DIGESTER BIOGAS: Instalasi sanitasi, Pabrik pupuk dan Pembangkit energi Masyarakat
Oleh
Budy Rahmat
LPPM Universitas Siliwangi
DIGESTER BIOGAS: Instalasi sanitasi, Pabrik pupuk dan Pembangkit energi Masyarakat Penulis: Budy Rahmat ISBN : 978-602-99904-8-5 Editor : Prof. Dr. Ir. Benny Joy, MS Prof. Aripin, Ph.D. Penyelaras bahasa: Ir. Yaya Sunarya, M.Sc Desain Sampul dan Tata letak : Bayti dan Ranggi Penerbit : LPPM Unsil Redaksi: Gedung LPPM Unsil Jl. Siliwangi No. 24, Kota Tasikmalaya-46115 Telepon +62265 330634 Faksimil +62265 325812 Email:
[email protected] Distributor Tunggal : CV Genera Persada Jl. Gunung Sari No. 7 Telepon +62265 330729 Tasikmalaya-46111 Email:
[email protected] Edisi Pertama Oktober 2014 Hak cipta dilindungi undang-undang Dilarang memperbanyak karya tulis ini dalam bentuk dan dengan cara apapun tanpa izin tertulis dari penerbit
KATA PENGANTAR Teknologi biogas telah menjadi suatu teknologi yang fokus dan berkembang, bahkan salah satu aspek dalam manajemen limbah dunia. Manajemen limbah terpadu seperti ini dianggapsebagai pilihan tepat dalam rangka mentransformasi sampah menjadi energi. Selain prosesnya bersih, ramah lingkungan dan hemat biaya, juga ternyata pembangkit biogas memiliki banyak aplikasi seperti untuk memasak, pembangkit listrik, berbagai keperluan pemanasan dan menghasilkan pupuk organik tanaman. Limbah peternakan, pemukiman dan industri makanan cocok untuk bahan baku substrat biogas. Mengingat keragaman sosial-ekonomi masyarakat dan industri kecil, maka yang dibutuhkan ialah instalasi pengolahan limbah sederhana dan biaya operasionalnya murah. Tuntutan itu dapat dipenuhi dengan aplikasi teknologi biogas dengan berbagai skala digester sebagai pilihan. Buku referensi ini berjudul ”Digester Biogas: Instalasi Sanitasi, Pabrik Pupuk dan Pembangkit Energi Masyarakat” merupakan bentuk kepedulian Penulis sebagai dosen tetap Universitas Siliwangi terhadap masalah lingkungan, penyediaan untuk pupuk organik dan bahan bakar alternatif biogas bagi masyarakat. Buku ini merupakan hasil perjalanan riset Penulis yang telah mendapat dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu Penulis menyampaikan terimakasih kepada : 1. Rektor dan Ketua LPPM Universitas Siliwangi; Dekan Fakultas Pertanian dan Direktur Pascasarjana Universitas Siliwangi serta staf atas segala dukungan dan fasilitas yang diberikan. 2. Direktur Ditlitabmas Ditjen Dikti Kemendikbud RI dan Koordinator Kopertis Jawa Barat dan Banten yang telah menyediakan Hibah Penelitian Bersaing dan Kompetitif Nasional. 3. Prof. Dr. Ir. Benny Joy, MS (Gurubesar Fakultas Pertanian Unpad), Prof. Dr. Ir.H. Roni Kastaman, MSIE (Gurubesar Fakultas Teknologi Industri Pertanian Unpad), dan Prof. Dr. Ir.H. Oktap Ramlan Madkar (Gurubesar Fakultas Pertanian Unpad) yang telah memberikan evaluasi dan saran-saran perbaikan naskah buku ini.
4. Rekan dosen sejawat yang selalu mendukung dan saling konsultasi untuk penulisan buku ini. Semoga buku ini bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta kesejahteraan masyarakat dan pembangunan bangsa. Aamiin.
Tasikmalaya, Oktober 2014 Penulis,
Dr. H. Budy Rahmat, Ir., MS
DAFTAR ISI KATA PENGANTAR .................................................................... DAFTAR ISI ....................................................................................
iii v
I
PENDAHULUAN ................................................................... 1.1. Latar Belakang ................................................................ 1.2. Rumusan Masalah ........................................................... 1.3. Tujuan .............................................................................. 1.4. Manfaat ............................................................................
1 1 3 3 4
II
TINJAUAN TEORI
............................................................
5
2.1. Pembentukan Biogas ...................................................... 2.1.1. Proses yang Terjadi ........................................................
5 5
2.1.2. Faktor yang Berpengaruh .............................................. 2.1.3. Kondisi Optimum .......................................................... 2.1.4. Bahan Baku Biogas ....................................................... 2.1.5. Praperlakuan Substrat ...................................................
7 11 13 22 24
2.2. Digester Biogas ............................................................... 2.2.1. Pengertian dan Fungsi Digester ................................... 2.2.2. Komponen Digester Biogas ........................................ 2.2.3. Tipe Digester ................................................................
III
24 24 28
2.2.4. Parameter Operasional ................................................ 2.2.5. Komponen Upgrade Biogas ........................................ 2.2.6. Rekayasa Kondisi Digester .......................................... 2.2.7. Pertimbangan dalam Membangun Digester ................
34 35 46 47
METODOLOGI ...................................................................
49
3.1. Pengujian Digester Biogas sebagai Instalasi Sanitasi di Pemukiman ..............................................
49
3.1.1. Waktu dan Tempat Percobaan .................................. 3.1.2. Bahan dan Alat Percobaan ......................................... 3.1.3. Metode Percobaan ......................................................
49 49 49
3.1.4. Prosedur Percobaan ....................................................
51
3.2. Pengujian Digester Biogas dalam Sanitasi Limbah Industri Pangan ..........................................................
53 53 53 54 56
3.2.1. Waktu dan Tempat Percobaan ................................. 3.2.2. Bahan dan Alat Percobaan ....................................... 3.2.3. Metode Percobaan .................................................... 3.2.4. Prosedur Percobaan ................................................. 3.3. Digestat Biogas sebagai Pupuk Organik Pertanian.
IV
.
3.3.1. Waktu dan Tempat Percobaan ................................ 3.3.2. Bahan dan Alat Percobaan ....................................... 3.3.3. Metode Percobaan .................................................... 3.3.4. Prosedur Percobaan .................................................
58 58 58 58 60
3.4. Digester Biogas sebagai Pembangkit Energi ….......
62
3.4.1. Rancang-bangun Digester Biogas 400 L .................. 3.4.2. Tujuan, Luaran dan Manfaat .................................. 3.4.3. Bahan dan Alat ..................................................... 3.4.4. Prosedur Percobaan ..................................................
62 62 63 64
PEMBAHASAN ...............................................................
67
4.1. Efektivitas Digester Biogas sebagai Instalasi Sanitasi Limbah Pemukiman …...............................
67
4.1.1. Hasil Karakterisasi Limbah Pemukiman ................... 4.1.2. Pembuatan Digester ............................................. 4.1.3. Fluktuasi pH Substrat ............................................... 4.1.4. Produksi Biogas ........................................................ 4.1.5. Penurunan Padatan Total Substrat ..........................
67 68 68 70 73
4.2. Aplikasi Digester Biogas dalam Instalasi Sanitasi Limbah Industri Tahu ............................................
74
4.2.1. Penempatan Digester Biogas .................................. 4.2.2. Produksi Biogas Harian .......................................... 4.2.3. Total Produksi Biogas ............................................ 4.2.4. Monitoring pH ........................................................ 4.2.5. Uji Pendidihan Air ..................................................
74 75 76 77 78
.
4.3. Aplikasi Digestat Biogas sebagai Pupuk Organik Pertanian .................................................................. 4.3.1. Hasil Uji Efek Digestat terhadap Hasil Kedelai ..... 4.3.2. Keuntungan lain Pemanfaatan Digestat sebagai Pupuk Organik ........................................................ 4.3.3. Perkembangan Pengolahan dan Aplikasi Digestat.. 4.4. Aplikasi Digester Biogas sebagai Pembangkit Energi ........................................................................
V
79 79 83 87 91
4.4.1. Penyiapan Adukan Substrat ................................. 4.4.2. Pengisian Adukan Substrat ................................... 4.4.3. Pengukuran Volume Biogas ................................ 4.4.4. Uji Pendidihan Air ............................................... 4.4.5. Perkembangan Aplikasi Biogas sebagai Sumber Energi ..................................................................
91 91 92 94
KESIMPULAN .............................................................. DAFTAR PUSTAKA ..................................................... GLOSARI ........................................................................
104 106 111
I
95
PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kebijakan pengelolaan sampah di Indonesia selama lebih dari tiga tigapuluh tahun hanya bertumpu pada pendekatan kumpul-angkut-buang yang mengandalkan keberadaan tempat pembuangan akhir (TPA), maka dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008, kebijakan itu diubah dengan pendekatan reduce at source dan resource recycle melalui penerapan 3R (reuse, recycle, reduce). Oleh karena itu seluruh lapisan masyarakat diharapkan mengubah pandangan dan memperlakukan sampah sebagai sumber daya alternatif yang sejauh mungkin dimanfaatkan kembali, baik secara langsung, proses daur-ulang, maupun proses lainnya. Lebih lanjut, Peraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun 2012 mengatur, bahwa penanganan sampah terdiri lima tahap, yaitu : pemilahan, pengumpulan, pengangkutan, pengolahan, dan pemrosesan akhir sampah dilakukan oleh seluruh lapisan masyarakat secara bertahap dan terencana, serta didasarkan pada kebijakan dan strategi yang jelas. Ketentuan ini bermaksud: (i) melindungi kesehatan masyarakat dan kualitas lingkungan; (ii) menekan resiko kecelakaan dan bencana dalam pengelolaan sampah rumah tangga dan sampah sejenisnya; serta (iii) mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Permasalahan pengelolaan sampah tersebut dapat diminimalkan dengan menerapkan pengelolaan sampah yang terpadu, di antaranya ialah pengolahan sampah menjadi energi (waste to energy). Salah satu bentuk energi yang dihasilkan dari sampah adalah biogas, yaitu energi terbarukan yang dibuat dari bahan organik berupa sampah biomassa, kotoran ternak, limbah industri makanan, sisa makanan, jerami serta bahan selulosa lainnya. Sebagai upaya mencegah emisi gas metana ke atmosfer yang tidak terkendali sekaligus mengurangi risiko pemanasan global. Selain itu, residu proses pembentukan biogas merupakan bahan yang ramah lingkungan dan dapat dimanfaatkan sebagai pupuk organik (Persson dan Wellinger, 2006). Luostarinen dkk. (2011) mengemukakan bahwa, meningkatnya penggunaan teknologi biogas di seluruh dunia karena tuntutan produksi
energi terbarukan, daur-ulang bahan limbah dan pengurangan emisi gas metana yang berbahaya. Teknologi biogas memberi solusi multiguna untuk semua masalah tersebut di atas dengan proses secara simultan dan terkendali. Proses ini menghasilkan : (i) biogas, yaitu gas kaya metana yang dapat dimanfaatkan sebagai energi terbarukan untuk berbagai keperluan; dan (ii) residu atau digestat adalah campuran senyawa yang kaya nutrisi bagi tanaman. Stucki dkk. (2011) mengatakan penggunaan biogas untuk bahan bakar berbeda dengan bahan bakar fosil, sebab karbon dioksida yang dilepaskan pembakaran biogas berasal dari produk tanaman dalam fotosintesis. Emisi dari pembakaran biogas ini tidak menghasilkan tambahan karbon dioksida di atmosfer, sehingga tidak berpengaruh terhadap perubahan iklim, sepanjang tanaman terus mengasimilasi karbon dioksida dari udara. Tempat untuk menjamin terjadinya proses penguraian atau digesti bahan organik yang tidak dikehendaki secara biologis-anaerob dinamakan reaktor atau digester. Jadi proses digesti anaerob secara terencana dan terkendali bisa berlangsung bila tersedia sebuah digester. Gas metana yang dihasilkan dari sebuah digester disalurkan ke alat pengguna atau dikompresi dalam tabung penyimpanan merupakan proses terkendali agar gas tidak bebas ke atmosfer. Residu cair atau padat yang disebut digestat bisa ditampung dari saluran keluar digester untuk dimanfaatkan sebagai pupuk organik tanaman. Menurut Widodo dkk. (2009) sosialisasi pemanfaatan teknologi biogas telah lama dilakukan oleh pemerintah, bahkan sudah dikenal di Indonesia sejak tahun 1980-an. Namun sampai saat ini aplikasi teknologi ini belum mengalami perkembangan yang menggembirakan karena adanya beberapa kendala meliputi: kurangannya akhli teknologi biogas, digester tidak berfungsi akibat kesalahan konstruksi, desain digester yang rumit, proses membutuhkan penanganan secara manual dan rinci dan biaya konstruksi yang mahal. Digester biogas tidak bisa dianggap sebagai mesin pengolah sampah mekanik, meskipun wujudnya terbuat dari tembok dan atau logam, namun digester harus dilihat sebagai suatu perangkat yang bekerja berdasarkan sistem proses biokimia yang membutuhkan persyaratan internal dan ekstenal. Rangkaian proses biokimia ini diperani oleh enzim-
enzim yang intra atau ekstra seluler dari berbagai konsorsium mikroorganisme sesuai tahapannya. Ekpektasi kita terhadap aplikasi digester biogas sebagai solusi masalah limbah dan alternatif penyediaan pupuk serta energi bagi masyarakat, oleh karena itu untuk mencegah atau meminimalkan kegagalan kerjanya, diperlukan pemahaman dan pengkajian secara ilmiah dan teknis yang lebih mendalam sebagai pendekatan baru dalam perancangan, pembangunan dan pengembangan digester biogas.
1.2. Rumusan Masalah
1) 2) 3) 4)
Berdasarkan uraian di atas dapat diidentifikasi beberapa masalah, yaitu: Bagaimanakah proses yang terjadi dalam digester biogas secara sains? Sejauhmanakah digester biogas berperan sebagai instalasi sanitasi? Bagaimanakah peran digester biogas sebagai penghasil pupuk organik? Sejauhmanakah kinerja digester biogas sebagai pembangkit energi bagi masyarakat?
1.3. Tujuan 1) 2) 3) 4)
Penulisan buku ini memiliki tujuan sebagai berikut: Pemahaman proses biokimia dalam digester biogas Intensifikasi peran digester biogas dalam proses sanitasi limbah pemukiman dan industri makanan Aplikasi digester biogas sebagai perangkat penghasil pupuk organik Mengetahui perkembangan aplikasi digester biogas sebagai pembangkit energi bagi masyarakat.
1.4. Manfaat Melalui uraian buku ini diharap bisa memunculkan ide-ide yang lebih cemerlang dari segenap pamangku kepentingan sebagai tindak lanjut hasil penelitian yang telah dilakukan Penulis maupun paparan pustaka yang telah diacu. Tindak lanjut itu untuk menjadi kontribusi
pemikiran, rancangan dan wujud digester biogas yang bisa operasional di semua level, dari mulai tingkat rumah tangga, usaha tani, hingga industri besar untuk menjawab tantangan sanitasi lingkungan, penyediaan pupuk dan alternatif energi ramah lingkungan.
II TINJAUAN TEORI 2.1. Pembentukan Biogas 2.1.1. Proses yang Terjadi Biogas terbentuk melalui proses yang melibatkan digesti anaerob (DA) yaitu proses biologis untuk menguraikan dan menstabilkan bahan organik dalam suatu reaktor khusus dengan cara yang terkendali. Proses ini didasarkan pada aktivitas mikroorganisme dalam kondisi bebas oksigen (anaerob) dan menghasilkan dua produk akhir yaitu: (i) biogas sebagai sumber energi; dan (ii) residu proses yang disebut digestat. Proses DA bahan organik juga terjadi di alam, misalnya di rawa-rawa, tanah, sedimen dan metabolisme ruminansia. Dalam proses ini beberapa konsorsium berbagai mikroorganisme menguraikan bahan baku secara paralel dan atau berurutan sebagai tahap-tahap degradasi (Gambar 2.1).
Gambar 2.1. Degradasi anaerob bahan organik (Luostarinen dkk., 2011)
Pada hidrolisis senyawa polimer (karbohidrat, protein dan lipid) terdegradasi ke monomer dan dimer oleh enzim hidrolitik yang diekskresikan oleh mikroorganisme asidogen. Semakin luas permukaan
bahan baku, maka makin efisien enzim hidrolitik dapat menyerang bahan. Oleh karena itu, yang mengandung zat padat sering membatasi tahap hidrolisis, maka praperlakuan seperti penghalusan bahan (maserasi) dapat digunakan untuk memperbaikinya. Selain itu, kondisi operasional proses mempengaruhi hidrolisis, misalnya suhu tinggi meningkatkan hidrolisis. PH optimal adalah sekitar 6,0 meskipun hidrolisis dapat terjadi juga pada pH tinggi. Terlalu tinggi tingkat beban organik (organic loading rate/OLR) dapat menghambat hidrolisis karena terjadi akumulasi degradasi intermediet. Setelah bahan baku terdegradasi menjadi molekul yang lebih kecil, yaitu asam lemak rantai panjang (long chain fatty acid/LCFA), alkohol, gula sederhana dan asam amino. Selama hidrolisis, bakteri asidogen mampu memfasilitasi serapan dan degradasi lebih lanjut menjadi asam lemak volatil (volatile fatty acid/VFA). Produk antara yang lebih spesifik (misalnya asam priopionat, butirat dan valerat) tergantung pada kondisi operasional, bahan baku dan aktivitas mikroorganisme. Salah satu proses asidogenesis adalah amonifikasi senyawa nitrogen menjadi amonium (NH4+) yang merupakan senyawa penting untuk meningkatkan nilai unsur hara digestat (Luostarinen dkk., 2011). DA merupakan konversi biokimia bahan organik oleh konsorsium mikroorganisme dalam kondisi tanpa adanya oksigen menjadi metana dan karbon dioksida. Proses DA terdiri dari empat langkah, yaitu : hidrolisis, asidogenesis, asetogenesis dan metanogenesis. Hidrolisis adalah konversi enzimatis senyawa organik kompleks (karbohidrat, protein, dan lipid) menjadi organik sederhana (gula, asam amino, dan peptida) untuk digunakan sebagai sumber energi dan karbon oleh sel (Saidi dan Mahmoud, 2010). Luostarinen dkk. (2011)menjelaskan lebih lanjut, bahwa hidrolisis adalah pelarutan senyawa organik besar, kompleks, dan tidak larut menjadi molekul kecil yang dapat diangkut ke sel mikroorganisme dan dimetabolis. Pada dasarnya stabilisasi limbah organik tidak terjadi selama hidrolisis; bahan organik hanya diubah menjadi bentuk larut yang dapat dimanfaatkan oleh bakteri. Asidogenesis adalah proses fermentasi oleh bakteri asidogen dari produk hidrolisis menjadi VFA. Kelompok senyawa VFA ini selanjutnya menjadi substrat proses asetogenesis.
Asetogenesis memfasilitasi degradasi beberapa asam lemak menengah menjadi asetat, hidrogen dan karbon dioksida. Senyawasenyawa itu oleh mikroorganisme metanogen dapat dimanfaatkan dalam metabolismenya dan mengubahnya menjadi biogas, karbon dioksida dan sejumlah kecil gas lain. Metanogenesis adalah proses konversi asetat dan hidrogen menjadi metana dan karbon dioksida. Bakteri yang berperan menghasilkan metana, CO2 dan air tersebut dinamakan metanogen (Saidi dan Mahmoud, 2010). 2.1.2. Faktor yang Berpengaruh Menurut Luostarinen dkk. (2011) ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi proses DA, yaitu : 1) Suhu dan pH Suhu mempengaruhi pertumbuhan dan kelangsungan hidup mikroorganisme. Semakin rendah suhu, semakin lambat kimia dan reaksi enzimatik dan pertumbuhan mikroorganisme. Sebaliknya, bila suhu naik reaksi kimia dan enzimatik dipercepat sampai suhu optimal. Jika pH optimum ini terlampaui, protein dan komponen seluler mikroorganisme bisa rusak ireversibel. Dengan demikian, peningkatan suhu dalam satu kisaran optimal bisa meningkatkan proses DA, tetapi pada suhu lebih tinggi dari optimal mebuat rusaknya konsorsium mikroorganisme tertentu. Mikroorganisme diklasifikasikan ke dalam kelas suhu sesuai dengan suhu optimumnya dan tingkat suhu ini kemudian digunakan dalam operasi digester biogas. Mikroorganisme psikhrofilik dan psikhrotoleran tumbuh pada suhu 0 hingga 20 °C. Mikroorganisme mesofilik memiliki suhu optimum 30 sampai 40 °C dan termofilik ebih dari 55 °C. Proses mesofilik dan termofilik adalah yang paling umum untuk mengurai bahan baku heterogen, seperti pupuk kandang, lumpur dan limbah biodegradabel berbagai produk samping dari kota dan industri. Dalam digester biogas perlu pemanasan agar tetap pada suhu yang diinginkan. Dengan demikian, instalasi biogas menggunakan sebagian energi yang dihasilkan untuk pemanasannya sendiri.
Suhu juga penting untuk kesetimbangan kimia dalam proses biogas (misalnya kelarutan gas, tahap pengendapan bahan anorganik) dan kaitannya dengan pH. PH optimal untuk menghidrolisis oleh enzim adalah 6,0 sedangkan untuk metanogenesis adalah 6,0 sampai 8,0. PH mempengaruhi degradasi secara langsung oleh mikroorganisme, juga secara tidak langsung melalui kesetimbangan kimia amonia dan toksisitas asam lemak volatil; ketersediaan nutrisi dan bahan baku (misalnya pengendapan protein); dan keberadaan karbon dioksida. Untuk mempertahankan pH yang cocok ini pada bahan baku memiliki alkalinitas yang tinggi, maka diperlukan kapasitas bufer, contohnya dengan penambahan bikarbonat. Seadi dkk.(2008) berpendapat bahwa interval pH optimum untuk digesti mesofilik adalah antara 6,5 dan 8,0 dan proses ini sangat terhambat jika nilai pH turun di bawah 6,0 atau naik di atas 8,3. Kelarutan karbon dioksida dalam air menurun dengan meningkatnya suhu. Nilai pH dalam digester termofilik karena itu lebih tinggi daripada yang mesofilik, maka karbon dioksida terlarut bereaksi dengan air membentuk asam karbonat. Nilai pH dapat meningkatkan oleh amonia, yang dihasilkan selama degradasi protein atau adanya amonia dalam pengisian. Sedangkan akumulasi VFA menurunkan nilai pH. Nilai pH dalam digester anaerob terutama dikendalikan oleh sistem bufer bikarbonat. Oleh karena itu, nilai pH dalam digester tergantung pada tekanan parsial CO2, konsentrasi alkali, dan komponen asam dalam fasa cair. Jika akumulasi basa atau asam terjadi, kapasitas penyangga akan melawan perubahan pH ini, sampai tingkat tertentu. Bila kapasitas penyangga sistem itu terlampaui, akan terjadi perubahan nilai pH yang drastis yang menghambat proses DA. Oleh karena itu, nilai pH tidak dianjurkan sebagai suatu parameter pemantauan proses yang berdiri sendiri. Kapasitas bufer substrat DA dapat bervariasi, misal untuk substrat pupuk kandang kapasitas bufernya bervariasi dengan musim dan bisa dipengaruhi oleh komposisi pakan ternak (Seadi dkk.,2008; Luostarinen dkk., 2011). 2) Penghambatan dan tekanan parsial hidrogen Amonifikasi senyawa nitrogen organik menghasilkan amonium (NH4+) dan sebagian dalam bentuk amonia (NH3). Amonia mampu
memasuki sel mikroorganisme lebih bebas karena tidak memiliki muatan listrik, yang menjadi racun bagi mikroorganisme pada konsentrasi tinggi. Jumlah amonia tergantung pada suhu dan pH proses, yaitu semakin tinggi suhu dan pH, semakin tinggi jumlah amonia (Luostarinen dkk., 2011). Amonia biasanya ditemui sebagai gas, dengan bau menyengat yang khas, merupakan senyawa penting, karena nutrisi penting yang berperan sebagai prekusor bahan makanan. Protein adalah sumber utama amonia untuk proses DA. Konsentrasi amonia terlalu tinggi dalam digester, terutama amonia bebas, yang berperan sebagai penghambat proses. Hal ini umum untuk DA dari kotoran hewan, karena konsentrasi amonia tinggi yang berasal dari urin. Karena efek penghambatannya, konsentrasi amonia harus berada di bawah 80 mg/L. Bakteri metanogen sangat sensitif terhadap penghambatan amonia. Konsentrasi amonia bebas adalah berbanding lurus dengan suhu, sehingga ada peningkatan risiko penghambatan amonia terhadap proses DA yang dioperasikan pada suhu termofilik, dibandingkan dengan yang mesofilik. Konsentrasi amonia bebas dihitung dari persamaan:
NH 3 T NH 3
H 1 k a [NH3] dan [T-NH3] adalah masing-masing konsentrasi amonia bebas dan total, dan ka adalah parameter disosiasi yang nilainya meningkat dengan suhu. Ini berarti bahwa meningkatkan pH dan peningkatan suhu akan menyebabkan meningkatnya penghambatan, karena faktor-faktor ini akan meningkatkan fraksi amonia bebas. Ketika suatu proses dihambat oleh amonia, peningkatan konsentrasi VFA akan menyebabkan penurunan pH yang sebagian akan melawan efek amonia akibat penurunan konsentrasi amonia bebas (Seadi dkk., 2008). Luostarinen dkk. (2011) mengatakan bahwa, tekanan parsial hidrogen yang rendah sangat penting proses biogas agar berfungsi dengan baik, terutama asidogenesis, asetogenesis dan kemudian metanogenesis bergantung padanya. Degradasi atau akumulasi produk antara, LCFA dan VFA, dan bisa berfungsi sebagai inhibitor. Degradasi LCFA dan VFA adalah termodinamika yang tidak baik bila tekanan hidrogen parsial
tinggi. Biasanya metanogen hidrogenotrofik segera mengkonsumsi hidrogen diproduksi, tetapi dalam kasus kelebihan muatan bahan organik (jumlah substrat terlalu tinggi) atau kondisi penghambatan metanogen lainnya, degradasi asam organik terganggu, peningkatan konsentrasi asam dan pH menurun. Hal ini semakin menghambat metanogen dan peningkatan tekanan parsial hidrogen. Pada titik ini juga degradasi LCFA dan VFA menjadi asetat tidak berlanjut dan produk antara, misal asam propionat dan asam lainnya diproduksi secara berlebihan, yang menyebabkan pengasaman proses biogas. Hal ini dapat mengakibatkan kerusakan seluruh proses dan hanya dapat diatasi tidak memberi muat dalam jangka panjang atau diulang kembali seluruh proses menggunakan inokulum baru. Pengalaman praktis menunjukkan bahwa, dua digester dengan konsentrasi VFA yang sama dapat berkinerja sama sekali berbeda, sehingga pada VFA konsentrasi yang sama dapat optimal untuk satu digester, tetapi penghambatan untuk yang lain. Salah satu penjelasan yang bisa menjadi fakta bahwa komposisi populasi mikroorganisme bervariasi dari digester ke digester. Untuk alasan ini, dan seperti dalam kasus pH, konsentrasi VFA tidak dapat direkomendasikan sebagai parameter pemantauan proses yang berdiri sendiri (Seadi dkk., 2008). Unsur mikro seperti besi, nikel, kobalt, selenium, molibdenum atau tungsten sama-sama penting untuk pertumbuhan dan kelangsungan hidup mikroorganisme DA sebagai nutrisi makro dan mikro nutrisi karbon, nitrogen, fosfor, dan sulfur. Rasio optimal nutrisi makro karbon, nitrogen, fosfor, dan belerang (C: N: P: S) dianggap 600:15:5:1. Kurangnya penyediaan nutrisi dan digestibilitas substrat yang terlalu tinggi dapat menyebabkan hambatan dan gangguan dalam proses DA (Seadi dkk., 2008). Inhibitor lain yang mungkin terjadi misalnya oksigen, senyawa disinfektif, logam berat dengan konsentrasi tinggi, nitrat, sulfat, asam 2bromoetansulfonat (BES), metana terklorinasi, dan senyawa dengan ikatan karbon tak jenuh seperti asetilena (Luostarinen dkk., 2011). 3) Faktor teknis dan operasional Faktor teknis dan operasional juga mempengaruhi degradasi anaerob dalam proses biogas. Misalnya pengadukan adalah penting pada semua jenis digester. Hal ini digunakan untuk memastikan kontak yang
baik antara bahan baku dan mikroorganisme, serta suhu konstan dan kualitas homogen seluruh isi digester. Hal ini juga memungkinkan pelepasan gelembung biogas dari massa tercerna ke dalam sistem pengumpulan gas. Pengadukan suboptimal dapat mengakibatkan digestat kualitas rendah, mengurangi produksi biogas dan mengakibatkan masalah operasional, seperti berbusa, gelembung biogas belum dilepas dalam massa tercerna dan/atau kenaikan massa, dan penetrasi ke luaran yang salah. Pengadukan biasanya melibatkan berbagai bentuk bilah pengaduk. Pengadukan harus dioptimalkan juga untuk alasan energi seperti listrik sebagai kebutuhan utama pada sebuah digester biogas. Waktu retensi hidrolik (hydraulic retention time/HRT) dan OLR juga mempengaruhi proses biogas. HRT adalah hubungan volume digester dan volume isian setiap hari dan merupakan waktu rata-rata bahan baku dihabiskan dalam proses biogas. Semakin lama HRT, semakin banyak bahan organik terdegradasi. Bahan organik yang peka terhadap degradasi anaerob biasanya terdegradasi dalam reaktor biogas antara 14 hingga 50 hari. Memperpanjang HRT akan menuntut ukuran reaktor lebih besar namun kecil keuntungannya. Pada kasus bahan mudah terdegradasi, seperti pati yang terkandung residu sayuran, HRT yang singkat sudah memadai. Sementara bahan lignoselulosa, seperti tanaman energi dan sisa tanaman memerlukan HRT yang lebih panjang untuk memfasilitasi degradasi yang efisien. Ketika mencerna kotoran hewan biasa diterapkan HRT 20 hingga 30 hari (Luostarinen dkk., 2011). 2.1.3. Kondisi Optimum Beberapa parameter dalam DA mempengaruhi lingkungan fisik yang juga nantinya mempengaruhi efisiensi digesti dan potensi produksi biogas. Operator DA harus memantau beberapa parameter berikut dalam rentang yang optimal, yaitu: pH, suhu, rasio C/N, waktu retensi, tingkat pemuatan organik, kompetisi bakteri, kandungan gizi, zat toksik, kandungan padatan, dan pengadukan. Kisaran optimum dan peran faktor penting yang akan dijelaskan pada Tabel 2.1. Dalam lingkungan anaerob, mikroorganisme yang umumnya berperan melepaskan metana dari asam asetat antara lain: Methanosarcina, Methanococcus, Methanobacterium, dan
Methanobacillus. Perombakan anaerob secara luas digunakan untuk memantapkan padatan organik terkonsentrasi (memadat/lumpur), dengan BOD lebih besar dari 10.000 mg/L, dipindahkan dari tangki endap, filter biologis, dan pembangkit lumpur aktif. Beberapa pembangkit menggunakan digesti anaerob sebagai langkah pertama membuang kelebihan zat nitrogen dari aliran sisa sebelum perlakuan aerob (Saidi dan Mahmoud, 2010). Tabel 2.1. Kondisi optimum produksi biogas Parameter
Kondisi optimum
pH
7 – 7,5
Suhu Rasio C/N
30 – 37 oC 20 – 30 lambat
Pengadukan 14 – 30 hari Waktu retensi < 200 mg/L Sulfida Logam berat terlarut Natrium Kalsium Magnesium Amonia
< 1 mg/L < 5.000 mg/L < 2.000 mg/L < 1.200 mg/L < 1.700 mg/L Sumber : Hermawan (2007)
Perbedaan lain antara proses aerob dan anerob terletak pada karakteristik biomassa yang menentukan jalannya proses perombakan. Pada proses aerob, biomassa terdiri atas berbagai jenis mikroorganisme, tetapi masing-masing merombak bahan organik untuk keperluannya masing-masing. Pada proses anaerob, sebenamya biomassa juga terdiri atas berbagai jenis mikroorganisme, tetapi merombak bahan organik satu setelah yang lain dari bahan organik hingga biogas. Dengan demikian, proses berlangsung sempurna hingga menghasilkan produk akhir, hanya
jika proses pertukaran massa pada setiap mikroorganisme yang terlibat berlangsung dengan kecepatan sama. Karena alasan tersebut, proses anaerob lebih sensitif terhadap pengaruh bahan toksik, pH dan suhu dibanding dengan proses aerob (Seadi dkk., 2008). 2.1.4. Bahan Baku Biogas 1) Definisi Bahan baku (feedstock) biogas ialah mencakup bahan substrat yang dapat dikonversi menjadi metana oleh bakteri anaerob. Bahan baku mulai dari air limbah mudah terurai hingga limbah padat kompleks. Salah satu persyaratannya adalah bahwa limbah yang diberikan mengandung sejumlah besar bahan organik yang akhirnya dikonversi terutama menjadi metana dan CO2 (Steffan dkk., 1998). Ertem (2011) mengemukan bahwa, segala jenis biomassa yang mengandung karbohidrat, protein, lemak, selulosa sebagai komponen utama, maka dapat digunakan untuk bahan baku untuk menghasilkan biogas. Ketika memilih biomassa sebagai substrat berikut informasi harus dipertimbangkan terlebih dahulu: Substrat harus dipilih berdasar pada kandungannya Memiliki nilai nutrisi yang tinggi agar memberikan hasil biogas yang tinggi pula Substrat yang dipilih harus tanpa patogen Zat berbahaya harus dalam jumlah yang kecil Biogas hasil harus bermanfaat untuk aplikasi lebih lanjut Residu digesti harus berguna sebagai pupuk. 2). Keragaman dan pemilihan bahan baku Awalnya DA terutama sekaitan dengan pengolahan pupuk kandang hewan (sapi, babi, unggas) dan lumpur endapan instalasi pengolahan aerob air limbah. Namun, pada 1970-an meningkatnya kesadaran lingkungan serta tuntutan strategi baru pengelolaan sampah dan bentuk energi terbarukan, memperluas bidang aplikasi DA ke pengolahan limbah industri dan kota. Selain itu, konfigurasi reaktor tingkat tinggi dan perangkat kontrol proses yang canggih memungkinkan DA memasuki wilayah yang biasa didominasi oleh sistem aerob seperti pengolahan limbah industri yang mengandung COD rendah (Steffen dkk., 1998).
Kekhawatiran terhadap penimbunan limbah padat yang dipelopori oleh para ahli teknik untuk mempertimbangkan pendekatan baru pengolahannya sebelum dibuang. Misalnya limbah padat dan semi padat seperti fraksi organik dari limbah padat perkotaan (organic fraction of municipal solid waste/OFMSW) umumnya saat dibuang ke tempat pembuangan sampah atau pengkomposan aerob, dapat diolah secara anaerob untuk menghemat ruang TPA dan mengkonversi sebagian bahan organik menjadi energi biogas. Klasifikasi pada Gambar 2.2. menunjukkan berbagai bahan baku yang berasal dari tiga sumber yang berbeda. Namun pertanian menyumbang potensi bahan baku terbesar dan paling aplikatif saat ini. Uraian selanjutnya akan lebih berfokus pada limbah agroindustri, yaitu limbah peternakan, limbah pertanian dan limbah industri yang berhubungan dengan pertanian dan produksi pangan.
Gambar 2.2. Klasifikasi sumber bahan baku biogas (Steffen dkk., 1998).
Pemilihan suatu jenis bahan baku DA perlu pertimbangan ada/tidaknya praperlakuan yang berbiaya tinggi dan/atau kerumitan konfigurasi reaktor harus dibandingkan dengan semua manfaat (ekonomi,
lingkungan) pengolahan itu. Bahan baku juga dapat menentukan tujuan dan sasaran proses DA. Sebagai contoh, tujuan utama perlakuan pengolahan air limbah industri oleh DA umumnya tidak menuntut berikutnya menghasilkan metana agar memproduksi energi atau digestat sebagai pupuk tanah, namun untuk pengurangan COD dalam limbah semaksimal mungkin. DA terhadap organik dari limbah padat perkotaan didorong oleh perlunya mengurangi limbah, menghasilkan biogas yang bisa digunakan, dan juga digestat untuk pemupukan pertanian. Sedangkan tanaman energi, pendorong utamanya ialah untuk menghasilkan biogas sebagai sumber energi. Dalam beberapa kasus, biomassa tanaman diolah dahulu dan disimpan (silase) untuk pemanfaatan selanjutnya sebagai bahan baku DA (Steffen dkk., 1998). Tabel 2.2 menunjukkan karakteristik umum dan hasil biogas dari beberapa bahan baku pertanian (Ertem, 2011). Lahan untuk produksi tanaman terbatas. Luas permukaan dunia terutama tertutup oleh lautan, hanya 149,106 km2 lahan terestrial yang terdiri dari 9,4% wilayah garapan. Oleh karena itu tanaman harus dipilih terutama tergantung pada (i) hasil biomassa per hektar, kondisi iklim, ketersediaan air irigasi dan ketahanan terhadap hama dan penyakit; dan (ii) aspek ekonomi seperti kebutuhan energi untuk penyiapan substrat harus diperhitungkan. Dengan demikian, dapat dikatakan harus dipilih substrat yang paling cocok untuk produksi biogas (Ertem, 2011). Tabel 2.2. Hasil biogas dan kadar metana dari bahan baku pertanian Hasil VS Waktu Kadar TS biogas (% retensi CH4 Bahan baku (% DS) (m3/kg DS) (hari) (%) VS) Kohe sapi 5-12 75-85 20-30 0,20-0,30 55-75 Kohe ayam 10-30 70-80 >30 0,35-0,60 60-80 Kotoran babi 3-81 70-80 20-40 0,25-0,50 70-80 Whey (dadih) 1-5 80-95 3-10 0,80-0,95 60-80 Dedaunan 80 90 8-20 0,10-0,30 BA Jerami 70 90 10-30 0,35-0,45 BA Limbah taman 60-70 90 8-30 0,20-0,50 BA
Bahan baku
TS (% DS)
Silase rumput 15-25 Limbah buah 15-20 Limbah 10 makanan BA= belum dianalisis
VS (% DS)
Waktu retensi (hari)
90 75 80
10 8-20 10-20
Hasil biogas (m3/kg VS) 0,56 0,25-0,50 0,50-0,60
Kadar CH4 (%) BA BA 70-80
Faktor-faktor yang mempengaruhi hasil energi bersih yang bisa diperoleh dari biomassa ditunjukkan pada Gambar 2.3.
Gambar 2.3. Faktor yang mempengaruhi hasil energi bersih yang dapat diperoleh dari biomassa (Ertem, 2011). Budidaya dan manajemen mempengaruhi hasil metana dari tanaman energi. Oleh karena itu, kualitas substrat untuk produksi biogas harus dioptimalkan. Parameter yang paling penting untuk memilih tanaman adalah hasil biomassa per hektar. Tanaman harus mudah dibudidayakan, dipanen, dan disimpan. Tanaman itu harus dapat mentolerir penyakit dan hama, serta dapat tumbuh di tanah dengan tingkat nutrisi yang rendah. Banyak tanaman energi yang akrab bagi petani dan mudah ditumbuhkan dan menghasilkan sejumlah besar biomassa dan mudah didigesti dengan baik. Maka merupakan substrat yang baik untuk produksi biogas. Sisa panen tanaman untuk energi memiliki manfaat bahwa biaya produksi langsung dari bahan ini murah, dan mengumpulkannya dari
ladang menciptakan daur ulang dan mengurangi eutrofikasi nitrogen akibat pencucian. Berikut beberapa alternatif substrat biogas: 1) Pupuk kandang cair dan substrat tambahan Kotoran kandang berbagai ternak memiliki potensi besar untuk pemanfaatan dalam digester anaerob dengan biodegredabilitasnya yang tinggi. Seringkali kotoran kandang membawa kontaminan seperti pasir, serbuk gergaji, tanah, kulit dan rambut, tali, kabel, plastik dan batu yang berefek buruk bagi digesti. Umumnya dalam cairan kotoran bisa mengandung asam organik, antibiotik, obat kemoterapi dan disinfektan yang menyebabkan meningkat kompleksitas dan bahkan terhentinya produksi biogas. Hasil biogas dapat ditingkatkan dengan menambahkan substrat tambahan ke dalam kotoran ternak melalui peningkatan kandungan organik substrat. Hal ini lebih menguntungkan dari sudut pandang ekonomi. 2) Alga Bila panen sebagian besar tanaman seperti tebu, bit gula, canola yang digunakan untuk pembangkit energi menyebabkan persaingan dengan makanan. Oleh karena itu, penggunaan biomassa tanaman untuk pembangkit energi bermasalah. Alga menggunakan sinar matahari sebagai energi dan mendapatkan CO2 dari atmosfer dan mensintesis kebutuhan karbonnya. Alga memiliki banyak keunggulan dibandingkan dengan tumbuhan tingkat tinggi karena tingkat pertumbuhan yang lebih cepat dan bisa dibudidaya di lahan nonpertanian, danau atau laut.
Pemanfaatan alga memiliki banyak keuntungan: Pemulihan kondisi yang menguntungkan bagi fauna dan flora, Penurunan bau tak sedap, Peningkatan penghapusan nitrogen dan fosfor di pantai, Penurunan pengikatan nutrisi dalam sedimen.
Karena keunggulan ini banyak penelitian telah dilakukan. Barubaru ini telah diciptakan teknik pemanenan baru dan dihasilkan produk berharga oleh beberapa strain alga. Perbaikan ini menyebabkan kenaikan nilai kepentingan penggunaan organisme ini untuk menghasilkan
bioenergi. Namun biomassa alga memiliki rasio C/N rendah sehingga bisa menyebabkan masalah dalam digester. 3) Kayu dan jerami Biomasa yang mengandung lignoselulosa, seperti kayu dan jerami, dapat terdegradasi baik dengan praperlakuan seperti perlakuan termal dan kimia. Berbeda dengan selulosa dan hemiselulosa, lignin adalah jaringan silang polimer hidrofobik, tahan terhadap degradasi anaerob, waktu degradasi memakan waktu setidaknya 25 hari dan menyebabkan gangguan dalam tahap hidrolisis. Jerami adalah substrat lignoselulosa, yang terdiri dari: selulosa (4050%), hemiselulosa (25-35%) dan lignin (15-20%) sangat tahan terhadap degradasi enzimatik. Degradasi enzimatik lignoselulosa biasanya tidak begitu efisien karena merupakan bahan stabilitas tinggi terhadap serangan enzimatik atau bakteri. Pemanfaatan hemiselulosa dan gula pentosa masih merupakan masalah bagi bakteri dalam sistem digesti. Lignin adalah molekul yang sangat kompleks yang terdiri dari unit fenilpropana terkait dalam struktur tiga dimensi yang sulit untuk diuraikan. Ada ikatan kimia antara lignin dan hemiselulosa dan bahkan selulosa. Lignin merupakan salah satu kelemahan penggunaan bahan lignoselulosa dalam produksi biogas, karena lignoselulosa membuat tahan terhadap degradasi biologis. Praperlakuan bertujuan untuk mempercepat tahap hidrolisis, meningkatkan produksi biogas, dan mengurangi waktu retensi hidrolik. Di masa depan, fermentasi biomasa semacam ini dalam digester biogas akan memberikan tenaga yang cukup besar. Itu bisa dianggap tidak menarik secara ekonomi karena harga bahan kimia yang tinggi dibandingkan dengan biaya operasional yang rendah, tetapi juga membantu untuk melindungi lingkungan. Setelah digesti, jumlah kecil bahan berbahaya atau pengotor akan dilepaskan. Degradasi kayu dan jerami dengan kotoran ternak cair lebih disukai, karena digesti berjalan lebih stabil. 4) Rumput Rumput adalah substrat kaya serat dengan potensi biogas yang tinggi. Substrat ini membutuhkan waktu retensi lebih lama untuk digesti. Tumbuhan ini dominan di Swedia, dapat tumbuh sebagai padang rumput permanen atau sebagai tanaman sementara, yang dapat dipanen 2 - 4 kali
dalam setahun. Nilai energi tertinggi bisa diperoleh dari panen pertama, sedangkan panen terakhir memberikan efisiensi biogas lebih rendah karena biodegredabilitasnya rendah. Kadar lignin rumput ini biasanya lebih rendah pada saat panen awal (TS 2-5%) lalu panen akhir meningkat kandungan TS 30% (Ertem, 2011) Steffen dkk. (1998) mengemukakan bahwa, limbah pertanian yang cocok untuk digesti anaerob adalah: 1) Kotoran sapi Kotoran sapi biasanya dikumpulkan dari kandang. Jerami sering ditambahkan dalam penggemukan mengakibatkan sedikit variasi dari total padatan. Umumnya ditambahkan sedikit air untuk membersihkan dan membilas jalan ternak, maka dilusi dengan air minimal. Adapun kotoran kandang babi dan sapi juga menunjukkan variasi yang besar dalam isi padatan total, tergantung pada sistem kandang hewan. Tergantung pada lokasi dan tradisi operasional sapi sering menghabiskan waktu yang lama merumput di padang rumput, maka pengumpulan kotoran berkurang. 2) Kotoran ayam Ayam biasanya dipelihara dalam unit skala besar hingga beberapa ratus ribu hewan. Kotoran ayam mengandung TS yang tinggi (~ 20%) dan konsentrasi N dalam bentuk NH4 yang pada umumnya kotoran hewan agak tinggi (~ 8 g/L). Kebanyakan kasus, air terlarut amonia diekskresikan. Karena ayam mengeluarkan sedikit cairan, maka amonia ditemukan dalam bentuk kristal dalam kotoran. Kandungan amonia yang tinggi ini yang dapat menyebabkan efek penghambatan pada digesti, dan berakibat emisi NH4 tinggi selama penyimpanan pupuk di kandang. Memelihara ayam di kandang terbuka biasanya menyebabkan kontaminasi kotoran kandang oleh pasir. Seringkali sistem digester membentuk sedimen pasir di lapisan bawah yang menyebabkan masalah operasional dan mengakibatkan volume reaktor berkurang. 3) Kotoran pemeliharaan ternak skala kecil Pada peternakan kecil hasil pengumpulan kotoran konvensional dalam pupuk kandang. Hewan biasanya dipelihara di atas jerami, yang menyerap kotoran sehingga kering masalah isi kering mulai dari TS 10
sampai 30%. Digesti kotoran kandang membutuhkan waktu retensi lebih tinggi dan sering menuntut praperlakuan kotoran yang tidakh homogen. Sering ada masalah operasional tambahan, seperti pembentukan lapisan endapan. Beberapa bahan sampah seperti serutan kayu, karena kadar lignin yang tinggi sulit terurai secara anaerob dan dapat diperkaya dalam tangki digesti. 4) Sisa panen dan limbah kebun Sisa panen dan limbah kebun bisa didaur-ulang untuk lahan pertanian bisa juga digunakan sebagai bahan baku dalam digester skala pertanian dan penyediaan pupuk yang dapat diterapkan mudah untuk lahan pertanian. Umumnya residu tersebut akan ditambahkan sebagai substrat bersama untuk pupuk. Kemungkinan bahan baku untuk DA termasuk tanaman dan sisa-sisa tanaman (misalnya daun, jagung, kacang, batang dll.), buah-buahan busuk atau berkualitas rendah, dan sayuran, silo lindi dan jerami. 5) Tanaman energi Upaya telah dilakukan untuk membudidayakan tanaman khusus untuk tujuan DA. Hal ini bisa menjadi menarik bagi negara-negara yang biaya energi tinggi, sementara lahan pertanian yang cukup tersedia dalam iklim cocok. Bahkan di Eropa terjadi pertanian kelebihan produksi, maka DA pada tanaman energi bisa menjadi alternatif yang dapat memanfaatkan lahan kosong. Namun saat ini tanaman energi untuk DA belum signifikansi di Uni Eropa. Pada beberapa penelitian dilaporkan penggunaan biomassa tanaman dengan perlakuan awal (silase) untuk DA pada digester pertanian. Silase dapat disimpan dalam jangka waktu yang lama dan digunakan untuk produksi biogas ketika energi diperlukan. 6) Limbah dan air limbah industri pertanian Jumlah besar bahan baku pertanian diproses dalam industri makanan. Selama pengolahan dihasilkan limbah dan air limbah yang bisa daur ulang sebagai substrat gabungan pada digester pertanian. Kemudian digestatnya dapat digunakan sebagai pupuk pada lahan pertanian. Khas limbah dan hasil samping agroindustri termasuk protein dan gula yang mengandung whey yaitu dari industri susu atau air kotor dari pengolahan jus buah dan penyulingan alkohol. Berbagai tanaman dan residu tanaman
lainnya dari industri pengolahan, sering digunakan atau diperlakukan melalui cara lainnya atau dikubur, juga dapat diperlakukan secara anaerob. Residu tersebut dapat ditambahkan sebagai substrat pendamping pupuk kandang atau campuran digesti, penyediaan transportasi dari industri limbah dapat diatur secara rasional. 7) Penilaian dari berbagai bahan baku Volume rata-rata feses dan urin sebagian besar berbeda dari satu jenis hewan ke lainnya dan terutama tergantung pada usia dan bobotnya. Livestock unit (LU) umum digunakan sebagai rasio, yaitu satu LU merupakan bobot hidup 500 kg dan setara dengan 1ekor sapi, ekor babi atau 250 ayam petelur. Tabel 2.3. memberikan rata-rata bobot, volume kotoran dan sesuai isi bahan keringnya. Menurut hasil biogas, satu LU sapi, babi atau ayam menghasilkan rata-rata 0,75, 0,60 atau 12,5 m³ biogas per LU. Table 2.3. Karakteristik pembentukan kotoran ternak Bobot hidup (kg)
Volume kotoran (L/hari)
Total padatan /TS (%)
Sapi perah
500
55
11-12
Sapi potong
500
45
11-12
Babi potong
70
4,6
5,6
Ayam petelur
1,8
0,1
10-30
Ayam potong
0,9
0,9
10-30
Ternak
Hubungan sangat komprehensif antara bahan baku yang berinteraksi dengan DA (Gambar 2.4). Bahan baku banyak mempengaruhi konfigurasi digester (pertimbangan desain dan operasional) dan memiliki pengaruh yang komprehensif tentang fisiologi bakteri. Dari aspek metabolisme, limbah yang mengandung senyawa polimer memerlukan desain yang berbeda dengan air limbah yang mudah biodegradasi, misalnya hanya mengandung asam lemak volatil. Sebagai contoh, degradasi lignin dan selulosa pada kondisi anaerob dapat mengambil beberapa minggu. Hemiselulosa, lemak, dan protein
terdegradasi dalam beberapa hari, sedangkan gula molekul sederhana, asam lemak volatil dan alkohol laju degradasi hanya beberapa jam. Selain itu, bahan baku menentukan kualitas produk seperti biogas, lumpur digestat dan perlunya pasca-perlakuan limbah pada akhir proses digesti. Karena produk akhir DA diproses lebih lanjut untuk energi panas dan listrik (biogas) dan pupuk tanah (lumpur anaerob), maka penilaian komprehensif terhadap komposisi dan kemurnian (kualitas) bahan baku diperlukan.
Gambar 2.4. Bahan baku dan keterkaitannya dalam berbagai aspek DA (Steffen dkk., 1998).
2.1.5. Praperlakuan Substrat Montgomery dan Bochnan (2014) mengemukakan bahwa berbagai teknologi pretreatment telah dikembangkan dalam beberapa tahun terakhir untuk meningkatkan ketersediaan DA monosakarida dan molekul kecil lainnya dalam substrat biogas, terutama dalam bahan lignoselulosa. Teknologi praperlakuan ini bertujuan untuk: membuat DA lebih cepat, berpotensi meningkatkan hasil biogas, memanfaatkan substrat baru dan / atau yang tersedia secara lokal, dan mencegah masalah pemrosesan seperti persyaratan listrik tinggi untuk mencampur atau pembentukan lapisan mengambang.
Ada berbagai jenis praperlakuan yang dapat dibagi ke dalam beberapa prinsip seperti pada Tabel 2.4. Tabel 2.4. Tinjauan sekilas beberapa prinsip dan teknik praperlakuan Prinsip
Teknik
Fisika
Mekanik Termal Ultrasonik Elektrokimia Alkali Asam Oksidatif Mikrobiologis Enzimatik Eksplosi uap Ektrusi Termokimia
Kimia
Biologis Proses gabungan
Kemampuan untuk membuat biogas dari berbagai substrat yang berbeda adalah salah satu keunggulan utama DA dibanding proses lainnya seperti produksi etanol. Namun beberapa substrat bisa sangat lambat untuk terurai, sehingga akan memperlambat produksi biogas karena: Bahan mengandung zat yang menghambat pertumbuhan dan aktivitas mikroorganisme, Bahan menciptakan masalah fisik seperti mengambang, berbusa atau menggumpal, dan menghalangi pengaduk dan pipa biogas, atau Struktur molekul bahan sulit diakses mikroorganisme dan enzim, misalnya karena struktur kristal atau luas permukaan yang rendah).
2.2. Digester Biogas 2.2.1. Pengertian dan Fungsi Digester Digester biogas adalah struktur fisik yang fungsi utamanya adalah untuk menciptakan kondisi anaerob di dalamnya. Struktur ini bila diisi oleh bahan bisa terurai secara biologis, seperti: kotoran ternak, maka akan dihasilkan biogas. Struktur ini dikenal juga sebagai bioreaktor atau reaktor anaerob. Digester biogas ialah tempat yang dibuat sedemikian rupa agar terjadi proses digesti anaerob biomassa oleh aktivitas mikroorganisme, sehingga dihasilkan biogas sebagai produk utama. Inti dari satu instalasi biogas ialah digester, yaitu tangki reaktor yang kedap udara tempat terjadi dekomposisi bahan baku, dalam ketiadaan oksigen dan dihasilkan biogas. Karakteristik umum semua digester, selain menjadi kedap udara, adalah memiliki suatu sistem masukan bahan baku serta sistem luaran biogas dan digestat. Di wilayah iklim substropis digester anaerob harus diinsulasi dan dipanaskan (Seadi dkk., 2008). Sosialisasi pemanfaatan teknologi biogas telah lama dilakukan oleh pemerintah, bahkan sudah dikenal di Indonesia sejak tahun 1980an. Namun sampai saat ini belum mengalami perkembangan yang menggembirakan. Beberapa kendalanya adalah kurangnya ahli teknik biogas, digester tidak berfungsi akibat kesalahan konstruksi, desain yang rumit, membutuhkan penanganan secara manual secara detail, dan biaya konstruksi yang mahal. Oleh karena itu, diperlukan pengkajian yang lebih mendalam secara teknis dan ekonomis serta cara-cara pendekatan baru dalam pengembangannya (Widodo dkk., 2009). 2.2.2. Komponen Digester Biogas Komponen digester biogas mengambil contoh desain digester biogas tipe kubah tetap (fixed dome) seperti yang diuraikan oleh Ghimire (2005) dan Mears dan Anderson (2011) sebagai berikut : 1) Bak Pemasukan Secara umum bak pemasukan berupa bentuk empat persegi panjang atau persegi yang terhubung ke pipa pemasukan (lihat Gambar 2.5). Batu bata yang digunakan untuk membangun dasar dan dinding, yang diplester dengan adukan pasir-semen. Pipa pemasukan terbuat dari
beton dengan diameter dari 10 sampai 20 cm digunakan untuk menghantarkan bahan baku untuk digester. Bak pemasukan harus terletak di ujung untuk mengarahkan pipa pemasukan tepatnya berlawanan dengan lubang pengeluaran, yang berada di tengah-tengah longitudinal digester untuk memastikan pencernaan penuh bahan dan mengikuti waktu retensi yang dirancang. Ukuran bak pemasukan disesuaikan dengan kebutuhan untuk memudahlan pencampuran air dan bahan. 2) Tangki Digester Digester biogas biasanya dibangun di tempat yang lebih tinggi atau timbul untuk menghindari genangan saat musim hujan. Pengurugan tanah atas kubah meberikan fungsi ganda, yaitu: (i) menjadi tutup pelindung terhadap gangguan; dan (ii) bertindak sebagai isolasi selama musim dingin untuk mempertahankan suhu konstan di dalam digester. Bahan bangunan yang digunakan untuk membangun dasar batu bata dan beton. Batu bata direkat dengan mortar pasir dan semen digunakan untuk membangun dinding. Penampung gas adalah kelanjutan dinding digester berbentuk bulatan (kubah) di puncak. Pengerjaan pada permukaan luar dengan menggunakan plesteran semen atau pengerasan. Pemolesan (waxing) pada permukaan akhir plesteran pasir semen pada kubah digunakan sebagai metode untuk membuat penampung gas kedap udara. Pemolesan bisa digantikan dengan cara pemulasan cairan semen agar lebih hemat biaya. 3) Pipa Gas Utama dan Menara Gas yang diproduksi dalam digester terkumpul dalam kubah, lalu disalurkan ke pipa melalui katup yang ditempatkan tepat pada titik pusat kubah. Pipa gas utama ini dilindungi dengan balok tembok yang disebut 'menara' dibangun untuk mengelilingi pipa. Pipa utama itu panjangnya 30-45 cm dan berdiameter 25-35 mm. Ukuran diameter pipa gas tidak dikurangi karena beberapa alasan teknis dan untuk memudahkan pembersihan pipa dengan tongkat atau batang.
Gambar 2.5. Desain umum digester biogas tipe kubah tetap (Mears dan Anderson, 2011)
4). Sistem Pengeluaran Sistem pengeluaran terdiri dari suatu tempat pembukaan yang dikenal sebagai lubang masuk orang, yang posisinya pada suatu titik diametrik berlawanan dengan pipa pemasukan untuk menghindari arus pendek aliran substrat. Pembukaan ini melayani beberapa tujuan: (i) sebagai gerbang untuk masuk dan keluar orang selama pembangunan dan pemeliharaan digester; (ii) untuk mengosongkan digester untuk membersihkan; (iii) untuk mengaduk lumpur dengan menggunakan tongkat atau batang panjang, yaitu untuk kasus terbentuk flok di atas; dan (iv) untuk memfasilitasi pergerakan lumpur ke luar akibat akumulasi gas dalam penampung gas dan pergerakan lumpur ke dalam dari ruang perpindahan pada saat pemanfaatan gas sehingga akan ada tekanan yang cukup untuk mencapai titik penggunaan. Bila bak pelimpasan (overflow) lumpur digester selevel dengan permukaan tanah akan meningkatkan risiko genangan air hujan memasukinya. Masuknya air akan mengubah rasio antara limbah dan air
dalam digester yang berakibat buruk pada proses DA. Perlu adanya tutup pelindung untuk bak ini. Selain itu, membiarkan ruang perpindahan tanpa penutup bisa meningkatkan risiko jatuhnya anak-anak dan hewan peliharaan. Bak ini bisa ditutup dengan lempeng beton, pintu kayu atau ayaman bambu. Panjang dan lebar ruang perlu dipertimbangkan konsekuensinya. Secara teknis, semakin panjang sisi ruang persegi panjang harus dibangun sejajar dengan garis tengah membujur dari digester biogas. Bila itu memiliki sisi yang lebih pendek dari persegi panjang itu yang sejajar dengan garis tengah, maka terjadi peningkatan arus pendek substrat dan menciptakan “volume mati” dalam ruang pengeluaran terutama di kedua sudut pada dinding lebih panjang. Bak pengeluaran yang dibangun pada tanah yang ditinggikan untuk menghindari genangan selama musim hujan dan menciptakan dinding bak itu berada di atas tanah, maka dinding itu perlu diperkuat dengan rangka beton untuk mencegah retak bahkan runtuh oleh tekanan lumpur. 5) Lubang Kompos Lumpur yang keluar dari ruang perpindahan dikeluarkan ke dalam lubang lumpur yang juga dikenal sebagai lubang kompos. Lubang ini sangat penting untuk menjaga dan menambah nilai nutrisi lumpur yang keluar dari digester biogas. Ukuran lubang kompos tersebut setidaknya harus sama dengan volume digester biogas. Dua lubang adalah lebih baik karena memudahkan pengoperasian. Kedalaman lubang harus dibuat minimal untuk menghindari kecelakaan. Bila lubang kompos tidak dibangun, berarti lumpur dibuang mengalir ke mana-mana, kolam penampung, atau sungai. Bila ukuran lubang lumpur dibangun dengan volume terlalu kecil, maka proses pengomposannya tidak sebagaimana mestinya. 6) Perpipaan Sistem penyaluran gas pada sebuah instalasi biogas biasanya terdiri dari : (i) katup gas utama ditempatkan di bagian atas kubah segera setelah pipa gas utama untuk mengontrol aliran gas; (ii) perpipaan dengan sambungan sesuai keperluan; (iii) sistem kondensasi air yang dikenal
sebagai pengeluaran atau perangkap air; (iv) dan katup gas untuk mengontrol aliran gas ke kompor. Perlu diperhatikan penggunaan katup gas yang berkualitas dan pemasangan berjarak minimal 1 meter dari kompor untuk menghindari kebocoran. Katup harus posisi penutup bila biogas tidak sedang digunakan. Gas dari kubah disalurkan ke titik aplikasi melalui pipa PVC berdiameter ½ atau ¾ inci. Pipa hindari terkena sinar matahari langsung dan berada di permukaans tanah, maka perlu didukung oleh tiang-tiang kayu, rumah atau pohon seperti kabel listrik atau telepon untuk mencegah gangguan sengaja atau tidak yang menyebabkan kebocoran gas. Profil pipa dipertahankan miring untuk mengkeluarkan air pada pembuangan agar tidak mengganggu aliran gas. 7) Kompor dan Lampu Gas Ada kompor yang biasa dibuat khusus untuk biogas, tapi kompor LPG juga bisa digunakan untuk biogas. Namun bila tekanan biogasnya kecil, maka kompor LPG perlu dilakukan penutupan sebagian atau seluruh pemasukan udara pada pangkal nozel gas. Kerusakan kompor sering muncul akibat korosi pada rangka, penyumbatan lubang pembakar akibat karat, sehingga api kuning dengan kurang nilai kalori karena kekurangan asupan udara. Lampu gas dikenal dengan nama lampu Bunsen yang biasa dipakai untuk keperluan percobaan di laboratorium. 2.2.3. Tipe Digester 1) Digester Horizontal Instalasi biogas kecil sering dibangun dengan digester horizontal (Gambar 2.6). Bahan yang digunakan adalah baja. Awalnya, tangki bekas/lama diambil untuk menghindari biaya tinggi yang tak perlu. Tangki ini dibersihkan, direkonstruksi dengan poros tengah, dilengkapi dengan lengan mixer, insulasi, kubah gas, dll. dan digunakan kembali sebagai digester (Fischer dan Krieg, 2012).
Gambar 2.6. Digester horizontal (Fischer dan Krieg, 2012)
Saat ini, biasanya tangki digester baru dibuat untuk digunakan sebagai digester. Umumnya, volume standar antara 50 dan 150 m³. Lebarnya adalah 3,20 maksimum 3,50 m agar tangki dapat diangkut di jalan tanpa biaya tambahan dan pemasangan akhir dilakukan di lokasi. Waktu retensi hidrolik biasanya antara 40 dan 50 hari, tergantung pada masukan substrat. Masukan pertama dipanaskan oleh lengan pemanas, lihat Gambar 2.7. Ketika suhu mesofilik tercapai, pencampuran perlu dilakukan dengan lengan pencampur standar. Jenis tangki sangat cocok untuk pengolahan kotoran dan kotoran unggas karena ada kondisi pencampuran sangat baik bahkan untuk padatan. Jenis digester ini relatif murah tapi tidak dapat diproduksi dan diangkut dalam ukuran besar. Hal ini membuatnya paling cocok untuk pertanian kecil (Fischer dan Krieg, 2012). 2) Digester Tegak Standar Pertanian Digester standar dalam bisnis biogas Jerman adalah digester tegak, digester dibuat dari beton. Ukuran standar antara 500 dan 1.500 m³. Ketinggian biasanya antara 5 dan 6 m, diameter bervariasi antara 10 dan 20 m. Tangki yang dilengkapi dengan sistem pemanas yang memberikan air panas ke dalam tabung terpasang sepanjang dinding. Mixer bisa benar-benar terbenam atau dilengkapi dengan motor terletak di luar tangki seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.7. Tangki besar yang dilengkapi dengan dua atau lebih mixer. Di atas tangki ada
membran ganda, kubah penampung gas. Membran dalam merupakan bufer penampung gas, membran luar adalah penutup cuaca. Membran dalam yang fleksibel ketinggiannya, sedangkan yang luar selalu berbentuk bola, karena ada blower yang memberikan tekanan udara antara dua membran dengan cara yang sama dengan yang digunakan untuk mendukung sebuah aula udara. Waktu retensi hidrolik umumnya antara 40 dan 80 hari tergantung pada substrat masukan (Fischer dan Krieg, 2012).
Gambar 2.7. Digester standar pertanian (Fischer dan Krieg, 2012)
Jenis tangki ini sangat cocok untuk setiap jenis substrat masukan asalkan laju aliran cukup rendah. Penghapusan jaringan bukanlah masalah jika ada perangkat mekanis khusus, maka beberapa instalasi dilengkapi dengan atap beton. Jenis digester yang digunakan untuk pengolahan hingga 10.000 m³ masukan per tahun. 3) Digester Vertikal Untuk kuantitas substrat masukan yang lebih besar, misalnya diatas 30.000 m³ per tahun, digester baja tegak berukuran besar digunakan (Gambar 2.8). Baja pada umumnya dilapisi untuk menghindari korosi. Dalam banyak kasus digunakan pelat baja dipabrikasi terlapisi kaca. Ukuran standar antara 1.500 dan 5.000 m³. Ketinggian antara 15 dan 20 m, diameter bervariasi antara 10 dan 18 m. Pencampuran dilakukan dengan mixer terpasang di atap, yang beroperasi terus menerus. Substrat input pra-pemanasan sebelum
memasuki digester. Waktu retensi hidrolik umumnya 20 hari. Kali ini retensi singkat dapat dipilih karena keuntungan dari pencampuran kontinyu dan pra-pemanasan.
Gambar 2.8. Digester besar tegak (Fischer dan Krieg, 2012)
Jenis digester ini yang digunakan untuk pengolahan hingga 90.000 m³ masukan per tahun per singel unit. Instalasi digester besar terpusat memiliki dua atau lebih tangki. 4) Digester Kubah Teleskopis Digester biogas ini terdiri dari tangki pertama silinder berukuran 3.000 liter bagian atas terbuka, tempat bahan organik diuraikan. Tangki kedua, sedikit lebih kecil ditempatkan terbalik dalam tangki pertama. Karena biogas yang dihasilkan, tangki atas akan terisi gas akan naik secara teleskopis terhadap tangki bawah. Bila biogas habis diguna kan, tangki penyimpan gas ini tenggelam kembali dalam tangki bawah. Dalam sistem ini, tangki atas bertindak sebagai penyimpanan dan sebagai penutup bagi tangki digester. Gap antar dinding tangki cukup sempit untuk mencegah jumlah oksigen yang signifikan masuk digester, yang akan membunuh bakteri anaerob yang menghasilkan metana. Jumlah biogas hilang melalui gap antar dinding dapat diabaikan. Digester Tamera 3.000 liter biasanya mengolah sekitar 40-60 liter biomassa per hari dan menghasilkan gas yang cukup selama beberapa jam memasak per hari. Sumber utama biomassa adalah sisa makanan dan sampah dapur, limbah kebun bukan kayu juga tepat.
Sebelum dimasukkan ke dalam tangki digester, biomassa dibasahi, lalu secara mekanik dihancurkan dengan insinkerator sampah. Saat ini mesin limbah sebagai perangkat penyiapan bahan baku dan juga menyebutnya sahabat kompos, karena alat itu dapat digunakan untuk menyiapkan sampah organik untuk digunakan dalam proses dekomposisi anaerob dan aerob. Penghalusan memungkinkan bakteri untuk mengakses dan menguraikan bahan organik lebih mudah; dalam suatu sistem anaerob transformasi menjadi gas dan pupuk memerlukan waktu 24 jam. Sedangkan dalam tumpukan kompos aerob transformasi memerlukan waktu antara 3-6 hari (Culhane, 2012). Digester biogas ini adukan biomassa dan air hangat (40 °C) dituangkan ke dalam corong inlet tangki. Inlet ini mengarah ke bagian tengah dasar tangki digester. Bahan organik yang terdekomposisi keluar sebagai pupuk cair berkualitas tinggi, melalui outlet di dekat bagian atas tangki digester luar. Di bagian atas tangki dalam yang terbalik terdapat outlet biogas. Sebelum operasi normal, digester biogas harus dimulai dengan mempersiapkan campuran 1:1 antara kotoran hewan segar dan air, dan biarkan ini untuk fermentasi anaerob selama beberapa minggu. Volume campuran ini akan menjadi sekitar 200 liter untuk sebuah digester 3.000 liter atau kira-kira 30-40 kg kotoran hewan per meter kubik ruang tangki digester. Belum dapat digunakan, itu akan memakan waktu lebih lama untuk membangun koloni bakteri yang aktif makan. Pengumpanan sebaiknya hanya dimulai setelah biogas yang mudah terbakar pertama diproduksi. Adukan dapat dibuat dalam wadah terpisah atau dalam tangki digester. Kotoran terjadi berisi secara alamiah bakteri yang mencerna bahan organik dan menghasilkan metana. Perhatikan bahwa tidak seperti dalam pembuatan keju yoghurt, digester biogas tidak tergantung pada satu strain bakteri, tetapi tergantung pada ekologi yang seimbang dari berbagai jenis mikroorganisme hidrolitik, asidogen, asetogen dan metanogen. Setelah campuran ini menghasilkan gas yang mudah terbakar, pemuatan digester dengan biomassa dapat dimulai. Cara terbaik adalah memulai secara bertahap, misalnya dengan 1/3 dari umpan diberikan
pada minggu pertama, 2/3 untuk minggu kedua, dan kemudian ke porsi umpan normal. Rasio maksimum adalah sekitar 25 liter adukan feedstock untuk setiap 1.000 liter ruang digester. Selama operasi normal, kotoran masih bisa dimasukkan dalam bahan baku. Sebagian besar energi telah diekstrak dari kotoran, tetapi dapat membantu mempertahankan atau mengisi populasi bakteri dalam digester dan membantu menyeimbangkan pH. PH dan suhu digester akan mempengaruhi kinerjanya. Digester biogas lebih baik pada pH netral; pemuatan berlebih (overfeeding) dengan lemak, karbohidrat dan bahan baku asam tertentu dapat menurunkan pH dan kerusakan populasi bakteri; sementara overfeeding dengan protein (hewani atau nabati) atau bahan kaya nitrogen, seperti: kotoran ayam, bulu, kulit, rambut atau limbah pemotongan hewan yang dapat meningkatkan pH dan juga merusak konsorsium bakteri (Culhane, 2012). Digester tidak bisa disamakan dengan perut (tempat bakteri berasal) dan memberikan suatu gizi seimbang, atau jika orang berpikir digester itu sebagai tumpukan kompos cair dan selalu mengamati rasio C/N yang biasanya sekitar 25:1, sistem harus bertahan selamanya. Jika ekologi bakteri keluar dari keseimbangan, orang hanya mengembalikan ke pH netral, menambahkan lebih banyak kotoran, dan mulai dari awal, sehingga tidak sulit untuk pulih dari yang pengisian yang salah; dan orang tidak boleh terlalu banyak khawatir tentang "merusak" sistem. Beruntung bahwa tersedia semua bahan yang dibutuhkan untuk mendapatkan sesuatu bekerja kembali, sehingga sistem biogas adalah benar-benar yang paling mudah dan paling demokratis dari semua bentuk energi terbarukan. Suhu yang tinggi dapat membunuh bakteri, sebaliknya suhu rendah dapat menyebabkan bakteri menjadi dorman. Di antara kelompok bakteri metanogen kemungkinan ada perbedaan dalam merespon suhu, beberapa di antaranya lebih cocok suhu rendah berkisar dari 17 hingga 20 °C (psikhrofilik). Lainnya berkembang pada suhu tinggi sekitar 57 °C (termofilik ). Namun secara umum digester biogas bekerja terbaik pada suhu sekitar 37°C (mesofilik ). Di kebanyakan iklim non tropis, mungkin akan bermanfaat untuk menyelimuti dan menghangatkan tangki digester, misalnya dengan sistem air panas surya. Hal ini dapat membantu untuk menempatkan
mikroorganisme psikhrofilik pada lumpur pada bagian dasar digester dengan suhu yang lebih rendah (Fischer dan Krieg, 2012). 2.2.4. Parameter Operasional 1) Beban Organik Pembangunan dan pengoperasian instalasi biogas adalah kombinasi dari pertimbangan ekonomis dan teknis. Mendapatkan hasil biogas yang maksimal, oleh digesti substrat yang sempurna, akan memerlukan waktu retensi yang lama dari substrat dalam digester dan sebanding dengan ukuran digester (Seadi dkk., 2008). Dalam prakteknya, pilihan desain sistem (ukuran dan jenis digester) atau waktu retensi yang diambil selalu didasarkan pada kompromi antara mendapatkan hasil biogas tertinggi mungkin dan memiliki instalasi yang dibenarkan secara ekonomi. Dalam hal ini, beban organik merupakan parameter operasional yang penting, yang menunjukkan berapa banyak bahan organik kering dapat dimasukkan ke dalam digester, per volume dan satuan waktu, menurut persamaan di bawah ini: BR= m c / VR BR : beban organik [kg/hari.m³] m : massa masukan substrat per satuan waktu [kg/hari] c : konsentrasi bahan organik [%]; VR: volume digester [m³]
2) Waktu Retensi Hidrolik (HRT) Parameter penting untuk pendimensian digester biogas itu adalah waktu retensi hidrolik (HRT). HRT adalah rata-rata interval waktu lamanya substrat disimpan di dalam tangki digester. HRT berkorelasi dengan volume digester dan volume pemuatan substrat per satuan waktu, menurut persamaan berikut: HRT = VR / V HRT : waktu retensi hidrolik (hari) ; VR : volume digester [m³] V : volume substrat per satuan waktu [m³/hari]
Menurut persamaan di atas, peningkatan beban organik akan mengurangi HRT. Waktu retensi harus cukup panjang untuk memastikan bahwa jumlah mikroorganisme yang keluar dengan limbah (digestat)
tidak lebih tinggi dari jumlah mikroorganisme yang direproduksi. Laju duplikasi bakteri anaerob biasanya 10 hari atau lebih. Suatu HRT yang singkat menyediakan laju alir substrat yang baik, tapi hasil gas yang lebih rendah. Oleh karena itu, penting untuk adaptasi HRT untuk laju dekomposisi spesifik dari substrat yang digunakan. Mengetahui HRT, masukan bahan baku harian dan laju dekomposisi substrat, adalah memungkinkan untuk menghitung volume digester yang diperlukan (Seadi dkk., 2008). 2.2.5. Komponen Upgrade Biogas Persson dan Wellinger (2006) mengemukakan tiga alasan utama untuk membersihkan biogas, yaitu untuk: memenuhi persyaratan peralatan (mesin, boiler, sel bahan bakar, kendaraan, dll). meningkatkan nilai kalor gas standarisasi gas Tabel 2.4. Persyaratan kualitas biogas pada beberapa pemanfaatan Aplikasi Pemanas (boiler) Kompor masak Mesin stasioner (CHP) Bahan bakar kendaraan Jaringan elpiji
Penyingkiran Kontaminan H2S CO2 H2O < 1.000 ppm ya < 1.000 ppm ya ya
tidak tidak tidak ya ya
tidak tidak tidak (kondensasi) ya ya
Pemanfaatan biogas pada mesin gas stasioner adalah kasus yang spesifik, yaitu hanya kontaminan yang harus disingkirkan. Kebanyakan produsen mesin gas menetapkan batas maksimum hidrokarbon terhalogenasi dan siloksan dalam biogas. Bila menggunakan biogas untuk bahan bakar kendaraan baik kontaminan maupun karbon dioksida harus dihilangkan untuk mencapai kualitas gas yang memadai. Ada beberapa teknologi yang tersedia untuk menghilangkan kontaminan dan upgrade biogas menjadi bahan bakar kendaraan atau kualitas gas alam.
1) Penyingkiran Karbon Dioksida Sebelum menggunakan biogas sebagai bahan bakar kendaraan, maka kadar karbon dioksida perlu dikurangi. Ada kendaraan yang bisa memakai biogas tanpa mengeluarkan karbon dioksida, tetapi ada beberapa alasan karbon dioksida harus dihilangkan. Penghilangan karbon dioksida meningkatkan nilai kalor dari gas, sehingga jarak tempuh meningkat untuk setiap satuan volume biogas. Hal ini juga menyebabkan kualitas gas yang konsisten antar beberapa reaktor biogas dan memiliki kualitas yang sama dengan gas alam. Sebelum menambahkan biogas ke dalam jaringan gas alam juga perlu untuk menghilangkan karbon dioksida untuk mencapai indeks Wobbe. Saat melepas karbon dioksida dari aliran gas sejumlah kecil metana juga terbawa. Hal ini penting untuk mencegah lepasnya metana yang menimbulkan kerugian secara ekonomis dan lingkungan, karena metana merupakan gas rumah kaca yang kuat. Persson dan Wellinger (2006) mengatakan ada beberapa metode untuk mengurangi karbon dioksida. Yang paling umum adalah penyerapan atau proses adsorpsi. Teknik lain yang digunakan adalah pemisahan membran dan kriogenik. Salah satu metode yang menarik dalam pengembangan adalah proses upgrade internal. Tabel 2.6. Data umum untuk proses adsorpsi dan absorpsi Prinsip
Adsorpsi Absorpsi
Praperlakuan
Tekanan (bar)
Kehilangan metana (%)
Vakum
Uap air, H2S
4-7
<2
Tidak atau air stripping
Tidak
7-10
<2
Air stirpping
Uap air, H2S
7-10
<2
Pemanasan
H2S
atmosfer
< 0,1
Tipe Regenerasi
Pressure Swing Adsorption Pencucian air Polietilen glikol Mono etanol amin
Nama
a. Absorpsi Karbon dioksida dan hidrogen sulfida dapat disingkirkan dalam biogas melalui proses absorpsi. Kekuatan ikatan berbeda dari CO2 atau H2S yang lebih polar dan metana yang nonpolar digunakan untuk memisahkan senyawa ini. Water scrubbing.Air adalah pelarut yang paling umum dalam proses ini disebut water scrubbing (WS). Biogas dikompresi dan dimasukkan ke bagian bawah kolom yang bertemu aliran balik air. Kolom ini diisi dengan kemasan untuk menciptakan permukaan yang besar antara gas dan cairan. Karbon dioksida serta hidrogen sulfida lebih larut dalam air dibandingkan metana. Biogas yang terbawa ke bagian atas kolom adalah kaya metana dan jenuh air, maka biogas perlu dikeringkan. Air yang mengandung CO2 dialirkan suatu tangki bertekanan rendah dan sebagian besar karbon dioksida dilepaskan. Kadang-kadang proses ini ditingkatkan dengan air stripping (AS) atau vakum. AS membawa oksigen ke dalam sistem yang merupakan suatu masalah ketika gas digunakan sebagai bahan bakar atau ketika dimasukkan ke grid. Proses ini dapat menggunakan air segar seterusnya seperti yang paling umum dilakukan di pabrik pengolahan limbah karena air tersedia. Hidrogen sulfida yang dilepaskan ke udara menciptakan masalah emisi. Beberapa sulfur yang terakumulasi di dalam air dan nanti dapat menyebabkan masalah penyumbatan pipa. Oleh karena itu direkomendasikan bahwa hidrogen sulfida dipisahkan sebelumnya. Penyumbatan dalam kolom absorpsi karena pertumbuhan organik dapat menjadi masalah pada instalasi ini dan oleh karena itu direkomendasikan untuk memasang peralatan cuci kolom otomatis. Pelarut Organik. Selain air, pelarut organik seperti polietilen glikol dapat digunakan untuk penyerapan karbon dioksida. Selexol® dan Genosorb® adalah nama dagang bahan kimia itu. Dalam pelarut ini, seperti air, karbon dioksida dan hidrogen sulfida lebih larut dari metana dan proses berlangsung dengan cara yang sama dengan WS. Perbedaan utama adalah bahwa karbon dioksida dan hidrogen sulfida lebih larut dalam Selexol dari pada dalam air. Konsekuensinya adalah bahwa instalasi upgrade kecil dapat dibangun untuk kapasitas gas yang sama.
Dalam proses Selexol juga air dan hidrokarbon terhalogenasi dipisahkan. Namun banyak energi yang dibutuhkan untuk meregenerasi Selexol dari hidrogen sulfida dan oleh karena itu sering lebih baik untuk memisahkan hidrogen sulfida sebelum absorpsi.
Gambar 2.9. Karbon dioksida memiliki kelarutan tinggi dalam air dari metana. ini memungkinkan pemisahan dua komponen dalam kolom absorpsi. (Persson dan Wellinger, 2006)
Pelarut organik lain yang dapat digunakan adalah amina alkanol seperti etanol mono amina (MEA) atau di-metil etanol amina (DMEA) kimia an dibuat ulang dalam reaksi kimia dikembalikan biasanya didorong oleh panas dan / atau vakum. Dalam proses MEA khas hidrogen sulfida dihapus sebelum biogas memasuki bawah kolom absorpsi. Gas bertemu dengan cairan yang mengalir berlawanan dan karbon dioksida bereaksi dengan bahan kimia pada tekanan rendah. Karena reaksi selektif hampir semua karbon dioksida terikat dan sangat sedikit metana hilang. Gas dikompresi dan dikeringkan dan dapat digunakan untuk kendaraan atau didistribusikan ke dalam jaringan gas. Bahan kimia diregenerasi melalui pemanasan dengan uap yang memiliki kelemahan penggunaan energi.
b. Pressure Swing Adsorption Adsorpsi karbon dioksida pada bahan seperti karbon aktif atau saringan molekular dapat digunakan untuk memisahkan karbon dioksida dari biogas. Selektivitas adsorpsi dapat diperoleh dengan mesh yang berbeda ukuran. Metode ini diberi nama pressure swing adsorption (PSA) karena adsorpsi berlangsung dalam tekanan tinggi dan bahan diregenerasi melalui pengurangan tekanan dan penerapan vakum ringan. Proses ini membutuhkan gas kering dan bahan adsorpsi. Hidrogen sulfida perlu pra-pemisahan sebelum gas dimasukkan ke bagian bawah tabung adsorpsi berisi karbon aktif. Dalam tabung bertekanan karbon dioksida diserap, gas yang kaya metana meninggalkan bagian atas tabung. Ketika bahan dalam bejana jenuh, biogas menuju tabung baru. Ada empat tabung dihubungkan bersama untuk membuat operasi terus-menerus dan untuk mengurangi kebutuhan energi untuk kompresi gas. Regenerasi tabung jenuh dihasilkan melalui depressurisasi bertahap. Pertama tekanan dikurangi melalui hubungkan tabung dengan tabung yang sudah diregenerasi, kemudian tekanan dikurangi hampir tekanan atmosfer. Gas dirilis pada langkah ini yang mengandung sejumlah besar metana dan karena itu didaur ulang ke inlet gas. Akhirnya tabung benar-benar dievakuasi dengan pompa vakum. Gas yang meninggalkan tabung itu pada langkah ini terutama terdiri dari karbon dioksida yang dirilis ke atmosfer.
Gambar 2.10. Dalam sebuah pabrik PSA, karbon dioksida dipisahkan pada tekanan tinggi. Kolom yang diregenerasi pada tekanan berkurang. (Persson dan Wellinger,2006)
c. Pemisahan Membran Ada proses dengan pemisahan membran, adalah pemisahan dengan fase gas pada kedua sisi membran atau itu adalah absorpsi gascair yang berarti bahwa cairan menyerap karbon dioksida berdifusi melalui membran. Cairan bisa suatu amina dan sistem memiliki selektivitas yang tinggi dibanding dengan sistem membran padat. Pemisahan terjadi pada tekanan rendah, sekitar tekanan atmosfir. Membran dengan fase gas di kedua belah sisi juga bisa disebut membran kering. Membran bekerja baik di tekanan tinggi > 20 bar atau pada tekanan rendah 8-10 bar. Pemisahan ini didukung oleh fakta bahwa molekul ukuran yang berbeda memiliki permeabilitas yang berbeda melewati membran. Faktor penting lainnya untuk pemisahan adalah perbedaan tekanan antara kedua sisi membran dan suhu gas. Karbon dioksida dan hidrogen sulfida lolos melewati membran sedangkan metana tertahan di sisi inlet. Konsentrasi metana tinggi pada upgrade gas dapat dicapai dengan ukuran yang membran besar atau beberapa secara seri. Biogas yang dikompresi dan dikeringkan sebelum dilewatkan ke membran. Pemisahan hidrogen sulfida diperlukan sebelum biogas dapat digunakan untuk kendaraan atau diinjeksikan ke jaringan gas. d. Pemisahan Kriogenik Metana memiliki titik didih -160 °C pada tekanan atmosfer sedangkan karbon dioksida -78 °C. Ini berarti bahwa karbon dioksida dapat dipisahkan dari biogas sebagai cairan dengan mendinginkan campuran gas itu pada tekanan tinggi. Metana dapat dikeluarkan dalam fase gas atau cair, tergantung pada bagaimana sistem dibangun. Ketika juga metana terkondensasi, nitrogen yang memiliki titik didih yang lebih rendah dipisahkan. Karbon dioksida yang dipisahkan bersih dan bisa dijual. Sampai tahun 2006 metode ini hanya diuji pada percontohan di Eropa. Untuk menghindari pembekuan dan masalah lain dalam proses kriogenik, kontaminan seperti air dan hidrogen sulfida perlu dipisahkan awal. Prinsip pemisahan kriogenik adalah bahwa biogas dikompresi dan kemudian didinginkan dengan penukar panas diikuti dengan langkah ekspansi misalnya dalam turbin ekspansi. Pendinginan dan ekspansi tersebut menyebabkan karbon dioksida terkondensasi. Setelah karbon
dioksida disingkirkan sebagai cairan, lalu gas dapat didinginkan untuk menkondensasikan metana. e. Pengayaan metana in-situ Teknik konvensional untuk memisahkan karbon dioksida dari biogas menuntut banyak peralatan proses dan metode biasanya cocok untuk instalasi besar untuk mencapai ekonomi yang cukup. Pengayaan metana in-situ adalah sebuah teknologi baru yang sedang dikembangkan pada skala pilot yang menjanjikan ekonomi yang lebih baik juga untuk instalasi yang lebih kecil. Lumpur dari ruang digesti diarahkan ke sebuah kolom di mana bertemu aliran balik udara. Karbon dioksida yang terlarut dalam lumpur tersebut terdesorbsi. Lumpur diarahkan kembali ke ruang digesti. Karbon dioksida sekarang dapat larut ke dalam lumpur menjadikan gas diperkaya metana. Hasil tes skala lab di Swedia menunjukkan bahwa kemungkinan secara teknis untuk membangun sebuah sistem yang meningkatkan kandungan metana gas hingga 95% dan masih menjaga kehilangan metana di bawah 2%. 2) Penyingkiran komponen lainnya Ada sejumlah jejak gas di biogas yang dapat membahayakan sistem distribusi atau pemanfaatan gas. Misalnya kerusakan yang disebabkan oleh korosi, deposit atau keausan mekanis. Kontaminan dapat juga menyebabkan produk buangan yang tidak diinginkan seperti SOx, HCl, HF, dioksin atau furan. Air, hidrogen sulfida, partikel dan jika ada siloksana dan hidrokarbon terhalogenasi yang komponen yang harus dihapus karena sebagian besar aplikasi baik secara teknis atau untuk mengurangi biaya pemeliharaan. Hal ini tidak umum bahwa gas tersebut harus diperlakukan untuk mencapai standar emisi. a. Penyingkiran hidrogen sulfida Hidrogen sulfida terbentuk dari pencernaan protein dan bahan lain yang mengandung sulfur. Karena hidrogen sulfida sangat korosif
dianjurkan untuk dipisahkan pada proses awal upgrade biogas. Hal ini dapat dihapus di ruang pencernaan, dalam aliran gas atau dalam proses upgrade. Beberapa metode yang paling umum untuk menghilangkan hidrogen sulfida, bahkan pemberian besi klorida terhadap lumpur digester atau pemberian udara / oksigen ke digester. Desulfurisasi biologis. Mikroorganisme dapat digunakan untuk mengurangi kadar sulfida dalam biogas, terutama mengubahnya menjadi unsur sulfur dan beberapa sulfat. Mikroorganisme pengoksidasi belerang terutama dari keluarga Thiobacillus. Mikroorganisme ini umumnya ada dalam bahan baku, maka tidak perlu diinokulasi. Selain itu, sebagian mikroorganisme itu adalah autotrof, yang berarti bahwa bisa menggunakan karbon dioksida dari biogas sebagai sumber karbon. Oksigen perlu ditambahkan ke biogas untuk desulfurisasi biologis, harus dalam jumlah stoikiometri dan kebutuhannya tergantung pada konsentrasi hidrogen sulfida, yang biasa kadarnya 2 hingga 6% dari udara dalam biogas. Metode yang paling sederhana untuk desulfurisasi adalah dengan menambahkan langsung oksigen atau udara ke ruang digester. Dengan metode ini kadar hidrogen sulfida dapat dikurangi hingga 95% menjadi kadar yang lebih rendah dari 50 ppm. Tentu saja ada beberapa faktor yang mempengaruhi tingkat penurunan seperti suhu, tempat dan jumlah udara yang ditambahkan serta waktu reaksi. Ketika menambahkan udara kedalam biogas langkah-langkah keamanan perlu dipertimbangkan untuk menghindari kelebihan udara. Biogas adalah bahan peledak pada kisaran 5-15% dalam udara. Desulfurisasi biologis juga dapat terjadi dalam biofilter terpisah diisi badan plastik yang melekat mikroorganisme desulfurisasi. Di unit biogas yang mengalir naik bertemu cairan aliran berlawanan yang terdiri dari kondensat gas dan cairan lumpur limbah atau larutan mineral. Sebelum biogas memasuki unit, 5-10% udara ditambahkan. Dalam proses kadar hidrogen sulfida dapat dikurangi dari 3.000 sampai 5.000 ppm menjadi 50 hingga 100 ppm. Amonia dipisahkan pada waktu yang sama. Perlakuan besi klorida terhadap lumpur digester. Tingkat hidrogen sulfida dalam biogas dapat dikurangi dalam ruang digester dengan
menambahkan besi klorida (FeCl2). Besi (Fe2+) bereaksi dengan ion sulfida (S2-) dan membentuk sulfida besi (FeS). Kadar hidrogen sulfida berkurang menjadi sekitar 100 - 150 ppm. Serapan karbon aktif. Karbon aktif dapat digunakan untuk konversi secara katalitik hidrogen sulfida menjadi unsur sulfur dan air. Seperti desulfurisasi biologis, oksigen perlu ditambahkan untuk proses ini. Karbon diresapi dengan kalium iodida atau asam sulfat untuk meningkatkan laju reaksi. Sulfur yang mengandung karbon dapat diregenerasi atau diganti dengan karbon segar bila telah jenuh. Serapan karbon aktif adalah metode umum untuk pemisahan hidrogen sulfida sebelum sistem upgrade dengan PSA. Besi hidroksida atau oksida. Hidrogen sulfida bereaksi dengan besi hidroksida atau oksida membentuk sulfida besi (FeS). Bila bahan ini telah jenuh dapat diregenerasi atau diganti. Dalam regenerasi, sulfida besi dioksidasi oleh udara dan oksida besi atau hidroksida besi dijumput bersama dengan unsur sulfur. Oksida besi yang mengisi bahan dapat dioksidasi serat baja (pelapisan karat) serutan kayu ditutupi dengan besi oksida atau pelet yang terbuat dari lumpur merah, produk limbah dari produksi aluminium. Serutan kayu sangat populer di Amerika Serikat karena berbiaya rendah dan memiliki rasio yang besar permukaan terhadap volume. Rasio tertinggi diperoleh pada pelet. Pelet yang umum pada instalasi pengolahan tinja Jerman dan Swiss. Perlakuan larutan NaOH. Suatu larutan natrium hidroksida (NaOH) dapat digunakan untuk memisahkan hidrogen sulfida. Sodium hidroksida bereaksi dengan hidrogen sulfida membentuk natrium sulfida atau natrium hidrogen sulfida. Kedua garam ini adalah tidak larut yang berarti bahwa regenerasi tidak mungkin dilakukan. 3) Penghapusan hidrokarbon berhalogeni Hidrokarbon berhalogen, terutama berupa kloro- dan flouro- pada senyawa yang dominan pada biogas. Senyawa menyebabkan korosi dalam mesin CHP dan dapat dihilangkan dengan metode yang sama digunakan untuk karbon dioksida.
4) Penyingkiran siloksana Senyawa silikon organik kadang-kadang terkandung dalam biogas dari tempat pembuangan sampah dan lumpur kotoran, karbon aktif dapat digunakan untuk memisahkannya. Metode ini sangat efektif tetapi bisa mahal karena menghabiskan karbon tanpa dapat diregenerasi dan perlu diganti. Ini berarti biaya untuk pembuangan serta biaya untuk karbon baru. Metode lain untuk menghapus senyawa ialah absorpsi dalam suatu campuran cairan hidrokarbon. Kadar siloksana dalam biogas juga dapat dikurangi melalui pendinginan gas dan memisahkan cair terkondensasi. Ada contoh sistem pendinginan gas ke -25°C yang menghasilkan efisiensi 26%. Gas dapat didinginkan hingga -70°C menyebabkan siloksana membeku, sehingga memcapai efisiensi 99%. Pendinginan gas juga dapat dikombinasikan dengan suatu sistem karbon aktif, memberikan karbon waktu hidup lebih tahan lama. 5) Penyingkiran oksigen dan nitrogen Jika oksigen atau nitrogen ada dalam biogas ini adalah tanda bahwa udara telah tersedot ke dalam sistem. Ini umum dalam biogas yang dikumpulkan dari TPA dengan tabung permeabel dengan menerapkan sedikit tekanan di bawah. Rendahnya tingkat oksigen dalam gas tidak masalah, tetapi bila tinggi dapat menimbulkan risiko ledakan. Dalam beberapa proses upgrade seperti PSA dan membran kandungan oksigen dan nitrogen juga berkurang. 6) Penyingkiran air Biogas jenuh dengan uap air ketika meninggalkan ruang digesti. Sebelum biogas digunakan sebagai bahan bakar kendaraan atau dimasukkan ke dalam jaringan gas perlu dikeringkan. Pengeringan juga bisa diperlukan bila menggunakannya untuk CHP, terutama untuk turbin gas. Refrigerasi adalah metode umum untuk pengeringan biogas. Gas ini didinginkan dengan penukar panas dan air terkondensasi dipisahkan. Untuk mencapai titik embun yang rendah gas dapat dikompresi dahulu sebelum didinginkan. Adsorpsi air pada permukaan agen pengering adalah metode yang umum digunakan untuk mencapai titik embun sangat rendah yang
diperlukan dalam aplikasi bahan bakar kendaraan (yaitu ≤ - 40 °C ; tekanan 4 bar). Agen pengering bisa digunakan silika gel atau aluminium oksida. Untuk memastikan operasi terus-menerus biasanya sistem terdiri dari dua tabung, satu untuk operasi dan satu untuk regenerasi. Tabung yang dikemas dengan agen pengeringan dan gas lembab melewatinya. Pengeringan bisa dilakukan pada tekanan tinggi atau atmosfer. Hal ini mempengaruhi metode regenerasi, yaitu ketika pengeringan pada tekanan naik maka aliran kecil dari gas kering terkompresi dan digunakan untuk regenerasi. Jika pengeringan dilakukan pada tekanan atmosfer, udara dan pompa vakum digunakan untuk regenerasi. Kerugian dengan metode yang terakhir terjadi penambahan udara ke biogas. Metode pengeringan lain yang dapat digunakan adalah penyerapan air dalam glikol atau garam higroskopis. Garam baru dibutuhkan untuk menambah agar menggantikan garam yang telah jenuh atau bahkan telah larut. Medium pengering bisa dijumput oleh pengeringan pada suhu tinggi. 7) Biaya upgrade biogas Total biaya untuk pembersihan dan peningkatan biogas berasal dari biaya investasi, operasional instalasi, dan pemeliharaan peralatan. Ketika memproduksi biogas untuk bahan bakar kendaraan, maka bagian yang paling mahal perlakuan adalah penyingkiran karbon dioksida. Investasi dalam suatu instalasi dengan perlakuan kualitas lengkap untuk bahan bakar kendaraan tergantung pada beberapa faktor. Salah satu faktor utama tentu saja ukuran instalasi. Kenaikan investasi meningkat dengan kapasitas instalasi, tetapi pada saat yang sama investasi per unit kapasitas terpasang menurun untuk pabrik yang lebih besar. Investasi khusus untuk pabrik mengolah 300 m3 gas per jam adalah 1 juta Euro seperti yang ditunjukkan oleh grafik di bawah ini biaya investasi tahun 1998 dan 2006 untuk 16 instalasi di Swedia (Persson dan Wellinger, 2006).
Gambar 2.11. Grafik hubungan biaya investasi dan kapasitas pabrik * 1 Krona Swedia (SEK) = Rp 1.744
2.2.6. Rekayasa Kondisi Digester Bakteri yang memproduksi metana tidak sesuai untuk mengambang bebas dalam tangki, karena mikroorganisme hidup berevolusi dalam lambung hewan, yaitu bakteri menempel pada permukaan saat sedang terkena aliran substrat. Kondisi seperti ini dapat diciptakan dengan menutupi bagian bawah tangki dengan batu berpori atau kerikil, yaitu membangun struktur area permukaan vertikal sebagai suatu bangunan "motel mikroorganisme" dalam tangki digester (Culhane, 2012). Struktur vertikal ini yang memungkinkan bakteri menghuni semua zona suhu tangki, efisiensi kenaikan air dipisahkan menjadi lapisanlapisan termal, air terdingin berada di bagian bawah tangki dan air hangat di bagian lebih atas. Namun justru sebagian besar biodigester bergantung pada kerja bakteri yang hidup dalam butiran lumpur di dasar tangki yang dingin untuk melakukan sebagian besar pekerjaan perombakan. Dengan memberikan elevator vertikal memperlakukan mikroorganisme sebagai peliharaan yang memiliki kesempatan untuk
menemukan zona dalam tingkatan suhu yang paling sesuai dengan kebutuhannya. Motel mikroorganisme tersebut dapat dibangun dengan menggunakan pipa plastik bekas, berusaha untuk memperkecil dampak aliran gas dan lumpur di dalam tangki. Pipa plastik vertikal dengan lubang melintang di dalamnya untuk membiarkan makanan dan gelembung keluar untuk bekerja dengan baik sebagai media kolam filtrasi yang digunakan untuk mendorong pertumbuhan bakteri. Di Palestina orang memasukkan cangkang kacang almond dan pistachio; idenya adalah agar memiliki media mengambang tempat bakteri dapat membentuk biofilm aktif. Semakin luas permukaan untuk populasi bakteri dan secara teoritis semakin mudah memberi makan; tersedia lebih biofilm yang lebih efisien membuat bakteri dapat bekerja dan menghasilkan lebih banyak gas dan pupuk (Culhane, 2012). 2.2.7. Pertimbangan dalam Membangun Digester Digester biogas bukan teknologi baru, namun upaya untuk memdaya-gunakan semua jenis energi yang ada dalam teknologi biogas belumlah optimal, hal ini dapat dilihat pada instalasi digester tradisional yang belum memperhitungkan waktu produksi efektif, volume ruang digester harus sesuai dengan laju pemasukan substrat (Fischer dan Krieg, 2012). Hal berikut yang harus dipertimbangkan ketika akan membangun digester biogas: 1) Digester dibangun sedekat mungkin dengan pasokan bahan baku (kandang hewan, limbah makanan, sumber kompos, toilet, dll.) dan sumber air. Hal ini agar operasi digester lebih mudah dan untuk menghindari pemborosan bahan baku dan biaya. Jika bahan baku atau air atau keduanya tidak tersedia, maka digester biogas tidak perlu dibangun. 2) Panjang pipa gas harus diupayakan sesingkat mungkin. Pipa yang terlalu panjang akan meningkatkan risiko kebocoran gas, karena peningkatan jumlah sambungan; juga membutuhkan biaya lebih besar. Katup gas utama harus dibuka dan ditutup sebelum dan sesudah digunakan, maka digester harus berada sedekat mungkin ke titik penggunaan untuk memudahkan operasional.
3) Tepi dasar digester setidaknya harus bejarak dua meter dari struktur lain untuk menghindari resiko mengganggu atau merusak selama pembangunan. 4) Digester harus berjarak minimal 10 meter dari sumur air tanah atau badan air permukaan untuk melindungi air dari pencemaran. 5) Dipilih lokasi yang menjamin digester mendekati suhu optimal 35oC. Salah satu batasan pembuatan desain digester biogas untuk masyarakat di pedesaan adalah biaya pembuatan, kemudahan pengoperasian serta perawatan. Digester biogas jenis kubah yang dibuat dari bahan tembok dan beton umumnya memerlukan biaya yang tinggi. Pembangunan digester sebagai penghasil energi alternatif memerlukan perhitungan teknis dan desain yang optimum untuk mendapatkan gas sesuai harapan. Selain mengurangi polusi, pembuatan desain juga harus disesuaian dengan biaya yang harus dikeluarkan untuk investasi dan biaya pengeluaran lain.
III METODOLOGI 3.1. Pengujian Digester Biogas sebagai Instalasi Sanitasi di Pemukiman 3.1.1. Waktu dan Tempat Percobaan Percobaan ini dilaksanakan di Laboratorium Proteksi Fakultas Pertanian Universitas Siliwangi Tasikmalaya (Rahmat dkk., 2014b). Sampel limbah pemukiman diambil dari Tempat Penampungan Sampah Sementara (TPS) Jalan Pembela Tanah Air Kota Tasikmalaya. Limbah pemukiman adalah sampah yang dihasilkan pada level rumah tangga yang biasa dikumpul kranjang sampah di setiap rumah. Penelitian ini dilakukan dimulai 01 April 2013 hingga 30 September 2013. 3.1.2. Bahan dan Alat Percobaan Bahan yang dipersiapkan untuk percobaan ini adalah : (i) sebagai bahan perlakuan, meliputi : limbah pemukiman dan kotoran sapi; (ii) bahan penunjang : akuades, alkohol, air bersih, kantung plastik 20 cm x 30 cm, dan alat tulis umum. Alat yang diperlukan dalam percobaan adalah : (i) tiga set digester biogas kapasitas 8 L terbuat dari jeriken (jerrycan) HDPE, gelas ukur 1L untuk menampung gas, manometer, pipa penyalur biogas, baskom 2L untuk menampung air penyekat gas, dan statif; (ii) alat penunjang, seperti: ember 10 L, dan corong; dan (iii) peralatan laboratorium seperti: pHmeter, termometer tangan, timbangan analitis, timbangan teknis, stopwatch, gelas ukur, pipet ukur, gelas piala, sarung tangan, dan jas laboratorium. 3.1.3. Metode Percobaan Percobaan ini disusun dalam rancangan acak lengkap (RAL), yang menguji pengaruh tiga jenis perlakuan, yaitu : A= sampah makanan B= sampah makanan + kotoran sapi C= kotoran sapi (sebagai kontrol)
Perlakuan A,B, dan C tersebut disusun dalam rancangan acak lengkap (RAL) dengan enam kali ulangan, sehingga secara keseluruhan dibutuhkan 24 unit percobaan seperti pada Gambar 3.1. 1
2 B
7
3 C
8 C
13 B
A
B
11
16
C
12
17
22
A
B
C
21
6 A
A
15 B
A
10 C
20
5 C
9 A
14
19
4 B
C 18
B 23
A
A 24
C
B
Gambar 3.1. Tata Letak Percobaan. Perlakuan A B, dan C dialokasikan secara acak penuh pada Petak 1 sampai dengan 24.
Untuk membuktikan adanya pengaruh perlakuan terhadap semua variabel respons yang diamati, maka analisis data menurut Gomez dan Gomez (1984) dilakukan berdasarkan model matematika sebagai berikut: Yij = μ +ti + Єij Keterangan : Yij : nilai pengamatan dari perlakuan ke-j pada ulangan ke-i μ : nilai rata-rata umum ti : pengaruh perlakuan ke-i Єij : pengaruh faktor random terhadap perlakuan ke-j dan kelompok ke-i
Penyajian analisis varian dengan rancangan acak kelompok berdasarkan model linier di atas adalah sebagai berikut : Tabel 3.1. Daftar Analisis Varian Sumber Variasi
Perlakuan (t)
Galat (g)
Umum (u)
Derajat Bebas (DB) t-1
(rt-1)(t-1)
(rt-1)
Keterangan : Faktor koreksi =
Jumlah Kuadrat (JK)
JK t
ΣT 2 FK r
JKg = JKu- JKt
JKu = Σ X2 – FK
Kuadrat Tengah (KT)
KTt
KTg
JK t DBt
JK g DBg
F hitung
Fhit
KTt KTg
Variabel respons yang diamati pada percobaan ini adalah : (a) pH substrat; (b) produksi biogas harian; dan (c) padatan total (total solids/TS). Berdasarkan rancangan percobaan di atas, dapat ditentukan kriteria penerimaan atau penolakan hipotesis dengan ketentuan sebagai berikut : a. Jika F hitung > F tabel taraf 5%, maka hipotesis diterima sehingga data dapat dilakukan uji lanjutan dengan Uji Jarak Berganda Duncan. b. Jika F hitung < F tabel taraf 5%, maka hipotesis ditolak sehingga data tidak perlu dilakukan uji lanjutan. Bila F signifikan, dilanjutkan Uji Jarak Berganda Duncan dengan rumus : LSR (α.dbg.p) = SSR (α.dbg.p) . Sx Keterangan : LSR: least significant range; Dbg: derajat bebas galat; SSR: studenized significant range; α : taraf nyata 5%; p : jumlah perlakuan; Sx : galat baku rata-rata
3.1.4. Prosedur Percobaan 1) Penyiapan substrat Limbah pemukiman yang dimanfaatkan sebagai bahan substrat untuk menghasilkan biogas yang setelah dikumpulkan dipilah secara manual untuk memisahkan sampah makanan dengan komponenkomponen lainnya, seperti: kertas, plastik, logam dll. Sampah makanan adalah bahan makanan terbuang sebelum pemasakan di dapur dan sisa makanan yang telah disantap. Sampah terutama berupa sayuran setelah dipilah lalu dirajang hingga ukurannya maksimal sekitar 1cm2 sebelum dimasukkan ke dalam digester. Kotoran sapi digunakan dalam percobaan sebagai perlakuan substrat pembanding (kontrol) terhadap produksi biogas dari limbah makanan. Pencampuran limbah makanan dan kotoran sapi sesuai dengan perlakuan yang akan dicoba tersebut dan dilakukan di luar sebelum dimuat ke digester.
2) Penyiapan digester Gambar 3.2 menunjukkan diagram skematik satu set digester skala laboratorium (10 L) yang digunakan dalam percobaan ini. Untuk keperluan penelitian ini dibuat tiga set digester (A, B, dan C).
Gambar 3.2. Skema satu set Digester Anaerob (Rahmat dkk., 2014b)
Keterangan : (1) Jerigen 10 L sebagai ruang digesti; (2) Limbah sebagai substrat digesti; (3) Pipa pengeluaran biogas; (4) Kran pengambilan sampel substrat; (5) Pipa pengalir biogas ke pengukur volume; (6) Panci sebagai penampung air penyekat gas; (7) Gelas ukur penampung biogas; (8) Statif; (9) Termometer; (10) Pipa pengalir biogas ke manometer; dan (11) Manometer.
Penelitian ini dilaksanakan secara anaerob pada kondisi mesofilik (20- 40 oC). Digester A diisi 4 kg umpan limbah pemukiman dan ditambahkan air pada rasio 1:1. Digester B diisi 2 kg umpan limbah dicampur 2 kg kotoran sapi dan juga ditambahkan air pada rasio 1:1 untuk membentuk adukan. Sementara Digester C diisi 4 kg umpan kotoran sapi dan juga ditambahkan air dalam rasio 1:1. Digester terhubung ke gelas ukur posisi terbalik dengan berdasarkan perhitungan bahwa, jumlah air yang dipindahkan sama dengan volume biogas yang diproduksi. Digester ditempatkan dalam ruangan laboratorium selama waktu retensi 20 hari.
3) Pengamatan (i) Karakterisasi Limbah Pemukiman. Karakterisasi limbah yang terkumpul dilakukan pemisahan dan penimbangan masing-masing komponen, meliputi : sisa dan limbah bahan makanan, kertas, plastik, logam, dan lainnya. (ii) pH substrat dalam digester : ialah pH sampel diambil dan diukur pada 0,1, 2, dan 3 minggu setelah setelah inkubasi (selama waktu retensi 20 hari). (iii) Produksi biogas harian : ialah angka yang menyatakan banyaknya volume biogas yang tertampung pada gelas pengukur setiap hari selama 20 hari waktu retensi. (iv) Padatan total (Total Solids/TS) dalam substrat.TS ialah banyaknya zat padat organik dan anorganik dalam substrat yang ditentukan dengan dianalisis penimbangan dan pemanasan/penguapan lalu dihitung dengan rumus :
TS mg/L
berat setelah 103ο C (mg) - berat cawan awal (mg) Volume Sampel (mL)
3.2. Pengujian Digester Biogas dalam Sanitasi Limbah Industri Pangan 3.2.1. Waktu dan Tempat Percobaan Percobaan ini dilaksanakan di Laboratorium Kimia dan Proteksi Fakultas Pertanian Universitas Siliwangi Tasikmalaya (Rahmat dkk., 2014a). Sampel limbah cair tahu (LCT) diambil dari sepuluh pengrajin tahu di lingkungan kampung Nagrog Indihiang, Kota Tasikmalaya. Penelitian ini dilakukan dimulai 01 April 2013 hingga 30 November 2013. 3.2.2. Bahan dan Metode Bahan yang harus dipersiapkan untuk percobaan ini adalah : (i) sebagai bahan perlakuan, meliputi : limbah cair tahu, kotoran domba,
jerami padi, serasah bambu, dan limbah krop kobis; (ii) bahan penunjang : akuades, alkohol, air bersih, dan alat tulis umum. Alat yang diperlukan dalam percobaan adalah : (i) lima set digester biogas kapasitas 50 L terbuat dari drum, pelat, dan pipa; (ii) jariken 20 L, ember 10 L, dan corong; dan (iii) peralatan laboratorium seperti: manometer U, pHmeter lapangan, termometer tangan, timbangan analitis, timbangan teknis, stopwatch dan gelas ukur, pipet ukur, gelas piala, sarung tangan, dan jas laboratorium. 3.2.3. Metode Percobaan 1) Rancangan Percobaan Percobaan ini akan menguji pengaruh lima jenis perlakuan LCT yang diberi perlakuan yang berbeda, yaitu : A= LCT (sebagai kontrol) B= LCT + kotoran domba C= LCT + jerami padi D= LCT + serasah bambu E= LCT + limbah kobis Perlakuan A,B,C,D, dan E tersebut disusun dalam rancangan acak kelompok (RAK) dengan lima kali ulangan (kelompok), sehingga secara keseluruhan dibutuhkan 25 unit percobaan seperti pada Gambar 3.3.
Gambar 3.3. Tata Letak Percobaan. Perlakuan A hingga E dialokasikan secara acak pada setiap Digester
Untuk membuktikan adanya pengaruh perlakuan terhadap semua variabel respons yang diamati, maka analisis data menurut Gomez dan Gomez (1984) dilakukan berdasarkan model matematika sebagai berikut: Yijk = μ + ri +tj + Єijk Keterangan : Yij : nilai pengamatan dari perlakuan ke-j pada ulangan ke-i μ : nilai rata-rata umum tj : pengaruh perlakuan ke-j ri : pengaruh ulangan/kelompok taraf ke-i Єij : pengaruh faktor random terhadap perlakuan ke-j dan kelompok ke-i
Penyajian analisis varian dengan rancangan acak kelompok berdasarkan model linier di atas adalah seperti pada Tabel 3.2.
Sumber Variasi
Tabel 3.2. Daftar Analisis Varian Derajat Jumlah Kuadrat Bebas Kuadrat (JK) Tengah (DB) (KT)
Ulangan (r)
r-1
JK r
ΣR 2 FK t
KTr
Perlakuan(t)
t-1
JK t
ΣT 2 FK r
KTp
Galat (g)
Umum (u)
(r-1)(t-1)
JKg = JKu- JKt JKr
(rt-1)
JKu = Σ X2 – FK
KTg
F hitung
JK r DBr
JK p DBp
Fhit
KTp KTg
JK g DBg
2 Keterangan : Faktor koreksi = FK G rt
2) Rancangan Respons Variabel respons yang diamati pada percobaan ini adalah : (a) rasio C/N substrat; (b) bobot kering substrat; (c) pH substrat; (d) volume biogas ; (e) tekanan gas; (f) volume residu yang keluar; dan (g) waktu didih air.
3) Rancangan Analisis Berdasarkan rancangan percobaan di atas, dapat ditentukan kriteria penerimaan atau penolakan hipotesis dengan ketentuan sebagai berikut : a. Jika F hitung > F tabel taraf 5%, maka hipotesis diterima sehingga data dapat dilakukan uji lanjutan dengan Uji Jarak Berganda Duncan. b. Jika F hitung < F tabel taraf 5%, maka hipotesis ditolak sehingga data tidak perlu dilakukan uji lanjutan. Bila F signifikan, dilanjutkan Uji Jarak Berganda Duncan dengan rumus : LSR (α.dbg.p) = SSR (α.dbg.p) . Sx Keterangan : LSR: least significant range; Dbg: derajat bebas galat; SSR: studenized significant range; α : taraf nyata 5%; p : jumlah perlakuan; Sx : galat baku rata-rata
3.2.4. Prosedur Percobaan a. Penyiapan Digester Lima set digester lengkap dipasang di pekarangan belakang Laboratorium Kimia Fakultas Pertanian Unsil. Setiap set digester sebagai ulangan (kelompok) dalam rancangan acak kelompok, sehingga kelima perlakuan akan diaplikasikan kepada masing-masing digester melalui pengacakan.
Gambar 3.4. Rancangan teknik digester biogas (Rahmat dkk., 2014a).
Setiap digester (Gambar 3.4) terbuat dari sebuah drum metal berukuran 60 liter berfungsi sebagai tangki digester. Digester ini mengadopsi tipe tegak dengan kubah tetap, sehingga penampung gas bersatu dengan tempat berlangsungnya proses DA. Pada bejana digester ini terpasang: (i) sebuah pipa pemasukan substrat berukuran diameter 8 cm terpasang dengan sudut 30o terhadap dinding vertikal pada ketinggian 15 cm dari dasar bejana; (ii) sebuah pipa pengeluaran residu digestat berukuran 8 cm terpasang dengan sudut 45o terhadap dinding vertikal pada ketinggian 25 cm dari dasar bejana; (iii) shaft pengaduk terpasang kedap gas berada di pusat silinder bejana memiliki dua bilah pengaduk yang terpasang 15 dan 40 cm dari dasar bejana; dan (iv) sebuah pipa pengeluaran biogas berdiameter 0,8 cm tersambung ke instalasi pengukur volume gas. Semua koneksi dilakukan dengan pengelasan logam yang harus diperiksa untuk menghidari kebocoran gas. b. Penyiapan Bahan Biogas Sampel LCT masing-masing diambil 200 L dari setiap lokasi di lima pengrajin tahu di Nagrog secara mewakili, kemudian semua dicampur dan diaduk secara homogen. Limbah homogen ini merupakan bahan biogas yang akan digunakan dalam percobaan. Masing-masing bahan organik penambah rasio C/N, meliputi: kotoran domba, jerami padi, serasah bambu, atau sisa sayuran dirajang menjadi rajangan yang lolos kasa kawat berukuran 1,5 cm x 1,5 cm. Selanjutnya LCT ditambah 5 kg rajangan bahan penambah rasio C/N sesuai rancangan percobaan. c. Pelaksanaan Digesti Setiap digester diisi dengan 50 L liter campuran bahan sesuai perlakuan lalu diinkubasikan selama 20 hari. Mulai 1 hari setelah inkubasi (hsi) dilakukan pengamatan semua parameter yang diteliti. d. Pengamatan (i) pH substrat dalam digester. pH bahan substrat sampel diambil dan diukur pada 1, 2,3, dan 4 minggu setelah setelah inkubasi. (ii) Volume biogas. Volume biogas yang terbentuk diukur sejak 1 hingga 20 hsi. Kemudian dihitung akumulasi per minggunya. (iii) Tekanan gas. Tekanan biogas yang terbentuk diukur sejak 1 hingga 20 hsi.
(iv) Uji pendidihan air (water boiling test): ialah uji untuk menentukan waktu yang dibutuhkan mendidihkan 100 mL air diukur pada 1, 2,3, dan 4 minggu setelah setelah inkubasi. (v) Bobot kering substrat. Bobot kering substrat ialah bobot yang diperoleh hasil pengeringan oven sampai 120 oC selama 1 jam dilakukan sebelum diaplikasikan ke digester.
3.3. Digestat Biogas sebagai Pupuk Organik Pertanian 3.3.1. Tempat dan Waktu Percobaan Percobaan ini dilakukan di lingkungan Kampus Universitas Siliwangi Tasikmalaya, Kelurahan Kahuripan, Kecamatan Tawang, Kota Tasikmalaya, dengan ketinggian tempat 385 m. Percobaan dilakukan dari bulan Juni sampai Agustus 2014 (Rahmat dkk., 2014c). 3.3.2. Bahan dan Alat Percobaan Benih kedelai varietas Grobogan, polibag ukuran 40 cm x 50 cm, pupuk kandang domba, limbah cair tahu, mikroorganisme fermentasi (dari kotoran hewan domba, ragi, mol dan M-bio), pupuk Urea, Sp-36, KCl, insektisida dan fungisida. Alat utama yang digunakan adalah 5 buah jerigen plastik ukuran 10 liter sebagai tabung fermentasi. Alat-alat umum yang digunakan penggaris, timbangan analitik, cangkul, plastik penutup, alat tulis dan label. 3.3.3. Metode Percobaan Metode percobaan yang digunakan dalam percobaan ini adalah rancangan acak kelompok (RAK) yang terdiri dari lima perlakuan dan lima kali ulangan. Perlakuan yang digunakan adalah menggunakan pupuk cair hasil fermentasi LCT yang telah diinokulasi. Perlakuan tersebut, yaitu A : Fermentasi LCT tanpa inokulasi (kontrol) B : Fermentasi LCT dengan inokulasi kotoran hewan domba C : Fermentasi LCT dengan inokulasi ragi tape D : FermentasiLCT dengan inokulasi Mol E : Fermentasi LCT dengan inokulasi M-bio
Setiap variabel respon akibat perlakuan, memerlukan model linier. Model linier tersebut secara sistematika sebagai berikut : Xij = + τi + rj + ϵij Keterangan : Xij = nilai pengamatan dari perlakuan ke – i dan ulangan ke - j µ = nilai rata – rata umum τi = pengaruh perlakuan ke – i rj = pengaruh ulangan ke - j ϵij = pengaruh faktor random terhadap perlakuanke-i danulanganke-j Data yang diperoleh dimasukkan ke dalam daftar sidik ragam untuk mengetahui taraf nyata dari uji F, seperti pada Tabel 3.3. Tabel 3.3. Daftar Sidik Ragam Sumber Ragam
DB
JK
Ulangan
4
Perlakuan
4
Galat
16
JKT-JKU-JKP
Total
24
∑ Xij² – FK
j
KT
Fhitung
F tabel F 5%
/ d– FK
3,01
⁄ – FK
3,01
Sumber : Gomez dan Gomez 1995
Tabel 3.4. Kaidah Pengambilan Keputusan Hasil analisis
Kesimpulan analisis
Keterangan
F hit ≤ F 0,05
Tidak berbeda nyata
Tidak ada perbedaan pengaruh antar perlakuan
F hit > F 0,05
Berbeda nyata
Ada perbedaan pengaruh antar perlakuan
Jika berpengaruh nyata, maka dilakukan uji lanjut dengan uji jarak berganda Duncan pada taraf nyata 5 persen dengan rumus sebagai berikut : S x=
√
SSR (α.dbg.p) LSR = SSR.Sx Keterangan : = Galat baku rata-rata (standard error) Sx KTG = Kuadrat Tengah Galat r = Jumlah ulangan pada tiap nilai tengah perlakuan yang dibandingkan. SSR
= Sutendtized Significant Range (dilihat dari table dengan DB Galat 15 pada taraf 5%)
α
= Taraf nyata.
Dbg
= Derajat bebas galat.
P
= range (perlakuan)
LSR
= Least Significant Range.
3.3.4. Prosedur Percobaan 1) Persiapan Media Tanam Persiapan media tanam untuk penanaman pada polibag dilakukan dengan cara mencampurkan tanah dengan pupuk kandang domba dengan perbandingan 1:1, Setelah tercampur rata kemudian masukan kedalam polibag ukuran 40 cm x 50 cm dengan kapasitas tanah 10 kg, lalu dibiarkan selama satu minggu. Setiap perlakuan terdiri dari 10 polibag dengan jarak tanam 45 cm x 25 cm, karena terdapat lima perlakuan dan lima ulangan maka diperlukan 250 polibag.
2) Penanaman Proses penanaman dilakukan dengan cara membenamkan 2 benih kedelai sedalam 3 cm per polibag ke dalam media tanam yang sudah tersedia, kemudian ditambahkan pupuk kimia sebagai pupuk dasar yaitu urea 0,25 g/polibag, SP36 0,5 g/polibag, dan KCl 0,375 g/polibag. 3) Pengambilan sampel LCT LCT didapatkan dari 3 pabrik pengrajin tahu yang terdapat di Tasikmalaya. Pabrik tersebut belum pernah dijadikan tempat pengujian. Dari setiap pabrik diambil 10 liter LCT yang keluar dari sisa proses penyaringan atau pencetakan ditampung dan dimasukkan ke dalam wadah jerigen plastik, selanjutnya ditutup agar tidak terkontaminasi. LCT tersebut dibawa ke laboratorium dan siap digunakan sebagai bahan baku penelitian. 4) Pembuatan Pupuk Cair Limbah Cair Tahu Bahan yang digunakan : air limbah tahu yaitu 45 liter LCT, kotoran hewan 9 gram, ragi 9 gram, mol 9 ml, M-bio 9 ml. Cara pembuatannya : a. Siapkan 5 jerigen dengan ukuran 10 liter, masing-masing diisi 9 liter LCT b. Kemudian diinokulasikan inokulan fermentasi ke jerigen yang telah berisi LCT yaitu masing-masing kotoran domba 9 gram, ragi 9 gram, Mol 9 ml dan M-bio 9 ml sesuai dengan perlakuan : A : fermentasi tanpa fermenter B : 9 L fermentasi LCT ditambahkan 9 g kotoran hewan C : 9 L fermentasi LCT ditambahkan 9 g ragi tape D : 9 L fermentasi LCT ditambahkan 9 ml Mol E : 9 L fermentasi LCT ditambahkan 9 ml M-bio c. Kemudian diaduk, ditutup dan diinkubasikan selama 10 hari. d. Bila larutan fermentasi berbau seperti bau tape pertanda bahwa pupuk cair sudah jadi dan bila belum berbau tape ada kemungkinan reaksi fermentasi belum sempurna atau tidak jadi.
5) Pemberian Perlakuan Cara aplikasi pupuk cair dengan frekuensi umur tanaman pada 14, 21, 28, 35 dan 42 HST (hari setelah tanam). Pupuk cair diaplikasikan dengan konsentrasi 50 ml/liter air, disiramkan kedalam media tanam pada setiap polibag percobaan sesuai konsentrasi perlakuan. volume aplikasi pupuk cair per polibag adalah 100 ml. 6) Pemeliharaan a.
Penyiangan Penyiangan dilakukan di sekitar tanaman kedelai apabila tumbuh gulma yaitu dengancara dicabut.Penyiangan dilakukan agar tidak terjadi penyerapan unsur hara antara tanamanpokok dengan gulma. b. Penyiraman Penyiraman dilakukan berdasarkan tingkat kekeringan media tanam. Kebutuhan air untuk penyiraman disesuaikan dengan kapasitas lapang media tanam yang digunakan. c. Penyulaman Penyulaman dilakukan satu minggu setelah tanam dengan tujuan untuk mengganti benih kedelai yang mati atau tidak tumbuh.
3.4. Digester Biogas sebagai Pembangkit Energi 3.4.1. Rancang-bangun Digester Biogas 400 L Pemanfaatan kotoran ternak dan bahan organik di Indonesia sebagian besar masih terbatas untuk pupuk organik pertanian, bahkan pada banyak kasus dibuang percuma mencemari lingkungan. Potensi sumber daya terbarukan ini bila dimanfaatkan untuk turut memecahkan masalah defisit energi yang bisa mencegah krisis energi nasional. Semestinya semua pemangku kepentingan ikut berperan aktif untuk pemanfaatan sumber daya seperti ini dengan aplikasi tekonologi sederhana agar mudah diterapkan sampai ke segenap pelosok. 3.4.2. Tujuan, Luaran dan Manfaat Tujuan kegiatan ini ialah merancang-bangun digester biogas kapasitas 400 L di lingkungan kampus.
Kegiatan penelitian ini memiliki luaran: 1) Dihasilkan rancang-bangun satu reaktor biogas skala pilot plant. 2) Laporan kinerja pilot plant digester biogas 400 L. Sedangkan manfaat kegiatan penelitian ini memiliki adalah :
1) Memperdalam
penguasaan teknologi biogas dan pengembangannya ke berbagai skala sesuai kebutuhan. 2) Pilot plant digester biogas ini sebagai sarana praktikum dan peraga pelatihan dalam program-program pengabdian kepada masyarakat. 3.4.3. Bahan dan Alat Kegiatan ini akan berlangsung sejak 2 Agustus 2008 hingga 20 November 2008, yang berlokasi di lingkungan Kampus Universitas Siliwangi (Rahmat, 2008). Bahan yang dipakai dalam percobaan adalah: a. Dua buah drum 200 L untuk silinder tabung digester b. Sebuah tabung bekas refrigeran untuk corong pemasukan slurry c. Dua buah pipa besi diameter 6 cm panjang 60 cm untuk saluran masuk dan saluran keluar d. Sebuah pipa tembaga diameter 1,5 cm panjang 100 cm untuk saluran gas e. Satu batang plat lebar 3 cm tebal 3 mm panjang 6 m untuk penguat saluaran keluar dan masuk. f. Sebuah kran air ½ inci untuk katup saluran gas g. Selang plastik ½ inci panjang 10 m untuk saluran gas. h. Botol PET bekas kemasan air mineral 600 mL untuk penampung air katup pengaman i. Pipa PVC bentuk T untuk katup pengaman j. Kantung plastik (polyethylene) lebar 50 cm dan panjang 4 m sebagai balon penampung biogas k. Delapan buah klem selang ¾ inci, 10 buah skrup ulir 3 mm panjang 3 cm, l. Tali plastik ukuran 5 mm panjang 10 m
Sedangkan alat yang digunakan adalah: a. Gergaji besi untuk memotong pipa dan plat b. Gerinda untuk membentuk potongan plat atau pipa; dan untuk menghaluskan hasil pemotongan logam. c. Las logam untuk penyambungan drum, pemasangan pipa saluran masuk dan keluar, dan penggabungan logam lainnya. d. Gunting plat untuk memotong plat drum waktu membuang salah satu bundar atasnya; dan membuat lubang-lubang tempat pipa saluran terpasang. e. Tang pejepit, palu, obeng, kunci inggris, linggis dan cangkul. 3.4.4. Prosedur Percobaan 1) Prosedur Perancangan Digester biogas yang dirancang ialah bertipe tabung silinder horizontal, yang merupakan adaptasi dari digester biogas kantung plastik memanjang yang dipendam dalam tanah. Pertimbangan penggunaan tabung silinder masif ini ialah agar memudahkan mobilitas, penempatan digester, dan pengamatan proses reaksi digesti walau ditempatkan di manapun. Semua ide rangkaian digester dituangkan dalam gambar secara detail, berskala, dan proporsional untuk memudahkan implementasi dalam pembangunannya.
Gambar 3.5. Digester Biogas : 1) Kran buka-tutup gas; 2) pipa saluran gas; 3) corong pengisian substrat; 4) saluran pemasukan substrat; 5) saluran pengeluaran residu; dan 6) tabung digester.
Gambar 3.6. Katup Pengaman : 1) Saluran gas; 2) pipa PVC bentuk T yang terendam 5 cm dalam air ; 3) botol air mineral 600 mL; dan 4) air sebagai pengatur keamanan tekanan gas.
Gambar 3.7. Skema Balon Penampung Biogas : 1) Kantung plastik (polyethylene) ukuran bentang kempis 240 cm x 50 cm; 2) saluran keluar gas; 3) Kran gas; 4) saluran ke alat pembakar; dan 5) saluran gas dari reaktor.
2) Prosedur pembuatan a. Dua buah drum 200 L yang masing-masing telah dibuang bundaran bagian atasnya, lalu keduanya disambung berhadapan dengan las sehingga membentuk silinder tertutup kapasitas 400 L. Silinder ini merupakan tabung digester biogas. b. Dua potong pipa besi diameter 6 cm masing sepanjang 60 cm untuk saluran masuk (entrance tube) dan saluran keluar (exit tube). c. Pipa saluran masuk dirangkai las dengan separuh tabung bekas refrigeran sebagai corong pemasukan substrat. Pipa saluran ini dipasang pada satu sisi digester pada ketinggian 10 cm dengan sudut
450. Pada sisi lain digester dipasang pipa saluran keluar dengan ketinggian 10 dan sudut 450. Corong pemasukan dan pipa saluran keluar diberi penutup untuk mencegah air hujan masuk ke digester. d. Di tengah punggung tabung digester (tapi tidak tepat pada las sambungan) dipasang fitting ulir jantan ½ inci untuk pemasangan kran (valve) saluran gas. e. Semua proses penyambungan dan perangkaian komponen diuji kerapatannya untuk mencegah kebocoran biogas dan substrat. f. Tabung digester dipendam dalam lubang galian tanah horizontal dengan maksud untuk memaksimalkan dukungan tanah terhadap badan digester dan terjaganya suhu di dalamnya. Bagian digester yang muncul ke permukaan tanah sekitar 10 cm. g. Saluran dan kran dibiarkan terbuka sebelum selesainya pengisian substrat pertama.
Gambar 3.8. Skema kompor biogas mini Unsil
IV PEMBAHASAN 4.1. Efektivitas Digester Biogas sebagai Instalasi Sanitasi Limbah Pemukiman 4.1.1. Hasil Karakterisasi Limbah Pemukiman Karakterisasi sampel limbah pemukiman dilakukan dengan pemilahan dan penimbangan masing-masing komponen berdasarkan susunan kimianya. Hasil penimbangan setiap komponen seperti tersaji pada Tabel 4.1. Ternyata sampah makanan merupakan komponen tertinggi (50,19 %) dalam limbah pemukiman, lalu diikuti oleh plastik, dan bahan-bahan berbasis selulosa seperti kertas dan kardus. Tabel 4.1. Komposisi limbah pemukiman (Rahmat dkk., 2014b). Komponen Sampah makanan Plastik Kertas, kardus dan kayu Logam Total
Bobot (kg)
Persentase (%)
6,75 4,40 2,20 0,10 13,45
50,19 32,71 16,37 0,74 100,00
Kondisi ini menarik untuk dipelajari lebih jauh mengingat karakteristik sampah makanan ini adalah : (i) memiliki kontribusi terbesar terhadap akumulasi volume sampah domestik di semua level, baik di rumah, TPS, hingga TPA; (ii) penurunan volumenya benar-benar tergantung kepada dekomposisi, karena bukan merupakan bahan yang dipulung untuk didaur-ulang; dan (iii) dekomposisinya perlu waktu sehingga sering menjadi masalah pencemaran lingkungan. Oleh karena itu perlu merekayasa proses dekomposisi yang dipercepat dan dihasilkan produk yang bermanfaat, seperti yang dilakukan dalam proses digesti anaerob (DA) dalam digester biogas. Sedangkan limbah plastik, kertas, logam merupakan bahan yang biasa dipulung lalu diperjual-belikan
karena untuk didaur-ulang, maka akumulasi limbah semacam itu di lingkungan relatif tidak menjadi permasalahan. 4.1.2. Pembuatan Digester Dalam percobaan yang dilakukan Penulis telah dibuat tiga unit digester biogas skala laboratorium masing-masing berkapasitas olah 8 liter substrat. Komponen utama setiap digester seperti pada Gambar 4.1, adalah : (1) jerigen (jerrycan) 10 L sebagai ruang digesti; (2) pipa pengeluaran biogas; (3) kran pengambilan sampel substrat; (4) pipa pengalir biogas ke pengukur volume; (5) baskom plastik sebagai penampung air penyekat gas; (6) gelas ukur penampung biogas; (7) statif; (8) termometer; (9) pipa pengalir biogas; dan (10) manometer. Komposisi substrat yang diproses terdiri dari bahan yang diolah dan air dengan rasio 1:1. Dibuat tiga set digester (A: diisi sampah makanan, B: diisi sampah makanan + kohe sapi, dan C: diisi kohe sapi) yang masing-masing dimuat oleh satu jenis substrat sesuai perlakuan dalam penelitian ini. 8 7
2 9 6 4
1 10 3
5
Gambar 4.1. Satu set digester skala laboratorium sedang beroperasi.
4.1.3. Fluktuasi pH Substrat Di awal waktu digesti, pada ketiga digester menunjukkan penurunan pH (Gambar 4.2). Setelah melampaui proses hidrolisis,
berlanjut ke proses asidifikasi, yaitu proses reaksi pembentukan senyawasenyawa asam organik, terutama asam asetat oleh aktivitas mikroorganisme asidinogen, sehingga pH menurun lebih curam hingga mencapai proses metanogenesis. Bila ditunjang oleh suhu di bawah 20 o C, kondisi taraf pH yang menguntungkan bakteri asidinogen ini dan akan menghambat kerja bakteri metanogen, maka pH dapat berlanjut turun di bawah 5. 6,4 6,2 pH
6 5,8 5,6
A
5,4
B
5,2
C
5 4,8 0
1
2
3
Waktu digesti (minggu) Gambar 4.2. Fluktuasi pH substrat selama digesti 21 hari
Pada pengukuran memasuki minggu kedua, ternyata pH meningkat lagi, karena asam-asam organik yang dhasilkan pada proses asidifikasi direduksi kembali menjadi karbonat dan metana oleh aktivitas kelompok bakteri metanogen. Kelompok bakteri ini menghasilkan metana melalui dua jalur, yaitu: (i) fermentasi asam asetat menjadi metana (CH4) dan CO2; dan (ii) reduksi CO2 oleh gas hidrogen atau format yang dihasilkan oleh spesies bakteri lainnya. C2H5COOH CO2 + 4 H2
fermentasi reduksi
CH4 + CO2 + H2 CH4 + 2 H2O
Demikian pula CO2 dapat dihidrolisis menjadi asam karbonat dan metana seperti dalam persamaan reaksi berikut:
CO2 + H2O H2CO3 + 4 H2
hidrolisis reduksi
H2CO3 CH4 + 3 H2O
Tingkat pH substrat DA akan berpengaruh secara : (i) Langsung terhadap degradasi oleh mikroorganisme. (ii) Tidak langsung melalui kesetimbangan kimia amonia dan toksisitas VFA; ketersediaan nutrisi dan bahan baku; dan keberadaan karbon dioksida. Untuk mempertahankan pH yang cocok ini pada bahan baku memiliki alkalinitas yang tinggi, maka diperlukan kapasitas bufer, contohnya dengan penambahan bikarbonat (Luostarinen dkk., 2011). Seadi dkk. (2008) berpendapat bahwa interval pH optimum untuk digesti mesofilik adalah antara 6,5 dan 8,0 dan proses ini sangat terhambat jika nilai pH turun di bawah 6,0 atau naik di atas 8,3. Kelarutan karbon dioksida dalam air menurun dengan meningkatnya suhu. Nilai pH dalam digester termofilik lebih tinggi daripada yang mesofilik, maka karbon dioksida terlarut bereaksi dengan air membentuk asam karbonat. Nilai pH dapat meningkatkan oleh amonia yang dihasilkan selama degradasi protein atau adanya amonia dalam pengisian. Sedangkan akumulasi VFA menurunkan nilai pH. Nilai pH dalam digester anaerob terutama dikendalikan oleh sistem bufer bikarbonat yang disebabkan oleh tekanan parsial CO2, konsentrasi alkali, dan asam dalam fasa cair. Jika akumulasi basa atau asam terjadi, kapasitas bufer akan bereaksi terhadap perubahan pH ini sampai batas tertentu. Bila kapasitas bufer sistem itu terlampaui, akan terjadi perubahan nilai pH secara drastis yang menghambat proses DA. Oleh karena itu, nilai pH agar tidak pakai sebagai sutu parameter pemantauan proses yang berdiri sendiri. Kapasitas bufer suatu jenis substrat DA, misal kohe, kapasitas bufernya bervariasi tergantung musim dan komposisi pakan ternaknya (Seadi dkk.,2008; Luostarinen dkk., 2011). 4.1.4. Produksi Biogas 1) Produksi Biogas Harian Produksi biogas harian pada Digester A dan B pada awalnya meningkat tajam seperti terlukis pada Gambar 4.3. Hal ini disebabkan
bahan makanan yang mengandung senyawa organik sederhana seperti gula, asam lemak, dan asam amino cepat dihidrolisis dan diterurai sehingga terbentuk biogas dalam jumlah yang paling tinggi. 30000
A
Volume biogas (cm3)
25000
B 20000
C
15000
10000
5000
0 0
1
2
3
4
5
6
7
8
9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19
Waktu digesti (hari) Gambar 4.3. Grafik produksi biogas harian oleh digester A,B, dan C
Setelah lima hari digesti sampah makanan hampir telah tercerna seluruhnya, sehingga produksi biogas harian mendekati nol, karena digester masih menggunakan sistem satu kali pemuatan (batch). Berbeda dengan substrat kotoran sapi (C) justru produksi baru meningkat lambat setelah 5 hari waktu digesti dan stabil pada kisaran 3.000 hingga 4.000 cm3 per hari. Kotoran sapi lebih banyak mengandung senyawa organik berantai lebih panjang dan kompleks sehingga memerlukan waktu digesti yang lebih panjang. Agar produksi biogas berlanjut, maka perlu dilakukan pengisian substrat setiap hari dalam suatu digester sistem proses kontinyu. Pada umumnya digester yang dibuat di lapangan sudah menerapkan sistem kontinyu, sehingga diperoleh luaran biogas dan digestat setiap waktu sesuai dengan kebutuhan atau ketersediaan bahan baku substratnya untuk pengisian harian. Sebagaimana dikemukakan Luostarinen dkk.(2011) bahwa waktu retensi hidrolik (hydraulic retention time/HRT) angka yang menyatakan hubungan antara volume digester dan volume pengisian
setiap hari dan merupakan waktu rata-rata yang dibutuhkan untuk bahan baku agar terurai sempurna dalam proses biogas. Semakin lama HRT semakin banyak bahan organik terdegradasi. Bahan organik yang cocok untuk DA biasanya terdegradasi dalam digester biogas antara 14 hingga 50 hari. Untuk bahan yang mudah terdegradasi, seperti pati dalam limbah makanan, maka HRT yang singkat sudah memadai. Sementara bahan lignoselulosa, seperti tanaman energi dan sisa tanaman, maka memerlukan HRT yang lebih lama. DA untuk kotoran hewan biasa diterapkan HRT 20 hingga 30 hari (Luostarinen dkk., 2011). 2) Produksi Biogas Total Produksi biogas total (Gambar 4.4) tertinggi selama rentang waktu retensi 20 hari dicapai oleh Digester B yaitu 56.068 cm3, diikuti oleh C (51.431 cm3) dan A (32.433 cm3) yang berasal dari 8 L substrat yang diproses. Lebih tingginya produksi biogas total pada Digester B karena memiliki substrat yang memiliki pH dan rasio C/N yang mendekati optimal. Hermawan (2007) juga Saidi dan Mahmoud (2010) berpendapat bahwa, beberapa parameter yang berpengaruh terhadap efisiensi DA dan potensi produksi biogas adalah rentang yang optimal adalah sebagai berikut: pH (7-7,5), suhu (30-37 oC), rasio C/N (20-30), waktu retensi (14-30 hari), volume pemuatan organik, kompetisi bakteri, kandungan nutrisi, zat toksik, kandungan padatan, dan pengadukan. 60000
Volume biogas (cm3)
50000 40000 30000 20000 10000 0
A
B
C
Gambar 4.4. Total volume biogas yang dihasilkan oleh Digester A, B, dan C selama 20 hari waktu retensi
Fakta hasil pengukuran produksi biogas harian dan total membuktikan bahwa, sampah makanan dari rumah tangga secara madiri maupun dicampur dengan kotoran sapi memiliki potensi untuk menghasilkan biogas yang cukup besar. Potensi konversi ini perlu mendapat perhatian yang lebih intensif mengingat sampah makanan belum banyak dikaji dan dimanfaatkan. Volumenya yang besar selalu menjadi masalah pencemaran lingkungan, seperti: air lindi di tempat penampungan atau pun pembuangan, penghasil bau ke udara, menurunkan kualitas perairan secara biotik dan kimiawi. Kuantitas total volume biogas yang dihasilkan adalah berbanding lurus dengan tingkat degradasi secara biologis dan taraf konversi limbah organik menjadi biogas oleh bakteri metanogen. 4.1.5. Penurunan Padatan Total (TS) Substrat
Total padatan (TS x 10-3 mg/L)
Penurunan TS dalam substrat dianggap sebagai indikator efektivitas rangkaian proses reaksi DA dalam mereduksi limbah organik. Hal ini pun berbanding lurus dengan besarnya volume biogas yang diproduksi. Pada Gambar 4.5 terlihat bahwa, efektivitas digesti anaerob dalam Digester A mampu menurunkan TS sampah makanan dari 119.100 menjadi 22.500 mg/L dalam rentang waktu kurang dari 20 hari. Demikan pula dalam Digester B 135.200 menjadi 18.400 mg/L; dan dalam Digester C 125.000 menjadi 22.400 mg/L 160 140 120
A B C
100 80 60 40 20 0
0
1
2
3
4
Waktu digesti (minggu) Gambar 4.5. Grafik penurunan padatan total substrat setiap digester
Efektivitas DA yang menghasilkan biogas ini akan mampu mereduksi volume sampah domestik secara signifikan. Teknologi ini merupakan alternatif penting dalam penanganan sampah pemukiman di masa akan datang, sehingga beban akumulasi sampah akan berkurang sejak dilevel rumah tangga bila teknologi biogas dapat diterima oleh segenap pemangku kepentingan dan diimplementasi ke masyarakat. Karena dapat menjadi solusi dari beberapa masalah sekaligus, yaitu: (i) sanitasi lingkungan pemukiman; (ii) penyediaan pupuk organik; dan (iii) menurunkan emisi gas metana dari penimbunan sampah. Menurut pengamatan Penulis di lapangan dalam kurun waktu 2006-2012, digester yang telah dibangun swadaya ataupun bantuan hibah, ternyata bekerja pada kondisi suhu lingkungan yaitu tanpa pengadukan dan pemanasan. Padahal syarat kerja mikroba metanogen yang bekerja dalam digester memerlukan distribusi substrat dan suhu berkisar antara 25 hingga 40 oC. Terbukti bahwa, digester yang telah dibangun itu tidak mencapai efektivitas dan produktivitas sesuai yang direncanakan, sehingga akan mengakibatkan gagalnya inovasi teknologi kepada masyarakat (Rahmat, 2013). Oleh karena itu, diperlukan penelitian untuk meningkatkan kinerja digester tersebut dengan rekayasa distribusi substrat dan upaya pencapaian suhu optimal. Rekayasa ini dilakukan melalui aplikasi komponen yang simpel dan murah sebelum melakukan rancang-bangun.
4.2. Aplikasi Digester Biogas dalam Sanitasi Limbah Industri Tahu 4.2.1. Penempatan Digester Biogas Lima set digester biogas (Gambar 4.6) yang telah dibuat ditempatkan di teras belakang laboratorium Proteksi Fakultas Pertanian Universitas Siliwangi. Setiap digester ini diposisikan sebagai ulangan atau blok pada rancangan acak kelompok sesuai Tata Letak Percobaan (Gambar 3.3) pada Bab 3. Dengan demikian terhadap setiap digester ini telah dialokasikan semua perlakuan yang dicoba (A sampai E) secara berurutan. Setiap penggantian perlakuan, digester dicuci dan dibilas alir mengalir sebanyak tiga ulangan
Gambar 4.6. Lima set digester biogas sedang beroperasi (Rahmat dkk., 2014a).
4.2.2. Produksi Biogas Harian Berdasarkan hasil penelitian Rahmat dkk. (2014a) seperti terlihat pada Gambar 4.7 terlihat perlakuan B dan E telah mulai menghasilkan gas sejak dua hari digesti. Hasil biogas harian pada perlakuan B terus meningkat hingga mencapai hasil 2000 cm3 per hari pada hari ke-20. Hasil biogas harian pada perlakuan E hampir konstan pada kisaran 200 hingga 600 cm3 per hari. Hal ini berarti kedua perlakuan ini memiliki potensi menghasilkan biogas selama 20 hari retensi. Sedangkan perlakuan C (limbah cair tahu + jerami), baru menghasilkan biogas setelah 15 hari karena memiliki bahan yang lebih kompleks yang lebih lambat untuk diuraikan sehingga jerami memiliki waktu digesti yang lebih panjang hingga dapat menghasilkan biogas.
Gambar 4.7. Produksi biogas harian Perlakuan A,B, C, D dan E
4.2.3. Total Produksi Biogas Hasil percobaan Rahmat dkk. (2014a) seperti telihat pada Tabel 4.2. limbah cair tahu (LCT) tanpa penambahan bahan organik lain (A) sebagai kontrol tidak menghasilkan biogas. Hal ini disebabkan perlakuan A yang hanya berisi substrat LCT saja tidak cocok bagi bakteri metanogen yang menguraikan biomassa menjadi gas metana. Sedangkan perlakuan B, C, D, dan E yang masing-masing telah diberi bahan organik lain dapat menghasilkan biogas dengan volume yang berbeda-beda. Culhane (2012) mengatakan bahwa tidak perlu khawatir dengan melakukan pebaikan substrat akan berakibat merusak sistem. Sebab digester tidak bisa disamakan dengan perut hewan, yaitu tempat bakteri anaerob berasal. Jika ekologi bakteri keluar dari keseimbangan, maka yang perlu dilakukan oleh operator ialah : perbaikan pH, menambahkan substrat dan mulailah dari awal, sehingga tidak sulit untuk memulihkan pengisian yang salah. Produksi biogas individual tertinggi dicapai pada perlakuan B dengan rata-rata produksi of 14.183 cm3, diikuti oleh E yang menghasilkan 7.250 cm3 biogas, D (2,400 cm3), dan C (895 cm3). Sedangkan A (kontrol) dan tidak menghasilkan biogas. Dengan demikian, perbedaan produksi biogas sebagian besar tergantung kepada sifat-sifat bahan organik yang ditambahkan sebagai perlakuan terhadap LCT.
Tabel 4.2. Pengaruh penambahan bahan organik terhadap produksi biogas LCT Perlakuan A (LCT) B (LCT + Kotoran domba) C (LCT + Jerami padi) D (LCT + Serasah bambu) E (LCT + Limbah kobis)
Produksi Biogas (cm3) 0 14.183 895 2.400 7.250
a e b c d
Keterangan: angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata menurut Uji Beda Berganda Duncan taraf 5%.
Jerami padi adalah substrat lignoselulosa, yang terdiri dari: selulosa (40-50%), hemiselulosa (25-35%) dan lignin (15-20%) sangat tahan terhadap degradasi enzimatik. Degradasi enzimatik lignoselulosa biasanya tidak begitu efisien karena merupakan bahan stabilitas tinggi terhadap serangan enzimatik atau bakteri. Apalagi lignin adalah molekul yang sangat kompleks yang terdiri dari unit fenilpropana t dalam struktur tiga dimensi yang sulit untuk diuraikan. Dengan demikian lignin merupakan salah satu kelemahan substrat lignoselulosa dalam produksi biogas, karena lignoselulosa membuat tahan terhadap degradasi biologis (Ertem, 2011). Produksi biogas ditentukan oleh beberapa faktor penting antara lain rasio C/N substrat. Kotoran domba mampu meningkatkan rasio C/N substrat dari 5 menjadi sekitar 15 sebagai kondisi yang lebih baik bagi mikroba metanogen, sehingga diproduksi biogas yang lebih tinggi (Rahmat dkk., 2014a). 4.2.4. Monitoring pH Fakta pada Gambar 4.8. menunjukkan fluktuasi pH yang normal, yaitu masih pada kisaran pH optimum untuk proses DA, yakni 6,4 hingga 7,2 sehingga variabel ini bukan merupakan faktor pembatas dalam menghasilkan biogas pada konteks rekayasa rasio C/N substrat pada penelitian ini. Luostarinen dkk. (2011) mengemukakan bahwa
peningkatan suhu dalam satu kisaran optimal bisa meningkatkan proses DA, tetapi pada suhu lebih tinggi dari optimal mebuat rusaknya konsorsium mikroorganisme tertentu, karena protein dan komponen seluler mikroorganisme bisa rusak ireversibel.
Gambar 4.8. Fluktuasi pH selama proses DA limbah cair tahu
4.2.5. Uji Pendidihan Air (water boiling test) Komposisi biogas yang dihasilkan dari fermentasi tersebut terbesar adalah gas metana (CH4) berkisar dari 54 hingga 70% serta gas karbondioksida (CO2) berkisar pada 27 hingga 45%. Gas metana merupakan komponen utama biogas yang dimanfaatkan sebagai bahan bakar yang memiliki banyak manfaat. Biogas mempunyai nilai kalor yang cukup tinggi, yaitu sekitar 4800 sampai 6,700 kkal/m³, sedangkan gas metana murni mengandung energi 8,900 kcal/m³. Tabel 4.3. Pengaruh perlakuan bahan organik pada LCT terhadap waktu titik didih air (Rahmat dkk., 2014a). Perlakuan A (LCT) B (LCT + Kotoran domba) C (LCT + Jerami padi) D (LCT + Serasah bambu) E (LCT + Limbah kobis)
Waktu didih air (menit) 481 479 485 478
a a a a
Keterangan: angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata menurut Uji Beda Berganda Duncan taraf 5%.
Teknologi DA merupakan salah satu bagian strategi yang berdayaguna dan efektif dalam pengelolaan air limbah atau buangan industri. Penerapan teknologi ini selain murah dan praktis untuk limbah dengan beban kandungan bahan organik dan bobot molekul tinggi, mampu mereduksi energi terkandung dalam limbah untuk pengelolaan lingkungan. Penggunaan digester biogas memiliki keuntungan, antara lain yaitu mengurangi efek gas rumah kaca, mengurangi bau yang tidak sedap, mencegah penyebaran penyakit, menghasilkan energi dan hasil samping berupa pupuk padat dan cair. Pemanfaatan limbah dengan cara seperti ini secara ekonomi akan sangat kompetitif seiring naiknya harga bahan bakar minyak dan pupuk anorganik. Di samping itu, cara-cara ini merupakan praktek pertanian yang ramah lingkungan dan berkelanjutan (Rahmat dkk., 2014a).
4.3. Aplikasi Digestat Biogas sebagai Pupuk Organik Pertanian 4.3.2. Hasil Uji Efek Digestat terhadap Hasil Kedelai Dalam percobaan ini sebagai substrat atau bahan baku DA adalah limbah cair tahu (LCT). Penelitian Rahmat dkk. (2014c) bertujuan untuk memperoleh digestat yang lebih baik sebagai pupuk organik cair dilakukan rekayasa proses dengan dengan penambahan variasi inokulan seperti dijelaskan dalam susunan perlakuan dalam percobaan ini. Tabel 4.4. Efek Pemberian Digestat terhadap Hasil Kedelai Jumlah polong per rumpun
Bobot biji per rumpun (g)
Bobot 100 biji (g)
A: LCT sendiri
43,45 a
17,53 a
B: LCT + kohe C: LCT + ragi D: LCT + Mol E: LCT + M-Bio
50,79 a 50,57 a 42,31 a 50,08 a
20,07 a 20,88 a 18,05 a 19,40 a
28,78 a 30,04 a 26,61 b 26,89 b 26,71 b
Jenis Digestat hasil DA
Keterangan : Angka rata-rata yang ditandai huruf yang sama pada setiap kolom menunjukkan tidak berbeda nyata menurut uji jarak Berganda Duncan pada taraf 5%.
Berdasarkan hasil analisis varians sebagai alat yang digunakan dalam analisis statistik menunjukkan bahwa perlakuan pupuk organik hasil fermentasi limbah cair tahu tidak berpengaruh nyata terhadap jumlah polong per rumpun dan jumlah bobot per rumpun namun berpengaruh nyata terhadap bobot 100 biji. Pada Tabel 4.4. dapat dilihat bahwa perlakuan pupuk organik hasil DA limbah cair tahu tidak menunjukkan perbedaan yang nyata terhadap jumlah polong per rumpun dan bobot biji per rumpun. Tidak konsisitennya efek digestat terhadap semua komponen hasil kedelai diduga karena kandungan unsur hara yang terkandung dalam pupuk tersebut, terutama unsur hara makro seperti N, P dan K, masih relatif rendah sehingga belum bisa memberikan respon penambahan jumlah polong per rumpun yang berarti. Rendahnya unsur hara seperti terlihat pada Tabel 4.5 yang merupakan data hasil analisis kimia terhadap semua digestat dicoba. Komponen N sebagai indikator kandungan hara suatu pupuk organik cair masih di bawah yang biasa terkandung dalam suatu pupuk organik cair yang berasal dari digestat seperti yang dilaporkan Tim Biru (2010), yaitu 1,47%. Selain itu, memiliki kandungan C-org (17,87%), rasio C/N (9,09%), P2O5 (0,52%), dan K2O (0,38%). Tabel 4.5. Hasil analisis kimia digestat pada variasi inokulan Kadar air (%)
Corganik (%)
N-total (%)
Rasio C/N
A: LCT sendiri
99,57
0,146
0,067
2,2
B: LCT + kohe
99,65
0,172
0,073
2,4
C: LCT + ragi
99,38
0,192
0,078
2,5
D: LCT + Mol
99,42
0,143
0,093
1,5
E: LCT + M-Bio
99,45
0,177
0,083
2,1
99,494
0,166
0,0788
2,14
Jenis Digestat
Rata-rata
Sumber: Rahmat dkk. (2014c)
Untuk meningkatkan konsentrasi hara dalam digestat dapat ditempuh prosedur pemekatan larutan, yaitu untuk mereduksi jumlah air sebagai pelarut dalam larutan, maka konsentrasi hara setelah pemekatan dapat ditentukan dengan persamaan sebagai berikut: V1.K1 = V2.K2 yaitu: V1 ialah volume larutan awal; K1 ialah konsentrasi larutan awal; V2 ialah volume larutan hasil pemekatan; dan K2 ialah konsentrasi larutan hasil pemekatan. Contoh perhitungan dengan mengambil nilai rata-rata pada Tabel 4.5. Bila semula tersedia digestat 200 L lalu dipekatkan sehingga menjadi volumenya menjadi 1 L, maka konsentrasi unsur hara nitrogen (K2) menjadi: 200 L (0,0788 %) = 1 L (K2) K2 = 200 x 0,0788 % K2 = 15,76 % Pemilihan metode pemekatan menjadi hal yang penting untuk pertimbangan lebih lanjut, terutama bila digunakan cara penguapan pelarut air secara termal karena beberapa hara mudah menguap. Bila konsentrasi dan dosis aplikasi yang digunakan mengikuti anjuran berdasarkan hasil percobaan sebelumnya, maka pemberian digestat akan memberikan efek yang signifikan terhadap peningkatan pertumbuhan dan produksi tanaman. Seperti telah dilaporkan beberapa peneliti bahwa, digestat sebagai salah satu jenis pupuk organik yang kaya akan unsur hara. Ada pun manfaat lainnya sama seperti halnya bahan organik lain ketika diaplikasikan pada tanah akan memberi keuntungan terhadap sifat fisik, biologi dan kimia tanah. Syarat tanah sebagai media tumbuh dibutuhkan kondisi fisik dan kimia yang baik. Keadaan fisik tanah yang baik apabila dapat menjamin pertumbuhan akar tanaman dan mampu sebagai tempat aerasi dan lengas tanah, yang semuanya berkaitan dengan peran bahan organik. Peran bahan organik yang paling besar terhadap sifat fisik tanah meliputi : struktur, konsistensi, porositas, daya mengikat air, dan yang tidak kalah penting adalah peningkatan ketahanan terhadap erosi (Suntoro, 2003). Lebih lanjut dikatakan Suntoro (2003) bahwa, pengaruh bahan organik terhadap sifat kimia tanah seringkali dikaitkan dengan kemampuanya meningkatkan kapasitas tukar kation (KTK). Bahan
organik merupakan sumber muatan negatif, sehingga bahan organik (humus) dianggap mempunyai susunan koloid seperti lempung, namun humus tidak semantap koloid lempung, namun bersifat dinamik, mudah dihancurkan dan dibentuk. Dilaporkan bahwa penambahan jerami 10 ton /ha pada pada tanah Ultisol mampu meningkatkan 15,18 % KTK tanah dari 17,44 menjadi 20,08 cmol/kg. Bahan organik berpengaruh terhadap sifat biologi tanah yang meningkatkan pertumbuhan dan aktivitas mikroorganisme tanah. Bahan organik merupakan sumber energi dan bahan makanan bagi mikroorganisme yang hidup di dalam tanah. Mikroorganisme tanah saling berinteraksi dengan kebutuhannya akan bahan organik karena bahan organik menyediakan karbon sebagai sumber energi untuk tumbuh (Tim Biru, 2010). Pengaruh digestat terhadap produksi tanaman beragam tergantung kepada jenis dan kondisi tanah, kualitas benih, iklim, dan faktor-faktor lain. Namun, pada dasarnya pemakaian digestat akan memberi manfaat terhadap media tumbuh bagi tanah dan tanaman, adalah sebagai berikut:
1) Memperbaiki struktur fisik tanah sehingga tanah menjadi lebih gembur.
2) Meningkatkan kemampuan tanah mengikat atau menahan air lebih lama yang bermanfaat saat musim kemarau.
3) Meningkatkan kesuburan tanah. Tanah menjadi lebih banyak dan lengkap kandungan haranya. 4) Meningkatkan aktivitas mikroorganisme dan cacing tanah yang bermanfaat untuk tanah dan tanaman. Bila disimpan dan digunakan dengan benar, digestat dapat memperbaiki kesuburan tanah dan meningkatkan produksi tanaman ratarata sebesar 10 - 30% lebih tinggi dibanding pupuk kandang biasa. Penelitian di Indonesia pada pertanian dengan digestat juga memperoleh rata-rata kenaikan hasil yang sama (Yayasan Rumah Energi, 2013). Digestat sebagai pupuk organik telah banyak digunakan di areal pertanian di Indonesia untuk komoditas sayur-sayuran daun dan buah (tomat, cabai, labu siam, timun, dll.), umbi (seperti wortel, kentang, dll.), pohon buah-buahan (buah naga, mangga, kelengkeng, jeruk, pepaya, pisang, dll.), tanaman pangan (padi, jagung, singkong, dll.) dan tanaman
lain (kopi, coklat dan kelapa). Sedangkan penelitian di luar negeri memperlihatkan pemakaian digestat pada padi, gandum, dan jagung dapat meningkatkan produksi masing-masing sebesar 10%, 17%, dan 19%. Dengan pemakaian digestat, produksi meningkat sebesar 21% pada kembang kol, 19% pada tomat, dan 70% pada buncis. Utami dkk.(2014) mengemukakan bahwa, digestat sangat bermanfaat untuk produksi pertanian yang berkelanjutan, ramah lingkungan dan bebas polusi. Digestat biogas kaya akan unsur hara seperti nitrogen, fosfor, kalium dan bahan organik yang bermanfaat. Pupuk dari digestat biogas mempunyai manfaat yang sama dengan pupuk kandang yaitu untuk memperbaiki struktur tanah dan memberikan unsur hara yang diperlukan tanaman. Digestat ini merupakan bahan organik yang telah mengalami proses fermentasi, sehingga kualitasnya tentu memiliki beberapa keunggulan bila dibandingkan dengan bahan dasarnya yang belum mengalami proses fermentasi. Perlakuan fermentasi dapat meningkatkan kualitas bahan organik, terutama pada rasio C/N dan kandungan haranya. Petani di Malang Jawa Timur telah mengaplikasikan digestat pada tanaman kacang panjang, wortel, dan jagung. Petani ini merasa puas dengan hasil tanaman yang diperoleh, dengan mengaplikasikan digestat pada lahan pertaniannya. Dilaporkan tanaman kacang panjang yang diberi perlakuan digestat menunjukan penampakan yang lebih segar, sehat, dan hijau. Sapi, kambing, dan kelinci diamati di lahan yang baru aplikasi digestat, ternyata tetap makan rumput pada lahan itu. Hal ini menunjukkan bahwa aplikasi digestat tersebut tidak menimbulkan kerugian palatabilitas (derajat kesukaan pada makanan tertentu) dibandingkan dengan penerapan substrat mentah (Seadi dkk., 2008). 4.3.2. Keuntungan lain Pemanfaatan Digestat sebagai Pupuk Organik 1) Perbaikan pupuk organik Monnet (2003) mengemukakan bahwa dengan mengetahui kelebihan dari digestat sebagai pupuk organik, perlu diketahui pula bahwa kualitas digestat harus memenuhi kriteria-kriteria yang telah di
tentukan. Kualitas digestat bisa melalui a tiga kriteria, yaitu: kimia, biologi dan aspek fisik. Aspek kimia manajemen kualitas digestat terkait dengan keberadaan: (i) logam berat dan kontaminan anorganik lainnya; (ii) kontaminan organik yang persisten; dan (iii) nutrisi (NPK). Limbah pertanian dapat mengandung kontaminan organik yang persisten seperti residu pestisida atau anitibiotik. Sampah organik industri, lumpur endapan dan limbah rumah tangga dapat mengandung hidrokarbon aromatik, alifatik dan terhalogenasi, dll. Menurut asalnya, sampah organik dapat mengandung hal-hal yang berbahaya, yang dapat menghasilkan jalur baru transmisi patogen dan penyakit antara hewan, manusia dan lingkungan. Oleh karena itu pengendalian kualitas biornassa penting dalam hubungan dengan pengolahan biologis. Masalah utama terkait dengan: patogen, biji gulma, dan spora. Adanya kotoran dalam digestat dapat menyebabkan persepsi publik yang negatif terhadap teknologi AD, penurunan estetika lingkungan, peningkatan biaya operasional. Kotoran fisik yang paling sering adalah: plastik, karet, logam, kaca, keramik, pasir/batu, dan bahan selulosa (Monnet, 2003) Kebanyakan unsur hara yang terikat dalam senyawa organik, khususnya nitrogen, melaui proses demineralisasi dalam DA menjadi tersedia bagi tanaman. Karena ada peningkatan ketersediaan nitrogen, maka digestat dapat diintegrasikan dalam pemupukan dalam suatu usaha tani, karena itu memungkinkan untuk menghitung pengaruhnya seperti pupuk mineral. Digestat memiliki rasio C/N lebih rendah dibandingkan dengan pupuk kandang mentah. Rasio C/N yang lebih rendah ini berarti bahwa digestat memiliki efek pemupukan N jangka pendek yang lebih baik. Ketika nilai rasio C/N yang terlalu tinggi, mikroorganisme akan terus mengambil dari dalam tanah, karena mereka berhasil bersaing dengan akar tanaman untuk nitrogen yang tersedia (Seadi dkk., 2008). Pupuk organik adalah nama kolektif untuk semua jenis bahan organik asal tanaman dan hewan yang dapat dirombak menjadi hara yang tersedia bagi tanaman. Dalam Permentan Nomor 2 Tahun 2006 tentang Pupuk Organik dan Pembenah Tanah disebutkan bahwa, pupuk organik adalah pupuk yang sebagian besar atau seluruhnya terdiri atas bahan organik yang berasal dari tanaman dan atau hewan yang telah melalui
proses rekayasa, dapat berbentuk padat atau cair yang digunakan mensuplai bahan organik untuk memperbaiki sifat fisik, kimia, dan biologi tanah. Definisi tersebut menunjukkan bahwa pupuk organik lebih ditujukan kepada kandungan C-organik atau bahan organik daripada kadar haranya; nilai C-organik itulah yang menjadi pembeda dengan pupuk anorganik (Suriadikarta dan Simanungkalit, 2006) Digestat dapat dikelompokkan ke dalam pupuk organik karena diperoleh dari proses DA terhadap material hidup. Sedangkan untuk produknya bisa berupa pupuk organik padat atau pupuk organik cair. Sebagai suatu pupuk organik tentunya digestat ini memiliki keuntungan dengan kandungan haranya yang cukup tinggi, yaitu kondisi kering: bahan organik (68,59%), C-org (17,87%), N-tot (1,47%), C/N (9,09%), P2O5 (0,52%), K2O (0,38%). Kandungan lainnya: asam amino, asam lemak, asam organik, asam humat, vitamin B12, hormon auksin, sitokinin, antibiotik, nutrisi mikro (Fe, Cu, Zn, Mn, Mo) (Tim Biru, 2010). Selain itu, keunggulan proses DA terhadap kualitas digestat adalah terjadinya penurunan bau, bebas penyakit, bebas biji gulma, aman terhadap gejala terbakar pada tanaman, dan rasio C/N menjadi lebih baik. 2) Mereduksi bau Salah satu perubahan positif terlihat melalui peoses DA adalah penurunan signifikan bahan bau-bauan yang berasal dari asam volatil, fenol dan derivat fenol. Pengalaman menunjukkan bahwa hingga 80% dari bau dalam substrat bahan baku dapat dikurangi dengan DA. Hal ini tidak hanya pengurangan intensitas dan persistensi bau, tetapi juga perubahan positif dalam komposisi bau, karena digestat tidak lagi memiliki bau kotoran yang tidak sedap, tapi berubah menjadi bau seperti amonia. Bahkan jika disimpan untuk waktu yang cukup lama, digestat tidak menunjukkan peningkatan emisi bau. Gambar 4.9. menunjukkan bahwa 12 jam setelah aplikasi digestat bau hampir hilang (Seadi dkk., 2008).
Gambar 4.9. Diagram luas yang terkena dampak dan persistensi bau setelah aplikasi digestat dibanding kohe mentah (Jorgensen, 2009)
3) Sanitasi terhadap sumber penyakit Seadi dkk. (2008) menyebutkan bahwa, proses DA mampu menonaktifkan virus, bakteri dan parasit dalam substrat bahan baku yang diproses, efek yang biasanya disebut sanitasi. Efisiensi sanitasi DA ini tergantung pada waktu retensi aktual bahan baku di dalam digester, suhu proses, teknik pengadukan dan tipe digester. Sanitasi terbaik diperoleh pada suhu termofilik (50-55 °C) misal pada unit reaktor aliran horizontal dengan waktu retensi yang tepat. Dalam digester jenis ini tidak ada pencampuran digestat dengan bahan baku baru, sehingga mencapai 99% patogen dapat dihancurkan. Memastikan daur-ulang digestat yang aman sebagai pupuk, membutuhkan langkah-langkah sanitasi tertentu dalam hal jenis bahan baku yang berasal dari hewan. Tergantung pada jenis bahan baku prasanitasi dengan pasteurisasi atau dengan sterilisasi tekanan diperlukan sebelum memasok substrat itu ke digester. 4) Pengendalian biji gulma Terjadi penurunan yang signifikan kemampuan perkecambahan biji gulma selama proses DA. Dengan cara ini, produksi biogas berkontribusi terhadap pengurangan gulma secara ekologis. Pengalaman menunjukkan bahwa, hilangnya daya perkecambahan sebagian besar biji gulma dapat terjadi dalam waktu retensi 10 hingga 16 hari, dengan berbagai tergsntung jenis gulma. Sama seperti dalam kasus sanitasi, efek pengendalian biji gulma ini meningkat dengan peningkatan waktu retensi dan suhu.
5) Pencegahan gejala terbakar pada tanaman Pemberian kohe mentah sebagai pupuk dapat menyebabkan gejala terbakar daun tanaman, yang merupakan pengaruh dari asam lemak densitas rendah, seperti asam asetat. Namun pemupukan dengan digestat, gejala ini dapat dihindari, karena sebagian besar asam lemak telah dipecah oleh proses DA. Digestat lebih mudah mengalir pada bagian tanaman sayuran dibandingkan dengan kohe mentah, yang mengurangi waktu kontak langsung antara digestat dan bagian aerial tanaman, sehingga mengurangi risiko kerusakan daun (Seadi dkk., 2008). 4.3.3. Perkembangan Pengolahan dan Aplikasi Digestat 1) Pengkondisian dan Penyimpanan Digestat Digestat memiliki kandungan air yang tinggi dan akibatnya volume tinggi. Pengelolaan digestat bertujuan untuk mengurangi volume dan hara menjadi terkonsentrasi. Hal ini sangat penting jika digestat harus diangkut jauh dari daerah yang kelebihan nutrisi dari kotoran hewan tetapi tidak cukup lahan yang tersedia untuk aplikasinya. Nutrisi lebih harus diangkut ke daerah lain dengan cara yang ekonomis dan efisien. Pengelolaan digestat bertujuan untuk mengurangi volume dan dengan ini biaya transportasi nutrisi serta mengurangi emisi polutan dan bau (Seadi dkk., 2008). Yayasan Rumah Energi (2013) menyatakan bila tidak dikelola dengan benar, kandungan nutrisi dalam digestat bisa hilang akibat penguapan, pelindian, atau larut dalam air limpahan air hujan. Berikut cara-cara pengelolaan digestat: 2) Pengumpulan digestat Tempat terbaik untuk menyimpan atau menampung digestat adalah lubang/bak penampung (slurry pit). Berikut beberapa model lubang penampung yang disesuaikan dengan jenis pemanfaatannya, yaitu: a. Model standar dua lubang sejajar dengan dinding dan alas tanahJika menggunakan model lubang ini, digestat menjadi sedikit padat namun tetap basah. Hal ini karena air dalam digestat
meresap ke dalam dinding dan alas tanah. Lubang ini juga dapat digunakan untuk membuat kompos. b. Model standar dua lubang sejajar dengan dinding dan alas semen. Jika menggunakan model lubang ini, digestat yang didapat masih banyak mengandung cairan karena air tidak meresap. Lubang ini juga bisa digunakan untuk membuat kompos. c. Model standar dengan dua lubang berbeda ketinggian dan terdapat penyaring cairan dengan dinding dan alas semen . Jika menggunakan model lubang ini, cairan digestat dialirkan dari lubang pertama (yang lebih tinggi) ke lubang di bawahnya sehingga bahan padat dan cair terpisah. Dengan model ini, Anda bisa mendapatkan dua jenis digestat (padat dan cair) dengan metode penyaringan yang sederhana. Meski demikian, lubang penampung digestat ini tidak dapat digunakan untuk pembuatan kompos.
Gambar 4.10. Bak pemisah digestat (Sumber: Yayasan Rumah Energi, 2013)
3) Pemberian naungan bak penampung Buatlah naungan di atas lubang penampung agar digestat terhindar dari sinar matahari langsung dan mencegah penguapan nitrogen secara berlebihan. Untuk tiang naungan, gunakan bahan yang umum dan mudah diperoleh dan digunakan seperti bambu atau kayu. Pasang atap naungan
sederhana yang terbuat dari bahan terpal yang tidak tembus sinar seperti seng, asbes atau genteng dan padukan dengan tanaman merambat seperti labu siam, timun, paria, dan lain-lain atau anyaman daun kelapa. Untuk memperoleh digestat kering yang berkualitas, maka pengeringan digestat basah secara alami (diangin-anginkan atau kering udara) selama 30 hingga 40 hari. Digestat padat akan lebih cepat kering bila setiap dilakukan seminggu 1 atau 2 kali pembalikan secara merata. 4) Penyimpanan digestat Bila tidak digunakan langsung di lahan, simpanlah digestat cair atau padat di tempat yang terlindung dari sinar matahari langsung. Digestat cair dapat disimpan di dalam ember, drum plastik tertutup atau bak yang ada atapnya sedangkan digestat padat yang kering dapat disimpan di dalam karung plastik atau goni lalu ditempatkan di dalam tempat yang terlindung dari hujan dan sinar matahari langsung. Luostarinen dkk.(2011) mengatakan bahwa, digestat harus disimpan dalam tangki penyimpanan tertutup untuk meminimalkan penguapan amonia. Semakin tinggi suhu dalam penyimpanan, semakin tinggi adalah risiko kehilangan nitrogen. Hal ini bukan semata-mata karena nilai pupuk nitrogen, tetapi juga efek buruk amonia terhadap lingkungan Hasil studi Finlandia menunjukkan bahwa penguapan amonia dan efek pengasaman yang dihasilkan terhadap lingkungan adalah ancaman pupuk kandang yang paling bahaya. Sehubungan dengan penggunaan biogas, risiko itu bahkan lebih menonjol dibandingkan dengan pupuk kandang mentah karena pH rendah dan kandungan amonium lebih tinggi. Emisi amonia dari digestat sebagian besar berasal dari aplikasi di lapangan (96%), sedangkan pupuk kandang mentah emisi amonia lebih banyak di tempat penyimpanan. Selain itu, penyimpanan digestat dalam tangki penyimpanan menurunkan emisi sebesar 65% dibandingkan dengan penyimpanan terbuka. 5) Pengelolaan Kualitas Digestat
a. Analisis kimia. Aplikasi digestat sebagai pupuk pertanian harus dilakukan dalam rencana pemupukan terpadu. Dosis yang tepat didapat setelah digestat dianalisis kimia. Sampel digestat ditentukan kandungan N, P dan K, bobot kering, bahan
teruapkan dan nilai pH-nya. Jika instalasi biogas terkontaminasi dengan logam berat dan senyawa organik yang persisten harus ditentukan, agar konsentrasinya tidak boleh melebihi batas yang ditentukan. Apilkasi yang aman sebagai pupuk membutuhkan sanitasi digestat, bebas dari bibit penyakit menular dan kotoran fisik. b. Pengelolaan hara. Salah satu aspek penting daur ulang digestat ialah untuk pemberian hara pada lahan pertanian. Pencucian nitrat atau overloading fosfor dapat terjadi karena tidak tepat penanganan, penyimpanan dan aplikasi digestat sebagai pupuk. Di Eropa ada pembatasan masukan nitrogen ke dalam tanah pertanian, yang bertujuan untuk melindungi tanah dan air permukaan dari polusi nitrat dan yang diperbolehkan maksimum 170 kg N/ha/tahun (Seadi dkk., 2008). Aplikasi digestat sebagai pupuk harus dilakukan berdasarkan rencana pemupukan. Rencana pemupukan dijabarkan untuk setiap lahan pertanian, sesuai dengan jenis tanaman, perkiraan hasil panen, persentase pemanfaatan hara dalam digestat, jenis tanah (tekstur, struktur, kualitas, pH), cadangan unsur hara makro dan mikro dalam tanah, tanaman sebelumnya, kondisi irigasi, dan geografis wilayah. c. Pengendalian kualitas. Lebih lanjut Seadi dkk. (2008) menyatakan bahwa penggunaan digestat yang aman harus dipertimbangkan beberapa hal di bawah ini : Pengendalian terhadap stabilitas proses DA (suhu, waktu retensi) untuk mendapatkan produk akhir digestat yang stabil Sanitasi digestat agar efektif mengurangi patogen. Pengambilan dan analisis sampel digestat secara berkala Pemakaian digestat yang terintegrasi dalam rencana pemupukan lahan pertanian Pemilihan jenis dan jumlah bahan baku yang teliti yang diberi keterangan dan deskripsi lengkap tentang: asal, komposisi, pH, bobot kering, kadar logam berat dan senyawa organik yang persisten, kontaminasi patogen dan potensi bahaya lainnya.
4.4. Aplikasi Digester Biogas sebagai Pembangkit Energi 4.4.1. Penyiapan Adukan Substrat Pembuatan substrat pertama kali dilakukan dengan memilih kotoran sapi yang relatif segar yang ditandai warna hijau kecoklatan dan tercium bau khas kotoran ternak (Rahmat 2008). Hal ini untuk menjamin keberadaan bakteri metanogen dalam substrat yang dibuat sehingga proses pembentukan biogas dalam digester berjalan optimal.
Gambar 4.11. Pencampuran kotoran hewan dan air untuk membentuk adukan substrat biogasn(Rahmat, 2008).
Komposisi substart adalah kotoran dan air pada perbandingan volume 1 : 1,5 lalu dilakukan pengadukan yang intensif dalam sebuah drum berukuran 50 L sehingga diperoleh adukan yang homogen. Bila ditemui bahan padat berupa kerikil, batu, atau plastik disingkirkan pada saat pengadukan untuk mencegah terjadi sedimentasi di dasar digester. 4.4.2. Pengisian Adukan Substrat Pemuatan substrat ialah proses pengisian digester dengan adukan substrat. Pengisian substat pertama ini dihentikan pada saat adukan substrat meluber dari saluran keluar. Level ini menandai batas maksimal isi reaktor meskipun masih tersisa udara di bagian busur atas silinder
digester horizontal dan telah menjamin semua saluran telah tertutup substrat dengan prinsip tersekat air (water sealed), sehingga menciptakan kondisi kedap udara sebagai syarat berlangsungnya reaksi anaerob. Setelah itu, kran pipa gas ditutup rapat sebagai awal dimulainya reaksi degradasi biologis (digesti) bahan organik dalam digester. 4.4.3. Pengukuran Volume Biogas Satu hari setelah pengisian pertama sudah terlihat terjadinya pembentukan gas dalam digester ditandai dengan menetes keluar cairan substrat dari saluran keluar akibat tekanan biogas yang terbentuk. Sementara itu, kran saluran gas dibiarkan tertutup hingga tiga hari setelah pengisian pertama untuk mengamati kemungkinan adanya kebocoran cairan substrat dan gas dari badan digester. Selanjutnya dipasang selang pengalir sepanjang lima meter pada output kran gas dan berlanjut hingga ke katup pengaman yang ditempatkan di tempat terlindung dari hujan dan panas matahari. Keluar dari katup pengaman, selang sepanjang tiga meter terhubung ke kantung plastik tertutup yang nanti akan menjadi balon penampung biogas. Kantung plastik ini dipasang menggantung pada dinding gedung laboratorium dengan aisan tali rapia di tiga titik agar aman dari benda tajam atau kerikil yang bisa membuat kebocoran. Selang pengeluaran sepanjang tiga meter dipasang pada ujung balon dan dipasang kran sebelum terangkai ke alat pembakar. Empat hari setelah pengisian pertama, balon plastik telah terisi sekitar setengah kapasitasnya. Isi balon itu dianggap sebagai campuran antara biogas yang dihasilkan awal proses dan udara yang mengisi bagian atas tabung digester yang tidak ditempati substrat pada pengisian pertama. Campuran ini dikeluarkan dari balon dengan terlebih dahulu menutup kran saluran gas di tabung digester, lalu balon diurut hingga kempis untuk mengeluarkan campuran gas tersebut. Prosedur pembuangan campuran ini perlu dilakukan untuk menghindari kemungkinan terjadinya ledakan. Setelah balon kempis, kran pengeluaran gas ditutup kembali dan selanjutnya dimulai lagi pengisian balon oleh biogas dengan membuka kran saluran gas di tabung digester. Balon yang telah terisi penuh oleh biogas memiliki ukuran diameter 36 cm dan panjang 242 cm, sehingga volume biogas yang ada di dalamnya adalah :
Vbiogas = π r2 p = 3,14 x (18 cm)2 x 242 cm = 246.201,12 cm3 = 246,2 L = 0,246 m3. Balon ini dapat terisi penuh dalam waktu 4 hari. Pengukuran produktivitas biogas dari digester ini ditentukan dengan cara mengamati lamanya waktu yang dibutuhkan untuk mengisi kantung plastik berkapasitas empat liter. Isi kantung ini terlebih dahulu dikalibrasi dengan mengisi empat liter air. Pengamatan waktu pengisian ini dilakukan 10 kali. Tabel 4.6. Pengamatan waktu yang dibutuhkan untuk pengisian kantung volume 4 liter (Rahmat, 2008). No. Pengamat an
Volume Biogas (liter)
Waktu yang Dibutuhkan (jam:menit)
No. Pengamat an
Volume Biogas (liter)
Waktu yang Dibutuhkan (jam:menit)
1
4
01:38
6
4
01:19
2
4
01:39
7
4
01:18
3
4
01:27
8
4
01:18
4
4
01:23
9
4
01:17
5
4
01:16
10
4
01:14
Rata-rata waktu untuk mengisi 4 liter (jam:menit)
01:23 =1,38 jam
Tabel 4.6 memperlihatkan bahwa digester 400 L mampu menghasilkan 4 L biogas dalam waktu 1 jam 23 menit (= 83 menit). Dapat dikatakan pula bahwa digester itu memiliki kapasitas produksi biogas 4 L/1,38 jam = 2,9 L/jam. Berdasarkan kapasitas produksi itu, maka waktu yang dibutuhkan untuk mengisi penuh balon penampungnya adalah :
T
246,2L x 1 jam 84,9 jam 3,5 hari 2,9 L
Hal itu bila dibanding dengan pendapat Ertem (2011) yang menyatakan bahwa, produktitas biogas per kg VS kohe sapi, kohe ayam, dadih dan limbah makanan masing-masing adalah 200-300 L (dalam waktu retensi 20-30 hari), 350-600 L (lebih dari 30 hari), 800-950 L (310 hari) dan 500-600 L(10-20 hari).
4.4.4. Uji Pendidihan Air Pertama kali lampu Bunsen digunakan untuk melihat pembakaran gas yang dihasilkan. Ternyata nyala api yang muncul berwarna biru bersih dan tanpa asap bila komposisi biogas dan udara tepat. Bila nyala api mengerucut dan terlihat seperti hendak padam, berarti pasokan gas terlalu kecil. Sebaliknya, jika pada ujung lidah api muncul nyala warna kuning-kemerahan berarti terlalu deras pasokan gas (Rahmat 2008). Selanjutnya, pengujian pemanfaatan biogas yang mengisi kapasitas balon itu dengan digunakan kompor elpiji dapur, namun tidak berhasil dinyalakan. Hal ini disebabkan banyaknya aliran biogas yang dihasilkan masih terlalu kecil dibanding volume udara sehingga belum mencapai rasio minimal terjadinya proses pembakaran. Oleh karena itu, dibuat kompor mini yang memiliki 12 lubang berdiameter 2,5 mm tempat munculnya nyala api pada bidang bakar berdiameter 26 mm, yang bagian tengah bidang ini memiliki silinder ventilasi udara diameter 13 mm. Pipa tembaga 6 mm yang dipasangi kran sebagai saluran gas menuju kompor ini (Gambar 4.12).
Gambar 4.12. Foto kompor biogas mini Unsil
Ternyata kompor ini mampu mendidihkan 1 L air dalam waktu 10 menit. Meskipun sementara ini belum dilakukan pengukuran secara kuantitatif, volume biogas sekitar separuh isi balon penampung mampu untuk memasak 4 bungkus mie instan dan untuk menggoreng 0,5 kg kentang. Komposisi biogas yang dihasilkan dari DA itu terbesar adalah gas metana (CH4) sekitar 54-70% serta gas karbondioksida (CO2) sekitar 2745%. Gas metana merupakan komponen utama biogas yang dimanfaatkan sebagai bahan bakar yang memiliki banyak manfaat. Biogas mempunyai nilai kalor yang cukup tinggi, yaitu sekitar 4.800 sampai 6.700 kkal/m³, sedangkan gas metana murni mengandung energi 8.900 kkal/m³ (Goendi dkk., 2008). Komposisi dan sifat biogas bervariasi tergantung pada jenis bahan baku, sistem digesti, suhu, waktu retensi, dll. Mengingat biogas dengan standar kandungan metananya adalah 50%, nilai kalor adalah 21 MJ/Nm³, densitas dari 1,22 kg/Nm³ dan massa mirip udara (Seadi dkk., 2008). Hasil penelitian ini memberi jalan untuk dapat melakukan peningkatan skala digester sesuai ketersediaan bahan organik limbah (kotoran ternak, ampas pengolahan makanan dan pakan, dll.); serta kuantitas kebutuhan bahan bakar masyarakat. 4.4.5. Perkembangan Aplikasi Biogas sebagai Sumber Energi Menurut Persson dan Wellinger (2006) biogas merupakan bahan bakar yang sangat baik untuk banyak aplikasi dan dapat digunakan sebagai bahan baku untuk produksi bahan kimia. Biogas dapat digunakan pada hampir semua aplikasi gas alam (elpiji), namun untuk beberapa aplikasi biogas harus ditingkatkan (upgrade) kualitasnya. Pencampuran biogas ke dalam jaringan gas alam akan menghasilkan peningkatan stabilitas pasokan gas. Manfaat gas sebagai bahan bakar telah mengakibatkan gas alam menyumbang 25% dari total konsumsi energi di negara-negara Uni Eropa. Ada empat cara dasar biogas dapat dimanfaatkan, yaitu: 1) Produksi panas dan uap 2) Produksi listrik / kogenerasi
3) Bahan bakar kendaraan 4) Produksi bahan kimia Tujuan utama pemanfaatan biogas adalah untuk kompensasi energi, yaitu biogas untuk listrik dan bahan bakar. Swedia menjadi pelopor pemasaran biogas sebagai bahan bakar kendaraan, yaitu laju pertumbuhan yang pesat sebesar 25% antara tahun 2004 dan 2005. Perkembangan ini didorong oleh beberapa faktor, seperti: bebas atau reduksi pajak, program investasi pemerintah, dan parkir gratis di beberapa kota. Penggunaan biogas yang paling umum dari digester skala kecil di negara-negara berkembang adalah untuk memasak dan pencahayaan. Pembakar dan lampu yang memakai gas alam dapat disesuaikan mudah untuk biogas dengan mengubah rasio udara terhadap gas. Pembakaran biogas pada ketel adalah teknologi sudah mapan dan dapat diandalkan, tuntutan rendah terhadap kualitas biogas untuk aplikasi ini, biasanya tekanan harus sekitar 8 sampai 25 mbar. Selanjutnya itu lebih dianjurkan untuk mengurangi konsentrasi hidrogen sulfida di bawah 1.000 ppm, dan menjaga titik pengembunan sekitar 150 °C.
Gambar 4.12. Biogas dapat digunakan dalam semua peralatan gas alam dengan dilakukan peningkatan kualitas (Persson dan Wallinger, 2006)
4.4.5.1. Pembangkit Listrik atau CHP (combined heat and power) Biogas adalah bahan bakar yang ideal untuk pembangkit tenaga listrik atau CHP. Sejumlah teknologi yang tersedia dan diterapkan seperti diuraikan berikut. 1) Pembakaran internal Teknologi yang paling umum untuk pembangkit listrik ialah pembakaran internal. Mesin tersedia dalam ukuran dari beberapa kilowatt hingga beberapa megawatt. Mesin gas baik mesin SI (spark ignition) atau mesin dual fuel. Mesin diesel injeksi berbahan bakar ganda atau minyak nabati yang sangat populer karena memiliki efisiensi listrik yang baik. Di sisi lain mesin itu memiliki emisi yang lebih tinggi, kecuali jika menggunakan katalis SNCR. Mesin SI dilengkapi dengan sistem pengapian normal dan suatu sistem pencampuran udara dan gas yang menyiapkan campuran yang mudah terbakar. Mesin SI dapat menjadi mesin stoikhometrik atau pembakaran kurus. Mesin stoikhometrik itu beroperasi tanpa kelebihan udara dan dengan demikian dapat juga menggunakan katalis yang umum pada kendaraan tugas ringan. Mesin pembakaran kurus lebih sering terjadi pada ukuran yang lebih besar dan umumnya memiliki efisiensi yang lebih tinggi. 2) Turbin gas Turbin gas merupakan teknologi yang mapan pada ukuran di atas 800 kW. Pada beberapa tahun terakhir mesin skala kecil, yang disebut turbin mikro pada kisaran 25 sampai 100 kW juga telah berhasil diintroduksi dalam penggunaan biogas. Turbin mikro ini memiliki efisiensi sebanding dengan mesin SI kecil dengan emisi rendah dan memungkinkan pemulihan uap tekanan rendah yang menarik untuk aplikasi industri dan biaya pemeliharaan sangat rendah.
Gambar 4.13. Skema struktur turbin mikro
4.4.5.2. Aplikasi pada sel bahan bakar Sel bahan bakar memiliki potensi untuk menjadi pembangkit listrik skala kecil masa depan. Teknologi sel bahan bakar telah berusia 160 tahun, yang hampir yang sama seperti mesin pembakaran dan mesin Stirling. Namun belum tercapai penggunaan komersial secara luas. Sel bahan bakar memiliki potensi untuk mencapai efisiensi tinggi (di atas 60%) dan rendah emisi. Aplikasi biogas difokuskan pada sel bahan bakar yang beroperasi pada suhu di atas 800 °C, terutama karena CO2 tidak menghambat proses elektrokimia, justru berfungsi sebagai pembawa elektron. Dua jenis sel bahan bakar berada dalam tahap pengembangan lanjut, yaitu : (i) sel bahan bakar oksida padat (solid oxide fuel cell /SOFC) pada aplikasi kecil untuk beberapa kW; dan (ii) sel bahan bakar karbonat cair (molten carbonate fuel cells /MCFC) yang beroperasi pada sekitar 250 kW (Persson dan Wallinger, 2006).
Tabel 4.9. Biogas dapat digunakan untuk pembangkit tenaga listrik di sejumlah teknologi yang berbeda.
Fitur Efesiensi (%)
Mesin bensin SI 24-29
Mesin Diesel pengapian jet 30-38
Mesin Diesel SI 35-42
Turbin mikro 26-29
Pemeliharaan
Tinggi
Tinggi
Medium
Rendah
Biaya Investasi
Rendah
Medium
Medium
Tinggi
Daya (kW)
5-30
30-200
> 200
< 100
Masa pakai
Rendah
Medium
Tinggi
Tinggi
Sel bahan bakar adalah perangkat elektrokimia yang mengkonversi langsung energi kimia dengan suatu reaksi menjadi energi listrik. Struktur fisik dasar (building block) sebuah sel bahan bakar terdiri dari lapisan elektrolit dalam kontak dengan anoda dan katoda berpori pada kedua sisi (Gambar 4.14). Dalam suatu sel bahan bakar, bahan bakar gas (biogas) diumpankan secara kontinyu ke kompartemen anoda (elektroda negatif) dan oksidan (yaitu oksigen dari udara) diumpankan terus menerus ke kompartemen katoda (elektroda positif). Suatu reaksi elektrokimia berlangsung pada elektroda, menghasilkan arus listrik (Seadi dkk., 2008).
Gambar 4.14. Skema sederhana sebuah sel bahan bakar
Ada berbagai tipe sel bahan bakar yang cocok untuk biogas, dinamai sesuai dengan jenis elektrolit yang digunakan (Seadi dkk., 2008)., yaitu: 1) PEM (polymer electrolyte membrane- Fuel cell) ialah sel bahan bakar yang bekerja pada suhu rendah yang dapat digunakan
untuk biogas. Karena suhu operasi 80 °C, panas dapat diberikan langsung ke jaringan pemanas/penghangat air. Jenis elektrolit yang digunakan mempengaruhi lama pelayanan PEM, yang sangat sensitif terhadap kotoran dalam bahan bakar gas, termasuk karbon dioksida, maka pembersihan gas sangat penting. 2) PAFC (phosphoric acid fuel cell ) ialah sel bahan bakar yang bekerja pada suhu menengah yang sering menggunakan gas alam. Dibandingkan sel bahan bakar lainnya, efisiensi listriknya lebih rendah, tetapi keunggulannya kurang sensitif terhadap adanya karbon dioksida dan karbon monoksida dalam gas. 3) MCFC (molten carbonate fuel cell) adalah sel bahan bakar yang bekerja pada suhu tinggi yang menggunakan aliran fluida karbon sebagai elektrolit. MCFC sensitif terhadap karbon monoksida dan toleran konsentrasi karbon dioksida hingga 40%. Karena suhu operasi 600 -700 °C, terjadi konversi metana menjadi hidrogen, yang berlangsung dalam sel. Hilang panas itu bisa dimanfaatkan untuk turbin lebih hilir. 4) SOFC (solid oxide fuel cell) adalah sel bahan bakar jenis lain yang bersuhu tinggi, beroperasi pada 750 – 1.000 °C. SOFC memiliki efisiensi listrik yang tinggi dan reformasi metana ke hidrogen dapat terjadi dalam sel. Penggunaan biogas cocok karena sensitivitasnya terhadap belerang rendah. 4.4.5.3. Pencampuran biogas ke dalam jaringan gas alam Biogas dapat diinjeksikan dan didistribusikan melalui jaringan gas alam. Ada beberapa keuntungan pemakaian jaringan gas untuk distribusi biogas. Salah satu keuntungan penting adalah bahwa jaringan yang menghubungkan tempat produksi dengan daerah padat yang memungkinkan memperoleh tambahan pelanggan baru. Selain itu, mencampurkan biogas ke dalam jaringan gas alam akan meningkatkan jaminan pasokan lokal. Ini adalah sebuah faktor penting karena sebagian besar negara mengkonsumsi lebih banyak gas daripada yang dihasilkan. 4.4.5.4. Aplikasi sebagai bahan bakar kendaraan
Pengurangan penggunakan energi fosil, terutama minyak bumi untuk bahan bakar kendaraan intensif diperhatikan, yaitu dengan cara konversi bahan bakar menjadi kendaraan berbahan bakar gas atau listrik. Alternatif lain ialah penggunaan biogas untuk menjadi bahan bakar dari kendaraan. Jørgensen (2009) menyebut beberapa alasan biogas baik untuk bahan bakar kendaraan : Pembakaran yang ramah lingkungan dan tidak akan menambah jumlah karbon di udara, sehingga aman untuk atmosfer Lebih murah untuk biaya operasional Tidak mempengaruhi kinerja dan performa kendaraan itu sendiri Biogas dapat ditingkatkan kualitasnya seperti gas alam dan dapat digunakan pada kendaraan yang menggunakan gas alam (natural gas vechicles/NGVs). Pada akhir Tahun 2005 ada lebih dari 5 juta NGVs di dunia. Kendaraan umum pun didorong memakai gas seperti bus dan truk sampah meningkat jauh sejak aturan Uni Eropa 25% mengharuskan berupa mobil bersih (biogas, EtOH/bioetanol, biodiesel, dll). Hal ini terkait dengan total 52.000 kendaraan, meliputi 17.000 bus dan 35.000 kendaraan tugas berat (Persson dan Wellinger (2006). Sebagian besar mobil pribadi berbahan bakar gas dikonversi dari bahan bakar dilengkapi retro di kompartemen bagasi di samping sistem bahan bakar cair konvensional. Kendaraan berbahan bakar gas ini dapat dioptimalkan untuk efisiensi yang lebih baik dan lebih nyaman, maka penempatan tabung gas tanpa kehilangan ruang bagasi. Gas disimpan pada tekanan 200 hingga 250 bar dalam tabung yang terbuat dari baja atau bahan komposit aluminium. Saat ini lebih dari 50 produsen di seluruh dunia menawarkan berbagai 250 model kendaraan komuter, tugas ringan dan berat. Kendaraan gas memiliki banyak keunggulan dibanding kendaraan bermesin bensin atau diesel. Emisi karbon dioksida berkurang lebih dari 95%. Hal ini tergantung pada tenaga listrik untuk upgrade dan kompresi gas, bahkan penurunan bisa mencapai setinggi 99%. Dua negara pengguna bahan bakar biogas terkemuka, yaitu Swedia dan Swiss, listrik hampir bebas dari CO2 karena diproduksi oleh air atau tenaga nuklir. Emisi partikel dan karbon juga berkurang drastis, bahkan dibandingkan dengan mesin diesel modern yang dilengkapi dengan filter partikel. Emisi
NOx dan hidrokarbon nonmetana (non methane hydrocarbon /NMHC) juga berkurang drastis. Kendaraan berat biasanya dikonversi untuk berjalan pada gas metana saja, tetapi dalam beberapa kasus juga mesin bahan bakar ganda (dual fuel/DF) telah digunakan. Mesin DF masih memiliki sistem injeksi diesel asli dan gas yang dinyalakan oleh suntikan sejumlah kecil minyak diesel. Mesin DF biasanya memerlukan sedikit pengembangan mesin dan mempertahankan driveabilitas yang dengan sama kendaraan diesel. Namun nilai emisi tidak sebaik kendaraan khusus gas yang sesuai dan teknologi mesin tetap kompromi antara pengapian busi (SI) dan mesin diesel. Tabel 4.10. Emisi dan efisiensi mesin tugas berat modern yang dioperasikan dengan solar atau gas atau suatu mode bahan bakar ganda (Persson dan Wellinger, 2006) Tipe Mesin
Parti kel ---------------- g/kWh -----------------
Efisi ensi %
CO
HC
NMHC
NOx
ETC Euro III
5,45
1,50
0,70
5,00
0,16
39,7
ETC Euro IV
4,00
1,10
0,55
3,50
0,03
39,2
ETC Euro V
4,00
1,10
0,55
2,00
0,03
38,1
EEV Euro III
3,00
0,66
0,40
2,00
0,02
-
Euro II dgn Inj. Diesel
3,00
5,20
0,80
7,50
0,004
38,7
Gas =1 dg kat. 3 way Gas kurus dg kat. oks.
2,30 0,04
0,03 0,40
0,01 0,02
0,40 1,70
0,004 0,004
32,5 30,0
Keterangan : CO = karbon monoksida, HC = hidrokarbon, NMHC = hidrokarbon nonmetana
Selain hampir 100% pengurangan CO2, mesin gas murni dengan catalytic converter menunjukkan angka emisi jauh lebih baik daripada mesin diesel yang paling modern (Euro IV atau V) yang diuji sesuai Siklus Transien Eropa (EuropeanTransient Cycle/ ETC) atau kendaraan ramah lingkungan ditingkatkan (Enhanced Environmental friendly Vehicle/EEV) standar pada EMPA Swiss.
Mesin gas stoikiometris dengan rasio udara-bahan bakar = 1 (λ = 1) menunjukkan pola emisi yang lebih baik daripada mesin kurus bahan bakar. Namun, keduanya jauh lebih baik daripada mesin DF meskipun pada efisiensi berkurang. Ada saling ketergantungan antara CO dan NOx serta CO2 dan NOx. Untuk mesin Euro IV dan EEV produsen harus memutuskan antara emisi NOx rendah atau emisi partikel rendah. Teknologi Denox menggunakan Selective Catalytic Reduction (SCR) menunjukkan keunggulan dibandingkan teknologi perangkap partikel (EMPA). Jumlah stasiun pengisian biogas dan gas alam masih cukup di Eropa dan tempat lain di dunia. Jumlah stasiun pengisian telah melipat selama beberapa tahun terakhir. Pada akhir tahun 2005 ada 1.600 stasiun pompa di Eropa. Pada akhir 2006 Jerman harus memiliki 1.000 stasiun beroperasi, Swiss 100 dan Austria lebih dari 50 (Persson dan Wellinger, 2006).
V KESIMPULAN Aplikasi digester biogas mampu mereduksi total padatan limbah pemukiman menjadi 16,8% dan dihasilkan biogas sebanyak 5,5 m3 dari setiap m3 limbah yang diolah sebagai substrat dalam waktu 20 hari. Limbah pemukiman ternyata didominasi oleh limbah makanan (50,19%), maka penanganan sampah dengan pendekatan kumpul-angkut-buang yang selama ini diandalkan, tidak efektif mereduksi masalah pencemaran lingkungan yang ditimbulkan oleh limbah makanan, karena limbah ini hanya tergantung kepada proses dekomposisi di tempat penampungan dan pembuangan. Penggunaan digester biogas pada pengolahan limbah cair tahu secara mandiri tidak menghasilkan biogas karena limbah ini belum memenuhi syarat sebagai substrat digesti anaerob. Namun limbah cair tahu setelah diberi perlakuan penambahan bahan organik lain, ternyata berpengaruh terhadap produksi biogas. Perlakuan penambahan kohe domba, jerami padi, serasah bambu dan limbah kobis masing-masing menghasilkan biogas total 2,84 m3, 0,18 m3, 0,48 m3 dan 1,45 m3 untuk setiap m3 adukan substrat selama 20 hari waktu retensi. Aplikasi digestat sebagai pupuk organik cair bagi tanaman pertanian belum memberikan pengaruh yang stabil terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman. Aplikasi digestat sebagai pupuk organik cair pada pertanaman kedelai, ternyata hanya berpengaruh terhadap hasil bobot 100 biji. Sedangkan terhadap jumlah polong per rumpun dan bobot polong per rumpun tidak memberikan peningkatan. Hal ini diakibatkan masih rendahnya konsentrasi unsur hara dalam digestat, sehingga belum mencapai batas minimal kebutuhan hara tanaman. Sebagaimana hasil analisis kimia terhadap digestat tersebut memiliki kandungan air, Corganik dan N-total, masing-masing adalah 99,49%, 0,16%, 0,079% dan rasio C/N 2,14. Oleh karena itu diperlukan perlakuan peningkatan konsentrasi digestat, namun perlakuan ini agar dikerjakan secara hati-hati agar tidak menyebabkan kehilangan hara penting yang terkandung di dalamnya.
Digester biogas 400 L tipe horizontal yang telah dibangun mampu menghasilkan biogas sebanyak 2,9 L per jam. Laju gas ini cocok untuk kompor mini yang dibuat memiliki 12 lubang gas berdiameter 2 mm tempat munculnya nyala api mengelilingi bidang bakar bundar berdiameter 26 mm. Digunakan pipa tembaga diameter 6 mm sebagai saluran gas menuju kompor ini. Ternyata kompor ini mampu mendidihkan 1 L air dalam waktu 10 menit. Hasil penelitian ini perlu tindak lanjut pengkatan skala dengan memperhatikan hasil penelitian terkini. Perkembangan biogas sebagai bahan bakar, meliputi untuk : turbin gas, sel bahan bakar, pencampur elpiji dan bahan bakar kendaraan. Selain itu sebagai bahan baku untuk menghasilkan bahan kimia. Namun untuk beberapa aplikasi, biogas harus ditingkatkan kualitasnya, meliputi : penyingkiran air, H2S dan CO2. Digester biogas sebagai perangkat utama dalam teknologi biogas adalah salah satu sarana alternatif menuju produksi bersih, yang berfokus pada usaha pengurangan limbah sejak awal di semua level kegiatan, meliputi: rumah tangga, restoran, peternakan, asrama, rumah sakit, industri kecil hingga industri makanan skala besar dapat mengambil bagian dalam penerapan teknologi biogas sejak terbentuknya limbah. Limbah merupakan salah satu indikator inefisiensi, maka keberhasilan upaya ini adalah penghematan biaya produksi secara signifikan.
DAFTAR PUSTAKA Culhane, T. H., 2012, Biogas Digester. Tamera - Peace Research Center, Monte Cerro. Tersedia di www.tamera.org. Diakses 08 Desember 2012. Dirjen Indrustri Kecil dan Menengah, 2007. Produksi Bersih (Cleaner Production). Tersediadi www.kemenperin.go.id/.../PengelolaanLimbah-Industri-Pangan. Diakses 12 April 2014. Ertem, F.C., 2011. Improving Biogas Production by Anaerobic Digestion of Different Substrates. Master Thesis in Appl. Environ. Sci. Hamstad University. Fischer,T. and Krieg,A., 2012, Planning and Construction of Biogas Plants. Krieg & Fischer Ingenieure GmbH. Tersedia di www.KriegFischer.de . Diakses 21 November 2012. Ghimire, P.C., 2005. Technical Study of Biogas Plants Installed in Bangladesh. National Program on Domestic Biogas in Bangladesh. Goendi, S.; Tri Purwadi, Andri Prima Nugroho, 2008. Kajian Model Digester LCT untuk Produksi Biogas Berdasarkan Waktu Penguraian. Tersedia di http://repository.ipb.ac.id/ Diakses 02 Juni 2012. Hermawan, B., 2007, Sampah Organik sebagai Bahan Baku Biogas. Tersedia di http://www.chem-istry.org/artikel_kimia/kimia_lingkungan . Diakses 14 Juni 2013. Jørgensen, P.J., 2009. Biogas – green energy (Process, Design, Energy supply, Environment. 2nd Edition , Faculty of Agricultural Sciences, Aarhus University, Denmark. Kaswinarni, F., 2007, Kajian Teknis Pengolahan Limbah Padat dan Cair Industri Tahu . Tesis Sarjana S-2 pada Program Studi Ilmu Lingkungan, Program Pasca Sarjana, Universitas Diponegoro. Tersedia di http://eprints.undip.ac.id Diakses 06 Januari 2013.
Luostarinen, S., Normak, A., and Edström, M., 2011. Overview of Biogas Technology. Knowledge Report. Baltic Forum for Innovative Technologies for Sustainable Manure Management. Mears, E.T., and Anderson, R.H., 2011. Biogas Plant Construction Manual Fixed-dome Digester: 4 to 20 Cubic Meters. Biogas Plant Construction Manual: 1-24. US Forces – Afghanistan, Joint Engineer Directorate. Monnet, F., 2003. An Introduction to Anerobic Digestion of Organic Wastes. Final Report, Remade Scotland. Montgomery, L.F.R., and Bochmann, G., 2014, Pretreatment of Feedstock for Enhanced Biogas Production. IEA Bioenergy. Nation Master, 2000, Waste Generated per Person per Year. Tersedia di http://www.nationmaster.com/countryinfo/stats/Environment/Waste-generation. Diakses 03 September 2014 Peraturan Menteri Pertanian Nomor 2 Tahun 2006 tentang Pupuk Organik dan Pembenah Tanah. Peraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun 2012. Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga. Persson, M. and Wellinger, A., 2006. Biogas Upgrading and Utilisation. IEA Bioenergy. Rahmat, B., 2008, Rancang-bangun Reaktor Biogas 400L. Jurnal Wawasan Tridharma, 21 (4): 49-54. Rahmat, B., Tedi Hartoyo, and Yaya Sunarya, 2013, Pemanfaatan Limbah Cair Tahu untuk Pupuk Organik dan Substrat Biogas. Buku Ajar Luaran Penelitian Hibah Bersaing Ditlitabmas Dikti.
Rahmat, B., Tedi Hartoyo, and Yaya Sunarya, 2014a, Biogas Production from Tofu Liquid Waste on Treated Agricultural Wastes. American Journal of Agricultural and Biological Science 9(2): 226-231. Tersedia di http://thescipub.com/PDF/ajabssp.2014.226. 231.pdf. Diakses 02 April 2014. Rahmat, B., Rudi Priyadi, and Purwati Kuswarini, 2014b, Effectiveness of Anaerobic Digestion on Reducing Municipal Waste. International Journal of Science and Technology Research, 3(3):98-101. Tersedia di http://www.ijstr.org/final-print/.pdf. Diakses 02 April 2014. Rahmat, B., Tini S., Sunarya,Y., dan Kurniati, F., 2014c, Pemanfaatan Limbah Cair Tahu untuk Pupuk Organik pada Tanaman Kedelai. Buku Ajar Luaran Penelitian Hibah Bersaing Ditlitabmas Dikti. Sadzali, I., 2010. Potensi Limbah Tahu sebagai Biogas. Jurnal UI untuk Bangsa Seri Kesehatan, Sains, dan Teknologi, 1(1):63-69. Tersedia di http://uiuntukbangsa.files.wordpress.com/2011/06/ . Diakses 23 Februari 2012. Said, N.I. dan Wahyono, H.D., 1999, Teknologi Pengolahan Air Limbah Tahu- Tempe dengan Proses Biofilter Anaeraob dan Aerob. Publ. Kel. Tek. Pengolahan Air Bersih dan Limbah Cair, Dit. Tek. Lingkungan, BPPT, Tersedia di http://www.kelair.bppt.go.id/Sitpa/Artikel. Diakses 23 Februari 2012. Saidi, M., and Mahmoud, M., 2010, Design and Building of Biogas Digester for Organic Materials Gained From Solid Waste, Thesis for the Degree of Master of Fac. of Graduate Studies, An-Najah National University. Tersedia di http://scholar.najah.edu/sites/default/files/all-thesis/. Diakses 08 Desember 2012. Seadi,T.A., Rutz, D., Prassl, H., Köttner, M., Finsterwalder, T., Volk, S., Janssen, R., 2008, Biogas Handbook. University of Southern Denmark Esbjerg, Niels Bohrs Vej 9-10, DK-6700 Esbjerg,
Denmark. Tersedia di http://lemvigbiogas.com/. Diakses 16 Juli 2014. Steffen, R., Szolar, O. and Braun, R. 1998. Feedstocks for Anaerobic Digestion. Institute for Agrobiotechnology Tulln, University of Agricultural Sciences Vienna. Stucki, M., Jungbluth, N., and Leuenberger, M., 2011. Life Cycle Assessment of Biogas Production from Different Substrates. Eidgenössisches Depart.für Umwelt, Verkehr, Energie und Kommunikation UVEK. Schlussbericht, Suisse. Sukmaji, B., 2010, Mewaspadai Sampah di Tengah Lingkungan Kita. Tersedia di http://lkpk.org. Diakses 20 Agstus 2014. Suntoro, 2003. Peranan Bahan Organik Terhadap Kesuburan Tanah dan Upaya Pengelolaannya. Universitas Sebelas Maret. Surakarta Subekti, H., dan Kusnadi, 2014, Cara Mudah Mengolah Sampah Rumah Tangga. Tersedia di http://bapelkescikarang.or.id. Diaksed 02 September 2014. Suriadikarta dan Simanungkalit, 2006. Pupuk Organik dan Pupuk Hayati. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian. Bogor. http://balittanah.litbang.deptan.go.id. Taty Alfiah, 2009, Zat Padat/ Solids. Mata Kuliah Lab Lingkungan, Teknik Lingkungan ITATS. Tersedia di http://www.scribd.com/doc/40720269. Diakses 17 Desember 2012. Tim Biru, 2010. Model Instalasi Biogas Indonesia, Panduan Konstruksi. Tersedia di : http://www.biru.or.id/ Diakses 04 Juli 2014. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah.
Utami, S.W., 2014. Pengaruh Limbah Biogas Sapi Terhadap Ketersediaan Hara Makro-Mikro Incepticol. J. Tanah dan Air, Vol. 11, No. 1 2014: 12-21 ISSN 1411-5719 Widodo, T.W., Asari, A., Ana N., dan Elita R., 2009. Design and Development of Biogas Reactor for Farmer Group Scale . Indonesian Journal of Agriculture, 2(2): 121-128. Tersedia di http://www.build-a-biogas-plant.com/pdf . Diakses 08 Desember 2012 Wikipedia, 2014 a, Pupuk organik. Tersedia di http://id.wikipedia.org/. Diakses 08 Oktober 2014. Wikipedia, 2014 b , Sampah. Tersedia di http://id.wikipedia.org/. Diakses 08 Oktober 2014. Yayasan Rumah Energi, 2013. Biogas Rumah Bio Slurry. Tersedia di: http://www.biru.or.id/index.php/bio-slurry/. Diakses 08 Oktober 2014.
GLOSARI Aerob: proses perombakan bahan organik oleh miroba dalam kondisi ada oksigen Air dadih : (whey) limbah cair yang dihasilkan oleh industri pembuatan tahu adalah cairan kental yang terpisah dari gumpalan tahu. Ambient: sesuai kondisi lingkungan sekitar Anaerob: proses perombakan bahan organik oleh miroba dalam kondisi tanpa oksigen. Anoksik: ialah zona bebas oksigen dalam suatu habitat Asidogenesis: adalah pembentukan asam dari senyawa sederhana, yang umumnya berupa asam asetat dan asam format Bakteri selulolitik: bakteri yang berperan mencerna selulosa menjadi gula. Beban organik: angka yang menunjukkan banyaknya bahan organik kering yang dapat dimuat ke dalam suatu digester biogas, per volume, dan satuan waktu Biodegradable : ialah zat yang dapat dirombak menjadi senyawa lebih sederhana oleh proses biologis Biodiesel: ialah senyawa metil-ester dari proses esterifikasi minyak nabati sebagai substitusi atau campuran petrodiesel (solar) Biogas: ialah campuran gas (metana dan gas-gas lainnya) yang dihasilkan dari digesti biomassa oleh aktivitas mikroba anaerob. Gas ini mudah terbakar. Biomassa: ialah zat organik alami berasal dari mahluk hidup BK: (berat kering) ialah bobot kering suatu bahan setelah dipanaskan pada suhu 80 oC selama 2 kali 24 jam. BOD: (biological oxygen demand) yaitu kebutuhan oksigen biologis untuk memecah bahan buangan di dalam air oleh mikroorganisme.
BTTP: (block type thermal power plants) perangkat pembangkit termal tipe blok dengan motor bakar yang dihubungkan ke generator. CHP (combined heat and power generation): yaitu pada suatu instalasi tergabung pembangkit panas dan daya sekaligus COD (chemical oxygen demand): yaitu kebutuhan oksigen kimia untuk reaksi oksidasi terhadap bahan buangan di dalam air. Countersink: bagian atas dari lubang yang dibentuk untuk menempatkan kepala sekrup Crushing : perajangan bahan baku mempersiapkan permukaan partikel untuk dekomposisi biologis dan berikutnya produksi metana DA:
digesti anaerob yaitu proses penguraian biomassa dalam suatu digeter biogas oleh aktivitas mikroba anaerob, yang akan dihasilkan biogas, digestat, dan kompos.
DEC (dedicated energy crops): tanaman yang khusus dibudidayakan untuk penyediaan bahan baku (feedstock) substrat digester biogas Dekanter: alat pemisah berdasarkan perbedaan berat jenis dengan menggunakan prinsip sentrifugal. Cairan atau suspensi dimasukkan dari bagian porosnya, lalu dekanter diputar dengan kecepatan tertentu. Dekomposisi : proses penguraian senyawa organik menjadi senyawasenyawa yang lebih sederhana. Demineralisasi: adalah sebuah proses penyerapan kandungan ion-ion mineral di dalam cairan dengan menggunakan resin penukar ion Diesel gas: motor yang beroperasi oleh gas dan tanpa penyalaan minyak Digestat: hasil sampingan dari proses digesti anaerob yang ditujukan untuk menghasilkan biogas. Digestat bermanfaat untuk pupuk pertanian.
Digester: ialah tempat yang dibuat sedemikian rupa untuk terjadi proses pencernaan (digesti) biomassa oleh aktivitas mikroorganisme secara anaerob sehingga dihasilkan biogas sebagai produk utama Digesti: proses penguraian biomassa oleh aktivitas mikroba menjadi senyawa-senyawa lebih sederhana. Digesti basah: ialah DA terhadap substrat dengan konten bahan keringnya lebih rendah dari 15% Digestibilitas: ketercernaan suatu substrat dalam digester biogas Digesti kering: : ialah DA terhadap substrat dengan konten bahan berkisar 20-40%. Disosiasi: adalah penguraian suatu zat menjadi beberapa zat lain yang lebih sederhana Dissolved solids : ialah komponen padatan terlarut dalam limbah cair DM (dry matter) : lihat BK Efluen (effluent): adalah cairan luaran (digestat) sebagai hasil digesti anaerob Eutrofikasi: peningkatan tajam jumlah ganggang pada suatu tempat yang di sebabkan limbah pertanian misalnya fosfat Feedstock: bahan baku biogas berupa biomassa /limbah yang dimuat ke tangki digester biogas Fix = kandungan bahan anorganik dalam suatu limbah cair Fixed-dome digester : tipe digester biogas dengan kubah tetap sebagai penampung biogas yang dihasilkan Floating drum digester : tipe digester biogas dengan kubah terapung sebagai penampung biogas yang dihasilkan
Fuel cell: sel bahan bakar adalah perangkat elektrokimia yang mengubah energi kimia dari suatu reaksi langsung menjadi energi listrik Flug flow: tipe digester biogas berbentuk silinder memanjang horizontal sehingga proses digesti substrat mengalir sepanjang digester Gas rumah kaca: sekelompok gas di atmosfer yang bersifat menahan panas radiasi matahari, sehingga akan menakibatkan peningkatan suhu bumi. Heterotrof: adalah organisme yang membutuhkan senyawa organik. Heterotrof dikenal sebagai konsumer dalam rantai makanan. HDPE (high density polyethylene) : adalah material termoplastik yang membentuk produk dengan berat molekul yang tinggi dan tahan terhadap berbagai bahan kimia, sehingga cocok digunakan pipa penyalur. HRT (hydraulic retention time): adalah rata-rata interval waktu lamanya substrat diatur lamanya dalam tangki digester Indeks Wobbe: standar aturan batas komponen, seperti sulfur, oksigen, partikel dan titik embun air, memiliki tujuan untuk menghindari kontaminasi jaringan gas atau pengguna akhir Influen (inffluent): adalah masukkan adukan limbah sebagai substrat yang dimuat ke tangki digester biogas Inlet: lubang pemasukan bahan baku penyimpanan atau digester
atau substrat ke tangki
Instalasi biogas: seperangkat digester biogas lengkap, meliputi: lubang pemasukan substrat, tangki digester, kubah penampung gas, lubang keluar digestat, dan pipa penyaluran gas ke alat Insulasi: penyelimutan tangki digester dengan bahan penyekat panas untuk mempertahankan suhu proses yang konstan
Kapasitas buffer: adalah ukuran kemampuan larutan penyangga dalam mempertahankan pH Kohe (kotoran hewan): adalah tinja yang dihasilkan oleh hewan. Konveyor: adalah suatu sistem mekanik yang mempunyai fungsi memindahkan barang dari satu tempat ke tempat yang lain. Korosif: adalah sifat suatu subtantsi yang dapat menyebabkan benda lain hancur atau memperoleh dampak negatif. Kosbstrat: ialah substrat tambahan yang dimuat bersamaan dengan substrat primer untuk meningkatkan digestibilitas Kuasi: hampir seperti (seolah-olah) Landfill: adalah penimbunan sampah pada suatu lubang tanah, dan ini bukanlah metode yang berdiri sendiri. Karena dapat juga sistem campuran, yang disebabkan oleh air mengalir, menembus tempat ini, ketika air hujan berinfiltrasi ke permukaan landfill Limbah: buangan yang dihasilkan dari suatu proses produksi baik industri maupun domestik (rumah tangga). LCT (Limbah cair tahu): limbah cair pada proses produksi tahu berasal dari proses perendaman, pencucian kedelai, pencucian peralatan proses produksi tahu, penyaringan dan pengepresan/pencetakan tahu LPG : elpiji (liquified petroleum gas, LPG), adalah campuran dari berbagai unsur hidrokarbon yang berasal dari gas alam. Komponennya didominasi propana (C3H8) dan butana (C4H10). MCFC (molten carbonate fuel cell): adalah menggunakan aliran fluida karbon sebagai elektrolit Metana: senyawa alkana terpendek (CH4) berwujud gas mudah terbakar Mesofilik: ialah sekelompok mikroorganisme yang memiliki suhu optimal untuk pertumbuhannya berkisar dari 25 – 45 oC
Metanogen : segolongan mikroba yang menghasilkan gas metana dalam proses dekomposisi bahan organik Metanogenesis: salah satu tahap proses digesti anaerob yang utama dalam menghasilkan gas metana. Mixer: adalah pengaduk bahan baku yang berada dalam tangki digester, yang berfungsi untuk memastikan homogenitas substrat, distribusi mikroba dan pemerataan suhu. Motor pilot injeksi gas : motor bakar didasarkan pada prinsip mesin diesel. Biogas dicampur bersama dengan udara pembakaran lalu ini melewati sistem injeksi di ruang bakar, yaitu tempat dinyalakan oleh minyak pengapian yang disuntikkan Motor Stirling: motor beroperasi tanpa pembakaran internal, yaitu berdasarkan prinsip perubahan suhu gas mengakibatkan perubahan volume. Piston mesin digerakkan oleh ekspansi gas yang disebabkan oleh injeksi panas dari sumber energi eksternal NMHC (non methane hidrocarbons): senyawa-senyawa hidrokarbon selain gas metana Overfeeding: pemuatan substrat melebihi kapasitas digester biogas berdasarkan HRT Otorotrof : ialah organisme yang dapat mengubah bahan anorganik menjadi bahan organik (dapat membuat makanan sendiri) dengan bantuan energi seperti energi cahaya matahari (fotosintesis) dan kimia. Otto gas: motor yang beroperasi sesuai dengan prinsip Otto tanpa penyalaan minyak PAFC (phosphoric acid fuel cell ) : ialah sel bahan bakar yang biasa meng-gunakan gas alam.
Partikulat: adalah partikel halus yang merupakan subdivisi kecil dari material padat tersuspensi dalam gas atau cair. Partikulat terdiri dari partikel komposisi ukuran, asal dan kimia yang berbeda. Patogen: organisme penyebab penyakit PEM (polymer electrolyte membrane Fuel cell): ialah sel bahan bakar yang dapat digunakan untuk biogas Pemipaan: sistem penyaluran dan koneksi antar tangki dengan pipa dengan ukuran tertentu Pemulihan gas: adalah perolehan kembali komponen-komponen yang bermanfaat (gas yang terbuang ke udara) dengan proses kimia, fisika, biologi, dan/ atau secara termal Pengkondisian digestat : proses perlakuan terhadap digestat yang bertujuan untuk mengurangi volume dan nutrisinya terkonsentrasi Polusi: terjadinya pencemaran suatu ekosistem oleh limbah tertentu. Polutan: zat yang merugikan bagi ekosistem Ppm: (part per million) bagian per sejuta = 10-6 Prekusor: senyawa yang mendahului senyawa lain pada jalur metabolisme Psikhrofilik: ialah sekelompok mikroorganisme yang memiliki suhu optimal untuk pertumbuhannya di bawah 20oC Pumpabilitas: ialah kondisi yang menyatakan suatu bahan yang mudah dipompa Pupuk organik : yang dibuat dari bahan-bahan organik atau biomassa alami PVC: (polyvinylchloride) adalah polimer termoplastik, sebagai bahan bangunan, pakaian, perpipaan, atap, dan insulasi kabel listrik. PVC relatif murah, tahan lama, dan mudah dirangkai.
Rasio C/N: perbandingan kandungan unsur karbon dan nitrogen dalam suatu biomassa bahan baku/substrat DA Recycle : proses daur-ulang suatu zat untuk menjadikan suatu bahan bekas menjadi barang baru dengan tujuan mencegah adanya sampah. Reduce: mengurangi penggunaan suatu zat untuk menekan dampak pencemaran. Reuse: penggunaan kembali lebih dari satu kali suatu barang dalam rangka penghematan dan mengurangi pencemaran. Residu : ialah cairan hasil digesti yang bermanfaat sebagai pupuk organik cair yang keluar dari digester secara periodikSampah: adalah senyawa atau bahan yang terbuang atau sengaja dibuang atau harus dibuang Sampah organik: ialah sampah yang terdiri dari bahan-bahan penyusun tumbuhan dan hewan yang diambil dari alam atau dihasilkan dari kegiatan pertanian, perikanan atau yang lain. Sampah anorganik: ialah sampah yaang berasal dari sumber daya alam tak terbaharui seperti mineral dan minyak bumi, atau dari proses industri. Beberapa bahan ini tidak terdapat di alam seperti plastik dan aluminium. Sanitasi : perilaku disengaja dalam pembudayaan hidup bersih. Sedimentasi: proses pengendapan bahan-bahan yang memiliki tingkat digesti-bilitas rendah ke dasar digester Silase: adalah pakan hasil fermentasi, dari jerami misanya, yang diberikan kepada hewan ternak ruminansia atau dijadikan biogas melalui DA. Silo: adalah struktur yang digunakan untuk menyimpan bahan curah (bulk materials). Silo umumnya digunakan di bidang pertanian sebagai penyimpan biji-bijian hasil pertanian dan pakan ternak.
Siloksana (R2 -SiO) : salah satu senyawa berbasis silika polimer dalam R (alkil, biasanya metil); polimer ini ada sebagai cairan berminyak, gemuk, karet, resin, atau plastik. Juga dikenal sebagai oksosilana. Slurry : adalah campuran berupa cairan adukan limbah yang dijadikan substrat atau umpan untuk digester biogas. SOFC (solid oxide fuel cell): adalah jenis lain dari sel bahan bakar bersuhu tinggi, beroperasi pada 750 – 1.000 °C. Solids : padatan yang ada dalam limbah /air Substrat: adalah bahan organik yang telah berada dalam kondisi siap/segera bereaksi biokimiawi, karena telah mengandung mikroba enzim sebagai katalis reaksi. Suspended solids : padatan tersuspensi yang terkandung dalam limbah cair Tangki digester: ialah bagian utama dari suatu digester yang berbentuk silinder, yaitu tempat terjadinya proses digesti anaerob. Teleskopis : sifat kubah penampung biogas terhadap tangki bawah. Bila biogas habis digunakan, tangki penyimpan gas ini tenggelam kembali ke dalam tangki bawah Termofilik : ialah sekelompok mikroorganisme yang memiliki suhu optimal untuk pertumbuhannya berkisar antara 45 – 70 oC. Total Solids (TS): yaitu residu yang diperoleh setelah menguapkan sejumlah volume air pada 103oC. Total solid dapat dibagi menjadi 2 bagian, yaitu suspended solid (SS) dan dissolved solid (DS) Turbin mikro biogas: campuran udara-biogas terbakar menyebabkan kenaikan suhu dan memperluas dari campuran gas. Gas panas dilepaskan melalui turbin, yang terhubung ke generator listrik Vegetasi lumpur: hilangnya populasi vegetasi rumput tertentu dan terbentuknya populasi rerumputan yang khas
VFA: (volatile fatty acids) asam lemak volatil senyawa antara (asetat, propionat, butirat, laktat), dihasilkan selama asidogenesis, dengan rantai karbon hingga enam atom Waktu retensi hidrolik: lihat HRT Waste: lihat limbah Water boiling test: uji lamanya waktu yang dibutuhkan oleh suatu bahan bakar untuk mendidihkan 100 mL air pada alat pemanas tertentu