Terkenal Dwi Indarti
A
ku terkenal. Aku menjadi headline news. Lihatlah koran-koran yang dijajakan di lampu merah.. Wajah dan namaku terpampang besar di sana. Lihatlah tabloid-tabloid dan majalah-majalah yang bergelantungan di lapak pinggir jalan. Kisahku memenuhi lembar-lembar halaman mereka. Lihatlah channel-channel televisi dan radio. Mereka seolah berlomba-lomba untuk mewartakan diriku. Aku jadi buah bibir. Setiap orang membicarakanku. Dengarlah pembicaraan sekelompok pekerja kantoran kawasan bisnis elit saat makan siang di kantin mewah berpendingin
ruangan. Disela mengunyah daging steak seharga ratusan ribu, mulut mereka tak henti membicarakanku. “Dia terima tamu di kosan-nya!” “Tahu darimana?” “Beritanya ada di mana-mana!” “Tarifnya itu lho! Bra Victoria Secretku jauh lebih mahal dari jasanya.” Dengarlah pembicaraan ibu-ibu pengajian. Sembari menunggu Sang Ustadzah datang, mereka bergosip tentangku sambil menghabiskan suguhan risol dan pastel yang disajikan oleh tuan rumah. “Amit-amit jabang bayi. Jangan sampai
suamiku jajan.” “Jangan salah, Bu. Zaman sekarang kita tidak bisa menduga siapa orang yang baik dan siapa orang yang kelihatannya baik.” “Kita harus lebih mengawasi gerak-gerik suami dan anak-anak kita.” Bahkan ketika Sang Ustadzah datang, diskusi mereka tak beranjak dari diriku. “Betapa menakjubkan cara Tuhan membongkar suatu aib. Kalau tidak ada kejadian ini, mungkin kita tak akan pernah tahu bahwa ada praktik dosa tersebulung yang sedang berlangsung di lingkungan kita.” Dengarlah obrolan para mahasiswa di kampus-kampus. Kampus yang sejak dulu menjadi mimpiku untuk bisa menimba ilmu di sana. “Masih muda, Bok!” “Masih seumuran kita-kita.” “Iyalah. Profesi ‘gituan’ umurnya pendek. Kepala tiga sudah tidak laku.” “Sayangnya, kenapa dia tidak pakai uangnya untuk sekolah atau kuliah. Biar nanti, kalau sudah tidak bisa ‘jualan’, dia punya keahlian lain untuk mencari nafkah yang lebih halal.” Seorang mahasiswi berkaca mata tebal berkata seperti itu. Aku menatapnya tajam. Ah, dia tidak tahu, itu yang sedang aku lakukan. Aku menyisihkan sebagian penghasilanku untuk ditabung. Aku berharap suatu saat nanti, aku bisa menjadi seperti mereka. Aku ingin menyandang tas yang dipenuhi oleh buku-buku setiap hari. Aku ingin keluar masuk perpustakaan. Aku ingin duduk takjim di ruang-ruang kelas, menyerap ilmu yang sedang ditransfer oleh sang dosen. Dan, inilah momen yang selalu impikan. Aku ingin memakai kebaya yang dibalut oleh toga hitam, menunggu namaku dipanggil untuk naik ke atas podium. Emak dan Abah di kampung pasti bangga, anak sulungnya bergelar Sarjana. Selain menjadi mahasiswa, impianku yang lain adalah menjadi orang terkenal. Sejak kecil, aku selalu ikut kontes kecantikan yang diadakan di kampung setiap tahun dalam rangka tujuh belasan. Di panggung kecil yang dibangun di pinggir sawah, aku bisa memamerkan sedikit kemolekan tubuhku. Aku selalu menjadi langganan juara. Tak ada satu pun gadis kampung yang bisa menyaingi kecantikanku. Tapi Emak dan Abah selalu melarangku.
“Tubuh wanita itu aurat, Neng… Tidak boleh diumbar-umbar.” “Pakai baju yang longgar dan tertutup, biar para lelaki tidak pusing melihat kamu.” “Ih, Emak dan Abah kuno. Baju ini sedang nge-tren. Orang kota semua pakai baju seperti ini.” Bantahku. Emak dan Abah hanya bisa mengelus dada. Emak dan Abah tak pernah tahu bahwa aku telah kehilangan mahkota kewanitaanku saat aku berumur 15 tahun. Bukan dengan paksaan. Aku menyerahkannya dengan sukarela kepada Asep, pacarku waktu itu. Kejadiannya di lumbung padi milik ketua desa. Siang tengah hari bolong. Semua berlangsung cepat. Tak sampai satu jam. Asep mencumbuku ketika kampung sepi karena seisi penghuninya sedang tidur siang. Sejak itu, kami selalu melakukannya setiap kali ada kesempatan, di mana pun. Hanya sebentar, tak sampai satu jam. Lalu aku hamil. Asep panik. “Gugurkan!” “Tapi, itu dosa, Kang!” “Aku tidak siap jadi orang tua!” “Aku juga tidak! Tapi bagaimana lagi?” “Orangtuaku akan membunuhku!” “Emak dan Abah juga bakal mengusirku.” “Kalau begitu, gugurkan saja! Mumpung masih belum kelihatan.” “Bagaimana caranya?” “Aku kenal seorang paraji. Kita bisa meminta bantuannya.” Sebulan setelah aku menggugurkan kandunganku, Asep pergi meninggalkan kampung. Dia bekerja di kota besar. Tak seorang pun di kampung, kecuali Paraji yang sudah berjanji untuk menjaga rahasia ini, mengetahui apa yang telah terjadi. Aku? Aku tetap menjadi seorang gadis kampung yang setiap hari membersihkan gabah dan bekerja sebagai pembantu di rumah Wak Haji Makmun, orang kaya yang tanahnya digarap oleh Emak dan Abah. Hingga suatu hari, bak cerita dalam negeri dongeng, datanglah Pangeran berkuda untuk menyelamatkan hidupku. Pemuda kota itu berkunjung ke kampungku dalam rangka liburan. Dia seorang mahasiswa tingkat dua. Dia adalah kerabat jauh salah seorang tetanggaku, yang sedang berlibur di sebuah kampung. Pemuda itu
membangunkan kembali mimpi-mimpiku yang telah tertidur lama. “Di kota, kesempatan lebih terbuka.” “Benarkah? Saya bisa menjadi seorang mahasiswa dan menjadi terkenal?” “Kamu bisa menjadi apa pun yang kamu mau, Neng!” “Tapi, saya hanya punya ijazah SMP, Kang.” “Tidak masalah. Kamu bisa ikut kejar paket A untuk mendapatkan ijasah SMA. Lalu, kamu bisa bekerja dulu, sambil mengumpulkan duit untuk kuliah.” “Saya mau, Kang!” “Kamu bisa ikut aku ke kota. Aku bisa mencarikan pekerjaan untukmu.” “Saya mau sekali!” Aku ikut pemuda itu ketika dia kembali ke kota. Dia berjanji pada Emak dan Abah untuk menjagaku, mencarikan aku pekerjaan dan tempat tinggal. Pemuda itu sangat baik padaku. Aku selalu diajak ke mana pun dia pergi. Waktu dia pertama kali mengajakku ke kampusnya, aku begitu takjub sehingga mulutku menganga lebar. Gedung kampus itu begitu besar dan luas. Setiap sudut dipenuhi oleh para mahasiswa yang lalu lalang. Ada yang berkumpul di sudut taman, berdiskusi tentang tugas-tugas kuliah. Ada yang duduk menggelepok di lantai, dengan laptop terbuka dan kertas-kertas bertebaran. Ada yang menunduk serius membaca buku tebal. Aku diajak masuk ke perpustakaan yang sangat besar. Puluhan ribu buku berjejer di rakrak yang menjulang tinggi sampai ke langit-langit. Aku mengambil salah satu buku tebal, mengusapnya dengan tangan bergetar dan dada bergemuruh. Ketika aku membuka lembar demi lembar halaman buku itu, hatiku terasa sangat bahagia, meskipun aku sama sekali tak mengerti satu pun kata yang tertulis di sana, sebab buku itu ditulis dalam bahasa asing. Tapi aku tetap bahagia. Aku merasa, inilah duniaku. Kelak. Pemuda itu juga sering mengajakku berkumpul dengan teman-temannya. Dia memperkenalkanku sebagai sepupunya. “Kenalin, sepupu gue dari kampung. Namanya Neng.” “Elo kok gak pernah bilang kalau punya sepupu cantik, begini!”
“He he he, gue juga baru tahu.” Kebaikan pemuda itu tak hanya sampai di situ. Dia sering mengajakku ke mal yang besar dan mewah, sekadar untuk makan dan nonton. Dia juga sering membelikanku baju-baju baru. Awalnya aku merasa tidak enak, selalu menerima kebaikannya. Belakangan, aku tahu kalau dia adalah anak orang kaya yang mendapat uang saku besar sehingga dia bisa membayari biaya hidupku selama aku tinggal di kota. Tapi tidak ada kebaikan tanpa imbalan. Tidak ada. Aku sadar, tidak ada seorang lelaki pun yang akan menolak tubuh ini, seperti tidak ada seekor kucing pun yang bisa menolak ikan asin yang disodorkan dibawah lubang hidungnya. Aku memberi jasa kepada Pemuda itu sebagai bentuk ucapan terima kasih. Rupanya pemuda itu begitu puas dengan jasaku sehingga dia bercerita kepada teman-temannya. “Neng, boleh tidak teman-teman Akang memakai jasa Neng?’ “Maksudnya, Neng juga melayani mereka?” “Mereka bersedia membayar. Mereka hanya butuh sebentar. Paling satu jam. Tidak lebih.” “Tapi…” “Kalau aku pikir, lumayan sambil nunggu Neng dapat kerja. Uangnya bisa untuk hidup di kota dan sisanya dikirim ke kampung untuk Emak dan Abah, atau untuk ditabung biar Neng bisa
kuliah nantinya.” “Iya, Kang. Neng mau.” Mulanya hanya satu-dua orang. Tapi lama kelamaan, semakin banyak yang datang kepadaku. Rupanya mereka saling bercerita. Dari mulut ke mulut, mereka mulai mengenalku, mencariku dan datang kepadaku. * “Neng kerja di mana?” tanya Emak ketika aku pulang kampung untuk pertama kali saat lebaran. “Kerja di Restoran, Mak.” “Gajinya besar ya, Neng? Aduh, banyak sekali bawaannya.” “Lumayan, Mak.” “Untung kamu ikut ke kota, Neng.” Aku melihat binar di wajah Emak dan keempat adik-adikku saat mereka membongkar bungkusan demi bungkusan yang berisi berbagai macam benda. Ada baju, sepatu, tas, buku, alat tulis, kue-kue lezat dan lainnya. Tak lupa, aku menyiapkan amplop yang berisi uang untuk masing-masing adikku. Juga untuk Emak dan Abah. Emak menerimanya dengan air mata berlinang, tak henti menghujaniku dengan ciuman sayang. Hanya Abah yang murung. “Abah tidak suka dengan sarung dan baju Koko yang Neng belikan?” Aku menghampiri Abah yang duduk sendiri di teras rumah, berteman dengan ngengat dan nyamuk yang bertebangan. “Benar kamu kerja di restauran, Neng?” Pertanyaan Abah membuatku terkesiap dan seperti ada batu es meluncur deras di dadaku. Dingin. “Benar, Bah.” “Restauran apa?” “Restauran Korea. Neng kerja di dapur. Cuci piring.” “Cari rejeki yang halal ya, Neng.” Setelah itu Abah meranjak ke kamar untuk tidur. Tidur yang panjang sekali. Sebab, selesai shalat Idul Fitri, kami sekeluarga mengantarkan Abah ke tempat peristirahatannya yang abadi. Malam itu, Abah bilang ke Emak bahwa beliau sangat lelah dan ingin tidur panjang. Emak yang tak ada firasat apa pun, hanya mengingatkan bahwa besok Abah harus bangun sebelum subuh untuk membantu mempersiapkan shalat Id di lapangan.
Aku menangis sejadi-jadinya di depan makam Abah. Akulah kepala rumah tangga sekarang. Sepeninggal Abah, akulah yang bertanggung jawab mengambil alih kelangsungan hidup emak dan keempat adikku yang masih kecil-kecil. Aku teringat percakapan terakhirku dengan Abah semalam. Beliau tahu aku berbohong. Beliau punya firasat… Tapi aku tidak bisa meninggalkan mata pencaharianku ini. Tidak sekarang, dengan tanggung jawab keluarga di kampung menjadi milikku. Tidak sekarang, setelah aku menyadari berapa banyak rupiah yang bisa aku dapatkan dalam sehari, seminggu, sebulan. Tidak sekarang, saat adik-adikku sedang membangun masa depan yang lebih baik dengan mengenyam dunia pendidikan setinggi yang mereka inginkan. Tidak sekarang, saat mencari pekerjaan yang halal sangat sulit dan hampir mustahil untukku yang tidak mengenyam pendidikan. Tidak sekarang… Semakin hari, bisnisku semakin bagus. Terlebih ketika aku mulai berkenalan dengan social media. Dengan mudah aku bisa mendapatkan pelangganan yang membutuhkan jasaku. Semua berkat pemuda itu. “Aku akan meninggalkanmu.” Kata Pemuda itu suatu hari. “Akang mau ke mana?” “Orangtuaku menyuruhku menjalankan bisnis di Australia. Aku juga akan menikah.” “Menikah?” “Iya.” Tentu saja Pemuda itu tak berniat menikahiku. Seorang wanita berpendidikan tinggi, berasal dari keluarga terhormat, mempunyai pekerjaan yang baik adalah tipe istri untuknya. Sebejad apa pun seorang lelaki, pasti mereka ingin menikah dengan perempuan baik-baik. Bukan perempuan seperti diriku. Meskipun diam-diam aku sangat mencintainya. Ah, sudahlah. Aku harus belajar berdamai dengan kenyataan ini. “Terima kasih, Kang.” “Untuk apa kamu berterima kasih?” “Untuk semuanya.” “Untuk menjebloskanmu ke dunia hitam?” “Tapi aku menyukainya, Kang. Aku menikmatinya.” “Neng, dengar nasehatku ini. Kumpulkan duit sebanyak-banyaknya. Kejar impianmu untuk mengenyam pendidikan tinggi. Tak ada kata
terlambat untuk itu. Jika kamu punya ilmu, maka kehidupan yang lebih baik akan menghampirimu. Bukan kehidupan seperti ini, Neng.” “Iya, Kang. Terima kasih untuk nasehatnya.” Selangkah lagi aku bisa meraih impianku. Ijazah SMA dengan kejar paket A sudah aku pegang. Formulir pendaftaran sebuah perguruan tinggi swasta telah aku simpan, menunggu untuk aku lengkapi dan diserahkan ke pihak pendaftaran. Selangkah lagi. Tetapi lelaki ini keburu datang. Kadatangannya menghancurkan mimpi yang telah kubangun selama bertahun-tahun, sekaligus mengantarkanku meraih mimpi yang lainnya. Lelaki ini memupus impianku untuk kuliah, dan mewujudkan impianku untuk menjadi orang terkenal. Dia datang sesuai jadwal perjanjian. Dia baru datang sekali. Satu jam. Itu yang dia minta. Dia hanya lelaki biasa dengan tubuh tambun dan berlemak. Aku memberi jasa yang dia minta, seperti kepada pelangganku yang lain. Tapi kemudian keadaan menjadi tak terkendali. Aku berteriak minta tolong, tapi lelaki itu menyumpal mulutku dengan kain dan memukuli tubuhku berkali-kali. Tanpa ampun. Dia seperti kesetanan. Aku merasakan sakit yang teramat sangat, sebelum kegelapan menyelimut lalu cahaya terang itu datang. Aku terkenal. Aku bisa menyaksikan semuanya. Aku bisa melihat kehebohan yang terjadi di luar sana. Aku menjadi bahan pembicaraan, berita utama, topik obrolan, meskipun tak satu pun yang mengangkat sisi baik diriku. Tak satu pun. Semua hanya memberitakan tentang seorang PSK yang ditemukan mati tanpa busana di kamar kosan. Tidak mengapa. Yang penting aku terkenal. Itu saja. *** Nominasi sayembara Cerpen Taman Fiksi