Desentralisasi dan Strategi Pariwisata Kota : Komparasi Surakarta dan Yogyakarta Akhmad Ramdhon, Nora Nailul Amal Abstract Decentralization gives a wide space for the region to develop its potential as a strategy to boost the economy at the local level. One strategy used is the development of a tourism program is also supported by central government policy. Existing policy framework, then lowered in some strategic steps in Surakarta and Yogyakarta form of regulation at the local level. Research findings demonstrate commitment, policies, and strategies embodied in the regulations, which are the basis for the regulatory programs of existing tourism development. The policy provides an opportunity for the realization while optimizing tourism development at the local level. Implications identified in Surakarta and Yogyakarta showed macro-economic significance in the form of a significant contribution to local revenue and the contribution to the real sector of micro tourism stakeholders. Strategic policies for the development of tourism be a direct effect of the implementation of decentralization. Keywords : decentralization, strategic policy, tourism effect A.
Desentralisasi Pariwisata
Otonomi daerah yang termaktud dalam UU No. 32 Tahun 2004 menjadi arus besar desentralisasi serta membuka ruang bagi pemerintah daerah mengembangkan
kebijakannya
sebagai
upaya
pengoptimalan
dan
pendayagunaan potensi ekonomi daerah. Pembangunan daerah kemudian berjalan
seiring
dengan
meluasnya
ruang
otonom
daerah
untuk
mengembangkan potensinya masing-masing. Pariwisata menjadi salah satu program
yang
banyak
dikembangkan
didaerah
bersamaan
dengan
dibangunnya rencana induk pembangunan kepariwisataan nasional, propinsi hingga kabupaten/kota [UU 10 Tahun 2009 : 8-1]. Kewenangan yang otonom didaerah, lewat keberadaan pemerintah kabupaten/kota kemudian menjadi penyelenggara atas keterlibatan warga dalam menyusun berbagai agenda sesuai dengan kebutuhannya masing-
113
masing. Berbasis indikator pembangunan dan kebijakkan yang ada maka agenda untuk menjadikan pengembangan kabupaten/kota kemudian implementasikan dalam penyusunan dokumen RPJM-RPJMP (UU 25 Tahun 2004 pasal 5 ayat 1-2) yang antara lain menegaskan : pengembangan kegiatan ekonomi masyarakat melalui upaya optimalisasi potensi wisata dan kebijakkan untuk melestarikan, mengembangkan dan mengapresiasi nilai-nilai kearifan lokal sebagai jati diri warga kota sekaligus menjadi pijakan bagi pengembangan wisata didaerah. Diantara beragam strategi yang ada, pengembangan pariwisata menjadi lokomotif atas pengembangan kota, spirit untuk mengembalikan kota sebagai kota yang beridentitas budaya dan pariwisata yang menjadi spirit kolektif. Terintegrasinya sektor pariwisata menjadi bukti bahwa pariwisata telah memasuki sebuah fase yang lebih maju yaitu penata kelolaan yang lebih baik dan melibatkan pihak ketiga (dunia usaha) menjadi bagian dari perkembangan pariwisata. Efek multi player dari pariwisatalah yang kemudian dipercaya menjadi energi bagi semua pelaksanaan bentuk dan program-program pembangunan secara keseluruhan (Robert Maitland, 2009). Pariwisata diharapkan menjadi motor bagi bergeraknya sektor perdagangan seiring dengan kunjungan para wisatawan, termanfaatkannya berbagai sektor jasa, cinderamata, transportasi, penginapan hingga kontribusi pendapatan bagi pemerintah kota lewat retribusi wisata sehingga memberi argumen bagi pemerintah kota untuk menempatkannya menjadi salah satu prioritas pembangunan didaerah-daerah. Skema tersebut secara massif mampu menjadi strategi yang banyak dikembangkan di daerah dengan beragam modal baik sejarah, destinasi, agro hingga spiritualitas yang mampu menjadi daya tarik. Bila merujuk pada UU No. 10 Tahun 2009 (pasal 4) a. pariwisata bertujuan meningkatkan pertumbuhan ekonomi, b. meningkatkan kesejahteraan rakyat, c. menghapus kemiskinan, d. mengatasi pengangguran. Dimana pembangunan pariwisata meliputi, industri, destinasi, pemasaran dan
114
kelembagaan (pasal 7). Dan bila merujuk pada semangat otonomi daerah yang kemudian menjadi lokomotif pembangunan daerah, pengembangan pariwisata menjadi kewenangan daerah untuk mengelolanya (pasal 30) dan menjadi pengelolaan otorita badan promosi pariwisata daerah (Pasal 43). Amanat regulasi yang menjadikan parisiwisata sebagai prioritas strategi pembangunan nasional-daerah, menuntut kebersamaan stakeholder untuk membentuk gabungan industri kepariwisataan : yang terdiri dari pengusaha pariwisata, asosiasi usaha pariwisata, asosiasi profesi, dan asosiasi lain yang terkait sebagai mitra bersama. Kebijakan pariwisata kemudian tak terhindarkan oleh sebuah kepentingan kolektif dan jauh lebih besar dari sebelumnya. Berbagai event wisata dalam berbagai lapis segmen dikreasikan untuk menstimulasi kunjungan wisata : seni, budaya, performance, conference maupun meeting. Revitalisasi aset kota dilakukan dalam rangka repackingkonservasi, untuk kemudian penguatan stakeholder untuk menjadi bagian dari kerja kolektif mempromosikan wisata kota, dan kesemua agenda-agenda tersebut bersambut dengan antusiasme warga yang kemudian terlibat secara aktif didalamnya. Semuanya terbayar dengan catatan kunjungan pariwisata , dimana peningkatan jumlah wisatawan terjadi secara mencolok, dalam setengah dekade terakhir. Dalam skala nasional, tercatat pada 2005 wisatawan mencapai 348,6 ribu orang dan dalam periode tahun 2010 adalah 6,75 juta orang, sekaligus menghasilkan devisa sebesar Rp 6,3 triliun (http://www.budpar.go.id/indexprofil.php). Skema pengembangan wisata didaerah menjadi energi baru bagi program pengembangan daerah yang memberdayakan, mengelola dan merevitalisasi strategi pariwisata. Di Surakarta, dampak dari orientasi pembangunan yang menempatkan wisata kota sebagai fokus, signifikan pada pertumbuhan ekonomi 2009 telah mencapai angka 5.6-5.9%. Dengan nilai PAD pada tahun 2005, Rp. 66.086.575.400, kemudian naik secara mutlak mencapai total Rp. 113.977.007.541,85/Tahun 2010 (LKPJ Surakarta, 2010). Dan bila dilihat
115
dari posisi ini maka otonomi dan pembangunan di daerah menemukan korelasi yang positif.
Untuk itu, Badan Promosi Pariwisata Indonesia
Surakarta, mencanangkan target kunjungan yang sebelumnya mencapai 1,07 juta menjadi 2,5 juta pada 2011. Sedangkan bila dilihat di Yogyakarta : sektor pariwisata menjadi unggulan, sekalipun diliputi bencana alam namun kota Yogyakarta mampu segera berbenah untuk melalukan recovery dari bencana alam yang luar biasa berat. Sekedar catatan pendapatan yang dicapai pada tahun anggaran 2010, sektor pariwisata mampu menyumbang 38% terhadap Pendapatan Asli Daerah mencapai Rp 198 miliar. Kondisi tersebut dapat diperinci, Rp 75,2 miliar berasal dari pariwisata yang ditopang oleh sektorsektor pendukung seperti perdagangan 6.10%, hotel memberi sumbangan 5.97%, dan restoran 5.75% (Yogyakarta Angka, 2010). Kota Surakarta merupakan salah satu kota besar di wilayah Jawa Tengah. Dengan mengusung slogan “Surakarta The Spirit of Java” bukan suatu yang berlebihan,
karena
kota
ini
mampu
menjadi
Trend
Setter
bagi
kota/kabupaten lainnya terutama di sekitar kota Surakarta, dalam bidang sosial, budaya, dan ekonomi. Walaupun kota Surakarta hanya memiliki 5 Kecamatan saja, kota ini menyimpan potensi yang besar. Berdasarkan hasil sementara Sensus Penduduk 2010, jumlah penduduk di Kota Surakarta tercatat sebanyak 500.642 jiwa, dimana jumlah penduduk perempuan lebih banyak dari penduduk laki-laki yakni 257.279 jiwa perempuan dan 243.363 jiwa laki-laki. Kecamatan Banjarsari merupakan kecamatan dengan jumlah penduduk terbanyak, sejumlah 157.438 jiwa atau 31,45 persen (BPS Surakarta, 2011). Surakarta melalui Dinas Kebudayaan dan Pariwisata terus berupaya agar dapat menarik minat wisatawan supaya berkunjung di kota Surakarta. Keberadaan perkembangan wisatawan menuntut ketersediaan infrastruktur, dan dapat dikatakan bahwa jumlah hotel dan jumlah kamar pada tahun 2008-2010 bertambah. Dapat dilihat jumlah hotel pada tahun 2008 sebanyak 137 hotel dan pada tahun 2009, 2010 sebanyak 138 hotel. Untuk jumlah
116
kamar, setiap tahunnya terus bertambah. Untuk jumlah klasifikasi tertinggi hotel di Surakarta adalah Hotel Melati Dua yang pada tahun 2010 terdapat 48 hotel dan 914 kamar. Sedangkan untuk jumlah klasifikasi hotel terendah hotel di Surakarta adalah hotel Bintang Empat sebanyak 4 hotel (Dinas Pariwisata, 2010). Dari data diatas dapat dilihat dinamika perkembangan fasilitas yang tersedia di Surakarta terus meningkat. Guna menunjang aktifitas tamu yang berwisata, kota Surakarta menyediakan fasilitas penginapan yang cukup beragam. Kondisi tersebut berimplikasi pada meningkatnya kunjungan wisatawan. Dengan dua venue utama, yaitu Mangkunegaran dan Kasunanan. Catatan wisatawan mancanegara adalah Mangkunegaran yaitu pada tahun 2010 sebesar 18.231 dan pada tahun 2008 sebanyak 5.142, sedangkan Keraton Surakarta mendudkuki terbanyak obyek kedua wisata paling banyak dikunjungi wisatawan mancanegara pada tahun 2010 sebanyak 3,516. Museum Batik adalah wisata budaya yang paling dikunjungi wisatawan mancanegara pada tahun 2010 sebanyak 1,026. Berbeda dengan Surakarta, DI Yogyakarta menurut sensus penduduk 2010 memiliki jumlah penduduk 3.452.390 jiwa dengan proporsi 1.705.404 lakilaki dan 1.746.986 perempuan, serta memiliki kepadatan penduduk sebesar 1.084 jiwa per km2 (Statistik Kepariwisataan 2010 Dinas Pariwisata Prov D.I.Yogyakarta). Dengan jumlah sarana akomodasi sebanyak 302 buah hotel baik bintang maupun non bintang dengan jumlah kamar 6.916 buah sebenarnya sudah cukup untuk menampung wisatawan yang datang ke Kota Yogyakarta. Sementara jumlah restoran dan rumah makan sebanyak 152 buah dengan kapasitas kursi 7.756 buah cukup untuk memenuhi kebutuhan kuliner wisatawan. Di samping itu keberadaan obyek dan daya tarik yang ada juga cukup beragam meskipun masih bersifat konvensional. Perkembangan seni dan budaya di kota Yogyakarta juga relative baik dengan 250 kelompok kesenian dan kelompok budaya yang tersebar di 14 kecamatan. Setidaknya ada 25 jenis kesenian dan upacara adat yang
117
berkembang di Yogyakarta. Hal ini menunjukkan adanya apresiasi masyarakat terhadap seni budaya lokal, meskipun perlu pembinaan dan pengembangan untuk meningkatkan motivasi masyarakat. Semua materi menjadi bahan bagi kunjungan wisatawan terus mengalami perubahan. Hal ini dapat dilihat dari jumlah kunjungan wisatawan ke Yogyakarta selama tahun 2007-2011 tercatat setidaknya : 1,260,658/2007, 1,753,712/2008, 2,026,369/2009,
2,460,967/2010
dan
1,941,621/2011
(Statistik
Kepariwisataan D.I.Yogyakarta, 2010). Kerangka Kebijakan Kepariwisataan Surakarta Implementasi komitmen memajukan kota kemudian dihadirkan dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah Kota Surakarta (RPJPD) Tahun 2005–2025, yang antara lain menegaskan : Kebijakkan pengembangan masyarakat yang produktif dan berjiwa wirausaha, Pengembangan
kegiatan
ekonomi
masyarakat
melalui optimalisasi
potensi wisata dan kebijakkan untuk melestarikan, Mengembangkan dan mengapresiasi nilai-nilai kearifan lokal sebagai jati diri warga kota. Kebijakan tersebut menempatkan Surakarta sebagai kota budaya yang bertumpu pada potensi Perdagangan, Jasa, Pendidikan, Pariwisata dan Olah Raga. Plus penguatan karakter kota dengan aksentuasi Jawa dan melestarikan aset-aset budaya, baik yang tangible (bendawi) maupun intangible (tak bendawi). Proses terintegrasinya sektor pariwisata menjadi bukti bahwa pariwisata telah memasuki sebuah fase yang lebih maju yaitu penata kelolaan yang lebih baik dan melibatkan pihak ketiga (dunia usaha) menjadi bagian dari perkembangan pariwisata. Komitmen tersebut secara permanent menjadi program bagi pengembangan pariwisata di Surakarta. Lewat rencana strategis pengembangan pariwisata kota ke depan adalah mewujudkan kota Surakarta sebagai daerah tujuan wisata terkemuka di Indonesia dan untuk itu program-program pengembangan pariwisatapun dirancang. Komitmen untuk menjadikan kota lebih baik kemudian didengung-dengungkan dengan
118
slogan Solo the Future-is the Past yang melandasi berbagai agenda pengembangan kota yang lainnya. Selain penataan, agenda-agenda kebudayaanpun digelar sebagai bagian dari pengembangan kota sebagai pusat wisata. Penyelenggaraan Solo festival, Bon Rojo festival, peringatan Hari Jadi Kota, Bengawan Solo Festival, berbagai event Kirab Budaya, hingga Festival Keraton Nusantara yang digelar akan menjadi program rutinitas tahunan oleh Dinas Pariwisata. Bersamaan dengan itu pembinaan terhadap jasa usaha pariwisata kemudian dilakukan secara intensif, penyuluhan terus menerus oleh Pokdarwis (Kelompok Sadar Wisata yang dibentuk dan terdapat ditiap-tiap Keluharan/Kecamatan), event Pemilihan Putra-Putri Solo secara yang digelar tiap tahun hingga dibentuknya PT. Solo Raya sebagai media promosi dan pengembangan jejaring pariwisata secara internasional, menjadi bagian yang tak terpisahkan dari pengembangan pariwisata kota Surakarta. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah Kota Surakarta (RPJPD) Tahun 2005–2025 arah kebijakkan pengembangan kota ditegaskan akan mencakup fungsi pariwisata dan budaya. Prakteknya hadir dalam program-program berupa peningkatan pola-pola pembinaan dan pelestarian terhadap berbagai sanggar seni dan paguyuban kebudayaan tradisional, baik untuk anak-anak, remaja maupun dewasa. Kemudian menjadikan programprogram pengelolaan kekayaan budaya daerah sebagai aset daerah dan daya tarik wisata serta memberikan fasilitasi terhadap keragaman budaya daerah agar dapat tumbuh dan berkembang. Lalu meningkatkan jalinan kerjasama dengan berbagai pihak dalam pengelolaan kekayaan budaya daerah, yang marnpu menjadikan pelestarian aset budaya serta daya tarik wisata dan menjalin kemitraan dengan berbagai pihak untuk pengembangan pemasaran obyek wisata sejarah. Oleh sebab itu, selain mendorong budaya kreatif, pelestarian heritage dan budaya kota menjadi hal yang cukup penting karena unsur tersebut menjadi faktor yang mampu menarik kunjungan wisatawan. Out put yang dihasilkan
119
adalah tersedianya web kepariwisataan dalam 15 bahasa, promosi pariwisata di dalam negeri, promosi pariwisata melalui media cetak dan elektronik, pembangunan arena outbond, Tourist Information Center, Familiarization Trip, Pemilihan Putra Putri Solo serta keikutsertaannya pada event-event di Solo dan luar daerah, penyuluhan dan pembinaan terhadap jasa usaha pariwisata, pentas seni budaya daerah, Borobudur Travel Mart, kirab budaya, pagelaran budaya tradisi Keraton Kasunanan dan Pura Mangkunegaran, SBF, SIPA. Sehingga tahun 2009, Surakarta memperoleh penghargaan berupa The Best Destination Award dari Majalah SWA, Indonesian MICE Award dari Majalah Venue sebagai apresiasi atas kesuksesan Solo Batik Carnival, secara khusus diundang untuk ikut memeriahkan Parade Chingay di Singapura. Implikasi Bagi Ekonomi Surakarta Kondisi
diatas
menjadi
relevan
mengingat
keterbangunan
pola
pengembangan kebijakan MICE sebagai pola unggul bagi promosi kota. Catatan GTZ (2009) menunjukkan efektifitas rangkaian kegiatan yang ada untuk menyerap okupasi hunian semua fasilitas yang ada dalam rangkaian kegiatan tersebut. Beragam pola turunan telah menghadirkan kunjungan, pemanfaatan, daya serap hotel maupun hall yang ada. Beragam pertemuan, beragam kunjungan, beragam tontonan menjadi output akhir dari pengembangan pemasaran pariwisata, maupun destinasi pariwisata; pengelolaan keragaman budaya serta pengembangan destinasi pariwisata untuk kawasan wisata di Surakarta. Semua fakta tersebut, memberi hasil akhir dimana kinerja perekonomian Surakarta dikatakan meningkat secara tidak langsung, bila dilihat dari perkembangan indikator makro ekonomi, tahun 2009 : Dimana tingkat pertumbuhan ekonomi Surakarta pada tahun 2009 dengan angka sementara adalah 5,9% meningkat dibandingkan dengan tahun 2008 sebesar 5,69%. Dengan tingkat inflasi tercatat 2,63%. Sedangkan catatan PDRB berdasarkan harga berlaku dengan angka sementara adalah Rp.8.867.563.170.000,- atau
120
meningkat 12,22% dari Tahun 2008 sebesar Rp.7.901.886.060.000,- Adapun pendapatan perkapita Surakarta berdasarkan angka sementara adalah Rp.14.693.189,32, lebih tinggi dari tahun 2008 sebesar Rp.13.220.433,14, sedangkan angka sementara di tingkat Provinsi Jawa Tengah tahun 2009 adalah Rp.10.003.924,61. Peningkatan ini menggambarkan meningkatnya kemampuan daya beli masyarakat secara umum dibandingkan periode sebelumnya. Data-data perkembangan indikator perekonomian tersebut di atas mengisyaratkan bahwa secara umum kinerja perekonomian Kota Surakarta tahun 2009 lebih baik dari tahun sebelumnya. Sedangkan bila dilihat dari sisi kinerja pendapatan daerah, anggaran pendapatan daerah tahun 2009 mencapai Rp.799.442.931.600,- sedangkan realisasinya sebesar Rp 728.938.187.952,- atau 91,18 % dari anggaran. Dengan rincian : Pendapatan Asli Daerah, yang mencakup Pendapatan Pajak Daerah, Retribusi Daerah, Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang Dipisahkan dan Lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang Sah, dianggarkan sebesar Rp 110.842.157.600,- dan realisasinya sebesar Rp. 101.972.318.682,atau 92 % dari anggaran. Pengelolaan penerimaan daerah lebih diarahkan kepada eksplorasi optimal yang bersumber dari peningkatan PAD tanpa mengesampingkan dana perimbangan dan lain-lain penerimaan yang sah. Pembangunan
komitmen
wajib
pajak/retribusi
atas
kewajibannya
merupakan langkah strategis ke depan sehingga tidak sebatas pada membangun kepatuhan pajak semata. Untuk itu, persiapan penyusunan raperda tentang pajak dan retribusi akan diselesaikan pada akhir tahun 2010. Dimana Hasil Retribusi Daerah, Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang Dipisahkan dan Lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang Sah, dianggarkan sebesar
Rp
114.429.357.815,00
mampu
terealisasi
sebesar
Rp.
113.977.007.541,85 : 99,60% dari anggaran. Meningkatnya kemampuan daerah untuk mengembangkan kapasitas untuk pengembangan skema Pendapatan Asli Daerah tidak lepas dari upaya-upaya pembangunan secara
121
umum dan khususnya pelaksanaan kegiatan di bidang kepariwisataan yang berkonsentrasi pada MICE dan berdampak pada mengeliatnya aktivitas perekonomian masyarakat maupun dunia usaha yang secara signifikat mampu meningkatkan pandapatan dari sektor pajak hotel, pajak restoran, pajak hiburan, dan pajak reklame. Skema pariwisata mampu menjadi energi positif bagi proses lanjutan pengembangan kota secara makro untuk sekaligus menggerakkan juga sektor riil yang menjadi titik tolak gerakan ekonomi masyrakat secara luas. Kebijakan dan Strategi Kepariwisataan Yogyakarta Yogyakarta
jauh
lebih
mapan
dalam
pengembamngan
program
kepariwisatatan. Selain destinasi yang juga banyak skema kebijakana yang adan terkoneksi dari kota, kabupaten hingga propinsi. Berbasis dokumen Rencana Pembangunan Menengah Daerah RPJMD Kota Yogyakarta Tahun 2012-2016 merupakan tahap kedua Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah Kota Yogyakarta Tahun 2005-2025. RPJMD tahap kedua melanjutkan visi pembangunan jangka panjang daerah yaitu mewujudkan Kota Yogyakarta sebagai Kota Pendidikan Berkualitas, Pariwisata Berbasis Budaya, dan Pusat Pelayanan Jasa, yang Berwawasan Lingkungan dengan Penekanan pada Pendidikan Inklusi dan Karakter serta Ekonomi Kerakyatan. Pelaksanaan pengembangan
kegiatan destinasi
pariwisata pariwisata
terkerangka ditujukan
dalam,
untuk
program
meningkatkan
pengelolaan destinasi wisata dan aset-aset warisan budaya menjadi obyek daya tarik wisata yang atraktif dengan pendekatan profesional, kemitraan swasta, pemerintah, dan masyarakat dan memperkuat jaringan kelembagaan serta mendorong investasi. Adapun sasaran pembangunan Tahun 2007–2011 untuk bidang pariwisata adalah kota pariwisata berbasis budaya dengan dukungan keragaman objek dan daya tarik wisata. Tematik untuk mencapai sasaran pembangunan di bidang pariwisata Tahun 2008 yaitu Kota Yogyakarta sebagai kota pariwisata
122
berbasis budaya dengan keragaman atraksi dan daya tarik wisata. Rencana aksi daerah pengembangan dengan berbasis pada kekuatan budaya yang dimilikinya sebagai asset andalan kepariwisataan kota Yogyakarta, yang kemudian dikembangkan dalam Rencana Induk Pengembangan Pariwisata Daerah Propinsi DI Yogyakarta (Perda Propinsi DIY No 4 Tahun 1999). Berkembangnya kepariwisataan di Kota Yogyakarta akan berperan besar dalam menentukan PAD yang diterima Pemerintah Kota Yogyakarta karena 31% dari PAD Kota Yogyakarta merupakan PAD yang diperoleh dari sektor pariwisata. Dengan demikian efek bola salju pengganda (multiplier effect) pariwisata terhadap perekonomian masyarakat Kota Yogyakarta sangat besar. Implikasi Bagi Ekonomi Yogyakarta Catatan atas tingkat kunjungan wisatawan ke Yogyakarta dalam kurun ke depan diharapkan mengalami peningkatan yang signifikan sehingga dapat mencapai angka 2.500.000 pada tahun 2011. Menunjukkan kinerja yang efektif dari skema kebijakan yang telah dirancang dan dilaksanakan sehingga berani menyusun target sekurangnya 10% diantaranya adalah wisatawan mancanegara. Pada tahun 2011 diharapkan lama tinggal wisatawan di kota Yogyakarta
meningkat
menjadi
2,5
hari.
Dengan
berkembangnya
kepariwisataan di kota Yogyakarta akan meningkatkan perekonomian masyarakat sehingga PAD yang diterima Pemerintah Kota Yogyakarta dari sektor pariwisata akan mengalami peningkatan ≥10% setiap tahunnya. Selama empat tahun terakhir pertumbuhan PAD sebesar 12%, sedangkan pajak daerah tumbuh 10%, retribusi daerah tumbuh 15%, besar kecilnya PAD ditentukan oleh jumlah jenis pajak dan retribusi, besar kecilnya basis/tarif pajak dan retribusi serta pertumbuhan perekonomian daerah. Pertumbuhan ekonomi Provinsi DIY pada tahun 2010 yang diukur dari kenaikan nilai PDRB atas dasar harga konstan pada tahun 2010 mencapai Rp21,04 triliun, sedangkan pada tahun 2009 sebesar Rp20,06 triliun. Bila dilihat berdasarkan harga berlaku, PDRB tahun 2010 naik sebesar Rp4,18
123
triliun, dari Rp41,41 triliun pada tahun 2009 menjadi sebesar Rp45,59 triliun pada tahun 2010. Selama tahun 2010, hampir semua sektor ekonomi yang membentuk PDRB mengalami pertumbuhan, terjadi pada sektor keuangan, real estate dan jasa perusahaan yang mencapai 7,87%; diikuti oleh sektor industri pengolahan 7,00%; sektor jasa ‐ jasa 6,44%; dan komunikasi 5,50%; sektor perdagangan, hotel dan restoran 5,09%. Realisasi
PAD
pada
tahun
2010
mencapai
nilai
sebesar
Rp179.423.640.058,00 atau 102,02 persen dari target yang ditetapkan yaitu Rp175.872.008.293,00.
Realisasi
penerimaan
dari
seluruh
sumber
Pendapatan Asli Daerah dapat memenuhi dan bahkan melebihi target, kecuali yang bersumber dari Lain-lain PAD. Penerimaan Pajak Daerah mencapai sebesar Rp 78.254.579.242,00 atau 104,06% dari target yang ditetapkan. Untuk Retribusi Daerah tercapai penerimaan sebesar Rp 32.214.650.779 atau 109,23% dari target yang ditetapkan. Pada tahun 2010, penerimaan Pajak Daerah mencapai Rp 78.254.579.242,00 atau 43,61% dari total PAD. Penerimaan pajak ini terutama berasal dari Pajak Hotel serta Pajak Penerangan Jalan. Strategi yang sama dengan Surakarta, juga berlaku diProvinsi DIY yang berupaya juga untuk meningkatkan wisata MICE mengingat banyaknya hotel/tempat pertemuan yang mendukung pelaksanaannya. Permintaan akan wisata MICE terus meningkat dari tahun ke tahun dengan rata‐rata 13 kali pertemuan dalam sehari atau 4.700 kali per tahun. Karena potensi tersebut DIY mendapat penghargaan dari Majalah Venue sebagai Daerah Tujuan Wisata MICE Terbaik 2009. Kepariwisataan di kota Yogyakarta merupakan salah satu lokomotif perekonomian daerah, sehingga potensi dan peluang pariwisata senantiasa terus dikembangkan dan ditingkatkan keberadaannya. Dalam kurun 5 tahun sektor pariwisata mengalami fluktuasi kunjungan wisatawan dikarenakan faktor eksternal. Pada tahun 2004 wisatawan yang berkunjung ke Kota Yogyakarta sebanyak 1.800.000 orang sementara pada tahun 2005 mengalami penurunan menjadi sebesar 1.600.000 orang (Dinas
124
Pariwisata, Seni dan Budaya Kota Yogyakarta, 2006). Dari jumlah tersebut 9,8% diantaranya adalah wisatawan mancanegara. Hal ini menunjukkan bahwa kelompok wisatawan yang paling banyak berkunjung ke kota Yogyakarta adalah (LKPJ, 2010 : 8). Semua pola kepariwisataan di kota Yogyakarta berperan besar dalam menentukan PAD yang diterima Pemerintah Kota Yogyakarta karena 31% dari PAD kota Yogyakarta merupakan PAD yang diperoleh dari sektor pariwisata. Dengan demikian efek
bola
salju
pengganda
(multiplier
effect)
pariwisata
terhadap
perekonomian masyarakat Yogyakarta sangat besar. Penutup Otonomi daerah dalam implementasinya membuka ruang yang sangat luas bagi daerah, berbagai skema inovasi bagi pengembangan daerah serentak dirancang, dianggarkan untuk kemudian direalisasikan dalam sebuah semangat kebaharuan. Dinamika kota pasca pelaksananan otonomi daerah mempuanyai kewenangan untuk mengembangkan kebijakan berbasis kebutuhan lokal. Diantara beragam strategi yang ada, pengembangan pariwisata menjadi lokomotif atas pengembangan kota, spirit untuk mengembalikan kota sebagai kota yang beridentitas budaya dan pariwisata yang menjadi spirit kolektif. Terintegrasinya sektor pariwisata menjadi bukti bahwa pariwisata telah memasuki sebuah fase yang lebih maju yaitu penata kelolaan yang lebih baik dan melibatkan pihak ketiga (dunia usaha) menjadi bagian dari perkembangan pariwisata. Ketegasan dan komitmen kepemimpinan yang jelas mempunyai visi dan misi untuk mengembangkan skema pengelolaan kota sebagai wisata secara permanen dapat menjadi rujukan bagi program bagi pengembangan pariwisata di kota-kota Indonesia. Berbagai event wisata dalam berbagai lapis segmen dikreasikan untuk menstimulasi kunjungan wisata : seni, budaya, performance, conference maupun meeting.
Komitmen tersebut
mesti ditopang pula dengan kemauan untuk mengembangkan terlebih
125
dahulu fasilitas yang ada, merevitalisasi aset-aset kota dilakukan dalam rangka repacking-konservasi, untuk kemudian penguatan stake holder untuk menjadi bagian dari kerja kolektif mempromosikan wisata kota, dan kesemua agenda-agenda tersebut bersambut dengan antusiasme warga yang kemudian terlibat secara aktif didalamnya. Daftar Bacaan Ary Noor, 2007. Globalisasi Industri MICE. Alfabetha Akhmad Ramdhon, 2010. Dinamika Kota-Dekade Otonomi : Studi Kasus Surakarta. DIPA PNBP FISIP UNS Data Sistem Informasi Profil Daerah 2009 : Pemkot Surakarta 2008 Dexter, Gail. 1999. The Power of Cultural Tourism. Lord Management Daerah Istimewa Yogyakarta Dalam Angka 2010, BPS DIY Garber, Nathan Associates. 2006. Strategic Planning Model & Terminology Kajian Pasar dan Basis Data Wisata MICE Solo. RED GTZ 2009 Kusmayadi-Endar Sugiarto, 2000. Metodologi Penelitian Dalam Bidang Kepariwisataan. Gramedia Laporan Keterangan Pertanggungjawaban Akhir 2010 : Pemkot 2010 Maitland, Robert. 2009. City Tourism, National Capital Perspective. CABI Mullins, Patrick-Etc. Cities and Consumption Spaces. Urban Affairs, 1999. Sage Publication Undang-Undang No. 10 Tahun 2009 tentang Pariwisata Spillane, J James. 1994, Pariwisata Indonesia : Siasat Ekonomi dan Rekayasa Kebudayaan. Kanisiu-Realino Soekadijo, RG. 1997, Anatomi Pariwisata : Memahami Pariwisata Sebagai Systemic Linkage. Gramedia Marie Merthens, Jana. 2008, Regional Marketing, an Inovative Approach in the Context of Local and Regional Economic Development. GTZ RED Marie Merthens, Jana. 2008. Brand Development for The provincie of Central Java, Process Documentation. GTZ Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah 2005-2025 : Pemkot Surakarta 2005 Rencana Induk Pengembangan Pariwisata Daerah Propinsi Istimewa Yogyakarta : Perda Propinsi DI Yogyakarta, No 1 Tahun 2012
126
Rencana Induk Pengembangan Pariwisata Daerah Propinsi Istimewa Yogyakarta : Perda Propinsi DI Yogyakarta, No 4 Tahun 1999 Rencana Aksi Daerah, Peningkatan Pertumbuhan Ekonomi dan Pendapatan Daerah Kota Yogyakarta 2007-2011 : Keputusan Walikota Yogyakarta, No. 617 Tahun 2007 Rencana Aksi Daerah, Pengembangan Pariwisata Berbasis Budaya Daerah Kota Yogyakarta 2007-2011 : Keputusan Walikota Yogyakarta, No. 557 Tahun 2007
127