Terima kasih Kepada Tuhan yang maha kuasa, telah memberikan waktu dan kesehatan selama pembuatan Novel ini. Kepada keluarga yang telah membantu dan mensupport serta memberi pengertian penuh selama pembuatan novel ini, di tengah cuaca dingin panas serta hujan badai juga krisis finansial keluarga kami di Belanda. Di sela-sela kesibukan sebagai ibu rumah tangga yang harus selalu mengerjakan segala pekerjaan rumah sendiri, masak, memandikan anak dan membersihkan rumah, belanja, antar jemput anak ke sekolah, membuat tak jarang anak-anak terabaikan karena sedang tanggung nulis. Masakan gosong karena lupa keasyikan nulis (entah berapa panci yang menjadi korban, diamdiam dibuang karena gosong), rumah berantakan dan kotor karena sibuk merampungkan kisah, semua itu tak mungkin bisa saya lakukan tanpa dukungan serta pengertian yang dalam dari keluarga tercinta. Tak selamanya hidup yang membosankan karena berbagai problem kehidupan akan selalu berdampak buruk. Irisan hari dalam perjalanan hidup yang saya jalani ketika membuat novel ini, sedang berada dalam situasi dan kondisi yang tak mudah untuk tersenyum bahagia. Berada di negeri yang membuat saya merasa tak nyaman, jauh terisolasi dari keluarga dan tempat kelahiran. Saat membuat novel ini saya sedang menghadapi situasi yang tak mudah bagi saya dan keluarga untuk
dapat berkunjungi ke kampung halaman, karena masalah ekonomi yang diakibatkan oleh krisis dahsyat di Eropa yang sedang melanda. Situasi telah memaksa saya untuk menerima keadaan. Saya hanya dapat menyulam rindu dan merajut asa dari kerinduan yang teramat sangat terhadap tanah air, hingga tak jarang hal itu membuat saya kerap berfantasi. Fantasi itu saya tuangkan dalam sebuah cerita. Cerita hasil rekayasa wujud rasa kesepian dan kebosanan karena keterbatasan untuk melangkah, tak bisa bepergian dan berlibur. Di sela-sela serpihan waktu yang tersisa kerap menghadirkan rasa bosan dan rindu yang teramat sangat akan kampung halaman. Saya merasa sedang terpenjara di negeri orang. Hasil dari pergolakan rasa itu menghadirkan imajinasi dan rekaan cerita tentang budaya selingkuh, yang dulu sempat saya saksikan di Jakarta dan sekelumit gaya hidup orang-orang di sekitar saya di Belanda. Irisan imajinasi kejadian-kejadian nyata yang saya saksikan dan serpihan-serpihan perilaku manusia yang sempat saya amati, saya gabungkan dalam cerita di buku ini, hingga menghasilkan sebuah cerita khayalan utuh yang saya rangkum ke dalam sebuah novel. Semoga novel ini dapat menambah wawasan dan menginspirasi para pembaca. Dan juga novel ini dapat menumbuhkan rasa syukur kita, bahwa di luar sana begitu banyak orang yang mengejar impiannya untuk kebahagiaan, meski harus melakukan segala cara dengaan risiko besar di belakang hari.
Namun kenyataannya, hidup tak ubahnya bagaikan irisan warna pelangi. Hadirnya perpaduan rasa sedih, bahagia, sakit, dan sejumlah rasa lain yang akan saling melengkapi untuk terciptanya sebuah keindahan dan asa bahagia, datang dan pergi silih berganti di dalam perjalanan hidup. Sebagian cerita ini adalah cuplikan dari kejadian nyata, meski tempat kejadian satu dengan yang lainnya tak selalu memiliki keterkaitan. Dengan polesan dan bumbu fantasi penulis di sana sini, semua kejadian di novel ini seolah ada dalam satu dunia dan satu runtutan cerita. Pemahaman tentang tulusnya pengorbanan, cinta, pengkhianatan, juga kejutan, tak ayal membuat saya turut terlena atau terbawa oleh suasana, menangis karena rasa haru dan sedih pengaruh dari cerita novel ini. Semoga semua peristiwa yang ada di dalam cerita ini dapat memberikan pelajaran yang dapat di petik hikmahnya. Semoga novel ini juga dapat menjadi pembelajaran bagi hidup saya dan kita, membuka mata hati meskinya kita lebih banyak bersyukur di dalam menyikapi hidup. Untuk lebih lengkapnya lagi silakan baca juga novel kedua, lanjutan novel Fatamorgana Bahagia yang berudul Broken Home, (Cinta Oh Cinta), yang dibuat pada waktu yang bersamaan. Dalam novel sambungan Fatamorgana Bahagia yang berjudul Broken Home (Cinta Oh Cinta), kita akan diajak untuk mengetahui lebih jauh lagi tentang perjalanan hidup Angga, anak yang diusir oleh Marlin, ibunya, dan
kisah hidup Marlin selanjutnya. Dalam novel sambungan Fatamorgana Bahagia, akan banyak ditemukan cerita tentang realita hidup yang menyedihkan, kejadian yang dialami sebagian manusia, di luar nalar perkiraan, juga pengetahuan kita sebelumnya, semua cerita dari cuplikan kejadian nyata bercampur khayalan dan rekayasa.
Rotterdam September 2014 Yuliana Aghata
1
Tak Usah Mengejar yang Tak Pasti
Marlin baru saja menerima undangan pesta menyambut musim gugur dari teman-teman lamanya. Sebenarnya bulan Oktober dan November merupakan awal musim gugur di belahan bumi Eropa. Akan tetapi karena akhir-akhir ini cuaca mengalami pergeseran yang cukup ekstrem, perubahan musim tak mampu lagi hadir tepat waktu seperti zaman dulu. Imbasnya, cuaca tak bisa lagi bisa diperkirakan dan tak sesuai dengan jadwal. Marlin ingin menghibur diri dari rasa bosan karena merasa hidupnya di Eropa begitu monoton. Itulah sebabnya Marlin yang biasanya cenderung penyendiri dan kurang suka berkumpul bersama ibu-ibu gaul seusianya, apalagi mereka teman-teman Marlin dianggapnya hobi sekali berpesta pora memamerkan kekayaan dan bergosip ria membicarakan kejelekan teman, seolah telah menjadi bagian dari kebiasaan mereka ketika sedang berkumpul, tapi saat itu temantemannya itu akan ia temui. Marlin berniat membunuh rasa bosannya dengan mencoba melangkahkan kaki untuk ikut bergabung kembali bersama teman-teman lamanya. Teman ketika ia masih sugih, dan belum terkena imbasnya krisis ekonomi di Eropa. Hati Marlin sedikit tergerak untuk mengikuti acara yang lama tak diikutinya itu. Bertemu dan berkumpul bersama teman-teman yang cukup lawas tak ditemuinya,
karena selama ini ia sengaja menghindar. Batin Marlin semakin tak menentu menghadapi situasi hidup yang juga sama tak menentunya dengan perasaannya saat itu. Marlin mulai gelisah, karena sekian tahun ia terisolasi di negeri orang. Negeri tempat saat itu ia berada, hingga ia dan keluarganya tak dapat menginjakkan kaki untuk pulang ke kampung halaman. Kampung dan negeri tanah kelahirannya. Karena terganjal masalah keuangan. Ah..mau dibawa ke mana hidupku ini. Sepertinya kehidupan di Eropa semakin tak mudah lagi bagiku dan keluargaku. Bahkan setiap bulan penghasilan suami sering mengalami penurunan. Jangankan untuk bisa liburan ke luar negeriku seperti dulu, yang ada kini aku dan keluarga harus terisolasi di negeri orang, dan tak mungkin lagi rasanya untuk bisa pulang ke kampung halaman setiap tahun seperti dulu. Ya Tuhan, aku bosan tinggal dan hidup di Eropa. Apalagi tanpa bisa melakukan liburan seperti dulu. Hidup di Eropa ternyata tak seindah yang kubayangkan, semuanya serba monoton dan membosankan. Bagaimana ini? Batin Marlin terus berkecamuk, ia terus berpikir dan mempertimbangkan undangan yang baru saja diterimanya. Akhirnya Marlin memutuskan untuk menghadiri pesta musim gugur yang biasa diadakan oleh teman-temannya itu. Walaupun Marlin tak mempunyai baju baru yang up to date, untuk dipakai menghadiri acara pesta menyambut musim semi itu, untungnya dia masih memiliki baju-baju
mahal yang belum terpakai. Baju yang ia belinya di zaman keemasan keluarganya beberapa tahun yang lalu. Ketika keuangan suaminya sedang memancar, Marlin selalu membeli pakaian dan segala pernak-pernik untuk keperluannya di tempat yang cukup bergengsi di Belanda, karena ia selalu diarahkan untuk membeli barang yang mahal dan berkelas oleh Dennis suaminya. Bahkan tak jarang Dennis, suaminya, membawa Marlin berbelanja ke butik pakaian mewah di Belanda. Tak ayal hal itu membuat teman-teman yang datang dari Tanah Air kerap terlihat iri. Namun, kini semuanya telah berubah, ekonomi dan keuangan keluarganya meranggas bagai pohon terkena penyakit hama kutu daun, kusam dan tak berwarna, membuat Marlin merasa semakin tak bahagia. Marlin mulai mematut dirinya di depan kaca. Baju ini masih bagus, nih. Lumayan masih terlihat mewah walau kubeli hampir lima tahun yang lalu. Tapi masih terlihat ok. Batin Marin. Akan kuhadiri saja acara pesta musim gugur itu. Walau sulit mengikuti gaya hidup mereka yang glamor dan gila pesta, tak apa sekali-kali kuikuti saja. Daripada aku di sini kesepian dan bosan luar biasa. Pikir Marlin sibuk membatin sambil mencari pakaian yang paling cocok untuknya. Marlin memilih salah satu gaun yang akan dikenakan malam nanti di acara pertemuan teman-teman borjunya itu. Ia akan memakai baju berwarna oranye yang terlihat seksi namun sopan, baju rancangan perancang ternama Escada yang dulu dibelinya di butik Meiden, toko
pakaian mahal di Belanda. Bolak-balik mematut diri di depan cermin Marlin akhirnya merasa puas dengan penampilannya yang cukup terlihat elegan dan menawan. Tentu Marlin masih terlihat cantik, di usianya yang telah memasuki usia dua puluh tujuh tahun. Setelah ia puas mematut diri, Marlin segera berangkat ke tempat yang telah dijanjikan untuk bertemu dan merayakan pesta musim gugur bersama teman-temannya. Mereka sepakat untuk bertemu dan makan-makan di sebuah restoran Jepang yang bernama Sumo, di Rotterdam. Marlin berangkat sendiri dengan membiarkan anakanaknya, untuk sementara diasuh oleh suami di rumah. Teman-teman Marlin di dalam grup ini hampir seratus persen telah mengadopsi budaya dan gaya hidup wanita Eropa, dengan sering pergi berpesta pora di restoran, disko, dan menonton konser musik. Tak jarang pula mereka meninggalkan keluarga di rumah termasuk anakanaknya. Tentu saja hal itu bertujuan untuk menghilangkan kepenatan dan kejenuhan dari rutinitas hidup mereka di Eropa yang monoton. Dengan harapan mereka bisa menikmati kebebasan dan kebahagiaan bersama temanteman walau hanya sesaat. Apalagi ketika cuaca telah beralih ke musim dingin, Marlin dan teman-temannya akan segera dihadapkan pada hari yang tak lagi menyenangkan setiap harinya. Untuk itu mereka melakukan pertemuan bersama ibu-ibu yang datang dari negeri sendiri, yang jumlahnya cukup
banyak di Belanda termasuk Marlin. Mereka berharap apa yang akan dilakukan itu mampu mengobati segala kejenuhan hidup selama berada di Eropa. Itulah salah satu kebiasaan teman-teman bergaul Marlin, ibu-ibu imigran dari Tanah Air. Kebiasaan yang telah menjadi gaya hidup sebagian besar pendatang dari Indonesia di Balanda. Sebenarnya Marlin tak menyukai kebiasaan dan model pertemuan itu. Dia lebih menyukai kesendirian, alam, dan kesejukan udara pegunungan atau laut. Marlin juga bukan wanita karier seperti ibu-ibu itu, yang memiliki penghasilan sendiri untuk memenuhi segala kebutuhan dan kesenangan mereka.