Report Title : Public Summary of High Conservation Value, Full Assessment Report, PT Usaha Agro Indonesia (PT UAI) *[in Bahasa Indonesia] Date of Report : June 20th, 2016 Lead Assessor : Iwan Setiawan ALS License : Provisionally Licensed Assessor (ALS15039IS) Contact Information : PT Gagas Dinamiga Aksenta Jl. Gandaria VII/10 Kebayoran Baru. Jakarta 12130-Indonesia Tel : +62-21-7396518 Email :
[email protected],
[email protected] HCV Assessment Team : Iwan Setiawan, Nandang Mulyana, Aulia Bahadhori Mukti, Reza Abdillah Organisation Commisioning the Assessment : PT Usaha Agro Indonesia Jl.Basuki Rahmat, No. 788, Palembang, Sumatera Selatan, 30127; Telp/ 0711-813388, Fax. 0711-7423560. Location : Ketapang Regency, Central Kalimantan Province, Indonesia Assessment Period : 24 February - 4 March 2016 Planned land use for assessment area : Oil Palm Plantation Size of Assessment Area (ha) : 2,500 ha Legal Status of Asserssment Area : Licency Permit (Area Izin Lokasi) Total HCV Management Area (ha) : 5,4 ha Certification Scheme : RSPO Peer Reviewed : June, 2016 by Yana Suryadinata Email Peer Reviewer : Email:
[email protected] ALS Tier Rating : TIER 1 (Provisionally Licensed)
Ringkasan Publik Kajian HCV PT Usaha Agro Indonesia
i
Ringkasan Publik Kajian HCV PT Usaha Agro Indonesia
ii
Daftar Isi Daftar Isi ....................................................................................................................... iii 1. Pendahuluan dan Latar Belakang ........................................................................................ 1 2. Deskripsi Wilayah Kajian ................................................................................................... 1 3. Anggota Tim ....................................................................................................................... 2 4. Metoda ........................................................................................................................ 3 4.1. Penghimpunan data dan informasi di lapangan ........................................................... 3 4.2. Analisis data dan pemetaan area HCV ........................................................................ 4 4.3. Konsultasi Publik ........................................................................................................ 4 4.4. Jadwal Pelaksanaan ..................................................................................................... 4 5. Hasil ........................................................................................................................ 7 5.1. Konteks Nasional dan Regional .................................................................................. 7 5.2. Konteks Lansekap ....................................................................................................... 8 5.2.1. Tata Guna Lahan ............................................................................................... 8 5.2.2. Kawasan Konservasi dan Penutupan Lahan ..................................................... 9 5.2.3. Sejarah lahan ................................................................................................... 11 5.3. Keanekaragaman Hayati ........................................................................................... 11 5.4. Kontek Lingkungan Fisik .......................................................................................... 12 5.5. Konteks Sosial Ekonomi dan Sosial Budaya Masyarakat ......................................... 16 5.6. Hasil-Hasil dan Justifikasi ......................................................................................... 18 5.6.1. Keberadaan Area HCV ................................................................................... 18 5.6.2. Keberadaan Area HCV 1 ................................................................................ 20 5.6.3. Keberadaan HCV 2 ......................................................................................... 21 5.6.4. Keberadaan HCV 3 ......................................................................................... 22 5.6.5. Keberadaan HCV 4 ......................................................................................... 23 5.6.6. Keberadaan HCV 5 ......................................................................................... 24 5.6.7. Keberadaan HCV 6 ......................................................................................... 25 5.7. Luas dan Sebaran Area HCV dan HCMA................................................................. 26 5.8. Konsultasi dengan Pemangku Kepentingan .............................................................. 29 6. Pengelolaan dan Pemantauan HCV .................................................................................. 31 6.1. Rekomendasi Pengelolaan dan Pemantauan ............................................................. 32 6.2. Mitigasi Ancaman ..................................................................................................... 32 6.3. Pengukuhan area, Penyadartahuan dan Penguatan Kapasitas ................................... 34 Daftar Pustaka ...................................................................................................................... 35
Ringkasan Publik Kajian HCV PT Usaha Agro Indonesia
iii
1.
Pendahuluan dan Latar Belakang
PT Usaha Agro Indonesia (PT UAI) merupakan perusahaan pengembang usaha perkebunan kelapa sawit dan pengolahannya. Areal perkebunannya di Provinsi Kalimantan Barat. PT UAI menjadi anggota The Rountable on Sustainable Palm Oil (RSPO) sejak 9 Juni 2011 No. TNI-RSPO-009.2010. RSPO memberi perhatian atas keberadaan area High Conservation Value (HCV) di areal perkebunan kelapa sawit para anggotanya. Kegiatan penilaian dan pengelolaan area HCV (melindungi, memelihara, meningkatkan nilai dan fungsinya, serta memantaunya) merupakan sebagian persyaratan untuk memenuhi sertifikasi RSPO, terutama pada kriteria 5.21 dan 7.32. PT UAI akan memulai kegiatan perluasan pembangunan kebun kelapa sawit di areal Izin Lokasi seluas 2.500ha. Sebelum pembukaan dan penanaman kelapa sawit, PT UAI memandang penting melakukan kajian HCV pada kedua kebun tersebut. Atas pertimbangan tersebut maka PT UAI melakukan kajian area HCV dengan melibatkan PT Gagas Dinamiga Aksenta (Aksenta). Aksenta telah terdaftar sebagai anggota afiliasi RSPO untuk melaksanakan penilaian sosial dan lingkungan pada beberapa perusahaan kelapa sawit dan memiliki pengalaman dalam melakukan penilaian HCV di beberapa negara seperti Indonesia, Malaysia dan Papua Nugini. Maksud dari pelaksanaan kajian area HCV di areal Izin Lokasi PT UAI adalah untuk memenuhi persyaratan Prinsip dan Kriteria RSPO pada kriteria 5.2, 7.3 dan persyaratan NPP (New Planting Prosedure). Adapun tujuan dari kegiatan ini sebagai berikut: 1) Mengidentifikasi dan memetakan keberadaan area HCV berdasarkan status terkini dari area-area HCV dan atribut-atribut atau elemen-elemen kunci HCV, termasuk tekanan atau ancaman kelestariannya di areal Izin Lokasi PT UAI; 2) Menyusun rekomendasi untuk perlindungan, pengelolaan, dan pemantauannya sebagai bahan utama untuk penyusunan Rencana Pengelolaan HCV di areal Izin Lokasi PT UAI.
2.
Deskripsi Wilayah Kajian
Lingkup kajian HCV mencakup areal Izin Lokasi PT UAI seluas 2.500 ha. Letak wilayah kajian berada di wilayah administrasi Desa Jambi (Kecamatan Manis Mata) dan Desa Danau Buntar (Kecamatan Kendawangan), Kabupaten Ketapang, Provinsi Kalimantan Barat. Letak geografinya pada 2038’02,06” - 2042’28,63” LS, 110055’39,12” - 111003’57,39 BT. Peta situasi wilayah kajia tersaji pada Gambar 2.1. Wilayah kajian berbatasan di sebelah Utara dengan HGU PT Usaha Agro Indonesia. di sebalah Tmur dengan PT API dan Sungai Manis Mata, di sebelah Selatan dengan HGU PT KPAM dan di sebelah Barat dengan PT Mayangkara Tanaman Industri dan Sungai Berais. Status spesies langka, terancam, atau terancam punah dan habitat High Conservation Value lainnya, apabila ada, yang terdapat di dalam perkebunan atau yang dapat terpengaruh oleh manajemen perkebunan atau pabrik kelapa sawit, harus diidentifikasi dan kegiatan-kegiatan operasional harus dikelola sedemikian rupa untuk menjamin bahwa spesies dan habitat tersebut terjaga dan/atau terlindungi dengan baik. 2 Penanaman baru sejak November 2005 tidak menggantikan area hutan primer atau area lain yang dibutuhkan untuk memelihara atau meningkatkan sedikitnya salah satu dari High Conservation Values. 1
Ringkasan Publik Kajian HCV PT Usaha Agro Indonesia
1
Gambar 2.1. Peta situasi kajian di areal Izin Lokasi PT UAI Izin Lokasi PT UAI berdasarkan SK Bupati Ketapang No. 566/PEM/2015 tanggal 14 Agustus 2015. Areal Izin Lokasi PT UAI untuk keperluan pembangunan perkebunan kelapa sawit. Legalitas operasional lainnya berupa penyelesaian dokumen Addedum ANDAL dan RKLRPL Perkebunan dan Pabrik Pengolahan Kelapa Sawit. Saat ini, tahapannya dalam proses konsultasi publik di Kabupaten Ketapang, Provinsi Kalimantran Barat. Pada saat ini, Izin Usaha Perkebunan (IUP) masih dalam proses. Areal Izin Lokasi PT UAI tumpang tindih dengan areal HGU PT UAI seluas 379,64ha (298,26ha di UAE dan 81,38ha di KAE). Areal tumpang tindih ini berada di blok bagian selatan. Areal tersebut telah menjadi bagian dari kajian HCV di areal HGU PT UAI pada tahun 20103..
3.
Anggota Tim
Pelaksanaan kajian HCV di areal Izin Lokasi PT UAI oleh Aksenta (PT Gagas Dinamiga Aksenta) yang beralamat di Jl. Gandaria VIII/10, Kebayoran Baru, Jakarta 12130, telephone.fax +62 21 739-6518, e-mail
[email protected]. Tim pelaksana tersaji pada Tabel 3.1.
3 PT UAI, 2010. Dokumen Kajian High Conservation Area pada Areal PT Usaha Agro Indonesia. Kerjasama Fakultas Kehutanan IPB dan PT UAI
2
Tabel 3.1. Uraian singkat mengenai nama, kualifikasi, keahlian, dan peran di dalam tim kajian Nama
Lisensi ALS
Lembaga
Peran
Keahlian Penelitian dan survey satwa liar, pengelolaan satwa liar, ornithologist, fasilitator community biodiversity assessment, pemetaan partisipatif, melakukan kajian HCV sejak tahun 2012
Iwan Setiawan
[email protected]
Provisional ALS15039IS.
Aksenta
Ketua Tim, bidang kajian biodiversitas (HCV1-3)
Nandang Mulyana
[email protected]
Provisional ALS15037NM. Aksenta .
Anggota tim, bidang kajian sosial-budaya (HCV5 dan HCV6)
Ilmu sosial dan budaya melakukan kajian HCV sejak tahun 2010
Aksenta
Anggota Tim, bidang kajian jasa lingkungan (HCV4)
Hydrologist, konservasi tanah, analisis spasial dan remote sensing, sistem pengelolaan air, melakukan kajian HCV sejak tahun 2010
Aksenta
Anggota Tim, bidang kajian sosial-budaya (HCV5 dan HCV6)
Ilmu sosial dan budaya melakukan kajian HCV sejak tahun 2010
Aksenta
Anggota Tim, Spesialis GIS
Analisis spasial dan remote sensing, Analisis perubahan tutupan lahan,
Fersely G F Salmon
[email protected]
T. Ade Fachlevi
[email protected] Pramitama Bayu Saputro
[email protected]
4.
N/A
N/A
N/A
Metoda
Metode pelaksanaan kajian HCV dengan menggunakan beberapa referensi untuk mengidentifkasi area HCV, yaitu (i) The High Conservation Values Forest Toolkit (ProForest, 2003), (ii) Panduan Identifikasi Kawasan Bernilai Konservasi Tinggi Di Indonesia (Konsorsium Revisi HCV Toolkit Indonesia, 2008), (iii) Common Guidance of the Identification of High Conservation Values (HCVRN, 2013) dan (iv) Common Guidance for the Management and Monitoring of HCVs (HCVRN, 2013). Kajian HCV menggunakan Manual Penilaian HCV yang diterbitkan HCVRN (2014) untuk Skema Linsensi Penilai Tahun 2015.
4.1.
Penghimpunan data dan informasi di lapangan
Pendekatan step-wise screening digunakan untuk menyelaraskan informasi yang diperlukan sesuai dengan skala referensi. Skala referensi kajian HCV 1-3 mencakup tingkat global, regional dan nasional, kemudian dilakukan ground truthing. HCV 4-6 dikaji dengan penekanan pada lansekap atau tingkat lokal, kemudian diverifikasi di lapangan. Pelaksanaan
Ringkasan Publik Kajian HCV PT Usaha Agro Indonesia
3
kajian HCV ini mencakup pre-assessment, penghimpunan data lapangan, konsultasi publik, analisis dan pemetaan HCV hingga penyusunan laporan.
4.2.
Analisis data dan pemetaan area HCV
Seluruh titik koordinat area dari atribut atau elemen HCV dipetakan pada peta kerja. Informasi mengenai deskripsi area dari atribut atau elemen HCV digunakan untuk mengidentifikasi area di lokasi bersangkutan dengan karakteristik lapangan yang serupa berdasarkan hasil interpretasi citra satelit. Karakteristik lapangan yang serupa ini, untuk HCV keanekaragaman hayati dan area HCV sosial budaya, berupa tipe tutupan lahan atau tipe ekosistem yang serupa (misalnya hutan rapat, hutan sekunder, semak belukar, karet-campur, danau, sungai, rawa). Untuk HCV jasa lingkungan, karakteristik lapangan yang serupa dapat berupa daerah berlereng terjal, aliran sungai, sempadan sungai, sempadan badan air terbuka, atau daerah depresi (rendahan, cekungan). Pembuatan peta area HCV indikatif untuk masing-masing bidang kajian. Ada keluaran tiga peta yang berupa, (i) peta area HCV indikatif keanekaragaman hayati (tipe HCV 1-3), (ii) peta area HCV indikatif jasa lingkungan (tipe HCV 4), dan (iii) peta area HCV indikatif sosial budaya (tipe HCV 5-6). Selanjutnya, ketiga peta ini digabungkan menjadi peta area HCV indikatif. Untuk menghasilkan peta area HCV definitif perlu dilakukan survei lapangan lanjutan berupa kegiatan delineasi (pengambilan titik-titik koordinat di lapangan) atas batas-batas area HCV indikatif. Hasil dari proses delineasi ini selanjutnya dipetakan sebagai revisi atas batas-batas indikatif area HCV yang dihasilkan dari kajian HCV ini.
4.3.
Konsultasi Publik
Kegiatan konsultasi publik intinya dilakukan dalam setiap tahapan kegiatan. Konsultasi publik berupa pertemuan tatap muka dilaksanakan dengan menghadirkan wakil-wakil dari pihakpihak kunci (key stakeholders) di wilayah kajian, baik dari masyarakat sekitar (tokoh-tokoh masyarakat, pemerintahan desa), instansi pemerintah kecamatan, institusi-institusi di lingkungan pemerintah kabupaten yang relavan, lembaga-lembaga non-pemerintah yang bekerja di sekitar wilayah kajian, juga perusahaan-perusahaan yang beroperasi di sekitar wilayah kajian. Tujuan pokok kegiatan pertemuan konsultasi publik adalah untuk: (i) menyampaikan temuantemuan lapangan dan hasil analisis lapangan dari Tim Kajian HCV, (ii) memperoleh data dan informasi tambahan dan klarifikasi atas temuan lapangan, dan (iii) memperoleh masukan untuk penyusunan laporan dan rekomendasi serta penyusunan Rencana Pengelolaan HCV.
4.4.
Jadwal Pelaksanaan
Pelaksanaan kajian HCV di wilayah kajian terhitung sejak tanggal 24 Pebruari hingga 4 Maret 2016. Jadwal ringkas kegiatan kajian HCV tersebut tersaji pada Tabel 4.1:
4
Tabel 4.1. Jadwal pelaksanaan kegiatan kajian HCV di areal Izin Lokasi PT UAI Tahapan
Tujuan
Pra Kerja Lapang Kajian Pendahluan dan Persiapan
• Mengidentifikasi indikasi keberadaan atribut • • •
•
Kerja Lapang Pertemuan Pembuka dan pelatihan dasar HCV
Pemetaan Partisipatif
Kegiatan • Mengumpulkan data
awal dan informasi dari manajemen perusahaan pada pengembangan perkebunan dan status manajemen. • Mengumpulkan data awal dan informasi dari sumber sekunder (laporan, makalah, buku, data statistik dan peta dasar) dan informan. • Melakukan datya dan analisis spasial
atau elemen HCV, Mengidentifikasi dan memetakan area-area yang berpotensi HCV, Memahami lebih baik konteks lansekap, Mengetahui isu-isu konservasi, pemanfaatan sumberdaya alam dan lahan, serta potensi ancaman terhadap HCV, dan Menetapkan metode, rancangan survei, tim pelaksana kajian, dan tata waktu kegiatan lapangan
•
Konsultasi Publik
24– 26 Pebruari 2016, Jakarta.
• • Mengkomunikasikan tujuan penilaian
• Lokakarya dengan unit
HCV.
manajemen perusahaan. • Pelatihan untuk unit manajemen perusahaan
• Mendapatkan data dan informasi dari
pengembangan perkebunan dan status manajemen. • Membangun pemahaman unit manajemen mengenai HCV: latar belakang, maksud dan tujuan, konsep, jenis, atribut kunci atau elemen, dan metode identifikasi. • Membentuk tim kerja (Tim Kajian HCV dan tim unit pengelola sebagai mitra) dan menyepakati waktu pelaksanaan • Memperjelas potensi area HCV
menurut hasil kajian pendahuluan
• Workshop dengan nara sumber
• Mengumpulkan data dan informasi
Survey Lapang
Waktu dan Tempat
tambahan mengenai atribut atau elemen HCV • Memverifikasi keberadaan atribut atau elemen HCV. • Mengidentifikasi area-area HCV dan memetakan batas indikatifnya. • Mengidentifikasi ancaman dan poitensi ancaman area-area HCV.
• Mengkomunikasikan hasil identifikasi HCV
kepada pemangku kepentingan terkait lainnya (masyarakat, pemerintah daerah dan LSM). • Mengumpulkan data dan informasi tambahan dan memperjelas keberadaan atribut atau elemen area HCV dan ancaman atau potensi ancamannya.
Ringkasan Publik Kajian HCV PT Usaha Agro Indonesia
• Pemeriksaan lapangan
• •
• • •
terhadap kondisi tutupan lahan. Mengumpulkan data lapangan. Wawancara menggunakan triangulasi Lokakarya dengan stakeholder kunci. FGD dengan stakeholder kunci. Wawancara dengan informan
1 Maret 2016 , Ruang Pertemuan Kantor Besar PT UAI, Desa Jambi, Kec. Manis Mata, Kab. Ketapang
1 Maret 2016 , Ruang Pertemuan Kantor Besar PT UAI, Desa Jambi, Kec. Manis Mata, Kab. Ketapang 1 – 3 Maret 2016 , Areal Izin Lokasi PT UAI
4 Maret 2016, Ruang Pertemuan Hotel JnB
5
Tahapan
Tujuan
Kegiatan
Waktu dan Tempat
• Mengakomodasi masukan untuk menyusun
Pertemuan Penutup
Paska Kerja Lapang Analisis dan Penyusunan Laporan
rekomendasi dan pilihan untuk rencana pengelolaan dan pemantauan HCV Mengkomunikasikan hasil sementara identifikasi HCV untuk unit manajemen
Menyajikan hasil penilaian HCV dalam sebuah laporan dengan format dan sistematika yang memenuhi prinsip-prinsip ilmiah, namun koheren dan sederhana untuk memungkinkan pemahaman yang baik oleh unit manajemen sebagai pengguna laporan utama.
• Presentasi dan diskusi. • Penyampaian laporan
interim.
• Analisis Data • Analisis Spatial
4 Maret 2016 , Ruang Pertemuan Kantor Besar PT UAI, Desa Jambi, Kec. Manis Mata, Kab. Ketapang 8 Maret hingga 4 April 2016, Jakarta
• Pembuatan laporan
6
5.
Hasil
5.1.
Konteks Nasional dan Regional
Areal Izin Lokasi PT UAI terletak di Pulau Borneo, pulau terbesar ketiga di dunia. Borneo memiliki hutan hujan tropis yang sampai beberapa dekade lalu benar-benar menutupi pulau. Hutan tropis menyediakan beragam habitat bagi berbagai spesies satwa. Borneo memiliki 225 spesies mamalia dengan 44 spesies diantaranya endemik (Payne et al, 2000, Wilson et al 2005); tercatat 639 spesies burung denga 37 spesies endemik (MacKinnon et.al,. 2000); 284 spesies reptil (Uetz, 2015) dan 113 spesies amphibia (Frost, 2013). Juga telah tercatat 394 spesies ikan air tawar dengan 149 spesies endemik (MacKinnon et.al., 1996). Beberapa spesies satwa unik menghuni pulau ini, yaitu orangutan, bekantan, beruang madu, macan dahan, kucing merah, ibis karau, bangau storm dan sempidan kalimantan. Pulau ini juga memiliki flora yang terkaya di kepulauan Sunda besar. Tipe hutan Kalimantan sangat beragam, diantaranya hutan bakau, hutan rawa gambut dan hutan air tawar, hutan kerangas, hutan Dipterocarpaceae dataran rendah, hutan kayu besi (Ulin), hutan pada batu kapur dan tanah ultra basa, hutan bukit Dipterocarpaceae dan beberapa formasi hutan pegunungan. Pulau Kalimantan memiliki sekitar 15,000 spesies tumbuhan berbunga dengan 3.000 spesies tumbuhan kayu (267 spesies Dipterocarpus), dan sekitar 155 spesies tumbuhan endemik, lebih dari 200 spesies anggrek, dari dari 1.000 spesies pakis. Diperkirakan terdapat 34% spesies tumbuhan endemik Kalimantan, lebih kaya bila dibandingkan Sumatera (17 spesies endemik) dan Pulau Jawa (10 endemik) (Whitten et al. 1997). Seiring berjalannya waktu, hutan di Borneo, khususnya di Kalimantan, mengalami penurunan luas secara drastis. Kehilangan tutupan hutan alam (deforestasi) terbesar selama periode 20092013 di Kalimantan Barat seluas 426.000 ha (FWI, 2014). Hutan Rawa Gambut cukup luas di Kalimantan (44,130 km2), tetapi kurang 0.5% dari habitat tersebut berada di kawasan konservasi. Dari seluruh luas Hutan Kerangas di Kalimantan (80,760 km2) hanya 1.4% berada di kawasan konservasi. Kerusakan hutan Kalimantan berdampak pula pada kondisi Daerah Aliran Sungai (DAS). Tahun 20094, DAS kritis di seluruh Indonesia yang ditetapkan sebagai DAS prioritas sekitar 108 DAS, salah satunya adalah DAS Jelai yang terletak di Provinsi Kalimantan Barat. Berkurangnya luas hutan Kalimantan diiringi dengan meningkatnya luas perkebunan kelapa sawit. Hingga akhir tahun 2015, luas areal kebun sawit di Indonesia telah mencapai luas 11,4 juta hektar, dan sekitar 7,6 juta hektar ada di Kalimantan5. Tahun 2014, luas perkebunan kelapa sawit di Provinsi Kalimantan Barat telah mencapai 3,1 juta hektar, atau sekitar 40,76% dari luas perkebunan kelapa sawit se-Kalimantan6. Dari total luas kebun sawit di Indonesia, sebesar 36% dimiliki oleh masyarakat (smallholders), 56% oleh perusahaan swasta, serta 8% dimiliki oleh perusahaan negara7. SK Menteri Kehutanan No. SK.328/Menhut-II/2009, Tanggal 12 Juni 2009 menetapkan 108 DAS kritis dengan prioritas penanganan yang dituangkan dalam RPJM 2010 – 2014 5 Statistik Perkebunan Indonesia 2013-2015, Kelapa Sawit, Direktorat Jenderal Perkebunan, Kementrian Pertanian, Jakarta 2014. 6 Kegiatan Pembangunan Perkebunan di Provinsi Kalimantan Barat 2015, Dinas Perkebunan, Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat, 7 Idem 6 4
Ringkasan Publik Kajian HCV PT Usaha Agro Indonesia
7
Minat pemerintah dan masyarakat daerah terhadap masuknya investasi untuk perkebunan kelapa sawit sangat tinggi. Kelapa sawit dipandang memiliki nilai ekonomi tinggi, mampu mendongkrak Pendapatan Asli Daerah (PAD) dalam jangka waktu yang relatif pendek, dan serapan tenaga kerja yang tinggi. Bagi para pemimpin daerah, termasuk di Provinsi Kalimantan Barat, pembangunan kebun kelapa sawit diharapkan dan diandalkan dapat membantu pembukaan wilayah terpencil, penyediaan jaringan jalan, dan pembentukan pusatpusat aktivitas ekonomi baru.
5.2.
Konteks Lansekap
5.2.1. Tata Guna Lahan Wilayah kajian berada di areal pengunaan lain untuk keperluan pengembangan lahan budidaya. Hal ini terkonfirmasi dari proses tumpang tindih posisi areal Izin Lokasi PT UAI pada Peta Penunjukkan Kawasan Hutan dan Perairan Provinsi Kalimantan Barat (SK Menhut No. 733/Kpts-II/2014, tanggal 2 September 2014) tentang Kawasan Hutan dan Konservasi Perairan Provinsi Kalimantan Barat Tahun 2014, Peta Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Ketapang (Perda Kabupaten Ketapang No. 15 Tahun 2005), dan Peta Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Kalimantan Barat (Perda, No. 10 Tahun 2014 tanggal 31 Desember 2014) (Gambar 5.1).
Gambar 5.1. Lokasi wilayah kajian pada peta kawasan hutan dan konservasi perairan
8
5.2.2. Kawasan Konservasi dan Penutupan Lahan Status kawasan hutan yang terdekat dengan wilayah kajian di sebelah timur dengan HPK sekitar 2,3 km, sebelah barat dengan HL Sungai Jelai sekitar 14 km dan Hutan Produksi sekitar 300 m, dan sebelah timur dengan SM Lamandau (termasuk Provinsi Kalimantan Tengah) sekitar 21 km. Mengacu pada Peta Indikatif Penundaan Pemberian Izin Baru Pemanfaatan Hutan, Penggunaan Kawasan hutan, dan Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan dan Areal Penggunaan Lain (Revisi IX), SK MenLHK No. 5385/MenLHK-PKTL/IPSDH/2015, tanggal 20 November 2015), areal Izin Lokasi PT UAI tidak termasuk dalam areal yang perizinannya ditunda (Gambar 5.2).
Gambar 5.2. Lokasi wilayah kajian pada Peta Indikatif Penundaan Pemberian Izin Baru Pemanfaatan Hutan, Penggunaan Kawasan hutan, dan Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan dan Areal Penggunaan Lain Berdasarkan hasil interpretasi dan observasi lapangan tidak teridentifikasi keberadaan hutan primer. Bersasarkan kajian tutupan lahan dengan mendasarkan interpretasi citra satelit Landsat 8 bulan Desember tahun 2015 dan observasi lapangan menunjukkan empat tipe penutupan lahan di wilayah kajian, yaitu: (i) semak belukar, (ii) semak (iii) kelapa sawit, dan (iv) lahan terbuka. Peta citra landsat dan interpretasi kondisi tutupan lahan di wilayah kajian tersaji Gambar 5.3 dan Gambar 5.4. Pada wilayah kajian teramati empat tipe ekosistem, yaitu hutan dataran rendah, hutan rawa gambut, hutan rawa air tawar dan hutan kerangas. Semua tipe ekosistem tersebut telah mengalami gangguan dan kerusakan berat. Gangguan dan kerusakan ini akibat dari
Ringkasan Publik Kajian HCV PT Usaha Agro Indonesia
9
pembalakan dan kebakaran hutan. Saat ini kondisi vegetasi pada ekosistemnya hanya menyisakan vegetasi semak dan semak belukar.
Gambar 5.3. Kondisi tutupan lahan di wilayah kajian pada peta citra landsat
Gambar 5.4. Interpretasi tutupan lahan di wilayah kajian
10
5.2.3. Sejarah lahan Wilayah kajian merupakan bagian dari wilayah yang sekarang menjadi Desa Danau Buntar dan Jambi. Wilayah tersebut merupakan wilayah jelajah suku-suku Dayak yang berada di sepanjang Sungai Jelai yaitu dari sub-suku Dayak Beriam dan Dayak Jalai. Sekitar Tahun 1970-1990-an, pemanfaatan sumberdaya hutan berupa kayu (HPH) skala besar mulai dilakukan oleh perusahaan PT FKK. Perusahaan HPH lainnya, yaitu PT Satya Daya Raya (SDR, Erna Juliawati Group). HPH mulai beroperasi sejak tahun 1970-an hingga tahun 1990-an Masyarakat mulai memanfaatkan kayu di wilayah kajian dan sekitarnya. Kayu tersebut dijual ke pengumpul di sekitar Desa Sukamara dengan memanfaatkan aliran Sungai selanjutnya ke Sungai Jelai. Salah seorang tauke besar penampung kayu saat yang dikenal oleh masyarakat saat itu adalah Acong. Pemanfaatan kayu (logging) oleh masyarakat ini memberikan konsekuensi terhadap luas areal hutan yang semakin berkurang. Tahun 1997/1988, aktivitas pemanfaatan kayu (logging) oleh masyarakat mulai menurun dan masyarakat kembali berladang. Pada masa ini juga terjadi kebakaran hutan dan lahan dalam skala besar. Dampak dari deretan kegiatan dan peristiwa itu dapat dijumpai pada saat ini, dimana keberadaan hutan sudah jarang didapati dan hanya tersisa di tepi sungai Jelai. Pada tahun 2003, pembentukan Desa Danau Buntar yang merupakan pemekaran dari Desa Natai Kuini Kecamatan Kendawangan. Pemerintah setempat mulai mengeluarkan izin lokasi untuk usaha perkebunan kelapa sawit di areal ini. Di sebelah Barat wilayah kajian telah beroperasi perkebunan kelapa sawit PT BSS dan PT KPAM, dan di sebelah Utara adalah PT HSL dan PT UAI. Sejak saat itu, areal terus berkembang sehingga pemerintah Kabupaten Ketapang menyusun rencana areal pengembangan kecamatan Manismata di sebelah Utara wilayah kajian yang berdekatan dengan Desa Sukaramai. PT UAI mulai melakukan kegiatan operasional di wilayah kajian pada tahun 2006, berdasarkan Surat Izin Lokasi PT UAI No. 403 tahun 2007 tanggal 8 Oktober 2007 dengan luas areal 11.898,00 ha. Areal ini telah menjadi areal HGU seluas 7.549,93 Tahun 2012, berdiri plasma warga masyarakat desa Danau Buntar dengan nama Koperasi Sampoerna Mandiri. Koperasi ini beranggotakan 457 orang, dengan Ketua koperasi Suriansyah.
5.3.
Keanekaragaman Hayati
Wilayah kajian berada di kawasan dengan nilai keanekaragaman hayati (biodiversitas) yang rendah (Prihatna, 2009). Hasil kajian Prihatna 2009, wilayah kajian berada di luar Important Bird Area (lihat BirdLife International, 21058), tidak termasuk dalam wilayah Heart of Borneo9, dan bukan merupakan bagian dari area Ramsar10. Bird Areas factsheet: Kalimantan, http://www.birdlife.org http://www.heartofborneo.org; http://wwf.panda.org/borneo_forests 10 http://www.ramsar.org/news/seventh-ramsar-site-in-indonesia 8 9
Ringkasan Publik Kajian HCV PT Usaha Agro Indonesia
11
Red List IUCN 201511 mencatat beberapa spesies satwa terancam kepenahan di wilayah kajian dengan kategori Kritis (Critically Endangered) Genting (Endangered) dan Rentan (Vulnerable). Beberapa spesies yang sebarannya di wilayah kajian dan yang termasuk kategori Kritis yaitu Trenggiling (Manis javanica) dan Labi-labi (Callagus borneensis) Spesies-spesies yang termasuk kategori rentan di antaranya Sero ambrang (Aonyx cinerea) dan Kura-kura ambon (Cuora amboinensis), Kura-kura punggung datar (Notochelys platynota) dan Kurakura duri (Heosemys grandis). Wilayah kajian berada di kawasan dengan nilai keanekaragaman hayati (biodiversitas) yang rendah (Prihatna, 2009). Hasil kajian Prihatna 2009, wilayah kajian berada di luar Important Bird Area (lihat BirdLife International, 210512), tidak termasuk dalam wilayah Heart of Borneo13, dan bukan merupakan bagian dari area Ramsar14. Red List IUCN 201515 mencatat beberapa spesies satwa terancam kepenahan di wilayah kajian dengan kategori Kritis (Critically Endangered) Genting (Endangered) dan Rentan (Vulnerable). Beberapa spesies yang sebarannya di wilayah kajian dan yang termasuk kategori Kritis yaitu Trenggiling (Manis javanica) dan Labi-labi (Callagus borneensis) Spesies-spesies yang termasuk kategori rentan di antaranya Sero ambrang (Aonyx cinerea) dan Kura-kura ambon (Cuora amboinensis), Kura-kura punggung datar (Notochelys platynota) dan Kurakura duri (Heosemys grandis) Secara keseluruhan kelompok mamalia yang tercatat di wilayah kajian sebanyak 11 spesies kelompok mamalia. Spesies berstatus kritis yaitu Trenggiling (Manis javanica), 1 spesies berstatus rentan, 1 spesies termasuk ke dalam Appendik I dan 1 spesies yang termasuk ke dalam Appendik II, dan 3 spesies dilindungi Undang-Undang. Untuk kelompok burung tercatat 52 spesies dengan empat spesies endemik Borneo. Spesies dikategorikan Appendiks II sebanyak 4 spesies dan 7 spesies dilindungi Undang-Undang. Untuk kelompok herpetofauna (reptil dan amfibi) tercatat 22 spesies dengan 1 spesies tergolong genting, 3 spesies tergolong rentan dan 7 spesies yang termasuk ke dalam Appendik II CITES.
5.4.
Kontek Lingkungan Fisik
Status wilayah kajian merupakan Areal Penggunaan Lain (APL) dan berada dalam kawasan DAS Jelai16 bagian Tengah. Sungai-sungai utamanya adalah Sungai Berais dan Sungai Manis Mata yang berada di luar wilayah kajian. Aliran sungai yang berada di dalam wilayah kajian adalah Sungai Air Besar. Sungai tersebut merupakan sungai periodik yang debit sungainya kecil atau bahkan kering pada musim kemarau. Peta DAS, sub DAS dan alairan sungai tersaji pada Gambar 5.5. http://www.iucnredlist.org/ Bird Areas factsheet: Kalimantan, http://www.birdlife.org 13 http://www.heartofborneo.org; http://wwf.panda.org/borneo_forests 14 http://www.ramsar.org/news/seventh-ramsar-site-in-indonesia 15 http://www.iucnredlist.org/ 16 11 12
Keppres No 12 tahun 2012 tentang Penetapan Wilayah Sungai
12
Wilayah kajian dan sekitarnya termasuk dalam tipe iklim hutan hujan tropis atau tipe A menurut klasifikasi iklim Schmith-Ferguson. Berdasarkan data curah hujan tahun 20082015,17 ;pada wilayah kajian memiliki curah hujan bulanan lebih dari 200mm berkisar antara 9-11 bulan. Curah hujan pada bulang kering kurang dari 70mm. Curah hujan di wilayah kajian berkisar 1500 - 2500, dengan hari hujan sebanyak 130 hari. Berdasarkan data stasiun Pengamatan BMKG Bandara Iskandar Pangkalan Bun pada Tahun 2004-2014 menunjukan bahwa rata-rata curah hujan tahunan di wilayah kajian adalah 2663 mm atau tergolong tinggi (BPS, 2014). Berdasarkan tipe genetik curah hujan, pola curah hujan di wilayah kajian termasuk dalam tipe ekuatorial dimana dalam satu tahun terjadi dua kali puncak curah hujan, yang biasanya terjadi pada periode Maret-April dan Oktober-November. Rata-rata temperatur bulanan di wilayah kajian berkisar 26,0-27,4oC, suhu tahunannya berkisar 26-28oC.
Gambar 5.5. Wilayah kajian berada di DAS Jelai, Wilayah Sungai Berais – Manis Mata
17
Data Curah Hujan PT Usaha Agro Indonesia (2016)
Ringkasan Publik Kajian HCV PT Usaha Agro Indonesia
13
Gambar 5.6. Kondisi ketinggian di wilayah kajian
Gambar 5.7. Kondisi kelerengan di wilayah kajian
14
Gambar 5.8. Kondisi sistem lahan di wilayah kajian Pada kelas ketinggian, wilayah kajian berada pada ketinggian < 25m 70%, 25-50m 30%, dan hampir 80 persen kelas lereng 0-8%. Kondisi ini menunjukkan tingkat erosi lahan di wilayah kajian tergolong rendah. Kondisi ketinggian dan kelerengan wilayah kajian tersaji pada Gambar 5.6 dan Gambar 5.7. Bentuk fisiografi lahan di wilayah kajian terbagi ke dalam dua tipe, yaitu Rawa Gambut (peat swamps) dan lembah alluvial tua (old alluvial valleys) (RePPProT, 1990). Dataran aluvial tua (sistem lahan Segintung sekitar 50 %) terdapat di bagian Selatan dan (ii) gambut (Mendawai sekitar 50%) terdapat di bagian Utara dan sebagian di bagian Selatan. Kondisi sistem lahan wilayah kajian tersaji pada Gambar 5.8. Jenis tanah di wilayah kajian terdiri dari enam jenis tanah,18 yaitu Typic haplosaprist, Typic Haplohemist, Typic Quarzipsamments, Humaqueptic Psammaquents, Typic Dystrudepts, dan Typic Placorthods. Dari kelima ordo tanah yang terdapat di wilayah kajian, area-area dengan ordo tanah spodosol merupakan area yang rentan terjadi erosi karena memiliki nilai erodibilitas yang paling tinggi. Peta jenis tanah di areal kajian tersaji pada Gambar 5.9.
18
Hasil survey tanah detail PT Agro Usaha Indonesia dan hasil groundcek survey aksenta 2016
Ringkasan Publik Kajian HCV PT Usaha Agro Indonesia
15
Gambar 5.9. Kondisi jenis tanah di wilayah kajian Menurut data NOAA tahun sejak tahun 2005 – 2015 terdapat titik api dengan jumlah sekitar 40 titik api di lokasi kajian dengan terkonsentrasi pada daerah selatan lokasi kajian sekitar 30 (NASA FIRMS,2015). Namun demikian, pada saat ini hotspot tetap dapat digunakan sebagai alat bantu untuk mengetahui indikasi kebakaran lahan sampai dibuktikan kebenarannya dengan peninjauan lapangan (groundthruting). Berdasarkan hasil cerita masyarakat dan hasil wawancara bahwa daerah lokasi kajian sering terjadi kebakaran lahan dengan puncak kebakaran hebat tahun 1997.
5.5.
Konteks Sosial Ekonomi dan Sosial Budaya Masyarakat
Secara administratif, wilayah kajian terletak di Desa Jambi (Kecamatan Manis Mata), dan Desa Danau Buntar (Kecamatan Kendawangan), Kabupaten Ketapang, Provinsi Kalimantan Barat. Penduduk kedua desa tersebut berjumlah 1.879 jiwa. Penduduk Desa Jambi berjumlah 723 jiwa (terdiri dari 388 jiwa laki-laki dan 335 jiwa perempuan) yang tersebar di 3 dusun, yaitu Dusun Jambi Dalam, Jambi Luar, dan Dusun Sekar Sari. Penduduk Desa Danau Buntar berjumlah 1.173 jiwa (terdiri dari 605 jiwa laki-laki dan 568 jiwa perempuan) yang tersebar di 5 dusun, yaitu Dusun Berais, Soren, Pangkalan Tukang, Kebanting, dan Dusun Bengaris. Desa Jambi memiliki luas wilayah 175,40 Km2, dan Desa Danau Buntar memiliki luas 180,20 Km2. Sebelum hadirnya perusahaan perkebunan kelapa sawit di wilayah kajian, sebagian besar mata pencaharian utama masyarakat adalah “kerja kayu” dan menjadi nelayan. Saat ini perekonomian masyarakat sangat heterogen -- sebagaimana umumnya ciri masyarakat di pedesaan dalam tahap transisi dari perekonomian tradisional menuju perekonomian modern, sumber pendapatan biasanya diperoleh dari beberapa sektor (ganda)-- masyarakat di wilayah
16
kajian memperoleh pendapatan utama dengan bekerja sebagai buruh harian lepas (BHL) di beberapa perkebunan kelapa sawit. Selain bekerja sebagai buruh harian lepas, masyarakat juga mencari nafkah dengan berkebun karet, berladang, menangkap ikan (nelayan sungai), dan beberapa warga masih melakukan “kerja kayu”. Selain lapangan kerja tersebut, terdapat juga penduduk yang menjadi kontraktor penyedia barang dan jasa bagi perusahaan-perusahaan perkebunan sawit. Kebutuhan air bersih masyarakat bersumber dari sumur gali dan mata air yang dialirkan ke rumah-rumah. Selain itu masyarakat juga menggunakan air sungai untuk kebutuhan MCK terutama paa saat musim penghujan. Wilayah kajian belum teraliri listrik dari PLN. Untuk memenuhi kebutuhan energi listrik, masyarakat menggunakan genset, baik secara pribadi atau kolektif. Pemenuhan energi untuk keperluan memasak sebagian besar sudah menggunakan gas LPG, tetapi masih didapatkan masyarakat yang masih menggunakan kayu bakar. Desa di dalam wilayah kajian dapat diakses melalui jalan darat (melalui jalan kebun) dan melalui jalur sungai. Fasilitas pendidikan hanya terdapat pendidikan dasar setingkat SD. Untuk menempuh pendidikan ke jenjang SMP dilanjutkan ke Sukamara, Provinsi Kalimantan Tengah yang berbatasan dengan desa tersebut dengan menggunakan jalur Sungai Jambi. Sarana fasilitas kesehatan berupa Puskesmas Pembantu (pustu) tersedia di setiap desa di wilayah kajian. Secara kumulatif pertumbuhan ekonomi Kabupaten Ketapang pada tahun 2013 sekitar 6,97%. Terdapat tiga sektor ekonomi yang paling tinggi tingkat pertumbuhannya yaitu sektor pertambangan tumbuh sekitar 14,16%, sektor bangunan sekitar 13,39%, dan sektor listrik-gasair minum sekitar 9,79% (BPS, 2014). Pertumbuhan ekonomi tersebut lebih tinggi jika dibandingkan dengan rata-rata pertumbuhan ekonomi Provinsi Kalimantan Barat yang sebesar 6,08%. PDRB per kapita Kabupaten Ketapang adalah sebesar 19,11 juta rupiah pada tahun 2014. Artinya, rata-rata pendapatan satu orang penduduk Kabupaten Ketapang selama setahun adalah sebesar 19,11 juta rupiah. Selama kurun waktu lima tahun terakhir pendapatan per kapita Kabupaten Ketapang memiliki kecenderungan naik, dan pada tahun 2014 kenaikannya mencapai 9,19% dibandingkan dengan tahun sebelumnya (BPS, 2015). Struktur perekonomian Kabupaten Ketapang pada tahun 2013 masih didominasi oleh empat sektor ekonomi yaitu sektor pertanian, perdagangan-hotel-restoran, pertambangan dan penggalian, serta sektor industri. Sektor pertanian, adalah sektor yang paling dominan, namun tahun 2013 kontribusinya menurun dibandingkan dengan tahun sebelumnya yaitu mencapai 32,13% (BPS, 2014). Sekitar 98,99% hasil perkebunan Kabupaten di Kabupaten Ketapang pada tahun 2013, merupakan andil dari sub-sektor kelapa sawit. Sub-sektor perkebunan kelapa sawit sedang tumbuh berkembang dengan pesat, sampai dengan akhir tahun 2014 di Kabupaten Ketapang terdapat 308.200 ha perkebunan sawit rakyat dan 208.264 ha perkebunan swasta besar, dengan total produksi sebesar 1.806.753 ton (BPS, 2014). Penduduk desa-desa di wilayah kajian berasal dari suku Melayu dan Dayak serta para pendatang yang berasal dari Pulau Jawa dan Pulau Sumatera. Tidak terdapat angka statistik
Ringkasan Publik Kajian HCV PT Usaha Agro Indonesia
17
yang resmi, tetapi berdasarkan wawancara dengan responden kunci di peroleh informasi bahwa komposisi etnis penduduk di Desa Jambi terdiri dari Suku Dayak 45%, Melayu 45%, dan suku lainnya 5%, sedangkan Desa Danau Buntar terdiri dari Suku Dayak 60%, Melayu 35% dan suku lainnya 5% 19. Pelaksanaan budaya dan adat istiadat oleh masyarakat di wilayah kajian relatif longgar dan sudah tidak mengikat dengan kuat. Pelaksanaan kegiatan-kegiatan adat yang bersifat spiritual lebih banyak dipengaruhi oleh agama yang dianutnya. Kendati demikian, beberapa budaya masyarakat lokal masih dipertahankan seperti kegiatan gawi, begendang, beteturuk, berayah, betetabur, dan tolak bala meskipun peaksanaannya relatif jarang . Di sisi lain, masyarakat pendatang juga menghormati kearifan masyarakat lokal yang memiliki hukum adat berupa sanksi jika terdapat pelanggaran-pelanggaran yang bersifat sosial dan dipatuhi oleh masyarakat pendatang. Penduduk desa-desa di wilayah kajian yang beretnis Melayu mayoritas memeluk agama Islam dan Suku Dayak mayoritas memeluk agama Kristen. Dalam jumlah kecil masih terdapat penganut kepercayaan Kaharingan terutama para orang tua. Bagi Suku Dayak yang masih memeluk kepercayaan Kaharingan, konsep agama bukan datang dari luar komunitas mereka, agama asli yang mereka yakini adalah kepercayaan dinamisme yang disebut juga preanimisme. Kepercayaan ini mengajarkan bahwa roh nenek moyang, tiap-tiap benda atau mahluk hidup mempunyai daya dan kekuatan yang diyakini mampu memberikan manfaat atau marabahaya. Namun demikian tradisi agama asli ini, telah ditinggalkan oleh sebagian masyarakat besar suku Dayak di wilayah kajian, karena saat ini mayoritas telah memeluk agama Islam dan Kristen. Tidak terdapat angka resmi mengenai komposisi agama di wilayah kajian, tetapi berdasarkan komposisi etnis dapat dilihat juga komposisi agama. Meskipun agama yang dipeluk oleh masyarakat desa-desa di wilayah kajian beragam, tetapi toleransi antar umat beragama pada wilayah kajian sangat tinggi, hal tersebut dapat dilihat pada acara-acara keagamaan, masyarakat yang berbeda agama turut memeriahkan acara keagamaan penganut agama lainnya, demikian halnya dalam kegiatan gotong royong pembangunan rumah ibadah.
5.6.
Hasil-Hasil dan Justifikasi
5.6.1. Keberadaan Area HCV Hasil observasi lapangan dan analisis menunjukkan bahwa di wilayah kajian terdapat dua (dua) tipe HCV, yaitu HCV 1 dan HCV4. Untuk tipe HCV 2, HCV 3, HCV 5 dan HCV 6 tidak dijumpai keberadaannya. Ringkasan keberadaan area HCV di areal Izin Lokasi PT UAI tersaji pada Tabel 5.1.
19
Data hasil wawancara dengan Kepala Desa Jambi dan Kepala Desa Danau Buntar.
18
Tabel 5.1. Ringkasan keberadaan area HCV di areal Izin Lokasi PT UAI Tipe HCV HCV 1
HCV 2
HCV 3
Definisi/ Pengertian Keterpusatan keanekaragaman biologis yang mencakup spesies endemik, dan spesies langka, terancam atau terancam punah, yang signifikan pada level global, regional atau nasional Ekosistem dan mosaik ekosistem pada level lanskap yang luas yang memiliki signifikansi pada tingkat global, regional atau nasional, dan memiliki populasi yang layak dari sebagian besar spesies alami serta memiliki pola persebaran dan jumlah yang alami Ekosistem, habitat atau refugia langka, terancam, atau terancam punah (genting)
HCV 4
Jasa ekosistem mendasar dalam situasi penting, termasuk perlindungan daerah tangkapan air dan kontrol erosi pada tanah rentan dan lereng
HCV 5
Situs dan sumber daya yang fundamental untuk memenuhi kebutuhan dasar masyarakat lokal atau masyarakat adat (untuk mata pencaharian, kesehatan, makanan, air, dll.), yang teridentifikasi melalui interaksi dengan komunitas atau masyarakat adat terkait
Ada Terdapat spesies terancam punah yaitu Trenggiling, Sero ambrang, Labi-labi, Kurakura duri, Kurakura ambon, Kurakura punggung datar
Argumentasi Potensi
Tidak Ada
Luasan areal kajian hanya 2500 ha dan di bawah kriteria luasan lansekap ekosistem lebih dari 20.000 ha
Kondisi ekosistem hutan dataran rendah, rawa aur tawar, gambut dan kerangas yang terganggu berat akibat kebakaran. Tutupan ekosistemnya hanya menyisakan semak belukar Sungai dan tutupan vegetasi semak belukar hutan dataran rendah sebagai pengendali banjir, dan perangkap sedimen
Ringkasan Publik Kajian HCV PT Usaha Agro Indonesia
Kebutuhan dasar masyarakat setempat atau adat tidak lagi dipenuhi dari areaarea dalam wilayah kajian. Kebutuhan dasar sudah tidak dipenuhi dari hutan atau ekosistem alam lainnya. Pemenuhnan kebutuhan dasar sudah di penuhi dari berbagai sumber.
19
Tipe HCV HCV 6
Definisi/ Pengertian Situs, sumber daya, habitat, dan lanskap dengan signifikansi kultural, arkeologis, atau sejarah pada tingkat global atau nasional, dan/atau kepentingan kultural, ekologis, ekonomi atau religi/sakral bagi budaya tradisional masyarakat lokal atau masyarakat adat, yang teridentifikasi melalui interaksi dengan komunitas atau masyarakat adat terkait
Ada
Argumentasi Potensi
Tidak Ada Tidak terdapat area, baik berupa sumberdaya, habitat dan lanskap yang sangat penting sebagai identitas budaya, atau religi/sakral bagi penduduk setempat atau masyarakat adat. Mayoritas penduduk di wilayah kajian beragama Islam dan Kristen.
5.6.2. Keberadaan Area HCV 1 Hasil kajian pustaka, wawancara dengan pengurus unit manajemen dan masyarakat setempat, serta hasil observasi lapangan, pada wilayah kajian dijumpai spesies RTE. Di sisi lain, pada wilayah kajian bukan habitat atau tempat singgah (temporary) yang memadai bagi satwa liar. Hasil kajian ini mendapati bahwa syarat-syarat yang dapat memenuhi kriteria HCV 1 dijumpai di wilayah kajian (Tabel 5.2). Tabel 5.2. Situasi-situasi yang akan memenuhi syarat sebagai HCV 1 (Brown, et.all, 2013) Syarat keberadaan area HCV 1 Kekayaan, keanekaragaman, atau keunikan spesies yang tinggi Populasi beberapa spesies endemik atau RTE (rare, threatened or endangered) Populasi penting atau spesies endemik atau RTE individu yang berjumlah banyak Populasi kecil dari spesies endemik atau RTE individu, di mana kebertahanan nasional, regional atau global spesies bergantung secara kritis pada kawasan terkait Situs dengan kekayaan spesies RTE yang signifikan Varian, subspesies atau varietas genetik yang penting
Wilayah Kajian ― + ― +
― ―
Keterangan: += ada/dijumpai; ― = tidak ada
Hasil kajian menunjukkan bahwa di areal Izin Lokasi PT UAI terdapat 5 spesies RTE (Rare, Threatened and Endangered).yang berstatus Endangered/EN dan Vulnerable/ VU menurut IUCN. Lima spesies diantaranya adalah satwa yang bergantung pada sungai atau kolam sebagai habitatnya dan/atau tempat mencari makan (feeding area), yaitu Trenggiling, Sero ambrang, Biuku/Bidawang, Kura-kura duri, Kura-kura ambon dan Kura punggung datar. Habitat spesies ini berada di sungai dan sempadannya. Sebagian besar spesies terancam punah menghuni hutan dataran rendah dengan vegetasi semak belukar terutama spesies akuatik menggunakan sempadan Sungai Air Besar. Pada wilayah kajian masih terdapat keberadaan area penting yang digunakan sebagai refugium
20
berbagai spesies satwa terancam punah, di antaranya Trenggiling, Sero ambrang, Biuku/Bidawang, Kura-kura duri, Kura-kura ambon dan Kura punggung datar Keberadaan spesies-spesies terancam punah pada hutan dataran rendah dengan vegetasi semak belukar yang tersisa dan sempadan sungai di wilayah kajian menunjukkan keberadaan area HCV 1.
5.6.3. Keberadaan HCV 2 Keberadaan area HCV 2 ditandai keberadaan area dengan ekosistem pada level lansekap yang luas, serta mosaik ekosistem yang signifikan pada level global, regional atau nasional, serta yang mencakup populasi yang layak dari sebagian besar spesies alami dengan pola distribusi dan jumlah yang alami (Brown, et.all, 2013). Hasil kajian HCV ini tidak menemukan syarat sebuah bentang alam yang memenuhi kriteria HCV 2 (Tabel 5.3): Tabel 5.3. Situasi-situasi yang akan memenuhi syarat sebagai HCV 2 (Brown, et.al, 2013) Syarat Keberadaan Area HCV 2
Wilayah Kajian
Wilayah yang luas (contohnya: > 50.000 ha), yang letaknya relatif jauh dari pemukiman manusia, jalanan atau akses lainnya. Wilayah yang ukurannya lebih kecil yang menyediakan fungsi-fungsi kunci bagi lanskap seperti keterhubungan dan penyanggaan Wilayah yang luas yang bersifat lebih alami dan utuh dibandingkan wilayah serupa lainnya Varian, subspesies atau varietas genetik yang penting
― ― ― ―
Keterangan: += ada/dijumpai; ― = tidak ada
Beberapa kondisi yang mengakibatkan setiap wilayah kajian tidak memiliki atau tidak mendukung nilai area HCV 2, yaitu: 1. Wilayah kajian berada di lingkungan sudah terbangun sejak 20 tahun yang lalu. Wilayah kajian berdekat dengan pemukiman penduduk dengan akses jalan yang sudah terbuka. 2. Lingkungan di wilayah adalah perkebunan kelapa sawit sehingga wilayah kajian bukan bagian dari lansekap alami yang luas. 3. Wilayah kajian yang awalnya berupa ekosistem hutan dataran rendah, kerangas dan rawa gambut telah mengalami degradasi sangat berat, sebagai dampak dari berkurangnya tegakan pohon karena pemanfaatan kayu, pembukaan ladang dan kebakaran hutan. Ekosistem yang tersisa berupa vegetasi semak belukar hutan dataran rendah. Hasil kajian menunjukkan wilayah kajian tidak memiliki konektivitas ekosistem dengan areal ekosistem baik yang ada di luar wilayah kajian. Kondisi wilayah kajian pada peta widerlandscape tersaji pada Gambar 5.10.
Ringkasan Publik Kajian HCV PT Usaha Agro Indonesia
21
Gambar 5.10. Kondisi wider lanscape sekitar areal IzIn Lokasi PT UAI
5.6.4. Keberadaan HCV 3 Ada empat kriteria ekosistem yang dianggap memenuhi keberadaan area HCV 3, yaitu langka secara alami; langka secara antropogenik, terancam atau terancam punah, dan diklasifikasikan terancam dalam sistem nasional atau internasional (Brown, et.al, 2013). Hasil kajian ini menunjukkan bahwa di wilayah kajian tidak ada ekosistem yang memenuhi syarat HCV 3 (Tabel 5.4): Tabel 5.4. Situasi-situasi yang akan memenuhi syarat sebagai HCV 3 (Brown, et.al, 2013) Syarat sebagai HCV 3 Langka secara alami dikarenakan ketergantungannya terhadap jenis tanah, lokasi, hidrologi atau fitur klimatis atau fisik lainnya yang sangat terlokalisasi Langka secara antropogenik, dikarenakan luasan ekosistem tersebut telah berkurang drastis akibat aktivitas manusia dibandingkan luasan sejarahnya Terancam atau terancam punah dikarenakan operasi yang tengah berlangsung atau telah diajukan Diklasifikasikan terancam dalam sistem nasional atau internasional
Wilayah Kajian ― ― ― ―
Keterangan: += ada/dijumpai; ― = tidak ada
Pada wilayah kajian hanya menyisakan vegetasi belukar. Hasil interpretasi penutupan lahan menunjukkan pada wilayah kajian didominasi belukar (2,7%), semak belukar (10,0%), semak (41,2%), kelapa sawit (30,8%), lahan terbuka (15,3%). Vegetasi belukar pada ekosistem hutan dataran rendah, rawa air tawar, gambuit dan kerangas telah mengalami terganggu berat karena kebakaran lahan dan hutan serta kegiatan pembalakan kayu oleh masyarakat sekitarnya.
22
Vegetasi semak yang berada di lahan rawa air tawar dan gambut didominasi spesies berbagai jenis rumput seperti Cyperus sp, Fimbristylis verruginea. Adiantum flabellatum dengan beberapa jenis pakis/paku seperti Glichenia linerais, Nephrolepis exaltata. Vegetasi di hutan kerangas didominasi jenis Gelam Syzygium longiflorum, nasi-nasi (Euyra nitida), halaban (Vitex pubescens) dan beberapa spesies paku-pakuan seperti Glichenia linerais, Nephrolepis exaltata, Imperata cylindrica, Chromolaena odorata, Eupathorium inulifoium. Hasil kajian HCV ini tidak menemukan syarat sebuah ekosistem unik dan langka yang memenuhi kriteria HCV 3. Kondisi ekosistem hutan dataran rendah, rawa air tawar, gambut dan kerangas telah terganggu berat. Dengan demikian, HCV 3 tidak dijumpai di wilayah kajian.
5.6.5. Keberadaan HCV 4 Hasil kajian ini mendapati bahwa syarat-syarat yang dapat memenuhi kriteria HCV 4 terdapat di wilayah kajian (Tabel 5.5). Tabel 5.5. Situasi-situasi yang akan memenuhi syarat sebagai HCV 4 (Brown, et.al, 2013) Syarat Keberadan Area HCV 4 Pengelolaan kejadian aliran air yang ekstrim, termasuk zona penyangga mintakat yang bergevetasi atau lahan banjir yang utuh Pemeliharaan rezim aliran sungai bagian hilir Pemeliharaan karakteristik kualitas air Pencegahan dan perlindungan dari kebakaran Perlindungan terhadap tanah dan akifer atau ekosistem alami yang berperan penting dalam menstabilisasi lereng-lereng yang curam. Penyediaan air bersih Perlindungan terhadap angin, dan pengaturan kelembaban, curah hujan, dan elemen klimatik lainnya Keterangan: += ada/dijumpai; ― = tidak ada
Wilayah Kajian
+ + ― + ― ― +
Terkait dengan keberadaan area HCV 4 terdapat di sepanjang sungai pada wilayah kajian. Sungai berfungsi untuk menjaga kuantitas dan kualitas debit air di sungai di wilayah kajian. Pada musim penghujan, daerah rendah di sepanjang aliran sungai berperan sebagai bantaran banjir, tempat parkir air sementara untuk menghindari kejadian banjir di daerah hilir Sungai Jelai, Sungai Berais, dan Sungai Air Besar. Pada musim kemarau, tutupan hutan di sempadan sungai berperan untuk menjaga kelembaban tanah dan tingkat kebasahan di sepanjang aliran sungai serta menjadi perangkap aliran sedimen untuk mengurangi pendangkalan sungai (Arsyad, 2010). Terlihat pada rawa pasang surut sepanjang Sungai Air Besar menjaga dan mendukung ketersediaan air di sungai utamanya Sungai Berais dan Sungai Jelai sebagai pengendali banjir area di sekitar wilayah kajian yang juga dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai jalur transportasi dan tempat mencari ikan.
Ringkasan Publik Kajian HCV PT Usaha Agro Indonesia
23
Kondisi air di Sungai Air Besar cukup bening dan tergenang temporer pada saat musim hujan dengan kedalaman 2 meter dan lebar 3 meter dengan tutupan lahan di sepanjang sungai air besar adalah semak belukar. Tinggi air banjir sekitar 80 cm dari badan sungai terutama setelah hujan deras di bagian hulu banyak ditemukan erosi tebing. Pemanfaatan Sungai Air Besar digunakan sebagai sarana transportasi air ketika berladang dan tempat mencari ikan untuk salah satu pemenuhan kebutuhan pokok. Keberadaan sempadan sungai ini memiliki fungsi penting dalam hal jasa lingkungan, yaitu pengendali banjir. Dari aspek penyediaan air, kelestarian sungai-sungai ini menjamin kontinuitas debit aliran Sungai Berais. Dari aspek pengendalian banjir, sungai-sungai yang ada di dalam wilayah kajian tidak mengalami pendangkalan akibat sedimentasi. Akar tanaman dan kelestarian tanaman disekitar badan sungai berfungsi sebagai gully plug atau dalam ukuran yang lebih besar sebagai dam panahan/dam parit yang mampu meningkatkan waktu konsentrasi aliran. Hal ini dapat mengurangi energi kinetik aliran secara perlahan dan menghindari akumulasi air dalam waktu yang bersamaan banjir di Sungai Berais dapat dicegah. Perubahan-perubahan tersebut selanjutnya dapat berdampak pada penurunan fungsi penting area dalam aspek hidrologis. Area yang berfungsi sebagai pengendali banjir di wilayah kajian adalah Sempadan Sungai Air Besar. Lebar area sempadan sungai yang bernilai area HCV 4 ini mengikuti bentuk rawa dan bantaran banjir yang diberi penyangga di sepanjang aliran sungai di wilayah kajian. Terkait dengan keberadaan area HCV 4, pada wilayah kajian ditemukan keberadaan area yang menyediakan jasa lingkungan untuk perangkap sedimentasi. Kondisi areanya terdapat tutupan lahan yang berupa semak belukar yang berfungsi sebagai perangkap sedimentasi. Kondisi tutupan hutan di sempadan sungai perlu dipertahankan. Sebagai area dengan kelembaban yang tinggi dari sekitarnya, area ini berfungsi sebagai sekat bakar alami untuk mencegah meluasnya kebakaran hutan dan lahan.
5.6.6. Keberadaan HCV 5 Kondisi perekonomian masyarakat sangat heterogen, dengan pendapatan utama diperoleh dengan bekerja sebagai buruh harian lepas di perkebunan kelapa sawit. Berdasarkan hasil wawancara dengan narasumber kunci di lapangan, diperoleh informasi bahwa saat ini sebagaian besar kebutuhan dasar masyarakat dipenuhi dengan cara membeli dan tidak lagi di ekstaksi secara langsung dari hutan atau ekosistem alam lainnya. Pemenuhan kebutuhan karbohidrat, 90% berasal dari pembelian, begitu juga dengan kebutuhan akan protein hewani 80% juga berasal dari pembelian. Demikian pula dengan pendapatan cash diperoleh dari bekerja sebagai buruh harian lepas di perkebunan kelapa sawit. Untuk kebutuhan material, hanya 5% saja yang dapat dipenuhi dari hutan atau ekosistem alami lainnya.
Di dalam Toolkit HCV 2008, dinyatakan jika pemenuhan kebutuhan yang dapat dipenuhi oleh hutan atau ekosistem alam lain antara 0% - 9%, maka hutan atau
24
ekosistem alam lain, yang menjadi sumber tersebut dianggap tidak penting dengan Skor=0. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa saat ini masyarakat di sekitar wilayah kajian tidak bergantung lagi kepada sumberdaya hutan atau ekosistem alam lainnya untuk memenuhi kebutuhan hidup. Sebagian besar kebutuhan dasar yang fundamental di penuhi dari sumber-sumber lain. Hal ini diperkuat oleh berkembangnya diversifikasi mata pencaharian, sehingga warga tidak hanya bergantung pada pemanfaatan sumberdaya alam saja (baik pemanfaatan langsung maupun tidak langsung). Khusus pelaksanaan tuba adat, selain presentasenya kecil (5%) terhadap pemenuhan protein hewani, dan terhadap pendapatan cash, juga pelaksanaannya dilakukan secara tidak berkelanjutan dan berpotensi merusak HCV lainnya. HCV 5 tidak diperuntukkan bagi pemanfaatan yang sangat berlebihan dari suatu sumberdaya hutan atau manfaat yang bertentangan dengan NKT yang lain. Pemanfaatan hutan oleh suatu komunitas, begitu teridentifikasi, harus dihubungkan dengan nilai konservasi penting lainnya. Hal penting yang perlu diperhatikan disini adalah cara komunitas dalam pemanfaatan hutan. Jika manfaat hutan diambil oleh suatu komunitas dengan cara yang tidak lestari, maka bukan merupakan NKT.20 Dalam Panduan Umum Identifikasi HCV yang diterbitkan oleh HCV-Resource Network (Brown et.al, 2013) dinyatakan, yang dimaksud dengan HCV 5 adalah situs dan sumber daya yang fundamental dalam memenuhi kebutuhan dasar bagi masyarakat lokal atau masyarakat adat yang diidentifikasi melalui keterlibatan dengan komunitas atau masyarakat. Sebuah situs atau sumber daya menjadi bernilai HCV 5 apabila sumberdaya tersebut sangat penting (fundamental) dalam memenuhi kebutuhan dasar, dan jasa yang disediakannya tidak dapat digantikan (jika alternatif lainnya tidak tersedia atau mampu diadakan), serta apabila hilang atau rusak maka akan mengakibatkan penderitaan yang serius atau prasangka buruk terhadap pemangku kepentingan yang terdampak. Berdasarkan kriteria penetapan keberadaan area HCV 5, hasil kajian lapangan dan wawancara dengan berbagai responden, serta konsultasi publik, disimpulkan bahwa di wilayah kajian tidak ditemukan adanya area-area yang memenuhi kriteria untuk ditetapkan sebagai area HCV 5. Dalam acara konsultasi publik yang dilaksanakan pada tanggal 4 Maret 2016, seluruh peserta menyatakan sepakat dan setuju atas tidak adanya indikasi keberadaan area HCV 5. 5.6.7. Keberadaan HCV 6 Keberadaan HCV 6 pada wilayah kajian dipengaruhi oleh latar belakang dari suku yang mendiami wilayah kajian. Hasil kajian menunjukkan penduduk desa-desa sekitar berasal dari
20
Panduan Identifikasi Kawasan Bernilai Konservasi Tinggi di Indonesia Oleh: Konsorsium Revisi HCV Toolkit Indonesia; Tropenbos International Indonesia Programme; 2009.halaman 111
Ringkasan Publik Kajian HCV PT Usaha Agro Indonesia
25
suku Melayu dan Dayak. Mayoritas suku Melayu beragama Islam dan suku Dayak beragama Kristen. Dalam jumlah yang kecil masih terdapat penganut kepercayaan Kaharingan. Demikian pula dengan pelaksanan adat istiadat oleh masyarakat di wilayah kajian yang relatif longgar dan sudah jarang dilakukan. Pelaksanaan kegiatan-kegiatan adat yang bersifat spiritual lebih banyak dipengaruhi oleh agama yang dianutnya. Aktivitas keagamaan yang ada hanyalah upacara-upacara peringatan hari besar Islam dan Kristen/Katolik, yang biasanya diisi dengan ceramah keagamaan di masjid atau gereja. Hasil kajian dan wawancara juga menunjukkan bahwa warga di Desa Danau Buntar dan Desa Jambi tidak memiliki tradisi khusus atau tempat-tempat keramat dalam berbagai bentuk di dalam areal Izin Lokasi PT UAI. Tempat-tempat khusus seperti pemakaman telah dialokasikan di tempat tertentu di dalam desa, bukan di dalam wilayah kajian. Pada saat musim kemarau sering dilakukan peracunan ikan oleh masyarakat termasuk di rawarawa dalam areal Izin Lokasi PT UAI. Peracunan ikan tersebut dikenal dengan istilah nuba adat, yaitu sebagai salah satu bentuk ritual masyarakat Dayak dengan tujuan untuk meminta hujan. Tetapi berdasarkan keterangan wawancara, ditengarai bahwa kegiatan menuba adat tersebut sudah tidak lagi memiliki nilai sakral. Saat ini kegiatan menuba adat banyak dimanipulasi oleh oknum tertentu untuk kesenangan dan kepentingan ekonomi semata. Pelaksanaanya pun sembarang waktu. karena sering dilakukan, akibatnya populasi ikan menurun drastis. Di dalam Panduan Umum untuk identifikasi HCV (Brown et.al., 2013), dijelaskan bahwa HCV 6 adalah Situs, sumber daya, habitat, dan lanskap yang memiliki signifikansi kultural, arkeologis atau sejarah di tingkat global atau nasional dan/atau yang memiliki kepentingan kultural, ekologi, ekonomi atau religi/sakral yang kritis bagi budaya tradisional komunitas lokal atau masyarakat adat, yang diidentifikasi melalui interaksi/engagement dengan komunitas lokal atau masyarakat adat terkait. HCV 6 mewakili wilayah-wilayah dengan signifikansi budaya yang memiliki peranan tradisional penting bagi masyarakat lokal atau adat. Hal ini dapat mencakup situs-situs religi atau sakral, lahan pemakaman, atau situs yang menjadi lokasi pelaksanaan upacara adat. Berdasarkan kriteria penetapan HCV 6, hasil kajian lapangan dan wawancara dengan berbagai responden, serta konsultasi publik, disimpulkan kan bahwa di dalam areal Izin Lokasi PT UAI tidak ditemukan adanya area-area yang memenuhi kriteria untuk ditetapkan sebagai area HCV 6. Dalam acara Konsultasi Publik yang dilaksanakan pada tanggal 4 Maret 2016, seluruh peserta menyatakan sepakat dan setuju atas tidak adanya indikasi keberadaan area HCV 6.
5.7.
Luas dan Sebaran Area HCV dan HCMA
Pada wilayah kajian teridentifikasi keberadaan dua tipe HCV, yaitu HCV1 HCV 4. Areaarea HCV di wilayah kajian memiliki dua tipe. Kedua area HCV tersebut saling tumpang tindih. Seluruh area Indikatif HCV di wilayah kajian UAI tersebar pada satu lokasi. Total luas area HCV adalah 5,4 ha atau 0,22 % dari luas wilayah kajian (2.500ha). Deskripsi area indikatif HCV di wilayah kajian tersaji pada Tabel 5.6. Peta sebaran area indikatif HCV tersaji pada Gambar 5.11.
26
Tabel 5.6. Deskripsi Area HCV di areal Izin Lokasi PT UAI ID
Tipe HCV
K1
1 dan 4
Lokasi
Sungai Air Besar
Elemen HCV Keberadaan spesies terancam punah, keberadaan area-area penting yang digunakan sebagai refugium berbagai spesies satwa terancam punah. Sungai Air Besar dengan buffer 30 m dan tutupan vegetasi semak belukar yang berfungsi sebagai daerah pengendali ban jir dan perangkap sedimentasi Total Luas Indikatif Area HCV (ha)
Luas
5,4
5,4
Luas Areal Izin Lokasi PT UAI (ha)
2.500
Persentase Luas Indikatif Area HCV
0,22%
*)Keterangan: Luas Izin Lokasi PT UAI berdasarkan perhitungan GIS
Luasan area HCV yang wujudnya berupa sempadan sungai mendasarkan pada kajian bantaran ekologi, bantaran longsor dan bantaran keamanan. Luasan area HCV ini tidak selalu identik dengan kebijakan lebar sempadan sungai sebagai kawasan lindung menurut peraturan perundangan di Indonesia.
Ringkasan Publik Kajian HCV PT Usaha Agro Indonesia
27
Gambar 5.11. Lokasi Area Indikatif HCV 1 dan 4 di areal Izin Lokasi PT UAI
Ringkasan Publik Kajian HCV PT Usaha Agro Indonesia
28
5.8.
Konsultasi dengan Pemangku Kepentingan
Ringkasan hasil-hasil konsultasi dengan pemangku kepentingan terhadap kajian HCV di wilayah kajian tersaji pada Tabel 5.7. Tabel 5.7. Ringkasan hasil konsultasi dengan pemangku kepentingan terhadap kajian HCV di areal Izin Lokasi PT UAI Nama; Jabatan/Peran; Organisasi/ Kelompok sosial Jipit; Petani Desa Danau Buntar, kolektor kura-kura dan labi-labi; Anggota masyarakat Desa Danau Buntar
Hal atau Isu Utama & Rekomendasi / Tanggapan Tm Penilai
Informasi berkenaan dengan keberadaan kura-kura batu (Dogania subplana), Kura-kura bulan atau super (Amyda cartilaginea) dan kura-kura marau, kurakura arang (Chelonoidis sp), kura-kura katuk, kura-kura pangaum kura-kura elang, kura-kura jelayau atau kura-kura duri) dan kura-kura angkapan (Ortilia borneensis). Kura-kura tersebut banyak ditemukan di Sungai Berais dan anak sungai Air Besar. Tanggapan Tim Kajian: tambahan informasi ini memperkaya hasil kajian dan memperkuat justifikasi dari keberadaan area HCV, terutama HCV 1 Tuwing; Tumenggung (Ketua) Berbagai kura-kura dan labi-labi mudah dijumpai di Sungai Berais dan anakAdat; Desa Danau Buntar anak sungai. Aliran Sungai Berais dan anak sungainya termasuk Air Besar menjadi area penangkapan ikan Beberapa jenis ikan di sungai yang lebar dan alirannya dalam masih dapat dijumpai Ikan Kelabaw, Bamba, Kaloi dan Ikan Belida. Ikan-ikan tersebut banyak ditemukan di Sungai Berais dan Jelai. Didalam wilayah kajian tidak terdapat tempat yang dikeramatkan. Tempattempat keramat berada di tempat lain. Adat masih berjalan meskipun tidak ketat seperti dulu, karena sebagian besar penduduk beragama Islam dan Kristen Tanggapan Tim Kajian: tambahan informasi ini memperkaya hasil kajian dan memperkuat justifikasi dari keberadaan area HCV, terutama HCV 1, 5 dan 6 Yusef Idun; Petani Desa Jambi; Kura-kura dan labi-labi tersebut banyak terdapat di Sungai Berais dan anak Anggota masyarakat Desa Jambi sungainya yaitu Sungai Air Besar. Tanggapan Tim Kajian: tambahan informasi ini memperkaya hasil kajian dan memperkuat justifikasi dari keberadaan area HCV, terutama HCV 1 Rudi; Kepala Desa Jambi; Keberadaan area dengan penciri dan indikasi keberadaan HCV 5 dan 6 tidak Pemerintah Desa Jambi dijumpai lagi di wilayah Kajian; Beberapa satwa dari jenis Kelimpiauw/Owa dan Klasi hanya dijumpai di Sempadan Sungai Jambi. Sungai tersebut tidak masuk dalam wilayah kajian. Kondisi hutan sekunder dan belukar sudah tidak dijumpai di wilayah kajian. Ekosistemnya sudah mengalami kerusakan berat sebagai dampak dari kebakaran hutan selama tahun 2014-2015. Jenis tumbuhan di wilayah kajian hanya menyisakan semak belukar di ekosistem berpasir (kerangas). Sebagian besar wilayah kajian (70%) masuk ke dalam wilayah Desa Jambi 100% warga sudah tidak menggunakan air sungai untuk keperluan minum, air minum dan MCK pakai sumur bor, kecuali kalua musim hujan, banyak yang menggunakan air sungai sebagai pilihan sendiri. 90% keperluan kebutuhan pokok diperoleh dengan membeli dari pasar atau warung Kebun karet milik warga di luar wilayah kajian Tanggapan Tim Kajian: tambahan informasi ini memperkaya hasil kajian dan memperkuat justifikasi dari keberadaan area HCV, terutama HCV 1, 5 dan 6
Ringkasan Publik Kajian HCV PT Usaha Agro Indonesiua
29
Nama; Jabatan/Peran; Organisasi/ Kelompok sosial Hendi; Kepala Desa Danau Buntar; Pemerintah Desa Danau Buntar
Ali Arianto; Petani; Desa Danau Buntar
Ahmad Solep; Petani; Desa Danau Buntar Sakit; Petan, kontraktor; Mantan Kepala Desa Sungai Buluh
Ebet; PNS; Sekdes Desa Danau Buntar Defi Anshori/Oken; Tokoh pemuda/penarik speed/petani karet
Hal atau Isu Utama & Rekomendasi / Tanggapan Tm Penilai Pada wilayah kajian sudah tidak ada lagi area dengan tutupan belukar atau hutan sekunder. Vegetasinya hanya menyisakan semak belukar terutma di sempadan Sungai Air Besar. Beberapa satwa dari jenis kura-kura dan labi-labi masih dapat dijumpai di Sungai Air Besar Keberadaan area dengan penciri dan indikasi keberadaan HCV 5 dan 6 tidak dijumpai lagi di wilayah kajian Batas desa dengan desa Jambi belum jelas Wilayah kajian dengan kondisi rawa belukar, tidak digarap warga karena jauh. Kebun warga masyarakat Danau Buntar lebih banyak di daerah seberang Sungai Berais Kebutuhan pokok .80% beli dari pasar Acara adat yang masih dilaksanakan begendang, beteturuk, beranyah, betetabur, tolak bala. Keperluan air dari sumur bor Listrik dari genset Tanggapan Tim Kajian: tambahan informasi ini memperkaya hasil kajian dan memperkuat justifikasi dari keberadaan area HCV, terutama HCV 1, 3, 4, 5 dan 6 Tutupan lahan di wilayah kajian di sepanjang Sungai Air Besar pernah terbakar pada tahun 2014. Kondisi ini menyebabkan vegetasinya berubah menjadi ladang dan kebun karet milik masyarakat. Saat ini lokasi kajian yang berdekatan dengan Desa Danau Buntar kondisi vegetasinya berupa semak yang sudah terbuka Masyarakat yang menggunakan kayu bakar untuk memasak, mengambil kayu bakar dari kebun sendiri di dalam desa, karena hutan sudah tidak ada. Tanggapan Tim Kajian: tambahan informasi ini memperkaya hasil kajian dan memperkuat justifikasi dari keberadaan area HCV, terutama HCV 1, 3, 4, 5 dan 6 Mendukung pernyataan yang sama seperti yang disampaikan pak Ali Arianto Kondisi tutupan lahan di wilayah kajians sering terbakar dengan puncak kebakaran paling besar tahun 2007 dan terakhir tahun 2015 Kondisi tutupan lahan berupa semak belukar dan sudah tidak ada keberadaan hutan sekunder Masyarakat sangat mendukung adanya perkebunan sawit, karena meningkatkan perekonomian Perusahaan harus melindungi daerah-daerah yang penting bagi lingkungan hidup Pelaksanaan adat sudah jarang Tidak ada yang berkebun di areal Izin Lokasi Areal Izin lokasi dulu tempat mengambil kayu Banyak kebun karet tidak disadap pemiliknya karena harga karet sedang turun. Tanggapan Tim Kajian: tambahan informasi ini memperkaya hasil kajian dan memperkuat justifikasi dari keberadaan area HCV, terutama HCV 1, 3, 5 dan 6 Kondisi tutupan lahan di wilayah hanya berupa semak belukar dan gambut dangkal sedalam 80 cm Tanggapan Tim Kajian: tambahan informasi ini memperkaya hasil kajian dan memperkuat justifikasi dari keberadaan area HCV, terutama HCV 1 dan 4 Setelah perusahaan masuk kampung menjadi maju, aksesibilitas terbuka Harus ada keterbukaan dari elit desa dan perusahaan dalam penentuan plasma
30
Nama; Jabatan/Peran; Organisasi/ Kelompok sosial
Juanisa; Manager IAR; International Animal Rescue (IAR), Ketapang
Darmawan; Direktur; FFI
6.
Hal atau Isu Utama & Rekomendasi / Tanggapan Tm Penilai Tanggapan Tim Kajian: tambahan informasi ini memperkaya hasil kajian dan memperkuat justifikasi dari keberadaan area HCV, terutama HCV 5 dan 6 Hasil survey survey tahin 2014 terhadap potensi konflik orangutan hanya ditemukan di Desa Kedondong dan Desa Pangkalan Batu (Kec. Kendawangan). Pada kedua desa tersebut kondisi hutan sudah terbuka dan berubah menjadi perusahaan baik sawit, karet maupun logging. IAR belum pernah melakukan survey di Kecamatan Manis Mata. Tanggapan Tim Kajian: tambahan informasi ini memperkaya hasil kajian dan memperkuat justifikasi dari keberadaan area HCV, terutama HCV 1 Informasi mengenai sebaran orang utan di wilayah sangat terbatas. Kami belum melakukan kajian intensif tertahap hal tersebut. Tanggapan Tim Kajian: tambahan informasi ini memperkaya hasil kajian dan memperkuat justifikasi dari keberadaan area HCV, terutama HCV 1
Pengelolaan dan Pemantauan HCV
Proses kajian ancaman digunakan untuk membuat prioritas dalam pengelolaan area HCV. Kebanyakan ancaman langsung membawa dampak yang paling tidak diinginkan pada area HCV kemudian diidentifikasi, bersaman dengan yang paling mudah dengan biaya terendah. Proses tersebut akan berfungsi sebagai dasar untuk memungkinkan menanggapi ancaman secara cepat, Menurut kajian HCV di areal Izin Lokasi PT UAI L terdapat dua tipe area HCV, yaitu HCV 1 dan 4. Kajian ancaman menunjukkan bahwa setiap tipe HCV yang teridentifikasi umumnya memiliki potensi dampak yang tinggi hingga sangat tinggi, perlindungan untuk area HCV 4 yang memiliki potensi dampak yang relatif rendah. Ringkasan hasil penilaian ancaman terhadap area HCV yang teridentifikasi tersaji pada Tabel 6.1. Tabel 6.1. Ringkasan hasil penilaian ancaman terhadap HCV yang teridentifikasi Apa yang terjadi sekarang / Apa tekanan HCV 1
Potensi dampak terhadap nilainilai
Berkurangnya vegetasi hutan dataran rendah di sempadan sungai
Tinggi
Pembukaan lahan
Berkurangnya jumlah dan populasi spesies terancam punah
Sedang
Penebangan vegetasi belukar hutan dataran rendah yang tersisa di sempadan sungai Perburuan satwa terancam punah
Penyebab / Sumber (potensi kontribusi terhadap tekanan
Keterangan
Tingginya klaim masyarakat terhadap lahan yang bermotif untuk tuntutan penggantian lahan kepada pihak lain Tingginya klaim masyarakat terhadap lahan yang bermotif tuntutan untuk Tingginya penangkapan penggantian lahanpunah spesies terancam kepada pihak lain seperti biuyu/bidawang, kura-kura ambon, kurakura punggung datar dan kura-kura duri untuk
HCV 4 diperjualbelikan
Ringkasan Publik Kajian HCV PT Usaha Agro Indonesiua
31
Apa yang terjadi sekarang / Apa tekanan Penurunan kualitas air
Potensi dampak terhadap nilainilai Tinggi
Penyebab / Sumber (potensi kontribusi terhadap tekanan Alih fungsi lahan di sempadan sungai yang dapat menurunkan fungsi sempadan Pembalakan liar yang dapat mengancam keberadaan vegetasi belukar hutan dataran rendah di sempadan sungai Flukstuasi debit aliran yang tinggi antara musim hujan dan musim kemarau.
Keterangan Tutupan lahan di sempadan sungai hanya berupa belukar Aliran sungai pada musim hujan berpotensi menyebabkan flash flood yang memiliki energi kinetik yang sangat besar
Setiap tipologi area HCV di dalam wilayah kajian mempunyai karakteristik dan fungsi yang khas. Ancaman terhadap area tersebut dikategorikan sebagai kegiatan-kegiatan yang dapat mengancam keberlanjutan dan kontinuitas dari fungsi area tersebut. Berdasarkan jenisnya, ancaman terhadap keberadaan area HCV dibedakan menjadi ancaman aktual, yaitu ancaman yang saat ini dijumpai di wilayah kajian, serta ancaman potensial, yaitu ancaman yang diprediksikan akan terjadi di masa depan apabila tidak dilakukan tindakan antisipasi dan mitigasi. Penjelasan mengenai ancaman terhadap keberadaan area HCV di wilayah kajian tersaji pada Tabel 6.2. Tabel 6.2. Keberadaan area HCV dan ancaman utamanya di areal Izin Lokasi PT UAI HCV 1
Deskripsi Area HCV Keberadaan area untuk habitat spesies terancam punah dan refugia (Trenggiling, Sero ambrang, Biuyu, Kura-kura duri, kurakura punggung datar dan Kura-kura ambon) Keberadaan badan air sungai Keberadaan sempadan sungai sebagai pengendali banjir dan perangkap sedimentasi
4
Ancaman Utama Pembukaan lahan yang mengancam ekosistem hutan dataran rendah dengan vegetasi belukar , sebagai habitat spesies terancam punah dan refugia Perburuan satwa Alih fungsi lahan di sempadan sungai yang dapat menurunkan fungsi sempadan Pembalakan liar yang dapat mengancam keberadaan vegetasi belukar di sempadan sungai Flukstuasi debit aliran yang tinggi antara musim hujan dan musim kemarau. Aliran sungai pada musim hujan berpotensi menyebabkan flash flood yang memiliki energi kinetik yang sangat besar
6.1.
Rekomendasi Pengelolaan dan Pemantauan
6.2.
Mitigasi Ancaman
Hasil penilaian ancaman telah memberi pilihan terhadap tindakan yang perlu dilakukan untuk meminimalisir atau mengurangi ancaman terhadap HCV. Selanjutnya, pengelola kebun perlu mengembangkan rencana tertulis (yang didokumentasikan) untuk memelihara atau meningkatkan HCV serta mengintegrasikannya ke dalam rencana pengelolaan yang operasional. Rencana ini menjelaskan tujuan khusus dan strategi pengelolaan untuk masingmasing HCV dan menimbang dengan seksama hasil penilaian ancaman yang relevan.
32
Berdasarkan hasil kajian telah teridentifikasi beberapa yang menjadi ancaman keberadaan area-area HCV yang menjadi dasar untuk keperluan rekomendasi pengelolaan dan pemantauan seperti tersaji pada Tabel 6.3. Tabel 6.3. Deskripsi area HCV dan ancaman untuk keperluan rekomendasi pengelolaan dan pemantauan di areal Izin Lokasi PT UAI HCV
Ancaman
HCV 1: Keberadaan spesies terancam punah dan refugia
Pembalakan kayu dan pembukaan lahan yang mengancam ekosistem vegetasi belukar hutan dataran rendah sebagai habitat spesies terancam punah dan refugia Perburuan satwa
HCV 4: Keberadaan area, pengendali banjir dan perangkap sedimentasi
Alih fungsi lahan di sempadan sungai yang dapat menurunkan fungsi sempadan sungai Pembalakan liar yang dapat mengancam keberadaan vegetasi alami di sempadan sungai Flukstuasi debit aliran yang tinggi antara musim hujan dan musim kemarau.
Rekomendasi Pengelolaan Pemantauan • Survey keberadaan spesies TIdak ada pembukaan kunci (seperti Trenggiling, lahan di vegetasi semak Sero ambrang, Biuyu, Kurasekitar sempadan sunga kura duri, kura-kura Air Besari punggung datar dan KuraPembinaan masyarakat kura ambon) mengenai perburuan • Survey kondisi vegetasi satwa semak belukar hutan dataran rendah, khususnya untuk habitat trenggiling di sekitar sempadan sungai Air Besar • Patroli pemantaun secara regular untuk mengelola batas area HCV Tidak ada penebangan Patroli regular batas area dan pembukaan lahan HCV pada area sempadan Pembuatan stasiun sungai yang telah pengamatan tinggi muka ditetapkan sebagai area air pada lokasi yang HCV mewakili daerah tangkapan Pengayaan tanaman di air sempadan sungai yang Pengukuran kualitas air sudah terbuka secara berkala (6 bulan sekali) dengan parameter Pembuatan embung air pada area cekunganCOD, BOD, TSS dan DO cekungan untuk Dokumentasi kejadian menahan laju limpasan banjir dan dampaknya permukaan Dokumentasi dan Pengukuran kualitas air sosialisasi kepada secara berkala (6 bulan masyarakat sekitar tentang sekali). arti penting fungsi sungai Pelaksanaan manajemen dan semapdannya air yang baik untuk meningkatkan kualitas air sungai dan mengurangi banjir Sosialisasi kepada karyawan dan masyarakat sekitar Sosialisasi dan pengawasan kepada kontraktor pada kegiatan pembukaan lahan
Ringkasan Publik Kajian HCV PT Usaha Agro Indonesiua
33
6.3.
Pengukuhan area, Penyadartahuan dan Penguatan Kapasitas
Beberapa rekomendasi penting lainnya dalam pengelolaan area HCV di wilayah kajian sebagai berikut: 1. Pemetaan dan deliniasi luasan areal HCV di wilayah kajian yang terdokumentasikan pada Berita Acara Delineasi Area HCV; 2. Deklarasi area HCV yang telah dideliniasi sebagai area HCV Perusahaan (definitif) dan menuangkannya ke dalam peta resmi Perusahaan (Peta HCV PT UAI). 3. Demarkasi area HCV yaitu berupa penandaaan batas-batas yang bersifat permanen dari setiap area HCV di lapangan dengan menggunakan bahan yang tahan lama, tidak mudah hilang atau rusak, dan dapat terlihat jelas; 4. Penyusunan Rencana Pengelolaan (management plan) dan Pemantauan (monitoring) HCVdengan mempertimbangkan: a. Aspek perlindungan spesies, karena tidak semua spesies satwa terancam punah memiliki area berlindung atau jalur melintasi kebun yang jelas, juga mempertimbangkan ketersambungan (connectivity) antar area-area HCV dan dengan lansekap lokal secara keseluruhan. b. Penguatan jalinan komunikasi dengan perusahaan lain yang ada di sekitar untuk membangun rencana kelola dan rencana aksi perlindungan area-area HCV c. Melibatkan masyarakat setempat, karena kepentingan dan manfaat dari keberadaan HCV merupakan kepentingan dan manfaat semua pihak 5. Menginformasikan keberadaan area HCV di dalam kebun, batas indikasi area HCV, fungsi area HCV kepada karyawan, masyarakat sekitar kebun, pemerntah desa dan lembaga adat). 6. Membangun kelembagaan untuk pengelolaan area HCV: a. Membentuk unit manajemen untuk memastikan tercapainya tujuan pengelolaan area HCV. b. Melatih staf atau merekrut staf yang memiliki kualifikasi yang diperlukan untuk pengelolaan area HCV. c. Menyiapkan kebijakan, dan prosedur standar untuk tercapainya tujuan pengelolaan area HCV 7. Penguatan kapasitas dalam identifikasi pengelolaan, monitoring dan evaluasi: a. Pelatihan monitoring, misalnya dasar-dasar identifikasi satwa, pengukuran kualitas air, stakeholder engagement. b. Penerapan prosedur dan kebijakan secara konsisten. c. Penyusunan prosedur dan protokol baru.
34
Daftar Pustaka Arsyad,S. 1989.Konservasi Tanah dan Air,IPB,Bogor. [BPS] Kabupaten Ketapang. 2014. Kabupaten Ketapang Dalam Angka Tahun 2014. BPS Kabupaten Ketapang. Indonesia. [BPS] Kabupaten Ketapang. 2014. Kecamatan Manis Mata Dalam Angka Tahun 2014. BPS Kabupaten Ketapang. Indonesia. [BPS] Kabupaten Ketapang. 2014. Kecamatan Kendawangan Dalam Angka Tahun 2014. BPS Kabupaten Ketapang. Indonesia. [Ditjen Perkebunan], 2014. Statistik Perkebunan Indonesia 2013-2015, Kelapa Sawit, Direktorat Jenderal Perkebunan, Kementrian Pertanian, Jakarta 2014. [Dinas Perkebunan] 2015. Kegiatan Pembangunan Perkebunan di Provinsi Kalimantan Barat 2015, Dinas Perkebunan, Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat. [PT Usaha Agro Indonesia], 2015. Analisis Dampak Lingkungan (ANDAL) Addendu Pembangunan Perkebunan dan Pabrik Pengolahan Kelapa Sawit PT. Usaha Agro Indonesia. Kabupaten Ketapang. Banes, G. L., M. F. Galdikas & Linda Vigilant. 2016. Reintroduction of confiscated and displaced mammals risks outbreeding and introgression in natural populations, as evidenced by orang-utans of divergent subspecies. Scientific Reports 6, Article number: 22026 (2016). http://www.nature.com/articles/srep22026. BirdLife International. 2015. Important Bird Areas factsheet: Kalimantan. Downloaded from http://www.birdlife.org on 05/03/2015. Brown, E., N. Dudley, A. Lindhe, D.R. Muhtaman, C. Stewart, and T. Synnott (eds.). 2013. Common Guidance for the Identification of High Conservation Values. HCV Resource Network. Brown, E. and M.J.M. Senior. 2014 (September). Common Guidance for the Management and Monitoring of HCVs. HCV Resource Network.. CITES. 2014. Appendices I, II and III valid from 14 September 2014. UNEP, Geneva, Switzerland (http://www.cites.org/eng/app/appendices.php). Frost, D. 2013. Amphibian Species of the World 5.0, an Online Reference. The American Museum of Natural History. Forest Watch Indonesia. 2014. Potret Keadaan Hutan Indonesia Periode 2009 – 2013. Bogor: Forest Watch Indonesia Gumbert. A.A., Higgins, S., and Agouridis, C. 2009. Riparian Buffers: A Livestock Best Management Practice for Protecting Water Quality. University of Kentucky, College of Agriculture. Lexington. Inger, R.F. and R.B. Stuebing, 1997. A Field guide to The Frogs of Borneo. Natural History Publications (Borneo) Sdn.Bhd., Kota Kinabalu, Sabah. Iskandar, D.T. 2000. Kura-kura dan Buaya Indonesia & Papua Nugini, dengan catatan mengenai jenis-jenis di Asia Tenggara. IUCN, ITB dan World Bank. IUCN, 2015. Red List of Threatened Species. Version 2014.3. <www.iucnredlist.org>. Downloaded on 12 Mei 2015. Jennings, S. and J. Jarvie. 2003. A Sourcebook for Landscape Analysis of High Conservation Value Forest. Version I. ProForest. Jennings, S., Nussbaum, R., Judd N., and Evans T. 2003. The High Conservation Value Forest Toolkit. Edition 1. ProForest, Oxford. UK.
Ringkasan Publik Kajian HCV PT Usaha Agro Indonesiua
35
King, V. T. (Ed.). 2013. Kalimantan Tempo Doeloe. Komunitas Bambu. Depok, Indonesia. Koentjaraningrat, 1989, Pengantar Antropologi, Penerbit Aksara Baru, Jakarta, Jakarta. Konsorsium Revisi HCV Toolkit Indonesia. 2008. Panduan identifikasi kawasan benilai konservasi di Indonesia. Jakarta. Kottelat, M., A.J. Whitten, S.N. Kartikasari, S. Wirjoatmodjo. 1993. Ikan Air Tawar Indonesia Bagian Barat dan Sulawesi. Periplus Edition (HK) Ltd. dan Proyek EMDI KMNKLH Jakarta. MacKinnon, J., K. Phillipps, B. van Balen. 2000. Burung-burung di Sumatera, Jawa, Bali dan Kalimantan. LIPI dan BirdLife IP. MacKinnon, K., G. Hatta, H. Halim, A. Mangalik. 1996. The Ecology of Kalimantan. Periplus Edition (HK) Ltd. Maryanto, I., A.S., Achmadi., dan AP., Kartono. 2008. Mammalia dilindungi PerundangUndangan Indonesia. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Bogor. Maryono, A. 2009. Kajian Lebar Sempadan Sungai (Studi Kasus Sungai-Sungai di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Masykhur, A. 2010. Beraja Niti; Fiqh Aplikatif Rakyat Kesultanan Kutai Kartanegara Ing Martadipura. Presented paper in Annual Conference on Islamic Studies. Banjarmasin, 1-4 November 2010. Natural Resources Conservation Service. 2003. Where The Land and Water Meet. A Guide for Protection and Restoration of Riparian Areas. U.S.Department of Agriculture. Noerdjito, M. dan I. Maryanto (ed.). 2001. Jenis-jenis hayati yang dilindungi Perundangundangan Indonesia. 2nd Ed. Museum Zoologicum Bogoriense, The Nature Conservancy dan USAID. Bogor. Payne, J., C.M. Francis, K. Phillipps, dan S.N. Kartikasari. 2000. Panduan lapangan mamalia di Kalimantan, Sabah, Sarawak & Brunei Darussalam. The Sabah Society, Wildlife Conservation Society-Indonesia Programme dan WWF Malaysia. Prihatna, D. 2009. Kajian Ekosistem Pulau Kalimantan. Departemen of Conservation Spatial Planning, WWF Indonesia. ProForest. 2003. The High Conservation Value Forest Toolkit. Edition 1. Oxford. ProForest. 2008. Good Practice Guidelines for High Conservation Value Assessment: a Practical Guide for Practitioners and Auditors. 1st Edition. Oxford. UK. RePPProT. 1990. The Land Resources of Indonesia: A National Overview. Regional Physical Planning Programme for Transmigration. Direktorat Bina Program, Direktorat Jenderal Penyiapan Pemukiman, Departemen Transmigrasi; Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional; Department Natural Resources Institute, UK Overseas Development Administration. Jakarta. RSPO. 12th May 2010. RSPO New Planting Procedures: Format for Summary Report of SEIA and HCV Assessments. RSPO. 2007. RSPO Principles and Criteria for Sustainable Palm Oil Production. RSPO-INA-NIWG. September 2007. Interpretasi Nasional Prinsip dan Kriteria untuk Produksi Minyak Sawit Berkelanjutan. Stewart, C., George, P., Rayden, T and Nussbaum, R. 2008. Good practice guidelines for High Conservation Value assessments; A practical guide for practitioners and auditors. ProForest, Oxford. UK. Stuebing, R.B. and R.F. Inger. 1999. A Field Guide to The Snakes of Borneo. Natural History Publications (Borneo). Kota Kinabalu. Sukmantoro, W., M. Irham., W. Novarino., F. Hasudungan., N. Kemp., dan M. Muchtar. 2007. Daftar Burung Indonesia No. 2. Ornihologists’ Union, Bogor.
36
Uetz, P. & Jirí Hošek (eds.), The Reptile Database, http://www.reptile-database.org, accessed Aug 1, 2015. Wilson, D.E & DeeAnn M. Reeder (editors). 2005. Mammal Species of the World. A Taxonomic and Geographic Reference (3rd ed), Wiradisastra, U,et al.1999.Geomorfologi dan Analisis Landskap. Laboratorium Penginderaan Jauh dan Kartografi. Jurusan tanah. Fakultas pertanian IPB, Bogor.
Ringkasan Publik Kajian HCV PT Usaha Agro Indonesiua
37