41
DATA DAN ANALISIS
Aspek Kesejarahan Kawasan
Penelusuran Bentuk dan Fungsi Arsitektural Situs Muara Takus berasal dari nama sebuah anak sungai bernama Takus yang bermuara di Batang Sungai Kampar Kanan. Nama Muara Takus berasal dari kata “Muara” dan “Takus”, dimana, kata “Muara” berarti suatu tempat dimana sebuah sungai mengakhiri alirannya ke laut atau ke sungai yang lebih besar, sedangkan “Takus” berasal dari bahasa Cina “takuse” yang artinya “TA”= besar, “KU”= tua, dan “SE”= candi. Jadi pengertian keseluruhan dari nama “Muara Takus” adalah candi tua besar yang terletak di muara sungai. Candi Muara Takus memiliki struktur bangunan yang terbuat dari bahan batuan merah. Bahan tersebut diyakini sebagai tempat para dewa bertahta oleh komunitas Budhis. Ciri utama yang menunjukkan bahwa Candi Muara Takus merupakan bangunan suci dalam agama Budha adalah dari keberadaan stupanya. Arsitektur bangunan stupa yang ada pada Candi Muara Takus sangat unik karena tidak ditemukan di tempat lain di Indonesia. Bentuk stupa tersebut yaitu ornamen sebuah roda dan kepala singa. Bentuk stupa memiliki kesamaan dengan stupa Budha di Myanmar, stupa di Vietnam, Sri Lanka atau stupa kuno di India pada periode Asoka. Berdasarkan hasil penelitian arkeologi tahun 1994, peninggalan arkeologi di kawasan Candi Muara Takus terdiri atas pagar keliling, Candi Tua, Candi Bungsu, Candi Mahligai, Candi Palangka, Bangunan I, Bangunan II, Bangunan III, Bangunan IV, Bangunan VII, dan Tanggul kuno. Selain bangunan, bendabenda bersejarah lain juga ditemukan di dalam kawasan Candi Muara Takus yaitu berupa fragmen arca singa, fragmen arca gajah pada puncak candi Mahligai, inskripsi mantra dan pahatan vajra, serta gulungan daun emas yang juga dipahat mantra dan gambar vajra pada bagian permukaannya. Posisi dari peninggalan arkeologi Candi Muara Takus dapat dilihat pada Gambar 6 dengan denah bangunan utama candi pada Gambar 7.
42
Gambar 6. Lokasi Peninggalan Arkeologi di Kawasan Candi Muara Takus. (Sumber: Digambar ulang dari Dinas Perhubungan, Pariwisata dan Seni Budaya Kampar, 2007)
Gambar 7. Denah Bangunan Utama Candi Muara Takus. (Sumber: Digambar ulang dari Dinas Perhubungan, Pariwisata dan Seni Budaya Kampar, 2007)
43
Peninggalan arkeologis yang ada dalam kawasan Candi Muara Takus tidak semua dapat diidentifikasi fungsinya. Hal ini dikarenakan sebagian bangunan saja tidak memiliki kelengkapan struktur. Peninggalan-peninggalan yang masih dapat diketahui fungsinya adalah pagar keliling, Candi Tua, Candi Bungsu, Candi Mahligai, Candi Palangka, bangunan I dan II, bangunan III, bangunan IV, bangunan V dan VI, bangunan VII, dan Tanggul Kuno (Arden Wall). Deskripsi tiap-tiap bangunan dijelaskan sebagai berikut.
1.
Pagar Keliling Pagar terbuat dari balok-balok batu pasir berbentuk bujur sangkar dengan ukuran 74 m x 74 m dan berorientasi Barat Laut – Tenggara. Pagar tersebut mengelilingi bangunan Candi Muara Takus, dengan ketinggian 1 meter dan lebar + 1,20 meter (Gambar 8). Pada bagian utara pagar terdapat pintu masuk menuju kawasan utama Candi Muara Takus. Keberadaan pagar keliling dalam bangunan berperan sebagai batas pemisah sektor dalam suatu kawasan percandian yang memiliki beberapa kadar kesakralan atau kesucian yang berbeda dan bertingkat. Area di dalam batas pagar batu keliling merupakan bagian paling penting dan suci. Hal ini didukung pula dengan penemuan sisa stupa terbesar pada kawasan tersebut.
U
Gambar 8. Pagar Keliling Kawasan Candi Muara Takus (Sumber : Survei Lapangan, 2010)
2. Candi Tua Candi Tua merupakan candi yang terbesar di kawasan Candi Muara Takus. Bangunan ini terbuat dari batu bata cetak dan batu pasir (tuff) dan terletak
44
sebelah utara Candi Bungsu. Candi Tua berukuran 32,80 m x 21,80 m dengan tinggi 8,50 m (Gambar 9). Pada sisi timur dan barat terdapat tangga yang menurut perkiraan dihiasi stupa, sedangkan pada bagian bawah dihiasi patung singa dalam posisi duduk. Bangunan ini mempunyai 36 sisi dan terdiri dari bagian kaki I, bagian kaki II, bagian tubuh dan puncak. Namun, bagian puncaknya telah rusak dan batu-batunya banyak yang hilang. Volume Candi Tua adalah 2.235 m3 yang terdiri dari 2.028 m3 bagian kaki, 150 m3 bagian tubuh, dan 57 m3 bagian puncak. Berdasarkan sejarah kawasan, pada bagian atas candi diperkirakan berdiri sebuah stupa yang sangat besar. Namun, saat ini yang tersisa hanya bagian dasarnya saja sehingga tidak dapat memberi petunjuk yang berkaitan dengan bentuk dari stupa tersebut. Dilihat dari bentuk denah candi yang bertingkat dan memiliki ragam segi, susunan ini mengingatkan pada struktur sebuah “yantra”. Yantra adalah alat pembantu dalam ritual Tantrayana. Jenis “yantra” yang menjadi patokan dalam pembangunan candi ini belum dapat dipastikan. Tetapi, Ciri utama bangunan berupa ukuran yang sangat besar, adanya dua tangga masuk di sisi barat dan timur serta keberadaan selasar yang cukup memadai untuk melakukan ritual pradaksina menandakan bahwa bangunan candi tua adalah candi utama dalam kawasan ini. Pradaksina adalah ritual Buddhist yang dilakukan dengan cara berjalan mengelilingi stupa dengan mengikuti arah jarum jam.
(a) Candi Tua
(b) Denah Candi Tua
Gambar 9. Candi Utama di Kawasan Percandian Muara Takus (Sumber: Digambar ulang dari Dinas Perhubungan, Pariwisata dan Seni Budaya Kampar, 2007)
45
3. Candi Bungsu Candi Bungsu terletak di sebelah barat Candi Mahligai. Bangunannya terbuat dari dua jenis batu, yaitu batu pasir (tuff) pada bagian depan dan batu bata pada bagian belakang. Candi Bungsu berbentuk empat persegi panjang dengan ukuran 7,50 x 16,28 m, dan tinggi (setelah dipugar) 6,20 m dari permukaan tanah, serta volumenya 365,80 m3.
Candi bungsu memiliki
struktur kepurbakalaan yang unik, karena pada bangunan terdapat dua karakter susunan stupa yang terletak pada satu platform (Gambar 10a). Pada bagian selatan platform terdapat sisa bangunan menunjukan pada platform tersebut terdapat sebuah stupa besar yang dikelilingi oleh 8 stupa yang lebih kecil. Gambaran ini memiliki kesamaan konfigurasi dengan yantra dari India, salah satu pusat penyebaran agama Budha. Pada bagian selatan platform Candi Bungsu, terlihat denah stupa tunggal (Gambar 10b). Bagian kaki yang menopang stupa saat ini sudah tidak terlihat. Pada platform Candi Bungsu hanya terdapat satu tangga naik, yaitu di bagian utara candi. Hal ini diperkirakan terkait erat dengan runutan prosesi upacara ritual keagamaan yang pernah dilakukan dalam kawasan.
(a) Candi Bungsu
(b) Denah Dua Platform Candi Bungsu
Gambar 10. Candi Bungsu Memiliki Struktur Kepurbakalaan yang Unik (Sumber: Digambar ulang dari Dinas Perhubungan, Pariwisata dan Seni Budaya Kampar, 2007)
4. Candi Mahligai Bangunan Candi Mahligai berbentuk bujur sangkar berukuran 10,44 x 10,60 m. Tingginya sampai ke puncak 14,30 m yang berdiri di atas pondamen
46
segi delapan (astakomas) dan bersisikan sebanyak 28 buah. Pada alasnya terdapat teratai berganda. Di tengahnya menjulang menara. Berdasarkan penelitian Cornet De Groot (1860), pada bagian puncak candi diperkirakan terdapat makarel tetapi tidak ditemukan. Selain itu, De Groot menemukan patung singa dalam posisi duduk pada setiap sisi candi. Di sebelah timur terdapat teras bujur sangkar dengan ukuran 5,10 x 5,10 m dan di depannya terdapat sebuah tangga. Volume bangunan Candi Mahligai adalah 423,20 m3. Candi Mahligai adalah candi dengan kelengkapan struktur bangunan paling baik jika dibandingkan dengan candi-candi lainnya. Keunikan candi terdapat pada bentuknya yang seperti menara. Ahli sejarah memperkirakan pada puncak menara terdapat stupa dan kelengkapan lainnya. Sedangkan, pada bagian dasarnya dengan mengacu pada struktur dasar stupa agama Budha candi Mahligai memiliki badan menara yang ditopang oleh pelipit berbentuk kelopak lotus. Candi Mahligai dengan kelengkapan strukturnya dapat dilihat pada Gambar 11.
(a) Candi Mahligai
(b) Tampak Depan
(c) Tampak Atas
Gambar 11. Candi Mahligai dengan Kelengkapan Strukturnya. (Sumber: Digambar ulang dari Dinas Perhubungan, Pariwisata dan Seni Budaya Kampar, 2007)
Bentuk fisik dari struktur Candi Mahligai stupa telah banyak mengalami perubahan, tetapi konsep yang disimbolkan oleh candi tersebut tidak berubah. Peran candi Mahligai sebagai stupa membuat tingkat peranan candi cukup penting tetapi belum sebanding dengan peranan dan fungsi candi utama. Hal ini didukung oleh fakta penggunaan figur minor dalam ikonografi Budha yang
47
ditempatkan di bagian puncak candi. Meskipun demikian, penemuan inskripsi yang berisi mantra berbingkai wajra pada bagian depan candi Mahligai menyatakan bahwa candi tersebut juga berperan dalam ritual-ritual keagamaan yang dilakukan masyarakat Budhis pada masa lampau, khususnya aliran Mahayana-Wajrayana,
atau aliran Tantrayan-Mantrayana
yang sering
melakukan ritual dengan banyak mantra.
5. Candi Palangka Bangunan Candi Palangka terletak 3,85 meter sebelah timur Candi Mahligai dan terbuat dari bata merah. Candi ini adalah candi terkecil di kawasan Candi Muara Takus. Di bagian sebelah utara terdapat tangga dalam keadaan rusak, sehingga tidak diketahui bentuk aslinya. Kaki candinya berbentuk segi delapan dengan sudut banyak berukuran panjang 6,60 m, lebar 5,85 m dan tinggi 1,45 m dari permukaan tanah dengan volume 52,90 m3. Candi Palangka yang terdiri dari Bagian Kaki dan Tubuh Candi dapat dilihat pada Gambar 12.
(a) Candi Palangka
(b) Kawasan Bangunan Utama
Gambar 12. Candi Palangka yang terdiri dari Bagian Kaki dan Tubuh Candi. (Sumber: Digambar ulang dari Dinas Perhubungan, Pariwisata dan Seni Budaya Kampar, 2007)
Relung-relung penyusunan batu candi ini tidak sama dengan dinding Candi Mahligai. Sebelum dipugar bagian kaki Candi Palangka terbenam + 1 meter. Candi Palangka mulai dipugar pada tahun 1987 dan selesai tahun 1989.
48
Pemugaran dilaksanakan hanya pada bagian kaki dan tubuh candi karena bagian puncaknya waktu ditemukan tahun 1860 sudah tidak ada lagi.
6. Bangunan I dan II Terdapat disebelah timur Candi Tua. Bangunan terdiri dari gundukan tanah yang menutup sisa-sisa reruntuhan bangunan. Bangunan I terbuat dari balok-balok batu pasir dan memiliki dua lubang dalam onggokan tanahnya. Bangunan ini diperkirakan berfungsi sebagai tempat pembakaran jenazah. Dimana, lubang pertama berfungsi sebagai pintu masuk bagi jenazah yang akan di kremasi sementara lubang kedua berfungsi untuk tempat mengeluarkan abu dari jenazah tersebut. Bangunan II terletak di sebelah selatan Bangunan I. Bangunan tersebut merupakan bekas pondasi bangunan yang terbuat batu pasir (tuff) berbentuk segi empat. Saat ini bangunan tersebut sudah tidak tersisa lagi, yang tampak hanya gundukan tanah. Kondisi struktur bangunan yang minim membuat fungsi bangunan sampai saat ini belum diketahui secara pasti. Gambar 13. Menunjukan kondisi dari Bangunan I dan Bangunan II saat ini.
(a) Bangunan I
(b) Bangunan II
Gambar 13. Banguan Bersejarah yang Tidak Berbentuk Candi. (Sumber : Survei Lapangan, 2010)
7. Bangunan III Bangunan ini terletak 135 m di sebelah barat Candi Mahligai dan berada di luar pagar keliling. Bangunan III ini berbentuk segi empat dengan ukuran 3 m
49
x 2,40 m, dikelilingi oleh pagar dari batu bata dengan ukuran 4,92 m x 5,94 m, dan tidak ada pintu masuk. Volume bangunan 12,90 m3 dan volume pagar 3,40 m3. Bagian tubuh bangunan rata, tidak memiliki pelipit. Bagian kaki mempunyai tonjolan di dua sisi sebelah barat laut dan barat daya. Bangunan ini selesai dipugar tahun 1983 bersamaan dengan selesainya pemugaran Candi Mahligai. Berdasarkan penelitian 1994 bangunan III belum diketahui fungsinya namun diperkirakan berkaitan dengan upacara pengambilan air yang digunakan dalam upacara keagaman di Candi Muara Takus.
8. Bangunan IV Bangunan ini terletak 298 m di sebelah barat laut Candi Mahligai dan berada di tengah hutan karet. Bangunan ini ditemukan pada eskavasi tahun 1983, dan disertai dengan penemuan fragmen tangkai cermin perunggu dan pecahan keramik Cina di sela-sela struktur lantai Bangunan IV yang terbuat dari susunan bata. Bangunan IV diduga adalah bekas lantai kolong dari sebuah rumah panggung yang penghuninya berasal dari kalangan atas. Kemungkinan bangunan ini adalah sisa permukiman, namun tidak menutup kemungkinan bahwa cermin perunggu yang ditemukan adalah cermin perunggu yang dipakai sebagai salah satu ritual pendeta Budha. Bangunan ini telah tertutup tanah sehingga tidak terlihat lagi.
9. Bangunan V dan VI Dua bangunan ini terletak 334 meter sebelah barat pusat Candi Mahligai dan berada di seberang Sungai Kampar. Dua bangunan ini ditemukan ketika dilakukan penggalian. Keadaannya hanya tinggal pondasi dan tubuh. Bagian puncak sudah rusak dan roboh.
10. Bangunan VII Bangunan VII terletak di sebelah utara Sungai Umpamo berupa struktur lantai bata. Menurut informasi Malik dan Hasmi, staf teknis pemugaran Candi Tua, di sebelah utara jembatan Sungai Umpamo pernah ditemukan struktur
50
lantai bata. tetapi tahun 1994 Bangunan VII sudah tidak dapat dilihat lagi karena rusak akibat kegiatan pembangunan jalan
11. Tanggul Kuno (Arden Wall) Tanggul kuno berjarak ± 20 m dari tepi timur Sungai Kampar Kanan. Berdasarkan penelitian tahun 1982, tanggul tersebut diperkirakan adalah pagar kedua yang melindungi kawasan situs dari luapan Sungai Kampar Kanan di saat hujan atau saat terkena pasang. Bentuk denah dari tanggul kuno adalah temu gelang dengan panjang keliling 4,19 Km. Struktur tanggul kuno terbuat dari gabungan tanah yang dipadatkan dengan rangkaian krikil dan batu bata (Gambar 14). Pada awal tahun 1992 Tokyo Electric Power Limited melaksanakan kegiatan pembangunan proyek Pembangkit Listrik Tenaga Air, pembangunan tersebut merupakan program pemerintah yang bekerja sama dengan pemerintah Jepang. Dalam pelaksanaannya, dibangun sebuah bendungan sehingga terbentuk waduk. Waduk tersebut telah menenggelamkan sejumlah desa di sekitar Muara Takus serta sisi utara tanggul kuno sepanjang 525,5 m.
Gambar 14. Batas Tanggul Kuno yang Terbuat dari Tanah (Sumber : Survei Lapangan, 2010)
Candi Muara Takus sebagai peninggalan arkeologis dari masa kejayaan Kerajaan Sriwijaya dapat diklasifikasikan menjadi bangunan utama (major
51
features), bangunan pendukung (minor features), batas dan ornamen. Identifikasi feature arsitektur sejarah Candi Muara Takus dapat dilihat pada Tabel 7.
Table 7. Identifikasi Fitur Arsitektur Candi Muara Takus Objek Sejarah 1. Bangunan Utama Candi Tua Candi Bungsu Candi Mahligai Candi Palangka Bangunan I Bangunan II 2. Bangunan Pendukung Bangunan III Bangunan IV Bangunan VII 3. Batas Pagar Batu Keliling Tangul Kuno 4. Ornamen Stupa Fragmen arca Inskripsi mantra Pahatan vajra Pelataran Sumber : Hasil Analisis, 2010
Tipe/Gaya
Usia
Lokasi
Arsitektur Klasik Arsitektur Klasik Arsitektur Klasik Arsitektur Klasik Arsitektur Klasik Arsitektur Klasik
Masa Klasik Madya Masa Klasik Madya Masa Klasik Madya Masa Klasik Madya Masa Klasik Madya Masa Klasik Madya
Ruang Sakral Ruang Sakral Ruang Sakral Ruang Sakral Ruang Sakral Ruang Sakral
Arsitektur Klasik Arsitektur Klasik
Masa Klasik Madya Masa Klasik Madya
Ruang Sakral Ruang Madya
Arsitektur Klasik
Masa Klasik Madya
Ruang Profan
Vernakular Vernakular
Masa Klasik Madya Masa Klasik Madya
Ruang Madya Ruang Madya
Arsitektur Klasik Arsitektur Klasik Arsitektur Klasik Arsitektur Klasik Arsitektur Klasik
Masa Klasik Madya Masa Klasik Madya Masa Klasik Madya Masa Klasik Madya Masa Klasik Madya
Ruang Sakral Ruang Sakral Ruang Sakral Ruang Sakral Ruang Profan
Berdasarkan penggolongan fitur arsitekturnya kawasan Candi Muara Takus memiliki tipe dan gaya arsitektur kalsik dengan pengaruh agama Budha yang kuat pada arca dan stupanya. Usia bangunan cukup tua karena diperkirakan dibangun pada masa klasik madya yaitu 900 M -1250 M (Pemerintah Daerah Kabupaten Kampar, 2010). Berdasarkan gaya arsitektur dan usianya diketahui bahwa kawasan Candi Muara Takus adalah bangunan suci yang menjadi pusat penyebaran agama Budha yang pendiriannya berkaitan erat dengan Kerajaan Sriwijaya. Hal ini juga didukung oleh bukti bahwa selain Candi Muara Takus tidak ada lagi temuan kepurbakalaan Hindu-Budha di Sumatera yang menghadap arah timur laut sebagaimana filosofi dalam ajaran Budha. Penggolongan fitur arsitektur tersebut juga berperan dalam membentuk zona kesakralan dalam kawasan. Zona tersebut terdiri dari tiga ruang utama dengan tingkatan kesakralan yang berbeda yaitu ruang sakral, madya dan profan (Gambar 15).
52
53
Penelusuran Kesejarahan dan Signifikansi Situs Candi Muara Takus pertama kali ditemukan oleh Cornet De Groot pada tahun 1860 yang ditulis dalam buku yang berjudul “Koto Candi”. Buku tersebut banyak menarik perhatian para ahli sehingga dilakukan beberapa penelitian. Berdasarkan hasil penelitian tersebut diketahui bahwa Candi Muara Takus adalah peninggalan abad XII yang berkaitan erat dengan Kerajaan Sriwijaya. Kerajaan Sriwijaya merupakan kerajaan maritim yang ibukotanya selalu berpindah-pindah. Pemilihan suatu ibukota biasanya dikaitkan dengan masalah perdagangan, keamanan dan lain sebagainya. Kerajaan Sriwijaya adalah salah satu kerajaan besar di Nusantara dan diperkirakan berdiri dari abad 7–13 M. Wilayah kekuasaan Kerajaan Sriwijaya terbentang dari Thailand Selatan dan Semenanjung Melayu di utara, sampai ujung Selatan Pulau Sumatera, bahkan menyerang Pulau Jawa. Sejarah yang terkait dengan Kerajaan Sriwijaya menjadi polemik yang berkepanjangan diantara ahli sejarah dan arkeolog. Letak ibukotanya telah menjadi bahan perdebatan sejak awal abad 20 M. Sejarah mengungkapkan bahwa terdapat beberapa tempat yang memiliki kemungkinan pernah menjadi ibukota Kerajaan Sriwijaya. Tempat tersebut diantaranya Palembang, Jambi dan Riau. Alasan ketiga tempat tersebut berpotensi menjadi ibukota Kerajaan Sriwijaya adalah letak geografis kawasan, keberadaan sungai besar sebagai jalur transportasi air, serta ditemukannya peninggalan arkeologis yang se-zaman dengan masa pemerintahan Kerajaan Sriwijaya. Analisis makna kekhususan dan keunikan pada kawasan Candi Muara Takus dilakukan untuk menentukan tindakan, perlakuan atau treatment pelestarian yang akan dilaksanakan (Tabel 8 dan Tabel 9). Semakin tinggi makna kekhususan sejarah dan tingkat keunikannya maka semakin penting dilakukan suatu tindakan pelestarian terhadap suatu lanskap budaya. Tindakan pelestarian merupakan upaya atau cara untuk mempertahankan serta mendukung keutuhan bentuk dan karakter lanskap budaya. Pelestarian berperan dalam melindungi nilai, warisan atau peninggalan masa lampau terhadap perubahan dan segala sesuatu yang membahayakan keberadaan serta kelestarian lanskap budaya. Suatu wilayah atau kawasan harus memenuhi persyaratan tertentu untuk dapat dikategorikan memiliki makna kekhususan dan keunikan yang tinggi. Harris
54
dan Dines (1988), menetapkan beberapa tipikal dasar yang dapat menentukan tingkat kekhususan dan keunikan suatu lanskap sejarah.
Tabel 8. Hasil Evaluasi Makna Kekhususan Sejarah dari Suatu Lanskap Tipikal Tata guna lahan Persepsi terhadap topografi Hubungan spasial Pola sirkulasi Tipe struktur Penempatan struktur Kualitas estetik
Tinggi √
Sedang
Rendah
√ √ √ √ √ √
Sumber : Hasil Analisis, 2010
Keterangan Tinggi
: Memikili karakter yang berbeda dengan lanskap lainnya dan terkait dengan nilai atau norma dalam ajaran tertentu
Sedang : Memikili karakter yang berbeda dan hanya ada ditempat tersebut Rendah : Memiliki kesamaan karakter dengan beberapa tempat lainnya
Berdasarkan tipikal makna kekhususannya dapat disimpulkan bahwa Kawasan Candi Muara Takus memiliki nilai historikal yang tinggi sehingga perlu dilestarikan keberadaannya. Pada kawasan percandian terdapat suatu aturan tatanan lanskap yang terkait dengan nilai dan norma dalam ajaran agama Budha. Aturan tersebut diaplikasikan pada perilaku terhadap topografi, tata guna lahan, pola sirkulasi serta penempatan struktur dalam lanskap sehingga tercipta hubungan spasial yang khas dan berbeda yaitu berdasarkan tingkat kesucian dan kepentingannya. Tipe struktur candi serta ornamen-ornamen pendukung yang dalam kawasan juga memiliki karakter khusus, dimana struktur dan ornamen dipengaruhi oleh aliran Budha Mahayana serta memiliki kemiripan dengan kawasan Angkor Wat, Kamboja. Karakter tersebut menyebabkan Candi Muara Takus berbeda dengan candi-candi lainnya yang ada di nusantara sehingga dilihat dari kekhususan maknanya Candi Muara Takus juga memiliki nilai kualitas estetik lanskap yang tinggi.
55
Tabel 9. Evaluasi Makna Keunikan Sejarah dari Suatu Lanskap Tipikal Kualitas estetik Inovasi teknologi Asosiasi kesejarahan Integritas Kawasan
Tinggi √ √ √ √
Sedang
Rendah
Sumber : Hasil Analisis, 2010
Berdasarkan tipikal makna keunikannya dapat disimpulkan bahwa Kawasan Candi Muara Takus memiliki tingkat keunikan yang tinggi. Bentukan arsitektur bangunan candi yang kawasan mencirikan bahwa pada masa pembuatannya masyarakat telah mengenal inovasi teknologi dan nilai estetika suatu kawasan atau lanskap. Berdasarkan penilaian faktor kekhususan dan keunikan diketahui bahwa kawasan Candi Muara Takus memiliki nilai yang tinggi. Oleh karena itu, penting dilakukan suatu tindakan pelestarian terhadap suatu lanskap sejarah budaya.
Kondisi Peninggalan Situs Candi Muara Takus Berdasarkan survei lapang (2010), diketahui bahwa jenis, jumlah dan lokasi struktur yang ditemukan dalam kawasan bangunan utama Candi Muara Takus sampai saat ini tidak mengalami perubahan dan tetap dipelihara dengan baik. Namun tidak demikian halnya dengan bangunan yang berada dalam batas wilayah tanggul kuno. Batas fisik tanggul kuno dan ornamen-ornamen yang ada dalam kawasan candi mulai mengalami kerusakan. Penyebabnya adalah pembangunan PLTA Koto Panjang yang telah menenggelamkan 1/3 bagian kawasan (Gambar 16) dalam batas tanggul kuno. Kondisi feature arsitektur sejarah yang ada dalam kawasan Candi Muara Takus dapat dilihat pada Tabel 10. Degradasi fisik peninggalan arkeologis dalam situs Candi Muara Takus tidak hanya disebabkan oleh PLTA Koto Panjang. Pemindahan fragmen dan arca-arca serta adanya pembangunan struktur pendukung yang tidak sesuai dengan tema arkeologis juga berperan dalam menurunkan integritas lanskap dalam kawasan situs tersebut.
56
57
Table 10. Evaluasi Kondisi Arsitektur Sejarah Candi Muara Takus Objek Sejarah 1. Bangunan Utama Candi Tua Candi Bungsu Candi Mahligai Candi Palangka Bangunan I Bangunan II 2. Bangunan Pendukung Bangunan III Bangunan IV Bangunan VII 3. Batas Pagar Batu Keliling Tangul Kuno 4. Ornamen Stupa Fragmen arca Inskripsi mantra Pahatan vajra Pelataran Sumber : Hasil Analisis, 2010
Baik
Kondisi Sedang
Rusak
√ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
Keterangan Baik
: Struktur bangunan baik dan lanskap kawasan tidak mengalami perubahan.
Sedang : Sebagian struktur bangunan hilang atau dipindah tempatnya tetapi bentuk asli banguanan belum berubah. Rusak
: Struktur bangunan mengalami degradasi fisik dan lanskap kawasan telah berubah dari kondisi aslinya.
Analisis aspek kesejarahan menghasilkan peta kesejarahan kawasan yang terdiri dari ruang yang harus diproteksi karena nilai dan karakteristik kesejarahannya tinggi, kawasan yang mendapat perbaikan khususnya pada area terdapatnya peninggalan situs Candi Muara Takus serta kawasan yang nilai kesejarahannya rendah (profan) potensial sebagai pendukung wisata. Peta tersebut (Gambar 17) diperoleh dari overlay peta tingkat kesakralan kawasan dan kondisi kawasan setelah pembangunan PLTA Koto Panjang.
58
59
Aspek Religi pada Situs Candi Muara Takus
Filosofi Terkait Situs Candi Muara Takus Pada suatu kawasan percandian terdapat suatu aturan tatanan lanskap yang terkait dengan nilai dan norma dalam ajaran agama. Pada Candi Muara Takus, aturan tatanan lanskap tersebut diaplikasikan dengan adanya pembagian ruang berdasarkan tingkat kesucian yang juga mempengaruhi fungsi utama dari ruang tersebut. Area atau ruang yang dianggap suci biasanya diletakkan pada posisi paling belakang, posisi tengah atau posisi yang paling tinggi. Berdasarkan analisa peninggalan arkeologis maka dapat disimpulkan bahwa kawasan percandian merupakan areal utama dari seluruh kawasan. Hal ini ditandai dengan adanya pagar keliling yang melindungi kawasan serta bangunan utama yaitu Candi Tua. Pada kawasan percandian aliran Budha Mahayana biasanya terdapat bermacam-macam bangunan yaitu mandapa, perpustakaan, wihara, asrama biksu, stupa tanpa ruang dalam beragam ukuran serta bangunan utama berisai arca Budha dan Bodhisatwa. Bangunan tersebut menempati sebuah lahan yang dibagi secara seksama. Namun, saat ini kawasan percandian yang memiliki kelengkapan struktur tidak ditemukan di nusantara. Refrensi hanya dapat dilihat pada situs-situs yang menyebar di Asia Daratan. Pada kawasan Candi Muara Takus, sebagian besar bangunan peribadatan sudah tidak ditemukan lagi. Perubahan tatanan lanskap tersebut terjadi karena setelah keruntuhan kerajaan Sriwijaya areal tersebut dikuasai kerajaan-kerajaan lainnya. Masuk dan menyebarnya agama Islam juga memberi kontribusi dalam perubahan tatanan lanskap sekitar kawasan. Modernisasi dan status kepemilikan lahan kawasan oleh masyarakat juga merubah struktur tatanan lanskap kawasan sehingga keaslian dan integritasnya terdegradasi.
Ritual Keagamaan dan Lokasi Pelaksanaannya Agama Budha memilki empat perayaan utama yaitu Maghapuja, Asadha, Khatnia, dan Waisak. Pada saat perayaan utama, para pemeluk agama Budha biasanya melakukan ritual atau upacara keagamaan di vihara dan candi. Demikian halnya pada Candi Muara Takus. Saat jatuh tanggal perayaan utama para pemeluk
60
agama Budha akan datang dan melakukan kegiatan ritual dalam kawasan. Gambar 18 adalah gambaran ritual keagamaan yag dilakukan oleh pemeluk agama Budha di kawasan Candi Muara Takus.
Gambar 18. Ritual Keagamaan di Candi Tua oleh Komunitas Budhis (Sumber: Vihara Dharmaloka Pekanbaru Riau, 2010)
Ritual keagamaan dalam kawasan Candi Muara Takus diawali dengan posesi pengambilan air suci dari sumber mata air murni yang ada pada kawasan oleh para biksu majelis. Ritual tersebut dikenal sebagai ritual air berkah (Gambar 19). Sebelum melakukan pengambilan air suci para biksu tersebut akan melakukan puja bakti bersama di altar Candi Muara Takus. Kemudian secara bergantian para biksu tersebut membawa kendi ke mata air murni untuk diisi air dengan air suci. Air suci tersebut kemudian dibawa ke candi utama dalam kawasan Candi Muara Takus yaitu Candi Tua. Air suci akan didoakan dan dibagikan kepada umat Budha. Dalam agama Budha air adalah unsur alam utama dalam kehidupan manusia. Unsur alam membantu manusia membersihkan diri dari kotoran batin yaitu kebodohan, keserakahan, dan kebencian.
61
Gambar 19. Ritual Air Berkah (Sumber: Vihara Dharmaloka Pekanbaru Riau, 2010)
Setelah pengambilan ritual air suci maka dilakukan ritual Pindatapa, yaitu pemberian bahan makanan kepada para biksu oleh umat. Alansan utama dilakukannya ritual tesebut adalah para biksu agama Budha mengabdikan hidup mereka sepenuhnya tanpa memiliki mata pencaharian yang lain. Setelah pelaksanaan ritual Pindatapa, biksu dan umat bersemadi di pelataran bangunan utama sampai pada detik-detik bulan purnama. Penentuan bulan purnama dilakukan berdasarkan pada perhitungan falak. Puncak purnama bisa terjadi pada siang hari. Selain ketiga ritual pokok tersebut, perayaan utama juga diisi dengan pradaksina, pawai dan kesenian tradisional. Kegiatan tersebut biasanya dilakukan pada ruang terbuka dalam kawasan candi. Lokasi pelaksanaan tiap-tiap ritual pada kawasan Candi Muara Takus dapat dilihat pada Gambar 20. Alur ritual keagamaan dan lokasi pelaksanaan ritual dalam analisis aspek religi berperan dalam memetakan tempat melakukan ritual utama dalam kawasan Candi Muara Takus. Ruang yang terbentuk terdiri dari ruang memiliki tingkat kesakralan (kesucian) yang tinggi sehingga perlu diproteksi/dilestarikan dan ruang yang tidak terkait langsung dengan kegiatan ritual keagamaan. Pengembangan ruang memiliki tingkat kesakralan tinggi dalam penelitian ini diarahkan untuk mengakomodasi ritual keagamaan yang dilakukan para pemeluk agama Budha pada kawasan. Sementara ruang yang tidak terkait dengan ritual keagamaan pengembangannya diarahkan sebagai area pengembangan wisata budaya. Peta yang terbentuk adalah peta religi kawasan (Gambar 21).
62
63
64
Aspek Kepariwisataan
Potensi Lanskap Kawasan Candi Muara Takus 1. Topografi dan Kemiringan Lahan Kawasan situs candi Muara Takus terletak pada ketinggian < 500 meter dari permukaan laut dengan bentuk lahan relatif datar. Kemiringan lereng di situs Candi Muara Takus didominasi kategori kemiringan 3-8 %. Sebaran dari kelas lereng di dalam kawasan dapat dilihat pada Tabel 11 dan Gambar 22.
Tabel 11. Distribusi Kelas Lereng dalam Kawasan Candi Muara Takus KELAS
KEMIRINGAN (%)
1. Datar 0–3 2. Landai 3–8 3. Agak Curam 8 – 15 JUMLAH Sumber : Hasil Survei Lapang, 2010
LUAS Ha 31.20 35.72 27.50 94.5
% 33.02 37.80 29.18 100.0
Berdasarkan segi visual tapak, topografi seperti ini biasanya memberikan kesan yang monoton. Namun, berdasarkan ketinggian topografinya, bangunan utama candi berada pada titik yang paling tinggi dalam kawasan, sehingga menjadi fokus utama yang dapat dilihat dari berbagai penjuru. Peletakan posisi candi tersebut berdasarkan sumber sejarah memiliki makna yaitu untuk mendekatkan diri dengan tempat para dewa bertahta atau tempat yang suci. Topografi kawasan erat kaitannya dengan kemiringan lahan. Kemiringan merupakan bentukan lahan suatu lanskap berdasarkan perbedaan tingkat ketinggian lahan. Berdasarkan analisis data lapangan diketahui bahwa kawasan perencanaan memiliki kelas lerengnya cenderung landai. Area yang datar mendominasi kawasan bangunan utama. Sementara, semakin mendekati muara sungai Kampar Kanan, lahan daratan semakin landai membentuk cekungan. Keragaman kemiringan sangat mendukung pengembangan kawasan sebagai kawasan wisata budaya. Kondisi topografi dan kemiringan lahan penting untuk diketahui karena menjadi dasar dalam pembangunan akses jalan utama, penempatan utilitas wisata dan untuk mendapatkan kawasan wisata yang nyaman bagi pengunjung.
65
66
2. Tata` Guna Lahan Kawasan Luas total dari kawasan Candi Muara Takus adalah berdasarkan survei lapangan tahun 2010 adalah ± 94,5 Ha. Penggunaan lahan dalam kawasan Candi Muara Takus terbagi dalam dua bagian utama, yaitu lahan darat ± 56.44 m² dan danau PLTA Koto Panjang ± 38.06 m². Persentasi dan luasan dari masing-masing fungsi penggunaan lahan yang terdapat pada kawasan Candi Muara Takus dapat dilihat pada Tabel 12 dan Gambar 23.
Tabel 12. Penggunaan Lahan dalam Kawasan Candi Muara Takus No
Peruntukan
1. Bangunan Situs Candi 2. Hutan Sekunder 3. Kebun Sawit dan Karet 4. PLTA Koto Panjang 6. Fasilitas Wisata Eksisting JUMLAH
Luas (m²) 3.26 34.21 17.25 38.06 1.72 94.5
(%) 3.45 36.21 18.25 40.27 1.82 100.0
Sumber : Hasil Survei Lapang, 2010
Berdasarkan penelusuran sejarah diketahui bahwa kawasan adalah pusat peribadatan agama Budha yang dibangun pada masa pemerintahan Kerajaan Sriwijaya. Pusat peribadatan biasanya tata guna lahan kawasan terdiri dari bangunan candi, pesanggrahan raja ketika berkunjung, kawasan pendeta, tempat pembakaran mayat, serta tempat penyimpanan harta kerajaan. Namun, sebagian bangunan yang ada pada kawasan tidak memiliki kelengkapan struktur sehingga menyulitkan proses identifikasi. Perkembangan zaman telah menyebabkan perubahan status kepemilikan lahan kawasan. Sejak keruntuhan kerajaan Sriwijaya kawasan tersebut dikuasai oleh beberapa kerajaan lain. Masuk dan menyebarnya agama Islam juga memberi kontribusi dalam perubahan tatanan lanskap dan status kepemilikan kawasan situs. Status kepemilikan sebagian kawasan situs saat ini dipengang oleh masyarakat setempat. Hal ini menyebabkan beberapa permasalahan karena beberapa alih fungsi lahan yang dilakukan masyarakat. Penggunaan lahan yang tidak sesuai berpotensi merusak integritas lanskap sejarah, menghilangkan ciri khas eksisting serta mendegradasi nilai budaya dalam kawasan.
67
68
Permasalahan yang muncul akibat alih fungsi lahan kawasan tidak hanya disebabkan perubahan status kepemilikan kawasan yang dipegang masyarakat setempat. Modernisasi dan komersialisasi kawasan sebagai tempat wisata tanpa memperhatikan fungsi utama situs sebagai tempat peribadatan bagi pemeluk agama Budha serta nilai dan norma yang berlaku dalam ajaran Budha juga berpeluang mendegradasi kondisi lanskap kawasan. Permasalahan yang muncul akibat alih fungsi lahan kawasan dapat dilihat pada Tabel 13.
Tabel 13. Permasalahan dan Solusi terkait Tata Guna Lahan Kawasan No Permasalahan 1 Dalam kawasan Candi terdapat beberapa pemukiman dan lahan perkebunan milik penduduk 2 Penduduk memanfaatkan lahan dalam kawasan (area fasilitas pendukung wisata) sebagai area pengembalaan ternak 3
4
5
6
Pembangunan infrastruktur wisata yang tidak memperhatikan nilai arkeologis pada kawasan Keberadaan PLTA Koto Kampar pada sungai Kampar Kanan yang berpotensi menenggelamkan kawasan Candi Muara Takus. Pembagian zona dalam kawasan tidak jelas sehingga beberapa bangunan candi diluar kawasan bangunan utama terbengkalai atau tidak terlindungi. Konflik kepemilikan lahan
Solusi Perencanaan Pembebasan lahan sekitar kawasan candi serta pemberian batas yang jelas dan area pengangga. Perbaikan batas fisik (Tanggul Kuno) pada kawasan untuk mencegah ternak penduduk masuk ke dalam kawasan Candi Muara Takus. Relokasi beberapa infrastruktur yang letaknya telalu dekat dengan situs candi Muara Takus Pengaturan standar tinggi muka air pada tanggul PLTA agar tidak merendam sebagian kawasan khusunya pada musim penghujan. Penataan zona dalam kawasan serta pembuatan protect area pada titik banguanan-banguanan pendukung kawasan Candi Muara Takus. Pembebasan lahan kawasan situs
Sumber : Hasil Analisis, 2010
Permasalahan-permasalahan yang sering terjadi pada kawasan sejarah dan budaya erat kaitannya dengan konflik kepemilikan lahan. Maka, diperlukan suatu solusi yang dapat mengakomodasikan kepentingan ahli waris (masyarakat lokal pemilik lahan dalam situs Candi Muara Takus) dan tujuan pemerintah kota dalam
69
upaya merevitalisasi situs sejarah sehingga tetap lestari dan terjaga. Gambar 24 adalah tata guna lahan yang tidak mendukung situs arkeologis sehingga perlu ditata kembali guna mendukung ekosistem kawasan dan situs Candi Muara Takus.
(a) Kebun Sawit penduduk
(b) Warung Semi Permanen
(c) Playground dan Taman
(d) Ternak dalam Kawasan Situs
(e) Pembalakan Hutan Kawasan
(f) Danau PLTA Koto Panjang
Gambar 24. Penyimpangan Tata Guna Lahan Kawasan Candi Muara Takus (Sumber : Survei Lapangan, 2010)
70
3. Hidrologi Sungai besar yang terdapat di kawasan Candi Muara Takus adalah sungai Kampar Kanan. Tahun 1992, pada sungai Kampar Kanan dilakukan pembangunan bendungan sehingga terbentuk waduk. Proyek ini merupakan proyek pembangkit Listrik Tenaga Air hasil kerjasama pemerintah kota Kabupaten Kampar dengan pihak Tokyo Electric Power Limited. Kondisi hidrologis, jumlah serta kualitasnya air di Situs Candi Muara Takus cukup baik. Sungai Kampar Kanan di bagian barat situs mengalir sepanjang musim. Pemanfaatan air sungai saat ini adalah untuk keperluan budidaya pertanian, wisata serta untuk kehidupan sehari-hari bagi masyarakat lokal. Selain itu, sungai juga dimanfaatkan sebagai sumber energi listrik dan kegiatan transportasi bagi Kabupaten Kampar. Kondisi hidrologi dapat dilihat pada Gambar 25.
Gambar 25. Bentukan Hidrologis di Kawasan Candi Muara Takus (Sumber : Survei Lapangan, 2010)
Untuk melindungi situs Candi Muara Takus dari dampak negatif hidrologis pada kawasan maka dilakukan beberapa alternatif tindakan yang mendukung pelestarian, diantaranya yaitu:
Perbaikan dan perkuatan struktur Tanggul Kuno
Revitalisasi bagian Tanggul Kuno yang telah tenggelam
Pengaturan standar tinggi muka air PLTA Koto Panjang agar tidak melebihi tinggi struktur Tanggul Kuno. Badan air yang ada dalam kawasan situs Candi Muara Takus juga dapat
dimanfaatkan dalam pengembangan wisata. Badan air berfungsi sebagai akses
71
penghubung antar objek dan atraksi wisata serta sebagai jalur interpretasi wisata dalam kawasan.
4. Potensi Visual Tapak Potensi visual yang ada pada tapak meliputi pemandangan ke arah dalam bangunan utama Candi Muara Takus (dalam pagar 74x74 m), pemandangan ke arah luar banguan utama kawasan candi namun masih di dalam tanggul kuno, dan pemandangan ke luar tanggul kuno. Pemandangan tersebut dapat dikategorikan sebagai good view dan bad view (Gambar 26). Pemandangan yang termasuk dalam kategori good view diantaranya yaitu pemandangan ke arah dalam kawasan Candi Muara Takus, pemandangan kearah Danau PLTA dan Bukit Suligi serta pemandangan pada area bekas jembatan Umpamo. Pemandangan ke arah kawasan Candi Muara Takus termasuk kategori baik karena pengunjung dapat melihat bentuk dan keindahan arsitektural bangunan utama yang masih terjaga keasliannya. Danau PLTA dan Bukit Suligi dengan keindahan alaminya serta area bekas jembatan Umpamo tempat pengunjung dapat menyaksikan aktivitas nelayan dan bongkar muat sawit. Good view yang ada dalam dikawasan perencanaan akan dikembangkan untuk mendukung pembangunan kawasan candi sebagai objek wisata budaya. Pemandangan yang termasuk dalam kategori bad view adalah view ke arah fasilitas wisata dalam kawasan yaitu warung-warung, toilet, children playground, taman. Hal ini disebabkan karena desain fasilitas yang bergaya melayu kurang sesuai dengan tema arkeologis pada kawasan Candi Muara Takus. Selain itu, posisi fasilitas wisata yang terlalu dekat (dalam radius 100 mater) dengan kawasan bangunan utama candi juga menjadi faktor pertimbangan dalam penentuan kategori bad view tersebut. Pemandangan yang termasuk dalam kategori bad view dalam pengembangan kawasan sebagai objek wisata budaya akan diminimalisasi dengan merelokasinya ke tempat yang lebih sesuai yaitu ruang pendukung wisata yang berjarak lebih dari radius 100 meter dari banguanan utama Candi Muara Takus.
72
73
Objek dan Atraksi Wisata Objek wisata utama yang ada dalam kawasan situs adalah bangunan Candi Muara Takus dengan karakter yang khas serta bernilai budaya tinggi. Kondisi bangunan candi saat ini cukup baik dan masih sangat alami. Pada kawasan tersebut dapat terlihat suatu karya lanskap sejarah dan budaya masa lampau dengan kekhasan dan keunikannya. Suasana paling menarik dapat dirasakan pada saat perayaan hari-hari besar dalam agama Budha. Perayaan tersebut adalah Maghapuja, Asadha, Khatnia, dan Waisak. Saat perayaan hari-hari besar peziarah lokal maupun internasional dari komunitas Budhis akan datang untuk berdoa dan melakukan ritual keagamaan di kawasan Candi Muara Takus. Perayaan biasanya diisi dengan ritual keagamaan, pawai serta kesenian tradisional. Kegiatan tersebut biasanya dilakukan pada ruang terbuka dalam kawasan candi. Situs Candi Muara Takus sebagai objek wisata utama telah dilengkapi fasilitas pendukung wisata yaitu area playground, taman kering, dermaga wisata, panggung budaya, warung-warung dan toko souvenir. Namun, sebagai objek wisata utama, situs Candi Muara Takus belum cukup menarik minat pengunjung untuk datang ke dalam kawasan. Hal ini disebabkan dalam pengembangannya situs Candi Muara Takus belum memanfaatkan potensi lokal kawasan. Untuk menunjang kawasan wisata budaya Candi Muara Takus maka perlu dikembangkan beberapa objek dan atraksi wisata lainnya diluar objek dan atraksi yang telah ada saat ini. Objek dan atraksi yang akan dikembangkan disesuaikan dengan potensi lanskap pada kawasan. Objek wisata yang akan dikembangkan dalam kawasan dikelompokan menjadi objek material dan objek immaterial. Objek material terdiri dari bangunan utama situs Candi Muara Takus, bangunan pendukung candi, sumur mata air suci, sungai Kampar Kanan, bukit Suligi dan hutan sekunder kawasan. Sementara objek immaterial terdiri dari sejarah terkait kerajaan Sriwijaya, sejarah pendirian situs Candi Muara Takus serta legenda mengenai desa-desa yang hilang setelah pembanguana PLTA Koto Panjang. Atraksi wisata yang akan mendukung pengembangan situs candi adalah ritual keagamaan yang bersifat temporal dan berbagai atraksi khas Kampar yang dikelola oleh masyarakat setempat. Rincian dari objek dan atraksi yang akan dikembangkan dapat dilihat pada Tabel 14 dan Gambar 27.
74
Tabel 14. Objek dan Atraksi yang Akan Dikembangkan No A. 1.
2.
3. 4. 5. 6. B. 1. 2. 3.
C. 1.
2. 3. 4.
Objek dan Atraksi Wisata Objek Material Candi Muara Takus - Candi Tua - Candi Bungsu - Candi Mahligai - Candi Palangka Bangunan pendukung candi - Bangunan I dan II - Bangunan III - Bangunan VII - Tanggul Kuno Sumur Mata air suci Sungai Kampar Kanan Bukit Suligi Hutan Sekunder Kawasan Objek Immaterial Sejarah Kerajaan Sriwijaya Sejarah Candi Muara Takus Legenda desa-desa yang hilang setelah adanya PLTA Koto Panjang - Desa Pongkai - Desa Muara Takus - Desa Batu Bersurat Atraksi Wisata Budaya Ritual Keagamaan (Budha) - Maghapuja - Asadha - Khatnia - Waisak Seni musik Calempong Seni tari tradisional Kampar Dzikir gubano (semacam Rebana)
Sumber : Hasil Analisis, 2010
75
76
Aksesibilitas Berdasarkan hasil pengamatan terhadap kondisi jaringan jalan diketahui bahwa ketersediaan infrastruktur jalan di wilayah sekitar situs candi sudah cukup memadai. Kawasan Candi Muara Takus dapat dicapai melalui transportasi darat dan air (sungai Kampar Kanan). Jaringan infrastruktur transportasi darat menuju kawasan Candi Muara Takus terdiri dari beberapa jaringan jalan berdasarkan statusnya, yaitu jalan negara, jalan kabupaten dan jalan desa. Fisik jalan negara telah menggunakan perkerasan aspal dengan kondisi bagus. Sementara kondisi jalan kabupaten menuju lokasi Candi Muara Takus bisa dikatakan rusak dengan permukaan berlubang disebabkan oleh truk pengangkut dari perkebunan kelapa sawit. Jarak ± 300 meter menuju lokasi situs Candi Muara Takus dihubungkan oleh jalan desa dengan yang kondisi bagus. Gambar 28 adalah gambaran kondisi jalan menuju kawasan Candi Muara Takus saat ini.
(a) Jalan Negara
(b) Jalan Kabupaten
(c) Jalan Desa
Gambar 28. Kondisi Jalan Menuju Candi Muara Takus. (Sumber : Survei Lapangan, 2010)
Selain jaringan jalan, transportasi juga menjadi bahan pertimbangan dalam pengembangan kawasan wisata. Sarana transportasi yang dapat diakses menuju situs Candi Muara Takus adalah kendaraan umum dan kendaraan pribadi. Kendaraan umum yang beroperasi di daerah ini adalah jenis minibus. Dalam sehari, tiap kendaraan umum hanya beroperasi satu trip perjalanan dengan jumlah armada yang beroperasi berjumlah + 15 armada minibus (Masterplan Kawasan Agropolitan Kecamatan XIII Koto Kampar, 2009). Sementara, sarana transportasi air dapat ditempuh melalui Sungai Kampar. Saat ini yang menggunakan jalur
77
transportasi air adalah masyarakat nelayan desa setempat dan sekitarnya yang bertujuan untuk mencari ikan. Jalur transportasi air untuk keperluan wisata menuju Situs Candi Muara Takus belum dimanfaatkan. Pemandangan alam yang ditawarkan oleh jalur transportasi air ini tidak kalah indahnya dari jalur transportasi darat. Bahkan kelebihannya adalah dapat digunakan sebagai jalur interpretasi wisata untuk “menceritakan” bekas-bekas situs yang saat ini sebagian telah tenggelam di dalam Danau PLTA Koto Kampar. Oleh karena itu, jalur ini potensial untuk dikembangkan. Jalur Transpotrasi menuju Kawasan Candi Muara Takus dapat dilihat pada Gambar 29.
(a) Jalur Transpotrasi Darat
(b) Jalur Transportasi Air
Gambar 29. Jalur Transpotrasi menuju Kawasan Candi Muara Takus. (Sumber : Survei Lapangan, 2010)
Sirkulasi dalam kawasan Candi Muara Takus dibagi menjadi dua yaitu jalur sirkulasi primer dan jalur sirkulasi sekunder (Gambar 30). Jalur primer merupakan jalur yang dapat dilalui oleh kendaraan bermotor dengan kapasitas dua kendaraan. Sementara jalur sekunder adalah jalan setapak yang melingkar dalam tapak sebagai penghubung fasilitas-fasilitas wisata eksisting dan hanya bisa dilewati oleh pejalan kaki. Kondisi fisik dari jalur sirkulasi primer saat ini cukup baik dan terawat. Namun, pada sisi bahu jalan dibutuhkan jalur pedestrian untuk mengakomodasi aktivitas para pejalan kaki saat berada dalam kawasan. Sementara, jalur sirkulasi sekunder yang permukaannya terbuat dari batuan koral, berdasarkan hasil pengamatan ternyata tidak cukup nyaman bagi pejalan kaki. Hal ini dikarenakan
78
bebatuannya tidak yang tidak masif sering menyulitkan pengunjung saat berjalan diatas permukaannya. Selain itu, lebar badan jalannya ± 1 m terlalu kecil untuk digunakan dua arah sekaligus. Jalur sirkulasi sekunder yang ada pada kawasan candi saat ini belum dapat menghubungkan tiap objek dalam satu rangkaian interpretasi sejarah yang tepat. Jalur sirkulasi tersebut hanya berfungsi sebagai penghubung antar fasilitas pengukung wisata dalam kawasan. Penataan viewing dan stoping area di area-area yang dilalui jalur sirkulasi sekunder juga belum terencana dengan baik sehingga waktu kunjungan relatif lebih singkat.
(a) Jalur primer
(b) Jalur sekunder
Gambar 30. Sirkulasi Jalan dalam Kawasan Candi Muara Takus. (Sumber : Survei Lapangan, 2010)
Berdasarkan hasil analisis, sirkulasi primer dan sekunder yang ada pada kawasan akan mengalami perubahan pola dan struktur. Dimana, jalur sirkulasi primer yang ada saat ini akan diubah menjadi sirkulasi sekunder bagi pejalan kaki yaitu jalan pedestrian. Hal ini dikarenakan sirkulasi primer yang ada saat ini posisinya terlalu rapat dengan zona inti kawasan. Pemindahan pintu akses tersebut dimaksudkan agar pengunjung masuk dari jalur darat berada di pintu depan kawasan bukan area samping sebagaimana eksisting kawasan saat ini. Sementara, jalur sirkulasi sekunder yang berfungsi menghubungkan fasilitas pendukung wisata eksisting dalam kawasan akan direlokasi mengikuti jalur interpretasi wisata yang direncanakan pada kawasan. Rencana perubahan pola dan struktur pada sirkulasi primer dan sirkulasi sekunder dalam kawasan Candi Muara Takus dalap dilihat pada Gambar 31.
79
80
Infrastruktur Wisata Selain bangunan situs arkeologis, di luar pagar batu keliling dalam kawasan Candi Muara Takus telah dibangun beberapa bangunan fasilitas wisata. Fasilitas tersebut terdiri dari gerbang kawasan, pos jaga, lapangan parkir, bangunan UPTD, rumah genset, dermaga, musholla, KM, bak air, warung, kios suvenir, panggung seni, pendopo, pagar keliling tanggul kuno, children play ground, dan taman candi (Gambar 32). Bangunan-bangunan tersebut dibangun oleh Pemda Kabupaten Kampar antara tahun 2008–2009. Berikut adalah fasilitas wisata eksisting yang terdapat dalam kawasan perencanaan.
(a) Gerbang Kawasan
(d) Pos Jaga
(b) Taman
(c) Dermaga
(e) Play Ground
(f) Bangunan UPTD
Gambar 32. Fasilitas Wisata Eksisting dalam Kawasan Candi Muara Takus (Sumber : Survei Lapangan, 2010)
Berdasarkan pengamatan lapang (2010), faktor perencanaan yang kurang baik membuat beberapa bangunan tersebut belum difungsikan atau tidak berfungsi dengan baik (misalnya: bangunan UPTD, KM, kios souvenir), bahkan ada yang dihentikan pembangunannya oleh pihak BP3 Batusangkar karena potensial merusak situs sejarah (misalnya: dermaga). Secara arsitektural, fasilitas wisata yang ada saat ini menggunakan gaya arsitektur Melayu. Hal ini kurang sesuai
81
dengan konteks tapak sebagai situs arkeologis. Bahan bangunan yang digunakan pada fasilitas wisata yang ada juga tidak mencerminkan karakter dan tema tapak perencanaan. Oleh karena itu, untuk menciptakan integritas lanskap dalam kawasan situs sebaikanya fasilitas-fasilitas pendukung wisata yang tidak sesuai dengan tema arkeologis sebaiknya direlokasi atau dibongkar dari kawasan.
Wisatawan Wisatawan adalah faktor penting dalam pengembangan wisata. Potensi wisata tidak akan memberikan banyak arti terhadap pengembangan wilayah apabila tidak ada wisatawan yang berkunjung. Pengembangan wisatawan adalah pengembangan pariwisata dari sisi permintaan yang melingkup jumlah wisatawan, kelompok wisatawan (lokal, nusantara, dan mancanegara), lama kunjungan, dan jumlah pengeluaran. Semakin banyak jumlah wisatawan, makin lama kunjungan, dan tingkat pengeluaran yang semakin banyak, maka makin berkembang kepariwisataan di wilayah itu. Berdasarkan pendataan wisatawan yang datang ke situs Candi Muara Takus sampai saat ini terdiri dari pelajar dan mahasiswa, masyarakat umum, tamu dinas serta wisatawan asing. Aktivitas yang biasa dilakukan oleh pengunjung terbagi dalam 3 kategori yaitu : 1. Kegiatan ritual agama Budha 2. Rekreasi, piknik , bermain, melihat candi dan acara ritual serta berfoto. 3. Penelitian yang umumnya dilakukan oleh arkeolog, mahasiswa UNRI.
Pengunjung yang melakukan ritual keagamaan adalah komunitas Budhis. Pada pelaksanaan upacara Waisak tahun 2010 terdapat ± 300 orang pengunjung yang melakukan ritual keagamaan. Sementara, jumlah pengunjung lain yang datang untuk menyaksikan Waisak ada ± 335 orang. Total pengunjung saat perayaan Waisak tersebut ± 635 orang. Gambaran tentang jumlah kunjungan dan kegiatan pengunjung pada kawasan Candi Muara Takus dapat dilihat pada Tabel 15 dan Gambar 33. Tabel 15. Jumlah Pengunjung Candi Muara Takus Periode Januari – Maret 2010
82
Pengunjung No.
Bulan
1. Januari 2. Februari 3. Maret Jumlah
Pelajar
Mahasiswa
Umum
413 503 711
433 475 410
209 266 371
Tamu dinas 42 36 15
Turis asing 11 -
Luas
Jumlah
74x74 74x74 74x74
1097 1291 1507 3898
Sumber : Survei Lapangan, 2010
(a) Ritual Keagamaan Budhis
(b) Bermain
(c) Berfoto
Gambar 33. Kegiatan Pengunjung di Kawasan Candi Muara Takus (Sumber : Survei Lapangan, 2010)
Berdasarkan pengamatan dan wawancara, jumlah kunjungan wisata pada kawasan dapat ditingkatkan apabila situs tersebut dikembangkan menjadi objek wisata yang unik, eksklusif dan kompetitif. Untuk dapat memiliki nilai kompetitif yang relatif tinggi maka perencanaan dan pengembangan kepariwisataan harus berbasis pada potensi lokal kawasan yaitu situs budaya, alam yang berbasis air serta legenda-legenda terkait masa kejayaan kerajaan Sriwijaya.
83
Peraturan Terkait Pengembangan Kawasan Candi Muara Takus telah terdaftar menjadi Benda Cagar Budaya Tahun 2000. Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia No. 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya, pengembangan dan pemanfaatan kawasan cagar budaya diperbolehkan
oleh
undang-undang
apabila
dapat
mengakomodasi
dan
meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pemberdayaan cagar budaya tentunya harus tetap mempertahankan aspek kelestariannya. Pelestarian cagar budaya dapat dilakukan dengan menetapkan sistem zonasi pada kawasan baik secara vertikal maupun horizontal. Dalam pasal 37 diterangkan bahwa sistem zonasi tersebut terdiri atas zona inti, zona penyangga, zona pengembangan dan zona penunjang. Dimana, batas keruangan tiap zona yang disesuaikan dengan kebutuhan dan mengutamakan peluang peningkatan kesejahteraan rakyat.
Aspek Sosial Masyarakat Karakteristik Sosial Budaya Masyarakat Desa Muara Takus didominasi oleh masyarakat Melayu “Occu” dan beragama Islam. Pola kehidupan masyarakat dipengaruhi oleh budaya Islami dan hukum adat. Kehidupan masyarakat terkait erat dengan kegiatan pertanian, seperti pertanian tanaman pangan, perkebunan, peternakan dan perikanan.
Penerimaan Penduduk Berdasarkan hasil wawancara dengan masyarakat setempat, pihak aparatur desa Muara Takus, dan pengelola kawasan saat ini dapat disimpulkan beberapa hal, sebagai berikut : 1. Masyarakat setempat sangat mendukung pengembangan Candi Muara Takus sebagai tempat tujuan wisata. Hal ini berkaitan dengan peningkatan tingkat perekonomian masyarakat setempat. 2. Masyarakat mendukung dibangunnya fasilitas-fasilitas seperti penginapan, atau home stay tetapi jangan disalahgunakan ke arah negatif. Keinginan Pengguna Tapak (Pemeluk Agama Budha) Keinginan masyarakat Budhis dalam pengembangan Candi Muara Takus :
84
1. Adanya peraturan yang menjaga kesakralan Candi Muara Takus meskipun dikembangkan sebagai objek wisata. Aturan tersebut terdiri dari : a) Ketentuan untuk berpakaian sopan/rapi b) Larangan untuk mencoret-coret/vandalisme c) Larangan untuk membuang sampah sembarangan d) Larangan untuk memanjat sampai atas puncak candi e) Larangan untuk berbicara tidak sopan di atas candi 2. Perlu dibuat papan larangan mengenai apa yang boleh dan tidak boleh di lakukan dalam lokasi situs. 3. Adanya pemandu yang jujur dan mengetahui ajaran Budha untuk mengelola kawasan Candi Muara Takus sebagai objek wisata. 4. Melibatkan pihak komunitas Budhis dalam merencanakan, mendesain dan mengelola Candi Muara Takus 5. Penataan lanskap yang nyaman bagi pengunjung dan peziarah, penempatan infrastruktur wisata yang tepat yang mampu mengakomodasi kegiatan pengunjung dan peziarah. Fasilitas yang diharapkan adalah penginapan bagi peziarah yang datang dari tempat yang jauh dari Candi Muara Takus serta fasilitas semacam pendopo untuk meditasi.
SINTESIS Analisis data kesejarahan kawasan menyatakan bahwa situs Candi Muara Takus adalah peninggalan arkeologi yang penting dan harus dilestarikan. Hal ini dikarenakan makna kekhususan dan keunikan yang dimiliki arsitektur bangunannya. Tindakan pelestarian yang tepat untuk lanskap Candi Muara Takus adalah kegiatan restorasi yaitu tindakan pelestarian dengan cara mengembalikan penampilan lanskap pada kondisi aslinya khususnya pada area yang terdapat struktur situs sejarah budaya. Teknis pelestarian yang akan dilakukan adalah penggantian atau pengadaan elemen yang rusak serta menghilangkan elemen tambahan yang menggangu. Secara spasial, berdasarkan hasil overlay peta kesejarahan, peta religi kawasan, dan aspek kepariwisataan maka dihasilkan zona pemanfaatan kawasan yang terdiri dari ruang wisata budaya dan ruang pendukung wisata budaya
85
(Gambar 34). Ruang wisata budaya adalah ruang utama dalam kawasan dengan nilai dan makna sejarah budaya yang tinggi. Ruang ini berfungsi sebagai pusat peribadatan yang penting dan sakral. Ruang ruang pendukung wisata budaya merupakan ruang pengembangan. Ruang tersebut adalah area yang dimanfaatkan untuk penataan dan pengembangan yang mengakomodasi beragam fungsi dan aktivitas wisata tetapi tetap selaras dengan prinsip pelestarian situs Candi Muara Takus. Ruang pendukung wisata juga terdiri dari area diluar batasan Tanggul Kuno yaitu kawasan Bukit Suligi dan Sungai PLTA Koto Kampar.
86