Salmonella spp. YANG RESISTEN TERHADAP ANTIBIOTIK YANG DIISOLASI DARI DAGING ITIK DI KABUPATEN BOGOR
LOISA
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Salmonella spp. yang Resisten Terhadap Antibiotik yang Diisolasi dari Daging Itik di Kabupaten Bogor adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, September 2014 Loisa B251120051
RINGKASAN LOISA. Salmonella spp. yang Resisten Terhadap Antibiotik yang Diisolasi dari Daging Itik di Kabupaten Bogor. Dibimbing oleh DENNY WIDAYA LUKMAN dan HADRI LATIF. Anas moscha (wild mallard) merupakan itik liar yang berasal dari Amerika Utara yang telah dijinakkan oleh manusia hingga jadilah itik yang dipelihara sekarang yang disebut Anas domesticus. Daging itik merupakan salah satu sumber protein hewani yang tinggi sehingga daging itik memiliki nilai gizi yang baik. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran keberadaan Salmonella spp. di dalam daging itik dan gambaran Salmonella spp. yang resisten terhadap beberapa antibiotik pada daging itik yang dikaitkan dengan keamanan pangan. Penelitian dilakukan dengan kajian cross sectional study, sampel diambil dari setiap kecamatan dengan asumsi tingkat kepercayaan 95%, prevalensi dugaan 50%, dan tingkat kesalahan 10% sehingga diperoleh besaran sampel 52 ekor itik dari lima kecamatan di Kabupaten Bogor, yaitu Cariu-Jonggol, Gunung Sindur, Klapanunggal, Parung Panjang, dan Ciomas. Pengujian dilakukan dengan mengambil sampel daging itik dan dilakukan isolasi terhadap Salmonella spp. Hasil positif Salmonella spp. dilanjutkan dengan pengujian resistensi antibiotik (kepekaan Salmonella spp.). Hasil pengujian menunjukkan bahwa terdapat tiga sampel positif Salmonella spp. (5.8%). Keberadaan Salmonella spp. pada daging itik di peternakan Kabupaten Bogor menunjukkan telah terjadi pencemaran pada peternakan itik tersebut. Persentase tertinggi jumlah sampel positif Salmonella spp. ditemukan pada sampel daging itik yang berasal dari Kecamatan Gunung Sindur (20%). Hal ini mungkin disebabkan oleh pencemaran silang saat pemotongan ayam dan proses pengeluaran jeroan (eviserasi), pencemaran yang berasal dari air yang digunakan di peternakan, serta tidak diterapkannya sanitasi dan higiene personal oleh peternak atau pegawai peternakan. Bakteri Salmonella spp. yang diisolasi dari daging itik (100%) menunjukkan resistensi terhadap eritromisin (66.7%), streptomisin (33.3%), dan kloramfenikol (33.3%), sedangkan Salmonella spp. masih relatif sensitif terhadap enrofloksasin, trimetoprim sulfametoksazol, sefalotin, ampisilin, asam nalidiksat, tetrasiklin, dan gentamisin. Salmonella spp. yang resisten terhadap antibiotik akan menjadi ancaman bagi kesehatan manusia dan hewan. Konsumsi daging itik yang berasal dari peternakan yang selalu menggunakan antibiotik pada pakan dan minumannya akan berakibat terhadap kejadian resistensi antibiotik, ketergantungan terhadap penggunaan antibiotik sangat membahayakan konsumen bila diberikan secara berlebihan dan tanpa pengawasan. Kata kunci: daging itik, resistensi antibiotik, Salmonella spp.
SUMMARY LOISA. Antibiotic Resistant Salmonella spp. Isolated from Duck Meat in Bogor District. Supervised by DENNY WIDAYA LUKMAN and HADRI LATIF. Anas moscha (wild mallard) were wild ducks from North America that had been domesticated by humans to be reared ducks now called Anas domesticus. Duck meat was a source of animal protein that duck meat has good nutritional value. This study was aimed to determine the presence of Salmonella spp. in the duck meat and identify of Salmonella spp. resistant against multiple antibiotics in the duck meat associated with food safety. The study was conducted with a cross sectional study, total of 52 samples of ducks was taken from five subdistricts in Bogor District, i.e., Cariu-Jonggol, Gunung Sindur, Klapanunggal, Parung Panjang, and Ciomas. This sample size was calculated based on the assumption of 95% confidence level, 50% predicted prevalence, and 10% standard error. The results showed that three samples (5.8%) were positive of Salmonella spp. Presence of Salmonella spp. in the duck meat were showing contamination in duck farm. The highest percentage of the number of positive samples of Salmonella spp. found in Gunung Sindur (20%). This could be caused by cross contamination while cutting and process expenses chicken offal (eviceration), contamination from the water on the duck farm, and unwell implementation of sanitation and personal hygiene by farmers or farm employees. The majority of Salmonella spp. isolated from duck meat (100%) showed resistance against erythromycin (66.7%), streptomycin (33.3%), and chloramphenicol (33.3%). Nevertheless, Salmonella spp. was still sensitive againts enrofloxacin, trimethoprim sulfamethoxazole, cephalothin, ampicillin, nalidixid acid, tetracycline, and gentamicin. The antibiotic-resistant Salmonella spp. could be a potential threat for public health and animal health. Consumption of duck meat from farms that were constantly using antibiotics in feed and drink would the result in the occurrence of antibiotic resistance, addicted on the use of antibiotics were very dangerous to consumers when given the antibiotics in excess and without supervision. Keywords: antibiotic resistance, duck meat, Salmonella spp.
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
Salmonella spp. YANG RESISTEN TERHADAP ANTIBIOTIK YANG DIISOLASI DARI DAGING ITIK DI KABUPATEN BOGOR
LOISA
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Drh Trioso Purnawarman, MSi
Judul Tesis : Salmonella spp. yang Resisten Terhadap Antibiotik yang Diisolasi dari Daging Itik di Kabupaten Bogor Nama : Loisa NIM : B251120051
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Dr med vet Drh Denny Widaya Lukman, MSi Ketua
Dr med vet Drh Hadri Latif, MSi Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr med vet Drh Denny Widaya Lukman, MSi
Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal Ujian: 15 September 2014
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, Sang Triratna atas semua nikmat dan berkah yang diberikan sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Juni 2013 ini ialah resistensi antibiotik, dengan judul Salmonella spp. yang Resisten Terhadap Antibiotik yang Diisolasi dari Daging Itik di Kabupaten Bogor. Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr med vet Drh Denny Widaya Lukman, MSi dan Dr med vet Drh Hadri Latif, MSi selaku pembimbing yang telah banyak memberi saran. Penghargaan juga penulis sampaikan kepada Dr Drh Hardiman, MM sebagai Kepala Balai Besar Penelitian Veteriner (BBalitvet), Dr Drh Andriani, MSi sebagai Ketua Kelompok Peneliti Bakteriologi BBalitvet, serta Bapak Iskandar sebagai staf laboratotium bakteriologi BBalitvet. Selain itu penulis juga sampaikan penghargaan pada Drh RR Endang Ekowati sebagai Kepala Balai Pengujian Mutu dan Sertifikasi Produk Hewan (BPMSPH) dan Drh Eko Susanto sebagai staf BPMSPH. Ucapan terima kasih kepada staf laboratorium bagian Kesehatan Masyarakat Veteriner (KESMAVET) Fakultas Kedokteran Hewan IPB, serta teman-teman program studi Kesahatan Masyarakat Veteriner (KMV) tahun ajaran 2012/2013 yang telah berbagi dalam suka dan duka selama kegiatan perkuliahan dan penelitian (Melani, Rastina, Risma, Murni, Dede, Vita, Anis, Nia, Nining, Gigih, dan Eko). Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada papa (Ie Lie Yung) dan mama (Heryani), serta seluruh keluarga atas segala doa dan kasih sayangnya. Semoga Tuhan Yang Maha Esa senantiasa membalas kebaikan dan selalu memberi kesehatan kepada mereka semua. Penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna. Penulis berharap tesis ini bermanfaat bagi pengembangan ilmu kedokteran, khusunya yang mengenai kesehatan masyarakat veteriner. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, September 2014 Loisa
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
ix
DAFTAR GAMBAR
x
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Ruang Lingkup Penelitian
1 1 2 2 2 2
2 TINJAUAN PUSTAKA Salmonella spp. Cemaran Salmonella spp. pada Daging Itik Resistensi Antibiotik pada Salmonella spp.
3 3 4 5
3 METODE Bahan Alat Waktu dan Tempat Penelitian Metode Pengambilan Sampel dan Besaran Sampel Metode Pengujian Salmonella spp. Pengujian Resistensi Antibiotik (Kepekaan Mikroorganisme) Analisis Data
6 6 6 6 7 7 10 11
4 HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Pengujian Salmonella spp. pada Daging Itik Salmonella spp. yang Resisten terhadap Antibiotik di Daging Itik
12 12 15
5 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran Ucapan Terima Kasih
19 19 19 19
DAFTAR PUSTAKA
19
LAMPIRAN
23
RIWAYAT HIDUP
22
DAFTAR TABEL 1 2 3 4
Karakteristik pertumbuhan Salmonella spp. Besaran sampel setiap peternakan itik di Kabupaten Bogor Interpretasi hasil uji Salmonella spp. pada TSIA dan LIA Hasil reaksi biokimiawi Salmonella spp.
3 7 8 10
5 6 7 8
Standar interpretasi diameter zona terang atau hambat Hasil pengujian Salmonella spp. dan persentase yang melebihi batas maksimum cemaran mikroba yang ditetapkan oleh SNI Gambaran koloni dari contoh dan uji biokimiawi yang diduga Salmonella spp. Persentase Salmonella spp. yang resisten terhadap beberapa antibiotik
11 12 13 15
DAFTAR GAMBAR 1 2
3
Koloni yang diduga Salmonella spp. pada media XLDA, BGA, TSIA, LIA, SCA, dan indol Tingkat kepekaan Salmonella spp. terhadap antibiotik eritromisin (E), enrofloksasin (ENR), trimetoprim sulfametoksazol (SXT), streptomisin (S), sefalotin (KF), ampisilin (AMP), asam nalidiksat (NA), kloramfenikol (C), tetrasiklin (TE), dan gentamisin (CN) Salmonella spp. yang resisten terhadap antibiotik
13
16 17
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Kebutuhan protein hewani yang aman dan bermutu baik merupakan suatu tuntutan konsumen pada saat ini. Untuk memenuhi tuntutan tersebut pemerintah dan industri peternakan mengembangkan suatu usaha ternak unggas yang diharapkan mampu menghasilkan sumber protein hewani yang memiliki kualitas produksi yang baik serta aman untuk dikonsumsi. Salah satu ternak unggas yang mulai banyak dikembangkan saat ini adalah itik atau bebek (dalam bahasa Jawa). Itik yang dijinakkan oleh manusia disebut Anas domesticus, yang dahulunya berasal dari itik liar (Anas moscha) yang berasal dari Amerika Utara (Prihatman 2000). Itik merupakan salah satu sumber protein hewani yang tinggi sehingga daging itik memiliki nilai gizi yang baik. Kebutuhan konsumsi daging itik yang semakin meningkat setiap tahunnya, memaksa dilakukannya budidaya peternakan itik intensif. Konsumsi daging itik yang tinggi dilihat dari banyaknya restoran atau warung makan yang menjual berbagai macam daging olahan itik. Cita rasa daging itik yang khas menyebabkan sebagian masyarakat Indonesia menyukai daging itik. Untuk menghasilkan daging itik yang berkualitas baik maka daging itik yang disediakan haruslah aman dan layak dikonsumsi oleh masyarakat. Hal ini sesuai dengan program pemerintah untuk menghasilkan pangan yang aman, sehat, utuh, dan halal (ASUH). Salah satu bahaya keamanan pangan adalah adanya kontaminasi dari mikroorganisme terutama oleh bakteri patogen yang dapat membahayakan kesehatan konsumen. Salah satu mikroorganisme patogen yang penting dari aspek kesehatan masyarakat dan keamanan pangan adalah Salmonella spp. Salmonella spp. merupakan salah satu bakteri dari famili Enterobacteriaceae, yang sering digunakan sebagai indikator higiene dan sanitasi dalam pengolahan pangan asal hewan. Menurut Kusumaningsih (2010), Salmonella spp. dapat menginfeksi manusia jika mencemari makanan yang dikonsumsi (foodborne zoonoses). Peningkatan permintaan konsumen untuk mendapatkan daging tidak diimbangi dengan jumlah produksi yang dihasilkan oleh peternak. Hal ini menjadikan peternak terus memacu untuk meningkatkan produksi itik dengan menambahkan antibiotik baik secara sengaja atau tidak sengaja pada pakan atau minuman. Penggunaan antibiotik dalam pakan dan minuman yang tidak terkendali menyebabkan sulitnya pengawasan yang dilakukan oleh pihak berwenang. Penggunaan antibiotik di peternakan bertujuan untuk mengobati penyakit, mencegah terjadinya penyakit dengan menghambat pertumbuhan mikroorganisme patogen, dan sebagai bahan tambahan dalam pakan hewan (feed additive) yang dapat membantu proses metabolisme yang ada dalam tubuh sehingga berfungsi sebagai pemacu pertumbuhan (growth promotor). Pemberian antibiotik juga sering digunakan sebagai feed additive yang dapat meningkatkan efisiensi pakan. Pemakaian antibiotik dalam waktu yang lama dan terus menerus akan berpengaruh secara signifikan terhadap ketahanan bakteri baik patogen maupun mikroflora normal di dalam tubuh makhluk hidup. Hal ini juga secara tidak langsung dapat menimbulkan resistensi mikroorganisme patogen, ketergantungan terhadap penggunaan antibiotik, dan akan sangat membahayakan kesehatan
2 konsumen bila diberikan secara berlebihan dan tanpa pengawasan. Antibiotik dalam peraturan peredarannya untuk pengobatan ternak harus dengan resep dokter hewan, namun pada kenyataannya berbagai antibiotik dapat diperoleh dengan mudah di toko obat hewan atau koperasi peternak sehingga kejadian resistensi antibiotik pada hewan telah menjadi perhatian utama dalam bidang kesehatan dan keamanan pangan secara global.
Perumusan Masalah Daging itik harus aman dan layak dikonsumsi oleh masyarakat. Keberadaan Salmonella spp. dan kejadian resitensi Salmonella spp. pada beberapa antibiotik dapat menjadi masalah kesehatan masyarakat yang serius. Hal ini disebabkan oleh infeksi Salmonella spp. pada manusia dapat menyebabkan sakit dan Salmonella spp. telah banyak mengalami resistensi sehingga sulit untuk membunuh bakteri tersebut. Pada penelitian ini akan dilakukan pengujian Salmonella spp. yang resisten terhadap beberapa antibiotik yang diisolasi dari daging itik di Kabupaten Bogor. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi perhatian bagi peternak itik, pelaku usaha pangan asal hewan, dan pemerintah agar pangan asal hewan yang dihasilkan aman dan layak dikonsumsi.
Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran keberadaan Salmonella spp. di dalam daging itik dan gambaran Salmonella spp. yang resisten terhadap beberapa antibiotik pada daging itik di Kabupaten Bogor.
Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini adalah memberikan informasi ilmiah mengenai keberadaan Salmonella spp. pada daging itik yang berasal dari peternakan itik di Kabupaten Bogor dan informasi ilmiah mengenai adanya resistensi beberapa antibiotik di Salmonella spp. pada daging itik sehingga dapat sebagai bahan pertimbangan pemerintah dalam menetapkan kebijakan mengenai pengawasan yang lebih intensif terhadap pangan asal hewan yang dihasilkan.
Ruang Lingkup Penelitian Rencana kegiatan penelitian ini dilakukan selama delapan bulan dengan lingkup kegiatan yaitu mengisolasi Salmonella spp. pada daging itik yang berasal dari peternakan itik di Kabupaten Bogor dan melakukan pengujian resistensi beberapa antibiotik terhadap Salmonella spp. pada daging itik.
3
2 TINJAUAN PUSTAKA Salmonella spp. Bakteri Salmonella spp. merupakan penyebab utama foodborne zoonoses pada manusia. Bakteri Salmonella spp. secara alami hidup pada saluran gastrointestinal hewan, baik yang terdomestikasi maupun liar, serta serangga. Namun, bakteri ini paling banyak ditemukan pada unggas (Adzitey et al. 2012). Peternakan dan pangan asal hewan menjadi sumber potensial yang menyebabkan infeksi pada manusia. Manusia yang terinfeksi dapat bertindak sebagai karier setelah terinfeksi dan dapat menularkan pada manusia lainnya melalui feses untuk waktu yang cukup lama. Selain itu, Salmonella spp. juga dapat diisolasi dari tanah, air, dan sampah yang terkontaminasi oleh feses (Ray 2001). Salmonella spp. sering menyebabkan kesakitan pada manusia dan beberapa hewan yang sering disebut dengan salmonelosis. Kejadian salmonelosis sebaiknya dilakukan dengan penggunaan antibiotik yang sesuai sehingga pencegahan infeksi dapat dilakukan dengan memperhatikan kondisi sanitasi lingkungan dan higiene personal. Bakteri Salmonella spp. termasuk ke dalam famili Enterobacteriaceae yang merupakan bakteri Gram negatif berbentuk batang langsing dengan ukuran 0.7-1.5 x 2.5 µm, bersifat fakultatif anaerobik, tidak berspora, oksidase negatif, dan katalase positif. Sebagian besar strain motil, kecuali Salmonella Gallinarum (S. Gallinarum) dan S. Pullorum, serta memfermentasi glukosa dengan membentuk gas dan asam (Cox 2000). Menurut Ray (2001), umumnya Salmonella spp. memfermentasi dulcitol, tetapi tidak laktosa, menggunakan sitrat sebagai sumber karbon, menghasilkan hidrogen sulfida, dekarboksilase lisin dan ornitin, tidak menghasilkan indol, dan negatif untuk urease. Salmonella spp. merupakan bakteri mesofilik dengan suhu pertumbuhan optimum antara 35-37 °C dan tetap dapat tumbuh pada kisaran suhu 5-46 °C, Salmonella spp. juga dapat bertahan hidup pada temperatur 20 °C selama 16 minggu (Cox 2000). Bakteri ini mati pada suhu dan waktu pasteurisasi (62-65 °C selama 30 menit atau 85-95 °C selama 1-2 menit), sensitif pada pH rendah (≤ 4.5) dan tidak berbiak pada aw kurang dari 0.94, khususnya jika dikombinasikan dengan pH 5.5 atau kurang. Sel-selnya dapat bertahan pada pembekuan dan bentuk kering dalam waktu yang lama. Salmonella spp. mampu berkembang biak pada berbagai makanan tanpa memengaruhi tampilan kualitasnya. Karakteristik pertumbuhan Salmonella spp. dapat dilihat pada Tabel 1 (Norhana et al. 2010). Tabel 1 Karakteristik pertumbuhan Salmonella spp. Parameter Suhu (°C) pH Daya tahan terhadap garam (%) Aktivitas air (aw)
Minimum 5.2 (sebagian serotipe tidak berkembang pada suhu < 7.0) 3.8 -
Optimum 35-37 °C
Maksimum 45-47 °C
5.5-5.7 -
9.5 4-5
0.94
-
> 0.99
4 Bakteri Salmonella spp. dikelompokkan berdasarkan antigen somatik (O), flagela (H), dan kapsular (Vi). Menurut The Center for Food Security and Public Health atau CFSPH (2005), saat ini terdapat lebih dari 2500 serovar Salmonella spp. yang ditempatkan di bawah dua spesies, yaitu S. enterica dan S. bongori. S. enterica terdiri atas enam subspesies yang ditulis dengan angka romawi yaitu I (enterica), II (salamae), IIIa (arizone), IIIb (diarizonae), IV (houtenae), dan VI (indica). Penulisan nama dari serotipe tersebut dapat dipersingkat dari nama lengkapnya menjadi genus dan serotipenya saja. Menurut Baumler et al. (1998) dan Bhunia (2008), grup subspesies I termasuk ke dalam serotipe penyebab penyakit pada manusia dan hewan berdarah panas, seperti S. enterica, S. Typhimurium, S. Paratyphimurium, S. Sendai, S. Enteritidis, S. Cholerasuis, S. Dublin, S. Gallinarum, S. Pullorum, dan S. Abortusovis. Grup subspesies II sampai dengan VI adalah serovar yang biasa ditemukan pada hewan berdarah dingin. Klasifikasi dan deteksi dari bakteri ini didasarkan pada uji serologis dan phage susceptibility assay. Informasi mengenai subspesies dalam sistem nomenklatur moderen diabaikan, sebagai contoh penamaan S. enterica subspesies I serovar Enteritidis pada kalimat sekarang ini ditulis sebagai S. Enteritidis. Penulisan sistem klasifikasi dan nomenklatur Salmonella spp. telah diseragamkan untuk menghindari perbedaan dan kesalahan penulisan (Brenner et al. 2003; Bhunia 2008).
Cemaran Salmonella spp. pada Daging Itik Bakteri Salmonella spp. tersebar diseluruh dunia, dengan reservoir utama yaitu manusia dan hewan. Rute penularan Salmonella spp. terutama terjadi melalui fekal-oral dan sebagai penyebab utama foodborne illness pada manusia (Hur et al. 2012). Bakteri ini umumnya terdapat di saluran pencernaan dan kantung empedu hewan tanpa menimbulkan gejala klinis, kemudian bakteri akan dikeluarkan bersama dengan feses. Salmonella spp. dapat tinggal menetap di kelenjar getah bening mesenterika atau tonsil tanpa terjadi shedding, tetapi bakteri dapat menjadi aktif kembali akibat adanya faktor-faktor pemicu, seperti cekaman, stres, ataupun tekanan yang dapat menurunkan sistem kekebalan tubuh. Peternakan dan pangan asal hewan menjadi sumber potensial penyebab infeksi pada manusia. Menurut CFSPH (2005), serotipe S. Enteritidis dan S. Typhimurium merupakan serotipe paling banyak yang ditemukan pada kasus salmonelosis. Prevalensi Salmonella spp. yang pernah diisolasi pada ayam segar di Inggris sebesar 25% yang terdiri dari serotipe S. Hadar, S. Enteritidis, dan S. Indiana (Jørgensen et al. 2002). Menurut Bouzidi et al. (2012), kontaminasi serovar Salmonella pernah terjadi di peternakan ayam petelur yaitu S. Enteritidis pada Maret sampai Oktober 2008 dan Maret sampai November 2009 di Annaba dan Eltarf, Algeria. Beberapa serotipe dari S. Enteritidis antara lain S. Kentucky, S. Hadar, S. Heidelberg, S. Manhattan, dan S. Virchow, sedangkan S. Dublin, S. Typhimurium, dan S. Albany hanya ditemukan sekali selama penelitian tersebut dilakukan. Cha et al. (2013) menjelaskan bahwa prevalensi serotipe Salmonella di itik sebesar 43.4%, sedangkan prevalensi kejadian Salmonella sebesar 65.2%
5 pada peternakan itik di peternakan Pekin, Korea Selatan. Identifikasi serotipe S. enterica terdiri dari S. Typhimurium, S. Enteritidis, dan S. London. Konsumsi daging itik yang berasal dari peternakan yang selalu menggunakan antibiotik pada pakan dan minumannya akan berakibat terhadap kejadian resistensi antibiotik. Pemberian antibiotik yang berlebihan dan tanpa pengawasan akan menyebabkan ketergantungan terhadap penggunaan antibiotik dan sangat membahayakan konsumen. Hal ini diperkuat oleh Kang et al. (2005) yang menerangkan bahwa penggunaan antibiotik dalam pakan berhubungan erat dengan kejadian resistensi antimikrobial terhadap bakteri.
Resistensi Antibiotik pada Salmonella spp. Antibiotik merupakan suatu senyawa atau bahan dengan berat molekul kecil yang diproduksi atau dihasilkan oleh cendawan ataupun bakteri yang dapat digunakan untuk membunuh (bakterisidal), menghambat (bakteriostatik), dan mengobati infeksi akibat pertumbuhan mikroorganisme, khususnya bakteri. Antibiotik dapat digunakan sebagai pengobatan pada manusia dan hewan (Bozen et al. 1999). Bahaya resistensi antibiotik merupakan salah satu masalah besar yang dapat mengancam kesehatan masyarakat. Hampir semua jenis bakteri saat ini menjadi lebih tahan dan kurang responsif terhadap penggunaan antibiotik. Resistensi antibiotik dapat dihambat dengan penggunaan antibiotik yang sesuai pada pengobatan infeksi tertentu. Menurut Noor et al. (2006), antibiotik banyak digunakan secara meluas pada hewan untuk pengobatan dan pencegahan penyakit serta sebagai imbuhan pakan. Sekitar 40% antibiotik dalam pakan ternak digunakan sebagai antimicrobial growth promotor (AGP) untuk pemacu pertumbuhan dan mengurangi kejadian penyakit. Pemakaian antibiotik sebagai AGP dengan konsenterasi kecil yaitu sekitar 2.5-12.5 mg/kg (ppm) dapat mengakibatkan terjadinya resistensi bakteri patogen terhadap antibiotik. Menurut Yang et al. (2010), kejadian resistensi antibiotik dari bakteri yang didapatkan dari bahan pangan asal hewan di negara berkembang sangat tinggi. Hal ini disebabkan oleh pemakaian antibiotik di peternakan yang tidak terkendali. Joint Expert Advisory Committee on Antibiotic Resistance Australia atau JETACAR (1999) melaporkan bahwa bakteri patogen (Salmonella, Campylobacter, Enterococci, dan Escherichia coli) asal hewan yang telah resisten terhadap antibiotik dapat mentransfer gen yang resisten dari hewan ke manusia melalui rantai makanan ataupun kontak langsung. Antibiotik yang biasa digunakan sehingga sudah terjadi resistensi antara lain kloramfenikol, ampisilin, dan trimetoprim-sulfametoksazol. Kejadian resistensi terhadap antibiotik tersebut cenderung meningkat setiap tahunnya. Kejadian resistensi antibiotik terhadap Salmonella spp. sudah banyak dilaporkan di beberapa negara termasuk Indonesia. Menurut Adzitey et al. (2012), prevalensi serovar Salmonella yang ditemukan pada itik di Penang, Malaysia berkisar 23.5% dari seluruh serovar yang ditemukan ternyata resisten terhadap antibiotik eritromisin, tetapi masih peka terhadap antibiotik sefalosporin, gentamisin, dan ceftriakson. Stevens et al. (2006) melaporkan bahwa beberapa serotipe Salmonella spp. ditemukan pada sampel daging yang berasal dari rumah potong hewan dan pejual daging di Dakar, Senegal. Hampir 62% dari total
6 bakteri yang diuji tersebut resisten terhadap beberapa antibiotik nitrofurans, sebagian mengalami resistensi terhadap streptomisin (22%), sulfametoksazol (15%), spektinomisin (1%), kloramfenikol (1%), dan tetrasiklin (0.4%). Selain itu, ditemukan adanya level resistensi yang cukup rendah dari antibiotik golongan quinolon yang diidentifikasi. Sekitar 16% dari strain Salmonella spp. telah mengalami multiresisten terhadap dua atau lebih antibiotik. Menurut Yildrim et al. (2011), Salmonella spp. yang terdeteksi pada karkas ayam mentah di Anatolia Tengah telah mengalami resistensi dengan beberapa antibiotik, diantaranya penisilin, oksasilin, klindamisin, vankomisin, eritromisin, dan ampisilin dengan persentase berturut-turut adalah 100%, 97%, 97%, 92.6%, 89.7%, dan 85.2%. Selain itu, Salmonella spp. yang ditemukan pada karkas ayam juga resisten terhadap antibiotik lainnya yaitu tetrasiklin (67.6%), streptomisin (61.7%), neomisin (55.8%), sefalotin (52.9%), gentamisin (14.7%), kloramfenikol (10.2%), sefotaksim (2.9%), dan amikasin (2.9%). Tingginya kejadian resistensi terhadap Salmonella spp. akan menjadi masalah kesehatan bagi konsumen (kesehatan masyarakat) sehingga diperlukan suatu pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah untuk mencegah meningkatnya resistensi antibiotik.
3 METODE Bahan Bahan yang digunakan dalam penelitian adalah daging itik, buffer peptone water (BPW) 0.1% (Oxoid), Rappaport-Vassiliadis (Oxoid), xylose lysine deoxycholate (XLD) agar (Oxoid), brilliant green agar (Oxoid), triple sugar iron agar (Oxoid), lysin iron agar (Oxoid), urea broth (Oxoid), tryptose broth (TB), reagen Kovacs, MR-VP, larutan α-naphthol, larutan KOH 40 %, indikator MR, Simmon citrate agar atau SCA (Oxoid), sulfite indole motylity agar (SIMA), lysine decarboxylase broth (LDB), kalium sianida broth (KCNB), dulcitol broth, malonate broth, phenol red lactose broth, phenol red sucrose broth, antibiotik, nutrient agar (NA) (Oxoid), brain heart infusion atau BHI (Oxoid), McFarland broth 0.5, Muller Hinton agar (MHA), dan alkohol.
Alat Alat yang digunakan dalam penelitian adalah kertas antibiotik atau antibiotic disc (Oxoid), timbangan digital, gunting steril, pinset steril, pisau steril, gelas erlenmeyer, tabung reaksi (20-50 ml) steril, vortex atau pengocok mekanis, cawan petri steril (diameter 100 mm dan tinggi 15 mm), kapas, kantung plastik steril, refrigerator, penangas air, ose, stomacher, autoklaf, label, spidol, tabung Durham, waterbath, inkubator 35-37 °C dan inkubator 42 °C.
Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilakukan pada bulan Juni 2013 sampai dengan Januari 2014. Penelitian dilakukan di peternakan itik di Kabupaten Bogor, Laboratorium Bagian
7 Kesehatan Masyarakat Veteriner (Kesmavet), Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor (FKH IPB), Balai Besar Penelitian Veteriner (BBalitvet) Bogor, dan Balai Pengujian Mutu dan Sertifikasi Produk Hewan (BPMSPH) Bogor.
Metode Pengambilan Sampel dan Besaran Sampel Metode penelitian menggunakan cross sectional study. Sampel itik diambil secara acak (random sampling) dari 5 kecamatan di Kabupaten Bogor. Besaran sampel dihitung dengan menggunakan program WinEpiscope 2.0 dengan menggunakan asumsi tingkat kepercayaan 95%, prevalensi dugaan 50%, dan tingkat kesalahan 10% sehingga diperoleh besaran sampel sebanyak 52. Besaran sampel tiap kelompok ternak dihitung menurut alokasi proporsional (proportional allocation) dari total populasi peternakan itik, yang dapat dilihat pada Tabel 2 (Disnakkan Pemkab Bogor 2012). Tabel 2 Besaran sampel peternak itik di Kabupaten Bogor No.
Kecamatan
Desa
1.
Cariu
2. 3. 4.
Gunung sindur Klapanunggal Parung Panjang
5.
Ciomas Jumlah
Mekar Wangi Karya Mekar Pabuaran Cikahuripan Parung Panjang Kabasiran Laladon
Jumlah peternak 15 15 10 11 20 12 15 98
Besaran sampel peternak 8 8 5 7 10 6 8 52
Metode Pengujian Salmonella spp. Pengujian yang akan dilakukan mengacu pada Standar Nasional Indonesia (SNI) 2897:2008 tentang Metode Pengujian Cemaran Mikroba dalam Daging, Telur, dan Susu serta Hasil Olahannya (BSN 2008), dengan modifikasi metode berdasarkan Lukman dan Purnawarman (2008). Secara garis besar tahapan atau langkah pengujian adalah: Uji Pra Pengayaan (Pre-Enrichment) Sampel daging itik ditimbang sebanyak 25 gram secara aseptik dan dimasukkan dalam erlenmeyer steril yang berisi 225 ml BPW 0.1%. Sampel dihomogenkan dengan stomacher selama 1-2 menit di dalam plastik steril, kemudian sampel diinkubasi pada suhu 35-37 °C selama 16-20 jam. Uji Pengayaan (Enrichment) Biakan pra-pengayaan kemudian diambil 0.1 ml inokulan dari BPW 0.1% yang telah diinkubasi dan dimasukkan ke dalam 10 ml RV medium dalam tabung reaksi. Media RV diinkubasi pada suhu 42 ± 2 °C selama 24 ± 2 jam.
8 Uji Inokulasi (Isolasi) pada Media Selektif Dua atau lebih inokulum diambil dengan ose dari media RV dan digoreskan di atas media selektif XLD, selanjutnya dengan metode strik digoreskan dengan batang ose baru. Cawan petri yang telah digores tersebut diinkubasi pada suhu 35-37 °C selama 24 ± 2 jam. Pada media XLD koloni terlihat merah muda dengan atau tanpa titik mengkilat atau terlihat hampir seluruh koloni hitam. Uji Biokimiawi Koloni yang diduga sebagai Salmonella spp. diambil, kemudian diinokulasikan pada media triple TSIA dan LIA dengan cara koloni yang diduga Salmonella spp. ditusukkan ke dasar media agar, selanjutnya digores pada media agar miring. Media diinkubasikan pada suhu 35-37 °C selama 24 ± 2 jam. Amati koloni spesifik Salmonella spp. dengan hasil reaksi seperti tercantum pada Tabel 3. Tabel 3 Interpretasi hasil uji Salmonella spp. pada TSIA dan LIA Media TSIA LIA
Agar miring/slant alkalin/K (merah) alkalin/K (ungu)
Dasar agar/bottom asam/A (kuning) alkalin/K (ungu)
H2S positif (hitam) positif (hitam)
Gas negatif/ positif negatif/ positif
Uji biokimiawi lainnya yang dilakukan, antara lain (BSN 2008): 1. Uji Urease Koloni dari positif TSIA diinokulasikan dengan ose ke urea broth. Media diinkubasikan pada suhu 35 °C selama 24 ± 2 jam. Hasil uji spesifik Salmonella adalah negatif uji urease. 2. Uji Indol Koloni dari media TSIA diinokulasikan pada TB dan diinkubasi pada suhu 35 °C selama 24 ± 2 jam. Sebanyak 0.2 ml sampai dengan 0.3 ml reagen Kovacs ditambahkan. Hasil uji positif ditandai dengan adanya cincin merah dipermukaan media. Hasil uji negatif ditandai dengan terbentuknya cincin kuning. Hasil uji spesifik Salmonella spp. adalah negatif uji indol. 3. Uji Voges-Proskauer (VP) Biakan dari media TSIA diambil dengan ose dan diinokulasikan ke tabung yang berisi 10 ml media MR-VP, kemudian diinkubasi pada suhu 35 °C selama 48 ± 2 jam. Sebanyak 5 ml MR-VP dipindahkan ke dalam tabung reaksi dan ditambahkan 0.6 ml larutan α-naphthol dan 0.2 ml KOH 40 %, kemudian digoyang-goyang sampai tercampur dan didiamkan. Untuk mempercepat reaksi ditambahkan kristal kreatin. Hasil dibaca setelah 4 jam. Hasil uji positif apabila terjadi perubahan warna pink sampai merah delima. Umumnya Salmonella spp. memberikan hasil negatif untuk uji VP (tidak terjadi perubahan warna pada media). 4. Uji Methyl Red (MR) Biakan dari media TSIA diambil dengan ose dan diinokulasikan ke dalam tabung yang berisi 10 ml media MR-VP, kemudian diinkubasi pada suhu 35 °C selama 48 ± 2 jam. Sebanyak 5 tetes sampai dengan 6 tetes indikator
9
5.
6.
7.
8.
MR ditambahkan pada tabung. Hasil uji positif ditandai dengan adanya difusi warna merah ke dalam media. Hasil uji negatif ditandai dengan terjadinya warna kuning pada media. Umumnya Salmonella spp. memberikan hasil positif untuk uji MR. Uji Sitrat Koloni dari TSIA diinokulasikan ke dalam SCA dengan ose, kemudian diinkubasi pada suhu 35 °C selama 96 ± 2 jam. Hasil uji positif ditandai adanya pertumbuhan koloni yang diikuti perubahan warna dari hijau menjadi biru. Hasil uji negatif ditandai dengan tidak adanya pertumbuhan koloni atau tumbuh sangat sedikit dan tidak terjadi perubahan warna. Umumnya Salmonella spp. memberikan hasil positif pada uji sitrat. Uji Lysine Decarboxylase Broth (LDB) Satu ose koloni dari TSIA dan diinokulasikan ke dalam LDB, kemudian diinkubasi pada suhu 35 °C selama 48 ± 2 jam dan diamati setiap 24 jam. Bakteri Salmonella memberikan reaksi positif ditandai dengan terbentuknya warna ungu pada seluruh media dan hasil reaksi negatif memberikan warna kuning. Jika hasil reaksi meragukan (bukan ungu atau bukan kuning) beberapa tetes 0.2 % bromcresol purple dye ditambahkan dan diamati perubahan warna yang terjadi. Uji Kalium Sianida (KCN) Satu ose biakan dari TSIA diinokulasikan ke media TB, kemudian diinkubasi pada suhu 35 °C selama 24 ± 2 jam. Satu ose koloni dari TB diambil dan diinokulasikan ke dalam KCNB. Media diiinkubasi pada suhu 35 °C selama 48 ± 2 jam. Hasil uji positif ditunjukkan dengan adanya pertumbuhan yang ditandai dengan kekeruhan. Hasil uji negatif ditunjukkan dengan tidak adanya pertumbuhan pada media. Bakteri Salmonella spp. memberikan hasil negatif pada uji KCN. Uji Gula: a. Uji phenol red dulcitol broth atau purple broth base dengan 0.5 % dulcitol. Koloni dari TSIA diambil dan inokulasikan pada medium dulcitol broth, diinkubasi pada suhu 35 °C dan diamati setiap 24 jam dan 48 ± 2 jam. Kebanyakan Salmonella spp. memberikan reaksi positif ditandai dengan pembentukan gas dalam tabung Durham dan warna kuning (pH asam) pada media. Hasil reaksi negatif ditandai dengan tidak terbentuknya gas pada tabung Durham dan pada media terbentuk warna merah (pH basa) untuk indikator phenol red atau ungu untuk indikator bromcresol purple. b. Uji malonate broth Satu ose dari TB dipindahkan ke dalam malonate broth, kemudian diinkubasi pada suhu 35 °C dan diamati setiap 24 jam dan 48 ± 2 jam. Hasil uji positif ditunjukkan dengan adanya perubahan warna menjadi biru. Bakteri Salmonella spp. memberikan reaksi negatif yang ditandai dengan adanya warna hijau atau tidak ada perubahan warna. c. Uji phenol red lactose broth Koloni dari TSIA miring diinokulasikan ke dalam phenol red lactose broth, kemudian diinkubasikan pada suhu 35 °C dan diamati setiap 24 jam dan 48 ± 2 jam. Hasil reaksi positif ditandai dengan produksi asam (warna kuning) dengan atau tanpa gas. Bakteri Salmonella spp. memberikan hasil reaksi negatif ditandai dengan tidak ada perubahan warna dan pembentukan
10 gas. d. Uji phenol red sucrose broth Koloni dari TSIA miring diinokulasikan ke dalam phenol red sucrose broth, kemudian diinkubasi pada suhu 35 °C selama 24 jam dan 48 ± 2 jam. Hasil uji positif ditandai dengan adanya perubahan warna (kuning) dan dengan atau tanpa pembentukan gas. Bakteri Salmonella spp. memberikan hasil uji negatif ditandai dengan tidak ada perubahan warna dan pembentukan gas. Reaksi biokimia dilakukan pada pengujian Salmonella spp. Secara garis besar rincian hasil reaksi uji biokimiawi dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4 Hasil reaksi biokomiawi Salmonella spp. No.
Uji substrat
1. 2.
Glukosa (TSI) Lysine decarboxylase (LIA) H2S (TSI dan LIA) Urease Lysine decarboxylase broth Kalium sianida broth
3. 4. 5. 6.
Positif Tusukan kuning Tusukan ungu
Hasil reaksi Negatif Tusukan merah Tusukan kuning
Hitam Merah muda-merah Ungu
Tidak hitam Tetap kuning Kuning
Salmonella spp. + + + +
Ada pertumbuhan
Tidak ada pertumbuhan 7. Phenol red dulcitol Kuning dengan Tidak berubah a) broth atau tanpa gas warna dan tanpa gas 8. Malonat broth Biru Tidak berubah b) warna 9. Uji indol Permukaan merah Permukaan kuning 10. Phenol red lactose broth Kuning dengan Tidak berubah atau tanpa gas warna dan tidak terbentuk gas 11. Phenol red sucrose Kuning dengan Tidak berubah broth atau tanpa gas warna dan tidak terbentuk gas 12. Uji Voges-Proskauer Merah muda-merah Tidak berubah warna 13. Uji methyl red Merah Kuning + 14. Uji Simmons-citrate Biru ada Tidak berubah V pertumbuhan warna dan tidak ada pertumbuhan Keterangan: a). mayoritas kultur S. Arizonae adalah negatif; b). mayoritas kultur S. Arizonae adalah positif dan V adalah variasi.
Pengujian Resistensi Antibiotik (Kepekaan Mikroorganisme) Pengujian kepekaan bakteri Salmonella spp. terhadap antibiotik dilakukan dengan metode difusi cakram (disc diffusion method) dan interpretasi hasil mengacu pada Clinical and Laboratory Standards Institute (CLSI 2012). Interpretasi hasil sesuai dengan Tabel 5. Bakteri Salmonella spp. yang resisten diinokulasikan pada media padat NA miring, dipindahkan 1 ose ke dalam BHI,
11 kemudian diinkubasi pada suhu 35 °C selama 24 jam hingga menjadi keruh. Sebanyak 0.1 ml bakteri yang telah dimurnikan disuspensikan dalam BPW 0.1% 9 ml hingga kekeruhannya menyamai dengan Mc Farland 0.5 dengan menggunakan vortex mixer. Suspensi bakteri diinokulasikan secara merata pada MHA padat sebanyak 0.1 ml dengan menggunakan hockey stick. Kertas kosong (blank disc) dan kertas antibiotik atau antibiotic disc ditempelkan di dalam MHA padat yang sudah berisi suspensi bakteri. Antibiotik yang digunakan adalah ampisilin 10 µg/ml, sefalotin 30 µg/ml, streptomisin 10 µg/ml, asam nalidiksat 30 µg/ml, eritromisin 15 µg/ml, kloramfenikol 30 µg/ml, trimetoprim sulfametoksazol 25 µg/ml, dan tetrasiklin 30 µg/ml. Inkubasi MHA di dalam inkubator pada suhu 37 °C selama 24 jam. Isolat bakteri ditentukan kepekaannya terhadap antimikrobial dengan mengukur diameter zona terang atau hambat yang terbentuk. Penentuan susceptible (S), intermediate (I), dan resistant (R) ditentukan melalui ukuran diameter zona terang atau hambat yang terbentuk berdasarkan rekomendasi standar CLSI. Tabel 5 Standar interpretasi diameter zona terang atau hambat No.
Grup antimikroba
1. 2. 3.
β-laktam Sefalosporin Aminoglikosida
Antimikroba
Isi disk (µg)
Ampisilin (AMP) 10 Sefalotin (KF) 30 Gentamisin (CN) 10 Streptomisin (S) 10 4. Fluoroquinolon Siprofloksasin (CIP) 5 Enrofloksasin (ENR) 5 Asam nalidiksat (NA) 30 5. Makrolida Eritromisin (E) 15 6. Fenikol Kloramfenikol (C) 30 7. Potentiated Trimetoprim 1.25/ 23.75 sulfonamide sulfametoksazol (SXT) 8. Tetrasiklin Tetrasiklin (TE) 30 Keterangan: S= susceptible; I= intermediate; R= resistant
Standard interpretasi hasil diameter zona terang atau hambat (mm) S I R ≥17 14-16 ≤13 ≥18 15-17 ≤14 ≥15 13-14 ≤12 ≥15 12-14 ≤11 ≥31 21-30 ≤20 ≥23 17-22 ≤16 ≥19 14-18 ≤13 ≥23 14-22 ≤13 ≥18 13-17 ≤12 ≥16 11-15 ≤10 ≥19
15-18
≤14
Analisis Data Data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif dengan menyajikan hasil uji keberadaan Salmonella spp. daging itik dan Salmonella spp. yang resisten terhadap antibiotik dalam bentuk tabel dan gambar. Analisis deskriptif adalah bidang statistik yang membahas tentang metode mengumpulkan, menyederhanakan, dan menyajikan data sehingga bisa memberikan informasi (Mattjik dan Sumertajaya 2002). Analisis data tersebut akan dilakukan dengan menggunakan program Microsoft Excel 2007.
12
4 HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Pengujian Salmonella spp. pada Daging Itik Sebanyak 52 sampel daging itik yang berasal dari peternakan itik di Kabupaten Bogor diuji keberadaan Salmonella spp. dengan menggunakan metode pengujian sesuai SNI 2897:2008 tentang Metode Pengujian Cemaran Mikroba dalam Daging, Telur, dan Susu serta Hasil Olahannya (BSN 2008) menunjukkan hasil tiga sampel positif Salmonella spp. (5.8 %). Hasil uji dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6 Hasil pengujian Salmonella spp. dan persentase yang melebihi batas maksimum cemaran mikroba yang ditetapkan oleh SNI Kecamatan Jumlah sampel positif Jonggol-Cariu (n= 16) 1 (6.3%) Gunung Sindur (n= 5) 1 (20%) Klapanunggal (n= 7) 0 Parung Panjang (n= 16) 1 (6.3%) Ciomas (n= 8) 0 Total (n= 52) 3 (5.8%) Keberadaan Salmonella spp. pada daging itik di peternakan Kabupaten Bogor menunjukkan telah terjadi pencemaran pada peternakan itik tersebut. Pada Tabel 5 dapat dilihat bahwa persentase tertinggi jumlah sampel positif Salmonella spp. ditemukan pada sampel daging itik yang berasal dari Kecamatan Gunung Sindur (20%). Hal ini diduga disebabkan oleh pencemaran silang saat pemotongan itik dan proses pengeluaran jeroan (eviserasi), pencemaran yang berasal dari air yang digunakan di peternakan, serta tidak diterapkannya sanitasi dan higiene personal oleh peternak atau pegawai peternakan. Pencemaran silang merupakan pencemaran bahan pangan melalui berbagai bahan pembawa, antara lain peralatan, serangga, ataupun manusia yang menangani bahan pangan tersebut yang dapat menjadi perantara utama (Purnawijayanti 2001). Eviserasi merupakan tahapan dengan tingkat pencemaran silang yang tinggi pada karkas, yang dapat dilakukan secara manual maupun otomatis (mesin). Kedua cara eviserasi berpotensi menimbulkan pencemaran pada karkas. Pencemaran selama proses eviserasi dapat berasal dari pekerja, peralatan, maupun kondisi hewan sendiri seperti saluran cerna yang masih terisi penuh dengan cairan pakan atau hewan dalam kondisi sakit, misalnya diare. Menurut Barbut (2002), sebanyak 1 ml isi saluran pencernaan unggas dapat mengandung 109 cfu mikroorganisme sehingga dengan volume yang sedikit saja dapat menimbulkan terjadinya pencemaran yang tinggi. Bolder (1998) dan Mead (2005) menyatakan bahwa bakteri patogen penyebab utama infeksi pada manusia yang paling sering teridentifikasi pada karkas yang tercemar oleh isi saluran pencernaan adalah Salmonella dan Campylobacter. Tahapan pengujian Salmonella spp. dengan metode SNI diawali dengan tahapan pra pengayaan, pengayaan, dilanjutkan dengan inokulasi pada media selektif, serta dilakukan uji biokimiawi. Pada media selektif menggunakan media
13 XLD akan terlihat koloni berwarna merah muda dengan atau tanpa titik mengkilat atau hampir seluruh koloni terlihat berwarna hitam. Ketiga contoh yang diduga Salmonella spp. dilanjutkan ke uji biokimiawi. Hasil identifikasi dari uji biokimiawi ketiga sampel tersebut merupakan Salmonella spp (Tabel 7 dan Gambar 1). Tabel 7 Gambaran koloni dari contoh dan uji biokimiawi yang diduga Salmonella spp. TSIA LIA Indol SCA Slant Butt Gas H2S Slant Butt Gas H2S Hasil Motil 1 (12) M K/H + + U U + + + 2 (36) M K/H + + U U + + + 3 (52) M K/H + + U U/H + + + Keterangan: TSIA= triple sugar iron agar; LIA= lysine indol agar; SCA= Simmon citrate agar; M= merah; K= kuning; H= hitam; dan U= ungu Sampel
1
2
3
4 5 Gambar 1 Koloni yang diduga Salmonella spp. pada media: (1). XLDA; (2). BGA; (3). TSIA dan indol; (4). LIA; dan (5). SCA Bahan pangan asal hewan merupakan media yang baik untuk perkembangbiakan Salmonella spp. Prevalensi infeksi Salmonella spp. pada peternak ayam ras petelur di Kabupaten Sleman, Yogyakarta sebesar 2.8%. Faktor-faktor yang dapat meningkatkan kejadian infeksi Salmonella spp. pada ayam adalah umur, status penyakit (salmonelosis) pada periode pemeliharaan sebelumnya, dan pencucian kandang, sedangkan faktor-faktor yang dapat menurunkan kejadian infeksi Salmonella spp. pada ayam adalah istirahat kandang, tipe pakan, bentuk pakan, sanitasi lingkungan dan higiene personal peternak di dalam kandang, pembuangan kotoran sewaktu-waktu, dan adanya pengobatan antibiotik (Nugroho et al. 2004). Sebanyak 50% wabah salmonelosis pada unggas dan produknya terjadi di Inggris. World Health Organization (WHO) tahun 2006 menjelaskan bahwa unggas dan babi merupakan sumber infeksi Salmonella spp. di beberapa negara di
14 Eropa, sedangkan di Amerika Serikat bedasarkan hasil surveilans menunjukkan bahwa prevalensi Salmonella spp. mencapai 5.8% pada ayam pedaging, 2.2% pada daging sapi, 17.8% pada daging ayam, dan 16.1% pada daging kalkun. Dosis infektif Salmonella spp. bervariasi dan tergantung serovar Salmonella spp. yang teridentifikasi, tingkat imunitas individu yang mengonsumsi makanan, dan jenis makanan yang dikonsumsi. Menurut Lawley et al. (2008), jumlah Salmonella spp. yang sedikit (10-100 sel bakteri) dapat menyebabkan penyakit jika dikonsumsi, terutama bagi anak-anak, orang tua, dan orang yang memiliki sistem imun yang rendah. Menurut Cha et al. (2013), prevalensi kejadian Salmonella sebesar 65.2% pada peternakan itik, sedangkan prevalensi serotipe Salmonella (S. Typhimurium, S. Enteritidis, dan S. London) pada itik sebesar 43.4% di Pekin, Korea Selatan. Kontaminasi serovar Salmonella (S. Enteritidis) pernah terjadi di peternakan ayam petelur pada Maret sampai Oktober 2008 dan Maret sampai November 2009 di Annaba dan Eltarf, Algeria (Bouzidi et al. 2012). Yan et al. (2010) menjelaskan bahwa frekuensi kejadian Salmonella spp. dari unggas (ayam) banyak yang telah mengalami resistensi terhadap antibiotik dan pangan asal hewan yang berasal dari bagian Utara Cina dapat menjadi sumber kejadian multiresisten antibiotik terhadap Salmonella spp. dan dapat membahayakan konsumen. Manusia yang terinfeksi oleh Salmonella spp. dapat bertindak sebagai karier setelah terinfeksi dan dapat menularkan pada manusia lainnya melalui feses untuk waktu yang cukup lama. Salmonella spp. juga dapat diisolasi dari tanah, air, dan sampah yang terkontaminasi oleh feses (Ray 2001). Salmonella spp. sering menyebabkan kesakitan pada manusia dan beberapa hewan sehingga setiap individu mempunyai peran yang penting dalam menjaga keamanan pangan dalam setiap rantai jaringan penyediaan pangan. Keamanan pangan merupakan tanggung jawab bersama antara produsen, pengolah, pemerintah, dan konsumen. Pemerintah dalam hal ini berfungsi sebagai penentu kebijakan yang berkaitan dengan keamanan pangan serta mengawasi pelanggaran atau penyalahgunaan yang berkaitan dengan peraturan yang sudah diterapkan. Berkaitan dengan keamanan pangan, pemerintah telah mengeluarkan Undang-Undang nomor 18 tahun 2012 tentang pangan yang menyatakan makanan yang beredar haruslah tidak membahayakan konsumen. Undang-undang tersebut diikuti dengan Peraturan Pemerintah nomor 28 tahun 2004 tentang keamanan, mutu, dan gizi pangan. Pangan yang aman, bermutu, dan bergizi sangat penting peranannya bagi pertumbuhan, kesehatan, dan peningkatan kecerdasan masyarakat (Rahayu dan Djaafar 2007). Standar Nasional Indonesia (SNI) 2897 tahun 2008 tentang metode pengujian cemaran mikroba dalam daging, telur, dan susu serta hasil olahannya. Batas maksimum cemaran mikroba dan batas maksimum residu dalam bahan makanan asal hewan menetapkan bahwa standar kontaminasi Salmonella spp. dalam pangan asal hewan (daging, telur, dan susu) adalah negatif, sedangkan berdasarkan standar international yang mengatur tentang keamanan pangan yaitu Codex Alimentarius Commission (CAC) hanya mengatur batas maksimum kontaminasi Salmonella spp. pada pangan yang siap untuk dikonsumsi adalah negatif. Federal Register of Legislative Instrument menyatakan bahwa batas maksimum kontaminasi Salmonella spp. di Australia dan New Zealand adalah negatif. The Food Administration Section of Ministry of Health (1995)
15 menjelaskan bahwa Eropa juga menetapkan batas maksimum kontaminasi Salmonella spp. sama dengan Indonesia (SNI) yaitu negatif, sedangkan Amerika Serikat tidak menetapkan standar maksimal cemaran Salmonella spp., tetapi menerapkan sistem hazard analysis critical control point (HACCP) secara ketat dan melakukan proses pencegahan, eliminasi dan mengurangi kontaminasi Salmonella spp. pada pangan asal hewan. Kegiatan tersebut dievaluasi dan dipantau oleh suatu lembaga pemerintah yaitu Food Safety and Inspection Services (FSIS). Menurut Ray (2001), pencegahan infeksi terhadap Salmonella spp. dapat dilakukan dengan memperhatikan kondisi sanitasi lingkungan dan higiene personal. Kekhawatiran saat ini terhadap aspek kesehatan manusia di seluruh dunia adalah munculnya serotipe Salmonella spp. yang resisten terhadap antibiotik. Penggunaan antibiotik secara terus-menerus, baik dalam rangka pengobatan maupun penggunaan antibiotik sebagai pemacu pertumbuhan pada industri peternakan dapat berpotensi menyebabkan resistensi antibiotik dan mampu menyebarkan gen resistennya kepada mikroba lainnya. Dalam beberapa tahun terakhir isolat Salmonella spp. yang berhasil diisolasi dari produk hewan telah mengalami peningkatan resistensi antibiotik.
Salmonella spp. yang Resisten terhadap Antibiotik di Daging Itik Bakteri Salmonella spp. yang ditemukan dalam penelitian ini diuji kepekaannya terhadap beberapa antibiotik. Hasil dari pengujian menunjukkan bahwa Salmonella spp. pada daging itik telah mengalami resistensi antibiotik sebesar 100%. Salmonella spp. menunjukkan resistensi terhadap eritromisin (66.7%), streptomisin (33.3%), dan kloramfenikol (33.3%), sedangkan Salmonella spp. masih relatif sensitif terhadap enrofloksasin, trimetoprim sulfametoksazol, sefalotin, ampisilin, asam nalidiksat, tetrasiklin, dan gentamisin (Tabel 8 dan Gambar 2 dan 3). Tabel 8 Persentase Salmonella spp. yang resisten terhadap beberapa antibiotik Antibiotik Eritromisin (E15) Enrofloksasin (ENR5) Trimetoprim sulfametoksazol (SXT25) Streptomisin (S10) Sefalotin (KF30) Ampisilin (AMP10) Asam nalidiksat (NA30) Kloramfenikol (C30) Tetrasiklin (TE30) Gentamisin (CN10)
Persentase Salmonella spp. yang resisten (%) Jonggol-Cariu Gunung Sindur Parung Panjang (n= 1) (n= 1) (n= 1) 100 100 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 100 0 0
0 0 0 0 0 0 0
100 0 0 0 0 0 0
Total (%) n= 52 66.7 0 0 33.3 0 0 0 33.3 0 0
Hasil uji kepekaan antibiotik terhadap Salmonella spp. juga menunjukkan interpretasi intermediet. Interpretasi intermediet tertinggi didapatkan pada antibiotik enrofloksasin, streptomisin, dan gentamisin sebesar 66.7%. Pada antibiotik eritromisin, trimetoprim sulfametoksazol, sefalotin, ampisilin, asam nalidiksat, kloramfenikol, dan tetrasiklin tidak ditemukan interpretasi tingkat
16 intermediet (Gambar 2). Hasil pengujian intermediet Salmonella spp. pada beberapa antibiotik menunjukkan aktivitas yang kurang optimal bagi antibiotik dalam penggunaannya secara klinis sehingga dapat dilakukan dengan menambah atau menaikkan dosis antibiotik untuk memperoleh hasil pengobatan yang optimal. Krisnaningsih et al. (2005) menyebutkan bahwa interpretasi intermediet dapat menjadi penyebab berkembangnya sifat resistensi bakteri terhadap antibiotik. Isolat Salmonella spp. menunjukkan tingkat sensitifitas yang tinggi terhadap antibiotik trimetoprim sulfametoksazol, sefalotin, ampisilin, asam nalidiksat, dan tetrasiklin sebesar 100%, sedangkan cukup sensitif terhadap antibiotik kloramfenikol sebesar 66.7%. Sensitifitas terendah ditemukan pada agen antibiotik eritromisin dan enrofloksasin (33.3%). Isolat Salmonella spp. sudah tidak sensitif (resisten) terhadap streptomisin (Gambar 2). Streptomisin merupakan antibiotik yang termasuk dalam grup aminoglikosida. Resistensi terhadap aminoglikosida (streptomisin) pada Salmonella terkait dengan modifikasi enzim aminoglikosida adeniltransferase yang dikodekan oleh protein aada dan aadb yang berhubungan dengan resistensi streptomisin (Hur et al. 2012). Foley dan Lynne (2008) juga menjelaskan bahwa selain inaktivasi dari obat itu sendiri, mekanisme resistensi lain terkait dengan modifikasi target obat untuk mengikat di dalam sel. Keberadaan metilasi dari RNA ribosom spesifik memungkinkan untuk terus membuat protein, tetapi mencegah antibiotik untuk mengikat dan menghambat sintesis ribosom (Guilfoile 2007).
Gambar 2 Tingkat kepekaan Salmonella spp. terhadap antibiotik eritromisin (E), enrofloksasin (ENR), trimetoprim sulfametoksazol (SXT), streptomisin (S), sefalotin (KF), ampisilin (AMP), asam nalidiksat (NA), kloramfenikol (C), tetrasiklin (TE), dan gentamisin (CN)
17
I
Gambar 3 Salmonella spp. yang resisten terhadap antibiotik yang diisolasi (A. Blank disk/ tanpa antibiotik; B. Disk antibiotik; dan I. Diameter zona terang) Menurut Istiana (1998), eritromisin adalah agen antibiotik yang termasuk dalam golongan makrolida. Resistensi terhadap eritromisin ini dapat terjadi melalui beberapa mekanisme yang diperantarai oleh plasmid, antara lain modifikasi reseptor atau target obat yang melibatkan gen erythromycin resistance methylase dan inaktivasi antibiotik (hidrolisis obat) oleh enzim esterase yang dihasilkan oleh Enterobacteriaceae termasuk Salmonella spp. Guilfoile (2007) juga menerangkan mekanisme bakteri menjadi resisten terhadap eritromisin karena bakteri mengandung gen yang diperlukan untuk menambahkan gugus metil (CH3) ke RNA ribosom sehingga bakteri tetap dapat mensintesis protein. Modifikasi ini akan melindungi sel bakteri untuk bertahan terhadap eritromisin. Penggunaan antibiotik golongan makrolida dari jenis erythro adalah antibiotik yang diperbolehkan untuk dicampur pada pakan untuk meningkatkan pertumbuhan atau growth promotor (Schipp 2012). Resistensi pada eritromisin dan streptomisin di peternakan itik diduga karena antibiotik tersebut memiliki kerja spektrum yang luas (broad spectrum). Resistensi terhadap kloramfenikol sangat berhubungan dengan perolehan dan ekspresi dari efflux pumps yang mengurangi tingkat toksisitas dari obat terhadap sel bakteri. Salmonella yang resisten terhadap kloramfenikol akan melakukan efflux pumps yang dikodekan oleh floR atau cml (Hur et al. 2012). Selain itu juga terjadi modifikasi target obat oleh kloramfenikol asetil transferase (Murray dan Shaw 1997). Kloramfenikol merupakan merupakan antibiotik yang dilarang penggunaannya di peternakan sehingga resistensi yang terjadi kemungkinan akibat peternak yang menggunakannya secara ilegal (Guilfoile 2007). Menurut Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (2012), antibiotik gentamisin yang banyak memiliki merek dagang dan banyak dijual relatif sensitif terhadap isolat Salmonella spp. Hal ini disebabkan oleh gentamisin hanya digunakan untuk infeksi bakteri Gram negatif saja sehingga peternak jarang menggunakannya.
18 Pola resistensi isolat Salmonella spp. dari daging itik menunjukkan adanya resistensi terhadap dua antibiotik yaitu eritromisin dan kloramfenikol. Hal ini terjadi karena kedua antibiotik ini sering digunakan oleh peternak karena memiliki kerja spektrum yang luas. Noor et al. (2006) dalam penelitiannya juga menyatakan bahwa satu isolat S. Enteritidis dan satu isolat S. Hadar telah resisten terhadap lebih dari dua antibiotik yang diuji. Pengujian resistensi antibiotik terhadap isolat S. Enteritidis ditemukan sebanyak 14.28% resisten terhadap kloramfenikol, sedangkan sebanyak 28.75% resisten terhadap tetrasiklin dan amoksilin. Menurut Adzitey et al. (2012), prevalensi serovar Salmonella yang ditemukan pada itik di Penang, Malaysia berkisar 23.5% dari seluruh serovar yang ditemukan ternyata resisten terhadap antibiotik eritromisin, tetapi masih peka terhadap antibiotik sefalosporin, gentamisin, dan seftriakson. Stevens et al. (2006) menjelaskan bahwa beberapa serotipe Salmonella spp. ditemukan pada sampel daging yang berasal dari rumah potong hewan dan pejual daging di Dakar, Senegal dan hampir 62% dari total bakteri yang diuji tersebut resisten terhadap beberapa antibiotik nitrofurans, sebagian mengalami resistensi terhadap streptomisin (22%), sulfametoksazol (15%), spektinomisin (1%), kloramfenikol (1%), dan tetrasiklin (0.4%). Selain itu, ditemukan adanya level resistensi yang cukup rendah dari antibiotik golongan quinolon yang diidentifikasi. Sekitar 16% dari strain Salmonella spp. telah mengalami multiresisten terhadap dua atau lebih antibiotik. Yildrim et al. (2011) menyatakan bahwa Salmonella spp. yang terdeteksi pada karkas ayam mentah di Anatolia Tengah, Timur Tengah, Turki telah mengalami resistensi dengan beberapa antibiotik, diantaranya penisilin, oksasilin, klindamisin, vankomisin, eritromisin, dan ampisilin. Selain itu, Salmonella spp. yang ditemukan pada karkas ayam juga resisten terhadap antibiotik lainnya yaitu tetrasiklin, streptomisin, neomisin, sefalotin, gentamisin, kloramfenikol, sefotaksim, dan amikasin. Konsumsi daging itik yang berasal dari peternakan yang selalu menggunakan antibiotik pada pakan dan minumannya akan berakibat terhadap kejadian resistensi antibiotik, ketergantungan terhadap penggunaan antibiotik sangat membahayakan konsumen bila diberikan secara berlebihan dan tanpa pengawasan (Kang et al. 2005). Kejadian resistensi bukan merupakan suatu fenomena baru dan menjadi masalah bagi seluruh dunia. Menurut Guilfoile (2007) dan Dzidic et al. (2008), mekanisme resistensi dibagi menjadi tiga kelompok yaitu resistensi genetik (mutasi spontan dan transfer material genetik secara horisontal atau resistensi yang dipindahkan), resistensi non-genetik (inaktivasi metabolik), dan resistensi silang. Jaminan keamanan pangan di Indonesia menjadi tanggung jawab semua pihak yang terkait antara lain pemerintah, pelaku industri (tingkat produksi, peternakan, pemrosesan, pengecer, dan restoran), konsumen, dan media. Pemerintah bertanggung jawab terhadap penyediaan peraturan, undang-undang dan penegakan hukum, pemberian pendidikan dan penyuluhan mengenai keamanan pangan, melakukan surveilans dan pengumpulan data, serta penyediaan dana penelitian. Pelaku industri bertanggung jawab terhadap penerapan HACCP, good manufacturing practices (GMP), serta penyediaan sarana dan teknologi. Konsumen diharapkan dapat mengerti mengenai keamanan pangan, pengetahuan tentang penyimpanan, penyiapan dan pengolahan pangan yang benar, serta
19 penerapan higiene personal yang baik. Media komunikasi bertanggung jawab memberikan informasi yang benar terhadap semua aspek yang berhubungan dengan isu keamanan pangan.
5 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Prevalensi Salmonella spp. pada daging itik di Kabupaten Bogor sebesar 5.8% (tiga sampel). Bakteri Salmonella spp. yang diisolasi dari daging itik menunjukkan resistensi terhadap antibiotik eritromisin, streptomisin, dan kloramfenikol, sedangkan Salmonella spp. masih relatif sensitif terhadap enrofloksasin, trimetoprim sulfametoksazol, sefalotin, ampisilin, asam nalidiksat, tetrasiklin, dan gentamisin. Satu sampel Salmonella spp. resisten terhadap dua antibiotik yaitu eritromisin dan kloramfenikol. Salmonella spp. yang resisten terhadap antibiotik ini akan menjadi ancaman bagi kesehatan manusia dan hewan.
Saran Saran pada penelitian yang dilakukan ini, diantaranya diperlukan adanya penelitian lanjutan untuk melihat adanya hubungan genetik atau kekerabatan antara isolat bakteri Salmonella spp. dari itik dengan isolat Salmonella spp. yang diambil dari lingkungan (air, pakan, dan peralatan) dan diperlukan kerjasama antara Kementerian Pertanian dan Kementerian Kesehatan dengan melakukan surveilans nasional dan penyuluhan yang berkelanjutan kepada peternak dan masyarakat terkait pentingnya bahaya resistensi antibiotik dalam penyediaan rantai pangan yang aman, sehat, utuh, dan halal (ASUH).
Ucapan Terima Kasih Peneliti mengucapkan terima kasih atas bantuan Bagian Kesehatan Masyarakat Veteriner, FKH IPB, Balai Besar Penelitian Veteriner (BBalitvet), dan Balai Pengujian Mutu dan Sertifikasi Produk Hewan (BPMSPH).
DAFTAR PUSTAKA Adzitey F, Rusul G, Huda N. 2012. Prevalence and antibiotic resistance of Salmonella serovar in duck, duck rearing and processing environment in Penang, Malaysia. Food Res Int. 45:947-952. [BSN] Badan Standardisasi Nasional. 2008. SNI 2897:2008 Tentang Metode Pengujian Cemaran Mikrobia dalam Daging, Telur, dan Susu Serta Hasil Olahannya. Jakarta (ID): Badan Standardisasi Indonesia. Barbut S. 2002. Poultry Products Processing An Industry Guide. New York (US): CRC Pr.
20 Baumler AJ, Tsolis RM, Ficht TA, Adams LG. 1998. Evolution of host adaptation in Salmonella enterica. Infect Immunol. 66: 4579-4580. Bhunia AK. 2008. Foodborne Microbial Pathogen: Mechanisms and Pathogenesis. New York (US): Springer. Bolder NM. 1998. The Microbiology of the Slaughter and Processing of Poultry. Di dalam: Davies A, Board R, editor. The Microbiology of the Meat and Poultry. London (GB): Blackie Academic. Bouzidi N, Aoun L, Zeghdoudi M, Bensouilah M, Elgroud R, Oucief I, Granier SA, Brisabois A, Desquilbet L, Millemann. 2012. Salmonella contamination of laying-hen flock in two regions of Algeria. Food Res Int. 45:897-904. Bozen A, Haren WV, Hanekamp JC. 1999. Emergence of a Debate: AGPs and Public Health. Amsterdam (NL): Heidelberg Appeal Nederland. Brenner FW, Villar RG, Angulo FJ, Tauxe R, Swaminathan B. 2003. Salmonella Nomenclature. J Clin Microbiol. 38:2465-2467. [CFSPH] The Center for Food Security and Public Health. 2005. Salmonelosis: Paratyphoid, Non-typhoidal Salmonellosis. Iowa (US): Institute for International Cooperation in Animal Biologics. Cha SY, Kang M, Yoon RH, Park, CK, Moon OK, Jang HK. 2013. Prevalence and antimicrobial susceptibility of Salmonella isolates in Pekin ducks from South Korea. Comp Immunol Microbiol Infect Dis. 922:1-7. [CLSI] Clinical and Laboratory Standards Institute. 2012. Performance Standards for Antimicrobial Susceptibility Testing; Twenty-Second Informational Supplement. West Valley (US): Clinical and Laboratory Standards Institute. Cox J. 2000. Salmonella (Introduction). Di dalam: Robinson, R.K., C.A. Batt and P.D. Patel, editor. Encyclopedia of Food Microbiology. San Diego (US): Academic Pr. [Disnakkan Pemkab Bogor] Dinas Peternakan dan Perikanan Pemerintah Kabupaten Bogor. 2012. Produksi Buku Data Peternakan Tahun 2011. Bogor (ID): Dinas Peternakan dan Perikanan Pemerintah Kabupaten Bogor. [Ditjen PKH] Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan. 2012. Indeks Obat Hewan Indonesia 2012. Jakarta (ID): Kementerian Pertanian Indonesia. Dzidic S, Suskovic J, Kos B. 2008. Antibiotic resistance mechanisms in bacteria: Biochemical and genetic aspects. Food Technol Biotechnol. 46(1):11-21. Foley SL, Lynne AM. (2008). Food animals-associated Salmonella challenges: Pathogenicity and antimicrobial resistance. J Anim Sci. 86:173-187. Guilfoile PG. 2007. Antibiotic Resistant Bacteria. New York (US): Chelsea House Pub. Hur J, Jawale C, Lee JH. 2012. Antimicrobial resistance of Salmonella isolated from food animals: A review. Food Res Int. 45:819-830. Istiana. 1998. Resistensi Salmonella spp. isolat itik alabio terhadap beberapa antibiotika. JITV. 3 (2):106-110. [JETACAR] Joint Expert Advisory Committee On Antibiotic Resistance Australia. 1999. The use Antibiotic in Food Producing Animals: Antibiotic resistance Bacteria in Animals and Humans. Australia (AU): Commonwealth of Australia.
21 Jørgensen F, Bailey R, Williams S, Henderson P, Wareing DRA, Bolton FJ, Frost JA, Ward L, Humphrey TJ. 2002. Prevalence and number of Salmonella and Campylobacter spp. on raw, whole chickens in relation to sampling methods. Int J Food Microbiol. 76:151-164. Kang HY, Jeong YS, Oh JY, Tae SH, Choi CH, Moon DC, Lee WK, Lee YC, Seol SY, Cho DT et al. 2005. Characterization of antimicrobial resistance and class 1 integrons found in Escherichia coli isolates from humans and animals in Korea. J Antimicrob Chemoth. 55:639-644. Krisnaningsih MMF, Asmara W, Wibowo MH. 2005. Uji sensitivitas isolat Escherichia coli patogen pada ayam terhadap beberapa jenis antibiotik. J Sain Vet. 1:13-18. Kusumaningsih A. 2010. Beberapa bakteri patogenik penyebab foodborne disease pada pangan asal ternak. WARTAZOA. 20:103-111. Lawley R, Cyrtis L, Davis J. 2008. The Food Safety Hazard Guidebook. Cambridge (GB): RSC Pub. Lukman DW, Purnawarman T. 2008. Pemeriksaan Presumtif Salmonella. Di dalam: Lukman DW, Purnawarman T, editor. Penuntun Praktikum Higiene Pangan. Bogor (ID): Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor. Mattjik AA, Sumertajaya IM. 2002. Perancangan Percobaan dengan Aplikasi SAS dan Minitab Jilid I. Bogor (ID): IPB Pr. Mead GC. 2005. Food Safety Control in the Poultry Industry. New York (US): CRC Pr. Murray IA, Shaw WV. (1997). O-Acetyltransferases for chloramphenicol and other natural products. Antimicrob Agents Chemoth. 41:1–6. Noor SM, Poeloengan M, Andriani. 2006. Kepekaan Isolat Salmonella enteritidis dan Salmonella hadar yang diisolasi dari daging ayam terhadap antibiotik. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor (ID): Balai Penelitian Veteriner. Norhana MNW, Poole SE, Deeth HC, Dykes GA. 2010. Prevalence, persistence and control of Salmonella and Listeria in shrimp and shrimp product: A review. Food Control. 21:343-361. Nugroho WS, Budiharta S, Yudhabuntara D. 2004. Kajian lintas seksional infeksi Salmonella pada ayam ras petelur berdasarkan uji ulas kloaka di Kabupaten Sleman, Yogyakarta. J Sain Vet. XXII (2):37-42. Pemerintah Republik Indonesia. 1996. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1996 Tentang Pangan. Jakarta (ID): Presiden Republik Indonesia. Pemerintah Republik Indonesia. 2004. Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2004 Tentang Keamanan, Mutu, dan Gizi Pangan. Jakarta: Presiden Republik Indonesia. Prihatman K. 2000. Budidaya Ternak Itik (Anas spp.). Jakarta (ID): Proyek Pengembangan Ekonomi Masyarakat Pedesaan (Bappenas). Purnawijayanti HA. 2001. Sanitasi Higiene dan Keselamatam Kerja dalam Pengolahan Makanan. Yogyakarta (ID): Kanisius. Rahayu S, Djaafar TF. 2007. Cemaran Mikroba pada Produk Pertanian, Penyakit yang Ditimbulkan dan Pencegahannya. J Litbang Pertanian. 26:71-72. Ray B. 2001. Fundamental Food Microbiology, 2nd Ed. Boca Raton (US): CRC Pr.
22 Schipp M. 2012. Country Report: Australia. Di dalam: Schipp M, editor. Proceedings of the International Workshop on the Use of Antimicrobials in Livestock Production and Antimicrobial Resistance in the Asia-Pacific Region. Bangkok (TH): Animal Production and Health Commission for Asia and the Pacific (APHCA). hlm 6-17. Stevens A, Kaboré Y, Claude JDPG, Millemann Y, Brisabois A, Catteau M, Cavin JF, Dufour B. 2006. Prevalence and antibiotic-resistent of Salmonella isolated from beef sampled from the slaughterhouse and from retailers in Dakar (Senegal). Int J Food Microbiol. 110:178-186. The Food Administration Section of Ministry of Health. 1995. Microbiological Reference Criteria for Food. New Zealand (NZ): Microbiological Criteria. [WHO] World Health Organization. 2006. Penyakit Bawaan Makanan. Jakarta (ID): Buku Kedokteran EGC. Yan H, Li L, Alam MJ, Shinoda S, Miyoshi S, Shi L. 2010. Prevalence and antimicrobial resistance of Salmonella in retail foods in northern China. Int J Food Microbiol. 143:230-234. Yang B et al. 2010. Prevalence and Characterization of Salmonella Serovars in Retail Meats of Market Place in Shaanxi China. Int J Food Microbiol. 141:63-72. Yildrim Y, Gonulalan Z, Pamuk S, Ertas N. 2011. Incidance and antibiotic resistance of Salmonella spp. on raw chicken carcasses. Food Res Int. 44:725-728.
23
LAMPIRAN Lampiran 1 Hasil pengujian resistensi terhadap 10 antibiotik pada tiga isolat Salmonella spp. No.
1.
2.
3. Hasil
Plate
Resistensi Salmonella spp. terhadap antibiotika E
ENR
SXT
S
KF
AMP
NA
C
TE
-
20.20
26.76
8.68
18.40
-
-
25.51
-
CN
Diameter (cm) R/I/S Diameter (cm) R/I/S Diameter (cm)
14.4 1 I 16.5 6 S 14.9 9
S
I
S
R
S
S
S
S
S
8.73
17.44
25.83
12.68
21.89
-
-
25.64
21.35
R
I
S
I
S
S
S
S
S
8.06
24.20
26.75
12.82
19.82
21.84
-
9.84
20.02
R/I/S
R
S
S
I
S
S
S
R
S
I
R
S
S
R
S
S
S
R
S
S
24
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bekasi pada tanggal 1 Juli 1989. Penulis merupakan anak ketiga dari tiga bersaudara, putri pasangan Ie Lie Yung dan Heryani. Penulis menyelesaikan jenjang pendidikan Taman Kanak-Kanak pada tahun 1992 penulis mengambil pendidikan Taman Kanak-Kanak di Merpati, Lemah Abang dan lulus tahun 1994, kemudian dilanjutkan ke Sekolah Dasar (SD) di SD Negeri 1 Lemah Abang dan lulus pada tahun 2000, kemudian pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan Sekolah Mengengah Pertama (SMP) di SMP Negeri 1 Cikarang hingga lulus pada tahun 2003, dan Pendidikan Sekolah Menengah Umum (SMU) diselesaikan pada tahun 2006 di SMU Negeri 1 Cikarang Utara. Penulis diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada tahun 2006 sebagai mahasiswi Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor (FKH IPB) dan lulus pendidikan sarjana kedokteran hewan (SKH) pada tahun 2010. Penulis menempuh pendidikan profesi dokter hewan dan mendapatkan gelar dokter hewan (Drh) dari perguruan tinggi yang sama pada tahun 2012. Penulis mendapatkan kesempatan melanjutkan pendidikan magister (S2) pada tahun 2012 di Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Saat ini juga penulis berperan aktif membantu mata kuliah Higiene dan Sanitasi Pangan (Kesmavet) di S1 dan Diploma IPB.