1
PERANAN ULAMA DALAM PEMBENTUKAN PROVINSI BANTEN 1999-2000 Muhamad Gilang Sukmahavi Program Studi Ilmu Sejarah, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia
[email protected]
Abstrak Isu pemekaran wilayah di Indonesia muncul kepermukaan pada tahun 1999, pasca turunnya Presiden Soeharto dari kursi kepresidenan pada tahun 1998. Banten yang merupakan wilayah Eks-Keresidenan masa Hindia Belanda muncul sebagai salah satu wilayah yang menuntut otonomi daerah dan terlepas dari Jawa Barat. Gagasan ini muncul setelah dua kali mendapatkan halangan menjadi provinsi pada masa Orde Lama dan masa Orde Baru. Ulama menjadi corong pertama dalam hal gagasan pembentukan provinsi Banten. Lobi politik baik formal ataupun informal dilakukan demi mendukung gagasan otonomi Banten. Gerakan sosial-politik ini dilakukan ulama demi mencapai tujuan otonomi yantu kesejahteraan, keadilan, dan pembangunan yang merata. Bersama dengan komponen sosial yang lain, ulama bergerak menjadi penyeimbang kepentingan dalam proses pembentukan provinsi Banten. Di lain pihak, Jawa Barat merasa terancam dengan pemekaran wilayah yang secara langsung akan mengurangi pendapatan asli daerah. Kata kunci: pemekaran wilayah, otonomi, Banten, ulama, lobi politik, Jawa Barat.
The Role of Ulama in Banten Province's Forming in 1999-2000 Abstract The region autonomy has appeared in Indonesia since 1999, after Soeharto’s retaired from his position as Indonesia President in 1998. Banten, whiches the eks-Residence in Netherland Indische has appeared as region who required of autonomy and separated from West Java. This idea was formed after Banten had threatment twice from Orde Lama and Orde Baru, when Banten formed to be a province. Ulama to be the first in terms of the idea funnel formation of Banten province. Political lobbying either formal or informal do to support the idea of autonomy Banten. This socio-political movements made ulama in order to achieve the goal of autonomy prosperity, justice, and equitable development. Together with the other social components, to balance the interests of ulama engaged in the process of formation of Banten province. On the other side, West Java felt threatened by the autonomy region because that will directly reduce revenue. Keyword Autonomy, Banten, Ulama, political lobbying, West Java
1. Pendahuluan Pasca kejaduan luar biasa pada tahun 1998, yaitu turunnya Soeharto dari kursi presiden, setelah selama 32 tahun menjabat. Peristiwa turunnya Soeharto ini menjadi tanda dibukanya keran demokrasi dan kebebasan berpendapat di Indonesia. Hal paling besar ditunjukan dengan munculnya fenomena pemisahan wilayah dari NKRI. Kasus pemisahan ini dipelopori
oleh munculnya gagasan referendum yang diajukan oleh Aceh dan Timor-Timur. Menaggapi fenomena pemisahan wilayah ini ditanggapi oleh Pemerintah dengan mengajukan Undang Undang tentang Otonomi Daerah kepada DPR-RI. Diharapkan, Undang-Undang ini dapat
Peranan Ulama..., Muhamad Gilang Sukmahavi, FIB UI, 2013
2
membendung keinginan beberapa wilayah untuk melepaskan diri dari NKRI.
otonomi daerah merupakan produk hukum yang paling diterima (Salam, 2001: 9).
Otonomi Daerah sendiri merupakan sebuah kewenangan yang dimiliki oleh suatu daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dan sesuai dengan peraturan perundangundangan. Keuntungan dari penerapan otonomi daerah ini adalah daerah bisa menerapkan dasar-dasar demokrasi, pemerataan, dan keadilan dalam masyarakatnya sendiri secara mandiri (UU Republik Indonesia No.22 th.1999 tentang Pemerintahan Daerah). Dua hal tersebut menjadi landasan awal pemerintah untuk menghindari kerugian karena lepasnya beberapa daerah.
Banten sendiri pernah mengajukan menjadi provinsi sebanyak dua kali sebelum UU No.22 Thn 1999 diresmikan. Namun, kedua usaha tersebut mendapatkan penolakan. Usaha pengajuan pertama terjadi pada tahun 1952-1953 ketika Pelabuhan MerakBakauheni dibuka, namun usaha pertama ini ditolak karena alasan bahwa pembentukan provinsi merupakan alasan politis yang menurut Kosim selaku Kepala Bagian Pendidikan dan Kementrian Dalam Negeri dapat menggangu kedaulatan Pemerintah Pusat. Dengan alasan SDM yang belum memadai, Pemerintah Pusat Indonesia menolak gagasan Pembentukan Provinsi Banten pada tahun 1953 (Pikiran Rakjat, 5 Agustus 1952).
Akhirnya, pada tahun 1999, Presiden RI setelah Soeharto yaitu Bacharuddin Jussuf Habibie meresmikan UU Pemerintah yang sebelumnya disetujui oleh DPR-RI yaitu UU Otonomi Daerah. Undang-undang ini disetujui oleh DPR dengan pertimbangan bahwa menjelang persaingan global, daerah-daerah harus diberikan kemandirian dalam mengelola daerahnya agar lebih maksimal namun tetap berkordinasi dengan Pemerintah Pusat (UU Republik Indonesia No.22 th.1999 tentang Pemerintahan Daerah). Munculnya Undang-Undang ini sendiri mendapatkan pro dan kontra. Terutama dari pihak luar negeri, yaitu IMF dan World Bank dimana kedua lembaga tersebut beranggapan bahwa otonomi daerah hanya akan membuat Indonesia mengalami keguncangan karena dalam pandangan kedua lembaga tersebut, otonomi daerah hanya mengatur masalah desentralisasi keuangan, bukan desentralisasi hak dan beban negara, sehingga pendapatan negara akan merosot karena pendapatan paling besar akan masuk ke kas daerah (Tempo, 9 April 2000). Hal ini dibantah oleh Andi Malarangen yang pada saat itu menjabat sebagai Staf Ahli Menteri Negara Otonomi Daerah dengan alasan bahwa otonomi daerah merupakan solusi tepat pada saat itu untuk meredam keinginan disintegrasi yang tinggi (Tempo, 9 April 2000). Efek diresmikannya Undang-Undang No.22 Thn 1999 adalah berhentinya rengekan daerah yang awalnya berniat untuk memisahkan diri, tapi selanjutnya memunculnya keinginan-keinginan baru untuk membentuk daerah otonomi sendiri berbentuk provinsi baru. Banten menjadi salah satu wilayah yang mengajukan diri sebagai provinsi baru selain Gorontalo dan Maluku. Hal ini membenarkan teori dari Andi Malarangeng bahwa akan meredam gejolak disintegrasi, namun memunculkan masalah baru yaitu pembentukan provinsi baru yang menandakan bahwa
Usaha kedua dilakukan oleh Banten pada tahun 19591966. Usaha kedua bersifat lebih terorganisir dan melibatkan kekuatan partai politik PNI, PKI, dan kelompok Ulama. Namun usaha ini kembali gagal karena pada tahun 1965 karena PKI dianggap melakukan kudetan, dan usaha pembentukan provinsi Banten kembali ditolak karena dianggap gerakan komunis. Selanjutnya, pada tahun 1999, usaha pembentukan Provinsi Banten ini kembali muncul. Dengan mengandalkan momentum reformasi dan keterbukaan dalam berpendapat, Banten mulai bergerak untuk kembali mengajukan pembentukan provinsi Banten. Kali ini bukan dengan gerakan partai politik sebagai pemicu utama, melainkan dengan menggunakan kekuatan ulama. Permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah bagaimana peranan ulama di Banten dalam konteks Pembentukan Provinsi Banten yang prosesnya dilakukan selama setahun, yaitu pada tahun 1999 sampai tahun 2000. Untuk menjawab permasalahan tersebut, diajukan beberapa pertanyaan penelitian, antara lain: 1. Bagaimana pandangan ulama di Banten dalam hal pembentukan daerah otonomi Provinsi Banten? 2. Bagaimana cara ulama mencari dukungan kemasyarakat Banten dalam rangka pembentukan Provinsi Banten tahun 1999-2001? 3. Bagaimana tanggapan kelompok-kelompok masyarakat Banten terhadap pandangan ulama dalam hal proses pembentukan Provinsi Banten? 4. Bagaimana proses komunikasi /lobi politik ulama ke Pemerintah Provinsi Jawa Barat, DPRD, DPR, dan Presiden dalam rangka Pembentukan Provinsi Banten. 5. Bagaimana mekanisme Pembentukan Provinsi Banten?
Peranan Ulama..., Muhamad Gilang Sukmahavi, FIB UI, 2013
3
Ruang lingkup yang diambil dalam penulisan ini adalah rentang waktu pembentukan Provinsi Banten pada tahun 1999 hingga tahun 2000. Tahun 1999, diambil karena pada tahun itulah Pemerintah Pusat dan DPR-RI mensahkan UU Otonomi Daerah. Sedangkan pada tahun 2000 menjadi tahun momentum dilegalkannya Banten sebagai provinsi baru di Indonesia.
2. Metode Penelitian Dalam melakukan penulisan karya ini, penulis menggunakan metode sejarah, yaitu proses menguji dan menganalisa secara kritis rekaman dan peninggalan masa lampau. Rekonstruksi yang imajinatif daripada masalampau berdasarkan data yang diperoleh. Untuk bisa melakukan historiografi, penulis menggunakan metode sejarah yang memiliki empat langkah, yaitu pemilihan subjek yang akan diteliti, pengumpulan sumber-sumber yang diperlukan, pengkritisan sumbersumber yang sudah didapat, pengambilan intisari dari sumber-sumber yang sudah dirasa valid dan terakhir melakukan historiografi. Sumber yang diambil penulis untuk melakukan historiografi adalah sumber-sumber primer dan sumber-sumber sekunder. Sumber primer adalah kesaksian daripada seorang saksi dengan mata-kepala sendiri atau dengan panca-indera yang lain, atau dengan alat mekanis-mekanis yang digunakan untuk merekam sebuah peristwa yang terjadi. Sedangkan sumber sekunder adalah kesaksian daripada seorang siapapun yang bukan orang pertama, namun dari orang kedua. Sumber-sumber primer yang diambil oleh peulis adalah berupa dokumen-dokumen sejaman. Dokumendokumen ini berupa dokumen pemerintah yang berupa risalah-risalah instansi pemerintah, undang-undang, keputusan presiden, dan peraturan pemerintah. Menurut Gostchalk, dokumen-dokumen yang disebutka tadi merupakan sumber primer karena hadir pada waktu yang sama dengan peristiwa dan dibuat oleh orang-orang yang ahli (Gotschalk, 1975: 71) Selain dokumen-dokumen, penulis pun menggunakan sistem wawancara kepada pihak-pihak yang memiliki kaitan erat dengan peristiwa yang penulis buat. Wawancara-wawancara ini dilakukan untuk dapat melihat sudut pandang dari pelaku peritiwa yang merupakan saksi hidup. Objek wawancara dicari dengan cara mengklarifikasikan pernyataan sumber satu dengan yang lainnya, sehingga penulis bisa mencari kesimpulannya. Selain menggunakan wawancara dan dokumendokumen sejaman, penulis pun menggunakan surat kabar sebagai salah satu sumber primernya. Surat kabar
ini dapat membantu untuk melihat jalannya sebuah peristiwa dengan sudut pandang berita, dan mencari pihak-pihak untuk dilakukan wawancara. Surat kabar yang diambil dari koran yang sejaman. Selain menggunakan sumber primer, penulis menggunakan sumber-sumber sekunder yang membahas tentang otonomi daerah sampai pembentukan provinsi banten. Sumber sekunder, bagaimanapun juga harus mendapatkan kritik dari penulis. Maka penulis mencari beberapa buku, dan karya-karya tulis ilmiah setingkat tesis, untuk mencari sintesa yang diperlukan. Setelah melakukan heuristik, penulis melakukan kritik sumber. Hal ini berguna dalam mengkritisi sumber yang didapat, apakah relevan, sesuai dengan zaman, dan cukup objektif. Kritik sumber pun dilakukan dengan cara membandingkan sumber-sumber dengan objek yang sama agar bisa ditarik kesimpulan. Setelahnya, penulis memasuki tahap Interpretasi, yaitu melakukan penafsiran terhadap sumber-sumber yang ada. Setelah penafsiran tentang sumber yang diteliti didapatkan, penulis masuk dalam tahap Historiografi, yaitu penulisan sejarah berdasarkan fakta-fakta yang telah ditemukan, dan disajikan dalam susuan suatu rekonstruksi atas fakta. Penulisan tentang gerakan politik kelompok Nahdathul Ulama di Indonesia pada masa modern, sudah banyak yang menulis. Penulisan terhadap tingkah perilaku orang-orang awam NU dan kiainya baik dalam hal keagamaan ataupun non-keagamaan dijelaskan dalam Tradisi orang-orang NU (Fattah: 2006) dan NU: Tradisi, Relasi-Relasi Kuasa, Pencarian Wacana Baru ( Bruinessen, 1994) menjelaskan bagaimana sepak terjak para ulama NU dalam periode kolonial sampai pasca reformasi yang menjelaskan bahwa ulama NU mencoba menjadi kelompok yang tidak hanya menjadi pengawas moral masyarakat saja, tapi juga membawa ideologinya ke dalam lembaga eksekutif yang ada. Lalu NU Politik: Analisis Wacana Media (Fathurin Zen, 2004) mengatakan bahwa Pergerakan politik NU dalam ruang reformasi Indonesia di komandoi oleh Abdurahman Wahid yang secara umum menghadapi dua seterunya, yaitu kelompok Muhammadiyah dan kelompok Nasionalis-Sekular. Selanjutnya, manuvermanuver politik ulama NU dijelaskan dalam tulisan yang berjudul Manuver Politik Ulama (Hidayat, 2004). Ternyata, walaupun orang-orang NU memiliki konflik politik, namun dalam melakukan manuver politik orang-orang NU tidak menggunakan lobi kekerasan dalam rangka mencapai tujuan politiknya, hal ini dijelaskan dalam karya yang berjudul Nahdathul Ulama: Dinamika Ideologi dan Politik Kenegaraan (KOMPAS, 2010), orang-orang NU dalam masa modern lebih menggunakan cara-cara kooperatif dan
Peranan Ulama..., Muhamad Gilang Sukmahavi, FIB UI, 2013
4
tidak merugikan negara yang bagi mereka merupakan wadah untuk melakukan kehidupan bernegara dan beragama. Penulisan tentang peranan ulama-Banten dalam Pembentukan Provinsi Banten tidak terlalu banyak ditulis secara lengkap. dalam buku yang berjudul Politik Lokal di Indonesia (Nordholt dan Klikhen, 2007) menjelaskan tentang peranan ulama dalam pembentukan provinsi Banten, dimana ulama harus bertarung melawan kelompok jawara-pengusaha. Menurut mereka, peranan ulama di Banten mulai dikurangi sejak masa kolonial, yaitu dengan menghapuskan peran resmi ulama dalam lembaga Faqih Najamudin dan selanjutnya dimanfaatkan oleh pemerintah Orba yang menjadikan ulama hanya sebagai penjaga moral. Sedangkan dalam tulisan Perjuangan Rakyat Banten (Mansur, 2001) hanya memberikan sedikit penjelasan mengenai sepak terjang ulama dalam pembentukan Provinsi Banten, titik beratnya hanya pada kelompok Jawara-Pengusaha. Berdasarkan beberapa tulisan yang membahas NU dan aktivitas politiknya, ternyata belum ada yang membahas secara lengkap aktivitas kelompok NU dalam Pembentukan Provinsi Banten dalam kurun waktu 1999-2001.
3. Peran Ulama dalam Pembentukan Provinsi Banten 1999-2000 Banten terletak di pulau Jawa, yang memiliki panjang kurang lebih sepanjang 1100 kilometer dan rata-rata selebar 120 kilometer. Secara astronomis, Banten terletak pada batas astronomis 105°1’11” – 106°7’12” BT dan 5°7'5°" - 7°1'11" LS, dengan luas 9.018,64 km persegi. Dengan luas 132.187 kilometer persegi, Jawa memuat kurang lebih tujuh persen luas tanah dari seluruh Indonesia (Suseno, 1991: 10). Sebelum Banten menjadi propinsi, jumlah propinsi yang ada di pulau Jawa adalah 5 propinsi, namun setelah Banten dinyatakan sebagai propinsi pada tahun 2000, jumlah propinsi di Pulau Jawa menjadi 6 propinsi. Banten secara geografis berada di ujung barat pulau Jawa. Berbatasan langsung dengan Selat Sunda di sebelah Barat, Samudra Hindia di sebelah Selatan, Jawa Barat di sebelah Timur, dan Laut Jawa di sebelah Utara.Selain itu, Banten memiliki 131 pulau yang tersebar di Laut Jawa dan sebagian lagi di Selat Sunda. Luas Banten di Indonesia secara persentase sebesar 0,51 persen dari luas keseluruhan Indonesia. Banten juga memiliki jumlah tepi laut sebanyak 131, dan 1.404 daerah yang bukan merupakan tepi laut (BPS 2012: 67) Walaupun wilayah yang berada di tepi laut hanya sekitar 8,53 persen dari total luas keseluruhan wilayah Banten, namun titik-titik penting di Banten muncul di
daerah pantai, seperti Serang, Cilegon, Tanggerang, dan Pesisir Barat Pandeglang. Berdasarkan catatan pemerintah Provinsi Banten, populasi masyarakat Banten sejumlah 8.956.229 juta jiwa yang tersebar di 4 Kabupaten dan 4 Kotamadya (Paparan Pokja AMPL Provinsi Banten dengan Data Survey 2004) dengan jumlah terbanyak berdomisili di Kabupaten Tanggerang dan Kota Tanggerang. Angka kepadatan penduduk Banten dari tahun ke tahun memperlihatkan peningkatan. Hal ini ditunjukkan berdasarkan data dua sensus terakhir, yaitu tahun 1990 sebesar 678 orang per km2, tahun 2000 sebesar 838 orang per km2 meningkat menjadi 1.032 orang per km2 pada tahun 2004. Berdasarkan sensus penduduk tahun 2000 yang dilakukan BPS, jumlah penduduk Banten mencapai 8.098.300 jiwa; jika di bandingkan dengan jumlah penduduk Jawa Barat pada tahun yang sama yaitu berjumlah 35.724.100 jiwa, maka populasi penduduk Banten sekitar 22,7 persen dari total penduduk Jawa Barat (BPS, 2010: 12) Bertambahnya jumlah penduduk tiap tahun secara tidak langsung akan berimbas kepada meningkatnya jumlah rumah tangga. Jumlah rumah tangga pada tahun 2001 mencapai 2.062.472 rumah tangga, kemudian meningkat menjadi 2.180.336 rumah tangga hingga tahun 2004 (Diolah dari Data BPS 2006). Pencapaian pembangunan manusia dapat diindikasikan dengan angka IPM (Badan Pusat Statistik, Indeks Pembangunan Manusia 2006-2007, Katalog BPS: 4102002: 9) akan terus meningkat dari tahun ketahun 63,78 (tahun 2000), 66,63 (tahun 2001), 67,25 (tahun 2002), dan 68,4 (tahun 2004)dan 68,8 (tahun 2005). Laju kecepatan pencapaian pembangunan manusia di Propinsi Banten selama kurun waktu 1999 – 2002 mencapai 2,1 persen per tahun dan menempati urutan ketiga setelah propinsi Sulawesi Utara dan DKI Jakarta Masyarakat Banten. Masyarakat Banten secara garis besar terbagi menjadi beberapa jenis mata pencaharian.Nelayan di pesisir Selat Sunda, petani di daerah pandeglang, Lebak, dan Serang. Industriawan di daerah industri seperti Anyer dan Tanggerang. Kondisi sosial-ekonomi di Banten sebelum menjadi provinsi akan terbawa kearah bagaimana keadaan ekonomi masyarakat Banten. Kemiskinan menjadi alasan utama kelompok pencetus pembentukan Provinsi Banten pada tahun 1999. Kemiskinan juga yang menjadi pertimbangan berat R. Nuriana yang pada saat itu menjabat sebagai Gubernur Jawa Barat untuk melepas Banten menjadi daerah provinsi sendiri (Kompas, 3 Februari 2000) Garis kemiskinan penduduk Banten dalam sensus penduduk tahun 2000 (BPS, Perkembangan Penduduk
Peranan Ulama..., Muhamad Gilang Sukmahavi, FIB UI, 2013
5
Miskin di Banten tahun 1999-2001: 6) secara keseluruhan sebesar Rp.80.575,- perbulan, sedangkan pada tahun 2001 sebesar Rp.88.656,-. Peningkatan jumlah garis kemiskinan ini adalah hal wajar seiring jalannya waktu. Persentase penduduk miskin dalam periode tahun 1999 sampai 2001 relatif mengalami penurunan. Pada tahun 1999, persentase penduduk mskin sebesar 19,66 persen turun menjadi 14,93 persen pada tahun 2000, dan turun kembali menjadi 12,47 persen pada tahun 2001. Dengan demikian, persentase kemiskinan di Banten pada periode 1999-2001 mengalami penurunan sebesar 7,19 persen. Jika dihitung dengan jumlah penduduk Banten secara keseluruhan pada tahun bersangkutan, diperkirakan jumlah penduduk miskin Banten tahun 1999 sebanyak 1.547.824 jiwa, tahun 2000 sebanyak 1.184.100 jiwa, dan tahun 2001 sebanyak 1.029.779 jiwa. Pasca reformasi, muncul opini nasional mengenai pembentukan daerah-daerah otonomi yang melepaskan diri dari provinsi-provinsi lama. Di Banten pun terjadi hal yang sama. Kelompok ulama, merupakan kelompok masyarakat yang pertama kali mengajukan kembali masalah Pembentukan Provinsi Banten kepada pemerintah pusat.K.H. Aminuddin Ibrahim pemimpin Pondok Pesantren Darul Iman merupakan orang yang pertama mengajukan hal tersebut pasca reformasi dalam bentuk pelemparan opini kepada Presiden RI B.J. Habibie secara non-formal dan bersifat spontanitas (Wawancara dengan K.H. Aminuddin Ibrahim). K.H. Aminuddin Ibrahim mengundang B.J. Habibie ke Pondok Pesantren Terpadu Darul Iman dalam rangka halal-bihalal dengan para alim-ulama sekaligus meresmikan Perpustakaan pesantren tersebut. Awalnya, K.H. Aminuddin Ibrahim mengundang Presiden Habibie untuk datang pada tanggal 25 Februari 1999, dengan pertimbangan pembangunan perpustakaan tersebut selesai pada tanggal itu. Tetapi pada awal dan akhir Januari, K.H. Aminuddin Ibrahim mendapat telepon dari Istana Negara Jakarta untuk mempercepat kegiatan halal-bihalal tersebut menjadi 5 Februari 1999. Hal ini ditanyakan oleh K.H. Aminuddin Ibrahim, dan dijawab oleh pihak Istana bahwa ini permintaan Presiden yang akhirnya disanggupi oleh K.H. Aminuddin Ibrahim. Karena sudah menyanggupi, maka K.H. Aminuddin Ibrahim mengerahkan 320 orang yang sebagian berasal dari prajurit Korem 320 Pandeglang (Wawancara dengan K.H. Aminuddin Ibrahim). Seminggu sebelum acara halal-bihalal di pondok Pesantren Darul Iman, K.H. Aminuddin Ibrahim bertemu dengan beberapa tokoh di Kantor Departemen Koperasi. Pertemuan tersebut melibatkan K.H. Aminuddin Ibrahim, Haji Embay Mulya Syarif, Menteri Otonomi Daerah Ryaas Rasyid, Profesor Jaffar, dan beberapa pemuda. Ketika pertemuan itu,
K.H. Aminuddin Ibrahim memancing pembicaraan mengenai pembentukan provinsi Banten. Pengajuan pembentukan Provinsi Banten tersebut ditampik oleh Menteri Negara Otonomi Daerah Ryaas Rasyid dengan alasan sudah mendekati pemilu. Lalu K.H.Aminuddin Ibrahim bertanya solusi yang langsung dijawab oleh Mendagri harus dilempar dulu opini mengenai Pembentukan Provinsi Banten tersebut. Lalu K.H. Aminuddin Ibrahim menanyakan bagaiamana kalau opini tersebut dilempar pada saat kunjungan Presiden ke Pesantren Darul Iman.Pendapat tersebut langsung diamini oleh Ryaas Rasyid (Wawancara dengan K.H. Aminuddin Ibrahim). Tapi, ternyata pembicaraan terbatas tersebut bocor ketelinga pemerintah-pemerintah daerah di Jawa Barat. Sehingga, pada tanggal 4 Februari 1999, Bupati Pandeglang pada saat itu H. Yitno mengundang tokohtokoh masyarakat dari 4 kabupaten (Serang, Lebak, Pandeglang, Tanggerang), termasuk K.H. Aminuddin Ibrahim yang memiliki kecurigaan bahwa usulan tentang opini Pembentukan Provinsi Banten akan ditolak. Akhirnya, K.H. Aminuddin tidak datang, dan hanya mengirim seorang utusan yang setelah pertemuan membawa kabar bahwa Pembentukan Provinsi Banten ditolak secara halus oleh tokoh Banten yang diundang Buati Pandeglang, dengan alasan belum saatnya Banten menjadi provinsi. Hal ini membuat para tokoh bingung, apalagi K.H. Aminuddin Ibrahim yang berniat melempar opini tidak datang ke pertemuan tersebut.Akhirnya, pada malam hari tanggal 4 Februari 1999, tokoh Banten Chassan Sochib mengutus seseorang untuk memberikan pesan kepada K.H. Aminuddin Ibrahim. Pesan dari Chassan Sochib yaitu usulan mengenai Pembentukan Provinsi Banten diteruskan saja. Selaku pemilik gagasan, K.H. Aminuddin Ibrahim hanya memastikan bahwa opini tersebut dilempar atau tidak pada acara halal bihalal tanggal 5 Februari 1999 itu terserah dirinya sendiri(Wawancara dengan K.H. Aminuddin Ibrahim). Disisi lain, kelompok ulama sepakat dengan usulan pembentukan Propinsi Banten usulan K.H. Aminuddin Ibrahim karena pertimbangan politik, ekonomi, sosial, dan historis (Wawancara dengan K.H. Aminuddin Ibrahim). Pertimbangannya adalah secara birokrasipolitik jika Banten menjadi propinsi sendiri maka urusan-urusan Banten bisa disampaikan langsung ke Pusat, tanpa harus melalui sistem birokrasi Jawa Barat. Dalam sudut pandang ekonomi lebih menguntungkan, karena segala bentuk investasi akan lebih mandiri. Secara sosial-kultural, masyarakat Banten merasa tidak memiliki keterikatan sosial-kultural dengan Priangan. Hal terpenting ialah, kelompok ulama Banten memiliki kesepakatan bahwa Banten pernah menjadi kerajaan Islam yang besar di Indonesia. Kelompok ulama Banten merasa suatu keharusan untuk membentuk
Peranan Ulama..., Muhamad Gilang Sukmahavi, FIB UI, 2013
6
kembali Banten seperti masa lampau yang jaya karena Islami, dan itu bisa terwujud jika Banten bisa menjadi propinsi (Wawancara Prof.DR. Tihami). Hal yang sama juga dikemukakan oleh KH A Wahab Afif yang berpendapat bahwa pembentukan Provinsi Banten akan menjadikan wilayah Banten maju, makmur dan sejahtera setelah lepas dari Jawa Barat (Kompas, 07-10-2000: 19). Pada tanggal 5 Februari 1999 ke Pandeglang, sesuai dengan jadwal halal bihalal, rombongan Presiden B.J. Habibie datang ke Pondok Pesantren Terpadu Darul Iman milik K.H.Aminuddin Ibrahim. Pada kunjungan tersebut, Presiden Habibie ditemani oleh Mensesneg Akbar Tanjung, Menhankam/Pangab Jenderal TNI Wiranto, Menteri Agama Malik Fajar, Menteri Koperasi/Pengusaha Kecil dan Menengah Adi Sasono dan Gubernur Jawa Barat Nuriana. Pada pertemuan itu, pemimpin pesantren Darul Iman Pandeglang, Haji Aminuddin Ibrahim, menyampaikan usulan agar wilayah eks-Keresidenan Banten dijadikan Propinsi Banten pada kalimat terakhir sambutannya sebagai tuan rumah. Menanggapi usulan tersebut, B.J. Habibie membalas dengan pernyataan singkat di akhir sambutannya: dengan mengatakan “Itu adalah keinginan rakyat, silahkan saja. Akan saya dengar aspirasi, dan kita berdoa bersama-sama, semoga doa ini bisa terkabul (Wawancara dengan K.H. Aminuddin Ibrahim dan Prof. Tihami). Setelah acara di Pondok Pesantren tersebut, muncul pro dan kontra yang ditujukan kepada K.H. Aminuddin Ibrahim baik melalui telepon ataupun melalui surat. Banyak yang mempertanyakan bagaimana caranya pembentukan provinsi Banten bisa terlaksana (Wawancara dengan K.H. Aminuddin Ibrahim). Melihat reaksi ini, K.H. Aminuddin Ibrahim bersama tokoh Banten yang lain pada bulan Juni membentuk wadah-wadah untuk menjalankan usaha pembentukan provinsi Banten. Kelompok ulama yang menjadi pelopor pembentukan Propinsi Banten pasca Orde Baru membentuk Kelompok Kerja-PPB yang merupakan gagasan K.H. Irsyad Djuwaeli, ketua Mathlaul-Anwar Banten. Setelah pembentukan kelompok kerja ini diikuti oleh H. Uwes Qorny dengan membentuk Komite Pembentukan Propinsi Banten (KPPB), yang diketuai oleh dirinya sendiri (Mansyur, 2001: 204). Lalu, untuk mengkoordinasikan kedua wadah tersebut, dibentuk pula Badan Koordinasi Persiapan Provinsi Banten yang di pimpin oleh Tryana Sjam’un seorang pengusaha sekaligus tokoh Banten. Sebelumnya, pada bulan Mei, langkah lebih matang dilakukan oleh kelompok pemuda Gerakan Pemuda Reformasi Indonesia (GPRI). Kelompok pemuda ini merencanakan untuk mengadakan diskusi-diskusi dengan kelompok ulama modern seperti H.M.A.
Tihami, Rektor STAIN (Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri), Hasan Muarif Ambary yang menjabat sebagai Kepala Puslit Arkeologi Nasional. Hasil dari pertemuan ini adalah dibentuknya Panitia Musyawarah Masyarakat Banten yang diketuai oleh Agus Najiullah Ibrahim yang merupakan ketua GPRI Banten didampingi Aenk Chaerudin dan Udin Saparudin yang keduanya merupakan Seketaris Umum dari GPRI. Panitia ini dibentuk di Hotel Patra Jasa Anyer. Pada tanggal 4 Mei 1999, GPRI mengeluarkan deklarasi berisi Sembilan butir pernyataan yang menilai bahwa wilayah Keresidenan Banten layak menjadi Propinsi(Mansyur, 2001: 204). Pada tanggal 7-12 Mei 1999, GPRI Serang menghadiri konferensi Pemuda Indonesia Abad ke-21. Dalam konferensi tersebut, GPRI Serang meminta rekomendasi DPP GPRI dalam rangka Pembentukan Propinsi Banten (PPB) dan hal ini disetujui dalam konferensi. Rekomendasi ini diteruskan oleh GPRI ke presiden Habibie pada 4 Juni 1999 (Supandri, 2002: 36). Kunjungan selanjutnya, dilakukan Habibie ke Cilegon, tepatnya di Anyer, pada tanggal 1 Agustus 1999. Permohonan menjadi sebuah Propinsi diajukan kembali oleh seorang ulama NU bernama Haji Mansur Muchjidin.Pada pertemuan ini, Presiden Habibie tidak member tanggapan, namun Mendagri Syarwan Hamid menyatakan tidak menutup aspirasi Banten untuk menjadi propinsi sendiri. Wakil Mendagri Drs. Ragam Santika menambahkan bahwa aspirasi untuk menjadi propinsi bisa dilakukan asal masih mengikuti bingkai dan konstitusi NKRI (Kompas, 02-08-1999: 6). Lalu, K.H. Aminuddin Ibrahim yang merupakan tokoh pertama mengajukan pembentukan Propinsi Banten juga mendirikan Forum Silahturahmi Warga Pandeglang (FOSGALANG) pada tanggal 28 Agustus 1999. Ia menjadi wakil ketua dan H. Djajat Mudjahiddin menjadi ketuanya (Kompas, 02-08-1999: 6). Setelah menyampaikan pendapat kepada B.J.Habibie, selanjutnya diadakan pertemuan di Gedung Graha Pancasila Pandeglang, pada hari Sabtu 19 September 1999. Pertemuan ini merupakan acara deklarasi dan pelantikan Komite Pembentukan Propinsi Banten (KPPB). Komponen masyarakat yang datang adalah kelompok ulama, partai politik, dan tokoh masyarakat dari wilayah Pandeglang, Serang dan Lebak. Tujuan dari acara ini adalah mendesak pemerintah pusat mewujudkan keinginan masyarakat Banten membentuk propinsi sendiri. Pertemuan ini merupakan usaha lanjutan pertemuan di Anyer pada bulan Agustus 1999 (Kompas, 13-09-1999: 15). Berkas deklarasi selanjutnya diserahkan kepada Ketua DPRD Tk.II Pandeglang, Encep Deden Ibrahim untuk diperjuangkan ke DPRD Tk.I Jawa Barat dan DPR RI,
Peranan Ulama..., Muhamad Gilang Sukmahavi, FIB UI, 2013
7
disaksikan oleh Ketua DPRD Kabupaten Lebak dan Serang. Sementara Bupati Pandeglang pada saat itu, H.Yitno, menyatakan bahwa dirinya mendukung deklarasi Pembentukan Provinsi Banten namun harus sesuai dengan mekanisme yang ada, yaitu melalui persetujuan DPRD Tk.I Jawa Barat (Kompas, 13-091999: 15). Namun jika tidak disetujui oleh DPRD Tk.I Jawa barat, masyarakat Banten bisa mengajukan langsung usulan Pembentukan Provinsi Banten kepada DPR RI. Dalam hal ini, DPRD Jawa Barat bisa diabaikan karena hak inisiatif yang dimiliki wakil rakyat di DPR (Kompas, 13-09-1999: 15). Walaupun secara tersirat Pemerintah Pusat mengizinkan Banten menjadi propinsi, tapi ternyata tidak bagi Gubernur Jawa Barat, R.Nuriana. Menurutnya, keinginan Banten untuk menjadi propinsi sendiri belum menjadi sebuah keputusan yang tepat atau tidak, karena otonomi merupakan sebuah tanggung jawab besar (Kompas, 02-08-1999: 6). Sebenarnya cukup beralasan mengapa R. Nuriana yang merupakan Gubernur Jawa Barat memberikan sinyal enggan untuk membiarkan Banten menjadi Propinsi pada saat itu hal itu dikarenakan Banten memberikan banyak pemasukan untuk APBD bagi Jawa Barat.
Melihat gencarnya sikap untuk berdiri sendiri dari masyarakat kelompok ulama dan pemuda masyarakat Banten, pemerintah Propinsi Jawa Barat mulai menunjukan resistensi. Pembentukan Propinsi Banten bagi Jawa Barat berarti hilangnya sebagian Pendapatan Asli Daerah yang dimiliki oleh Jawa Barat. Pendirian Propinsi Banten sendiri bagi kelompok penggagas Propinsi Banten berarti didapatnya otonomi atas pengelolaan pedapatan asli daerah.Melihat hal ini, pemerintah Jawa Barat berusaha mengambil hati masyarakat Banten dengan cara memberikan bantuan dari Yayasan Saung Kadeudeuh untuk masyarakat Banten pada tanggal 29 Oktober 1999. Bantuan tersebut berupa uang muka RSS (Rumah Sangat Sederhana) bagi 156 karyawan golongan I dan II di Kabupate Lebak sebesar Rp. 218,4 juta. Bersamaan dengan bantuan tersebut, Gubernur Jawa Barat pada saat itu Nuriana, mempertanyakan apakah pembentukan Propinsi Banten merupakan sebuah aspirasi dari semua masyarakat atau hanya sekelompok elit saja. Secara diplomatis Gubernur Jawa Barat menginginkan referendum (Pikiran Rakyat, 30 Oktober 1999) masyarakat Banten. Pendapat masyarakat Banten sendiri mengenai isu pembentukan Provinsi Banten beragam. Masyarakat Tanggerang yang memiliki keterikatan ekonomi dengan Jakarta secara langsung ada yang bersikap keberatan, setuju dan bersikap masa-bodoh. Sebagian masyarakat Tanggerang malah menginginkan Tanggerang masuk sebagai wilayah Jakarta.
Masyarakat Tanggerang menyayangkan sikap DPRD Kotamadya dan Kabupaten Tanggerang yang begitu saja menyetujui pembentukan Provinsi Banten tanpa mengadakan referendum dengan warga Tanggerang. Di lain pihak, DPRD Kotamadya dan Kabupaten Tanggerang sendiri menyetujui rencana Pembentukan Propinsi Banten setelah sebelumnya didesak dengan demonstrasi kelompok pemuda dari Balaraja dan Tigaraksa (Kompas, 9 Februari 2000:1). Alasan kenapa keberatan dengan masuknya Tanggerang ke dalam wilayah Propinsi Banten yaitu ekonomi. Secara ekonomi, Tanggerang merasa tidak diuntungkan, karena wilayah Tanggerang memiliki kemampuan ekonomi diatas daerah lain di wilayah Banten (Kompas, 27 Januari 2000:7). Warga lainnya malah menyebut terbentuknya Propinsi Banten hanya merupakan kepentingan dari sekelompok orang Kompas, 27 Januari 2000:7), dan memerlukan biaya yang besar (Kompas, 9 Februari 2000:1). Tanggapan bernada kecurigaan ini ditepis oleh Chassan Sochib, Ketua Pendekar Banten yang selama ini gigih meperjuangkan pembentukan Provinsi banten bersama dengan DR. Tihami, Ekky Syahruddin, Ali Yahya, dan KH.Aminuddin Ibrahim. Ia meminta kepada masyarakat Banten tidak perlu khawatir karena dari aset yang ada sekarang bisa mencukupi untuk membangun Propinsi Banten. Aset yang dikatakan itu adalah Bandara Internasional Soekarno-Hatta, Krakatau Steel, dan PLTU Suralaya. Chassan Sochib menilai, bahwa keberadaan aset-aset itu dapat menjadikan pihak luar negeri memberikan investasinya di Banten, jadi tidak perlu biaya pembentukan Propinsi banten didapatkan dari retribusi pajak masyarakat, ia bahkan menjanjikan bahwa kalau perlu orang-orang kecil dibebas-pajakkan (Kompas, 9 Februari 2000:1). Usaha pembentukan Provinsi Banten sendiri bukan tanpa hambatan. Ada dua hambatan yang terjadi dalam usaha pembentukan provinsi ini. Pertama adalah konflik internal yaitu konflik antara Pokja-PPB (Kelompok Kerja Pembentukan Provinsi Banten) dan KPPB (Komite Pembentukan Provinsi Banten). Dua organisasi tersebut, baik KPPB atau Pokja-PPB mengganggap saling mengklaim menjadi satu-satunya wadah yang berhak menjalankan peran dalam rangka proses pembentukan provinsi Banten (Lubis, 2003: 208). Padahal, didalam kedua organisasi tersebut ada K.H. Aminuddin Ibrahim dan ulama lain yang bertindak sebagai penyeimbang (Wawancara dengan K.H. Aminuddin Ibrahim). Tb.H. Farich Nahril berusaha untuk mendamaikan kelompok Pokja-PPB dengan KPPB. Menurut kelompok Pokja-PPB, kelompok KPPB hanya bertugas dalam hal sosialisasi rencana pembentukan Propinsi ke akar rumput, sedangkan Pokja-PPB menyiapkan SDM dan SDA dalam rangka pembentukan provinsi Banten.
Peranan Ulama..., Muhamad Gilang Sukmahavi, FIB UI, 2013
8
Tapi yang terjadi di lapangan adalah kedua pihak bekerja saling tumpang tindih memperebutkan massa (Mansur 2001: 176). Konflik yang berbelit-belit antar kelompok di Banten ini berusaha didamaikan oleh “Kelompok Jakarta” yang dipimpin seorang ulama bernama Haji Mardini. Pertemuan penyelesaian konflik antara Pokja-PPB dan KPPB akhirnya dilaksanakan pada tanggal yang telah ditentukan, 23 Januari 2000 di Pandeglang. Yang menjadi moderator sekaligus tuan rumah adalah H. Mardini. Pertemuan ini bernama “Pertemuan Nyi Mas Ropoh”. Pada pertemuan tersebut, didapat data bahwa sekitar 600 orang hadir. Terdiri dari kelompok ulama, jawara, IWABA (Ikatan Wanita Banten), kelompok pemuda, mahasiswa, tokoh Banten yang berada di dalam dan di luar Banten, para bupati dalam wilayah Banten, ketua DPRD se-Banten. Pada pertemuan itu, ada tiga orang perwakilan komponen masyarakat Banten yang berbicara, yaitu kelompok jawara yang diwakili oleh Tb. Chasan Sochib, kelompok ulama oleh K.H. Aminuddin Ibrahim, dan kelompok umaro (birokrat) yang diwakili oleh Yas’a Mulyadi (Bupati Lebak) (Lubis 2003: 217). Hasil dari Pertemuan Nyi Mas Ropoh menghasilkan Deklarasi Nyi Mas Ropoh yang dibacakan oleh Encep Daden Ibrahim, Ketua DPRD Pandeglang didampingi oleh para ketua DPRD se-Banten. Isi dari deklarasi sebagai berikut; 1.
Kami warga masyarakat Banten senantiasa konsisten untuk tetap menjaga persatuan dan kesatuan bangsa dalam satu wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia 2. Kami warga Masyarakat Banten mendesak lembaga legislative dan eksekutif , baik di daerah ataupun di pusat, untuk segera mewujudkan Banten sebagai Propinsi, serta kami siap berpegang teguh menerima amanat aspirasi masyarakat aan terbentuknya Banten menjadi Propinsi. 3. Kami warga masyarakat Banten bersepakat untuk tetap menjaga keutuhan dan kebersamaan dalam rangka merealisir amanat tersebut sesuai dengan harapan masyarakat Banten sebagai upaya meningkatkan kesejahteraan seluruh masyarakat Banten. Demikian surat pernyataan sikap bersama ini kami buat dengan sebenarbenarnya tanpa ada intervensi dan paksaan dari pihak manapun serta penuh dengan rasa tanggung jawab akan terciptanya masyarakat adil dalam kemakmuran dan makmur dalam
keadilan. Semoga niat ini selalu ada dalam lindungan Allah SWT (Mansur 2001: 180-181). Setelah berhasil mendamaikan KPPB yang dipimpin Uwes Qorny dengan Pokja-PPB yang dipimpin K.H. Irsyad Djuwaeli, “Kelompok Jakarta” mengadakan pertemuan di rumah Tb. Farich Nahril di Permata Hijau, Jakarta. Pertemuan ini dihadiri oleh para pengusaha asal Banten yang berada di Jakarta. Pertemuan ini dilakukan karena terdesak kebutuhan biaya dalam rangka pembentukan Provinsi Banten. Maka pertemuan ini menghasilkan wadah bernama “Koordinator Himpunan Pengusaha Banten” yang anggotanya terdiri dari Tb. Farich Nahril, H. Muchtar Mandala, Tb. Tryana Sjam’un, K.H. Irsyad Djuwaeli, Tb. Chasan Sochib, H. Mardini dan lain-lain (Lubis 2003: 217). Pada tanggal 4 Februari 2000, para pengusaha Banten tersebut mengundang para tokoh masyarakat Banten untuk menghadiri pertemuan di rumah Tb. H. Tryana Sjam’un di Jakarta. Dalam pertemuan tersebut, H.Mardini menyampaikan perlunya seorang tokoh untuk mengkoordinasikan semua usaha pembentukan Provinsi Banten. Haji Muchtar Mandala, mengusulkan agar wadah yang disarankan itu dinamakan “Badan Koordinasi Pembentukan Provinsi Banten (BakorPPB)”. Rapat itu juga akhirnya menyepakati Tb. H. Tryana Sjam’un sebagai Ketua Umum Bakor-PPB. Meskipun terdapat konflik dalam hal koordinasi kerja dalam rangka pembentukan Provinsi Banten yang terjadi antara KPPB dan Pokja-PPB, namun kegiatan sosialisasi dan lobi politik dalam hal menciptakan provinsi baru bernama Banten tetap tidak berhenti. Usaha awal dalam mencari dukungan dari DPRD Keresidenan Banten (yang dibahas dalam Bab 2) mulai membuahkan hasil. Pada tanggal 2 Desember 1999, DPRD Tk.II Serang memberikan keputusan untuk menyetujui Pembentukan Provinsi Banten (Lubis 2003: 217). Pada tanggal 3 Desember 1999, para “tokoh Banten”1 mendapatkan kesempatan untuk mengambil simpati dari Mendagri yang baru Surjadi Sudirja di Jakarta. Karena Mendagri sebelumnya, Syarwan Hamid berakhir masa jabatan bersamaan dengan turunnya B.J. Habibie dan kabinetnya Reformasi Pembangunan pada tanggal 26 Oktober 1999, jadi para tokoh Banten memiliki maksud untuk mengambil hati Surjadi Soedirja selaku Mendagri baru di Kabinet Persatuan Nasional yang dipimpin Presiden Abdurahman Wahid. 1
Tokoh Banten yang dimaksud adalah Tb. Farich Nahril, H. Mardini, H. Ewes Qorny, K.H. Irsyad Djuwaeli, Ali Yahya, HMA Tihami, dan Tb. Chassan Sochib
Peranan Ulama..., Muhamad Gilang Sukmahavi, FIB UI, 2013
9
Pada pertemuan non-formal tersebut, Mendagri memberikan saran bila rakyat Banten memang sudah bulat keinginannya untuk mendirikan provinsi sendiri, agar ditempuh cara-cara sesuai prosedur yang berlaku. Hal ini pun diamini oleh para tokoh tersebut (Lubis 2003: 217). Selanjutnya, pada tanggal 7 Desember 1999, DPRD Tingkat II Lebak mengeluarkan surat keputusan persetujuan untuk Pembentukan Provinsi Banten. Kemudian pada tanggal 13 Desember persetujuan serupa dikeluarkan oleh DPRD Tk.II Kabupaten Pandeglang. Sehari kemudian, 14 Desember 1999 menyusul Kota Cilegon. Surat-surat keputusan ini ditembuskan juga kepada DPRD Tk.I Jawa Barat, dan DPR-RI di Jakarta (Lubis 2003: 217). Pada tanggal 16 Desember 1999, rombongan ulama dan tokoh masyarakat Banten datang ke Gedung Sate di Bandung, yang merupakan kantor Pemerintah Provinsi Jawa Barat. Rombongan ini datang untuk menyampaikan aspirasi mengenai pembentukan Provinsi Banten. Peristiwa berturut-turut ini membuat DPR-RI yang diwakili oleh Komisi II bereaksi dan mengadakan pertemuan dengan Gubernur Jawa Barat, R.Nuriana, pada tanggal 20 Desember 1999. Gubernur Jawa Barat mengatakan kepada DPR-RI bahwa peluang PPB cukup terbuka, asalkan keinginan itu merupakan keinginan masyarakat Banten yang diproses secara demokratis dan konstitusional, dan secara politis disetujui oleh DPRD setiap kabupaten/kota yang akan menjadi bagian dari provinsi Banten (Lubis 2003: 217). Mendengar tanggapan tersebut, DPR-RI menyimpulkan bahwa Jawa Barat mau melepaskan Banten asalkan semua DPRD Tk. II yang merupakan eks-Keresidenan Banten menyetujui. Pada tanggal 9 Januari 2000, diselenggarakan acara haul di rumah K.H. Tb. A. Sadzili Wasi, seorang ulama Banten pimpinan Pondok Pesantren Al-Quraniyah Banten. Dalam acara tersebut, Akbar Tanjung yang merupakan Ketua DPR-RI diundang kembali secara tidak formal. Pada acara itu, Akbar Tanjung disinggung mengenai pembentukan Provinsi Banten. Menjawab hal tersebut, Akbar Tanjung menyatakan bahwa setuju mengenai pembentukan Provinsi Banten asal semua DPRD Tk.II memberikan dukungan, hal ini sesuai dengan pernyataan DPR_RI saat bertemu dengan Gubernur Jawa Barat. Dalam hal ini, hanya tinggal DPRD Kabupaten Tanggerang dan Kota Tanggerang yang belum memberikan dukungan (Mansur 2001: 183). Kalangan DPRD Kabupaten dan Kota Tanggerang mengajukan syarat jika daerah mereka ikut bergabung atau menjadi bagian dari provinsi Banten. Mereka meminta, jika memang Provinsi Banten menjadi kenyataan maka ibu kota Provinsi Banten nantinya
harus berada di Tanggerang. Wilayah tersebut dianggap sudah memenuhi syarat sebagai ibukota Provinsi Banten. Hal tersebut dikatakan oleh Fauzi HI, dari Fraksi Golkar. Menurutnya, Kota Tanggerang telah memenuhi persyaratan jika dijadikan ibukota propinsi. Ia melihat dari jumlah fasilitas yang memadai. Hal serupa juga dikatakan oleh Ahmad Hidayat dari Fraksi PDIP namun lebih halus. Menurut Ahmad Hidayat, penentuan letak ibukota harus dibicarakan secara terbuka dengan perakilan dari Serang, Pandeglang, Lebak, dan Cilegon (Kompas, 11 Februari 2000: 17). Usaha pembentukan Propinsi Banten tak serta merta mendapat dukungan dari berbagai pihak. Beberapa pihak mendukung dalam usaha pembentukan Propinsi baru ini, seperti kalangan jawara, ulama, dan segelintir akademisi yang berada di Banten. Beberapa kalangan lagi menolak atas usaha pembentukan Propinsi Banten yang sudah dijelaskan di paragraf sebelumnya, terutama sekali pihak Pemerintah Provinsi Jawa Barat yang menjadi pihak paling dirugikan dalam hal pembentukan Propinsi Banten. Beberapa pejabat Pemerintah Pemprov Jabar banyak memberikan tanggapan tidak setuju atas gagasan Pembentukan Provinsi Banten yang diajukan oleh K.H.Aminuddin Ibrahim. Asisten Ketataprajaan Provinsi Jawa Barat Drs.Wachyan mempertanyakan apakah merupakan pilihan tepat keinginan Banten menjadikan daerah itu sebagai provinsi. Apalagi dengan akan diserahkannya kewenangan mengatur daerah dari pemerintah pusat ke kabupaten dan kota melalui otonomi lebih luas (Kompas, 02 Agustus 1999: 6). Hal senada juga dikemukakan oleh Ketua DPRD Jabar, Idin Rafioedin (Kompas, 03 Febuari 2000: 18) Sepanjang idenya berniat untuk mensejahterakan rakyat, mengapa ditentang? Siakan saja, asal prosedural. Cuma orang-orang Banten sendiri hendaknya mengkaji secara objektif kemampuan wilayahnya untk lepas dari Jabar dan membentuk provinsi sendiri, berikut mereka yang dianggap berpikir jernih termasuk sejumlah anggota DPRD Jabar. Biarkan mereka mengkaji secara rasional, realistis, dan tidak emosional. Jangan sampai karena gegabah, niat untuk mensejahterakan rakyat Banten justru menjadi boomerang dan kebablasan. Sementara itu Wagub Jabar Bidang Pemerintahan, Husein Jahjasaputra bahkan secara tegas mengatakan,
Peranan Ulama..., Muhamad Gilang Sukmahavi, FIB UI, 2013
10
pembentukan propini di era otonomi daerah sudah bukan zamannya lagi. UU Nomor 22/1999 tentang Otonomi Daerah telah benar-benar menempatkan Dati II (kabupaten/kotamadya) sebagai ujung tombak pelayanan masyarakat, hal tersebut juga menurut Husein Jahjasaputra, ditambah dengan munculnta UU Nomor 25/1999 tentang Perimbangan Pusat dan Daerah. Menurutnya lagi, jika niatnya memeratakan hasil-hasil pembangunan kepada rakyat di Banten, mengapa tidak bersabar dulu untuk melihat hasil penerapan kedua UU tersebut. Hal ini dipertegas dengan pandangannya yang mengatakan bahwa hampir separuh dari Keresidenan Banten masih belum bisa berdiri sendiri, dan masih mendapatkan bantuan dari Provinsi Jawa Barat dan DKI Jakarta (Kompas, 03 Febuari 2000: 18) Namun, Nuriana selaku Gubernur Jawa Barat memberikan jawaban yang halus dengan mempersilakan Banten menjadi propinsi, asal dengan syarat harus dilakukan dengan demokratis dan konstitusional. Karena menurut Nuriana, pembentukan Provinsi Banten harus memiliki konsep yang matang agar kesejahteraan dan pelayanan masyarakat bisa berhasil. Menurutnya, kalau hal konsep sudah matang, dan DPR sepakat, maka Jawa Barat sudah tidak bisa berbuat apa-apa (Kompas, 03 Febuari 2000: 18). Melihat dukungan pribadi yang muncul dari Akbar Tanjung yang merupakan Ketua DPR-RI, pemerintah Provinsi Jawa Barat pada awal Januari meminta kepada Bappeda Jawa Barat untuk mengadakan studi kelayakan bakal Provinsi Banten. Selanjutnya, Bappeda Jawa Barat menunjuk Kusnaka Adimiharja (Ketua Lembaga Penelitian Universitas Padjajajran, Yudhistira Garna (Guru Besar Studi Antropologi Ahli Baduy dari Universitas Padjajajaran, dan Nina H Lubis (Ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia Cabang Jawa Barat) untuk melakukan kajian sosial budaya dan sejarah Banten secara akademis. Berbekal dukungan dari 4 Kabupaten dan 1 Kotamadya, Bakor-PPB pada tanggal 25 Januari 2000 menyampaikan aspirasi Pembentukan Provinsi Banten ke DPR-RI. Hal ini mengikuti saran dari Akbar Tanjung selaku Ketua DPR-RI yang menyatakan jika usulan pembentukan Provinsi Banten sudah mendapatkan dukungan dari daerah bakal anggota Provinsi Banten, maka bisa langsung diajukan ke DPRRI. Usul ini mula-mula diterima hanya oleh 43 anggota DPR-RI, namun selanjutnya bertambah dukungan oleh 10 Fraksi yang ada di DPR-RI (Mulyana, 2000: 337) Dalam penjelasan yang dilakukan oleh Aly Yahya didepan rapat Paripurna DPR-RI pada tanggal 25 Januari 2000, Aly Yahya mengemukakan latar belakang pemikiran diusulkannya pembentukan provinsi Banten. Pertimbangan historis, demografis,
dan geografis menjadi alasan utama. Selain Aly Yahya, tokoh-tokoh Banten lain juga datang dan ikut mengemukakan pendapat. K.H.Aminuddin Ibrahim sebagai pencetus awal juga turut dalam penyampaian aspirasi ini (Mansur 2001: 190-191). Ketua DPR-RI Akbar Tanjung menyatakan bahwa dilihat dari tuntutan masyarakat, urgensi pembentukan Provinsi Banten itu sangat tinggi. Sehingga Akbar Tanjung menilai bahwa aspirasi Pembentukan Provinsi Banten harus disalurkan dengan baik. Apalagi, jumlah yang menerima aspirasi ini sudah lebih dari jumlah minimal dukungan, yaitu 10 dukungan (Kompas, 26 Januari 2000: 7). Setelah melakukan penyampaian aspirasi ke DPR-RI, selanjutnya DPRD Tk.II Banten melakukan pendekatan legislatif ke DPRD Jawa Barat pada tanggal 15 Februari 2000, dan 17 Februari 2000. Dari kunjungan tersebut, DPRD Tk.II Banten mendapatkan opini bahwa Pemda Jawa Barat enggan untuk melepas Banten menjadi propinsi. Untuk bisa melancarkan Pembentukan Provinsi Banten, Bakor-PPB yang sudah dibangun diresmikan dan diperjelas tanggung jawabnya pada tanggal 16 Februari 2000 di Hotel Jayakarta, Jakarta. Bakor-PPB tersebut menunjuk H.Tb. Tryana Sjam’un sebagai Ketua Umum, dan K.H. Aminuddin Ibrahim sebagai Ketua (Surat Keputusan Pengurus Badan Koordinasi Pembentukan Provinsi Banten. Nomor: 001/BADKO/II/2000). Selanjutnya, setelah melakukan sosialisasi ke DPRD Tk.I Jawa Barat, rombongan legislatif dari eksKeresidenan Banten menemui Pemda Jawa Barat di Bandung pada tanngal 21 Februari 2000. Rombongan yang mengatasnamakan masyarakat Kabupaten Serang, Pandeglang, Lebak, Kota Cilegon, dan Tanggerang ini juga ditemani oleh Ketua Bakor-PBB, H. Tryana Sjam’un dan wakilnya Ace Suhaedi. Pada kunjungan ini, rombongan bertemu dengan Gubernur Jawa Barat, Nuriana. Dalam pertemuan tersebut, Gubernur Jawa Barat Nuriana mengatakan dukungannya atas gagasan pembentukan Propinsi Banten. Ia berjanji segera mempersiapkan teknis terwujudnya aspirasi masyarakat Banten dengan cara melaporkan kondisi wilayahnya kepada pemerintah pusat. Nuriana menegaskan, bahwa pemda tingkat I dan pusat tetap perlu dilibatkan dalam menilai secara objektif sebuah wilayah yang hendak berdiri sendiri. Namun menurut Nuriana, usaha ini agak terhambat karena pelaksanaan teknis dari UU Nomor 22/1999 tentang Otonomi Daerah belum ada petunjuk pelaksana teknisnya, contohnya Dewan Otonomo Daerah (DOD) yang diketuai oleh Mendagri pun belum terbentuk Rombongan Legislatif dari Eks-Keresidenan Banten sendiri setelah mendengar pernyataan dari Gubernur
Peranan Ulama..., Muhamad Gilang Sukmahavi, FIB UI, 2013
11
Jawa Barat, menyerahkan sepenuhnya kepada DPR-RI atas inisiatif mereka mengajukan RUU Pembentukan Provinsi Banten (Kompas, Rab 23 Februari 2000, hal. 7). Sebagai usaha kelanjutan dari usaha Aly Yahya di DPR-RI, maka dalam rapat Paripurna DPR-RI pada tanggal 21 Februari 2000 dilaksanakanlah tanggapan fraksi-fraksi atas RUU Usul Inisiatif Pembentukan Provinsi Banten. Fraksi Reformasi, Fraksi DKB (Demokrasi Kasih Bangsa) dan Fraksi TNI/Polri mengusulkan agar dibentuk Pansus yang bertugas untuk melakukan musyawarah dan koordinasi dengan Pemda jawa Barat dan DPRD Tk.I Jawa Barat yang masih belum menyetujui Pembentukan Provinsi Banten. Sedangkan fraksi yang lain menyatakan setuju dengan pembentukan provinsi Banten. Berdasarkan berbagai masukkan itu, maka dalam Rapat Paripurna Dewan tanggal 2 Maret 2000, dibentuklah Pansus RUU tentang Pembentukan Provinsi Banten yang beranggotakan 50 orang anggota (Mulyana, 2000: 339). Pada tanggal 7 Maret 2000, Pimpinan Pansus dpilih dengan susunan sebagai berikut: (Mulyana, 2001: 339). Ketua Wakil Ketua Wakil Ketua Wakil Ketua
: H. Amin Aryoso dari Fraksi PDI-P : D.P. Datuk Labuan Fraksi Partai Golkar : H. Sa’adun Syibromalisi Fraksi PPP : H. Aris Ashari Siagian Fraksi PKB
Sementara itu, hasil kajian ilmiah yang diajukan oleh Pemda Jawa Barat telah selesai dilakukan dan diolah kembali oleh Bappeda Jawa Barat. Laporan ini lalu dibawa oleh Wagub Jawa Barat Husein Jahjasaputra dalam acara Dengar Pendapat dengan Pansus DPR-RI pada tanggal 9 Maret 2000. Dalam acara tersebut, Wagub Jawa Barat Husein jahjasaputra membantah bahwa Pemda Jawa Barat memiliki maksud tertentu untuk menghalang-halangi Usaha Pembentukan Provinsi Banten. Menurut Husein, pemda Jawa Barat bukan bermaksud untuk menghalang-halangi, tapi bermaksud untuk menjalankan aspirasi tersebut sesuai dengan UU no.22 tahun 1999. Menurut Husein, ada tiga syarat yang harus dipenuhi dalam rangka Pembentukan Provinsi Banten, yaitu usulan harus bersifat aspiratif, kedua harus rasional dan konseptual sesuai dengan studi kelayakan yang dapat dipertanggung jawabkan secara objektif, dan ketiga harus konstitusional. Selanjutnya, Husein menyatakan bahwa syarat pertama yaitu aspiratif, sudah terpenuhi, yaitu ditandai dengan persetujuan dari semua DPRD Tk.II yang ada di Banten. Menurut Husein, yang bermasalah justru syarat kedua dan ketiga. Menurutnya, dalam studi kelayakan, Banten mendapatkan nilai minus 3, alias kurang produktif. Sedangkan untuk syarat ketiga, yaitu konsitusional,
belum bisa dilaksanakan, karena menurut Husein belum ada Peraturan Pemerintah-nya. Selalin itu, menurut Husein, perlu ada keterlibatan Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah (DPOD) yang hingga saat itu belum dibentuk (Mulyana, 2001: 339). Mendengar hal tersebut, Bakor-PPB menganggap bahwa alasan yang dibawa oleh Wagub Jawa Barat Husein Jahjasaputra dianggap mengada-ada. Menurut Bakor-PPB, Bappeda Jawa Barat merubah intepretasi atas data yang ada agar sesuai dengan kepentingan Jawa barat. Silang pendapat ini akhirnya membuat Pemda dan DPRD Jawa Barat menyerahkan kebijakan mengenai Pembentukan Propinsi Banten ke Pemerintah Pusat dan DPR karena Peraturan Pemerintah yang menjadi preaturan pelaksanaan dari UU Nomor 22/1999 belum ada (Mulyana, 2000: 339) Selanjutnya, sebelum Pansus mengadakan Rapat Kerja dengan pemerintah Pusat yang dijadwalkan pertengahan Maret 2000, Pansus melakukan serangkaian kegiatan, yaitu Rapat Dengar Pendapat Internal 2 dan Rapat Dengar Pendapat dengan para Pimpinan DPRD Kab/Kota Keresidenan Banten. Kegiatan ini dilakukan sebagai usaha peninjauan studi kelayakan yang menjadi peruncing permasalahan gagasan Pembentukan Provinsi Banten, dan peninjauan lapangan (Mulyana, 2000: 340). Setelah itu, sesuai dengan jadwal yang ditentukan, pada tanggal 13 Maret 2000, Pansus RUU Pembentukan Provinsi Banten mengadakan Rapat Kerja dengan Menteri Dalam Negeri Suryadi Sudirdja, Menteri Hukum dan Perundang-Undangan Yusril Ihza Mahendra, dan Menteri Negara Otonomi Daerah Ryaas Rasyid. Terhadap tuntutan sejumlah daerah yang menginginkan memekarkan diri menjadi propinsi, Ryaas Rasyid selaku Menteri Negara Otonomi Daerah mengatakan akan bersifat selektif. Menurutnya, tidak begitu saja pemerintah meluluskan permintaan itu karena harus dikaji oleh Dewan Otonomi Daerah. Sedangkan, Dewan Otonomi Daerah sendiri yang bakal beranggotakan para menteri yang terkait dengan otonomi daerah, seperti menteri pertanian, pekerjaan umum, pertambangan, pertahanan, dan menteri pertanian belum terbentuk karena masih menunggu pensahan presiden yang diatur lewat Keppres (Kompas, 07 Februari 2000: 7). Jika DOD ini sudah dibentuk, maka para elit lokal yang menginginkan pembentukan provinsi baru harus 2
Rapat Dengar Pendapat Internal merupakan rapat dengar pendapat yang hanya diikuti oleh anggota dari Pansus/DPR?Fraksi tertentu saja.
Peranan Ulama..., Muhamad Gilang Sukmahavi, FIB UI, 2013
12
mampu meyakinkan bahwa pembentukan wilayah baru tidak lantas menambah beban masyarakat serta tidak mengurangi hak masyarakat. Jika bisa dibuktikan, Ryaas Rasyid menjamin bahwa pemerintah tidak akan menolak pembentuka provinsi baru. Ryaas Rasyid juga menolak pembentukan propinsi baru ketika keuangan negara sedang tidak stabil karena krisis moneter, karena pemekaran wilayah berbanding lurus dengan penambahan biaya administrasi daerah baru (Kompas, 07 Februari 2000: 7).
pemekaran Propinsi, Kabupaten, dan Kota; (b) memberikan pertimbangan penyusunan kebijakan otonomi daerah dan kebijakan tentang perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah; (c) melakukan monitoring dan evaluasi pelaksanaan kebijakan otonomi daerah dan kebijakan perimbangan keuangan antara pemerintah Pusat dan Daerah sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 49 tahun 2000 tentang Dewan Pertimbangan Daerah pasal 3 dan 4.
Pansus sepakat untuk menyelesaikan materi Rancangan Undang-Undang Pembentukan Provinsi Banten. Sedangkan permasalahan mengenai Peraturan Pemerintah tentang Undang-Undang Nomor 22/1999 tentang Pemerintah Daerah, Persetujuan Dewan pertimbangan Otonomi Daerah, dan persetujuan Gubernur Jawa Barat dan DPRD-nya, akan diproses oleh Pemerintah Pusat yang bekerja sama dengan DPR-RI (Mulyana, 2000: 340). Akhirnya, Rapat Kerja Pemerintah Pusat dengan Pansus DPR-RI ini menandakan, bahwa usaha Pembentukan Provinsi Banten, sudah diserah-terimakan dalam tataran elit tingkat nasional, DPR-RI dan Pemerintah Pusat.
Rekomendasi DPOD mengenai hasil studi kelayakannya akan menjadi bahan pertimbangan DPR dalam mengesahkan daerah tersebut menjadi provinsi baru. Jadi DPR sendiri tidak bisa mengesahkan UU pembentukan provinsi baru tanpa rekomendasi DPOD. Meskipun demikian, aspirasi rakyat daerah yang mengajukan provinsi baru harus dijadikan pertimbangan utama (Mulyana 2000: 341).
Pembicaraan mengenai Pembentukan Provinsi Banten sudah memasuki babak selanjutnya, yaitu pembicaraan di tingkat elit politik DPR-RI dan Pemerintah Pusat. Pembicaraan mengenai pembentukan Provinsi banten awalnya direncanakan pada tanggl 30 Maret 2000, tetapi pembicaraan tersebut terpaksa ditunda mengingat bahwa untuk dapat memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No.22/1999 diperlukan waktu dan langkah-langkah yang tidak bertentangan dengan peraturan perundangundangan, lebih-lebih pada waktu itu belum terbentuk DPOD sebagaimana dipersyaratkan pasal 5 (1) UU No.22/1999. Perlu diketahui, DPOD berperan dalam merekomendasikan layak atau tidaknya suatu daerah jadi propinsi. DPOD beranggotakan; Menteri Dalam Negeri, Menteri Negara Otonomi Daerah, Menteri Keuangan, Menteri Pertahanan, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara, tim pakar di bidang ilmu sosial, ekonomi, politik dan kebudayaan serta gubernur dan pejabat daerah yang ditunjuk (Mulyana, 2000: 341). DPOD mempunyai tugas memberikan pertimbangan kepada Presiden mengenai: (a) pembentukan, penghapusan, penggabungan dan pemekaran Daerah; (b) perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah; (c) kemampuan Daerah Kabupaten dan Daerah Kota untuk melaksanakan kewenangan tertentu, sebagaimana dimaksud dalam pasal II Undang-Undang No. 22/1999. Untuk melaksanakan tugas tersebut, DPOD mempunyai fungsi; (a) melakukan penelitian terhadap usul pembentukan, penghapusan, penggabungan dan
Pembahasan mengalami hambatan karena Gubernur Jawa Barat selaku kepala daerah belum menyetujui mengenai gagasan pembentukan provinsi Banten, padahal diperlukan persetujuan kepala daerah Provinsi Jawa Barat selaku provinsi induk sebagaimana diatur pasal 115 (1) UU 22/1999. DPR dapat memahami kesulitan yang dihadapi oleh pemerintah dan sepakat untuk menunda sampai diselesaikannya persyaratanpersyaratan dimaksud. Diperkirakan bulan Juni atau Juli sudah selesai (Mulyana 2000: 342). Ini sesuai dengan Keputusan Menteri Dalam Negeri No.19 tahun 2000 sesuai dengan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 19 tahun 2000 tentang Pedoman Pemilihan Wakil-Wakil Daerah Sebagai Anggota Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah. Demi menjaga perasaan masyarakat Banten yang mengajukan pembentukan provinsi, Ketua Pansus DPR-RI Amin Aryoso menyatakan (Mulyana 2000: 342) Kami menyadari sepenuhnya bahwa sikap Dewan tersebut kurang berkenan bagi masyarakat Banten, lebih-lebih dengan persiapan yang telah dilakukan untuk menyongsong propinsi baru. Namun dengan jiwa besar yang dimiliki masyarakat Banten, ternyata sikap Dewan tersebut dapat diterima. Aly Yahya selaku anggota DPR-RI bersama dengan Bakor-PPB melakukan lobi di DPR-RI dan juga lobi ke Provinsi Jawa Barat pada tanggal 5 April 2000 dalam rapat Paripurna DPRD Tk.I Jawa Barat. Pada saat itu DPRD Jawa Barat sedang melakukan rapat Paripurna yang dipimpin oleh Ketua DPRD Tk.I Idin Rafioeddin, dan dihadiri oleh Gubernur Jawa Barat, untuk mendengarkan pendapat akhir ke-13 fraksi yang ada dari 14 fraksi yang mestinya hadir, karena satu
Peranan Ulama..., Muhamad Gilang Sukmahavi, FIB UI, 2013
13
fraksi dari PPP tidak hadir karena sedang menunaikan ibadah haji. Rapat Paripurna tersebut juga mengalami keterlambatan selama satu jam. Akhirnya, DPRD Jawa Barat memberikan keputusan yang dibacakan oleh Kepala Perundang-Undangan Asep Juanda, bahwa DPRD Jawa Barat menyatakan menyetujui dan tidak keberatan terhadap Pembentukan Provinsi Banten. Namun persetujuan ini memiliki syarat, yaitu harus dibentuk terlebih dahulu DPOD serta menyerahkan sepenuhnya modal pangkal kepada Pemerintah Pusat. Sedangkan fraksi PDIP, Golkar dan TNI/Polri tidak memberikan ketegasan mengenai menyetujui atau tidak atas pembentukan provinsi Banten (Kompas, 07 April 2000: 24). Pasca dibacakan keputusan Rapat Paripurna yang dilakukan tanggal 5 April 2000 tersebut, Gubernur Jawa Barat tidak memberikan tanggapan apa-apa. Hal ini berbeda dengan ulama Banten K.H. Djunaidi yang menjadi Ketua Tim Perumus Komite Pembentukan Provinsi Banten. Ia menganggap keputusan dewan dengan meminta agar membentuk DPOD hanya mengada-ada. Menurutnya, Provnsi Maluku ketika mengajukan pembentukan provinsi tidak memakai persayaratan tersebut yang dianggapnya malah memperlambat pembentukan provinsi Banten (Kompas, 07 April 2000: 24). Selain K.H. Djunaidi, ulama Banten lain, H. Djajuli juga memprotes purtusan Rapat Paripurna tersebut. Menurutnya, modal pangkal yang sepenuhnya diserahkan kepada Pemerintah Pusat memberikan kesan Pemerintah Provinsi Jawa Barat melepaskan diri dari tanggung jawabnya terhadap Banten, yang sudah lama tidak diperhatikan. Namun, terlepas dari itu semua, baik K.H. Djunaidi maupun H.Djajuli tidak peduli dengan persyaratan tersebut. Bagi mereka, yang terpenting adalah DPRD Tk.I Jawa Barat sudah menyetujui, sedangkan persyaratan teknis yang diputuskan mereka serahkan sepenuhnya kepada putusan DPR-RI (Kompas, 07 April 2000: 24). Pada bulan Mei 2000, dilakukan rapat Pansus dengan mengundang pemerintah. Namun pemerintah meminta untuk menunda rapat UU Pembentukan Provinsi Banten dengan alasan pembentukan DPOD belum selesai. Penundaan rapat ini membuat masyarakat Banten mengancam akan menutup jalan tol menuju Bandara Soekarno-Hatta dan mengancam akan memadamkan PLTU Suralaya sekaligus memblokitr penyebrangan Merak-Bakauheni (Mansur, 2001: 261271). Pada tanggal 8 Juni 2000, Ketua Dewan Penasihat Bakor-PPB Tb. H. Chassan Sochib bersama unsur Muspida se-Wilayah I Keresidenan Banten dan tokohtokoh masyarakat Banten mengadakan pertemuan
untuk audiensi kepada Gubernur Jawa Barat. Pertemuan diadakan di Gedung Dispenda Jawa barat di Bandung. Pada pertemuan itu, Gubernur Jawa barat, Nuriana belum bisa mengatakan setuju atau tidak mengenai usaha pembentukan provinsi Banten. Hal ini dikarenakan DPOD belum terbentuk dan DPOD belum mengeluarkan hasil penelitiannya mengenai kelayakan Banten menjadi provinsi baru. Setelah pertemuan itu, Chasan Sochib dan rombongan melanjutkan audiensi ke Bogor, Cirebon, Purwakarta dan Garut yang dilakukan selama 4 hari berturut-turut, yaitu tanggal 20-24 Juni 2000 untuk bertemu para Bupati, Ketua DPRD Tk.II, dan pejabat setempat. Audiensi yang dilakukan ini merupakan upaya mencari dukunagan dari daerah-daerah kabupaten di Jawa Barat. Audiensi juga dilakukan kelompok ulama Banten kepada kelompok ulama di daerah Jawa Barat. Dalam audiensi yang dilakukan oleh ulama ini, mereka membawa pesan bahwa Banten akan menjadi provinsi, dan mendapat tanggapan dari ulama Jawa barat dengan sinyal positif, hal ini menurut K.H. Aminuddin Ibrahim karena ulama Jawa Barat kebanyakan adalah ulama dari daerah Banten juga (Wawancara dengan K.H. Aminuddin Ibrahim). Pada akhir Juni 2000, DPOD terbentuk. Mengetahui hal ini, Bakor-PPB bergerak dengan melobi para menteri yang menjadi anggota DPOD. Menteri tersebut ialah Menteri Negara Otonomi Daerah Ryaas Rasyid dan Menteri Hukum/Perundang-Undangan – HAM Yusril Ihza Mahendra. Dalam rapat DPOD, semua menteri memutuskan bahwa Banten layak menjadi propinsi (Mansur: 2001: 242). Melihat hasil dari Bappeda yang menurut pihak BakorPPB ada kesalahan. Tim Ahli Bakor-PPB menyampaikan hasil penelitian mandirinya. Presentasi hasil penelitian ini dilakukan pada tanggal 19-20 Agustus 2000 Di Hotel Green Hilton Jakarta. Pada pertemuan ini Ketua Bakor-PPB Tryana Sjam’un menyampaikan pandangan akhir tentang Pembentukan Provinsi Banten di depan DPOD. Menurut Tryana Syam’un, Provinsi Banten sudah didepan mata, sehingga Banten harus sudah bisa mengukur sejauh mana modal dalam hal membangun Banten, baik dari sisi SDM yang harus ditingkatkan dalam bentuk pendidikan ataupun dari sisi SDA yang harus benar dalam tata kelola sehingga bisa mensejahterakan Banten (Lubis, 2002: 233). Pada tanggal 29 Agustus 2000, Tim DPOD dan Pansus DPR-RI mengundang Bakor-PPB untuk mendengarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh tim LIPI3. Kajian LIPI ini dilakukan atas permintaan DPOD. Pansus DPR-RI selanjutnya menanyakan hal mengenai finalisasi pembentukan Provinsi Banten. Dalam 3
LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia)
Peranan Ulama..., Muhamad Gilang Sukmahavi, FIB UI, 2013
14
pertemuan itu, Ketua Pansus, Amin Aryoso menanyakan dengan modal dari mana Banten bisa berjalan sebagai provinsi. Bakor-PPB yang diwakilkan oleh Tryana Sjam’un menyatakan bahwa untuk menjalankan provinsi Banten yang baru berdiri, jika perlu akan dilakukan iuran oleh masyarakat Banten. Hal ini dijawab oleh DPR-RI bahwa modal awal akan ditalangi oleh pemerintah pusat dahulu, sesuai dengan UU No. 25/1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah (Lubis, 2002: 233)
4. Lahirnya Provinsi Banten Pada tanggal 5 September 2000, Mendagri Suryadi Sudirja bersama Tim DPOD, didampingi Bakor-PPB mengadakan peninjauan lapangan yang dipusatkan di Pendopo Kabupaten Pandeglang. Dalam peninjauan lapangan ini hadir MenOTDA Ryaas Rasyid, Menhankam Agum Gumelar, dan Gubernur Jawa Barat Nuriana. Kegiatan ini juga dimanfaatkan untuk mensosialisasikan hasil studi kelayakan Banten sebagai provinsi yang dilakukan LIPI. Catatan dari LIPI menyatakan bahwa Banten masih memiliki kekurangan finansial karena belum memiliki anggaran yang cukup dalam rangka menjalankan roda pemerintahan awal (Lubis, 2002: 233). Pertemuan di Pandeglang tersebut menjadi momentum atas pembentukan Provinsi Banten. Aspek politis, ekonomis, sosio-kultural, konsepsional dan yuridis konstitusional, RUU tentang Pembentukan Provinsi Banten telah memenuhi semua persyaratan sehingga siap untuk disahkan menjadi UU yang akan dilakukan lewat Pembicaraan Tingkat IV yaitu pengambilan keputusan DPR pada akhir bulan September 2000. Tetapi, pada tanggal akhir September 2000, DPR-RI sedang melakukan Masa Reses , maka disepakati Pembicaraan Tingkat IV dilaksanakan pada tanggal 4 Oktober 2000, yang didahului dengan Pembicaraan Tingkat III pada tanggal 3 Oktober 2000 dan hal ini telah memperoleh persetujuan Badan Musyawarah DPR-RI pada tanggal 7 September 2000 (Mulyana 2000: 342-343).
anggota LSM, seniman, pengusaha, dan jawara datang ke DPR RI di Senayan, Jakarta. Mereka mendatangi Gedung DPR-RI gunan mendengarkan rapat Paripurna yang membahas RUU Pembentukan Provinsi Banten. Semua fraksi DPR-RI menyetujui secara bulat pengesahan itu. Fraksi Golkar memberikan saran dalam hal strategi kebijaksanaan dalam hal pembangunan Banten, yaitu pertama pemberdayaan masyarakat; kedua, pemanfaatan dan pemeliharaan SDA dan SDM dengan menerapkan model pembangunan yang betumpu pada peran serta masyarakat luas, keterbukaan, pemerintah yang bersih dan bebas KKN, demokratis, responsive, jujur, dan adil; ketiga, pembangunan kesejahteran masyarakat memanfaatkan potensi dan karakteristik wilayah, SDA, adat-budaya, teknologi, agama dan moral serta kemampuan manusia dan masyarakat (Lubis, 2002: 234). Setelah RUU Pembentukan Provinsi Banten di sahkan oleh DPR maka RUU tersebut berubah nama menjadi Undang-Undang No.23 Tahun 2000 tentang Pembentukan Provinsi Banten. Setelah UU No.23/2000 disahkan, selanjutnya, Pemerintah Pusat hanya tinggal mensahkan dengan ditanda-tangani oleh Presiden RI Abdurahman Wahid. Setelah dibacakannya putusan tersebut, masyarakat Banten menyambut dengan gembira. Banyak takbir dikumandangkan (Wawancara dengan K.H. Aminuddin Ibrahim). Tryana Syam’un selaku Ketua Bakor-PPB berkomentar (Mansur 2001: 356): Kita semua masyarakat Banten patut bersyukur kepada Allah SWT, karena pada hari ini, Rabu 4 Oktober 2000, perjuangan kita yang sudah lama dicita-citakan diterima baik oleh wakil rakyat di DPR-RI, dan ini berarti Provinsi Banten telah lahir dengan selamat.
Selanjutnya pada tanggal 3 Oktober 2000 diadakan rapat Pansus. Dalam rapat itu, Pansus telah melaporkan kepada Ketua DPR-RI bahwa persyaratan-persyaratan yang diperlukan telah terpenuhi sehingga DPR dapat menyetujui RUU tentang Pembentukan Provinsi Banten yang akan diteruskan pada Pembicaraan Tingkat IV yang nanti hasilnya akan diteruskan ke Pemerintah untuk dapat di undangkan (Lubis, 2002: 233).
Setelah disetujui oleh DPR, selanjutnya UU No.23/1999 tentang Pembentukan Provinsi Banten diserahkan kepada Presiden Abdurahman Wahid selaku Pemerintah Pusat. Pada tanggal 17 Oktober 2000, UU No.23/1999 disahkan oleh Presiden RI Abdurahman Wahid, dan ditandatangin ula oleh Sekretaris Negara Djohan Effendi. Ditanda-tanganinya UU No.23/2000 tentang Pembentukan Provinsi Banten pada tanggal 17 Oktober 2000 menyatakan bahwa Banten resmi menjadi sebuah provinsi secara legal sesuai dengan yang dicantumkan dalam UndangUndang No. 23 tahun 2000 tentang Pembentukan Provinsi Banten Pasal 20
Pada hari rabu, 4 Oktober 2000, seluruh komponen masyarakat Banten yang terdiri dari ulama, mahasiswa,
Dengan terbentuknya Provinsi Banten sebagai provinsi ke-30 di Indonesia itu, Gubernur Jawa Barat Nuriana
Peranan Ulama..., Muhamad Gilang Sukmahavi, FIB UI, 2013
15
mengaku pasrah dengan persetujuan pemerintah pusat dan DPR. Selanjutnya, ia menyatakan akan mengevaluasi aset daerah, karena menurutnya Jawa Barat akan kehilangan Pendapatan Asli Daerah yang cukup besar (Republika, 11 Oktober 2000, hal. 18). Dengan demikian, secara formal, Banten resmi berdiri sebagai provinsi, terspisah dari Jawa Barat. Wilayah administrativ Provinsi Banten, dalam hal ini, meliputi 4 kabupaten dan dua Kotamadya, yatu: Kabupaten Serang, Kabupaten Pandeglang, Kabupaten Lebak, Kabupaten Tanggerang, Kota Tanggerang dan Kota Cilegon. Sementara, ibukota pemerintah Provinsi Banten itu sendiri ditetapkan di Serang sesuai dengan Pasal 3 dan 7, Undang-Undang Nomor 23/2000 tentang Pembentukan Provinsi Banten.
5. Kesimpulan Pada pembentukan provinsi Banten ini, ulama yang pada masa Hindia-Belanda hanya memiliki tugas sebagai penjaga moral berubah drastic dengan tidak lagi hanya menjadi penjaga moral, melainkan sudah berperan sampai tingkat eksekutif dan menjaga ideologi gerakan politik dalam rangka pembentukan provinsi Banten. Ulama Banten yang pada masa Hindia Belanda tidak menjadi corong suara aspirasi, berubah drastis pada kasus Pembentukan Provinsi Banten dimana ulama bertransformasi menjadi corong utama sekaligus penjaga pesan dan legalitas gerakan politik. Transformasi gerakan ulama pada kasus ini menjadi gambaran, bahwa ulama tidak lagi bergerak dibawah tanah, tapi sudah muncul kepermukaan dan menunjukan wajahnya dalam gerakan sosial-politik di Banten demi mencapai tujuan Banten Madani. Demikianlah upaya ulama di Banten yang sejak tahun 1999 mencetuskan gagasan mengenai pembentukan provinsi Bantan. Usaha-usaha yang gigih dilakukan yang pada akhirnya mencapai keberhasilan dengan terbentuknya Provinsi Banten pada tanggal 4 Oktober 2000.
Daftar Acuan Arsip dan Dokumen Badan Pusat Statistik. Perkembangan Beberapa Indikator Utama Sosial-Ekonomi Indonesia. Jakarta: Badan Pusat Statistik. 2012 Badan Pusat Statistik. Indeks Pembangunan Manusia 2006 – 2007. Dokumen Pokja AMPL Provinsi Banten tahun 2004 Keputusan Presiden Republik Indonesia No.6 tahun 2000 Badan Pusat Statistik, Perkembangan Penduduk Miskin Di Banten 1999-2001. Banten: Badan Pusat Statistik. 2002
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 49 tahun 2000 Tentang Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 19 Tahun 2000, Pedoman Pemilihan Wakil-Wakil Daerah Sebagai Anggota Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah Paparan Ketua Pokja AMPL Provinsi Banten. Review Pengelolaan Data Pembangunan Air Minum dan Penyehatan Lingkungan Manusia dalam Rangka Persiapan Susenas 2006-200. Acara Pengalaman Daerag Dalam Pengelolaan Data Sektor Air Minum dan Penyehatan Lingkungan, 22 Desember 2005 di Le Meridien Jakarta Surat Keputusan Pengurus Badan Koordinasi Pembentukan Provinsi Banten No. 001/BADKO/II/2000 Tap MPR No.XV/1998 Tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah, Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang Berkeadilan, serta Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tinjauan Situasi Ketenagakerjaan Di Banten 1995 – 2001. Badan Pusat Statistik Propinsi Banten. 2002 UU Republik Indonesia No.22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah UU Republik Indonesia No.23 tahun 2000 tentang Pembentukan Propinsi Banten Surat Kabar Berita Indonesia. 4 Agustus 1952 Berita Indonesia. 5 Agustus 1952 Berita Indonesia. 16 Agustus 1952 Berita Indonesia. 15 Agustus 1952 Kompas. 2 Agustus 1999 Kompas. 13 September 1999 Kompas. 26 Januari 2000 Kompas, 27 Januari 2000 Kompas. 3 Februari 2000 Kompas. 7 Februari 2000 Kompas. 11 Februari 2000 Kompas. 7 April 2000 Pikiran Rakjat. 30 Oktober 1999 Republika. 11 Oktober 2000 Majalah Tempo. 9 April 2000 Artikel Karim, Mulyawan dan Korano Nicholash, “Banten Jadi Provinsi, Tinggal Rakyat Menagih Janji.” Di dalam Kompas. Sabtu 7 Oktober 2000 Karomani. “Komunikasi Elit Lokal di Banten Selatan.” didalam Majalah Sosiohumaniora Vol.10 Mulyadi, Agus dan Tjahja Gunawan, “Warga Banten Hanya Ingin Ubah Nasib,” Kompas 9 Februari 2000
Peranan Ulama..., Muhamad Gilang Sukmahavi, FIB UI, 2013
16
Wiiliam Bridgewater, Semymour Kurtz. The Columbia Encyclopedia: Third edition. New York & London: Columbia Unversity Press.. 1964 BUKU Gottschalk, Louis. Mengerti Sejarah (terj) Nugroho Notosusanto. Jakarta: Yayasan Penerbit Universitas Indonesia. 1975 Hamdan, Iwan Kusuma. Stake Holders dan Kebijakan Publik dalam Dinamika Politik dan Pembangunan Daerah provinsi Banten. Serang: LSPB. 2003 Kartodirjo, Sartono. Pemberontakan Petani Banten 1888 Kondisi, Jalan Peristiwa, dan Kelanjutannya Sebuah Studi Mengenai Pergerakan Sosial di Indonesia. Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya. 1984 Kuper, Adam & Kuper, Jesica. (ed) Ensiklopedi Ilmuilmu Sosial. (terj) Oleh Haris Munandar dkk. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2000 Lubis, Nina H. Banten dalam Pergumulan Sejarah Sultan Ulama Jawara. Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia. 2003 Saputra, Lukman Surya. Pendidikan Kewarganegaraan Menumbuhkan Nasionalisme dan Patriotisme. Jakarta: Grafindo. 2007 Mansur, Khatib. Perjuangan Rakyat Banten Menuju Provinsi. Banten: Kadin Banten. 2001 Nordholt, Henk Schulte & Gerry van Klinken. Politik Lokal Di Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor. 2009 Reid, Anthony. Asia Tenggara Masa Kurun Niaga 1450 – 1680 Tanah Bawah Angin. (terj) Mochtar Pabotinggi. Jilid I. Jakarta: Yayasan Obor. 1992 Riclefts, M.C. Sejarah Indonesia Modern: 1200-2008. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta. 2008 Riyanto, Bambang. Dasar-Dasar Pembelanjaan Perusahaan. Yogyakarta: BPFE-UGM. 1990 Setyawan Salam, Dharma. Otonomi Daerah. Jakarta: Djambatan. 2001 Sunatra. Integrasi dan Konflik Kedudukan Politik Jawara dan Ulama dalam Budaya Lokal: Studi Kasus Kepemimpinan di Banten. Bandung: PPs Unpad. 1997 Supandri, E.Iwa Tuskana. Perjalanan Panjang dan Kronologis Terbentuknya Propinsi Banten 1953-2000. Jakarta: Badan Pusat Statistik. 2002 Suseno, Frans Magnis. Etika Jawa: Sebuah Analisa Filsafat tentang Kebijakanaan Hidup Jawa. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 1991 Sutisna, Agus. Banten Paska Provinsi: Mengawali Transisi, Membangun Demokrasi. Serang: Lembaga Strategis Pembangunan Banten (LSPB), United National Development Program (UNDP). 2001 Toer, Pramoedya Ananta. Arok Dedes. Jakarta: Lentera Dipantara. 2006
Karya Tulis Non-Publikasi Abrori, Ahmad. Perilaku Politik Jawara Banten dalam Proses Politik di Banten. Tesis. Depok: Universitas Indonesia. 2003 Mulyana, Slamet. Elit, Masyarakat Sipil dan Politik Lokal.. Tesis. Yogyakarta: UGM. 2000 Suharto. Banten Masa Revolusi.. Disertasi Doktoral UI. Depok: Universitas Indonesia. 2001 Situs Internet http://www.ptabanten.net/index.php?option=com_cont ent&view=article&id=133%3Awilayahhukum&catid=59%3Aprofile&Itemid=57 diakses pada 17 Januari 2011 pukul 00.45 WIB http://www.al-khilafah.org/2011/08/kh-mansyurmuhyiddin-pewaris-darah.html diakses pada 23 Februari 2013 pukul 02.17 WIB http//www. bpk.go.id. /wpcontent/uploads/2011/03/UUD45_perubahan3 diakses pada 1 Maret 2013 pukul 09.57 WIB http://sirusa.bps.go.id/index.php?r=indikator/view&id= 51 diakses pada 1 Maret 2013 pukul 09.59 WIB http://www.setkab.go.id/profil-kabinet-24-kabinetpersatuan-nasional.html diakses pada 1 Maret 2013 pukul 10.10 WIB http://www.dpr.go.id/id/Komisi/Komisi-II diakses pada 10 Maret 2013 pukul 23.29 WIB http://www.dpr.go.id/id/tentang-dpr/tahun-sidang diakses pada 28 April 2013 pukul 22. 53 WIB
Peranan Ulama..., Muhamad Gilang Sukmahavi, FIB UI, 2013