Yudi Setianto, Dikotomi Bebas Nilai dan Nilai Pendidikan dalam Pembelajaran Sejarah
DIKOTOMI BEBAS NILAI DAN NILAI PENDIDIKAN DALAM PEMBELAJARAN SEJARAH (THE DICHOTOMY BETWEEN VALUE - FREE AND EDUCATIONAL VALUE IN HISTORY LEARNING) Yudi Setianto PPPPTK PKn-IPS Malang, Jl. Raya Arhanud, Pendem, Batu, e-mail:
[email protected] Diterima tanggal:10/10/2012, Dikembalikan untuk revisi: 10/11/2012, Disetujui tanggal:20/12/2012 Abstrak: Tujuan penulisan artikel ini untuk menemukan win-win solution, dalam rangka memisahkan sekaligus saling menghormati antara Sejarah dalam ranah ilmu murni dan Sejarah dalam domain pendidikan atau pembelajaran ke siswa. Penulisan ini menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif. Sejarah sebagai ilmu dituntut objektif, dan tetap menjaga kebebasan nilai (value-free). Dalam konteks Sejarah, objektivitas bisa diterjemahkan sebagai kebenaran dan kejujuran, fakta yang direkonstruksi dituntut dikemukakan secara transparan. Namun, dalam ranah pembelajaran Sejarah, Sejarah tidak mungkin dikemukakan secara objektif. Hal ini bukan berarti jika pembelajaran bersifat subyektif ataupun mengingkari fakta. Bagi tujuan yang lebih bijaksana, polarisasi Sejarah, yaitu dalam rangka menumbuhkan nasionalisme, patriotisme serta tujuan-tujuan pendidikan lainnya, tidak mungkin disandingkan dengan sejarah sebagai alat legitimasi konflik sosial, bahkan disintegrasi bangsa. Ilmu Sejarah tetap bersifat objektif dalam mengungkap fakta Sejarah, sementara itu tujuan pelajaran Sejarah merupakan bagian dari tujuan pendidikan. Sejarah sebagai bahan pelajaran harus disusun searah dengan dasar dan tujuan Pendidikan Nasional. Sejarah sebagai mata pelajaran yang mempunyai misi tertentu dan Sejarah sebagai ilmu, harus dipadukan dalam konsep yang jelas tanpa mengorbankan prinsip-prinsip salah satunya atau keduanya. Pembelajaran Sejarah menempatkan fakta-fakta Sejarah yang disaring, demi tujuan pendidikan agar Sejarah menjadikan yang mempelajarinya lebih bijaksana. Kata kunci: ilmu Sejarah, bebas nilai, objektivitas sejarah, dan pendidikan Sejarah Abstract: The aim of writing this article is to offer a win-win solution to put history learning, both as a pure social science as well as an education and learning tools for students. This study used qualitative descriptive approach. As a science, history should be objective and at the same time keep the value-free concept. In the context of history, objectivity means truth and honesty, that is all facts must be disclosed transparantly. However, in history learning, not all the historical facts should be revealed fully. Yet, it does not necessarily mean that history learning is not objective or even denying the facts. For the wiser purpose, the history polarisation aiming at growing students’ nationalisme, patriotism, and other noble educational objectives, it is not possible to treat history as a tool to legitimate social conflicts or even the nation disintegration. History in learning should keep objective in uncovering historical facts, while also maintain the purpose of the learning itself. History as a learning must be built upon the foundation and aim of the national education system. Thus, history as a school subject having particular education objectives must be put in line, side by side, compromise with its position as a social science, without eliminating the principles of one or both of them. History learning uses filtered historic facts, so the learners are led to be wise people. Keywords: the science of history, value-free, objectivity of history, and history learning
477
Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, Nomor 4, Desember 2012
Pendahuluan
Kajian Literatur dan Pembahasan
Ilmu Sejarah adalah ilmu yang menyelidiki dan
Pembelajaran Sejarah
menceritakan peristiwa-peristiwa dalam waktu
Pengaja ran terd iri atas proses bela jar dan
dan ruang yang dihubungkan dengan perkem-
mengajar. Belajar-mengajar sebagai suatu sistem
bangan aktivitas manusia. Sebagaimana ilmu
instruksional mengacu kepada pengertian sebagai
pengetahuan lainnya, Ilmu Sejarah juga
bersifat
seperangkat komponen yang saling bergantung
bebas nilai (value-free). Namun, perlu disadari
satu dengan lainnya dalam mencapai tujuan.
bahwa dalam perjalanan Sejarah peradaban di
Sebagai suatu sistem, belajar mengajar meliputi
dunia, konflik sosial sering terjadi. Konflik ini bisa
suatu komponen seperti: tujuan, bahan, siswa,
terjadi antara negara, dan juga dalam suatu
gur u, m etod e, situa si d an e valuasi. Tuj uan
negara. Berbagai konflik, tak jarang disebabkan
tersebut dapat tercapai jika semua komponen
oleh legitimasi sejarah. Konflik tersebut tak lepas
diorganisasikan, sehingga terjadi kerja sama
dari penghargaan yang tinggi terhadap “the glorius
antarkomponen (Djamarah & Zain, 1996). Secara
past” dari masing-masing suku, ras, agama, dan
sederhana, pengajaran Sejarah diartikan sebagai
bangsanya. Ilmu Sejarah yang value-free, sering
sua tu
kali harus bertanggung jawab terhadap
Pengajaran Sejarah berkaitan dengan perpaduan
konflik-
konflik tersebut.
siste m
be laja r
me ngaj ar
Sejar ah.
antara teori-teori pendidikan dan Ilmu Sejarah.
Sementara itu, Pendidikan Sejarah yang
Berbeda de ngan Ilmu Sejarah, y ang secara
merupakan pembelajaran Sejarah di sekolah
khusus intens mengembangkan keilmuan, maka
mengungkap fakta sejarah secara lebih bijak agar
pe mbel ajar an Sejar ah a tau mata pel ajar an
dampak
sejarah bagi siklus konflik mendapat
Sejarah dalam kurikulum sekolah, memang tidak
reduksi. Namun demikian, dalam kontek Sejarah
secara khusus bertujuan untuk memajukan ilmu
Nasiona l Indone sia, ser ing kali sej araw an
ata u untuk mene lork an calon ahl i Se jara h.
mengkritisi official history atau penulisan Sejarah
Penekanan pengajaran Sejarah, tetap terkait
resmi yang dibuat pemegang kekuasaan. Official
dengan tujuan pendidikan pada umumnya, yaitu
history memang sering dijadikan rujukan dalam
ikut membangun kepribadian dan sikap mental
pembelajaran Sejarah, termasuk di dalamnya
siswa. Tujuan pendidikan tidak hanya membentuk
Sejarah Kontemporer. Pembelajaran Sejarah
kemampuan intelektual semata, tetapi juga sikap
sering dikritik mengabaikan temuan fakta dari Ilmu
dan berbagai keterampilan. Jika pendidikan hanya
Sejarah, demi tujuan pendidikan secara umum.
mem beri kan kema mpua n intele ktua l ta npa
Dalam menyikapi perbedaan paradigma Ilmu
didasari nilai-nilai dan moralitas dalam diri siswa,
Sejarah dan Pendidikan Sejarah, tentunya harus
maka intelektualitas dapat menjadi salah arah.
ada titik temu.
Pembelajaran harus memiliki muatan konsep
Dari gambaran di atas, muncul rumusan
kurikulum tersembunyi (hidden curriculum), yang
permasalahan sebagai berikut: 1) bagaimana
meliputi nilai-nilai yang dipromosikan oleh sekolah,
perbedaan tinjuan Ilmu Sejarah dan Pendidikan
penekanan yang diberikan oleh guru, derajat
Sejarah?; dan 2) bagaimana jalan tengah dari
antusiasme guru, iklim fisik dan sosial sekolah
kontroversi Ilmu Sejarah dan Pendidikan Sejarah,
(Oliva 1982). Istilah hidden curriculum menunjuk
dalam konteks Sejarah Nasional Indonesia?
pada kenyataan bahwa para guru dan sekolah
Penulisan ini bertujuan untuk mencari format
terlibat dalam pendidikan moral, tanpa secara
dalam rangka menemukan titik temu antara dua
eksplisit dan filosofis membahas atau merumuskan
paradigma yang berbeda, yaitu sejarah sebagai
tujuan dan metodenya (Kohlberg, 1995).
ilmu, dan sejarah dalam ranah pembelajaran atau
Se jara h se baga i ma ta
pela jara n ya ng
pendidikan, khususnya dalam membahas sejarah
mempunyai misi atau tujuan pendidikan tertentu
nasional Indonesia.
Perbedaan antara ilmu yang
dan Sejarah sebagai ilmu, harus dipadukan dalam
bersifat value-free, dan nilai-nilai pendidikan dalam
konsep yang jelas tanpa mengorbankan prinsip-
Sejarah, dapat dipadukan, dengan melihat tujuan
pri nsip sal ah satunya a tau keduanya . Ha l
dan fungsi masing-masing.
tersebut penting, agar kekhawatiran tentang subjektivitas sejarah dalam pembelajaran Sejarah
478
Yudi Setianto, Dikotomi Bebas Nilai dan Nilai Pendidikan dalam Pembelajaran Sejarah
tidak mengorbankan ilmu Sejarah itu sendiri.
diajarkan ilmu-ilmu yang dapat meningkatkan
Meskipun demikian, sebagai materi pelajaran di
kemampuan dan keterampilan, perlu dilengkapi
sekolah, Sejarah harus menghindarkan hal-hal
jug a
sebagai berikut: pertama, Sejarah sebagai bahan
membentuk sikap dan mentalitas,
pelajaran harus dihindarkan pada kecenderungan
pelajaran Sejarah. Menurut Ali (2005), pengajaran
antikuriat, yaitu kisah masa lalu dipelajari hanya
Sej arah penting dal am p embe ntuk an j iwa
sekedar pelipur lara atau bahan hafalan yang
patriotisme dan rasa kebangsaan.
de ngan
pengeta huan
yang
ma mpu
seperti mata
menjemukan. Kedua, pelajaran Sejarah sebaiknya
Sementara itu, Hasan berpendapat, terdapat
menjauhkan diri dari keterangan sejarah (historical
beb erap a pe maknaan terhadap Pendidi kan
explanation) yang ideologis tanpa pertanggung-
Sejarah. Pertama, secara tradisional Pendidikan
jawaban yang rasional (Abdullah, 1996).
Sejarah dimaknai sebagai upaya untuk mentran-
Se cara sed erha na, peng ajar an Sejar ah
sfer kemegahan bangsa di masa lampau kepada
diartikan sebagai suatu sistem belajar mengajar
generasi muda. Dengan posisi yang demikian,
Sejarah. Pengajaran Sejarah berkaitan dengan
Pendidi kan
teori-t eori pem bela jara n da n ke Seja raha n.
pewarisan nilai-nilai keunggulan bangsa. Melalui
Berbeda dengan ilmu Sejarah, pembelajaran
posisi ini Pendidikan Sejarah ditujukan untuk
Sejarah atau mata pelajaran Sejarah dalam
membangun kebanggaan bangsa dan pelestarian
kurikulum sekolah memang tidak secara khusus
keunggulan tersebut. Kedua, Pendidikan Sejarah
bertujuan untuk memajukan ilmu atau untuk
ber kena an d enga n up aya memp erke nalk an
menelorkan calon ahli Sejarah. Penekanannya,
peserta didik terhadap disiplin Ilmu Sejarah. Oleh
dalam pengajaran Sejarah tetap terkait dengan
karena itu, kualitas seperti berpikir kronologis,
tujuan pendidikan pada umumnya, yaitu ikut
pemahaman sejarah, kemampuan analisis dan
membangun kepribadian dan sikap mental siswa.
pe nafsiran sej arah, ke mamp uan pene liti an
Seja rah
adal ah
w ahana
ba gi
Dalam masa pembangunan bangsa, salah
sejarah, kemampuan analisis isu dan pengambilan
satu fungsi utama pendidikan adalah pengem-
keputusan (historical issues-analysis and decision
bangan kesadaran nasional sebagai sumber daya
making) menjadi tujuan penting dalam Pendidikan
mental dalam proses pembangunan kepribadian
Sejarah (Hasan, 2007).
nasional beserta identitasnya (Kartodirdjo, 1993).
I G de W idja menyata kan bahw a pe m-
Hal ini juga diperkuat oleh pemerintah melalui
belaja ran Sejara h adalah p erpaduan a ntara
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20
aktivitas belajar dan mengajar yang di dalamnya
tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
mempelajari tentang peristiwa masa lampau yang
yang menyatakan:
erat kaitannya dengan masa kini (Widja,1989).
“Pendidikan nasional berfungsi mengem-
Pendapat Widya tersebut dapat disimpulkan,
bangkan kemampuan dan membentuk watak
bahwa mata pelajaran Sejarah merupakan bidang
serta peradaban bangsa yang bermartabat
studi yang terkait dengan fakta-fakta dalam Ilmu
da lam rang ka m ence rda skan kehidup an
Sejarah namun tetap memperhatikan tujuan
bangsa, bertujuan untuk berkembangnya
pendidikan pada umumnya. Dalam Seminar
peserta didik agar menjadi manusia yang
Sejarah Nasional di Yogyakarta tahun 1957,
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang
Padmopuspito berpendapat bahwa pert ama,
Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu,
penyusunan pelajaran Sejarah harus bersifat
cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga
ilmiah. Kedua, siswa perlu bimbangan dalam
negara yang demokratis serta bertanggung
berfikir, tetapi tafsiran dan penilaian tidak boleh
jawab” (Pasal 3).
dipaksakan, karena dapat mematikan daya pikir
Memperhatikan fungsi dan tujuan Pendidikan
siswa (Gazalba,1966).
Dalam bidang pengajaran
Nasional tersebut, jelas bahwa yang dicapai bukan
Sejarah, terdapat tiga faktor yang harus dipahami
hanya kemampuan intelektualitas saja, tetapi
tentang materi Sejarah. Pertama, hakikat fakta
lebih menekankan kepada tiga ranah secara
Sejarah. Kedua, hakikat penjelasan dalam Sejarah.
merata, yaitu: kognitif, afektif dan psikomotorik.
Ketiga, masalah obyektivitas Sejarah (Hariyono,
Berkaitan dengan itulah, di samping di sekolah
1995).
479
Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, Nomor 4, Desember 2012
Ilmu Sejarah
Kritik Terhadap Pembelajaran Sejarah
Di sisi lain, Sejarah merupakan cabang ilmu
Sejarawan Italia, Benedetto Croce mengatakan,
pengetahuan yang berkembang, dengan metode
mer ekonstruksi Seja rah, pasti a kan terj adi
dan standar tersendiri. Ilmu Sejarah dalam
benturan antara realita dan pemikiran, maksud
mengung kap
mem perhatik an
dan peristiwa, historical dan philosophical. Jika
netr alitas nilai k etika me lakukan peneli tian
merekonstruksi fakta Sejarah saja, Croce masih
sejarah. Ini berarti bahwa ia harus menyingkirkan
mengkhawatirkan adanya subjektivitas yang
asumsi ideologis atau nonilmiah dari penelitian.
“disengaja” dalam pengungkapan fakta sejarah,
Ini sebagai konsekuensi, bahwa ilmu penge-
maka tentunya akan lebih khawatir jika sejarah
tahuan bersifat bebas nilai (value-free). Bebas nilai
bersanding dengan tujuan pendidikan suatu
artinya tuntutan terhadap setiap kegiatan ilmiah
negara. Sebagaimana pandangan Taufik Abdullah
agar didasarkan pada hakikat ilmu pengetahuan
bahwa, sejarah sebagai alat pemupuk ideologi,
itu sendiri. Tokoh sosiologi, Max Weber, menya-
betapapun luhurnya mempunyai resiko yang bisa
takan bahwa ilmu sosial harus bebas nilai tetapi
me niad akan val idit as dari apa yang ak an
ia juga mengatakan bahwa ilmu-ilmu sosial harus
disampaikan. Seakan-akan, sejarah dapat bersifat
menjadi nilai yang relevan ( value-relevant ).
subyektif, demi didapatkan kearifan yang afektif
Mempelajari Sejarah merupakan suatu jenis
(Abdullah, 1996). Mengutip pernyataan dari Elton,
berpikir tertentu yang disebut pemikiran historis.
sering muncul kecurigaan di kalangan sejarawan
Sebagai sebuah ilmu, Sejarah telah memenuhi
bahkan para pendidik, terhadap alasan meng-
syarat-syaratnya seperti (Hugiono & Poerwan-
kai tkan Seja rah denga n pr oses pend idik an.
tana, 1987), yaitu: 1) pengetahuan yang dicapai
Pr oses pendidi kan Seja rah dianggap hanya
secara
fakt a,
metodis
dan
harus
seca ra
menjadi sumber kecenderungan etnosentris,
sistematis; 2) meliputi kelompok besar dari
berhubungan
bahkan mengarah ke “xenophobia”. Sementara itu,
kebenaran umum; dan 3) bersifat objektif.
Namier (dalam Widja, 1997) berpendapat bahwa
Seb agai mana pandang an Bacon, ba hwa
peran sejarah sebagai “moral precepts” atau
“histories make man wise”, Sejarah diharapkan
ajaran moral dianggap dapat menjelma menjadi
yang mempelajari menjadi lebih bijaksana (dalam
indokt rinasi seba gai legiti masi doktri n atau
Widja,1989). Syarat Ilmu Sejarah adalah objektif.
ideologi tertentu (Widja,1997).
Sejarah sebagai ilmu dituntut objektif, karena ilmu
Selain itu sejarawan lain, yakni Mahasin
tanpa obyektivitas tidak mempunyai nilai ilmiah.
ber pand anga n ba hwa krit ik umum kepa da
Objektif bisa diartikan bersifat tidak memihak.
pendukung nilai edukatif Sejarah dalam pena-
Suatu penulisan sejarah dapat bersifat subyektif,
naman nilai-nilai sejarah melalui proses pendi-
apa bila sej araw an m embi arka n politi k at au
dikan yang lebih menonjol adalah pencapaian
etisnya turut berperan, atau nilai-nilai turut
tujuan-tujuan edukatif yang bersifat ekstrinsik
berperan dalam penulisan sejarahnya (Siswanto
atau instrumental. Padahal dalam teori belajar
dan Sukamto, 1991).
ya ng l ebih uta ma
adal ah nilai
instri nsi k.
Hal ini menjadi berbeda jika Sejarah sebagai
Penekanan sifat ekstrinsik atau instrumental
mata pelajaran dan materi pembelajaran di
dalam Pendidikan Sejarah akan lebih mengarah
sekolah. Bagaimanapun, pembelajaran Sejarah
pada pemahaman nilai sejarah sebagai landasan
mempunyai misi dan visi tertentu, yang merupakan
ba gi
bagian dari tujuan pendidikan. Jika tujuan pendi-
membentuk manusia yang sudah ditentukan
dikan suatu negara bersifat subjektif, bagaimana
sebelumnya (predefined person), baik dalam
dengan pendidikan Sejarah dalam pembelajaran
rangka “cultural transmission” maupun dalam
di sekolah? Dikotomi semacam ini, seringkali
penyiapan” moral precepts” bagi generasi baru.
muncul dari para sejarawan untuk menggugat
Dalam kerangka berpikir seperti ini, muncul ke-
objektivitas fakta dalam pem-belajaran Sejarah.
cenderungan atau dorongan pemujaan berlebihan
Materi pembelajaran Sejarah, apalagi Sejarah
terhadap masa lampau yang pada gilirannya
Kontemporer, tak lepas dari produk “sejarah
memberi peluang bagi kekaburan realitas sejarah
resmi” dari pemerintah atau penguasa.
demi kepentingan masa kini atau kecenderungan
480
p embe ntuk an
sema cam
alat
cet ak
Yudi Setianto, Dikotomi Bebas Nilai dan Nilai Pendidikan dalam Pembelajaran Sejarah
pre sentisme.
Peng aburan
sep erti
ini
bi sa
juangannya sering diangkat sebagai pahlawan
mendorong generasi baru hanya terpesona atau
bangsa di negaranya masing-masing. Di hampir
mengagumi masa lampau tanpa pernah berpikir
semua negara, sosok pahlawan tetap selalu
secara kreatif merencanakan bangunan masa
didasari unsur subjektivitas yang dibalut kerangka
depannya (Widja, 1997).
obj ekti vita s.
K eber adaa n
pe ngkhiana t,
t erka it
Menurut Abdullah (1996), jika disimpulkan,
pa hlaw an
deng an
a tau
k epenting an
Sejarah sebagai wacana intelektual akan tampil
penguasa politik dan demi kepentingan negara,
secara
bert ahap
waj ah.
melalui official history atau penulisan Sejarah resmi
b erna da
yang dibuat pemegang kekuasaan. Sejarawan
moralistik, yang merupakan pertanggungjawaban
terkenal Italia, Benedetto Croce mengatakan,
rasional akan keharusan hidup bermasyarakat.
merekonstruksi Sejarah, termasuk kisah The Great
Kedua, Sejarah sebagai alat pengetahuan praktis,
Man, pasti akan terjadi benturan antara realita
yaitu sebagai kaca pembanding untuk mengetahui
dan pemikiran ,maksud dan peristiwa, historical
struktur hari dan dunia kini. Ketiga, Sejarah
dan philosophical.
Per tama ,
se baga i
dengan
berb agai
Se jara h
ya ng
sebagai pembimbing ke arah pemahaman, yaitu sebagai alat dan penolong untuk memungkinkan
Kewajaran Pembelajaran Sejarah
terjadinya dialog yang kreatif dengan pergolakan
Berbagai fungsi sejarah dapat dikatagorikan
jaman yang melintas dalam pengalaman hidupnya
sebagai sejarah yang berfungsi secara pragmatis,
atau alat untuk memahami dunia intelligently
antara lai n untuk legi tima si d an j usti tika si
(Abdullah, 1996).
eksistensi suatu bangsa, keduanya menyangkut
Dalam konteks Sejarah Nasional Indonesia,
fungsi pragmatis. Di samping itu, ada dua fungsi
tentunya Ilmu Sejarah bukanlah sebagai pedang
lain yang mempunyai relevansi bagi pembelajaran
bermata dua, di satu sisi sebagai alat pemupuk
Sej arah, ya itu fung si g enet is d an d idak tis
ideologi, perekat persatuan-kesatuan bangsa,
(Ka rtodi rdjo, 199 3). Pe mbe laja ran Se jar ah
namun di sisi lainnya sebagai instrumen dalam
merupakan perpaduan antara pembelajaran itu
disinte grasi ba ngsa . Ji ka “ peda ng sejar ah”
sendiri dan ilmu Sejarah, yang mana keduanya
bermata dua, maka istilah histories make man wise
tetap memperhatikan tujuan pendidikan secara
menjadi tidak berlaku lagi. Hal ini perlu disadari,
umum.
konflik horisontal di masyarakat, gerakan sparatis,
Pe meri ntah seb agai pem egang ot orit as
pemberontakan atau hal-hal lain terkait konflik
pendidikan berpendapat tentang tujuan dari mata
internal da lam suatu negara, ser ing terjadi
pelajaran Sejarah melalui Peraturan Menteri
disebabkan oleh pedang
bermata dua tersebut.
Pendidikan Nasional. Menurut Peraturan Menteri
Denda m sejara h dalam konflik vertikal dan
Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 22
horisontal dalam suatu negara tak lepas dari fakta
tahun 2006 tentang standar isi yang tercantum
Sejarah.
dalam lampiran Peraturan Menteri ini, bahwa
Di samping itu, sejarah suatu bangsa juga
mata pelajaran Sejarah bertujuan agar peserta
tak lepas dari tokoh besar . Thomas Cartyle
didik memiliki kemampuan sebagai berikut:
dengan “the great man theory”-nya, berpendapat
1) membangun kesadaran peserta didik tentang
bahwa, “the great man dominates all history”. Dalam
pentingnya waktu dan tempat yang merupakan
ranah Ilmu Sejarah, maka The Great Man akan
sebuah proses dari masa lampau, masa kini, dan
dik upas tuntas, ter kait dengan perj alanan
masa depan; 2) melatih daya kritis peserta didik
sejarahnya berdasarkan fakta yang ada. Ranah
untuk memahami fakta Sejarah secara benar
objektivitas sejarah, tentunya sang tokoh akan
dengan didasarkan pada pendekatan ilmiah
dikupas kelebihan dan kekurangan, jasa dan
metodologi keilmuan; 3) menumbuhkan apresiasi
kesalahan serta hal-hal lain berdasar hitam putih
dan
perjalananannya, sehingga menjadi tokoh.
peninggalan Sejarah sebagai bukti peradaban
penghar gaan
peserta
did ik
dan
t erha dap
Namun, dala m ranah pembel ajaran, hal
bangsa Indonesia di masa lampau; 4) menum-
tersebut me munculkan kontroversial. Tokoh
buhkan pe maham an peserta didik terha dap
ba ngsa ,
proses terbentuknya bangsa Indonesia melalui
di kare naka n
j asa- jasa
ata u
pe r-
481
Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, Nomor 4, Desember 2012
seja rah ya ng panj ang da n masih berpr oses
Sebagai wahana pendidikan, kurikulum Sejarah
hingga masa kini dan masa yang akan datang;
harus diarahkan untuk mencapai berbagai tujuan
dan 5) menumbuhkan kesadaran dalam diri
sep erti
pe sert a di dik seba gai bagi an d ari bang sa
kebanggaan atas prestasi gemilang masa lalu
Indonesia yang memiliki rasa bangga dan cinta
bangsa, mampu menarik pelajaran dari peristiwa
tanah air yang dapat diimplementasikan dalam
masa lampau untuk digunakan dalam melanjutkan
berbagai bidang kehidupan, baik nasional maupun
prestasi gemilang bangsa bagi kehidupan masa
internasional.
sekarang dan yang akan datang.
pengemb anga n
ra sa
k ebangsaa n,
Menurut Hasan ( 1997 ) da lam Kong res
Hal yang wajar terjadi perbedaan sudut
Nasional Sejarah tahun 1996, secara tradisional
pandang dalam memahami kenyataan sosial
tujuan kuri kulum pendidikan Sej arah selalu
termasuk dalam masalah Sejarah. Hal ini juga
diasosiasikan dengan tiga pandangan, yaitu:
di kemukaka n ol eh Abdullah (19 96), bahwa
1) “ per enia lism e” yang me mand ang bahwa
Sejarah sebagai ingatan kolektif memberikan
pendidikan Sejarah haruslah mengembangkan
ke prihatinan
tugas sebagai wahana “transmission of culture”.
pe neguhan
Pengajaran Sejarah hendaklah diajarkan sebagai
ter kaburlah bat as-b atas ant ara “kep asti an
pe nget ahua n ya ng d apat mem bawa siswa
Sejarah” dengan “kewajaran Sejarah”, antara
kepada penghargaan yang tinggi terhadap “ the
“apa yang sesungguhnya telah terjadi’ dan “apa
glorius past”. Kurikulum Sejarah diharapkan dapat
yang semestinya harus
mengembangkan kemampuan anak didik dan
untuk menjelaskan hal tersebut adalah terbaurlah
generasi penerus untuk mampu menghargai hasil
hasil rekonstruksi kritis terhadap sumber Sejarah
karya agung bangsa di masa lampau, memupuk
de ngan kei nginan a kan masa la lu sebag ai
rasa bangga sebagai bangsa, rasa cinta tanah
landasan kearifan masa kini (Hasan, 2007).
sosia l-kultur al inte grasi.
Dala m
a kan
hasr at
kontek s
ini,
terjadi”. Ungkapan lain
air, persatuan dan kesatuan nasional; 2) esen-
Demikian, usaha untuk menjadikan Sejarah
sialisme, menurut pandangan ini, kurikulum
se baga i sumber inspira si a taup un sebag ai
Sejarah haruslah mengembangkan pendidikan
landasan nilai merupakan hal yang sah, baik secara
Sejarah sebagai pendidikan disiplin ilmu dan
akademis maupun secara etis (Hasan, 2007).
bukan
pend idik an
Pengajaran Sejarah lebih bersifat “confluent”,
pengetahuan Sejarah. Dalam pandangan aliran
hany a
te rbat as
p ada
artinya dapat untuk mengembangkan berbagai
esensialisme, siswa yang belajar Sejarah harus
ranah sekaligus. Ranah kognisi, afeksi, dan konasi
diasah kemampuan intelektualnya sesuai dengan
se cara
tradisi intelektual Sejarah sebagai disiplin ilmu.
keselur uhan”.
Kemampuan intelektual keilmuan antara lain
penggerak perubahan karena informasi yang
menghendaki kemampuan berfikir kritis dan
diterima menentukan perasaan dan kemauan
analitis, terutama dikaitkan dalam konteks berfikir
untuk bert inda k. K ogni si y ang sala h ak an
yang didasarkan filsafat keilmuan; dan 3) rekon-
menimbulkan afeksi dan konasi yang salah pula.
struksi sosial, pandangan ini menganggap bahwa
Af eksi dan konasi yang benar hanya dap at
kurikulum pendidikan Sejarah haruslah diarahkan
dihasilkan oleh kognisi yang benar (Mar’at, 1982).
pada kajian yang mengangkut kehidupan masa
Ini berarti bahwa pengajaran Sejarah yang salah
kini dengan problema masa kini. Pengetahuan
akan menimbulkan sikap yang salah, palsu atau
Se jara h di hara pkan da pat memb antu siswa
munafik. Bila salah, maka tindakan lahirnya juga
mengkaj i ma sala h untuk meme cahk an p er-
menghasilkan tindakan yang salah (Moedjanto,
masalahan. Kecenderungan-kecenderungan yang
1985).
terjadi dalam Sejarah masa lampau sebagai pel ajar an
y ang
dapa t
di manf aatk an
b agi
kehidupan siswa masa kini (Hasan, 2007).
ber sama -sam a Aspek
me mbentuk kog nisi
“sik ap
mer upak an
Berfokus pada fungsi pengajaran Sejarah untuk meningkatkan proses penyadaran diri, maka dua aspek didaktik Sejarah perlu ditonjolkan
Namun, klasifikasi seperti pandangan di atas
yaitu: 1) segi teknik penyampaian atau metodenya
tid ak pe rlu d ijadi kan p egang an mutlak dan
dan 2) segi substansialnya atau silabus. Kedua
terpisah oleh para pengembang kurikulum Sejarah.
asp ek m empunyai pengaruh ti mbal bal ik,
482
Yudi Setianto, Dikotomi Bebas Nilai dan Nilai Pendidikan dalam Pembelajaran Sejarah
keduanya bertalian dengan usia serta tingkat
membangkit kan semangat penga bdian yang
pendidikan anak didik. Prinsip pemilihan substansi
tinggi, penuh rasa tanggung jawab serta ke-
dalam didaktif sejarah, yaitu: a) pendekatan
wajiban. Kepekaannya terhadap sejarah akan
secara lokosentris, mulai dengan mengenal lokasi
melahirkan aspirasi dan inspirasi untuk melak-
sejarah di sekitarnya; b) pendekatan konsentris,
sanakan tugasnya sebagai warga negara.
mulai lingkungan dekat meluas ke lingkup nasional
Sejarahlah yang menjadi sumber inspirasi dan
sampai ke yang internasional; c) temasentris,
aspirasi generasi muda dengan pengungkapan
yaitu pilihan tema tertentu yang menarik sekitar
model-model tokoh sejarah dan pelbagai bidang.
pahlawan atau monumen, dan lain sebagainya;
Maka dari itu, sejarah masih relevan untuk dipakai
d) kronologi yaitu urutan kejadian menurut waktu;
menjadi perbendaharaan suri-tauladan, ber-
e) tingkatan presentasi dari deskriptif-naratif ke
korban untuk tanah air, berdedikasi tinggi dalam
deskriptif-analitis, mulai dari cerita tentang
pe ngab dian, ta nggung j awab sosial besa r,
“bagaimana” terjadinya, sampai pada “mengapa”-
kewajiban, serta keterlibatan penuh dalam hal-
nya; dan f) sejarah garis besar dan menyeluruh
ihwal bangsa dan tanah air. Kartodirdjo (1993)
(Kartodirdjo,1993).
ber pend apat bahwa p embe laja ran Seja rah
Pengajaran Sejarah penting dalam pem-
berkedudukan sangat strategis dalam pendidikan
bentukan jiwa patriotisme dan rasa kebangsaan.
na sional sebag ai “ sok o guru” dala m pe m-
Suat u penget ahuan Se jarah ya ng ditunjang
bangunan bangsa. Pembelajaran Sejarah perlu
pengalaman praktis warga negara yang baik di
disempurnakan agar dapat berfungsi secara lebih
sekolah membantu memperkuat loyalitas dan
efektif, yaitu penyadaran warga negara dalam
membantu anak-anak menemukan dirinya dengan
melaksanakan tugas kewajibannya dalam rangka
lat ar be lakang Sej arah luas. Rowse (19 63)
pembangunan nasional.
menegaskan bahwa Sejarah adalah suatu mata
Tujuan pelajaran Sejarah Nasional, yaitu:
pelajaran yang bernilai pendidikan tinggi. Dalam
a) memb angk itka n, m enge mbangkan, se rta
kontek s
memelihara semangat kebangsaan; b) mem-
pe mbentuka n
pe nget ahua n
Se jara h
i dent itas
nasiona l, fung si
bangkitkan hasrat mewujudkan cita-cita kebang-
fundamental (Kartodirdjo,1993). Inti pembelajaran
me mpunyai
saan dalam segala lapangan; c) mem-bangkitkan
Sejarah adalah bagaimana menanamkan nilai-nilai
hasrat mempelajari Sejarah kebangsaan dan
kepahlawanan, kecintaan terhadap bangsa, jati
mempelajarinya sebagai bagian dari Sejarah
diri, dan budi pekerti kepada anak didik. Buku
dunia; dan d) menyadarkan anak tentang cita-
pelajaran Sejarah hendaknya disusun dengan
cita nasional
ketentuan-ketentuan ilmiah yang berlandaskan
sepanjang masa (Ali, 2005).
pada tujuan pendidikan nasional (Hugiono &
Menurut
untuk mewujudkan cita-cita itu Wahid Siswoyo dalam bukunya
Poerwantana, 1987). M elalui proses belajar
“Seminar Sejarah”,
Sejarah bukan semata-mata menghapal fakta,
antara lain: 1) sejarah dapat menumbuhkan rasa
tet api
sisw a
da pat
meng enal
dikemukakan beberapa hal,
kehidup an
nasionalisme; 2) sejarah yang mempunyai fungsi
bangsanya secara lebih baik dan mempersiapkan
pedagogis serta merupakan alat bagi pendidikan
kehidupan pribadi dan bangsanya yang lebih siap
membutuhkan pedoman atau pegangan yang
untuk jang ka selanjut nya (Hasan, 1997 ).
da pat digunaka n untuk mencapai cit a-ci ta
Sementara itu, Krug (1967) berpendapat bahwa
Pendidikan Nasional.
pengajaran Sejarah bangsa merupakan upaya
Melalui pendidikan Sejarah, yakni dalam
terbaik untuk memperkuat kesatuan nasional dan
be ntuk keg iata n be laja r me ngaj ar, proses
untuk menanamkan semangat cinta tanah air dan
sosialisasi sikap nasionalisme dapat dilaksanakan
jiwa patriotik.
secara lebih sistematik dan terencana, yaitu
Kartodirdjo (1993) menyatakan, peranan
melalui proses internalisasi. Proses internalisasi
strat egis pengajaran Sejarah dalam ra ngka
merupakan proses untuk menjadikan suatu sikap
pembangunan bangsa menuntut suatu penye-
sebaga i bagian d ari keprib adian sese orang.
lenggaran pengajaran Sejarah sebagai pema-
Dalam upaya mensosialisasikan sikap nasio-
ha man dan peny adar an, sehi ngga mam pu
nalisme,
strategi
belajar mengajar
pendidikan
483
Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, Nomor 4, Desember 2012
Sejarah
dilakukan
melalui
pengenalan
Sej arah seb agai bahan p elaj aran har us
dan pemahaman, tahap penerimaan, dan tahap
disusun sea rah deng an d asar dan tuj uan
pengint egra sian
Pendidikan Nasional. Anak
(Hizam,
tahap 2007 ).
M eski pun
didik harus mampu
de miki an, seja rah Bang sa I ndonesia har us
menemukan nilai-nilai yang ada pada materi
dig amba rkan keb esar an d an k eagungannya
Sejarah yang dipelajarinya dan mampu mere-
secara ilmiah, sehingga tidak mengorbankan
konstruksi hubungan antarnilai-nilai yang ter-
objektivitas demi penggambaran yang demikian.
kandung dalam materi pelajaran Sejarah tersebut, baik dalam konteks hubungan antarnilai-nilai yang
Konsep Win-Win Solution
terdapat dalam materi Sejarah yang disampaikan
Ilmu pengetahuan dikaitkan dengan kebutuhan
secara parsial maupun hubungannya dengan nilai-
manusia, maka ilmu pengetahuan akan terdistorsi,
nilai yang terjadi saat ini. Sebab pengalaman-
tidak akan didapati kebenaran yang objektif.
pengalaman dalam Sejarah bukan hanya untuk
Sebagai sebuah ilmu, sejarah telah memenuhi
diketahui, tetapi diharapkan dapat dipakai untuk
syarat-syarat ilmiah dan akademis. Dengan
memperbaiki usaha-usaha di masa mendatang
demikian, ilmu Sejarah tetap bersifat objektif
(Imam Barnadib, 1973)
dalam mengungkap fakta Sejarah tanpa didasari
Sebagai jalan tengah memahami perma-
ke pent inga n ya ng m engi ring inya , se hing ga
salahan di atas, perlu ditekankam strategi dasar
mengurangi kadar keilmiahan. Masalah objek-
berupa penanaman nilai yang dinamis progresif.
tivitas dan subjektivitas Sejarah merupakan
Dalam perspektif ini, apabila dalam proses belajar-
masalah yang kl asik . Se jara h di susun ol eh
mengajar Sejarah tidak bisa dihindarkan meng-
manusia yang juga d iseb ut subje k. H al i ni
ajak siswa untuk mengambil nilai-nilai dari masa
menempatkan manusia berfungsi ganda, yaitu
la mpau, bukanl ah d ima ksud kan agar siswa
se baga i
Se jara h.
terpaku dan terpesona pada kegemilangan masa
Obyektivitas dalam hal ini diartikan sebagai upaya
lampau. Nilai-nilai masa lampau diperlukan untuk
me ndek atka n subyek pa da objek , se hing ga
menjadi kekuatan motivasi menghadapi tan-
subjektivitas dapat dikurangi untuk mendekati
tangan masa depan. I Gde Widja menyatakan,
objektivitas. Sejarah sebagai ilmu dituntut objektif,
bahwa pembelajaran Sejarah adalah perpaduan
karena ilmu tanpa objektivitas tidak mempunyai
antara aktivitas belajar dan mengajar yang di
nilai ilmiah. Perlu disadari, menulis Sejarah dengan
dalamnya mempelajari tentang peristiwa masa
obyektivitas seratus persen merupakan harapan
lampau yang erat kaitannya dengan masa kini. (I
yang berlebihan. Apa yang sebenarnya terjadi
Gde Widja, 1989). Pendapat I Gde Widya tersebut
dalam kehidupan nyata terlebih terkait masa lalu,
dapat disimpulkan jika mata pelajaran Sejarah
tidak akan pernah terekam secara lengkap.
merupakan bidang studi yang terkait dengan
ob yek
seka lig us
subje k
Penulisan sejarah bersifat subjektif, apabila membiarkan politik, etisnya, dan nilai-nilai turut berperan. Perlu ditegaskan, bahwa otonomi ilmu
fakta-fakta dalam ilmu Sejarah namun tetap memperhatikan tujuan pendidikan pada umumnya. Ma ta
p elaj aran
Sej ara h
se baga i
al at
pengetahuan tetaplah harus terjamin, termasuk
mengabdi kepada tujuan pendidikan yang multi-
dalam pengungkapan fakta sejarah. Meskipun
aspek. Meski demikian, Sejarah sebagai mata
demikian, penelitian ilmiah apalagi terkait dengan
pelajaran tidak mengabaikan prinsip-prinsip
sejarah nasional, tidak luput dari pertimbangan
keilmuan, konsep dasar, dan prinsip keilmuan.
etis meski hal ini sering dituding menghambat
Sejarah sebagai mata pelajaran yang mempunyai
kemajuan ilmu, karena nilai etis itu sendiri bersifat
misi atau tujuan pendidikan tertentu dan sejarah
universal. Ketika “sejarah” telah masuk dalam
sebagai ilmu, harus dipadukan dalam konsep yang
ranah pendidikan, maka nilai etis menjadi hal
jelas tanpa mengorbankan prinsip-prinsip salah
penting. Tujuan mempelajari sejarah tidaklah
satunya atau keduanya. Hal tersebut penting,
sam a de ngan tuj uan seja rah, menyang kut
agar kekhawatiran tentang subjektivitas Sejarah
persoalan didaktis dan juga filsafat. Tujuan
dalam pembelajaran Sejarah tidak mengorbankan
pelajaran Sejarah merupakan bagian dari tujuan
ilmu Sejarah. Jalan tengah menyikapi sudut
pendidikan.
pa ndang ya ng b erbe da, dapa t di sele saik an
484
Yudi Setianto, Dikotomi Bebas Nilai dan Nilai Pendidikan dalam Pembelajaran Sejarah
melalui slogan: “histor ies make man wise”,
konflik sosial juga menekankan pada resolusi
sehingga perbedaan pandangan tersebut juga
konflik. Bagi pendidikan di Indonesia, mata
harus disikapi dengan bijaksana.
pelajaran Sejarah tentunya bukan pisau bermata
Dalam kontek Sejarah Nasional Indonesia,
dua. Di sisi lain, mata pelajaran Sejarah untuk
khususnya untuk pembelajaran, tampaknya tidak
menumbuhkan nasionalisme, patriotisme serta
layak jika kepahlawanan seorang tokoh, diungkap
tujuan pendidikan lainnya. Sisi lainnya, mata
dari sisi kekurangannya, bahkan kesalahannya
pelajaran Sejarah mengungkap fakta sejarah,
dalam perjalanan kehidupan. Sebaliknya, tidak
yang berimbas pada disintegrasi bangsa. Ilmu
lay ak jik a conte nt pe mbel ajar an, memuat
Sejarah yang bebas nilai, dalam aplikasi di
perjuangan tokoh
lapangan, khususnya dalam pembelajaran
bangsa, namun paradigma,
harus
prinsip perjuangan dan ideologinya bertentangan
memperhatikan etika yang ada dan dampak yang
dengan ideologi dan falsafah bangsa. Demikian
ditimbulkan. Pendidikan Sejarah merupakan
juga kasus-kasus konflik sosial berbau SARA,
alternatif solusi permasalahan tersebut. Hal ini
seperti Konflik Ambon, Peristiwa Sampit serta
berbeda jika Sejarah berada di perguruan tinggi,
konflik di daerah lain. Termasuk di dalamnya
dimana kajian murni ilmu Sejarah secara akademik
Sejarah di daerah, yang merupakan bagian narrow
dapat diberikan. Alasannya,
nasionalism, namun menjadi pemicu separatisme
pikir peserta didik sudah lebih berkembang dan
seperti yang pernah terjadi di Aceh.
matang.
perkembangan pola
Tampaknya, kita perlu belajar dari penga-
Pembelajaran Sejarah menempatkan fakta-
laman bangsa lain, di mana fakta Sejarah sering
fa kta seja rah yang disaring, d emi tujuan
menjadi pem icu konf lik sosi al, sepa rati sme
pendidikan. Fakta yang disaring bukan sebagai
bahkan pemberontakan tanpa akhir, seperti yang
unsur “kebohongan sejarah”, namun menjelaskan
terjadi di Spanyol (Separatis Basque), Philippina
fakta sejarah berdasarkan tingkat penalaran
(Moro), Irlandia (Pemberontakan IRA), Srilanka
siswa. Sekali lagi, fakta sejarah yang disaring,
(Gerakan Tamil), India (Kashmir), Turki (Suku Kurdi),
bukan untuk memutarbalikkan fakta itu sendiri.
serta kasus-kasus lainnya yang serupa. Demikian
Fak ta
juga konflik antar negara, dikarenakan alasan
merupakan hal yang objektif dan berdasar ilmu
Sej arah,
se pert i
sejarah
d alam
pem bela jara n
te tap
India- Paki stan(Kashmir ),
Sejarah, namun terdapat prinsip memilih dan
Thailand-Kamboja (Candi Preah Vihear), Palestina-
memilah. Tujuannya agar fakta sejarah sesuai
Israel, Irak-Kuwait (pada masa Saddam Hussain),
slogan “histories make man wise”. Slogan tersebut
Inggri s-Ar gent ina
ser ta
perlu diimplementasikan secara kontekstual di
permasalahan serupa di tempat lain. Sebagian
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
konflik tersebut tak lepas dari penghargaan yang
bernegara.
(Pul au
M alvi nas)
tinggi terhadap “the glorius past dari masing-
Sejarah bukan merupakan sumber ilmiah
masing suku, ras, agama, dan bangsanya. Seba-
sekaligus sumber konflik dan dendam antara
gian besar dari konflik berurat dan berakar,
generasi bangsa. Apalagi dalam masyarakat
berlanjut meski sudah berabad-abad karena
multikultural, di mana perbedaan suku, ras,
Sejarah sering dijadikan acuan legitimasi konflik.
agama, dan ideologi seperti di Indonesia, sering
Salah satu penyelesaian kasus semacam itu,
menjadi pemicu konflik. Pendidikan Sejarah juga
melalui proses pembelajaran Sejarah, di mana
berfungsi efektif menjaga ideologi dan falsafah
generasi sekarang dan berikutnya tidak melihat
bangsa. Kompromi antara ilmu Sejarah dan
fakta konflik secara tekstual dalam ranah ilmu
pendidikan Sejarah merupakan konsep jalan
Sejarah, termasuk melihat the glorious past.
tengah, agar ada titik temu. Titik temu ini, tetap
Sejarah, bisa disampaikan dalam kajian pendidikan
menghormati dan menghargai prinsip keduanya
atau pembelajaran Sejarah. Dengan demikian,
dan tidak mengorbankan prinsip salah satunya.
dendam sejarah sesama generasi bangsa dan
Kompromi yang dimaksud tetap dalam kerangka,
generasi antarbangsa tidak berlanjut seiring
ya ng d apat dip erta ngg ungj awab kan seca ra
pem aham an sejar ah
pem bela jara n.
ilm iah. Per paduan a ntar a ke duanya, ibar at
Diharapkan, dalam pembelajaran Sejarah, terkait
per mainan orkestra, yang te rdir i be rbag ai
d alam
485
Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, Nomor 4, Desember 2012
instrumen musik, untuk menghasilkan musik yang
Hal ini berbeda jika Sejarah berada di perguruan
indah dan harmoni. Harmoni bagi keselarasan
tinggi, di mana ilmu Sejarah dikupas sesuai kajian
untuk hidup bermasyarakat, berbangsa, dan
murni akademik.
bernegara. Harmoni yang tetap menjaga integritas
Mata pelajaran Sejarah merupakan alat
dan menjunjung tinggi etika dan nilai-nilai dunia
mengabdi kepada tujuan pendidikan yang multi-
akademik.
aspek. Meskipun demikian, Sejarah sebagai mata
Jik a ha l te rseb ut t erja di, maka slogan
pelajaran tidak mengabaikan prinsip-prinsip
kebesaran ilmu Sejarah, Historia Vitae Magistra,
keilmuan. Ditarik kesimpulan, bahwa pembel-
benar-benar terwujud. Sejarah akan menjadi guru
ajaran Sejarah menempatkan fakta-fakta sejarah
kehidupan, sebagaimana harapan dari pencetus
yang disaring, demi tujuan pendidikan. Fakta yang
slogan, sejarawan dan filsuf Romawi Kuno, Marcus
disaring bukan diartikan sebagai unsur “kebo-
Tullius Cicero. Para “sejarawan idealis” perlu
hongan seja rah”, nam un m enjel aska n fa kta
menyada ri,
Sejar ah,
Sejarah berdasarkan tingkat penalaran siswa.
merupakan perpaduan antara ilmu Sejarah dan
Dengan demikian, Sejarah sebagai mata pel-
ilmu Pendidikan, sehingga kritik yang selama ini
ajaran, tidak melupakan prinsip-prinsip dari tujuan
ditujukan kepada pembelajaran Sejarah, memang
pendidikan, termasuk tujuan dari pendidikan
bukan ranah keilmuan Sejarah secara murni
Sejarah yang telah digariskan pemerintah.
bahw a
pe mbel ajar an
karena Ilmu murni Sejarah terdapat di ranah perguruan tinggi. Nilai-nilai dan falsafat kepen-
Saran
didikan, ikut mendominasi dalam pem-belajaran
Bagi kepentingan bangsa dan negara, sejarah
Sejarah. Tujuan pendidikan tidak hanya mem-
jangan seperti
bentuk kemampuan intelektual semata, tetapi juga
meluka i dirinya sendiri. D alam konte ks ke-
etika, moral, sikap, serta berbagai keterampilan.
Ind onesiaan,
pisau bermata dua, yang bisa se jara h
per satuan-k esat uan
da pat
bang sa
memp erer at d an
m enja ga
Simpulan dan Saran
ide olog i-fa lsaf ah negar a at au k epenting an
Simpulan
bangsa yang lebih luas, bukan sebaliknya, menjadi
Pembelajaran Sejarah tidak mengkhususkan
pemicu disintegrasi NKRI. Bukan juga sebagai alat
mempelajari fakta-fakta dalam sejarah sebagai
legitimasi kepentingan sesaat, terutama bagi
ilmu, namun perpaduan antara Sejarah dan tujuan
kepentingan politik penguasa.
pendidikan pada umumnya. Meski demikian,
Jika menyangkut Sejarah Kontemporer, maka
pembelajaran Sejarah berusaha menampilkan
sejarah yang mengupas konflik SARA, perlu
fakta sejarah secara objektif, dan tetap dalam
di samp aika n
kerangka fakta sejarah yang sesuai dengan
bijaksana, agar dendam sejarah dari siklus yang
tujuan pendidikan itu sendiri. Persepsi tentang
berkepanjangan, tidak menumbuhkan semangat
sejarah harus jelas bagi guru yang mengajarkan
konflik antara generasi bangsa bahkan
Sejarah sebagai mata pelajaran. Tujuan ilmu
ant arba ngsa .
Sejar ah berbeda dengan tujuan penga jaran
pe mber onta kan sert a konfli k la inny a ya ng
Sejarah. Tujuan Sejarah dapat bersifat filosofis,
disebabkan perjalanan Sejarah, dapat diredam
tetapi pengajaran Sejarah mempunyai tujuan
melalui pendidikan Sejarah. Sejarawan yang
tertentu dalam rangka pendidikan atau bersifat
sering mengkritik objektivitas pembelajaran
didaktis. Harus disadari bahwa pembelajaran
Sej arah, pe rlu mema hami hal ini , ba hwa
Sejarah tidak harus bersifat ilmu murni, apalagi
pembelajaran Sejarah berbeda dengan Sejarah
untuk pendidikan tingkat dasar dan menengah.
murni atau ilmu Sejarah.
486
se cara
sa ngat
Konfli k
sosial ,
hat i-ha ti
d an
generasi
se para tism e,
Yudi Setianto, Dikotomi Bebas Nilai dan Nilai Pendidikan dalam Pembelajaran Sejarah
Pustaka Acuan Abdullah. Taufik. 1996. Di Sekitar Pengajaran Sejarah yang Reflektif dan Inspiratif. Dalam
Jurnal
Sejarah Pemikiran, Rekonstruksi, Persepsi 6 oleh Masyarakat Sejarawan Indonesia. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Ali, Moh. R. 2005. Pengantar Ilmu Sejarah Indonesia. Yogyakarta: LkiS. Barnadib, Imam. 1973. Dasar-Dasar Metode Sejarah Pendidikan. Yogyakarta: Yayasan Penerbit FIPIKIP Yogyakarta. Djamarah, Syaiful B. & Zain. Aswan. 1996. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Rineka Cipta. Gde. Widja I. 1989. Pengantar Ilmu Sejarah: Sejarah dalam Perspektif Pendidikan. Semarang: Satya Wacana. Gazalba. Sidi. 1966. Pengantar Sejarah Sebagai Ilmu. Jakarta: Bhatara Karya Aksara. Hariyono. 1995. Mempelajari Sejarah Secara Efektif. Jakarta: Pustaka Jaya. Hasan. Hamid. S. 1997. Kurikulum dan Buku Teks Sejarah dalam Kongres Nasional Sejarah 1996 Jakarta Sub Tema Perkembangan Teori dan Metodologi dan Orientasi Pendidikan Sejarah. Jakarta: Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Hasan, Hamid. S. 2007. Kurikulum Pendidikan Sejarah Berbasis Kompetensi. Makalah pada Seminar Nasional Ikatan Himpunan Mahasiswa Sejarah Se-Indonesia (Ikahimsi) XII. Semarang, 16 April 2007. Hugiono & Poerwantana, P.K. 1987. Pengantar Ilmu Sejarah. Jakarta : PT Bina Aksara. Hizam, Ibnu. 2007. Kontribusi Minat Belajar dan Kemampuan Klarifikasi Nilai Sejarah dalam Pembentukan Sikap Nasionalisme dalam Jurnal Penelitian Ke-Islaman, Vol. 3, No. 2, Juni 2007. Kartodirdjo, Sartono.1993. Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Kohlberg, Lawrence. 1995. Tahap-tahap Perkembangan Moral. (Edisi terjemahan oleh John de Santos dan Agus Cremers SUD. Yogyakarta: Kanisius. Krug, Mark. M. 1967. History and the Social Sciences. Walthan Mass: Braisdell. Mar’at. 1982. Sikap Manusia Perubahan serta Pengukurannya. Jakarta: Ghalia Indonesia. Moedjanto, G. 1985. Pengembangan Konsep Diri Lewat Pengajaran Sejarah. Dalam Seminar Nasional IV di Yogyakarta tanggal 16 s/d 19 Desember 1985. Jakarta: Depdikbud Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional. Oliva, Peter F. 1982. Developing The Curriculum. Boston, Toronto: Little Brown and Company. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 tahun 2006 tentang Standar Isi (beserta lampirannya). Rowse, A.L. 1963. The Use of History. London: Macmillan & Co. Siswanto dan G.M. Sukamto. 1991. Penafsiran Sejarah. Malang: Pusat Pengembangan Penataran Guru IPS dan PMP.
487
Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, Nomor 4, Desember 2012
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Bandung: Fokusmedia. Widja. 1997. Permasalahan Metodologi dalam Pengajaran Sejarah di Indonesia Suatu Tinjauan Reflektif dalam Mengantisipasi Perkembangan Abad XXI dalam Kongres Nasional Sejarah 1996 Jakarta Sub Tema Perkembangan Teori dan Metodologi dan Orientasi Pendidikan Sejarah. Jakarta: Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Widja. 1989. Pengantar Ilmu Sejarah: Sejarah dalam Perspektif Pendidikan. Semarang: Satya Wacana.
488