INDEPENDENSI HAKIM AD HOC DI LINGKUNGAN PERADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL (ANALISIS PASAL 63 DAN 67 UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL)
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H)
Oleh:
RIKO HENDRA PILLO NIM.109048000011
KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A 1437 H / 2016 M
ABSTRAK RIKO HENDRA PILO, NIM. 109048000011. ANALISIS PASAL 63 DAN PASAL 67 UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL TERHADAP INDEPENDENSI HAKIM AD HOC DI LINGKUNGAN PERADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL. Program studi ilmu hukum fakultas syariah dan hukum UIN Syarif hidayatullah Jakarta, 1437 H/2016 M. x + 84. Skripsi ini bertujuan mengetahui eksistensi hakim ad hoc pengadilan hubungan industrial dan pengaruh pasal 63 ayat (2) dan pasal 67 UU PPHI terhadap indenpendensi hakim ad hoc dalam memeriksa dan memutus sengketa hubungan industrial. Penelitian ini menggunakan jenis penelitian yuridis normatif dan library research yaitu melakukan pengkajian terhadap peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan tema sentral dalam skripsi ini dan buku-buku, jurnal-jurnal yang berkaitan dengan judul. Hasil penelitian Eksistensi hakim ad hoc pada Pengadilan Hubungan Industrial diatur dalam Pasal 60 UU PPHI yang menyatakan bahwa bahwa susunan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri terdiri dari hakim, hakim ad hoc, panitera muda, dan panitera pengganti. Adapun kedudukan hakim ad hoc pada saat ini telah dikecualikan dari kualifikasi pejabat negara sejak disahkannya UU ASN. Selain itu, putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU-XII/2014 juga telah memutuskan ketentuan Pasal 122 UU ASN tersebut tidak bertentangan dengan UUD NRI 1945 dengan pertimbangan bahwa pengecualian tersebut dibolehkan mengingat sifat, pola rekrutmen, tidak adanya pembatasan usia berakhir masa tugasnya, serta ruang lingkup tugas dan kewenangan yang bersifat terbatas. Kata kunci Pembimbing Daftar Pustaka
: Penyelesaian Hubungan Industrial, Hakim Ad Hoc, Peradilan Hubungan Industrial : Dr. Kamarusdiana, S.Ag, M.H. : 1961 s.d. 2014
iv
KATA PENGANTAR
بسم اهلل الرحمن الرحيم Alhamdulillah, penulis panjatkan kepada sang kholiq yang telah memberikan kekuatan dan kemudahan serta nikmat sehingga dengan izin-Nya penulis dapat menyelesaikan penyusunan skriipsi ini. Tak lupa shalawat dan salam penulis haturkan kepada Baginda Rasulullah SAW, semoga syafaat-Nya senantiasa tercurahkan kepada umat muslimin. Skripsi ini disusun untuk memenuhi persyaratan dalam meraih gelar Sarjana Hukum (S.H) pada Konsentrasi Hukum Kelembagaan Negara, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Dalam penyusunan skripsi ini, penulis memperoleh banyak dukungan dan saran dari berbagai pihak, sehingga ucapan terima kasih penulis sampaikan dengan tulus dan sebesar-besarnya kepada : 1.
Dr. Asep Saepudin Jahar, MA. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2.
Drs. H. Asep Syarifuddin Hidayat, S.H, M.H. Ketua Program Studi Ilmu Hukum dan Bapak Drs. Abu Tamrin, S.H, M.Hum. Sekretaris Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Syariah dan Hukum yang selalu mendukung dan memotivasi dalam penyelesaian skripsi penulis.
v
3.
Dr. Kamarusdiana, S.Ag, M.H. Dosen pembimbing yang mengantarkan penulis hingga akhir penulisan.
4.
Dosen-dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah membimbing penulis dari awal masuk hingga bisa menyelesaikan skripsi ini dan Staf-staf/Karyawan yang membantu proses administrasi penulis .
5.
Pegawai Perpustakaan Utama dan Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang membantu memberikan pinjaman referensi kepada penulis.
6.
Ayahanda tercinta Abdurrahman dan Ibunda tersayang Siti Maryam, sujud abdiku kepada kalian atas doa dan pengorbanan kalian selama ini, “allahummagfirlii waliwalidayya warhamhuma kama rabbayani sogiro”. Dan seluruh keluarga besar jayo kebaradaan kalian selalu memberikan semangatku dalam menyelesaikan skripsi ini.
7.
Ahyni, S.H, M.H. Terima kasih atas dukungan dan doanya selama ini.
8.
Sahabat-sahabat terbaiku: Helmi, Jefri, Ihsan Badruni, Ihsan (cobro), Fikri, Andi Tq, Yuniar, Miko, Fiki, dan seluruh Keluarga Besar SEMARI Banten canda tawa kalian akan selalu menjadi sebuah kenangan yang tak terlupakan.
10. Semua pihak yang penulis tidak bisa sebutkan satu-persatu terima kasih atas bantuannya dalam penyusunan skripsi ini.
vi
Penulis pun menyadari skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran demi kesempurnaan skripsi ini selanjutnya. Penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat dan dapat dijadikan rujukan penyusunan skripsi selanjutnya.
Jakarta, 29 Februari 2016
Penulis
vii
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING ....................................................... i LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ................................................................ ii LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................. iii ABSTRAK ............................................................................................................ iv KATA PENGANTAR ............................................................................................v DAFTAR ISI ....................................................................................................... viii BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ........................................................................1 B. Identifikasai Masalah ............................................................................7 C. Pembatasan dan Perumusan Masalah ....................................................8 D. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian ............................................8 E. Studi Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu ..........................................9 F. Metode Penelitian ................................................................................11 G. Sistematika Penulisan..........................................................................15
BAB II INDEPENDENSI HAKIM DALAM KEKUASAAN KEHAKIMAN DI INDONESIA A. Independensi Hakim dalam memeriksa dan memutus perkara ...........17 B. Kekuasaan kehakiman di Indonesia ....................................................25 C. Teori Pembagian Kekuasaan dan kaitannya dengan kekuasaan Kehakiman Indonesia .........................................................................28
viii
BAB III PERADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL A. Sejarah dan dasar hukum peradilan hubungan industrial ....................36 B. Penyelesaian sengketa di lingkungan peradilan hubungan industrial .............................................................................46 C. Tata cara pengangkatan dan pemberhentian hakim ad hoc peradilan hubungan industrial.......................................54 D. Kedudukan hakim ad hoc di lingkungan peradilan hubungan industrial .............................................................................59
BAB IV ANALISIS INDEPENDENSI HAKIM AD HOC MENURUT UNDANG-UNDANG
NOMOR
2
TAHUN
2004
TENTANG
PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL A. Eksistensi hakim ad hoc pengadilan hubungan industrial ...................68 B. Analisis Pasal 63 dan Pasal 67 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Terhadap Independensi Hakim Ad Hoc Di Lingkungan Peradilan Hubungan Industrial ............................................................72
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan..........................................................................................79 B. Saran ....................................................................................................80
DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................81
ix
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Setelah Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dilakukan perubahan, penempatan rumusan negara hukum Indonesia telah bergeser kedalam batang tubuh Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 secara tegas dinyatakan dalam pasal 1 ayat (3) yang berbunyi “Negara Indonesia adalah negara hukum”. Konsekuensi dari ketentuan ini adalah bahwa setiap sikap, tindakan, perilaku, pikiran, dan kebijakan pemerintah negara (dan penduduknya) harus didasarkan sesuai dengan hukum.1 Menurut Jhon Locke, untuk mendirikan suatu negara hukum yang menghargai hak-hak warga negaranya harus memiliki 2 (dua) unsur penting yaitu pertama, adanya hukum yang mengatur bagaimana anggota masyarakat dapat menikmati hak asasinya dengan damai, kedua, adanya suatu badan yang dapat menyelesaikan sengketa yang timbul antara pemerintah (vertical dispute) atau sesama anggota masyarakat (horizontal dispute).2 Suatu negara hukum menghendaki adanya supremasi konstitusi. Supremasi konstitusi, disamping merupakan konsekuensi dari konsep negara hukum, sekaligus merupakan pelaksanaan demokrasi karena konstitusi adalah wujud dari
1
Djatmiko Anom, “Kedudukan Lembaga Negara Sampiran dalam Sistem Ketatanegaraan Repuplik Indonesia”, jurnal konstitusi p3kham uns volume no. 1 .2008, h. 35. 2
Djatmiko Anom, “Kedudukan Lembaga Negara”, h. 41.
1
2
perjanjian sosial tertinggi.3 Demokrasi bukan hanya cara, alat atau proses, tetapi adalah nilai-nilai atau norma-norma yang menjiwai dan mencerminkan seluruh proses kehidupan
kita bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. 4 Konsep
demokrasi selalu menempatkan rakyat pada posisi yang sangat strategis dalam sistem ketatanegaraan, walaupun pada tataran implementasinya terjadi perbedaan antara negara yang satu dengan yang lainnya. Oleh sebab itu, berbagai varian implementasi demokrasi tersebut, maka didalam literatur kenegaraan dikenal beberapa istilah demokrasi yang dianut oleh beberapa negara yaitu demokrasi konstitusional, demokrasi parlementer, demokrasi terpimpin, demokrasi pancasila, demokrasi rakyat, demokrasi soviet, demokrasi nasional, dan demokrasi lainnya. Proses mengimplementasikan semua kriteria, prinsip, nilai, dan elemenelemen demokrasi, perlu disediakan beberapa lembaga sebagai berikut: 1. Pemerintah yang bertanggung jawab, 2. Suatu Dewan Perwakilan Rakyat yang mewakili golongan-golongan dan kepentingan-kepentingan dalam masyarakat yang dipilih dengan pemilihan umum yang bebas dan rahasia yang sekurang-kurangnya dua calon untuk setiap kursi. Dewan/perwakilan ini mengadakan pengawasan/kontrol memungkinkan oposisi yang konstruktif dan memungkinkan penilaian terhadap kebijakan pemerintah secara kontinu, 3
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia (Jakarta, Konstitusi Press, 2005), h. 152. 4
Adnan Buyung Nasution, Demokrasi Konstitusional (Jakarta : PT. Kompas Media Nusantara, 2010), hal. 3.
3
3. suatu organisasi politik yang mencakup satu atau lebih partai politik. Partaipartai menyelenggarakan hubungan yang kontinu dengan masyarakat umum dan pemimpin-pemimpinnya, 4. pers dan media massa yang bebas untuk menyatakan pendapat, dan 5. sistem
peradilan
yang
bebas
untuk
menjamin
hak-hak
asasi
dan
mempertahankan keadilan.5 Sistem pemerintahan yang bebas diciptakan dengan diberlakukannya pemisahan kekuasaan (sparation of power) sebagaimana yang dicanangkan oleh Montesque yaitu pemisahan kekuasaan menjadi tiga bagian yakni, eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Di Indonesi ajaran ini mengilhami adanya pemisahan kekuasaan (distribution of power) yang dijalankan dengan system check and balance yaitu antara ketiga kekuasaan tersebut dapat saling mengawasi sehingga pemusatan kekuasaan dapat diminimalisir. Dalam hal menciptakan peradilan yang bebas dan bersih, yudikatif dapat diawasi dari dalam dan luar. Sistem peradilan dilengkapi dengan sebuah majelis yang berfungsi untuk menjaga dan mengawasi kerja hakim dalam hal kode etik. Dari luar artinya yudikatif diawasi oleh kekuasaan lainnya dan juga lembaga yang dibuat khusus untuk mengawasi hakim seperti komisi yudisial. Pasca reformasi dan amandemen Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 di Indonesia, diversifikasi fungsi-fungsi kekuasaan negara
5
Moh. Kosnardi dan Bintang R Saragih, Ilmu Negara (Jakarta: Gaya Media Pratama, TT, Cet. Kedua), h, 171.
4
berkembang luas, salah satu fungsi kekuasaan negara yang berkembang adalah semakin banyaknya didirikan lembaga-lembaga peradilan yang bersifat khusus, diantaranya adalah pengadilan hubungan industrial yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (UU PPHI). UU PPHI berisi asas penyelesaian perselisihan6 hubungan industrial dilakukan secara musyawarah mufakat, dengan berpijak pada suatu prinsip jika terjadi perselisihan antara pekerja/buruh dan pengusaha, maka pada tahap pertama penyelesaian perselisihan tersebut diserahkan pada pihak yang berselisih (bipartit). Jika pada tahap ini tidak terjadi kata sepakat atara para pihak, maka mereka dapat memilih dua jalur,
yaitu jalur peradilan atau nonperadilan. 7 Jalur peradilan
diselesaikan melalui pengadilan hubungan industrial. Peradilan ini merupakan pengadilan khusus yang dibentuk di lingkungan peradilan umum serta memiliki tugas dan wewenang memeriksa dan memutus : 1. di tingkat pertama mengenai perselisihan hak, 2. di tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan kepentingan, 3. di tingkat pertama mengenai perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan 6
Perselisihan hubungan industrial adalah perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruhkarena adanya perselisihan mengenai hak, perselisihan kepentingan,perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan antar serikat pekerja/buruh dalam satu perusahaan, pasal 1 angka 1 undang-undang nomor 2 tahun 2004. 7
Asyhadie Zaeni, Peradilan Hubungan Industrial (Jakarta: Rajawali Press, 2009), h, 3-4.
5
4. di tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan. Pengadilan hubungan industrial bertugas dan berwenang memeriksa dan mengadili perkara dan perselisihan hubungan industrial yang dilaksanakan oleh majelis hakim yang beranggotakan 3 (tiga) orang, yang terdiri dari 1 (satu) hakim karir dan 2 (dua) hakim ad hoc, adapun tata cara pengangkatan hakim ad hoc diatur dalam pasal 63 UU PPHI, dalam pasal 63 ayat (2) menyebutkan bahwa “calon hakim ad hoc sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diajukan oleh ketua mahkamah agung dari nama yang disetujui oleh menteri atas usul serikat pekerja/serikat buruh atau organisasi pengusaha”, selain mengatur tata cara pengangkatan hakim ad hoc, dalam pasal 67 ayat (1) huruf f UU PPHI juga disebutkan bahwa “hakim ad hoc pada pengadilan hubungan industrial dan mahkamah agung dapat diberhentikan dengan hormat dari jabatannya karena atas permintaan organisasi pengusaha dan organisasi pekerja/organisasi buruh yang mengusulkan”. Adanya ketentuan pasal 63 ayat (2) dan pasal 67 ayat (1) huruf f UU PPHI tentu akan mengakibatkan hakim ad hoc pada Pengadilan Hubungan Industrial yang dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya memeriksa dan memutus suatu perkara yang harus mandiri dan lepas dari segala bentuk intervensi atau campur tangan lembaga/instansi manapun menjadi terbatasi dan tidak bisa dilakukan secara optimal.
6
Pihak-pihak yang berperkara dalam perselisihan hubungan industrial ini umumnya dijumpai tiga pihak yang terkait dalam hubungan kerja, serta pihakpihak lain yang terkait, yang menurut hukum harus memerhatikan pelaksanaan hubungan kerja tersebut. Adapun pihak-pihak terkait dalam hubungan kerja, yaitu pihak pekerja/buruh istilah pekerja/buruh sekarang merupakan istilah yuridis yang dijumpai dalam peraturan perundang-undangan dibidang ketenagakerjaan. 8 Istilah ini muncul sebagai pengganti buruh yang populer dalam realitas ketenagakerjaan di masyarakat, pihak pemberi kerja/pengusaha, pemberi kerja adalah orang perseorangan, pengusaha, badan hukum, atau badan-badan lainnya yang mempekerjakan tenaga kerja dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain (pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan), pihak seriakat pekerja/serikat buruh kita mengetahui bahwa pekerja/buruh secara sosiologis kedudukannya sangat lemah, baik ditinjau dari segi ekonomi maupun dari segi kedudukan dan pengaruhnya terhadap pengusaha. Oleh karena itu, pekerja/buruh tidak mungkin bisa memperjuangkan hak-haknya atua pun tujuannya secara perorangan tanpa mengorganisasikan dirinya dalam satu wadah yang dapat membantu mereka untuk mencapai tujuannya. Serikat pekerja/serikat buruh sebagai wadah secara langsung terkait dengan hubungan pekerja guna kepentingan para anggotanya.9
8
Asyhadie Zaeni, Peradilan Hubungan Industrial, h. 15-18.
9
Asyhadie Zaeni, Peradilan Hubungan Industrial, h, 20.
7
Hal ini menjadi rumit mengingat dalam menjalankan pengadilan hubungan industrial, hakim yang berwenang memutuskan perkara adalah hakim yang diangkat (diusulkan) oleh, serikat pekerja/serikat buruh, organisasi pengusaha, juga diberhentikan secara hormat oleh, serikat pekerja/serikat buruh, organisasi pengusaha tersebut. Hal ini tentunya akan menciderai sistem peradilan yang bebas, tidak memihak, dan bersih yang diimpikan karena para hakim akan dikuasai oleh para pihak yang berperkara, karena keberadaan hakim diangkat dan di berhentikan oleh pihak yang akan disidangkan di peradilan hubungan industrial tersebut. Uraian di atas membuat penulis tertarik untuk membahas dalam bentuk skripsi yang berjudul INDEPENDENSI HAKIM AD HOC DI LINGKUNGAN PERADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL (ANALISIS PASAL 63 DAN PASAL
67 UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG
PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL) B. Identifikasi Masalah 1. Apa itu Hakim Ad Hoc? 2. Bagaimana Kedudukan Hakim Ad Hoc dalam Kerangka Kekuasaan Kehakiman? 3. Bagaimana Penyelesaian sengketa Peradilan Hubungan Industrial? 4. Bagaimana proses rekrutmen hakim Ad Hoc di Pengadilan Hubungan Industrial? 5. Bagaimana Independensi Hakim Ad Hoc dalam penyelesaian sengketa Hubungan Industrial?
8
C. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah Untuk mempermudah pembahasan dalam penulisan skripsi ini, penulis hanya akan membahas seputar hakim ad hoc di lingkungan Peradilan Hubungan Industrial, dan dibatasi terkait pasal 63 ayat (2) dan pasal 67 ayat (1) mengenai pengangkatan dan usul pemberhentian hakim ad hoc di lingkungan peradilan hubungan industrial. 2. Perumusan masalah Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: a. Bagaimana eksistensi hakim ad hoc pengadilan hubungan industrial? b. Bagaimana pengaruh pasal 63 ayat (2) dan pasal 67 UU PPHI terhadap independensi Hakim Ad Hoc dalam memeriksa dan memutus sengketa hubungan industrial? D. Tujuan Penelitian Dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian adalah sebagai berikut: a. Untuk mengetahui eksistensi hakim ad hoc pengadilan hubungan industrial. b. Untuk mengetahui pengaruh pasal 63 ayat (2) dan pasal 67 UU PPHI terhadap indenpendensi hakim ad hoc dalam memeriksa dan memutus sengketa hubungan industrial.
9
2. Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini sebagai berikut: a. Menambah wawasan keilmuan tentang penyelesaian sengketa di peradilan hubungan industrial oleh hakim ad hoc. b. Penelitian ini diharapkan menjadi bahan referensi/rujukan bagi yang ingin mendalami tentang independensi hakim ad hoc dalam menyelesaikan sengketa hubungan industrial. E. Studi Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu Pembahasan dalam penelitian ini penulis melakukan telaah studi terdahulu pada hasil penelitian yang pembahasannya menyerupai dengan pembahasan yang akan diangkat oleh penulis yaitu: No. 1
Identitas Ayu Anggraini, NIM: 108048000011, kedudukan hukum peradilan pajak dalam sistem peradilan indonesia, prodi Ilmu Hukum, fakultas syariah dan hukum, 2012,
Subtansi Skripsi ini membahas tentang independensi peradilan pajak dan hakimnya dalam sistem peradilan di Indonesia.
Pembeda Perbedaan dengan skripsi ini adalah dari segi objek peradilan yang diteliti, karena antar peradilan ini memiliki sistem pengangkatan hakim yang berbeda.
2
Ahmad Saidi, NIM: 1613048000083, kontradiksi kedudukan hakim ad hoc dalam struktur kekuasaan kehakiman (analisis
Skripsi ini membahas tentang bagaimana kedudukan hakim ad hoc sebelum dan sesudah putusan mahkamah konstitusi No. 32/PUUXII/2014.
Perbedaan dengan skripsi yang saya tulis adalah dari segi objek yang diteliti, yang saya teliti adalah hakim ad hoc peradilan hubungan
10
putusan MK No. 32/ppu-XII/2014 judicial rewiew pasal 122 huruf e UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara) prodi ilmu hukum, fakultas syariah dan hukum, 2016.
industrial.
3
Ugo, S.H., M.H. dan Pujiyo, S.H., Hukum acara penyelesaian perselisihan hubungan industrial, buku, penerbit Sinar Grafika, cet-2, 2012.
Buku ini membahas secara menyeluruh proses penyelesaian perselisihan baik yang dilakukan diluar pengadilan, maupun melalui pengadilan serta sampai kepada pelaksanaan putusan pengadilan atau eksekusi.
Dalam skripsi ini saya lebih memfokuskan pembahasan pada penyelesaian perselisiahan melalui pengadilan, dan lebih melihat kepada independensi hakim dalam memeriksa dan memutus sengketa.
4
Jamal Wiwoho, Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial di Indonesia, Jurnal Hukum Bisnis Vol. 32 No. 2 Tahun 2013, ISSN: 23019190.
Disini menjelaskan mengenai proses penyelesaian perselisihan Hubungan Industrial di Pengadilan Hubungan Industrial di Indonesia.
Disini penulis akan membahas indenpendensi hakim ad hoc dalam menyelesaikan perselisihan hubungan industrial.
11
F. Metode Penelitian Untuk memperoleh data yang akan dibutuhkan untuk menyusun skripsi ini, maka penulis menggunakan metode: 1. Jenis penelitian dan pendekatan Jenis penelitian yang akan digunakan dalam penyusunan skripsi ini, adalah: a. Penelitian yuridis normatif, yaitu penelitian yang difokuskan untuk mengkaji penerapan kaidah-kaidah atau norma-norma dalam hukum positif.10 b. Penelitian kepustakaan (library research) yaitu penelitian yang dilakukan dengan mengkaji, menganalisa serta merumuskan buku-buku, literatur, dan yang lainnya yang ada relevansinya dengan judul skripsi ini. Sedangkan pendekatan yang dilakukan dalam penyusunan skripsi ini antara lain: a. Pendekatan perundang-undangan yang didalamnya terdapat pasal-pasal yang berkaitan (statute approach) ialah pendekatan dengan melakukan pengkajian terhadap pasal-pasal yang terdapat dalam undang-undang yang berhubungan dengan tema sentral penelitian skripsi ini khususnya berkenaan dengan independensi hakim.11
10
Johny Ibrahim, Teori dan Metodelogi Penelitian Hukum Normatif (Malang : bayumedia publishing, 2008), h. 294. 11
Johny Ibrahim, Teori dan Metodelogi Penelitian Hukum Normativeh, h. 295.
12
b. Pendekatan konseptual (conceptual approach) Pendekatan konseptual (conceptual approach) pendekatan ini dilakukan manakala peneliti tidak beranjak dari aturan hukum yang ada. Hal itu dilakuka karena memang belum atau tidak ada aturan hukum untuk masalah yag dihadapi. Dalam membangun konsep ia tidak hanya melamun dan mencari dalam hayalan melainkan pertama kali ia harus beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang dalam ilmu hukum.12 2. Sumber bahan hukum Dalam menyusun karya ilmiah yang baik agar sesuai dengan tujuan yang diteliti maka dalam penyusunan karya ilmiah harus memiliki data yang kompeten. Dalam penyusunan skripsi ini penulis menggunakan dua jenis sumber data, yaitu: a. Bahan hukum primer Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang terdiri atas peraturan perundang-undangan yang diurutkan berdasarkan hierarki perundangundangan
dengan
undang-undang
nomor
12
tahun
2011
tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Bahan hukum primer yang tersebut yaitu UU PPHI pasal 63 ayat (3) dan pasal 67 ayat (1) huruf f.
12
Marzuki Mahmud, Penelitian Hukum, (Jakarta, kencana, 2010), h, 137.
13
b. Bahan hukum sekunder Bahan hukum sekunder merupakan data yang diperoleh dari bahan kepustakaan.13 Bahan hukum yang terdiri atas buku-buku (textbook) yang ditulis oleh para ahli hukum yang berpengaruh (de hersendee leer), jurnaljurnal hukum, dan hasil-hasil simposium mutakhir yang mutakhir yang berkaitan dengan topik penelitian skripsi ini. Bahan hukum sekunder tersebut terdiri dari buku-buku hukum, media cetak, artikel-artikel baik dari internet maupun berupa data digital. 3. Teknik pengumpulan data Dalam penyusunan skripsi untuk memperoleh data yang baik dan benar maka dibutuhkan teknik pengumpilan data. Untuk menyusun skripsi ini, teknik pengumpulan bahan hukum yang penulis lakukan berisi uraian logis prosedur pengumpulan bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, serta bagaimana bahan hukum tersebut diinterventariskan dan diklasifikasikan dengan menyesuaikan masalah yang dibahas. Dalam upaya pengumpulan data yang diperlukan, digunakan metode dokumentasi/library research. Metode dokumentasi/ library research adalah mencari hal-hal atau variabel berupa catatan, transkip, buku, surut kabar, media online, majalah, dan sebagainya.14
13
14
Soerjono soekanto, pengantar penelitian hukum, (Jakarta : Pustaka Pelajar. 1992), h.51.
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitif Hukum Normative, (Jakarta: Rajawali Press, 1985), h. 201.
14
4. Teknis analisis bahan hukum Teknis analisis bahan hukum merupakan langkah-langkah yang berkaitan dengan pengolaan terhadap bahan-bahan hukum yang telah dikumpulkan untuk menjawab isu hukum yang telah dirumuskan dalam rumusan masalah. Pada penelitian hukum normatif, pengolahan bahan hukum hakikatnya merupakan kegiatan untuk mengadakan sistematisasi terhdap bahan-bahan hukum tertulis. sistematisasi berarti membuat klasifikasi terhadap bahan-bahan hukum tertulis tersebut untuk memudahkan pekerjaan analisis dan konstruksi. Dalam analisis bahan hukum ini kegiatan yang dilakukan antara lain: a. Memilih
pasal-pasal
dalam
peraturan
perundang-undangan
tentang
penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang berisi kaidah-kaidah hukum. b. Membuat sistematik dari pasal-pasal atau kaidah-kaidah hukum tersebut yang kemudian dihubungkan dengan masalah yang penulis angkat sehingga menghasilkan klasifikasi tertentu. 5. Teknik penulisan Dalam penulisan dan penyusunan skripsi ini, penulis berpedoman pada prinsip-prinsip yang telah diatur dan dibukukan dalam buku pedoman penulisan skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2012.
15
G. Sistematika Penulisan Sistematika penulisan merupakan pola dasar pembahasan skripsi dalam bentuk bab dan sub bab yang secara logis saling berhubungan dan merupakan suatu masalah yang diteliti. Adapun sistem penulisan skripsi ini sebagai berikut: BAB I : Pendahuluan Latar Belakang Masalah, Pembatasan dan Perumusan Masalah, Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian, Studi Review, Metode Penelitian, dan Sistematika Penulisan. BAB II : Membahas independensi hakim dalam kekuasaan kehakiman di Indonesia yaitu meliputi Independensi Hakim dalam memeriksa dan memutus perkara, Kekuasaan kehakiman di Indonesia, Teori pembagian kekuasaan dan kaitannya dengan kekuasaan kehakiman di Indonesia. BAB III : Membahas Peradilan Hubungan Industrial meliputi sejarah dan dasar hukum pengadilan hubungan industrial, Penyelesaian sengketa di lingkungan peradilan hubungan industrial, Tata cara pengangkatan dan pemberhentian hakim ad hoc peradilan hubungan industrial, Kedudukan hakim ad hoc di lingkungan peradilan industrial. BAB IV : Membahas Analisis Independensi Hakim Ad Hoc menurut UndangUndang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial meliputi Eksistensi hakim ad hoc pengadilan hubungan industrial, dan analisis Pasal 63 dan 67 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial
16
Terhadap Independensi Hakim Ad Hoc
Di Lingkungan Peradilan
Hubungan Industrial BAB V : Dalam bab ini merupakan penutup kajian ini, dalam bab ini penulis akan menyimpulkan berkaitan dengan pembahasan yang penulis lakukan sekaligus menjawab rumusan masalah yang penulis gunakan dalam bab. Uraian terakhir adalah saran yang dapat dilakukan untuk kegiatan lebih lanjut berkaitan dengan apa yang telah penulis kaji.
BAB II INDEPENDENSI HAKIM DALAM KEKUASAAN KEHAKIMAN DI INDONESIA
A. Independensi Hakim dalam Memeriksa dan Memutus Perkara 1. Teori Kelembagaan Negara Pada zaman yunani, Negara dalam pemahaman aristoteles (384-382) yang ditulis dibukunya politien, adalah sekelompok masyarakat dalam bentuk paguyuban (gemeinschaft), dibentuk dengan tujuan untuk mencapai kebaikan tertnggi dan mulia dalam penghidupan masyarakat. Masyarakat memiliki sifat organisme yang dimiliki manusia sebagai kodrat guna menentukan hidupnya.1 Pengertian organ atau lembaga negara secara lebih jauh dilihat melalui pandangan Hans Kelsen,2 yang mengatakan bahwa siapa saja yang menjalankan suatu fungsi yang ditentukan oleh suatu tata-hukum (legal order) adalah suatu organ. Organ atau lembaga tersebut bersifat menciptakan dan menjalankan norma. Kelsen menyatakan arti organ/lembaga yaitu parlemen dapat menciptakan dan menetapkan undang-undang beserta warga negara yang memilih para wakilnya tesebut melalui pemilihan umum. Beserta para hakim
1
H. F. Abraham Amos, Sistem Ketatanegaraan Indonesia (dari oral, orba sampai reformasi), (Jakarta, PT RajaGrafindo, 2005, cet. pertama), h. 421. 2
Jimly Asshidiqqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, (Jakarta, Sinar Grafika, 2002, cet. Kedua), h. 132.
17
18
yang mengadili dan menghukum seseorang yang bersalah dengan menjalankan hukuman tersebut di lembaga pemasyarakatan. Teori organisme adalah suatu siklus yang muncul oleh keinginan sosial untuk melambangkan fungsi kehidupannya. Oleh karena itu, kehidupan bernegara dapat disebut sebagai kehidupan organisme. Dalam pencapaian tujuan tersebut diperlukannya lembaga-lembaga negara yang mengatur dan mempunyai fungsi dan tugasnya sendiri sebagai alat penggerak kearah tujuan hidup yang dikehendaki oleh komunitas masyarkat didalamnya.3 Jilmly Ashidiqqie4 mengumukakan bahwa istilah organ atau lembaga negara dapat dibedkan menjadi organ atau lembaga negara swasta, lembaga masyarakat atau disebut onop atau organisasi nonpemerintah atau nongovermental organizations (NGO’S). lembaga tersebut dapat berada dalam ranah eksekutif, legislative, maupun yudikatif, ataupun bersifat campuran. 2. Pengertian dan Prinsip Independensi a. Pengertian Independensi Independensi adalah suatu keadaan dimana tidak ada keberpihakan pada pihak manapun, keberadaannya bebas, merdeka dan mandiri, tanpa terintervensi oleh pihak yang berkepentingan guna tercapinya suatu keadilan. Melalui independensi akan terlihat kebijaksanaan dan kebebasan. Kebijaksanaan dalam 3
H. F. Abraham Amos, Sistem Ketatanegaraan Indonesia (dari oral, orba sampai reformasi), (Jakarta, PT RajaGrafindo, 2005, cet. pertama), h. 422 4
Jimly Asshidiqqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, (Jakarta, Sinar Grafika, 2002, cet. Kedua), h. 27
19
arti segala putusan yang akan dibuat akan melihat pada dampaknya di masa depan, sehingga terciptanya kewibawaan dan kepercayaan publik. Kebebasan dalam demokrasi bukanlah mutlak kebebasan dalam artian bebas dalam melakukan apapun. Kebebasan ini harus dilandasi dengan norma, etika hukum, dan kesadaran akan tanggungjawab kepada sesama manusia, bangsa negara dan serta kepada tuhan yang maha esa. Kesadaran akan tanggungjawab sosial menjadi peranan penting agar tujuan-tujuan tersebut tercapai.5 Pada bidang kekuasaan kehakiman membicarakan masalah kebebasan dengan istilah independen/kemardekaan. Misalnya pasal 1 angka 1 Undangundang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan bahwa “kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan
peradilan
guna
menegakkan
hukum
dan
keadilan
berdasarkan pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, demi terselenggaranya negara hukum republik Indonesia”. Istilah independensi yang sudah sejak lama dipandang perlu untuk dikembangkan dalam pemikiran pengelolaan lembaga kekuasaan kehakiman di Indonesia.6 Subtansi mendasar dari konsep independensi manusia adalah nurani, atau diistilahkan dengan etika independensi. Etika berasal dari dalam diri guna
5
Ahmad Kamil, Filsafat Kebebasan Hakim, (Jakarta: kencana, 2012, cet. Pertama), h. 118.
6
Ahmad Kamil, Filsafat Kebebasan Hakim, h. 146.
20
memberikan penilaian terhadap kehidupan, etika pula menjadi bekal awal kepemimpinan serta menempatkan letak hak dan kewajiban seseorang didalam mengatur kehidupannya.7 Dengan kebebasan menetapkan norma inilah, konsep independensi senantiasa dijadikan pedoman bagi manusia dalam menjalakan kehidupannya, agar tidak sewenang-wenang dalam meletakkan segala kebijakan. Berikut adalah berbagai konsep mengenai independensi: 1) Konsep Kebebasan Konsep kebebasan menurut perspektif orang-orang barat adalah kebebasan didasarkan pada batasan undang-undang atau hukum. Dalam perspektif islam, islam meletakkan suatu landasan
universal, yaitu
kebebasan individu harus dihadapkan dengan kebaikan atau kebenaran. Bagi seorang muslim, kebebasan mengandung makna, yaitu kebebasan identik dengan “fitrah”, tabiat dan kodrat asal manusia sebelum diubah, dicecari oleh sitem kehidupan sekelilingnya, serta kebebasan adalah daya kemampuan dan kehendak atau keinginan. Thomas Hobbes melihat objek kebebasan dengan istilah “gerak sukarela”. Di dalam suatu negara, gerak bebas yang melekat dalam diri manusia, ditunjukan dengan pembawaan kehidupan yang penuh dengan
7
Hans Kelsen, Teori Hukum Murni Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normative, (bandung nusa media, 2010, Cet. Ketujuh), h.67.
21
kedamaian yang berdampingan dengan harmonisasi. Manusia pada hakekatnya mengikuti gerak sukarela yang menunjuk pada suatu makna, tanpa ada paksaan, tanpa ada tekanan, yang mengandung pengertian logis harus tersedianya ruang gerak secara bebas.8 2) Konsep Kebijaksanaan Selain terciptanya konsep kebebasaan, independensi juga melahirkan konsep kebijaksanaan yaitu, Koentjontro Purbopranoto mengemukakan bahwa kebijaksanaan dengan pengertian freis emerssen9 karena pada hakikatnya memberikan kebebasaan bertindak pada pemerintah dalam menghadapi situasi yang kongkrit, sedang kebijaksanaan merupakan suatu pandangan jauh kedepan dari pemerintahan. Asas kebijaksanaan yang mengendaki bahwa terjalinnya kerjasama antara pemerintah yang menghubungkan segala tindakannya dengan gejalagejala masyarakat dengan dukungan dari warga negara, agar suatu kebijakan yang ditetapkan dari tindakan pemerintah tersebut mempunyai orientasi ke masa depan, oleh sebab itu segala tindakan pemerintah perlu mempunyai otoritas dan wibawa.10
8
Ahmad Kamil, Filsafat Kebebasan Hakim, h. 12.
9
Freies Emerssen terinspirasi dari asas diskresi (discretie), yaitu pejabat diber kekuasaan untuk mengambila keputusan menurut pendapatnya sendiri asalkan tidak melanggar asas yiridiktas dan asas legalitas tersebut. Pejabat bertindak guna kepentingan umum. s. prajudi atmosudirjo, hukum administrasi Negara. (Jakarta : ghalia Indonesia, 1994, Cet. Kesepulu), hal. 89. 10
SF. Marbun, Peradilan Tata Usaha Negara, (Yogyakarta: liberty, 2003, cet. Kedua), h. 158
22
b. Prinsip-Prinsip Independensi Adapun prinsip-prinsip independensi yang berkenaan dengan system peradilan dan ketatanegaraan, yaitu: 1) Peradilan Bebas Prinsip ini berkaitan erat dengan prinsip keadilan dan persamaan. Dalam nomokrasi islam seorang hakim memiliki kewenangan yang bebas dalam makna setiap putusan yang ia ambil bebas dari pengaruh siapapun. Seorang yuris islam terkenal Abu Hanifah berpendapat bahwa “kekuasaan kehakiman harus memiliki kebebasan dari segala macam bentuk tekanan dan campur tangan kekuasaan eksekutif, bahkan kebebasaan tersebut mencakup pula wewenang hakim untuk menjatuhkan putusannya pada seorang pengusaha apabila ia melanggar hak-haknya.” Peradilan bebas serta tidak adanya intervensi dari pihak manapun merupakan persyaratan bagi tegaknya dan efektifnya prinsip keadilan dan persamaan hukum. Dalam nomokrasi islam hal ini merupakan suatu kewajiban yang harus dilaksanakan oleh para hakim guna menunjukkan suatu ciri negara. Bahkan ia memiliki suatu kewenangan untuk melakukan ijtihat dalam menegakkan hukum.11
11
Muhammad Tahir Azhary, Negara Hukum :Suatu Studi Tentang Prinsip-Prinsipnya Dilihat dari Segi Hukum Islam, Impelementasinya pada Priode Negara Madinah dan Masa Kini, (Jakarta : kencana prenada media group, 2007, Cet. Ketiga), h. 144.
23
Pengadilan memutuskan
diberikan
peraka
wewenang
berdasrkan
oleh
tatanan
kebijaksanaannya
hukum
untuk
sendiri,
untuk
menghukum atau membebaskan terdakwa, untuk mengabulkan atau menolak gugatan penggugat, untuk menjatuhkan ata menolak menjatuhkan sanksi kepada terdakwa atau tergugat. Dalam mejatuhkan sanksi , pengadilan selalu bertindak sebagai organ pembuat undang-undang. Hal ini berarti bahwa pengadilan diberi wewenang untuk membuat norma hokum substantif yang dianggapnya memuaskan, patut atau adil bagi kasus konkret.12 Hakim juga wajib memperhatikan pula prinsip amanah, karena kekuasaan kehakiman yang berada ditangannya adalah suatu amanah dari rakyat kepadanya yang wajib ia pelihara dengan sebaik-baiknya. Sebelum, menetapkan putusan, hakim wajib bermusyawarah dengan para koleganya di dalam pengadilan agar tercapai suatu putusan yang seadil-adilnya. Putusan yang adil merupakan tujuan utama dari kekuasaan kehakiman yang bebas. 13 2) Kemandirian Hakim Hakim adalah salah satu elemen dasar dalam sistem peradilan, sebagai subjek yang melakukan tindakan putusan atas suatu perkara didalam suatu pengadilan. Hakim yang merupakan personifikasi atas
12
13
Hans Kelsen, Teori Umum Tentang Hukum dan Negara, h. 209.
Muhammad Tahir Azhary, Negara Hukum :Suatu Studi Tentang Prinsip-Prinsipnya Dilihat dari Segi Hukum Islam, Impelementasinya pada Priode Negara Madinah dan Masa Kini. h. 146.
24
hukum harus menjamin rasa keadilan bagi setiap orang yang mencari keadilan melalui proses hukum legal. Untuk menjamin rasa keadilan itu maka seorang hakim dibatasi oleh rambu-rambu, sperti : integritas, moral dan etika, transparansi, dan pengawasan. Franken, ahli hukum belanda, menyatakan bahwa independensi kekuasaan kehakiman dapat dibedakan ke dalam 4 (empat) bentuk, yaitu: 1. Independensi
konstitusional
(contitutionele
onafhankelijkheid)
adalah
independensi yang dihubungkan dengan doktrin trias poltica kekuasaan kehakiman harus independen dalam arti kedudukan lembaganya harus bebas dari pengaruh politik. 2. Independensi
fungsional
independensi hakim
(zakellijke
of
functionele
onafhankelijkheid),
berarti bahwa setiap hakim boleh menjalankan
kebebasaannya untuk menafsirkan undang-undang apabila undang-undang tidak memberikan pengertian yang jelas. Independensi fungsional dapat dipandang sebagai pembatasan, dimana seorang hakim tidak boleh memtuskan suatu perkara tanpa dasar hukum, dan juga dpat dipandang dalam kondisi tertentu, hakim atau lembaga kekuasaan kehakiman data mencabut suatu ketentuan perundang-undangan yang bertentangan dengan keadilan dan konstitusi. Hal ini berkaitan dengan suatu sengketa dan hakim harus memberikan suatu putusan. 3. Independensi
personal
hakim
(persoonlijke
of
rechtsposionele
onafhankelijkheid) adalah mengenai kebebasan hakim secara individu ketika
25
berhadapan dengan suatu sengketa. Independensi fungsional harus dilihat sebagai hasil dari independensi personal hakim. Independensi personal memiiki hubungan langsung dengan tugas-tugas yang ditetapkan oleh konstitusi. 4. Independensi praktis (praktische of fitelijke onafhankelikheid)
adalah
independensi hakim untuk tidak berpihak (imprsial). Hakim harus mengikuti perkembangan masyarakat yang dapat dibaca dan disaksikan dari media, tetapi tidak boleh mengambil begitu saja kata-kata dari media dan desakan-desakan dari masyarakat tanpa mempertimbangkan dan harus diuji secara kritis dengan ketentuan hukum yang sudah ada. Hakim harus mengetahui sampai sejauhmana dapat menerapkan norma-norma sosial ke dalam kehidupan masyaraka.
B. Kekuasaan Kehakiman di Indonesia Kekuasaan kehakiman yang merdeka diartikan sebagai pelaksanaan peradilan yang bebas dan tidak memihak yang dilakukan oleh hakim untuk menyelesaikan berbagai masalah hukum yang diajukan ke pengadilan. Kekuasaan kehakiman yag merdeka ini merupakan element mutlak yang harus ada di dalam sebuah negara yang berpredikat negara hukum. Menururt C.S.T. Kansil dan Christine ST Kansil,14 kekuasaan kehakiman ini mengandung pengertian di dalamnya kekuasaan kehakiman yang bebas dari campur tangan pihak kekuasaan negara lainnya, bebas dari paksaan, dan 14
C.s.t. Kansil dan Christine st Kansil, Hukum Tata Negara RI Jilid I, (jakarta: rineka cipta, 19884), h. 191-192.
26
rekomendasi yang datang dari ekstra yudisial dalam hal-hal yang diizinkan undang-undang. Kebebasan dalam melaksanakan wewenang yudisial tidaklah mutlak sifatnya karena tugas hukim adalah untuk menegakkan hukum dan keadilan berdaasarkan pancasila dengan menafsirkan hukum dan mencari dasardasar, asas-asas yang menjadi landasannya. Pentingnya kekuasaan yudikatif yang merdeka dari segala bentuk intervensi dari beberapa kekuasaan lainnya juga dibahas dalam studi hukum kelembagaan negara. Montesquieu mengemukakan15 pentingnya kekuasaan yudikatif karena kekuasaan kehakiman yang independen menjamin kebebasaan individu dan hak asasi manusia. prinsip persamaan di muka hukum merupakan elemen yang penting dalam konsep rule of law. Selanjutnya Montesquieu mengatakan16 kebebasan pun tidak ada jika kekuasaan kehakiman tidak dipisahkan dari kekuasaan legislatif dan kekuasaan eksekutif. Jika kekuasaan kehakiman disatukan dengan kekuasaan legislatif, kekuasaan atas kehidupan dan kebebasaan warga negara akan dijalankan sewenang-wenang karena hakim akan menjadi pembual hukum. Jika kekuasaan kehakiman disatukan dengan kekuasaan eksekutif, hakim bisa jadi penindas. Kemandirian kekuasaan kehakiman perlu kita garis bawahi bahwa tidak saja mandiri secara kelembagaan, tetapi juga harus menjaga kemandirian dalam 15
Andi. M. Nasrun, Krisis Peradilan Mahkamah Agung Dibawah Soeharto, (jakarta: elsam, 2004), h. 32. 16
Andi. M. Nasrun, Krisis Peradilan Mahkamah Agung Dibawah Soeharto, h. 48
27
proses peradilan yang dapat diindikasikan dari proses pemeriksaan perkara, pembuktian , hingga pada vonis yang dijatuhkan. Parameter mandiri atau tidaknya proses peradilan ditandai oleh ada atau tidaknya intervensi dari pihak-pihak lain di luar kekuasaan kehakiman seperti kekuasaan legislatif maupun kekuasaan eksekutif. Kemandirian hakim sangat penting adanya karena hakim secara fungsional merupakan inti dalam proses penyelenggaraan peradilan. Indikator mandiri atau tidaknya hakim dalam memeriksa perkara dapat dilihat dari kemampuan hakim dalam menjaga integritas moral dan komitmen kebebasan profesinya dalam menjalankan amanat dari adanya campur pihak lain dalam proses peradilan. Namun yang perlu juga dipahami bahwa jaminan independensi kekuasaan kehakiman bukan berarti tidak boleh ada pihak selain dari lembaga peradilan untuk mengurusi sesuatu yang berhubungan dengan hakim dan peradilan.17 Rumusan tentang kekuasaan kehakiman diatur dalam bab IX pasal 24 Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang selengkapnya berbunyi: “kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”. 18 apabila 17
Sirajuddin, Komisi Yudisial dan Eksaminasi Publik I, (Bandung, pt. Citra aditya bakti, 2006),
18
Mahkamah Agung RI, Cetak Biru Pembaharuan Mahkamah Agung, (jakarta: MARI, 2003),
h. 34.
h. 8.
28
sesuatu telah diatur langsung di dalam konstitusi sebuah negara maka hal itu menjadi kewajiban yang harus dilaksanakan oleh pemerintahan dari negara tersebut. Mengenai hal ini secara eksplisit telah diamanatkan dalam konsideran huruf a Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 tentang perubahan atas UndangUndang Nomor 14 Tahun 1970 dan Undang-Undnag Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang kemudian diubah lagi dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, telah menentukan bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang mandiri dan terlepas dari kekuasaan pemerintah, sehingga dipandang perlu melaksanakan pemisahan tegas antara fungsi-fungsi yudikatif dan eksekutif.
C. Teori Pembagian Kekuasaan Dan Kaitannya Dengan Kekuasaan Kehakiman Di Indonesia Salah satu ciri negara hukum, yang dalam bahasa Inggris disebut legal state atau state based on the rule of law, dalam bahasa Belanda dan Jerman disebut rechtsstaat, adalah adanya ciri pembatasan kekuasaan dalam penyelenggaraan kekuasaan negara. Meskipun kedua istilah rechtsstaat dan rule of law itu memiliki latar belakang sejarah dan pengertian yan berbeda, tetapi sama-sama mengandung ide pembatasan kekuasaan. pembatasaan itu dilakukan dengan hukum yang kemudian menjadi ide dasar paham konstitusionalisme modern. Oleh karena itu, konsep negara hukum juga disebut sebagai negara konstitusional atau
29
constitutional state, yaitu negara yang dibatasi oleh konstitusi. Dalam konteks yang sama, gagasan negara demokrasi atau kedaulatan rakyat disebut pula dengan istilah constitutional democracy yang dihubungkan dengan pengertian negara demokrasi yang berdasarkan atas hukum.19 Upaya untuk mengadakan pembatasan terhadap kekuasaan itu tidak berhenti hanya degan munculnya gerakan pemisahan antara kekuasaan raja dan kekuasaan pendeta serta pimpinan gereja. Upaya pembatasan kekuasaan juga dilakukan dengan mengadakan pola-pola pembatasan di dalam pengelolaan internal kekuasaan negara itu sendiri, yaitu dengan mengadakan pembedaan dan pemisahan kekuasaan negara ke dalam beberapa fungsi yang berbeda-beda. Dalam hubungan ini, yang dapat dianggap paling berpengaruh pemikirannya dalam mengadakan pembedaan fungsi-fungsi kekuasaan itu adalah Montesquieu dengan teori trias politica-nya, yaitu cabang kekuasaan legislatif, cabang eksekutif atau administratif, dan cabang kekuasaan yudisial. Menurut Montesquieu, dalam bukunya “L’Esprit des Lois” (1748), yang mengikuti jalan pikiran Jhon Locke, membagi kekuasaan negara dalam tiga (3) cabang yaitu; (i) kekuasaan legislatif sebagai pembuat undang-undang; (ii) kekuasaan eksekutif yang melaksanakan; dan (iii) kekuasaan untuk menghakimi atau yudikatif. Dari klasifikasi Montesquieu inilah dikenal pembagia kekuasaan negara modern dalam tiga fungsi, yaitu legislatif ( the legislative function ),
19
281.
Jimly Assiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, ( jakarta : rajawali pers, 2010), h.
30
eksekutif ( the executive or adminitrative function), dan yudisial ( teh judicial function ).20 Istilah trias politika berasal dari bahasa Yunani yang artinya “politik tiga serangkai”. Menurut ajaran trias politika dalam tiap pemerintahan negara harus ada tiga jenis kekuasaan yang tidak dapat dipegang oleh satu tangan saja, melainkan harus masing-masing kekuasaan itu terpisah. Ajaran trias politica ini nyata-nyata bertentangan dengan kekuasaan yang bersimaharajalela pada zaman feodalisme dalam abad pertengahan. Pada zaman itu yang memegang ketiga kekuasaan dalam negara iyalah seorang raja, yang membuat sendiri undang-undang, yang menjalankannya dan menghukum segala pelanggaran atas undang-undang yang dibuat dan dijalankan oleh raja tersebut.21 Pengalaman ketatanegaraan indonesia, memandang istilah “pemisahan kekuasaan” ( separation of power ) itu sendiri cenderung dikonotasikan dengan pendapat Montesquieu secara absolut. Konsep pemisahan kekuasaan tersebut dibedakan secara diametral dari konsep pembagian kekuasaan ( division of power ) yang dikaitkan dengan sistem supremasi MPR yang secara mutlak menolak ide pemisahan kekuasaan ala trias politika Montesquieu.22
20
Jimly Assiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, h. 282-283.
21
C.S.T. Kansil, Sisitem Pemerintahan Indonesia, ( jakarta : bumi aksara, 1993 ), h. 11.
22
Jimly assiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, h. 290.
31
1. Kekuasaan legislatif Kekuasaan untuk membuat undang-undang harus terletak dalam suatu badan yang berhak khusus untuk itu. Jika penyusunan undang-undang tidak diletakkan pada suatu badan terentu, maka mungkinlah tiap golongan atau tiap orang mengadakan undang-undang untuk kepentingannya sendiri. Indonesia sebagai negara yang menganut paham demokrasi maka peraturan perundangan harus berdasarkan kedalatan rakyat, maka badan perwakilan rakyat yang harus dianggap sebagai badan yang mempunyai kekuasaan tertinggi untuk menyusun undang-undang dan ialah yang dinamakan legislatif.23 Lembaga Perwakilan Rakyat memiliki empat (4) fungsi pokok yaitu sebagai berikut: a. Fungsi representasi (perwakilan) 1) Representasi formal 2) Representasi aspirasi b. Funfsi pengawasan (kontrol) 1) Pengawasan atas penentuan kebijakan (control of policy making) 2) Pengawasan atas pelaksanaan kebijakan (control of policy executing) 3) Pengawasan atas penganggaran dan belanja negara (control of budgeting)
23
C.S.T. Kansil, Sistem Pemerintahan Indonesia, h. 12.
32
4) Pengawasan atas pelaksanaan anggaran dan belanja daerah (control of budget implementation) 5) Pengawasan
atas
kinerja
pemerintahan
(control
of
goverment
performances) 6) Pengawasan terhadap pengangkatan pejabat publik (control of political appointment of public officials) dalam bentuk pengawasan atau penolakan, ataupun dalam bentuk pemberian pertimbangan oleh DPR. c. Fungsi pengaturan atau legislasi menyangkut empat bentuk kegiatan, yaitu: 1) Prakarsa pembuatan undang-undang (legislative initiation) 2) Pembahasan rancangan undang-undang ( law making process) 3) Persetujuan atas pengesahan rancangan undang-undang (law enactment approval) 4) Pemberian persetujuan pengikatan atau ratifikasi atas perjanjian atau persetujuan dan dokumen-dokumen hukum yang mengikat lainnya (binding decision making on international agreement and treaties or other legal binding documents). d. Fungsi deliberasi dan resolusi konflik: 1) Perdebatan publik dalam rangka rule and policy making 2) Perdebatan dalam rangka menjalankan pengawasan 3) Menyalurkan aspirasi dan kepentingan yang beranekaragam
33
4) Memberikan solusi saluran damai terhadap konflik sosial24 2. Kekuasaan eksekutif Kekuasaan menjalankan undang-undang ini dipegang oleh kepala negara. Kepala negara tentu tidak dapat dengan sendirinya menjalankan segala undang-undang ini. Oleh karena itu kekuasaan dari
kepala negara
dilimpahkannya
pejabat-pejabat
(didelegasikannya)
kepada
pemerintahan/negara yang bersama-sama merupakan suatu badan pelaksana undang-undang
(badan
eksekutif).
Badan
inilah
yang
berkewajiban
menjalankan kekuasaan eksekutif.25 Cabang kekuasaan eksekutif adalah cabang kekuasaan yang memegang kewenangan administrasi pemerintahan negara tertinggi.26 3. Kekuasaan yudisial a. Kedudukan kekuasaan kehakiman Pemisahan kekuasaan juga terkait erat dengan independensi peradilan. Dalam sistem negara modern, cabang kekuasaan kehakiman atau judiciary merupakan cabang yang diorganisasikan secara tersendiri. Prinsip pemisahan kekuasaan (separation of power) itu menghendaki bahwa para hakim dapat
24
Jimly Assiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, h. 309-310.
25
C.S.T. Kansil, Sistem Pemerintahan Indonesia, h. 12.
26
C.S.T. Kansil, Sistem Pemerintahan Indonesia, h. 323.
34
bekerja secara independen dari pengaruh kekuasaan eksekutif dan legislatif.27 Salah satu ciri yang dianggap penting dalam setiap negara hukum yang demokratis (democratische rechtsstaat) ataupun negara demokrasi yang berdasarkan atas hukum (constitutional democracy) adalah adanya kekuasaan kehakiman yang independen dan tidak berpihak (independent and impartial). Apa pun sistem hukum yang dipakai dan sistem pemerintahan yang dianut, pelaksanaan the principles of independence and impartiality of the judiciary harus benar-benar dijamin di setiap negara demookrasi konstitusional.28 b. Beberapa prinsip pokok kehakiman Secara umum dapat dikemukakan ada dua prinsip yang biasa dipandang sangat pokok dalam sistem peradilan, yaitu (i) teh principle of judicial independence, dan (ii) the principle judicial impartiality. Kedua prinsip ini diakui sebagai prasyarat pokok sistem di semua negara yang disebut hukum modern atau modern constitutional state. Prinsip independensi itu sendiri antara lain harus diwujudkan dalam sikap para hakim dalam memeriksa dan memutus perkara yang dihadapinya. Di samping itu, independensi juga tercermin dalam berbagai pengaturan mengenai hal-hal yang berkaitan dengan pengangkatan, masa kerja, 27
Jimly Assiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, h. 310.
28
Jimly Assiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, h. 313.
35
pengembangan karier, sistem penggajian, dan pemberhentian para hakim. Prinsip kedua yang sangat penting adalah prinsip ketidakberpihakkan (the principle of impartiality). Dalam praktik, ketidakberpihakkan atau impartiality itu sendiri mengandung makna dibutuhkannya hakim yang tidak saja bekerja secara imparsial (to be impartial), tetapi juga terlihat bekerja secara imarsial (to appear to be imparcial). Dalam the bangalore principle, tercantum adanya enam (6) prinsip penting yang harus dijadikan pegangan bagi para hakim di dunia, yaitu prinsip-prinsip independence, impartiality, integrity, propriety, equality, dan competence and diligence.29
29
Jimly Assiddiqie, Pengantal Ilmu Hukum Tata Negara, h. 316-317.
BAB III PERADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL
A. Sejarah dan Dasar Hukum Peradilan Hubungan Industrial 1. Zaman Hindia Belanda Zaman Hindia Belanda, perselisihan perburuhan biasanya dibedabedakan antara perselisihan
hak (rechtsgeschillen) dan perselisihan
kepentingan (belangen-geschillen). Reglement op de rechtelijke organisatie en het beleid der justitie in indonesie (R.O. Stbl. 1847 nr. 23) pasal 116g menetapkan bahwa perselisihan hak diadili oleh hakim residensi (residentie rechter). Perselisihan hak dianggap terjadi karena salah satu pihak melakukan wanprestasi atau melanggar perjanjian kerja. Anggapan ini merupakan penjelmaan dari prinsip-prinsip umum hubungan kerja yang berkembang dalam alam liberal. Hubungan kerja dipandang sebagai perjanjian yang secara bebas diadakan para pihak yang kedudukannya sama kuar dengan tujuan tukar menukar pekerjaan dengan pembayaran upah. Jadi dianggap sebagai perjanjian biasa sebagaimana perjanjian yang diatur dalam Undang-Undang
hukum
perdata
(KUHPerdata).
Oleh
karena
itu,
penyelesaian perselisihan hak merupakan yurisdiksi hakim residensi (semacam peradilan negeri).1 Adapun penyelesaian perselisihan kepentingan diproses oleh dewan pendamai (verzoeningsraad). Tugas dewan pendamai adalah memberi
1
Imam Soepomo, Pengantar Hukum Perburuhan, (Jakarta: Djambatan, 2003), h. 132.
36
37
perantara jika diperusahaan timbul atau akan timbul perselisihan perburuhan yang akan atau telah mengakibatkan suatu pemogokan atau dapat merugikan kepentingan umum. Pada tahun 1939 ditetapkan peraturan tentang panitia penyelidik perselisihan perburuhan di perusahaan swasta di luar perusahaan kereta api dan trem (Stbl. 1939 No. 407). Menurut peraturan ini, jika timbul perselisihan perburuhan diusahakan pendamaian dan anjuran oleh seorang atau beberapa orang pegawai atau suatu panitia yang ditunjuk oleh direktur justisi.2 Meskipun pada zaman penjajahan, hubungan perburuhan baru ada pada titik awal, namun pemerintah hindi belanda telah menyiapkan institusi dan peraturan untuk melindungi tenaga kerja. Bahkan perselisihan perburuhan sudah mulai mendapat perhatian dari pemerintah dan disalurkan dengan baik.sedangkan selama pendudukan Jepang , gerakan buruh sangat tertekan. Bahkan organisasi buruh yang bebas dihapuskan dan dalam kondisi ekonomi perang, perekonomian dihadapkan pada kesulitan yang luar biasa. Industri yang ada dialihkan untuk mendukung kepentingan perang. Dengan demikian kondisi kehidupan hubungan industrial ada pada titik nadirnya.3
2
3
Imam Soepomo, Pengantar Hukum Perburuhan, h, 8.
Oetoyo Oesman, Perkembangan Hubungan Industrial Di Indonesia, Artikel dimuat dalam Majalah Hubungan Industrial no. 6 th, III, 2002.
38
2. Pasca Kemerdekaan a. Instruksi Mentri Perburuhan No. PBU 1022-45/U 4091 Tahun 19511 Sebelum pengakuan kedaulatan, perselisihan perburuhan belum meningkat pada taraf
yang penting, karena pada waktu itu rakyat
indonesia termasuk buruh dan organisasinya sibuk mencurahkan perhatian pada cita-cita kemerdekaan. Oleh karena itu, perjuangan buruh pada waktu itu cenderung bersifat politis. Lagipula perusahaanperusahaan yang penting dikuasai negara sehingga perselisihan antar buruh dan majikan tidak terasa. Setelah pengakuan kedaulatan, kaum pekerja menyadari hal-hal yang sebelumnya masih bersifat perjuangan politis, sedikit demi sedikit mulai menuntut soal kesejahteraan sosial, perbaikan upah, tunjangan, jaminan kesehatan dan lain-lain. Aksi mereka tidak selalu berjalan mulus. Kadang-kadang malah mendapattantangan dari pihak majikansehingga terjadi perselisihan perburuhan yang berujung pada aksi pemogokan. Pemerintah pada priode ini sagat mendorong kehidupan demokrasi dan pertumbuhan serikat pekerja menjamin hak berorganisasi, sayangnya dalam kehidupan berorganisasi, tujuan hubungan industrial untuk mencapai ketenangan kerja mengalami kendala karena organisasi pekerjanya terfragmentasi mengikuti polarisasi ideologi politik. Posisi buruh menjadi lemah dan kesejahteraannya kurang mendapat perhatian.4
4
Oetoyo oesman, Perkembanganhubungan Industrial di Indonesia, h. 40.
39
Sampai pada pemulaan tahun 1951, indonesia belum mempunyai Undang-undang
yang
khusus
untuk
menyelesaikan
perselisihan
perburuhan. Sengketa yang terjadi antara majikan dan buruh diselasaikan dan diurus oleh mereka sendiri secara sukarela dan kapan perlu di intervensi oleh pegawai kementrian perburuhan baik di daeraha maupun pusat yang berpedoman pada instruksi mentri perburuhan tanggal 20 Oktober 1950 no. Pbu 1022-45/u 4091 tentang cara penyelesaian perselisihan
perburuhan.
Kantor-kantor
perburuhan
memproses
penyelesaian secara aktif melalui perantara atau pendamaian dan jika dikehendaki oleh para pihak yang berselisih dapat diselesaikan melalui pemisahan.5 b. Peraturan Kekuasaan militer No. 1 Tahun 1951 Cara penyelesaian perselisihan perburuhan yang bersifat sukarala ternyata tidak dapat mengatasi situasi kegelisahan di dunia perburuhan yang terus meningkat akibat pemogokan yang sangat banyak terjadi. Oleh karena itu, berdasarkan Undang-Undang keadaan perang dan territorium mengeluarkan peraturan yang oleh umum dikenal sebagai larangan mogok di perusahaan-perusahaan vital. Akan tetapi pemogokan terus terjadi dan sebagai upaya meredakan situasi yang tidak menentu pada waktu itu. Kekuasaan militer pusat dengan persetujuan dewan
5
Imam Soepomo, Pengantar Hukum Perburuhan, h. 139.
40
menteri menetapkan peraturan penyelesaian pertikaian perburuhan (peraturan kekuasaan militer tanggal 13 Februari 1951 No. 1).6 Menurut peraturan ini, penyelesaian perlisihan di perusahaan vital diputuskan secara mengikat oleh panitia penyelesaian pertikaian perburuhan (P4) yang berada di pusat. Sedangkan perselisihan perburuhan di perusahaan yang tidak vital di selesaikan secara mendamaikan (conciliation) oleh instansi penyelesaian pertikaian perburuhan (IP3) di daerah-daerah. Apabila usaha penyelasaian pertikaian oleh instansi tidak berhaasil, maka kasusnya diajukan kepada P4 untuk memperoleh anjuran terakhir.7 c. Undang-Undang
Darurat
Nomor
16
Tahun
1951
Tentang
Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Peraturan kekuasaan militer juga dianggap tidak begitu efektif mengatasi persoalan di bidang perburuhan terutama dalam hal pelaksanaannya. Peraturan ini pada hakekatnya melarang buruh untuk mogok. Larangan mogok ini dianggap bertentangan dengan pasal 21 UUDS 1950. Untuk mengatasi masalah ini, pemerintah pada 17 september 1951 mencabut Peraturan Kekuasaan Militer Nomor 1 tahun 1951 dan menetapkan UU Darurat Nomor 16 Tahun 1951 tentang penyelesaian perselisihan perburuhan. Meskipun Undang-Undang darurat ini belum sempurna tetapi dalam beberapa hal sudah dianggap sebagai 6
7
Imam Soepomo, Pengantar Hukum Perburuhan, h. 132.
Supomo Suparman, Hukum Acara Peradilan Hubungan Industrial: Tata Cara Penyelesaian Sengketa Perburuhan, (Jakarta: Jala Permata Kasara, 2008), h. 10.
41
pembaruan jika dibandingkan dengan peraturan kekuasaan militer tersebut.
Tujuan
perselisihan
Undang-Undang
antara
mempergunakan
buruh
senjata
dan
darurat
adalah
majikansecara
pemogokan
atau
lock
menyelesaikan damai out
sebelum (penutupan
perusahaan).8 Perselisihan hak menurut reglement op de rechtlijke organisatieen het beeid der justitie jo. Undang-Undang darurat tersebut masuk wewenang pengadilan negeri. Oleh karena itu, soal perselisihan hak dapat diajukan kepada pengadilan negeri disamping perkaranya diurus oleh panitia yang diadakan oleh Undang-Undang darurat tersebut. Sedangkan buruh perseorangan hanya dapat megajukan perkara perselisihan hak kepada pengadilan negeri.9 Sedangkan perselisihan kepentingan diselesaikan melalui beberapa tahapan. Pertama melalui perundingan dan apabila gagal diajukan ke panitia penyelesaian perselisihan perburuhan daerah (P4D). Jika proses P4D juga gagal, dapat diajukan ke panitia penyelesaian perselisihan perburuhan pusat 9P4p). Putusan P4P dapat berupa anjuran atau putusan yang mengikat. Yaitu apabila dianggap perlu untuk mengakhiri
8
Wirjono Projodikuro, Hukum Perdata tentang Persetujuan Tertentu (Bandung: Ghali Bandung 1961), h. 83. 9
Imam soepomo, Pengantar Hukum Perburuhan , h. 140.
42
perselisihan disuatu perusahaan yang amat penting yang dapat membahayankan kepentingan umum atau kepentingan negara.10 Pelaksanaan Undang-Undang darurat seringkali mendapat kecaman dari pihak serikat buruh karena dianggap sebagai peraturan pengkangan hak mogok. Pihak yang hendak mengadakan tindakan (pemogokan atau penutupan perusahaan) harus memberitahukan maksudnya secara tertulis kepada P4D. Pelanggaran atas ketentuan ini diancam dengan pidana. Rangkaian ketentuan ini tidak memungkinkan serikat buruh untuk menekan pihak majikan dengan jalan pemogokan.11 d. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1957 Tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1964 Tentang Pemutusan Hubungan Kerja Pemerintah dengan persetujuan perlemen pada tanggal 8 april 1957 mengeluarkan Undang-Undang Nomor 22 tahun 1957 tentang penyelesaian perselisihan perburuhan yang dinyatakan mulai berlaku 1 juni 1958 dan sekaligus mencabut Undang-Undang darurat Nomor 16 tahun 1951.12 Menurut Undang-Undang ini, perselisihan perburuhan adalah pertentangan antara majikan atau perkumpulan majikan dengan serikat buruh atau gabungan serikat buruh. Berhubung dengan tidak
10
Supomo Soeparman, Hukum Acara Peradilan Hubungan Industrial: Tata Cara Penyelesaian Sengketa Perburuhan , h. 11. 11
Supomo Soeparman, Hukum Acara Peradilan Hubungan Industrial , h. 13.
12
Zayeni Asyhadie, Peradilan Hubungan Industrial, h. 76.
43
adanya persesuaian paham mengenai hubungan kerja, syarat-syarat kerja dan/atau keadaan perburuhan.13 Undang-Undang
tersebut
hanya
mengatur
penyelesaian
perselisihan antara majikan dan serikat buruh. Perselisihan antara majikan dan buruh perseorangan atau sekelompok buruh tidak lagi diatur. Dengan hanya memperkenankan serikat buruh atau gabungan serikat buruh untuk berperkara, dikandung maksud agar semua buruh akan masuk menjadi anggota serikat buruh. Di era Undang-Undang ini semua jenis
perselisihan
merupakan
wewenang
panitia
penyelesaian
perselisihan. Dengan demikian maka perselisihan hak tidak lagi menjadi wewenang pengadilan negeri.14 Hal terpenting dari Undang-Undang Nomor 22 tahun 1957 adalah perubahan susunan panitia penyelesaian perselisihan. Di puasat tidak lagi terdiri dari menteri-menteri dan di daerah tidak hanya terdiri dari wakilwakil kementrian, tetapi susunannya sudah berbentuk dewan tripartit dengan ketua wakil kementrian perburuhan dan anggota terdiri dari wakil-wakil
kementrian
perindustrian,
keuangan,
pertanian,
perhubungan, lima wakil buruh dan lima wakil pengusaha.15
13
Supomo Soeparman, Hukum Acara Peradilan Hubungan Industrial: Tata Cara Penyelesaian Sengketa Perburuhan , h. 15. 14
15
Imam Soepomo, Pengantar Hukum Perburuhan , h. 137.
Supamo Suparman, Hukum Acara Peradilan Hubungan Industrial: Tata Cara Penyelesaian Sengketa Perburuhan , h. 13.
44
Susunan panitia penyelesaian perseisihan dengan demikian, perbandingan wakil pemerintah, buruh dan pengusaha pada pnitia daerah dan pusat adalah 5:5:5 dengan adanya badan tripartit ini diharapkan penyelesaian
perselisihan
perburuhan
akan
lebih
dapat
mempertimbangkan keentingan buruh, pengusaha dan umm sebagai kepentingan bersama.16 Tahap penyelesaian perselisihan terlebih dahulu harus diselesaikan melalui perundingan. Jika proses perundingan gagal maka para pihak dapat memilih penyelesaian melalui arbitrase. Jika para pihak tidak memilih arbitrase maka penyelesaian perselisihan diserahkan kepada pegaewai perantara. Perselisihan yang tidak selesai di tahap perantara, selanjutnya
diserahkan
kepada
panitia
penyelesaian
perselisihan
perburuhan daerah (P4D). P4D berhak memberikan putusan yang bersifat anjuran dalam hal-hal tertentu dan berhak pula memberikan putusan yang bersifat mengikat. Terhadap putusan P4D yang bersifat mengikat, salah satu pihak dapat melakukan permintaan pemeriksaan ulang pada panitia penyelesaian perselisihan perburuhan pusat (P4P). Putusan P4P bersifat mengikat dan dapat dilaksanakan dalam waktu 14 hari setelah putusan itu, apabila menteri perburuhan tidak membatalkan putusan atau menunda putusan tersebut untuk kepentingan umum. Hal lai yang sangat mendasar adalah dengan ditetapkannya putusan panitia penyelesaian perselisihan perburuhan pusat (P4P) sebagai objek sengketa tata usaha
16
Supamo Suparman, Hukum Acara Peradilan Hubungan Industrial, h. 14.
45
negara, sebagaiamana diatur dalam Undang-Undang nomor 5 tahun 1986 tentang peradilan tata usaha negara. Dengan adanya ketentuan ini, maka jalan yang harus ditempuh baik oleh pihak pekerja/buruh maupun oleh pengusaha untuk mencari keadilan menjadi semakin panjang.17 Dengan demikian maka putusan P4P tidak lagi mengikat dan final karena dapat digugat di pengadilan tinggi tata usaha negara (PTTUN). Untuk selanjutnya, terhadap putusan PTTUN yang ditolak, dapat diajukan kasasi ke mahkamah angung.
e. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Puluhan tahun lamanya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1957 dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1964 ini berlaku, sampai akhirnya dicabut setelah pemerintah mengesahkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang penyelesaian perselisihan hubungan industrial (UU PPHI) pada tanggal 14 januari 2004. Dalam konsiderannya antara lain dinyatakan bahwa dalam era industrialisasi, masalah perselisihan hubungan industrial menjadi semakin meningkat dan kompleks, sehingga diperlukan institusi dan mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang cepat, tetap adil dan murah.
17
Zaeni Asyhadie, Peradilan Hubungan Industrial, h. 92.
46
Penjelasan umum menyatakan bahwa Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1957 tidak dapat lagi mengakomodasi perkembangan yang terjadi
karena
hak-hak
pekerja/buruh
perseorangan
belum
terakomodasi untuk menjadi pihak dalam perselisihan hubungan industrial. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1957 hanya mengatur penyelesaian perselisihan hak dan perselisihan kepentingan secara kolektif.18 Lahirnya UU PPHI ini membawa perubahan fundamental, utamanya mengenai mekanisme yang harus ditempuh dalam setiap perselisihan. Karena atas dasar UU PPHI inilah didirikannya pengadilan hubungan industrial dalam lingkungan peradilan umum (dalam hal ini pengadilan negeri).19 Hal ini juga membawa perubahan baik dari segi kelembagaan, mekanisme maupun mengenai jenis-jenis perselisihan hubungan industrial. Dengan demikian, maka mulai tahun 2006 komunitas perburuhan di indonesia memasuki babak baru dalam tata cara penyelesaian perselisihan hubungan industrial.
B. Penyelesaian Sengketa Di Lingkungan Peradilan Hubungan Industrial 1. Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Di Luar Pengadilan Penyelesaian Sengketa Hubungan Industrial sebelum dilangsungkan di pengadilan negeri selalu diupayakan dilaksanakan
penyelesaian
18
Gunawan Oetomo, Pengantar Hukum Perburuhan dan Hukum Perburuhan di Indonesia (Jakarta: Dradhika Binangkit Press, 2006), h. 102-103. 19
Agusmidah, Hukum Ketenagakerjaan Indonesia Dinamika dan Kajian Teori,(Bogor: Ghalia Indonesia, 2010), h. 160.
47
sengketa hubungan industrial di luar pengadilan, dengan maksud agar ada upaya damai antaran ke duabelah pihak, namun apabila antara mereka tidak bisa di damaikan barulah penyelesaian sengketa di lakukan melalui pengadilan negeri atau litigasi. Jenis perselisihan hubungan industrial sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 2 UU 2/2004 meliputi: (a) Perselisihan hak, (b) Perselisihan kepentingan, (c) Perselisihan pemutusan hubungan kerja; dan (d) Perselisihan antarserikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan. Adapun tata cara penyelesaian perselisihan hubungan industrial di luar pengadilan (non litigasi), terdiri atas: a. Penyelesaian Melalui Bipartit Penyelesaian perselisihan yang terbaik adalah penyelesaian oleh para pihak yang berselisih secara musyawarah mufakat tanpa ikut campur pihak lain, sehingga dapat memperoleh
hasil yang
menguntungkan kedua belah pihak.20 Perundingan Bipartit adalah perundingan antara pekerja/ buruh atau serikat pekerja/serikat buruh dengan pengusaha untuk menyelesaikan
perselisihan
hubungan
industrial. Pasal 3 ayat (1) UU 2/2004 mengatur secara substansial bahwa:
"Perselisihan
hubungan
industrial
wajib
diupayakan
penyelesaiannya terlebih dahulu melalui perundingan bipartit secara musyawarah untuk mencapai mufakat." Selanjutnya, Pasal 136 ayat (1) UU 13/2003, juga mengatur bahwa: "Penyelesaian perselisihan 20
Lalu Husni, Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Melalui Pengadilan dan di Luar Pengadilan (jakarta: pt raja grafindo persada, 2004), h. 53.
48
hubungan
industrial wajib
dilaksanakan
oleh
pengusaha
dan
pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh secara musyawarah untuk mufakat." Perundingan bipartit, merupakan:21 "Perundingan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dan pekerja atau serikat pekerja/serikat buruh atau antara serikat pekerja/serikat buruh dan serikat pekerja/serikat buruh yang lain dalam satu perusahaan yang berselisih." Dari ketentuan tersebut pada gilirannya diperoleh pemahaman bahwa
setiap perselisihan
perselisihannya,
wajib
hubungan untuk
industrial,
terlebih
apa
dahulu
pun
jenis
diupayakan
penyelesaiannya secara bipartit. Dengan pengungkapan kata yang lain, prosedur dan mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial secara bipartit adalah bersifat imperatif. Sekiranya para pihak yang berselisih berkeinginan untuk menyelesaikan perselisihannya dengan mekanisme lain, seperti halnya mediasi, konsiliasi, arbitrase, ataupun melalui PHI, mekanisme tersebut baru bisa ditempuh jika sebelumnya telah ditempuh cara penyelesaian secara bipartit. b. Penyelesaian Melalui Mediasi Penyelesaian melalui mediasi (mediation) ini dilakukan melalui seorang penengah yang disebut mediator. Mediasi adalah intervensi terhadap suatu sengketa oleh pihak ketiga yang dapat diterima, tidak berpihak dan netral serta membantu para pihak yang berselisih mencapai 21
Penjelasan Pasal 3 ayat (1) UU 2/2004
49
kesepakatan
secara
sukarela
terhadap
permasalahan
yang
disengketakan.22 UU PPHI pasal 1 angka 11 menyebutkan bahwa Mediasi Hubungan
Industrial
yang
selanjutnya
disebut
mediasi
adalah
penyelesaian perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan antarserikat pekerja/serikat buruh hanya dalam suatu perusahaan melalui musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau lebih mediator yang netral. Sedangkan mediator Hubungan Industrial yang selanjutnya disebut mediator adalah pegawai
instansi
pemerintah
yang bertanggung jawab dibidang
ketenagakerjaan yang memenuhi syarat-syarat sebagai mediator yang ditetapkan oleh menteri
untuk bertugas melakukan mediasi dan
mempunyai kewajiban memberikan anjuran tertulis kepada para pihak yang berselisih untuk menyelesaikan perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan antarserikat pekerja/serikat buruh hanya dalam suatu perusahaan. Berdasarkan ketentuan yang berlaku umum, penyelesaian sengketa melalui mediasi tidak terdapat unsur paksaan antarpara pihak dan mediator, para pihak meminta secara sukarela kepada mediator untuk membantu penyelesaian konflik yang terjadi. Oleh karena itu, mediator hanya berkedudukan membantu para pihak agar dapat mencapai kesepakatan yang hanya dapat diputuskan oleh pihak yang berselisih. 22
Lalu Husni, Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Melalui Pengadilan dan di Luar Pengadian, h. 60.
50
c. Penyelesaian Konsiliasi Penyelesaian melalui konsiliasi (conciliation) ini dilakukan melalui seorang atau beberapa orang atau badan sebagai penengah yang disebut konsiliator dengan mempertemukan atau memberi fasilitas kepada
pihak-pihak
yang
berselisih
untuk
menyelesaikan
perselisihannya secara damai. Konsiliator ikut serta secara aktif memberikan solusi terhadap masalah yang diperselisihkan.23 UU PPHI menyebutkan bahwa Konsiliasi Hubungan Industrial yang selanjutnya disebut konsiliasi adalah penyelesaian perselisihan
kepentingan,
perselisihan pemutusan hubungan kerja, atau perselisihan antarserikat pekerja/serikat
buruh
hanya
dalam
satu
perusahaan
melalui
musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau lebih konsiliator yang netral (Pasal 1 angka 13). Sedangkan Konsiliator Hubungan Industrial yang selanjutnya disebut konsiliator adalah seorang atau lebih yang memenuhi syarat-syarat sebagai konsiliator ditetapkan oleh menteri, yang bertugas melakukan konsiliasi dan wajib memberikan anjuran tertulis kepada para pihak yang berselisih untuk menyelesaikan perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, atau perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan (Pasal 1 angka 14). d. Penyelesaian Melalui Arbitrase Penyelesaian 23
perselisihan
melalui
arbitrase pada umumnya,
Lalu Husni, Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Melalui Pengadilan dan di Luar Pengadilan, h. 63.
51
diatur dalam Undang-Undang Nomor
30
Tahun
1999
tentang
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa yang berlaku di bidang sengketa bisnis24. Umumnya, transaksi bisnis didasarkan pada hubungan simbiosis mutualis, kepercayaan di antara para pihak, tetapi hal itu tetap
tidak
akan
dapat menghilangkan kemungkinan terjadinya
perselisihan di antara para pihak, maka arbitrase hubungan industrial yang diatur dalam UU PPHI merupakan pengaturan khusus bagi penyelesaian sengketa di bidang hubungan industrial. Sesuai dengan asas hukum lex specialis derogate lex generali. Arbitrase
merupakan
proses
penyelesaian
sengketa
yang
melibatkan pihak ketiga yang netral, berdasarkan kesepakatan pihakpihak
yang berselisih. dan para pihak menyatakan akan mentaati
putusan yang diambil oleh arbiter.25 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 memberikan definisi arbitrase adalah cara penyelesaian suatu perkara perdata di luar peradilan umum yang didasarkan atas suatu perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa (Pasal1 angka 1). Hal ini berarti, bahwa arbitrase adalah perjanjian perdata yang dibuat berdasarkan kesepakatan para pihak untuk menyelesaikan sengketa mereka yang diputuskan oleh pihak ketiga yang disebut (arbiter) yang ditunjuk secara bersama-sama oleh para pihak yang bersengketa. Oleh karena penyelesaian melalui arbitrase
24
Lalu Husni, Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Melalui Pengadilan dan di luar Pengadilan, h. 72. 25
Lalu Husni, Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial , h, 133.
52
harus didasarkan atas perjanjian yang dibuat oleh para pihak, maka penyelesaian melalui arbitrase ini disebut (Contractual process).
2. Penyelesaian Melalui Pengadilan Hubungan Industrial Tugas pokok dari pengadilan adalah menerima, memeriksa dan mengadili
serta menyelesaikan perkara
yang diajukan kepadanya.
pengadilan hubungan industrial merupakan pengailan khusus yang berada pada lingkungan peradilan umum (pasal 55 UU PPHI). Untuk pertama kalinya pengadilan hubungan industrial akan dibentuk
pada setiap
pengadilan negeri yang berada di setiap ibu kota provinsi yang daerah hukumnya meliputi provinsi yang bersangkutan. Adapun di kabupaten/kota terutama yang padat industri, berdasarkan keputusan presiden harus segera dibentuk pengadilan hubungan industrial pada pengadilan negeri setempat.26 Kewenangan mutlak atau kompetensi absolut dari pengadilan hubungan industrial disebut dalam pasal 56 UU PPHI, yakni pengadilan hubungan industrial bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus: a. Ditingkat pertama mengenai perselisihan hak b. Ditingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan kepentingan c. Ditingkat pertama mengenai perselisihan pemutusan hubungan kerja d. Ditingkat pertama dan terkahir mengenai perselisihan antarserikat pekerja/serikat buruh dalam suatu perusahaan. Dalam sejarahnya perselisihan hak menurut reglement op de 26
195.
Asri Wijay, Hukum Ketenaa Kerjaan Pasca Reformasi,(jakarta: sinar grafika, 2004), h.
53
rechterlijke organisatie en het beleid der justitie in Indonesia (RO Stb 1847 No. 23) menetapkan bahwa perselisihan akibat perjanjian kerja dan perjanjian perburuhan diselesaikan oleh hakim residensi (residentie rechter). Dengan dihapuskannya hakim/pengadilan residensi oleh Undang-Undang darurat No. 1 tahun 1951, LN 1951vNo. 9, terhadap perselisihan hak menjadi kewenangan pengadilan negeri. Namun dengan perkembangan hukum yang ada (UU No. 22 tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan) juga memberikan wewenangan kepada Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan (P4P) untuk menyelesaikannya. Oleh sebab itu, terdapat dua instansi yang berwenang menyelesaikannya, yakni pengadilan negeri dan panitia penyelesaian perselisihan perburuhan. Pekerja yang terlibat perselisihan secara organisatoris jumlahnya relatif banyak sehingga untuk mempercepat penangannya dilakukan oleh P4P. Melalui UU PPHI kewenangan tersebut dikembalikan kepada pengadilan negeri (pengadilan hubungan industrial) sebagai pengadilan tingkat pertama. Pihak yang tidak puas dapat mengajukan kasasi pada mahkamah agung. Karena perselisihan hak ini merupakan perselisihan normatif yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, perjanjian kerja bersama, peraturan perusahaan, atau peraturan perundang-undangan, penyelesaiannya tidak diberikan kepada konsiliasi maupun arbitrase, tapi sebelum diajukan ke pengadilan hubungan industrial terlebih dahulu melalui mediasi.27
27
Lalu Hasni, Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Melalui Peradilan dan di Luar Peradilan, h. 83-85.
54
C. Tata Cara Pengangkatan dan Pemberhentian Hakim Ad Hoc Peradilan Hubungan Industrial 1. Pengangkatan Hakim Ad Hoc Sebagai pengadilan khusus, ada persyaratan tertentu yang harus dipenuhi oleh hakim untuk dapat menjadi hakim pada Pengadilan Hubungan Industrial. Persyaratan khusus tersebut yaitu pengetahuannya di bidang ilmu perburuhan hal ini untuk lebih memastikan pengalaman dan pengetahuan yang spesifik di bidang hukum perburuhan.28 Hakim Pengadilan Hubungan Industrial diangkat berdasarkan Surat Keputusan (SK) dan Ketua Mahkamah Agung. Untuk dapat menjabat sebagai Hakim Pengadilan Hubungan Industrial seorang Hakim harus memenuhi kriteria penting yang bersangkutan harus menguasai pengetahui
di
kewenangan menyelesaikan
bidang
masalah-masalah
yang
Pengadilan
Hubungan
Industrial
program
pelatihan
khusus
menjadi
sebagai
dan
lingkup berhasil
Hakim
pada
Pengadilan Hubungan Industrial. Seorang Hakim Ad Hoc dapat diusulkan/ditunjuk sebagai calon Hakim harus memenuhi syarat-syarat khusus diantaranya berpengalaman di bidang hubungan industrial minimal 5 (lima) Tahun. Walaupun Hakim Ad Hoc itu dicalonkan oleh induk organisasinya masing-masing baik dan serikat pekerja maupun dan organisasi Pengusaha, tapi tidak otomatis mereka dapat diterima sebagai Hakim Ad Hoc karena
28
Buku Profil Peradilan Hubungan Industrial Mei 2009. h. 32.
55
untuk menjamin keahliannya di bidang ilmu perburuhan maka para calon Hakim Ad Hoc yang diusulkan oleh organisasinya masing-masing itu diuji dan diseleksi terlebih dahulu menurut tata cara sebagaimana disebutkan dalam
Peraturan
Menteri
Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik
Indonesia Nomor PER- 01/MEN/XII/2004. Hakim Ad Hoc diangkat dengan Keputusan Presiden atas usul Ketua Mahkamah Agung.29 Calon Hakim Ad-Hoc dari unsur pekerja/buruh diusulkan oleh serikat pekerja/serikat buruh yang tercatat pada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan dan calon Hakim AdHoc dari unsur pengusaha diusulkan oleh organisasi pengusaha kepada Menteri. Pengusulan calon Hakim Ad-Hoc Pengadilan Hubungan Industrial diajukan oleh serikat pekerja/serikat
buruh dan organisasi pengusaha
dilakukan oleh serikat pekerja/serikat buruh dan organisasi pengusaha setempat kepada Menteri. Pengusulan calon Hakim Ad-Hoc pada Mahkamah Agung diajukan oleh serikat pekerja/serikat buruh dan organisasi pengusaha tingkat nasional kepada Menteri. Menteri melakukan seleksi administratif serta menetapkan daftar nominasi calon Hakim Ad-Hoc untuk diusulkan yang kemudian selanjutnya dilakukan penetapan daftar nominasi calon Hakim Ad-Hoc dilakukan berdasarkan tes tertulis. Ketentuan mengenai seleksi administratif, tata cara pelaksanaan tes tertulis dan penetapan daftar
29
Lihat Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2004 tentang Tata Cara Pengangkatan dan Pemberhentian Hakim Ad Hoc Pengadilan Hubungan Industrial dan Hakim Ad Hoc pada Mahkamah Agung.
56
nominasi Keputusan Menteri.30 Penetapan nominasi disampaikan oleh Menteri kepada Ketua Mahkamah Agung, yang kemudian Ketua Mahkamah Agung setelah menerima daftar penetapan nominasi tersebut
melakukan
seleksi
kompetensi melalui penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan calon Hakim Ad Hoc sesuai kebutuhan. Calon Hakim Ad-Hoc yang telah dinyatakan
lulus
pendidikan
dan
pelatihan
diusulkan oleh Ketua
Mahkamah Agung kepada Presiden untuk diangkat menjadi Hakim Ad-Hoc sesuai dengan formasi yang tersedia. Ketua Mahkamah Agung menetapkan penempatan Hakim Ad Hoc dalam daerah hukum Pengadilan Hubungan Industrial di tempat Hakim Ad Hoc yang bersangkutan diusulkan oleh organisasinya. Dalam hal penempatan Hakim Ad-Hoc tidak dapat dilaksanakan, maka Ketua Mahkamah Agung dapat menempatkan Hakim Ad-Hoc dari daerah lain.31 2. Pemberhentian Hakim Ad Hoc a. Pemberhentian dengan hormat Hakim Ad-Hoc Pengadilan Hubungan Industrial diberhentikan dengan hormat dari jabatannya disebabkan beberapa hal, diantaranya: 1)
Meninggal dunia;
30
Lebih lanjut dapat dilihat pada Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2004 Tata Cara Pengangkatan dan Pemberhentian Hakim Ad Hoc Pengadilan Hubungan Industrial dan Hakim Ad Hoc pada Mahkamah Agung. 31
Lebih lanjut lihat Pasal 4 dan 5 Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2004 tentang Tata Cara Pengangkatan dan Pemberhentian Hakim Ad Hoc Pengadilan Hubungan Industrial dan Hakim Ad Hoc pada Mahkamah Agung.
57
2)
Permintaan sendiri;
3)
Sakit jasmani atau rohani terus menerus selama 12 (dua belas) bulan;
4)
Telah berumur 62 (enam puluh dua) tahun bagi hakim ad-hoc pengadilan hubungan industrial dan telah berumur 67 (enam puluh tujuh) tahun bagi hakim ad-hoc pada mahkamah agung;
5)
Tidak cakap dalam menjalankan tugas;
6)
Atas permintaan organisasi pengusaha atau organisasi pekerja/organisasi buruh yang mengusulkan; atau
7)
Telah selesai masa tugasnya.
Pemberhentian dengan hormat tersebut diusulkan kepada Presiden oleh Ketua Mahkamah Agung.32 b. Pemberhentian tidak dengan hormat Hakim Ad-Hoc diberhentikan tidak dengan hormat dari jabatannya dengan beberapa alasan: 1)
dipidana karena bersalah melakukan tindak pidana kejahatan,
2)
selama 3 (tiga) kali berturut-turut dalam kurun waktu 1 (satu) bulan melalaikan kewajiban dalam menjalankan tugas pekerjaannya tanpa alasan yang sah, atau
3)
melanggar sumpah atau janji jabatan. Sebelum Hakim Ad-Hoc diberhentikan tidak dengan hormat
dengan alasan d i a t a s maka Ketua Pengadilan Negeri atau Ketua Mahkamah Agung membentuk Majelis Kehormatan Hakim atau 32
Lebih lanjut lihat Pasal 6 Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2004 tentang Tata Cara Pengangkatan dan Pemberhentian Hakim Ad Hoc Pengadilan Hubungan Industrial dan Hakim Ad Hoc pada Mahkamah Agung.
58
Majelis Kehormatan Mahkamah Agung untuk memeriksa Hakim AdHoc yang bersangkutan. Hasil pemeriksaan disampaikan secara tertulis kepada Pengadilan Negeri dan Ketua Mahkamah Agung dan Hakim AdHoc yang bersangkutan.33 Hakim Ad-Hoc yang diberhentikan secara tidak hormat diberi kesempatan untuk membela diri dalam tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari kerja
setelah diterimanya pemberitahuan hasil pemeriksaan.
Pembelaan diri dilakukan di depan: a). Majelis Kehormatan Hakim AdHoc Pengadilan Hubungan Industrial; dan b). Majelis Kehormatan Mahkamah Agung bagi Hakim Ad-Hoc pada Mahkamah Agung.34 c. Pemberhentian sementara Hakim Ad-Hoc sebelum diberhentikan tidak dengan hormat dapat diberhentikan sementara dari jabatannya. Pemberhentian sementara dilakukan untuk kelancaran pemeriksaan Majelis Kehormatan Hakim atau Majelis
Kehormatan
Mahkamah
Agung
atau
karena
perintah
penangkapan yang diikuti dengan penahanan. Hakim Ad-Hoc diberi kesempatan untuk membela diri sebelum diberhentikan sementara. Hakim Ad-Hoc yang telah melakukan pembelaan diri sebelum diberhentikan sementara maka Hakim Ad-Hoc yang bersangkutan tidak berhak lagi melakukan pembelaan diri pada saat akan diberhentikan tidak dengan 33
Lebih lanjut lihat Pasal 7 Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2004 tentang Tata Cara Pengangkatan dan Pemberhentian Hakim Ad Hoc Pengadilan Hubungan Industrial dan Hakim Ad Hoc pada Mahkamah Agung. 34
Lebih Lanjut lihat Pasal 8 Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2004 tentang Tata Cara Pengangkatan dan Pemberhentian Hakim Ad Hoc Pengadilan Hubungan Industrial dan Hakim Ad Hoc pada Mahkamah Agung
59
hormat. Pemberhetian sementara Hakim Ad-Hoc tersebut diusulkan oleh Ketua Mahkamah Agung kepada Presiden.35 Jika tidak terbukti tidak melakukan hal-hal sebagai syarat untuk diberhentiakan, maka dilakukan pencabutan pemberhentian sementara dari jabatan Hakim Ad-Hoc dan hak-haknya dikembalikan seperti semula.36
D. Kedudukan Hakim Ad Hoc di Lingkungan Peradilan Hubungan Industrial Peran dan tanggung jawab hakim memegang peranan penting dalam rangka menegakkan hukum dan keadilan, untuk itu dalam menjalankan tanggungjawabnya hakim memiliki kebebasan atau kemandirian hakim. adapun maksud dari kemandirian hakim adalah: mandiri, tidak tergantung kepada apa atau siapapun dan oleh karena itu bebas dari pengaruh apa atau siapapun. Hakim atau peradilan merupakan tempat orang mencari keadilan, harus mandiri, independen, dalam arti tidak tergantung atau terikat pada siapapun, sehingga tidak harus memihak kepada siapapun agar putusannya itu objektif. Kemandirian itu menuntut pula bahwa hakim dalam memeriksa dan memutus perkara harus bebas. Hal ini berarti kemandirian hakim tidak dapat dipisahkan dari kebebasan hakim dan merupakan satu kesatuan. Adapun yang dimaksudkan dengan kebebasan hakim adalah bebas dalam memeriksa 35
Lihat Pasal 9 Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2004 tentang Tata Cara Pengangkatan dan Pemberhentian Hakim Ad Hoc Pengadilan Hubungan Industrial dan Hakim Ad Hoc pada Mahkamah Agung 36
Lebih Lanjut Lihat Pasal 10 Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2004 tentang Tata Cara Pengangkatan dan Pemberhentian Hakim Ad Hoc Pengadilan Hubungan Industrial dan Hakim Ad Hoc pada Mahkamah Agung
60
dan memutus perkara menurut keyakinannya serta bebas pula dari pengaruh pihak ekstra yudisial. Kebebasan atau independen seorang hakim ini harus pula ditopang dengan sikap impartiality atau sikap tidak memihak. Independensi ini sangat mudah disalahgunakan, atas nama independensi aparat penegak hukum dalam hal ini hakim dapat terjerumus dalam perbuatan sewenang-wenang yang mengenyampingkan tujuan mewujudkan keadilan. Karena salah satu bentuk penyimpangan dari tujuan hukum dilakukan dengan cara-cara seperti penerapan
hukum
pada
batas-batas
pengertian
formal
dengan
mengenyampingkan pemahaman materil sebagai suatu unsur dalam mendekati pengertian dan isi keadilan. Sehubungan dengan kebebasan hakim ditentukan, bahwa kekuasaan kehakiman
merupakan
menyelenggarakan
kekuasaan
peradilan
negara
guna menegakkan
berdasarkan pancasila, demi terselenggaranya
yang
merdeka
hukum
dan
untuk keadilan
negara hukum Republik
Indonesia, yakni segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihakpihak lain di luar kekuasaan kehakiman dilarang, kecuali dalam hal-hal yang tersebut dalam Undang-undang Dasar. Sering terdengar penegakan hukum itu tidak mencerminkan rasa keadilan masyarakat, karena para hakim pada umumnya hanya menginginkan terciptanya penegakan hukum/kepastian hukum dengan mengesampingkan atau mengabaikan rasa keadilan.37
37
Binsar M. Gultom, Pandangan Kritis Seorang Hakim dalam Penegakan Hukum di Indonesia, ( PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2012), h. 50.
61
Pada asasnya tugas hakim sama dengan tugas pembentuk undangundang.38 Selanjutnya, tugas utama hakim yakni: menerima, memeriksa dan memutuskan suatu perkara yang diajukan kepadanya. Putusan hakim haruslah putusan yang final dan menyelesaikan masalah, bukan menjadi sumber masalah (kriminogen) karena putusannya yang kurang professional tersebut. Kemampuan seorang hakim dalam memahami perundang- undangan tertulis memang penting,
namun yang terpenting lagi adalah bagaimana
kemampuan seorang hakim
dalam menjembatani hukum yang tertulis
tersebut dengan kebutuhan rasa keadilan masyarakat (living law). Hakim tidak boleh menolak memeriksa perkara. Hal ini diatur dalam ketentuan pasal 22 AB yang menyatakan bahwa: Hakim yang menolak untuk menyelesaikan suatu perkara dengan alasan peraturan perundangundangan yang bersangkutan tidak menyebutkan, tidak jelas, atau tidak lengkap, maka ia dapat dituntut untuk dihukum, karena menolak mengadili. Lebih lanjut hal ini diatur dalam Pasal 10 ayat (1) Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, bahwa pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalil
hukum
tidak
ada
atau
kurang
jelas, melainkan wajib
untuk memeriksa dan mengadilinya tetap memutus perkara tersebut. Adapun cara Hakim harus mengadili perkara yang tidak jelas hukumnya, Pasal 5 (1) UU Nomor 48 Tahun 2009 juga menjelaskan, bahwa Hakim dan Hakim Konstitusi wajib menggali, mengikuti dan memahami 38
385.
Van Apeldorn, Pengantar Ilmu Hukum, ( PT Pradnya Paramita, Jakarta, 2004), h.
62
nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Hal ini sebagaimana diatur pada Pasal 5 ayat (1) UU Nomor 48 Tahun 2009, maka Hakim diwajibkan menjalankan fungsi pembentukan hukum dengan caracara, menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat, saat itulah Hakim harus mencari dan menemukan hukumnya (rechtsvinding). Penemuan hukum ini lazimnya diartikan sebagai pembentukan hukum oleh hakim terhadap peristiwaperistiwa hukum yang konkrit. Apabila sudah diketemukan hukum dalam penggalian tersebut, maka hakim harus mengikutinya dan memahaminya serta menjadikan dasar dalam putusannya agar sesuai dengan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Hal ini dimaksudkan hakim mempunyai kewajiban untuk melakukan penemuan hukum untuk melakukan pembentukan hukum berupa yurisprudensi. Penemuan hukum ihwalnya adalah berkenaan dengan hal mengkonkretisasikan produk pembentukan hukum.39 Hakim dalam memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara, pertama kali harus tetap menggunakan hukum tertulis sebagai dasar putusannya. Jika dalam hukum tertulis tidak cukup, tidak tepat dengan permasalahan dalam suatu perkara, maka barulah hakim mencari dan menemukan sendiri hukumnya dari sumber-sumber hukum yang lain, seperti: yurisprudensi, dokrin, traktat, kebiasaan atau hukum tidak tertulis. Selanjutnya,
membicarakan
tentang
hakim
pada
pengadilan
hubungan industrial, terdiri dari hakim karier pada pengadilan negeri yang 39
Arief Shidarta, Meuwissen Tentang Pengembangan Hukum, Ilmu Hukum, Teori Hukum dasn Filsafat Hukum, (PT Refika Aditharma, 2007), h. 11.
63
ditugasi pada pengadilan hubungan industrial dan hakim ad hoc, yakni hakim yang pengangkatannya atas usul serikat pekerja/serikat buruh dan organisasi pengusaha. Hakim ad hoc pengadilan hubungan industrial diangkat dengan keputusan presiden atas usul ketua mahkamah agung. Calon hakim ad hoc diajukan oleh ketua mahkamah agung dari nama yang disetujui oleh menteri atas usul serikat pekerja/serikat buruh atau organisasi pengusaha.40 Mengenai norma yang terkandung dalam pasal 122 huruf e UndangUndang Nomor 5 tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (UU ASN), yang redaksinya berbunyi: “pejabat negara sebagaimana dimaksud dalam pasal 121 yaitu: ‘‘ketua, wakil ketua, ketua muda dan hakim agung pada mahkamah agung sertaketua, wakil ketua, dan hakim pada semua badan peradilan kecuali hakim ad hoc”. Dengan demikian membuka peluang terhadap ketidak jelasan kedudukan hakim ad hoc dalam struktur badan peradilan di indonesia. Serta apabila dikaji lebih lanjut pasal 122 huruf e UU ASN bertentangan dengan pasal 24 ayat (2) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 yang berbunyi: “kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah mahkamah agung dan badan peradilan yang ada dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer,lingkungan peradilan tata usaha negara dan oleh sebuah mahkamah konstitusi”. Berdasarkan pasal 24 ayat (2) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 tersebut, 40
Lulu Husni, Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, Melalui Pengadilan dan di Luar Pengadilan, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2004), h. 90.
64
kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh mahkamah agung dan badan peradilan dibawahnya, serta mahkamah konstitusi [vide pasal 24 ayat (2)]. Dalam hal ini, mahkamah agung termasuk juga badan peradilan dibawahnya serta mahkamah konstitusi adalah badan yudisial yang merupakan alat kelengkapan negara, sehingga menjalankan fungsi ketatanegaraan (bertindak untuk dan atas nama negara). Konsekuensinya hakim pada seluruh jenis dan tingkatan badan yudisial, berkedudukan sebagai pejabat negara.41 Untuk dapat diangkat menjadi hakim ad hoc pada Pengadilan hubungan industrial dan hakim ad hoc pada mahkamah agung harus memenuhi syarat-syarat yang terdapat dalam pasal 64 Undang undnag Nomor 2 Tahun 2004, sebagai berikut. (a) Warga Negara Indonesia, (b) Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, (c) Setia kepada Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, (d) Berumur paling rendah 30 (tiga puluh) tahun, (e) Badan sehat sesuai dengan keterangan dokter, (f) Berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela, (g) Berpendidikan serendah-rendahnya strata satu (S1) kecuali bagi Hakim Ad Hoc pada Mahkamah Agung syarat pendidikan sarjana hukum, dan (h) Berpengalaman di bidang hubungan industrial minimal 5 (lima) tahun. Pasal 66 ayat (1) menyatakan bahwa Hakim Ad Hoc tidak boleh
41
Putusan Nomor 32/Puu-Xii/2014 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
65
merangkap jabatan sebagai: (a) Anggota Lembaga Tertinggi Negara, (b) Kepala daerah/kepala wilayah, (c) Lembaga legislatif tingkat daerah, (d) Pegawai negeri sipil, (e) Anggota TNI/Polri, (f) Pengurus partai politik, (g) Pengacara, (h) Mediator, (i) Konsiliator, (j) Arbiter, (k) Pengurus
serikat pekerja/serikat buruh atau pengurus organisasi
pengusaha. Seorang Hakim Ad Hoc yang merangkap jabatan sebagaimana dimaksud di atas, maka jabatannya sebagai hakim ad hoc dapat dibatalkan. Memperhatikan persyaratan untuk dapat menjadi hakim ad hoc pada pengadilan hubungan industrial seperti di atas, maka tidak terlalu sulit untuk menemukan sumber daya manusia yang akan direkrut untuk menjadi hakim ad hoc. Namun kesulitan mulai muncul setelah melihat ketentuan tentang larangan jabatan rangkap dari hakim ad hoc. Banyak yang berpengalaman dalam bidang hubungan industrial lebih dari 5 (lima) tahun serta memahami ketentuan
perundang-undangan
di bidang ketenagakerjaan, tapi yang
bersangkutan adalah pegawai negeri sipil (kalangan kampus), pengacara,
66
pengurus serikat pekerja/serikat buruh atau pengurus organisasi pengusaha yang sebelumnya aktif sebagai anggota panitia penyelesaian perselisihan perburuhan daerah/pusat. Maka, bagi pihak-pihak yang berkeinginan menjadi hakim ad hoc pada pengadilan hubungan industrial dari sekarang harus sudah mengantisipasi persyaratan-persyaratan tersebut. Hakim pengadilan hubungan industrial berkewajiban memeriksa isi gugatan dan bila terdapat kekurangan, hakim meminta penggugat untuk menyempurnakan
gugatan. Penggugat
dapat
sewaktu-waktu
mencabut
gugatannya sebelum tergugat memberikan jawaban. Apabila tergugat sudah memberikan jawaban atas gugatan itu, pencabutan gugatan oleh penggugat akan dikabulkan oleh Pengadilan Hubungan Industrial apabila disetujui oleh tergugat. Hal ini sebagaimana yang terdapat pada pasal 85 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004. Ketua Pengadilan Negeri dalam waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah menerima gugatan harus sudah menetapkan Majelis Hakim yang terdiri atas 1 (satu) orang Hakim Karir sebagai Ketua Majelis dan 2 (dua) orang Hakim Ad Hoc sebagai Anggota Majelis. Dalam proses pengadilan Hakim dibantu oleh Panitera karena kepaniteraan dalam pengadilan merupakan salah satu bagian yang penting khususnya dalam penyelenggaraan administrasi pengadilan maupun jalannya persidangan. Oleh karena itu, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 mengatur mengenai hal ini mulai Pasal 74 sampai dengan Pasal 80.
67
Setiap Pengadilan Negeri yang telah ada Pengadilan Hubungan Industrial dibentuk Sub Kepaniteraan Pengadilan Hubungan Industrial yang dipimpin oleh seorang Panitera Muda. Panitera Muda dalam melaksanakan tugasnya dibantu oleh beberapa orang Panitera Pengganti. Sub Kepaniteraan dalam pengadilan mempunyai tugas, yaitu: 1) Menyelenggarakan administrasi Pengadilan Hubungan Industrial; dan 2) Membuat daftar semua perselisihan yang diterima dalam buku perkara.
Muatan buku perkara sekurang-kurangnya memuat nomor urut, nama dan alamat para pihak, dan jenis perselisihan. Sub-Kepaniteraan bertanggung jawab atas penyampaian pemberitahuan putusan dan penyampaian salinan putusan.
BAB IV ANALISIS INDEPENDENSI HAKIM AD HOC MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL
A. Eksistensi Hakim Ad Hoc Pengadilan Hubungan Industrial Eksistensi hakim ad hoc pada Pengadilan Hubungan Industrial sendiri diatur dalam Pasal 60 UU PPHI. Dalam ayat (1) Pasal 60 disebutkan bahwa susunan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri terdiri dari hakim, hakim ad hoc, panitera muda, dan panitera pengganti. Hakim ad hoc tersebut diangkat dengan Keputusan Presiden atas usul Ketua Mahkamah Agung dari nama yang disetujui oleh Menteri atas usul serikat pekerja/serikat buruh atau organisasi pengusaha. UU PPHI tidak mengatur mengenai kedudukan hakim ad hoc, apakah sebagai pejabat negara atau bukan sebagai pejabat negara. Kedudukan hakim sebagai pejabat negara dapat ditelusuri dalam Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman dalam Pasal 19 yang menyatakan “Hakim dan hakim konstitusi adalah pejabat negara yang melakukan kekuasaan kehakiman yang diatur dalam Undang-Undang” dan Pasal 31 yang menyatakan “Hakim pengadilan dibawah Mahkamah Agung merupakan pejabat negara yang melaksanakan kekuasaan kehakiman yang berada pada badan peradilan di bawah Mahkamah Agung.” Adapun pengertian hakim disini berdasarkan Pasal 1 angka 5 adalah mencakup hakim pada Mahkamah Agung, hakim pada badan peradilan 68
69
dibawahnya, dan hakim pada pengadilan khusus yang berada dalam lingkungan peradilan di Mahkamah Agung. Kedudukan hakim sebagai pejabat negara juga dapat ditelusuri dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (UU ASN), berdasarkan Pasal 122 dapat diketahui bahwa yang termasuk dalam kategori pejabat negara pada Mahkamah Agung adalah ketua, wakil ketua, ketua muda dan hakim agung pada Mahkamah Agung serta ketua, wakil ketua, dan hakim pada semua badan peradilan. UU ASN secara tegas menyatakan bahwa hakim ad hoc bukan termasuk pejabat negara pada Mahkamah Agung. Selain itu, menurut Mahkamah Konstitusi dalam putusannya Nomor 32/PUU-XII/2014, pengecualian hakim ad hoc sebagai pejabat negara dalam pasal 122 tersebut tidak bertentangan dengan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pengecualiaan dalam Pasal 122 tersebut dibolehkan mengingat sifat, pola rekrutmen, tidak adanya pembatasan usia berakhir masa tugasnya, serta ruang lingkup tugas dan kewenangan yang bersifat terbatas dan sementara.1 Pengecualian hakim ad hoc dari kualifikasi pejabat negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 122 UU ASN tersebut, hal ini secara tidak langsung dapat merendahkan kewibawaan, kehormatan, bahkan dapat menimbulkan kecemburan antara hakim ad hoc dan hakim karir dalam melaksanakan tugas dalam lingkup Mahkamah Agung. Hal ini mengingat dari segi tugas, wewenang, dan tanggung jawab tidak terdapat perbedaan yang signifikan, bahkan dari segi komposisi hakim 1
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU-XII/2014, h. 111.
70
dalam mengadili perkara perselisihan hubungan industrial sendiri lebih banyak dari hakim ad hoc dengan perbandingan 2 (dua) hakim ad hoc dan 1 (satu) hakim karir.2 Jabatan hakim sebagai jabatan yang diisi oleh pejabat negara seharusnya dilaksanakan tanpa dibedakan asal rekrutmen atau cara pengisian jabatannya, tetapi berdasarkan fungsinya sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman. Hal ini karena hakim, baik itu hakim karir maupun hakim ad hoc sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman menjalankan fungsi ketatanegaraannya yang bertindak untuk dan atas nama negara serta merupakan organ negara yang dipilih dan diangkat secara khusus untuk berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara. Dengan demikian, wibawa dan kedudukan hakim ad hoc perlu ditempatkan pada tempat yang layak sebagai pejabat negara. Hal ini dilakukan untuk menjamin kebebasan hakim dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya serta untuk menjamin kekuasaan kehakiman yang merdeka dan berwibawa, sehingga dapat menyelenggarakan kekuasaan kehakiman yang sesuai dengan nilainilai Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. Putusan nomor 32/PUU-XII/2014 di dalamnya terlihat jelas bahwa Mahkamah Konstitusi menyadari untuk penentuan batasan dan kualifikasi apakah hakim termasuk pejabat negara atau bukan pejabat negara tidak ditentukan dalam Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Satu-satunya frasa
2
Lihat Pasal 8 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.
71
pejabat negara dalam Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 hanya terdapat dalam Pasal 24C ayat (5) yang menyatakan “Hakim konstitusi harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan, serta tidak merangkap sebagai pejabat negara.”3 Selain itu, Mahkamah Konstitusi dalam salah satu pertimbangan putusannya juga menyatakan bahwa penentuan kualifikasi pejabat negara sepenuhnya merupakan kewenangan pembentuk undang-undang dan merupakan kebijakan hukum terbuka (open legal policy), yang sewaktu-waktu dapat diubah oleh pembentuk undang-undang sesuai dengan tuntutan kebutuhan dan perkembagan yang ada sesuai dengan jenis, spesifikasi, dan kualifikasi jabatan tersebut. Oleh karena itu, dapat dipahami bahwa Mahkamah Konstitusi memberikan batasan mengenai permasalahan dalam undang-undang yang termasuk problem konstitusi dan mana yang termasuk dalam problem kebijakan. Segala hal yang memiliki relasi ekstrinsik dengan ketentuan dalam Undangundang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan problem konstitusi, diluar hal tersebut merupakan kebijakan hukum terbuka (open legal policy) yang merupakan wewenang dari pembentuk undang-undang untuk merumuskannya.4
3
4
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU-XII/2014, h. 112.
Triya Indra Rahmawan, dkk, Menafsir Demokrasi Konstitusional: Pengertian, Rasionalitas, dan Status Demokrasi Konstitusional Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945 Menurut MK, Jakarta: Konsorsium Reformasi Hukum Nasional, 2014, h. 119.
72
Penentuan kualifikasi apakah hakim ad hoc sebagai pejabat negara yang merupakan kebijakan hukum terbuka maka pembentuk undang-undang bebas dalam merumuskan isi undang-undang, kecuali hal-hal yang secara tegas sudah digariskan oleh Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, antara lain prinsip negara hukum, prinsip independensi kekuasaan kehakiman, dan prinsip non diskriminasi. Oleh karena itu, mengingat tujuan awal dibentuknya hakim ad hoc adalah untuk memperkuat peran dan fungsi kekuasaan kehakiman sejalan dengan kompleksitas perkara yang ada, maka diperlukan pengaturan yang tegas dan komprehensif dalam undang-undang mengenai sifat, kedudukan, pola rekrutmen, batasan waktu bertugas, serta ruang lingkup tugas dan kewenangan hakim ad hoc dalam melaksanakan kekuasaan kehakiman. B. Analisis Pasal 63 Dan 67 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Terhadap Independensi Hakim Ad Hoc Di Lingkungan Peradilan Hubungan Industrial Hakim sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman di Indonesia mempunyai kekuasaan yang bebas dan merdeka. Hakim hanya patuh pada konstitusi dan hukum serta tidak tunduk pada komando dari lembaga yudisial maupun lembaga non-yudisial lainnya. Hakim secara fungsional merupakan tenaga inti penegakan hukum dalam penyelenggaraan proses peradilan. Parameter mandiri atau tidaknya hakim dalam memeriksa perkara dapat dilihat dari kemampuan dan ketahanan hakim dalam menjaga integritas moral dan komitmen kebebasan profesinya dalam
73
menjalankan tugas dan wewenang dari adanya campur tangan dari pihak lain dalam proses peradilan.5 Prinsip independensi peradilan merupakan prinsip universal yang dianut dan melekat pada setiap negara modern. Tidak ada negara yang dapat disebut negara demokrasi tanpa kekuasaan kehakiman yang merdeka. Independensi peradilan dapat dilihat dalam dua aspek, yaitu independensi personal dari hakim dan independensi institusional dari lembaga peradilan itu sendiri. Dalam konteks independensi personal, tujuan utamanya adalah untuk menghindarkan hakim dari pengaruh eksternal, politik, ekonomi (materi), atau rasa khawatir. Pengaruh eksternal dapat bersumber dari internal institusi peradilan tempat hakim bekerja, misalnya ancaman atas posisi, karir, promosi maupun demosi dalam jabatannya berkaitan dengan hubungan atasan-bawahan. Pengaruh eksternal dapat pula bersumber dari eksternal institusi pengadilan, misalnya pengaruh para pihak yang berperkara baik karena faktor kekuasaan politik maupun faktor ekonomi (uang dan materi).6 Imparsialitas proses peradilan hanya dapat dilakukan jika hakim dapat melepaskan diri dari konflik kepentingan atau faktor semangat pertemanan (collegial) dengan pihak yang berperkara. Karenanya hakim harus mengundurkan diri dari proses persidangan jika hakim melihat adanya potensi imparsialitas.
5
Ma'shum Ahmad, Politik Hukum Kekuasaan Kehakiman Pasca Amandemen UndangUndang Dasar 1945, h. 58. 6
Komisi Yudisial RI, Putih Hitam Pengadilan Khusus, h. 169.
74
Sedangkan memutuskan relasi dengan dunia politik penting bagi seorang hakim agar dia tidak menjadi alat untuk merealisasikan tujuan-tujuan politik atau mencegah pelaksanaan suatu keputusan politik.7 Pola rekrutmen dan proses seleksi calon hakim ad hoc pada Pengadilan Hubungan Industrial berdasarkan ketentuan dalam Pasal 63 UU PPHI dan PP No. 41 Tahun 2004 tentang Tata Cara Pengangkatan dan Pemberhentian Hakim Ad hoc Pengadilan Hubungan Industrial dan Hakim Ad hoc Pada Mahkamah Agung dapat digambarkan sebagai berikut:
Calon hakim ad hoc diusulkan oleh serikat pekerja/serikat buruh yang tercatat pada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan dan oleh organisasi pengusaha kepada Menteri Calon hakim ad hoc yang telah lulus pendidikan dan pelatihan diusulkan oleh Ketua Mahkamah Agung kepada Presiden untuk diangkat menjadi hakim ad hoc
Menteri melakukan seleksi administratif serta menetapkan daftar nominasi calon hakim ad hoc berdasarkan tes tertulis untuk disampaikan kepada Ketua Mahkamah Agung Ketua Mahkamah Agung melakukan seleksi kompetensi melalui penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan calon hakim ad hoc sesuai kebutuhan
Proses pengangkatan calon hakim ad hoc pada Pengadilan Hubungan Industrial yang dimulai dari adanya keharusan pengusulan calon hakim ad hoc oleh serikat pekerja/serikat buruh atau organisasi pengusaha ini tentu akan dapat mengurangi independensi kekuasaan kehakiman dan mengancam jaminan ketidakberpihakan (imparsiality) hakim dalam memutus perkara. Selain itu, 7
Ma'shum Ahmad, Politik Hukum Kekuasaan Kehakiman Pasca Amandemen UndangUndang Dasar 1945, h. 56.
75
dengan proses seleksi dan rekrutmen yang dimulai dengan usulan dari pihak serikat pekerja/serikat buruh atau organisasi pengusaha kepada menteri tentu juga dapat mengurangi parameter yang objektif, transparan, dan mengedepankan kompetensi serta integritas yang tinggi dalam proses seleksi tersebut. Dalam proses seleksi dan rekrutmen hakim ad hoc yang diusulkan oleh organisasi secara logis memang akan ada kepentingan pihak tertentu menjadi masuk dalam ranah proses penegakan kekuasaan kehakiman yang merdeka. Karena organisasi dapat saja menitipkan kepentingan pada saat secara administrasi menentukan dapat atau tidaknya seseorang calon hakim ad hoc diusulkan atau tidaknya. Selain itu, hakim ad hoc Pengadilan Hubungan Industrial yang mewakili 2 (dua) kepentingan yang bukan saja berbeda tetapi dapat bertentangan yakni hakim ad hoc yang mewakili pekerja dan hakim ad hoc yang mewakili pengusaha, 2 (dua) kepentingan yang berbeda ini juga tidak jarang dapat menyulitkan dalam pemeriksaan perkara.8 Oleh karena itu, mekanisme proses seleksi dan rekrutmen calon Hakim Ad hoc Pengadilan Hubungan Industrial tidak memerlukan syarat rekomendasi dari serikat pekerja/serikat buruh atau organisasi pengusaha agar menjaga kemandirian hakim ad hoc.9 Seleksi dan rekrutmen calon
8
PN Sleman, Sambutan Ketua Mahkamah Agung pada Rapat Kerja Nasional di Makassar Tahun 2007, http://pn-sleman.go.id/index.php/45-rakernas-makassar/rakernas-makassar, diakses tanggal 3 November 2015. 9
Laporan Pengumpulan Data Tim Penyusunan RUU tentang Perubahan UU PPHI di Provinsi Jawa Timur, Sumatera Utara, dan Sulawesi Selatan tanggal 27 April-1 Mei 2015.
76
hakim ad hoc harus lebih mengedepankan kompetensi, keahlian, serta pengalaman dalam bidang ketenagakerjaan/perburuhan. Selain itu, ketentuan dalam Pasal 67 UU PPHI yang memperbolehkan serikat pekerja/serikat buruh atau organisasi pengusaha untuk mengusulkan penarikan hakim ad hoc agar diberhentikan dengan hormat juga dapat mengakibatkan hakim ad hoc menjadi terikat dengan serikat pekerja/serikat buruh atau organisasi pengusaha yang mengusulkannya. Ketentuan ini tentu bertentangan dengan prinsip-prinsip dalam The Bangalore Principles of Judicial Conduct dan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH), terutama untuk dapat bersikap mandiri yang pada hakikatnya harus mampu bertindak sendiri tanpa bantuan pihak lain serta bebas dari campur tangan siapapun dan pengaruh apapun. independensi yudisial menurut The Bangalore Principles of Judicial Conduct mencakup aspek individual dan institusional. Untuk menjamin aspek individual kemandirian hakim dapat dilakukan melalui 2 (dua) cara, yakni: 1. Hakim harus dilindungi dari ancaman aksi balas dendam, sehingga ketakutan tidak menghantui keputusan yang mereka buat; 2. Metode pemilihan hakim dan prinsip etika yang harus mereka patuhi harus dibuat sedemikian rupa sehingga meminimalkan risiko terjadinya korupsi dan pengaruh lain. Menurut S.A. de Smith, salah satu dari empat kategori pokok yang akan menjamin kebebasan hakim adalah melalui cara-cara menentukan masa kerja hakim (seumur hidup atau selama bertingkah laku baik), sehingga hakim merasa
77
lebih aman dalam menjalankan tugasnya secara bebas dan tidak perlu ada kekhawatiran sewaktu-waktu diberhentikan atau dipecat karena putusannya dianggap tidak mencerminkan suatu kepentingan atau mungkin karena dirasa tidak adil. Hal ini diperlukan agar hakim bersifat netral dan tidak berpihak dalam memutus perkara serta hanya mengadili berdasarkan fakta dan hukum, tanpa batasan, pengaruh, perasaan, tekanan, dan ancaman secara langsung dan tidak langsung dari pihak manapun dan untuk alasan apapun. Demikian juga halnya terhadap ketentuan mengenai usulan penarikan hakim ad hoc pada Pengadilan Hubungan Industrial yang dapat mengakibatkan pemberhentian dengan hormat perlu untuk ditinjau kembali. Pemberhentian hakim ad hoc seharusnya hanya didasarkan pada ketidakcakapan dalam melaksanakan tugas yang dinilai oleh Mahkamah Agung sendiri sebagai lembaga tertinggi pelaksana kekuasaan kehakiman atau karena melakukan pelanggaran terhadap KEPPH berdasarkan verifikasi, klarifikasi, dan investigasi oleh Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung. Bagir Manan mengemukakan alasan tentang perlunya pengkajian ulang terhadap Pengadilan Hubungan Industrial pada pidato sambutan pembukaan Rapat Kerja Nasional Mahkamah Agung tahun 2007. Salah satu pertimbangan dalam pengkajian ulang terhadap Pengadilan Hubungan Industrial adalah mengenai sistem hakim ad hoc yang mewakili pekerja dan pengusaha harus ditiadakan, serta pemeriksaan di Pengadilan Hubungan Industrial cukup dilakukan oleh hakim biasa. Adapun jika hakim ad hoc tetap dipertahankan, hendaknya hakim ad hoc yang dimaksudkan bukanlah sebagai perwakilan pekerja dan juga bukan
78
perwakilan pengusaha melainkan orang-orang terpilih atau yang ditunjuk karena keahliannya. Hakim ad hoc yang mandiri tergantung pula pada hukum (undangundang) yang diciptakan apakah sempurna ataukah terdapat kesenjangan di dalamnya. Untuk mencapai cita-cita tegaknya hukum dengan hakim ad hoc yang independen dan mandiri maka perlu diperhatikan mengenai sistem rekrutmen yang baik dan transparan, pendidikan khusus yang lebih lama serta terpadu, kesejahteraan hakim, dan adanya jaminan kepastian waktu bekerja bagi hakim.
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan 1. Eksistensi hakim ad hoc pada Pengadilan Hubungan Industrial diatur dalam Pasal 60 UU PPHI yang menyatakan bahwa susunan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri terdiri dari hakim, hakim ad hoc, panitera muda, dan panitera pengganti. Adapun kedudukan hakim ad hoc pada saat ini telah dikecualikan dari kualifikasi pejabat negara sejak disahkannya UU ASN. Selain itu, putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU-XII/2014 juga telah memutuskan ketentuan Pasal 122 UU ASN tersebut tidak bertentangan dengan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dengan pertimbangan bahwa pengecualian tersebut dibolehkan mengingat sifat, pola rekrutmen, tidak adanya pembatasan usia berakhir masa tugasnya, serta ruang lingkup tugas dan kewenangan yang bersifat terbatas. 2. Proses rekrutmen dan seleksi calon hakim ad hoc pada Pengadilan Hubungan Industrial yang diharuskan melalui pengusulan dari serikat pekerja/serikat buruh atau organisasi pengusaha dapat mengurangi independensi kekuasaan kehakiman, jaminan ketidakberpihakan, dan kemandirian hakim dalam memutus perkara. Selain itu, ketentuan dalam UU PPHI yang memperbolehkan serikat pekerja/serikat buruh atau organisasi pengusaha untuk mengusulkan penarikan hakim ad hoc agar diberhentikan dengan hormat juga dapat 79
80
mengakibatkan hakim ad hoc menjadi terikat dengan serikat atau organisasi yang mengusulkannya.
B. Saran 1. Hakim ad hoc sebagai organ negara perlu ditempatkan pada kedudukan sebagai pejabat negara. 2. Dewan Perwakilan Rakyat perlu merumuskan pengaturan yang tegas dan
komprehensif mengenai hakim ad hoc dalam rancangan undang-undang mengenai jabatan hakim agar tercipta kepastian hukum dan untuk menjamin kekuasaan kehakiman yang merdeka, mandiri, dan berwibawa.
81
DAFTAR PUSTAKA Buku-Buku: Adnan Buyung Nasution, Demokrasi Konstitusional , Jakarta : PT. Kompas Media Nusantara, 2010
Agusmidah, Hukum Ketenagakerjaan Indonesia Dinamika dan Kajian Teori, Bogor: Ghalia Indonesia, 2010. Amos, H. F. Abraham, Sistem Ketatanegaraan Indonesia (Dari Orla, Orba Sampai Reformasi), Cet. 1, Jakarta, PT RajaGrafindo, 2005. Anom, Djatmiko, “Kedudukan Lembaga Negara Sampiran dalam Sistem Ketatanegaraan Repuplik Indonesia”, Jurnal Konstitusi P3kham UNS Volume No. 1 .2008. Apeldorn, Van, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: PT. Pradnya Paramita, 2004. Asshiddiqie, Jimly, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Jakarta, Konstitusi Press, 2005. _______, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, Cet. 2, Jakarta: Sinar Grafika, 2002. Atmosudirjo, S. Prajudi, Hukum Administrasi Negara, Cet. 10, Jakarta : Ghalia Indonesia, 1994. Azhary, Muhammad Tahir, Negara Hukum :Suatu Studi Tentang Prinsip-Prinsipnya Dilihat Dari Segi Hukum Islam, Impelementasinya Pada Priode Negara Madinah dan Masa Kini, Cet. Ketiga, Jakarta : Kencana prenada media group, 2007. Buku Profil Peradilan Hubungan Industrial Bandung Mei 2009. Fadjar, Abdul Mukhtie, Independensi dan Imparsialitas Mahkamah Konstitusi: Perspektif Etis, Disampaikan dalam acara Diklat Penyelesaian Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Legislatif 2014 tanggal 23-24 April 2014. Gultom, Binsar M., Pandangan Kritis Seorang Hakim dalam Penegakan Hukum di Indonesia, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2012.
82
Hasni, Lalu, Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Melalui Peradilan dan Di Luar Peradilan, Jakarta: pt raja grafindo persada, 2004. Ibrahim, Johny, Teori dan Metodelogi Penelitian Hukum Normatif, Malang : bayumedia publishing, 2008. Kamil, Ahmad, filsafat kebebasan hakim, Jakarta: kencana, 2012, cet. Pertama. Kansil, C.s.t. dan Christine st Kansil, Hukum Tata Negara RI, Jilid I, Jakarta: Rineka Cipta, 1984. Kelsen, Hans, Teori Hukum Murni Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif, Cet. 7, Bandung Nusa Media, 2010. Kosnardi, Moh. dan Bintang R Saragih, Ilmu Negara, Cet. Kedua, Jakarta: Gaya Media Pratama, TT. Laporan Pengumpulan Data Tim Penyusunan RUU tentang Perubahan UU PPHI di Provinsi Jawa Timur, Sumatera Utara, dan Sulawesi Selatan tanggal 27 April1 Mei 2015. Mahkamah Agung RI, Cetak Biru Pembaharuan Mahkamah Agung, Jakarta: MARI, 2003. Manan, Bagir, Teori dan Politik Konstitusi, Yogyakarta, FH UII Press, 2004. Marbun, SF., peradilan tata usaha Negara, Cet. Kedua, Yogyakarta: liberty, 2003. Marzuki Mahmud, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana, 2010. Ma'shum Ahmad, Politik Hukum Kekuasaan Kehakiman Pasca Amandemen UndangUndang Dasar 1945. Nasrun,Andi. M., Krisis Peradilan Mahkamah Agung Di Bawah Soeharto, Jakarta: elsam, 2004. Nasution, Adnan Buyung, Demokrasi Konstitusional, Jakarta : PT. Kompas Media Nusantara, 2010. Oesman, Oetoyo, Perkembanganhubungan Industrial di Indonesia, Artikel Dimuat Dalam Majalah Hubungan Industrial No. 6 th, III, 2002.
83
Oetomo, Gunawan, Pengantar Hukum Perburuhan dan Hukum Perburuhan di Indonesia, Jakarta: Dradhika Binangkit Press, 2006. Projodikuro, Wirjono, Hukum Perdata tentang Persetujuan Tertentu, Bandung: Ghali Bandung, 1961. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU-XII/2014. . Shidarta, Arief, Meuwissen Tentang Pengembangan Hukum, Ilmu Hukum, Teori Hukum dasn Filsafat Hukum, PT Refika Aditharma, 2007. Sirajuddin, Komisi Yudisial dan Eksaminasi Publik I, Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, 2006. Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji, Penelitif Hukum Normative, Jakarta: Rajawali Press, 1985. _______, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta : Pustaka Pelajar. 1992. Soepomo, Imam, Pengantar Hukum Perburuhan, Jakarta: Djambatan,2003. Toha, Suherman, Laporan Akhir Penelitian Hukum Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional, 2010. Triya Indra Rahmawan, dkk, Menafsir Demokrasi Konstitusional: Pengertian, Rasionalitas, dan Status Demokrasi Konstitusional Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945 Menurut MK, Jakarta: Konsorsium Reformasi Hukum Nasional, 2014. Wijay, Asri, Hukum Ketenaa Kerjaan Pasca Reformasi, Jakarta: Sinar Grafika, 2004. Zaeni, Asyhadie, Peradilan Hubungan Industrial, Jakarta: Rajawali Press, 2009. Undang-Undang: Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. Undang-undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipin Negara.
84
Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman Peraturan Pemerintah: Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2004 Tata Cara Pengangkatan dan Pemberhentian Hakim Ad Hoc Pengadilan Hubungan Industrial dan Hakim Ad Hoc pada Mahkamah Agung. Artikel Elektronik “Sambutan Ketua Mahkamah Agung pada Rapat Kerja Nasional di Makassar Tahun 2007”, artikel diakses pada tanggal 3 November 2015 dari http://pnsleman.go.id/index.php/45-rakernas-makassar/rakernas-makassar.