43
STAIN Palangka Raya
Dimensi-Dimensi Pengembangan Fungsi Masjid Di Kota Palangka Raya Ajahari Abstract The principle of the study is to explore the objective condition about the dimension of the mosque function development in Palangka Raya City. There are two problems to be discussed: 1) How are the mosque function development in Palangka Raya City?; 2) How are the kind of problems in developing of mosque function in Palangka Raya City? The approach used in this study was qualitative by using multi-case study. It was used to explore 23 mosques which were in Palangka Raya City related to their dimension in developing of mosque functions and developmental problems. The data collection method used: (a) interview, (b) participative observation, (c) documentation. To analyse the data were used collection, reduction, display, and verification data. The findings showed that 20 mosques had shown their developmental dynamics in education, religious proselytizing, and social fuction. Meanwhile, their function in economy, art, and politic did not run maximally. There were some problems in developing of the mosque function, as follows: (1) the management of mosque was not enough yet, (2) they had weakness in management, (3) there were some understanding of laws pertaining to ritual obligations, (4) there were no communication intensively to congragation, (5) there was no internal synergy organizer and inter-organizer, (6) they had limited finances, (7) the mosque building was oriented to physical building, (8) they had limited insfrastructure, (9) the location of moque was not strategic, (10) there were reduction to the mosque functions. Key words: Dimension, Developmental, Mosque.
A. Pendahuluan Masjid sebagai salah satu pusat pembinaan umat Islam menempati peranan penting dalam proses perubahan sosial dan menunjang percepatan pembangunan dalam masyarakat terutama dalam membangun aspek rohani. Masjid sebagai salah satu penyangga sistem sosial Islam, merupakan instrumen pembentuk atau yang mengarahkan masyarakat untuk kembali pada spiritual sejati-agama Islam, yakni dengan kembali "menghidupkan" atau memakmurkan masjid. Pemakmuran masjid tidak hanya terbatas pada pembangunan secara fisik dalam keadaan yang serba indah dan semegah mungkin, akan tetapi juga harus didukung dengan pembangunan pemahaman yang lebih luas mengenai fungsi dan peranan masjid sebagai pranata sosial Islam. Dilihat dari peran dan fungsi masjid pada Rasulullah, masjid mempunyai peran yang sangat besar dan multi fungsi yakni sebagai wadah pembinaan umat baik
Penulis adalah Dosen Mata Kuliah Metodologi Studi Islam pada Jurusan Tarbiyah STAIN Palangka Raya. Menyelesaikan pendidikan Program Pascasarjana di Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) pada Program Studi Metode Studi Islam. Alamat Jl. RTA. Milono Komplek BTN Bangas Permai Kota Palangka Raya Provinsi Kalimantan Tengah 73112.
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 3, Nomor 1, Juni 2009
44
STAIN Palangka Raya
tempat kegiatan ubudiyah, sosial kemasyarakatan, lembaga pendidikan dan sebagai tempat bermusyawarah. Secara ekonomi menurut Tarmidzi Taher jumlah masjid yang hampir sejuta di Indoensia adalah suatu jumlah yang sangat besar. Umat Islam yang terbelit dalam kemiskinan struktural dapat secara pelan-pelan dibantu untuk terlepas dari jeratan extreme proverty yang akan menghasilkan gangguan gizi pada generasi muda Islam. 1 Secara umum fakta di lapangan menunjukan bahwa disatu sisi secara kunatitas dapat disaksikan masjid mengalami evolusi fisik yang sangat luar biasa, semakin banyak, semakin megah, dan semakin mewah. Namun diakui secara kualitatif, dari sisi pemberdayaan fungsi masjid yang universal sebagaimana di atas, semakin hari tampaknya semakin tereduksi, fungsinya semakin menyempit. Jika hal ini dibiarkan masjid-masjid itu akan menjadi bangunan mati yang sama sekali tidak ada kaitannya dengan persoalan-persoalan kemasyarakatan Islam yang tinggal disekitarnya, prinsip integrasi ajaran Islam antara hablum minallah dan hablum minannas akan semakin terpecah. Masjid hanya merupakan sebuah tempat yang sesekali dikunjungi, tidak diberdayakan, dikelola dan diarahkan pada hal-hal yang bersifat keumatan.2 Bahkan tidak menutup kemungkinan masjid hanya
dijadikan sebagai pembedaan kelompok keagamaan, pembedaan status sosial masyarakat lingkungannya, sebagai alat perebutan jama'ah dan tidak lebih hanya sekedar identitas suatu komunitas.
Mencermati fenomena yang ada pada masyarakat Muslim di kota Palangka Raya terhadap pendirian dan kehadiran masjid nampaknya menunjukan semangat yang tinggi. Indikasinya dapat dilihat antara lain: 1) Hampir disetiap komplekkomplek perumahan besar dan dihuni oleh sebagian penduduk Muslim, berdiri bangunan-bangunan masjid termasuk dilingkungan instansi pemerintah. 2) Dana pembangunan masjid sebagian besarnya dilakukan secara swadaya oleh masyarakat sekitar masjid. Dari data yang dikeluarkan Kantor Departemen Agama Kota Palangka Raya, tercatat bahwa di Kota Palangka Raya terdapat sekitar 137 buah masjid baik dalam ukuran besar maupun kecil.3 Masjid tersebut tersebar pada lima wilayah kecamatan, yakni kecamatan Pahandut, kecamatan Jekan Raya, kecamatan Sebangau, Kecamatan Rakumpit dan kecamatan Bukit Batu. Khusus di wilayah Kecamatan Pahandut dan Jekan Raya, sampai akhir tahun 2008 tercatat ada 107 buah masjid dengan rincian sebagai berikut: di Kecamatan Pahandut 47 buah yang tersebar di 6 kelurahan dan di wilayah Kecamatan Jekan Raya 60 buah yang tersebar di 4 kelurahan. 4 Jumlah masjid yang cukup banyak tersebut tentunya bila dikelola dengan baik merupakan potensi yang sangat besar sebagai pusat pembinaan dan pengembangan masyarakat Islam di Kota Palangka Raya. Akan tetapi menurut pengamatan penulis, pemakmuran masjid tersebut terkesan lebih menitikberatkan kepada fungsi peribadatan. Sedangkan untuk kegiatan-kegiatan yang bersifat sosial pendidikan dan 1
Koran Republika, 5 Mei 2006, h. 6. A. Bachrun, Rifa'i, dan Moch. Fakhruroji, Manajemen masjid, Mengoptimalkan Fungsi Sosial-Ekonomi Masjid, cet. I. Bandung: Benang Merah Press, 2005, h. 39-40. 3 Data diperoleh dari Kantor Departemen Agama Kota Palangka Raya, 2008. 4 Ibid., 2
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 3, Nomor 1, Juni 2009
45
STAIN Palangka Raya
dakwah, sosial kemasyarakatan, pemberdayaan sosial ekonomi dan sosial politik serta pengembagan seni-budaya, terkesan kurang nampak. Dengan kata lain masjid sepi dari kegiatan yang menunjukan fungsi sosialnya dilihat dari berbagai dimensi. Berangkat dari pemikiran di atas, maka yang menarik untuk kaji lebih dalam dari penelitian ini adalah: (1) Bagaimana dimensi-dimensi pengembangan fungsi masjid di Kota Palangka Raya? (2) Apa saja yang menjadi problem dalam pengembangan fungsi masjid di kota Palangka Raya? B. Kajian Pustaka Kajian pustaka yang diketengahkan dalam penelitian ini meliputi pengertian masjid, fungsi masjid dan faktor penyebab terjadinya krisis masjid. Pengertian masjid memiliki dua makna, Pertama, istilah yang digunakan untuk menunjukan tempat khusus beribadah umat Islam, suatu tempat yang digunakan untuk bersujud kepada kepada Allah, dan Kedua, secara luas yang dimaksud dengan masjid adalah suatu tempat yang digunakan untuk berbagai aktivitas mengarah kepada kedekatan atau kepatuhan seorang Muslim kepada Allah dalam rangka untuk mengabdikan diri kepada- Nya. Departemen Agama RI, mendefinisikan masjid berdasarkan kategorinya adalah bangunan tempat ibadah ibadah (shalat) yang bentuk bangunannya dirancang secara khusus dengan berbagai atribut masjid seperti ada menara yang cukup megah, memiliki kubah, bangunannya cukup besar, kapasitasnya dapat menampung ratusan bahkan ribuan jamaah dan biasanya dipakai melaksanakan ibadah shalat jum’at atau perayaan hari-hari besar Islam.5 Adapun fungsi masjid dalam lingkungan masyarakat menurut A. Bachrun dkk dapat dikategorikan kepada dua jenis yakni fungsi primer dan sekunder. Penyebutan istilah primer dan sekunder sama sekali tidak bermaksud untuk membuat dikotomi terhadap fungsi masjid. Fungsi primer yang dimaksud ialah sebagai tempat ibadah yang bersifat ritual. Sedangkan fungsi sekunder ialah segala kegiatan yang berdimensi muamalah yang berkenaan dengan hubungan sesama anggota masyarakat Muslim yang ada dilingkungan masjid tersebut yang secara substansial sesungguhnya merupakan bentuk ibadah juga kepada Allah. Secara keseluruhan kedua ketegori ini saling melengkapi dan karenannya keduanya merupakan fungsi yang terintegrasi dan bersifat komplementer. Secara umum baik secara primer maupun sekunder paling tidak masjid memiliki beberapa fungsi sebagai berikut: 1) Fungsi peribadatan ritual seperti shalat, dzikir dan iktikaf 2) Fungsi sosial kemasyarakatan 3) Fungsi pendidikan dan dakwah 4) Fungsi pemberdayaan ekonomi ummat 5) Fungsi politik
5
Syahidin, Pemberdayaan Umat Berbasis Masjid, Bandung, AlPabeta, 2004, h.120-121.
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 3, Nomor 1, Juni 2009
46
STAIN Palangka Raya
6) Fungsi pengembangan seni dan budaya.6 Menurut Quraish Shihab, dilihat dari peran dan fungsi Masjid pada zaman Rasulullah masjid mempunyai peran yang sangat besar dan multi fungsi sebagai wadah pembinaan umat baik sebagai wadah/tempat kegiatan ubudiyah, sosial kemasyarakatan, sebagai kampus dan lebaga pendidikan dan tempat bermusyawarah. Sejarah telah mencatat tidak kurang dari 10 (sepuluh) peran yang telah diemban oleh masjid seperti masjid Nabawi yakni: a) Tempat pusat ibadah seperti sholat dan zikir; b) Tempat konsultasi dan komunikasi soal ekonomi dan sosial budaya; c) Tempat pendidikan; d) Tempat santunan sosial; e) Tempat latihan militer dan persiapan alatalatnya; f) Tempat pengobatan para kurban perang; g) Tempat perdamaian dan pengadilan sengketa; h) Sebagai aula dan tempat menerima tamu; i) Tempat menawan tawanan perang; j) Pusat penerangan/informasi atau pembelaan agama.7 Penyebab terjadinya krisis masjid menurut Sidi Gazalba disebabkan :a) Hilangnya perimbangan antara sifat kekudusan masjid dengan sifat profannya atau terjadinya pemecahan fungsi masjid dan maknanya sebagai pusat ibadah dan kebudayaan di masyarakat, b) Munculnya berbagai macam paham keagamaan dan politisasi masjid untuk kepentingan-kepentingan tertentu yang memecahkan kesatuan Muslim. 3) Perpecahan di kalangan umat Islam sebagai akibat perpecahan madzhab. 4) Krisis menjadikan masjid sebagai mata pencaharian dan meninggalkan landasan takwa. 5) Krisis manajemen pengelolaan masjid yang tidak terencana.8 Penyebab lain menurut Ayub adalah pengurus dengan corak kepemimpinan yang tertutup, yang tidak perduli dengan aspirasi jamaah, jamaah yang bersifat pasif, kurangnya partisifasi masyarakat luas terhadap permasalahan-permasalahan yang dihadapi oleh masjid. Berpihak kepada satu golongan atau paham. Serta Kurangnya perhatian terhadap keindahan dan kebersihan masjid.9 Quraish Shihab mengatakan bahwa perubahan zaman, yang berakibat pada pengambilalihan sebagai fungsi masjid oleh organisasi keagamaan merupakan salah satu faktor penyebab kurang berfungsinya masjid.10 C. Metode Penelitian Pendekatan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif yakni sebagai sebuah prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan/melukiskan keadaan subjek/obyek penelitian (seseorang, lembaga, masyarakat dan lain-lain) berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau sebagaimana apa adanya.11 6
Lihat A.Bachrun, Rifa'i, dan Moch. Fakhruroji, Manajemen masjid, Mengoptimalkan Fungsi Sosial-Ekonomi Masjid, cet. I. Bandung: Benang Merah Press, 2005, h. 46. 7 Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an. Bandung : Mizan, 1999, h.426. 8 Sidi Gazalba, Masjid Pusat Ibadah dan Kebudayaan Islam, Jakarta, Pustaka Al Husna, 1994, h.320-338. 9 Moh Ayub, dkk. Manajemen Masjid Petunjuk Praktis bagi Para Pengurus, Jakarta, Gema Insani Press, 1996, h.17-23. 10 Quraish Shihab, Wawasan Al Qur’an. Bandung : Mizan, 1996, h.463. 11 Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: Raja Grafindo Persada., 1999, h. 23.
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 3, Nomor 1, Juni 2009
47
STAIN Palangka Raya
Design yang dikembangkan dalam penelitian ini adalah model multi situs case study, yakni berusaha untuk mempelajari sejumlah/sekumpulan masjid yang ada di kota Palangka Raya terkait dengan dimensi-dimensi pengembangan fungsi masjid dan problem pengembanganya yang ada di kota Palangka Raya. Penelitian ini dilaksanakan di Palangka Raya dengan mengambil obyek penelitian pada masjid yang ada di dua wilayah kecamatan, yakni kecamatan Pahandut dan Jekan Raya. Namun, karena jumlah masjid pada dua wilayah ini cukup banyak yakni 107 buah, letaknya yang menyebar, serta mempertimbangkan karakteristik yang ada pada masjid tersebut tidak jauh berbeda, maka peneliti melakukan upaya klasifikasi atau kategorisasi berdasarkan lingkungan masjid. Setelah dilakukan pengklasifikasian tersebut, maka dapat dikelompokkan atas 7 (tujuh) kelompok: a. Masjid Raya atau masjid provinsi dan masjid yang berada dikawasan jalan protokol. b. Masjid instansi pemerintah, yakni masjid yang dimiliki oleh lembaga resmi pemerintah dan terletak di lingkungan instansi pemerintah dan dikelola secara langsung oleh departemen; c. Masjid kampus yakni masjid yang berada di lingkungan kampus suatu perguruan tinggi dan biasanya yang menjadi jamaah kebanyakan dari para dosen dan mahasiswa dan biasanya mendapat subsidi dari lembaga; d. Masjid yang berada di lingkungan pusat perekonomian adalah masjid yang terletak disekitar sentral ekonomi seperti pasar modern atau pasar tradisional. e. Masjid yang berada di pinggiran kota/masjid pedesaan yakni masjid yang secara geografis terletak di suatu desa atau pinggiran kota; f. Masjid yang dikelola oleh jamaah penganut paham/organisasi keagamaan seperti NU dan Muhammadiyah; g. Masjid di lingkungan pondok pesantren, yakni masjid yang berada dalam kompleks pondok pesantren dan menjadi pusat kegiatan keislaman di lingkungan pesantren. Untuk menggali data dalam penelitian ini informasi diperoleh dari dua sumber, yakni 1) sumber lapangan (sebagai sumber primer) dan 2) sumber dokumentasi (sebagai sumber sekunder). Sumber informasi lapangan yang dimaksud adalah pengurus masjid (pengurus inti: ketua, sekretaris dan bendahara), pengurus masjid yang membidangi kegiatan sosial, marbot masjid dan mantan pengurus masjid, pejabat terkait atau jamaah yang dapat memberikan informasi terkait dengan masalah yang akan diteliti. Sumber informasi berupa dokumenter yakni data dokumentasi berupa laporan, hasil penelitian, foto-foto, baik yang bersumber dari pemerintah kota Palangka Raya dan kecamatan, dokumen yayasan atau pengurus masjid maupun buku-buku yang relevan dengan permasalahan yang diteliti. Adapun metode pengumpulan data yang dipergunakan meliputi (a) metode wawancara, (b) metode observasi partisipan dan (c) dokumentasi. Sementara analisisa Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 3, Nomor 1, Juni 2009
48
STAIN Palangka Raya
data dilakukan melalui tahapan : pengumpulan data, reduksi data, display data dan penarikan kesimpulan. D. Gambaran Lokasi Penelitian Kota Palangka Raya dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 27 tahun 1959 dan Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri RI tanggal 22 Desember 1959 Nomor Des. 52/12/2-206. Kota Palangka Raya merupakan salah satu dari empat belas kabupaten/kota yang ada di wilayah Provinsi Kalimantan Tengah. Kota Palangka Raya terdiri dari lima kecamatan dan tiga puluh kelurahan. Kota Palangka Raya merupakan ibukota provinsi Kalimantan Tengah. Luas wilayah kota Palangka Raya adalah 2.678,51 Km²(267.851 Ha).12 Kota Palangka Raya merupakan Kota Pasir. Hal ini karena keadaan tanah di wilayah ini pada umumnya terdiri dari pasir dan di atas permukaan tanah pasir terdapat rawa/gambut. Secara demografis, berdasarkan data dari Departemen Agama kota Palangka Raya tahun 2008, jumlah penduduk kota Palangka Raya sebanyak 175.136 jiwa. Terdiri dari penduduk yang beragama Islam berjumlah 104.400 (59.62 %), Katholik berjumlah 8.773 (5.00 %), Kristen Protestan 55.192 (31.52 %), dan Penduduk agama Hindu berjumlah 5.766 (3.29 %), serta Budha berjumlah 1.005 (0,57 %).13 Dari sisi keadaan sosial keagamaan dan budaya, di Kota Palangka Raya terdapat 586 buah rumah ibadah, 663 orang tokoh agama, 292 lembaga pendidikan umum dan 63 buah lembaga pendidikan agama. Terkait dengan kerukunan baik intern dan antar umat beragama di kota Palangka Raya beberapa tahun terakhir ini, cukup harmonis baik pada masyarakat kelas menengah, kelas atas maupun pada akar rumput. Wujud kerukunan tersebut terlihat antara lain seperti tidak pernah terjadinya konflik antar berbagai suku etnis yang ada belakangan ini, kerjasama antar umat beragama pada berbagai kegiatan kemasyarakatan, ditemukannya beberapa rumah ibadah yang saling berdampingan tanpa menimbulkan konflik, dibangunnya dialog antar umat beragama baik pada tatanan para pemuda maupun pemuka agama melalui forum FKUB baik ditingkat kabupaten/kota maupun provinsi. E. Hasil Penelitian Setelah dilakukan penelitian di lapangan,14 maka diperoleh gambaran tentang dimensi-dimensi pengembangan fungsi masjid dan problemnya sebagai berikut: Dua puluh dari dua puluh tiga buah masjid yang menjadi obyek penelitian menunjukan adanya dinamika pemberdayaan terutama pada fungsi pendidikan dan dakwah serta fungsi sosial kemasyarakatan. Sementara pada tiga buah masjid yang berada dipinggiran kota/masjid pedesaaan seperti pada masjid Nurul Iman, masjid Da’watul Haq dan Darussa’adah pengembangan fungsi fungsi pendidikan dan
12
Badan Pusat Statistik, Palangka Raya dalam Angka 2006, Palangka Raya, 2007, t.p. Data diperoleh dari Kantor Departemen Agama Kota Palangka Raya tahun 2008 14 Metode yang digunakan adalah observasi dan wawancara bulan Juli s.d Oktober 2008 13
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 3, Nomor 1, Juni 2009
49
STAIN Palangka Raya
dakwah serta fungsi sosial kemasyarakatan ini kurang nampak. Pola-pola kegiatan yang dilakukan pada dua puluh tiga masjid tersebut juga tidak jauh berbeda. Di lapangan menunjukan bahwa masjid dan lingkungannya telah difungsikan untuk kegiatan pendidikan dan dakwah. Kegiatan tersebut antara lain pengajian atau majelis taklim jamaah ibu-ibu, kuliah subuh atau kuliah tujuh menit (kultum) ramadhan, pengajaran al-Qur’an melalui program Taman Kanak-Kanak-Taman Pendidikan Al-Qur’an (TK-TPA), penyampaian pesan-pesan agama melalui khutbah dan ceramah pada saat peringatan hari besar Islam dan penyediaan bulletin Jum’at. Pada beberapa lingkungan masjid, juga telah dikembangkan pendidikan formal setingkat Raudhatul Athfal meskipun dalam jumlah yang sangat minim, bahkan ada yang mengembangkan Sekolah Dasar Islam Terpadu (SDIT) seperti pada masjid AlFurqan. Dari dua puluh tiga masjid sebagaimana disebutkan diatas, ada juga yang mengmebangkan pendidikan formal setingkat sekolah dasar dan menengah, seperti pada masjid yang berada di lingkungan pesantren, di lingkungan perguruan Muhammadiyah dan lingkungan masjid Jami’ Palangka Raya. Sementara itu, kegiatan-kegiatan seperti pelatihan dan kursus, seminar keagamaan, pesantren kilat, kajian dan dialog keagamaan, penyediaan perpustakaan masjid, penyediaan lembagalembaga pendidikan formal belum dapat diwujudkan secara maksimal. Pada aspek sosial kemasyarakatan, masjid telah digunakan untuk kegiatan seperti upacara pernikahan, pensyahadatan, pengumpulan dan pendistribusian zakat, infak dan sedekah pada bulan Ramadan, buka puasa ramadhan bersama, penyembelihan dan pendistribusian hewan kurban, tempat musyawarah bagi pengurus, penyelenggaraan jenazah, sosialisasi informasi keagamaan dan kemasyarakatan, untuk menerima kunjungan dari para pejabat pemerintah kota Palangka Raya dan calon wali kota. Halaman masjid juga terkadang dijadikan sebagai tempat parkir umum bagi masyarakat yang berbelanja ke pasar. Sedangkan kegiatan seperti pelayanan kesehatan, pengobatan gratis, bimbingan keagamaan terhadap para mualaf, santunan sosial terhadap fakir miskin dan anak yatim diluar bulan ramadan, pembinaan terhadap anak-anak jalanan, beasiswa bagi siswa yang kurang mampu dan pemberdayaan jaringan sosial yang melibatkan mitra-mitra kerja kelembagaan lain belum tampak. Pada implementasi fungsi ekonomi baik berupa penyampaian/pengkajian konsep-konsep ekonomi Islam, maupun dalam bentuk usaha mandiri seperti koperasi masjid, Bait al-Māl wa tamwil dan unit-unit usaha-usaha lainnya belum berjalan dengan baik. Kemudian terkait dengan fungsi politik, masjid telah dimanfaatkan untuk berhimpunnya jamaah seminggu sekali pada hari Jumat guna membangun kekuatan berupa ukhuwah Islamiyah. Masjid juga telah digunakan untuk mengungkapkan berbagai gagasan-gagasan dan melakukan pelurusan terhadap berbagai penyimpangan yang dilakukan oleh masyarakat. Akan tetapi pemanfaatan masjid sebagai tempat untuk merumuskan berbagai langkah strategis dalam mengatasi problem keumatan seperti kemiskinan, krisis moral dan krisis tenaga pembina dakwah di daerah-daerah terpencil belum tersentuh. Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 3, Nomor 1, Juni 2009
50
STAIN Palangka Raya
Dalam kaitan dengan pengembangan dimensi seni-budaya, upaya yang dilakukan juga belum optimal. Kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan pada beberapa masjid-masjid lebih banyak berkisar pada kegiatan pembacaan syair-syair maulid habsyi dan kasidah burdah. Sementara kegiatan pembinaan kesenian islami seperti pertunjukan teater, sandiwara, nasyid, lomba-lomba keagamaan bagi pemuda, remaja dan anak-anak Muslim, pameran karya-karya keagamaan seperti pameran buku-buku islami, naskah-naskah kono yang bernafaskan Islam, lukisan kaligrafi dalam berbagai bentuk, lukisan hasil karya seniman Muslim, foto-foto kegiatan umat Islam, berbagai arsitektur Islam, foto-foto dari berbagai lembaga pendidikan Islam hampir tidak pernah dilakukan. Meskipun ada dilakukan seperti kegiatan penampilan drama, lomba muhadharah, latihan tilawah, Festival Anak Saleh, Musabaqah Tilawatil Qur’an dengan berbagai cabang lomba, serta kegiatan lomba keagamaan lainnya hanya satu dua masjid yang melakukannya. Kegiatan-kegiatan tersebut sebagiannya bukan merupakan program dari pengurus masjid, tetapi inisiatif dari ormas-ormas keagamaan. Berdasarkan hasil observasi dan wawancara di lapangan,15 problem dalam pengembangan fungsi masjid di kota Palangka Raya adalah: 1. Masih lemahnya sumber daya pengelola masjid. Keterbatasan tenaga yang mengelola kegiatan, penempatan personil yang kurang proporsional. Tingkat pendidikan pengurus masjid yang masih belum memadai. Kalaupun ada diantara para pengurus yang memiliki kualifikasi pendidikan yang dapat diharapkan, akan tetapi kebanyakannya adalah orang-orang yang sibuk. Kelemahan lain adalah belum diberdayakan semua pengurus yang ada dalam struktur. Masjid juga banyak yang tidak memiliki kyai atau ulama yang siap setiap. Struktur kepengurusannya kurang efektif. Hal ini dapat dilihat antara lain dari segi jumlah anggota pengurus yang kurang memperhatikan bobot pekerjaan, belum memperhatikan keadaan masjid dan lingkungannya serta kurang memperhatikan profesionalitas dan label pendidikan dalam hal penempatan personil. 2. Kelemahan dalam bidang manajemen. Dua puluh tiga masjid di kota Palangka Raya yg menjadi obyek penelitian sebagian besar pengelola belum sepenuhnya menerapkan manajemen modern. Hal ini dapat dilihat belum terbangunnya koordinasi secara baik dengan pengurus masjid yang lain, kegiatan yang berjalan seperti “apa adanya”, dan bersifat rutinitas serta belum menyentuh kepada berbagai program pengembangan masyarakat Islam yang lebih luas dari berbagai dimensi dan kalangan. Pemberdayaan struktur kepengurusan yang belum maksimal, evaluasi terhadap berbagai kegiatan yang belum teragendakan dengan baik, tidak adanya sekretariat pengurus dan remaja, tidak adanya pemetaan dan needs terhadap jamaah masjid, belum jelasnya job discription pengurus pada sebagian masjid, tidak terdatanya kekayaan masjid dan sistem administrasi surat menyurat yang belum tertata secara rapi.
15
Observasi dan wawancara dilakukan sejak bulan Juli s.d Oktober 2008
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 3, Nomor 1, Juni 2009
51
3.
4.
5.
6.
STAIN Palangka Raya
Ketidakaktifan sebagian pengurus sehingga kegiatan masjid hanya didominasi oleh pengurus inti atau menjadi “milik pengurus inti” (ketua, sekretaris, bendahara), juga mengindikasikan belum terjalinnya komunikasi dan kemitraan diantara pengurus dan menunjukan masih lemah manajemen masjid dalam hal pengorganisasiannya. Belum jelasnya visi dan misi dalam mengarahkan pemberdayaan fungsi sosial masjid, tidak jelasnya perencanaan program kegiatan masjid baik jangka pendek maupun jangka panjang. Pendirian masjid terkadang tidak didasarkan pada kelayakan studi yang profesional misalnya keadaan lingkungan, faktor aksesibilitas atau kemudahan untuk menjangkau masjid, sarana yang dibutuhkan, struktur organisasi, cara kerja, budget anggaran, pengawasan dan evaluasi. Belum terinventarisirnya kegiatan apa yang dibutuhkan jamaah, bagaimana pelaksanaannya, bagaimana pembiaya-annya Beragamnya pemahaman fiqh dan masih terjadinya dikotomi dalam memahami fungsi masjid. Hal ini dapat dilihat antara lain: a) Pengurus yang masih bersikaf ekslusif. b) Sikap yang sangat ketat yang dianut oleh sebagian masyarakat dalam memaknai masjid seperti tidak boleh menggunakan keuangan masjid dari hasil infak dan sedekah jamaah untuk dikembangkan dalam bentuk kegiatan usaha kemasjidan yang dapat menambah pemasukan kas masjid. Tidak membolehkan masjid sebagai tempat belajar Al-Qur’an bagi anak-anak. c) Masih adanya tarik menarik antara sesama pengurus dan jamaah yang berlainan organisasi dan paham keberagamaan untuk mendominasi pelaksanaan metode ibadah menurut pemahamannya. d). Di lapangan juga masih dijumpai adanya pemahaman dikhotomi pada sebagian jamaah (tokoh masyarakat) terhadap makna dan fungsi peribadatan dan fungsi sosial masjid. Masjid hanya dimaknai sebagai tempat salat dan ibadah makhdah, tempat yang suci sehingga kegiatan yang berbau sosial kemasyarakatan, pendidikan, seni budaya, apalagi yang menyangkut pembicaraan dan upaya pengembangan ekonomi keumatan,dipandang tidak benar dan merusak kesucian masjid. Belum terjalinnya komunikasi yang intensif dengan jamaah. Pengurus masjid di Palangka Raya belum membangun komunikasi dan memperhatikan needs jamaah. Hal ini dapat dilihat antara lain kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan hanya merupakan inisiatif pengurus, tanpa melihat secara riil pada kebutuhan jamaah. Belum optimalnya pemberdayaan terhadap remaja dan pemuda masjid. Belum terbangunnya sinergi intern pengurus dan antar pengurus dalam suatu wilayah. Masing-masing “hidup dan berjalan sendiri-sendiri”. Antara masjid hampir tidak “bertegur sapa” apalagi memberikan perhatian kepada jamaah masjid lain sangat sulit untuk ditemukan. disatu sisi ditemukan salah satu masjid “kegemukan” dari sudut dana, sementara mesjid lain kekurangan dana dan mengalami kesulitan dalam menyelesaikan pembangunan masjid. Ketidakadaan dan keterbatasan dana. Keterbatasan dana masjid tampaknya merupakan persoalan klasik dan menjadi kendala yang dihadapi oleh para pengelola masjid dalam pengembangan fungsi sosial masjid yang lebih luas di Kota Palangka Raya. Ketidakadaan dana menimbulkan “keringnya” kegiatan
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 3, Nomor 1, Juni 2009
52
STAIN Palangka Raya
pemberdayaan fungsi sosial masjid, langkanya fasilitas infra dan suprastruktur yang dapat dijadikan sebagai sarana kegiatan yang akan dilakukan di masjid seperti minimnya sarana pendidikan, sarana olah raga, perpustakaan, tidak berjalannya radio masjid, sarana kegiatan remaja masjid, para takmir, sarana ruangan pelayanan kesehatan, koperasi, BMT dan sebagainya. Kebanyakan masjid hanya memiliki tempat salat, tempat tinggal marbot, tempat mengambil air wudhu, beberapa kitab Alquran. Ketidakadaan dan keterbatasan dana, juga menyebabkan pihak pengelola kesulitan untuk menambah berbagai sarana lainnya seperti ruang baca/runag belajar, ruang dan fasilitas perpustakaan masjid, lembaga pendidikan, ruang pertemuan, ruang pelayanan kesehatan dan konsultasi keagamaan, pengembangan fungsi ekonomi seperti koperasi masjid bahkan pada masjid-masjid tertentu biaya untuk perawatannya dan operasional terkadang tidak mencukupi. Kekurangan dana ini bukan hanya menjadi faktor penghambat pengembangan masjid secara fisik akan tetapi juga berakibat pada “penyempitan” berbagai kegiatan dakwah masjid yang memerlukan dana yang cukup besar dan berkesinambungan seperti pengajaran baca tulis Alquran dan kegiatan-kegiatan lainnya. 7. Pembangunan masjid lebih diorientasikan pada pembangunan fisik. Mengamati dari pembangunan masjid yang menjadi obyek penelitian di kota Palangka Raya, menunjukan bahwa pembangunan yang dilakukan lebih banyak pada berorientasi pada pembangunan fisik. Hal ini dapat dibuktikan dari laporan-laporan keuangan yang disampaikan oleh para takmir baik melalui pengeras suara maupun papan laporan keuangan. Penggunaan keuangan lebih banyak diarahkan pada perbaikan sarana fisik masjid, sementara untuk kegiatan non fisik sangat minim. Akibatnya kegiatan pemakmuran seperti kegiatan pendidikan dan pelatihan yang berorientasi untuk meningkatkan pada pemahaman dan intelektual jamaah, pembinaan terhadap para muallaf, pengembangan ekonomi umat, pembinaan terhadap pemuda dan remaja, layanan-layanan sosial lainnya hampir-hampir tidak terlihat dalam arti sebagian besar pengurus masjid tidak mengalokasikan dana untuk kegiatan tersebut. 8. Terbatasnya fasilitas. Dua puluh tiga masjid yang diteliti menunjukan bahwa masjid dibangun dengan membagi ruang untuk shalat dan penyimpanan inventaris barang masjid serta ruang marbot dan imam rawatib. Sementara ruang untuk kantor, ruang perpustakaan, ruang/aula pertemuan, ruang pengajian, ruang belajar, ruang usaha dana dan ruang untuk fasilitas sosial seperti layanan kesehatan, konsultasi agama, sarana olahraga dan kesenian beserta kelengkapannya belum tersedia. 9. Faktor aksesibilitas atau letak masjid yang kurang strategis. Tidak dapat dipungkiri bahwa optimalnya berbagai kegiatan sosial di suatu masjid juga terkait dengan strategis dan tidaknya lokasi pendirian masjid serta jumlah jamaah yang ada disekitarnya. Fakta di lapangan menunjukan bahwa ada beberapa masjid yang letaknya saling berdekatan seperti Masjid Al Irfan (komplek kantor Kejaksaan Tinggi Provinsi Kalimantan Tengah, Masjid Baitul Khaliq (komplek Korem Panju Panjung), Masjid Ar-rahman (komplek Kantor Kehutanan Provinsi Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 3, Nomor 1, Juni 2009
53
STAIN Palangka Raya
Kalimantan Tengah dan Masjid Raudhatul Jannah. Di satu sisi dapat dimaklumi bahwa pendirian masjid di lingkungan kantor pemerintah ini adalah untuk memberikan kemudahan bagi para pegawai, anggota untuk melaksanakan ibadah, namun disisi lain karena jaraknya saling berdekatan, sementara jamaahnya juga tidak begitu banyak, menjadikan masjid-masjid yang ada seringkali kekurangan jamaah, terutama pada saat salat lima waktu dan salat Jum’at. 10. Terjadinya reduksi terhadap sebagian fungsi masjid sebagai akibat perubahan struktur masyarakat. Seiring perkembangan zaman disertai perubahan pesat yang berpengaruh terhadap suasana dan kondisi masyarakat. Oleh karena itu tidak dapat dipungkiri bahwa dengan kemajuan peradaban manusia di segala aspek kehidupan, membawa berbagai perubahan dalam struktur kehidupan masyarakat termasuk fungsi masjid juga mengalami pergeseran akibat spesifikasi dan pembangunan. F. Rekomendasi 1. Kepada pengurus masjid ke depan diharapkan agar dalam pengelolaan masjid dapat menerapkan fungsi-fungsi manajemen modern, meningkatkan SDM dengan mengikuti berbagai pelatihan terkait dengan pengelolaan masjid, serta memaksimalkan pemberdayaan terhadap jamaah yang diawali dengan melakukan pemetaan terhadap potensi-potensi jamaah. 2. Kepada pengelola masjid agar dapat menjalin dan meningkatkan kemitraan sesama pengurus masjid dalam suatu wilayah, sehingga persoalan-persoalan yang dihadapi oleh masing-masing masjid dapat diselesaikan secara bersama. Hal ini juga penting dilakukan untuk menghilangkan kesenjangan yang mungkin selama ini terjadi sebagai akibat perbedaan pemahaman fiqh. Kemitraaan ini juga perlu dirajut dengan berbagai pihak instansi terkait seperti Pemda, Departemen Agama, Dewan Masjid Indonesia, lembaga zakat dan lembaga wakaf, lembaga-lembaga dalam dan luar negeri dan dengan perusahaan-perusahaan swasta. Jika memungkinkan pihak Departemen Agama kota Palangka Raya dan KUA dapat memprakarsai pembentukan kepengurusan masjid pada tingkat kecamatan maupun tingkat kota Palangka Raya. 3. Kepada pengelola masjid di Palangka Raya agar lebih memperhatikan aspek pengembangan berbagai kegiatan pemakmuran masjid atau setidaknya antar pembangunan fisik dan kegiatan non fisik dapat dilakukan secara seimbang. 4. Kepada pengurus masjid diharapkan dapat memiliki usaha-usaha produktif seperti koperasi, sehingga kegiatan pembangunan masjid tidak terlalu mengharapkan sumbangan dari jamaah dan sarana-prasarana masjid sedikit demi sedikit dapat dipenuhi. 5. Kepada jamaah masjid agar meningkatkan partisipasi dan peran serta dalam usaha pemakmuran masjid baik secara finansial maupun terlibat dalam berbagai kegiatan pemakmuran masjid. 6. Pendirian suatu masjid pada suatu wilayah tertentu, sebaiknya didasarkan pada studi kelayakan antara lain memperhatikan potensi jamaahnya, aspek jarak yang lebih mudah dijangkau oleh jamaah dan kemungkinan pengembangannya. Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 3, Nomor 1, Juni 2009
54
STAIN Palangka Raya
7. Kepada pihak Departemen Agama dan Dewan Masjid Indonesia kota Palangka Raya agar dapat memberikan pembinaan yang lebih maksimal dan berkesinambungan. Jika dianggap perlu, dilakukan pemilihan masjid teladan dan pemberian appreciation atau reward kepada masjid yang masuk dalam kategori teladan. 8. Mengingat keterbatasan waktu dan tenaga yang ada pada peneliti, menyebabkan tidak semua masjid dan fungsinya dapat diteliti. Oleh karena itu kepada para peneliti yang tertarik melakukan penelitian tentang masjid dapat melakukan penelitian lanjutan. G. Penutup Di Kota Palangka Raya, masjid telah difungsikan untuk kegiatan pendidikan dan dakwah. Kegiatan tersebut seperti majelis taklim ibu-ibu, kuliah subuh dan atau kultum Ramadan, kegiatan TK-TPA, penyampaian pesan-pesan agama melalui khutbah dan ceramah peringatan hari besar Islam, penyediaan bulletin jum’at. Di beberapa lingkungan masjid, telah dikembangkan pendidikan setingkat Raudhatul Atfal. Pada dimensi sosial kemasyarakatan, masjid telah digunakan untuk kegiatan seperti upacara pernikahan, pensyahadatan, pengumpulan dan pendistribusian zakat, infak dan sedekah pada bulan Ramadan, buka puasa Ramadan bersama, penyembelihan dan pendistribusian hewan kurban, tempat musyawarah, penyelenggaraan jenazah, sosialisasi informasi keagamaan dan kemasyarakatan dan untuk menerima kunjungan dari para pejabat pemerintah kota Palangka Raya Pengembangan fungsi ekonomi, baik berupa penyampaian/pengkajian konsep-konsep ekonomi Islam, maupun dalam bentuk usaha mandiri seperti koperasi masjid, Bait al-Māl wa tamwil dan unit-unit usaha-usaha lainnya pada umumnya belum berjalan. Selanjutnya pada fungsi sosial politik, masjid telah dimanfaatkan untuk berhimpunnya jamaah setiap hari Jum’at guna membangun ukhuwah Islamiyah. Masjid juga telah digunakan untuk mengungkapkan berbagai gagasangagasan dan melakukan pelurusan terhadap berbagai penyimpangan yang dilakukan oleh masyarakat. Dalam kaitan dengan fungsi seni-budaya, kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan di masjid-masjid lebih banyak pada kegiatan pembacaan syair-syair maulid habsyi dan kasidah burdah. Kegiatan seperti penampilan drama, lomba muhadharah, latihan tilawah, festival anak saleh santri TK-TPA, Musabaqah Tilawatil Qur’an dengan berbagai cabang lomba, terbatas pada satu dua buah masjid. Ada beberapa problem dalam pengembangan fungsi masjid di kota Palangka Raya yakni: 1) Masih lemahnya sumber daya pengelola masjid, 2) kelemahan dalam bidang manajemen, 3) beragamnya pemahaman fiqh dan masih terjadinya dikotomi dalam memahami fungsi masjid, 4) belum terjalinnya komunikasi yang intensif dengan jamaah, 5) belum terbangunnya sinergi intern pengurus dan antar pengurus dalam suatu wilayah, 6) ketiadaan dan keterbatasan dana, 7) pembangunan masjid lebih diorientasikan pada pembangunan fisik, 8) terbatasnya fasilitas, 9) faktor aksesibilitas atau letak masjid yang kurang strategis; 10) terjadinya reduksi terhadap sebagian fungsi masjid sebagai akibat perubahan masyarakat. Faktor yang paling Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 3, Nomor 1, Juni 2009
55
STAIN Palangka Raya
dominan sebagai penyebab belum optimalnya pengembangan fungsi masjid adalah faktor lemahnya manajemen dalam pengelolaan, faktor keterbatasan/ketiadaan dana dan fasilitas yang dimiliki oleh masjid.
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 3, Nomor 1, Juni 2009
56
STAIN Palangka Raya
DAFTAR PUSTAKA Ali, H.M. Sayuthi. Metodologi Penelitian Agama, Pendekatan Teori dan Praktik. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002. Anshari, Endang Syaifuddin. Agama dan Kebudayaan. Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1980. Anwar, Khairil. Strategi Pengumpulan Zakat, Infaq dan Sedekah. (Makalah disampaikan pada Seminar tentang Pemberdayaan Perekonomian Umat lewat Badan Amil Zakat, Infaq dan Sedekah Provinsi Kalteng, tanggal 2 Desember 2008 di Aula STAIN Palangka Raya. Arikunto, Suharsimi. Manajemen Penelitian. Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2003. Ayub, Moh, dkk. Manajemen Masjid Petunjuk Praktis bagi Para Pengurus. Jakarta: Gema Insani Press, 1996. Badan Pusat Statistik. Palangka Raya dalam Angka 2006. Palangka Raya: t.p., 2007. Bisri, Cik Hasan dan Eva Rufaidah. Model Penelitian Agama dan Dinamika Sosial Himpunan Rencana Penelitian. Edisi 1. cet. I. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002. BKM Pusat. Program Temu Karya BKM Pengurus Masjid. Jakarta, 1987. Depag RI. Masjid Bersejarah di Indoensia (edisi Jawa dan Sumatera). Jakarta: Ditjen Baga Islam Depag RI, 2003. ______. Direktori Masjid-Masjid Bersejarah (Kalimantan, Sulawesi, Bali, Maluku, NTB dan NTT, Jakarta. Jakarta: Ditjen Baga Islam, 2003. ______. Pola Pembinaan Remaja Masjid di Indonesia. Jakarta: Balitbang Agama, 1994/1995. ______. Peraturan Perundang-Undangan Kehidupan Beragama. Jakarta: Proyek Pembinaan Lembaga Keagamaan, 1998/1999. Depdikbud. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1999. Gazalba, Sidi. Masjid Pusat Ibadah dan Kebudayaan Islam. Jakarta: Pustaka AlHusna, 1994. Harahaf, Sofyan Syafri. Manajemen Masjid: Suatu Pendekatan Teoritis dan Organisatoris. Yogyakarta: PT. Dana Bakti Prima Yasa, 2001. Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 3, Nomor 1, Juni 2009
57
STAIN Palangka Raya
Ismail, Faisal. Pijar-Pijar Islam Pergumulan Kultur dan Struktur. Jakarta: Badan Litbang Depag dan Diklat Keagamaan Depag RI, 2002. ______. Paradigma Kebudayaan Islam, Studi Kritis dan Refleksi Historis. Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1996. Koran Republika, 5 Mei 2006. Milles, Mattew, B. dan Hubberman A. Michael. Analisis Data Kualitatif. Terjemahan oleh Tjetjep Rohendi. Jakarta: UI, 1992. Moleong, Lexy, J. Metodologi Penelitian Kualitatif. Edisi Revisi. Bandung: PT. Rosdakarya, 2005. Mulyana, Deddy. Metodologi Penelitian Kualitatif, Paradigma baru Ilmu Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2003. Rifa'i, A.Bachrun, dan Moch. Fakhruroji. Manajemen masjid, Mengoptimalkan Fungsi Sosial-Ekonomi Masjid. Cet. I. Bandung: Benang Merah Press, 2005. Roqib, Moh. Menggugat Fungsi Edukasi Masjid. Porwokerto: STAIN Porwokerto Press, 2005. Siswanto. Pedoman Praktis Organisasi Remaja Masjid. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2005. Supardi dan Tengku Amiruddin. Manajemen Masjid Dalam pembangunan Masyarakat: Optimalisasi Peran dan Fungsi Masjid. Cet. I. (Pengantar) Prof. H. Zaini Dahlan. Yogyakarta: UII Press, 2001. Shihab, Quraish. Wawasan Al Qur’an. Bandung: Mizan, 1998. ______. Membumikan Al-Qur’an. Bandung: Mizan, 1999. Soerjono, Soekanto. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1990. Syahidin. Pemberdayaan Umat Berbasis Masjid. Bandung: Alpabeta, 2004. Zein, Abdul Qadir. Masjid Bersejarah di Indoensia. Jakarta: Gema Insani Press, 1999.
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 3, Nomor 1, Juni 2009