Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
ISSN 1.41,0-4946
Volume 5, Nomor
1.,
Juli
2001. (61-90)
DIMENSI GERAKAN DALAM PROSES PEMBENTUKAN PROPINSI BANTEN Yaya Mulyana
Abstract Behind the legal-administratiue procedures formally set out for creating a nea) proaince, A web of interaction among uarious parties in fact play a critical role in facilitating aarious segments of ciuil society to take part. It is through such a uteb of interaction that the formal procedures Tnere pushed forward, to arriue at a succees in gaining official detachment of Banten from the proaince of West laua. The synergetic interlink betuteen ciuil society and political society underlined the importance of treating them as medium for enganing in a political moaement for achieaing a particular goal.
Kata-kata Banten.
Gerakan sosial, pada akhirnya, tidak lain adalah gerakan politik. Antonio Gramsci
Pendahuluan
Artikel ini ditulis untuk memperlihatkan bahwa di balik terbentuknya propinsi Banten belum lama ini, sebetulnya terdapat kompleksitas proses yang tidak bisa dicerna sebagai proses administratif. Lebih dari itu, tulisan ini memperlihatkan bergeloranya gerakan politik yang ditempuh dengan memobilisasi berbagai potensi budaya Yaya Mulyana adalah mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
6l
Jurnal IImu Sosial & IImu Politik, Vol. 5, No
1,
Juli 2001
dan solidaritas lokal. Yang menarik untuk dicatat sejak awal pembicaraan adalah bagaimana proses perubahan berlangsung. Segmentasi formal ke dalam ikatan-ikatan kepartaian, elit-massa dan pemerintah-rakyat menjadi tersembunyi dalam proses perjuangan untuk meraih status resmi, Banten sebagai propinsi tersendiri.
di dunia juga dalam ini berubah kecuali perubahan itu sendiri. Demikian Sebuah petuah klasik mengatakan bahwa semua hal
kehidupan sosial, perubahan sosial terjadi sebagaimana bumi berputar yang dapat ditimbulkan oleh berbagai sebab. Secara garis besar ada beberapa sebab yang mendorong Perubahan sosial, pertama karena kekuatan ide. Banyak pakar misalnya Max Weberl melihat bahwa ide atau gagasan dapat berpengaruh cukup besar terhadap masyarakat. Sebagaimana juga sebuah ideologi menjadi suatu kekuatan yang sangat dominan dalam menentukan arah sejarah suatu masyarakat atau negara. Di samping ide, adanya tokoh-tokoh besar atau pahlawan dalam sejarah juga mempengaruhi perubahan sosial. Misalnya Thomas Carlyle mengatakan, "sejarah dunia adalah biografi orang-orang besar." Adanya tokoh-tokoh besar atau pahlawan ini dengan para simpatisannya melancarkan gerakan untuk mengubah masyarakatnya menjadi great indiaiduals as a historical force.2 Penyebab terakhir dari sebuah perubahan sosial adalah adanya
gerakan sosial itu sendiri yang digerakan oleh kekuatan masyarakat sendiri seperti LSM, mahasiswa, ulama atau ciuil society. Ciail society menurut Alfred Stepan,3 merupakan arena tempat berbagai gerakan sosial dilakukan seperti komunitas ketetanggaan, kelompok wanita, kelompok keagamaan atau kelompok intelektual serta organisasi dari beragam kelas seperti asosiasi ahli hukum, wartawan, serikat buruh dan asosiasi pengusaha yang menyatakan diri mereka di dalam suatu himpunan sehingga mereka dapat mengungkapkan diri dan kepentingan mereka.
' Lihat Max Weber (7976).The Protestnnt Ethics andThe Spirit Capitalism. London: George Allen & Unwin. 2
Jalaludclin Rakhmat 0999). Rekayasa Sosial: Reformasi atau Reaolusi? Bandung: Remadja Rosda Karya. ' Alfred Stepan 0990. The State and Societv, Peru in Comparatiue Perspecfiue, Princeton, New Jersey: Priceton University Press.
62
Yaya
Mulyana, Dimensi Gerakan dalam Proses Pembentukan Propinsi Banten
Dengan demikian ciuil society pada hakekatnya merupakan suatu konsep tentang keberadaan masyarakat yang mandiri dan dalam batas-batas tertentu mampu memajukan dirinya sendiri, cenderung membatasi intervensi negara ke dalam 'rel' yang telah diciptakan sebagai ruang kegiatannya.o Dalam perkembangan terakhir, konsep ciail society digunakan
untuk memahami gerakan demokratisasi yang bersifat universal. Konsep ini menekankan independensi masyarakat berhadapan dengan kekuasaan negara. Oleh karena itu, ia seringkali dianggap sebagai akar dari gagasan-gagasan demokratisasi. Menurut Cohen dan Aratos , ciail society tegak di atas prinsip-prinsip egalitarianisme dan inklusivisme yang bersifat universal. Pengalaman mengartikulasikan kemauan politik dan pengambilan keputusan yang bersifat kolektif merupakan hal yang krusial bagi reproduksi nilai-nilai demokrasi.
Dalam pada itu, masyarakat politik6 (political society) merupakan suatu arena tempat suatu polity mengorganisasi dan mengatur dirinya sendiri di dalam kontestasi politik untuk memperoleh kontrol atas kekuasaan pemerintah aparat negara. Dalam hal ini, menurut Nasikun,T masyarakat sipil memang dapat menjatuhkan suafu pemerintahan tetapi dalam suatu transisi demokrasi tidak mungkin hal itu dilakukan tanpa melibatkan masyarakat politik sebagai saluran untuk mengungkapkan dirinya secara politis.
Meskipun jelas bahwa salah satu fungsi penting kehadiran masyarakat politik adalah sebagai media pengungkapan kepentingankepentingan dari masyarakat sipil, hubungan di antara keduanya tidak selalu berbanding lurus. Dalam banyak kasus, justru seringkali terjadi
konflik kepentingan di antara keduanya bahkan keduanya saling mencurigai. Itu sebabnya Hegel menarik demarkasi antara masyarakat a
Lihat Ryaas Rasyid (1997), Kajian Awal Birokrasi Pemerintahan dan Politik Orde Baru. Jakarta: MIPI dan Yasrif Watampone, 5 Jean L. Cohen dan Andrew Arato 099D. Ciail Society and PoliticalTheory. Massachusetts: MIT Press, hlm. 19. 6 Masyarakat politik yang demokratis diantaranya partai politik, pemilu, peraturan prosedur pemilihan, kepemimpinan politik, aliansi antar partai dan lain-lain. 7 Nasikun (1999).'Pergumulan Politik Nasional dalam Perspektif Komunitas Desa.' Makalah, Seminar Sehari, Otonomi Daerah dan Prospek Demokrasi Desa,Yayasan LAPERA Indonesia, LKBH
Ull dan Fisip UMY, Yogyakarta,30 Nopember. 63
Jurnal Ilmu Sosial & IImu Politik, Vol. 5, No
L,
/uli
2001
dan ciail society yang dianggaPnya non Politis. Bagi Hegel, " polilics began where ciail society ended. " Tentu hal ini menimbulkan kritik
politik
misalnya dari ]urgen Habermas yang melihat masyarakat kewargaan merupak an constitutiae condition dari masyarakat politik. Masyarakat politik dan ciail society adalah dua istilah yang interchangeable. Ciail so' iiety pada dasarnya identik dengan ruang publik dan masyarakat modern yang berfungsi dengan baik.8 Tentunya keduanya akan menjadi suatu kekuatan yang sangat jika saling mendukung dan bersinergi khususnya dalam besar menghadapi kekuatan dan dominasi negara.e Sinergi dan kolaborasi dari dua kekuatan masyarakat inilah yang memungkinkan dalam waktu yang relatif singkat sekitar satu tahun negara memenuhi aspirasi dan tuntutan masyaiakat Banten. Terhitung sejak ide gagasan Pembentukan
Propinsi Banten dicetuskan kembali di Pesantren Darul Ilmi,
Pandeglang tan ggal5 Pebru ari 7999 sampai terbentukt yu Propinsi Banten tanggal 4 Oktober 2000. Sinergi antara kekuatan masyarakat sipil dan masyarakat politik ini kemudian menjadi kata kunci keberhasilan gerakan pembentukan Propinsi Banten, tentunya di samping adanya faktoriaktor lain yang mendukung. Fakta ini semaktn shahih karena gerakan untuk membentuk Propinsi Banten juga sempat dilakukan pada dekade 1960-an oleh kalangan masyarakat politik atau politisi asal Banten di DPR-GR tetapi kandas dan akhirnya terbungkam sampai menunggu tiga dekade kemudian setelah Soeharto jatuh. Pembangkitan kembali ide ini kemudian dicetuskan dan digalang dari bawah dulu, mulai dari kalangan masyarakat sipil, sampai kemudian diresPon kalangan masyarakat politik baik di DPRD se-Banten maupun birokrat dan politisi di DPR RI. Tekanan dari dua kekuatan inilah yang menjadikan negara akhirnya "tunduk" pada keinginan masyarakat sipil ini.
8
Ryaas Rasyid, op.cit. him.325 " N"gutu dalam hal ini harus dipahami bukan hanya suatu pemerintahan saja melainkan juga suatu sistem administratif, legal, birokatis dan koersif yang berkesinambungan dan berusaha untuk tidak hanya mengelola aparat negara tetapi juga menyusun hubungan antara kekuasaan masyarakat sipil dan pemerintah serta menyusun berbagai hubungan yang mendasar antara masyarakat politik dan masyarakat sipil. Lihat Nasikun, ibid- hal. 2
64
Yaya
Mulyana. Dimensi Gerakan dalam Proses Pembentukan hopinsi Banten
Untuk melihat bagaimana dua kekuatan masyarakat ini beroperasi menggalang kekuatan, masing-masing akan diuraikan di bawah ini.
Gerakan Sosial Sebagai Ruang Publik Masyarakat Sipil Gerakan sosial pada dasarnya mempakan suatu manifestasi protes, perlawanan atau bahkan pemberontakan untuk mengubah suatu icea,Caan yang tidak baik, tidak adil atau yang dirasakan menindas kebebasan manusia menjadi keadaan atau kondisi yang diharapkan. Upaya untuk mewuiudkan keadaan yang diharapkan atau *L"ghilan$kan dan mengeliminasi keadaan yang menindas itu dilakirkan dengan m elalui berbagai langkah atau tahap. Setiap ilmuwan merumuskan tihap,tahap ini secara berbeda sesuai dengan pengalaman dan pengetahuar, yut g dialaminya. Dari berbagai rumusan pemikiral put" it*-.twan *"t g"r,ai tahap-tahap bagaimana suatu gerakan sosial Lekerja, penulis mi**nskannya sendiri berdasarkan relevansi dan urgensinya untuk melihat gerakan sosial di Banten setidaknya ke dalam enam tahap gerakan sosial. Pertama, munculnya ketidakpuasan. Ini dikarenakan berb agai faktor seperti penurunan kualitas hidup, kesenjangan ekonomi,
keamanun maiyarakat, pelayanan pemerintahan dan lain-lain. Ketidakpuasan ini terus terakumulasi dengan berjalannya waktu yang
berbarengan dengan keadaan yang tidak berubah menjadi lebih baik. Ketidakpuasan individual ini berub ah menj adi ketidakpuasan kolektif ketika muncul seorang agitator yang memprovokasi keadaan ini sebagai kesalahan dan ketidakadilan pemerintah terhadap rakyat yang mendorong rakyat untuk memprotes dan melawannya. Dalam iconteks masyarakat Banten ketidakpuasan ini disulut jtgu oleh faktor historis dan etnisitas yang menempatkan kaum birokrat Priangan dianggap ikut terlibat dalam Proses "kolonialisme" terhadap warga Banten baik zaman Belanda maupun zaman Orde Baru. Sebagaimana dikatakan wakil Ketua KPPB, Djajuli Mangkusubrata di hadapan tim DPOD di Serang bahwa, "Rakyat Banten lebih baik hidup merdeka dalam Propinsi Banten sekalipun serba kekurangan dahulu daripada hidup serba ada tapi tetap "dijajah" oleh propinsi lain. Hal yang sama sebagaimana dikatakan Guru Besar UNTIRTA dan STAIN Hasanuddin, 65
Jurnal llmu Sosial & Ilmu
Politik
Vol.
5 No
1,
Juli 2001
Suparman Usmdn,lo dengan mengutif pahlawan Philipina, Jose Rizal bahwa, "Lebih baik hidup di neraka tapi merdeka daripada hidup di surga tapi dijajah."
Di samping itu, ketidakpuasan iuga dimunculkan dalam berbagai sektor lain seperti distribusi pembangunan ekonomi, pendidikan dan kesehatan yang lambat serta banyaknya desa IDT di Lebak dan Pandeglang dibanding daerah Priangan lainnya. Sementara diungkap iuga milyaran pajak yang disumbang Banten pada propinsi sementara pengembaliannya tidak memadai. Demikian juga perhatian, pelayanan Pemerintah Jawa Barat terhadap daerah ini dianggap rendah dibanding ke daerah Priangan lainnya. Misalnya UU Mangkusasmita mencontohkan ketika terjadi banjir bandang di Banten selatan, Gubernur Jawa Barat baru datang setelah sebulan berlalu dengan bantuan yang tidak memadai tidak sebagaimana ketika gempa terjadi di daerah Tasikmalaya. Keluhan masyarakat Banten itu disanggah oleh Gubernur H. Nuriana dalam Penjelasan Pemandangan Umum Gubernur atas Jawaban Fraksi-Fraksi DPRD Jawa Barat mengenai Laporan Perta nggungj aw aban Gubernur tahun 1999 -2000 dengan men gatakan keluhan tersebut tidak beralasan. ]ika dilihat dari segi sosial-ekonomi, aspek prasarana fisik, adanya kawasan industri di Serang dan Tangerang serta adanya pembangunan Prasarana pendukung desa tertinggal (P3DT) sejak 7995-7999 yangmenyerap 53,31Vo dantotal dana Jawa Barat. Dari data-data itu, menurut Gubernur tidak benar jika dikatakan bahwa Pemerintah Jawa Barat tidak memberi perhatian yang cukup pada wilayah Banten. Tentu saja warga Banten yang sudah terlanjur kecewa tidak akan mempedulikan angka-angka seperti itu. Kedua, pembentukan esprit de corp.
Agitasi meniadi penting
bukan hanya untuk menarik perhatian dan terlibat aktif dalam gerakan sosial. Akan tetapi jnga untuk mengarahkan tindakan yang sporadis, tidak saling berhubungan dan berjangka pendek menjadi lebih solid dan teratur. Dalam hal ini pengembanganesprit de corps menjadi sangat penting untuk membangun perasaan bersama, solidaritas dan perasaan r(r
Lihat artikel Prof. Dr. Suparman Usman (2000). 'Menyongsong Propinsi Banten.' Pikiran
Rakvat, Bandung, 15 Mei.
66
Yaya Mulyana,
Dimensi Gerakan dalam Proses Pembentukan Propinsi Banten
senasib sepenanggungan yang kemudian membangunnya dalam suatu perasaan in group,ll
ini dikembangkan para elite Banten dengan mudah dengan mengusung isu etnisitas bahwa Banten itu berbeda dengan Priangan. Secara entitas dan etnisitas Banten terpisah dari Priangan Perasaan
dengan dipisahkan oleh Jakarta dan secara historis Banten mempunyai ialan sejarahnya sendiri yang berbeda dengan sejarah Priangan yang sempat dijajah Mataram. Sementara Banten sempat berjaya dengan kesultanannya. Bahkan sejak lama Banten dan Priangan itu berhadapan baik secara langsung maupun tidak langsung. Di zaman Belanda Para pamong praja Priangan menjadi kaki tangannya sehingga oleh Para pejuang Banten disamaratakan dengan Belanda dan permusuhan ini berlanjut sampai zaman kemerdekaan dengan terjadinya pengusiran birorkat Priangan oleh revolusionis Banten. Di zaman Orba malah Banten merasa dijajah kembali oleh para birokrat Priangan yang menjadi bupati dan pejabat.
Oleh karena itu isu dalam gerakan sosial ini berusaha dibangkitkan kembali para elite-nya untuk memban gur. esprit de corps di kalangan warga Banten. Pendekatan primordial ini terbukti cukup ampuh dalam menggalang dukungan elite yang sudah lama menghisap udara metropolitan. Meskipun tentu saja tidak sedikit elite lain yang dengan berbagai alasan tidak tertarik untuk mendukung, secara umum pada akhirnya banyak elite Banten yang mendukung. Menurut Aeng Chaerudin,tt salah satu karakteristik Banten adalah ketika terjadi "sesuatu" pada warga Banten maka kebanyakan orang Banten merasa terpanggil untuk ikut terlibat. Hal ini sejalan dengan salah satu karakteristik etnisitas yang dilandasi sikap kesetiaan atau loyalitas yang tinggi pada kelompok yang diwujudkan dalam bentuk sikap toleran dan sangat membantu.l3 Etnisitas juga memperlihatkan kecenderungan primordial, parokial dan asal-usul vis a vis kelompok etnis lain.ta rr Herbert Blumer (196r. 'Social Movements.'Dalam Barry Mclaughlin (ed.). Studies in Social A Psycological Perspecfioe. New York: The Free Press. r? Aeng Chaerudin, wawancara, Maret 2001. 13 Yanuanis Koli Bau (1999) - Negara, Etnisitas dan Sektor lnformal. Disertasi tidak diterbitkan.
Moaements:
Yogyakarta: UGM Yogyakarta. ra Husin Thalib 0990.lslam dan Etnisitas, Perspektif Politik Melayu. Jakarta: LP3ES.
67
/urnal llmu Sosial & IImu Politik,
Vol.
5 No
1,
Juli 2001
Sikap,sikap seperti itu terlihat misalnya ketika Ekky Syahrudin yang begitu bersemangat saat berbicara di liputan 6 SCTV soal keunggulan Banten dibanding Priangan atau sebagaimana Ronny Nitibaskara dan Tryana Sajm'un ketika membela nafas kebantenan. Munculnya ketegangan etnis seperti ini dapat dipahami oleh beberapa sebab, pertama,rasa diperlakukan tidak adil seperti hilangnya otonomi kotektif atau represi oleh kelompok dominan. Kedua, hilangnya kebebasan dan otonomi yang pernah dikenal. Ketiga, diskriminasi aktif dalam politik, ekonomi dan budaya yang mengancam status kelompok.
Keempat, kehadiran organisasi militan yan1 menggalang pemberontakan.ls Selanjutnya ]un Osawa menambahkan faktor lkot o*i sebagai penyebab konflik, bahwa semakin rendah petumbuhan ekonomi semakin besar peluang konflik antar etnis.16 Sentimen etnis itu lebih kentara lagi ketika Badan Koordinasi Pembentukan Propinsi Banten (BKPPB) mengadakan seminar sehari bertema, "Perspektif Masa Depan Propinsi Banten: Peluang Tantangan dan Stra tegi" yang diselenggarakan di Ballroom Hotel Sahid Jaya,20 Maret 2000, yang pada dasarnya merupakan respon terhadap laporan Pemda Jawa Barat di Pansus DPR RI tanggal 6 Maret 2000 yang mempunyai pandangan negatif terhadap orang Banten. Maka dari itu d.alam sambutannya, Ketua BKPPB, H.Tb. Tryana Sam'un mengatakan bahwa Priangan selain pernah ditaklukkan Mataram j,rgu menyeraP budaya feodalistiknya sedangkan Banten tidak pernah ditaklukan dan apalagi menyerap budaya Mataram. Banten tetap egaliter,'blak-blakar' dan mempunyai azas kebersamaan. sementara itu, figur Priangan yang jtgu pakar sejarah UNPAD, Nina H. LubislT yang dituduh menjadi pendukung Propinsi Banten tetapi oleh elite Banten diakui sebagai "warga kehormatan" , melihat bahwa tekanan dan konflik yang berkepanjangan yang melahirkan "tradisi berontak" itu juga didukung oleh perbedaan watak atau karakter orang Banten dengan orang Priangan. Orang Banten merasa Integrasi Bangsa.' lurnal Sejarah' No. 8. 'National Identity and Etnic-religion Conflict: Some Statistical Correlaion.' Asia-Pacific Reuiqt;, Vol. 4 No. 1, Spring/Summer. 17 Nina H. Lubis (2000). Dinamika Sosial Budnya Banten, dalam Penyusunan Rencana Strategis Pemhanguttan Wilayah Banten. Bandung: LPM UNPAD (2000). 'Membangun "fn Emil Salim (1,997). Jun Osaw a
68
Yaya
Mulyana, Dimensi Gerakan dalam Proses Pembentukan Propinsi Banten
bahwa mereka memiliki budaya yang berbeda dari orang Priangan yang memang benar-benar orang Sunda. Orang Sunda adalah orang yang sehari-harinya mempergunakan bahasa Sunda dan menjadi pendukung kebudayaan Sunda. Orang Sunda yang tinggal di Priangan mempunyai cukup banyak perbedaan dengan mereka yang tinggal di Banten atau Cirebon. Perbedaan-perbedaan itu berusaha dipertajam dalam gerakan pembentukan Propinsi Banten ini, sebagian merupak an count er dicourse atas dominasi wacana para elite Priangan. Mengambil contoh kasus konflik Negara Sumatera Timur terbukti bahwa timbulnya konflik atau ketegangan berbau etnis tidaklah berdiri sendiri. Malahan dimensi etnis sekedar dijadikan sebagai alat manipulasi untuk menggalang dukungan politik dan ekonomi dari kalangan elite pribumi yang mulai tergusur oleh agresifitas kaum pendatang.tt
Hal ini jrga terjadi dalam kasus Banten. Seperti terbukti bahwa setelah Banten resmi menjadi Propinsi ke 30, Para tokoh Banten yang tadinya melihat perbedaan Banten-Priangan itu akhirnya juga mengakui bahwa keduanya pada dasarnya masih satu rumpun yang sama seperti terlihat dari ucapan Tryana Sjam'un mauPun Ali Yahya yang mengatakan, "Meskipun Banten telah terpisah dari Jawa Barat, kedua masyarakat sejatinya adalah satu dan senantiasa bersaud ara."le Atau sebuah spanduk yang terbentang di Gedung DPR pada saat pensahan Propinsi Banten itu yang berbunyl, "Urtng Bandung ulah pundung, Warga labar sing jalembar, urAng masih dulur" (Orang Bandung jangan marah, warga Jabar agar toleran, kita masih saudara). Ketiga, tahap formalisasi dan institusionalisasi. Melalui tahap ini gerakan yang tadinya bersifat sporadis dan tidak terkoordinir berubah menjadi lebih terorganisasi dengan penetapan Peran/ kebifakan, taktik dan disiplin organisasi. Dalam hal ini jelas gerakan sosial dibangun ke dalam organisasi yang fixed dengan menemPatkan
fs Kemala Candrakirana (1989). 'Geertz dan Masalah Kesukuan.' Prisma No. 2 Jakarta: LP3ES. Tulisan ini berasal dari intisari thesis berjudul, 'Ethnic-based Political Movement in East Sumatra: The Role of Ethnicity in Politics' di Cornell University, Ithaca, New York' 1e Pikiran Rakyat,5 Oktober 20001
69
Jurnal IImu Sosial & Ilmu Politik, Vol. 5, No I, Juli 2001
orang dan sumber daya lain ke dalam struktur untuk memudahkan proses pencapaian tujuan gerakan sosial.2o Respon dan antusiasme berbagai kalangan masyarakat terhadap ide pembentukan Propinsi Banten ini telah mendorong beberapa elitenya untuk mengkonsolidasikan diri secara lebih teratur, sistematis dan terorgansir. Di tengah euforia reformasi yang merembes deras ke pelosok, beberapa elitnya dengan latarbelakang kepentingan berbeda, menggalang diri dengan membentuk LSM, forum atau himpunan untuk menggalang ide ini dan berusaha mewujudkannya. Organisasi-organisasi tingkat lokal di atas begitu kuat karena selain didukung oleh tokoh-tokoh yang sudah diakui, i.tgu didukung oleh jaringan tokoh lainnya di berbagai daerah dan di pusat serta dalam birokrasi sendiri seperti terlihat dalam struktur organisasinya.. Di samping organisasi masyarakat itu, para aktivis mahasiswa yang mengkonsolidasikan diri ke dalam berbagai kelompok dan forum untuk maksud membantu mengaktualisasikan pembentukan Propinsi Banten ini baik yang ada di Banten sendiri maupun di luar Banten seperti lewat FAMTD, FORBAN dan lain-lain. Tidak ketinggalan juga adalah warga Banten di luar Banten yang turut terpanggil untuk mengkonsolidasikan diri atau setidaknya lebih eksis setelah adanya isu ini seperti warga Banten yang ada di Bandung lewat RIWABAN, warga Banten Jakarta, Cianjur, Lampung dan lain-lain. Pengorganisasian gerakan semacam ini tentu saja menjadikan upaya-upayauntuk mencapai sasaran gerakan menjadi lebih efektif dan efisien. Keempat, faktor-faktor yang memPercepat pecahnya suatu fenomena sosial skala besar menjadi suatu gerakan sosial meliputi
berbagai peristiwa seperti adanya kerusuhan, krisis ekonomi, pembantaian yang memberikan bukti kongkret terhadap suatu substansi kepercayaan umum.2r
Faktor-faktor yang mempercepat gerakan sosial dalam konteks ini meliputi faktor-faktor makro politik nasional yang meliputi dan C.A. Dawson dan W.E. Getty (1935). Introduction to Sociology. Gdisi Revisi) New York: Roland Press, hal, 19 21 Neil J. Smelser (1962). The Theonl of Collectiae Beltaaior. New York: Free Press, hal, 72 -77 dalam Marx Hagopian (1978). Regints, Moaement and lcleoktgies. Nerv York: Longman Inc. 20
70
Yaya
Mulyana, Dimensi Gerakan dalam Proses Pembentukan Propinsi Banten
mempengaruhi atmosfer politik lokal dan bahkan mengubah kepercayaan umum masyarakat selama ini. Dampak yang mempunyai pengaruh besar secara psiko-politik adalah kejatuhan Soeharto yang selama tiga dekade dianggap "the untouchable" yang kukuh tak bergeming seperti "pohon beringin"-nya Golkar. Kejatuhan Soeharto ini seperti membangunkan macan tidur yang tertelap selama tiga dekade dicekam "mimpi buruk" yang kemudian menciptakan suatu euforia reformasi yang 'menggelegak' di masyarakat dan berusaha melakukan dekonstruksi dalam berbagai tatanan Orde Baru baik di infra-struktur maupun supra-struktur politik. Era ini ditandai dengan upaya deniokratisasi kehidupan kebangsaan dan merekonstruksi bangunan yang lebih demokratis dan terbuka. Daerah-daerah yang selama ini juga merasa dieksploitasi pusat juga turut bangkit mulai melancarkan serangan dan protes pada pusat. Beberapa daerah seperti Aceh, Irian Iaya dan Riau menuntut merdeka, daerah lain menuntut propinsi seperti Banten, Gorontalo, BangkaBelitung dan Riau Kepulauan. Banten sendiri berteriak karena selama ini merasa 'dizholimi' pemerintah ]awa Barat. Meskipun Nuriana membantahnya, pembelaan dan daya tahan Nuriana sendiri saat itu dalam kondisi lemah karena ia sendiri dan mantan pembantunya seperti Sekwilda Ragam Santika dan wakil
Gubernur Ukman Sutaryan tengah menghadapi penyelidikan pengadilan menyangkut adanya dugaan KKN pada beberapa proyek. Dengan perubahan sistem pemerintahan dan nuansa politik yang terjadi kekuasaanya terhadap daerah tentu saja tidak'sekokoh' dulu. Terlebih pembelaan dari kalangan birokrasi atau masyarakat sendiri terhadap permintaan lepasnya Banten ini hampir-hampir tidak terdengar.
Kondisinya tambah tidak menguntungkan lagi karena dua presiden yang sempat berhubungan dengan warga Banten yaitu BJ. Habibie dan Abdurrahman Wahid justru memberikan dukungan terbuka terhadap terbentuknya Propinsi Banten, sehingga suara penolakan Nuriana akhirnya menjadi suara minor yang sayup-sayup saja terdengar. Bahkan jika ia terus bersikukuh dengan pendiriannya ia akan berhadapan dengan "rakyat" yang setelah reformasi itu seolah mengambil kembali kedaulatannya yang selama ini dirampas Orba. Aspirasi rakyat dan kekuatan rakyat sekarang menjadi suatu kekuatan
7l
Jumal IImu Sosial & Ilmu
Politik
Vol.
5 No
1,
/uli
2001
utama dalam arus percaturan politik yang berhadapan dengan dominasi negara atau aparatus negara. Makanya, tokoh-tokoh seperti Uwes Qorny yang menjadi ketua DPR dan Irsyad Djuwaeli yang sempat jadi
pengurus Golkar tidak menggunakan kendaraan partai ini, tapi menggunakan organisasi sosial yang lebih netral seperti KPPB dan Pokja PPB. Kondisi makro politik inilah yang memPercepat gerakan sosial di Banten ini mencapai tujuannya. Kelima, mobilisasi massa dan elite. Suatu gerakan sosial tanpa
adanya keterlibatan pemimpin yang efektif akan dengan cepat mengalami kegagalan. Pemimpin dengan demikian menempati posisi yang sangat penting untuk menciptakan skenario yang tepat dalam gerakan sosial dan bukan sekedar tindakan sPontan.22 Point ini berkaitan dengan Peran strategi pemimpin dalam mengkoordinasikan sebuah gerakan. Hal ini nampak sangat disadari oleh kalangan elite di Banten dalam menyusun gerakannya. Misalnya pemilihan Uwes Qorny sebagai pemimpin gerakan bukan hanya karena ia menjadi salah satu pelopor yang paling konsisten bagi gerakan pembentukan Propinsi Banten sejak tahun 7966 tapi ia jnga sudah teruji dalam organisasi dan berpengalaman dalam politik sehingga dalam waktu singkat ia sudah mampu membangun jaringan organsiasi BKPPB sampai tingkat kecamatan di seluruh Banten bahkan sampai ke Bandung. Demikian iuga di Pokja PPB banyak terdapat aktivis dan tokoh berpengalaman, ketuanya Irsyad Djuwaeli selain beberapa kali jadi anggota DPR dari Golkar juga di masyarakat dikenal sebagai salah satu pemimpin Ormas keagamaan terbesar di Banten yaitu Mathlaul Anwar. Di Dewan Penasehatnya ada tokoh jawnra H. Chasan Sohib yang sudah diakui ketokohannya baik di kalan gan jawara sendiri mauPun pengusaha di Banten bahkan di Kadin Jabar dan Gapensi Pusat ia juga duduk sebagai pengurus sehingga dari jaringan ini ia bisa mengakses elite atau tokoh lain yang diperlukan.
Dirigen lain yang cukup penting dari kalangan pengusaha adalah Tryana Sjam'un yang menjadi ketua BKPPB yang mempunyai
22
Neil
72
J.
Smelser lbid. hlm 263
Yaya Mulyana,
Dimensi Gerakan dalam hoses Pembentukan lTopinsi Banten
jaringan luas dan dengan efektif mengkoordinasikan gerakan lokal ini ke tingkat pusat dengan melakukan berbagai lobi dan pendekatan ke berbagai sumber pengambilan keputusan penting di Jakarta. Jika di tingkat lokal masih ada beberapa wadahyang menggalang massa dalam gerakan pembentukan Propinsi Banten ini, maka di tingkat pusat wewenang untuk menggalang dan mengkoordinir gerakan sosial ini hanya dilakukan oleh Bakor PPB yang meman g anggotanya menampung tokoh dari berbagai organisasi, aktivis LSM dan mahasiswa warga Banten. Keenam,
taktik mencapai tujuan. Taktik yang dimaksudkan
dalam hal ini meliputi bagaimana meraih dukungan para pengikut dan simpatisan, memobilisasi dan memaksimalkan peran pengikut serta bagaimana meraih tujuan-tujuan dari gerakan sosial ini.23
Pada fase ini dilakukan berbagai langkah dan uPaya untuk mencapai tujuan dengan mengerahkan semua potensi dan sumber daya yang ada. Setelah sosialisasi dan pembentukan opini massa terbentuk maka langkah-langkah selanjutnya adalah manuver dan gerakan yang dilakukan ke segala arah dengan tujuan akhir yang sama yaitu terbentukanya Propinsi Banten. Di tingkat massa terus digalakkan berbagai wacana bagi Propinsi Banten baik dalam pengajian, diskusi maupun pertemuan-pertemuan massal. Di tingkat elite gerakan diarahkan baik ke kalangan eksekutil legislatif maupun penggalangan di kalangan elite sendiri. Jika KPPB lebih berorientasi pada penggalangan massa di tingkat bawah, maka Pokja PPB lebih berorientasi ke kalangan elite baik di tingkat Jawa Barat maupun I'usat sementara mahasiswa baik yang ada di Banten mauPun yang ada di Bandung dan fakarta lebih banyak melakukan tekanan dan tuntutan baik ke DPRDJawa Barat maupun DPR RI. Semua gerakan ini meskipun nampak bersifat diaergen pada akhirnya merupakan satu sinergi yang mengarah pada titik yang sama.
Medan perjuangan selanjutnya beralih pada domain supra struktur politik. Dalam hal ini kalangan masyarakat politik khususnya yang mempunyai ikatan emotional dengan Banten baik karena alasan 23
Herbert Blumer (1959).'Social Movement.' Dalam Barly Mclaughlin (ed.) Studies in Social A Social Psycological Perspectiae. New York: The Free Press.
Mouements-
73
/urnal llmu Sosial & IImu Politik, Vol.5 No
1,
Juli 2001
geneologis maupun politis yang ada di eksekutif maupun di legislatif akhirnya bersuara satu untuk mewudkan propinsi Banten. Perjuangan
kini beralih dari masyarakat sipil ke masyarakat politik seperti dikatakan Hegel, politik dimulai ketika masyarakat sipil berakhir.
Gerakan Politik: Antara Pra dan Pasca Reformasi Gerakan politik untuk memperjuangkan terbentuk^ya Propinsi Banten ini sudah cukup lama setidakya aspirasi ini sudah muncul pada tahun 1953, tetapi secara lebih kuat, muncul lagi pada akhir Orde Lama dan awal Orde Baru. Namun demikian, rezim yang baru lahir ketika itu menganggap bahwa ide itu dianggap berbahaya bagi kepentingan militer dan menguntungkan komunis sehingga berusaha diredam dan terus dengan represi negara yang demikian kuat, ide itu tidak pernah muncul lagi ke permukaan dan hanya mengendap di alam bawah sadar warga Banten sampai akhirnya rezim otoritarian Orba itu tumbang. Berbarengan dengan berakhirnya mimpi buruk itu maka ide itu tumpah bagai banjir 'bandang' sehingga penggalangan pasca reformasi itu sudah sampai pada point of no return, "sudah harga mati", kata orang Banten.
Gerakan Politik Pra Reformasito Perjuangan politik pembentukan Propinsi Banten pada dekade 1960-an banyak didominasi oleh kalangan parpol. Hal ini disebabkan peran politisi sipil masih 'bergigi' sehingga dalam waktu yang cukup singkat secara horizontal mendapat dukungan luas baik dari kalangan Ormas maupun eksekutif dan legislatif sewilayah Banten. Bahkan Panitia telah mengirim delegasi kepada Mendagri pada tahun 1964. Pada saat itu Mendagri menyatakan bahwa Banten menjadi Propinsi tidak usah dituntut karena sudah ada pemikiran dari Pemerintah Pusat yang ingin memberikan sesuatu kepada rakyat Banten. Pusat berhutang budi pada rakyat Banten yang telah berjasa bukan saja pada tahun 7945, namun juga pada saat penjajahan Belanda.
Sebagian besar uraian ini disampaikan Uwes Qorni (2000). 'Sandiakalaning Propinsi Banten.' Fajar Banter, Serang 2000. Lihat juga Uwes Qorny (1999). Pokok -Pokok Pikiran Pembentukan Propinsi Banten. Serang: BKPPB, Serang.
2a
74
Yaya Mulyana,
Dimensi Gerakan dalam lToses Pembentukan Propinsi Banten
Namun menurut Mendagri perlu sabar menunggu kesepakatan dengan DCI (Daerah Chusus lbukota) Jakarta yang merencanakan perluasan hingga Kabupaten Tangerang.s Perkembangan gerakan yang nampaknya bakal berhasil itu dilihat dengan cerdik oleh PKI DN. Aidit dengan membentuk CDB organ selevel Propinsi yakni CDB PKI Propinsi Banten pimpinan Dachlan Riva'i yang belakangan membentuk Dewan Revolusi Banten (Pola PKI). Meskipun setelah G-3O-S/PKI susunan Panitia Propinsi telah dibersihkan dari unsur PKI dan telah mulai melibatkan para aktivis Angkatan 66 di Jakarta dan Bandung yang asal Banten, ini tidak mengurangi kekhawatiran serta kewaspadaan pihak Kodam Siliwangi bila pembentukan Propinsi Banten akan menguntungkan sisa-sisa PKI dan karenanya perlu diantisipasi secara serius. Oleh karena itu, tidakberlebihanbila pada tahun 7966 Pangdam
Siliwangi, Mayor Jenderal Ibrahim Adjie meresmikan Korem 064/ Maulana Yusuf dalam misinya antara lain membendung gerakan Propinsi Banten. Gebrakan dan gerakan pertama yangdijadikan sebagai agenda akbar Korem Banten adalah Operasi Bhakti Siliwangi secara besar-besaran yang di tingkat Kodam Wakil Panglima Operasinya adalah Brigjen. Priatna, orang Rangkasbitung yang pernah meniadi Komandan Kontingen Garuda 11 di Kongo-Afrika.
Operasi Bhakti Siliwangi Korem Banten di bawah komando Danrem pertama dan yang terlama, Kolonel Senior Anwar, membangun infrastruktur perekonomian, gedung pertemuan umum Serang, rehabilitasi pelabuhan Karanghantu, Mesjid Ag,tt g Banten, tempat pendidikan, bendungan Cicurug Malingping, Pemandian Batu Kuwung dan lain-lainnya untuk membangun opini publik bahwa propinsi seakan-akan tidaklah begitu urgen. Namun, hal ini tidak mengurangi semangat dan tekad para penggerak Propinsi Banten. Pada pihak lain, pada tahun 1967 Kodam Siliwangi melakukan
tindakan represif dengan melakukan penahanan dan pemeriksaan
25
Mochamad Sanusi, Berita AcArA, Agustus 1957
75
Jumal llmu Sosial & Ilmu
Politik
Vo|.
5 No
1,
Juli 2001
terhadap beberapa orang aktivis Propinsi Banten. Mereka adalah Moch. Sanusi tokoh PSII yang jabatannya sebagai Wakil ketua DPRD-GR TK II Serang, Tb. Kaking pejuang 45 yang sukses dalam bisnis beras serta Rachmatullah Sidik pendidik aktivis Sekber Golkar, Serang. Sebagai klimaksnya dalam menyikapi gerakan Propinsi Banten Pangdam Siliwangi Mayjen H.R. Dharsono yang pernyataan adalah dimuat dalam harian Pikiran Rakyat yang menuding gerakan ini sebagai pola PKI. Kodam Siliwangi bersikap demikian agaknya didasarkan atas pemikiran tertentu yang berdasar perhitungan teritorial dan politis. Bahkan secara persuasif Brigjen Ali Moertopo menyampaikan Pesan kepada saya agar KAPPI Jabar tidak membahas Propinsi Banten demi keutuhan KAPPI dan tidak pecah antara KAPPI Banten dan KAPPI Priangan.
Sementara itu Ali Moertopo mengirim mantan PanglimaDl/ TII Jabar, Muhamad Danu Hasan, yang digunakan Opsu. Dengan demikian telah berlangsung operasi penggalangan bersama yang dilakukan oleh Pusat dan GubernurJawa Barat untuk mencari titik temu dua keinginan yang berbeda dalam masalah Propinsi Banten.
Tim Kolonel Abdullah berhasil membuat semacam konsesus dengan rakyat Banten melalui keputusan IV DPRD-GR sewilayah Banten yang menandaskan bahwa secara substantif tuntutan Propinsi Banten merupakan hak dan aspirasi rakyat namun waktunya dianggap belum tepat. Walhasil seakan-akan pupus sudah keinginan dan harapan rakyat Banten mewujudkan propinsi tersendiri. Meskipun tanggal24 Agustus 7970, Bustaman, SH. dan kawan-kawannya yang berjumlah 26 orang usul itu tidak sempat disidangkan lantaran terhambat oleh berbagai prosedur antara lain, Gubernur Solihin GP tidak siap melepas Banten, lagi pula Pemerintahan Pusat tidak memberikan lampu hijau. Sementara itu rekomendasi DPR-GR TK. I Jawa Barat menyerahkan sepenuhnya kepada Pusat. Kehendak politik di Jawa Barat atau secara nasional saat itu kurang kondusif dan tidak menguntungkan bagi kalangan Pro-Propinsi Banten karena bersamaan dengan persiapan Pemilu pertama Orde Bam.
76
Yaya Mulyana,
Dimensi Gerakan dalam hoses Pembentukan lTopinsi Banten
Boleh jadi analisis ini untuk sebagian tidak sepenuhnya bisa diterima oleh kalangan publik Banten khususnya bagi kaum Pejuang 45 dan para penggerak Propinsi Banten itu sendiri. Mereka berkehendak seperti itu tampaknya bukan didorong oleh motif ideologis politis atau sebatas primordial yang sempit melainkan hanya karena sikap romantisme kejuangan yang pernah mereka lakukan untuk bangsa ini
serta bagi kemerdekaan Republik Indonesia. Faktor lain yang mempengaruhi mungkin masih tumbuh mitos terhadap masa kejayaan
Sultan Banten dihadapkan dengan realitas sosial daerah Banten yang masih terlantar dan ditelantarkan dibandingkan dengan daerah-derah lainnya di Propinsi ]abar.
Gerakan Politik Pasca Reformasi Berbeda dengan gerakan separatisme yang menuntut kemerdekaan atau tuntutan mengubah bentuk negara dari kesatuan ke federasi, munculnya gerakan menuntut pembentukan atau pemekaran suatu daerah sebenarnya harus dianggap sebagai hal biasa dalam perkembangan dinamika kehidupan daerah guna meningkatkan efektifitas dan efisiensi penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan dan kemakmumn masyarkatnya. Upaya ini akan sulit dicapai jika pemerintah memPunyai kemampuan yang terbatas dalam melayani kebutuhan masyarakatnya baik karena faktor
geografis maupun kemampuan SDM aparatnya. Oleh karena itu pemekaran daerah harus dilihat sebagai salah satu jalan keluar terlaksananya tugas-tugas pokok pemerintahan yang meliputi bidang pelayanan, pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, pemeliharaan hubungan yang harmonis di antara warga masyarakat, jaminan bagi diterapkannya perlakuan yang adil kepada sesama warga masyarakat, pekerjaan umum dan pelayanan publik, peningkatan kesejahteraan sosial, penerapan kebijakan ekonomi yang menguntungkan masyarakat luas serta pemeliharaan SDA dan lingkungan hidup. Dengan demikian fungsi utama pemerintahan menurut Ryaas Rasyid mencakup pelayanan (seraice), pemberdayaan ( empowernmen t ) dan pembangunan ( deaelopment ) .26
26
Ryaas Rayid, op.cit. him, 116.
77
Jurnal llmu Sosial & IImu Politik, Vol.5, No 1,JuIi 2001
Secara yuridis landasan yang memuat persoalan pembentukan daerah terdapat dalam pasal 18 UUD 1945, selanjutnya dalam UU No. 22 Tahun 7999 tentang Pemerintah Daerah yang memberi peluang pembentukan daerah dalam suatu NKRI seperti tercantum dalam Pasal 5 ayat 1 yaitu: Daerah dibentuk berdasarkan pertimbangan kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial budaya, sosial
politik, jumlah penduduk, luas daerah dan pertimbangan lain yang memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah. Pasal 6 ayat 1 dan 2 menyatakan bahwa: (1) Daerah yang tidak mampu menyelenggarakan otonomi daerah dapat dihapus dan digabung dengan daerah lain dan sesuai dengan perkembangan Daerah. (2) Daerah dapat dimekarkan menjadi lebih dari satu daerah. Sementara itu peraturan yang memuat aturan pelaksanaan pemekaran daerah ini dimuat dalam PP No. 729 /2000 pasal 2 tentang Persyaratan Pembentukan dan Kriteria Pemekaran, Penghapusan dan Penggabungan Daerah. Pasal ini menyatakan: Tujuan dari pembentukan, pemekaran, penghapusan dan penggabungan Daerah bertujuan untuk meningka-
tkan kesejahteraan masyarakat dengan melalui: peningkatan pelayanan kepada masyarakat, percepatan pertumbuhan kehidupan demokrasi, percepatan pelaksanaan pembangunan perekomnian daerah, percepatan pengelolaan potensi daerah, peningkatan keamanan dan ketertiban dan peningkatan hubungan yang serasi antara Pusat dan Daerah. Adapun syarat-syarat pembentukan daerah disebutkan dalam pasal 3 sampai pasal 10 meliputi: Kemampuan ekonomi (PDRB dan PAD), potensi daerah (lembaga keuan ga'rr, sarana ekonomi, pendidikan, kesehatan, transportasi dan komunikasi, pariwisata dan ketenagakerjaan), sosial budaya (tempat ibadah, tempat atau kegiatan institusi sosial dan budaya serta sarana olah raga), sosial politik (partisipasi masyarakat dan organisasi kemasyarakatan), jumlah penduduk, luas 78
Yaya
Mulyana, Dimensi Gerakan dalam Proses Pembentukan Propinsi Banten
daerah dan pertimbangan lain yang memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah (keamananan dan ketertiban, sarana dan prasarana pemerintahan, rentang
kendali, propinsi yang akan dibentuk mimal
3
Kabupaten atau Kota. Secara ringkas prosedur pembentukan daerah tersebut dapat digambarkan sebagai berikut: Prosedur Pembentukan Daerah
Studi Awal oleh Pemda
Rekomendasi DPRD Propinsi, Gubernur, DPRD Kab/Kota
Mendagridan Otda sebagai Ketua DPOD Tim Teknis Usulan RUU Pembentukan Daerah pada Presiden
Sekretariat DPOD
Pembahasan RUU oleh
Komisi II DPRD
Pengesahan RUU menjadi
UU oleh DPR-RI
Sumber: Diolah Dari PP No, 1291 2000
Dalam upayanya memperjuangkan terbentuknya Propinsi Banten, dengan memperhatikan syarat-syarat di atas, kalangan elite Banten baik yang ada di tingkat lokal maupun di tingkat pusat merasa yakin bahwa wilayah mereka sudah sangat memenuhi syarat untuk 79
/umal IImu Sosial & IImu Politik
Vo|.
5 No 7,luli
2001
dijadikan sebuah propinsi yang terpisah dari Jawa Barat. Dua wadah periuangan di wilayah Banten untuk terbentuknya propinsi yaitu Pokja PPB yang diketuai Dr. Irsyad Djuwaeli dan Komite Pembentukan Propinsi Banten (KPPB) yang diketuai Drs. Uwes Qorny berusaha dengan intensif merumuskan potensi-potensi dan pokok-pokok pemikiran bagi perlunya Propinsi Banten seperti termuat dalam, "Jurus Pembentukan Propinsi Banten" dari Pokja PPB dan "Pokok-Pokok Pikiran Pembentukan Propinsi Banten" dari KPPB. Proposal ini kemudian diserahkan baik ke pihak eksekutif maupun DPR RI. Upaya menggali potensi, kekuatan, peluang dan kelemahan Propinsi Banten tidak berhenti sampai di situ, tetapi kemudian diteruskan oleh wadah di tingkat nasional yang kemudian dibentuk yaitu "Badan Koordinasi Pembentukan Propinsi Banten" (Bakor PPB) yang diketuai H. Th. Tryana Sjam'un yang kemudian menggelar berbagai seminar danworkshop yang berkaitan dengan ini. Kesimpulan dari berbagai upaya ini semakin menebalkan keyakinan mereka bahwa Daerah Banten selain sudah layak untuk menjadi propinsi tersendiri, tetapi iuga sudah menjadi suatu keharusan yang tak bisa ditawar-tawar lagi. Upaya itu diperjuangkan lewat jalur dan prosedur konsitusi yang ada di samping lobi dan negoisasi ke elite legislatif maupun eksekutif.
Perjuangan di Legislatif Metihat besarnya potensi, kekuatan dan peluang yang dimiliki Banten serta relatif terpenuhinya beberapa pertimbangan lain di samping besarnya animo dan antusiasme masyarakat yang dibuktikan dengan dukungan seluruh DPRD se-wilayah Banten keculi DPRD Tangerang yang waktu itu masih pikir-pikir maka pada tanggal 25 Januari 2000 sejumlah 52 anggota DPR-RI mengaiukan RUU Usul Inisiatif.2T Pembentukan Propinsi Banten dan Kota Serang* yutg mulamula didukung oleh 7 fraksi dari 10 fraksi yang ada di DPR dengan komposisi sebagai berikut: Fraksi FPDI-P 5 orang; Fraksi Partai Golkar
27 Hak inisiatif adalah salah satu hak yang dimiliki DPR di samping hak amandemen dan hak budget sebagai bagian dari fungsi membuat UU di samping fungsi kontrol terhadap eksekutif. Lihat Miriam Budiardjo 1Jl98D. Dasar-dasar llmu Politik Jakarta: Gramedia. 28 Tuntutan pembentukan Kota Serang kemudian didrop atas usulan Badan Musyawarah DPR dan selanjutnya fokus periuangan hanya diarahkan pada pembentukan Propinsi Banten saja.
80
Yaya Mulyana,
Dimensi Gerakan dalam hoses Pembentukan Propinsi Banten
34 orang; Fraksi PPP 5 orang; Fraksi KB 4 orang; Fraksi Reformasi orang; Fraksi TNI/POLRI 1 orang dan Fraksi PDU 2 orang anggota.
1
Besarnya dukungan inisiatif dari Fraksi Partai Golkar dapat dipahami karena Banten adalah salah satu mesin suara Golkar
terpenting di Pulau Jawa. Para anggota DPR-RI asal Banten seperti Ali Yahya dan Ekky Syahrudin dari FPG, Sa'adun Sibromilisi dari FPPP dan KH Ma'ruf Amien dari FKB telah menemPatkan diri sebagai "penyambung lidah " rakyat Banten dan menjadi penggerak di kalangan anggota DPR untuk mendukung lahirnya hak inisiatif DPR yang pertama sejak hampir empat dekade. Ternyata yar.g mengherankan adalah justru tidak munculnya suara dari FPBB dalam usul inisiatif ini, padahal di Banten sendiri PBB adalah partai pertama yang bersuara lantang misalnya dalam kamPanye Pemilu 7999 mendukung dibentuknya Propinsi Banten bahkan ketika Golkar dan PPP masih "anit and see". Dalam penjelasannya di depan Rapat Paripuma DPR-RI pada tanggal 25 ,Enuari 2000, A I Yahya2e sebagai Pengusul inisiatif,
mengemukakan latar belakang pemikiran diusulkannya pembentukan Propinsi Banten, pertimbangan historis, demografis, geografis serta potensi masing-masing kabupaten dan kota yang ada di wilayah Banten yang pada dasarnya mengatakan bahwa sudah selayaknya dengan mengingat pertimbangan itu Banten didukung dan diberi kesempatan untuk mandiri membangun wilayahnya sendiri. Selanjutnya dalam rapat Paripurna DPR-RI tanggal2l Pebruari
dilaksanakan tanggapan fraksi-fraksi atas RUU Usul Inisiatif Pembentukan Propinsi Banten pada saat itu, semua fraksi diberi kesempatan memberikan tanggapannya yang secara menakjubkan bahwa semua fraksi iustru mendukung secara positif RUU itu yang tentu saja dengan beberapa pertimbangan yang tidak terlalu sulit seperti dari Fraksi Reformasi yang mengusulkan dibentuknya Pansus atau musyawarah dan koordinasi dengan pemerintah Jawa Barat dan DPRDnya yang pada saat itu belum mendukungnya seperti diusulkan FDKB dan F TNI/POLRI. M, AliYahya, Penjelasan Pengusul terhadap RUUUsul Inisiatif tentang Pembentukan Propinsi Banten dalam Rapat Paripuma DPR-RI, 14 Pebruari 2000.
2u
8l
Jumal IImu Sosial & Ilmu Politik, Vol.
5,
No
1,
Juli 2001
Atas berbagai masukan itu, setelah Rapat Paripurna Dewan pada tanggal 2 Maret 2000, akhirnya dibentuk Pansus RUU tentang i'embentulan Propinsi Banten , lang beranggotakan 50 (lima puluh) anggota. Pada tanggal 7 Maret 2000 diadakan pemilihan pimpinan dan disetujui komposisi Pimpinan Pansus sebagai berikut: Ketua, H. Amin Aryoso, SH (FPDI-P ), Wakil Ketua, Drs. D.P. Datuk Labuan (FPG), Witit Ketua, Drs. H. Sa'adun Syibromalisi (FPPP), Wakil Ketua, H' Aris Ashari Siagian (FPKB). SelanjutnYn, sebelum Pansus mengadakan Rapat Keria dengan
pemerintah yang dijadwalkan pada pertengahan bulan Maret 2000, Pansus telah mengadakan serangkaian kegiatan, dengan maksud untuk lebih mendukung data yang telah dimiliki oleh Pansus. Adapun kegiatan,kegiatan tersebut meliputi Rapat Dengar Pendapat, baik dalam beitut rupit di Dewan maupun peninjauan ke lokasi, dengan Para pimpinan DPRD Kabupaten/Kota dan Bupati/Walikota serta tokoh *uryutukat se-wilayah eks Karesidenan Banten, Kabupaten Lebak,
Kabupaten Pandeglang, Kabupaten Serang, Kabupaten Tangerang, Kota Tangerang dan Kota Citugo. Selain itu, Pansus telah pula mengadakan Rapit Dengar Pendapat dengan Gubernur dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Propinsi Jawa Barat.
Dari pertemuan itu dapat disimpulkan bahwa keenam
Kabupaten/Kota tersebut memohon agar segera diwujudkannya propinsi Banten, yang meruPakan peningkatan status dari eks
karesidenan menjadi propinsi; sedangkan gubernur dan DPRD I Jawa Barat pada prinsipnya tiait keberatan eks Karesidenan Banten diangkat menliai propinsi, tetapi sepenuhnya menyerahkan kebijakan kepada Pernerintah-Pusat mengingat bahwa Peraturan Pemerintah yang meniadi peraturan pelaksana dari UU No. 22 Tahun7999 belum ada. Atas dasar itu, maka dalam Rapat Kerja Pansus DPR dengan Manteri Dalam Negeri, Menteri Hukum dan Perundang-undangan, serta Menteri Negara Otonomi Daerah, pada tanggal 13 Maret 2000, Pansus sepakat untuk menyelesaikan materi dari RUU, sedangkan permasatihan yang berkenaan dengan persyaratan sebagaimana ditentukan oletr-UU No. 22 tahun 1,999 tentang Pemerintahan Daerah, antara lain mengenai persetujuan Dewan Pertimbangan Otonomi
82
Yaya Mutyana,
Dimensi Gerakan dalam Proses Pembentukan Propinsi Banten
Daerah (DPOD), persetuiuan Gubernur dan DPRD, akan diproses lebih lanjut oleh pemerintah yang bekeriasama dengan DPR. Pada waktu itu DPR merencanakan, Pembicaraan Tingkat IV dapat dilaksanakan pada tanggal3O Maret 2000, tetapi menglngat untuk dapat memenuhi persyaratan sebagaimana diatur oleh UU tersebut,
diperlukan waktu dan langkah-langkah yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, lebih-lebih pada waktu itu belgm terbentuk DPOD sebagaimana dipersyaratkan pasal 5 (1) UU No. 22 Tahun 7999.
DPOD berperan dalam merekomendasikan layak/tidaknya suatu daerah jadi propinsi. DPOD beranggotakan Mendagri-Otda, Menteri Keuangan, Menteri Pertahanan, Menteri PAN, tim pakar di bidang ilmu sosial, ekonomi, politik dan kebudayaan serta gubernur dan pejabat daerah yang ditunjuk. Rekomendasi DPOD mengenai hasil studi kelayakannya akan meniadi bahan pertimbangan DPR untuk mengesahkan daerah tersebut meniadi propinsi baru. Jadi DPR sendiri ti,Cai bisa mengesahkan UU pembentukan propinsi baru tanpa rekomendasi DPOD. Meskipun demikian aspirasi rakyat daerah tersebut tetap harus dijadikan pertimbangan utama. DPR dapat memahami kesulitan yang dihadapi oleh pemerintah dan sepakat untuk menunda samPai diselesaikannya persyaratan-persyaratan dimaksud. Teriadinya Pengunduran itu memang cukup mengecewakan rakyat Banten, sebagaimana difulis Prof Dr. Suparman di Pikiran Rakyat yang menulis artikel berjudul "Bersabarlah Rakyat Banten."
Pada akhirnya pemda dan DPRD Jawa Barat setelah melakukan penelitian tidak keberatan atas rencana pembentukan Propinsi Banten. Pada tanggal 5 September 2000 muncul keputusan bulat menyetujui dan mendukung terbentuknya Propinsi Banten, sebagaimana disampaikan dalam Rapat Kerja Pansus dengan Pemerintah tanggal 29 Agustus 2000. Dengan demikian dari aspek politis, ekonomis, sosio-kultural, konsepsional dan yuridis konstitusional, RUU tentang pembentukan Propinsi Banten telah memenuhi semua persyaratan sehingga siap untuk disahkan menjadi UU yang akan dilakukan lewat pembicaraan Tingkat IVlpengambilan 83
Jurnal IImu Sosial & Ilmu Politik Vol. 5, No
1,
Juli 2001
keputusan DPR pada akhir bulan September 2000. Akan tetapi karena pada akhir September 2000 Dewan sedang menjalankan reses, maka disepakati Pembicaraan Tingkat IV dilaksanakan pada tanggal 4 Oktober 2000, yang didahului dengan Pembicaraan Tingkat III pada tanggal 3 Oktober 2000 dan hal ini telah memperoleh persetujuan Badan Musyawarah pada tanggal 7 September 2000. Selanjutnya pada tanggal 3 Oktober 2000 Pemerintah telah melaporkan bahwa persyaratan-persyaratan tersebut telah terpenuhi, sehingga Pemerintah dapat menyetujui RUU tentang Pembentukan Propinsi Banten untuk diteruskan ke Pembicaraan Tingkat IV tanggal 4 Oktober 2000. Demikianlah secara garis besar pembahasan RUU tentang Pembentukan Propinsi Banten pada pembicaraan Tingkat III oleh Panitia Khusus. Dalam Rapat Kerja, naskah RUU tentang Pembentukan Propinsi Banten telah dibaca dan disetujui untuk diteruskan dalam Pembicaraan Tingkat IV ini guna mendapatkan persetujuan DPR yang selanjutnya dapat disampaikan kepada Pemerintah untuk diundangkan. Seperti sudah terlihat bahwa dalam Rapat Paripurna tanggal 4 Oktober 2000 itu dalam pandangan akhirnya semua Fraksi DPR RI menyetujui secara bulat pengesahan RUU Pembentukan Propinsi Banten itu menjadi UU yang tentu saja 'dibumbui' dengan harapan basa-basi politik sebagaimana sebuah seremoni3o
Sinergi Gerakan Sosial dan Gerakan Politik Seperti kutipan di awal tulisan, Gramsci pada dasarnya tidak membedakan antara gerakan sosial dan gerakan politik sebagaimana jrgu ia tidak memisahkan secara tegas antara masyarakat sipil dan masyarakat politik bahkan bagi Gramsci negara sendiri adalah anggota mayarakat sipil dan masyarakat politik. Akan tetapi di bagian lain tulisannya Gramsci juga menulis adanya perbedaan masyarakat politik
Bertindak sebagai juru bicara Drs. Rachman Sulaiman (F.Reformasi), Taufik Ruqi (FTNI/ POLRI), Darmansyah Husein (FPBB), L.T. Sutanto (FKKI ),1r. Amarudin Djajasubrata (FPDU), G. Seto Harianto (PDKB), Yoseph Umarhadi GPDI-P),M. Aly Yahya (FGolkar), Endin A.J. Soefihara (FPPP),KH. M. Dawam Anwar.(FKB) 30
84
Yaya
Mulyana, Dimensi Gerakan dalam Proses Pembentukan Propinsi Banten
dan masyarakat sipil. Batas di antara keduanya bahwa masyarakat potitik adalah wilayah tempat aparat koersif negara berkonsentrasi ieperti penjara, sistem peradilan, angkatan bersenjata, dan polisi. Sedangkan masyarakat sipil adalah wilayah tempat negara *"t goperasikan bentuk-bentuk kekuasaan secara tidak nampak dan haluJ melalui sistem religi, pendidikan dan budaya serta institusi lain. Hal ini secara lebih tegai terlihat pada Hegel yang melihat perbedaan di antara keduanya dimana masyarakat sipil yang bersifat partikular merupakan intermediasi dan bahkan subordinasi dari negara yang bersifat universal. Meskipun asumsi tulisan ini menggunakan kerangka Hegel yang melihat perlunya secara teoritik pemisahan di antara dua *urJrutukat itu, secara praktis tulisan ini juga bersepakat dengan Gramsci yang beranggapan bahwa antara masyarakat sipil dan masyarakat politik bersifat saling mengkonsolidasi. Fenomena ini bisa dilihat dalam gerakan pembentukan Propinsi Banten. Pengembangan gerakan sosial masyarakat sipil di tingkat bawah akhirnya mendapat respon dan dukungan masyarakat politik di tingkat atas sehingga jalan bagi perwujudan aspirasi rakyat ini berlangsung dalam waktu yang relatif singkat. Boleh dikatakan bahwa jalur ini relatif "aman dan cepat" dalam uPaya perwujudan aspirasi rakyat karena terdapat visi dan persepsi yang s,ama di antara ke-duanya. jalur yang biasa terjadi dalam proses perubahan adalah ketika antara masyarakat sipil dan masyarakat politik atau negara terdapat gap yanglebar dan bahkan kedua belah pihak bertahan dalam posisinya masing-masing sehingga tidak ada titik temu bahkan yang lerjadi malah benturan dan adu kekuatan. Tinggal dalam konteks ini siapa yang lebih kuat dan tendensi dunia sekarang ini lebih berpihak kepada kekuatan masyarakat sipil dan karenanya dianggap sebagai periode kemenangan demokrasi.
85
/umal IImu Sosial & Ilmu Politik,
Proses
Vol.
5 No
1,
/uli
2001
itu dapat digambarkan sebagai berikut:
Konflik
atau
Kompromi
Masyarakat Politik
Penutup Berdasarkan tinjauan historis terungkap bahwa keinginan masyarakat Banten untuk mempunyai otonomi pemerintahan sendiri bukan hanya mengikuti euforia kebebasan yang didorong oleh gerakan reformasi yang bersifat emosional semata, melainkan aspirasi ini telah bergulir sejak lama dan berdasarkan pertimbangan yang rasional. Setidaknya sejak tahun 1953 dan terus berlaniut setiap periode sejalan dengan pasang surut situasi politik yang ada sampai gelombang besarnya muncul kembali sejak pasca reformasi yang kemudian memang berhasil mewujudkan impian terbentuknya Propinsi Banten. Seperti diungkapkan MA. Tilhami,3t keinginan warga Banten untuk segera menjadikan Banten sebagai sebuah propinsi dalam bingkai NKRI adalah sangat ilmiah dan cukup kuat sebagai sebuah alasan dalam mengupayakan kehidupan yang lebih seiahtera dan bermartabat.
rf Lihat dalam lurus Pembentukan Propinsi Banten, Pokja PPB, Serang, 17 Desember'1,999, dalam hal ini Pof. Dr, MA. Tilhami duduk sebagai Koordinator Tim Penyusun Buku ini
86
Yaya Mulyana,
Dimensi Gerakan dalam lToses Pembentukan Propinsi Banten
Berbagai alasan sosio-kultutal, historis, ekonomi, politik dan teknis telah mendasari dan mewarnai berbagai perbincangan yang bermutu dan rasional. Berbagai forum ilmiah dan pertemuan yang dilaksanakan oleh berbagai kelompok dan elemen masyarakat merupakanbukti nyata dari sebuah keinginan dan cita-cita mulia dalam meraih kembali kejayaan Banten dan menjadikan Banten sebuah Propinsi.
Di pihak lain Uwes Qorni3z melihat bahwa kehendak atau aspirasi terwujudnya Propinsi Banten tidaklah berlebihan tetapi merupakan sesuatu yang normal, suatu qonditio sin qua non, menjadi syarat mutlak dalam memberdayakan otonomi daerah sehingga dapat memberikan dampak yang sangat positif bagi PercePatan terwujudnya kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Oleh karena itu menurut Uwes Qorni dan UU Mangkusasmitas3 aspirasi masyarakat Banten untuk mewujudkan Propinsi Banten yang berdiri sendiri dan terpisah dari Propinsi Jawa Barat merupakan suatu hal yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Namun semua cita-cita luhur ini baru dapat terwujud secara nyata apabila ada kehendak politik (political wiII) yang tulus, transfaran dari kaum elite. politik di segenap jajaran yang berada pada tingkat legislatif, eksekutif dari tingkat lokal, regional maupun nasional.
Memang segera terbukti bahwa ketika semua elemen akhirnya bersepakat dan bersatu untuk mewujudkan Propinsi Banten, segalanya menjadi sangat mungkin terjadi termasuk dengan terbentuknya Propinsi Banten tanggal 14 Oktober 2000 menjadi suatu peristiwa bersejarah penting dalam mosaikkeseluruhan sejarah Banten. Meskipun seperti diakui oleh Tilhami ini masih seperti mimpi, karena tidak terlalu makan waktu lama Propinsi Banten ini akhirnya bisa terbentuk. Bahkan dalam pandangan tokoh pendekar H. Chasan Sochib, masyarakat Banten seperti baru meraih "kemerdekaan" kembali setelah sekian lama sejak jatuhnya kesultanan Banten terus menerus terpuruk dalam berbagai periode penjajahan baik oleh Belanda, Jepang maupun "penjajahan" Priangan. 32
Lihat Uwes Qorny dan UU Mangkusasmita (1999). Pokok-Pokok Pikiran Pembentukan Propinsi
Banten. Serang: KPPB. 33
Uwes Qorni dan UU Mangkusasmlla,Ibid. hal. 38
87
Jumal llmu Sosial & IImu
Politik
Vol.
5 No
1,
/uli
2001
Kemerdekaan Banten kali
ini, barangkali
merupakan kebangkitan Banten kedua, setelah kebangkitan Banten pertama dari periode Hinduisme ke Islamisasi zaman kesultanan yang mencapai masa kejayaannya setelah melewati tiga revolusi yaitu revolusi di bidang politik, ekonomi dan budaya.3a SekarangPun barangkali tidak perlu revolusi tetapi transformasi ekonomi, politik dan budaya secara iebih baik. Hal itu hanya dapat dilakukan oleh warga Banten sendiri, apakah akan terus berkembang mencaPai kemakmuran dan kesejahteraan yang tinggi seperti Brunei Darussalam sebagaimana diharapkan H. Chasan Sochib ataukah tetap terpuruk dalam citra lamanya sebagai daerah terbelakang.***
3a
Wawancara dengan MA. Tilhami, Maret 200
88
1.
Yaya
Mulyana, Dimensi Gerakan dalam Proses Pembentukan Propinsi Banten
Daftar Pustaka Blumer, Herbert (1969). 'social Movements.' Dalam Barry Mclaughlin (ed.), Studies in Socia| Moaements: APsycological Perspectiue.New York: The Free Press. Budiardjo, Miriam (1982). Dasar-dasar IImu Politik. Jakarta: Gramedia. Budiman, Arief Q999). State and Ciail Society in Indonesia. Melbourne: Monash Asia Institute. Candrakirana, Kemala (1989). 'Geertz dan Masalah Kesukuan" Prisma No. 2, LP3ES, Jakarta. Chandhoke, Neera (1995). State and Ciail Society: Exploration in Political Theory. New Delhi: Sage Publication. Cohen, Jean L. dan Andrew Arato Q992). Ciail Society and PolitcalTheory.
Massashusetts: MIT Press. Dawson, C.A. dan W.E. Getty (1935). Introduction to Sociology. Edisi revisi, New York:. Roland Press Co.
Koli Bau, Yunuanis (1999) . Negara, Etnisitas dan Sektor lnf ormal. Disertasi tidak diterbitkan. Yogyakarta: UGM. Lubis, Nina H. (2000). Dinamika
Sosial Budaya Banten, dalam Penyusunan
Rencana Strategis Pembangunan Wilayah Banten. Bandung: LPM,
UNPAD.
Nasikun (7999). 'Pergumulan Politik Nasional dalam Perspektif Komunitas Desa ,' Maknlah Seminar Sehari, Otonomi Daerah dan Prospek Demokrasi Desa, Yayasan LAPERA Indonesia, LKBH UII dan Fisip UMY, Yogyakarta,30 Nopember. Osawa, Jun (1997). 'National Identity and Etnic-religion Conflict: Some
Statistical Correlation.' Asia-P acific Reaiew, Y ol. 4 No. 1, Spnng / Summer.
Qorni, lJwes, (7999). 'sandiakalaning Propinsi Banten.' Faiar Banten. Lihat juga Uwes Qorny (2000) . Pokok-Pokok Pikiran P embentuknn Propinsi Banten. Serang: BKPPB. 89
fumal IImu Sosial & Ilmu Politil<,
Vot.
5 Wo l,luti
ZOOL
Rakhmat, Jalaluddin (7999). Rekayasa Sosial: Reformasi atau ReaolusiT Bandung: Remadja Rosda Karya. Rasyid, Ryaas 0997).IGjian AwaI Birolusi Pemerintahan dan Politik Orde Baru. Jakarta: MIPI dan Yasrif Watampone. Salim, Emil (2000). 'Membangun Integrasi Bangsa .' lurnal Seiarah No. 8, Jakarta.
Smelser, Neil I. Q962). The Theory of Collectiae Behaaior. New
York Free
Press.
Stepan,
(7996). The State and Society, Peru In Comparatiae Perspectiae. P rinceton: Princeton University Press.
Alfred
Thalib, Husin (7996).lslam dan Etnisitas, Perspektif Politik Melayu.Jakarta: LP3ES.
tlsman, Suparman (2000). 'Menyongsong Propinsi Banten.' Pikiran Ilalcyat,15 Mei. Weber, Max (7976. The Protestant Ethics and the Spirit Capitalism.London: George Allen & Unwin.
90