Gadis Psikometri Nanda Dyani Amilla
U
ntuk permulaan, aku ingin mengatakan bahwa aku hanya seorang gadis kecil berusia dua belas tahun. Aku gadis kecil yang lugu. Yang senang bermain-main dengan anak lainnya, sebelum aku tidur di ranjang kecilku di malam hari. Tidak pernah sedikit pun terlintas dalam benakku menyakiti atau bahkan membunuh orang lain. Aku mencoba menjelaskan pada semuanya tentang kebenaran yang terjadi, namun mereka tidak ada yang mengerti. Sejujurnya aku memang bukan gadis kecil biasa. Tuhan menganugerahiku sebuah kelebihan yang tidak dimiliki anak lain. Tunggu!
Aku tak bermaksud untuk mengatakan bahwa aku, dengan semua kelebihan yang kumiliki, bisa melakukan apa saja sesuka hati. Aku sendiri punya kecenderungan ganjil, menganggap bahwa kelebihan yang aku miliki ini suatu saat akan menghancurkanku sendiri. Tapi ketahuilah, aku tetap mensyukuri apa yang Tuhan beri, sebab aku sama sekali tidak berhak untuk mengubahnya. Dalam gelap kamar, kunyalakan sebatang lilin. Kutatap nyala kecil yang menggeliat lemah di hadapanku lekat-lekat. Kejadian pagi tadi kembali menghantui pikiranku. Ke mana Mas Yudha yang kukenal dulu ? Yang selalu membelaku di
saat aku tersudutkan. Mas Yudha yang selalu berteriak keras jika ada yang menyakitiku. Dan Mas Yudha yang selalu menenangkanku dengan tatapan teduhnya. Dalam rumah yang seolah tak berpenghuni ini, aku merasa keheningan semakin menceraikanku dengan orang-orang tercinta. Ayah, Ibu dan kau Mas Yudha, kakak laki-lakiku satu-satunya. Di mataku, kalian seolah telah memproklamirkan diri untuk lebih mencintai seribu aktivitas lain daripada segumpal hati yang teronggok lelah di sudut kamar. Malam itu, sekitar pukul 22.15 malam, aku tak bisa tidur, Mas. Aku gelisah. Perasaanku tiba-tiba terasa ganjil. Aku membalikkan tubuhku ke kanan, mencoba memejamkan mata yang sedikit pun tak terasa kantuk. Tiba-tiba aku merasa sekelebat bayangan masuk ke dalam pikiranku. Rasanya aneh, aku berusaha membuka mataku namun tak bisa. Sekuat apa pun aku mencoba, sia-sia. Dalam pejaman mata yang terasa ganjil itu, aku melihat seorang pria tak di kenal masuk mengendap-endap ke halaman rumah Kak Maudy, kekasih Mas Yudha. Dia menggenggam sesuatu di tangannya. Sebuah kertas yang digulung pada sebongkah batu. Terlihat seperti sebuah surat. Aneh! Jika pria itu hanya ingin mengirimkan surat, mengapa harus mengendapendap seperti itu? Wajahnya terlihat jelas, tapi aku tidak mengenalinya. Aku tidak tahu siapa dia. Dia meletakkan surat itu di bawah kursi kecil di sudut teras. Lalu dengan tergesa dia berlari meninggalkan rumah itu. Tiba-tiba slide lain muncul dalam kepalaku, isi surat itu tergambar jelas. Aku kaget setengah mati. Apa maksud dari isi surat itu? Isinya tidak panjang, hanya sebuah kalimat yang begitu menusuk. Membuat siapa pun yang membacanya dihantui rasa takut. Siapa dia? Apa maksud dari surat misterius itu? Aku membuka paksa mataku. Keringat membanjiri dahiku. Napasku sedikit tersengal. Aku begitu nyata merasakannya, seolah-olah aku melihat kejadian itu secara langsung. Aku mengatupkan kedua tanganku di atas dada, deru jantungku berdebar kencang sekali. Perasaanku benar-benar tidak enak. Aku memutuskan berlari ke kamarmu, Mas. Ada keinginan besar untuk menceritakannya. Kuketuk pintu kamarmu sekali. Terdengar jawaban dari dalam menyuruhku masuk. Aku membuka pintu berwarna cokelat itu perlahan,
lalu melangkah masuk. “Ada apa, Lolita?” tanyamu bingung melihatku masih terjaga selarut ini. Kau sedang duduk di atas tempat tidurmu sambil mengutak-atik laptop putih kesayanganmu. Entah apa yang sedang kau kerjakan saat itu. Aku tak terlalu peduli. Yang aku tahu, aku hanya ingin menceritakan apa yang baru saja kulihat lewat alam pikiranku padamu. Aku mendekat ke arahmu, ikut duduk di sebelahmu. Kau tersenyum, lantas mengacak lembut poniku. Aku mengerjapkan mata beberapa kali seraya berpikir, bagamana caraku untuk menyampaikannya? Apakah kau akan percaya? Ada sedikit kekhawatiran di benakku. “Mas Yudha…” panggilku perlahan. Kau menoleh, mengabaikan laptop itu sebentar. “Ada yang ingin kusampaikan,” kataku lagi. Kau menggeser posisi dudukmu, menghadapku lalu tersenyum. “Katakan saja,” Aku berpikir sejenak, mencoba mengatur kalimatku agar kau tidak menganggapku aneh. “Tadi, ada seseorang mengendap-endap masuk ke halaman rumah Kak Maudy, Mas. Aku tidak tahu siapa, tapi dia seorang pria seusiamu,” aku berkata pelan. Kulihat dahimu berkerut. Mungkin saat itu kau mengira aku hanya bermimpi atau membual saja. “Dia membawa sebuah kertas yang digulungkan pada sebongkah batu berukuran sedang, Mas. Lalu meletakkannya di bawah kursi teras rumah itu,” lanjutku lagi. Kali ini tatapanmu terlihat lebih serius. “Apa yang kau bicarakan, Lolita?” tanyamu kemudian. Aku terdiam. Aku tahu, akan sulit menjelaskannya padamu. Siapa yang percaya dengan omongan seorang anak kecil sepertiku? Di tengah malam seperti ini pula? Siapa saja pasti mengira itu hanya sebuah imajinasi anak kecil, mimpi atau apa saja yang tentunya bukan sesuatu yang penting untuk didengarkan apalagi dipikirkan. “Apa kau mimpi buruk?” pertanyaanmu semakin membuatku bingung. Aku menggeleng, “Tidak, Mas. Aku merasa itu semua nyata. Aku benar-benar merasakannya. Dan isi surat itu sangat mengerikan, Mas. Kau harus mempercayaiku,” Aku menarik tanganmu cepat. Aku memberitahukan apa isi surat yang kulihat tadi. Tapi kau tetap tak mempercayaiku.
“Pergi tidurlah sekarang, Lolita. Mungkin kau terlalu lelah setelah seharian ini bermain. Aku yakin itu hanya mimpi buruk. Kau pasti lupa membaca doa,” Kau mengusap kepalaku, lalu beralih ke laptopmu kembali. Aku menghela napas panjang. Kau sama sekali tidak percaya padaku. Padahal apa yang aku rasakan dan lihat tadi adalah nyata. Beberapa kejadian lalu yang telah membuktikan itu tak juga membuatmu percaya, bahwa adik kecilmu ini memiliki kelebihan yang tak dimiliki anak lain. Kau malah menganggap semua itu hanya kebetulan belaka. Tapi sudahlah, tak ada gunanya lagi aku tetap disini, bersikeras membujukmu agar mau mendengarkanku. Jadi aku memutuskan untuk kembali ke kamar. Pagi itu, Ayah marah besar padaku. Aku tak berkutik, Mas. Ayah nyaris gagal mengendalikan murka. Jika refleks Ibu tak bekerja dengan baik mencegah ayunan tangan Ayah, entah apa yang akan terjadi padaku. Sementara kau hanya diam menatapku dengan tatapan dingin. Beku, seolah memandangku sebagai tersangka. “Ini hasil perbuatanmu, kan?” suara Ayah keras sekali. Dia menyodorkan selembar kertas. Aku terkesiap. Kelebihan yang Tuhan beri ternyata membawaku pada kebimbangan. Bodoh! Harusnya tak kukatakan padamu mengenai apa yang kurasakan tadi malam. Surat itu sudah sampai di tanganmu pagi ini. Dan kau baru percaya ketika apa yang kusampaikan tadi malam benar adanya. Kau memberitahukannya pada Ayah dan Ibu. Parahnya, kau malah menuduh bahwa aku yang melakukannya. Sebab isi surat itu sama persis seperti apa yang telah kuutarakan padamu tadi malam. AWAS! LENGAH SEDIKIT, HABISLAH KAU! Aku sama sekali tidak mengerti. Bukan! Bukan aku yang melakukannya, Mas. Aku hanya ingin memberitahumu tentang firasat dan gambaran yang kudapat tadi malam. Aku bahkan tidak pernah berpikir kau akan menuduhku seperti ini. “Jelaskan kenapa kamu melakukannya! Jangan sampai ada kebohongan!” cecar Ayah. Aku bingung harus menjelaskan apa. Rahasia bahwa aku memiliki sebuah kelebihan yang orang sebut intuisi, tidak mungkin kuceritakan pada kalian semua. Lihat, kalian menatapku layaknya tersangka kejahatan, bagaimana
mungkin kalian akan percaya dengan keterusteranganku mengenai intuisi ini? Kalian pasti tidak akan percaya, Mas. Di mata kalian kertas ini sudah menjelaskan semuanya. Menjelaskan bahwa aku bersalah. Jadi aku memutuskan untuk tidak mengatakan apa pun. Lama Ayah menceramahiku. Sementara kau hanya menatapku tanpa membelaku seperti hari-hari sebelumnya. Apa kau sudah benarbenar benci padaku, Mas? Apa kau percaya bahwa aku yang melakukan semuanya? Seandainya tadi malam aku tidak memberitahumu, apa kau juga akan menyalahkanku? Ah, cerobohnya aku! Di kamar ini, aku benar-benar menemukan kedamaian. Aku gembira saat akhirnya aku bisa kembali ke kamarku dan menangisi semuanya. Sesaat setelah terungkapnya kertas ancaman itu, Ayah menyuruhku menemui Kak Maudy untuk minta maaf. Haruskah aku lakukan itu? Aku tidak bersalah, Mas. Aku hanya menceritakan apa yang aku rasakan saat itu. Mengenai Kak Maudy, juga surat ancaman itu. Tapi semuanya malah jadi salah paham. “Lolita minta maaf, Kak,” hanya itu yang kuucapkan ketika kau mengantarku menemui Kak Maudy. Saat itu, Kak Maudy menatapku haru, Mas. Matanya berkabut. Dia tersenyum sembari mengusap kepalaku. Bahkan dia juga mengira aku bersalah. Nyatanya tidak semua permintaan maaf itu terucap manakala seseorang itu bersalah. Kalian telah salah menilaiku, Mas. Tiba-tiba mataku tertuju pada sebuah
bingkai foto yang ada di atas lemari kaca itu. Aku mendekati bingkai foto itu. Kau dan Kak Maudy mengikuti langkahku dengan tatapan mata ingin tahu. Kulihat di sana foto masa SMA dua orang gadis dan tiga orang pemuda. Satu di antara gadis itu adalah Kak Maudy dan satu di antara tiga pemuda itu adalah kau, Mas. Namun aku bukan tertarik pada foto kalian berdua. Yang menarik perhatianku adalah wajah seorang pemuda yang ada di sebelahmu, yang tengah kau rangkul dengan senyum bahagia. Wajah itu… sepertinya aku mengenalnya. Wajah itu… seperti orang yang aku lihat tadi malam. Astaga! Aku ingat. Wajah itu adalah wajah pria yang mengirimkan surat itu pada Kak Maudy. Bagaimana mungkin bisa terjadi? Tiba-tiba napasku memburu. Aku memandang wajah pria di foto itu dengan perasaan takut. Lalu mundur beberapa langkah dan menoleh ke arah kalian berdua yang tengah menatapku heran. “It.. itu siapa?” tanyaku ingin tahu. Benarbenar ingin tahu. Seketika Kak Maudy menoleh ke arahmu, Mas. Seolah-olah dia meminta persetujuanmu untuk menjawab, lalu kau mengangguk. “Itu sahabat kami, Lolita. Tapi dulu, sebelum kami berpacaran,” jelas Kak Maudy tersenyum kaku. “Maksudnya?” tanyaku semakin ingin tahu. Aku hanya ingin memastikan siapa sebenarnya orang itu. Bagaimana mungkin seorang sahabat meneror sahabatnya sendiri seperti ini? Mengirim surat ancaman di malam hari. Sangat tidak mungkin. Lama Kak Maudy terdiam. Sebelum akhirnya dia menjawab, “Dia mantan kekasihku,” Akhirnya sekarang aku paham. Dia tidak menyukai hubunganmu dan Kak Maudy, sebab dia menganggap kau merebut Kak Maudy darinya. Iya kan, Mas? “Mengapa tiba-tiba kau menanyakan itu, Lolita?” tanyamu kemudian. Aku menggeleng cepat. Tidak mungkin aku memberitahukanmu bahwa pria itulah yang sebenarnya mengirim surat ancaman pada Kak Maudy. Tentu kau akan berpikir lagi bahwa aku sedang bermimpi walau tidak sedang terlelap. Atau kau akan berpikir bahwa aku sedang mencari-cari alasan untuk bisa menyalahkan orang
lain. Lagipula bagaimana mungkin aku bilang bahwa dialah pengirimnya, padahal aku baru saja menanyakannya. Bisa-bisa kau menganggapku gila. Jadi aku memutuskan diam, tidak berbicara sepatah kata pun lagi hingga kita tiba di rumah. Seminggu setelah kejadian itu berlalu, firasat buruk itu kembali menghantuiku, Mas. Ini lebih megerikan dari yang lalu. Aku bahkan bisa merasakan seseorang itu menyakiti Kak Maudy. Aku segera berlari ke kamarmu, mengetuk pintumu dengan amat keras. Kau membukanya dengan tatapan heran. “Mas Yudha harus ke rumah Kak Maudy sekarang, Mas. Harus! Sekarang, Mas!” kataku tergesa. Pikiranku semakin tak karuan, merasakan sesuatu yang aneh dalam diriku. Kejadian itu jelas sekali terputar dalam otakku. Aku bisa melihat bagaimana pria itu memaksa masuk ke dalam rumah Kak Maudy. Aku bisa melihat pria itu menggenggam sebuah pisau. Pria itu membuat Kak Maudy ketakutan, Mas. “A.. apa maumu, Felix?” suara Kak Maudy bergetar. Namun pria itu terus mendekat ke arah Kak Maudy dengan tatapan sinis. Pria itu menatap pisau dan Kak Maudy secara bergantian. “Apa yang kau lakukan, Felix?” teriak Kak Maudy semakin ketakutan. Air matanya sejak tadi sudah merebak entah ke mana. Pria itu menatap Kak Maudy tenang, penuh dengan hasrat yang membuncah, “Sudah lama aku merencanakannya, Sayang! Kau adalah satu-satunya gadis yang membuatku frustasi! Karena ternyata kau lebih memilih laki-laki itu dibanding aku!” ucapnya sengit. “Jika aku tak bisa memilikimu, dia juga tak boleh memilikimu!” tambahnya lagi. Aku bisa melihat pria itu menarik kasar Kak Maudy, Mas. Mendorongnya hingga terjatuh ke lantai. Lalu perlahan, pisau itu menembus leher jenjang Kak Maudy. Dia meronta kesakitan. Terdengar melodi penderitaan dari kerongkongannya. Melodi yang membuatku lemas, seperti lagu suram di tengah malam. Pria itu tersenyum sinis menatap Kak Maudy yang tergeletak dengan warna merah kehitaman yang menguasai kecantikannya. Kau masih diam mematung. “Cepat, Mas! Kasihan Kak Maudy!” aku sudah keringat dingin,
menarik-narik tanganmu untuk segera bergegas. Saat itu masih pukul sembilan malam. Kau akhirnya berlari menuruni tangga dan mengambil kunci mobil. Mas Yudha… diterangi pijar api lilin ini, aku sedih, aku menangis. Aku benar-benar cemas. Apa yang terjadi pada Kak Maudy? Apakah dia akan baik-baik saja? Kudengar Pak Ujo mengatakan bahwa Ayah dan Ibu baru berangkat ke rumah sakit. Aku menarik napas panjang. Layar api menggeliat pelan. Kusebut nama kalian bergantian, dengan bibir bergetar. Apakah aku akan disalahkan lagi dalam peristiwa ini? Apakah yang kulakukan ini sudah benar? Tubuhku bergetar hebat. Lihatlah, Mas.. adik kecilmu ini sungguh ketakutan membayangkan apa yang akan terjadi nanti. Aku sungguh takut melihat reaksimu nanti. Suara pintu terbanting bergema di seluruh penjuru rumah seolah guntur di langit. Aku terkejut, tiap syaraf di tubuhku tersentak karena sensasi ganjil yang belum pernah kualami. Tibatiba pintu kamarku didobrak oleh seseorang. Itu kau, Mas! Aku terkesiap. Air mukamu menunjukkan sebuah kemarahan yang sungguh hebat. “Apa yang telah kau lakukan?” katamu dingin sambil berjalan mendekat ke arahku. Aku menggeleng takut. Api lilin bergoyanggoyang. Suasana yang hanya diterangi api lilin semakin membuatku takut. “Perkataanmu beberapa waktu lalu menyiratkan masalah yang cukup serius, Lolita!” katamu sengit padaku. Aku masih terus menggeleng takut, masih terus mengatakan tidak. “Demi Tuhan, bukan aku yang melakukannya, Mas,” balasku cepat. “Lalu darimana kau tahu bahwa Maudy sedang dalam bahaya? Kau menyuruhku untuk segera berangkat kesana, agar seolah-olah kau terlihat seperti malaikat? Begitukah?” Kau menatapku tajam. Matamu terlihat sembab. Kau pasti habis menangis. “Apa lagi alasanmu?” cecarmu lagi. “Sungguh bukan aku, Mas! Aku tidak bisa mengatakan alasannya. Karena ini sulit sekali untuk dijelaskan.” Aku sudah menangis. Ruangan ini semakin lama semakin suram. Udara semakin disesaki oleh kesenduan dan keresahan yang menyeruak di dalamnya. “Kau bohong, Lolita! Kau pembohong!” bentakmu.
Aku menutup kedua telingaku, menangis. Kau mendorongku kasar hingga aku terjerembab ke lantai. Aku berlari mengejarmu ketika kulihat kau berusaha mengunciku dari luar. Tangisanku semakin kencang. “Jangan, Mas Yudha! Biarkan aku ke luar. Aku mohon, biarkan aku menjelaskan semuanya!” Aku memukul-mukul pintu dengan kekuatan penuh. Berharap kau mau mendengarkanku sebentar saja. “Mas Yudha… buka pintunya! Aku harus mengatakan sesuatu padamu. Tentang surat ancaman itu, tentang laki-laki di foto itu, dan tentang kejadian ini! Kau harus mendengarkanku, Mas!” jeritku sekuat mungkin. “Diam, Lolita, Diam! Aku tidak mau lagi mendengar ucapanmu! Kau pembunuh, Lolita! Kau telah membunuh kekasihku!” Kudengar kau membanting sesuatu dari luar sana, Mas. Aku benar-benar menyesal, Mas. Kenapa aku tak segera mengatakan tentang pria di foto itu padamu. Aku merasa telah berlaku sangat bodoh dengan menutupi semuanya dan mengira semua akan baik-baik saja. Tapi ternyata aku salah. Aku sedih, Mas Yudha. Sedih sekali melihat kau bersikap seperti ini padaku. Menuduhku sebagai seorang pembunuh. Tega sekali kau mengatakan itu padaku, Mas. Aku hanya seorang gadis kecil yang dianugerahi Tuhan sebuah kelebihan. Dan aku tak pernah menggunakan kelebihan itu untuk mencelakakan orang lain, Mas, tidak pernah! Tanpa sengaja kakiku menyenggol meja kecil tepat di mana lilin itu berada. Lilin itu jatuh dan mengenai sprei merah jambuku. Aku panik luar biasa. Aku meniup nyala lilin agar padam. Kobaran api semakin membesar, aku berteriak minta tolong, memanggil-manggil namamu, Mas. Asap hitam dan tebal menutup pandanganku. Aku terbatuk, sesak. Sebentar lagi semuanya akan berakhir. Satu-satunya yang tersisa hanyalah kenangan yang tak akan tertulis dalam buku sejarah, sebab aku bukanlah siapasiapa. Aku berteriak sekencang-kencangnya, “Mas Yudhaaa…!” Panas api semakin membesar. Lalu kudengar pintu berderak, dan terbuka. Sesosok tubuh menyembul di tengah kepungan asap, meneriakkan namaku berulang-ulang. Aku tahu itu kau,Mas. Namun aku tak sanggup lagi men-
jawab. Yang terdengar hanyalah suara gemeretak benda-benda terbakar. Tubuhku pun mulai lemas. Dalam keadaan seperti itu aku berharap kau bisa tahu cerita yang sebenarnya, Mas. Cerita bahwa tidak benar jika aku melakukan segala yang kau tuduhkan. Aku sudah sangat lemah. Aku tergeletak tak sadarkan diri. Lalu, lidah api yang luar biasa panas menjilat pakaianku, tubuhku, wajahku, rambutku, semuanya. ***