Proceeding Seminar Nasional "UU Pemda: Solusi atau Masalah Yang Baru?" Bandar Lampung, 30 April 2015
Desentralisasi atau Resentralisasi ? Tinjauan Kritis Terhadap UU NO 23/2014
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
!2
Selamat membaca
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
!1
Arah Politik Pemerintahan UU NO 23/2014 Oleh: Ari Darmastuti1 Pengantar Pengelolaan pemerintahan daerah di Indonesia telah mengalami pasang surut sejarah yang panjang, dimulai sejak awal kemerdekaan (Undang-Undang nomor 22/1948) sampai saat ini (Undang-Undang nomor 23/2014), dengan berbagai sifat pengaturan yang berbeda-beda. Perbedaan sifat pengaturan pemerintahan daerah tersebut sangat tergantung pada arah politik pemerintahan yang dibentuk, yaitu arah yang ingin memberi keleluasaan gerak kepada unit pemerintahan di tingkat bawah atau justru pengelolaan pemerintahan sentralistis dan seragam pada tingkat bawah. Masalah arah politik pengaturan pemerintahan daerah ini telah menjadi pokok pangkal “keributan” yang tidak ada habisnya dalam sejarah otonomi daerah di Indonesia. Secara alamiah pemerintah daerah tentu menginginkan wewenang dan sumberdaya yang cukup untuk dapat melaksanakan fungsi-fungsi yang mesti diembannya, tetapi pemerintah pusat secara alamiah memliki kecenderungan untuk memiliki kewenangan yang agar kepentingan bangsa.
dapat leluasa melaksanakan keinginan strategis untuk
Dalam beberapa diskusi dan debat akademik yang penulis
hadiri dan ikuti, keinginan pemerintah pusat untuk memiliki kewenangan cukup tersebut khususnya dinilai lebih didorong oleh apa yang oleh Nordholt dan Klinken dinyatakan bahwa reformasi di Indonesia telah menyebabkan runtuhnya otoritarianisme digantikan pemerintahan demokratis, tetapi juga telah mengakibatkan hilangnya ketertiban digantikan ketidaktertiban2.
Dengan alasan
bahwa otonomi daerah telah menghasilkan “raja-raja kecil di daerah” serta munculnya ketidakpatuhan kabupaten/kota terhadap pemerintah pusat dan pemerintah provinsi, kelihatannya undang-undang terbaru tentang pemerintahan
1 Ketua Program Studi dan dosen Magister Ilmu Pemerintahan, FISIP, Universitas Lampung
Henk Schulte Nordhold dan Geryy van Klynken. Renegotiating Boundaries: Local Politics in Post Suharto Indonesia. Leiden: KTILV Press. 2007: 1 2
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
!2
daerah meletakkan kembali dasar-dasar sentralisme dalam pengaturan tentang pemerintahan daerah di Indonesia. Paper pendek ini merupakan analisis singkat dan kritis tentang arah politik pemerintahan di Indonesia versi Undang-Undang nomor 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah. Secara khusus paper ini menyoroti beberapa aspek penting dalam pertimbangan filosofis, dalam konsep serta beberapa pasal kritis dalam batang tubuh UU terbaru.
Paper diakhiri dengan simpulan pendek serta solusi
yang mungkin diambil guna perbaikan substansi pengaturan pemerintahan di Indonesia di masa yang akan datang.
Hilangnya Semangat Otonomi dalam UU 23/2014 Penulis mencatat bahwa semangat otonomi daerah telah hilang dalam pertimbangan filosofis munculnya Undang-Undang nomor 23/4014.
Dalam dasar
pertimbangan Undang-Undang, prinsip otonomi daerah (nyata dan bertanggungjawab versi UU 5/1974 maupun otonomi luas versi UU 22/1999) tidak disebutkan atau hilang dalam pertimbangan UU.
Karena prinsip otonomi sama sekali tidak
disebut dalam pertimbangan UU, maka penyebutan Daerah Otonom menjadi tidak memiliki dasar filosofis karena otonomi daerah bukan prinsip yang menjadi dasar pengaturan pemerintahan daerah. menjadi dasar hak
Pernyataan bahwa urusan konkurenlah yang
otonomi daerah tidaklah
kuat karena bukan urusan yang
menentukan otonomi, tetapi jenis otonomi daerahlah yang menjadi dasar apakah daerah memiliki wewenang yang sungguh otonom atau tidak.
Apalagi urusan
konkuren sendiri sudah ditentukan dengan rinci dalam UU, hal ini semakin memberi indikasi kuat tentang arah dihilangkannya otonomi daerah dalam UU ini. Hilangnya semangat otonomi dalam Undang-Undang nomor 23/2014 sangat mengherankan karena setelah sentralisme model orde baru dinilai gagal menyelesaikan isu ketidakadilan antara Timur dan Barat, antara Jawa dan luar
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
!3
Jawa, maka otonomi luas di tingkat kabupaten/kota dinilai lebih sesuai dengan tuntutan keadilan pembangunan.
Peletakan kewenangan besar di tingkat Pusat
dan provinsi justru membuat model pemerintahan daerah semakin jauh dari idealisme memberikan pelayanan yang lebih dekat kepada masyarakat. Bagaimana kabupaten/kota akan dapat memberikan pelayanan jika sumberdaya dikuasai Pusat dan Daerah?
Hilangnya otonomi di tingkat kabupaten/kota juga akan memberi
potensi besar terhadap gagalnya pengelolaan pemerintahan desa karena kabupaten/kota tidak akan memiliki
sumberdaya memadai untuk bisa
mengkoordinir dan melaksanakan fungsinya secara memadai untuk mengawasi pelaksanaan UU Desa. Selain hilangnya semangat otonomi dalam pengaturan pemerintahan daerah dalam UU ini, penulis mencatat aspek lain yang cukup ganjil dari dasar penggantian UU 32/2004. Dalam dasar pertimbangan disebutkan bahwa UU nomor 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah dinilai tidak sesuai lagi dengan perkembangan keadaan, ketatanegaraan, dan tuntutan penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Perlu
dikemukakan bahwa belum pernah ada debat akademis yang serus tentang kelemahan UU 32/2004, khususnya menyangkut prinsip otonomi daerah di Indonesia. Satu-satunya hal yang menjadi debat publik yang cukup serius adalah diperlukannya secara tegas
pemisahan pengaturan pemerintahan daerah,
pemerintahan desa dan Pilkada. Terlihat UU 23/2014 justru menguatkan keinginan politik kelompok tertentu di parlemen yang ingin menguasai proses pilkada agar hasilnya seragam dengan kehendak koalisi di DPR. Dengan keyakinan bahwa koalisi tertentu akan menguasai pilkada maka kemudian kemudian terjadi rekayasa lebih lanjut untuk mengatur agar sistim pemerintahan daerah kembali mengarah ke sentralisasi dengan melemahkan azas otonomi daerah yang luas menjadi azas otonomi terbatas. Hilangnya semangat otonomi bukan hanya bahwa otonomi daerah tidak disebutkan dalam dasar pertimbangan, tetapi juga dalam ketentuan umum Pasal 1 (12) yang mengemukakakn konsepsi Daerah Otononom sebagai “kesatuan masyarakat hukum
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
!4
yang......berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistim NKRI.” Terdapat perubahan cukup signifikan dari mengatur dan mengurus urusan rumah-tangganya sendiri menjadi mengatur dan mengurus urusan pemerintahan.
Hal ini menunjukkan bahwa daerah kehilangan
independensi “rumah tangga” dan aspek kekuasaan dalam rumah tangga, menjadi sebatas “urusan pemerintahan”.
Daerah otonom bukan unit otonom lagi (baik
provinsi maupun kabupaten/kota) tetapi menjadi sekedar berwenang mengatur urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat. Hilangnya semangat otonomi juga terlihat lebih lanjut dalam pengaturan tentang azas. Azas otonomi tidak disebutkan sama sekali; dan dalam ketentuan tentang azas, yang ada hanyalah azas penyelenggaraan urusan pemerintahan (pasal 5 ayat (4)).
Dalam pasal ini disebutkan dengan jelas bahwa penyelenggaraan Urusan
Pemerintahan dilaksanakan dengan azas Desentralisasi, Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan.
Sebagaimana diketahui bahwa Undang-Undang ini telah mengatur
dengan rigid apa saja Urusan Pemerintahan konkuren yang dilaksanakan bersama antara Pemerintah Pusat, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota. Penyebutan 5 (lima) urusan strategis nasional (agama, hukum, luarnegri, pertahanan keamanan dan keuangan) sebagai
urusan “absolut” justru menjadi
dasar bagi “kecurigaan” penulis bahwa kemudian istilah strategis digunakan sebagai argumen bagi penguasaan sumberdaya yang selama ini telah diserahkan kepada daerah untuk pembiayaan pelaksanaan urusan otonomi. Ketentuan lain yang cukup membingungkan dalam pengaturan pemerintahan daerah dalam Undang-Undang ini adalah bahwa untuk melaksanakan pemerintahan daerah, Pemerintah Pusat menetapkan kebijakan sebagai dasar dalam menyelenggarakan Urusan Pemerintahan. Dalam penjelasan pasal tentang hal ini, kebijakan disebutkan bahwa yang dimaksud kebijakan adalah pedoman penyelenggaraan urusan konkuren baik yang untuk kewenangan Pemerintah Pusat maupun Daerah. Meski demikian, tidak jelas apa yang dimaksud sebagai pedoman
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
!5
tersebut karena tidak disebutkan lebih lanjut, apakah berupa Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, peraturan Menteri, atau yang lainnya.
Dalam
Undang-Undang sebelumnya hal ini disebutkan dengan jelas. Ketidakjelasan justru dapat menimbulkan spekulasi yang merugikan untuk kepastian pengaturan hubungan kewenangan dan keuangan antara Pusat dan daerah. “Skenario” lebih lanjut bagi hilangnya semangat otonomi daerah dalam UndangUndang ini adalah ketentuan dalam Pembagian urusan antara Pemerintah Pusat dan pemerintah daerah.
Dalam Undang-Undang disebutkan terdapat tiga jenis
urusan, yaitu absolut, konkuren dan pemerintahan umum.
Dalam ketentuan
tentang apa yang menjadi urusan Pemerintahan Pusat, provinsi dan kabupaten, maka jelas daerah akan kehilangan kontrol sama sekali atas sumberdaya yang berada dalam posisi “lintas daerah”.
Semua sumberdaya atau masalah yang
bersifat “lintas daerah” menjadi kewenangan sepenuhnya tingkat pemerintahan di atasnya.
Sepintas pengaturan seperti ini terlihat ideal. Tetapi pada periode
sebelumnya dan saat ini, daerah justru sering diminta pertanggung-jawaban dan dinilai tidak bertanggung-jawab terhadap masalah yang sebenarnya bukan kewenangannya, tetapi terjadi di daerahnya. Hal ini merupakan konsekuensi dari kondisi yang menunjukkan bahwa tidak ada urusan yang sama sekali tidak menyangkut kabupaten/kota atau provinsi karena daerahlah yang menjadi lokasi dari setiap urusan dan masalah.
Menghilangkan sama sekali daerah di tingkat
bawah dalam urusan yang bersifat lintas daerah justru akan menghiangkan semangat kebersamaan dalam penyelesaian urusan yang membutuhkan koordinasi vertikal. Hal yang paling kontroversial dalam pengaturan Undang-Undang ini yang menunjukkan bahwa terdapat kecenderungan sentralisme adalah pengaturan urusan bidang kehutanan, kelautan dan energi dan sumberdaya mineral. urusan ini
Ketiga
dibagi menjadi urusan Pusat dan Provinsi (Pasal 14 UU 23/2014).
Pengaturan seperti ini bertentangan dengan prinsip pengaturan urusan sebelumnya yang menyatakan bahwa sumberdaya dan masalah yang diurus Pusat dan Provinsi
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
!6
adalah urusan yang bersifat lintas provinsi atau lintas kabupaten. Prinsip urusan pemerintahan itu dianulir sendiri oleh pembuat Undang-Undang dalam ketentuan Pasal 14.
Bagaimana dengan sumberdaya kelautan, perikanan dan energi dan
sumberdaya mineral yang hanya ada dalam satu kabupaten?
Bagaimana dengan
hak masyarakat kabupaten/kota bersangkutan? “Penyeragaman urusan” pemerintahan daerah eperti formula yang digariskan dalam Undang-Undang ini juga tidak sesuai dengan secara nyata berbeda satu dengan lainnya.
kemampuan daerah yang
Riset penulis menunjukkan bahwa
kemampuan daerah untuk melaksanakan fungsi lintas sektor dalam satu wilayah provinsi sangat berbeda satu sama lain3. Untuk itu dibutuhkan formula pengaturan urusan yang lebih mengakomodir perbedaan kemampuan antar daerah, bukan formula yang seragam. Penutup Osborne dan Gaebler4 menyatakan bahwa pemerintah harus mampu melaksanakan 10 prinsip
entrepreneurial spirit.
Sementara itu World Bank5 dalam Laporan
Pembangunan tahun 1997 menyatakan bahwa pemerintah memiliki fungsi-fungsi: (1) meletakkan dasar-dasar hukum; (2) melakukan investasi di bidang pelayanan sosial dan infrastruktur; (3) mengadakan kebijakan yang kukuh; (4) melindungi yang lemah; (5) melindungi lingkungan hidup. Sedangkan J.E. Anderson6,
1989,
menyatakan bahwa fungsi pemerintah ada 7 (tujuh) yaitu: ( 1) menyediakan 3 Ari
Darmastuti. 2014. Local Autonomy and Inter-Sector Performance Based Government in Lampung Province. Journal of Government and Politics. Volume 5 Number 2 August 2014 4
David Osborne dan Ted Gaebler. 1992. Reinventing Government. Addison-Wesley Publishing Co
5 World
Bank. Laporan Pembangunan 1997.
6
Budi Setiyono. 2005. Birokrasi dalam Perspektif Politik dan Administrasi. Semarang: Pusat Kajian Otonomi Daerah dan Kebijakan Publik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Diponegoro
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
!7
infrastruktur sosial; (2) menyediakan barang dan jasa kolektif; (3) menyelesaikan konflik antar anggota masyarakat; (4) menjaga iklim persaingan; (5) melindungi lingkungan hidup; (6) menyediakan akses minimum kepada individu terhadap barang dan jasa; (7) menstabilkan ekonomi. Bagaimana pemerintah akan dapat melaksanakan semua fungsi dan kewajibannya? Jawabannya jelas, bahwa pemerintah harus memiliki sumberdaya yang memadai untuk itu. Ketika suatu daerah, dalam Undang-Undang lebih tepatnya kabupaten/ kota, kehilangan kewenangan atas sumberdaya, maka jelas bahwa daerah tidak akan dapat melaksanakan semua fungsi dan kewajibannya. Sungguh ironis bahwa pembuat Undang-Undang menghilangkan semangat otonomi daerah dan keadilan pembangunan, suatu langkah mundur dari semangat reformasi.
Daftar Pustaka Anderson. J. E. 1989. Darmastuti, Ari. 2014. Local Autonomy and Inter-sector Performance Based Governance in Lampung Province. Journal of Government and Politics. Volume 5 Number 2, August 2014. Nordhold, Henk Schulte, dan Geryy van Klynken. 2007. Renegotiating Boundaries: Local Politics in Post Suharto Indonesia. Leiden: KTILV Press. Osborne, David dan Ted Gaebler. 1992. Reinventing Government. AddisonWesley Publishing Co
Setiyono, Budi.
2005.
Birokrasi dalam Perspektif Politik dan Administrasi.
Semarang: Pusat Kajian Otonomi Daerah dan Kebijakan Publik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Diponegoro Worldbank. Laporan Pembangunan 1997.
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
!8
PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DAERAH DALAM PERSPEKTIF UU No. 23 TAHUN 2014 7) Oleh Syarief Makhya8) UU No.23 Tahun 20149) tentang Pemerintahan Daerah secara resmi diberlakukan sejak Bulan Oktober 2014, menggantikan UU 32 tahun 2004. Sejak disyahkan UU No.23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah nyaris UU ini tidak banyak dikritisi atau dibicarakan oleh para praktisi dan akademisi pemerintahan tentang hal-hal yang baru dalam praktek berpemerintahan, seakan-akan tidak ada yang baru atau bahkan nyaris tidak ada isu yang layak untuk diperbicangkan. Jika ditilik dari latar belakang munculnya UU Pemda yang baru ini, maka sebenaranya lahirnya UU tersebut bukan produk dari problem penyelenggaraan pemerintahan yang mendasar, karena tidak ada isu subtanstif di era UU No.32/ 2004 yang mencuat untuk diperbincangkan, tetapi lebih disebabkan alasan ketidaksesuaian UU Nomor 32 Tahun 2004 dengan perkembangan keadaan, ketatanegaraan, dan tuntutan penyelenggaraan pemerintahan daerah. UU No.5/1974 bisa bertahan selama 25 tahun, UU No.22/1999 efektifnya hanya berjalan 3 tahun, dan UU 32/2004 hanya berlangsung selama 10 tahun untuk kemudian diganti dengan UU 23/2014. Perubahan tersebut cenderung akibat dari 7
) Disampaikan Pada Semnas tentang UU Pemerintahan Daerah : Solusi atau Masalah Baru, yang diselenggarakkan, Lab Politik Lokal dan Otda Jur ilmu Pemerintahan, Pascasarjana MIP FISIP Unila dan APAKSI Korwil Lampung, Kamis 30 April 2015 di Universitas Lampung.
8
) Pengajar Program Pascasarjana Magister Ilmu Pemerintahan (MIP) FISIP Universitas Lampung
9
) UU No.23 Tahun 2014, ada perubahan yaitu dengan dikeluarkannya UU No.2 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU No. 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah menjadi UU. Dalam UU No.2 tahun 2015 hanya Pasal 101 dan pasal 154 yang dirubah terkait dengan Tugas dan Wewenang DPRD.
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
!9
dinamika perubahan politik yang terjadi di pemerintah Pusat. Jadi, secara hipotesis UU No.23/2014 juga bukan produk perubahan UU pemda yang final, potensi untuk berubah juga terbuka lebar tergantung pada dinamika dan tarik menarik kepentingan politik di pemerintah pusat. Artinya, Indonesia sesunggunya belum memiliki model ideal dalam mengatur proses penyelenggaraan pemerintahan di Daerah untuk kepentingan jangka panjang. Visi pemerintahan yang ingin dibangun dalam UU No.23 tahun 2014, yaitu dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah ditujukan untuk
mempercepat
terwujudnya kesejahteraan masyarakat, melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat, serta peningkatan daya saing daerah. Sementara, prinsip yang dibangun dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah yaitu demokrasi, pemerataan, keadilan dan kekhasan daerah dalam sistem NKRI (lihat konsideran UU No.23/2014). Namun, pertanyaan yang layak untuk diajukan, apakah visi tersebut bisa diwujudkan? Sebagian jawaban atas pertanyaan ini secara normatif akan bisa dilihat dari subtansi UU No.23/2014, apakah bisa menjawab dan memberikan solusi terhadap problem implementasi otonomi daerah sekarang ini, atau justru menimbulkan persoalan baru? Telaah UU No. 23 Tahun 2014 Secara umum UU No. 23 Tahun2014 yang terdiri atas 411 pasal, jika dibandingan dengan tiga UU sebelumnya (UU No.5 Tahun 1974, UU No.22 tahun 1999 dan UU No. 32 tahun 2004), UU ini jauh lebih komprehensif, rinci dan ada terobosan baru dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Dalam tulisan ini sebagian dari
potret penyelenggaraan pemerintahan daerah, akan ditelaah dari (a) Relasi Kekuasaan Kepala Daerah dengan DPRD, (b) Distribusi Kewenangan, (c) Kebijakan Perencanaan Pembangunan, (d) inovasi daerah (e) Akses Publik, (e) Pemerintahan umum.
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
!10
(a) Relasi Kekuasaan Jika dipertanyakan lembaga mana yang memiliki kewenangan untuk mengontrol proses penyelenggaraan pemerintahan daerah? Jawabannya secara konstitutional adalah DPRD. Namun, bagaimana meletakan fungsi pengawasan ini dalam konstruksi penyelenggaraan pemerintahan. Dalam UU No. 23 Tahun 2014 tidak ada perubahan yang berarti atau hampir sama dengan kontruksi yang diatur dalam UU No.32 Tahun 2004 yaitu Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah terdiri atas kepala daerah dan DPRD dibantu perangkat daerah. Implikasi dari kontruski penyelenggaraan seperti tersebut yaitu fenomena kekuasaan menjadi terintegratif. DPRD diletakan sebagai mitranya pemerintah daerah, sehingga model yang dikembangkan adalah hubungan kerjasama, mengurangi konflik dan mengedepankan legitimasi formal. Akibatnya, fungsi kontrol DPRD terhadap jalannya pemerintah tereduksi dan tidak efektif. (b) Distribusi Kewenangan Dalam UU no 23 tahun 2014, urusan pemerintahan dibagi atas urusan absolut yang diselenggarakan oleh Pemerintah Pusat, urusan pemerintahan umum, dan Urusan pemerintahan konkuren yang dibagi antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota.
Urusan
pemerintahan absolut adalah Urusan Pemerintahan yang sepenuhnya menjadi kewenangan Pemerintah Pusat. Urusan pemerintahan konkuren adalah Urusan Pemerintahan yang dibagi antara Pemerintah Pusat dan Daerah provinsi dan Daerah kabupaten/kota. Urusan pemerintahan umum adalah Urusan Pemerintahan
yang menjadi kewenangan Presiden sebagai kepala
pemerintahan. Untuk urusan konkuren atau urusan pemerintahan yang dibagi antara Pemerintah Pusat dan Daerah provinsi dan Daerah kabupaten/kota dibagi menjadi urusan pemerintahan wajib dan urusan pemerintahan pilihan. Urusan Pemerintahan Wajib adalah Urusan Pemerintahan yang wajib diselenggarakan oleh semua Daerah. Sedangkan Urusan Pemerintahan Pilihan adalah Urusan Pemerintahan yang wajib diselenggarakan oleh Daerah sesuai dengan potensi
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
!11
yang dimiliki Daerah. Urusan pemerintah wajib yang diselenggaraan oleh pemerintah daerah terbagi menjadi Urusan Pemerintahan yang berkaitan dengan Pelayanan Dasar dan Urusan Pemerintahan yang tidak berkaitan dengan Pelayanan Dasar. Esensi dari penyelenggaraan pemerintahan daerah diatur berdasarkan distribusi kewenangan tersebut adalah untuk merealisasikan fungsi – fungsi pemerintahan di bidang pelayanan publik, pembangunan dan pemberdayaan, dan keamanan,. Pelaksanaan fungsi itu membutuhkan kejelasan kewenangan yang memadai dan dukungan anggaran yang maksimal. Oleh karena itu, pada tataran implementasinya distribusi kewenangan membawa konsekuensi tidak hanya menyangkut sumber pendanaannya tetapi juga terkait dengan sumber pemasukan bagi pendapatan daerah. Penyerahan kewenangan yang tidak menghasilkan sumber PAD, maka harus dibebankan pada pemerintah daerah yang menjadi tanggunjawabnya melalui pendanaan APBD, sebaliknya kewenangan yang mempunyai dampak terhadap sumber pendapatan PAD akan memberi kontribusi bagi peningkatan APBD. Hasil penelitian yang dilakukan DPD RI (2011:36) urusan yang berpotensi meningkatkan kesejahteraan rakyat
yaitu sektor pertambangan, perikanan,
pertanian, perkebuhan, kehutanan dan parawisata. Dalam UU No.23 Tahun 2014, beberapa urusan tersebut yang selama ini dikelola oleh Kabupaten/Kota seperti pertambangan, pendidikan menengah, dan kehutanan sekarang menjadi urusan Pemerintah Provinsi. Pengambilalihan kewenangan tersebut akan memberi dampak yang tidak menguntungkan bagi pemerintah kabupaten/kota seperti berkurangannya PAD. Keberadaan pemerintah Provinsi, seharusnya lebih diarahkan pada peran, koordinasi, fasilitatif, insentif dan pemberdayaan bukan melakukan peran secara langsung khususnya dalam pemberian pelayanan publik dan pembangunan, kecuali yang sifatnya lintas Kabupaten/Kota; karena pelayanan
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
!12
publik sebagian besar berada di kabupaten/kota, maka
kabupaten/kota
dibutuhkan kewenangan strategis dan sumber anggaraan yang memadai. Distribusi kewenangan harus dipertimbangkan aspek kelayakan implementasinya dan dampaknya serta memberi jaminan
untuk bisa berfungsinya
penyelenggaraan pemerintahan secara optimal; Isu pokoknya yang harus dikedepankan adalah persoalan distribusi alokasi sumber daya. Persoalan ini lah yang sebenarnya menjadi sumber konflik kepentingan. Sebagai pendukung alasan tersebut yaitu anggaran
sekarang ini hampir 70 %
ada di Pusat, dan 30 % di Daerah.10 Distribusi anggaran pusat ke daerah dilakukan melalaui DAU, DBH dan DAK. Secara teknis pembagian distribusi itu tidak dilakukan dalam sistem manajemen yang transparan dan adil, akses untuk memperoleh dana tersebut, harus dilakukan melalui loby atau memiliki akses dengan pejabat di pemerintah pusat. Dari aspek manajemen pemerintahan, penyelenggaraan pemerintahan bukan hanya sebatas pada tercapainya efisiensi atau efektivitas pemerintahan, tetapi juga harus mengedepankan aspek pemerataan pembangunan. Oleh karena itu penumpukan anggaran di Pusat dan distribusi anggarannya harus dievaluasi dan diarahkan pada pencapaian pemerataan pembangunan.
(c) Kebijakan Perencanaan Pembangunan,
Dalam UU No. 23 Tahun 2014, kebijakan ini diatur dalam Pembangunan Daerah (Bab X). Kebijakan perencanaan pembangunan yang diatur dalam Bab X UU 23/2014 tersebut, merupakan bentuk penyempurnaan dari kebijakan yang diatur dalam UU 32/2004. Dalam bab ini, perencanaan disusun secara sistematis, dalam RPJPD, RPJMD, RKPD. Dalam dokumen perencanaan tersebut 10
) Data ini bersumber dari Surat Bupati Aceh Tengah Kepada Presiden tentang Masukan UU No.23 tahun 2014, Tanggal 7 Januari 2015
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
!13
khususnya RPJMD harus merupakan penjabaran visi, misi, dan program kepala daerah. Ini menunjukkan bahwa isu kepentingan publik dipersepsikan oleh kepentingan politik yang bersifat personal. Pengalaman sejauh ini, pengaruh kepentingan kepala daerah
sangat dominan dalam mengimplementasikan
kebijakan perencanaan pembangunan dan seringkali kesinambungannya tidak terjaga serta juga bertolak belakang dengan kepentungan publik yang dipersepsikan oleh masyarakat luas (kepentingan publik yang pluralistik).
(d) UU 23 Tahun 2014, memberi naunsa baru yaitu yaitu adanya pasal khusus yang mengatur tentang inovasi daerah (Bab XXI, Pasal 386 sd 390). Dengan adanya ketentuan ini, maka setiap daerah bisa melakukan terobosan kebijakan sesuai dengan inovasi yang dikembangkan di daerahnya; daerah bisa melakukan inisiatif untuk membuat kebijakan yang inovatif, tanpa harus menunggu persetujuan atau restu dari pemerintah pusat. Ketentuan ini adalah wujud dari kebijakan desentralisasi a simetris. Dengan adanya ketentuan pasal ini, maka tidak ada alasan bagai pejabat di daerah untuk melakukan inisiatif untuk menjalankan sebuah perubahan di daerahnya serta tidak perlu khawatir terjerat dalam masalah hukum.
(e) Akses Publik
Hampir sama dengan UU 32/2004, UU Pemerintahan Daerah yang baru pun membuka akses publik dalam proses penyelenggaraan pemerintahan. Regulasi akses publik dalam UU 23 Tahun 2014, diatur dalam Bab XIV tentang partisipasi masyarakat dan Bab XXI tentang Informasi Pemerintahan Daerah. Adanya Partisipasi publik dan Informasi Publik menegaskan bahwa pemerintah harus memberi ruang bagi publik dalam proses pembuatan kebijakan,
mengontrol
dan mengevaluasi kebijakan, serta pemerintah dituntut untuk terbuka, sehingga informasi harus bisa diakses oleh publik.
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
!14
Namun, ketentuan peranserta publik dan keterbukaan informasi publik cenderung hanya kebijakan simbolik yang tidak memiliki kekuatan memaksa, sehingga praktis tidak terimplementasikan secara optimal, karena masih kuatnya dominasi peran pemerintah. e. Pemerintahan Umum UU ini juga sebagian mengembalikan warisan UU No.5/1974 dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, seperti pembentukan Forkominda, memperkuat peran gubernur dalam kapasitas sebagai kepala wilayah (pasal 91-94), dan memfungsionalisasikan kembali urusan pemerintahan umum oleh Kecamatan (pasal 225) Penguatan Gubernur sebagai Pusat harus diterjemahkan sebagai bentuk intervensi positif yaitu memberi jaminan untuk kepentingan (a) terlaksananya urusan pemerintahan umum
(b) memfasilitasi dan mendistribusi sumberdaya
secara adil bagi kepetingan kabupaten/kota; (c) berperan aktif dan terlibat dalam proses pemecahan masalah yang dihadapi kabupaten/kota. Simpulan Efektif tidaknya penyelenggaraan pemerintahan prinsipnya ditentukan oleh sistem dan kapasitas kepemimpinan kepala daerah. UU 23/2014, adalah sebuah sistem untuk mengatur penyelenggaraan pemerintahan. Dalam prakteknya implementasi UU Pemda sebagaimana terjadi selama ini, ada problem implementasi yaitu ada subtansi regulasi yang hanya sebatas` simbolik dan tidak bisa terimplementasikan karena faktor lemahnya kekuatan pemaksa dan terjadi perebutan kepentingan dikalangan elit politik dan pemerintahan yang tidak bisa dikontrol serta terbatasnya sumber anggaran.
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
!15
UU No. 23 Tahun 2014, yang ingin membangun pemerintahan yang demokratis, secara hipotesis sulit untuk diwujudkan karena pengelolaan kekuasaan tidak diatur secara tepat yaitu bagaimana agar penyelenggaraan pemerintahan itu bisa dikontrol secara efektif. Sementara isu pokok yang terkait dengan distribusi alokasi sumber daya, sebagai isu pokok untuk penyelenggaraan pelayanan publik dan pembangunan di daerah, masih belum diatur untuk menjamin pemerataan dan keadilan pembangunan di daerah-daerah terutama yang berada di luar Jawa.
DAFTAR PUSTAKA DPD.RI. 2011. Desain Pola Hubungan Kewenangan Kabupaten/Kota dengan Provinsi, Sekertariat Jendral DPD RI. Jakarta Undang-Undang PEMDA, Sinar Grafika, Jakarta. 2015
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
!16
UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2014: PEMERINTAHAN DAERAH YANG EFEKTIF-EFISIEN DAN RESENTRALISASI Hertanto Pengajar Jurusan Ilmu Pemerintahan dan Magister Ilmu Pemerintahan FISIP UNILA
PENDAHULUAN Undang-undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, yang telah dirubah oleh UU No. 9 tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah, merupakan UU yang ketiga pada pemerintahan periode reformasi. Sebelumnya ada UU No. 22 tahun 1999 dan UU No. 32 tahun 2004.
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
!17
Selama kurun 1999-2014 itu, praktik desentralisasi dan otonomi daerah di era Reformasi sudah berjalan selama satu dasawarsa lebih. Setelah tiga dekade sebelumnya terbiasa diatur dan diperintah dari pusat (Jakarta), kini, daerah memiliki kewenangan jauh lebih besar. Banyak hal sudah terjadi. Beberapa kepala daerah bekerja secara kreatif dan banyak melakukan inovasi kebijakan. Mereka mampu menerbitkan kemakmuran di daerah masing-masing. Namun, cukup banyak juga kepala daerah yang kurang atau bahkan tidak berhasil menyejahterakan rakyatnya. Mereka justru terperangkap dalam pusaran kekuasaan. Pusat-pusat kekuasaan yang telah menyebar memang menghadirkan sejumlah komplikasi. Di antaranya, hubungan birokrasi dan pembagian wewenang pemerintah pusat dan pemerintah daerah serta kompetensi sumber daya manusia yang tidak sama antara satu daerah dengan daerah lain. Kekuasaan yang berhimpun di tangan elite yang dipilih secara langsung juga memunculkan masalah tersendiri. Dinamika politik lokal itu bagaikan pisau bermata dua: menguntungkan bila elite politik berpihak sepenuhnya pada kepentingan publik dan mencederai rakyat kalau mereka membangun "kartel" dengan lebih mengutamakan kepentingan kelompok (Prisma, Juli 2010: 74).
Sehingga, tujuan desentralisasi dan otonomi daerah untuk meningkatkan layanan publik dan kesejahteraan rakyat, merupakan dua persoalan yang hingga sekarang masih terlihat sangat mahal kendati daerah sudah diberi kewenangan cukup besar.
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
!18
UU Nomor 23 tahun 2014 dilahirkan dari latar persoalan-persoalan di atas. Untuk itu, menurut mantan Mendagri Gamawan Fauzi diperlukan adanya paradigma kewenangan daerah yang efektif dan efisien (Prisma, Juli 2010: 74). Ini yang antara lain memunculkan Pasal 14 ayat (1), dimana “penyelenggaraan urusan pemerintahan bidang kehutanan, kelautan, serta energi dan sumber daya mineral dibagi antara pemerintah pusat dan daerah provinsi”.
Ada dua dua sudut pandang yang hampir sama dari segi praktek pemerintahan yang berjalan dan seting kebijakan desentralisasi dan otonomi yang diterapkan. Duaduanya, beranggapan karena berbagai pertimbangan, maka kebijakan sentralisasi kerap menjadi pilihan utama dalam mengatasi masalah hubungan pusat dan daerah di Indonesia.
Pemerintahan yang Efektif dan Efisien Menurut Gamawan Fauzi (2010: 75), desentralisasi dalam negara kesatuan diberikan oleh pusat kepada daerah. Bila empunya wewenang minta pertanggungjawaban, maka daerah yang diberi mandat seharusnya bertanggung jawab. Tetapi terkadang seorang bupati diundang oleh gubernur (sebagai wakil pemerintah pusat) tidak mau datang. Bupati merasa itu sebagai haknya. Padahal, dia hanya menerima kewenangan yang telah diberikan.
Dengan demikian, menurut Gamawan, ke depan pola seperti ini akan dirubah. Jadi, penyerahan kewenangan tidak lagi berprinsip "luas, nyata, dan bertanggung jawab", tetapi efektif dan efisien. Kewenangan seperti apa yang akan lebih efektif Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
!19
dan efisien bila diurus oleh pemerintah pusat atau provinsi atau kabupaten-kota. Jadi, kriterianya tidak lagi "luas, nyata, dan bertanggung jawab", tetapi efektif dan efisien. Hal strategis apa yang harus tetap dipegang pusat dan tidak diserahkan ke daerah.
Pandangan ini mewakili argumentasi pemerintah pusat yang mendesain berlakunya undang-undang tentang pemerintahan daerah saat ini.
Resentralisasi Menurut beberapa pakar yang mewakili kalangan masyarakat, akar persoalan desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia adalah, pertama, relasi kekuasaan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah di Indonesia lebih cenderung mengarah ke kutub sentralisasi daripada desentralisasi (Hidayat 2010: 17). UndangUndang Nomor 22 Tahun 1999 pada tingkat minimal mencoba menggeser pendulum sentralisasi ke kutub desentralisasi, namun UU No. 32/2004 justru cenderung mengembalikannya ke posisi semula (sentralisasi). Salah satu penyebab gerak balik pendulum desentralisasi tersebut adalah karena konsep desentralisasi yang diterapkan sejak awal kemerdekaan relatif tidak mengakomodasi perspektif desentralisasi politik (kewenangan) tetapi lebih berkiblat pada perspektif desentralisasi administrasi (urusan). Pada tingkat "pernyataan", sering dikemukakan bahwa kebijakan desentralisasi di Indonesia bertujuan untuk mempercepat proses demokratisasi di tingkat lokal, namun pada tingkat "kenyataan" wewenang yang diserahkan kepada daerah sangat dibatasi, dan kontrol pemerintah pusat terhadap pemerintah daerah juga sangat ketat. Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
!20
Kedua, realitas implementasi desentralisasi dan otonomi daerah juga menggambarkan fokus perhatian agenda reformasi yang berlangsung selama sepuluh tahun pertama (1999-2009) lebih banyak dicurahkan pada upaya memperbaiki dan membangun institusi negara (state institutional reform). Sementara upaya untuk membangun dan memperkuat kapasitas negara relatif belum mendapat perhatian yang memadai. Akibatnya, "kehadiran" negara dalam praktik kehidupan sehari-hari menjadi samar-samar atau bahkan "absen". Reformasi desentralisasi dan otonomi daerah yang berlangsung sepuluh tahun terakhir juga sebagai bagian dari state institutional reform minus state capacity. Karena itu, kehadiran desentralisasi dan otonomi daerah terlihat "sangat nyata" dalam bentuk institusi, tetapi "tidak kentara" dalam fungsi. Desentralisasi dan otonomi daerah juga "sangat nyata" hadir dengan kemasan demokrasi, namun "roh" yang terkandung di dalamnya masih sangat bernuansa sentralisasi (Hidayat 2010: 18).
Ketiga, ada tiga problematik sehubungan dengan berlakunya UU No. 32 Tahun 2004 sebagai pengganti UU No. 22 Tahun 1999, yakni problem konstitusi, problem komitmen pemangku kepentingan, dan problem inkonsistensi kebijakan (Haris 2014: 198). Problem konstitusi terkait dengan amanat Pasal 18 (baru), Pasal 18A dan Pasal 18B UUD 1945 yang menjadi dasar penerbitan UU No. 32/2004 yang membuka peluang penafsiran yang lebar bagi penyusun UU (DPR dan pemerintah) tentang ruang lingkup agenda desentralisasi dan otonomi daerah. Sehingga prinsip desentralisasi, esensi otonomi daerah dan pemerintahan daerah, struktur Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
!21
pemerintahan daerah (Pemda dan DPRD), hubungan pemerintah pusat dan pemerintahan daerah, dan hubungan antarpemerintahan daerah (propinsikabupaten/kota dan sebaliknya) cenderung "mundur kembali" dibandingkan UU No. 22/1999.
Adapun, problem komitmen pemangku kepentingan terkait dengan sikap pemerintah pusat, DPR, dan parpol, yang tidak punya komitmen terhadap agenda desentralisasi dan otonomi daerah. Sedangkan problem inkonsistensi kebijakan terkait dengan persoalan lembaga regulator, format regulasi, dan ruang lingkup kebijakan otonomi daerah. Lembaga regulator berkaitan dengan wacana urgensi keterlibatan DPD-sebagai wakil-wakil Daerah—dalam penyusunan regulasi otonomi daerah. Otoritas regulator berkenaan dengan batas-batas yang boleh dan tidak boleh diubah dalam regulasi otonomi daerah apabila telah ada grand design yang jelas mengenai arah agenda desentralisasi dan otonomi daerah. Format regulasi berkaitan dengan wacana perlunya penyatuan (kompilasi) antara UU tentang Pemerintahan Daerah dan UU tentang Perimbangan Keuangan Pusat-Daerah, serta di sisi lain pemisahan pengaturan kebijakan otonomi daerah dan pemilihan kepala daerah (Pilkada). Sementara itu, ruang lingkup regulasi berhubungan dengan cakupan kewenangan pemerintah di satu pihak, dan kewenangan pemerintahan daerah di pihak lain (Haris 2012: 204).
Keempat, desain otonomi lokal yang pada dasarnya bukan merupakan isu teknis pemerintahan melainkan indikasi dari persaingan sengit antara kepentingankepentingan yang bersaing memperebutkan sumber daya material yang konkret Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
!22
(Hadiz 2005: 241). Jakarta jelas punya kepentingan tersendiri dalam mempertahankan kendali atas potensi lokal - paling tidak sebanyak mungkin sambil berusaha menyeimbangkan hal ini terhadap aspirasi untuk mendapatkan otonomi yang lebih luas. Di lain pihak, elite-elite lokal ingin mendapatkan kendali langsung atas potensi yang sama untuk kepentingan mereka sendiri, dengan secara tipikal menyebut-nyebut ketidakadilan yang terjadi pada masa lalu yang memungkinkan Jakarta untuk mengeksploitasi kekayaan dengan merugikan pihak lokal. Belum lagi masalah ketidakmerataan kemakmuran di berbagai daerah di Indonesia. Oleh karena itu persaingan utamanya adalah tentang penguasaan sumber-sumber daya, meskipun hal ini diutarakan atas nama harga-diri lokal, atau identitas etnik atau kedaerahan versus persatuan nasional. Sumber daya yang diperebutkan bervariasi dari satu daerah ke daerah lain. Oleh karena itu desentralisasi pada akhirnya bukan hanya masalah perhitungan teknis saja, tetapi lebih mendasar lagi yaitu masalah persaingan kekuasaan. Suatu perjuangan konkret memperebutkan kekuasaan dan sumber daya di antara kepentingan-kepentingan yang berbeda di tingkat pusat, provinsi dan kabupaten. Termasuk di dalamnya kepentingan-kepentingan predatoris yang dipupuk di bawah Orde Baru tetap muncul dalam persaingan ini (Hadiz 2005: 206).
PENUTUP Penyelenggaraan pemerintahan daerah diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat, serta peningkatan daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, dan kekhasan suatu Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
!23
daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan daerah perlu ditingkatkan dengan lebih memperhatikan aspek-aspek hubungan antara pemerintah pusat dengan daerah dan antardaerah, potensi dan keanekaragaman daerah, serta peluang dan tantangan persaingan global dalam kesatuan sistem penyelenggaraan pemerintahan negara (Konsideran UU No. 23 tahun 2014).
Berdasarkan pengalaman hubungan pusat dengan daerah, selalu diwarnai trend naik-turun dan bergesernya pendulung kekuasaan dari sentralisasi kepada desentralisasi, dan sebaliknya. Bila terjadi masalah antara pusat dan daerah, kebijakan yang diambil oleh pusat kerapkali melakukan resentralisasi. Karena ada kekhawatiran daerah punya ‘kekuatan’ yang tidak bisa dikendalikan oleh pusat atau mengarah kepada desintegrasi NKRI. Sejarah desentralisasi di Indonesia senantiasa ditandai oleh prasangka tersebut (Wignjosoebroto 2010: 61). Sebenarnya, periode Reformasi merupakan pembalikan sentralisasi Orde Baru ke arah desentralisasi yang membawa harapan besar bagi tumbuhnya era otonomi daerah (Haris 2012; Hidayat 2010).
Oleh karena itu, apa pun perbedaan ancangan konseptual dan asumsi paradigmatik di antara pihak-pihak yang berkompeten, dalam persoalan desentralisasi, seharusnya sama-sama bertolak dari sebuah kebijakan bahwa kekuasaan dalam tata pemerintahan yang terlalu terpusat tidaklah menguntungkan. Berdasarkan pertimbangan itu, perlu diupayakan berkurangnya kekuasaan pusat di satu sisi dan bertambahnya kewenangan daerah di sisi lain. Semua pihak harus lebih Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
!24
mengedepankan kepentingan dan peran sentral masyarakat yang memiliki kebebasan serta menyadari hak-hak konstitusionalnya sebagai warga suatu negara demokratis. PUSTAKA PENDUKUNG
Fauzi, Gamawan. 2010. “Paradigma Kewenangan Daerah yang Efektif dan Efisien”. Prisma, Volume 29, Nomor 3, Juli. Hlm. 74-83. Hadiz, Vedi R. 2005. “Desentralisasi dan Demokrasi di Indonesia: Sebuah Kritik terhadap Perspektif Neo-Institusionalis”. Dalam Dinamika Kekuasaan Ekonomi Politik Indonesia Pasca-Soeharto. Jakarta: LP3ES. Hlm. 272-304. Haris, Syamsuddin. 2014. “Desentralisasi Asimetris, Problem atau Solusi?”. Dalam Masalah-masalah Demokrasi & Kebangsaan Era Reformasi. Jakarta: Pustaka Obor. Hlm. 191-218. Hidayat, Syarif. 2010. “Mengurai Peristiwa-Merentas Karsa: Refleksi Satu Dasa Reformasi Desentralisasi dan Otonomi Daerah”. Prisma, Volume 29, Nomor 3, Juli. Hlm. 3-22. Wignjosoebroto, Soetandyo. 2010. “Satu Abad Desentralisasi di Indonesia”. Prisma, Volume 29, Nomor 3, Juli. Hlm. 58-69. Dokumen RI, Undang-undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. RI, Undang-undang Nomor 9 tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas UndangUndang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah.
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
!25
Kritik dan Saran Untuk Perbaikan UU 23 tahun 2014 Oleh: Budi Kurniawan
UU 23 tahun 2014 lahir dari adanya keresahan akan dampak negatif yang ditimbulkan UU no 32 tahun 2004. Ada beberapa masalah yang disorot sebagai kelamahan UU lama yang ditulis oleh sang arsitek, yakni DIRJEN Otda Kemendagri, Djohermansyah Djohan di Kompas (25 April 2015) beberapa waktu yang lalu. Pertama dan yang paling penting adalah lemahnya fungsi gubernur dan pemerintah pusat dalam mengontrol pemerintah kabupaten dan kota. Dalam banyak kasus, gubernur sebagai kepanjangan pemerintah pusat di daerah gagal mencegah abuse Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
!26
of power dari pemerintah kota dan kabupaten terutama dalam masalah pertambangan, kelautan dan kehutanan. Dampak negatifnya adalah kerusakan lingkungan yang parah akibat eksploitasi pemerintah kabupaten dan kota dalam rangka meningkatakan pendapatan daerah. Muncul raja-raja kecil di daerah yang tanpa bisa dikontrol gubernur dan pemerintah pusat ini, dalam banyak kasus tidak bisa berkoordinasi dengan gubernur yang biasannya dikarenakan perbedaan latar belakang politik. Dan di sisi yang lain gubernur berada pada posisi menggantung tanpa bisa berpijak. Kedua, maraknya daerah pemekaran yang kebablasan. Ketiga, ada kewenangan yang tumpang tindih. Selain itu dalam naskah akademiknya (2011: 13-16), Kementrian dalam negeri merasa perlu melakukan revisi terhadap UU ini dikarenakan adanya overhead cost akibat otonomi daerah yang berimbas pada naiknya anggaran kepagawaian. Overhead cost ini dianggap membebani anggaran daerah yang tidak sedikit mengorbankan sektor vital lainnya yang lebih layak untuk diprioritaskan seperti infrastruktur, pendidikan dan kesehatan. Dampak –dampak negatif inilah menurut pemerintah pusat yang menjadi latar belakang mengapa UU 32 tahun 2004 perlu direvisi. Tulisan ini akan membahas beberapa catatan kritis penulis terhadap UU ini dan bagaimana solusi yang dapat ditawarkan untuk menjawab permasalahan otonomi daerah. Proses Pembuatan Kebijakan yang Tidak Demokratis UU ini dalam proses policy making-nya pun tidak melibatkan banyak aktor di luar negara. Penulis sendiri yang bekerja di kampus tidak pernah diajak untuk
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
!27
membahas UU yang penting ini. Daerah pun apalagi, kabupaten dan kota yang menjadi objek kebijakan ini gelisah justru ketika UU ini telah disahkan dan berdampak bagi mereka. Ada asymmetric information diantara anak bangsa yang berkepentingan akan UU ini. UU yang lebih menyorot perhatian publik adalah UU pilkada langsung atau tidak langsung. Televisi dan Koran yang basisnya di Jakarta dan umumnya dimiliki tokoh politik nasional lebih mengcover UU ini ketimbang UU pemda karena memang berkaitan dengan kepentingan elite politik Jakarta. Sehingga perdebatan di ruang publik lebih didominasi Jakarta ketimbang daerah di saat TV nasional yang mendominasi rumah kita lebih bias Jakarta. Implikasinya adalah perdebatan dan pembahasan UU ini kurang, dan akhirnya UU ini lolos tanpa ada perdebatan yang berarti di ruang publik.
Kesalahan Paradigma Kesalahan
fatal dalam UU ini adalah masih terkungkungnya paradigma hierarkis
ketimbang network atau jaringan. Jakarta masih beranggapan bahwa pengawasan itu harus hirarkis padahal kenyataannya paradigma ini sudah usang dan ditinggalkan dalam paradigma manajemen publik atau pemerintahan. Jika kita lihat tulisan Dirjen Otda di Kompas, jelas bahwa di benak perancang UU ini yang mengawasi pemerintahan daerah adalah kekuasaan hirarkis diatasnya yakni
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
!28
Gubernur dan Pemerintah Pusat. Dalam UU ini paradigma ini bisa dilihat dari pasal 91, UU 23/2014 tentang fungsi pengawasan Gubernur. Padahal dalam paradigma network atau istilah lain democratic governance, justru seharusnya pemerintahan itu harus meninggalkan paradigma hierarkis dan beralih ke hubungan yang harizontal. Bahkan dalam pidato guru besarnya, mensekneg, Prof Pratikno menegaskan(2009) bahwa; “Struktur pemerintahan pun mengalami perubahan yang cukup signifikan. Karakter struktur kelembagaan pemerintahan yang sebelumnya bersifat hierarkis bergeser menjadi lebih horisontal dengan aktor yang semakin banyak”. Anehnya disaat paradigma pemerintahan saat ini di dunia meninggalkan paradigma hierarkis dan lebih horizontal (Owen Hughes,2011),(Guy B Peters, 2011:63), UU ini masih mengusung paradigma yang usang ini. Dalam struktur pemerintahan yang horizontal (atau dalam banyak literatur diistilahkan governance ) justru pengawasan itu seharusnya dilakukan oleh aktor di luar kelembagaan negara, yang dalam istilah studi pemerintahan dikenal dengan istilah networks. Ini artinya penguatan networks seperti masyarakat sipil agar mereka lebih berdaya dalam mengawasi pemerintahan justru yang harus lebih ditingkatkan dan difokuskan. Pakar pemerintahan, Rhodes ( 2007: 1246) misalnya malah mengatakan bahwa governance itu sebenarnya maknanya adalah model pemerintahan melalui networks. Ini artinya paham bahwa pemerintahan hanya proses hierarkis di dalam institusi negara sebagaimana paradigma UU ini adalah sesuatu yang tidak tepat dan tidak sejalan dengan dinamika pemerintahan saat ini yang lebih demokratis dan melibatkan banyak aktor.
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
!29
Betulkah overhead Cost ? Jika dikatakan bahwa otonomi daerah selama ini overhead cost, maka fakta di lapangan justru otonomi daerah telah memajukan ekonomi daerah ditengah fakta memang terjadi overhead cost. Banyaknya jumlah uang yang beredar di daerah telah menciptakan multiplier effect yang berdampak positif bagi daerah. Misalnya Pembangunan perkantoran telah menciptakan tata ruang baru yang memberi space bagi pedagang-pedagang kecil. Lapangan kerja baru pun dibuka dan memberi dampak bagi naiknya income penduduk lokal. Memang harus diakui komponen terbanyak dari pengeluaran APBD di banyak daerah adalah dalam sektor belanja pemerintah khususnya belanja pegawai dan tentu saja pembangunan perkantoran bagi daerah otonom baru. Namun itu biasanya terjadi di tahap awal pembentukan daerah baru. Ini adalah sebuah kewajaran jika beban belanja pemerintah DOB berlebih, namun seiring waktu akan dikurangi. Solusinya bukanlah dengan mengurangi kewenangan namun lebih fokus kepada bagaimana daerah di dorong untuk membuat politik anggaran yang sehat. Namun, tidak semua daerah gagal dalam kebijakan anggarannya, dan ini sangat tergantung dari kualitas kepala daerah ketimbang sistem otonomi daerahnya. Data dari Indonesia Governance Index 2014 misalnya mencatat ada daerah yang berhasil secara efektif mengurangi belanja pegawai dan lebih berpihak kepada sektor yang lainnya yang lebih penting seperti Kabupaten Siak Riau. Siak membuktikan bahwa tidak selamanya desentalisasi menciptakan overhead cost.
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
!30
Hal ini sekali lagi ditegaskan bahwa bukan sistem desentralisasinya yang bermasalah tetapi lebih ke kualitas kepemimpinan daerah. Bicara tentang kualitas kepemimpinan daerah akhirnya kembali ke masalah kepartaian. Artinya tetap saja dapur masalah itu diproduksi oleh sistem kepartaian kita yang belum mampu menghasilkan kepemimpinan daerah yang berkualitas. Solusi yang Tambal Sulam Sayangnya solusi yang ditawarkan pemerintah pusat adalah fokus pada pengambilalihan wewenang ketimbang peningkatan pengawasan. Pusat melihat masalahnya adalah pada daerah yakni pemerintah kabupaten dan kota yang dianggap terlampau melimpah kewenangannya. Sehingga pemikiran tambal sulam kembali terjadi. Menurut pusat, "Jika daerah gagal dan melakukan penyimpangan maka ambil alih wewenang dan kembalikan ke pusat melalui perpanjangan tangan mereka di daerah yakni gubernur". Namun, pada kenyataannya tidak semua daerah dikatakan gagal dalam menyelaraskan antara eksploitasi alam dan kelestarian lingkungan hidup. Masih ada daerah yang bisa dikatakan maju dengan memanfaatkan kekayaan alamnya secara bijak sekaligus melestarikan lingkungan hidup. Namun memang harus diakui jujur bahwa eklorasi pertambangan dan kehutanan telah menyumbang banyak kerusakan lingkungan dan menyumbang banyak kepala daerah masuk penjara karena kasus suap. UU otonomi daerah sebagai tuntutan dari reformasi politik 1998 telah sukses mengantarkan pembangunan di berbagai daerah. Jika selama ini kekayaan alam Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
!31
daerah dikeruk dan dibawa Jakarta sehingga ouputnya lebih banyak dirasakan Jakarta, dengan otonomi daerah telah banyak daerah maju dan berkembang pesat ekonominya sekaligus meningkatkan kesejahteraan ekonominya. Dengan lahirnya UU ini ditakutkan potensi daerah malah dimatikan, kabupaten dan kota bisa kehilangan modal penting bagi pembangunan mereka. Jika ada kekurangan seharusnya pemerintah tidak mencabut kewenangan tetapi meningkatkan pengawasan. Salah satunya dengan peningkatan partisipasi masyarakat dalam pemerintahan. Adagium power tends to corrupt akan berlaku dimana saja ada kewenangan itu berada. Oleh karena itulah perlu fokus ke pengawasan dengan melibatkan masyarakat atau aktor-aktor di luar negara. Dahulu ketika orde baru dengan sentralismenya, penyimpangan terjadi di pusat. Dampak ketimpangan pusat dan daearah, Jawa dan luar Jawa masih kita rasakan hingga saat ini. Seiring dengan tuntutan demokrasi, otonomi daerahpun diberlakukan dengan UU 22 tahun 1999 dan 32 tahun 2004. Titik tekan otonomi daerah berada di pemerintah kabupaten dan kota. Bisa kita katakan penyimpangan kekuasaan meluas hingga ke daerah. Namun dengan mengambilalih kewenangan kota dan kabupaten melalui UU yang baru ini, bisa saja terjadi kemungkinan penyimpangan terhadap kekuasaan akan terjangkit ke Provinsi. Sehingga kemudian hari tidak menutup peluang akan ada revisi kembali bahkan sentralisasi jika pola pikir tambal sulam masih ada di benak pengambil kebijakan. Solusi Bagi Perbaikan: Perlunya Desentalisasi Yang menjamin terciptanya Inclusive institution
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
!32
Perdebatan tentang apa sebaiknya model pemerintahan daerah kita saat ini tidak akan selesai jika tidak ada kontrak sosial baru diantara berbagai pemangku kepentingan terutama daerah tentang bagaimana seharusnya sistem pemerintahan daerah ini. Ini artinya NKRI bukanlah harga mati. Negara Kesatuan perlu segera di bahas kembali diantara anak bangsa ini. Founding fathers kita seperti Hatta dan Tan Malaka misalnya lebih memilih federasi ketimbang kesatuan. Namun kerena intervensi militer dan rezim orde baru perdebatan tentang apakah kesatuan atau federasi menjadi taboo untuk dibahas. Alternatif lain di luar federasi atau sentralisme kesatuan adalah apa yang digagas teman-teman UGM dengan asymmetric decentralization di dalam bingkai negara kesatuan. Model ini ( walau sebagian sudah diakomodir di UU 23/2014) bahkan telah menjadi program di nawacita Presiden Jokowi. Kuatnya pengaruh UGM terhadap Jokowi terlihat dari diadopisnya model ini dalam nawacita. Artinya ada kemungkinan besar UU ini akan direvisi jika merujuk ke nawacita. UU ini sendiri adalah produk pemerintahan SBY yang didominasi intelektual IPDN sehingga bisa dimaklumi jika model pemerintahannya dalam UU ini masih kental dengan paradigma lama orde baru yang sentralistis. Karena sudah kita maklumi IPDN cenderung serius dalam mencetak pamong ketimbang pengembangan keilmuan yang tempatnya di Universitas. Namun yang paling penting apakah kita mengadopsi model sentralisme orde baru, atau federasi ataupun asymmetric decentralization adalah memastikan bahwa sistem pemerintahan daerah kita bisa mampu melakukan perbaikan bagi institusi politik dan ekonomi ke arah institusi yang inclusive. Kegagalan banyak negara Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
!33
dalam pembangunan dan menciptakan kesejahteraan disinyalir banyak disebabkan oleh faktor tidak mampunya negara beralih dari sistem extractive institution ke inclusive institution dari institusi politik dan ekonominya
seperti yang
dikemukakan pengarang buku best seller “Why Nation Fail”, Robinson dan Acemoglu, (2012:144-145). Berikut penjelasan theory of Instituions yang diolah dari slide kuliah umum Robinson dan Acemoglu di LSE tanggal 8 Juni 2012:
Dua pakar ekonomi-politik ini menawarkan sistem desentralisasi karena menjamin sistem politik yang pluralistik sebagai ciri inclusive institution. Namun dalam banyak kasus desentralisasi di banyak negara justu menjadi pemicu
lemahnya
penegakan dan keteraturan hukum dan sentralisasi justru lebih bisa memastikan. Oleh sebab itu perlu ada konsensus utama di bangsa ini tujuan kita jelas kesejahteraan, namun cara nya mana yang efektif sesuai dengan konteks Indonesia, desentarlisasi atau sentralisasi. Yang jelas yang diutamakan adalah Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
!34
bagaimana sistem pemerintahan daerah kita mampu meningkatkan partisipasi politik masyarat secara adil tanpa diskriminasi dan tanpa menguntungkan elite tertentu. Inilah yang disebut political inclusive institution itu. Wallahu a’lam
Referensi Acemoglu, D & Robinson, J.A 2012 “Why nation fail: the origin of power, prosperity and poverty”, Crown Publisher, New York ________________________, 2011 ‘ Why nation fail: the origin of power, prosperity and poverty, Slide in Morishma Lecture, LSE June 8, 2011, London Djohermansyah, D 2015 “Kado Hari Otonomi” Kompas, 25 April 2015 Hughes, O 2003, ‘Public management in developing countries’ Public management And Administration, 3rd edn, Palgrave, Basingstoke, pp.218-27 Kemendagri, 2011, Naskah Akademik RUU tentang Pemerintahan Daerah, Jakarta Kemitraan, 2014 “Menata Indonesia dari Daerah” Kemitraan, Jakarta Peters, G. B,2011, Governance as political theory, Critical Political Studies, Vol. 5 No. 1 pp. 63-72 Pratikno, 2009 “Rekonsolidasi Reformasi Indonesia: Kontribusi Studi Politik dan Pemerintahan dalam Menopang Demokrasi dan Pemerintahan Efektif” Pidato guru besar UGM, Yogyakarta Rhodes, R.A.W, 2007, Understanding governance: Ten years on, Organization Studies , Vol. 28, No. 8, pp. 1243-126 UU No 23 tahun 2014
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
!35
NAWACITA DAN DESENTRALISASI ASIMETRIS: SEKEDAR JANJI ATAU SOLUSI SERIUS MENGATASI PROBLEMATIKA OTONOMI DAERAH DI INDONESIA11
11
Makalah/policy paper disampaikan dalam Prosiding dan pada acara Seminar Nasional UU Pemerintahan Daerah Baru: Desentralisasi atau Resentralisasi? Diselenggarakan Magister Ilmu Pemerintahan dan Lab. Politik Lokal dan Otonomi Daerah JIP FISIP Universitas Lampung, di Rektorat Unila, Kamis 30 April 2015. Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
!36
OLEH SYAFARUDIN, M.A.12 Pergantian Presiden dan DPR, seperti biasa, diikuti episode gonta-ganti Undangundang. Celakanya dengan perubahan kebijakan tidak serta merta problematika penataan otonomi daerah di Indonesia mereda bahkan muncul persoalan atau kerumitan baru. Sejatinya persoalan otonomi daerah sejak era orde lama tidaklah mudah alias memang sangat kompleks13. Begitu juga saat terbitnya UU Pemerintahan Daerah No. 23 Tahun 2014 di ujung Pemerintahan Presiden
SBY sebagai revisi terhadap
Pemerintahan Daerah yang belum genap setahun itu
UU 32
Tahun 2004. UU
kemudian pada era Presiden
Jokowi diamandemen menjadi UU No.2 Tahun 2015.
Revisi UU tersebut di
tahun 2015 ini hanya memuat perubahan dalam fungsi DPRD namun tidak menyentuh subtansi lain yang signifikan. Kedua UU ini yakni UU 23/2014 dan revisinya UU No 2/ 2015 cenderung berpotensi (bahkan ada
pihak
yang mengabarkan kepada penulis
sudah menimbulkan
masalah baru14) jika dibandingkan dengan UU Pemerintahan daerah yang telah berlaku dan dijalankan sebelumnya sejak tahun 1999 dan 2004, yakni UU No. 22/1999 dan UU No. 32 Tahun 2004. 12
Penulis adalah Dosen Ilmu Pemerintahan FISIP Universitas Lampung, korespondensi email:
[email protected] 13
Tak heran rekan akademisi seperti Prof. Pratikno pernah mencatatnya dalam label “Desentralisasi, Pilihan yang Tidak Pernah Final”, Abdul Gaffar Karim melukiskan dalam tulisan “Bangunan Goyah di atas Fondasi bermasalah: Otonomi Daerah di Indonesia; dalam buku “Kompleksitas Persoalan Otonomi Daerah di Indonesia”, Abdul Gaffar Karim (editor), cetakan ke-2, 2006, JIP UGM dan Pustaka Pelajar Yogyakarta.
Di daerah yang kaya hasil tambang ada kabar bupati ngambek dan ngancam mundur dari jabatan Bupati karena kewenangan perizinan tambang yang semula domain/kewenangan Bupati kini harus ditarik menjadi kewenangan Gubernur selaku kepala daerah yang sekaligus Pembantu Presiden di daerah. 14
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
!37
Bila lebih jauh kita rentangkan sejarah maka terlihat bahwa persoalan klasik yang terus berulang sejak diberlakukan UU No.
5 Tahun 1974 tentang Pemerintahan
Daerah pada era orde baru sampai dengan UU 2/2015 tentang Pemerintahan Daerah salah satunya adalah menata format ideal hubungan
antara pemerintah
pusat, pemerintah provinsi dan dengan pemerintah kabupaten/kota terkait pelaksanaan pembagian/perimbangan
wewenang dan keuangan atau/bagi hasil
masing-masing dalam bingkai negara kesatuan (Unitarian).
Diikuti persoalan/
pertanyaan berulang yang lain, misalnya seputar pertanyaan apa kontribusi finansial pemerintah pusat sekarang dalam pemekaran daerah dan kerjasama antardaerah, termasuk yang senantiasa berulang ditanyakan daerah adalah pola perimbangan keuangan pusat dan daerah dan atau antar daerah; yang seperti apa yang ingin didorong pemerintahan baru sekarang ini. Masih ingat dalam lintasan memori kita bahwa UU 22/1999 dan UU 32/2004 yang lahir dalam era reformasi semangatnya sama yakni mengutamakan desentralisasi berbasis di kabupaten/kota sebagai lokus otonomi daerah. Pilihan desentralisasi ini dimaklumi sebagai obat penawar atau koreksi terhadap praktek keliru era pemerintahan orde baru yang mengedepankan asas sentralisasi, penghisapan daerah ,
dan uniformitas yang sudah berlangsung cukup lama 25 tahun
(1974-1999). Celakanya, praktek otonomi daerah era reformasi yang baru berjalan belia atau berusia 10-11 tahun ini sudah dirubah kembali dengan 4(empat) nuansa kontroversi dan paradoksal sebagai berikut: (1) keinginan Resentralisasi berbasis di Provinsi dengan berbagai alasan dan hasil evaluasi dan ini masih bisa diperdebatkan; Bila UU 32/2004 masih memberikan kewenangan/perizinan
cukup bagi pemerintah kabupaten/kota di
sektor kelautan, kehutanan, dan pertambangan; maka pada UU Pemerintahan Daerah 23/2014 dan UU 2/2015 terlihat dominannya
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
kewenangan pemerintah
!38
provinsi ketimbang Pemerintah Kabupaten/kota dalam sektor kelautan, kehutanan, dan pertambangan. (2) menerapkan Desentralisasi
Simetris yang berujung uniformitas dan
sudah lama format tersebut (bersama format “desentralisasi asimetris terpaksa berlaku”) dikritik para pakar15; (3)Presiden, Mendagri, dan Staf
Kemendagri cenderung lamban merespon
dan mencari solusi terhadap persoalan otonomi daerah yang muncul belakangan ini16; (4) Dalam kebingungan Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten membuat pola hubungan kewenangan yang harmonis. Saya mencatat dan sekaligus menggarisbawahi bahwa Pemerintah pusat atau pembantu Presiden beserta Parpol pendukung pemerintahan sekarang selain lamban juga bingung dan cenderung lupa
15
Lihat A.A.GN Ari Dwipayana, Menata Desentralisasi Indonesia, Makalah, Jurusan Ilmu Politik dan Pemerintahan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 2011, hlm. 1-2. Ari mencatat banyak kerancuan, pelaksanaan politik hukum desentralisasi dan otonomi daerah 13 tahun terakhir terkait hubungan pusat – daerah secara komprehensif, serta dipertanyakan komitmennya untuk peningkatan kesejahteraan rakyat di daerah. Lihat juga Laporan Penelitian Prof. Pratikno, dkk, Desentralisasi Asimetris di Indonesia: Praktek dan Proyeksi, Jurusan Politik dan Pemerintahan, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 2010. Dalam laporan bahkan disebutkan bahwa pemerintah pusat selama ini tidak memiliki desain desentralisasi asimetris untuk diterapkan di daerah. Kalaupun desain itu ada, lebih disebabkan oleh tuntutan dari daerah tertentu akibat munculnya berbagai permasalahan dan ancaman disintegrasi.hal.138.
16
Misalnya, tatkala kewenangan Gubernur/pemerintah provinsi diperbesar dalam sektor kehutanan, pertambangan, dan kelautan di daerah; kenapa hal ini masih digantung pusat atau belum dikeluarkannya PP (peraturan pemerintah) sebagai petunjuk pelaksanaannya. Begitu juga tatkala pemerintah kabupaten ingin melakukan pemekaran daerah dengan tahapan manajemen transisi 3 tahun sebagai daerah kabupaten persiapan. kenapa masih digantung atau belum dikeluarkannya PP (peraturan pemerintah) tentang tatacara pemekaran daerah atau pembentukan daerah persiapan sebagai petunjuk pelaksanaannya. Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
!39
menerjamahkan janji Nawacita (sembilan agenda prioritas) yang memuat Desentralisasi
Asimetris yang sudah dijadikan bahan kampanye politik presiden
dan partai politik pengusung sejak tahun lalu. Padahal bila janji Nawacita--yang memuat desentralisai asimetris, membangun tata kelola pemerintahan yang efektif, dan revolusi mental17—yang juga sebagai bentuk kontrak sosial dan kontrak politik itu dipahami dan dilaksanakan dalam regulasi dan aksi yang segera maka persoalan otonomi daerah yang kompleks diyakini banyak pihak bisa cepat diurai untuk mencapai visi Indonesia hebat. Desentraliasi Asimetris: Alasan Penerapan, Urgensi, Implikasi Diharapkan, dan Optimisme Pakar
Dalam negara kesatuan Indonesia, sebagaimana kita ketahui penyelenggaraan pemerintahan daerah adalah kombinasi beberapa sistem dimana selain menggunakan
sistem sentralisasi, dikenal juga penerapan sistem
desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Desentralisasi adalah penyerahan wewenang
pemerintahan
oleh Pemerintah
pusat kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan. Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang
pemerintahan
oleh Pemerintah pusat kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah dan/atau kepada instansi vertikal di wilayah tertentu. penugasan dari juga
Pemerintah
Tugas pembantuan adalah
pusat kepada daerah dan/atau desa, bisa
tugas dari pemerintah provinsi kepada kabupaten/kota dan/atau desa
17
Lihat poin 2 Nawacita Jokowi-JK “ Kami akan membuat pemerintah selalu hadir dengan membangun tata kelola pemerintahan yang bersih efektif, demokratis dan terpercaya’. Poin 3 Nawacita “Kami akan membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerahdaerah dan desa dalam kerangka Negara kesatuan dengan sub poin prioritas (1) desentralisasi asimetris; (2) pemerataan pembangunan antar wilayah terutama desa, kawasan timur Indonesia dan kawasan perbatasan.(3) penataan daerah otonomi baru untuk kesejahteraan rakyat; poin 8 Nawacita “Kami akan melakukan revolusi karakter bangsa”. Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
!40
serta dari pemerintah kabupaten kota kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu.
Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan
kewajiban daerah otonom untuk
mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Sedangkan Daerah otonom adalah
kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas
wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Sistem Desentralisasi ini secara teoritis terbagi 2 yakni Desentralisasi Simetris (format penyelenggaraan pemda yang sama untuk tiap wilayah, provinsi dan atau kabupen/kota) dan Desentralisasi Asimetris (format penyelenggaraan pemda yang tidak sama/berbeda untuk tiap wilayah, provinsi dan atau kabupen/kota).
Desentralisasi
Asimetris (assymmetric decentralization) bukan konsep asing di
Indonesia karena sudah diterapkan dengan alasan politik, sejarah
dan budaya
(political, history and cultural driven) misalnya dalam bentuk daerah otonomi khusus (Papua, Aceh), daerah khusus (Jakarta) dan daerah Istimewa (Yogyakarta).
Desentralisasi
Asimetris dalam
Nawacita yang saya pahami adalah konsep
menarik karena tawaran penerapan otonomi daerah yang berbeda tiap wilayah/ kawasan atau provinsi/kabupaten/kota bukan karena alasan politis sejarah atau budaya semata; tapi lebih jauh karena melihat perbedaan kapasitas pemerintahan local (local goverment capacity driven) dan didorong pula setelah melihat kenyataan perbedaan karakter wilayah, potensi sumber daya alam dan manusia di Indonesia.
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
!41
Bila kita cermati substansi Nawacita jelas bahwa implikasi Desentraliasi
penerapan
Asimetris secara praksis selain bertujuan (1) mewujudkan tata
kelola pemerintahan yang efektif; sekaligus (2) strategi pemerintah membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dan (3) strategi cerdas
pemerataan pembangunan antarwilayah terutama desa, kawasan
timur Indonesia dan kawasan perbatasan serta (4) sebagai bagian strategi penataan daerah otonomi baru (DOB) untuk kesejahteraan rakyat.
Optimisme bahwa penerapan desentralisasi asimetris akan menjadi obat baru dalam penataan daerah otonomi
di Indonesia muncul sejak lama dari kalangan
peneliti dan akademisi diantaranya: ❖ “Inti desentralisasi asimetris adalah terbukanya ruang gerak implementasi dan kreativitas provinsi dalam pelaksanaan pemerintahan di luar ketentuan umum dan khusus. Mengapa provinsi? Ini karena level kabupaten dan kota sudah cukup terakomodasi dalam perundangan pemerintahan selama ini.
Dalam hal ini, desentralisasi asimetris dapat menjadi terobosan akan kebuntuan mekanisme forma dimana pengaturan asimetris itu diterapkan”. ( Prof. M. Mas’ud Said, Ph.D. Dewan Pakar Mayarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia dalam artikel
“Perlu Desentralisasi
Asimetris dalam .Negara Kesatuan”. Jurnal Borneo Administrator Vol. 6 No. 2, 2010).
❖ “Desentralisasi asimetris di Indonesia merupakan sebuah keberlanjutan sejarah yang telah dimulai dari masa kolonial dan ditegaskan dalam tiga konstitusi yang pernah berlaku di Indonesia. Dasar dari desentralisasi asimetris tersebut dapat dirujuk dalam konstitusi sebagai kesatuan hukum tertinggi. Desentralisasi asimetris menyangkut urusan yang fundamental terkait pola hubungan pusat
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
!42
dan daerah menyangkut disain kewenangan,kelembagaan, finansial dan kontrol yang berbeda”. (Bayu Dardias Kurniadi, Staf pengajar di Jurusan Politik dan Pemerintahan, Fisipol UGM. Ketua Tim Kajian “Evaluasi Desentralisasi Asimetris yang Mensejahterakan: Pengalaman Aceh dan Papua”, kerjasama Yayasan TIFA dan JPP Fisipol UGM tahun 2012).
❖ “Argumentasi tentang pentingnya pengembangan desentralisasi asimetris di Indonesia didasarkan pada argumentasi sebagai berikut, 1) Desain asimetris dirancang untuk menjawab persoalan lokal/daerah dengan menggunakan kapasitas governability sebagai tolok ukur utama; 2) Desain asimetris dirancang untuk menjawab tantangan globalisasi; 3) Desain asimetris harus diletakkan di atas prinsip kebineka-an sosiokultural Indonesia; 4) Asimetris tidak hanya menjangkau masalah2 lokal, juga kebutuhan nasional” (Kotan Y. Stefanus,, Staf Pengajar Pascasarjana FH Undana, 2012)
Catatan Penutup (1)
Meski tujuan dan implikasi yang diharapkan baik dan muncul
optimisme dari berbagai pihak ,
Saya kira kita perlu juga
memperhatikan tiga saran dari pakar politik lokal dan otonomi daerah yang lebih seni or yakni18 “bahwa Pengaturan asimetris desentralisasi karena faktor capacity driven ini harus memperhatikan
(a) memiliki
jangka waktu dalam pelaksanaannya, bisa temporer dan bisa permanen; (b) bentuk pengaturan asimetris formatnya bisa finansial atau fungsional; dan (c) skope pengaturan asimetris bervariasi, tergantung di level pemerintah yang mana pengaturan asimetris itu diterapkan”. 18
Cornelis Lay dan Josep Riwu Kaho. Modul kuliah Politik Desentralisasi. JPP FISIP UGM. 2007. Tidak dipublikasikan. Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
!43
(2) Pelaksanaan
revolusi mental atau perubahan dari kerja lambat
menjadi cepat, minta dilayani menjadi melayani, tertutup menjadi terbuka, mobilisasi menjadi partisipatif
nampaknya perlu
mulai
dilakukan oleh pemerintah pusat sendiri terutama jajaran kemendagri. Sudah saatnya rancangan kebijakan tindaklanjut dari UU Pemda dikonsultasikan ke publik, diseminarkan bersama asosiasi pemda di kampus, hal ini tentu sesuai semangat Nawacita yang mengutamakan partisipasi publik.Semoga Nawacita dan Desentralisasi Asimetris bukan sekedar janji tapi solusi nyata problematika otonomi daerah di Indonesia.***
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
mengatasi
!44
KEPEMIMPINAN POLITIK LOKAL (Telaah Undang-Undang No 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah) Oleh : Robi Cahyadi Kurniawan19
A. PENDAHULUAN Pengesahan Undang-undang (UU) tentang Pemerintahan Daerah yang baru yakni UU No 2 Tahun 2015 menimbulkan keresahan terutama dikalangan pemerintah daerah Kabupaten dan Kota. UU ini merupakan revisi dari UU yang baru saja dibuat tahun 2014, yakni UU No 23 tahun 2014. Menariknya dalam beberapa bulan saja, UU yang disetujui oleh DPR tidak lama setelah pergantian pemerintahan direvisi kembali seiring dengan dikembalikannya proses pemilihan kepala daerah
dari
DPRD ke rakyat secara langsung, seperti yang diamanahkan oleh Undang-Undang tentang Pemilukada Perubahan dalam UU yang terbaru hanya pada fungsi DPRD yang menyesuaikan konteks pemilihan kepala daerah yang kembali langsung oleh rakyat. Substansi yang lain pada UU sebelumnya ( UU 23 tahun 2014) tidak banyak yang berubah. Namun jika dibandingkan dengan sebelumnya
UU yang telah berlaku dan dijalankan
yakni UU No 32 tahun 2004 ada beberapa hal subsatansial yang
berubah. UU Pemerintahan daerah yang baru lahir dari adanya keresahan yang ditimbulkan UU sebelumnya. Salah satu masalah dalam UU No 32 tahun 2004 adalah lemahnya fungsi gubernur dalam mengontrol pemerintah kabupaten dan kota. Dalam pandangan pemerintah lokal, Gubernur bukanlah atasan mereka, karen Walikota dan Bupati dipilih langsung oleh rakyat. Sehingga Gubernur seolah kehilangan kekuasaan mereka terhadap Bupati dan Walikota. Masalah-masalah pertambangan, kelautan dan kehutanan menjadi eksplotasi utama Bupati dan Walikota untuk
19
Robi Cahyadi Kurniawan M.A, Dosen Jurusan Ilmu Pemerintahan, FISIP UNILA.
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
!45
meningkatkan PAD dan menguntungkan diri sendiri tanpa melihat dampak negatif dari kebijakan yang telah ia buat. Raja-raja kecil didaerah banyak sekali bermunculan sejak rezim pilkada (pemilukada) dimulai. Koordinasi kepada pemerintah pusat , dalam hal ini Gubernur sebagai kepanjangan tangan Presiden menjadi sangat kacau. Otonomi daerah yang diharapkan menjadi pemicu majunya daerah karena bisa mengelola kekayaan dan potensi alamnya secara mandiri, berubah menjadi ajang korupsi dan memperkaya diri. Dampak negatifnya adalah banyak kekayaan alam yang tidak dipergunakan dengan semestinya, digadaikan kepada pihak ketiga yang memiliki modal, serta menguntungkan elit lokal dan pejabat daerah. Dilain pihak beban anggaran pemda kabupaten/kota bertambah dengan alasan belanja pegawai , serta pembangunan yang tidak tepat sasaran. Sehingga pemerintah pusat mengambil alih kewenangan pemerintah daerah seperti yang tertuang dalam UU No 23 tahun 2014. Tulisan ini mencoba menganalisa
tentang fenomena elit lokal dalam kaitannya dengan
implementasi UU No 23 tahun 2014, khususnya pada pasal 14.
B. TEORI TENTANG ELIT DALAM POLITIK LOKAL Teori tentang elit dikembangkan oleh tiga ilmuan Italia, yaitu ; Robert Mitchels dengan konsepnya ’hukum besi oligarkhi20’, Gaetano Mosca dengan dikotomi ’governing elite and non governing21’, Vilfredo Pareto dengan konsep ’the ruling class dan the ruled class’ dan ide tentang ’elite circulation22’. Mereka meletakkan fondasi yang kuat tentang studi elit sejak tahun 1915. Basis pemikiran mereka bersumber pada pendapat Aristoteles tentang peran yang dimainkan sejumlah
Michels, Robert. Partai Politik, kecendrungan oligarkhi dalam birokrasi, terjemahan. Mien Joebhaan, CV. Rajawali, Jakarta , 1984 20
21
Mosca, Gaetano. The Ruling Class, Mc Graw Hill, New York, 1939
22
Pareto, Vilfredo, The Mind and Society, Jonathan Cape, London, 1935
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
!46
minoritas yang memegang kekuasaan dalam sejarah manusia
(oligarkhi/
aristokrasi). Pengertian elit mengalami transformasi menjadi ’a small and powerful group’ sejak saat itu23. Dua perspektif utama dalam studi tentang elit
yaitu pluralis ( democratic elite
theory) dan marxis (class theory 24 ). Teori elit menyatakan bahwa ketidakseimbangan dalam masyarakat sebagai hal yang alamiah dan faktor yang given. Dalam sebuah masyarakat selalu ada orang-orang yang ditempatkan dalam posisi yang lebih baik dibandingkan kelompok masyarakat lain.
Teori kelas yang
dipelopori oleh Karl Marx, membagi masyarakat menjadi dua katagori berdasar kepemilikan alat-alat produksi; yang memiliki dan menguasai alat produksi disebut the rulling class. Sedangkan kelas yang lain ; mereka yang tidak memiliki alat produksi, mereka diatur, diekploitasi dan dimiliki oleh kelas yang lebih berkuasa. Dalam negara-negara dunia ketiga, terdapat beberapa elit lokal yang terbentuk. Joel S. Migdal menyebutnya sebagai Local Strongmen25 yang merupakan refleksi kekuatan masyarakat yang plural serta kelemahan negara (strong societies and weak states). Setiap kelompok dalam masyarakat
memiliki pemimpinnya
sendiridan pemimpin ini relatif otonom terhadap negara. Sifat otonom ini menyebabkan keberlangsungan ’lokal strongman’ tergantung pada ’social capacity’ negara. Kemampuan negara untuk membuat warganya mematuhi aturan permainan dalam masyarakat yang dibuat oleh negara disebut social capacity.
Termasuk
kemampuan untuk menyediakan sumber daya untuk mencapai tujuan pokoknya serta mengatur perilaku masyarakat sehari-hari. Di negara-negara dunia ketiga kemampuan negara tersebut lemah, sehingga menyebabkan menjamurnya local strongman. Lebih lanjut Migdal mengemukakan bahwa local strongmen dapat bertahan asalkan ia berkolaborasi dengan negara dan partai politik pemerintah. Berdasarkan itu 23
Scoot, 1990: ix
24
Etzioni-Halevy, 1993, Scott, 1991
25
Midgal, Joel. State in Society . Cambridge University Press , 2001 : 85
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
!47
maka terbentuklah ’triangle of accomodation’. Yang terjadi kemudian, triangle ini mengijinkan sumberdaya negara untuk memperkuat local strongmen dan organisasinya, dan keberlangsungan local strongmen tergantung juga pada kekuatan negara untuk mengatur kontrol mereka. Mereka belajar mengakomodasi pemimpin yang populis untuk ’menangkap’ organisasi negara pada level yang lebih rendah26.
B. TELAAH UNDANG-UNDANG NO 23 Tahun 2014 DARI PERSPEKTIF ELIT Akar permasalahan mengapa penulis merasa perlu untuk mengkaji undang-undang ini berdasarkan perspektif elit adalah karena tarik menarik kewenangan kemudian menjadi latar belakang lahirnya UU No 23 tahun 2014 ini. Otonomi darah yang digadang-gadang merupakan bentuk terbaik dari penyelenggaraan pemerintahan, menurut pendapat penulis sudah berubah menjadi sebuah arena memperkaya diri bagi para pemimpin dan elit lokal, dengan memanfaatkan sumber daya yang ada. Didalam undang-undang No 23 tahun 2014 pasal 14 disebutkan; ayat 1 : Penyelenggaraan Urusan pemerintahan bidang kehutanan, kelautan, energi dan sumber daya mineral dibagi antara Pemerintah Pusat dan Daerah Provinsi. Ayat 2 dituliskan ; Urusan pemerintahan bidang kehutanan sebagaimana disebut pada ayat (1) yang berkaitan dengan pengelolaan taman hutan raya kabupaten/kota menjadi kewenangan daerah kabupaten/kota. Ayat 3, dituliskan ; Urusan pemerintahan bidang energi dan sumberdaya mineral sebagaimana yang disebut pada ayat (1) yang berkaitan dengan pengelolaan minyak dan gas bumi menjadi kewenangan pemerintah pusat. Ayat 4, dituliskan;
Urusan pemerintahan bidang energi dan
sumberdaya mineral sebagaimana yang disebut pada ayat (1) yang berkaitan dengan pemanfaatan langsung panas bumi dalam daerah kabupatan/kota menjadi kewenangan kabupaten /kota.
26
Ibid. Midgal, 256
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
!48
Sekilas dari pemaparan pasal 14
terdapat keadilan berbagi kewenangan yakni
diayat 3, pemerintah pusat memiliki hak dalam pengelolaan minyak dan gas bumi, dilain pihak daerah kabupaten/kota memiliki hak mengelola taman kota dan pemanfaatan langsung panas bumi. Dalam perspektif elit, dalam kacamata teori Marx, yang dijelaskan mengenai produksi, maka keputusan pasal 14 dalam UU N0 23 tahun 2014 ini adalah murni dikarenakan tentang kelas menurut pendapat penulis.
Pemerintah pusat
mempunyai kelas yang lebih tinggi dibandingkan pemerintah daerah.
Pusat
memiliki hak yang lebih pantas untuk memproduksi dan menghasilkan publik goods bagi masyarakat dengan menguasai sumber daya alam yang paling dicari dan paling menguntungkan. Dalam konteks teori kapitalisme, penulis berpendapat bahwa pemerintah pusat yang terdiri dari bagian eksekutif dan legislatif memiliki keinginan mengambil keuntungan lebih besar dan lebih banyak dalam hal ekploitasi minyak dan gas bumi. Dalam banyak kasus, bahwa penguasaan minyak dan gas telah menjadi sumber penghasilan partai politik dengan menempatkan wakil-wakilnya dijajaran pemerintahan umtuk menjadi menteri dan direktur pertamina (contoh kasus Rudi Rubiantara dan Sultan Bhatogana politisi Partai Demokrat dalam
korupsi SKK
Migas). Dalam konteks lokal, dalam perspektif local strongmen-nya Midgal, bahwa kekuatan lokal diramu dengan kelemahan negara menjadikan banyak
kekuatan-
kekuatan lokal baru. Serupa dengan Bossism di Filiphina, penulis berpendapat bahwa kekuatan lokal di kabupaten dan kota di Indonesia dalam hal ini konteks yang lebih sempit adalah Provinsi Lampung lahir dari kolaborasi penguasa (Bupati dan Walikota) dengan pengusaha. Dengan pengambilalihan kewenangan minyak bumi dan gas ke pemerintah pusat, yang paling dirugikan adalah penguasa dan pengusaha lokal. Asumsi penulis, dalam
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
!49
konteks lokal kabupaten-kabupaten di Provinsi Lampung yang memiliki cadangan minyak bumi dan gas bumi, perusahaan-perusahaan asing telah mengeluarkan dana yang telah di alokasikan untuk melancarkan eksploitasi mereka di daerah. Misalnya Chevron yag menggali cadangan gas dan minyak bumi yang ada di Kabupaten Lampung Barat dan Kabupaten Tanggamus. Pembagian kewenangan yang dirasa tidak adil oleh daerah ini juga cenderung dapat menciptakan peluang neo-feadalisme dengan budaya paternalistik dan menciptakan pola patron klien yang baru. Kembali ke masa orde barau dimana pemerintah usat sebagai patron (raja) dan pemerintah daerah sebagai klien (hamba) khususnya bagi pengelolaan migas. UU No 23 tahun 2014 yang telah direvisi sebagian kecil pasalnya dan dimuat dalam UU No 2 tahun 2015 telah menjadi sebuah pekerjaan rmah yang berat bagi daerahdaerah kabupaten kota, khususnya yang memiliki kandungan minyak dan gas bumi yang banyak.
Peraturan pemerintah turunan dari Undang-Undang ini memang
belum ada, untuk itu diperlukan peraturan yang sistemtik dan mengatur seadiladilnya tentang bagi hasil daerah yang memiliki kandungan minyak dan gas. Fenomena Aceh dan Papua, bisa menular ke daerah-daerah lain di Indonesia adalah hal disintegrasi bangsa dan juga kecendrungan
keinginan kuat memisahkan diri
dari NKRI jika masalah pembagian kuota ini tidak diberlakukan dengan bijak dan adil. Jika kecendrungan ini didukung kuat oleh lokal stongmen dan bossism kuat didaerah yang ditopang oleh dana dari pengusaha , maka kemungkinan disintegrasi daerah bisa mungkin terjadi. Pasal 14 Undang-Undang No 23 tahun 2014 memang hanya terdiri dari beberapa ayat, namun besar konsekuensinya dalam
konteks hubungan antara pusat dan
daerah, karena juga menyangkut pembagian jatah kue perekonomian yang berguna untuk pembangunan daerah.
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
!50
Kepemimpinan politik lokal , dalam hal ini konteks Bupati dan Walikota menanggapi berlakunya UU No 23 tahun 2014 , selain perlu pembagian kue yang lebih adil juga dibutuhkan pengawasan yang melekat sehingga pemimpin lokal tidak menjadi raja kecil yang cenderung menyelewengkan dana pemerintah pusat. Hendaknya diaturan peraturan pemerintah sebagai turunan dari UU No 2 tahun 2015 revisi dari UU No 23 tahun 2014 juga memberikan sanksi yang tegas dan merujuk
dalam pasal 72,73 dan 74 Undang-Undang No 23 tahun 2014 tentang
pertanggungjawaban kepala daerah.
DAFTAR PUSTAKA
Agger, 2003, Teori Sosial Kritis, Kritik Penerapan& Implikasinya, Kreasi Wacana Yogyakarta Apter, David E. 1997, Pengantar Analisa Politik, LP3ES, Jakarta Josep R. Kaho & Cornelis Lay dalam Modul Kuliah Politik Desentralisasi, bab dinamika politik lokal, pascasarjana Ilmu Politik, 2005 Malik Djamaludin, Dedy dan Inantara, 1994. Komunikasi Persuasif. Bandung: PT Remaja Rosda Karya
Michels, Robert. Partai Politik, kecendrungan oligarkhi dalam birokrasi, terjemahan. Mien Joebhaan, CV. Rajawali, Jakarta , 1984
Midgal, Joel. State in Society . Cambridge University Press , 2001
Mosca, Gaetano. The Ruling Class, Mc Graw Hill, New York, 1939
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
!51
Pareto, Vilfredo, The Mind and Society, Jonathan Cape, London, 1935
Mulyana, Deddy.Dr, M.A.2005 Nuansa-Nuansa Komunikasi.Bandung: PT Remaja Rosda Karya.
Nimmo, Dan. 2001 Komunikasi Politik Khalayak dan Efek. Bandung: PT Remaja Rosda Karya
Suwarno, P.J.1994, Habengkubuwono IX dan Sistem Birokrasi Pemeritahan Yogyakarta, 1942-1947, sebuah Tinjauan Historis. Yogyakarta; Kanisius
Undang-Undang Undang-undang No 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah yang telah direvisi sebagian menjadi UU No 2 tahun 2015 tentang Pemerintah Daerah Website Nugroho , (2009) ‘Ulasan Politik” http://www.suaramerdeka.com/harian/0404/16/kha1.htm, ulasan Dr Nugroho, Dosen Psikologi Politik di Unnes.
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
!52
UU NO.23/2014 dan Menggagas Model Pilgub (Catatan untuk RUU Pemilukada) Oleh: Arizka Warganegara Membaca UU NO.23 tahun 2014, undang-undang tentang Pemerintah Daerah yang baru seolah berada pada sebuah titik (di) antara. Undang-undang baru ini bisa lebih mem-balance-kan kontekstualitas dan eksistensi pemerintah daerah menjadi lebih prudent atau sebaliknya membuat pemerintah daerah kembali dalam skema shadow sentralisasi. Undang-undang yeng terdiri dari 411 pasal itu telihat sangat ‘gemuk’ dan superduper. Saya bisa memperkirakan undang-undang ini ‘kemungkinan’ dan bisa jadi menjadi undang-udang mengenai pemerintah daerah yang tertebal seantero dunia. Semua aspek kepemerintahan menjadi bagian yang seolah ingin dibahas walaupun pada bagian lain, undang-undang ini juga akan dilengkapi dengan dua UU lain, yaitu UU Pemilukada dan UU Pemerintahan Desa. Kita tentunya ingat bahwa salah satu point penting reformasi adalah penyelenggaran atau implementasi penuh terhadap otonomi daerah. Kabupaten dan Kota sebagai pusat kecenderungan dan sentral pengembangan demokrasi lokal. Pada bagian lain, pasal mengenai pemilihan kepala daerah, yaitu pasal 62 berbunyi: “ketentuan pemilihan kepala daerah diatur dengan undang-undang” menurut saya masih ambigu dan saya tidak tahu sudah sampai manakah pembahasan detail mengenai model pemilihan untuk gubernur tersebut. Dilain sisi
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
!53
ketika membaca UU No. 23 tahun 2014 terlihat jelas bahwa peran Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di daerah begitu besar. Di sela UU Pemilukada yang masih di-godok, menarik untuk mendiskusikan wacana Pemilihan Gubernur, tentunya ada kelompok yang pro dan kelompok yang kontra. Bagi kelompok yang menyukai rezim Pemilukada terutama Pemilukada di level provinsi mengatakan ini adalah bagian dari skema pengulangan “kelakuan” rezim orde baru yang sangat sentralistis dan manipulatif, akan tetapi dipihak yang lain mengatakan bahwa ini adalah bagian naluriah dari proses demokrasi yang menganut logika trial and error (coba dan salah) sekaligus bagian dari upaya penataan ulang rezim pilkada yang cenderung
menyebabkan in-efisiensi
demokrasi. Opsi Pemilihan Gubernur Jika penghapusan Pilkada di level provinsi maka terdapat beberapa opsi bagi Pemilihan Gubernur kedepan, beberapa opsi tersebut akan terurai dalam tulisan berikut ini: Opsi pertama, Gubernur akan dipilih langsung oleh Presiden argumentasinya adalah bahwa dalam konteks negara kesatuan Gubernur bertindak sebagai wakil dari pemerintah pusat di daerah maka secara politik Gubernur memegang kewenangan yang diberikan Presiden kepadanya dan mempunyai inisiatif kewenangan bagi daerahnya sebagai bagian dari pemberian mandat Presiden kepada Gubernur tersebut. Opsi kedua, Gubernur akan dipilih kembali oleh DPRD secara murni melalui mekanisme pemilihan keterwakilan. Secara detail penjabarannya, setiap anggota DPRD mempunyai satu suara untuk memilih Gubernur hal ini merujuk kembali seperti pada UU
NO.22 Tahun 1999, diawal reformasi, Gubernur, Bupati dan
Walikota memang dipilih oleh anggota DPRD.
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
!54
Opsi ketiga ini merupakan usulan penulis yang menurut saya sebagai bagian dari kompromi politik, pada tahap awal para Calon Gubernur akan di- fit and proper test oleh para anggota DPRD kemudian hasil dari fit and proper test diajukan kepada Presiden. Atau mekanisme sebaliknya Presiden yang menentukan satu atau lebih Calon Gubernur kemudian DPRD yang melakukan fit and proper test dan kemudian dilanjutkan untuk memilih satu diantara beberapa nama yang diajukan Presiden tersebut, proses seperti ini sudah sering dilakukan oleh Presiden sebagai contoh misalkan pemilihan Gubernur Bank Indonesia. Beberapa Kekurangan dan Kelebihan Memang ketika kita menilik berbagai kemungkinan opsi tersebut masing-masing mempunyai kelebihan dan kekurangannya. Pada opsi pertama misalkan, ketika Gubernur sebagai kepala daerah di sebuah provinsi murni dipilih oleh Presiden maka yang akan terjadi adalah sebuah subjektifitas politik. Sebuah “tema” besar yang sebenarnya sangat kita hindari di era reformasi, masih ingat misalkan di era orde baru betapa politik patronase menjadi sangat kental terutama untuk pengisian pos Bupati, Walikota sampai Gubernur. Dengan konsep teritorial politik maka setiap pejabat yang menduduki pos-pos tersebut mesti ditunjuk dan mendapat “restu” secara politik oleh Presiden, sehingga kepemimpinan politik daerah tidak bisa berkembang dengan baik apalagi bicara soal penataan demokrasi di level lokal. Walaupun dalam mekanisme seperti ini ada kebaikannya terutama dalam menjaga ranah integrasi bangsa, dengan konsep teritorial politik melalui mekanisme Gubernur ditunjuk oleh presiden seperti ini maka secara politik konsep Unitary State atau Negara Kesatuan akan terjaga dengan baik.
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
!55
Pada opsi kedua, Gubernur dipilih oleh anggota DPRD, dengan model yang kedua ini kita pernah melakukannya dan pada waktu itu diatur dalam UU NO.22 Tahun 1999. Secara umum memang model pemilihan murni melalui mekanisme DPRD ini sangat murah dan mudah teknisnya, panitia pemilihan hanya menyiapkan kertas pemilihan dan kotak pemilihan kemudian pemilihan pun dapat dilaksanakan. Kelemahan dengan model seperti ini, akan terjadi konfigurasi politik daerah yang Legislative Heavy dimana lembaga legislatif akan lebih mendominasi perjalanan pemerintah daerah, logikanya secara politik Gubernur dipilih oleh anggota DPRD. Menurut saya, opsi yang paling ideal adalah opsi yang ketiga yaitu kewenangan DPRD hanya sampai pada tahap melakukan fit and proper test saja terhadap para kandidat Gubernur tersebut. Langkah selanjutnya DPRD melakukan perangkingan berdasarkan pembobotan kuantitatif dari calon yang memiliki skor tertinggi sampai terendah, mekanisme selanjutnya nama-nama calon Gubernur tersebut diserahkan kepada Presiden untuk kemudian dipilih nah dalam konteks ini hak prerogratif presiden untuk menentukan gubernur terpilih. Makanisme ini menurut saya sangat kompromis dibandingkan dengan opsi pertama atau kedua, secara politik kepentingan elit politik lokal terakomodasi, disisi lain kepentingan presiden sebagai pemengang mandat kekuasaan tertinggi juga terakomodasi. Walaupun mekanisme yang ketiga ini akan sangat sulit untuk diakomodasi.
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
!56
UU 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah : Simalakama Bandul Kewenangan Propinsi dan Kabupaten/Kota Oleh : Feni Rosalia UU Pemerintahan Daerah pada dasarnya adalah undang-undang yang mengatur terselenggaranya roda pemerintahan daerah dengan mengutamakan pelaksanaan azas desentralisasi. UU Pemerintahan Daerah beberapa kali mengalami pasang surut sehingga harus beberapa kali mengalami perubahan karena dinilai tidak sesuai dengan perkembangan keadaan, ketatanegaraan, dan tuntutan penyelenggaraan pemerintahan daerah. Walaupun perubahan regulasi beberapa kali mewarnai perjalanan kehidupan pemerintah daerah, namun pada prinsipnya tetap mengacu pada visi dasar penyelenggaraan otonomi daerah, yaitu diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan, pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat, serta peningkatan daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip-prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistemewaan dan kekhususan suatu daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Visi dasar dari kebijakan otonomi daerah tersebut
dengan demikian sejalan dengan semangat pendalaman demokrasi (deepening democracy) dan semangat untuk mewujudkan pemerintahan yang efektif (effective governance) demi pelayanan publik yang lebih baik.
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
!57
Esensi perubahan regulasi tentang pemerintahan daerah dengan visi yang ideal tersebut tidak menjadi masalah jika dapat diterapkan dengan baik, dalam arti memperhatikan tata cara pembagian kewenangan tidak hanya pusat ke daerah tetapi yang lebih penting adalah pembagian kewenangan antara propinsi dengan kabupaten/kota sebagai
penyelenggara pemerintahan di daerah. Jangankan
berbicara aplikasi UU tersebut, menyentuh dasar proses pembentukannya saja apalagi bagaimana aturan pelaksanaannya masih dipertanyakan. Bandul kewenangan bergerak tidak mengikuti aturan (yang notabene belum jelas), bandul kewenangan ditarik sana sini tergantung pemahaman para pihak pemeroleh kewenangan. Dapat dikatakan bahwa aparat pemerintah daerah baik di propinsi maupun
kabupaten/kota masih belum ada kesepahaman, wajar jika masyarakat
mengalami kebingungan, bingung dengan regulasinya dan bingung melihat aparat tarik menarik kewenangan. Miris memang !... Tidak dipungkiri jika isu aktual pasca UU No 23 tahun 2014 terkait kelembagaan adalah terjadinya benturan dan tarik menarik kewenangan. Bandul kewenangan diperebutkan antara kabupaten/kota dan propinsi. Pergerakan bandul kewenangan seperti buah simalakama, bergerak ke kabupaten/kota salah tetapi mau mengarah ke propinsipun tidak bisa berjalan. Inti permasalahan adalah akibat regulasi yang belum jelas di tingkat pusat. Pemerintah belum mengeluarkan petunjuk teknis dan pelaksana dari UU No 23 Tahun 2014. Selain itu propinsi sebagai pihak yang diberikan kewenangan versi UU Pemerintahan Daerah yang baru juga belum menerbitkan aturan terkait pelaksanaan kewenangan yang dimaksud. Penyelesaian masalah yang tidak menyelesaikan masalah !.... Mengacu pada keluarnya UU Pemerintahan Daerah yang baru, jelas dalam beberapa bidang mengharuskan bandul kewenangan bergerak mengarah ke propinsi tetapi ternyata kabipaten/kota sebagai si empunya awalnya tetap menarik bandul tersebut ke arahnya, dapat dianalisis jika keluarnya UU Pemerintahan Daerah yang dimaksudkan untuk mengatasi masalah pemerintahan daerah tetapi ternyata tidak menyelesaikan masalah dengan tuntas. Kesalahan pengambilan kebijakan terulang,
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
!58
tetapi tidak menjadi pembelajaran. Pemerintah dengan mudahnya mengambil keputusan dengan jalan pintas, hanya memperhatikan aspek pragmatis tetapi tidak diikuti dengan aspek konsepsi dan teoritis. Pemerintah juga tidak cermat menganalisa keputusan yang dipandang dapat mengatasi permasalahan konkrit. Kesalahan pemerintah yang paling fatal adalah manakala pemerintah tidak mempertimbangkan kemungkinanan-kemungkinan rasional lainnya. Yang terjadi adalah dorongan untuk segera melakukan aksi tanpa memperhatikan aspek lainnya. Simalakama bandul kewenangan akan terus terjadi manakala aturan pelaksana UU 23 tahun 2014 belum keluar baik dari pemerintah pusat maupun propinsi. Walaupun tidak dibenarkan dalam UU Pemerintahan Daerah, namun kabupaten/ kota akan terus menjalankan kewenangannya dengan pertimbangan untuk keberlangsungan pelayanan. Begitu pula Propinsi akan tetap bersikukuh akan kewenangan yang dimilikinya dengan dasar kewenangan dan legalitas pelayanan. Beberapa kewenangan yang beralih dari kabupaten/kota kepada propinsi adalah kewenangan pertambangan dan pendidikan. Kota/Kabupaten dilarang menerbitkan izin usaha pertambangan (IUP) mineral logam, bukan logam, dan bebatuan sebagaimana kewenangan yang biasa dimilikinya, namun berhubung aturan pelaksanaannya belum ada baik dari pemerintah pusat maupun propinsi sehingga saat ini masih banyak daerah kabupaten/kota yang memaksakan untuk mengeluarkan IUP. Kewenangan yang juga beralih dari kabupaten/kota ke propinsi adalah urusan pendidikan menengah, urusan kehutanan (kecuali pelaksanaan pengelolaan tahura kabupaten/kota), dan urusan ESDM (kecuali penerbitan izin pemanfaatan langsung panas bumi dalam kabupaten/kota). Tarik menarik kewenangan pada dasarnya bersumber dari benturan kebijakan antara UU No 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dengan UU No 4 tahun 2009 tentang Minerba. UU Pemerintahan Daerah memberikan kewenangan pertambangan kepada propinsi, di lain pihak UU Minerba memberikan kewenangan pertambangan kepada Kabupaten/Kota. Untuk kasus ini dalam ilmu hukum dikenal
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
!59
istilah lex specialis derogat legi generalis, yaitu asas penafsiran hukum yang menyatakan bahwa hukum yang bersifat khusus (lex specialis) mengesampingkan hukum yang bersifat umum (lex generalis)(International Principle of Law, trans leg.org). Perlu kajian khusus untuk menentukan mana yang lex specialis dan mana yang lex generalis. Akhirnya sebagai rekomendasi tulisan ini, penulis menyarankan agar pemerintah segera menerbitkan Peraturan Pemerintah sebagai tindak lanjut pelaksanaan UU no 23 tahun 2014. Demikian pula propinsi sebagai daerah yang diberikan kewenangan segera dapat mengeluarkan petunjuk teknis terkait pelaksanaan kewenangan yang dimilikinya. Internalisasi dan pendalaman bagi SKPD tentang kewenangan masingmasing daerah, diikuti arti pentingnya urusan sangat diperlukan, mengingat bahwa urusan merupakan entry point (pintu masuk) bagi program dan kegiatan. Simalakama bandul kewenangan bukan mustahil terus terjadi jika tidak ada kejelasan isi regulasi yang memuat di manakah urusan itu berada.
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
!60
OTONOMI DAERAH VS SENTRALISASI BARU27 OLEH: Drs. Denden Kurnia Drajat, M.Si28 Era Reformasi yang dimulai dengan tumbangnya rezim Orde Baru dengan ditandai dengan tumbangnya kekuasaan presiden Soeharto menimbulkan konsep dan paradigma baru dalam penyelenggaraan pemerintahan salah satu konsep yang lahir pada zaman tersebut adalah kosep Otonomi Daerah. Konsep Otonomi daerah timbul dengan adanya UU Pemerintahan daerah yaitu UU No 22 Tahun 1999 serta UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Konsep penyelenggaraan pemerintahan sebelum adanya konsep otonomi daerah adalah pemerintah sebagai agen tunggal dalam penyelenggaraan pemerintahan baik itu urusan yang menyangkut pemerintahan pusat maupun urusan pemerintahan di Daerah. Pemerintah Daerah pada saat itu tidak diperkenankan mengurus rumah tangganya sendiri karena urusan daerah menjadi wewenang pemerintah pusat.
27
Disampaikan Pada Seminar Nasional Labpolotda JIP MIP Fisip Unila Kamis, 30 April 2015.
28
Dosen Jurusan Ilmu Pemerintahan FISIP Universitas Lampung.
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
!61
Pada saat UU No 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah disahkan oleh Pemerintah bersama DPR maka konsep penyelenggaraan pemrintahan yang ada di Indonesia mengalami perubahan diberbagai macam aspek. Daerah diberikan kebebasan untuk mengatur wilayahnya sendiri tanpa campur tangan dari pemerintah pusat. Konsep penyelenggaraan pemerintahan inilah yang dikenal dengan sebutan “Otonomi Daerah”. Paradigma Otonomi daerah yang sudah berjalan hampir selama 1 (dekade) ini banyak menimbulkan dampak positif dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah yaitu, Perkembangan proses demokrasi dalam kehidupan masyarakat dan pemerintahan akan meningkat. Konsep Otonomi daerah ini telah menelurkan semangat untuk memilih pemimpin daerah baik itu Bupati ataupun Walikota melalui pemilihan kepala daerah langsung (PILKADA). Masyarakat secara bebas memilih langsung pemimpin mereka tanpa campur tangan dari pihak lain. Dampak Positif yang lainnya mengenai konsep otonomi Daerah ini adalah Pemerintah daerah bebas mengolah dan menggali potensi daerahnya masing-masing tanpa adanya campur tangan dari pemerintah pusat. Pemerintah daerah semakin termotivasi untuk mengali potensi yang ada di daerah dengan harapan pembangunan yang ada di daerah semakin maju karena adanya konsep Otonomi Daerah ini. Setelah 10 (sepuluh) tahun berjalan konsep otonomi daerah ini juga telah menimbulkan problematika-problematika yang ada di daerah. Berdasarkan data Kemendagri pada tahun bulan Desember 2014 kepala daerah yang tersangkut korupsi berjumlah 343 (tiga ratus empat puluh tiga) kepala daerah. Kepala daerah ini yang berperkara hukum baik di kejaksaan, kepolisian, mau pun Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sebagian besar karena tersangkut masalah pengelolaan keuangan daerah. Data Kementerian Dalam Negeri menyebutkan, hingga tahun 2010, ada 206 kepala daerah yang tersangkut kasus hukum. Tahun selanjutnya, Kemendagri mencatat secara rutin yaitu 40 kepala daerah (tahun 2011), 41 kepala daerah (2012), dan 23 kepala daerah (2013).
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
!62
Sementara itu, kepala daerah atau wakil kepala daerah yang tersangkut di KPK hingga tahun 2014 yakni mencapai 56 kepala daerah. Tjahjo menyebutkan, sebagian besar diketahui melakukan korupsi dalam pengelolaan keuangan daerah yang bersumber pada penyusunan anggaran, pajak dan retribusi daerah, pengadaan barang dan jasa, belanja hibah dan bansos, dan belanja perjalanan dinasi. Kemendagri mengungkapkan, penyebab banyaknya kepala daerah yang terkena kasus korupsi adalah komitmen antikorupsi yang belum memadai, tidak adanya integritas, belum diterapkannya e-procurement, dan rentannya birokrasi terhadap intervensi kepentingan.29 Timbulnya korupsi di daerah seakan timbul karena konsep otonomi daerah yang memberikan kebebasan setiap daerah untuk mengurus rumah tangganya sendiri tanpa campur tangan pemerintah pusat. Proses pilkada yang menimbulkan berbagai macam tindak korupsi di daerah seakan-akan memperburuk citra paradigma otonomi daerah itu sendiri. Selain itu juga konsep otonomi juga memperlemah peran dari pemerintah daerah provinsi untuk mengawasi penyelenggaraan pemerintahan yang ada di daerah. Wewenang pemerintah provinsi hanya sebagai pengawas dan tidak mempunyai wewenang untuk memberikan sanksi kepada pemerintah daerah kabupaten ataupun kotamadya jika daerah tersebut tidak bias mengurus rumah tangganya sendiri. Problematika yang cukup pelik tersebut akhirnya mendorong Pemerintah bersama dengan DPR membuat terobosan untuk menanggulangi permasalahan yang ada di daerah dengan disyahkannya UU Pemerintahan yang Baru yaitu UU No 23 Tahun 2014. Pada Pasal 9 UU No 23 Tahun 2014 ini menyatakan bahwa urusan pemerintahan dibagi menjadi 3 (tiga) urusan pokok yang terdiri atas urusan pemerintahan absolut, urusan pemerintahan konkuren, dan urusan pemerintahan umum. Urusan Pemerintahan yang ada pada UU ini lebih mengatur terperinci dimna urusan yang harus dikelola oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah
29http://nasional.kompas.com/read/2015/02/04/21114211/Mendagri.
343.Kepala.Daerah.Tersangkut.Kasus.Hukum
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
!63
provinsi, ataupun pemerintah daerah kabupaten atau kotamadya. Sebelum adanya UU Pemerintahan yang baru ini pemerintah daerah diberi kekuasaan sebesarbesarnya untuk mengurus rumah tangganya sendiri tanpa campur tangan pemerintah pusat. Dengan adanya UU Pemerintahan daerah yang baru ini membuat peran pemerintah daerah kabupaten/kotamadya menjadi kecil dalam mengurus rumah tangganya sendiri. Persoalan kewenangan Kepala daerah kabupaten/walikota dalam menjalankan pemerintahan juga sudah mulai diawasi secara ketat oleh pemerintah daerah provinsi. Sebelum adanya UU No 23 Tahun 2014 tentang pemerintahan daerah. Gubernur hanya sebagai wakil pemerintah pusat di daerah yang hanya bertugas untuk menjadi koordinasi penyelenggaraan urusan Pemerintah di daerah provinsi dan kabupaten/kota selain itu juga tugas gubernur pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan pemerintahan daerah kabupaten/Kota. Gubernur tidak memiliki wewenang untuk menjatuhkan sanksi kepada daerah jika daerah tidak menjalankan urusan pemerintahan dengan baik. Setelah UU Pemerintahan daerah yang terbaru terbit kewenangan Gubernur sangat luas untuk mengawasi jalannya pemerintahan kabupaten/Kotamadya. Ketika seorang Bupati atau Walikota membuat kebijakan atau membuat perda yang tidak sesuai dengan asas penyelenggaraan pemerintahan maka di dalam pasal UU No 23 Tahun 2014 Gubernur dapat membatalkan peraturan daerah yang sudah dibuat oleh bupati ataupun walikota. Sedangkan ketika seorang Bupati ataupun walikota tidak bias menjalankan urusan yang dibebankan pemerintah pusat kepada daerah maka Gubernur memiliki kewenangan yang cukup kuat untuk menjatuhkan sanksi kepada bupati atau walikota karena tidak bias menjalankan apa yang telah diperintahkan oleh pemerintah pusat. Beberapa hal pokok yang ada pada UU 23 Tahun 2014 ini jika kita runtut diatas sebenanrya timbul karena konsep dan semangat otonomi daerah yang sudah berjalan selama hampir 1 dekade ini tidak berjalan dengan baik. Daerah diberi kewenangan untuk mengurus rumah tangganya sendiri tanpa campur tangan
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
!64
pemerintah pusat. Tetapi pada kenyataanya konsep otonomi daerah ini disalah gunakan kewenangannya timbul raja-raja kecil di daerah untuk menguasai potensi yang ada di daerah. Timbul berbagai macam proses pemekaran di daerah baik itu pemekaran provinsi, Kotamadya/Kabupaten dan bahkan pemekaran kecamatan banyak terjadi. Masalah yang timbul akibat otonomi daerah ini juga menimbulkan ketimpangan antar daerah yang satu daerah yang lain karena sumber daya alam yang ada di suatu daerah tidak sama dengan daerah lain. Dengan demikian banyak ketimpangan pemerataan pembangunan di daerah-daerah. Sebenarnya Bila kita lihat konsep penyelenggaraan pemerintahan pada UU Pemerintahan yang baru UU No 23 Tahun 2014 secara eksplisit menimbulkan kembali konsep sentralistik yang pada zaman Orde Baru konsep ini diterapkan dalam penyelenggaraan pemerintahan. Konsep Sentralistik ditandai dengan adanya peran yang cukup besar antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah provinsi untuk mengawasi pemerintah daerah kabupaten atau kotamadya dalam mengurus rumah tangganya sendiri. Konsep sentralistik inilah yang mulai dianggap oleh elitelit di daerah dapat mengganggu jalannya roda pemerintahan mereka. Hal inilah yang menjadi tantangan bagi semua aspek masyarakat yang ada di lingkungan pemerintahan baik itu elit local ataupun elit pusat dalam memandang UU pemerintahan terbaru ini. Apakah konsep pemerintahan daerah yang berdasarkan UU No 23 Tahun 2014 yang sedikit banyak ada unsur sentralistik digabungkan dengan konsep otonomi daerah yang sudah berjalan hampir 10 tahun berjalan ini dapat berjalan dengan baik, mudah-mudahan konsep yang dikeluarkan oleh pemerintah dan DPR membawa kebaikan bagi daerah dan juga bagi masyarakatnya. Aamiiin.
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
!65
DINAMIKA HUBUNGAN PUSAT DAN DAERAH di INDONESIA30 Oleh : Himawan Indrajat31 Hubungan pusat dan daerah di Indonesia mengalami pasang surut, ada masa ketika daerah tidak mempunyai kemandirian bahkan hanya dieksploitasi oleh pemerintah pusat seperti ketika orde baru berkuasa pola hubungan pusat dan daerah sangat sentralistik melalui undang-undang nomor 5 tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah, daerah tidak memiliki kewenangan atau otonomi untuk mengurus urusan pemerintahnya sendiri semua pemerintah pusat yang menentukkan. Dan kecenderungan pemerintah daerah saat itu adalah Excecutive 30
Disampaikan Pada Seminar Nasional Labpolotda JIP MIP Fisip Unila Kamis, 30 April 2015
31
Dosen Jurusan Ilmu Pemerintahan FISIP Universitas Lampung
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
!66
Heavy, karena Kepala Daerah adalah wakil langsung yang ditunjuk pemerintah pusat walaupun dia dipilih melalui DPRD, dan fungsi DPRD juga sangat lemah. Kemudian setelah pemerintahan orde baru jatuh di gantikan pemerintahan transisi Habibie pada masa awal reformasi dilakukan perubahan besar pada pola hubungan pusat daerah yang tidak lagi tersentralisasi tapi desentralisasi, dengan disyahkan undang-undang nomor 22 tahun 1999. Dengan undang-undang tersebut daerah mendapat otonomi yang sangat luas. Daerah benar-benar menikmati otonominya, terutama kabupaten/kota karena otonomi yang dilaksanakan saat itu titik beratnya ada di kabupaten/kota, kekuatan provinsi dilucuti, serta kepala daerah seperti gubernur, bupati dan walikota tidak lagi ditunjuk oleh pusat dan kemudian dipilih oleh DPRD, tetapi DPRD langsung yang memilih para calon kepala daerah tersebut. dalam pelaksanaannya ternyata undang-undang tersebut dianggap terlalu memberikan kebebasan yang berlebihan, seperti bupati/walikota dianggap sebagai raja-raja kecil, kemudian konflik sumber daya alam antar daerah juga sangat tajam, bahkan timbul konflik antara DPRD dan Bupati/Walikota ada beberapa kepala daerah yang diberhentikan karena berkonflik dengan DPRD seperti kasus Bupati Kampar Jefry Noer dan Bupati Temanggung. Karena banyak permasalahan tersebut kemudian dilakukan perubahan dengan disyahkannya undang-undang nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah, kebebasan daerah sedikit diperketat walaupun daerah masih diberikan kebebasan. DPRD tidak bisa lagi sewenang-wenang untuk memberhentikan Kepala Daerah, kemudian Kepala Daerah dipilih secara langsung oleh rakyat bukan lagi melalui DPRD karena pemilihan tidak langsung melalui DPRD potensi money politic sangatlah tinggi dengan menyuap anggota DPRD, diharapkan dengan pilkada secara langsung pemimpin yang terpilih benar-benar pilihan rakyar. Persoalan utama dalam pelaksanaan undang-undang nomor 22 tahun 1999 dan kemudian undang-udnag nomor 32 tahun 2004 adalah kordinasi kebijakan pemerintah pusat kadang tidak sejalan dengan kebijakan pemerintah pusat.
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
!67
Kemudian muncullah undang-undang nomor 23 tahun 2014 yang bermaksud untuk bisa menselaraskan kebijakan pemerintah pusat atau program-program nasional dengan kebijakan daerah. Nuansa dari undang-undang pemerintah daerah baru ini lebih menekankan pada asas dekosentrasi dibandingkan undang-undang pemerintah daerah sebelumnya yang lebih menekankan pada asas desentralisasi dengan titik berat otonomi daerah pada kabupaten/kota. Provinsi yang sebelumnya lemah dan kewenangannya sangat terbatas melalui undang-undang ini posisinya diperkuat dengan penambahan fungsi dan kewenangan melalui Gubernur untuk mengawasi pelaksanan pemerintah daerah di kabupaten/kota. Seperti yang tercantum dalam pasal 91 yang mengatur tugas dan fungsi gubernur sebagai wakil pemerintah pusat. Dalam pasal 91 disebutkan tugas dari Gubernur dalam pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan urusan pemerintah daerah yang menjadi kewenangan daerah kabupaten/kota adalah : 1. Mengoordinasikan pembinaan dan pengawasan penyelenggaraa Tugas Pembantuan
di Daerah kabupaten/kota.
2. Melakukan monitoring, evaluasi, dan supervisi terhadap penyelenggaraan Pemerintahan Daerah kabupaten/kota yang ada di wilayahnya. 3. Memberdayakan dan memfasilitasi Daerah kabupaten/kota di wilayahnya. 4. Melakukan evaluasi terhadap rancangan Perda Kabupaten/Kota tentang RPJPD,
RPJMD, APBD, perubahan
pelaksanaan APBD,
tata
ruang
daerah,
APBD, pajak
pertanggungjawaban daerah,
dan
retribusi
daerah. 5. Melakukan pengawasan terhadap Perda Kabupaten/Kota; dan 6. melaksanakan
tugas
lain
sesuai
dengan
ketentuan peraturan
perundang-undangan. Sementara kewenangan dari Gubernur dalam melaksanakan fungsi kewenangannya adalah : 1. Membatalkan Perda Kabupaten/Kota dan peraturan bupati/walikota. 2. Memberikan penghargaan atau sanksi kepada bupati/walikota terkait dengan penyelenggaraan Pemerintahan Daerah.
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
!68
3. Menyelesaikan perselisihan dalam penyelenggaraan fungsi pemerintahan antar-Daerah kabupaten/kota dalam 1 (satu) Daerah provinsi. 4. Memberikan persetujuan terhadap rancangan Perda Kabupaten/Kota tentang pembentukan dan susunan Perangkat Daerah kabupaten/kota; dan 5. Melaksanakan wewenang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
Selain itu masih terkait dengan tugas dan kewenangan Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat adalah “Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat dapat menjatuhkan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan kepada penyelenggaran pemerintah daerah kabupaten/kota”. Tugas Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat inilah yang menjadi persoalan karena seolah otonomi pada daerah kabupaten/kota
dibatasi serta seperti set
back kembali pada kondisi orde baru yang sentralistik. Sebenarnya undang-undang ini disyahkan pada akhir kepemimpinan pemerintahan presiden Susilo Bambang Yudoyono, yang kemudian oleh pemerintahan presiden yang baru terpilih Joko Widodo melakukan perubahan kedua undang-undang nomor 23 tahun 2014 dengan undang-undang nomor 9 tahun 2015, tetapi perubahan tersebut tidak membahas tentang otonomi pada kabupaten/kota, perubahan yang dibahas adalah soal tugas kepala daerah dan wakil kepala daerah, serta tugas DPRD provinsi serta DPRD Kabupaten/Kota. Dari perubahan tersebut memang terlihat bahwa pemerintah pusat ingin “menjaga” atau “mengawasi” daerah khusus kabupaten/kota melalui provinsi agar program-program pemerintah dapat terlaksana dengan baik. Seperti kita ketahui bahwa program pemerintahan baru Joko Widodo untuk membangun infrastruktur transpotasi nasional sangatlah ambisius dari jalan tol di sumatera, pembangunan pelabuhan baru, membangun konektivitas transpotasi laut melalui tol laut dan program-program yang lain seperti Kartu Indonesia Sehat dan Kartu Indonesia Pintar. Apabila hal ini tidak didukung oleh pemerintah daerah tentu akan menjadi hambatan dalam penerapannya.
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
!69
Tetapi bagi saya itu adalah ketakutan yang berlebihan dari pemerintah pusat, dan pola pikir hubungan pusat daerah pemerintah masih bersifat
hierarkis vertikal,
daerah kabupaten/kota harus tunduk dan patuh pada kebijakan yang seragam walaupun maksudnya itu baik. Tetapi dengan memberikan power pada Gubernur ini untuk memberikan sanksi dan penghargaan terhadap pemerintah kabupaten/kota tentu merupakan suatu kemunduran, apalagi Gubernur memilili kewenangan untuk membatalkan peraturan daerah kabupaten/kota yang menyangkut RPJPD, RPJMD, APBD, Perubahan APBD, Pertanggungjawaban APBD, tata ruang daerah, pajak daerah, dan retribusi daerah apabila menurut Gubernur ternyata bertentangan dengan peraturan lebih tinggi atau bertentangan dengan kepentingan umum seperti yang diatur pasal 249 dan 250 undang-undang nomor 23 tahun 2014. Tentu menyimpan potensi konflik yang sangat besar antara pemerintah kabupaten/kota dengan pemerintah provinsi. Padahal yang digadang-gadang dari pemerintahan baru sekarang adalah dukungan terhadap proses demokrasi, termasuk didalamnya pola hubungan pusat dan daerah yang terdesentralisasi. Bukan malah memperlemah posisi daerah kabupaten/kota, pemerintah pusat dan DPR RI harus melalukan perubahan segera agar proses demokrasi tetap berjalan sesuai dengan cita-cita Pancasila dan UUD 1945.
KEWENANGAN KEPALA DAERAH PASCA UU PEMERINTAHAN YANG BARU “DITAMBAH ATAU DIPERSEMPIT”32 Oleh: ANDRI MARTA, S.I.P, M.I.P33 32
DiSampaikan Pada Semnar Nasional LABPOLODA JIP MIP FISIP UNILA DAN APKASI
33
Dosen Tetap Jurusan Ilmu Pemerintahan Fisip Universitas Lampung
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
!70
❖ PENDAHULUAN Sebelum masa penghujung pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ada suatu kebijakan strategis yang dikeluarkan oleh pemerintah bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Yaitu dengan telah disahkannya Undang-Undang Pilkada dan Undang-Undang Pemerintahan daerah yang baru yaitu UU No 22 Tahun 2014 dan UU No 23 Tahun 2014 sebagai pengganti dari Undang-Undang Pemerintahan daerah yang lama yaitu UU No 32 tahun 2004. Perhatian masyarakat pada saat itu cenderung melihat dan memperhatikan substansi tentang UU No 22 tahun 2014 tentang Pilkada karena pada UU tersebut mengatur pemilihan kepala daerah melalui DPRD yang secara tak langsung tidak mempergunakan suara rakyat dalam memilih pemimpin daerah mereka. Pada dasarnya jika kita memperhatikan lebih rinci lagi Undang-undang Pemerintahan Daerah yang baru yaitu UU Nomor 23 tahun 2014 memiliki beberapa aspek yang harus kita kaji lagi dalam proses pemerintahan daerah yang ada di Indonesia terutama tentang berkurangnya peran Pemerintah daerah dalam urusan penyelenggaraan fungsi pemerintahan.
❖ Masalah yang timbul terhadap kewenangan Kepala Daerah Kabupaten atau Kotamadya Sebelum disahkannya UU Pemerintahan yang baru ini, konsep otonomi daerah sangat kuat sekali dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan pemerintahan yang ada di daerah. Hal ini berdasarkan oleh UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Daerah diberi wewenang untuk mengurus dan melaksanakan proses penyelenggaraan pemerintahannya tanpa campur tangan dari pemerintah pusat ataupun pemerintah Provinsi. Menurut Mariun (1979) mengungkapkan
bahwa
dengan kebebasan yang dimiliki pemerintah daerah memungkinkan untuk membuat inisiatif sendiri, mengelola dan mengoptimalkan sumber daya daerah. Adanya kebebasan untuk berinisiatif merupakan suatu dasar pemberian otonomi daerah,
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
!71
karena dasar pemberian otonomi daerah adalah dapat berbuat sesuai dengan kebutuhan setempat34. Dengan semangat desentralisasi, daerah menggunakan otonomi yang dimilikinya untuk berkreasi dan berinovasi dalam mengelola sumber daya-sumber daya yang dipunyainya. Reformasi telah menghantarkan ke gerbang demokrasitisasi yang akan membawa perubahan dalam sistem pemerintahan daerah yang semula sentralistis menjadi desentralistis. Perubahan itu berimplikasi pada terjadinya pergeseran lokus kekuasaan, dari pusat ke daerah. Desentralisasi memberikan surga baru pada daerah-daerah, karena selama 3 (tiga) dekade kekayaan alam yang dimiliki daerah tidak pernah dinikmatinya. Akibatnya, terjadi kesenjangan yang mencolok di daerah-daerah yang kaya sumber daya alamnya, tetapi penduduknya tetap miskin Pada prosesnya selama 1 (satu) dekade terakhir ini konsep otonomi daerah menimbulkan berbagai macam permasalahan yang ada di daerah seperti timbul raja-raja kecil di daerah karena kekuasaan mereka turun menurun dan juga timbulnya korupsi kepala daerah yang memimpin daerah tersebut. Menurut Kemendagri hamper 30% kepala daerah tersangkut korupsi di daerah yang mereka pimpin. Melihat poblematika yang cukup kompleks ini maka pemerintah bersama DPR mengesahkan UU pemerintahan yang baru untuk menggantikan UU No 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Proses pembentukan UU No 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah ini dilandasi karena permasalahan-permasalahan yang timbul akibat konsep otonomi daerah yang salah diterapkan di masing-masing daerah di wilayah Indonesia. Undang-Undang No 23 Tahun 2014 tentang pemerintahan daerah ini menitikberatkan pada pembagian urusan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Pada UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan daerah yang lalu urusan penyelenggaraan pemerintahan daerah lebih di fokuskan kepada aspek otonomi daerah yang ditandai dengai konsep Desentralisasi, Dekonsentrasi dan Tugas
34
Mariun. 1979. Azas-Azas Ilmu Pemerintahan. Yogyakarta. Badan Penelitian dan Pengaembangan. Fakultas Sospol UGM
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
!72
Pembantuan. Ketika UU No 23 Tahun 2014 disahkan paradigma tentang penyelenggaraan urusan pemerintahan lebih difokuskan pada 3 (tiga) aspek urusan. Menurut UU no 23 Tahun 2014 Pasal 9 ayat (10) tentang pembagian urusan yaitu urusan pemerintahan absolut, urusan pemerintahan konkuren, dan urusan pemerintahan umum. Pada UU pemerintahan yang baru ini juga di jelaskan bahwa Peran Gubernur sangat memiliki kewenangan dalam hal penyelenggaraan pemerintaha di daerah. Menurut UU No 32 Tahun 2004 Pasal 38 ayat 1, Gubernur hanya sebagai kepanjangan dari pemerintah pusat di daerah yang hanya koordinasi pengawasan oleh pemerintah pusat kepada daerah dan juga pembinaan tugas pembantuan yang diberikan pemerintah pusat di daerah. Pada UU No 23 Tahun 2014 menjelaskan bahwasanya Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat, diatur lebih spesifik seperti yang diatur dalam pasal 91-93. Adapun tugas tersebut melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan Tugas Pembantuan di Kabupaten/Kota, melakukan monev dan supervisi, melakukan evaluasi APBD dan lain-lain, dapat membatalkan Perda dan memberikan persetujuan terhadap Raperda Kabupaten/Kota, serta dapat memberikan sanksi kepada Bupati/Walikota. Pada proses penyelenggaraan urusan pemerintahan daerah yang berkaitan dengan bidang kehutanan, kelautan, serta energi dan sumber daya mineral UU No 23 Tahun 2014 ini mengatur bahwa urusan ini dibagi hanya untuk pemerintah pusat dan juga pemerintah daerah provinsi. Hal ini dimaksudkan agar pemerintah daerah kabupaten atau kotamadya tidak memonopoli kekayaan yang ada di daerah sehingga korupsi yang dilakukan oleh kepala daerah Bupati atau Walikota dapat dikurangi. Pada akhirnya UU No 23 Tahun 2014 ini menimbulkan berbagai macam aspek permasalahan baru karena UU ini tidak sesuai dengan UU No 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Minyak dan Batu Bar a (Minerba). Pada UU pemerintahan yang baru ini dijelaskan bahwa pemberian ijin dan pemanfaatan hasil tambang, kehutanan
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
!73
dan mineral hanya dapat dilakukan oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah provinsi. Tetapi dalam isi UU minerba dijelaskan bahwa yang berhak untuk menerbitkan ijin dan pemanfaatan tentang pertambangan Minyak dan Batu Bara (Minerba) adalah pemerintah daerah kabupaten atau kotamadya. Hal inilah yang menjadi masalah yang timbul saat ini pada pemerintahan di daerah. Secara eksplisit dapat kita pahami berdasarkan pemaparan diatas bahwa konsep UU pemerintahan yang baru yaitu UU No 23 Tahun 2014 sebanarnya membonsai kewenangan daerah Kabupaten atau Kotamadya untuk mengurus rumah tangganya sendiri. Undang-undang ini cenderung menghidupkan pola sentralisasi yang ada pada zaman Orde Baru tersebut, bahwa kewenangan yang mutlak dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah ada pada pemerintah pusat dan juga pemerintah daerah provinsi. Undang-undang ini juga sedikit demi sedikit menghilangkan konsep otonomi daerah yang mulai diperkenalkan sejak awal masa reformasi. Karena pada saat roses pelaksanaan konsep otonomi daerah yang hamper 10 (sepuluh tahun) ini berjalan timbul banyak permasalahan yang ada di daerah seperti banyak kepala daerah yang terkena kasus korupsi, timbul juga rajaraja kecil yang ada di daerah yang posisi Gubernur saat itu hanya sebagai wakil pemerintah pusat yang ada di daerah saja tanpa memiliki kewenangan yang jelas dalam mengawasi jalannya pemerintahan daerah Kabupaten/Kotamadya. Proses pembentukan sampai disahkannya UU pemerintahan yang baru Nomor 23 Tahun 2014 ini menimbulkan suara pro dan kontra dikalangan pemerintah pusat dan juga pemerintah daerah. Pemerintah Pusat beralasan lahirnya UU ini bukan semata-mata untuk menghidupkan kembali konsep sentralistis yaitu kewenangan pemerintah pusat dan pemerintah daerah provinsi lebih besar dalam mengatur penyelenggaraan urusan pemerintahan yang ada di daerah Kabupaten/Kotamadya. Tetapi untuk mengurangi dominasi atau peran yang terlampau jauh oleh Bupati/ Walikota dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan di daerah. Reaksi berbeda dikemukakan oleh para Bupati/Walikota yang ada di Indonesia. Menurut Bupati Tanjab Barat, Usman Ermulan yang dikutip dari harian Info Jambi, beliau
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
!74
mengatakan bahwa UU No 23 Tahun 2014 ini berpotensi menimbulkan keresahan di berbagai daerah. Sebab, pelaksanaan UU Pemda itu akan kembali memunculkan praktek Orde Baru jilid II. Beberapa kekuasan atau wewenang yang selama ini dimiliki oleh kepala daerah di tingkat II secara bertahap akan dilimpahkan ke Pemerintah provinsi.35 ❖ Solusi Permasalahan-permasalahan diatas sebenarnya penulis lihat dapat diselesaikan apabila seluruh elemen duduk bersama membahas tentang persoalan dan isi dari UU pemerintahan yang baru tersebut. Pemerintah Pusat harus menjelaskan secara rinci maksud dan tujuan yang ada di UU pemeritahan yang baru ini kepada pemerintahan yang ada di daerah sehingga tidak terjadi kesalahpahaman antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam memahami UU No 23 Tahun 2014 ini. Selain itu pemerintah pusat juga harus menerbitkan peraturan turunannya dari UU No 23 Tahun 2014 ini yaitu tentang Peraturan Pemerintah (PP) yang berkaitan dengan pokok dan isis dari Undang-Undang ini sehingga proses pelaksanaan UU pemerintahan yang baru ini dapat berjalan optimal dan dapat digunakan oleh semua pihak dalam hal penyelenggaraan urusan pemerintahan daerah.
35
http://infojambi.com/pemerintahan/14917-usman-ermulan-minta-tinjau-ulang-pelaksanaan-uu-pemda.html
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
!75
“Transparansi Pemerintahan”, Dapatkah Terwujud? Melyansyah SA36 ❖Pendahuluan Pemerintahan yang transparan sampai hari ini masih sekedar jargon. Keterbukaan informasi publik dalam setiap level pemerintahan sangat sulit diwujudkan. Akses untuk mendapatkan informasi publik pun sangat sulit atau bahkan ditiadakan. Dalam research Indonesia Governance Index tahun 2014 memberikan nilai rata-rata nasional tata kelola pemerintahan daerah hanya 5,7 (dengan 1 sebagai kriteria sangat buruk dan 10 sebagai kriteria sangat baik). Pencapaian ini masih jauh dari hasil yang diharapkan, terlebih lagi banyak daerah yang memperoleh nilai di bawah nilai rara-rata nasional. Buruknya tata kelola pemerintahan tersebut juga berbanding lurus dengan rendahnya transparansi di dalam penyelenggaraan pemerintahan. Rata- rata kinerja pemerintah transparansi pemerintah masuk dalam kategori cenderung buruk dengan nilai indeks 4,58 (1 untuk kriteria tidak transparan dan 10 untuk kriteria sangat transparan).37 Hal ini menunjukkan bahwa masih sulitnya akses terhadap informasi publik (dokumendokumen pemerintah yang tidak tergolong rahasia, seperti dokumen keuangan, LKPJ, penggunaan dana aspirasi DPRD) di sebagain besar daerah di Indonesia. Lahirnya UU No. 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah ini memberikan harapan sekali lagi untuk menguatkan komitmen setiap pemerintah daerah untuk mewujudkan transparansi dalam penyelenggaraan pemerintahan.
❖Transparency for Good Governance
36
Mahasiswa Jurusan Ilmu Pemerintahan, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Lampung. Saat ini aktif dalam kepengurusan LABPOLOKDA di bidang kajian. 37
Abdul Malik Gismar dkk, Menuju Masyarakat yang Cerdas dan Pemerintahan yang Responsif(Laporan Eksklusif Indonesia Governance Index 2012), Jakarta, Kemitraan Bagi Pembaruan Tata Pemerintahan(The Partnership For Governance Reform), 2013, hal.34.
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
!76
Transparansi dan good governance merupakan satu kesatuan utuh yang saling koeksitensi. Good governance disebut sebagai pemerintahan yang baik jika memenuhi prinsip transparan, sebaliknya transparansi merupakan sebuah keharusan untuk mencapai good governance.
Transparansi penyelenggaraan pemerintahan memiliki arti yang sangat penting dimana masyarakat diberikan kesempatan untuk mengetahui kebijakan yang akan dan telah diambil oleh pemerintah. Bahkan dengan adanya transparansi penyelenggaraan pemerintahan tersebut, masyarakat dapat memberikan feedback atau outcomes terhadap kebijakan yang telah diambil oleh pemerintah. Kajian terkait konsep transparansi kini semakin berkembang. Beberapa konsep transparansi yang ditawarkan oleh beberapa literatur adalah sebagai berikut : 1. As transparency is a core governance value. The regulatory activities of government constitute one of the main contexts within which transparency must be assured. There is a strong public demand for greater transparency, which is substantially related to the rapid increase in number and influence of non governmental organisations (NGOs) or civil society groups‟, as well as to increasingly well educated and diverse populations. (OECD, 2004 : 66). 2. Transparansi yaitu dapat diketahui oleh banyak pihak (yang berkepentingan) mengenai perumusan kebijakan (politik) dari pemerintah, organisasi dan badan usaha. Good Governance tidak membolehkan manajemen pemerintahan yang tertutup. (Tjokromidjoyo, 2003 :123).38 3. Transparansi dapat dimaknai sebagai adanya pemberian informasi yang selalu relevan untuk melakukan evaluasi lembaga. (Bauhr & Nasiritousi forthcoming). 4. Transparansi merupakan keterbukaan, yaitu jalannya pemerintahan harusnya dapat diprediksi ( should be predictabel) dan diselenggarakan dengan aturan hukum yang berlaku dan tidak sewenang-wenang. (Hood 2006, 14).39 38
Arifin Tahir, 2011, Kebijakan Publik dan Transparansi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, Jakarta : Pustaka Indonesia Press. 39
Monika Baur & Marcia Grimes, 2012, What Is Government Transparency? ; New Measures and Relevance for Quality Government, Goteburg : University of Gothenburg.
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
!77
Kemudian Smith (2004:66), mengemukan bahwa proses transparansi meliputi : 1. Standard procedural requirements (Persayaratan Standar Prosedur), bahwa proses pembuatan peraturan harus melibatkan partisipasi dan memperhatikan kebutuhan masyarakat. 2. Consultation processes (Proses Konsultasi), Adanya dialog antara pemerintah dan masyarakat. 3. Appeal rights (Permohonan Izin), adalah pelindung utama dalam proses pengaturan. Standard dan tidak berbelit, transparan guna menghindari adanya korupsi. Tidak hanya proses pembuatan izin, transparansi juga dimaknai sebagai publikasi seluruh kegiatan pemerintah di dalam website lembaga pemerintahan.
Seperti dikatakan Stephan G. Grimmelikhuijsen dalam jurnal The Effects of Transparency on the Perceived Trustworthiness of a Government Organization , “Governments all around the world are enhancing their transparency by providing all sorts of information about government activities and performance on public Web sites.”40 Dari berbagai pandangan tentang definisi Good Governance dan Transparansi diatas, maka disimpulkan bahwa keduanya memiliki korelasi yang signifikan dimana suatu pemerintahan dapat dikatakan baik (Good governance) berarti pemerintahan tersebut telah menerapkan prinsip-prinsip tranparansi.
❖Komitmen Transparansi dalam UU Pemda terbaru Sejak zaman kolonial hingga sekarang kurang lebih ada 10 peraturan perundangundangan yang mengatur pemerintahan daerah di Indonesia. Dimulai dari Desentralisatie WET 1903 yang merupakan produk kolonial belanda kemudian pasca
40
Stephan G. Grimmelikhuijsen & Albert J. Meijer The Effects of Transparency on them Perceived Trustworthiness of a Governmen Organization Evidence from an Online Experiment, Journal of Public Administration Research and Theory Advance Access published November 5, 2012
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
!78
kemerdekaan lahirlah UU No. 1 tahun 1995 yang cenderung dominan sentralistis, kemudian pasca reformasi lahir UU No. 22 tahun 1999 yang cenderung desentralistis, selanjutnya pada masa demokratisasi lahir UU No.32 tahun 2004 yang menggabungkan sentralistis dan desentralistis dan yang terakhir adalah UU No.23 tahun 2014 yang mengandung visi efektivitas pemerintahan. UU pemerintahan daerah yang terbaru ini memang memilki banyak sekali perubahan diantaranya penghapusan dan perubahan beberapa pasal terkait pemilihan kepala daerah dan anggota DPRD serta adanya penambahan bab dalam UU ini. Penambahan bab yang menjadi perhatian adalah adanya penambahan bab pelayanan publik yang dimuat dalam BAB XIII tentang Pelayanan Publik. Secara eksplisit bab tersebut menjelaskan tentang mekanisme pelayanan publik yang baik. Berikut merupakan kutipan dari bab XIII terkait pelayanan publik : BAB XIII PELAYANAN PUBLIK Bagian Kesatu Asas Penyelenggaraan Pasal 344 (1) Pemerintah Daerah wajib menjamin terselenggaranya pelayanan publik berdasarkan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah. (2) Pelayanan publik diselenggarakan berdasarkan pada asas: a. kepentingan umum; b. kepastian hukum; c. kesamaan hak; d. keseimbangan hak dan kewajiban; e. keprofesionalan; f. partisipatif; g. persamaan perlakuan/tidak diskriminatif; h. keterbukaan; i. akuntabilitas; j. fasilitas dan perlakuan khusus bagi kelompok rentan; k. ketepatan waktu; dan l. kecepatan, kemudahan, dan keterjangkauan.
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
!79
Berdasarkan kutipan dua pasal di atas membuktikan bahwa UU pemerintahan daerah yang baru ini benar-benar berkomitmen untuk memperbaiki kualitas pelayanan publik di tingkat daerah dengan berdasarkan pada asas-asas pelayanan publik di atas salah satunya adalah asas keterbukaan (transparansi). Keterbukaan di dalam UU ini didefinisikan sebagai asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang penyelenggaraan negara dengan tetap memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi, golongan, dan rahasia negara. ini membuktikan bahwa UU pemerintahan yang baru menaruh perhatian besar pada asas transparansi. Kemudian asas keterbukaan juga tertuang jelas dalam BAB XXII tentang Informasi Pemerintahan Daerah dalam pasal 391 ayat 1 dan 2 yang berbunyi, “Pemerintah Daerah wajib menyediakan informasi Pemerintahan Daerah yang terdiri atas: a. informasi pembangunan Daerah; dan b. informasi keuangan Daerah” kemudian dalam ayat 2 disebutkan bahwa, “Informasi Pemerintahan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikelola dalam suatu sistem informasi Pemerintahan Daerah”. Tidak hanya sebatas kewajiban informasi tetapi ditegaskan kembali di dalam pasal 393 ayat 2E yang berbunyi bahwa Informasi keuangan daerah sebagaimana yang dimaksud digunakan untuk mendukung keterbukaan informasi kepada masyarakat. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa UU pemerintahan daerah yang terbaru memiliki komitmen yang sangat kuat untuk mengutamakan transparansi atau keterbukaan dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah.
❖Collaborative Transparency Konsep transparansi merupakan konsep yang booming bersamaan dengan pelaksanaan good governance di berbagai negara. Konsep transparansi ini merupakan konsep yang lahir dari landasan filosofi bahwa pemerintahan yang demokratis adalah pemerintahan yang memilki keterbukaan informasi publik. Gagasan terkait urgensi transparansi juga sering di kutip dalam kongres di Washington, yang menyebutkan bahwa “pemerintahan yang populer tanpa ada
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
!80
informasi yang populer adalah sebuah lelucon, pengetahuan akan mengatur kebodohan seseorang oleh karena itu setiap orang harus mempersenjatai diri dengan kekuasaan informasi.” Artinya setiap warga negara harus memilki hasrat dan keinginan untuk mengetahui informasi publik. Keterbukaan informasi sendiri terdiri dari beberapa generasi. Generasi yang pertama yaitu hak untuk mengetahui kebijkan (righ to know) dimana setiap warga negara memilki hak untuk mengetahui apa yang dilakukan dan tidak dilakukan oleh pemerintah. Generasi yang kedua adalah targeted transparancy policy yaitu merupakn perbaikan dari generasi pertama yaitu tidak hanya memperhatikan hak publik untuk mendapatkan informasi publik tapi lebih berorientasi pada capaian atau target dari transparansi itu sendiri. Generasi yang ketiga adalah collaborative transparency policies yaitu sebuah generasi transparansi yang memadukan generasi pertama dan kedua dengan transformasi komputer jaringan internet agar publik bisa mengetahui informasi secara cepat sehingga pemerintahan menjadi lebih efektif dan efisien.41 Generasi ketiga merupakan model transparansi yang tepat untuk merealisasikan transparansi dalam UU pemerintahan yang terbaru. UU ini megutamakan asas keterbukaan informasi melali media tertentu. Alternatif media yang cukup efektif saat ini adalah menggunakan jaringan internet. Oleh karena itu model collaborative transparency merupakan model yamg dapat menunjang terwujudnya transparansi di Indonesia. Konsep transparansi yang dibangun dalam UU ini sejalan dengan konsep collaborative transparency, namun masih harus mencari media yang tepat untuk mewujudkan transparansi itu sendiri. Sebagian besar pemda di Indoneisa sudah memilki website sebagai sumber informasi namun website tersebut hanya dibuat tanpa dimuat dengan informasi update. Fenomena tersebut terjadi hampir di seluruh Kabupaten/Kota di
41
Archon Fung, Mary Graham & David Weil, 2007, Full Disclosure : The Politics, Perils and Promise of Targeted Transparency, New York : Cambridge University Press
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
!81
Indonesia. Artinya hampir sebagian besar Kabupaten/Kota di Indonesia hanya setengah hati untuk menerapkan transparansi. Permasalahan tersebut harus menjadi perhatian penting dalam pelaksanaan UU pemda terbaru ini. Terutama pada pembuatan PP nanti sebagai turunan dari UU ini, legislator harus memperhatikan kemungkinan terulang kembali permasalahan klasik dari website pemerintah daerah yang bisa dikatakan mati. Padahal melalui website tersebut pemda dapat memberikan pelayanan publik kepada masyarakat lebih efektif dan efisien.
❖Simpulan
Berbagai tantangan dan hambatan akan mengahampiri pelaksanaan UU No. 23 tahun 2014. Berbagai masalah penghambat transparansi harus mampu diselesaikan. Dimulai dari komitmen pemda yang rendah, keterbatasan SDM dan sarana dan prasrana pendukung. Isu pelayanan publik yang transparan yang dimuat dalam UU ini sejalan dengan konsep transparansi collaborative transparency yaitu menggunakan komputer dan jaringan internet untuk mewujudkan transparansi. Berbagai masalah di atas harusnya dapat menjadi motivasi bagi UU untuk menyelesaikan maslah tersebut. Kemudian model transparansi yang ditawarkan juga dapat dijadikan alternatif untuk mewujudkan transparansi. Pada akhirnya kembali pada pertanyaan yang diajukan di atas, apakah UU No. 23 tahun 2014 dapat menjawab tantangan dan berbagai permasalahan yang ada. Apabila UU ini tidak mampu menciptakan keadaan yang lebih baik dari keadaan sebelumnya maka UU ini bisa dikatakn gagal mewujudkan transparansi.
❖Referensi Baur, Monika & Grimes, Marcia. 2012. What Is Government Transparency? ; New Measures and Relevance for Quality Government. Goteburg : University of Gothenburg. Fung, Archon dkk. 2007. Full Disclosure : The Politics, Perils and Promise of Targeted Transparency. New York : Cambridge University Press.
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
!82
G. Grimmelikhuijsen, Stephan & J. Meijer, Albert. The Effects of Transparency on them Perceived Trustworthiness of a Governmen Organization Evidence from an Online Experiment. Journal of Public Administration Research and Theory Advance Access published November 5, 2012. Malik Gismar, Abdul dkk. 2013. Menuju Masyarakat yang Cerdas dan Pemerintahan yang Responsif(Laporan Eksklusif Indonesia Governance Index 2012). Jakarta : Kemitraan Bagi Pembaruan Tata Pemerintahan(The Partnership For Governance Reform). Tahir, Arifin. 2011. Kebijakan Publik dan Transparansi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Jakarta : Pustaka Indonesia Press. Menakar Peluang Partisipasi Masyarakat dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Oleh Darmawan Purba, S.IP., M.IP
Pendahuluan Era reformasi sering digunakan untuk membatasi masa-masa kelam demokrasi di Indonesia dan dijadikan momentum bersejarah terhadap lahirnya orde reformasi. Pada saat itu salah satu fenomena yang terjadi adalah gelombang demokratisasi yang sangat kuat, setidaknya terdapat dua isu besar yang menjadi tuntutan reformasi dibidang politik. Pertama, perubahan sistem kepartaian dimana pada masa orde baru hanya ada tiga peserta yang memiliki kesempatan untuk mengikuti pemilihan umum yaitu Golkar, PDI dan PPP menjadi sistem partai banyak. Kedua, diberlakukannya otonomi daerah sebagai salah satu tuntutan reformasi melalui UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Konsekuensi berlakunya undang undang tersebut adalah semakin terbukanya keran demokrasi di tingkat lokal. Hal ini penting mengingat penyelenggaraan pemerintahan daerah membutuhkan legitimasi politik yang kuat, sesuai nilai dan semangat demokrasi yang memposisikan kedaulatan berada di tangan rakyat.
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
!83
Kedua fenomena tersebut di atas, memposisikan masyarakat dalam konteksnya, yaitu sebagai pihak yang memiliki otoritas yang dimandatkan kepada wakilnya baik di DPRD maupun terhadap kepala daerah. Semangat tersebut ternyata hanya menjadi harapan semu bagi masyarakat. Hal ini dikarenakan penyelenggaraan pemerintahan daerah yang secara substansi diharapkan dapat mendorong akselerasi pembangunan daerah ternyata kerap kandas di tengah jalan. Pada prakteknya penyelenggaraan pemerintahan daerah berjalan sendiri tanpa menempatkan masyarakat sebagai faktor dominan dalam pembangunan di daerah. Sebagai sebuah organisasi, pemerintah daerah mendapatkan dan memanfaatkan pendanaan yang bersumber dari “dana publik”
yang dianggarkan dalam APBN
maupun APBD, serta memiliki fungsi untuk memberikan layanan kepada masyarakat. Setelah reformasi pemerintah daerah dituntut untuk merumuskan perencanaan yang stratejik mengingat perubahan demi perubahan di masyarakat sangat dinamis dan menuntut adanya tanggung jawab dan penyelesaian secara konkrit oleh pemerintah daerah. Sebagai konsekuensi adanya pembagian urusan antara pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten/kota, baik urusan wajib maupun urusan kongruen. Namun demikian fenomena pemerintahan daerah justru tidak mencerminkan semangat demokrasi yang mengiringi kebijakan dedentralisasi yang sedang berlangsung. Beberapa indikasi, seperti: (1) kepala daerah terlibat korupsi, (2) pembangunan tidak berjalan, (3) konflik antar pemerintahan daerah, serta masih banyak problem pemerintahan daerah lainnya yang kerap menimbulkan ketidakpercayaan publik. Pada saat pilkada langsung panorama yang terjadi adalah koalisi antara elit (calon kepala daerah) dengan massa, begitu juga pada saat pemilu legislatif terjadi koalisi antara caleg dengan para pemilih. Namun setelah pilkada dan pemilu yang mengemuka justru koalisi antara elit dengan elit. Masyarakat sebagai faktor dominan dalam pembentukan pemerintahan justru terpinggirkan. Kepala daerah dan DPRD hanya menjadikan masyarakat sebagai objek suksesi politik semata. Salah satu contoh kongkrit rendahnya keberpihakan pemerintahan daerah terhadap
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
!84
masyarakat adalah postur APBD yang tidak proporsional antara anggaran publik dengan anggaran aparatur. Implikasinya, pembangunan didaerah tidak sesuai dengan harapan dan janji-janji politik elit saat pemilu dan pilkada. Banyak pembangunan yang mandek dan berjalan tidak sesuai dengan harapan masyarakat. Pelembagaan politik di DPRD pun tidak sesuai harapan masyarakat, oleh karenanya partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah menjadi suatu yang mutlak.
Makna Partisipasi Publik Persoalan partisipasi masyarakat seharusnya menjadi titik tekan dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, hal ini penting sebagai komitmen mendudukkan masyarakat sebagai:pertama, tidak semua urusan dan persoalan di masyarakat diketahui oleh pemerintah, kedua,masyarakat berhak ikut serta dalam perumusan setiap kebijakan publik yang pasti akan mempengaruhi kehidupan mereka. Dengan demikian kebijakan desentralisasi mulai dari Undang-Undang No. 99 Tahun 1999 hingga Undang-Undang No.23 Tahun 2014 sudah seharusnya melibatkan partisipasi masyarakat. Sejalan dengan substansi partisipasi tersebut, dalam prinsip-prinsip good governance dikemukakan bahwa: (1) adanya partisipasi langsung maupun tak langsung dari semua warga dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat; (2) terjaminnya penegakan hukum; (3) tranparansi; (4) pemerintah yang tanggap; (5) orientasi pada konsensus; (6) efisiensi dan efektivitas dalam aktivitas bernegara; (7) akuntabilitas; (8) visi yang strategis. Dengan demikian, melibatkan rakyat dalam segala kebijakan pemerintahan memang tidak dapat dinafikan dan merupakan sesuatu yang harus dilakukan untuk membangkitkan rasa memiliki rakyat terhadap segala aspek kebijakan dari pemerintah. Oleh karena itu dorongan harus diberikan oleh pemerintah untuk melibatkan rakyat dalam setiap kebijakan. Sejumlah kajian mengemukakan bahwa pelibatan rakyat merupakan suatu proses kesadaran untuk pembangunan dan dapat
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
!85
membantu penyelesaian masalah-masalah pembangunan. Melalui partisipasi masyarakat berbagai persoalan yang terjadi di masyarakat dapat disesuaikan dengan perencanaan pembangunan daerah. Lebih dari itu, melalui partisipasi masyarakat secara tidak langsung terjadi pengawasan penyelenggaraan pemerintahan di daerah.
Norma Partisipasi Masyarakat Pasca reformasi salah satu tuntutan yang dilembagakan adalah penyelengaraan desentralisasi atau sering disebut otonomi daerah. Selama ini secara normatif penyelenggaraan desentralisasi diwujudkan dalam undang-undang pemerintahan daerah. Tercatan sudah tiga undang-undang yang ditetapkan dalam menopang penerapan desentralisasi. Terkait ruang partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintah daerah menunjukkan bahwa masih terbatasnya ruang partisipasi masyarakat di dalam ketentuan perundangan tersebut. Perbandingan Ruang Partisipasi Masyarakat dalam UU 22/1999; UU 32/2004 dan UU 23/2014
Undang-Undang Pemda Ruang Partisipasi
Uraian Isi Undang-Undang (1) Pasal 18, Ayat 1 huruf h
Masyarakat dalam
DPRD bertugas menampung dan menindaklanjuti aspirasi Daerah
Undang-Undang Nomor 22
dan masyarakat.
Tahun 1999
(2) Pasal 22 Poin e DPRD mempunyai kewajiban mememperhatikan dan menyalurkan aspirasi, menerima keluhan dan pengaduan masyarakat, serta memfasilitasi tindak lanjut penyelesaiannya. (3) Pasal 92 Dalam penyelenggaraan pembangunan Kawasan Perkotaan, Pemerintah Daerah perlu mengikutsertakan masyarakat dan pihak swasta. Pengikutsertaan masyarakat, merupakan upaya pemberdayaan masyarakat dalam pembangunanperkotaan.
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
!86
R u a n g P a r t i s i p a s i Pasal 139 M a s y a r a k a t d a l a m (1) Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan atau Undang-Undang Nomor 32
tertulis dalam rangka penyiapan atau pembahasan rancangan
Tahun 2004
Perda. (2) Persiapan pembentukan, pembahasan, dan pengesahan rancangan Perda berpedoman kepada peraturan perundangundangan.
R u a n g P a r t i s i p a s i Pasal 354 M a s y a r a k a t d a l a m (1) Dalam penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, Pemerintah Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014
Daerah mendorong partisipasi masyarakat. (2) Dalam mendorong partisipasi masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah Daerah: (a) menyampaikan informasi tentang penyelenggaraan Pemerintahan Daerah kepada masyarakat; (b) mendorong kelompok dan organisasi masyarakat untuk berperan aktif dalam penyelenggaraan Pemerintahan Daerah melaluidukungan pengembangan kapasitas masyarakat; (c) mengembangkan pelembagaan dan mekanisme pengambilan keputusan yang memungkinkan kelompok dan organisasikemasyarakatan dapat terlibat secara efektif; dan/atau (3) Partisipasi masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup: (a) penyusunan Perda dan kebijakan Daerah yang mengatur dan membebani masyarakat;
(b) perencanaan, penganggaran,
pelaksanaan, pemonitoran, dan pengevaluasian pembangunan Daerah; (c) pengelolaan aset dan/atau sumber daya alam Daerah; dan (d) penyelenggaraan pelayanan publik. (4) Partisipasi masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan dalam bentuk: (a) konsultasi publik; (b) musyawarah; (c) kemitraan; (d) penyampaian aspirasi; (e) pengawasan; Sumber: UU 22/1999; UU 32/2004 dan UU 23/2014
Berdasarkan muatan UU 22/1999; UU 32/2004 dan UU 23/2014 menunjukkan bahwa ruang partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah masih belum tegas, secara spesifik muatan masing undang-undang sebagai berikut: pertama, pada UU 22/1999 masih bersifat pasif dan hanya terbatas pada ruang tugas dan fungsi DPRD sebagai representasi masyarakat. Kedua, dalam UU Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
!87
32/2004, ruang partisipasi masyarakat juga masih bersifat fasif dan terbatas pada tugas DPRD dalam perumusan peraturan daerah semata. Ketiga, pada UU 23/2014 ruang partisipasi masyarakat sudah memiliki pola dan cenderung bersifat aktif, dimana pemerintah daerah disyaratkan mendorong partisipasi masyarakat berupa aktifitas, cakupan, dan bentuk partisipasi yang sudah terpola dan terarah.Perubahan UU Pemerintahan Daerah tersebut menunjukkan adanya penyempurnaan partisipasi masyarakat, namun demikian belum ada jaminan pemerintahan daerah akan berkomitmen dalam penerapannya.
Penutup Sebagai bentuk penyempurnaan penyelenggaraan pemerintahan daerah, termuatnya ruang partisipasi masayarakat dalam UU 23/2014 secara khusus dalam Bab tersendiri menunjukkan adanya peluang penguatan partisipasi masyarakat dimasa yang akan datang. Namun demikian ketentuan tentang partisipasi masyarakat masih bersifat fleksibel dan belum tegas, sehingga dalam penerapannya merlukan dukungan beberapa aspek sebagai berikut: (1) adanya proses pemilu dan pilkada daerah yang fair sehingga menghasilkan kepala daerah dan anggota DPRD benar-benar merakyat dan terbuka pada rakyat; (2) adanya political will dari kepala daerah untuk menyiapkan perangkat peraturan yang mendorong partisipasi masyarakat; (3) adanya kemauan kepala daerah dan DPRD untuk memfasilitasi terbentuknya kelompok-kelompok masyarakat sebagai social control; (4) adanya social movement kelompok masyarakat sipil yang independen dan terbuka; serta (5) adanya dukungan dari media, dalam memberikan akses informasi bagi masyarakat secara luas.
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
!88
KAJIAN INTERMESTIK: RUANG KERJASAMA DAERAH TANPA BATAS Dwi Wahyu Handayani, M.Si. Era desentralisasi memberikan ruang kepada pemerintah daerah untuk memiliki kewenangan, kemandirian dan keleluasaan dalam mengelola potensi daerah. Kemampuan daerah dalam memanfaatkan kebijakan desentralisasi, kreativitas dan inovasi menghasilkan derajat kemajuan daerah yang berbeda. Pemerintah daerah harus mampu membaca konteks domestik dengan segala kemampuan biokrasi, lembaga politik, masyarakat, infrastruktur dan sebagainya. Bahkan, tantangannya semakin nyata dalam menghadapi fenomena geliat global, yang semakin menyertakan siapa pun di dalamnya. Realita ini menghadirkan landasan dalam UU Pemerintahan Daerah yang sejak awal menelaah mengenai jalinan kerjasama daerah, melampaui batas negara. Globalisasi telah menegaskan telah tercipta dunia tanpa batas (borderless world) yang seolah membentuk suatu global village bagi masyarakat dunia. Referensi global tersebut memberikan pengaruh dalam proses perumusan kebijakan, sehingga tidak semata faktor domestik. Konteks internasional, misalnya Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) telah menuntut beberapa hal diantaranya tercipta pasar Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
!89
bebas, sehingga produk dari negara Asean bebas masuk ke negara anggota lainnya. Ketentuan tersebut menciptakan persaingan yang kemudian mengukur daya saing produk. Produk pertanian misalnya, ketika Indonesia akan memprioritaskan pada jenis pangan tertentu untuk tujuan ekspor maka akan terkait kebijakan pemerintah daerah mengenai pertanian. Hal yang telah disepakati pemerintah pusat dengan negara lain mengenai kerjasama dengan negara lain, tentu saja dalam implementasinya akan terkait pemerintah daerah. Demikian juga kesepakatan MEA, kunci keberhasilan sesungguhnya adalah kesiapan pemerintah daerah khususnya di level kota/ kabupaten. Undang-Undang Pemerintahan Daerah telah memberikan ruang bagi pemerintah daerah, untuk melakukan kerjasama dengan pemerintah daerah, NGO, kelompok bisnis dari negara lain. Landasan kerja sama daerah terdapat pada UU Pemerintah Daerah No 23 tahun 2014 pasal 363 bahwa kerja sama dapat dilakukan oleh daerah dengan lembaga atau pemerintah daerah di luar negeri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Kerjasama dengan pihak luar negeri ini tidak menjadi hal yang wajib, sebagaimana kerjasama antardaerah dalam lingkup internal. Pasal 367 menjelaskan bahwa kerja sama daerah dengan lembaga dan/atau pemerintah daerah di luar negeri meliputi pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi;
pertukaran budaya; peningkatan kemampuan teknis dan manajemen
pemerintahan; promosi potensi daerah; dan kerja sama lainnya yang tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan dilaksanakan setelah mendapat persetujuan pemerintah pusat. Sebelumnya, pra tahapan penandatangan perjanjian internasional, daerah harus mengikuti mekanisme internal daerah yaitu adanya pendapat dan pertimbangan DPRD kepada pemerintah daerah terhadap rencana perjanjian internasional di daerah serta adanya persetujuan DPRD terhadap rencana kerjasama internasional
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
!90
yang dilakukan oleh pemerintah daerah. Selain itu juga berkoordinasi dengan Departemen Luar Negeri dan pemerintah pusat.42 Demikian proses globalisasi, para aktor internasional juga meluas tidak hanya melingkupi negara (state actors) saja, meluas pada aktor-aktor selain negara (nonstate actors) seperti organisasi internasional, LSM, perusahaan multinasional (MNCs), media, pemerintah daerah, kelompok-kelompok minoritas, bahkan individu. Beragam aktor dalam hubungan dan kerjasama luar negeri di samping membuat proses pengambilan keputusan semakin kompleks juga membuka peluang bagi pemantapan diplomasi Indonesia. Kajian intermestik yang mempertemukan faktor internasional dan domestik telah secara eksplisit terdapat dalam yang akan menjadi landasan hukum desentralisasi. Selanjutnya, aturan teknis dalam implementasinya perlu dijabarkan kembali dalam aturan menteri, ataupun pedoman teknis, dan perda. Telaah ini mengharapkan, ada sinergi peran ide dan kepentingan dari para aktor domestik maupun internasional dalam
kebijakan model.
berpengaruh dalam proses penyaringan awal alternatif
Peran ide sangat
kebijakan yang didasari
oleh transmisi pengetahuan dari jaringan intelektual, perdebatan ide diantara koalisi advokasi
yang menghasilkan proses learning mengarah pada konsensus.
Sedangkan peran kepentingan aktor sangat berpengaruh dalam proses politik, yaitu kompetisi diantara para koalisi advokasi dengan tujuan untuk mengarahkan keputusan agar sesuai dengan kepentingannya, yang didasari oleh konsensus ide/ keyakinan yang dimilikinya. Dengan demikian dalam pendekatan intermestik faktor ide dan kepentingan aktor menjadi sama-sama penting. Hal inilah yang membedakan pendekatan/model intermestik dengan model-model teori lainnya, karena sebagian memahami perubahan kebijakan hanya sebagai proses perjuangan Panduan Umum Tata Cara Hubungan dan Kerjasama Luar Negeri Oleh Pemerintah Daerah Revisi Tahun 2006. Departemen Luar Negeri Republik Indonesia 2006 (Belum ada panduan terbaru yang mengacu kepada UU Pemerintahan Daerah yang baru). 42
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
!91
kepentingan aktor domestik atau internasional saja, dan sebagian yang lain memahami perubahan kebijakan sebagai proses transmisi ide/pengetahuan sehingga kalaulah terjadi perubahan kebijakan domestik pasti melibatkan interaksi transnasional.43 Jaringan kerjasama pemerintah daerah dan pihak luar negeri juga menegaskan adanya diplomasi pararel. Stephane Paquin menjelaskan bahwa “paradiplomacy when a mandate has been granted to official representatives of a sub-state government in order to negotiate with international actors. Jose Luis Rhi Sausi menyatakan “parallel diplomacy as “the participation of non-central government in iternational relations by establishing ad hoc contacts with private and public entities abroad,with the objective of promoting socioeconmic and cultural affairs as well as any other external dimension of its constitutional competencies.”44 Diplomasi pararel memberikan arahan bagi pemerintah lokal untuk melakukan negosiasi dengan aktor internasional “economic and trade policy:the promotion and attraction of foreign investment and decision making centers;the promotion of exports, science and technology, energy,environment, education, immigration and persons mobility, multilateral relations, international development and human rights, are all part of the main issues of parallel diplomacy.”45 Kerjasama pemerintah daerah dengan pihak luar negeri masih perlu dioptimalkan. Data Direktorat Penataan Perkotaan Ditjen Bina Pembangunan Daerah, jumlah daerah yang telah menjalankan kerjasama sister city sampai tahun 2013 adalah
43
Dyah Estu Kurniawati. Pendekatan Intermestik Dalam Proses Perubahan Kebijakan: Sebuah Review Metodologis. http://ejournal.umm.ac.id/index.php/jshi/article/ view File/1519/1623. Diakses pada 20 April 2015.
44
Maria Eugenia Cruset (editor). 2011. Migration and New International Actors: An Old Phenomenon Seen With New Eyes. Penerbit Cambridge Scholars Publishing. 45
Ibid.
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
!92
sebanyak 102 dalam bentuk Memorandum of Understanding (MoU).46 Beberapa hal yang menjadi penyebab belum optimalnya pelaksanaan kerjasama tersebut, antara lain: belum tersedianya pedoman pelaksanaan yang detail sejak tahap perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi dalam pelaksanaan kerjasama tersebut; kurang siapnya pemerintah daerah/kota dan komunitas yang akan terlibat dalam kerjasama sister city; belum ada sinkronisasinya informasi yang dibutuhkan antardaerah/komunitas terhadap kota di luar negeri yang akan diajak/mengajak kerjasama sister city; belum sesuainya bidang-bidang yang akan dikerjasamakan dengan potensi dan kebutuhan daerah/komunitas; dan belum tercantumnya program/kegiatan kerjasama sister city dalam dokumen perencanaan pembangunan daerah, sehingga kegiatan sister city belum mendapat dukungan anggaran yang memadai.47 Kelemahan lainnya adalah perbedaan sistem hukum di negara asing dengan sistem hukum yang berlaku di Indonesia. Pola koordinasi yang hanya bersifat vertikal menimbulkan konflik antardaerah otonom. Misal, konflik investasi Bandara Adisucipto Yogyakarta, antara Kabupaten Kulon Progo dengan Pemerintah Provinsi DI Yogyakarta. Kabupaten Kulon Progo membuat perjanjian kerjasama dengan Cekoslovakia untuk mengembangkan bandara internasional. Sedangkan pihak pemerintah Provinsi DIY menjalin kerjasama dengan investor dari Eropa untuk membangun bandara di Kabupaten Bantul.48
46
Sister City, Peluang Emas bagi Pembangunan di Daerah Jumat, 21 Oktober 2014. http:// www.bangda.kemendagri.go.id/webbangda/index.php?page=38. Diakses pada 20 April 2015.
47
Sister City, Peluang Emas bagi Pembangunan di Daerah. Jumat, 21 Oktober 2014 15:38 WIB. http://www.bangda.kemendagri.go.id/webbangda/index.php?page=38. Diakses pada 20 April 2015.
48
Takdir Ali Mukti. Tinjauan Yuridis dan Teoritis Terhadap Kerjasama Internasional Daerah Otonom. U n i v e r s i t a s M u h a m m a d i y a h Yo g y a k a r t a . h t t p : / / w w w. a c a d e m i a . e d u / 2 3 0 7 9 0 9 / Tinjauan_Yuridis_Dan_Teoritis_Terhadap_Kerjasama_Internasional_Daerah_Otonom. Diakses pada 20 April 2015.
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
!93
Catatan penting bagi implementasi UU Perintahan Daerah khususnya pada bab kerjasama daerah adalah bagaimana pemerintah provinsi yang saat ini memiliki kewenangan dominan, mampu memfasilitasi antar kota/kabupaten bersinergi dalam pengembangan kerjasama antardaerah dan dengan pihak luar negeri.
Politik Hukum UU Pemeritahan Daerah: Desentralisasi suatu keharusan Oleh: Suwondo
Pendahuluan
Ada tiga konsep yang terkait satu dengan yang lain jika kita membahas masalah Pemerintahan Daerah di Indoneia yakni demokrasi, desentralisasi dan negara kesatuan Republik Indoesia.
Setelah tumbangnya pemerintshan Orde Baru, dan
muncul orde reformasi, harapan masyarakat akan bertumpu pada pemerintahan yang didukung oleh rakyat, sehingga pemerintahan yang didukung oleh rakyat diharapkan akan menjadi obat bagi rakyat dalam menata kehidupan mereka baik bernegara berbangsa dan bermasyarakat. Perubahan yang bersifat struktural dan juga kultural, diharapan akan mnjadi pliar dalam berbagai aspek ketataanegaraan, baik sistem aturan dan juga aktor yang terlibat di dalam. Itu lahyang disistilah
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
!94
sebagai proses demokratisasi dalam berbagai bidang, dengan nengedepnkan kedaulatan di tangan rakyat. Proses demokratisasi tersebut dalam tataran berikut jelas akan berimplikasi pada sistem pemerintahan daerah yang tadi bersifat otoriter dan cenderung sentralistik menjadi desentralistis. Dalam tataran yuridis masalah pemerintahan daerah tersebut muncul dengan dikeluarkannya UU No. 22 Thun 1999. Namun desentralisasi yang diatur UU tersebut menjadi melambat setelah dikeluarkan UU No. 32 tahun 2004, walau dalam undang-undang ini mulai diatur mengenai pilkada yang dipilih secara langsung, mengiringi pemilihan presiden dan wakil presiden yang juga dilaksanakan secara langsung. Dengan berlakunya UU no. 32 tersebut, era sentralisasi kembali menguat, karena walupun daerah diberi otonomi daerah, namun kebebasan dan kemandirian daerah utnutk mengatur rumah tangganya dibatasi oleh pemerintah atasnya. Sebagai contoh, karena bersifat negara kesatuan, maka peraturan daerah (perda) atau pejabat eselon tinggi harus mendapat persetujuan dari pemerintah di atas. Dengan kata lain walaupun UU tersebut menganut paham desentraliasi, tapi dsentraliasi yang dilakukan masih kuat unsur sentralisasinya. Undang No. 32 tahun 2004 tersebut berlanjut dengan perubahan UU pemda yang baru yakni UU no. 23 tahun 2014 dan revisinya UU no. 2 tahun 2015, tetap unsur desentralisasi yang bertopeng sentralisasi masih cukup menonjol. Nampaknya desentralisasi di Indonesia, akan selalu rumit. Kerumitan tersebut salah satunya dikaitkan dengan aspek lain yakni bentuk negara Indonesia yang menganut negara kesatuan (unitary state) yang lebih fokus pada penyeragaman daripada perbedaan. Desentralisasi dan Negara Kesatuan Desentralisasi yang bermakna penyerahan wewenang dari pemerintah pusat kepada daerah untuk mengatur rumah tangganya sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan daerah yang bersangkutan. Karena pengaturan tersebut disesuaikan
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
!95
dengan kebutuhan dan kemampuan daerah, maka desentralisasi jelas
ingin
menghilangkan keseragaman yang diciptakan oleh pusat, serta mengakui hak-hak tradisional masyarakat yang memiliki karakteristik beranekaragam serta ciri khas sejarah, budaya, teknologi, pranata dan nilai-nilai sosial, maupun kearifan lokal lainnya. Oleh sebab itu jika pemerintah terutama pemerintah pusat mengabaikan fakta obyektif berupa sumber daya alam, kekayaan dan warisan budaya atau yang berpikir bahwa masyarakat bergerak linier dalam satu arah dan cara yang sama, bukanlah desentralisasi yang sesungguhnya.
Maka, ketika UU Nomor 22/1999 diganti dengan UU Nomor 32/2004, dan sekarang diganti dengan UU no. 23 Tahun 2014 yang dirivisi lagi dengan UU N. 2 tahun 2015, munculah banyak kritik dan keberatan dari berbagai kalangan, khususnya aktoraktor di tingkat lokal. Aturan yang baru ini dianggap membawa agenda sentralisasi atau penyeragaman baru, dengan dibungkus pada agenda kerangka negara kesatuan. Semangat keragaman menjadi menipis, dan pengakuan terhadap karakteristik yang khas dari suatu daerah semakin menghilang. Atas berbagai kritik ini, berkembanglah wacana tentang bagaimana sebaiknya desentralisasi yang ideal untuk kondisi Indonesia mendatang desentralisasi yang seragam layaknya dalam negara kesatuan atau desentraliasi yang tidak seragam disesuaikan dengan kondisi daerah?
Dalam UU yang terbaru tersebut termuat 411 pasal termasuk lampiran yang tidak terpisahkan. Ada hal yang manarik bahwa dalam undang-undang diatur bahwa ada kewenangan obsulut, konkuren dan juga pilihan yang diperjelas dalam lampiran. Di samping itu dalam penjelasan dinyatakan bahwa Pemberian otonomi seluas luasnya kepada daerah dilaksanakan berdasarkan prinsip negara kesatuan. Dalam negara kesatuan kedaulatan hanya ada pada pemerintahan negara atau pemerintahan nasional dan tidak ada kedaulatan pada daerah. Oleh karena itu, seluas apapun otonomi yang diberikan kepada Daerah, tanggung jawab akhir penyelenggaraan pemerintahan tetap ada ditangan Pemerintah Pusat. Untuk itu Pemerintah Daerah
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
!96
pada Negara Kesatuan Merupakan satu kesatuan dengan pemerintahan. Nasional. Kedua hal tersebut yang menarik untuk dikaji dalam bagian berikut:. Dari Penjelasan undang-undang pemerintahan tersebut jelas dan tegas bahwa desentralisasi dalam negara kesatuan tetap terikat kepada pemerintahan pusat dan ketentuan yang mengatur dalam pembagian kekuasaan tersebut jelas menunjukkan bahwa pemerintah pusat membagi kekuasaan secara kaku dengan mengatur secara detail urusan-urusan yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan Pemerintah Daerah. Dengan pembagian urusan secara detail, berarti pemerintah pusat benarbenar masuk terlalu dalam untuk mengatur dan terlibat langsung pada pemerintahan daerah. Untuk ini, penulis melihat bahwa
desentralisasi masih
menjadi pemanis saja, karena dibatasi hal-hal yang boleh dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan pemerintah daerah. Seharus pemerintah pusat tidak bersifat demikian, tapi menyerahkan seluruh urusan kepada daerah, kecuali kewenangan obsolut. Kalau mau desentralisasi berjalan sesuai dengan kemapuan dan juga aspirasi yang berkembang di masyarakat. Di samping hal di atas, maka dalam lampiran dari undang-undang pemerintahan yang baru jelas menggambarkan urusan-urusan yang menjadi kewajiban pemerintah pusat, pemerintah
provinsi dan juga pemeritah kabupaten/kota.
Dengan pembagian urusan yang demikian, memaksa kewenangan pemerintah sudah dibatasi mana yang menjadi hak pemerintah pusat dan juga mana yang menjadi hak pemerintah daerah. Menghadapi ketentuan yuridis demikian, jika revisi kembali tidak dapat dilakukan dengan segera, maka apa yang dapat dilakukan oleh Daerah? Lalu, apakah desentralisasi dalam konsep negara kesatuan menjadi hal yang tidak mungkin? Untuk itu penulis melihat bahwa membicarakan desentralisasi yang dalam negara kesatuan
mestinya tidak dipersepsikan sebagai bentuk penyimpangan dari ide
dasar desentralisasi yang mengedepankan “keseragaman”, namun justru dipandang sebagai instrumen untuk memperkuat tujuan desentralisasi yakni menciptakan
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
!97
efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan negara, sehingga keinginan masyarakat terpenuhi,
sekaligus memperkokoh struktur demokrasi di tingkat lokal.
Pembangunan demokrasi lokal memiliki probabilitas untuk lebih diperkuat dengan cara mengakui dan mengakomodasikan setiap perbedaan karakteristik, potensi, kebutuhan, dan latar belakang sejarah masing-masing daerah kedalam sistem kebijakan nasional. Dan mengingat bahwa setiap daerah / wilayah dalam sebuah negara memiliki anatomi politik, sosial, maupun kultural yang beragam, maka desain desentralisasi yang berbeda (atau asimetris) menjadi alternatif yang strategis untuk menghindari terjadinya kekecewaan daerah terhadap pemerintah nasional. Itulah sebabnya, baik di negara kesatuan maupun di negara federal pada masa modern sekarang ini, desentralisasi cenderung tidak sekedar dijadikan sebagai strategi politik melalui transfer wewenang/kekuasaan, atau strategi ekonomi melalui perimbangan keuangan dan fiskal, namun juga menjadi strategi kultural untuk merealisasikan prinsip diversity in unity atau unity in diversity. (Jurnal Borneo Adminitsrtor, Vol. 6 no.2 tahun 2010).
Dengan desentralisasi yang berbeda ini urusan pemerintah yang pilihan dapat disikapi oleh Pemerintah Daerah dengan mengidentifikasikan potensi dan karakteristik daerahnya masing-masing, dan tidak perlu berkecenderungan bahwa seluruh bidang urusan harus dilaksanakan oleh daerahnya. Sebuah daerah yang tidak memiliki wilayah laut, tentu tidak layak membentuk Dinas Perikanan dan Kelautan. Demikian pula suatu daerah yang bercirikan kota besar, bahkan metropolitan, pembentukan Dinas Kehutanan dan Perkebunan adalah hal yang tidak perlu. Jika setiap daerah tidak memiliki orientasi untuk membentuk kelembagaan secara maksimal, maka desentralisasi asimetris berdasarkan jenisjenis urusan akan terbangun dengan sendirinya.
Jika kita lihat pada fakta politik, maka desentralisasi yang berbeda sesungguhnya juga sudah terjadi di Indonesia dalam bentuk variasi otonomi yang diberikan kepada daerah. Saat ini, terdapat empat bentuk otonomi daerah, yakni: 1) otonomi luas untuk kabupaten/kota secara umum, 2) otonomi terbatas untuk
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
!98
provinsi, 3) otonomi khusus untuk Papua ( UU No. 21/1999) dan Nangroe Aceh Darussalam (UU No. 18/1999 jo. UU No. 11/2006), serta 4) otonomi khusus Jakarta sebagai Ibukota Negara (UU No. 29/2007). Ketika beberapa bentuk otonomi dijalankan secara bersamaan seperti inilah, maka desentralisasi berbeda telah terjadi.
Pemberian desentralisasi tidak akan mengancam keutuhan negara kesatuan, negara-negara kesatuan di dunia juga banyak yang menerapkan desentralisasi asimetris, seperti di Jepang, China, atau Perancis. Faktanya, meskipun mereka menerapkan desentralisasi asimetris, namun keutuhan atau integritas negara kesatuan tidak tergoyahkan. Di Jepang, desentralisasi asimetris bisa disaksikan dalam kebijakan Penetapan suatu daerah sebagai kota inti (Chukaku-shi) atau kota dengan kasus istimewa (Tokurei-shi). China juga memberikan perlakuan berbeda kepada daerah melalui penerapan konsep market decentralization. Berdasarkan konsep ini, pemerintah China menciptakan kawasan ekonomi khusus, kota-kota pantai (open coastal cities), dan zona pembangunan. Pada tahun 1978 ditetapkan empat kawasan ekonomi khusus, yakni Shenzhen, Zhuhai, Shantou dan Xiamen. Kebijakan ini dibarengi juga dengan pemberian otonomi yang sangat luas kepada provinsi Guangdong and Fujian untuk membangun ekonomi di wilayahnya, misalnya diberikannya kewenangan untuk menyetujui investasi bernilai lebih dari US $ 30 juta. Untuk lebih memperkuat market decentralization tadi, hingga 1984 telah ditetapkan 14 kota-kota pantai dan beberapa kota di pedalaman (sepanjang daerah aliran sungai Yangtze dan perbatasan dengan Russia) yang diberikan kewenangan luas serupa dengan kawasan ekonomi khusus (Montinola, Qian and Weingast, dalam Basuki, 2006). Hal serupa terjadi di Perancis dimana dari 22 Region yang ada, wilayah Corse atau Corsica merupakan region yang diberi otonomi khusus yang tidak dimiliki oleh 21 Region lainnya. Secara obyektif hal ini didorong oleh posisi geografis Corsica yang agak terpisah dari wilayah daratan serta memiliki latar belakang sejarah yang spesifik (Tri Widodo, dalam Jurnal Borneo Administrator, 2010).
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
!99
Terakhir bahwa demokratisasi, desentralisasi dan negara kesatuan bukanlah sebagai tujuan, namun hanya alat atau cara untuk mewujudkan tujuan berbangsa dan bernegara, yakni pemerintahan yang bertanggung jawab dan menciptakan kesejahteraan bagi masyarakat keseluruhan.
Biodata Para Penulis Ari Darmastuti Lahir di Gunung Kidul dan mengabdi sebagai dosen di Jurusan Ilmu Pemerintahan UNILA sejak tahun 1986. Meraih gelar s1 dari jurusan Ilmu Pemerintahan UGM, S2 bidang ilmu Politik dari Iowa State University Amerika Serikat dan menyelesaikan gelar Doktor dari Universitas Indonesia. Saat ini menjabat ketua Program Studi Magister Ilmu Pemerintahan, UNILA. Arizka Warganegara
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
!100
Mulai mengabdi di jurusan Ilmu Pemerintahan sejak tahun 2006. Pernah menjadi mahasiswa berprestasi Unila. Menyelesaikan S1 dari Jurusan Ilmu Pemerintahahan tahun 2003. S2 bidang ilmu politik diperoleh tahun 2005 dari Universiti Kebangsaan Malaysia. Saat ini sedang menyelesaikan program s3 di bidang Geografi Politik di Leeds University, Inggris. Tulisannya tersebar di media nasional seperti Media Indonesia dan Koran Sindo, Kolumnis tetap di Lampost ini adalah anggota dewan pakar lampung post. Budi Kurniawan Studi s1 di bidang Ilmu Pemerintahan diselesaikan di UGM pada tahun 2005. Mengabdi di Jurusan Ilmu Pemerintahan UNILA sejak tahun 2006. Tahun 2010 memperoleh beasiswa Australian Development Scholarship (ADS) untuk mengambil gelar master dalam bidang kebijakan Publik di Crafword School of Public Policy, ANU, di Canberra Australia. Tulisannya tersebar di media nasional seperti the Jakarta Post dan Republika. Saat ini diamanahi Jabatan Kepala Laboratorium Politik Lokal dan Otonomi Daerah FISIP UNILA. Darmawan Purba Beliau adalah Dosen Jurusan Ilmu Pemerintahan FISIP Unila, Terlahir di Aceh Tamiang 1 Juni 1981 menempuh studi S1 di Jurusan Ilmu Pemerintahan Unila, dan melanjutkan Program Master di Kampus yang sama. Selain mengajar beliu aktif melakukan survey-suvei opini public dan berbagai riset nasional. Denden Kurnia Drajat Beliau ada ketua Jurusan Ilmu Pemerintahan. Pria kelahiran 29 Juli 1960 ini menyelesaikan studi S1 di Universitas Padjajaran kemudian melanjutkan S2 medapatkan gelar magister di Universitas yang sama. Menjadi dosen di Juruan Pemerintahan UNILA sejak tahun 1990.
Dwi Wahyu Handayani Staf Pengajar Jurusan Ilmu Pemerintahan dan mengajar juga di Jurusan Hubungan Internasional Fisip Unila. Lulusan S1 Jurusan Hubungan Internasional Universitas Muhammmadiyah Yogyakarta (UMY) tahun 2001. Kemudian melanjutkan S2 Ilmu Politik konsentrasi Politik Lokal dan Otonomi Daerah Universitas Gadjah Mada, dan selesai tahun 2004. Feni Rosalia
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
!101
Meraih gelar Doktor bidang Ilmu Pemerintahan dari Universitas Padjajaran Bandung tahun 2012. Gelar master bidang komunikasi Pembangunan dari IPB. Ibu super sibuk kelahiran tahun 1969 ini adalah mahasiswa s1 terbaik di Jurusan Pemerintahan pada angkatannya. Mengajar di Jurusan Pemerintahan sejak tahun 1990. Hertanto Menyelesaikan s1 dari jurusan Ilmu Pemerintahan Undip dan s2 dari Universitas Gadjah Mada dalam bidang ilmu politik. Pernah menjabat menjadi Dekan FISIP UNILA. Tahun 2013 beliau menyelesaikan gelar Philosophy of Doctor (Ph. D) di bidang Ilmu Politik dari Universiti Kebangsaan Malaysia, menjadi dosen di Jurusan Pemerintahan FISIP UNILA sejak tahun 1986.
Himawan Indrajat Pria kelahiran kota Purwokerto tahun 1983 ini menyelesaikan s1 dari jurusan Ilmu Politik Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto pada tahun 2006, dan kemudian melanjutkan S2 jurusan Ilmu Politik di Universitas Indonesia serta menyelesaikannya pada tahun 2008. Aktivitasnya sekarang menjadi dosen jurusan Ilmu Pemerintahan FISIP Universitas Lampung, sementara dalam kegiatan kemasyrakatan aktif dalam organisasi kepemudaan Pemuda Muhammadiyah provinsi Lampung.
Robi Cahyadi Dosen Jurusan Ilmu Pemerintahan yang concern pada kajian ilmu politik dan Pemerintahan. Menyesaikan s1 dalam bidang Ilmu Pemerintahan di Universitas Padjajaran Bandung. Setelah dari Bandung beliau terbang ke Jogjakarta untuk mengambil gelar s2 di bidang Ilmu Politik di UGM dengan tema research tentang voting behavior. Saat ini sedang menempuh pendidikan Doktor dalam bidang ilmu Politik di Universitas Padjajaran Bandung. Beliau adalah pengamat politik yang pendapatnya banyak dikutitip media lokal seperti Lampung Post, Radar Lampung dan Tribun. Menjadi dosen di JIP UNILA sejak tahun 2005.
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
!102
Suwondo Lahir di Ketapang Sungkai pada tahun 1959. Memperoleh gelar S1 Jurusan Ilmu Pemerintahan lulus tahun 1984. Meraih gelar master of art dari Universitas Indonesia tahun 1991. Bapak dari tiga orang anak dan kakek dari empat orang cucu adalah peraih Doktor Politik Pertama di Provinsi Lampung yang diselesaikannya pada tahun 2002. Pernah menjabat ketua KPU Provinsi Lampung tahun 2003-2009. Ketua KKN UNILA 2008-2013. Ketua tenaga ahli Gubernur Lampung 2011-2014 Syafarudin Meraih gelar s1 di Jurusan Ilmu Pemerintahan FISIP UNILA. Meraih gelar MA dari Universitas Gadjah Mada. Tulisannya tersebar di media nasional dan lokal. Pernah menjabat Ketua Himpunan Mahasiswa Pasca UGM. Menjadi dosen di Jurusan Pemerintahan UNILA sejak tahun 2005. Menjadi ketua Labpolotda JIP UNILA dari tahun 2011 hingga tahun 2015. Syarief Makhya Meraih galar Doktor dalam bidang Ilmu Pemerintahan dari Universitas Padjajaran Bandung 2013. S2 dibidang kebijakan Publik ditempuh di Universitas Brawijaya Malang. Pria kelahiran Bandung tahun 1959 ini memperoleh gelar s1 Ilmu Pemerintahan dari Universitas Padjajaran Bandung. Pernah menjabat menjadi wakil dekan bidang akademik di FISIP UNILA. Beliau juga merupakan aktivis sosial di PW Muhammadiah Lampung. Tulisan beliau tersebar di media nasional dan lokal.
Andri Marta Pria kelahiran Bandar Lampung, 4 Maret 1990, merupakan putra pasangan bapak toni dan ibu Dra. Rosiaani Lakhan Meraih gelar S1 di Jurusan Ilmu Pemerintahan FISIP UNILA. Meraih gelar Magister Ilmu Pemerintahan pada Tahun 2015. Pernah beberapa kali mengikuti pelatihan dan juga seminar baik di tingkat lokal maupun nasional. Sejak awal April 2015 menjadi Dosen Tetap di Jurusan Ilmu Pemerintahan FISIP UNILA.
Melyansyah Seorang pria yang lahir pada tanggal 20 Mei 1995 di Bandar Dewa sebuah desa terpencil di Kabupaten Tulang Bawang Barat. Merupakan putra pertama dari pasangan Bapak Sobri Abdullah dan Ibu Fatimah. Dalam kegitan sehari-hari aktif dalam menganalisis kajian politik dan pemerintahan dan kebetulan sekarang sedang belajar sebagai peneliti muda di Laboratorium Politik Lokal dan Otonomi Daerah FISIP Unila. Pernah beberapa kali aktif dalam forum diskusi politik dan Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
!103
pemerintahan, terakhir mengikuti diskusi dan debat dalam Politic and Governance Day 2015 (POLGOV Day) di Universitas Gajah Mada.
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA