DINAMIKA GERAKAN PETANI : KEMUNCULAN DAN KELANGSUNGANNYA (DESA BANJARANYAR KECAMATAN BANJARSARI KABUPATEN CIAMIS)
MOCHAMMAD FAJRIN I34061767
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
RINGKASAN MOCHAMMAD KEMUNCULAN
FAJRIN. DAN
DINAMIKA
GERAKAN
KELANGSUNGANNYA.
Desa
PETANI, Banjaranyar,
Kecamatan Banjarsari, Kabupaten Ciamis, Provinsi Jawa Barat (Di bawah Bimbingan Satyawan Sunito)
Gerakan petani merupakan suatu bentuk perlawanan yang sengaja dilakukan oleh sekelompok petani yang terorganisir untuk menciptakan terjadinya perubahan dalam pola interaksi atau keadilan untuk petani di dalam masyarakat. Gerakan tersebut mempunyai ciri-ciri seperti halnya gerakan sosial yaitu i) memiliki pengorganisasian internal yang rapi, ii) berlangsung lebih lama, iii) gerakan sengaja bertujuan melakukan reorganisasi kehidupan masyarakat internal maupun eksternal. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui : i) latar belakang dan proses perebutan tanah di Desa Banjaranyar. ii) apa makna tanah bagi petani Banjaranyar, berkaitan dengan kemuculan gerakan petani (pra-reclaiming). iii) perkembangan gerakan petani Banjaranyar, beserta hubungan gerakan petani dengan berbagai kekuatan sosial baik di dalam dan si luar desa. Penelitian ini merupakan sebuah penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif merupakan suatu metode berganda dalam fokus, yang melibatkan suatu pendekatan interpretatif dan wajar terhadap setiap pokok permasalahannya. Penelitian ini menggunakan metode observasi partisipasi (participant observation) di lapangan. Metode observasi partisipasi merupakan sebuah teknik pengumpulan data yang mengharuskan peneliti melibatkan diri dalam kehidupan masyarakat yang diteliti. Peneliti harus dapat memahami gejala-gejala yang ada, sesuai dengan maknanya dengan yang diberikan atau dipahami oleh warga masyarakat yang sedang diteliti, termasuk dalam pengertian metode ini adalah wawancara dan mendengarkan serta memahami apa yang didengarnya. Desa Banjaranyar berdiri di atas tanah eks-perkebunan Agris NV. Warga mulai menggarap tanah perkebunan semenjak periode awal kemerdekaan. Pada tahun 1982, penggarapan yang dilakukan warga terusik oleh kedatangan PT RSI.
PT RSI merupakan anak perusahaan PT Bukit Jonggol Asri, pemilik hak kelola atas lahan eks-perkebunan Agris NV. Hak pengelolaan tersebut kemudian beralih melalui aksi tukar guling lahan antara PT RSI dengan pihak Perhutani pada tahun 1996. Kuatnya institusi Negara dan Pemerintah Orde baru yang cenderung represif membuat gerakan perlawanan petani tidak lahir pada saat itu. Tahun 1998, Petani Banjaranyar mulai mengorganisir diri dan melakukan pemotongan pohon jati Perhutani. Hal tersebut dilakukan sebagai bentuk perlawanan atas kehadiran Perhutani di atas tanah eks-perkebunan. Kejatuhan rezim Orde Baru menciptakan momentum yang memudahkan lahirnya gerakan petani Banjaranyar. Gerakan petani Banjaranyar dapat dilihat sebagai aksi perlawanan petani terhadap perampasan tanah oleh kapital swasta yang didukung negara melalui pemberian hak kelola tanah (HGU). Masuknya kapital swasta ke dalam komunitas petani Banjaranyar, dalam bentuk perampasan tanah, menyebabkan kehidupan petani semakin terpuruk dan menghadapi krisis subsistensi hingga kebatas toleransi. Walaupun begitu, lahirnya gerakan petani Banjaranyar tidak hanya didasarkan pada adanya faktor krisis subsitensi di tingkat petani, termasuk rasionalitas petani, tetapi juga karena terbukanya kesempatan akibat adanya reformasi 1998 di Indonesia. Gerakan petani Banjaranyar yang kemudian bergabung dengan Serikat Petani Pasundan (SPP), telah merubah gerakan petani Banjaranyar baik itu dari segi organisasi gerakan, strategi gerakan, dan kepemimpinan gerakan. Semula gerakan petani Banjaranyar lebih bersifat ke dalam, dengan persatuan sebagai strategi utamanya. Setelah bergabung dengan SPP, gerakan petani Banjaranyar, menjadi lebih terbuka dengan berbagai kekuatan sosial lain, baik di dalam ataupun di luar desa. Hingga tahun 2010, terdapat beberapa kelembagaan di Desa Banjaranyar, yang dapat dikatakan sebagai hasil dari hubungan tersebut, seperti koperasi kredit, organisasi wanita dan leyit.
DINAMIKA GERAKAN PETANI : KEMUNCULAN DAN KELANGSUNGANNYA (DESA BANJARANYAR KECAMATAN BANJARSARI KABUPATEN CIAMIS)
Oleh Mochammad Fajrin I34061767
SKRIPSI Sebagai Syarat Untuk Mendapatkan Gelar Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
DEPARTEMEN KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKUTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR Dengan ini menyetakan bahwa Skripsi yang disusun oleh : NAMA MAHASISWA
:
Mochammad Fajrin
NRP
:
I34061767
PROGRAM STUDI
:
Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
JUDUL
:
Dinamika Gerakan Petani, Kemunculan dan Kelangsungannya (Desa Banjaranyar, Kecamatan Banjarsari, Kabupaten Ciamis)
Dapat diterima sebagai syarat kelulusan untuk memperoleh gelar Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Menyetujui, Dosen Pembimbing
Dr. Satyawan Sunito NIP. 19520326 199103 1 001
Mengetahui, Ketua Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
Dr. Ir. Soeryo Adiwibowo, MS NIP. 19550630 198103 1 003
Tanggal Lulus : ______________
LEMBAR PERNYATAAN
DENGAN BERJUDUL
INI
SAYA
MENYATAKAN
“DINAMIKA GERAKAN
KELANGSUNGANNYA
(DESA
BAHWA
PETANI,
SKRIPSI
KEMUNCULAN
BANJARANYAR,
SEBAGAI KARYA
DAN
KECAMATAN
BANJARSARI, KABUPATEN CIAMIS, JAWA BARAT)” BELUM DIAJUKAN
YANG
PERNAH
ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI
LAIN ATAU LEMBAGA LAIN MANAPUN UNTUK TUJUAN MEMPEROLEH GELAR AKADEMIK TERTENTU. SAYA JUGA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI BENAR – BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI DAN TIDAK MENGANDUNG BAHAN – BAHAN YANG PERNAH DITULIS ATAU DITERBITKAN OLEH PIHAK LAIN KECUALI SEBAGAI BAHAN RUJUKAN YANG DINYATAKAN DALAM NASKAH.
Bogor, Mei 2011
Mochammad Fajrin
RIWAYAT HIDUP
Mochammad Fajrin (penulis) lahir di Jakarta, 2 Desember 1988. Penulis merupakan anak tunggal dari pasangan M. Yamin dan Elly Z. Penulis memulai jenjang pendidikan dengan memasuki Taman Kanak – Kanak (TK) Putra Setia pada tahun 1992 – 1994. Setelah itu, penulis menyelesaikan Sekolah Dasar (SD) di SD Perguruan Cikini, Jakarta pada tahun 1994 – 2000, Sekolah Menengah Pertama (SMP) di SMPN 1, Jakarta pada tahun 2000-2003, dan Sekolah Menengah Umum (SMU) di SMUN 68, Jakarta pada tahun 2003- 2006. Setelah lulus dari jenjang SMU penulis melanjutkan studi di Intitut Pertanian Bogor pada tahun 2006 melalui jalur SPMB. Pada tahun kedua di IPB penulis memilih melanjutkan studi pada jurusan Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Intitut Pertanian Bogor. Semenjak memasuki jenjang pendidikan tinggi di Institut Pertanian Bogor, terdapat berbagai kegiatan dan organisasi yang pernah dikuti oleh penulis. Pada tahun kedua, penulis aktif di Himpunan Mahasiswa Peminat Ilmu Komunikasi dan Pengambangan Masyarakat (HIMASIERA) dan masuk menjadi salah satu staf di divisi fotografi dan cinematografi. Pada periode selanjutnya, penulis dipercaya sebagai ketua HIMASIERA untuk periode 2008-2009. Bersama kawan – kawan dari fakultas lain, penulis mendirikan organisasi perfilman dalam kampus yaitu Agriculture Filmmaker Community (AFC) dan dipercaya sebagai ketua pelaksana dalam program kerja pemutaran film lingkungan di tiga fakultas, yaitu Fakultas Kehutanan, Fakultas Teknologi Pertanian, dan Fakultas Perikanan. Beberapa waktu setelahnya, penulis aktif menjadi volunteer di FORCI – Dev, Fakultas Kehutanan IPB. Saat ini penulis aktif menjadi editor lepas di penerbitan dan percetakan Firdaus, Jakarta.
KATA PENGANTAR
Puji dan Syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas rahmat dan berkahnya, sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulisan skripsi ini ditujukan untuk memenuhi syarat mendapatkan gelar Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Adapun judul dari skripsi ini ialah Dinamika Gerakan Petani, Kemunculan dan Kelangsungannya (Desa Banjaranyar, Kecamatan Banjarasari, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat). Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui perihal apa dan bagaimana gerakan petani di Desa Banjaranyar, khususnya yang berkaitan dengan kemunculan dan kelangsungan gerakan petani. Meskipun sungguh disadari oleh penulis, penelitian kali ini boleh jadi tidak berarti apa – apa di dalam perkembangan studi – studi meengenai gerakan petani di Indonesia, tetapi besar harapan penulis, bahwa penulisan skripsi ini dapat menambah pengetahuan diri dan orang – orang di sekitar penulis prihal permasalahan gerakan petani.
Bogor, Mei 2011
Mochammad Fajrin
UCAPAN TERIMAKASIH
Puji Syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT karena dengan rahmat dan izin-Nya penulis dapat menyelesaikan Skripsi yang berjudul “Dinamika Gerakan Petani, Kemunculan dan Kelangsungannya”. Penulis sangat bersyukur karena penyusunan Skripsi ini dapat rampung tempat pada waktunya dan sesuai dengan yang direncanakan. Penulis menyadari bahwa Skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik karena dukungan dan bantuan dari berbagai pihak. Maka dari itu pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada : 1. Dosen Pembimbing Skripsi, Dr. Satyawan Sunito yang telah membimbing dengan penuh kesabaran, memberi saran dan kritik yang membangun, serta motivasi sehingga Skripsi ini dapat terselesaikan. 2. Kepada orang tua penulis M. Yamin dan Elly Z. yang telah menyayangi, memberi dukungan dengan berbagai cara, serta dengan sabar menunggu penulis karena jarang singgah ke rumah. 3. Kepada sahabat saya Ahsana Riska, yang dengan sabar mau menjadi teman saya berbagi pemikiran, memberikan semangat, dan segala bantuan yang saya tidak mampu untuk menyebutkannya satu persatu. 4. Kepada Yusup Napiri Maguantara (Mas Yusup), Agus Budi Wibowo (Mas Bagong), Ari Mulyono (Mas Ari), karena telah dengan sangat baik mau meminjamkan buku yang sangat banyak, memberi nasihat dan kritik yang sangat berguna, ilmu – ilmu hidup yang sangat beragam, dan dengan sangat sabar mau mendengarkan argumen - argumen dari penulis. 5. Kepada
teman – teman di Serikat Petani Pasundan (SPP), Kang Arif, Kang
Agustiana, Kang Jek, Ibu Wati, Bapak Oman, Bung Hermawan , yang dengan sangat baik mau memberikan tumpangan tempat tinggal, asupan makanan yang enak – enak, dan segala macam informasi yang resmi ataupun tidak. 6. Kepada teman – teman kontrakan dan tetangga, Raditya M. Rachman, Hafid Faris Hakim, Anom Kalbuadi, yang dengan sabar mau menjadi teman satu lingkungan tinggal dengan saya. Dan tidak lupa kepada Bapak Mayor dan keluarga, tetangga sebelah rumah, karena sudah memberi inspirasi dengan gaya ketentaraannya.
7. Kepada teman – teman penulis di Jurusan Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Tya, Irena, Dea, Cecep, Azis, Untung, Irfan, Risman, Lintang, Ina. Kebersamaan dan segala kenangan yang begitu banyak dan sangat berharga sungguh sangat berbekas pada diri saya. 8. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah membantu menyelesaikan Skripsi ini
Akhirnya penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun. Semoga Skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.
Bogor,
Mei 2 011
Penulis
DAFTAR ISI DAFTAR ISI………………………………..…………………........................
i
DAFTAR TABEL..............................................................................................
iii
DAFTAR GAMBAR.........................................................................................
iv
BAB I PENDAHULUAN…………….………………………………………..
1
1.1. Latar Belakang…………………………………...........……………. 1 1.2. Perumusan Masalah..………………......……………………..……..
4
1.3. Tujuan Penelitian..…………………….……...………………..……
5
BAB II TINJAUAN TEORITIS.………...…………………………………….
6
2.1. Tinjauan Pustaka................................................................................ 6 2.1.1. Petani dan Tanah.......................................………................... 6 2.1.1.1 Makna Tanah Bagi Petani............................................
7
2.1.2. Sumber Radikalisasi Petani.....................................................
9
2.1.3. Pengorganisasian Petani.......................................................... 13 2.1.3.1 Organisasi Gerakan...................................................... 16 2.1.3.2. Kepemimpinan............................................................ 2.1.4. Gerakan Petani............................................................
19 22
2.1.4.1. Gerakan Petani di Indonesia.......................................
24
2.2. Kerangka Pemikiran..........................................................................
28
2.3. Definisi Konseptual..........................................................................
29
BAB III PENDEKATAN LAPANG.................................................................
32
3.1. Jenis Penelitian…….....…………….....……………………….......
32
3.2. Unit Analisis.............................................…………………………
33
3.3. Teknis Pengumpulan Data.............………………………...............
34
3.4. Taknis Analisis Data..................................………………………… 35 3.5. Sistimatika Penulisan.................................………………................ 35
i
BAB IV LATAR BELAKANG KEMUNCULAN GERAKAN PETANI.......
37
4.1. Desa Banjaranyar….....…………...…………………………........
37
4.2. Sejarah tanah Perkebunan di Desa Banjaranyar.......……………....
40
4.2.1. Pembukaan Perkebunan Kopi....……………………….......
40
4.2.2. Perkebunan Agris NV.......................………………………
42
4.2.3. Periode Pasca Kemerdekaan................………………….....
47
4.2.4. Era Orde Baru........................................................................
49
4.3. Pengorganisiran Petani Banjaranyar dan Aksi Perebutan Tanah......
50
4.3.1. Pertemuan Dengan Agustiana.................................................
54
4.4. Makna Tanah Bagi Petani Banjaranyar.............................................
55
BAB V GERAKAN PETANI BANJARANYAR............................................
58
5.1. Organisasi Gerakan............................................................................ 58 5.2 Strategi Gerakan................................................................................
62
5.3. Kepemimpinan..................................................................................
67
BAB VI KELANGSUNGAN GERAKAN PETANI BANJARANYAR.........
71
6.1. Redistribusi Tanah.............................................................................
71
6.2 Sistem Kebun....................................................................................
72
6.3. Organisasi Wanita.............................................................................
75
6.4. Koperasi............................................................................................
76
6.5. Lumbung (leyit).................................................................................
78
6.6. “Aku” Anggota SPP..........................................................................
80
BAB VII PENUTUP..........................................................................................
83
7.1. Implikasi Teoritis............................................................................... 83 7.2. Kesimpulan........................................................................................
88
DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................
91
ii
DAFTAR TABEL
Nomor
Teks
Halaman
Tabel 1. Stakeholder Pada Kasus Petani Desa Banjaranyar, Tahun 2010.
33
Tabel 2. Jumlah Kepala Keluarga Petani menurut Luas Lahan yang Dimiliki, Desa Banjaranyar, Tahun 2005.........................................................
38
Tabel 3. Jumlah Produksi Kopi Hindia Belanda Dalam pikul, Perkebunan Pemerintah dan Swasta Tahun 1895 – 1909...................................... 45
iii
DAFTAR GAMBAR
Nomor
Teks
Halaman
Gambar 1. Kerangka Pemikiran....…..………………………………….......
29
Gambar 2. Peta Desa Banjaranyar, Kecamatan Banjarsari.............................
39
Gambar 3. Produksi Kopi Priyangan, Batavia, dan Sekitarnya, Tahun 1796 – 1810...........................................................................................
42
Gambar 4. Struktur Organisasi Serikat Petani Pasundan (SPP)....................... 60 Gambar 5. Struktur Organisasi Koperasi Kredit.............................................. 77
iv
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sejarah adalah kuburan, begitu kata Vilfredo Pareto (Wiradi,1984), tetapi tanpa sejarah,“apakah mungkin kita berada disini” ? Dalam sejarah panjang Indonesia, semenjak masa kolonial hingga saat ini, dapat dilihat bagaimana petani selalu mewarnai dinamika sejarah bangsa. Diterbitkannya undang – undang agraria (Agrarische Wet) pada tahun 1870 oleh pemerintah kolonial menjadi tonggak penting bagi sejarah petani di Indonesia. Dengan adanya undang – undang tersebut, pemerintah kolonial dapat memberikan keleluasaan kepada pengusaha swasta asing untuk dapat menyewa tanah dalam waktu yang panjang dan dengan harga yang murah. Semenjak saat itu, aliran modal swasta asing deras mengalir membanjiri Indonesia. Perkebunan – perkebunan swasta besar mulai bermunculan di Sumatera dan Jawa. Hal ini memberi dampak yang signifikan bagi kehidupan petani. Karena tidak sedikit dari tanah – tanah perkebunan tersebut, pada mulanya merupakan tanah garapan milik petani. Pada gilirannya, kebijakan tersebut menjadi salah satu pemicu munculnya aksi – aksi perlawanan petani. Seperti yang dituliskan Kuntowijoyo dan Kartodirdjo bahwa, radikalisasi petani pada era kolonial terjadi karena pengambilan tanah oleh Pemerintah Kolonial untuk kepentingan aktivitas usaha perkebunan. (Kartodirdjo, 1984; Kuntowijoyo, 1997). Ketimpangan struktur kepemilikan dan penguasaan tanah yang ada pada masa kolonial menjadi salah satu pemicu dikeluarkan kebijakan penataan agraria pada masa orde lama (1945 – 1965). Selama pemerintahan Soekarno, rakyat mulai merasakan adanya kebebasan (Fauzi, 1999). Hal ini ditandai dengan terbukanya ruang yang cukup lapang bagi petani untuk membentuk organisasi ditingkat akar rumput sehingga partisipasi politik ormas petani terbuka luas. Dikeluarkannya Undang – Undang Pokok Agraria (UUPA 1960) sebagai salah satu kebijakan pemerintah Soekarno, diakui secara legal sebagai landasan hukum pertanahan yang sah. Meskipun pada tahap pelaksanaannya pelaksanaan UU tersebut
1
terhambat baik karena masalah administratif, korupsi, maupun oposisi dari tuan tanah. Arah kebijakan agraria berubah pada masa pemerintahan Presiden Soeharto, rezim ini mempunyai asumsi yang berbeda dalam melihat pembangunan (Fauzi, 1999). Pada era Orde Baru (1965 – 1998) persoalan land Reform dijadikan hanya sebatas pada masalah teknis birokrasi dan juga menghapus semua legitimasi ormas petani dalam program land reform. Dikeluarkannya Undang Undang No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa yang menghapus proses politik partisipatif orang desa dan perlibatan militer dalam pengawasan pembangunan desa. Pada prakteknya hal ini memotong massa desa dengan partai politik, sehingga kegiatan politik pada tingkatan desa hanya pada saat pemilu semata.
Nasib
petani
di
Pedesaan
semakin
terpuruk
ketika
ideologi
developmentalism menjadi pilihan paradigma pembangunan rezim Orde Baru yang pada kenyataannya sangat problematik bagi petani dengan ditopang investasi modal asing secara besar – besaran melalui industrialisasi, yang dalam operasionalsilasinya sangat memerlukan ketersediaan tanah (Fauzi, 2001). Adanya pemberian hak pengelolaan kawasan oleh pemerintah kepada pihak swasta atupun Badan Usaha Milik Negara (BUMN), yang marak pada masa Orde Baru, merupakan bentuk konversi dari hak erfpacht yang ada pada massa kolonial. Sejalan dengan itu, Mustain (2007) menyatakan bahwa pengelolaan HGU tersebut dalam praktiknya sering terjadi penyimpangan peruntukan, penguasaan, dan pengasingan terhadap masyarakat sehingga memicu manifestasi konflik. Kejatuhan pemerintahan Orde Baru menciptakan ketidakstabilan di bidang politik dan ekonomi, baik itu pada tingkat pusat atupun daerah. Sudah menjadi ciri rezim otoriter modern bahwa ketika pusat tidak dapat bertahan, maka segalanya akan berantakan dengan begitu cepat. (Simon Philpott, 2003). Krisis ekonomi pada pertengahan tahun 1997 mendesak lahirnya gagasan reformasi. Reformasi membuka ruang yang lebih besar bagi rakyat dalam menyuarakan aspirasinya, terutama dengan dukungan dari banyaknya organisasi non pemerintah yang memang pesat juga perkembangannya diseluruh dunia pada awal tahun 1990-an
2
(Hulme dan Edward, dalam Pinky, 2007). Semangat reformasi tidak hanya dirasakan oleh mahasiwa dan berbagai elemen masyarakat yang melakukan aksi turun ke jalan di kota – kota besar, tetapi juga dirasakan pada masyarakat di tingkat akar rumput. Salah satu bentuknya, mengejawantah dalam aksi perebutan tanah yang dilakukan oleh masyarakat atas tanah – tanah yang pernah menjadi tanah garapan penduduk, seperti pada kasus wonosobo, kasus Tapos, dan kasus Desa Keprasan Gunung Kelud. Kasus perebutan tanah yang ada di Desa Banjaranyar, gerakan yang ada mulai terorganisir pada tahun 1998. Hal ini ditandai dengan adanya pendataan jumlah kepala keluarga desa, pembuatan peta daerah reclaim, dan pembentukan organisasi gerakan pada tingkat lokal desa1. Apabila kita sejajarkan dengan periode waktu pembagian gerakan petani di Indonesia. Gerakan yang ada di Desa Banjaranyar bersamaan dengan terjadinya reformasi pada tahun 1998, yang ditandai dengan turunnya Presiden Soeharto dari tampuk kepmimpinan. Tanah yang ada di Desa Banjaranyar merupakan tanah milik negara yang dikelola oleh PT RSI. PT RSI sendiri merupakan sebuah perusahaan perkebunan swasta yang dimiliki Bambang Trihatmojo, putra dari Soeharto, Presiden kedua Republik Indonesia. PT RSI mendapatkan Hak Guna Usaha (HGU) dari pemerintah atas tanah seluas 750 hektar. Adanya gerakan yang terorganisir di dalam Desa Banjaranyar pada tahun 1998 dapat dilihat sebagai salah satu gejala sosiologis, dimana tersedianya sebuah kondisi kondusif di dalam masyarakat yang memungkinkan terjadinya suatu aksi perlawanan petani. Karena, sebuah aksi perlawanan petani tidak mungkin terjadi pada kondisi yang tidak mendukung (Wolf, 1969). Mengapa dan bagaimana perlawanan petani yang di Desa Banjaranyar, hal tersebutlah yang mendasari dilakukannya penelitian kali ini. Pertanyaan perihal “mengapa dan bagaimana aksi perlawanan petani secara terbuka dapat terjadi hingga saat ini” dapat diperjelas dengan menurunkannya menjadi sebuah pertanyaan besar yaitu “mengapa dan bagaimana 1
Komunikasi pribadi penulis dengan salah satu tokoh masyarakat Desa Bangun Karya, pada Studi pendahuluan yang dilaksanakan pada bulan Februari 2010.
3
petani di Desa Banjaranyar dapat merebut dan mempertahankan tanah”. Apabila dilihat dari sisi prosesnya dapatlah dipilah menjadi dua bagian, terjadinya “kemunculan” dari aksi perebutan tanah dan “keberlanjutan” dari aksi perlawanan tersebut. Proses kemunculan dari gerakan ini dapat menunjukan dua hal secara sekaligus, yaitu penyebab atau asal usul (kajian historis) terjadinya aksi perebutan tanah oleh petani dan kondisi masyarakat secara keseluruhan. Proses keberlanjutan dari gerakan sebagai aksi petani untuk mempertahankan tanah, dapat menunjukan perkembangan gerakan petani berserta kaitaannya dengan berbagai kekuatan sosial lain baik di dalam atau di luar desa. 1.2 Perumusan Masalah Seperti yang telah dipaparkan diawal, penelitian kali ini mengkaji kemunculan dan kelangsungan gerakan petani di Desa Banjaranyar, Kecamatan Banjarsari, Kabupaten Ciamis. Secara lebih spesifik dapat diuraikan menjadi beberapa pertanyaan analitis, yaitu: 1. Bagaimana latar belakang dan proses perebutan tanah yang dilakukan oleh petani di Desa Banjaranyar ? 2. Berkaitan dengan kemunculan (pra – reclaiming) gerakan petani, apa makna tanah bagi petani di Desa Banjaranyar ? 3. Pertanyaan perihal kelangsungan (faktor – fakor internal dan eksternal) gerakan petani dalam rangka mempertahankan tanah : •
Bagaimaana
perkembangan
gerakan
petani
di
Desa
Banjaranyar pasca terjadinya aksi perebutan tanah ? •
Bagaimana hubungan gerakan petani Banjaranyar dengan berbagai kekuatan sosial baik itu di dalam ataupun di luar desa Banjaranyar ?
4
1.3 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui : i) latar belakang dan proses perebutan tanah di Desa Banjaranyar. ii) apa makna tanah bagi petani Banjaranyar, berkaitan dengan kemuculan gerakan petani (pra-reclaiming). iii) perkembangan gerakan petani Banjaranyar, beserta hubungan gerakan petani dengan berbagai kekuatan sosial baik di dalam dan si luar desa.
5
BAB II PENDEKATAN TEORITIS
2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1
Petani dan Tanah Moore (1966), mencirikan petani sebagai kelompok yang berbeda dengan
kelompok masyarakat yang lain, dengan melihat posisinya sebagai golongan yang tersubordinasi serta mempunyai budaya yang tersendiri. Sejalan dengan hal tersebut Shanin (1971) dalam tulisan yang berjudul Peasantry as a Political Factor, mendefinisikan petani sebagai produsen pertanian skala kecil yang menggunakan peralatan yang sederhana dan mengerjakan lahan dengan tenaga kerja keluarga, dimana hasil produksi sebagian besar digunakan untuk konsumsi pribadi dan untuk memenuhi kewajiban mereka kepada pemegang kekuatan politik dan kekuatan ekonomi. Shanin (1966) berpendapat bahwa, apabila komoditas atau hasil produksi pertanian dapat dipertemukan dengan pemenuhan kebutuhan dasar dari rumah tangga petani akan mencipkan kemerdekaan relatif pada diri petani terhadap produsen pertanian lain dan pasar. Hal tersebut akan berujung pada terciptanya stabilitas relatif dalam rumah tangga petani, yang apabila terjadi krisis, mereka dapat mempertahankan keberadaannya dengan cara meningkatakan usaha kerja, menekan konsumsi mereka sendiri, ataupun mengatur kembali hubungan mereka dengan pasar. Di dalam konteks reforma agraria, tanah menempati posisi yang teramat penting. Meskipun apabila kita merujuk pada Undang Undang Pokok Agraria, kata agraria tidak semata – mata dalam artian tanah semata tetapi juga air, udara, dan ruang angkasa serta segala sesuatu yang terkandung di dalamnya. Kata tanah mendapatkan penekanan lebih karena dianggap menaungi kesemua hal tersebut. Redistribusi tanah atau membagi kembali tanah kepada masyarakat bukanlah reforma agraria. Redistribusi tanah merupakan salah satu jalan yang dapat ditempuh dalam rangka menjalankan program reforma agraria. Istilah reforma agraria sendiri merupakan upaya penataan atau perombakan penguasaan sumberdaya agraria yang adil dan menyeluruh. Reforma agraria tidak hanya
6
sebatas redistribusi tanah melainkan juga perombakan tatanan sosial ekonomi politik yang lebih luas (Wiradi, 2000). Pandangan ini menempatkan reforma agraria dalam konteks perubahan struktur mendasar dan perubahan institusi (aturan, nilai, dan norma), sehingga reforma agraria seharusnya tidak sepotong – sepotong dan hanya berwujud pembagian tanah tetapi merupakan perombakan besar pada struktur sosial ekonomi politik yang terkait dengan tanah pada kehidupan petani. Semangat reforma agraria di Indonesia dipercaya merujuk pada paham neo – populis yang dipopulerkan oleh A.V. Chayanov (Chrysantini, 2005). Neo – populis melihat bahwa satuan ekonomi rumah tangga merupakan bentuk ekonomi yang efisien. Oleh karena itu setiap rumah tangga petani wajib menguasai tanah meskipun kecil. Raforma agraria di Indonesia yang tercermin dalam Undang Undang Pokok Agraria memiliki semangat untuk memperkuat fondasi ekonomi di level masyarakat desa, dengan penekanan pada kepemilikan tanah. Petani memiliki peran vital dalam perkembangan sejarah dunia, khususnya Indonesia. Apabila kita telisik jauh kebelakang, dalam sejarah masyarakat Indonesia, terutama dalam sejarah Jawa Abad XIX, pemberontakan petani yang oleh penjajah dianggap sebagai wabah atau penyakit sosial merupakan bukti bahwa petani memiliki peran penting dan posisi politik yang diperhitungkan dalam perkembangan sejarah Indonesia (Sadikin, 2005).
2.1.1.1 Makna Tanah Bagi Petani Bagi petani tanah tidak hanya sebagai komoditas ekonomi, tetapi juga bermakna sosial dan keamanan. Secara ekonomi tanah merupakan tempat sumber makanan, tempat mencari penghidupan, sebagai tempat melakukan aktivitas produktif, meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan keluarga petani. Secara sosial tanah berarti eksistensi diri, sebagai tempat untuk menemukan dirinya secara utuh, bahkan tanah merupakan simbol status sosial di dalam masyarakat. Di dalam makna keamanan, tanah akan membawa rasa aman tertentu bagi petani jika sesuatu terjadi pada diri mereka, yang berarti tanah membawa efek psikologis bagi petani.
7
Tanah menempati kedudukan strategis dalam kehidupan petani, karena tanah merupakan modal utama, disanalah tempat atau pangkal dari budaya petani itu sendiri. Ketika kemudian tanah dapat dimiliki dan diwariskan oleh para petani, tanah memiliki nilai yang begitu besar. Didalam beberapa kebudayaan, tanah bahkan dipandang sebagai sikep (istri) kedua (Bahri, 1999). Bahri (1999) menyatakan, jika menempatkan penekanan pada gerakan petani dan hubungannya dengan tanah, maka dengan sendirinya akan memperlihatkan cara – cara pemaknaan petani terhadap tanah. Makna tanah bagi petani akan tergambar dalam nilai – nilai yang mereka anut atau percayai. Di dalam kasus gerakan petani yang ada pada era 1980an, memperlihatkan bahwa petani memberikan makna yang bersifat ideologis terhadap tanah. Petani mempertahankan tanah bukan hanya karena nilai komoditasnya, tetapi merupakan akumulasi dari nilai – nilai ideologis yang membentuknya. Petani tanpa tanah serasa bukan menjadi petani lagi, tanah merupakan warisan dari leluhur yang harus dijaga keberadaannya (nilai sakral), tanah secara utuh merupakan gambaran eksistensi dari si petani itu sendiri. Pemaknaan petani terhadap tanah juga dapat dilihat dari pola kehidupan (livelihood) dari petani itu sendiri. Thennakoon (2002) dalam sebuah tulisan yang berjudul Rural Livelihood Strategi and Five Capital : A Comparative Study in Selected Villages in Sri Langka, menyatakan bahwa di dalam segala aktivitas yang dilakukan petani di pedesaan seperti bercocok tanam, perburuhan, penjualan kayu, pertambangan,
penyimpanan
hasil
produksi
pertanian
dan
perdagangan
kesemuanya berkaitan erat dengan tanah. Tanah merupakan bagian penting bagi petani. Karena tanah merupakan penopang kehidupan petani. Berkurang atau direbutnya tanah yang dimiliki petani akan membuat mereka tidak dapat memenuhi kebutuhan subsistensinya. Kalau tanah sulit untuk didapatkan atau tidak cukup maka salah satu jalan yang ditempuh adalah berkerja semakin keras atau mengintensifikasikan produksi pertanian. Sehingga dapatlah dikatakan bahwa tanah bagi petani, seperti halnya tenaga kerja (Labor), merupakan biaya tetap (fixed cost) yang menjadi aset mutlak agar petani bisa memenuhi kebutuhan subsistensi keluarganya (Chrysantini, 2005). Di dalam pandangan neo – populis, ukuran luas tanah minimal yang dapat
8
dimiliki petani amat dipengaruhi oleh jumlah anggota keluarga. Hal inilah yang kemudian disebut sebagai labor – consumer balance yaitu petani bertindak sebagai produsen sekaligus sebagai konsumen, memperhitungkan efisiensi pemilikan atau penguasaan tanah sesuai dengan kebutuhan hidup minimum berdasarkan jumlah anggota keluarganya (Kitching, 1982). Petani tidak dapat ditempatkan pada pilihan yang dikotomis di dalam pemaknaan mereka terhadap tanah. Tanah bagi petani memiliki makna yang multidimensional. Pertama, dari sisi ekonomi tanah merupakan sarana produksi yang dapat mendatangkan kesejahteraan. Kedua, secara sosial tanah dapat menetukan posisi seseorang dalam pengambilan keputusan masyarakat. Ketiga, sebagai budaya dapat menentukan tinggi rendahnya status sosial pemiliknya. Keempat, tanah bermakna sakral karena berurusan dengan warisan dan masalah – masalah transendental (Handayani, 2004)
2.1.2 Sumber Radikalisasi Petani Awal abad ke-20, bermunculan kajian gerakan sosial di Indonesia yang lebih menonjolkan pada gagasan atau simbol gerakan mesianik, seperti mitos akan datangnya Ratu Adil atau juru selamat. Dalam tulisan Drewes, seperti yang dikutip oleh Bahri (1999), gerakan sosial di Jawa banyak diawali oleh para ulama yang pada mulanya hanya menyebarkan agama Islam tetapi pada kemudian berkembang menjadi gerakan perlawanan rakyat terhadap pemeritah kolonial. Ajaran – ajaran yang mereka kembangkan, harapan – harapan mesianik dan eskatologi menjadi motivasi utama dalam gerakan perlawanan. Para ulama yang berperan sebagai motor penggerak petani banyak menanamkan harapan – harapan akan datangnya sang juru selamat atau Ratu Adil. Hal senada juga dapat kita lihat pada perlawanan yang dilakukan oleh masyarakat Samin di Jawa Tengah. Studi yang ada pada awal abad 20 banyak membahas latar belakang dan nilai – nilai yang dianut oleh para pelaku pemberontakan, motivasi – motivasi subyektif menjadi aspek utama yang dikaji. Dilain pihak latar belakang sosial ekonomi dan politik yang berkembang pada saat itu, serta pada lapisan mana ajaran tersebut tumbuh subur tidak terlalu dibahas. Dengan kata lain aspek sosiologis dari gerakan tersebut tidak terlalu dimunculkan (Bahri, 1999).
9
Studi yang dilakukan oleh Scott (1974 dan 1989) dan Popkin (1976), di pedesaan Asia, mengenai maraknya gerakan perlawanan petani pada masa kolonial, memperlihatkan terdapatnya empat faktor utama penyebab kemarahan kaum tani, yaitu perubahan struktur Agraria, meningkatnya eksploitasi, kemerosotan status sosial, dan desprivasi relatif. Perubahan struktur agraria di pedesaan Asia, khususnya Jawa, dipengaruhi adanya sistem kolonialisme. Melalui kolonialisme, desa – desa di Asia terintegrasi dengan sistem kapitalis dunia. Penduduk desa di Asia pada massa pra-kapitalis merupakan sebuah unit rumah tangga yang bertumpu pada tingkat subsisten. Eksploitasi kolonial ditambah dengan tekanan demografi yang semakin meningkat, mengakibatkan rusaknya pola – pola yang sudah ada, serta mengkhianati sendi - sendi moral ekonomi petani yang didasarkan pada etika subsistensi (Scott, 1976). Kartodirjo (1991) berpendapat bahwa terdapat dua transformasi penting di era kolonial. Pertama, pengalihan secara besar – besaran disektor pertanian, dari yang semula merupakan pertanian subsistem menjadi pertanian yang berorientasi ekspor. Kedua, dibentuknya negara modern yang ditopang oleh birokrasi dan militer untuk mengontrol wilayah jajahan. Salah satu bentuk transformasi tersebut mengejawantah dalam bentuk perkebunan – perkebunan besar. Pengenalan sistem pertanian modern dalam bentuk perkebunan berimplikasi pada meningkatnya kebutuhan atas tanah dan tenaga kerja. Penguasaan tanah semakin terlepas dari tangan penduduk, mereka yang tidak memiliki tanah beralih menjadi penggarap buruh tani upahan dan buruh perkebunan. Kolonialisme dan masuknya ekonomi uang berangsur – angsur telah menghapus jaminan sosial yang ada pada masa pra-kapitalis. Transformasi agraria yang terjadi telah menghilangkan jaring pengaman sosial keluarga – keluarga petani miskin dari bencana kelaparan. Kedermawanan sosial yang semula ada pada masa bagi hasil, kini tidak lagi berlaku umum. Pemerintah kolonial sama sekali tidak memberikan perlindungan kepada para petani miskin terhadap fluktuasi pasar (Kartodirjo, 1984). Hal yang menarik justru terlihat dalam karakteristik petani itu sendiri. Keadaan yang sudah sedemikian buruk ternyata belum cukup untuk membuat
10
petani berontak untuk melawan. Sifat evolusi petani yang amat sangat terbiasa hidup dalam kesusahan membuat mereka sudah tertempa untuk dapat mempergunakan berbagai cara untuk mempertahankan tingkat subsistensi mereka. Bentuk dari adaptasi petani dalam menghadapi keadaan di sekelilingnya dapat dilakukan dengan berbagai cara, seperti intensifikasi kerja, migrasi jangka pendek, mengurangi konsumsi atau mengubah pola konsumsi, dan memecah keluarga besar menjadi keluarga – keluar kecil untuk mengurangi beban mulut yang ditanggung (Shanin, 1966). Aksi perlawanan petani baru dapat terjadi apabila terjadi kemerosotan ekonomi secara mengejutkan, dimana hal tersebut dibarengi dengan peningkatan eksploitasi yang dilakukan oleh negara atau tuan tanah. Ekploitasi yang dilakukan secara berkelanjutan dengan kualitas yang terus meningkat, menimpa banyak petani, dan hampir terjadi diseluruh wilayah, serta dapat mengancam jaring pengaman sosial mereka atas sumber – sumber subsistensial, maka besar sekali kemungkinan eksploitasi tersebut mencetuskan sebuah aksi perlawanan. Scott (1976) mencoba menjelaskan bahwa lingkup dan sifat dari kejutan – kejutan eksploitasi memiliki arti penting. Besarnya lingkup kejutan atas eksploitasi dapat menjadi suatu alasan kolektif petani dalam jumlah besar untuk bertindak. Terlebih lagi, apabila kejadian tersebut datang secara tiba – tiba sehingga petani sulit untuk melakukan adaptasi dalam menghadapi beban tambahan dan tingkat subsistensinya. Pemberontakan yang terjadi di pedesaan Jawa sebagian besar disebabkan karena pengambilalihan tanah dalam jumlah yang sangat banyak untuk digunakan usaha – usaha perkebunan. Ketika dunia dilanda depresi besar pada tahun 1930-an yang juga amat berdampak pada struktur perekonomian kolonial, terjadi ratusan pemberontakan petani dalam rangka menentang pungutan pajak yang dilakukan oleh negara (Kuntowijoyo, 1993). Noer Fauzi (1999) berpendapat bahwa, pada massa pemerintahan Orde Baru terdapat sejumlah penyebab yang dikemudian hari dapat menjadi pemicu terjadinya
gerakan
petani.
Pertama,
pemerintah
mewajibkan
petani
mempergunakan unsur-unsur revolusi hijau demi tercapai dan terjaganya swasembada beras. Isu yang terkait dengan hal ini seperti: i) pihak petani ingin
11
mempertahankan penggunaan bibit dan pengelolaan padi secara tradisional, ii) kesempatan kerja yang menyempit karena penggunaan traktor dan mekanisme tebasan, iii) harga pupuk dan pestisida yang naik tidak sebanding dengan kenaikan harga gabah, iv) Kredit Usaha Tani (KUT) yang tidak mampu terbayarkan, v) praktek Koperasi Unit Desa (KUD). Kedua, perkebunan-perkebunan mengambil alih tanah-tanah yang sebelumnya dikuasai oleh rakyat. Isu yang terkait seperti: i) penolakan petani atas pencerabutan hubungannya dengan tanah, ii) ganti rugi tanah yang tidak memadai, iii) proletarisasi petani, karena hilangnya hubungan dengan tanah, iv) pemukiman kembali (resetlement), petani yang tergusur sama sekali dari tanahnya. Variasi konflik agraria ini, adalah konflik perkebunan dengan petani dalam hubungan intiplasma dalam program Perusahaan Inti Rakyat-Perkebunan (PIR-Bun). Isu yang muncul antara lain: i) pengambilan tanah-tanah produktif rakyat petani untuk PIR - Bun, ii) tercerabutnya rakyat petani dari tanahnya sendiri, menjadi ‘buruh di tanah sendiri’, iii) langkanya penyuluhan dari pihak perkebunan inti, sehingga tidak terjadi transfer of technology, iv) rendahnya produktivitas lahan yang dikelola oleh plasma, v) monopoli pemasaran hasil-hasil komoditi oleh pihak inti, vi) penentuan harga komoditi yang lebih rendah dari harga pasar, vi) proses kredit yang tidak diketahui oleh petani plasma dan jumlah hutang yang tidak bisa terbayarkan, dan vii) korupsi hak petani plasma, baik oleh oknum inti maupun pihak perantara lainnya. Ketiga, terdapat sejumlah kasus di mana pemerintah melakukan pengambilalihan
(penggusuran)
tanah
yang
mengatasnamakan
“program
pembangunan”, baik oleh pemerintah sendiri maupun swasta. Isu yang terkait seperti: i) penolakan penduduk untuk menyerahkan tanah garapannya, ii) ganti rugi yang tidak layak, dan iii) pemukiman kembali penduduk (resetlement) yang tidak memadai. Keempat, konflik akibat eksploitasi hutan. Isu yang muncul adalah: i) penolakan petani untuk keluar dari tanah yang diklaim, ii) kehancuran sumber daya subsistensi masyarakat adat, iii) penyediaan sumber ekonomi dan pemukiman alternatif yang memadai, serta iv) kemunduran kualitas ekologis di tingkat lokal hingga global.
12
2.1.3 Pengorganisasian Petani Petani pada dasarnya tidak mempunyai keinginan untuk melakukan perlawanan kecuali ada tekanan atau krisis yang sangat menekan mereka dan adanya pihak luar yang mendorong mereka untuk melakukan hal tersebut (Wolf, 1969). Pandangan perihal ketidakmampuan petani dalam mengoraganisir diri sendiri diperkuat oleh Marx (1850) dalam Peasantry as a Class, bahwa petani tidak dapat memperjuangkan kepentingan kelas mereka atas nama mereka sendiri. Mereka tidak mampu merepresentasikan diri mereka kedalam sebuah kelas, mereka harus diwakilkan. Perwakilan tersebut, pada saat yang bersamaan haruslah bertindak sebagai pemimpin, pembuat peraturan, dan kekuatan institusional yang dapat melindungi mereka dari tekanan kelas lain. Scott (1976) mengemukakan bahwa terdapat beberapa faktor yang perlu diperhatikan dalam melihat keberhasilan dan kegagalan dalam sebuah gerakan atau mobilisasi petani. Pertama, kondisi – kondisi yang mendorong timbulnya pergerakan, kedua, faktor kepemimpinan, dan ketiga, startegi yang digunakan. Tekanan struktural, kultural, hingga kondisi subsistensi petani yang sudah melampaui batas toleransi, menurut Scott (1976), hal ini sudah cukup untuk menjadi pemicu bagi petani untuk melampiaskan kemarahannya terhadap tatanan sosial yang ada. Petani dianggap selalu bertindak atas nama kelompok, baik dalam berproduksi, berpolitik, maupun melakukan perlawanan. Petani cenderung memandang bahwa, petani miskin tidak bisa keluar dari strukturnya atau petani tidak memilliki taktik dalam melakukan perlawanan. Gerakan – gerakan perlawanan petani, pada bentuk sederhana seringkali berpusat pada mitos tentang suatu tatanan sosial yang lebih adil dan merata ketimbang dengan tatanan sosial yang sekarang bersifat hirarkis. Lahirnya suatu mitos bersama tentang keadilan yang transedental sering dapat menggerakan kaum tani untuk melakukan gerakan sosial. Mitos – mitos seperti ini mempersatuakan kaum tani hingga mampu membentuk koalisi – koalisi petani, meskipun tidak stabil, sangat rentan, dan hanya dipersatukan untuk sementara waktu oleh suatu impian milenial (Wolf, 1966). Wolf (1969) juga menyatakan bahwa petani kelas menengahlah yang menempati posisi penting dalam mendukung gerakan revolusi petani. Petani kelas
13
menengah paling mudah terkena dampak penyitaan tanah, fluktuasi pasar, tingginya tingkat bunga, dan perubahan – perubahan lain yang diakibatkan pasar dunia. Akibatnya, petani kelas menengah selain lebih mudah menerima gerakan revolusioner yang menjanjikan restorasi politik dan stabilitas ekonomi, juga mempunyai basis ekonomi yang independen dan sumberdaya politik taktis yang tidak dimiliki oleh petani miskin dan buruh tani untuk mendukung suatu gerakan revolusioner. Scott (1981), berpendapat bahwa kehidupan petani ditandai oleh hubungan moral sehingga malahirkan moral ekonomi yang lebih mengutamakan “keselamatan” dan menjauhkan diri dari bahaya. Moralitas mendahulukan keselamatan inilah yang kemudian menjadi faktor kunci pendekatan moral ekonomi petani dalam menjelaskan pengorganisiran petani. Konsep lain yang dipergunakan Scott (1976) dalam menjelaskan pengorganisiran petani adalah struktur sosial yang terdapat pada masyarakat prakapitalis. Struktur sosial yang terdapat pada masyarakat ini secara horizontal ditandai oleh homogenitas yang tinggi dan secara vertical ditandai oleh struktur yang berbentuk krucut. Pada struktur sosial yang berbentuk kerucut, posisi puncak strata sosial diduduki kaum elite yang berjumlah sedikit, struktur bawah diduduki para petani penggarap dan buruh tani dengan jumlah yang banyak. Dalam struktur masyarakat seperti ini faktor kepemimpinan memegang peran penting dalam pengorganisiran petani. Pendekatan moral petani, pada dasarnya berasumsi bahwa gerakan perlawanan petani semata – mata didasari oleh moralitas tradisional yang berorientasi ke masa lalu dan masa kini saja, sehingga ketika terjadi perubahan yang tidak sesuai atau dirasakan akan mengancam kelangsungan kehidupan yang telah mereka miliki, para petani kemudian mengandalkan perlawanan terbuka. Pendekatan moral ini mendapatkan kritikan oleh Popkin (1979) yang mengatakan bahwa petani sesungguhnya tidak terlalu mementingkan kelompok dan mampu melakukan perlawanan atas dasar kepentingan pribadi di atas kepentingan umum. Pengorganisiran atau mobilisasi petani memerlukan lebih dari sekedar konsensus atau intensitas kebutuhan, dan harus ada kepentingan pribadi, sehingga sebuah perjuangan tidak ditunggangi oleh free rider (pemboncengan).
14
Petani dipandang sebagai manusia – manusia rasional, kreatif dan juga ingin menjadi kaya. Namun pada kenyataannya, petani tidak mempunyai kesempatan sehingga tidak dapat menjual hasil pertaniannya sendiri ke pasar. Dalam kasus petani di Vietnam, keberhasilan pengorganisiran petani ditingkat desa, menitikberatkan pada keberhasilan penyelesaian atas masalah – masalah lokal. Pertama – tama mereka memberikan bantuan bagi proyek – proyek atau aktivitas yang beresiko dan berskala kecil, dimana keuntungan datang dengan cepat dan bersifat kongkrit. Kemudian mereka mengembangkan diri dengan mengorganisir petani pada proyek – proyek yang lebih menantang (spekulatif) dan berskala lebih besar yang dapat memberikan keuntungan abstrak jangka panjang (Popkin, 1979). Popkin (1986) menyatakan bahwa, semua perlawanan petani tidaklah dimaksudkan untuk menentang program negara (Kasus Revolusi Hijau), tetapi lebih dimaksudkan untuk menentang kekuasaan para elite desa (Petani Kaya), yang selama ini mengklaim mewakili komunitas tradisional, padahal lebih bertujuan untuk mempertahankan tatanan yang lebih menguntungkan mereka. Terdapat tiga hal penting yang dapat kita garis bawahi pada penelitian yang dilakukan oleh Popkin (1986), antara lain : i) gerakan yang dilakukan para petani adalah gerakan anti-feodal, bukan gerakan untuk mengembalikan tradisi lama
(restorasi),
tetapi
untuk
membangun
tradisi
baru;
bukan
untuk
menghancurkan ekonomi pasar tetapi untuk mengontrol kapitalisme. ii) tidak ada kaitan yang signifikan antara ancaman terhadap subsitensi dan tindakan kolektif. iii) kalkulasi keterlibatan dalam gerakan lebih penting daripada isu ancaman kelas. Dengan kata lain, adanya perbedaan yang jelas antara rasionalitas individu dengan resionalitas kelompok. Kapitalisme dan imperialisme (komersialisasi pertanian, eksploitasi, ekonomi pasar, ekonomi uang, strata sosial baru di desa) akan menganggu subsistensi dan tatanan sosial – ekonomi petani sehingga membuat petani bersifat reaktif. Para petani dalam melakukan gerakan biasanya tidak terlalu meperdulikan tujuan – tujuan umum, ideologi, sistem filosofi, teori – teori politik, dan organisasi – organisasi yang revolusioner. Ketidakpuasan petani bersifat jelas, terbatas, lokal, dan cenderung pragmatis. Aksi – aksi perlawanan petani biasanya untuk
15
memenuhi kepentingan materil. Suatu kelompok akan berpartisipasi dalam suatu gerakan yang bersifat kolektif karena ingin mendapatkan keuntungan tertentu atau mendapat insentif. Hal ini memperlihatkan bahwa keikutsertaan petani dalam gerakan banyak dipengaruhi oleh jenis, bentuk dan isi harapan – harapan yang menurutnya bakal menguntungkan (Mustain, 2007). Olson (1971) dalam buku yang berjudul The Logic of Collective Action mengkritik argument tersebut dengan menyatakan bahwa pergolakan petani dalam menetang kekuatan pasar tidaklah selalu mendorong terjadinya gerakan petani. Mereka melakukan pemberontakan atas dasar hitungan untung rugi yang ditanggung dari ketidakpuasan atas keadaan status quo. Dari asumsi tersebut, sangat mungkin dikembangakan sifat dan peran psikologis dalam menjelaskan partisipasi petani dalam gerakan petani. Orang yang terlibat dalam gerakan lebih banyak didasari oleh pilihan rasionalnya,
tetapi yang menjadi pertanyaan
“mengapa pilihan rasional itu relevan di dalam aksi perlawanan petani”. Salert
(1976)
dalam
bukunya
yang
berjudul
Revolution
and
Revolutionaries : Four Theories, menyatakan bahwa teori rasional petani memang memberikan pandangan yang cukup bermakna dalam pengorganisiran massa. Tetapi, banyak orang melebih - lebihkan teori pilihan rasional dan meninggalkan teori psikologi. Terdapat dua pengembangan teori pilihan rasional, yaitu i) teori ini melibatkan sifat dan efek psikologis yang diperlukan untuk menjelaskan partisipasi petani dalam aksi kolektif. ii) Pilihan petani difokuskan pada asumsi rasionalitas yang membentuk basis teori tentang putusan sebelum membentuk aksi koletif, perilaku revolusioner akan membentuk pengalaman sosial yang akan mengakibatkan perubahan perilaku sebagian masyarakat.
2.1.3.1 Organisasi Gerakan Jo Freeman (1979) dalam tulisan yang berjudul A Model For Analyzing the Strategic Option of Social Movement Organization berpendapat bahwa keputusan strategis dalam sebuah gerakan tidak selalu berasal dari pemimpin gerakan atau sekumpulan elite dalam gerakan, karena sebagian besar gerakan bukanlah subyek dari sebuah kontrol yang bersifat hirarkis. Dalam melihat organisasi gerakan terdapat empat elemen penting yang harus diperhatikan, yaitu
16
i) sumberdaya yang dimobilisasi, ii) pembatasan pada pemanfaatan sumberdaya tersebut, iii) struktur organisasi gerakan, dan iv) ekspektasi atas target yang potensial (tujuan gerakan). Sumberdaya yang dapat dimafaatkan dalam melakukan gerakan bisa dibagi menjadi dua, yaitu sumberdaya terbatas dan sumberdaya tidak terbatas. Sumberdaya terbatas termasuk uang, ruang, dan penyebaran ide dasar dari gerakan kepada publik secara luas. Uang dapat membeli ruang, meskipun tidak selamanya akan seperti itu. Disisi lain, uang dapat dipergunakan untuk melakukan publikasi ide – ide gerakan, sebaliknya, publikasi juga dapat digunakan untuk melakukan pengumpulan uang. Sedangkan sumberdaya tidak terbatas adalah manusia itu sendiri. Pada kenyataannya, perbedaan mendasar antara organisasi gerakan dengan perkumpulan individu yang berbasis pada suatu ketertarikan, terletak pada pengelolaan kedua sumberdaya ini. Haruslah disadari bahwa tidak setiap orang dapat memberikan kontribusi yang sama pada satu gerakan. Sumberdaya yang tidak terbatas dapat dipilah menjadi dua kategori besar yaitu manusia yang berkemampuan dan manusia yang tidak berkemampuan. Manusia yang berkemampuan merupakan manusia yang memiliki kemampuan untuk mengorganisir massa, manusia yang mempunyai jaringan dengan berbagai kelompok terkait, dan manusia yang memiliki jalur kepara pengambil kebijakan. Sedangkan manusia yang tidak berkemampuan merupakan manusia yang hanya memiliki waktu dan komitmen kepada gerakan. Akan lebih
mudah membayangkan sumberdaya sebagai sesuatu yang
abstrak, uang misalnya, bisa digunakan untuk hampir semua kebutuhan dalam sebuah gerakan. Sayangnya sumberdaya yang ada dalam sebuah gerakan, bukanlah sumberdaya cair yang dapat kita gunakan seenaknya. Terdapat “pembatasan” antara sumberdaya dengan gerakan yang bertindak seperti penyaring. Joe Freeman (1979) membagi
pembatasan dalam pemanfaatan
sumberdaya menjadi lima kategori yaitu, i) nilai yang dianut oleh gerakan, ii) pengalaman pada masa lalu, iii) konstituen dari gerakan, iv) ekspektasi, dan v) hubungan dengan kelompok target gerakan. Hal ketiga yang menjadi penting dalam sebuah organisasi gerakan adalah struktur gerakan sosial. Menurut Harper (1998), struktur adalah jejaring hubungan
17
sosial yang sudah mantab dimana interaksi sudah menjadi rutin dan berulang, antara berbagai peran-sosial, group, organisasi, dan institusi yang membentuk masyarakat tersebut. Meskipun tidak dapat kita jadikan patokan, definisi mengenai struktur yang diutarakan oleh Harper (1998) dapat membantu kita dalam melihat stuktur dari organisasi gerakan petani seperti Serikat Petani Pasundan (SPP) di Priangan Timur, Institusi Adat pada kasus Tanah Lot, BPRPI di Sumatra Timur, ataupun KAAPLAG pada kasus Cimacan. Terdapat dua model dari struktur organisai gerakan, yaitu struktur gerakan yang tersentralisasi, dan struktur gerakan yang desentralisasi atau tersegmentasi. Struktur gerakan yang tersentralisasi cenderung membutuhkan sumberdaya yang lebih sedikit apabila dibandingkan dengan gerakan dengan struktur desentralisasi, dalam menjaga kesinambungan gerakan. Guna mewujudkan gerakan sosial yang efektif terdapat tiga hal yang harus dipertimbangkan dalam menentukan ekspektasi atas target dalam organisasi gerakan. Pertama adalah struktur dari kesempatan yang terbuka untuk melakukan aksi massa. Kedua adalah upaya – upaya berupa kontrol sosial yang dapat dilakukan oleh gerakan. Ketiga, perbandingan hasil dari aksi dengan standar norma yang ada di masyarakat. Keberhasilan pada suatu gerakan banyak ditentukan pada bagaimana gerakan itu dapat menemukan titik rataan antara ketiga kategori tersebut dengan kondisi dilapangan. Terdapat dua tipe organisasi petani yang melakukan perlawanan, yakni (1) organisasi yang muncul dari dalam kelompok petani itu sendiri untuk mengatur diri sendiri. (2) organisasi yang muncul dari luar (Mustain, 2007). Institusi – institusi petani yang mengorganisir diri sendiri dapat sangat berpengaruh dalam bentuk perlawanan harian petani. Institusi ini tercipta guna menekan kerugian yang didapat dalam usaha mendapatkan insentif. Disamping itu, insentif juga dapat menjadi semacam stimulus bagi institusi petani lain yang mengorganisisr dirinya sendiri berdasarkan ketidaksepakatan bersama (kolektif). Gerakan petani yang
terorganisasi
dari
luar
(eksternal),
dalam
mencapai
keberhasilan
organisasinya memerlukan mekanisme dengan melaksanakan peraturan tertentu, yaitu keberhasilan mereka tergantung pada kemampuan dalam memberikan
18
insentif, yang mampu mengundang para pengikutnya untuk berpartisipasi secara aktif. Godwin dalam Ecstein (1990) mengemukakan bahwa selain barang – barang kolektif, organisasi – organisasi revolusioner tersebut juga menawarkan insentif untuk mendorong partisipasi dalam berbagai macam aktivitas, khususnya yang berbahaya seperti perang grilya yang sesungguhnya. Insentif tersebut diperuntukan para pengikut dan pejuang, di samping dapat meminta pengurangan pajak dan sewa tanah, keluarga mereka juga dapat meminta penambahan tanah selain yang telah diberikan kepada pendukung secara umum. Organisasi petani dikatakan berhasil apabila organisasi tersebut dapat menyeimbangkan antara pertimbangan insentif individu dengan kebutuhan umum.
2.1.3.2 Kepemimpinan Pemimpin dan kepemimpinan merupakan satu kesatuan kata yang tidak dapat dipisahkan. Pemimpin merupakan figur sentral yang menyatukan kelompok. Kepemimpinan merupakan kemampuan seseorang atau beberapa orang dalam kelompok dalam mengelola gejala – gejala sosial. Brown (1936) berpendapat bahwa pemimpin tidak dapat dipisahkan dari kelompok, karena tanpa kelompok tidak akan ada pemimpin. Pemimpin dapat dipandang sebagai agen primer yang menentukan struktur, suasana, tujuan, ideologi, bahkan hingga sampai aktivitas kelompok. Kepemimpinan dapat juga dikatakan sebagai suatu kemampuan untuk menangani orang lain untuk memperoleh hasil yang maksimal dengan friksi yang sedikit mungkin antar anggota kelompok. Terdapat beberapa tipe kepemimpinan seperti tipe otokratik, tipe paternalistik, tipe kharismatik, tipe laissez faire, dan tipe demokratik. Kepemimpinan tipe otokratik dapat dilihat sebagai seorang pemimpin yang sangat egois. Seorang pemimpin yang otoriter cenderung memperlakukan para bawahannya sama dengan alat lain dalam organisasi, anggota dipandang selayaknya mesin. Hal yang paling diutamakan adalah orientasi pada pelaksanaan dan penyelesaian tugas, tanpa mengaitkan pelaksanaan tugas itu dengan
19
kepentingan bawahannya. Pemimpin dengan kepemimpinan otoktarik akan selalu menuntut ketaatan penuh dari para bawahannya. Kepemimpinan tipe paternalistik banyak ditemui dimasyarakat tradisional, khususnya agraris. Kepemimpinan ini erat kaitannya dengan tata nilai yang ada di dalam masyrakat tradisional atau pedesaan. Salah satu cirinya ialah penghormatan yang begitu tinggi kepada orang tua dan orang yang dituakan. Pemimpinan dengan kepemimpinan paternalistik bersifat kebapakan, dalam artian bertindak sebagai tauladan atau panutan masyarakat. Pada umumnya pemimpin semacam ini merupakan tokoh – tokoh adat, ulama, tetua desa dan guru. Kepemimpinan tipe kharismatik akan amat bertumpu pada sang pemimpin. Kharakteristik yang khas dari kepemimpinan kharismatik ialah daya tarik dari sang pemimpin yang sangat memikat sehingga mampu memperoleh pengikut pemimpin yang sangat dikagumi pengikutnya, walau terkadang si pengikut tidak dapat menjelaskan kegagumannya secara kongkrit. Kesulitan yang sering kali muncul pada kelompok dengan kepemimpinan kharismatik adalah regenerasi pemimpin. Seorang pemimpin kharismatik akan sulit digantikan, karena kekaguman anggota akan seseorang pemimpin tidak semudah itu dapat berpindah dari satu orang ke orang lain. Pemimpin dengan tipe kepemimpinan laissez faire berpandangan bahwa organisasi akan berjalan lancar dengan sendirinya karena para anggota organisasi terdiri dari orang – orang dewasa. Seluruh anggota organisasi dianggap sudah mengetahui dan memahami tujuan organisasi, sasaran apa yang akan dicapai, dan tugas apa yang harus ditunaikan. Sehingga pada tipe kepemimpinan ini seorang pemimpin tidak akan banyak melakukan intervensi. Pendelegasian wewenang terjadi secara ekstensif, dimana pengambilan keputusan lebih banyak dilakukan pada anggota menengah. Kepemimpinan demokratik lebih menekankan peran pemimpin sebagai seorang koordinator dan integrator dari berbagai unsur dan komponen organisasi. Pemimpin menyadari bahwa organisasi harus disusun sedemikian rupa sehingga menggambarkan secara jelas aneka ragam tugas dan kegiatan yang harus dicapai oleh organisasi. Pembagian tugas tersebut membuat adanya pembagian tugas dan
20
peran yang jelas, berserta herarki kekuasaannya. Seorang pemimpin dengan kepemimpinan demokratik akan disegani bukan ditakuti. Scott (1976) menggunakan pendekatan struktur sosial dan relasi sosial dalam melihat sebuah gerakan petani. Masyarakat pedesaan apabila dilihat secara horisontal akan memperlihatkan homogenitas yang tinggi, sedang secara vertikal akan memperlihatkan bentuk krucut, dimana pada bagian bawah diisi oleh petani penggarap dan buruh tani dengan masa terbesar, sedangkan pada bagian atas diisi oleh para elite yang berjumlah sedikit. Didalam struktur masyarakat yang seperti ini, faktor kepemimpinan memiliki peran yang sangat penting, sedangkan pemimpin dipegang oleh kelompok elite yang berada pada puncak, dari struktur sosial yang ada. Mengingat pentingnya faktor kepemimpinan yang ada, maka dapat diasumsikan bahwa gerakan perlawanan petani tidak mungkin terjadi tanpa adanya pemimpin. Petani penggarap dan buruh tani pada dasarnya tidak memiliki kekuatan sama sekali untuk melakukan perlawanan. Mereka berada dalam keadaan yang benar – benar tersubordiasi, dimana setiap surplus yang mereka dapatkan akan terhisap oleh kekuatan ekonomi dan politik yang ada. Petani (Peasant) menjalani hidup hanya pada keadaan subsistensi mereka, tekanan yang begitu besar membuat benar – benar dalam keadaan impoten, dan perlawanan petani tidak mungkin terjadi dalam keadaan tidak berdaya (Wolf, 1966). Di dalam perjalanannya petani juga tidak memiliki kekuatan untuk mendefinisikan diri mereka sendiri kedalam sebuah kelas, mereka harus diwakilkan (Marx, 1895). Para perwakilan ini pada saat yang bersamaan juga bertindak sebagai pemimpin, pemersatu, dan pemberi kekuatan guna melawan penindasan dari kelas diatasnya. Pemimpin gerakan petani, haruslah mampu mambangun gerakan yang memenuhi tiga kriteria yaitu memiliki sumberdaya, adanya anggota baru, dan mempertahankan anggota lama. Popkin (1986) menyatakan, terdapat enam teknik yang dapat digunakan pemimpin petani dalam mendapatkan dan mengelola sumberdaya. Pertama, para pemimpin mendorong pengikutnya untuk melakukan penjarahan, contohnya, pemberontakan budak terhadap majikannya untuk mengambil alih posisi majikannya. Kedua, pemimpin mendistribusikan ulang sumberdaya, suatu strategi “dari dan untuk individu sesuai dengan politiknya”,
21
contohnya pemberontak Vietnam mengumpulkan donasi dalam jumlah besar dan sebagian dari uang tersebut dipergunakan untuk membiayai para guru. Ketiga, pemimpin gerakan merahasiakan kebaikan, persoalan, dan keluhan yang dapat menarik perhatian kelompoknya secara berlebihan. Ini akan menyelesaikan masalah
kolektif
petani
dengan
cara
meminimalisir
persaingan
dalam
mendapatkan keuntungan di antara anggota kelompok. Keempat, pemimpin gerakan dapat mematahkan monopoli kaum elite pada institusi politik. Sebagai contoh, adanya campur tangan pemimpin gerakan pada urusan yang berhubungan dengan para pendukungnya di pemerintahan lokal. Kelima, pemimpin gerakan mencari penyokong yang dapat menyediakan sumberdaya. Keenam, sumberdaya yang ada selalu dibuat dalam kondisi yang sedikit, sehingga selalu diharapkan oleh para petani miskin dan dapat mengobarkan semangat perlawanan. Hal yang tidak kalah penting yang harus diperhatikan pemimpin gerakan adalah pengikut gerakan itu sendiri, baik itu dalam merekrut anggota baru ataupun mempertahankan anggota lama. Pemimpin gerakan tidak dapat mengatasi dilema petani hanya dengan ideologi dan mimpi – mimpi tentang “revolusi”, “sosialisme”, ataupun “tatanan dunia baru”. Pemimpin gerakan haruslah mampu membantu petani dalam memenuhi kebutuhan yang bersifat kongkrit dan singkat, seperti makanan, pembangunan jalan, dan pembangunan rumah ibadah. Skocpol (1991) menyatakan bahwa petani berpartisipasi dalam sebuah gerakan tanpa melakukan perubahan pada visi yang radikal mengenai masyarakat nasional baru yang diinginkan, dan tanpa menjadi golongan yang terorganisir untuk diri mereka sendiri. Petani berjuang lebih disebabkan untuk pemenuhan atas tujuan – tujuan konkrit, melibatkan aset untuk mendapatkan lebih banyak tanah hak milik, atau kebebasan (Skocpol, 1991).
2.1.4 Gerakan Petani Abad ke-18 hingga abad ke-19, pemberontakan petani terbukti menjadi faktor yang sangat penting dalam semua revolusi sosial yang pernah terjadi di Perancis, Rusia, dan China. Tanpa adanya pemberontakan petani, radikalisme perkotaan di negara – negara agraris dan semi agraris tidak akan mampu menuntaskan sebuah transformasi sosial (Bahri, 1999). Revolusi yang terjadi di
22
Inggris dan Jerman pada tahun 1848 pada umumnya dipimpin gerakan revolusioner
perkotaan
mengalami
kegagalan
karena
tidak
terjadinya
pemberontakan pertani terhadap para tuan tanah di pedesaan. Kekhususan
kultural
yang
dimiliki
oleh
petani
baik
itu
pada
perkembangan nilai – nilai, persepsi, dan kebudayaan petani tidak serta merta membuat para ahli dapat mendefnisikan petani secara mudah. Moore (1966), menyatakan bahwa tidak mungkin mendefinisikan petani dengan ketepatan yang mutlak karena batasannya kabur pada ujung kenyataan sosial itu sendiri. Hanya saja adanya bukti penguasaan tanah secara de facto dan cara hidup yang khas dengan mengelola tanah, dapat dijadikan salah satu ciri yang membedakan petani dengan yang lain. Persoalan tidak berhenti pada apa dan bagaimana mendefinisikan petani, tetapi juga semakin berkembang ketika menganalisa lapisan petani mana yang terlibat aktif dalam pemberontakan. Marx (1895) menyatakan bahwa lapisan buruh tani atau proletariat pedesaan merupakan lapisan yang paling revolusioner. Ia menganggap bahwa sumber radikalisme petani berdasarkan pada pemilikan atau penguasaan alat produksi tanah. Meskipun masih didalam tulisan yang sama, Marx (1895) juga menyatakan bahwa sesungguhnya petani dalam melakukan pemberontakan tidak dapat berdiri sendiri. Petani membutuhkan pemimpin yang bertugas mewakili mereka dalam melakukan perlawanan terhadap kelas penindas. Hal berbeda dapat ditemui pada pandangan Wolf (1966) yang menyatakan bahwa petani menengahlah yang paling dapat diandalkan dalam melakukan pemberontakan. Petani kelas bawah atau buruh tani tanpa tanah yang menggantungkan hidupnya kepada tuan tanah, tidak akan memiliki kekuatan untuk melawan. Petani kelas menengah jelas terganggu dengan keberadaan tuan tanah baik itu dalam akses terhadap pasar ataupun tekanan kultural yang dirasakan oleh mereka, terlebih lagi petani kelas menengah memiliki sumberdaya minimal untuk melakukan perlawanan. Jumlah buruh tani tak bertanah yang besar memang merupakan sumber potensial untuk melakukan pemberontakan atau revolusi tetapi pendapat ini tidak selamanya benar dan berlaku disemua tempat. Gerakan petani dapat dikatakan sebagai salah satu bentuk dari gerakan sosial (Handayani, 2004). Para ahli telah banyak mencoba untuk melakukan
23
pendefinisian prihal gerakan sosial. Herbert Blumer (1939), dalam Sadikin (2005) berpendapat bahwa gerakan sosial merupakan sebagai suatu kegiatan bersama untuk menentukan suatu tatanan baru dalam kehidupan. Kemunculan gerakan sosial ditandai adanya kegelisahan akibat kesenjangan antara nilai-nilai harapan dan kenyataan hidup sehari-hari. Maka itu, suatu kelompok masyarakat mendambakan tatanan hidup yang baru, dengan membentuk sebuah gerakan yang terorganisir. Sadikin (2005) mencoba merangkum berbagai definisi gerakan sosial yang diutarakan para ahli, sebagai ciri – ciri atau karakter yang melekat dalam gerakan sosial. Pertama, gerakan sosial merupakan satu bentuk perilaku koletif. Kedua, gerakan sosial senantiasa memiliki tujuan untuk membuat perubahan sosial atau mempertahankan suatu kondisi. Ketiga, gerakan sosial tidak identik dengan gerakan politik yang terlibat dalam perebutan kekuasaan secara langsung. Keempat, gerakan sosial merupakan perilaku kolektif yang terorganisir, baik secara formal ataupun tidak. Kelima, gerakan sosial merupakan gejala yang lahir dalam kondisi masyarakat yang konfliktual.
2.1.4.1 Gerakan Petani di Indonesia Pada pertengahan abad ke- 19, kita dapat melihat banyak bermunculan gerakan perlawanan petani di berbagai tempat. Seperti gerakan Haji Rifangi di Pekalongan (1860), gerakan Mangkuwijoyo di Desa Merbung, Klaten (1886), Gerakan Tirtowiat alias Raden Joko di Desa Bangkalan, Kartosuro (1886), pemberontakan petani Banten (1888), pemberontakan petani candi udik (1892), dan peristiwa Gedangan (1904). Kesemua gerakan yang terjadi pada kurun waktu tersebut memiliki beberapa kesamaan, baik itu penyebab terjadinya gerakan ataupun dalam struktur dan pola gerakan. Gerakan yang ada bersifat sangat lokal, sporadis, dan tidak memiliki hubungan antara gerakan yang satu dengan yang lain. Perlawanan banyak dipimpin oleh tokoh – tokoh lokal, baik ulama ataupun bangsawan lokal. Bahri (1999) berpendapat bahwa, gerakan petani yang ada abad ke-19 belum menunjukan ciri – ciri modern, dalam artian adanya organisasi dalam lingkup yang luas yang menyatukan gerakan, pandangan dan sikap politik atas
24
struktur kekuasaan, dan instrumen gerakan yang tertata rapih sehingga dapat memberikan seruan keseluruh negeri. Hal ini begitu berbeda dengan gerakan yang lahir pada awal abad ke – 20. Pada tahun 1912, terjadi pengorganisiran petani secara masif di wilayah Jawa Tengah, Jawa Barat, Banten, dan Sumatera. Sebagai contoh Serikat Islam (SI), salah satu organisasi yang sangat berpengaruh pada waktu itu, berhasil mempertemukan gerakan petani di pedesaan dengan gagasan revolusioner kemerdekaan, seperti pembentukan tatanan masyarakat baru pengganti tatanan masyarakat kolonial. Tujuan dari gerakan pun tidak lagi hanya terbatas pada penuntasan masalah di tingkatan lokal, tetapi perubahan sistem politik, yaitu gugatan dan penggantian sistem pemerintah kolonial. Organisasi – organisasi modern yang lahir pada awal abad ke – 20 berhasil memperkenalkan pola perlawanan yang sama sekali berbeda dengan pola perlawanan petani yang ada sebelumnya, seperti boikot dan pemogokan. Struktur dan pola gerakan yang ada, terasa lebih tertata dengan adanya pembakuan struktur organisasi, sistem keanggotaan, dan diterapkannya metode pengorganisiran masyarakat. Boikot dan pemogokan merupakan bentuk perlawanan yang diadopsi dari gerakan buruh dan kelas menengah perkotaan untuk menentang kekuasaan pemilik modal dan pemerintah yang saat itu sedang marak terjadi di daratan Eropa. Hal ini pada dasarnya dapat dilihat sebagai suatu hal yang wajar, karena para motor penggerak organisasi semacam Serikat Islam (SI), Indische Partij (IP), dan Indische Social – Democratische Partij (ISDP) merupakan anak para bangsawan yang mendapatkan keistimewaan untuk dapat bersekolah hingga kejenjang universitas, bahkan banyak diantara mereka yang merupakan lulusan perguruan tinggi Eropa. Soe Hok Gie (1964) dalam Skripsinya yang berjudul Dibawah Lentera Merah menyatakan bahwa, kehadiran organisasi semacam Sarekat Islam telah merubah kondisi sosial-politik yang ada dimasa kolonial. Petani yang semula hanya paham prihal cangkul dan persoalan desa, bermetamorfasa menjadi pejuang – pejuang kemerdekaan yang gigih. Orang – orang seperti Tirtoadisuryo, Samanhudi, dan Tjokroaminoto, merupakan anak para bangsawan yang telah
25
mengenyam pendidikan kolonial tetapi tidak pernah melupakan akar budaya bangsanya. Pasca kemerdekaan, khususnya pada periode waktu 1950 – 1965, hampir seluruh organisasi petani yang ada merupakan perpanjangan tangan dari berbagai partai politik ditingkat nasional. Kehadiran organisasi tani seperti Serikat Tani Islam Indonesia (STII) yang bernaung di bawah Masyumi, Persatuan Tani Nahdatul Ulama (PETANU) yang bernaung di bawah NU, Persatuan Tani Indonesia (PETANI) yang bernaung di bawah PNI, serta Barisan Tani Indonesia (BTI) yang memiliki hubungan yang erat dengan PKI, menjadi peta gerakan petani pasca kemerdekaan hingga tahun 1965. Perdebatan politis yang sangat tajam terlihat ketika penyusunan Undang – Undang Pokok Agraria (UUPA), di Departemen Agraria dan Dewan Pertimbangan Agung. PNI dan partai – partai islam berkepentingan untuk membela para pendukungnya, yang mayoritas pemilik tanah – tanah luas dan pangreh praja di pedesaan. Dilain pihak, PKI mengklaim dirinya sebagai perwakilan dari para petani tak bertanah. Akan tetapi, hal ini justru mentah dengan sendirinya, karena pada beberapa kasus BTI justru melindungi tuan tanah yang menjadi simpatisan dari PKI. Pada masa pemerintahan Presiden Soeharto, pemerintah melarang seluruh organisasi petani yang ada di masa pemerintahan Presiden Soekarno. Petani – petani mulai kehilangan patron politik karena banyak dari para pemimpin gerakan dari kelas menengah perkotaan sudah dibunuh dan yang hidup mendapatkan tekanan yang luar biasa dari Rezim Orde Baru. Pada posisi ini petani kembali pada tradisi penyesuian diri dan mencari jalan masing – masing untuk mempertahankan hidup. Gerakan petani mulai aktif pada pertengahan tahun 1980-an, sebagai akibat dari intervensi modal yang sangat intensif di wilayah pedesaan. Bersamaan dengan itu, di wilayah perkotaan juga tumbuh gerakan mahasiswa dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang masuk kepedesaan dengan berbagai kegiatan baik itu dalam hal sosial politik, pendidikan, dan advokasi. Pada massa itu mahasiswa yang sebelumnya dibungkam oleh Pemerintahan Soeharto mulai turun ke jalan. LSM yang sudah lebih berpengalaman dalam menangani permasalahan
26
petani lebih banyak mengambil jalan pembelaan litigasi diperadilan atau mengirim surat protes kepemerintah. Petani mulai berkenalan dengan aksi massa dan demontrasi setelah menjalin hubungan dengan kelompok – kelompok gerakan di perkotaan khususnya mahasiswa. Di dalam tubuh gerakan mahasiswa sendiri sudah terjadi pergeseran orientasi, kritik gerakan mahasiswa pada tahun 1980-an kepada gerakan sebelumnya adalah tidak adanya penyambung antara gerakan mahasiswa dengan gerakan rakyat. Maka pada akhir 80-an dan awal 90-an terjadi aliansi gerakan petani dengan mahasiswa dalam bentuk demonstrasi ke DPRD dan kantor – kantor Gubernur. Dilihat dari sisi yang lain, amat jelas terlihat bahwa petani tidak memiliki kemampuan untuk dapat mengorganisir diri mereka sendiri. Petani masih amat bergantung pada kelompok- kelompok gerakan diperkotaan. Apabila pada awal abad ke -19 mereka bersandar pada para bangsawan dan tokoh lokal, pada pertengahan abad ke – 19 mereka bersandar pada organisasi kepartaian seperti SI, IP, dan ISDP, sedang pada awal kemerdekaan hingga 1965 mereka bergantung pada partai politik, dan pada massa orde baru mereka bergantung pada gerakan mahasiswa dan LSM. Adapun yang terjadi pada saat ini dipandang tidak jauh berbeda dengan yang terjadi pada massa sebelumnya. Pasca jatuhnya pemerintahan Presiden Soeharto pada tahun 1998, begitu banyak terjadi gerakan perlawanan petani diberbagai daerah. Tetapi apabila dilihat secara lebih mendalam, belum terlihat adanya petani yang dapat mengorganisisr diri mereka sendiri hingga menjadi sebuah gerakan petani. Serikat Petani Pasundan (SPP) yang ada di wilayah Priangan Timur memiliki keterkaitan yang sangat jelas dengan gerakan mahasiswa di kota Ciamis, Tasik, dan Garut. Gerakan petani di Desa Keprasan Kabupaten Blitar, juga memiliki keterkaitan dengan LBH Surabaya dan Kesmalita (Kesatuan Mahasiswa Blitar) di Jogjakarta.
27
2.2 Kerangka Berpikir Pembahasan prihal kemunculan dan kelangsungan gerakan petani dapat dipilah dalam dua alur yang berjalan secara paralel, yaitu basis material atau tanah dan aspek politik petani. Pada periode kemunculan gerakan, terdapat beberapa hal yang dapat dilihat sebagai faktor – faktor penyebab terjadi gerakan petani, yaitu pada faktor - faktor meterialnya seperti sejarah penguasaan tanah, serta makna tanah bagi petani dan pada faktor – fakto subyektif, seperti radikalisasi petani, serta pengorganisiran petani. Pasca terbetuknya organisasi gerakan dan terjadinya redistribusi tanah, pembahasan selanjutnya berfokus pada dinamika atau kelangsungan dari gerakan petani, baik yang dipengaruhi oleh kondisi didalam organisasi gerakan ataupun pengaruh dari kekuatan sosial lain di luar gerakan petani. Lihat gambar 1.
28
(Faktor – Faktor Material)
‐SEJARAH PENGUASAAN TANAH ‐MAKNA TANAH BAGI PETANI ‐AKSES TERHADAP TANAH
‐REDISTRIBUSI TANAH ‐LIVELIHOOD
GERAKAN PETANI :
‐ORGANISASI GERAKAN KEMUNCULAN GERAKAN --------------------------------------------------------------------------------------------------‐STRATEGI GERAKAN (KONDISI KONDUSIF) ‐KEPEMIMPINAN GERAKAN
‐RADIKALISASI PETANI ‐PENGORGANISASIAN PETANI
‐PERKEMBANGAN KELEMBAGAAN GERAKAN
‐KESADARAN POLITIK
‐PENGARUH AKTOR LUAR PETANI
(Faktor – Faktor Subyektif)
Keterangan : : Berhubungan : Meliputi -------- : Terpisah
Gambar 1. Kerangka Berpikir Penelitian
29
2.3 Definisi Konseptual
Petani : Individu atau sekelompok orang yang memiliki (de facto), mengelola, dan mengembangkan sumberdaya agraria khususnya tanah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Radikalisasi Petani : Faktor – faktor atau kondisi yang dapat memicu terjadinya aksi perlawanan petani. Pada umumnya, kondisi tersebut berasal dari luar masyarakat petani, seperti penindasan, pungutan pajak, pengekangan hak, pembatasan kerja, dsb.
Pengorganisiran Petani : Proses mobilisisasi petani, baik berupa sumberdaya yang bersifat terbatas seperti uang dan makanan ataupun individu petani itu sendiri, guna mencapai suatu tujuan tertentu, pengorganisiran dapat bersifat formal atau informal.
Makna Tanah Bagi Petani : intepretasi yang timbul dari ikatan – ikatan yang ada antara petani dengan tanah, dapat bersifat ekonomi, sakral, ataupun kultural.
Sejarah Penguasaan Tanah : catatan – catatan histografis atau dokumen sejarah yang berkisah tentang tanah, baik itu pembahasan soal kepemilikan, penyawaan, perebutan, ataupun alih fungsi tanah serta kaitannya dengan orang atau sekolompok orang disekitar tanah. Seringkali catatan histografis berbentuk sejarah lisan (oral history). Gerakan Petani : suatu bentuk perlawanan yang sengaja dilakukan oleh sekelompok petani yang terorganisir untuk menciptakan terjadinya perubahan dalam pola interaksi keadilan untuk petani di dalam masyarakat. Dalam gerakan tersebut diharapkan mempunyai ciri-ciri seperti halnya gerakan sosial yaitu 1) memiliki pengorganisasian internal yang rapi, 2) berlangsung lebih lama, 3) gerakan sengaja bertujuan melakukan reorganisasi kehidupan masyarakat internal maupun eksternal.
30
Organisasi Gerakan : betuk formal dari pengorganisiran petani, yang didalamnya terdapat struktur (hierarki) organisasi, memiliki tujuan yang jelas, dan adanya unsur kepemimpinan.
Pemimpin Gerakan : orang atau sekelompok orang yang bertugas untuk memimpin suatu gerakan, pemimpin merupakan tokoh sentral atau motor penggerak pada sebuah gerakan petani.
Strategi Gerakan : cara atau media yang digunakan gerakan petani guna mencapai suatu tujuan, dapat berupa aksi boikot, pemogokan, demonstrasi atau aksi massa, dsb.
Redistribusi Tanah : Pembagian kembali objek redistribusi atau tanah kepada petani.
Pola Pertanian : tata cara bercocok tanah yang dipergunakan oleh sekelompok orang atau masyarakat didalam suatu luasan lahan. Pola ini dapat berupa sistem kebun, perkebunan, ataupun persawahan.
31
BAB III PENDEKATAN LAPANG
3.1 Jenis Penelitian Jenis penelitian ini merupakan penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif merupakan suatu metode berganda dalam fokus, yang melibatkan suatu pendekatan interpretatif dan wajar terhadap setiap pokok permasalahannya. Ini berarti penelitian kualitatif bekerja dalam seting yang alami, yang berupaya untuk memahami, memberi tafsiran pada fenomena yang dilihat dari arti yang diberikan orang-orang kepadanya. Penelitian kualitatif melibatkan penggunaan dan pengumpulan berbagai bahan empiris seperti studi kasus, pengalaman pribadi, introspeksi, riwayat hidup, wawancara, pengamatan, teks sejarah, interaksional dan visual: yang menggambarkan momen rutin dan problematis, serta maknanya dalam kehidupan individual dan kolektif (Denzin and Lincoln, 2009). Penelitian ini menggunakan metode observasi partisipasi (participant observation) di lapangan. Metode observasi partisipasi merupakan sebuah teknik pengumpulan data yang mengharuskan peneliti melibatkan diri dalam kehidupan masyarakat yang diteliti. Peneliti harus dapat memahami gejala-gejala yang ada, sesuai dengan maknanya dengan yang diberikan atau dipahami oleh warga masyarakat yang sedang diteliti, termasuk dalam pengertian metode ini adalah wawancara dan mendengarkan serta memahami apa yang didengarnya (Denzin and Lincoln, 2009). Peneliti dalam upaya memahami kehidupan objek penelitian telah melakukan live in di lokasi tersebut, agar dapat melihat secara langsung mengetahui dan memahami berbagai kondisi masyarakat. Maka itu, scope temporal dalam penelitian ini akan dilaksanakan selama enam bulan yaitu April sampai Agustus 2010. Sementara scope spatial dalam penelitian ini terfokus pada masyarakat petani Desa Banjaranyar yang berlokasi di Kecamatan Banjarsari, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat.
32
3.2 Unit Analisis Unit analisis adalah gerakan petani yang terhimpun dalam Organisasi Tani Lokal (OTL) Banjaranyar . Gerakan petani tersebut memperjuangkan nasib petani Banjaranyar yang meliputi sekitar 195 kepala keluarga. Responden penelitian dipilih secara purposif berdasar telaah peran dalam proses gerakan petani. Responden adalah stakeholder yang dinilai relevan untuk memperkuat bobot analisis penelitian yaitu, LBH SPP, pengurus Serikat Petani Pasundan (SPP) pendamping, FARMACI, dan Perangkat Desa Banjaranyar. Lihat tabel 1.
Tabel 1. Daftar Stakeholder dan Perannya Dalam Kasus Gerakan Petani Desa Banjaranyar Tahun 2010 Di dalam Desa Banjaranyar Individu Petani atau massa nonstruktural di Desa Banjaranyar, termasuk buruh tani, dalam hal ini mereka petani tidak bertanah
Di luar Desa Banjaranyar Individu
Sekjen Serikat Petani Pasundan
Pelaku Sejarah Lokal
Anggota DPRD Ciamis
Tokoh Masyarakat Perangkat Desa
Organisasi Organisasi Tani Lokal (OTL) Banjaranyar 1
Organisasi LBH SPP
Koperasi Usaha Tani SPP
FARMACI PT. RSI Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Ciamis
33
3.3 Teknik Pengumpulan Data Data bersumber dari data primer dan sekunder. Data primer adalah data yang langsung diperoleh dari sumbernya untuk mengetahui sejarah, pandangan dan perkembangan sebuah kasus. Teknik pengumpulan data ini dilakukan melalui a) wawancara tertuntun dengan menggunakan daftar pertanyaan, b) wawancara mendalam dengan stakeholders, dan c) diskusi dengan stakeholder. Wawancara langsung dilakukan terhadap: 1) Pemimpin Gerakan, 2) Pamong desa, 3) Pejabat tingkat kabupaten, kecamatan, dan desa 4) Petani, 5)Masyarakat lain. Penelitian kali ini juga menggunakan pendekatan sejarah (historical approach), yang akan menguraikan sejarah, fenomena, problamatika, dan dilematika di dalam gerakan petani Banjaranyar. Analisis difokuskan pada era reformasi, yaitu tahun 1997 hingga tahun 2010. Namun karena keterbatasan sumber – sumber tulisan, maka pendekatan sejarah lisan (oral history) dijadikan sebagai salah satu pilihan penting dalam upaya pengumpulan data. Pendekatan sejarah lisan dimaksud untuk menggali ingatan kolektif, terutama berupa social memory atau community’s collective memory yang dapat dipakai menyusun sejarah Desa Banjaranyar, khususnya yang berkaitan dengan gerakan petani Banjaranyar. Sejarah lisan sangat membantu memberikan penjelasan mengenai hal – hal yang berkaitan dengan kesinambungan (continuity) dan perubahan (discontinuity) kehidupan sosial, ekonomi, politik, dan budaya melalui ingatan kolektif atau disebut sebagai history of memory or memory of history (Fentress dan Wickham, 1992). Data sekunder adalah jenis data yang mengutip dari sumber lain. Pengumpulan data untuk studi peristiwa bersumber dari 1) surat, memorandum, dan pengumuman lain, 2) agenda, hasil penemuan, dan tulisan laporan peristiwa, 3) dokumen administrasi, proposal, progress report, dan dokumen internal, 4) kliping dan artikel dalam media massa. Data sekunder diperoleh peneliti dari: •
Arsip-arsip kantor pertanahan di tingkat kabupaten, kecamatan, dan kelurahan.
•
Arsip – arsip kasus sengketa lahan Serikat Petani Pasundan (SPP)
34
•
Surat resmi dari Pemda Kabupaten Ciamis yang berkaitannya dengan topik.
•
Artikel-artikel tentang topik dalam surat kabar, majalah, internet dan laporan penelitian yang telah dipublikasikan.
•
Arsip-arsip dan laporan penelitian dari lembaga advokasi yang mengenai kasus tersebut.
3.4 Teknik Analisis Data Teknik analisis data terdiri dari beberapa langkah sebagai berikut, pertama, data dikumpulkan dengan cara observasi langsung, interview, dan mengumpulkan data dari kepustakaan, arsip, dan berita pers. Kedua, melakukan penilaian dan pengamatan terhadap data primer dan sekunder yang selanjutnya disesuaikan dengan keadaan di lapangan. Ketiga, melakukan intepretasi data untuk dikaji berdasar kerangka dasar teori. Keempat, pencapaian kesimpulan dari penelitian (Surakhmad, 1994).
35
BAB IV LATAR BELAKANG KEMUNCULAN GERAKAN PETANI 4.1 Desa Banjaranyar Desa Banjaranyar secara administratif masuk kedalam wilayah Kabupaten Ciamis, tepatnya di wilayah Kecamatan Banjarsari. Secara geografis, Desa Banjaranyar terletak di 108’32 bujur timur dan 07’30 bujur selatan. Pada bagian utara Banjaranyar berbatasan dengan Desa Karang Mukti, sebelah timur berbatasan dengan Desa Cigayam, sebelah selatan berbatasan dengan Desa Kalijaya dan Pasawahan, dan pada bagian barat berbatasan dengan Desa Cikupa. Sebelum adanya pemekaran, Desa Banjaranyar masuk kedalam wilyah Desa Cigayam. Pada akhir tahun 1990an terjadi pemekaran Desa Cigayam menjadi dua desa yaitu Desa Cigayam dan Desa Banjaranyar. Nama Banjaranyar sendiri berasal dari adanya kota yang bernama Banjar, karena ini merupakan desa baru maka nama Anyar pun disandingkan dengan kata Banjar. Sehingga, nama Banjaranyar dapat diartikan sebagai daerah Banjar yang baru. Nama tersebut mengandung harapan, semoga Desa Banjaranyar dapat berkembang menjadi daerah yang maju seperti Kota Banjar. Tahun 2007, diadakan kajian oleh Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) Kabupaten Ciamis prihal desa tertinggal. Desa Banjaranyar merupakan satu dari enam puluh satu desa tertinggal yang berada di dalam wilayah Kabupaten Ciamis. Kajian yang dilakukan SKPD Ciamis didasarkan pada empat variabel utama. Pertama, variabel alam dan lingkungan yang menunjukan pemafaatan prasaranan dan potensi ekonomi desa. Kedua, variabel keadaan penduduk yaitu hal – hal yang menunjukan tingkat kesejahteraan penduduk meliputi tingkat kepadatan penduduk per kilometer persegi, persentase penduduk yang bekerja sebagai buruh tani, dan presentasi rumah tangga petani. Ketiga, variabel sarana prasarana dan akses, yaitu seperti fasilitas pendidikan, fasilitas kesehatan, jumlah tenaga kesehatan, sanitasi, dan sumber air bersih. Keempat, variabel sosial dan ekonomi penduduk, seperti keluarga pengguna listrik, penggunaan bahan bakar, kasus kejadian wabah penyakit (busung lapar).
36
Desa Banjaranyar dinyatakan amat kurang kurang pada poin ketiga yaitu sarana prasarana dan akses jalan. Jarak antara Banjaranyar dengan Kota Banjarsari, yang merupakan Ibu Kota Kecamatan Banjarsari, sesungguhnya hanya 15 kilometer, tetapi butuh waktu lebih dari dua jam untuk sampai ke Desa Banjaranyar. Kondisi jalan yang berbatu memperlambat waktu tempuh dari dan menuju Banjaranyar. Selain kondisi jalan yang belum baik, sanitasi atau fasilitas MCK (Mandi Cuci Kakus) dinilai amat kurang. Pada tahun 2007 hanya satu dari lima warga Banajaranyar yang memiliki fasilitas MCK di dalam rumah. Sebagian besar masyarakat Desa Banjaranyar bekerja di sektor pertanian. Hal ini tercermin di dalam data monografi desa. Penduduk Desa Banajaranyar berjumlah 4283 orang atau 1420 KK (Kepala Keluarga) dan sebanyak 1139 KK bekerja disektor pertanian. Banyaknya warga masyarakat yang bekerja di sektor pertanian, tidak serta merta membuat adanya pemerataan dalam kepemilikan tanah.
Tabel 2. Jumlah Kepala Keluarga Petani Menurut Luas Lahan yang Dimiliki, Desa Banjaranyar, Tahun 2005 No
Luasan Tanah
Jumlah Kepala
Jumlah Kepala
(Hektar)
Keluarga Petani
Keluarga Petani
(KK)
(%)
1
0
739
52,04
2
0 – 0,5
135
9,51
3
0,5 – 1
255
15,84
10
0.70
4
>1
Sumber : Data Monografi Desa Banjaranyar Tahun 2005 Struktur kepemilikan tanah yang ada di Desa Banjaranyar dirasa masih timpang. Jumlah Kepala Keluarga (KK) yang bekerja sebagai petani ada 400 KK, tetapi hanya 10 KK yang memiliki tanah lebih besar dari 1 hektar, 135 KK memiliki tanah antara 0,5 – 1 hektar, dan 255 KK memiliki tanah dengan luasan dibawan 0,5 hektar. Sisanya, sebanyak 739 KK tidak memiliki tanah dan bekerja sebagai buruh tani
37
Berdasarkan pembagian daerah melalui Sistem Karesidenan yang ada dimasa Pemerintahan Kolonial Hindia Belanda. Desa Banjaranyar, yang merupakan bagian dari wilayah Kabupaten Ciamis, masuk kedalam wilayah Karesidenan Priyangan Timur. Pada tahun 1950an, Karesidenan Priyangan Timur dijadikan daerah basis massa perjungan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DII/TII) yang dipimpin oleh SM Kartosuwiryo. Penetrasi gerakan DI/TII yang masuk hingga ke desa – desa, boleh jadi meredam penetrasi gerakan komunis yang mulai marak kembali pada akhir tahun 1950an. Tahun 1966, pasca terjadinya Gerakan 30 September (G30S) 1965, terjadi pembunuhan masal orang - orang yang dituduh sebagai komunis. Aksi pembunuhan masal yang terjadi di berbagai daerah, dirasa tidak terlalu memepengaruhi kehidupan warga. Karena kondisi Desa Banjarnyar pada saat itu relatif stabil. Orang – orang yang menggarap lahan bekas perkebunan AGRIS NV tidak dibunuh atau dikebiri hak – haknya karena tuduhan komunis. Sehingga penggarapan lahan bekas perkebunan AGRIS NV terus berjalan hingga akhir tahun 1970an.
Gambar 2. Peta Desa Banjaranyar, Kecamatan Banjarsarsari
38
4.2 Sejarah Tanah Perkebunan Di Desa Banjaranyar 4.2.1 Pembukaan Perkebunan Kopi Desa Banjaranyar berdiri di atas tanah perkebunan yang dahulunya dikelola oleh perusahaan perkebunan swasta asing bernama AGRIS NV. Kontur tanah Desa Banjaranyar yang berbukit – bukit, hawa dingin yang menyelimuti desa, orang – orang yang berkomunikasi dengan bahasa sunda, dan keterkaitan dengan sejarah panjang dengan perkebunan kopi, memang mengingatkan pada kisah Prijangansteelsel yang tertulis di dalam buku Max Havelaar. Sejarah tanah perkebunan yang ada di Desa Banjaranyar dapat dirunut hingga awal tahun 1700-an. Yaitu, ketika tanah Priyangan bersama dengan Batavia (Jakarta) dan sebagian kecil wilayah Majenang dijadikan daerah penanaman kopi oleh VOC (Vereeningde Oost Indische Compagnie). Tepatnya pada tahun 1707, VOC menetapkan tanah Priyangan sebagai salah satu daerah ujicoba penanaman kopi. Keberhasilan dari uji coba tersebut, memicu dilakukannnya pembukaan perkebunan kopi secara masif ditanah Priyangan. Perkebunan kopi Priyangan yang dibuka pada priode tahun 1707 – 1730 tidak menggunakan tanah garapan rakyat, melainkan tanah – tanah bukaan baru di wilayah hutan. Di Ciamis sendiri, dalam data Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Ciamis tahun 2005, tercatat beberapa perkebunan kopi besar yang ada pada periode tersebut, seperti Perkebunan Bangkelung, Gunung Bitung, Panawangan, dan Perkebunan Cigayam. Di dalam area lahan Perkebunan Cigayam inilah, tepatnya disisi sebelah utara perkebunan, dikemudian hari lahir sebuah desa yang bernama Desa Banjaranyar. Berdasarkan pada sistem pengelolaan perkebunan kopi yang ada pada awal abad ke -18. Pengelolaan perkebunan kopi Priyangan, pada tahapan pelaksanaannya diserahkan sepenuhnya kepada para bupati dan
dilakukan
menurut sistem feodal. Melalui tata cara kerja paksa, penduduk diwajibkan untuk melakukan kerja rodi, seperti pembukaan lahan baru ditanah hutan, penggarapan lahan, penanaman biji kopi, pemeliharaan, dan pengangkutan panen biji kopi dari perkebunan ke tempat penampungan. Pelaksanaan penanaman kopi paksa yang dilakukan di Priyangan ini kemudian dikenal sebagai dengan sebutan Sistem Priangan atau Prijanganstelsel (Kartodirdjo, 1991).
39
Awal abad ke – 18 daerah Priyangan, khususnya Priyangan Timur, merupakan daerah dataran tinggi dengan jumlah penduduk yang sedikit. Dari data VOC Cirebon, seperti yang dikutip oleh Kartodirdjo (1991), pada tahun 1705 daerah Priyangan timur dan tengah hanya dihuni oleh 10.000 kepala keluarga. Jumlah penduduk yang begitu terbatas tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan perkebunan akan tenaga kerja. Guna memenuhi kebutuhan akan tenaga kerja di perkebunan, pada periode tersebut terjadi mobilisasi tenaga kerja dari luar kedalam wilayah Priyangan. Tercatat pada tahun 1720 daerah Priyangan timur dan tengah telah dihuni oleh 20.000 kepala keluarga. Sehingga dengan kata lain, selama diberlakukannya Sistem Priyangan (Prijanganstelsel) terjadi peningkatan sebesar seratus persen atau 10.000 kepala keluarga dalam tempo lima belas tahun. Berhasilnya penanaman kopi di daerah Priyangan ditopang oleh empat faktor (Kartodirdjo, 1991). Pertama, faktor alami yang membuat kopi dapat tumbuh dengan baik di Priyangan, baik itu di dataran tinggi ataupun dataran rendah. Kedua,daerah Priyangan yang memiliki topografi pegunung memberi perlindungan yang baik bagi tanaman kopi dari tiupan angin yang kuat. Ketiga, karakteristik tanah, khususnya pada pada tanah perkebunan yang baru dibuka di atas tanah hutan, sangat cocok untuk tanaman kopi. Keempat, faktor ekonomi, harga pembayaran kopi pada masa – masa awal (1707 – 1720) tidak hanya stabil dan bagus, tetapi juga termasuk tinggi. Hal ini tercermin dari data harga pembelian VOC di daerah Priyangan, bahwa harga pasaran biji kopi 15 – 40 kali lebih besar dari harga beras dalam takaran yang sama. Faktor terakhir yang tidak kalah penting yaitu tidak adanya aksi perlawanan secara besar - besar yang dilakukan petani Priyangan guna mencegah penanaman kopi di daerah mereka. Perkebunan – perkebunan kopi yang ada di wilayah Priyangan tidak menggunakan tanah garapan masyarakat untuk keperluan perkebunan. Pada periode 1700 – 1730 tidak ditemukan adanya perebutan tanah garapan (tanaman pangan) rakyat oleh pihak perkebunan kopi. Perkebunan – perkebunan kopi yang ada di Priyangan dibangun diatas tanah kehutanan yang tidak digarap oleh rakyat. Kartodirdjo (1991) mengistilahkan fenomena perluasan tanah perkebunan kopi di Priyangan sebagai “celah angin surplus” atau vent-forsurplus.
40
Gambar 3 Produksi Kopi Priyangan, Batavia, dan Sekitarnya Tahun 1796 – 1810
Kopi 120.000 100.000 80.000 60.000 Kopi 40.000 20.000 0 1796
1797
1798
1799
1807
1808
1809
1810
Sumber : Sartono Kartodirdjo, dalam Sejarah Perkebunan Di Indonesia : Kajian Sosial Ekonomi, 1991.
Getirnya kehidupan yang dialami oleh para pekerja di perkebunan – perkebunan kopi Priyangan berbekas dalam ingatan para petani di Desa Banjaranyar. Hal tersebut kemudian terabadikan dalam sebuah lagu berjudul “Dengkleung dengdek”. Pada bait awal lagu ini bercerita tentang pahitnya kehidupan dimasa taman kopi Priyangan. Pada bait selanjutnya lagu ini bercerita tentang seorang gadis yang sedih berkepanjangan karena ditinggal sang pujaan hati yang harus bekerja di perkebunan kopi. Menurut para tetua desa, lagu Dengkleung Dengdek diciptakan oleh para buruh yang bekerja di Perkebunan Kopi Priyangan. Sedangkan, menurut kisah sejarah yang dikeluarkan oleh Pemerintah Kabupaten Ciamis, lagu tersebut diciptakan oleh Bupati Aria pada saat beliau menjabat sebagai Bupati Galuh pada tahun 1839 – 1886. Hingga saat penelitian ini dilaksanakan, lagu Dengkleung dengdek masih sering dinyanyikan oleh para petani tua Desa Banjaranyar, ketika beekerja di tanah garapannya.
4.2.2 Perkebunan AGRIS NV Lahirnya Undang – Undangn Agraria Hindia Belanda (Agrarische Wet) pada tahun 1870 memberikan warna baru bagi perjalanan sejarah perkebunan di
41
Indonesia. Apabila pada masa sewa tanah terdapat pemisahan antara pemerintah dengan perkebunan. Pada masa sistem tanam paksa pemerintah menghendaki adanya penyatuan
kembali antara pemerintah dengan kehidupan perusahaan
dalam menangani produksi tanaman ekspor. Maka, pasca diterbitkannya Agrarische Wet 1870
pemerintah secara formal memberikan kebebasan dan
keluasaan kepada para pemodal untuk melakukan usaha – usaha perkebunan. Para penguasaha perkebunan diberikan akses langsung kepada para petani untuk melakukan penyewaan tanah dan penyerapan tenaga kerja. Tetapi, pada kenyataannya struktur sosial – politik masyarakat yang masih tradisional dan semi feodal, membuat posisi petani tidak dalam kondisi yang kuat dan cenderung dirugikan. Salah satu hal yang dapat disoroti didalam Agrariche Wet adalah keberadaan dari Hak Erfpacht yaitu hak untuk melakukan pengolahan diatas sebidang tanah yang diberikan oleh Pemerintah Kolonial kepada pihak swasta dalam jangka waktu tertentu. Pada awalnya, kesempatan yang ada banyak dipergunakan oleh pengusaha perseorangan. Para penguasaha perseorangan tersebut merupakan orang - orang yang telah berpengalaman dalam teknik penanaman dan penglolaan perkebunan pada massa Sistem Tanam Paksa (Mustain, 2007). Pada perjalanannya, timbul berbagai permasalahan seperti krisis yang terjadi pada tahun 1875 dan 1895, serta wabah penyakit pada tanaman kopi yang terjadi pada tahun 1890an yang
mengakibatkan kebangkrutan pada banyak
perusahaan perseorangan. Hal tersebut menimbulkan desakan untuk mengganti perusahaan perseorangan dengan perusahaan besar berbentuk NV, salah satunya ialah AGRIS NV. Perusahaan – perusahaan ini secara kolektif bernaung di bawah Cultuuralbank atau Unie guna mengatasi permasalah dalam hal permodalan. Pada momentum inilah perusahan perkebunan masuk kedalam jaringan perbankan. Sehingga perusahaan perkebunan berubah menjadi perusahaan besar dengan kapital-intensif (Kartodirdjo, 1991). Berdasarkan data Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Ciamis yang dihimpun hingga tahun 2010. AGRIS NV merupakan perkebunan yang berdiri diatas lahan seluas 755,07 Ha. Hak Erfpacht yang dimiliki oleh AGRIS
42
NV dikeluarkan pada tanggal 30 November 1928, dengan kode No. 472, yang terbagi atas dua blok. Blok pertama berada disebelah utara dengan luas tanah 377,53 Ha (Erf. Verf No.20), yang berbatasan dengan Desa Cikaso. Blok kedua berada diselatan dengan luas tanah 377,53 Ha (Erf Verf No. 214) berbatasan dengan Desa Cigayam, Cikaso, dan Pasawahan. Hak yang dimiliki AGRIS NV atas tanah tersebut akan habis pada 24 Januari 1975. Didalam laporan berita acara perkebunan VOC tahun 1720, tercatat bahwa Blok Cigayam merupakan perkebunan dengan tanaman kopi sebagai komoditas utamanya. Blok Cigayam inilah yang kemudian pada tahun 1928 menjadi tanah erfpacht yang hak pengelolaannya diberikan kepada perusahaan perkebunan AGRIS NV. Perkebunan AGRIS NV tidak lagi menanam kopi, melainkan menanam pohon karet sebagai komoditas utama. Perubahan komoditas yang ditanam, dari kopi menjadi karet, di perkebunan AGRIS NV pada periode awal 1900an, dikarenakan dua hal yaitu faktor alam dan kebijakan liberalisasi ekonomi yang dikeluarkan oleh Pemerintah Kolonial. Pertama yaitu faktor alam. Pada periode awal tahun 1900an, Pemerintah Hindia Belanda mencoba memperkenalkan beberapa tanaman pengganti kopi seperti karet, teh, indogo, dan kina. Karena pada periode tersebut tanaman kopi terjangkit wabah penyakit yang menyebar dibeberapa tempat di Priyangan, hingga akhirnya masuk ketanaman kopi yang berada di daerah Galuh (Ciamis). Penyebaran wabah penyakit tersebut memiliki dampak besar pada hasil produksi kopi di Hindia Belanda secara keseluruhan. Hal ini dapat dilihat dari data komoditas hasil perkebunan Pemerintah Hindia Belanda tahun 1900 hingga tahun 1909. Pada tahun 1900 - 1904, hasil keseluruhan panen kopi mencapai 615.000 pikul, dimana kemudian terjadi penurunan drastis pada tahun 1905 - 1909 yang hanya menghasilkan kopi sebesar 371.000 pikul.
43
Tabel 3. Jumlah Produksi Kopi Hindia Belanda, Perkebunan Pemerintah dan Swasta Tahun 1895 – 1909 (dalam pikul) Tahun
Produksi Kopi
Produksi Kopi
Perkebunan Pemerintah
Perkebunan Swasta
(pikul)
(pikul)
1895 – 1899
314.000
446.000
1900 – 1904
212.000
403.000
1905 – 1909
98.000
273.000
Sumber : Cowan, 1961, Economic Development of Southeast – Asia. Kedua yaitu diterbitkannya Agrarisch Wet pada tahun 1870 sebagai bentuk dari kebijakan liberaliasi ekonomi yang dikeluarkan oleh Pemerintah Hindia Belanda (Wiradi, 2000). Pasca Agrarisch Wet, perkebunan AGRIS NV dengan memegang Hak Erfpacht yang diberikan Pemerintah Hindia Belanda, memiliki kemerdekaan penuh untuk mengatur segala sesuatu di dalam perkebunan. Pemerintah Kolonial tidak lagi dapat memaksakan pihak perkebunan, baik itu berkaitan dengan komoditas yang ditanam ataupun sistim pengelolaan perkebunan, seperti yang terjadi pada massa Sistem Tanam Paksa. Sehingga, meskipun pada tahun 1925 dilakukan introdusir varietas kopi robusta yang dikenal tanahan terhadap wabah penyakit oleh Pemerintah Kolonial. Perkebunan AGRIS NV tetap melakukan penanaman karet dan tidak berubah kembali menjadi perkebunan kopi. Karena perkebunan memiliki kebebasan untuk menentukan komoditas yang akan ditanam. Strukur organisasi perusahaan perkebunan AGRIS NV tidak berbeda jauh dengan perusahaan perkebunan berbentuk “NV” pada umumnya. Perusahan perkebunan berbentuk “NV” selain bercirikan kapital – intensif, juga menuntut adanya R and D atau pengembangan dan penelitian dalam hal peningkatan hasil produksi (Kartodirdjo, 1991). Stasiun percobaan dan penelitian disokong dengan adanya teknologi maju, tata kerja yang lebih efisien dan juga kepekaan terhadap pasar global. Ditanamnya pohon karet sebagai komoditas utama di perkebunan AGRIS NV, dapat dilihat sebagai jalan yang ditempuh perusahaan perkebunan guna menjawab kebutuhan pasar global.
44
Lapisan atas struktur organisasi perusahaan perkebunan berbentuk “NV”, terdapat seorang administratuer dan beberapa opzichter, yang diisi oleh orang – orang Eropa. Administratuer ialah pimpinan umum yang merupakan sutu jabatan puncak yang ada di perusahaan perkebunan. Opzicher merupakan pembantu pemimpin umum yang mengepalai beberapa mandor dan bertugas mengawasi kinerja perkebunan. Sedangkan, pada lapisan bawah terdapat buruh – buruh yang dikelompokan ke dalam beberapa regu (ploeg) dan dipimpin oleh seorang kepala regu (ploeg baas) (Kartodirdjo, 1991). Di dalam perusahaan perkebunan AGRIS NV kepala regu sering kali disebut sebagai “mandor”. Komunikasi yang terjadi antara orang Eropa yang berada pada lapisan atas, dengan para pribumi yang berada pada lapisan bawah terjalin dalam suatu mekanisme tertentu. Mandor selain bertugas sebagai kepala regu juga bertidak sebagai penghubung antara para buruh perkebunan dengan para Opzicher. Sedangkan pada lapisan atas para Opzicher-lah yang bertindak sebagai “schakel” atau penghubung mata rantai. Sehingga praktis tidak pernah terjadi komunikasi secara langsung antara seorang pemipin perkebunan atau Administratuer dengan para buruh perkebunan. Lokasi perkebunan AGRIS NV tidak terlalu jauh dari pemukiman warga, dalam artian mudah dijangkau oleh penduduk desa sekitar perkebunan. Tidak diketahui secara jelas apakah desa disekitar perkebunan AGRIS NV merupakan hasil evolusi dari bedeng buruh kopi dimasa Prijangansteelsel atau bukan. Hanya saja, menurut para tetua Desa Banjaranyar, terdapat buruh perkebunan yang berasal dari penduduk desa. Bahkan, para wanita desa juga ada yang bekerja di perkebunan, terutama dibagian penyadapan getah karet. Guna memenuhi kebutuhan perkebunan akan tenaga kerja. Perkebunan AGRIS NV juga mengambil tenaga kerja dari luar daerah Ciamis, selain para pekerja yang berasal dari desa sekitar perkebunan. Titik pembeda antara buruh pendatang dengan orang desa sekitar yang menjadi buruh, terdapat pada logat bahasa yang digunakan. Walaupun seluruh buruh perkebunan AGRIS NV menggunakan bahasa sunda sebagai bahasa komunikasi sehari - hari. Tetapi, dialek sunda yang berbeda antara daerah satu dengan daerah yang lain dapat dijadikan salah satu indikator penentu darimana buruh tersebut berasal.
45
Titik – titik sentuh antara perusahaan perkebunan dengan rakyat yang mudah menimbulkan konflik seperti perampasan tanah garapan dan lahan pemukiman warga, tidak ditemukan di perkebunan AGRIS NV. Fenomena Tricle down effect atau efek tetesan justru dirasakan oleh penduduk desa sekitar perkebunan. Keberadaan perkebunan membuka lapangan pekerjaan bagi penduduk desa sekitar. Letak perkebunan yang dekat dengan desa membuat kehidupan di perkebunan tidak terisolasi dari dunia luar. Bahkan, terdapat buruh perkebunan yang telah selesai bekerja, pada sore harinya dapat kembali ke desa untuk melanjutkan perkerjaan di rumah. Perbedaan yang mencolok memang terlihat pada taraf hidup golongan atas (administratuer dan opzicher) dengan taraf hidup golongan bawah (buruh perkebunan). Perbedan tersebut terdapat pada berbagai macam sisi seperti akses pendidikan, transportasi, hiburan, dan berbagai pelayanan lainnya. Cerita – cerita prihal kebiasaan para administratuer dan opzcher yang suka menghabiskan waktu di Kota Bandung dan Ciamis untuk bersenang – senang, sudah menjadi rahasia umum dikalangan buruh dan penduduk sekitar perkebunan. Namun, karena kesadaran akan diskriminasi belum berkembang dimasyarakat, maka rakyat menerima perbedaan tersebut sebagai suatu hal yang biasa.
4.2.3 Periode Pasca Kemerdekaan Pasca diproklamirkannya teks proklamasi oleh Soekarno Hatta pada tanggal 17 Agustus 1945, terjadi perubahan besar pada peta politik di Indonesia. Hal ini juga mempengaruhi kondisi perusahaan – perusahaan perkebunan yang ada di Indonesia. Agrarische Wet 1870 yang menjadi dasar dari hak penggunaan lahan bagi banyak perusahaan perkebunan kemudian dihapuskan. Produk kebijakan Pemerintah Hindia Belanda tersebut dianggap tidak memihak pada kepentingan rakyat Indonesia, tetapi lebih bertujuan untuk memberi kemudahan bagi para pemodal asing. AGRIS NV sebagai salah satu perusahaan perkebunan asing yang mendapatkan hak penglolaan lahan dari Pemerintah Hindia Belanda terjebak dalam kondisi yang tidak jelas. Lahan yang semula dikelola sebagai perkebunan karet, dibakar oleh warga. Para administratuer dan opczhier tidak lagi diketahui
46
keberadaannya. Besar kemungkinan, para petinggi perkebunan tersebut ikut dalam eksodus warga Eropa yang keluar dari Indonesia pada massa Pendudukan Jepang (1943 – 1945). Praktis pada saat itu tidak ada kegiatan dari perusahaan perkebunan di atas tanah perkebunan, baik itu berupa penanaman, penyadapan pohon karet, atupun pengasapan getah karet. Pada akhir tahun 1940an, warga sekitar perkebunan AGRIS NV mulai melakukan penggarapan di atas tanah perkebunan. Penggarapan yang dilakukan oleh warga tidak dilaksanakan secara berkelompok, tetapi digarap oleh masing – masing keluarga. Luasan tanah yang digarap oleh masing – masing kelurga pun berbeda – beda, bergantung dari jumah anggota keluarganya. Pada keluarga yang memiliki jumlah anggota keluarga besar akan menggarap luasan tanah yang besar, begitu sebaliknya. Penggarapan yang dilakukan oleh warga, salah satunya dipicu oleh pidato Presiden Soekarno yang tersebar melalui radio – radio, hingga bisa terdengar ditelinga warga Banjaranyar. Di dalam podato tersebut, Presiden Soekarno memerintahkan warga untuk menggarap tanah - tanah perkebunan asing dan seluruh tanah perkebunan asing akan dikembalikan kepada rakyat. Pada tahun 1950an, terdapat dua kejadian penting ditingkat nasional yang cukup mempengaruhi kondisi perkebunan di Kabupaten Ciamis. Pertama, yaitu pasca Perundingan Meja Bundar di tahun 1949, seluruh perkebunan milik asing harus dikembalikan, sedangkan perkebunan milik Pemerintah Kolonial diambil alih oleh Pemerintah Republik Indonesia. Kedua, yaitu nasionasasi seluruh aset terutama aset perkebunan oleh Pemerintah Republik Indonesia. Perkebunan – perkebunan yang ada pada saat itu akan berdiri di bawah Pusat Perkebuna Negara Baru (PPN – Baru) dan Perusahaan Negara Perkebunan (PNP) yang kesemuanya dimiliki oleh Pemerintah Republik Indonesia. Dua kejadian penting yang terjadi pada periode tahun 1950an tersebut, praktis tidak mempengaruhi aktivitas warga dalam menggarap lahan bekas perkebunan AGRIS NV. Pada saat ditetapkannya keputusan Konferensi Meja Bundar (KMB), warga tetap menggarap lahan AGRIS NV. Pada tahun 1955, ketika Pemerintah Republik menasionalisasi aset perkebunan, tanah bekas perkebunan Agris NV tidak masuk kedalam daftar tanah yang akan dikelola Pemerintah, sehingga pengarapanpun terus dilanjutkan. Dari 42 Hak Erfpacht
47
yang ada di Kabupaten Ciamis, hanya lahan perkebunan di daerah Batulawang, Cigugur, Cikupa, Cimanggu, Karangkamiri, Ciparanti, dan Bangunharja yang masuk kedalam daftar tanah yang akan dikelola oleh Pemerintah melalui Perusahaan Negara Perkebunan (PNP). Tanah perkebunan Blok Cigayam (AGRIS NV) tidak termasuk dalam daftar tanah tersebut. Pada saat ini, seluruh lahan yang dikelola oleh PNP tersebut, dikelola PT.Perkebunan Nusantara (PTPN) VIII.
4.2.4 Era Orde Baru Pada tahun 1982, aktivitas penggarapan rakyat terusik dengan masuknya PT. RSI ditanah bekas perkebunan AGRIS NV. Menurut penuturan Bapak Oman yang merupakan salah satu tokoh masyarakat di Desa Banjarnyar, pada tahun 1982 datang seorang wanita yang bernama Ibu Jua. Wanita ini disebut – sebut sebagai utusan PT RSI untuk mengurus masalah pertanahan, baik itu jual beli tanah dengan masyarakat ataupun perizinan ditingkat pemerintah desa dan kecamatan. Berdasarkan data Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Ciamis yang dihimpun hingga tahun 2010, tanah seluas 755,07 hektar yang berada di wilayah Kecamatan Banjarsari dibebaskan kepada PT. Bukit Jonggol Asri, berdasar pada SK.Men No. 1 yang dikeluarkan pada tanggal 24 Januari 1975. Pada tahap pelaksanaannya, PT Bukit Jonggol Asri memberikan kuasa kelola kepada PT RSI selaku anak perusahaan. Sehingga, dengan kata lain PT RSI tidak mendapatkan Hak Guna Usaha (HGU) atas tanah eks-perkebunan AGRIS NV secara langsung, tetapi melalui PT Bukit Jonggol Asri selaku perusahaan induk. PT Bukit Jonggol Asri (BJA) merupakan salah satu perusahaan properti yang terkemuka di Indonesia. Nama perusahaan ini mulai mencuat kepermukaan setelah terlibat dalam proyek pengembangan 30.000 hektar lahan didaerah Jonggol pada tahun 1990an. PT. Bukit Jonggol Asri merupakan salah satu perusahaan yang berada dibawah Group Bimantara yang dimiliki oleh Bambang Trihatmojo, salah satu putra dari Presiden Soeharto. Nama Bambang Trihatmojo yang merupakan pemilik perusahaan telah memberi dampak tersendiri bagi warga Desa Banjarnyar. Warga Banjaranyar cenderung enggan untuk melakukan perlawanan guna mencegah masuknya perusahaan dilahan eks-perkebunan.
48
Mereka lebih memilih untuk diam, meskipun dalam perencanaan pengambangan perusahaan, tanah – tanah garapan warga termasuk di dalam lahan yang akan digunakan oleh perusahaan. Di dalam perencanaan pengembangan perusahaan yang disampaikan kepada masyarakat, PT. RSI berencana mengembangkan usaha gula singkong. Tanah yang dahulu merupakan lahan perkebunan AGRIS NV akan dirubah menjadi perkebunan singkong terpadu. Sedangkan tanah – tanah yang telah digarap oleh rakyat akan dibeli dengan harga yang layak oleh perusahaan. Pada perjalanannya, proses jual beli inilah yang terjebak dalam kondisi yang tidak jelas. Dipihak masyarakat, tidak ada kepastian tentang kapan waktu pembelian dan harga dari tanah yang akan dibeli oleh perusahaan. Dipihak Pemerintah Daerah, terutama Camat Kecamatan Banjarsari selaku Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), juga tidak dapat memberi kepastian prihal jual beli tersebut. Pada tahun 1996, Bapak Eman selaku Camat dari Kecamatan Banjarsari mengabarkan kepada masyarakat bahwa tanah eks-perkebunan AGRIS NV sudah tidak lagi dikelola oleh PT RSI. Hak pengelolaan tanah tersebut sudah dialihkan kepada Perhutani. Pernyataan prihal tukar guling lahan antara PT. RSI dengan Perhutani diperkuat dengan kehadiran Bapak Jamaludi, pejabat IRPH Perhutani Ciamis, beberapa hari setelahnya. Pasca kejadian tersebut, Perhutani selaku penerima hak pengelolaan tanah, melakukan penanaman bibit pohon jati di tanah seluas 708,5 hektar. Kegiatan penanaman dan pengelolaan pohon jati oleh Perhutani kemudian terhenti pada tahun 1998.
4.3 Pengorganisiran Petani Banjaranyar dan Aksi Perebutan Tanah Kerusuhan Tasik yang terjadi pada tanggal 26 Desember 1997 dan kejatuhan Presiden Soeharto dari tampuk kepemimpinan pada tahun 1998, memberi dampak psikologis bagi warga Kabupaten Ciamis, khususnya masyarakat Desa Banjaranyar. Masyarakat mulai berani untuk berbicara. Cerita – cerita tentang ketidakadilan dan kemiskinan yang dialami oleh warga di sekitar lahan eks-perkebunan, mulai merebak ditengah – tengah masyarakat. Warga Desa Banjaranyar, yang sebagian besar berkerja disektor pertanian, mulai mempertanyaan prihal hak pengelolaan lahan yang dimiliki oleh Perhutani.
49
Warga juga mulai mempertanyakan prihal apa manfaat yang dapat mereka terima dari hak pengelolaan tersebut. Pada gilirannya, isu – isu yang berkembang di tengah masyarakat berubah menjadi aksi penyerangan terhadap lahan eksperkebunan. Aksi penyerangan lahan eks-perkebunan oleh warga, berawal dari penebangan pohon jati Perhutani secara diam - diam. Penebangan pohon dilakukan pada malam hari, dengan harapan pelaku penebangan tidak diketahui oleh pihak berwajib, baik itu Kepolisian, TNI ataupun petugas Perhutani. Pada setiap malamnya, rata – rata warga berhasil menebang pohon jati seluas 5 hektar. Aksi penebangan pohon ini tidak bertujuan untuk mencuri kayu, melainkan bertujuan merusak pohon jati yang menjadi simbol keberadaan Perhutani diatas lahan eks-perkebunan. Hal ini dibuktikan dengan dibiarkannya kayu hasil tebangan berserakan dikawasan perkebunan. Bahkan, beberapa hari setelah penebanganpun tidak ada warga Banjaranyar yang mengambil kayu tersebut. Pada awalnya penebangan hanya dilakukan oleh lima orang, yang dimotori oleh Bapak Oman. Seiring berjalannya waktu, dari hari ke hari jumlah warga yang ikut melakukan penebangan makin bertambah. Hingga setelah kurang lebih sebulan dilakukan penebangan pohon jati Perhutani, hampir seluruh lelaki Desa Banjaranyar ikut andil dalam penebangan tersebut. Para lelaki Banjaranyar memang menjadi motor dalam aksi penebangan ini. Ibu – ibu, para gadis, dan anak – anak dilarang untuk ikut andil dalam penebangan, karena dinilai berbahaya dan penuh dengan resiko. Menurut penuturan Ibu Wati istri dari Pak Oman, ketika melakukan penebangan jati Perhutani, Pak oman biasanya pergi pada pukul sebelas malam dan baru kembali sebelum adzan subuh atau sekitar pukul setengah empat pagi. Ia dan para istri lainnya sesungguhnya tau apa yang dilakukan suami dan anak lelaki mereka. Tetapi, tidak ada satu pun dari mereka yang mau membicarakan hal tersebut diruang publik, seperti diwarung ketika berbelanja ataupun dipengajian rutin masjid. Susana mencekam yang ada di desa mendorong mereka untuk tidak membicarakan aksi penebangan ini di ruang publik.
50
Besarnya luas lahan yang telah ditebang oleh warga, mulai mengusik Perhutani selaku pengelola lahan. Pria – pria berbaju dinas TNI dan Brimob dari Kepolisian mulai sering terlihat di sekitaran desa. Banbinsa yang semula jarang melakukan pemeriksaan keliling desa, mulai rutin melakukan patroli. Rumah Bapak Oman beberapa kali didatangi oleh anggota TNI yang menanyakan soal penebangan kayu di arel perkebunan. Isu yang berkembang pada saat itu, orang – orang yang menebang pohon jati perhutani merupakan para pencuri kayu. Para pencuri kayu ini akan ditangkap dan dimasukan ke penjara. Pada akhir tahun 1998, Pak Oman yang dipandang sebagai penggerak warga dipanggil oleh Danrem Ciamis untuk dimintai keterangan. Pak Oman diminta untuk mengakui bahwa ia dan warga lainnya telah melakukan pencurian kayu di wilayah kerja Perhutani. Setelah seharian penuh diintrogasi oleh petugas, pada akhirnya Pak Oman mengakui bahwa ia melakukan penebangan kayu, tetapi tidak melakukan pencurian kayu. Ia berdalih bahwa pohon – pohon jati yang berada dilahan eks-perkebunan AGRIS NV baru berumur 1 – 3 tahun, masih terlalu muda untuk dijual. Pemanggilan Pak Oman ke Danrem Ciamis tidak menyurutkan semangat perlawanan warga, tetapi justru lebih mengobarkan semangat perlawanan. Warga menjadi semakin solid dan berani menunjukan ketidaksukaan mereka terhadap kehadiran Perhutani dilahan eks-perkebunan. Sehari setelah kembalinya Pak Oman ke desa, warga berkumpul disamping rumah Pak Oman untuk membicarakan kelanjutan aksi penebangan. Dari hasil musyawarah tersebut, diputuskan bahwa aksi penebangan pohon jati dihentikan dan tanah – tanah yang kosong karena ditebang akan digarap oleh warga. Pada tahun 1999, melalui Sidang Umum Istimewa MPR, Abdurahman Wahid atau Gus Dur terpilih menjadi Presiden Republik ke – 4. Di dalam salah satu pernyataannya setelah menjadi Presiden, Gus Dur menyatakan bahwa rakyat diperbolehkan untuk menggarap tanah – tanah perkebunan dan tanah – tanah rakyat yang dahulu direbut oleh perkebunan akan dikembalikan kepada rakyat. Meskipun tidak mendengar dan melihat secara langsung, pernyataan Gus Dur prihal penggarapan tanah perkebunan juga sampai ketelinga warga Banjaranyar.
51
Pasca tersebarnya kabar tersebut, semangat Warga Banjaranyar untuk menggarap dan menuntut hak atas tanah semakin membesar. Pada tanggal 26 April 1999 , warga Desa Banajaranyar bersepakat untuk membentuk Panitia Pembebasan Tanah. Panitia Pembebasan Tanah merupakan organisasi bentukan warga yang betugas untuk mewakili warga dalam memperjuangkan hak – hak mereka atas tanah. Pak Oman ditunjuk sebagai ketua dari panitia pembebasan tanah. Sedangkan jumlah anggota panitia pembebasan tanah, tidak pernah diketahui secara pasti. Karena tidak pernah dilakukan pendataan prihal jumlah anggota. Seluruh anggota panitia merupakan warga Banjaranyar yang mau ikut memperjuangkan hak mereka atas tanah eksperkebunan. Menurut Beno, salah seorang pemuda Desa Banjaranyar, pada waktu pembentukan panitia, warga sangat solid, setiap pertemuan panitia selalu disesaki warga. Pada waktu itu, penduduk Banjaranyar percaya bahwa dengan berjuang secara bersama mereka akan lebih mudah untuk mendapatkan tanah. Perjuangan yang dilakukan Panita Pembebasan Tanah Desa Banjaranyar tidak hanya sebatas memotori warga untuk melakukan penggarapan di tanah eksperkebunan. Pertemuan – pertemuan dengan para pemangku kepentingan lain juga dijalankan, seperti pertemuan dengan Dinas Kehutanan dan Badan Pertanahan Nasional (BPN). Meskipun pertemuan - pertemuan tersebut bukanlah inisiasi warga Banjaranyar tetapi undangan dari pemangku kepentingan lain. Di
dalam
berbagai
pertemuan
dengan
BPN,
diketahui
bahwa
sesungguhnya status tanah eks-perkebunan berada dalam kondisi yang tidak jelas. Hak Erfpacht yang dimiliki oleh AGRIS NV seharusnya hangus sebelum massa habis waktunya, yaitu tahun 1945. Pemerintah Hindia Belanda selaku pemberi Hak Erfpacht, telah jatuh dan digantikan dengan Pemerintah Republik Indonesia. Maka dengan sendirinya Hak Erfpacht yang telah dikeluarkan kepada AGRIS NV tidak berlaku lagi, karena Pemerintah Hindia Belanda sudah tidak ada. Selain itu, aksi tukar guling lahan antara PT. Bukit Jonggol Asri, selaku penerima Hak Guna Usaha (HGU) lahan eks-perkebunan, dengan Perhutani dinggap tidak sah. Hal ini dikarenakan tidak adanya bukti tertulis yang mendasari dilakukannya tukarguling lahan antara PT. Bukit Jonggol Asri dengan Perhutani. Baik Perhutani ataupun Badan Pertanahan nasional, sama – sama tidak dapat
52
membuktikan bahwa hak kelola lahan eks-perkebunan AGRIS NV telah diberikan kepada pihak Perhutani. Telebih lagi, pada akhir Desember 1999, Perhutani membantah telah mendapatkan hak kelola lahan dan tidak tau menahu soal tukar guling lahan eks-perkebunan AGRIS NV dengan PT. Bukit Jonggol Asri. Hal inilah yang kemudian menambah keyakinan warga untuk terus menggarap lahan eks-perkebunan. Karena tanah tersebut dianggap sebagai tanah tak bertuan.
4.3.1 Pertemuan Dengan Agustiana Pasca dilakukannya pertemuan dengan Badan Pertanahan Nasional (BPN) di Kota Ciamis. Pak Oman dan beberapa orang warga Banjaranyar bertemu dengan Agustiana yang pada saat itu bergabung dengan aktivis mahasiswa Ciamis, Tasik, dan Garut dalam YAPEMAS (Yayasan Pengembangan Masyarakat). Di dalam pertemuan tersebut Agustiana mengajak warga Banjaranyar untuk melakukan perjuangan bersama dalam memperjuangkan hak atas tanah dengan membentuk Serikat Petani Pasundan (SPP). Menurut Agustiana, pada tahun 1999 di daerah Priayangan Timur begitu banyak kasus persengketaan tanah, baik itu di atas tanah perkebunan ataupun di atas tanah kehutanan (Perhutani). Pasca terjadinya reformasi pada tahun 1998, warga yang semula ditekan oleh Pemerintah Orde Baru mulai berani menuntut hak mereka atas tanah. Hal ini dibarengi dengan meningkatnya gerakan mahasiswa di kawasan Ciamis, Tasik dan Garut. Ia berpendapat bahwa, gerakan mahasiswa yang membesar pada tahun 1998 dapat bertahan, hanya apabila bergabung dengan gerakan rakyat, seperti gerakan petani dalam menuntut tanah. Menurut Bapak Oman, Agustiana mengajak warga Banjaranyar untuk bergabung membentuk Serikat Petani Pasundan (SPP) dan membubarkan Panitia Pembebasan Tanah. Panitia Pembebasan Tanah dianggap tidak akan dapat bertahan lama, karena hanya bertujuan untuk mendapatkan tanah dan selesai pada kasus Banjarnyar. Sedangkan Serikat Petani Pasundan (SPP) tidak hanya bertujuan untuk mendapatkan hak atas tanah tetapi juga bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dengan tanah tersebut. Selain daripada itu, bergabungnya warga Banjaranyar dapat menjadi penyokong dalam membantu
53
penyelesaian kasus sengketa tanah di desa – desa lain di wilayah Ciamis, Tasik, dan Garut. Pasca pertemuan dengan Agustiana di depan gedung BPN, Pak Oman mengumpulkan warga Banjaranyar untuk membicarakan usulan bergabungnya gerakan warga Banjaranyar dalam menuntut hak atas tanah dengan Serikat Petani Pasundan (SPP). Pertemuan yang digelar setelah waktu sholat isya dan diadakan di dekat rumah Pak Oman juga turut dihadiri Agustianan sebagai perwakilan dari YAPEMAS. Setelah melakukan beberapa kali pertemuan, pada akhirnya warga Banjaranyar bersepakat untuk bergabung dengan Serikat Petani Pasundan (SPP). Tanggal 24 Januari 2000 di Kota Garut, bersama dengan petani dari daerah Ciamis, Tasik, Garut, warga Desa Banjaranyar ikut mendeklarasikan berdirinya Serikat Petani Pasundan (SPP). Panitia Pembebasan Tanah yang semula menjadi wadah organisasi gerakan petani Banjaranyar dalam menuntut hak atas tanah dibubarkan dan digantikan dengan Organisasi Tani Lokal (OTL) Banjaranyar.
4.4 Makna Tanah Bagi Petani Banajaranyar “dulu beno waktu awal nikah, beras aja dikirim dari sini. Coba liat sekarang, alahamdulillah udah mulai bisa mandiri. Tanah dia 250 bata ajah, cukup tuh buat idup...” (Wati, petani penggarap) Hubungan – hubungan yang terjadi antara tanah dengan petani Banjaranyar tidak hanya didasarkan pada hubungan ekonomi semata. Tanah boleh jadi merupakan tempat dimana mereka menjalani mata pencaharian sebagai petani. Terlebih lagi, diatas tanah tersebut jugalah petani Banjarnyar menjalin hubungan yang berdasarkan ikatan – ikantan solidaritas sosial. Ketika ada petani yang gagal panen atau mengalami musibah maka beban ini tidak semata – mata ditanggung oleh petani tersebut. Begitu pula ketika terdapat salah saorang anak muda yang baru menikah. Anggota komunitas lainnya secara swadaya akan membantu guna mengurangi beban yang diderita. Bantuan sering kali berupa beras dan hasil bumi lainnya, tetapi tidak jarang bantuan dapat pula berupa pekerjaan seperti menggarap tanah garapan tetangganya.
54
“kalo saya mening punya tanah tapi susah makan daripada bisa makan tapi gak punya tanah. Bingung de, kalo gak punya tanah mah....” (Ati, petani penggarap) Bagi petani Banjaranyar tanah erat kaitannya dengan rasa aman, aman dari sisi ekonomi dan aman sisi sosial. Aman dari sisi ekonomi berarti petani tersebut mempunyai jaminan atas penghasilan yang akan didapatnya dari hasil pertanian. Keberadaan tanah garapan memungkinkan petani untuk dapat memanfaatkan potensi dari tanah tersebut. Sehingga Tercipta garansi – garansi secara psikologis, bahwa masih ada harapan akan hasil panen dari tanaman di atas tanah garapan, menciptakan kepercayaan diri bagi si petani dalam mengarungi hidup. Aman dari sisi sosial dapat dilihat dari persepsi masyarakat prihal orang yang tidak punya tanah garapan. Orang yang tidak punya tanah garapan dipersepsikan sebagai manusia yang miskin ekonominya, miskin kemauannya, dan miskin semangatnya.
“susah berarti kalo gak punya tanah.. dari dulu juga kan, orang sini tanah jarang yang beli... paling sekarang – sekarang aja ada yang beli, itu juga bukan beli, paling sewa buat balong... lagian sih... masa tinggal ngegarap aja gak mau... berarti kan dia males orangnya... kalo ada gitu anak muda sini yang gak ada tanah, sepetak aja gitu... dijamin susah cari istri juga...” (Jandi, Sekdes Banjaranyar) Penduduk Banjaranyar cenderung tidak memiliki banyak pilihan mata pencaharian. Sebagian besar masyarakat merupakan orang yang menggantungkan hidupnya pada sektor pertanian. Hal inilah yang kemudian menciptakan ketergantungan yang tinggi antara penduduk Banjaranyar dengan tanah. Rasa aman yang diberikan dari keberadaan tanah inilah yang kemudian terusik dengan kehadiran PT RSI dilahan eks-perkebunan pada awal tahun 1980an. Kuatnya institusi Negara dan Pemerintahan yang cenderung represif selama masa Orde Baru, membuat petani Banjaranyar tidak mampu untuk melakukan gerakan perlawanan. Baru setelah kejatuhan rezim Orde Baru dan melemahnya institusi Negara pada tahun 1998, petani Banjaranyar berani melakukan gerakan perlawanan.
55
Secara de jure, sesungguhnya petani yang menggarap tanah eksperkebunan AGRIS NV belum diakui kepemilikan atas tanah garapannya oleh Negara. Karena Badan Pertanahan Nasional (BPN) selaku pihak yang berwenang belum mengeluarkan setifikat kepemilikan atas tanah tersebut, baik itu setifikat kepemilikan per-individu ataupun secara kelompok.. Tanah, bagi petani Banjaranyar juga dapat dipandang sebagai sarana ekstistensi mereka dikehidupan bermasyarakat. Sebagai contoh, iuran wajib bulanan di Organisasi Tani Lokal (OTL) Banjaranyar didasarkan pada luasan tanah yang digarap oleh masing – masing petani. Petani yang menggarap tanah satu kavling akan ditarik iuran sebesar dua puluh ribu rupiah dan untuk dua kavling akan dikenakan iuran empat puluh ribu rupiah. Pasca masa perebutan tanah eks-perkebunan AGRIS NV oleh warga, tanah dijadikan alat penghargaan bagi warga Banjaranyar yang dinggap berjasa bagi perjuangan perebutan tanah. Orang – orang tersebut mendapatkan tanah garapan lebih besar daripada warga pada umumnya. Apabila masing – masing warga hanya mendapatkan satu hingga dua kapling tanah. Orang yang dianggap berjasa dalam perjuangan perebutan tanah akan mendapatkan empat hingga lima kavling tanah, dengan satu kavling sama dengan dua ratus lima puluh bata.
“tanah itu idup mati.. bapak dapetnya susah.. mesti gelut dulu sama orang yang loreng – loreng itu... jadi gak bakal dijual, kepikiran juga enggak...” (Oman, petani penggrap) “embung jual tanah sih... ibu kan dah tua, garap juga gak kuat... tinggal ke haji belom... makanya nanem jengjeng, tar kalo dah gede baru jual... nambahin ongkos munggah haji...” (Adminah, petani penggarap) Segala macam kegiatan ekonomi yang terjadi diatas tanah garapan memang tidak dapat menyingkirkan makna tanah dari unsur ekonomi. Kegiatan – kegiatan seperti “ngaborong” untuk pekerja penggarap tanah, “ijon” tanaman kayu rakyat, dan jual beli pohon dibawah tegakan kayu, mudah kita temui di Desa Banjaranyar.
56
BAB V GERAKAN PETANI BANJARANYAR
5.1 Organisasi Gerakan Bergabungnya gerakan petani Banjaranyar dengan Serikat Petani Pasundan (SPP) membawa sejumlah konsekuensi. Konsekuensi tersebut berupa pembubaran Panitia Pembebasan Tanah Banjaranyar, kepatuhan pada segala tata pertaturan di dalam SPP, mekanisme penerimaan anggota, dan kesediaan untuk mengikuti aksi – aksi atau demonstrasi yang dilakukan oleh SPP. Pada tanggal 26 April 1999, warga Banjaranyar membentuk Panitia Pembebasan Tanah Banjaranyar. Organisasi ini merupakan wadah perjuangan warga Banjaranyar untuk mendapatkan hak atas tanah di lahan eks-perkebunan AGRIS NV. Pasca bergabungnya warga Banjaranyar dengan Serikat Petani Pasundan (SPP), Panitia Pembebasan Tanah Banjaranyar dibubarkan dan digantikan dengan Organisasi Tani Lokal (OTL) Banjaranyar. Bergabungnya gerakan Banjaranyar dengan Serikat Petani Pasundan (SPP) ditandai dengan ikrar bersama di Garut pada tahun 2000, yang diikuti oleh warga Banjaranyar dan petani lain dari wilayah Ciamis, Garut, Tasik. Oraganisai Tani Lokal (OTL) Banjaranyar merupakan salah satu dari organisasi petani lokal yang berada dibawah Serikat Petani Pasundan (SPP). OTL berdiri ditingkatan desa dengan tujuan menjaga kesinambungan gerakan massa di tingkat akar rumput. Selain bertujuan untuk menanamkan nilai – nilai gerakan, OTL juga merupakan sarana penghubung atau jalur informasi antara anggota SPP di desa dengan kesekertariatan SPP di Kota Ciamis. OTL inilah yang kemudian mempermudah sekertariat SPP untuk mendapatkan gambaran tentang kondisi desa dan segala permasalahan yang ada di dalam masyarakat desa. Menurut Agustiana, Sekjen SPP, pendirian OTL baik itu di Desa Banjaranyar ataupun di desa – desa lainnya bertujuan untuk menjaga massa pada tingkat akar rumput agar tetap teguh pada garis perjuangan SPP. Pendefinisian garis perjungan SPP dijabarkan melalui 9 kewajiban anggota SPP, yaitu : 1. Wajib memiliki rasa solidaritas baik sesama anggota maupun sesama manusia tanpa memandang suku.
57
2. Wajib mengikuti dan membangun sikap bergotong royong. 3. Wajib ikut melaksanakan musyawarah dalam pengambilan keputusan organisasi. 4. Wajib iman dan takwa terhadap Allah SWT. 5. Wajib menjaga lingkungan hidup dan kelestarian alam. 6. Wajib berjuang untuk mendapatkan kesejahteraan dan kehidupan yang layak. 7. Wajib menjadi pemimpin masyarakat yang arif dan bijaksana. 8. Wajib mencari ilmu dan membangun kepintaran dan kecerdasan. 9. Wajib memperjuangkan kebenaran dan keadilan yang hakiki. Organisasi Tani Lokal berada pada lapisan yang paling bawah. Pada lapisan atas terdapat terdapat Kongres Dewan Pimpinan OTL sebagai pemegang kekuasaan tertinggi. Kongres akan memberikan mandat penuh kepada seorang Sekertaris Jendral (Sekjen) untuk menjalankan organisasi. Di dalam menjalankan roda organisasi Sekjen akan dibantu oleh tiga orang Koordinator, tiga orang deputi atau wakil dan tiga orang kepala divisi. Tiga orang koordinator yang dibagi berdasarkan wilayah kerja, yaitu Koordinator wilayah Garut, Koordinator wilayah Tasik, dan Koordinator wilayah Ciamis. Tetapi khusus untuk wilayah Kabupaten Ciamis, wilayah kerja dibagi kembali menjadi tiga yaitu Ciamis tengah, Ciamis Selatan, dan Ciamis Utara. Hal ini disebabkan karena banyaknya kasus sengketa lahan yang ada di wilayah Kabupaten Ciamis. OTL Banjaranyar berada di bawah Koordinator wilayah Ciamis, tepatnya Ciamis Tengah. Tiga orang kepala divisi dibagi berdasarkan fungsi pendukung oraganisasi, seperti divisi penguatan organisasi, divisi pengolahan sumberdaya hutan, dan divisi informasi dan telekomunikasi. Secara struktural keberadaan divisi masuk ke dalam kesekertariatan Sekjen. Pada perkembangannya, guna memenuhi kebutuhan organisasi keberadaan divisi mengalami beberapa penyesuaian. Hingga saat ini, terdapat dua divisi baru, yaitu divisi pengembangan ekonomi masyarakat dan divisi hukum yang kemudian berkembangan menjadi Lembaga Bantuan Hukum (LBH) SPP.
58
Pertanggungjawaban sekertariat SPP, dalam hal ini Sekjen SPP kepada Dewan Pimpinan OTL, seharusnya dilakukan satu kali setiap dua tahun. Hal ini merujuk pada profile SPP yang dikeluarkan pada tahun 2001. Tetapi, hingga saat ini pertanggungjawaban tersebut belum pernah dilakukan. Pada prakteknya, mekanisme pertanggungjawaban dilakukan melalui temu OTL yang dilakukan setiap tiga bulanan di sekretariat SPP. Lama waktu kepengurusan seorang Sekjen tidak diketahui secara pasti. Semenjak berdirinya SPP pada tahun 2000 hingga dilakukannya penelitian ini pada tahun 2010, Sekjen Serikat Petani Pasundan (SPP) tetap dipegang oleh Agustiana.
Kongres Dewan Pimpinan OTL
Kesekretariatan Sek.Jen
Koord DPP Kab Garut Koord. DPP Wilayah
DPP OTL
Koord. DPP Wilayah
DPP OTL
Koord DPP Kab Tasikmalaya Koord. DPP Wilayah
Koord. DPP Wilayah
DPP OTL
DPP OTL
Koord DPP Kab Ciamis Koord. DPP Wilayah
Koord. DPP Wilayah
DPP OTL
DPP OTL
Anggota
Gambar 4. Struktur Organisasi Serikat Petani Pasundan (SPP)
Organisasi Tani Lokal (OTL) Banjaranyar beranggotakan warga masyarakat Desa Banjaranyar. Hingga saat ini tercatat, terdapat 190 Kepala Keluarga (KK) yang terdaftar sebagai anggota dari OTL Banjaranyar. Apabila ada seseorang yang berkeinginan untuk menjadi anggota, maka orang tersebut wajib memenuhi beberapa persyaratan atau disebut sebagai tata tertib anggota, yaitu : 1.
Mendaftarkan diri pada dewan pimpinan Organisasi Tani Lokal setempat dan direkomendir oleh Koordinator Dewan Pimpinan Organisasi Tani Lokal.
59
2.
Melaksanakan agenda dan program yang telah diputuskan secara parsitipatif oleh musyawarah Dewan Pimpinan Organisasi Tani Lokal.
3.
Membayar iuran wajib anggota yang diputuskan secara musyawarah yang besarnya ditetapkan oleh musyawarah Dewan Pimpinan Organisasi Tani Lokal masing-masing.
4.
Memiliki kartu anggota Serikat Petani Pasundan.
5.
Menjaga nama baik Serikat Petani Pasundan.
6.
Menjalin silahturahmi dengan sesama anggota dan pimpinan Organisasi Tani Lokal dan sesama anggota lainnya
7.
Memperjuangkan hak untuk membangun kesejahteraan ekonomi, sosial, politik, dan budaya bagi anggota.
8.
Memelihara dan menjaga keseimbangan lingkungan hidup yang berkeadilan dan kesetaraan.
9.
Berjuang membangun kepintaran dan kecerdasan.
10.
Berjuang merebut keadilan dan kecerdasan.
11.
Meningkatkan kebersamaan dan gotong-royong.
12.
Melaksanakan 9 (Sembilan) Wajib SPP.
13.
Mengontrol dan mengawasi kinerja Dewan Pimpinan Organisasi Tani Lokal masing-masing.
14.
Hal-hal yang belum tercantum dari poin 1 sampai dengan poin 13 akan diatur dan dimusyawarahkan dikemudian hari.
Hal ini jelas berbeda dengan organisasi yang sebelumnya dibetuk oleh warga Banjaranyar, yaitu Panitia Pembebasan Tanah (PPT). Di dalam PPT tidak dikenal adanya persyaratan khusus untuk masuk menjadi anggota organisasi. Seluruh warga Banjaranyar yang berkeinginan bergabung dengan PPT, cukup
60
datang dan ikut aktif di dalam setiap rapat dan kegiatan PPT. Maka, dengan sendirinya orang tersebut sudah menjadi anggota PPT. OTL Banjaranyar dipimpin oleh seorang ketua yang dibantu sekertaris OTL dan bendahara OTL. Mekanisme pemilihan ketua OTL di Desa Banajaranyar dilakukan secara musyawarah. Seluruh anggota OTL berhak mencalonkan siapapun, asalkan orang tersebut merupakan anggota SPP. Setelah seorang ketua terpilih menjadi ketua OTL, barulah kemudian ketua OTL diberikan hak untuk dapat memilih sekertaris dan bendahara. Keberadaan ketua OTL tidak hanya bertugas untuk menjalankan amanah organisasi, tetapi juga bertindak sebagai pemersatu dari para anggota OTL. Butir – butir peraturan baik itu 9 wajib anggota ataupun tata tertib anggota, tidak ditetapkan oleh OTL Banjaranyar sendiri. Seluruh peraturan yang ada dimusyawarahkan di dalam rapat Dewan Pimpinan OTL Serikat Petani Pasundan (SPP). Setelah disepakati oleh seluruh anggota Dewan Pimpinan OTL SPP, maka peraturan tersebut akan disebarkan keseluruh anggota, untuk segera dilaksanakan. Sistem keanggotaan yang ada di OTL Banjaranyar memang merujuk pada pada sistem keanggotaan yang ada di Serikat Petani Pasundan (SPP). Hal ini merupakan salah satu konsekuensi yang harus ditanggung gerakan petani Banjaranyar ketika bergabung dengan SPP. Di dalam tubuh SPP terdapat dua macam keanggotaan yaitu anggota dan pendamping. Kedua tipe anggota tersebut diperlakukan sama, dalam artian keduanya memiliki kewajiban untuk mentaati 9 wajib anggota, tata tertib anggota, dan segala keputusan Dewan Pimpinan OTL SPP. Anggota merupakan para petani yang berada di desa dalam wilayah kerja dan berada di bawah koordinasi OTL. Pendamping adalah para mahasiswa yang ikut andil dalam perjuangan petani. Secara struktural, pendamping SPP berada di dalam kesekertarian Sekjen dan bertanggungjawab langsung kepada Sekjen SPP. Sebagian besar pendamping merupakan mahasiswa yang berasal dari universitas yang ada tiga Kabupaten di Priyangan Timur, yaitu Garut, Ciamis, Tasik. Pendamping inilah yang kemudian bertugas mengadvokasi para petani dan menyadarkan petani prihal hak dan kewajiban mereka, khususnya hak petani atas
61
tanah. Meskipun, tidak jarang pada prakteknya para pendamping ini harus juga belajar bercocok tanam kepada para petani.
5.2 Strategi Gerakan Bergabungnya gerakan petani Banjaranyar dengan Serikat Petani Pasundan (SPP), telah memperbesar ruang gerak dari gerakan petani Banjaranyar. Gerakan petani yang semula hanya berputar pada lingkup desa dan satu daerah reclaim berkembang menjadi sebuah gerakan petani ditingkatan regional, yaitu Karesidenan Priayangan Timur. Selain meluasnya ruang gerak, penggabungan ini juga berdampak pada strategi gerakan yang digunakan. Pada mulanya, perlawanan yang dilakukan oleh petani Banjaranyar berupa pendudukan lahan eks-perkebunan. Pendudukan ini diawali dengan pemotongan pohon – pohon jati Perhutani, yang dikuti dengan penggarapan dilahan tersebut. Setelah dianggap memiliki kekuatan yang cukup, dibentuklah organisasi untuk mewadahi perjungan guna mendapatkan hak atas tanah. Terbentuknya organisasi yang kemudian disebut sebagai Panitia Pembebasan Tanah Banjaranyar berhasil meningkatkan persatuan diantara petani penggarap. Pada periode tahun 1999 – 2000 ketika terbentuknya panitia pembebasan tanah, persatuan diantara warga Banjaranyar, memang dianggap sebagai cara yang paling ampuh untuk merebut dan mempertahankan tanah.
“waktu panitia kita pikir gini, yang penting nyatu dulu. Guyub ajah yang penting. Emang keliatan si... tiap ada pertemuan rame, semua orang dateng. Orang tani, orang dagang, guru, dateng semua. Polisi juga takut kalo gitu mah... masa dia mau nangkep sekampung, kan gak mungkin.” (Oman, petani penggarap) Persatuan yang terjadi di antara warga desa juga disokong oleh penyebaran ide gerakan yang gencar dilakukan oleh para anggota panitia. Penyebaran ide – ide perjuangan dilakukan melalui pertemuan desa, pertemuan panitia tanah, rembuk warga, serta pembicaraan informal lainnya. Penyebaran ide perjungan tidak hanya terbatas pada para petani penggarap, tetapi seluruh warga Desa Banjaranyar. Media komunikasi yang dipakai, lebih banyak menggunakan
62
komunikasi langsung dari mulut ke mulut. Tidak ada selebaran ataupu pamflet yang disebarkan untuk memasifkan gerakan. Strategi perjuangan yang digunakan pada massa terbentuknya panita pembebasan tanah memang lebih bersifat ke dalam desa. Penggunaan strategi guna memanfaatkan sumberdaya, individu, ataupun institusi di luar desa seperti penggunaan media massa, penguatan jaringan dengan aktivis mahasiswa dan LSM, serta audiensi dengan para pemangku kepentingan belum dilakukan secara maksimal. Perjuangan keluar desa yang sempat dilakukan oleh panitia pembebasan tanah, baru berupa pertemuan dengan Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Ciamis diakhir tahun 1999. Pada tahun 2000, setelah bergabungnya gerakan petani Banjaranyar dengan dengan Serikat Petani Pasundan (SPP), strategi yang digunakan dalam melakukan perlawanan mengalami perubahan, baik yang bersifat kedalam ataupun keluar desa. Sistem keanggotaan yang diterapkan oleh SPP telah merubah tata cara penyebaran ide gerakan di dalam desa. Penyebaran ide gerakan tidak lagi ditujukan kepada seluruh warga desa, melainkan hanya kepada anggota SPP, khususnya OTL Banjaranyar. Di dalam profile SPP yang dikeluarkan pada tahun 2001, seluruh anggota SPP diwajibkan untuk menjadi seorang khalifah. Khalifah dimuka bumi, khalifah dalam menguasai sumberdaya agraria, dan juga khalifah dalam membuat dan menjalankan kebijakan di tingkatan desa.
“kami mengesampingkan negara, karena fungsi negara proses dari rakyat ini. Bagaimana agar rakyat didesa tidak miskin... dapat memiliki tanah... dan juga terlibat dalam proses pembuatan kebijakan di tingakat desa. Jadi seluruh anggota SPP harus mampu ngasih manfaat kedesanya, dan harus mau dan mampu jadi pemimpin di desa. Karena manusia memang tugasnya jadi khalifah... pemimpin...” (Agustiana, Sekjen Serikat Petani Pasundan) Seluruh anggota OTL Banjaranyar selalu didorong untuk dapat berperan di desa. Selain ikut andil dalam program – program yang dikeluarkan oleh Pemerintah desa, anggota OTL juga dituntut untuk ikut dalam program pemerintah pusat yang mengalir ke desa. Bahkan, pada periode kepemimpinan
63
saat ini Kepada Desa Banajaranyar merupakan anggota Serikat Petani Pasundan (SPP). Berbagai macam peran yang diambil oleh anggota OTL di desa, dapat dikatakan bertujuan untuk meminimalisir resistensi yang berasal dari dalam desa. Menurut Hermawan, salah satu pendamping yang ada di OTL Banajaranyar, perjuangan mendapatkan tanah merupakan perjalanan yang penuh dengan rintangan. Segala macam rintangan tersebut akan menjadi berkali – kali lipat kesulitannya apabila di dalam desa sendiri ada resistensi pada keberadaan OTL Banjaranyar (SPP). Serikat Petani Pasundan (SPP) tidak hanya berisikan para petani, tetapi juga para mahasiswa yang kemudian menjadi pendamping di dalam organisasi. Kehadiran para mahasiswa inilah yang kemudian memberikan warna baru pada strategi gerakan yang digunakan. Perubahan strategi gerakan jelas terlihat pada hubungan gerakan petani Banajaranyar dengan berbagai kekuatan diluar desa. Pada massa panitia pembebasan tanah, petani Banajaranyar tidak pernah sekalipun melakukan aksi demontrasi. Keterbatasan dana, rasa takut apabila melakukan perlawanan di luar desa, jauhnya jarak antara Desa Banjaranyar dengan pusat pemerintahan dan ketidaktahuan tentang apa itu demontrasi menjadi beberapa faktor penyebab tidak dipilihnya demonstrasi sebagai strategi perlawanan. Pasca tahun 2000, sudah tidak terhitung berapa kali OTL Banjaranyar sudah melakukan aksi demontrasi, baik itu ke Pemerintah Pusat (Jakarta) ataupun ke Pemerintah Daerah (Bandung dan Ciamis). Pada setiap aksi demontrasi, sudah ada semacam pembagian tugas. Para pengurus OTL di Desa Banjaranyar bertugas untuk mengumpulkan massa aksi dan uang dari para anggota. Besaran iuran aksi disesuaikan dengan luas tanah yang digarap, untuk setiap kavling tanah garapan anggota akan dikenai iuran sebesar Rp 20.000,00. Uang hasil iuran anggota tersebut kemudian digunakan untuk menyewa truk, untuk mengangkut masa aksi, dan perbekalan selama dilakukannya aksi demontrasi. Bagi para pendamping yang bertugas di kesekertariatan Sekjen, bertugas untuk mengurus perizinan aksi di Kepolisian, menetukan target dan tuntutan aksi, menghubungi media masa, serta mengurus
64
bantuan hukum apabila ada anggota yang tertangkap selama demonstrasi berlangsung. Demontrasi yang dilakukan Serikat Petani Pasundan (SPP) tidak hanya diikuti oleh OTL Banjaranyar, tetapi seluruh OTL wajib mengikuti setiap aksi demonstrasi. Hingga saat ini terdapat 36 OTL yang tersebar di tiga wilayah Kabupaten, yaitu Garut, Tasik, dan Ciamis. Aksi demontrasi terakhir yang dilakukan pada Juli 2010, tidak kurang dari 6000 orang turut memenuhi Kota Bandung dengan satu tuntutan. Tuntutan yang dibawa ialah permintaan kepada Kepala Dinas Kehutanan Jawa Barat untuk mencabut penyataannya, yang menyatakan bahwa anggota SPP merupakan para pencuri kayu. Penggunaan media masa, baik saat demonstrasi ataupun tidak, juga merupakan hal baru bagi gerakan petani Banjaranyar. Kemampuan media untuk dapat membentuk opini masyarakat, terutama masyarakat di luar lingkup desa, dianggap dapat membantu perjungan mereka.
“pake wartawan kan supaya semua orang jadi tau. Ada apa disini... orang Jakarta tau, Bandung tau, mas juga jadi tau... Pejabat juga kan sering susah ditemuin nya. Kalo berita kita ada di tipi sama koran gitu... kan dia jadi tau kalo kita ini masih terus berjuang... hoyong tanah yeuh pak.. kasih dong.” (Hermawan, pendamping Serikat Petani Pasundan) Strategi gerakan yang baru pada tahun 2004 mulai dilakukan ialah intervensi pada ranah politik praktis, baik ditingkat eksekutif ataupun legislatif. Pada tahun 2004 sistem pemilihan umum (Pemilu) di Indonesia dirubah menjadi sistem pemilihan langsung. Seluruh penduduk Indonesia yang telah memenuhi persyaratan, berhak memilih langsung pemimpin diekskutif (Presiden, Gubernur, Bupati) dan perwakilan dilegislatif (DPR, DPRD). Perubahan sistem pemilihan umum dimanfaat dengan cara memasukan anggota SPP menjadi calon anggota legislatif. Hingga saat ini terdapat empat orang anggota SPP yang telah menjadi anggota dewan di DPRD Ciamis. Begitu pula dengan Pemilu Kepala Daerah Kabupaten Ciamis, mekipun tidak ada anggota SPP yang mencalonkan diri sebagai Bupati, posisi penting SPP berada pada arah dukungan masa gerakan.
65
“SPP itu tidak akan mendukung salah satu calon... kalo orang – orangnya saya gak bisa jamin ya... kan urusan masing – masing... tapi bagi calon bupati yang tidak mendukung perjuangan SPP... dijamin gak bakal didukung sama SPP... saya juga yakin gak bakal menang tuh...” (Agustiana, Sekjen Serikat Petani Pasundan) Intervensi keranah politik praktis, berangkat dari kesadaran bahwa perjuangan perebutan hak – hak petani atas tanah sulit berhasil bila tidak ada dukungan dari pemerintah. Gerakan petani merupakan sarana yang digunakan untuk dapat memaksa pemerintah memperhatikan hak – hak petani. Di dalam prosesnya SPP, termasuk OTL Banjaranyar di dalam nya, memilih untuk tidak hanya memaksa dan menunggu kebaikan Pemerintah tetapi juga berperan aktif dalam terhadap jalannya pemerintahan.
“dulu waktu susno jadi Kapolda, kan kita dituduh makar. Dosa tuh dia... makanya sekarang blangsak gitu... kalo mau makar, ngapain kita dukung puying jadi anggota DPRD. Kita ini mau ingetin pemerintah kalo petani itu ada, petani itu susah... kalo diingetin susah ya kita masuk dong... biar bisa ngingetinnya tiap hari.” (Jek, Koordinator Wilayah Ciamis Serikat Petani Pasundan) 5.3 Kepemimpinan Selayaknya yang dinyatakan oleh Scott (1971), kepemimpinan merupakan salah
satu
syarat
penting
terbentuknya
gerakan
petani.
Marx
(1875)
menganalogikan petani seperti kentang di dalam keranjang, yang meskipun bersatu susungguhnya terpisah antara satu dengan yang lain. Petani membutuhkan perwakilan yang berasal dari kelas yang berbeda untuk menyatukan dan menyatakan diri mereka ke dalam sebuah kelas. Perwakilan inilah yang kemudian bertugas untuk memimpin dan membantu mereka, guna melawan kelas – kelas penindas. Rabu 2 Juni 2010, pukul dua siang Oman kembali kerumah. Pria berusia 57 tahun ini telah lima jam berada di ladang. Ladang yang berisi tanaman cokelat (kakao), kopi, singkong, pisang, dan dua buah balong (kolam ikan) dirawatnya setiap hari dengan bantuan istri dan beberapa orang tetangga. Tubuh tua Oman sudah tidak lagi mampu bekerja sehari penuh di ladang. Sesekali ia mengeluhkan
66
kondisi tubuhnya yang mudah sekali lemas. Terlebih lagi penyakit chikungunya yang dideritanya dalam tiga minggu terakhir membuat seluruh persendiannya sering terasa sakit, terutama pada waktu malam hari. Penampilan Oman dirasa kurang meyakinkan untuk menjadi seorang pemimpin gerakan petani. Ia bukanlah seorang orator ulung yang dapat membuat orang – orang terpukau ketika berpidato. Oman lebih banyak diam ketika aksi demonstrasi ataupun pertemuan dengan para pemangku kepentingan. Siapa yang menyangka, lelaki ini telah berhasil membakar semangat warga Banajaranyar untuk merebut tanah eks-perkebunan AGRIS NV. Tahun 1998, Oman mengajak beberapa warga untuk membabat tanaman jati yang ditanam Perhutani di lahan eks-perkebunan. Kejatuhan rezim Orde Baru menciptakan momentum dan menumbuhkan keberanian diantara warga Banjaranyar untuk melawan. Kemampuan Oman dalam mempengaruhi orang lain ketika berbicara secara langsung, membuat aksi pembabatan pohon jati semakin mudah dilakukan. Ia berusaha menyadarkan warga bahwa di dalam tanah eksperkebunan, juga terdapat hak mereka.
“tanah ada didepan mata masa digarap aja gak boleh... kalo warga disini udah pada kaya sih gak papa.. tapi ini kan susah... mau idup aja mesti ke kota... ngegarap juga bukan buat dijual.. buat idup aja...” (Oman, Petani Panggarap) Oman dipandang sebagai seorang yang gigih dan berpengetahuan luas. Pengalamannya selama lebih dari 25 tahun menjadi seorang Pegawai Negeri Sipil (PNS), cukup membuat ia mengetahui kondisi diluar desa. Warga Banjaranyar sering datang ke rumah Oman untuk bertanya prihal banyak hal, seperti soal tanah garapan, permasalahan seputar pertanian, hingga sekolah yang baik untuk anak – anak mereka. Berdasarkan tipe – tipe kepemimpinan, kepemimpinan Oman dapat digolongkan kedalam tipe kepemimpinan paternalistik. Oman dihormati di desa sebagai seorang tetua desa, bukan hanya karena sudah cukup berumur, tetapi juga karena dipandang sebagai orang yang mampu memberi suri tauladan. Pada saat pembentukan Panitia Persiapan Tanah Banjaranyar, Oman ditunjuk sebagai ketua.
67
Ia adalah penggagas aksi pembabatan pohon jati Perhutani, Oman jugalah yang menyusun strategi selama pembabatan berlangsung. Pada saat gerakan petani Banjaranyar meleburkan diri kedalam Serikat Petani Pasundan, oman kembali ditunjuk menjadi Ketua Organisasi Tani Lokal (OTL) Banjaranyar. Tidak banyak perubahan pada gaya kepemimpinan Oman. Ia lebih sebagai “bapak” bagi para anggota OTL. Pertemuan rutin anggota ia buat sedemikian rupa sehingga tidak terasa membosankan bagi anggota. Persoalan – persoalan yang dibahas tidak melulu mengenai tanah garapan dan strategi aksi perlawanan. Para anggota diberikan ruang untuk menyampaikan keluh kesah dan segala permasalahan pribadi mereka. Selain membuka ruang untuk para anggota disetiap pertemuan rutin, ia juga menjadikan rumahnya sebagai rumah bagi semua orang. Apabila ada yang tidak
tersampaikan
pada
pertemuan
rutin,
setiap
anggota
OTL
bisa
menyampaikannya di rumah Oman. Hampir setiap hari selepas bekerja di ladang, Oman selalu kedatangan tamu, baik para anggota ataupun orang luar desa. Letak rumah Oman berada di tengah jalur penghubung antara Kota Banjarsari dengan Desa Pasawahan dan Desa Bangunkarya. Sehingga, para anggota ataupun pendamping SPP dari desa lain sering kali singgah di rumah Oman. Bergabungnya gerakan petani Banjaranyar, juga dapat dikatakan sebagai pertemuan dua orang pemimpin. Oman yang merupakan pemimpin gerakan petani pada tingkat desa bertemua dengan Agustiana yang merupakan pemimpin gerakan petani ditingkat daerah, yaitu Priyangan Timur. Kedua orang ini mempunyai tipe kepemimpinan yang berbeda. Apabila Oman memiliki gaya kepemimpinan yang paternalistik, maka Agustiana merupakan sosok pemimpin yang kharismatik. Nama Agustiana mulai dikenal oleh penduduk Priyangan Timur dan sekitarnya, pasca terjadinya kerusuhan Tasik pada tahun 1997. Ia dan beberapa orang lainnya ditangkap oleh pihak Kepolisian dan dituduh sebagai dalang dari kerusuhan Tasik. Setelah keluar dari penjara, dengan memanfaatkan momentum reformasi, Agustiana dan beberapa aktivis mahasiswa melakukan pengorganisiran petani di wilayah Ciamis, Garut, dan Tasik. Pengorganisiran ini difokuskan pada aksi perebutan hak atas tanah, baik itu di lahan perkebunan ataupun Perhutani.
68
Agustiana merupakan pemimpin yang memiliki begitu banyak pengikut. Balas jasa, kekaguman, gigih, dan perhatian dengan nasip petani, merupakan beberapa contoh dari kesan yang disampaikan anggota SPP terhadap sosok Agustiana. Loyalitas anggota SPP terhadap sosok Agustiana, bahkan terlihat pada kehidupan sehari – hari. Sebagai contoh, pada minggu pertama bulan Juni 2010, Agustiana menjalankan ibadah umroh. Pukul 10.00 sebelum sebelum berangkat ke Arab Saudi, Agustiana mengirimkan pesan singkat kepada Koordinator wilayah Ciamis, Garut, dan Tasik. Pesan tersebut berisikan permohonan izin pamit ke tanah suci dan permohonan doa untuk keselamatan selama beribadah. Beberapa saat kemudian, kooordinator mengirimkan pesan tersebut kepada seluruh ketua OTL di wilayah kerjanya masing – masing. Pada malam harinya di Desa Banjaranyar, pukul 19.10 tidak kurang dari 40 orang anggota OTL Banjaranyar datang ke rumah Oman dengan berpakaian muslim lengkap. Mereka semua datang dengan tujuan untuk mendoakan Agustiana agar selamat selama menjalankan ibadah umroh. Permasalahan justru timbul pada regenerasi dari kepemimpinan didalam tubuh Serikat Petani Pasundan (SPP). Loyalitas yang begitu besar kepada Agustiana, membuat seakan – akan sosok Agustiana tidak tergantikan sebagai seorang pemimpin. Bagi seluruh anggota SPP, khususnya yang berada dikesekertariatan Sekjen dan OTL Banjaranyar, beranggapan bahwa tidak ada satu orang pun anggota SPP yang pantas menggantikan Agustiana. “Agustiana mah kasep, pinter, ulet... punya istri berapa juga dia mah pantes – pantes aja... coba liat... mau Bupati, BPN, DPRD, semua juga nurut ama dia... dan yang paling penting... dia itu peduli sama nasip petani... gak ada ganti nya...” (Oman, Petani Penggarap) “saya juga bingung kalo ditanya siapa gantinya kang agus... gak ada sih kayaknya... susah nyari orang konsisten kayak dia gitu... kalo sekarang, baru dampingin satu desa ajah.. udah mau jadi anggota dewan.” (Hermawan, Pendamping Serikat Petani Pasundan) “gak tau... gak ada yang pantes gantiin kayaknya sih... lagian juga yang laen kan sadar diri... beda derajat gitu...” (Wati, Petani Penggarap)
69
BAB VI KELANGSUNGAN GERAKAN PETANI BANJARANYAR 6.1 Redistribusi Tanah Pada tahun 2000, perjuangan warga atas lahan eks-perkebunan AGRIS NV mulai
membuahkan
hasil.
Lahan
perkebunan
seluas
708,35
hektar
diredistribusikan kepada warga desa sekitar perkebunan, yaitu Desa Kalijaya, Desa Pasawahan, Desa Cigayam, dan Desa Banjaranyar. Di Desa Banjaranyar terdapat 195 orang yang kemudian mendapatkan tanah. Redistribusi tanah yang ada di Desa Banjaranyar didasarkan pada tiga hal, yaitu ramah lingkungan, berkesinambungan, dan berkeadilan Pertama, ramah lingkungan yaitu pada setiap pembagian tanah faktor alam menjadi hal yang harus diperhatikan. Tanah dengan kemiringan 60 derajat atau lebih, tidak boleh ditanami tanaman musiman. Tanaman kayu seperti Albasia (jengjeng/sengon), kayu afrika, dan tanaman buah (nangka, durian, manggis, dll) amat dianjurkan pada tanah tersebut. Setelah ditanami tanaman kayu, barulah di antaranya diperbolehkan ditanami tumbuhan lain, seperti kapol, singkong, dan pisang. Hal ini bertujuan untuk menjaga kestabilan tanah, karena tanah dengan kemiring lebih dari 60 derat amat rentan terjadi longsor. Kedua, berkesinambungan yaitu kemampuan dan kemauan petani dalam menggarap tanah. Pembagian tanah juga melihat dari kapasitas petani penerima tanah dalam menggarap. Kapasitas petani dalam menggarap tidak hanya dilihat dari keahlian seseorang, tetapi juga dari usia petani dan jumlah anggota keluarga petani. Apabila tanah yang telah diberikan tidak digarap selama tiga tahun, maka tanah tersebut akan diambil kembali dan diberikan kepada petani yang mau dan mampu
untuk
menggarap.
Selain
penggarapan
yang
dilakukan
secara
berkesinambungan, keberadaan tanah redistribusi juga diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan petani. Ketiga, berkeadilan yaitu pembagian luasan tanah tidak berat sebelah atau hanya menguntungkan satu atau dua orang semata. Seseorang bisa mendapatkan tanah garapan apabila sudah berusia 21 tahun atau sudah menikah. Luasan tanah yang diterima antar petani pun berbeda - beda. Petani yang mendapatkan tanah di
70
pinggir jalan desa maka akan mendapatkan tanah seluas 140 bata atau 2000 meter persegi. Sedangkan petani yang mendapatkan tanah di tengah atau jauh dari jalan desa, maka akan mendapatkan tanah garapan seluas 33000 meter persegi. Segala tata peraturan redistribusi tanah yang ada di Desa Banjaranyar, merujuk pada peraturan redistribusi tanah yang dikeluarkan oleh Serikat Petani Pasundan (SPP). Peraturan tersebut pada awalnya dimusyawarahkan di dalam pertemuan rutin tiga bulanan para ketua OTL di sekretariat SPP. Setelah disepakati secara bersama, barulah peraturan tersebut diterapkan diseluruh OTL, termasuk OTL Banjaranyar. Pada tingkat pelaksanaan, redistribusi tanah diserahkan kepada pengurus OTL dengan terlebih dahulu bermusyawarah bersama para anggota OTL.
6.2 Sistem Kebun Sartono Kartodirdjo (1991) menyatakan bahwa, sistem perkebunan komersial pada dasarnya merupakan sistem perkebunan Eropa (European plantation). Sistem perkebunan tersebut sama sekali berbeda dengan sistem kebun (garden system) yang telah lama ada di Indonesia. Sistem kebun merupakan usaha pertanian dengan skala kecil, tidak padat modal, penggunaan lahan terbatas, kurang berorientasi pasar dan sumber tenaga kerjanya terpusat pada anggota keluarga. Tanah redistribusi warga pada mulanya merupakan lahan perkebunan kopi. Pada saat Indonesia dikuasai oleh Pemerintahan Kolonial Hindia Belanda, lahan tersebut dikelola oleh perusahaan perkebunan AGRIS NV, dengan karet sebagai komoditas utama. Perubahan kepemimpinan nasional, juga turut merubah kondisi perkebunan. Pasca kemerdekaan, tepatnya pada era Ode Baru, hak pengelolaan lahan diberikan kepada PT. RSI. Pada perjalanannya, terjadi tukar guling hak kelolaan lahan antara PT RSI dengan Perhutani. Hingga tahun 1998, Perhutani melakukan penanaman pohon jati pada lahan tersebut. Pada tahun 2000, tanah seluas 708 hektar dibagikan kepada warga di desa sekitar perkebunan. Di Desa Banjaranyar, para petani menggarap secara mandiri dan dengan sendirinya menghapuskan sistem perkebunan yang semula ada. Tenaga kerja yang dipergunakan untuk menggarap tanah terpusat pada tenaga
71
kerja keluarga. Sehingga besar kecilnya jumlah anggota keluarga amat mempengaruhi cepat lambatnya penggarapan dan jenis tanaman yang akan ditanam. Apabila ada perkerjaan yang tergolong berat, seperti pembuatan kolam ikan, pembersihan dan pembukaan lahan, ataupun pemanenan dalam jumlah yang besar, maka pekerjaan tersebut akan dibantu oleh buruh tani. Tanah yang digarap oleh petani Banjaranyar sebagian besar merupakan kebun campur yang didominasi oleh tanaman sengon (jengjeng), singkong, pisang, dan kelapa. Tanaman pangan seperti singkong dan pisang pada umumnya dikonsumsi sendiri. Sedangkan kelapa dijual kepada pengumpul kelapa yang ada di Kota Banjarsari, Ibu Kota Kecamatan. Setiap butir buah kelapa dihargai tujuh ratus rupiah. Menurut penuturan Jandi, Sekdes (Sekertaris Desa) Banjaranyar, harga kelapa jatuh pasca kepemimpinan SBY. Harga tetinggi ada pada massa kepemimpinan Presiden Habiebie, untuk setiap butir kelapa dihargai lima ribu rupiah. Salah satu hal yang paling menonjol dari tanah garapan petani Banjaranyar ialah keberadaan dari tanaman kayu, khususnya pohon sengon (jengjeng). Seorang petani di Desa Banjaranyar bisa menanam empat puluh hingga seratus pohon sengon di atas tanah garapannya. Menurut penuturan Oman, pemimpin gerakan petani Banjaranyar, pohon sengon merupakan salah satu tanaman yang banyak ditanam karena memberikan penghasilan besar bagi petani. Batang (kayu) pohon sengon sangat mudah untuk dijual dan memiliki harga yang tinggi. Sedangkan daun dan ranting – ranting muda, dapat digunakan sebagai pakan ternak. Terdapat tiga cara yang biasa digunakan petani Banjaranyar untuk menjual kayu sengon (jengjeng), yaitu menjual ke-pengumpul, sistem ijon dan dijual langsung pabrik pengolahan. Pengumpul merupakan sebutan bagi orang yang memborong tanaman kayu rakyat. Apabila petani ingin menjual pohon sengon mereka kepada pengumpul mereka tidak perlu membawa batang pohon sengon ketempat pengumpulan kayu. Mereka cukup menunggu di tanah garapan mereka masing – masing. Karena hampir setiap hari, selalu ada saja pengumpul yang berkeliling desa untuk memborong kayu. Pohon sengon apabila dijual kepada pengumpul,
72
lima puluh tanaman sengon yang berumur lima tahun, akan dibeli dengan harga tiga juta rupiah. Ijon merupakan cara penjualan pohon sengon sebelum masa panen tiba. Setelah waktu panen barulah sengon tersebut diambil oleh penangguk ijon. Memang terdapat kelemahan ketika menjual pohon sengon dengan cara ijon, yaitu petani akan mendapatkan harga jual yang rendah. Sebagai contoh untuk lima puluh batang pohon sengon yang dijual dengan sistem ijon hanya dihargai satu setengah juta rupiah, atau tiga puluh ribu per batang. Hal ini sungguh merugikan petani, karena apabila dijual pada waktu panen, pohon sengon akan berharga tidak kurang dari enam puluh ribu per batang. Penangguk ijon tidak selalu berperan sebagai pengumpul, karena sering kali petani sengon meng-ijon-kan tanaman sengonnya kepada warga desa lain yang dianggap kaya. Ketiga ialah menjual pohon sengon langsung ke pabrik pengolahan kayu. Penjualan
pohon
sengon
langsung
ke
pabrik
pengolahan
kayu
lebih
menguntungkan petani. Karena harga beli per batang kayu sengon bisa mencapai Rp 100.000,00. Hanya saja untuk memasukan kayu ke pabrik petani harus menanggung sendiri biaya penebangan dan pengangkutan kayu. Pabrik tidak menyediakan fasilitas penjemputan dan penebangan di Desa Banjaranyar. Terdapat dua pabrik yang biasa menjadi tempat tujuan penjualan kayu sengon petani Banjaranyar yaitu PT. AP dan PT. BKL. Sistem kebun (garden system) juga dapat dilihat sebagai jalan yang ditempuh petani Banjaranyar untuk mendapatkan kemerdekaan pada sektor ekonomi. Sistem kebun memberikan keleluasaan kepada petani untuk dapat menanam dan memanfaatkan hasil pertanian sesuai dengan keinginan dan kebutuhan mereka. Hal ini dimungkinkan karena pengambilan keputusan yang berkaitan dengan komoditas pertanian dan pemanfaatan hasil berada pada tingkat rumah tangga petani. Sebagai contoh, Beno seorang petani penggarap di Desa Banjaranyar, membutuhkan uang untuk biaya anaknya masuk Sekolah Menengah Pertama (SMP). Ia memiliki dua puluh pohon sengon diatas tanah garapannya. Pada bulan Juni, ia menjual sepuluh pohon sengon, dan menunda penjualan sepuluh pohon sengon sisanya. Ia beranggapan bahwa sepuluh batang pohon sengon sudah cukup
73
untuk memenuhi biaya sekolah anaknya. Sedangkan sepuluh pohon sengon sisanya akan ditebang nanti, ketika anaknya memerlukan biaya untuk masuk ke Sekolah Menengah Atas (SMA). Kemerdekaan semacam inilah yang tidak dapat dimiliki oleh petani pada pengelolaan lahan berbasis sistem perkebunan. Karena pada sistem pengelolaan lahan berbasis perkebunan, pengambilan keputusan berada pada tingkat pengelola lahan perkebunan (manajer perkebunan atau administrature) bukan pada rumah tangga petani.
6.3 Organisasi Wanita Tahun 2005, setelah dilaksanakannya redistribusi lahan ditahun 2000, terjadi penurunan semangat para anggota OTL Banjaranyar. Hal ini ditandai dengan semakin sedikitnya partisipasi anggota dalam berbagai kegiatan OTL, seperti pertemuan rutin, iuran aksi demontrasi, relawan untuk menjadi massa aksi, dan partisipasi dalam berbagai kegiatan di sekretariat SPP. Ibu Wati, yang pada tahun 2005 sudah menjadi Ketua OTL Banjaranyar, memberikan usulan agar setiap OTL memiliki organisasi wanita. Usulan ini disampaikannya pada rapat tiga bulanan ketua – ketua OTL di sekretariat SPP. Ia berpendapat bahwa, wanita terutama ibu – ibu bisa lebih militan dibanding bapak – bapak. Sehingga, ketika semangat para bapak – bapak sedang menurun, tugas sang wanitalah untuk menumbuhkan semangat itu kembali.
“kalo ibu – ibu mah gak hese... dimintain iuran juga cepet... kan kalo ditagih gitu ibu – ibu pada malu... jadi bayarnya cepet... lagian ibu – ibu juga lebih kompak... coba liat pengajian bapak – bapak, mana ada yang awet... kalo pengajian ibu – ibu sampe sekarang juga masih...” (Wati, Ketua OTL Banjaranyar) Tahun 2005 dibentuklah organisasi wanita OTL Banjaranyar yang secara struktural berada di bawah Organisasi Tani Lokal (OTL) Banjaranyar. Organisasi ini berisikan para wanita yang telah dewasa, terutama para istri dan anak dari anggota OTL yang sebagian besar laki – laki. Keberadaan dari Organisasi Kewanitaan didukung penuh oleh Serikat Petani Pasundan (SPP) selaku organisasi induk. Hal tersebut terlihat dalam
pelatihan – pelatihan yang
difasilitasi SPP, seperti pelatihan kepemimpinan, pelatihan organisasi, pelatihan 74
penangan konflik, dan pelatihan pertanian. Pelatihan kepemimpinan dan penanganan konflik, sesungguhnya berangkat dari kenyataan bahwa para ibu inilah yang memiliki intensitas yang lebih tinggi dengan tanah garapan dan rumah tangga daripada para lelaki. Di Desa Banjaranyar, para wanita yang tergabung di organisasi wanita OTL berperan besar dalam persiapan aksi demonstrasi. Ibu – ibu inilah yang kemudian berkeliling desa guna mengumpulkan uang iuran aksi dan melakukan pendataan bagi anggota yang akan ikut aksi demonstrasi. Penarikan uang iuran antar sesama ibu – ibu mempermudah pengumpulan uang. Bahkan, tidak jarang penarikan uang iuran aksi juga dibantu oleh anak – anak gadis yang berumur belasan tahun. Keberadaan organisasi ini telah berhasil menumbuhkan kembali semangat perjuangan petani Banjaranyar. Penguatan organisasi gerakan tidak lagi hanya dilakukan pada tingkatan kelompok ataupun desa. Tetapi, penguatan organisasi dilakukan pada tingkat rumah tangga. Intensitas yang tinggi antara seorang ibu dan anggota anggota keluarga yang lain dalam satu rumah tangga petani, membuat penyebaran ide gerakan berjalan secara efektif dan efisien. Bahkan, melalui tangan para ibu, penyebaran ide gerakan bisa dilakukan setiap hari di dalam rumah setiap anggota OTL.
6.4 Koperasi “tujuan dari adanya SPP itu bukan cuma supaya petani dapet tanah. Tapi supaya petani hidup dengan layak.. naik ekonomi nya... kami adakan pelatihan tata cara bertani, bukan buat menggurui tapi supaya tani nya mereka tidak hanya sebatas buat makan... tapi bisa buat lain – lain juga... nah.. salah satu jalannya kita diriin koperasi ini” (Erna, Pendamping Serikat Petani Pasundan) Koperasi OTL Banjaranyar berdiri pada tahun Juni 2009. Hingga saat penelitian ini berlansung, terdapat empat puluh delapan orang yang terdaftar sebagai
anggota koperasi. Tiap – tiap anggota diwajibkan membayar iuran
sebesar lima belas ribu rupiah perbulan. Iuran inilah yang kemudian dijadikan modal untuk melaksanakan kegiatan koperasi.
75
Koperasi yang diberinama Koperasi Kredit ini, mengkhususkan diri pada usaha keuangan simpan pinjam. Setiap anggota berhak menyimpan dan meminjam sejumlah uang jika telah memenuhi sejumlah persyaratan. Apabila ada seseorang yang ingin menyimpan uang di koperasi kredit,
ia harus menjadi
anggota koperasi terlebih dahulu. Setiap orang yang berkeinginan untuk bergabung diwajibkan untuk membayar iuran pokok sebesar dua puluh lima ribu rupiah dan iuran bulanan sebesar lima belas ribu rupiah. Anggota koperasi yang berhak melakukan pinjaman ialah mereka yang telah menjadi anggota selama setahun dan membayar iuran bulanan. Koperasi ini dipimpin oleh seorang ketua yang dibantu oleh seorang sekertaris dan bendahara. Seluruh kegiatan koperasi dilakukan oleh pengurus dan diawasi oleh Dewan Pengawas Koperasi. Kegiatan koperasi meliputi pendataan anggota, pendaftaran anggota, pengumpulan uang iuran bulanan, pengurusan uang kas, dan pencatatan kredit. Khusus untuk pemberian izin pengeluaran kredit dan besaran kredit yang akan diberikan, diolah dan dikeluarkan oleh Dewan Kredit, sedangkan pengurus koperasi hanya bertugas untuk mencatat datanya. Dewan Pengawas
Pengurus Koperasi :
Dewan Kredit
Ketua, sekertaris, bendahara
Anggota
Keterangan :
: Pengawasan : Koordinasi : Kepengurusan
Gambar 5 .Struktur Organisasi Koperasi Kredit
76
Seluruh kegiatan koperasi akan dievaluasi satu kali pada setiap bulannya. Evaluai tersebut dilakukan oleh petugas dari Dinas Koperasi Propinsi Jawa Barat (Dinkop Jabar). Selain mengevaluasi, Dinkop Jabar juga memtugas membimbing pengurus koperasi kredit, baik itu berupa pengiriman anggota pada berbagai pelatihan terkait ataupun turorial secara langsung. Berdirinya koperasi ini juga membawa harapan besar terhadap peningkatan kemampun para anggota koperasi, khususnya dalam bidang pengelolaan keuangan. Para anggota koperasi, tidak hanya mendapatkan kesempatan untuk meminjam dan menabung sejumlah uang, tetapi juga diberikan kesempatan untuk mendapatkan pendidikan melalui berbagai pelatihan. Pentingnya pendidikan sebagai dasar berjalannya kegiatan koperasi, terlihat jelas dalam slogan yang tertulis di setiap buku tabungan anggota.
“Koperasi kredit mencapai hasil gilang gemilang.... Koperasi kredi dimulai dengan pendidikan... Koperasi kredit berkembang melalui pendidikan... Kopreasi kredit dikontrol melalui pendidikan... Dan bergantung pada pendidikan...”
6.5 Lumbung (leyit) Lumbung merupakan istilah yang diberikan oleh masyarakat di Kampung Bulaksitu, Desa Banjaranyar kesebuah tempat penyimpanan gabah yang berada di belakang rumah Ibu Wati. Menurut penuturan Hermawan, salah seorang pendamping SPP, pada masyarakat Sunda terdapat istilah sendiri untuk menyebut lumbung yaitu dengan istilah “leyit”. Sehingga masyarakat lebih nyaman menyebut bangunan tersebut dengan sebutan lumbung daripada leyit. Apabila kita telisik lebih dalam, lumbung yang ada di Desa Banjaranyar bukanlah semata – mata nama dari sebuah tempat penyimpanan gabah milik petani. Lumbung merupakan kelembagaan rakyat yang dibangun atas inisiasi bersama antara petani Banjaranyar dengan lembaga dari luar desa yaitu KRKP (Koalisi Rakyat Untuk Kedaulatan Pangan). Jaringan yang dibangun oleh SPP (Kesekertariatan Sekjen) dengan berbagai Organisasi Non – Pemerintah (ORNOP), gerakan mahasiswa, dan
77
kelompok – kelompok masyarakat, membuat hubungan antara petani dengan kekuatan sosial diluar desa menjadi lebih sering terjadi. Penelitian – penelitian yang dilakukan oleh peneliti dari dalam dan luar negeri, program – program bantuan, dan pengenalan teknologi baru acap kali ada di Desa Banjaranyar. Salah satu program yang masih berjalan pada saat penelitian ini dilakukan ialah program leyit atau lumbung masyarakat. Pembangunan lumbung atau leyit dilatarbelakangi oleh adanya bencana gempa Tasik yang terjadi pada tahun 2009. Gempa Bumi sebesar 7,3 SR berhasil merusak beberapa bangunan dan rumah warga. Di Desa Banjaranyar sebanyak delapan rumah warga tercatat rusak berat dan dua puluh tujuh rumah rusak ringan. Bencana yang dialami warga Banjaranyar sesungguhnya tidak hanya gempa bumi, tetapi kelangkaan pangan yang terjadi setelah gempa tersebut. Jauhnya jarak antara Desa Banjaranyar dengan pasar yang berada di Kota Banjarsari, Ibukota Kecamatan, membuat warga kesulitan dalam memperoleh bahan pangan. Sedangkan di tingkat desa, warga tidak bisa mengharapkan bahan pangan dari hasil pertanian karena sawah mereka belum memasuki masa panen. Hal ini juga diperparah dengan ketiadaannya cadangan pangan yang dimiliki oleh warga. Sehingga, warga hanya bergantung pada bantuan yang datang dari luar desa. Menurut penuturan Ibu Wati, bantuan dari pemerintah pun tidak terlalu bisa diharapkan karena lambatnya pengiriman bantuan. Bantuan yang pertama kali masuk ke wilayah desa bukanlah bantuan yang berasal dari pemerintah tetapi bantuan dari Serikat Petani Pasundan (SPP). Keberadaan Lumbung sebagai tempat penyimpanan gabah yang dimiliki secara kolektif oleh masyarakat, diharapkan dapat mencegah terjadinya kelangkaan pangan dikemudian hari. Baik itu yang disebabkan karena bencana alam ataupun karena kegagalan panen. Lumbung memiliki anggota yang dilihat berdasarkan kepala keluarga. Satu kepala keluarga akan memiliki satu keanggotaan dilumbung. Menurut Ibu Wati apabila sebuah keluarga memiliki anak yang sudah menikah, maka anak tersebut diperbolehkan untuk memilki keanggotaan terpisah dengan keluarga lamanya. Keanggotaan disini berarti anggota diperbolehkan untuk menyimpan atupun meminjam gabah dilumbung tersebut. Keanggotaan lumbung pun tidak
78
tertutup hanya pada masyarakat yang memiliki lahan saja. Bagi warga yang tidak mempunyai lahan, tetapi ingin menyimpan gabah dilumbung hal itu dapat dilakukan. Keanggotaan lumbung bersifat sukarela, seorang warga diberikan kebebasan untuk menjadi anggota lumbung dan ketika ia merasa tidak nyaman, ia pun diberikan kebebasan untuk keluar dari keanggotaan lumbung. Terdapat beberapa peraturan yang diterapkan dalam proses simpan pinjam di lumbung ini. Setiap anggota diperbolehkan meminjam gabah yang ada dilumbung dan diwajibkan mengembalikan pinjaman tersebut dengan melebihkan lima kilogram dari total pinjaman. Hal ini dimaksudkan agar cadangan gabah yang ada didalam lumbung dapat terus bertambah. Sehingga apabila sewaktu – waktu dibutuhkan gabah masih tersedia didalam lumbung. Pengembalian pinjaman tidak dapat digantikan dengan uang, gabah yang dipinjam oleh anggota haruslah dikembalikan dalam bentuk gabah. Pengembalian pinjaman anggota banyak dilakukan sewaktu musim panen tiba. Proses penyimpananpun biasanya dilakukan anggota sewaktu musim panen tiba. Sebagai contoh, apabila diibaratkan dalam satu kali panen seorang anggota mendapatkan tujuh pocong padi, maka ia harus menyisihkan dua pocong untuk disimpan ke dalam lumbung. Pada umumnya, peminjaman gabah banyak dilakukan pada periode musim panen menuju musim tanam. Menurut Bapak Oman, peminjaman gabah tidak hanya disebabkan karena bencana alam atau terjadinya kegagalan panen pada sawah anggota. Apabila anggota mengadakan hajatan seperti pernikahan atau sunatan, sehingga ia membutuhkan gabah, itupun diperbolehkan untuk meminjam. Dari keberadaan lumbung ini sedikit banyak dapat terlihat seperti apa sesungguhnya pola hubungan yang dibangun antara gerakan petani Banjaranyar dengan kekuatan sosial lain yang berada di luar desa. Keterbukaan yang ada di dalam gerakan petani Banjaranyar, serta jejaring yang dibangun melalui Serikat Petani Pasundan (SPP) sebagai organisasi induk menjadikan gerakan petani Banjaranyar menjadi gerakan petani yang inklusive. Keterbukaan semacam ini pula yang kemudian membuat OTL Banjaranyar menjadi sebuah organisasi gerakan yang begitu dinamis dalam menanggapi perubahan dari luar organisasi.
79
6.6 “Aku” Anggota SPP Kelangsungan dari gerakan petani di Desa Banjaranyar salah satunya juga ditopang oleh nama besar dari Serikat Petani Pasundan (SPP). Pasca 10 tahun keberadaan SPP di wilayah Priyangan Timur, SPP sudah dikenal luas oleh masyarakat, khususnya aparat dan pejabat Pemerintah Daerah. Kisah – kisah keberhasilan SPP dalam merebut tanah dibanyak wilayah Priyangan Timur, menciptakan kesan bahwa SPP merupakan sebuah organisasi yang kuat dan memiliki massa yang begitu banyak. Hal tersebut kemudian diperkuat dengan aksi – aksi demontrasi yang diadakan SPP dengan melibatkan ribuan massa. Strategi intervensi yang dilakukan SPP pada ranah politik praktis juga menjadikan jaringan SPP semakin meluas. Apabila pada tahun – tahun awal perjuangan, jaringan hanya sebatas pada Organisasi Non- Pemerintah (ORNOP), organisasi – organisai gerakan mahasiswa, dan kelompok – kelompok masyarakat. Maka, pada tahun 2004 setelah diberlakukannya sistem Pemilihan Umum (Pemilu) secara langsung, jaringan SPP meluas hingga ke lembaga – lembaga pemerintahan, seperti DPRD dan Pemerintah
Kabupaten. Hal inilah yang
kemudian menciptakan kengganan bagi aparat Perintah (Kepolisian, TNI, dan Pegawai Dinas Kabupaten) untuk “bermain – main” dengan anggota SPP. Nama besar SPP sebagai organisasi tani terbesar di Priyangan Timur, secara tidak langsung membuat anggotanya mendapatkan keistimewaan, baik di dalam ataupun di luar desa. Di dalam Desa Banjaranyar, para anggota OTL mendapatkan pengakuan dari warga desa lain sebagai seorang pejuang dan pembela hak - hak petani. Selain itu, para pemimpin OTL juga diberikan ruang khusus di Desa dalam berbagai kesempatan. Sebgai Contoh, Ibu Wati, ketua OTL Banjaranyar, ditunjuk sebagai ketua pelaksana program desa dasawisma di Desa Banjaranyar. Beno, sekertaris OTL Banjaranyar, ditunjuk sebagai ketua pemuda Desa Banjaranyar. Otang, anggota OTL Banjaranyar, terpilih sebagai Kepala Desa (Kades) Desa Banjaranyar. “orang spp kan yang dulu perjuangin tanah... susah juga itu... kalo gak ada ya... mungkin dikit orang sini yang punya tanah garapan kali ya... lagian dulu, anak muda itu susah cari kerja disini... mau kerja mesti kekota dulu... sekarang mau tani tanah udah ada.. kalo gak punya tanah juga bisa ngeburuh
80
kan...” (Jandi, Sekertaris Desa Banjaranyar, bukan anggota SPP) “iya lah.. kan orang SPP dapet pelatihan mulu.. gratis juga lagi... ya pantes atuh jadi pada pinter gitu... lagian juga dia kan pada dapet pelatihan bukan buat sendiri, ngajarin ke yang laen juga....” (Adminah, penjaga warung, Bukan anggota SPP) Keistimewaan juga dirasakan anggota OTL ketika berurusan dengan aparat Pemerintah. Salah satu kasus yang terjadi pada bulan Juni 2010. Seorang anggota OTL Banjaranyar pergi ke kota Ciamis dengan mengendarai sepeda motor. Setelah memasuki Kota Ciamis, orang tersebut ditangkap oleh petugas Kepolisian karena tidak mengenakan helm (pelindung kepala) ketika berkendara. Ketika ditangkap, ia mengeluarkan Kartu Tanda Anggota SPP, dan pada saat itu juga ia dilepaskan tanpa alasan yang jelas. Kejadian - kejadian sejenis juga dapat dengan mudah ditemui pada pengalaman anggota OTL Banjaranyar diberbagai kesempatan. Hal inilah yang kemudian menciptakan rasa bangga para diri anggota karena merasa mendapat perlakuan khusus dari aparat pemerintah.
81
BAB VII PENUTUP
7.1 Implikasi Teoritis Pembahasan prihal gerakan petani sesungguhnya dapat dilihat melalui perpektif moral ekonomi petani, yang dipelopori oleh Scott (1976). Ia menyatakan bahwa kehidupan petani ditandai oleh hubungan moral sehingga melahirkan moral ekonomi. Ketika pertumbuhan negara hanya berupa perlindungan dan pertumbuhan fisik semata, sehingga pemenuhan atas kebutuhan dasar petani tidak lagi menjadi hal yang mendesak, maka yang tertinggal hanyalah kewajiban – kewajiban ekonomis kaum elite. Di mata petani miskin, kewajiban – kewajiban ekonomis kaum elite adalah memerhatikan kebutuhan petani, menyesuaikan tuntutan mereka akan tenaga kerja dan padi, serta menyediakan pangan di musim paceklik. Kekuatan moral dan harapan – harapan ini sudah cukup untuk menjadi bara api, yang dikemudian hari dapat berubah menjadi aksi kemarahan dan tindakan kekerasan, apabila terjadi pelanggaran terhadap kewajiban itu. Scott (1976) tidak pernah menggambarkan petani sebagai sebuah kelompok masyarakat yang begitu reaktif, dalam artian begitu mudah melakukan pemberontakan. Ia menggambarkan petani sebagai sekelompok manusia yang yang lebih mengutamakan “dahulukan keselamatan” dan menjauhkan diri dari bahaya. Namun, apabila tekanan struktural dan kultural hingga kondisi subsistensi petani yang sudah melampauai batas toleransi, dimana tekanan tersebut berdampak sedemikian parah dan terjadi dalam tempo yang relatif singkat, maka tidak ada lagi pilihan bagi petani selain melakukan pemberontakan. Scott (1994) menganalogikan petani pada kondisi tersebut ibarat orang yang terandam didalam air hingga sebatas hidung, sehingga riak yang begitu kecil saja sudah dapat menenggelamkannya. Begitupun dengan gerakan petani Banjaranyar, masuknya PT RSI (1983 – 1996) dan Perhutani (1996 – 1998) membuat petani Banjaranyar tidak dapat lagi melakukan penggarapan di atas tanah perkebunan. Bahkan mereka menyatakan bahwa kehadiran PT RSI tidak memberikan manfaat apa – apa bagi warga dan hanya menguntungkan para pemilik perusahaan dan pemerintah.
82
Konsep lain yang digunakan Scott (1976) dalam menjelaskan gerakan petani ialah konsep kepemimpinan dan struktur sosial. Struktur sosial yang ada dimasyarakat pedesaan, secara hirizontal ditandai dengan homogenitas yang tinggi dan secara vertikal ditandai dengan struktur yang berbentuk kerucut. Struktur kerucut seperti ini, posisi puncak statifikasi sosial dihuni oleh oleh kaum elite yang berjumlah sedikit, sedangkan pada lapisan bawah dihuni oleh para petani penggarap dan buruh tani dalam jumlah yang banyak. Struktur masyarakat yang seperti ini membuat faktor kepemimpinan menjadi faktor penting didalam gerakan perlawanan petani. Struktur krucut seperti yang dikatakan Scott (1976), dapat ditemui di Desa Banjaranyar. Peran Bapak Oman dalam gerakan petani Banjaranyar, terasa begitu dominan. Bapak Oman tidak hanya bertindak sebagai pemimpin gerakan, tetapi juga sebagai motor sekaligus pemersatu dari gerakan petani Banjaranyar. Bahkan, gerakan petani Banjaranyar terkesan bergantung pada sosok Bapak Oman. Gerakan petani Banjaranyar boleh jadi tidak pas apabila disandingkan dengan teori ekonomi politik sebagaimana disampaikan Popkin (1979) dalam The Rational Peasant : The Politic Economy of Rural Society in Vietnam. Tetapi, pernyataan Popkin (1979) bahwa gerakan perlawanan petani terjadi ketika sebagian besar individu merasa dirugikan setelah melakukan tawar menawar dengan negara, merupakan sebuah kenyataan di Desa Banjaranyar. Gerakan petani tidak melawan kapitalisme, tetapi melawan perampasan tanah oleh para kapitalis perkebunan yang menyebabkan petani kehilangan eksistensi diri dan sumber penghidupannya. Popkin (1979) menolak pendekatan moral ekonomi Scott (1976) yang beranggapan bahwa gerakan petani sebagai reakasi difensif untuk mempertahankan institusi dan norma – norma tradisional dari ancaman kapitalisme dan kolonialisme. Bahkan, pasca dilakukannya redistribusi tanah, petani Banjaranyar justru berusaha untuk menjalin hubungan dengan pasar dengan memanfaatkan berbagai jaringan didalam ataupun diluar desa. Salah satu contohnya pada proses tata niaga kayu sengon di Desa Banjaranyar. Di dalam tulisannya, Popkin (1979) lebih fokus pada tindakan - tindakan rasional
petani.
Petani
merupakan
individu
–
individu
yang
bebas
83
mengembangkan kreativitasnya secara rasional. Petani juga manusia yang ingin kaya, seperti kebanyakan orang lainnya. Pilihan strategi gerakan petani Banjaranyar dengan melakukan pendudukan lahan pada dasarnya bisa disebut sebagai sebuah pilihan yang rasional. Karena, meskipun dalam pelaksanaannya terlihat sisi – sisi komunalitas dan emosionalitas, tetapi tindakan masing – masing individu petani Banjaranyar (untuk ikut atau tidak ikut melakukan pendudukan lahan) sudah tentu melalui pemikiran dan pertimbangan individu secara rasional. Kemunculan gerakan petani pada tahun 1998, memang melahirkan pertanyaan besar prihal situasi dan kondisi yang terjadi pada saat tersebut. Wolf (1966), menyatakan bahwa sebuah pemberontakan tidak akan mungkin terjadi pada situasi yang tidak mendukung. Pada awal tahun 1998 hanya segelintir manusia, baik itu yang berasal dari Negara barat ataupun timur, yang memperkirakan bahwa pada pertengahan tahun 1998 akan terjadi kejatuhan rezim Soeharto. Hal ini diperkuat oleh Geoff Forrester seperti dikutip oleh oleh Simon Philpott (2003) menyatakan bahwa Presiden Soeharto baru saja dipilih sebagai Presiden secara bulat oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dua bulan sebelumnya, kendati para elit pendukung dan demonstrasi jalanan banyak menyuarakan ketidaksetujuan. Namun, hanya sedikit pengamat Indonesia yang meramalkan akhir kekuasaan Soeharto akan datang begitu cepat. Kejatuhan pemerintahan Presiden Soeharto pada tahun 1998 menciptakan ketidakstabilan dibidang politik dan ekonomi, baik itu pada tingkat pusat atupun daerah. Sudah menjadi ciri rezim otoriter modern bahwa ketika pusat tidak dapat bertahan, maka segalanya akan berantakan dengan begitu cepat. (Simon Philpott, 2003). Krisis ekonomi yang terjadi pada pertengahan tahun 1997 mendesak lahirnya gagasan reformasi. Reformasi membuka ruang yang lebih besar bagi rakyat dalam menyuarakan aspirasinya, terutama dengan dukungan dari banyaknya organisasi non pemerintah yang memang pesat juga perkembangannya diseluruh dunia pada awal tahun 1990-an (Hulme dan Edward, dalam Pinky, 2007). Reformasi sendiri dimaknai sebagai sebagi suatu gerakan pembaharu yang bertujuan untuk mengoreksi bekerjanya berbagai instansi dan berusaha menghilangkan berbagai kebobrokan yang dianggap sebagai sumber malfunction
84
nya institusi – institusi, dalam suatu tata sosial. Reformasi juga berusaha membongkar nilai – nilai tetapi tidak seluruhnya, melainkan hanya selected aspects dari tata sosial yang ada. (Wiradi, 2009). Semangat reformasi 1998 tidak hanya dirasakan oleh mahasiwa dan berbagai elemen masyarakat yang melakukan aksi turun ke jalan di kota – kota besar, tetapi juga dirasakan pada masyarakat di tingkatan akar rumput. Salah satu bentuknya, mengejawantah dalam aksi – aksi okupasi tanah yang dilakukan oleh masyarakat atas tanah – tanah yang pernah menjadi tanah garapan rakyat. Berdasarkan data Dirjen Perkebunan, Departemen Kehutanan dan Perkebunan, hingga September 2000, jumlah luas tanah yang di reclaim mencapai 118.830 ha pada perkebunan Negara, dan 48.051 ha pada perkebunan swasta, termasuk lahan perkebunan PT. RSI yang kemudian digarap oleh petani Banjaranyar. Tanah – tanah perkebunan yang kemudian digarap oleh warga memang tidak hanya bertindak sebagai simbol perjuangan. Namun, juga bertindak sebagai alat produksi yang kemudian diharapkan dapat memenuhi kebutuhan hidup petani itu sendiri. Shanin (1966) berpendapat bahwa, apabila komoditas atau
hasil
produksi pertanian bila dapat dipertemukan dengan pemenuhan kebutuhan dasar dari rumah tangga petani, maka akan mencipkan kemerdekaan relatif pada diri petani terhadap produsen pertanian lain dan pasar. Hal tersebut akan berujung pada terciptanya stabilitas relatif dalam rumah tangga petani, yang apabila terjadi krisis, mereka dapat mempertahankan keberadaannya dengan cara meningkatakan usaha kerja, menekan konsumsi mereka sendiri, ataupun mengatur kembali hubungan mereka dengan pasar. Boleh jadi apa yang dikatakan Shanin (1966), merupakan suatu penjelasan dari apa yang terjadi pada petani Banjaranyar pasca redistribusi tanah. Pola pertanian kebun yang dilakukan oleh petani Banjaranyar memberikan keleluasaan dan kemerdekaan relatif pada rumah tangga petani terhadap produsen petani lain dan pasar. Hasil dari luasan tanah garapan yang rata – rata dua hingga tiga kavling per-keluarga petani, sudah dapat dipertemukan dengan pemenuhan kebutuhan rumah tangga petani. Dalam konteks yang lebih makro, Saturnino M. Boras Jr (2010) menyatakan bahwa, neoliberalisme secara signifikan telah mengubah dinamika
85
hubungan pertukaran di dalam dan di antara negara – negara yang berada di utaraselatan. Proses serempak yang terjadi oleh globalisasi “dari atas”, desentralisasi sepihak “dari bawah”, dan privatisasi “dari samping” melalui negara sebagai pusatnya, memainkan kunci utama dalam pertumbuhan dan perkembangan sistem agraria, dan proses ini telah menggoncang masyarakat pedesaan hingga keakar – akarnya. Proses yang secara luas terjadi pada masyarakat pedesaan itu, celakanya terjadi secara bersamaan dengan gelombang restrukturisasi agraria, yang memberikan kekuasaan penuh pada kapital domestik dan korporasi untuk mendikte syarat – syarat pertukaran dan produksi pertanian. Boras (2010) kemudian menekankan pada dampak, yang ia sebut sebagai ”pemenang dan pecudang” dalam proses restrukturisasi global-lokal saat ini. Orang – orang yang semula bermata pencaharian disektor pertanian, kemudian dengan cepat menghadapi kondisi yang teramat buruk. Buruknya kondisi masyarakat pertanian di pedesaan, berujung pada diversifikasi mata pencaharian (desa dan desa-kota, on-farm, off-farm, non-farm) yang dijalankan dengan terpaksa atau sebaliknya menjadi semakin tersebar luas. Akses dan kontrol terhadap tanah, pada gilirannya didefinisikan ulang dan hak kepemilikan atas tanah telah direstrukturisasi guna menopang kapital swasta. Proses global – lokal inilah yang kemudian mempengaruhi gerakan agraria dalam berbagai bentuk. Fenomena muncul dan berkembangnya gerakan petani Banjaranyar yang kemudian tergabung dalam Serikat Petani Pasundan (SPP), juga dapat dilihat sebagai salah satu dampak dari proses restrukturisasi global-lokal, seperti yang disampaikan Boras (2010). Kehadiran SPP tidak semata – mata menjadi gerakan yang “melokalisasi” perlawanan – perlawanan mereka sebagai respons terhadap desentralisasi yang parsial, ataupun berfokus pada segala macam aktivitas yang bertujuan untuk menggantikan fungsi negara dalam hal isu – isu pembangunan seperti memberikan pelayanan sosial pada masyarakat. Tetapi, SPP merupakan sebuah gerakan yang menyatukan berbagai macam permasalahan pada tingkatan yang benar – benar lokal, menjadi sebuah gerakan pada tingkatan regional, yang di dalam strategi gerakannya juga memanfaatkan segala macam sumberdaya dari berbagai level (lokal, regional, nasional, ataupun internasional). Kehadiran SPP bukan dalam rangka menggantikan peran dan fungsi negara, tetapi untuk
86
memaksa negara dan kekuatan ekonomi-politik (kapital swasta dan BUMN) lainya untuk dapat menjalankan kewajiban mereka untuk memenuhi kebutuhan petani.
7.2 Kesimpulan Gerakan petani Banjaranyar dapat dilihat sebagai aksi perlawanan petani terhadap perampasan tanah oleh kapital swasta yang didukung negara melalui pemberian hak kelola tanah (HGU). Masuknya kapital swasta ke dalam komunitas petani Banjaranyar, dalam bentuk perampasan tanah, menyebabkan kehidupan petani semakin terpuruk dan menghadapi krisis subsistensi hingga kebatas toleransi. Kondisi ini berakibat pada : i) terjadinya degradasi sosial dan hilangnya eksistensi diri petani, khususnya permasalahan yang berkaitan dengan akses dan kontrol petani terhadap tanah. ii) petani mengalami diversifikasi mata pencaharian atau mobilitas profesi, secara horizontal : dari petani menjadi buruh industri atau pekerja di sektor informal dan secara vertikal : dari petani dengan lahan terbatas menjadi petani yang tidak memiliki lahan atau buruh tani.
Hal inilah yang
kemudian melahirkan anggapan bahwa kehadiran kapital swasta tidak membawa manfaat bagi masyarakat Banjaranyar. Kondisi kehidupan petani yang sudah sedemikian terpuruk tetap saja tidak membuat petani Banjaranyar memiliki kemampuan dan keberanian untuk melakukan pemberontakan. Faktor kekuatan dan kekuasaan negara tetap menjadi persoalan untuk lahirnya sebuah pemberontakan petani. Oleh karena itu, lahirnya gerakan petani Banjaranyar tidak hanya didasarkan pada adanya faktor krisis subsitensi di tingkat petani, termasuk rasionalitas petani, tetapi juga karena terbukanya kesempatan akibat reformasi 1998, yang memungkinkan tokoh gerakan seperti Pak Oman untuk dapat mengorganisir petani Banjaranyar. Pasca redistribusi tanah yang dilakukan pada tahun 2000, secara de facto tanah eks-perkebunan sudah dikuasai oleh petani. Secara ekonomi kehidupan petani Banjaranyar yang mendapatkan tanah juga menjadi lebih baik, dalam artian terjadinya peningkatan penghasilan petani. Tanah – tanah garapan hasil redistribusi telah berhasil memberikan keleluasaan dan kemerdekaan relatif kepada petani terhadap petani lain dan pasar. Hasil pertanian dari tanah
87
redistribusi, setidaknya cukup untuk memenuhi kebutuhan subsisten petani. Kiching (1982), menyebut fenomena ini sebagai labor – consumer balance yaitu petani bertindak sebagai produsen sekaligus sebagai konsumen, memperhitungkan efisiensi pemilikan atau penguasaan tanah sesuai dengan kebutuhan hidup minimum berdasarkan jumlah anggota keluarganya. Keberhasilan menguasai kembali tanah dan adanya peningkatan ekonomi sebenarnya tidak serta merta membuat seluruh persoalan yang ada menjadi selesai. Perbaikan ekonomi bagi para pemegang tanah garapan juga melahirkan permasalahan baru seperti munculnya kesenjangan sosial antara peserta reclaiming dan bukan peserta reclaiming. Kenyataan bahwa gerakan petani Banjaranyar dapat bertahan hingga 12 tahun, pada beberapa kasus justru memperkuat posisi elite desa dan tidak signifikan membantu petani kecil sebagai pihak yang termarginalkan. Gerakan petani Banjaranyar yang kemudian tergabung dalam Serikat Petani Pasundan (SPP) memang berhasil meningkatkan posisi tawar petani dihadapan para pemangku kepentingan (pemerintah pusat, pemerintah daerah, perusahaan swasta, BUMN, LSM) lainnya. Tetapi, petani yang meningkat posisi tawarnya adalah petani yang memiliki KTA SPP (Kartu Tanda Anggota SPP) dan tidak semua petani di Desa Banjaranyar merupakan anggota SPP. Pada tahun 2010 ketika penelitian ini dilakukan, para petani tidak bertanah atau buruh tani justru banyak didominasi oleh petani yang bukan anggota SPP. Pada kenyataannya kehadiran gerakan petani, justru melahirkan golongan elite baru di Desa Banjaranyar. Para elite baru ini yang kemudian disokong dengan kisah heroik tetang aksi perebutan tanah dan kepemilikan de facto atas tanah redistribusi eks-perkebunan. Fenomena ini justru memperlihatkan bahwa petani miskin memiliki kecederungan yang begitu kuat untuk selalu berada dalam ”situasi kemiskinan” dimana petani miskin akan tetap menjadi pihak yang lemah dan termarjinalkan. Keberadaan gerakan petani di Desa Banjaranyar hingga saat ini (1998 – 2010), boleh jadi dapat dipandang sebagai sebuah prestasi dalam konteks keberlanjutan sebuah gerakan petani. Tetapi, keberadaannya yang mengejawantah dalam bentuk organisasi gerakan (OTL Banjaranyar) secara terus menerus dalam
88
kurun waktu 12 tahun justru melahirkan masalah baru. Organisasi gerakan (OTL Banjaranyar) belum mampu bertranformasi menjadi institusi ekonomi yang dapat menyokong dan mepermudah kehidupan petani Banjaranyar. OTL Banjaranyar saat ini, sangat maksimal apabila menjadi pusat informasi “aksi reclaiming tanah Desa Banjaranyar”, tetapi kurang maksimal dalam hal membantu petani memenuhi kebutuhan seperti pupuk, modal tanam, akses pasar, bibit, dll. Terlepas dari berbagai permasalahan itu semua, sesungguhnya gerakan petani Banjaranyar dapat dilihat sebagai sebuah gerakan kemanusiaan. Karena tanah menjadi sumber sekaligus taruhan hidup bagi petani. Terlebih lagi, tanah tidak hanya sebagai simbol eksistensi diri sebagai petani, melainkan juga simbol harga diri sebagai manusia pedesaan yang hidupnya bersumber dari sektor pertanian. Sehingga perampasan tanah bagi petani juga dapat dilihat sebagai perampasan hak hidup dari petani itu sendiri. Seperti halnya pameo yang ada di daerah Priangan Timur yang menyatakan bahwa, “tiadalah mungkin ada petani kalau tidak ada tanah yang bisa digarap”.
89
DAFTAR PUSTAKA
Aji, Gutomo Bayu. 2005. Tanah Untuk Penggarap, Pengalaman Serikat Petani Pasundan Menggarap Lahan – Lahan Perkebunan dan Kehutanan, Bogor : Pustaka Latin Bachriadi, Dianto dan Anton Lucas. 2001. Merampas Tanah Rakyat : Kasus Tapos dan Cimacan, Jakarta : KPG (Kepustakaan Populer Gramedia) Bahri, Syaiful dkk. 1999. Gerakan dan Pertumbuhan Organisasi Petani di Indonesia : Studi Kasus Gerakan Petani Era 1980-an, Jakarta : Sekertariat Bina Desa Boras Jr, S., Edelman, M., Kay, C. 2010. Gerakan – Gerakan Agraria Transnasional, Yogyakarta : STPN Press dan Sajogyo Institute Chrysantini, Pinky. 2007. Berawal Dari Tanah : Melihat ke Dalam Aksi Pendudukan Tanah, Bandung : Yayasan AKATIGA Denzin, Noman K dan Yvonna S. Lincoln. 2009. Handbook of Qualitattive Research, Yogyakarta : Pustakapelajar Eckstein, Susan. 1989. Power and Popular Protest, Latin American Social Movement. Berkeley : University of California Press Fauzi, Noer. 2008. Dua Abad Penguasaan Tanah : Pola Penguasaan Tanah Pertanian di Jawa Dari Masa ke Masa, Penyunting : Soediono M.P. Tjondronegoro dan Gunawan Wiradi, edisi revisi, Jakarta : Yayasan Obor Indonesia -----------. 1999. Petani dan Penguasa , Dinamika Perjalanan Politik Agraria Indonesia. Yogyakarta : Pustaka Pelajar dan KPA Freeman, Joe. 1979. A Model for Analyzing The Strategic Option of Social Movement. Jurnal, Cambridge Handayani, Dwi Wahyu. 2004. Gerakan Petani Pagilaran : Kecamatan Blado Kabupaten Batang Jawa Tengah. Program Pascasarjanan Studi Ilmu Politik Konsentrasi Politik Lokal dan Otonomi Daerah, Yogjakarta : Universitas Gajah Mada Kartodirjo, Sartono. 1984. Pemberontakan Petani Banten 1888. Jakarta : Pustaka Jaya -----------. 1991. Sejarah Perkebunan di Indonesia, kajian sosial ekonomi. Yogyakarta : Aditya Media Kitching, G. 1982. Development and Underdevelopment in Historical Perspective. London : Methuen & Co Ltd Kuntowijoyo. 1993. Radikalisasi Petani : Esai – Esai Sejarah. Yogyakarta : Bentang Intervisi Utama Marx, Karl. 1895. dalam Teodor Shanin (ed), Peasantry as a Class, Middlesex : Penguin Books, 1971 Moore, Barirington. 1966. Social Origins of Dictatorship and Democracy : Lord and Peasant in the Making of the Modern World. Middlesex : Penguin Books Mustain. 2007. Petani vs Penguasan : Gerakan Sosial Petani Melawan Hegemoni Negara, Yogjakarta : Ar Ruzz media Olson, Mancur. 1971. The Logic of Collective Action : Public Goods and The Theory of Group, Cambirdge : Harvard University Press
90
Philpott, Simon. 2003. Meruntuhkan Indonesia : Politik Postkolonial dan Otorianisme, penerjemah Nurudin MHD, Ali, Uzair Fauzan, Yogyakarta : LKIS Popkin, Samuel L. 1979. The Rational, Peasant. The Political Economy of Rural Society in Vietnam. Berkeley: University of California Press Popkin, Samuel L. 1986. Petani Rasional. Jakarta : Penerbit Yayasan Padamu Negeri Sadikin. 2005. Perlawanan Petani, Konflik Agraria, Dan Gerakan Sosial. Jurnal Analisis Sosial Vol. 10 No.1 Juni : Perdebatan Konseptual Tentang Kaum Marginal, Yayasan Akatiga Salert, Barbara. 1976. Revolution and Revolutionaries : Four Theories, New York : Elsevier Scott, James C. 1976. The Moral Economy Of The Peasent, New Heaven : Yale University Press ---------. 1989. Peasant Resistance. New York : Rmunk Me Sharpe ---------. 2000. Senjata Orang –Orang Kalah : Bentuk – Bentuk Perlawanan Sehari – Sehari Kaum tani, penerjemah : A. Rahman Zainudin, Sayogyo, Mien Joebhaar, Jakarta : Yayasan Obor Indonesia Shanin, Teodor. 1966. dalam Teode Shanin (ed), Peasantry as a Political Factor, Middlesex : Penguin Books, 1971 Skocpol, Theda. 1991. Negara dan Revolusi Sosial : Suatu Analisis Komparatif Tentang Perancis, Rusia, dan Cina. Jakarta : Erlangga Suhendar, Endang dan Yohana Budi Winarni. 1998. Petani dan Konflik Agraria, Bandung : Yayasan AKATIGA Wiradi, Gunawan. 2000. Reforma Agraria : Perjalanan yang Belum Berakhir. Yogyakarta : INSIST Press Wolf, Eric R. 1969. dalam Teodor Shanin (ed), On Peasant Rebellion, Middlesex : Penguin Books, 1971
91
Lampiran 1. Dokumentasi
Gambar 6. Akses Jalan Menuju Tanah Garapan
Gambar 7. Jalan Desa
Gambar 8. Tanah Garapan
92
Gambar 9. Pemanenan Tanaman Kayu
Gambar 10. Hasil Panen
93