Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2010
DEKONTAMINASI RADIASI PADA SUHU YANG BERBEDA TERHADAP Salmonella spp. PADA DAGING AYAM (Irradiation Decontamination at Different Temperatures to Salmonella spp. on Chicken Meat) L.S. ANDINI dan HARSOJO Pusat Aplikasi Teknologi Isotop dan Radiasi, BATAN, Jl. Raya Cinere Pasar Jum’at, Jakarta
ABSTRACT Chicken meat are consumed a lot by Indonesians, since it is cheap, relatively easy to obtain and contain quite high nutrition, but chicken meat is a very good media for microbe growth, which can decrease the quality of meat. Therefore, attempt have been done by irradiation decontamination at difference temperatures on Salmonella spp. on chicken meat. The statistical analysis using by factorial design with random device of group by 2 factors, the first factor was the serotype S. Enteritidis, S kentucky and S. Typhimurium (3 levels) and the second factor was the irradiation dose at 0°C. The used dose was 0 – 7 kGy (8 levels) with a dose range of 1 kGy, while at frozen temperature (-78°C) used irradiation dose was between 0 to 9 kGy (6 levels) with a dose range of 2 kGy. The measured parameter is the amount of bacterial colony which still survives after irradiation, for determining the value of D10. Results of this experiment indicates that Salmonella spp. which is irradiated at -78°C is more resistant compared to at 0°C. The D10 value of Salmonella enteritidis, S. Kentucky and S. Typhimurium at -78oC showed significant difference. The D10 value of S. typhimurium at 78oC is equal to 0.525 kGy, while at 0oC it is 0.357 kGy. Key Words: Radiation Decontamination, Salmonella, Temperature ABSTRAK Daging ayam banyak dikonsumsi masyarakat Indonesia, karena murah, mudah didapat dan mengandung gizi yang cukup tinggi, tetapi daging ayam merupakan media yang sangat baik bagi pertumbuhan mikroba, yang dapat menurunkan kualitas daging bagi konsumen. Oleh karena itu dilakukan percobaan dekontaminasi radiasi pada suhu yang berbeda terhadap bakteri patogen Salmonella spp. pada daging ayam. Analisis statistik menggunakan percobaan faktorial dengan rancangan acak kelompok, yaitu serotipe sebagai faktor pertama adalah S. Enteritidis, S. Kentucky dan S. Typhimurium (3 taraf) dan faktor kedua adalah dosis iradiasi, pada suhu 0°C dosis yang digunakan antara 0 – 7kGy dengan selang dosis 1 kGy (8 taraf), sedangkan pada suhu beku (-78°C) dosis iradiasi yang digunakan adalah antara 0 – 9 kGy dengan selang 2 kGy (6 taraf). Parameter yang diukur adalah jumlah koloni bakteri yang masih bertahan hidup setelah iradiasi pada tiap dosis dan serotipe untuk menentukan nilai D10. Hasil percobaan menunjukkan bahwa Salmonella spp. yang diiradiasi pada suhu -78°C lebih tahan dibandingkan dengan yang diiradiasi pada suhu 0°C. Nilai D10 S. Kentucky dan S. Enteritidis dengan suhu -0°C tidak berbeda nyata, sedangkan nilai D10 S. Enteritidis , S. Kentucky dan S. Typhimurium pada suhu -78°C menunjukkan perbedaan yang nyata . Nilai D10 S. Typhimurum pada suhu 78°C sebesar 0,525 kGy, sedangkan pada suhu 0°C adalah 0,357 kGy. Kata Kunci: Dekontaminasi Radiasi, Salmonella, Suhu
PENDAHULUAN Daging ayam pada saat ini paling banyak dikonsumsi masyarakat Indonesia, karena disamping murah, juga mudah didapat dan mengandung gizi yang cukup tinggi. Akan tetapi daging ayam merupakan media yang sangat baik bagi pertumbuhan mikroba yang
766
dapat menurunkan kualitas daging bagi konsumen. Mikroba patogen yang sering mencemari daging ayam antara lain Salmonella, Staphyllococcus, E. Coli dan lain lain yang dapat menyebabkan penyakit gastroenteritis (ANDINI et al., 1994). Salmonella adalah mikroba patogen yang dapat menyerang baik pada hewan maupun manusia
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2010
karena bersifat zoonosis. Penyakit ini berbahaya bagi unggas muda, anak ayam berumur di bawah 10 hari ataupun pada bayi (SOEPARNO, 1998, SRI POERNOMO, 1995). Dalam rangka mempertahankan atau meningkatkan mutu produk bahan pangan atau untuk keamanan pangan bagi konsumen supaya lebih awet dan tetap memenuhi persyaratan kesehatan, diupayakan berbagai cara yaitu pengasapan, pengeringan, penggaraman dan pembekuan. Akan tetapi semua cara pengawetan tersebut seringkali dijumpai kendala yang merugikan. Sebagai contoh misalnya pengasapan menjadikan bau yang khas yang tidak semua orang menyukainya. Disamping itu akan menyebabkan perubahan struktur dan kandungan gizinya. Pada daging ayam proses pembekuan mungkin masih dapat dipertahankan baik kondisi maupun kandungan gizinya, akan tetapi masih ada kemungkinan tercemar oleh bakteri patogen yang tahan terhadap suhu dingin misalnya Listeria monocytogenes. Oleh karena itu para ahli terus berupaya untuk memperoleh cara yang lebih menguntungkan terutama untuk mengeliminasi mikroba patogen tanpa mengubah tekstur maupun nilai gizinya. Salah satu cara adalah dengan teknologi iradiasi dengan mengeliminasi bakteri patogen yang mencemarinya (HERMANA, 1991; MAHA, 1993). Keunggulan teknologi iradiasi ini adalah tidak mengubah tekstur, proses dingin, tidak menurunkan kualitas gizinya sampai dosis 10 kGy. Dosis iradiasi yang diijinkan oleh Komisi Codex Alimentarius FAO/WHO untuk eliminasi bakteri patogen tidak melebihi 10 kGy (HERMANA, 1991; MURANO et al., 1997). Kutipan SK Direktur Jenderal POM Nomor 0.3726/B/SK/VIII/89 mengenai batas maksimum cemaran mikroba baik dalam makanan segar maupun beku sama sekali tidak boleh terkontaminasi oleh bakteri Salmonella (SRI POERNOMO, 1995). Tujuan percobaan ini adalah untuk mendapatkan data, dengan dosis iradiasi dan suhu berapa dapat mengeliminasi Salmonella spp.dalam daging ayam segar dan mendapatkan nilai D10 dari masing masing serotipe pada kondisi suhu iradiasi yang berbeda.
MATERI DAN METODE Bakteri patogen Salmonella yang digunakan adalah serotipe Salmonella enteritidis, S. kentucky dan S.typhimurium yang diperoleh dari koleksi kultur biakan PATIR, BATAN, Jakarta. Daging ayam didapat dari beberapa pasar Swalayan di Jakarta dalam keadaan segar. Media yang digunakan antara lain agar nutrien, peptone, CO2 kering (dry ice) dan lain-lain. Metode percobaan: Kultur biakan dibuat subkultur dan diinkubasi selama 2 – 3 hari pada suhu 37°C. Satu ose kultur kemudian dipindahkan ke dalam 10 ml media cair nutrien steril lalu diinkubasi semalam pada suhu 37°C. Satu ml kultur biakan murni dipindahkan ke dalam 100 ml media cair baru steril lalu diinkubasi dalam penangas air goyang (Taiyo type M-100 T) semalam (16 – 18 jam) pada suhu 37°C. Kemudian biakan disentrifus dengan kecepatan 10.000 rpm selama 110 menit. Pada suhu 4°C (Sorvall RC-5C. Supernatan dibuang lalu endapan dicuci 2 kali dengan 20 ml akuades steril dengan cara disentrifus dengan kecepatan dan waktu yang sama. Setelah itu endapan diencerkan dengan 0,1% air pepton steril sesuai satandart kekeruhan 3 x 108 sel/ml. Sebanyak 10 g dari tiap sampel yang telah dipotong-potong, dimasukkan ke dalam kantong plastik, kemudian ditutup rapat dan diiradiasi dengan dosis 10 kGy untuk membunuh kontaminan bakteri yang ada. Kemudian tiap sampel diinokulasi dengan 1 ml suspensi yang telah dipersiapkan dan diinkubasi pada suhu 37°C selama 1 jam untuk memberi kesempatan bakteri beradaptasi pada media sampel. Sampel yang telah diiradiasi diencerkan dengan 90 ml 0,1% air pepton steril dalam gelas erlenmeyer berkapasitas 250 ml, kemudian 0,1 ml sampel ditanam dengan cara diratakan pada permukaan lempeng agar nutrien, dengan pengenceran 10-1 – 10-6 lalu diinkubasi pada suhu 37°C selama 24 – 48 jam. Koloni bakteri yang tahan terhadap iradiasi akan tumbuh pada media, kemudian dihitung untuk menentukan dosis iradiasi yang diperlukan, untuk mengeliminasinya. Penentuan dosis eliminasi menggunakan penghitungan nilai D10 yaitu 10% dari bakteri
767
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2010
yang bertahan hidup pada dosis tersebut (ITO et al., 1993; ITO et al., 1994). Analisis statistik yang digunakan adalah percobaan faktorial dengan rancangan acak kelompok dengan 2 faktor, yaitu faktor 1 serotipe 3 taraf, dan faktor kedua dosis iradiasi pada suhu 0°C terdiri dari 8 taraf yaitu 0; 1; 2; 3; 4; 5; 6; dan 7 kGy dan pada suhu -78°C 6 taraf yaitu 0; 1; 3; 5; 7 dan 9 kGy dengan laju dosis 7,65 kGy/jam di iradiator karet alam (IRKA) (STEEL dan TORRIE, 1991). HASIL DAN PEMBAHASAN Nilai D10 Salmonella spp. pada daging ayam yang diiradiasi pada suhu yang berbeda dapat dilihat pada Tabel 1. Pada suhu iradiasi 0°C terlihat bahwa S. kentucky, paling tahan terhadap iradiasi dibandingkan dengan kedua serotipe yang lain. Sedangkan pada suhu iradiasi -78°C yang paling tahan adalah S. enteritidis tetapi apabila dilihat rata-rata nilai D10 paling tahan adalah S. kentucky. Menurut hasil penelitian ANDINI et al. (2004) S. kentucky pada makanan olahan dari daging ayam yang diiradiasi juga mempunyai nilai D10 paling tinggi yaitu sebesar 0,26 kGy, walaupun masih lebih rendah dibandingkan dengan dalam daging ayam segar pada penelitian ini yaitu nilai D10 sebesar 0,356 kGy. Hal ini disebabkan pada makanan olahan sudah mengalami perlakuan penambahan bumbu, pemanasan dan perlakuan yang lain sehingga mempunyai ketahanan yang rendah dibandingkan dengan bakteri yang ada pada daging ayam segar. Serotipe S. typhimurium adalah yang paling peka terhadap iradiasi pada suhu -78°C dan S. enteritidis pada suhu 0°C. Pada Tabel 1 dapat dilihat rata-rata nilai D10 suhu iradiasi 0°C adalah 56% (hampir dua
kali) dari nilai D10 lebih besar dari pada suhu 0°C. Nilai D10 antara suhu 0 dan -78°C berbeda sangat nyata. Hal ini disebabkan pada suhu yang lebih rendah atau beku, radikal bebas sulit untuk bergerak atau terhambat sehingga bakteri lebih tahan terhadap iradiasi pengion seperti yang dikatakan oleh MULDER (1983). Perlakuan suhu rendah selama proses iradiasi memungkinkan terbentuknya kondisi anaerob. Hal ini akan memberikan efek perlindungan terhadap mikroba dari iradiasi (ANDINI, 1995). Ketahanan bakteri Salmonella berdasarkan nilai D10 pada suhu -78°C berturut-turut dari yang tinggi adalah S. enteritidis, S. typhimurium, dan S. kentucky. Sedangkan nilai D10 pada 0°C berturut-turut dari yang tinggi S. typhimurium, S. kentucky dan S. enteritidis. Pada suhu 0°C pada penghitungan sidik ragam, serotipe S. enteritidis dan S. kentucky berbeda nyata dengan S. typhimurium, antar dosis berbeda sangat nyata, antar perlakuan sangat nyata. Sedangkan pada suhu -78°C antar serotipe berbeda nyata, antar dosis berbeda sangat nyata. Pada Tabel 2 dapat dilihat hasil analisis statistik nilai rata-rata jumlah koloni yang bertahan hidup setelah iradiasi pada suhu 0°C. Pada tabel tersebut dapat dilihat bahwa perlakuan dosis iradiasi berpengaruh sangat nyata, begitu pula macam serotipenya. Iradiasi pada suhu 0oC menurunkan jumlah koloni bakteri, S. enteritidis, S. kentucky dan S. typhimurium berturut-turut sebesar 6, 6 dan 4 desimal dibandingka n dengan kontrol, Dosis iradiasi 3 kGy mulai menunjukkan perbedaan jumlah koloni sangat nyata pada semua serotipe. Sedangkan bila dilihat dari interaksinya tidak berbeda nyata artinya antara serotipe dan dosis iradiasi tidak saling mempengaruhi. Tiap serotipe berpengaruh
Tabel 1. Nilai D10 Salmonella spp. yang diiradiasi pada daging ayam segar dan beku 0oC
-78oC
Rata-rata
S. enteritidis
0,257 + 0,01 b
0,550 + 0,13 a
0,403 + 0,21 tn
S. kentucky
0,263 + 0,17 b
0,492 + 0.07 c
0,440 + 0,12 tn
S. typhimurium
0,357 + 0,04 a
0,525 + 0,01 b
0,375 + 0,16 tn
Rata-rata
0,292 + 0,05 A
0,522 + 0,03 B
Serotipe
Huruf yang sama ke arah kolom tidak menunjukkan perbedaan nyata; tn: tidak nyata
768
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2010
pada jumlah koloninya pada P > 0,05. Sedangkan pada dosis 5 kGy sudah tidak ada bakteri Salmonella yang bertahan hidup. Analisis statistik menunjukkan bahwa perlakuan dan dosis iradiasi berpengaruh sangat nyata pada bakteri Salmonella yang diiradiasi pada suhu -78°C.
Sedangkan tiap serotipe mempunyai pengaruh yang hampir sama seperti yang ditunjukkan pada Tabel 3. Penurunan jumlah koloni bakteri S. enteritidis, S. kentucky dan S. typhimurium berturut-turut sebesar 4, 5 dan 6 desimal.
Tabel 2. Nilai rata-rata jumlah koloni (log) yang bertahan hidup setelah iradiasi pada suhu 0°C Dosis iradiasi (kGy)
Serotipe Salmonella S. enteritidis
S. kentucky
S. typhimurium
0
7,5317 a
7,7537 a
7,5738 a
1
7,0220 a
6,3963 a
6,9700 a
2
4,7060 ab
4,8861 ab
5,3041 ab
3
3,3917 b
3,5503 bc
5,0445 ab
4
1,7769 b
1,0215 c
3,3899 b
5
0
0
0
Nilai rata-rata dengan superskrip yang sama tidak berbeda nyata Tabel 3. Nilai rata-rata jumlah koloni (log) yang bertahan hidup setelah iradiasi pada suhu -78°C Macam serotipe
Dosis iradiasi (kGy) S. enteritidis
S. kentucky
S. typhimurium
0
7,1398 a
7,4055 a
8,2056 a
1
5,1590 ab
6,3614 ab
6,4768 ab
3
4,5381 b
5,0738 b
5,7618 b
5
3,7787 b
2,7264 c
2,9583 c
Nilain rata-rata dengan superskrip yang sama tidak berbeda nyata
Gambar 1. Kurva pertumbuhan Salmonella spp. pada suhu iradiasi 0°C Keterangan: 1: S. Enteritidis; 2: S. Kentucky; 3: S. typhimurium
769
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2010
Pada Gambar 1 dapat dilihat kelandaian dari kurva tersebut, semakin landai berarti bakteri tersebut lebih tahan terhadap iradiasi. S. typhimurium paling tahan terhadap iradiasi pada suhu 00C karena kurva pada Gambar 1 menunjukkan paling landai, kemudian diikuti S. kentucky dan S. Enteritidis. Pada Gambar 2 terlihat kurva pertumbuhan Salmonella spp. pada suhu iradiasi -78oC. Serotipe S. typhimurium paling tahan terhadap iradiasi pada suhu -78oC, diikuti S. kentucky dan S. enteritidis Dari kedua gambar tersebut dapat dikatakan bahwa pada suhu 0oC dan suhu -78oC S. typhimurium paling tahan terhadap iradiasi dibanding kedua serotipe yang lain yaitu S. enteritidis dan S. kentucky.
Menurut SUHADI (1976) dan HILMY (1980) suhu iradiasi mempengaruhi kepekaan jenis dan daya tahan mikroba. Oleh karena sel bakteri 70 – 80% terdiri dari air, sehingga perlakuan iradiasi pada suhu 0oC dianggap mempunyai akibat lebih besar dibanding dengan suhu -78oC dan karena penyinaran berlangsung lebih lama. Sehingga tidak memberi kesempatan bagi bakteri untuk mengadakan perbaikan dari kerusakan, pada komponen penting seperti DNA atau RNA. Hal ini sesuai dengan pendapat DARUSSALAM (1989) yang mengatakan apabila proses pembelahan dihambat atau dihalangi secara terus menerus dapat menimbulkan kerusakan sel dan jaringan.
Gambar 2. Kurva pertumbuhan Salmonella spp. pada suhu iradiasi -78°C Keterangan: 1: S. Enteritidis; 2: S. Kentucky; 3: S. typhimurium
KESIMPULAN Nilai D10 Salmonella spp. yang diiradiasi pada suhu -78°C lebih tahan dibanding pada suhu 0°C. Nilai D10 S. kentucky dan S. enteritidis pada suhu 0°C tidak berbeda nyata, tetapi berbeda nyata dengan serotipe S. typhimurium. Sedangkan nilai D10 S. enteritidis, S. kentucky dan S. typhimurium pada suhu -78°C menunjukkan perbedaan yang nyata. Nilai D10 S. typhimurium pada suhu -78°C sebesar 0,525 kGy, sedangkan pada suhu 0°C adalah 0,357 kGy.
770
Nilai D10 Salmonella spp. pada suhu -78°C rata-rata 0,522 kGy atau hampir 2 kali dibandingkan dengan pada 0°C yaitu 0,292 kGy. Pada dosis iradiasi 5 kGy bakteri Salmonella spp. sudah tidak mampu bertahan hidup baik pada suhu 0°C maupun -78°C. DAFTAR PUSTAKA ANDINI, L.S., HARSOJO, S.D. ANASTASIA dan M. MAHA. 1994. Efek iradiasi Gamma pada Salmonella yang diisolasi dari daging ayam segar. APISORA Bidang Industri. Risalah Pertemuan Ilmiah BATAN, Jakarta.
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2010
ANDINI, L.S. 1995. Pertumbuhan optimal bakteri patogen Salmonella dan dekontaminasinya pada daging ayam dengan iradiasi gamma. Presentasi Ilmiah Jabatan Fungsional Peneliti, PAIR, BATAN, Jakarta. ANDINI, L.S., HARSOJO dan T. RUMONDANG. 2004. Ketahanan bakteri Salmonella spp. terhadap iradiasi pada makanan olahan daging ayam. Seminar Teknologi Peternakan, 4 – 5 Agustus 2004. Puslitbang Peternakan, Bogor. hlm. 508 – 513. DARUSSALAM, M. 1989. Radiasi dan Radioisotop. Penerbit Tarsito, Bandung. hlm. 2 – 46. HERMANA. 1991. Iradiasi Pangan. Penerbit Institut Teknologi Bandung, Bandung. hlm. 87. HILMY, N. 1980. Penentuan dosis radiosterilisasi dan radiopasteurisasi. Kumpulan Laporan Penelitian PAIR, BATAN, Jakarta. hlm 1 – 5. ITO, H., A.R. HARUN, N. SANGTHONG, A.Y. PITAYA, R. PONGPEN and I. ISHIGAKI., 1993. Effects of gamma irradiation on frozen Shrimps and decontamination of pathogenic bacteria. Radiat. Phys. Chem. 42:1 – 3. hlm 279. ITO, H. and M.D. SHAMSUL ISLAM. 1994. Effect of dose rate on inactivation of microorganisms in spices by electron beams and gamma rays irradiation. Radiat. Phys. Chem 43:6. hlm. 545.
MAHA, M. 1993. Iradiasi bahan pangan. Bahan penataran di Pusat Penelitian Export Indonesia, Departemen Perdagangan. Jakarta, 15 Februari 1993. MULDER, R.W.A.W. 1983. Ionizing energy treatment of poultry. Spelderholt Centre for Poultry Research and Fisheries, Netherlands. pp. 139 – 154. MURANO, L.E., E.A.K. SHENOY and D.G. OLSON. 1997. D values of Salmonella enteritidis Isolates and Quality attributs of shell eggs. Treated with Irradiation. The Poultry Sc.Ass.http//www.psa.uiuc.edu/toc/abs/97/Jan 97 ab 202.html. (akses Januari 1997). SOEPARNO. 1998. Ilmu dan teknologi daging. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. POERNOMO, S. 1995. Standar higiene dan keamanan pangan, Bahan penataran manajemen usaha jasa boga di Institut Pertanian Bogor , Bogor. 11 September – 9 Desember. STEEL, R.G.D. and J.H. TORRIE. 1991. Principles Procedures of Statistic a Biometrical Approach. 2nd McGraw Hill. SUHADI, F. 1976. Pengaruh radiasi pengion terhadap bakteri. Majalah BATAN IX: Jakarta. hlm. 59 – 63.
771