ANALISIS KAPASITAS FISKAL KOTA STUDI KOMPARASI KOTA YOGYAKARTA DAN KOTA AMBON
Disusun oleh: Nama Peneliti NIP Pangkat / Golongan Jabatan
: : : :
Roberto Akyuwen 630008860 Pembina / IV/a Widyaiswara Madya
BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA JAKARTA 2013
KATA PENGANTAR Puji syukur dipanjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, karena hanya atas perkenanNya, penulisan kajian akademis ini dapat diselesaikan. Kapasitas fiskal daerah dipilih sebagai topik kajian akademis mengingat peran daerah yang semakin besar dalam pembangunan di Indonesia. Jumlah dana yang ditransfer ke daerah semakin besar dari waktu ke waktu, sehingga menuntut kinerja pemerintah daerah yang semakin tinggi untuk secara sistematis mengurangi ketergantungan kepada pemerintah pusat. Kota Yogyakarta dan Kota Ambon dipilih sebagai obyek penelitian dengan pertimbangan bahwa banyak kota di Indonesia dengan kapasitas fiskal yang terbatas seperti kedua kota ini harus menghadapi tekanan kota yang semakin besar. Isi kajian akademis ini pada dasarnya terdiri dari lima bagian, yaitu pendahuluan, tinjauan pustaka, cara penelitian, hasil penelitian dan pembahasan, serta kesimpulan dan saran. Alur penulisan pada setiap bagian diupayakan untuk dituliskan secara terstruktur dan dengan gaya bahasa yang sederhana, serta dilengkapi dengan data yang relevan, sehingga memudahkan pembaca dalam mengikuti pemikiran penulis. Di samping itu, pembaca diharapkan dapat dengan mudah menemukan benang merah dari isi kajian akademis ini. Sejak memulai proses persiapan, melakukan penelitian lapangan, hingga menuliskan kajian akademis ini, penulis telah mendapatkan bantuan dari banyak pihak. Untuk itu, penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada pimpinan dan jajaran Sekretariat Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan (BPPK), khususnya Bagian Organisasi dan Tata Laksana (OTL), serta pimpinan dan rekan-rekan di Balai Pendidikan dan Pelatihan Keuangan (BDK) Yogyakarta. Rasa terima kasih disampaikan pula kepada penguji, pembimbing, nara sumber, pengolah data, dan responden yang telah berkontribusi terhadap kajian akademis ini. Peneliti menyadari sepenuhnya bahwa kajian akademis ini masih jauh dari sempurna, sehingga berbagai masukan sangat diharapkan untuk perbaikan penelitian dan penulisan naskah ilmiah di masa mendatang.
Yogyakarta, 11 Desember 2013
Penulis, Roberto Akyuwen
ii
DAFTAR ISI HALAMAN SAMPUL ............................................................................................. i KATA PENGANTAR ............................................................................................ ii DAFTAR ISI ......................................................................................................... iii DAFTAR TABEL ..................................................................................................iv DAFTAR GAMBAR .............................................................................................. v DAFTAR SINGKATAN .........................................................................................vi BAB 1 PENDAHULUAN ..................................................................................... 1 1.1. Latar Belakang ................................................................................. 1 1.2. Rumusan Masalah ............................................................................ 5 1.3. Ruang Lingkup ................................................................................. 6 1.4. Tujuan .............................................................................................. 7 1.5. Manfaat ............................................................................................ 7 BAB 2 LANDASAN TEORI ................................................................................. 9 2.1. Tinjauan Pustaka .............................................................................. 9 2.1.1. Definisi Kapasitas Fiskal......................................................... 9 2.1.2. Pentingnya Kapasitas Fiskal Kota ........................................ 17 2.1.3. Hasil-Hasil Penelitian Sebelumnya ....................................... 19 2.2.Kerangka Pemikiran Teoritis ............................................................ 27 BAB 3 METODA KAJIAN AKADEMIS .............................................................. 31 3.1. Jenis Penelitian .............................................................................. 31 3.2. Jenis dan Sumber Data .................................................................. 32 3.3. Definisi Operasional Variabel.......................................................... 33 3.4. Metoda Analisis Data ...................................................................... 35 BAB 4 PROFIL KOTA YOGYAKART DAN KOTA AMBON ............................... 37 4.1. Profil Kota Yogyakarta .................................................................... 37 4.2. Profil Kota Ambon........................................................................... 47 BAB 5 PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH KOTA YOGYAKARTA DAN KOTA AMBON .............................................................................. 53 5.1. Gambaran Umum APBD ................................................................ 53 5.2. Pendapatan Daerah ....................................................................... 56 5.3. Belanja Daerah ............................................................................... 71 5.4. Pembiayaan Daerah ....................................................................... 74 5.5. Kondisi Kemiskinan ........................................................................ 73 5.6. Pemahaman Kapasitas Fiskal Daerah ............................................ 76 BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN.................................................................. 77 6.1. Kesimpulan..................................................................................... 77 6.2. Saran.............................................................................................. 78 DAFTAR PUSTAKA .............................................................................. 80
DATA DIRI PENELITI
iii
DAFTAR TABEL No.
Tabel
Halaman
4.1.
PDRB Kota Yogyakarta Atas Dasar Harga Berlaku dan Konstan Tahun 2008-2012 .............................................................. 41
4.2.
Perbandingan Pertumbuhan Ekonomi Kota Yogyakarta, Provinsi DI Yogyakarta, dan Indonesia Tahun 2009-2012 ...................... 43
4.3.
Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin di Kota Yogyakarta Tahun 2008-2011 ................................................................................... 46
4.4.
PDRB Kota Ambon Atas Dasar Harga Berlaku dan Konstan Tahun 2008-2012 .............................................................. 49
4.5
Jumlah dan Peserta Penduduk Miskin di Kota Ambon Tahun 2008-2012 ................................................................................... 52
5.1.
Perbandingan Anggaran dan Realisasi Pendapatan, Belanja, dan Surplus/Defisit Kota Yogyakarta dan Kota Ambon Tahun Anggaran 2010-2012................................................................... 54
5.2.
Perbandingan Anggaran dan Realisasi Pendapatan Daerah Kota Yogyakarta dan Kota Ambon Tahun Anggaran 2010-2012 ............ 57
5.3.
Perbandingan Anggaran dan Realisasi Komponen Dana Perimbangan Kota Yogyakarta dan Kota Ambon Tahun Anggaran 2010-2012 ............ 63
5.4.
Perbandingan Anggaran dan Realisasi Belanja Pegawai Kota Yogyakarta dan Kota Ambon Tahun Anggaran 2010-2012 ............ 72
5.5.
Perbandingan Anggaran dan Realisasi Pembiayaan Daerah Kota Yogyakarta dan Kota AmbonTahun Anggaran 2010-2012 ............. 75
iv
DAFTAR GAMBAR No.
Gambar
Halaman
2.1.
Kerangka Pemikiran Teoritis .................................................................. 29
4.1.
Peta Kota Yogyakarta ............................................................................ 37
4.2.
Pertumbuhan Ekonomi Kota Yogyakarta Tahun 2006-2012 ................... 42
4.3.
Pertumbuhan Ekonomi Kota Ambon Tahun 2008-2012.......................... 50
5.1.
Kontribusi Komponen Pendapatan terhadap Total Pendapatan Daerah Kota Yogyakarta Tahun 2010-2012 .............. 60
5.2.
Kontribusi Komponen Pendapatan terhadap Total Pendapatan Daerah Kota Ambon Tahun 2010-2012 ..................... 61
5.3.
Kontribusi Komponen Dana Perimbangan terhadap Total Dana Perimbangan Kota Yogyakarta Tahun 2010-2012 .................................. 65
5.4.
Kontribusi Komponen Dana Perimbangan terhadap Total Dana Perimbangan Kota Ambon Tahun 2010-2012 ........................................ 66
v
DAFTAR SINGKATAN APBD APBN BDK BP BPD BPHTB BPPK BPS BUMD DAK DAU DBH DIY DJPK IKF IMB IPM JPM KF KMS KTP LPDS OLS PAD PBB PDAM PD BPR PDRB PMK PNS PNSD PPh PT RKPD RSUD RTRW SDA SDM SILPA SKPD TACIR TKPKD
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Balai Diklat Keuangan Belanja Pegawai Bank Pembangunan Daerah Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan Badan Pusat Statistik Badan Usaha Milik Daerah Dana Alokasi Khusus Dana Alokasi Umum Dana Bagi Hasil Daerah Istimewa Yogyakarta Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Indeks Kapasitas Fiskal Ijin Mendirikan Bangunan Indeks Pembangunan Manusia Jumlah Penduduk Miskin Kapasitas Fiskal Kartu Menuju Sejahtera Kartu Tanda Penduduk Lain-Lain Pendapatan Daerah Yang Sah Ordinary Least Squares Pendapatan Asli Daerah Pajak Bumi dan Bangunan Perusahaan Daerah Air Minum Perusahaan Daerah Bank Perkreditan Rakyat Produk Domestik Regional Bruto Peraturan Menteri Keuangan Pegawai Negeri Sipil Pegawai Negeri Sipil Daerah Pajak Penghasilan Perseroan Terbatas Rencana Kerja Pemerintah Daerah Rumah Sakit Umum Daerah Rencana Tata Ruang Wilayah Sumber Daya Alam Sumber Daya Manusia Sisa Lebih Perhitungan Anggaran Tahun Sebelumnya Satuan Kerja Perangkat Daerah Tennessee Advisory Commission on Intergovernmental Relations Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Daerah
vi
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Pembangunan nasional dewasa ini telah berkembang menjadi fenomena pembangunan daerah. Mengapa dapat dikatakan demikian? Penyelesaian berbagai masalah pembangunan di tingkat nasional, seperti masih tingginya pengangguran, kemiskinan, dan disparitas, sangat ditentukan oleh akumulasi kinerja pembangunan di tingkat daerah yang terdiri dari provinsi, kabupaten, dan kota. Apabila segenap perangkat daerah mampu memanfaatkan sumber daya yang bersumber dari pusat maupun yang tersedia di daerah sendiri secara optimal, maka indikatorindikator pembangunan di berbagai bidang juga dapat dicapai dengan baik, dan demikian pula sebaliknya. Setelah implementasi otonomi daerah dan desentralisasi lebih dari satu dekade yang lalu, peran kabupaten dan kota menjadi semakin menonjol jika dibandingkan dengan provinsi. Peran yang semakin menonjol membawa konsekuensi bahwa kiprah kabupaten dan kota akan sangat mempengaruhi kinerja pembangunan nasional. Agar peran yang diberikan dapat dijalankan secara optimal, khususnya dalam rangka meningkatkan pembangunan dan kesejahteraan rakyat, maka dibutuhkan sumber daya yang tersedia secara mencukupi, khususnya sumber daya manusia
dan
anggaran.
Blakely
dan
Bradshaw
(2002:
55)
memformulasikan pembangunan ekonomi daerah sebagai kombinasi di antara kapasitas dan sumber daya daerah. Selanjutnya, dijelaskan bahwa sumber daya utama untuk pembangunan ekonomi daerah terdiri dari material, sumber daya manusia, pasar, manajemen, dan uang (Blakely dan Bradshaw, 2002: 173).
1
ANALISIS KAPASITAS FISKAL KOTA STUDI KOMPARASI KOTA YOGYAKARTA DAN KOTA AMBON
Kajian akademis ini difokuskan pada kemampuan sumber daya keuangan di wilayah perkotaan. Kemampuan keuangan yang dimaksud terkait dengan dua aspek. Pertama, kemampuan pemerintah kota untuk menyediakan dana dalam jumlah mencukupi untuk membiayai seluruh kebutuhan administrasi pemerintahan, pelaksanaan pembangunan, dan pelayanan publik. Kedua, idealnya, dana mampu disediakan secara mandiri oleh pemerintah kota dengan mengoptimalkan sumber-sumber pendapatan kota. Kemandirian akan mengurangi ketergantungan fiskal pemerintah kota terhadap pemerintah provinsi maupun pemerintah pusat dan sekaligus akan meningkatkan fleksibilitas pemerintah kota dalam mengelola keuangan kota sesuai dengan kebutuhan riil. Lebih dari 20 tahun lalu, Bahl dan Linn (1992: 1) telah mengingatkan bahwa “the problem of urban growth has taken on national significance in most developing countries”. Diuraikan lebih lanjut bahwa salah satu persoalan utama yang dihadapi oleh pemerintah kota adalah ketidakmampuan untuk menemukan cara yang efisien dalam mengelola dan membiayai pertumbuhan kota. Dengan kondisi seperti ini, maka menurut Bahl dan Linn (1992: 2): “The fiscal problem of cities will sooner or later occupy more of the attention of central government policymaker, because urbanization will continue to bring pressures on central governments to improve public services in cities.”
2
BAB 1 PENDAHULUAN
Desentralisasi fiskal yang telah ditempuh oleh Pemerintah Indonesia
diharapkan
dapat
mengeliminasi
kekhawatiran
yang
dikemukakan tersebut. Namun, kebijakan umum transfer ke daerah sepertinya belum sesuai dengan yang diharapkan. Kapasitas fiskal yang meningkat dan berkurangnya kesenjangan di antara pusat dan daerah dan antardaerah, termasuk dalam konteks kota, belum sepenuhnya dapat dicapai. Sebagai akibatnya, kebanyakan pemerintah kota belum mampu meningkatkan
kualitas
pelayanan
publik,
mendorong
tumbuhnya
perekonomian kota, mendukung kesinambungan fiskal nasional, dan melakukan sinkronisasi antara rencana pembangunan nasional dengan rencana pembangunan daerah. Kapasitas fiskal merupakan salah satu indikator yang dapat digunakan
untuk
mendapatkan
gambaran
mengenai
kemampuan
keuangan kota yang dicerminkan melalui penerimaan umum Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) untuk membiayai tugas pemerintahan setelah dikurangi dengan belanja pegawai dan dikaitkan dengan jumlah penduduk miskin (pasal 1 butir 2 Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 226/PMK.07/2012 tentang Peta Kapasitas Fiskal Daerah). Banyak buku teks keuangan publik menuliskan bahwa pemanfaatan fiskal kota yang optimal sangat ditentukan oleh kemampuan
pemerintah
kota
dalam
mengelola
tanggung
jawab
belanjanya, peningkatan penerimaan, dan otonomi fiskal. Prasyarat yang harus ada ini(necessary condition) secara bertahap telah diarahkan oleh pemerintah pusat melalui Direktorat Jenderal Perimbangan, Kementerian Keuangan.
Titik
berat
desentralisasi
fiskal
diletakkan
pada
sisi
3
ANALISIS KAPASITAS FISKAL KOTA STUDI KOMPARASI KOTA YOGYAKARTA DAN KOTA AMBON
pengeluaran, yaitu kewenangan daerah didanai terutama melalui transfer ke daerah. Dana yang ditransfer disertai dengan diskresi yang cukup luas untuk menggunakannya dan didukung dengan penguatan local taxing power. Semua upaya yang ditempuh pemerintah pusat pada dasarnya diarahkan untuk mengurangi kesenjangan fiskal dan memperbaiki pemerataan agar daerah dapat memberikan pelayanan publik kepada masyarakat sesuai dengan kondisi yang dihadapi di daerah. Namun, dengan adanya pengaruh dari berbagai faktor, maka kebanyakan kota di Indonesia ternyata belum memiliki kapasitas dan kemandirian fiskal sesuai dengan yang diharapkan. Kondisi ini secara langsung maupun tidak langsung akan mempengaruhi kemampuan pemerintah kota dalam menjalankan
tugas
dan
fungsinya
di
bidang
pemerintahan,
pembangunan, dan pelayanan publik. Kajian akademis ini berupaya untuk mencermati kondisi tersebut dengan mengamati kapasitas fiskal pada dua kota yang memiliki karakteristik yang berbeda, yaitu Kota Yogyakarta dan Kota Ambon. Temuan-temuan yang dihasilkan tidak dirahkan untuk mengeneralisasi kondisi kapasitas fiskal untuk seluruh kota di Indonesia, namun bersifat kasuistik, karena setiap kota pada dasarnya menghadapi persoalan fiskalnya yang unik. Sedangkan pemilihan Kota Yogyakarta dan Kota Ambon dilandasi oleh pertimbangan bahwa kedua kota memiliki keterbatasan dalam sumber-sumber pendapatan dikarenakan ukuran atau luas wilayah kota yang relatif kecil. Keterbatasan pendapatan di kedua kota dihadapkan dengan tekanan atau beban kota yang tinggi,
4
BAB 1 PENDAHULUAN
sehingga pemanfaatan anggaran harus dilakukan dengan optimal agar mampu
memenuhi
semua
kebutuhan
pemerintahan,
fasilitas
pembangunan, dan pelayanan publik. Selain itu, dari karakteristik geografinya, Kota Yogyakarta dapat digunakan sebagai representasi dari kota-kota yang berada sepenuhnya di dalam pulau atau daratan (tidak memiliki pantai), sedangkan Kota Ambon dapat mewakili kota-kota pulau (khususnya pulau kecil) atau kota-kota yang berlokasi di kawasan pesisir.
1.2.
Rumusan Masalah Suatu kota mengalami perkembangan yang sangat dinamis, sehingga membutuhkan kemampuan pemerintah kota yang mumpuni untuk mengelolanya agar kota dapat berkembang secara berkualitas. Peran pemerintah kota pada dasarnya terkait dengan penataan ruang dan pemenuhan kebutuhan/layanan publik, baik yang bersifat fisik maupun non fisik. Untuk menjalankan peran secara optimal, pemerintah kota membutuhkan dukungan sumber daya yang memadai, termasuk didalamnya kemampuan keuangan kota, yang tergambar dari kapasitas fiskalnya. Dalam faktanya, banyak kota di Indonesia yang memiliki kapasitas fiskal yang terbatas, dan diperburuk dengan kemandirian fiskal yang rendah. Kota Yogyakarta dan Kota Ambon adalah dua kota yang memiliki karakteristik yang berbeda, namun menghadapi permasalahan yang dimaksud. Sebagai kota pelajar dan sekaligus kota wisata budaya, Pemerintah Kota Yogyakarta menghadapi tekanan yang semakin berat dari waktu ke waktu dalam mengelola kotanya, seiring dengan
5
ANALISIS KAPASITAS FISKAL KOTA STUDI KOMPARASI KOTA YOGYAKARTA DAN KOTA AMBON
meningkatnya populasi manusia dan tingginya aktivitas sosial dan ekonomi
masyarakat.
Sedangkan
Kota
Ambon
telah
mengalami
kemunduran sosial dan ekonomi yang signifikan pasca terjadinya kerusuhan yang berkepanjangan sekitar 15 tahun yang lalu dan belum sepenuhnya pulih hingga saat ini. Kedua kota seharusnya memiliki kapasitas fiskal yang memadai untuk keperluan yang berbeda, namun dalam kenyataannya menghadapi situasi kapasitas dan kemandirian fiskal yang rendah.
1.3.
Ruang Lingkup Kajian akademis ini diarahkan untuk menganalisis komponenkomponen yang termuat di dalam formula kapasitas fiskal sesuai Peraturan
Menteri
Keuangan
Republik
Indonesia
Nomor
244/PMK.07/2011 tentang Peta Kapasitas Daerah. Komponen-komponen yang dimaksud terdiri dari kapasitas fiskal, pendapatan asli daerah, dana bagi hasil, dana alokasi umum, lain-lain pendapatan daerah yang sah, belanja pegawai, dan jumlah penduduk miskin. Analisis terhadap kapasitas fiskal daerah difokuskan pada dua wilayah, yaitu Kota Yogyakarta dan Kota Ambon, dengan waktu penelitian berkisar enam bulan.
Dengan
menetapkan
lokasi
penelitian
pada
dua
kota
memungkinkan peneliti untuk melakukan komparasi, meskipun hasil penelitian tidak dapat merepresentasikan kondisi semua kota di Indonesia yang masing-masing memiliki karakteristik yang unik.
6
BAB 1 PENDAHULUAN
1.4.
Tujuan Kajian akademis ini ditujukan untuk membandingkan komponenkomponen dalam formula kapasitas fiskal di antara Kota Yogyakarta dan Kota Ambon.
1.5.
Manfaat Manfaat yang diharapkan dari kajian akademis ini adalah: (1) memperkaya khazanah penelitian empirik mengenai kapasitas fiskal yang merupakan bagian dari teori keuangan publik; (2) memberikan masukan kepada Pemerintah Kota Yogyakarta dan Kota Ambon mengenai upaya-upaya yang perlu ditempuh dalam rangka meningkatkan kapasitas fiskal masing-masing kota; (3) memberikan masukan kepada Direktorat Jenderal Perimbangan, Kementerian Keuangan mengenai hal-hal yang harus diperhatikan dalam melakukan pembinaan dan mendorong pemerintah kota di Indonesia untuk meningkatkan kapasitas fiskalnya; serta (4) menjadi referensi bagi penelitian selanjutnya di bidang yang terkait.
7
ANALISIS KAPASITAS FISKAL KOTA STUDI KOMPARASI KOTA YOGYAKARTA DAN KOTA AMBON
8
BAB 2 LANDASAN TEORI
2.1.
Tinjauan Pustaka
2.1.1. Definisi Kapasitas Fiskal Buku-buku teks ilmu ekonomi mendefinisikan kapasitas fiskal sebagai kemampuan kelompok, lembaga, dan lain sebagainya untuk menciptakan penerimaan atau pendapatan. Selanjutnya, dituliskan bahwa kapasitas fiskal pemerintah tergantung pada beragam faktor, seperti kapasitas industri, kekayaan sumber daya alam, dan pendapatan perseorangan.Kapasitas fiskal sering dikaitkan pula dengan sektor tertentu, misalnya sebagai kemampuan pemerintah daerah untuk membiayai
pendidikan
dari
sumber-sumber
pajak
yang
tersedia.Penentuan kapasitas fiskal merupakan tahap yang penting ketika pemerintah sedang mengembangkan kebijakan fiskal. Hasil perhitungan kapasitas fiskal akan memberikan gambaran bagi pemerintah mengenai berbagai program dan layanan yang dapat disediakan bagi masyarakat. Selain itu, data dan informasi mengenai kapasitas fiskal dapat membantu pemerintah dalam menentukan tarif pajak. Compson dan Navratil (1997: 3-4) mendefinisikan kapasitas fiskal sebagai kemampuan suatu daerah untuk meningkatkan penerimaan dari berbagai sumber daya yang dimilikinya. Ditambahkan bahwa terdapat beragam cara pengukuran yang digunakan untuk mengestimasi kapasitas fiskal suatu daerah dan masing-masing cara memiliki keterbatasan.Lebih lanjut
dikemukakan
bahwa
terdapat
dua
kategori
umum
untuk
pengukuran kapasitas fiskal, yaitu indeks sumber daya ekonomi atau
9
ANALISIS KAPASITAS FISKAL KOTA STUDI KOMPARASI KOTA YOGYAKARTA DAN KOTA AMBON
pendapatan
daerah
dan
indeks
penerimaan
relatif
yang
dapat
ditingkatkan di bawah suatu standar kebijakan fiskal. Sedangkan Gerry dan Mickiewicz (2006: 2) mendefinisikan kapasitas fiskal secara singkat sebagai kemampuan daerah untuk meningkatkan pajak secara efisien. Secara umum, terdapat dua jenis kapasitas fiskal, yaitu kapasitas fiskal absolut dan kapasitas fiskal relatif. Kapasitas fiskal absolut yang diusulkan oleh Samuel Aaron Gurwitz pada tahun 1979 merupakan suatu jenis kapasitas fiskal jangka panjang (long-run). Definisinya adalah “the maximum present value of revenue that can be raised over time by the governments serving agiven area”. Gurwitz mendefinisikan penerimaan maksimum berkelanjutan sebagai jumlah penerimaan pajak yang dapat diraih oleh suatu kota atau daerah pada periode yang tidak terbatas, tanpa mengurangi tingkat basis pajak. Konsep ini mengindikasikan prinsip netralitas. Kapasitas fiskal relatif merupakan konsep yang berbeda, karena mengacu
pada
periode
tertentu,
yaitu
periode
fiskal
saat
ini.
Perhitungannya ditentukan oleh standarisasi yurisdiksi nilai pendapatan, kekayaan, atau ukuran produktivitas ekonomi lainnya per kapita. Indikator-indikator yang digunakan di dalam kapasitas fiskal relatif meliputi pendapatan, nilai properti, dan rata-rata pungutan pajak penjualan. Konsep ini digunakan secara luas oleh para penganut aliran keuangan publik. Sebagian peneliti meyakini bahwa tidak terdapat konsensus yang pasti mengenai pengukuran kapasitas fiskal yang sesuai. Dalam studinya
10
BAB 2 LANDASAN TEORI
pada tahun 1986, Stephen M. Barro mengajukan enam proposisi berikut ini yang membentuk definisi teoritis dari kapasitas fiskal. (1)
Kapasitas fiskal merupakan atribut dari suatu wilayah dan bukan suatu unit pemerintahan. Semua pemerintah daerah diperlakukan sebagai bagian dari keseluruhan.
(2)
Kapasitas fiskal diterapkan pada sumber penerimaan sendiri.
(3)
Kapasitas
fiskal
bersifat
relatif.
Terminologi kapasitas
tidak
menandakan suatu batas atas absolut terhadap penerimaan yang dapat diperoleh suatu negara, melainkan menyinggung penerimaan relatif per kapita yang diperoleh pada kondisi tertentu. (4)
Kapasitas fiskal mengacu pada nilai nominal dibandingkan daya beli.
(5)
Kapasitas fiskal mengacu pada suatu titik waktu tunggal.
(6)
Kapasitas fiskal bersifat independen terhadap pilihan-pilihan fiskal dan ekonomi.
Dengan
memperhatikan
keenam
proposisi,
maka
Barro
dapat
mendefinisikan kapasitas fiskal sebagai: "The relative per capitarevenue that the state would raise, given its per capita economic income and its tax exportation rate,if no federal aid existed, and if all other (noncapacity) influences were held constant at their national averagevalues”.
Menurut Yilmaz, et al (2006), “The fiscal capacity of a state is the state‟s revenue capacity relative to its expenditure need”. Ditambahkan bahwa suatu negara bagian dengan kapasitas fiskal yang rendah memiliki
11
ANALISIS KAPASITAS FISKAL KOTA STUDI KOMPARASI KOTA YOGYAKARTA DAN KOTA AMBON
basis penerimaan yang relatif kecil, atau kebutuhan pengeluaran yang tinggi, atau kombinasi dari keduanya. Namun demikian, diingatkan bahwa kapasitas fiskal yang rendah tidak selamanya mengimplikasikan posisi fiskal yang lemah. Negara bagian dengan kapasitas fiskal yang rendah dapat menjaga kesehatan fiskalnya, yaitu dengan mengatur agar penerimaan sama dengan pengeluaran. Negara yang bersangkutan dapat mengupayakan penerimaan yang tinggi, pengeluaran aktual yang rendah, atau melalui transfer dari pemerintah federal. Negara-negara bagian dengan kapasitas fiskal yang rendah pada umumnya
kurang
mampu
menghadapi
goncangan
ekonomi,
sebagaimana dicontohkan pada kasus Badai Katrina yang melanda Louisiana,
Mississipi,
dan
Alabama.
Perbedaan
kapasitas
fiskal
antarnegara bagian menunjukkan adanya disparitas fiskal di dalam negara. Kesenjangan kapasitas fiskal, atau perbedaan di antara kapasitas penerimaan dan kebutuhan pengeluaran, mengukur seberapa banyak upaya
penerimaan
yang
dibutuhkan
untuk
menutupi
kebutuhan
pengeluaran dari negara bagian tertentu. Kesenjangan ini dapat dikurangi melalui transfer dari pemerintah federal atau dengan melakukan pinjaman. Salah satu definisi terkini dari kapasitas fiskal dipublikasikan oleh The
Tennessee
Advisory
Commission
on
Intergovernmental
Relations(TACIR) pada tanggal 20 Juni 2012. Menurut lembaga ini, “Fiscal capacity is a measure of the potential ability of a particular government to generate revenue from their own sources relative to other similar governments”.Indikator kapasitas fiskal terutama digunakan untuk
12
BAB 2 LANDASAN TEORI
melakukan analisis daerah, kebijakan daerah, analisis kebijakan fiskal komparatif, dan kebijakan keseimbangan fiskal. Terdapat delapan prinsip yang dipertimbangkan oleh TACIR untuk menghitung kapasitas fiskal. (1)
Fiscal capacity should beestimated from acomprehensive, balanced taxbase.
(2)
Fiscal capacity should focus on economic bases ratherthan policy determinedrevenue bases.
(3)
Tax base estimates should beas current and accurate aspossible.
(4)
Similarly situated taxpayersshould be treated similarly interms of taxes paid and theservices received.
(5)
Tax exportability should bemeasured—resident taxpayersin different jurisdictionsshould have similar fiscal burdens.
(6)
Fiscal capacity measuresshould reflect serviceresponsibilities that varyacross jurisdictions.
(7)
Estimates should be based onmulti-year averages tomitigate data and statisticalerrors.
(8)
Fiscal capacity should reflectadjustments for variables thatcause differential costs. Di Indonesia, definisi kapasitas fiskal dikaitkan secara langsung
dengan kemampuan keuangan daerah yang mencakup provinsi, kabupaten, dan kota. Pada pasal 1 butir 2 PMK No. 226/PMK.07/2012 dituliskan
bahwa
kapasitas
fiskal
adalah
gambaran
kemampuan
keuangan masing-masing daerah yang dicerminkan melalui penerimaan umum Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (tidak termasuk dana alokasi khusus, dana darurat, dana pinjaman lama, dan penerimaan lain
13
ANALISIS KAPASITAS FISKAL KOTA STUDI KOMPARASI KOTA YOGYAKARTA DAN KOTA AMBON
yang penggunaannya dibatasi untuk membiayai pengeluaran tertentu) untuk membiayai tugas pemerintahan setelah dikurangi belanja pegawai dan dikaitkan dengan jumlah penduduk miskin. Setiap tahun, kapasitas fiskal dihitung untuk semua daerah, sehingga diperoleh peta kapasitas fiskal provinsi dan peta kapasitas fiskal kabupaten/kota beserta indeksnya. Formula yang digunakan untuk menghitung kapasitas fiskal daerah adalah sebagai berikut: 𝐾𝐹 =
𝑃𝐴𝐷+𝐷𝐵𝐻+𝐷𝐴𝑈 +𝐿𝑃𝐷𝑆 −𝐵𝑃 𝐽𝑃𝑀
(2.1)
di mana: KF
=
kapasitas fiskal;
PAD
=
pendapatan asli daerah;
DBH
=
dana bagi hasil;
DAU
=
dana alokasi umum;
LPDS =
lain-lain pendapatan daerah yang sah;
BP
=
belanja pegawai; dan
JPM
=
jumlah penduduk miskin.
Berdasarkan perhitungan kapasitas fiskal untuk masing-masing daerah, selanjutnya dapat dihitung indeks kapasitas fiskal daerah (IKF). IKF suatu provinsi diperoleh dengan membagi kapasitas fiskal provinsi yang bersangkutan dengan rata-rata kapasitas fiskal seluruh provinsi di Indonesia.
Dengan
kabupaten/kota
cara
dihasilkan
perhitungan dengan
yang membagi
sama,
IKF
suatu
kapasitas
fiskal
kabupaten/kota tertentu dengan rata-rata kapasitas fiskal semua kabupaten/kota di Indonesia.
14
BAB 2 LANDASAN TEORI
Di dalam pasal 4 butir (6) PMK No. 226/PMK.07/2012 disebutkan bahwa berdasarkan perhitungan IKF, maka daerah dapat dikelompokkan ke dalam empat kategori, yaitu: (1)
daerah yang IKF-nya lebih dari atau sama dengan 2 (IKF ≥ 2) merupakan daerah yang termasuk kategori Kapasitas Fiskal Sangat Tinggi;
(2)
daerah yang IKF-nya antara lebih dari atau sama dengan 1 sampai kurang dari 2 (1 ≤ IKF < 2) merupakan daerah yang termasuk kategori Kapasitas Fiskal Tinggi;
(3)
daerah yang IKF-nya antara lebih dari 0,5 sampai kurang dari 1 (0,5 < IKF < 1) merupakan daerah yang termasuk kategori Kapasitas Fiskal Sedang; dan
(4)
daerah yang IKF-nya kurang dari atau sama dengan 0,5 (IKF ≤ 0,5) merupakan daerah yang termasuk kategori Kapasitas Fiskal Rendah. Dengan mencermati Lampiran II PMK No. 226/PMK.07/2012
dapat diketahui bahwa Kota Yogyakarta dan Kota Ambon keduanya masuk dalam kategori dengan Kapasitas Fiskal Rendah. Kondisi Kota Yogyakarta dengan IKF 0,3361 sebenarnya sama dengan kabupatenkabupaten yang merupakan bagian dari Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (Bantul, Gunung Kidul, Kulon Progo, dan Sleman) yang kesemuanya tergolong Kapasitas Fiskal Rendah. Bahkan, Provinsi D.I. Yogyakarta dengan IKF 0,2846 juga merupakan salah satu provinsi dengan Kapasitas Fiskal Rendah. Fakta bahwa IKF Kota Yogyakarta lebih besar dari IKF Provinsi D.I. Yogyakarta dan jauh lebih besar jika
15
ANALISIS KAPASITAS FISKAL KOTA STUDI KOMPARASI KOTA YOGYAKARTA DAN KOTA AMBON
dibandingkan dengan kabupaten-kabupaten se-Provinsi D.I. Yogyakarta menunjukkan strategisnya kedudukan Kota Yogyakarta dalam konteks keuangan daerah. Adapun Kota Ambon diketahui memiliki IKF yang lebih rendah jika dibandingkan dengan IKF Kota Yogyakarta, yaitu hanya 0,1856. Angka ini lebih kecil jika dibandingkan dengan IKF Provinsi Maluku yang sebesar 0,3050 yang juga tergolong dalam kategori provinsi dengan Kapasitas Fiskal Rendah. Sebagai perbandingan, di Provinsi Maluku terdapat 3 kabupaten yang masuk dalam kategori Kapasitas Fiskal Sedang, yaitu Kabupaten Seram Bagian Timur, Kabupaten Kepulauan Aru, dan Kabupaten Maluku Barat Daya. Di samping itu, terdapat pula Kota Tual dan Kabupaten Buru Selatan yang keduanya tergolong daerah dengan Kapasitas Fiskal Tinggi. Jika formula yang digunakan untuk menghitung kapasitas fiskal daerah dicermati dengan seksama, maka diketahui bahwa terdapat tiga bagian yang dapat mempengaruhi tinggi atau rendahnya kapasitas fiskal suatu daerah. Bagian yang pertama terdiri dari komponen-komponen penerimaan daerah yang meliputi PAD, DBH, DAU, dan LP. Komponenkomponen ini perlu ditingkatkan untuk menaikkan kapasitas fiskal suatu daerah. Bagian yang kedua adalah BP yang perlu dibatasi untuk memperbaiki kapasitas fiskal suatu daerah. Bagian yang ketiga adalah jumlah penduduk miskin yang juga perlu dikurangi untuk meningkatkan kapasitas fiskal suatu daerah. Dalam praktiknya, pemerintah daerah akan menghadapi tantangan dalam meraih kondisi yang ideal dari ketiga bagian tersebut.
16
BAB 2 LANDASAN TEORI
2.1.2. Pentingnya Kapasitas Fiskal Kota Kapasitas kemandirian
fiskal
fiskal
yang
memadai
merupakan
tuntutan
yang yang
disertasi harus
dengan
diupayakan
pemenuhannya oleh pemerintah kota dewasa ini. Kota-kota di seantero belahan bumi, termasuk Kota Yogyakarta dan Kota Ambon cenderung bertumbuh dengan pesat, baik dari segi jumlah penduduk maupun aktivitas
sosial
dan
ekonomi.
Pertumbuhan
kota
yang
pesat
membutuhkan tersedianya prasarana dan sarana publik yang memadai yang hanya dapat dipenuhi apabila pemerintah kota memiliki cukup dana atau mampu menggerakkan potensi pendanaan dari berbagai sumber. Arnott
dan
McMillan
(2006:
312)
mengingatkan
kembali
pentingnya nilai wilayah perkotaan, sehingga perlu dikelola dengan baik. Dikatakan bahwa keberadaan kota-kota di dunia pada dasarnya diakibatkan oleh keuntungan kedekatan sosial dan ekonomi. Saat ini, peran yang dimainkan oleh kota adalah menjadi pusat ide ekonomi, yaitu tempat di mana terjadi inovasi produk, kesepakatan transaksi dicapai, dan juga berkembangnya seni kreatif. Kota-kota yang dikelola dengan baik akan menjadi wilayah yang produktif, yaitu mampu mendukung berlangsungnya kreativitas yang menghasilkan nilai tambah melalui penyediaan jaringan telekomunikasi yang efisien, jalan-jalan yang aman dan mudah dilalui, serta angkatan kerja yang terdidik. Hal-hal ini merupakan layanan publik yang sangat esensial yang harus dapat disediakan oleh suatu kota yang ingin dikatakan sebagai “successful city”.
17
ANALISIS KAPASITAS FISKAL KOTA STUDI KOMPARASI KOTA YOGYAKARTA DAN KOTA AMBON
Agar
potensi
ekonomi
suatu
kota
dapat
diaktualisasikan
sepenuhnya, maka penyediaan infrastruktur kota dan layanan publik secara efisien sangat penting. Perusahan-perusahaan yang beroperasi di kota membutuhkan jalan, jembatan, dan jaringan telekomunikasi. Sementara itu, penduduk kota membutuhkan pendidikan, jalan yang aman, serta lingkungan yang bersih dan sehat. Pemenuhan semua kebutuhan tersebut merupakan tugas yang diemban oleh pemerintah kota dan membutuhkan dana untuk mewujudkannya. Gruber (2011: 285) menyimpulkan bahwa “In every country, the central government collects only part of the total national tax revenues and does only part of the national public spending”. Pajak dan belanja sisanya dilakukan oleh pemerintah daerah, seperti halnya ditempuh di Amerika Serikat. Dengan menggunakan model Tiebout, Gruber (2011: 267-286) menjelaskan alasan mengapa belanja harus dibagi di antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Ditegaskan oleh Gruber (2011: 286) bahwa: “When spending is on goods for which local preferences are relatively similar, and where most residents can benefit from those goods, the Tiebout model suggests that the spending should be done locally. When spending is for goods that benefit only a minority of the population, such as income redistribution, the Tiebout model suggests that it might be difficult to do this spending locally because the majority of people who do not benefit will „vote with their feet‟ and move elsewhere.”
18
BAB 2 LANDASAN TEORI
Pembiayaan kota yang efisien menurut Arnott dan McMillen (2006: 313) memerlukan keseimbangan yang ideal di antara pengeluaran (belanja) dan penerimaan (pajak). Selain itu, perlu didukung pula oleh struktur lembaga politik kota dan penegakan regulasi untuk memastikan bahwa keseimbangan fiskal yang terbentuk dapat memaksimalkan kesejahteraan penduduk kota dan juga menghasilkan keuntungan bagi para pengusaha. O’Sullivan (2007: 324) menuliskan bahwa pemerintah daerah mempunyai peran yang sejalan dengan pemerintah pusat sebagaimana telah dikemukakan oleh Musgrave dan Musgrave (1980), yaitu stabilisasi, redistribusi pendapatan, dan alokasi sumber daya. Untuk peran yang ketiga, diutarakan bahwa pemerintah daerah harus memutuskan penggunaan sumber daya ekonomi untuk menyediakan berbagai barang dan jasa. Sebagai contoh, pemerintah daerah bertanggung jawab untuk membiayai penyediaan pendidikan, jalan, polisi, pemadam kebakaran, taman, dan saluran pembuangan limbah. O’Sullivan (2007: 325) mengingatkan
bahwa
dalam
menyediakan
barang-barang
publik,
pemerintah daerah akan menghadapi situasi-situasi yang secara teoritis disebut sebagai equilibrium versus optimum, natural monopoly, dan externalities.
2.1.3. Hasil-Hasil Penelitian Sebelumnya Penelitian yang terkait dengan kapasitas fiskal cukup beragam. Dalam penelitian di Kota New York dan daerah sekitarnya, Chernick (1998) menemukan sulitnya mengembangkan pengukuran komparatif dari kapasitas fiskal untuk daerah-daerah dengan otoritas pungutan pajak
19
ANALISIS KAPASITAS FISKAL KOTA STUDI KOMPARASI KOTA YOGYAKARTA DAN KOTA AMBON
yang sangat beragam. Penelitian dilakukan dengan membandingkan pendapatan dan kepemilikan properti yang kemudian digunakan untuk menghitung kapasitas fiskal berdasarkan sistem pajak representatif dan pergeseran pendapatan. Dalam hal pendapatan dan kepemilikan properti yang dapat dikenakan pajak, kapasitas fiskal per rumah tangga Kota New York relatif lebih rendah jika dibandingkan dengan daerah di sekitarnya. Namun, jika memperhitungkan kemampuan Kota New York untuk mengirimkan pajak kepada bukan penduduknya, maka kapasitas fiskal Kota New York berkisar antara lebih rendah 20 persen hingga lebih tinggi 20 persen. Barro (2002) menilai validitas teori dan konsep kapasitas fiskal dengan membandingkan indikator-indikator sistem pajak representatif dan kapasitas ekonomi makro di Kanada. Pengujian dilakukan terhadap logika yang mandasari metoda pengukuran, kompatibilitas masing-masing metoda terhadap teori ekonomi yang terkait, dan kesesuaian metoda yang digunakan dalam mendukung program keseimbangan fiskal. Indikator-indikator
ekonomi
makro
yang
dimasukkan
terdiri
dari
pendapatan perseorangan, pendapatan penduduk, produk domestik bruto, dan indikator-indikator komposit tertentu, seperti sumber daya yang dapat dikenakan pajak. Barro (2002: 16) menyimpulkan bahwa indikator sistem pajak representatif yang digunakan di Kanada adalah cacat secara teoritis, karena adanya distorsi kapasitas fiskal pada tingkat provinsi. Pendekatan ekonomi makro dikatakan lebih baik dalam konteks teori ekonomi positif. Tetapi, standar indikator-indikator ekonomi makro pada perhitungan pendapatan nasional tidak sepenuhnya dapat merefleksikan kemampuan provinsi-provinsi yang sangat beragam.
20
BAB 2 LANDASAN TEORI
Yilmaz, et al (2006: v) melaporkan hasil pengukuran disparitas fiskal pada 50 negara bagian di Amerika Serikat pada tahun anggaran 2002. Pengukuran dilakukan dengan melihat pada kapasitas penerimaan, kebutuhan pengeluaran, dan tingkat kapasitas fiskal menyeluruh dari masing-masing negara bagian. Dikarenakan otoritas pajak dan tanggung jawab pengeluaran diberikan kepada tingkat pemerintahan yang berbedabeda, maka informasi tentang perolehan penerimaan dan kebutuhan pengeluaran untuk setiap negara bagian digabungkan dengan pemerintah daerahnya. Metodologi yang digunakan lebih didasarkan pada kondisi ekonomi
dan
demografi
pada
masing-masing
negara
bagian
dibandingkan tingkat penerimaan dan pengeluaran aktual. Kapasitas penerimaan dari suatu negara bagian mengukur sumber daya yang dapat diraih oleh pemerintah negara bagian dan pemerintah daerahnya untuk membiayai pelayanan publik. Yilmaz dan Zahradnik (2008) meneliti pengukuran kapasitas fiskal pada Distrik Columbia di Amerika Serikat dengan membandingkan kapasitas peningkatan penerimaan dan kebutuhan pengeluaran pada tahun fiskal 2005. Distrik Columbia mempunyai kondisi demografi yang unik dan campuran ekonomi yang menyulitkan untuk menganalisis kesehatan fiskalnya jika dibandingkan dengan negara bagian dan daerah lainnya. Penelitian dilakukan dengan menguji kemampuan Distrik Columbia untuk memenuhi pengeluaran untuk menyediakan layanan bagi penduduk lokal. Pengujian memperhatikan penerimaan sendiri dengan membandingkan
kapasitas
perolehan
penerimaan
dan
kebutuhan
pengeluaran terhadap rata-rata nasional.
21
ANALISIS KAPASITAS FISKAL KOTA STUDI KOMPARASI KOTA YOGYAKARTA DAN KOTA AMBON
Hasil penelitian menunjukkan bahwa Distrik Columbia memiliki basis pajak yang sangat kuat jika dibandingkan dengan negara bagian atau daerah lain. Tetapi, distrik ini juga mempunyai kebutuhan pengeluaran yang lebih tinggi, meskipun ukuran distriknya relatif kecil. Salah
satu
penyebabnya
adalah
populasi
perkotaan
dan
biaya
penyediaan layanan yang tinggi. Dari sudut pandang kebijakan, Distrik Columbia telah memilihi untuk menetapkan tarif pajaknya melebihi ratarata nasional. Berdasarkan hasil penelitiannya pada Pemerintah Negara Bagian Arizona, dalam kesimpulan eksekutifnya, Hoffman dan Rex (2010: 1) menyatakan bahwa “The fiscal system has been largely ignored in Arizona, with changes to the revenue system not being matched to changes in expenditures, and vice versa”. Sebagai contoh, pengurangan tarif pajak dilakukan tanpa diikuti oleh pengurangan pengeluaran, sehingga telah mengakibatkan defisit fiskal. Hasil dari perubahan yang tidak menyeluruh pada sistem penerimaan dan tidak adanya hubungan di antara penerimaan dan pengeluaran merupakan kegagalan sistem fiskal di Arizona. Pada penelitian teoritis yang relatif baru dilakukan, Amegashie (2012) mengamati tiga aspek penting yang saling terkait, yaitu informasi asimetri, kapasitas fiskal, dan akuntabilitas fiskal. Investasi pada kapasitas fiskal dikatakan murah (costless), tetapi akan mendapatkan perhatian yang lebih besar dari masyarakat. Dalam faktanya, birokrat seringkali melakukan korupsi atau menyembunyikan informasi yang penting. Penerimaan pajak digunakan untuk membiayai suatu barang
22
BAB 2 LANDASAN TEORI
publik yang biaya per unitnya menjadi informasi pribadi bagi birokrat. Birokrat yang jujur akan mempedulikan penduduknya dan investasi kapasitas fiskal yang dilakukan akan memperbaiki kesejahteraan masyarakat. Penelitian terkini yang bersifat teoritis juga telah dilakukan oleh Besley
et
al
(2012)
yang
menganalisis
dinamika
kapasitas
fiskal.Dituliskan bahwa investasi pada kapasitas fiskal merupakan suatu upaya yang penting dalam pembangunan ekonomi. Suatu model dinamik dikembangkan untuk mempelajari investasi tersebut dan evolusinya dari waktu ke waktu. Dalam penelitian ini, jalur investasi dari perencana sosial dibandingkan dengan jalur yang melibatkan kendala politik. Dalam jangka panjang terdapat tiga jenis negara bagian, yaitu: (1)
a common-interest state wherepublic resources are devoted to public goods;
(2)
a redistributive statewhere additional fiscal capacity is used for transfers; dan
(3)
a weakstate with no transfers and a low level of public goods provision. Di
samping
penelitian-penelitian
yang
secara
langsung
mencermati teori dan pengukuran kapasitas fiskal, terdapat penelitian yang dilakukan oleh Gerry dan Mickiewicz (2006) yang menguji hubungan di antara ketidakadilan, kapasitas fiskal, dan rejim politik dengan menggunakan data panel dari 27 negara pasca komunis pada periode 1987-2003.
Ditemukan
bahwa
kebebasan
politik
secara
penuh
berhubungan dengan ketidakadilan pendapatan pada tingkat yang lebih
23
ANALISIS KAPASITAS FISKAL KOTA STUDI KOMPARASI KOTA YOGYAKARTA DAN KOTA AMBON
rendah. Pada suatu rejim yang lebih oligarki (otoriter), ketidakadilan dikondisikan oleh kapasitas fiskal negara. Rejim oligarki dengan sistem fiskal yang lebih maju dapat mempertahankan kepentingannya dengan biaya yang lebih rendah dalam konteks ketidakadilan sosial. Temuan empirik ini konsisten dengan model yang dikembangkan oleh Acemoglu (2006). Ditemukan pula bahwa negara-negara transisi yang melakukan stabiliasi ekonomi makro saat ini menikmati tingkat ketidakadilan yang lebih rendah. Pendidikan ternyata mampu mendorong terwujudnya keadilan. Untuk konteks Indonesia, Priyastomo, dkk (2007) mengamati korelasi antara kapasitas fiskal dengan pendapatan asli daerah (PAD) dan dampaknya terhadap strategi belanja daerah Provinsi Jawa Timur pada tahun 2005-2006. Untuk mengetahui korelasi atau hubungan antara kapasitas fiskal dengan PAD, telah dibuat daftar kabupaten beserta tingkat PAD masing-masing selama dua tahun, yaitu pada tahun 2005 dan 2006. Definisi apasitas fiskal yang digunakan mengikuti Keputusan Menteri Keuangan Nomor: 129/PMK.02/2005 dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 73/PMK.02/2006. Hasil penelitian menunjukkan bahwa korelasi di antara kapasitas fiskal dan PAD tahun 2005 adalah 0,248,sedangkan korelasi pada tahun 2006 adalah -0,245.Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa korelasi antara kapasitas fiskal dan PAD di Provinsi Jawa Timur sangat kecil. Korelasi
yang
kecil
antara
kedua
variabel
tersebut
mengindikasikan adanya sebuah ketidakberesan dalam pengelolaan keuangan daerah. Ketidakberesan ini mungkin saja bisa terjadi karena
24
BAB 2 LANDASAN TEORI
daerah dengan kapasitas fiskal rendah kurang efektif dan efisien dalam pengalokasian dananya. Oleh karena itu, Pemerintah harus mampu memperbaiki strategi belanja daerah sehingga dapat meningkatkan Pendapatan Asli Daerah. Pada
penelitian
lainnya,
Sulistyowati
(2006)
mengamati
ketimpangan fiskal vertikal pada kabupaten dan kota di Provinsi Jawa Tengah sebelum dan sesudah implementasi otonomi daerah. Ditegaskan bahwa transfer dari pemerintah pusat merupakan sumber penerimaan yang amat dominan bagi pemerintah daerah di banyak negara berkembang, termasuk di Indonesia. Salah satu alasan utama betapa pentingnya peran transfer dana adalah untuk menjamin tercapainya standar pelayanan publik minimum dan untuk mengurangi kesenjangan antardaerah. Sifat dari transfer dana adalah suplemen bagi pelaksanaan pemerintahan dan pembangunan di daerah. Adanya kesenjangan fiskal antarpusat dan daerah menurutnya disebabkan oleh keterbatasan sumber daya di masing-masing level pemerintah. Bantuan dari pemerintah meliputi dua bentuk, yakni bantuan umum atau blok (block grant) dan bantuan khusus (specific grant). Hal ini berlaku sejak sebelum otonomi hingga setelah otonomi, hanya saja dengan nama yang berbeda. Kenyataan ini mewujudkan bahwa tingkat ketergantungan daerah terhadap pemerintah masih tetap tinggi, sehingga kesenjangan fiskal tetap berlanjut. Ladjin (2008) menganalisis kemandirian fiskal pemerintah provinsi pada era otonomi daerah dengan menggunakan studi kasus di Provinsi Sulawesi Tengah. Diutarakan bahwa seiring dengan perkembangan
25
ANALISIS KAPASITAS FISKAL KOTA STUDI KOMPARASI KOTA YOGYAKARTA DAN KOTA AMBON
otonomi daerah, ternyata kondisi keuangan Provinsi Sulawesi Tengah kurang didukung oleh pendanaan yang bersumber dari PAD. Hal ini ditunjukkan dari derajat desentralisasi fiskal Provinsi Sulawesi Tengah yang berada di bawah 20 persen. Oleh karena itu, daerah dituntut untuk mengelola pembangunan daerahnya secara mandiri. Hal ini menimbulkan konsekuensi terhadap kemandirian pemenuhan kebutuhan fiskal dan kebebasan dalam mengumpulkan penerimaan daerah. Dalam penelitiannya, Ladjin (2008) menguji variabel-variabel yang mempengaruhi kemandirian fiskal di Provinsi Sulawesi Tengah, yaitu investasi dan pendapatan perkapita. Data yang digunakan adalah data sekunder runtut waktu dengan rentang tahun 2001-2006 yang diubah ke dalam
bentuk
data kuartalan
Data
kemudian
dianalisis
dengan
menggunakan metoda kuadrat terkecil atau ordinary least squares (OLS) dan statistik deskriptif. Hasil analisis OLS menunjukkan bahwa variabel investasi berpengaruh positif dan signifikan, sedangkan pendapatan perkapita tidak berpengaruh terhadap kemandirian fiskal Provinsi Sulawesi Tengah. Ditemukan pula bahwa tingkat ketergantungan fiskal Provinsi Sulawesi Tengah terhadap pemerintah pusat masih cukup besar. Fadzil dan Nyoto (2011) melakukan penelitian untuk menganalisis kondisi desentralisasi fiskal setelah implementasi otonomi daerah di Indonesia. Secara lebih spesifik, penelitian diarahkan untuk menganalisis hubungan
di
antara
kapasitas
fiskal
daerah
dan
transfer
antarpemerintahan dengan realisasi anggaran. Tiga hipotesis diuji berdasarkan data sampel berupa anggaran 190 kabupaten. Hasil penelitian mengindikasikan adanya ketergantungan yang tinggi dari
26
BAB 2 LANDASAN TEORI
pemerintah daerah terhadap dana (grants) dari pemerintah pusat. Meskipun terdapat hubungan yang erat di antara kapasitas fiskal dengan anggaran kinerja, namun transfer antarpemerintahan tidak sepenuhnya memediasi hubungan tersebut. Berbeda dengan penelitian-penelitian terdahulu, kajian akademis ini secara spesifik mengamati komponen-komponen kapasitas fiskal sesuai regulasi yang berlaku di Indonesia. Analisis terhadap komponenkomponen tersebut difokuskan pada dua kota yang memiliki karakteristik yang berbeda, yaitu Kota Yogyakarta dan Kota Ambon. Pemilihan dua kota yang berbeda dimaksudkan untuk mempelajari dan membandingkan berbagai aspek yang mempengaruhi setiap komponen kapasitas fiskal di kedua kota. Hasil analisis diharapkan dapat digunakan sebagai pembelajaran dan sekaligus masukan bagi pemerintah kedua kota maupun
instansi
Perimbangan
pembina
Keuangan,
di
tingkat
Kementerian
pusat
(Direktorat
Keuangan)
Jenderal
dalam
rangka
meningkatkan kapasitas, kemandirian, dan kesehatan fiskal di kedua kota maupun kota-kota lainnya di Indonesia.
2.2.
Kerangka Pemikiran Teoritis Kapasitas kemampuan membiayai
fiskal
kota
pemerintah
kota
pengeluarannya
pada untuk dalam
dasarnya mengelola rangka
menggambarkan penerimaan
menjalankan
dan tugas
pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan publik. Selain itu, karena dikaitkan dengan kemiskinan, maka kapasitas fiskal juga mengindikasikan kemampuan pemerintah kota untuk mengatasi masalah pembangunan
27
ANALISIS KAPASITAS FISKAL KOTA STUDI KOMPARASI KOTA YOGYAKARTA DAN KOTA AMBON
yang direpresentasikan oleh kemiskinan. Semakin mampu pemerintah di suatu kota meningkatkan penerimaannya, serta pada saat yang sama mampu membatasi belanja pegawai dan mengurangi jumlah penduduk miskin, maka kapasitas fiskal kota yang bersangkutan akan semakin tinggi. Sebaliknya, jika pemerintah di suatu kota tidak mampu meningkatkan
penerimaannya,
membatasi
belanja
pegawai,
dan
menurunkan jumlah penduduk miskin, maka kapasitas fiskal kota tersebut akan rendah. Kerangka pikir kajian ilmiah ini dibangun atas argumentasi tersebut. Kapasitas fiskal suatu kota sejatinya sangat ditentukan oleh kombinasi di antara kemampuan manajerial pemerintah kota sendiri dan didukung oleh ketersediaan sumber daya yang dimiliki kota. Sedangkan kontribusi pemerintah pusat berada pada tataran kebijakan yang terkait dengan formulasi dari setiap komponen kapasitas fiskal. Hal ini tergambar dari komponen-komponen pada formula kapasitas fiskal. Komponen PAD seharusnya mendapatkan perhatian yang serius, karena merepresentasikan kemandirian pemerintah kota dalam menggali sumber-sumber penerimaannya di tingkat lokal, sedangkan pangsa LP relatif kecil. Komponen DBH merupakan upaya perbaikan ketimpangan pusat-daerah (vertical fiscal imbalance), sedangkan DAU merupakan alat pemerataan kemampuan keuangan daerah (horizontal fiscal imbalance). Keempat komponen penerimaan kota diharapkan meningkat dari waktu ke waktu dengan peningkatan yang tertinggi terjadi pada PAD. Selain karakteristik lainnya, Kota Yogyakarta dan Kota Ambon adalah dua kota yang relatif tidak memiliki sumber daya alam (SDA),
28
BAB 2 LANDASAN TEORI
sehingga kontribusi dari DBH SDA sangat minim. Kemampuan kedua kota dalam meraih PAD juga masih relatif terbatas. Kondisi ini menyebabkan tingkat ketergantungan terhadap DAU masih tinggi.
Administrasi Pemerintahan, Fasilitasi Pembangunan, dan Pelayanan Publik Lebih Optimal
Tata Kelola
Kapasitas Fiskal Kota Tinggi
Naik
Naik
Naik
PAD Turun
DBH Turun
Naik
DAU Turun
LP
Turun
BP Turun
Turun
JPM Naik
Naik
Kapasitas Fiskal Kota Rendah
Tata Kelola
Administrasi Pemerintahan, Fasilitasi Pembangunan, dan Pelayanan Publik Kurang Optimal Gambar 2.1. Kerangka Pemikiran Teoritis
Selanjutnya, BP merupakan komponen yang diupayakan untuk dapat dikendalikan secara sistematis. Komponen BP yang besar mengindikasikan adanya inefisiensi dan produktivitas pegawai pemerintah kota yang rendah. Kalaupun meningkat secara alamiah, peningkatan BP
29
ANALISIS KAPASITAS FISKAL KOTA STUDI KOMPARASI KOTA YOGYAKARTA DAN KOTA AMBON
diharapkan lebih rendah jika dibandingkan dengan komponen-komponen penerimaan kota. Searah dengan BP, jumlah penduduk miskin kota perlu diupayakan untuk menurun, meskipun untuk mencapainya tidaklah mudah. Pada
awalnya,
kajian
akademis
ini
menganalisis
dan
membandingkan perkembangan setiap komponen kapasitas fiskal di Kota Yogyakarta dan Kota Ambon dan menyajikannya secara deskriptif. Langkah
selanjutnya
adalah
mengidentifikasi
faktor-faktor
yang
mempengaruhi setiap komponen kapasitas fiskal dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Berdasarkan kedua upaya pada akhirnya dapat ditarik beberapa kesimpulan dan dirumuskan saran-saran yang relevan.
30
BAB 3 METODA KAJIAN AKADEMIS
3.1.
Jenis Penelitian Kajian akademis ini dapat digolongkan sebagai suatu penelitian dengan pendekatan kuantitatif yang didukung oleh pendekatan kualitatif. Dikatakan demikian, karena penelitian ini terutama memanfaatkan data kuantitatif. Menurut Babbie (2004: 26), perbedaan di antara data kuantitatif dan data kualitatif dalam penelitian sosial terutama pada perbedaan di antara data numerik dan non-numerik. Keunggulan data kuantitatif adalah digunakannya angka sebagai alat pengukuran. Sebaliknya, data kuantitatif juga memiliki kelemahan, yaitu penggunaan angka berpotensi membuat analisis menjadi kehilangan makna. Dalam pandangan Babbie (2004: 391) penelitian kuantitatif dan kualitatif pada dasarnya bersifat saling melengkapi dan diperlukan untuk menghasilkan suatu penelitian sosial yang berkualitas. Dituliskan selengkapnya bahwa “While it is important and appropriate to distinguish between qualitative and quantitative research and often to discuss them separately, I don‟t want you to get idea that they are incompatible or competing. Unless you can operate in both modes, you‟ll limit your potential as a social researcher.”
31
ANALISIS KAPASITAS FISKAL KOTA STUDI KOMPARASI KOTA YOGYAKARTA DAN KOTA AMBON
3.2.
Jenis dan Sumber Data Data yang dikumpulkan dalam kajian akademis ini terdiri dari data utama dan data pendukung. Data utama bersifat kuantitatif yang terdiri dari komponen-komponen kapasitas fiskal Kota Yogyakarta dan Kota Ambon yang meliputi: (1)
kapasitas fiskal (KF);
(2)
pendapatan asli daerah (PAD);
(3)
dana bagi hasil (DBH);
(4)
dana alokasi umum (DAU);
(5)
lain-lain pendapatan daerah yang sah (LP);
(6)
belanja pegawai (BP); dan
(7)
jumlah penduduk miskin (JPM).
Seluruh data utama diperoleh dari Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan, Kementerian Keuangan. Sedangkan data pendukung bersifat kuantitatif dan kualitatif. Data pendukung kuantitatif meliputi: (1)
profil sosial dan ekonomi Kota Yogyakarta yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS);
(2)
profil sosial dan ekonomi Kota Ambon yang diperoleh dari BPS; serta
(3)
data-data lainnya yang relevan, seperti yang diperoleh dari publikasi media cetak (buku, koran, majalah, dan buletin), e-mail, jurnal, laporan, instansi lainnya, dan lain sebagainya.
32
BAB 3 METODA KAJIAN AKADEMIS
Adapun data pendukung kualitatif berupa hasil wawancara dengan para pejabat terkait di lingkungan Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan, Pemerintah Kota Yogyakarta, dan Pemerintah Kota Ambon. Jumlah pejabat yang menjadi responden wawancara pada kajian akademis ini berkisar 10-15 orang.
3.3.
Definisi Operasional Variabel Sesuai dengan PMK No. 226/PMK.07/2012, kapasitas fiskal daerah merupakan fungsi dari variabel PAD, DBH, DAU, LP, BP, dan JPM. Definisi operasional dari masing-masing variabel yang dikaitkan dengan obyek kajian akademis adalah sebagai berikut ini. (1)
Kapasitas Fiskal (KF) adalah gambaran kemampuan keuangan masing-masing daerah yang dicerminkan melalui penerimaan umum APBD (tidak termasuk dana alokasi khusus, dana darurat, dana pinjaman lama, dan penerimaan lain yang penggunaannya dibatasi untuk membiayai pengeluaran tertentu) untuk membiayai tugas pemerintahan setelah dikurangi belanja pegawai dan dikaitkan dengan jumlah penduduk miskin (pasal 1 butir 2 PMK No. 226/PMK.07/2012).
(2)
Pendapatan Asli Daerah (PAD) adalah pendapatan yang diperoleh daerah yang dipungut berdasarkan Peraturan Daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan (pasal 1 butir 18 UndangUndang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah).
33
ANALISIS KAPASITAS FISKAL KOTA STUDI KOMPARASI KOTA YOGYAKARTA DAN KOTA AMBON
(3)
Dana Bagi Hasil (DBH) adalah dana yang bersumber dari pendapatan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang dialokasikan kepada daerah berdasarkan angka presentase untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi (pasal 1 butir 20 UU No. 33 Tahun 2004).
(4)
Dana Alokasi Umum (DAU) adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antardaerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi (pasal 1 butir 21 UU No. 33 Tahun 2004).
(5)
Lain-Lain
Pendapatan
Daerah
Yang
Sah
(LP)
terdiri
atas
pendapatan hibah dan pendapatan dana darurat (pasal 43 UU No. 33 Tahun 2004). (6)
Belanja Pegawai (BP) adalahkompensasi baik dalam bentuk uang maupun barang yang diberikan kepada pegawai pemerintah, baik yang bertugas di dalam maupun di luar negeri sebagai imbalan atas pekerjaan yang telah dilaksanakan, kecuali pekerjaan yang berkaitan dengan pembentukan modal (Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2004 tentang Penyusunan Rencana Kerja Anggaran Kementerian Negara/ Lembaga).
(7)
Jumlah Penduduk Miskin (JPM) adalah banyaknya penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan. Untuk mengukur kemiskinan, BPS menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic needs approach). Dengan pendekatan ini, kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk
34
BAB 3 METODA KAJIAN AKADEMIS
memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran (BPS, 2009: 2).
3.4.
Metoda Analisis Data Analisis kuantitatif yang digunakan dalam kajian akademis ini adalah sejalan dengan konsep analisis kuantitatif yang didefinisikan oleh Babbie (2004: 396) sebagai representasi numerik dan manipulasi pengamatan untuk tujuan mendeskripsikan dan menjelaskan fenomena yang direfleksikan oleh pengamatan. Dalam praktiknya, representasi numerik dan manipulasi pengamatan dilakukan dengan pendekatan statistik deskriptif, yaitu (Babbie, 2004: 442): “Statistical computation describing either the characteristics of a sample or the relationship among variables in a sample. Descriptive statistics merely summarize a set of sample observations, whereas inferential statistics move beyond the description of of specific observations to make inferences about the larger population from which the sample observations were drwan.”
Menurut Somantri dan Muhidin (2006: 19), statistika deskriptif membahas cara-cara pengumpulan data, penyederhanaan angka-angka pengamatan melakukan
yang
diperoleh
pengukuran
(meringkas
pemusatan
dan
dan
menyajikan),
penyebaran
data
serta untuk
memperoleh informasi yang lebih menarik, berguna, dan mudah dipahami. Pada konteks yang lain, Sugiyono (2010: 21) menuliskan
35
ANALISIS KAPASITAS FISKAL KOTA STUDI KOMPARASI KOTA YOGYAKARTA DAN KOTA AMBON
bahwa statistik deskriptif
adalah statistik yang digunakan untuk
menggambarkan atau menganalisis suatu statistik hasil penelitian, tetapi tidak
digunakan
untuk
membuat
kesimpulan
yang
lebih
luas.
Ditambahkan bahwa penelitian yang tidak menggunakan sampel, analisisnya akan menggunakan statistik deskriptif. Demikian juga penelitian yang menggunakan sampel, tetapi peneliti tidak bermaksud untuk membuat kesimpulan terhadap populasi dari mana sampel diambil, maka statistik yang digunakan adalah statistik deskriptif. Dengan mengikuti Black (1999), Sekaran (2003), Babbie (2004), Somantri dan Muhidin (2006), Supranto (2008), serta Sugiyono (2010), maka penelitian ini akan menganalisis data kuantitatif yang dikumpulkan dalam bentuk berikut ini. (1)
Penyajian data: tabel, distribusi frekuensi, grafik, dan diagram.
(2)
Pengukuran gejala pusat: menghitung mean.
(3)
Pengukuran variasi kelompok: rentang data, varians, standar deviasi.
Sedangkan data kualitatif dianalisis dengan pendekatan triangulasi.
36
BAB 4 PROFIL KOTA YOGYAKARTA DAN KOTA AMBON
4.1.
Profil Kota Yogyakarta Kota Yogyakarta merupakan ibukota Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Kota ini memiliki catatan sejarah yang panjang dalam perjuangan
bangsa
Indonesia
merebut
dan
mempertahankan
kemerdekaan. Hingga saat ini, Kota Yogyakarta dikenal sebagai Kota Pelajar dan Kota Budaya, sehingga menjadi tujuan masyarakat untuk kepentingan pendidikan dan wisatawan untuk tujuan pariwisata.
Gambar 4.1. Peta Kota Yogyakarta
37
ANALISIS KAPASITAS FISKAL KOTA STUDI KOMPARASI KOTA YOGYAKARTA DAN KOTA AMBON
Ukuran Kota Yogyakarta relatif kecil, yaitu hanya 32,50 km 2, yang merupakan 1,02 persen dari total luas wilayah Provinsi DIY yang mencapai 3.185,80 km2. Sebagai perbandingan, luas Kabupaten Gunungkidul adalah 1.485,36 km2 atau 46,62 persen, luas Kabupaten Kulon Progo adalah 586,27 km2 atau 18,40 persen, luas Kabupaten Sleman adalah 574,82 km2 atau 18,04 persen, dan luas Kabupaten Bantul adalah 506,85 persen atau 15,91 persen dari total luas Provinsi DIY. Luas Provinsi DIY sendiri hanya 0,17 persen dari total luas wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sebesar 1.860.359,67 km2. Kota
Yogyakarta terbagi menjadi
14 kecamatan dan
45
kelurahan/desa, 615 RW, dan 2.529 RT yang seluruhnya berada pada topografi dataran. Mayoritas penggunaan lahan di Kota Yogyakarta pada tahun 2010 berstatus bukan lahan pertanian, yaitu mencapai 2.978 ha, sedangkan lahan pertanian untuk sawah dan bukan sawah masingmasing tercatat seluas 85 ha dan 187 ha. Sesuai Peraturan Daerah Provinsi DIY Nomor 2 Tahun 2010 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi DIY, kawasan budidaya di Provinsi DIY yang berada di Kota Yogyakarta adalah kawasan pariwisata budaya dan kawasan pendidikan tinggi. Jumlah
penduduk
Kota
Yogyakarta
berdasarkan
Sensus
Penduduk 2010 adalah sebanyak 388.627 jiwa atau 11,24 persen dari total penduduk Provinsi DIY yang berjumlah 3.457.491 jiwa. Jumlah penduduk yang mendiami Kota Yogyakarta adalah yang paling rendah jika dibandingkan dengan jumlah penduduk di kabupaten lainnya seProvinsi DIY. Penduduk laki-laki di Kota Yogyakarta tercatat sebanyak
38
BAB 4 PROFIL KOTA YOGYAKARTA DAN KOTA AMBON
189.137 jiwa, sedangkan perempuan berjumlah 199.490 jiwa, sehingga diperoleh sex ratio 95. Meskipun memiliki populasi penduduk terendah, namun sebaliknya, densitas penduduk di Kota Yogyakarta diketahui mencapai 11.957,75 jiwa per km2. Angka ini jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan densitas penduduk di kabupaten-kabupaten seProvinsi DIY. Jumlah penduduk Kota Yogyakarta pada tahun 2012 sebanyak 394.012 jiwa dengan rincian sebanyak 191.445 jiwa penduduk laki-laki dan 202.567 jiwa penduduk perempuan. Dengan luas wilayah 32,50 km2, kepadatan penduduk Kota Yogyakarta tahun 2012 sebesar 12.123 jiwa per km2.Penduduk yang paling padat berada di Kecamatan Ngampilan, yaitu sebesar 20.002 jiwa per km2,sedangkanwilayah yang paling jarang penduduknya adalah Kecamatan Umbulharjo, yakni 9.708 jiwa per km2. Tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK) di Kota Yogyakarta sedikit mengalami penurunan pada tahun 2012 menjadi 66,97 persen dari 68,26 persen pada 2011. Bila diklasifikasikan berdasarkan jenis kelamin, maka TPAK perempuan hanya 57,88 persen, lebih kecil dibandingkan TPAK laki-laki yang mencapai 76,73 persen. Tingkat pengangguran turun dari 5,57 persen pada 2011 menjadi 5,03 persen pada tahun 2012. Jika dilihat dari jenis kelamin, tingkat pengangguran perempuan sebesar 4,38 persen lebih rendah dibandingkan tingkat pengangguran laki-laki sebesar 5,57 persen. Sedangkan menurut lapangan usaha, sektor pelayanan (perdagangan,
angkutan,
keuangan,
jasa
perusahaan
dan
jasa
perorangan) mendominasi pasar kerja di Kota Yogyakarta dengan persentase 84,30 persen pada tahun 2012. Kemudian diikuti sektor
39
ANALISIS KAPASITAS FISKAL KOTA STUDI KOMPARASI KOTA YOGYAKARTA DAN KOTA AMBON
produksi sebesar 15,32 persen dan sektor pertanian hanya 0.37 persen. Jumlah pencari kerja yang terdaftar pada Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi pada tahun 2012 sebanyak 3.422 jiwa yang terdiri dari 1.698 laki-laki dan 1.724 perempuan. Sebagian besar dari pencari kerja tersebut berpendidikan Sarjana yaitu 49,50 persen, kemudian diikuti yang berpendidikan SMU (33,75 persen), diploma (11,72 persen), dan sisanya (5,03 persen) berpendidikan S2, SMP, dan SD. Dalam konteks perekonomian, data Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi DIY menunjukkan bahwa Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kota Yogyakarta yang dihitung berdasarkan harga konstan senantiasa mengalami peningkatan selama kurun 2006-2010. Bahkan, jika
dibandingkan
dengan
kabupaten-kabupaten
se-Provinsi
DIY,
perekonomian Kota Yogyakarta meningkat paling pesat pada tahun 2010, yaitu mencapai 4,98 persen. Pada periode 2006-2010, PDRB Kota Yogyakarta bertumbuh rata-rata 4,75 persen per tahun. Meskipun demikian, ternyata kontribusi Kota Yogyakarta terhadap pertumbuhan ekonomi Provinsi DIY pada tahun 2010 hanya 1,4 persen.Angka ini lebih rendah jika dibandingkan dengan peran yang disumbangkan oleh pertumbuhan ekonomi di Kabupaten Sleman sebesar 1,47 persen. Nilai dan kontribusi sektor perdagangan, hotel, dan restoran berdasarkan harga konstan memberikan sumbangan yang terbesar bagi PDRB Kota Yogyakarta. Pada tahun 2007, sektor ini memberikan sumbangan sebesar 24,88 persen dengan nilai Rp1.188.152.000.000, kemudian
meningkat
menjadi
25,30
Rp1.393.111.000.000 pada tahun 2010.
40
persen
atau
senilai
Sedangkan sektor-sektor lain
BAB 4 PROFIL KOTA YOGYAKARTA DAN KOTA AMBON
yangmemberikan sumbangan yang besar bagi PDRB pada tahun 2010 adalah sektor jasa-jasa sebesar20,63 persen, sektor pengangkutan dan komunikasi 19,94 persen, dan sektor keuangan,sewa, dan jasa perusahaan 14 persen.
Tabel 4.1. PDRB Kota Yogyakarta Atas Dasar Harga Berlaku dan Konstan Tahun 2008-2012
PDRB (Rp Juta) Tahun Harga Berlaku
Harga Konstan
2008
9.806.813
5.021.149
2009
10.591.261
5.244.851
2010
11.777.579
5.505.942
2011
12.962.435
5.816.568
2012
14.327.564
6.151.679
Sumber: Kota Yogyakarta Dalam Angka 2013
Sebaliknya,
terdapat
sektor
yang
mengalami
penurunansumbangan terhadap PDRB Kota Yogykarta. Sektor yang dimaksud adalah sektorpertanian. Pada tahun 2007 sumbangan sektor pertanian tercatat sebesar 0,4 persen dan padatahun 2010 menurun menjadi 0,32 persen dari total PDRB Kota Yogyakarta. Penurunan ini terutama disebabkan semakinmenyempitnya lahan pertanian di Kota Yogyakarta, sehingga produksi hasilpertanian juga semakin menurun.
41
ANALISIS KAPASITAS FISKAL KOTA STUDI KOMPARASI KOTA YOGYAKARTA DAN KOTA AMBON
Sektor-sektor lain yang mengalami penurunankontribusi terhadap PDRB pada tahun 2010 adalah sektor listrik, gas, dan air menjadi 1,25 persen, sektor industri pengolahan 10,8 persen, dan sektor bangunan 7,75 persen.
Persen (%)
Gambar 4.2. Pertumbuhan Ekonomi Kota Yogyakarta Tahun 2006-2012 7 6 5 4 3 2 1 0
4,46
3,97
2006
2007
5,12
2008
4,46
2009
4,98
2010
5,64
2011
5,76
2012
Tahun
Sumber: Kota Yogyakarta Dalam Angka 2013.
Pada tahun 2012, PDRB Kota Yogyakarta telah mencapai Rp 14.328 miliar atas dasar harga berlaku dan Rp 6.152 milar atas dasar harga konstan 2000. Sektor-sektor yang berperan besar terhadap pembentukan PDRB tersebut adalah sektor-sektor tersier yang meliputi sektor perdagangan, hotel dan restoran; sektor angkutan dan komunikasi; sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan; serta sektor jasa-jasa. Sumbangan sektor tersier tersebut terhadap PDRB lebih dari 75 persen. Pertumbuhan ekonomi Kota Yogyakarta pada tahun yang sama mencapai 5,76 persen. Angka ini meningkat dibandingkan dengan tahun 2011 sebesar 5,64 persen.
42
BAB 4 PROFIL KOTA YOGYAKARTA DAN KOTA AMBON
Pertumbuhan ekonomi Kota Yogyakarta ternyata selalu lebih rendah jika dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi Indonesia, meskipun masih lebih tinggi daripada pertumbuhan ekonomi Provinsi DI Yogyakarta. Kondisi ini bermakna bahwa Kota Yogyakarta memberikan kontribusi negatif
terhadap pertumbuhan ekonomi nasional yang
merupakan akumulasi dari pertumbuhan ekonomi daerah.
Tabel 4.2. Perbandingan Pertumbuhan Ekonomi Kota Yogyakarta, Provinsi DI Yogyakarta, dan Indonesia Tahun 2009-2012
Pertumbuhan Ekonomi (%) Tahun Kota Yogyakarta
Provinsi DIY
Indonesia
2009
4,46
4,39
4,77
2010
4,98
4,87
6,13
2011
5,64
5,16
6,32
2012
5,76
5,32
6,23
Sumber: Kota Yogyakarta Dalam Angka 2013.
Perekonomian Kota Yogyakarta yang terus meningkatdiharapkan mampu menyediakan sumber daya bagi perbaikan kesejahteraan masyarakat
sebagaimana
tergambar
dari
indikator
pendidikan,
kesehatan, dan pengeluaran riil. Angka melek huruf di KotaYogyakarta meningkat dari 97,70 persen pada tahun 2008 menjadi 97,94 persen pada tahun 2009, dan 98,03 persen pada tahun 2010. Angka ini jauh di
43
ANALISIS KAPASITAS FISKAL KOTA STUDI KOMPARASI KOTA YOGYAKARTA DAN KOTA AMBON
atas rata-rata angka melek huruf di Provinsi DIY sebesar 90,84 persen. Rata-rata lama sekolah di Kota Yogyakarta juga yang terbaik di Provinsi DIY, yaitu mencapai 11,48 tahun pada tahun 2010. Adapun rata-rata lama sekolah di Provinsi DIY pada tahun yang sama tercatat 9,07 tahun. Kondisi yang sedikit berbeda dapat diamati dalam hal kesehatan. Usia harapan hidup penduduk di Kota Yogyakarta diketahui mencapai 73,27 tahun pada tahun 2008, kemudian meningkat menjadi 73,35 tahun pada tahun 2009, dan 73,44 tahun pada tahun 2010. Angka ini hanya sedikit di atas rata-rata usia harapan hidup penduduk di Provinsi DIY yang mencapai 73,22 tahun. Usia harapan hidup penduduk di Kota Yogyakarta masih lebih rendah jika dibandingkan dengan usia harapan hidup penduduk di Kabupaten Sleman dan Kabupaten Kulon Progo yang masing-masing mencapai usia 75,06 tahun dan 74,38 tahun pada tahun 2010. Pengeluaran riil per kapita di Kota Yogyakarta pada tahun 2010 sebesar Rp 649.710 per bulan. Jumlah ini adalah yang tertinggi jika dibandingkan dengan kabupaten se-Provinsi DIY. Pada tahun yang sama, pengeluaran riil per kapita Provinsi DIY adalah Rp 646.560.Dalamkurun lima
tahun,
maka
Kota
Yogyakarta
mempunyai
tingkat
ketimpanganpendapatan < 0,4 yang menunjukkan Kota Yogyakarta berada pada tingkatketimpangan rendah dan berarti distribusi pendapatan cukup merata. Pemerataan
pendapatan
masyarakat
di
Kota
Yogyakarta
mengalami pasang surut. Indeks Ketimpangan Williamson pada tahun 2008 diketahui sebesar 20,98, kemudian meningkat menjadi 22,17 pada
44
BAB 4 PROFIL KOTA YOGYAKARTA DAN KOTA AMBON
tahun 2009, dan menurun menjadi 18,95 pada tahun 2010. Meskipun demikian, jumlah penduduk miskin senantiasa mengalami penurunan dari tahun ke tahun. Jumlah penduduk miskin pada tahun 2008 tercatat sebanyak 881.334 jiwa, kemudian menurun menjadi 68.998 jiwa pada tahun 2009. Di tahun 2010, jumlah penduduk miskin di Kota Yogyakarta berjumlah 65.371 jiwa. Menurut data yang diperoleh dari Dinas Sosial, Tenaga Kerja, dan Transmigrasi
Kota
Yogyakarta,
jumlah
keluarga
miskin
di
Kota
Yogyakarta pada tahun 2013 masih cukup tinggi, yaitu mencapai 21.209 kepala keluarga (kk). Fenomena ini menjadi tantangan yang berat bagi Pemerintah Kota Yogyakarta dengan kondisi fiskal yang terbatas. Dalam publikasi
oleh
Tim
Koordinasi
Penanggulangan
Kemiskinan
Kabupaten/Kota (TKPKD) Kota dituliskan bahwa tingkat kemiskinan di DI Yogyakarta pada 2012 lalu ternyata tertinggi se-Jawa, yaitu mencapai 15,88 persen. Salah satu kontributornya adalah kemiskinan di Kota Yogyakarta. Data terakhir dari Berita Resmi Statistik BPS menunjukkan bahwa penduduk miskin di DIY pada Maret 2013 sebanyak 550.200 jiwa atau 15,43 persen dari total penduduk. Angka ini jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan persentase penduduk miskin di tingkat nasional, yaitu 11,37 persen. Dalam
Surat
Keputusan
Wali
Kota
Yogyakarta
Nomor
451/KEP/2012 tertanggal 28 Desember 2012 tentang penetapan data penduduk dan keluarga sasaran jaminan perlindungan sosial dinyatakan bahwa jumlah penerima mencapai 21.299 kk atau sebanyak 68.188 jiwa. Hal ini berarti bahwa jumlah warga miskin di Kota Yogyakarta meningkat,
45
ANALISIS KAPASITAS FISKAL KOTA STUDI KOMPARASI KOTA YOGYAKARTA DAN KOTA AMBON
karena penerima Kartu Menuju Sejahtera (KMS) tahun 2012 lebih tinggi dari tahun 2011. Pada tahun 2011, jumlah penerima KMS tercatat sebanyak 17.018 kk atau 54.530 jiwa.
Tabel 4.3. Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin di Kota Yogyakarta Tahun 2008-2011
Tahun
Garis Kemiskinan (Rp/Kapita/Bulan)
Penduduk Miskin Jumlah (Orang)
Persen (%)
2008
263.996
48.110
10,81
2009
265.168
45.290
10,05
2010
290.286
37.830
9,75
2011
314.311
37.740
9,62
Sumber: Kota Yogyakarta Dalam Angka 2013.
Memang data pada kedua tahun tidak dapat dibandingkan secara langsung, karena memang parameter verifikasinya yang berbeda. Data penerima KMS tahun 2012 di Kota Yogyakarta dibagi dalam tiga kategori, yaitu fakir miskin sebanyak 283 kk, miskin 8.944 kk dan rentan miskin sebanyak 12.072 kk. Jumlah penerima KMS ini merupakan hasil verifikasi dan pengolahan data dari data penerima KMS tahun sebelumnya ditambah usulan dari warga masyakarat, yaitu 17.018 kk dan 10.908 kk. Selama proses verifikasi terdapat 329 orang meninggal dunia, 1.020 kk pindah domisili, dan 325 kk terdata dua kali.
46
BAB 4 PROFIL KOTA YOGYAKARTA DAN KOTA AMBON
4.2.
Profil Kota Ambon Kota Ambon memiliki luas wilayah yang relatif kecil seperti halnya Kota Yogyakarta. Luas wilayah Kota Ambon adalah 377 km2 yang setara dengan 0,7 persen dari total luas Provinsi Maluku sebesar 54.185 km2. Kota Ambon hanya lebih luas dibandingkan Kota Tual, dan lebih kecil dari 9 kabupaten lainnya se-Provinsi Maluku.Kota Ambon memiliki 5 kecamatan, 30 desa, 20 kelurahan, 3 dusun, 297 RW, dan 1.060 RT. Jumlah penduduk Kota Ambon pada tahun 2010 tercatat sebanyak 331.254 jiwa. Jumlah ini merupakan 21,6 persen dari total penduduk di Provinsi Maluku sebanyak 1.533.506 jiwa.Kota Ambon menempati posisi kedua dalam hal jumlah penduduk setelah Kabupaten Maluku Tengah sebanyak 361.698 jiwa atau 23,6 persen dari total penduduk
Provinsi
Maluku.Jumlah
penduduk
Kota
Ambonpada
pertengahan tahun 2012berjumlah 354.464 jiwa. Jikadibandingkan dengan jumlah pendudukpada tahun 2011 meningkat sebesar 1,74 persen.Penduduk masih terkonsentrasidi Kecamatan Sirimau dengan tingkatkepadatan penduduk sebesar 1.727jiwa per km2. Sementara itu Kecamatanyang paling jarang penduduknya adalahKecamatan Leitimur Selatan dengantingkat kepadatan penduduk yanghanya sebesar 199 jiwa per km2. Berdasarkan survei angkatan kerjanasional tahun 2011, terdapat 227.563penduduk Kota Ambon yang masuk kedalam kategori penduduk usia kerja (15tahun ke atas), dimana 148.799 jiwamerupakan angkatan kerja. Proporsipenduduk bekerja mengalamipeningkatan dari tahun sebelumnya,yaitu dari 84,38 persen menjadi 89,27 persen dari jumlah
47
ANALISIS KAPASITAS FISKAL KOTA STUDI KOMPARASI KOTA YOGYAKARTA DAN KOTA AMBON
angkatan kerja.Tenaga kerja berjenis kelaminlaki-laki mendominasi bursa tenaga kerja di Kota Ambon, yaitu sebesar61,30 persen. TPAK penduduk Kota Ambon tercatat sebesar 65,39 persen pada tahun 2011. Menunjukan bahwa untuk setiap 1.000 penduduk usia kerja, terdapat
654
penduduk
yangberpartisipasi
dalam
angkatan
kerja.Sementara itu, tingkat kesempatankerja di Kota Ambon tercatat sebesar84,38 persen.Jumlah pencari kerja di KotaAmbon pada tahun 2011 sebanyak9.223 orang, dimana 47,69 persendiantaranya adalah perempuan. Biladitinjau menurut tingkatpendidikan/ijazah yang dimiliki, terlihatbahwa golongan terbesar pencari kerjaadalah yang berpendidikan SMUsebanyak 5.098 orang atau 55,27persen. Angka melek huruf di Kota Ambon pada tahun 2010 cukup tinggi, yaitu mencapai 99,59 persen, meningkat dari 99,20 persen pada tahun 2009. Fakta ini mengindikasikan kondisi pendidikan yang relatif baik. Untuk indikator kesehatan, diketahui bahwa angka harapan hidup penduduk Kota Ambon adalah 72,85 tahun pada tahun 2009 dan 73,01 tahun pada tahun 2010. Adapun IPM Kota Ambon tercatat sebesar 78,25 pada tahun 2009 dan meningkat menjadi 78,56 pada tahun 2010. Kota Ambon merupakan salah satu kota di antara 66 kota di Indonesia yang dipantau inflasinya secara rutin oleh BPS. Inflasi tahunan Kota Ambon pada tahun 2011 lebih rendah dibandingkan kota-kota lain di kawasan timur Indonesia, yaitu 2,9 persen. Hanya Kota Pare-Pare, Makasar, dan Sorong yang inflasinya lebih rendah dari Kota Ambon pada tahun tersebut. Sementara Kota Kendari mengalami inflasi paling tinggi di kawasan Timur Indonesia, yaitu mencapai 5,1 persen.
48
BAB 4 PROFIL KOTA YOGYAKARTA DAN KOTA AMBON
Tingkat pengangguran di Kota Ambon berfluktuasi pada periode 2009-2011. Jumlah penduduk yang menganggur pada tahun 2009 tercatat sebanyak 18.534 orang atau 17,57 persen dan kemudian meningkat menjadi 22.738 orang atau 15,67 persen pada tahun 2010. Tingkat pengangguran di Kota Ambon selanjutnya mengalami penurunan pada tahun 2011 menjadi 15.963 orang atau 10,73 persen. Angka ini lebih tinggi jika dibandingkan dengan tingkat pengangguran di Provinsi Maluku sebesar 7,38 persen.
Tabel 4.4. PDRB Kota Ambon Atas Dasar Harga Berlaku dan Konstan Tahun 2008-2012
PDRB (Rp Juta) Tahun Harga Berlaku
Harga Konstan
2008
2 668 234,55
1 600 882,70
2009
3 003 452,44
1 690 271,09
2010
3 441 675,71
1 802 667,73
2011
4 179 215,23
1 924 720,32
2012
5 060 958,60
2 089 901,53
Sumber: Kota Ambon Dalam Angka 2013.
PDRB Kota Ambon atas dasar harga berlaku maupun atas dasar harga konstan secara bertahap mengalamipeningkatan. Pada tahun 2011 jikadibandingkan dengan tahun 2010, PDRB atas dasar harga berlaku
49
ANALISIS KAPASITAS FISKAL KOTA STUDI KOMPARASI KOTA YOGYAKARTA DAN KOTA AMBON
meningkat sebesar 21,43persen dan sebesar 6,77 persenuntuk PDRB atas dasar harga konstan.Nilai PDRB atas dasar hargaberlaku untuk Kota Ambon tahun2011 sebesar Rp4,2 triliun,sedangkan PDRB atas dasar hargakonstan 2000 sebesar Rp1,9 triliundengan laju pertumbuhan ekonomiKota Ambon tahun 2011 adalahsebesar 6,77 persen.
Gambar 4.3. Pertumbuhan Ekonomi Kota Ambon Tahun 2008-2012 10 8.77
Persen (%)
8 6
5.91
6.65
6.77
5.58
4 2 0 2008
2009
2010
2011
2012
Tahun
Sumber: Kota Ambon Dalam Angka 2013.
Jika dilihat berdasarkanharga berlaku, maka kontribusiterbesar diberikan oleh sektor Jasa-jasasebesar 27,81 persen, diikutisektor perdagangan, hotel dan restoran sebesar 27,38 persen,serta sektor angkutan dan komunikasisebesar 18,05 persen. Keadaan yangsama dijumpai jika diamati berdasarkan hargakonstan, dimana sektor jasajasamerupakan
pemberi
kontribusiterbesar,
yaitu
27,24
persen,
diikutisektor perdagangan, hotel dan restoran sebesar 24,13 persen,serta sektor Angkutan dan Komunikasisebesar 20,16 persen.Dari sembilan
50
BAB 4 PROFIL KOTA YOGYAKARTA DAN KOTA AMBON
sektorekonomi
yang
ada,
seluruhnyamenghasilkan
pertumbuhan
positifbagi PDRB Kota Ambon pada tahun 2011. Untuk PDRB atas dasar harga berlaku, pertumbuhan tertinggi dihasilkan oleh sektor Jasa-jasa, yaitu sebesar 37,26 persen. Sementara yang terkecil adalah sektor pertanian, yaitu sebesar 7,63 persen. Namun untuk PDRB atas dasar harga konstan, pertumbuhan tertinggi dihasilkan oleh sektor konstruksi sebesar 15,91 persen dan yang terendah adalah sektor pertanian sebesar 2,18 persen. Salah
satu
indikator
untukmengukur
tingkat
kemakmuran
suatudaerah adalah pendapatan regionalper kapita.Pada tahun 2011, besarnyapendapatan per kapita atas dasarharga berlaku tercatat sebesarRp11.157.659.
Sedangkanpendapatan
per
kapita
atas
dasarharga konstan di tahun 2011 tercatatsebesar Rp5.053.118. Pendapatanper kapita Kota Ambon berdasarkanharga berlaku tumbuh cukup cepat,yaitu mencapai 18,07 persen, sedangkan untukharga konstan di Kota Ambonmengalami pertumbuhan sebesar2,84 persen, setelah sempatmengalami penurunan sebesar 4,94persen di tahun sebelumnya. Untuk tingkat kemiskinan, data dari BPS menunjukkan bahwa jumlah penduduk miskin di Kota Ambon tercatat sebanyak 21.130 jiwa atau 7,61 persen pada tahun 2009. Jumlah penduduk miskin kemudian mengalami peningkatan pada tahun 2010 menjadi 25.500 jiwa atau 7,67 persen. Kondisi kemiskinan di Kota Ambon ini masih lebih baik jika dibandingkan dengan kondisi kemiskinan se-Provinsi Maluku, namun lebih buruk dari kondisi kemiskinan di tingkat nasional.
51
ANALISIS KAPASITAS FISKAL KOTA STUDI KOMPARASI KOTA YOGYAKARTA DAN KOTA AMBON
Tabel 4.5. Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin di Kota Ambon Tahun 2008-2012
Tahun
Garis Kemiskinan (Rp/Kapita/Bulan)
Jumlah (Orang)
Persen (%)
2008
208.216
21.180
7,92
2009
268.913
21.130
7,61
2010
305.245
25.500
7,67
2011
324.453
23.410
6,83
2012
344.870
22.300
5,97
Sumber: Kota Ambon Dalam Angka 2013.
52
Penduduk Miskin
BAB 5 PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH KOTA YOGYAKARTA DAN KOTA AMBON
5.1.
Gambaran Umum APBD Struktur Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) terdiri dari 3 kategori utama, yaitu pendapatan daerah, belanja daerah, dan pembiayaan daerah. Pendapatan daerah terdiri dari pendapatan asli daerah (PAD), dana perimbangan, dan lain-lain pendapatan, sedangkan belanja daerah terdiri dari belanja langsung dan tidak langsung. Analisis yang pertama dilakukan dengan mengkomparasikan ketiga kategori utama APBD ini di antara Kota Yogyakarta dan Kota Ambon. Data yang disajikan pada Tabel 5.1 menunjukkan tren anggaran pendapatan Kota Yogyakarta maupun Kota Ambon yang senantiasa meningkat setiap tahun pada periode 2010-2012. Fakta yang sama diperlihatkan pula dalam hal rencana belanjanya yang nalarnya disebabkan oleh peningkatan kebutuhan pemerintah masing-masing kota dalam menjalankan tugas-tugas di bidang administrasi pemerintahan, fasilitasi
pembangunan,
dan
pelayanan
publik.
Pemerintah
Kota
Yogyakarta ternyata selalu merencanakan APBD yang defisit, yaitu rencana belanja melebihi rencana pendapatan. Sebaliknya, Pemerintah Kota Ambon senantiasa menyusun anggaran daerah yang surplus, yaitu belanja daerah selalu direncanakan tidak melebihi pendapatan daerah.
53
ANALISIS KAPASITAS FISKAL KOTA STUDI KOMPARASI KOTA YOGYAKARTA DAN KOTA AMBON
Tabel 5.1. Perbandingan Anggaran dan Realisasi Pendapatan, Belanja, dan Surplus/DefisitKota Yogyakarta dan Kota Ambon Tahun Anggaran 2010-2012
No.
2010
2011
2012
a. Anggaran
754.157
795.008
899.626
b. Realisasi
815.496
951.681
1.157.580
a. Anggaran
559.468
624.200
726.183
b. Realisasi
563.824
696.673
746.465
a. Anggaran
847.138
889.772
934.387
b. Realisasi
839.866
932.019
1.023.800
a. Anggaran
548.319
601.786
713.883
b. Realisasi
514.191
659.485
756.208
a. Anggaran
-92.981
-94.764
-34.761
b. Realisasi
-24.370
19.662
133.780
a. Anggaran
11.144
22.414
12.300
b. Realisasi
49.633
37.188
-9.743
1.
Pendapatan
1.1.
Kota Yogyakarta
1.2.
Kota Ambon
2.
Belanja
2.1.
Kota Yogyakarta
2.2.
Kota Ambon
3.
Surplus/Defisit
3.1.
Kota Yogyakarta
3.2.
Tahun (Rp Juta)
Komponen APBD
Kota Ambon
Sumber: Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan.
54
BAB 5 PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH KOTA YOGYAKARTA DAN KOTA AMBON
Dalam hal realiasi anggaran, juga terjadi fenomena yang saling berkebalikan di antara kedua kota. Kinerja realisasi keuangan Pemerintah Kota Yogyakarta ditandai dengan surplus yang semakin membesar dalam 3 tahun anggaran terakhir. Jika pada tahun 2010, masih terdapat defisit APBD sebesar Rp 24,4 miliar, maka pada tahun 2011 telah dihasilkan surplus sebesar Rp 19,7 miliar. Surplus APBD Kota Yogyakarta terus membaik menjadi Rp 133,8 miliar, padahal APBD dirancang untuk menghadapi situasi defisit. Dari sudut pandang positif, surplus anggaran mengindikasikan pemerintah kota mampu mengelola anggaran secara efisien, sehingga masih tersisa dana pada akhir tahun anggaran. Namun, surplus anggaran dapat pula dilihat dari perspektif negatif, yaitu menandakan bahwa pemerintah kota tidak mampu menyerap anggaran yang disediakan secara optimal. Tatkala Pemerintah Kota Yogyakarta mampu meningkatkan surplus APBD-nya, Pemerintah Kota Ambon justru mengalami penurunan surplus terus-menerus dalam 3 tahun terakhir. Pada APBD tahun anggaran 2010-2011 terjadi penurunan surplus dari Rp 49,6 miliar menjadi Rp 37,2 miliar. Tren ini terus berlanjut, sehingga pada tahun anggaran 2012, APBD Pemerintah Kota Ambon mulai mengalami defisit sebesar Rp 9,7 miliar. Situasi defisit ini berbeda dengan yang direncanakan, di mana Pemerintah Kota Ambon menyusun APBD dengan rancangan surplus. Berbedanya pola surplus/defisit dalam realisasi dengan
rencana
anggaran
dalam
beberapa
hal
mencirikan
ketidakpastian, sehingga menunjukkan masih diperlukannya perbaikan di dalam manajemen keuangan daerah di kedua kota.
55
ANALISIS KAPASITAS FISKAL KOTA STUDI KOMPARASI KOTA YOGYAKARTA DAN KOTA AMBON
Jika dilakukan perbandingan dengan rata-rata kabupaten/kota seIndonesia, maka terdapat sejumlah kabupaten/kota yang merencanakan anggaran defisit, sedangkan kabupaten/kota lainnya memilih anggaran yang surplus atau berimbang. Pada tahun anggaran 2012, diketahui bahwa total pendapatan kabupaten se-Indonesia adalah sebesar Rp321,67 triliun,sedangkan belanja tercatat lebih besar, yaitu mencapai Rp 345,17 triliun, sehingga terjadi akumulasi defisit di seluruh kabupaten sebesar Rp23,5 triliun. Untukkota, pada tahun 2012, total pendapatan seluruh kota di Indonesia ditargetkan sebesar Rp81,96 triliun, sedangkan alokasi belanja sebesar Rp86,58 triliun, sehingga terjadi defisit anggaran sebesar Rp4,62 triliun. Dari sebanyak 477 kabupaten/kota se-Indonesia, terdapat
63
kabupaten/kota
yang
merencanakan
anggaran
surplus,sedangkan405 kabupaten/kota merencanakan anggaran defisit. Adapun 9 kabupaten/kota lainnya merencanakan anggaran yang berimbang.
5.2.
Pendapatan Daerah Pendapatan daerah adalah semua penerimaan yang merupakan hak daerah dalam satu tahun anggaran yang akan menjadi penerimaan daerah. Sumber pendapatan daerah terdiri dari: (1)
Pendapatan Asli Daerah (PAD);
(2)
Dana Perimbangan; dan
(3)
Lain-Lain Pendapatan Daerah Yang Sah (LPDS).
PAD dihitung dengan memperhatikan perkembangan pendapatan selama dua tahun terakhir, serta prakiraan masing-masing potensi jenis PAD.
56
BAB 5 PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH KOTA YOGYAKARTA DAN KOTA AMBON
Dana Perimbangan terdiri dari Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK), sedangkan perhitungan LPDS berasal dari sumber-sumber pendapatan yang dapat dipastikan.
Tabel 5.2. Perbandingan Anggaran dan Realisasi Pendapatan Daerah Kota Yogyakarta dan Kota AmbonTahun Anggaran 2010-2012
No.
Komponen Pendapatan Daerah
2010
2011
2012
a. Anggaran
178.761
202.261
241.191
b. Realisasi
179.424
228.871
338.284
a. Anggaran
47.386
46.416
63.517
b. Realisasi
34.207
53.333
58.253
a. Anggaran
492.085
499.560
575.132
b. Realisasi
614.973
500.614
808.715
a. Anggaran
430.437
488.693
564.763
b. Realisasi
492.293
479.967
687.299
a. Anggaran
83.310
93.188
83.304
b. Realisasi
21.099
222.197
10.580
1.
PAD
1.1.
Kota Yogyakarta
1.2.
Kota Ambon
2.
Dana Perimbangan
2.1.
Kota Yogyakarta
2.2.
Tahun (Rp Juta)
Kota Ambon
3.
LPDS
3.1.
Kota Yogyakarta
57
ANALISIS KAPASITAS FISKAL KOTA STUDI KOMPARASI KOTA YOGYAKARTA DAN KOTA AMBON
3.2.
Kota Ambon a. Anggaran
81.645
89.092
97.903
b. Realisasi
37.324
163.373
913
a. Anggaran
754.157
795.008
899.626
b. Realisasi
815.496
951.682
1.157.579
a. Anggaran
559.468
624.200
726.183
b. Realisasi
563.824
696.673
746.465
4.
Total Pendapatan Daerah
4.1.
Kota Yogyakarta
4.2.
Kota Ambon
Sumber: Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan.
Apabila dilakukan perbandingan kontribusi setiap komponen pendapatan kota, maka diketahui bahwa Pemerintah Kota Ambon maupun Pemerintah Kota Yogyakarta masih sangat bergantung kepada dana perimbangan yang ditransfer oleh pemerintah pusat. Meskipun selalu
berfluktuasi,
mendominasi
struktur
namun
pangsa
pendapatan
dana
Kota
perimbangan
Yogyakarta.
masih
Penurunan
presentase dana perimbangan yang terjadi pada tahun 2011 terlihat diimbangi oleh peningkatan kontribusi LPDS yang cukup tajam. Sedangkan kontribusi PAD selalu meningkat dan persentasenya yang mencapai 29,22 persen relatif lebih baik jika dibandingkan dengan pangsa PAD terhadap pendapatan daerah di banyak kabupaten/kota lainnya di Indonesia.
58
BAB 5 PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH KOTA YOGYAKARTA DAN KOTA AMBON
PAD meliputi komponen pajak daerah, retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lain-lain PAD yang sah.Pajak daerah terdiri dari pajak hotel, pajak restoran, pajak hiburan, pajak reklame, pajak penerangan jalan, dan pajak parkir. Sedangkan retribusi daerah meliputi retribusi jasa umum, retribusi jasa usaha, dan retribusi perizinan tertentu. Retribusi jasa umum terdiri dari retribusi pelayanan kesehatan, retribusi pelayanan persampahan/kebersihan, retribusi penggantian biaya Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan Akte Catatan Sipil, retribusi pelayanan pemakaman dan pengaduan mayat, retribusi parkir di tepi jalan umum, retribusi pelayanan pasar, retribusi pengujian kendaraan bermotor, serta retribusi pelayanan kesehatan di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD). Selanjutnya retribusi jasa usaha mencakup retribusi kekayaan daerah, retribusi terminal, retribusi tempat khusus parkir, retribusi rumah potong hewan, retribusi pengolahan limbah cair, dan retribusi penjualan produksi usaha daerah. Adapun retribusi perizinan tertentu meliputi retribusi Ijin Mendirikan Bangunan (IMB), retribusi izin gangguan/keramaian, retribusi izin trayek, dan retribusi usaha di bidang pariwisata. Hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan berasal dari bagian laba atas penyertaan modal Pemerintah Kota Yogyakarta pada Perusahaan Milik Daerah/Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) yang terdiri dari Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Tirta Marta, Perusahaan Daerah Bank Perkreditan Rakyat (PD BPR) Bank Jogja, Perseroan Terbatas (PT) Jogjatama Vishesa, dan penyertaan modal pada Bank Pembangunan Daerah (BPD). Sedangkan lain-lain pendapatan asli
59
ANALISIS KAPASITAS FISKAL KOTA STUDI KOMPARASI KOTA YOGYAKARTA DAN KOTA AMBON
daerah yang sah bersumber dari hasil penjualan barang milik daerah, jasa giro kas daerah, pendapatan bunga deposito, tuntutan ganti kerugian daerah, pendapatan denda atas keterlambatan pelaksanaan pekerjaan, pendapatan dari pengembalian, dan pendapatan lain-lain.
Persen (%)
Gambar 5.1. Kontribusi Komponen Pendapatan terhadap Total Pendapatan Daerah Kota Yogyakarta Tahun 2010-2012 80 70 60 50 40 30 20 10 0
75.41
69.86 52.60
22.00
24.05 23.35
29.22
PAD DP LPDS
2.59 2010
0.92 2011
2012
Tahun
Sumber: Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan, diolah.
Pada periode yang sama, peran PAD dalam struktur pendapatan Kota Ambon relatif rendah, yaitu berkisar antara 6,07 persen hingga 7,08 persen terhadap total pendapatan daerah. Meskipun terus meningkat, namun persentase ini maih jauh lebih rendah apabila dibandingkan dengan peran dana perimbangan yang tercatat mencapai kisaran 68,89 persen hingga 92,07 persen. Persentase dana perimbangan yang lebih dari 90 persen menunjukkan kondisi ketergantungan pemerintah kota yang parah terhadap pemerintah pusat, atau kemandirian fiskal kota yang sangat buruk, dan membutuhkan perbaikan yang substansial. Adapun pangsa LPDS diketahui berkisar antara 0,13 persen hingga 23,45 persen.
60
BAB 5 PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH KOTA YOGYAKARTA DAN KOTA AMBON
Gambar 5.2. Kontribusi Komponen Pendapatan terhadap Total Pendapatan Daerah Kota Ambon Tahun 2010-2012 100 Persen (%)
92.07
87.31
80
68.89
60
PAD
40 20 6.62 6.07
0
2010
23.45 7.66 2011
DP 7.80 0.13 2012
LPDS
Tahun
Sumber: Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan, diolah.
Realisasi PAD Kota Yogyakarta selalu meningkat dan melebihi yang direncanakan pada kurun 2010-2012 dan terlihat mengalami percepatan setiap tahun. Realisasi PAD yang melebihi anggaran di satu sisi merupakan perwujudan kemampuan pemerintah kota yang semakin baik dalam menggali sumber-sumber PAD. Namun, di sisi lain, hal ini dapat pula disebabkan oleh penetapan target perolehan PAD yang relatif rendah oleh pemerintah kota, sementara kondisi perekonomian kota terus berkembang secara alamiah yang menghasilkan PAD lebih besar dari tahun sebelumnya. Sementara itu, realisasi PAD Kota Ambon terhadap anggarannya berfluktuasi dalam 3 tahun terakhir. Pada tahun 2010 dan 2012 realisasi PAD tercatat lebih rendah jika dibandingkan dengan yang direncanakan. Sedangkan pada tahun 2011, Pemerintah Kota Ambon mampu merealisasikan PAD melebihi yang ditargetkan. Realisasi PAD Kota Ambon terlihat mengalami peningkatan pesat pada periode 2010-2011 dan hanya sedikit meningkat pada periode 2011-2012.
61
ANALISIS KAPASITAS FISKAL KOTA STUDI KOMPARASI KOTA YOGYAKARTA DAN KOTA AMBON
Upaya-upaya yang dapat dilakukan Pemerintah Kota Yogyakarta dan Kota Ambon untuk meningkatkan kontribusi PAD terhadap pendapatan daerah pada dasarnya bersifat generik atau serupa dengan kabupaten/kota lainnya di Indonesia. Upaya-upaya yang dimaksud diarahkan pada optimalisasi PAD dengan mempertimbangkan kondisi perekonomian kota, provinsi, maupun nasional dan internasional, serta regulasi yang berlaku. Misalnya, upaya meningkatkan pajak daerah dan retribusi daerah ditempuh dengan mengacu pada Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Optimalisasi
PAD
sewajarnya
dilakukan
dengan
tidak
memberatkan dunia usaha dan masyarakat. Salah satu caranya adalah dengan meningkatkan ketaatan wajib pajak dan pembayar retribusi (intensifikasi). Untuk itu, diperlukan peningkatan pengendalian dan pengawasan atas pemungutan pajak dan retribusi yang dibarengi dengan peningkatan kualitas dan kecepatan pelayanan, serta kemudahan dan ketepatan waktu. Hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan perlu dihitung secara logis/rasional dengan memperhatikan nilai kekayaan daerah yang dipisahkan. Nilai yang dimaksud dapat berupa uang ataupun barang sebagai penyertaan modal. Di samping itu, perlu pula diperhatikan fungsi dan tujuan penyertaan modal tersebut. Dalam banyak kasus, Pemerintah
Kota
Yogyakarta
dan
Kota
Ambon
belum
mampu
mengoptimalkan pemanfaatan kekayaan daerah yang dipisahkan untuk meningkatkan PAD, baik untuk dikelola secara mandiri maupun dikerjasamakan dengan pihak lain.
62
BAB 5 PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH KOTA YOGYAKARTA DAN KOTA AMBON
Untuk dana perimbangan, Pemerintah Kota Yogyakarta maupun Pemerintah Kota Ambon selalu merencanakan peningkatannya setiap tahun.
Namun,
realisasi
dana
perimbangan
untuk
kedua
kota
menunjukkan pola yang sama, yaitu menurun pada tahun 2011 dibandingkan tahun 2010, kemudian meningkat cukup tinggi pada tahun 2012. Pada saat terjadi penurunan di tahun 2011, jumlah dana perimbangan yang direalisasikan oleh Pemerintah Kota Yogyakarta masih sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan yang ditargetkan, sedangkan Pemerintah
Kota
Ambon
hanya
mampu
merealisasikan
dana
perimbangan dengan jumlah yang lebih rendah dibandingkan yang dianggarkan.
Tabel 5.3. Perbandingan Anggaran dan Realisasi Komponen Dana Perimbangan Kota Yogyakarta dan Kota Ambon Tahun Anggaran 2010-2012
No.
Komponen Dana Perimbangan
1.
DBH
1.1.
Kota Yogyakarta
1.2.
Tahun (Rp Juta) 2010
2011
2012
a. Anggaran
83.042
61.458
32.180
b. Realisasi
75.585
62.722
59.358
a. Anggaran
36.317
40.617
38.154
b. Realisasi
44.219
32.110
43.633
a. Anggaran
395.444
436.340
536.467
b. Realisasi
395.444
436.130
536.467
Kota Ambon
2.
DAU
2.1.
Kota Yogyakarta
63
ANALISIS KAPASITAS FISKAL KOTA STUDI KOMPARASI KOTA YOGYAKARTA DAN KOTA AMBON
2.2.
Kota Ambon a. Anggaran
365.671
411.355
497.389
b. Realisasi
365.671
411.138
497.389
a. Anggaran
13.599
1.762
6.485
b. Realisasi
13.599
1.762
6.485
a. Anggaran
28.449
36.721
29.220
b. Realisasi
28.449
36.720
29.220
a. Anggaran
492.085
499.560
575.132
b. Realisasi
484.628
500.614
602.310
a. Anggaran
430.437
488.693
564.763
b. Realisasi
438.339
479.968
570.242
3.
DAK
3.1.
Kota Yogyakarta
3.2.
Kota Ambon
4.
Total Dana Perimbangan
4.1.
Kota Yogyakarta
4.2.
Kota Ambon
Keterangan Sumber
: Tidak termasuk Transfer Pemerintah Pusat Lainnya (Dana Otonomi Khusus dan Penyesuaian). : Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan.
Dana perimbangan mencakup komponen dana bagi hasil pajak/ bagi hasil bukan pajak (DBH), dana alokasi umum (DAU), dan dana alokasi khusus (DAK). Pemerintah Kota Yogyakarta selalu merencanakan DBH yang menurun di dalam APBD-nya. Tren yang sama dijumpai pula dalam realisasinya, namun sejak tahun 2011, realisasi DBH telah melampaui yang direncanakan. Sedangkan Pemerintah Kota Ambon merencanakan DBH secara berfluktuasi, yaitu mengalami peningkatan pada tahun 2011, namun kemudian menurun pada tahun 2012. Pola yang terbalik diamati pada realisasinya, di mana terjadi penurunan pada tahun 2011 dan peningkatan pada tahun 2012.
64
BAB 5 PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH KOTA YOGYAKARTA DAN KOTA AMBON
Pemerintah Kota Yogyakarta maupun Pemerintah Kota Ambon selalu merencanakan peningkatan DAU setiap tahun. Data pada Tabel 5.3
juga
menunjukkan
bahwa
rencana
DAU
senantiasa
dapat
direalisasikan seluruhnya, terkecuali Pemerintah Kota Yogyakarta pada tahun 2011. Di tahun tersebut, realisasi DAU Kota Yogyakarta sedikit lebih rendah jika dibandingkan dengan yang direncanakan. DAU senantiasa mendominasi dana perimbangan yang diterima oleh Pemerintah Kota Yogyakarta, yaitu memiliki pangsa selalu di atas 80 persen dan terus meningkat. Apabila pada tahun 2010 persentase DAU terhadap total dana perimbangan yang diterima Kota Yogyakarta tercatat sebesar 81,60 persen, maka pada tahun 2011 meningkat menjadi 87,12 persen. Selanjutnya pada tahun 2012 terjadi peningkatan proporsi DAU yang cukup besar menjadi 89,07 persen. Posisi kedua diduduki oleh DBH dengan persentase sejak tahun 2010 hingga 2012 masing-masing sebesar 15,60 persen, 12,53 persen, dan 9,85 persen, yang berarti cenderung menurun. Adapun pangsa DAK diketahui relatif kecil dan berfluktuasi. Gambar 5.3. Kontribusi Komponen Dana Perimbangan terhadap Total Dana Perimbangan Kota Yogyakarta Tahun 2010-2012
Persen (%)
100 80
81.60
87.12
89.07
60 DBH
40 20 0
15.60 2.80 2010
DAU 12.53 0.35 2011
9.85 1.08
DAK
2012
Tahun
Sumber: Direktorat Jenderal Perimbangan, diolah.
65
ANALISIS KAPASITAS FISKAL KOTA STUDI KOMPARASI KOTA YOGYAKARTA DAN KOTA AMBON
Pemerintah Kota Ambon pun sangat bergantung kepada DAU. Realisasi DAU selama periode 2010-2012 juga senantiasa di atas 80 persen dan bahkan pada tahun 2012 telah mencapai 87,22 persen terhadap total dana perimbangan yang diterima. Sedangkan peran DBH dan DAK relatif minim. Fakta ini bermakna bahwa Pemerintah Kota Yogyakarta dan Pemerintah Kota Ambon keduanya belum mampu keluar dari ketergantungan terhadap DAU. Komponen-komponen pendapatan daerah lainnya, khususnya PAD, belum mampu digerakkan untuk memberikan kontribusi yang lebih besar terhadap pendapatan daerah di kedua kota.
Gambar 5.4. Kontribusi Komponen Dana Perimbangan terhadap Total Dana Perimbangan Kota Ambon Tahun 2010-2012
Persen (%)
100 83.42
80
87.22
85.66
60 DBH
40
DAU
20
10.09 6.49
0
2010
7.65 6.69 2011
7.66 5.12
DAK
2012
Tahun
Sumber: Direktorat Jenderal Perimbangan, diolah.
Sifat DAU sebagai block grant memberikan keleluasaan bagi pemerintah
kota
dalam
menggunakannya.
Namun
demikian,
ketergantungan yang berlebihan dari suatu pemerintah daerah terhadap
66
BAB 5 PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH KOTA YOGYAKARTA DAN KOTA AMBON
DAU memberikan kesan bahwa pemerintah daerah yang bersangkutan hanya “pasrah” terhadap kondisi wilayahnya dan tidak menempuh upayaupaya khusus untuk meningkatkan kinerja wilayahnya, khususnya dalam menghasilkan PAD. Harus diakui bahwa formula perhitungan DAU yang digunakan saat ini masih menjadi faktor penghalang bagi pemerintah daerah untuk memacu PAD-nya. Peningkatan PAD akan membawa konsekuensi penurunan alokasi PAD, meskipun dengan proporsi yang lebih
rendah.
Responden
wawancara
dari
Direktorat
Jenderal
Perimbangan Keuangan (DJPK) mengemukakan bahwa naiknya PAD suatu daerah akan mengurangi DAU yang diterima oleh daerah yang bersangkutan, meskipun tidak dengan rasio satu berbanding satu. Pengurangan DAU hanya terjadi sekitar 40 persen dari kenaikan PAD. Penyaluran dana perimbangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah merupakan perwujudan dari kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Dana perimbangan ditransfer kepada daerah dengan berdasarkan pada prinsip money follow functions. Tujuan utamanya adalah mengurangi kesenjangan fiskal di antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah (vertical imbalances) dan antardaerah (horizontal imbalances). Selain itu, penyediaan dana perimbangan ditujukan untuk meningkatkan kapasitas fiskal daerah dan mendorong daerah untuk menggali potensi ekonomi daerah. Namun demikian, dalam praktiknya, banyak pemerintah daerah yang memposisikan dirinya berada dalam kondisi ketergantungan yang akut terhadap dana perimbangan untuk
menjalankan
fungsi
administrasi
pemerintahan,
fasilitasi
pembangunan, dan pelayanan publik.
67
ANALISIS KAPASITAS FISKAL KOTA STUDI KOMPARASI KOTA YOGYAKARTA DAN KOTA AMBON
Secara formal, dana perimbangan merupakan transfer dana yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) ke daerahdalam bentuk DBH, DAU, dan DAK (Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah serta Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2005 tentang Dana Perimbangan). DBH terdiri dari bagi hasil dari Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), bagi hasil dari Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), bagi hasil dari Pajak Penghasilan (PPh), serta wajib pajak orang pribadi dalam negeri. Di samping itu, DBH juga mencakup bagi hasil bukan pajak/sumber daya alam yang terdiri dari bagi hasil dari provisi sumber daya hutan dan bagi hasil dari pungutan hasil perikanan. Selanjutnya untuk LPDS ternyata juga terdapat pola realisasi anggaran yang sama di antara Pemerintah Kota Yogyakarta dan Pemerintah Kota Ambon. Terjadi realisasi pendapatan daerah dari LPDS yang jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan yang dianggarkan pada tahun 2010 dan 2012. Sedangkan pada tahun 2011, kedua pemerintah kota mampu merealisasikan LPDS melebihi yang ditargetkan. Berdasarkan hasil wawancara dengan responden diketahui bahwa terdapat beberapa kelemahan atau keterbatasan berikut ini yang dihadapi oleh Pemerintah Kota Yogyakarta dan Kota Ambon dalam upaya meningkatkan pendapatan daerah. (1)
Regulasi yang berlaku di daerah belum sepenuhnya mampu mengatur pemanfaatan kondisi dan potensi yang tersedia untuk meningkatkan pendapatan daerah secara signifikan, termasuk penegakan regulasi yang lemah.
68
BAB 5 PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH KOTA YOGYAKARTA DAN KOTA AMBON
(2)
Masih adanya kendala sumber daya manusia (SDM) serta kurang mendukungnya prasarana dan sarana dalam proses pemungutan dan pengelolaan PAD.
(3)
Belum intensifnya penerapan mekanisme reward and punishment bagi pengelola maupun wajib pajak dan retribusi daerah.
(4)
Kurang
maksimalnya
pemanfaatan
aset-aset
daerah
yang
mempunyai nilai ekonomi tinggi melalui kerjasama dengan dunia usaha dan masyarakat. (5)
Upaya ekstensifikasi PAD belum dilakukan secara maksimal.
(6)
Tidak
adanya
upaya
sistematis
dan
berkelanjutan
untuk
meningkatkan kesadaran wajib pajak dan retribusi daerah. Untuk mengatasi beragam kelemahan atau keterbatasan tersebut disarankan kepada Pemerintah Kota Yogyakarta untuk menempuh langkah-langkah berikut ini. (1)
Terus-menerus menyempurnakan dan memberlakukan peraturan daerah dan peraturan walikota yang mengaturtentang pendapatan daerah yang disesuaikan dengan kondisi dan potensi yang ada di Kota Yogyakarta.
(2)
Meningkatkan kapasitas sumber daya manusia secara terencana dan mengoptimalkan sumber daya manusia yang telah dimiliki.
(3)
Melengkapi
prasarana
dan
sarana
yang
diperlukan
untuk
mendukung proses pemungutan dan pengelolaan PAD agar potensi yang
dimiliki
dapat
secara
bertahap
dikontribusikan
bagi
pendapatan daerah.
69
ANALISIS KAPASITAS FISKAL KOTA STUDI KOMPARASI KOTA YOGYAKARTA DAN KOTA AMBON
(4)
Memberikan penghargaan secara berkala kepada pengelola pajak daerah dan retribusi daerah yang berprestasi dalam mencapai target yang telah ditetapkan dan mengenakan sanksi dengan tegas apabila terjadi pelanggaran.
(5)
Memberikan penghargaan secara periodik kepada wajib pajak daerah dan retribusi daerah yang memenuhi kewajibannya sesuai regulasi yang berlaku dan mengenakan sanksi tegas terhadap wajib pajak dan retribusi daerah yang melakukan pelanggaran.
(6)
Meningkatkan komunikasi dengan instansi pemerintah pusat (Direktorat
Jenderal
Perimbangan
Keuangan,
Kementerian
Keuangan dan Direktorat Jenderal Keuangan Daerah, Kementerian Dalam Negeri) untuk selalu mengikuti semua perkembangan yang terkait dengan Dana Perimbangan. (7)
Mengoptimalkan pemanfaatan aset-aset daerah yang memiliki nilai ekonomi tinggi melalui kerjasama dengan dunia usaha dan masyarakat.
(8)
Melakukan kajian-kajian dan ekstensifikasi secara terus-menerus, baik yang dilakukan secara mandiri oleh Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) terkait maupun dengan melibatkan pihak lain, seperti perguruan tinggi dan perusahaan konsultan swasta.
(9)
Mengembangkan berbagai kegiatan untuk meningkatkan kesadaran wajib pajak dan retribusi daerah, seperti peningkatan intensitas sosialisasi.
70
BAB 5 PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH KOTA YOGYAKARTA DAN KOTA AMBON
5.3.
Belanja Daerah Pengertian belanja daerah adalah semua pengeluaran yang merupakan kewajiban daerah dalam satu tahun anggaran yang akan menjadi pengeluaran daerah. Belanja daerah dapat diklasifikasikan menjadi belanja tidak langsung dan belanja langsung. Belanja langsung adalah belanja yang dipengaruhi secara langsung oleh adanya program atau kegiatan yang direncanakan, yang meliputi belanja pegawai, belanja barang dan jasa, serta belanja modal. Sedangkan belanja tidak langsung didefinisikan sebagai belanja yang tidak dipengaruhi secara langsung oleh adanya program atau kegiatan, yang terdiri dari belanja pegawai, belanja bunga, belanja subsidi, belanja hibah, bantuan sosial, belanja bagi hasil, dan belanja tidak terduga. Banyak faktor yang dapat menyebabkan fluktuasi belanja daerah, namun perencanaan anggaran daerah yang baik mempunyai kedudukan yang vital dal strategis. Suatu anggaran yang telah direncanakan dengan sangat baik saja masih memungkinkan dilaksanakan dengan buruk, apalagi jika perencanaan anggaran sudah buruk. Hampir mustahil untuk menghasilkan dampak yang optimal dalam pelaksanaan anggaran. Salah satu persoalan yang menonjol hingga saat ini dalam konteks belanja daerah adalah masih tingginya pangsa belanja pegawai di dalam struktur anggaran pemerintah daerah di Indonesia. Tingginya proporsi belanja pegawai mengakibatkan berkurangnya dana yang tersedia untuk melaksanakan kegiatan pembangunan dan pelayanan publik. Di samping itu, masih banyak penyimpangan anggaran yang dilakukan oleh pimpinan daerah maupun jajarannya.
71
ANALISIS KAPASITAS FISKAL KOTA STUDI KOMPARASI KOTA YOGYAKARTA DAN KOTA AMBON
Tabel 5.4. Perbandingan Anggaran dan Realisasi Belanja Pegawai Kota Yogyakarta dan Kota AmbonTahun Anggaran 2010-2012
No.
2010
2011
2012
a. Anggaran
523.241
535.473
585.248
b. Realisasi
559.147
608.148
668.724
a. Anggaran
336.858
441.907
523.911
b. Realisasi
389.865
451.753
534.338
a. Anggaran
847.138
889.772
934.387
b. Realisasi
839.866
932.019
1.023.800
a. Anggaran
548.319
601.786
713.883
b. Realisasi
514.191
659.485
756.208
a. Anggaran
61,77
60,18
62,63
b. Realisasi
66,58
65,25
65,32
a. Anggaran
61,43
73,43
73,39
b. Realisasi
75,82
68,50
70,66
1.
Belanja Pegawai
1.1.
Kota Yogyakarta
1.2.
Kota Ambon
2.
Total Belanja Daerah
2.1.
Kota Yogyakarta
2.2.
Kota Ambon
3.
Persentase Belanja Pegawai (%)
3.1.
Kota Yogyakarta
3.2.
Tahun (Rp Juta)
Belanja Daerah
Kota Ambon
Sumber: Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan.
72
BAB 5 PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH KOTA YOGYAKARTA DAN KOTA AMBON
Data yang ditampilkan pada Tabel 5.4 menunjukkan bahwa rencana maupun realisasi belanja pegawai pada APBD Kota Yogyakarta dan Kota Ambon selalu meningkat selama tahun 2010-2012. Selain itu, realisasi belanja pegawai setiap tahun senantiasa melampaui yang direncanakan. Persentase belanja pegawai terhadap total belanja daerah Kota Yogyakarta relatif tidak mengalami perubahan yang berarti, sedangkan pangsa belanja pegawai terhadap total belanja daerah Kota Ambon lebih fluktuatif. Pada tahun 2012, proporsi realisasi belanja pegawai di Kota Yogyakarta tercatat sebesar 65,32 persen dari total belanja daerah. Persentase ini lebih rendah jika dibandingkan proporsi realisasi belanja pegawai di Kota Ambon yang mencapai 70,66 persen terhadap total belanja daerah yang direalisasikan pada tahun yang sama. Belanja pegawai di Kota Yogyakarta maupun Kota Ambon masih di atas 50 persen dan sepertinya belum akan mengalami penurunan yang signifikan dalam jangka pendek. Belanja pegawai di Kota Yogyakarta tidak hanya mengkonsumsi belanja tidak langsung, tetapi juga belanja langsung. Sedangkan di Kota Ambon, meskipun tidak lagi menyediakan anggaran untuk belanja pegawai pada belanja langsung, namun persentase belanja pegawai pada belanja tidak langsung sangat tinggi. Persentase belanja pegawai yang tinggi menjadi salah satu penyebab rendahnya kapasitas fiskal Kota Yogyakarta dan Kota Ambon, selain masih rendahnya pendapatan daerah di kedua kota. Belanja pegawai pada belanja tidak langsung digunakan untuk membayar gaji dan tunjangan Pegawai Negeri Sipil Daerah (PNSD). Dalam praktiknya, penganggaran gaji pokok dan tunjangan PNS disesuaikan dengan hasil rekonsiliasi jumlah pegawai dan belanja
73
ANALISIS KAPASITAS FISKAL KOTA STUDI KOMPARASI KOTA YOGYAKARTA DAN KOTA AMBON
pegawai yang telah dilakukan dalam rangka perhitungan DAU. Selain itu, diperhatikan pula rencana kenaikan gaji pokok dan tunjangan PNS serta pemberian gaji ketiga belas. Alokasi belanja langsung pada dasarnya diupayakan untuk mendukung peningkatan kualitas kehidupan masyarakat di daerah yang antara lain diwujudkan melalui peningkatan pelayanan dasar, pendidikan, kesehatan, fasilitas sosial, dan fasilitas umum yang layak. Di samping itu, perlu diperhatikan pula pengembangan sistem jaminan sosial. Alokasi pos belanja wajib memerhatikan hasil analisis kewajaran biaya yang terkait dengan output yang dihasilkan dari kegiatan tertentu. Harus dihindari kemungkinan terjadinya pemborosan anggaran.
5.4.
Pembiayaan Daerah Kebijakan pembiayaan daerah mencakup kebijakan penerimaan pembiayaan dan kebijakan pengeluaran pembiayaan daerah. Kebijakan penerimaan pembiayaan sangat terkait dengan pemanfaatan sisa lebih perhitungan anggaran tahun sebelumnya (SILPA), pencairan dana cadangan,
hasil
penjualan
kekayaan
daerah
yang
dipisahkan,
penerimaan pinjaman daerah, penerimaan kembali pemberian pinjaman, dan penerimaan piutang daerah. Adapun kebijakan pengeluaran pembiayaan daerah terdiri dari pembentukan dana cadangan, penyertaan modal (investasi) daerah yang telah ditetapkan dengan Peraturan Daerah, pembayaran pokok utang yang jatuh tempo, dan pemberian pinjaman daerah kepada pemerintah daerah lain sesuai dengan akad pinjaman. Peluang terjadinya defisit dalam keuangan daerah perlu diantisipasi oleh Pemerintah Kota Yogyakarta maupun Kota Ambon.
74
BAB 5 PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH KOTA YOGYAKARTA DAN KOTA AMBON
Dalam 3 tahun terakhir, realisasi pembiayaan netto di Kota Yogyakarta
senantiasa
positif,
meskipun
berfluktuasi.
Sedangkan
realisasi pembiayaan netto di Kota Ambon pada kurun waktu yang sama diketahui hanya positif pada tahun 2012, setelah mengalami negatif pada tahun 2010 dan 2012. Jika dilihat dari trennya, maka realisasi pembiayaan netto di Kota Yogyakarta cenderung berfluktuasi, sedangkan tren pembiayaan netto di Kota Ambon terus meningkat.
Tabel 5.5. Perbandingan Anggaran dan Realisasi Pembiayaan Daerah Kota Yogyakarta dan Kota Ambon Tahun Anggaran 2010-2012
Tahun (Rp Juta) No.
Pembiayaan Daerah 2010
1.1.
1.2.
2011
2012
Kota Yogyakarta a. Anggaran
92.982
94.764
34.761
b. Realisasi
99.343
75.782
90.746
a. Anggaran
-11.150
-24.561
-12.300
b. Realisasi
-40.789
-14.254
20.494
Kota Ambon
Sumber: Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan.
5.5.
Kondisi Kemiskinan Komponen terakhir di dalam formula kapasitas fiskal daerah dan sekaligus menjadi faktor pembagi adalah jumlah penduduk miskin. Jumlah penduduk di suatu kota miskin yang tinggi akan menurunkan kapasitas fiskal kota yang bersangkutan, dan demikian pula sebaliknya.
75
ANALISIS KAPASITAS FISKAL KOTA STUDI KOMPARASI KOTA YOGYAKARTA DAN KOTA AMBON
Berdasarkan data yang tersedia diketahui bahwa Pemerintah Kota Yogyakarta maupun Pemerintah Kota Ambon ternyata belum mampu menurunkan jumlah penduduk miskin di wilayahnya secara signifikan. Belum mampunya pemerintah di kedua kota untuk menurunkan jumlah penduduk miskin menimbulkan pertanyaan mengenai kinerja pemerintah kedua kota dalam mengelola keuangan daerah secara efektif dalam menyelesaikan permasalahan pembangunan.
5.6.
Pemahaman Kapasitas Fiskal Daerah Temuan penting lainnya yang diperoleh dari penelitian ini adalah bahwa pemahaman aparat pemerintah daerah mengenai kapasitas fiskal daerah masih sangat minim. Pemahaman yang rendah ini murni disebabkan oleh ketidaktahuan maupun sifat tidak mau tahu, karena tidak adanya kepentingan yang terkait dengan data dan informasi mengenai kapasitas fiskal daerah. Komunikasi di antara instansi puat dengan daerah menyangkut kapasitas fiskal selama ini tidak intensif dan kondisi ini akan menjadi bahan evaluasi bagi DJPK. Diakui oleh responden dari DJPK bahwa saat ini terdapat 3 formula perhitungan kapasitas fiskal daerah yang berbeda. Salah satu formula ditujukan untuk menentukan alokasi DAU, sedangkan formula kedua diperlukan untuk menghitung dana hibah. Adapun formula yang terakhir digunakan untuk menetapkan daerah yang layak menerima dana dekonsentrasi
dan
tugas
pembantuan.
tersosialisasi kepada pemerintah daerah.
76
Semua
formula
kurang
BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN
BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN
8.1.
Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat ditarik beberapa kesimpulan berikut ini. (1)
Kota Yogyakarta dan Kota Ambon termasuk dalam daerah yang memiliki kapasitas fiskal rendah yang bermakna bahwa terdapat keterbatasan sumber daya keuangan untuk menjalankan tugastugas administrasi pemerintahan, fasilitasi pembangunan, dan pelayanan publik.
(2)
Kota Yogyakarta dan Kota Ambon juga memiliki kemandirian fiskal yang rendah atau ketergantungan yang tinggi terhadap dana transfer dari Pemerintah Pusat.
(3)
Pangsa PAD di dalam pendapatan daerah Kota Yogyakarta diketahui lebih tinggi jika dibandingkan Kota Ambon.
(4)
Kota Yogyakarta dan Kota Ambon memiliki presentase DBH yang relatif kecil di dalam komponen dana perimbangan sebagai sumber penerimaan daerah.
(5)
Komposisi dana perimbangan di Kota Yogyakarta dan Kota Ambon sangat didominasi oleh DAU dan tidak mengalami perubahan yang signifikan dari tahun ke tahun.
(6)
Formula perhitungan DAU yang digunakan saat ini masih menjadi disinsentif bagi Pemerintah Kota Yogyakarta dan Kota Ambon untuk meningkatkan PAD-nya.
77
ANALISIS KAPASITAS FISKAL KOTA STUDI KOMPARASI KOTA YOGYAKARTA DAN KOTA AMBON
(7)
Kota Yogyakarta mempunyai persentase lain-lain pendapatan daerah yang sah terhadap total pendapatan daerah yang lebih kecil dibandingkan PAD, sedangkan Kota Ambon memilikikondisi yang sebaliknya.
(8)
Belanja pegawai di Kota Yogyakarta dan Kota Ambon lebih dari60 persen dari total belanja daerah yang berarti hanya tersedia ruang fiskal yang relatif kecil untuk menjalankan kegiatan pembangunan dan pelayanan publik.
(9)
Persentase penduduk miskin di Kota Yogyakarta dan Kota Ambon masih relatif tinggi, sehingga menyebabkan kapasitas fiskal di kedua kota menjadi rendah, selain menunjukkan bahwa pemerintah kota belum mampu menggunakan sumber daya keuangan yang terbatas untuk meningkatkan keejahteraan rakyat di kotanya.
(10) Aparat Pemerintah Kota Yogyakarta dan Kota Ambon diketahui memiliki pemahaman yang terbatas mengenai kapasitas fiskal daerah.
8.2.
Saran Beberapa saran yang dapat dikemukakan adalah berikut ini. (1)
Pemerintah Kota Yogyakarta dan Pemerintah Kota Ambon perlu meningkatkan kemandirian fiskal daerahnya dengan meningkatkan kemampuan untuk menggali sumber-sumber PAD melalui kegiatan intensifikasi
dan
ekstensifikasi,
sehingga
dapat
ketergantungan yang terlalu besar terhadap DAU.
78
mengurangi
BAB 8 KESIMPULAN DAN SARAN
(2)
Pemerintah Kota Yogyakarta dan Pemerintah Kota Ambon perlu melakukan upaya-upaya sistematis untuk menurunkan pangsa belanja pegawai di dalam belanja daerah, misalnya dengan membatasi perekrutan PNSD secara berlebihan, sehingga tersedia dana daerah yang memadai yang dapat dimanfaatkan untuk berbagai kegiatan pembangunan.
(3)
Pemerintah Kota Yogyakarta dan Pemerintah Kota Ambon perlu lebih serius dalam mengurangi jumlah penduduk miskin di kedua kota melalui beragam upaya pemberdayaan masyarakat, seperti pemberian bantuan modal usaha bagi penduduk miskin usia produktif, dan lain sebagainya.
(4)
Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan perlu meningkatkan komunikasi dengan pemerintah daerah menyangkut kapasitas fiskal daerah, baik dalam bentuk rapat koordinasi, seminar atau lokakarya, dan bentuk kegiatan lainnya.
(5)
Direktorat
Jenderal
Perimbangan
Keuangan
perlu
menjajaki
kemungkinan dilakukannya revisi terhadap formula perhitungan DAU yang dapat memberikan insentif bagi pemerintah daerah untuk meningkatkan PAD-nya. (6)
Peneliti
selanjutnya
diharapkan
dapat
melakukan
penelitian
mengenai kapasitas fiskal daerah dengan jumlah kota yang lebih banyak, atau untuk kabupaten, atau kombinasi di antara kota dan kabupaten sebagai obyek penelitian, sehingga kesimpulan yang ditarik dan saran yang diberikan mengenai kapasitas fiskal daerah dapat digeneralisasi untuk seluruh Indonesia.
79
DAFTAR PUSTAKA
Amegashie, J. Atsu, 2012. Asymmetric Information, Fiscal Capacity, and Fiscal Accountability. Ontario: Department of Economics and Finance, University of Guelph. Arnott, Ricahrd J. dan Daniel P. McMillen, 2006. A Companion to Urban Economics. Malden: Blackwell Publishing. Babbie, Earl, 2004. The Practice of Social Research, 10th Edition. Belmont: Thomson-Wadsworth. Bahl, Roy W. dan Johannes F. Linn, 1992. Urban Public Finance in Developing Countries. Washington, D.C.: Oxford University Press published for The World Bank. Barro, Stephen M., 2002. “Macroeconomic versus RTS Measures of Fiscal Capacity: Theoretical Foundations and Implications for Canada”. Working Paper 2002 (1). IIGR, Queen’s University. Besley, Timothy, Ethan Ilzetzki, dan Tosten Persson, 2012. Weak States and Steady States: The Dynamics of Fiscal Capacity. London School of Economics, CIFAR, IIES, and Stockholm University. Black, Thomas R., 1999. Doing Quantitative Research in the Social Sciences. London: Sage Publications. Blakely, Edward J. dan Ted K. Bradshaw, 2002. Planning Local Economic Development, 3rd Edition. Thousand Oaks: Sage Publications. BPS, 2009. Data dan Informasi Kemiskinan 2008, Buku 2: Kabupaten/Kota. Jakarta. BPS, 2013. Kota Ambon Dalam Angka 2013. Jakarta. BPS, 2013. Kota Yogyakarta Dalam Angka 2013. Jakarta. Chernick, Howard, 1998. “Fiscal Capacity in New York: The City versus The Region”.National Tax Journal, Vo. 51, No. 3, September, pp. 531-540. Compson, Michael dan John Navratil, 1997. “An Improved Method for Estimating the Total Taxable Resources of the States”. Research Paper No. 9702. Fadzil, Faudziah Hanim dan Harryanto Nyoto, 2011. “Fiscal Decentralization after Implementation of Local Government Autonomy in Indonesia”. World Review of Business Research, Vol. 1, No. 2, May, pp. 51-70.
80
DAFTAR PUSTAKA
Gerry, Christopher J. dan Tomasz Mickiewicza, 2006. “Inequality, Fiscal Capacity and the Political Regime: Lessons from the Post-Communist Transition”. William Davidson Institute Working Paper Number 831. The William Davidson Institute at the University of Michigan. Gruber, Jonathan, 2011. Public Finance and Public Policy, Third Edition. New York: Worth Publishers. Hoffman, Dennis dan Tom R. Rex, 2010. Improving the Fiscal System of Arizona State Government. Prepared for the Arizona School Boards Association, Arizona State University. Ladjin, Nurjanna, 2008. “Analisis Kemandirian Fiskal di Era otonomi Daerah: Studi Kasus di Provinsi Sulawesi Tengah”. Tesis, tidak dipublikasikan. Semarang: Program Pascasarjana, Universitas Diponegoro. O’Sullivan, Arthur, 2007. Urban Economics, Sixth Edition, International Edition. Boston: McGraw-Hill. Peraturan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 26 Tahun 2012 tentang Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD) Tahun 2013. Priyastomo, Vidi, Dewi Syahrina, Aprida Rusmayanti, dan Alfan Syahni, 2007. “Korelasi antara Kapasitas Fiskal dengan Pendapatan Asli Daerah serta Pengaruhnya terhadap Strategi Belanja Daerah Provinsi Jawa Timur”. PKM Penulisan Ilmiah. Universitas Muhammadiyah Malang. Rancangan Rencana Pembangunan Jangka Menenengah Daerah Yogyakarta Tahun 2012-2016.
Kota
Salinan Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 245/PMK.07/ 2010 tentang Peta Kapasitas Fiskal Daerah. Salinan Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 244/PMK.07/ 2011 tentang Peta Kapasitas Fiskal Daerah. Salinan Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 226/PMK.07/ 2012 tentang Peta Kapasitas Fiskal Daerah. Sekaran, Uma, 2003. Research Methods for Business: A Skill-Building Approach, Fourth Edition. New York: John Wiley & Sons, Inc. Somantri, Ating dan Sambas Ali Muhidin, 2006. Aplikasi Statistika Dalam Penelitian. Bandung: Pustaka Setia. Sugiyono, 2010. Statistika untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta. Sulistyowati, 2006. “Analisis Ketimpangan Fiskal Vertikal Kabupaten dan Kota di Jawa Tengah Sebelum dan Sesudah Otonomi Daerah”. Tesis, tidak
81
ANALISIS KAPASITAS FISKAL KOTA STUDI KOMPARASI KOTA YOGYAKARTA DAN KOTA AMBON
dipublikasikan. Diponegoro.
Semarang:
Program
Pascasarjana,
Universitas
Supranto, J., 2008. Statistik: Teori dan Aplikasi, Jilid 1, Edisi Ketujuh. Jakarta: Erlangga. TACIR, 2012. A Users‟ Guide to Fiscal Capacity in theBasic Education Program Funding Formula. Yilmaz, Yesim dan Robert Zahradnik, 2005. Measuring the Fiscal Capacity of the District of Columbia: A comparison of revenue raising capacity and expenditure need Fiscal Year 2005.The Tax Policy Center. Yilmaz, Yesim, Sonya Hoo, Matthew Nagowski, Kim Ruben, dan Robert Tannenwald, 2006. “Measuring FiscalDisparities acrossthe U.S. States: A Representative Revenue System/Representative Expenditure System Approach Fiscal Year 2002”. Occasional Paper Number 74. A joint report by the Tax Policy Center and the New EnglandPublic Policy Center at the Federal Reserve Bank of Boston.
82
83
ANALISIS KAPASITAS FISKAL KOTA STUDI KOMPARASI KOTA YOGYAKARTA DAN KOTA AMBON
84