Determinan Performa Ekspor Industri Kreatif: Studi Kasus Industri Fesyen Indonesia Eka Pujiastuti1, Mari Elka Pangestu2 1. 2.
Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia, Kampus Baru UI, Depok, 16424, Indonesia Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia, Kampus Baru UI, Depok, 16424, Indonesia E-mail:
[email protected]
Abstrak
Penelitian ini menganalisis determinan performa ekspor industri kreatif Indonesia, khususnya industri fesyen. Pengujian dilakukan dengan berbagai determinan yang didapat dari studi terdahulu dan pengalaman pelaku industri ini. Mengaplikasikan model khusus untuk data fraksional, Papke-Wooldridge model, Peneliti secara spesifik menggunakan data level perusahaan dari statistik industri dengan klasifikasi sesuai dengan blueprint ekonomi kreatif Indonesia. Ditemukan bahwa ukuran perusahaan, upah pekerja, juga peran pemilik asing dan bahan baku impor memiliki korelasi yang signifikan dengan performa ekspor industri ini. Kata Kunci
: Determinan ekspor, data level perusahaan, industri fesyen, industri
kreatif Indonesia
Determinants of Export Performance in the Creative Industries: The Study of Indonesian Fashion Industry Abstract This study analyzes export performance of Indonesian creative industries, especially the fashion industry. We test a range of determinants obtained from the literature and experiences of the industry. To estimate the relation between export performance and its determinants, we apply specific model for fractional data and also specifically using firm-level data from industrial statistics classified by blueprint of Indonesian creative industry. Our analysis points
Detreminan Performa..., Eka Pujiastuti, FE UI, 2014
that size of the company, cost of workers, also role of foreign owners and imported raw materials have significant correlation with the export performance of the industry. Keywords
: export determinants, Indonesian creative industries, fashion industry, firm-level data
Pendahuluan Defisit neraca perdagangan Indonesia telah terjadi selama dua tahun terakhir sebagai akibat dari meningkatnya impor migas dan menurunnya ekspor. Meski nilai impor telah turun selama dua tahun terakhir dari sekitar 190 triliun dollar di tahun 2012 menjadi 182 triliun dollar di tahun 2013, namun ekspor Indonesia juga mengalami penurunan sekitar 5 triliun dollar. Pertumbuhan ekonomi Indonesia juga meski sangat tinggi di antara negaranegara di dunia, namun cukup rentan karena didorong oleh sektor konsumsi. (BPS, 2014). Di sisi lain isu deindustrialisasi juga menyeruak karena berubahnya struktur ekonomi Indonesia. Pertumbuhan sektor industri sangat kecil, jauh di bawah pertumbuhan ekonomi Indonesia secara umum. Sektor industri manufaktur, terutama yang padat karya terpuruk akibat serangan barang impor dan kenaikan upah minimum. Sektor industri yang tadinya merupakan bagian terbesar dari kegiatan ekonomi Indonesia dengan presentase mencapai 24.35 persen, terus menurun menjadi 23,97 persen selama tiga tahun terakhir (KOMPAS, 2014). Tren juga menunjukkan investasi lebih mengarah ke sektor padat modal sehingga penyerapan tenaga kerja yang diharapkan semakin jauh dari kenyataan. Sebagai contoh investasi triwulan I-2014 mencapai Rp 106,6 triliun namun tenaga kerja yang terserap hanya 260.156 jiwa atau menurun dari triwulan I-2013 dengan realisasi investasi hanya Rp 93 triliun menyerap 361.924 tenaga kerja (KOMPAS, 2014). Investor tentu akan memilih menanamkan dananya ke sektor yang potensial. Masalah upah minimum dan produktivitas yang rendah nampaknya membuat investor semakin menjauhkan dananya dari industri padat karya kemudian memilih ke industri padat modal dan jasa yang sedang memiliki tren pertumbuhan baik. Ketiga isu potensial tersebut tentu mengkhawatirkan di masa Indonesia sedang menyongsong bonus demografi. Penduduk usia produktif yang terus bertambah namun di sisi lain penyerapan tenaga kerja yang semakin sedikit dan terancamnya pertumbuhan nasional akibat defisit neraca pembayaran akan sangat berbahaya. Pertumbuhan yang meskipun masih
Detreminan Performa..., Eka Pujiastuti, FE UI, 2014
baik di tengah perlambatan ekonomi Tiongkok, bisa jadi tidak bertahan lama bila penduduknya ternyata tidak memperoleh pekerjaan dan pendidikan yang layak sehingga akan meningkatkan ketimpangan. Ketimpangan yang semakin besar tentu akan membebani pertumbuhan nasional. Industri kreatif nampaknya cukup potensial menjawab permasalahan terkait defisit perdagangan dan perubahan struktur ekonomi. Menjadi perhatian di dunia dalam beberapa tahun terakhir, termasuk di Indonesia, peran Industri ini dalam perekonomian dinilai cukup besar. Kelimabelas subsektor industri kreatif Indonesia menyumbang 7,1% dari GDP, mempekerjakan 11% tenaga kerja nasional dan bertumbuh lebih dari 4% per tahun. Pada term of trade, industri kreatif menyumbang 9,3% dari total ekspor Indonesia, 1,3% dari total impor dan menghasilkan surlus sekitar $14 miliar pada tahun 2012 (58% dari keseluruhan surplus) (British Council, 2013). Meski demikian, tidak bisa dikatakan bahwa seluruh subsektor industri kreatif akan menjawab permasalahan yang telah disebutkan sebelumnya. Di antara kelima belas subsektor industri kreatif, fesyen sepertinya menjadi industri yang paling potensial. Terdiri dari 19 lapangan usaha yang mengacu pada Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI) tahun 2005, ditengah isu deindustrialisasi, subsektor ini terus tumbuh selama empat tahun terakhir dengan jumlah usaha mencapai 1.1 juta unit pada tahun 2013. Selain itu sumbangannya ke PDB Indonesia juga menjadi yang terbesar diantara subsektor industri kreatif, sekitar Rp 65 triliun di tahun 2013 dan tumbuh rata-rata 6.44% selama 4 tahun terakhir (Kemenparekraf, 2014). Dilihat dari sisi penyerapan tenaga kerja, industri fesyen tidak diragukan lagi kemampuannya. Industri fesyen menyerap rata-rata 32 persen tenaga kerja industri kreatif dengan jumlah mencapai 3 juta tenaga kerja setiap tahunnya atau 3,4 persen tenaga kerja nasional. Meski pertumbuhan penyerapannya hanya sekitar satu persen pertahun, namun industri padat modal ini terus berkontribusi pada penyediaan lapangan pekerjaan di Indonesia. Sumbangsih industri fesyen pada neraca perdagangan juga tidak mengecewakan. Di tengah defisit neraca berjalan, ekspor industri fesyen terus tumbuh hingga mencapai 9.1 persen di tahun 2013 dengan nilai mencapai Rp 76 triliun atau sekitar 3,6 persen dari total ekspor Indonesia. Industri fesyen juga penyumbang terbesar ekspor industri kreatif dengan proporsi mencapai 64 persen dari keseluruhan ekspor industri kreatif. Meski demikian bukan berarti industri ini bebeas masalah. Di dalam negerinya sendiri, pelaku industri mengaku masih sulit untuk bersaing dengan produk asing. Bukan berarti
Detreminan Performa..., Eka Pujiastuti, FE UI, 2014
perancang lokal tidak kreatif, daya kreasi yang sangat tinggi namun keterbatasan skala produksi dianggap menjadi masalah. Skala produksi yang terbatas membuat pengusaha kesulitan mendapat input lokal dan mendisinsentif perluasan pasar. Selain itu produktivitas pegawai yang dinilai kurang meski upah minimum terus naik juga menjadi masalah sehingga performa perusahaan dalam industri ini juga potensial tergerus deindustrialiasi Potensi yang cukup besar dari industri fesyen untuk menjawab permasalahan dalam perekonomian Indonesia membutuhkan dorongan yang lebih baik dalam peningkatan performanya. Tidak hanya untuk pasar dalam negeri, namun juga pasar luar negeri apalagi salah satu sasaran untuk industri ini adalah menjadikan indonesia sebagai pusat mode Asia tahun 2025. Bukan menjadi hal yang tidak mungkin untuk mancapai visi itu, namun dibutuhkan pula perangkat kebijakan yang mendukung. Hal tersebut, membuat penulis tertarik untuk meneliti mengenai Determinan dari Peforma Ekspor Industri Kreatif : Studi Kasus Industri Fesyen Indonesia. Menjadi harapan besar dari penulis bahwa dengan mengetahui faktor determinan ekspor industri fesyen Indonesia akan membantu dalam perumusan kebijakan yang mengangkat potensi-potensi yang dimiliki industri ini dan menjawab permasalahan yang ada Determinan Performa Ekspor: Studi Literatur Konsep ekonomi kreatif pertama kali diungkapkan oleh John Howkins pada tahun 2001. Bila dilihat dari definisinya, kreativitas adalah kemampuan untuk menghasilkan sesuatu yang baru. Hal ini berarti produksi dari ide satu orang atau lebih yang sifatnya personal, original dan berarti. Di sisi lain, ekonomi secara konvensional didefinikan sebagai sistem dari produksi, pertukaran, dan konsumsi dari barang atau jasa. Ekonomi pada umumnya berhubungan dengan masalah bagaimana individu dan masyarakat memaksimalkan keinginannya yang tidak terbatas padahal sumber pemuas kebutuhan yang terbatas. Kreativitas pada dasarnya bukanlah aktivitas ekonomi tapi bisa menjadi demikian saat memproduksi sebuah ide yang memiliki dampak ekonomi seperti tradable good. Hasilnya adalah sebuah produk kreatif di mana didefinisikan sebagai barang yang dihasilkan dari kreativitas dan memiliki nilai ekonomi (Howkins, 2001) Di Indonesia, tonggak industri kreatif dimulai secara resmi pada tahun 2009. Berdasarkan pada Instruksi Presiden No. 6 Tahun 2009, tentang Pengembangan Ekonomi Kreatif, presiden menginstruksikan kepada kementerian terkait hingga kepala daerah untuk mendukung kebijakan Pengembangan Industri Kreatif tahun 2009-2015. Pengembangan
Detreminan Performa..., Eka Pujiastuti, FE UI, 2014
ekonomi kreatif yang dimaksud yakni pengembangan kegiatan ekonomi berdasarkan pada kreativitas, keterampilan, dan bakat individu untuk menciptakan daya kreasi dan daya cipta individu yang bernilai ekonomis dan berpengaruh pada kesejahteraan masyarakat Indonesia. Menyambut instruksi tersebut, pada tahun yang sama Indonesia juga melepas Cetak Biru Industri Kreatif. Berbeda dengan klasifikasi UNCTAD, Indonesia mengklasifikasikan industri kreatif menjadi 14 subsektor industri yaitu periklanan; arsitektur; pasar seni dan barang antik; kerajinan; desain; fesyen; film, video dan fotografi; permainan interaktif; musik; seni pertunjukan; penerbitan dan percetakan; layanan komputer dan piranti lunak; televisi dan radio; juga riset dan pengembangan (Departemen Perdagangan RI, 2008) yang selanjutnya ditambahkan Kuliner untuk mendukung peran pariwisata. Perhatian pemerintah yang cukup besar di industri kreatif dibuktikan dengan dibentuknya Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif pada tahun 2011 dan menjadikan Indonesia negara kedua di dunia yang memiliki kementerian khusus terkait ekonomi kreatif. Bapak Ekonomi Kreatif, John Howkins (2001) mendefinisikan fesyen sebagai suatu cara berpakaian atau perhiasan yang populer selama waktu tertentu atau dalam tempat tertentu. Coco Chanel dalam suatu wawancaranya menyebutkan bahwa “fashion is not something that exist in dresses only. Fashion is in the sky, in the street, fashion has to do with ideas, the way we live, what is happening”. Dari kutipan tersebut, term fesyen sendiri sudah ada sejak dahulu dan tidak hanya terbatas pada pakaian melainkan gaya hidup. Produk pendukung penampilan seseorang yang mencerminkan gaya hidupnya dapat disebut produk fesyen seperti contohnya sepatu, tas, dan aksesoris adalah contoh produk fesyen. Tidak berbeda dengan definisi sebelumnya, Kemenparekraf (2014) dalam cetak biru industri kreatif mendefinisikan fesyen sebagai suatu gaya hidup dalam berpenampilan yang mencerminkan identitas diri atau kelompok. Dari defisini-defisini tersebut dapat dibedakan bahwa fesyen bukanlah garmen dan tekstil semata melainkan industri-industri pendukung penampilan lainnya. Bisnis fesyen sebagian besar adalah bisnis yang kecil, namun kompetitif secara instensif dengan menggabungkan seni, kerajinan tangan, desain, produksi, ritel dan publikasi (Howkins, 2001) Dari sisi industri kreatif, industri fesyen perlu didefisikan lebih jauh dan disesuaikan dengan term industri kreatif. Perusahaan fesyen kreatif adalah perusahaan yang memasukkan unsur kreativitas ke dalam produknya. Unsur kreativitas itu sendiri tidak terbatas pada proses kreasi namun bisa ke proses produksi hingga pemasaran produknya. Unsur kreativitas akan menghasilkan produk dengan nilai tambah tersendiri dan membedakan dengan produk fesyen lainnya.
Detreminan Performa..., Eka Pujiastuti, FE UI, 2014
Dalam menganalisis hal-hal yang menjadi determinan dari performa ekspor, penelitian sejenis telah banyak dilakukan di berbagai negara dan macam metodologi. Meski demikian, penelitian level perusahaan adalah yang paling umum dilakukan. Di sisi lain, penelitian yang khusus pada produk industri kreatif masih sangat jarang ditemukan, apalagi yang membahas terkait performa ekspor. Van Dijk (1995) telah melakukan penelitian jenis ini dengan studi kasus 28 industri di Indonesia dengan tiga digit level klasifikasi. Menggunakan data sensus ekonomi untuk industri besar dan sedang, Van Dijk membagi industri-industri ini menggunakan Pavitt taxonomy yang membedakan industri berdasarkan klasifikasi kemajuan teknologi. Menggunakan Tobit regression dan papke-wooldridge model dibuktikan bahwa ukuran perusahaan, kepemilikan asing, dan umur merupakan variabel yang secara signifkan menjadi determinan ekspor di seluruh jenis industri. R&D dan capital intensity umumnya tidak signifikan di industri padat karya, sedangkan human capital dan biaya pekerja menjadi variabel yang signifkan. Hasil yang tidak jauh berbeda dengan van Dijk ditemukan di industri manufaktur Yunani (Papadogonas, Voulgaris, & Agiomirgianakis, 2007). Menggunakan tobit model, ditemukan bahwa ukuran perusahaan memiliki hubungan yang negatif dan signifikan sedangkan capital intensity memiliki hubungan yang negatif namun tidak signifikan. Hal ini ditengarai karena Yunani merupakan negara yang sebagian besar industrinya tergolong padat karya sehingga memiliki spesialisasi di produk padat karya. Biaya pekerja, yang juga dipakai sebagai proksi produktivitas tenaga kerja, ternyata memiliki hubungan yang negatif dan signifikan. Penelitian performa ekspor di Tiongkok dilakukan oleh Liu dan Shu (2003). Menggunakan data dari level perusahaan seluruh industri di Tiongkok dan dimodelkan dengan two-stage least square regression ditemukan hasil bahwa ukuran perusahaan dan FDI memiliki pengaruh yang positif dan signifkan pada performa ekspor industri Tiongkok. Biaya pekerja juga memiliki nilai yang positif dan signifkan meskipun ternyata R&D tidak memberikan hasil yang berbeda. Seperti penelitian empiris di negara berkembang lainnya, R&D meskipun memiliki pengaruh yang positif namun tidak signifikan karena diekspektasikan peningkatan teknologi belum terlalu baik untuk mempengaruhi performa ekspor perusahaan. Penelitian mengenai determinan dari performa ekspor industri juga dilakukan di benua Afrika. Niringiye dan Tuyiragize (2010) melakukan penelitian pada 200 perusahaan manufaktur di Uganda berdasarkan data survey mendalam yang dilakukan oleh lembaga
Detreminan Performa..., Eka Pujiastuti, FE UI, 2014
pengembangan usaha Afrika (RPED). Menggunakan metode probit, peneliti membagi variabel yang berkorelasi dengan ekspor menjadi tiga jenis yaitu business environment factors, factor intensity variables, dan specific firm characteristics. Penelitian ini menemukan bahwa ukuran perusahaan, capital intensity dan kepemilikan asing adalah variabel yang secara signifikan mendorong ekspor perusahaan manufaktur di Uganda. Di Filipina, Duenas-Caparas (2006) melakukan penelitian determinan performa ekspor untuk empat industri target negara tersebut yaitu food and food processing, textiles, garments,dan electronics and electrical machinery. Menggunakan data level perusahaan dari sensus industri di negara tersebut, Duenas-Caparas menilai Papke-Wooldridge model yang paling sesuai dengan penelitiannya. Ditemukan bahwa ukuran perusahaan, pengeluaran untuk training, R&D dan kepemilikan asing menjadi hal yang positif dan signifikan mempengaruhi performa ekspor industri secara umum. Tidak hanya determinan ekspor untuk industri manufaktur, Eickelpasch dan Vogel (2008) melakukan penelitian serupa namun terhadap industri jasa. Menggunakan data dari statistik perusahaan jasa di Jerman, Eickelpasch & Vogel ingin membuktikan apakah ada perbedaan determinan untuk ekspor antara industri manufaktur dan jasa. Menggunakan probit model dan papke-wooldridge model, keduanya menemukan bahwa ukuran perusahaan, produktivitas pekerja, jumlah human capital menjadi determinan yang penting dalam menentukan performa ekspor perusahaan di sektor jasa.
Model dan Data Penelitian Untuk menganalisis determinan peforma ekspor industri fesyen secara mendalam, dibutuhkan data disagregat atau data level perusahaan. Data level perusahaan dianggap paling cocok sebagai bahan analisis karena peneliti dapat melihat faktor-faktor yang potensial menjadi determinan ekspor dalam skala mikro sehingga diharapkan alternatif kebijakan yang dihasilkan lebih tepat sasaran. Data yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah data statistik industri tahun 2006-2011 untuk 33 propinsi di Indonesia bersumber dari Badan Pusat Statistik (BPS). Data penelitian ini dibatasi hanya untuk sembilan subsektor industri manufaktur berdasarkan KLBI tahun 2005 yang sebagaimana telah diklasifikasikan oleh Kementerian Perdagangan (2008) sebagai industri kreatif fesyen.
Detreminan Performa..., Eka Pujiastuti, FE UI, 2014
Selain penelitian secara kuantitatif menggunakan data-data level perusahaan yang dikumpulkan oleh BPS, penelitian ini juga akan memasukkan unsur kualitatif ke dalamnya. Hal ini karena penelitian kuantitatif bisa jadi kurang memberikan gambaran yang nyata dirasakan oleh pelaku industri kreatif sebagai akibat dari keterbatasan klasifikasi data penelitian. Dengan metode wawancara, penulis akan memasukkan pendapat dari pelaku industri fesyen terkait dengan penyusunan variabel dan analisis hasil penelitian. Adapun wawancara terkait penulis dapatkan dari hasil Focus Group Discussion subsektor mode yang diadakan oleh Kemenparekraf , 30 Mei 2014. Menggunakan konsep yang telah dibangun dari studi literatur , FGD mode, dan dengan mengutamakan level perusahaan sebagai unsur utama, fungsi umum dari performa ekspor perusahaan adalah !"# = ∫ ( !"#$%%, !"#$% , !"#$%2, !"#$, !"#"$%, !"#$%&, !"#$, !"#$%&')
di mana Tabel 1 Variabel Penelitian Variabel VARIABEL DEPENDEN Export Activity (EXPAC) Export Intensity (EXPIN) VARIABEL INDEPENDEN Size (RSIZE) Size Squared (RSIZE2) Foreign Ownership (DFOR) Imported Material (PMAT) Unit Labor Cost (ULCOST) Capital Intensity (CAPI) Labor Productivity (LABPROD)
Definisi
ekspektasi hasil*
Eksporter (1), Non-‐Eksporter(0) Ekspor (jumlah e kspor/output) Jumlah pekerja jumlah pekerja kuadrat modal asing/total modal bahan baku i mport/total bahan baku biaya pekerja/output Total Capital/Tenaga Kerja Value Added/ Tenaga kerja
+ -‐ + + -‐ + +
* + = mendorong e kspor, -‐ = mengurangi e kspor
Variabel dependen performa ekspor ditentukan menggunakan dua cara yaitu dilihat dari keputusan perusahaan untuk beraktivitas ekspor dan besarnya perusahaan mengekspor. Penggunaan dua variabel dependen ini dibutuhkan sebagai akibat dari penggunaan dua metode analisis data kuantatif yang berbeda (akan dijelaskan di subbab berikutnya). Variabel export activity merupakan variabel dummy terkait dengan status perusahaan (1 bila mengekspor, 0 bila tidak mengekspor). Variabel dependen selanjutnya adalah export intensity yang menunjukkan sebarapa besar perusahaan memiliki kecenderungan untuk mengekspor dari seluruh outputnya. Kedua variabel ini akan diuji menggunakan variabel independen yang ada untuk melihat konsistesi dari pengaruh variabel dependen pada performa ekspor perusahaan.
Detreminan Performa..., Eka Pujiastuti, FE UI, 2014
Sejalan dengan penelitian sebelumnya, diekspektasikan variabel SIZE akan memiliki pengaruh yang positif dan signifikan. Perusahaan dengan skala produksi lebih besar akan memiliki sumber daya yang cukup untuk bersaing secara global. Selain itu perusahaan besar pada skala tertentu akan memiliki economies of scale di mana biaya tetap rata-rata akan semakin rendah dibandingkan dengan perusahaan yang lebih kecil. Di sisi lain, variabel SIZE2 iekspektasikan akan memiliki pengaruh yang signifikan namun negatif, menunjukkan bahwa semakin besar perusahaan maka semakin besar pula kemungkinannya untuk mengekspor namun hanya sampai pada titik tertentu sehingga menghasilkan hubungan performa ekspor dan ukuran perusahaan menyerupai kurva U-terbalik (inverted-U curve). Variabel terkait keterbukaan ekonomi, modal asing (DFOR) dan bahan baku impor (IMPMAT) diekspektasikan akan memiliki hubungan yang poisti dengan performa ekspor perusahaan. Hal ini karena modal asing akan membantu perusahaan dalam hal wawasan global yang dimiliki pemilik juga kecenderungan tren pembukaan pabrik milik asing demi memanfaatkan upah buruh yang murah. Bahan baku impor diekspektasikan memiliki pengaruh yang positif karena bahan baku asal Indonesia belum mampu bersaing memenuhi permintaan skala produksi kecil dan mutu dari bahan baku tersebut Upah (ULCOST) diekspektasikan akan memberikan pengaruh yang negatif dan signifikan karena industri fesyen adalah industri padat karya yang peningkatan upah sedikit saja akan memberikan dampak yang relatif lebih besar dibanding industri yang bukan padat karya. Akan tetapi di sisi lain produktivitas (LABPROD) nampaknya akan memberikan pengaruh yang positif. Hal ini karena produktivitas yang baik akan mendorong penciptaan produk kreatif fesyen yang lebih efisien dan berdaya saing. Meski begitu peran dari modal tentu tidak boleh dikesampingkan. CAPI diekspektasikan akan meiliki hubungan yang positif dengan performa ekspor terkait perannya dalam meingkatkan produktivitas perusahaan. Permodelan dalam penelitian ini terinspirasi dari penelitian yang dilakukan oleh Eickelpasch dan Vogel (2008) pada industri jasa di Jerman. Pada penelitiannya Eickelpasch dan Vogel melakukan beberapa pengujian untuk mencari determinan dari ekspor industri tersebut. Menggunakan jenis data pooled-cross section statistik industri Jerman , kedua peneliti tersebut mengaplikasikan Papke-Wooldridge model juga probit model. Kedua model tersebut digunakan untuk menguji konsistensi dari variabel independen terkait dan menghasilkan analisis yang lebih terpercaya. Sejalan dengan penelitian yang dilakukan Eickelpasch dan Vogel (2008), investigasi mengenai performa ekspor dalam penelitian ini akan dibagi menjadi dua tahap demi melihat konsistensi dari pengaruh variabel independen. Penulis akan menginvestigasi status ekspor
Detreminan Performa..., Eka Pujiastuti, FE UI, 2014
(determinan keputusan ekpor) dan intensitas ekspor (determinan banyaknya ekspor). Untuk menjabarkan variabel dummy export activity, akan diestimasi menggunakan probit model sedangkan untuk menjabarkan determinan export intensity akan digunakan PapkeWooldridge model. Peneliti akan menguji determinan export activity dan export intensity untuk setiap tahun dari 2006-2011 untuk melihat bagaimana pengaruh faktor tersebut di setiap tahunnya kemudian melakukan pengujian final dengan melakukan pooled cross section regression bagi kedua variabel dependen. Pada tahap akhir dari analisis hasil penelitian, penulis akan menghubungkan hasil regresi dengan data kualitatif yang didapatkan dari wawancara dan hasil diskusi FGD mode industri kreatif dengan stakeholder industri fesyen demi memperkuat landasan dari analisis penelitian ini Papke dan Wooldridge model sendiri memang menujukan penggunaan modelnya untuk data dependen yang berupa persentase namun cukup banyak yang terkonsentrasi di titik ekstreme. Dengan mengembangkan generalized linear model dan quasi-likelihood estimation, metode
ini diklaim menjawab kekurangan model-model terdahulunya. Pada
prakteknya model ini menggunakan Bernaulli quasi-maximum likelihood dikombinasikan dengan robust inference untuk memodifikasi nilai yang asimtotik. Dueñas-Caparas (2006) dan van Dijk (2002) telah menggunakan model ini untuk mempelajari determinan ekspor di Filipina dan Indonesia.
Analisis Hasil Penelitian 1.
Analisis deskriptif statistik Tabel 2 Proporsi Ekspor Industri Fesyen 2006-2011
Tahun
2006
2007
2008
2009
2010
2011
Non-‐Exporter (export = 0) Partially Exporter (0<export<100%) Fully Exporter (export=100%)
3540
88.77%
3517
96.01%
3083
90.76%
2574
90.73%
2439
90.07%
1970
83.55%
376
9.43%
128
3.49%
261
7.68%
220
7.75%
225
8.31%
315
13.36%
72
1.81%
18
0.49%
53
1.56%
43
1.52%
44
1.62%
73
3.10%
Jumlah Perusahaan
3988
3663
3397
2837
2708
2358
Untuk kepentingan deskriptif analisis, penulis membagi perusahaan industri fesyen menjadi tiga jenis berdasarkan proporsi ekspornya yaitu fully exporter (mengekspor seluruh outputnya), partially exporter (mengekspor sebagian output), dan non-exporter (tidak mengekspor produknya sama sekali). Hasil deskriptif statistik berdasarkan Tabel 2 menunjukkan sebagian besar perusahaan di industri fesyen tidak mengekspor produknya. Hal ini bisa dilihat dari proporsi ekspor perusahaan dari data statistik industri sejak tahun 2006.
Detreminan Performa..., Eka Pujiastuti, FE UI, 2014
Pertahunnya, kurang dari 14 persen perusahaan di industri yang melakukan ekspor, dan kurang dari 4 persen yang mengekspor seluruh output yang ia produksi. Fakta ini menunjukkan meski Indonesia disasar menjadi pusat fesyen Asia pada tahun 2025, hingga tahun 2011 sebagian besar perusahaan masih terfokus pada pasar dalam negeri. Akan tetapi perlu disoroti pula perusahaan di industri ini yang melakukan ekspor terus meningkat dari tahun ke tahun. Perusahaan yang mengekspor produknya meningkat dari hanya sekitar 11 persen di tahun 2006 terus meningkat hingga sekitar 15 persen di tahun 2013. Tabel 3 Hasil Deskriptif Statistik Industri Fesyen 2006-2011 Non-‐exporter
Partially Exporter
Fully Exporter
SIZE
119.206 (519.924)
676.546 (1283.122) 1042.822 (2190.053)
ULCOST
0.228 (0.592)
0.178 (0.164)
0.192 (0.183)
CAPI
55632.12 (770535)
147797 (1967049)
116161.3 (1004571)
LABPROD
66304.19 (93934.7)
DFOR
0.0443 (0.201)
0.223 (0.403)
0.488 (0.941)
IMPMAT
0.0742 (0.212)
0.262 (0.368)
0.381 (0.423)
71597.83 (188644.1) 89074.72 (210205.8)
Ket: [rata-rata (standar deviasi)]
Tabel 3 menunjukkan deskriptif statistik industri fesyen tahun 2006-2011. Dilihat dari rata-ratanya, perusahaan di industri fesyen yang mengekspor produknya memiliki ukuran yang lebih besar. Perusahaan fully exporter memiliki rata-rata jumlah pekerja hampir 10 kali lebih banyak dari perusahaan non-eksporter. Skala produksi yang berbeda ini mengarahkan pada prediksi bahwa ada hubungan yang positif antara kecenderungan ekspor dan jumlah pekerja yang menjadi proksi dari ukuran perusahaan meskipun di tahap selanjutnya penulis masih akan menganalisis apakah hubungan antara kedua variabel ini positif linear atau kuadratik sesuai dengan penelitian-penelitian determinan ekspor sebelumnya. Biaya pekerja dan produktivitas tertinggi dimiliki oleh perusahaan yang megekspor produknya dan terus menurun ke perusahaan yang tidak mengekspor sama sekali. Perusahaan industri fesyen yang mengekspor seluruh outputnya, rata-rata memiliki proporsi kepemilikan asing yang paling paling besar yaitu sekitar 48.8 persen dari total kepemilikan. Kepemilikan asing paling rendah rata-ratanya, hanya sekitar 4 persen dimiliki oleh perusahaan fesyen yang tidak mengekspor produknya sama sekali, menunjukkan potensi hubungan yang positif antara kepemilikan asing dan kecenderungan untuk mengekspor. Selain dari sisi kepemilikan asing, perusahaan yang mengekspor produknya juga lebih terbuka dalam penggunaan bahan baku. Perusahaan fully exporter rata-rata menggunakan
Detreminan Performa..., Eka Pujiastuti, FE UI, 2014
bahan baku impor (baik bahan mentah maupun setengah jadi) hampir 38 persen dari seluruh bahan baku yang mereka gunakan. Berbeda dengan perusahaan yang tidak melakukan ekspor yang rata-rata hanya menggunakan 7 persen dari total bahan baku. Meski industri fesyen merupakan industri yang padat karya, tidak berarti tidak membutuhkan modal. Variabel CAPI menunjukkan proporsi modal pada tenaga kerja yang berarti penambahan CAPI menunjukkan perusahaan dengan penggunaan kapital yang makin intensif. Berdasarkan hasil deskriptif statistik, ditemukan bahwa perusahaan yang mengekspor produknya memiliki nilai CAPI yang lebih besar sehingga dapat diekspektasikan bahwa semakin besar akumulasi modal berkorelasi dengan ekspor yang lebih besar pula. 2. Analisis Hasil Estimasi Pada bagian ini akan dianalisis faktor dari determinan performa ekspor dengan menggunakan metode ekonometrika. Berbeda dari bagian sebelumnya, analisis pada bagian ini diharapkan akan lebih mendalam secara statistik. Analisis ekonometrika dibagi menjadi dua model, untuk export activity (mengenai status perusahaan dan faktor pendorong ekspor) dan Export intensity (mengenai kecenderungan mengekspor). Untuk variabel dependen export activity digunakan probit model sedangkan untuk variabel dependen export intensity akan digunakan Papke-Wooldrigde quasi likelihood model for fractional dependent variable. Jika melihat dari hasil Tabel 6 ditemukan hasil regresi model determinan performa ekspor untuk data pooled cross section dari tahun 2006-2011 dengan menggunakan kedua jenis model. Hasil dari kedua jenis model juga sejalan satu sama lain, meski terdapat perbedaan, nilainya tidak berbeda jauh. Signifikansi dan pengaruh variabel juga tidak menunjukkan perbedaan yang berarti, menunjukkan bahwa model ini memiliki konsistensi yang baik. untuk probit model, dengan R2 senilai 0.22 dan Prob(Wald Chi2) dengan nilai 0.00 menunjukkan efisiensi dan variabilitas model yang cukup baik. Secara umum, variabel SIZE, SIZE2, IMPMAT, DFOR dan ULCOST menunjukkan signifikasi yang sangat baik untuk kedua jenis model, sedang variabel LABPROD dan CAPI meski tidak signifikan, secara konsisten memberikan hasil sesuai dengan prediksi. Tabel 4 Hasil Regresi Model Determinan Ekspor Probit Model
SIZE
Papke-Wooldridge Model
0.0008***
0.0007***
(0.0000897)
(0.00007)
Detreminan Performa..., Eka Pujiastuti, FE UI, 2014
SIZE2 IMPMAT DFOR ULCOST LABPROD CAPI Constant
-6.91E-08***
-6.89E-08***
(1,27E-08)
(1.07E-02)
0.28436***
0.7829252***
(0.079)
(7.73E-08)
0.930***
0.8317***
(8.82E-02)
(0.073)
-0.2836**
-0.2828***
(0.1226)
(0.1169)
1.15E-09
1.53E-09
(0.1226)
(5.8E-09)
1.84E-08
1.53E-09
(0.1226)
(9.52E-09)
-1.161681
-1.469*
(4.53E-02)
(3.88E-02)
Number of obs
8817
LR chi2(7)
840.25
Prob > chi2
0.0000
Pseudo R2
0.2246
*** signifikan pada level 1%, ** signifikan pada level 5%, *signifikan pada level 10%
SIZE terbukti secara signifikan di kedua model memiliki korelasi yang positif terhadap presentase ekspor perusahaan yang menunjukkan semakin besar perusahaan (dihitung dari jumlah pekerja), maka semakin besar pula persentase output yang akan diekspor oleh perusahaan. Variabel SIZE yang positif juga menunjukkan terjadinya economies of scale dalam perusahaan industri fesyen. Sejalan dengan Krugman, internal economies of scale akan membuat biaya rata-rata perusahaan menjadi lebih murah sehingga membuat perusahaan mampu bersaing dengan lebih baik di dunia internasional. Perusahaan-perusahaan dalam industri yang merasakan pengaruh internal economies of scale akan membuat industri menjadi semakin besar dan mendorong Indonesia menspesialisasikan diri pada produk fesyen. Ukuran perusahaan terkait pula pada skala produksi yang dihadapinya. Pangusaha dan perancang mode di Indonesia memang mengeluhkan tentang bagaimana skala produksi menjadi penghambat dalam proses produksi. skala produksi yang kecil membuat bahan baku yang dibutuhkan menjadi lebih mahal secara variabel sehingga akan meningkatkan harga akhir dan daya saing. Akan tetapi perlu ditinjau lebih lanjut bahwa hasil pooled cross section untuk kedua dependent variabel secara signifikan menunjukkan bahwa SIZE2 juga menunjukkan hasil
Detreminan Performa..., Eka Pujiastuti, FE UI, 2014
yang signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa hubungan antara ukuran perusahaan dan performa ekspor tidak berjalan dengan linear, melainkan kuadratik. Semakin besar ukuran perusahaan maka akan semakin besar pula kecenderungan ekspornya, akan tetapi koefisien dari SIZE2 menunjukkan nilai negatif yang mendukung penelitian-penelitian sebelumnya bahwa hubungan ukuran dan kecenderungan ekspor menyerupai kurva U-terbalik. Sehingga perusahaan yang semakin besar akan cenderung semakin banyak mengekspor produknya hingga pada titik tertentu. Perusahaan yang sangat besar lebih memilih untuk berfokus di dalam negeri karena telah menikmati market power yang besar di dalam negeri (Wagner, 2001). Terkait dengan variabel yang menunjukkan keterbukaan ekonomi, proporsi kepemilikan asing juga secara positif signifikan menjadi determinan dari performa ekspor. Perusahaan yang memiliki proporsi kepemilikan asing yang semakin besar memiliki kecenderungan
yang
juga
lebih
besar
untuk
mengekspor
sebagian
produknya.
Diekspektasikan perusahaan yang memiliki modal asing yang besar merupakan perusahaan yang besar skala produksinya sehingga menikmati internal economies of scale. Selain itu perusahaan yang modalnya sebagian atau seluruhnya dimiliki asing memiliki sasaran pasar yang tidak hanya didalam negeri karena tidak menutup kemungkinan perusahaan tersebut merupakan perusahaan asing yang membuka pabriknya di Indonesia. Meski demikian bisa jadi memang pemilik asing memiiliki orientasi ekspor akibat tingkat pengetahuan dan wawasan global yang dimilikinya. Variabel IMPMAT juga memiliki hubungan yang positif signifikan terhadap kedua variabel dependen saat dilakukan pooled cross section regression. Semakin besar bahan baku yang diimpor dari negara lain, semakin besar pula proporsi ekspor perusahaan. Sejalan dengan FGD mode, pelaku industri fesyen Indonesia masih membutuhkan bahan baku asing, bahkan bila dilihat dari deskriptif statistik, rata-rata industri besar mengimpor hingga 38 persen dari total bahan baku. Nilai yang cukup tinggi berdasarkan UNCTAD dalam World Investment Report (2014) dan menunjukkan bahwa industri fesyen Indonesia secara signifikan telah masuk ke dalam global value chain. Meski demikian, akibat keterbatasan data, nilai ini bisa terjadi karena perusahaan yang turut masuk ke dalam model adalah perusahaan yang menerima order dari brand asing sehingga dari segi bahan baku memang membutuhkan bahan baku impor Beralih ke variabel terkait tenaga kerja, ULCOST ternyata menunjukkan hasil yang negatif, sesuai dengan ekspektasi. ULCOST menunjukkan korelasi negatif signifikan dengan kedua variabel performa ekspor, menunjukkan bahwa upah yang semakin tinggi akan
Detreminan Performa..., Eka Pujiastuti, FE UI, 2014
mendisinsentif perusahaan untuk melakukan ekspor. Padahal di sisi lain upah secara teoritis juga merupakan proksi dari produktivitas. Perusahaan akan menggaji pekerjanya sesuai dengan produktivitasnya, sehingga semakin tinggi produktivitasnya maka semakin tinggi juga gajinya. Akan tetapi perlu diingat pula Indonesia merupakan salah satu negara yang menetapkan upah minimum baik di skala regional maupun nasional sehingga hasil running kedua model yang menunjukkan hasil negatif signifikan untuk variabel ULCOST mungkin menunjukkan bahwa peningkatan produktivitas yang tidak sejalan dengan peningkatan gaji sehingga mendisinsentif perusahaan untuk melakukan ekspor. Peningkatan produktivitas dari tenaga kerja ternyata membawa korelasi yang positif dengan performa ekspor, terbukti dari pooled cross section regression dari kedua model menunjukkan bahwa hubungan antara LABPROD yang merupakan proksi dari produktivitas tenaga kerja ternyata malah memiliki hubungan yang poistif. Meskipun sesuai dengan prediksi bahwa peran produktivitas pada industri padat karya seperti fesyen akan membawa dampak yang baik, namun hasil yang tidak signifikan diekspektasikan membawa cerita lain. Produktivitas memang mendorong performa ekspor, namun hasil yang tidak signifikan mungkin menunjukkan bahwa peningkatan produktivitas dari tenaga kerja di Indonesia belum signifikan mendorong ekspor. Bisa jadi peningkatan yang terjadi sangat kecil sehingga meski positif tidak signifikan pada perkembangan industri Selain produktivitas, peningkatan ketersediaan modal diekspektasikan meningkatkan performa eskpor, meski dengan hasil yang tidak signifikan. Modal yang semakin besar akan semakin meningkatkan ukuran perusahaan, menurunkan biaya rata-rata dan meningkatkan market power. Meski demikian peningkatan modal yang terjadi pada industri fesyen indonesia mungkin belum baik sehingga belum signifikan dalam meningkatkan daya saing.
Kesimpulan dan Implikasi Kebijakan Melihat potensi yang dimiliki oleh industri fesyen Indonesia dalam menjawab tantangan terkait dengan defisit neraca perdagangan, penyerapan tenaga kerja dan isu deindustrialisasi di tengah masa bonus demografi, telah dilakukan analisis mengenai determinan performa ekspor industri fesyen Indonesia menggunakan data statistik industri untuk tahun 2006-2011. Untuk mengklasifikasikannya ke industri kreatif, dipilih 9 lapangan usaha berdasarkan KBLI lima digit tahun 2005 seperti yang telah dideskripsikan oleh Departemen Perdagangan (2009). Dalam menganalisis determinan digunakan dua model
Detreminan Performa..., Eka Pujiastuti, FE UI, 2014
yaitu probit model dan Papke-Wooldridge pseudolikelihood model for restricted dependent variable terhadap dua variabel dependen, export activity dan export intensity. Keduanya menunjukkan hasil yang relatif sama dan menunjukkan konsistensi dari hasil estimasi penelitian. Hasil temuan penelitian ini dapat dirangkum bahwasannya ukuran perusahaan, bahan baku impor, modal asing dan upah pekerja memiliki korelasi yang signifikan terhadap perftoma ekspor perusahaan di industri fesyen. produktivitas pekerja dan capital intensity meski memiliki hubungan yang positif namun tidak signifikan. diekspektasikan karena pengaruh produktivitas pekerja dan akumulasi kapital perusahaan di industri fesyen masih sangat kecil untuk mampu mendorong ekspor Berdasarkan hasil penelitian ini, terdapat beberapa implikasi kebijakan yang potensial untuk diaplikasikan di dalam rangka mendorong performa ekspor industri fesyen Indonesia. Ukuran perusahaan yang ternyata berkorelasi dengan performa ekspor perusahaan patut menjadi fokus utama. Ukuran yang semakin besar akan membuat perusahaan mendapatkan keuntungan economies of scale sehingga kemudahan mendapat modal akan sangat membantu perusahaan dalam meningkatkan ukuran dan daya saing. Modal yang dimaksud bisa berupa kemudahan bantuan pinjaman modal dari lembaga keuangan dalam negeri atau pembuakaan kesempatan bagi investor asing dalam menanamkan modal jangka panjang. Dalam skala makro, sektor pendukung investasi seperti kemudahan dalam usaha juga infrastruktur. Modal yang mudah didapatkan juga membuat peningkatan teknologi perusahaan semakin baik. Meski teknologi cenderung menggantikan tenaga kerja, namun hal ini tidak akan terlalu dikhawatirkan pada industri kreatif. Peran modal manusia akan tetap menjadi fokus utama karena kreativitas tidak akan bisa digantikan, penambahan teknologi malah akan membuat kinerja perusahaan menjadi lebih efisien. Terkait dengan ukuran perusahaan dan skala produksi, menjadi hal yang baik juga bila pemerintah dapat memfasilitasi perancang untuk bekerja sama dengan perusahaan besar. Skala produksi besar yang tidak mampu ditanggung oleh perancang mampu dialihkan ke perusahaan besar sehingga perancang dapat mengambil keuntungan dari sisi kreasi dan promosi. Hal tersebut juga menguntungkan bagi kedua pihak karena perusahaan besar akan memperluas pasarnya dengan memproduksi barang bernilai tambah lebih sedangkan perancang mendapatkan jawaban dari skala produksinya yang kecil Ukuran perusahaan yang semakin besar juga akan semakin banyak menyerap tenaga kerja. Di satu sisi, kenaikan upah minimum yang terus terjadi tidak dapat dihindarkan, padahal kenaikan upah per pekerja memiliki dampak yang signifikan pada performa ekspor
Detreminan Performa..., Eka Pujiastuti, FE UI, 2014
perusahaan. Peningkatan produktivitas menjadi salah satu jalan terbaik menjawab masalah ini sehingga meski upah terus naik namun dibarengi dengan produktivitas tenaga kerja yang baik. Mendorong produktivitas dapat dilakukan oleh pemerintah melalui peningkatan mutu dan jumlah lembaga pendidikan mode maupun oleh swasta (perusahaan itu sendiri) melalui berbagai macam training spesifik. Sekolah mode juga perlu menjadi perhatian dari Kementerian Pendidikan baik dari level sekolah kejuruan, vokasional hingga pendidikan tinggi, baik di kota besar, maupun daerah. Pendidikan yang perlu menjadi perhatian tentu bukan hanya pendidikan yang terkait dengan industri mode dan turunannya, namun juga pendidikan bisnis. Perancang dan perajin kain masih belum memberikan fokus yang cukup dalam pengembangan usahanya. Mereka terpaku pada proses kreatifnya saja, belum sampai membangun brand dari produknya (FGD Mode, 2014), sehingga perlu diintegrasikan pendidikan mode dan bisnis. Untuk perancang yang sudah terlanjur masuk ke dalam pasar, program asistensi usaha bisa menjadi jawaban. Pemerintah dapat memberikan program pendampingan kewirausahaan bagi perancang sehingga perancang tidak hanya berfokus pada proses kreasi, namun juga dari proses dasar hingga produknya dipasarkan. Program sejenis sebetulnya sudah dilakukan oleh swasta melalui Indonesia Fashion Forward di mana program itu membantu perancang dalam menentukan pasarnya hingga memberikan fasilitas untuk mengadakan pemasaran hingga ke luar negeri. Melalui program itu pula perancang mampu menjawab tantangan dari keterbatasan skala produksi, perancang mampu memahami industri ini dari awal hingga akhir dan secara signifikan meningkatkan skala produksinya sendiri. Keterbukaan ekonomi harus dijadikan peluang bagi industri fesyen, bahan baku yang tidak mampu diproduksi dalam negeri dalam skala produksi yang kecil, mampu dicari ke negara lain. Hal ini cukup baik sehingga proses kreatif tidak mengalami halangan. Selain itu kesepahaman yang dibuat WTO, TFA, membuat impor bahan baku tidak terkendala masalah kuota dan tarif sehingga menjadi porsi pemerintah dalam memfasilitasi hal ini. Akan tetapi ketergantungan pada bahan baku impor juga tidak selamanya baik. Ketergantungan bahan baku memiliki dampak tersendiri terutama bila keadaan ekonomi negara pengekspor tidak baik. Mendorong industri bahan baku fesyen harus dijadikan salah satu fokus pemerintah dalam jangka panjang untuk mendorong industri ini. Pembukaan kawasan khusus industri fesyen juga merupakan hal yang baik mengingat rantai industri fesyen yang ditempatkan pada satu wilayah akan mendorong terciptanya external economies of scale. Dalam jangka pendek, fasilitas one-stop-integrated-supplier juga bisa menjadi jawaban yang baik. Pemerintah memfasilitasi pihak ketiga dalam penyediaan bahan baku baik impor
Detreminan Performa..., Eka Pujiastuti, FE UI, 2014
maupun asal dalam negeri sehingga menurunkan harga bagi pengusaha dan perancang mode. Pengusaha dan perancang mode tidak perlu lagi berburu bahan baku ke luar negeri dan menghemat biaya dengan membelinya dari pihak ketiga. Bahan baku murah tentu saja meningkatkan kekuatan daya saing usaha. Peran pemodal asing dalam industri fesyen sangat signifikan berdasarkan penelitian ini. Selain karena pengaruh modal yang membantu memperbesar ukuran perusahaan. pemerintah juga selayaknya mendorong pemodal asing untuk tidak hanya membuka perusahaannya di sini karena mengincar buruh murah melainkan sudah harus diarahkan pada proses kreasi. Modal asing juga ditengarai akan mendorong perusahaan memiliki wawasan global mengenai pasar industri ini. wawasan pasar global yang luas tentunya harus dimiliki pelaku industri fesyen dalam mengekspor produknya sehingga menjadi peran pemerintah dalam memfasilitasi hal ini. Penyelenggaraan event produk fesyen tidak boleh hanya menjadi sarana ‘menjual pada masyarakat’ namun juga selayaknya menjadi langkah menarik pasar asing. Meski memberikan hasil yang sesuai dengan ekspektasi, perlu dicatat pula beberapa kekurangan dari studi ini antara lain: Keterbatasan data yang sesuai dengan klasifikasi industri kreatif. Sembilan lapangan usaha berdasarkan KBLI lima digit ternyata kurang mewakili bila ingin melakukan penelitian mengenai industri kreatif. Setidaknya dibutuhkan statistik industri dengan KBLI sembilan digit dan beberapa proses pemilahan kembali untuk mendapatkan data perusahaan industri kreatif yang sebenarnya. KBLI lima digit dikhawatirkan tidak memberikan gambaran yang sangat baik untuk ekspor determinan industri fesyen kreatif karena bisa saja tercampur dengan industri non-kreatif. Selain itu data panel tentunya akan memberikan gambaran penelitian yang lebih baik karena memasukkan variasi waktu, namun data level perusahaan yang dimiliki penulis tidak konsisten dalam pencatatan nomor induk perusahaan, membuat data panel cukup mustahil untuk diperoleh Keterbatasan penelitian ini juga selayaknya menjadi bahan pertimbangan untuk penelitian selanjutnya. Keterbatasan data dengan memasukkan seluruh perusahaan yang termasuk dalam KBLI 5 digit industri fesyen memiliki kemungkinan yang sangat besar memasukkan industri non-kreatif pada penelitian ini, sehingga untuk penelitian yang selanjutnya perlu digunakan industri dengan klasifikasi sembilan digit dan mengeliminasi perusahaan yang tidak memiliki unsur kreativitas. Perusahaan yang masuk dalam analisis penelitian ini juga hanya perusahaan besar dan sedang padahal peran UMKM cukup penting dalam ekonomi kreatif. Padahal sekitar 90
Detreminan Performa..., Eka Pujiastuti, FE UI, 2014
persen unit usaha adalah UMKM sehingga bila saja dimasukkan jenis usaha ini, hasil yang ditunjukkan bisa saja bisa lebih berbeda dan lebih baik
Daftar Referensi Belova, E. T. (2002). Creative Industries in the Modern City--Encouraging Enterprises and Creativity in St. Petersburg. St. Petersburg centre foe social economics research . Belova, E., & Cartel, T. (2012). Creative Industries in the Modern City—Encouraging Enterprise and Creativity in St Petersburg. St. Peterspburg's Leontief Center for Social Economics Research . BPS. (2006). Sensus Ekonomi 2006 Industri Besar dan Sedang Indonesia. British Council. (2013). Research and Recommendations on The Creative Economy in Indonesia. Departemen Perdagangan RI. (2008). Rencana Pengembangan Industri Kreatif Indonesia 2009-2015. Jakarta: Kementerian Perdagangan RI. Dholakia, R. H., & Kapur, D. (1997). Determinants of Export Performance of Indian Firms : A Strategic Perspective. The Indian Institute of Management of Ahmehabad India . Duenas-Caparas. (2006). Determinants of Exports Performancce in the Phillipine Manufacturing Sectors. PISD Discussion Paper Series . Eickelpasch, A., & Vogel, A. (2008). Determinants of Export Behaviour of German Business Services Companies. Deutsches Institut für Wirtschaftsforschung , 1-29. Gabbitas, O., & P, G. (2003). Firm Size and Exports Performance: Some Empirical Evidence. Productivity Commission Staff Research Paper . Gujarati, D. (2008). Basics Econometrics. New York: Mcgraw Hills. Howkins, J. (2001). The Creative Economy: How People Make Money From Ideas. London: Penguin Group. Kathuria, L. m. (2008). An Analysis of Competitiveness of Indian Clothing Export Sector Using Porter’s Model. . The Icfai university Press . KOMPAS. (2014, April 25). Padat Modal Dominan: Investasi Meningkat, Penyerapan Buruh Kian Sedikit. Ekonomi KOMPAS , hal. 17. KOMPAS. (2014, April 17). Struktur Ekonomi Harus Berubah. Ekonomi KOMPAS , hal. 17. Krugman, P. R., Obstfeld, M., & Meliz, M. J. (2011). International Economics: Theory and Policy 9th ed. Boston: Pearson Eduction. Kumar, N., & Sidhartan, N. (1993). Technology, Firm Size, and Export Behaviour in Developing Countries: The Case on Indian Enterprise. UNU/INTECH working Paper no 9 .
Detreminan Performa..., Eka Pujiastuti, FE UI, 2014
Lanchescher, E., Palermo, F., & Togennburg, G. (2004). The Cultural Industries: A Clash of Basic Value—A comparative Study of the EU and the NAFTA in the Light of the WTO. European Diversity and Authonomy Papers EDAP 4/2004 . Lefebre, E., & Lefebre, L. A. (2001). Innovative Capabilities as Determinants of Export Performance and Behaviour: Longitudinal Study of Manufacturing SMEs' in Innovations and Firms Performance. Liu, X., & Shu, C. (2003). Determinants of Export Performance: Evidence from Chinese Industries. Economics of Planning 36 , 45–67. Niringiye, A., & Tuyiragize, R. (2010). Determinants of a Firm's Level of Exports: Evidence from Manufacturing Firms in Uganda. African Economic Research Consortium Research Paper 196 , 1-32. OECD-WTO. (2013). Trade in Value Added: Concepts, Methodologies and Challenges (Join OECDWTO Note). OECD-WTO. Papadogas, T., Voulgaris, F., & Agiomirganakis, G. (2007). Determinants of Export Behavior in the Greek Manufacturing Sector. . An International Journal vol 7 No 1 , 121-135. Papadogonas, T., Voulgaris, F., & Agiomirgianakis, G. (2007). Derminants of Export Behavior in the Greek Manufacturing Sector. Operational Research. An Intemational Journal Vol.7, No 1 , 121-135. Papke, L. E., & Wooldridge, J. M. (1996). Econometric Methods for Fractional Response Variables with an Application to 410(k) Plan Participation Rates. Journal of Applied Econometrics vol 11 no 6 , 619-632. Simatupang, T., Rusjtadi, S., & Simatupang, D. B. (2011173-270). Enhancing the Competitiveness of the Creative Service Sector in Indonesia. ERIA Researsh Report . UNCTAD. (2014). World Investment Report 2013. Switzerland: United Nation. UNDP/UNESCO. (2013). Creative Economy Report 2013: Widening Local Development Pathway. New York: United Nation . van der Pol, H. (2012). Key Role of Cultural and Creative Industries in the Economy. New York: UNESCO Institutes of Statistics. van Dijk, M. (2002). The Determinants of Exports Performance in Developing Countries: The Case of Indonesian Manafacturing. Eindhoven Central for Invormation Studies Working Paper . Wagner, J. (2001). A Note on Form Size: Ecport Bahaviour Relationship. Small Business Economics 17 , 229-237
Detreminan Performa..., Eka Pujiastuti, FE UI, 2014