HAS& DAN PEMBAHASAN
Reidentifiii Bakteri
Isolat Staphylococw sp. asal manusia sebanyak 36 isolat yang ditumbuhkan pada media agar darah menunjukkan ciri ko~oni'den~an tepi rate, cembung, me@&, halus, dengan diameter 0.5-3 mrn dan warm koloni yang bervariasi, yaitu putih, abu-
aby kuning serta kuning keemasan. Sebanyak 11 isolat St~hylococcursp. yang diisolasi dari sapi penderita mastitis subklinis yang ditumbuhkan pada media agar darah menunjukkan morfologi koloni yang hampir sama dengan asal manusia,
perbedaanny6t hanya pada warna koloni yang tampak seperti putih, putih mukoid, dan
kuning (Gambar 3).
Gambar 3. Morfologi koloni &&en S. aureus yang diisolasi dari manusia pada media agar darah.
Alfa hemolisin ditemukan terutama pada strain manusia yang menghasilkan zona lebar dengan hemolisis komplit. Beta hemolisin umumnya terdapat pada strain hewan terutama sapi dengan inkubasi 37°C akan memproduksi hemolisis tidak komplit menjadi komplit, waktu disimpan pada suhu 4°C.
Delta hemolisin menghasilkan
hemolisis yang sempit dan komplit. Hemolisin ini dibentuk oleh strain manusia dan hewan (Bisming dan Amstberg, 1993).
Isolat S. aureus dari manusia menunjukkkan
zona hemolisis alfa (17 isolat), hemolisis beta (10 isolat), hemolisis delta (4 isolat) dan 5 isolat tidak mengalami hemolisis.
Isolat S. aureus dari sapi memperlihatkari
zona hemolisis alfa (3 isolat), hemolisis beta (6 isolat), dan 2 isolat tidak mengalami hemolisis. Dengan menggunakan pewarnaan Gram, yang kemudian diamati secara mikroskopis menunjukkan hampir semua isolat adalah bersifat Gram positif, berbentuk kokus dengan penataan bergerombol seperti buah anggur. Koagulase adalah produk seperti enzim yang dihasilkan oleh S. aureus yang mengubah fibrinogen dalam plasma manusia adanya aktivator dalam plasma. metode tabung.
atau kelinci menjadi fibrin dengan
Uji koagulase ada 2 macam, yaitu metode slide dan
Pada metode slide bila hasilnya
meragukan dilanjutkan dengan
metode tabung (Cruickshank et a ) . , 1973). Katalase adalah enzim yang dihasilkan oleh Staphylococcus. Enzim tersebut berfungsi menghidrolisis hidrogen peroksida menjadi air dan oksigen.
Uji katalase
digunakan untuk membedakan Staphylococcus dengan Streptococcus. Kelompok
Staphylcoccus bersifat katalase positif dan Streptococcus bersifat katalase negatif (Lay, 1994). Sraphylococcus
mempunyai
kemampuan
untuk
memfermentasi
Micrococcus dan Planococcus tidak memfermentasi glukosa.
glukosa.
Ketiga genus tersebut
termasuk d d a m famili micrococcaceae (Joklik et al., 1980). Berdasarkan pengamatan morfologi koloni (makroskopis), morfologi bakteri (mikroskopis) dan uji biokimia meliputi uji glukosa, manitol, katalase, koagulase dan fennentasi terhadap 36 isolat Staphylococcus sp. asal manusia (32 isolat lapang d m 4 isolat Kronvall) dan 11 isolat Sraphylococcus sp. asal hewan, sebanyak 33 isoIat asal manusia dan 7 isolat asal hewan adalah S. aureus. Menurut Cottral (1978) dan Tally (1989), S. aureus mampu menggurnpalkan plasma kelinci (koagulase positif) dan fermentasi manitol. Hasil uji biokimia secara lengkap disajikan pada Tabel 4.
Tnbel 4. Uji biokimia terhadap isolat Staphylococcus sp. asal manusia dan sapi Kode isolat
glukosa
manitol
katalase
korrgulase
+a
-
tb
+
+a
ta
+b
-
fa
+=
fb
+=
fa
-
tb
-
fa
+=
+b
-
Manusia :
19, 57 44 5, 12, 14, 15, 18,29, 33, 35, 36, 37, 38, 41, 42, 43, 45, 47, 48, 50, 51, 52, 53, 54, 56, 59, 66, 5824, 5924, 5974, 5971, Kronvall A, B, C, D Sapi : 2D, 24 - 4
6 3T1,2P1, 101,2C1,2D3, I A l , 3L1 Keterangan
:
+a
-
+'
fa
-tb
+
+b
+C
+a
=
fC= rnenggurnpalkan plasma kelinci
-a
= tidak
-'
+b
mampu memfermentasi rnemfermentasi = rnenghasilkan gelembung udara
.
pb
=
tidak rnenggumpalkan plasma kelinci rnenghasilkan gelembung udara
= tidak
Penentuan Kandidat Penentuan kandidat S. aureus yang memiliki protein A didasarkan pada karakter permukaan bakteri dengan SAT dan kemudian dibandingkan dengan uji Dot BIot.
Salt Aggregation Test (SAT) Hasil uji SAT isolat S. auretls dari manusia mulai menggumpal pada berbagai macarn konsentrasi, yaitu
5 isolat menggumpal pada 0,2 M, 3 isolat pada 0,8 M, 6
isolat pada 1,6 M, 15 isolat pada 3,2 M, dan 4 isolat tidak menggumpal. Sedangkan isolat dari sapi juga mulai menggumpal pada 0,2 M sebanyak 4 isolat, 1 isolat pada 1,6
M dan 2 isolat tidak menggumpal. Hasil uji SAT terdapat pada Tabel 5. Tabel 5. Uji SAT terhadap isolat S. aureus asal manusia dan sapi Kode lsolat
092
Manusia :
18, 42, 53, 5824, Kronvall A 12,45,66 48, 56, 59, 5924,Kronvall B,C 5, 14, 15,29,35,36,37,38, 41, Kronvall D 50, 51,52,54,5751, 33, 43,47,5974
Sapi : 3T1,2P1, 101,ZCl
-
Keterangan :
M
=
+
+
-
-
molar ;+
392
+
+ + +
-
-
-
+
-
-
-
-
-
+
+
+
-
-
+
+
+
-
-
-
-
-
1Al 2D3,3L1
Amoniurn Sulfat (M) 094 08 196
= terbentuk
agregasi ; -
i
= tidak
terbentuk agregasi
+
+ +
+
A. Negatif (tidak terbentuk agregasi) B. Positif (terbentuk agregasi)
Gambar 4. Hasil Salt Aggregation Test (SAT). Bakteri S. aureus yang tidak memiliki protein A tidak menunjukkan reaksi agregasi (A) pada SAT, sedangkan Bakteri S. aureus yang memiliki protein A menunjukkan reaksi agregasi (B). SAT merupakan salah satu uji untuk menentukan keberadaan protein
permukaan bakteri. Uji tersebut berdasarkan atas kemampuan sifat protein yang mudah menggumpal pada larutan amonium sulfat. Bakteri dengan permukaan yang didominasi protein akan mudah diendapkan dengan larutan amonium sulfat konsentrasi rendah, sehingga diiatakan b&eri Se-ya
tersebut bersifat hidrofobii.
bakteri yang mempunyai kapsul polisakarida sangat sulit diendapkan
dengan larutan amonium sulfat konsentrasi rendah dan dikatakan bakteri tersebut bersifat hidrofilik (Wibawan dan Lammler, 1992). Protein antigen permukaan S. aureus (protein A dan fibronectin binding protein) berkontribusi tinggi dalam ha1
hidrofobisitas permukaan strain-strain S. aureus SAT positif (Wibawan dan Liimmler, 1990). Makin rendah konsentrasi amonium sulfat untuk menggurnpalkan suspensi bakteri makin besar kandungan protein pada permukaan bakteri tersebut. Berdasarkan uji SAT isolat S. aureus yang menggumpal pada konsentrasi 0,2 M mempunyai kandungan protein permukaan yang tinggi, namun untuk menjadi kandidat S. aureus yang mempunyai protein A dilakukan uji Dot Blot.
Uji Dot Blot. Uji Dot Blot bersifat kualitatif dan bermanfaat untuk mengevaluasi reaksi antigen (Ag) antibodi (Ab), sehingga pada Blot dapat menunjukkan Ag spesifik atau
Ab.
Sensitivitas uji ini ditentukan oleh enzim yang menandai Ab (Kresno, 1996).
Pada uji Dot Blot 10 isolat S. aureus asal manusia diduga tidak mempunyai protein A dan 23 isolat mempunyai protein A dengan konsentrasi bervariasi dari positif 1 sampai positif 3 seperti ditunjukkan pada Tabel 3. Sedangkan sebayak 2 isolat asal hewan diduga tidak mempunyai protein A dan 5 isolat mempunyai protein A dengan konsentrasi yang bervariasi (Tabel 6).
51
Tabel 6. Uji keberadaan protein AS. aureus asal manusia dan sapi dengan Dot Blot Dot Blot
ode Isolat Manusia : Kronvall A, Kronvall D, 5,47,48,52,54,66,5974,5824 Kronvall B, 12,14,18,29,35,36,38,59,5924 15,37,41, SO Kronvall C, 33,42,43,45,51,53,56,5751 . Sapi : 3L1,2D3 lOl,lAl,2CI 3T1 2P1
Kemh Kemh Kemh Kemh Kemh Kemh Kwh Keruh
-
+
++
+++
++
+++ i+t+
solat at 10 10 4 9
.
2 3 I 1
Kontrol positif :S. m e u s Cowan I (Dot Blot :iii+) Kontrol negatif :S.epidennidis (Dot Blot :-)
ClJl DOT BLOT
Gambar5.Metode Dot-Blot dapat digunakan untuk diskriminasi bakteri yang memiliki protein A (A dan B) dan yang tidak memiliki protein A (C dan Dl.
Gambar 6. Afhmasi protein A pada bakteri kandidat (Sa53 dan Sa2PI) dari berbagai jenis preparasi. Berdasarkan siht biologis protein A yang clapat berikatan dengan fkksi Fc IgG kelinoi, maka uji Dot Blot dapat dipakai untuk melacak keberadaan protein A S. aureus. Protein yang diikat pada membran nitroselulosa dapat mempertahankan
antigenitasnyadan dengan mudah direaksikan dengan Ab.
Staphylococcus aureus yang mempunyai protein A &an mengikat Ab kelinci membentuk kompleks protein A-Ab, yang kemudian direaksikan dengan konyugat
(serum tikus yang mengandung Ab terhadap Ab kelinci dan diberi penanda peroksidase). Protein yang telah berlabel enzim dideteksi dengan m e r e a k s i enzim
dan substrat yaitu l a t a n a-chloronaphtol ditambah Hz02 3% sehingga muncul warna hitam (hasil positif) yang berdegradasi sesuai dengan kandungan proteinnya. Pada isolat yang tidak mempunyai protein A, kompleks protein A-Ab tid& terbentuk sehingga tidak terjadi pengikatan konyugat dan tidak terbentuk warna (reaksi negatif). Kandidat $.aweus sebagai sumber protein A adalah isolat yang mempunyai
kandungan protein tinggi ditunjukkan dengan uji SAT dapat menggumpal pada
amonium sulfat konsentrasi 0,2 M dan uji Dot Blot positif 3 (+++).
Berdasarkan ha1
tersebut S. aureus kode isolat 5 3 asal manusia dan kode isolat 2P1 asal hewan dipilih sebagai kandidat untuk pengujian SA dan SSA.
Sebagai kontrol positif digunakan
S. aureus Cowan 1 dan kontrol negatif digunakan S. epidermidis.
Purifikasi, Karakterisasi dan Penentuan Keberadaan Protein A.
Untuk menegaskan keberadaan protein A pada kedua isolat yang dipilih sebagai kandidat (Sa53 dan SaZPl), maka dilakukan uji Dot Blot terhadap koloni, supernatan dan ekstrak dilanjutkan dengan teknik SDS-PAGE.
Hasil Dot Blot
menunjukkan bahwa protein A pada Sa53 dapat dideteksi dari koloni, supematan dan ekstrak. Sedangkan pada Sa2P1, protein A hanya terdeteksi pada koloni dan ekstrak (Tabel 7). Tabel 7. Uji keberadaan protein A terhadap isolat kandidat S. aureus asal manusia dan sapi dengan Dot Blot Kode IsoIat
Dot Blot
Sa53 (Manusia) Koloni Supematan Ekstrak Protein A Sa2P1 (Sapi) Koloni Supernatan Ekstrak Protein A Kontrol positif: S. aureus Cowan I (Dot Blot : ++++) Kontrol negatif : S. epidermidis (Dot Blot : -)
Gambar 7. Uji keberadaan protein A pada isolat Sa53 dan Sa2P1 dari berbagai preparasi menSDS-PAGE. Protein A dapat dideteksi pada ekstrak protein A Sa53, Sa2P1 dan SaCowanl dengan terbentuknya satu pita protein berberat molekul 42
kDa. Hasil elektroforesis SDS-PAGE menunjukkan satu pita protein dari ekstrak protein A (Sa53, Sa2P1, SaCowanl) dengan berat molekul 42 kDa. Hal ini sesuai dengan penelitian sebelumnya bahwa berat molekul protein A S. aureus sekitar 13-45 kDa (Forsgren, 1970; Boyle dan Reis, 1987; Kusunoki et al., 1992; Takeuchi et al.,
Pada supernatan tidak terlihat adanya pita. Hal ini kemungkinan disebabkan konsmtrasi protein A yang diselcresilcau Saureus terlalu sedikit, sehingga tidak terliit pada elektroforesis SDS-PAGE. Menurut Takeuchi et al. (1995) beberapa strain methicillin resistant S.aureus (MRSA) pada pertumbuhan eksponensial dapat
mensekresi protein A ekstraseluler, sehingga protein A dapat dijumpai pada supernatan dari kultur, namun konsentrasinya bervariasi tergantung pada strain dan teknik deteksi yang digunakan (Harlow dan Lane, 1988; Takeuchi et a l . , 1995; Cunningham el al., 1996). Sedangkan menurut Takeuchi et al. (1988), adanya protein A di supernatan yang sedikit karena sitolisis sel bukan karena sekresi protein A oIeh bakteri. Uji SA dan SSA terhadap koloni Sa53 dan Sa2P1 menunjukkan bahwa kedua isolat kandidat mempunyai protein A, ditunjukkan dengan terbentuknya koloni kompak pada SSA serum kelinci dan koloi~idifus pada SSA serum ayam (Tabel 8).
Tabel 8. Uji keberadaan protein A terhadap isolat kandidat S. aureus asal manusia dan sapi dengan SA dan SSA Serum Soft Agar Ayam Kelinci
Kode Isolat Sa53 (Manusia) Koloni Sa2P 1 (Hewan) Koloni
Difus
Kompak
Difus
Difus
Kompak
Difus
Kontrol positif: S. aureus Cowan I (koloni kornpak pada SSA kelinci) Kontrol negatif : S.epidermidis (koloni difus pada SSA kelinci)
Untuk membuktikan bahwa perubahan bentuk koloni yang terjadi sebagai akibat interaksi antara protein A dengan Ig, maka dilakukan teknik SSA dengan berbagai konsentrasi Ig kelinci yang telah dimurnikan mengganti serum kelinci (Tabel 10, Gambar 7).
Sebanyak 15 ml serum kelinci dimurnikan dengan menggunakan
metode presipitasi secara bertahap, yaitu menggunakan amonium sulfat jenuh dan ion exchange chromatography DEAE cellulose.
Ikatan protein pada matriks dielusi
dengan 200 mM NaCl menghasilkan satu fraksi (Fl) sejumlah 10 rnl, selanjutnya ikatan protein pada matriks yang terelusi dengan 400 mM NaCI menghasiikan satu
fraksi F2 sejumlah 1 ml. Pemeriksaan kandungan protein pada masing-masing fraksi menggunakan teknik spektrofotometer, menghasilkan FI sebanyak 3,7560 m d m l dan F2 sebanyak 1,5320 m g h l (Tabel 9). Tabel 9.
Hasil Pemeriksaan Imunoglobulin G dan Penentuan Kandungar~ Protein dengan Menggunakan Spektrofotometer Fraksi
Absorban
Konsentrasi Protein (mglml)
F1
1.214
3.7560
F2
0.495
1.5320
Untuk melihat kemurnian protein yang diperoleh dalam masing-masing fraksi dilakukan scanning spektrofotometer dengan panjang gelombang 200-500 nm. Pada pemeriksaan menggunakan scanning spektrofotometer, semua protein terelusi pada setiap fraksi terbaca optimal pada panjang gelombang 280 nrn. Hal ini membuktikan bahwa dalam setiap fraksi hanya terkandung komponen protein imunoglobulin.
S. aureus protein A positif pada Soft Agar dengan berbagai konsentrasi imunoglobuIin kelinci
Tabel 10. Pertumbuhan bakteri
K o d e Isolat
SopAgar dengan Ig (mglml)
Soft Agar 0,0188
0,0376
0,094
0,188
0,376
Sa53
Difus
Kompak
Kompak
Kompak
Kompak
Kompak
Sa2P 1
Difus
Kompak
Kompak
Kompak
Kompak
Kompak
SaCowanl
Difus
Kompak
Kompak
Kompak
Kompak
Kompak
S. epidermidis
Difus
Difus
Gambar 8.
Uji kemurnian protein Ig kelinci yang telah diisoiasi dengan presipitasi .vca~~tzin~ amonium sulfat dan DEAE-Sephacei menggunakan spektrofotorneter. terlihat dengan pembentukan puncak O~ecrk)fraksi 1(A) dan fraksi 2 (B) pada h 280 nm.
Protein Ig kelinci murni terlihat dengan pembentukan puncak (peak) pada h
280 nm. Hasil penelitian menunjukkan baik SaS3 maupun Sa2P1 yang rnerniIiki protein A membentuk koloni kornpak pada SA yailg diberi Ig kelinci murni berbagai konsentrasi.
Sebagai kontrol positif dilakukan pula pada SaCowanl dan kontrol
negatif dengan S. epidermzdis. Meskipun interaksi yang t e j a d i pada teknik SSA ini adalah protein A dengan Ig, namun untuk kebutuhan screet~i?igkeberadaan protein A pada isolat lapang, penggunaan serum lebih praktis dan lebih mudah, sehingga dalam penelitian ini dapat diusulkan penamaan teknik tetap menggunakan teknik SSA.
Menurut Forsgren dan Sjoquist (1966) protein A berikatan sangat baik dengan molekul IgG pada rantai H dari IgG normal ataupun IgG dari sel myeloma. Sedangkan pada rantai L dari IgG, protein A tidak berikatan. Ikatan protein A sangat kuat pada fragmen Fc IgG. P e l a c a k a n p r o t e i n A p a d a isolat l r p a n g mcnggunakan teknik SA dan SSA.
Untuk menguji keandalan teknik SSA mendeteksi protein A pada permukaan S. aureus isolat lapang, maka dilakukan screening protein A terhadap isolat lapang. Dari 33 isolat asal manusia, protein A dapat dideteksi pada 22 isolat (66.67%) dan yang tidak memiliki protein A sebanyak 11 isolat (33.33%). Sedangkan dari 7 isolat asal sapi, protein A dapat dideteksi pada 5 isolat (71.43%) dan yang tidak memiliki protein A sebanyak 2 isolat (28,57%).
Tabel 11.
Uji keberadaan protein A S. aureus isolat asal manusia dan sapi dengan SA dan SSA K o d e Isolat
Manusia : 12, 14, 15, 18,29, 33, 35, 36, 37, 38, 42, 45, 50, 51,53, 56, 59, 5924, 5751, 41, Kronvall C,B 5,43,47,48,52,54,5824,66, 5974, Kronvall A, D Sapi : 2C1,3T1, 101,2P1,1Al 3L1,2D3
Agar
Serum Soft Agar Kelinci Ayam
Keruh
Difus
Kornpak
Difus
66.67
Keruh
,,ifus
Difus
Difus
33.33
Keruh Keruh
Difus Difus
Kompak Difus
Difus Difus
28.57
THB
So/r
Kontrol positif : S. aureus Cowan I (Dot Blot : ++++) Kontrol negatif: S. epidermidis (Dot Blot : -)
O / o
71.43
Tabel 12.
Perbandingan uji SSA dan Dot Blot terhadap keberadaan protein A S. nureus asal manusia dan sapi SSA Keliztci
Kode Isolat
Dot Blot
C
lsolat
Manusia : Kronvall A, Kronvall D. 5,47.48. 52. 54. 57. 5974, 5824 r r
Kronvall B, 12, 14, 18,29, 35, 36, 38, 59, 5924 15,37,41,50 Kronvall C, 33,42, 45, 5 1, 53, 5 6 , 5751
r
43
Kornpak Kompak Kompak Dihs
Sapi : Difus Kompak Kompak Kompak
3L1,2D3 101,1A1,2Cl 3T1 2P1
Kontrol positif : S. auretcs Cowan I (Dot Blot Kontrol negatif : S epiderutidis (Dot Blot : -)
2
++
+++ ++++
3 1 1
:H * )
Pada penelitian ini untuk mengetahui keberadaan protein A pada perrnukaan sel S. aureus digunakan teknik sederhana, yaitu teknik SSA. Keistimewaan uji ini adalah
dapat mendeteksi protein A S. crrrre2r.s yang terekspresikan, sehingga bakteri yang dinyatakan mernpunyai protein A dengan uji ini
dapat digunakan sebagai rnatriks
protein A pada uji koaglutinasi. Teknik ini didasarkan
atas kemitmpuan protein A
berikatan dengan reseptor Fc IgG berbagai spesies marnalia. Protein A tidak dapat berikatan dengan bagian Fc IgY ayam (Harlow dan Lane, 1988). Staphylococczis
aureus yang mengandung protein A koloninya kompak
pada SSA
sedangkan pada SA
dengan serum normal
dan SSA
kelinci
dengan serum normal ayam
koloninya difus. Koloni yang kompak tersebut terjadi karena hambatan pertumbuhan
S. aureus oleh serum normal kelinci akibat ikatan protein A dengan bagian F c IgG. Koloni S. auretrs pada SA dan SSA dengan serum normal kelinci atau serum normal ayam berbentuk difus, maka ha1 tersebut terdapat dua kemungkinan, yaitu S. azrreus
tidak memiliki protein A atau mengandung protein A tetapi tertutup oleh kapsul bakteri. Hasil uji SSA dibandingkan dengan hasil uji Dot Blot dapat dilihat pada Tabel 12 di atas.
,9. Uji Serum Soft Agar. Balcteri S. aurew yang tidak memiliki protein A membentuk koloni difUs pada SSA dengan serum keliici (A), sedangkan bakteri S. aurew yang memiliki protein A membentuk koloni kom* - @a SSA dengan -r serum kelinci (B). I '
Strain-strain yang membentuk koloni kompak pada SSA dengan serum kelinci dengan uji Dot Blot menunjukkan hasid positif.
S e b a l i i a pada strain yang
membentuk kolom d i b pada SSA dengan serum kelinci, uji Dot Blot menunjukkan hasil negatif. Perbedaan mekanisrne interaksi antara penentuan serotipe Streptococcus grup B (SGB) yang dilakukan oleh Wibawan (1993), khususnya untuk penentuan ca dan
cp, interaksi yang terjadi pada penentuan serotipe ini adalah adanya ikatan antara antigen spesifik c a dan c p dengan Fab Ig spesifik terhadap masing-masing antigen. Sedangkan pada penelitian ini, interaksi terjadi antara Protein A di perrnukaan sel bakteri dengan fraksi Fc Ig kelinci. Pada isolat S. aureus 43, uji Dot Blot memberikan hasil positif yang berarti mempunyai protein A, narnun pada SSA serum kelinci dan SSA serum ayam membentuk koloni difus; ha1 ini Kemungkinan disebabkan karena adanya kapsul. Kapsul menghalangi ikatan protein A dengan Fc IgG sehingga pertumbuhan bakteri tidak dihambat dan membentuk koloni difus pada SSA. Strain S. aureus lain yang membentuk koloni difus pada SSA serum kelinci dan SSA serum ayam adalah S.aureus yang tidak memiliki protein A (Dot Blot negatif), bukan karena pengaruh kapsul yang mungkin dimilikinya.
Kapsul pada S. aureus
dikenal sebagai mikrokapsul (Wilkinson, 1983 daIarn Mathews ef al., 1991) atau pseudokapsul (Watson dan Watson, 1989 dalam Mathews et a l . , 1991) dan bukan sebagai true capsule (Wiley, 1972 dalam Mathews et al., 1991). Menurut Mathews et al. (1991) hanya 4 % strain-strain yang dipasase di laboratorium dan pada subkultur mengekspresikan kapsul.
Selama kultur pada perbenihan Agar Darah , produksi
kapsul akan hilang dengan cepat. Sedangkan Rather et al. (1986) dalarn Mathews e f al. (1991) S. aureus tumbuh membentuk koloni difus pada SSA serum kelinci bila langsung dikultur dari susu, tetapi setelah subkultur pada media artifisial, koloni difus akan hilang. Hal ini membuktikan bahwa tidak ada S. aureus yang mempunyai kapsul sesungguhnya, melainkan memproduksi slime (lendir).
Baselga et al. (1994)
memperkuat pernyataan di atas bahwa 85-100 % S. aureus dari susu segar membentuk koloni difis pada SSA serum kelinci, tetapi setelah subkultur in vitro akan membentuk koloni kompak pada SSA serum kelinci. Kapsul dapat muncul kembali setelah pasase in vivo pada kelenjar ambing sapi atau in vitro pada medium milk whey.
Penggunaan teknik sandwich (tidak langsung) dengan menggunakan interaksi antara protein A dengan serum kelinci dan konyugat Ig mencit anti Ig kelinci memberikan efek amplifikasi terhadap pemunculan dan intensitas warna pada uji Dot Blot.
Teknik tidak langsung ini dilakukan, disamping untuk memperoleh efek
amplifikasi juga agar reaksi yang terjadi lebih spesifik dan n~enghindarkanreaksi positif palsu yang sering terjadi pada teknik langsung menggunakan konyugat.
Sensitifitas dan Spesifisitas Menurut Martin ef al. (1987), suatu uji dinyatakan sensitif apabila uji tersebut mampu medeteksi hasil yang positif bila penyakit tersebut benar-benar ada, dengan kata lain dapat juga dinyatakan bahwa makin sensitif suatu uji maka ia mampu mendeteksi
adanya suatu penyakit
meskipun
kadarnya masih
sangat
rendah.
Sedangkan suatu uji &nyatakan spesifik apabila uji tersebut mampu mendeteksi hasil yang negatif bila penyakit yang diuji benar-benar tidak ada, dengan kata lain dapat juga dinyatakan bahwa makin spesifik suatu uji maka ia hanya mampu mendeteksi agen tertentu saja. Mengacu pada definisi di atas pada penelitian ini makin sensitif suatu uji maka ia mampu mendeteksi adanya protein A meskipun kadarnya masih sangat rendah. Sedangkan makin spesifik suatu uji maka ia mampu mendeteksi protein tertentu saja.
Hasil analisis data mengenai sensitifitas dan spesifisitas dari uji SSA dibandingkan dengan uji Dot Blot pada Tabel 13, terlihat bahwa uji SSA mempunyai sensitifitas 96,42% dan spesifisitas 100%. Dengan demikian uji SSA mempunyai kemampuan yang sangat tinggi untuk mendeteksi keberadaan protein A yang terekspresi pada permukaan S.aureus. Tabel 13. Resultan klasifikasi silang 40 isolat S. aureus menurut status keberadaan protein A dengan uji Dot Blot dan hasil screening keberadaan protein A menurut uji SSA.
Hasil uji SSA
Status keberadaan protein A (uji Dot Blot) +
K
27
0
D
1
12
28
12
K: koloni kompak + : S. aureus yang memiliki protein A D: koloni difus - : S. aureus yang tidak memiliki protein A Sensitifitas = 27/28 x 100% = 96,42% Spesifisitas = 12/12 x 100% = 100% Metode Pengawetan Wibawan dan Pasaribu (1 993), menyatakan bahwa untuk mendapatkan kondisi reagen yang baik dan memiliki daya simpan yang relatif lama (1-2 tahun), diperlukan suatu tahapan teknologi, misalnya teknologi pengawetan reagen.
Selain itu, variasi
s&u penyimpanan terhadap kuaIitas reagen yang akan dibuat untuk tujuan diagnostik perlu mendapat perhatian. Serum spesifik terhadap bakteri SGC 5.60 diperoleh dengan cara menyuntikkan kelinci dengan bakteri SGC 5.60 yang telah diinaktifkan dengan penangasan pada suhu
60°C dengall metode berurutan (segzrmtinl rnethode). Kelinci akan membentuk Ab spesifik terhadap bakteri SGC 5.60. Serum yang dipanen menunjukkan reaksi spesifik terhadap ekstrak bakteri SGC 5.60 pada uji imunodifusi (AGPT) dan koaglutinasi. Serum spesifik ini tidak menunjukkan reaksi dengan ekstrak bakteri lain.
Serum
spesifik ini selanjutnya digunakan pada teknik pengawetan untuk diikat dengan matriks protein A (whole cell) yang telah diawetkan dengan berbagai metode pengawetan dan untuk uji koaglutinasi (kit diagnostik) Tabel 14. Hasil pengawetan terhadap matriks protein A
Reagen
Matriks Protein A
Matriks Protein A
Jenis Pengawetan Pemanasan Formaldehida 0,5% (waktu) ("C, 1jam) 8 0 OC 1 jam 2 jam 3 jam 1 jam 80 OC 2 jam 3 jam 80 OC 1 jam 2 jam 3 jam 1 jam 80 OC 2 jam 3 jam
Diikat Ab SGC 5.60
-~ Daya tahan (waktu)
-
1
+ + + t t t
+
1 hulan 2 bulan 2 bulan 2 bulan 6 bulan 6 buIan 1 tahun 1 bulan 2 bulan 2 bulan 2 bulan 6 bulan 6 bulan 1 tahun
I
- = tidak diikat dengan Ab spesifik terhadap SGC 5.60 pada penyimpanan 4 OC
+ = diikat dengan Ab spesifik terhadap SGC 5.60 pada penyimpanan 4 OC Pada penelitian ini perlakuan pengawetan dengan menggunakan formaldehida
0,5% selama 3 jam dan pemanasan 80°C selama 1 jam terhadap matriks protein A, baik matriks protein A yang kemudian diikat dengan Ab spesifik kelinci terhadap SGC
5.60 maupun yang tidak diikat pada penyimpannya, memperlihatkan hasil yang paling baik. Dalam ha1 ini pada reagen yang diawetkan masih memiliki aktivitas protein A setelah 1 tahun disimpan pada suhu 4°C (Tabel 14). Formaldehida berfingsi untuk menjaga
kekompakan bentuk
atau
keutuhan
sel, matriks
yang
tidak
diberi
formaldehida mempunyai tendensi untuk menggumpal jika disimpan pada 4°C. Sedangkan untuk menghilangkan sisa formaldehida yang memberi efek dapat menutupi Ag, dilakukan pencucian berulangkali.
Pemanasan dimaksudkan untuk
membunuh bakteri dan kontarninan jika ada (Lesmana et al. 1980). Menurut Jawetz et al., 1996, pemanasan selain membunuh kontaminan juga sebabkan pembentukan
"protein syok panas" yang tahan terhadap panas dan stabil. Narnun demikian, hasil pengawetan seperti tercantum pada Tabel 14 tidak berlaku apabila reagen yang diawetkan dibuka dari kemasannya.
Pada pengawetan
dengan pemanasan 80°C selama 1 jam (A), masih menunjukkan aktivitas protein A selarna satu rninggu dan setelah itu menunjukkan adanya self agglutination. Sedangkan pada metode pengawetan lainnya masih menunjukkan aktivitas protein A sampai satu bulan.
Aplikasi protein A untuk pengembangan kit diagnostik
Kedua isolat kandidat digunakan untuk pembuatan matriks protein A yang diikatkan dengan antibodi SGC 5.60. Pada uji koaglutinasi dengan menggunakan matriks protein A yang telah diikat dengan serum spesifik terhadap SGC 5.60, direaksikan dengan antigen SGC 5.60 menunjukkan aglutinasi yang jelas dan sebagai kontrol positif dipakai S. aureus Cowan I (Tabel 15).
Tabel 15. Penggunaan kandidat koaglutinasi
'
aurem sebagai pembeban antibodi untuk uji
Isolat + Antibodi Sa 53 + Ab SGC 5.60 Sa2P1+ Ab SGC 5.60 Sdowan I+ Ab SOC 5.60 :aglutinasi kuat ;
Antigen SGC 5.60
++++ :Bplutinasi sangat kuat
J
Gambar lo. Uji koagl-i dengan menggmah matriks protein A Sa53 yang telah diikat dengan serum spesifik terhadfq SGC 5.64 dhaksikan dengan antigen SGC 5.60. Hasii positif terbentuk koaglutinasi (A) dan hasil negatif tidak terbentuk koaglutinasi (B). Uji koaglutinasi merupakan salah satu uji serologi untuk mendiagnosa penyakit yang disebabkan bakteri atau virus. Pengujian berdasarkan reaksi aglutinasi adalah metode serologi klasik untuk mendeteksi Ag atau Ab. Umumnya aglutinasi terjadi bila
Ag yang berbentuk partikel direaksikan dengan Ab spesifik (Kresno, 1996). Pada kit diagnostik ini digunakan protein A yang terikat dengan sel bakteri S. aureus (matriks protein A), sehingga mudah diperoleh, diproduksi dalam jumlah besar dan disimpan dalam waktu yang lama. Uji koaglutinasi dengan menggunakan kedua isolat kandidat memberikan hasil yang cukup memuaskan.
Hal tersebut berarti kedua isolat kandidat dapat dipakai
untuk membuat matriks protein A yang digandengkan dengan antibodi untuk tujuan pembuatan kit diagnostik.