11. TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Proses Produksi Industri Tapioka Di Indonesia terdapat industri tapioka berkapasitas kecil, menengah clan besar
yang beroperasi secara nasional. Industri tapioka skala k e d adalah industxi yang menggunakan teknologi proses dan peralatan tradisional dengan kemampuan produksi sekitar 5 ton bahan baku per hari. Skala menengah adalah indusm yang menggunakan teknologi proses dan peralatan yang lebih sederhana dibandingkan industri skala besar serta mempunyai kemampuan produksi sampai 20 ton bahan baku per hari.' Skala besar adalah indusm yang mengpnakan teknologi proses produksi mekanis penuh dan mernpunyai kemampuan produksi di atas 200 ton bahan baku per hari (Bapedal, 1996). Jenis industri kecil mendapatkan bahan baku dari petani singkong. Tapioka yang dihasilkan masih kasar dan hanya dijual kepada pengecet tepung tapioka untuk diproses lebih lanjut guna menmgkatkan mutunya. Jenis indusm menengah dan besar inipun bahan mentahnya didapatkan dari petani dan hanya sedikit yang memiliki areal pertanamanan sendiri Produksi tapioka yang dihasilkan merupakan produk akhir yang sudah siap dipasarkan kepada konsumen tepung tapioka Tepung tapioka dibedakan menjadi dua macam, yaitu tepung tapioka kasar dan tepung tapioka halus. Tepung tapioka kasar adalah tepung tapioka yang diperoleh dan hasil. pemarutan singkong sampai didapatkan pati dan sudah mengalami pengeringan,
sedangkan tepung tapioka halus merupakan proses kelanjutan dari tepung tapioka kasar d e n p mengalami proses p e n g g h p (Tjiptadi dan Nasution, 1980). Secara garis besar pengolahan singkong menjadi tepung tapioka merupakan
rangkaian proses yang diawali dengan pengupasan umbi singkong, pencucian umbi kupasan, pemarutan, pemerasan, penyaringan, pengendapan, dekantasi pengeringan dan terakhir p e n e g a n . Proses produksi pembuatan tepung tapioka meliputi pemlllhan bahan baku, pencucian yang dilakukan dengan cara pengadukan dalam air dengan bantuan "gelebegan" atau sistem baling-baling, kemudian penyemprotan air, pemarutan, pemerasan dengan "gelebegan" atau saringan goyang, pengendapan dan pengeringan pati (Bapedal, 1996), seperti terlihat pada Gambar 2.
2.2
Limbah Industri Tapioka Menurut Winamo (1985), yang dimaksud dengan limbah adalah kotoran atau
buangan yang tercermin dalam kata pelimbahan yang berarti tempat penampung kotoran atau buangan. Thompson (1973) mengatakan bahwa sebagian besar limbah merupakan komponen penyebab pencemaran yang terdiri dari zat atau bahan yang tidak mempunyai kegunaan lagi bagi masyarakat.
Limbah industri pertanian kebanyakan menghasilkan limbah yang berslfat cair atau padat yang masih kaya dengan zat organik yang mudah mengalami penguraian (Algamar, 1986). Kebanyakan indusm yang ada membuang limbahnya ke perairan
terbuka, sehingga dalam waktu yang relatif singkat akan terjadi bau busuk sebagai akibat terjadinya fermentasi limbah. Kunaefi (1982) berpendapat bahwa limbah indusm adalah buangan yang berasal dari industri sebagai akibat dari produksi Pengusaha indusm yaug akan membuang limbah diwajibkan mengolah terlebih dahulu untuk mencegah pencemaran lingkungan hidup di sekitarnya dengan metode pengolahan limbah yang dapat dilakukan secara fisik, kimia, biologi atau kombinasi untuk mengatasi pencemaran. Sugharto (1987) mengatakan bahwa lirnbah cair yang berasal dari industri sangat bervariasi, serta tergantung dari jenis dan besar kecilnya mdustri, pengawasan pada proses industri, derajat penggunaan air, dan derajat pengolahan. Penurunan kualitas air dapat disebabkan oleh adanya kandungan bahan atau senyawa organik dan anorganik yang berlebihan. Adanya senyawa organik dalam perairan akan dirombals oleh bakteri dengan menggunakan oksigen terlarut. Perombakan ini akan menjadi masalah jika senyawa organik terdapat dalam jumlah p n g banyak. Penguraian senyawa organik akan memerlukan oksigen yang sangat banyak, sehingga dapat menurunkan kadar oksigen terlarut perairan sampai titik yang terendah.
Akibamya, dekomposisi aerobik akan terhenti, sehingga pemecahan
selanjumya akan dilakukan oleh bakteri anaerob. Produk hasil pemecahan anaerobik biasanya berbahaya karena beracun, dapat menimbulkan bau, serta prosesnya berjdan lambat (Dunne dan Leopold, 1978).
1 Air untuk pencucian peralatan
I 1
1 Bubur singkg
Limbah cair
j
pengeidapan
Limbah cair
1
Penjemumn
Gambar 2. Skema Proses Produksi Indusm Tapioka (Bapedal, 1996).
Selain itu, perairan dengan kebutuhan oksigen yang tin@ tidak mempunyai
kemampuan untuk menambah kadar oksiganya, sehingga tidak dapat mendukung organisme yang membutuhkan oksigen (Manahan, 1975). Bahan o r g d yang terdapat & perairan, bersumber dari alam atau air buangan, baik buangan domestik maupun buangan industri Menurut Mason (1992), zat pencemar organik secara umum terdiri dari protein, karbohidrat dan lemak.
Komponen bahan organik
merupakan komponen utama dalam buangan, yaitu sekitar 70% dan sisanya komponen anorganik 30% (Cairncross dan Feachem, 1983). Terdapamya bahan organik dalam jumlah yang banyak di perairan akan menimbulkan masalah yang berhubungan dengan kualitas air. Bahan organik akan distabilkan secara bio1ogik dan melibatkan mikroba baik melalui sistem oksidasi aerobik maupun anaerobik. Oksidasi aerobik dapat menurunkan kandungan oksigen tertarut perairan sampai mencapai ti&
nol, sehingga dapat mengganggu
keseimbangan ekosistem perairan. Pengukuran potensid pencemaran bahan organik dari suatu limbah cair, sesuai dengan potensinya untuk menghabiskan oksigen terlarut, merupakan konsepsi yang logis dan masuk akal, sehingga banyak digunakan sebagai suatu pendekatan untuk menduga kekuatan suatu limbah (Gaudy, 1372). Limbah pabrik tepung tapioka bersifat kaya akan bahan organik seperti pati, serat, protein, gula dan sebagainya. Komponen limbah ini mempakan bagian sisa pati yang tidak terekstrak sera komponen selain pati yang terlarut dalarn air, oleh karena tepung tapioka adalah komponen pati yang harnpir murni (Greenfield, 1971).
Limbah dari industri tapioka bisa dibedakan menjadi 3 macam yaitu limbah padat, cair dan gas (Tjiptadi dan Nasution, 1980). Lirnbah padat dari indusm tapioka adalah kulit singkong, ampas atau onggok, dan lindur.
Limbah kulit
singkong dihasilkan ketika dilakukan proses pengupasan kulit singkong di laclang, setelah tanaman singkong dicabut. Biasanya, kulit singkong yang telah terkupas, dlhamparkan di atas tanah bekas tanaman singkong, dibiarkan terkena panas dan hujan sarnpai mengalami penguraian oIeh mikroorganisrne menjadi pupuk organik bagi tanah. Dalam jumlah kecil, kulit singkong ini biasanya diberikan kepada
ternak
kambing. Ampas (onggok) adalah limbah dari indusm tapioka yang dihasilkan dari proses pemerasan dan penyaringan. Banyaknya onggok yang dihasilkan dipengaruhi oleh varietas singkong, umur singkong, dan kasar-halusnya parutan yang digunakan. Varietas singkong yang bennutu baik adalah yang dapat menghasilkan pati dengan rendemen ~ g g i . Pada m u s h hujan, banyak indusm tapioka yang membuang onggok bersama dengan limbah cairnya, sehingga airnya keruh dan pekat. Hal ini sangat mengganggu kesehatan dan bahkan dapat mematiltan biota air. Komposisi ampas tapioka disajikan pada Tabel 1. Pada industri tapioka seringkah terjadi tumpahan, ceceranceceran yang sebenarnya tidak perlu tejadi Kondisi ini dapat dilihat pada proses produksi yang tidak dilakukan dengan benar dan hati-hati, artinya Spill Controf Q~tern yang dilakukan tidak baik. Pada indusm tapioka, tumpahan atau ceceran dapat terjadi
pada tahap pengangkutan dan penampungan onggok, pengghgan, pengayakan dan p engemasan.
Komponen
Peaen (%)
0.22 - 0.30 Protein 1.45- 1.70 Sent Kasac 9.42- 10.54 19.70- 20.30 67.93- 68.30 Karbohidnt Sumber : BPPI Semarang,Laporan Penelidan Peningkatan Mutu Indusai Kecil Tapioka, 1983
Limbah cair industri tapioka (LICIT) berasal dari proses pencucian bahan baku, penyaringan bubur singkong (ekstraksi) dan pengendapan pati. Kualitas lirnbah cair industti tapioka dapat ditentukan dengan beberapa parameter uji. Parameter uji yang pokok dalam limbah cair industri tapioka antara lain nilai BODS, COD, padatan terlarut, padatan tersuspensi, sianida dan pH, secta beberapa parameter yang sangat sensitif dipandang dari segi visual seperti warna.
2.2.1 Wama LICIT berwama puth yang disebabkan adanya partikel-partikel pati yang sangat halus dari proses ekstraksi Wama putih ini bila dibiarkan terus akan berubah menjadi kehitam-hitaman. Hal in1 disebabkan karma adanya pemecahan protein oleh bakteri anaerob (Bapedal, 1996).
2.2.2
Kekeruhan Adanya padatan tersuspensi di dalam LICIT menyebabkan air keruh.
Kekeruhan terjadi karena zat orgatuk atau zat tersuspensi dari pad yang tercecer sudah terpecah, sehingga limbah cair berubah menjadi keruh. Kekeruhan &pat disebabkan oleh bahan-bahan tersuspensi yang bervariasi dalam ukuran koloid sampai dispersi kasar (Saeni, 1996).
2.2.3 pH
LICIT sifamya cenderung asam dan pada keadaan ini akan talepas zat-zat yang mudah rnenguap. Selama penampungan atau bila LICIT dibiarkan tanpa ada proses penanganan limbah, makin lama pH akan semakin turun mencapai pH 4. Pada kondisi h i tidak memunglunkan untuk hidupnya biota air (Bapedal, 1996). Nilai pH suatu perairan rnencirikan keseimbangan antara asam dan basa dalam air dan merupakan pengukuran konsentrasi ion hidrogen dalam larutan. Adanya karbonat, hidroksida dan bikarbonat menaikkan tingkat kebasaan air, sementara adanya asam-asam mineral bebas dan asam karbonat menaikkan tingkat keasamannya (Saeni, 1996).
2.2.4 Muatan Padatan Tersuspensi (MPT)
Muatan Padatan Tersuspensi 0 adalah bahan-bahan yang larut dalam air.
MPT sangat berhubungan erat dengan tingkat kekeruhan air, semakin t i n e muatan
padatan tersuspensi, akan semakin keruh. Menurut Koesoebiono (1984), pada kadar tertentu padatan tersuspensi dapat : (1)
menghambat peneirasi cahaya matahari dalam kolam air, sehingga menurunkan intensitas fotosintesis dan akhirnya menurunkan produktivitas primer p-,
(2)
langsung membunuh ikan, antara lain dengan mengendap di permukaan insang secara berlebihan;
(3)
menyelirnuti organisme-organisme di dasar perairan (bentos) yang mungkin dapat memaakan organisme tersebut.
2.2.5
Kebutuhan Oksigen Biologi (BODS) Bahan organik yang terdapat di perairan sebenarnya menguntungkan bagi
hewan air, karena merupakan sumber pangan bagi hewan-hewan hi. Namun, dalam kadar yang tin& jusau mengancam lingkungan perairan. Cepat atau lambat bahan organik ini akan mengalami perombakan bakterial.
Bila persediaan oksigen di
perairan cukup, maka terjadi dekomposisi aerobik
yang pada umumnya tidak
menghasilkan zat-zat yang bersifat toksik terhadap organisme air. Sebaliknya, jika ketersediaan tidak mencukupi, maka akan terjadi perombakan anaerobik yang menghasllkan hidrogen sulfida dan amonia yang keduanya bersifat toksik bagi hewan
air (Alabaster dan Lloyd, 1980 clan Odurn, 1971).
Ketersediaan oksigen dalam perairan juga dipengaruht oleh suhu perairan. Makin tinggi suhu, ketersediaan atau kelarutan oksigen makin menurun. Sawyer dan McCarty (1978) serta Metcalf clan Edy (1978) menyatakan bahwa k h t a n oksigen dalam air pada suhu 30 OC yang berada dalam kesetimbangan dengan udara adalah
7.6 mg/l. Banyaknya bahan organik yang diperlukan m k o b a untuk mengkonsumsi 7.6 mg oksigen dalarn 1liter air yang jenuh hanya sekitar 7.1 mg. Ini berarti mikroba yang menghancurkan bahan organik hanya mampu mengubah sekitar 7 mg bahan organik saja, bila mikroba mengkonsumsi oksigen jenuh dalam 1 liter air. Hal ini menjadi penting karena untuk oksigen tidak terdapat chemicaf sink dalam air atau tidak ada reaksi kimia yang dapat menambah jumlah oksigen terlarut, kecuali untuk oksigen yang diberikan melalui fotosintesis (Saeni, 1996). Oleh karena itu, oksigen merupakan zat kunci dalam menentukan ada tidaknya kehidupan dalam air. Menurut Gaudy (1972), Dunne dan Leopold (1975), Grady dan Lim (1980) serta Gaudy dan Gaudy (1980) bahwa kebutuhan oksigen ditentukan oleh kadar pencemar yang dapat diuraikan secara biolog& (biodegradabh pollurant), artinya kebutuhan oksigen ditentukan oleh bobot oksigen yang diperlukan untuk oksidasi zat pencemar menjadi senyawa yang stabil. Tingkat pencemaran limbah ini dapat diukur dengan suatu indeks yang disebut Biofgicaf Oxygen Demand (BODS). Uji BOD5 merupakan suatu analisis empitlk yang mencoba mendekati secara global proses-proses biokimia atau m~krobiologiyang benar-benar terjadi di alam
atau di perairan. Limbah indusm tapioka banyak mengandung bahan-bahan organik terutama pati Sebagai parameter untuk menilai jumlah zat organik yang terlarut, dapat diketahui dengan melihat besamya angka BODS yang menunjukkan jumlah oksigen yang dibutuhkan untuk keperluan aktivitas mikroba dalam memecah zat organik secara biologis di dalam lunbah cair.
2.2.6 Kebutuhan Oksigen Kimia (COD)
COD merupakan nilai oksigen yang dibutuhkan untuk oksidasi seluruh materi baik organik maupun anorganik. COD merupakan parameter yang sangat penting untuk menentukan tingkat pencemaran atau mum air. Jika kandungan senyawa organik dan anorganik cukup besar, maka oksigen yang terlarut dalarn air akan mencapai nol, sehingga tidak memungkinkan hidupnya biota air.
2.2.7
Kandungan Sianida Industxi tapioka terutama industri skala besar banyak menggunakan singkong
yang mengandung sianida, karena harganya yang murah clan kadar patinya tinM. Sianida sangat beracun, namun sampai sejauh ini kandungan sianida bukan merupakan penyebab utama timbulnya kasus pencemaran oleh buangan indusk tapioka. Secara umurn dampak yang ditimbulkan oleh h b a h cair indusm tapioka adalah tercernamya badan air penerima, yang umumnya sungar, karena hampir setiap
industxi tapioka berlokasi di dekat sungai Secara umum karakteristik limbah cair indusm tapioka dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Karakteristik Limbah Cair pada Berba+ Industri Tapioka (%a-rata)
Indushi Menengah I Besar Kecil 20.00 200 - 600 Bahan Baku ton/hari 5.00 80.00 m3/hari Debit 22.00 1200.00 5439.45 BODS 5055.82 3075.84 PPm 25123.33 COD 16202.30 5158.78 ppm MPT 3442.00 3415.45 1342.00 PPm 4.50 5.50 5.00 PH ~ianidatCN7 PPm 0.1265 0.117 1 0.200 Sumber : BPPI Semarang. Laporan Teknologi Pengolahan Air Buangan Indusai Tapioka Karakteristik
Satuan
I
1
1
1
Menurut Surat Keputusan Menteri Negara Ligkungan Hidup No. KEP5 1 / ~ e n ~ ~ / 1 0 / 1 9 seperti 95 yang tertuang ddam Lampiran IX swat keputusm tersebut, bahwa baku mutu limbah industri tapioka yang dipersyaratkan hanya lirnbah cairnya saja, dengan karakteristik yang disajikan dalam Tabel 3. Tabel 3. Baku Mutu Limbah Indusm Tapioka Yang Sudah Beroperasi Debit Limbah Maksimum Sebesar 60 m3 per ton Pmduk Kadar Maksimum
Parameter BODS COD MPT Sianida (CN7 . .
I
I
&ban Pencemaran Maksimum fig/mn produk) 12.0 24.0 9.0 0.003
200.0 ma/l 400.0 mz/l 150.0 mg/l 0.500 mg/l 6-9 pH Sumber : Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup. Keputusan Menteri Negara LH No: KEP-51/MENLH/10/1995
Pencemaran udara dari industri tapioka disebabkan penanganan LICIT d m LIPIT yang tidak sempuma. Dengm adanya proses pemecahan bahan organik yang ada dalam air lirnbah yang dilakukan oleh bakteri anaerob akan menghasllkan
senyawa yang berbau. Proses ini terjadi bila keadaan oksigen dalam air tidak tersedia untuk hidupnya bakteri aerob. Pada musim hujan seringkab onggok menjadi
masalah, karena bila onggok dibiarkan dalam keadaan basah akan berjarnur clan m e n i m b u l h bau yang tidak enak, selain itu pengendapan LICIT yang kurang sempurna pada bak pengendapan juga dapat mengakbatkan bau yang kurang enak. LIPIT dan LICIT yang berupa senyawa organik bila terbuang ke sistem perairan terbuka akan mengalami proses pembusukan oleh berbagai bentuk mikroba dalam air, sehingga teqadi penguraian senyawa organik menjadi senyawa lain yang lebih sederhana. Salah satu zat yang dlhasdkan dari proses pel~guraianadalah asam sulfat dan fosfin yang menyebabkan air menjadi busuk, dan baunya sangat menusuk hinggd bisa tercium sampai jarak 5 km (Soeriaatmadja, 1984). Zat beracun lain sgcrti asam sianogenat, metan, amonia bersama dengan senyawa karbon dioksida akan menimbulkan gangguan berat terhadap sistern kehidupan akuaak di perairan terbuka. Sungai, pant, selokan, rawa akan berubah airnya dari jernih menjadi putih di bagian yang dekat dengan sumber pencemaran, air yang putih kotor itu jika telah menjauhi sumber pencemaran akan berubah menjadi hitam legam tanpa ada jasad yang hidup di dalamnya. Bahkan tumbuhan di tepi perairan terbuka itu juga akan mati karena terkena racun tapioka tersebut. Lebih dari itu, proses mikrobiologi di perairan terbuka itu dapat menurunkan pH air dan menurunkan kandungan oksigen. Populasi bakteri yang meledak membutuhkan jumlah oksigen jauh lebih banyak. Hal ini juga mengubah lingkungan hidup dalarn air menjadi tidak sesuai lagi bagi banyab
tumbuhan dan hewan akuatik,
sehingga tidak hanya &pat
menurunkan
produktivitasnya, tetapi juga memusnahkannya. Menurut Soeriaatmadja (1984), limbah indusm tapioka yang dibiarkan terbuang di perairan terbuka akan menimbulkan 5 perubahan Wtas air yang tercemarinya : (1)
peningkatan zat padat berupa senyawa organik, sehingga timbul kenaikan limbah padatan, tersuspensi maupun terlarut;
(2)
peningkatan kebutuhan oksigen oleh mikroba-pernbusuk senyawa organ&, dinyatakan dengan BODS;
(3)
peningkatan kebutuhan proses kimiawi dalam air, dinyatakan dalam COD;
(4)
peningkatan senyawa zat racun dalarn air dan pembawa bau busuk dan rnenyebar keluar dari ekosistem akuatik;
(5)
peningkatan derajat keasaman dinyatakan dengan pH akan merusak keseimbangan ekosistem akuatik/perairan terbuka.
2.3
Produksi Bersih Pada mulanya saategi pengelolaan lingkungan mengacu pada pendekatan
kapasitas daya dukung.
Konsep ini kenyataannya sukar diterapkan, disebabkan
kendala yang dmbul dan seringkali harus dilakukan upaya perbaikan kondisi
lingkungan yang kemudian tercemar clan rusak, s e h i n e mernerlukan biaya tin& (Bapedal, 1996). Konsep strategi berubah menjadi upaya pemecahan masalah dengan pengolahan h b a h yang terbentuk (end afp$e treatmen3 dengan harapan kualitas lingkungan bisa lebih ditingkatkan.
Kenyataannya, pencemaran mash
berlangsung. Menurut Bapedal (1996) dan Wibowo (1996) kendala yang muncul dalarn penerapan end fpipe iredment adalah : (1)
pendek~tanini sifatnya reaktif, artinya bereaksi setelah limbah terbentuk;
(2)
limbah tetap terbentuk, sehingga memberi peluang pengembangan teknologi pengolahan limbah, sehinggd upaya mengurangi limbah pada sumbernya cenderung tidak dilakukan;
(3)
tidak efektif memecahkan masalah, karena pada kenyataannya seringkali mengolah limbah hanyalah mengubah bentuk limbah dan memindahkannya dari satu media ke media lain;
(4)
upaya ini meningkatkan biaya produksi, tempi tidak setin& upaya perbaikan kerusakan dan pencemaran (remediasi);
(5)
peraturan perundang-undangan yang mengatur persyaratan pembuangan limbah setelah pengolahan diperlukan, umumnya cenderung dilanggar bila upaya penegakan hukum hgkungan belum berjalan sepenuhnya.
Strategi pengelolaan lingkungan sejak era 90-an berubah menjadi upaya preventif atau pencegahan, dan dikembangkan menjadi prinsip produksi bersih sebagai suatu strategi preventif yang operasional dan terpadu (Bapedal, 1996).
2.3.1
Pengertian Umum Is%
produksi bers~hmulai diperkenalkan oleh UNEP (United Nations
Environment Program) pada bulan Mei 1989 dan diajukan secara resmi pada bulan
September 1989 pada : Seminar on The Promotion
4 Cleaner Production, di Canterbury
(Wibowo, 1996). Indonesia sepakat untuk metigadopsi dehisi yang dkampaikan oleh UNEP bahwa produksi bersih merupakan suatu strategi pengelolaan lingkungan yang bersifat preventif dan terpadu yang perlu diterapkan secara terus-menerus pada proses produksi dan daur hidup produk dengan tujuan untuk mengurangi resiko terhadap manusia dan lingkungan (Wibowo, 1996). Pengertian strategi produksi bersih bennakna sangat luas karena di dalamnya mencakup upaya pencegahan pencemaran, minimisasi limbah, teknologi bersih, end 4
p$e ta/ment dan remediasi (Bapedal, 1996). Menurut Wibowo (1996) clan Bapedal (1996),bahwa produksi bersih mencakup prinsip-prinsip pokok : (I)
mengurangi atau meminimumkan penggunaan bahan baku, air dan energi serta menghindari penggunaan bahan baku berbahaya dan beracun;
(2)
pembahan pola produksi dan konsumsi yang dilakukan terhadap proses clan produk yang dihasilkan, sehingga hams dijiwai analisis daur hidup produk (product life-gcfe ana5sk);
(3)
perubahan pola pikir, sikap dan tingkah laku semua pihak yang terkait, baik pemerintah, masyarakat maupun kalangan dunia usaha, serta perlunya penerapan pola manajemen yang baik di kalangan pemerintah dan industri yang telah mempertimbangkan aspek lingkungan;
(4
aplikasi teknologi akrab lingkungan, manajemen dan prosedur standar operasi sesuai dengan persymtan yang ditetapkan, kegiatan tersebut tidak selalu memerlukan biaya investasi tin@, kalaupun tejadi biasanya memerlukan waktu yang singkat untuk pengembalian modal investasi;
(5)
pelaksanaan program produksi bersih lebih mengarah pada pengaturan sendiri dan peraturan yang sifamya musyawarah-mufakat (negotiated--ngulatog approach) daripada pengaturan secara command and l 0 n t ~ hsehinw pelaksanaan
produksi bersih ddak hanya mengandalkan peraturan pemerintah saja, tetapi juga didasarkan pada kesadaran untuk mengubah sikap dan tingkah laku.
2.3.2 Penerapan Produksi Bersih dan Pihak-Pihak Yang Terkait Penerapan strategi produksi bersih membutuhkan peran dari pihak-pihak yang terkait (Wibowo, 1996), yaitu :
(1)
Departemen Sektoral, antara lain dengan mengembangkan dan melaksanakan program penyebarluasan kebijakan produksi bersih kepada kegiatan di lingkungannya, mengembangkan suatu sistem rnanajemen yang mendukung terlaksananya produksi bersih, melaksanakan program pelatihan.
(2)
Pernerintah Daerah, antara lain dengan menyebarluaskan program produksi bersih di lingkungannya, mendorong dikembangkannya produk akrab lingkungan kepada industri, mengintegrasikan konsep produksi bersih pada perencilnaan pembangunan, mendorong usaha pencegahan dan minimiiasi lirnbah bagi dunia usaha di wilayahnya.
(3)
Dunia Usaha dan Asosiasi, antara lain den gat^ mengintegrasikan prinsip produksi bersih dalam seluruh aspek produksinp.
(4)
Perguruan Tinggi dan Lembaga Penelitian, antara lain dengan melaksanakan pelatihan
dan
seminar, mendorong pengembangan penelitian
yang
mendukung program produksi bersih.
(5)
Masyarakat, antara lain dengan mengembangkan sistem/iklim masyankat yang gemar memakai produk akrab hgkungan dan memilih produk yang mendukung terciptanya efisiensi sumber daya dan energi.
2.3.3 Minimisasi Limbah Definisi awal dari minimisasi limbah dalam arti luas menurut US-EPA (United States-EnvironmentalProtect Ageng) meliputi segala upaya menguxangi beban berbagai Fasilitas pengolahan, penyimpanan atau pembuangan limbah berbahaya dengan jalan mengurangi jumlah atau daya racunnya. Pa& perkembangan berikumya, minimisasi limbah hanya meliputi upaya yang menyangkut perubahan di lapangan atau ddarn
pabrik, yaitu mengurangi keluarnya limbah dari proses produksi (Sittadewi, 1997). Dada tahun 1992, Bapedal mengeluarkan pernyataan tentang detinisi minimisasi limbah, yaitu : upaya mengurangi volume, konsentrasi, toksisitas dan tingkat bahaya limbah yang berasal dari proses produksi, dengan jalan reduksi pada sumbernya dan atau pemanfaatan limbah. Tujuan minimisasi limbah adalah untuk mengurangi limbah yang hams diolah di tempat pengolahan limbah maupun dibuang ke tempat lain, dengan jalan mengurangi jumlah limbah yang keluar dari suatu proses produksi pada sumbemya atau memanhtkannya kembali (Sittadewi, 1997). Jadi minimisasi lirnbah d i u k a n dengan menelusuri dari awal proses produksi, sampai ke sumber limbah yang menyebabkan pencemaran. Hal ini dapat diketahui di sepanjang proses produksi, dari rancangan produk, pemilihan dan penerimaan bahan baku, produksi sampai hasil serta pengelolaan limbah. Menurut Sittadewi (1997), upaya-upaya dalam minirnisasi limbah meliputi 2 bagian besar yaitu :
(1)
Reduksi limbah pada sumbernya, melipud upaya mengurangi volume, konsentrasi, toksisitas dan tingkat bahaya limbah yang akan menyebar ke lingkungan secara preventif langsung pada sumber pencemar.
(2)
Pemanfaatan limbah, meliputi reuse @ernanfaatan kembd], nych (daur ulans) dan recovey @eroIehankembalii. Cara-cara minimisasi limbah dalam setiap kegiatan industri sangat bervariasi
dan tergantung pada kondisi yang dihadapi (Bapedal, 1996). Adapun upaya minimisasi limbah pada industri tapioka disajikan pada Gambar 3.
I Perubahan Proses Produksi : -Perubahan alat -Perubahan b o u t
Minimisasi Limbah Tapioka
1
-
Gambar 3. Skema Cara Minimisasi Limbah Indusm Tapioka (Bapedal, 1996). Perubahan proses produksi diupayakan dengan cara penggantian metode amu peralatan yang digunakan, seperti tahap ekstraksi atau pemerasan pada indusm ked dengan mengubah cara pemerasan manual dengan peralatan sentrifusa yang dapat dibuat lokal. Dengan cara ini diharapkan pati yang terekstrak akan semakin bening
serta pati yang terbuang relatif kecil. Selain itu, sistem pengendapan dengan cara pengendapan alir diusahakan agar air yang melimpah dari batas ujung bak sekecil mungkin. Hal ini bisa diupayakan dengan memperpanjang bak h y a , sehingga konsentrasi pengendapan akan semakh tinggi serta air buangannya mengandung pati yang lebih sedikit. Upaya yang dilakukan untuk meminimasi limbah cair adalah dengan menggunakan kembali air sisa pengendapan (sentrifugasi).
Air tersebut dapat
langsung digunakan untuk pencucian bahan baku. Dampak pengurangan konsumsi air akan menyebabkan semakm tingginya konsentrasi bahan pencemar. Hal mi diatasi dengan mengendapkan lindur dalam bak pengendapan. Untuk indusm yang tidak menggunakan larutan sulfit, air dapat digunakan kembali untuk proses pencucian. Pengurangm konsumsi air, akan menghemat energi yang digunakan untuk pemompaan air dari sumbemya, sedangkan air yang dikembalikan ke unit pencucian dapat diatur, sehinggd dapat mengalir tanpa bantuan pompa yang dtgerakkan ole11 motor. Selain itu juga dapat melaksanakan konservasi tanah dan mengurangi jumlah limbah cair yang harus diolah.
LIPIT yang dihasilkan berupa ampas (onggok), lindur atau elot, dan kulit. Onggok digunakan untuk campuran saus, sirup glukosa, kerupuk, sitrat, makanan temak, obat nyamuk, setanggi, pelet, gas bio, pupuk arang dan reklamasi. Lindur atau elot digunakan sebagai bahan pencarnpur tepung Asia yang hcampur dengan
m g a n onggok kering campuran makanan ternak dan kompos, sedangkan kulit singkong dipakai sebagai makanan ternak (BPPI Semarang, 1986).
2.4
Koagulasi dan Flokulasi Kelengkapan penting pada pengolahan air buangan untuk mmghilangkan
partikel tersuspensi yang berukuran sangat ked (kurang dari 1 p)adalah proses yang mendukung pembentukan pamkel yang lebih besar, sehingga cukup besar untuk mengendap dan dapat dipisahkan menggunakan proses sedimentasi. Untuk mencapai tujuan ini digunakan proses koagulasi dan flokulasi Koagulasi adalah suatu proses destabilisasi koloid tersuspensi, sehinggd p d e l mulai mmggumpal. Flokulasi adalah proses pengurnpulan partikel-partikel kecil melalui pengadukan lambat (agitasi). Hal ini menghasilkan pembentukan partikel dengan ukuran yang cukup besar untuk mengendap dmgan kecepatan yang memungkmkan untuk pemisahan. lstilah ini juga berarti proses pembesaran partiltel (Barnes eta,!, 1981). Koagulasi diartikan sebagai proses kimia-fkik dari pmcampuran bahan kimia ke dalam a
. limbah dan kemudian diaduk cepat dalam bentuk larutan tercampur.
Flokulasi adalah proses penarnbahan flokulan pada pengadukan lambat untuk meningkatkan saling hubung partikel yang goyah, sehingga meningkatkan penyatuan atau aglomerasinya (Steel dan McGhee, 1985).
Proses koagulasi dan flokulasi
merupakan proses yang sangat berkaitan erat, keberhaslan proses flokulasi sangat tergantung pada proses koagulasi yang menrpakan ran*
proses pembentukan
.
flok-flok.
Pada kedua proses ini diiutuhkan bahan flokulan yaitu bahan kimia
tertentu yang membantu proses pembentukan 5ok. Proses koagulasi terjadi secara alarni bila p d e l bermuatan mempunyai jarak yang cukup dekat (kurang dari 0.01 mikron) sehingga g a p van dcr W a d (gap tarik antar pamkel) dapat mengalahkan gaya gerak partikel. Pengadukan pada suspensi menyebabkan partikel-partikel saling mendekat dan bahkan saling bergabung membentuk flok untuk kemudian mengendap (Dyrnond dan Moss, 1987). Proses koagulasi dan flokulasi terjadi karena adanya destabilisasi dan tumbukan antar partikel yang keduanya merupakan peubah yang bebas.
Destabilisasi adalah
perubahan fisiokirnia yang disebabkan oleh penambahan bahan kimia koagulan, sehingga terjadi saling ikat antar partikel. Tumbukan p d e l tejadi sebagai akibat dari transpor pardkel. Koagulasi digambarkan secara keseluruhan sebagai gabungan antara destabilisasi paaikel dan transpor partikel, sedangkan Bokulasi hanya khusus pada transpor partikel (Hadi, 1992). Benefield.et at! (1982) menyatakan bahwa untuk merangsang partikel koloid bergabung membentuk gumpalan yang lebih besar diperlukan dua cam, yaitu partikel hams digoyahkan dan dipindahkan.
Penggoyahan partikel dapat dicapai melalui
empat cara yaitu penekanan lapisan ganda listrik, penyerapan untuk netralisasi, penjeratan pada presipitasi dan penjeratan untuk pembentukan jembatan antar partikel. Penekanan lapisan ganda listrik dan penetralan dikategorikan sebagai proses koagulasi, sedangkan penjeratan dan pembentukan antar p e e l sebagai flokulasi.
Penggoyahan partikel dengan cara penekanan dapat dicapai melalui penambahan elektrolit
muatan
yang
berlawanan
dengan
muatan
p e e l
koloid
(Benefield et aL, 1982). Dua gaya yang menentukan kekokohan koloid adalah gnya tarik m e n d antar partikel yang disebut gaya van &r W a d dan gap tolak rnenolak yang disebabkan oleh tumpang tindihnya lapisan ganda listnk yang bermuatan sama. Gaya van der W'mlr cenderung membentuk agsegat, sementara gaya tolak rnenolak rnengalubatkan
kekokohan dispersi koloid (Hammer, 1986). Menurut Koening (1987), penmyahan partikel koloid akan tejadi apabila elektrolit yang ditarnbahkan dapat diserap oleh partikel koloid, sehinga rnuatan partikel menjadi netral.
Fair e l al. (1971)
menyatakan bahwa penetralan muatan partikel koloid oleh koagulan hanya rnungkin terjadi jika muatan partikel mempunyai konsentrasi yang cukup kuat untuk mengadakan gaya tarik menank antara partikel koloid dengan koagulan. Proses koagulasi dan flokulasi d i p e n m i oleh berbagai fakeor, seperti komponen pembentuk warna limbah cair, pH, kekeruhan, kadar dan susunan mineral, suhu, kecepatan dan lama pengadukan serta sifat koagulan dan flokulan yang digunakan (Cohen dan Hannah, 1971).
Bagian yang terpenting dalam
pengendapan secara kimiawi adalah kecepatan pengadukan untuk meningkatkan kemungkinan hubungan partikel (flokulasq serta penambahan bahan kimia (koagulan atau flokulan) (Tchobanoglous dan Burton, 1991). Koagulan merupakan zat yang
yang digunakan untuk mengkoagulasi partikel koloid (Ha*
1992) atau zat yang
digunakan untuk mendestabilisasi muatan paaikel (Montgomery, 1985). Alum merupakan nama umum dari aluminium sulfat (Az(S04)3.18 H20) dan
merupakan salah satu jenis koagulan yang biasa digunakan (Hadi, 1992). Koagulan ini banyak drpakai karena stabil dan dapat menghilangkan padatan tersuspensi Senyawa ini di dalam air akan terionisasi menghasilkan kation dan anion bervalensi tin@.
Ion ini akan bereaksi dengan ion hidroksil menghasilkan koloid hidroksida
yang bermuatan positif.
Kemudian koloid ini akan menangkap koloid yang
bermuatan negatif, sehingga tejadi koagulasi. Daya tarik elektrostatik kedua p a d e l yang bergabung akan dipengaruhi oleh gaya gravitasi sehingga mengendap, dan akhinlya diperoleh cairan bening pada bagian atas. Reaksi koagulasi yang terjadi pada alum jika digunakan untuk proses flokulasi biomassa adalah sebagai berikut : &(s04)3
t==+2 A I ~ + 3 ~
G Hz0
t==+6 OH- + 6 H=
0 ~ 2 -
Pada saat alum digunakan sebagai koagulan, setelah ditambahkan ke dalam medium dispersi, maka akan terionisasi menjadi Al3' dan So.+?-. Ion Al-" benkatan dengan OH dari Hz0 dan menghasilkan AI(OH), yang berupa partikel bermuatan positif. Pamkel ini akan menarik koloid yang bermuatan negatif (Hadi, 1992). Apabila alkalinitas di dalam limbah cair rendah, pH harus dinaikkan dengan natrium
.
karbonat, kalsium karbonat atau kaustik soda.
Kisaran pH yang efektif untuk
koagulasi dengan alum pa& pH 5.5 - 8.0 (Eckenfelder, 1986).
2.5
Bioflokulan Dari Akahgenes lhrw Biopolimer yang dihasllkan m~kroorganismemampu mendestabilisasi kultur
mtkroorganisme dan partikel koloid yang tersuspensi. Polimer yang dihasilkan ini sangat eEektif dalam penanganan partikel koloid dan pamkel organik yang terkandung dalam limbah (Weber, 1972). Pembentukan agregat dari mikroorganisme dalam pengolahan limbah merupakan interaksi antara polimer yang tertarik keluar dari mikroorganisme tersebut atau polimer yang terbentuk pada lapisan sel (Weber, 1972).
Akcabgenes lalus merupakan bakteri gram negatif yang dapat memproduksi bioflokulan (bioabsorben) yang diisolasi dari tanah. Bakteri A. htns yang diisolasi untuk memproduksi bioflokulan di dalarn Mdu kultur (broth) yang telah diidentifikasi
secara morfologi seperti bentuk, flagela dan modlitas, dan karakteristik biokimia seperti kamlase, oksidase, DN-ase, uji 0-F, dapat mereduksi nitrat, asarn dari
karbohidrat, dan asimiiasi dari sitrat (Kurane dan Nohata, 1991). Genus Alcahgenes memiliki bentuk batang, batang bulat dan bulat berukuran 0.5-1.0 x 0.5-2.6 pm, biasanya terpisah antar sel, bersifat gram negatif dengan flagela berbentuk pen'trichou~,aerob obhgat, proses metabohme respirasi secara kuat dengan oksigen sebagai terminal penerirna elektron. Beberapa galur dapat berespirasi secara
,
aerobik pada kehadiran nitrat atau nimt dengan suhu optimal pertumbuhan adalah 20 - 37 OC. Koloni Ahahgenes pa& nutrien agar (NA) tidak betwama, uji oksidasi dan
kataIase positif dan biasanya tidak menghidrolisis selulosa, eskulin, gelatin dan DNA, s e m dapat menggunakan bermacam variasi asam organik dan asam amino sebagai sumber karbon untuk memproduksi alkali dan beberapa garam organik clan amida. Di lain plhak, beberapa strain Alcahgenej memproduksi asam d-glukosa dan d-xylosa dan menggunakan karbohidrat tersebut sebagai karbon. Bakteri AIcahgenees &pat tumbuh di air dan tanah, bersifat saprofit, inhibitor pada jalur usus vertebrata, serta dapat diisolasi dari bahan klinis seperti darah, UM, kotoran, cairan sunakan, luka dan kadang-kadang menyebabkan infeksi pa& manusia (Breed et aL, 1974). Spesies A. hfus mempunyai lebar sel yang lebih besar dari 1.2 pm. Koloni benvarna merah muda keabu-abuan atau kekuning-kuningan. Sumber karbon yang digunakan untuk pertumbuhan adalah d-glukosa, d-hktosa, d-glukonat, suberat dan itakonat (Breed et aL, 1974).
Kurane dan Nohata (1994) menyatakan bahwa
bioflokulan dari A. larus merupakan polisakarida bio-absorben baru yang dapat menyerap air lebih dari 1000 kali bobomya dan diperkirakan lima kali lebih kuat dari beberapa polimer penyerap sintetik. Polimer bio-absorben yang dapat didepdasi secara biologis tersebut, diperkirakan aman bagi lingkungan pada banyak aplikasi dan terutama cocok untuk teknik perlindungan sekitar. Biopoluner yang dihasilkan A. Iatw terdiri atas dua macam, yaitu biopolimer asam dan biopolimer n e t d yang masing-masing bersifat tidak mengandung protein,
mengandung gula netral seperti glukosa, tidak mengandung heksamin (glukosamin) dan asam slalat Biopolimer asam mengandung asam uronat, sedangkan biopolimer netral tidak mengandung asam tersebut (Kurane clan Nohata, 1994). Biopolimer yang terbentuk pada kaldu kultux (broth) ditandai dengan peningkatan viskositas kaldu Mtur. Semakin tin&
kandungan biopolimer, semakin tinggi viskositas kaldu kultur,
sehingga viskositas dapat dijadikan indeks produksi biopolimer. Menurut Iiiggins el aL (1987) kebanyakan polisakarida kehilangan sifat viskositasnya pada suhu di atas
149 OC. Polisakarida yang dihasilkan oleh Alcakget~e~ JP. tidak hanya bersifat kenml pada suhu 149 ')C,tetapi juga stabil pada peningkatan suhu tersebut. Meskipun sa~ibntkental pada tingkat pengadukan yang rendah, polisakarida tersebut hampir encer pada pengadukan yang tinggi. Biopolimer tersebut dikeluarkan ke permukaan sel A. lblw~yang membentuk lapisan. Lapisan ini tidak mudah dipisahkan dari sel apabila menggunakan teknik pemisahan biasa sepem sentrifugasi clan infltrasi, sehingga dibutuhkan tahap pernumian yang tepat (Kurane dan Nohata, 1994). Hingga saat ini, karena nilai ekonomis dan efektivitasnya, polirner organik sintetik banyak digunakan sebagai bahan flokulan pada upaya penjernihan air dan penanganan limbah cair industri. Meskipun demiluan, hasil penelitian menunjukkan bahwa turunan poliakrilamid ini bersifat sulit didegcadasi oleh alam, bersifat r a m saraf dan karsinogen terhadap manusia (Kurane d m Nohata, 1994). Oleh karena itu diperlukan suatu zat tlokulan
yang aman dan dapat dibiodegradasi untuk mengurangi dampak lingkungan dan kesehatan manusia serta dapat dipergunakan secara luas untuk penelitian. Biopolimer yang diproduksi oleh A. htw mempunyai kemampuan untuk memflokulasi padatan terlamt dan menyerap air di dalam kaldu kultur (Kurane dan Nohata, 1991). Biopolimer ini menunjukkan aktivitas flokulasi yang kuat pada padatan terlarut organik dan anorganik dalam larutan seperti liat kaolin, limbah cair d m pabrik arang aktif, limbah indusm kelapa sawit, tetes tebu, industri nunah tangga dan limbah indusm kosmetik. Biopolimer ini mampu memflokdasi emulsi minyak secara etisien (Kurane dan Nohata, 1994). Penggunaan zat flokulan biologk (bioflokulan atau biopolimer) yang dapat dibiodegradasi ini akan mengurangi kerusakan lingkungan dan resiko bagi kesehatan manusia.
2.6
Uji Toksisitas Menurut Rand dan Petrocelli (1985), toksikan merupakan bahan yang dapat
menimbulkan pengamh buruk bagi sistem biologis, dapat merusak struktur atau Fungsi biologi secara serius, bahkan dapat menyebabkan kematian. Toksikan dapat digolongkan menjadi lima golongan, yaitu golongan logam, senyawa organ&, asam dan alkalis, gas, serta anion (Mason, 1992). LICIT merupakan jenis toksikan dari golongan senyawa organik. Kehadiran toksikan pada suatu ekosistem dapat menimbulkan efek yang berbeda-beda pada masing-masing organisme. Tingkat
respon yang timbul tergantung dari jenis dan jumlah toksikan, larnanya waktu kontab, serta jenis organisme yang terkena dampak. Menurut Abel(1989) dan Canadian Executing Agency (1992), pengad suatu
toksikan terhadap organisme &pat dibedakan dalam empat kategori, yaitu: (1)
Toksisitas letal, yaitu daya racun yang menyebabkan kematian organisme uji
(2)
Toksisitas subletd, yaitu daya racun tidak menyebabkan kernatian secara langsung pada organisme, tetapi menyebabkan gangguan pertumbuhan, reproduksi, kebiasaan makan dan sebagainya.
(3)
Toksisitas akut, yaitu daya racun yang bereaksi dalam waktu yang relatif singkat d m cepat, yaitu dalam waktu beberapa hari.
(4)
Toksisitas kronis, yaitu daya racun yang bereaksi pada periode yang leblh lama, beclangsung mingguan ataupun bulanan.
Untuk mengemhui tingkat cespon suatu organisme terhadap suatu toksik, maka dilakukan uji toksisitas.
Environmental Protecaon Agency (1985)
mendefinisikan uji toksisitas sebagai cara untuk menetapkan daya r a m bahan kimia dengan menggunakan organisme hidup. Rksh dan Oshida (1987) menyebutkan bahwa uji toksisitas atau bioarsay dilakuhan untuk mengukur efek dari satu atau lebih bahan pencemar pada satu atau lebih spesies organisme. APHA, AWWA dan
WPCF (1985)menggolongkan uji toksisitas berdasarkan lamanya pengujian tersebut berlangsung, yaitu pengujian jangka pendek (24-48 jam dan 48-96 jam),pengujian jangka menengah (10 hm], dan pengujian jangka panjang dilakukan minimum dalam satu siklus hidup organisme.
Menurut APHA, AWWA dan WPCF (1985) uji
toksisitas suatu bahan pencemar dapat ditakukan melalui pengujian terhadap ikan, baik ikan perairan t a w , estuari maupun perairan laut. Spesies ikan yang akan digunakan hams memenuhi kriteria tertentu, yaitu : (1)
terdapat pada lingkungan tercemar yang akan diteliti atau setidak-tidaknya berhubungan dekat dengan spesies yang terdapat dalarn perairan yang tercemar tersebut;
(2)
tersedia dalam jumlah yang banyak untuk mencukupi kebutuhan ddam pelaksanaan pengujiim;
(3)
dapat dipelihara di laboratotium dalam kondisi yang sehat, minimal selama satu bulan;
(4)
memiliki peranan dalam jaringan makanan atau merupakan sumberdaya yang bernilai ekonomis di dalarn ekosistern.
2.7
Ikan Nila (Oreochromisniloticus) Menurut Saanin (1969),ikan nila termasuk dalarn kelas Pisces, sub kelas
Teleostei, Ordo Percomorphi, sub Ordo Percoidea, famili Cichlidae, genus
Sarofhcrodm dan spesies Sarothcrodon
njlotinrr.
Berdasarkan pada sistern penamaan
yang baru, masuk dalam genus Onochromis. Pada dasamya ikan nila dapat dlbedakan dari ikan mujair, karena ikan nila mempuuyai garis tegak pa& sirip ekor, sedangkan
ikan mujair tidak a&. Demikian pula pa& sirip punggung ikan nila ada garis miring yang cukup jelas, sedangkan ikan mujair tidak ada. Ikan mujair pada umumnya berukuran agak kecil jika dibandingkan dengan ikan nila dan memiliki jari skip yang tidak sekeras ikan nila.
Jumlah spesies ikan yang mendiami perairan Indonesia diperkirakan 6000 spesies. Hasil penelitian di wilayah Wahcea karya talcsonomi ikan Pieter Blecker dan penelitian Zoogeografi oleh MollenggraE dan Weber pada tahun 1921, daerah
distribusi ikan dapat dibagi menjadi 3 d a d , yaitu Paparan Sunda, daerah Wallocca dan Paparan Sahul. Ikan nila mendiami perairan daratan d a d Paparan Sunda dan termasuk jenis ikan air m r . Daerah dismbusinya meliputi perairan daram sekitar Sumatera, J a w dan Kalimantan.
Ikan nila termasuk ikan herbivora dan pemakan segalanya, serta dapat hidup di daerah dataran rendah maupun dataran ~ g g atau i pegunungan.
Ikan nila
berkembang dengan cepat dan beranak banyak, sehingga kemunglunan untuk pemeliharaan dan pengembangbiakannya sangat baik dalam budidaya perikanan. Perkembangan dan pertumbuhannya yang relatif cepat, jika dibandingkan dengan
ikan jenis peliharaan lainnya, memungkmkan untuk drbudidayakan dengan mudall oleh masyarakat atau petani ikan. Pada umumnya budidaya ikan ini dilakukan di
kolam dekat pekarangan maupun tambak untuk pengolahan secara intensif (Munandar e t aL, 1995).
Suyanto (1972) mengata.kan bahwa ikan nila dapat dtpelihara di perairan sepeti danau atau waduk, karena teknik pemeliharaannya tidak memerlukan camcam khusus, dapat dipelihara bersama
ikan lain, misalnya ikan mas (C&vinru catpi4
dan &an awes (Puntius javanicus).
Menurut Lumbantobing (1981), ikan nila
mempunyai toleransi yang tin&
terhadap suhu dan dapat dipelihara di waduk,
kolam, SerM perairan tergenang. Bardach er aL (1972) mengamkan bahwa ikan nila (Suro~herodot~ nilolicus) merupakan salah satu jenis ikan yang memakan plankton pada
waktu usia muda, pada usia meningkat dewasa memakan tumbuhan dngkat tinggi, sehingga memberikan kerninglunan untuk dipergunakan sebagai pengendali pertumbuhan gdma air, selain itu ikan nila dapat juga untuk mengurangi larva nyamuk yang ada di suatu perairan.