Ibu Mertua - Cerpen - Horison Online Ditulis oleh M. Raudah Jambak Kamis, 22 Juli 2010 00:44
Seperti malam yang lain, ada ketakutan yang tak mampu kujelaskan. Malam tak lebih kejam dari masalah yang kurasakan saat ini. Ia tidak hanya sekadar menggurita, tetapi ia justru melilit dan mencengkram lebih dalam. Detak semakin lamban. Seperti malam kemarin juga. Serupa sebelum-sebelumnya jua. Pukul dua belas tengah malam. Angin menusuk gigil. Mencucuk sumsum dan tulang. Aku mempererat hangat dan beranjak menuju rumah. Menuju tempat mula segala duka, sekaligus berharap malam menelanku bulat-bulat. Berjalan melintasi tanah-tanah berlumpur yang menenggelamkanku diam-diam ke ruang-ruang lengang melenakan.
Terngiang serapah Ibu mertuaku pagi tadi. Di beranda tempat ia biasa minum teh seraya menyaksikan kelopak-kelopak mawar. Bercerita dan bersenda sambil menunggu senja tiba. Namun, pagi kali ini menjadi lain. Setelah aku membersihkan seisi rumah, seketika Ibu mertua mengumpatku seolah- olah ia sedang dipatuk ular berbisa.
“Dasar anak kurang ajar. Gara-gara kau rusak keluarga ini,” perempuan paruh baya itu berteriak-teriak, “perlu kau tahu, ya. Dulu sebelum kau menjadi bagian dari keluarga ini, keluarga ini tidak pernah ada masalah. Setelah ada kau, hancur. Semuanya hancur!”
Aku menatap bola mata Ibu mertuaku dalam-dalam. Sebuah laut penuh ombak. Gelombang yang tidak pernah henti menampar karang. Semenjak kami menikah, sejak Ayah mertuaku meninggal karena penyakit yang dideritanya, sejak saat itu pulalah Ibu mertuaku terus menyusun bangunan kebencian terhadapku. Menantu satu-satunya. Ibu mertua yang kemudiannya melanjutkan fungsi Ibu sekaligus Ayah bagi suamiku, Pranata, anak tunggalnya. Mulai kami menikah. Mulai kami mengontrak rumah. Sampai kami terpaksa harus pindah rumah dengan alasan Ibu mertua tinggal sendirian dan rumah besar yang begitu lengang.
Ah, bola mata itu seolah semakin beriak. Bola mata tempat biasanya aku berharap teduh. Tempat menimba kebahagiaan yang tak pernah kering. Tetapi, bagaimanapun aku harus memberi penjelasan.
“Ibu aku hanya ingin permisi. Aku minta izin berangkat ke kampus. Aku.....”
“Diam kau. Asal kau tahu saja, berjalan dengan kau saja aku malu. Malu! Semua orang
1/9
Ibu Mertua - Cerpen - Horison Online Ditulis oleh M. Raudah Jambak Kamis, 22 Juli 2010 00:44
menatapku jijik. Semua orang ingin menelanku bulat-bulat!”
Mataku tersengat panas mendengar maki Ibu mertua yang amat pedas. Air mataku seolah ingin tumpah. Namun, kubulatkan tekad membangun bendungan kesabaran, agar air mataku tidak meruah.
“Bu, aku perempuan. Aku terbawa perasaan. Aku terlalu mencintai Bang Pranata. Tidak ada maksud lain. Aku mohon Ibu mau mengerti.”
“Aku juga perempuan!”
“Bukan itu maksudku, Bu. Aku tidak berdaya dengan segala kelemahanku itu. Bang Pranata sosok laki-laki yang paling aku cintai saat ini. Aku begitu mengenalnya luar dan dalam. Aku tidak menyesal bila Bang Pranata melakukannya padaku. Aku rela. Bahkan aku merasa gembira telah berhasil membuktikan rasa cintaku kepada Bang Pranata.”
“Ooo, jadi maksudmu kau menyalahkan anakku? Kalau tidak kau bentangkan selangkangmu itu, tidak akan bunting kau. Tidak rusak anakku!” teriak Ibu mertua berapi-api, “Anakku itu baik. Tampan. Anakku satu-satunya. Hanya aku ibu sekaligus ayahnya. Kalau saja kuperintahkan ia menceraikanmu, maka ia akan segera menceraikanmu. Itulah anakku. Didikanku. Tidak seperti dirimu. Apa begini hasil didikan orangtuamu?”
“Anak lacur!”
“Ke mana lakik diikuti!”
“Tidak perdulian!”
2/9
Ibu Mertua - Cerpen - Horison Online Ditulis oleh M. Raudah Jambak Kamis, 22 Juli 2010 00:44
“Gara-gara kau rusak keluarga ini!”
Serapah itu bak air terjun tak henti tumpah. Berdegap. Melumatkan bunyi gemerisik dedaunan. Menghempas ke dada. Menderes kalbu. Aku berdarah.
Bias-bias kelam itu membawaku perlahan telah sampai di beranda rumah. Aku berdiri lama di batang tiang, pagar masuk. Aku menarik napas panjang. Segar hawanya mencemaskan. Desau angin terdengar menyisir dedaunan. Bunyi denting piring yang ditingkahi dendang repetan. Berantai. Menebas suara telenovela dinyalang televisi, dalam rumah itu. Menembus jendela dan daun pintu yang terkunci rapat. Pada redup lampu beranda yang belum sempat diganti. Serta dengung nyamuk yang tak henti memecah sunyi.
Suara repetan itu. Suara repetan ibu mertuaku yang tak henti bernyanyi. Suara yang sudah teramat kukenal. Akrab. Lekat di kedua belah anak telingaku. Suara yang tiap menit kini mulai menggerayangi kegelisahan. Menghantam. Pedih. Meledak. Seolah derit pintu kehilangan baut. Menghantam pikiran yang sulit mengundang tenang.
Aku jadi teringat Ibuku. Aku ingin pulang. Aku sudah hampir tidak tahan, membendung terjangan kemarahan yang bertubi-tubi. Seolah ribuan jarum yang menembus ulu hati. Aku ingin mati, agar terlepas beban ini. Jika diminta memilih. Dan tuhan mengizinkan. Aku lebih memilih mati. Kematian yang indah.kusukai. Terlepas bebas. Seolah terbang jauh menembus cakrawala. Berdendang-dendang. Menari. Terus dan menerus.
”Jangan kau kira mentang-mentang aku janda, aku lantas akan seburuk dirimu? Aku perempuan terhormat. Memang, aku istri kedua dari suamiku. Tetapi, aku tidak seburuk dirimu yang merusak keluarga ini. Kau. Kaulah penyebab keluarga ini dicibir orang. Kau yang menjadikan keluarga ini tidak dihormati lagi oleh para tetangga di kampung ini.”
Ingin cerai, rasanya tak mungkin. Aku terlalu mencintai suamiku. Apalagi lagi anakku, Cantika, tidak mengerti apa-apa. Aku tak ingin buah hati kami harus mengalami beban yang tak pantas ia dapatkan. Apalagi beban itu disebabkan oleh gelora nafsu jiwa muda kami.
3/9
Ibu Mertua - Cerpen - Horison Online Ditulis oleh M. Raudah Jambak Kamis, 22 Juli 2010 00:44
Aku ikhlas. Aku rela meski selalu dipersalahkan. Termasuk ketika Bang Pranata tidak berbuat apa-apa ketika aku kuyup oleh hujan serapah ibunya. Atau ketika ia ikut serta mencuri-curi waktu di kamar ibunya menyudutkan aku. Serta ketika ia membawa sesuatu ke rumah dan tak secuil pun memberikannya padaku.
Apa karena aku terlalu berharap? Atau karena aku yang terlalu cemburu? Terutama di saat aku mendapatkan puisi-puisi yang terlahir selalu menyebut nama perempuan lain. Imajinasi? Mungkin. Atau aku yang terlalu manja ingin selalu di sisinya, sehingga akal sehatku pun tak mampu kukendalikan. Aku tidak peduli apakah ia sedang kuliah. Aku tidak peduli apakah ia sedang bekerja. Aku akui aku salah. Tetapi, mengapa aku diperlakukan sekejam ini? Jauh dari orangtua atau karena aku yang terlalu bergantung hidup pada Bang Pranata. Mungkin akan banyak mungkin yang lain. Atau akan berlimpah atau yang lain. Ah, entahlah.
Dan akhir-akhir ini, Bang Pranata yang selalu lebih banyak diam semarah apapun, sekarang mulai berkata kasar. Membentak.
”Sakit kau!”
”Adek kok nggak Abang jemput?”
”Kau yang pergi. Kok, aku yang menjemput? Kau pergi tanpa setahuku, seharusnya kau sendiri yang pulang tanpa harus kujemput. Itukan kemauanmu!?”
”Adek butuh perhatian Abang...”
”Aku sudah muak padamu!”
”Bang. Adek ingin Abang mengerti perasaan Adek...”
4/9
Ibu Mertua - Cerpen - Horison Online Ditulis oleh M. Raudah Jambak Kamis, 22 Juli 2010 00:44
”Untuk apa lagi aku harus mengerti perasaanmu. Kau selalu saja melawan orangtuaku. Kau selalu saja menjelek-jelekkan aku di depan orangtuamu!”
”Bang. Adek berani sumpah. Adek tidak pernah menjelek-jelekkan Abang?”
”Tidak usah kau bersumpah. Bagiku tidak ada gunanya.”
Dan persis seperti malam ini, hentakan umpatan tak juga berhenti. Kaki berat melangkah. Terlebih ketika bilah daun pintu masuk terbelah. Serapah pun memecah. Angin malam yang berhembus sejuk semakin menambah gerah.
***
Pagi ini, kicau burung terdengar begitu kejam. Udara seperti menghentak. Aku hanya mampu menahan perih hati. Menahan pedih air mata. Sesabar mungkin kukecup gadis kecilku, membangunkannya dari desing peluru yang meluncur dari mulut ibu mertuaku. Ia bangun dari tidurnya dengan senyum yang justru menambah pedihku semakin parah. Tak lupa melempar senyum pada ibu mertuaku yang tetap pada pendiriannya yang membakar.
“Detik ini juga kau pergi!” matanya menebar api,”Aku tidak mau memlihara sundal di rumah ini. Aku malu!”
Serapah itu terus meruah. Seirama dengan porak benda-benda yang dilayangkan ibu mertuaku. Benda-benda itu seliweran ke mana-mana. Aku tidak peduli. Tetapi, aku tidak bisa tidak peduli ketika benda itu salah satunya mengenai gadis kecilku. Ia menangis. Ibu mertuaku tidak peduli. Aku mengerang.
“Ibu, aku akan pergi. Aku sadar. Aku tahu diri. Tetapi, aku mohon jangan sakiti anakku...”
5/9
Ibu Mertua - Cerpen - Horison Online Ditulis oleh M. Raudah Jambak Kamis, 22 Juli 2010 00:44
“Ya, bawa anakmu itu. Anak pembawa sial!”
“Bu, sekali lagi aku mohon. Anak ini tidak tahu apa-apa.”
“Ya, anakmu itu memang tidak tahu apa-apa. Anakmu tidak mengerti, tetapi kelahirannya juga ikut andil terhadap hancurnya keluarga ini. Anakmu, anak pembawa sial!”
“Bu!”
“Apa?! Mau melawanku?!”
“Tidak, Bu. Aku tidak akan pernah melawan Ibu. Aku hanya ingin mengingatkan ibu, jangan menyalahkan anak ini, anakku, cucu Ibu...”
“Apa?! Apa aku tidak salah dengar? Cucuku?”
“Ya, cucu Ibu. Darah daging Bang Pranata.”
“Dasar perempuan lacur. Berani-beraninya kau mengatakan itu cucuku, anaknya Pranata!” ibu mertuaku mengamuk laiknya banteng ketaton, menyeruduk ke sana ke mari,”dasar perempuan tak tahu diri. Kau telah menjebak anakku. Kau menjebak anakku agar dia mau mengawinimu. He, jujur saja kau. Sudah berapa laki-laki yang turut andil menanam bibit di perutmu itu, ha!”
“Cukup, Bu!”
“Ooo, Kau sudah berani membentakku. Kau sudah berani menghardikku. Bajingan!”
6/9
Ibu Mertua - Cerpen - Horison Online Ditulis oleh M. Raudah Jambak Kamis, 22 Juli 2010 00:44
Seperti tidak puas-puasnya ibu mertuaku menjambak. Tak henti-hentinya menampar, memaki, serta menunjang tubuhku.
Aku berusaha bertahan. Pukulan dan makian ibu mertuaku yang bertubi-tubi tidak kuhiraukan. Aku segera mengemasi pakaianku. Secepat mungkin menggendong gadis kecilku yang sudah kehilangan suara di serak tangisnya.
Waktu masih menyimpan rahasianya. Aku terus mencari maknanya. Angin yang bertiup sedikit berpihak padaku. Hembusannya yang lembut, cukup melenakan anakku. Anakku sedang asyik bermain dengan mimpi-mimpinya. Sampai sekarang memang aku belum paham, apa ini yang disebut karma. Aku pernah teringat selentingan tentang pengkhianatan ibuku terhadap bapakku. Bapakku terlalu mencintai ibu, karena ibu mampu meyakinkan bapakku agar tidak terlalu kuatir.
Peristiwanya terasa menyakitkan. Ketika itu ibu mengaku sakit, sehingga tidak bisa menjajakan jamunya. Pagi-pagi sekali Bapak pergi, setelah merapikan botol jamu Ibu. Ibu berselubung sakit. Menitip maaf padanya. Setelah melabuhkan kecup di dahi Ibu, Bapak segera menapak langkah. Bapak diam-diam merangkai kejutan, mencatat pada jejak yang ditinggalkan.
Kali ini Bapak seolah mendapatkan kesempatan mengusung pulang sebelum magrib menjelang. Pulang dengan senyum penuh bintang, menabalkan niat kejutan cinta yang lama terpendam walau hanya sekadar setangkai kembang.
“Hati-hati di rumah, ya...”
“Ya, Kang Mas...”
Selalu saja seperti pengantin baru. Kecupan sayang tak pernah dilupakan. Meski usia perkawinan mereka beranjak dewasa, dan momongan mereka hanya aku seorang. Dan kesempatan ini tidak akan begitu saja dilupakan sebagai pengerat diksi puisi cinta mereka.
7/9
Ibu Mertua - Cerpen - Horison Online Ditulis oleh M. Raudah Jambak Kamis, 22 Juli 2010 00:44
Sampai beranjak malam setangkai melati baru didapatkan. Tapi hujan yang mencurah tak kunjung henti. Bapak sempat menunggu beberapa saat, angin yang mendesau seolah tak memberi ruang untuk sekadar lewat. Hujan masih belum jengah menitikkan derai tangisnya. Butir-butir airnya menguyupkan daun-daun. Jalanan basah. Parit-parit muntah. Bapak membulatkan tekad menapakkan langkah. Bapak menelusuri ruang-ruang basah. Bapak sesekali menggigit bibirnya. Bersebab guyur hujan dan deru angin, demi mengabulkan ingin. Seputih hatinya.
Hatinya membunga. Semacam taman yang tak henti-hentinya menebarkan semerbak aroma surga. Menyusup pada bilah-bilah dada. Sesampainya di rumah, Bapak menggelupurkan sesak dada. Mungkin karena lupa. Atau ruang pikirnya yang terlalu sesak menggudang segala bahagia. Sehingga ia tak paham lagi mengunyah defenisi-defenisi setia.
Entah apa yang merasuk di kepalanya. Ada amuk yang menggelora. Ranjangnya membanjir gairah. Ranjangnya ditenggelamkan irama desah. Bukan gairah miliknya. Bukan irama desah miliknya. Setangkai melati di tangannya ikut merasakan deru amarah. Seketika tenggelam bermandikan darah.
Belati di tangan Bapak memerah. Ketika itu aku mendapatkan Bapak sudah digelandang Polisi. Tangannya digari. Ibu sibuk mengutip derai tangisnya di atas ranjang yang penuh dengan simbah darah.
“Jangan pernah kau injakkan kakimu di rumah ini lagi!”
Aku tersentak. Suara ibu mertuaku membuyarkan segala kenangan pahit. Aku kembali ke alam nyata yang lebih kejam. Tetapi, begitu melangkah ke luar rumah, aku seperti menemukan kesegaran lebih ringan dari udara pagi. Melesat begitu saja. Melintasi segerombolan orang-orang luka. Di antaranya terlihat bang Pranata dengan wajah seputih kapas, digiring paksa. Tepat di sebelahnya, seorang perempuan yang tengah hamil tua. Serentak mereka menuju rumah ibu mertuaku. Aku tak ingin menoleh lagi. Aku merasa bebas. Bebas. Mungkin ada sisa titik iba, ketika kudengar petir sepagi ini pecah dari rumah ibu mertuaku. Suara sepenuh duka.
8/9
Ibu Mertua - Cerpen - Horison Online Ditulis oleh M. Raudah Jambak Kamis, 22 Juli 2010 00:44
Medan, 2010
M. Raudah Jambak, S. Pd, lahir di Medan, 5 Januari 1972. Guru Bahasa dan Sastra Indonesia SMK Panca Budi – 2 Medan. Alamat Sekolah: Jalan Jenderal Gatot Subroto km 4,5 Medan, Sumatera Utara. Alamat Rumah: Jalan Murai Batu Kompleks Rajawali Indah E-10 Medan, Sumatera Utara. Joomla SEO by AceSEF
9/9