ISSN : 1412-3568 L E M B AG A AD M I N I S T R AS I N E G AR A P U S AT K AJ I AN K I N E R J A O T O N O M I D AE R AH
Jurnal
Desentralisasi Volume 10
Nomor 1
Halaman 1—145
2012
Sejarah Dekonsentrasi di Indonesia dan Agenda Kebijakan Kedepan Tri Widodo Wahyu Utomo Paradoks Desentralisasi dan Kesejahteraan : Kalimantan Timur Kaya Tapi Miskin Muhammad Ali Hapsah dan Wawan Mas’udi Menuju Otonomi Daerah Adil dan Sejahtera : Revisi Model Otonomi Daerah Menuju Desentralisasi Asimetris Ratri Istania dan Dedi Junaedi Otonomi Daerah dan Korupsi Nugroho SBM Realitas dan Tantangan Inovasi Penyelenggaraan Pemerintahan : (Perspektif Reformasi Administrasi di Indonesia) Didik G. Suharto Pengukuran dan Evaluasi Kinerja Manajemen PNS di Daerah : Studi Kasus di Provinsi Bali Samiaji Peningkatan Kapasitas Kecamatan di Kabupaten Gresik Suryanto
ISSN : 1412-3568
Jurnal Desentralisasi Vol. 10 No.1Tahun 2012
Redaksi : Pembina Pengarah
: Kepala LAN : Deputi Bidang Kajian KLB dan SDA
Pemimpin Redaksi Wakil Pemimpin Redaksi Penyunting
: Dr. Adi Suryanto, M.Si : Dra. Elly Fatimah, M.Si : Suryanto, S.Sos, M.Si Pujiatmo Subarkah, SE, MA Meita Ahadiyati K, S.Si, MPP
Mitra Bestari
: Prof. M. Ryass Rasyid Dr. Ir. Deddy S. Bratakusumah, BE, MURP, M.Sc Drs. Desi Fernanda, M.Soc.Sc Dr. Adi Suryanto, M.Si Dr. Syarif Hidayat
Pimpinan Pelaksana Harian : Samiaji, S.Sos Sekretariat : Renny Savitri, S.IP Widya Puspitaayu Sutisna, SE Endang Purwati Revianeza Aziz Diterbitkan oleh : Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah (Center For Local Autonomy Performance Studies) Lembaga Administrasi Negara (National Institute of Public Administration) Jl. Veteran No. 10 Jakarta 10110 Tlp. (021) 3868201-06 Ext. 119, 120, Fax (021) 3865102 Website : www.pkkod.lan.go.id Email :
[email protected]
Menuju Otonomi Daerah Adil dan Sejahtera : Revisi Model Otonomi Daerah Menuju Desentralisasi Asimetris Ratri Istania dan Dedi Junaedi
Daftar Isi
iii - iV
Editorial Serambi
1-6
SEJARAH DEKONSENTRASI DI INDONESIA DAN AGENDA KEBIJAKAN KE DEPAN Tri Widodo Wahyu Utomo
1 - 16
PARADOKS DESENTRALISASI DAN KESEJAHTERAAN : Kalimantan Timur Kaya Tapi Miskin Muhammad Ali Hapsah dan Wawan Mas’udi
17 - 37
MENUJU OTONOMI DAERAH ADIL DAN SEJAHTERA : Revisi Model Otonomi Daerah Menuju Desentralisasi Asimetris Ratri Istania dan Dedi Junaedi
39 - 54
OTONOMI DAERAH DAN KORUPSI Nugroho SBM
55 - 61
REALITAS DAN TANTANGAN INOVASI PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN (Perspektif Reformasi Administrasi di Indonesia) Didik G. Suharto
63 - 75
PENGUKURAN DAN EVALUASI KINERJA MANAJEMEN PNS DI DAERAH : Studi Kasus di Provinsi Bali Samiaji PENINGKATAN KAPASITAS KECAMATAN DI KABUPATEN GRESIK : Suryanto
Info PKKOD
77 - 105
107 - 131 133 - 145
Petunjuk Penulisan
ii
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 1, 2012
Editorial
D
alam edisi kali ini, Jurnal Desentralisasi kembali hadir di tengah-tengah sidang pembaca yang budiman. Jurnal Desentralisasi tetap berupaya menyoroti, mengulas dan mengkritisi isu-isu otonomi daerah dan desentralisasi di Indonesia dari berbagai sudut pandang. Kebijakan otonomi daerah yang digulirkan pada tahun 1999 melalui UndangUndang Nomor 22 Tahun 1999 tentang pemerintahan daerah menjadi tonggak sejarah dalam sistem pemerintahan di Indonesia. Edisi kali ini, Jurnal Desentralisasi mengetengahkan 5 (lima) artikel dari 5 (lima) penulis. Masing -masing penulis akan mengetengahkan pendapatnya terkait dengan kebijakan desentralisasi dari sudut pandang mereka. Dua tulisan terakhir merupakan intisari dari kajian yang telah dilaksanakan oleh Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah. Hingga saat ini, sudah lebih dari satu dekade implementasi kebijakan otonomi daerah diterapkan di Indonesia, namun demikian masih diperlukan upaya pembenahan dalam berbagai aspek dalam rangka penguatan kebijakan dekonsentrasi dan desentralisasi. Demikian disampaikan oleh Tri Widodo W. Utomo dalam makalahnya yang mengulas tentang sejarah dekonsentrasi di Indonesia dan agenda kebijakan ke depan. Menurutnya, terdapat empat butir yang perlu mendapat pencermatan secara mendalam dalam rangka penguatan dekonsentrasi dan desentralisasi di Indonesia, yaitu persoalan kedudukan kepala daerah/kepala wilayah, sistem pengangkatan/ pemilihan kepada daerah, rincian batas-batas kewenangan dekonsentrasi dan tentunya
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 1, 2012
kejelasan tujuan dari kebijakan dekonsentrasi dan desentralisasi itu sendiri. Tujuan akhir dari kebijakan desentralisasi adalah untuk mengatasi persoalan kemiskinan, buruknya pelayanan publik dan perilaku yang koruptif dari institusi publik yang selama ini dalam sistem sentralistis persoalan-persoalan tersebut kerap muncul. Pertanyaannya adalah, apa implikasi dari tata kelola pemerintahan desentralistis tersebut terhadap pengentasan kemiskinan dan penciptaan kesejahteraan b agi komun itas lokal ? M uhamm ad Ali Hap sah dan Wawan Mas’ud i d alam makalahnya mencoba menggambarkan melalui kasus Kalimantan Timur. Menurutnya, sebagai provinsi dengan sumber daya alam melimpah, Kaltim sangat diuntungkan dengan skema perimbangan keuangan pusat dan daerah, dimana dengan kondisi demikian, Kaltim mendapatkan porsi anggaran yang lebih dibandingkan dengan daerah-daerah lain yang tidak memiliki kekayaan sumber daya alam, namun demikian arus deras kapasitas keuangan sampai saat ini tidak berbanding positif dengan perbaikan derajat kehidupan komunitas lokal secara signifikan. Sebut saja kondisi pelayanan dasar seperti pendidikan, kesehatan dan infrastruktur yang masih jauh dari jangkauan dan equalitas masyarakat, sementara kasus-kasus penyimpangan anggaran (korupsi dan maladministrasi) justru mengemuka pasca implementasi kebijakan desentralisasi. Sejalan dengan penulis diatas, Ratri Istania dan Dedi Junaedi menilai bahwa ketidakmampuan kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah untuk mengatasi berbagai
iii
Menuju Otonomi Daerah Adil dan Sejahtera : Revisi Model Otonomi Daerah Menuju Desentralisasi Asimetris Ratri Istania dan Dedi Junaedi
persoalan-persoalan kemiskinan, pelayanan publik dan perilaku koruptif dari institusi publik tidak saja diakibatkan persoalan tata kelola pemerintahan semata, akan tetapi model kebijakan desentralisasi yang dianut selama ini masih mengandung berbagai kelemahan yang menimbulkan persoalan. Menurutnya, pada model desentralisasi yang selama ini dianut belum mampu mengangkat derajat kesejahteraan masyarakat daerah secara signifikan. Oleh karena itu harus ada perubahan terhadap model desentralisasi yang berlaku sekarang ini dengan pemberlakuan model desentralisasi asimetris, d im an a d en g an m od el d e s en tr al i sa si asimetris, daerah diberikan ruang dan kemandirian lebih luas dalam mengelola rumah tangganya. Dalam perspektif lain, Nugroho SBM, dalam makalahnya menyatakan bahwa terdapat dua pendapat yang mengulas apakah dalam kebijakan desentralisasi, korupsi tumbuh subur atau bahkan dapat berkurang. Menurutnya, secara umum pada era implementasi kebijakan desentralisasi, tingkat korupsi di Indonesia tidak berkurang bahwa ada kecenderungan bertambah. Ada dua indikator utama meningkatnya korupsi dalam era desentralisasi, yaitu a) Indeks Persepsi Korupsi (IPK) setelah desentralisasi tidak banyak mengalami perubahan dan b) Indikator kedua adalah banyaknya Kepala Daerah, Gubernur, Bupati maupun Walikota yang tersangkut kasus korupsi.
reformasi administrasi, pengembangan inovasi pemerintahan (pusat dan lokal) tidak mencapai hasil maksimal. Inovasi pemerintahan cenderung bersifat sporadis, sektoral, dan kedaerahan. Efektivitas dan keberlanjutan inovasi pemerintahan sekarang ini masih dipertanyakan. Perbaikan sistem birokrasi dan manajemen sumber daya manusia penting diperhatikan untuk mengatasi tantangan dalam melembagakan inovasi pemerintahan. Pengukuran dan Evaluasi Kinerja Manajemen PNS di Daerah merupakan salah satu kegiatan yang dilaksanakan oleh Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah-LAN, dimana kajian ini dilatarbelakangi oleh kenyataan bahwa potret PNS saat ini menunjukkan gambaran yang belum terlalu menggembirakan. Kondisi ini berdampak pada rendahnya kinerja PNS dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya dalam melayani masyarakat. Salah satu penyebab buruknya kinerja PNS dalam memberikan pelayanan publik adalah lemahnya manajemen PNS itu sendiri, yang dimulai sejak perencanaan sampai dengan pemberhentian PNS. Pengukuran dan evaluasi kinerja manajemen PNS menjadi penting untuk dilakukan. Peningkatan kapasitas Kecamatan merupakan salah satu aspek penting guna mendukung pencapaian kinerja pemerintahan daerah. Demikian, salah satu kesimpulan dari kegiatan peningkatan kapasitas kecamatan yang dilaksanakan di Kabupaten Gresik Jawa Timur.
Meski telah lebih dari satu dekade, implementasi reformasi administrasi belum seperti yang diharapkan, demikian salah satu point dari makalah yang disampaikan oleh Didik G. Suharto. Menurutnya, reformasi administrasi mengalami stagnasi, bahkan dalam beberapa kasus, menunjukkan situasi paradoks. Sebangun dengan pengembangan
iv
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 1, 2012
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 1, 2012
v
ARTIKEL
SEJARAH DEKONSENTRASI DI INDONESIA DAN AGENDA KEBIJAKAN KEDEPAN1 Oleh: Tri Widodo W. Utomo2 Abstract: Together with decentralization and assistance tasks (medebewind), deconcentration constitutes basic principles in managing central-local government relationship. From historical point of view, the degree of deconcentration and decentralization has been up and down. Until recently, there is no single believe among Indonesian experts and officials regarding the best form of deconcentration. Therefore, deconcentration continues to transform and still searching for its best formula. Under such consideration, this paper tries to tracking back the history of deconcentration and its limitations. Before coming to conclusion, it proposes four agendas to recover the implementation of deconcentration in Indonesia, i.e. clarifying the position of the head of region, improving election system, redisgning the deconcentration affairs and authorities, and explicating goals of decentralization and deconcentration. Keyword: dekonsentrasi, desentralisasi, Indonesia. Intisari Bersama dengan desentralisasi dan tugas pembantuan, dekonsentrasi merupakan prinsip dasar dalam penyelenggaraan hubungan pemerintah pusat dan daerah. Dari perspektif sejarah, kadar desentralisasi maupun dekonsentrasi berubah-ubah tergantung pada kondisi politik maupun tuntutan obyektif yang berkembang di tengah masyarakat. Hingga saat ini, tidak ada satupun ahli maupun praktisi yang memiliki keyakinan tunggal tentang format dan kadar terbaik dari kebijakan dekonsentrasi. Oleh karenanya, dekonsentrasi diyakini masih akan terus bergerak menuju konstruksi terbaiknya. Dalam kerangka pikr tersebut, tulisan ini mencoba 1
Draft awal tulisan ini dihasilkan selama penulis menjalani tugas selaku Visiting Researcher di Graduate School of Internasional Development (GSID) Nagoya University, 1 April sd. 31 Juli 2009, yang kemudian disempurnakan berdasarkan input teoretis dan fenomena empiris yang lebih aktual. Tulisan ini merupakan serial dari pemikiran penulis tentang rekonstruksi kebijakan dekonsentrasi di Indonesia. Ucapan terimakasih dan penghargaan yang tulus penulis tujukan kepada Prof. Dr. Kimura Hirotsune yang telah mengundang penulis untuk menjalani program fellowship di GSID, memberi dukungan bahan-bahan rujukan yang sangat berarti, serta selalu siap memberi pertimbangan akademis secara kritis. Terimakasih juga penulis haturkan kepada Prof. Dr. Agus Dwiyanto, Prof. Dr. Pratikno, dan Dr. Agus Pramusinto yang terus-menerus menyediakan waktu bagi penulis untuk berdiskusi dan memperdalam substansi studi dekonsentrasi.
2
Penulis adalah Peneliti Utama bidang Administrasi Negara dan Kepala Pusat Kajian Manajemen Kebijakan LANRI. Penulis dapat dihubungi di
[email protected]
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 1, 2012
1
Sejarah Dekonsentrasi di Indonesia dan Agenda Kebijakan ke Depan Tri Widodo Wahyu Utomo
melacak ke belakang sejarah dekonsentrasi dan berbagai kelemahannya. Sebelum sampai pada kesimpulan, tulisan ini mengajukan 4 (empat) agenda yang diperlukan untuk memperbaiki implementasi dekonsentrasi di Indonesia, yakni memperjelas posisi kepala daerah, menyempurnakan sistem pemilihan kepala daerah, pendefinisian kembali tujuan desentralisasi dan dekonsentrasi, serta mendesain ulang wewenang dan/atau urusan dekonsentrasi. Keyword: deconsentration, decentralization, indonesia
PENGANTAR Penyelenggaraan pemerintahan daerah dalam kerangka Negara kesatuan Republik Indonesia didasarkan pada tiga prinsip utama, yakni desentralisasi, dekonsentrasi, serta tugas pembantuan (medebewind). Keseluruhan asas tersebut secara filosofis dimaksudkan untuk mewujudkan efektivitas dan efisiensi tertinggi dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam proses mencapai tujuan negara mensejahterakan rakyatnya. Diantara ketiga prinsip tadi, fungsi desentralisasi sudah mendapat pengaturan yang relatif lengkap dan jelas dibanding dua prinsip berikutnya. Desentralisasi sendiri merupakan konsekuensi logis dari proses reformasi dan demokratisasi yang berjalan semenjak akhir dekade 1990-an. Tuntutan kemandirian dan pemberdayaan potensi daerah, menjadi keniscayaan yang dipilih oleh para pemimpin bangsa sebagai sebuah “kontrak sosial” baru penyelenggaraan negara. Implikasinya, lahirlah UU No. 22/1999 – disusul oleh revisi melalui UU No. 32/2004 – yang dipandang dunia sebagai kebijakan desentralisasi yang paling berani di negaranegara demokrasi modern. Meskipun kebijakan ini sudah relatif baik secara konsep, namun belum tentu memiliki efektivitas yang tinggi. Perencanaan yang cermat dan pengelolaan yang baik terhadap desentralisasi menjadi syarat mutlak keberhasilan mencapai tujuan
2
penyelenggaraan pemerintahan daerah, yakni kemajuan daerah dan meningkatnya kesejahteraan masyarakat. Atas dasar pemikiran tersebut, maka menjadi tugas kita semua untuk mengawal pelaksanaan otonomi daerah agar tidak menyimpang dari filosofi dasarnya (filosofische grondslag). Pada saat yang bersamaan, kita perlu untuk membuat “wilayah kerja” bagi asas dekonsentrasi dan tugas pembantuan yang selama ini masih kabur, menjadi lebih jelas dan terang benderang. Sebab, dalam koridor Negara Kesatuan, antara desentralisasi dan dekonsentrasi tidak dapat didikotomiskan, keduanya harus saling mengisi dan saling memperkuat. Bahkan sering dikatakan bahwa asas dekonsentrasi sesungguhnya memiliki fungsi strategis sebagai faktor pengikat bagi tetap utuhnya NKRI. Sayangnya, regulasi di bidang dekonsentrasi dan tugas pembantuan ini masih sangat minim, baik yang mengatur kebijakan umumnya; rincian kewenangan yang menjadi domein-nya; mekanisme perencanaan hingga pertanggungjawabannya, dan sebagainya. Sementara pada tataran operasional, kebijakan ini juga sering dikritik atas berbagai kelemahan mendasarnya. Beberapa kelemahan tadi misalnya adanya potensi overlap dengan fungsi dan perangkat desentralisasi, koordinasi lintas SKPD (satuan kerja perangkat daerah) yang kurang efektif, bahkan ada indikasi penyimpangan dana dekonsentrasi.
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 1, 2012
ARTIKEL
Mengingat masih cukup banyaknya kelemahan pada tataran formulasi dan implementasi kebijakan tentang dekonsentrasi, maka tulisan ini ingin mengungkapkan dimensi-dimensi dekonsentrasi dari perspektif historis atau perkembangannya berdasarkan pembabakan waktu. Tulisan dengan pendekatan historis ini secara umum akan membawa manfaat untuk menghasilkan refleksi terhadap pengalaman masa silam, untuk dijadikan sebagai pertimbangan dalam mendesain ulang (rekonstruksi) langkah dan rencana kebijakan di masa depan. Terlebih lagi bila disadari bahwa kajian tentang dekonsentrasi di Indonesia masih sangat terbatas, khususnya yang menggunakan pendekatan historis. Sebelum masuk pada bagian pokok yang membahas tentang sejarah dekonsentrasi, perlu diperhatikan bahwa deskripsi tentang sejarah dekonsentrasi tidak mu ngkin dip isahkan d en gan sejarah desentralisasi (dalam arti luas atau sempit). Sebab, dalam beberapa hal dekonsentrasi justru dianggap sebagai bagian dari desentralisasi (Rondinelli, 1999). Atau, desentralisasi merupakan sisi yang berbeda dari sebuah keping mata uang yang sama. SEJARAH DEKONSENTRASI (DAN DESENTRALISASI) DI INDONESIA Indonesia dapat disebut sebagai negara yang terlambat menerapkan desentralisasi sebagai opsi kebijakan dalam menata hubungan antar tingkatan 3 pemerintahan. Secara de jure, memang Indonesia memiliki tradisi panjang sebagai negara yang demokratis melalui pemberian 3
Banyak pihak meyakini bahwa gelombang desentralisasi di berbagai penjuru dunia telah berlangsung mulai 2 (dua) dekade yang lalu atau awal 1990-an. Lihat: Hutchcroft (2001), Falleti (2004), Devas (2005), Sharma (2006), dan lainlain.
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 1, 2012
otonomi kepada daerah. Adanya 7 (tujuh) 4 undang-undang yang mengatur tentang pemerintahan daerah semenjak kemerdekaan, jelas mengindikasikan hal tersebut. Namun secara de facto, sesungguhnya Indonesia memasuki era baru berpemerintahan pada tahun 1999 dengan keluarnya UU No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah. Bahkan lahirnya UU ini menandai awal periode yang oleh banyak ahli disebut dengan “big bang decentralization”. Dengan kata lain, tradisi sentralisme dalam pemerintahan daerah di Indonesia cenderung leb ih p anjan g d iband in g seman gat membangun kemandirian melalui kebijakan desentralisasi. Tonggak sejarah desentralisasi di Indonesia sendiri dimulai tahun 1903 dengan keluarnya Wethiudende Decentralisatie van Bestuur in Nederlandsch Indie (lebih dikenal dengan Decentralisatie Wet / UU Desentralisasi). Menurut Hoessein (1995: 2), sebelum tahun 1903 organisasi Hindia Belanda sangat tersentralisasi (gecentraliseerde geregeerd land) dimana kepentingan negara hanya dapat ditegakkan oleh pemerintah yang sangat terdesentralisasi dengan mengandalkan pada kekuatan birokrasi. Sebagai penghalusan sentralisasi, dijalankanlah dekonsentrasi dengan cara membentuk wilayah administrasi yang sangat hirarkhis untuk keperluan penetrasi politik. Di Jawa, wilayah administrasi itu secara hirarkhis terdiri dari gewest (kemudian disebut residentie), afdeeling (wilayah yang meliputi satu atau dua kabupaten), district (kawedanan), dan onderdistrict (kecamatan). Seiring dengan munculnya gerakan di Parlemen Belanda yang mendorong 4
Ketujuh undang-undang tersebut adalah UU No. 1/1945, UU No. 22/1948, UU No. 1/1957, UU No. 18/1965, UU No. 5/1974, UU No. 22/1999, serta UU No. 32/2004.
3
Sejarah Dekonsentrasi di Indonesia dan Agenda Kebijakan ke Depan Tri Widodo Wahyu Utomo 5
dijalankannya Etische politiek, bergulirlah wacana perlunya desentralisasi di negerinegeri jajahan Belanda. Atas dasar gerakan p ro -d emokrasi inilah, maka lah ir Decentralisatie Wet 1903. Undang-undang ini lebih didasarkan atas pertimbangan politik, namun tujuan desentralisasi waktu itu untuk mencapai efisiensi administrasi dan mengurangi beban administrasi dengan menyertakan elemen rakyat dalam pemerintahan lokal. Sistem desentralisasi ini hanya sekedar membuka kemungkinan bagi terb en tu knya lembaga p emerintahan setempat yang disebut locale raden, namun tidak secara tegas memberi kesempatan rakyat ikut serta dalam pemerintahan secara demokratis (Hoessein, 1995: 3). Pendapat ini sejalan dengan pernyataan IRDA (2003: 5) bahwa decentralizatie wet ini hanya berfungsi sebagai alat untuk membuat administrasi kolonial lebih efektif dalam memerintah
5
4
Sering diterjemahkan dengan ”politik balas budi” yang dipelopori oleh Steve van Deventer. Dalam artikelnya di majalah de Gids, Van Deventer menyatakan, melalui tanam paksa (cultuurstelsel) yang pelaksanaannya dipaksakan Gubernur Jenderal Van den Bosch, Belanda meraup hasil panen yang amat berlimpah. Keuntungan yang diperoleh Belanda tahun 18671878 saja mencapai 187 juta gulden. Bagi Van Deventer, keuntungan ini merupakan utang Belanda kepada rakyat Indonesia dan harus dikembalikan, entah dalam bentuk apa (Kompas, 20 Mei 2008). Itulah sebabnya, para pelopor gerakan ini menganjurkan agar pemerintah Kerajaan Belanda mau meringankan beban pajak rakyat, serta mengembangkan dan meningkatkan pendidikan rakyat. Gerakan ini mendapat dukungan luas dari kalangan terpelajar yang terpengaruh oleh situasi politik saat itu yaitu berkembangnya paham demokrasi di Eropa. Selain program pendidikan (edukasi), etische politiek juga berisi program pengembangan irigasi dan transmigrasi.
penduduk dan menggali sumber daya, namun pemerintah Hindia Belanda tetap memp ertahankan kekuasaan secara sentralistis serta struktur pemerintahan yang sangat hirarkhis. Niessen (1999: 45; dalam Pramusinto 2005: 91) memiliki argumen yang sama, yakni dengan menyatakan bahwa hukum dasar pemerintahan Hindia Belanda adalah gecentraliseerd geregeerd land (areas ruled centralistically). Pembentukan wilayah administrasi hanya dijadikan alat oleh pemerintah pusat untuk mengontrol sumbersumber daya yang ada. Berdasarkan UU Desentralisasi tersebut dibentuklah 15 gewestelijk ressort, 32 gemeentelijk ressort, dan 10 plaatselijk ressort. Pemerintah Hindia Belanda tidak membentuk gewestelijk ressort di gewest yang telah terbentuk diluar Jawa (dalam rangka dekonsentrasi). Dengan demikian, gewest diluar Jawa merupakan daerah administrasi belaka. Sedangkan daerah otonom yang terbentuk, selalu berhimpit dengan daerah administrasi. Kepala dari 3 (tiga) bentuk daerah otonom tersebut berperan sebagai Kepala Wilayah (Wakil Pemerintah Pusat). Dilihat dari tipologi pemerintahan daerah, praktek perangkapan jabatan kepala daerah dan kepala wilayah tersebut lazim disebut ”Sistem Prefektoral Terintegrasi” atau integrated prefectoral system (Hoessein, ibid.). Selanjutnya Hoessein (1995: 4) juga menjelaskan bahwa pilihan terhadap sistem prefektur itu lebih bergantung pada pertimbangan bagaimana birokrasi pemerintahan harus diorganisasikan dari pada mendistribusikan kekuasaan antara pusat dan daerah. Dengan kata lain, pilihan lebih bergantung pada dekonsentrasi dari pada desentralisasi kekuasaan. Sejalan dengan deskripsi diatas, Wibawa (2001: 6) mencatat perjalanan
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 1, 2012
ARTIKEL
otonomi daerah secara cukup detil. Dalam salah satu bagian, Wibawa mengungkapkan kebijakan rezim Hindia Belanda yang amat sentralistik, sebagai berikut: ”Karesidenan dan Kota hanyalah diberi limpahan tanggungjawab, bukannya memiliki "tanggungjawab asli". Oleh karena itu adalah masuk akal, jika di bawah undangundang tersebut Residen dan Walikota tetap diangkat oleh pusat (Gubernur Jenderal) dan lebih dari itu dia mengepalai Raad atau Dewan Rakyat. Sementara itu anggota Raad hanya sebagian kecil saja yang dipilih (itupun tidak semua rakyat berhak memilih), sedangkan sebagian besar diangkat oleh Residen atau Walikota atau anggota otomatis (pejabat birokrasi). Raad inilah yang menentukan kebijakan "daerah", namun pemberlakuan suatu peraturan daerah tetap menunggu pengesahan Gubernur Jenderal. Pejabat puncak ini, sebaliknya, mempunyai hak untuk menunda atau membatalkan peraturan daerah. Dalam konteks negara sentralistis, mekanisme ini seratus persen masuk akal.” Itulah sebabnya, UU Desentralisasi 1903 sering dikritik oleh banyak ahli. Logemann (1955) mengatakan bahwa tugastugas yang dijalankan oleh daerah otonom hanya dalam rangka medebewind; sedangkan Haga (1924) menyebut praktek desentralisasi sebagai administratieve decentralisatie, karena pelaksanaan tugas di daerah tetap dilakukan oleh para pejabat sebagai perpanjangan pemerintah pusat. Secara tegas Furnivall (1956) menyatakan bahwa UU Desentralisasi 1903 memberi penekanan terhadap tujuan efisiensi dari pada membangun kemandirian dan otonomi daerah (Hoessein, ibid.). Legge (1963: 6; dalam Pramusinto, 2005: 93) juga menyebutkan bahwa UU 1903 disusun untuk menjamin tercapainya tujuan yang lebih besar dibanding otonomi yang lebih luas.
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 1, 2012
Dari paparan diatas dapat disimpulkan bahwa pada awal-awal gerakan desentralisasi di Indonesia, ternyata semangat sentralisasi dalam rangka efisiensi pemerintahan lebih dominan. Dengan kata lain, sistem pemerintahan daerah pada saat itu adalah sampul luarnya berupa desentralisasi namun isi dalamnya dekonsentrasi; atau desentralisasi semu (dekonsentrasi dalam bingkai desentralisasi semu). Seiring dengan banyaknya kritik terhadap UU Desentralisasi 1903, muncullah aturan baru sebagai revisinya, yakni Wet op de Bestuurshervorming 1922 (administrative reform act). Tujuan dari UU 1922 ini adalah untuk memberikan jaminan mengenai otonomi dan partisipasi kepada penduduk pribumi dalam pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan seperti dimiliki penduduk Eropa (de Kat Angelo 1931, dalam Hoessein 1999: 5). Implikasi dari UU ini adalah dibentuknya tiga buah provincie dan 76 regentschap (kabupaten) berikut dewannya. Kedudukan gemeente dipertahankan dengan perubahan sebutan menjadi stadsgemeente, sedangkan di luar Jawa dibentuk sejumlah groepsgemeenschap. Masing-masing pimpinan dari 4 (empat) daerah itu disebut gouverneur, regent, burgemeester, dan voorzitter. Selain sebagai organ daerah, mereka adalah juga Wakil Pemerintah Pusat, dan sekaligus juga sebagai Ketua Dewan (raad). Namun sayangnya, reformasi 1922 ini dalam prakteknya tidak luput dari kerangka 6 beamtenstaat. Desentralisasi seperti ini 6
Mengutip Richard Robison (1982), Farchan Bulkin (1984: 9) mengemukakan pendapat Harry J. Benda tentang beamtenstaat, yakni suatu kondisi dimana negara menjadi mesin birokrasi yang efektif, dengan penekanan kuat pada administrasi, keahlian teknis dan pembangunan ekonomi; dan apolitik sifatnya. Istilah
5
Sejarah Dekonsentrasi di Indonesia dan Agenda Kebijakan ke Depan Tri Widodo Wahyu Utomo
dinilai oleh Kleymans (1948) sebagai kuda troya bagi penduduk pribumi (Hoessein 1995: 6). Situasi pada masa penjajahan Hindia Belanda ternyata tidak berbeda jauh dibanding pada masa pendudukan Jepang. Meskipun literatur yang mengulas sistem pemerintahan daerah masa pendudukan Jepang sangat langka, namun dapat diterima secara akal sehat bahwa dalam suasana peperangan, hampir mustahil penguasa memberikan kebebasan dan otonomi kepada satuan pemerintahan di tingkat bawahnya. Hal ini sejalan dengan hasil kajian Niessen (1999: 55-56) yang menyebutkan bahwa pada periode 1942-1945, situasi memaksa tentara pendudukan Jepang untuk melakukan sentralisasi kekuasaan (put a premium on centralization of powers). Lahirnya UU No. 1/1942 hanya berimplikasi terjadinya transfer seluruh kekuasaan politik dari Gubernur Jenderal Hindia Belanda kepada Komandan Bala Tentara Jepang ke-16. Hoessein (1995: ibid.) menambahkan bahwa pada masa ini sebagian besar struktur pemerintahan menurut dekonsentrasi tetap diteruskan oleh Jepang, hanya jabatan Gubernur beserta provinsinya dan jabatan Asisten Residen dihapuskan. Secara hirarkhis daerah administratif yang tertinggi adalah karesidenan (Syuu), dibawahnya ada Si (staatgemeente) dan Ken (regentschap), selanjutnya Gun (district) dan Son (onderdistrict). Pemerintah Jepang praktis tidak menjalankan otonomi daerah, tapi hanya menyelenggarakan ambtelijke 7 decentralisatie. Dengan demikian jelaslah beamtenstaat ini sering digunakan untuk menggambarkan negara kolonial Belanda pada periode akhir kekuasaannya di Indonesia. 7
6
Makna ambtelijke decentralisatie ini sama dengan administrative decentralization, atau lebih spesifik lagi dekonsentrasi.
bahwa menjelang masa Kemerdekaan RI 1945, sistem pemerintahan daerah di Indonesia masih dipengaruhi oleh sistem pemerintahan peninggalan Belanda yang sentralistik dan memberi hak intervensi yang besar kepada pemerintah pusat untuk mengatur teritorialnya. Barulah setelah Proklamasi 1945, terjadi perubahan yang cukup signifikan dalam sistem pemerintahan daerah. Pasal 18 UUD 1945 memberi garansi adanya hak asalusul dan susunan asli dari daerah-daerah yang memiliki latar belakang dan karakteristik beragam. Jika dilihat dari proses pembentukan pasal 18, maka adanya daerah besar dan kecil merujuk pada daerah otonom dalam rangka desentralisasi. Namun dalam penjelasan pasal tersebut dapat diketahui bahwa pasal 18 tidak hanya mengatur desentralisasi namun juga dekonsentrasi. Menurut Hoessein (1995: 8-9) perluasan makna pasal 18 terjadi karena secara empirik dalam masa Hindia Belanda setiap pembentukan daerah otonom selalu diawali dengan pembentukan daerah administrasi. Artinya, daerah otonom selalu berhimpit dengan wilayah administrasi, disamping ada pula daerah yang bersifat administratif belaka. Meskipun UUD 1945 mempertahankan keseimbangan antara desentralisasi dan dekonsentrasi, namun tetap jauh lebih baik dibanding kondisi pada masa penjajahan Belanda maupun Jepang. Jika desentralisasi pada jaman Belanda dan Jepang ditujukan untuk mencapai efisiensi semata, maka sejak masa kemerdekaan, desentralisasi lebih diarahkan kepada pendemokrasian pemerintahan daerah. Dalam rangka pendemokrasian ini, alat kekuasaan yang tertinggi harus dipegang oleh suatu Dewan Perwakilan Rakyat yang organisasinya ditetapkan dengan pemilihan (Hoessein, 1995: 10-11).
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 1, 2012
ARTIKEL
Nuansa desentralistis dalam UU No. 1/1945 tentang Peraturan Mengenai Kedudukan Komite Nasional Daerah sendiri cukup jelas. Transfer kewenangan sebagai esensi desentralisasi dapat dipahami pada pasal 2 yang berbunyi: “Rakjat Daerah, jang bersama-sama dengan dan Komite Nasional Daerah mendjadi Badan Perwakilan dipimpin oleh Kepala Daerah menjalankan pekerdjaan mengatur rumah-tangga daerahnja, asal tidak bertentangan dengan Peraturan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah jang lebih luas dari padanja”. Selain itu, dalam hal pembiayaan, pasal 5 mengatur sebagai berikut: “Biaya untuk keperluan Komite Nasional Daerah disediakan oleh Pemerintah Daerah”. Hal ini menyiratkan bahwa pemerintah daerah telah memiliki anggaran belanja yang mandiri, yang terlepas dari anggaran belanja negara (pusat). Nuansa desentralistis ini berlanjut terus hingga keluarnya UU No. 22/1948 dan UU No. 1/1957. Bahkan UU No. 1/1957 dapat dikatakan tergolong liberal karena lahir dibawah UUDS 1950. Dalam periode berlakunya UU ini, jabatan Gubernur, Bupati, Walikota sebagai aparat Pusat (yaitu Kepala Wilayah) terpisah dari Kepala Daerah Tingkat I, Tingkat II. Ini berarti pula bahwa UU No. 1/1957 tidak lagi menganut prinsip integrated prefectoral system melainkan fragmented prefectoral system; dan ini dipandang sebagai refleksi dari daerah otonom yang sesungguhnya. Selain itu, posisi DPRD juga kuat dihadapan pemerintah pusat. Baik dalam UU No. 22/1948 maupun UU No. 1/1957 dinyatakan bahwa DPRD dapat membela kepentingan daerah dan penduduknya di depan pemerintah pusat dan DPR, atau Dewan Pemerintah atau DPRD atasnya (Hoessein, 1995: 11). Namun disisi lain, nuansa dekonsentrasinya juga tetap terlihat. Hal ini misalnya dapat disimak dari ketentuan bahwa “Kepala Daerah karena jabatannya
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 1, 2012
adalah menjadi anggota merangkap Ketua Dewan Pemerintah Daerah”. Perbedaannya, menurut UU No. 22/1948 KDH diangkat oleh pemerintah pusat atas usul dan pemilihan dari DPRD, sedang menurut UU No. 1/1957 KDH dipilih oleh DPRD dan disahkan oleh pemerintah pusat. Sekali lagi, pemerintah pusat masih memiliki hak intervensi dalam mekanisme pengangkatan dan/atau 8 pengesahan Kepala Daerah. Sayangnya, situasi politik yang kurang stabil waktu itu telah mendorong Presiden Soekarno untuk memberlakukan sistem demokrasi terpimpin (guided democracy) yang ditandai dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Era demokrasi terpimpin berdampak secara langsung terhadap pergeseran bandul desentralisasi di Indonesia. Tujuan desentralisasi berubah dari demokrasi (kedalutan rakyat) ke pencapaian stabilitas dan efisiensi pemerintahan di daerah. Selaras dengan tujuan ini, kedudukan DPRD menyusut sementara kedudukan KDH justru menguat. Dalam UU No. 18/1965 dirumuskan bahwa pemerintah daerah terdiri dari KDH dan DPRD. Dalam menjalankan tugasnya KDH memberikan keterangan pertanggungjawaban kepada DPRD, namun tidak dapat dijatuhkan oleh DPRD. Sedangkan DPRD, anggotanya sebagian dipilih dan sebagian diangkat, walaupun dalam prakteknya tidak pernah terjadi pemilihan. Peran DPRD dalam membela kepentingan daerahnya hanya dapat dijalankan dengan sepengetahuan KDH (Hoessein, 1995: 12).
8
Meskipun derajat desentralisasi sudah jauh meningkat pada era 1948-1957 (dibandingkan era sebelum kemerdekaan), namun daerah masih merasa bahwa sentralisasi masih terlalu kuat. Akibatnya, muncullah ketidakpuasan dari berbagai daerah, yang puncaknya berupa gerakan separatis seperti PRRI / Permesta (Perdjuangan Semesta) tahun 1958-1961.
7
Sejarah Dekonsentrasi di Indonesia dan Agenda Kebijakan ke Depan Tri Widodo Wahyu Utomo
Ketika rezim Orde Lama digantikan oleh rezim Orde Baru, ternyata tidak ada perubahan dalam sistem pemerintahan daerah, bahkan semangat UU No. 18/1965 cenderung dipertahankan dan diperkuat dalam undang-undang yang baru, yakni UU No. 5/1974. Penguatan peran perangkat pusat di daerah ini misalnya nampak dari ketentuan pasal 80 UU No. 5/1974 yang berbunyi: ”Kepala Wilayah sebagai Wakil Pemerintah adalah Penguasa Tunggal di bidang pemerintahan dalam wilayahnya dalam arti memimpin pemerintahan, mengkoordinasikan pembangunan dan membina kehidupan 9 masyarakat di segala bidang”. Selain itu, kedudukan Kepala Daerah yang berhimpit dengan Kepala Wilayah menunjukkan bahwa UU No. 5/1974 juga menerapkan prinsip integrated prefectoral system sebagaimana terjadi pada periode awal tumbuhnya desentralisasi, yakni pada tahun 1903. Atas dasar itulah nampaknya IRDA (2003: 5) dengan tegas berani menyatakan bahwa rezim Presiden Soeharto jauh lebih sentralistis dibanding sistem demokrasi terpimpin Presiden Soekarno. Dalam publikasinya IRDA memberi gambaran kebijakan Orde Baru yang sentralistik sebagai berikut: With the Orde Baru (New Order) regime beginning in 1967, the centralization became pervasive. In almost all aspects of politics and
9
8
Dalam penjelasan UU No. 5/1974 ditambahkan bahwa Penguasa Tunggal adalah Administrator Pemerintah, Administrator Pembangunan, dan Administrator Kemasyarakatan. Sebagai wakil Pemerintah dan Penguasa Tunggal, maka Kepala Wilayah adalah pejabat tertinggi di Wilayahnya di bidang pemerintahan, lepas dari persoalan pangkat. Bahkan dalam butir 5 ditegaskan bahwa kebijaksanaan yang telah ditetapkan oleh Kepala Wilayah wajib diamankan pelaksanaannya oleh alat-alat Negara.
government – democracy, fiscal balance, and public administration – the Soeharto regime instituted a rigid hierarchical power structure with central government exercising strong control over every level in the political, governmental, and societal hierarchy. The regime managed this effort through the military and the bureaucracy. During this period, the central government monopolized economic management and natural resources extraction in the regions. The authoritarian power structure created a deep-rooted social discontent, particularly in the region. Kritik serupa juga datang dari berbagai kalangan, misalnya Antlov (2002), Alm, Aten dan Bahl (2001), Rohdewohld (1995), atau Lewis (2002). Antlov (2002: 2-3) mengatakan bahwa selama 32 tahun kepemimpinan Soeharto, Indonesia dicirikan oleh sistem pemerintahan patrimonial dengan akumulasi kekuasaan yang sangat kuat di tangan pusat. Hubungan negara dengan masyarakat berjalan atas dasar kepentingan negara, administrasi negara yang paternalistik, intervensionis, dan tidak ada transparansi kepada publik. Kondisi ini telah mengakibatkan inisiatif lokal menjadi hilang terperangkap dalam uniformitas atau penyeragaman, rusaknya ikatan sosial, kooptasi terhadap para pemimpin di semua level, penyalahgunaan kekuasaan dan korupsi, dan yang paling serius adalah munculnya ketidakpercayaan yang dalam dari berbagai institusi sosial terhadap negara / pemerintah. Sementara itu, Rohdewohld (1995: 84, dalam Pramusinto, 2005: 117) menyebutkan bahwa desentralisasi di Indonesia dibawah UU No. 5/1974 lebih mencerminkan delegasi administratif dibanding devolusi politik. Lewis (2002: 138 dalam Smoke, 2000) bahkan lebih keras lagi mengkategorikan Indonesia sebelum era reformasi sebagai negara yang paling sentralistis, sebagaimana dapat dicermati dari pernyataannya berikut ini:
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 1, 2012
ARTIKEL
”throughout most of its history, Indonesia’s public sector has been counted among the most centralized in the world.” Dari dalam negeri, Ratnawati (2000) memberi catatan bahwa sejak kemerdekaan Indonesia, dapat dikatakan tidak pernah ada otonomi di negeri ini; yang ada adalah pseudo-autonomy (otonomi semu/pura-pura). Barulah seiring dengan tumbangnya pemerintahan Soeharto pada Mei 2008, Indonesia memulai era baru hubungan pusat dan daerah dengan merevisi secara total UU No. 5/1974 dan menggantinya dengan UU No. 22/1999. UU baru ini dapat dikatakan merupakan koreksi menyeluruh terhadap aturan sebelumnya, sehingga sering dikenal sebagai sebuah big bang decentralization. IRDA (2003: 4) bahkan menyebutnya sebagai desentralisasi yang paling ambisius dan paling berani di antara negara berkembang (ambitious and the most daring decentralization policy in developing countries). Ciri utama dari semangat desentralisasi yang dikandung oleh UU No. 22/1999 adalah adanya ketentuan pasal 7 yang berbunyi “Kewenangan Daerah mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan bidang lain.” Pasal ini secara eksplisit menganut teori sisa atau residue of powers. Artinya, pemerintah pusat hanya menjalankan urusanurusan yang tidak dilaksanakan oleh pemerintah daerah. Pada saat yang sama, seluruh instansi vertikal berupa Kantor Wilayah yang merupakan perangkat pemerintah pusat, juga dilikuidasi. Desentralisasi yang sedemikian luas dibawa oleh UU No. 22/1999, sehingga struktur kenegaraan dan sistem pemerintahan di
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 1, 2012
Indonesia memiliki kedekatan dengan pola 10 yang diterapkan di negara federal. Sayangnya, UU No. 22/1999 tidak bertahan lama. UU ini sering dikritik sebagai ekses dari proses reformasi 1998 yang menimbulkan euforia demokrasi, sehingga cenderung kebablasan dalam implementasinya. Hasil penelitian LIPI periode 2001-2003 yang berjudul “Eksplorasi Perspektif Elite Penyelenggara Pemerintahan Daerah tentang Otonomi Daerah” (Kompas, 24/4/04), memberikan ilustrasi tentang kondisi “kebablasan” tersebut. Hubungan antara provinsi dan kabupaten/kota yang seakan-akan terlepas sama sekali, seringnya DPRD memakai laporan pertanggungjawaban (LPJ) untuk menjatuhkan kepala daerah, adalah contoh penafsiran yang berlebihan tentang otonomi daerah. Bahkan Presiden RI pada waktu itu, Megawati Soekarnoputri, menilai bahwa perdebatan yang berkembang saat ini mengenai otonomi daerah sudah berlangsung terlalu jauh, serta terkesan kebablasan dan mengancam persatuan kebangsaan (Kompas, 13/3/02). Seiring dengan amandemen UUD 1945 sebanyak empat kali (1999-2002), maka perubahan sistem pemerintahan daerah menjadi sebuah kebutuhan. Dampaknya, UU No. 22/1999 direvisi kembali dan digantikan 10
Menurut Prasojo (2008), bentuk pembagian wewenang dengan azas residu of powers pada daerah Kabupaten dan Kota ini, menyerupai pembagian wewenang yang lazim dilakukan oleh beberapa negara federal, seperti USA, Jerman, Austria dan Swiss, dimana wewenang pemerintah federal dirinci dalam Konstitusi, sementara wewenang lain yang tidak disebutkan sebagai wewenang federal secara otomatis menjadi wewenang negara bagian (Prasojo, 2005:163). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa secara substansial UU No. 22/1999 menganut prinzip kelaziman yang diterapkan di negara federal dalam hal pembagian wewenang.
9
Sejarah Dekonsentrasi di Indonesia dan Agenda Kebijakan ke Depan Tri Widodo Wahyu Utomo
oleh UU No. 32/2004, meskipun masa berlaku efektifnya belum genap empat tahun dan banyak peraturan pemerintah (PP) pelaksana yang belum diterapkan. Lahirnya UU No. 32/2004 sendiri mengundang kritik dari berbagai kalangan sebagai upaya pemerintah pusat untuk melakukan resentralisasi. Salah satu pakar yang paling gencar melakukan kritik adalah Prof. Ryaas Rasyid (Kompas, 2/12/05), yang berargumen bahwa gejala resentralisasi dapat diamati dari kewenangan dalam hal pengendalian dan pengangkatan pegawai negeri sipil telah ditarik ke pusat. Selain itu, seluruh proses perekrutan dan penempatan pegawai pada posisi-posisi eselon satu dan eselon dua juga sudah ditarik menjadi kewenangan penuh pemerintah pusat. Bukan hanya itu. Seluruh peraturan daerah atau perda yang dibuat pemerintah provinsi bersama DPRD-nya kembali lagi harus disahkan pemerintah pusat, sedangkan perda kota dan kabupaten harus disahkan pemerintah provinsi. Demikian pula, APBD tidak boleh dijalankan sebelum disahkan pemerintah. Sementara itu, dilihat dari struktur pembagian kewenangan, juga terjadi perubahan yang mendasar pada UU yang baru. Jika pada UU No. 22/1999 prinsip yang digunakan adalah residue of powers (sisa kewenangan), maka dalam UU No. 32/2004 yang dianut adalah prinsip concurrent powers, artinya suatu kewenangan tertentu (atau urusan pemerintahan) dilaksanakan secara bersama-sama oleh seluruh tingkatan pemerintahan, sementara pemerintah pusat tetap memegang lima wilayah kewenangan secara absolut, yakni kewenangan di bidang politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, serta agama (pasal 10). Perubahan seperti ini juga sering dipersepsi sebagai bukti terjadinya proses sentraliasi.
10
Namun dalam berbagai kesempatan, Presiden waktu itu, Megawati Sukarnoputri menegaskan bahwa pemerintah sama sekali tidak berniat mengurangi atau menarik kembali kebijakan otonomi daerah dan mengembalikannya ke model pemerintahan sentralistis (Tempo Interaktif, 18/12/02; Kompas, 13/3/02). Salah seorang pakar pemerintahah, Prof. Sadu Wasistiono, juga dapat dikatakan sebagai pendukung UU No. 32/2004 dengan menyebutkan bahwa UU ini memperjuangkan desentralisasi yang berkeseimbangan (equilibrium decentralization) antar susunan pemerintahan maupun antara kepada daerah dengan DPRD. Dengan kata lain, ide pokok UU No. 32/2004 adalah mengurangi ekses-ekses yang terjadi pada penerapan UU Pemerintahan Daerah sebelumnya, tanpa mengurangi otonomi dan keluasan kewenangan daerah. Satu hal yang perlu dicermati, meskipun UU No. 22/1999 dan UU No. 32/2004 mengatur secara lengkap mengenai desentralisasi, pengaturan tentang dekonsentrasi nampaknya agak terlupakan. Jika semenjak kemerdekaan RI telah ada 7 (tujuh) undang-undang yang mengatur tentang pemerintahan daerah (desentralisasi), maka belum ada satupun regulasi setingkat undang-undang yang mengatur secara khusus tentang d ekon sentrasi. Bah kan UU ten tan g perimbangan keuangan pusat dan daerah (UU No. 25/1999 dan UU No. 33/2004) juga tidak memberi pengaturan yang jelas dan rinci tentang dekonsentrasi, khususnya dari sisi keuangan. Selama ini baru ada dua produk hukum yang mengatur tentang dekonsentrasi (dan tugas pembantuan), yakni PP No. 39/2001 sebagai pelaksanaan UU No. 22/1999, serta PP No. 7/2008 sebagai pelaksanaan UU No. 32/2004. Terkait dengan kelangkaan aturan atau kekosongan hukum tentang
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 1, 2012
ARTIKEL
dekonsentrasi ini, Tambunan (2000: 54) memberi catatan terhadap UU Pemerintahan Daerah 1999 dan 2004 sebagai berikut: “ ... the two laws, which are theoretically meant to complement each other, still leave the specific areas of deconcentration unclear, and have not specified the regional/local agents in the delegation process. In short, there is still uncertainty in defining decentralization in Indonesia.” Ketidakjelasan tentang dekonsentrasi, sebagaimana diutarakan Tambunan, akan berdampak pada ketidakjelasan desentralisasi, mengingat kedua konsep ini tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya, dan bukan merupakan sebuah dikotomi.
menandakan semakin tinggi derajat sentralisasi, dan sebaliknya. Derajat sentralisasi-desentralisasi selanjutnya juga diasosiaikan dengan tujuan desentralisasi yang bervariasi pada setiap generasi / periode. Meskipun tidak dimaksudkan untuk membedakan secara ”hitam-putih”, warna kuning pada gambar dibawah menunjukkan bahwa regulasi tentang pemerintahan daerah (desentralisasi) saat itu cenderung untuk mencapai efisiensi dan efektivitas pemerintahan, sedangkan warna biru merefleksikan tujuan untuk lebih memberdayakan masyarakat melalui proses demokratisasi dalam berpemerintahan. Adapun median (garis tengah) adalah indikasi keseimbangan (equilibrium) antara kepentingan pusat dan aspirasi daerah, atau keseimbangan antara kekuasaan eksekutif dan legislatif di daerah.
Dari uraian tentang sejarah desentralisasi dan dekonsentrasi diatas, dapat diformulasikan dalam sebuah model yang menggambarkan derajat sentralisasidesentralisasi di Indonesia pada kurun waktu 1903 hingga 2004 sebagaimana dalam Gambar 1. Semakin tinggi titik dalam kurva,
Selengkapnya model hubungan derajat desentralisasi-sentralisasi dengan tujuan pemerintahan dapat dilihat sebagai berikut:
Highly centralized
median
Highly decentralized
1903
1922
1/’45
Efisiensi / stabilisasi
22/’48
1/’57
18/’65
5/’74
22/’99 32/’04
Demokrasi / kedaulatan rakyat
Sumber: konstruksi penulis (2009). Gambar 1. Derajat Sentralisasi-Desentralisasi di Indonesia dan Tujuan Desentralisasi (1903-2004)
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 1, 2012
11
Sejarah Dekonsentrasi di Indonesia dan Agenda Kebijakan ke Depan Tri Widodo Wahyu Utomo
Sementara itu, model serupa dapat pula dikonstruksi dari pemikiran Hoessein (1995: 15) dan Prasojo (2008). Hoessein menyebutkan bahwa roda desentralisasi telah mengalami 5 (lima) kali putaran, sedangkan Prasojo menambahkan menjadi 6 (enam) putaran. Prasojo mengintegrasikan UU No. 22/1999 dan UU No. 32/2004 dalam satu model putaran. Namun sesungguhnya kedua UU tersebut memiliki perbedaan tujuan dan karakteristik, sehingga dapat dibentuk model putaran yang berbeda. Oleh karena itu, sejak jaman penjajahan hingga sekarang, dapat disusun sebuah konstruksi 7 (tujuh) putaran desentralisasi, sebagaimana dalam Gambar 2 dibawah.
Secara umum putaran itu bisa dikelompokkan menjadi dua, yakni putaran searah jarum jam (clockwise) dan putaran yang berlawanan dengan jarum jam (counterclockwise). Putaran dengan gerakan clockwise mencerminkan kebijakan desentralisasi yang bertujuan untuk menciptakan efisiensi, efektivitas dan stabilitas penyelenggaraan pemerintahan daerah. Sedangkan putaran co un te r-c loc kwise leb ih meny iratkan kebijakan yang berorientasi demokrasi dan pemandirian daerah melalui pemberian kewenangan yang lebih luas melalui desentralisasi.
Sumber: konstruksi penulis (2009). Gambar 2. Model Tujuh Putaran Desentralisasi di Indonesia (1903-2004)
12
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 1, 2012
ARTIKEL
AGENDA KEBIJAKAN KEDEPAN UNTUK PENGUATAN DEKONSENTRASI Meskipun deskripsi diatas sudah dapat menawarkan model putaran (gambar 2) serta model derajat (gambar 1) desentralisasidekonsentrasi, namun sesungguhnya praktek dekonsentrasi sendiri tidaklah terlalu jelas karena memang tidak ada sumber hukum yang mengatur secara rinci. Oleh karenanya, penafsiran dekonsentrasi dilakukan dengan menggunakan kriteria tertentu. Kriteria pertama adalah posisi kepada daerah, apakah merangkap sebagai wakil pemerintah ataukah terpisah, atau apakah kedudukan kepala daerah berhimpit dengan kedudukan selaku kepala wilayah. Ketika kedua posisi tadi dirangkap, berarti menerapkan pola integrated prefectoral system, sedang jika dipisah, pola yang berjalan adalah fragmented prefectoral system. Dalam pola integrated prefectoral system, sudah pasti peran kepala wilayah akan lebih menonjol dibanding sebagai kepala daerah, dan ini berarti pula bahwa dekonsentrasi cenderung dominan. Sebaliknya, jika pola fragmented prefectoral system yang dipilih, maka daerah dan kepala daerah relatif memiliki kewenangan otonom yang luas. Dalam bingkai sejarah pemerintahan di Indonesia, pola integrated prefectoral system lebih sering diterapkan, yakni saat berlakunya UU No. 5/1974, UU No. 18/1965, serta UU No. 22/1948 dan sebelumnya. Sedangkan pola fragmented prefectoral system pernah dicoba pada UU No. 1/1957 dan dipergunakan kembali pada periode UU No. 22/1999 dan UU No. 32/2004. Persoalan tentang kedudukan kepala daerah ini hingga saat inipun masih mengundang banyak perbedaan pendapat. Pokok permasalahan yang diperdebatkan berkisar pada level pemerintahan yang mana
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 1, 2012
yang seharusnya menerapkan integrated prefectoral system dan level yang mana yang sebaiknya memakai fragmented prefectoral system. Selain itu, jika prinsip integrated prefectoral system yang dipakai, bagaimanakah seharusnya pola rekrutmen bagi pejabat tersebut, apakah melalui pemilihan langsung oleh rakyat, ataukah cukup ditunjuk dan diangkat oleh pusat berdasarkan usulan daerah?. Dalam konteks Indonesia kontemporer, pilihan terhadap prinsip integrated prefectoral system atau fragmented prefectoral system nampaknya belum final. Wacana revisi UU No. 32/2004 sangat memungkinkan membawa perubahan dalam kedudukan kepala daerah, terutama di tingkat provinsi. Agar pemerintah daerah dapat bekerja dengan baik dan berkesinambungan, issu in i sebaiknya dimatangkan dalam draft perundangundangan yang akan datang, sekaligus untuk menghindari adanya perombakan kelembagaan daerah yang terlalu sering. Untuk itu, beberapa kaidah perlu disepakati sebagai bahan pertimbangan dalam menetapkan pola yang akan dipilih. Beberapa kaidah itu diantaranya: 1) desentralisasi tetap menjadi prioritas dalam negara kesatuan RI namun tetap mempertahankan dekonsentrasi dan hak pusat di daerah; 2) hak pusat di daerah itu berupa kewenangan pengangkatan wakil pemerintah pusat di daerah, serta kewenangan melakukan kontrol terhadap seluruh bidang kewenangan pemerintah daerah; 3) perlu dihindari overlap kewenangan pada seluruh tingkatan pemerintahan; 4) semakin kebawah makin besar derajat deentralisasi, sedang makin keatas makin kuat dekonsentrasi. Ini mengandung makna bahwa desentralisasi diberikan kepada tingkat pemerintahan yang paling dekat dengan masyarakat.
13
Sejarah Dekonsentrasi di Indonesia dan Agenda Kebijakan ke Depan Tri Widodo Wahyu Utomo
Kriteria kedua untuk merekonstruksi d ekon sentrasi ked epan adalah p ola pengangkatan dan/atau pemilihan kepala daerah. Sebelum 1999, pemerintah pusat relatif memiliki kewenangan yang luas untuk turut menentukan kepala daerah dan/atau kepala wilayah. Namun sejak berlakunya UU No. 22/1999, kewenangan pemilihan kepala daerah beralih kepada DPRD, dan berdasarkan UU No. 32/2004 beralih lagi menjadi pemilihan langsung oleh rakyat. Dalam hal ini, siapapun yang terpilih menjadi gubernur secara otomatis akan berkedudukan s eb a gai w aki l p u sat at au p e ran gkat dekonsentrasi. Pola ini mengandung kemungkinan conflict of interest pada diri gubernur, karena selaku kepala daerah harus bertanggungjawab kepada publik konstituennya, sedangkan selaku wakil pemerintah harus bertanggungjawab kepada pusat. Selain itu, pemerintah yang bersikap taken for granted serta sekedar melegalkan dan melantik gubernur terpilih, juga mengesankan lemahnya kewenangan pusat di daerah. Padahal, sejalan dengan teori kontinuum, semestinya desentralisasi tidak mengalahkan dekonsentrasi, sebaliknya dekonsentrasi tidak boleh mengabaikan desentralisasi. Dengan demikian, pada konteks pembenahan kedepan, konsep yang lebih seimbang dalam menetapkan pejabat yang b er ked u d u kan gan d a ( s ela ku w aki l pemerintah namun juga sekaligus kepala daerah), harus dipikirkan secara lebih matang. Namun untuk tingkatan pemerintahan yang menerapkan fragmented prefectoral system, maka pemilihan kepala daerah secara langsung tetap dilanjutkan. Pemikiran ini pada dasarnya hanya dimaksudkan untuk menjaga konsistensi antara konsep dekonsentrasi dengan prakteknya di lapangan. Selanjutnya, kriteria ketiga untuk mendesain format keseimbangan desentralisasi dan dekonsentrasi adalah
14
rumusan tujuan yang ingin dicapai atau diwujudkan. Sebagaimana diulas pada gambar 2, telah terjadi tujuh kali putaran desentralisasi sejak awal tahun 1900-an hingga saat ini. Putaran itu membentuk siklus yang berulang antara dua tujuan, yakni efisiensi dan stabilitas disatu sisi dengan demokrasi dan partisipasi di sisi lain. Dalam konteks kedepan, diharapkan terjadi peleburan antara kedua tujuan yang seolah-olah bertolak belakang tersebut. Stabilitas bukanlah prasyarat untuk demokrasi, dan demokrasi juga bukan antitesis dari efisiensi. Dengan kata lain, efisiensi tidak menjadi trade-off dari upaya membangun demokrasi, dan sebaliknya. Seluruh tujuan tersebut dapat dicapai secara sinergis, sepanjang format desentralisasidekonsentrasi dapat dirumuskan dengan sebaik-baiknya. Kriteria terakhir yang dapat dipikirkan untuk penyempurnaan kedepan adalah tentang kewenangan dekonsentrasi, baik yang mencakup cakupan maupun keluasannya. Dilihat dari cakupannya, perangkat dekonsentrasi dapat diberikan kewenangan di bidang pemerintahan umum belaka, atau dapat pula memperoleh kewenangan sektoral berdasarkan pelimpahan kewenangan dari kementerian atau lembaga tertentu di tingkat pusat. Pada pola UU No. 5/1974, kepala wilayah dapat berkonsentrasi pada tugastugas pemerintahan umum, sementara tugas pusat di daerah dilakukan oleh instansi vertikal (kantor wilayah). Namun dengan lahirnya UU No. 22/1999, gubernur menjadi satu-satunya wakil pemerintah pusat yang harus menjalankan tugas-tugas pemerintahan umum dan urusan hasil pelimpahan kewenangan dari kementerian teknis secara bersamaan. Tentu kondisi ini menjadikan beban gubernur menjadi sangat berat yang dapat berimplikasi pada tingkat efektivitas tugas dekonsentrasi itu sendiri. Untuk masa
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 1, 2012
ARTIKEL
mendatang, nampaknya perlu dipikirkan lagi rancangan kewenangan dekonsentrasi yang lebih tepat. PENUTUP Dari deskripsi historis diatas dapat diambil beberapa pelajaran untuk penguatan dekonsentrasi dan desentralisasi di Indonesia. Paling tidak, terdapat empat butir yang perlu mendapat percermatan secara mendalam, yakni persoalan tentang kedudukan kepala daerah / kepala wilayah, sistem pengangkatan /pemilihan kepala daerah, rincian dan batasbatas kewenangan dekonsentrasi, serta kejelasan tujuan dari kebijakan dekonsentrasi dan desentralisasi. Tentu saja, langkah pembenahan tidak hanya meliputi empat point tersebut, namun dapat pula dikembangkan pada aspek-aspek lainnya. Tujuan hakiki dari upaya penyempurnaan grand design otonomi daerah di Indonesia adalah agar tidak terjadi kebijakan yang terus berubah secara cepat yang menjadikan penataan kelembagaan tidak kunjung solid. Pada rancangan perubahan kebijakan otonomi yang akan datang, diharapkan dapat menjamin kesinambungan pemerintahan untuk memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat. Referensi Alm, James, Robert H. Aten and Roy Bahl, 2001, “Can Indonesia Decentralise Successfully? Plans, Problems and Prospects”, Bulletin of Indonesian Economic Studies, Vol. 37, No. 1, 2001: 83–102. Antlov, Hans, 2002, The Making of Democratic Local Governance in Indonesia, paper presented in International Workshop on Participatory Planning: Approaches for Local Governance, Bandung Indonesia, 20-27 January.
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 1, 2012
Hoessein, Bhenyamin, 1995, Desentralisasi dan Otonomi Daerah di Negara Kesatuan Republik Indonesia: Akan Berputarkan Roda Desentralisasi Dari E fisien si ke De mokra si?, Pid ato pengukuhan Guru Besar Tetap dalam Ilmu Administrasi Negara. Jakarta: FISIP-UI, 18 November. IRDA, 2003, July, Indonesian Rapid Decentralization Appraisal (IRDA): Third Report, Jakarta: Asia Foundation. Available at http://www.asia foundation.org/pdf/IRDA3-english.pdf Niessen, Nicole, 1999, Municipal Government in Indonesia: Policy, Law, and Practice of Decentralization and Urban Spatial Planning, Universiteit Leiden. Pramusinto, Agus, 2005, The Dynamics of Change in Decentralization: Implications for Local GovernmentBusiness Relations, A Case Study of Decentralization in Sidoarjo, East Java, Indonesia, Canberra: Australian National University, Ph.D. Thesis. Prasojo, Eko, 2008, Konstruksi Ulang Hubungan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah di Indonesia: Antara Sentripetalisme dan Sentrifugalisme, Pidato Pengukuhan Guru Besar Tetap dalam Ilmu Administrasi Negara, Jakarta: FISIP-UI. Ratnawati, Tri, 2000, Pseudo Otonomi, dalam Kompas, 1 Maret. http://www2. kompas.com/kompas-cetak/0003/01 /OPINI/psed04.htm Rondinelli, Dennis, 1999, “What is Decentralization?”, in World Bank, Decentralization Briefing Notes, WBI Working Papers. Smoke, Paul, 2005, “Chapter 2: The Rules of the Intergovernmental Game in East Asia: Decentralization Frameworks and Processes”, dalam World Bank, East Asia Decentralizes: Making Local Government Work, Washington DC.
15
Sejarah Dekonsentrasi di Indonesia dan Agenda Kebijakan ke Depan Tri Widodo Wahyu Utomo
Utomo, Tri Widodo W., 2004, Decentralization And Capacity Building In Indonesian Local Administration (A Long Journey For Discovering A Model Of Democratic Developmental Regime), Master Thesis. Graduate School of International Development, Nagoya University. Wibawa, Samodra, 2001, Otonomi Daerah Dalam Definisi Sejarah, 16 Juni. Tersedia online di www.geocities.com/ adeniha/oto-sejarah.pdf Diakses pada tanggal 25 April 2009. Peraturan Perundang-Undangan Undang-Undang No. 1 Tahun 1945 tentang Peraturan Mengenai Kedudukan Komite Nasional Daerah. Undang-undang No. 1 Tahun 1957 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah. Undang-undang No. 18 Tahun 1965 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara RI Tahun 1965 Nomor 83). Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah
16
(Lembaran Negara RI Tahun 1974 No. 38). Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara RI Tahun 1999 No. 60). Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara RI Tahun 2004 No. 125). Media Massa Kompas, 2 Desember 2005, Ryaas Rasyid: Terjadi Resentralisasi Pemerintahan di Indonesia, http://www2.kompas.com/kompascetak/0512/02/opini/2062548.htm ____________, 24 April 2004, Pelaksanaan Otonomi Daerah Kebablasan, http://www2.kompas.com/kompascetak/0404/24/Politikhukum/987585.h tm ____________, 13 Maret 2002, Presiden: Perdebatan Otonomi Daerah Sudah Kebablasan, http://www2. kompas. com/berita-terbaru/0203/13/ headline /020.htm
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 1, 2012
ARTIKEL
PARADOKS DESENTRALISASI DAN KESEJAHTERAAN : Kalimantan Timur Kaya Tapi Miskin1 Oleh: Muhammad Ali Hapsah1 dan Wawan Mas’udi2 1.
2.
PhD Candidate di Victoria University – Australia, staf Bappeda Kabupaten Paseer Provinsi Kalimantan Timur. Email:
[email protected] PhD Candidate di Victoria University – Australia, Dosen Jurusan Politik dan Pemerintahan Fisipol UGM. Email:
[email protected] Abstract East Kalimantan is a province full of paradox. This region has considerable economic potential measured in terms of its abundant endowments of natural resources, including oil, natural gas, gold, coal and forestry. Yet, East Kalimantan still lacks infrastructure, has poor human resources and high levels of unemployment, factors which condemn much of the population to a life of poverty and hardship. The new system of regional autonomy, which has been implemented since 2001, was expected to give more benefit to the regions, as regional governments have held relatively more power and fiscal capacity. Law 22/1999, which has been revised twice, has provided more authority to regional governments to manage their respective regions. The introduction of fiscal decentralisation through Law 25/1999, further revised in Law 33/2004, has favoured regions rich in natural resources such as East Kalimantan. As it has abundant natural resources, this region has received greatly increased funds from the central government due to the implementation of sharing revenue formula generated from the exploitation of natural resources. These supposed to give more opportunity for the rich regions such East Kalimantan to accelerate regional development and bring their people to greater prosperity. Nevertheless, East Kalimantan has realized neither the objectives of regional autonomy nor the community aspirations for a more prosperous society. This paper aims to examine the extent to which the regional autonomy laws have impacted on people welfare in East Kalimantan. Kata kunci: Otonomi daerah, pemerintah daerah, masyarakat, kemiskinan, kesejahteraan Intisasi Implementasi desentralisasi di Kalimantan Timur ditandai dengan paradoks, karena sumber daya ekonomi yang melimpah justru telah melahirkan kemiskinan dan buruknya pelayanan publik. Sistem otonomi daerah sebagai implikasi desentraliasi diharapkan bisa menghadirkan kemanfaatan yang lebih besar kepada masyarakat daerah, mengingat kapasitas fiskal daerah telah meningkat signifikan sebagai berkah implementasi UU 25/1999 dan revisinya UU 33/2004, serta kewenangan mengelola pemerintahan sendiri yang lebih besar, sebagaimana diatur dalam UU 22/1999
1
Naskah diterima tanggal 31 Maret 2012, revisi tanggal 9 Mei 2012
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 1, 2012
17
Paradoks Desentralisasi dan Kesejahteraan : Kalimantan Timur Kaya Tapi Miskin Muhammad Ali Hapsah dan Wawan Mas’udi
maupun penggantinya, UU 32/2004. Peningkatan kapasitas keuangan dan peningkatan kewenangan pemerintahan tersebut adalah peluang bagi pemerintah daerah untuk melakukan akselarasi pembangunan dan menghadirkan kesejahteran bagi penduduknya. Namun demikian, Kalimantan Timur menghadapai kenyataan, implementasi desentralisasi dan otonomi belum mencapai tujuan ideal pembangunan daerah maupun peningkatan kesejahteraan. Kalimantan Timur justru menghadapi situasi kemiskinan dan keterpurukan infrastruktur di tengah keberlimpahan sumber daya. Selain bersumber dari kegagalan teknokratisme, situasi tersebut terjadi karena berkah desentralisasi hanya dikuasai oleh sekelompok elit kekuasaan. Tulisan ini dimaksudkan untuk menjelakan mengapa situasi paradoksal tersebut terjadi, dan analisa untuk menemukan jalan keluarnya. Kata kunci: paradoks desentralisasi, kalimantan timur, keberlimpahan sumberdaya, kemiskinan, kesejahteraan.
PENDAHULUAN Salah satu lembaga proponen desentralisasi, Bank Dunia, meyakini bahwa transfer kekuasaan dan kewenangan pemerintahan dari pusat ke daerah akan memberi jalan bagi terbangunnya programprogram pengentasan kemiskinan dan peningkatan kesejahteraan bagi masyarakat. Keyakinan Bank Dunia, yang dalam dua dekade terakhir bersama dengan sejumlah lembaga keuangan dan pembangunan internasional lainnya (UNDP, ADB, IMF, USAID, GTZ, AUSAID, dan lain-lainnya) menjadi pengusung sekaligus sponsor pengembangan sistem desentralisasi di berbagai Negara (Hadiz 2004, 2010), khususnya di kawasan ex- USSR dan di “negara-negara berkembang”. Keyakinan tersebut didasarkan pada asumsi bahwa desentralisasi akan membawa pemerintahan lebih dekat ke komunitas, dan kedekatan tersebut akan membuat pemerintahan lebih fokus dan lebih mampu mengembangkan kebijakan-kebijakan yang lebih relevan dengan penyelesaian masalah lokal. Desentralisasi juga akan mendorong lahirnya pemerintahan yang bertanggungjawab dan memiliki akuntabilitas publik yang
18
lebih tinggi, mengingat kedekatan institusi pemerintah dengan masyarakat akan mendorong tumbuhnya kontrol kebijakan secara langsung dari komunitas. Desentralisasi, tegasnya, menjadi mainstream kebijakan untuk mengatasi persoalan kemiskinan, pelayanan public yang buruk, dan perilaku koruptif dari institusi public. World Development Report yang diterbitkan Bank Dunia (2004), menyatakan sebagai berikut: Too often, services fail poor people – in access, in quantity, and in quality. But there are strong examples where services do work, which means governments and citizens can do better. Putting poor people at the centre of service provision enables them to monitor and discipline service providers, amplifies their voice in policymaking, and strengthens the incentives for providers to serve the poor (World Bank 2004). Berdasarkan latar belakang itu pula, Indonesia yang akibat krisis moneter 2008 terjerembab semakin dalam ke kemiskinan dan buruknya pelayanan publik, turut terseret dalam arus kebijakan desentralisasi.
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 1, 2012
ARTIKEL
Satu decade sudah, kebijakan desentralisasi diimplementasikan, dan bahkan versi awal desain kebijakan tersebut telah mengalami perubahan, menunjuk pada UU 32/2004 yang menggantikan UU 22/1999. Daerah (kabupaten, kota, dan provinsi) menikmati derajat otonomi politik dan pemerintahan yang kuat, yang tidak pernah memiliki preseden dalam sejarah hubungan pusat – daerah di Indonesia. Triliunan rupiah mengalir ke kas-kas keungan daerah, program-program lokal disusun, mekanisme pemerintahan daerah menikmati reformasi, dan suara komunitas lokal lebih dekat dengan telinga pemerintah daerah. Pertanyaannya, apa implikasi dari tata kelola pemerintahan desentralistis tersebut terhadap pengentasan kemiskinan dan penciptaan kesejahteraan bagi komunitas local? Apakah skenario yang disusun oleh lembaga-lembaga internasional di atas berjalan mulus di berbagai konteks daerah? Tulisan ini disusun untuk mendiskusikan dua pertanyaan tersebut, dengan menggunakan kasus Kalimantan Timur (Kaltim). Sebagai provinsi dengan sumber daya alam melimpah, Kaltim sangat diuntungkan dalam skema perimbangan keuangan pusat – daerah, dimana triliunan rupiah mengalir deras, baik ke level provinsi maupun kabupaten/kota. Namun demikian, arus deras kapasitas keuangan tersebut sampai saat ini tidak berbanding positif dengan perbaikan derajat kehidupan komunitas lokal secara signifikan. Kondisi p elayan an pu blik d asar; p end id ikan, kesehatan, dan infrastruktur masih jauh dari ukuran aksesibilitas dan equalitas bagi masyarakat, sementara kasus-kasus penyimpangan anggaran (korupsi dan maladministrasi) justru mengemuka dalam pasca implementasi desentralisasi. Indikator masih ter j eb akn y a Kal ti m d a la m p u s a ran kemiskininan adalah peringkat Indek Pembangunan Manusia (IPM), baik untuk
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 1, 2012
kategori provinsi maupun kabupaten/kota, yang cenderung rendah jika dibandingkan dengan besaran anggaran publik yang dikelola. Untuk memahami paradoks, kemiskinan dalam keberlimpahan di Kaltim ini, tulisan ini tersusun dalam bagian-bagian: 1) review teoritik tentang implikasi desentralisasi terhadap pengentasan kemiskinan; 2) overview implikasi desentralisasi terhadap Kaltim; 3) analisis paradox Kaltim; dan 4) penutup yang berisi refleksi dan saran-saran kebijakan. Sebagian data yang digunakan dalam artikel ini merupakan bagian dari penelitian desertasi S3 salah satu penulis (M. Ali Hapsah, diserahkan Feb ruari 2012) d i Victoria Un iversity, Australia. DESENTRALISASI: PANACEA KEMISKINAN? Desentralisasi memiliki tujuan ideal untuk menumbuhkan demokratisasi dalam pengelolaan kekuasaan, maupun sebagai upaya untuk mengembangkan sistem pelayanan public yang lebih baik. Sebagai upaya demokratisasi, desentralisasi dikaitkan dengan pola-pola devolusi politik, yang memberikan ruang lebih besar bagi komunitas lokal terlibat dalam penentuan urusan-urusan publik dan mekanisme kesertaan dalam prosedur demokrasi lokal. Desentralisasi dalam hal ini menghasilkan konsekuensi sistem pemilihan umum yang lebih demokratis di level lokal (lihat Erb & Sulistyanto, 2009), dan pengembangan mekanisme keterlibatan warga melalui berbagai skema participatory democracy (lihat Harris, Stokke, Tornquist 2004). Sebagai instrumen untuk pengembangan pelayanan publik, desentralisasi memiliki dua makna, yaitu: pelimpahan urusan-urusan pelayanan ke level pemerintah yang paling dekat dengan masyarakat, d ikenal den gan p rin sip
19
Paradoks Desentralisasi dan Kesejahteraan : Kalimantan Timur Kaya Tapi Miskin Muhammad Ali Hapsah dan Wawan Mas’udi
subsidiarity, dan pola pelimpahan sebagai kewenangan pemerintahan dalam pelayanan dan penyediaan barang publik ke mekanisme pasar, dikenal dengan privatisasi. Dalam lingkup tujuan yang kedua ini, outcome desentralisasi diasosiasikan lahirnya peningkatan kesejahteraan masyarakat san berkurangnya angka kemiskinan. Outcome ideal ini banyak diusung oleh lembagalembaga keuangan dan pembangunan internasional, serta para pemikir proponennya. Sebagaimana disebutkan di bagian pendahuluan, misi menumbuhkan kesejahteraan dan mengurangi kemiskinan melalui desentralisasi secara gencar menjadi blue print kekuatan yang identik dengan wacana neo-liberal ini. Keterkaitan desentralisasi dengan pengentasan kemiskinan menjadi perdebatan dalam literature yang mengupas proses dan implikasi desentralisasi. Beberapa ahli menyakini bahwa desentralisasi akan memb erikan dampak positif terhadap pengurangan kemiskinan. Argumentasi yang mendasari, desentralisasi memberi kesempatan bagi aspirasi orang miskin menjadi untuk lebih tersuarakan dan terwakili dalam mekanisme pembuatan keputusan pemerintahan dan pembangunan di tingkat lokal. Inklusi aspirasi kemiskinan ini membawa pada kesimpulan bahwa desentralisasi akan membuat kebijakan pemerintahan menjadi lebih pro masyarakat miskin dan perbaikan sistem pelayanan publik yang pada gilirannya akan meningkatan akses masyarakat terhadap pelayanan publik yang lebih berkualitas (lihat misalnya UNDP, 2003; Jutting et al., 2004; Blunt and Turner, 2007; Romeo, 2002; Rondinelli and Cheema, 1983; Wekwete, 2007; dan Rasyid, 2003). Lebih jauh para pendukung argumentasi ini menjelaskan bahwa desentralisasi dapat meningkatkan partisipasi
20
masyarakat lokal, terutama bagian masyarakat yang termajinalkan, dalam proses penentuan dan pelaksanaan kebijakan pembangunan. Partisipasi masyarakat akan membuat perubahan karakter pemerintahan yang cenderung pro kepentingan masyarakat. Rondinelli dan Cheema (1983), menjelaskan bahwa desentralisasi memberikan ruang yang lebih luas kepada kelompok-kelompok politik, agama dan suku yang berbeda untuk terlibat secara langsung dalam proses pengambilan keputusan. Kelompok-kelompok ini adalah representasi lebih riil dari komunitas, dan keterlibatan mereka dalam proses kebijakan akan memungkinkan pemerataan distribusi alokasi sumber daya yang dimiliki oleh daerah, menjangkau kelompok-kelompok marjinal yang sebelumnya berada dalam lingkar pinggiran kebijakan. Lebih lanjut, desentralisasi juga akan bisa mengubah karakter pemerintahan, dimana penyerahan kewenangan tingkat lokal akan menciptakan ruang yang lebih luas bagi pemerintah daerah untuk membuat kebijakan dan program yang sesuai dengan kondisi lokal dan preferensi masyarakat lokal karena pemerintah daerah memiliki pemahaman yang lebih utuh terhadap persoalan yang dihadapi masyarakat daerah. Dari sudut pandang ekonomi, karena penyelenggaraan urusan pelayanan dilakukan oleh pemerintah yang paling dekat dengan masyarakat, maka ongkos pelayanan akan lebih ekonomis, esisien dan efektif. Jika skenario ini berjalan, maka anggaran yang ada dapat dialokasikan untuk program pengentasan kemiskinan. Ini diikuti dengan keyakinan bahwa desentralisasi akan meningkatkan transparansi dan akuntabilitas, serta terkuranginya penyimpangan anggaran. UNDP dalam Human Development Report menyimpulkan bahwa kebijakan d esentralisasi fiskal yan g dilaksanakan di 55 negara telah melahirkan
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 1, 2012
ARTIKEL
pemerintahan lebih transparan dan alokasi anggaran pembangunan untuk pelayanan bagi masyarakat miskin (UNDP, 2003). Namun demikian, klaim kesuksesan desentralisi dan argumen -argumen teknokratis di atas diragukan kesahihannya. Desentralisasi bukan semata mengandung unsur reformasi administrasi pemerintah dan pelayanan yang bergerak dalam ruang nir struktur kekuasaan. Desentralisasi adalah tentang disain untuk mengatur tata kelola kekuasaan, yang tidak hanya berhubungan dengan penyebaran kekuasaan dari pusat ke daerah, namun juga implikasinya terhadap struktur kekuasaan di tingkat lokal. Idealitas tata kelola kekuasaan ini untuk bisa menghasilkan outcome kesejahteraan dan penghapusan kemiskinan hanya mungkin jika pra-syarat yang mengindikasikan perubahan struktur kuasa hadir yang lebih egaliter dan inklusif bagi semua kalangan masyarakat menjadi konteks kebijakan tersebut. Untuk bisa menghasilkan kesejahteraan dan mendorong demokratisasi, desentralisasi membutuhkan kondisi-kondisi tertentu, yaitu: 1) warga Negara yang memiliki pendidikan cukup dan peduli, 2) tidak adanya jurang perbedaan ekonomi dan status social yang memungkinkan sekelompok orang berada dalam situasi inferior dalam relasi kekuasaan, 3) adanya hukum dan tertib sosial, dan 4) adanya mekanisme pemilihan politik secara regulaer dan fair, kompetisi yang efektif diantara kekuatan politik lokal dengan kepentingan jangka panjang, adanya saluran-saluran informasi yang mengkoneksikan masyarakat dengan pemerintahan, dan adanya mekanisme pengawasan pemerintahan baik secara internal maupun eksternal (Tendler 1997; Crok & Manor 1998). Dari perspektif ekonomi, desentralisasi hanya sanggup menghasilkan output kesejahteraan jika pra syarat berikut hadir, yaitu: 1) berfungsinya demokrasi lokal, 2) otonomi
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 1, 2012
fiskal yg dinikmati pemerintah daerah – termasuk kewenangan daerah untuk menghasilkan sumber daya keuangan sendiri d en gan k ap a si ta s p en g el ola an y an g mencukup, 3) tidak adanya unsur ekternalitas dalam hubungan antar komunitas dan antar daerah, dan 4) dimilikinya kapasitas teknis/ administratif oleh aparatur penyelenggara pemerintahan (Bardan & Mookherjee 1998). Absennya prasyarat tersebut akan membuat desentralisasi terjebak dalam praktek-praktek korupsi dan penyimpangan kekuasaan lainnya. Sikap skeptis terhadap kemampuan desentralisasi mengatasi kemiskinan dikarenakan berbagai faktor, mulai dari meningkatnya korupsi di kalangan penyelenggara pemerintahan, miskinnya mekanisme kontrol kekuasaan baik oleh masyarakat maupun diantara lembaga pemerintahan, dan tidak profesionalnya aparatur pemerintahan dalam menangani urusan-urusan publik (lihat, Bossuyt and Gould, 2000). Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Blair (2000) di enam negara (Bolivia, Honduras, India, Mali, Filipina, dan Ukraina) menunjukkan bahwa meskipun d esentralisasi mend oron g p artisip asi masyarakat dalam pengambilan kebijakan dan pemerintah di tingkat lokal telah mendapatkan kewenangan yang cukup luas, desentralisasi gagal memfasilitasi pengurangan kemiskinan dan pembentukan kebijakan yang pro masyarakat miskin. Hal ini disebabkan karena elit lokal lebih mendominasi proses pengambilan keputusan dan cenderung terjebak pada kepentingan yang menguntungkan kelompok elit lokal semata. Tulisan Vedi R. Hadiz (2010) yang menganalisa beberapa daerah di Indonesia pasca desentralisasi juga menunjukkan kesimpulan serupa. Desentralisasi, tegasnya, hanya menghadirkan skema pembagian kekuasaan
21
Paradoks Desentralisasi dan Kesejahteraan : Kalimantan Timur Kaya Tapi Miskin Muhammad Ali Hapsah dan Wawan Mas’udi
pemerintahan yang baru antara pusat – daerah, namun tidak sanggup mentransformasi mekanisme penyelenggaraan kekuasaan yang lebih demokratis, yang menjamin inklusifitas masyarakat dalam semua proses pemerintahan. Dalam banyak praktek, desentralisasi masuk dalam karakter struktur kuasa dengan sifat patronase yang solid, yang berakibat pada pembajakan sumber-sumber kekuasaan baru yang dibawa desentralisasi oleh elit-elit kekuasaan, semakin meminggirkan kelompok marjinal dan miskin. Lalu, bagaimana dengan implementasi desentralisasi di Kaltim? KALTIM DALAM DESENTRALISASI: BERKAH ATAU BENCANA Berkah desentralisasi melekat pada pada daerah-daerah kaya. Pola ini juga terjadi di Idonesia, dimana daerah dengan sumber daya alam kaya mendapatkan limpahan sumber daya keuangan sangat besar. Situasi ini berlaku bagi Kaltim, salah satu provinsi terkaya karena sumber daya alam yang dimiliki. Kekayaan alam Kaltim bersumber, terutama dari pertambangan, khususnya minyak bumi dan gas alam. Laporan Bappeda Kalimantan Timur (2008) menunjukkan bahwa cadangan minyak yang ada di perut bumi Kalimantan Timur mencapai 1.178 milyar barel atau setara dengan 13 persen cadangan minyak nasional, sementara potensi gas alam diperkirakan mencapai 49,14 TSCF (Trillion Standard Cubic Feet) atau 28 persen dari cadangan gas nasional. Selain itu, bumi Kaltim juga mengandung deposit batubara sangat besar, diperkirakan mencapai 22 milyar ton. Potensi pertambangan tersebut diprediksi sanggup dieksploitasi untuk 20 - 30 tahun lagi. Akumulasi sumber daya alam tersebut menjadikan Kalimantan Timur sebagai salah satu provinsi penyumbang terbesar keempat terhadap Pendapatan Domestik Bruto (PDB)
22
nasional (BPS Indonesia, 2008). Posisi yang menjadikan Kaltim menjadi penerima berkah langsung desentralisasi, khususnya transfer keuangan dari pusat. Tidak mengherankan jika Kaltim merup akan salah satu d aerah y ang "merayakan" pelaksanaan otonomi daerah, mengacu pada kucuran dana perimbangan yang sangat signifikan dari pemerintah pusat terutama dana yang bersumber dari bagi hasil atas pengelolaan SDA. Implementasi dana perimbangan berdampak pada lonjakan sangat signifikan jumlah APBD provinsi ini. Pada tahun 2001 APBD Propinsi Kalimantan Timur mengalami peningkatan sekitar 300 persen, dari 605,5 milyar rupiah pada tahun 2000. Kenaikan ini terus berlanjut, dan pada tahun 2008 APBD Propinsi Kalimantan Timur mencapai 6,1 triliun atau meningkat sekitar 900 persen dibandingkan dengan APBD tahun 2000, periode sebelum otonomi daerah diberlakukan. Selain di level provinsi, peningkatan jumlah APBD juga dinikmati semua pemerintah kabupaten dan kota di wilayah Kaltim. Sebagai gambaran, secara akumulatifjumlah APBD provinsi dan semua kabupaten di wilayah Kalimantan Timur mencapai angka sekitar 22 triliun pada tahun 2010 (DJPK, 2011). Keberlimpahan keuangan ini membenarkan argumentasi Seymour dan Turner (2002) bahwa otonomi daerah memberikan manfaat lebih besar kepada daerah yang kaya sumber daya alam. Berkah desentralisasi ini disambut sangat antusias oleh elit-elit lokal, seperti Awang Farouk Ishak (2006), Agustianto (2008) dan Sarosa Hamongpranoto (2006) yang berpendapat bahwa peningkatan kewenangan dan kapasitas fiskal yang sangat signifikan ini akan memberikan kesempatan kepada pemerintah daerah untuk melakukan akselerasi pembangunan daerah melalui pengembangan program-program pro-rakyat dalam rangka untuk meningkatkan
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 1, 2012
ARTIKEL
kesejahteraan masyarakat lokal. Namun, klaim tersebut tersebut nampaknya ter b an ta h kan j ika m e lih a t situ a si implementasi, karena anggaran yang sangat besar tersebut tidak signifikan mempengaruhi peningkatan kesejahteraan masyarakat Kaltim. Angka kemiskinan masih sangat tinggi, dimana menurut laporan Bappeda (2008), dari 3,5 juta, penduduk Kalimantan Timur, sekitar 9,51 persen dikategorikan sebagai
orang miskin. Grafik berikut ini menunjukkan, bahwa meroketnya anggaran tidak diimbangi dengan pengurangan angka kemiskinan yang tajam.
Grafik 1. Tren Angka Kemiskinan dan Peningkatan APBD Kaltim Periode 2000 - 2008
Sumber: Dokumen APBD Kalimantan Timur 2009 Kondisi kemiskinan yang masih parah menjadi indikasi awal tidak sanggupnya desentralisasi menghasilkan kesejahteraan, sebagaimana diharapkan oleh perancang kebijakan ini. Bagi Kaltim yang sangat kaya, kemiskinan adalah ironi. Ironi desentralisasi di provinsi ini semakin dramatis, jika kita menengok data-data lebih lanjut berhubungan dengan situasi pelayanan publik dan penyediaan infrastruktur. Dalam hal ketersediaan infrastruktur jalan misalnya, data menunjukkan bahwa rasio panjang jalan terhadap luasan Kalimantan Timur sebesar 115 km per 1000 kilometres bujur sangkar. Ini menunjukkan
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 1, 2012
bahwa infrastruktur jalan sebagai pra syarat untuk menggerakkan ekonomi masyarakat belum menjangkau sebagian besar wilayah Kaltim, yang kluster penduduknya tersebar di wilayah sangat luas. Dari jalan yang tersedia tersebut, kualitasnya juga masih sangat rendah, dimana dari sekitar 22 ribu panjang jalan, 60 persen masih dengan permukaan kerikil dan tanah, dan yang kondisinya baik hanya sekitar 48, dan sisanya di bawah standar (Bappeda, 2008). Situasi ini tentu saja menghambat akses masyarakat untuk menjangkau pusat perekonomian dan fasilitas pelayanan lainnya, yang pada akhirnya memp engaruh i tin gkat kesejahteraan masyarakat.
23
Paradoks Desentralisasi dan Kesejahteraan : Kalimantan Timur Kaya Tapi Miskin Muhammad Ali Hapsah dan Wawan Mas’udi
Indikator kesejahteraan yang penting adalah pelayanan dasar; pendidikan dan kesehatan. Dalam hal pelayanan pendidikan, kondisi sarana dan prasarana pendukung yang tersedia di Kaltim masih sangat memprihatinkan. Laporan Bappeda dan BPS (2008) menunjukkan bahwa dari 2.044 jumlah ruang kelas di tingkat Sekolah Dasar dan Menengah, sekitar 22 persen dalam kondisi rusak. Bahkan, ketersediaan sekolah-sekolah masih belum hadir di seluruh kluster-kluster pemukiman penduduk, khususnya di kawasan pedalaman dan kecamatan-kecamatan hulu sungai. Di salah satu kabupaten terkaya di Kaltim (dan Indonesia), Kutai Kertanegara, situasi buruknya sarana dan prasarana ke s eh at an ju st ru t er ma su k p al in g mengemuka. Kualitas pelayanan pendidikan yang rendah dan tidak menjangkau semua kalangan ini menyebabakan kualitas Sumber Daya Manusia diukur dari sudut pandang pendidikan formal masih buruk. Angka buta huruf tergolong cukup besar, mencapai 16,09 persen, sementara tingkat pendidikan masyarakat juga masih rendah. Berdasarkan laporan BPS Kalimantan Timur (2007), lebih dari setengah penduduk Kalimantan Timur hanya mendapatkan pendidikan setingkat SD dan SMP, yaitu masing-masing sebesar 53,11 persen dan 28 persen. Bahkan, sekitar 12,4 persen penduduk usia kerja tidak mempunyai pendidikan formal setara dengan SD atau dengan kata lain belum pernah sekolah. Situ asi yang men ggambarkan bah wa desentralisasi belum sanggup dikelola untuk menghasilkan pelayanan pendidikan yang laak bagi komunitas lokal.
Ketersediaan sarana kesehatan di kawasan ini sangat terbatas, dan diperburuk dengan akses masyarakat yang juga sulit sebagai akibat infrastuktur jalan dan sarana transportasi lainnya yang kurang. Di kawasan-kawasan hulu sungai, situasi bahkan lebih memprihatinkan, dimana cerita -cerita dramatis akan susahnya mendapatkan pertolongan dari tenaga kesehatan menjadi cerita sehari-hari masyarakat. Keterbatasan sarana dan tenaga kesehatan ditunjukkan dengan data bahwa Kaltim yang memiliki luas 1,5 kali Jawa dan Madura hanya mempunyai 44 rumah sakit, 201 Puskesmas dan 651 Puskesmas Pembantu (Bappeda, 2010), dan dengan jumlah penduduk sekitar 3,5 juta jiwa, hanya dilayani 680 dokter umum - yang artinya 1 dokter melayani sekitar 4000 penduduk. Selain sangat terbatas, keberadaan sebagaian besar fasiltas dan tenaga kesehatan tersebut ada di ibukota kecamatan, yang artinya semakin menutup akses komunitaskomunitas yang tinggal jauh dari pusat pemerintahan. Mengingat kondisi-kondisi di atas, tidak mengherankan jika Indeks Pembangunan Manusia (IPM) kabupaten dan kota di Kalimantan Timur masih tergolong rendah dibandingkan dengan daerah-daerah lain di Indonesia. Sebagai contoh, Kabupaten Kutai Kertanegara yang mempunyai APBD tertinggi di Indonesia hanya mampu berada diurutan 137 dari sekitar 400 kabupaten/kota di Indonesia.
Situasi tidak berbeda terpapar dalam pelayanan kesehatan. Fasilitas pelayanan sektor kesehatan juga masih minimal, terutama di kabupaten yang baru dimekarkan seperti Kutai Barat, Kutai Timur, Penajam Paser Utara, Malinau d an Nunu kan.
24
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 1, 2012
ARTIKEL
Tabel 1. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) 2006 Kabupaten/Kota IPM Ranking (Indonesia) Paser 0.723 98 Kutai Barat 0.705 178 Kutai Kertanegara 0.715 137 Kutai Timur 0.698 207 Berau 0.711 252 Malinau 0.715 138 Bulungan 0.725 91 Nunukan 0.720 113 Penajam Paser Utara 0.717 127 Balikpapan 0.763 12 Samarinda 0.755 23 Tarakan 0.749 35 Bontang 0.751 33 Kalimantan Timur 0.733 6 Sumber: Kalimantan Timur Dalam Angka 2008 Situasi-situasi di atas menjadi penegasan bahwa peningkatan APBD yang sangat fantastis dan pelimpahan kewenangan yang cukup luas kepada daerah belum secara signifikan berdampak pada penurunan tingkat kemiskinan. Fenomena ini menunjukkan bahwa pemerintah daerah Kalimantan Timur “gagal” memanfaatkan momentum desentralisasi dan keberlimpahan sumber daya. Sistem desentralisasi yang difasilitasi dengan UU No. 22/1999 dan penggantinya, UU 32/2004, serta desentralisasi fiskal melalui UU 25/1999, direvisi dengan UU 33/2004, membawa sebagian besar kewenangan pemerintahan dan memperderas arus fiansial ke Kaltim, namun limpahan tersebut nampaknya hanya ditangkap sebagai keuntungan oleh kelompok yang sangat terbatas, mereka yang berada dalam strata elit lokal dan mereka yang mengitarinya. Kondisi yang membenarkan pendapat yang skeptis terhadap desentralisasi, dan telah melahirkan profil tragedi dalam implementasi desentralisasi Kaltim sejauh ini.
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 1, 2012
TRAGEDI KALTIM: MENGAPA KEMISKINAN BERJAYA? Menilik informasi di atas, kemiskinan dan rendahnya indikator kesejahteraan adalah fakta di Kaltim sekarang ini. Pertanyaannya, mengapa kemiskinan berjaya di tengah keberlimpahan sumber daya d esentralisasi? Ap akah situ asi Kaltim m en u n ju kkan gag aln y a p en d ekat an desentralisasi? Atau, desentralisasi harus didekati dengan cara berbeda, sehingga tetap membawa dampak kesejahteraan dan penghapusan kemiskinan? Bagian berikut ini disusun untuk menghadirkan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut. Dari pelacakan penulis atas berbagai sumber dan ekstraksi dari berbagai pandangan narasumber di Kaltim, hadirnya kemiskinan dikarenakan akumulasi berbagai sebab, mulai dari warisan kebijakan masa lalu, faktor sosiologis dan historis, serta situasi pemerintahan daerah yang defisien. Dalam analisis ini, faktor terakhir dijelaskan lebih
25
Paradoks Desentralisasi dan Kesejahteraan : Kalimantan Timur Kaya Tapi Miskin Muhammad Ali Hapsah dan Wawan Mas’udi
luas dan lebih dalam dibandingkan dua faktor lainnya. Ini dikarenakan, penulis meletakkan argumentasi bahwa belum efektifnya desentralisasi dalam mengatasi kemiskinan dan membangun kesejahteraan lebih bersumber dari internal pemerintahan. Faktor warisan dan historis-sosiologis lebih bersifat minor dan menjadi konteks. a. Warisan kebijakan masa lalu Kemiskinan di Kaltim dan daerah-daerah lainnya di Indonesia, bagaimanapun juga tidak bisa diputus dari kebijakan-kebijakan di masala lalu. Sistem sentralisasi Orde Baru sangat lekat dengan pembangunan terpusat di Jakarta dan Jawa, dan menjadikan wilayah-wilayah Indonesia lainny a d alam situ asi tertin ggal. Kesenjangan pembangunan menjadi salah satu warisan hitam dari sistem tersebut. Luther Kombong, anggota DPD dari Kalimantan Timur, (dikutip dari Harijono and Eko, 2005) menganggap bahwa masalah kemiskinan di Kaltim adalah akibat kebijakan pemerintahan sebelumnya yang terlalu berorientasi ke Jawa (Java centrist) dan mengabaikan daerah-daerah lain. Senada dengan penyataan ini Richard Chauvel (1998) berpendapat bahwa situasi ini merupakan dampak dari sistem pengelolaan keuangan yang sangat sentralistik yang dikembangkan selama masa pemerintahan Order Baru, dimana hampir semua pendapatan yang dihasilkan oleh daerahdaerah dengan sumber daya alam yang melimpah seperti Kalimantan Timur mengalir ke Jakarta untuk membiayai pembangunan berdasarkan keputusan Jakarta.
sejarah pembentukan formasi sosial Kaltim. Kaltim adalah daerah sangat heterogen, bahkan mayoritas penduduk Kalimantan Timur adalah imigran dari berbagai daerah, lebih dari 80 persen penduduk (Bappeda, 2008). Terkait dengan kemiskinan, Wakil Walikota Samarinda yang juga mantan pejabat senior di Provinsi Kalimantan Timur, Nusyirwan Ismail (dikutip dari Harijono and Eko, 2005), menyatakan bahwa tingginya angka kemiskinan di Kalimantan Timur dipengaruhi oleh kedatangan imigran tanpa keahlian dari terutama dari daerah Jawa Timur, Kalimantan Selatan dan Sulawesi. Kedatangan mereka ke Kaltim dipandang telah menciptakan tekanan kuat bagi naiknya angka kemiskinan, dan membuat pemerintah daerah kesulitan menanganinya. Namun demikian, klaim yang sering diwacanakan oleh para politisi dan pejabat pemerintahan ini perlu diuji lebih dalam validitasnya, mengingat kontribusi ekonomi yang dibawa oleh mereka dalam menghidupkan Kaltim.
b. Sosiologis dan Kultural Dengan daya tarik ekonomi yang besar, Kaltim menjadi salah satu tujuan perpindahan penduduk. Imigrasi dari Jawa, Sulawesi Selatan, dan beberapa kawasan lainnya menjadi bagian dalam
Dalam kluster ini, factor lainnya adalah bunda masyarakat local yang dianggap menjadi penghalang efektifitas program penghapusan kemiskinan dan pengembangan kesejahteraan. Dalam wawancara penulis dengan sejumlah elit politik, pejabat daerah dan tokoh masyarakat, seolah ada consensus pandangan bahwa budaya lokal dan mental individu yang kurang mendukung turut mempengarui kemiskinan di Kalimantan Timur. Dijelaskan bahwa masyarakat Kalimantan Timur terutama penduduk asli akan selalu dalam posisi marjinal karena mereka merasa cukup puas dengan apa yang telah mereka miliki dan cenderung mengisolasi diri dari perubahan, dan cenderung mempunyai pola pikir jangka pendek dan instan. Pola
26
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 1, 2012
ARTIKEL
pikir ini membuat mereka menerima keaadaan apa adanya tanpa ada usaha keras memajukan kehidupan mereka. Manifestasi budaya kemiskinan juga terlihat pada proses pengumpulan data kemiskinan, dimana sekelompo k masyarakat secara sadar dan memaksakan diri untuk didaftarkan sebagai keluarga miskin hanya untuk mendapatkan manfaat dari bantuan pemerintah. Namun demikian, kondisi masyarakat semacam ini semestinya tidak disalahkan, karena adalah tugas pemerintah daerah untuk melakukan transformasi pola pikir yang bisa menopang pengembangan kualitas kesejahteraan. c. Defisiensi pemerintahan lokal Ketika kemiskinan masih membelit dan kesejahteraan tak kunjung hadir di tengah melimpahnya sumber daya kewenangan dan keuangan, maka perhatian perlu kita pusatkan pada pemerintah daerah sebagai pemegang kekuasaan tersebut. Melalui penelitian di lapangan dan analisa atas berbagai sumber, bekerjanya pemerintahan daerah di Kaltim dalam menyelenggarakan desentralisasi masih dipenuhi dengan sejumlah defisiensi. 1. Inkonsistensi pemerintah daerah dalam pelaksanaan pembangunan. Dalam dokumen perencanaan Kalimantan Timur, sangat jelas terlihat bahwa program prioritas pembangunan daerah mencakup tiga hal: pengembangan SDM, pembangunan infrastruktur dan pengembangan pertanian. Ketiga program prioritas ini merefleksikan persoalan mendasar yang dihadapi Kalimantan Timur dalam beberapa dekade terakhir dan diyakni bahwa konsistensi dalam pelaksanaan program ini akan mampu mengangkat tingkat kesejahteraan masyarakat.
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 1, 2012
Sayangnya, dalam tahap implementasi seringkali terjadi distorsi, yaitu ketika program lima tahunan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) d iterjemahkan kedalam program tahunan dalam bentuk APBD. Dengan kata lain, ada ketidakkonsistenan dalam pelaksanaan perencanaan pembangunan. Benturan kepentingan dan proses perencanaan anggaran yang sangat elitis menjadi sumber dari ketidakkonsistenan ini. Persoalan konsistensi juga dipengaruhi oleh politik tawar-menawar yang terjadi dalam proses pengambilan keputusan. Pertimbangan politik yang mendominasi proses pengambilan kebijakan yang melibatkan eksekutif dan legislatif seringkali mengabaikan pendekatan yang mengedepankan ra sion al ita s. Akib atn y a b an y ak program pembangunan yang tidak sejalan dengan program prioritas yang telah ditetapkan dalam dokumen perencanaan. Dalam banyak kasus, pemerintah daerah lebih memprioritaskan pembangunan sarana perkantoran, fasilitas olahraga, hotel, dll dengan anggaran yang fantastis, sementara pembangunan jalan yang menjadi urat nadi perekenomian masyarakat terabaikan. Kecenderungan pemerintah daerah untuk membangun proyek-proyek mercusuar tidak terlepas dari budaya politik Orang Kaya Baru (OKB) yang senang mencari prestise. Kecenderungan ini juga penuh dengan muatan politik dari seorang kepala daerah yang ingin menunjukkan keberhasilannya dalam rangka meraih simpati masyarakat untuk mengamankan karir politiknya
27
Paradoks Desentralisasi dan Kesejahteraan : Kalimantan Timur Kaya Tapi Miskin Muhammad Ali Hapsah dan Wawan Mas’udi
dan untuk meninggalkan “monumen” yang bisa dikenang ketika sudah tidak lagi berkuasa. Tidak fokusnya antara rencana dengan imp l e me n ta si ju ga d i s eb ab kan implikasi negatif demokratisasi di tingkat lokal yang mendorong "persaingan politik" antara ekesekutif d an legislatif. Persaingan in i berdampak kepada perancangan dan pelaksanaan program pembangunan. Banyak program yang tidak termasuk dalam skala prioritas dan di luar rencana induk pemerintahan daerah, tetapi dilaksanakan untuk mengakomodasi tuntutan dari kedua belah pihak. Pihak eksekutif mengklaim bahwa kuatnya tekanan politik (intervensi) dari DPRD dalam proses perencanaan pembangunan menyulitkan eksekutif untuk konsisten dalam melaksanakan program pembangunan yang telah dituangkan dalam dokumen p er en can a an . D ari p a n d an ga n sejumlah anggota DPRD, menarik untuk dicatat bahwa di satu sisi pengawasan dari anggota dewan dianggap eksekutif sebagai "intervensi”, tetapi di sisi lain, legislatif berpandangan bahwa apa yang anggota DPRD lakukan adalah bagian dari tugas dan fungsi dewan sebagai pengawas dan juga dalam kerangka menjalankan peran DPRD yang mempunyai hak dalam penyusunan anggaran. Situasi ini mencerminkan belum adanya kesetaraan pandangan akan fungsi kelembagaan politik dan pemerintahan di daerah, yang berakibat pada tumpang tindih fungsi kelembagaan. Ketidak-konsisten perencanaan dan pelaksanaan juga sebagai dampak “ketidakstabilan” politik lokal yang
28
dipicu oleh perubahan kepemimpinan daerah, yang biasanya diikuti oleh pergeseran pada posisi-posisi penting birokrasi daerah. Hal ini membuat birokrasi terjerumus dalam intrik-intrik politik, yang pada gilirannya mempengaruhi kesinambungan program pembanguna daerah dan mengaburkan fokus pembangunan kesejahteraan. Keberlanjutan program yang telah direncanakan oleh pemerintah atau pejabat sebelumnya seringkali terhenti, karena setiap pemimpin atau pejabat cenderung memiliki prioritas yang berbeda. Meskipun demokratisasi membawa inspirasi baru bagi keterlibatan masyarakat dalam dinamika pemerintahan daerah, namun proses yang terinstrumentasi dalam Pilkada langsung Kepala Daerah juga memberikan kontribusi terhadap persoalan yang ada. Dalam Pilkada, untuk memobilisasi dukungan misalnya, calon kepala daerah akan m en a wa rkan ja n ji -j an j i kep ad a masyarakat, dan jika terpilih maka akan berusaha memenuhi agenda mereka berdasarkan janji-janji yang disampaikan. Pelaksanaan janji ini seringkali harus mengorbankan program pembangunan yang telah dimulai oleh pemerintahan sebelumnya. Faktor inkonsistensi selanjutnya terletak di level pelaksana, dimana sumber daya aparatur daerah yang lemah, tidak hanya dari sisi kapasitas teknis namun juga komitmen dan pemahaman akan tanggungjawab publik yang melekat pada statusnya. Sistem sentralisasi yang diadopsi oleh rezim Orde Baru tidak mendorong pemerintah daerah dan masyarakat lokal untuk lebih kreatif dan inovatif
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 1, 2012
ARTIKEL
karena pemerintah daerah hanya bisa mengeksekusi apa yang diperintahkan dan telah diputuskan oleh pemerintah pusat. Perencanaan pembangunan di tingkat lokal ditentukan di Jakarta, sehingga daerah tidak memiliki kesempatan untuk menginisiasi suatu program dan akibatnya pemerintah daerah tidak punya keterampilan yang memadai dalam merumuskan kebijakan pembangunan. Ironisnya, desentralisasi hadir bagaikan revolusi, yang ketika dilaksanakan sebagian besar birokrat daerah baik di tingkat provinsi maupun kabupaten dan anggota DPRD tidak bersiap untuk menangkapnya. Akibatnya, pemerintah daerah di wilayah Kaltim kewalahan dan bingung untuk memanfaatkan kewenangan dan anggaran yang telah diberikan kepada mereka, dan ini berdampak jelas pada banyaknya program yang dilaksanakan tidak melalui proses perencanaan yang baik, dan orientasi pembangunan yang didorong oleh motif menghabiskan anggaran yang telah dialokasikan. Kesuksesan pembangunan dan pemerintahan adalah daya serap anggaran, dan bukan capaian substantif. Tidak mengherankan jika
pemerintah daerah lebih cenderung membangun proyek-proyek fisik yang menelan anggaran yang cukup besar, sementara kemanfaatannya sampai saat ini masih tidak jelas. Be n tu k n y a ta d a ri k et id ak konsistenan pemerintah daerah dalam melaksanakan program prioritas tergambar dalam pengalokasian anggaran. Dari dokumen APBD Kalimantan Timur, dapat diketahui bahwa dalam periode delapan tahun terakhir (2000 - 2008), tren semua pengeluaran pemerintah daerah Kalimantan Timur, yang meliputi: belanja pegawai, belanja barang dan jasa, belanja modal, belanja hibah dan pengeluaran tak terduga mengalami peningkatan seiring dengan kenaikan APBD yang fantastis. Seperti yang terlihat pada Grafik 2, proporsi ratarata APBD yang dialokasikan untuk belanja modal mencapai hingga 41 persen dari total pengeluaran. Kemudian diikuti oleh hibah dan subsidi sebesar 36 persen. Sementara untuk belanja pegawai, dan belanja barang dan jasa mencapai hingga 11 persen.
Grafik 2. Tren Penggunaan APBD Kalimantan Timur Menurut Jenis Belanja 2000 – 2008
Sumber: Dokumen APBD Kalimantan Timur Periode 2000 - 2008
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 1, 2012
29
Paradoks Desentralisasi dan Kesejahteraan : Kalimantan Timur Kaya Tapi Miskin Muhammad Ali Hapsah dan Wawan Mas’udi
Meskipun persentase anggaran yang dialokasikan untuk belanja modal terlihat cukup besar, sulit untuk mangatakan bahwa belanja APBD telah berorientasi pada belanja pembangunan (development expenditure) ketimbang belanja aparatur (employee expenditure). Alasannya adalah bahwa dalam belanja
modal dan belanja hibah dan subsidi, juga terdapat belanja untuk keperluan pegawai. Pengadaan kendaraan untuk para elit birokrat, pembangunan rumah dinas dan fasilitas penunjang lain untuk para pejabat pemerintah dan anggota DPRD juga dialokasikan melalui belanja modal.
Grafik 3. Tren Perkembangan Jumlah APBD, Belanja Pembangunan, Belanja Pegawai dan Jumlah Pegawai
Sumber: Dokumen APBD Kalimantan Timur Periode 2000 – 2008 Pada grafik di atas terlihat bahwa dalam kurun waktu delapan tahun terakhir, alokasi anggaran untuk pengeluaran pembangunan menunjukkan tren yang fluktuatif bahkan cenderung mengalami penurunan pada 2008, meskipun pada periode yang sama, APBD menunjukkan peningkatan yang signifikan. Menariknya, ada peningkatan secara konsisten dalam pengeluaran aparatur, padahal pada periode yang sama, jumlah pegawai cenderung mengalami penurunan. Hal ini menunjukkan bahwa telah terjadi kenaikan belanja pegawai seiring dengan adanya peningkatan APBD. Peningkatan anggaran untuk belanja
30
pegawai mendapat tanggapan dari berbagai elemen masyarakat. Carolus Tuah (dikutip dalam Kaltim Post, 2010b) mengklaim bahwa dalam tiga t ahu n terakhir telah terjad i peningkatan yang signifikan dalam alokasi anggaran untuk belanja birokrat. Namun, peningkatan ini tidak dapat merespon harapan masyarakat yang menuntut pelayanan publik yang lebih baik. Besarnya pengeluaran untuk urusan internal pemerintahan, dan bukan untuk program penentasan kemiskinan juga terlihat dalam grafik 4 dibawah, yang menjelaskan alokasi APBD
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 1, 2012
ARTIKEL
berdasarkan urusan pemerintahan. Terlihat dengan jelas bahwa sebagian besar anggaran dialokasikan untuk urusan administrasi, yaitu mencapai sekitar 61 persen. Anggaran tersebut digunakan untuk membiayai belanja para birokrat seperti belanja gubernur, wakil gubernur, sekretaris daerah dan para anggota DPRD. Sementara alokasi anggaran untuk Satuan Kerja Pemerintah Daerah (SKPD) yang secara langsung memberikan pelayanan kepada masyarakat, seperti urusan pendidikan, kesehatan, pekerjaan umum dan perumahan, dan sektor
ekonomi kerakyatan terlihat masih relatif rendah, yaitu kurang dari 10 persen. Dari jumlah persentase anggaran yang dialokasikan untuk sektor tersebut, sekitar 64 persen digunakan untuk membiayai belanja aparatur di masing-masing SKPD, dan sisanya dialokasikan untuk belanja pembangunan. Hal ini menunjukkkan bahwa anggaran yang ada lebih banyak dinikmati oleh para birokrat ketimbang dialokasikan untuk pembangunan yang berdampak langsung kepada seluruh masyarakat.
Sumber: Dokumen APBD Kalimantan Timur Periode 2008 Gambar 4. Alokasi APBD Kalimantan Timur Menurut Urusan Pemerintahan Analisis alokasi anggaran lokal di atas menegaskan bahwa hampir tiga perempat anggaran daerah dialokasikan untuk belanja aparatur, tidak konsisten dengan program u n ggu lan u n tu k p en i n gkat an kesejahteraan rakyat sebagai amanah langsung desentralisasi. 2. Inefisiensi dalam pengelolaan Anggaran Inefisiensi dalam pengelolaan anggaran daerah juga dianggap sebagai salah
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 1, 2012
satu faktor yang memberikan kontribusi terhadap persoalan mengapa anggaran yang besar tidak memberikan dampak yang signifikan terh adap upaya p en gu rangan kemiskinan. Contoh nyata yang mendukung argumentasi ini adalah kenyataan bahwa telah terjadi peningkatan jumlah kasus korupsi yang melibatkan pejabat penting pemerintah daerah baik eksekutif maupun legislatif. Dalam lima tahun terakhir, beberapa pejabat penting
31
Paradoks Desentralisasi dan Kesejahteraan : Kalimantan Timur Kaya Tapi Miskin Muhammad Ali Hapsah dan Wawan Mas’udi
daerah tersangkut persoalan hukum terkait dengan korupsi dana APBD. Misalnya, mantan Gubernur Kalimantan Timur, Suwarna A.F. divonis 1,5 tahun kurungan penjara untuk kasus korupsi pengembangan lahan sawit sejuta hektar di daerah perbatasan. Yang paling mengejutkan adalah korupsi di kalangan pejabat kab u p at en K u ta i K erta n eg ara , termasuk mantan Bupati, Syaukani H.R. dan wakilnya Samsuri Aspar, Ketua DPRD Kukar, Setiabudi dan beberapa pejabat lainnya. Syaukani H.R. divonis bersalah melakukan tindakan korupsi dana bantuan sosial dan pembangunan bandar udara di T en g ga ron g. S y au ka n i d ijatu h i hukuman selama enam tahun penjara meskipun akhirnya mendapatkan pengampunan (grasi) dari Presiden setelah dinyatakan mengalami sakit permanen. Tribun Kaltim (2010) barubaru ini melaporkan bahwa 22 mantan anggota DPRD Kutai diduga melakukan "Korupsi berjamaah" dana operasional DPRD yang dialokasikan dalam APBD selama mereka menjabat sebagai anggota dewan pada tahun 2004 2009. Sebuah survei terbaru tentang Indeks Persepsi Korupsi yang dilakukan oleh Transparency International Indonesia (TII) menunjukkan bahwa Samarinda, ibukota provinsi Kalimantan Timur dikategorikan sebagai salah satu daerah yang paling korup diantara kabupaten/kota di Indonesia (Kaltim Post, 2011). Survei tersebut juga menyatakan bahwa pemerintah kabupaten dalam wilayah Kalimantan Timur termasuk pemerintah provinsi juga memiliki masalah korupsi. Hasil dari survei ini menegaskan bahwa korupsi masih mewarnai praktek birokrat di kalangan pejabat
32
pemerintah daerah di Kalimantan Timur. Hasil survei tersebut spertinya memvalidasi laporan BPKP tentang hasil audit anggaran pemerintah provinsi dan kabupaten se Kalimantan Timur banyak yang mendapat klasifikasi disclaimer. Seperti dilansir Kaltim Post (2010), BPK meng-kategorikan laporan pertanggung-jawaban APBD Kutai Kertanegara disclaimer karena banyaknya temuan yang meyakinkan bahwa beberapa SKPD tidak bisa memberikan laporan pertanggungjawaban keuangan secara rasional. Problem yang sama juga terjadi di sebagian besar pemerintah kabupaten di Kalimantan Timur. Hal ini menegaskan bahwa ada masalah serius dalam pengelolaan keuangan pemerintah. Memahami persoalan-persoalan di Kaltim tersebut, keyakinan para p erancan gan d esen tralisasi akan lahirnya kesejahteraan masyarakat nampaknya menemukan kenyataan pahit. Desentralisasi memang telah merubah wajah Kaltim dan memungkinkan akselerasi berbagai sektor, namun kemanfaatan perubahan tersebut masih jauh dari jangkauan masyarakatnya. Pergeseran sentralisasi ke desentralisasi tidak serta merta menghilangkan budaya birokrasi pemerintahan Orde Baru yang sarat dengan KKN, bahkan telah turut membawa kebiasaan penyimpangan tersebut ke daerah. Transfer kewenangan dan anggaran ke daerah juga diikuti dengan transfer praktek KKN ke daerah, dan ini terjadi karena desentralisasi tidak serta merta menghasilkan demokratisasi, dalam makna penguatan kontrol publik dalam
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 1, 2012
ARTIKEL
menghasilkan tata kelola pemerintahan yang baik. Kaltim membenarkan pendapat kelompok skeptis yang diuraikan di bagian kerangka analisa, namun tentu saja kita masih berharap ada perubahan signifikan di masa datang.
dipertimbangkan oleh pemerintah daerah untuk mendorong implementasi desentralisasi yang bervisi kesejahteraan, yaitu:
Perlu menerapkan kebijakan “pengarusutamaan kemiskinan” (poverty mainstream policy) dalam proses perencanaan pembangunan daerah dan penyusunan anggaran. Kebijakan ini diperlukan untuk memastikan agar setiap program yang direncanakan oleh pemerintah daerah memberikan dampak kepada kelompok masyarakat miskin. Dalam banyak kasus, program yang diklaim oleh pemerintah daerah sebagai bagian dari kebijakan untuk memerangi kemiskinan seringkali kebijakan yang bersifat umum dan berlaku untuk semua orang tanpa secara spesifik menargetkan kaum miskin. Oleh karena itu, untuk memastikan bahwa semua programprogram pembangunan yang diusulkan oleh pemerintah daerah memenuhi prinsip-prinsip "pro-poor program" dan "pro poor budgeting" maka semua program yang diusulkan harus melalui proses penilaian dampak terhadap orang miskin (poverty impact assessments). Dengan demikian diharapkan semua program-program pembangunan yang diusulkan oleh pemerintah daerah akan menghasilkan kebijakan yang memihak kepada orang miskin (pro poor policy).
Pengembangan sumber daya manusia dan peningkatan profesionalisme aparatur pemerintah daerah menjadi pekerjaan rumah yang perlu mendapat perhatian serius dari pemerintah daerah. Seiring dengan meningkatnya tanggung jawab dan wewenang pemerintah daerah, upaya peningkatan kapasitas pemerintah daerah juga menjadi sangat penting. Tuntutan ini sejalan dengan semangat "reformasi", yang secara masif
PENUTUP Kasus Kaltim adalah potret dari sebagain besar daerah di Indonesia pasca desentralisasi, dimana implementasi otonomi daerah yang sudah berjalan hampir satu dekade belum memberikan dampak yang signifikan terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat. Belajar dari Kaltim, kegagalan Pemerintah Daerah memanfaatkan peluang ini disebabkan oleh: (1) Ketidakkonsistenan pemerintah daerah dalam melaksanakan program dan kegiatan yang telah tertuang dalam dokumen perencanaan yang ditandai dengan gagalnya pemerintah daerah dalam melaksanakan program skala prioritas yang telah ditentukan; (2) Mekanisme pengambilan kebijakan sangat elitis dan belum mampu menggali apa sesungguhnya yang menjadi aspirasi masyarakat dan pengambilan keputusan ditingkat ekesekutif dan legislatif cenderung lebih didominasi pertimbangan politik ketimbang pertimbangan profesionalisme teknokratis, partisipatif dan bottom up; (3) Kebocoran APBD yang s eh ar u sn y a d ap at d i gu n akan u n tu k membiayai program kemiskinan menjadikan pengunaan anggaran menjadi tidak efektif dan efisien untuk menangani persoalan kemiskinan di daerah; dan (4) warisan pembangunan yang dikembangkan oleh rezim Orde Baru yang sangat sentralistik yang telah melahirkan lebarnya ketimpangan. Mengingat beberapa permasalahan di atas, dari refleksi penulis terhadap fenomena Kaltim, beberapa kebijakan yang perlu
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 1, 2012
33
Paradoks Desentralisasi dan Kesejahteraan : Kalimantan Timur Kaya Tapi Miskin Muhammad Ali Hapsah dan Wawan Mas’udi
34
disuarakan pasca kejatuhan rezim Orde Baru, yaitu perubahan mendasar dalam manajemen pemerintahan. Dengan kondisi tersebut, para pejabat pemerintah daerah diharapkan untuk meningkatkan kapasitas dan keterampilan mereka untuk merespon peningkatan tanggung jawab yang telah didelegasikan, dan juga untuk memenuhi tuntutan masyarakat yang menginginkan pelayanan publik yang lebih baik. Pada saat yang sama, pemerintah daerah harus memiliki komitmen untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia masyarakat lokal, karena civil society hanya akan bisa melibatkan diri atau terlibat dalam proses pembangunan jika mereka memiliki kapasitas yang memadai. Pengembangan kapasitas individu dapat dilaksanakan melalui lembaga pendidikan formal dan informal bersamaan dengan penguatan lembaga social politik yang konsen terhadap persoalan kemiskinan. Dengan pendidikan dan pengetahuan yang memadai secara perlahan-lahan budaya lokal yang kurang responsif terhadap kemajuan akan terelimir dan tergantikan dengan budaya yang menghargai semangat persaingan yang sehat. Pengawalan konsistensi kebijakan melalui penguatan kontrol masyarakat sipil dan kekuatan sosial lainnya. Inkonsistensi pemerintah daerah dalam pelaksanaan program pembangunan menjadi bahasan penting dalam tulisan ini. Pada dasarnya program pembangunan yang dicanangkan oleh pemerintah daerah telah mengakomodasi prioritas pembangunan yang ditetapkan dalam dokumen perencana an. Programprogram tersebut juga relevan dengan permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat Kalimantan Timur. Dengan kata lain, rencana program pembangunan daerah yang dihasilkan melalui berbagai
pendekatan sesungguhnya telah merespon permasalahan mendasar yang dihadapi masyarakat, yaitu rendahnya kualitas SDM dan kurangnya infrastruktur dasar. Namun demikian, komitmen yang rendah dari para pengambil kebijakan dalam tahapan pelaksanaan program seringkali berdampak negative terhadap output yang diharapkan dari program yang telah direncanakan. Oleh karena itu, selain program jangka panjang dalam bentuk penguatan kapasitas individu dan institusi sosial and politik lokal sebagai agen perubahan di daerah, perlu komitmen bersama dari semua stakeholders untuk secara sungguhsu nggu h menu mbuh kan bud aya akuntabilitas publik dalam melaksanakan program pembangunan. Dalam kerangka demokrasi yang sudah maju, konsekwensi dari sebuah akuntabilitas dapat terlihat dalam Pemilihan Umum (Pemilu), dimana rezim yang gagal memenuhi janji akan ditinggalkan oleh konstituennya dan digantikan dengan rezim baru. Dalam transisi demokrasi seperti di Indonesia, dimana akuntabilitas melalui Pemilu belum bisa berjalan secara efektif maka diperlukan upaya yang sungguh-sungguh dari semua pemangku kepentingan untuk mendorong tumbuhnya budaya akuntabilitas publik dalam penyelengaraan pemerintahan dan pembanguan. Kalau dianggap penting, perlu suatu kerangka regulasi yang mengatur secara ketat konsekwensi bagi para pengambil kebijakan jika mereka gagal menjaga konsistensi pelaksanaan program pembangunan yang secara politik telah disetujui oleh eksekutif dan badan legislatif di daerah. Saya berpendapat bahwa akuntabilitas publik yang berjalan dengan baik dan penerapan regulasi yang ketat akan membantu untuk mengurangi distrorsi dalam proses pengambilan keputusan. Dengan
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 1, 2012
ARTIKEL
demikian, konsistensi dalam pelaksanaan program pembangunan daerah bisa terus terjaga dan hasilnya dapat secara signifikan berdampak pada peningkatan kesejahteraan masyarakat lokal. Revitalisasi implementasi desentralisasi memang tidak sederhana, dan juga tidak bisa semata-mata dengan melakukan instrumentasi secara teknokratis atas rekomendasi-rekomendasi tersebut. Bagaimanapun juga, desentralisasi hadir dalam struktur sosial dan politik yang sudah terbentuk di sebuah masyarakat. Problema utama dari struktur ini adalah karakter patronase yang masih kokoh, dan bahkan semakin kokoh dengan hadirnya sumber daya desentralisasi. Tujuan desentralisasi untuk menghadirkan ukuran kesejahteraan dan penghapusan kemiskinan karenanya sangat ditentukan oleh kesanggupan segenap komponen demokrasi di tingkat local untuk mengkonsolidasikan diri, mengimbangi karakter patronase yang dipelihara oleh elitelit politik dan ekonomi. Tanpa perimbangan tata kuasa tersebut, niscaya desentralisasi akan terjebak dalam lingkaran penyimpanganpenyimpangan kekuasaan. (***)
REFERENSI Agustianto (2008) Kekayaan Alam dan Kemiskinan/Natural Resources and Poverty. http://www.pesantrenvirtual.com/ind ex.php?option=com_content&task=vie w&id=1194&Itemid=5 (accessed 16 June 2008). Aspinall, E. and G. Fealy (2003) Local Power and Politics in Indonesia : Decentralization and Democratization. Singapore: Institute of Southeast Asian Studies. Bappeda (2008) Kalimantan Timur Dalam Angka/Kalimantan Timur in Figures. Samarinda: Bappeda and BPS.
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 1, 2012
Bappeda (2010) Kalimantan Timur Dalam Angka Samarinda: Bappeda dan BPS Kalimantan Timur. Bardhan, Pranab and Dilip Mookherjee. 2006. Decentralization and Local Governance in Developing Countries: A Comparative Perspective. Cambridge & Massachusetts: The MIT Press. Blair, H. (2000) 'Participation and Accountability at the Periphery: Democratic Local Governance in Six countries', World Development 28: 2139. Blunt, P. and M. Turner (2007) 'Decentralization, Decontration, and Poverty Reduction in the Asia Pacific', pp. 115 - 31 in G.S. Cheema and D.A. Rondinelli (eds) Decentralizing Governance: Emerging Concepts and Practices. Washington D.C: Brookings Institution Press. Bossuyt, J. and J. Gould (2000) Decentralisation and Poverty Reduction: Elaborating the Linkages. Maastricht: ECDPM. http://www.oneworld.org/ecdpm/pm b/b12gb.htm. BPS (2007) Produk Domestik Regional Bruto Kalimantan Timur 2000-2006/East Kalimantan Gross Regional Domestic Product. Samarinda: Badan Pusat Statistik. BPS Indonesia (2008) Distribusi Persentase Produk Domestik Regional Bruto Atas Dasar Harga Berlaku Menurut Provinsi, 2008. Jakarta BPS Indonesia. BPS Kaltim (2007) Indikator Kesejahteraan Rakyat Kalimantan Timur/Welfare Indicators of Kalimantan Timur. Samarinda: Badan Pusat Statistik. Chauvel, R. (1998). 'Habibie's Indonesia: Democracy or Unity?', presented at Crisis in Indonesia: Economics, Politics and Trade, Melbourne. Crook, R., and J. Manor. 1998. Democracy and Decentralization in South Asia and
35
Paradoks Desentralisasi dan Kesejahteraan : Kalimantan Timur Kaya Tapi Miskin Muhammad Ali Hapsah dan Wawan Mas’udi
West Africa. Cambridge: Cambridge University Press. DJPK (2011) Data APBD Tahun Anggaran 2010. Jakarta: Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan, Kemenkeu RI. Erb, Maribeth, and Priyambudi Sulistiyanto. 2009. Deepening Democracy in Indonesia?: Direct Elections for Local Leaders (Pilkada). Singapore: Institute of Southeast Asian Studies. Hadiz, Vedi R. 2004. "Decentralization and Democracy in Indonesia: A Critique of Neo-Institutionalist Perspectives." Development & Change no. 35 (4):697718. doi: 10.1111/j.0012155X.2004.00376.x. Hadiz, Vedi. 2010. Localising Power in PostAuthoritarian Indonesia: A Southeast Asia Perspective. Stanford, California: Stanford University Press. Hamongpranoto, S. (2006) Pulau Kalimantan dihuni 3,15 juta Penduduk Miskin/Kalimantan Island is inhabited 3.15 million of poor people. http://www.kaltimprov.go.id/content. php?kaltim=news&code=1&view=1424 Harijono and P. Eko (2005) Provinsi Kaya, Rakyatnya Banyak Yang Merana/Wealthy regions, many of their community are impoverished. Jakarta: http://www.kompas.com/KompasCetak/0504/09/Fokus/1671647.Htm. Harriss, John, Christian Stokke, and Olle Tornquist. 2004. Politicising Democracy: The New Local Politics of Democratisation. New York: Palgrave Macmillan. Hastoto (2007) PDRB Naik, Kemiskinan dan Pengangguran juga Naik/PDRB increases, poverty and unemployment also increase. Samarinda: Tribun Kaltim. http://www.tribunkaltim.com/Samarin da/PDRB-Naik-Kemiskinan-danPengangguran-Juga-Naik.html
36
Ishak, A.F. (2006) Awang: Kaltim Kaya tapi Miksin/Awang:Kaltim is wealthy but poor. Balikpapan: http://www. kaltimpost. web.id/berita/index.asp? Berita=ProKaltim&id=187716. Jutting, J., C. Kauffman, I. Mc Donnel, H. Osterrieder, N. Pinaud and L. Wegner (2004) Decentralization and Poverty in Developing Countries: Exploring the Impact. Paris: OECD Development Centre. Kaltim Post (2010) “Malu Dong Disclaimer Terus”: Terkait Penilaian Laporan Keuangan Kukar oleh BPK. Balikpapan: Kaltim Post. http://kaltimpost.co.id/index.php?mib =berita.detail&id=78678. Kaltim Post (2011) Amin: Terserah Persepsi Pengusaha. Balikpapan: Kaltim Post. http://kaltimpost.co.id/index.php?mib =berita.detail&id=79112. Rasyid, M.R. (2003) 'Regional Autonomy and Local Politics in Indonesia', pp. 63-71 in E.A.a.G. Fealy (ed.) Local Power and Politics in Indonesia: Decentralization and Democratization. Singapore: Institute of Southeast Asian Studies. Romeo, L.G. (2002) The Road from Decentralization to Poverty Reduction and the Role of External Assistance. United Nations Capital Development Fund. Rondinelli, D.A. and G.S. Cheema (1983) 'Implementing Decentralization policies', pp. 9-14 in G.S. Cheema and D.A. Rondinelli (eds) Decentralization and Development. Policy Implementation in Developing Countries. California: SAGE Publications. Saputra, A. (2010) MK Gelar Kasus Misran, Puluhan Simpatisan Siap Beri Dukungan. Jakarta: Detiknews. http://us.detiknews.com/read/2010/0 5/06/053059/1351987/10/mk-gelar-
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 1, 2012
ARTIKEL
kasus-misran-puluhan-simpatisan-siapberi-dukungan. Tendler, J. 1997. Good Government in the Tropics. Baltimore: John Hopkins University Press. Tribun Kaltim (2010) 22 Anggota DPRD Jadi Tersangka. Samarinda: Tribun Kaltim. http://issuu.com/tohirtribun/docs/091 1_gabung#print. UNDP (2003) Human Development Report Millennium Development Goals: A Compact Among Nations to End Human Poverty. New York: Oxford University Press.
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 1, 2012
Wekwete, K.H. (2007) 'Decentralization to Promote Effective and Efficient ProPoor Infrastructure and Service Delivery in the Least-Developed', pp. 242 - 91 in G.S. Cheema (ed.) Decentralizing Governance: Concepts and Practices. Washington, D.C: USA: Brookings Institution Press. World Bank. 2004. World Development Reports. New York: Oxford University Press.
37
Paradoks Desentralisasi dan Kesejahteraan : Kalimantan Timur Kaya Tapi Miskin Muhammad Ali Hapsah dan Wawan Mas’udi
Segenap Pimpinan dan Staf Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah Mengucapkan : DIRGAHAYU LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA Ke – 55 6 Agustus 1957 – 6 Agustus 2012
38
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 1, 2012
ARTIKEL
MENUJU OTONOMI DAERAH ADIL DAN SEJAHTERA : Revisi Model Otonomi Daerah Menuju Desentralisasi Asimetris Oleh: Ratri Istania1 dan Dedi Junaedi2 1. 2.
Dosen pada STIA LAN Jakarta Mahasiswa S1 Program Studi Manajemen Pembangunan Daerah STIA LAN Jakarta
Abstract Since 1999, Indonesia, after more than 13 years of implementing decentralization— political, administrative, and fiscal—programs is still struggling to reach its ultimate goals, which is to bring justice and welfare of the local people. The current implementation of symmetrical decentralized model contains a variety of weaknesses, unable to accommodate principle of efficieny and differences of ethnicities, religions, cultures. One model that can be proposed is asymmetrial decentralization. In this paper, the authors will compare the weaknesses in the past decentralization policy, Law 22/1924 dan 44/1950 to our current policy, Law 32/2004. So far, the findings indicate two problems of symetrical decentralization, which are politics fiscal issues. This paper will utilize national and international publications, as well as any available sources to support the argument. The outline of this paper will divided into five parts, they are as follows: first background; second; concept and definition of decentralization and regional autonomy; third, a review of the symmetrical decentralization versus asymmetrical model; fourth, critical review of the past decentralizion model as a lesson learned; and fifth, a reflection on symmetrical decentralization after 13 year; and the last is recommendation to implement asymmetrical decentralization. Keywords: Decentralization, Political Decentralization, Symmetical, and Asymmetrical Decentralization
Fiscal
Decentralization,
Intisasi Semenjak tahun 1999, Indonesia, setelah lebih dari 13 tahun pelaksanaan program desentralisasi di bidang politik, administratif dan fiskal, ternyata pemerintah Indonesia masih berjuang untuk mencapai tujuan utama, yaitu memberikan keadilan dan kesejahteraan bagi rakyat di daerah. Implementasi desentralisasi simetris mengandung berbagai kelemahan, antara lain adalah tidak mampu mendukung prinsip efisiensi dan perbedaan etnis, agama, budaya. Salah satu model yang dapat diajukan adalah desentralisasi asimetris. Dalam tulisan ini, penulis akan membandingkan kelemahan dalam kebijakan desentralisasi di masa lalu, UU 22/1924 Dan 44/1950 dengan UU 32/2004 di masa sekarang. Sejauh ini, temuan menunjukkan dua masalah desentralisasi simetris, yaitu politik dan fiskal. Tulisan ini akan memanfaatkan publikasi nasional dan internasional, serta berbagai sumber tersedia sebagai bahan pendukung argumentasi. Uraian di dalam tulisan ini terbagi menjadi lima bagian, yaitu: pertama, latar belakang; kedua, konsep dan definisi desentralisasi
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 1, 2012
39
Menuju Otonomi Daerah Adil dan Sejahtera : Revisi Model Otonomi Daerah Menuju Desentralisasi Asimetris Ratri Istania dan Dedi Junaedi
dan otonomi daerah; ketiga, tinjauan model simetris versus desentralisasi asimetris; keempat, tinjauan kritis model desentralisasi masa lalu sebagai pelajaran yang dapat dipetik, dan kelima, refleksi tentang desentralisasi simetris setelah 13 tahun, dan terakhir adalah rekomendasi untuk melaksanakan desentralisasi asimetris. Kata Kunci: Desentralisasi, Desentralisasi Politik, Desentralisasi Fiskal, Desentralisasi Simetris dan Asimetris.
DESENTRALISASI DULU DAN SEKARANG Politik desentralisasi di Indonesia telah melampaui masa panjang pasang dan surut sesuai dengan dinamika perkembangan jaman itu sendiri. Semenjak model desentralisasi pertama kali diperkenalkan oleh penjajah Belanda melalui Decentralisatie Wet pada tanggal 23 Juli 1903 (Kaho, 1998:21), sampai pada regulasi terbaru yaitu Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah (UU 32/2004), rentang waktu tersebut dilalui dengan perdebatan terpusat pada dua isu sentral, pembagian kewenangan politik dan perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Dua isu selalu mengemuka, membuat hubungan pemerintah pusat dan pemerintah daerah menjadi renggang bahkan “berdarahdarah”. Secara umum, di negara mana pun di dunia, bandul politik pembagian kewenangan negara selalu bergerak di antara dua kutub utama yaitu sentralisasi dan desentralisasi. Ada negara yang “nyaman” menerapkan sistem sentralisasi penuh, desentralisasi penuh atau berada diantara keduanya. Apapun bentuk sistem yang dipilih tidak akan terlepas dari berbagai konsekwensi yang men giku ti nya, sebab men uru t Fesler (Hutchroft, 2001: 23), upaya mewujudkan desentralisasi secara total akan menghilangkan campur tangan negara sedikit demi sedikit, namun sebaliknya sentralisasi
40
total akan menghalangi kapasitas sebuah 1 negara untuk menjalankan fungsi-fungsinya . Belajar dari pengalaman sejarah pemerintahan daerah di berbagai negara, Bowman (Oentarto dkk, 2004: 7) berpendapat bahwa tidak ada satupun pemerintah dari suatu wilayah yang luas dapat menentukan kebijakan secara efektif ataupun dapat melaksanakan kebijakan dan programprogramnya secara efisien melalui sistem sentralisasi. Dari pandangan diatas dapat kita lihat betapa pentingnya pelimpahan atau penyerahan sebagian kewenangan pemerintah pusat baik dalam bidang politis, administratif, fiskal, ataupun bentuk-bentuk lainnya. Sama seperti halnya kondisi Indonesia bila dilihat dari perspektif dua kutub, sentralisasi dan desentralisasi, seperti disampaikan oleh Gadjong (2007: 196) bahwa desentralisasi di Indonesia, selalu berada diantara kedua kutub dengan berbagai variasi. Walaupun demikian, dari perkembangan sejarah panjang undang-undang pemerintahan daerah atau desentralisasi tersebut, terobosan penting terlihat dari implementasi UU 22/1999 dan UU 32/2004, secara nyata memberikan bentuk baru terhadap hubungan pemerintah pusat dan 1
Lihat James Fesler (1968: 371) yang mengatakan bahwa “total decentralization would require the withering away of the state, whereas total centralization would imperil the state’s capacity to perform its functions”
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 1, 2012
ARTIKEL
pemerintah daerah terkesan lebih adil, serta memberi harapan baru terhadap perkembangan politik, ekonomi dan sosial budaya masyarakat daerah. Dapat kita saksikan di beberapa wilayah, betapa pemerintah daerah dengan modal otonomi yang dimiliki, berhasil mengembangkan berbagai inovasi, terobosan, dan kreatifitas tertentu dalam pengelolaan pemerintahan. Di samping itu penyediaan pelayanan publik lebih manusiawi memacu partisipasi warga dalam pembangunan. Sebagai contoh keberhasilan daerah ditandai oleh kebijakan para kepala daerah, seperti halnya Gamawan Fauzi, Menteri Dalam Negeri, sewaktu menjadi Bupati Kabupaten Solok berhasil mendorong pelayanan satu pintu. Demikan pula dengan Walikota Solo, Joko Widodo, berhasil mengatasi masalah pedagang kaki lima di kota solo tanpa melalui kekerasan. Ruang kebebasan dimungkinkan oleh dua perundang-undangan tersebut telah memberi harapan baru bagi masyarakat kecil di daerah memiliki kehidupan lebih adil dan lebih menyejahterakan. Namun demikian, kita pun tidak boleh menutup mata, setelah lebih dari 13 tahun semenjak desentralisasi politik, administrasi dan keuangan ini dilaksanakan-selain beberapa cerita sukses diatas-secara umum hasil pelaksanaan desentralisasi belumlah maksimal jika tidak ingin dikatakan mengecewakan. Sistem pemerintahan yang ada saat ini tidak juga dapat meredakan ketegangan hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Belum lagi pelaksanaan otonomi semakin jauh dari semangat awal, yaitu untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat daerah. Bila dicari penyebab mengapa hal tersebut bisa terjadi, mungkin ada berbagai berbagai alasan dapat dikemukakan, namun secara garis besar dapat kita ambil kesimpulan anomali terjadi karena
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 1, 2012
pemerintah Indonesia belum menemukan formula tepat dalam menjalankan model desentralisasi. Berbagai regulasi mengatur tentang desentralisasi cenderung menyamaratakan perlakuan antara daerah yang satu dengan yang lain tanpa mempertimbangkan keragaman daerah. Kondisi seperti ini seolah mengulang peristiwa ketika pemberlakuan seragam terhadap seluruh daerah di dalam wilayah Negara Republik Indonesia melalui UU 1/1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah. Peraturan dengan nuansa uniformiteit atau seragam ternyata mendatangkan persoalan bagi daerah-daerah berada di kepulauan Jawa dan Madura dengan daerah-daerah di kepulauan non Jawa dan Madura. Kondisi keberagaman antara daerah di Indonesia masa sekarang dapat dilihat dari perbedaan potensi sumberdaya alam, perbedaan kapasitas sumberdaya manusia, maupun perbedaan karakteristik wilayah atau adat istiadat masyarakat. Akibat dari pemberlakuan model serba sama atau lebih lanjut dikatakan sebagai desentralisasi simetris, maka terjadilah anomali tersebut. Daerah memiliki sumberdaya alam dan sumberdaya manusia lebih baik dapat segera berpacu meningkatkan kesejahteraan masyarakat mereka, begitu sebaliknya bagi daerah yang miskin sumber daya. Akibatnya daerah-daerah seperti ini cenderung tertinggal di segala bidang sehingga pada akhirnya tidak mampu mengangkat kesejahteraan masyarakatnya. Melihat pembelajaran sejarah dan kenyataan yang ada, kehadiran model desentralisasi simetris tampaknya mengandung berbagai kelemahan, terutama kurang mampu mengakomodasi berbagai keragaman. Oleh karena itu, uraian berikut di bawah ini bermaksud untuk menawarkan konsep desentralisasi asimetris dengan berbagai modifikasi agar tujuan desentralisasi
41
Menuju Otonomi Daerah Adil dan Sejahtera : Revisi Model Otonomi Daerah Menuju Desentralisasi Asimetris Ratri Istania dan Dedi Junaedi
tercapai. Tulisan ini diturunkan ke dalam beberapa bagian, yaitu: pertama latar belakang seperti yang sudah dikemukakan di atas; kedua; penjelasan mengenai definisi desentralisasi dan otonomi daerah; ketiga, ulasan mengenai desentralisasi simetris versus asimetris; keempat, tinjauan kritis terhadap model desentralisasi masa lampau sebagai pembelajaran sejarah; keempat, evaluasi desentralisasi simetris setelah 13 tahun: mengulangi kesalahan masa lalu, dan terakhir di penutup, penulis menawarkan desentralisasi asimetris sebagai solusi. PENGERTIAN DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH Mas’ud Said (2005: 6) mendefinisikan desentralisasi sebuah rangkaian proses dikatakan lebih lanjut sebagai devolusi, bercirikan terjadinya pergeseran wewenang dari pemerintah pusat kepada pemerintah provinsi, kabupaten/kota dalam sektor publik. Dalam model pelaksanaan desentralisasi Oentarto (2004: 9-10) membaginya ke dalam empat bentuk, yaitu: 1. D e v o l u s i , d i w u j u d k a n d e n g a n pembentukan daerah otonom serta dibentuknya lembaga daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. 2. Dekon sen trasi, diwujudkan d en gan pembentukan instansi vertikal dan wilayah kerjanya disebut wilayah administrasi yang dapat mencakup satu atau lebih wilayah otonom. 3. Delegasi, dengan bentuk pemerintah pusat dapat mendelegasikan pelaksanaan suatu tugas tertentu kepada suatu lembaga atau unit pemerintah yang khusus dibentuk untuk keperluan dimaksud. 4. Privatisasi, penyerahan pelayanan kepada swasta murni dengan pemberian izin dan pengendalian dalam batas tertentu.
42
Sedangkan Otonomi daerah, seperti dikatakan oleh Conyers (Said, 2005: 5), dapat diartikan dalam berbagai bentuk tergantung pada kepentingan -kepentingan dan perspektif-perspektif dari masing-masing ahli pengamat. Pendapat yang menyandingkan definisi desentralisasi hampir sama dengan otonomi daerah, seperti halnya dikemukakan oleh Rondinelli dan Cheema (Said, 2005: 5), bahwa: Otono mi da e rah ada la h p ro se s pelimpahan wewenang perencanaan, pengambilan keputusan atau pemerintahan dari pemerintah pusat kepada organisasi-organisasi kepada unit-unti pelaksana daerah, kepada organisasi semi otonom dan parastatal, ataupun kepada pemerintah daerah atau organisasi non pemerintah. Di lain pihak, HAW Widjaja (2002:76) men gatakan b ah wa oton omi d aerah merupakan suatu kesatuan masyarakat hukum dengan batas-batas wilayah, dimana kewenangan pengurusan, pengaturan urusan rumah tangga masyarakat di wilayah hukum tersebut dilakukan berdasarkan inisiatif sendiri dalam bingkai negara kesatuan. Hampir senada dengan Widjaja, Oentarto dkk (2004: 8) mengatakan bahwa otonomi daerah tidak lain merupakan refleksi power sharing, yaitu pembagian atau distribusi kewenangan yang dilakukan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah dengan kebijakan desentralisasi. Selanjutnya, Gustav dan Stewart (Said: 6-7) mengidentifikasi tiga makna berbeda model pelaksanaan dari otonomi daerah: 1. Dekonsentrasi, dimana pemerintah pusat menempatkan para pegawainya di level pemerintah daerah.
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 1, 2012
ARTIKEL
2. Pendelegasian, dimana pemerintah pusat secara b ersyarat mend elegasikan kekuasaannya kepada pemerintah daerah n amu n d e n ga n t etap m e mi lik i kesanggupan untuk mengambil kekuasaan itu kembali dan secara keseluruhan tetap memiliki dominasi terhadap pemerintah daerah. 3. Devolusi, dimana pemerintah pusat secara aktual menyerahkan kekuasaannya kepada pemerintah daerah. Perbedaan antara desentralisasi dan otonomi daerah seringkali dipertukarkan penggunaanya dalam beberapa literatur tentang pemerintahan daerah, namun secara prinsip desentralisasi dapat disepakati dalam tulisan ini sebagai suatu proses penyerahan atau pelimpahan urusan dari pemerintah pusat ke daerah, sedangkan otonomi merupakan bentuk kewenangan yang disahkan melalui perundangan pada suatu daerah. DESENTRALISASI SIMETRIS VERSUS ASIMETRIS Desentralisasi simetris merupakan suatu sistem pembagian kewenangan tiap level pemerintahan, dari pusat sampai ke daerah, dimana terdapat suatu upaya sistematis untuk menduplikasi kewenangan dimiliki melalui pendekatan top down. Sebagai contoh, James Katorobo (2004: 11) mengatakan bahwa desentralisasi simetris biasanya ditandai dengan penempatan kelembagaan perwakilan di daerah yang hampir serupa dengan lembaga legislatif di level nasional. Begitu pula dengan penunjukan pejabat administratif di daerah yang memiliki mekanisme serupa dengan para pejabat di level pusat. Belum lagi, pengadilan di daerah merupakan satu mata rantai dengan pengadilan di tingkat nasional. Menurut Katorobo, pelaksanaan kebijakan desentralisasi simetris seperti contoh di atas merupakan perwujudan dari mekanisme
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 1, 2012
pemisahan kekuasaan dengan checks and 2 balances. Sementara itu, konsep desentralisasi asimetris sendiri merupakan evolusi dari konsep federasi asimetris yang diperkenalkan 3 oleh Charles Tarlton (Tillin, 2006: 48) . Menurut Tillin, ada dua bentuk federasi asimetris, pertama merujuk pada bentukbentuk bercirikan negara federasi, terutama menampilkan perbedaan antara unit-unit di dalam negara berdasarkan ukuran dan tingkat kesejahteraan, kebudayaan atau bahasa, dan perbedaan dalam pemberian otonomi, perwakilan dan tingkat pengaruh unit tersebut pada level federasi dari kewenangan melekat tersebut. Sedangkan ada juga yang disebut sebagai de jure asimetri, yaitu merujuk pada suatu bentuk kesepakatan tentang pembagian kekuasaan, level otonomi pada beberaap area kebijakan tertentu tapi tidak lainnya. Senada dengan Tarlton, Wehner menyampaikan bahwa pengaturan asimetris terbagi menjadi 2, yaitu de jure dan de facto. Namun, Wehner menambahkan bahwa desentralisasi asimetris ditujukan lebih kepada pembagian di negara kesatuan, dimana tidak ada pembagian otonomi secara penuh kepada level daerah atau sub nasional. Selain itu Wehner juga mengemukakan bahwa desain asimetris muncul karena alasan politis, yaitu untuk menggabungkan berbagai kepentingan etnis dan ketegangan antar wilayah, atau untuk alasan efisiensi demi 2
James Katorobo, “Decentralization and Local Autonomy For Participatory Democracy,” paper th dipresentasikan pada 6 Global Forum on Reinventing Government Towards Participatory and Transparent Governance, Seoul, Republic of Korea, pdf copy (24-27 Mei 205) 3 Seperti dikutip dari tulisan Tri Widodo W.U., “Balancing Decentralization and Deconcentration: Emerging Need for Asymmetric Decentralization in the Unitary States, Discussion Paper No.174 (GISD: Nagoya University, 2009)
43
Menuju Otonomi Daerah Adil dan Sejahtera : Revisi Model Otonomi Daerah Menuju Desentralisasi Asimetris Ratri Istania dan Dedi Junaedi
mencapai pengelolaan makro ekonomi lebih baik. disamping juga untuk kepentingan keterpadian sistem administrasi, memberdayakan level pemerintahan daerah dengan kemampuan tidak seragam dalam menjalankan fungsi dan kewenangan 4 mereka. Tipe awal dari model asimetris mengalami perkembangan dengan munculnya alternatif lain, yaitu administrasi asimetris dimana pelaksanaanya sejalan dengan dengan atu ran -aturan yang telah d iten tukan sebelumnya. Pentingnya kebijakan asimetris dalam rangka pelaksanaan desentralisasi disampaikan oleh Feldstein (1975), terutama dalam hal mengurangi penyeragaman kebijakan pusat sebagai tanggapan atas 5 berbagai permasalahan di daerah. Argumen tersebut diperkuat oleh Richard Bird (tahun: 15) yang mengatakan bahwa kebijakan asimetris bermanfaat untuk menangani masalah stabilitas politik disebabkan oleh perbedaaan antar daerah, walau dengan memberlakukan kebijakan asimetris tersebut dapat pula meningkatkan resiko daerah membayar lebih demi mendapatkan perlakuan khusus tersebut. Desentralisasi asimetris lebih banyak digunakan ketimbang desentralisasi simetris sebagai akibat dari kebutuhan akan efisiensi di bidang fiskal daripada faktor lainnya. Kepentingan efisiensi tersebut dirasakan lebih kuat karena terdapat perbedaan pengaturan kebijakan fiskal antara pemerintah pusat dan kelompok berbeda, atau individu, pemerintah di level bawah, yang hanya dapat ditangani melalui sudut pandang efisiensi. Walaupun demikian, Bird selanjutnya mengatakan 4
Richard Bird , “Asymmetric Fiscal Decentralization: Glue or Sovent?” Working Paper 3-9, pdf file (Andrew Young School of Policy Studies: Georgia State University, April 2003). 5 Ibid, Bird, hlm. 15
44
bahwa, tidak selamanya desentralisasi asimetris diperlukan untuk memenuhi argumentasi tentang efisiensi. seperti yang dikemukakan oleh Tiebout (1956), Oates (1972), dan lainnya, terutama berkenaan dengan penerapan sistem desentralisasi mengakomodasi perbedaaan selera untuk barang-barang dan layanan publik. Lebih lanjut, Bird mengatakan bahwa apabila memang pandangan penduduk tentang otonomi, kemerdekaan, dan kewenangan fiskal berbeda-beda ditinjau dari sudut pandang sejarah, kebudayaan, dan bahasa dari satu daerah ke daerah lainnya di suatu negara, maka argumen penerapan desentralisasi asimetris dapat dibenarkan . Pemberian otonomi secara asimetris, menurut Sumule (2003: 49) dapat diartikan sebagai kebebasan untuk mengatur dan mengurus diri sendiri, mengatur pemanfaatan kekayaan alam, bebas menentukan strategi pembangunan sosial, budaya, ekonomi, dan politik yang sesuai dengan karakteristik dan kekhasan sumberdaya manusia serta kondisi alam dan kebudayaan. Desentralisasi asimetris memberikan ruang bagi daerah dengan keragaman sumber daya manusia maupun alam antar daerah dalam suatu negara. Sehingga kemandirian daerah dapat didorong sedemikian rupa untuk keadilan dan kesejahteraan masyarakat di dalamnya. TINJAUAN KRITIS TERHADAP MODEL DESENTRALISASI MASA LAMPAU SEBAGAI PEMBELAJARAN SEJARAH Kebijakan desentralisasi di Indonesia, walau telah melewati rentang waktu panjang, mengalami perubahan berkali-kali, ternyata tidak secara otomatis merefleksikan aspirasi masyarakat. Fakta sampai saat ini bahwa bangsa ini terbangun atas dasar keragaman, namun selalu saja kebijakan desentralisasi mengabaikan semua itu. Bila menoleh sedikit ke belakang bagaimana dinamika kebijakan d esentralisasi p ern ah b erlaku, akan
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 1, 2012
ARTIKEL
ditemukan sebuah fakta menarik terjadi pada awal tahun 50-an ketika terjadi transisi dari Republik Indonesia Serikat (RIS) menuju Negara Republik Indonesia (NRI). Sebagai konsekwensi dari Konferensi Meja Bundar 27 Desember 1949, terjadi perubahan di dalam ketatanegaraan di Indonesia., dari semula berbentuk Negara Kesatuan menjadi Negara Federasi. Perubahan bentuk negara ini membawa dampak pada kebijakan yang mengatur tentang pemerintahan daerah. Di satu sisi di wilayah NRI, sebagai salah satu negara bagian meliputi pulau-pulau Jawa dan Madura, memberlakukan UU 22/1948 Tentang Pemerintahan daerah. Sementara di sisi Negara Indonesia Timur berlaku Staatblad Indonesia Timur No. 44/1950, meliputi daerah-daerah di luar pulau non-Jawa dan Madura. Transisi bentuk negara ke arah kesatuan tidak serta merta membuat pemerintah pusat segera melakukan perubahan kebijakan, semisal penyeragaman kebijakan tentang pemerintah daerah. Pemerintah pusat pada saat itu memperhatikan ketimpangan antara daerahdaerah di lingkup NRI dan daerah-daerah eks negara bagian RIS, sehingga 2 kebijakan dibiarkan berjalan bersamaan. Hal menarik pada kedua perundangan ini adalah perbedaannya dalam memandang desentralisasi. Undang-Undang. 22/1948 membagi kewenangan secara top down dan rinci sehingga memperkuat kontrol pusat terhadap daerah. Sebagaimana yang dikemukakan Oentarto dkk (2004: 78) bahwa ada 15 jenis urusan yang diberikan kepada pemerintah daerah tanpa memperhatikan tingkatan di antara satu dengan lainnya. Oentarto dkk. juga mengatakan bahwa terdapat pemerintah daerah tingkat III ternyata memiliki urusan sama dengan dimiliki pemerintah di level atasnya. Dengan demikan pemberian otonomi tidak memperhatikan kemampuan riil pemerintah
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 1, 2012
d aerah, n amu n leb ih d ikaren akan pertimbangan politis daripada sisi ekonomis. Sementara itu, Staatblad 44/1950 berlaku di wilayah Negara Indonesia Timur justru mengandung semangat berbeda dengan sifat desentralisasi bottom up, sangat memperhatikan keragaman dan aspirasi 6 s wap raja . D ari p a sal -p a sa l St aatb lad tersebut, Kaho (2002: 33-34) berkesimpulan bahwa pemberian otonomi pada daerahdaerah di Negara Indonesia Timur, dilakukan dengan memperhatikan kebutuhan rakyat sekaligus mempertimb angkan status kedudukan khusus dari swapraja yang ada. Penerbitan perundangan tersebut bukan tanpa alasan, karena sungguhpun pernah menjadi negara bagian dan berdiri sendirisendiri, namun dari segi kemandirian tata kelola pemerintahan, tingkat kesejahteraan masyarakat, dan sumber daya manusia tidak dapat disamakan dengan daerah-daerah di Pulau Jawa-Madura. Bila kita analisa perbedaan semangat yang terkandung pada kedua perundangundangan tersebut—terlepas dari latar belakang politik—sebenarnya lahir dari kondisi pada kedua wilayah yang memang berbeda dalam banyak hal. Di satu pihak, Sebagian daerah masuk dalam NRI, antara lain Jawa, Madura, Sumatera (minus Sumatera Timur) dan Kalimantan, terutama Jawa dan Madura, sudah terbiasa dengan pemberlakuan otonomi daerah sejak jaman pendudukan Hindia Belanda. Bila dilihat dari kaca mata ekonomi dan kapasitas sumber daya manusia, daerah-daerah tersebut juga lebih maju dari daerahdaerah di Negara Indonesia Timur (NIT), dimana para pegawai bekerja di pemerintahan merupakan para priyayi hasil didikan kaum penjajah, terbiasa melakukan pekerjaan administrasi. Sehingga 6
Swapraja merupakan penamaan daerah otonom selevel kabupaten/kota di wilayah Indonesia Timur
45
Menuju Otonomi Daerah Adil dan Sejahtera : Revisi Model Otonomi Daerah Menuju Desentralisasi Asimetris Ratri Istania dan Dedi Junaedi
dapatlah dimaklumi apabila model desentralisasi simetris lebih condong dipilih di masa tersebut. Di lain pihak, kebanyakan daerah swapraja di NIT sangat jauh tertinggal dalam segala bidang, baik pembangunan fisik maupun kapasitas sumber daya manusia. Se h in gg a b i sa d i mak lu mi j ika mod el desentralisasi cenderung lebih asimetris dengan mendengarkan aspirasi dan keinginan masyarakat hidup di wilayah tersebut. Diharapkan dengan adanya perlakuan khusus Staatblad 44/1950, daerah-daerah eks NIT dapat mengejar ketertinggalan mereka dengan daerah-daerah di lingkup NRI yang memberlakukan UU 22/194. Namun kedua undang-undang ini tidak berlaku lama sebab pemerintah pusat— dengan dalih penyeragaman —segera “diberangus” oleh pemerintah pusat seiring dengan pemberlakuan UUDS 1950, dengan cara menerbitkan UU 1/1957. Sifat uniformiteit atau keseragaman, undangundang ini mengabaikan keberagaman karena diberlakukan di seluruh wilayah Indonesia, mengabaikan sekaligus membatalkan semua perundangan sebelumnya. Penyeragaman dilakukan sangat tergesa -gesa tanpa mengantisipasi dampak yang mungkin terjadi semisal gejolak di level masyarakat di daerah akibat ketimpangan semakin tidak tertangani. Bentuk ketidakpuasan ini diwujudkan dengan “pembangkangan” di beberapa daerah seperti: Dewan Banteng di Sumatera Tengah, Dewan Gajah di Palembang, Dewan Manguni di Sulawesi Utara, pemberontakan Andi Aziz, maupun Kahar Muzakkar di Sulawesi Selatan. Walaupun pemerintah pusat menyebut aksi ini dengan pemberontakan atau pengkhianatan, namun penulis lebih suka menyebutnya sebagai protes pemimpin atau rakyat daerah terhadap ketidakbijaksanaan pusat karena karena
46
m en g ab ai kan a sp ek k ead ilan d a n kesejahteraan, serta aspirasi daerah. Dengan demikian, benang merah yang dapat kita tarik dari peristiwa masa lalu ini adalah bukti bahwa dentralisasi simetris secara paksa dilakukan serempak tanpa memperhatikan aspirasi dan keragaman daerah, cenderung berujung ketidakpuasan daerah, yang bila tidak hati-hati ditangani dapat memicu tuntutan untuk memisahkan diri. EVALUASI DESEN TRALIS ASI SIM ETRIS SETELAH 13 TAHUN: MENGULANGI KESALAHAN MASA LALU Tanpa terasa, semenjak tahun 1999, sudah 13 tahun pemerintah pusat menerapkan desentralisasi politik, administrasi dan fiskal kepada pemerintah daerah. Aturan perundang-undangannyapun sudah berkali-kali mengalami pergantian, perubahan, atau sekedar penambahan pasalpasal baru. Namun demikian, perubahan tersebut belum bisa secara maksimal mewujudkan harapan utama semangat desentralisasi yaitu meningkatkan keadilan dan kesejahteraan masyarakat daerah, serta meredakan ketegangan hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Pemberlakuan desentralisasi di Indonesia sangat ambigu dengan pemaksaan model desentralisasi simetris dengan usaha pemerintah pusat menempatkan diri sebagai pembina dari pemerintahan daerah melalui Kantor Kementerian Dalam Negeri. Namun di sisi lain, sebagai kompensasi atas keragaman antara daerah—mengingat ketimpangan keadilan dan kesejahteraan antara wilayah Timur dan Barat masih kentara—kebijakan perimbangan keuangan antara pusat dan daerah diciptakan dengan skema Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK). Skema DAU dan DAK secara tidak sengaja menumbuhkan perilaku asimetris pemerintah daerah untuk menjembatani ketimpangan
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 1, 2012
ARTIKEL
keadilan dan kesejahteraan dengan daerah lain walau terkesan “malu-malu”. Berbagai kelemahan, ketimpangan, dan ketidakjelasan model desentralisasi, antara simetris dan asimetris, terus mengemuka di level akademisi maupun praktisi pemerintahan. Dari hasil pengamatan penulis, perdebatan utamanya terfokus pada dua bidang, yaitu: 1. Ketimpangan di bidang desentralisasi politik, diantaranya: a. K e t i d a k j e l a s a n pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, serta antara pemerintah provinsi dengan pemerintah kabupaten/kota, mengakibatkan terjadinya tumpang tindih, perbedaan penafsiran, dan tarik menarik kepentingan diantara mereka. Upaya pemerintah untuk membagi urusan dengan mengeluarkan Peratu ran Pemerin tah 38/2007 Tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota (PP 38/2007), ternyata belum dapat menyelesaikan konflik yang terjadi. Hal itu terjadi karena PP tersebut juga mengandung multi tafsir, terutama mengenai pembagian urusan antara pemerintah provinsi dengan pemerintah kabupaten/kota. Padahal sejatinya pembagian urusan merupakan isu sangat penting dalam pelaksanan desentralisasi dan otonomi daerah, sebab pembagian urusan adalah jantungnya desentralisasi dan nafasnya otonomi daerah (Dwiyanto, 2009: 66). b. Ketidakjelasan status provinsi dan gubernur menempatkan provinsi berstatus daerah otonom berdampingan dengan status otonom
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 1, 2012
daerah kabupaten/kota. Padahal wilayah provinsi juga meliputi kabupaten/kota. Demikian juga dengan posisi gubernur, di satu sisi gubernur dipilih secara langsung sebagaimana halnya dengan bupati/walikota. Namun di sisi lain gubernur juga ditempatkan sebagai wakil pemerintah pusat di daerah. Lebih aneh lagi, walaupun berstatus wakil pemerintah pusat di daerah, gubernur tidak memiliki hubungan hirarki tegas dengan bupati/walikota. Kejelasan hirarki sangat penting karena dapat memperpendek dan mengefektifkan rentang kendali dan pengawasan pemerintah. Akan lebih efektif bila gubernur diberi wewenang yang kuat dan tegas dalam hal pengawasan, pengoordinasian, pembinaan, bahkan dalam hal reward dan punishment terhadap bupati/walikota, karena secara logika gubernur lebih mengetahui situasi dan kondisi daerahnya ketimbang pemerintah pusat. c. Pembuatan peraturan desentralisasi/ otonomi yang cenderung terpecahpecah dan cenderung bertentangan, baik pada lingkup lokal maupun nasional. Kecenderungan tidak padunya aturan tentang desentralisasi ini semakin menguatkan kenyataan yang ada, bahwa pemerintah tidak konsisten dalam hal pembuatan kebijakan. Ketidak konsistenan ini semakin diperparah dengan tidak adanya koordinasi diantara sesama lembaga/ kementerian. Ketid akonsisten an sangat sering dijumpai dalam pelaksanaan desentralisasi selama ini. Sebagai contoh, pemerintah pusat melalui penjelasan dari PP 38/2007 mencoba merinci pembagian urusan antara pemerintah pusat dengan
47
Menuju Otonomi Daerah Adil dan Sejahtera : Revisi Model Otonomi Daerah Menuju Desentralisasi Asimetris Ratri Istania dan Dedi Junaedi
pemerintah daerah, maupun antara p e m eri n tah p ro vi n s i d en gan pemerintah kabupaten/kota. Namun pesan dan semangat dibawa oleh PP ini sering tidak dapat diwujudkan karena banyak undang-undang sektoral (kementerian/lembaga) memiliki semangat berbeda dengan PP 38 /2007 tersebut. Ketika berhadapan dengan undang-undang, tentu saja PP 38/2007 menjadi macan ompong, sehingga tidak mampu mendorong pembagian kerja jelas antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. d. Semakin rendahnya profesionalisme aparatur daerah. Ada kecenderungan semakin menguatnya politisasi aparatur daerah diindikasikan dengan keterlibatan politik uang dalam pemilihan kepala daerah (pemilu kada), antara lain dengan menjadi tim sukses calon kepala daerah, atau penempatan pada jabatan berdasarkan afiliasi politik. Padahal UU 43/1999 Tentang Pokokpokok Kepegawaian, jelas-jelas melarang keterlibatan mereka dalam partai politik melalui prinsip netralisme pegawai pemerintahan. Akibat penyimpangan ini terjadi fragmentasi aparatur birokrasi di daerah, melemahkan pelayanan publik, juga melemahkan kapasitas apatur daerah sebagai salah satu pilar integrasi nasional. e. Pembagian kewen an gan men jad i urusan wajib dan urusan pilihan belum jelas dan cenderung seragam untuk seluruh daerah, menjadi salah satu penyebab utama kelemahan model desentralisasi yang berlaku sekarang ini. Akibatnya ketidakjelasan pembagian kewenangan, khusus urusan wajib dan pilihan, sering menimbulkan kesulitan pemerintah
48
daerah dalam penerapannya, karena karakteristik, potensi dan kemampuan daerah sangat berbeda-beda. 2. Ketimpangan dibidang ekonomi/fiskal a. Ketimpangan pembangunan antar wilayah disebabkan oleh pemberlakuan model pembangunan puluhan tahun bersifat Jawa sentris, berfokus pada kota besar dan berpihak pada usaha berskala besar. Pembangunan yang bersifat Jawa sentris telah mengakibatkan investasi terpusat di Pulau Jawa. Pemusatan investasi ini mengakibatkan timbulnya berbagai kecemburuan dan perpindahan tenaga terampil dari luar Jawa ke Pulau Jawa. Akibat lainnya adalah terbentuknya stigma negatif berupa slogan “Jawa dan Luar Jawa. Stigma ini jelas sangat membahayakan keberlangsungan integrasi bangsa. Pembangunan berfokus pada kota besar telah mengakibatkan meningkatnya arus urbanisasi. b. Kebijakan ekonomi yang eksploitatif Kebijakan ekonomi eksploitatif pemerintah merupakan salah satu p eny ebab mun cu lny a gerakan separatis di daerah. Gerakan separatis yang timbul dari ketidakpuasan daerah terhadap kebijakan ekonomi pemerintah pusat ini muncul di daerah-daerah yang memiliki sumber d aya alam melimpah, namun masyarakatnya tetap tertinggal. Pepatah mengatakan bahwa “ayam mati di lumbung padi” menjadi terbukti bila kita melihat kepada daerah seperti Aceh, Riau, Kutai Kertanegara, dan terutama Papua, dimana sumber daya pertambangan melimpah yang dimiliki tidak mampu menyejahterakan seluruh rakyat, namun hanya segelintir orang saja. Setidaknya hasil evaluasi Daerah Otonomi Hasil Pemekaran (DOHP)
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 1, 2012
ARTIKEL
tahun 2011 dari Kementerian Dalam Negeri menyebutkan dari ke -7 kabupaten di Indonesia yang menempati peringkat terendah dalam tingkat kesejahteraan, 5 diantaranya 7 berada di Papua . Bila sudah demikian tidak salah bila kemudian timbul gejolak di daerah yang pada intinya menuntut keadilan dibidang ekonomi dan pembangunan yang selama ini seolah dilupakan oleh pemerintah pusat. Berkaca pada kecenderungan penerapan desentralisasi di Indonesia pada masa transisi RIS ke NRI dan pemberlakuan UU 22/1999 dan UU 32/2004, pemberlakuan desentralisasi asimetris tampaknya belum mendapat perhatian terlalu banyak. Desentralisasi simetris merupakan jawaban bagi Indonesia ketika kebutuhan akan keseragaman kebijakan dan implementasinya dibutuhkan untuk menjaga keutuhan negara. Namun di dalam perkembangannya, pemberlakuan desentralisasi simetris di Indonesia menyimpan persoalan ketimpangan dalam hal keadilan dan kesejahteraan antara pemerintah pusat dan daerah, juga daerah 8 dan daerah yang perlu segera ditangani . 7
Keputusan Kementerian Dalam Negeri Nomor. 120-277 Tahun 2011 Tentang Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran. 8 Richard Chauvel, profesor ilmu sosial dari Universitas Victoria,Australia, mengatakan bahwa pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia bermasalah gara-gara pemekaran wilayah yang ditunggangi oleh kepentingan politik. Chauvel membandingkan proses otonomi di Indonesia dengan Jepang, seperti diamini oleh Eko Prasojo, Guru Besar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, yang mengatakan bahwa Indonesia dan Jepang sama-sama menerapkan desentralisasi pada tahun 1999. Perbedaan terletak pada kisah sukses Indonesia kalah jauh dibandingkan Jepang karena paradigma desentralisasi Jepang adalah pertumbuhan
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 1, 2012
D E S EN T RA L IS A SI A S IM E TRI S S EB AG A I SEBUAH SOLUSI Bila kita berkaca pada pengalaman sejarah, dan melihat betapa desentralisasi yang ada sekarang belum mampu m en g an g kat d era jat ke s ejah te raan masyarakat daerah secara signifikan, maka tidak berlebihan jika dikatakan bahwa harus ada perubahan terhadap model desentralisasi y an g b e rla ku s eka ran g in i d en g an pemberlakuan model desentralisasi asimetris. Dengan desentralisasi asimetris, daerah diberikan ruang dan kemadirian lebih luas dalam mengelola rumah tangganya. Namun yang perlu diingat bahwa pemberlakuan desentralisasi asimetris tidak harus diartikan sebagai bentuk penyimpangan dari ide dasar negara kesatuan, namun harus dipandang sebagai instrumen untuk memperkuat tujuan desentralisasi yakni menciptakan efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan negara, sekaligus memperkokoh struktur demokrasi di tingkat lokal/daerah. Pembangunan demokrasi di daerah memiliki peluang untuk lebih diperkuat dengan cara mengakui dan mengakomodasikan setiap perbedaan karakteristik, potensi, kebutuhan, dan latar belakang sejarah masing-masing daerah kedalam sistem kebijakan nasional. Dan mengingat bahwa setiap daerah/wilayah dalam negara kita memiliki bentuk politik, sosial, maupun kultural yang beragam, maka desain desentralisasi yang berbeda (atau asimetris) menjadi alternatif yang strategis untuk menghindari terjadinya ketidakpuasan daerah terhadap pemerintah pusat. ekonomi, sedangkan Indonesia menekankan tingkat partisipasi masyarakat. Tempo Interaktif, “Asal Mekar Terbius Elit Lokal,” Tempo Interaktif (30 Maret 2012) http://tempointeraktif.com/khusus/selusur/65tahu n/page08.php (diakses pada 30 Maret 2012)
49
Menuju Otonomi Daerah Adil dan Sejahtera : Revisi Model Otonomi Daerah Menuju Desentralisasi Asimetris Ratri Istania dan Dedi Junaedi
Bila kita melihat kepada pengalaman negara lain, baik di negara kesatuan maupun di negara federasi pada masa modern sekarang ini, desentralisasi cenderung tidak sekedar dijadikan sebagai strategi politik melalui transfer wewenang/kekuasaan, atau strategi ekonomi melalui perimbangan keuangan dan fiskal, namun juga menjadi strategi kultural untuk merealisasikan prinsip diversity in unity atau unity in diversity. Berbagai model desentralisasi asimetris dapat ditawarkan dengan melihat kekhususan kondisi Indonesia, menurut penulis antara lain adalah: 1. Desentralisasi asimetris yang dikemas dalam kerangka undang-undang yang berlaku saat ini, yakni UU 32/2004. Harus d iaku i b ah wa und an g -u ndang in i sebenarnya membuka peluang terjadinya desentralisasi asimetris, walau hanya dilihat dari jenis atau bidang urusan pemerintahan saja. Konsep urusan yang dilaksanakan bersama -sama antara pemerintah provinsi dan kabupaten/kota, mestinya disikapi setiap daerah dengan mengidentifikasikan potensi dan karakteristik daerahnya masing-masing, dan tidak perlu terlalu ”tamak” dengan menganggap seluruh bidang urusan harus dilaksanakan oleh daerahnya. Sebuah daerah yang tidak memiliki wilayah laut, tentu tidak layak membentuk Dinas Perikanan dan Kelautan. Demikian pula suatu daerah yang bercirikan kota besar, bahkan metropolitan, pembentukan Dinas Kehutanan dan Perkebunan adalah hal yang tidak perlu. Jika setiap daerah tidak memiliki orientasi untuk membentuk kelembagaan secara maksimal. Dengan cara seperti ini, desentralisasi asimetris berdasarkan jenis-jenis urusan akan terbangun dengan sendirinya. 2. Memberikan berbagai bentuk variasi d aerah oton om. Tanp a kita sad ari,
50
sekarang ini desentralisasi asimetris sesungguhnya juga sudah terjadi di Indonesia. Hal itu terlihat dalam berbagai bentuk variasi otonomi yang diberikan kepada daerah, yakni: a. Otonomi luas untuk kabupaten/kota secara umum. b. Otonomi terbatas untuk provinsi. c. Otonomi khusus untuk Papua melalui UU 21/2001 dan Nangroe Aceh Darussalam – UU 18/1999 dengan UU 11/2006. d. Otonomi khusus Jakarta sebagai Ibukota Negara melalui UU 29/2007, dan e. Kekhususan yang terjadi di Daerah Istimewa Yogyakarta dimana Sri Sultan Hamengkubuwono dan Sri Pakualaman otomatis menjadi gubernur dan wakil gubernur. Ketika beberapa bentuk otonomi dijalankan secara bersamaan seperti inilah, maka desentralisasi asimetrik sesungguhnya telah terjadi. 3. Desentralisasi asimetris yang lebih bervariasi dibanding bentuk pertama dan kedua. Dalam bentuknya yang paling luas ini, desentralisasi asimetris merupakan reaksi atau penanganan individual pemerintah pusat kepada daerah berdasarkan kebutuhan nyata, potensi, dan akar permasalahan etnis, religius, kultural, dan bahasa yang ada di daerah tersebut. Bali, misalnya, selain memiliki otonomi terbatas sebagai sebuah provinsi, perlu diberikan otonomi khusus dalam bidang kebudayaan, pariwisata dan pengembangan kepercayaan (Agama Hindu). Selain itu, Yogyakarta juga dapat d ib erikan oton omi khu su s d en gan pertimbangan sejarah, kedudukan pimpinan daerah, dan akar politik lama sebagai bekas negara yang berdaulat (Kasultanan). Sementara Kalimantan Timur dan Kalimantan Barat dapat diberikan otonomi khusus dalam pembangunan
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 1, 2012
ARTIKEL
kawasan dan pengelolaan sumber daya alam wilayah perbatasan. Pada saat yang sama, tujuh provinsi kepulauan (Maluku, Maluku Utara, Sulawesi Utara, Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, Bangka Belitung, dan Kepulauan Riau) harus diberikan wewenang tambahan yang lebih luas di bidang perhubungan laut dan udara, perikanan dan kelautan, serta konservasi lingkungan hidup. Singkatnya, Pemerintah Pusat dapat memberikan model-model otonomi berdasarkan identifikasi dan usulan spesifik dari setiap daerah. Namun untuk melaksanakan model desentralisasi dengan penanganan/treatmen yang berbeda ini mensyaratkan kerelaan daerah melepaskan egonya. Sebab model ini juga memungkinkan kadar desentralisasi antara daerah yang satu dengan daerah yang lain mungkin akan berbeda, baik di tinjau dari aspek politik maupun ekonomi. Daerah yang secara nyata memang mempunyai kemampuan sumber daya alam dan sumber daya manusia yang baik, ditambah dengan kemampuan manajerial yang mumpuni dapat diberikan kemandirian yang lebih luas untuk mengelola rumah tangga daerahnya. Namun untuk daerah dengan kondisi berbeda, harus pula rela untuk menerima ”campur tangan” pusat, baik dalam bentuk keuangan, maupun bantuan manajerial. Kerelaan ini menjadi faktor penting mengingat contoh kasus di Provinsi Papua, semenjak diterbitkannya UU 21/2001, pemerintah pusat telah menggelontorkan dana tidak kurang dari 30 trilyun rupiah. Namun dana yang sedemikian besar tidak mampu dikelola pemerintah daerah. Dana otonomi khusus sedemikian besar hanya memakmurkan segelintir pejabat, sementara masyarakatnya tetap miskin. 4. Desentralisasi asimetris radikal, dalam artian bahwa prinsip efisiensi dipadukan
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 1, 2012
dengan keberagaman latar belakang historis, kultur, identitas etnis religius, dan bahasa menjadi dasar pertimbangan utama pemberian otonomi kepada daerah. Apabila memang otonomi daerah sudah diberikan namun pemerintah daerah belum juga mampu menampilkan kinerja pelayanan publik lebih efisien, adil, dan meningkatkan kesejahteraan rakyat mereka, maka pemerintah pusat secara sepihak dapat membatalkan status otonomi daerah tersebut dengan cara penghapusan ataupun penggabungan daerah, sesuai dengan amanah perundangan tentang pemerintahan daerah yang sudah ada. menggabungkan dan menghapuskan daerah otonom gagal. Dasar pemikirannya, karena sejak tahun 1999 sampai dengan tahun 2009, total sudah ada 7 provinsi, 164 kabupaten dan 34 kota baru hasil pemekaran daerah (Kemdagri, 2010). Dari sejumlah daerah baru tersebut menurut data FITRA (Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran) 124 daerah kabupaten/kota terancam bangkrut (www.seknasfitra.org). Namun walaupun kondisi sudah sedemikian memprihatinkan, belum terlihat tindakan nyata dari pemerintah pusat untuk mengatasi hal tersebut, kecuali kebijakan moratorium pemekaran daerah. Padahal bila kita melihat Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2) UU 32/2004 Tentang Pemerintahan Daerah, memungkinkan suatu daerah otonom untuk digabung dengan daerah lain jika daerah tersebut tidak mampu melaksanakan otonomi daerah. Pasal dalam UU 32/2004 tersebut dipertegas lagi melalui PP Nomor 8 Tahun 2007 Tentang Cara Pembentukan, Penghapusan, dan Penggabungan daerah, yaitu pada pasal 22 ayat (1). Kondisi darurat di daerah ini bukan tidak disadari pemerintah, anehnya sampai dengan saat ini belum ada satu pun daerah otonom gagal yang gabung, apalagi dihapuskan
51
Menuju Otonomi Daerah Adil dan Sejahtera : Revisi Model Otonomi Daerah Menuju Desentralisasi Asimetris Ratri Istania dan Dedi Junaedi
oleh pemerintah pusat. Penggabungan atau penghapusan daerah yang dinilai gagal ini bukan berarti hendak menguatkan kembali sentralisasi, namun lebih kepada upaya untuk kembali kepada tujuan luhur pemberlakuan desentralisasi. Berdasarkan pemikiran tersebut seharusnya pemerintah dapat bertindak tegas. Ketidaktegasan pemerintah ini semakin menguatkan anggapan bahwa otonomi yang diberlakukan sekarang lebih berdasarkan motivasi politik ketimbang hendak menyejahterakan masyarakat 9 daerah . Perbaikan berupa penegasan model desentralisasi asimetris perlu dilakukan sesegera mungkin, mengingat bahwa miskinnya kepercayaan masyarakat di daerah antara lain disebabkan oleh gagalnya pemerintah pusat memahami keragaman budaya, kemampuan sumber daya, karakteristik masyarakat, nilai-nilai sosial dan kearifan lokal lainnya. Namun, ada satu hal yang pasti yaitu desentralisasi—sebagaimana halnya dengan demokrasi—bukanlah tujuan. Desentralisasi, simetris ataupun asimetris, hanyalah alat untuk mewujudkan tujuan berbangsa dan bernegara, yakni pemerintahan yang bersih dan efektif di satu sisi, serta masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera di sisi lain. 9
Iris Gera, “Pemerintah Harus Jujur Dalam Tangani Papua,” VoA News (29 Oktober 2011) Lihat di http://www.voaindonesian.com/content/penelitikajian-papua-butuh-kejujuran-dan-keseriusanpemerintah-untuk-ubah-papua-132875408/100119.html (diakses 28 Maret 2012). Dikatakan bahwa Anggota DPR RI Komisi I membidangi masalah politik dan luar negeri dari daerah pemilihan Papua, Paskalis Kosay, mengatakan bahwa, “Pemerintah ini bersedia mengevaluasi kinerja otonomi khusus, ini sudah sepuluh tahun, anggarannya sudah sekitar 30 triliun tapi belum ada hasil yang signifikan.”.
52
Daftar Pustaka Bird, Richard, 2003, “Asymmetric Fiscal Decentralization: Glue or Sovent?” Working Paper 3-9, pdf copy, Andrew Young School of Policy Studies: Georgia State University (April 2003). Bowman, M. and Hampton, W., 1983, Local Democracies: A Study in Comparative Loca l Go ve rn men t, Melb ou rn e: Longman. Dwiyanto, Agus, 2009, Reformasi Birokrasi, Kepemimpinan dan Pelayanan Publik: Kajian Tentang Pelaksanaan Otonomi Daerah di Indonesia, Yogyakarta:Gava Media Gadjong, Andi A., 2007, Pemerintahan Daerah: Kajian Politik dan Hukum, Bogor: Ghalia Indonesia. Gera, Iris, 2012 “Pemerintah Harus Jujur Dalam Tangani Papua,” VoA News (29 Oktober 2011) Lihat di http://www.voaindonesian.com/conte nt/peneliti-kajian-papua-butuhkejujuran-dan-keseriusan-pemerintahuntuk-ubah-papua-132875408/100119.html (diakses 28 Maret 2012). Hutchcroft, Paul D., 2001, Governance: An International Journal of Policy and Administration, Vol. 14, No. 1. Oxford. http://www.harianhaluan.com/index.php?opt ion=com_content&view=article&id=95 67:kesenjangan-otoda-desentralisasiasimetrissolusinya&catid=4:nasional&Itemid=78 . (diakses 14 Maret 2012). http://www.siwah.com/pendidikan/marketin g-politik/ketimpangan-ekonomiberbuah-tuntutan-pemisahandiri.html. (diakses 28 Maret 2012). Said, Mas’ud, 2005, Arah Baru Otonomi Daerah di Indonesia, Malang: Universitas Muhammadiyah.
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 1, 2012
ARTIKEL
Sumule, Agus, 2003, Mencari Jalan Tengah Otonomi Khusus Provinsi Papua, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. http://www.harianhaluan.com/index.php?opt ion=com_content&view=article&id=95 67:kesenjangan-otoda-desentralisasiasimetrissolusinya&catid=4:nasional&Itemid=78 . (diakses 14 Maret 2012). http://www.siwah.com/pendidikan/marketin g-politik/ketimpangan-ekonomiberbuah-tuntutan-pemisahandiri.html. Diakses tanggal 28 Maret 2012. Katorobo, James, 2005, “Decentralization and Local Autonomy For Participatory Democracy,” paper dipresentasikan th pada 6 Global Forum on Reinventing Government Towards Participatory and Transparent Governance, Seoul, Republic of Korea, pdf copy (24-27 Mei 2005). Tempo Interaktif, 2012, http:// tempointeraktif.com/khusus/selus ur/65tahun/page08.php (diakses pada 30 Maret 2012). Utomo, Tri W., 2009, “Balancing Decentralization and Deconcentration: Emerging Need for Asymmetric Decentralization in the Unitary States”, Discussion Paper No.174, GISD: Nagoya University. Perundangan Keputusan Kementerian Dalam Negeri Nomor. 120-277 Tahun 2011 Tentang
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 1, 2012
Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 Tentang Pemerintahan Daerah Staatblad Negara Indonesia Timur No. 44 Tahun 1950 Tentang Pemerintahan Daerah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor. 1 Tahun 1957 Tentang Pemerintahan Daerah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Kepegawaian Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 Tentang pemerintahan Daerah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh Undang-Undang Republik Indonesia Nomor Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Jakarta Sebagai Ibu Kota Negara Kesatuan Republik Indonesia. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2007 Tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Provinsi dan Pemerintahan Kabupaten/ Kota
53
Menuju Otonomi Daerah Adil dan Sejahtera : Revisi Model Otonomi Daerah Menuju Desentralisasi Asimetris Ratri Istania dan Dedi Junaedi
Segenap Pimpinan dan Staf Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah Mengucapkan Selamat atas Pengangkatan PROF. DR. AGUS DWIYANTO Sebagai KEPALA LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA
54
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 1, 2012
ARTIKEL
OTONOMI DAERAH DAN KORUPSI Oleh: Nugroho SBM Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Diponegoro Jl. Prof Soedharto SH Tembalang Semarang, Telp (024) 76486851 dan (024) 76486853, Fax (024) 76486852 (email:
[email protected])
Abstract Arise among scholars about whether the pros and cons of fiscal decentralization to reduce corruption or whether it exacerbates corruption. Facts in Indonesia show that the fiscal decentralization or regional autonomy would exacerbate corruption because there is no public control, there is no state institution that is able to effectively control the local government, and the failure of legislative control functions in the local area. It is necessary to revise Law No. 32 of 2004, the establishment of the KPK in the local or district area, and reversed burden of proof application. Keywords: Autonomy, Corruption, revision of Law 32/2004, the establishment of KPK in local or district area Intisari Di kalangan para ahli timbul pro-kontra tentang apakah desentralisasi fiskal mengurangi korupsi ataukah justru memperparah korupsi. Fakta di Indonesia justru menunjukkan bahwa desentralisasi fiskal atau otonomi daerah justru memperparah korupsi karena tiadanya kontrol masyarakat, tidak ada institusi negara yang mampu mengontrol secara efektif jalannya pemerintah di daerah, dan gagalnya fungsi kontrol legislatif di daerah. Maka perlu dilakukan revisi UU 32 tahun 2004, pembentukan KPK di daerah, dan dipraktekannya pembuktian terbalik. Kata Kunci: Otonomi Daerah, Korupsi, revisi UU 32/2004, pembentukan KPK Daerah
PENDAHULUAN Desentralisasi atau yang lebih dikenal dengan otonomi daerah mempunyai tujuan yang mulia yaitu: (1)Meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan mendekatkan pelayanan publik kepada masyarakat; (2).Menegakkan prinsip demokrasi (keikutsertaan masyarakat), pemerataan dan keadilan, serta memperhatikan kekhususan daerah (3).
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 1, 2012
Efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan daerah, dan (4). Memperkuat Kesatuan dan Persatuan bangsa. Tetapi desentralisasi atau otonomi daerah juga mengandung berbagai bahaya antara lain terjadinya korupsi yang makin meluas jaringannya (Remmy Prud'homme ,1995). Data menunjukkan bahwa korupsi makin merajalela justru dengan
55
Otonomi Daerah dan Korupsi Nugroho SBM
dilaksaanakannya otonomi daerah. Hal tersebut tampak dari ranking Indonesia sebagai negara yang termasuk korup di antara negara-negara di dunia yang tidak banyak berubah setelah pelaksanaan otonomi daerah. Tulisan ini memaparkan fenomena korupsi setelah dilaksanakannya otonomi daerah di Indonesia dengan pertama-tama mengemukakan pro-kontra pendapat di kalangan para ahli tentang apakah d esentralisasi atau oton omi d aearah mengurangi korupsi ataukah sebaliknya justru meningkatkan korupsi. Kemudian akan dikemukakan data tentang tingkat korupsi di Indonesia setelah pelaksanaan desentralisasi atau otonomi daerah beserta sebabsebabnya. Terakhir akan dikemukakan saran untuk mengurangi korupsi setelah dilaksaanakannya desentralisasi atau otonomi daerah di Indonesia. . PENDAPAT BAHWA DESENTRALISASI ATAU OTONOMI DAERAH MENGURANGI KORUPSI Ada 2 (dua) pendapat tentang apakah desentralisasi atau otonomi daerah menyebabkan terjadinya korupsi atau tidak. Pendapat pertama menyatakan bahwa desentralisasi atau otonomi daerah justru akan mengurangi tingkat korupsi. Sedangkan pendapat kedua menyatakan bahwa desentralisasi atau otonomi daerah justru menyuburkan tingkat korupsi. Beberapa ahli yang menyatakan bahwa desntralisasi bisa mengurangi korupsi antara lain: 1. Fishman dan Gatti dalam artikelnya berjudul " Decentralitation & Corruption: Evidence Across Country" ( 2002) yang menemukan bahwa tingkat desentralisasi fiskal yang tinggi di beberapa Negara yang diteliti telah menyebabkan tindakan korupsi menurun.
56
2. Gugur dan Shah dalam artikelnya berjudul " Localization & Corruption:Panacea Or Pandora Box?" (2000) menemukan bahwa desentralisasi telah meningkatkan akuntabilitas sektor publik dan dengan demikian telah mengurangi korupsi. 3. Goldmith, seorang ahli sosiologi, dalam artikelnya berjudul " Slapping the grasping hand: correlates of political corruption in emerging markets" (1999) menyatakan bahwa desentralisasi membuat seorang kenal dengan baik dengan yang lain termasuk antara pegawai negeri, masyarakat, dan pelaku bisnis. Hal tersebut membuat tekanan sosial yang besar sehingga korupsi sangat jarang dilakukan. 4. Weingast dalam artikelnya berjudul "The Economic Role of Political Institution" (1995) menyatakan bahwa denagn desentralisasi maka akan terjadi persaingan antar distrik atau wilayah untuk menjadi efisien sehingga menarik bagi investor. Persaingan antara distrik ini menyebabkan korupsi sangat dihindari oleh semua distik/wilayah tersebut. 5. Breton dalam artikelnya berjudul "Competitive Government: An Economic Theory Of Politics & Public Finance" (1996) menyatakan bahwa dengan desentralisasi maka akan terjadi persaingan antar distrik/wilayah untuk menyediakan jasa publik bagi masyarakatnya dengan harga yang wajar. Penyediaan jasa publik yang baik dengan harga yang wajar. Penyediaan jasa publik yang baik dengan harga wajar hanya mungkin terjadi kalau tidak terjadi korupsi. PENDAPAT BAHWA DESENTRALISASI ATAU OTONOMI DAERAH MENINGKATKAN KORUPSI Beberapa ahli justru menyatakan bahwa desentraliasasi atau otonomi daerah telah meningkatkan korupsi. Beberapa ahli dan pendapatnya tersebut antara lain: 1. Remmy prud`homme dalam artikelnya berjudul "The Dangers of
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 1, 2012
ARTIKEL
Decentralization"(1995) menyatakan bahwa ada 4 (empat) bahaya yang bisa ditimbulkan dalam pelaksanaan desentralisasi. Pertama, desentralisasi dapat menciptakan disparitas antar daerah karena adanya perbadaan “factor endowment” antar daerah. Kedua, desentralisasi fiskal dapat menyebabkan upaya-upaya stabilisasi perekonomian nasional menjadi lebih sulit karena pemerintah pusat tidak bisa mengendalikan pengeluaran pemerintah daerah. Ketiga, desentralisasi fiskal dapat mengurangi efisiensi karena kebutuhan masyarakat terhadap penyediaan barang publik direpresentasikan lewat lembaga-lembaga perwakilan yang dalam kenyataannya tidak mewakili kepentingan masyarakat luas. Dan keempat, desentralisasi fiskal bisa memperluas jaringan korupsi karena kewenangan pemerintah daerah yang lebih besar akan diikuti pula dengan pungutan baik resmi maupun tidak resmi yang juga lebih besar. 2. Banfield dalam artikelnya berjudul "Corruption: A Feature Of Government Organization" (1979) menyatakan bahwa desentralisasi memudahkan terjadinya korupsi karena penyuap hanya berhubungan dengan pegawai negeri yang jumlahnya lebih sedikit dan tidak ada kekuatan besar dari pemerintah pusat untuk menegakkan keadilan. 3. Fjeldstad dalam artikelnya yang berjudul "Fighting Fiscal Corruption: Lessons From
The Tanzania Revenue Authorithy "(2003) yang merupakan hasil studinya di Tanzania menemukan bahwa pemerintah lokal yang terdesentralisasikan cenderung korup karena kekuasaannya yang besar untuk menciptakan pajak dan retribusi local serta pungutan yang lain. 4. Treisman dalam artikelnya yang berjudul "The Causes Of Corruption: A Crossnational Study" (2000) dengan menggunakan data kerat lintang menemukan bahwa dengan desentralisasi antar oknum pegawai negeri lokal saling bertindak independent dalam melakukan pungutan tidak resmi atau suap sehingga akhirnya jumlah suap yang dibayarkan menjadi lebih besar dibanding kalau korupsi atau suap dilakukan oleh pegawai pemerintah pusat yang biasanya lebih terkoordinasikan.
Di samping beberapa ahli yang telah dikutip yang menyatakan bahwa korupsi dan suap justru akan meningkat setelah dilaksanakannya desentralisasi atau otonomi daerah, secara tidak langsung desentralisasi atau otonomi daerah telah menciptakan tipe atau ragam korupsi dan suap yang lebih banyak. hal tersebut sesuai dengan yang dikemukakan oleh Rose dan Auckerman (1997) tentang Tipe atau ragam suap dankorupsi menurut tingkat pemerintahan dan banyaknya penyuap seperti dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 Tipe Suap dan Korupsi Berdasar Tingkat Pemerintahan dan Banyak/Sedikitnya Penyuap
Banyak Penyuap Sedikit Penerima Suap Pada Kleptokrasi TingkatPemerintah Atas (Cleptocracy) Banyak Penerima Suap pada Sogokan Kompetetif atau Pemerintah Bawah Bebas(competetif Bribery) Sumber: Rose dan Auckerman (1997)
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 1, 2012
Sedikit Penyuap Monopoli Bilateral (Billateral Monopoly) Mafia Korupsi (Mafia Dominated)
57
Otonomi Daerah dan Korupsi Nugroho SBM
Berdasarkan tabel 1 maka tipe suap dan korupsi dapat dibedakan ke dalam 4 (empat) macam: 1. Kleptokrasi (Cleptocracy) yaitu korupsi dan suap di tingkat pemerintah pusat (atas) dengan sedikit penerima suap dan banyak penyuap 2. Monopoli Bilateral (Billateral Monopoly) yaitu korupsi dan suap di tingkat pemerintah pusat (atas) dengan sedikit penerima suap dan sedikit penyuap 3. Sogokan Kompetetif (Competetive Bribery) yaitu korupsi dan suap di tingkat pemerintah daerah (bawah) dengan banyak penerima suap dan banyak penyuap. 4. Mafia Korupsi (Mafia Dominated) yaitu korupsi dan suap di tingkat pemerintah daerah (bawah) dengan banyak penerima suap dan sedikit penyuap. Dari tipologi korupsi dan suap yang dilakukan oleh Rose dan Ackerman (1997) tersebut maka dapat dikatakan bahwa ketika suatu pemerintahan menganut sentralisasi maka tipe korupsi dan suap hanyalah kleptokrasi dan monopoli bilateral. tetapi ketika dilaksanakan desentralisasi atau otonomi daerah maka tipe korupsi dan suap akan bertambah dengan sogokan kompetetif dan mafia korupsi. KORUPSI DI ERA DESEN TRALISASI DI INDONESIA Bagaimanakah korupsi di Indonesia pada era pelaksanaan desentralisasi atau otonomi daerah? Secara umum dapat
dikatakan bahwa pada era pelaksanaan desentralisasi fiskal atau otonomi daerah, tingkat korupsi di Indonesia tidak berkurang bahkan ada kecenderungan bertambah. Ada dua indikator utama meningkatnya kasus korupsi setelah dilaksanakannya desentralisasi fiskal atau otonomi daerah. Pertama, bila dilihat dari Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia setelah pelaksanaan otonomi daerah yang dimulai tahun 1999 tidak banyak mengalami perubahan sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 2. Pada Tabel 2 terlihat bahwa Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia setelah pelaksanaan desentralisasi atau otonomi daerah yang dimulai tahun 1999 tidak mengalami banyak perubahan. Bahkan dibanding setahun sebelum pelaksanaan otonomi daerah yaitu tahun 1998, IPK Indonesia pada tahun 1999 turun dari 2 pada tahun 1998 menjadi 1,7 pada tahun 1999 yang membuat posisi Indonesia naik dari peringkat 5 dalam negara yang korup tahun 1998 menjadi peringkat ke 3 dalam negara yang korup pada tahun 1999. Perbaikan yang agak signifikan dalam IPK terjadi pada tahun 2008. Pada tahun 2008 IPK Indonesia naik menjadi 2,6, naik tajam dibanding tahun 2007 sebesar 2,3. Pada tahun 2008 tersebut posisi Indonesia dalam negara korup turun dari peringkat 10 ke peringkat 15. Hal tersebut disebabkan pada tahun 2008 sedang giatgiatnya KPK mengusut dan menyidik berbagai kasus korupsi yang memberikan efek jera dan efek kejut yang cukup besar. Tetapi setelah tahun 2008, IPK Indonesia kembali konstan.
Tabel 2 Indeks Persepsi korupsi (IPK) dan Peringkat Indonesia dalam Hal Negara Bersih Dan korup di dunia Tahun 1998-2010 Tahun 1998 1999
58
Indeks Persepsi korupsi *) 2,0 1,7
Rangking dalam Negara Bersih 80 96
Rangking dalam Negara Korup 5 3
Jumlah Negara yang Disurvei 85 99
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 1, 2012
ARTIKEL
Tahun
Indeks Persepsi Rangking dalam Rangking dalam Jumlah Negara korupsi *) Negara Bersih Negara Korup yang Disurvei 2000 1,7 85 4 90 2001 1,9 88 4 91 2002 1,9 96 6 102 2003 1,9 122 6 133 2004 2,0 130 5 146 2005 2,2 137 6 159 2006 2,4 130 7 163 2007 2,3 143 10 180 2008 2,6 126 15 180 2009 2,8 111 18 180 2010 2,8 110 18 178 Sumber :Transparency Internasional, tahun 1998-2010 Keterangan : *) Indeks Persepsi korupsi besarnya antara 0 (menunjukkan suatu negara sangat korup) sampai 10 (menunjukkan suatu negara sangat Bersih) Indikator kedua, makin suburnya korupsi setelah dilaksanakannya otonomi daerah adalah banyaknya kepala daerah baik Bupati atau walikota maupun Gubernur yang tersangkut kasus korupsi. Mendagri Gawaman Fauzi pernah mengeluh dan membeberkan data dari Kemendagri bahwa sejak otonomi daerah sampai sekarang jumlah kepala daerah yang tersangkut kasus korupsi mencapai 155 orang. Hal ini terjadio karena dengan otonomi daerah maka pengelolaan keuangan daerah sepenuhnya menjadi wewenang daerah. Kewenangan yang besar tersebut MENGAPA DESENTRALISASI FISKAL/ OTONOMI DAERAH MENYUBURKAN KORUPSI? Lalu mengapa desentralisasi fiskal atau otonomi daerah menyuburkan korupsi di Indonesia? Profesor Dr. Saldi Isra sebagaimana dikutip oleh Lukman Satosa Az (2011) menyebutkan paling tidak ada 3 (tiga) alasan mengapa desentralisasi fiskal atau otonomi daerah telah menyuburkan korupsi. Pertama, sadar atau tidak, program otonomi d aerah y an g d igu lirkan oleh pemerintah hanya terfokus pada pelimpahan
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 1, 2012
wewenang dalam pembuatan kebijakan, keuangan dan administrasi dari pemerintah pusat ke daerah, tanpa disertai pembagian kekuasaan kepada masyarakat. Dengan kata lain, program otonomi daerah tidak diikuti dengan program demokratisasi yang membuka peluang keterlibatan masyarakat dalam pemerintahan di daerah. Karenanya, program desentralisasi ini hanya memberi peluang kepada elit lokal untuk mengakses sumber-sumber ekonomi dan politik daerah, yang rawan terhadap korupsi atau penyalahgunaan wewenang tanpa pengawasan yang berarti dari masyarakat. Kedua, tidak ada institusi negara yang mampu mengontrol secara efektif penyimpangan wewenang di daerah. Program otonomi daerah telah memotong struktur hirarki pemerintahan, sehingga tidak efektif lagi kontrol pemerintah pusat ke daerah karena tidak ada lagi hubungan struktural secara langsung memaksakan kepatuhan pemerintah daerah kepada pemerintah pusat. Kepala daerah, baik gubernur, bupati maupun walikota, tidak lagi ditentukan oleh pemerintah pusat, melainkan oleh mekanisme pemilihan kepala daerah oleh DPRD dan
59
Otonomi Daerah dan Korupsi Nugroho SBM
b ertan ggunjawab k e DPRD. H ubu ngan pemerintahan pusat dan daerah hanya fungsional, yaitu hanya kekuasaan untuk memberi policy guidance kepada pemerintah daerah tanpa diikuti oleh pengawasan yang memadai. Ketiga, legislatif daerah gagal dalam menjalankan fungsinya sebagai lembaga kontrol. Justru sebaliknya terjadi kolusi yang erat antara pemerintah daerah dan DPRD sehingga kontrol terhadap penyelenggaraan pemerintahan derah tidak terjadi, sementara kontrol dari kalangan civil society masih lemah. Yang perlu digarisbawahi bahwa adanya lembaga control seperti DPRD yang secara konstitusi harus mengawasi kebijakan pihak eksekutif (Pemerintah Daerah) tidak berarti kemungkinan akan adanya penyelewengan dan korupsi menjadi hilang. Justru ketika kolusi terjadi antara pihak eksekutif dengan legislatif, sangat sulit bagi masyarakat untuk melakukan kontrol atas kedua lembaga tersebut oleh karena otonomi masyarakat tidak diwujudkan. Di samping ketiga faktor tersebut menurut penulis faktor yang lain adalah jangkauan KPK yang terbatas ke daerah. Tidak seperti instansi penegak hukum yang lain, KPK hanya ada di pusat atau di Jakarta saja sehingga jangkauannya untuk menangani korupsi di daerah sangat terbatas. REKOMENDASI KEBIJAKAN Atas dasar penyebab suburnya korupsi setelah dilaksanakannya otonomi daerah maka dapat diajukan beberapa rekomendasi kebijakan agar tin gkat koru p si b isa diturunkan. Pertama, segera merevisi UU 32/2004 tentang pemerintahan daerah, terutama tekait pembagian wewenang pemerintah pusat dan daerah dan terkait pasal 126 yang memuat status kepala daerah yang terjerat kasus korupsi. Selama ini, dasar hukum tersebut memberi ketentuan bahwa
60
sejauh belum menjadi terdakwa dan tuntutannya kurang dari lima tahun penjara, mereka bisa bebas dan tetap menempati jabatannya. Status sebagai pejabat Negara juga kerap menyulitkan aparat penegak hukum ketika akan menahan dan memeriksa mereka. Undang-undang mengharuskan pemeriksaan terhadap kepala daerah atas izin presiden. Sedangkan izin tersebut juga harus melalui birokrasi yang panjang dan rumit. Maka dengan melakukan revisi terhadap Undang-undang sebut diharapkan gubernur, bupati/walikota yang tersangkut kasus korupsi akan dinon-aktifkan begitu menjadi tersangka. Jabatan dan hak mereka akan diberikan kembali jika penyidikan kasusnya dihentikan. Namun sebaliknya, jika status tersangka ini meningkat jadi terdakwa, secara otomatis mereka tidak bisa meneruskan jabatannya. Kedua, pemerintah juga dapat mengefektifkan upaya dalam memerangi korupsi di daerah yang semakin menggurita dengan memanfaatkan KPK secara maksimal. Argumentasi ini didasarkan pada kapasitas legal yang dimiliki KPK untuk untuk masuk ke semua lembaga Negara dan melakukan evaluasi untuk pencegahan korupsi. Sebelum itu di tempuh, tentu langkah yang harus diambil adalah penguatan posisi KPK di daerah, yakni dengan pembentukan KPK di daerah sebagaimana diamanatkan pasal 19 ayat 2 UU 30/2002. Ketiga, penting untuk menerapakan asas pembuktian terbalik. Asas pembuktian terbalik merupakan aturan hukum yang mengharuskan seseorang untuk membuktikan kekayaan yang dimiliknya, sebelum menjabat dibandingkan setelah menjabat. Serta darimana sumber kekayaan itu berasal. Jika kekayaan melonjak drastis dan bersumber dari kas Negara atau sumber lain yang illegal, tentu merupakan tindak pidana korupsi.
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 1, 2012
ARTIKEL
PENUTUP Demikianlah sedikit paparan tentang pelaksanaan desentralisasi fiskal atau otonomi dan korupsi di Indonesia yang meliputi pro-kontra pendapat para ahli tentang hubungan antara otonomi dan korupsi, fakta tentang korupsi yang makin meningkat setelah pelaksanaan otonomi daerah, sebab-sebab mengapa otonomi daerah menyuburkan korupsi, dan akhirnya rekomendasi bagaimana supaya korupsi bisa dihapus. Semoga tulisan ini berguna bagi pelaksanaan otonomi daerah. DAFTAR PUSTAKA Banfield, 1979, "Corruption: A Feature Of Government Organization", Bureaucratic Corruption in SubSaharan africa: towards a Search for Causes and Consequences. M.Ekpo. Washington D.C., University Press of America Breton, 1996, " Competitive Government: An Economic Theory Of Politics & Public Finance", tersedia di http://www.mendeley.com/research/c ompetitive-governments-economictheory-politics-public-finance/, diakses tanggal 20 Maret 2012 Fishman and Gatti, 2002, " Decentralitation & Corruption: Evidence Across Country", World Bank Policy Research Working Paper No. 2290. Fjeldstad, Odd, Helge,(2003), " Fighting Fiscal Corruption: Lessons From The Tanzania Revenue Authorithy”, tersedia di http://brage.bibsys.no/nhh/bitstream/ URN:NBN:no-bibsys_brage_24696/8/
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 1, 2012
fjeldstad%20essay5.pdf, diakses tanggal 20 Maret 2012. Goldsmith, 1999, “Slapping the grasping hand: correlates of political corruption in emerging markets”, American Journal of Economics and Sociology 53, 865– 883. Gugur and Shah, 2005, " Localization & Corruption:Panacea Or Pandora Box?", World Bank Policy Research Working Paper 3486. Haluan Kepri, 2011, “Otonomi Daerah Menyuburkan Korupsi”, tersedia di http://www.haluankepri.com/tajuk/11 235-otonomi-daerah-suburkankorupsi.html, diakses tanggal 22 Maret 2012 Lukman Santosa Az, 2011, “ Desentralisasi Korupsi di Daerah”, tersedia di http://hukum.kompasiana.com/2011/ 05/04/%E2%80%98desentralisasi%E2% 80%99-korupsi-di-daerah/ Prud'homme Remmy, 1995, "The Dangers of Decentralization", Research Observer 10 (2), August, World Bank. Rose, Susan and Auckerman, 1997, "Corruption: Catalysts and Constraints", Annual World Bank Conference on development, World Bank, tersedia di Treisman, Daniel, 2000, " The Causes Of Corruption: A Crossnational Study", Journal of Public Economics, 76, pp. 399-457. Weingast, 1995, "The Economic Role of Political Institution", tersedia di http://jleo.oxfordjournals.org/content/1 1/1/1.full.pdf+html, diakses tanggal 20 Maret 2012
61
Otonomi Daerah dan Korupsi Nugroho SBM
62
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 1, 2012
ARTIKEL
REALITAS DAN TANTANGAN INOVASI PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN (Perspektif Reformasi Administrasi di Indonesia) Oleh: Didik G. Suharto Program Studi Ilmu Administrasi Negara FISIP Universitas Sebelas Maret (UNS) Jl. Ir. Sutami 36A Surakarta 57126, e-mail:
[email protected]
Abstract The government innovation proceeds in line with the administrative reformation movement. The innovative government frequently finds the momentum in the government in which the administration has experienced reformation. In Indonesia, the administrative (bureaucracy) reformation discourse is articulated widely along with the total reformation demand in 1997-1998. However after more than one decade, the implementation of such the administrative reformation had not been as expected. The administrative reformation experiences stagnation, even in some case, it shows paradoxical situation. Congruent to the administrative reformation development, the governmental innovation development (central and local) has not reached the maximal result. The government innovation still tends to be sporadic, sectoral and regional. The effectiveness and sustainability of governmental innovation currently proceed are still questioned. The improvement in bureaucracy system and human resource management is considered as important to cope with the challenge in institutionalizing the governmental innovation proven good. Keywords: innovation, government, administrative reformation Intisari Inovasi penyelenggaraan pemerintahan berjalan seiring dengan gerakan reformasi administrasi. Pemerintahan yang inovatif seringkali menemukan momentum pada pemerintahan yang telah melakukan reformasi administrasi. Di Indonesia, wacana reformasi administrasi (birokrasi) disuarakan secara luas bersamaan dengan tuntutan reformasi total pada tahun 1997-1998. Meski telah lebih dari satu dekade, implementasi reformasi administrasi belum seperti yang diharapkan. Reformasi administrasi mengalami stagnasi, bahkan dalam beberapa kasus, menunjukkan situasi paradoks. Sebangun dengan pengembangan reformasi administrasi, pengembangan inovasi pemerintahan (pusat dan lokal) tidak mencapai hasil maksimal. Inovasi pemerintahan cenderung bersifat sporadis, sektoral, dan kedaerahan. Efektivitas dan keberlanjutan inovasi pemerintahan sekarang ini masih dipertanyakan. Perbaikan sistem birokrasi dan manajemen sumber daya manusia penting diperhatikan untuk mengatasi tantangan dalam melembagakan inovasi pemerintahan. Kata kunci: inovasi, pemerintahan, reformasi administrasi
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 1, 2012
63
Realitas dan Tantangan Inovasi Penyelenggaraan Pemerintahan : (Perspektif Reformasi Administrasi di Indonesia Didik G. Suharto
PENDAHULUAN Decade 1980-an dan 1990-an menjadi saksi kemorosotan akut peran Negara yang terjadi di hampir seluruh belahan bumi (Pierre dan Peters, 2000). Monumen paling dramatis bagi keruntuhan dominasi Negara dalam struktur ekonomi dan masalah-masalah public di decade 1980-an adalah ambruknya sistem komunisme Uni Soviet. Kehancuran rejim komunis di Uni Soviet berimplikasi pada berakhirnya system sentralistis Negara sebagai salah satu model pembangunan di dunia (Fukuyama, 1992). Di Negara-negara Asia, gelombang krisis yang melanda pada pertengahan 1997 telah menghancurkan struktur ekonomi politik dan mendorong adanya gerakan reformasi. Menurut Kettl (2000), gerakan reformasi global sejak tahun 1980-an didorong oleh empat variabel besar yaitu : 1) politik: keunggulan demokrasi dan kekuatan publik serta keunggulan sistem pasar dan menimbulkan tekanan di politik di berbagai negara di dunia untuk melakukan transformasi peran pemerintah untuk mengurangi peran dan fungsinya. 2) Sosial: beberapa negara di dunia telah mengalami perubahan sosial yang sangat mendasar, yaitu melakukan rekonstruksi kembali terhadap tatanan hukum, ekonomi, sosial dan politik ditandai pula adanya perubahan mendasar dari masyarakat industri kepada masyarakat informasi. 3) Ekonomi: krisis ekonomi pada tahun 1990-an berbagai negara di dunia melakukan reformasi di bidang perpajakan untuk menarik investor masuk, dan juga melakukan langkah-langkah privatisasi sebagai respon terhadap tekanan ekonomi. 4) Institusional: semua negara di dunia telah menjadi bagian dari sistem ekonomi dan politik global. Kondisi ini ditandai dengan berkembangnya kelembagaan di luar negara (World Bank, IMF, WTO, ADB) yang mengatur globalisasi dunia. Keempat tekanan di atas
64
mendorong gerakan reformasi administrasi dengan enam sifat pokok, yaitu: produktivitas, pemasaran, orientasi pada pelayanan, desentralisasi, kebijakan, dan akuntabilitas. Nilai-nilai inti seputar reformasi pada tahun 1980 pada umumnya disingkat sebagai ”tiga E”; ekonomi, efisiensi, dan efektivitas (Metcalfe dalam Kooiman, 1994). Pada era tersebut muncul paradigma yang sangat terkenal karena bersifat reformatif yaitu “reinventing government” yang disampaikan oleh David Osborne dan Ted Gaebler (1992) dan kemudian dioperasionalkan oleh Osborne dan Plastrik (1997). Paradigma ini identik disebut new public management atau ada yang menyebut managerialism dan marketbased public administration, yang pada intinya merupakan konsepsi perubahan dari administrasi publik konvensional. ...a focus on making public sector ‘lean and more competitive while, at the same time, trying to make public administration more responsive to citizens needs by offering value for money, choice flexibility, and transparency’. This movement was referred to later by the academic community as ‘new public management’ or NPM (Hood dalam Bovaird, 2003). New public management dipandang sebagai suatu pendekatan dalam administrasi publik yang menerapkan pengetahuan dan pengalaman yang diperoleh dalam dunia manajemen bisnis (perseroan/perusahaan) dan disiplin yang lain untuk memperbaiki efisiensi, efektivitas, dan kinerja pelayanan publik pada birokrasi modern atau sektor publik (Vigoda, 2003; Frederickson, 2003). Slogan yang terkenal dalam perspektif konsep NPM ini ialah mengatur dan mengendalikan pemerintahan tidak jauh bedanya dengan mengatur dan mengendalikan bisnis –run government like business (Thoha, 2008).
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 1, 2012
ARTIKEL
Berpandangan bahwa pemerintah perlu mengadopsi tidak hanya teknik administrasi bisnis tetapi juga nilai bisnis tertentu; ...seperti gagasan nilai kompetisi, preferensi bagi mekanisme pasar untuk pilihan sosial, dan menghargai semangat wirausaha (Denhardt, 2004). Perkembangan selanjutnya, pada tahun 2003 muncul paradigma baru lagi yang disebut “new public service”. Dalam paradigma new public service, menurut JV Denhardt dan RB Denhardt (2003), administrasi publik harus: 1) melayani masyarakat bukan pelanggan; 2) mengutamakan kepentingan publik; 3) lebih menghargai warga negara daripada kewirausahaan; 4) berpikir strategis dan bertindak demokratis; 5) menyadari bahwa akuntabilitas bukan merupakan suatu yang mudah; 6) melayani daripada mengendalikan; 7) menghargai orang, bukan produktivitas semata. Beriringan dengan hal tersebut, berkembang konsep governance dalam sistem penyelanggaraan pemerintahan. Konsep governance berhubungan dengan format negara yang terbuka dan inklusif yang membuka interaksi intensif dengan pelaku bisnis dan komponen civil society. Governance hanya bisa ditegakkan dengan jalan melibatkan aktor-aktor non negara seluasluasnya dan dengan membatasi intervensi pemerintah. Peran negara tidak lagi menjalankan fungsi-fungsi regulatif, melainkan hanya menjalankan fungsi fasilitatif. Dalam konsepsi UNDP, prinsip-prinsip partisipasi, transparansi, akuntabel, rule of law, responsif, berorientasi pada konsensus, equity serta inclusiveness menjadi pondasi penting bagi tegaknya governance (Pratikno, 2005).
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 1, 2012
Reformasi administrasi publik merupakan agenda yang mendesak untuk dituntaskan. Selain sebagai upaya untuk memperbaiki sistem administrasi publik Indonesia yang masih jauh dari harapan, reformasi administrasi publik juga telah menjadi tuntutan, tantangan, dan peluang dalam tatanan regional dan global. Good governance merupakan tujuan dari reformasi administrasi. Yakni sebuah sistem pemerintahan yang baik memfasilitasi representasi (perwakilan) demokratis dan meliputi struktur dan proses yang diperlukan untuk menunjukkan atribut pertanggungjawaban, transparansi, kepekaan, efektivitas, efisiensi, inklusivitas, kewajaran, aksesibilitas, partisipasi, dan kemampuan untuk mengikuti kaidah hukum. Dalam atmosfer seperti itu inovasi-inovasi penyelenggaraan pemerintahan akan berkembang dengan baik. Oleh karenanya, artikel ini mempunyai tujuan untuk membahas mengenai reformasi administrasi dan inovasi pemerintahan, khususnya realitas dan faktor pengaruh reformasi administrasi publik di Indonesia, serta refleksi singkat mengenai inovasi pemerintahan di Kota Solo. REALITAS REFORMASI ADMINISTRASI PUBLIK Merebaknya tuntutan reformasi ad m in i s tra s i p u b lik d i d u ku n g ol eh ketidakpuasan praktek administrasi publik tradisional yang memiliki banyak kelemahan. Meskipun sudah lebih dari satu dekade tuntutan reformasi di Indonesia digelorakan terus menerus, namun hingga kini p erkemban ganny a r elatif lambat. Karakteristik di negara berkembang, seperti Indonesia, belum sepenuhnya mendukung keberhasilan reformasi administrasi publik selayaknya di negara maju. Di negara berkembang masih banyak hambatan dan keterbatasan yang dihadapi internal pemerintah dan eksternal pemerintah (swasta dan masyarakat).
65
Realitas dan Tantangan Inovasi Penyelenggaraan Pemerintahan : (Perspektif Reformasi Administrasi di Indonesia Didik G. Suharto
Realitas administrasi publik Indonesia masih memperlihatkan praktek administrasi publik tradisional. Sistem pemerintahan (birokrasi) di Indonesia sebagai misal belum sepenuhnya mengacu orientasi pada new public management (the efficiency drive, downsizing and decentralization, in search of excellence, dan public service orientation) atau berdasar parameter tujuh komponen doktrin dalam New Public Management seperti pendapat Hood. Beberapa aspek dalam NPM memang sebagian telah dilakukan di Indonesia, namun terkadang justru menyimpang dari semangat NPM. Sedangkan praktek dari konsep New Public Service juga belum sepenuhnya dilakukan. Mengacu pada ide dasar dari konsep ini: 1) teori democratic citizenship; 2) model komunitas dan civil society; 3) organisasi humanisme; 4) postmodern ilmu administrasi publik; maupun aspek-aspek yang harus dilakukan dalam paradigma New Public Service menurut JV Denhardt dan RB Denhardt, praktek NPS di Indonesia bisa dikata masih berkutat pada wacana. Administrasi publik di Indonesia masih mencerminkan patrimonial governance yang telah berkembang sejak jaman pra kolonial, menemukan titik puncak pada masa orde baru, dan prakteknya belum surut di era reformasi. Anderson (1990) menjelaskan, sistem pemerintahan dan administrasi publik kerajaan tradisional jawa memiliki ciri tipe ideal patrimonial state dengan ciri-ciri perilaku birokratnya mencerminkan tidak ada pemisahan antara kepemilikan pribadi dan publik, mengeksploitasi kekuasaannya seolaholah kekuasaan tersebut sebagai kekayaan pribadi, tidak terjamah dan terikat oleh hukum, kantor dan otoritas publik digunakan untuk melayani kepentingan penguasa dan dijalankan berdasarkan kepentingan personal. Pada era pemerintahan kolonial Belanda, pemerintah kolonial melibatkan
66
usaha-usaha ko-optasi para penguasa pribumi sebagai klien dari penguasa kolonial yang sengaja dilakukan untuk menciptakan ketergantungan dan rasa menghormati dari para penguasa pribumi terhadap penguasa kolonial. Sedangkan pemerintahan selama pendudukan Jepang (tahun 1942-1945) cenderung memperkuat kembali etos paternalistik dan sentralistik yang telah tumbuh di masa sebelumnya tetapi lebih represif, brutal dan tidak terorganisir (Cribb dan Brown, 1995). Pasca kemerdekaan, Soekarno juga mempraktekkan patrimonial governance dengan cara mendistribusikan kesempatan bagi keuntungan personal (Crouch, 1979). Pada saat masa demokrasi terpimpin (tahun 1959-1965), partisipasi politik masyarakat juga sangat dibatasi. Pada era orde baru, pemerintah pusat memainkan peran sebagai inisiator, perencana dan pelaksana kebijakan dan program pembangunan yang semuanya telah dirancang dan ditentukan oleh pemerintah pusat. Ciri pemerintahan Indonesia di era Soeharto yang didasarkan pada rejim militer merupakan akumulasi kekuatan dan sistem patrimonial governance, administrasi publik yang paternalistik, intervensionis dan tidak transparan serta tidak akuntabel pada publik (Widianingsih, 2006). Walaupun era reformasi (pasca 1998) membawa pada transisi demokrasi Indonesia dan memungkinkan untuk mendesentralisasikan kekuasaan ke pemerintah daerah yang sebelumnya hampir sepenuhnya dikuasai pemerintah pusat, tidak berarti bahwa setiap tuntutan, kepentingan dan ide-ide grassroots akan diakomodasi oleh pemerintah daerah. Di belakang sebuah kesan formal yang demokratik dan sebagian karena realita demokrasi, sebagian besar kehidupan politik post-Soeharto masih tetap saja sangat patrimonial (Bhakti, 2006).
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 1, 2012
ARTIKEL
Di masa sekarang, reformasi administrasi publik di Indonesia pada beberapa kasus sering justru memperlihatkan situasi paradoks. Birokrasi yang dibangun masih menyisakan sistem administrasi publik masa lalu. Keberadaan birokrasi lebih banyak untuk mempertahankan kekuasaan dan menopang kepentingan penguasa. Dalam paradigma governance, warga atau pelanggan (client) dari suatu pelayanan publik tidak cukup diperlakukan sebagai obyek yang pasif, tetapi merupakan subyek yang aktif. Pelayanan publik harus bersifat clientoriented. Kepuasan pelanggan menjadi tolok ukur dan orientasi dari institusi pelayanan publik. Kenyataannya, pelayanan publik belum menunjukkan tingkat efisiensi dan efektivitas yang ideal. Mayoritas pelayanan publik terbukti masih menunjukkan mekanisme yang cenderung terlalu prosedural, rumit, berbelit-belit, dan memerlukan banyak waktu bahkan biaya. Bentuk pelayanan seperti ini belum memuaskan, bahkan merugikan publik yang dilayani. Proses implementasi Standar Pelayanan Minimal (SPM) pada organisasi pemerintah yang diharapkan menjadi jaminan pelayanan publik ternyata tidak semulus seperti yang diharapkan.
undang-undang, memang selalu berubahubah, namun perubahan tersebut cenderung disesuaikan dengan “selera” elit -elit penguasa. Akibatnya, perkembangan demokrasi berjalan sesuai dengan keinginan para pemegang kekuasaan. Demikian pula terkait netralitas birokrasi. Meski aparat birokrasi (PNS) dibentengi oleh aturan ketat agar tidak terlibat dalam politik praktis, tetapi justru oleh pimpinannya (pejabat politik/ Kepala Daerah) para PNS seringkali diseret masuk ke dalam politik praktis, misalnya sebagai “tim sukses”.
Menu ru t Tjokroamid jojo (2001), agenda reformasi yang dianggap penting pertama ialah mengupayakan perubahan ke arah sistem politik yang demokratis, partisipatif, dan egalitarian. Reformasi dalam sistem kepartaian, sistem Pemilu, susunan dan kedudukan lembaga-lembaga perwakilan rakyat dan pembatasan masa jabatan presiden. Dengan perubahan-perubahan mendasar dalam sistem politik era reformasi, peran birokrasi pemerintah juga harus berubah. Birokrasi pemerintah perlu berdiri netral dari politik praktis. Apa yang disampaikan Bintoro Tjokroamidjojo tersebut pada kenyataannya belum sepenuhnya sesuai harapan. Sistem politik, melalui perubahan
Sementara dalam kaitan otonomi daerah yang merupakan konsekuensi logis dari paradigma baru administrasi publik, pengembangan otonomi daerah belum tentu memperkuat governance jika dalam pelaksanaan otonomi daerah nilai-nilai feodalistik atau patrimonial justru sering yang dikedepankan. Termasuk ketika melihat penataan demokrasi yang dikaitkan dengan Pilkada. Pilkada memang dirasa lebih demokratis karena rakyat bebas memilih siapa calon pemimpin mereka, namun persoalannya, economic cost dari Pilkada yang berlangsung sekarang ini terlalu mahal. Efisiensi administrasi publik sulit dicapai jika mekanisme Pilkada belum ada perubahan.
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 1, 2012
Dalam hal kepastian hukum, paradigma governance memerlukan adanya kepastian hukum. Sementara demokratisasi seperti yang berlangsung di Indonesia justru menciptakan ketidakpastian hukum, salah satunya tampak dari perilaku kekerasan yang mewarnai konflik sosial di Indonesia. Demokratisasi di Indonesia ternyata juga cenderung menghasilkan kapitalisasi dalam demokrasi. Artinya, siapa yang memiliki modal b esar dalam Pemilu/Pilkad a, kemungkinan besar akan terpilih menjadi penguasa. Implikasinya, kualitas pejabat politik hasil Pemilu/Pilkada sering dipertanyakan.
67
Realitas dan Tantangan Inovasi Penyelenggaraan Pemerintahan : (Perspektif Reformasi Administrasi di Indonesia Didik G. Suharto
Kebijakan desentralisasi, selain membawa dampak positif, pada kenyataannya juga mendorong ketidakefisienan pemerintah dalam wujud pemekaran daerah. Perkembangan pemekaran daerah sangat cepat dan tak terkendali pasca tumbangnya orde baru. Dampak dari pemekaran adalah terjadi ekspansi birokrasi melalui penambahan struktur, ekspansi aparatur, dan peningkatan biaya pemerintah. Tidak hanya menyangkut ekspansi kelembagaan daerah otonom tapi juga kelembagaan pemerintah pusat (instansi vertikal) yang ada di daerah. Dengan kata lain, arah penataan kelembagaan di Indonesia tidak mengarah yang disebut Kettle dengan ”shringking the size of government” dan ”downsizing government”. Birokrasi di Indonesia juga cenderung boros. Sekilas bisa dicermati dari struktur anggaran pemerintah (terutama APBD), hampir seluruh daerah di Indonesia anggaran belanjanya sebagian besar dialokasikan untuk membiayai belanja pegawai. Penyebabnya, birokrasi masih didera persoalan in-efisiensi. Dari sisi struktur birokrasi, lembaga pemerintah cenderung terlalu gemuk dan terjangkit “parkinsonisasi”. Bahkan, parkinsonisasi pada masa orde baru cenderung lebih merupakan proses politisasi organisasi sektor publik, yaitu menjadikan wadah organisasi sektor publik untuk menampung kader-kader politik penguasa atau rezim. Gejala parkinsonisasi ditandai dengan jumlah jabatan atau posisi dalam departemen dan non departemen yang semakin diperbesar guna menampung atau memberi kompensasi jabatan pada para pendukung yang berjasa memenangkan Pemilu dan mendukung pemilihan presiden yang berkuasa (Rozi, 2006). Ironisnya, PP Nomor 41/2007 justru membuka jalan bagi desain susunan organisasi yang tambun. Dibanding peraturan pemerintah sebelumnya (PP Nomor 8/2003), organisasi perangkat
68
daerah menurut PP Nomor 41/2007 cenderung berpotensi membengkak. Salah satu elemen kunci good governance adalah partisipasi. Partisipasi tidak mungkin dapat dilakukan tanpa ada kesadaran di kalangan masyarakat akan hakhaknya. Pengalaman sejarah memperlihatkan bahwa partisipasi pihak non-state stakeholders dalam pembuatan keputusan politis nyaris tidak ada. Kondisi seperti ini memperkuat kedudukan state untuk tetap menjalankan status-quonya dengan kontrol publik yang amat lemah. Penyerapan aspirasi publik (salah satu komponen postmodern ilmu administrasi publik) -wujud nyata di Indonesia dalam bentuk Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang)sebagai amanat dari UU Nomor 32 tahun 2004, pada kenyataan di lapangan masih dalam tingkatan prosedural. Aspirasi kepentingan publik yang disusun bawah terhambat oleh elit decision maker (eksekutif dan legislatif) yang terkadang justru lebih banyak membawa kepentingan pribadi/ kelompok. Kekuasaan elit-elit itu juga berkontribusi terhadap kemandegan civil society yang sesungguhnya sudah banyak bermunculan pasca tumbangnya orde baru. Inisiatif publik dan berkembangnya organisasi mandiri masyarakat terkadang dimanipulasi oleh pihak-pihak yang ingin mempertahankan status quo. Birokrasi dituntut tidak hanya berorientasi untuk masyarakat atau rakyat atau sekadar melibatkan rakyat atau masyarakat secara formal-struktural yang hanya untuk melegitimasi adanya demokrasi, tetapi keterlibatan rakyat dan masyarakat untuk ikut bertanggung jawab. Birokrasi berdimensi kerakyatan dalam perspektif yang lebih luas dan dalam, tidak hanya ditujukan untuk dan demi masyarakat (sebagai objek dan sekaligus subjek) tetapi membentuk
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 1, 2012
ARTIKEL
birokrasi dimana masyarakat dapat meningkatkan kapasitasnya (Utomo, 2009). Dalam hal kinerja, kinerja birokrasi di Indonesia masih tergolong rendah. Meski telah dirintis penyusunan anggaran berbasis kinerja, tapi orientasi birokrasi masih condong pada proyek, bukan kinerja optimal. Bukti menunjukkan adanya realitas pada kantorkantor pemerintah yang masih rendah kinerjanya. Masih sangat mudah menjumpai pegawai pemerintah yang kurang produktif, dimana pada saat jam kerja tidak melakukan kegiatan produktif. Paradigma yang selama ini dianut, yang menekankan berhasil-tidaknya kinerja suatu instansi pemerintah pada keluaran (output) semata serta melupakan outcome, telah menyebabkan kegagalan hasil pembangunan. Kinerja pegawai semestinya harus terukur dengan jelas untuk bisa menilai prestasi kerja mereka. Kejelasan atas parameter kinerja ini bermanfaat dalam rangka pembinaan kepegawaian dan untuk menentukan reward and punishment setiap pegawai. Aspek profesionalisme sangat penting dan strategis ketika membicarakan kinerja birokrasi. Kinerja akan lebih mudah ditingkatkan seandainya pegawai memiliki sikap-sikap profesional sebagai pelayan publik. Profesionalisme merupakan variabel yang menentukan kinerja organisasi dalam mewujudkan reformasi birokrasi menuju tata kelola pemerintahan yang baik. Langkah pemerintah untuk memacu profesionalisme PNS tampaknya secara keseluruhan belum nyata dilakukan. Upaya peningkatan kinerja pegawai masih sering sebatas dimaknai peningkatan gaji dan tunjangan (remunerasi). Proporsionalitas dan profesionalitas kompensasi/upah (remunerasi) memang penting guna mendorong kinerja. Sistem penggajian seharusnya bisa merangsang pegawai untuk berprestasi. Penataan remunerasi harus diiringi penataan sistem-
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 1, 2012
sistem yang lain. Kehadiran PP Nomor 53 tahun 2010 tentang Disiplin PNS dan PP Nomor 46 tahun 2011 tentang Penilaian Prestasi Kerja PNS diharapkan bisa memacu kinerja pegawai. “Penyimpangan” reformasi administrasi publik lain ialah pelaksanaan privatisasi. Konsep privatisasi sering diartikan sebagai tindakan untuk mengurangi peran pemerintah di satu sisi dan meningkatkan peran sektor swasta (privat) dalam aktivitas pelayanan umum di sisi lain. Privatisasi yang berlangsung di Indonesia lebih memiliki konotasi pada penjualan perusahaan negara untuk menutup defisit anggaran. Senada dengan hal itu, pendekatan “mewirausahakan birokrasi” juga sering dimaknai sebagai upaya pemerintah daerah untuk mencari keuntungan. Terbukti dari banyaknya Peraturan Daerah (Perda) bermasalah yang dibatalkan pemerintah pusat sebab berpotensi memberatkan dunia usaha. FAKTOR PENGARUH REFORMASI ADMINISTRASI PUBLIK Setiap negara melaksanakan reformasi dengan cara yang berbeda-beda. Reformasi yang komprehensif berkaitan dengan skala reformasi yang sangat luas. Seperti yang dilakukan oleh Inggris, Australia dan Selandia Baru. Sementara reformasi terbatas dilakukan oleh Jepang, Jerman dan Swiss. Indikator skala reformasi komprehensif adalah adanya pengembangan kerangka kerja program reformasi berkelanjutan. Di samping skala komprehensif dan terbatas, ada juga terminologi reformasi yang aktif, seperti yang dilakukan oleh Denmark, Belanda dan Swedia; dan reformasi parsial seperti yang terjadi di Perancis (Killian, 2008). Negara-negara yang tergabung dalam OECD merupakan pionir dalam upaya reformasi administrasi publik. Negara-negara OECD selama dua puluh tahun terakhir telah
69
Realitas dan Tantangan Inovasi Penyelenggaraan Pemerintahan : (Perspektif Reformasi Administrasi di Indonesia Didik G. Suharto
dikenal karena besar, luas dan signifikansinya dalam mengusung perubahan. Terdapat variasi yang luas antar negara dalam artian laju dan tingkatan dari reformasi serta level komitmen terhadap NPM. Beberapa tipe reformasi di negara-negara OECD adalah : cutbacks, programme review and reform; managerialization and marketization; performance management; structure and organization; decentralization; privatization and corporatization; competing for policy roles (Halligan, 2001). Halligan menyimpulkan bahwa banyak negara yang mengaplikasikan perubahan atau reformasi dengan menggunakan strategi perubahan yang saling berbeda antara negara satu dengan negara lainnya. Alasan penerapan strategi yang saling berbeda didasarkan pada kompleksitas permasalahan yang dihadapi, perbedaan tingkat kebutuhan masing-masing negara, dan lain sebagainya. Kegagalan berbagai program reformasi selama ini terletak pada arah dan strategi reformasi yang keliru. Reformasi birokrasi yang dilakukan selama ini ternyata lebih diarahkan pada upaya untuk melakukan perubahan struktural, terutama yang berkaitan dengan aspek kelembagaan dan ketatalaksanaan. Persoalannya, dimensi struktural birokrasi tidak akan berfungsi dengan baik jika tidak diikuti oleh perubahan pada dimensi budaya dari birokrasi itu sendiri (Purwanto, 2008). Sebagaimana dikatakan Berkman dan Heper (2002) dalam mencermati reformasi di Turki, reformasi administratif tidak semata-mata dihadapkan pada persoalan teknis perubahan dalam bagan dan manual organisasi. Reformasi administratif memerlukan perubahan dalam norma, hubungan sosial, dan konfigurasi kekuatan politik. Tummala (2002) berpendapat, reformasi tidak bisa dalam suatu dasar ad hoc dan selalu didasarkan pada beberapa sistem kepercayaan atau suatu ideologi.
70
Dengan kata lain, suatu cetak biru diperlukan sebagai dasar untuk meluncurkan reformasi. Tummala membangun sebuah hantaran prasyarat reformasi administrasi dengan menempatkan peran ideologi yang dijadikan tuntunan sebagai arah dan kekuatan yang menggerakkan. Dalam pandangannya ideologi adalah sebuah cetak biru yang akan menjadi kompas dalam menjalankan reformasi. Toonen (2001) menyebut pendekatan yang sifatnya manajerial masih memberikan dampak kecil jika masyarakat keseluruhan atau leadership politiknya tidak menghargai sebuah peran pemerintah di dalam masyarakat. Pembentukan kekuatan pasar, kompetisi, review eksternal, pay for performance, dan kontrol kualitas, perlu dipertimbangkan. Berkaca dari sejarah di Indonesia, “personal rule” yang terjadi sejak jaman pra kolonial telah memberikan warna dan praktek administrasi publik. Ini berarti bahwa reformasi dasar yang paling pertama untuk dilakukan adalah “moral” para pemimpinnya. Perilaku dan sikap berkenaan dengan nilai, keinginan, moral dan tujuan personal. Artinya, gerakan moral pemimpin untuk berubah dan kemauan mengubah diri ke arah penggunaan sumber daya dan kekuasaan yang berorientasi bagi kepentingan “publik” daripada “personal” menjadi tekanan utama dalam upaya menciptakan elemen good governance atau sistem administrasi yang reformatif (Sudarmo, 2008). Seorang pimpinan dituntut untuk tidak saja mempengaruhi dan memotivasi tetapi juga kemampuan untuk men goordinir d an mengintegrasikan komponen, tujuan dan juga permasalahan ini terkait dengan bagaimana melaksanakan hubungan yang lebih erat di antara giving orders dengan carrying them out (Utomo, 2009). Menurut Zauhar (1996), reformasi akan dapat berjalan dengan efektif hanya
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 1, 2012
ARTIKEL
apabila didesain dengan tepat, yakni m e mp ert i mb an gkan d a n m e lib a tkan lingkungan dimana reformasi itu dilaksanakan. Keberhasilan reformasi administrasi sangat tergantung pada : (1) dukungan dan komitmen dari pemimpin politik; (2) adanya agen (inti) pembaru; (3) adanya lingkungan sosial ekonomi dan politis yang kondusif; serta (4) waktu yang tepat. Sifat dan ruang lingkup reformasi administrasi juga tergantung pada tersedianya sumber daya, baik dana maupun tenaga. Karena pada umumnya negara-negara sedang berkembang kekurangan baik dana maupun tenaga maka negara-negara tersebut akan mengalami b an y ak k e su lit an j ika m en era p kan pendekatan makro atau komprehensif. Pendekatan mikro atau inkremental akan lebih cocok bagi negara-negara sedang berkembang. Pada prinsipnya pendekatan governance hanya akan terwujud dengan baik jika ada kolaborasi, kemitraan, dan jejaring antar elemen (negara, sektor swasta dan masyarakat sipil). Hal ini akan tercapai apabila ketiga komponen tersebut memiliki kesamaan derajat dan peran serta mampu melakukan kontrol satu sama lain yang efektif. Sebagai arah baru dari reformasi administrasi publik, setiap aparatur pemerintah harus ditingkatkan keahlian dan kapasitas administratif, tanggungjawab, moral etika, akhlak, etos kerja, kreativitas, dan kesejahteraannya. Dari sudut pandang institusional, aparatur pemerintah perlu ditingkatkan persatuan, kerjasama, produktivitas, loyalitas, disiplin, dan profesionalismenya (Tjokroamidjojo, 2001). Dengan menggunakan teori efek domino, Utomo (2003) mengemukakan pendapat bahwa ketidakmampuan birokrasi dalam menyelesaikan permasalahan disebabkan oleh: 1) birokrasi berada dan bekerja pada
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 1, 2012
lingkun gan y an g h irarkis, b irokratis, monopolis, dan terikat oleh political authority sehingga birokrasi menjadi rigid/kaku, hanya sebatas following the instruction, tidak memiliki inisiatif dan kreativitas; 2) birokrasi sangat sarat dengan banyak tugas dan fungsi, karena tidak saja hanya terfokus lepada pelayanan publik tapi juga bertugas dan berfungsi sebagai motor pembangunan dan aktivitas pemberdayaan. Akibatnya birokrasi menjadi lembaga yang sangat tambun sehingga mengurangi kelincahannya. Fokus dari orientasi birokrasi adalah bagaimana terjadinya inisiatif dan kreativitas dari para birokrat, administrator dan dengan pemberdayaannya (empowering) (Utomo, 2009). Sementara Gerald E. Caiden (1982) mengamati perlunya memperhatikan budaya administrasi. Caiden berpandangan, kunci untuk meningkatkan kinerja sektor publik adalah perubahan budaya administratif. Perubahan hukum, overhaul organisasi, pemanfaatan panduan, pendidikan dan pelatihan, penetapan prosedur baru tidak bisa berjalan lebih jauh kecuali ada perubahan sikap, perilaku dan tindakan administrator publik. Demikian pula faktor lain terkait globalisasi. Semakin berkuasanya korporasikorporasi global mengungguli negara bangsa akan mematikan demokrasi (the death of democracy). Dominansi korporasi-korporasi global cenderung monopolistik dan oligopolistik, juga akan mengancam masyarakat sipil (Winarno, 2008). Globalisasi sesungguhnya mempengaruhi sifat reformasi administratif pada tingkat internasional. Lembaga-lembaga internasional/ supranasional dan agen-agen regulasi (PBB, Uni Eropa, Organisasi Perdagangan Dunia, Bank Dunia, Dana Moneter Internasional) berfungsi sebagai pengaruh luar tambahan. Akan tetapi, meskipun tekanan-tekanan dari luar untuk reformasi adalah signifikan,
71
Realitas dan Tantangan Inovasi Penyelenggaraan Pemerintahan : (Perspektif Reformasi Administrasi di Indonesia Didik G. Suharto
tampaknya poros penggerak utama bagi perubahan dihasilkan dari dalam. Yaitu, dorongan utama bagi perubahan, dalam wujud tanggapan terhadap krisis ekonomi dalam negeri (Killian dan Eklund (edt.), 2008). Menurut Caiden (1999), reformasi perlu dukungan politik yang kuat, dukungan massa, dan fasilitas yang kompeten. Berbagai faktor yang bisa b erp ot en si m e mp en ga ru h i r e for m as i administrasi publik di atas seharusnya d i a n t i s i p a s i d a n d i c a r i k a n s o l u s i penyelesaiannya. REFLEKSI INOVASI PEMERINTAHAN DARI KOTA SOLO Kota Solo merupakan contoh yang baik untuk menggambarkan beragamnya inovasi penyelenggaraan pemerintahan. Inovasi pemerintahan di Kota Solo dalam bentuk best practise berkembang dengan dinamis. Tidak hanya soal penataan sarana/prasarana kota; seperti revitalisasi pasar, city walk, tamanisasi, pembangunan sentra perdagangan, penataan PKL, Solo Night Market for Food Gladag Langen Boga (Galabo), pembangunan Solo Techno Park (STP) sebagai pusat pendidikan dan teknologi; inovasi pemerintah dalam rangka kesejahteraan masyarakat di bidang kesehatan dan pendidikan juga dilakukan. Program yang menjadi andalan Pemerintah Kota ialah Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat Surakarta (PKMS) dan Bantuan Pendidikan Masyarakat Kota Solo (BPMKS). PKMS adalah bantuan pengobatan yang diberikan Pemkot Solo kepada warga Kota Solo, terutama keluarga miskin. Mekanisme itu dibuktikan dengan kartu keluarga/kartu tanda penduduk. PKMS dimulai sejak 2008 dan diberikan kepada warga yang tidak terjangkau program asuransi kesehatan (Askes) PNS, askes swasta, Jamkesmas, serta asuransi kesehatan lainnya. Dengan menggunakan kartu PKMS, warga Solo mendapat bantuan pengobatan gratis, termasuk rawat inap (standar pelayanan
72
Jamkesmas) di seluruh Puskesmas dan 10 rumah sakit pemerintah/swasta di Kota Solo. Terobosan di bidang pendidikan, Pemerintah Kota mengalokasikan dana Bantuan Pendidikan Masyarakat Kota Solo (BPMKS), sebanyak Rp. 21 miliar per tahun. Hingga 2010, sebanyak 43.000 siswa mendapat bantuan pendidikan dari Pemkot Solo. Anggaran pendidikan bagi warga Kota Solo terus meningkat. Pada tahun 2009 sebesar Rp. 336,3 miliar, tahun 2010 meningkat menjadi Rp. 441,8 miliar, dan 2011 sebesar Rp. 471,5 miliar (Kompas, 21 Maret 2011). Demikian pula di bidang seni dan budaya, berbagai even tingkat lokal, nasional, bahkan internasional (seperti World Heritage Cities Conference and Expo, Solo Batik Carnival, Solo International Etnic Music, dan Indonesia Performing Art Mart) secara rutin digelar di Kota Solo. Keberhasilan dan dinamika inovasi pemerintahan tersebut tidak terlepas dari upaya stakeholders di Kota Solo. Mengacu konsep governance yang memiliki three legs (political governance, economic governance, dan administrative governance) dan three domains (state, private sector, dan civil society), inovasi pemerintahan di Kota Solo juga dipengaruhi aspek-aspek tersebut, selain variabel kepemimpinan (leadership) walikota yang berperan penting pula. Meski demikian, strategi Pemerintah Kota Solo dalam menumbuh-kembangkan kreativitas pembangunan bukannya tanpa resiko. Jika tidak bijak dan terencana baik, langkah kreatif Pemkot itu bisa berbenturan dengan persoalan lain. Misalnya, benturan antara kepentingan investasi dengan seni/budaya sebagaimana dialami Benteng Vestenberg. Upaya mengundang investor untuk membangun kota berhadap-hadapan dengan tuntutan pelestarian cagar budaya. Pembangunan sejumlah apartemen di Solo
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 1, 2012
ARTIKEL
juga tak luput dari tentangan budayawan. Benturan lain bisa terjadi antara Pemkot dengan sekelompok masyarakat terkait penataan kota, contohnya dalam revitalisasi bantaran sungai atau PKL. Perbedaan kepentingan yang tidak diiringi solusi konkret berpotensi menimbulkan pertentangan. Demikian pula, kemajuan kota berpotensi menimbulkan resistensi publik jika terjadi kesenjangan yang terlalu besar antara pesatnya perkembangan kota di satu sisi dengan lemahnya partisipasi publik. Inovasi yang dilakukan pemerintah tidak menutup kemungkinan berbenturan juga dengan persoalan hukum atau aturan administratif. Niat positif Pemkot tersebut tidak selamanya berbuah manis bila tidak dilandasi seperangkat aturan. Upaya membuat terobosan baru bisa jadi justru dipersalahkan jika tidak didukung payung hukum yang jelas. Hal ini dilandasi kenyataan bahwa sistem administrasi negara di Indonesia masih belum seluruhnya beranjak dari corak tradisional. Perencanaan maupun implementasi anggaran masih sangat kaku, formil, dan terkadang masih sentralistis. Padahal, realitas di lapangan berlangsung sangat dinamis yang menuntut responsivitas serta fleksibilitas tinggi. Institusi pemeriksa, pengawas, maupun penegak hukum sangat mungkin belum memiliki kesamaan pandangan dengan penyelenggara pemerintahan (Pemerintah Kota) dalam hal penerapan inovasi pemerintahan. Di sisi lain, pedoman aturan (payung hukum) penyelenggaraan pemerintahan dari pusat cenderung tidak mampu mengikuti kreativitas di daerah. Terakhir, inovasi pemerintah daerah juga bisa menemui benturan dari internal birokrasi terkait kompetensi dan kesiapan pegawai dalam mendukung program pimpinan. Sejauhmana kualitas dan komitmen para birokrat akan menentukan sejauhmana efektivitas program Pemkot. Demikian pula
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 1, 2012
dukungan anggaran dari pemerintah daerah. Program inovatif yang dilakukan pemerintah daerah biasanya memerlukan dukungan dana yang memadai. Keterbatasan anggaran pemerintah daerah akan menjadi penghambat penyelenggaraan program. Persoalan-persoalan tersebut yang kemudian menimbulkan pertanyaan mengenai keberlanjutan inovasi-inovasi di masa mendatang. Mampukah ketika pimpinan daerah diganti atau daerah mengalami kesulitan anggaran, program-program inovatif itu dapat terus berjalan ? Pembenahan terhadap persoalan-persoalan di atas diharapkan dapat lebih menumbuh-suburkan program-program inovatif baru dan menjamin keberlanjutannya. PENUTUP Di dalam reformasi administrasi publik, revitalisasi birokratik saja dianggap tidak cukup; kebiasaan birokratik bisa sekarat. Obat sederhana tidak bisa digunakan begitu saja. Masalah ad ministratif kon temporer membutuhkan pendekatan baru, desain organisasi baru, hukum baru, komitmen baru, hubungan baru, sikap baru, teknik baru dan invensi baru (Caiden, 1982). Pembentukan kekuatan pasar, kompetisi, review external, pay for performance, dan kontrol kualitas, p er lu d i p e rti mb an g kan . Di f fe r en sia s i, dekomposisi, fragmentasi, dan differensiasi sistem jasa sipil menjadi inti dari gerakan reformasi, baik dalam ideologi reformasi dan dalam reformasi administratif riil (Toonen, 2001). Dari uraian artikel ini dapat ditarik benang merah bahwa inovasi penyelenggaraan pemerintahan memerlukan adanya reformasi administrasi. Sementara reformasi administrasi merupakan sesuatu yang sangat kompleks dan rumit menyangkut perubahan dalam sistem penyelenggaran pemerintahan sebuah negara. Keberhasilan dalam pendekatan governance bisa diukur
73
Realitas dan Tantangan Inovasi Penyelenggaraan Pemerintahan : (Perspektif Reformasi Administrasi di Indonesia Didik G. Suharto
dari mampu tidaknya membangun tindakan kolektif (collective action) yang didasarkan pada penciptaan tujuan bersama. Good governance diartikan bukan semata-mata mencakup relasi dalam pemerintahan, melainkan mencakup relasi sinergis dan sejajar antara swasta, pemerintah dan masyarakat sipil. Namun dalam realitasnya, untuk mewujudkan hubungan yang sinergis dan sejajar antara pasar, pemerintah dan masyarakat sipil tersebut tidaklah mudah. Bahkan, di kalangan internal pemerintah (eksekutif, legislatif, dan yudikatif) reformasi administrasi masih menjadi persoalan serius. Sebagai penutup, sebuah kalimat dari Killian (2008) berikut kiranya relevan untuk disampaikan: “… karena tujuan reformasi administratif yang jauh jangkauannya adalah untuk memajukan pemerintahan yang baik dalam semua bentuk variannya, maka adalah suatu kewajiban bagi mereka yang memenuhi kualifikasi –siswa, pendidik, dan pakar administrasi umum– untuk melakukan apa yang dapat mereka lakukan untuk menantang dan mengatasi kelambanan birokratis menuju perubahan positif”. (*) REFERENSI Anderson, Benedict R.O.G, 1990, “The Idea of Power in Javanese Culture”, dalam Anderson B. R.O.G, Language and Power : Exploring Political Cultures in Indonesia, Ithaca/London : Cornell University Press Berkman, Umit, dan Heper, Metin, “Political Dynamics and Administrative Reform in Turkey”, dalam Farazmand, Ali, 2002, Administrative Reform in Developing Nations, USA : Praeger Bhakti, Ikrar Nusa, “The Transition to Democracy in Indonesia : Some Outstanding Problems” (www.apcs.org) Bovaird, Tony, dan Elke Loffler (ed.), 2003, “The Changing Context of Public
74
Policy”, Public Management and Governance, London : Routledge Caiden, Gerald E., 1999, “Administrative Reform – Proceed with Caution,” International Journal of Public Administration, New York, Vol. 22 Edition 6 _______, 1982, “Postscript : Public Administrative Reform”, dalam Caiden, Gerald E., dan Siedentopf, Heinrich (edt.), Strategies for Administrative Reform, Lexington : Lexington Books Cribb, Robert, dan Brown, Collin, 1995, Modern Indonesia : A History Since 1945, London & New York : Longman Crouch, Harold, “Patrimonialism and Military in Indonesia”, World Politics, 31 No. 4 (Juli 1979) Denhardt, Janet V., dan Robert B. Denhardt, 2003, The New Public Service : Serving, Not Steering, New York : ME Sharpe Denhardt, Robert B., 2004, Theories of Public Organization, fifth edition, USA : Thomson Wadsworth Frederickson, H. George, dan Kevin B. Smith, 2003, The Public Administration Theory Primer, Colorado : Westview Press Fukuyama, Francis, 1992, State-Building : Governance and World Order in The st 21 Century, New York : Cornell University Press Halligan, John, dalam Nolan, Brendan C. (edt.), 2001, Public Sector Reform, An International Perspective, New York : Palgrave Kettl F. Donald, 2000, The Global Management Revolution: A Report on The Transformation of Governance, Washington : The Brookings Instittution. Killian, Jerri, 2008, “An International Perspective on Administrative Reform”, dalam Killian, Jerri dan Eklund, Niklas (edt.), 2008, Handbook of Administrative Reform, An
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 1, 2012
ARTIKEL
International Perspective, USA : CRC Press Kompas, 21 Maret 2011, “Inovasi Populis dari Solo” Metcalfe, Les, “Public Management : From Imitation to Innovation”, dalam Kooiman, Jan (ed.), 1994, Modern Governance : New Government-Society Interaction, London : Sage Publications Pierre, Jon, dan Peters, Guy B., 2000, Governance, Politics and The State, London : Macmillan Pratikno, 2005, “Good Governance and Governability,” Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Vol. VIII No. 3, Maret 2005 Purwanto, Erwan Agus, “Merumuskan Kembali Agenda Pembangunan Budaya Birokrasi,” Harian Kedaulatan Rakyat, 29 Agustus 2008 Rozi, Syafuan, 2006, Zaman Bergerak, Birokrasi Dirombak : Potret Birokrasi dan Politik di Indonesia, Yogyakarta : Pustaka Pelajar Sudarmo, 2008, “Patrimonial Governance di Indonesia : Analisis Historis bagi Sebuah Reformasi Administrasi Publik yang Demokratis melalui Komitmen Moral, Perubahan Paradigma dan Modal Sosial,” Jurnal Spirit Publik, Surakarta, Vol. 4 No. 1, April 2008 Thoha, Miftah, 2008, Ilmu Administrasi Publik Kontemporer, Jakarta : Kencana Tjokroamidjojo, Bintoro, 2001, “Agenda Aksi Reformasi Birokrasi,” dalam, Thoha, Miftah, (edt.), Administrasi Negara, Demokrasi dan Masyarakat Madani, Jakarta : LAN
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 1, 2012
Toonen, The A.J., “The Comparative Dimension of Administrative Reform Creating Open Villages and Redesigning The politics of Administration,” dalam Peters, B. Guy, dan Pierre, Joe (edt.), 2001, Politicians, Bureaucrats and Administrative Reform, Routledge/ECPR Studies in European Political Science Tummala, Krishna K., “Administrative Reform in India”, dalam Farazmand, Ali, 2002, Administrative Reform in Developing Nations, USA : Praeger Utomo, Warsito, 2003, Dinamika Administrasi Publik : Analisis Empiris Seputar Isu-isu Kontemporer dalam Administrasi Publik, Yogyakarta : MAP UGM _______, “Membangun Budaya Birokrasi,” Harian Kedaulatan Rakyat, 20 September 2009 Vigoda, Eran (Ed.), 2002, “The Legacy of Public Administration : Background and Review”, Public Administration : an Interdisiciplinary Critical Analysis, New York : Marcel Dekker, Inc. Widianingsih, Ida, 2006, “Decentralization and Participation in Indonesia : Moving Towards More Participatory Planning”, Sociohumaniora, Vol. 8 No. 1, Maret Winarno, Budi, “Agenda Good Governance”, Harian Kedaulatan Rakyat, 19 September 2008 Zauhar, Soesilo, 1996, Reformasi Administrasi : Konsep, Dimensi dan Strategi, Jakarta : Bumi Aksara
75
Realitas dan Tantangan Inovasi Penyelenggaraan Pemerintahan : (Perspektif Reformasi Administrasi di Indonesia Didik G. Suharto
76
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 1, 2012
KAJIAN
PENGUKURAN DAN EVALUASI KINERJA MANAJEMEN PNS DI DAERAH : Studi Kasus di Provinsi Bali Oleh: Samiaji Peneliti Muda pada Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah - LAN Jl. Veteran No. 10 Jakarta Pusat, e-mail :
[email protected]
Abstract Potret PNS saat ini menunjukkan gambaran yang belum terlalu menggembirakan. Saat ini, PNS digambarkan mempunyai tingkat profesionalisme yang rendah, kemampuan pelayanan yang tidak optimal, rendahnya tingkat reliability, assurance, tangibility, empathy dan responsiveness, tidak memiliki tingkat integritas sebagai pegawai pemerintah sehingga tidak mempunyai daya ikat emosional dengan instansi dan tugas-tugasnya, tingginya penyalahgunaan wewenang (KKN), tingkat kesejahteraan yang rendah dan tidak terkait dengan tingkat pendidikan, prestasi, produktivitas dan disiplin pegawai. Kondisi ini berdampak pada rendahnya kinerja PNS dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya dalam melayani masyarakat. Salah satu penyebab buruknya kinerja PNS dalam memberikan pelayanan publik adalah lemahnya manajemen PNS itu sendiri, yang dimulai sejak perencanaan sampai dengan pemberhentian PNS. Pengukuran dan evaluasi kinerja manajemen PNS menjadi penting untuk dilakukan
PENDAHULUAN Pegawai Negeri Sipil (PNS) baik PNS Pusat maupun PNS Daerah merupakan pilar terpenting dalam pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan dan pembangunan, disamping pilar kelembagaan (organisasi) dan ketatalaksanaan (mekanisme/prosedur). Dengan kata lain, PNS atau birokrat sesungguhnya menjadi penyangga bagi berjalannya suatu pemerintahan. Adanya birokrasi yang cenderung gemuk lambat dan berbelit-belit, suka memperlambat orang dan membuat persoalan mudah menjadi sulit jelas akan menjadikan penyelenggaraan pemerintahan menjadi tidak berkualitas (Tjokroamidjojo, 2003).
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 1, 2012
Potret PNS saat ini menunjukkan gambaran yang belum terlalu menggembirakan. Saat ini, PNS digambarkan mempunyai tingkat profesionalisme yang rendah, kemampuan pelayanan yang tidak optimal, rendahnya tingkat reliability, assurance, tangibility, empathy dan responsiveness, tidak memiliki tingkat integritas sebagai pegawai pemerintah sehingga tidak mempunyai daya ikat emosional dengan instansi dan tugastugasnya, tingginya penyalahgunaan wewenang (KKN), tingkat kesejahteraan yang rendah dan tidak terkait dengan tingkat pendidikan, prestasi, produktivitas dan disiplin pegawai (Setia Budi, 2007). Kondisi ini berdampak pada rendahnya kinerja PNS
77
Pengukuran dan Evaluasi Kinerja Manajemen PNS di Daerah : Studi Kasus di Provinsi Bali Samiaji
dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya dalam melayani masyarakat. Di sisi lain, rendahnya kualitas pelayanan publik merupakan salah satu sorotan yang diarahkan kepada birokrasi pemerintah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Perbaikan pelayanan publik di era reformasi merupakan harapan seluruh masyarakat, namun dalam perjalanannya ternyata kualitas pelayanan yang diberikan tidak mengalami perubahan yang signifikan. Kajian Pusat Studi Kependudukan UGM (2002) mengungkap bahwa buruknya pelayanan yang diberikan disebabkan oleh faktor-faktor sebagai berikut: (a) ketidakpastian waktu, biaya dan cara pelayanan, (b) diskriminasi: hubungan pertemanan, afiliasi politik, agama dan etnis, (c) rantai birokrasi yang panjang, suap dan pungli dianggap wajar, (d) orientasi kepentingan: pemerintah dan pejabat, (e) merebaknya budaya kekuasaan, (f) terjadinya distrust, dan (g) tidak adanya distribusi kewenangan. Faktor-faktor tersebut tidak satu pun menyebut (secara eksplisit) fakfor SDM, namun jika dicermati secara jeli maka sebagian faktor penyebab buruknya pelayanan publik itu sangat berkaitan dengan kualitas SDM pemberi pelayanan. Faktor diskriminasi misalnya, merupakan sikap pelayan publik yang membeda-bedakan dalam memberikan pelayanan berdasarkan ’perkoncoan’ dan perilaku SARA (Suku, Agama, Ras dan Antargolongan). Demikian pula faktor pungli dan suap yaitu berkenaan dengan SDM pemberi layanan yang gemar melakukan pungutan liar dan menerima suap dari pihak yang dilayani. Kondisi demikian menyebabkan citra aparatur sebagai abdi negara dan abdi masyarakat semakin dipertanyakan. Sejak masa orde baru hingga kini, eksistensi PNS (ambtenaar) merupakan jabatan terhormat yang begitu dihargai tinggi dan diidolakan publik, sehingga filosofi PNS sebagai pelayan publik (public servant) dalam arti riil
78
menghadapi kendala untuk direalisasikan. Hal ini terbukti dengan sebutan pangreh praja (pemerintah negara) dan pamong praja (pemelihara pemerintahan) untuk pemerintahan yang ada pada masa tersebut yang menunjukkan bahwa mereka hanya ’siap dilayani’ bukan siap untuk melayani. Hal ini pulalah yang menyebabkan lunturnya kepercayaan masyarakat/publik kepada PNS selaku pelayan publik. Sesungguhnya, apa yang menjadi penyebab kondisi yang demikian?. Salah satu penyebab buruknya kinerja PNS dalam memberikan pelayanan publik adalah lemahnya manajemen PNS itu sendiri, yang dimulai sejak perencanaan sampai dengan pemberhentian PNS. Dalam kaitan dengan manajemen PNS tersebut, pada tahun 2011 Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah-Lembaga Administrasi Negara telah melakukan pengukuran dan evaluasi kinerja manajemen terhadap 5 Provinsi, yaitu Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Provinsi Bali, Provinsi Kalimantan Timur dan Provinsi Sulawesi Selatan. Namun dalam tulisan ini akan dibahas hasil pengukuran dan evaluasi kinerja manajemen PNS seluruh Kabupaten/Kota di Provinsi Bali. TUJUAN DAN SASARAN KAJIAN Tujuan kajian ini adalah untuk : 1. Mengukur kinerja manajemen PNS di Daerah yang ada saat ini (existing condition). 2. Mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja manajemen PNS di Daerah. 3. Menyusun strategi peningkatan kinerja manajemen PNS di Daerah. Adapun sasarannya adalah: 1. Teridentifikasinya gambaran kinerja manajemen PNS di Daerah yang ada saat ini (existing condition). 2. Teridentifikasinya faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja manajemen PNS di Daerah.
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 1, 2012
KAJIAN
3.
Tersusunnya strategi peningkatan kinerja manajemen PNS di Daerah.
METODE KAJIAN Jenis kajian ini adalah deskriptifevaluatif yakni kajian yang menggambarkan objek kajian sebagaimana adanya berdasarkan hasil evaluasi yang telah dilakukan terhadap objek kajian tersebut. Objek kajian yang dimaksud dalam kajian ini adalah pelaksanaan manajemen PNS di daerah. Pendekatan kajian yang digunakan adalah kuantitatif , yang didukung pula dengan pendekatan kualitatif. Namun demikian, pada kajian ini juga menggunakan pendekatan kualitatif yang mengedepankan pendalaman terhadap pandangan sumber informasi melalui wawancara mendalam dan metode lain yang dapat dipertanggungjawabkan. Berdasarkan karakteristik data yang digunakan, kajian ini lebih bersifat crosssectional study, dimana obyek studi dikaji pada pada waktu tertentu. Evaluasi manajemen PNS di daerah dilakukan terhadap data-data pada tahun 2011. Pengumpulan data kajian dilakukan dengan menerapkan beberapa teknik antara lain: a. Survey b. Diskusi/brainstorming c. Wawancara mendalam (indepth interview) d. Studi Pustaka Analisis data telah dilakukan melalui tahapan dan cara sebagai berikut: a. Untuk data hasil diskusi dan hasil wawancara mendalam (indepth interview), pengolahan dan analisis data dimulai dengan mentranskrip hasil diskusi dan wawancara mendalam, kemudian dilanjutkan dengan melakukan analisis data tersebut secara kualitatif. Dalam melakukan analisis data hasil wawancara perlu diperhatikan dengan seksama karena tidak semua data yang
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 1, 2012
b.
disampaikan narasumber merupakan fakta yang sesungguhnya. Untuk datadata yang berasal dari dokumentasi atau studi pustaka, pengolah dan penganalisis data (peneliti) akan menyalin/mengutip sebagian isi dari dokumen yang bersangkutan. Untuk itu, peneliti harus menyertakan sumber yang dikutipnya secara lengkap. Untuk data kuantitatif, analisis dilakukan sebagai berikut. 1) Menentukan bobot masing-masing parameter dan indikator. Penentuan bobot dilakukan melalui expert judgement sesuai kepentingannya dalam menjelaskan parameter dan indikator tertentu. Bobot terbesar pada aspek/parameter perencanaan (20%), parameter pengadaan pegawai dan pengembangan pegawai (15%), pengangkatan dalam jabatan, kesejahteraan pegawai, kinerja pegawai, dan disiplin dan etika pegawai (10%). Sedangkan skor terendah pada aspek/parameter pemberhentian (5%) karena parameter ini menjadi imbas dari parameter lainnya, misalnya penilaian kinerja dan disiplin & etika pegawai. 2) Memberikan nilai atas jawaban pertanyaan pada masing-masing indikator. Pemberian skor dibagi menjadi dua tingkat (ada – tidak ada, skor 100 dan 0) atau tiga tingkat (skor 100, 50, 0), atau 4 tingkat (skor 100, 75, 50, 25), atau ketentuan lainnya yang didasarkan pada kesepakatan tim kajian. 3) Memberikan skor pada masingmasing parameter. Skor masingmasing parameter diperoleh dengan menjumlahkan keseluruhan nilai setelah dikalikan dengan bobot masing-masing indikator. Total skor dihasilkan dengan menjumlahkan keseluruhan skor parameter setelah
79
Pengukuran dan Evaluasi Kinerja Manajemen PNS di Daerah : Studi Kasus di Provinsi Bali Samiaji
dikalikan dengan masing-masing bobot parameter. Rumus: Skor parameter1 = (bobot indikator11 x nilai indikator1)+…+ (bobot indikator1n x nilai indikator1n) Skor parameter2 = (bobot indikator21 x nilai indikator 21)+…+ (bobot indikator2n x nilai indicator 2n) dst Skor parameterm = (bobot indikatorm1 x nilai indikator 21)+…+ (bobot indikatormn x nilai indicator mn) Total skor = (bobot parameter1 x skor parameter1) +…+ (bobot parameterm x skor parameterm) Catatan: m= jumlah parameter dan n = jumlah indikator (masing-masing parameter) Kriteria hasil pengukuran menghasilkan indeks kinerja manajemen pegawai negeri sipil (IKM PNS) yang ditentukan sebagai berikut: 1) Skor Total ≥ 80 adalah sangat tinggi 2) Skor Total 61 -79 adalah tinggi 3) Skor Total 41 - 60 adalah rendah 4) Skor Total ≤ 40 adalah sangat rendah KONSEP PENGUKURAN DAN EVALUASI 1. Pengukuran Kinerja Pengukuran kinerja dan manajemen kinerja merupakan dua konsep yang saling berhubungan. Pengukuran dan manajemen kinerja adalah penting untuk melihat dan mengevaluasi capaian atau hasi pekerjaan yang telah diakukan individu/organisasi/ sistem untuk mencapai tujuan yang menjadi sasaran pekerjaan tersebut (LAN, 2004: 97). Pengukuran kinerja manajemen PNS Daerah adalah suatu proses untuk menentukan capaian kinerja manajemen PNS Daerah dalam rangka mendukung pencapaian
80
kinerja penyelenggaraan pemerintahan daerah. Manfaat pengukuran kinerja, antara lain: a. Sebagai alat untuk mengidentifikasi apakah tuntutan masyarakat terhadap pengelolaan PNS Daerah dapat terpenuhi. b. Membantu memahami proses penyelenggaraan dan pengelolaan PNS Daerah, menegaskan hal-hal yang telah dicapai serta menyingkap permasalahan yang belum diketahui. c. Untuk meyakinkan bahwa keputusan yang diambil secara obyektif, bukan secara emosional atau intuisi semata. d. Untuk menunjukkan perbaikan-perbaikan yang harus dilakukan dalam pengelolaan PNS Daerah. e. Untuk memperlihatkan keberhasilan pengelolaan PNS Daerah yang telah dicapai. f. Menjadi referensi bagi pemerintah daerah dalam melakukan pengelolaan PNS Daerah. Dewasa ini pemerintah, khususnya pemerintah daerah dituntut untuk lebih responsif, kompetitif, dan akuntabel. Oleh karena itu ketersediaan informasi kinerja manajemen PNS Daerah menjadi hal yang vital. 2.
Indikator Kinerja Indikator adalah suatu nilai yang diturunkan dari parameter yang memberikan informasi tentang keadaan dari suatu fenomena/lingkungan/wilayah dengan signifikansi dari indikator tersebut berhubungan secara langsung dengan nilai parameter. Suatu indikator tidak selalu menjelaskan keadaan secara keseluruhan, tetapi kerap kali memberi petunjuk (indikasi) tentang keadaan keseluruhan sebagai suatu pendugaan (proxy). Kategori indikator kinerja meliputi ukuran input (masukan) , ukuran output (keluaran), ukuran outcomes (hasil), ukuran efisiensi, dan infomasi penjelas.
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 1, 2012
KAJIAN
Evaluasi Kinerja membantu memahami kebijakan dan program melalui kajian yang sistematis yang menjelaskan pengoperasian program, efek, justifikasinya, dan implikasi sosialnya. Esensi penting dalam evaluasi adalah pembuatan ‘nilai-nilai’ yang diperlukan untuk menghasilkan informasi mengenai kinerja suatu obyek. Dan nilai ini merupakan informasi kinerja yang dapat digunakan secara terbuka untuk mengatakan apakah suatu hasil program/kegiatan dilakukan sesuai dengan tujuannya. Evaluasi dilakukan dengan tujuan akhir sebagai usaha untuk mewujudkan kondisi sosial yang lebih baik. Tujuan evaluasi Tujuan dari kegiatan evaluasi manajemen PNS di Daerah adalah sebagai berikut : a. Memberikan penilaian tentang kinerja manajemen PNS Daerah. b. Menilai sejauh mana manajemen PNS Daerah mampu memenuhi tujuan, aturan, standar, atau harapan formal lainnya c. Perbaikan manajemen PNS Daerah, usaha menggunakan informasi yang secara langsung mampu meningkatkan kualitas manajemen PNS Daerah. Aspek strategis dari kegiatan evaluasi adalah perumusan rekomendasi (recommendation), yaitu menentukan langkah-langkah tindak lanjut apa yang dapat dilakukan selanjutnya, baik sebagai tindakan korektif maupun dalam rangka keberlanjutan sesuatu program. Pengukuran kinerja dapat berfungsi sebagai alat deteksi dini (early warning sistem) untuk memperlihatkan tingkat kegagalan atau keberhasilan suatu program. Namun hasil dari pengukuran kinerja yang sifatnya lebih bersifat kuantitatif seringkali tidak dapat menjelaskan latar belakang atau alasan (reason) penyebab kegagalan atau mempelajari faktor-faktor keberhasilan dan memberikan suatu rekomendasi untuk
perbaikan. Oleh karena itu memerlukan eksplorasi yang lebih mendalam melalui evaluasi dapat sebagai cara untuk menjawab kebutuhan tersebut karena pada dasarnya evaluasi lebih menekankan pada pengkajian yang lebih mendalam untuk mendapatkan rekomendasi perbaikan. Meskipun tidak semua evaluasi menghendaki adanya pengukuran kinerja, namun pengukuran kinerja yang efektif tidak dapat dilepaskan dari kegiatan evaluasi. Hal ini karena pengukuran kinerja yang terlepas dari evaluasi hanya akan memberikan gambaran deskriptif dan sulit untuk memberikan rekomendasi yang baik.
3.
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 1, 2012
KONSEP DAN KEBIJAKAN MANAJEMEN PNS Manajemen PNS adalah keseluruhan upaya untuk meningkatkan efisiensi, efektivitas, dan derajat profesionalisme penyelenggaraan tugas, fungsi, dan kewajiban kepegawaian yang meliputi perencanaan, pengadaan, pengembangan kualitas, penempatan, promosi, penggajian, kepegawaian, dan pemberhentian. 1. Perencanaan Di dalam berbagai literatur selalu disebutkan istilah perencanaan sumber daya manusia (perencanaan SDM), namun dalam kajian ini terminologi tersebut akan dimaknai sama dengan perencanaan PNS, hal ini dimaksudkan guna menjaga konsistensi dalam pembahasannya. Secara konseptual, terdapat banyak sekali pengertian perencanaan sumber daya manusia (human resources planning) yang diberikan oleh para ahli. Beberapa di antaranya adalah seperti di bawah ini. Werther and Davis (2003:155) memberikan pengertian bahwa “Human resources planning sistematically forecast an organization’s future demand for and supply of employee”. Perencanaan sumber daya manusia secara sistematis meramalkan permintaan dan penawaran pegawai di masa mendatang dari suatu organisasi. Pengertian di atas memberikan penekanan pada
81
Pengukuran dan Evaluasi Kinerja Manajemen PNS di Daerah : Studi Kasus di Provinsi Bali Samiaji
keseimbangan atau kesesuaian antara permintaan terhadap pegawai dengan ketersediaannya di suatu organisasi. Hal tersebut senada dengan pendapat Siagian (1993: 41), yang menyatakan bahwa perencanaan merupakan pengambilan keputusan sekarang tentang hal-hal yang akan dikerjakan di masa depan. Dalam hal perencanaan SDM (: PNS) yang menjadi fokus perhatian ialah langkah-langkah tertentu yang diambil oleh manajemen guna lebih menjamin bahwa dalam organisasi tersedia tenaga kerja yang tepat pada waktu yang tepat, kesemuanya dalam rangka pencapaian tujuan dan sasaran yang telah dan akan ditetapkan. Berdasarkan pendapat tersebut menjadi jelas perencanaan PNS daerah hendaknya dimuat dalam perencanaan stratejik (Renstra), baik renstra satuan kerja perangkat daerah yang mengelola PNS daerah – dalam hal ini Badan Kepegawaian Daerah/BKD – maupun renstra daerah/ RPJMD. Dengan demikian, RPJMD dan atau Renstra BKD dikatakan baik apabila memuat prakiraan jumlah dan kualitas PNS yang dibutuhkan selama periode tertentu, misalnya lima tahun. Hal ini ditekankan pula oleh Zainun (1993:30), ...dalam renstra digunakan istilah arah dan kebijaksanaan yang disusul dengan program-program, ini berarti perencanaan yang menghasilkan rencana, maka dalam renstra ternyata perencanaan yang jangka waktunya 5 tahun. Satu hal yang juga penting dalam perencanaan PNS adalah adanya standar kompetensi jabatan untuk menjamin terpenuhinya kualitas PNS yang akan direkrut. Kompetensi adalah kemampuan dan karakteristik yang dimiliki oleh seorang PNS berupa pengetahuan (knowledge), keahlian/ keterampilan (skill) dan sikap perilaku (attitude) yang diperlukan dalam pelaksanaan tugas jabatannya. Sampai saat ini implementasi tahap perencanaan PNS sebagai bagian dari sistem
82
manajemen secara utuh di tingkat nasional belum ada, yang ada hanyalah perencanaan pengadaan pegawai (sebagaimana tertuang dalam PP No. 98 Tahun 2000 jo PP No. 12 Tahun 2002 tentang Pengadaan PNS). Padahal perencanaan yang utuh/makro ini sangat diperlukan dalam rangka mengelola PNS secara optimal. Dengan cara pandang ini maka perencanaan pegawai telah diukur melalui kelompok indikator sebagai berikut : Ketersediaan perencanaan induk (masterplan) kepegawaian Pemanfaatan ABK (Analisis Beban Kerja) dan AKP (Analisis Kebutuhan Pegawai) dalam penyusunan kebutuhan pegawai Bezetting (daftar kekuatan pegawai) dan pemanfaatannya Kesesuaian pengadaan pegawai dengan rincian formasi yang telah ditetapkan 2.
Pengadaan pegawai Pengertian pengadaan tidak sama dengan rekruitmen, karena pengadaan PNS lebih luas dari rekruitmen. Hal itu sebagaimana pendapat Thoha (2005: 55), proses pengadaan pada dasarnya meliputi kegiatan-kegiatan: (a) pengidentifikasian kebutuhan untuk melakukan pengadaan, (b) mengidentifikasi persyaratan kerja, (c) menetapkan sumber-sumber kandidat, d) menyeleksi kandidat, (e) memberitahukan hasilnya kepada para kandidat, dan (f) menunjuk kandidat yang lolos seleksi. Menurut Dictionary of Human Resources and Personnel Management (2003:219) rekruitmen adalah proses mencari dan mengangkat pegawai baru untuk bergabung dengan perusahaan. Pengertian ini memiliki penafsiran bahwa output dari rekruitmen ini adalah diperolehnya pegawai baru sesuai dengan kualifikasi yang dibutuhkan. Hardjapamekas (2002) menyatakan bahwa ada tiga hal yang perlu diperhatikan dalam rekruitmen SDM, yaitu: Pertama :
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 1, 2012
KAJIAN
kriteria utama rekruitmen, menurutnya rekruitmen pegawai paling tidak menghasilkan SDM dengan tiga karakteristik utama, yaitu integritas, kredibilitas dan kapabilitas; Kedua : basis rekruitmen, pelaksanaan rekruitmen sangat memungkinkan dilaksanakan mobilitas karier, transisi (tidak urut kacang) dan board based recruitmen basis; dan Ketiga : proses rekruitmen harus mengacu pada tiga kriteria pokok, yaitu : fair, equal opportunity dan transparan. Jadi pengertian Rekruitmen berhenti sampai si pelamar menyampaikan lamarannya kepada suatu organisasi. Merujuk pada konsepsi mengenai pengadaan maka indikatornya adalah sebagai berikut : Penyebarluasan informasi (pengumuman) pengadaan pegawai Persyaratan dalam pengadaan pegawai Penyaringan/Seleksi Pengelolaan pengaduan masyarakat dalam pengadaan pegawai Jangka waktu pengangkatan CPNS Jangka waktu pengangkatan CPNS menjadi PNS Kesesuaian penempatan. 3.
Pengangkatan dalam Jabatan Dalam konteks manajemen sumberdaya manusia aparatur baik pusat maupun daerah, yang dimaksud dengan “mutasi” adalah perpindahan tugas dan alih tempat dari seorang pegawai. Sondang P. Siagian (1993 : 170) menyatakan alih tugas dapat mengambil salah satu dari dua bentuk; bentuk pertama adalah penempatan seseorang pada tugas baru dengan tanggung jawab, hirarki jabatan dan tanggung jawab yang relatif sama dengan status yang lama tetapi masih dalam satuan organisasi yang sama, bentuk yang lain adalah alih tempat artinya pegawai yang bersangkutan melakukan pekerjaan dan tugas yang relatif sama dengan unit kerja yang lama, hanya saja secara fisik lokasi tempatnya bekerja berbeda.
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 1, 2012
Dalam rangka mutasi sumberdaya manusia aparatur perlu memperhatikan berbagai pertimbangan-pertimbangan yang rasional dan analisis kemampuan pegawai yang bersangkutan. Menurut Miftah Thoha (2005 : 57) hal-hal yang perlu diperhatikan dalam mutasi pegawai negeri sipil antara lain : lamanya masa kerja di suatu bidang pekerjaan, kebutuhan organisasi, penyegaran organisasi, pengetahuan dan keterampilan serta alasan khusus (ikut suami), biasanya mutasi dilakukan minimal dilaksanakan setiap 2 tahun dan maksimal 4 tahun sekali, yang dilaksanakan berdasarkan usulan kepala unit kerja, hal tersebut sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2003 jo PP 63 Tahun 2009. Hal-hal yang harus diperhatikan dalam pelaksanaan mutasi adalah penerimaan bahwa: - Mutasi adalah proses yang wajar dalam organisasi sehingga dibutuhkan dasar kebijakan untuk pelaksanaannya. - Sosialisasi/pegawai harus memiliki akses terhadap informasi mutasi ini. - Pola karier - Analisis jabatan. - Adil - Kesiapan pimpinan/pegawai (kasus) - Didokumentasikan secara baik - Ketepatan prosedur. Pada dasarnya promosi merupakan salah satu bagian dari penempatan yang dilaksanakan oleh organisasi, dalam hal ini organisasi pemerintah daerah. Penempatan pegawai dilakukan dengan membuat penyesuaian terhadap kebutuhan organisasi yang berhubungan dengan perencanaan untuk memperoleh orang yang tepat pada posisi yang tepat (the right man on the right place) Untuk dapat memahami konsep promosi, perlu disampaikan definsi promosi itu sendiri. Menurut Hasibuan (2006:108), promosi adalah perpindahan yang memperbesar authority dan responsibility
83
Pengukuran dan Evaluasi Kinerja Manajemen PNS di Daerah : Studi Kasus di Provinsi Bali Samiaji
pegawai ke jabatan yang lebih tinggi. Selain itu, efek yang ditimbulkan adalah hak, status, dan penghasilan berupa upah/gaji dan tunjangan lainnya akan bertambah dibandingkan dengan jabatan yang diperoleh sebelumnya. Pernyataan senada juga disampaikan oleh Samsudin (2005: 264), suatu promosi berarti pula perpindahan dari suatu jabatan ke jabatan lain dan berarti bahwa kompensasi (upah, gaji, dan sebagainya) lebih tinggi dibandingkan dengan jabatan yang lama. Tidak jauh dengan pendapat Hasibuan, Samsudin juga berpendapat bahwa dengan memperoleh promosi jabatan maka seseorang akan menyandang jabatan baru dengan tanggung jawab dan kewenangan yang lebih besar, serta kompensasi yang menjadi salah satu tujuan untuk dipromosikan menjadi lebih besar pula. Pengertian tersebut semakin menegaskan bahwa promosi jabatan merupakan perpindahan jabatan ke jabatan yang lebih tinggi dengan tugas, tanggung jawab dan wewenang yang lebih tinggi, diiringi dengan peningkatan kompensasi dan fasilitas lain. Selain itu, Nitisemito menambahkan bahwa promosi memiliki nilai tambah sebagai pencapaian yang dicapai oleh seorang pegawai yakni bukti pengakuan akan prestasi, kemampuan dan potensi yang dimilikinya untuk menduduki jabatan baru. Dalam kaitannya dengan promosi jabatan struktural di daerah telah diatur secara rinci dalam pasal 13, pasal 14 dan pasal 15 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2003 Tentang Wewenang Pengangkatan, Pemindahan, dan Pemberhentian Pegawai Negeri Sipil. Parameter ini disarankan untuk diukur dengan indikator sebagai berikut: Ketersediaan standar kompetensi jabatan dan pengukuran kompetensi jabatan Pemanfaatan standar kompetensi jabatan dalam rangka promosi dan rotasi.
84
4.
Pengembangan Pegawai Pengembangan sumber daya manusia ditujukan untuk mewujudkan manusia pembangunan yang berbudi luhur, tangguh cerdas, terampil, mandiri, dan memiliki rasa kesetiakawanan, bekerja keras, produktif, kreatif dan inovatif, berdisiplin serta berorientasi ke masa depan untuk menciptakan kehidupan yang lebih baik. Peningkatan kualitas sumber daya manusia diselaraskan dengan persyaratan keterampilan dan keahlian. Pengembangan Sumber Daya Manusia dalam perspektif teoritis ditujukan untuk mewujudkan manusia pembangunan yang berbudi luhur, tangguh cerdas, terampil, mandiri, dan memiliki rasa kesetiakawanan, bekerja keras, produktif, kreatif dan inovatif, berdisiplin serta berorientasi ke masa depan untuk menciptakan kehidupan yang lebih baik. Peningkatan kualitas sumber daya manusia diselaraskan dengan persyaratan keterampilan, keahlian, dan profesi yang dibutuhkan dalam semua sektor pembangunan (Kartasasmita 1995). Berangkat dari arti penting aparatur daerah dalam membangun dan melayani kepentingan publik inilah pertanyaan pentingnya adalah sejauhmana persiapan pemerintah daerah dalam mengantisipasi gejolak tuntutan perubahan sejalan dengan era reformasi dan globalisasi. Untuk itu, Bryant & White (1987) mengungkapkan bahwa terdapat empat aspek yang terkandung dalam pengembangan sumber daya manusia, yaitu : Pertama, memberikan penekanan pada kapasitas (capacity), yaitu upaya meningkatkan kemampuan beserta energi yang diperlukan untuk itu. Kedua, penekanan pada aspek pemerataan (equity) dalam rangka menghindari perpecahan di dalam masyarakat yang dapat menghancurkan kapasitasnya. Ketiga, pemberian kekuasaan dan wewenang (empowerment) yang lebih besar kepada masyarakat. Dengan maksud agar hasil pembangunan dapat benar-
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 1, 2012
KAJIAN
benar bermanfaat bagi masyarakat, karena aspirasi dan partisipasi masyarakat terhadap pembangunan dapat meningkat. Pengembangan SDM tidak hanya terfokus pada pegawai yang baru direkrut, akan tetapi untuk pegawai yang sudah lama bekerja. Menurut Flippo (1984: 200), pengembangan merupakan suatu proses yang terdiri dari : 1. Pelatihan untuk meningkatkan dengan perluasan pengetahuan umum pekerjaan tertentu dan 2. Pendidikan yang berkaitan dengan perluasan pengetahuan umum, pengertian dan latar belakang. Ada dua kelompok besar yang harus dilatih adalah tenaga operasional dan para manajer. Operative training dapat dilakukan dengan cara on the job training, vestibule schools, apprenticeship program dan special courses. Tujuannya adalah agar dapat meningkatkan produktivitas, mengurangi biaya, mempertinggi moral dan mempromosikan stabilitas dan fleksibilitas dari organisasi. Pengembangan manajer dapat dilakukan dengan cara membangun decision making skills dan job knowledge. Selain itu dapat melalui special courses, pertemuanpertemuan program membaca, proyek khusus dan tugas dari komite. Mejia et al (1995 :293) menyatakan bahwa “development is an effort to provide employees with abilities that the organization will need in the future”. Pengembangan merupakan upaya memberikan karyawan kemampuan yang dibutuhkan organisasi di masa depan. Pengembangan karyawan dilakukan melalui penilaian kinerja, pelatihan dan pengembangan serta pengembangan karir. Parameter pengembangan pegawai disarankan untuk diukur dengan indikatorindikator: Ketersediaan dan pemanfaatan analisis kebutuhan diklat/training need analysis (TNA)
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 1, 2012
Seleksi bagi calon peserta diklatpim yang belum menduduki jabatan Pengembangan pegawai melalui diklat teknis dan fungsional Evaluasi pasca diklat Pemanfaatan alumni Diklatpim Pengembangan pegawai melalui pendidikan formal Pengembangan mental pegawai.
5.
Kesejahteraan Pegawai Aspek kesejahteraan pegawai penting dijadikan penilaian dalam manajemen PNS Daerah. Upaya peningkatan kesejahteraan PNS meliputi Asuransi Kesehatan, Taspen, Cuti, Uang lembur, Persekot, dan dalam kepemilikan rumah. Setelah otonomi telah dilakukan pendelegasian wewenang kepada Gubernur untuk meneliti dan memutuskan pemberian bantuan perumahan dari dana Bapertarum pada PNS daerah. Upaya lain untuk meningkatkan kemampuan pegawai dalam kepemilikan rumah adalah dengan memberikan bantuan sebagian uang muka dalam rangka pembelian rumah yang dilakukan secara kredit. Bantuan lain berupa bantuan sebagian biaya membangun rumah yang diberikan dalam rangka membantu pembangunan rumah bagi PNS yang sudah memiliki tanah sendiri dan belum ada bangunannya di daerah PNS bekerja. Parameter kesejahteraan telah diukur dengan mebggunakan indikator sebagai berikut: Ketersediaan dan pemanfaatan fasilitas kesehatan, selain ASKES Ketersediaan dan pelaksanaan pemberian tunjangan cacat tetap/tidak tetap Ketersediaan dan pelaksanaan santunan uang duka Ketersediaan dan pemanfaatan bantuan memperoleh perumahan Ketersediaan uang makan pegawai (untuk 1 kali makan)
85
Pengukuran dan Evaluasi Kinerja Manajemen PNS di Daerah : Studi Kasus di Provinsi Bali Samiaji
Ketersediaan transportasi/bantuan uang transport bagi pegawai.
6.
Penilaian Kinerja Pegawai Evaluasi kinerja PNS Daerah umumnya dilakukan dengan mengacu pada DP3 (Daftar Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan) yang didalamnya terdapat 8 (delapan) unsur penilaian, yaitu kejujuran, kesetiaan, ketaatan, prestasi kerja, tanggung jawab, kerjasama, kepemimpinan dan prakarsa. Daftar Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan (DP3) tersebut merupakan penjabaran dari UndangUndang Nomor 8/1974 jo UU No. 43/1999 pasal 20 tentang Pokok-pokok Kepegawaian, yang berbunyi: ”Untuk lebih menjamin obyektivitas dalam mempertimbangkan pengangkatan dalam jabatan dan kenaikan pangkat diadakan penilaian prestasi kerja.” Penilaian pelaksanaan pekerjaan Pegawai Negeri Sipil diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1979. Serta untuk lebih menjamin adanya keseragaman dalam pelaksanaannya, maka BAKN mengeluarkan petunjuk teknis tentang pelaksanaan penilaian pekerjaan PNS berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 10/1979, berupa Surat Edaran yaitu SE. BAKN No. 02/SE/1980 tentang petunjuk pelaksanaan DP3. Mengacu pada SE. BAKN No. 02/SE/1980 Bagian II poin 1 – 2, tujuan dari DP3 ialah untuk memperoleh bahanbahan pertimbangan yang obyektif dalam pembinaan PNS berdasarkan sistem karier dan sistem prestasi kerja. Parameter evaluasi kinerja disarankan untuk diukur dengan indikator: Penerapan pakta integritas (kontrak kinerja) Penilaian kinerja individu pegawai Reward and Punishment. 7.
Disiplin dan Etika Pegawai Secara umum etika dapat dibagi menjadi dua bagian yakni etika umum (etika sosial) dan etika khusus (Misalnya etika
86
pemerintahan). Dalam kelompok tertentu dikenal dengan etika bidang profesional yaitu kode PNS, kode etik kedokteran, kode etik pers, kode etik pendidik, kode etik profesi akuntansi, hakim, pengacara, dan lainnya. Kode Etik PNS adalah pedoman sikap, tingkah laku, dan perbuatan yang harus dilaksanakan oleh setiap PNS atau norma yang wajib dipatuhi dan dilaksanakan oleh Pegawai Negeri Sipil dalam menjalankan tugas-tugas organisasi maupun menjalani kehidupan pribadi. Parameter etika disarankan untuk diukur dengan indikator: Kebijakan internal (Perda/Pergub/ Kepgub) tentang disiplin dan etika pegawai Pelaksanaan disiplin dan etika pegawai Tindak lanjut terhadap pelanggaran disiplin dan etika pegawai. 8.
Pemberhentian Pemberhentian dapat diartikan sebagai terputusnya hubungan kerja seseorang dengan instansi yang mengakibatkan hilangnya status sebagai karyawan atau pegawai. Dalam konteks pemberhentian sebagai PNS adalah pemberhentian yang mengakibatkan yang bersangkutan kehilangan status sebagai pegawai negeri sipil”. Pemberhentian dari jabatan negeri adalah pemberhentian yang mengakibatkan yang bersangkutan tidak bekerja lagi pada suatu satuan organisasi negara, tetapi masih tetap berstatus sebagai Pegawai Negeri Sipil. Pemberhentian dalam perspektif perundangan dapat dibagi menjadi tiga bagian yakni pemberhentian dengan hormat, pemberhentian tidak dengan hormat, dan pemberhentian sementara. Parameter pemberhentian/pensiun disarankan diukur dengan indikator: Pembinaan memasuki masa pensiun Ketepatan waktu pensiun Perpanjangan Batas Usia Pensiun (BUP).
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 1, 2012
KAJIAN
9.
Infrastruktur Manajemen PNS Daerah tidak hanya berkenaan dengan tahapan-tahapan fungsi manajemen, tetapi juga harus dikaitkan dengan kesiapan infrastruktur yakni standard kompetensi jabatan, database kompetensi jabatan, sistem informasi kepegawaian, kelembagaan pengelola, SDM pengelola, SOP, sarana prasarana dan anggaran. Sebagai suatu infrastruktur, maka indikator tersebut sangat mendukung tercapainya kinerja manajemen PNS di daerah yang optimal. Keberhasilan sebuah pengelolaan PNS dipengaruhi oleh keberadaan dokumen standard kompetensi jabatan, database kompetensi jabatan, SOP, kelembagaan pengelola, SDM pengelola, sistem informasi kepegawaian, sarpran dan anggaran. Anggaran merupakan bagian penting dalam manajemen PNS Daerah, diantaranya untuk mendukung pengadaan, pengembangan pegawai dan sebagainya. Dukungan anggaran kepegawaian pada kenyataannya sering dimarjinalkan, karena dianggap tidak memberikan dampak langsung
terhadap pencapaian tujuan organisasi pemerintah daerah. Oleh karenanya, mindset seperti ini pada masa depan harus dilakukan perubahan karena PNS Daerah merupakan penggerak utama pencapaian tujuan pemerintah daerah. Indikator-indikator yang telah digunakan untuk mengukur parameter infrastruktur meliputi: SOP (Standard Operating Procedure) Manajemen PNS Sistem Informasi Kepegawaian Sarana dan Prasarana Unit Pengelola Kepegawaian Anggaran pengembangan pegawai
Dari diagram diatas, dapat kita lihat skor Kab. Jembrana masuk kategori tinggi yaitu 74 dan Kab. Klungkung memperoleh skor terkecil yaitu 26 yang tergolong sangat rendah. Selain itu, ada yang termasuk kategori rendah yaitu Kota Denpasar (56), Kab. Badung (45), Kab. Tabanan (45), dan Kab. Buleleng (41). Sedangkan Kab. Gianyar (37), Kab.
Karangasem (32) dan Kab Bangli (29) tergolong kategori sangat rendah. Skor diatas merupakan skor total yang diperoleh oleh masing-masing kab/kota di Provinsi Bali. Berikut akan dipaparkan kondisi masing-masing parameter manajemen PNS Provinsi Bali. Untuk parameter perencanaan dapat kita lihat pada diagram berikut :
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 1, 2012
ANALISIS HASIL PENGUKURAN DAN EVALUASI DI PROVINSI BALI Untuk Provinsi Bali, skor manajemen PNS tertinggi diperoleh Kab. Jembrana. Dari semua daerah yang dievaluasi, skor tertinggi tetap dipegang oleh Kab. Jembrana. Berikut digambarkan skor manajemen PNS masingmasing kab/kota yang ada di Provinsi Bali :
87
Pengukuran dan Evaluasi Kinerja Manajemen PNS di Daerah : Studi Kasus di Provinsi Bali Samiaji
Dari diagram diatas, kategori sangat tinggi untuk parameter perencanaan diperoleh oleh Kab. Jembrana (88) dan Kota Denpasar (81). Untuk kategori tinggi hanya didapat oleh Kab Buleleng dengan skor 64. Begitu juga dengan kategori rendah hanya ada Kab. Tabanan (50), sedangkan yang lainnya banyak yang masuk kategori sagat rendah yaitu Kab. Badung (29), Kab. Gianyar (29), Kab. Karangasem (23), Kab. Klungkung (13), dan Kab Bangli (5). Dalam hal perencanaan pegawai, sebagian besar kab/kota di Provinsi Bali belum memiliki master plan kepegawaian. Kab. Jembrana dengan skor 88 sebenarnya belum memiliki dokumen master plan, namun master plan yang dimaksud adalah berupa renstra kepegawaian yang secara umum menggambarkan tujuan, sasaran, program dan kegiatan di bidang manajemen PNS. Selain itu di Kab. Jembrana juga sudah tersedia dokumen perencanaan kepegawaian tahunan yang sesuai dengan renstra kepegawaian, ABK dan AKP, bezetting, serta pengadaan pegawainya sudah sesuai dengan formasi yang telah ditetapkan sebelumnya. Mengenai dokumen perencanaan kepegawaian tahunan ada beberapa kab/kota yang sudah memilikinya, namun dokumen tersebut tidak sesuai dengan master plan, karena memang master plan kepegawaiannya belum ada seperti di Kota Denpasar, Kab. Tabanan, Kab. Badung, dan Kab. Gianyar.
88
Di Kota Denpasar (81), selain dokumen perencanaan tahunan, disana juga sudah tersedia ABK dan AKP, bezetting, dan pengadaannya sudah sesuai dengan formasi yang telah ditetapkan, kekurangannya adalah pada dokumen master plan kepegawaian yang belum tersedia. Dasar hukum penyusunan ABK adalah Permendagri No 12 Tahun 2008 tentang Pedoman Analisis Beban Kerja di Lingkungan Departemen Dalam Negeri dan Pemerintah Daerah, dan Keputusan Presiden No 68 Tahun 1995 tentang Jam Kerja Instansi Pemerintah. Di Kota Denpasar ABK disusun oleh tim ahli yang bekerjasama dengan BKN, namun berdasarkan wawancara dengan BKD Kota Denpasar diketahui bahwa pemanfaatan ABK ini belum optimal. Kab. Bangli (5) yang memperoleh skor sangat rendah memiliki perencanaan pegawai yang sangat buruk. Di kabupaten ini belum tersedia master plan kepegawaian, dokumen perencanaan kepegawaian tahunan, dan ABK dan AKP. Kab. Bangli hanya menyatakan memiliki dokumen bezetting. Dari hasil wawancara dengan Sekretaris BKD Bangli diungkap bahwa keterbatasan anggaran yang membuat BKD tidak dapat berbuat banyak, termasuk dalam menyusun dokumendokumen yang seharusnya dimiliki oleh BKD. Bahkan pada tahun 2010 lalu Kab. Bangli tidak melakukan rekrutmen CPNS, hal tersebut sesuai dengan kebijakan Bupati Bangli yang tertuang dalam surat Bupati Bangli yang
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 1, 2012
KAJIAN
ditujukan kepada Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara nomor 800/2602/BKD perihal Penundaan Rekrutmen CPNS Formasi Tahun 2010, adapun alasan utamanya adalah pada tahun 2010 pemda Bangli memfokuskan kegiatan pada penataan kepegawaian dan dikaitkan dengan perhitungan keuangan daerah, dimana total Pendapatan Belanja Daerah Kabupaten Bangli pada tahun anggaran 2010 sebesar Rp. 472.197.687.734,-
dari jumlah tersebut yang digunakan untuk belanja tidak langsung mencapai Rp. 358.290.055.954,- (76%). Sedangkan belanja langsungnya mencapai Rp. 113.907.631.780,(24%). Berikutnya untuk parameter pengadaan pegawai, skor yang diperoleh oleh masing-masing kab/kota yang ada di Provinsi Bali digambarkan dalam diagram berikut :
Berdasarkan diagram diatas, diketahui bahwa skor tertinggi untuk parameter pengadaan pegawai lagi-lagi diperoleh oleh Kab. Jembrana yaitu 96 (sangat tinggi). Selanjutnya ada 4 kab/kota yang masuk kategori tinggi yaitu Kab. Karangasem dan Kab. Badung dengan skor 78 serta Kab. Buleleng dan Kota Denpasar dengan skor 77. Untuk kategori rendah ada Kab Bangli (50), Kab. Gianyar (46), dan Kab. Tabanan (42). Sedangkan Kab. Klungkung dengan skor terkecil yaitu 37 masuk kategori sangat rendah. Dalam menyebarluaskan pengumuman mengenai pengadaan pegawai, sebagian besar kab/kota di Provinsi Bali sudah memanfaatkan semua media seperti papan pengumuman instansi, media massa, dan website. Namun ternyata masih ada beberapa kabupaten yang belum mengoptimalkan semua media tersebut, seperti Kab. Gianyar, Kab. Bangli, dan Kab. Karangasem, mereka hanya memanfaatkan papan pengumuman instansi untuk menyebarluaskan
pengumuman pengadaan pegawainya. Di zaman yang sudah serba canggih ini, sangat disayangkan mereka tidak memanfaatkan media massa dan website untuk menyebarluaskan pengumuman pengadaan pegawai tersebut. Penyebarluasan informasi pengadaan pegawai ini dilakukan sesuai dengan peraturan yaitu 15 hari. Mengenai persyaratan khusus dalam pegadaan pegawai, walaupun ada beberapa kab/kota yang menjawab memiliki persyaratan khusus, namun bukan persyaratan khusus yang dimaksud oleh tim kajian, yaitu persyaratan lain selain persyaratan administrasi dan kompetensi. Dalam seleksi administrasi, kepada pelamar yang tidak memenuhi persyaratan maka berkasnya seharusnya akan dikembalikan disertai dengan alasannya. Semua kab/kota di Provinsi Bali mengaku sudah melakukan itu. Selanjutnya menyangkut materi test yang diberikan dalam proses seleksi, secara umum kab/kota di Provinsi Bali hanya memberikan test
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 1, 2012
89
Pengukuran dan Evaluasi Kinerja Manajemen PNS di Daerah : Studi Kasus di Provinsi Bali Samiaji
kemampuan dasar (TKD) yang terdiri dari test bakat scholastic, test pengetahuan umum, dan test skala kematangan. Namun Kab. Jembrana memberikan semua test seperti yang diatur dalam perundangan yaitu test kemampuan dasar yang terdiri atas tes bakat skolastik, tes pengetahuan umum dan tes skala kematangan, tes kompetensi bidang (TKB), tes keahlian/ keterampilan tertentu, dan psikotes serta bahasa Inggris. Dalam mengelola pengaduan masyarakat terkait dengan pengadaan pegawai media yang disediakan berbeda-beda antara satu kab/kota dengan lainnya, namun pengaduan langsung lebih banyak diterima. Di Kab. Jembrana, pengaduan juga diterima melalui sms center, di antara SMS pengaduan yang masuk antara lain: Tgl kirim 18/11/2010 jam 22.43, no. hp. 6281333309660, message: “Maaf Pak, saya mau Tanya mengenai berkas saya tidak lolos untuk lowongan Pranata Komputer krn jurusan tidak sesuai. Jurusan saya t. elektro namun konsentrasi t. computer….” Tgl 18/11/2010 jam 15.15, no. hp 6281901118765, message :”eb belum keluar di tanda peserta saya. Saya kirim lewat pos pada tanggal 10 nov kemarin, mohon bantuan informasinya, terima kasih”. Tgl. 18/11/2010 jam 13.36, no. hp 6281805111987, message: “Selamat siang, saya Putu Fitri Mariana, pelamar dengan No. Registrasi 30270087, saya sudah mengirim berkas pada hari Rabu 10 November 2010 via pos. info”. Sebagian besar pengaduan dari masyarakat ini selalu ditindaklanjuti dan diselesaikan secara internal. Mengenai jangka waktu pengangkatan CPNS, rata-rata sudah sesuai dengan peraturan perundangan yaitu kurang dari 30 hari. Di Kota Denpasar, Kab. Jembrana dan Kab Buleleng, pengangkatan CPNS nya membutuhkan waktu 31-60 hari,
90
walaupun agak telat tapi ini masih dalam tahap kewajaran. Bahkan di Kab. Gianyar dan Kab. Bangli malah mencapai lebih dari 60 hari. Biasanya ini disebabkan karena proses di BKN dalam memeperoleh NIP terkadang melebihi batas waktu sesuai peraturan perundangundangan. Sedangkan untuk jangka waktu pengangkatan CPNS menjadi PNS sudah sesuai dengan peraturan yaitu 1-2 tahun. Terkait dengan kesesuaian penempatan pegawai dengan rincian formasi yang telah ditetapkan sebelumnya, sebagian besar sudah sesuai. Hanya Kab. Tabanan dan Kab. Buleleng yang mengaku bahwa penempatan pegawainya sebagian kecil tidak sesuai. Di Kab. Buleleng ketidaksesuaian penempatan ini dilakukan karena ‘sangat mendesak’. Ketika ditanyakan apa yang dimaksud dengan sangat mendesak pihak pemda juga tidak mampu memberikan jawaban yang jelas (kemungkinan karena alasan politik). Mengenai parameter pengangkatan dalam jabatan, sebagian besar kab/kota di Provinsi Bali memperoleh skor sangat rendah. Diagram berikut menjelaskan skor masing-masing kab/kota yang ada di Provinsi Bali :
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 1, 2012
KAJIAN
Berdasarkan diagram diatas, diketahui Kab. Jembrana memperoleh skor sempurna yaitu 100. Ini berarti proses pengangkatan dalam jabatan di Kab. Jembrana sudah sesuai dengan peraturan yang berlaku. Sedangkan Kab. Klungkung dan Kota Denpasar memperoleh skor 0 yang mengisayaratkan supaya proses pengangkatan dalam jabatan di 2 kab/kota ini perlu ditinjau kembali. Kab. Badung memperoleh skor 60 untuk parameter ini yang masuk kategori rendah. Sedangkan Kab. Bangli (30), Kab. Karangasem (30), Kab. Tabanan (30), Kab. Gianyar (30) dan Kab. Buleleng (10) berada pada kategori sangat rendah seperti halnya Kab. Klungkung dan Kota Denpasar. Dari 9 kab/kota yang ada di Provinsi Bali, hanya Kab. Jembrana, Kab. Badung dan Kab. Tabanan yang menyatakan sudah memiliki standar kompetensi jabatan. Namun dari standard kompetensi jabatan tersebut hanya Kab. Jembrana yang sudah melakukan pengukuran (assessment) sedangkan Kab. Badung dan Kab. Tabanan belum. Standard kompetensi jabatan di Kab. Jembrana tertuang dalam Peraturan Bupati Jembrana No. 31 Tahun 2009 tentang Standar Kompetensi Jabatan Struktural PNS Pemerintah Kabupaten Jembrana. Dalam Pasal 3 disebutkan bahwa tujuan SKJ adalah untuk efisiensi dan efektivitas pelaksanaan tugas dan tanggung jawab organisasi/unit organisasi, dan untuk menciptakan
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 1, 2012
optimalisasi kinerja organisasi/unit organisasi. Standard kompetensi dimaksud terdiri atas kompetensi umum dan kompetensi khusus. Standar Kompetensi Umum Jabatan Struktural Eselon II meliputi : a. mampu mengaktualisasikan nilai-nilai kejuangan dan pandangan hidup bangsa menjadi sikap dan perilau dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan, b. mampu memahami dan mewujudkan kepemerintahan yang baik (good governance) dalam pelaksanaan tugas dan tanggung jawab organisasinya, c. mampu menetapkan program-program pelayanan yang baik terhadap kepentingan public sesuai dengan tugas dan tanggung jawab unit organisasinya, d. mampu memahami dan menjelaskan keragaman social dan budaya lingkungan dalam rangka peningkatan citra dan kinerja organisasi, e. mampu mengaktualisasikan kode etik PNS dalam meningkatkan profesionalisme, moralitas dan etos kerja, f. mampu melakukan manajemen perubahan dalam rangka penyesuaian terhadap perkembangan zaman, g. mengikuti dan luus tes peningkatan kompetensi aparatur, h. mampu melaksanakan pengorganisasian dalam rangka pelaksanaa n tugas dan tanggung jawab organisasi,
91
Pengukuran dan Evaluasi Kinerja Manajemen PNS di Daerah : Studi Kasus di Provinsi Bali Samiaji
i.
mampu membangun jaringan kerja/ melakukan kerjasama dengan instansiinstansi terkait baik di dalam negeri maupun di luar negeri untuk meningkatkan kinerja unit organisasinya, j. mampu melakukan analisis resiko dalam rangka eksistensi unit organisasi, k. mampu merencanakan/mengatur sumber daya-sumber daya yang dibutuhkan untuk mendukung pelaksanaan, dan seterusnya. Terkait dengan mekanisme promosi dan rotasi jabatan hanya Kab. Jembrana yang memanfaatkan standard kompetensi jabatan karena memang sudah memilikinya. Sedangkan kab/kota lainnya lebih memperhatikan pertimbangan lain diluar standard kompetensi jabatan atau bahkan pertimbangan lain diluar analisis dan evaluasi jabatan. Seperti Kab. Karangasem, Kab. Bangli, Kab. Badung, dan Kab. Gianyar yang memperhatikan pertimbangan diluar standard kompetensi jabatan seperti analisis jabatan, DUK, pendidikan dan pelatihan, pengalaman serta syarat objektif lainnya.
Mekanisme promosi dan rotasi jabatan di instansi pemerintah salah satunya didasarkan pada pertimbangan Baperjakat. Seperti di Kab. Bangli, karena belum memiliki standard kompetensi jabatan, maka promosi dan rotasi didasarkan pada hasil rapat Baperjakat. Baperjakat selalu menyampaikan daftar nominasi pegawai yang pantas untuk menduduki jabatan tertentu, tetapi Bupati yang memilih satu diantara beberapa calon yang diajukan, hal tersebut tidak terlepas dari akibat politisasi jabatan yang melanda hampir semua instansi pemerintah daerah. Ini juga terjadi di Kab. Buleleng, dimana dalam instrument evaluasi dijelaskan bahwa mekanisme promosi dan rotasinya dengan memperhatikan pertimbangan lain diluar analisis jabatan dan evaluasi jabatan yaitu pertimbangan kebijakan pimpinan (bupati). Selanjutnya parameter pengembangan pegawai, di Provinsi Bali belum ada kab/kota yang memperoleh skor tinggi dan sangat tinggi. Skor kab/kota di Provinsi Bali untuk parameter ini hanya berkisar pada kategori rendah dan sangat rendah. Untuk lebih jelasnya perhatikan diagram berikut :
Dalam diagram diatas, dapat dilihat bahwa dalam hal pengembangan pegawai, hanya Kab. Badung yang memperoleh skor rendah yaitu 43, sedangkan kab/kota yang lainnya masuk kategori sangat rendah,dimana skor yang diperoleh tidak lebih dari 40. Seperti Kab. Tabanan dengan skor 34, Kab.
Buleleng 31, Kab. Jembrana dan Kab. Gianyar masing-masing 28, Kab. Bangli dan Kota Denpasar masing-masing 26, Kab. Karangasem 13, dan yang paling rendah Kab. Klungkung dengan skor 4. Dalam rangka pengembangan pegawai, secara ideal perlu dilakukan analisis kebutuhan Diklat, atau yang
92
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 1, 2012
KAJIAN
lebih dikenal dengan TNA (training need analysis). Namun dari 9 kab/kota yang ada di Provinsi Bali hanya Kab. Gianyar yang menyatakan sudah memiliki dokumen TNA, itupun belum dimanfaatkan secara optimal. Mengenai seleksi calon peserta diklatpim, sebagian besar kab/kota di Provinsi Bali tidak pernah melakukan seleksi bagi calon peserta diklatpim yang belum menduduki jabatan. Di Kab. Badung dan Kab. Bangli seleksi ini selalu dilakukan, sedangkan Kab. Buleleng dan Kab. Tabanan mengaku kadangkadang juga melakukan seleksi ini namun dari peserta yang lolos seleksi hanya sebagian kecil juga yang diikutsertakan dalam diklatpim. Diklat teknis dan fungsional merupakan salah satu upaya dalam rangka pengembangan pegawai. Di sebagian besar kab/kota yang ada di Prov. Bali sudah ada diklat teknis dan fungional ini. Ada kab/kota yang merasa diklat tersebut sudah sesuai dengan kebutuhan organisasi dan ada yang merasa belum sesuai kebutuhan. Di Kab Jembrana, pengembangan pegawai melalui diklat teknis dan fungsional sangat selektif diberikan kepada pegawai dan benar-benar berdasarkan kebutuhan organisasi mengingat anggaran yang terbatas. Beberapa diklat teknis yang diikuti seperti: diklat penyusunan APBD, diklat perencana, diklat pranata komputer. Sedangka di Kab. Buleleng beberapa program diklat teknis yang sudah dilaksanakan antara lain menyangkut diklat administrasi perkantoran, diklat kearsipan, dan diklat kesekretarisan. Namun diklat ini dianggap belum sesuai dengan kebutuhan organisasi. Evaluasi pasca diklat juga perlu dilakukan untuk melihat sejauhmana keberhasilan diklat yang sudah diikuti, namun pada umumnya daerah tidak pernah melakukan ini karena memang belum ada pedoman yang jelas. Dari sisi pemanfaatan alumni diklatpim, beberapa daerah sudah bisa menyerap semua
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 1, 2012
alumni diklatpimnya untuk menduduki jabatan struktural sesuai dengan diklatpim yang diikutinya misalnya di Kota Denpasar, Kab. Jembrana, Kab. Gianyar, dan Kab. Karangasem. Sedangkan di beberapa kab/kota masih banyak alumni diklatpim yang belum menduduki jabatan struktural. Misalnya di Kab. Bangli, untuk alumni diklatpim Tk. II masih ada 43,33%, alumni diklatpim Tk.III 64,44%, dan alumni diklatpim Tk. IV masih ada sekitar 30,70% yang belum menduduki jabatan sesuai dengan diklatpim yang sudah diikuti. Selain itu masih banyak pejabat struktural yang sudah menduduki jabatan namun belum mengikuti diklatpim yang dipersyaratkan. Ini terjadi karena keterbatasan anggaran pengembangan pegawai. Pengembangan pegawai melalui pendidikan formal juga dilakukan beberapa kab/kota yang ada di Provinsi Bali seperti Kab. Bangli, Kab. Jembrana, Kab. Tabanan, dan Kab. Badung. Kerjasama misalnya dilakukan Kab. Jembrana dengan Universitas Udayana, Universitas Airlangga, dan Undiksa, dan Kab. Bangli melakukan kerjasama dengan Universitas Kanjuruhan Malang, Universitas Mahendradatta Denpasar, Universitas Gajah Mada Yogyakarta, Universitas Mahasaraswati Denpasar. Berikutnya menyangkut pengembangan pegawai melalui pembinaan mental pegawai, di Provinsi Bali hanya beberapa kab/kota yang melakukan ini yaitu Kab. Tabanan, Kab. Jembrana, Kab. Karangasem, dan Kab. Buleleng. Pada umumnya dilakukan pada perayaan hari besar keagamaan. Sedangkan kab/kota yang lain belum melakukan program tersebut. Selanjutnya untuk parameter kesejahteraan pegawai, gambaran kondisi kesejahteraan di Provinsi Bali disajikan dalam diagram berikut :
93
Pengukuran dan Evaluasi Kinerja Manajemen PNS di Daerah : Studi Kasus di Provinsi Bali Samiaji
Berdasarkan diagram diatas dapat dijelaskan bahwa tidak ada satu pun kab/kota di Provinsi Bali yang mencapai skor tinggi untuk parameter kesejahteraan ini. Kota Denpasar memperoleh skor tertinggi dibanding kab/kota lainnya di Provinsi Bali yaitu 55 yang masih tergolong kategori rendah. Sedangkan kab/kota lainnya masuk kategori sangat rendah yaitu Kab. Klungkung (35), Kab. Badung (25), Kab. Jembrana dan Kab. Gianyar masing-masing 20, Kab. Buleleng (10), Kab Bangli dan Kab. Tabanan masingmasing 5, serta yang paling rendah kesejahteraannya adalah Kab. Karangasem dengan skor 0. Memang banyak kendala yang tak bisa dielakkan untuk meningkatkan kondisi kesejahteraan pegawai di suatu daerah. Kendala anggaran merupakan yang utama. Ada beberapa indikator yang ada dalam parameter ini seperti ketersediaan fasilitas kesehatan selain ASKES, tunjangan cacat, santunan uang duka, bantuan memperoleh perumahan, uang makan, dan uang transport. Dari beberapa indikator tersebut, hanya sebagian kecil yang sudah dipenuhi oleh kab/kota di Provinsi Bali. Misalnya untuk fasilitas kesehatan selain ASKES, hanya Kab. Gianyar, Kab. Klungkung dan Kota Denpasar yang mengaku sudah memilikinya. Di Kab. Gianyar misalnya ada poliklinik kesehatan pemda Gianyar, sedangkan di Kab. Klungkung dan Kota Denpasar tidak dijelaskan fasilitas kesehatan seperti apa yang telah disediakan.
94
Untuk tunjangan cacat hanya ada di Kab. Tabanan. Selanjutnya santunan uang duka ada di Kab. Klungkung, Kab. Buleleng, Kab. Badung, Kab. Gianyar, dan Kab. Bangli. Di Kab. Buleleng sumber pendanaan santunan uang duka adalah dari APBD sesuai SK Bupati Buleleng No. 800/146/HK/2009. Terkait dengan bantuan memperoleh perumahan hanya Kota Denpasar yang mengaku sudah menyediakannya, hal ini tidak terlepas dari banyaknya permasalahan dalam pengadaan bantuan memperoleh perumahan tersebut. Mengenai ketersediaan uang makan, sudah ada beberapa kab/kota yang menyediakannya seperti Kota Denpasar, Kab. Badung, Kab. Jembrana dan Kab. Klungkung. Di Kota Denpasar besarnya uang makan adalah Rp. 15.000 per hari di potong pajak. Di Kab. Badung pemberian uang makan ini diatur dalam Keputusan Bupati Badung No. 1158/01/HK/2011 tentang pemberian uang makan kepada PNS Non guru dan THL/Honorer di lingkungan pemerintah Kabupaten Badung yang besarnya disesuaikan dengan golongan yaitu golongan IV =Rp. 23.530, golongan III = Rp. 21.060 dan golongan II dan I = Rp. 20.000. Terakhir mengenai uang transport belum ada kab/kota di Provinsi Bali yang menyediakannya. Parameter Kinerja Pegawai merupakan parameter selanjutny yang akan kita bahas. Berikutnya akan disajikan diagram yang menunjukkan kondisi penilaian kinerja pegawai yang ada di Provinsi Bali :
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 1, 2012
KAJIAN
Dari diagram diatas dapat kita lihat bahwa hanya ada Kab. Jembrana yang memperoleh skor menonjol dibanding dengan kab/kota lainnya yang rata-rata masuk kategori sangat rendah. Kab. Jembrana dengan skor 85 termasuk kategori sangat tinggi. Sedangkan kab/kota lainnya hanya memperoleh skor ≤40, yaitu Kab. Karangasem (40), Kota Denpasar (35), Kab. Tabanan (30), Kab. Buleleng (25), Kab. Klungkung (20), dan Kab. Bangli, Kab. Badung, dan Kab. Gianyar yang memperoleh skor terendah yaitu masing-masing 15. Penilaian kinerja pegawai di Provinsi Bali menunjukkan bahwa belum ada penerapan pakta integritas di sebagian besar kab/kota yang ada di Provinsi Bali. Penerapan pakta integritas ini hanya ada di Kab. Jembrana dan Kab. Karangasem. Di Kabupaten Karangasem pakta integritas ini baru diberlakukan bagi para pejabat Eselon II. Untuk melakukan penilaian kinerja individu, semua kab/kota di Provinsi Bali hanya menggunakan DP-3, belum ada kab/kota yang melakukan inovasi untuk membuat instrument penilaian lainnya. Sistem pemberian reward and punishment juga diterapkan di beberapa kab/kota yang ada di Provinsi Bali. Di Kab. Jembrana misalnya ada reward bagi pegawai yang berkinerja baik berupa pemberian uang tunai yang dilakukan setiap tahun. Adapun bagi pegawai yang berkinerja buruk, ada sanksi bagi mereka yaitu berupa hukuman disiplin sebagaimana
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 1, 2012
diatur dalam PP 53/2010. Di Kota Denpasar juga begitu, namun penghargaan yang diberikan baru sebatas Satya Lancana Karya Satya, belum ada penghargaan khusus yang merupakan inovasi sendiri dari Kota Denpasar. Di Kab Buleleng dan Kab. Tabanan juga sudah ada pemberian punishment berupa : a) penurunan pangkat setingkat lebih rendah selama 1 tahun, b) penundaan kenaikan gaji berkala selama 1 tahun, c) penurunan pangkat setingkat lebih rendah selama 3 tahun, d) pembebasan dari jabatan, e) pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri. Parameter selanjutnya adalah disiplin dan etika pegawai. Pencapaian kab/kota di Provinsi Bali untuk parameter ini sangat beragam, dapat kita lihat pada diagram berikut :
95
Pengukuran dan Evaluasi Kinerja Manajemen PNS di Daerah : Studi Kasus di Provinsi Bali Samiaji
Dalam diagram diatas kita lihat bahwa rata-rata penerapan disiplin dan etika di Provinsi Bali sudah cukup bagus. Ini dibuktikan dari 9 kab/kota yang ada di Provinsi Bali, 6 diantaranya termasuk kategori yang penerapan disiplin dan etikanya sangat tinggi, yaitu Kab. Tabanan, Kab. Jembrana, Kab. Gianyar, dan Kota Denpasar masingmasing dengan skor 100, lalu ada Kab. Bangli dengan skor 90 dan Kab. Klungkung dengan skor 85. Sedangkan lainnya ada Kab Badung (70) yang masuk kategori tinggi, Kab. Buleleng (50) masuk kategori rendah, dan Kab. Karangasem (35) masuk kategori sangat rendah. Dalam menegakkan disiplin di daerahnya, beberapa kab/kota sudah memiliki kebijakan internal masing-masing daerah dalam rangka menindaklanjuti PP No. 53 tahun 2010 tentang disiplin PNS. Di Kota Denpasar misalnya ada Keputusan Walikota Denpasar Nomor 279 tahun 2003 tentang tindakan administrasi terhadap pelanggaran ketentuan displin kerja pegawai di lingkungan pemerintah Kota Denpasar berisi tentang upaya pembinaan dan meningkatkan disiplin kerja pegawai di lingkungan pemerintah Kota Denpasar, maka kepada pegawai wajib untuk mentaati ketentuan jam kerja, mengisi daftar hadir, pakaian dinas dan penggunaan kendaraan roda dua. Begitu juga di Kab. Gianyar ada Peraturan Bupati Nomor 18 tahun 2007 tentang penetapan jam kerja pegawai di
96
lingkungan Instansi Pemerintah Kabupaten Gianyar. Peraturan ini berisi tentang upaya dalam rangka memberikan pelayanan yang lebih prima kepada masyarakat dipandang perlu untuk mengadakan perubahan/ pengaturan jam kerja pegawai di lingkurngan instansi pemerintah Kabupaten Gianyar. Dalam rangka memantau pelaksanaan disiplin dan etika pegawai, idealnya perlu dibentuk suatu tim evaluasi disiplin dan etika pegawai. Di sebagian besar kab/kota yang ada di Provinsi Bali, pembentukan tim ini sudah dilakukan. di Kab. Gianyar ada keputusan Bupati Gianyar nomor 324 tahun 2008 tentang perubahan atas keputusan Bupati Gianyar Nomor 108 tahun 2005 tentang pembentukan dan susunan tim pertimbangan hukuman disiplin pegawai negeri sipil di lingkungan pemerintah kabupaten Gianyar. Tim pertimbangan hukuman disiplin pegawai pemerintah Kota Denpasar juga sudah dibentuk berdasarkan keputusan walikota Denpasar Nomor 188.45/22/HK/2007, tugas dan tanggungjawab tim ini adalah mengumpulkan dan mengolah data serta informasi yang menyangkut pelanggaran disiplin pegawai, memberikan pertimbangan dan atau saran kepada Walikota Denpasar dalam rangka penjatuhan hukuman disiplin berat dan bertanggungjawab atas pelaksanaan tugasnya kepada Walikota Denpasar. Di Kab. Jembrana dan Kab. Klungkung juga ada pembentukan tim gerakan disiplin nasional (GDN) yang
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 1, 2012
KAJIAN
secara rutin melaksanakan sidak terhadap disiplin pegawai. Upaya-upaya internalisasi kebijakan disiplin sudah dilaksanakan melalui pemberian arahan tentang disiplin pada saat apel koordinasi yang dilaksanakan tiap hari Senin serta melalui pembinaan dan pengawasan oleh atasan langsung. Mengenai upaya tindak lanjut terhadap pelanggaran disiplin, semua kab/kota di Provinsi Bali menyatakan selalu menindaklanjuti setiap bentuk pelanggaran disiplin dan etika pegawai. Bentuk tindak lanjut yang diberikan
misalnya dengan memberikan teguran lisan maupun tulisan, penundaan kenaikan pangkat, penurunan gaji atau penundaan kenaikan gaji berkala. Tahapan terakhir dalam manajemen PNS adalah pensiun, atau dengan kata lain pemberhentian pegawai. Dalam parameter pemberhentian ini juga terdapat beberapa indikator yang perlu diperhatikan. Untuk Provinsi Bali, kondisi pengelolaan pemberhentian pegawainya digambarkan dalam diagram berikut :
Berdasarkan diagram diatas, dapat kita lihat bahwa Kab. Tabanan memperoleh skor paling tinggi untuk parameter pemberhentian pegawai ini yaitu dengan skor 63, ini termasuk kategori tinggi. Sedangkan kab/kota yang lainnya hanya masuk kategori rendah dan sangat rendah, yaitu Kab. Klungkung (50), Kab. Jembrana (50), Kota Denpasar (50), Kab. Gianyar (42), Kab. Badung (38), Kab. Karangasem (29), Kab. Bangli dan Kab. Buleleng memperoleh skor terendah yaitu 25. Disaat kab/kota lainnya belum memiliki pembinaan memasuki masa pensiun, Kab. Tabanan mengaku sudah memiliki program pembinaan memasuki masa pensiun bagi pegawainya, namun sayangnya tidak ada penjelasan lebih lanjut mengenai bagaimana bentuk program pembinaan yang sudah dilakukan. Mengenai ketepatan waktu pensiun, kendala yang dihadapi dalam hal ini adalah berkas pensiun yang datang ada yang
tidak lengkap, proses melengkapi berkas pensiun oleh PNS yang akan pensiun terkadang lambat, juga proses pengeluaran SK pensiun oleh Kanreg BKN X Denpasar untuk periode akhir tahun sering terlambat. Walaupun demikian, ternyata sebagian besar kab/kota di Provinsi Bali sudah memberikan SK pensiun bagi pegawainya sesuai dengan aturan yang berlaku. Untuk perpanjangan batas usia pensiun, kab/kota di Provinsi Bali umumnya memberikan perpanjangan batas usia pensiun sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku. Namun Kab. Gianyar dan Kab. Buleleng menempuh kebijakan yang agak berbeda dengan tidak memberikan perpajangan batas usia pensiun dengan alasan untuk kaderisasi kepemimpinan di daerah. Sedangkan di Kab. Buleleng perpanjangan batas usia pensiun ini dilakukan berdasarkan permintaan pegawai yang
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 1, 2012
97
Pengukuran dan Evaluasi Kinerja Manajemen PNS di Daerah : Studi Kasus di Provinsi Bali Samiaji
bersangkutan dengan alasan memiliki kompetensi sesuai bidang yang digeluti, sehat jasmani dan rohani dan memiliki keahlian dalam bidangnya. Parameter terakhir yang
juga tidak bisa diabaikan adalah keberadaan dan kondisi infrastruktur. Kondisi infrastruktur di Provinsi Bali disajikan dalam diagram berikut :
Dari diagram diatas dapat kita lihat bahwa kondisi infrastruktur di Provinsi Bali sangat beragam. Skor parameter infrastruktur paling tinggi di Provinsi Bali diperoleh oleh Kab. Jembrana yaitu 90 sedangkan yang paling rendah skornya adalah Kab. Klungkung yaitu 22. Di bawah Kab. Jembrana ada Kab. Tabanan dengan skor 78 yang masuk kategori baik. Selanjutnya ada kab/kota yang infrastrukturnya kurang baik yaitu Kota Denpasar (58) dan Kab. Karangasem (48). Sedangkan yang lain dapat dikatakan kondisi infrastrukturnya buruk yaitu Kab. Badung (40), Kab. Bangli (32), Kab. Buleleng (32), Kab. Gianyar (27) dan Kab. Klungkung (22). Dilihat dari indikator-indikator yang ada di parameter infrastruktur ini seperti kebanyakan daerah lainnya, kab/kota di Provinsi Bali sebagian besar belum memiliki SOP di bidang manajemen PNS. Ada 3 kab/kota di Provinsi Bali yang sudah memiliki SOP yaitu Kab. Jembrana, Kab. Tabanan, dan Kota Denpasar. Misalnya di Kab. Jembrana salah satunya ada panduan teknis pengadaan pegawai. Dalam panduan ini digambarkan alur pengadaan CPNS secara online yang meliputi 7 tahap: tahap pelamaran s/d pelaksanaan ujian tulis pada waktu dan tempat yang telah ditentukan. Website pendaftaran:
http://cpns.jembranakab.go.id. Peserta yang lolos seleksi berkas lamaran akan memperoleh informasi melalui website: SELAMAT ANDA TELAH LOLOS SELEKSI BERKAS. Selanjutnya, untuk mengetahui pelamar lolos atau tidaknya seleksi berkas, pelamar log in ke http://cpns.jembranakab.go.id dengan menggunakan username dan password yang telah diberikan sebelumnya. Pelamar yang lulus seleksi harus mencetak kartu peserta ujian dan menempatkan pas foto yang sama dengan yang dikirim pada kolom yang tersedia. Di zaman modern ini, sistem informasi kepegawaian sangat dibutuhkan agar pekerjaan pengelolaan manajemen PNS semakin efektif dan efisien. Semua kab/kota di Provinsi Bali menyatakan sudah memiliki dan memanfaatkan aplikasi sistem informasi kepegawaian ini dalam setiap tahapan manajemen PNS. Mengenai sistem informasi kepegawaian ini Kab. Klungkung secara tersirat menyoroti kebijakan pemerintah pusat yang selalu berubah. Mereka mengatakan ”Sistem informasi sedang dipersiapkan, kalau di BKD SAPK dan ini tengah dipersiapkan. Tapi entah setelah ini apa lagi. Karena belum beres yang satu ada
98
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 1, 2012
KAJIAN
lagi sistem yang baru. Inilah persoalan yang kita hadapi di daerah, tapi harus bagaimana lagi. Ya wajar kalau sebagian pihak selalu menganggap daerah terlambat atau semacamnya.“ Di Kab. Gianyar, sistem informasi kepegawaian (SIMPEG), untuk sementara baru terpasang di BKD, untuk tiaptiap SKPD baru akan dipasang tahun 2011 ini dengan memakai sistem koneksi offline. Kendala yang dihadapi lebih banyak berupa kekurangan hardware (server dan personal computer) dan fasilitas ruangan (ruang khusus server, AC yang memadai, meja computer dengan desain khusus) yang mendukung serta kekurangan sumber daya manusia yang menguasai teknologi informasi di BKD dan mahir mengoperasikan computer di masingmasing SKPD. Sampai saat ini untuk mengatasi kendala dimaksud dilakukan dengan cara mengoptimalkan fasilitas dan sumber daya yang ada dengan konsekuensi, operasional SIMPEG berjalan agak lambat, sehingga target ditetapkan dengan banyak tahap (satu tahap dalam satu tahun). Sebagai pendukung kegiatan manajemen PNS, kondisi sarana prasarana kantor juga perlu diperhatikan. Sarana dan prasarana yang ada di kantor BKD Kab. Tabanan dianggap sudah tidak memadai dan sudah tidak mampu lagi untuk menampung kegiatan BKD yang cukup kompleks. Di Kab. Gianyar, Kab. Bangli, Kab. Buleleng, dan Kab. Klungkung, kondisi gedung kantor, tata ruang dan fasilitas penyimpanan arsipnya sudah tidak layak, namun peralatan kantornya dianggap masih memadai. di Kab. Karangasem, hanya fasilitas penyimpanan arsipnya yang dianggap tidak lagi memadai, kondisi gedung, tata ruang dan peralatan kantornya sudah memadai. Selanjutnya ada Kab. Jembrana, Kota Denpasar, dan Kab. Badung yang semua sarana dan prasarana kantornya sudah memadai. Dari sisi anggaran pengembangan pegawai, ini memang selalu jadi masalah. Dari beberapa kab/kota yang ada di Provinsi Bali,
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 1, 2012
hanya 4 kab/kota yang dapat memenuhi semua kebutuhan anggaran diklat prajabatan, yaitu Kota Denpasar, Kab. Bangli, Kab. Karangasem, dan Kab. Buleleng. Selain itu tidak dapat memenuhi semua kebutuhan anggaran diklat prajabatan ini. Misalnya Kab. Tabanan hanya 36% dan Kab. Jembrana hanya 52,5%. Apalagi untuk diklatpim, tidak ada kab/kota di Provinsi Bali yang mampu memenuhi semua kebutuhan anggaran diklatpim para pejabat strukturalnya. Misalnya Kab. Jembrana hanya bisa mengakomodir sekitar 19,4% pejabat strukturalnya dalam diklatpim, begitu juga dengan Kab. Buleleng hanya 4%. Lebih parah lagi, Kab. Tabanan, Kab. Karangasem, dan Kota Denpasar mengaku tidak ada sama sekali anggaran untuk diklatpim, karena keterbatasan anggaran.
STRATEGI PENINGKATAN KINERJA MANAJEMEN PNS Dengan memperhatikan berbagai permasalahan-permasalahan yang dihadapi dalam penerapan manajemen pegawai negeri sipil di khususnya di Provinsi Bali, maka pada bagian ini akan dipaparkan sejumlah strategi dalam rangka penguatan pengelolaan pegawai negeri sipil di daerah. Strategi peningkatan kapasitas pengelolaan terbagi menjadi dua bagian : makro dan mikro. Strategi makro memuat beberapa langkah yang perlu dilakukan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah secara umum. Sedangkan strategi mikro merupakan kumpulan langkah penyempurnaan manajemen PNS di daerah per aspek/ parameter. 1. Strategi Makro Urgensi strategi makro ini dikarenakan permasalahan yang timbul dalam imlementasi manajemen PNS di daerah tidak semata-mata berada di lingkup pemerintah daerah, namun bisa saja disebabkan oleh hal-hal yang jauh di luar jangkauan pemerintah daerah. Beberapa
99
Pengukuran dan Evaluasi Kinerja Manajemen PNS di Daerah : Studi Kasus di Provinsi Bali Samiaji
strategi makro dimaksud adalah sebagai berikut: a. Sosialisasi berbagai kebijakan kepada seluruh styekaholder sehingga akan tercipta kesamaan persepsi antara pembuat dan pelaksana kebijakan kepegawaian dan kesamaan persepsi antara pusat dan daerah. b. Tindak lanjut berbagai kebijakan yang telah diterbitkan di tingkat nasional dengan peraturan pelaksana yang meliputi: pedoman petunjuk teknis baik oleh Kementerian atau LPNK maupun pemerintah daerah. c. Penyediaan dukungan anggaran melalui perumusan formula kebutuhan anggaran pengengembangan pegawai secara lebih memadai. d. Pengauatan kapasitas dan peran BKD Provinsi dalam rangka mengkoordinasikan beerbagai kegiatan lintas BKD Kabupaten/kota dalam lingkup wilayahnya. e. Penguatan kapasitas kelembagaan unit kerja yang secara fungsional mengelola PNS di Daerah, terutama aspek SDM, tatalaksana atau sistem maupun peningkatan sarana prasarana. f. Dalam rangka pembinaan terhadap penyelenggaraan pengelolaan PNS dipandang perlu untik melakukan evaluasi terhadap pelaksanaan manajemen PNS di Daerah secara terprogram, terpadu, menyeluruh dan berkelanjutan yang dilakukan oleh instansi pembina aparatur pemerintah. g. Dalam rangka peningkatan kinerja manajemen PNS, pejabat pembina kepegawaian di daerah adalah pejabat karir tertinggi di pemerintah daerah yang bersangkutan. h. Perlu percepatan pelaksanaan reformasi birokrasi di daerah terutama program penataan sumber daya
100
2.
Strategi Mikro Sebagaimana diungkapkan sebelumnya, yang dimaksud strategi mikro adalah langkah perbaikan manajemen PNS di daerah per aspek/parameter. a. Aspek Perencanaan 1. Perlu dirumuskan kebijakan nasional yang mengatur tentang master plan kepegawaian. 2. Berdasarkan kebijakan nasional tersebut, pemerintah daerah merumuskan master plan kepegawaiannya. 3. Master plan kepegawaian daerah seharusnya dijadikan acuan dalam pengelolaan PNS. b. Aspek Pengadaan 1. Dalam rangka pengadaan pegawai perlu ditunjuk perguruan tinggi negeri yang independen, profesional dan kredibel. 2. Perlu adanya MoU antara pemda dengan pimpinan PTN. 3. Materi test perlu di desain dengan memperhatikan perkembangan teknologi (misalnya IT). 4. Adanya transparansi dengan melibatkan pemantau dari LSM. c. Aspek Pengangkatan Dalam Jabatan 1. Test kompetensi bagi pejabat struktural di daerah harus dilakukan oleh lembaga assesor yang terakreditasi. 2. Perlu dilakukan promosi dan rotasi pejabat struktural eselon 2 lintas kabupaten/kota dalam satu provinsi guna mengurangi politisasi birokrasi (open bidding). d. Aspek Pengembangan Pegawai. Training Need Analysis (TNA) dijadikan salah satu komponen dalam akreditasi lembaga diklat dalam menyusun kurikulum. e. Aspek Kesejahteraan Pegawai Perlu segera dilakukan evaluasi jabatan sebagai salah satu instrument untuk
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 1, 2012
KAJIAN
f.
g.
h.
i.
menentukan besarnya tunjangan kinerja daerah sehingga tidak menimbulkan kecemburuan pegawai daerah. Aspek Penilaian Kinerja Pegawai 1. Perlu penerapan kontrak kinerja sebagai acuan dalam penilaian kinerja pegawai. (sudah diterapkan di beberapa daerah. 2. Perlu dirumuskan instrumen penilaian kinerja pegawai yang valid dalam mengukur kinerja pegawai untuk pendukung DP3 (sudah diterapkan di beberapa daerah). Aspek Disiplin dan Etika Pegawai 1. Konsistensi dalam hal penegakan sanksi terhadap pelanggaran disiplin pegawai. 2. Perlu dirumuskan oleh masingmasing daerah tentang etika pegawai masing-masing daerah. Aspek Pemberhentian 1. Perlu dirumuskan kebijakan pembinaan bagi PNS yang memasuki masa usia pensiun agar PNS siap dalam menghadapi pensiun. 2. Penegasan kebijakan perpanjangan batas usia pensiun. Infrastruktur Perlu pengaturan mengenai dukungan (infrastruktur) yang meliputi sistem informasi dan sarana dan prasarana dalam mendukung manajemen PNS di daerah.
PENUTUP Dengan memperhatikan hasil evaluasi manajemen pegawai negeri sipil di daerah baik melalui instrument, hasil wawancara dengan para narasumber di daerah, guna penyempurnaan manajemen pegawai negeri sipil di daerah dimasa yang akan datang terdapat (3) tiga agenda penting yang perlu diperhatikan yakni : (1) Kerangka Kebijakan; (2) Kerangka Kelembagaan; (3) Kerangka Pembinaan, yang masing-masing kerangka
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 1, 2012
tersebut akan disajikan pada Bagiain Kesimpulan dan Bagian Saran. 1. Kesimpulan a. Kerangka Kebijakan Dalam rangka pengelolaan/ manajemen pegawai negeri sipil di daerah, kerangka kebijakan merupakan aspek yang sangat penting sebagai acuan utama dalam pelaksanaan manajemen pegawai negeri sipil di daerah, permasalahan yang sering dihadapi oleh pemerintah daerah adalah kurang harmonisasinya dan tidak konsisten merupakan salah satu kendala utama bagi Pemda dalam melaksanakan kebijakan kepegawaian. Peraturan perundang-undangan mulai dari UndangUndang, Peraturan Pemerintah, sampai pada Peraturan Menteri yang memuat petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis, sehingga menimbulkan perbedaan persepsi (kesepahaman), kesepakatan dan ketaatan dalam melaksanakan berbagai kebijakan manajemen pegawai negeri sipil di daerah. Selain kurangnya harmonisasi kebijakan yang mengatur manajemen pegawai negeri sipil tersebut, pada beberapa aspek manajemen pegawai negeri sipil di daerah belum diatur secara jelas dan tegas dalam Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang PokokPokok Kepegawaian, sehingga menjadi celah bagi pejabat pemerintahan di daerah untuk memaksakan kepentingannya, misalnya pengaturan tentang pentingnya Standar Kompetensi Jabatan dan Uji Kompetensi bagi calon pejabat di daerah pada aspek Penempatan Dalam Jabatan, begitu juga pada Aspek Perencanaan, belum terdapat aturan yang mengharuskan pemerintah daerah menyusun master-plan Kepegawaian di daerah.
101
Pengukuran dan Evaluasi Kinerja Manajemen PNS di Daerah : Studi Kasus di Provinsi Bali Samiaji
b. Kerangka Kelembagaan Selain kerangka kebijakan sebagaimana diutarakan diatas, kerangka kelembagaan yang secara fungsional melaksanakan kegiatan pengelolaan/ manajemen pegawai negeri sipil di daerah juga merupakan aspek yang menjadi hambatan utama, pada kerangka kelembagaan ini beberapa hal yang menjadi hambatan antara lain : Kurang baiknya kemampuan pengelola kepegawaian yang antara lain disebabkan kurangnya kemampuan dalam penyusunan agenda kebijakan/ agenda setting, khususnya kemampuan menggunakan data yang valid, kemampuan mengidentifikasi masalah yang beragam/ kompleks dan kemampuan mempertimbangkan perkembangan global/trend yang sedang berkembang tentang pengelolaan kepegawaian daerah. Penyebab lainnya karena kurang baiknya kemampuan dalam melakukan perumusan kebijakan (policy formulation). Hubungan kerja dan pembagian kewenangan yang tidak jelas antara Badan Kepegawaian Daerah Propinsi dengan Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten/Kota dalam wilayah Propinsi yang bersangkutan, terbatasnya sumberdaya manusia yang mengelola pegawai negeri sipil di daerah, sarana dan prasarana yang kurang memadai, belum dibangunnya system informasi kepegawaian sesuai dengan perkembangan tehnologi, belum adanya SOP manajemen pegawai negeri sipil di daerah mulai dari tahap perencanaan sampai pemberhentian, dan terbatasnya anggaran pendukung pengelolaan pegawai negeri sipil di daerah. c.
Kerangka Pembinaan Selain kerangka kebijakan, dan kerangka kelembagaan sebagaimana
102
diutarakan diatas, kerangka pembinaan manajemen pegawai negeri sipil di daerah yang dilakukan pemerintah (pusat) merupakan aspek yang perlu ditingkatkan, termasuk dalam kerangka pembinaan ini adalah kurangnya sosialisasi kebijakan, kurangnya pemberian anggaran. Anggaran yang tidak memadai ini merupakan kendala utama upaya pemerintah daerah selain untuk meningkatkan kesejateraan pegawainya maupun upaya pemerintah untuk meningkatkan kapasitas pegawainya. Anggaran ini terlihat jelas dari besarnya jumlah belanja pegawai dibandingkan dengan belanja pembangunan. Jumlah anggaran berpengaruh juga pada upaya fasilitasi dan bimbingan, selain juga belum pernah dilakukan evaluasi yang menyeluruh, terpadu (komprehensif) secara berkesinambungan terhadap manajemen pegawai negeri sipil di daerah. 2.
Rekomendasi a. Kerangka Kebijakan Aspek-aspek manajemen pegawai negeri sipil di daerah perlu dirumuskan dengan jelas dan tegas dalam rumusan Undang-Undang yang mengatur pegawai negeri sipil di daerah, sehingga apabila terjadi penyimpangan terhadap kebijakan tersebut oleh pemerintah daerah maka pelanggarannya adalah termasuk dalam kategori “melanggar Undang-Undang”. Berbagai kebijakan yang telah diatur dalam Undang-Undang tersebut perlu ditindaklanjuti oleh Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan RB, dan berbagai pedoman petunjuk pelaksanaan. b. Kerangka Kelembagaan Perlu dirumuskan mekanisme hubungan kerja antara Badan Kepegawaian Daerah Propinsi dengan
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 1, 2012
KAJIAN
Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten/ Kota dalam wilayah kerja Propinsi yang bersangkutan, dan penguatan kapasitas kelembagaan BKD yang meliputi tersedianya sumberdaya manusia yang memenuhi baik dilihat dari jumlah maupun kualitasnya, dukungan sarana dan prasarana yang memadai, dibangunnya system informasi kepegawaian sesuai dengan perkembangan tehnologi, dukungan anggaran pengelolaan pegawai negeri sipil di daerah sesuai dengan kebutuhan. c.
Kerangka Pembinaan Perlu ditingkatkan kualitas pembinaan terhadap manajemen pegawai negeri sipil di daerah yang dilakukan pemerintah (pusat) mulai dari sosialisasi kebijakan, pemberian fasilitasi dan bimbingan, dan perlu dilakukan evaluasi terhadap pelaksanaan manajemen pegawai negeri sipil di daerah secara menyeluruh dan terpadu (komprehensif), serta berkesinambungan sebagai “pintu masuk” bagi pembinaan manajemen pegawai negeri sipil di daerah. Daftar Pustaka Amstrong, Michael, 2003, The Art of HRD, Managing People, A Practical Guide for Line Managers, PT Gramedia, Jakarta. Bappenas, 2004, Kajian Rencana Tindak Reformasi Birokrasi, Direktorat Jakarta Bernardin, John, 2003, Human Resource Management, Third Edition, An Experiential Approach, McGraw-Hill Higher Education, United State. Bryant C. & White, L.G., 1987. Managing Development in The Third World, Boulder,Colorado:Westview Press, Inc. Bungin, Burhan, 2003, Metode Penelitian Kualitatif, Rajawali Press, Jakarta. Dharma Agus, 1992, Manajemen Personalia, Edisi Ketiga, Jakarta, Erlangga.
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 1, 2012
Flippo, Edwin B., Manajemen Personalia, Jakarta, Erlangga, 1984, Hasibuan, S.P. Malayu, Manajemen Dasar Pengertian dan Masalah, Jakarta, PT Gunung Agung, 2006 Irawan, Prasetya, Motik, Suryani S.F., Sakti, Sri Wahyu Krida, 1997, Manajemen Sumber Daya Manusia, Penerbit STIA LAN Press, Jakarta. Kartasasmita, G., 1995. Ekonomi Rakyat : Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan. Cides, Jakarta. Klinger, Donald E. and John Nalbandian, 1985. Public Administration, St. Martin’s Press, New York. Mejia, Gomes, Luis, David B.Balkin, Robert L.Cardy, 1995, Managing Human Resources, Prentice-Hall, Inc Moekijat, 1999, Manajemen Sumber Daya Manusia(Manajemen Kepegawaian). Bandung : CV. Mandar Maju Mondy dan Noe, Human Resource Management, Massachusetts : Allyn & Bacon. , 2005 Mondy, R.W., Noe, R.M. and Premeaux, S.R., 1999. Human Resources Management. th 7 Edition. Prentice Hall Upper Saddle River NJ. Nitisemito, Alex S, Manajemen Sumber Daya Manusia, Ghalia Indonesia 1986, Nurcholis, Hanif, 2005, Teori dan Praktik Pemerintahan dan Otonomi Daerah, Grasindo, Jakarta Prasojo, Eko dkk, 2006, Desentralisasi dan Pemerintahan Daerah: Antara Model Demokrasi Lokal dan Efisiensi Struktural, Departemen Ilmu Administrasi-UI, Jakarta Rondinelli, 1983, Government Decentralization in Comparative Perspective: Theory And Practice in Developing Countries. Suryanto, Adi dkk, 2007, Manajemen Pemerintahan Daerah, Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah-Lembaga Administrasi Negara, Jakarta
103
Pengukuran dan Evaluasi Kinerja Manajemen PNS di Daerah : Studi Kasus di Provinsi Bali Samiaji
Samsudin, Sadili, 2005. Manajemen Sumber Daya Manusia. Bandung, Pustaka Setia. Schuler, R.S. & Youngblood, S.A., 1986. Effective Personnel Management. West Publishing Co., USA. Sondang P.Siagian, 2003, Manajemen Sumber Daya Manusia, Bumi Aksara, Jakarta. Werther, Wlillian B, dan Keith Davis, 2003, Human Resources and Personnel Management, 5th Edition, McGraw-Hill, Inc, New York. Sayles, L. R. and Strauss, G. (1977). Managing Human Resources. Englewood Cliffs: Prentice-Hall. Thoha, Miftah, 2005, Manajemen Kepegawian Sipil di Indonesia, Jakarta, Prenada Media. UGM, 2006, Governance and Decentralization Survey (GDS), UGM-Partnership, Yogyakarta Zainun, Buchari, Manajemen Sumber Daya Manusia Indonesia, Jakarta, Haji Masagung, 1993. Zetra, Aidil, 2005, Strategi Pengembangan Kapasitas SDM Pemerintah Daerah dalam Mewujudkan Transparansi dan Akuntabilitas Pengelolaan Keuangan Daerah, Jakarta. KPPOD, USAID, The Ford Foundation, 2007, Local Economic Governance in Indonesia, A Survey of Bussiness in 243 Regencies/Cities in Indonesia, Jakarta Lembaga Administrasi Negara, 2004, Sistem Manajemen Kinerja Otonomi Daerah, Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah Lembaga Administrasi Negara, Jakarta. Lembaga Administrasi Negara, 2004, Sistem Administrasi Negara Kesatuan Republik Indonesia, Buku III, Jakarta. Lembaga Administrasi Negara, 2006, Pengukuran dan Evaluasi Kinerja Daerah, Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah Lembaga Administrasi Negara, Jakarta Lembaga Administtrasi Negara, 2007, Kajian Penyusunan Pola Karier PNS, Pusat
104
Kajian Kinerja Sumber Daya Aparatur Lembaga Administrasi Negara, Jakarta. Lembaga Administrasi Negara, 2007, Kajian Evaluasi Sistem Rekruitmen Pegawai Negeri Sipil, Pusat Kajian Kinerja Sumber Daya Aparatur Lembaga Administrasi Negara, Jakarta. Lembaga Administrasi Negara, 2008, Sistem Penggajian PNS di Indonesia, Pusat Kajian Kinerja Sumberdaya Aparatur Lembaga Administrasi Negara, Jakarta. Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1979 tentang Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan Pegawai Negeri Sipil Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 1979 Tentang Daftar Urutan Kepangkatan (DUK); Peraturan Pemerintah Nomor 30/1980 jo PP Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 1981 Tentang TASPEN. Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1991 Tentang Jaminan Asuransi Kesehatan (ASKES) yang telah dirubah dengan PP Nomor 6 Tahun 1993. Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 1994 Tentang Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil Dalam Jabatan Fungsional. Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1997 Tentang Pegawai Negeri Sipil Yang Menduduki Jabatan Rangkap jo. PP Nomor 47 Tahun 2005. Peraturan Pemerintah Nomor 97 Tahun 2000 jo PP No. 54 Tahun 2003 tentang Formasi PNS. Peraturan Pemerintah Nomor 98 Tahun 2000 jo PP No, 11 Tahun 2002 tentang Pengadaan PNS.
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 1, 2012
KAJIAN
Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2002 Tentang Kenaikan Pangkat Pegawai Negeri Sipil. Peraturan Pemerintah Nomor 100 Tahun 2000 Tentang Pengangkatan Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil Dalam Jabatan Struktural sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2002. Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2000 tentang Diklat Jabatan PNS. Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2002 Tentang Pengangkatan Status TNI/POLRI Jadi PNS Untuk Menduduki Jabatan Struktural. Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten dan Pemerintah Daerah Kota. Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2009 tentang Perubahan kesebelas atas PP No.7 tahun 1977 tentang Peraturan Gaji PNS.
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 1, 2012
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2009 tentang Penetapan Pensión Pokok Pegawai Negeri Sipil dan Janda/Dudanya. Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas PP No. 9 Tahun 2003 Pengangkatan, Pemindahan dan Pemberhentian PNS. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah. Peraturan Presiden Nomor Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Tunjangan Jabatan Struktural. Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2006 Tentang Tunjangan Umum PNS; Keputusan Presiden Nomor 5 Tahun 1996 Tentang Prajabatan Pegawai Negeri Sipil. SE. BAKN No. 02/SE/1980 tentang Petunjuk Pelaksanaan DP3. Keputusan Kepala Lembaga Administrasi Negara Nomor : 194/XIII/10/6/2001 Tentang Pedoman Akreditasi dan Sertifikasi Lembaga Pendidikan dan Pelatihan Pegawai Negeri Sipil.
105
Pengukuran dan Evaluasi Kinerja Manajemen PNS di Daerah : Studi Kasus di Provinsi Bali Samiaji
106
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 1, 2012
KAJIAN
PENINGKATAN KAPASITAS KECAMATAN : Studi Kasus di Kabupaten Gresik Oleh: Suryanto Peneliti Madya pada Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah - LAN Jl. Veteran No. 10 Jakarta Pusat
Abstrak Implementasi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah telah berimplikasi pada penyelenggaraan pemerintahan pada umumnya, termasuk kecamatan. Implikasi yang paling jelas adalah pergeseran kedudukan dan peran kecamatan dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Di dalam Pasal 14 ayat (1) PP No. 19/2008 disebutkan “Kecamatan merupakan perangkat daerah kabupaten/kota sebagai pelaksana teknis kewilayahan yang mempunyai wilayah kerja tertentu dan dipimpin oleh Camat”. Tulisan singkat ini merupakan ringkasan kajian yang telah dilakukan oleh Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah Lembaga Administrasi Negara (PKKOD LAN) tentang “Isu-Isu Aktual di Bidang Kinerja Otonomi Daerah: Peningkatan Kapasitas Kecamatan” di Kabupaten Gresik pada tahun 2011. Semoga, kajian ini dapat memberikan kemanfaatan bagi semua pihak yang concern terhadap pelaksanaan pemerintahan daerah di Indonesia, khususnya terkait peran kecamatan di era otonomi daerah. Kata Kunci: kecamatan, otonomi daerah, kapasitas
PENDAHULUAN Penyelenggaraan pemerintahan daerah telah mengalami pergeseran seiring dengan perubahan UU yang melandasinya, yakni pergeseran dari UU No. 22/1999 menjadi UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah. Pergeseran dimaksud tidak hanya pada tataran penyelenggaraan pemerintahan daerah pada level provinsi maupun kabupaten/kota, akan tetapi juga terjadi dan sangat dirasakan pada level kecamatan. Pada Pasal 1 ayat (5) PP No. 19 Tahun 2008, Kecamatan atau sebutan lain adalah wilayah kerja Camat sebagai Perangkat daerah kabupaten/kota. Inilah salah satu pergeseran atau perubahan drastis yang nampak dan dirasakan dalam
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 1, 2012
penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Bahwa kecamatan bukan lagi berkedudukan sebagai wilayah administratif yang memiliki diskresi dalam penyelenggaraan pemerintahan, namun berkedudkan sebagai perangkat daerah kabupaten/kota. Sebagai implikasi pergeseran penyelenggaraan pemerintahan daerah, berbagai persoalan terkait kecamatan telah dielaborasi oleh sejumlah lembaga penelitian/kajian, di antaranya UGM (2002) dan LAN (2008). Menurut hasil kajian UGM (2002), hampir di semua daerah di Indonesia, kecamatan belum mendapatkan delegasi kewenangan/urusan pemerintahan dari bupati/walikota secara maksimal. Sementara itu, menurut hasil kajian LAN (2008), selain persoalan kewenangan, persoalan jumlah dan
107
Peningkatan Kapasitas Kecamatan : Studi Kasus di Kabupaten Gresik Suryanto
kompetensi SDM kecamatan juga masih jauh dari memadai. Jumlah SDM yang ada saat ini berkisar 8-10 orang, padahal jumlah ideal yang dibutuhkan paling tidak sebanyak 16 orang agar dapat menjalankan tugas dan fungsinya dengan baik. Berdasarkan kedua hasil kajian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa persoalan kecamatan ternyata menyangkut perihal yang sangat krusial yaitu terkait kewenangan, sampai perihal yang teknis-operasional yaitu jumlah dukungan SDM yang akan melaksanakan kewenangan tersebut. Selanjutnya, persoalan ini menjadi semakin ‘parah’ ketika masyarakat daerah membanding-bandingkan posisi dan peran kecamatan pada masa UU No. 5/1974 dimana kecamatan berkedudukan sebagai wilayah administratif. Pandangan romantisme seperti ini tidak dapat sepenuhnya disalahkan, karena publik daerah masih mengharapkan peran kecamatan yang lebih besar dan lebih baik dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. PERGESERAN PERAN Pengaturan kedudukan dan peran kecamatan sebagaimana tertuang dalam UU No. 32/2004 Pasal 126 ayat (1) bahwa “Kecamatan dibentuk di wilayah kabupaten/kota dengan peraturan daerah berpedoman pada peraturan pemerintah”. Di dalam PP No. 19/2008 Pasal 14 ayat (1) disebutkan “Kecamatan merupakan perangkat daerah kabupaten/kota sebagai pelaksana teknis kewilayahan yang mempunyai wilayah kerja tertentu dan dipimpin oleh Camat”. Dengan mencermati pasal 14 ayat (1) PP tersebut menjadi jelas bahwa kecamatan telah mengalami pergeseran dari waktu sebelumnya, dari wilayah administratif menjadi perangkat daerah. Akibatnya, tugastugasnya pun mengalami perubahan, sebagaimana tertuang dalam Pasal 15 ayat (1), sebagai berikut: (a) mengoordinasikan
108
kegiatan pemberdayaan masyarakat; (b) mengoordinasikan upaya penyelenggaraan ketenteraman dan ketertiban umum; (c) mengoordinasikan penerapan dan penegakan peraturan perundang-undangan; (d) mengoordinasikan pemeliharaan prasarana dan fasilitas pelayanan umum; (e) mengoordinasikan penyelenggaraan kegiatan pemerintahan di tingkat kecamatan; (f) membina penyelenggaraan pemerintahan desa dan/atau kelurahan; dan (g) melaksanakan pelayanan masyarakat yang menjadi ruang lingkup tugasnya dan/atau yang belum dapat dilaksana kan pemerintahan desa satau kelurahan. Sedangkan kewenangan Camat adalah sebagai berikut: (a) perizinan, (b) rekomendasi, (c) koordinasi, (d) pembinaan, (e) pengawasan, (f) fasilitasi, (g) penetapan, (h) penyelenggaraan, dan (i) kewenangan lain yang dilimpahkan (Pasal 15 ayat 2 PP No. 19/2008). Berdasarkan tugas dan kewenangan yang dimiliki, nampak jelas bahwa tugas dan kewenangan kecamatan (camat) sangat jauh berbeda dengan pada saat berlakunya UU No. 5/1974. Di dalam salah satu pasal UU No. 5/1974 disebutkan kecamatan merupakan wilayah administratif pemerintahan dalam rangka dekonsentrasi. Kecamatan merupakan ujung tombak dari Pemerintah Pusat yang langsung berhadapan dengan masyarakat luas. Dalam hal kewenangan, kecamatan sebagai wilayah kekuasaan, yang memiliki yuridiksi kewenangan di dalamnya. Dengan kata lain, Camat merupakan kepala wilayah. Hal ini dijelaskan dengan tegas pada Pasal 76 dan 77. Pada Pasal 76 dikatakan bahwa setiap wilayah dipimpin oleh seorang kepala wilayah, sedangkan dalam Pasal 77 dikatakan bahwa kepala wilayah kecamatan disebut camat. Selanjutnya, dalam Pasal 80 dikatakan bahwa kepala wilayah sebagai wakil Pemerintah adalah penguasa tunggal di bidang pemerintahan dalam wilayahnya dalam arti memimpin
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 1, 2012
KAJIAN
pemerintahan, mengkoordinasikan pembangunan dan membina kehidupan masyarakat di segala bidang. Wewenang, tugas dan kewajiban Camat selaku kepala wilayah kecamatan sama dengan wewennag, tugas dan kewajiban kepala wilayah lainnya yakni gubernur, bupati, walikotamadya dan walikota. Hal ini menunjukkan betapa kuatnya posisi dan kewenangan seorang Camat pada era tersebut. Seorang Camat dapat mengambil segala tindakan yang dianggap perlu untuk menjamin kelancaran penyelenggaraan pemerintah. Meskipun camat adalah bawahan bupati, namun camat memiliki otonomi yang cukup besar di wilayahnya. Di sini Camat berkedudukan berkedudukan pula sebagai PPAT (pejabat pembuat akta tanah) yang berimplikasi pada kepemilikan sumber pendapatan tertentu. PROBLEMATIKA PENYELENGGARAAN KECAMATAN DI ERA REFORMASI Dalam konstelasi kekuasaan, perubahan status camat dari kepala wilayah (penguasa tunggal di bidang pemerintahan di wilayahnya dalam arti memimpin pemerintahan, mengkoordinasikan pembangunan, dan membina kehidupan masyarakat di segala bidang) menjadi bagian dari satuan kerja perangkat daerah, secara tidak langsung menyebabkan hilangnya sejumlah legitimasi kekuasaan dalam pemerintahan wilayah. Beberapa dampak ikutan yang terasakan atas perubahan tersebut antara lain adalah: 1. Hilangnya hirarkhi jalur pengawasan struktural kecamatan terhadap pemerintahan di bawahnya (pemerintah desa) yang selama ini terhubung secara struktural-fungsional. Pada masa diberlakukannya UU no. 5/1974 (pasal 81), pemerintah desa seratus persen berada di bawah kendali kecamatan, sehingga seorang kepala desa pun bisa kehilangan jabatan apabila camat memutuskan atas dasar penilaian yang rasional. Peran
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 1, 2012
“mengontrol desa” serta kekuasaan kecamatan di bidang kontrol “keamanan, ketentraman dan ketertiban” (tramtib) yang dianggap sebagai fungsi prestisius kecamatan di masa orde baru, dianggap sebagai salah satu fungsi penting kecamatan yang menumbuhkan kewibawaan camat di hadapan masyarakat. Pada masa itu, seluruh gerak dan aktivitas kerja pemerintahan desa sangat terawasi secara ketat oleh kecamatan/camat. Kini (dengan adanya UU no. 22/1999 yang dilanjutkan dengan UU No. 32/2004), relasi kekuasaan seperti itu tidak ada lagi. Bahkan, camat dan kecamatan tidak lagi memiliki kewenangan apapun untuk mengontrol kekuasaan politik pemerintah desa di bawahnya. Sebaliknya, kekuasaan politis pemerintah desa justru menguat luar biasa (semakin otonom) dengan adanya UU no. 32/2004. Dengan konstelasi kekuasaan yang demikian itu, maka hubungan kecamatan dan desa kini tak lebih sekedar diletakkan pada ikatan moral (goodwill) yang terjalin melalui “fungsi koordinasi” antara camat dan kepala desa. Saat ini, tidak ada keharusan bagi pemerintah desa untuk bertindak sesuai arahan kecamatan dalam menjalankan fungsi pembangunan ataupun pelayanan sehari-hari kepada masyarakat, karena secara struktural pemerintah desa kini berada langsung dibawah Bupati. Kehilangan fungsi inilah yang menyebabkan camat dan kecamatan kehilangan “rasa percaya diri”nya. 2. Hilangnya kewenangan untuk mengurus pelayanan publik karena terjadinya pengalihan besar-besaran urusan perijinan dan pelayanan dari kecamatan kepada otoritas administrasi sektoral pemerintah kabupaten/kota. Kecamatan hanya sekedar menjadi lembaga pemberi surat rekomendasi bagi masyarakat yang hendak mengurus segala macam perijinan, yang malah menyebabkan rantai birokrasi justru makin panjang dari apa yang dicita-citakan oleh konsep pemerintahan yang efektif dan efisien. Sebenarnya, ide sentralisme pelayanan publik
109
Peningkatan Kapasitas Kecamatan : Studi Kasus di Kabupaten Gresik Suryanto
(di kabupaten) disemangati oleh gagasan efisiensi birokrasi, namun kenyataannya banyak kabupaten yang tidak siap dengan data-base serta sistem informasi kependudukan dan kewilayahan, sehingga setiap kali ijin hendak dikeluarkan rekomendasi camat tetap saja diperlukan. 3. Pada masa berlakunya UU No. 5/1974, camat adalah pelaksana tugas dekonsentrasi, sehingga semua portofolio/tugas teknis sektoral (dari pemerintah pusat) di aras kecamatan dilakukan oleh Camat dan stafnya. Artinya, pada masa itu, camat adalah “bupati kecil” di wilayahnya yang menangani berbagai aktivitas/proyek/program dengan anggaran yang dikelola langsung oleh camat. Kewenangan mengelola anggaran proyekproyek/program-program pemerintah pusat inilah yang membuat camat memiliki kewibawaan luar biasa di hadapan masyarakat dan instansi terkait lainnya. Namun, sejak diberlakukannya UU No. 22/1999 (dilanjutkan dengan UU No. 32/2004), dimana semua portofolio/tugas teknis sektoral diserahkan (didesentralisasikan) oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah otonom tingkat II (kabupaten), maka semua anggaran pembangunan sektoral kini berada di pemerintah kabupaten. Secara teknis pelaksanaan tugas pembangunan sektoral tidak lagi dijalankan mengikuti apa-apa yang berlaku pada hirarkhi “rejim penguasa tunggal: pusat-provinsi-kabupatenkecamatan-desa”, melainkan dijalankan oleh dinas sektoral atas nama pemerintah kabupaten. Sejak saat itulah, “kekuasaan dan kewenangan menjalankan anggaran pembangunan” yang ada di kecamatan dicabut. Kehilangan kewenangan menjalankan tugas dekonsentrasi ini dirasakan sebagai salah satu kehilangan besar yang dikemudian hari menyebabkan tumbuhnya sindroma “kehilangan rasa percaya diri” pada diri camat dan institusi kecamatan secara keseluruhan.
110
4. Hilangnya fungsi-fungsi kontrol (pengawasan dan pembinaan) terhadap pelaksanaan pembangunan oleh camat selama masa berlakunya UU no. 5/1974 (pasal 81), menyebabkan camat dan stafnya merasa mengalami “kelumpuhan peran”, sejak era otonomi daerah berlangsung. Dengan ketiadaan hak untuk mengetahui terlebih lagi mengeksekusi hal-hal teknis operasional pembangunan yang kini (menurut UU No. 32/2004) telah menjadi hak dan tanggungjawab dinas sektoral, maka camat dan kecamatan tidak lagi dapat memantau dan melakukan penjaminan mutu (quality assurance) atas keberlangsungan sesuatu program atau proyek yang datang di wilayahnya. Namun, persoalan klasik seringkali tetap saja muncul, manakala masyarakat mendapati adanya ketidakberesan dalam pelaksanaan pembangunan (yang dijalankan oleh dinas sektoral), warga yang tidak tahu menahu kemana mereka harus melaporkan hal tersebut selalu merujuk ke kecamatan. Kecamatan dan camat seolah menjadi lembaga ombudsman (penampung keluh kesah dan segala klaim) dari proses pembangunan di daerah. Kecenderungan ini terjadi karena camat dianggap sebagai “alamat terdekat” wakil pemerintah kabupaten yang dianggap tetap bisa membawa aspirasi masyarakat di kawasan itu untuk disampaikan ke bupati. Pengaduan tersebut jelas tidak hanya “salah alamat”, melainkan juga tidak akan memberikan dampak efektif apapun terhadap pelaksanaan pembangunan karena camat kini tidak lagi memiliki instrumen kebijakan pengawasan pembangunan untuk mengevaluasi proyek/program pembangunan yang dilakukan oleh dinas sektoral. Setiap dinas sektoral kabupaten yang bekerja di aras kecamatan, kini langsung mempertanggungjawabkan seluruh aktivitasnya kepada Bupati sebagai penguasa tunggal yang mendapatkan
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 1, 2012
KAJIAN
kekuasaan otonom dari Pusat sesuai UU no. 32/2004. Keempat hal di atas, menjadikan institusi kecamatan saat ini (UU No. 32/2004) ibaratnya “mancan ompong” yang kehadirannya (masih) dirasakan namun tidak dapat banyak berbuat sesuatu bagi masyarajat dan kawasannya. Ketidakberfungsian kecamatan dan camat disebabkan ketiadaan kekuasaan, hak, tanggungjawab dan kewenangan untuk mengelola, membina dan mengawai jalannya roda pemerintahan dan pembangunan secara mandiri atau otonom di wilayahnya. Hal ini dikarenakan, semua kekuasaan dan kewenangan itu kini berada di tangan Bupati. Meskipun, sesungguhnya ada peluang yang diberikan oleh pasal 126 khususnya ayat 2 UU no. 32/2004 yang mengatakan bahwa camat dalam pelaksanaan tugasnya (bisa) memperoleh pelimpahan wewenang (delegated authority) dari Bupati atau Walikota (dalam menangani urusan otonomi daerah). Faktanya, sangat jarang Bupati/Walikota yang berkemauan secara sukarela untuk menyerahkan sebagian kewenangannya ke kecamatan. Praktek pemerintahan di banyak kabupaten di Indonesia, menunjukkan bahwa semua kewenangan tetap berada di bupati dan sama sekali tidak didelegasikan ke kecamatan. Bahkan, untuk kewenangan mengurus urusan-urusan yang seharusnya didekatkan kepada masyarakat lokal pun (seperti misalnya perijinan usaha kecil, ijin keramaian, kependudukan, pemeliharaan kebersihan, ketertiban, dan sejenisnya), semuanya berada di bupati. Hilangnya hirarkhi jalur pengawasan struktural kecamatan terhadap pemerintahan di bawahnya (pemerintah desa) yang selama ini terhubung secara struktural-fungsional. Pada masa diberlakukannya UU no. 5/1974 (pasal 81), pemerintah desa seratus persen Kondisi demikian mengakibatkan (a) Resolusi konflik pengelolaan sumber daya
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 1, 2012
tidak dapat diselesaikan di level kecamatan; (b) Uncoordinated bureaucracy management; (c) Uncoordinated development management; (d) Kekosongan kelembagaan kerjasama antar kecamatan antarkabupaten/kota; (e) Sedikitnya kewenangan yang didelegasikan oleh bupati/walikota kepada camat…tidak jelas peran dan fungsinya (ketiadaan ukuran dan standar); (f) Tidak ada kepastian hukum terhadap peran camat dalam perencanaan spasial; dan (g) Pelayanan publik (rantai panjang birokrasi). Lemahnya posisi kecamatan – yang telah berubah menjadi SKPD – menjadikan kecamatan tidak mampu menyelesaikan persoalan yang muncul di tingkat kecamatan. Artinya, penyelesaian dinaikkan ke atas, kepada bupati/walikota dan hal ini akan memakan banyak waktu untuk proses penyelesaiannya. Hal ini sebenarnya dapat diminimalisir jika bupati/walikota bersedia memberikan sebagian kewenangannya kepada camat, sebagaimana diamanatkan dalam undang-undang. Dalam hal pelayanan, akibat yang ditimbulkan adalah makin panjangnya rantai birokrasi, karena kewenangan pelayanan tidak masih berada di dinas-dinas yang berada di ibukota kabupaten/kota. Dengan demikian, problem utama kapasitas kecamatan adalah pada kesenjangan (gap) antara tuntutan masyarakat terhadap kualitas pelayanan publik dengan kenyataan yang terjadi. Hal ini disebabkan oleh kurangnya kewenangan yang semestinya didelegasikan dari kabupaten kepada kecamatan. Gap dimaksud antara lain “kecamatan bukan lagi merupakan wilayah administrasi pemerintahan, melainkan sebuah wilayah kerja seorang perangkat daerah; kecamatan bukan lagi wilayah kekuasaan melainkan wilayah pelayanan”. STUDI KASUS: PENYELENGGARAAN KECAMATAN GRESIK PROVINSI JAWA TIMUR
111
Peningkatan Kapasitas Kecamatan : Studi Kasus di Kabupaten Gresik Suryanto
Untuk melihat lebih dekat persoalan penyelenggaraan kecamatan di era otonomi daerah berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004, PKKOD LAN telah melakukan kajian isu-isu actual bidang otonomi daerah (: efektivitas penyelenggaraan kecamatan) di Kabupaten Gresik Provinsi Jawa Timur. Secara geografis, Kabupaten Gresik berada antara 7˚ dan 8˚ Lintang Selatan dan antara 112˚ dan 113˚ Bujur Timur. Sebagian besar wilayahnya merupakan dataran rendah dengan ketinggian antara 0-12 meter di atas permukaan laut kecuali sebagian kecil di bagian utara (Kecamatan Panceng) mempunyai ketinggian sampai 25 meter di atas permukaan laut. Bagian Utara Kabupaten Gresik dibatasi oleh Laut Jawa, bagian Timur dibatasi oleh Selat Madura dan Kota Surabaya, bagian Selatan berbatasan dengan Kabupaten Sidoarjo dan Kabupaten Mojokerto, sementara bagian Barat berbatasan dengan Kabupaten Lamongan. Kabupaten Gresik mempunyai kawasan kepulauan yaitu Pulau Bawean dan beberapa pulau kecil di sekitarnya. Luas wilayah Gresik seluruhnya 1.192,25 Km2 terdiri dari 996,14 Km2 luas
daratan ditambah sekitar 196,11 Km2 luas Pulau Bawean. Sedangkan luas wilayah perairan adalah 5.773,80 Km2 yang sangat potensial dari subsektor perikanan laut. Sebagian besar tanah di wilayah Kabupaten Gresik terdiri dari jenis Aluvial, Grumusol, Mediteran Merah dan Litosol. Curah hujan di Kabupaten Gresik adalah relatif rendah, yaitu rata-rata 2.000 mm per tahun sehingga hampir setiap tahun mengalami musim kering yang panjang. Kabupaten Gresik terdiri atas 18 kecamatan yaitu Kecamatan Balongpanggang, Kecamatan Benjeng, Kecamatan Bungah, Kecamatan Cerme, Kecamatan Driyorejo, Kecamatan Duduksampeyan, Kecamatan Dukun, Kecamatan Gresik, Kecamatan Kebomas, Kecamatan Kedamean, Kecamatan Manyar, Kecamatan Menganti, Kecamatan Panceng, Kecamatan Sangkapura, Kecamatan Sidayu, Kecamatan Tambak, Kecamatan Ujungpangkah dan Kecamatan Wringinanom. Di dalam lingkup kecamatan, terdapat sejumlah kelurahan/desa sebagai berikut:
Tabel 1 Kecamatan dan Kelurahan/Desa di Kabupaten Gresik No. 1.
112
Kecamatan Kecamatan Balong Panggang
1) 2) 3) 4) 5) 6) 7) 8) 9) 10) 11) 12) 13) 14) 15) 16)
Kelurahan/Desa Babatan Balongpanggang Bandungsekaran Banjaragung Brangkal Dapet Dohoagung Ganggang Jombangdelik Karangsemanding Kedungpring Kedungsumber Klotok Mojogede Ngampel Ngasin
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 1, 2012
KAJIAN
No.
Kecamatan
2.
Kecamatan Benjeng
3.
Kecamatan Bungah
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 1, 2012
17) 18) 19) 20) 21) 22) 23) 24) 25) 1) 2) 3) 4) 5) 6) 7) 8) 9) 10) 11) 12) 13) 14) 15) 16) 17) 18) 19) 20) 21) 22) 23) 1) 2) 3) 4) 5) 6) 7) 8) 9) 10) 11) 12) 13)
Kelurahan/Desa Pacuh Pinggir Pucung Sekarputih Tanahlandean Tenggor Wahas Wonorejo Wotansari Balongmojo Balongtunjung Banter Bengkelolor Bulangkulon Bulurejo Deliksumber Dermo Gluranploso Jatirembe Jogodalu Kalipadang Karangankidul Kedungrukem Kedungsekar Klampok Lundo Metatu Munggugebang Munggugianti Punduttrate Sedapurklagen Sirnoboyo Abar-Abir Bedanten Bungah Gumeng Indrodelik Kemangi Kisik Kramat Masangan Melirang Mojopuro Gede Mojopuro Wetan Pegundan
113
Peningkatan Kapasitas Kecamatan : Studi Kasus di Kabupaten Gresik Suryanto
No.
114
Kecamatan
4
Kecamatan Cerme
5.
Kecamatan Driyorejo
14) 15) 16) 17) 18) 19) 20) 21) 22) 1) 2) 3) 4) 5) 6) 7) 8) 9) 10) 11) 12) 13) 14) 15) 16) 17) 18) 19) 20) 21) 22) 23) 24) 25) 1) 2) 3) 4) 5) 6) 7) 8) 9) 10) 11)
Kelurahan/Desa Raciwetan Sidokumpul Sidomukti Sidorejo Sukorejo Sukowati Sungonlegowo Tajung Widoro Watuagung Banjarsari Desa Betiting Cagakagung Cerme Kidul Cerme Lor Dadapkuning Dampaan Dooro Dungus Gedangkulut Guranganyar Ikerikergeger Jono Kambingan Kandangan Lengkong Morowudi Ngabetan Ngembung Padeg Pandu Semampir Sukoanyar Tambakberas Wedani Bambe Banjaran Cangkir Driyorejo Gadung Karangandong Kesambenwetan Krikilan Mojosarirejo Mulung Petiken
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 1, 2012
KAJIAN
No.
6.
7.
Kecamatan
Kecamatan Duduk Sampeyan
Kecamatan Dukun
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 1, 2012
12) 13) 14) 15) 16) 1) 2) 3) 4) 5) 6) 7) 8) 9) 10) 11) 12) 13) 14) 15) 16) 17) 18) 19) 20) 21) 22) 23) 1) 2) 3) 4) 5) 6) 7) 8) 9) 10) 11) 12) 13) 14) 15) 16)
Kelurahan/Desa Randegansari Sumput Tanjungan Tenaru Wedoroanom Ambeng Ambeng Watangrejo Bendungan Duduk Sampeyan Glanggang Gredek Kandangan Kawistowindu Kemudi Kramat Kulon Palebon Pandanan Panjunan Petisbenem Samirplapan Setrohadi Sumari Sumengko Tambakrejo Tebaloan Tirem Tumapel Wadak Kidul Wadak Lor Babakbawo Babaksari Bangeran Baron Bulangan Dukuh Kembar Dukunanyar Gedongkedoan Imaan Jrebeng Kalirejo Karangcangkring Lowayu Madumulyorejo Mentaras Mojopetung
115
Peningkatan Kapasitas Kecamatan : Studi Kasus di Kabupaten Gresik Suryanto
No.
116
Kecamatan
8.
Kecamatan Gresik
9.
Kecamatan Kebomas
17) 18) 19) 20) 21) 22) 23) 24) 25) 26) 1) 2) 3) 4) 5) 6) 7) 8) 9) 10) 11) 12) 13) 14) 15) 16) 17) 18) 19) 20) 21) 1) 2) 3) 4) 5) 6) 7) 8) 9) 10) 11) 12) 13) 14)
Kelurahan/Desa Padang Bandung Petiyin Tunggal Sambogunung Sawo Sekargadung Sembung Anyar Sembungan Kidul Tebuwung Tiremenggal Wonokerto Sidokumpul Tlogopatut Sidorukun Pulopancikan Tlogobendung Bedilan Pekauman Trate Kebungson Kemuteran Pekelingan Karangpoh Kroman Sukodono Lumpur Karangturi Tlogopojok Gapurosukolilo Kramatinggil Ngipik Sukorame Kawisanyar Kebomas Randuagung Sidomoro Singosari Gending Segoromadu Dahanrejo Giri Gulomantung Indro Karangkering Kedanyang Kembangan
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 1, 2012
KAJIAN
No.
Kecamatan
10.
Kecamatan Kedamean
11.
Kecamatan Manyar
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 1, 2012
15) 16) 17) 18) 19) 20) 21) 1) 2) 3) 4) 5) 6) 7) 8) 9) 10) 11) 12) 13) 14) 15) 1) 2) 3) 4) 5) 6) 7) 8) 9) 10) 11) 12) 13) 14) 15) 16) 17) 18) 19) 20) 21) 22) 23)
Kelurahan/Desa Klangonan Ngargosari Prambangan Sekarkurung Sidomukti Sukorejo Tenggulunan Banyuurip Belahanrejo Cermen Glindah Katimoho Kedamean Lampah Menunggal Mojowuku Ngepung Sidoraharjo Slempit Tanjung Tulung Turirejo Banjarsari Banyuwangi Betoyoguci Betoyokauman Gumeno Karangrejo Leran Manyar Sidomukti Manyar Sidorukun Manyarejo Morobakung Ngampel Peganden Pejangganan Pongangan Roomo Sembayat Suci Sukomulyo Sumberejo Tanggulrejo Tebalo Yosowilangun
117
Peningkatan Kapasitas Kecamatan : Studi Kasus di Kabupaten Gresik Suryanto
118
No. 12.
Kecamatan Kecamatan Menganti
13.
Kecamatan Panceng
14.
Kecamatan Sangkapura
1) 2) 3) 4) 5) 6) 7) 8) 9) 10) 11) 12) 13) 14) 15) 16) 17) 18) 19) 20) 21) 22) 1) 2) 3) 4) 5) 6) 7) 8) 9) 10) 11) 12) 13) 14) 1) 2) 3) 4) 5) 6) 7) 8) 9)
Kelurahan/Desa Beton Boboh Boteng Bringkang Domas Drancang Gadingwatu Gempolkurung Hendrosari Hulaan Kepatihan Laban Menganti Mojotengah Pelemwatu Pengalangan Pranti Putat Lor Randupadangan Setro Sidojangkung Sidowungu Banyutengah Campurejo Dalegan Doudo Ketanen Pantenan Petung Prupuh Serah Siwalan Sukodono Sumurber Surowiti Wotan Balikterus Bululanjang Daun Dekatagung Gunungteguh Kebon Teluk Dalam Kota Kusuma Kumalasa Lebak
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 1, 2012
KAJIAN
No.
Kecamatan
15.
Kecamatan Sidayu
16.
Kecamatan Tambak
17.
Kecamatan Ujung Pangkah
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 1, 2012
10) 11) 12) 13) 14) 15) 16) 17)
Kelurahan/Desa Patarselamat Pudakit Barat Pudakit Timur Sawahmulya Sidogedung Batu Sungai Rujing Sungai Teluk Suwari
1) 2) 3) 4) 5) 6) 7) 8) 9) 10) 11) 12) 13) 14) 15) 16) 17) 18) 19) 20) 21) 1) 2) 3) 4) 5) 6) 7) 8) 9) 10) 11) 12) 13) 1)
Asempapak Bunderan Gedangan Golokan Kauman Kertosono Lasem Mojoasem Mriyunan Ngawen Pengulu Purwodadi Racikulon Racitengah Randuboto Sambipondok Sedagaran Sidomulyo Srowo Sukorejo Wadeng Diponggo Gelam Grejeg Gubug Kepuh Legundi Kepuh Teluk Pekalongan Peromaan Sukalela Sukaoneng Tambak Tanjungori Teluk Jatidawang Banyuurip
119
Peningkatan Kapasitas Kecamatan : Studi Kasus di Kabupaten Gresik Suryanto
No.
Kecamatan
2) 3) 4) 5) 6) 7) 8) 9) 10) 11) 12) 13) 18. Kecamatan Wringin Anom 1) 2) 3) 4) 5) 6) 7) 8) 9) 10) 11) 12) 13) 14) 15) 16) Sumber: Bagian Pemerintahan, Pemkab Gresik. Untuk menelusuri lebih jauh mengenai penyelenggaraan kecamatan di Kabupaten Gresik terkait dengan persoalan-persoalan yang dihadapi, telah dilakukan diskusi dengan menggunakan teknik moderasi (moderation technique). HASIL MODERATION TECHNIQUE/MT BERSAMA PARA CAMAT Sebagaimana diungkapkan pada bagian terdahulu, MT pada dasarnya merupakan alat (tools) pengambil keputusan berdasarkan kesepakatan kelompok. Disini, anggota kelompok diberikan kesempatan seluas-luasnya untuk memberikan ide,
120
Kelurahan/Desa Bolo Cangaan Glatik Gosari Karangrejo Kebonagung Ketapang Lor Ngemboh Pangkah Kulon Pangkah Wetan Sekapuk Tanjangawan Kedunganyar Kepuhklagen Kesamben Kulon Lebanisuko Lebaniwaras Mondoluku Pasinan Lemahputih Pedagangan Sembung Soko Sumberame Sumbergede Sumberwaru Sumengko Watestanjung Wringinanom
pemikiran, gagasan mengenai topic yang didiskusikan, dimana kelompok merupakan pengambil keputusan yang utama. Diskusi tentang peningkatan kapasitas kecamatan diikuti oleh 18 Camat di Kabupaten Gresik. Namun dengan mengingat waktu yang sangat terbatas, maka MT tidak dapat dilaksanakan secara penuh sesuai tahapan sebagaimana mestinya, yaitu 8 (delapan) tahap sebagai berikut: (1) Warming-up (pemanasan), (2) Brainstorming (curah pendapat), (3) Clustering (pengelompokan), (4) Prioritizing (daftar prioritas), (5) Small group discussion (diskusi kelompok), (6) Presentation (presentasi), (7)
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 1, 2012
KAJIAN
List of action (daftar kegiatan), dan (8) Evaluation (penilaian). Namun, pada kesempatan pelaksanaan MT di Kabupaten Gresik hanya dilaksanakan 3 (tiga) tahapan yaitu brainstorming, clustering, dan small group discussion. Hal ini disebabkan keterbatasan jumlah peserta dan waktu yang tersedia. Hasil pelaksanaan MT adalah sebagai berikut: 1) Brainstorming Pada tahapan ini setiap peserta diskusi diberikan 3 (tiga) buah kartu untuk
(1)
(2) (3)
(4) (5) (6) (7) (8) (9)
(10) (11)
(12) (13) (14) (15)
menjawab pernyataan sebagai berikut: ”Jika saya berpikir tentang peningkatan kapasitas kecamatan maka ide, saran, masalah dan solusi yang ada dalam pikiran saya adalah …………………..”. Namun setelah diberikan waktu selama kira-kira 20 menit, ternyata hanya sebanyak 38 kartu yang dikembalikan kepada tim fasilitator (seharusnya 54 kartu). Ini berarti tidak semua kartu dimanfaatkan oleh peserta dalam memberikan pemikiran terhadap persoalan yang didiskusikan.
Tabel 2 Isi Kartu Brainstorming Ide, Saran, Masalah dan Solusi Anggaran untuk tiap-tiap kecamatan agar lebih ditingkatkan dan dalam penentuan besarnya anggaran untuk masing-masing kecamatan supaya mempertimbangkan Jumlah penduduk, Luas wilayah, Jumlah desa, dan Tipologi kecamatan. Anggaran yang masih terbatas, sehingga kegiatan belum maksimal utamanya kegiatan yang bersifat di luar jam dinas Keberhasilan seorang camat pada era reformasi ini diukur dari keberhasilan lomba-lomba yang dilakukan oleh masing-masing SKPD di tingkat kabupaten/propinsi tetapi pada keyataannya tidak dibarengi dengan adanya anggaran sehingga camat harus mencari uang sendiri untuk membiayai kegiatan-kegiatan tersebut. Agar di kecamatan mulai dari camat sampai dengan pegawai dapat berjalan dengan lancarnya anggaran. Dimohon anggaran untuk kecamatan ditambah. Kecamatan perlu ditingkatkan anggarannya karena banyak sekali kegiatannya. Anggaran untuk kecamatan perlu ditingkatkan sehingga dalam melaksanakan fungsi kecamatan lebih terpenuhi. Masalah anggaran yang kurang. Perubahan paradigma tentang kewenangan camat menjadi kasatker menemuhi masalah terutama masalah biaya yang harus dipergunakan untuk membiayai operasional kegiatan – kegiatan di kecamatan. Pembiayaan yang rasional. Kegiatan kecamatan harus sesuai dengan DPA tapi kenyataan banyak kegiatan kecamatan yang di laksanakan tanpa mengacu DPA bahkan ada yang tidak ada dalam DPA! Perlu menumbuhkan motivasi camat untuk berinovasi dan kreasi dengan meningkatkan kualitas SDM melalui pembelajaran. Kualitas SDM di kecamatan masih belum diberdayakan secara maksimal. Penguatan individu (aparat kecamatan) baik jumlah maupun kualitas. Peningkatan kapasitas kecamatan sangat dipengaruhi oleh kebijakan dan
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 1, 2012
121
Peningkatan Kapasitas Kecamatan : Studi Kasus di Kabupaten Gresik Suryanto
(16) (17)
(18) (19) (20) (21) (22)
(23) (24) (25) (26) (27) (28) (29) (30)
(31) (32) (33) (34) (35) (36) (37)
122
Ide, Saran, Masalah dan Solusi komitmen pemerintah daerah, sehingga tidak terkesan ogah-ogahan lebih terkait pelimpahan sebagian wewenang kepada camata. Kecamatan selama ini hanya menerima apa saja yang di berikan oleh kabupaten terutama dalam hal terkait perencanaan bidang SDM dan tatalaksana. Pemberdayaan kecamatan perlu ditingkatkan baik SDM maupun personilnya. SDM di kecamatan perlu ditingkatkan kemampuan nya dan perlu penambahan staf sesaui beban kerja sehingga dapat melaksanakan tugas di kecamatan dapat lebih baik. Personil kecamatan (SDM) perlu ditingkatkan kemampuannya. Perlu penataan personil /SDM Peningkatan SDM bagi kecamatan baik melalui dilat ataupun study banding guna memperluas pengetahuan dan kemampuannya. Masalah di kecamatan adalah kegiatan camat sampai dengan karyawan tidak dapat berjalan dengan optimal Kewenangan kecamatan harus jelas, tidak hanya sebagai ujung tombak yang tidak punya tombak, sehingga tidak dipandang sebelah mata oleh kepala desa. Kurangnya kepercayaan SKPD (kantor/dinas) terhadap kecamatan. Dengan adanya jasmas musrenbang kecamatan sepertinya tidak ada artimya atau formalitas saja anggota dewan lebih berperan. Perlu adanya kejelasan pendelegasian kewenangan dari kepala daerah kepada camat. Pemerintah daerah lebih mendorong teralisasinya pelimpahan sebagian kewenangan bupati kepada kecamatan yang tentunya diimbangi oleh P3D. Kewenangan camat dalam pengelolaan anggaran sebagai satuan kerja perangkat daerah. Kejelasan dan kepastian wewenang dan tugas bagi camat. Saat ini camat sering menerima tugas tetapi tidak disertai dengan kewenangan di bidang anggaran. Masalah pelaksanaan pembangunan, camat kurang/tidak dilibatkan dalam pengawasan tapi bila terjadi penyimpangan camatlah yang paling awal dimintai keterangan. Perlu adanya pendelegasian kewenangan kepada camat mengenai masalah UU kependudukan termasuk surat pindah penduduk. Perlu reorganisasi struktur kecamatan setelah camat tidak menandatangani KTP dan KK. Besaran organisasi/kelembagaan kecamatan perlu didasarkan pada: tipologi, karakteristik, radius pusat kota, dll Kecamatan sebagai SKPD belum benar-benar diwujudkan sebagaimana amanat UU nomor 32 Tahun 2004 dan PP No. 19 Tahun 2008. Sarana dan prasarana kantor masih sanbgat kurang. Standar ruang kantor/pelayanan di kecamatan belum memenuhi termasuk standar pelayanan dan prosedur. Regulasi terkait dengan hubungan kerja kecamatan dan desa
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 1, 2012
KAJIAN
Ide, Saran, Masalah dan Solusi (38) Tugas pembantuan kecamatan dapatnya terealisasi karena banyak tugastugas SKPD lainya dapat dilaksanakan oleh kecamatan sehingga pelayanan ke masyarakat lebih optimal. Sumber: PKKOD LAN, 2011 Jawaban-jawaban dari peserta diskusi di atas menunjukkan bahwa sejumlah persoalan serius telah terjadi dalam implementasi kecamatan terutama sejak implementasi UU No. 32 Tahun 2004. Namun jika dicermati dengan seksama, sejumlah jawaban tersebut ternyata sangat bervariasi baik dari sisi kualitas jawaban maupun dari sisi cakupannya (ada yang makro dan ada pula yang sangat mikro). Jawaban yang berserakan tersebut selanjutnya dilakukan pengelompokkan
(clustering) dengan melibatkan seluruh peserta diskusi. 2) Clustering Tahapan clustering dilakukan dengan mengelompokkan ide, gagasan, masalah dan saran yang disampaikan peserta diskusi dalam kartu-kartu pada saat melakukan brainstorming. Dari ke-38 kartu yang telah diisi oleh peserta diskusi, kemudian dikelompokkan ke dalam kluster-kluster berikut:
Tabel 3 Clustering Hasil MT Peningkatan Kapasitas Kecamatan Kabupaten Gresik No. 1.
Ide, Pemikiran, Masalah dan Saran Anggaran Anggaran untuk tiap-tiap kecamatan agar lebih ditingkatkan dan dalam penentuan besarnya anggaran untuk masing-masing kecamatan supaya mempertimbangkan : Jumlah penduduk Luas wilayah Jumlah desa Tipologi kecamatan Anggaran yang masih terbatas, sehingga kegiatan belum maksimal utamanya kegiatan yang bersifat di luar jam dinas Keberhasilan seorang camat pada era reformasi ini diukur dari keberhasilan lomba –lomba yang dilakukan oleh masing-masing SKPD di tingkat kabupaten/propinsi tetapi pada keyataannya tidak dibarengi dengan adanya anggaran sehingga camat harus mencari uang sendiri untuk membiayai kegiatan-kegiatan tersebut.
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 1, 2012
Jumlah 11
123
Peningkatan Kapasitas Kecamatan : Studi Kasus di Kabupaten Gresik Suryanto
No.
2.
124
Ide, Pemikiran, Masalah dan Saran Agar di kecamatan mulai dari camat s/d karyawan dapat berjalan dengan lancarnya anggaran. Dimohon anggaran untuk kecamatan ditambah. Kecamatan perlu ditingkatkan anggarannya karena banyak sekali kegiatannya. Anggaran untuk kecamatan perlu ditingkatkan sehingga dalam melaksanakan fungsi kecamatan lebih terpenuhi. Masalah anggaran yang kurang Perubahan paradigma tentang kewenangan camat menjadi kasatker menemuhi masalah terutama masalah biaya yang harus dipergunakan untuk membiayai operasional kegiatan – kegiatan di kecamatan, Pembiayaan yang rasional. Kegiatan kecamatan harus sesuai dengan DPA tapi kenyataan banyak kegiatan kecamatan yang di laksanakan kan tanpa mengacu DPA bah Sumber Daya Manusia Perlu menumbuhkan motivasi camat untuk berinovasi dan kreasi dengan meningkatkan kualitas SDM melalui pembelajaran. Kualitas SDM di kecamatan masih belum diberdayakan secara maksimal. Penguatan individu (aparat kecamatan) baik jumlah maupun kualitas. Peningkatan kapasitas kecamatan sangat dipengaruhi oleh kebijakan dan komitmen pemerintah daerah, sehingga tidak terkesan ogah-ogahan lebih terkait pelimpahan sebagian wewenang kepada camata. Kecamatan selama ini hanya menerima apa saja yang di berikan oleh kabupaten terutama dalam hal terkait perencanaan bidang SDM dan tatalaksana. Pemberdayaan kecamatan perlu ditingkatkan baik SDM maupun personilnya.
Jumlah
10
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 1, 2012
KAJIAN
No.
3.
Ide, Pemikiran, Masalah dan Saran SDM di kecamatan perlu ditingkatkan kemampuan nya dan perlu penambahan staf sesaui beban kerja sehingga dapat melaksanakan tugas di kecamatan dapat lebih baik. Personil kecamatan (SDM) perlu ditingkatkan kemampuannya. Perlu penataan personil /SDM Peningkatan SDM bagi kecamatan baik melalui dilat ataupun study banding guna memperluas pengetahuan dan kemampuannya. Masalah di kecamatan adalah kegiatan camat sampai dengan karyawan tidak dapat berjalan dengan optimal Kewenangan Kewenangan kecamatan harus jelas, tidak hanya sebagai ujung tombak yang tidak punya tombak, sehingga tidak dipandang sebelah mata oleh kepala desa. Kurangnya kepercayaan SKPD (kantor/dinas) terhadap kecamatan. Dengan adanya jasmas musrenbang kecamatan sepertinya tidak ada artimya atau formalitas saja anggota dewan lebih berperan. Perlu adanya kejelasan pendelegasian kewenangan dari kepala daerah kepada camat. Pemerintah daerah lebih mendorong teralisasinya pelimpahan sebagian kewenangan bupati kepada kecamatan yang tentunya diimbangi oleh P3D. Kewenangan camat dalam pengelolaan anggaran sebagai satuan kerja perangkat daerah. Kejelasan dan kepastian wewenang dan tugas bagi camat. Saat ini camat sering menerima tugas tetapi tidak disertai dengan kewenangan di bidang anggara. Masalah pelaksanaan pembangunan, camat kurang /tidak dilibatkan dalam pengawasan tapi bila terjadi penyimpangan camatlah yang paling awal
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 1, 2012
Jumlah
10
125
Peningkatan Kapasitas Kecamatan : Studi Kasus di Kabupaten Gresik Suryanto
No.
Ide, Pemikiran, Masalah dan Saran dimintai keterangan. Perlu adanya pendelegasian kewenangan kepada camat mengenai masalah UU kependudukan termasuk surat pindah penduduk. 4. Kelembagaan Perlu reorganisasi struktur kecamatan setelah camat tidak menandatangani KTP dan KK. Besaran organisasi / kelembagaan kecamatan perlu didasarkan pada Tipologi Karakteristik Radius pusat kota, dll Kecamatan sebagai SKPD belum benarbenar diwujudkan sebagaimana amanat UU nomor 32 tahun 2004 dan PP No 19 tahun 2008 5. Sarana dan Prasarana Sarana dan prasarana kantor masih sanbgat kurang. Standar ruang kantor / pelayanan di kecamatan belum memenuhi termasuk standar pelayanan dan prosedur. 6. Regulasi Regulasi terkait dengan hubungan kerja kecamatan dan desa 7. Pelayanan Tugas pembantuan kecamatan dapatnya terealisasi karena banyak tugas-tugas SKPD lainya dapat dilaksanakan oleh kecamatan sehingga pelayanan ke masyarakat lebih optimal Jumlah Sumber: Hasil Moderation Technique, Gresik 2011. Dari hasil clustering di atas menunjukkan bahwa pokok persoalan penyelenggaraan kecamatan setidaknya meliputi 7 (tujuh) kelompok/topic yaitu anggaran, SDM aparatur, kewenangan, kelembagaan, sarana-prasarana, regulasi/peraturan dan pelayanan. Ketujuh kluster tersebut yang
126
Jumlah
akan didiskusikan selanjutnya.
3
2
1
1
38
pada
tahapan
3) Diskusi Kelompok Kecil (Small Group Discussion) Pada tahapan diskusi kelompok kecil, seharusnya dilakukan pembagian kelompok-kelompok kecil sesuai jumlah
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 1, 2012
KAJIAN
sub topik yang akan dibahas, dalam hal ini 4 sub topik (sesuai rumus ½ n + 1 atau ½.7 + 1 = 4,5, dibulatkan menjadi 5). Jadi, seharusnya peserta dibagi ke dalam 5 kelompok kecil dan membahas sub topik sesuai dengan perolehan ranking. Namun, karena keterbatasan waktu maka diskusi
kelompok kecil dilakukan secara ‘pleno’ dalam kelompok besar. Kemudian, dari 5 sub topik yang seharusnya dibahas, hanya dapat dibahas 2 sub topik yakni persoalan anggaran dan SDM. Hasil diskusi kelompok pada kedua sub topik tersebut disimpulkan sebagai berikut:
Tabel 4 Hasil Small Group Discussion Apsek/Topik Anggaran Kecamatan dulu dan sekarang beda, dulu ada dana yang tidak terduga, sehingga bisa melaksanakan kegiatan tertentu, akan tetapi sekarang tidak ada. Beberapa permasalahan : Camat masih seperti dulu, tugas yang diberikan tanpa dipikir lebih dahulu, kegiatan banyak yang tidak ada DPA nya sehingga tidak ada anggarannya. Misalnya : lomba desa. Kegiatan di luar jam kerja, kita adalah Pembina masyarakat, namun tidak ada anggaran untuk lembur Kecamatan bukan kekuasaan, tapi sekarang pelayanan. Zaman dulu (orba) camat bisa bergerak bebas, tapi sekarang ini beda, banyak kegiatan yang diminta tetapi tidak ada anggaran, sehingga kami sangat membutuhkan anggaran untuk pelaksanaan kegiatan. Di Pulau banyak permasalahan, dengan adanya UU kependudukan kami sangat repot untuk mekanismenya apalagi terhadap kendala lokasi juga untuk KK, sehingga perlu pendelegasian kewenangan ke kecamatan. Intinya banyak kegiatan yang non program/ tidak terjadwalkan. Distorsi regulasi, dimana dalam PP-nya fungsi kecamatan adalah koordinasi kegiatan. Mengapa kegiatan di kecamatan tidak boleh diajukan sendiri? Sumber: PKKOD LAN, 2011
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 1, 2012
Aspek/Topik SDM Terbatasnya jumlah PNS di level organisasi kecamatan Di (kecamatan) Pulau Bawean benar-benar ada “Kades vs Sekdes” itu, kita sering memberikan pengarahan agar bisa lebih baik, banyak kades yang tidak menyukai adanya sekdes untuk itu perlu kajian lagi (PP No. 72 Tahun 2005). Kecamatan tidak akan lepas dari desa, seharusnya desa bukan pegawai, harusnya punya otonomi sendiri.
127
Peningkatan Kapasitas Kecamatan : Studi Kasus di Kabupaten Gresik Suryanto
Pelimpahan kewenangan dari Bupati ke kecamatan bukan kebutuhan tetapi keharusan, karena (a) Pemerintah Kabupaten Gresik akan memiliki beban kerja yang terlalu besar jika sbagian kewenangan tidak dilimpahkan kepada kecamatan, dan (b) pemborosan organisasi jika fungsi kecamatan hanya sebagai organisasi dengan fungsi yang minimalis hanya melaksanakan tugas-tugas rutin administrative saja. Ada beberapa keuntungan jika dilakukan pendelegasian kewenangan dari Bupati kepada Camat: (a) Alokasi dan Distribusi Anggaran lebih merata keseluruh wilayah di Kabupaten Gresik untuk menjadi Stimulan Pemerataan pambangunan dan Pertumbuhan Ekonomi di Kecamatan sampai ke desa, (b) Beban Pemerintah Kabupaten akan berkurang dalam pemberian dan penyediaan pelayanan, karena telah diambil alih oleh kecamatan dan kelurahan/desa, (c) Pemerintah kabupaten tidak perlu membentuk kelembagaan yang lebih besar sehingga dapat menghemat anggaran, dan (d) Sebagai wahana tempat memberdayakan fungsi kecamatan dan kelurahan yang selama ini belum optimal. Namun demikian, penyelenggaraan kecamatan di Gresik dihadapkan pada sejumlah kelemahan antara lain: sangat terbatasnya personil yang ada di kecamatan, kualitas SDM yang masih minim dan sarana dan prasarana masih sangat kurang. Kendala yang dijumpai bagi aparatur di kecamatan antara lain: wilayah yang cukup terpencil, kondisi topografi yang berbeda, dan kurang memadainya air bersih. Minimnya perhatian pemerintah kabupaten terhadap kendala-kendala yang dihadapi aparatur kecamatan sedikit banyak telah menyebabkan keengganan PNS untuk ditempatkan di kecamatan. Kecamatan masih kurang mendapatkan perhatian dalam hal pemenuhan kebutuhan dan pengembangan pegawai. Masih adanya keengganan sebagian
128
pegawai untuk ditempatkan di kantor kecamatan karena keterbatasan sarana dan prasarana di wilayah dan kantor kecamatan. Persebaran aparatur cenderung tidak merata, ada beberapa kecamatan yang kelebihan pegawai, namun di sisi lain ada juga kecamatan yang kekurangan pegawai. Aparatur di kecamatan masih tergantung dengan keberadaan Tenaga Kerja Kontrak yang jumlahnya cukup banyak. Secara ratarata pendidikan aparatur di tingkat kecamatan masih rendah, sebagian besar dari mereka berpendidikan SLTA ke bawah.Masih banyak aparatur di kecamatan yang kompetensinya tidak sesuai dengan jabatan atau pekerjaan yang dilakukan sehari-hari. Diperlukan redistribusi aparatur di tingkat kecamatan dengan mempertimbangkan analisis beban kerja masing-masing seksi di kantor kecamatan. Pemenuhan jabatan-jabatan struktural yang kosong dengan pejabat definitif agar tugas/pekerjaan jabatan tersebut tidak dibebankan kepada pejabat lain. Peningkatan/penguatan kualitasaparaturdikecamatandalam rangka mewujudkan efektifitas pelaksanaan tugas pokok dan fungsi jabatan melalui pembinaan, pendidikan dan pelatihan kepada pegawai yang sesuai dengan kebutuhan jabatan dan pelayanan publik. Pemenuhan kebutuhan sarana dan prasarana di kecamatan untuk menunjang penyelenggaraan pelayanan publik secara efektif. Mengintensifkan pembinaan, monitoring dan evaluasi terhadap kecamatan, sehingga kendala-kendala yang dihadapi kantor kecamatan dalam penyelenggaraan pelayanan publik bisa terdeteksi dan bisa dicarikan solusi secara cepat. Kelemahan lain menyangkut anggaran kecamatan. Pembagian anggaran harus proporsional sesuai dengan beban kerja dan pelayanan yang dilakukan setiap kecamatan. Sebagai contoh, anggaran untuk Kecamatan Gresik tidak sama dengan
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 1, 2012
KAJIAN
anggaran Kecamatan Panceng (urban dan rural), tentunya Kecamatan Gresik (urban) lebih besar disbanding Kecamatan Panceng
(rural). Alokasi anggaran kecamatan pada 2010 di Kabupaten Gresik adalah sebagai berikut:
Tabel 5 Alokasi dan Distribusi Anggaran Kecamatan Di Kabupaten Gresik NO. KECAMATAN JUMLAH ANGGARAN (Rp) 1. GRESIK 5.926.386.000 2. KEBOMAS 4.377.355.000 3. MANYAR 1.590.988.500 4. CERME 1.575.590.000 5. BENJENG 1.472.136.000 6. BALONGPANGGANG 1.329.576.000 7. DUDUK SAMPEYAN 1.410.822.000 8. DRIYOREJO 1.567.152.000 9. WRINGINANOM 1.468.440.000 10. KEDAMEAN 1.337.202.000 11. MENGANTI 1.207.726.000 12. SIDAYU 1.493.281.000 13. UJUNG PANGKAH 1.135.731.000 14. PANCENG 1.096.751.000 15. BUNGAH 1.295.708.000 16. DUKUN 1.403.839.000 17. SANGKAPURA 1.249.722.000 18. TAMBAK 1.097.527.000 Sumber: Paparan Kabag Adm Pem Umum Kab Gresik (2011) Dari tabel tersebut, dapat diketahui bahwa harapan para Camat tentang pembagian anggaran yang dilakukan berdasarkan beban kerja/pelayanan sebenarnya sudah mulai direalisasikan. Sebagai contoh, Kecamatan Gresik (kota) dianggap memiliki beban kerja pelayanan yang lebih besar dibanding kecamatan lain, misalnya Kecamatan Panceng, sehingga Kecamatan Gresik memperoleh alokasi anggaran yang lebih besar pula. Mengenai keunggulan Kabupaten Gresik, terdapat beberapa keunggulan yakni lokasi yang strategis, jaringan jalan yang memadai, dan situasi yang kondusif. Sedangkan potensi yang masih perlu
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 1, 2012
dikembangkan lagi antara lain industri pengolahan, jasa perdagangan, dan pertanian dan perikanan pariwisata. Disamping itu, berbagai peluang yang terdapat di Gresik antara lain meningkatnya peran kecamatan dalam pembangunan, mendorong partisipasi dan perencanaan pembangunan daerah, dan investasi di Kabupaten Gresik yang besar dituntut pelayanan yang cepat, sehingga proses perijinan bisa dilakukan pada tingkat kecamatan. Adapun tantangan yang dihadapi meliputi meningkatnya kebutuhan masyarakat akan pelayanan yang baik di Kabupaten Gresik, dan semakin kritisnya
129
Peningkatan Kapasitas Kecamatan : Studi Kasus di Kabupaten Gresik Suryanto
masyarakat terhadap pelayanan publik.
pembangunan
dan
STRATEGI PENINGKATAN PERAN DAN PILIHAN KEBIJAKAN PENATAAN KECAMATAN Setidaknya terdapat 5 strategi yang dapat ditempuh dalam melakukan pembenahan kecamatan: instrumentalis, fungsionalisme, governance approach, realitas sosial budaya, dan orientasi kinerja pelayanan publik. Strategi Instrumentalis, artinya pembenahan institusi kecamatan bukan tujuan akhir (end) dari keseluruhan proses rekonstruksi kelembagaan pemerintahan, melainkan sekedar alat (means) untuk mencapai tujuan ideologis (kesejahteraan sosial) masyarakat pedesaan; Strategi Fungsionalisme, artinya pembenahan kelembagaan bekerja di ranah penataan fungsi-fungsi atas kewenangan yang sudah ada, dan bukan strukturalisme kekuasaan melalui upaya “perebutan kekuasaan” (kewenangan) atas struktur pemerintahan pada hierarkhi di atasnya; Strategi Governance Approach, artinya penataan ulang kecamatan tetap berada dalam koridor penguatan tata-hubungan fungsional dengan kelembagaan lain, dan bukan untuk memperkuat posisi kekuasaan kecamatan menjadi “daerah otonom baru” sebagaimana pernah dialami pada masa UU No. 5/1974; Strategi Realitas Sosial Budaya, artinya dengan prinsip ini, maka sejumlah prinsipturunannya, seperti pendekatan perencanaan partisipatif, bottom-up approach, keberlanjutan dan keadilan lingkungan, pluralisme-inklusivisme budaya, dan pengaturan bercita-rasa keindonesiaan dapat terakomodasi dengan baik; dan Strategi Orientasi Kinerja Pelayanan Publik, artinya penguatan kapasitas Kecamatan ke depan harus berorientasi
130
pada kinerja pelayanan publik yang lebih baik. Merujuk pada persoalan dan konsep strategi peningkatan peran kecamatan ke depan dapat dilakukan dalam dua pilihan kebijakan sebagai berikut: 1) Dalam hal anggaran, kecamatan hendaknya diperlakukan sebagai SKPD sebagaimana perlakuan yang telah dilakukan terhadap dinas/badan, sehingga seluruh kegiatan kecamatan akan dibiayai dengan APBD. Hal ini sekaligus dapat mengatasi persoalan ‘romantisme’ masa lalu dimana camat memiliki kewibawaan di wilayahnya karena memiliki sumber daya (resources). Ketersediaan anggaran yang memadai tersebut diharapkan dapat terpenuhi untuk semua wilayah kecamatan dengan memperhatikan beban kerja yang dimilikinya. Dengan demikian, kedudukan camat sebagai pimpinan SKPD dan kecamatan sebagai perangkat daerah dapat terlaksana dengan baik dan lancar. 2) Dalam hal SDM aparatur, minimnya jumlah SDM aparatur di kecamatan pun akan menghambat pelaksanaan tugas dan fungsinya. Memang benar, secara kelembagaan kecamatan bukan sebagai ‘atasan’ desa/kelurahan, namun dalam peraturan perundang-undangan disebutkan bahwa camat masih diberikan kewajiban sebagai coordinator. Oleh karena itu, ketersediaan SDM aparatur di kecamatan tetap menjadi prioritas penting yang harus diperhatikan oleh pemerintah kabupaten. Yang terpenting dan di atas semua itu adalah kemauan (political will) dari kepala daerah untuk memberikan sebagian kewenangannya kepada kecamatan. Hal ini selain memenuhi tuntutan perundangan, juga agar tercipta kapasitas kecamatan dalam mendukung pencapaian tujuan pemerintahan dan otonomi daerah.
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 1, 2012
KAJIAN
DAFTAR PUSTAKA LAN RI, 2010, Quo Vadis kelembagaan kecamatan di era otonomi daerah : analisis efektivitas kelembagaan, Pusat Kajian Kinerja Kelembagaan LAN, Jakarta
Wewenang Serta Konflik Sosial, IPB, Bogor PKP2A III LAN Samarinda, 2010. Kajian Distribusi Penempatan Aparatur di Kecamatan, Kerjasama dengan Balitbangda Provinsi Kaltim, Samarinda
Agnes Cecilia, Devi, 2010, Pola Kepemimpinan Camat di Era Otonomi Daerah Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 (Studi di Kecamatan Gajahmungkur dan Semarang Tengah, Kota Semarang), Undergraduate Thesis, Fisip Universitas Diponegoro
Bahan Paparan Kepala Bagian Pemerintahan Kabupaten Gresik, 2011
Kinseng, Rilus A, 2008, Kecamatan di Era otonomi Daerah : Status dan
PP Nomor 19 Tahun 2008 tentang Kecamatan
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 1, 2012
Bahan Paparan Kepala Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah LAN, 2011 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
131
Peningkatan Kapasitas Kecamatan : Studi Kasus di Kabupaten Gresik Suryanto
132
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 1, 2012
Info PKKOD PERINGKAT KINERJA PEMERINTAH DAERAH PROVINSI, KABUPATEN DAN KOTA BERDASARKAN HASIL EVALUASI LPPD TAHUN 2010
S
ebagaimana disebutkan dalam Pasal 27 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2008 bahwa pemerintah menetapkan peringkat dan status kinerja penyelenggaraan pemerintahan daerah secara nasional untuk provinsi, kabupaten dan kota. Penetapan peringkat dan status ini ditentukan setelah dilakukan evaluasi terhadap LPPD. Evaluasi ini didasarkan pada laporan penyelenggaraan pemerintahan daerah (LPPD) Tahun 2010. Dari hasil evaluasi tersebut dapat diperoleh gambaran kinerja dari pemerintahan daerah, baik di level pengambil kebijakan maupun pada level pelaksana kebijakan dalam melaksanakan tugas dan fungsi sebagai pelayan masyarakat. Pada peringatan Hari Otonomi Daerah ke XVI Tahun 2012 tanggal 25 April, salah satu agendanya adalah pengumuman Pemeringkatan Kinerja Pemerintah Daerah dari Hasil Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Tahun 2010. Pemeringkatan daerah ini didasarkan pada Keputusan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 100-279 Tahun 2012 tentang Penetapan Peringkat dan Status Kinerja Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah terhadap Laporan Penyelenggaran Pemerintahan Daerah Tahun 2010.
besar penyelenggaraan pemerintahan provinsi yang berprestasi paling tinggi secara nasional yaitu Provinsi Jawa Timur, Provinsi Jawa Tengah dan Provinsi Sulawesi Selatan. Sementara untuk tingkat Kabupaten, terdapat 10 (sepuluh) besar penyelenggaraan pemerintahan kabupaten yang berprestasi paling tinggi secara nasional, yaitu Kabupaten Sleman, Kabupaten Wonosobo, Kabupaten Boyolali, Kabupaten Karanganyar, Kabupaten Jombang, Kabupaten Luwu Utara, Kabupaten Kulon Progo, Kabupaten Pacitan, Kabupaten Sukoharjo dan Kabupaten Bogor. Untuk tingkat Pemerintah Kota, 10 (sepuluh) besar penyelenggaraan pemerintahan kota yang berprestasi paling tinggi secara nasional, yaitu Kota Yogyakarta, Kota Magelang, Kota Tangeran, Kota Semarang, Kota Samarinda, Kota Bogor, Kota Sukabumi, Kota Depok, Kota Makassar dan Kota Cimahi. Secara lengkap gambaran berdasarkan peringkat dan status kinerja penyelenggaraan pemerintahan provinsi secara nasional sebagaimana tabel dibawah ini :
Dari hasil Evaluasi Kinerja Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah tersebut beberapa daerah berhasil menyandang predikat sebagai daerah dengan kinerja terbaik. Untuk tingkat Provinsi, yang mendapatkan peringkat dan status 3 (tiga)
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 1, 2012
133
Info PKKOD Tabel. 1 Peringkat dan Status Kinerja Penyelenggaraan Pemerintahan Provinsi Secara Nasional Berdasarkan Hasil LPPD Tahun 2010 Peringkat Nomor Skor 1. Provinsi Jawa Timur 1 2.7696 2. Provinsi Jawa Tengah 2 2.7570 3. Provinsi Sulawesi Selatan 3 2.6403 4. Provinsi Sulawesi Utara 4 2.4973 5. Provinsi Sumatera Selatan 5 2.4131 6. Provinsi Nusa Tenggara Barat 6 2.4100 7. Provinsi Kalimantan Barat 7 2.3931 8. Provinsi Jawa Barat 8 2.3489 9. Provinsi Sumatera Barat 9 2.3447 10. Provinsi D.I Yogyakarta 10 2.3356 11. Provinsi Kalimantan Timur 11 2.3294 12. Provinsi Riau 12 2.2821 13. Provinsi Nanggro Aceh Darussalam 13 2.2657 14. Provinsi Kalimantan Selatan 14 2.2650 15. Provinsi DKI Jakarta 15 2.2454 16. Provinsi Sumatera Utara 16 2.2143 17. Provinsi Lampung 17 2.1884 18. Provinsi Sulawesi Barat 18 2.1761 19. Provinsi Banten 19 2.1687 20 Provinsi Kalimantan Tengah 20 2.1203 21. Provinsi Bali 21 2.0951 22. Provinsi Kep. Bangka Belitung 22 2.0939 23. Provinsi Gorontalo 23 2.0812 24. Provinsi Maluku 24 1.9901 25 Provinsi Maluku Utara 25 1.9731 26. Provinsi Bengkulu 26 1.8237 27 Provinsi Nusa Tenggara Timur 27 1.7052 28. Provinsi Kapulauan Riau 28 1.5576 29. Provinsi Sulawesi Tenggara 29 1.5000 30. Provinsi Sulawesi Tengah 30 1.4939 31. Provinsi Papua Barat 31 1.4392 32. Provinsi Papua 32 1.4230 33. Provinsi Jambi 33 1.3106 Sumber : Lampiran Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 100-279 Tahun 2012 No.
Nama Pemerintah Daerah
Gambaran berdasarkan peringkat dan status kinerja penyelenggaraan pemerintahan
134
Status Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang
kabupaten secara nasional sebagaimana tabel dibawah ini :
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 1, 2012
Info PKKOD Tabel. 2 Peringkat dan Status Kinerja Penyelenggaraan Pemerintahan Kabupaten Secara Nasional Berdasarkan Hasil LPPD Tahun 2010 No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. 33. 34. 35. 36. 37. 38.
Nama Pemerintah Daerah Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten
Sleman Wonosobo Boyolali Karanganyar Jombang Luwu Utara Kulon Progo Pacitan Sukoharjo Bogor Malinau Wajo Sukabumi Bojonegoro Lumajang Ponorogo Bantul Purworejo Malang Barito Kuala Bandung Wonogiri Kebumen Pasuruan Bondowoso Jepara Subang Sidoarjo Garut Luwu Timur Berau Pekalongan Banyumas Bangkalan Tulungagung Enrekang Magelang Temanggung
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 1, 2012
Peringkat Nomor Skor 1 3.9169 2 3.1578 3 3.1552 4 3.0968 5 3.0872 6 3.0717 7 3.0707 8 3.0631 9 3.0587 10 3.0514 11 3.0410 12 3.0408 13 3.0401 14 3.0395 15 3.0321 16 3.0314 17 3.0287 18 3.0219 19 3.0004 20 3.0002 21 2.9921 22 2.9863 23 2.9851 24 2.9514 25 2.9805 26 2.9728 27 2.9694 28 2.9541 29 2.9515 30 2.9421 31 2.9314 32 2.9288 33 2.9200 34 2.9195 35 2.9165 36 2.9106 37 2.9009 38 2.9080
Status Sangat Tinggi Sangat Tinggi Sangat Tinggi Sangat Tinggi Sangat Tinggi Sangat Tinggi Sangat Tinggi Sangat Tinggi Sangat Tinggi Sangat Tinggi Sangat Tinggi Sangat Tinggi Sangat Tinggi Sangat Tinggi Sangat Tinggi Sangat Tinggi Sangat Tinggi Sangat Tinggi Sangat Tinggi Sangat Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi
135
Info PKKOD No. 39. 40. 41. 42. 43. 44. 45. 46. 47. 48. 49. 50. 51. 52. 53. 54. 55. 56. 57. 58. 59. 60. 61. 62. 63. 64. 65. 66. 67. 68. 69. 70. 71. 72. 73. 74. 75. 76. 77. 78. 79. 80.
136
Nama Pemerintah Daerah Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten
Ciamis Jembrana Gunung Kidul Ngawi Halmahera Barat Kediri Semarang Sidrap Indramayu Purwakarta Cianjur Purbalingga Cilacap Sragen Majalengka Bone Sumedang Gresik Klungkung Gowa Banjarnegara Tabanan Sumbawa Lamongan Karawang Kudus Rembang Polewali Mandar Kendal Gorontalo Serdang Bedagai Sampang Kapuas Sumbawa Barat Pinrang Ogan Komering Ilir Hulu Sungai Tengah Trenggalek Pemalang Klaten Demak Ogan Komering Uku
Peringkat Nomor Skor 39 2.9074 40 2.9006 41 2.8967 42 2.8906 43 2.8906 44 2.8904 45 2.8876 46 2.8863 47 2.8656 48 2.8644 49 2.8605 50 2.8550 51 2.8513 52 2.8487 53 2.8483 54 2.8467 55 2.8466 56 2.8456 57 2.8410 58 2.8395 59 2.9359 60 2.8317 61 2.8269 62 2.8204 63 2.8178 64 2.8168 65 2.8165 66 2.8121 67 2.8113 68 2.8101 69 2.8059 70 2.8057 71 2.7941 72 2.7922 73 2.7901 74 2.7899 75 2.7858 76 2.7844 77 2.7839 78 2.7812 79 2.7778 80 2.7770
Status Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 1, 2012
Info PKKOD No. 81. 82. 83. 84. 85. 86. 87. 88. 89. 90. 91. 92. 93. 94. 95. 96. 97. 98. 99. 100. 101. 102. 103. 104. 105. 106. 107. 108. 109. 110. 111. 112. 113. 114. 115. 116. 117. 118. 119 120. 121. 122.
Nama Pemerintah Daerah Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten
Boalemo Gianyar Bangka Banggai Tanah Datar Sumenep Minahasa Blora Kotawaringin Barat Humbang Hasundutan Kuningan Cirebon Dairi Tanah Bumbu Solok Lombok Timur Grobogan Pandeglang Tangerang Kampar Mamasa Buleleng Sijunjung Bantaeng Sinjai Musi Banyuasin Hulu Sungai Utara Tuban Pamekasan Tapanuli Utara Soppeng Muara Enim Nganjuk Selayar Balangan Mamuju Lombok Tengah Kupang Tana Toraja Ogan Ilir Lampung Barat Bangka Barat
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 1, 2012
Peringkat Nomor Skor 81 2.7747 82 2.7743 83 2.7701 84 2.7686 85 2.7683 86 2.7601 87 2.7560 88 2.7531 89 2.7495 90 2.7458 91 2.7443 92 2.7440 93 2.7421 94 2.7384 95 2.7292 96 2.7272 97 2.7271 98 2.7268 99 2.7258 100 2.7165 101 2.7264 102 2.7139 103 2.7122 104 2.7112 105 2.7095 106 2.7092 107 2.7067 108 2.7011 109 2.6996 110 2.6977 111 2.6933 112 2.6871 113 2.6828 114 2.6822 115 2.6815 116 2.6790 117 2.6779 118 2.6747 119 2.6698 120 2.6690 121 2.6684 122 2.6637
Status Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi
137
Info PKKOD No. 123. 124. 125. 126. 127. 128. 129. 130. 131. 132. 133. 134. 135. 136. 137. 138. 139. 140. 141. 142. 143. 144. 145. 146. 147. 148. 149. 150. 151. 152. 153. 154. 155. 156. 157. 158. 159. 160. 161. 162. 163. 164.
138
Nama Pemerintah Daerah Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten
Aceh Tengah Lampung Selatan Kutai Barat Lombok Barat Lamandau Batang Magetan Probolinggo Bulungan Pesisir Selatan Takalar Tebo Barito Utara Bengkalis Landak Samosir Bulukumba Kutai Kertanegara Barru Murung Raya Situbondo Badung Tabalong Aceh Barat Nunukan Sambas Tegal Siak Aceh Timur Hulu Sungai Selatan Blitar Rokan Hulu Tapin Pontianak Kotawaringin Timur Halmahera Selatan Sintang Minahasa Utara Banyuwangi Maros Bengkulu Utara Kapuas Hulu
Peringkat Nomor Skor 123 2.6633 124 2.6574 125 2.6442 126 2.6343 127 2.6286 128 2.6275 129 2.6259 130 2.6171 131 2.7087 132 2.6058 133 2.5984 134 2.5975 135 2.5929 136 2.5903 137 2.5885 138 2.5876 139 2.5872 140 2.5871 141 2.5840 142 2.5822 143 2.5803 144 2.5769 145 2.5675 146 2.5639 147 2.5587 148 2.5579 149 2.5562 150 2.5559 151 2.5535 152 2.5527 153 2.5518 154 2.5497 155 2.5497 156 2.5475 157 2.5436 158 2.5389 159 2.5318 160 2.5278 161 2.5271 162 2.5212 163 2.5204 164 2.5177
Status Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 1, 2012
Info PKKOD No. 165. 166. 167. 168 169. 170. 171. 172. 173. 174. 175. 176. 177. 178. 179. 180. 181. 182. 183. 184. 185. 186. 187. 188. 189. 190. 191. 192. 193. 194. 195. 196. 197. 198. 199. 200. 201. 202. 203. 204. 205. 206.
Nama Pemerintah Daerah Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten
Belitung Katingan Lima Puluh Kota Alor Kaur Pangkep Belu Kolaka Utara Kotabaru Melawi Tanah Laut Bekasi Bima Wakatobi Ogan Komering Ulu Timur Morowali Lampung Utara Bengkulu Selatan Kepahiang Serang Donggala Musi Rawas Gayo Lues Gunung Mas Jeneponto Mojokerto Mandailing Natal Maluku Tenggara Barat Karangasem Labuhan Batu Aceh Tamiang Sukamara Minahasa Selatan Agam Mimika Pohuwato Bintan Pulang Pisau Luwu Barito Selatan Sanggau Pakpak Barat
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 1, 2012
Peringkat Nomor Skor 165 2.5140 166 2.5137 167 2.5092 168 2.5077 169 2.5068 170 2.5042 171 2.5034 172 2.5033 173 2.5024 174 2.5022 175 2.5006 176 2.5005 177 2.4996 178 2.4977 179 2.4960 180 2.4951 181 2.944 182 2.4932 183 2.489 184 2.4889 185 2.4869 186 2.4834 187 2.4799 188 2.4776 189 2.4733 190 2.4693 191 2.4663 192 2.4657 193 2.4652 194 2.4601 195 2.4560 196 2.4558 197 2.4549 198 2.4464 199 2.4430 200 2.4376 201 2.4285 202 2.4250 203 2.4229 204 2.4217 205 2.4194 206 2.4187
Status Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi
139
Info PKKOD No. 207. 208. 209. 210. 211. 212. 213. 214. 215. 216. 217. 218. 219. 220. 221. 222. 223. 224. 225. 226. 227. 228. 229. 230. 231 232. 233. 234. 235. 236. 237. 238. 239. 240. 241. 242 243. 244. 245. 246. 247. 248.
140
Nama Pemerintah Daerah Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten
Muko-Muko Pasaman Barat Toba Samosir Batanghari Belitung Timur Bengkayang Bener Meriah Inderagiri Hilir Kutai Timur Seruyan Maluku Tengah Poso Deli Serdang Asahan Merauke Buton Aceh Selatan Merangin Brebes Ngada Buru Ketapang Langkat Lampung Timur Tasikmalaya Nabire Majene Kerinci Tapanuli Selatan Mamuju Utara Tulang Bawang Aceh Singkil Sarmi Lingga Sorong Aceh Tenggara Jayapura Timor Tengah Selatan Pasaman Manggarai Way Kanan Rokan Hilir
Peringkat Nomor Skor 207 2.4167 208 2.4162 209 2.4116 210 2.4074 211 2.4057 212 2.4050 213 2.4024 214 2.4020 215 2.3930 216 2.3862 217 2.3821 218 2.3774 219 2.3753 220 2.3655 221 2.3649 222 2.3631 223 2.3627 224 2.3621 225 2.3479 226 2.3469 227 2.3450 228 2.3217 229 2.3208 230 2.3154 231 2.3141 232 2.3139 233 2.3047 234 2.3032 235 2.2289 236 2.2864 237 2.2833 238 2.2806 239 2.2787 240 2.2767 241 2.2767 242 2.2708 243 2.2642 244 2.2610 245 2.2583 246 2.2580 247 2.2568 248 2.2555
Status Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 1, 2012
Info PKKOD No. 249. 250. 251. 252. 253. 254. 255. 256. 257. 258. 259. 260. 261. 262. 263. 264. 265. 266. 267. 268. 269. 270. 271. 272. 273. 274. 275. 276. 277. 278. 279. 280. 281. 282. 283. 284. 285. 286. 287. 288. 289. 290.
Nama Pemerintah Daerah Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten
Kepulauan Sangihe Asmat Bolaang Mongondow Aceh Barat Daya Sekadau Bireuen Parigi Moutong Aceh Besar Rejang Lebong Sumba Barat Barito Timur OKU Selatan Padang Pariaman Natuna Aceh Jaya Tapanuli Tengah Sikka Lembata Paser Bangli Pegunungan Bintang Aceh Utara Nias Solok Selatan Paniai Kepulauan Talaud Pati Madiun Raja Ampat Karimun Bangka Selatan Dharmasraya Banjar Timor Tengah Selatan Dompu Banggai Kepulauan Rote Ndao Keerom Sarolangun Kaimana Jember Bone Bolango
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 1, 2012
Peringkat Nomor Skor 249 2.2551 250 2.2519 251 2.2516 252 2.2431 253 2.2393 254 2.2369 255 2.2184 256 2.2168 257 2.2156 258 2.2066 259 2.1879 260 2.1812 261 2.1682 262 2.1508 263 2.1507 264 2.1491 265 2.1461 266 2.1362 267 2.1256 268 2.1224 269 2.1220 270 2.1220 271 2.1199 272 2.1035 273 2.0073 274 2.0890 275 2.0789 276 2.0768 277 2.0742 278 2.0694 279 2.0606 280 2.0551 281 2.0520 282 2.0450 283 2.0304 284 2.0277 285 2.0238 286 2.0101 287 2.0082 288 2.0080 289 2.0022 290 1.9938
Status Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Sedang
141
Info PKKOD No. 291. 292. 293. 294. 295. 296. 297. 298. 299. 300. 301. 302. 303. 304. 305. 306. 307. 308. 309. 310. 311. 312. 313. 314. 315. 316. 317. 318. 319. 320. 321. 322. 323. 324. 325. 326. 327. 328. 329. 330. 331. 332.
142
Nama Pemerintah Daerah Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten
Teluk Wondama Sumba Timur Kepulauan Sula Halmahera Utara Halmahera Tengah Karo Tojo Unauna Pidie Supiori Lampung Tengah Jayawijaya Yapen Waropen Seram Bagian Barat Bangka Tengah Simeulue Seluma Tolikara Lebong Kolaka Seram Bagian Timur Biak Numfor Lahat Ende Halmahera Timur Flores Timur Boven Digul Puncak Jaya Muaro Jambi Yahukimo Nagan Raya Sorong Selatan Lebak Simalungun Kuantan Singingi Nias Selatan Bungo Tanjung Jabung Timur Buol Pelalawan Fakfak Maluku Tenggara Mappi
Peringkat Nomor Skor 291 1.9869 292 1.9814 293 1.9799 294 1.9761 295 1.9736 296 1.9706 297 1.9683 298 1.9644 299 1.9515 300 1.9492 301 1.9469 302 1.9352 303 1.9288 304 1.9129 305 1.9129 306 1.9115 307 1.8988 308 1.8951 309 1.8687 310 1.8597 311 1.8517 312 1.8509 313 1.8384 314 1.8193 315 1.8124 316 1.8029 317 1.7786 318 1.7772 319 1.7734 320 1.7689 321 1.7254 322 1.7196 323 1.7162 324 1.7112 325 1.7062 326 1.7035 327 1.6861 328 1.6594 329 1.6373 330 1.6335 331 1.5920 332 1.5100
Status Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang sedang Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 1, 2012
Info PKKOD Peringkat Nomor Skor 333. Kabupaten Waropen 333 1.4721 334. Kabupaten Tolitoli 334 1.4521 335. Kabupaten Tanjung Jabung Barat 335 1.4495 336. Kabupaten Muna 336 1.4194 337. Kabupaten Tanggamus 337 1.4070 338. Kabupaten Banyuasin 338 1.3259 339. Kabupaten Konawe 339 1.1995 340. Kabupaten Kepulauan Aru 340 1.1383 341. Kabupaten Indragiri Hulu 341 0.9555 342. Kabupaten Manggarai Barat 342 0.7810 343. Kabupaten Kepulauan Mentawai 343 0.6972 344. Kabupaten Penajam Paser Utara 344 0.6856 345. Kabupaten Bombana 345 0.2811 346. Kabupaten Konawe Selatan 346 0.2811 Sumber : Lampiran Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 100-279 Tahun 2012 No.
Nama Pemerintah Daerah
Sementara itu gambaran berdasarkan peringkat dan status kinerja penyelenggaraan
Status Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah
pemerintahan Kota secara nasional sebagaimana tabel dibawah ini :
Tabel. 3 Peringkat dan Status Kinerja Penyelenggaraan Pemerintahan Kota Secara Nasional Berdasarkan Hasil LPPD Tahun 2010 No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18.
Nama Pemerintah Daerah Kota Kota Kota Kota Kota Kota Kota Kota Kota Kota Kota Kota Kota Kota Kota Kota Kota Kota
Yogyakarta Magelang Tangerang Semarang Samarinda Bogor Sukabumi Depok Makassar Cimahi Surakarta Salatiga Balikpapan Madiun Palopo Pekalongan Parepare Malang
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 1, 2012
Peringkat Nomor Skor 1 3.2397 2 3.2293 3 3.1747 4 3.1289 5 2.9815 6 2.9672 7 2.9330 8 2.9277 9 2.9256 10 2.9238 11 2.9232 12 2.9197 13 2.8992 14 2.8974 15 2.8863 16 2.8626 17 2.8497 18 2.8485
Status Sangat Tinggi Sangat Tinggi Sangat Tinggi Sangat Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi
143
Info PKKOD No. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. 33. 34. 35. 36. 37. 38. 39. 40. 41. 42. 43. 44. 45. 46. 47. 48. 49. 50. 51. 52. 53. 54. 55. 56. 57. 58. 59. 60.
144
Nama Pemerintah Daerah Kota Kota Kota Kota Kota Kota Kota Kota Kota Kota Kota Kota Kota Kota Kota Kota Kota Kota Kota Kota Kota Kota Kota Kota Kota Kota Kota Kota Kota Kota Kota Kota Kota Kota Kota Kota Kota Kota Kota Kota Kota Kota
Cirebon Bontang Banjar Tegal Manado Kediri Padang Panjang Bitung Lubuk Linggau Mojokerto Mataram Surabaya Solok Palangkaraya Banda Aceh Probolinggo Medan Payakumbuh Bengkulu Tasikmalaya Metro Banjarbaru Banjarmasin Cilegon Bandung Palu Tarakan Bekasi Blitar Bandar Lampung Batu Gorontalo Bukit Tinggi Bima Tanjung Balai Pasuruan Batam Langsa Tanjung Pinang Pagar Alam Jayapura Pariaman
Peringkat Nomor Skor 19 2.8450 20 2.8369 21 2.8183 22 2.8258 23 2.7980 24 2.7909 25 2.7689 26 2.7571 27 2.7534 28 2.7467 29 2.7447 30 2.7346 31 2.7345 32 2.7100 33 2.6887 34 2.6838 35 2.6831 36 2.6763 37 2.6715 38 2.6670 39 2.6530 40 2.6457 41 2.6475 42 2.6464 43 2.6318 44 2.6264 45 2.5889 46 2.5860 47 2.5791 48 2.5705 49 2.5620 50 2.5498 51 2.5479 52 2.5392 53 2.5238 54 2.5157 55 2.5115 56 2.5086 57 2.5080 58 2.4918 59 2.4886 60 2.4882
Status Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 1, 2012
Info PKKOD Peringkat Nomor Skor 61. Kota Lhokseumawe 61 2.4796 62. Kota Dumai 62 2.4743 63. Kota Pangkal Pinang 63 2.4226 64. Kota Ternate 64 2.4124 65. Kota Singkawang 65 2.3749 66. Kota Sibolga 66 2.3683 67. Kota Prabumulih 67 2.3656 68. Kota Baubau 68 2.3648 69. Kota Binjai 69 2.3469 70. Kota Sawahlunto 70 2.3467 71. Kota Sorong 71 2.3027 72. Kota Pontianak 72 2.2989 73. Kota Padangsidempuan 73 2.2572 74. Kota Sabang 74 2.2481 75. Kota Palembang 75 2.1924 76. Kota Pekanbaru 76 2.1901 77. Kota Tidore Kepulauan 77 2.1767 78. Kota Kupang 78 2.1485 79. Kota Tomohon 79 2.1455 80. Kota Ambon 80 2.1364 81. Kota Pematangsiantar 81 2.0519 82. Kota Denpasar 82 1.9711 83. Kota Tebing Tinggi 83 1.9463 84. Kota Jambi 84 1.8142 85. Kota Padang 85 1.3585 86. Kota Kendari 86 1.0537 Sumber : Lampiran Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 100-279 Tahun 2012 No.
Nama Pemerintah Daerah
Daerah yang di evaluasi meliputi atas 33 Provinsi, 346 dari 398 Kabupaten dan 86 dari 93 Kota. Sedangkan dua kabupaten, yaitu Kabupaten Manokwari dan Kabupaten Teluk Bintuni tidak di evaluasi karena tidak
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 1, 2012
Status Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang
menyerahkan LPPD. Sementar terdapat 50 Kabupaten dan 7 Kota yang merupakan daerah otonom baru yang berusia dibawah 3 (tiga) tahun sehingga belum di evaluasi. (Widya Puspitaayu Sutisna) ***
145
Petunjuk Penulisan Jurnal Desentralisasi merupakan jurnal yang diterbitkan oleh Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah-Lembaga Administrasi Negara dengan kode ISSN 1412-3568. Untuk memperkaya isi jurnal, redaksi mengundang para peneliti, dosen, pakar dan praktisi pemerintah, atau pengamat untuk menyumbangkan hasil penelitian dan atau hasil pemikirian kritis di bidang desentralisasi dan otonomi daerah. Topik Jurnal Desentralisasi mencakup berbagai isu dan permasalahan otonomi daerah. Substansi yang dikembangkan meliputi perkembangan konsepsi desentralisasi dan otonomi daerah, dan dimensi-dimensi pelaksanaan otonomi daerah. Ketentuan umum penulisan naskah Jurnal Desentralisasi adalah sebagai berikut : 1. Naskah merupakan hasil penelitian, kajian maupun pemikiran kritis terhadap isu-isu di bidang desentralisasi dan otonomi daerah, yang meliputi perkembangan konsepsi desentralisasi dan otonomi daerah, serta dimensi-dimensi pelaksanaan otonomi daerah; 2. Naskah diketik dalam Bahasa Indonesia (untuk abstrak/insitasi dan keyword/kata kunci diketik dalam dwi bahasa yaitu Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris), menggunakan kertas ukuran kuarto sepanjang 15-20 halaman (termasuk gambar, tabael dan daftar pustaka). Menggunakan huruf Times New Roman ukuran 12, dan spasi tunggal. Batas tepi kanan 2,5 cm, batas tepi kiri 3 cm, batas atas 3 cm dan batas bawah 3 cm 3. Setiap table dan gambar diberi judul. Posisi judul table berada di atas table, sedangkan posisi judul gambar berada dibawah gambar. 4. Format tulisan sekurang-kurangnya terdiri atas : a. Judul tulisan; b. Nama penulis, apabila penulis lebih dari satu orang, maka penulis yang ditulis pertama adalah penulis utama; c. Institusi dan alamat tempat penulis bekerja, apabila memungkinkan disertakan nomor telepon dan alamat email penulis; d. Abstrak/intisasi ditulis dwi bahasa yaitu Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris masing-masing sepanjang 100-200 kata disertakan keyword/kata kunci; e. Pendahuluan, sebagai pembukaan memuat aspek-aspek atau hal-hal yang membuat tema tulisan tersebut menarik dan mengundang rasa keingintahuan. Penulis dapat mengemukakan fenomena-fenomena menarik terkait dengan topic tulisan dengan disertai data-data pendukung. Dan pada akhir bagian ini perlu diberikan tujuan penulisan tema yang ditulis; f. Metode penelitian, apabila naskah tersebut merupakan hasil penelitian maka perlu dituliskan metode penelitian yang digunakan; g. Bagian analisis dan pembahasan atau bisa menggunakan nama lain yang relevan dengan topik tulisan berisi temuan-temuan, analisis dan pembahasan serta interpretasi terhadap data; h. Penutup, bisa berisi kesimpulan dan saran atau rekomendasi berkaitan dengan tujuan penulisan yang dikemukakan pada bagian pendahuluan; i. Daftar pustaka, disusun berdasar abjad, ditulis pada bagian akhir tulisan dengan susunan dimulai dari nama (diawali dengan nama belakang dan dipisahkan dengan tanda koma), tahun
penerbitan, judul tulisan, kota penerbit dan nama penerbit. Untuk sumber yang diperoleh dari internet harus disertakan tanggal sumber tersebut diakses/diunduh. Beberapa contoh penulisan daftar pustaka adalah sebagai berikut : Doherty, Tony L., dan Terry Horne, 2002, Managing Public Services, Implementing Changes : a Thoughtful Approach to The Practice of Management, New York : Routledge. Nasution, Nur, 2004, Manajemen Mutu Terpadu (Total Quality Management), Jakarta : Ghalia Indonesia. 5. Catatan kaki (footnote) dapat digunakan untuk memberikan penjelasan terhadap bagian isi naskah atau sebagai acuan berkaitan dengan sumber data yang dikutip; 6. Setiap data yang berupa kutipan baik dalam bentuk kalimat langsung maupun tidak langsung, gambar, serta table yang diambil dari sumber lain harus dicantumkan sumbernya, ditulis dalam daftar pustaka; 7. Naskah dapat dikirimkan langsung atau melalui email ke redaksi Jurnal Desentralisasi dengan alamat : Redaksi Jurnal Desentralisasi Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah-Lembaga Administrasi Negara Gedung B Lantai 3 Jl. Veteran No. 10 Jakarta Pusat 10110 Telp. (021) 3868201-07 Ext. 119-120 Email :
[email protected] Setiap naskah yang masuk ke Redaksi setelah lolos seleksi oleh Redaksi, akan di review oleh Dewan Penyunting, dan atas setiap naskah yang dimuat akan diberikan cetak lepas (off-print) dan imbalan yang pantas kepada penulis. ***