3
Perawat sendiri didefinisikan sebagai mereka yang memiliki kemampuan dan wewenang dalam melakukan tindakan keperawatan (Undang-Undang Kesehatan RI, 1992). Berdasarkan data yang dipaparkan oleh Menteri Kesehatan Republik Indonesia, pada bulan Maret 2013 jumlah perawat di Indonesia adalah 220.575 orang dengan mayoritas perempuan. Permasalahan yang dihadapi oleh profesi perawat adalah distribusi dan kualitas perawat. Berkaitan dengan masalah kualitas,
Menteri
Kesehatan
Republik
Indonesia
berkeinginan
untuk
mengembalikan rasa bangga dalam melayani pada diri perawat (Depkes, 2013). Demi mencapai peningkatan kualitas perawat diperlukan usaha-usaha dari berbagai pihak terkait seperti pemerintah, organisasi kesehatan perawat tersebut bekerja maupun dari dalam diri perawat tersebut sendiri. Dari pengambilan data awal yang dilakukan oleh peneliti, diketahui bahwa perawat yang sebagian besar adalah perempuan, bekerja dengan menggunakan sistem shift. Setiap shift memiliki lama kerja selama 7 jam. Shift pertama adalah shift pagi yang dimulai dari pukul 07.00-14.00. Dilanjutkan dengan shift kedua yang dimulai dari pukul 14.00-21.00. Shift terakhir dimulai dari pukul 21.0007.00 keesokan harinya dan merupakan shift terlama yaitu selama 10 jam dan dilakukan selama 3 hari untuk kemudian mendapatkan jatah libur selama 1 hari. Sementara job description yang harus dilakukan oleh perawat setiap harinya adalah mengawasi, melaporkan dan merawat kesehatan pasien secara konstan. Perawat juga mempunyai tugas untuk memberikan pelayanan kepada pasien yang berkenaan dengan tugas pengasuhan (Ellis, 1995).
4
Salah satu penghambat tercapainya kinerja optimal dari karyawan adalah job stress. Berdasarkan penelitian yang dilakukan mengenai kesehatan pada perawat, diketahui bahwa perawat merupakan salah satu pekerjaan dengan tingkat stres yang tinggi (Gelsema, Doef, Maes, Akerboom & Verhoeven, 2005). Profesi human service, yaitu profesi yang bergerak pada bidang jasa pelayanan kemanusiaan yang menuntut adanya keterlibatan emosi yang tinggi memiliki tingkat job stress yang lebih tinggi (Miller, Zook & Ellis, 1989). Dari wawancara awal yang dilakukan, diakui juga oleh perawat yang dijadikan subjek bahwa profesi mereka memiliki tingkat stres yang tinggi. Setiap hari berhadapan dengan pasien yang berbeda latar belakang pendidikan maupun status sosial dan berbeda jenis penyakit. Selain itu, perawat juga dituntut untuk bertindak dengan cepat dan cekatan menyangkut nyawa orang lain. Hal-hal yang mendukung mereka untuk bertahan adalah dukungan dari keluarga, dukungan dari rekan sejawat, dukungan dari atasan dan juga dukungan dari rumah sakit tempat mereka bekerja saat ini. Berdasarkan data yang diperoleh dari Persatuan Perawat Nasional Indonesia diketahui bahwa sebanyak 50,9% mengalami stress di tempat kerja, ditandai dengan perasaan mudah pusing, lelah, perawat kurang ramah, kurang istirahat sebagai akibat dari beban kerja yang terlalu tinggi dan penghasilan yang kurang memadai (PPNI, 2006). Penelitian lain, dilakukan oleh Runtu dan Widyarini (2009), menunjukkan bahwa perawat di bagian rawat inap memiliki stres kerja yang relatif sedang karena kondisi lingkungan dan beban kerja yang dirasakan. Simanjorang (2008), melakukan penelitian di RSU. Pirngadi Medan
5
dan menemukan bahwa perawat mengalami stres kerja yang masuk ke dalam kategori sedang yaitu, 56,9%. Job stress berkaitan erat dengan job satisfaction. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Gelsema, et. al (2005), Elangovan (2001), Vigoda (2002), dan Jenangir, Nasir, Ayas, Muhammad, dan Shaheed (2011) stress kerja pada perawat berkorelasi negatif terhadap kepuasan kerja, artinya ketika job stress meningkat maka kepuasan kerja yang dimiliki oleh karyawan akan menurun, demikian pula sebaliknya. Penelitian lain yang dilakukan oleh Antoniou, Davidson, dan Cooper (2003), menunjukkan bahwa job stress memiliki hubungan dengan kepuasan kerja dan tingkat kesehatan karyawan. Wong (2001), menambahkan bahwa selain identik dengan job stress profesi perawat identik dengan rotasi karyawan yang tinggi, serta ketidakpuasan kerja. Komitmen dari karyawan untuk memberikan pelayanan yang terbaik bagi pasiennya akan tumbuh juga ketika perawat merasa puas dengan pekerjaannya. Robbins (1998), menjelaskan bahwa salah satu aspek yang sering digunakan untuk melihat kondisi suatu organisasi adalah tingkat kepuasan kerja para anggotanya. Kepuasan kerja yang rendah menimbulkan dampak negatif seperti mangkir kerja, pindah kerja, produktivitias yang menurun, kesehatan tubuh yang menurun, kecelakaan kerja, pencurian dan perilaku negatif yang lain. Sementara kepuasan kerja yang tinggi akan sangat membantu dan mempengaruhi kondisi kerja yang lebih positif dan dinamis. Sehingga akan memberikan keuntungan yang baik bagi perusahaan.
6
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Runtu, et, al. (2009), yang dilakukan terhadap 150 orang perawat (149 perawat perempuan dan 1 orang lakilaki) dengan masa kerja 1-30 tahun, ditemukan bahwa stres kerja memberikan pengaruh sebesar 72% terhadap kepuasan kerja yang dimiliki oleh perawat. Diketahui pula bahwa kepuasan kerja karyawan yang bertugas di ruang VIP lebih tinggi dibandingkan perawat yang bekerja di ruang ICU. Selain itu, kepuasan kerja karyawan yang sudah menikah lebih rendah dibanding karyawan yang belum menikah. Sementara menurut penelitian yang dilakukan oleh Noras dan Sartika (2012), diketahui bahwa perawat pelaksana di kelas 3 di sebuah rumah sakit negri di Jakarta memiliki kepuasan kerja yang rendah (22,5%), penelitian dilakukan terhadap 40 orang perawat. Kepuasan kerja sendiri merupakan suatu perasaan menyenangkan yang timbul sebagai akibat dari persepsi karyawan, bahwa dengan menyelesaikan tugas atau berusaha untuk menyelesaikan tugas memiliki peran yang penting (Cascio, 2003). Sementara Robbins (2003), mendefinisikan kepuasan kerja sebagai sikap umum dari individu terhadap pekerjaannya. Sikap tersebut merupakan ungkapan emosional baik yang bersifat positif maupun negatif sebagai hasil penilaian terhadap pekerjaan atau pengalaman kerja. Kepuasan kerja dapat dijelaskan melalui Hygine Factor Theory, yaitu teori dua faktor yang menyatakan bahwa kepuasan kerja secara kualitatif berbeda dengan ketidakpuasan kerja. Hezberg dalam Ass’ad (2004) mengelompokkan karakteristik pekerjaan menjadi dua kategori, yaitu dissastifier atau hygiene factors adalah faktor yang tidak berhubungan langsung dengan kepuasan suatu
7
pekerjaan, tapi berhubungan langsung dengan timbulnya rasa tidak puas dan satisfier atau motivators adalah faktor pendorong yang berkaitan dengan perasaan positif terhadap pekerjaan sehingga akan membawa kepada kepuasan kerja. Hygiene Factors meliputi hal-hal seperti gaji, pengawasan, hubungan antar pribadi, kondisi kerja dan status. Bilamana kebutuhan-kebutuhan ini tidak terpenuhi, maka orang tersebut akan merasa tidak puas. Namun, jika terpenuhi maka seseorang tidak akan merasa kecewa lagi tetapi belum tentu akan merasa terpuaskan. Seseorang hanya akan terpuaskan jika terdapat jumlah yang memadai untuk faktor-faktor pekerjaan yang dinamakan satisfier. Satisfier adalah karakteristik pekerjaan yang relevan dengan kebutuhankebutuhan lebih tinggi seseorang serta perkembangan psikologisnya, mencakup pekerjaan yang menarik, penuh tantangan, kesempatan untuk berprestasi, penghargaan dan promosi. Jumlah satisfier yang tidak mencukupi akan menghambat
karyawan
mendapatkan
kepuasan
positif
yang
menyertai
pertumbuhan psikologis. Hal ini disebabkan karena kepuasan kerja adalah motivasi primer yang berkaitan dengan pekerjaan itu sendiri, sebaliknya ketidakpuasan pada dasarnya berkaitan dengan memuaskan karyawan (Assad, 2004). Job satisfaction merupakan bentuk kesesuaian antara kebutuhan individu dengan pekerjaan dan lingkungan kerjanya (Blegan dalam Maureen & Norma, 2006). Ketika semua kebutuhan tersebut sesuai atau tidak terjadi kesenjangan maka karyawan akan merasa puas. Sebaliknya, apabila tidak sesuai maka akan terjadi ketidakpuasan kerja. Dalam penelitiannya, Blegan juga memberikan
8
faktor-faktor utama yang mendorong karyawan merasa puas atau tidak puas dengan pekerjaannya. Faktor yang menempati rangking pertama adalah autonomy, ketika karyawan diberikan kebebasan untuk membuat keputusan mengenai bagaimana desain kerjanya sendiri maka karyawan akan merasa puas. Faktor yang menempati rangking kedua adalah gaji, hal ini menunjukkan bahwa gaji bukan merupakan faktor utama penentu kepuasan kerja seseorang. Faktor yang selanjutnya adalah task requirement, interaksi sosial, status profesional dan yang terakhir adalah kebijakan organisasi (Maureen & Norma, 2006). Sementara tidak jauh berbeda, Riyono (1991), menjelaskan bahwa ada 5 aspek dalam kepuasan kerja. Aspek-aspek tersebut adalah, (1) gaji, yaitu suatu jumlah yang diterima dan keadaan yang dirasakan dari pembayarnya; (2) pekerjaan itu sendiri, yaitu sejauh mana tugas kerja dianggap menarik dan memberikan kesempatan untuk belajar dan menerima tanggung jawab; (3) promosi, yaitu adanya kesempatan untuk maju; (4) rekan kerja, yaitu sejauh mana rekan kerja bersahabat kompeten dan saling mendukung; (5) supervisi, yaitu kemampuan atasan untuk membantu dan mendukung pekerja atau bawahannya. Kelima aspek inilah yang nantinya akan dipakai dalam penelitian ini. Perawat dengan beban kerja yang berat dan rentan terhadap job stress akan berpengaruh terhadap job satisfaction yang dimiliki, namun ketika mereka memiliki resilience yang baik maka mereka akan tetap bertahan untuk melakukan pekerjaannya. Selain itu, resilience juga akan membantu perawat untuk membangun hubungan yang baik dan profesional antara rekan sejawat, mengelola hal-hal positif, membangun emosi yang positif, mendapatkan keseimbangan di
9
dalam hidup serta spiritualitas dan lebih mampu merefleksikan diri (Jackson, Firtko & Edenborough, 2007). Perawat bertugas untuk menjadi saksi untuk berbagai kejadian traumatis, penderitaan dan rasa kehilangan anggota keluarga yang disayangi sebagai bagian dari pekerjaan mereka sehari-hari. Stressor-stressor tersebut diasosiasikan sebagai bentuk ketahanan untuk membantu orang lain keluar dari kesulitan, sehingga resilience dibutuhkan oleh perawat untuk bisa bertahan dalam menjalankan pekerjaan mereka sehari-hari (Tusaie & Dyer, 2004). Resiliensi (resilience) berasal dari bahasa Latin salire yang berarti melentingkan atau melenting dan resilire yang berarti melenting kembali. Dari pengertian tersebut, resiliensi dapat disebut sebagai kapasitas untuk bangkit kembali (recover) atau melenting kembali (Schaap, 2007). Penelitian mengenai resiliensi dimulai sejak tahun 1970-an. Penelitain tersebut awalnya berfokus kepada area psikologi klinis dan psikiatri serta menggunakan anak-anak sebagai subjeknya. Resiliensi merupakan perwujudan kualitas pribadi yang memungkinkan seseorang untuk berkembang dalam menghadapi kesulitan (Connor & Davidson, 2003). Sementara Skodol (2010), mengemukakan bahwa resiliensi mengacu kepada karakteristik individu yang membantu dalam mengatasi kesulitan, membuat individu mampu mengatasi stress di masa yang akan datang dan menjaga agar tidak mengalami gangguan mental ketika berada di bawah tekanan. Linley dan Joseph (2004) dalam American Psychological Association (APA) (2008) mendeskripsikan resiliensi sebagai suatu proses adaptasi yang baik ketika
10
menghadapi kesusahan, trauma, tragedi, ancaman atau sumber-sumber stres yang signifikan seperti masalah keluarga dan hubungan masalah kesehatan yang serius atau stresor keuangan dan stres kerja. Bonanno, Galea dan David (2004) mendefinisikan resiliensi sebagai kemampuan individu dalam menghadapi situasi yang menekan yang menyakitkan dalam dirinya, seperti kehilangan orang yang dicintainya, terjadi kekerasan ataupun banyaknya ancaman yang dirasakan dan menjadikan dirinya lebih stabil serta mampu mencapai hasil yang positif (positive outcome). Ketika seseorang dihadapkan dengan permasalahan dan kesulitan ia tetap dapat bertahan dan bahkan berusaha lebih untuk mencapai sukses (Luthans, Avey, Avolio, & Norman, 2008). Selanjutnya, Bonanno, et al., (2004) melihat resiliensi dari sudut pandang psikologis, dengan mencirikan resiliensi sebagai sebuah kemampuan psikologis untuk bangkit kembali (to bounce back) dari pengalaman emosi negatif, di samping dicirikan oleh adanya adaptasi yang fleksibel terhadap pengalamanpengalaman yang penuh tekanan. Sementara jika melihat dari istilah resiliensi yang berasal dari bahasa latin resilire yang artinya melambung kembali. Selanjutnya, hal ini diformulasikan pertama kali oleh Block dan Kremen (1996) dengan nama ego-recilience, yang diartikan sebagai kemampuan umum yang melibatkan dan menyesuaikan diri secara luwes saat diperhadapkan pada tekanan internal maupun eksternal. Individu dengan tingkat resiliensi yang tinggi akan cenderung fleksibel, mampu beradaptasi dalam situasi yang baru dengan cepat, dan bisa berkembang
11
dalam perubahan, dan yang paling penting, memiliki harapan dan yakin akan bangkit kembali (Siebert, 2005). Individu dengan tingkat resiliensi yang rendah cenderung akan bertindak kaku, tidak teratur, bahkan mungkin maladaptif ketika dihadapkan pada situasi yang menekan (Block & Kremen, 1996). Bernard (dalam Meichenbaum, 2005) menjelaskan bahwa wanita membangun resiliensi dengan cara membangun kekuatan, dan memelihara hubungan interpersonal, sementara pria membnetuk resiliensi dengan cara belajar bagaimana menggunakan problem solving yang aktif. Individu yang mengalami resiliensi harus mengalami faktor resiko dan memiliki akses ke faktor pelindung yang mengurangi faktor beresiko tersebut (Kolar, 2011). Wagnild dan Young (1993) menyebutkan bahwa terdapat lima karakteristik di dalam konsep resilience yaitu, (1) meaningfulness, merupakan suatu keadaan dimana individu menyadari bahwa hidup yang dijalaninya memiliki sebuah tujuan, serta dibutuhkan usaha untuk mencapai tujuan tersebut; (2) perseverance, merupakan kemauan yang dimiliki oleh individu untuk melanjutkan perjuangan sebagai upaya merekonstruksi hidup dan untuk tetap bertahan dan melatih disiplin diri. Karakteristik ini dapat dilihat dari determinasi individu untuk menghadapi kondisi yang sulit, keputusasaan dan kekecewaan yang sedang dialami; (3) equanimity, didasarkan kepada keseimbangan perspektif dalam melihat hidup dan pengalaman-pengalaman yang telah dialami oleh individu. Karakteristik ini dapat dilihat dari kemampuan individu resilien untuk mempertimbangkan pandangan yang lebih terbuka terhadap pengalaman hidup yang dialami. Pandangan terbuka membuat individu lebih fokus kepada hal-hal
12
positif dibandingkan dengan hal-hal negatif; (4) self reliance, merupakan bentuk percaya dengan kemampuan diri sendiri yang disertai dengan kesadaran terhadap kapabilitas dan keterbatasan yang dimiliki; (5) existential aloneness, merupakan kemampuan individu untuk menyadari bahwa jalan hidup dari setiap orang adalah unik, terkadang terdapat pengalaman sama yang bisa dibagi namun ada juga kondisi yang hanya dapat dihadapi sendiri. Sementara Connor dan Davidson (2003) menjelaskan mengenai lima aspek yang ada dalam resilience yaitu, (1) personal competence, high standar, and tenacy (kompetensi pribadi, standar yang tinggi dan keuletan); (2) trust in one;s instincts, tolerance of negative affect, and strengthening effects of stress (percaya kepada diri sendiri, memiliki toleransi terhadap efek negatif dan kuat menghadapi tekanan); (3) positive acceptance of change and secure relationship with others (penerimaan positif terhadap perubahan dan hubungan yang baik dengan orang lain); (4) self control (pengendalian diri); (5) spiritual influence (pengaruh spiritual). Gillespie, et. al. (2007) menjelaskan bahwa resilience merupakan suatu bentuk adaptasi yang dilakukan oleh individu untuk mengatasi stres di tempat kerja. Selain itu resilience juga memiliki hubungan dengan job satisfaction yang dimiliki oleh perawat (Aronson, 2005 & Gillespie, et al. 2009). Selain berkorelasi positif dengan job satisfaction, resilience berkorelasi positif dengan social support selain itu sejalan pernyataan bahwa resilience bentuk adaptasi dari stres di tempat kerja, resilience berkorelasi negatif dengan depresi, dan kecemasan (Yu, Lau, Mak, Zhang, Lui, & Zhang, 2011).
13
Penelitian mengenai job satisfaction dan resilience sudah beberapa kali dilakukan misalnya penelitian yang dilakukan oleh Wanberg dan Banas (2000). Hasil dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa optimism, resilience, self esteem serta perceived control memiliki hubungan yang tinggi dengan penerimaan terhadap perubahan dan job satisfaction. Selanjutnya, Luthans, Avolio, Walumbwa, dan Li (2005) melakukan eksplorasi hubungan antara hope dengan performansi kerja dari karyawan di tiga perusahaan yang berbeda di China. Hasil dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang positif antara performansi kerja karyawan dengan penilaian terhadap hope, optimism, dan resilience yang dimiliki oleh karyawan. Hal tersebut juga dikuatkan melalui penelitian yang dilakukan oleh Larson dan Luthans (2006). Selain itu, resilience terbukti memiliki hubungan yang positif dengan performansi kerja, happiness dan job satisfaction (Youssef & Luthans, 2007). Berdasarkan penelitian yang dilakukan terhadap beberapa guru di tiga sekolah yang berbeda di Amerika, menunjukkan bahwa guru yang memiliki tingkat kepuasan kerja tinggi akan memiliki level resiliensi yang tinggi pula. Selanjutnya, guru yang berusia 55 tahun ke atas memiliki skor resiliensi yang lebih tinggi dibandingkan dengan rekan kerjanya yang berusia 27-35 tahun. Hal tersebut membuktikan bahwa terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara kepuasan kerja dengan resiliensi. Hasil dari penelitian ini mendukung teori yang menyatakan bahwa resiliensi merupakan sebuah proses interaksi diantara faktor-faktor beresiko yang sifatnya individual dengan lingkungan mereka.
14
Kemudian hal tersebut akan menciptakan mekanisme proteksi yang mendukung mereka untuk mengatasi permasalahan-permasalahan sulit yang mereka hadapi (Oertwig, 2004). Faktor lain yang mampu mempengaruhi resilience dan job satisfaction pada karyawan adalah Quality of Work Life. Baba dan Jamal (1991) melalui penelitiannya menjelaskan bahwa job satisfaction dan job stress merupakan dua indikator yang harus ada untuk mencapai Quality of Work Life. Quality of Work Life (QWL) mulai berkembang pada tahun 1960 dan awal 1970an. Pada saat itu, penelitian sudah mulai difokuskan kepada kualitas hubungan antara karyawan dengan kondisi lingkungan kerjanya (Rose, Beh, Uli & Idris, 2006). Selain itu, QWL menjadi suatu isu yang penting bagi pengembangan SDM dalam organisasi karena seiring dengan perkembangan jaman saat ini karyawan sudah lebih cenderung memperhatikan isu kualitas hidup (Lian, Lin & Wu, 2007). Demikian halnya organisasi yang bergerak di bidang kesehatan. Cascio (2003), mendefinisikan QWL sebagai sekumpulan persepsi karyawan akan kesejahteraan mental dan fisik mereka di tempat kerja. Kualitas kehidupan kerja memberikan kesempatan pada karyawan untuk membuat keputusan tentang pekerjaan mereka, desain tempat kerja, dan kebutuhan untuk menghasilkan atau memberikan pelayanan yang paling efektif. Sementara Lau dan May (1998) mendefinisikan QWL sebagai kondisi dan lingkungan kerja yang sesuai untuk mendukung dan meningkatkan kepuasan kerja karyawan dengan menyediakan reward, keamanan kerja, dan kesempatan untuk berkembang bagi karyawan.
15
Cascio (2003), menyebutkan bahwa terdapat dua sudut pandang untuk mengetahui makna dari Quality of Work Life. Sudut pandang pertama melihat melalui sekelompok praktek dan kondisi obyektif dari sebuah organisasi. contohnya adalah kebijaksanaan mengenai promosi, supervisi yang demokratis, keterlibatan karyawan, dan kondisi kerja yang aman. Sudut pandang yang kedua, melihat melalui persepsi karyawan bahwa mereka aman, secara relatif merasa puas, memiliki keseimbangan kehidupan kerja, dan mereka mampu untuk tumbuh dan berkembang sebagai mahluk hidup yang seutuhnya. Kedua pandangan ini akhirnya digabungkan ketika seseorang menyukai organisasi, cara bagaimana mereka terstruktur, dan kebutuhannya terpenuhi maka ia akan dikatakan memiliki kualitas kehidupan kerja yang baik. Kondisi ini tidak bisa ditemui disetiap organisasi. Penelitian yang dilakukan oleh Sirgy, Efraty, Siegel, dan Lee (2001) terhadap perawat di Kanada menunjukkan bahwa QWL merupakan pemenuhan kebutuhan karyawan yang diperoleh melalui sumber daya, aktivitas, dan hasil yang diperoleh melalui partisipasi di tempat kerja, diantaranya lingkungan kerja, job requirement, perilaku supervisor dan progam tambahan memiliki hubungan yang positif dengan QWL. Selanjutnya, Cascio (1998) menguraikan sembilan komponen penting dalam QWL yaitu: (1) keterlibatan karyawan, (2) kompensasi yang seimbang, (3) rasa aman terhadap pekerjaan, (4) keselamatan lingkungan kerja, (5) rasa bangga terhadap institusi, (6) pengembangan karir, (7) fasilitas yang tersedia, (8) penyelesaian masalah, dan (9) komunikasi.
16
Riyono (2012) dalam penelitiannya mendefinisikan quality of work life sebagai budaya organisasi yang berorientasi pada keseimbangan antara produktivitas
dan
kesejahteraan
karyawan.
Selain
itu,
Riyono
(2012)
mengemukakan bahwa QWL dalam sebuah organisasi dapat diwujudkan dengan menerapkan lima aspek yaitu kepercayaan (trust), kepedulian (care), saling menghormati (respect), belajar (learn), dan berkontribusi (contribute). Aspek trust memiliki definisi yang berarti saling percaya antar anggota organisasi baik atasan maupun dengan bawahan, maupun sesama rekan kerja. Care adalah saling peduli dan tolong menolong antar anggota organisasi baik atasan dengan bawahan maupun sesama rekan kerja. Respect adalah saling menghargai antar anggota organisasi baik atasan dengan bawahan maupun sesama rekan kerja Learn menunjukkan kepada semangat belajar terus menerus pada seluruh anggota organisasi. Sedangkan contribute menunjuk kepada semangat untuk berkontribusi demi kemajuan bersama dalam organisasi (Riyono, 2012). Ketika organisasi memberikan keseimbangan kepada karyawan dengan memperhatikan kesejahteraannya di tempat kerja maka job satisfaction yang dimiliki oleh karyawan akan meningkat. Studi terdahulu mengenai hal ini juga telah dilakukan. Burtson dan Stichcler (2010), dalam penelitiannya menyebutkan bahwa QWL yang dimiliki oleh karyawan merupakan hal penting yang digunakan sebagai tolak ukur dari performansi organisasi. Hal tersebut juga semakin mendorong perbaikan kualitas di lembaga yang bergerak di bidang kesehatan. QWL berbeda dari job satisfaction tetapi QWL mampu mendukung terciptanya job satisfaction (Chan & Wyatt, 2007).
17
Penerapan QWL dalam organisasi kesehatan telah terbukti mampu memberikan sumbangan positif terhadap para penyelenggara kesehatan maupun pasien, misalnya kepuasan kerja. Hal tersebut dikuatkan melalui beberapa penelitian lain. Mortazavi, Yazdi, dan Amini ( 2012) misalnya, menyebutkan bahwa Quality of Work Life mempunyai efek langsung terhadap peningkatan Job Satisfaction dan meningkatkan mutu pelayanan dari rumah sakit kepada pasienpasiennya dan mampu meningkatkan performansi kerja yang tinggi. Efraty, Sirgy dan Clairbone (1991), serta Mosadeghrad, Ferlie dan Rosenberg (2011), juga menyatakan bahwa apabila karyawan memiliki tingkat QWL yang tinggi akan berdampak juga kepada Job Satisfaction, Job Performance dan turunnya angka Turn Over yang dimiliki oleh karyawan. Quality of Work Life diduga mampu mempengaruhi hubungan antara resilience dengan job satisfaction melalui terciptanya keseimbangan kesejahteraan mental dan fisik di tempat kerja dengan produktifitas kerjanya sehingga mendorong karyawan untuk merasa puas dengan pekerjaannya meskipun beban kerja yang dimiliki oleh karyawan dirasakan berat dan penuh dengan tekanan. Karyawan yang memiliki resilience yang tinggi akan lebih merasakan job satisfaction dibandingkan dengan karyawan yang memiliki nilai resilience rendah (Matos, Neushotz, Grrifin & Fitzpatric, 2010). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Mortazavi, et al. (2012) yang dilakukan terhadap perawat-perawat di empat rumah sakit yang berbeda, menunjukkan bahwa resilience bersama dengan hope, optimism, self efficacy memiliki pengaruh terhadap terjadinya QWL di suatu perusahaan. Resilience
18
dikatakan akan mampu menjadi faktor penentu dan pendorong dari terjadinya QWL dengan cara membuat karyawan lebih fleksibel dan mampu menangani semua tantangan dan tekanan yang terjadi di tempat kerja (Nguyen & Nguyen, 2012; & Mortazavi, et. al. 2012). Ketika QWL meningkat maka prodiktifitas dari karyawan juga akan meningkat (Wright & Cropanzano, 2004). Selain itu Mirkamali dan Narenji (2011), menjelaskan bahwa di dalam konteks organisasional memahami faktor-faktor pendorong terciptanya QWL merupakan suatu hal yang penting, karena peningkatan QWL yang dimiliki oleh karyawan akan berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap peningkatan job satisfaction karyawan itu sendiri. Dari uraian yang telah dijabarkan di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa penelitian ini bertujuan untuk: (1) menguji hubungan antara Resilience dengan Job Satisfaction yang dimiliki oleh karyawan, serta (2) menguji bagaimana efek Quality of Work Life terhadap hubungan antara Resilience dengan Job Satisfaction. Quality of Work Life
Resilience
Job Satisfaction
Gambar 1. Model Konseptual Hipotesis Penelitian
19
Berdasarkan uraian tersebut, maka hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini antara lain: Hı
: Terdapat hubungan positif antara Resilience dengan Job Satisfaction.
H2
:
Quality of Work Life memperkuat kualitas hubungan antara Resilience dengan Job Satisfaction.
Penelitian ini diharapkan akan memberikan implikasi secara langsung terhadap pemahaman mengenai peran quality of work life sebagai arah baru dalam menjelaskan fenomena resilience dan job satisfaction yang dialami oleh perawat, baik secara teoritis maupun praktis dalam lingkup Psikologi Industri dan Organisasi. Selain itu, penelitian ini diharapkan akan memberikan sumbangsih terhadap pemahaman mengenai berbagai faktor yang berhubungan dengan konstruk job satisfaction yang dimiliki oleh karyawan dalam lingkup organisasi, khususnya di Indonesia, dimana penelitian yang relevan dengan topik ini masih perlu dikembangkan lebih luas lagi. Metode Subjek Penelitian Subjek dalam penelitian ini adalah perawat wanita yang bekerja di dua rumah sakit swasta. Penelitian ini melibatkan 170 orang perawat dengan kriteria karyawan tersebut telah memiliki masa kerja di atas 1 tahun. Pengambilan sampel dalam penelitian menggunakan cara Purposive Sampling yaitu cara sampling yang digunakan untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu. Cara yang dilakukan dalam teknik sampling ini adalah dengan menentukan kelompok subjek penelitian berdasarkan atas ciri-ciri atau sifat-sifat tertentu yang dipandang mempunyai