Kolom IBRAHIM ISA Sabtu, 04 Januari 2014 --------------------
DEMOKRASI INDONESIA BERSYARAT . . Menjelang berakhirnya tahun 2013, atas prakarsa Prof Salim Said, mantan Dubes RI d Praha, di media internet ini , telah berlangsung suatu tukar-fikiran, suatu diskusi mengenai masalah pemberlakuan atau pemberdayaan prinsip-prinsip DEMOKRASI di Indonesia. Pengelola Mailist Gelora45, penulis ChanCT, telah memberikan responsnya. Demikian juga penulis mailist Nasare, dll. *** Tigabelas tahun yang lalu, 10 Februari 2000, kutulis beberapa artikel mengenai demokrasi yang mulai diberlakukan kembali sejak jatuhnya Presiden Suharto dan bubarnya rezim Orde Baru di Indonesia. Salah satu artikel tsb berjudul , "DEMOKRASI INDONESIA BERSYARAT . . .?" Tulisan tsb menyoroti segi lain, yang tidak disingggung dalam tulisan Prof Salim Said. Yaitu kenyataan, bahwa DEMOKRASI yang mulai diberlakukan itu b e r s y a r a t. Hak demokrasi itu dinyatakan berlaku bagi semua warga-negara. Terkecuali mereka yang berfaham Komunis, yang keyakinan dan sikap politiknya didasarkan pada ajaran Marxisme. Di Indonesia adalah melanggar ketetapan MPRS kalau seseorang menganut faham Marxisme. Di bawah ini a.l kutipan dari siaran MPRS ketika itu . . . TAP MPRS No XXV, Thn 1966, inti sarinya: TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 KETETAPAN MPRS DAN MPR RI BERDASARKAN KETETAPAN MPR RI NO I/MPR/2003 PASAL 2 DAN PASAL 4 PASAL 2 KETETAPAN MPR RI NO I/MPR/2003 1
KETETAPAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT SEMENTARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR XXV/MPRS/1966 TENTANG PEMBUBARAN PARTAI KOMUNIS INDONESIA, PERNYATAAN SEBAGAI ORGANISASI TERLARANG DI SELURUH WILAYAH NEGARA REPUBLIK INDONESIA BAGI PARTAI KOMUNIS INDONESIA DAN LARANGAN SETIAP KEGIATAN UNTUK MENYEBARKAN ATAU MENGEMBANGKAN FAHAM ATAU AJARAN KOMUNIS/MARXISME-LENINISME * * * Dengan demikian pernyataan, siaran atau penerbitan apa saja bisa dilarang dan diberangus oleh penguasa, bila itu dianggap bertentangan dengan TAP MPRS No XXV, Th 1966. Sedangkan salah satu prinsip dan pilar dari DEMOKRASI adalah hak dengan bebas menyatakan fikiran, pendapat, menerbitkan dsb. *** Pemrakarsa diskusi, Prof Salim Said, lengkapnya menulis, sbb:
SALAHKAH DEMOKRASI KITA? Minggu, 29 Desember 2013 14:20 Salim Said Meski korupsi sudah ada sejak lama di Indonesia (bahkan dari zaman VOC), tapi korupsi sejak Reformasi mendapatkan dimensi baru. Ia adalah akibat pilihan politik yang kita tetapkan sejak jatuhnya Orde Baru. Demokratisasi
yang
bermula
sejak
deklarasi
diizinkannya
pembentukan
partai-partai disusul oleh pemilu bebas sejak tahun 1999, tidak bisa lain dari salah satu penyulut merajalelanya korupsi. Salahkah Presiden Habibie membuka pintu demokrasi? Sama sekali tidak. Lagi pula, kalau kita mau jujur menengok kembali ke hari-hari pasca jatuhnya kekua saan Presiden Soeharto, kita memang tidak punya pilihan lain selain demokrasi. Ketika pemerintahan Presiden Sukarno goyah dan akhirnya ambruk pada hari-hari pasca Gestapu Oktober 1965, ada kekuatan politik tentara (ABRI) yang siap
2
berkuasa. Dengan sipil yang lemah eharwaktu itu Indonesia tidak punya pilihan lain kecuali mendukung ABRI yang dipimpin Jenderal Soeharto. Untuk beberapa tahun pemerintahan Soeharto berjalan sesuai harapan banyak orang. Tapi kemudian karena terlalu lama berkuasa secara otoriter, pemerintahan tidak sanggup menghindarkan diri dari korupsi di segala bidang. Pada Mei 1998 dan hari-hari berikutnya tidak ada suatu kekuatan solid yang siap mengelola Indonesia. Tentara (ABRI/TNI) bahkan meninggalkan peran politiknya pada April tahun 2000. Bangsa Indonesia waktu itu sungguh bagaikan anak yatim piatu yang rumah yatim piatunya mendadak tutup. "Yatim piatu Indonesia" jadi berkeliaran di jalanan dan semua secara bersama mencari bentuk mengelola Indo nesia. Karena tidak ada suatu kekuatan solid yang kuat, maka kita bersama-sama mengelola Indonesia. Pada tingkat peradaban yang masih rendah itu kita tidak punya pilihan lain kecuali berdemokrasi dengan jubelan partai-partai. Demokrasi bukan ciptaan kita. Ia sudah ada lama dalam politik di berbagai belahan dunia. Entah sadar atau tidak waktu itu, kita memetik demokrasi sebagai sistem politik kita tanpa memperhitungkan kenyataan bahwa demokrasi bukanlah sistem yang menyelesaikan semua soal, kendati demikian ia adalah sistem politik terbaik yang ditemukan manusia masa kini. Masih ada lagi hal penting yang perlu kita perhatikan: Sejarah telah mengajarkan kepada kita, sistem demokrasi mampu berjalan dengan relatif baik hanya pada negara yang mempunyai tingkat peradaban tertentu. Disimpulkan secara sederhana, demokrasi adalah ekspresi politik dari peradaban yang tinggi. Peradaban selalu berkorelasi tinggi dengan tingkat kemakmuran tertentu. Itulah penjelasannya mengapa kita sulit menemukan negara miskin yang sanggup menjalankan sistem demokrasi dengan baik. Kecuali b eberapa gelintir orang, pada dasarnya bangsa Indonesia masih berada pada tingkat peradaban yang belum sanggup menopang sistem politik demokrasi. Tapi karena demokrasi sudah "dipaksakan" kepada kita, maka kita sungguh bagaikan orang yang memilih memakan ketan srikaya: gula dan ketannya sulit terpisahkan dan karena itu harus dimakan bersama.
3
Secara singkat tidak salah untuk menyimpulkan bahwa korupsi yang melanda Indonesia sekarang adalah ekspresi dari tingkat peradaban kita yang sesungguhnya belum sanggup, belum pantas mendukung sistem demokrasi. Tapi karena kita tidak punya pilihan lain (kita tidak bisa balik kanan atau belok kiri kembali ke masa otoriter), maka ada dua jalan terbentang di depan kita. Mendukung KPK sembari makin menyempurnakan sistem pengawasan atas birokrasi dan kekuatan-kekuatan politik. Sembari menjalankan dua langkah tersebut, kita juga memerlukan pemimpin yang berdedikasi pada pembangunan ekonomi yang bertujuan makin memperluas masyarakat kelas menengah bangsa kita. Sejarah dan para teoritisi politik telah membuktikan bahwa tanpa kelas menengah yang solid, demokrasi sulit bertahan. ***
** Di bawah ini disajikan lagi tulisanku sbg sumbangan ala kadarnya untuk memarakkan diskusi yang dimulai oleh Prof Salim Said. Suatu inisiatif yang diharapkan akan merupakan sumbangan bagi usaha pencerahan mengenai masalah DEMOKRASI di Indonesia. Ibrahim Isa
DEMOKRASI INDONESIA BERSYARAT . . . . . ?
-- 10 Februari 2000 > Era dimana kita hidup dewasa ini adalah era demokrasi dan hak-hak azasi manusia. Di Indonesia lebih populer disebut era "reformasi" dan era "HAM" .Boleh dikata semua parpol, kiranya juga termasuk partainya Menkumdang Prof. Yusril Ihza Mahendra, pernah menyatakan berkepedulian melaksanakan prinsip-prinsip reformasi, demokrasi dan HAM. Dialog dengan Pak Yusril adalah penting sekali, dan diharapkan akan lebih banyak lagi yang akan ambil bagian dalam dialog dengan beliau. Karena beliau adalah Menkumdang, Menteri Hukum dan Perundang-udangan. Dengan sendirinya amat
4
berkepedulian untuk berdialog dengan sebanyak mungkin orang agar memperoleh input yang cukup, dalam usaha Kementerian Kumdang memberikan sumbangannya dalam proses reformasi dan usaha besar menegakkan negara berdasarkan hukum, yaitu suatu ”re-chtsstaat” Seperti dinyatakan dalam UUD-45, Negara Indonesia berdasar atas Hukum , tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka <Machtstaat>. Bila kita mengingat kembali dasar falsafah negara kita , maka terpampanglah di hadapan kita Undang-Undang Dasar Republik Indonesia, 1945, dan karya Bung Karno, “Lahirnya Pancasila”. Baik lahirnya “Pancasila” maupun “UUD-45,” kedua-duanya dokumen berseja-rah negara kita itu, berlandaskan pada azas-azas, dimana yang terpenting, antara lain, adalah prinsip-prinsip demokrasi dan HAM. Prinsip-prinsip tsb berwatak universil. Artinya mempunyai nilai-nilai yang bisa ditrapkan secara universil, secara prinsip tidak terikat oleh tempat dan waktu. Kalau kita betul yakin bahwa prinsip-prinsip demokrasi dan HAM itu adalah luhur dan unggul, dan merupakan landasan dijalan yang hendak ditempuh oleh bangsa dan negeri ini menudju terbangunnya suatu “rechtsstaat”, yang adil dan makmur, maka kita juga seyogianya dengan konsisten berusaha membela dan memberlakukannya. Mengapa timbul pertanyaan seperti pada judul esai ini, “apa betul demokrasi Indonesia bersyarat?” Pertanyaan ini sebetulnya sudah sering juga diajukan oleh berbagai fihak sehubungan dengan masalah-masalah atau kasus-kasus yang dihadapi sesuatu waktu. Belakangan ini ramai dibicarakan tentang _TAP MPRS No. 25/1966". Ini berkaitan dengan masalah ratusan warganegara Indonesia yang sedang berada di luarnegeri ketika terjadi peristiwa G30S , kemudian tidak bisa pulang, dengan siapa Menkumdang Yusril mengadakan dialog. Saya hadir juga dalam pertemuan dengan Menkumdang. Yang dibicarkan disitu bukan hanya TAP MPRS N o 25/1966, tetapi juga usul untuk pencabutan Instruksi Mendagri No. 32/81, yang isinya menghukum sekali lagi untuk seumur hidup para eks-tapol 1965/1966 dan para keluarga mereka, dengan memberikan stempel orang yang berbahaya, maka harus diwaspadai dan diawasi, harus melapor, tidak boleh ini, tidak boleh itu, dsb. Pokoknya didiskriminasi seperti orang-orang yang mengidap penyakit menular. Sedangkan TAP MPRS No. 25/1966, adalah suatu keputusan yang “menguatkan kebijaksanaan” mantan presiden Suharto, untuk membubarkan PKI beserta semua ormas yang dianggap “seasas serta berlindung/bernaung dibawahnya”, menjadikannya keputusan MPRS. Diputuskan oleh MPRS tsb: “Setiap kegiatan di Indonesia untuk menjebarkan atau mengembangkan paham atau adjaran Komunisme/Marxisme-Leninisme dalam segala bentuk dan manifestasinja, dan 5
penggunaan segala matjam aparatur serta media bagi penjebaran atau pengembangan paham atau adjaran tsb, dilarang.” Begitulah bunyi a.l. bagian terpenting dari TAP tsb. Melarang sesuatu parpol, seyogianya dilakukan atas dasar hukum yang benar. Apakah PKI dilarang melalui suatu proses pengadilan yang independen. Menurut catatan resmi, sebagaimana juga sementara parpol lainnya pada zaman “Demokrasi Terpimpin”,PKI seperti halnya dengan parpol PNI, Parkindo, Partai Katolik, NU, PSII, Perti, Partindo, adalah parpol-parpol yang legal, sah menurut undang-undang saat itu. Seperti parpol lainnya PKI juga menerima Pancasila. Jadi bila sesuatu parpol seperti PKI yang selain berpaham Marxisme, juga menerima Pancasila, selain itu karena dianggap Marxisme itu bertentangan dengan Pancasila, lalu PKI dan paham Marxismenya dilarang; maka seyogianya, PKI diberi hak dan syarat untuk membela diri. Ajukanlah ke pengadilan agar diurus sesuai dengan ketentuan hukum. Mengenai tuduhan bahwa PKI, dinyatakan oleh TAP tsb, “dalam sedjarah Kemerdekaan
Republik
Indonesia
telah
njata-njataberusaha
merobohkan
kekuasaan Pemerintah Republik Indonesia jang sah dengan djalan kekerasan”, mengenai kasus inipun seyogianya PKI diberikan kesempatan untuk membela diri. Bicara
soal
“pemberontakan”
terhadap
negara
RI,
kiranya
yang
pernah
memberontak terhadap RI juga tercatat gerakan DI/TII yang dipimpin oleh Kartosuwiryo dan juga PRRI- Permesta, yang telah mendirikan negara dalam negara. Yang dimaksudkan oleh TAP MPRS No25/1966, kiranya adalah “peristiwa Madiun 1948" dan “G30S”. Bagaimana catatan dokumentasi negara, mengenai PRRI dan Permesta serta parpol-parpol serta kesatuan tentara yang ambil bagian dalam pemberontakan tsb?. Untuk kepentingan pelurusan sejarah ada baiknya diteliti dan dipelajari lagi. Mengenai “peristiwa Madiun”, ada dokumentasi pengadilan negeri bahwa DN Aidit ketua PKI, pernah dimuka pengadilan Jakarta, menggugat tuduhan “Pemberontakan PKI di Madiun” itu, dan menjelaskan bahwa dalam peristiwa tsb adalah PKI yang jadi korban, akibat dari suatu politik “Red drive proposals” AS semasa perang dingin ketika itu. Sejarah juga mencatat bahwa PKI telah mengeluarkan “Buku Putih” mengenai peristiwa Madiun, yang isinya memperkuat gugatan DN Aidit tsb. Tidak ada sejarah mencatat bahwa “Buku Putih” tsb dibantah secara terdokumentasi ataupun dengan mengemukakan saksi, oleh siapapun. 6
Mengenai “Gerakan 30 September”, mantan presiden Sukarno sendiri, tidak pernah diberi kesempatan untuk, tanpa tekanan dan ancaman memberikan keterangan beliau sendiri, mengingat bahwa , adalah mantan presiden Sukarno sebagai kepala negara yang, katanya, dikup oleh gerakan 30 September itu. Nyatanya, kalau tokh ketika itu ada kepala negara yang sedang memegang kekuasaan, yang digulingkan, maka itu adalah Bung Karno. Dan yang menggulingkannya sampai sekarang, masih hidup: S u h a r t o. Pendek kata, yang menyangkut tuduhan-tuduhan terhadap PKI, biarlah para mantan pemimpin-pemimpin PKI sendiri, yang saat ini masih hidup, diberi kesempatan untuk secara leluasa tanpa tekanan dan ancaman membela diri. Bila hal itu bisa dilaksanakan akan ada gunanya untuk pekerjaan “Komisi Kebenaran dan Rekonsilias”, bila itu dibentuk kelak. Tiba kita pada masalah Komunisme dan Marxisme-Leninisme yang dikatakan bertentangan dengan Pancasila: Marxisme adalah salah satu pandangan dunia dan ilmu sosialisme yang sudah lebih seratus tahun diciptakan dan disebarkan oleh Karl Marx, kemudian oleh penganut-penganutnya. Di dunia ini bukan saja ada Marxisme, tetapi juga ada liberalisme dan sosial demokrasi, sebagai suatu pandangan falsafah-sosial-politik-ekonomi yang diajarkan dan disebarkan oleh para penganutnya. Pandangan tsb diakui secara internasional dan diperlakukan sebagai ilmu yang patut dipelajari dan diteliti.. Dengan melarang masyarakat membaca dan mempelajari secara terbuka salah satu dari pandangan ilmu sosial yang bernama Marxisme, langsung atau tidak langsung, tindakan itu adalah langkah yang membodohkan rakyat kita. Tindakan itu mencerminkan suatu pandangan yang menganggap “orang-orang biasa” yang bukan pejabat tinggi atau jendral, tidak punya kemampuan untuk berfikir dan membedakan antara hal yang baik dan yang buruk. Bukankah hal itu merupakan suatu penghinaan terhadap daya berfikir bangsa kita? Yang paling menonjol dan memilukan dari masalah larangan tsb diatas, ialah kenyataan bahwa dengan larangan itu, salah satu dari prinsip demokrasi dan HAM, yaitu kebebasan berfikir dan menyatakan pendapat, telah dilanggar. Hak warganegara untuk memikirkan sendiri sesuatu hal ihwal telah direnggutkan, atas nama “hukum” dan Pancasila. Dianggap hanyalah penguasa yang berhak dan mampu berfikir sendiri. Kalau pandangan yang tercantum dalam TAP - MPRS/25-1966 hendak bersikeras dipertahan-kan terus, berarti demokrasi kita itu bersyarart. Artinya warganegara 7
Republik Indonesia tidak boleh berfikir sendiri untuk mempertimbangkan dan membedakan mana emas, mana loyang. Hanya penguasa yang bisa dan boleh berfikir. Ini kendala berat bagi usaha reformasi dandemokrasi. Tapi juga merupakan suatu tantangan yang riil bagi pejuang-pejuang demokrasi dan HAM. Demokrasi yang bersyarat semacam itu, adalah demokrasi yang cacat, demokrasi yang palsu, yang berbau kultur Orba! Kita tidak berkepentingan mempertahankan demokrasi bersyarat seperti itu. ***
8