Temu Ilmiah ISOI – Bidang Geologi Kelautan Bandung, 25 Agustus 2003.
KARAKTERISTIK GARIS PANTAI PROPINSI BANTEN 1: Pertumbuhan Delta Ciujung-Cidurian Baru Wahyu Budi Setyawan Pusat Penelitian Oseanografi – LIPI, Jl. Pasir Putih I, Ancol Timur, Jakarta. E-mail:
[email protected]
Abstrak Studi pertumbuhan Delta Ciujung-Cidurian yang terdapat di pesisir utara Propinsi Banten dilakukan dengan menggunakan kombinasi analisis remote sensing dan survei lapangan. Hasil analisis remote sensing menunjukkan bahwa pertumbuhan delta baru itu terjadi di muara alur baru Sungai Ciujung dan Cidurian. Alur baru tersebut merupakan hasil dari proyek pengendalian banjir yang dilaksanakan dari tahun 1905 sampai 1935, yang salah satu kegiatannya adalah meluruskan aliran Sungai Ciujung dan Cidurian yang bermeander. Muara Ciujung lama terletak di Tanjung Pontang, sedang muara Cidurian lama di sebelah barat Tanjung Pulaucangkir. Pelurusan kedua alur sungai tersebut mematikan aliran sungai ke muara lama kedua sungai itu, sehingga pemasukan muatan sedimen ke laut melalui kedua muara lama itu dapat dikatakan nol. Perubahan alur efektif sejak 1927. Sejak saat itu, pertumbuhan delta sangat dominan maju kearah laut sesuai dengan arah alur utama. Dihitung dari tahun 1927 sampai 2000, delta tersebut tumbuh dengan laju sekitar 55 meter per tahun. Citra Landsat ETM+ menunjukkan indikasi bahwa segmen pantai yang terdapat di sebelah timur dan barat delta baru itu mengalami erosi. Pengamatan lapangan di sepanjang segmen pantai tersebut menegaskan kondisi erosional segmen itu. Proses erosi yang terjadi telah mengerosi sebagian endapan Delta Ciujung lama. Analisis bentuk geometri Delta Ciujung-Cidurian menunjukkan bahwa delta tersebut tumbuh dilingkungan pantai berenergi gelombang moderat. Aktifitas perikanan tambak sangat dominan di daerah studi. Pengamatan lapangan menunjukkan bahwa cara membuat tambak yang sangat dekat dengan laut menyebabkan perkembangan mangrove di daratan delta baru sangat terganggu, dan memperburuk ketahanan garis pantai terhadap erosi. Kata Kunci: erosi pantai, akresi, pelurusan aliran sungai, Delta Ciujung-Cidurian, Tanjung Pontang, Banten
1. PENDAHULUAN Garis pantai mencerminkan interaksi antara kekuatan-kekuatan asal daratan dan kekuatan-kekuatan asal laut, yang menghasilkan dinamika morfologi dan sedimen yang kompleks. Sementara itu, banyak garis pantai yang mengalami pergeseran secara drastis karena aktifitas manusia, baik pergeseran ke arah laut karena sedimentasi maupun pergeseran ke arah darat karena erosi menyusul aktifitas manusia. Beberapa contoh mengenai keadaan tersebut antara lain perubahan garis pantai di kawasan Delta Nil yang terjadi menyusul pembuatan Bendungan Aswan di Sungai Nil, Mesir (Frihy dan Lotfy, 1994; Frihy dan Dewidar, 2003), di kawasan Delta Citarum, Jawa Barat, menyusul selesainya pembangunan Bendungan Jatiluhur tahun 1970, di kawasan sebelah selatan Jepara setelah pembangunan Kanal Wulan (Bird dan Ongkosongo, 1980).
Wilayah pesisir utara Propinsi Banten merupakan salah kawasan pesisir yang sangat dinamis perubahan garis pantainya, di utara Pulau Jawa, dan banyak menarik perhatian peneliti. Salah satu diantaranya adalah Verstappen. Verstappen (1953, seperti dikutip oleh Bird dan Ongkosongo, 1980) telah menaruh perhatian terhadap pertumbuhan delta baru yang terjadi di sebelah timur Tanjung Pontang itu. Disebutkan bahwa delta baru terbentuk di mulut alur buatan yang dibuat untuk mengalihkan aliran sungai lama, sedang delta lama mengalami erosi yang menyebabkan tererosinya pantai mangrove dan tambaktambak yang ada di belakangnya. Tujuan penulisan makalah ini adalah menyajikan hasil-hasil penelitian terbaru, Juli 2003, yang dilakukan di sepanjang garis pantai dari Tanjung Pontang sampai Tanjung Pulaucangkir (Gambar 1). Tujuan ke-dua adalah mengungkapkan pertumbuhan Delta Ciujung-Cidurian (DCC) dan faktor-faktor yang mempengaruhinya.
Wahyu Budi Setyawan
Gambar 1. Peta indeks lokasi penelitian. Pengamatan lapangan dilakukan di sepanjang pantai dari Tanjung Pontang sampai Tanjung Pulau Cangkir.
Gambar 2. Peta kondisi lahan di wilayah pesisir Tanjung Pontang sampai Tanjung Pulau Cangkir. Untuk nama-nama geografis, lihat Gambar 1.
2. METODA
3. POLA PERUBAHAN GARIS PANTAI
Pengumpulan data dilakukan melalui analisis citra satelit dan survei lapangan. Citra Satelit yang dipergunakan adalah Citra Landsat ETM+ tanggal 14 April 2000, dan dianalisis dengan software ERMapper. Survei lapangan dilakukan dengan cara menyusuri pantai melalui laut dengan menggunakan perahu nelayan dan melakukan pengamatan di sepanjang pantai, dan berhenti di titik-titik tertentu untuk mendapatkan gambaran detil kondisi pantai dan daratan pantai. Survei lapangan ini juga sebagai pengecekan lapangan hasil analisis citra satelit. Sifat garis pantai dipelajari melalui pendekatan analisis posisi garis pantai di masa lalu dalam kisaran waktu sampai 100 tahun yang lalu, dan pendekatan proses pantai sekarang (vide Paskof dan Kelletat, 1991). Pemahaman mengenai sebab dan akibat dari perubahan itu dapat diperoleh dari mempelajari sejarah perubahan garis pantai, dengan mempelajari sumber-sumber sedimen dan dengan mempelajari sejarah aktifitas manusia. Analisis waktu kejadian, besar kejadian dan lokasi perubahan dilakukan untuk mengetahui faktor-faktor yang relatif penting yang menyebabkan perubahan garis pantai (Wal et al., 2002).
Gambaran umum kondisi lahan wilayah pesisir di daerah studi (Gambar 2), dibuat dengan menginterpretasi citra satelit yang diolah menjadi citra fals color composite menggunakan band 321 (Terlampir). Secara garis besar, daratan pesisir di daerah studi dapat dibedakan menjadi daratan lahan kering (dry land) dan daratan lahan basah (wet land). Pada citra, daerah lahan kering ditunjukkan oleh kehadiran bersama yang dominan warna merah dari lahan terbuka dan hijau yang menunjukkan vegetasi darat, sedang daerah lahan basah ditunjukkan oleh kehadiran bersama yang dominan warna abuabu dan sedikir kemerahan dengan kenampakan pola bentuk geometris kotakkotak. Di lapangan, daratan kering terlihat sebagai daerah persawahan dan perkampungan dengan vegetasi kelapa, sedang daratan basah merupakan areal tambak. Selanjutnya, daerah daratan basah dapat dibedakan menjadi daerah lahan basah lama dan daerah lahan basah baru. Pada citra satelit, kedua lahan tersebut dapat dibedakan berdasarkan pada pola-pola garis pantai lama. Di lapangan, perbedaan umur dari kedua lahan basah tersebut diketahui dari kondisi fisik lotologi penyusun areal tambak. Pada Gambar 2 terlihat bahwa DCC tumbuh di muara Ciujung dan Cidurian yang
2
Pertumbuhan Delta Ciujung-Cidurian
baru. Muara yang baru itu adalah muara buatan hasil pelurusan alur kedua sungai tersebut. Menurut Direktorat Jenderal Pengairan Departemen Pekerjaan Umum (DJP-DPU) (1997), pelurusan kedua aliran sungai itu dilakukan dalam rangka pengendalian banjir. Pekerjaan itu dimulai tahun 1905 dan selesai dikerjakan tahun 1935. Menurut Verstappen (1953 vide Bird dan Onggosongo, 1980), aliran ke muara yang baru efektif sejak tahun 1927. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa lahan basah lama adalah lahan basah yang telah ada sebelum tahun 1927, sedang lahan basah baru adalah lahan basah yang terbentuk karena pertumbuhan delta di muara Ciujung dan Cidurian yang baru setelah tahun 1927. Selain itu, dapat juga disimpulkan bahwa sampai tahun 1927 pertumbuhan delta masih berlangsung di delta lama atau di kawasan Tanjung Pontang. Kemudian, dari pola garis pantai lama yang membatasi lahan kering dan lahan basah baru di daerah Tengkurak, diperkirakan bahwa sampai tahun 1927 pantai tersebut adalah pantai yang tererosi. Tahun 1927 merupakan titik balik perubahan kondisi pantai di daerah studi. Dengan efektifnya aliran melalui alur baru pada tahun tersebut, aliran muatan sedimen ke Tanjung Pontang melalui sungai lama terhenti, sehingga dapat dipastikan bahwa pertumbuhan Delta Ciujung Lama berhenti dan dimulai pertumbuhan DCC yang baru. Perubahan aliran sungai itu merubah kondisi erosi dan sedimentasi di daerah studi. Daerah Tanjung Pontang yang semula merupakan daerah delta yang tumbuh, berubah menjadi daerah yang mengalami erosi. Sementara itu, daerah pantai di sekitar muara yang baru, yang semula merupakan daerah erosi, berubah menjadi daerah sedimentasi yang sangat hebat. Berdasarkan pengukuran kasar yang dilakukan pada Gambar 2, antara tahun 1927 sampai 2000, pertumbuhan DCC mencapai 4000 meter. Dengan kata lain delta tumbuh dengan laju sekitar 55 meter per tahun. Sementara itu, menurut Verstappen (1953 vide Bird dan Ongkosongo, 1980), selama periode 18 tahun sejak 1927 delta tumbuh sejauh 2,5 km ke arah laut, atau tumbuh dengan laju sekitar 138 meter per tahun. 4. POLA EROSI DAN SEDIMENTASI bahwa
sebelah timur dan barat DCC mengalami erosi. Keadaan tersebut ditunjukkan oleh kenampakan garis pantai yang tajam, cekung ke arah laut, dan diselangi tanjung-tanjung yang runcing. Sementara itu, pengamatan lapangan juga menunjukkan bahwa, selain kedua segmen di atas, erosi pantai juga terjadi di pantai timur dan barat DCC. Bagian pantai yang memperlihatkan gejala akresi hanyalah di bagian ujung DCC (delta front) atau sekitar muara Ciujung dan Cidurian yang baru (Gambar 3). Bukti-bukti yang dijumpai di lapangan yang menunjukkan kondisi erosional di sepanjang pantai tersebut adalah: 1) Pantai mangrove yang rusak bagian depannya. Mangrove bertumbangan karena akarnya tererosi. 2) Di bagian pantai yang tidak ditumbuhi mangrove, terlihat pantai bertebing (cliffed coastline) yang tersusun oleh batulempung, dan dijumpai clay balls di depan tebing. Indikasi ini dijumpai di bagian pantai yang terbuka di antara Tanjung Pontang sampai Lontar. 3) Adanya erosional coastal platform yang berupa dasar laut yang keras dan ditutupi oleh endapan pasir di perairan pantai di antara Tanjung Pontang sampai Lontar. 4) Tambak-tambak yang rusak karena tanggulnya tererosi.
Gambar 3. Kondisi pantai di wilayah pesisir dari Tanjung Pontang sampai Tanjung Kait. Untuk nama-nama geografis lihat Gambar 1.
Citra satelit menunjukkan indikasi segmen-segmen garis pantai di 3
Wahyu Budi Setyawan
Menurut Birowo dan Uktolseya (1983), perairan Laut Jawa dipengaruhi oleh Monsoon Barat (Musim Barat, Nopember – Febuari) dan Monsoon Timur (Musim Timur, April – September). Pada musim barat, angin dominan bertiup dari barat (15,6%) dan baratdaya (13,8%), sedang pada musim timur dominan dari timur (16,9%). Selanjutnya, pada musim barat arus permukaan bergerak dari barat ke timur, sedang pada musim timur, arus bergerak dari timur ke barat. Ketika survei lapangan penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli 2003, bertepatan dengan musim timur. Pengamatan lapangan menunjukkan bahwa gelombang bergerak dari arah timurlaut ke baratdaya. Gelombang-gelombang tersebut mengarah ke segmen-segmen pantai di sebelah timur DCC, dan segmen pantai di sebelah barat DCC, antara Tanjung Pontang sampai Lontar, yang berada di luar areal yang terlindung oleh DCC. Sebaliknya, berdasarkan pola monsoon diperkirakan bahwa, segmen pantai di sebelah barat DCC yang terlindung pada musim timur, akan menjadi daerah pukulan gelombang pada musim barat. 5. PERTUMBUHAN DELTA CIUJUNGCIDURIAN Sejak mulai terbentuk tahun 1927, DCC terus berprogradasi bersama dengan alur sungainya yang utama. Sifat delta yang progradatif itu juga ditunjukkan oleh bentuk morfologi delta yang relatif meruncing ke arah laut. Kondisi tersebut lebih tegas lagi bila kita memperhatikan pola penyebaran perairan dangkal di bagian depan delta (Gambar 2). Saluran sungai yang stabil menyebabkan delta berprogradasi ke arah laut dengan satu saluran yang lurus. Menurut Wright (1978), hal seperti itu dapat terjadi bila pengendapan sedimen di arah laut dari mulut sungai terakumulasi lebih cepat dari pada subsiden atau pemindahan sedimen oleh prosesproses laut. Selanjutnya, menurut Boyd et al. (1992), delta yang berprogradasi menunjukkan kekuatan fluvial dan sumber sedimen fluvial yang tinggi. Apabila kita memperhatikan alur sungai Ciujung dan Cidurian di bagian DCC, terlihat bahwa bagian ujungnya mulai bercabang, dan ada kecenderungan membelok. Demikian pula bila kita memperhatikan ujung perairan dangkal di depan delta, ada kecenderungan membelok ke arah barat. Keadaan itu menunjukkan bahwa, pada awal pertumbuhan DCC, 4
kekuatan fluviatil sangat kuat sehingga sanggup mempertahankan alur sungai tetap lurus maju ke arah laut. Hal ini ditunjukkan juga oleh laju pertumbuhan yang sangat tinggi pada periode 18 tahun pertumbuhannya sejak 1927 yang telah disebutkan di depan. Dominannya kekuatan fluviatil pada awal pertumbuhan itu didukung oleh kondisi perairan yang dangkal, dan delta itu tumbuh di bagian pantai yang merupakan bagian tengah dari sel pantai (coastal cell) Tanjung Pontang – Tanjung Kait yang relatif terlindung oleh kedua tanjung tersebut. Selanjutnya, seiring dengan makin menjoroknya DCC ke arah laut, delta tersebut makin memasuki lingkungan yang lebih terbuka dan delta itu sendiri berubah fungsinya. Apabila pada awal pertumbuhannya delta itu berada di dalam lingkungan yang relatif terlindung dan merupakan bagian dari satu sel pantai, maka setelah makin jauh menjorok ke laut, delta berada di ligkungan yang lebih terbuka terhadap kekuatan-kekuatan asal laut dan fungsinya pun berubah menjadi tanjung yang membagi dua sel pantai sebelumnya. Keadaan tersebut membuat perimbangan kekuatan fluviatil dan kekuatan marine, bergeser sedikit ke arah marine. Perubahan keseimbangan itulah yang membuat alur sungai mulai bercabang dan delta tampak mulai berbelok. Indikasi pembelokan ujung delta ke arah barat menunjukkan dominannya drift ke arah barat. Hal ini sesuai dengan pola pertumbuhan delta-delta di pantai utara Pulau Jawa. Kemudian, bila kita memperhatikan bentuk geometri DCC yang baru itu, kita melihat bentuk yang tidak terlalu runcing. Menurut Wright (1978), keadaan itu menunjukkan bahwa delta itu tumbuh dalam lingkungan pantai berenergi gelombang moderat, dengan kekuatan fluviatil sedikit lebih kuat dari pada marine. Apabila kekuatan fluviatil jauh lebih dominan, maka akan berkembang delta tipe bird foot. Sebaliknya, bila kekuatan marine lebih dominan, maka delta tidak dapat berekspansi dengan bentuk yang menjorok tajam ke laut. 6. KESIMPULAN Analisis citra satelit dan survei lapangan menunjukkan bahwa dalam 100 tahun terakhir telah terjadi perubahan kondisi pantai yang drastis di kawasan Tanjung Pontang sampai Tanjung Pulaucangkir. Kegiatan pelurusan aliran sungai Ciujung dan
Pertumbuhan Delta Ciujung-Cidurian
Cidurian di awal Abad XX telah menyebabkan pembentukan delta baru, dan mematikan delta lama; membalikkan kondisi pantai dari semula mengalami erosi menjadi sedimentasi, yaitu di daerah Tengkurak, sebaliknya, kondisi pantai yang semula mengalami akresi menjadi erosi, yaitu di kawasan Delta Ciujung Lama atau di Tanjung Pontang. Untuk keperluan pengendalian banjir, penyodetan dan pelurusan aliran sungai biasa dilakukan. Studi ini menunjukkan bahwa efek dari kegiatan seperti itu terhadap dinamika pantai mungkin sangat besar dan berkepanjangan UCAPAN TERIMA KASIH Penelitian ini dibiayai dengan Anggaran DIP Pusat Penelitian Oseanografi – LIPI tahun anggaran 2003 dengan nama sub tolok ukur: Studi karakteristik Garis Pantai Propinsi Banten, dan nomor tolok ukur: 01.6330. Makalah ini merupakan sebagian hasil awal penelitian tersebut. DAFTAR PUSTAKA Bird, E.C.F. and Ongkosongo, O.S.R., 1980. Environmental Changes on the Coasts of Indonesia. The United Nation University, Tokyo, 52 p. Birowo,
Frihy, O.E. and Dewidar, K.M., 2003. Pattern of erosion/sedimentation, heavy mineral concentration and grain size to interpret boundaries of littoral subcells of the Nile Delta, Egypt. Marine Geology, 199, 27-43. Frihy, O.E. and Lotfy, M.F., 1994. Mineralogy and texture of beach sand in relation to erosion and accretion along the Rosetta Promontory of the Nile Delta, Egypt. Journal of Coatal research, 10(3), 588-599. Paskof,
R. and Kelletat, D., 1991. Introduction: Review of coastal problems. Z. Geomorf. N.F., Supple.Bd. 81, 1-13.
Wal, D. van der, Pye, K. and Neal, A., 2002. Long-term morphological change in the Ribble Estuary, northwest England. Marine Geology, 189, 249266. Wright, D.L., 1978. River Delta. In: Davis, R.A. (ed.), Coastal Sedimentary Environments. Springer-Verlag, New York, pp. 5-68.
Lampiran.
S. and Uktolseya, H., 1983. Oceanographic features of Sunda Strait. In: Bird, E.C.F., Soegiarto, A. and Soegiarto, K.A. (eds.), Proceeding of the Workshop on Coastal Resources Management of Krakatau and the Sunda Strait Region, Indonesia (Jakarta, Indonesia, The Indonesian Ionstitute of Sciences and The United Nations University), pp. 54-75.
Boyd, R., Dalrymple, R. and Zaitlin, B.A., 1992. Classification of clastic coastal depositional environments. In: J.F. Donoghue, R.A. Davis, C.H. Fletcher and J.R. Suter (eds.), Quarternary Coastal Evolution. Sedimentary Geology, 80, pp. 139-150. Direktorat Jenderal Pengairan Departemen Pekerjaan Umum (DJP-DPU), 1997. Riwayat irigasi Ciujung Pamarayan. Humas Direktorat Jenderal pengaitran, Leaflet.
Citra fals color composite 321 wilayah pesisir dari Tanjung Pontang sampai Tanjung Pulaucangkir. Keterangan nama-nama geografis pada Gambar 1. Delineasi unit-unit lahan pada Gambar 2.
5