DIMENSI TASAWUF DALAM TAFSIR RUH AL-MA’ANI SURAT AL-KAHFI AYAT 60 – 70
Zuherni AB FakultasUshuluddin IAIN Ar-Raniry Kopelma Darussalam, Kota Banda Aceh Email:
[email protected]
ABSTRACT It is the reality, that the spreading of the Quranic exegesis in Islamic world is amazed and very abroad. The variety its type indicated that the commentators of Quran (mufffasir) have the differences in ideas, background, knowledge and also orientation. However, the quranic exegesis essentially is the” bridge” to the people of Islam to overtake to the Quran itself. Al-Alusiis one name to mention as one of interpreter of Quran who has mystical approach in his commentator. In this manner, this discourse will go over the surah al-Kahfi verses 60-70 to take a look for the approach. Kata Kunci: Tasawuf, Ruh al-Ma’ani, al-Kahfi Pendahuluan Keaneka-ragaman karya-karya tafsir merupakan fakta bahwa para penafsir pada umumnya mempunyai cara berfikir yang berbeda-beda, sesuai dengan latar belakang pengetahuan dan orientasi mereka dalam menafsirkan al-Qur’an.1 Munculnya karya-karya tafsir yang beraneka ragam, pada dasarnya semuanya berkeinginan untuk memahami apa yang terdapat didalam al-Qur’an agar dapat membimbing dan menjawab permasalahan-permasalahan umat manusia dimuka bumi ini. Terlepas dari perkembangan tafsir yang pesat, maka kajian terhadap kitab tafsir sangat perlu untuk diteliti, karena kitab tafsir merupakan produk pemikiran manusia dan tidak sakral. Salah satu kitab tafsir yang pantas diperhitungkan adalah kitab Ruh al-Ma’ani fi Tafsir al-Quran ‘Adzim wa al-Sab’i al-Matsani karya Imam al-Alusi. Karya Imam al-Alusi ini bisa dikatakan sebagai kitab tafsir yang komperhensif, mengingat beliau banyak mengutip pendapat-pendapat ulama sebelumnya, disertai kritik yang tajam dan memilih pendapat yang kuat diantara pendapat-pendapat yang ada. Banyak komentar ulama mengenai kitab Tafsir alAlusi, baik itu berupa kritik maupun apresiasi. Sebagai sebuah kitab tafsir yang disinyalir memiliki corak serta keterpengaruhan pemahaman tasawuf, maka pembahasan dalam tulisan ini akan mengkaji aspek tersebut, khususnya dalam tafsirannya terhadap surah al-Kahfi ayat 60-70. _____________ 1
Hasbi al-Shiddiqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu al-Quran (Jakarta: Bulan Bintang,
1974), 67 152
Zuherni: Dimensi Tasawuf dalam Tafsir Ruh al-Ma’ani Surat al—Kahfi...
Biografi Imam Al-Alusi Nama lengkap imam al-Alusi adalah Abu al-Ma’ali Jamaluddin bin alSayyid Abdullah Bahauddi bin Muhammad al-Khatib al-Alusi al-Baghdadi alHusayni. Beliau adalah keturunan Imam al-Husayn dari ayahnya dan keturunan Imam al-Hasan bin Abu Thalib dari ibunya. Beliau dilahirkan kota Kurkh, Baghdad pada Jum’at 15 Sya’ban 1207 H. Pada usia muda, ia dibimbing oleh orang tuanya sendiri, dan juga belajar kepada ulama-ulama besar pada masa itu yaitu diantaranya Syekh al-Suwaydi dan Syekh Khalid al-Naqsyabandi, dari Syekh yang disebutkan terakhir ini ia belajar tasawuf. Ia menjadi mufti mazhab Hanafi pada tahun 1246 H, sebelumnya ia memegang bidang wakaf Marjaniyah, lalu ia berhenti pada bulan Syawal 1263 H setelah menyusun tafsirnya hingga sempurna. Kemudian ia mengembara ke kota konstantinopel (sekarang Istanbul, Turki) pada tahun 1267 H, disana ia mengajukan tafsirnya kepada Raja Abd al-Majid Khan. Imam al-Alusi wafat pada hari Jum’at tanggal 25 Zulqaidah 1270 H.2 Pada nama beliau ada kata al-Alusi yang menunjukkan bahwa ia berasal dari keluarga yang berintisab kepada al-Alusiyah, yang dinisbatkan kepada Alus ()أﻟﻮس. Al-Alusi adalah keluarga terhormat, sekalipun silsilah nasab Alusi adalah benar dan terbukti keturunan Nabi saw, namun keluarga Alusi adalah keluarga yang menjauhi dari berbangga-bangga terhadap keturunan. Keluarga Alusi adalah keluarga yang terkenal akan keilmuannya, ketenaran mereka sebagai keluarga berilmu sudah sangat cukup bagi mereka. Latar Belakang Penyusunan Tafsir Ruh al-Ma’ani Latar belakang penulisan kitab tafsir Ruh al-Ma’ani terkesan agak mistik. Ia menulis terdorong oleh suatu mimpi, meskipun sebelumnya telah ada ide untuk menulis tafsir tersebut. Al-Alusi memang ingin sekali menyusun sebuah kitab tafsir yang dapat mencakup persoalan-persoalan yang dianggap urgen bagi masyarakat waktu itu. Namun rupanya ia senantiasa dihinggapi keragu-raguan untuk merealisasikan ide tersebut.3 Akhirnya, pada suatu malam, tepatnya pada malam Jum’at bulan Rajab tahun 1252 H, ia bermimpi diperintahkan Allah untuk melipat langit dan bumi, dan untuk memperbaiki kerusakan-kerusakan yang ada padanya. Dalam mimpinya, ia seolah mengangkat satu tangannya ke langit dan yang satunya ke tempat air. Namun kemudian beliau terbangun dari tidurnya. Mimpi tersebut lalu ditakwilkan dan ternyata beliau menemukan jawabannya dalam sebuah kitab bahwa mimpi itu merupakan isyarat untuk menyusun kitab tafsir. Sistematika Penulisan Tafsir Ruh Al-Ma’ani Kitab ini dikatakan sebagai karya al-Alusi yang terbesar, karena kitab ini berisi pandangan dari kalangan ulama salaf maupun khalaf dan juga mengandung kesimpulan kitab-kitab tafsir sebelumnya seperti tafsir Ibnu ‘Athiyah, Abu Hayyan, al-Kasysyaf, Abu al-Sa’ud, al-Baidhawi dan al-Razi. Al-Alusi berusaha bersikap netral dan adil ketika menukilkan tafsir-tafsir tersebut dan selanjutnya mengemukakan komentar dan pendapatnya sendiri secara merdeka, tanpa ter_____________ 2
Al-Alusi, Ruh al-Ma’ani fi Tafsir al-Quran ‘Adzim wa al-Sab’i al-Matsani, juz. V (Beirut: Ihya al-Turats al-‘Arabi, t. th), 3 3 Al-Alusi, Ruh al-Ma’ani…, 4 Al-Mu‘ashirah Vol. 9, No. 2, Juli 2012
153
pengaruh pada salah satu tafsir tersebut. Dan ketika menukil tafsir-tafsir terdahulu, al-Alusi menggunakan beberapa istilah antara lain “qala syaikh al-Islam” bila menukilkan dari tafsir Abu al-Sa’ud, “qala al-qadhi” bila dari tafsir alBaidhawi dan “qala al-Imam” bila menukilkan dari tafsir al-Razi. Adapun sistematika penafsiran yang digunakan dalam kitab ini al-Alusi menempuh langkah sebagai berikut: 1. Menyebutkan ayat yang ditafsirkan sesuai dengan urutannya didalam surat-surat al-Qur’an; 2. Menerangkan kedudukan suatu kata atau kalimat yang ada di dalam ayat tersebut dari segi kaidah bahasa (ilmu nahwu); 3. Menafsirkan dengan ayat-ayat lain; 4. Memberikan keterangan dari hadits; 5. Mengumpulkan pendapat para penafsir terdahulu; 6. Memperjelas makna lafaz dengan syair-syair; 7. Menyimpulkan berbagai pendapat yang ada dengan memberikan keterangan segi balaghah, i’jaz, munasabahnya serta asbab al-nuzul bila dijumpai. Langkah-langkah tersebut merupakan langkah yang gunakan dalam menafsikan ayat-ayat al-Qura’an dengan mengacu pada suasana ayat, juga susunan surat yang ada dalam al-Qur’an. Metode Penafsiran Dan Coraknya Lebih lanjut, berbicara metodologi pada prinsipnya adalah berbicara tentang proses dan prosedur dalam melakukan penelitian atau penulisan termasuk dalam komponen metodologi adalah metode, pendekatan, sistematika penyajian dan sumber-sumber penafsiran. Apabila ditinjau kembali sistimatika yang di tempuh oleh al-Alusi dalam menafsirkan ayat-ayat yang tercantum diatas, maka dapatlah dikatakan bahwa metode tafsir ini adalah metode tahlili4, karena al-Alusi menjelaskan tentang arti dan maksud ayat-ayat al-Qur’an dari sekian banyak seginya dengan menjelaskan ayat-ayat demi ayat sesuai urutannya didalam mushaf, munasabah serta kandungan ayat-ayat tersebut sesuai dengan keahlian dan kecenderungan al-Alusi. Dalam penjelasannya, al-Alusi memiliki kecenderungan banyak menjelaskan makna samar yang diisyaratkan oleh lafaz. Kecenderungan penafsiran seperti ini dinamakan Tafsir Isyari atau Tafsir Shufi.5 Menurut aliran ini ayat memiliki dua makna, makna lahir dan makna batin yang berupa isyarat samar. Isyarat tersebut hanya dapat ditangkap oleh Nabi atau para wali atau Arbab al-Suluk (orang-orang yang menapaki jalan untuk mendekati Allah). Adapun corak penafsiran dari kitab ini, al-Dzahabi berpendapat bahwa coraknya adalah tafsir al-ra’y al-mahmud, dan menyetujui pendapat ulama yang lain termasuk Ali al-Shabuni yang berpendapat bahwa corak tafsir al-Alusi adalah isyari, riwayah dan dirayah. Adapun alasan yang dikemukakan oleh alDzahabi walaupun didalam tafsir al-Alusi terdapat corak isyari sebagai mana dalam tafsir al-Naisaburi, tapi maksud penafsirannya bukanlah untuk ditafsirkan secara isyari. Dengan mengambil tafsir-tafsir terdahulu maka corak penafsirannya ikut terbawa dan mengimbas pada corak tafsir al-Alusi6. _____________ 4
Tafsir dengan menggunakan metode tahlili adalah menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dengan memaparkan segala aspek yang terkandung di dalam ayat-ayat yang ditafsirkan serta menerangkan mak-makna yang tercakup di dalamnya sesuai dengan keahlian dan kecendrungan mufassir. Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran al-Quran (Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, 2000), 31 5 Manna’ Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu Qur’an, terj. Drs. Muzakir (Bogor: Litera Antarnusa dan Pustaka Ilmiyah, 2000), 495 6 Al-Dzahabi, Al-Tafsir wa al-Mufassirun, juz 1 (Egypt: Dar al-Hadits, t. th), 228 154
Zuherni: Dimensi Tasawuf dalam Tafsir Ruh al-Ma’ani Surat al—Kahfi...
Akan tetapi ditinjau dari segi yang lain, dapat dikatakan bahwa kitab ini juga mempunyai metode muqarin, karena al-Alusi menyebutkan beberapa ayat atau hadis, kemudian melihat beberapa tafsir dari penafsiran para mufassir terhadap ayat tersebut baik dari ulama salaf maupun khalaf, baik jenis tafsir manqul maupun ijtihad, kemudian berusaha untuk menarik kesimpulan yang lebih tepat dan menghindarkan yang dianggap kurang tepat. Dalam memberikan penjelasan, al-Alusi banyak mengutip pendapat para ahli yang berkompeten. Seringkali ia juga memiliki pendapat sendiri yang berbeda dengan pendapat yang dikutip. Bahkan ia kadang-kadang juga mengomentari dan terkadang juga menganggap kurang tepat diantara pendapat-pendapat yang disebutkannya. Menilik cara menjelaskan, Tafsir Ruh al-Ma’ani digolongkan ke dalam kelompok tafsir muqarin yang artinya penafsiran beliau adalah kombinasi antara metode ar-ra’y dengan al-ma’tsur. Contoh Aplikasi Penafsiran Salah satu contoh penafsiran al-Alusi adalah tentang kisah pertemuan Musa dengan Khidir yang disebutkan dalam surah al-Kahfi: 60-70. Sebagai berikut:
َِْ أﺑﺮح َ ﱠ َ َ ِ ﻣﻮﺳﻰ َ َ َ ﻓﻠﻤﺎ َ ُ ْ َ ﺣﺘﻰ ﻣﺠﻤﻊ ً ُ ُ أﻣﻀﻲ َ َ وإذ ُ َ ْ َ ﻟﻔﺘﺎهُ َﻻ ( َ َ ﱠ60) ﺣﻘﺒﺎ َ ُ ﻗﺎل َ َ ْ َ ﺑﻠﻐﺎ ِ ْ َ ْ َ ْ ﻣﺠﻤﻊ َ َ ْ َ أﺑﻠﻎ َ ِ ْ َ اﻟﺒﺤﺮﯾﻦ َ ْأو َ ِﺳ ْ َ َ ﻏﺪاءﻧَﺎ َ َ ِ ﻗﺎل َ َ َ ﻓﻠﻤﺎ َ ﺣﻮﺗﮭﻤﺎ َ ﱠ ﻟﻘﺪ َ ِﻟﻘﯿﻨَﺎ َ َ ﺟﺎوزا ً َ َ اﻟﺒﺤﺮ ( َ َ ﱠ61) ﺳﺮﺑﺎ َ ِ ﺑﯿﻨﮭﻤﺎ ﻧ َ َﻓﺎﺗﺨﺬ ِ ْ َ ْ ﺒﯿﻠﮫُ ِﻓﻲ َ ُ َ ُ َﺴﯿﺎ َ ِ َِْ َ َ َ ﻟﻔﺘﺎهُ آﺗِﻨَﺎ ْ َ َ َ َ ْ أﻧﺴﺎﻧﯿﮫُ ِإﻻﱠ َ َ ﺳﻔﺮﻧَﺎ ِّ ِ َ اﻟﺼﺨﺮة ْ ِ ُ ِ ﻓﺈﻧﻲ ﻧ ْ َ أرأﯾﺖ ِإذ َ ُ َﺴﯿﺖ َ ْ َ ﻗﺎل َ َ (62) َﺼﺒﺎ ً َ ھﺬا ﻧ ِ َ ْ وﻣﺎ ِ َ ْ أوﯾﻨَﺎ ِ َإﻟﻰ ﱠ ِ َ َ ﻣﻦ َ َ اﻟﺤﻮت ْ َ َ ْ َ َ ﻓﺎرﺗﺪا َ ِ َ َواﺗﺨﺬ ذﻟﻚ َﻣﺎ ُ ﱠ ْ اﻟﺸﯿﻄﺎن ُ َ ْﱠ ﻛﻨﺎ ﻧ َْﺒﻎِ َ ْ َ ﱠ َ أذﻛﺮهُ َ ﱠ آﺛﺎرھﻤﺎ َ ِ َ ﻗﺎل َ َ (63) ﻋﺠﺒﺎ ً َ َ اﻟﺒﺤﺮ ِ ْ َ ﺳﺒﯿﻠﮫُ ِﻓﻲ َ ُ أن َ ِ ِ َ ﻋﻠﻰ ْ ﱠ ً ﻣﻦ َ ُ ﱠ ْ ِ ُوﻋﻠﻤﻨَﺎه ْ ِ رﺣﻤﺔ ْ ِ ﻋﺒﺪا ُﻗﺎل َﻟﮫ ً ْ َ ﻓﻮﺟﺪا ْ َ ﻋﺒﺎدﻧَﺎ ِ ْ ِ ﻣﻦ ِ َ ِ ﻣﻦ َ َ (65) ﻋﻠﻤﺎ َ َ َ َ (64) ﻗﺼﺼﺎ ْ َ َ ﻋﻨﺪﻧَﺎ ً َ َ ً ِ ﻟﺪﻧﺎ َ ْ َ ُآﺗﯿﻨَﺎه ّ ّ َ َ َ َ أﺗﺒﻌﻚ ْ َ إﻧﻚ ْ ﻋﻠﻰ ْ َ ﻣﻮﺳﻰ ً ْ ُ ﻋﻠﻤﺖ ﺻﺒﺮا َ ﻗﺎل ِ ﱠ َ َ (66) رﺷﺪا َ ْ ِ ُ ﻣﻤﺎ َ ُ ِ ھﻞ ﱠ ً ْ َ ﻣﻌﻲ ﺗﻌﻠﻤﻦ ِ ﱠ َ ُ َ ِ َ ْ َ ﻟﻦ ِ َ ِ َ ُ أن َ ِ َ ﺗﺴﺘﻄﯿﻊ ْ َ َ ﺗﺼﺒﺮ َ َ ﺻﺎﺑﺮا ْ ِ ﺳﺘﺠﺪﻧﻲ وﻻ َ َ (68) ﺧﺒﺮا ِ ُ ِ َ َ ﻗﺎل ِ ِ ﺗﺤﻂ ِ ُ ﻋﻠﻰ َﻣﺎ َ ْﻟﻢ ً ِ َ ُ ﺷﺎء ا ﱠ ً ْ ُ ﺑﮫ ُ ِ ْ َ وﻛﯿﻒ َ ْ َ َ (67) َ َ إن ُ ْ َ ﺷﻲء َ ﱠ ْ ِ ﻟﻚ َ َ اﺗﺒﻌﺘﻨﻲ ْ َ ﺗﺴﺄﻟﻨﻲ َ ِ ْ ﺣﺘﻰ (70) ذﻛﺮا ٍ ْ َ ﻋﻦ َ َ أﺣﺪث َ َ (69) ﻟﻚ َ ْأﻣًﺮا َ َ أﻋﺼﻲ ِ ْ َ ﻓﻼ ِ َ ْ َ ﻓﺈن ﱠ ً ْ ِ ُﻣﻨﮫ ِ ْ َ ِ ِ َ ﻗﺎل Dalam ayat tersebut menjelaskan sebab terjadinya pertemuan antara Musa dengan Khidir, al-Alusi mengutip sebuah hadis riwayat Imam al-Bukhari dan Imam Muslim dari Ibnu ‘Abbas dari Ubay bin Ka’ab sebagai berikut:
ﻋﻦ أﺑﻰ اﺑﻦ ﻛﻌﺐ أﻧﮫ ﺳﻤﻊ رﺳﻮل ﷲ ﷺ ﯾﻘﻮل إن ﻣﻮﺳﻰ ﻋﻠﯿﮫ اﻟﺴﻼم ﻗﺎم ﺧﺎطﺒﺎ ﻓﻰ ﺑﻨﻰ أﻧﺎ ﻓﻌﺘﺐ ﷲ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﻋﻠﯿﮫ إذ ﻟﻢ ﯾﺮد اﻟﻌﻠﻢ إﻟﯿﮫ ﺳﺒﺤﺎﻧﮫ:اﺳﺮاﺋﯿﻞ ﻓﺴﺌﻞ أى اﻟﻨﺎس أﻋﻠﻢ؟ ﻓﻘﺎل 7 ﻓﺄوﺣﻰ ﷲ ﺗﻌﺎﻟﻰ إﻟﯿﮫ إن ﻟﻲ ﻋﺒﺪ ﺑﻤﺠﻤﻊ اﻟﺒﺤﺮﯾﻦ ھﻮ أﻋﻠﻢ ﻣﻨﻚ Suatu ketika Musa berdiri berpidato di hadapan kaumnya, yaitu Bani Israil. Lalu beliau ditanya: “Siapakah orang yang paling alim?” Jawab Musa: “Saya”. Dengan jawaban itu, Musa mendapat kecaman dari Tuhannya, sebab beliau tidak mengembalikan ilmu tadi kepada Allah. Kemudian Allah memberikan wahyu kepadanya, yang isinya: “Sesungguhnya Aku mempunyai hamba yang berada di majma’ al-Bahrain. Dia lebih pandai dari kamu. Berdasarkan hadits tersebut, maka al-Alusi menafsirkan bahwa yang dimaksud “Musa” dalam ayat tersebut adalah Musa bin Imran, seorang Nabi Bani Israil. Pendapat ini menurutnya merupakan pendapat yang shahih.8 Di samping itu, al-Alusi mengemukakan adanya pendapat ahli kitab, sebagian ahli _____________ 7
Al-Bukhari, Al-Jami’ al-Shahih, juz. IV (Madinah: Markaz Khadim al-Sunnah wa alSirah), 155 8 Al-Alusi, Ruh al-Ma’ani…, 313 Al-Mu‘ashirah Vol. 9, No. 2, Juli 2012
155
hadis dan ahli sejarah yang mengatakan bahwa Musa yang disebut dalam ayat tersebut bukanlah Musa bin Imran, melainkan Musa bin Afrasim bin Yusuf, yaitu Musa yang diangkat sebagai Nabi sebelum Musa bin Imran. Hal itu didasarkan kepada alasan-alasan sebagai berikut:9 Tidak rasional jika seorang Nabi belajar kepada selain Nabi. Alasan ini dibantah oleh al-Alusi, bahwa Musa itu bukan belajar kepada selain nabi, akan tetapi ia belajar kepada seorang nabi juga yaitu Khidir. Jika alasan ini juga belum memuaskan mereka, dengan dalih bahwa Musa bin Imran lebih utama dari Khidir, alAlusi memberikan jawaban adalah sah-sah saja jika seorang yang derajatnya lebih utama itu belajar kepada orang yang derajatnya di bawahnya. Sebab secara logika, tidak menutup kemungkinan ilmu yang dimiliki oleh orang yang di bawah keutamaannya (al-mafdhul) ternyata tidak dimiliki oleh orang yang lebih tinggi keutamaannya (al-afdhal), sebagaimana dikatakan dalam kalam mastal: ”qad yujad fi al-mafdul ma yujadu fi al-fadil”. Terkadang ditemukan sesuatu pada orang yang berada di bawah keutamaannya sesuatu yang tidak ditemukan pada orang yang utama. Musa, setelah keluar dari Mesir bersama kaumnya ke al-Tih (gurun pasir Sinai), tidak pernah meninggalkan al-Tih dan wafat di sana. Padahal jika kisah ini berkaitan dengan Musa bin Imran tentu nabi Musa harus keluar dari al-Tih, karena kisah itu mungkin tidak terjadi di Mesir sebagai mana kesepakatan para ulama. Jika kisah tersebut berkaitan dengan Musa bin Imran, tentunya untuk beberapa hari, ia harus tidak kelihatan oleh kaumnya. Dengan demikian, tentunya orang-orang Bani Israil yang bersamanya mengetahui kisah tersebut dan akan diceritakan kepada orang lain, sebab kisah tersebut mengandung hal-hal yang aneh, namun ternyata hal itu tidak terjadi. Maka jelas bahwa kisah tersebut tidak berkaitan dengan Musa bin Imran. Alasan kedua dan ketiga juga dibantah oleh al-Alusi, bahwa Musa keluar dari al-Tih tidak dapat diterima, sebab sebenaranya kisah tersebut terjadi setelah Nabi Musa menguasai Mesir bersama Bani Israil dan beliau menetap di sana setelah hancurnya kaum Qibti. Begitu pula tidak ada kesepakatan yang menyatakan bahwa kisah tersebut tidak terjadi di Mesir. Demikian juga kepergian Musa untuk menemui Khidir terjadi secara luar biasa. Tidak diketahui oleh umatnya, dikiranya beliau pergi untuk bermunajat kepada Tuhannya. Musa tidak menceritakan kepada kaumnya mengenai hakikat kepergiannya, sebab khawatir jika diceritakan akan merendahkan derajat Musa di hadapan kaumnya, mengingat umatnya tidak semuanya paham bahwa yang demikian itu (yakni Musa berguru kepada Khidir) sebenarnya bukanlah sesuatu yang merendahkan martabat kenabian Musa. Dengan demikian, keingkaran mereka bahwa kisah itu tidak berkaitan dengan Musa Ibn Imran tidak perlu dipedulikan, sebab secara logika pun hal itu bisa terjadi, apalagi Allah dan Rasul-Nya telah menjelaskannya.10 Adapun fata Musa (pemuda yang menemani Musa) adalah Yusya’ bin Nun bin Afrasyim bin Yusuf. Disebut fata sebab dia biasa melayani Nabi Musa. Orang-orang Arab biasa menyebut pelayannya dengan sebutan fata, sebab pelayan itu biasanya masih muda. Lalu siapakah hamba salih yang ditemui Musa? Menurut jumhur ulama, ia adalah Nabi Khidir, dan pendapat ini juga dianut oleh al-Alusi berdasar hadis shahih riwayat Imam al-Bukhari dan Imam Muslim.11 _____________ 9
Al-Alusi, Ruh al-Ma’ani…, 313 Al-Alusi, Ruh al-Ma’ani…, 314 11 Al-Alusi, Ruh al-Ma’ani…, 311 10
156
Zuherni: Dimensi Tasawuf dalam Tafsir Ruh al-Ma’ani Surat al—Kahfi...
Bagaimana pendapat al-Alusi tentang status Khidir, apakah ia seorang rasul, nabi atau yang lain? Dalam hal ini ada beberapa pendapat menurut al-Alusi: Pertama, Khidir itu seorang nabi, bukan seorang rasul. Inilah pendapat jumhur ulama, berdasarkan firman Allah yang berbunyi: ”atainahu rahmatan min ’indina? Mereka menafsirkan bahwa yang dimaksud rahmat adalah wahyu dan kenabian. Al-Alusi cenderung sependapat dengan jumhur ulama. Kedua, Khidir adalah seorang Rasul. Dalam hal ini, al-Alusit idak menyebutkan alasan mereka yang berpendapat demikian. Ketiga, Khidir adalah malaikat. Pendapat ini menurut al-Alusi dianggap gharib. Keempat, Khidir adalah seorang wali. Pendapat ini diikuti oleh Imam al-Qusyairi. Pendapat jumhur itulah yang lebih kuat, sebab beberapa alasan lain yang dikemukakan oleh Ibnu Hajar al-Asqalani untuk memperkuat pendapat tersebut, yaitu: Pertama, ucapan Khidir yang disebutkan dalam al-Qur’an: ”wa ma fa’altuhu ’an amri....” memberikan isyarat bahwa yang dilakukannya itu bukan atas kehendak dirinya, melainkan atas perintah Allah (baca : wahyu). Kedua, jika ia bukan seorang nabi, bagaimana ia lebih alim dari Musa? Ketiga, jika ia bukan nabi, bagaimana mungkin Musa mau berguru kepadanya? Keempat, hadis alBukhari dan Muslim yang menjelaskan bahwa Khidir itu seorang Nabi. Lalu bagaimana dengan tempat pertemuan Musa dan Khidir? Pertemuan Musa dengan Khidir oleh al-Qur’an hanya dikatakan di Majma’ al-Bahrain. Menurut al-Alusi, untuk menentukan di mana letak Majma’ al Bahrain harus berdasarkan riwayat yang sahih. Dalam hal ini al-Alusi mengemukakan beberapa riwayat, antara lain: Pertama, riwayat Mujahid, Qatadah dan lainnya, bahwa yang dimaksud dengan Majma’ al-Bahrain adalah laut Persi dan Romawi. Inilah pendapat yang diikuti oleh al-Alusi. Kedua, Abu Hayyan berpendapat berdasarkan pendapat Ibnu Athiyah bahwa Majma’ al-Bahrain itu berada di daerah dekat Syam. Ketiga, Muhammad bin Ka’ab al-Qurazi berpendapat bahwa Majma’ alBahrain berada di Tanjah yaitu pertemuan antara Laut Tengah dengan Laut Atlantik di Selat Gibraltar (Jabal Tariq). Mengetahui di mana Majma’ al-Bahrain bukanlah hal yang penting dalam kisah tersebut, mengingat al-Qur’an sendiri tidak menjelaskannya. Maka lebih baik hal itu di-mawquf-kan saja, apalagi tidak ditemukan hadis sahih dari Nabi yang menjelaskan hal itu. Sebenarnya, al-Alusi juga banyak menjelaskan riwayatriwayat lain, selain yang di atas tadi. Namun sighat (bentuk) riwayatnya menggunakan kata qi1a, dalam kaedah Ilmu Musthalah Hadits berarti riwayat tersebut lemah, maka tidak bisa dijadikan hujjah. Al-Alusi juga menjelaskan adanya penafsiran secara metaforis (majazi), yaitu bahwa Majma’ al-Bahrain adalah Nabi Musa dan Khidir itu sendiri, sebab keduanya merupakan lautan ilmu. Namun, menurut al-Alusi, takwil orang sufi seperti itu tidak tepat. Apalagi jika dilihat dari siyaq al-kalam (konteks kalimat). Ayat yang berbunyi hatta abluga majma’ al-bahrain berarti ”sehingga saya sampai ke tempat dua laut”. Jadi, Majma’ al-Bahrain itu sebagai objek, sedang dhamir (kata ganti) yang ada pada kata ablugha yang merujuk pada Nabi Musa sebagai fi’il (subjek). Al-Alusi sendiri menafsirkan majma’ al-bahrain dengan multaq al-bahrain yang merupakan isim makan, yaitu kata benda yang menunjukkan tempat. Selanjutnya, dalam menafsirkan ayat wa’allamnahu mil ladunna ’ilma, alAlusi menyatakan bahwa ayat tersebut merupakan dasar yang dipakai oleh para Al-Mu‘ashirah Vol. 9, No. 2, Juli 2012
157
ulama untuk menetapkan adanya ilmu ladunni atau yang disebut pula dengan ilmu hakikat atau ilmu batin (esoteris) yaitu ilmu yang diberikan langsung oleh Allah, yang tidak dapat diperoleh tanpa taufiq-Nya, ilmu yang tidak diketahui secara mendalam tentang hakikatnya dan tidak dapat diukur kadarnya (ilmu gaib).12 Adapun cara pemberian ilmu laduni tersebut ada dua kemungkinan. Pertama dengan perantaraan wahyu yang di dengar dari malaikat sebagaimana wahyu al-Qur’an yang diterima Nabi Muhammad. Kedua, mungkin pula melalui isyarat dari malaikat, tanpa menjelaskan dengan kata-kata. Inilah yang juga disebut ilham dan malaikat yang membawanya juga disebut malaikat ilham. Ilham dapat diterima nabi dan selain nabi. Untuk mendapatkan ilham ladunni diperlukan pensucian batin (thahir al-qa1b). Oleh sebab itu, sebagian orang menyebutnya dengan ilmu batin atau ilmu hakikat. Sebagian orang sufi beranggapan bahwa ilmu batin atau ilmu hakikat itu boleh menyalahi ilmu lahir atau ilmu syariat. Dengan kata lain, orang yang telah menggapai derajat ilmu hakikat boleh menyalahi syariat dengan alasan bahwa Khidir juga telah menyalahi syariat Nabi Musa. Anggapan tersebut dibantah oleh al-Alusi. Dengan tegas al-Alusi menyatakan haza za’mun batil, ‘ati al-khayal fasidun.13 Ini adalah anggapan yang keliru, omong kosong, ilusi dan salah. Bantahan al-Alusi sangat tepat, sebab jika ilmu hakikat dapat menyalahi syariat dibenarkan, maka seseorang dapat saja mengaku telah mencapai tingkat hakikat sebagai alasan untuk meninggalkan syariat. Akibatnya, akan terjadi sikap anti syariat, dan klaim bahwa ia telah gugur dari kewajiban menjalankan syariat. Dalam ilmu tasawuf memang dikenal tingkatan syari’ah, thariqah dan haqiqah. Syariat yang dimaksud adalah aturan-aturan lahir yang ditentukan, misalnya seperti hukum halal haram, sunah makruh dan sebagainya. Termasuk pula amaliah seperti shalat, puasa, jihad, zakat, haji dan sebagainya. Sedang thariqah adalah jalan yang harus ditempuh oleh seorang untuk mendapatkan keridha'anNya dalam mengerjakan syariat, seperti sikap ikhlas, sabar, taubat, muraqabah dan sebagainya. Sedangkan haqiqah yaitu kebenaran sejati dan mutlak yang merupakan puncak perjalanan spiritual seseorang.14 Ketiga dataran (syariah, tarikat, hakikat) tersebut harus dilihat dengan paradigma struktural sekaligus fungsional, di mana satu dengan lainnya tidak boleh dipisah-pisahkan. Bermakna bahwa meskipun seseorang telah mencapai tingkatan hakikat, ia tetap terkena taklif (tugas) syariat untuk menjalankan ibadah yang diwajibkan oleh al-Qur’an dan hadis. Berkenaan dengan Surah al-Kahfi (18): 66-70 penjelasan al- Alusi secara ringkas sebagai berikut, bahwa setelah Nabi Musa bertemu dengan Khidir, maka Musa minta izin kepada Khidir untuk mengikutinya dan minta agar Khidir mau mengajarinya. Hal ini dapat di pahami dari ayat : hal attabi’uka ’ala antu’allimani mimma ’ullimta rusyda. Ilmu yang diharapkan Musa adalah rusyd yang menurut al-Alusi berarti itsbat al-khair15 (ilmu yang dengannya seseorang dapat tepat dalam _____________ 12
Al-Alusi, Ruh al-Ma’ani…, 330. Al-Alusi, Ruh al-Ma’ani…, 330. 14 Moh. Ardani, “Integrasi Ajaran Syari’at dan Hakikat”, dalam Ed: Amsal Bakhtiar, Tasawuf dan Gerakan Tarekat (Bandung: Angkasa, 2003), 20 15 Al-Alusi, Ruh al-Ma’ani…, 331. 13
158
Zuherni: Dimensi Tasawuf dalam Tafsir Ruh al-Ma’ani Surat al—Kahfi...
mengetahui kebaikan). Nabi Khidirpun mau menerima permintaan Musa dengan catatan jika nanti berada di perjalanan Musa melihat hal-hal yang aneh yang dilakukan Khidir, dia tidak boleh bertanya, sampai Khidir sendiri yang akan menjelaskannya. Nabi Khidir-pun sebenarnya sudah tahu bahwa Musa tak akan mampu menyertainya.16 Komentar Para Ulama terhadap Tafsir Ruh Al-Ma’ni
Tafsir Ruh al-Ma’ani dinilai oleh sebagian ulama sebagai tafsir yang bercorak isyari (tafsir yang mencoba menguak dimensi makna batin berdasar isyarat atau ilham dan takwil sufi). Imam Ali al-Sabuni sendiri juga menyatakan bahwa al-Alusi memang memberi perhatian kepada tafsir isyari, segi-segi balaghah dan bayan. Dengan apresiatif ia mengatakan bahwa tafsir al-Alusi dapat dianggap sebagai tafsir yang paling baik untuk dijadikan rujukan dalam kajian tafsir bi alriwayah, bi al-dirayah dan isyarah. Menurut al-Dzahabi dan Abu Syuhbah, tafsir Ruh al-Ma’ani merupakan kitab tafsir yang dapat menghimpun sebagian besar pendapat para mufassir dengan disertai kritik yang tajam dan pentarjih terhadap pendapat-pendapat yang beliau kutip. Kesimpulan Penjelasan yang diberikan oleh al-Alusi terbilang detil. Penjelasan di awal surah biasanya diawali dari nama surat, asbab al-nuzul, munasabah dengan surah sebelumnya, makna kata, i’rab, pendapat para ulama, dalil yang ma’tsur, makna di balik lafaz (makna isyari) dan jika pembahasannya panjang terkadang juga diberi kesimpulan. Tafsir ini digolongankan pula sebagai tafsir tahlili. Dalam penjelasannya, al Alusi memiliki kecenderungan banyak menjelaskan makna samar yang diisyaratkan oleh lafad. Kecenderungan penafsiran seperti ini dinamakan tafsir isyari atau tafsir shufi. Secara garis besar ayat 60-70 surah al-Kahfi, berisikan tentang perjalanan ilmiah Nabi Musa dengan Nabi Khidir. Al-Alusi menafsirkan bahwa yang dimaksud “Musa” dalam ayat tersebut adalah Musa bin Imran, seorang Nabi Bani Israil, dan menurutnya pendapat ini merupakan pendapat yang shahih. Dan ia menyanggah argumen ahli kitab yang tidak mengakui Musa dalam kisah al-Kahfi adalah Nabi Musa melainkan Musa bin Afrasim bin Yusuf. Secara metaforis (majazi) pertemuan antara Nabi Musa dan Nabi Khidir disebutkan sebagai Majma’ al-Bahrain, karena keduanya dianggap lautan ilmu. Akan tetapi al-Alusi tidak sependapat dengan penafsiran metaforis tersebut, ia menafsirkan majma’ al-bahrain sebagai muthlaq al-bahrain, yang menunjukkan suatu tempat. Selanjutnya, dalam menafsirkan ayat wa’allamnahu mil ladunna ’ilma. Ilmu ladunni atau dikenal dengan ilmu batin yang dipahami dari ayat tersebut merupakan ilmu yang diberikan langsung oleh Allah. Al-Alusi membantah anggapan sebagian kaum sufi yang mengatakan bahwa ilmu batin atau ilmu hakikat itu boleh menyalahi ilmu lahir atau ilmu syariat, dengan tegas alAlusi menyatakan haza za’mun batil, ‘ati al-khayal fasidun. Ini adalah anggapan yang keliru, omong kosong, ilusi dan salah. Dalam ayat: hal attabi’uka ’ala antu’allimani mimma ’ullimta rusyda. Ilmu yang diharapkan Musa adalah rusyd yang menurut al-Alusi berarti itsÉbat al_____________ 16
Al-Alusi, Ruh al-Ma’ani…, 333.
Al-Mu‘ashirah Vol. 9, No. 2, Juli 2012
159
khair (ilmu yang dengannya seseorang dapat tepat dalam mengetahui kebaikan). Nabi Khidir mau menerima permintaan Musa dengan catatan jika nanti berada di perjalanan Musa melihat hal-hal yang aneh yang dilakukan Khidir, ia tidak boleh bertanya, sampai Khidir sendiri yang akan menjelaskannya. Nabi Khidir-pun sebenarnya sudah tahu bahwa Musa tak akan mampu menyertainya. Hal itu tampak dari pernyataan Khidir yang direkam dalam surah al-Kahfi.
160
Zuherni: Dimensi Tasawuf dalam Tafsir Ruh al-Ma’ani Surat al—Kahfi...
DAFTAR PUSTAKA
Al-Alusi. Ruh al-Ma’ani fi Tafsir al-Quran ‘Adzim wa al-Sab’i al-Matsani, juz. V. Beirut: Ihya al-Turats al-‘Arabi, t. th Baidan, Nashruddin. Metodologi Penafsiran al-Quran. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, 2000 Bakhtiar, Amsal. Tasawuf dan Gerakan Tarekat. Bandung, Angkasa, 2003 Al-Bukhari. Al-Jami’ al-Shahih. Madinah: Markaz Khadim al-Sunnah wa alSirah, t. th Al-Dzahabi. Al-Tafsir wa al-Mufassirun. Egypt: Dar al-Hadits, t. th Al-Qattan, Manna’ Khalil. Studi Ilmu-ilmu Qur’an, pent: Drs. Muzakir. Bogor: Litera Antarnusa dan Pustaka Ilmiyah, 2000 Al-Shiddiqy, Hasbi. Sejarah dan Pengantar Ilmu al-Quran. Jakarta: Bulan Bintang, 1974)
Al-Mu‘ashirah Vol. 9, No. 2, Juli 2012
161