Di Ujung Jalan Sunyi RICARDO MARBUN
S
eandainya aku memiliki sihir, ingin sekali aku menghilangkan satu tanggal dari lembaran tahunan sebuah Almanak! Sedaya upaya menghapus tanggal itu untuk memberi damai pada ruang hatiku. Aku seperti dejavu setiap kali harus berhadapan dengan tanggal itu, jiwaku terbang melayang berharap menemukan tempat untuk sembunyi demi menentramkan gejolak hati yang kerap mengusikku. Tapi nyatanya aku hanya manusia biasa! Aku tetap diharuskan melawati tiap tanggal itu menghampiri, tidak peduli hatiku hancur berkeping demi melewati satu hari teramat panjang bagiku. Gempuran rasa sakit itu mengubahku tegar. Dejavu itu menghentak utuh ragaku. Sayatan perih itu perlahan kunikmati. Tanggal itu
tidak lagi mencekamku. Seperti hari ini saat tanggal itu menjemputku, dengan senang hati aku menikmatinya. Memutuskan cuti sehari. Sebab, aku tidak ingin situasi ini mengacaukan pekerjaanku. Dari pagi aku merendam tubuhku yang indah dalam bathup, aku tuangkan aroma rempah bercampur madu, aku leburkan air hangat dan dingin, tak lupa aku siapkan minuman hangat di samping bathup. Aku merasakan ketenangan itu. Air hangat seakan menembus seluruh pori di tubuhku, melumerkan seluruh kegundahan yang mengungkungku. Damai seketika. Sepotong gaun biru bermotif floral bergaya empire aku raih dari gantungan baju. Gaun terbaru yang belum sempat aku kenakan. Sejenak aku mengamati pantulan cermin besar yang mencetak utuh bayanganku. Aku masih secantik
dulu. Kulit putihku sangat kontras dengan gaun terusan berwarna laut. Sebagai pemanis aku kenakan gelang vintage hadiah seorang teman yang bertolak dari Vietnam. Sebagai alas kaki, aku memilih heel berwarna gold. Sempurna! Suara cermin berbisik lirih di telingaku. Cepat aku memejamkan mata, ketika merasakan satu tangan kokoh melingkar lembut di pinggangku. Bulu kuduk merekah saat aku merasakan kecupan basah menyentuh puncak bahuku. Aku melayang meresapinya. Rasa itu masih belum berubah. Cepat kedua kelopak mataku terbuka. Kosong! Aku terperanjat seorang diri! * Pembuka pintu kafe itu menyambutku. Dia cukup mengenalku. Sopan dia menuntun diriku menuju tempat yang aku minta. Semalam aku telah melakukan reservasi. Suasana kafe tenang, lembut dan dingin. Penerangan redup ditingkahi irama musik pelan mengalun melembabkan ruangan itu. Posisi duduk tepat di samping dinding kaca memberi view yang cukup banyak. Tempat dudukku jauh dari kata terganggu! Waiter menghampiriku dengan segelas air mineral, gelas yang dibawanya terlihat cantik. Buku menu dibentangkan secara sopan. Segera aku sebut Mocha Jelly Shake serta tiga potong cake aneka rasa. Hari kebebasan. Diet? Tidak untuk hari ini. Aku memandang ke luar kafe. Langit berwarna hitam. Awan saling menggulung di atas sana. Titik hujan mulai terasa. Beberapa pedagang kaki lima telah mengembangkan payung menyambut hujan. Hawa kelabu itu seperti mewakili kegundahanku. Napasku seketika sesak sewaktu melihat sebuah sedan hitam yang dihiasi aneka rangkaian bunga di tiap pintunya, penutup mesin depan juga penutup bagasi belakang. Pemandangan yang aku hindari dalam situasi ini. Seperti ada kumpulan suara yang memanggilku secara serentak saling bersahutan dan membawaku ke masa lalu. “Friskaaa…!” * “Mau ke mana?” cegat Mama dari ruang dapur. “Tiga minggu lagi kau menikah, tidak baik terlalu sering keluar, Friska!” Aku paham Mama masih percaya dengan hal seperti itu. Bahkan, Nenek pernah bilang calon pengantin banyak godaannya. Aku
tersenyum. “Dora sakit, Mama! Pengiring pengantinku sakit apa aku tidak boleh menjenguk? Sebentar saja, Ma!” “Ya sudah, hati-hati! Langsung pulang, ya?” ujar Mama. “Salam untuk Dora,” pesan Mama lagi. Dora adalah temanku dari kecil, bisa dibilang kami seperti tumbuh bersama. Walau jarak rumah kami cukup jauh, tapi kami sudah kenal sejak TK bahkan sampai SMA. Dan kebetulan kami satu Paroki jadi sering bertemu di gereja. Dia begitu bahagia sewaktu tahu Aku akan menikah dengan Miko. Dan dia bersikeras untuk menjadi pengiring pengantinku. Tentu saja aku setuju dan bahagia. Sekarang dia jatuh sakit, kena demam berdarah. Tidak salah kalau aku ingin menjenguknya. Rumah Sakit tempat Dora di rawat masih terlihat sepi. Kemungkinan karena masih pagi. Dora begitu bahagia melihat kedatanganku, wajahnya masih kelihatan pucat, tapi sudah terlihat lebih cerah, tangannya masih di infus. Aku memeluknya, ada dua minggu kami tidak bertemu sejak dia sakit. “Bagaimana Keadaanmu? Maaf ya, aku baru bisa jenguk sekarang. Tahu sendiri, aku sibuk banget” Kataku setelah sesaat kami saling melepas rindu. “Sudah lumayan, tinggal pemulihan saja.” Wajah Dora sumringah menyambutku. “Bagaimana persiapan pernikahanmu?” “Semuanya sudah siap, Dora. Paling perintilan yang kecil saja. Kau cepat sembuh ya, nanti acaraku kurang meriah jadinya?” jawabku sambil memegang kuat tangannya. Dora tersenyum mendengar gurauanku. “Miko belum cuti?” tanya Dora Aku menggelengkan kepala. “Katanya seminggu sebelum harinya dia akan cuti, Miko dapat cuti dua minggu, lumayanlah bisa berbulan madu selama seminggu,” jawabku agak jengah. “Duh…aku bahagia sebentar lagi kalian akan menjadi satu, semoga awet sampai kakek dan nenek ya?” Dora memegang tanganku. “Iya… kau juga segeralah menyusul.” “Hah…pejantannya pun belum ada, kok bermimpi yang tidak-tidak saja”. Kami berdua tertawa, Dora memang belum punya teman dekat, Dia bercita-cita menjadi
pengacara sukses dulu sebelum menikah. Satu jam kemudian aku pamit pulang. * Hari belum begitu tinggi, sebenarnya aku ingin langsung pulang seperti janjiku pada Mama, tapi nyatanya aku membelokkan Jazz-ku ke gereja. Dari arah Rumah Sakit tempat Dora di rawat, aku hanya sedikit jalan lurus dan belok kiri lalu sampailah aku di sana. Dari balik setir aku melihat gereja yang telah membentukku mulai dari TK sampai Misa Pernikahan nanti, ada haru timbul di hatiku. Di samping gereja itu gedung SD sekolahku. Lebih ke dalam lagi gedung SMP dan SMA tempatku belajar. Tiga minggu lagi aku akan menjalani prosesi Misa Pernikahan di gereja itu. Impianku dari remaja dulu. Pelan aku berjalan menuju pintu utama gereja. Aku berdiri tepat menyamping, aku membayangkan berdiri di sana bersama Miko mengenakan gaun pengantin putih dan penutup kepala. Lalu, perlahan dari pintu utama yang berbentuk setengah lingkaran kami berjalan menuju altar! Seluruh tubuhku terasa melayang bahagia. “Kau sangat cantik! Baru kali ini aku bertemu perempuan secantik kau?” Jantungku hampir lepas waktu mendengar ada yang menyapaku. Aku mencari suara itu. Tidak jauh dari tempatku berdiri, aku melihat seorang perempuan tua yang sering terlihat di area gereja ini. Aku tersenyum kecil. Sedikit kaget karena setahuku perempuan tua ini tidak pernah menyapa siapa pun. Bahkan, selentingan yang beredar, perempuan tua ini agak kurang waras. Keinginanku seketika menguap. Tanpa suara aku meninggalkan gereja juga perempuan tua itu lalu berjalan menuju mobilku. “Maafkan aku, ya?” seru perempuan tua itu lagi. “ Aku harus menyampaikan ini padamu! Tidak lama lagi kau akan menghadapi cobaan berat, sangat berat. Beruntungnya kau mampu melewatinya. Kekasihmu ini bukan jodohmu!” lantang suara perempuan tua itu menggema. Tangkas aku berbalik. Memandang perempuan tua itu. Kini aku semakin yakin dia memang tidak waras. “Kau harus kuat? Kalian tidak berjodoh. Ada halangan yang menghadang kalian, tapi aku tidak tahu apa halangan itu! Aku percaya kau perempuan kuat!” teriak perempuan tua itu semakin menjadi.
Rasa takut menyergapku hingga cepat meninggalkannya. Sepanjang jalan pulang kata-kata perempuan tua itu terus tergiang di kepalaku. Segenap perasaanku perlahan terganggu walau sekuat tenaga aku berusaha tidak mempercayainya. * Tidak berjodoh? Masak iya? Miko sangat mencintaiku, aku tahu dia seperti sebuah buku, segala yang ada dalam dirinya aku tahu. Tidak mungkin rasanya dia menyimpan sesuatu dariku. Terus tidak berjodoh dari mana. Serrr…jantungku seperti terbelah. Apakah…? Oh jangan Tuhan. Seperti kalut aku menghubungi ponselnya. “Ya Fris…” Suara lembut Miko terdengar dari sana. “Apakah, kau baik-baik saja?” Selidikku tanpa awalan “Ya, aku baik-baik saja. Ada apa, ya?” Miko menjawab dengan nada agak heran “Apa kau yakin tidak kurang satu apa pun?” tanyaku lagi. “Friska… ada apa? Apakah ada sesuatu yang menganggumu?” Miko benar-benar belahan jiwaku dia langsung merasa apa yang aku rasakan. “Entahlah, tiba-tiba aku kepikiran kau?” jawabku “Aku baik-baik saja. Mungkin kau banyak pikiran, keletihan dan kurang tidur, jadi pikiranmu kalut. Sudah jangan mikir yang tidak-tidak. Aku baik-baik saja?” “Sabtu besok jadi kau pulang?” Naik apa? Jangan naik motor ya, naik kereta api saja. Atau taksi, jangan bus ya, aku sangat khawatir. Atau kalau kau kurang sehat nggak usah pulang ya?” Aku seperti orang kalut memberondong Miko bertubi-tubi. “Aku pulang dengan Niko. Dia yang nyetir. Aku janji hanya duduk manis di jok depan. Puas?” Miko mencoba menenangkanku “Apakah semua undangan kita sudah kau sebarkan?” “Tinggal beberapa, di kantor sangat sibuk, sedang rumah yang mau di datangi jauh sekali. Tapi nanti sebelum aku pulang pasti semua sudah beres”. “Ya sudah, kau baik-baik ya. Jangan tidur terlalu malam, jaga kesehatanmu?”
“Kau juga, tidak usah mikir yang tidaktidak, ya!” Ponsel aku matikan, di tanganku masih ada beberapa undangan yang belum diantar. Undangan berornamen daun sirih berwarna tanah. Aku rebahkan tubuhku di ranjang aku lelah sekali, tidak terasa rasa kantuk menguasaiku. Mama, Papa, Kak Minar dan Kevin adikku tak luput dari perhatianku. Setiap gerak-gerik mereka aku perhatikan, aku benar-benar seperti orang sinting. Sepertinya mereka merasa dengan tingkahku yang beda lain dari biasanya. “Kau kenapa? Kenapa sikapmu aneh sekali beberapa hari ini?” Mama sepertinya tahu aku sedang bingung. “Ah…tidak ada apa-apa, Ma”. jawabku “Tidak apa-apa kau bilang? Kau ikuti kami satu per satu seperti polisi mengejar maling. Kalau ada yang kau pikirkan , kau cerita sama Mama, Fris.” “Apa semua baik-baik saja, Ma?” “Fris... Mama tahu kau gelisah menunggu hari pernikahanmu. Tapi percayalah semua akan baik-baik saja. Sudah jangan pikirkan yang tidak perlu?” Mama memelukku hangat. Perasaanku terasa terobati. Miko sampai di rumah dengan penuh senyum. Seharian itu aku lengket seperti lintah dalam pelukannya. Aku seperti takut kehilangan. Miko balas memelukku dengan erat. Semuanya baik-baik saja. Tapi entah mengapa ucapan perempuan tua itu selalu mengikutiku. Setelah meminta ijin pada Papa dan Mama, Miko mengajakku keluar, menikmati weekend sekaligus menghilangkan penat selama mengurusi persiapan pernikahan kami. Berdua menikmati makanan di resto langganan. Nikmat rasanya menikmati bersama pria yang dalam hitungan minggu akan menjadi suamiku. Dari sana Miko membawaku agak jauh ke luar kota. Mobil meluncur menuju perkebunan teh. Miko paling senang menghabiskan waktu di tempat ini. Perkebunan Teh Sidamanik. Miko benar, sesampainya di sana aku benar-benar merasa tenang, hamparan kebuh teh seperti permadani hijau yang tak bertepi, untungnya hari itu belum begitu sore, kami masih menemukan begitu banyak pemetik teh di tengah-tegah kebun itu. Udara kebun teh terasa sangat segar dan sedikit dingin. Miko memelukku hangat sekali.
“Kalau punya uang, maulah rasanya beli sebuah villa di sini. Setiap akhir pekan kita bisa sembunyi di sini”. Miko tertawa sambil melirikku. “Ah…mana enak di sini, lebih enak di Parapat?” jawabku manja. “Parapat terlalu jauh kalau tinggal kita di Medan. Capek!” ujar Miko ngeles. “Kenapa kau suka kebun teh ini?” Pelukan erat Miko membuatku jengah “Kau lihatlah, sejauh mata kita memandang, hanya ada hijau. Tiupan angin membuat hati kita damai. Tenang sekali rasanya.” Aku semakin remuk dalam pelukan Miko, buatku di mana saja tidak masalah, asal ada Miko. Dia menarikku berjalan agak ke tengah, sekarang kami benar-benar hilang di tengah area kebun teh. Tidak jarang dia berlari kencang mendahuluiku, sampai aku teriak ketakutan. Kami seperti main petak umpet di hamparan permadani hijau itu. Miko penuh semangat melintasi jalan setapak. Tidak perduli aku telah kelelahan. Hingga aku melihat di ujung sana Miko telah sampai di mulut jalan raya. Tawanya terdengar riang melihatku kepayahan. Hingga senja menyapa kami menghabiskan waktu di sana. Hujan turun dengan derasnya saat Miko mengantarku sampai di depan rumah. Saat turun dari mobil kami melihat Mama berdiri di pintu. Wajah Mama terlihat tegang. “Untung kalian datang!” seru Mama lega. “Mama, mau minta tolong?” lanjut Mama serius. “Ada apa, Ma?” Miko turun dari mobil dengan sebuah payung. Aku bersama di sampingnya. “Mama, menyuruh Minar mengambil beberapa ulos di rumah saudara untuk persiapan acara pernikahan kalian sekalian membawa undangan juga. Hujan deras, dia telepon tidak berani pulang sendiri!” Mama menjelaskan masalahnya. “Oh, begitu! Biar aku jemput kalau begitu,” kata Miko tegas. “Apa kau nggak terlalu malam pulang, nanti?” Mama masih setengah hati. “Ah nggak sebentar, kok!” Miko mengantarku sampai ke pintu sesaat kemudian dia pamit pada kami. “Hati-hati! Hujan deras, jalan licin. Pelanpelan saja?” pesan Mama berulang kali.
Kami masih berdiri di pintu sampai mobil Miko hilang di ujung jalan. Aku langsung masuk kamar dan mandi. Seharian tercium matahari membuat badan terasa lengket. Rambutku bahkan berminyak. Walaupun hujan tapi tetap gerah rasanya. Rambutku masih tergulung handuk saat keluar dari kamar mandi. Asyik mengusapkan pelembab pada kulitku, ketika dering telepon begitu kuat terdengar dari ruang tengah rumah kami. “Friskaaa….!” Jerit Mama histeris. Saat itu juga tubuhku limbung di lantai. * “Mbak…Mbak…Mbak…!” Sapaan waiter kafe membuyarkan lamunanku. “Mau tambah minum atau makanan lagi?” Segera aku menguasai diri. Lembut aku menggeleng. “Minta Bill nya saja, Mas?” Angin kencang menyambutku ketika keluar dari kafe, hujan mulai bertirai, sembari menutup kepala bergegas aku menuju tempat parkir. Tangisku baru pecah sepanjang perjalanan pulang, tanggal ini masih begitu kuat menguras air mataku. Tidak perduli aku sudah berada jauh pergi dari kota asalku. Perjalanan pulang sewaktu menjemput Kak Minar, mobil Miko di tabrak sebuah bus dari arah berlawanan. Kondisi hujan, gelap serta jalan licin menyebabkan musibah itu. Miko selamat hanya luka kecil saja, tapi Kak Minar… sebelah kakinya harus di amputasi. Di saat genting seperti itu Miko tampil sebagai lelaki sejati. Meneruskan perkawinan kami dengan menggantikan posisiku dengan kakak kandungku sendiri. Seketika ocehan perempuan tua itu menggema berulang kali memenuhi telingaku! Hari ini, enam tahun tepat peristiwa itu! Namun, hatiku belum menemukan penawar lukanya. Belahan jiwaku menikahi kakakku sendiri. Sungguh, satu jalan sunyi terhampar panjang di hadapanku. ***