asaefuddin's blog | Di Hati Kita Tetap Satu Copyright Asep Saefuddin
[email protected] http://asaefuddin.staff.ipb.ac.id/2010/08/24/di-hati-kita-tetap-satu/
Di Hati Kita Tetap Satu Assalamu’alaikum wr.wb.
Teman-teman Genski dan hadirin-hadirat yang saya hormati
Adalah suatu kebahagiaan yang tiada taranya ketika saya dihubungi oleh Mas Heru untuk memberikan tauziah pada kesempatan temu alumni Genski sekaligus dalam rangka memberikan santunan kepada kaum dhuafa. Saya merasa kagum dan ikut bangga rekan-rekan Genski masih sempat mengadakan acara yang mencirikan kepedulian kita terhadap kaum dhuafa, kaum yang selayaknya mendapat perhatian siapapun yang mempunyai keberuntungan. Semoga mereka mendapat hidayah dari Allah SWT dan dapat keluar dari lingkaran ketidakmampuan.
Kembali ke soal tauziah ini, sebenarnya di dalam hati saya merasa grogi juga untuk memberikannya. Terus terang pengetahuan agama saya bisa dikatakan tidak banyak bertambah kalau dibandingkan dengan masa lalu, ketika saya sempat memberikan beberapa kali diskusi keagamaan di hadapan beberapa rekan Genskiers. Bahkan mungkin berkurang seiring dengan bertambahnya usia dan pengalaman tambahan yang tidak terkait langsung dengan pengetahuan keagamaan secara harfiah. Kalaulah dulu tahun 1977 saya sempat mendatangi Genskiers untuk masuk Unit Kegiatan Kerokhanian Islam, mungkin karena naluri saya saja untuk selalu ingin banyak teman, selain rasa kepemilikan (sense of belonging) saya terhadap sebuah unit yang kelewat berlebihan. Terlepas dari itu, alhamdulillah ada beberapa orang akhirnya masuk Unit Kegiatan Kerokhanian dan bahkan meneruskan keberlangsungan organisasi yang saya bentuk bersama Kang Chaerul Muluk dan Bang Syachrowi , yakni BKI (Badan Kerokhanian Islam). Saya selalu khawatir kalau sebuah organisasi (apalagi saya berada di dalamnya) itu tidak ada peminatnya. Pada kesempatan ini saya sekalian mohon maaf bila perilaku saya waktu itu sedikit mengganggu ketenangan rekan-rekan Genski. Begitu juga ketika saya sempat mendapat amanah menjadi Ketua Umum HMI Cabang Bogor tahun 79, tidak sedikit rekan-rekan Genski yang saya iming-imingi. Kalaulah semua ajakan yang pernah saya lakukan itu adalah kebaikan, tentunya itu datang dari Allah swt, tetapi kalaulah kurang mengenakan, itu hanya karena perilaku saya saja. Yang jelas, pada hari ini pun sungguh saya merasa seolah ini adalah kejadian tahun 77. Sungguh membahagiakan, dan saya berharap juga semoga demikian rekan-rekan Genski yang saya kagumi dan hormati. Yang lebih membahagiakan lagi, saya melihat rekan-rekan Genskiers saat ini sudah banyak berkiprah di panggung
page 1 / 9
asaefuddin's blog | Di Hati Kita Tetap Satu Copyright Asep Saefuddin
[email protected] http://asaefuddin.staff.ipb.ac.id/2010/08/24/di-hati-kita-tetap-satu/
nasional dan internasional sebagai profesional, saintis, birokrat, praktisi bisnis, dan petani maju. Semoga semuanya semakin maju dan tentunya selalu dalam bimbingan Allah swt. Amiin
Rekan-rekan Genskier dan hadirin/hadirat yang saya hormati dan kagumi
Ketika saya dihubungi Mas Heru untuk memberikan tauziah ini, langsung terbayang di benak saya suatu materi yang berat, langka, sulit dicari, mendalam, dan berbobot sehingga memerlukan renungan dan riset yang serius. Mengapa? Karena yang menghubungi, Mas Heru, yang sudah saya kenal sejak dulu sebagai salah seorang sahabat yang pemikirannya mendalam dan tidak jarang keluar dari pakem manusia biasa. Saya mengenal Mas Heru bukan saja sebagai insinyur pertanian yang sangat pro terhadap produk pertanian nasional, tetapi lebih dari itu pengetahuan Mas Heru terus meluas ke ranah keilmuan lainnya termasuk kebudayaan. Suatu berkah dari Allah swt bagi mereka yang mampu membebaskan pikirannya dari berbagai belenggu dogmatisme kaku. Juga, menurut pandangan saya, Mas Heru adalah seorang budayawan yang mempunyai pemikiran pluralism, artinya memahami hakekat keberagaman sebagai salah satu fitrah kemanusiaan. Tidak banyak orang bisa memahami betapa keragaman adalah rahmat. Yang terhormat Cak Nun, Gus Dur (alm), Cak Nur (alm), Mas Komaruddin, Uda Azyumardi, Mas Budi Munawar, dan Buya Syafi’i Ma’arif adalah cendekiawan Indonesia yang memahami esensi keragaman dan pluralism yang menjadikan mereka penuh tolerans terhadap perbedaan pemikiran dan pendapat, bahkan kepercayaan kepada hal-hal yang bersifat transedental. Diskursus yang mencerminkan kadar intelektual inilah yang sebaiknya berkembang di IPB dan kampus-kampus universitas di negeri ini.
Setelah saya membayangkan materi yang diilhami oleh wajah dan kepiawaian Mas Heru, lalu saya berpikir kalau materi berat-berat tentunya akan lebih pas dibawakan oleh Mas Heru sendiri. Akhirnya saya berusaha meminta input beberapa rekan Genski, selain juga tidak mempunyai banyak waktu untuk membuat riset pendahuluan. Sekalian saya mohon maaf seandainya tauziah saat ini tidak bisa menampung keinginan Ito Indra di NY yang mengharapkan saya bicara soal habluminallah wa habluminnas secara lebih rinci. Namun demikian insya Allah tauziah ini menggabungkan ilham dari bayangan Mas Heru sebagai seorang budayawan-pluralis dan ngobrol-ngobrol dengan beberapa rekan Genskier, termasuk harapan Ito Indra. Seandainya ada hal-hal yang baik dari tauziah hari ini silakan dipetik dan diterapkan dalam dunia riel, bila ada yang perlu didiskusikan lebih dalam insya Allah saya dengan Mas Heru sedang merencanakan diskursus yang agak intensif, dan bila ada kekeliruan atau kesalahan ada baikny a
page 2 / 9
asaefuddin's blog | Di Hati Kita Tetap Satu Copyright Asep Saefuddin
[email protected] http://asaefuddin.staff.ipb.ac.id/2010/08/24/di-hati-kita-tetap-satu/
ditinggalkan saja. Semoga bermanfaat. Amiin
Hati dan Pikiran
Manusia adalah makhluk Allah SWT yang paling sempurna karena telah dianugerahi hati dan pikiran yang secara biologis sempurna. Dengan kesempuranaan inilah sebenarnya manusia diharapkan menjadi khailful fil ardli, pemimpin di muka bumi. Manusialah yang sebenarnya harus mengatur pemanfaatan alam sehingga bermanfaat untuk kemaslahatan umat manusia tanpa harus merusak secara berlebih-lebihan terhadap alam, atau istilahnya tidak terlalu eksploitatif. Namun demikian, di saat-saat pembuatan manusia, Malaikat sempat mempertanyakan mengapa Allah SWT akan membuat makhluk yang akan membuat kerusakan di muka bumi. Namun Allah SWT tetap membuatnya dengan mengatakan ‘Sungguh, Aku mengetahui apa yang kalian tidak ketahui’. Inni a’lami ma la ta’lamuun.
Kalaulah kita perhatikan Surah Al-Baqarah ayat 30-34, niscaya disebutkan dengan jelas bahwa manusia adalah khalifatul-fil-ardli. Di situ digambarkan secara gamblang bahwa memang manusialah yang akan mampu mengembangkan ilmu pengetahuan yang pada awalnya untuk kemaslahatan atau rahmat seisi alam. Keraguan para Malaikat itu sirna dengan pengetahuan Nabi Adam a.s. dengan menyebutkan benda-benda yang awalnya tidak diketahui oleh para Malaikat. Lalu Allah SWT berfiman kepada para Malaikat ‘Bukankah telah Aku katakan kepadamu , bahwa Aku mengetahui rashasia langit dan bumi, dan Aku mengetahui apa yang kamu nyatakan dan kamu sembunyikan’. Firman ini juga berlaku untuk manusia.
Manusia memiliki banyak kelebihan yang mendekati kesempurnaan dibandingkan makhluk-makhluk lainnya, termasuk Malaikat. Salah satu keunggulannya adalah karena kita mempunyai akal-pikiran. Kita bisa merasakan betapa akal-pikiran ini begitu ‘powerful’ sampai pada perkembangannya sekarang ini. Kita begitu takjub bagaimana manusia telah menemukan berbagai ilmu dan teknologi di hampir semua sektor kehidupan, sesuatu yang pada awalnya tidak terbayangkan, kita bisa saksikan saat ini. Hubungan antar manusia saat ini sedikit berubah dengan adanya penemuan di bidang teknologi informasi. Hands-free yang dulu kita saksikan dilayar lebar lewat film-film fiksi James Bond, saat ini bukanlah sesuatu yang aneh. Kita akan semakin takjub bila kita masuk alam yang paling kecil di tingkat DNA yang menjadi unsur penentu sifat-sifat manusia. Saat ini rahasia penurunan sifat telah dapat diterangkan dengan mudah melalui penemuan-penemuan di bidang biologi molekur. Begitu juga kalau kita memperhatikan dunia angkasa dengan
page 3 / 9
asaefuddin's blog | Di Hati Kita Tetap Satu Copyright Asep Saefuddin
[email protected] http://asaefuddin.staff.ipb.ac.id/2010/08/24/di-hati-kita-tetap-satu/
tatasuryanya yang demikian teratur. Ilmu pengetahuan dan turunannya adalah buah dari akal pikiran manusia seperti yang dijanjikan Allah swt. Jadi akal-pikiran sebagai syarat perlu atau necessary condition untuk menjadi khalifatul fil ardli telah terpenuhi. Namun demikian, apakah ini sudah cukup?
Manusia yang asal muasalnya diharapkan akan menata dunia menjadi penuh kedamaian melalui fungsinya sebagai khalifatul-fir-ardli, mengapa justru manusia menyumbangkan banyak kerusakan di muka bumi? Sebab utamanya adalah unsur ketamakan, kerakusan, atau hawa nafsu manusia yang sangat mendominasi hati manusia. Secara garis besar, kita ini mempunyai dua sifat, sifat jelek/buruk dan sifat baik/indah. Bila sifat-sifat jelek/buruk itu yang mendominasi manusia, misalnya ketamakan/kerakusan, maka akal-pikiran yang dimiliki manusia justru akan mempercepat kerusakan dunia. Lihat saja, betapa manusia yang pintar bisa secara efisien dan efektif mengeksplorasi alam yang jauh lebih berbahaya ketimbang makhluk lainnya, atau manusia kurang pintar. Bahkan tidak saja alam yang hancur, tetapi juga hubungan antar manusia menjadi hancur, penuh dengan peperangan yang sangat sistematis untuk menghabiskan suatu kaum. Perang adalah upaya sistematis dalam pembunuhan. Dan itu terjadi bila hati-nurani tidak berkembang. Allah SWT menyebutkan sebagai tertutuplah mata hatinya .
Bacalah! Demikian surah pertama dari Al-Qur’an menyerukan. Membaca di sini juga termasuk menelaah fenomena alam, kejadian-kejadian, kemajuan-kemajuan yang telah dicapai oleh sebuah negara, dan membaca apa yang akan terjadi di kemudian hari (prediction). Memang di sini dominasinya adalah akal-pikiran, akan tetapi semua itu tidak terlepas dari peranan hati-nurani. Tanpa pelibatan hati-nurani tidak mungkin akal-pikiran akan bekerja secara sempurna. Kita dapat mempelajari betapa kreatifitas manusia itu pada awalnya adalah ada suasana yang memungkinkan daya imajinasi bekerja dengan sempurna. Adanya kebahagiaan. Dan ini adalah ranah dari hati-nurani. Tanpa ada kebahagiaan sulit akan tumbuh kesungguhan seseorang yang pada ujungnya adalah hasil karya manusia dan keindahan. Jadi, hati nurani sebenarnya harus mendapat tempat yang baik di dalam pendidikan.
Selain hati mengandung potensi baik seperti kasih sayang, cinta, tetapi juga mengandung potensi buruk seperti marah, kesal. Semua sifat itu saya pikir manusiawi, namun bagaimana sebenarnya agar kita sebagai manusia betul-betul menjadi khalifatul-fil-ardli yang dapat menyejahterakan alam dan isinya. Sifat kecewa, kesal, dan marah itu muncul apabila keinginan tidak sama dengan kenyataan. Bila kita tidak memahami itu dan terlalu terjebak pada idealisme, yang akan muncul adalah kecewa, kesal, dan marah. Contoh sederhana saja ketika kita
page 4 / 9
asaefuddin's blog | Di Hati Kita Tetap Satu Copyright Asep Saefuddin
[email protected] http://asaefuddin.staff.ipb.ac.id/2010/08/24/di-hati-kita-tetap-satu/
mempunyai konsep atau kebiasaan dalam keteraturan berkendaraan lalu dihadapkan pada situasi dimana angkot sama sekali jauh dari konsep atau kebiasaan kita maka ada jarak antara kenyataan dan konsep, tentu saja hal ini akan membuat kita menjadi kesal dan tidak mustahil marah. Secara umum solusinya adalah manajemen transportasi yang harus dibenahi oleh institusi pemerintahan. Adapun solusi pribadi adalah upaya memahami kenyataan, itulah keadaannya, para supir angkot bila tidak melakukan pola acak-acakan tentunya mereka tidak akan mendapat penghasilan yang memadai.
Di dalam contoh itu ada unsur kesabaran. Akan tetapi, karena ragam (variance) kesabaran orang itu cukup luas, peranan pemerintah dalam mengelola transportasi atau apapun bentuknya yang berkaitan dengan masalah publik itu menjadi sangat besar. Ditinjau dari segi apapun, termasuk dari segi manajemen kalbu. Artinya jangan terlalu diserahkan kepada tingkat kesabaran seseorang. Tidak bisa pemerintah hanya bisa menghimbau agar masyarakat harus bersikap sabar, jangan brutal, harus tolerans, harus ini, jangan itu, sementara manajemen publik yang bisa meminimalkan pemunculan sifat itu tidak dikelola. Di sinilah letak perbedaan antar negara modern dan primitif.
Dalam hal kesabaran ini biasanya semakin tinggi jabatan seseorang, unsur kesabarannya sedikit berkurang. Hal ini bisa disebabkan adanya perasaan kelebihan kekuasaan sehingga orang lain harus menuruti orang tersebut secepat kilat. Bila saja kecepatannya kurang sesuai dengan keinginannya, biasanya dia akan meledak. Begitu juga biasanya pasangan yang sudah menjadi suami istri, tingkat kesabarannya terasa menurun. Sebenarnya bisa saja level kesabarannya tidak berubah, akan tetapi suami/istri mengharapkan ‘semestinya’ pasangannya mempunyai level kecepatan yang sama. Mereka tidak faham bahwa kecepatan yang paling tinggi adalah kecepatan keinginan (bisa melebihi kecepatan cahaya). Begitu keinginan ini tidak langsung direspon istri/suami maka ada jarak yang akan menimbulkan rasa kecewa dan marah. Pemahaman ini sangat penting sebab bila tidak, biasanya akan timbul hal-hal yang tidak diinginkan, seperti perang saudara (cek-cok berat). Di sinilah perlunya kita mengolah hati dan pikiran, supaya jarak atau gap itu tidak terlalu berbahaya.
Soal kesabaran ini, ada cerita fiksi yang saya peroleh dari ibu saya ketika saya masih SMA. Ini kisah Kang Kabayan versi sabar. Dikenal selama jadi suami-istri Kang Kabayan dan Nyi Iteung tidak pernah cekcok sedikitpun, karena Kang Kabayan pinter mengolah rasa dan pikiran. Setelah Nyi Iteung dapat info dari tetangga bahwa cekcok suami-istri adalah bumbu pernikahan, akhirnya Nyi Iteung pingin tahu bagaimana cekcok itu. Setelah Nyi Iteung konsultasi dengan tetangganya,
page 5 / 9
asaefuddin's blog | Di Hati Kita Tetap Satu Copyright Asep Saefuddin
[email protected] http://asaefuddin.staff.ipb.ac.id/2010/08/24/di-hati-kita-tetap-satu/
akhirnya ada dua trik dilakukan. Trik pertama. Ketika sarapan, Kang Kabayan diberi nasi goreng yang asin sekali. Harapan Nyi Iteung, Kang Kabayan akan marah, atau paling tidak menegur. Tahunya Kang Kabayan malah bilang “Nuhun Gusti, istri saya mah ngerti pisan”. Nyi Iteung kaget “kenapa kitu Kang?”. Kata Kang Kabayan “Akang teh sudah lama sekali ingin nasi goreng yang asin, eh tahunya Nyai bikin nasi goreng. Memang Nyai mah ngerti keinginan Akang. Nuhun ya Nyai”. Keruan saja Nyi Iteung pusing. Lalu Nyi Iteung melakukan trik berikutnya. Nyi Iteung menyimpan kayu di atas pintu, supaya kena leher Kang Kabayan kalau membuka pintu tersebut. Betul saja, begitu Kang Kabayan buka pintu, kayu itu jatuh dan mengenai lehernya. Lalu Nyi Iteung datang “Akang kenapa?” sambil sedikit mengaharapkan ditegur, tahunya Kang Kabayan malang bilang “Alhamdulillah, Nyai, sakit kepala Akang jadi sembuh karena kepukul kayu ini pas sekali, dari tadi Akang teh mengharapkan ada yang ‘ngagedor’ leher Akang’. Duuh, memang Gusti Alloh mah Maha Tahu, sehingga tahu aja maunya Akang”. Dua strategi jitu untuk memancing marah ini ternyata gagal, karena Kang Kabayan pandai mengelola sikon. Hal-hal yang secara umum membuat kesal atau marah, malah menjadi hikmah. Akhirnya Nyi Iteung merangkul Kang Kabayan sambil mengatakan “Akang mah memang baik amat. Alhamdulillah dapat suami seperti Akang”. Kang Kabayan pun merangkul Nyi Iteung mesra sekali. Walaupun cerita ini sedikit ‘impossible’, tetapi insya Allah kita bisa menarik esensinya. Alhamdulillah Kang Kabayan dan Nyi Iteung akhirnya menjadi pasangan bahagia, jauh dari percekcokan, apalagi perang saudara. Sampai sekarang kisah-kisah Kabayan dan Nyi Iteung terus melegenda.
Persaudaraan Tanpa Tepi
Saya meminjam judul ini dari Mas Budi Santoso yang menuliskan profile BBnya seperti ini, atau persisnya ‘Peseduluran Tanpa Tepi itu Indah’. Pemaknaannya sangat mendalam dan berkaitan dengan esensi kemanusiaan, toleransi, keragaman, duniawi dan ukhrowi, serta makna hati-nurani dan akal-pikiran. Sebenarnya inilah yang menjadi fondasi berbangsa dan bernegara. Tanpa pemaknaan persaudaraan, sebuah negara akan selamanya kacau, sekeras apapun upaya untuk memperbaiki ekonominya. Tetap saja landasannya adalah ‘peseduluran’. Begitu juga di sebuah organisasi. Secara mendasar Allah swt telah memfirmankan masalah persaudaraan ini, salah satunya adalah surah Al Hujurat ayat 13 yang artinya kurang lebih “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”. Dus, perbedaan adalah keniscayaan dan itu dibentuk untuk meningkatkan rasa persaudaraan yang mana hal-hal demikian berkaitan dengan ketakwaan. Sehingga kata keragaman/perbedaan dan kata saling mengenal (sebagai unsur
page 6 / 9
asaefuddin's blog | Di Hati Kita Tetap Satu Copyright Asep Saefuddin
[email protected] http://asaefuddin.staff.ipb.ac.id/2010/08/24/di-hati-kita-tetap-satu/
persaudaraan) diteruskan dengan masalah ketakwaan. Dus, esensi persaudaraan itu sangat penting.
Kalaulah kita melihat sejarah bagaimana dulu Bapak Mohammad Natsir yang berbeda ideologi dan pandangan politik dengan Bapak Kasimo, tidak jarang mereka sering terlihat bercanda berdua sambil minum kopi atau teh di depan rumah mereka secara bergantian. Begitu juga dialog antara Bapak A. Hassan dengan tokoh Ahmadiyah pada tahun 1933 yang disaksikan oleh sekitar 2000 orang dari dua kubu pandangan berbeda ini, mereka tidak pernah terjadi bentrokan fisik. Masing-masing saling menghormati perbedaan ini. Landasan inilah yang membuat sebuah negara menjadi sangat kokoh.
Contoh menarik yang saya saksikan sendiri ketika sedang studi di Kanada. Pada tahun 1994 gagasan pemisahan Quebec menjadi negara tersendiri mencapai puncaknya, sampai akhirnya harus dilakukan referendum di Propinsi Quebec. Pada pemilihan umum nasional (pemerintahan federal) ternyata Partai Quebeqois menempati urutan kedua setelah Partai Liberal. Menurut konstitusi di Kanada, pemenang pemilu akan memegang pemerintahan, sedangkan pemenang kedua akan menjadi pemimpin oposisi. Maka, Ketua Partai Liberal (Jean Cretien) menjadi Perdana Mentri, dan Ketua Partai Quebeqois (Lucian Bouchart) menjadi Ketua Oposisi di Parlemen. Bayangkan saja sebuah negara dimana Ketua Oposisinya dipegang oleh partai separatism. Tetapi apakah negara itu hancur? Sama sekali tidak, karena basis yang dipegang adalah esensi kemanusiaan, yakni kekeluargaan. Adapun manajemen pemerintahan atau negara bagi mereka lebih dipandang sebagai urusan duniawi.
Apa buktinya mereka menomorsatukan kekeluargaan kemanusiaan? Saya sering melihat (melalui layar kaca tentunya) diskusi hangat dan keras di ruang parlemen itu tidak membuat mereka menyerang hal-hal yang sifatnya pribadi yang akan merusak esensi kekeluargaan. Yang menarik lagi, ketika puncak-puncaknya kampanye separatisme Quebec, mungkin sikon itu telah membuat Lucian Bouchart sangat sibuk dan lelah sehingga dia terkena virus ganas yang menyerang kakinya. Setelah pemeriksaan intensif di Rumah Sakit ternyata tidak ada jalan lain kecuali kaki kanan Lucian Bouchart harus diamputasi. Pada hari H operasi itu dilakukan, Sidang Parlemen tetap berjalan tetapi dengan agenda tunggal, yakni seluruh anggota Kabinet dan Parlemen oleh Jean Cretien diminta untuk berdiri dan menghentikan cipta diawali dengan pidato singkatnya “lupakan semua masalah perbedaan duniawi kita, terutama soal federalism dan separatism, tetapi marilah kita berdo’a agar operasi untuk Mr. Lucian Bouchart berjalan lancar dan beliau bisa kembali di ruang ini lagi bersama kita”. Lalu semuanya berdiri sambil menundukkan
page 7 / 9
asaefuddin's blog | Di Hati Kita Tetap Satu Copyright Asep Saefuddin
[email protected] http://asaefuddin.staff.ipb.ac.id/2010/08/24/di-hati-kita-tetap-satu/
kepala. Saya yang menyaksikan kejadian ini, walaupun melalui layar kaca, trenyuh, haru, bangga, dan tidak terasa saya menitikkan air mata. Ya Allah, Maha Besar Engkau.
Kisah selanjutnya, sekitar sebulan akhirnya Lucian Bouchart diperbolehkan lagi ikut sidang oleh tim dokternya, walaupun harus menggunakan tongkat. Pada hari pertama Lucia mengikuti sidang lagi, acara dimulai dengan mengetukan palu lalu Lucian Bouchart dan Jean Cretien melangkah ke tengah ruang sidang dan mereka berpelukan kedua-duanya saling mengucapkan terima kasih. Indah sekali. Walaupun setelah itu kembali mereka berdebat soal ekonomi, alokasi anggaran, dan juga persoalan separatism. Akhirnya pada awal November 1994, referendum dilakukan dan menghasilkan 51% pro tidak berubah (Quebec tetap bagian dari Kanada) lawan 49% pro perubahan (Quebec menjadi negara otonom). Satu jam setelah pengumuman hasil referendum itu, Lucian Bouchart berpidato yang intinya sangat menghormati hasil ini, kurang lebih “kita semua harus hormati hasil referendum ini. Inilah demokrasi. Dan marilah kita tetap berjuang untuk Kanada. I am Canadian!”.
Kawan-kawan Genskier yang terhormat
Mudah-mudahan kita bisa memetik esensi tauziah ini yakni betapa akal-pikiran harus berimbang dengan hati-nurani dan betapa pentingnya persaudaraan. Persuadaraan yang didukung dengan kesehatan akal-pikiran dan hati-nurani akan mengokohkan institusi apapun, termasuk negara. Kita sebagai alumni IPB sudah selayaknyalah kita menjadi model persuadaraan di dalam satu angkatan dan lintas angkatan. Saya mempunyai hipotesis bahwa alumni IPB ini tidak akan mampu memberikan sumbangsihnya secara signifikan terhadap negara atau bahkan institusi IPB, bila kita selalu bercerai berai. Ingatlah prinsip lidi yang sangat kecil kegunaannya bila lepas sendiri-sendiri, tetapi lidi itu akan sangat berguna bila telah menjadi sapu, artinya bersatu dalam sebuah ikatan.
Akhirul kalam, mohon ma’af bila ada beberapa kekhilafan.
Billahittaufiq wal hidayah
page 8 / 9
asaefuddin's blog | Di Hati Kita Tetap Satu Copyright Asep Saefuddin
[email protected] http://asaefuddin.staff.ipb.ac.id/2010/08/24/di-hati-kita-tetap-satu/
Wassalamu’alaikum wr. wb.
Mahatani, 28 Agustus 2010.
Asep Saefuddin (IP 13004, terus jadi A13004)
page 9 / 9