1
Data Badan Pusat Statistik Nasional (2015) menunjukkan bahwa sejak tahun 2000 hingga 2013 tindak pidana yang terjadi di Indonesia terus mengalami peningkatan. Pada tahun 2000 tercatat terjadi 172.532 tindak pidana, sedangkan pada tahun 2013 tercatat terjadi 342.048 tindak pidana. Hal ini menunjukkan adanya peningkatan hampir dua kali lipat kasus tindak pidana dalam jangka waktu 13 tahun terakhir. Meningkatnya jumlah kasus pidana tentunya juga berkaitan erat dengan peningkatan jumlah Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) yang harus diberikan pembinaan. Pembinaan terhadap WBP di Lapas di atur dalam UU no 12 tahun 1995 bab II. Berdasarkan bab II pasal 5 sistem pembinaan diberikan berdasarkan tujuh asas yaitu
pengayoman,
persamaan
perlakuan
dan
pelayanan,
pendidikan,
pembimbingan, penghormatan harkat dan martabat, kehilangan kebebasan sebagai satu-satunya penderitaan, dan terjaminnya hak untuk tetap berhubungan dengan keluarga dan orang-orang tertentu. Pada penjelasan undang-undang tentang asasasas ini sama sekali tidak ditemukan penjelasan tentang penanganan psikologis pada WBP. Hasil wawancara dengan Kepala Lapas kelas II A Wirogunan menunjukkan bahwa pelayanan psikologis di Lapas sebenarnya sangat dibutuhkan. Walaupun demikian selama ini masih belum tersedia layanan psikologis bagi WBP. Hal ini menunjukkan bahwa pembinaan WBP di Lapas masih kurang mempertimbangkan faktor-faktor psikologis yang dirasakan. Kehidupan di penjara merupakan salah satu sumber stres yang signifikan bagi individu. World Health Organization dan International Committee of the Red Cross mengungkapkan bahwa lingkungan penjara merupakan lingkungan yang buruk bagi perkembangan kesehatan mental individu (WHO & ICRC, 2014). Berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa WBP sering mengalami berbagai masalah kesehatan mental (Fleming, Gately, & Kraemer, 2012; Huchzermeier, Brub, Godt, & Aldenhoff, 2006). Masalah kesehatan mental yang sering terjadi pada tahanan di penjara antara lain depresi, masalah adiksi, dan kecenderungan untuk melakukan bunuh diri (Fleming dkk., 2012). Individu yang berada di penjara biasanya memiliki masalah yang berkaitan dengan isu-isu perpisahan,
2
terisolasi, kehilangan, tidak berdaya, dan merasa tidak percaya diri (Teasdale, 2002). Hasil studi eksplorasi Lapas di Yogyakarta menujukkan bahwa terdapat keluhan-keluhan psikologis yang dirasakan oleh WBP (Hadjam, 2014). Keluhankeluhan yang muncul dari hasil penelitian antara lain adanya rasa cemas, takut, dan bingung dalam menghadapi kehidupan di lapas. WBP juga melaporkan bahwa mereka merasa jenuh dan bosan serta belum dapat menerima kondisi mereka saat ini. Dalam kaitannya dengan hubungan sosial yang dijalani, WBP melaporkan bahwa mereka mengkhawatirkan keluarga dan pekerjaan yang ditinggalkan. WBP mencemaskan bagaimana mereka akan menjalani kehidupan setelah keluar dari penjara, khususnya terkait dengan penerimaan masyarakat terhadap status mereka yang pernah menjalani kehidupan di penjara. Keseluruhan masalah yang dialami oleh WBP ini dapat dibedakan menjadi masalah internal dan eksternal, dengan rangkuman sebagai berikut: Tabel 1. Rangkuman Permasalahan WBP di Lapas Masalah Internal Masalah Eksternal Membayangkan akan mengalami Sesama WBP Kesulitan kehidupan yang buruk di lapas; beradaptasi; masalah seperti berebut rokok, hutang piutang, Berpikir mengenai keluarga dan saling membicarakan, pembagian pekerjaan yang ditinggalkan; jatah makanan, kecemburuan cemas, takut, kaget, dan bingung; sosial terkait kedekatan WBP dan Jenuh, merasa tidak betah, dan petugas Lapas, perkelahian, merasa terpaksa; belum menerima penyerangan; kondisi; Petugas Lapas merasa tidak Khawatir kehilangan pasangan diperlakukan selayaknya; terjadi dan tidak akan diterima keluarga/ pemukulan oleh petugas tanpa masyarakat; peringatan Merasa bersalah dan menyesal Keluarga WBP yang tidak atas kesalahannya; pernah dikunjungi keluarga (Hadjam, 2014) Masalah WBP di Yogyakarta yang teridentifikasi dari hasil penelitian Hadjam (2014) menunjukkan bahwa kekhawatiran dan kecemasan yang dialami WBP dalam keadaan mereka yang terpenjara membuat mereka merasa tidak berdaya dan putus asa. Perasaan putus asa yang dialami oleh WBP sering kali
3
mengarah pada tanda-tanda depresi dan bahkan tidak jarang berakhir dengan tindakan bunuh diri (Palmer & Connelly, 2005; Reinecke, 2000). Data dari WHO dan IRC (2014) mengungkapkan bahwa bunuh diri sering kali menjadi manifestasi akhir dari masalah-masalah kesehatan mental yang terjadi di lingkungan penjara. Hal ini dapat dilihat pula pada kasus WBP yang tewas gantung diri di Rutan Salemba (Rosanians, 2011) dan Lapas Porong Sidoarjo (Sumedi, 2013). Individu yang merasa putus asa, sering kali dipandang sebagai individu dengan harapan yang rendah (Hanley & Snyder, 2000). Schrank, Stangllini, dan Slade (2008) mengemukakan bahwa konsep harapan yang paling banyak digunakan dalam penelitian-penelitian psikologi maupun psikiatri adalah konsep yang dikemukakan oleh Snyder (2000). Snyder (2000) menjelaskan bahwa harapan mengandung dua komponen utama yaitu (1) kemampuan untuk memikirkan cara untuk mencapai tujuan walaupun mengalami hambatan dan (2) agency atau motivasi untuk menggunakan cara mencapai tujuan tersebut. Pathway thinking merupakan komponen kognitif harapan, individu membuat perencanaan tentang cara yang dapat dilakukan untuk mencapai suatu tujuan (Snyder & Lopez, 2007). Agency thinking yang merupakan komponen motivasi dari harapan (Snyder, 2000). Walaupun teori tentang harapan yang dikemukakan oleh Snyder (2000) sudah banyak digunakan secara meluas, teori ini kurang mempertimbangkan ranah spiritual dalam diri individu. Riyono (2010) mengungkapkan bahwa harapan bukan hanya sebatas ranah kognitif dan afektif, namun juga berkaitan dengan ranah spiritual. Ranah spiritual berkaitan erat dengan aspek psikologis dalam diri manusia yaitu “belief system” individu. Harapan dapat didefinisikan sebagai keyakinan subjektif individu terhadap peluang terjadinya suatu hal yang baik atau keberuntungan di balik ketidakpastian yang sedang dialami (Riyono, 2010). Hasil penelitian menunjukkan bahwa harapan dapat memberikan pengaruh positif terhadap perkembangan kesehatan mental. Individu dengan harapan yang tinggi memiliki kemampuan yang lebih baik dalam melakukan penyesuaian terhadap situasi yang menimbulkan stres (Glass, Flory, Hanklin, Kloss, &
4
Turecki, 2009; Hanley & Snyder, 2000) dan ketidakpastian (Biley, & Erby, 2012; Truitt, Barbara, Capone, Schaufel, Nordrehaug, & Malterud, 2011). Oktan (2012) melaporkan bahwa harapan menjadi faktor protektif dalam meningkatkan resiliensi individu. Harapan juga dilaporkan dapat meningkatkan perilaku adaptif (Hagen, Myers, & Mackintosh, 2005), kualitas hidup (Eizenberg, Ohayon, Yanos, Lysaker, & Roe, 2013; Farhadi, Dehkordi, Kalantari, & Boroujeni, 2014; Wu, 2011) dan kepuasan hidup individu (Bailey & Snyder, 2007). Semakin rendah tingkat harapan yang dimiliki oleh individu akan semakin tinggi kecemasan dan depresi yang dialami oleh individu ketika mengalami kehilangan (Chow, 2008). Harapan yang dimiliki oleh individu dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor. Penelitian yang dilakukan oleh McDavid, McDonough, dan Smith (2015) pada 321 orang remaja menunjukkan bawa penghargaan diri merupakan prediktor yang signifikan dalam perubahan harapan yang dirasakan oleh remaja. Penelitian terhadap 1008 mahasiswa di Macau dan Hongkong menunjukkan bahwa harapan individu diprediksi oleh self-esteem yang pada akhirnya dapat meningkatkan kepuasan hidup individu (Du, Bernardo, & Yeung, 2015). Hal serupa ditemukan pada penelitian yang dilakukan oleh Eizenberg, dkk. (2013), hasil penelitian menunjukkan bahwa self-esteem merupakan faktor prediktor dari harapan yang dimiliki oleh individu. Penelitian yang dilakukan oleh Arad, Fichman, Paz, Gingis dan Katz (2013) menunjukkan bahwa dukungan sosial dan kepercayaan diri merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap harapan yang dimiliki oleh individu. Hasil penelitian Yavad (2010) juga mengemukakan bahwa dukungan sosial dapat meningkatkan harapan individu yang pada akhirnya membuat kualitas hidup individu menjadi lebih baik. Taylor, Feldman, Saunders, dan Ilardi (2000) mengungkapkan bahwa pendekatan kognitif perilakuan merupakan salah satu bentuk terapi yang banyak digunakan untuk meningkatkan harapan yang dimiliki oleh individu. Pendekatan ini digunakan dengan mengacu pada teori harapan yang dikemukakan oleh Snyder (2000). Lopez, Floyd, Ulyen, dan Snyder (2000) mengembangkan intervensi yang berfokus pada peningkatan harapan dengan mengintegrasikan terapi dengan
5
dasar solution-focused, naratif, dan kognitif perilakuan yang kemudian diberi nama terapi harapan (Hope Therapy). Penelitian yang dilakukan oleh Ruchiwit (2011) pada pasien yang mengalami kehilangan organ tubuh menunjukkan bahwa setelah mendapatkan intervensi group supportive psychotherapy, pasien mengalami penurunan kecemasan, serta peningkatan harapan dan ketrampilan rawat diri. Ruchiwit (2012) menjelaskan bahwa melalui psikoterapi kelompok, pasien diberikan kesempatan untuk saling mendukung, bertukar pendapat dan pengalaman sehingga pasien mendapatkan pandangan baru yang lebih positif dan meningkatkan harapan yang dimiliki. Berbagai bentuk terapi untuk peningkatan harapan berangkat dari teori harapan yang dikemukakan oleh Snyder (2000) yang berfokus pada pembentukan tujuan, cara mencapai dan peningkatan motivasi untuk terus berusaha mencapai tujuan tersebut. Masa pidana yang harus dijalani oleh WBP berpengaruh terhadap keadaan kesehatan mentalnya. Indonesia memiki lima jenis pidana pokok yaitu pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan, pidana denda dan pidana tutupan (KUHP). Berdasarkan KUHP Bab XIX Kejahatan terhadap nyawa pasal 338, 339, dan 340, terlihat bahwa kasus pembunuhan merupakan salah satu tindak pidana hukuman dengan hukuman yang cukup berat yaitu hukuman seumur hidup atau pidana penjara maksimal 15 hingga 20 tahun kurungan penjara. Penelitian yang dilakukan oleh On dan So (2014) menemukan bahwa semakin lama masa pidana yang diterima oleh WBP akan semakin tinggi tingkat depresi dan kecemasan yang dialami. Martin (2007) juga mengungkapkan bahwa WBP dengan kejahatan kekerasan (violence crime) cenderung memiliki harapan yang rendah. Oleh karena itu, penelitian ini akan berfokus pada WBP dengan kasus pembunuhan (KUHP pasal 338, 339, dan 340). Rendahnya harapan yang dimiliki oleh WBP dapat berpengaruh terhadap kesehatan mental dan proses rehabilitasi yang harus dijalani oleh WBP selama masa tahanan. Martin (2007) juga menjelaskan bahwa harapan merupakan salah satu faktor prediktor terhadap kemungkinan seorang WBP akan kembali melakukan tindakan kriminal setelah keluar dari penjara. Oleh karena itu, penting
6
untuk diberikan terapi psikologi yang dapat meningkatkan harapan WBP. Walaupun
demikian,
WBP
memiliki
karakteristik
tertentu
yang
perlu
diperhatikan. Gussak (2007) mengungkapkan bahwa WBP cenderung memiliki mekanisme pertahanan diri yang kuat dan melakukan faking good. Karp (2010) mengungkapkan WBP laki-laki secara khusus menunjukkan kesulitan dalam mengekspresikan diri secara verbal. Hal ini membuat bentuk terapi konvensional dipandang kurang sesuai untuk diberikan pada WBP, khususnya pada WBP lakilaki. Gilroy (2006) mengungkapkan bahwa art therapy (selanjutnya akan menggunakan istilah terapi seni) merupakan salah satu bentuk terapi yang dipandang cocok untuk karakteristik yang dimiliki oleh WBP. Terapi seni merupakan metode tritmen yang berdasar pada penggunaan seni sebagai bentuk komunikasi dan ekspresi diri. Malchiodi (2003) mengungkapkan bahwa terapi seni pada orang dewasa dilakukan dengan memandang bahwa seni merupakan ekspresi non verbal dari perasaan, pikiran, dan cara pandang individu. Ketika bekerja dengan orang dewasa, terapis menggunakan seni sebagai cara untuk mengklarifikasi masalah, mengubah cara pandang suatu masalah, dan bereksperimen terhadap proses perubahan yang mungkin dicapai melalui menggambar atau aktivitas kreatif lainnya. Berbagai pendekatan dapat digunakan dalam melakukan terapi seni seperti psikoanalisis, humanistik, cognitive behaviour, solution focused and narative, dan pendekatan perkembangan (Malchiodi, 2003). Penggunaan seni atau terapi seni di penjara bertujuan untuk membantu WBP dalam mengatasi isu-isu yang berkaitan dengan kondisi mereka yang terpenjara dan rasa frustasi yang muncul selama masa penahanan (Case & Dalley, 2005; Teasdale, 2002). Terapi seni terbukti efektif dalam menurunkan gejalagejala depresi pada pada WBP perempuan maupun laki-laki (Gussak, 2006, 2007, 2008, 2009; Mukhlis, 2011). Wylie (2007) mengemukakan bahwa terapi seni tidak hanya efektif sebagai metode tritmen terhadap masalah-masalah yang dialami oleh WBP, tetapi juga dapat digunakan sebagai alat asesmen awal untuk melihat kesiapan WBP dalam mengikuti suatu proses terapi.
7
Case dan Dalley (2005) mengungkapkan bahwa pemberian terapi seni di penjara sebaiknya berfokus untuk membantu WBP mengekspresikan perasaan yang pada akhirnya membuat WBP mendapatkan pemahaman diri dan rasa berharga yang lebih baik. Tujuan ini sejalan dengan tujuan umum dari pendekatan Person-centered. Person-centered
merupakan salah satu perspektif dalam
pendekatan humanistik yang menekankan pada pengembangan diri individu (Rogers dalam Corey, 2009). Perspektif Person-centered dalam terapi seni berfokus pada keyakinan bahwa individu bukanlah individu yang selalu memendam masalahnya, namun dapat mengekspresikan masalahnya sehingga dapat berkembang dan menjalani hidup dengan lebih baik (Rogers, dalam Malchiodi, 2003). Malchiodi (2003) mengungkapkan bahwa terdapat dua prinsip utama dari perspektif Person-centered dalam terapi seni yaitu “melihat” aktif dan empatik serta penerimaan. Melihat dengan aktif dan empatik berarti terapis melakukan refleksi terhadap pikiran dan perasaan yang diungkapkan melalui gambar, mengklarifikasi cerita tentang gambar yang dibuat, dan menyimpulkan kembali semua cerita dan refleksi yang muncul dari gambar yang dibuat oleh klien. Prinsip penerimaan menekankan pada bagaimana terapis dapat menerima hasil karya klien sehingga klien dapat merasakan unconditional positive regard terhadap gambar yang dibuat. Penerimaan dan penghargaan terapis terhadap klien dapat membantu klien untuk memandang dirinya sebagai individu yang berharga (Rogers, dalam Malchiodi, 2003). Menggambar dipandang sebagai salah satu bentuk seni yang paling familiar bagi masyarakat umum. Penelitian menunjukkan bahwa terapi seni dengan teknik menggambar terbukti efektif untuk mengurangi berbagai permasalahan psikologis seperti menurunkan depresi (Gussak, 2007) dan kecemasan sosial (Maher, 2013), serta meningkatkan kebermaknaan hidup (Chairani, 2013) dan kualitas hidup (Meekums & Daniel, 2011). Buchalter (2009) mengungkapkan bahwa menggambar memberikan kesempatan kepada klien untuk mengkomunikasikan pikiran, perasaan, kekhawatiran, kecemasan, masalah, harapan, mimpi, dan keinginan dengan cara yang relatif aman. Hasil survey pada 15 orang WBP
8
menunjukkan bahwa walaupun WBP memiliki ketertarikan pada beragam kegiatan seni (menggambar, musik, puisi) namun kegiatan menggambar dianggap merupakan kegiatan yang paling mudah untuk dilakukan selama berada di Lapas. Melihat adanya permasalahan WBP dengan harapan yang rendah, terapi seni dengan pendekatan Person-centered menggunakan teknik menggambar akan berfokus untuk membantu WBP dalam mengekspresikan pikiran dan perasaan yang selama ini cenderung dipendam dan untuk lebih mengenali diri sendiri. Ketika WBP diberikan kesempatan mengekspresikan pikiran dan perasaan yang selama ini dipendam diharapkan dapat mengurangi emosi negatif yang dirasakan. Snyder (2000) mengungkapkan bahwa berkurangnya emosi negatif yang dirasakan individu dapat membantu individu untuk dapat melihat masa depan dengan lebih baik. Pengenalan diri yang diberikan dalam proses terapi seni diharapkan dapat meningkatkan penghargaan diri WBP. Penghargaan diri yang dirasakan oleh WBP dapat membuat individu merasa lebih yakin dalam menghadapi masa depan (Du, dkk., 2015; Eizenberg, dkk., 2013; McDavid, dkk., 2015). Pandangan WBP yang positif terhadap masa depan serta adanya keyakinan diri WBP dalam menghadapi masa depan, pada akhirnya dapat meningkatkan harapan yang dimiliki oleh WBP. Terapi seni dengan
teknik menggambar dalam penelitian ini memiliki
berbagai macam tema. Peneliti bersama dua orang peneliti lainnya (Rezy & Masturah, 2015) memilih beberapa tema yang sesuai dengan dua tujuan utama yang ingin dicapai dalam proses intervensi ini. Proses terapi dimulai dengan menggambar bebas (Free Drawing) dengan tujuan untuk meningkatkan kedekatan dan kepercayaan klien, serta membantu klien untuk dapat menjelaskan secara verbal tentang gambar yang dibuat (Malchiodi, 2003). Tema Egg and Cave drawing bertujuan untuk menstimulasi klien agar dapat mengungkapkan emosi dan pikirannya tanpa merasa dikonfrontasi oleh terapis (Tanaka, Kakuyama, Urhausen dalam Malchiodi, 2003). Dua tema awal ini lebih berfokus pada proses ekspresi emosi dan pikiran yang dirasakan pada klien. Tiga sesi berikutnya mengambil tema yang bertujuan untuk pengenalan diri individu. Tema Human Figure bertujuan untuk membantu klien dalam menceritakan isu atau
9
permasalahan penting dalam dirinya melalui simbol (Rubin, 2010). Tema Best and Worst Self bertujuan untuk membantu klien dalam melakukan idenfikasi tentang kondisi terbaik dan terburuk dalam diri yang pada akhirnya akan membuat klien dapat memahami dirinya dengan lebih baik (Bulchater, 2009). Tema terakhir drawing your challenges bertujuan untuk membantu klien agar dapat mengilustrasikan tantangan emosi atau fisik yang sedang atau pernah dialami sehingga membantu klien dalam memahami cara dan sikap klien dalam menghadapi tantangan (Bulchater, 2009). Pelaksanaan terapi seni dengan pendekatan Person-centered akan dilakukan secara berkelompok karena bentuk terapi kelompok dipandang sebagai suatu sarana yang tepat dalam membentuk dukungan sosial yang dibutuhkan oleh WBP selama berada dalam lapas (Johnson & Zlotnick, 2008). Corey, Corey, dan Corey (2014) mengungkapkan bahwa pemberian terapi dalam bentuk kelompok menyediakan iklim aman dan terpercaya sehingga individu dapat menyadari halhal yang menghambat individu dalam berkembang. Corey, dkk. (2014) juga menjelaskan bahwa ketika individu bertemu dengan orang-orang yang senasib dalam kelompok, akan menumbuhkan harapan yang dimiliki dalam menghadapi masalah yang sedang dialami. Terapi seni yang diberikan dalam bentuk kelompok memberikan keuntungan seperti adanya kesempatan saling memberikan dukungan dan belajar dari feedback dari sesama anggota kelompok (Liebmann, 2004). Hasil penelitian menunjukkan bahwa proses terapi dengan modalitas kelompok juga dapat meningkatkan harapan yang dimiliki oleh individu (Arad, dkk., 2013; Glass, dkk., 2009; Johnson & Zlotnick, 2008; Ruchiwit, 2012; Yavad, 2010). Berdasarkan uraian di atas, hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah “Terapi seni dengan pendekatan Person-centered dapat meningkatkan harapan Warga Binaan Pemasyarakatan”. Peningkatan harapan WBP melalui proses terapi seni dengan pendekatan Person-centered diharapkan membantu WBP agar dapat menjalani proses kehidupan di Lapas dengan lebih baik. Kerangka pemikiran dari penelitian ini dapat dilihat pada gambar 1.
12
MASALAH WBP Kecemasan (Ranah penelitian Rezy, 2015)
Merasa bersalah, malu, menyesal Tidak dapat menerima diri (Ranah penelitian Masturah, 2015)
FOKUS PENELITIAN
Tidak berdaya mengatasi masalah dan Putus Asa
Person-centered principle:
Penerimaan Active dan empathetic “seeing”
Modalitas Kelompok
Terapi seni
Iklim aman Kesempatan berbagi, belajar dan mendapat dukungan dari orang lain
Emosi negatif terpendam Merasa tidak berharga
Harapan WBP rendah: Melihat masa depan buruk Tidak yakin dapat menghadapi masa depan Karakteristik WBP Mekanisme pertahanan diri kuat, faking good, sulit ekspresi verbal
Terapi seni with Person Centered Approach Membantu WBP dalam mengekspresikan pikiran dan perasaan yang selama ini dipendam Membantu WBP untuk lebih mengenali diri sendiri.
diberikan intervensi
Output Emosi negatif yang dirasakan berkurang Penghargaan diri Meningkat
Melihat masa depan dengan positif Yakin dapat menghadapi masa depan
Harapan WBP Meningkat Keyakinan akan hal baik dapat terjadi di masa depan
Gambar 1. Kerangka Berpikir Penelitian