlah output sektoral
dimana αij adalah elemen matrik kebalikan input.
Apabila sudah diketahui koefisien tenaga kerjanya, maka dapat dilakukan perhitungan perubahan kesempatan kerja dengan menggunakan persamaan: ΔLi = ni ΔXi
(16)
ΔLi : Tambahan Kesempatan Kerja ni : Koefisien tenaga kerja ΔXi : Tambahan Output Sektoral Semakin tinggi koefisien tenaga kerja di suatu sektor menunjukkan semakin tinggi pula daya serap tenaga kerja di sektor yang bersangkutan, karena semakin banyak tenaga kerja yang dibutuhkan untuk menghasilkan satu unit output. Sebaliknya sektor yang semakin rendah koefisien kesempatan kerjanya menunjukkan semakin rendah pula daya serap tenaga kerja.
96
Keterkaitan ke belakang langsung merupakan penjumlahan kolom dari matrik koefisien input atau koefisien teknologi A, karena dari matriks tersebut secara kolom menunjukkan proporsi asal input suatu sektor dari sektor-sektor lainnya (Firmansyah, 2006: 48). Formula matematisnya adalah :
Keterkaitan ke depan langsung merupakan penr jumlahan baris dari matrik koefisien output A , karena dari matrik tersebut secara baris menunjukkan proporsi distribusi output suatu sektor kepada sektor lainnya (Firmansyah, 2006: 50). Pesamaan matematisnya adalah: n v Fdi = ∑ aij
(19)
j=1
r dimana aij adalah koefisien output yang merupakan elemen dari koefisien output. Keterkaitan ke depan total adalah penjumlahan baris matrik kebalikan output (Firmansyah, 2006: 50). Dengan persamaan matematis: Fd+idi =
n
r
∑ αij
(20)
j=1
r dimana α ij adalah elemen matrik kebalikan output.
Dampak Perubahan Upah .... (Juhari & Atmanti : 91 – 103)
HASIL DAN PEMBAHASAN Keterkaitan antar sektor
Terjadinya peningkatan kapasitas produksi di suatu sektor, biasanya akan selalu menimbulkan dua dampak sekaligus yaitu: (a) dampak terhadap permintaan barang dan jasa yang diperlukan sebagai input dan (b) dampak terhadap penyediaan barang dan jasa hasil produksi yang dimanfaatkan sebagai input oleh sektor lain. Dampak dari suatu kegiatan produksi terhadap permintaan barang dan jasa input yang diperoleh dari produksi sektor lain disebut sebagai keterkaitan ke belakang (backward linkages). Sedangkan, dampak yang ditimbulkan karena penyediaan hasil produksi suatu sektor terhadap penggunaan input oleh sektor lain disebut sebagai keterkaitan ke depan (forward linkage). (Budiman, 2004: 107). Dalam penelitian ini menggunakan Tabel InputOutput Jawa Tengah Tahun 2004 klasifikasi 89 sektor yang kemudian diagregasi menjadi 43 sektor. Sektor 1 sampai dengan sektor 28 diagregasi menjadi sektor pertanian, peternakan, kehutanan dan perikanan. Sektor 29 sampai dengan sektor 32 diagregasi menjadi sektor pertambangan dan penggalian. Sektor industri manufaktur tidak diagregasi karena merupakan sektor yang akan dianalisis. Sektor 68 dan sektor 69 diagregasi menjadi sektor listrik, gas dan air minum. Sektor 70 dan sektor 71 diagregasi menjadi sektor bangunan. Sektor 72 sampai dengan sektor 74 diagregasi menjadi sektor perdagangan, restoran dan perhotelan. Sektor 75 sampai dengan sektor 80 diagregasi menjadi sektor pengangkutan dan komunikasi. Sektor 81 sampai dengan 83 diagregasi menjadi sektor keuangan, persewaaan dan jasa perusahaan. Sektor 84 sampai dengan 89 diagregasi menjadi sektor jasa-jasa. Untuk sektor industri manufaktur terdiri dari : industri/ pengolahan dan pengawetan makanan, industri minyak dan lemak, industri penggilingan padi, industri tepung terigu dan tepung lainnya, industri roti dan kue kering lainnya, industri kopi giling dan kupasan, industri makanan lainnya, industri bumbu masak dan penyedap makanan, industri makanan ternak, industri gula tebu dan gula kelapa, industri minuman, industri rokok, industri pengolahan tembakau selain rokok, industri pemintalan, industri tekstil, industri tekstil jadi dan tekstil lainnya, industri
pakaian jadi, industri kulit dan alas kaki, industri kayu dan bahan bangunan dari kayu, industri perabot rumah tangga dari kayu, industri kertas dan barang dari kertas, penerbitan dan percetakan, industri farmasi dan jamu tradisional, industri kimia dan pupuk, industri pengilangan minyak, industri karet dan barang dari karet, industri plastik dan barang dari plastik, industri barang mineral bukan logam, industri semen, industri kapur dan barang dari semen, industri dasar baja dan besi, industri logam bukan besi dan barang dari logam, industri mesin-mesin dan perlengkapan listrik, industri alat angkutan dan perbaikannya, industri barang lainnya. Keterkaitan langsung ke belakang antar sektor
Keterkaitan langsung ke belakang diperoleh dengan cara menjumlahkan kolom semua elemenelemen dari koefisien input. Diasumsikan koefisien teknologi adalah sama, maka keterkaitan langsung ke belakang pada sektor industri manufaktur untuk tahun 2004 dapat diketahui. Hasil penelitian menunjukkan 35 sub sektor yang ada pada sektor industri manufaktur berdasarkan Tabel Input-Output Jawa Tengah tahun 2004, 25 sub sektor memiliki keterkaitan ke belakang yang lebih besar. Artinya bahwa lebih banyak sub sektor yang memiliki keterkaitan ke belakang yang lebih besar dibandingkan dengan keterkaitan ke depan. Kondisi ini berarti bahwa sub sektor tersebut banyak meminta output dari sub sektor lainnya sebagai input antara. Pada sektor industri manufaktur (sektor 3-37), lebih banyak sektor yang memiliki keterkaitan langsung ke belakang yang lebih tinggi dibandingkan dengan keterkaitan langsung ke depan. Sektor yang memiliki keterkaitan langsung ke belakang yang lebih tinggi dari pada keterkaitan langsung ke depan adalah sektor: industri/ pengolahan dan pengawetan makanan (sektor 3), industri minyak dan lemak (sektor 4), industri penggilingan padi (sektor 5), industri tepung terigu dan tepung lainnya (sektor 6), industri roti dan kue kering lainnya (sektor 7), industri kopi giling dan kupasan (sektor 8), industri makanan lainnya (sektor 9), industri bumbu masak dan penyedap makanan (sektor 10), industri gula tebu dan gula kelapa (sektor 12), industri minuman (sektor 13), industri rokok (sektor 14), industri tekstil (sektor 17), industri tekstil jadi dan tekstil lainnya (sektor 18),
JEJAK, Volume 2, Nomor 2, Septermber 2009
97
industri pakaian jadi (sektor 19), industri kulit dan alas kaki (sektor 20), industri kayu dan bahan bangunan dari kayu (sektor 21), industri perabot rumah tangga dari kayu (sektor 22), industri kertas dan barang dari kertas (sektor 23), industri farmasi dan jamu tradisional (sektor 25), industri karet dan barang dari karet (sektor 28), industri plastik dan barang dari plastik (sektor 29), industri barang mineral bukan logam (sektor 30), industri mesinmesin dan perlengkapan listrik (sektor 35), industri alat angkutan dan perbaikannya (sektor 36), industri barang lainnya (sektor 37). Hasil penelitian ini diketahui sektor yang memiliki keterkaitan langsung ke belakang paling tinggi adalah sektor industri penggilingan padi (sektor 5), hasil yang sama ditunjukkan oleh Saptiningsih (2005) dimana dari penelitian yang dilakukan diketahui bahwa sektor industri penggilingan padi memiliki keterkaitan ke belakang yang tinggi. Pada sektor tersebut menunjukkan angka keterkaitan ke belakang lebih besar dari angka keterkaitan ke depan, menurut Budiman Efdy (2004) hal ini berarti bahwa sektor tersebut banyak meminta output dari sektor-sektor lainnya sebagai input antara atau dengan kata lain menunjukkan ketergantungan sektor ini terhadap input yang berasal dari sektor lain. Jika dilihat angka keterkaitan ke belakang yang hampir mendekati nilai 1 menunjukkan bahwa industri penggilingan padi berpotensi untuk ikut memajukan perkembangan sektor lainnya. Berdasarkan koefisien input maka dapat diketahui bahwa sektor tersebut banyak meminta output dari sektor pertanian, peternakan, kehutanan dan perikanan (sektor 1) sebagai input antara. Sektor lain yang memiliki keterkaitan langsung ke belakang cukup tinggi adalah sektor industri roti dan kue kering lainnya (sektor 7), Selanjutnya, dengan melihat koefisien input dapat diketahui bahwa sektor ini banyak meminta output dari industri tepung terigu dan tepung lainnya (sektor 6). Penggunaan input antara pada sektor industri manufaktur lainnya adalah sebagai berikut: Industri/ pengolahan dan pengawetan makanan (sektor 3), industri minyak dan lemak (sektor 4), industri kopi giling dan kupasan (sektor 8), sektor industri makanan lainnya (sektor 9), industri gula tebu dan gula kelapa (sektor 12), Industri farmasi dan jamu tradisional (sektor 25), industri karet dan barang dari 98
karet (sektor 28) industri mesin-mesin dan perlengkapan listrik (sektor 35) dan industri alat angkutan dan perbaikannya (sektor 36) banyak meminta output dari sektor sendiri. Industri tepung terigu dan tepung lainnya (sektor 6), industri bumbu masak dan penyedap makanan (sektor 10) banyak meminta output dari industri penggilingan padi (sektor 5), industri rokok (sektor 14), industri kayu dan bahan bangunan dari kayu (sektor 21), industri kertas dan barang dari kertas (sektor 23), industri barang mineral bukan logam (sektor 30) banyak meminta output dari industri pengilangan minyak (sektor 27). Industri minuman (sektor 13) banyak meminta output dari industri gula tebu dan gula kelapa (sektor 12). Industri tekstil (sektor 17) dan industri tekstil jadi dan tekstil lainnya (sektor 18) banyak meminta output dari industri pemintalan (sektor 16). Industri pakaian jadi (sektor 19) banyak meminta output dari industri tekstil (sektor 17). Industri kulit dan alas kaki (sektor 20) banyak meminta output dari industri/ pengolahan dan pengawetan makanan (sektor 3). Industri perabot rumah tangga dari kayu (sektor 22) banyak meminta output dari industri kayu dan bahan bangunan dari kayu (sektor 21). Industri plastik dan barang dari plastik (sektor 29) banyak meminta output dari industri kimia dan pupuk (sektor 26) industri barang lainnya (sektor 37) banyak meminta output dari industri tekstil (sektor 17). Keterkaitan langsung ke depan antar sektor
Keterkaitan langsung ke depan diperoleh dengan cara penjumlahan baris pada setiap elemenelemen dari koefisien output. Diasumsikan koefisien teknologi adalah sama, maka keterkaitan langsung ke belakang pada sektor industri manufaktur untuk tahun 2004 dapat diketahui. Pada sektor industri manufaktur sektor yang memiliki keterkaitan langsung ke depan yang lebih tinggi adalah sebagai berikut: industri makanan ternak (sektor 11), industri pengolahan tembakau selain rokok (sektor 15), industri pemintalan (sektor 16), penerbitan dan percetakan (sektor 24), industri kimia dan pupuk (sektor 26), industri pengilangan minyak (sektor 27), industri semen (sektor 31), industri kapur dan barang dari semen (sektor 32), industri dasar baja dan besi (sektor 33), industri
Dampak Perubahan Upah .... (Juhari & Atmanti : 91 – 103)
logam bukan besi dan barang dari logam ( sektor 34). Menurut Chalimah (2004) sektor yang memiliki keterkaitan ke depan yang tinggi menunjukkan bahwa output dari sektor tersebut berperan besar dalam penyediaan input antara bagi sektor lainnya. Hasil penelitian ini diketahui pula bahwa sektor yang paling banyak meminta output dari sektor 32 adalah sektor bangunan (sektor 39). Output industri makanan ternak (sektor 11) paling banyak diminati oleh sektor 11 itu sendiri. Industri pengolahan tembakau selain rokok (sektor 15) output-nya paling banyak diminta oleh sektor industri rokok (sektor 14). Untuk sektor lainnya adalah sebagai berikut: industri pemintalan (sektor 16) outputnya paling banyak diminta oleh industri tekstil (sektor 17). Penerbitan dan percetakan (sektor 24), industri pengilangan minyak (sektor 27) output-nya paling banyak diminta oleh sektor industri rokok (sektor 14). Industri kimia dan pupuk (sektor 26) output-nya paling banyak diminta oleh industri plastik dan barang dari plastik (sektor 29). Industri semen (sektor 31) output-nya paling banyak diminta oleh sektor bangunan (sektor 39). Industri dasar baja dan besi (sektor 33) output-nya paling banyak diminta oleh industri logam bukan besi dan barang dari logam (sektor 34). Industri logam bukan besi dan barang dari logam (sektor 34) output-nya paling banyak diminta oleh Industri perabot rumah tangga dari kayu (sektor 22). Keterkaitan Total ke Belakang Antar Sektor
Keterkaitan total baik ke belakang yang dimiliki sektor industri manufaktur nilainya masing-masing diperoleh dengan menjumlahkan kolom elemenelemen koefisien input matrik inverse. Semakin besar nilai keterkaitan total ke belakang suatu sektor menunjukkan sektor tersebut dapat dijadikan sektor prioritas untuk dikembangkan. Hal ini berarti peran sektor sektor tersebut dalam mengembangkan seluruh sektor ekonomi relatif baik, namun output yang dihasilkan, perannya dalam menunjang sektorsektor ekonomi kurang begitu baik. Sektor-sektor yang memiliki keterkaitan total ke belakang yang lebih tinggi dari pada keterkaitan total ke depan pada sektor industri manufaktur (sektor 337) adalah: industri/ pengolahan dan pengawetan
makanan (sektor 3), industri minyak dan lemak (sektor 4), industri penggilingan padi (sektor 5), industri tepung terigu dan tepung lainnya (sektor 6), industri roti dan kue kering lainnya (sektor 7), industri makanan lainnya (sektor 9), industri bumbu masak dan penyedap makanan (sektor 10), industri gula tebu dan gula kelapa (sektor 12), industri minuman (sektor 13), industri rokok (sektor 14), industri tekstil (sektor 17), industri tekstil jadi dan tekstil lainnya (sektor 18), industri pakaian jadi (sektor 19), industri kulit dan alas kaki (sektor 20), industri kayu dan bahan bangunan dari kayu (sektor 21), industri perabot rumah tangga dari kayu (sektor 22), industri kertas dan barang dari kertas (sektor 23), industri farmasi dan jamu tradisional (sektor 25), industri karet dan barang dari karet (sektor 28), industri plastik dan barang dari plastik (sektor 29), industri barang mineral bukan logam (sektor 30), industri mesin-mesin dan perlengkapan listrik (sektor 35), industri alat angkutan dan perbaikannya (sektor 36), industri barang lainnya (sektor 37). Hal ini berarti peran sektor sektor tersebut dalam mengembangkan seluruh sektor ekonomi relatif baik, namun output yang dihasilkan, perannya dalam menunjang sektorsektor ekonomi kurang begitu baik. Keterkaitan total ke depan antar sektor
Keterkaitan total ke depan yang dimiliki sektor industri manufaktur di dapat dengan cara menjumlahkan baris elemen-elemen koefisien output matrik inverse. Semakin besar nilai keterkaitan total ke depan suatu sektor menunjukkan sektor tersebut dapat dijadikan sektor prioritas untuk dikembangkan. Dari hasil perhitungan terlihat bahwa sektor yang memiliki angka keterkaitan total ke depan atau keterkaitan total ke belakang yang lebih besar akan dapat dijadikan sebagai sektor yang baik untuk diprioritaskan atau dikembangkan. Berdasarkan perhitungan memperlihatkan bahwa industri kulit dan alas kaki (sektor 20) mempunyai keterkaitan total ke belakang yang paling tinggi diantara sektor lainnya, dengan kriteria ini dapat dikatakan bahwa peningkatan output 1 unit uang di sektor 20 akan berdampak lebih besar terhadap perekonomian dibandingkan dampak yang disebabkan oleh peningkatan 1 unit uang output masingmasing sektor lainnya.
JEJAK, Volume 2, Nomor 2, Septermber 2009
99
Sektor lain yang memiliki angka keterkaitan total ke belakang tinggi adalah: industri roti dan kue kering lainnya (sektor 7), industri minyak dan lemak (sektor 4), industri penggilingan padi (sektor 5), industri bumbu masak dan penyedap makanan (sektor 10), masing-masing memiliki angka keterkaitan total ke belakang diatas 2. Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Chalimah (2004) diketahui sektor yang memiliki keterkaitan ke belakang tinggi adalah: industri tekstil, industri penggilingan padi dan industri pengilangan minyak. Untuk sektor sektor yang memiliki keterkaitan total ke depan lebih tinggi dari pada keterkaitan total ke belakang adalah: industri kopi giling dan kupasan (sektor 8), industri makanan ternak (sektor 11), industri pengolahan tembakau selain rokok (sektor 15), industri pemintalan (sektor 16), penerbitan dan percetakan (sektor 24), industri kimia dan pupuk (sektor 26), industri pengilangan minyak (sektor 27). industri semen (sektor 31), industri kapur dan barang dari semen (sektor 32), industri dasar baja dan besi (sektor 33), industri logam bukan besi dan barang dari logam ( sektor 34). Hal ini berarti sektor-sektor tersebut output yang dihasilkan banyak diminati oleh sektor-sektor lainnya. Industri makanan ternak (sektor 11) merupakan sektor yang memiliki keterkaitan total ke depannya paling tinggi, hal ini menunjukkan output yang dihasilkan banyak diminati oleh sektor lainnya. Melalui kriteria ini, dapat dikatakan bahwa peningkatan output 1 unit uang di industri makanan ternak (sektor 11) akan berdampak lebih besar terhadap perekonomian dibandingkan dampak yang disebabkan oleh peningkatan 1 unit uang output masingmasing sektor lainnya. Peningkatan output industri makanan ternak (sektor 11), maka ketersediaan produknya yang dapat dijadikan input oleh sektorsektor dalam perekonomian (termasuk sektor 11 sendiri) juga meningkat, sehingga sektor-sektor yang menggunakan produk industri makanan ternak (sektor 11) baik secara langsung maupun tidak langsung sebagai input mereka juga akan meningkat produksinya. Angka 3,208536 berarti bahwa peningkatan 1 unit uang output industri makanan ternak (sektor 11) akan meningkatkan output perekonomian (termasuk sektor 11 sendiri) sebesar 3.208536 unit uang baik secara langsung maupun tidak langusng, melalui jalur peningkatan output industri makanan ternak 100
(sektor 11) yang digunakan sebagai input oleh sektor lain. Sektor lain yang memiliki angka keterkaitan total ke depan adalah: industri pemintalan (sektor 16), industri dasar baja dan besi (sektor 33), industri kapur dan barang dari semen (sektor 32), industri pengolahan tembakau selain rokok (sektor 15), masing-masing memiliki angka keterkaitan total ke belakang diatas 2. Sedangkan penilitian yang dilakukan oleh Chalimah (2004) diketahui sektor yang memiliki keterkaitan ke depan tinggi adalah: industri pemintalan, industri kimia dan pupuk, industri pengilangan minyak. Dari hasil perhitungan tersebut terlihat bahwa sektor yang memiliki angka keterkaitan total ke depan atau keterkaitan total ke belakang yang lebih besar akan dapat dijadikan sebagai sektor yang baik untuk diprioritaskan atau dikembangkan. Dampak Upah Terhadap Output
Dengan pendekatan supply side dan dengan r menggunakan rumus: ΔX’=Δw (I – A ) –1 akan diketahui berapa perubahan output yang terjadi akibat dari perubahan kenaikan tingkat upah pada sektor industri manufaktur, dengan asumsi sektor lain tidak ikut menaikkan atau menurunkan upah, dan perubahan terhadap input primer lainnya juga tidak mengalami perubahan. Pendekatan supply side menunjukkan bagaimana output yang dihasilkan di distribusikan kepada sektor lain, yang bagi sektor tersebut merupakan permintaan antara sedangkan bagi sektor lain adalah sebagai input antara. Semakin besar tingkat upah dinaikkan akan semakin besar pula perubahan output yang terjadi. Hal ini sesuai dengan asumsi yang dibuat dalam penyusunan Tabel Input- Output, yang diantaranya tidak ada subtitusi atau dengan kata lain elastisitas subtitusinya sama dengan nol, dan penambahan input secara proposional dengan tingkat %tase yang sama terhadap output. Berdasarkan perhitungan menunjukkan kenaikan upah pada sektor industri manufaktur secara umum akan menyebabkan perubahan output sektor industri manufaktur sebesar 2.879.359,31 juta rupiah. Pada sektor industri manufaktur (sektor 3-37) yang paling besar perubahan output-nya akibat
Dampak Perubahan Upah .... (Juhari & Atmanti : 91 – 103)
kenaikan upah adalah industri rokok (sektor 14), kenaikan upah yang terjadi menyebabkan perubahan output sebesar 381.835,09 juta rupiah. Sektor lain yang perubahan output-nya cukup besar adalah industri gula tebu dan gula kelapa (sektor 12) perubahan output sebesar 342.114,94 juta rupiah, industri tekstil (sektor 17) perubahan output sebesar 297.529,56 juta rupiah, industri pengilangan minyak (sektor 27) sebesar 286.843,10 juta rupiah. Sektor yang paling kecil perubahan output akibat kenaikkan upah adalah industri dasar baja dan besi sebesar 3.335,38 juta rupiah Untuk sektor industri manufaktur (sektor 3-37) lainnya, perubahan output adalah sebagai berikut: industri/ pengolahan dan pengawetan makanan (sektor 3) perubahan output sebesar 63.823,76 juta rupiah, industri minyak dan lemak (sektor 4) perubahan output sebesar 88.620,13 juta rupiah, industri penggilingan padi (sektor 5) perubahan output sebesar 186.773,79 juta rupiah, industri tepung terigu dan tepung lainnya (sektor 6) perubahan output sebesar 29.013,90 juta rupiah, industri roti dan kue kering lainnya (sektor 7) perubahan output sebesar 72.812,91 juta rupiah, industri kopi giling dan kupasan (sektor 8) perubahan output sebesar 35.496,69 juta rupiah, industri makanan lainnya (sektor 9) perubahan output sebesar 139.141,92 juta rupiah, industri bumbu masak dan penyedap makanan (sektor 10) perubahan output sebesar 14.977,68 juta rupiah, industri makanan ternak (sektor 11) perubahan output sebesar 47.050,38 juta rupiah, industri minuman (sektor 13) perubahan output sebesar 57.277,93 juta rupiah. Industri pengolahan tembakau selain rokok (sektor 15) perubahan output sebesar 19.067,23 juta rupiah, industri pemintalan (sektor 16) perubahan output sebesar 21.200,72 juta rupiah, industri tekstil jadi dan tekstil lainnya (sektor 18) perubahan output sebesar 14.859,94 juta rupiah, industri pakaian jadi (sektor 19) perubahan output sebesar 73.366,72 juta rupiah, industri kulit dan alas kaki (sektor 20) perubahan output sebesar 199.455,41 juta rupiah, industri kayu dan bahan bangunan dari kayu (sektor 21) perubahan output sebesar 135.035,25 juta rupiah, industri perabot rumah tangga dari kayu (sektor 22) perubahan output sebesar 153.038,53 juta rupiah, industri kertas dan barang dari kertas (sektor 23) perubahan output sebesar 7.453,64 juta
rupiah, penerbitan dan percetakan (sektor 24) perubahan output sebesar 7.322,36 juta rupiah, industri farmasi dan jamu tradisional (sektor 25) perubahan output sebesar 45.695,59 juta rupiah, industri kimia dan pupuk (sektor 26) perubahan output sebesar 17.716,62 juta rupiah. Industri karet dan barang dari karet (sektor 28) perubahan output sebesar 20.158,21 juta rupiah, industri plastik dan barang dari plastik (sektor 29) perubahan output sebesar 12.616,57 juta rupiah, industri barang mineral bukan logam (sektor 30) perubahan output sebesar 26.005,11 juta rupiah, industri semen (sektor 31) perubahan output sebesar 7.817,28 juta rupiah, industri kapur dan barang dari semen (sektor 32) perubahan output sebesar 6.427,06 juta rupiah, industri logam bukan besi dan barang dari logam (sektor 34) perubahan output sebesar 8.072,99 juta rupiah, industri mesin-mesin dan perlengkapan listrik (sektor 35) perubahan output sebesar juta rupiah 26.773,53juta rupiah, industri alat angkutan dan perbaikannya (sektor 36) perubahan output sebesar 22.060,42 juta rupiah, industri barang lainnya (sektor 37) perubahan output sebesar 8.568,95 juta rupiah. Dampak upah terhadap kesempatan kerja
Dengan adanya kenaikan upah pada sektor industri manufaktur pada tahun 2005 akan menyebabkan perubahan output, untuk memenuhi perubahan output yang tercapai akan membutuhkan tenaga kerja untuk mengerjakannya. Untuk keperluan tersebut, maka akan dicari koefisien tenaga kerja dari masing-masing sektor. Besarnya koefisien tenaga kerja ini menunjukkan suatu bilangan dari jumlah tenaga kerja yang diperlukan untuk menghasilkan satu unit keluaran (output) Berdasarkan rumus (15) maka koefisien tenaga kerja dapat diperoleh. Koefisien tenaga kerja sektoral merupakan indikator untuk melihat daya serap tenaga kerja di masing-masing sektor. Berdasarkan perhitungan dapat diketahui bahwa kenaikan upah pada sektor indutri manufaktur tahun 2005 menyebabkan bertambahnya output yang kemudian akan berdampak pada kesempatan kerja, yaitu bertambahnya kesempatan kerja di sektor industri manufaktur sebesar 43,529 jiwa.
JEJAK, Volume 2, Nomor 2, Septermber 2009
101
Semakin tinggi koefisien tenaga kerja di suatu sektor menunjukkan semakin banyak tenaga kerja yang dibutuhkan untuk menghasilkan satu unit output. Sebaliknya sektor yang semakin rendah koefisien tenaga kerjanya menunjukkan semakin rendah pula daya serap tenaga kerjanya. Koefisien tenaga kerja yang tinggi pada umumnya terjadi di sektor yang padat karya, sedangkan koefisien tenaga kerja yang rendah umumnya terjadi di sektor padat modal yang proses produksinya dilakukan dengan teknologi tinggi. Kesempatan kerja dianalogikan merupakan daya serap tenaga kerja (kebutuhan tenaga kerja), jika semakin tinggi daya serap tenaga kerja suatu sektor maka kesempatan kerja akan semakin tinggi. Di sektor industri manufaktur (sektor 3-37) yang paling besar penciptaan kesempatan kerjanya akibat kenaikan upah pada industri manufaktur adalah industri perabot rumah tangga dari kayu (sektor 22) yaitu 6.358 jiwa. Sektor lain yang mampu menciptakan kesempatan kerja cukup tinggi adalah industri kayu dan bahan bangunan dari kayu (sektor 21) dan industri tekstil (sektor 17), yang masing- masing mampu menciptakan kesempatan kerja sebesar 4.538 jiwa dan 4.220 jiwa. Sedangkan sektor yang paling kecil penciptaan kesempatan kerjanya adalah industri dasar baja dan besi (sektor 33) yaitu sebesar 14 jiwa. Untuk sektor industri manufaktur (sektor 3-37) lainnya, pertambahan kesempatan kerja adalah sebagai berikut: industri/ pengolahan dan pengawetan makanan (sektor 3) pertambahan kesempatan kerja sebesar 556 jiwa, industri minyak dan lemak (sektor 4) pertambahan kesempatan kerja sebesar 1.100 jiwa, industri penggilingan padi (sektor 5) pertambahan kesempatan kerja sebesar 1.663 jiwa, industri tepung terigu dan tepung lainnya (sektor 6) pertambahan kesempatan kerja sebesar 423 jiwa, industri roti dan kue kering lainnya (sektor 7) pertambahan kesempatan kerja sebesar 1.057 jiwa, industri kopi giling dan kupasan (sektor 8) pertambahan kesempatan kerja sebesar 582 jiwa, industri makanan lainnya (sektor 9) pertambahan kesempatan kerja sebesar 1.870 jiwa, industri bumbu masak dan penyedap makanan (sektor 10) pertambahan kesempatan kerja sebesar 202 jiwa, industri makanan ternak (sektor 11) pertambahan kesempatan kerja sebesar 322 jiwa, industri gula tebu dan 102
gula kelapa (sektor 12) pertambahan kesempatan kerja sebesar 3.895jiwa, industri minuman (sektor 13) pertambahan kesempatan kerja sebesar 1.088 jiwa, industri rokok (sektor 14) pertambahan kesempatan kerja sebesar 3.173 jiwa, industri pengolahan tembakau selain rokok (sektor 15) pertambahan kesempatan kerja sebesar 710 jiwa, industri pemintalan (sektor 16) pertambahan kesempatan kerja sebesar 146 jiwa. Industri tekstil jadi dan tekstil lainnya (sektor 18) pertambahan kesempatan kerja sebesar 288 jiwa, industri pakaian jadi (sektor 19) pertambahan kesempatan kerja sebesar 1.861 jiwa, industri kulit dan alas kaki (sektor 20) pertambahan kesempatan kerja sebesar 3.755 jiwa, industri kertas dan barang dari kertas (sektor 23) pertambahan kesempatan kerja sebesar 144 jiwa, penerbitan dan percetakan (sektor 24) pertambahan kesempatan kerja sebesar 255 jiwa, industri farmasi dan jamu tradisional (sektor 25) pertambahan kesempatan kerja sebesar 1.284 jiwa, industri kimia dan pupuk (sektor 26) pertambahan kesempatan kerja sebesar 348 jiwa, industri pengilangan minyak (sektor 27) pertambahan kesempatan kerja sebesar 423 jiwa, industri karet dan barang dari karet (sektor 28) pertambahan kesempatan kerja sebesar 354 jiwa, industri plastik dan barang dari plastik (sektor 29) pertambahan kesempatan kerja sebesar 319 jiwa, industri barang mineral bukan logam (sektor 30) pertambahan kesempatan kerja sebesar 708 jiwa. Industri semen (sektor 31) pertambahan kesempatan kerja sebesar 61 jiwa, industri kapur dan barang dari semen (sektor 32) pertambahan kesempatan kerja sebesar 300 jiwa, industri logam bukan besi dan barang dari logam (sektor 34) pertambahan kesempatan kerja sebesar 64 jiwa, industri mesinmesin dan perlengkapan listrik (sektor 35) pertambahan kesempatan kerja sebesar 489 jiwa, industri alat angkutan dan perbaikannya (sektor 36) pertambahan kesempatan kerja sebesar 736 jiwa, industri barang lainnya (sektor 37) pertambahan kesempatan kerja sebesar 223 jiwa. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan
1. Berdasarkan analisis keterkaitan, menunjukkan bahwa pada sektor industri manufaktur (sektor 3-
Dampak Perubahan Upah .... (Juhari & Atmanti : 91 – 103)
37), lebih banyak sektor yang memiliki keterkaitan langsung ke belakang dibandingkan dengan keterkaitan langsung ke depan. Demikian juga yang terjadi pada angka keterkaitan total industri manufaktur terhadap sektor-sektor ekonomi keseluruhan, lebih banyak sektor yang memiliki keterkaitan total ke belakang dibandingkan dengan angka keterkaitan total ke depan. Artinya sektorsektor industri manufaktur lebih banyak berperan dalam input multipliernya. 2. Sektor yang paling besar perubahan output-nya akibat kenaikan upah adalah industri rokok (sektor 14), kenaikan upah yang terjadi menyebabkan perubahan output sebesar 381.835,09 juta rupiah. 3. Untuk memenuhi perubahan output yang terjadi, maka dibutuhkan tambahan tenaga kerja untuk mengerjakannya. Dengan pendekatan supply side, dapat diketahui seberapa besar daya serap tenaga kerja pada masing-masing sektor. Kenaikan upah pada sektor industri manufaktur tahun 2005 menyebabkan bertambahnya output yang kemudian berdampak pada kesempatan kerja, yaitu bertambahnya kesempatan kerja di sektor industri manufaktur sebesar 43,529 jiwa. Kenaikan kesempatan kerja paling tinggi dicapai oleh industri perabot rumah tangga dari kayu (sektor 22) yaitu 6.358 jiwa. 4. Kenaikan upah tahun 2005 pada industri manufaktur terbukti secara empiris mampu meningkatkan output dan kesempatan kerja di sektor industri manufaktur selama asumsi-asumsi yang menyertai tidak dilanggar, yaitu teknologi dianggap tetap, tidak ada subtitusi , constant return to scale. Saran
Berdasarkan hasil analsisis dan keseimpuan tersebut di atas, maka disarankan kepada pemerintah daerah untuk menjadikan sektor tersebut sebagai prioritas dalam pembangunan ekonomi. Selain itu, perlu didukung pula dengan kebijakan pada bidang pertanian yang baik dan yang lebih ramah terhadap lingkungan agar kelestarian alam tetap terjaga, karena keadaan alam sangat berpengaruh terhadap kelangsungan sektor pertanian dan industri.
DAFTAR PUSTAKA
Arfida BR., 2003, ”Ekonomi Sumber Daya Manusia”, Jakarta: Ghalia Indonesia, Aris Ananta, 1990, ”Ekonomi Sumber Daya Manusia”, Jakarta: Lembaga Demografi UI. Badan Pusat Statistik (BPS), 2003-2007, Jawa Tengah Dalam Angka Badan Pusat Statistik, 2005, Tabel Input-Output Jawa Tengah 2004 Budiman Efdy W., 2004, “Dampak Kenaikan Upah Mimimum Pada Harga, Output, dan Kesempatan Kerja serta Keterkaitannya Dengan Sektor Lain”, Tesis S2, Program Pasca Sarjana UNDIP Semarang, Tidak Dipublikasikan Chalimah, 2004, “Analisis Input-Output sebagai Kerangka Strategi Pembangunan Industri Pengolahan di Jawa Tengah”, Jurnal Dinamika Sosial Budaya, Vol.6, No.1 Firmansyah, 2006, “Operasi Matrix dan Analisis Input-Output (I–O) untuk Ekonomi”, Semarang: BP UNDIP. McEachern, A. William, 2000, “Ekonomi Mikro Pendekatan Kontemporer”, Penterjemah Sigit Triandaru, Jakarta: Salemba Empat Miller, Roger LeRoy., dan Roger E. Meiners, 2000, “Teori Mikro Ekonomi Intermediet”, Penterjemah Haris M., Jakarta: Raja Grafindo Persada. Payaman J. Simanjuntak, 2001, ”Pengantar Ekonomi Sumber Daya Manusia”, Jakarta: LPFE UI. Payaman J. Simanjuntak, 1982, “Perkembangan Teori di Bidang Sumber Daya Manusia: Sumber Daya Manusia Kesempatan Kerja dan Pembangunan Ekonom”, Jakarta, LPFE-UI Sadono Sukirno, 2002, ”Pengantar Teori Mikroekonomi”, Jakarta: Raja Grafindo Persada Saptiningsih, 2005, ”Dampak Pengadaan Stok Beras Nasional oleh Pemerintah terhadap Output dan Kesempatan Kerja Indonesia”, (Penetapan HPP-Inpres No. 2 Tahun 2005 pada multiplier Tabel Input-Output 2000), Skipsi S1 pada FE UNDIP Semarang, Tidak Dipublikasikan Wildan Syafitri, 2003, ”Analisa Produktifitas Tenaga Kerja Sektor Manufaktur di Indonesia”, Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Indonesia, Vol. 3 No.2.
JEJAK, Volume 2, Nomor 2, Septermber 2009
103
DISPARITAS DAN SPESIALISASI INDUSTRI MANUFAKTUR KABUPATEN / KOTA DI JAWA TENGAH Kusumantoro Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Semarang email;
[email protected]
ABSTRACT The aim of this research is measure disparity and identification of specialization industry in the local region of central java province. This research use the local government data from BPS (Badan Pusat Statistik) from 2001 until 2006. Analizis of this research is index theil and regional specialization Index. The result of manufacture industry disparity in local government central java province show different level in the Theil entropy index. Identification result of local industry in the central java province show that industry activity is food industry (ISIC 15), garment Industry (ISIC 17), Manufacture industry (ISIC 20) and chemical industry (ISIC 24). The specialization in the same area, usualy have the same industry. Semarang region (Semarang and kudus) is specilized in garment industry (ISIC 18) and publiser (ISIC 22). Surakarta region (Sukoharjo and Karanganyar) is textile, garment and chemical specialization industry (ISIC 24) Keywords: disparity, industry specialized, Index Theil. PENDAHULUAN Pembangunan ekonomi dalam konteks regional (tata ruang atau spasial), pada dasarnya sama dengan pembangunan nasional secara keseluruhan. Inti dari pembangunan regional maupun nasional adalah untuk mengatasi permasalahan kemiskinan, pengangguran, ketidakmerataan dan sebagainya. Pokok permasalahan tersebut dapat dipecahkan melalui proses pembangunan dengan menentukan tingkat-tingkat tertentu, seperti pertumbuhan ekonomi, kemiskinan, pengangguran dan lain-lain. Apabila pembangunan secara regional tersebut rata-rata baik, maka pembangunan dalam tingkat nasional juga baik, maka indikator tersebut merupakan dasar pangkal tolak dalam rangka menyusun skala prioritas kebijakan ekonomi nasional. Dalam rangka mengembangkan potensi daerah, maka daerah harus mengembangkan sektorsektor perekonomian sesuai dengan keunggulannya. Pengembangan sektor unggulan ini diharapkan bahwa sektor tersebut dapat menjadi produk yang menghasilkan keuntungan yang tinggi karena sektor tersebut biasanya mempunyai permintaan pada tingkat nasional atau permintaan ekspor yang tinggi. Daya saing suatu daerah akan terlihat melalui proses perdagangan antar daerah (inter-regional) maupun internasional. Kemudian dalam jangka panjang, 104
diharapkan sektor-sektor yang memiliki daya saing yang tinggi akan menjadi spesialisasi daerah. Kebijakan pembangunan sektoral yang strategis adalah kebijakan pembangunan di sektor industri. Bahkan secara umum dapat dinyatakan bahwa hampir semua propinsi cenderung mengutamakan sektor industri. Sektor ini dipandang sebagai sektor yang memiliki tingkat produktivitas tinggi, sehingga dengan keunggulannya akan didapat nilai tambah tinggi. Oleh karena itu, tujuan menciptakan kesejahteraan ekonomi masyarakat dapat lebih cepat terwujud dengan mengembangkan sektor ini. Sektor industri yang dipandang strategis adalah industri manufaktur, di mana industri tersebut dipandang sebagai pendorong atau penggerak utama perekonomian daerah. Sektor manufaktur menjadi media untuk memanfaatkan sumber daya alam yang melimpah sehingga akan menyerap tenaga kerja yang besar. Berdasarkan kontribusinya kepada PDRB, sektor industri di Propinsi Jawa Tengah menunjukkan kinerja yang baik. Namun tidak semua kabupaten/ kota di Propoinsi Jawa Tengah mempunyai kondisi tersebut. Dilihat dari distribusi tenaga kerja dan nilai tambah, hanya kabupaten/kota tertentu yang mendominasi yaitu Kota Semarang, Kabupaten Semarang, Kabupaten Kudus, Kabupaten Sukoharjo,
Disparitas dan Spesialisasi Industri Manufaktur... (Kusumantoro : 104 – 113)
Kabupaten Karanganyar. Hal ini didukung oleh hasil penelitian Kuncoro (2002) bahwa di Jawa Tengah konsentrasi spasial industri hanya ada di daerah Semarang dan sekitarnya yang meliputi Kota dan Kabupaten Semarang, Kabupaten Kudus dan Surakarta sekitarnya yang meliputi Kabupaten Karanganyar, Kabupaten Sukoharjo. Kenyataan diatas menunjukkan masih adanya disparitas atau ketidakmerataan antara daerah yang satu dengan daerah yang lain. Analisis disparitas ini dianggap penting karena dengan analisis ini dapat diketahui seberapa besar tingkat pembangunan yang telah dicapai. Di samping itu, dengan analisis disparitas dapat mengetahui perbandingan tingkat pertumbuhan ekonomi dari masing-masing daerah, sehingga dapat diketahui daerah yang sudah berkembang dan daerah yang belum berkembang. Maka dari itu dapat dicari solusi atau upaya pengembangan daerah yang dianggap masih kurang berkembang. Upaya mengembangkan ekonomi daerah khususnya sektor industri dapat dilakukan dengan mengetahui spesialisasi industri manufaktur daerah. Spesialisasi industri manufaktur daerah yang tumbuh atau berbentuk dari daya saing yang tinggi akan menyebabkan berkembangnya sektor tersebut. Pertumbuhan sektor spesialisasi meyebabkan output yang semakin tinggi dan kesempatan kerja yang semakin luas. Apabila hal tersebut terus berlangsung, maka dengan sendirinya tujuan pembangunan regional dan nasional akan tercapai. Spesialisasi industri manufaktur pada umumnya berkaitan dengan keunggulan komparatif daerah di dalam biaya produksinya. Penentu ongkos produksi tidak lain adalah harga input yang digunakan dalam proses industri. Maka suatu daerah akan berspesialisasi pada suatu industri dimana harga input lebih rendah. Oleh karena itu, sumber daya yang ada di daerah akan sangat menentukan spesialisasi tersebut, apakah menghasilkan yang berbasis sumber daya alam, kapital, sumber daya manusia dan teknologi. LANDASAN TEORI Teori Pembangunan Ekonomi Regional Perbedaan sumber daya yang dimiliki dari masing-masing daerah menyebabkan tingkat pem-
bangunan antara daerah yang satu dengan daerah yang lain berbeda. Sebagai akibatnya akan timbul perbedaan kesejahteraan di berbagai daerah. Perbedaan kesejahteraan tersebut dapat dibagi menjadi dua macam yaitu terdapat perbedaan kesejahteraan yang tidak begitu nyata atau tidak mencolok dikedua atau berbagai daerah. Kemudian yang kedua, yaitu bahwa dalam suatu wilayah pendapatan masingmasing daerah atau tingkat kesejahteraan antar daerah sangat berbeda sekali. Dengan adanya perbedaan tingkat pembangunan antara daerah akan mengakibatkan perbedaan tingkat kesejahteraan antar daerah, sehingga apabila hal ini tidak diperhatikan akan menimbulkan dampak yang kurang menguntungkan bagi suatu wilayah/negara. Adanya heterogenitas dan beragam karakteristik suatu wilayah menyebabkan kecenderungan terjadinya ketimpangan antar daerah dan antar sektor ekonomi suatu daerah. Ketimpangan pembangunan antara daerah yang datu dengan daerah yang lain pasti terjadi di setiap wilayah. Hal ini terjadi karena perbedaan sumber daya yang dimiliki antar daerah. Namun yang terpenting adalah adanya upaya untuk mengurangi ketimpangan antara daerah yang satu dengan yang lain dalam suatu wilayah. Bertitik tolak dari kenyataan itu, Ardani (1992) mengemukakan bahwa ketimpangan/kesenjangan antar daerah merupakan konsekuensi logis dari pembangunan dan merupakan suatu tahap perubahan dalam pembangunan itu sendiri. Ketimpangan Regional Masalah ketimpangan ekonomi antar daerah tidak hanya tampak pada wajah ketimpangan Pulau Jawa dan luar Pulau Jawa, tetapi juga terjadi di daerah lain. Berbagai program telah dikembangkan untuk menjembatani ketimpangan antar daerah yang sudah dilakukan, namun belum mencapai hasil yang optimal. Alokasi penganggaran pembangunan sebagai instrumen untuk mengurangi ketimpangan ekonomi tersebut tampaknya perlu lebih diperhatikan lagi di masa mendatang. Strategi alokasi anggaran itu harus mendorong dan mempercepat pertumbuhan ekonomi nasional sekaligus menjadi alat mengurangi kesenjangan atau ketimpangan regional. Ketimpangan ini disebabkan oleh ketidakmerataan anugerah awal diantara
JEJAK, Volume 2, Nomor 2, Septermber 2009
105
pelaku-pelaku ekonomi dan pelaksanaan pembangunan yang lebih bertumpu pada aspek pertumbuhan (Dumairy, 1996:66). Dengan kata lain, sumber daya alam yang dimiliki antar daerah misalnya modal, keahlian/ ketrampilan, teknologi, bakat atau potensi antar daerah tidak sama. Ketidaksetaraan anugerah awal dapat berakibat pada pembangunan menjadi tidak seimbang di mana ada pelaku ekonomi yang tumbuh cepat dalam pembangunan dan ada pelaku ekonomi yang lambat dalam pembangunan. Hal ini merupakan permasalahan yang pada gilirannya timbul masalah ketimpangan di berbagai aspek terutama ketimpangan regional. Ukuran Ketimpangan Regional a. Indeks Williamson: Vw =
∑ (Υ i − Υ )2 fi /n Υ
Keterangan : Vw = Indeks Ketimpangan Regional Williamson Yi = Pendapatan perkapita di daerah i Y = Pendapatan perkapita rata-rata seluruh daerah fi = Jumlah penduduk di daerah i n = Jumlah penduduk wilayah seluryh daerah Hasil uji Indeks Williamson menunjukkan kriteria sebagai berikut. Mendekati 0-0,34 termasuk tingkat kesenjangan rendah Antara 0,35-0,80 termasuk timgkat kesenjangan sedang Di atas 0,80 termasuk tingkat kesenjangan sangat tinggi Dengan berbagai cara yang berbeda, untuk memahami tingkat ketimpangan atau kemerataan regional dapat dilakukan dengan analisis performance ekonomi antar daerah dengan mengklasifikasikannya berdasarkan pertumbuhan ekonomi dan pendapatan perkapita regionalnya. Atas dasar dua variabel tersebut, dengan menggunakan nilai rataratanya, pembangunan ekonomi daerah dapat dikelompokan menjadi empat yaitu: daerah yang memiliki tingkat pendapatan rendah dan pertum106
buhan ekonomi rendah (low income low growth), daerah yang memiliki tingkat pendapatan perkapita rendah dan pertumbuhan ekonomi tinggi (low income high growth), daerah yang memiliki tingkat pendapatan perkapita tinggi dan pertumbuhan ekonomi tinggi high income low growth), daerah yang memiliki tingkat pendapatan perkapita tinggi dan pertumbuhan ekonomi tinggi (high income high growth). Dengan cara yang sama masih ada pendekatan lain yang dapat digunakan untuk memahami struktur pertumbuhan ekonomi sebagai analisis. Melalui analisis ini dapat diperoleh empat klasifikasi daerah yang masing-masing memiliki karakteristik pertumbuhan ekonomi yang berbeda yaitu: Daerah bertumbuh cepat (rapid growth region), Daerah tertekan (retarded region), Daerah sedang bertumbuh (growing region), Daerah relatif tertinggal (backward region). (Sjahfrizal, 1997) b. Indeks Theil Indeks Entropi Theil (Theil entropy index of inequality) pada dasarnya merupakan aplikasi konsep teori informasi dalam mengukur kesenjangan ekonomi dan konsentrasi industri. Kelemahan utama indeks lain yang mengukur konsentrasi/dispersi secara spasial adalah bahwa mereka hanya menyajikan satu nilai tunggal pada satu titik waktu. Telah lama diketahui bahwa setiap indeks didesain untuk berbagai tujuan dan berdasarkan beberapa asumsi penting. Tidak seperti indeks-indeks yang lain, indeks theil memungkinkan kita untuk membuat perbandingan selama waktu tertentu dan menyediakan secara rinci dalam sub-unit geografis yang lebih kecil, yang pertama akan berguna untuk menganalisis kecenderungan konsentrasi geografis selama periode tertentu, sedang yang kedua juga penting ketika kita mendiskripsikan yang lebih rinci mengenai kesenjangan spasial, sebagai contoh kesenjangan antar daerah dalam suatu negara dan antar sub-unit daerah dalam suatu kawasan (Kuncoro, 2002). Indeks Entropi Theil menawarkan beberapa kelebihan dibandingkan dengan indeks konsentrasi spasial yang lain. Keunggulan utama ini adalah bahwa pada suatu titik waktu, indeks ini menyediakan ukuran derajat konsentrasi (dispersi) distribusi spasial pada sejumlah daerah dan sub-daerah dalam
Disparitas dan Spesialisasi Industri Manufaktur... (Kusumantoro : 104 – 113)
suatu negara. Barangkali karakteristik yang paling signifikan dari indeks entropi adalah bahwa indeks ini dapat membedakan kesenjangan “antar daerah” (between-region inequality) dan kesenjangan ”dalam satu daerah” (within-region-region inequality). Lebih Khusus lagi dalam konteks Indonesia, indeks tersebut dapat dinyatakan dalam: I(y) =
N
Y
∑ Yi log Ni
(1)
i =1
Di mana: I(y) = Indeks ketimpangan regional keseluruhan atas kesenjangan spasial Indonesia; Yi = Pangsa propinsi i terhadap total tenaga kerja industri manufaktur Indonesia;
diagonal dan kurva Lorentz dibagi dengan luas separuh bidang dimana kurva Lorentz itu berada. Pada gambar 1, rasio yang dimaksud adalah perbandingan bidang A terhadap total segitiga BCG. Rasio inilah yang dikenal sebagai rasio konsentrasi Gini (Gini concentration ratio) yang seringkali disingkat dengan istilah Koefisien Gini (Gini coefficient). Koefisien Gini adalah kurva yang mengukur ketidakmerataan atau ketimpangan (pendapatan/kesejahteraan) agregat (secara keseluruhan) yang angkanya berkisar antara nol (pemerataan sempurna) hingga satu (ketimpangan yang sempurna). Walaupun kemungkinannya sangat kecil bahwa tingkat pemerataan akan mencapai angka 0 dan juga kecil kemungkinannya tingkat ketimpangan akan mencapai angka 1. D
N = Jumlah keseluruhan provinsi yang ada di Indonesia. Untuk mengukur kesenjangan spasial antar pulau di Indonesia, kita dapat memilah persamaan 1 ke dalam: I(y) =
R
Y
R
⎡
y
∑ Yr log N /r N + ∑ Yr ⎢∑ Y1 log
r =1
r
r =1
⎢⎣ i ε 1
r
y1 / Yr ⎤ ⎥ Nr ⎥⎦
GARIS PEMERATAAN
Persentase pendapatan
(2)
Di mana: Yr = Pangsa semua di dalam pulau; Nr = Jumlah di dalam Propinsi dalam pulau; R = Jumlah keseluruhan pulau-pulau utama di Indonesia. Bagian pertama dalam persamaan 2 adalah mengukur derajat kesenjangan tenaga kerja menurut pangsa pulau di Indonesia, sedangkan bagian kedua mengukur derajat perbedaan dalam pangsa provinsi dalam masing-masing pulau yang di beri bobot dengan pangsa keseluruhan pulau di Indonesia. Indeks entropy termasuk dekomposisi ke dalam kesenjangan spasial antar pulau dan dalam satu pulau. Nilai indeks entropy yang lebih rendah berarti menunjukkan adanya kesenjangan yang rendah, dan sebaliknya (Kuncoro, 2002).
KURVA LORENZ
B
Persentase penduduk
C
Gambar 1: Perkiraan Koefisien Gini
Pada prakteknya, angka ketimpangan untuk negara-negara yang ketimpangan pandapatan di kalangan penduduknya dikenal tajam berkisar antara 0,50 hingga 0,70, sedangkan untuk negara-negara yang distribusi pendapatannya dikenal relatif paling baik (paling merata), berkisar antara 0,20 sampai 0,35. Koefisien Gini merupakan informasi yang bermanfaat untuk menunjukkan tingkat dan perubahan distribusi pendapatan berdasarkan bentukbentuk kurva Lorentz yang ada di masa lalu dan saat ini (Todaro, 2000).
c. Indeks Gini / Koefisien Gini Pengukuran tingkat ketimpangan atau ketidakmerataan pendapatan yang relatif sangat sederhana pada suatu negara dapat diperoleh dengan menghitung rasio bidang yang terletak antara garis
Teori Basis Ekonomi
Teori basis ekonomi (economic base theory) menyatakan bahwa faktor penentu utama pertumbuhan ekonomi suatu daerah adalah berkaitan
JEJAK, Volume 2, Nomor 2, Septermber 2009
107
dengan permintaan akan barang dan jasa dari luar daerah, seperti penggunaan sumber daya lokal yakni tenaga kerja dan bahan baku yang menghasilkan kekayaan daerah dan dapat menciptakan peluang kerja (job creation). Teori basis ekonomi dapat juga digunakan untuk mengidentifikasikan dan menentukan apakah suatu sektor atau industri merupakan sektor/industri basic atau non basic. Untuk menentukan suatu sektor basic atau non basic melalui pendekatan Location Quotient (Arsyad, 1999). Location Quotient (LQ) adalah teknik yang untuk mengidentifikasi atau mengukur konsentrasi industri perekonomian lokal dibandingkan dengan perekonomian yang lebih luas. Nilai LQ>1 artinya perekonomian lokal atau daerah mempunyai spesialisasi atas industri tersebut dibandingkan perekonomian yang lebih luas. Sebaliknya nilai LQ<1 maka suatu daerah tidak memiliki spesialisasi atas suatu industri (Blakely, 2002), (Hayter, 2000), (Hoover, 1971).
ketimpangan total di Indonesia. Ketimpangan antar pulau menyumbang rata-rata lebih dari 95%. Soepono (2001) melakukan penelitian di Kabupaten Badung Provinsi Bali dengan tahun pengamatan 1999. Alat analisis yang digunakan Location Quotient. Hasil penelitiannnya dengan menggunakan alat analisis LQ, menunjukkan bahwa hasil yang diperoleh sektor listrik, gas dan air, bangunan, perdagangan/hotel, pengangkutan, keuangan/asuransi dan jasa kemasyarakatan merupakan sektor basis. Sektor pertanian, tambang dan penggalian serta industri adalah sektor-sektor non basis. Kerangka Pemikiran
Semakin tinggi permintaan barang dan jasa dari suatu daerah tertentu, maka akan semakin tinggi pula pendapatan yang diperoleh dari daerah tersebut. Oleh karena itu, setiap daerah harus berusaha untuk mengembangkan spesialisasinya agar dapat memperoleh pendapatan yang tinggi dari peningkatan penjualan barang dan jasa ke luar daerah. Selain itu dengan adanya peningkatan permintaan barang dan jasa ini, maka dengan sendirinya setiap daerah akan dapat menciptakan lapangan kerja. Penelitian Terdahulu
Gambar 2: Kerangka Pemikiran Penelitian
Yunita (2006) melakukan penelitian di Jawa Tengah tentang disparitas industri dengan tahun pengamatan 2001–2003. Alat analisis yang digunakan Indeks Theil, Indeks Spesialisasi Regional dan Koefisien Lokasi Gini. Hasil penelitiannnya Di Jawa Tengah terjadi ketimpangan tenaga kerja Industri Manufaktur. Suharto (2002) melakukan penelitian di Indonesia tentang disparitas industri dengan tahun pengamatan 1993–1996. Alat analisis yang digunakan Indeks Theil, Indeks Spesialisasi Regional, Koefisien Lokasi Gini dan koefisien Gini. Hasil penelitiannnya berdasarkan indeks Theil menunjukkan ketimpangan antar pulau utama mendominasi
108
METODE PENELITIAN Jenis Data dan Sumber Data
Data yang dipergunakan dalam penelitian ini merupakan data sekunder, yang bersumber dari Laporan Badan Pusat Statistik (BPS) khususnya data tahun 2001 sampai dengan tahun 2006. Data yang diperlukan dalam penelitian ini adalah tenaga kerja, jumlah perusahaan, nilai tambah sektor manufaktur besar dan sedang Kabupaten/Kota di Jawa Tengah dengan menggunakan data industri manufaktur ISIC dua digit.
Disparitas dan Spesialisasi Industri Manufaktur... (Kusumantoro : 104 – 113)
Definisi Operasional Variabel
1. Tenaga kerja adalah jumlah tenaga kerja yang terserap oleh industri manufaktur besar dan sedang dengan pengelompokan ISIC 2 digit. 2. Jumlah perusahaan industri manufaktur adalah jumlah perusahaan industri manufaktur yang dikelompokkan menurut kelompok industri di kabupaten/kota. 3. Industri manufaktur besar dan sedang adalah industri manufaktur yang memiliki jumlah tenaga kerja antara 20–99 dan yang lebih besar atau sama dengan 100 orang . 4. Nilai tambah adalah selisih antara nilai output dikurangi nilai input. Alat Analisis
Alat analisis yang digunakan untuk estimasi dan pengukuran dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Indeks Ketimpangan Regional (Indeks Theil)
Alat analisis ini untuk mengukur ketimpangan regional antar kabupaten/kota pada sektor industri manufaktur di Jawa Tengah. Secara umum diakui bahwa perdagangan mendorong terjadinya konsentrasi aktivitas industri manufaktur secara geografis (Kuncoro, 2001). Krugman (1991) juga mengemukakan bahwa secara sistematis terjadi pemusatan aktivitas manufaktur secara spasial, sehingga spesialisasi membawa implikasi ketimpangan distribusi aktivitas manufaktur secara spasial. Untuk mengukur ketimpangan sektor manufaktur (pola konsentrasi) regional digunakan indeks ketimpangan Theil dengan rumusan sebagai berikut (Kuncoro, 2002: 89) I(y) =
N
Y
∑ Yi log Ni
(3)
i=1
Indeks ketimpangan Theil dapat didekomposisi sesuai tujuannya. Dalam kasus ini digunakan untuk mendeteksi ketimpangan di dalam Karesidenan maupun antar Karesidenan, sehingga indeks dekomposisi sebagai berikut: I(y) =
R
∑ Yr log N
r =1
R ⎡ y y 1 / Yr ⎤ Yr + ∑ Yr ⎢∑ 1 log ⎥ (4) Nr ⎦⎥ r /N r =1 ⎣⎢ i ε1 Yr
(Mudrajad Kuncoro, 2002: 89) Dimana: Yr = Pangsa tenaga kerja semua Kabupaten/ kota di dalam Karesidenan Nr = Jumlah Kabupaten/kota di dalam Karesidenan R = Jumlah keseluruhan Kabupaten/kota di Propinsi Jawa Tengah. Bagian pertama dalam persamaan 4 (bagian kiri/first term), mengukur derajat ketimpangan antar karesidenan, sedangkan bagian kedua (persamaan sebelah kanan/second term) mengukur derajat ketimpangan antar kabupaten di dalam karesidenan. Nilai indeks semakin rendah berarti ketimpangan yang rendah atau sebaliknya. a. Indeks Spesialisasi Regional
Untuk mengidentifikasi spesialisasi industri manufaktur besar dan sedang digunakan indeks spesialisasi regional. Indeks ini lazim digunakan dalam melihat spesialisasi regional. Pada dasarnya indeks ini merupakan alat ukur yang disebut analisis location quotient (LQ). Jika indeks spesialisasi regional nilai lebih dari satu (>1), berarti sektor /industri tersebut memiliki daya saing dibanding industri sejenis pada wilayah yang dijadikan pembanding, misalnya provinsi terhadap negara dan sebagainya. indeks tersebut adalah sebagai berikut: Rij = [Eij/Σi Eij] / | Σj Eij/Σi Σj Eij)
(5)
Dimana:
Di mana: I(y) = Indeks ketimpangan regional untuk seluruh Kabupaten/Kota seluruh Jawa Tengah, Yi = Pangsa penyerapan tenaga kerja sektor manufaktur Kabupaten/Kota terhadap Jawa Tengah, N = Jumlah Kabupaten/Kota di Jawa Tengah.
Rij = Koefisien spesialisasi reigonal; Eij = Kesempatan kerja di kelompok industri manufaktur i di daerah j; Σi Eij = Total kesempatan kerja sektor manufaktur di daerah j; Σj Eij = Total kesempatan kerja dikelompok industri manufaktur i di seluruh Jawa
JEJAK, Volume 2, Nomor 2, Septermber 2009
109
Tengah. Σi Σj Eij = Total kesempatan kerja sektor manufaktur di seluruh Jawa Tengah. HASIL DAN PEMBAHASAN Disparitas Industri Manufaktur Besar dan Sedang
Tahun 2001 yang menduduki tiga peringkat atas masing-masing kota Semarang (13,58%), kabupaten Kudus (11,71%) dan kabupaten Semarang (9,20%). Tahun 2003, kota Semarang dan kabupaten Kudus dan Kabupaten Semarang tidak bergeser pada posisinya masing 13,89% dan 12,41% pada peringkat pertama dan kedua. Peringkat ketiga diduduki oleh kabupaten Semarang (8,92%).Tahun 2006 posisi tiga besar tidak bergeser dari tahun– tahun sebelumnya masing-masing 12,75%, 12,13%, 9,97% untuk kota Semarang, kabupaten Kudus, kabupaten Semarang. Gambaran distribusi IBM di Propinsi Jawa Tengah dilihat dari tenaga kerja dapat dikatakan terkonsentrasi pada tiga kabupaten/kota yaitu kota Semarang, kabupaten Kudus dan kabupaten Semarang (gambar 1) Aspek lain untuk melihat distribusi IBM adalah sumbangan nilai tambah (value added) dari keberadaan sektor manufaktur tersebut. Nilai tambah adalah selisih dari nilai output sektor manufaktur dikurangi dengan biaya inputnya (bahan baku). Ditinjau dari sumbangan nilai tambah sektor manufaktur besar dan menengah , juga terjadi pemusatan di daerah-daerah tertentu. Tahun 2001, tiga besar penyumbang nilai tambah untuk IBM di Propinsi Jawa Tengah adalah kota Kudus (18,47%), kota Semarang (14,90%), kabupaten Sragen (14,86%). Tahun 2003, ada perubahan untuk kabupaten/kota yang semula nilai tambahnya tertinggi namun secara prosentase berkurang, yang disebabkan telah diberlakukannya otonomi daerah meskipun tidak semua kabupaten/ kota sumbangan nilai tambahnya turun. Hal yang menarik pada tahun 2003, kabupaten Sragen justru mengalami penurunan nilai tambah yang semula 14,86% menjadi 1,75%. Penurunan ini diperoleh dari sub sektor barang galian bukan logam dan industri kayu, bambu, rotan dan sejenisnya yang mengalami penurunan drastis. Posisi ketiga kabupaten Sragen yang mengalami penurunan digantikan oleh kabupaten Semarang, pada tahun 2006 Kabupaten Kudus 110
mengalami penurunan yang sangat drastis terutama nilai tambah untuk industri tekstil, pakaian jadi dan kulit. Kabupaten Kudus persentase nilai tambah IBM menjadi 13,47% menduduki urutan kedua. Urutan pertama, kota Semarang mengalami kenaikan menjadi 25,38%. Kenaikan nilai tambah kota Semarang disebabkan sub sektor andalan yaitu industri makanan, minuman, pakaian jadi, dan juga kontribusi industri kertas dan barang dari kertas, percetakan (gambar 2). Kabupaten Kudus dan kota Semarang tampak menonjol dibandingkan kabupaten/kota lainnya. Distribusi Industri Manufaktur di Jawa Tengah dengan menggunakan Indeks Theil dapat dilihat pada tabel 1 di bawah ini. Tabel 1. Indeks Kesenjangan Industri Manufaktur di Jawa Tengah Tahun
Dlm Karesidenan (3)
Total
Pangsa
(1)
Antar Karesiden (2)
(4)
(5)
2001
2,06
0,15
2,21
0,93
2003
2,20
0,18
2,39
0,92
2006
2,03
0,19
2,22
0,91
Sumber: Data sekunder diolah
Dari Tabel 1 dapat disimpulkan bahwa kesenjangan antar karesidenan lebih dominan, yaitu menyumbang sekitar 93% dari total kesenjangan dibandingkan kesenjangan dalam karesidenan. Hal ini sejalan dengan penelitian yang telah dilakukan Kuncoro (2002) yang menghasilkan kesimpulan kesenjangan industri antar pulau di Indonesia lebih tinggi dibandingkan kesenjangan dalam pulau (antar Propinsi). Nilai indeks kesenjangan antar karesidenan berkisar antara 2,03 sampai dengan 2,20. Kesenjangan antar karesidenan yang besar, merupakan indikasi terkonsentrasinya aktivitas manufaktur di karesidenan–karesidenan tertentu. Berdasarkan nilai indeks Theil, untuk kesenjangan dalam karesidenan (tabel 2), karesidenan Semarang mempunyai nilai terbesar dibandingkan karesidenan lainnya. Hal ini disebabkan Kabupaten/ kota yang berada di karesiden Semarang dilihat pangsa distribusi tenaga kerja industri mafaktur terhadap total tenaga kerja industri manufaktur Jawa Tengah telah terjadi kesenjangan.
Disparitas dan Spesialisasi Industri Manufaktur... (Kusumantoro : 104 – 113)
16 15
2001
14
2003
2006
13
Prosentase
12 11 10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0
Kabupaten / Kota Sumber : BPS, Survey IBM, diolah
Pro sen tase
Gambar 1. Distribusi IBM Menurut Tenaga Kerja di Propinsi Jawa Tengah 2001 - 2006
28 27 26 25 24 23 22 21 20 19 18 17 16 15 14 13 12 11 10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0
2001 2003 2006
Kabupaten / Kota Sumber : BPS, Survey IBM, data diolah
Gambar 2 Distribusi IBM Menurut Nilai tambah di Propinsi Jawa Tengah Tahun 2001 - 2006
JEJAK, Volume 2, Nomor 2, Septermber 2009
111
Tabel 2. Kesenjangan Industri Manufaktur dalam Karesidenan Tahun
Banyumas
Kedu
Surakarta
Pati
Semarang
Pekalongan
2001
0,0046
0,0064
0,0313
0,0435
0,0576
0,0099
2003
0,0064
0,0054
0,0325
0,0480
0,0545
0,0348
2005 0,0064 0,0035 Sumber: Data sekunder (diolah)
0,0278
0,0462
0,0599
0,0412
Spesialisasi Industri Manufaktur Besar dan Sedang
Spesialisasi industri pada kabupaten/kota di Propinsi Jawa Tengah tahun 2001–2006 dihitung dengan menggunakan indeks spesialisasi regional seperti pada persamaan-1. Gambaran spesialisasi industri kabupaten/kota menunjukkan di mana aktivitas ekonomi yang menonjol dari sudut tenaga kerja didominasi oleh industri makanan, minuman (ISIC 15), industri tekstil (ISIC 17), industri kayu, barang-barang dari kayu dan anyaman (ISIC 20) serta industri kimia dan barang-barang dari bahan kimia (ISIC 24). Hasil penelitian ini sejalan dengan Kuncoro (2002) bahwa di Jawa Tengah, Semarang Extended Industrial Areas (EIA) dan Surakarta EIA memiliki pola struktur industri yang relatif sama. Industri tekstil-pakaian-sepatu dan industri makanan di kedua daerah ini memainkan peranan penting. Perbedaannya yaitu bahwa pangsa tenaga kerja industri kayu dan furnitur lebih menonjol di Semarang EIA, sedang pangsa industri kimia lebih substansial di Surakarta EIA. Temuan lain dari indeks tersebut adalah masih ada beberapa industri yang sangat jarang sekali menjadi spesialisasi industri daerah yaitu industri batu bara, pengilangan minyak bumi, nuklir (ISIC 23), logam dasar (ISIC 27) dan radio, televisi dan peralatan komunikasi (ISIC 32) dan kendaraan bermotor (ISIC 34). Tahun 2001 yang menjadi daerah industri adalah kabupaten Kudus, kabupaten Semarang, kabupaten Karanganyar dan kota Semarang. Kabupaten Kudus mempunyai spesialisasi pada sub sektor industri tembakau (ISIC 16), industri kertas (ISIC 21) ,industri penerbitan, percetakan (ISIC 22), dan industri radio, televisi (ISIC 32). Sedangkan Kota Semarang mempunyai spesialisasi pada industri industri penerbitan, percetakan (ISIC 22), dan industri logam dasar (ISIC 27). Tahun 2003 yang menjadi daerah industri pertama, kota Semarang 112
dengan spesialisasi pada industri kimia (ISIC 24), industri logam dasar (ISIC 27) dan industri barang dari logam (ISIC 28), industri pakaian jadi (ISIC 18), industri kulit (ISIC 19), industri kertas (ISIC 21) dan alat-alat angkutan (ISIC 35). Kedua, kabupaten Kudus dengan spesialisasi pada industri tembakau (ISIC 16) dan industri kertas (ISIC 21), industri penerbitan (ISIC 22) serta industri radio, televisi (ISIC 32). Hal ini karena didukung oleh perusahaanperusahaan besar seperti PT Pura Barutama yang bergerak di industri kertas dan percetakan, PT Djarum Kudus di industri rokok dan Pabrik radio dan televisi yang produknya berlabel Polytron. Daerah industri berikutnya adalah Kabupaten Sukoharjo memiliki spesialisasi industri tekstil (ISIC 17), pakaian jadi (ISIC 18) industri kertas (ISIC 21) dan industri kimia (ISIC 24). Keempat, kabupaten Semarang dengan spesialisasi pada industri tekstil (ISIC 17) dan industri daur ulang (ISIC 37). Tahun 2006 untuk spesialisasi di daerah industri selain kabupaten Karanganyar tidak banyak perubahan. Kabupaten Karanganyar mempunyai spesialisasi pada industri tekstil (ISIC 17), industri kimia (ISIC 24) pada tahun 2003, industrinya mengalami penurunan dalam hal nilai tambahnya sehingga tidak masuk kategori daerah industri sesuai kriteria. Hasil penemuan lainnya adalah spesialisasi daerah industri yang letaknya berdekatan mempunyai kesamaan. SIMPULAN
Disparitas industri manufaktur besar dan sedang pada kabupaten/kota di Jawa Tengah menunjukkan ketidakmerataan baik dilihat dari grafis maupun dengan indeks Theil. Hasil identifikasi spesialisasi industri pada kabupaten/kota di Propinsi Jawa Tengah menunjukkan bahwa aktivitas industri yang menonjol adalah industri makanan, minuman (ISIC 15), industri tekstil (ISIC 17), industri kayu, barang-barang dari kayu dan anyaman (ISIC 20) serta industri kimia dan barang-barang dari bahan
Disparitas dan Spesialisasi Industri Manufaktur... (Kusumantoro : 104 – 113)
kimia (ISIC 24). Spesialisasi industri di daerah industri yang lokasinya berdekatan mempunyai kesamaan spesialisasi. Kota Semarang dan sekitarnya (Kabupaten Semarang dan Kudus) mempunyai spesialisasi industri pakaian jadi (ISIC 18) dan penerbitan, percetakan (ISIC 22). Kota Surakarta sekitarnya (Kabupaten Sukoharjo dan Kabupaten Karanganyar) mempunyai spesialisasi industri tekstil (ISIC 17), pakaian jadi (ISIC 18) dan kimia (ISIC 24). DAFTAR PUSTAKA
Ardani, Amirudin, 1992, Analysis of Regional Growth and Disparity: The Impact Analysis of the Inpres Project on Indonesian Development, Disertation, Unpublised, The Faculty of The University of Pennsylvania. Arsyad, Lincolin, 1999, Pengantar Perencanaan dan Pembangunan Ekonomi Daerah, Yogyakarta: BPFE Badan Pusat Statistik, Statistik Indonesia 2001– 2006, Survey Industri Besar dan Menengah tahunan. Blakely, Edward, 2002, Planning Local Economic Development Theory and Practice, New Delhi: Sage Publication Dumairy, 1996, Perekonomian Indonesia, Jakarta: Erlangga Hayter, Roger, 2000, The Dynamics of Industrial Location: The Factory, The Firm and The Production System, Chichester: John Wiley & Son. Hoover, Edgar, M, 1971, “An Introduction to Regional Economics, New York: Alfred A, Knopf, Inc.
Isard, W, 1975, Introduction to Regional Science, Prentice- Hall, inc. Englewood, New Jersey Krugman, P, 1980, “Scale Economies, Product Differentiation and The Pattern of Trade”, American Economic Review, 70, 950–9. Krugman, P, 1991, Geography and Trade, Mass, Cambridge: MIT Press. Kuncoro, ,M , 2002, Analisis Spasial dan Regional , Studi Aglomerasi dan Kluster Industri Indonesia, Yogyakarta: AMP YKPN Syafrizal, 1997, “Pertumbuhan Ekonomi dan Ketimpangan Regional Wilayah Indonesia Bagian Barat ”, Prisma, 3 Maret. Shields, Martin, 2003, “Tool 3 Use Location Quotients to Identify Local Strengths, Opportunities and industry Clusters“ Cardi Cornell. www.cardi.cornelll.edu/. Suharto, 2002, “Disparitas dan Pola Spesialisasi Kesempatan Kerja Industri Manufaktur Regional Indonesia”, Tesis, Program Studi IESP PPSUGM Yogyakarta, Tidak dipublikasikan. Todaro, Michael P, 2000, Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga, Jakarta: Erlangga. Theil, Henry, 1967, Economic sand Information Theory, Amsterdam: North Holland Publishing Company. Tulus T H Tambunan, 2001, Transformasi Ekonomi di Indonesia, Teori dan Penemuan Empiris, Jakarta: Salemba Empat. Yunita, Vina, 2006, “Disparitas dan Pola Spesialisasi Kesempatan Kerja Industri Manufaktur di Jawa Tengah”, Skripsi, STIE Stikubank, Semarang, Tidak dipublikasikan.
JEJAK, Volume 2, Nomor 2, Septermber 2009
113
ANATOMI MAKRO EKONOMI REGIONAL: STUDI KASUS PROVINSI DIY Ahmad Ma’ruf Fakultas Ekonomi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta email:
[email protected]
ABSTRACT The purpose of this study is to determine the level of economic growth, a description of the structure of regional economy, and analysis of economic sectors of potential, the level of investment and economic stability in DIY (Yogyakarta as Special Region). The results of this study can be used as input and evaluation of regional development planning. The data used in the form of secondary data are analyzed by descriptive statistics and quantitative analysis. Analysis tool with the Shift Share Analysis (SS), Analysis of Location Quotient (LQ) which consists of the static location quotient (SLQ) and dynamic location quotient (DLQ), and analysis of Incremental Capital Output Ratio (ICOR). The study concludes DIY macroeconomic dynamics is in line with the national economic pattern, economic growth, inflation, investment, exports and imports and consumption. Sectors that have the largest contribution are trade, hotels and restaurants, whereas the potential to be developed is the agricultural sector, processing industries and services. Keywords: economic growth, potential sectors, economic stability. PENDAHULUAN Sejalan dengan kebijakan pemerintah dalam melaksanakan pembangunan yang mengarah ke desentralisasi, maka proses pembangunan di daerah hendaknya disesuaikan dengan potensi, kondisi dan kemampuan masing-masing daerah, di samping tidak terlepas dari kondisi makro ekonomi nasional dan dinamika ekonomi internasional. Potensi, kondisi dan kemampuan ekonomi regional untuk perencanaan pembangunan dapat dipetakan melalui analisis kondisi makro ekonomi dan proyeksinya di masa datang. Pokok masalahnya adalah bahwa telaah atas keseluruhan aspek (anatomi) makro ekonomi dapat menunjukkan seberapa jauh keberhasilan pembangunan ekonomi di suatu daerah, dalam studi ini mengambil kasus Provinsi DIY. Pemahaman atas kondisi makro ekonomi tersebut secara mendalam dapat digunakan sebagai referensi kebijakan pembangunan suatu daerah. Beberapa indikator yang digunakan dalam telaah ini antara lain: pertumbuhan ekonomi yang tercermin dalam pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) baik dari sisi produksi maupun pengeluaran; pergeseran struktur ekonomi daerah dan perkembangan investasi. Sementara itu, untuk mengetahui kondisi stabilitas 114
perekonomian daerah digunakan perkembangan laju inflasi. Maksud dari analisis anatomi makro ekonomi regional, studi kasus di Provinsi DIY ini adalah untuk mengetahui deskripsi ekonomi DIY secara makro yang dapat digunakan sebagai input dalam perencanaan pembangunan daerah. Tujuan studi ini adalah untuk mengetahui tingkat pertumbuhan ekonomi, deskripsi struktur perekonomian daerah, dan analisis sektor-sektor ekonomi yang potensial, tingkat investasi dan kondisi stabilitas perekonomian di DIY. LANDASAN TEORI Teori Pertumbuhan Adam Smith Adam Smith menjelaskan proses pertumbuhan ekonomi berdasarkan penentu utamanya yaitu pertumbuhan keluaran produksi total. Sistem produksi dibagi menjadi tiga bagian yaitu; sumber daya alam, sumber daya manusia, dan stok kapital. Sumber daya alam yang tersedia merupakan wadah mendasar dari kegiatan produksi. Sementara itu, sumber daya manusia dianggap sebagai unsur yang pasif. Jumlah penduduk akan menyesuaikan diri dengan kebutuhan akan tenaga kerja yang ada. Berapa pun jumlah tenaga kerja yang diperlukan dalam proses produksi
Anatomi Ekonomi Makro Regional,… (Ma’ruf : 114 – 125)
akan tersedia melalui proses peningkatan atau penurunan jumlah penduduk. Sementara itu, stok kapital bersifat aktif dalam menentukan tingkat keluaran produksi. Selanjutnya, peranan akumulasi kapital dalam proses pertumbuhan dijelaskan melalui teori spesialisasi dan pembagian kerja. Smith berpendapat bahwa stok kapital (K) mempunyai dua pengaruh terhadap tingkat keluaran produksi total (Q). Pengaruh pertama, pengaruh langsung yaitu K mempengaruhi Q secara langsung karena pertambahan K yang diikuti pertambahan tenaga kerja akan meningkatkan Q. Pengaruh kedua, pengaruh tidak langsung berupa peningkatan produktivitas per kapita melalui tingkat spesialisasi dan pembagian kerja yang lebih tinggi. Semakin besar stok kapital, semakin besar kemungkinan dilakukannya spesialisasi dan pembagian kerja sehingga produktivitas per pekerja pun semakin meningkat. Teori Pertumbuhan David Ricardo Beberapa asumsi yang digunakan Ricardo untuk menjelaskan teorinya adalah jumlah faktor produksi (tanah) tidak bisa bertambah (terbatas jumlahnya). Peningkatan (penurunan) tenaga kerja ditentukan oleh tinggi-rendahnya upah minimal atau tingkat upah alamiah (natural wage). Akumulasi kapital terjadi apabila tingkat keuntungan yang diperoleh pemilik kapital berada di atas tingkat keuntungan minimal. Adanya kemajuan teknologi. Sektor pertanian menjadi sektor dominan.
pengertian antara pertumbuhan ekonomi dan pengembangan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi merupakan peningkatan keluaran produksi masyarakat yang disebabkan oleh semakin banyaknya jumlah faktor produksi yang digunakan dalam proses produksi masyarakat tanpa adanya perubahan teknologi. Perkembangan ekonomi merupakan kenaikan keluaran produksi yang disebabkan oleh adanya inovasi yang dilakukan oleh para wiraswasta. Inovasi menyangkut perbaikan kualitatif dari sistem ekonomi yang mencakup penemuan produk baru dan pembukaan pasar baru. Inovasi mempunyai tiga aspek penting, yaitu diperkenalkannya teknologi baru; inovasi menimbulkan keuntungan lebih yang merupakan sumber dana penting bagi akumulasi kapital; inovasi akan diikuti oleh adanya proses imitasi yaitu adanya pengusahapengusaha yang meniru teknologi baru (yang diperkenalkan). Selain itu, ada lima macam kegiatan yang dapat digolongkan sebagai inovasi, yaitu: diperkenalkannya produk baru yang sebelumnya tidak ada; diperkenalkannya cara berproduksi baru; pembukaan daerah-daerah pasar baru; penemuan sumber-sumber bahan mentah baru; dan perubahan organisasi industri yang dapat meningkatkan efisiensi industri. Teori Pertumbuhan Harrod-Domar
Teori Pertumbuhan Schumpeter
Setiap perekonomian perlu mencadangkan sebagian tertentu dari pendapatan nasionalnya untuk menambah atau menggantikan barang-barang modal yang telah mengalami penyusutan atau kerusakan. Untuk memahami pentingnya peran cadangan modal digunakan analisis rasio keluaran terhadap kapital (Capital-output ratio). Capital-output ratio diasumsikan sebagai k, national saving ratio sebagai s yang merupakan presentase dari keluaran nasional yang ditabung. Jumlah investasi dapat ditentukan oleh jumlah tabungan total (S). Dari beberapa asumsi tersebut disusun sebuah model pertumbuhan ekonomi sebagai berikut: S=sY dan I=∆K. Di mana tabungan nasional jumlah tertentu (s), pendapatan nasional (Y), dan perubahan stok modal (∆K). Karena K/Y=k atau ∆K/∆Y=k adalah Incremental Capital Output Ratio (ICOR) maka, ∆K=k∆Y.
Schumpeter berpendapat bahwa penggerak perkembangan ekonomi adalah suatu proses yang dikenal dengan istilah inovasi. Terdapat perbedaan
Hubungan antara K (stok kapital) dan Y (keluaran potensial) adalah proposional. Apabila dalam suatu tahun terdapat investasi sebesar I maka
Ketersediaan jumlah tanah yang terbatas berakibat pada menurunnya produk marginal yang dihasilkan oleh masyarakat (sebagai salah satu masukan produksi). Konsep ini disebut sebagai law of diminishing return. Tingkat keluaran produksi ditentukan oleh jumlah faktor produksi yang tersedia yakni K0, L0, dan T0. Kemajuan teknologi dapat meningkatkan produktivitas tenaga kerja maupun produktivitas kapital. Kemajuan teknologi merupakan cara untuk menghambat law of diminishing return.
JEJAK, Volume 2, Nomor 2, September 2009
115
stok kapital pada akhir tahun tersebut akan bertambah sebesar ΔK=I. Penambahan kapasitas ini akan meningkatkan keluaran produksi potensial sebesar ΔY=1/k . ΔK=1/k.I. Persamaan tersebut merupakan versi sederhana dari teori pertumbuhan ekonomi Harrod-Domar yang menyatakan bahwa tingkat pertumbuhan GNP (∆Y/Y) ditentukan oleh national saving ratio (s) dan capital output ratio (k). Persamaan tersebut menyatakan bahwa tanpa adanya intervensi pemerintah, tingkat pertumbuhan pendapatan nasional akan berbanding lurus dengan rasio tabungan dan berbanding terbalik dengan capitaloutput ratio dari suatu perekonomian. Teori Pertumbuhan Solow-Swan Pemikiran tentang fungsi produksi yang dikembangkan oleh Solow–Swan merupakan bentuk pemikiran aliran Neoklasik. Dalam model/pemikiran tersebut mengasumsikan adanya constant return to scale, diminishing return untuk masing-masing masukan produksi dan adanya elastisitas substitusi antar masukan produksi. Investasi dan pertumbuhan penduduk tidak dapat, dengan sendirinya, meningkatkan pertumbuhan pendapatan per kapita secara berkelanjutan. Adanya faktor penemuan teknologi baru yang dapat meningkatkan produktivitas tenaga kerja. Perkembangan teknologi tersebut berasal dari luar model sehingga teori Solow–Swan dikenal dengan exogeneous growth model. Dengan mengabaikan adanya teknologi, bentuk fungsi produksi adalah sebagai berikut Y=F (K, L). Fungsi produksi tersebut disebut Neoklasikal apabila memenuhi tiga kriteria, yaitu: semua K>0 dan L>0, F (K,L) adalah positif, dan menganut diminishing marginal products terhadap masing-masing masukan produksi. Fungsi produksi sederhana yang dianggap representatif menggambarkan kondisi aktual perekonomian adalah fungsi produksi Cobb–Douglas dengan spesifikasi sebagai berikut: Y=AKα L1-α Dimana A>0 merupakan level teknologi dan α merupakan konstanta dengan 0<α<1. Teori Pertumbuhan Endogeneous Pemikir teori ini adalah Lucas-Romer. Lucas dan Romer tidak puas dengan teori dan penjelasan Solow–Swan mengenai kemajuan teknologi dan
116
pertumbuhan ekonomi. Menurut Lucas dan Romer, inovasi teknologi merupakan akumulasi dari pengetahuan. Akumulasi pengetahuan ini kemudian terangkum dalam human capital. Teori baru ini dikenal dengan endogeneous growth theory. Baik teori exogeneous maupun endogeneous menyetujui bahwa pada titik waktu tertentu, dengan adanya kemajuan teknologi, keluaran produksi sangat terkait dengan masukan produksi dalam suatu fungsi produksi. Aspek penting dalam teori ini adalah tidak adanya diminishing return of capital. Spesifikasi fungsi produksinya adalah sebagai berikut: Y=AK. Di mana K merupakan konstanta positif level teknologi. Tidak adanya konsep diminishing return ini memang tidak realistik. Hal tersebut menjadi mungkin jika diasumsikan K ke dalam konsep human capital. Keluaran produksi per kapita adalah sebesar y=Ak, nilai rata-rata dan marginal dari kapital adalah konstan pada level A>0. Endogeneous growth theory merumuskan bahwa rata-rata pertumbuhan ditentukan atau berasal dari ekuilibrium yang tercipta dari dalam model. Selain itu, teori ini juga berusaha menangkap adanya kemajuan teknologi ke dalam model, menganggapnya sebagai faktor endogen. METODE PENELITIAN Data yang digunakan dalam studi anatomi makro ekonomi regional, studi kasus Provinsi DIY ini adalah data sekunder, khususnya yang bersumber dari Bapeda Provinsi DIY, BPS Provinsi DIY dan Bank Indonesia Yogyakarta. Periode data yang digunakan sebagai deskripsi makro ekonomi Provinsi DIY yaitu tahun 2003–2008. Data sekunder meliputi data-data ekonomi makro dan keuangan Provinsi DIY. Analisis Shift Share (SS) Tujuan analisis SS adalah untuk menentukan kinerja atau produktifitas kerja perekonomian daerah dibandingkan dengan perekonomian nasional. Teknik ini membandingkan laju pertumbuhan sektor-sektor di daerah dengan laju pertumbuhan perekonomian nasional serta sektor-sektornya, dan mengamati penyimpangan-penyimpangan dari perbandingan yang dilakukan. Bila penyimpangannya positif, maka
Anatomi Ekonomi Makro Regional,… (Ma’ruf : 114 – 125)
suatu sektor dalam daerah memiliki keunggulan kompetitif. Analisis SS memberikan data tentang kinerja perekonomian dalam tiga bidang yang berhubungan satu sama lain yaitu membagi pertumbuhan sebagai perubahan (D) suatu variabel daerah, pendapatan atau output selama kurun waktu tertentu menjadi pengaruh: pertumbuhan nasional (N), bauran industri/industri mix (M) dan keunggulan kompetitif (C). Dengan demikian pengaruh pertumbuhan nasional disebut pengaruh pangsa (share), pengaruh bauran industri/industri mix disebut proporsional shift dan pengaruh keunggulan kompetitif disebut regional share atau differential shift. Sedangkan, bentuk umum persamaan dari komponen-komponen ShiftShare sebagaimana dikemukakan oleh (Soepomo, 1993) adalah sebagai berikut; untuk industri atau sektor i di wilayah j yaitu: Dij = Nij + Mij + Cij Jika analisis ini ditetapkan dengan menggunakan sektor ekonomi/lapangan usaha, maka: Dij = E*ij – Eij, Nij = Eij * rn Mij = Eij (rin – rn) Cij = Eij (rij – rin)
Arus pendapatan itu menyebabkan kenaikan konsumsi maupun investasi, yang pada akhirnya menaikkan pendapatan daerah dan kesempatan kerja. SLQ dirumuskan sebagai berikut:
SLQ =
qi qr Qi Qn
di mana: SLQ j Qi qi Qn qr
= Koefisien Static Location Quotient = Keluaran sektor i nasional = Keluaran sektor i regional (Provinsi DIY) = Keluaran total nasional = Keluaran total regional (Provinsi DIY)
Berdasarkan formula di atas dapat dijelaskan bahwa jika koefisien LQ>1, maka sektor tersebut cenderung akan mengekspor keluaran produksinya ke wilayah lain, atau mungkin ekspor ke luar negeri. Sedangkan jika nilai koefisien LQ<1, ini berarti sektor tersebut cenderung mengimpor dari wilayah lain atau dari luar negeri. Dynamic Location Quotient (DLQ) adalah modifikasi dari SLQ, dengan mengakomodasi faktor laju pertumbuhan keluaran sektor ekonomi dari waktu ke waktu. Nilai DLQ dihitung menggunakan rumus sebagai berikut (dimodifikasi dari Saharuddin, 2006): t
Di mana rij , rin dan rn mewakili laju pertumbuhan daerah dan laju pertumbuhan nasional, Eij=PDRB sektor i di wilayah j, Ein=PDB sektor i di tingkat nasional dan En=PDB Nasional. Kesemuanya diukur menurut tahun dasar, sedangkan tanda superscript (*) menunjukkan keluaran produksi pada tahun akhir analisis. Analisis Location Quotient (SLQ dan DLQ) Metode location quotient (LQ) dibedakan menjadi dua, yaitu: static location quotient (SLQ sering disebut LQ) dan dynamic location quotient (DLQ). Menurut Kadariah (1985), dasar pemikiran dari penggunaan teknik LQ yang dilandasi teori ekonomi basis mempunyai makna sebagai berikut. Karena, industri basis itu menghasilkan barang dan jasa baik untuk pasar di daerah maupun untuk pasar di luar daerah, maka penjualan hasil ke luar daerah akan mendatangkan pendapatan ke dalam daerah itu.
⎡ (1 + gij ) /(1 + g j ) ⎤ IPPS ij DLQ ij = ⎢ ⎥ = ⎣ (1 + Gi ) /(1 + G) ⎦ IPPS i
Di mana : DLQij = Indeks potensi sektor i di regional gij = Laju pertumbuhan sektor i di regional = Rata-rata laju pertumbuhan sektor di gj regional Gi = Laju pertumbuhan sektor i di nasional G = Rata-rata laju pertumbuhan sektor di nasional t = Selisih tahun akhir dan tahun awal IPPSij = Indeks Potensi Pengembangan sektor i di regional IPPSi = Indeks Potensi Pengembangan sektor i di nasional Nilai DLQ yang dihasilkan dapat diartikan sebagai berikut: jika DLQ>1, maka potensi perkembangan sektor i di suatu regional lebih cepat dibandingkan sektor yang sama di nasional. Namun, jika DLQ<1, maka potensi perkembangan sektor i di regional lebih
JEJAK, Volume 2, Nomor 2, September 2009
117
rendah dibandingkan nasional secara keseluruhan. Gabungan antara nilai SLQ dan DLQ dijadikan kriteria dalam menentukan apakah sektor ekonomi tersebut tergolong unggulan, prospektif, andalan, dan kurang prospektif. Incremental Capital Output Ratio (ICOR)
Nilai Incremental Capital Output Ratio (ICOR) mengindikasikan seberapa besar penggunaan tambahan modal atau investasi untuk menghasilkan output atau keluaran perekonomian, sehingga angka ICOR dapat dijadikan indikator efektivitas tambahan modal atau investasi. Sebagai petunjuk dapat digunakan pedoman umum bahwa semakin tinggi angka ICOR, maka semakin tidak efisien penggunaan tambahan modal/investasi tersebut. Formula perhitungan ICOR adalah sebagai berikut: ICOR =
I / PDRB.100% ΔPDRB
HASIL DAN PEMBAHASAN Dinamika Makro Ekonomi
Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu aspek dalam manajemen makro ekonomi. Pencapaian pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan terusmenerus merupakan kondisi ideal yang diharapkan semua pelaku ekonomi. Kondisi ekonomi bersifat fluktuatif sehingga semua pelaku ekonomi terutama pemerintah perlu melakukan berbagai antisipasi melalui kebijakan fiskal dan moneter. Dinamika perekonomian Indonesia tidak terlepas dari perkembangan ekonomi global serta berbagai kemajuan dalam perbaikan, iklim investasi, infrastruktur, produktivitas dan daya saing (sisi penawaran) dalam negeri. Berbagai fenomena yang berasal dari luar negeri selain berdampak pada perekonomian Indonesia juga berdampak pada perekonomian daerah Provinsi DIY. Dilihat dari pola pergerakan pertumbuhan ekonomi antara Indonesia dan Provinsi DIY mengindikasikan arah yang sama. Hal ini akan menjadi salah satu sinyal bagi Provinsi DIY untuk melakukan antisipasi apabila kondisi ekonomi nasional (Indonesia) pada situasi yang kurang stabil atau kurang kondusif.
118
Selama tahun 2005–2008, pertumbuhan ekonomi Indonesia dan Provinsi DIY cenderung fluktuatif. Pertumbuhan ekonomi Indonesia tertinggi dan terendah masing-masing adalah sebesar 6,28% (2007) dan 5,5% (2006). Sementara itu, pertumbuhan ekonomi Provinsi DIY tertinggi dan terendah masingmasing yaitu 5,2% (2008) dan 3,7% (2006). Nilai PDRB riil DIY selama tahun 2005-2008 cenderung meningkat. Nilai PDRB tertinggi dan terendah masing-masing sebesar Rp19.209.746 juta (2008) dan Rp16.910.877 juta (2005). Pada periode tersebut sektor ekonomi yang mempunyai nilai PDRB tertinggi adalah sektor perdagangan, hotel dan restoran. Sementara itu, sektor ekonomi yang mempunyai nilai PDRB terendah adalah sektor penggalian. Kecenderungan kenaikan nilai PDRB Provinsi DIY lebih ditopang oleh empat sektor ekonomi utama, yaitu: sektor perdagangan-hotel-restoran, pertanian, jasa-jasa dan industri pengolahan. Pertumbuhan PDRB sektoral Provinsi DIY berdasarkan lapangan usaha selama tahun 2005– 2008 tertinggi terjadi pada tahun 2006 yaitu sektor konstruksi sebesar 13,28%. Pada tahun 2008, pertumbuhan sektor konstruksi menunjukkan arah yang berkebalikan -3,45%. Kondisi ini cukup realistis karena pada tahun 2006 di Provinsi DIY terjadi peningkatan aktivitas yang cukup signifikan untuk membangun dan memperbaiki infrastruktur, terutama rumah penduduk dan perkantoran, sebagai akibat gempa bumi. Aktivitas tersebut pada tahun 2008 sudah tidak ada lagi sehingga pertumbuhan sektor konstruksi cenderung minus. Secara keseluruhan perekonomian DIY berkembang menuju kondisi yang lebih baik meskipun masih dihadapkan pada sejumlah permasalahan yang bersumber baik dari sisi eksternal dan internal. Dari sisi eksternal, pengaruh krisis global mulai terasa dampaknya terhadap kinerja ekspor DIY yang terindikasi dari berkurangnya order komoditas ekspor dari DIY yang berampak pada pengurangan tenaga kerja (Bank Indonesia Yogyakarta, 2009). Sementara itu, sektor industri pengolahan mempunyai nilai tambah riil sebesar Rp2.566 miliar, tumbuh 1,52%, cenderung melambat dibandingkan dengan tahun 2007 (1,89%). Penyebab perlambatan pertumbuhan sektor ini adalah naiknya harga produk sebagai implikasi kenaikan harga bahan baku
Anatomi Ekonomi Makro Regional,… (Ma’ruf : 114 – 125)
industri seperti kedelai, tepung terigu, minyak goreng dan bahan baku susu sehingga sebagian produsen menaikkan harga jualnya. Selain itu juga mulai dirasakannya dampak krisis global memasuki paruh kedua tahun 2008 yang telah menyebabkan penurunan nilai ekspor dari DIY. Namun demikian, kredit perbankan kepada industri pengolahan meningkat menjadi Rp757,92 miliar (12,34%) dibandingkan tahun 2007 yaitu sebesar Rp676,45 miliar. Nilai tambah sektor pengangkutan dan komunikasi mencapai Rp1.999 miliar pada tahun 2008, lebih tinggi dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Andil sektor ini terhadap pertumbuhan naik dari 0,65% menjadi 0,68%. Nilai tambah di sektor ini terutama berasal dari nilai tambah di subsektor transportasi searah dengan sektor bangunan yang mengalami penurunan sebesar 35,21%. Hal ini diprakirakan disebabkan oleh masih tingginya suku bunga kredit perbankan. Kegiatan investasi ada kecenderungan kenaikan realisasi maupun rencana investasi yang mencerminkan bahwa prospek perekonomian DIY yang positif. Industri yang paling diminati adalah industri tekstil dan makanan. Peringkat berikutnya adalah sektor perhotelan dengan pangsa sebesar 35,64%, sektor jasa lainnya sebesar 14,61%, sektor pengangkutan sebesar 2,01%, sektor pertanian, kehutanan dan perikanan sebesar 1,48%. Secara umum, minat investor lebih tertuju pada sektor-sektor unggulan di DIY yang merefleksikan struktur PDRB. Perkembangan perekonomian nasional dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan kinerja yang
semakin baik meski masih dibayangi oleh ketidakpastian harga komoditi internasional, gejolak harga minyak mentah dunia, dan dampak krisis subprime mortgage (Departemen Keuangan RI (2009)). Faktor internal yang menjadi tantangan pokok dalam tahun 2009 antara lain: (1) masih relatif tingginya penduduk miskin; (2) terbatasnya akses dan dana dalam sistem perlindungan sosial bagi masyarakat miskin; (3) relatif rendahnya kualitas pendidikan dan kesehatan masyarakat; dan (4) masih lemahnya daya tarik investasi dan sektor riil. Secara tidak langsung, kondisi ekonomi terkini Indonesia dimungkinkan berdampak pada peran/kontribusi ekonomi sektoral Provinsi DIY. Ada empat sektor utama penyumbang PDRB Provinsi DIY, yaitu: sektor perdagangan-hotel-restoran, pertanian, jasajasa dan industri pengolahan. Kontribusi keempat sektor utama tersebut masing-masing adalah 20,36%-20,50% (sektor perdagangan, hotel dan restoran), 18,22%-18,86% (sektor pertanian), 16,79%-16,91% (sektor jasa-jasa) dan 13,82%14,57% (sektor industri pengolahan). Sementara sektor yang mempunyai kontribusi relatif rendah adalah sektor listrik dan air bersih (0,87%–0,93%) dan sektor penggalian (0,70%–0,76%). Dari sisi permintaan, peningkatan pertumbuhan ekonomi terutama didorong oleh konsumsi baik konsumsi rumah tangga maupun konsumsi pemerintah, dan investasi. Hal ini tercermin dari nilai komponen konsumsi rumah tangga yang meningkat dari Rp8.132 miliar pada tahun 2007 menjadi Rp8.397 pada tahun laporan atau tumbuh 3,25%
Tabel 1. Kontribusi PDRB Sektoral Provinsi DIY berdasarkan Lapangan Usaha (Harga Konstan 2000), 2005–2008 (%) Lapangan Usaha
2005
2006
1. Pertanian 18,84 18,86 2. Penggalian 0,72 0,72 3. Industri Pengolahan 14,57 14,15 4. Listrik & Air Bersih 0,91 0,87 5. Konstruksi 8,25 9,01 6. Perdagangan, Hotel & Restoran 20,37 20,36 7. Pengangkutan & Komunikasi 9,90 10,05 8. Keu, Real Estat & Jasa Perusahaan 9,60 9,08 9. Jasa-Jasa 16,85 16,91 PDRB 100,00 100,00 Sumber: BPS Provinsi DIY dan Bapeda Provinsi DIY, Beberapa tahun (diolah).
JEJAK, Volume 2, Nomor 2, September 2009
2007 18,22 0,76 13,82 0,91 9,47 20,50 10,25 9,27 16,80 100,00
2008 18,74 0,70 13,83 0,93 8,71 20,38 10,38 9,54 16,79 100,00
119
dengan andil terhadap angka pertumbuhan 1,45%. Faktor yang mempengaruhi peningkatan konsumsi rumah tangga antara lain adalah peningkatan daya beli dan masih tingginya dukungan pembiayaan konsumsi. Investasi tumbuh 4,27% yang dipengaruhi oleh permintaan dalam negeri yang masih cukup kuat dan masih kuatnya permintaan luar negeri. Sementara itu, dilihat dari strukturnya, komposisi sisi permintaan PDRB DIY tahun 2008 tidak mengalami banyak perubahan, konsumsi rumah tangga tetap memiliki pangsa terbesar (43,71%), diikuti komponen investasi sebesar 27,13%, komponen konsumsi Pemerintah sebesar 19,84% dan komponen lainnya sebesar 9,32%. Pada tahun 2008 nilai riil konsumsi rumah tangga tercatat sebesar Rp 8.397 miliar, atau tumbuh 3,25%, lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan yang terjadi pada tahun 2007 (2,17%). Faktor yang mempengaruhi tingginya konsumsi rumah tangga adalah masih tetap baiknya daya beli searah dengan peningkatan penghasilan masyarakat, baik karena kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) dan kenaikan gaji Pegawai Negeri Sipil (PNS), maupun perbaikan kinerja di sisi sektoral (termasuk tercermin dari peningkatan Nilai Tukar Petani/NTP). Untuk keseluruhan tahun, rata-rata peningkatan NTP 2008 lebih tinggi dari 2007. Beberapa indikator peningkatan konsumsi rumah tangga antara lain tercermin dari meningkatnya penggunaan kendaraan bermotor baik mobil maupun sepeda motor, konsumsi listrik rumah tangga dan penerimaan pajak pertambahan nilai (PPN) dan pajak penghasilan (PPh). Kenaikan pertumbuhan komponen konsumsi rumah tangga diikuti oleh kenaikan andilnya terhadap pertumbuhan PDRB dari 0,98% pada tahun 2007 menjadi 1,45% dalam tahun laporan. Sementara itu, pangsa konsumsi rumah tangga terhadap total PDRB DIY pada tahun laporan tercatat sebesar 43,71%, lebih rendah dibandingkan periode sebelumnya yang mencapai 44,49%. Nilai riil investasi pembentukan modal tetap domestik bruto (PMTDB) di DIY pada tahun 2008 tercatat sebesar Rp5.221 miliar, atau tumbuh 4,27%, lebih tinggi dibanding tahun 2007 (2,74%). Faktor yang mempengaruhi masih relatif lebih tingginya pertumbuhan investasi di DIY antara lain adalah permintaan dalam negeri dan luar negeri relatif stabil sampai dengan 120
Triwulan III-2008, walaupun memasuki Triwulan IV2008 mulai melambat. Komponen investasi masih memberikan andil yang cukup tinggi terhadap total pertumbuhan ekonomi DIY yakni sebesar 1,17%, meningkat dibanding periode sebelumnya. Investasi pada tahun 2008 terutama berasal dari masuknya investor luar negeri dengan jenis usaha yang dilakukan antara lain; pembangunan instalasi penangkap gas metan dan pembangunan pabrik pupuk kompos. Perkembangan investasi juga didukung oleh realisasi belanja modal Pemerintah yang cukup tinggi yaitu sebesar 90,94%. Pada kegiatan ekspor, berdasarkan negara tujuan, Amerika masih menempati peringkat tertinggi ekspor Indonesia. Ekspor ke Amerika memiliki pangsa 42% dari dari total ekspor atau senilai US$54,71 juta, turun 1,5% dibandingkan periode sebelumnya US$55,23 juta. Disusul negara Korea Selatan, Perancis dan Jepang masing-masing dengan pangsa 6,30% (US$8,20 juta), 6,11% (US$7,96 juta) dan 5,45% (US$7,10 juta). Dari tahun ke tahun pangsa ekspor negara Amerika Serikat terus mengalami penurunan. Menurut komoditasnya, ekspor pakaian jadi tekstil sebesar US$33,89 juta menguasai pangsa terbesar 26,02% dari total ekspor DIY. Disusul Mebel Kayu dengan nilai US$24,28 juta dengan pangsa 18,64% dari total ekspor DIY, selanjutnya sarung tangan kulit US$16,93 juta dengan pangsa 13,00% dari total ekspor DIY. Perkembangan impor DIY pada tahun 2008 mengalami peningkatan sebesar 18,97% atau mencapai US$50,71 juta dibandingkan periode sebelumnya sebesar US$42,62 juta. Peningkatan nilai impor ini terutama bersumber dari impor mesin foto kopi dengan nilai mencapai US$8,012 juta. Secara keseluruhan, pangsa komoditas impor terbesar masih berupa mesin (31,11%) dengan nilai US$15,77 juta, selanjutnya bahan baku susu (19,76%) dengan nilai US$10,02 juta, kemudian tekstil berada diposisi ketiga dengan pangsa 19,14% senilai US$9,7 juta. Perkembangan nilai PDRB Provinsi DIY menurut penggunaan diketahui bahwa komponen yang mempunyai tingkat pertumbuhan tertinggi adalah pengeluaran konsumsi Lembaga Swasta Nirlaba (LSN) yang mencapai 20,14% (2006), 16,61% (2007) dan 15,29% (2008). Komponen konsumsi lain yang
Anatomi Ekonomi Makro Regional,… (Ma’ruf : 114 – 125)
juga relatif besar tingkat pertumbuhannya adalah pengeluaran konsumsi pemerintah yaitu sebesar 7,60% (2006), 7,51% (2007) dan 11,89% (2008). Menurut BI (2009), tingginya peningkatan konsumsi pemerintah disebabkan oleh penyelesaian pekerjaan restrukturisasi pasca gempa. Untuk mengetahui peran masing-masing komponen pengeluaran baik PDRB Provinsi DIY dapat dihitung besarnya tingkat kontribusi masing-masing komponen tersebut. Secara konsisten pengeluaran konsumsi rumah tangga memberikan kontribusi yang terbesar terhadap pembentukan PDRB Provinsi DIY. Pada tahun 2005, 2006, 2007 dan 2008 dengan nilai kontribusi komponen tersebut masing-masing adalah sebesar 46,41%, 45,39%, 44,46%, dan 44,45%. Tiga komponen pengeluaran lain yang juga memberikan kontribusi cukup tinggi terhadap PDRB Provinsi DIY adalah ekspor-impor barang dan jasa serta PMTDB.
Kontribusi komponen pengeluaran PDRB Provinsi DIY tidak terlalu jauh dengan pengeluaran PDB Indonesia. Nilai kontribusi komponen pengeluaran konsumsi umah tangga terhadap PDB Indonesia pada tahun 2005, 2006, 2007 dan 2008 masing-masing, yaitu sebesar 59,62%, 58,30%, 57,61% dan 57,21%. Pola ini sebenarnya sudah menjadi pola tetap dalam pembentukan perekonomian Indonesia. Artinya, bahwa perekonomian Indonesia lebih ditopang pada pola perilaku konsumsi masyarakatnya. Analisis Shift-Share, SLQ dan DLQ
Kondisi sektoral dalam perekonomian Provinsi DIY dalam studi ini dianalisis dengan menggunakan tiga metode, yaitu metode Shift-Share (SS), Static Location Quotient (SLQ) dan Dynamic Location Quotient (DLQ). Hasil analisis shift-share berdasar-
Tabel 2. Kontribusi PDRB Provinsi DIY Berdasarkan Penggunaan (Harga Konstan 2000), 2005–2008 (%) Jenis Penggunaan
2005
2006
2007
2008
1. Pengeluaran Konsumsi RT
46,41
45,39
44,46
44,45
2. Pengeluaran Konsumsi LSN
1,45
1,68
1,88
2,06
3. Pengeluaran Konsumsi Pemerintah
18,09
18,77
19,34
20,61
4. Pembentukan Modal Tetap Bruto
26,46
27,74
27,32
25,68
5. Perubahan Stok
5,91
7,28
7,90
8,33
6. Ekspor Barang dan Jasa
44,16
41,79
42,05
42,94
7. Dikurangi Impor Barang dan Jasa
42,47
42,64
42,95
44,06
100,00
100,00
100,00
100,00
PDRB
Sumber: BPS Provinsi DIY dan Bapeda Provinsi DIY, Beberapa tahun (diolah).
Tabel 3. Nilai Shift-Share, SLQ dan DLQ PDRB Provinsi DIY Tahun 2003–2008 Lapangan Usaha 1. Pertanian 2. Penggalian 3. Industri pengolahan 4. Listrik dan air bersih 5. Konstruksi 6. Perdagangan, hotel & restoran 7. Pengangkutan & komunikasi 8. Keuangan, real estat & jasa perusahaan 9. Jasa-jasa
Shift-Share (SS)
SLQ
DLQ
2,31 16,25 -304,22 -11,15 130,63 -342,99 -528,45 -148,17 -326,45
1,29 0,08 0,53 1,35 1,37 1,23 1,65 1,02 1,88
1,04 1,71 0,66 0,80 1,42 0,73 0,38 0,74 0,69
Sumber: BPS Provinsi DIY (2003–2007); Berita Resmi Statistik BPS Provinsi DIY (2008); Bank Indonesia (2007), diolah.
JEJAK, Volume 2, Nomor 2, September 2009
121
kan PDRB Provinsi DIY tahun 2003 - 2008 dapat diketahui bahwa sektor konstruksi, penggalian dan pertanian relatif lebih kompetitif dibandingkan enam sektor lainnya yang memiliki nilai negatif. Hasil analisis SLQ, sesuai dengan Tabel-3 di atas, nampak bahwa hanya dua sektor yang bukan merupakan sektor basis di Provinsi DIY. Dengan nilai SLQ kurang dari 1, yaitu pada sektor penggalian dan sektor industri pengolahan (0,08 dan 0,53) dapat diartikan bahwa kedua sektor ini relatif kurang berperan dalam perekonomian Provinsi DIY. Sedangkan, tujuh sektor lain, yaitu: sektor jasa-jasa; pengangkutan dan komunikasi; konstruksi; listrik, gas dan air bersih; pertanian; perdagangan, hotel dan restoran; dan keuangan, persewaan, dan jasa perusahaan merupakan sektor basis dalam perekonomian Provinsi DIY. Nilai SLQ sektor-sektor tersebut menunjukkan bahwa sektor tersebut cenderung mengekspor produknya ke wilayah lain. Hasil analisis DLQ berdasarkan PDRB Provinsi DIY periode 2003–2008 menunjukkan hasil yang sejalan dengan hasil analisis shift-share. Nilai DLQ di atas satu dihasilkan oleh sektor penggalian, konstruksi dan pertanian dengan nilai berturut-turut adalah 1,71; 1,42; 1,04. Artinya, potensi perkembangan ketiga sektor tersebut lebih baik dibandingkan sektor yang sama di tingkat nasional. Penggabungan hasil analisis SLQ dan DLQ dapat menghasilkan pengelompokan sektor-sektor dalam perekonomian Provinsi DIY ke dalam empat kategori, yaitu unggulan, prospektif, andalan dan kurang prospektif (lihat Tabel-4). Sektor pertanian
dan konstruksi merupakan sektor unggulan. Terdapat lima sektor yang termasuk prospektif yaitu: sektor listrik dan air bersih; perdagangan, hotel & restoran; pengangkutan & komunikasi; keuangan, persewaan & jasa perusahaan; dan jasa-jasa. Sebagai sektor andalan adalah sektor penggalian. Sementara itu, berdasarkan hasil perhitungan SLQ dan DLQ, sektor pengolahan merupakan sektor yang kurang prospektif. Namun demikian, ada beberapa catatan penting terkait sektor industri pengolahan Provinsi DIY yang tidak bisa dikesampingkan, yaitu: a) Kontribusi sektor industri pengolahan terhadap perekonomian Provinsi DIY terbesar ke empat setelah sektor perdagangan-hotel-restoran, sektor pertanian dan sektor jasa-jasa. Kontribusi sektor industri pengolahan mencapai rata-rata 14,49% (2003–2007) dan Penyerapan tenaga kerja sektor ini dalam kurun waktu yang sama rata-rata mencapai 13,47% (peringkat keempat terbesar). Perhitungan Tipologi Klasen pada tabel-5, dilakukan dengan mengelompokkan sektor PDRB dengan melihat proporsi dan pertumbuhan terhadap reratanya. Data yang digunakan adalah rerata dan proporsi PDRB sektoral dari tahun 2003 sampai 2008. Dari pengelompokan tersebut dapat diperoleh hasil sebagai berikut: Sektor prima adalah perdagangan, hotel dan restoran; Sektor potensial adalah pertanian; industri pengolahan; dan jasa-jasa; Sektor berkembang/tumbuh adalah listrik dan air bersih; konstruksi; pengangkutan & komunikasi; dan keuangan., persewaan & jasa perusahaan; dan sektor terbelakang/kurang potensial adalah penggalian.
Tabel 4. Pemetaan Sektor Ekonomi di Provinsi DIY Berdasarkan Analisis SLQ dan DLQ Tahun 2003 – 2008 DLQ >1 Unggulan: Pertanian Konstruksi
>1
<1
Andalan: Penggalian
SLQ
<1 Prospektif:
Listrik & air bersih Perdag., hotel & restoran Pengangkutan & komunikasi Keuangan, real estat & jasa perush. Jasa-jasa
Kurang Prospektif: Industri pengolahan
Sumber: Hasil analisis
122
Anatomi Ekonomi Makro Regional,… (Ma’ruf : 114 – 125)
Tabel 5. Tipologi Klasen Ekonomi Provinsi DIY Rerata Kontribusi Sektoral thd PDRB
YSEKTOR ≥ YPDRB
Rerata Laju Pertumbuhan Sektoral
YSEKTOR < YPDRB
rSEKTOR ≥ rPDRB
Sektor prima: Perdagangan, hotel dan restoran
Sektor berkembang: Listrik dan air bersih; konstruksi; pengangkutan&komunkasi; keu,real estat &jasa perushn
rSEKTOR < rPDRB
Sektor potensial: Pertanian, industri pengolahan, jasajasa
Sektor kurang optimal: Penggalian
Sumber: Hasil analisis
Incremental Capital Output Ratio (ICOR)
Kegiatan investasi di Provinsi DIY terus meningkat. Pada tahun 2005, 2006, 2007 dan 2008 nilai investasi (PMDN dan PMA) di Provinsi DIY masing-masing sebesar Rp4,09 triliun, Rp4,02 triliun, Rp4,08 triliun dan Rp4,22 triliun. Untuk meningkatkan investasi, Pemda DIY berupaya melakukan pembenahan pelayanan sehingga Kota Yogyakarta termasuk daerah yang iklim investasinya berada di peringkat atas secara nasional. Sejak tahun 2007 juga dilakukan promosi dengan mengusung slogan ‘Jogja Invest’ guna meningkatkan daya tarik investasi daerah kota Yogyakarta di mata calon investor domestik maupun asing. Beberapa keunggulan kompetitif yang dimiliki daerah ini diantaranya: Stabilitas politik dan keamanan; Kualitas sumber daya manusia yang tinggi, tercermin dari persentase masyarakan terdidik, tersedianya tenaga kerja terampil dan angka rasio melek komputer (computer literate ratio) yang tertinggi di Indonesia; lokasi DIY yang strategis; biaya produksi rendah dan tingkat upah yang cukup kompetitif; dan Sarana dan prasarana yang memadai untuk kegiatan investasi. Pada tahun 2008, jumlah perusahaan yang berperan serta dalam PMDN mencapai 115 perusahaan dengan jumlah tertinggi ada di Kabupaten Sleman sebanyak 50 unit. Kondisi ini membawa konskuensi pada jumlah penggunaan tenaga kerja baik Indonesia (TKI) maupun asing (TKA). Sementara untuk PMA menurut kabupaten/kota pada tahun 2008 ada sebanyak 80 unit dengan jumlah perusahaan tertinggi di Kabupaten Sleman sebesar 41 perusahaan.
Tingginya pertumbuhan investasi juga disertai oleh perbaikan produktivitas kapital, seperti tercermin pada tren ICOR yang menurun. Kenaikan produktivitas kapital mengindikasikan tingkat imbal hasil dan efisiensi yang semakin baik. Perkembangan nilai ICOR Provinsi DIY pada tahun 2005–2008 menunjukkan nilai ICOR yang relatif tinggi yaitu pada kisaran 5,12–7,78. Nilai ICOR tertinggi dan terendah terjadi pada tahun 2006 dan 2008 masing-masing sebesar 7,78 dan 5,12. Sementara itu, perkembangan ICOR Indonesia cenderung lebih rendah dibanding propinsi DIY. Pada tahun 2005–2008 nilai ICOR nasional tertinggi dan terendah masing-masing yaitu sebesar 3,97 (2006) dan 3,58 (2007). Stabilitas Ekonomi
Perkambangan inflasi Indonesia dan Provinsi DIY pada tahun 2005–2008. Dilihat dari pergerakan datanya dapat diketahui bahwa tidak selalu tingkat inflasi Provinsi DIY di atas tingkat inflasi Indonesia. Sebagai contoh tingkat inflasi Provinsi DIY dan Indonesia pada tahun 2005 dan 2008 masing-masing adalah sebesar 14,98% (DIY) dan 17,11% (Indonesia); 9,88% (DIY) dan 11,4% (Indonesia). Artinya kondisi perekonomian di Propinsi DIY lebih setabil dibanding perekonomian nasional. Perkembangan harga-harga barang dan jasa secara umum di Kota Yogyakarta pada tahun 2008 relatif terkendali. Faktor penyebab utamanya antara lain adalah kenaikan harga minyak dunia yang diikuti dengan kenaikan harga BBM di dalam negeri dan kenaikan harga beberapa komoditas bahan pangan maupun non pangan dunia yang imbasnya juga dirasakan di dalam negeri. Berdasarkan kelompok
JEJAK, Volume 2, Nomor 2, September 2009
123
barang dan jasa, kelompok bahan makanan mengalami perubahan indeks tertinggi, yakni sebesar 14,87% diikuti oleh kelompok perumahan, air, listrik, gas & bahan bakar sebesar 13,60%. Selanjutnya kelompok makanan jadi, minuman, rokok & tembakau mengalami perubahan indeks sebesar 9,40%, kelompok sandang sebesar 8,36%, kelompok kesehatan sebesar 8,23%, kelompok pendidikan, rekreasi & olahraga sebesar 5,77% dan kelompok transpor, komunikasi & jasa keuangan sebesar 2,97%. SIMPULAN DAN SARAN
Anatomi makro ekonomi regional merupakan salah satu instrumen untuk rencana pengembangan dan arah kebijakan ekonomi daerah. Semakin komprehensif informasi untuk perencanaan ekonomi daerah diharapkan akan menciptakan kebijakan yang lebih kredibel. Dengan mengacu pada hasil analisis dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut: 1. Dinamika pertumbuhan ekonomi DIY sejalan dengan pertumbuhan ekonomi nasional, namun tingkat pertumbuhannya dalam lima tahun terakhir selalu di bawah pertumbuhan nasional, dengan rentang pertumbuhan antara 3,70% hingga 5,02%. 2. Sektor-sektor yang mempunyai kontribusi terbesar bagi perekonomian DIY adalah sektor perdagangan, hotel dan restoran (20,87% dan 21,33%) serta sektor pertanian (18,07% dan 18,17%). 3. Dari perhitungan ekonomi sektoral dengan menggunakan Tipologi Klasen dapat diketahui bahwa sektor-sektor yang potensial untuk dikembangkan adalah sektor pertanian, industri pengolahan dan jasa-jasa. Berdasarkan kesimpulan di atas dapat direkomendasi kebijakannya yaitu; bahwa dalam rangka mempertahankan tingkat pertumbuhan ekonomi yang sudah cukup produktif selama ini dapat dilakukan dengan cara mendorong produktivitas sektor prima serta sektor potensial, khususnya industri manufaktur dan industri kreatif. DAFTAR PUSTAKA
Bank Indonesia Yogyakarta, 2008, Laporan Perekonomian Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 2007. 124
Bank Indonesia Yogyakarta, 2008, Laporan Perkembangan Perekonomian Daerah Istimewa Yogyakarta Triwulan I-IV 2007. Bank Indonesia Yogyakarta, 2008, Laporan Perkembangan Perekonomian Daerah Istimewa Yogyakarta Triwulan I- IV 2008. BPS Provinsi DIY, 2008, Berita Resmi Statistik, BPS Provinsi DIY. BPS Provinsi DIY, 2007. D. I. Yogyakarta dalam Angka, 2006/2007. BPS Provinsi DIY, 2007, Produk Domestik Regional Bruto Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Menurut Penggunaan, 2002–2006. BPS, 2007, SAKERNAS. BPS Provinsi DIY dan Bapeda Provinsi DIY, 2008, Analisis Produk Domestik Regional Bruto Provinsi D. I. Yogyakarta, 2002-2007. BPS Provinsi DIY, 2008, Berita Resmi Statistik Provinsi DIY, No.17/05/34/Th.X, 15 Mei. BPS Provinsi DIY, 2008, Berita Resmi Statistik Provinsi DIY, No.25/07/34/Th.X, 01 Juli. Departemen Keuangan RI, 2008, Nota keuangan Dan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 16 tahun 2008: Tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 45 Tahun 2007 Tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2008. Long, J. Bradford De and Lawrence H. Summers, 1990, Equipment Investment and Economic Growth, August. Maurseth, Per Botolf (undated), Growth Theory and Philosophy of Science - A Comparison of NeoClassical and Evolutionary Perspectives, The Norwegian Institute of International Affairs. Paci, Raffaele, Francesco Pigliaru and Maurizio Pugno, 2001, Disparities in Economic Growth and Unemployment Across the European Regions: A Sectoral Perspective. XLI Annual Conference of the Società Italiana degli Economisti. March. Pacia, Pierella, Marcin J. Sasinb and Jos Verbeekc, 2004. Economic Growth, Income Distribution and Poverty in Poland During Transition. ABCDE Conference in Washington DC. April.
Anatomi Ekonomi Makro Regional,… (Ma’ruf : 114 – 125)
Saharuddin, Syahrul, 2006, Analisis Ekonomi Regional Sulawesi Selatan, Analisis. Maret. Vol 3 No. 1: 11-24 Sinha, Dipendra, 1999, Export Instability, Investment and Economic Growth in Asian Countries: A
Time Series Analysis. Economic Growth Center - Yale University. April.
Todaro, Michael P., 2000, Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga, Edisi Ketujuh, (Alih bahasa oleh Haris Munandar), Jakarta: Penerbit Erlangga.
JEJAK, Volume 2, Nomor 2, September 2009
125
NEOLIBERALISME: ANTARA MITOS DAN HARAPAN Etty Soesilowati Fakultas Ekonomi Univesitas Negeri Semarang email:
[email protected]
ABSTRACT Whether the government interference is necessary or not, has already everlasting theme in term of the history of economy policy. Most of people believed in vary of irrational myths that market mechanism would be able to guarantee productivity, privatization would increase efficiency, the government role should be restricted and most of all, everything should be liberated to the private sector. It is unavoidable that such policy contained certain implications. Deregulation policy that has been done so far, was one of the main factors of the bigger global policy that is liberalization of economy. However, does that global policy was really useful for the public? Does privatization bring into people prosperity? Didn’t globalization is only a myth that increased poverty and even huge gap between the have and the have not? This paper is trying to study what neo liberalism is, what the policies, what is the government role, the strategic sectors that is colonized by foreign companies and, how intellectual should make their manner. Keywords: Neo liberalism, Myths, Expectation. Isu tentang perlunya atau sebaliknya tentang tidak perlunya campur tangan pemerintah dalam perekonomian telah menjadi tema tetap dalam perbincangan mengenai kebijakan ekonomi sepanjang sejarahnya. Baik muda maupun tua, kaum terpelajar ataupun masyarakat kebanyakan telah percaya dengan berbagai mitos-mitos irasional bahwa mekanisme pasarlah yang mampu menjamin tingkat produktivitas, bahwa swastanisasi mampu menjamin efisiensi, bahwa peran negara harus dibatasi dan diserahkan semuanya pada swasta. Sudah barang tentu tidak bisa dielakan bahwa implementasi kebijakan tersebut tidak terlepas dari sejumlah implikasi dan komplikasi tertentu. Didalam antusiasme masyarakat menyambut dan mengkampanyekannya kurang terlihat bahwa kebijakan deregulasi hanya merupakan salah satu unsur utama dalam paket kebijakan yang lebih luas dan menglobal, yaitu liberalisasi ekonomi. Namun benarkah kebijakan yang mengglobal tersebut membawa keuntungan bagi masyarakat? Akankah swastanisasi membawa kesejahteraan? Tidakkah globalisasi ternyata hanyalah mitos belaka yang membawa pada kemiskinan dan kesenjangan yang luar biasa? Tulisan ini mencoba menelaah apa yang dimaksud dengan neoliberalisme, bentuk-bentuk kebijakannya, bagaimana peran negara, sektor-sektor strategis yang dikuasai asing, serta bagaimana seharusnya intelektual menyikapinya. 126
PENDAHULUAN Hampir tiap hari kita menyaksikan proses dehumanisasi dan pemiskinan terjadi di sekitar kita, baik melalui layar televisi maupun melalui kasat mata. Kaum miskin kota, fakir miskin dan anak jalanan yang seharusnya dilindungi dan dipelihara Negara, dikejar-kejar dan ditangkap serta diperlakukan layaknya seorang kriminal. Kekayaan Negara yang seharusnya digunakan untuk mensejahterakan rakyat dijual bahkan dikorupsi oleh segelintir orang. Pernahkan anda menyadari bahwa mulai bangun tidur, beraktivitas hingga tidur lagi semuanya dikuasai asing. Tengok saja ketika bangun tidur anda minum Aqua (74% sahamnya dikuasai Danone asal Perancis) atau minum teh Sariwangi (100% sahamnya milik Unilever Inggris), minum susu produk Sari Husada (82% sahamnya dikuasai Numico Belanda) atau bahkan susu Nestle (100% Australia). Begitu juga ketika mandi, sebagian besar memakai sabun, syampho, sikat gigi produk Unilever. Makan nasi, makan buah, minum manis pakai produk impor. Belum lagi tempe/tahu yang dipatenkan Jepang. Berangkat kerja memakai batik yang juga dipatenkan Malaysia, naik mobil, bus, motor atau bajai sekalipun semuanya bermerk milik asing. Dikantor pun segala ruangan menggunakan penyejuk merek asing beserta sarana dan prasarana kerja lainnya yang juga produk asing.
Neoliberalisme: Antara Nitos dan Harapan (Soesliowati : 126 – 134)
Mau belanja ke supermarket Carrefour milik Perancis, ke Alfa pun sudah menjadi milik Carrefour dengan penguasaan saham 75%, atau ke Giant hypermart milik Dairy Farm Internasional Malaysia yang juga pemilik saham supermarket Hero, atau malam-malam mencari cemilan ke Circle K yang merupakan waralaba asal Amerika Serikat. Mau menabung atau mengambil uang di bank swasta nasional (BCA, Danamon, BII, Bank Niaga) dan bank swasta lainnya yang hampir semuanya milik asing sekalipun masih tetap melekat nama bank swasta nasional dibelakangnya. Bangun rumah memakai semen Tiga Roda bikinan Indocement (61,70% milik Heidelberg Jerman), atau pakai semen Gresik yang sudah menjadi milik Cemex Mexico. Begitu juga semen Cibinong setali tiga uang 77,37% sahamnya dimiliki Holchim Swiss. (Swa, Juli 2006) Apabila disebut satu persatu, ketergantungan kita terhadap produk asing tentunya bakal panjang daftarnya dan memalukan. Di jaman keterbukaan ini tentunya kita tidak bisa menolak pengaruh dan terhindar dari perdagangan internasional. Bangsa Indonesia akan tertinggal jauh bahkan akan kesulitan secara ekonomi jika menolak dogma tersebut. Begitulah komentar banyak orang. Padahal, dengan kondisi kita seperti sekarang, sekalipun sudah banyak perusahaan asing bercokol di Indonesia, toh tetap saja Indonesia masih tetap tertinggal jauh dari negara tetangga. Bahkan ada yang berpendapat tidak masalah kepemilikan perusahaan lokal beralih menjadi milik orang asing, toh keberadaan mereka menyerap tenagakerja, menyumbang pajak, meningkatkan pertumbuhan ekonomi (dihitung berdasarkan PDB) dan segudang alasan lainnya. Boleh jadi di satu sisi alasan tersebut bisa dipahami, tetapi persoalannya apakah kita tidak prihatin melihat segala macam kebutuhan sehari-hari masyarakat telah dikuasai asing? Sudahkah dihitung berapa keuntungan yang dibawa orang asing dan berapa yang didistribusikan ke negara kita? Sebab, logikanya perusahaan asing tentu tidak mau bersusahpayah berinvestasi di Indonesia jika tidak meraup keuntungan yang besar. Patut disadari, persoalannya bukan menolak perdagangan global, bukan menolak perusahaan asing berinvestasi di Indonesia, melainkan bagai-
mana perusahaan asing dapat menguasai begitu dahsyat pasar di Indonesia sementara kita menjadi penonton. Kita saat ini dihadapkan pada situasi di mana terjadi pertarungan dan perebutan sumbersumber ekonomi antara korporasi global versus negara dengan dalih efisiensi. Anehnya lagi, semangat untuk menguasai sumber-sumber ekonomi ini dilaksanakan secara legal melalui penerbitan instrumen-instrumen perundang-undangan. Lebih jauh benarkah perdagangan bebas yang identik dengan konsep neoliberalisasi ini menguntungkan buat bangsa? ataukah hanya sebuah mitos? APA YANG DIMAKSUD NEOLIBERALISME? Neoliberalisme saat ini telah diterapkan menjadi kebijakan politik dan ekonomi Negara kita (Indonesia), namun kita perlu memahami bagaimana neoliberalisme beroperasi. Sebagai “the dominant discourse”, kebijakan yang berwatak neoliberal diyakini bagikan “agama baru” dan diamalkan secara sistemik dan struktural melalui mekanisme kebijakan baik di tingkat lokal, nasional maupun global. Membahas neoliberalisme akan sulit jika kita tidak menyinggung apa itu liberalisme. Paham liberalisme berkonotasi luas, dapat mengacu pada paham ekonomi maupun politik. Dalam sistem politik Amerika Serikat, liberalisme dipergunakan sebagai strategi untuk menghindarkan konflik sosial. Bagi kalangan orang miskin dan buruh Amerika, kata liberal dipahami lebih “progresif” dibandingkan dengan “konservatif”. Liberalisme asal mulanya merupakan bentuk perjuangan kaum borjuasi menghadapi konservatif. Dengan kata lain, liberalisme merupakan ideologi kaum borjuasi kota. Dalam arti luas, liberalisme adalah paham yang mempertahankan otonomi individu melawan intervensi komunitas. Liberalisme dapat terjadi pada sektor ekonomi ataupun sektorsektor lain. Liberalisme ekonomi berkembang menjadi neoliberalisme. Paham ini pada intinya memperjuangkan persaingan bebas (leissez faire), yakni paham yang memperjuangkan hak-hak atas pemilikan dan kebebasan individual. Mereka percaya kekuatan pasar dapat menyelesaikan masalah sosial ketimbang melalui regulasi Negara. Kata neo dalam neoliberalisme sesungguhnya merujuk pada bangkitnya kembali bentuk baru aliran
JEJAK, Volume 2, Nomor 2, September 2009
127
ekonomi liberal lama di mana pemerintah membiarkan mekanisme pasar bekerja. Pemerintah diharuskan melakukan deregulasi dengan cara mengurangi restriksi pada industri, mencabut hambatanhambatan birokratis perdagangan ataupun menghilangkan tarif demi menjamin terwujudnya free trade. Dengan demikian, liberalisme berkonotasi “bebas dari kontrol pemerintah”, termasuk kebebasan bagi kaum kapitalis mencari keuntungan sebesar-besarnya. Depresi ekonomi telah memunculkan John Maynard Keynes tampil dengan pemikiran alternatifnya. Ia mengembangkan teori yang menentang liberalisme dengan gagasan yang mempertahankan “full employment” buruh, karena buruh berperan strategis bagi perkembangan kapitalis. Untuk itulah pemerintah dan bank sentral harus dilibatkan untuk menciptakan lapangan kerja. Gagasan ini menyebabkan presiden Roosevelt mengembangkan program “New Deal” karena dianggap berhasil menyelamatkan rakyat Amerika. Sejak saat itulah peran negara dalam bidang ekonomi semakin menenggelamkan paham liberalisme. Namun, krisis kapitalisme selama 25 tahun terakhir dan juga semakin berkurangnya tingkat profitabilitas telah meneguhkan kembali tekad korporasi untuk kembali ke sistem liberalisme. Melalui “corporate globalization” mereka berhasil mengembalikan paham liberalisme berskala global. Paham neoliberalisme mulanya dikembangkan melalui “konsensus” yang dipaksakan. Arsitek tata dunia ini ditetapkan dalam suatu kesepakatan yang dikenal sebagai “The Neoliberal Washington Concensus”. Sepuluh formula dilontarkan oleh John Williamson yang kemudian disebut Washington Concensus. Pertama, disiplin fiskal di mana pemerintah negara berkembang diminta menjaga anggarannya agar tetap surplus. Namun, apabila sisi fiskalnya tertekan dapat ditoleransi mengalami defisit asalkan tidak lebih 2% dari Produk Domestik Bruto. Kedua, belanja pemerintah sebaiknya diprioritaskan untuk memperbaiki distribusi pendapatan. Pemerintah disarankan membiayai proyek-proyek dan program yang dapat menaikan pendapatan kelompok miskin. Ketiga, sektor fiskal perlu direformasi terutama dengan melakukan perluasan obyek pajak dan wajib pajak. Keempat, sektor finansial perlu diliberalisasi. Para penabung harus tetap mendapatkan suku bunga riil positif. Kelima, penentuan kurs mata uang seyog128
yanya dilakukan dengan mempertimbangkan daya saing dan kredibilitas. Kurs yang terlalu kuat seolaholah kredibel, tetapi memperlemah daya saing ekspor. Sebaliknya, jika kurs terlalu lemah akan meruntuhkan perekonomian. Keenam, perdagangan sebaiknya diliberalisasikan di mana pemerintah harus menghapus ekspor atau impor (barrier to entry and out) agar efisien. Ketujuh, hendaknya investasi asing tidak didiskriminasi. Investasi asing harus diperlakukan sama dengan investasi domestik, karena keduanya diperlukan untuk mendorong perekonomian dan membuka lapangan pekerjaan. Kedelapan, BUMN sebaiknya diprivatisasi dengan tujuan efisiensi dan membantu pembiayaan defisit APBN. Kesembilan, melakukan deregulasi dengan menghilangkan berbagai bentuk restriksi sehingga pasar kompetitif. Kesepuluh, pemerintah perlu menghormati dan melindungi hak cipta agar menumbuhkan iklim inovatif, (Prasetiantono, 2009) Dalam implementasinya formula ini dapat dirumuskan dalam pokok-pokok pendirian: pertama, biarkan pasar bekerja, termasuk membebaskan perusahaan swasta dari Negara apapun akibatnya. Penerapan keyakinan ini berupa pemberian kebebasan dan keterbukaan perdagangan internasional dan investasi asing, lenyapkan kontrol atas harga biarkan pasar bekerja tanpa distorsi. Semuanya mereka rumuskan dalam kredo “unregulated market is the best way to increase economic growth”. Keyakinan bahwa hanya melalui pasar bebas pertumbuhan bisa dicapai ini selanjutnya membawa ajaran trikle down efect dalam ekonomi sebagai upaya pemerataan. Keyakinan kedua, kurangi pemborosan dengan memangkas semua anggaran Negara yang tidak produktif seperti subsidi pendidikan, kesehatan dan jaminan sosial lainnya. Pemotongan segala yang berbau subsidi dalam implementasinya hanya merupakan retorika belaka karena kebijakan neoliberalisme justru memberikan subsidi besar-besaran pada perusahaan transnasional melalui program “tax benefit” maupun “tax holidays” Ketiga, neoliberalisme juga percaya pada regulasi ekonomi. Keyakinan ini diterapkan dengan mengurangi segala bentuk regulasi Negara terhadap kebebasan ekonomi karena regulasi mengurangi keuntungan. Dalam rangka itulah mereka percaya perlunya Bank Sentral yang independen.
Neoliberalisme: Antara Nitos dan Harapan (Soesliowati : 126 – 134)
Keempat, keyakinan terhadap privatisasi dengan menjaul semua perusahaan Negara kepada investor. Privatisasi ini termasuk sektor perbankan, industri strategis, transportasi, energi, sekolah, rumah sakit maupun sumber-sumber lain. Privatisasi dilakukan dengan alasan persaingan bebas menimbulkan efisiensi dan menghindari korupsi. Meskipun, hal tersebut ternyata mengakibatkan konsentrasi kapital di tangan sedikit orang dan memaksa rakyat kecil membayar lebih mahal atas kebutuhan dasar mereka. Kelima, hilangkan gagasan “barang publik”, paham sosial atau komunitas seperti “gotong-royong” serta berbagai keyalinan solidaritas sosial yang hidup di masyarakat dan kemudian diganti dengan paham “tanggungjawab individual”. Kondisi ini jelas menyebabkan masyarakat harus memecahkan problema hidup mereka seperti kesehatan, pendidikan, jaminan sosial serta masalah lainnya dengan upaya mereka sendiri yang kadang-kadang memberatkan mereka. BENTUK-BENTUK KEBIJAKAN NEOLIBERAL Setelah kita mengetahui apa itu neoliberalisme, maka perlu kita ketahui pula bagaimana neoliberalisme diterapkan dalam bentuk kebijakan ekonomi. Sejak dikembangkannya kesepakatan “The Bretton Woods”, dunia secara global sesungguhnya telah memihak dan didorong oleh kepentingan perusahaan transnasional (TNCs/Trans-Nasional Corporations) yang merupakan aktor penting globalisasi. Selain TNCs, aktor lain yang memainkan peran besar dalam globalisasi adalah lembaga financial internasional (IFIs) yang sering disebut juga “Multilateral Development Banks”. IFIs merupakan organisasi global yang beranggotakan negara maju, bertugas memberi hutang kepada negara miskin. Ada dua IFIs yang secara global dikenal yakni The World Bank dan Internasional Monetery Fund. Cara strategis untuk memaksakan berbagai agenda neoliberal tersebut adalah dengan menyertakan dalam persyaratan pemberian “utang” lembaga financial internasional (Bank Dunia/IMF) yang dikenal dengan “Structural Adjustment Program”. Dengan demikian, semua reformasi kebijakan yang dilakukan lebih dimaksudkan hanya sebagai pelicin “jalan” sehingga memudahkan perusahaan transnasional beroperasi.
Implikasi perubahan kebijakan nasional yang memihak kepentingan perusahaan transnasional ini tidak saja akan memarjinalkan petani dan pedagang kecil. Namun juga berhadapan dengan kepentingan dan nasib petani, nelayan, sektor informal serta masyarakat adat dalam hal perebutan sumberdaya alam. Salah satu contoh pilar dari globalisasi perekonomian neoliberal adalah privatisasi Badan Usaha Milik Negara. Privatisasi bersama dengan kebijakan neoliberal lainnya sesungguhnya merupakan salah satu ramuan kunci dari sistem ekonomi globalisasi. Diantara ciri-ciri ramuan kebijakan neoliberal itu adalah: pertama, paket kebijakan untuk melakukan deregulasi dan mengurangi atau menghilangkan hambatan terhadap bekerjanya korporasi meskipun harus mengorbankan rakyat. Kedua, kebijakan mengintegrasikan dan mengkonversikan ekonomi nasional ke dalam ekonomi yang berorientasi ekspor meskipun kebijakan tersebut harus mengorbankan lingkungan dan sistem sosial. Ketiga, kebijakan yang mendorong pertumbuhan ekonomi untuk tumbuh super cepat meskipun harus dengan mengeksploitasi sumberdaya alam tanpa mengenal batas. Keempat, kebijakan yang mendukung peningkatan konsentrasi korporasi secara dramatis. Kelima, kebijakan yang memangkas semua program pelayanan sosial, pelayanan kesehatan maupun perlindungan lingkungan. Keenam, kebijakan yang menggeser kekuasaan tradisional ataupun kebijakan yang melemahkan institusi demokratis pemerintah maupun komunitas lokal dan menggantikannya dengan birokrat korporasi global. Ketujuh, kebijakan mendorong homogenitasi budaya global dan kebijakan yang mendorong atau mempromosikan budaya konsumtif secara intensif. Akhirnya, ciri penting dari kebijakan neoliberal adalah kebijakan privatisasi dan komersialisasi layanan publik, sumberdaya alam yang seharusnya milik komunal seperti air, udara dan keanekaragaman hayati serta genetika. Ketujuh, ciri kebijakan neoliberal tersebut diterapkan dalam bentuk dan penggunaan istilah yang berbeda dari satu tempat ke tempat yang lain. Misalnya, privatisasi puskesmas menggunakan istilah “Puskesmas Mandiri”, demikian pula privatisasi perguruan tinggi dengan menggunakan istilah “Otonomi Kampus”, sehingga banyak mahasiswa yang merasa selama ini tidak ada otonomi senang menerimanya.
JEJAK, Volume 2, Nomor 2, September 2009
129
Privatisasi seolah-olah merupakan jalan untuk efisiensi, menyehatkan dan menyelamatkan perusahaan dari kebangkrutan. Bahkan seringkali privatisasi dilaksanakan dengan dalih memberantas korupsi, sehingga mendapat dukungan publik. Siapapun sependapat bahwa korupsi adalah kejahatan publik yang harus diberantas. Namun, privatisasi bukan jalan ke luar untuk memberantas korupsi. Bukanlah korupsi terbesar abad ini justru terjadi pada perusahaan-perusahaan transnasional?. Karakter lain dari neoliberalisme adalah penghargaan atas tanggungjawab personal dan inisiatif kewiraswastaan. Sebaliknya, negara atau pemerintah adalah masalah. Oleh karena itu, muncul gagasan menyingkirkan birokrat yang dianggap sebagai “parasit” ekonomi. Biarkan pasar menentukan harga. Dalam rangka mendukung bekerjanya mekanisme pasar, maka pemerintah tidak boleh ikut menjadi pemain ekonomi, apalagi dengan alasan mensubsidi atau memproteksi kaum miskin. Atas dasar pemikiran itulah negara harus menjual perusahaan kepada investor swasta baik dalam negeri maupun luar negeri. PERAN NEGARA DALAM LIBERALISME Sejak model pembangunan “developmentalisme” tahun 1930 an ditetapkan sebagai model alternatif pembangunan, negara diberi peran untuk menjadi aktor utama pengendali ekonomi dan politik. Namun, pada saat yang sama negara juga harus bertanggungjawab untuk melindungi, mensubsidi dan mensejahterakan masyrakatnya. Lebih lanjut negara bertanggungjawab untuk mencegah setiap bentuk pelanggaran HAM. Negara menetapkan bahwa “pembangunan” adalah hak asasi manusia (the rights to development). Oleh karenanya, peran negara sebagaimana ditetapkan oleh PBB adalah melakukan proteksi, prevensi dan promosi warga negara atas HAM. Negara melalui perusahaan negara, selanjutnya melakukan usaha untuk mensejahterakan rakyat seperti diamanatkan oleh konstitusi. Kekuasaan negara untuk mengontrol sumberdaya ekonomi saat inilah yang tengah digugat oleh paham neoliberalisme untuk melepaskan kembali kekuasaannya. Melalui kampanye privatisasi dan potong subsidi banyak negara saat ini tidak mampu lagi melaksa130
nakan amanat konstitusi. Agar negara tidak merasa bersalah karena melanggar amanat konstitusi, maka rezim pasar bebas mendesak negara untuk mengamandemen konstitusinya. Saat ini hampir semua yang dianggap menghalangi “pasar bebas” telah disingkirkan, termasuk amandemen UUD’45 yang berbunyi kekuasaan ekonomi Negara dan demi kesejahteraan rakyat telah dihapus. Ekonomi yang disusun berdasarkan prinsip efisiensi dianggap sebagai jalan menuju kemakmuran. Bersamaan dengan itu, juga dilakukanlah kampanye tentang neoliberalisme dengan memproduksi mitos-mitos liberalisme dan pasar bebas. Mitos-mitos tersebut meliputi: pertama, mitos bahwa dengan perdagangan bebas akan menjamin pangan murah dan kelaparan tidak akan terjadi. Kenyataannya, perdagangan bebas dibidang pangan justru menaikan harga pangan. Kedua, mitos bahwa WTO dan TNCs akan memproduksi pangan yang aman. Kenyataannya dengan rekayasa genetika dan penggunaan pestisida serta racun kimia justru membahayakan kehidupan manusia. Ketiga, mitos bahwa hak paten akan melindungi inovasi dan pengetahuan. Kenyataannya, paten dan hak kekayaan intelektual dibidang mikroorganisme dan “germ plasma” selain melegalisasi pencurian keanekaragaman hayati petani serta bibit dan menjualnya kembali pada petani demi keuntungan pribadi. Namun ironis, runtuhnya pembangunan dan paham state-led development tidak ditangisi oleh rakyat sama sekali. Bahkan banyak bukti yang menunjukan bahwa rakyat justru ikut merendahkan dan memasung kewenangan negara, institusi yang seharusnya menjadi pelindung rakyat. Namun demikian, kegembiraan tersebut tidak berlangsung lama, terlebih sejak Indonesia menjadi anggota WTO sekaligus menjadi pasien IMF dan meratifikasi sejumlah konvensi HAM PBB. Indonesia dipaksa oleh suatu mekanisme struktur global akibat jeratan hutang untuk meratifikasi konvensi-konvensi tarif dan perdagangan bebas di bawah perjanjian WTO di mana konvensi tersebut bertentangan secara prinsipil dengan semangat HAM. Proses menyesuaikan kebijakan ekonomi nasional untuk diintegrasikan ke dalam sistem ekonomi global yang berprinsip neoliberalisme ini yang disebut proses “globalisasi”. Banyak kebijakan neoliberal telah diimplementasikan di Indonesia. Misalnya saja keputusan untuk
Neoliberalisme: Antara Nitos dan Harapan (Soesliowati : 126 – 134)
mengubah kebijakan investasi asing yang telah diperlakukan sejak tahun 1974 merupakan contoh yang baik dari kebijakan neoliberal dalam investasi. Persetujuan bagi kepemilikan asing 100% yang ditetapkan dalam paket deregulasi investasi Juni 1994 menunjukan perubahan drastis dalam kebijakan investasi asing di Indonesia. Dalam periode 19952004 misalnya, Indonesia telah mengikat 1.341 tariff line untuk produk pertanian di WTO dengan rata-rata untuk pemotongan tariff mencapai 40%. Tujuan utama penurunan tariff ini pada dasarnya adalah untuk membuka akses pasar domestik Indonesia bagi masuknya produk-produk pertanian dan pangan dari luar negeri. Di bidang agraria misalnya, kebijakan yang erat kaitannya dengan pangan telah direformasi menuju kebijakan neoliberal. Banyak produk perundangundangan yang diciptakan demi untuk mendukung atau menciptakan iklim persaingan bebas. Misalnya, UU Pengairan No.11 Tahun 1974; UU Kehutanan No.41 Tahun 1999; UU Pelestarian Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya No.5 Tahun 1990; UU Sistem Budidaya Tanaman No.12 Tahun 1992; UU Pengelolaan Lingkungan Hidup No.23 Tahun 1997; UU Kesehatan No.23 Tahun 1992; dan UU Perlindungan Varietas Tanaman No.29 Tahun 2000 semuanya merupakan undang-undang yang menjamin untuk melindungi kepentingan perusahaan agribisnis yang menanamkan modal mereka dalam bidang pangan di negeri Indonesia ini. Kebijakan pangan yang mengatur pangan di Indonesia sebenarnya telah diatur dalam UU No.7 Tahun 1997. “Pangan” dalam undang-undang tersebut diartikan sebagai segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah, yang diperuntukan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan dan bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan dan atau pembuatan makanan dan minuman. Namun bagi petani istilah “kedaulatan pangan” atau kedaulatan rakyat atas pangan lebih mencerminkan cita-cita keadilan sosial dibanding dengan istilah “ketahanan pangan”. UU No.7 Tahun 1996 tentang pangan mendefinisikan ketahanan pangan sebagai “kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya,
aman, merata, dan terjangkau”. Dengan mudah di sini dapat dipahami bahwa hakekat pangan dalam undang-undang tersebut tidak lagi merupakan hak asasi manusia, akan tetapi pangan sudah dianggap sebagai komoditi. Undang-undang ini nantinya akan menjadi mesin pembunuh yang memusnahkan petani kecil dan menyingkirkan hak-hak ekonomi petani pangan kecil secara sistematis. SEKTOR-SEKTOR STRATEGIS DI BAWAH CENGKERAMAN ASING Suka tidak suka harus diakui bahwa sistem ekonomi Indonesia yang dikehendaki UUD 1945 adalah sistem ekonomi sosialis. Barangkali karena phobia menyebut sosialis, maka dipopulerkannya istilah pengganti yaitu “ekonomi kerakyatan” atau “demokrasi ekonomi”. Penegasan sistem ekonomi sosialis inipun tertera dalam pasal 33 UUD 1945. Namun ironisnya, sekalipun konstitusi kita mengusung pasal 33, toh dalam penerapannya masih jauh panggang dari api. Dengan kata lain, negeri Indonesia ini tidak pernah mengimplementasikan pasal 33 secara nyata. Misalnya, industri perbankan nasional bisa dibilang sebagai jangtungnya perekonomian nasional. Dengan dikuasainya industri perbankan nasional kita oleh investor asing, tentu dapat mengakibatkan perekonomian Indonesia dikuasai dan dikendalikan oleh pihak asing. Sejumlah bank swasta nasional baik bank papan atas maupun bank kecil kini telah dikuasai investor asing. Sebut saja BCA, Bank Niaga, Bank Permata, BII, Bank Danamon, Bank Lippo, Bank Panin, Bank NISP telah diambil alih manajemen asing melalui strategic sales. Namun, bukan cuma bank kelas kakap, bank-bank kecilpun telah dikuasai asing pula, seperti; Bank Swadesi sahamnya dibeli State Bank of India, Bank Halim Internasional dijual ke ICBC (Industrial & Commercial Bank of China), Bank Haga dan Hagakita dibeli Rabo Bank International (Belanda), Bank Indomonex dibeli State Bank of India, Bank ANK dibeli oleh Bank Commonwealth. Oleh karena itu rasanya lebih tepat jika kita menyebut mereka itu bank swasta asing dan bukan lagi bank swasta nasional. Adapun, akibat dari dikuasainya sektor perbankan oleh pihak asing menyebabkan perekonomian
JEJAK, Volume 2, Nomor 2, September 2009
131
kita didominasi asing. Jumlah dana masyarakat yang berhasil disedot bank-bank swasta milik asing mencapai Rp500,9 trilyun pada periode Agustua 2006, sedangkan bank-bank pemerintah hanya mampu menyedot Rp440,2 trilyun. Alhasil, mereka mempunyai kekuatan yang besar untuk mempengaruhi kebijakan perekonomian nasional kita (Tunggul Alam, 2009) Asumsinya sebagai investor asing tentunya nilai idealism untuk membantu perekonomian nasional mestinya lebih untuk tidak menyatakan tidak sama sekali. Indikator ini dapat dilihat dalam hal pengucuran kredit bagi usaha kecil menengah (UKM) yang hanya 6,8% dari total kredit yang disalurkan, sedangkan yang dikucurkan pemerintah mencapai 20%. Hal inimenunjukan kurang pedulinya bank-bank swasta nasional milik asing untuk membantu sektor UKM. Ironisnya kebijakan mereka lebih pada menyalurkan kredit-kredit konsumtif dengan berbagai promosi yang menyediakan hadiah gila-gilaan. Hal ini tentunya membutuhkan biaya operasional yang sangat besar. Lebih ironis lagi bank-bank swasta nasional milik asing ini kebanyak hanya menyalurkan 50% dana yang dihimpun dari masyarakat Indonesia. Artinya loan to deposit ratio (LDR) hanya 50%. Disinyalir dana mereka disimpan dalam bentuk Sertifikat Bank Indonesia (SBI). Mereka berharap bunga SBI masuk ke kantong mereka. Walhasil, BI harus membayar bunga trilyunan rupiah kepada mereka. Sebagai perbandingan, di negara-negara maju seperti Korea Selatan tiap-tiap cabang bankbank asing “wajib” menempatkan 25% dari protofolio kredit mereka kepada pengusaha kecil menengah. Sementara di Indonesia regulasi semacam ini tidak ada. Begitu juga di sektor infrastruktur telekomunikasi yang merupakan asset strategis bagi keamanan negara sehingga digolongkan sektor yang memenuhi hajat hidup orang banyak berdasarkan UU No.1 Tahun 1967. Tapi, anehnya justru kini sudah dikuasai asing. Industri telekomunikasi di Indonesia yang dalam konteks ini adalah operator seluler, semua kepemilikan sahamnya dikuasai pihak asing. Yang paling menghebohkan terjadi di penghujung tahun 2002 saat 41,94% saham Indosat dijual kepada STT Pte Ltd. Singapura. Ironisnya, pemerintah merasa bangga karena berhasil memasukan dana segar untuk mengisi kas negara. Padahal tak lama 132
kemudian, hanya dalam hitungan bulan ternyata jumlah deviden yang diterima STT sudah hampir sama dengan nilai nominal yang dikeluarkan untuk membeli saham pemerintah di Indosat. Kini ketika kita menggunakan ponsel dengan operator apapun ternyata sebagian besar sahamnya juga sudah dimiliki asing. Telkomsel yang merupakan operator seluler terbesar di Asia Tenggara, 35% sahamnya sudah milik Singapore Telecom (SingTel). Indosat yang memayungi Satelindo, IM3, Bimagraha sekitar 42% sahamnya dimiliki STT yang sebarisan dengan SingTel. Exelcomindo Pratama (XL) dikuasai Telecom Malaysia. Belum lagi kini investor Rusia di bawah bendera Alfa Telecom Internasional Mobile (ALTIMO) yang bernaung dibawah Alfa Group berencana menanamkan modalnya di bisnis telekomunikasi Indonesia. Tak tanggung-tanggung dana yang mereka siapkan 2 milyar dolar AS. Dengan digenggamnya infrastruktur telekomunikasi oleh negara lain, tentunya keterjaminan keamanan dan kelancaran informasi menjadi taruhannya. Sektor lain yang tak luput dari penguasaan swasta adalah sumberdaya kelistrikan. Daerah Jawa Bali, diperkirakan akan menjadi kota hantu. Malam hari gelap gulita, sedangkan siang hari akan terlihat pemandangan yang kacau balau. Lalulintas macet total, kegitan kantor terhenti, deru mesin pabrik terhenti, praktis kehidupan perekonomian mati. Begitulah kira-kira gambaran buruk yang bakal dihadapi penduduk di tahun 2010. Menurut data dari beberapa pembangkit tenaga listrik milik PLN yang khusus mensuplai kebutuhan Jawa-Bali pada tahun 2008 hanya berkapasitas 14.190 megawatt. Sementara kebutuhan puncak mencapai 14.600 megawatt. Dengan asumsi pertumbuhan permintaan suplai listrik rata-rata 10% per tahun, maka pada tahun 2010 PLN dipastikan tak bakal mampu melayani. Menyimak riwayat kelistrikan ini sejak tahun 1945 ditangani oleh negara dengan bentuk Jawatan Listrik dan Gas. Sejak tahun 1961 mulai dikembangkan menjadi BPU PLN dan 1964 dibentuk PLN dan Perusahaan Gas Nasional. Pada tahun 1972 PLN berstatus sebagai Perum yang kemudian diubah menjadi perusahaan perseroan pada tahun 1994. Pengelolaan listrik mengalami kekacauan ketika swasta mulai diperkenankan turut serta dalam bisnis
Neoliberalisme: Antara Nitos dan Harapan (Soesliowati : 126 – 134)
penyediaan listrik melalui Keppres No.37 Tahun 1992. PLN mulai bekerjasama dengan swasta melalui power purchase agreement yang mengharuskan PLN membeli 100% listrik yang dijual swasta kendati harga jual listrik swasta jauh lebih mahal ketimbang yang dijual PLN ke masyarakat. Melihat kondisi ini tak terbayangkan betapa berat beban PLN menanggung semua itu. Kewajiban PLN membeli listrik-listrik swasta sebesar 133,5 milyar dolar AS, belum lagi ditambah praktek-praktek korupsi yang parah serta kerugian yang ditanggung PLN akibat terdepresiasinya rupiah terhadap dolar AS. Kejadian berikutnya dapat diduga PLN akan menaikan tarif dasar listriknya, dan rakyatlah yang menanggungnya. Untuk itu kita perlu memahami isi Pasal 33 dengan melihat sisi filosofis dan sejarah lahirnya, dimana pendiri republik ini menjabarkan pasal 33 dengan meletakan azas: pertama, kegiatan ekonomi masyarakat harus didasrkan kepada rasa kebersamaan diantara anggota masyarakat. Kedua, azas “usaha bersama” ini harus berdasarkan semangat kekeluargaan yang saling menunjang dan saling menguntungkan diantara berbagai pelaku ekonomi. Ketiga, hal-hal yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemaknuran rakyat. Keempat, penguasaan negara dan penentuan bidangbidang yang menguasai hajat hidup orang banyak harus dilakukan melalui peraturan perundangundangan, kebijaksanaan dan pengaturan lainnya. Kelima, tidak diberikannya tempat kepada liberalisme dengan membuang jauh ciri free fight liberalism. Sistem ekonomi yang termuat pada pasal 33 diciptakan untuk mempersempit bahkan idealnya meniadakan adanya pertentangan dan kesenjangan kelas sosial dalam masyarakat. Kekuatan ekonomi sesuatu golongan atas golongan yang lain diganti dengan sistem kerjasama berdasar atas azas kekeluargaan. Selain itu, dalam konteks membangun sistem perekonomian Indonesia, maka pasal 33 harus selalu dikaitkan dengan pasal 27 ayat (2) dan pasal 34 UUD 1945. Meskipun begitu pasal 33 tetap menghendaki efisiensi, karenanya suatu kegiatan ekonomi harus ditentukan apakah akan diserahkan kepada swasta, negara atau campuran antara swasta dan pemerin-
tah dengan pengawasan negara. Sekalipun negara memegang peranan penting bukan berarti swasta tidak bisa berkembang. Justru sebaliknya, swasta harus dibiarkan berkembang, hanya saja harus diawasi agar tidak terjadi konsentrasi dan monopoli. Penguasaan kegiatan ekonomi oleh swasta harus dilihat fungsinya, terutama bagi kepentingan pemerintah dan masyarakat. Karena itu penggarapan dan pengelolaan yang dilakukan swasta bergantung pada rencana pemerintah. PENUTUP Refleksi, perenungan dan analisis yang tertuang dalam artikel ini akhirnya menyisakan suatu pertanyaan yang harus dijawab dan direnungkan bersama serta memerlukan tindakan lebih lanjut. Sejarah panjang yang telah dilalui bangsa ini mengharuskan untuk memikirkan ulang cita-cita sebagai bangsa, bahkan memikirkan ulang hakikat kita sebagai manusia Indonesia seutuhnya. Sadar atau tidak, terencana ataupun spontan, masyarakat telah terlibat dalam proses transformasi menuju dunia yang dikuasai oleh paham noeliberalisme. Melalui peran masing-masing individu, kita tengah memperebutkan wacana antara menyetujui, membiarkan atau mengiklaskan pembatasan peran negara dalam bidang sosial ekonomi maupun suatu paham “less government” (selanjutnya, istilah tersebut seringkali diungkapkan dengan istilah “good governance”). Sudah sering kita dengar banyak lembaga mengajukan strategi untuk menurunkan kemiskinan bangsa ini. Strategi penghapusan kemiskinan menghadapi kegagalan karena kesalahan menyimpulkan akar permasalahan, yakni bahwa penyebab kemiskinan terletak pada diri kaum miskin itu sendiri. Untuk memecahkan masalah kemiskinan kita harus berani melihat dari perspektif lain, yakni bahwa kemiskinan justru merupakan akibat dari suatu proses, kebijakan dan mekanisme institusional. Sebagai kaum intelektual, tugas kita memang bukan hanya sekedar memberi makna terhadap realitas sosial globalisasi, menguatnya neoliberalisme dan meratapinya. Tugas kita adalah ikut menciptakan sejarah dengan membangun gerakan pemikiran dan kesadaran kritis untuk memberi makna atas masa depan kita sendiri. Gerakan counter
JEJAK, Volume 2, Nomor 2, September 2009
133
hegemony harus disusun sebagai bagian dari strategi gerakan sosial merespon kebijakan neoliberal. Salah satu strategi taktis counter hegemony adalah mendekonstruksi dan mendomistifikasi mitosmitos neoliberal seperti mitos dan diskursus civil society, mitos produk makanan genetis hasil rekayasa genetika, mitos paten dan intellectual property rights dan mitos seputar privatisasi. Akhirnya, masih banyak pekerjaan rumah agar negeri ini berjaya. Pertama, mengembalikan negara untuk menjadi penjaga dan pelindung hak ekonomi, budaya dan sosial warga. Kedua, terus menerus melakukan protes sosial untuk mengubah kebijakan negara dan mencermati setiap kesepakatan negara dengan negara lain. Ketiga melakukan pengembangan kapasitas counter discourse and hegemony atas dominasi diskursus neoliberal terhadap demokratisasi, good governance dan civil society. DAFTAR PUSTAKA Amin, Samir, 1990, Capitalism in the age of Globalization: The management of contemporary Society, London: Zed Book.
134
Barnet, Richard J., and John Cavanagh, 1995, Global Dream: Imperial Corporation and The new World order, A touchstone Book, New York: Simon and Shuster Chomsky, Noam, 1999, Profit Over People, Neoliberalism and Global Order, New York: Seven Stories Press. Fakih, Mansour, 2003, Bebas dari Neoliberalisme, Yogjakarta: Insist Press. Nasbitt, J., 1994, Global Paradox, Jakarta: Binarupa Aksara Perkins, J., 2007, Pengakuan Bandit Ekonomi, Jakarta: Ufuk Press. Prasetiantono, A Tony, 2009, Neoliberalisme, Kompas, 27 Mei, hal.6 Redwood, J., 1989, Popular Capitalsm, London: Routledge Stiglitz, Joseph E., 2002, Globalization and Its Discontents, Penguin Book, Allen Lane. Tunggul Alam, W., 2009, Di bawah Cengkeraman Asing: Membongkar Akar Persoalan dan Tawaran Revolusi untuk Menjadi Tuan di Negeri Sendiri, Jakarta: Ufuk Press.
Neoliberalisme: Antara Nitos dan Harapan (Soesliowati : 126 – 134)
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KERAWANAN PANGAN RUMAH TANGGA MISKIN DI DESA WIRU KECAMATAN BRINGIN KABUPATEN SEMARANG Mardiana Ratna Sari 1 Bambang Prishardoyo 2 Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Semarang email:
[email protected]
ABSTRACT The aims of this study are for knowing the factors that influence the food crisis, for analyzing the influences of every variable under study, and for knowing the appropriate strategy to eradicate the food crisis. The population of this study is 612 families which suffer from the food crisis. Then, the sample is 86 families. It is collected by using Cluster Proportional Random Sampling Technique. The variables in this study are income, education, productive asset ownership and food crisis. The methods used in collecting the data are documentation and questioner. The methods for analyzing the data are multiple regression and SWOT analysis. Income, education and productive asset ownership simultaneously and strongly influence the families that suffer from food crisis in Wiru village. It can be seen from the result of F test which is 31 and its significance which is 0,00. Next, the coefficient of partial regression of income and food crisis is-0253, the coefficient of education is -0,531, the coefficient of productive asset ownership is -0,398 and its determination coefficient is 52%. The appropriate strategy used for eradicating food crisis should be a strategy of horizontal and stability integration. It focuses on the program that wants to be achieved and the program based on the families’ economic growth and power. The conclusions of this study are: (1) there is a negative influence between X and Y variables. It means that the higher the income, education and productive asset ownership of a family, the family will have smaller risk in suffering from food crisis (2) the strategy used for eradicating the food crisis is horizontal integration Keywords: Income, education, and productive asset ownership.
PENDAHULUAN12 Kerawanan pangan dan kemiskinan hingga saat ini masih menjadi masalah utama di Indonesia. Bahkan kerawanan pangan mempunyai korelasi positif dan erat kaitannya dengan kemiskinan. Berdasarkan data Dewan Ketahanan Pangan Nasional menunjukkan sebagian besar masyarakat mengalami defisit energi protein karena mengkonsumsi di bawah jumlah yang dianjurkan 2000 kkal per kapita dan 52 gram protein per kapita per hari. Sebanyak 127,9 juta jiwa atau 60 persen dari total populasi Indonesia mengkonsumsi energi 1.322-1.998 kkal/hari (Badan Ketahanan Pangan, 2006:1) Dari data Dewan Ketahanan Pangan Kabupaten Semarang juga dapat di ketahui bahwa jumlah 1 2
Sarjana Ekonomi Jurusan Ekonomi Pembangunan FE Unnes Dosen Jurusan Ekonomi Pembangunan FE Unnes
rumah tangga pra sejahtera karena alasan ekonomi di Kabupaten Semarang mencapai 44%, dengan rincian sebagai berikut jumlah rumah tangga yang didata sejumlah 233.916 rumah tangga, sedangkan rumah tangga prasejahtera karena alasan ekonomi sebanyak 101.956 rumah tangga. Angka ini menunjukkan jumlah keluarga pra sejahtera di wilayah Kabupaten Semarang masih tinggi. Kecamatan Bringin merupakan salah satu kecamatan yang angka rumah tangga prasejahteranya tinggi yaitu sebanyak 6.735 rumah tangga atau 71,73% dari jumlah KK yang didata yaitu sebanyak 12.250, setelah Kecamatan Bancak yaitu sebanyak 4.347 rumah tangga atau 82,68% dari jumlah KK yang didata yaitu sebanyak 6.058 Dilihat dari status gizi balita, data Dewan Ketahanan Pangan menunjukkan bahwa jumlah balita gizi kurang sebanyak 2.912 balita atau 5,7%
JEJAK, Volume, 2 Nomor 2, September 2009
135
dari jumlah balita yang ada di Kabupaten Semarang, sedangkan balita gizi buruk sebanyak 646 balita. Dari angka tersebut Kecamatan Bringin merupakan kecamatan yang tinggi jumlah balita dengan status gizi kurang. Sedangkan status gizi balita gizi buruk yang paling tinggi adalah Kecamatan Bancak, apabila dirata- rata status gizi balita yang angka gizi kurang dan gizi buruknya tinggi adalah Kecamatan Bringin dan Kecamatan Bancak Data Dewan Ketahanan Pangan menunjukkan kerentanan pangan yang terjadi di Kabupaten Semarang cukup tinggi, hal ini dilihat dari banyaknya daerah puso atau gagal panen dan bayaknya curah hujan per tahunnya. Kecamatan yang mengalami kegagalan panen terluas adalah Kecamatan Bancak yaitu sebanyak 172 hektar dan Kecamatan Bringin sebanyak 24 hektar dengan curah hujan yang rendah pula. Dilihat dari ketersediaan pangan di wilayah Kabupaten Semarang, Dewan Ketahanan Pangan Kabupaten Semarang menghitung jumlah ketersediaan pangan yaitu dengan membagi total produksi bahan makan bersih dalam hal ini produksi padi dan produksi jagung dengan banyaknya jumlah penduduk kemudian dibagi lagi dengan banyaknya hari dalam satu tahun (365 hari) maka dapat diketahui daerah yang defisit ketersediaan pangan yaitu Kecamatan Bringin dan Kecamatan Bancak. Tabel 1. Jumlah Buruh Tani di Kecamatan Bringin, Menurut Masing-masing Desa Jumlah Jumlah Penduduk buruh tani 1 Bringin 5.061 jiwa 232 orang 2 Popongan 1.953 jiwa 135 orang 3 Pakis 3.265 jiwa 721 orang 4 Lebak 1.566 jiwa 125 orang 5 Banding 3.175 jiwa 289 orang 6 Truko 3.077 jiwa 40 orang 7 Nyemoh 1.870 jiwa 305 orang 8 Tempuran 2.152 jiwa 45 orang 9 Wiru 2.841 jiwa 1.138 orang 10 Sendang 3.010 jiwa 385 orang 11 Gogodalem 3.592 jiwa 652 orang 12 Rembes 3.415 jiwa 297 orang 13 Kalikurmo 2.151 jiwa 251 orang 14 Sambirejo 3.818 jiwa 574 orang 15 Kalijambe 2.068 jiwa 336 orang 16 Tanjung 974 jiwa 120 orang Jumlah 43.987 jiwa 5.645 orang Sumber: Monografi Kecamatan Bringin Tahun 2006 No
136
Desa
Atas pertimbangan jumlah rumah tangga prasejahtera, status gizi balita, kerentangan pangan dan ketersediaan pangan maka Kecamatan Bringin dan Kecamatan Bancak ditetapkan sebagai Kecamatan Rawan Pangan. Berdasarkan Keputusan Bupati Semarang nomor 520/0187/2007 Desa Wiru ditetapkan sebagai desa Rawan Pangan. Dengan ditetapkannya Desa Wiru sebagai Desa Rawan pangan maka peneliti memilih desa Wiru sebagai lokasi penelitian. Berdasarkan Laporan DDRT Desa Wiru tahun 2007 (Tabel 2), Jumlah Rumah tangga miskin di desa Wiru sebanyak 612 rumah tangga dari 950 rumah tangga yang ada di desa Wiru (Kecamatan Bringin Dalam Angka, 2006:13). Sedangkan, mata pencaharian penduduk Desa Wiru sebagian besar sebagai buruh tani yaitu sebesar 1.138 dari 2.892 jumlah penduduk di Desa Wiru. Dengan tingginya jumlah buruh tani ini menunjukkan sedikitnya jumlah penduduk yang memiliki lahan. Dengan fenomena tersebut maka oleh Dewan Ketahanan Pangan Kabupaten Semarang Menetapkan bahwa Desa Wiru dan Desa Rejosari Kecamatan Bancak sebagai Desa rawan pangan. Fenomena tersebut dapat dilihat pada Tabel-1 dan Tabel-2. Tabel 2. Jumlah Keluarga Rawan Pangan di Desa Wiru No
Dusun
Jumlah
1 2 3 4 5 6
Dusun Krajan ( RW 01) Dusun Mojo (RW 02) Dusun Ngelo (RW 03) Dusun Pelem (RW 04) Dusun Jrebeng (RW 05) Dusun Kedunglaran (RW 06)
155 100 40 69 183 65
Jumlah Sumber : DDRT Desa Wiru tahun 2007
612
Setelah diketahui bahwa Desa Wiru Kecamatan Bringin Kabupaten Semarang merupakan desa rawan pangan maka tujuan penelitian ini untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kerawanan pangan rumah tangga miskin yang terjadi di Desa wiru dan strategi yang bisa digunakan untuk menanggulangi kerawanan pangan rumah tangga miskin di Desa Wiru. Dipilihnya rumah tangga miskin karena kerawanan pangan suatu daerah dibentuk dari kerawanan pangan rumah tangga. Sedangkan rumah tangga yang mengalami kerawanan pangan adalah rumah tangga miskin. Variabel yang diguna-
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kerawanan Pangan ... (Sari & Prishardoyo : 135 – 143)
kan sebagai faktor-faktor yang mempengaruhi kerawanan pangan rumah tangga miskin dalam penelitian ini adalah pendapatan, pendidikan dan kepemilikan aset produktif rumah tangga miskin karena faktor tersebut merupakan faktor yang saling berkaitan dan mempengaruhi kemiskinan. LANDASAN TEORI Rawan pangan adalah kondisi suatu daerah, masyarakat, atau rumah tangga yang tingkat ketersediaan dan keamanan pangannya tidak cukup untuk memenuhi standar kebutuhan fisiologis bagi pertumbuhan dan kesehatan sebagian besar masyarakatnya (Badan Ketahanan Pangan 2006:8) Suatu daerah dikatakan rawan pangan dapat diukur dengan banyaknya jumlah rumah tangga prasejahtera yang relatif masih banyak karena alasan ekonomi, status gizi masyarakatnya yang ditunjukkan oleh status gizi balitanya, ketersediaan pangan daerah dan kerentanan pangan. Kerawanan pangan rumah tangga pada penelitian ini dipengaruhi oleh tingkat pendapatan, tingkat pendidikan, dan kepemilikan aset produktif. Setelah diketahui pengaruh dari faktor–faktor tersebut kemudian dicari Strategi penanggulangan, sehingga diharapkan strategi tersebut mampu meningkatkan pendapatan, pendidikan dan kepemilikan aset produktif rumah tangga rawan pangan di Desa Wiru, Kecamatan Bringin, Kabupaten Semarang. Teori di atas dapat digambarkan dalam kerangka pemikiran sebagai berikut: Pendapatan
Pendidikan Kepemilikan aset produktif
Rawan Pangan rumah tangga miskin
Strategi penanggulangan kerawanan pangan
Gambar 1. Kerangka Berfikir Faktor–faktor yang mempengaruhi Kerawanan Pangan dan Strategi Penanggulangannya
METODE PENELITIAN Populasi dalam penelitian ini adalah sejumlah 612 rumah tangga warga miskin dan rawan pangan di desa Wiru, Kecamatan Bringin, Kabupaten Sema-
rang. Penentuan jumlah sampel dalam penelitian ini digunakan rumus: n=
N 1 + Ne 2
di mana: n adalah ukuran besarnya sampel yang digunakan, N besarnya populasi dan e adalah tingkat persen kelonggaran ketidaktelitian karena kesalahan pengambilan sampel yang pada penelitian ini digunakan 10% Selanjutnya, dengan diambilnya sampel sebanyak 86 rumah tangga rawan pangan di Desa Wiru Kecamatan Bringin Kabupaten Semarang yang diambil dengan teknik cluster random sampling, maka sudah dianggap representatif Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah; tingkat pendapatan rumah tangga rawan pangan, tingkat pendidikan keluarga rawan pangan, dan kepemilikan aset produktif rumah tangga rawan pangan sebagai variabel independen serta variabel kerawanan pangan rumah tangga miskin sebagai variabel independen. Sedangkan metode pengumpulan data dilakukan dengan metode angket, obserwasi dan wawancara. Selanjutnya data yang telah terkumpul dianalisis dengan menggunakan model regresi berganda bentuk OLS, yang telah dianggap lulus terhadap uji asumsi klasik. Di mana model regresi berganda yang dimaksud adalah sebagai berikut.
Y = α + β1 X 1 + β 2 X 2 + β 3 X 3 + μ i di mana Y adalah kerawanan pangan rumah tangga miskin, X1 adalah tingkat pendapatan, X2 tingkat pendidikan dan X3 adalah kepemilikan aset produktif, sementara itu, µ1 adalah residu. Selain itu, data yang telah terkumpul juga dianalisis dengan menggunakan teknik analisis SWOT. HASIL DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil analisis model regresi linear yang diolah dengan program SPSS for windows release 12, maka diperoleh hasil seperti pada Tabel 3 berikut. Berdasarkan hasil regresi pada Tabel 3 di atas dapat ditarik garis persamaan regesi sebagai: Y = 20,955 - 0,253X1 - 0,531X2 - 0,398X3. Selanjutnya, model persamaan regresi tersebut mempunyai makna sebagai berikut:
JEJAK, Volume, 2 Nomor 2, September 2009
137
1) Konstanta = 20,955
akan menyebabkan penurunan kerawanan pangan di Desa Wiru, Kecamatan Bringin, Kabupaten Semarang sebesar sebesar 0,531 satuan.
Jika variabel pendapatan, pendidikan dan kepemilikan aset produktif = 0 maka kerawanan pangan di Desa Wiru, Kecamatan Bringin, Kabupaten Semarang sebesar 20,955 satuan
4) Koefisien (X3) Kepemilikan Aset produktif = -0,98 Jika kepemilikan aset produktif mengalami peningkatan sebesar satu satuan, sementara pendidikan dan pendapatan dianggap tetap maka akan menyebabkan penurunan kerawanan pangan di Desa Wiru, Kecamatan Bringin, Kabupaten Semarang sebesar -0,98 satuan
2) Koefisien X1 (Pendapatan) = -0,253 Jika pendapatan mengalami peningkatan sebesar satu satuan, sementara tingkat pendidikan dan kepemilikan aset produktif dianggap tetap, maka akan menyebabkan penurunan kerawanan pangan di Desa Wiru, Kecamatan Bringin, Kabupaten Semarang sebesar 0,253 satuan
Selain itu, perlu dikaji bagaimana pengaruh variabel independen tingkat pendapatan, pendidikan dan kepemilikan aset produktif secara bersamasama mempengaruhi kerawan rumah tangga miskin rawan pangan di daerah penelitian. Berdasarkan hasil uji F tersebut diperoleh hasil seperti pada Tabel 4.
3) Koefisien X2 (Pendidikan) = -0,531 Jika pendidikan mengalami peningkatan sebesar satu satuan, sementara pendapatan dan kepemilikan aset produktif dianggap tetap, maka
Tabel 3. Hasil Analisis Regresi Berganda Coefficients a Unstandardized Coefficients Model
B
Std. Error
(Constant) 20.955 Tingkat Pendapatan -.253 Tingkat Pendidikan -.531 Kepemilihan Aset Produktif -.398
1
Standardized Coefficients Beta
.640 .066 .137 .127
t 32.764 -3.820 -3.877 -3.130
-.356 -.326 -.267
Sig. .000 .000 .000 .002
a. Dependent Variable: Kerawanan Pangan
Tabel 4. Hasil uji F statistis ANOVA b Model 1
Sum of Squares
df
Mean Square
Regression
128.466
3
42.822
Residual
110.789
82
1.351
Total
239.256
85
F 31.695
a. Predictors: (Constant), Kepemilihan Aset Produktif, Tingkat Pendidikan, Tingkat Pendapatan b. Dependent Variable: Kerawanan Pangan
Model Summary b Model
R
1
.733 a
R Square
Adjusted R Square
.537 .520 a. Predictors: (Constant), Kepemilihan Aset Produktif,
Std. Error of the Estimate 1.16236
Tingkat Pendidikan, Tingkat Pendapatan b. Dependent Variable: Kerawanan Pangan
138
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kerawanan Pangan ... (Sari & Prishardoyo : 135 – 143)
Sig. .000 a
Hasil perhitungan dengan menggunakan program SPSS versi 12.0 for Windows dapat diketahui bahwa F hitung 31.695 dengan nilai probabilitas 0,00. Karena nilai probabilitas lebih kecil dari 0,05 maka Ho ditolak dan Ha diterima. Jadi dapat dikatakan bahwa ada pengaruh yang signifikan antara pendapatan (X1), pendidikan (X2), kepemilikan aset produktif (X3) secara bersama-sama terhadap kerawanan pangan (Y). Selain itu, berdasarkan hasil analisis SWOT dapat ditentukan berbagai upaya atau strategi penanggulangan kerawanan pangan dan kemiskinan di Desa Wiru, Kecamatan Bringin, Kabupaten Semarang. Dalam menganalisis peramsalahan tersebut melalui model SWOT dapat dilakukan dengan lebih mudah melalui aspek internal dan eksternal seperti nampak pada Tabel 5 dan Tabel 6. Berdasarkan Tabel 5 dan Tabel 6 di atas, dike-
tahui besarnya nilai skor faktor strategis Internal 2,69, dana dari faktor eksternal sebesar 2,86. Artinya, strategi untuk mengatasi kerawanan pangan lebih banyak dipengaruhi oleh faktor eksternal. Selanjutnya, jika nilai strategi internal dan eksternal kita padukan, sehingga menandakan strategi internal desa ini pada pertumbuhan rata-rata. Sedangkan, fator strategis eksternal 2,86 artinya strategi eksternal desa masih dalam tingkat pertumbuhan. Faktor strategi internal-eksternal yang tergambarkan pada matrik di atas akan semakin jelas jika dimasukkan ke dalam matrik internal dan eksternal dengan titik koordinat terletak pada daerah pertumbuhan V seperti ditunjukan pada gambar-2 di bawah ini, Matriks (Rangkuty, 2006:25). Selanjutnya, berdasarkan ketentuan ini, maka dalam kasus ini berarti strategi pemecahan masalah harus melalui intergrasi horizontal.
Tabel 5. Faktor-Faktor Strategi Internal Faktor-faktor Strategi internal Kekuatan:
Bobot
Rating
Skor
Komentar
1. Sumberdaya alam potensial
0,17
3
0,51
Hendaknya bisa diolah dan dimanfaatkan secara maksimal
2. Rumah tangga mempunyai banyak tenaga kerja
0.19
4
0,76
Banyaknya tenaga kerja harus diikuti dengan peningkatan kemampuan SDM pula
3. masyarakat mempunyai rasa gotong royong tinggi
0,18
3
0,54
Walaupun kesadaran tinggi namun masih kesulitan menentukan cara untuk mengatasi kerawanan pangan
4. Keterbukaan terhadap inovasi tinggi
0.17
3
0,51
Hal yang penting dalam menerima programprogram baru dari pemerintah
1. Rumah tangga kertagntung pada usaha pertanian
0,07
1
0,07
Sektor lain menjadi tidak berkembang
2. Pemanfaatan lahan belum optimal
0,07
1
0,07
Karena keterbatasan teknologi dan kemampuan masyarakat masih rendah
3. Kemampuan SDM rendah
0,07
1
0,07
Rendahnya kemampuan SDM dikarenakan ketidaka mampuan masyarakat untuk mendapatkan layanan pendidikan
4. Kepemilikan lahan rata-rata rendah
0,08
2
0,16
Rata-rata masyarakat desa wiru hanya sebagai buruh tani
TOTAL
1,00
Kelemahan:
2,69
JEJAK, Volume, 2 Nomor 2, September 2009
139
Tabel 6. Faktor-Faktor Strategi Eksternal Faktor-faktor Strategi eksternal
Bobot
Rating
Skor
Komentar
Peluang: 1. Adanya lembaga penyedia permodalan dan sarana produksi
0,17
3
0,51
Harus bisa dimanfaatkan sebaik- baiknya karena sangat membantu masyarakat
2. Kelembagaan masyarakat desa yang mendukung
0,18
4
0,72
Lembaga masyarakat juga sangat berperan penting dalam mewujudkan ketahanan pangan dalam masyarakat
3. Adanya program dari pemerintah (BLT, raskin, BOS)
0,18
3
0,54
Sangat membantu masyarakat
4. Akses transportasi mudah
0,18
4
0,72
Dengan transportasi yang mudah maka membantu masyarakat dalam melakukan hubungan dengan masyarakat luar
Ancaman: 1. Semakin meningkatnya harga kebutuhan pokok
0,07
1
0,07
Hal ini semakin memperkeruh keadaan dan menambah beban masyarakat
2. Tidak stabilnya harga-harga produksi
0,07
1
0,07
Perlu adanya informasi pasar agar masyarakat dapat mengetahui apa yang diinginkan pasar
3. Penurunan daya dukung lahan
0,07
1
0,07
Jumlah lahan yang semakin memberatkan masyarakat untuk berproduksi.
4. Sempitnya lapangan kerja
0,8
2
0,16
Inilah yang memyebabkan tingginya angka pengangguran
TOTAL
2,86 Total Skor Faktor Strategi Internal Kuat 4.0 Tinggi
3.0 Total skor faktor S trategis Eksternal menengah 2.0
Rata -rata 3.0
Lemah 2.0
1.0
I Pertumbuhan
II Pertumbuhan
III Penciutan
IV Stabilitas
V Pertumbuhan Stabilitas
VI Penciutan
VII Pertumbuhan
VIII Pertumbuhan
IX Likuidasi
Rendah 1.0
Keterangan : I : Strategi konsentrasi melalui integrasi vertikal II : Strategi konsentrasi melalui integrasi horisontal III : Strategi turnaround IV : Strategi stabilitas V : Strategi konsentrasi melalui integrasi horisontal atau stabilitas (tidak ada perubahan dalam pendapatan)
VI : Strategi divestasi VII : Strategi diversifikasi VIII : Strategi diversifikasi konsentrik IX : Strategi likuiditas (tidak berkembang)
Gambar-2. Internal – Eksternal Matriks
140
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kerawanan Pangan ... (Sari & Prishardoyo : 135 – 143)
Matrik-matrik di atas dipergunakan untuk mengetahui strategi yang tepat untuk menanggulangi kerawanan pangan rumah tangga miskin di Desa Wiru, Kecamatan Bringin, Kabupaten Semarang. Dari matrik di atas diketahui bahwa skor untuk strategi eksternal adalah dan skor 2,86 sedangkan untuk strategi internal adalah 2,69 dan dapat dilihat dalam matrik IE terdapat dalam pertumbuhan V yaitu strategi konsentrasi melalui integrasi horisontal atau stabilitas adalah suatu kegiatan untuk mengatasi kerawanan pangan dengan cara mengadakan konsentrasi pada program yang ingin dicapai, dengan berdasarkan kekuatan atau pertumbuhan dari rumah tangga itu sendiri Dari hasil penelitian, regresi yang diperoleh yaitu Y=20,955 - 0,253X1 - 0,531X2 - 0,398X3. artinya jika tingkat pendapatan, tingkat pendidikan dan kepemilikan aset naik 1 skor maka kerawanan pangan akan turun sebesar 0,253X1 - 0,531X2 - 0,398X3 demikian juga sebaliknya jika tingkat pendapatan, tingkat pendidikan dan kepemilikan aset turun 1 skor maka akan terjadi kerawanan pangan sebesar 0,253X1 - 0,531X2 - 0,398X3. Koefisien regresi parsial antara pendapatan dengan kerawanan pangan di Desa Wiru, Kecamatan Bringin Kabupaten Semarang sebesar -0,253, koefisien regresi parsial antara pendidikan dengan kerawanan pangan di Desa Wiru, Kecamatan Bringin, Kabupaten Semarang sebesar -0,531, dan koefisien regresi parsial antara kepemilikan aset produktif dengan kerawanan pangan di Desa Wiru, Kecamatan Bringin, Kabupaten Semarang sebesar 0,398. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa secara bersama-sama pendapatan, pendidikan dan kepemilikan aset produktif berpengaruh terhadap kerawanan pangan di Desa Wiru, Kecamatan Bringin, Kabupaten Semarang dibuktikan dari hasil uji F sebesar 31, 695 yang memperoleh signifikansi 0,00. Secara parsial pendapatan berpengaruh terhadap kerawanan pangan sebesar-3,820 dengan tingkat signifikansi sebesar 0,00. Pendidikan berpengaruh terhadap kerawanan pangan sebesar -3877 dengan tingkat signifikansi sebesar 0,00. Sedangkan kepemilikan aset produktif juga berpengaruh terhadap kerawanan pangan sebesar -3,130 dengan tingkat signifikansi sebesar 0,02. dengan ini dapat
diketahui bahwa masing- masing variabel bebas berpengaruh terhadap variabel terikat. Selanjutnya, Tingkat pendapatan yang semakin rendah menyebabkan tingkat kerawanan pangan semakin tinggi hal ini sesuai dengan komponen kondisi kerawanan pangan menurut FAO dan UU No. 7 tahun 1996 tentang pangan dimana kondisi rawan pangan ditunjukkan dengan rumah tangga tidak mempunyai akses ekonomi (penghasilan tidak memadai atau harga pangan tidak terjangkau) untuk memperoleh pangan yang cukup baik kuantitas maupun kualitas hal ini disebabkan karena rumah tangga rawan pangan mempunyai daya beli yang rendah. Umumnya keluarga yang mempunyai penghasilan rendah mempergunakan sebagian besar pendapatannya untuk membeli makanan dan tentu jumlah uang yang dibelanjakan juga rendah, dengan demikian besarnya pendapatan menentukan daya beli rumah tangga terhadap pangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata- rata penghasilan rumah tangga rawan pangan antara Rp 200.000- Rp 350.000 per bulan sedangkan besarnya pengeluaran untuk kebutuhan pangan per hari sebanyak 57% responden menjawab antara Rp 5.00010.000 dari hasil ini dapat diketahui bahwa sebagian besar pendapatan yang diperoleh oleh rumah tangga rawan pangan digunakan untuk membeli bahan makanan. Dengan demikian maka tingkat pendapatan berpengaruh terhadap kerawanan pangan di Desa Wiru, Kecamatan Bringin, Kabupaten Semarang. Tingkat pendidikan yang semakin rendah menyebabkan angka kerawanan pangan akan semakin tinggi hal ini seperti teori Suhardjo,(2008). yang menyatakan bahwa kerawanan konsumsi pangan dipengaruhi oleh rendahnya tingkat pendidikan di mana perilaku konsumsi makanan seseorang atau keluarga sangat erat dengan wawasan atau cara pandang yang dimiliki. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka pengetahuan tentang gizi juga akan tinggi, selain itu tingkat pendidikan yang rendah juga akan berpengaruh terhadap usaha rumah tangga dalam mendapatkan mata pencaharian yang layak, umumnya masyarakat yang tingkat pendidikannya rendah adalah masyarakat yang tingkat pendapatannya rendah, sehingga kemampuan daya beli terhadap pangan juga rendah.
JEJAK, Volume, 2 Nomor 2, September 2009
141
Hasil penelitian menunjukkan sebesar 54,65% keluarga rawan pangan yang menjadi responden tingkat pendidikannya adalah SD, sedangkan 35,5% tidak sekolah atau tidak lulus SD, 8,14% lulus SMP dan 1,16% lulus SMA dengan demikian menunjukkan bahwa tingkat pendidikan berpengaruh terhadap kerawanan pangan di Desa Wiru, Kecamatan Bringin, Kabupaten Semarang. Selain itu, aset adalah sumber daya ekonomi yang dimiliki masyarakat dan mempunyai manfaat ekonomi dan sosial yang dihitung dalam satuan uang, adapun aset produktif yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah lahan pertanian, kendaraan, ternak serta peralatan lainnya yang menghasilkan pendapatan. Kepemilikan aset produktif yang semakin rendah akan menyebabkan kerawanan pangan yang lebih tinggi, kepemilikan aset produktif lebih mengarah pada tingkat pendapatan rumah tangga, bila pendapatan rendah maka daya beli terhadap pangan juga rendah, dimana menurut (suryana, 2003:94) rumah tangga miskin atau dalam penelitian ini rumah tangga rawan pangan terbentuk apabila dengan aset yang dimiliki tidak mampu menghasilkan pendapatan. Hasil penelitian menunjukkan sebanyak 39,53% rumah tangga rawan pangan tidak memiliki aset produktif, 31,4% memiliki 1 jenis aset produktif dari yang disebutkan diatas tadi, 22,09% mempunyai 2 jenis aset produktif dan 1,16% mempunyai 3 aset produktif. Dengan demikian kepemilikan aset produktif berpengaruh terhadap kerawanan pangan di Desa Wiru, Kecamatan Bringin, Kabupaten Semarang. Hasil dari model summary pada Tabel 4 diperoleh nilai R=0,52. Hal ini menunjukkan pengertian bahwa kerawanan pangan (Y) dipengaruhi sebesar 52 % oleh variabel pendapatan (X1), variabel pendidikan (X2), dan variabel kepemilikan aset produktif (X3), sedangkan sisanya (100%-52%=48%) dipengaruhi faktor lain yang tidak dibahas dalam penelitian ini. Pengaruh antara pendapatan, pendidikan, dan kepemilikan aset produktif terhadap kerawanan pangan di Desa Wiru, Kecamatan Bringin, Kabupaten Semarang adalah pengaruh negatif yang ditunjukkan dari harga-harga koefisien regresi maupun koefisien korelasi yang bertanda negatif. Dengan demikian dapat dijelaskan bahwa jika variabel pendapatan, pendidikan dan kepemilikan aset pro142
duktif ditingkatkan maka akan diikuti dengan menurunnya angka kerawanan pangan di desa Wiru, Kecamatan Bringin Kabupaten Semarang. dan sebaliknya, jika variabel pendapatan, pendidikan dan kepemilikan aset produktif menurun maka akan diikuti dengan meningkatnya angka kerawanan pangan di Desa Wiru, Kecamatan Bringin, Kabupaten Semarang. SIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut. Secara bersama-sama pendapatan, pendidikan dan kepemilikan aset produktif berpengaruh terhadap kerawanan pangan di Desa Wiru Kecamatan Bringin Kabupaten Semarang. Kontribusinya sebesar 52% dan sisanya 48% tidak diteliti dalam penelitian ini. Besarnya koefisien regresi parsial antara tingkat pendapatan dengan kerawanan pangan di Desa Wiru sebesar -0253, tingkat pendidikan sebesar -0531, kepemilikan aset produktif sebesar -0,398. Hubungan diantara variabel X dengan variabel Y adalah negatif. Selain itu, strategi yang digunakan untuk mengatasi kerawanan pangan adalah strategi horizontal. DAFTAR PUSTAKA
Arifin, Bustanul, 2001, Spektrum Kebijakan Pertanian Indonesia Telaah Struktur, Kasus, dan Alternatif Strategi, Jakarta:Erlangga Amar, Syamsul, 2002, Kajian Kemiskinan di Pedesaan Propinsi Sumatera Barat, Jurnal Ekonomi Pembangunan. Vol 7, No.2. hal. 139154. Badan Ketahanan Pangan, 2006, Pedoman Umum Program Aksi Desa Mandiri Pangan (MAPAN). Depatemen Pertanian Badan Ketahanan Pangan, 2007, Pedoman Operasional Program Aksi Desa Mandiri Pangan. Depatemen Pertanian Baliwati, 2001, Model Evaluasi Ketahanan Pangan Rumah Tangga Petani Desa Sukajadi Kecamatan Ciomas Kabupaten Bogor (http://pse.litbang.deptan.go.id/ind/pdffiles/Mono 26-2.pdf) 4 Agustus 2008 BPS, 2006, Kabupaten Semarang Dalam Angka Provinsi Jawa Tengah: BPS
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kerawanan Pangan ... (Sari & Prishardoyo : 135 – 143)
BPS, 2006, Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten Semarang, Kabupaten Semarang:BPS
Perencanaan Strategi Untuk Menghadapi Abab 21, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Djamali, Abdoel, 2000, Manajemen Usaha Tani, Departemen Pendidikan Nasional: Politeknik Pertanian Negeri Jember Jurusan Manajemen Agribisnis
Soetrisno, Noer, 2005, Strategi Pembangunan Ketahanan Pangan, Jurnal Pangan, Semarang: Perusahaan Umum BULOG
Hardiansyah, 1996, Konsep Ketahanan Pangan Rumah Tangga (http://damandiri.or.id./file/wahidipbtinjauan.pdf di ases 19 Juni 2008 Khomsan, Ali dkk., 2004, Pengantar Pangan Dan Gizi. Jakarta: Penebar Swadaya Nainggolan, Kaman, 2005, Peningkatan Ketahanan Pangan Masyarakat, Jurnal Pangan, Semarang: Perusahaan Umum BULOG. Maxwell dan Frankenberger, 1992 Konsep Ketahanan Pangan Rumah Tangga (http://damandiri.or.id./file/wahidipbtinjauan.pdf) 19 Juni 2008
Suhardjo, 2008, Konsep Ketahanan Pangan Rumah Tangga (http://damandiri.or.id./file/wahidipbtinjauan.pdf 19 Juni 2008 Sukandar, 2001, Konsep Ketahanan Pangan Rumah Tangga (http://damandiri.or.id./file/wahidipbtinjauan.pdf 19 Juni 2008 Suryana, Achmad, 2003, Kapita Selekta Evolusi Pemikiran Kebijakan Ketahanan Pangan, Yogyakarta: BPFE Widowati, S., 2005, Diversifikasi Pangan Sebagai Upaya Mengatasi Kerawanan Pangan, Jurnal Pangan, Perusahaan Umum BULOG.
Rangkuti, Freddy, 1997, Analisis Swot: Teknik membelah Kasus Bisnis Reorientasi Konsep
JEJAK, Volume, 2 Nomor 2, September 2009
143
PERENCANAAN PENGEMBANGAN SEKTOR PERTANIAN SUB SEKTOR TANAMAN PANGAN DI KABUPATEN KULONPROGO Fafurida Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Semarang Email;
[email protected]
ABSTRACT The objective of this research is to make planning in the development of agricultural sector especially food crops for the economic area improvement. The tools of analysis applied are shift share, Location Quotient (LQ) and central index analysis. The development of the superb food crops is conducted with the development of processing and central industry. By observing the superb crops commodity, central index value, and PRDB per capita, it can be determined the development direction of each food crops commodities, that is by specifying central production area and processing industry. Paddy central production is recommended in Temon, Panjatan, Galur, Lendah, Kokap, Girimulyo, Nanggulan and Samigaluh sub-districts, and rice mill is developed in Wates and Pengasih sub-districts. For Maize commodity, the development of processing industry is conducted in Sentolo and Pengasih sub-districts and its central production is in Temon, Lendah, Kokap, Kalibawang and Samigaluh sub-districts. For cassava crops commodity, the central production is in Temon, Kokap, Girimulyo, Kalibawang and Samigaluh sub-districts, and its processing industry is founded in Sentolo and Pengasih sub-districts. Central production of sweet potatoes is in Panjatan, Pengasih, and Girimulyo subdistricts, and its processing industry is in Wates sub-district. For peanuts commodity, the processing industry is founded in Wates and Pengasih sub-districts, and its central production is in Temon, Lendah, Kokap, Girimulyo and Samigaluh sub-districts. Central production of soybeans crops commodity is located in Temon, Galur, Lendah, Nanggulan and Kalibawang sub-districts and its processing industry is in Sentolo and Pengasih sub-districts. Temon, Sentolo, and Pengasih sub-districts are the central production for the green beans crops with processing industry in Wates sub-district. Keywords: development, food crops, superb commodity PENDAHULUAN Kabupaten Kulonprogo merupakan daerah paling terbelakang di Propinsi DIY. Hal ini ditunjukkan oleh besarnya nilai PDRB tiap kabupaten di Propinsi DIY dari tahun 2002-2006 (gambar 1). Dari gambar tersebut dapat dilihat bahwa terdapat perbedaan pendapatan yang sangat besar antardaerah di Propinsi DIY dilihat dari tingkat PDRB masingmasing daerah. Ada beberapa daerah yang memiliki PDRB jauh di bawah rata-rata dan terdapat daerah yang memiliki tingkat PDRB jauh di atas rata-rata. Kabupaten Sleman memiliki nilai PDRB terbesar ”secara relatif” dibandingkan dengan kabupaten/kota lainnya. Sedangkan, Kulonprogo merupakan kabupaten dengan nilai PDRB terkecil. Untuk meningkatkan perekonomian daerah Kabupaten Kulonprogo dapat dilakukan suatu perencanaan pengembangan perekonomian yang berbasis sektor pertanian. Hal tersebut dikarenakan sektor 144
pertanian merupakan sektor perekonomian yang paling unggul di Kabupaten Kulonprogo. Hal itu ditunjukkan dari besarnya kontribusi terhadap PDRB Kabupaten Kulonprogo dari tahun ke tahun. Dari tahun 2002 sampai 2006, sektor pertanian selalu memiliki share paling besar terhadap PDRB Kabupaten Kulonprogo. Dalam upaya peningkatan perekonomian wilayah, maka Kabupaten Kulonprogo dapat mengembangkan sektor pertanian yang merupakan leading sektor dengan harapan pengembangan sektor pertanian ini akan dapat meningkatkan kontribusinya terhadap pendapatan daerah, sehingga perekonomian bisa meningkat. Pengembangan sektor pertanian akan lebih cepat jika dilakukan dengan lebih terspesifikasi. Sektor pertanian memiliki beberapa subsektor diantaranya yaitu tanaman pangan, perikanan, kehutanan, peternakan dan tanaman perkebunan. Jika dilihat dari gambar kontribusi subsektor pertanian terhadap sektor pertanian Kabupaten Kulonprogo dari tahun
Perencanaan Pengembangan Sektor Pertanian... (Fafurida : 144 – 155)
sektor pertanian, karena dapat meningkatkan hasilhasil pertanian dengan memberikan nilai tambah pada produk pertanian. Salah satu contoh usaha agribisnis yang dapat dikembangkan adalah industri makanan yang merupakan pengolahan berbagai macam bahan pangan pertanian. Pembangunan industri-industri tersebut akan menciptakan kawasan desa yang modern dalam kegiatan ekonomi dengan tetap berakar pada kehidupan agraris dan ditunjang dengan pembangunan infrastruktur dan fasilitasfasilitas sosial maupun ekonomi.
2002 sampai 2006 di bawah ini, dapat dilihat bahwa subsektor tanaman pangan selalu memberikan kontribusi yang sangat besar dibandingkan dengan subsektor-subsektor yang lain, bahkan trennya selalu menunjukkan kenaikan dari tahun ke tahun. Jadi langkah yang dapat diambil dalam pengembangan perekonomian Kabupaten Kulonprogo dapat dilakukan dengan pengembangan sektor pertanian khususnya subsektor tanaman pangan dan tentunya dengan tidak mengesampingkan sektor-sektor yang lain. Pengembangan agribisnis adalah suatu langkah tepat dalam usaha untuk semakin mengembangkan
PDRB ADH Konstan 2000 (Triliun Rupiah)
6 5 4
4.37
3 2 1
2.80
3.08
2.93
3.38
3.22
3.08
2.94
4.40
4.19
3.99
3.81
5.31
5.08
4.84
4.60
3.23
4.57 3.51 3.30 2.83
2.44
2.53
2.61
2.73
1.28
1.34
1.40
1.46
1.52
2004
2005
2006
0 2002
2003
Tahun Kulonprogo
Bantul
Gunungkidul
Sleman
Kota Yogyakarta
Rata-rata
Sumber : BPS, Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (diolah) Gambar 1. Nilai PDRB Menurut Kabupaten/Kota di Provinsi DIY Atas Dasar Harga Konstan 2000, 2002-2006 (Triliun Rupiah)
Tabel 1. Kontribusi Sektor Perekonomian terhadap PDRB ADH Konstan 2000 Kabupaten Kulonprogo tahun 2002-2006 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Lapangan Usaha Pertanian Pertambangan & Penggalian Industri Pengolahan Listrik,Gas & Air Bersih Bangunan Perdagangan,Hotel & Restoran Pengangkutan & Komunikasi Keuangan,Persewaan & Jasa Perusahaan Jasa-jasa PDRB
2002
2003
2004
2005
2006
28.28 1.07 16.65 0.59 4.39 16.73 9.27 4.97 18.03 100
27.96 0.99 16.50 0.59 4.43 16.41 9.53 5.51 18.07 100
27.76 0.91 16.02 0.59 4.49 16.23 10.04 6.02 17.94 100
27.55 0.89 16.12 0.59 4.47 16.40 10.13 6.08 17.77 100
27.12 1.18 15.98 0.60 4.76 16.34 10.35 5.96 17.71 100
Sumber : BPS Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
JEJAK, Volume 2, Nomor 2, September 2009
145
300,000 250,000 PDRB ADH Konstan 2000 Sub Sektor Pertanian
200,000 150,000 100,000 50,000 0 2002
2003
2004
2005
2006
Tahun Tanaman Bahan Makanan
Tanaman Perkebunan
Kehutanan
Perikanan
Peternakan & Hasil-hasilnya
Sumber : BPS, Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (diolah) Gambar 2. Kontribusi Sub Sektor Pertanian terhadap Sektor Pertanian Kabupaten Kulonprogo Tahun 2002-2006
Potensi yang dimiliki antar kecamatan di Kabupaten Kulonprogo berbeda-beda. Melalui pengembangan sistem pembangunan pertanian khususnya tanaman pangan dan didukung oleh fasilitas-fasilitas ekonomi dan sosial yang dimiliki kecamatan maka kecamatan tersebut dapat dikembangkan sebagai pusat pelayanan dengan potensi dan sumberdaya yang dimiliki. Pada dasarnya setiap pusat-pusat pelayanan mempunyai hirarki atau peringkat. Pemerintah daerah dalam memproyeksikan kecamatan sebagai pusat pelayanan yaitu dengan menyusun hirarki dari kecamatan berdasarkan jumlah fasilitas pelayanan sosial dan ekonomi yang telah dimiliki oleh kecamatan tersebut. Komoditas-komoditas tanaman pangan unggulan dari masing-masing kecamatan harus diarahkan pengembangannya yaitu dengan pembangunanpembangunan sentra produksi dan sentra industri pengolahan. Sehingga pembangunan daerah akan dapat dikembangkan menjadi kawasan atau pusat kegiatan ekonomi dengan tetap berakar pada kehidupan agraris di Kabupaten Kulonprogo melalui arah pengembangan tanaman pangan yang tepat. Tujuan yang diharapkan untuk dicapai dari penelitian ini adalah: 1) Mengidentifikasi komoditas tanaman pangan yang memiliki keunggulan kompetitif dan komparatif di tiap kecamatan di Kabupaten Kulonprogo. 2) Mengidentifikasi komoditas tanaman pangan unggulan yang potensial untuk dapat dikembangkan di masing-masing kecamatan di Kabu146
paten Kulonprogo. 3) Menyusun hirarki pusat-pusat pelayanan sosial dan ekonomi di Kabupaten Kulonprogo. 4) Menyusun perencanaan pengembangan sektor pertanian sub sektor tanaman pangan di Kabupaten Kulonprogo. LANDASAN TEORI Perencanaan Pembangunan Daerah Perencanaan pembangunan daerah dalam perspektif otonomi daerah diharapkan mampu mendorong eksistensi suatu daerah dalam menghadapi era global. Perencanaan itu perlu memiliki landasan yang kuat dengan mempertimbangkan prinsip-prinsip global yang dewasa ini telah menjadi trend dalam sistem penataan pemerintahan. Meskipun tidak bisa mengadopsi seratus persen konsep-konsep global yang berkembang, pada tataran tertentu hal itu perlu menjadi perhatian bila kita ingin tetap eksis dalam percaturan dunia. Kendati demikian, tetap harus memperhitungkan kultur atau budaya masyarakat yang secara substansial memiliki kekhasan karakter yang perlu dipertahankan dan tidak bisa dikorbankan begitu saja. Pengembangan Ekonomi Lokal (Local Economic Development) Pengembangan Ekonomi Lokal (PEL) adalah usaha untuk mengoptimalkan sumberdaya lokal yang melibatkan pemerintah, dunia usaha, masyarakat lokal, dan organisasi masyarakat madani untuk
Perencanaan Pengembangan Sektor Pertanian... (Fafurida : 144 – 155)
mengembangkan ekonomi pada suatu wilayah tertentu. Ciri utama pengembangan ekonomi lokal adalah pada kebijakan “endogenous development” menggunakan potensi sumber daya manusia, institutional dan fisik setempat. Orientasi ini mengarahkan kepada fokus dalam proses pembangunan untuk menciptakan lapangan kerja baru dan merangsang pertumbuhan kegiatan ekonomi (Blakely, 1994:114). Teori Basis Ekonomi Teori basis ekonomi menyatakan bahwa faktor penentu utama pertumbuhan ekonomi suatu daerah adalah berhubungan langsung dengan permintaan akan barang dan jasa dari luar daerah. Pertumbuhan industri-industri yang menggunakan sumberdaya lokal, termasuk tenaga kerja dan bahan baku untuk diekspor, akan menghasilkan kekayaan daerah dan penciptaan peluang kerja. Teori basis ekonomi menguraikan tentang potensi yang dimiliki suatu daerah dalam upaya untuk mencukupi kebutuhannya sendiri. Teori basis ini mengelompokkan struktur perekonomian menjadi dua sektor: 1) Sektor unggulan yaitu sektor atau kegiatan ekonomi yang melayani pasar domestik maupun luar. Ini menunjukkan adanya kegiatan mengekspor barang dan jasa. 2) Sektor non unggulan yaitu sektor yang diproyeksikan untuk melayani pasar domestik. Perencanaan Pusat Pelayanan Konsep pusat pelayanan ditelaah dan diadaptasi dari berbagai teori. Teori-teori tersebut yaitu teori pusat pertumbuhan dan kutub pertumbuhan, teori tempat sentral, spread-backwash effect, dan trickling down dan polarization effect. Growth Pole (Kutub Pertumbuhan) dan Pusat Pertumbuhan Dipelopori oleh Perroux dan Boudeville, mendefinisikan sebuah kutub pertumbuhan sebagai suatu kumpulan industri yang akan mampu menggerakkan pertumbuhan ekonomi suatu negara karena industriindustri tersebut mempunyai kaitan kemuka (forward linkage) dan kaitan ke belakang (backward linkage) yang kuat dengan industri unggul. Inti dari teori Pusat Pertumbuhan adalah sebagai berikut: 1) Dalam proses pembangunan akan timbul industri unggulan
yang merupakan industri penggerak utama dalam pembangunan ekonomi daerah. Karena keterkaitan antar industri sangat erat, maka perkembangan industri unggulan akan mempengaruhi perkembangan industri lain yang berhubungan erat dengan industri tersebut. 2) Pemusatan industri pada suatu daerah akan mempercepat pertumbuhan perekonomian, karena pemusatan industri akan menciptakan pola konsumsi yang berbeda antar daerah sehingga perkembangan industri di daerah tersebut akan mempengaruhi perkembangan daerah-daerah lainnya. 3) Perekonomian merupakan gabungan dari sistem industri yang relatif aktif (industri unggulan) dengan industri-industri yang relatif pasif yaitu industri yang tergantung dari industri unggulan atau pusat pertumbuhan. Daerah yang relatif maju atau aktif akan mempengaruhi daerah-daerah yang relatif pasif. Teori Tempat Sentral (Central Place Theory) Teori tempat sentral menganggap bahwa ada hirarki tempat (hierarchy of places). Setiap tempat sentral didukung oleh sejumlah tempat yang lebih kecil yang menyediakan sumberdaya (industri bahan baku). Tempat sentral tersebut merupakan suatu pemukiman yang menyediakan jasa-jasa bagi penduduk daerah yang mendukungnya (Arsyad, 1998: 117). Kesimpulan-kesimpulan yang dapat ditarik dari model tempat sentral yaitu : kota-kota berbeda dalam ukuran dan lingkupnya, wilayah itu hanya memiliki sejumlah kecil kota-kota besar dan sejumlah besar kota-kota kecil. Bukan sejumlah besar kota besar dan sejumlah kecil kota kecil, konsumen melakukan perjalanan ke kota-kota besar bukan ke kota-kota kecil atau kota-kota dari jenjang yang sama. Teori Spread-Backwash Effects Pertumbuhan Ekonomi Dalam Tata Ruang Dikemukakan oleh Gunnar Myrdal (1957). Menurut Myrdal memusatnya ekspansi ekonomi di suatu daerah yang disebabkan oleh berbagai hal, misalnya kondisi dan situasi alamiah yang ada, letak geografis, dan sebagainya, akan mempunyai pengaruh yang merugikan bagi daerah-daerah lain disebut backwash effects dan cenderung menguntungkan daerah-daerah yang sedang mengalami ekspansi ekonomi tersebut, karena tenaga kerja yang ada, modal, perdagangan akan pindah ke daerah yang
JEJAK, Volume 2, Nomor 2, September 2009
147
melakukan ekspansi tersebut dinamakan spread effects. Khususnya urbanisasi tenaga kerja muda ke kota sehingga desa kehilangan tenaga produktif untuk mengembangkan desa itu sendiri. Trickling Down dan Polarization Effects Suatu Pertumbuhan Ekonomi Ditemukan oleh Hirschman (1958). Ia berpendapat bahwa karena potensi sumberdaya yang tidak seragam dan tidak merata antara region satu dengan region lainnya maka region-region dalam sebuah negara akan tumbuh tidak sama dan tidak seragam. Untuk dapat tumbuh dengan cepat, suatu negara perlu memilih satu atau lebih pusat-pusat pertumbuhan regional yang mempunyai potensi paling kuat. Apabila region-region kuat ini telah tumbuh maka akan terjadi perembetan pertumbuhan bagi region-region yang lemah. Perembetan pertumbuhan ini bisa berdampak positif (trickling down effects), yaitu adanya pertumbuhan region yang kuat dan menyerap potensi tenaga kerja di region yang lemah yang masih menganggur atau mungkin region yang lemah menghasilkan produk yang sifatnya komplementer dengan produk region yang lebih kuat. Sedangkan dampak negatif (polarization effect) terjadi kalau kegiatan produksi di region yang kuat bersifat kompetitif dengan produk region yang lemah, yang sebenarnya membutuhkan pembinaan. Fungsi Pusat dan Daerah Belakang (Hinterland) Pusat dan daerah belakang dalam suatu wilayah mempunyai hubungan yang bersifat simbiotik dan mempunyai fungsi yang spesifik sehingga keduanya tergantung secara internal. Fungsi dari pusat antara lain adalah sebagai pusat pemukiman, pusat pelayanan, pusat industri dan pusat perdagangan bahan mentah. Sedangkan fungsi daerah belakang antara lain sebagai penyedia bahan mentah dan sumber daya dasar, daerah pemasaran barang-barang industri dan pusat kegiatan pertanian. Hirarki Pusat-Pusat Wilayah dan Pusat Pelayanan Timbulnya pusat-pusat wilayah disebabkan oleh beberapa faktor yaitu faktor lokasi ekonomi, faktor ketersediaan sumber daya, kekuatan aglomerasi dan faktor investasi pemerintah.
148
Pada dasarnya pusat wilayah mempunyai hirarki. Hirarki dari suatu pusat ditentukan oleh beberapa faktor, yaitu jumlah penduduk yang bermukim pada pusat tersebut, jumlah fasilitas pelayanan umum yang tersedia dan jumlah jenis fasilitas pelayanan umum yang tersedia. Identifikasi dari pusat-pusat pelayanan mempunyai beberapa tujuan yaitu dapat mengidentifikasikan pusat-pusat pelayanan dan daerah pelayanan pada tingkat yang berbeda, penentuan dari fasilitas infrastruktur pokok untuk memuaskan kebutuhan beragam sektor dari penduduk dan pengintegrasian atau pengelompokan pelayanan pada tingkat yang berbeda dan penentuan dari keterkaitan atau jaringan jalan untuk mengembangkan aksebilitas dan efisiensi. METODE PENELITIAN Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah : 1. Analisis Shift-Share Untuk mengetahui komoditas-komoditas yang berkembang di suatu wilayah (kecamatan) dibandingkan dengan perkembangan ekonomi di wilayah yang lebih besar (kabupaten). digunakan teknik analisis shift-share. Teknik yang mengkaji hubungan antara struktur ekonomi dan pertumbuhan wilayah, pertama-tama dikembangkan oleh Daniel B. Creamer (1943) dan dipakai sebagai suatu alat analitik pada permulaan tahun 1960-an oleh Ashby (1964) sampai sekarang. 2. Analisis Location Quotient (LQ) Analisis LQ merupakan suatu teknik untuk mengidentifikasi sektor-sektor ekonomi andalan (basis) yang potensial untuk dikembangkan. Dalam teknik ini kegiatan ekonomi suatu daerah dibagi menjadi 2 golongan, yaitu: a) kegiatan industri yang melayani pasar di daerah itu sendiri maupun di luar daerah yang bersangkutan. Industri seperti ini dinamakan industry basic. Nilai LQ lebih besar dari satu. b) kegiatan ekonomi atau industri yang melayani pasar di daerah tersebut, jenis ini dinamakan industry non basic atau industri lokal. Nilai LQ kurang dari satu.
Perencanaan Pengembangan Sektor Pertanian... (Fafurida : 144 – 155)
3. Analisis Indeks Sentralitas Analisis Indeks Sentralitas digunakan untuk mengetahui struktur/hirarki pusat-pusat pelayanan yang ada halam suatu wilayah perencanaan pembangunan, seberapa banyak jumlah fungsi yang ada, berapa jenis fungsi dan berapa jumlah penduduk yang dilayani serta seberapa besar frekuensi keberadaan suatu fungsi dalamsatu satuan wilayah pemukiman. Frekuensi keberadaan fungsi menunjukkan jumlah fungsi sejenis yang ada dan tersebar di wilayah tertentu, sedangkan frekuensi kegiatan menunjukkan tingkat pelayanan yang kemungkinan dapat dilakukan oleh suatu fungsi tertentu di wilayah tertentu. HASIL DAN PEMBAHASAN Komoditas Tanaman Pangan yang Memiliki Keunggulan Kompetitif dan Keunggulan Komparatif di Tiap Kecamatan di Kabupaten Kulonprogo Dari hasil analisis Shift Share berdasarkan luas panen tahun 2002-2006 maka diperoleh hasil komoditas tanaman pangan yang memiliki keunggulan kompetitif di tiap kecamatan di Kabupaten Kulonprogo adalah sebagai berikut: Kecamatan Temon adalah padi, jagung, ketela pohon, kacang tanah, kedelai dan kacang hijau; Kecamatan Wates adalah padi; Kecamatan Panjatan adalah padi; Kecamatan Galur tidak memiliki komoditas tanaman pangan yang memiliki keunggulan kompetitif; Kecamatan Lendah adalah padi dan kacang tanah; Kecamatan Sentolo adalah jagung, ketela pohon, kedelai dan kacang hijau; Kecamatan Pengasih adalah padi, jagung, kacang tanah, kedelai dan kacang hijau; Kecamatan Kokap adalah padi, jagung dan ketela rambat; Kecamatan Girimulyo adalah padi, ketela pohon dan kacang tanah; Kecamatan Nanggulan adalah kedelai; Kecamatan Kalibawang adalah jagung dan kedelai; sedangkan Kecamatan Samigaluh adalah padi, jagung dan kacang tanah. Dari hasil analisis LQ dapat dilihat komoditas tanaman pangan yang memiliki keunggulan komparatif ditiap kecamatan adalah sebagai berikut: Kecamatan Temon adalah padi, kacang tanah dan kacang hijau; Kecamatan Wates adalah padi, ketela rambat, kacang tanah dan kacang hijau; Kecamatan Panjatan adalah padi dan ketela rambat; Kecamatan Galur adalah padi dan kedelai; Kecamatan Lendah adalah jagung dan kedelai; Kecamatan Sentolo
adalah jagung; Kecamatan Pengasih adalah jagung, ketela pohon, ketela rambat, kacang tanah dan kacang hijau; Kecamatan Kokap adalah ketela pohon, ketela rambat dan kacang tanah; Kecamatan Girimulyo adalah ketela pohon, ketela rambat dan kacang tanah; Kecamatan Nanggulan adalah padi dan kedelai; Kecamatan Kalibawang adalah ketela pohon dan kedelai; sedangkan Kecamatan Samigaluh adalah jagung dan ketela pohon. Komoditas Tanaman Pangan Unggulan yang Potensial untuk Dapat Dikembangkan di Masingmasing Kecamatan di Kabupaten Kulonprogo Komoditas tanaman pangan yang dapat dikembangkan adalah komoditas tanaman pangan yang memiliki keunggulan kompetitif dan keunggulan komparatif atau salah satunya. Maka dari hasil analisis Shift Share dan LQ yang telah diuraikan diatas dapat dilihat komoditas tanaman pangan yang dapat dikembangkan ditiap kecamatan adalah sebagai berikut: di Kecamatan Temon adalah padi, jagung, ketela pohon, kacang tanah, kedelai dan kacang hijau; Kecamatan Wates adalah padi, ketela rambat, kacang tanah dan kacang hijau; Kecamatan Panjatan adalah padi dan ketela rambat; Kecamatan Galur adalah padi dan kedelai; Kecamatan Lendah adalah padi, jagung, kacang tanah dan kedelai; Kecamatan Sentolo adalah jagung, ketela pohon, kedelai dan kacang hijau; Kecamatan Pengasih adalah padi, jagung, ketela pohon, ketela rambat, kacang tanah, kedelai dan kacang hijau; Kecamatan Kokap adalah padi, jagung, ketela pohon, ketela rambat dan kacang tanah; Kecamatan Girimulyo adalah padi, ketela pohon, ketela rambat dan kacang tanah; Kecamatan Nanggulan adalah padi, kedelai; Kecamatan Kalibawang adalah jagung, ketela pohon dan kedelai; sedangkan Kecamatan Samigaluh adalah padi, jagung, ketela pohon dan kacang tanah. Hirarki Pusat-Pusat Pelayanan Sosial dan Ekonomi di Kabupaten Kulonprogo Berdasarkan hasil analisis Indeks Sentralitas, kecamatan yang memiliki indeks fungsi tinggi adalah Kecamatan Wates, Sentolo, Samigaluh dan Temon yaitu; 23,19; 11,88; 11,08 dan 10,80 dengan jumlah fungsi 509, 408, 362 dan 232 serta jumlah bobot 394,16; 201,99; 166,21 dan 172,79. Sedangkan kecamatan yang memiliki indeks fungsi rendah yaitu kecamatan Nanggulan, Lendah, Panjatan dan Giri-
JEJAK, Volume 2, Nomor 2, September 2009
149
mulyo yaitu 8,93; 7,51; 6,97 dan 6,90 dengan jumlah fungsi 261, 241, 271 dan 236 serta jumlah bobot 142,92; 105,08; 90,61 dan 89,75.
1) Infrastruktur di daerah tersebut baik, hal ini dapat ditunjukkan dari nilai indeks sentralitas terbobot untuk masing-masing kecamatan.
Dalam penggolongan pusat wilayah, digolongkan dalam tiga hirarki yaitu hirarki I, yang tergolong dalam hirarki ini adalah daerah-daerah yang infrastrukturnya berkembang (nilai indeks fungsi tinggi) yaitu Kecamatan Wates, Sentolo, Samigaluh dan Temon. Hirarki II yaitu daerah-daerah yang infrastrukturnya moderat (tidak berkembang tetapi juga tidak terbelakang) yaitu Kecamatan Pengasih, Kalibawang, Galur dan Kokap. Sedangkan hirarki III yaitu daerah-daerah yang infrastrukturnya terbelakang (nilai indeks fungsi rendah) yaitu Kecamatan Nanggulan, Lendah, Panjatan dan Girimulyo.
2) Daya beli masyarakat baik, hal ini dapat dilihat dari pendapatan perkapita masing-masing kecamatan.
Kecamatan yang berpotensi dikembangkan sebagai pusat pelayanan di Kabupaten Kulonprogo meliputi Kecamatan Wates, Sentolo, Samigaluh dan Temon (Hirarki I). Kecamatan sebagai pusat pelayanan utama terletak pada kecamatan yang memiliki rangking satu atau kecamatan yang memiliki nilai indeks fungsi paling tinggi, yang menunjukkan frekuensi kegiatan dari fungsi-fungsi dalam memberikan pelayanannya paling tinggi yaitu Kecamatan Wates dengan nilai indeks fungsi 23,19 dengan jumlah fungsi 509 dan total bobot 172,79. Perencanaan Pengembangan Sektor Pertanian Sub Sektor Tanaman Pangan di Kabupaten Kulonprogo Berdasarkan hasil analisis Shift Share dan LQ, terlihat bahwa komoditas-komoditas unggulan di Kabupaten Kulonprogo membentuk suatu cluster. Dalam setiap cluster dari komoditas tanaman pangan akan didirikan industri pengolahan, sedangkan wilayah lainnya sebagai daerah pendukung (hinterland) akan berfungsi sebagai penyedia input industri pengolahan tersebut. Industri pengolahan perlu dibangun pada masing-masing cluster komoditas unggulan untuk menampung produksi yang dihasilkan. Dengan adanya industri pengolahan, komoditas yang dihasilkan langsung dapat diproses menjadi produk-produk turunannya yang mempunyai nilai jual yang lebih baik daripada dijual dalam keadaan belum diolah. Pemilihan lokasi industri pengolahan tanaman pangan berdasarkan asumsi bahwa investor akan masuk ke suatu daerah jika:
150
1) Komoditas Padi Komoditas padi unggulan di Kabupaten Kulonprogo terdapat di hampir semua kecamatan di Kabupaten Kulonprogo diantaranya adalah Kecamatan Temon, Wates, Panjatan, Galur, Lendah, Pengasih, Kokap, Girimulyo, Nanggulan dan Samigaluh. Pada Tabel 2 di bawah ini disajikan arah pengembangan untuk komoditas padi yaitu melalui pembangunan penggilingan padi dan sentra produksi. Pertimbangan pembangunan industri pengolahan berupa penggilingan padi adalah kecamatan tersebut memiliki PDRB perkapita yang tinggi dan Indeks Sentralitas yang tinggi, yang berarti menggambarkan daya beli masyarakat yang tinggi dan kelengkapan infrastruktur dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Pembangunan penggilingan padi untuk komoditas padi unggulan direkomendasikan di Kecamatan Wates dan Pengasih. 2) Komoditas Jagung Komoditas jagung unggulan terdapat di Kecamatan Temon, Lendah, Sentolo, Pengasih, Kokap, Kalibawang dan Samigaluh, sehingga jika dilihat komoditas tersebut membentuk pengelompokan di Kabupaten Kulonprogo bagian tengah dan utara. Arah pengembangan komoditas jagung yaitu industri pengolahan komoditas jagung dibangun di Kecamatan Sentolo dan Pengasih. Pertimbangan dari pemilihan lokasi industri pengolahan di Kecamatan Sentolo dan Samigaluh karena memiliki pendapatan perkapita tinggi dengan indeks sentralitas tinggi pula. 3) Komoditas Ketela Pohon Komoditas ketela pohon relatif tumbuh di Kabupaten Kulonprogo bagian barat dan utara, bentuk produksinya adalah dalam bentuk umbi basah. Ketela pohon terdapat di Kecamatan Temon, Sentolo, Pengasih, Kokap, Girimulyo, Kalibawang dan Samigaluh.
Perencanaan Pengembangan Sektor Pertanian... (Fafurida : 144 – 155)
Tabel 2. Arah Pengembangan Komoditas Tanaman Padi No
PDRB per kapita
Kecamatan
1 Temon 2 Wates 3 Panjatan 4 Galur 5 Lendah 6 Pengasih 7 Kokap 8 Girimulyo 9 Nanggulan 10 Samigaluh Sumber: Data diolah
2.730.908 5.135.876 2.744.937 3.712.447 2.420.360 3.786.278 1.733.522 2.875.245 3.160.474 2.714.160
Indeks Sentralitas 10,80 23,19 6,97 9,32 7,51 10,62 9,12 6,90 8,93 11,08
Keunggulan SS + + + + + + + +
Arah Pengembangan
LQ + + + + + -
Sentra produksi Penggilingan padi Sentra produksi Sentra produksi Sentra produksi Penggilingan padi Sentra produksi Sentra produksi Sentra produksi Sentra produksi
Tabel 3. Arah Pengembangan Komoditas Tanaman Jagung No 1 2 3 4 5 6 7
Kecamatan
PDRB per kapita
Indeks Sentralitas
2.730.908 2.420.360 3.696.239 3.786.278 1.733.522 2.724.283 2.714.160
10,80 7,51 11,88 10,62 9,12 9,57 11,08
Temon Lendah Sentolo Pengasih Kokap Kalibawang Samigaluh
Keunggulan SS + + + + + +
LQ + + + +
Arah Pengembangan Sentra produksi Sentra produksi Industri pengolahan Industri pengolahan Sentra produksi Sentra produksi Sentra produksi
Sumber : Data diolah
Tabel 4. Arah Pengembangan Komoditas Tanaman Ketela Pohon No
Kecamatan
PDRB per kapita
Indeks Sentralitas
Keunggulan SS LQ
Arah Pengembangan
1
Temon
2.730.908
10,80
+
-
Sentra produksi
2 3
Sentolo Pengasih
3.696.239 3.786.278
11,88 10,62
+ -
+
Industri pengolahan Industri pengolahan
4 5
Kokap Girimulyo
1.733.522 2.875.245
9,12 6,90
+
+ +
Sentra produksi Sentra produksi
6 7
Kalibawang Samigaluh
2.724.283 2.714.160
9,57 11,08
-
+ +
Sentra produksi Sentra produksi
Sumber : Data diolah
Pembangunan industri pengolahan ketela pohon direkomendasikan di Kecamatan Sentolo dan Pengasih dengan pertimbangan bahwa kedua kecamatan tersebut memiliki PDRB per kapita yang besar dengan indeks sentralitas yang tinggi. 4) Komoditas Ketela Rambat
bentuk umbi basah. Jika dilihat ketela rambat relatif lebih berkembang di Kabupaten Kulonprogo bagian barat yaitu di Kecamatan Wates, Panjatan, Pengasih, Kokap dan Girimulyo. Industri pengolahan komoditas ketela rambat direkomendasikan di Kecamatan Wates, dengan pertimbangan yaitu PDRB perkapita tinggi dan indeks sentralitas yang tinggi pula.
Bentuk produksi ketela rambat ini yaitu dalam
JEJAK, Volume 2, Nomor 2, September 2009
151
Tabel 5. Arah Pengembangan Komoditas Tanaman Ketela Rambat No
Kecamatan
PDRB per kapita
1 Wates 2 Panjatan 3 Pengasih 4 Kokap 5 Girimulyo Sumber : Data diolah
Indeks Sentralitas
5.135.876 2.744.937 3.786.278 1.733.522 2.875.245
23,19 6,97 10,62 9,12 6,90
5) Komoditas Kacang Tanah Komoditas kacang tanah unggulan terdapat di Kabupaten Kulonprogo bagian barat. Daerah-daerah sebagai basis komoditas kacang tanah antara lain: Kecamatan Temon, Wates, Lendah, Pengasih, Kokap Girimulyo dan Samigaluh. Arah pengembangan dari komoditas kacang tanah yaitu bahwa pembangunan industri pengolahan direkomendasikan di Kecamatan Wates dan Pengasih. Pertimbangan pembangunan industri pengolahan di Kecamatan Wates dan Pengasih karena kecamatan tersebut memiliki tingkat penda-
Keunggulan SS LQ + + + + + +
Arah Pengembangan Industri pengolahan Sentra produksi Sentra produksi Sentra produksi Sentra produksi
patan perkapita yang tinggi dan indeks sentralitas yang tinggi. 6) Komoditas Kedelai Daerah di Kabupaten Kulonprogo yang memiliki keunggulan kompetitif ataupun komparatif komoditas tanaman kedelai adalah Kecamatan Temon, Galur, Lendah, Sentolo, Pengasih, Nanggulan dan Kalibawang. Untuk komoditas kedelai unggulan, industri pengolahan direkomendasikan di Kecamatan Sentolo dan Pengasih.
Tabel 6. Arah Pengembangan Komoditas Tanaman Kacang Tanah No
Kecamatan
1 Temon 2 Wates 3 Lendah 4 Pengasih 5 Kokap 6 Girimulyo 7 Samigaluh Sumber: Data diolah
PDRB per kapita 2.730.908 5.135.876 2.420.360 3.786.278 1.733.522 2.875.245 2.714.160
Indeks Sentralitas 10,80 23,19 7,51 10,62 9,12 6,90 11,08
Keunggulan SS LQ + + + + + + + + + + -
Arah Pengembangan Sentra produksi Industri pengolahan Sentra produksi Industri pengolahan Sentra produksi Sentra produksi Sentra produksi
Tabel 7. Arah Pengembangan Komoditas Tanaman Kedelai No 1 2 3 4 5 6 7
Kecamatan Temon Galur Lendah Sentolo Pengasih Nanggulan Kalibawang
PDRB per kapita
Indeks Sentralitas
2.730.908 3.712.447 2.420.360 3.696.239 3.786.278 3.160.474 2.724.283
10,80 9,32 7,51 11,88 10,62 8,93 9,57
Keunggulan SS LQ + + + + + + + + +
Sumber : Data diolah
152
Perencanaan Pengembangan Sektor Pertanian... (Fafurida : 144 – 155)
Arah Pengembangan Sentra produksi Sentra produksi Sentra produksi Industri pengolahan Industri pengolahan Sentra produksi Sentra produksi
jagung dan kacang tanah.
7) Komoditas Kacang Hijau Di Kabupaten Kulonprogo terdapat empat daerah yang memiliki komoditas unggulan tanaman kacang hijau, yaitu Kecamatan Temon, Wates, Sentolo dan Pengasih. Daerah komoditas kacang hijau unggulan ini membentuk suatu cluster di Kabupaten Kulonprogo bagian tengah. Arah pengembangan dari komoditas kacang hijau yaitu bahwa pembangunan industri pengolahan direkomendasikan di Kecamatan Wates. Pertimbangan pembangunan industri pengolahan di Kecamatan Wates karena kecamatan tersebut memiliki tingkat pendapatan perkapita yang tinggi dan indeks sentralitas yang tinggi. SIMPULAN DAN SARAN 1) Berdasarkan hasil analisis Shift Share yang didasarkan luas panen tahun 2002-2006 maka diperoleh hasil komoditas tanaman pangan yang memiliki keunggulan kompetitif di tiap kecamatan di Kabupaten Kulonprogo adalah sebagai berikut, Kecamatan Temon adalah padi, jagung, ketela pohon, kacang tanah, kedelai dan kacang hijau; Kecamatan Wates adalah padi; Kecamatan Panjatan adalah padi; Kecamatan Galur tidak memiliki komoditas tanaman pangan yang memiliki keunggulan kompetitif; Kecamatan Lendah adalah padi dan kacang tanah; Kecamatan Sentolo adalah jagung, ketela pohon, kedelai dan kacang hijau; Kecamatan Pengasih adalah padi, jagung, kacang tanah, kedelai dan kacang hijau; Kecamatan Kokap adalah padi, jagung dan ketela rambat; Kecamatan Girimulyo adalah padi, ketela pohon dan kacang tanah; Kecamatan Nanggulan adalah kedelai; Kecamatan Kalibawang adalah jagung dan kedelai; sedangkan Kecamatan Samigaluh adalah padi,
2) Komoditas tanaman pangan yang memiliki keunggulan komparatif berdasarkan hasil analisis Location Quotient berdasarkan rata-rata luas panen tahun 2002-2006 tiap kecamatan adalah sebagai berikut: Kecamatan Temon adalah padi, kacang tanah dan kacang hijau; Kecamatan Wates adalah padi, ketela rambat, kacang tanah dan kacang hijau; Kecamatan Panjatan adalah padi dan ketela rambat; Kecamatan Galur adalah padi dan kedelai; Kecamatan Lendah adalah jagung dan kedelai; Kecamatan Sentolo adalah jagung; Kecamatan Pengasih adalah jagung, ketela pohon, ketela rambat, kacang tanah dan kacang hijau; Kecamatan Kokap adalah ketela pohon, ketela rambat dan kacang tanah; Kecamatan Girimulyo adalah ketela pohon, ketela rambat dan kacang tanah; Kecamatan Nanggulan adalah padi dan kedelai; Kecamatan Kalibawang adalah ketela pohon dan kedelai; sedangkan Kecamatan Samigaluh adalah jagung dan ketela pohon. 3) Dari hasil analisis Shift Share dan Location Quotient dapat disimpulkan komoditas-komoditas tanaman pangan yang dapat dikembangkan di tiap kecamatan di Kabupaten Kulonprogo adalah sebagai berikut: di Kecamatan Temon adalah padi, jagung, ketela pohon, kacang tanah, kedelai dan kacang hijau; Kecamatan Wates adalah padi, ketela rambat, kacang tanah dan kacang hijau; Kecamatan Panjatan adalah padi dan ketela rambat; Kecamatan Galur adalah padi dan kedelai; Kecamatan Lendah adalah padi, jagung, kacang tanah dan kedelai; Kecamatan Sentolo adalah jagung, ketela pohon, kedelai dan kacang hijau; Kecamatan Pengasih adalah padi, jagung, ketela pohon, ketela rambat, kacang tanah, kedelai dan
Tabel 8. Arah Pengembangan Komoditas Tanaman Kacang Hijau No 1 2 3 4
Kecamatan Temon Wates Sentolo Pengasih
PDRB per kapita 2.730.908 5.135.876 3.696.239 3.786.278
Indeks Sentralitas 10,80 23,19 11,88 10,62
Keunggulan SS LQ + + + + + +
Arah Pengembangan Sentra produksi Industri pengolahan Sentra produksi Sentra produksi
Sumber : Data diolah JEJAK, Volume 2, Nomor 2, September 2009
153
kacang hijau; Kecamatan Kokap adalah padi, jagung, ketela pohon, ketela rambat dan kacang tanah; Kecamatan Girimulyo adalah padi, ketela pohon, ketela rambat dan kacang tanah; Kecamatan Nanggulan adalah padi, kedelai; Kecamatan Kalibawang adalah jagung, ketela pohon dan kedelai; sedangkan Kecamatan Samigaluh adalah padi, jagung, ketela pohon dan kacang tanah. 4) Dilihat dari hasil analisis indeks sentralitas dapat disimpulkan bahwa daerah yang diproyeksikan sebagai pusat pelayanan utama di Kabupaten Kulonprogo adalah Kecamatan Wates. Sedangkan Kecamatan Nanggulan, Lendah, Panjatan dan Girimulyo merupakan kecamatan yang kekurangan fasilitas pelayanan sosial dan ekonomi serta memiliki frekuensi kegiatan dari fungsi-fungsi dalam memberikan pelayanan yang rendah. Sehingga pembangunan pusatpusat pelayanan sosial dan ekonomi di keempat kecamatan tersebut perlu diprioritaskan dan perlu diadakan perbaikan dan pengadaan infrastruktur agar menjadi daerah / kecamatan yang mendukung dalam pengembangan ekonomi dan wilayah tersebut. 5) Sentra produksi padi direkomendasikan di kecamatan Temon, Panjatan, Galur, Lendah, Kokap, Girimulyo, Nanggulan dan Samigaluh, sedangkan industri penggilingan padi dibangun di Kecamatan Wates dan Pengasih. Untuk komoditas jagung, pembangunan industri pengolahan di Kecamatan Sentolo dan Pengasih, sedangkan sentra produksinya di Kecamatan Temon, Lendah, Kokap, Kalibawang dan Samigaluh. Komoditas tanaman ketela pohon, sentra produksinya terdapat di Kecamatan Temon, Kokap, Girimulyo, Kalibawang dan Samigaluh, sedangkan industri pengolahan ketela pohon didirikan di Kecamatan Sentolo dan Pengasih. Sentra produksi ketela rambat adalah di Kecamatan Panjatan, Pengasih, Kokap dan Girimulyo, sedangkan industri pengolahannya terdapat di Kecamatan Wates. Untuk komoditas tanaman kacang tanah, industri pengolahannya didirikan di Kecamatan Wates dan Pengasih dengan sentra produksi di Kecamatan Temon, Lendah, Kokap Girimulyo dan Samigaluh. Sentra produksi komoditas tanaman kedelai terdapat di 154
Kecamatan Temon, Galur, Lendah, Nanggulan dan Kalibawang, sedangkan industri pengolahannya terdapat di Kecamatan Sentolo dan Pengasih. Kecamatan Temon, Sentolo dan Pengasih merupakan sentra produksi tanaman kacang hijau dengan industri pengolahan di Kecamatan Wates. SARAN 1) Strategi perencanaan dan kebijakan pembangunan daerah Kabupaten Kulonprogo dalam upaya untuk memacu pertumbuhan ekonomi daerah dan peningkatan kesejahteraan masyarakat hendaknya mengacu pada potensi dan komoditas unggulan dan potensial di masingmasing kecamatan. 2) Kecamatan yang kekurangan fasilitas pelayanan sosial dan ekonomi perlu mendapatkan perhatian dalam setiap pembuatan kebijakan pembangunan sehingga di waktu yang akan datang pembangunan pusat-pusat pelayanan sosial dan ekonomi di kecamatan tersebut perlu lebih diprioritaskan lagi. 3) Pemerintah daerah dalam upaya meningkatkan pembangunan ekonomi khususnya mengenai pengembangan sub sektor tanaman pangan agar tetap berdasarkan potensi yang dimiliki, dengan melalui arah kebijakan yang tepat, yaitu dengan pembangunan sentra produksi dan sentra industri pengolahan sehingga melalui kebijakan tersebut dapat memberikan nilai tambah bagi hasil-hasil produksi pertanian. DAFTAR PUSTAKA Anriquez, G., and Kostas Stamoulis, 2007. Electronic Journal of Agricultural and Development Economics ‘Rural Development and Poverty reduction: is Agriculture Still the Key?’, 4(1), 546. Arsyad, Lincolin, 1999. Pengantar Perencanaan Pembangunan Ekonomi Daerah, Edisi Pertama, BPFE, Yogyakarta. Azis, I.J., 1994, Ilmu Ekonomi Regional dan Beberapa Aplikasinya di Indonesia. LPFE-UI, Jakarta.
Perencanaan Pengembangan Sektor Pertanian... (Fafurida : 144 – 155)
Biro Pusat Statistik, DIY Dalam Angka 2006/2007, BPS Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Biro Pusat Statistik, Kulonprogo Dalam Angka 2006/2007, BPS Kabupaten Kulonprogo. Blakely, EJ. 1994, Planning Local Economic Development Theory and Practice, 2nd ed., Thousand Oaks, SAGE Publications. Center For Bussines Research, 1997, “Key Arizona Economic Activities identified” Arizona State University,s Monthly Newsletter on the Arizona Economy, Vol. 44. Number 9, 1-6. Creamer, DB (1943), “Shift of Manufacturing Industries” dalam Industrial Location and National Resources. Washington, D.C.: U.S. National Resources Planning Board. Djojohadikusumo, S., 1994, Perkembangan Pemikiran Ekonomi : Dasar Teori Ekonomi, Pertumbuhan dan Ekonomi Pembangunan, Penerbit PT. Pustaka LP3ES, Jakarta Esteban, J., 2003, “Regional convergence in Europe and the industry mix:ashiftshare analysis”, Regional Science and Urban Economics 30 (2003) 353-364. Hanham, R.Q and Shawn, B., 2000, “Shift Share Analysis and Changes in Japanese Manufacturing Employment”, Growth and Change, Vol. 31 (Winter) 108-123 Hazell, P., 2007. Electronic Journal of Agricultural and Development Economics ‘ Transformations in Agriculture and Their Implications for Rural Development’. 4(1), 47-65. Hirschman, A.O. 1958. The Strategy Of Economic Development In Developing Countries. New Haven, Connecticut, USA, Yale University Press. Hoover, E.M., 1984, An Introduction to Regional Economics, 2nd ed., N.Y., : Knopf, 3nd edition.
Kompas. (2008). Kebijakan Orde Baru Belajar dari Pembangunan Pertanian Soeharto. Kompas [31 Januari 2008]. Perroux, Francois (1970), “Economic Space: Theory and Applications,” Quarterly Journal of Economics 64: 89-104. Riyadi dan Deddy Supriady Brantakusumah, 2004, Perencanan Pembangunan Daerah: Strategi Menggali Potensi dalam Mewujudkan Otonomi Daerah, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Soepono, Prasetyo, 1993. Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia ‘Analisis Shift-Share: Perkembangan dan Penerapan’. 8(1), 43-54. Stringer, R., and Prabhu Pingali, 2004. Electronic Journal of Agricultural and Development Economics ‘Agriculture’s Contributions to Economic and Social Development’, 1(1), 1-5. Sudaryanto, T., dan I Wayan Rusastra, 2006. Jurnal Litbang Pertanian ’Kebijakan Strategis Usaha Pertanian Dalam Rangka Peningkatan Produksi dan Pengentasan Kemiskinan’. 25(4), 115-122. Sukirno, S., 1985, Ekonomi Pembangunan – Proses, Masalah dan Dasar Kebijakan, LP3ES-UI dengan Bina Grafika, Jakarta. Sjafrisal, 1997, “Pertumbuhan Ekonomi dan Ketimpangan Regional Wilayah Indonesia Bagian Barat”, Prisma, LP3ES, Nomor 3, Jakarta. Syafruddin, Agustinus, N, Kairupan, A dan J. Limbongan, 2004. Jurnal Litbang Pertanian ‘Penataan Sistem Pertanian dan Penetapan Komoditas Unggulan Berdasarkan Zona Arkeologi di Sulawesi Tengah’. 23(2), 61-67. Temenggung, S.A., 1999, Paradigma Ekonomi Wilayah: Tujuan Teori dan Praktis Ekonomi Wilayah dan Implikasi Kebijakan Pembangunan, dalam BTS. Todaro, Michael P., 2003, Economic Development, Eight Edition, Pearson Education Limited, United Kingdom.
JEJAK, Volume 2, Nomor 2, September 2009
155
ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI INVESTASI PMA DI BATAM Muhammad Zaenuddin Politeknik Batam email:
[email protected]
ABSTRACT Investment plays an important role in the economic growth viewed both from development theory and policy perspectives. Strategic measures must be taken to increase the Foreign Direct Investment (FDI) to Indonesia amid the emergence of complicated investment problems and the downturn of investment competitiveness. The research is aimed to analyze factors influencing investment decisions in in Batam. Secondary quantitative data are used to analyze the determinant factors of FDI in a certain industrial estate. Ordinary Least Square (OLS) method are employed and using panel data of 16 industrial areas during 3 years (2005-2007). The dependent variable is FDI /investment plan. The Independent variables are rental rate, maintenance fee, labor supply, export value and electricity. The result of regression analysis shows that the variable of maintenance fee, labor and export statistically influence the FDI in Batam. While variable of rental rate and electricity do not have significant effect. Keywords: Foreign Direct Investment, Industrial Estates, Investment plan
PENDAHULUAN Dalam teori ekonomi pembangunan diketahui bahwa tingkat pertumbuhan ekonomi dan investasi mempunyai hubungan timbal balik yang positif. Hubungan timbal balik tersebut terjadi oleh karena di satu pihak, semakin tinggi pertumbuhan ekonomi suatu negara, berarti semakin besar bagian dari pendapatan yang bisa ditabung, sehingga investasi yang tercipta akan semakin besar pula. Dalam kasus ini, investasi merupakan fungsi dari pertumbuhan ekonomi. Di lain pihak, semakin besar investasi suatu negara, akan semakin besar pula tingkat pertumbuhan ekonomi yang bisa dicapai. Dengan demikian, pertumbuhan merupakan fungsi investasi. Dalam konteks pembangunan nasional maupun regional, investasi memegang peran penting untuk mendorong pertumbuhan ekonomi (Yonathan,2003). Pembangunan dan pertumbuhan ekonomi negara berkembang tidak akan lepas dari peranan sumber dana dari luar negeri. Hal ini terjadi karena hampir semua negara berkembang tidak dapat mencukupi kebutuhan dana dari dalam negeri. Masalah tipikal yang dihadapi negara berkembang adalah kelangkaan dana domestik (saving gaps) yang lazimnya ditutup dari dana luar negeri. Dana dari luar negeri dapat diperoleh dari hutang luar
156
negeri atau penanaman modal asing (PMA). Secara konseptual, penanaman modal asing atau investasi asing dianggap lebih menguntungkan karena tidak memerlukan kewajiban pengembalian kepada pihak asing seperti halnya hutang luar negeri. Investasi diharapkan sebagai penggerak pertumbuhan perekonomian Indonesia. Karena terbatasnya dana yang dimiliki pemerintah, untuk menggerakkan pertumbuhan ekonomi maka peran investasi baik secara investasi dari luar negeri (PMA) maupun dari dalam negeri (PMDN) sangat diharapkan (Indah & Didit, 2005). Secara umum investasi atau penanaman modal, baik dalam bentuk penanaman modal dalam negeri (PMDN) maupun penanaman modal asing (PMA) tergantung dari daya tarik daerah dan negara, membutuhkan adanya iklim yang sehat dan kemudahan serta kejelasan prosedur penanaman modal. Menurut Tambunan (2006) terdapat sejumlah faktor yang sangat berpengaruh pada baik-tidaknya iklim berinvestasi di Indonesia. Faktor-faktor tersebut tidak hanya menyangkut stabilitas politik dan sosial, tetapi juga stabilitas ekonomi, kondisi infrastruktur dasar (listrik, telekomunikasi dan prasarana jalan dan pelabuhan), berfungsinya sektor pembiayaan dan pasar tenaga kerja (termasuk isu-isu perburuhan), regulasi dan perpajakan, birokrasi (dalam waktu dan biaya yang diciptakan), masalah good governance
Analisis Faktor-faktor yang mempengaruhi Investasi PMA di Batam (Zaenuddin : 156 – 166)
termasuk korupsi, konsistensi serta adanya kepastian dari kebijakan pemerintah. Beberapa studi menemukan beberapa hal yang menjadi permasalahan investasi. Laporan Bank Dunia mengenai iklim investasi (World Bank, 2005) mengatakan terdapat empat faktor terpenting dalam menarik investasi, antara lain stabilitas ekonomi makro, tingkat korupsi, birokrasi, dan kepastian kebijakan ekonomi. Begitu juga studi yang dilakukan oleh KPPOD (2003) tentang Pemeringkatan Daya Tarik Investasi tahun terhadap 156 kabupaten/kota di Indonesia terdapat dari 5 (lima) faktor utama pembentuk daya tarik investasi daerah yaitu faktor kelembagaan, faktor sosial politik, faktor ekonomi daerah, faktor tenaga kerja dan produktifitas serta faktor infrastruktur fisik. Studi lainnya yakni survei WEF (2007) menunjukkan bahwa masalah utama yang dihadapi pengusaha di Indonesia berturut-turut adalah masalah infrastruktur yang buruk, birokrasi yang tidak efisien, akses dana terbatas, kebijakan yang tidak stabil, dan perpajakan. Ditetapkannya Batam sebagai daerah FTZ karena tidak terlepas dari keunggulan yang dimiliki oleh Batam selama ini. Di samping memiliki keunggulan geografis yang berbatasan langsung dengan Singapura dan Malaysia, Batam dianggap memiliki keunggulan secara ekonomi, antara lain sebagai
salah satu daerah di Indonesia yang tidak pernah mengalami krisis ekonomi, dikenal sebagai sentra industri elektronika terkemuka di Indonesia, serta merupakan penyumbang ekspor nonmigas kedua terbesar setelah Bali (Kuncoro,2005). Daya tarik Batam sebagai sentra industri di Propinsi Kepulauan Riau (Kepri) serta pusat masuknya PMA ke Indonesia terbukti dari data BKPM (2008) dimana selama tahun 2007 Propinsi Kepri menduduki peringkat pertama dalam persetujuan rencana investasi menurut lokasi di Indonesia. Dari total persetujuan rencana investasi, tercatat sekitar 25% terserap di Propinsi Kepri (BKPM,2008). Pesatnya perkembangan industri dan investasi di Batam diiringi dengan bertambahnya kawasan industri baru yang menjadi sentra-sentra pertumbuhan industri di Batam. Sampai akhir tahun 2006, terdapat 25 kawasan industri yang tersebar di beberapa lokasi di Batam. Untuk peningkatan daya tarik investasi, pengelola kawasan industri melengkapi berbagai fasilitas di dalam kawasan industri antara lain ketersediaan dormitori bagi karyawan, sarana publik, ketersediaan utilitas, jasa maintenance serta kemudahan dalam akses transportasi ke pelabuhan dan bandara (Otorita Batam, 2006). Melihat gambaran permasalahan di atas terlihat bahwa problematika investasi di Indonesia sangat
Sumber: WEF (2007) Gambar-1: Masalah Utama Investasi di Indonesia JEJAK, Volume 2, Nomor 2, September 2009
157
kompleks. Hal ini menjadi tantangan bagi pemerintah untuk berupaya meningkatkan daya saing nasional terutama agar dapat menarik PMA ke Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis faktorfaktor yang dapat mempengaruhi investasi PMA ke Batam dan rekomendasi kebijakan apa yang harus dilakukan oleh pemerintah pusat dan daerah. LANDASAN TEORI Teori Lokasi Menurut Soepono (1999) teori lokasi pada dasarnya merupakan ilmu yang menjelaskan di mana dan bagaimana suatu aktivitas ekonomi memilih lokasinya secara optimal. Dengan demikian keputusan lokasi merupakan keputusan tentang bagaimana perusahaan memutuskan dimana lokasi pabriknya atau fasilitas-fasilitas produksinya secara optimal. Faktor-faktor lokasi merupakan faktor yang mempengaruhi keputusan lokasi suatu aktivitas ekonomi seperti aktivitas produksi atau aktivitas pemberian jasa. Tiap organisasi dari aktivitas ekonomi dipengaruhi oleh faktor-faktor lokasi. Faktor-faktor lokasi yang dimaksud adalah faktor sejarah, faktor transportasi, faktor sumber daya, faktor pasar, faktor tenaga kerja, faktor energi, faktor aglomerasi, faktor kenyamanan (mutu hidup, kualitas hidup, atau gaya hidup), pelayanan publik setempat, pajak, insentif pemerintah, iklim bisnis setempat site costs (harga tanah & gedung, fasilitas perkantoran dan gudang), stabilitas serta iklim politik nasional (Soepono, 1999:7). Faktor-faktor tersebut kemudian dikelompokkan menjadi dua orientasi, yakni lima faktor pertama kecuali faktor sejarah, disebut orientasi transportasi dan faktor-faktor lainnya disebut orientasi masukan lokal. Faktor-faktor yang termasuk orientasi transportasi adalah faktor-faktor lokasi klasik, sedangkan yang termasuk orientasi masukan lokal adalah faktorfaktor lokasi kontemporer atau modern (Soepono, 1999:7). Menurut teori lokasi klasik terdapat 3 (tiga) kemungkinan lokasi yakni lokasi bahan baku, lokasi pasar (kota) dan lokasi antara (lokasi bahan baku dan lokasi kota/pasar). Bila biaya transpor bahan baku dari lokasi bahan baku ke lokasi pabrik/ perusahaan lebih besar daripada biaya transpor barang
158
jadi (lokasi pabrik ke lokasi pasar/kota), perusahaan akan menempatkan lokasi pabriknya di lokasi bahan baku agar dapat meminimumkan total biaya transpor atau memaksimumkan keuntungan sebagai motif ekonomi. Sebaliknya bila transpor barang jadi lebih besar daripada biaya transpor bahan baku, perusahaan memilih lokasi pabrik di dekat lokasi pasar/kota, sebab kalau tidak, perusahaan akan membayar biaya transpor barang jadi lebih banyak (Weber, 1999; Losch,1954: Isard, 1956; Smith, 1981; Beckmann and Thisse, 1986; O’Sullivan, 1993; Soepono, 2002: 4, Wahyuddin, 2004: 12). Menurut Wahyuddin (2004) teori lokasi kemudian berkembang dimana salah satunya adalah teori lokasi modern lanjutan sebagai koreksi dari kelemahan teori klasik. Selain itu juga muncul teori lokasi berdasarkan perspektif geografi ekonomi. Menurut perspektif geografi ekonomi, aktivitas industri membutuhkan fasilitas fisik, bangunan, instalasi permesinan, perlengkapan dan faktor lingkungan kerja (Permadi, 1991:36-40; Sigit,1982:27-28; Wahyuddin, 2004:28). Sejumlah faktor menentukan munculnya industri di suatu wilayah, antara lain faktor ekonomis, historis, manusia, politik, dan faktor geografis dimana faktor geografis terdiri atas bahan mentah, sumber tenaga, suplai tenaga kerja, suplai air, pemasaran dan fasilitas transportasi (Robinson, 1979:183-188, Wahyuddin, 2004:28). Kajian lokasi industri bertujuan untuk menemukan lokasi optimal (optimum location) bagi setiap pabrik atau industri, yaitu lokasi yang terbaik secara ekonomis yakni biaya yang paling rendah atau pendapatan yang paling tinggi. Karena itu teori lokasi biasanya dibagi menjadi dua jenis yang membahas least cost location dan yang membahas maximum revenue locations (Mcrrill,1970:87; Wahyuddin, 2004: 30). Teori Motivasi FDI Penanaman Modal Asing (PMA) merupakan aliran arus modal yang berasal dari luar negeri yang mengalir ke sektor swasta baik yang melalui investasi langsung (direct investment) maupun investasi tidak langsung berbentuk portofolio. Investasi langsung (direct investment) merupakan investasi yang melibatkan pihak investor secara langsung dalam operasional usaha yang dilaksana-
Analisis Faktor-faktor yang mempengaruhi Investasi PMA di Batam (Zaenuddin : 156 – 166)
kan, sehingga dinamika usaha yang menyangkut kebijakan perusahaan yang ditetapkan, tujuan yang hendak dicapai, tidak lepas dari pihak yang berkepentingan (investor asing). Sedangkan, investasi tidak langsung (portofolio) merupakan investasi keuangan yang dilakukan di luar negeri. Investor membeli utang atau ekuitas, dengan harapan mendapat manfaat finansial dari investasi tersebut. Bentuk investasi portofolio yang sering ditemui adalah pembelian obligasi/saham dalam negeri oleh orang/perusahaan asing (Didit&Indah, 2005: 26-47).
memberikan instrumen yang valid dalam membantu studi dan dukungan untuk keputusan lokasi industri. Studi ini menghasilkan suatu instrumen untuk mengidentifikasi kumpulan 14 faktor kritis atas lokasi industri yang telah dikembangkan dan disintesakan dari literatur. Faktor kritis yang tersebut antara lain faktor transportasi, tenaga kerja, raw materials, pasar, kawasan industri, ketersediaan utilitas, kondisi pemerintah, struktur pajak, iklim, dan masyarakat serta situasi politik, kompetisi global, regulasi pemerintah dan faktor-faktor ekonomi.
Terdapat tiga sumber utama modal asing dalam suatu negara yang menganut sistem perekonomian terbuka, yaitu pinjaman luar negeri (debt) dimana pinjaman luar negeri dilakukan oleh pemerintah secara bilateral maupun multilateral. Kedua adalah penanaman modal asing langsung (Foreign Direct Investment/FDI) dimana FDI merupakan investasi yang dilakukan swasta asing ke suatu negara, berupa cabang perusahaan multinasional, anak perusahaan multinasional, lisensi, joint ventura. Ketiga adalah investasi portofolio merupakan investasi yang dilakukan melalui pasar modal (Didit&Indah, 2005 : 26-47).
Studi Fuad Erdal & Ekrem Tatoglu (2002) menjelaskan determinasi yang berhubungan dengan lokasi atas FDI dengan pendekatan analisis time series atas faktor lokasi utama yang mempengaruhi atas tingkat aliran FDI untuk periode tahun 19801998 di Turki. Hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel penjelas yang signifikan berpengaruh positif terhadap variabel dependen FDI adalah ukuran market domestic, perdagangan luar negari, infrastruktur dan daya tarik domestik. Ketidakstabilan nilai tukar berpengaruh negatif dan signifikan, ketidakstabilan ekonomi tidak signifikan.
Terdapat beberapa motivasi FDI masuk ke dalam suatu negara atau daerah, menurut UNCTAD (1998) terdapat 3 (tiga) alasan untuk melakukan investasi antara lain market-seeking, resourceseeking dan efficiency-seeking. Motivasi marketseeking FDI bertujuan untuk menembus pasar negara domestik dan umumnya dihubungkan dengan ukuran pasar dan pendapatan per kapita, pertumbuhan pasar, akses ke pasar global dan regional, struktur dan pilihan konsumen pasar domestik. Motivasi resource-asset dari FDI berdasarkan alasan harga bahan baku, menurunkan biaya tenaga kerja, angkatan kerja, tenaga kerja terampil, infrastruktur fisik (pelabuhan, jalan, dan telekomunikasi),dan teknologi. Sedangkan efficiency-seeking FDI karena dimotivasi untuk menciptakan sumber daya saing yang baru bagi perusahaan serta karena biaya-biaya produksi yang lebih rendah termasuk juga pertimbangan produktivitas. Penelitian Sebelumnya Studi Masood A Badri (2007) menggunakan survei ke industri di 23 negara dan mendukung untuk
Studi Khasanah & Kurniawan (2005) secara khusus menganalisis faktor-faktor penentu investasi asing langsung dalam memilih lokasi industri manufaktur di tingkat kabupaten/kota di Pulau Jawa. Faktor-faktor penentu tersebut adalah faktor tenaga kerja, faktor pasar, faktor efek aglomerasi, infrastruktur, waktu dan heterogenitas regional. Dalam penelitian ini terlihat bahwa variabel yang berpengaruh secara signifikan terhadap pemilihan lokasi FDI adalah variabel dummy metropolitan, perpajakan, dana kredit domestik, dan market size serta faktor ketersediaan tenaga kerja. Namun faktor yang berhubungan dengan pasar menjadi faktor utama bagi FDI untuk menentukan lokasinya (market seeker). Studi Shaukat Ali dan Wei Guo (2005) menggunakan metode survei terhadap 22 industri di China. Faktor-faktor yang dianggap mempengaruhi keputusan investor di China antar lain market size, growth, nilai tukar, pengembalian investasi, kebijakan insentif pemerintah, stabilitas politik, strategi global dari perusahaan, ekspor, teknologi & infrastruktur. Kesimpulan dari studi ini adalah market size merupakan faktor utama FDI khususnya perusahaan US. Penemuan lainnya adalah strategi global merupakan alasan berinvestasi di China.
JEJAK, Volume 2, Nomor 2, September 2009
159
Tabel 1 di bawah ini.
METODE PENELITIAN Data dalam penelitian ini diperoleh dari beberapa sumber antara lain; Otorita Batam (OB), Dinas Tenaga Kerja Kota Batam, Pengelola Kawasan Industri, Dinas Perdagangan dan Perindustrian Kota Batam, BPS Kota Batam, dan PLN Kota Batam. Selanjutnya, untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi aliran PMA di Batam diperoleh data dari berbagai sumber dengan mengelompokkannya ke dalam 16 kawasan industri di Batam. Periode penelitian selama 3 (tiga) tahun yakni tahun 20052007. Definisi Operasional Variabel Agar variable yang digunakan dalam penelitian ini dapat diaplikasikan dengan baik, maka terlebih dulu variable tersebut harus didefinisikan secara operasional. Definisi operasional dan dimensi ukur variabel penelitian yang dimaksud dapat dilihat pada
Alat Analisis Untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi aliran PMA berdasarkan lokasi dalam kawasan industri di Batam digunakan analisis regresi dengan menggunakan data panel (16 kawasan industri pada tahun 2005-2007). Alat analisis yang digunakan adalah metode kuadrat terkecil (OLS). Persamaan regresi menggunakan variabel dependen nilai rencana investasi PMA (FDI) dengan nilai variabel independen masing-masing rental rate (C1), maintenance fee (C2), tenaga kerja (L), nilai ekspor (M) dan daya listrik yang digunakan (I), sebagai berikut: FDIit = a0 + a1C1it + a2C2it + a3Lit + a4Mit + a5Eit + μit
(1)
Tabel 1: Definisi Operasional Variabel Dependen dan Independen Variabel
Definisi (Satuan)
Sumber Data
Dasar Penelitian Sebelumnya
Keterangan
FDI
Aliran PMA/rencana investasi di 16 kawasan industri, 2005-2007 (US$...)
Otorita Batam
(Masood,2007) (Nguyen,2006) (Kurniawan,2005) (Fuad,2002)
C1
rental rate dari masing-masing kawasan industri per tahun (SGD..sqm/month)
Otorita Batam
(Masood,2007)
sebagai proxy variabel biaya
C2
maintenance fee dari masing-masing kawasan industri per tahun (SGD ...sqm/month)
Otorita Batam
(Masood,2007)
sebagai proxy variabel biaya
L
Total tenaga kerja masing- masing kawasan industri per tahun (.... orang)
Disnaker Kota (Masood,2007) Batam (Nguyen,2006) (Kurniawan,2005)
sebagai proxy variabel ketersediaan tenaga kerja
M
Nilai/Volume ekspor masing-masing kawasan industri per tahun (US$ ...)
BPS Kota (Masood,2007), Batam dan (Nguyen,2006) Otorita Batam (Kurniawan,2005) (Fuad,2002)
sebagai proxy akses ke pasar global/ regional
I
Daya Listrik masing-masing kawasan industri per tahun (...kVA)
µ
Variabel gangguan
i
Kawasan industri di Batam
t
Tahun (2005-2007)
Kantor PLN Kota Batam
(Masood,2007) (Kurniawan,2005) (Fuad,2002)
Mengukur proxy ketersediaan infrastruktur
Sumber : Olahan dari penelitian sebelumnya 160
Analisis Faktor-faktor yang mempengaruhi Investasi PMA di Batam (Zaenuddin : 156 – 166)
900 800 700 600
471
531
4
3
5 Ok t '0 6
20 0
20 0
1
0
2
20 0
20 0
20 0
9
8
7
813 875
394
19 9
19 9
6
280
19 9
5
4
3
241
19 9
19 9
19 9
2 19 9
100 0
19 9
200
158 196 112 134
336
20 0
500 400 300
688
611
750
PMA BARU
Sumber: Otorita Batam (2006) Gambar 2: Nilai Kumulatif PMA di Batam per tahun
Alat analisis yang digunakan adalah uji statistik yang terdiri dari Uji t dan Uji F, kemudian diikuti dengan Uji R2. Uji t bertujuan untuk melihat seberapa jauh pengaruh satu variabel bebas secara individual dalam menerangkan variasi variabel terikat. Uji F bertujuan untuk melihat apakah semua variabel bebas yang dimasukkan dalam model mempunyai pengaruh secara bersama-sama terhadap variabel terikat. Uji Koefisien Determinasi (R2) digunakan untuk menguji kualitas model. Nilai koefisien determinasi mengukur seberapa jauh kemampuan model dalam menerangkan variasi variabel terikat serta pengaruhnya secara general, dengan range antara 0 sampai 1. Nilai R2 mendekati 1 berarti variabelvariabel bebas memberikan hampir semua informasi yang dibutuhkan untuk memprediksi variasi variabel terikat.
tan, China, Taiwan, USA, Australia, Inggris, Jerman, dan sebagainya.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Perkembangan Biaya Sewa Lahan dan Pemeliharaan di Batam Tahun 2005-2007
Perkembangan Investasi PMA di Kota Batam Batam dikenal sebagai sentra industri elektronika terkemuka di Indonesia. Ketika arus PMA yang masuk ke Indonesia menurun sejak krisis, Batam tetap merupakan daerah tujuan investasi yang menarik dibanding daerah manapun di Indonesia. Total PMA yang masuk ke Batam sampai dengan Oktober 2006 mencapai 875 PMA dengan nilai investasi sebesar US$ 4,346,609,943 dari total investasi sebesar US$ 5,470,110,526.32 (Otorita Batam, 2006). Negara asal PMA terbanyak adalah Singapura dan Jepang, kemudian Malaysia, Korea Sela-
Perkembangan Nilai PMA/Rencana Investasi di Batam Tahun 2005-2007 Data nilai PMA diperoleh dari estimasi rencana nilai investasi perusahaan PMA di Batam antara tahun 2005-2007. Tingkat kenaikan rencana investasi antar kawasan indusri rata-rata 5,48 % pada tahun 2006. Pada tahun 2007 meningkat sebesar 27,39%. Dilihat dari perbandingan rencana nilai investasi antara 16 kawasan industri, dari tiga tahun terakhir kawasan industri yang paling banyak menyerap nilai PMA adalah Kasawan Industri Mukakuning sebesar rata-rata 66% dari total rencana nilai investasi antar 16 kawasan industri tersebut.
Data tentang biaya yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah rental rate (biaya sewa lahan) dan maintenance fee (biaya pemeliharaan) yang masing-masing ditentukan oleh pengelola kawasan. Data diperoleh dari Otorita Batam dengan nilai satuan SGD ... sqm/month. Tingkat kenaikan rental rate antara kawasan indusri rata-rata 10 % per tahun. Sedangkan tingkat kenaikan maintenance fee agak fluktuatif dimana pada tahun 2006 sebesar 17% sementara pada tahun 2007 sebesar 7%. Tabel 3 menunjukkan perbadingan rental rate dan mainte-
JEJAK, Volume 2, Nomor 2, September 2009
161
nance fee antara 16 kawasan industri di Batam tahun 2005-2007. Perkembagangan Ketersediaan Tenaga Kerja di Batam Tahun 2005-2007 Data kebutuhan tenaga kerja diperoleh dari Dinas Tenaga Kerja Kota Batam yang telah mengelompokkan kebutuhan tenaga kerja per kawasan industri di Batam antara tahun 2005-2007. Dilihat dari
perbandingan tenaga kerja antara 16 kawasan industri, kawasan yang paling banyak menyerap tenaga kerja adalah Kawasan Industri Mukakuning yang menyerap 62% dari total kebutuhan tenaga kerja antara kawasan tersebut (2007) meningkat dibandingkan tahun 2006 (59%) namun menurun dibandingkan tahun 2005 (75%). Tabel 4 menunjukkan kebutuhan kebutuhan tenaga kerja oleh 16 kawasan industri di Batam, 2005-2007.
Tabel 2: Nilai PMA/Rencana Investasi 16 Kawasan Industri di Batam, 2005-2007 Nilai PMA / Rencana Nilai Investasi (US$) 2005 % 2006 % 2007 1 Batamindo Industrial Est. 453,738,231 68 464,642,460 66 475,928,331 2 Bintang Industrial Park II 19,942,000 3.0 20,342,000 2.9 21,542,000 3 Cammo Industrial Park 14,016,387 2.1 15,053,387 2.1 15,403,387 4 Citra Buana Centre Park I 10,040,039 1.5 12,440,039 1.8 14,665,039 5 Citra Buana Centre Park II 2,932,244 0.4 2,932,244 0.4 3,332,244 6 Citra Buana Centre P. III 10,132,203 1.5 13,122,203 1.9 15,347,203 7 Hijrah Industrial Park 6,576,546 0.9 10,576,546 1.5 10,976,546 8 Indah Industrial Park 2,060,000 0.3 2,060,000 0.2 2,460,000 9 Kabil Industrial Park 81,910,810 12 82,860,810 12 230,577,810 10 Kara Industrial Park 10,460,203 1.6 13,360,203 1.9 14,560,203 11 Latrade Industrial Park 9,970,000 1.5 15,920,000 2.3 17,170,000 12 Panbil Industrial Estate 5,210,000 0.7 8,550,000 1.2 19,600,000 13 Puri Industrial Park 2000 1,678,298 0.3 1,678,298 0.2 2,078,298 14 Taiwan Internasional Ind. 18,600,000 2.8 19,070,000 2.7 19,840,000 15 Tunas Industrial Estate 14,190,000 2.1 14,770,000 2.1 15,170,000 16 Union Industrial Park 2,573,150 0.4 3,023,150 0.4 3,623,150 Sumber: Data Olahan dari Otorita Batam (2007) No
Kawasan Industri
% 66 2.9 2.1 1.8 0.4 1.9 1.5 0.3 11 1.9 2.3 1.2 0.2 2.7 2.1 0.4
Tabel 3: Biaya Sewa Lahan dan Pemeliharaan oleh 16 Kawasan Industri di Batam, 2005-2007
Sumber : Data Olahan dari Otorita Batam (2007). 162
Analisis Faktor-faktor yang mempengaruhi Investasi PMA di Batam (Zaenuddin : 156 – 166)
Perkembangan Nilai Ekspor di Batam Tahun 2005-2007
Perkembangan Kebutuhan Daya Listrik di Batam Tahun 2005-2007
Nilai ekspor diperoleh dari data estimasi dengan melakukan kombinasi pengolahan data antara data agregat ekspor yang dimiliki oleh BPS Batam (berdasarkan komoditas utama) disesuaikan dengan bidang atau sektor usaha perusahaan dalam masingmasing-masing kawasan industri yang dimiliki oleh Kantor Otorita Batam. Dari hasil olahan data, dalam tiga tahun terakhir tingkat kenaikan nilai ekspor antar kawasan industri rata-rata 10% per tahun. Dilihat dari perbandingan nilai ekspor antar 16 kawasan industri, kawasan yang paling banyak menyumbang nilai ekspor adalah Kawasan Industri Mukakuning yakni rata-rata sebesar 32% per tahun dari total nilai ekspor antar kawasan tersebut.
Nilai daya listrik adalah menggunakan estimasi daya listrik yang diperoleh dari Kantor PLN Kota Batam dengan melakukan estimasi data dengan cara menyesuaikan alamat dan bidang atau sektor usaha yang dimiliki oleh Kantor PLN Kota Batam dengan mengkombinasikan data perusahaan yang dimiliki oleh Otorita Batam dengan menggunakan beberapa asumsi tingkat kenaikan daya listrik oleh PLN Batam. Dari tabel 6 Kawasan Industri Mukakuning merupakan kawasan yang membutuhkan daya listrik terbanyak, dalam kurun waktu 3 tahun terakhir kawasan ini membutuhkan pasokan rata-rata 15% dibandingkan kawasan lainnya.
Tabel 4: Ketersediaan Tenaga Kerja oleh 16 Kawasan Industri di Batam, 2005-2007 No
Tenaga Kerja
Kawasan Industri
2005
%
123,691
75
70,99
59
82,35
62
5,988 4,925
3.6 3.0
6,012 5,039
5.1 4.2
6,616 5,313
5.1 4.1
2006
%
2007
%
1
Batamindo Industrial Estate
2 3
Bintang Industrial Park II Cammo Industrial Park
4 5
Citra Buana Centre Park I Citra Buana Centre Park II
10,211 1,324
6.2 0.8
8,923 1,157
7.5 0.9
9,266 1,201
7.1 0.9
6 7
Citra Buana Centre Park III Hijrah Industrial Park
2,458 1,554
1.5 0.9
2,148 1,253
1.8 1.1
2,231 1,356
1.7 1.0
8 9
Indah Industrial Park Kabil Industrial Park
984 3,893
0.6 2.4
1,240 4,287
1.0 3.6
1,145 3,022
0.9 2.3
10 11
Kara Industrial Park Latrade Industrial Park
2,098 2,775
1.3 1.7
2,105 4,054
1.8 3.4
2,373 4,466
1.8 3.4
12 13
Panbil Industrial Estate Puri Industrial Park 2000
1,990 779
1.2 0.5
4,208 1,632
3.5 1.4
4,889 1,208
3.7 0.9
14 15
Taiwan Internasional Ind. Estate Tunas Industrial Estate
281 1,059
0.2 0.6
233 5,014
0.2 4.2
212 5,448
0.2 4.1
16
Union Industrial Park
157
0.1
292
0.2
309
0.24
Sumber : Dinas Tenaga Kerja Kota Batam (2007)
JEJAK, Volume 2, Nomor 2, September 2009
163
Tabel 5: Nilai Ekspor oleh 16 Kawasan Industri di Batam, 2005-2007 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
Nlai Ekspor
Kawasan Industri Batamindo Industrial Est. Bintang Industrial Park II Cammo Industrial Park Citra Buana Centre P. I Citra Buana Centre P. II Citra Buana Centre P. III Hijrah Industrial Park Indah Industrial Park Kabil Industrial Park Kara Industrial Park Latrade Industrial Park Panbil Industrial Estate Puri Industrial Park 2000 Taiwan Internasional Tunas Industrial Estate Union Industrial Park
2005
%
2006
%
2007
%
1,651,118,362.37 672,271,126.55 415,988,443.76 394,189,274.33 99,114,956.01 169,406,924.21 149,856,212.80 75,002,963.14 165,100,781.47 327,819,342.50 162,010,235.08 203,012,954.57 74,671,085.04 243,006,892.97 222,989,830.56 165,568,211.05
31 12 8.0 7.6 1.9 3.3 2.9 1.4 3.2 6.3 3.1 3.9 1.4 4.7 4.3 3.2
1,680,500,869.63 700,116,788.04 420,508,207.04 513,936,029.37 35,403,660.93 221,802,308.68 107,308,787.06 52,589,087.15 257,789,080.20 303,341,409.24 123,077,628.22 262,404,460.66 94,503,147.24 107,821,808.36 272,744,315.55 89,194,070.62
32 13 8.0 9.8 0.7 4.2 2.0 1.0 4.9 5.8 2.3 5.0 1.8 2.1 5.2 1.7
1,848,550,956.59 770,128,466.85 462,559,027.74 565,329,632.31 38,944,027.02 243,982,539.55 118,039,665.77 57,847,995.86 283,567,988.22 333,675,550.17 135,385,391.05 288,644,906.73 103,953,461.96 118,603,989.19 300,018,747.11 98,113,477.68
32 13 8.0 9.8 0.7 4.2 2.0 1.0 4.9 5.8 2.3 5.0 1.8 2.1 5.2 1.7
Sumber : Data Olahan dari BPS Kota Batam dan Otorita Batam (2007)
Tabel 6: Kebutuhan Daya Listrik oleh 16 Kawasan Industri di Batam (dalam kVA), 2005-2007 No
Kawasan Industri
Kebutuhan Daya Listrik 2005
1 Batamindo Industrial Est. 13,011,715.85 2 Bintang Industrial Park II 5,873,860.30 3 Cammo Industrial Park 5,620,078.07 4 Citra Buana Centre I 3,203,514.14 5 Citra Buana Centre II 5,423,115.21 6 Citra Buana Centre III 4,838,043.74 7 Hijrah Industrial Park 2,673,418.58 8 Indah Industrial Park 2,937,237.39 9 Kabil Industrial Park 6,045,711.22 10 Kara Industrial Park 6,207,525.55 11 Latrade Industrial Park 6,785,550.93 12 Panbil Industrial Estate 7,137,855.55 13 Puri Industrial Park 2000 4,963,398.64 14 Taiwan Internasional 3,384,582.33 15 Tunas Industrial Estate 4,765,042.94 16 Union Industrial Park 4,131,795.86 Sumber: Data Olahan dari PLN Kota Batam (2008)
Analisis Faktor-faktor Investasi PMA di Batam
yang
Mempengaruhi
Dengan menggunakan metode kuadrat terkecil (OLS) dari analisis linier berganda, hasil estimasi faktor-faktor yang mempengaruhi investasi PMA di 164
% 15 6.7 6.5 3.7 6.2 5.6 3.1 3.4 6.9 7.1 7.8 8.2 5.7 3.9 5.5 4.8
2006 14,239,128.75 6,427,949.55 6,150,227.70 3,505,706.00 5,934,685.06 5,294,423.00 2,925,605.80 3,214,311.00 6,616,011.40 6,793,089.90 7,425,641.20 7,811,179.20 5,431,602.80 3,703,854.60 5,214,535.94 4,521,553.80
%
2007
%
15 6.8 6.5 3.7 6.2 5.6 3.1 3.4 6.9 7.1 7.8 8.2 5.7 3.9 5.5 4.7
15,881,250 7,169,250 6,859,500 3,910,000 6,619,100 5,905,000 3,263,000 3,585,000 7,379,000 7,576,500 8,282,000 8,712,000 6,058,000 4,131,000 5,815,900 5,043,000
15 6.7 6.5 3.7 6.2 5.6 3.1 3.4 6.9 7.1 7.8 8.2 5.7 3.8 5.5 4.7
Batam adalah nampak seperti pada Tabel 7 berikut. Hasil pengolahan data (tabel 7) memberikan output yang menginformasikan bahwa Adj R2 besar yaitu 0.924 yang berarti bahwa 92,4% variabelvariabel bebas yang digunakan dalam model ini
Analisis Faktor-faktor yang mempengaruhi Investasi PMA di Batam (Zaenuddin : 156 – 166)
Tabel 7: Hasil Estimasi Faktor-faktor yang Mempengaruhi Investasi PMA di Batam
B
Model 1
Std. Error
Beta
t
Sig. Lower Bound
-2.917 .006
Upper Bound
(Constant) -7.0E+07
2.4E+07
-117688947 -21442484.9
C1
3723873
7984915
.041
.466 .643
-12390337.7 19838082.95
.801
.072 .019
.211
4.738
C2
3.2E+08
5.4E+07
.387
5.955 .000
211575209.5 428484683.5
.862
.677 .239
.383
2.610
L
2033.611
549.334
.403
3.702 .001
925.010
3142.213
.916
.496 .149
.136
7.344
M
.058
.028
.205
2.041 .048
.001
.116
.873
.300 .082
.161
6.229
I
.936
4.007
.222
.234 .816
-7.151
9.023
.822
.036 .009
.182
5.481
a. Dependent Variable: PMA
Change Statistics Model
R
R Square
Adjusted R Square
Std. Error of the Estimate
R Square Change
1
.965 a
.932
.924
31566751.5
.932
F Change df1 df2 Sig. F Change 115.342
5
42
.000
Durbin Watson 2.090
a. Predictors: (Constant), I, C2, M, C1, L b. Dependent Variable: PMA
mampu menjelaskan nilai PMA secara keseluruhan. Sedangkan, sisanya sebesar 7,6% dipengaruhi oleh variabel-variabel lain di luar model. Nilai ini menunjukkan bahwa model sudah menunjukkan kecocokan (goodness of fit). Dari hasil pengolahan data (tabel 7) memperlihatkan bahwa variabel maintenance fee (C2), tenaga kerja (L) dan Ekspor (M) secara statistik signifikan mempengaruhi aliran FDI di Batam dengan derajat kepercayaan 5%. Sedangkan variabel rental rate (C1) dan daya listrik (I) secara statistik tidak signifikan mempengaruhi aliran FDI di Batam. Dengan memasukkan koefisien masing-masing variabel ke dalam persamaan regresi, diperoleh model persamaan garis regresi sebagai berikut: FDIit = -7,0x107 + 3723873C1it + 3,2x108C2it + 2033,611Lit + 0,058Mit + 0,936Iit + μit Dari hasil olahan data terlihat bahwa variabel maintenance fee (C2) berpengaruh signifikan terhadap FDI dengan t=5,955 (sign.0,000) dengan koefisien sebesar 3,2X108, yang berarti bahwa setiap kenaikan C2 sebesar SGD 1 sqm/month akan meningkatkan aliran FDI sebesar US$ 3,2x108. Variabel tenaga kerja (L) berpengaruh signifikan terhadap FDI dengan t=3,702 (sign.0,001) dengan koefisien sebesar 2033,611, ini berarti bahwa setiap kenaikan L sebesar 1 orang tenaga kerja akan meningkatkan FDI sebesar US$ 2033,611. Variabel ekspor (M) berpengaruh signifikan terhadap FDI dengan t=2,041
(sign.0,048) dengan koefisien sebesar 0,058, ini berarti bahwa setiap kenaikan M sebesar US$ 1 akan meningkatkan aliran FDI sebesar US$ 0,058. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Dengan berbagai keunggulan strategis yang dimilikinya, Batam kini menjadi daerah tujuan investasi yang menarik bagi penanaman modal asing langsung (Foreign Direct Investment) sehingga investasi PMA di Batam mengalami pertumbuhan yang cukup tinggi. Dalam perkembangannya, investasi PMA di Batam pada tahun 2005-2007 banyak faktor yang berpengaruh secara signifikan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel maintenance fee, tenaga kerja dan ekspor secara statistik signifikan mempengaruhi aliran PMA di Batam. Variabel rental rate dan daya listrik tidak signifikan mempengaruhi aliran PMA di Batam. Saran Bagi pengelola kawasan industri dapat menggunakan hasil penelitian ini sebagai bahan masukan atau referensi untuk peningkatan pelayanan dalam kawasan industri agar dapat menarik investor ke dalam kawasan industri di Batam. Sesuai hasil penelitian pengelola kawasan industri perlu melakukan pembenahan terhadap infrastruktur atau fasilitas
JEJAK, Volume 2, Nomor 2, September 2009
165
yang tersedia serta pelayanan di dalam kawasan industri, pentingnya pemeliharaan fasilitas kawasan yang didukung dengan biaya pemeliharaan yang kompetitif, peningkatan kualitas sarana dan pelayanan untuk peningkatan nilai ekspor, ketersediaan dan peningkatan skill tenaga kerja, mengingat bahwa faktor-faktor tersebut sangat signifikan mempengaruhi peningkatan investasi asing (PMA) ke Batam. DAFTAR PUSTAKA Ali, Shaukat & Guo,Wei, 2005, “Determinant of FDI in China”, Journal of Global Business and Technology, Volume 1, Number 2.
KPPOD, 2003, Daya Tarik Investasi Kabupaten/Kota di Indonesia, Jakarta: KPPOD. Kuncoro, M., 2005, Obsesi Dayang Saing dan Investasi, Artikel dalam On Line 23 Maret 2005 http://www.mudrajad.com Kuncoro, M., 2005, Batam dan Reformasi Iklim Investas,. Artikel dalam Gatra On Line 23 Maret 2005. http://www.gatra.com Kuncoro, M., 2005, “Menanti Reformasi Iklim Bisnis Indonesia”, Jurnal Ilmu-ilmu Sosial –UNISIA, No. 55/XVIII/I/2005. Otorita Batam, 2006, Profile of Industrial Estat,. Batam: Otorita Batam.
Ambarsari, Indah & Purnomo, Didit, 2005, “Studi tentang Penanaman Modal Asing di Indonesia”, Jurnal Ekonomi dan Pembangunan, Volume 6, No. 1, hal. 26-47.
Soepono, Prasetyo, 1999, ”Teori Lokasi: Representasi Landasan Mikro bagi Teori Pembangunan Daerah”. Jurnal Ekonomi dan Bisnis, Vol. 14, No. 4, hal. 4-44
Badri, A. Masood, 2007, “Dimensions of Industrial Location Factors: Review and Exploration”, Journal of Business and Public Affair, Volume 1, Issue 2.
Soepono, Prasetyo, 2002, Lokasi Perusahaan dan Implikasinya bagi Kebijakan. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar, 22 Juni 2002, Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
BKPM, 2008. Investmet Statistics 2007, Indonesia’s Investment Coordinating Board dalam http://www.bkpm.go.id BPS, 2007, Batam dalam Angka 2006, Batam: Badan Pusat Statistik. Dinas Tenaga Kerja Kota Batam, 2008, Jumlah Tenaga Kerja per Kawasan Industri di Batam 2004-2007. Batam: Dinas Tenaga Kerja Kota Batam. Fuad, Erdal & Ekrem, Tatoglu, 2002, “Locational Determinant of Foreign Direct Invesment in a Emerging Market Economy: Evidence from Turkey”. Multinational Business Review, Vol.10, No.1. Gujarati, 2003, Basic Econometrcs. New York: McGraw-Hill Companies, Inc. Khasanah, Uswatun & Kurniawan, Ade, Budi, 2005, “Determinan Investasi Asing dalam Memilih Lokasi dan Polarisasi Industri Manufaktur di Pulau Jawa”, Jurnal Ekonomi dan Studi Pembangunan, Volume 6 Nomor 2.
166
Tambunan, Tulus, 2006, Iklim Investasi di Indonesia: Masalah, Tantangan dan Potensi”, Artikel dalam www.kadin-indonesia.or.id UNCTAD, 2006, World Investment Report, New York: United Natons Conference on Trade and Investment. Wahyuddin, Muhammad. 2004. Dinamika Spatial Manufaktur Berorientasi Ekspor Indonesia, 1990-1999. Unpublished PhD tesis, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. WEF, 2005, The Global Competitiveness Report 2005-2006,. Geneva: World Economic Forum. World Bank, 2005, Laporan Pembangunan Dunia 200,Jakarta: Penerbit Salemba Empat. Yonathan, S., Hadi, 2001, “Analisis Vector Autoregression (VAR) terhadap Korelasi antara Pendapatan Nasional dan Investasi Pemerintah di Indonesia, 1983/1984 – 1999/2000”, Jurnal Ekonomika, Vol.2, No. 3.
Analisis Faktor-faktor yang mempengaruhi Investasi PMA di Batam (Zaenuddin : 156 – 166)
IDENTIFIKASI POTENSI EKONOMI DAERAH BOYOLALI, KARANGANYAR, DAN SRAGEN Kartika Hendra Titisari Fakultas Ekonomi Universitas Batik Surakarta) email:
[email protected]
ABSTRACT The implementation of regional autonomy requires local governments explore the economic potential existing in the region to be able to complete with other regions. One of the implications is of central government being reduced in managing development. Therefore, local revenues have to be found, so that development can be continously financed. One of the strategies that have to be done by the local government is to stimulate economic sectors, that are potential to develop and able to complete with other regions in Central Java, as source of local development funding. This research will analyze the economic potential of the region Boyolali, Karanganyar and Sragen with an analysis of internal and external potential. From the analysis of economic sectors that have the potential competitiveness comparative and competitive superior to the growth of economic activity total for the three areas is agriculture. Keywords: GDP, Sector, Internal Potential, External Potential PENDAHULUAN Reformasi telah mendorong timbulnya perubahan wacana yang nampak menimbulkan terciptanya peluang bagi perbaikan kehidupan politik dan ekonomi di daerah. Otonomi daerah sebagai kewenangan daerah otonomi untuk mengatur dan mengurusi kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan, sesuai dengan misi pokok dari UU No. 32 dan UU No. 33 Tahun 2004 nampaknya menjadi bahasan penting. Ada beberapa faktor yang menguntungkan bagi pembangunan daerah antara lain pengelolaan dan pemecahan masalah pembangunan di daerah dapat lebih bertanggung jawab, terbukanya peluang untuk menggali potensi daerah dan mengembangkan ekonomi pedesaan termasuk lima kabupaten yang akan dijadikan sebagai obyek penelitian. Disamping itu otonomi daerah juga memiliki kelemahan, antara lain jadwal liberalisasi perdagangan, hambatan struktural dan bahkan ada daerah menanggapi negatif karena merasa tidak memiliki sumber daya alam. Terlepas dari kelemahan di atas, seharusnya daerah menyambut gembira dan bertanggung jawab atas proses demokratisasi pemerintah daerah dengan melakukan antisipasi pelaksanaan Undang-Undang tersebut. Antisipasi dari pemerintah daerah
adalah salah satunya dengan mencari sektor unggulan tertentu yang berbeda dari daerah lain. Diberlakukannya otonomi daerah mengharuskan Pemerintah Daerah menggali potensi-potensi ekonomi yang ada di wilayahnya agar mampu bersaing dengan daerah lainnya. Sektor unggulan merupakan sektor yang dapat memenangkan persaingan dengan daerah-daerah lain dalam sektor-sektor yang sama. Hal ini dapat dilihat dari pangsa pasar atau sumbangan setiap sektor pada Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) atas dasar harga konstan., sektor-sektor potensial dan sektor unggulan daerah. Penelitian ini akan menyediakan bukti empiris mengenai kinerja ekonomi yang dilihat dari aspek pertumbuhan ekonomi daerah, sektor-sektor potensial dan sektor unggulan. Penelitian dilakukan di Boyolali, Karanganyar dan Sragen. METODE PENELITIAAN Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif, yang menggambarkan kondisi ekonomi Boyolali, Karanganyar, dan Sragen dalam lingkup propinsi Jawa Tengah. Periode penelitian adalah tahun 19992003.
JEJAK, Volume 2, Nomor 2, September 2009
167
Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan model ekonomi regional yang digunakan untuk: 1) Mengukur tingkat pertumbuhan PDRB dan kontribusi masing-masing sektor serta membandingkan perkembangan dengan times series 2) Analisis Tipologi Klassen, Analisis ini untuk mengetahui klasifikasi laju peratumbuhan ekonomi daerah penelitian dibandingkan dengan ekonomi JawaTengah. PDRB perkapita (y) Laju pertumbuhan (r)
y1>r
y1
r1>r
Pendapatan tinggi dan pertumbuhan tinggi
Pendapatan rendah dan pertumbuhan tinggi
r1
Pendapatan tinggi dan pertumbuhan rendah
Pendapatan rendah dan pertumbuhan rendah
Sumber: Hill dalam Apriliyanto, 2003
y
di mana : r1 : Laju pertumbuhan PDRB daerah penelitian r : Laju pertumbuhan total PDRB di Jawa Tengah y1 : Pendapatan per kapita daerah penelitian : Pendapatan total per kapita di Jawa Tengah.
3) Menentukan sektor unggulan daerah penelitian dengan alat analisis "Location Quotient" (LQ):
LQ statis =
Q si ΣQ s Qm ΣQ JT
LQ dinamis =
ΔQ si ΣΔQ s ΔQ m ΣΔQ JT
Di mana : Qsi = Nilai PDRB Sektor tertentu di daerah penelitian ΣQs = Total Nilai PDRB di daerah penelitian Qm = Nilai PDRB Sektor Teatentu di Jawa Tengah ΣQJT = Total Nilai PDRB di JawaTengah Dari hasil perhitungan LQ ini dapat diketahui bahwa apabila: LQ suatu sektor > 1 dikatakan sektor unggulan LQ suatu sektor < 1 dikatakan sektor bukan unggulan LQ suatu sektor = l dikatakan setingkat sektor tingkat propinsi Semakin tinggi nilai LQ suatu sektor berarti se168
makin tinggi pula competitive advantage daerah yang bersangkuta dalam mengembangkan sektor tersebut. 4) Analisis Model Rasio Pertumbuhan Model rasio pertumbuhan ini untuk melihat diskripsi kegiatan ekonomi, terutama stnilctur ekonomi daerah penelitian, yang lebih menekankan pada kriteria pertumbuhan. Terdapat dua rasio yaitu, (a) Rasio Pertumbuhan Wilayah Studi (RPS) dan (b) Rasio Peitumbuhan Referensi (RPR).
DEij
RPS =
EiR( t ) DEiR EiR( t ) DEiR
RPS =
DER
EiR ( t ) ER ( t )
Di mana : : Perubahan pendapatan kegiatan i di Dij daerah penelitian pada periode waktu t dan t + l DER : Perubahan PDRB di propinsi Jawa Tengah DEiR : Perubahan pendapatan kegiatan I di propinsi Jawa Tengah EiR(t) : Perubahan pendapatan kegiatan I di daerah penelitian ER : PDRB wilayah referensi Dari hasil analisis MRP kemudian digabungkan dengan hasil analisis pendekatan LQ. Penggabungan kedua pendekatan ini untuk memperoleh hasil kegiatan sektoral yang unggul, baik dari segi kontribusi maupun pertumbuhannya. TINJAUAN PUSTAKA
Selama orde baru, sentralisasi pemerintahan dan kekuasaan sangat terasa dalam setiap akiivitas pemerintahan di daerah bahkan rancangan pembangunan di setiap daerah lebih sering mengacu pada pedoman yang telah ditetapkan pemerintah. Akibat dari sentralisisasi tersebut membuat birokrasi di daerah menjadi terhambat, tidak ada keberanian membuat keputusan strategis bahkan kekuasaan tersebut telah melenakan birokrasi daerah dalam melakukan inovasi dan mengembangkan terobosan-
Identifikasi Potensi Ekonomi Daerah Boyolali, .... (Titisari : 167 – 182)
terobosan dalam melakukan inovasi dan mengembangkan terobosan-terobosan untuk mempercepat pembangunan. Sentralisasi menimbulkan disparitas pendapatan yang sangat lebar antar daerah, misalokasi dalam penggunaan anggaran negaraa dan kelambanan dalam menuntaskan persoalan. Adanya reformasi telah mendorong timbulnya perubahan wacana yang nampak menimbulkan terciptanya peluang bagi perbaikan berbagai bidang kehidupan di daerah. Pembangunan Ekonomi
Pembangunan ekonomi pada umumnya didefinisikan sebagai "suatu proses yang menyebabkan kenaikan pendapatan riil per kapita penduduk suatu negara dalam jangka panjang yang disertai oleh perbaikan sistem kelembagaan" (Lincolin Arsyad, 1999:06). Beberapa pakar ekonomi membedakan pengertian antara pembagunan ekonomi dengan pertumbuhan ekonomi: (Lincolin Arsyad,1999:07) Pembangunan ekonomi (1) Peningkatan pendapatan per kapita masyarakat yaitu tingkat pertumbuhan PDB/PNB pada suatu tahun tertentu dikuratigi dengan tingkat pertumbuhan penduduk (2) Perkembangan PDB/PNB yang terjadi dalam suatu negara dibarengi oleh perombakan dan modernisasi struktur ekonominya (transformasi stntktural). Semakin tinggi laju pertumbuhan ekonomi rata-rata per tahun yang membuat semakin tinggi atau semakin cepat proses peningkatan pendapatan masyarakat per kapita, semakin cepat perubahan struktur ekonomi, dengan asumsi bahwa faktor-faktor penentu lain mendukung proses tersebut, seperti tenaga kerja, bahan baku dan teknologi tersedia." (Tulus TH Tambunan, 2001: 59) Pembangunan Ekonomi Daerah
Pembangunan ekonomi daerah adalah suatu proses dimana pemerintah daerah dan masyarakatnya mengelola sumberdaya-sumberdaya yang ada dan membentuk suatu pola kemitraan antara pemerintah daerah dengan sektor swasta untuk menciptakan suatu lapangan kerja baru dan merangsang perkembangan kegiatan ekonomi (pertumbuhan ekonomi) dalam wilayah tersebut. (Lincolin Arsyad, 1999:108). Masalah pokok dalarn pembangunan daerah adalah terletak pada penekanan terhadap
kebijakan-kebijakan pembangunan yang didasarkan pada kekhasan daerah yang bersangkutan (endogenous development) dengan menggunakan potensi sumber daya fisik secara lokal (daerah). Orientasi ini mergarahkan kita kepada pengambilan inisiatifinisiatif yang berasal dari daerah tersebut dalam proses pembangunan untuk menciptakan kesempatan kerja baru dan merangsang peningkatan kegiatan ekonorni. Otonomi Daerah
Tujuan dengan diberlakukannya otonomi daerah adalah untuk melihat lebih jauh tentang relevansi otonomi daerah, maka hams dilihat dari dua sudut pandang yang berbeda yaitu sudut pandang dari kepentingan pemerintah pusat dan kepentingan pemerintah daerah. Landasan Undang-Undang sebagai latar, belakang pelaksanaan otonomi daerah adalah (1) UU No. 32/1999 tentang pemerintahan daerah (2) UU No. 33/1999 tentang perimbangan keuangan pusat dan daerah (3) Keputusan MPRNo. XV/1998 tentang otonorni daerah, peraturaii pembagian dan pemanfaatan sumberdaya nasional yang berkeadilan serta perimbangan keuangan pusat dan daerah dalam rangka negara kesatuan Republik Indonesia. Potensi maupun keunggulan akibat diberlakukannya UU Otonomi Daerah: (1) Otonomi memungkinkan terlaksananya bottom up planning secara signifikan dan mengikis rantai birokrasi yang dirasakan sangat menghambat pelayanan kepada masyarakat. (2) Memberdayakanpartisipasi masyarakat yang lebih besar dalam pelaksanaan pembangunan, sehingga pembangunan akan berjalan sesuai dengan kebutuhannya di daerah. (3) Pengelolaan dan pemecahan masalah pembangunan di daerah dapat lebih bertanggung jawab (4) Terbukanya peluang untuk menggali potensi daerah (5) Mengembangkan ekonomi pedesaan. Pendapatan Regional
PDRB didefinisikan sebagai jumlah nilai tambah yang dihasilkan oleh seluruh unit usaha dalam suatu wilayah atau merupakan jumlah seluruh nilai barang yang dihasilkan oleh seluruh unit ekonomi di suatu wilayah. Pendapatan regional dalam beberapa tahun menggambarkan kenaikan dan penurunan tingkat pendapatan masyarakat di daerah tersebut.
JEJAK, Volume 2, Nomor 2, September 2009
169
Kenaikan/penurunan dapat dibedakan menjadi dua faktor berikut : (Robinson Tarigan, 2005:20-2 1) 1) Kenaikan/penturunan riil, yaitu kena.ikan, penurunan tingkat pendapatan yang tidak dipengaruhi oleh faktor perubahan harga. Apabila terjadi kenaikan rii pendapatan penduduk berarti daya beli penduduk di daerah tersebut meningkat misalnya rnampu membeli barang yank sama kualitasnya dalam jumlah yang lebih banyak 2) Kenaikan/penurunan yang disebabkan adanya faktor perubahan harga. Apabila terjadi kenaikan pendapatan yang hanya disebabkan inflasi (menurunnya nilai beli uang) maka walaupun pendapatan meningkat tetapi junilah barang yang mampu dibeli belum tentu meningkat. Perlu dilihat mana yang meningkat lebih tajam, tingkat pendapatan atau tingkat harga. Pertumbuhan Ekonomi Wilayah
Pertumbuhan ekonomi wilayah adalah "pertambahan pendapatan masyarakat secara keseluruban yang terjadi di wilayah tersebut, yaitu kenaikan seluruh nilai tambah yang terjadi." (Robinson Tarigan, 2005 :46). Pendapatan wilayah menggambarkan balas jasa bagi faktor-faktor produksi yang beroperasi di daerah tersebut, yang berarti secara kasar dapat menggambarkan kemakmuran daerah tersebut. Menurut Boediono: "Pertumbuhan ekonomi adalah proses kenaikan output per kapita dalam jangka panjang." Menurut Boediono ada ahli ekonomi yang definisi yang lebih ketat, yaitu bahwa pertumbuhan itu haruslah "bersumber dari proses intern perekonomian tersebut". Ketentuan yang terakhir ini sangat penting diperhatikan dalam ekonomi wilayah, karena bisa saja suatu wilayah mengalami pertumbuhan tetapi pertumbuhan itu tercipta karena banyaknya bantuan/suntikan dana dari pemerintah pusat dan pertumbuhan itu terhenti anabila suntikan dana itu dihentikan. Potensi Relatif Perekonoanian Wilayah
Setelah munculnya UU tentang otonomi daerah, masing-masing daerah sudah lebih bebas dalam menetapkan sektor/komoditi yang diprioritaskan pengembangannya. Kemampuan pemerintah daerah untuk melihat sektor yang memiliki keunggulan/ kelemahan di wilayahnya menjadi semakin penting, serta sektor yang memiliki keunggulan, dan prospek 170
yang lebih baik untuk dikembangkan dan diharapkan dapat mendorong sektor-sektor lain untuk berkembang. Di sini dikenal istilah keunggulan komparatif "Keiunggulan komparatif suatu komoditi bagi suatu negara atau daerah adalah bahwa komoditi itu lebih unggul secara relatif dengan komoditi lain di daerahnya. Pengertian unggul dalam hal ini adalah dalam bentuk perbandingan dan bukan dalam bentuk nilai tambah riel." (Robinson Tarigan, 2005:79). Apabila sektor yang memiliki keunggulan komparatif bagi suatu daerah telah diketahui lebih dahulu, pembangunan sektor itu dapat disegerakan. HASIL DAN PEMBAHASAN Pendapatan Regional
Data pertumbuhan ekonomi enam propinsi di Jawa nampak dalam tabel berikut: Tabel 1: Pertumbuhan Ekonomi Enam Propinsi Di Jawa Tahun 1999-2003 (persen) Propinsi
1999 2003 2001 2002 2003
1 Jawa Tengah 3,49 3,93 2 Dl Yogyakarta 0,99 4,01 3 DKI Jakarta (0,79) 4,33 4 Jawa Barat 2,08 4,15 5 Jawa Timur 1,21 3,26 6 Banten 4,53 7 Nasional 0,79 4,92 Sumber: BPS Propinsi Jateng
3,33 3,37 3,64 4,76 3,33 4,90 3,45
3,48 4,02 3,99 3,91 3,41 5,16 3,69
4,07 4,09 4,39 4,27 4,11 5,73 4,10
Kinerja perekonomian setiap propinsi di Pulau Jawa yang dijelaskan PDRB harga konstan, pada tahun 2003 jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya mengalami pertumbuhan 4 persen. Dari enam propinsi terdapat dua propinsi yang mengalami pertumbuhan di bawah pertumbuhan nasional yaitu Propinsi Jawa Tengah dan DI Yogyakarta. Analisa tingkat pertumbuhan
Analisa tingkat pertumbuhan ini, untuk mengetahui tingkat pertumbuhan masing-masing sektor dibanding dengan tahun sebelumnya. Hasil analisa tingkat pertumbuhan adalah sebagai berikut: 1) Jawa Tengah
Pertumbuhan PDRB Jawa Tengah dari tahun 1999 sampai dengan 2003 berfluktuasi. Tahun 2000 mengalami penuigkatan kecuali sektor pertambang-
Identifikasi Potensi Ekonomi Daerah Boyolali, .... (Titisari : 167 – 182)
an dan penggalian bangunan dan konstruksi, dan lembaga keuangan, sewa bangunan dan jasa perusahaan. Dan setelah tahun 2000 sektor pertanian terus mengalarni penunuian. Untuk sektor lainnya selalu fluktuatif tiap tahunnya. Untuk tahun 2003 sektor pengangkutan dan perhubungan dengan pertumbuhan paling tinggi, kemudian industri dan sektor pertambangan dan penggalian. Sektor pertanian dengan tingkat pertumbuhan paling rendah. 2) Boyolali
Pertumbuhan PDRB Boyolali dari tahun 1999 sampai dengan 2004 berfluktuasi. Sektor pertanian, Iistrik, gas, dan air bersih dan sektor perdagangan telah mengalami peningkatan sampai dengar tahun 2002, Namur menurun ikembali sampai dengan tahun 2004. Sektor bangunan dan perhubungan pertumbuhan tinggi di tahun 2000 kemudian terus menurun sampai dengan tahun 2003. Di tahun 2004 mengalami peningkatan walaupun kecil. Sektor industri yang telah meningkat di tahun 2000 temyata terus mengalami penurunan sampai dengan tahun 2004. Sektor pertambangan dan penggalian yang mengalami penurunan sampai dengan tahun 2002 telah mengalanu peningkatan sampai dengan tahun 2004. Sedangkan sektor jasa jasa dan lembaga keuangan, sewa bangunan dan jasa peiusahaan dengan perturnbuhan tinggi di tahun 2001, kemudian menurun dan meningkat lagi sampai dengan tahun 2004 waiaupun peningkatatmya tidak setinggi di tahun 2001. Untuk kondisi tahun 2004 sektor listrik, gas, dan air bersih, sektor lembaga keuangan, sewa bangunan da.n jasa perusahaan, dan sektor jasa-jasa merupakan sektor dengan pertumbuhan tinggi. Dan yang merupakan sektor dengan pertumbuhan paling rendah adalah sektor perdagangan. 3) Karanganyar
Pertumbuhan PDRB Karanganyar dari tahun 1999 sampai dengan 2004 berfluktuasi. Sem'tza sektor tiap tahunnya mengalami kena.ikan kemudian mengalami penurunan di tahun berikutnya. Untuk tahun 2004 sektor yang mengalami pertumbuhan tinggi adalah sektor listrik, gas, dan air bersih, sektor pengangkutan dan perhubungan, dan sektor industri.
Sedangkan yang mengalami pertumbuhan paling rendah adalah sektor jasa-jasa. 4) Sragen
Pertumbuhan PDRB Sragen dari tahun 1999 sampai dengan 2004 berfluktuasi. Sektor pertanian mulai tahun 2000 sampai dengan tahun 2003 terus mengalami penurunan dan meningkat di tahun 2004. Sektor pertambangan dan penggalian dan sektor listrik, gas dan air minum mengalami penurunan sampai dengan tahun 2002, kemudian meningkat di tahun 2003 dan menurun kembali di tahun 2004. Sektor industri, sektor bangunan dan konstruksi, dan sektor pengangkutan dan perhubungan yang mengalami peningkatan sampai dengan tahun 2003, mengalami penurunan di tahun 2004. Sektor perdagangan yang menurun sampai dengan tahun 2002, mengalarpi peningkatan sampai dengan tahun 2004. Sektor lembaga keuangan, sewa banguann dan jasa perusahaan mengalarni peningkatan sampai dengan tahun 2002 dan menurun kembali sampai dengan tahun 2004. Sedangkan sektor jasa terus mengalami penurunan mulai tahun 2001 sampai dengan tahun 2003 dan meningkat walaupun kecil di tahun 2004. Untuk kondisi tahun 2004 sektor listrik, gas, dan air bersih, sektor industri, dan sektor perdagangan adalah sektor dengan pertumbuhan tinggi. Sedangkan sektor pertambangan dan penggalian adalah merupakan sektor dengan pertumbuhan paling kecil. Sedangkan jika dilihat dari pertumbuhan ekonomi rata-rata di bandingkan dengan pertumbuhan Jawa Tengah nampak pada tabel berikut: Tabel 2. Pertumbuhan Ekonomi Daerah Penelitian Tahun 1999-2003 (persen) Propinsi
1999
2003
2001
2002
2003
1 Jawa Tengah 3,49 3,93 2 Boyolali 1,18 17,28 3 Karanganyar 2,90 4,51 4 Sragen 1,98 2,85 5 Nasional 0,79 4,92 Sumber: BPS Propinsi Jateng
3,33 6,88 1,42 2,26 3,45
3,48 6,35 3,19 2,93 3,69
4,07 3,79 3,32 3,26 4,10
Dari tabel 2 pertumbuhan ekonomi rata-rata daerah penelitian untuk tahun 1999 semua di bawah Jawa Tengah, namun masih berada di atas Nasional. Tahun 2000 Sragen yang berada di bawah Jawa Tengah. Tahun 2001 dan 2002 Karanganyar dan Sragen berada di bawah Jawa Tengah. Dari tiga
JEJAK, Volume 2, Nomor 2, September 2009
171
buhan sektor yang lain, semen tara kontribusi berada di bawah rata rata sektor yang lain.
daerah penelitian jika dibandingkan dengan kinerja perekonomian tingkat regional maupun nasional yang memiliki kinerja paling baik adalah Boyolali.
c) Posisi pemuk: menandakan sektor tersebut kontribusinya lebih besar di bandingkan dengan kontribusi rata-rata sektor yang lain, sementara tingkat pertumbuhannya di bawah rata-rata pertumbuhan sektor yang lain.
Analisa Kontribusi masing-masing Sektor 1) Jawa Tengah
Untuk daerah penelitian dikelompokkan sektor yang memberikan kontribusi tinggi dan kontribusi kecil seperti dalam tabel 3 berikut: Selanjutnya masing-masing daerah dianalisa potensi ekonomi internalnya dengan menggunakan analisis matriks yang menunjukkan potensi ekonomi internal masirig-masing. a) Posisi prima: sektor tersebut menanda kan tingkat pertumbuhan dan kontribusinya di atas rata-rata yang lain b) Posisi berkembang: sektor tersebut tingkat pertumbuhannya di atas rata-rata pertum-
d) Posisi terbelakang: sektor ini baik tingkat pertumbuhan maupun kontribusi berada di bawah rata-rata sektor lain. Hasil analisa untuk masing-masing daerah penelitian sebagai berikut: 1) Boyolali Prima
Kontribusi
Dalam kurun waktu 5 tahun terakhir sektor industri pengolahan masih merupakan sektor yang menjadi andalar terbesar di propinsi Jawa Tengah. Hal ini ditandai dengan sumbangannya terhadap PDRB total Jawa Tengah yaitu berkisar di atas 30%, paling tinggi dibanding sektor lain. Selanjutnya yang memberikan sumbangan terbesar setelah sektor industri adalah sektor perdagangan, hotel dan restoran dan sektor pertanian. Pada tahun 2003 masing-masing memberikan sumbangan sebesar 24%, 34% dan 18,86%. Sedangkan listrik, gas dan air bersih merupakan sektor yang memberikan sumbangan terkecil yakni hanya sebesar 1,26%. Secara keseluruhan, dalam 5 tahun terakhir tidak terjadi pergeseran struktur ekonomi yang berarti, masing-masing sektor masih dalam posisi yang sama.
Gemuk Pertanian Industri Perdagangan
Berkembang Terbelakang Listrik, gas dan air bersih Pertambangan dan penggalian Lembaga keuangan, sewa bangunan Bangunan dan konstruksi dan jasa perusahaan Pengangkutan dan perhubungan Jasa-jasa Pertumbuhan
Gambar 1. Matrik Potensi Ekonomi Internal Kabupaten Boyolali
Dalam kurun waktu 5 tahun terakhir, sektor perdagangan masih merupakan sektor yang menjadi andalan terbesar di Kabupaten Boyolali. Hal ini ditandai dengan sumbangannya terhadap PDRB total Boyolali yaitu berkisar di atas 27%, paling tinggi dibanding sektor lain. Selanjutnya, yang memberikan sumbangan terbesar setelah sektor industri adalah sektor pertanian dan sektor industri. Pada tahun 2004 masing-masing memberikan sumbangan sebesar 25,43% dan 23,72%. Sedangkan pertambangan dan penggalian merupakan sektor yang
Tabel 3. Sumbangan sektor terhadap PDRB tahun 1999 – 2003 Sektor dengan sumbangan PDRB tinggi
172
Sektor dengan sumbangan PDRB kecil
Boyolali
Perdagangan,pertanian dan industri
Pertambangan dan penggalian
Karanganyar
Industri, pertanian dan perdagangan
Pertambangan dan penggalian
Sragen
Pertanian,listrik, gas dan air bersih, perdagangan
Listrik, gas dan air bersih
Jawa Tengah
Industri, perdagangan, hotel dan restoran, dan pertanian
Listrik, gas dan air bersih
Identifikasi Potensi Ekonomi Daerah Boyolali, .... (Titisari : 167 – 182)
memberikan sumbangan terkecil yakni hanya sebesar 0,42%. Secara keseluruhan, dalam 5 tahun terakhir tidak terjadi pergeseran struktur ekonomi yang berarti, masing-masing sektor masih dalam posisi yang sama. 2) Karanganyar
Kontribusi
Prima
Gemuk Pertanian Industri Perdagangan
Berkembang Listrik, gas dan air bersih Pengangkutan dan perhubungan Lembaga keuangan, sewa bangunan dan jasa perusahaan Jasa-jasa
Terbelakang Pertambangan dan penggalian Bangunan dan konstruksi
Pertumbuhan
Gambar 2. Matrik Potensi Ekonomi Internal Kabupaten Karanganyar
Dalam kurun waktu 5 tahun terakhir, sektor industri pengolahan masih merupakan sektor yang menjadi andalan terbesar di Kabupaten Karanganyar. Hal ini ditandai dengan sumbangannya terhadap PDRB total Karanganyar yaitu berkisar di atas 37%, paling tinggi dibanding sektor lain. Selanjutnya yang memberikan sumbangan terbesar setelah sektor industri adalah sektor pertanian dan sektor perdagangan. Pada tahun 2004 masingmasing memberikan sumbangan sebesar 19,86% dan 17,06%. Sedangkan pertambangan dan penggalian merupakan sektor yang memberikan sumbangan terkecil yakni hanya sebesar 1,21%. Secara keseluruhan, dalam 5 tahun terakhir tidak terjadi pergeseran struktur ekonomi yang berarti, masingmasing sektor masih dalam posisi yang sama. 3) Sragen
Kontribusi
Prima
Gemuk
Industri Jasa-jasa
Pertanian
Berkembang Listrik, gas dan air bersih Perdagangan Lembaga keuangan, sewa bangunan dan jasa perusahaan
Terbelakang Pertambangan dan penggalian Bangunan dan konstruksi Pengangkutan dan perhubungan
Dalam kurun waktu 5 tahun terakhir, sektor pertanian masih merupakan sektor yang menjadi andalan terbesar di Kabupaten Sragen. Hal ini ditandai dengan sumbangannya terhadap PDRB total Sragen yaitu berkisar di atas 32 %, paling tinggi dibanding sektor lain. Selanjutnya yang memberikan sumbangan terbesar setelah sektor pertanian adalah sektor industri dan sektor perdagangan. Pada tahun 2004 masing-masing memberikan sumbangan sebesar 20,20% dan 15,26%. Sedangkan listrik, gas dan air bersih merupakan sektor yang memberikan sumbangan terkecil yakni hanya sebesar 1,64%. Secara keseluruhan, dalam 5 tahun terakhir tidak terjadi pergeseran struktur ekonomi yang berarti, masing-masing sektor masih dalam posisi yang sama Analisis Tipologi Klassen
Analisis Tipologi Klassen dalam penelitian ini dilakukan dengan pendekatan total PDRB Kabupaten/Kota di Jawa Tengah. Analisis ini menunjukkan posisi kliasifikasi ekonomi daerah penelitian dibandingkan dengan ekonomi di Jawa Tengah atau kumulatif dari Kabupaten/Kota di Jawa Tengah. Variabel yang dianalisis adalah PDRB per kapita dan pertumbuhan ekonomi selama periode pengamatan yaitu tahun 1999 sampai dengan 2003. Dari tabel 4 perkembangan rata-rata perekonomian Kabupaten Boyolali selama periode penelitian menunjukkan fluktuasi yang secara umum dapat dikatakan terjadi pertumbuhan yang positif. Untuk pendapatan cenderung lebih rendah dibandingkan dengan Jawa Tengah, namun untuk pertumbuhannya cenderung lebih tinggi. Dari tabel 5 perkembangan rata-rata perekonomian Kabupaten Karainganyar selama periode penelitian menunjukkan fluktuasi yang secara umum dapat dikatakan terjadi pertumbuhan yang positif.. Untuk pendapatan cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan Jawa Tengah, namun untuk pertumbuhannya cenderung lebih rendah.
Pertumbuhan
Gambar 3. Matrik Potensi Ekonomi Internal Kabupaten Sragen
JEJAK, Volume 2, Nomor 2, September 2009
173
Tabel 4. Posisi Klasifikasi Ekonomi Kota Boyolali dibandingkan dengan Total PDRB Kabupaten/Kota di Jawa Tengah Boyolali Tahun
Klasifikasi
1999 2000 2001 2002 2003
Pendapatan rendah, pertumbuhan rendah Pendapatan rendah, pertumbuhan tinggi Pendapatan rendah, pertumbuhan tinggi Pendapatan rendah, pertumbuhan tinggi Pendapatan rendah, pertumbuhan rendah
Rata-rata Pendapatan rendah, pertumbuhan tinggi
Jawa Tengah
PDRB Per Kapita
Pertumbuhan
PDRB Per Kapita
Pertumbuhan
(Rp) 966.914 1.161.788 1.235.149 1.307.792 1.351.637
(%) 1,18 17,28 6,88 6,35 3,79
(Rp) 1.283.383 1.323.938 1.356.627 1.392.083 1.436.657
(%) 3,49 3,93 3,33 3,48 4,07
1.204.656
7,10
1.358.537
3,66
Tabel 5. Posisi Klasifikasi Ekonomi Kabupaten Karanganyar dibandingkan dengan Total PDRB Kabupaten/ Kota di Jawa Tengah Tahun 1999 2000 2001 2002 2003
Klasifikasi Pendapatan tinggi, pertumbuhan rendah Pendapatan tinggi, pertumbuhan tinggi Pendapatan tinggi, pertumbuhan rendah Pendapatan tinggi, pertumbuhan rendah Pendapatan tinggi, pertumbuhan rendah
Rata-rata Pendapatan tinggi, pertumbuhan rendah
Karanganyar PDRB Per Pertumbuhan Kapita (Rp) (%) 1.465.497 2,90 1.514.921 4,51 1.516.538 1,42 1.541.421 3,19 1.576.921 3,32
Jawa Tengah PDRB Per Pertumbuhan Kapita (Rp) (%) 1.283.383 3,49 1.323.938 3,93 1.356.627 3,33 1.392.083 3,48 1.436.657 4,07
1.523.060
1.358.537
3,07
3,66
Tabel 6. Posisi Klasifikasi Ekonomi Kabupaten Sragen dibandingkan dengan Total PDRB Kabupaten/Kota di Jawa Tengah Tahun
Klasifikasi
1999 2000 2001 2002 2003
Pendapatan rendah, pertumbuhan rendah Pendapatan rendah, pertumbuhan rendah Pendapatan rendah, pertumbuhan rendah Pendapatan rendah, pertumbuhan rendah Pendapatan rendah, pertumbuhan rendah
Rata-rata Pendapatan rendah, pertumbuhan rendah
Dari tabel 6 perkembangan rata-rata perekonomian Kabupaten Sragen selama periode penelitian menunjukkan fluktuasi yang secara umum dapat dikatakan terjadi pertumbuhan yang positif. Namun, dibandingkan dengan Jawa Tengah baik untuk pendapatan maupun pertumbuhan cenderung lebih rendah.
174
Sragen PDRB Per Pertumbuhan Kapita (Rp) (%) 805,881 1,98 824.874 2,85 840,211 2,26 862.536 2,93 888.281 3,26 844.357
2,65
Jawa Tengah PDRB Per Pertumbuhan Kapita (Rp) (%) 1.283.383 3,49 1.323.938 3,93 1.356.627 3,33 1.392.083 3,48 1.436.657 4,07 1.358,537
3,66
Dari tabel 7 untuk daerah penelitian dengan PDRB per kapita di atas PDRB per kapita Jawa Tengah adalah Karanganyar. Sedangkan Boyolali dan Sragen berada di bawah PDRB per kapita Jawa Tengah. Jika dilihat dari tingkat pertumbuhannya, yang berada di atas Jawa Tengah adalah Boyolali. Karanganyar tingkat pertumbuhannya berada di bawah Jawa Tengah. Menarik sekali untuk dicermati
Identifikasi Potensi Ekonomi Daerah Boyolali, .... (Titisari : 167 – 182)
di sini, Karanganyar dengan PDRB per kapita di atas Jawa Tengah temyata tingkat pertumbuhannya di bawah Jawa Tengah. Dan sebaliknya untuk daerah Boyolali dan Sragen. Tabel 7. Posisi rata-rata Ekonomi Tahun 1999 – 2003 Dibandingkan dengan Rata-rata Ekonomi Jawa Tengah Rata-rata PDRB Per Kapita (Rp)
Rata-rata Pertumbuhan (%)
2.816.263 1.464.988 1.204.656 1.523.060 844.357
4,90 3,20 7,10 3,07 2,65
1.358.537
3,66
Surakarta Swkoharjo Boyolali Karanganyar Sragen Jawa Tengah
Analisis ”Location Quotient”
Analisis ini untuk mengetahui potensi internal Boyolali, Karanganyar, dan Sragen dalam wilayah Jawa Tengah. Jika LQ statis > 1 maka ini merupakan sector unggulan dibanding daerah lain di wilayah Jawa Tengah, dan merupakan sektor basis yang mempunyai peluang untuk dijual ke daerah lain dan
dapat menciptakan efek pengganda (Multiplier effect) terhadap penyerapan tenaga kerja, produksi dan pendapatan yang akan menyejahterakan masyarakat. Sedangkan sektor yang mempunyai LQ kurang dari satu atau bahkan menunjukkan kecenderungan semakin menurun dari tahun ke tahun, berarti bahwa kebutuhan daerah penelitian terhadap sektor-sektor tersebut masih hams didatangkan dari daerah lain. Namun analisis ini terdapat kelema han yang perlu disikapi, yaitu sifat statis yang hanya memberikan gambaran pada satu titik waktu.ArtiYnya bahwa sektor yang unggul pada tahun ini belum tentu unggul pada tahun yang akan datang. Demikian juga, sektor yang belum unggul pada saat ini pada waktu yang akan datang dapat unggul. Ini tergantung pada laju pertumbuhan setiap sektorsektor di daerah Kabupaten/Kota di Propinsi Jawa Tengah. Untuk menghindari kelemahan tersebut dapat dilakukan dengan time series, melihat LQ dinamis, dan model analisa rasio pertumbuhan (MRP). Analisa LQ statis clan LQ dinamis dengan menggunakan matrik potensi eksternal, yang meliputi sektor prima, berkembang, gemuk dan terbelakang. Selanjutnya, hasil analisa LQ untuk masing-masing daerah penelitian adalah sebagai berikut:
1) Boyolali Tabel 8. Perhitungan Location Quotient (LQ) Perekonomian Kota Boyolali Tahun 1999-2003 LO Statis LAPANGAN USAHA
1999
LQ Dinamis
2000
2001
2002
2003
2000
2001
2002
2003
1. Pertanian 1.1. Tanaman bahan makanan 1.2. TanamanPerkebunan 1.3. Petemakan 1.4. Kehutanan 1.5. Perikanan 2. Pertambangan dan Penggalian 3. Industri 4. Listrik, Gas dan Air Bersih 5. Bangunan dan Kontruksi 6. Perdagangan 7. Pengangkutan dan Perdagangan
1,56 1,26 1,37 3,72 0,30 0,22 0.46 0,62 0,60 0,57 1,17 0,97
1,29 1 10 1,86 2,28 0,63 14.00 0,38 0,80 0,60 0,79 1,21 0,87
1,25 1,12 1,59 2,07 0,41 0,25 0,30 0,81 0,69 0,86 1,18 0,83
1.29 1,12 2.06 2,19 0,45 0.19 0,28 81.00 0 77 0,90 1,17 0,76
1,35 1,15 2,07 2,32 0,66 0,16 0,27 0,78 0,95 0,88 1,13 0,72
8.00 -0,02 1.16 -0.54 -0,78 -0,05 5.00 2,04 0,31 4,65 0,93 0,33
92.00 -0,50 13,31 0,51 -2,03 0,84 -0,22 0,95 2,10 2,27 0,66 0,32
5.80 1,38 -20.18 -0,75 0,74 9,88 -0,07 0,68 0,96 1,27 1.06 0,04
-5,31 6,04 1.57 41,94 0,02 -2,21 0,19 0,23 11,44 0,54 0,47 0,00
8. Lembaga keuangan, sewa, bangunan dan jasa perusahaan
1,29
1,18
1,27
1,22
1,33
0,77
6,58
0,49
5,23
9. Jasa-jasa
0,81
0 72
0,81
0 82
0,91
0,48
3,85
0,92
6 22
JEJAK, Volume 2, Nomor 2, September 2009
175
LQ Statis
Prima
lembaga keuangan, sewa bangunan dan jasa perusahaan. Untuk sektor pertanian yang merupakan sektor unggulan yaitu sub sektor tanaman bahan makanan, tanaman perkebunan dan peternakan.
Gemuk
Lembaga keuangan, sewa bangunan dan jasa perusahaan
Pertanian Perdagangan Jasa-jasa
Berkembang Listrik, gas dan air bersih
Terbelakang Industri Pengangkutan dan perhubungan Bangunan dan konstruksi Pertambangan dan penggalian
Dari tabel 9 dan gambar 5 tampak empat sektor yang selama lima tahun terakhir merupakan sektor unggulan, yaitu sektor industri, listrik, gas, dan air bersihdan jasa jasa. Sedangkan sektor pertanian yang tahun sebelumnya bukan merupakan sektor unggulan di tahun 2003 merupakan sektor unggulan yaitu sub sektor tanaman perkebunan dan peternakan.
LQ Dinamis
Gambar 4. Matrik Potensi Ekonomi Eksternal Kabupaten Boyolali
Dari tabel 8 dan gambar 4 tampak empat sektor yang selama lima tahun terakhir merupakan sektor unggulan, yaitu sektor pertanian, perdagangan dan 2) Karanganyar
Tabel 9. Perhitungan Location Quotient (LQ) Perekonomian Kabupaten Karanganyar Tahun 1999-2003
LO Statis
LQ Dinamis
LAPANGAN USAHA
1999
2000
2001
2002
2003
2000
2001
2002
2003
I.
0,96 98 1 18 1,32 0,37 0,08 0 86 1 22 1,39 0,57 0,77 0,57 0 86
0,95 0,98 1 09 124 0 41 0,08 0 83 1,26 1 36 0,59 74 0,55 0,85
0,99 1,04 1 25 1,21 0,41 0,08 0,82 1,23 1,43 0,61 0,73 0,53 0,87
0,98 0,94 1,50 1,41 0,39 0,08 0,80 1 23 1,44 0,60 74 0 52 0,87
1,05 97 1,70 1,56 0 60 0,08 0,79 1,20 1 49 0,61 0,71 0,51 0,95
0,69 0,59 61 0,74 -0,09 0,02 0,13 2,42 0,96 1,79 0,39 0,24 0,62
6,04 231 45,57 1,86 0,31 0,13 1,19 0,44 6,12 2,50 0,61 0,30 2,18
-1,12 3,13 18,30 -276 0,17 1 94 0,31 1,21 1,70 0,44 0,81 0,35 0 68
-7,91 596 22,10 51,34 -0,03 0,13 0,68 0,61 4,42 0,73 0,28 0,34 4,31
1,38
1 37
1,38
1,41
1,42
1,07
0,65
2,40
164
Pertanian 1.1. Tanaman bahan makanan 1.2. Tanaman Perkebunan 1.1.Petemakan 1.4. Kehutanan 1.5. Perikanan II. Pertambangan dan Pengoalian Ill. Industri IV. Listrik, Gas, Dan Air Bersih V. Bangunan Dan Konstruksi Vl. Perdagangan VII. Pengangkutan Dan Perhubungan VIII. Lembaga Keuangan, Sewa Bangunan & Jasa Perusahaan IX. Jasa-jasa
LQ Statis
Prima Listrik, gas dan air bersih Jasa-jasa Berkembang Lembaga keuangan, sewa bangunan dan jasa perusahaan
Gemuk Pertanian Industri Terbelakang Perdagangan Pengangkutan dan perhubungan Bangunan dan konstruksi Pertambangan dan penggalian LQ Dinamis
Gambar 5. Matrik Potensi Ekonomi Eksternal Kabupaten Karanganyar 176
Identifikasi Potensi Ekonomi Daerah Boyolali, .... (Titisari : 167 – 182)
Tabel 10. Perhitungan Location Quotient (LQ) Perekonomian Kabupaten Sragen Tahun 1999-2003
LAPANGAN USAHA I.
Pertanian 1.1. Tanaman bahan makanan 1,2. Tanaman Perkebunan 1.3.Petemakan 1.4. Kehutanan 1.5. Perikanan II. Pertambangan dan Penggalian III. Industri IV. Listrik, Gas, dan Air Bersih V. Bangunan dan Konstruksi VI. Perdagangan VII. Pengangkutan Dan Perhubungan VIII. Lembagakeuangan, Sewa Bangunan & Jasa Perusahaan IX. Jasa-jasa
LQ Statis
Prima
1999 1,86 2,26 2,67 80 0,46 0,62 1 79 0 57 0,89 1 22 0,66 0 91 1,08
2000 1,91 2,40 2,38 0,88 0,40 0,58 1,62 0,56 1,00 0,94 0,65 0 91 1,11
1,14
1,22
LO Statis 2001 2002 1,88 1,85 2,44, 2,36 2,42 267 0,87 0,78 0,35 0 39 0,61 0 57 1,48 1,36 0,57 0 59 1,12 1,12 0,95 0,94 0,63 0,61 0,93 0 97 1,18 1,25 1,32
1,38
2003 1,76 2,26 2 20 0,69 0 54 0 57 1,40 0,63 1,25 0,98 62 1 01 1,32
2000 3,86 -5,35 1,09 1,67 1 58 0,21 -815 0,33 2,75 24,99 0,59 0,99 2,23
LQ Dinamis 2001 2002 2003 -0,90 -4,52 16,71 3,20 -0,94 2385 6,51 -17,18 66,78 1,03 3,16 3541 -1,28 1 38 0,13 1,41 17 98 0,15 -0,34 2 36 2 58 0,76 1,18 1 62 6,97 1,22 9,27 1,13 0,82 2 03 -0,05 0,24 0,74 1,63 1,89 1,89 9,20 3,77 4,48
1,44
8,09
9,33
3,59
4,87
Gemuk
Analisis Model Rasio Pertumbuhan (MRP)
Pertanian Listrik, gas dan air bersih Jasa-jasa Pengangkutan dan perhubungan Pertambangan dan penggalian Lembaga keuangan, sewa bangunan dan jasa perusahaan Berkembang
Terbelakang
Industri Bangunan dan konstruksi
Perdagangan LQ Dinamis
Gambar 6. Matrik Potensi Ekonomi Eksternal Kabupaten Sragen
Dari tabel 10 dan gambar 6 tampak sektor pertanian, pertambangan dan penggalian, jasa jasa selama kurun waktu lima tahun merupakan sektor unggulan. Sektor listrik, gas dan air bersih menjadi sektor unggulan sejak tahun 2000. Sedangkan sektor pengangkutan dan perhubungan yang sebelumnya bukan sektor unggulan di tahun 2003 merupakan sektor unggulan. Untuk sektor pertanian yang benarbenar merupakan sektor unggulan adalah sub sektor tanaman bahan makanan dan tanaman perkebunan.
Guna mendukung penentuan deskripsi kegiatan ekonomi yang potensial bagi daerah penelitian, digunakan alat analisis model rasio pertumbuhan (MRP). Pada dasamya alat analisis ini samaa dengan LQ, namun letak perbedaannya pada kriteria perhitungannya. LQ menggunakan kriteria distribusi, sedangkan MRP menggunakan kriteria pertumbuhan. Hasil perhitungan nampak dalam tabel berikut dibawah. Pendekatan alat analisis MRP ini kemudian akan digabungkan dengan hasil analisis LQ menggunakan pendekatan overlay. Penggabungan kedua pendekatan alat analisis ini digunakan untuk mempemleh hasil identifikasi kegiatan sektoral yang unggul, baik dari segi kontribusi maupun pertumbuhannya Selain itu juga dapat diketahui bagaimana peran sektor tersebut datam pembentukan PDRB pada tingkat propinsi.
JEJAK, Volume 2, Nomor 2, September 2009
177
Tabel 11. Perhitungan RPS dan RPR Perekonomian Kota Boyolali tahun 1999 – 2003 RPS LAPANGAN USAHA
2000 R N
Pertanian 1.1. Tanaman bahan makanan 1.2. Tanaman Perkebunan 1.3. Petemakan 1.4. Kehutanan 1.5. Perikanan II. Pertambangan & Penggalian III. Industri IV. Listrik, Gas, dan Air Bersih V. Bangunan dan Konstruksi VI. Perdagangan VII. Pengangkutan dan Perhubungan VIII. Lembaga Keuangan, Sewa IX. Jasa-jasa Ket. : R : Riel ; N: Notasi
2001 R N
RPR 2002 R N
2003 R N
2000 R N
2001 R N
2002 R N
2003 R N
+ 1.94 - 1,78 + - 9,04 + + 0,93 - 4,93 + + -6.23 - -0.51 + 1,89 + + 7 95 + + 3,43 + + 1,73 +
0.81 0,67 0,16 1,51 + -0.41 -4.34 0,84 0,40 6,39 + 0 55 0,55 -
I.
-0.26 -0,07 4,50 -0,77 -13.66 -1.29 -0.57 17,55 2,77 43,57 4,22 1,80 3,17 3 14
+ + + + +
1,48 0,94 -14,76 0,47 -6,62 12,02 -1,19 2,45 7,26 5,90 1,13
+ + + + + +
+ 0,75 + 11,49 + + 11,06 +
8,45 2,25 -23,19 -0,68 3,27 -71.77 -0.45 1,52 2,55 2,70 1 85
+ + + + + + +
0 09 0,71 2,08
+
-3.82 5,01 0,71 17.83 0,05 -10,77 0,65 0,26 13,86 0 58 0,37
+ + + -
0,00 3,99 + 7 05 +
-0,22 0,03 22.82 -3,77 30.84 -3.68 -0.36 14,28 6,81 16,53 7,20
+ + + + + +
0.75 0,67 -3,30 1,79 -8,98 28,12 -3,15 2,35 6,80 4,57 1,62
2.49 + 1.83 2,42 + 3,61 1.02 + 5,69
+ -0.14 - 0,00 + 0,65 - 2,82 + 2,22 + 3,17
+ +
Tabel 12. Perhitungan RPS dan RPR Perekonomian Kabupaten Karanganyar tahun 1999 – 2003 LAPANGAN USAHA
2000 R N
Pertanian 1.1. Tanaman bahan makanan 1.2. Tanaman Perkebunan 1.3. Petemakan 1.4. Kehulanan 1.5. Perlkanan II. Pertambangan dan Penggalian III. Industri IV. Listrik, Gas, dan Air Bersih V. Bangunan dan Konstruksi VI. Perdagangan VII. Pengangkutan & Perhubungan VIII. Lembaga Keuangan, Sewa Bangunan & Jasa Perusahaan IX. Jasa-jasa Ket. : R : Riel ; N: Notasi
RPS 2001 2002 R N R N
2003 R N
2000 R N
RPR 2001 2002 R N R N
2003 R N
1.
178
0,83 - 2,73 + -1,03 0,70 - -1,02 - -2,76 0,59 17,87 + -13,44 0,65 - 0 64 - -2,09 -0 29 - 0,32 - 0 38 0 32 - 0,75 - 23,29 + -0,18 - 0,62 - 0.34 2.29 + -0.15 - 0,90 0,79 - 1,92 + 1,09 + 3,63 + 1.83 + 0,66 0,59 - 0,35 - 1.01 + 0,48 - 0.23 - 0,60 0,83 0.89
-
1,09 0,20
+ -
0 72 1,60
+
-6.60 5,18 -12.01 29,82 0,05 -1.32 0,69 0.40 2,50 0,99 0,31 0,54
+ + + -
0.70 0,33 3,00 3,19 0,65 0,90 -0,11 1,86 1,95 1,38 1.01 0.67
+ + + + + + -
1,39 0.73 3,99 2,47 0,44 1,76 1,63 -0,14 1,80 1,41 0,50 0,57
4,07 + 1,00 +
0,63 0,29
-
0,34 0,10 -
Identifikasi Potensi Ekonomi Daerah Boyolali, .... (Titisari : 167 – 182)
+ -0.24 - 1.39 - -2,18 - 0,69 + 5,24 + 2,78 + 2,94 + 2,53 - 0,57 - 0,43 + 2,02 + -0 53 + 0,39 - 0.90 - 1,12 + 0,62 + 3,40 + 1,15 + 0,84 - 0,96 - 1,06 + 0.46 - 0,93 - 0,84 0,66 - 2,87 1,71 + 0,43
+ + + + + -
Tabel 13. Perhitungan RPS dan RPR Perekonomian Kabupaten Sragen tahun 1999 – 2003 RPS LAPANGAN USAHA
2000
1.
Pertanian 1.1. Tanaman bahan makanan 1.2. Tanaman 1.3. Petemakan 1.4. Kehulanan 1.5. Perlkanan II. Pertambangan dan Penggalian III. Industri IV. Listrik, Gas, dan Air Bersih V. Bangunan dan Konstruksi VI. Perdagangan VII. Pengangkutan & Perhubungan VIII. Lembaga Keuangan, Sewa Bangunan & Jasa Perusahaan IX. Jasa-jasa Ket. : R : Riel ; N: Notasi
2001
RPR 2002
R
N
R
N
R
1,51 -1.72 0,30 1,51 2,48 0,25 -3,32 0 42 2,24 14,89 0,65 0,79
+ + + + -
-0,32 0,90 1,85 0,79 -2,18 1,64 -1.40 0,92 4.72 0,81 -0,05 1,22
+ + + +
2,02 -0.32 -5,97 3,08 3,32 24,80 -1,34 1,75 0,91 0,73 0,33 1,71
1,49 5,14
+ +
5.60 5,20
+ +
2,69 2,29
2003 N
R
2000 N
2001
2002
2003
R
N
R
N
R
N
R
N
- 7,23 + - -8,08 - 20,03 + + 36.31 + l,27 - 0,22 - 1,52 + + 2,20 + - 6,62 + - 1,72 + - 0,98 + 1,56 +
1,23 0,79 1,45 7,18 5,41 0,68 2,03 0 33 5,31 5.45 1,07 1,06
+ + + + + +
-0,13 -0,53 0,34 2.48 -2,40 3,14 -0,31 0 72 3,62 0,5 -0,08 2,43
+ + + +
-0,40 -0,22 1.92 -3,67 4,28 1,82 -1,31 1,86 2,43 0,79 0,29 2,28
+ + + + +
-1.52 -1.08 -4,83 -3,08 -2.22 0,09 1,99 3.38 3.05 1.67 1.43 2,42
+ + + + + +
+ +
1,10 1,81
+ 1.44 + + 2,19 +
2,13 + 2,03 2,09 + 1,28
+ +
2,88 + 2,81 +
Analisis Gabungan Pertumbuhan, Kontribusi, dan LQ Potensi Eksternal
Keterangan
Prima
Berkembang
Gemuk
Terbelakang
Prima Potensi Internal
Berkembang
Lembaga keuangan, sewa bangunan dan jasa perusahaan
Gemuk
Listrik, gas dan air bersih
Jasa-jasa
Pertanian Perdagangan
Terbelakang
Industri Bangunan dan konstruksi Pengangkutan dan perhubungan
Gambar 7. Matrik Potensi Internal dan Eksternal Kabupaten Boyolali
Berdsarkan matriks potensi internal dan eksternal Kabupaten Boyolali, yang bisa dikembangkan penerimaannya di masa yang akan datang antara lain sektor jasa-jasa, listrik, gas dan air bersih, lembaga keuangan, sewa bangunan dan jasa perusahaan, Pertanian dan Perdagangan. Dari matriks potensi internal dan eksternal
Kabupaten Karanganyar, yang bisa dikembangkan penerimaannya di masa yang akan datang antara lain sektor jasajasa, listrik, gas dan air bersih, lembaga keuangan, sewa bangunan dan jasa perusahaan, pertanian dan industri. Gambar 9. Matrik Potensi Internal dan Eksternal Kabupaten Sragen
JEJAK, Volume 2, Nomor 2, September 2009
179
Potensi Eksternal
Keterangan
Prima
Berkembang
Gemuk
Terbelakang
Prima
Potensi Internal
Berkembang
Listrik, gas dan air bersih Jasa-jasa
Lembaga keuangan, sewa bangunan dan jasa perusahaan
Pengangkutan dan perhubungan Pertanian Industri
Gemuk
Perdagangan Pertambangan dan penggalian Bangunan dan konstruksi
Terbelakang
Gambar 8. Matrik Potensi Internal dan Eksternal Kabupaten Karanganyar Potensi Eksternal
Keterangan
Prima
Potensi Internal
Prima
Jasa-jasa
Berkembang Gemuk
Berkembang
Gemuk
Terbelakang
Industri
Listrik, gas dan air bersih Lembaga keuangan, sewa bangunan dan jasa perusahaan
Perdagangan
Pertanian
Terbelakang
Pertambangan dan penggalian Pengangkutan dan perhubungan
Bangunan dan konstruksi
Gambar 9. Matrik Potensi Internal dan Eksternal Kabupaten Sragen
Dari matriks potensi internal dan eksternal Kabupaten Sragen, yang bisa dikembangkan penerimaannya di masa yang akan datang antara lain sektor jasa-jasa, listrik, gas dan air bersih, lembaga keuangan, sewa bangunan dan jasa perusahaan, industri dan pertanian.
lebih dari satu dan negatif apabila kurang dari satu.RPR bemotasi positif berarti pertumbuhan sektor i lebih tinggi dibanding pertumbuhan total di wilayah referensi. RPS bernotasi positif berarti pertumbuhan sektor i Iebih tinggi dibanding pertumbuhan sektor yang sama di wilayah referensi.
MRP dan LQ
Sedangkan LQ bernotasi positif berarti kontribusi sektor i terhadap PDRB di wilayah study lebih tinggi dibanding kontribusi sektor yang sama terhadap PDRB di wilayah referensi.
Identifikasi kegiatan-kegiatan unggulan ditunjukkan melalui overlay antara Rasio Pertumbuhan Wilayah Referensi (RPR), Rasio Pertumbuhan Study (RPS) dan Location Quotient (LQ). Koefisien dari ketiga komponen tersebut kemudian disamakan satuannya dengan diberikan notasi positif (+) dan negatif (-). Notasi positif berarti koefisien komponen 180
Identifikasi unggulan dari hasil overlay dibedakan dalam dua kriteria. Pertama hasil overlay yang menunjukkan ketiganya bertanda positif, berarti kegiatan tersebut mempunyai hpertumbuhan sektoral di tingkat Jawa Tengah tinggi, pertumbuhan sektoral daerah penelitian lebih tinggi dari Jawa Tengah dan
Identifikasi Potensi Ekonomi Daerah Boyolali, .... (Titisari : 167 – 182)
kontribusi sektoral daerah penelitian lebih tinggi pula dari Jawa Tengah. Artinya sektor ekonomi tersebut mempunyai potensi daya saing kompetitif maupun komparatif yang lebih unggul dibandingkan dengan pertumbuhan total kegiatan ekonomi. Kedua yaitu hasil overlay yang menunjukkan notasi positif pada komponen RPS dan LQ yang berarti bahwa kegiatan sektoral di daerah penelitian lebih unggul dari kegiatan yang sama di Jawa Tengah, baik dari sisi pertumbuhan maupun kontribusinya. Dengan kata lain bahwa sektor tersebut merupakan spesialisasi kegiatan ekonomi daerah penelitian. Hasil analisis yang difokuskan pada kondisi tahun terakhir analisis yaitu tahun 2003 adalah sebagai berikut: Boyolali: Hasil overlay yang memenuhi kriteria pertama atau bernotasi pada ketiga komponen hanya satu sektor yaitu lembaga keuangan, sewa bangunan dan jasa perusahaan. Sedangkan analisis yang memenuhi kriteria kedua adalah sub sektor tanaman perkebunan. Karanganyar: Hasil overlay yang memenuhi kriteria pertama atau bemotasi pada ketiga komponen adalah sektor listrik, gas, dan air bersih dan sub sektor peternakan. Sedangkan analisis yang memcnuhi kriteria kedua adalah sektor Jasa jasa dan sub sektor perkebunan.; Sragen: Hasil overlay yang memenuhi kriteria pertama atau bernotasi pada ketiga komponen adalah sektor pertambangan dan penggalian, sektor listrik, gas, dan air bersih, sektor pengangutan dan perhubungan, sektor lembaga keuangan, sewa bangunan dan jasa perusahaan dan sektor jasa jasa. Sedangkan analisis yang memenulu kriteria kedua adalah sub sektor tanaman perkebunan. SIMPULAN DAN SARAN
Pertumbuhan PDRB Jawa Tengah dari tahun 1999 sampai dengan 2003 berfluktuasi. Demikian pula yang terjadi di daerah penelitian. Analisis potensi internal (pertumbuhan da.n kontribusi) sektor yang menempati posisi prima, berkembang dan gemuk untuk masing-masing daerah penelitian adalah: Boyolali: Sektor yang menduduki posisi berkembang sektor listrik, gas dan air bersih, lembaga keuangan, sewa bangunan dan jasa Pemsahaan,jasa-jasa. Sedangkan sektor pertanian, industri, dan perdagangan menempati posisi gemuk. Karanganyar: Sektor yang menduduki posisi berkembang sektor listrik, gas dan air bersih, pengangkutan dan perhubungan, lembaga keuangan, sewa bangunan dan
jasaperusahaan, dan Jasa jasa. Sedangkan sektor pertanian, industri dan perdagangan menempati posisi gemuk. Sragen: Sektor yang menduduki posisi prima adalah Industri dan Jasa-jasa. Sedangkan yang menduduki posisi berkembang sektor listrik, gas dan air bersih, perdagangan dan Lembaga keuangan, sewa bangunan dan jasa perusahaan. Sektor pertanian menempati posisi gemuk. Dari analisis potensi eksternal, dengan Tipologi Klassen, daerah penelitian dengan PDRB per kapita rata-rata di atas PDRB per kapita rata-rata Jawa Tengah sebesar Rp 1.358.537,00 adalah Karanganyar, yaitu Rp 1.523.060,00. Sedangkan Boyolali dan Sragen berada di bawah PDRB per kapita Jawa Tengah yaitu sebesar Rp 1.204.656,00 dan Rp 844.357,00. Jika dilihat dari tingkat pertumbuhannya, yang berada di atas Jawa Tengah adalah Boyolali. Karanganyar tingkat pertumbuhannya berada di bawah Jawa Tengah. Menarik sekali untuk dicermati disini, Karanganyar dengan PDRB per kapita di atas Jawa Tengah ternyata tingkat pertumbuhannya di bawah Jawa Tengah. Dan sebalilrnya untuk daerah Boyolali dan Sragen. Sedangkan hasil analisis "Location Quotient" sektor yang menempati posisi prima, berkembang dan gemuk yang berarti tingkat pertumbuhan dan/atau kontribusi PDRB secara relatif berada di atas rata-rata kabupaten/kota lain di propinsi Jawa Tengah sehingga merupakan sektor potensial, untuk masing-masing daerah penelitian adalah; Boyolali : Sektor lembaga keuangan, sewa bangunan dan jasa perusahaan, listrik, gas dan air bersih, pertanian, perdagangan, dan Jasa-jasa Karanganyar: Sektor listrik, gas dan air bersih, jasa-jasa, lembaga keuangan, sewa bangunan, dan jasa perusahaan pertanian, dan industri Sragen: Hanya sektor perdagangan yang bukan merupakan potensi eksternal. Hasil analisis potensi internal dan eksternal, sektor yang menempati posisi prima dan berkembang pada analisis perturnbuhan, konlribusi dan LQ, pada analisis MRP dan LQ memenuhi kriteria pertama dan kedua Sektor ekonomi yang mempunyai potensi daya saing kompetitif maupun komparatif yang lebih unggul dibandingkan dengan pertumbuhan total kegiatan ekonomi untuk masing-masing daerah penelitian adalah Boyolali: lembaga keuangan, sewa bangunan dan jasa perusahaan; Karanganyar: listrik, gas dan air bersih, jasa-jasa; Sragen: Jasa jasa, listrik, gas dan air bersih, lembaga
JEJAK, Volume 2, Nomor 2, September 2009
181
keuangan, sewa bangunan dan jasa perusahaan Sedangkan sektor yang merupakan spesialisasi kegiatan ekonomi daerah penelitian adalah Boyolali: Pertanian sub sektor peternakan dan tanaman bahan makanan; Karanganyar: Pertanian sub sektor peternakan dan tanaman perkebunan; Sragen: Pertanian sub sektor tanaman perkebunan Saran
1. Sektor ekonomi yang mempunyai potensi daya saing kompetitif maupun komparatif yang lebih unggul dibandingkan dengan pertumbuhan total kegiatan ekonomi, artinya mempunyai prospek untuk dipasarkan ke luar wilayah atau di ekspor di masa yang akan datang dan dapat dikembangkan secara besar-besaran atau volume produksinya memenuhi syarat untuk di ekspor untuk masing-masing daerah penelitian, perlu didorong, dikembangkan dan disinergikan dengan sektorsektor lain yang terkait agar terdapat dampak pengganda yang cukup berarti yang akan mempercepat periumbuhan ekonomi wilayah. 2. Perlu adanya identifikasi sub sektor yang benarbenar mempunyai daya saing kompetitif maupun komparatif. 3. Sektor yang merupakan spesialisasi kegiatan ekonomi daerah penelitian, perlu didorong pertumbuhannya agar bisa menjadi sektor yang mempunyai daya saing kompetitif maupun komparatif. 4. Dalam mendorong pertumbuhan masingmasing sektor harus diperhatikan produk-produk yang hanya dipakai untuk memenuhi kebutuhan lokal. Sebaiknya produk ini juga diusahakan agar bisa di ekspor, misalnya dengan peningkatan mutu, perbaikan jalur pemasaran, atau penyediaan volume dalam jumlah ekonomis untuk dipasarkan ke luar daerah. 5. Masyarakat di dorong untuk mengkonsumsi produk lokal dan industri di dorong untuk lebih banyak memakai komponen lokal (tetapi dengan tidak mengorbankan mutu agar mudah memasuki pasar ekspor), untuk mendorong pertumbuhan ekonomi wilayah. 6. Meningkatkan potensi ekonomi yang belum menjadi sektor unggulan, sehingga diharapkan di masa mendatang menjadi sektor unggulan.
182
7. Selain mendorong pertumbuhan ekonomi, yang terkait dengan pengembangan fisik dan struktur perekonomian, pengembangan perekonomian juga ditentukan oleh kualitas sumber daya manusia yang mengambil peran dalam gerak perekonomian. Aspek SDM disini meliputi aspek keahlian/ketrampilan dan aspek moral/mental. 8. Melibatkan peran serta masyarakat seperti praktisi ekonomi/bisnis, LSM, pihak akademik dan lain-lain dalam merencanakan, mengimplementasikan dan melakukan evaluasi atas penyelenggaraan otonomi daerah untuk mendorong perkembangan ekonomi wilayah. DAFTAR PUSTAKA
Alexander Abe, 2005, Perencanaan Daerah Partisipatif, Pembaruan, Yogyakarta. Djoko Sudantoko, 2002, Dilema Otonomi Daerah, ANDI, Yogyakarta. Faried Wijaya, 1989, Ekonomikamakro, BPFE Yogyakarta. Guritno Mangkusubroto, 1999, Ekonomi Publik, edisi ketiga, BPFE, Yogyakarta. Juli Panglima Saragih, 2003, Desentralisasi Fiskal dan Keuangan Daerah dalam Otonomi, Ghalialndonesia, Jakarta. Lincolin Arsyad, 1989, Pengantar Perencanaan dan Pembangunan "Ekonomi Daerah", BPFE Yogyakarta. Lincolin Arsyad, 1999, Ekonomi Pembangunan, edisi keempat, Bagian Penerbitan STIE YKPN, Yogyakarta Paulus Wirutomo, 2003, Paradigma Pembangunan di, Era Otonomi Daerah, Memanusiakan Manusia, Cipury, Jakarta. Robinson Tarigan, 2005, Ekonomi Regional (Teori dan Aplikasi), PT. Bumu Aksara, Jakarta. Sadono Sukirno, 1985, Ekonomi Pembangunan, Proses, Masalah dan Dasar Kebijakan, LPE UI dengan Bima Grafika, Jakarta. Tulus TH Tambunan, 2001, Perekonomian Indonesia (Teori dan Temuan Empiris), Ghalia Indonesia, Jakarta. Undang-undang Otonomi Daerah Tahun 2004, Citra Umbara Bandung, 2004.
Identifikasi Potensi Ekonomi Daerah Boyolali, .... (Titisari : 167 – 182)
INDEK
Development (pengembangan): 144; 145; 146; 150; 151; 152; 153
Index Theil: 104; 106; 108; 109; 110; 112
Disparity (disparitas): 104; 105; 108; 110; 112; 113
Industry specialized (spesialisasi industri): 104; 105; 109; 112; 113
Economic growth (pertumbuhan ekonomi) : 114; 115; 116; 118; 119; 120; 124 Economic stability (Stabilitas ekonomi): 114; 123 Expectation (harapan): 126 External potential (potensi exsternal): 184; 188; 189; 190
Industrial Estates: 156
Internal potential (potensi internal): 184; 188; 189; 190 Investment plan (rencana investasi): 157; 160; 162; 162 Myths (mitos): 126; 127; 130; 134
Food crops (tanaman pangan): 144; 145; 146; 149; 150; 153; 154
Neo liberalism: 126; 127; 128; 129; 130; 133; 134
Foreign Direct Investment (investasi langsung luar negeri): 156; 158
Sector (sektor): 176; 177; 178; 179; 180; 181; 182; 184; 185; 186; 188; 189; 190; 191
GDP: 176
Superb commodity: 144
Impact of rising wages (dampak perubahan upah): 91; 93; 95; 96
The manufacturing industry (industri manufaktur): 91; 92; 93; 97; 98; 99; 100; 101; 102; 103
Potential sectors (sektor potensial): 122; 123; 124
JEJAK, Volume 2, Nomor 2, September 2009
183
UCAPAN TERIMA KASIH Pada kesempatan edisi volume 2 ini, Redaksi Jejak dengan tulus ikhlas mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak terutama kepada para mitra bestari sekaligus sebagai tim ahli yang telah sudi meluangkan waktu, pikiran dan tenaganya untuk mengoreksi naskah dari sisi subtansinya pada edisi volume 2 nomor 1 dan nomor 2 ini sebelum diterbitkan yakni kepada Yth.: 1. Prof. Dr. Mudrajat Kuncoro, M.Soc. (Fakultas Ekonomi Universitas Gajah Mada Yogyakarta) 2. Prof. Dr. Tulus Haryono, MS. (Fakultas Ekonomi Universitas Sebelas Maret Surakarta) 3. Dr. R. Maryatmo, MA. (Fakultas Ekonomi Universitas Atmajaya Yogyakarta) 4. Dr. Hadi Sasana, MSi. (Fakultas Ekonomi Universitas Diponegoro, Semarang) 5. Dr. Agung Riyardi, MSi. (Fakultas Ekonomi Universitas Muhammadiyah Surakarta) 6. Dr. Azwardi, M.Si. (Fakultas Ekonomi Universitas Sriwijaya Palembang) 7. Dr. Trenggonowati, MS. (Fakultas Ekonomi Universitas Sultan Agung Semarang)
184
JEJAK, Volume 2, Nomor 2, September 2009
PEDOMAN RINGKAS PENULISAN ARTIKEL JEJAK JEP FE UNNES
A. Ketentuan Umum: 1. Artikel lebih diutamakan hasil penelitian, dan kajian empiris atau hasil pemikiran konseptual dan kajian teoritis dalam bidang ekonomi yang belum pernah dimuat dan tidak sedang dikirim ke terbitan/jurnal lain. 2. Artikel ditulis dalam bahasa Indonesia yang baku atau bahasa Inggris yang baik. Diketik 1 spasi untuk abstrak serta 1,5 spasi untuk isi dengan font Arial 11 dan menggunakan ukuran kertas UNESCO A4, 210 x 297 mm sebanyak 15-20 halaman. 3. Artikel dikirim sebanyak satu eksemplar dan disertai soft copy dalam bentuk CD, atau disket atau USB serta dilengkapi dengan riwayat hidup, alamat lembaga/instansi, dan e-mail atau nomor telpon. 4. Penilaian, penerimaan atau penolakan artikel oleh tim redaksi JEJAK berdasarkan pada Panduan Akreditasi Berkala Ilmiah 2006 oleh LIPI dan DP2M serta taat pada pedoman atau kaidah selingkung JEJAK. Hasil kemungkinan tentang penilaian artikel dapat berupa: a. Diterima tanpa perbaikan b. Diterima dengan sedikit perbaikan oleh redaksi c. Diterima dengan perbaikan dari penulis d. Ditolak karena kurang/tidak memenuhi syarat 5. Hasil tulisan sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis. B. Ketentuan Khusus: 1. Sistematika Artikel a.
Sistematika penulisan di JEJAK harus lengkap dan bersistem baik yang mengikuti kaedah-kaedah selingkung dan ciri berkala ilmiah sebagai berikut: 1). Sistematika artikel hasil penelitian: judul; nama penulis (tanpa gelar akademik); abstrak (maksimum 200 kata berisi tujuan, metode dan hasil penelitian); kata kunci; pendahuluan yang berisi latar belakang penelitian, pokok masalah serta tujuan penelitian; landasan teori yang berisi penelitian sebelumnya dan landasan teori yang digunakan; metode penelitian; hasil dan pembahasan; simpulan dan saran; serta daftar pustaka. 2). Sistematika artikel hasil pemikiran konseptual: judul; nama penulis (tanpa gelar akademik); abstrak (maksimum 200 kata); kata kunci; pendahuluan berisi latar belakang dan ruang lingkup tulisan; pembahasan berisi bahasan utama yang dapat dibagi ke dalam sub-bagian; penutup; serta daftar pustaka.
b. Penulis artikel pada JEJAK JEP FE UNNES dituntut untuk menggunakan bahasa analisis secara tajam, jelas, lengkap, kritis, argumentatif dan informatif serta komplementer yang dilengkapi seperti; gambar, foto, tabel, grafik, model dan sebagainya untuk mendukung pemaparan analisis deskriptif dan sintesisnya. c.
Gaya selingkung berkala sistem pengacuan pustaka harus baku dan ditulis secara konsisten diurutkan menurut alfabetis (nama, tahun, urut abjad) mengikuti sistem Harvard. 1) Untuk buku ditulis dengan urutan: Nama pengarang, Tahun, Judul Buku, Edisi, Kota penerbit: Nama penerbit. JEJAK, Volume 2, Nomor 2, September 2009
2) Untuk jurnal/majalah/terbitan berkala ditulis dengan urutan: Nama penulis, Tahun, Judul tulisan, Nama jurnal/majalah, Vol., No., Hal., Kota penerbit: Nama penerbit. 3) Untuk tulisan/karangan yang merupakan bagian dari buku ditulis dengan urutan: Nama pengarang, Tahun, Judul tulisan/karangan, dalam (atau in) nama Editor (Ed), Judul buku, Hal. (pp.), Kota penerbit, Nama penerbit. 4) Untuk rujukan dari internet, tanggal akses atau tanggal down load harus dicantumkan. 5) Untuk rujukan dari koran ditulis dengan urutan: Nama penulis, (anonim, jika tidak ada pengarangnya), Tahun, bulan, tanggal, Judul tulisan, Nama koran, Nomor halaman, (kolom). 2. Isi dan Aspirasi Wawasan a.
Aspirasi wawasan penulisan artikel di JEJAK minimal berwawasan nasional atau regional serta lebih diharapkan mampu berwawasan internasional, sehingga sumbangan berkala artikel dalam JEJAK untuk kemajuan IPTEK adalah sangat tinggi. Artinya, sekalipun kajian isi artikel sifatnya tetap sangat spesifik dari suatu disiplin ilmu JEJAK, tetapi jangkauan wawasan artikel yang ditulis dengan bahasa baku yang baik dan lebih bersifat keuniversalan akan lebih dipentingkan dibandingkan dengan kenasionalan apalagi kelokalan.
b.
Sumbangan berkala pada IPTEK yang dimaksud diukur dari derajat keorisinalan dan makna kontribusi ilmiah temuan/gagasan/hasil pemikiran dalam tulisan yang dimuatnya harus tetap sesuai dengan bidang disiplin Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan JEJAK.
c. Bobot isi kemutakhiran bahan yang diacu dan ketajaman analisis serta sinteksis yang dilakukan secara kritis serta peranannya dapat berfungsi sebagai pemacu kegiatan penelitian berikutnya sangat diutamakan. Karena itu, penarikan kesimpulan yang mampu mencetuskan teori baru atau metode/model ilmiah baru yang dituangkan secara mapan dan lebih bermakna ilmiah akan lebih diutamakan daripada kesimpulan dangkal dan saran bahwa penelitiannya perlu dilanjutkan. 3. Format Artikel JUDUL Judul artikel harus ditulis spesifik dan efektif, tidak boleh disingkat dan tidak lebih dari 14 kata dalam tulisan berbahasa Indonesia, atau 10 kata bahasa Inggris, sehingga sekali dibaca dapat ditangkap maksudnya secara komprehnsif. Keefektifan judul harus bersifat baku dan lugas. Nama Penulis Nama penulis artikel ditulis baku dan lengkap tanpa gelar akademis, dan di bawah nama penulis disertai alamat lembaga dan alamat e-mail. ABSTRAK Abstrak ditulis secara gamblang, utuh dan lengkap mengambarkan esensi keseluruhan tulisan, dan abstrak bukan ringkasan. Isi abstrak maksimal 200 kata yang meliputi tujuan penelitian atau penulisan artikel, metode yang digunakan, hasil atau kesimpulan. Jika artikel ditulis dalam bahasa Indonesia, maka abstrak harus ditulis dalam bahasa Inggris. Tetapi, jika artikel ditulis dalam bahasa inggris, maka abstrak tetap dalam bahasa inggris saja.
JEJAK, Volume 2, Nomor 2, September 2009
Kata Kunci Di bawah abstrak disertai kata kunci. Kata kunci ini harus dipilih secara cermat, sehingga mencerminkan konsep yang dikandung artikel terkait, dan merupakan kelengkapan artikel ilmiah untuk membantu keteraksesan artikel yang bersangkutan. PENDAHULUAN Tidak hanya berisi latar belakang masalah pentingnya penelitian tersebut dilakukan, tetapi juga berisi pokok masalah, serta tujuan penelitian dan sintesa dari artikel yang ditulis oleh penulis. LANDASAN TEORI Landasan teori yang disertakan harus singkat, tetapi tetap baku dan padat dan hanya landasan teori yang benar-benar digunakan saja. Sebaiknya berisi penelitian sebelumnya yang mendukung penguatan pentingnya penelitian atau artikel tersebut perlu dilakukan dan ditulis, serta kerangka pikir atau hipotesis penelitian jika ada. METODE PENELITIAN Menguraikan desain riset atau tata cara penelitian secara rinci (metode, jenis data, sumber data, teknik pengumpulan data, dan model analisis data serta cara penafsiran atau cara interprestasi hasil penelitian) HASIL DAN PEMBAHASAN Berisi hasil penelitian yang sewajarnya dan dianggap paling menonjol yang disusun secara sistematis, informatif dan kritis serta ditulis dalam bentuk bahasa yang baku (baik dan benar). Hasil pengolahan data yang disajikan harus selektif dan mampu menggunakan fasilitas penjelas secara informatif dan kritis sehingga tidak memberikan informasi yang berulang. Ingat semua penulis artikel Jejak dituntut untuk menggunakan bahasa analisis secara tajam, jelas, lengkap, kritis, argumentatif dan informatif serta komplementer sementara; gambar, foto, tabel, grafik, model dan sebagainya bukanlah hasil pokok tetapi, hanya untuk mendukung pemaparan analisis deskriptif dan sintesisnya yang kritis dan argumentatif. Pembahasan hasil merupakan analisis atau argumentasi kritis mengenai relevansi hasil dengan teori dan fakta empiris, manfaat serta kemungkinan pengembangan yang lebih bermakna ilmiah dan univesal. Artinya, kepioniran isi artikel ditentukan oleh kemutakhiran state-of-the-art IPTEK yang dikandung, kecanggihan sudut pandang dan ketepatan pendekatan yang digunakan serta kebaruan temuan bagi pengembangan ilmu. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan harus dapat dirumuskan dengan tajam, tegas, cermat, singkat dan jelas serta berdasarkan fakta temuan empiris dalam penelitian atau hasil pemikiran kritis yang mampu memacu penelitian berikutnya. Saran atau rekomendasi jika ada harus tegas, dan jelas serta bersifat operasional dan tetap harus terkait dengan hasil penelitian ilmiah yang ditemukan. DAFTAR PUSTAKA Berisi daftar bacaan yang aktual dan hanya berisi sumber acuan yang digunakan saja serta harus mengikuti sistematika seperti yang telah dijelaskan di atas. Daftar rujukan bacaan diharapkan 85% dari referensi buku atau jurnal-jurnal ilmiah terbaru maksimal terbitan 10 tahun terakhir. Semakin tinggi pustaka primer yang diacu akan semakin baik dan makin bermutu artikel tersebut, tetapi semakin sering penulis mengacu pada diri sendiri (self citation) akan dapat mengurangi prioritas penilaian berkala dan penolakan dimuatnya artikel.
JEJAK, Volume 2, Nomor 2, September 2009
DESAIN SISTEM PENGELOLAAN ATIKEL JEJAK DI JURUSAN EKONOMI PEMBANGUNAN FAKULTAS EKONOMI UNNES ISSN 1979-715X PENULIS ARTIKEL
PENYUNTING PELAKSANA
PENYUNTING AHLI
PERCETAKAN/ DISTRIBUSI
Penyampaian Naskah
Naskah Diterima
Pemeriksaan Isi/Materi
Cetak Jurnal
Pemeriksaan Teknis
Naskah
Distribusi Jurnal Tidak
Laik
Ya Tidak
Editing/ Sunting
Laik Ya
Desain/Setting Pracetak
Master Jurnal
Ketentuan Umum: 6. Artikel dikirim sebanyak satu eksemplar dan disertai soft copy dalam bentuk CD, atau disket atau USB serta dilengkapi dengan riwayat hidup, alamat lembaga/instansi, dan e-mail atau nomor telpon. Pengiriman artikel juga dapat melalui email:
[email protected] atau jejak_feunnes.yahoo.com 7. Penilaian, penerimaan atau penolakan artikel oleh tim redaksi JEJAK berdasarkan pada Panduan Akreditasi Berkala Ilmiah 2006 oleh LIPI dan DP2M serta taat pada pedoman atau kaidah selingkung JEJAK. Hasil kemungkinan tentang penilaian artikel dapat berupa: a). Diterima tanpa perbaikan b). Diterima dengan sedikit perbaikan oleh redaksi c). Diterima dengan perbaikan dari penulis d). Ditolak karena kurang/tidak memenuhi syarat 8. Hasil tulisan sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis dan redaksi tidak berkewajiban mengembalikan artikel yang ditolak.
JEJAK, Volume 2, Nomor 2, September 2009