DAMPAK UTANG LUAR NEGERI PEMERINTAH TERHADAP KINERJA PEREKONOMIAN INDONESIA
DISERTASI
BENNY SETIAWAN KUSUMO
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
SURAT PERNYATAAN
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam disertasi saya yang berjudul:
DAMPAK UTANG LUAR NEGERI PEMERINTAH TERHADAP KINERJA PEREKONOMIAN INDONESIA merupakan gagasan atau hasil penelitian saya sendiri, dengan bimbingan Komisi Pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjuk rujukannya. Disertasi ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di perguruan tinggi lain. Semua data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan dengan jelas sumbernya dan dapat diperiksa kebenarannya.
Bogor, Agustus 2008
Benny Setiawan Kusumo NRP: A.5460142014
ABSTRACT BENNY SETIAWAN KUSUMO. The Impacts of Government External Debt on the Performance of Indonesia Economy. (ARIEF DARYANTO, as Chairman, BUNASOR SANIM and ERWIDODO, as Members of Advisory Committee). The objectives of this study are to analyze the impacts of government external debt on the performance of Indonesia economy, which consists on the role of external debt in reducing deficit financing, decreasing debt stock and its growth. The policy alternatives set for period 1985-2005 are simulated with a simultaneous econometric model. The two-stage least squares (2-SLS) method was used to estimate the parameters of the behavioral equations in the model. The result of simulation shows that world interest rate is a dominant factor in influencing external debt performance. It can also be expressed that reducing in government external debt will decrease economic growth, reduce private consumption, reduce budget deficit and reduce re-payment of external loan. Another impact is decreasing sectoral development growth which will lead to increasing the rate of unemployment. Another result of simulation also indicates that foreign financing and lender driven has significantly influenced on sectoral growth. Key words: government external debt, debt stock, econometric model, economic growth, lender driven.
ABSTRAK BENNY SETIAWAN KUSUMO. Dampak Utang Luar Negeri Pemerintah Terhadap Kinerja Perekonomian Indonesia. (ARIEF DARYANTO sebagai Ketua, BUNASOR SANIM dan ERWIDODO, sebagai Anggota Komisi Pembimbing). Tujuan dari penelitian disertasi ini adalah untuk menganalisis dampak penggunaan utang luar negeri pemerintah terhadap kinerja perekonomian Indonesia yang meliputi peranan utang luar negeri pada beberapa sektor utama dalam perekonomian Indonesia, dan terhadap pengurangan stok utang luar negeri dan pengurangan pembiayaan defisit dalam rangka mencapai kemandirian dalam pembiayaan pembangunan. Data yang digunakan dalam penelitian ini dikumpulkan dari berbagai sumber, terutama data series (time series) dari tahun 1985 sampai dengan tahun 2005, dan dibangun dalam suatu model ekonometrika simultan. Metoda two-stage least squares (2-SLS) digunakan untuk mengestimasi parameter persamaan perilaku dalam model. Hasil simulasi kebijakan dari penelitian ini menunjukkan bahwa suku bunga dunia merupakan faktor yang dominan dalam mempengaruhi keberadaan pinjaman luar negeri pemerintah. Dapat ditunjukkan pula bahwa penurunan jumlah pinjaman baru dari sumber luar negeri akan menyebabkan turunnya pertumbuhan ekonomi, penurunan konsumsi rumah tangga, penurunan investasi masyarakat, pengurangan defisit anggaran dan turunnya pembayaran pokok dan bunga utang luar negeri. Dampak yang lain adalah turunnya angka indikator pertumbuhan sektoral yang akan menyebabkan naiknya angka pengangguran. Hasil yang lain dari simulasi kebijakan juga menunjukkan bahwa utang luar negeri dan kebijakan donor mempunyai pengaruh yang kuat atas kinerja angka indikator pertumbuhan sektoral. Kata Kunci: utang luar negeri pemerintah, stok utang, model ekonometrika, pertumbuhan ekonomi, kebijakan donor.
RINGKASAN Pembangunan nasional yang selama ini dilaksanakan di Indonesia pada hakekatnya bertujuan untuk mewujudkan bangsa dan negara Indonesia yang maju, mandiri, sejahtera, dan berkeadilan, serta aman dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Upaya yang ditempuh pemerintah adalah melaksanakan investasi di berbagai bidang pembangunan. Namun karena keterbatasan sumber pendanaan dari dalam negeri, agar pembangunan tetap berlangsung, diperlukan sumber pendanaan lain, yang salah satunya bersumber dari utang, khususnya utang luar negeri. Dengan adanya utang luar negeri ini, pemerintah dapat mempercepat pencapaian tujuan pembangunan nasional melalui peningkatan pengeluaran pembangunan menjadi lebih tinggi dari yang dapat dilakukan sebelumnya. Selain itu, utang luar negeri dapat digunakan pula untuk menutup kebutuhan akan kekurangan devisa akibat penerimaan ekspor yang lebih kecil dari pengeluaran untuk membiayai impor. Namun, utang pemerintah pada saat ini, khususnya utang luar negeri, sudah berperan sebagai faktor yang mengganggu stabilitas Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Jumlah stok utang luar negeri pemerintah yang pada tahun 1966 baru mencapai USD 2.02 miliar (Harinowo, 2002), pada bulan Maret 2005 sudah mencapai USD 77.68 miliar (Bank Indonesia, 2005). Untuk ukuran negara berkembang, jumlah ini sudah tergolong cukup tinggi. Selain itu, beban pembayaran cicilan pokok dan bunga utang luar negeri pemerintah (debt service), pada bebrapa tahun tertentu sudah melebihi dana yang dialokasikan untuk pembangunan. Oleh karena itu, fenomena ekonomi yang terjadi dalam sistem, prosedur dan mekanisme perencanaan, pengadaan dan penggunaan utang luar negeri pemerintah ini menarik untuk diteliti lebih jauh. Pembangunan yang dilaksanakan di Indonesia melalui berbagai sektor membutuhkan investasi yang besar, baik yang berasal dari sumber dalam negeri maupun dari utang luar negeri. Pengalokasian sumber-sumber penerimaan dari utang luar negeri dirinci berdasarkan penggunaannya pada sektor-sektor pembangunan sehingga dapat dianalisis peran dan dampaknya terhadap kinerja ekonomi makro Indonesia dan kinerja secara sektoralnya. Di dalam kinerja ekonomi makro tersebut termasuk PDB, konsumsi rumah tangga, investasi masyarakat, tingkat pengangguran, serta kondisi fiskal. Oleh karena itu, untuk mengetahui kinerja dan manfaat utang luar negeri pada sektor-sektor yang akan diteliti, perlu diketahui hubungan alokasi anggaran pembangunan sektor-sektor tersebut baik yang berasal dari penerimaan dalam negeri, pengadaan utang luar negeri, maupun pembayaran utang di sektor-sektor tersebut. Dalam penelitian ini sektor-sektor pembangunan yang akan dibahas dikelompokkan kedalam lima sektor utama yaitu: (1) sektor pendidikan, (2) sektor kesehatan, (3) sektor pertanian dan pengairan, (4) sektor pertambangan dan energi, serta (5) sektor perhubungan dan transportasi. Selebihnya digabungkan ke dalam sektor lainnya. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dampak penggunaan utang luar negeri pemerintah terhadap kinerja perekonomian Indonesia yang meliputi
peranan utang luar negeri pada beberapa sektor utama dalam perekonomian Indonesia, dan terhadap pengurangan stok utang luar negeri serta pengurangan pembiayaan defisit dalam rangka mencapai kemandirian dalam pembiayaan pembangunan. Metodologi penelitian yang dilakukan meliputi pengumpulan data sekunder dari berbagai sumber yang dapat dipertanggungjawabkan, konstruksi model, prosedur analisis dan estimasi, model ekonometrika, pembentukan model ekonometrika struktural, identifikasi model dan estimasi, serta prosedur aplikasi model dengan unit analisis secara nasional. Data yang digunakan dalam penelitian berupa data series (time series) dari tahun 1985 sampai dengan tahun 2005, dan dibangun dalam suatu model ekonometrika simultan. Persamaan-persamaan dalam model dibagi ke dalam persamaan struktural, identitas, dan intervensi kebijakan. Analisis ekonometrika utang luar negeri yang digunakan adalah pendekatan permintaan dan penawaran utang luar negeri pemerintah, sedangkan untuk mengestimasi parameter persamaan perilaku dalam model, digunakan metoda two-stage least squares (2-SLS). Seluruh variabel dalam model secara individu akan diuji melalui uji statistik, yang meliputi uji signifikansi dengan tingkat signifikan 15 persen. Di samping itu, akan dilakukan juga uji terhadap homoskedastisitas, bentuk fungsi, kolinearitas, dan oto-korelasinya. Program piranti lunak (software) utama yang digunakan adalah Statistical Analysis System/ Estimation Time Series (SAS/ ETS) versi 6.12. Setelah dilakukan beberapa alternatif spesifikasi model, akhirnya diperoleh model Utang Luar Negeri Pemerintah Indonesia yang terdiri dari 33 persamaan perilaku dan 14 persamaan identitas, yang secara ekonomi logis dan mempunyai arti, serta dapat dibuktikan secara statistik. Hasil pendugaan ekonomi model Utang Luar Negeri Pemerintah Indonesia ini cukup baik sebagaimana terlihat dari nilai koefisien determinasinya (R²), besaran nilai statistik uji (F), nilai statistik (t), dan uji statistik Durbin-Watson, yang umumnya dipenuhi. Dengan demikian model yang dibangun pada penelitian ini dapat dinyatakan cukup refresentatif dalam menggambarkan fenomena ekonomi utang luar negeri pemerintah Indonesia yang terjadi selama kurun waktu tersebut diatas. Namun, sebelum model tersebut dapat digunakan untuk simulasi kebijakan, terlebih dahulu perlu dilakukan pengujian validasi atas model tersebut, guna melihat apakah nilai dugaan masing-masing variabel endogen sesuai dengan atau mendekati nilai aktualnya. Selain itu, hal ini dilakukan guna mencari model dimana variabel endogen (dependent variables) mempunyai keterkaitan yang tepat sebagai fungsi dari satu atau lebih variabel eksogen (independent variables). Sementara itu simulasi kebijakan dilakukan untuk menganalisis dampak berbagai alternatif kebijakan dengan cara mengubah nilai variabel eksogen atau variabel yang merupakan alat kebijakan. Dengan menggunakan beberapa indikator validasi statistik dapat disimpulkan bahwa hasil pendugaan model pada penelitian ini dapat dinyatakan cukup refresentatif dalam menggambarkan fenomena ekonomi utang luar negeri pemerintah Indonesia. Dengan demikian, jika dilihat secara keseluruhan dan bersama-sama maka model yang dibangun dalam penelitian ini cukup baik digunakan sebagai model pendugaan, dan oleh karena itu model
vi
struktural yang telah dirumuskan tersebut juga dapat digunakan untuk simulasi alternatif kebijakan. Dari hasil estimasi dan beberapa simulasi alternatif kebijakan dapat disimpulkan bahwa perubahan tingkat suku bunga pinjaman luar negeri secara signifikan mempengaruhi keputusan pemerintah untuk melakukan pinjaman baru. Hal ini ditunjukkan oleh hubungan yang negatif antara kenaikan tingkat suku bunga pinjaman dengan penurunan pinjaman luar negeri. Selain itu, penurunan jumlah utang luar negeri pemerintah akan menurunkan PDB dan pertumbuhan sektor-sektor pembangunan,belanja pemerintah dan defisit anggaran pemerintah, namun menaikkan pendapatan pemerintah. Hal ini berarti utang luar negeri masih dibutuhkan untuk menutup kebutuhan pendanaan pembangunan yang masih belum dapat dipenuhi semua dari sumber penerimaan dalam negeri. Isu tentang kebocoran penggunaan utang luar negeri telah seringkali disuarakan oleh para pengamat. Hasil simulasi kebijakan pada penelitian ini menunjukkan bahwa penurunan kebocoran utang luar negeri akan berdampak pada naiknya utang luar negeri yang efektif digunakan untuk pembangunan di seluruh sektor. Selain itu, lender driven, yang dalam penelitian ini didefinisikan sebagai pengaruh kreditur/ donor dalam hal kebijakan pengadaan barang dan jasa dengan dana yang berasal dari utang, secara umum mempunyai pengaruh yang positif atas indikator makro ekonomi Indonesia dan kinerja pembangunan sektoral. Dari hasil penelitian ini juga diketahui bahwa utang luar negeri pemerintah paling efektif digunakan untuk pembangunan di sektor perhubungan dan transportasi. Menyusul berturut-turut adalah untuk sektor pertambangan dan energi, sektor pertanian dan pengairan, sektor kesehatan dan sektor pendidikan. Namun dalam praktek penyusunan anggaran pembangunan ditemukan bahwa penetapan besarnya alokasi dana pembangunan baik yang bersumber dari rupiah murni maupun pinjaman luar negeri ternyata paling dominan ditentukan oleh besarnya anggaran yang dialokasikan pada tahun-tahun sebelumnya, dan kurang memperhitungkan variabel-variabel eksogen lainnya yang cukup signifikan mempengaruhi besarnya alokasi anggaran sektoral. Untuk itu disarankan kepada pengambil keputusan agar dalam penyusunan alokasi anggaran, perlu dibangun sistem analisis yang jelas. Exercise yang dilakukan tidak hanya didasarkan atas besarnya dana yang telah dialokasikan pada tahun-tahun sebelumnya, tetapi perlu dilihat kinerja pelaksanaannya dan mengacu pada rencana yang telah ditetapkan serta resource envelope yang tersedia. Selain itu, penggunaan pinjaman luar negeri untuk menutup defisit anggaran pemerintah perlu dilakukan selektif dan diprioritaskan untuk sektor-sektor yang memberikan leverage yang tinggi, yaitu sektor perhubungan dan transportasi, sektor pertambangan dan energi serta sektor pertanian dan pengairan, mengingat jumlah stok utang luar negeri pemerintah yang sudah cukup tinggi sampai saat ini. Hal yang lain adalah upaya mengurangi resiko yang ditimbulkan oleh faktor eksternal, sehingga perlu dipertimbangkan sumber pendanaan utang dari dalam negeri yang relatif lebih stabil terhadap fluktuasi mata uang, meskipun tingkat bunganya relatif lebih tinggi dibanding utang luar negeri yang berupa concessional loan.
vii
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2008
Hak Cipta dilindungi Undang-undang. 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa
mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah. b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau
seluruh karya tulis ini dalam bentuk apapun tanpa seizin IPB.
DAMPAK UTANG LUAR NEGERI PEMERINTAH TERHADAP KINERJA PEREKONOMIAN INDONESIA
BENNY SETIAWAN KUSUMO
DISERTASI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
Penguji Luar Komisi : 1. Ir. Arifin Rudiyanto, M.Sc., Ph.D. Direktur Pengembangan Wilayah, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional 2. Dr. Sudarno Sumarto, MA Direktur SMERU Research Institute, Jakarta
Judul Disertasi
: DAMPAK UTANG LUAR NEGERI PEMERINTAH TERHADAP KINERJA PEREKONOMIAN INDONESIA
Nama Mahasiswa : BENNY SETIAWAN KUSUMO Program Studi
: Ilmu Ekonomi Pertanian
Nomor Pokok
: A. 5460142014
Menyetujui, 1. Komisi Pembimbing
Dr.Ir. Arief Daryanto, M.Ec. Ketua
Prof.Dr.Ir. Bunasor Sanim, M.Sc. Anggota
Dr.Ir. Erwidodo, MS. Anggota
Mengetahui,
2. Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian
Prof.Dr.Ir. Bonar M. Sinaga, MA.
Tanggal Ujian : 29 Agustus 2008
3. Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof.Dr.Ir. Khairil A. Notodiputro, MS.
Tanggal Lulus : 12 September 2008
Dipersembahkan untuk: Ig. Ambar Mangunkusumo (Ayah, alm) dan Ag. Sudaryati (Ibu, alm) Th. Indah Dwini Arijanti (Isteri) A. Aditya Wahyu Wibowo (Anak), FX. Haryo Budi Prakoso (Anak), Br. Listiarini Tri Untari (Anak), N. Wismono Bagus Kurniawan (Anak)
PRAKATA
Puji syukur penulis ucapkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa karena hanya dengan rahmat dan kasihNya maka disertasi ini dapat diselesaikan. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa dampak utang luar negeri pemerintah terhadap kinerja perekonomian Indonesia, dan pengaruh berbagai kebijakan pemerintah terhadap indikator makroekonomi Indonesia serta indikator pembangunan sektoral. Analisis dilakukan dengan menggunakan data dari berbagai sumber antara tahun 1985 - 2005, dan dianalisis dengan metoda ekonometrika. Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan penghargaan dan terima kasih kepada: 1. Dr. Ir. Arief Daryanto, M.Ec., sebagai ketua komisi pembimbing, serta Prof. Dr. Ir. Bunasor Sanim, M.Sc., dan Dr. Ir. Erwidodo, MS., sebagai anggota komisi pembimbing, yang telah banyak meluangkan waktunya yang sangat berharga untuk membimbing penulis sejak penyusunan proposal hingga penyelesaian disertasi ini; 2. Ir. Arifin Rudiyanto, M.Sc., PhD., dan Dr. Sudarno Sumarto, MA, sebagai penguji luar komisi, yang ditengah-tengah kesibukannya masih bersedia meluangkan waktunya memberi masukan dan saran-saran yang sangat berharga dalam menyempurnakan penulisan disertasi ini; 3. Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA, sebagai ketua program studi Ilmu Ekonomi Pertanian IPB, serta dosen-dosen di program studi Ilmu Ekonomi Pertanian IPB, yang selalu mengingatkan dan mendorong penulis untuk terus maju dan menyelesaikan studi ini; 4. Dr. Ir. Lukita Dinarsyah Tuwo, MA, dan Dr. Prasetijono Widjojo, MJ, MA, yang dengan senang hati telah berkali-kali menyisihkan sebagian waktunya untuk memberikan masukan yang sangat berarti dalam penyusunan disertasi ini; serta yang dengan tak bosan-bosannya memotivasi penulis untuk tetap bersemangat melengkapi disertasi ini;
5. Rekan-rekan Program Studi S3-EPN Khusus Angkatan I yang tanpa bosan, selalu memberikan dorongan, motivasi dan saran dalam kaitannya dengan penyelesaian disertasi dan studi ini. Saya semakin meyakini: “Bersama Kita Bisa”. Trust me; 6. Rekan-rekan kerja di Bappenas, khususnya di Direktorat Pendayagunaan Pendanaan Pembangunan Bappenas (d/h. Direktorat Pemantauan dan Evaluasi Pendanaan Pembangunan) dan ex. Diretorat Politik, Pertahanan & Keamanan, yang telah banyak memberikan dukungan kepada penulis; 7. Last but not least, kepada isteriku tercinta Indah Dwini Arijanti serta anakanakku Aditya, Rio, Ririn dan Bagus, yang dengan penuh kesabaran dan pengertiannya telah dengan ikhlas merelakan kehilangan banyak waktunya bersama keluarga, serta dengan doa dan cinta kasihnya yang tiada henti, mendorong penulis segera menyelesaikan studi ini. Without their support, this work would never been finished. Kepada semuanya, sekali lagi tiada lain yang dapat penulis ucapkan selain terima kasih yang sebesar-besarnya dan penghargaan yang setinggi-tingginya. Semoga Tuhan Yang Maha Kuasa membalas dengan berlipat ganda. Akhirnya, tiada gading yang tak retak. Penulis menyadari bahwa dengan segala keterbatasan penulis, penelitian ini tentulah belum sempurna. Ketidak sempurnaan penelitian ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya. Oleh karena itu segala saran dan masukan dari para pembaca guna penyempurnaan penelitian sejenis di masa datang akan sangat berguna bagi penulis dan juga bagi masyarakat ilmiah. Namun demikian penulis berharap semoga hasil penelitian ini bermanfaat bagi pihak-pihak yang memerlukannya.
Bogor, Agustus 2008
Penulis
xiii
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan pada tanggal 17 Februari 1957 di Magelang, Jawa Tengah, anak keenam dari pasangan Bapak Ignatius Ambar Mangunkusumo dan Ibu Agnes Sudaryati. Penulis lulus SD Potrobangsan II Magelang tahun 1969, SMP Kanisius Pendowo Magelang tahun 1972, dan SMA Kolese de Britto Yogyakarta tahun 1975. Pada tahun 1976 penulis melanjutkan pendidikan perguruan tinggi di Institut Teknologi Bandung jurusan Teknik Sipil dan menyelesaikan pendidikan program (S1) dan memperoleh gelar Insinyur (Ir.) Teknik Sipil pada tahun 1981. Pada tahun 1986 penulis mulai bekerja di Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) pada Biro Pembiayaan Proyek-proyek Pembangunan. Dari tahun 1986 sampai sekarang, penulis mengalami beberapa kali mutasi internal di Bappenas, yaitu pernah di Biro Penyiapan dan Analisis Proyek Pembangunan; Biro Politik, Pertahanan Keamanan dan HAM; Direktorat Politik, Pertahanan dan Keamanan; Direktorat Pemantauan dan Evaluasi Pendanaan Pembangunan; serta sekarang di Direktorat Pendayagunaan Pendanaan Pembangunan. Selama bekerja di Bappenas, penulis memperoleh beberapa kali kesempatan untuk mengikuti pendidikan non gelar di bidang yang terkait dengan perencanaan pembangunan, yaitu kursus Regional Development and Project Planning di University of Bradford, United Kingdom tahun 1988; Preparatory Courses in Economics di Economics Institute, Boulder Colorado, USA tahun 1989; Training on Energy Economics di Juliech, Germany tahun 1992; Courses on Budgeting in the Public Sector di Harvard University, USA tahun 1994, Program on Budgeting and Financial Management in the Public Sector di Duke University, USA tahun 2005, Training on Evaluation of Japan’s ODA, di JICA Tokyo, Japan tahun 2005, dan Courses on Performance Budgeting and Other Modern Budgeting Tools di IMF Institute, USA tahun 2006. Disamping itu, guna memperluas wawasan, penulis berkali-kali mendapat kesempatan menghadiri berbagai pertemuan, seminar, round table, workshop di luar negeri, antara lain di Australia, Canada, China, French, Italy, Japan, Malaysia, Morrocco, Phillipine, Russia, Singapore, South Korea, Thailand, dan Vietnam.
Pada tahun 1989 penulis mendapatkan beasiswa dari Pemerintah Indonesia melalui Bappenas untuk melanjutkan pendidikan master’s degree di University of Illinois at Urbana Champaign, USA. Tahun 1991 penulis menyelesaikan pendidikan program S2 dan memperoleh gelar Master of Science (M.Sc) di bidang Policy Economics. Guna lebih memperdalam pengetahuan di bidang ekonomi, khususnya ekonomi pertanian, atas biaya sendiri, pada tahun 2002 penulis melanjutkan pendidikan pada Program S3 di bidang Ilmu Ekonomi Pertanian di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Penulis menikah dengan Theresia Indah Dwini Arijanti tahun 1983 dan dikaruniai tiga orang anak laki-laki yaitu Antonius Aditya Wahyu Wibowo, Fransiskus Xaverius Haryo Budi Prakoso dan Nikolas Wismono Bagus Kurniawan; serta satu orang anak perempuan yaitu Bernadette Listiarini Tri Untari.
xv
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . xxi DAFTAR GAMBAR . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . xxiv DAFTAR LAMPIRAN . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . xxv I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
1
1.1.1.
Defisit Anggaran Pemerintah dan Pembiayaan Pembangunan . . . .
1
1.1.2.
Tantangan Pembiayaan Pembangunan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
2
1.1.3.
Perkembangan Posisi Utang Luar Negeri Pemerintah . . . . . . . . . . .
4
1.1.4.
Kinerja Utang Luar Negeri Pemerintah dan Pertumbuhan Ekonomi . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
6
Utang Luar Negeri Pemerintah pada Beberapa Sektor Utama . . . . .
7
1.2. Perumusan Masalah . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
9
1.3. Tujuan Penelitian . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
10
1.1.5.
1.4. Kegunaan Hasil Penelitian . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 10 1.5. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
11
II. SEJARAH DAN PERANAN UTANG LUAR NEGERI 2.1. Utang Luar Negeri Swasta . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
14
2.2. Utang Luar Negeri Pemerintah . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
15
2.2.1.
Kronologi Utang Luar Negeri Pemerintah . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
16
2.2.1.1. Utang Luar Negeri Pemerintah Orde Baru . . . . . . . . . . . . .
16
2.2.1.2. Utang Luar Negeri Pemerintah Periode Pelita I Sampai Dengan Tahun 2005 . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
21
2.2.2.
Perkembangan Stok Utang Luar Negeri Pemerintah . . . . . . . . . . . .
22
2.2.3.
Dinamika Utang Luar Negeri Pemerintah . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 23
2.2.4.
Permasalahan Utang Pemerintah . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
24
2.3. Utang Dunia . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
25
2.3.1.
Utang Negara-Negara Industri . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 26
2.3.2.
Utang Negara-Negara Berkembang . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
27
2.3.3.
Penanganan Utang Negara-Negara Industri: Pengalaman Belgia . .
28
2.3.4.
Penanganan Utang Negara-Negara Berkembang . . . . . . . . . . . . . . . . 30 2.3.4.1. Pengalaman Sri Lanka . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 30
2.3.5.
2.3.4.2. Pengalaman Argentina: Pencegahan dan Penanggulangan Krisis . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
32
Kasus di Indonesia . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
33
III. TINJAUAN PUSTAKA 3.1. Teori Utang . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
36
3.1.1.
Pendekatan Teori Two-Gap Model . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 36
3.1.2.
Pendekatan Pembiayaan Defisit . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
40
3.1.3.
Pendekatan Permintaan dan Penawaran . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
41
3.2. Solvabilitas dan Kesinambungan Fiskal . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
44
3.2.1.
Indikator Solvabilitas . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
44
3.2.2.
Indikator Kesinambungan Fiskal . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
46
3.3. Kesinambungan dan Kedinamisan Utang . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
47
3.4. Penelitian Terdahulu . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
50
IV. KERANGKA PEMIKIRAN 4.1. Tahapan Utang Luar Negeri Pemerintah . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
54
4.2. Aliran Utang Luar Negeri Pemerintah . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
54
4.3. Analisis Ekonometrika Utang Luar Negeri Pemerintah . . . . . . . . . . . . . . . .
57
4.3.1.
Utang Luar Negeri Pemerintah untuk Pembangunan Beberapa Sektor Utama . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
57
4.3.1.1. Sektor Pendidikan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
57
4.3.1.2. Sektor Kesehatan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
58
4.3.1.3. Sektor Pertanian dan Pengairan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
60
4.3.1.4. Sektor Pertambangan dan Energi . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
61
4.3.1.5. Sektor Perhubungan dan Transportasi . . . . . . . . . . . . . . . .
63
4.3.2.
Pengaruh Suku Bunga Dunia dan Perubahan Nilai Tukar . . . . . . . .
64
4.3.3.
Intervensi Kebijakan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
64
4.3.3.1. Intervensi Kebijakan Fiskal Pemerintah . . . . . . . . . . . . . . .
64
4.3.3.2. Intervensi Kebijakan Pemerintah Terkait Dengan Kebocoran Utang . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
65
4.3.3.3. Intervensi Kebijakan Terkait Dengan Kebijakan Kreditur . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
66
xvii
4.4. Pembayaran Utang Luar Negeri Pemerintah . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
66
4.5. Hipotesis . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
67
V. METODA PENELITIAN 5.1. Pengumpulan Data Sekunder . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
71
5.2. Prosedur Analisis: Analisis Ekonometrika . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
72
5.3. Sistem Utang Luar Negeri Pemerintah . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
73
5.4. Model Ekonometrika Utang Luar Negeri Pemerintah . . . . . . . . . . . . . . . . .
75
5.5. Model Ekonometrika Struktural . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
77
5.5.1. Persamaan Dalam Model Ekonometrika Utang Luar Negeri . . . . . .
77
5.6. Identifikasi Model . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 104 5.7. Metode Estimasi . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 106 5.8. Validasi Model . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 106 5.8.1. Root Mean Square Percent Error . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 107 5.8.2. Uji Durbin-Watson . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 107 5.9. Simulasi Model . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 108 5.10. Sumber dan Jenis Data . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 110 VI. HASIL DAN PEMBAHASAN 6.1. Keragaan Umum Hasil Pendugaan Model Utang Luar Negeri . . . . . . . . . . . 111 6.2. Keragaan Model Utang Luar Negeri . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 112 6.2.1.
Respon Konsumsi Rumah Tangga . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 112
6.2.2.
Respon Investasi Masyarakat . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 113
6.2.3.
Respon Net Ekspor . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 114
6.2.4.
Respon Pendapatan Pemerintah . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 115
6.2.5.
Respon Alokasi Rupiah Murni Sektor Pendidikan . . . . . . . . . . . . . . 116
6.2.6.
Respon Alokasi Rupiah Murni Sektor Kesehatan . . . . . . . . . . . . . . 117
6.2.7.
Respon Alokasi Rupiah Murni Sektor Pertanian dan Pengairan . . . 118
6.2.8.
Respon Alokasi Rupiah Murni Sektor Pertambangan dan Energi . . 120
6.2.9.
Respon Alokasi Rupiah Murni Sektor Perhubungan dan Transportasi . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 121
6.2.10. Respon Alokasi Rupiah Murni Sektor Lainnya . . . . . . . . . . . . . . . . 123 6.2.11. Respon Penggunaan Utang Luar Negeri di Sektor Pendidikan . . . . 123 6.2.12. Respon Penggunaan Utang Luar Negeri di Sektor Kesehatan . . . . . 125 xviii
6.2.13. Respon Penggunaan Utang Luar Negeri di Sektor Pertanian dan Pengairan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 126 6.2.14. Respon Penggunaan Utang Luar Negeri di Sektor Pertambangan dan Energi . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 128 6.2.15. Respon Penggunaan Utang Luar Negeri di Sektor Perhubungan dan Transportasi . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 130 6.2.16. Respon Penggunaan Utang Luar Negeri di Sektor Lainnya . . . . . . . 132 6.2.17. Respon Pembayaran Utang Luar Negeri di Sektor Pendidikan . . . . 133 6.2.18. Respon Pembayaran Utang Luar Negeri di Sektor Kesehatan . . . . . 134 6.2.19. Respon Pembayaran Utang Luar Negeri di Sektor Pertanian dan Pengairan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 135 6.2.20. Respon Pembayaran Utang Luar Negeri di Sektor Pertambangan dan Energi . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 137 6.2.21. Respon Pembayaran Utang Luar Negeri di Sektor Perhubungan dan Transportasi . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 138 6.2.22. Respon Pembayaran Utang Luar Negeri di Sektor Lainnya . . . . . . . 139 6.2.23. Respon Angka Partisipasi Sekolah . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 140 6.2.24. Respon Angka Tahun Lama Bersekolah . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 141 6.2.25. Respon Angka Kematian Bayi . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 142 6.2.26. Respon Angka Usia Harapan Hidup . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 143 6.2.27. Respon Pertumbuhan Sektor Pertanian dan Pengairan . . . . . . . . . . 145 6.2.28. Respon Pertumbuhan Sektor Pertambangan dan Energi . . . . . . . . . 146 6.2.29. Respon Pertumbuhan Sektor Perhubungan dan Transportasi . . . . . . 147 6.2.30. Respon Angka Pengangguran . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 148 6.3. Keragaan Khusus Indikator Pertumbuhan Sektoral . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 149 6.4. Peramalan Nilai Variabel Tahun 2006 - 2009 . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 150 VII. ANALISIS VALIDASI DAN SIMULASI MODEL 7.1. Validasi Model Utang Luar Negeri Pemerintah Indonesia . . . . . . . . . . . . . . 151 7.2. Skenario Simulasi Kebijakan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 154 7.2.1.
Kenaikan Suku Bunga Pinjaman Luar Negeri Sebesar 10 Persen . . 155
7.2.2.
Pengurangan Utang Luar Negeri Pemerintah Sebesar 10 Persen . . . 158
7.2.3.
Penurunan Pengaruh Lender Driven Sebesar 10 Persen . . . . . . . . . 161
7.2.4.
Penurunan Kebocoran Utang Luar Negeri Pemerintah Sebesar 10 Persen . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 163 xix
7.2.5.
Kenaikan Belanja Pemerintah Sebesar 10 Persen . . . . . . . . . . . . . . . 166
7.2.6.
Kenaikan Pendapatan Pemerintah Sebesar 10 Persen . . . . . . . . . . . 169
7.2.7.
Kenaikan Indikator Pembangunan di Sektor Pendidikan . . . . . . . . . 173
7.2.8.
Penurunan/ Kenaikan Indikator Pembangunan di Sektor Kesehatan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 176
7.2.9.
Kenaikan Angka Pertumbuhan Sektor Pertanian dan Pengairan Sebesar 1 Persen . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 179
7.2.10. Kenaikan Angka Pertumbuhan Sektor Pertambangan dan Energi Sebesar 1 Persen . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 182 7.2.11. Kenaikan Angka Pertumbuhan Sektor Perhubungan dan Transportasi Sebesar 1 Persen . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 185 7.2.12. Penurunan Angka Pengangguran Sebesar 10 Persen . . . . . . . . . . . . 187 7.2.13. Kombinasi Kebijakan Simultan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 190 7.2.13.1. Kenaikan/ Penurunan Indikator Pertumbuhan Sektoral . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 190 7.2.13.2. Penurunan Utang Luar Negeri, Lender Driven dan Kebocoran Utang Luar Negeri Sebesar 10 Persen . . . . . . 192 7.2.13.3. Kenaikan Pertumbuhan Sektor Pertanian dan Pengairan Sebesar 1 Persen disertai Kenaikan Pendapatan dan Belanja Pemerintah Sebesar 10 Persen . . . . . . . . . . . . . . . 195 VIII. KESIMPULAN DAN SARAN 8.1. Kesimpulan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 198 8.2. Saran 8.2.1.
Saran Kebijakan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 199
8.2.2.
Saran Untuk Penelitian Lanjutan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 200
DAFTAR PUSTAKA . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 202
xx
DAFTAR TABEL Halaman Nomor 1. Profil Pembayaran dan Penjadwalan Utang Luar Negeri Pemerintah . . . . . . . . . . .
3
2. Proyeksi Pembayaran Bunga dan Cicilan Pokok Utang Pemerintah sebagai Persentase dari PDB Tahun 2006 - 2009 . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
4
3. Perkembangan Stok Utang Luar Negeri Pemerintah Tahun 2002 - 2005. . . . . . . . .
5
4. Perkembangan Indikator Utang Luar Negeri Pemerintah Indonesia Tahun 1990 - 2005 . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
5
5. Laporan Kinerja Pelaksanaan Proyek Pinjaman Luar Negeri Tahun 1995 - 2005 . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
6
6. Perkembangan Ekonomi Indonesia Pelita I Sampai Dengan Tahun 2005 . . . . . . . .
21
7. Perkembangan Utang Pemerintah Sri Lanka Tahun 2000 - 2004 . . . . . . . . . . . . . .
31
8. Posisi Utang Luar Negeri Indonesia dan Beberapa Negara Lainnya Tahun 1994 - 1997 . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
34
9. Rasio Utang Luar Negeri Jangka Pendek Terhadap PDB: Indonesia dan Beberapa Negara Asia Lainnya Tahun 1994 - 1999 . . . . . . . . . . . . . 35 10. Data Sekunder Yang Terkait Dengan Utang Luar Negeri Pemerintah dan Asal Sumber Data . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
71
11. Hasil Estimasi dan Elastisitas Konsumsi . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 112 12. Hasil Estimasi dan Elastisitas Investasi . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 113 13. Hasil Estimasi dan Elastisitas Net Ekspor . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 114 14. Hasil Estimasi dan Elastisitas Pendapatan Pemerintah . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 115 15. Hasil Estimasi dan Elastisitas Rupiah Murni Sektor Pendidikan . . . . . . . . . . . . . . . 116 16. Hasil Estimasi dan Elastisitas Rupiah Murni Sektor Kesehatan . . . . . . . . . . . . . . . 118 17. Hasil Estimasi dan Elastisitas Rupiah Murni Sektor Pertanian dan Pengairan . . . . 119 18. Hasil Estimasi dan Elastisitas Rupiah Murni Sektor Pertambangan dan Energi . . . 120 19. Hasil Estimasi dan Elastisitas Rupiah Murni Sektor Perhubungan dan Transportasi . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 122 20. Hasil Estimasi dan Elastisitas Rupiah Murni Sektor Lainnya . . . . . . . . . . . . . . . . . 123 21. Hasil Estimasi dan Elastisitas Utang Luar Negeri di Sektor Pendidikan . . . . . . . . 124 22. Hasil Estimasi dan Elastisitas Utang Luar Negeri di Sektor Kesehatan . . . . . . . . . . 125
23. Hasil Estimasi dan Elastisitas Utang Luar Negeri di Sektor Pertanian dan Pengairan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 127 24. Hasil Estimasi dan Elastisitas Utang Luar Negeri di Sektor Pertambangan dan Energi . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 129 25. Hasil Estimasi dan Elastisitas Utang Luar Negeri di Sektor Perhubungan dan Transportasi . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 130 26. Hasil Estimasi dan Elastisitas Utang Luar Negeri di Sektor Lainnya . . . . . . . . . . . 132 27. Hasil Estimasi dan Elastisitas Pembayaran Utang Luar Negeri Sektor Pendidikan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 134 28. Hasil Estimasi dan Elastisitas Pembayaran Utang Luar Negeri Sektor Kesehatan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 135 29. Hasil Estimasi dan Elastisitas Pembayaran Utang Luar Negeri Sektor Pertanian dan Pengairan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 136 30. Hasil Estimasi dan Elastisitas Pembayaran Utang Luar Negeri Sektor Pertambangan dan Energi . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 137 31. Hasil Estimasi dan Elastisitas Pembayaran Utang Luar Negeri Sektor Perhubungan dan Transportasi . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 138 32. Hasil Estimasi dan Elastisitas Pembayaran Utang Luar Negeri Sektor Lainnya . . . 139 33. Hasil Estimasi dan Elastisitas Angka Partisipasi Sekolah . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 140 34. Hasil Estimasi dan Elastisitas Angka Tahun Lama Bersekolah . . . . . . . . . . . . . . . 142 35. Hasil Estimasi dan Elastisitas Angka Kematian Bayi
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 143
36. Hasil Estimasi dan Elastisitas Angka Usia Harapan Hidup . . . . . . . . . . . . . . . . . . 144 37. Hasil Estimasi dan Elastisitas Pertumbuhan Sektor Pertanian dan Pengairan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 145 38. Hasil Estimasi dan Elastisitas Pertumbuhan Sektor Pertambangan dan Energi . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 146 39. Hasil Estimasi dan Elastisitas Pertumbuhan Sektor Perhubungan dan Transportasi . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 147 40. Hasil Estimasi dan Elastisitas Angka Pengangguran . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 148 41. Hasil Pengujian Validasi Model Utang Luar Negeri Pemerintah . . . . . . . . . . . . . . 153 42. Dampak Kenaikan Suku Bunga Pinjaman Luar Negeri Sebesar 10 Persen . . . . . . . 156 43. Dampak Pengurangan Utang Luar Negeri Pemerintah Sebesar 10 Persen . . . . . . . 159 44. Dampak Penurunan Pengaruh Lender Driven Sebesar 10 Persen . . . . . . . . . . . . . . 161 45. Dampak Penurunan Kebocoran Utang Luar Negeri Pemerintah Sebesar 10 Persen . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 164 46. Dampak Kenaikan Belanja Pemerintah Sebesar 10 Persen . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 167 xxii
47. Dampak Kenaikan Pendapatan Pemerintah Sebesar 10 Persen . . . . . . . . . . . . . . . 171 48. Dampak Kenaikan Angka Partisipasi Sekolah Sebesar 1 Persen dan Angka Tahun Lama Bersekolah Sebesar 5 Persen . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 174 49. Dampak Penurunan Angka Kematian Bayi Sebesar 5 Persen dan Kenaikan Angka Usia Harapan Hidup Sebesar 5 Persen . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 177 50. Dampak Kenaikan Pertumbuhan Sektor Pertanian dan Pengairan Sebesar 1 Persen . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 181 51. Dampak Kenaikan Pertumbuhan Sektor Pertambangan dan Energi Sebesar 1 Persen . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 183 52. Dampak Kenaikan Pertumbuhan Sektor Perhubungan dan Transportasi Sebesar 1 Persen . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 185 53. Dampak Penurunan Angka Pengangguran Sebesar 10 Persen . . . . . . . . . . . . . . . . 188 54. Dampak Kenaikan/ Penurunan Indikator Pertumbuhan Sektoral . . . . . . . . . . . . . . 190 55. Dampak Penurunan Utang Luar Negeri, Pengaruh Lender Driven dan Kebocoran Utang Luar Negeri Sebesar 10 Persen . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 193 56. Dampak Kenaikan Pertumbuhan Sektor Pertanian dan Pengairan Sebesar 1 Persen, serta Kenaikan Pendapatan dan Belanja Pemerintah Sebesar 10 Persen . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 195
xxiii
DAFTAR GAMBAR Halaman Nomor 1. Grafik Perkembangan Pembayaran Kembali Utang Luar Negeri Indonesia Tahun 1984 - 2003 . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
15
2. Grafik Perkembangan Stok Utang Luar Negeri Pemerintah Tahun 1966 - 2005 . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
22
3. Diagram Tahapan Utang Luar Negeri Pemerintah . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
55
4. Diagram Sederhana Aliran Utang Luar Negeri Pemerintah Untuk Pembangunan Sektor Pendidikan, Kesehatan, Pertanian dan Pengairan, Pertambangan dan Energi, serta Sektor Perhubungan dan Transportasi . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
56
5. Diagram Keterkaitan Antar Variabel-Variabel Dalam Model Utang Luar Negeri Pemerintah . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
76
DAFTAR LAMPIRAN Halaman Nomor 1. Hasil Estimasi The SAS System
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 207
2. Variance Inflation The SAS System . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 240 3. Hasil Peramalan Nilai Variabel Endogen Tahun 2006 - 2009
. . . . . . . . . . . . . . . . 244
4. Data Perekonomian Model Utang Luar Negeri Pemerintah Indonesia Tahun 1985 - 2005 . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 247
I. PENDAHULUAN 1.1.
Latar Belakang Pembangunan nasional yang selama ini dilaksanakan di Indonesia pada
hakekatnya bertujuan untuk mewujudkan bangsa dan negara Indonesia yang maju, mandiri, sejahtera, dan berkeadilan, serta aman dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Upaya yang harus ditempuh adalah melaksanakan investasi di berbagai bidang pembangunan. Dengan keterbatasan sumber penerimaan dalam negeri, maka agar pembangunan tetap berlangsung, diperlukan sumber pembiayaan lain yang salah satunya bersumber dari utang luar negeri. Sejak pemerintahan Orde Lama, utang luar negeri telah digunakan dalam mempercepat pembangunan Indonesia. Namun dalam perkembangannya, meskipun utang luar negeri di satu sisi memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia, namun di sisi lain mendapat kritik yang tajam dari berbagai kalangan karena kinerjanya tidak seperti yang diharapkan, yaitu belum mampu mengangkat Indonesia menuju ke taraf negara-negara maju di Asia lainnya seperti Thailand, Malaysia, atau China.
1.1.1. Defisit Anggaran Pemerintah dan Pembiayaan Pembangunan Pembangunan nasional dilaksanakan melalui berbagai investasi baik yang dilakukan langsung oleh swasta maupun oleh pemerintah. Namun karena keterbatasan akan sumber pendanaan dalam negeri, salah satu cara yang ditempuh pemerintah adalah melalui pembiayaan defisit. Defisit anggaran pemerintah timbul karena belanja pemerintah lebih besar dari pendapatan pemerintah. Pada umumnya defisit dibiayai melalui tiga cara, yaitu: (1) pencetakan uang, (2) pengadaan utang, dan (3) penjualan aset negara. Bagi Indonesia, selain melalui penjualan aset negara dan pencetakan uang, kebutuhan untuk investasi yang berasal dari utang merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan dalam kerangka pencarian sumber-sumber pendanaan pembangunan. Pada masa Orde Lama, pendanaan defisit anggaran pemerintah dilakukan melalui pencetakan uang baru yang mengakibatkan terjadinya hyper inflation.
2
Pengalaman ini kemudian menempatkan utang, khususnya utang luar negeri sebagai salah satu instrumen penting dalam pembiayaan defisit anggaran pemerintah dalam rangka mempertahankan kelangsungan anggarannya (fiscal sustainability). Adanya utang luar negeri ini memungkinkan pemerintah meningkatkan pengeluaran pembangunannya lebih tinggi dari yang dapat dilakukan dalam rangka mempercepat pencapaian tujuan pembangunan nasional. Selain itu, utang luar negeri dapat digunakan pula untuk menutupi kebutuhan akan devisa akibat penerimaan ekspor yang lebih kecil dari pengeluaran untuk membiayai impor.
1.1.2. Tantangan Pembiayaan Pembangunan Utang pemerintah pada saat ini, khususnya utang luar negeri, sudah berperan sebagai faktor yang mengganggu stabilitas Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Seperti terlihat pada Tabel 1, dalam APBN sampai dengan tahun anggaran 1999/2000, beban pembayaran cicilan pokok dan bunga utang luar negeri pemerintah (debt service) sudah mencapai di atas 65 persen dari dana yang dialokasikan untuk pembangunan. Bahkan, pada tahun 1998/1999,
beban
tersebut
mencapai
129.7
persen
dari
pengeluaran
pembangunan dan belanja daerah atau 5.2 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Di sisi lain, penarikan pinjaman luar negeri untuk membiayai pembangunan mencapai Rp 26.2 triliun atau 2.5 persen dari PDB. Mengingat bahwa untuk mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi diperlukan investasi yang besar, maka beban pembayaran utang tersebut secara bertahap harus dikurangi, sehingga dana yang dialokasikan untuk pembangunan tidak semakin mengecil. Oleh karena itu, menjaga kesinambungan fiskal akan menjadi kunci permasalahan utama pemerintah pada masa-masa mendatang. Meskipun terjadi penurunan utang terhadap rasio PDB dan reprofiling utang yang terus dijalankan, pemerintah masih harus menghadapi beban yang sangat besar pada permintaan keuangan. Dengan tidak adanya forum Paris Club bagi Indonesia sejak tahun 2004, masalah yang dihadapi pemerintah di bidang fiskal adalah menurunkan defisit APBN dan stok utang pemerintah untuk menciptakan
Tabel 1. Profil Pembayaran dan Penjadwalan Utang Luar Negeri Pemerintah
Tahun Anggaran
PDB (Rp triliun)
Pendapatan Negara di luar Hibah (Rp triliun)
Pengeluaran Pemb. dan Belanja Daerah (Rp triliun)
Penarikan Utang Luar Negeri Nominal (Rp triliun)
Pembayaran Bunga dan Cicilan Pokok Utang Luar Negeri Nominal (Rp triliun)
% Thdp PN NonHibah
% Thdp PDB
Bunga
Cicilan Pokok
n/a
n/a
17.04
30.37
Juml
Pinjaman Program dan Penjadwalan Utang Luar Negeri % Thdp PDB
Nominal (Rp triliun)
% Thdp PN NonHibah
& Thdp PP dan BD
% Thdp PDB
96.38
n/a
n/a
n/a
n/a
n/a
% Thdp PP dan BD
1993/94
n/a
56.11
17.68
10.75
n/a
1994/95
n/a
66.42
27.50
9.84
n/a
6.14
12.15
18.29
27.54
66.51
n/a
n/a
n/a
n/a
n/a
1995/96
n/a
71.34
27.90
9.00
n/a
6.62
13.87
20.49
28.72
73.44
n/a
n/a
n/a
n/a
n/a
1996/97
n/a
86.28
33.22
11.90
n/a
6.61
16.29
22.90
26.54
68.93
n/a
n/a
n/a
n/a
n/a
1997/98
624.38
101.77
34.32
14.39
2.30
10.82
18.67
29.49
28.98
85.93
4.72
n/a
n/a
n/a
n/a
1998/99
1 049.70
156.41
42.04
26.18
2.49
24.48
30.05
54.53
34.86
129.71
5.19
24.93
15.94
59.30
2.37
1999/00
1 134.60
200.64
50.70
24.38
2.15
20.50
20.20
40.70
20.29
80.28
3.59
25.20
12.56
49.70
2.22
2000
937.45
205.33
41.92
16.97
1.81
18.80
7.62
26.42
12.87
63.02
2.82
0.80
0.39
1.91
0.09
2001
1 449.40
300.60
102.42
20.21
1.39
28.90
15.88
44.78
14.90
43.72
3.09
6.42
2.14
6.27
0.44
2002
1 610.01
304.89
125.00
20.22
1.26
28.32
13.05
41.37
13.57
33.10
2.57
9.35
3.07
7.48
0.58
2003
1 791.64
337.47
179.55
14.75
0.82
26.79
17.59
44.38
13.15
24.72
2.48
5.74
1.70
3.20
0.32
2004
1 999.65
349.30
169.54
19.73
0.99
24.30
44.38
68.75
19.68
40.55
3.44
8.50
2.43
5.01
0.43
Sumber: Data-data Perhitungan Anggaran Negara (PAN), Departemen Keuangan (diolah). Keterangan: PN = Pendapatan Negara; PP = Pengeluaran Pembangunan; BD = Belanja Daerah
4
kesinambungan fiskal dalam jangka menengah, namun tanpa mengorbankan momentum pembangunan yang sedang dilaksanakan. Upaya menurunkan beban utang juga perlu dilakukan melalui upaya mendorong pertumbuhan PDB, sehingga pertumbuhannya lebih cepat dari peningkatan utang. Seiring dengan upaya untuk menurunkan defisit APBN, kebutuhan pembiayaan eksternal yang berasal dari utang luar negeri telah mulai menunjukkan kecenderungan menurun. Seperti terlihat pada Tabel 2, proyeksi rasio pembayaran pokok dan bunga utang luar negeri dan dalam negeri cenderung menurun sampai tahun 2009. Namun, apabila diperlukan, pendanaan luar negeri dapat saja diadakan kembali untuk pembayaran utang pokok luar negeri (amortisasi) yang belum dapat dipenuhi dari sumber penerimaan dalam negeri. Tabel 2. Proyeksi Pembayaran Bunga dan Cicilan Pokok Utang Pemerintah sebagai Persentase dari PDB Tahun 2006 – 2009 Utang Pemerintah
2006
2007
2008
2009
Pokok Utang Dalam Negeri
1.5
1.5
1.5
1.2
Bunga Utang Dalam Negeri
1.7
1.5
1.2
1.0
Pokok Utang Luar Negeri
1.9
1.7
1.6
1.5
Bunga Utang Luar Negeri
0.9
0.8
0.8
0.7
Sumber: Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional, 2004 – 2009 (diolah).
Berdasarkan hal-hal tersebut, sampai saat ini pemerintah tetap menempuh kebijakan bahwa kontribusi dan penggalangan sumber-sumber pendanaan dari luar negeri masih merupakan alternatif pembiayaan eksternal yang dibutuhkan untuk menutupi defisit anggaran yang terjadi setiap tahunnya.
1.1.3. Perkembangan Posisi Utang Luar Negeri Pemerintah Jumlah pembiayaan pembangunan pemerintah Indonesia yang berasal dari utang luar negeri selama lebih dari tiga dekade ini semakin lama semakin membesar. Jumlah stok utang luar negeri pemerintah yang pada tahun 1966 baru mencapai USD 2.02 miliar (Harinowo, 2002), pada bulan Maret 2005 sudah mencapai USD 77.68 miliar (Bank Indonesia, 2005). Gambaran jumlah utang pemerintah berdasarkan sumbernya selama empat tahun terakhir, dapat dilihat
5
pada Tabel 3. Untuk ukuran negara berkembang, jumlah utang luar negeri pemerintah Indonesia saat ini tergolong cukup tinggi. Tabel 3. Perkembangan Stok Utang Luar Negeri Pemerintah Tahun 2002 - 2005 (juta USD) No. 1 2 3 4 5 6 7 8
SUMBER
2002
2003
2004
Multilateral Bilateral Export Credit Leasing One Bank Credit Syndicated Credit Bond BOP Support
20 282 873 26 074 045 16 605 092 368 740 98 525 1 838 497 400 000 8 829 920
19 738 670 29 882 955 18 397 278 301 906 102 528 1 847 839 400 000 10 238 606
19 250 788 30 338 931 18 022 489 224 873 85 482 1 837 368 1 320 000 9 653 885
Maret 2005 18 894 481 29 521 843 17 260 418 207 000 85 649 1 310 521 1 320 000 9 075 186
TOTAL
74 497 062
80 909 782
80 733 816
77 675 098
Sumber: Utang Luar Negeri Pemerintah Volume VII-1, Divisi Analisis dan Administrasi Utang Luar Negeri, Direktorat Internasional, Bank Indonesia, Maret 2005.
Pada Tabel 4 disajikan beberapa indikator beban utang Indonesia, yang menurut kriteria Bank Dunia sudah mendekati batas yang tidak aman. Sebagai contoh, dalam tahun 2005, rasio utang Indonesia terhadap pengeluaran pemerintah (Debt Service to Goverment Expenditure = DSGR) mencapai 26.8 persen, sedangkan rasio total utang pemerintah (utang dalam negeri dan utang luar negeri) terhadap PDB (Debt Service Ratio = DSR) mencapai lebih dari 40 persen. Angka ini jauh melebihi batas aman menurut kriteria Bank Dunia yang hanya sebesar 20 persen. Dalam APBN tahun anggaran 2005, alokasi belanja negara untuk pembayaran cicilan utang pokok dan bunganya mencapai Rp 64 triliun atau 2.9 persen dari PDB. Tabel 4. Perkembangan Indikator Utang Luar Negeri Pemerintah Indonesia Tahun 1990 - 2005 INDIKATOR
1990
1995
2000
2005
Kriteria Bank Dunia
DSR Total (%) Debt/GDP, DTO (%) Debt/Export, DTX (%) DSGR (%)
38.83 61.74 249.10 31.64
36.15 54.76 237.43 31.36
46.96 107.48 228.07 26.05
40.72 54.93 221.90 26.78
20 50-80 130-220 -
(4 195.60)
(11 480.20)
(39 872.40)
(69 989.00)
NRF (miliar Rp)
Sumber: beberapa sumber (diolah).
-
6
1.1.4. Kinerja Utang Luar Negeri Pemerintah dan Pertumbuhan Ekonomi Agar utang luar negeri dapat digunakan untuk turut membiayai pembangunan dan investasi di berbagai bidang/ sektor pembangunan, diperlukan perencanaan pemanfaatan utang luar negeri yang betul-betul cermat dan mengacu kepada prioritas pembangunan nasional yang telah ditetapkan dalam dokumen resmi perencanaan pembangunan nasional. Perencanaan proyek yang asal-asalan dan tidak mengacu pada prioritas, bahkan cenderung lender driven, selain manfaatnya kurang dapat dirasakan oleh masyarakat dan kurang produktif, juga akan menjadi beban dalam pembayarannya kembali. Selain itu, proyek yang lambat pelaksanaannya juga akan menjadi beban tersendiri. Berdasarkan buku Laporan Kinerja Pelaksanaan Proyek Pinjaman Luar Negeri yang diterbitkan secara triwulanan oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) selama 10 tahun terakhir ini, diketahui bahwa jumlah penyerapan dana utang luar negeri selalu dibawah dari target yang ditetapkan, yaitu berkisar antara 60 - 70 persen. Gambaran ini dapat diikuti pada Tabel 5. Tabel 5. Laporan Kinerja Pelaksanaan Proyek Pinjaman Luar Negeri Tahun 1995 – 2005 (juta USD) Tahun 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005
Nilai Proyek Yang Sedang Berjalan 17 156.10 28 840.55 26 814.14 25 267.16 30 292.58 22 052.61 17 982.90 15 136.70 13 292.85 15 808.31 15 007.07
Realisasi Penyerapan
Target Penyerapan
Jumlah
Persentase
2 009.09 3 678.93 3 142.46 2 867.37 3 755.35 2 099.01 2 663.96 2 244.83 2 314.18 2 518.24 2 263.96
1 105.24 2 275.89 1 785.17 1 531.65 2 279.27 1 670.02 2 026.98 1 376.38 1 737.73 1 834.95 1 716.87
55.01 61.86 56.81 53.42 60.69 79.56 76.09 61.31 75.09 72.87 75.83
Sumber: Laporan Kinerja Pelaksanaan Proyek Pinjaman Luar Negeri Tahun 1995 - 2005, Bappenas (diolah).
Dampak yang timbul akibat keterlambatan ini antara lain adalah bertambahnya commitment fee atas undisbursed loan yang harus dibayar oleh pemerintah, bertambahnya beban bunga atas inital deposit, serta terlambatnya manfaat proyek dirasakan oleh masyarakat. Dampak yang lebih jauh lagi adalah
7
utang tersebut kurang mendorong pertumbuhan perekonomian, sehingga akan menjadi beban dalam pembayarannya kembali, serta akan menjadi beban bagi peningkatan kinerja perekonomian Indonesia secara menyeluruh.
1.1.5. Utang Luar Negeri Pemerintah Pada Beberapa Sektor Utama Di banyak negara syarat utama bagi terciptanya peningkatan kesejahteraan masyarakat dan penurunan kemiskinan yang tetap adalah adanya pertumbuhan ekonomi. Namun demikian, pertumbuhan ekonomi menjadi tidak berarti khususnya bagi kaum miskin, jika penurunan kemiskinan tidak diiringi dengan penurunan kesenjangan dan pemerataan pembangunan untuk memenuhi hak-hak dasar manusia. Krisis ekonomi yang menimpa Indonesia di akhir dekade 1990-an menunjukkan bahwa pembangunan yang hanya mengejar pertumbuhan namun melupakan upaya pemerataan, pengentasan kemiskinan, pengurangan kesenjangan dan pembangunan hak-hak dasar manusia seutuhnya, tidak memberikan pondasi yang kokoh bagi perekonomian negara. Salah satu tugas pembangunan yang terpenting adalah menerjemahkan pertumbuhan ekonomi menjadi peningkatan pembangunan manusia. Untuk dapat mengetahui hasil-hasil pembangunan manusia, digunakan ukuran Indeks Pembangunan Manusia, IPM (Human Development Index, HDI), yang sebagian besar didukung dari hasil pembangunan di sektor pendidikan dan sektor kesehatan. Oleh karena itu, sejak pemerintahan Orde Baru, alokasi pendanaan untuk pembangunan sektor-sektor tersebut (termasuk dari sumber utang luar negeri), mendapat perhatian yang cukup besar. Laporan Pembangunan Manusia Global dari United Nations Development Programme (UNDP) tahun 2004 menunjukkan bahwa sejak tahun 1975 IPM Indonesia merangkak naik dengan stabil sampai tahun 2001. Berawal dari angka yang cukup rendah pada tahun 1975, Indonesia mampu mencapai kenaikan IPM yang lebih cepat dibanding Malaysia, Thailand dan Filipina. Namun, secara absolut dalam beberapa hal seperti angka melek huruf, angka usia harapan hidup, kesetaraan jender, prestasi Indonesia masih ketinggalan. Kontribusi, peranan dan dampak pendanaan dari sumber utang luar negeri untuk pembangunan di sektor pendidikan dan sektor kesehatan perlu diteliti lebih lanjut.
8
Di samping itu, beberapa sektor utama lainnya yaitu sektor pertanian dan pengairan, sektor pertambangan dan energi, serta sektor perhubungan dan transportasi, juga mendapat alokasi pendanaan yang besar, termasuk dari sumber utang luar negeri. Sektor pertanian dan pengairan yang menyangkut tanaman bahan makanan, peternakan, hortikultura, perkebunan, dan perikanan berperan besar dalam rangka penyediaan pangan untuk mendukung ketahanan pangan nasional dalam memenuhi hak atas pangan (the right to food) dan menyumbang penerimaan devisa dan PDB. Selain itu sektor pertanian dan pengairan juga mencakup penyediaan air untuk irigasi. Pada tahun 2003 sektor pertanian dan pengairan menyerap 46.3 persen tenaga kerja dari total angkatan kerja, menyumbang 6.9 persen dari total nilai ekspor non migas, dan memberikan kontribusi sebesar 15 persen terhadap PDB nasional. Kesempatan panen beberapa komoditi pertanian yang sebelumnya hanya setahun sekali, sekarang sudah bisa mencapai 3 atau 4 kali setahun. Dengan demikian peranan dan dampak pendanaan dari sumber utang luar negeri untuk pembangunan di sektor pertanian dan pengairan menarik untuk diteliti lebih lanjut. Pembangunan di sektor infrastruktur dan prasarana diyakini dapat menjadi penggerak pertumbuhan pembangunan di sektor-sektor lainnya. Kemajuan Indonesia dalam pembangunan di sektor infrastruktur dan prasarana cukup mengesankan. Jarak tempuh dari daerah perdesaan menuju perkotaan yang pada awal pemerintahan Orde Baru harus ditempuh berhari-hari, sekarang dapat dicapai hanya dalam hitungan jam. Lampu penerangan di rumah-rumah yang dulu menggunakan lampu minyak, sekarang sudah dialiri listrik dari Perusahaan Listrik Negara (PLN). Hasil kemajuan di sektor ini antara lain disebabkan oleh besarnya alokasi pendanaan pembangunan yang berasal dari sumber utang luar negeri. Oleh karena itu peranan dan dampak pendanaan dari sumber utang luar negeri untuk pembangunan di bidang infrastruktur dan prasarana yang dikelompokkan kedalam sektor perhubungan dan transportasi menarik untuk diteliti lebih lanjut. Di samping itu, terdapat beberapa pendapat di masyarakat bahwa kebocoran penggunaan utang luar negeri dalam pembangunan di Indonesia mencapai angka 30 persen. Kebocoran ini jelas akan mempengaruhi kinerja
9
penggunaan utang luar negeri untuk pembangunan. Apabila pendapat ini dapat dibuktikan kebenarannya, paling tidak realisasi pertumbuhan ekonomi Indonesia selama bertahun-tahun ini dapat mencapai angka yang lebih menakjubkan dibanding dengan yang telah dicapai hingga saat ini.
1.2.
Perumusan Masalah Berdasarkan pada latar belakang dan gambaran kondisi pembangunan di
Indonesia yang didanai dari utang luar negeri pemerintah, maka dapat ditarik rumusan permasalahan sebagai berikut: 1. Bagaimana peranan, kontribusi dan dampak penggunaan utang luar negeri pemerintah terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia baik secara makro maupun secara pembangunan sektoral? 2. Apakah
peningkatan
pendapatan
pemerintah
mampu
meningkatkan
kemandirian pembiayaan pembangunan nasional? 3. Bagaimana strategi pengelolaan pinjaman atau utang luar negeri pemerintah ke depan dengan mempertimbangkan fluktuasi tingkat bunga pinjaman agar Indonesia terhindar dari perangkap utang (debt trap)? 4. Apakah intervensi kreditur (lender driven) yang umumnya dilakukan melalui persyaratan-persyaratan dalam pasal-pasal Loan Agreement dan Lender Guidelines membawa dampak yang buruk terhadap kinerja pembangunan sektoral? 5. Dapatkah utang luar negeri pemerintah meningkatkan indikator-indikator keberhasilan kinerja ekonomi di sektor pembangunan utama, yang meliputi pembangunan sektor pendidikan, sektor kesehatan, sektor pertanian dan pengairan, sektor pertambangan dan energi, serta sektor perhubungan dan transportasi? 6. Kebijakan apa saja yang dapat meningkatan efektifitas dan efisiensi penggunaan utang luar negeri pemerintah sehingga pembangunan nasional dapat terus ditingkatkan dengan tetap berlandaskan pada upaya pengurangan stok utang dan tingkat kebocoran penggunaan utang luar negeri pemerintah?
10
1.3.
Tujuan Penelitian Tujuan umum dari penelitian ini adalah menganalisis dampak penggunaan
utang luar negeri pemerintah terhadap kinerja perekonomian Indonesia maupun kinerja pembangunan sektoral, yang meliputi: (1) peranan utang luar negeri pada beberapa sektor utama dalam perekonomian Indonesia terhadap pengurangan pembiayaan defisit, dan (2) pengurangan stok utang luar negeri pemerintah secara bertahap dalam rangka mencapai kemandirian dalam pembiayaan pembangunan. Adapun tujuan khusus dari penelitian ini adalah untuk: 1. Menganalisis dampak perubahan tingkat suku bunga pinjaman luar negeri pemerintah terhadap jumlah pembayaran utang luar negeri pemerintah. 2. Menganalisis dampak pengadaan utang luar negeri pemerintah terhadap pendapatan dan belanja pemerintah serta pembiayaan defisit anggaran pemerintah untuk mencapai kemandirian pembiayaan pembangunan dan peningkatan pertumbuhan ekonomi. 3. Menganalisis tingkat kebocoran penggunaan utang luar negeri terhadap upaya peningkatan efektivitas dan efisiensi penggunaan utang luar negeri dan kemampuan pembayaran utang untuk pengurangan stok utang luar negeri pemerintah. 4. Menganalisis intervensi kreditur (lender driven) terhadap kinerja makro dan sektoral perekonomian Indonesia. 5. Menganalisis efektifitas penggunaan utang luar negeri pada pembangunan sektor pendidikan, sektor kesehatan, sektor pertanian dan pengairan, sektor pertambangan dan energi, serta sektor perhubungan dan transportasi. Hasil analisis tersebut di atas akan digunakan untuk mencari rumusan strategi dan kebijakan pemerintah yang sesuai dalam pengelolaan dan penggunaan utang luar negeri pemerintah yang efektif dan efisien di masa yang akan datang.
1.4.
Kegunaan Hasil Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna untuk:
11
1. Memberi rekomendasi kebijakan yang efektif, efisien dan transparan bagi pemerintah
dalam
melangsungkan
pembangunan
nasional
dengan
menggunakan utang luar negeri sebagai salah satu sumber pembiayaan. 2. Memberi manfaat kepada institusi yang terkait dengan pengelolaan utang luar negeri di Indonesia dari sejak perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, pengendalian dan pemanfaatan hasil-hasil pembangunan. 3. Memberi kontribusi untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di Indonesia melalui peran utang luar negeri pemerintah terhadap pembangunan nasional. Kontribusi penelitian ini terhadap pengembangan ilmu diperoleh dari pemecahan masalah utang luar negeri melalui pendekatan alat analisis ekonometrik secara simultan dan dinamis mampu memecahkan persoalanpersoalan yang lebih kompleks terhadap utang luar negeri pemerintah. Penelitian ini juga memberikan kontribusi terhadap pengembangan pengetahuan, misalnya adanya uji kebenaran tentang opini-opini yang beredar tentang perlu tidaknya utang luar negeri pemerintah untuk pembangunan dapat diketahui melalui hasil penelitian ini. Kontribusi penelitian ini terhadap pengembangan teknologi, misalnya kemungkinan adanya transfer teknologi atas pembangunan infrastruktur di Indonesia yang didanai dari utang luar negeri pemerintah, atau penelitian yang lebih detail tentang peranan utang luar negeri pemerintah terhadap pembangunan sektoral di Indonesia.
1.5. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian Dilihat dari pelakunya, utang Indonesia terdiri dari utang pemerintah dan utang swasta (dunia usaha), sedangkan ditinjau dari jenisnya, utang Indonesia terdiri dari utang dalam negeri dan utang luar negeri. Namun, utang yang dilakukan oleh swasta menjadi tanggung jawab pihak swasta dengan kreditur mereka masing-masing, dimana peran pemerintah hanya sebagai fasilitator jika terdapat permasalahan di antara mereka. Di sisi lain, dalam waktu lebih dari 30 tahun, pemerintah Orde Baru menganut
prinsip
Anggaran
Berimbang,
yaitu
prinsip
yang
akhirnya
12
membolehkan APBN mengalami defisit asal dibiayai oleh pinjaman luar negeri. Prinsip tersebut telah melarang pembiayaan defisit APBN melalui sumber pendanaan dalam negeri, baik yang berupa pinjaman dari Bank Indonesia maupun pengeluaran surat berharga. Pada kenyataannya, sejak Indonesia mengalami krisis ekonomi, mulai tahun 1998 utang dalam negeri pemerintah meningkat dengan sangat cepat, utamanya karena pengalihan beban Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) menjadi kewajiban pemerintah serta pelaksanaan rekapitalisasi beberapa perbankan pada tahun tersebut. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, karena ketersediaan data, maka ruang lingkup penelitian ini akan dibatasi hanya untuk utang luar negeri, dan yang dilakukan oleh pemerintah saja. Disamping itu, ruang lingkup analisis dalam penelitian ini hanya mencakup landasan kebijakan pemanfaatan utang luar negeri, kriteria pemanfaatan utang luar negeri, serta perspektif utang luar negeri pada pembangunan ekonomi Indonesia, khususnya di beberapa sektor utama yang akan menjadi pokok bahasan, yaitu sektor pendidikan, sektor kesehatan, sektor pertanian dan pengairan, sektor energi dan pertambangan, serta sektor perhubungan dan transportasi. Beberapa keterbatasan lain dalam penelitian ini, yaitu: 1. Data terkait dengan indikator makro, indikator pembangunan sektoral, pendapatan dan belanja negara serta data utang luar negeri pemerintah yang berbeda-beda dari instansi yang terlibat dalam pengelolaan utang, antara lain Bank Indonesia, Departemen Keuangan, Bappenas, BPS dan dari kreditur. 2. Utang dalam negeri pemerintah baru dimanfaatkan secara terstruktur beberapa tahun belakangan ini, sehingga penelitian ini dibatasi pada lingkup utang luar negeri dan yang dilakukan oleh pemerintah saja. 3. Utang umumnya bersifat jangka panjang, dan investasi yang dibangun membutuhkan waktu yang lama untuk dapat dievaluasi dampaknya. 4. Kurangnya data penggunaan dan pembayaran utang luar negeri pada sektorsektor di luar sektor pendidikan, sektor kesehatan, sektor pertanian dan pengairan, sektor energi dan pertambangan, serta sektor perhubungan dan
13
transportasi menyebabkan sektor-sektor tersebut sulit di analisa satu per satu, sehingga digabungkan menjadi satu kelompok sektor pembangunan. 5. Mudahnya fluktuasi nilai tukar mata uang dan perubahan tingkat suku bunga sehingga sulit untuk diprediksi fenomenanya, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. 6. Tidak adanya data yang valid untuk menghitung kebocoran penggunaan utang luar negeri sehingga pendekatannya adalah berdasarkan pengalaman empiris melalui opini dan pendapat para ahli ekonomi Indonesia.
3
II. SEJARAH DAN PERANAN UTANG LUAR NEGERI 2.1.
Utang Luar Negeri Swasta Sejak tahun 1996, posisi utang luar negeri swasta mulai mengalami
peningkatan. Pada tahun tersebut nilai utang luar negeri swasta telah mendekati nilai utang luar negeri pemerintah yaitu sebesar USD 54.9 miliar. Tahun-tahun berikutnya posisi utang luar negeri swasta masih terus mengalami peningkatan hingga tahun 1999. Sejak tahun 2000, posisi utang luar negeri swasta mulai menunjukkan kecenderungan menurun. Perkembangan posisi utang negeri swasta ini menjadi gambaran bahwa peningkatan utang luar negeri Indonesia pada periode 1996-1999 tidak saja disebabkan oleh peningkatan utang luar negeri pemerintah tetapi juga utang luar negeri yang diadakan oleh swasta. Peningkatan posisi utang luar negeri swasta tidak terlepas dari melemahnya nilai tukar Rupiah terhadap Dolar Amerika Serikat sejak pertengahan tahun 1997, disamping
lemahnya
pengendalian
atau
kontrol
pemerintah
terhadap
perkembangan utang luar negeri swasta. Disamping itu, peningkatan utang luar negeri swasta juga tidak terlepas dari tersedianya sejumlah instrumen utang jangka pendek di pasar keuangan dengan tingkat bunga yang lebih rendah dari tingkat bunga dalam negeri dan kemudahan untuk mendapatkannya. Peningkatan utang luar negeri swasta ini akhirnya mendorong kewajiban pembayarannya meningkat dengan tajam. Sampai dengan tahun 1995, kewajiban pembayaran utang luar negeri swasta (USD 7.3 miliar) masih lebih rendah dari kewajiban pembayaran utang luar negeri pemerintah (USD 9.1 miliar). Namun, sejalan dengan melemahnya nilai tukar Rupiah terhadap Dolar Amerika, kewajiban pembayaran kembali utang luar negeri swasta juga mengalami peningkatan. Sejak tahun 1996 kewajiban swasta mulai melebihi kewajiban pemerintah, dan kondisi ini terus berlanjut sampai tahun 2001, seperti terlihat pada Gambar 1. Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa pengendalian utang luar negeri swasta merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dalam manajemen utang luar negeri. Pelajaran dari krisis menunjukkan bahwa tidak adanya pengendalian utang swasta menyebabkan membengkaknya utang luar negeri Indonesia.
15
35.0 30.0
Miliar USD
25.0 20.0 15.0 10.0 5.0
19 84 19 85 19 86 19 87 19 88 19 89 19 90 19 91 19 92 19 93 19 94 19 95 19 96 19 97 19 98 19 99 20 00 20 01 20 02 20 03
0.0
Pemerintah
Swasta
Gambar 1. Grafik Perkembangan Pembayaran Kembali Utang Luar Negeri Indonesia Tahun 1984 – 2003
Pemerintah telah melakukan upaya-upaya untuk dapat menyelesaikan masalah-masalah utang luar negeri swasta dan melakukan koordinasi agar utang yang ada tidak melebihi kapasitas perekonomian. Dapat ditarik pelajaran bahwa manajemen utang luar negeri swasta perlu tetap menjadi suatu bagian yang terintegrasi dalam manajemen utang nasional. Namun demikian, karena keterbatasan data, dalam penelitian ini utang swasta tidak akan dibahas lebih jauh.
2.2.
Utang Luar Negeri Pemerintah Data Bank Indonesia pada bulan Maret 2005 menyebutkan jumlah seluruh
utang luar negeri Indonesia yang dilakukan oleh pemerintah dan swasta (lembaga keuangan bank, non-bank, bukan lembaga keuangan dan BUMN) mencapai USD 134.4 miliar. Dari jumlah tersebut, utang luar negeri pemerintah dan pinjaman Bank Indonesia berjumlah USD 77.7 miliar. Dalam kaitannya dengan keuangan pemerintah yang akan menjadi obyek penelitian ini, maka pembahasan akan difokuskan pada utang luar negeri pemerintah saja yang berjumlah USD 68.6 miliar (tidak termasuk pinjaman Bank Indonesia). Selebihnya, utang tersebut menjadi tanggung jawab Bank Indonesia (yang berada di luar struktur pemerintahan) dan pihak swasta dengan kreditur mereka masing-masing, dimana peran pemerintah lebih sebagai fasilitator saja.
16
Meskipun dengan penyederhanaan semacam itu, diharapkan bahwa penggambaran perkembangan perekonomian yang antara lain dibiayai oleh utang luar negeri tersebut dapat mencerminkan sepenuhnya apa yang sesungguhnya terjadi sehingga pada akhirnya dapat disimpulkan pengaruh dan dampak serta strategi pemerintah dalam melaksanakan pembangunan dengan menggunakan sumber pembiayaan yang berasal dari utang luar negeri.
2.2.1. Kronologi Utang Luar Negeri Pemerintah Pada masa Orde Lama, utang luar negeri sudah mulai digunakan untuk melaksanakan pembangunan, yang pada waktu itu umumnya digunakan untuk berbagai keperluan yang berkaitan dengan persediaan pangan, konferensi internasional maupun penyelenggaraan pesta olah raga. Pada awal masa pemerintahan Orde Baru, kondisi keuangan pemerintah sangat memprihatinkan. Pemerintah dapat dikatakan tidak mempunyai ruang gerak yang luas untuk melaksanakan pembangunan dan membayar utang luar negeri yang jatuh tempo. Pemerintah akhirnya melakukan perundingan bagi dilakukannya penjadwalan kembali semua utang yang menjadi kewajiban Pemerintah melalui forum Paris Club dan perundingan bilateral langsung dengan kreditur. Namun pada waktu itu disadari pula bahwa jika yang dilakukan hanya penjadwalan kembali utang, proses pembangunan di Indonesia tidak akan bisa dimulai kembali. Karena itu, berbagai pihak merasakan perlunya dilakukan pemberian pinjaman baru, yang untuk tertibnya dilakukan melalui suatu konsorsium negara kreditur. Konsorsium tersebut bernama IGGI (InterGovernmental Group for Indonesia), yang kemudian berubah menjadi CGI (Consultative Group on Indonesia). Di sinilah proses pinjaman baru dari sumber dana luar negeri kepada pemerintah mulai menemukan bentuknya.
2.2.1.1. Utang Luar Negeri Pemerintah Orde Baru Kondisi keuangan pemerintah pada tahun 1966 sangat memprihatinkan. Cadangan devisa yang ada juga sangat kecil, sehingga untuk pembiayaan impor yang sangat mendasar-pun sulit untuk dipenuhi. Dengan kondisi keuangan yang sangat berat seperti itu, satu-satunya jalan yang dapat dilakukan Pemerintah Orde
17
Baru untuk menjalankan pemerintahan adalah dengan mengadakan utang. Langkah ini diawali dengan normalisasi hubungan yang sempat terputus dengan berbagai lembaga multilateral, terutama dengan International Monetary Fund (IMF) dan Bank Dunia (World Bank). Bantuan dari berbagai negara/ lembaga donor baik multilateral maupun bilateral juga sangat membantu kembalinya kehidupan perekonomian Indonesia secara lebih sehat. Dengan bantuan keuangan dari luar negeri tersebut, maka dalam merencanakan pembangunan, pemerintah Orde Baru melaksanakan pembangunan terencana menurut tahapan lima tahunan, yang kemudian dikenal sebagai Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita).
1. Pembangunan Terencana Pelita I (1969/1970 - 1973/1974) Perkembangan yang pesat dari program normalisasi, stabilisasi dan rehabilitasi perekonomian pada awal pemerintahan Orde Baru akhirnya memungkinkan pemerintah mengambil langkah-langkah yang lebih terencana dan terprogram. Karena itu, sejak tahun 1969, pemerintah mencanangkan dimulainya Pembangunan Lima Tahun (PELITA) yang pertama. Pada tahun pertama Pelita I tersebut, penerimaan domestik pemerintah mencapai jumlah Rp 243.7 miliar, sementara dari bantuan proyek dan program, diperoleh utang sebesar Rp 91 miliar. Pada tahun tersebut pemerintah mulai berhasil mengalokasikan dana sejumlah Rp 118.2 miliar untuk keperluan anggaran pembangunan. Anggaran pembangunan untuk sektor pendidikan mendapat alokasi sebesar Rp 10.1 miliar, sektor kesehatan Rp 4.2 miliar, sektor pertanian Rp 35.1 miliar, sektor energi Rp 13.3 miliar dan sektor transportasi Rp 37 miliar. Pada akhir Pelita I, kinerja perekonomian Indonesia menunjukkan pertumbuhan yang mengesankan. Dengan adanya pinjaman luar negeri sebesar lebih dari USD 600 juta, pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 1973 mengalami tingkat yang melampaui 8 persen untuk pertama kalinya. Jumlah utang pemerintah mencapai USD 4.4 miliar. Dana pembangunan yang dialokasikan untuk ke lima sektor utama tersebut juga menunjukkan peningkatan yang tajam.
18 Pelita II (1974/1975 – 1978/1979) Pelita
II
juga
merupakan
periode
yang
menunjukkan
berbagai
perkembangan yang positif. Dari sisi pemerintah, tahun tersebut juga ditandai dengan pesatnya kenaikan penerimaan dalam negeri yang mencapai lebih dari Rp 4.3 triliun. Jumlah tersebut berarti hampir lima kali dari apa yang diperoleh pada lima tahun sebelumnya. Dengan adanya bantuan luar negeri yang berjumlah sekitar Rp 1 triliun, pengeluaran untuk pembangunan dapat mencapai lebih dari Rp 2.5 triliun. Pada tahun pertama Pelita II, alokasi dana pembangunan untuk sektor pendidikan mencapai Rp 54.1 miliar, sektor kesehatan Rp 15.9 miliar, sektor pertanian Rp 101 miliar, sektor energi Rp 59.1 miliar, dan sektor transportasi sebesar Rp 110.7 miliar. Dengan perkembangan tersebut, pertumbuhan ekonomi selama periode Pelita II mencapai lebih dari 7 persen. Akan tetapi, masa lima tahun tersebut tetap ditandai oleh ”current acount” yang defisit, yang kemudian tertutup oleh utang luar negeri dan aliran modal asing. Pada akhir Pelita II, jumlah utang luar negeri selama periode tersebut menambah posisi utang pemerintah menjadi USD 11 miliar. Pelita III (1979/1980 – 1983/1984) Pada tahun pertama Pelita III, di bidang pengeluaran pemerintah, total alokasi angaran pembangunan untuk sektor-sektor utama mengalami peningkatan yang cukup pesat. Sektor pendidikan mendapat alokasi sebesar Rp 342.3 miliar, sektor kesehatan Rp 90.2 miliar, sektor pertanian Rp 419.3 miliar, sektor energi Rp 392.9 miliar, dan sektor transportasi Rp 497.5 miliar. Pada tahun terakhir Pelita III, untuk pertama kalinya, pengeluaran pembangunan menjadi lebih besar dibandingkan dengan pengeluaran rutin, yaitu mencapai hampir Rp 10 triliun. Alokasi anggaran pembangunan untuk sektor pendidikan mencapai Rp 1.30 triliun, sektor kesehatan Rp 0.21 triliun, sektor pertanian Rp 1.32 triliun, sektor energi Rp 1.12 triliun, dan sektor transportasi Rp 1.22 triliun. Namun, pada masa tersebut perkonomian mengalami pertumbuhan yang sedikit lambat, yaitu selama lima tahun rata-rata mencapai 6.1 persen. Pada akhir tahun 1983 jumlah utang Pemerintah meningkat menjadi USD 20 miliar.
19 Pelita IV (1984/1985 – 1988/1989) Pada masa ini, perkembangan ekonomi Indonesia kembali menunjukkan fluktuasi. Pertumbuhan ekonomi selama lima tahun tersebut mengalami naikturun sehingga pada akhirnya rata-rata pertumbuhan ekonomi pada periode tersebut hanya mencapai 5.2 persen. Pada akhir periode Pelita IV tersebut, pengeluaran pembangunan (rupiah murni dan pinjaman luar negeri) untuk sektor pendidikan berjumlah Rp 1.07 triliun, sektor kesehatan Rp 0.17 triliun, sektor pertanian Rp 1.30 triliun, sektor energi Rp 1.22 triliun, dan sektor transportasi Rp 1.53 triliun. Jumlah utang pemerintah kembali meningkat menjadi sekitar USD 39 miliar. Pelita V (1989/1990 – 1993/1994) Pada periode ini, penerimaan dalam negeri pemerintah kembali menunjukkan peningkatan lebih dari dua kalinya sehingga mencapai lebih dari Rp 50 triliun. Jumlah Pengeluaran Pembangunan mencapai separuh dari jumlah tersebut. Sektor pendidikan mendapat alokasi anggaran pembangunan sebesar Rp 3.52 triliun, sektor kesehatan Rp 0.77 triliun, sektor pertanian Rp 3.08 triliun, sektor energi Rp 3.29 triliun, dan sektor transportasi Rp 4.40 triliun. Pertumbuhan ekonomi rata-rata pada Pelita V mencapai 8.3 persen, inflasi rata-rata selama lima tahun tersebut juga ditandai oleh suatu tingkat yang masih berada pada ”single digit”. Jumlah utang luar negeri pemerintah meningkat menjadi USD 52.5 miliar. Pelita VI (1994/95 – 1998/1999) Periode ini adalah periode terakhir dalam pembangunan jangka panjang pemerintahan Orde Baru. Sampai dengan akhir periode ini, pengeluaran pembangunan untuk lima sektor utama yang menjadi bahasan juga mengalami peningkatan yang tajam dibandingkan dengan periode yang sama pada Pelita sebelumnya. Anggaran sektor pendidikan pada tahun 1998/1999 berjumlah Rp 5.29 triliun, sektor kesehatan Rp 1.74 triliun, sektor pertanian Rp 6.09 triliun, sektor energi Rp 6.08 triliun, dan sektor transportasi Rp 8.46 triliun.
20
Menjelang akhir periode ini, seiring dengan globalisasi yang melanda hampir seluruh negara di dunia, sektor swasta juga berkembang dengan pesat sehingga pemerintah menjadi lengah dalam melakukan kontrol terhadap perkembangan dunia usaha swasta. Kondisi perkembangan ekonomi Indonesia saat itu dapat dikatakan ”over heated” akibat pesatnya pertumbuhan ekonomi di berbagai sektor. ”Booming” dunia perbankan Indonesia, yang dimulai paruh waktu periode Pelita VI ini sampai sebelum krisis sebetulnya dalam tingkat yang cukup baik. Namun badai krisis keuangan yang melanda Thailand pada tahun 1997, dan yang dengan cepat merebak ke Indonesia telah menggoncang perekonomian Indonesia secara keseluruhan. Fluktuasi nilai tukar yang bergerak sedemikian cepat membuat Bank Indonesia kesulitan menjaga stabilitas moneter, sehingga akhirnya sampai pada keputusan yaitu mengambangkan mata uang agar cadangan devisa pemerintah tidak habis terkuras. Pertumbuhan ekonomi menjadi negatif. Utang dalam negeri mulai terbentuk dalam jumlah yang sangat besar melampaui jumlah utang luar negeri pemerintah yang sejak awal Orde Baru selama lebih dari 25 tahun telah dikelola dengan hati-hati. Rasio stok utang pemerintah terhadap PDB mencapai 101.2 persen, yang terdiri dari utang luar negeri dengan rasio 46.3 persen dan utang dalam negeri dengan rasio 54.9 persen terhadap PDB.
2. Ringkasan Hasil Pembangunan Terencana Dengan mencermati perkembangan perekonomian dari Pelita I sampai Pelita VI, secara umum perekonomian Indonesia dapat dikatakan mengalami perkembangan yang luar biasa. Dalam periode tiga puluh tahun itu pula struktur perekonomian Indonesia mulai bergeser, di mana sektor industri dan jasa-jasa semakin mengalami peningkatan dan akhirnya mendominasi perekonomian. Oleh karena itu, pada periode tersebut, dapat digambarkan bahwa utang luar negeri telah menjadi sumber pembiayaan pembangunan ekonomi yang penting. Selama periode tersebut, Pemerintahan Orde Baru menganut prinsip keuangan negara yang disebut sebagai ”Anggaran Berimbang”, dimana APBN boleh mengalami defisit asal dibiayai oleh sumber pembiayaan yang berasal dari pinjaman luar negeri. Prinsip tersebut secara tidak langsung melarang
21
pembiayaan APBN yang bersumber dari pinjaman dalam negeri, baik berupa pinjaman dari bank sentral maupun dari pengeluaran surat berharga. Kebijakan anggaran berimbang tersebut ternyata telah berhasil menghindarkan Indonesia dari terjadinya hiperinflasi. Namun demikian, krisis yang merebak pada pertengahan tahun 1997 pada akhirnya membuat pemerintah tidak mampu lagi bertahan untuk tidak melakukan pinjaman dari dalam negeri. Kisis ekonomi yang terjadi sejak tahun 1997 itu pada akhirnya memaksa pemerintah melanggar prinsip tentang anggaran berimbang.
2.2.1.2. Utang Luar Negeri Pemerintah Periode Pelita I Sampai Dengan Tahun 2005 Sejak awal kemerdekaan, Indonesia telah mulai menggunakan utang luar negeri untuk pembangunan. Namun utang luar negeri tersebut belum terstruktur dengan baik. Baru sejak tahun 1966, utang luar negeri pemerintah mulai diadministrasikan dengan baik. Secara ringkas, perkembangan beberapa indikator perekonomian Indonesia selama enam periode lima tahunan sejak awal pemerintahan Orde Baru sampai dengan tahun 2005 dapat digambarkan dalam Tabel 6. Tabel 6. Perkembangan Ekonomi Indonesia Pelita I Sampai Dengan Tahun 2005
Periode
PertumPosisi Utang buhan Pemerintah Ekonomi Akhir Periode Rata-rata (juta USD) (%)
Inflasi (%)
Cadangan Devisa Akhir Periode (juta USD)
Ekspor Akhir Periode (juta USD)
Penerimaan DN (Rp triliun)
Pelita I Pelita II
4 426 11 330
7.3 persen 7.2
14.3 persen 17.1
930 2 917
2 957.0 11 020.0
1.0 4.3
Pelita III
19 953
6.1
13.2
5 145
18 689.0
14.4
Pelita IV
38 983
5.2
7.8
6 011
19 509.0
23.0
Pelita V
52 462
8.3
8.2
12 708
36 607.0
52.8
Pelita VI
67 329
-11.6
45.8
23 762
48 756.0
149.3
1999/2000
75 290
1.5
1.5
27 054
52 030.0
142.2
2000
74 916
4.9
4.3
29 257
62 124.0
152.9
2001
71 378
3.3
12.1
28 016
56 321.0
205.6
2002
74 497
3.4
11.4
32 039
57 159.0
286.0
2003
80 910
3.9
6.3
36 296
61 020.0
304.9
2004
80 734
5.1
6.2
36 320
65 413.0
342.5
2005
79 558
5.5
10.7
34 724
64 479.0
403.0
Sumber: Bank Indonesia, Repelita I-VI, Nota Keuangan dan RAPBN 1999/2000 s/d 2005 (diolah)
22
2.2.2. Perkembangan Stok Utang Luar Negeri Pemerintah Secara kronologis, perkembangan stok utang luar negeri Pemerintah Indonesia meningkat terus sejak tahun 1966, dari yang semula hanya berjumlah USD 2.02 miliar menjadi USD 68.6 miliar pada bulan Maret tahun 2005. Perkembangan stok utang luar negeri pemerintah dari tahun ke tahun secara grafis dapat dilihat pada Gambar 2.
80.0 70.0
Miliar USD
60.0 50.0 40.0 30.0 20.0 10.0
19 66 19 68 19 70 19 72 19 74 19 76 19 78 19 80 19 82 19 84 19 86 19 88 19 90 19 92 19 94 19 96 19 98 20 00 20 02 20 04
0.0
Tahun Gambar 2. Grafik Perkembangan Stok Utang Luar Negeri Pemerintah Tahun 1966 - 2005
Pada pertengahan dasawarsa 1970-an terdapat lonjakan utang luar negeri karena ”credit worthiness” pemerintah meningkat dengan adanya kenaikan nilai ekspor migas. Namun pada saat yang sama kenaikan pinjaman/ utang luar negeri tersebut juga terjadi karena pada akhirnya pemerintah harus menanggung utang luar negeri yang semula dilakukan oleh Pertamina. Lonjakan utang luar negeri berikutnya terjadi pada pertengahan dasawarsa 1980-an. Hal ini terjadi karena menguatnya mata uang Yen terhadap Dolar AS sehingga pada akhirnya mempengaruhi jumlah utang luar negeri yang ada dalam satuan mata uang Dolar AS. Sementara itu, jatuhnya harga minyak pada pertengahan dasawarsa tersebut membuat pemerintah terpaksa menarik utang luar negeri yang lebih besar, termasuk pinjaman dari IMF dalam bentuk ”Compensatory Financing Facility”, selain pinjaman dari Bank Dunia (World Bank), Bank Pembangunan Asia (ADB = Asian Developmet Bank) dan Pemerintah Jepang dalam bentuk ”fast disbursing loans”.
23
Pada pertengahan dasawarsa 1990-an sebetulnya sudah tampak terjadinya penurunan jumlah stok utang pemerintah, yang sebagian disebabkan juga oleh perubahan nilai tukar mata uang. Namun demikian, trend penurunan ini akhirnya berbalik menjadi suatu lonjakan tajam pada tahun 1998 dan 1999 karena terjadinya krisis di Indonesia maupun terjadinya perubahan kurs antar mata uang utama di dunia. Pada tahun 1998 terjadi kenaikan utang sebesar USD 13.5 miliar sedangkan pada tahun 1999 juga terjadi kenaikan lagi sebesar USD 8.4 miliar. Namun demikian, pada tahun 2000 stok utang kembali mengalami sedikit penurunan dan berlanjut ke tahun-tahun berikutnya sedikit demi sedikit.
2.2.3. Dinamika Utang Luar Negeri Pemerintah Utang luar negeri pemerintah sebelum krisis sebetulnya bergerak cukup pelan. Di masa itu, fluktuasi dalam jumlah utang lebih banyak dipengaruhi oleh perubahan kurs yang terjadi di antara mata uang internasional, terutama Yen dengan Dolar AS. Lonjakan yang cukup besar baru terjadi pada saat krisis, terutama dengan diterimanya pinjaman dari IMF, Bank Dunia, ADB serta pinjaman multilateral dan bilateral lainnya untuk membantu pemerintah dalam mengatasi krisis. Sebagian besar pinjaman itu berbentuk ”Balance of Payments Support”, yaitu pinjaman yang dimaksudkan untuk memperkuat cadangan devisa. Ini berarti bahwa pinjaman baru tersebut tidak digunakan untuk pembangunan ataupun pengeluaran lainnya, tetapi untuk menambah kembali cadangan devisa yang merosot tajam. Sebagaimana diketahui, aliran modal ke luar negeri yang sangat besar terjadi selama krisis tersebut, baik karena penarikan dana investor asing, pelunasan pinjaman luar negeri tanpa ada pemberian pinjaman baru (rollover), maupun yang murni merupakan pelarian modal untuk mencari tempat penyimpanan atau investasi yang lebih aman. Yang penting dilihat adalah gerakan ”cashflow” yang terkait dengan utang tersebut. Penting untuk diamati, berapa jumlah bunga yang harus dibayar berkaitan dengan pinjaman tersebut, dan berapa jumlah cicilan (kalau tidak dilakukan rescheduling) yang harus dibayar. Di sinilah barangkali perlu dilihat secara lebih serius kaitan utang ini dengan kemampuan pemerintah untuk mengatasinya. Suatu hal yang selama ini merupakan ”blessing” adalah bahwa
24
sebagian terbesar dari pinjaman luar negeri pemerintah tersebut bersifat konsesional, yaitu jangka waktunya panjang, suku bunganya tetap dan relatif rendah. Bahkan untuk pinjaman pemerintah yang berasal dari sektor swasta-pun, yang berdasarkan laporan Bank Indonesia (Maret 2005), yang berjumlah sekitar 2 miliar Dolar AS, relatif memiliki bunga yang cukup rendah. Pinjaman swasta ini antara lain berbentuk pinjaman sindikasi yang semula untuk pinjaman siaga dengan bunga LIBOR ditambah spread kurang dari 1 persen. Demikian juga Obligasi Pemerintah (Yankee Bond) pada saat dikeluarkan tahun 1995 berbunga Treasury Rate ditambah spread 1 persen. Karena itu, secara keseluruhan pinjaman luar negeri pemerintah pada posisi saat itu memiliki bunga yang relatif rendah. Jika kurs Rupiah terhadap mata uang Dolar AS cukup stabil, suku bunga tersebut sangat jauh lebih rendah dibandingkan dengan bunga utang dalam negeri pemerintah, yaitu yang sebagian berbunga tetap di atas 10 persen. Sebagian lagi dikaitkan dengan bunga SBI (Sertifikat Bank Indonesia) dan selebihnya diindekskan dengan inflasi. Beban bunga ini memang akan menjadi lebih berat jika mata uang Rupiah melemah. Dengan gambaran ”cash outflow” utang semacam itu, pada akhirnya perlu dilihat jumlah pinjaman yang akan diterima pemerintah dari luar negeri. Jika cicilan pinjaman akan di-reschedule lagi, sedangkan pinjaman baru tetap diterima, otomatis jumlah pinjaman akan meningkat cepat. Tekad untuk mengurangi utang tersebut baru akan menjadi kenyataan jika jumlah pinjaman baru yang ditarik lebih kecil daripada cicilan utang yang dibayar (dengan catatan tidak ada perubahan kurs Dolar AS dengan mata uang lainnya). Karena itu, strategi inilah yang harus dipertimbangkan secara sungguh-sungguh, yaitu pinjaman baru yang bagaimana yang memang dapat memberikan dampak bagi peningkatan kemampuan Indonesia untuk membayar utang tersebut di masa mendatang.
2.2.4. Permasalahan Utang Pemerintah Untuk mengetahui permasalahan utang dan mengukur besarnya utang luar negeri pemerintah, ada gunanya diberikan perbandingan utang yang dilakukan di berbagai negara lain, termasuk negara-negara industri. Jumlah pinjaman Pemerintah Jepang (Harinowo, 2002) sudah berada pada
25
tingkat mendekati 140 persen dari PDB mereka. Jumlah ini diperkirakan masih akan bisa meningkat dengan lesunya perekonomian Jepang yang setiap kali memerlukan stimulus ekonomi yang memperbesar defisit APBN mereka. Amerika Serikat memiliki utang sekitar 35 persen dari PDB, tetapi dalam angka nominal berjumlah hampir empat triliun Dolar. Dengan adanya defisit APBN di AS sejak tahun 2001, jumlah utang tersebut menjadi semakin meningkat. Belgia memiliki utang sebesar 98 persen dari PDB, menurun dibandingkan puncaknya yang pernah mencapai di atas 130 persen dari PDB. Negara-negara yang tergabung dalam Uni Eropa mentargetkan untuk dapat menurunkan dan kemudian menjaga utang pemerintah di bawah 60 persen dari PDB. Dengan membandingkan jumlah utang pemerintah negara-negara tersebut dengan jumlah utang Pemerintah Indonesia, dapat disimpulkan bahwa utang luar negeri pemerintah kita sebesar 40 persen dari PDB masih bisa dimaklumi. Permasalahan yang lebih besar justru utang dalam negeri yang telah mencapai sekitar Rp 650 triliun, yang belum termasuk dalam rasio 40 persen dari PDB tersebut. Dengan utang dalam negeri tersebut, seluruh utang pemerintah (setelah dikeluarkan pinjaman IMF) diperkirakan mencapai rasio sekitar 87 persen dari PDB pada posisi Desember 2005. Namun demikian, jumlah seluruh utang pemerintah ini ternyata masih berada di bawah utang Pemerintah Jepang, Yunani, Belgia, Itali, maupun banyak negara lainnya. Meskipun demikian, utang dalam negeri pemerintah yang dikeluarkan dalam bentuk obligasi ini memberikan beban bunga yang cukup besar, yaitu di atas 10 persen. Sementara itu, beban bunga utang luar negeri jauh lebih rendah. Beban bunga pinjaman dari IDA (International Development Association) Bank Dunia, misalnya bahkan mendekati nol persen. Sementara, beban bunga pinjaman IMF berada di sekitar 4 persen. Oleh karena itu, jika nilai tukar Rupiah bisa dikendalikan cukup stabil, tingkat bunga pinjaman luar negeri sebetulnya justru lebih menguntungkan dibandingkan dengan tingkat bunga pinjaman dalam negeri.
2.3.
Utang Dunia Seluruh negara di dunia, hampir tanpa terkecuali, ternyata mengandalkan
utang sebagai bagian penting dari sumber pembiayaan pembangunan mereka.
26
Untuk memberikan gambaran tentang utang dunia, pada bagian ini akan diuraikan utang di negara-negara industri dan utang di negara-negara berkembang. Selanjutnya akan diuraikan pula contoh pengalaman dan upaya Belgia yang mewakili negara industri dan Sri Lanka yang mewakili negara berkembang dalam menangani utang pemerintahnya.
2.3.1. Utang Negara-Negara Industri Jumlah utang negara-negara industri pada tahun 2003 terutama didominasi oleh dua negara yang paling kaya di dunia, yaitu Amerika Serikat dan Jepang. Menurut statistik utang Pemerintah Pusat, utang Jepang melampaui utang yang dimiliki oleh Amerika Serikat. Pada tahun 2003 utang Jepang sudah mencapai USD 6.7 triliun, sedangkan utang yang dibuat oleh Amerika Serikat mencapai USD 3.9 triliun. Ini berarti kedua negara tersebut sudah menyumbangkan utang lebih dari separuh utang 30 negara-negara OECD (Organisation for Economic Co-operation and Development). Berikutnya, dalam urutan negara OECD yang memiliki utang terbesar adalah Italia dengan jumlah utang sebesar USD 1.6 triliun, diikuti oleh Perancis dengan jumlah utang sebesar USD 1.04 triliun, Jerman dengan jumlah utang sebesar USD 1.03 triliun, dan Inggris dengan jumlah utang USD 834.4 juta. Negara G-7 lainnya adalah Luxemburg yang memiliki utang hanya sebesar USD 550 miliar. Suatu karakteristik yang menarik dari utang yang dimiliki oleh negaranegara industri ini adalah bahwa sebagian besar utang tersebut diperoleh melalui pasar, yaitu dengan jalan pelelangan dari surat-surat utang mereka, ataupun melalui obligasi yang dijual di berbagai bursa. Pada tahun 2003, dari seluruh utang yang dimiliki oleh negara-negara OECD sebesar USD 18.2 triliun, lebih dari USD 16.5 triliun dikeluarkan dalam bentuk surat berharga yang dapat diperjualbelikan (marketable securities). Selebihnya, yaitu sebesar USD 1.7 triliun, dikeluarkan dalam bentuk utang yang tidak dapat diperjualbelikan. Dari sisi rasio utang terhadap PDB, tampak bahwa masih terdapat beberapa negara OECD yang memiliki rasio utang pemerintah dengan PDB mendekati 100 persen. Negara-negara tersebut adalah Belgia dan Italia. Yunani mempunyai rasio utang terhadap PDB di atas 100 persen, dan Jepang menyusul pada kelompok
27
tersebut dengan tingkat rasio utang terhadap PDB yang mengalami peningkatan cukup cepat.
2.3.2. Utang Negara-Negara Berkembang Laporan Bank Dunia (2004), menyebutkan beberapa negara-negara berkembang yang pada tahun 2003 memiliki utang lebih dari USD 100 miliar meliputi Argentina (USD 147.8 miliar), Brasil (USD 244.7 miliar), Cina (USD 154.2 miliar), Indonesia (USD 150.1 miliar) dan Rusia (USD 174.9 miliar). Jika dilihat dari rasio utang terhadap PDB, jumlah negara yang pada tahun 2003 memiliki rasio di atas 100 persen adalah Angola (367 persen), Burundi (161 persen), Kamerun (108 persen), Komoro (105 persen), Republik Kongo (303 persen), Pantai Gading (126 persen), Gabon (104 persen), Gambia (119 persen), Guinea-Bissau (456 persen), Guyana (246 persen), Honduras (102 persen), Indonesia (113 persen), Yordania (113 persen), Kirgistan (145 persen), Laos (185 persen), Madagaskar (120 persen), Malawi (155 persen), Mali (124 persen), Mauritania (273 persen), Mongolia (103 persen), Mozambik (187 persen), Nikaragua (341 persen), Samoa (108 persen), Sao Tome (601 persen), Sierra Leone (192 persen), Sudan (183 persen), Siria (149 persen), Togo (109 persen), dan Zambia (195 persen). Sebagian terbesar dari negara-negara yang memiliki rasio utang di atas 100 persen adalah negara-negara Afrika, Amerika Latin dan Asia yang termasuk dalam kategori negara-negara miskin pengutang berat (Highly Indebted Poor Countries, HIPC). Kepada negara-negara ini dalam beberapa tahun terakhir sudah dilakukan berbagai upaya untuk mengurangi beban utang mereka. Dimulai dengan pengurangan beban utang melalui Paris Club dengan apa yang disebut Toronto Scheme, beban utang tersebut menerima pemotongan lebih lanjut melalui Prakarsa untuk negara-negara HIPC pada tahun 1996 dan kemudian diperkuat lagi dengan prakarsa pada tahun 1999. Dari perkembangan terakhir, yaitu dengan memperbandingkan data rasio utang terhadap PDB antara tahun 1994 dan 2003, terdapat perbaikan yang sangat drastis yang dialami oleh beberapa negara yang menikmati konsesi pemotongan utang tersebut. Sebagai contoh, Pantai Gading mengalami penurunan rasio utang
28
terhadap PDB dari 252 persen menjadi 105 persen. Demikian juga Guyana mengalami penurunan rasio dari 448 persen menjadi 176 persen, dan Mozambik juga mengalami penurunan dari 352 persen menjadi 153 persen.
2.3.3. Penanganan Utang Negara-Negara Industri: Pengalaman Belgia Tradisi untuk memperoleh sumber pembiayaan dari utang ternyata memang bukan hanya monopoli dari negara-negara berkembang saja. Hal tersebut juga menjadi bagian penting dari kebijakan ekonomi negara-negara industri dalam proses perkembangan mereka hingga mencapai tingkat perkembangan ekonomi seperti yang saat ini mereka alami. Kebijakan diversifikasi sumber pembiayaan tersebut terus mereka lanjutkan sampai saat ini, dan bahkan surat utang yang mereka terbitkan pada akhirnya menjadi bagian penting dari instrumen kebijakan moneter. Pengalaman dari Belgia sebagai suatu negara industri yang memiliki utang cukup besar, dan upaya mereka untuk menekan utang tersebut ke tingkat yang wajar, merupakan suatu hal yang menarik untuk dipelajari. Sektor publik (pemerintah) Belgia secara tradisional memang memiliki tingkat utang yang lebih tinggi dibandingkan negara-negara Eropa lainnya, seperti Denmark dan Inggris, yang dikenal sebagai negara yang sangat konservatif dalam berutang. Pada tahun 1960-an, tingkat utang Belgia dibanding PDB bahkan sudah dua kali lipat dibandingkan dengan rata-rata rasio di negara-negara Eropa lainnya. Krisis energi pada tahun 1970-an telah menimbulkan defisit yang besar, sehingga lebih memperburuk situasi. Pada tahun 1981 misalnya, defisit APBN Belgia mencapai 13.5 persen dari PDB, sedangkan jumlah pembayaran bunga dan utang pokok mencapai hampir 8 persen. Sementara itu total utang mencapai 82 persen dari PDB. Beban pembayaran utang tersebut semakin memperbesar utang sehingga menambah beban yang harus dipikul pemerintah Belgia. Perkembangan tersebut, ditambah dengan tingkat suku bunga yang tinggi pada tahun 1980-an dan pertumbuhan ekonomi yang rendah, telah menyebabkan rasio utang terhadap PDB meningkat lebih tinggi lagi menjadi 130 persen pada tahun 1987. Dengan upaya keras penghematan anggaran yang dilakukan sangat disiplin antara tahun 1982 sampai 1987, defisit anggaran akhirnya menurun sehingga mencapai 6.8 persen dari PDB. Perkembangan ini menstabilkan rasio utang negara Belgia tersebut.
29
Pada awal dasawarsa 1990-an, resesi dunia membuat defisit APBN Belgia kembali mengalami peningkatan sehingga mencapai 7.1 persen dari PDB. Sementara itu rasio utang terhadap PDB juga mengalami peningkatan sehingga mencapai 135.2 persen pada tahun 1993. Perkembangan yang terakhir ini memaksa pemerintah Belgia untuk kembali mengetatkan ikat pinggang, sehingga pada akhirnya dalam periode antara 1993 sampai 1997 tercapai suatu gambaran penurunan defisit dan rasio utang yang cukup jelas. Defisit APBN bahkan menurun begitu tajam sehingga hanya mencapai 2.1 persen, sementara rasio utang terhadap PDB juga menurun lebih dari 10 persen, sehingga akhirnya mencapai tingkat 122.2 persen. Surplus primer APBN (yaitu surplus APBN sebelum dihitung pembayaran bunga utang) pada tahun itu juga meningkat menjadi 5.8 persen dari PDB. Surplus primer ini telah diputuskan untuk ditargetkan pada tingkat yang tinggi, sehingga jika terjadi penurunan kegiatan ekonomi, penurunan tingkat utang masih dapat tercapai. Sementara itu, khusus dalam hal penanganan utang luar negeri, Belgia juga mengalami peningkatan utang luar negeri pada dasawarsa 70-an dan 80-an yang disebabkan oleh terjadinya defisit neraca pembayarannya, disamping defisit APBN sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya. Bank Sentral Belgia seringkali harus mengisi kembali cadangan devisanya melalui Departemen Keuangan yang kemudian mengeluarkan surat utang mereka. Utang luar negeri negara tersebut, sebagai proporsi dari keseluruhan utang, mengalami kenaikan yang cukup besar. Pada tahun 1978 utang luar negeri hanya 1 persen dari keseluruhan utang negara tersebut. Proporsi ini meningkat menjadi 24 persen pada tahun 1984. Dengan berbagai langkah, serta dalam kaitan dengan keanggotaan Belgia dalam Sistem Moneter Eropa, rasio utang luar negeri tersebut kemudian dapat secara pelan-pelan diturunkan sehingga pada tahun 1992 mencapai 12 persen. Jumlah itu kembali mengalami peningkatan pada saat terjadinya krisis Sistem Moneter Eropa pada tahun 1993 sehingga mencapai 17 persen, namun kembali berhasil ditekan sehingga mencapai hanya 7.5 persen pada tahun 1997. Tingkat ini pun semakin menurun lagi dengan dimulainya mata uang bersama Eropa yaitu Euro.
30
2.3.4. Penanganan Utang Negara-Negara Berkembang Negara-negara berkembang di seluruh dunia memiliki pengalaman yang berbeda-beda dalam permasalahan utang. Namun demikian, secara umum dapat dikatakan bahwa utang sangat diperlukan oleh semua negara berkembang untuk dapat membiayai pembangunan negaranya sehingga pada akhirnya dapat mengejar ketertinggalan mereka dari banyak negara yang sudah lebih maju. Sebagaimana dunia usaha yang juga banyak menggantungkan diri pada pembiayaan yang berasal dari utang, baik dari supplier, bank, pasar modal maupun sumber-sumber pembiayaan lainnya, pemerintah dari berbagai negara di seluruh dunia juga melakukan hal itu untuk dapat melakukan percepatan upaya pembangunan mereka. Namun demikian, sebagaimana juga dengan dunia usaha, keberhasilan dari masing-masing negara dalam memanfaatkan pinjaman mereka secara maksimal juga berbeda-beda.
2.3.4.1. Pengalaman Sri Lanka Pengalaman Sri Lanka dapat diambil sebagai studi kasus mengenai upaya pengelolaan utang di negara tersebut. Negara ini memiliki penduduk hampir 20 juta dan juga memiliki komposisi penduduk yang majemuk, baik dari segi etnis, bahasa maupun agama. Pendapatan per kapita negara tersebut hampir mencapai USD 900. Tingkat pendidikan penduduk Sri Lanka relatif cukup baik. Pada lapisan atas, baik yang di pemerintahan, bank sentral, maupun di dunia usaha, jumlah yang menikmati pendidikan tinggi, termasuk strata tiga, cukup banyak. Di samping itu, administrasi dan birokrasi yang dimiliki negara pulau tersebut dapat dikatakan cukup memadai. Latar belakang pemerintahannya, semula sangat sosialis dengan memberikan fokus kepada pemerataan, terutama dalam hal pendidikan dan kesehatan, maupun ketersediaan prasarana lainnya. Kendati demikian, dalam tahun-tahun terakhir ini, pemerintahannya mulai lebih bergeser kepada pengelolaan ekonomi yang mengarah kepada mekanisme pasar, dengan keterbukaan yang jauh lebih besar. Sejak awal, Sri Lanka banyak memanfaatkan sumber pembiayaan yang berasal dari utang. Bahkan, pada tahun 1923, Sri Lanka sudah membangun landasan hukum bagi upaya pencarian pinjaman oleh pemerintah dalam bentuk
31 ”Local Treasury Bills Ordinance”, yaitu Ordinance No. 8 tahun 1923. Untuk surat berharga lainnya, termasuk obligasi pemerintah, landasan hukum yang lain sudah diciptakan pada tahun 1937, yaitu melalui ”Registered Stock and Securities Ordinance”. Terakhir, untuk pencarian pinjaman luar negeri, negara tersebut juga mengeluarkan undang-undang, yaitu Foreign Loans Act No. 29 tahun 1957. Dengan latar belakang semacam itu, pada saat ini masyarakat Sri Lanka menyikapi pencarian utang untuk sumber pembiayaan pembangunan sebagai suatu hal yang wajar. Bahkan dengan tingkat rasio utang terhadap PDB yang lebih besar dari yang dimiliki Indonesia saat ini, tidak tampak suatu sikap di masyarakat yang menunjukkan tanda-tanda adanya kekhawatiran ataupun keberatan terhadap keadaan semacam itu. Sikap semacam ini tentunya terbentuk
karena
perkembangan utang yang mereka miliki pada umumnya bergerak pelan meskipun secara keseluruhan terus mengalami peningkatan. Yang diperlukan adalah munculnya suatu sikap kewaspadaan sebelum tingkat utang tersebut terlanjur masuk pada tingkat yang mengarah pada perangkap utang (debt trap). Dalam jangka waktu lima tahun, perkembangan utang negara Sri Lanka tersebut adalah sebagai berikut: Tabel 7. Perkembangan Utang Pemerintah Sri Lanka Tahun 2000 - 2004 (juta Ruppes) 2000
2001
2002
2003
2004
Utang Dalam Negeri Treasury Bills Treasury Bonds Rupee Securities Lainnya
676 660 134 996 204 124 263 885 73 652
815 965 170 995 243 923 292 813 108 234
948 386 210 995 371 305 287 701 78 385
1 019 969 219 995 491 223 248 414 60 337
1 056 468 243 886 573 860 164 758 73 964
Utang Luar Negeri
542 040
636 741
721 956
877 831
1 074 174
1 218 700
1 452 706
1 670 342
1 897 800
2 130 642
97.1 53.9 43.2
103.2 58.0 45.2
105.4 59.8 45.6
105.9 58.0 45.9
117.4 58.8 58.6
Total Utang Rasio Utang/PDB: Utang DN/PDB (%) Utang LN/PDB (%)
Sumber: Laporan Tahunan Bank Sentral Sri Lanka, 2005.
Sumber penyebab utama timbulnya utang dari negara tersebut adalah kebijakan fiskal mereka yang menyebabkan timbulnya defisit APBN yang cukup besar. Dalam tahun 2000, utang negara tersebut mengalami kenaikan yang cukup besar karena defisit APBN yang dialami negara tersebut hampir mencapai 10
32
persen. Dalam hal ini, posisi utang pemerintah Sri Lanka mengalami kenaikan dari 95.1 persen dari PDB pada tahun 1999 menjadi 97.1 persen dari PDB pada tahun 2000. Namun demikian, perkembangan ini pun menunjukkan suatu fluktuasi yang cukup tajam karena pada tahun 1990 rasio utang pemerintah terhadap PDB tersebut telah mencapai 96.5 persen dari PDB sebelum akhirnya menurun kembali menjadi hanya 85.8 persen dari PDB pada tahun 1997. Mulai tahun 2000, rasio ini terlihat mulai naik lagi. Dengan gambaran perkembangan utang seperti pada Tabel 7, tampak bahwa Sri Lanka mulai tahun 1997 memanfaatkan sumber pembiayaan utang dari dalam negeri lebih besar dibandingkan dengan utang luar negeri. Perbedaan itu semakin melebar, di mana sumber pembiayaan utang dalam negeri sudah mencapai rasio terhadap PDB di atas 50 persen. Perolehan utang pemerintah Sri Lanka dari luar negeri memiliki kemiripan dengan Indonesia, yaitu dengan memanfaatkan sumber-sumber pembiayaan dari Bank Dunia, ADB maupun sumber-sumber bilateral lainnya yang diatur melalui pertemuan konsorsium donor setiap tahunnya. Karena mengalami krisis ekonomi yang parah pada paruh kedua tahun 2000, Sri Lanka akhirnya juga meminta bantuan IMF melalui Stand-by Arrangement. Untuk perolehan utang dalam negeri, Sri Lanka sudah setapak lebih maju dibandingkan dengan Indonesia. Hal ini dapat dimaklumi karena Indonesia baru memanfaatkan utang dalam negeri dalam beberapa tahun terakhir, itu-pun karena keadaan yang memaksa.
2.3.4.2. Pengalaman Argentina: Pencegahan dan Penanggulangan Krisis Argentina
mempunyai
pengalaman
yang
serius
atas
kesulitan
perekonomian dan keuangan pada tahun 1980-an. Hiperinflasi yang terjadi tahun 1989-1990 akhirnya menimbulkan konsensus politik secara nasional untuk mengadakan perubahan di segala bidang. Antara tahun 1990 dan 1997, ekonomi Argentina tumbuh dengan baik seperti kebanyakan negara-negara lain di Amerika Latin, yaitu sekitar 6 persen per tahun. Pada tahun 1999 hiperinflasi melanda Argentina disertai dengan kerusuhan dan konflik sosial yang terjadi di Buenos Aires dan kota-kota besar lainnya. Pertumbuhan GDP turun drastis sekitar 15 sampai 20 persen pada tahun tersebut,
33
merupakan yang terendah dalam sejarah perekonomian Argentina. Di sisi lain, fondasi perekonomian Argentina runtuh, diiringi dengan lepasnya kendali atas nilai tukar, pembekuan deposito perbankan dan penundaan pembayaran utang luar negeri. Meninjau kembali perkembangan perekonomian Argentina dengan kondisi perekonomian yang mengalami resesi dan hiperinflasi selama bertahun-tahun, pada tahun 1991 pemerintah mengeluarkan kebijakan ”Convertibility Plan” untuk menanggulangi krisis. Secara mengesankan kebijakan tersebut dapat menurunkan inflasi dari empat digit menjadi single digit dalam waktu tiga tahun dan meletakkan dasar-dasar untuk pertumbuhan ekonomi. Dari kejatuhan ekonomi yang parah sejak tahun 1980, melalui kebijakan pemerintah tersebut, kebangkitan kembali ekonomi telah menunjukkan tanda-tandanya. Walaupun pertumbuhan ekonomi masih cukup rendah, antara 4 - 5 persen per tahun antara tahun 1993 1998, Argentina telah menunjukkan penampilan ekonomi terbaiknya dalam beberapa dekade terakhir.
2.3.5. Kasus di Indonesia Dalam kasus Indonesia, perkembangan utang luar negeri menunjukkan seakan-akan ada korelasi positif antara laju pertumbuhan PDB riil dengan peningkatan jumlah utang luar negeri, atau antara peningkatan pendapatan ratarata per kapita dengan peningkatan jumlah utang luar negeri (growth with indebtedness). Pertumbuhan ekonomi Indonesia rata-rata per tahun sejak akhir 1970 selalu positif dan tingkat pendapatan per kapita meningkat terus, tetapi jumlah utang luar negeri Indonesia juga meningkat terus setiap tahun. Idealnya, korelasi tersebut seharusnya negatif (growth with prosperity). Hal ini mencerminkan bahwa walaupun Indonesia sudah lebih maju dibandingkan banyak negara yang sedang berkembang lainnya, namun ketergantungan ekonominya terhadap utang luar negeri tidak jauh berbeda dengan negara-negara tersebut. Berdasarkan data IMF untuk tahun 1980-an hingga awal 1990-an, Indonesia termasuk negara pengutang besar dengan laju pertumbuhan utang luar negerinya rata-rata per tahun yang tinggi, walaupun masih lebih rendah
34
dibandingkan dengan negara-negara pengutang besar lainnya, seperti Meksiko dan Brazil. Untuk periode tahun 1992-1994, laporan tahunan dari Bank Dunia menunjukkan bahwa sebagai suatu persentase dari jumlah utang luar negeri di dunia, proporsi utang luar negeri Indonesia, yang meliputi utang jangka panjang dan pendek dari pemerintah dan sektor swasta serta penggunaan kredit dari IMF, jauh lebih besar dibandingkan utang luar negeri dari Malaysia atau Filipina. Tabel 8. Posisi Utang Luar Negeri Indonesia dan Beberapa Negara Lainnya Tahun 1994 - 1997 (miliar USD) Negara I. II.
Semua Negara Asia
1. Korea Selatan 2. Thailand 3. Indonesia 4. Cina 5. Malaysia 6. India 7. Fillpina III. Amerika Latin 1. Brasil 2. Meksiko 3. Argentina 4. Cile 5. Kolumbia 6. Venezuela IV. Eropa Timur 1. Rusia 2. Ceko 3. Hungaria 4. Polandia
1994
1995
1996
1997
772.9 241.3
873.6 306.9
991.4 367.0
1 054.9 389.4
56.6 43.9 35.0 41.3 13.5 15.0 6.8 205.7
77.5 62.8 44.5 48.4 16.8 15.5 8.3 212.2
99.9 70.2 55.5 55.0 22.2 16.9 13.3 242.4
103.4 69.4 58.7 57.9 28.8 18.8 14.1 251.1
59.4 64.6 35.6 12.4 10.0 13.7 82.4
57.4 57.3 38.4 13.6 10.9 11.9 90.6
67.9 60.1 44.8 15.2 16.8 11.1 103.0
71.1 62.1 44.5 17.6 17.0 12.2 117.0
48.0 4.1 8.9 7.0
52.0 7.9 9.1 6.8
57.3 9.6 11.7 7.6
69.1 11.4 10.9 9.2
Sumber: Bank for International Settlement (1997).
Sementara itu, data dari Bank for International Settlements (BIS), seperti dapat dilihat pada Tabel 8, menunjukkan bahwa di antara negara-negara dengan utang luar negeri terbesar di dunia, Indonesia menempati urutan ketiga, dengan posisi utang mencapai USD 58.7 miliar pada tahun 1997. Dari angka tersebut, 21.1 persen adalah utang bank, 11.1 persen utang perusahaan swasta dan 67.7 persen utang non-bank. Jumlah utang luar negeri, khususnya yang berjangka pendek mengalami peningkatan sangat tajam selama periode 1990-an. Tabel 9, menunjukkan bahwa
35
pada tahun 1994, utang luar negeri jangka pendek Indonesia hanya sekitar 6.5 persen dari PDB. Angka tersebut masih lebih rendah dibandingkan dengan Korea Selatan, Malaysia, Filipina, dan Thailand. Namun, sejak periode krisis, rasionya meningkat tajam, menjadi paling atas dibandingkan negara-negara tersebut. Tabel 9. Rasio Utang Luar Negeri Jangka Pendek terhadap PDB: Indonesia dan Beberapa Negara Asia Lainnya Tahun 1994 – 1999 (miliar USD) Negara Indonesia Korea Selatan Malaysia Filipina Thailand
1994 6.5 13.3 7.5 8.1 20.2
1995 8.7 14.6 7.2 7.1 24.5
1996 7.5 17.9 9.9 8.7 25.1
Sumber: International Monetary Fund (April 2000).
1997 27.5 13.4 11.1 10.3 24.6
1998 76.4 9.6 11.7 11.0 27.0
1999 45.1 10.9 9.4 3.6 21.1
III. TINJAUAN PUSTAKA 3.1.
Teori Utang Pada bab ini dijelaskan beberapa teori yang mendasari keberadaan utang
pemerintah. Beberapa pendekatan terkait dengan pengadaan utang adalah teori Two-Gap Model, pembiayaan defisit serta permintaan dan penawaran utang. Selanjutnya akan diuraikan pula konsep solvabilitas, kesinambungan fiskal serta kesinambungan dan kedinamisan utang (debt sustainability and debt dynamic).
3.1.1. Pendekatan Teori Two-Gap Model Menurut Daryanto (2003) dan Bappenas (2004), pembahasan tentang utang luar negeri dapat dijelaskan dengan kerangka teori Two-Gap Model yang menunjukkan bahwa defisit pembiayaan terjadi karena tabungan lebih kecil dari investasi swasta (I-S = resource gap), dan defisit perdagangan terjadi karena ekspor lebih kecil dari impor (X-M = trade gap). Disamping itu, masih ada defisit dalam anggaran pemerintah karena penerimaan pemerintah dari pajak lebih kecil dari pengeluaran pemerintah (T-G = fiscal gap). Kondisi ini dapat didekati melalui persamaan pendapatan nasional Keynes untuk perekonomian terbuka, dimana hubungan antara defisit investasi swasta, defisit anggaran pemerintah, dan defisit perdagangan dapat dijelaskan sebagai berikut: Y C I G X M
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . (3.1)
Y A X M . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . (3.2)
dimana : Y C I G
= = = =
Pendapatan Nasional Konsumsi Swasta Investasi Swasta Pengeluaran Pemerintah
X = Ekspor M = Impor A = Absorpsi domestik
Jika tidak ada transfer dari luar negeri (net current tranfer), maka keseimbangan barang dan jasa tersebut merupakan neraca transaksi berjalan CAB (current account balance) yang dapat ditulis sebagai: Current Account Balance (CAB) = Y – A . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . (3.3)
37
Surplus transaksi berjalan merupakan kelebihan atas pengeluaran pendapatan dalam negeri (Y>C+I+G) yang juga merupakan akumulasi cadangan devisa (foreign asset), sedangkan defisit neraca transaksi berjalan akan merupakan hubungan antara defisit pemerintah dan defisit swasta (Y
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . (3.4)
CAB (S I ) (T G) . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . (3.5)
dimana tabungan (S) merupakan kelebihan dari disposable income (Y-T-C), sedangkan (T-G) menunjukkan surplus anggaran pemerintah. Persamaan (3.5) disebut juga Two-Gap Model, dimana keseimbangan traksaksi berjalan (CAB) ditentukan oleh selisih tabungan-investasi domestik (S-I Gap) dan defisit fiskal (T-G). Dalam persamaan ini dapat saja terjadi hubungan kausal dalam arti jika terjadi ketidakseimbangan internal yakni pada sektor pemerintah dan/ atau sektor swasta, ((S-I) + (T-G)), maka akan terjadi gangguan keseimbangan
eksternal,
yakni
pada
sektor
perdagangan
yang
akan
mempengaruhi neraca transaksi berjalan. Hubungan antara keseimbangan transaksi berjalan dengan akumulasi cadangan devisa dapat dijelaskan dengan asumsi anggaran pemerintah berimbang (T=G). Jika neraca transaksi berjalan mengalami surplus, berarti tabungan domestik melebihi investasi domestik sebesar surplus neraca transaksi berjalan tersebut. Kelebihan tabungan tersebut diinvestasikan di luar negeri yang diperlihatkan dengan akumulasi cadangan devisa. Sebaliknya jika neraca transaksi berjalan mengalami defisit, berarti investasi domestik lebih besar dibandingkan tabungan domestik sebesar defisit transaksi berjalan. Defisit neraca transaksi berjalan tersebut mendorong dekumulasi cadangan devisa. Sementara itu, jika nilai tabungan domestik sama dengan investasi domestik (S=I) dan terjadi defisit anggaran pemerintah, maka defisit anggaran
38
pemerintah tersebut harus dibiayai dengan utang luar negeri, demikian juga sebaliknya jika terjadi surplus anggaran. Dari penjelasan di atas, maka dapat ditulis persamaan sebagai berikut: CAB (-) = Total Capital Inflow + International Reserve Lost . . . . . (3.6) Persamaan ini menunjukkan bahwa defisit transaksi berjalan akan dibiayai melalui pemasukan modal dan/ atau melalui penggunaan cadangan devisa. Pada tingkat defisit tertentu, utang luar negeri dapat digunakan untuk membiayai defisit transaksi berjalan tanpa mengurangi cadangan devisa bank sentral. Kedua persamaan terakhir di atas menyatakan bahwa kenaikan utang untuk membiayai defisit transaksi berjalan berhubungan dengan kelebihan investasi domestik terhadap tabungan domestik. Kesenjangan tersebut terjadi karena: (1) investasi yang terus meningkat secara berkesinambungan dengan tingkat tabungan yang relatif tetap, atau (2) penurunan tabungan (karena kenaikan konsumsi relatif terhadap pendapatan) dengan tingkat investasi yang relatif tetap. Kemungkinan pertama memberikan implikasi bahwa suatu negara meminjam untuk mengakumulasikan modal untuk investasi agar dapat meningkatkan pendapatan di masa depan. Pada kemungkinan kedua, suatu negara meminjam untuk mengakumulasikan modal untuk membelanjai pengeluaran konsumsi sekarang yang belum tentu mempunyai dampak positif pada pertumbuhan ekonomi. Jadi pada kemungkinan pertama, kecil kemungkinan terjadi kesulitan pada pembayaran kembali utang selama investasi yang dilakukan adalah feasible dan profitable sehingga akan memberikan kenaikan penerimaan di masa depan. Sedangkan pada kemungkinan kedua, utang untuk kepentingan konsumsi tidak memberikan kemungkinan yang jelas tentang kemampuan membayar utang di masa depan. Jika investasi dan tabungan dipecah menjadi sektor publik dan swasta, maka utang luar negeri berguna untuk membiayai sebagian dari investasi domestik yang tidak dapat ditutupi tabungan domestik dan/ atau sebagian pengeluaran pemerintah yang tidak dapat dibelanjai oleh penerimaan pemerintah. Dampak utang terhadap anggaran pemerintah (dalam kaitannya dengan pembayaran bunga dan cicilan pokok utang) adalah bahwa pembayaran bunga dan cicilan pokok utang (debt service) merupakan item yang negatif dalam neraca
39
pembayaran dan juga merupakan penurunan pada cadangan devisa. Lebih jauh lagi, jika defisit anggaran tidak digunakan untuk membiayai pengeluaran yang mendorong pertumbuhan, maka pada masa depan akan terjadi dimana pajak digunakan untuk membiayai debt service dari utang-utang sekarang atau dengan kata lain pembayar pajak domestik harus membayar pada bank atau pemerintah asing untuk membayar utang negara. Hal ini biasanya merupakan hal yang tidak feasible secara politis. Dengan demikian jika utang telah menumpuk sampai suatu titik tertentu, pemerintah mungkin akan menempuh jalan dengan menambah utang baru untuk melunasi utang lama. Menurut Bappenas (2004), dengan kerangka Two-Gap Model di atas tersirat bahwa bila suatu negara berada dalam keadaan dimana neraca transaksi berjalannya (X-M) mengalami ketidakseimbangan maka dibutuhkan aliran modal masuk (capital inflows). Capital inflows tersebut dapat diarahkan ke sektor pemerintah (G) untuk mengatasi defisit (T-G) dalam bentuk pinjaman luar negeri. Capital inflows dalam bentuk pinjaman luar negeri akan menimbulkan masalah karena meningkatnya belanja pemerintah akan mendorong turunnya tabungan (S) dan naiknya impor (M). Karena itu pinjaman luar negeri perlu diinvestasikan secara produktif untuk kegiatan-kegiatan yang menghasilkan tingkat pengembalian devisa yang tinggi guna menutup pembayaran bunga. Dalam konteks inilah Indonesia melakukan pinjaman luar negeri. Sumber pendanaan dalam negeri seperti tabungan (saving) dan pajak (tax) belum dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan untuk pendanaan pembangunan. Pinjaman luar negeri digunakan untuk menutup selisih tabungan dalam negeri dengan investasi (S-I) dan menutup kebutuhan devisa akibat selisih pendapatan ekspor dan pengeluaran impor (X-M). Pinjaman tersebut memungkinkan pemerintah Indonesia untuk meningkatkan pengeluaran lebih tinggi dari yang dapat dilakukan dengan harapan tercapainya pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan pencapaian kesejahteraan rakyat. Untuk mengurangi dampak masuknya capital inflows ke sektor pemerintah terhadap neraca pembayaran, Pemerintah Indonesia mengambil kebijakan untuk mengutamakan penggunaan pinjaman luar negeri hanya untuk pengeluaran pembangunan.
40
Capital inflows juga dapat diarahkan untuk mengatasi defisit pada sektor swasta (S-I) dalam rangka menaikkan investasi. Berbeda dengan aliran modal ke sector G, aliran modal ke sektor I akan mendorong naiknya ekspor. Namun hal ini perlu didukung kebijakan reformasi struktural untuk meningkatkan investasi.
3.1.2. Pendekatan Pembiayaan Defisit Selama pemerintahan Orde Baru dan terlebih lagi pada masa krisis ekonomi, Indonesia sangat tergantung pada bantuan atau pinjaman luar negeri, terutama untuk membiayai defisit investasi tabungan domestik (saving-gap), defisit transaksi berjalan (trade-gap), dan beberapa komponen dari sisi pengeluaran pemerintah di dalam RAPBN, atau defisit keuangan pemerintah (fiscal-gap). Ketiga defisit tersebut berkaitan satu sama lain dan menurut Dornbusch (1980), dapat disederhanakan ke dalam bentuk beberapa persamaan sebagai berikut:
TB ( X M ) F
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . (3.7)
dalam hal ini: TB = saldo transaksi berjalan (current account) X – M = ekspor neto barang dan jasa F = transfer internasional neto (arus modal masuk net)
S I S p S g I (S p I ) (T G)
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . (3.8)
dalam hal ini: S Sp Sg I
= tabungan nasional (total = S + Sr) = tabungan individu rumah tangga dan perusahaan = tabungan pemerintah (= penghasilan pajak (T) dikurangi pengeluaran pemerintah (G)) = investasi (pembentukan modal bruto domestik)
Jika ekonomi makro dalam kondisi equilibrium (penawaran agregat = permintaan agregat) dan setiap tabungan domestik neto (S-I) tercermin dalam akumulasi aset luar negeri neto (X+F-M), maka identitas transaksi berjalan dapat ditulis sebagai berikut: S I X F M
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . (3.9)
41
atau:
(S p I ) (T G) X F M
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .(3.10)
Berdasarkan persamaan (3.8), surplus APBN dapat dianggap sebagai bagian dari surplus tabungan-investasi, atau defisit anggaran pemerintah adalah sebagian dari total defisit tabungan-investasi. Persamaan (3.9) menunjukkan bahwa surplus Transaksi Berjalan (TB) adalah sama dengan surplus tabungan nasional terhadap investasi di dalam negeri, yang memberi pengertian bahwa defisit dalam cadangan devisa merupakan bentuk dari tabungan luar negeri. Persamaan (3.10) memperlihatkan bahwa surplus TB sama dengan perbedaan tabungan swasta yang melebihi investasi ditambah surplus APBN. Seperti telah dibahas sebelumnya, arus modal masuk terdiri dari arus pinjaman luar. negeri dan arus investasi. Arus pinjaman luar negeri bisa dalam bentuk arus pinjaman jangka panjang, Llr (lebih dari 1 tahun) dan arus pinjaman jangka pendek, Lsr (kurang dari atau hingga satu tahun). Arus investasi dari luar negeri bisa berbentuk investasi langsung (PMA), Ifd, dan portfolio investment, Is. Perubahan dalam cadangan total devisa (R-R-1) suatu negara dapat didefinisikan sebagai saldo TB ditambah dengan jumlah arus pinjaman luar negeri dan arus investasi: Llr Lsr I fd I p TB R R1
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . (3.11)
Apabila utang luar negeri jangka panjang diistilahkan sebagai persediaan (stock) yakni L, dan tidak ada tunggakan (Alun, 1992), maka jumlah utang luar negeri jangka panjang pada periode tahun tertentu adalah perubahan stok pada tahun tersebut, atau: L L1 Llr
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . (3.12)
maka dapat diperoleh: ( L L1 ) ( R R1 ) TB Lsr I fd I p . . . . . . . . . . . . . . . . . . (3.13)
3.1.3. Pendekatan Permintaan dan Penawaran Selain itu, perkembangan utang luar negeri dapat dianalisis melalui pendekatan permintaan dan penawaran utang luar negeri tersebut. Menurut Alun
42
(1992), dasar teorinya adalah derajat keterutangan luar negeri sebuah negara ditentukan oleh tingkat optimalisasi dalam penggunaan dana yang ada oleh masyarakat di negara tersebut dengan kesempatan yang ada untuk meminjam uang dari pasar internasional, dan pilihan yang ada antara mengkonsumsi dan menanam modal. Analisisnya diawali dengan persamaan mengenai identitas pendapatan: Y C I G X M
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . (3.14)
dalam hal ini: Y C I G X M
= = = = = =
pendapatan nasional atau PDB konsumsi rumah tangga dan pemerintah investasi pengeluaran pemerintah ekspor barang dan jasa impor barang dan jasa
Dari teori diketahui bahwa korelasi antara investasi (I) dengan tingkat suku bunga (r) adalah negatif, sedangkan korelasi antara investasi (I) dengan tingkat pendapatan (Y) adalah positif, yang dapat dituliskan:
I i1Y i2 r
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . (3.15)
Selanjutnya, Alun (1992) memberikan contoh misalnya pengeluaran rupiah dalam negeri, A (domestic expenditure) untuk konsumsi dan investasi adalah fungsi dari pendapatan nasional (Y), defisit APBN (G) dan utang luar negeri (neto). Bentuk persamaannya dapat ditulis: A a0 a1Y a2G a3 Utang Luar Negeri
. . . . . . . . . . . . . . . . . . (3.16)
atau, Utang Luar Negeri = b1Y b2 A b3G
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . (3.17)
Kenaikan dalam PDB (Y) dan belanja masyarakat (A) cenderung menaikkan impor, baik barang-barang konsumsi maupun barang-barang modal dan penolong serta bahan-bahan baku untuk keperluan industri atau kegiatan-kegiatan ekonomi dalam negeri. Terutama di banyak negara yang sedang berkembang, kenaikan impor selalu lebih besar daripada kenaikan ekspor, sehingga kenaikan impor cenderung menaikan aliran utang luar negeri. Kenaikan
43
defisit anggaran belanja pemerintah (APBN) juga cenderung meningkatkan arus utang luar negeri. Menurut Sachs (1981, 1982) negara yang mempunyai masalah dalam pelunasan utang luar negerinya cenderung untuk tidak menunda membayar utang karena pilihan menunda akan menghadapi risiko gangguan dalam perdagangan internasional dan arus modal masuk. Karena itu, kenaikan dalam pelunasan utang (LS) cenderung menaikan utang luar negeri. Jadi, mengikuti Alun (1992), maka persamaan (3.17) dapat ditulis menjadi: Utang Luar Negeri = c1Y c2 A c3G c4 LS
. . . . . . . . . . . . . . . (3.18)
Selain variabel-variabel di atas, permintaan utang luar negeri juga ditentukan oleh tingkat suku bunga di pasar uang internasional, atau lebih tepatnya spread (S), yaitu margin di atas LIBOR (London Interbank Offered Rate). Jadi persamaan ”permintaan” utang luar negeri negara-negara yang sedang berkembang dapat ditulis sebagai berikut: Utang Luar Negeri(d) = d1Y d 2 X d 3 M d 4 G d 5 LS d 6 S . . . (3.19) dan persamaan ”penawaran” utang luar negeri ke negara-negara yang sedang berkembang dapat ditulis: Utang Luar Negeri(s) = e1Y e2 X e3M e4G e5 LS e6 S e7 PK . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . (3.20) di mana PK adalah peringkat kredit negara yang bersangkutan. Idealnya, jika sebuah negara telah mencapai tingkat pembangunan tertentu atau pada later stage of development, ketergantungan negara tersebut terhadap pinjaman luar negeri akan lebih rendah daripada periode di mana negara itu baru mulai membangun (early stage of development). Proksi yang umum digunakan untuk mengukur tingkat pembangunan sebuah negara adalah tingkat pendapatan atau PDB dalam nilai riil per kapita. Sedangkan indikator-indikator makro yang umum digunakan untuk mengukur tingkat ketergantungan sebuah negara terhadap bantuan luar negeri atau utang luar negeri antara lain adalah rasio jumlah bantuan luar negeri/ utang luar negeri terhadap PDB, rasio jumlah bantuan luar
44
negeri/ utang luar negeri terhadap total nilai perdagangan luar negeri, atau rasio jumlah bantuan luar negeri/ utang luar negeri terhadap nilai ekspor.
3.2.
Solvabilitas dan Kesinambungan Fiskal Konsep solvabilitas dalam sektor keuangan negara sebenarnya mengacu
pada teori pembiayaan. Suatu negara dikatakan tidak solvable jika net worth (aset dikurangi kewajibannya) adalah negatif dan tidak likuid jika negara tersebut gagal memenuhi kewajibannya. Suatu negara mungkin saja solvable tetapi mengalami masalah likuiditas dan sebaliknya, namun pada saat tertentu masih tergolong likuid tetapi tidak solvent. Perbedaan yang nyata diantara keduanya adalah bahwa solvabilitas merupakan masalah yang permanen yang dapat mengarah pada masalah likuiditas, sedangkan masalah likuiditas lebih merupakan masalah yang sementara. Konsep dari kesinambungan fiskal lebih mengarah kepada bagaimana usaha-usaha pemerintah menjaga posisi fiskalnya melalui berbagai kebijakan pengeluaran maupun pajak dengan memastikan membayar utang tepat pada waktunya dan sesuai dengan anggaran yang ada.
3.2.1. Indikator Solvabilitas Konsep solvabilitas yang digunakan dalam sektor keuangan negara menurut Simanjuntak (2001) harus memenuhi kendala anggaran intertemporal:
S e t
rt
dt B0
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . (3.21)
dimana: St = keseimbangan primer (primary balance) pada periode t r = adalah discount rate dan Bo = adalah besarnya utang pada awal periode. Mengacu pada teori pembelanjaan, maka Bo adalah utang neto termasuk aset dan kewajiban sektor lain. Secara matematis, persamaan di atas hanya terpenuhi jika transversality condition terpenuhi yaitu: LimBt exp rt 0
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . (3.22)
Jika kita definisikan S* sebagai rasio keseimbangan primer terhadap PDB,
45
persamaan (3.21) diatas dapat ditulis menjadi:
S* e t
rt
dt B0 / Y0
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . (3.23)
Dari persamaan (3.22) dan (3.23) maka diperoleh: S* B0 / Y0 (r g )
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . (3.24)
dimana Y0 adalah output (PDB) dan g adalah laju pertumbuhan ekonomi. Persamaan tersebut menyatakan bahwa S* adalah besarnya rasio keseimbangan primer untuk menjaga agar sektor publik tetap solvent. Makin tinggi S* berarti makin tinggi pula bagian penerimaan negara yang harus disisihkan agar solvabilitas sektor publik dapat terjaga. Perbedaan antara S* dan keseimbangan primer aktual menunjukkan berapa besar tambahan fiscal efforts yang dibutuhkan untuk merestorasi posisi solvensi anggaran. Dalam perhitungan solvabilitas fiskal diperlukan pengetahuan tentang beberapa variabel jangka panjang, seperti tingkat bunga dan pertumbuhan ekonomi jangka panjang. Sebagai proksi dapat digunakan tingkat bunga aktual dan laju pertumbuhan output aktual. Selain itu, sebagai alternatif dapat digunakan kendala anggaran dalam suatu periode untuk mendapatkan kondisi solvabilitas jangka panjang. Konsep ini didefinisikan sebagai konsep kesinambungan fiskal. Penggunaan indikator solvabilitas dan likuiditas dapat menutupi kekurangan dari indikator fiskal yang konvensional karena indikator-indikator ini memasukkan variabel stok utang luar negeri dan domestik serta variabel makro ekonomi lainnya yaitu laju pertumbuhan ekonomi, tingkat bunga, laju pertumbuhan ekspor dan nilai tukar riil. Kinerja fiskal dapat diperkirakan baik dalam perspektif jangka panjang (solvabilitas) maupun jangka pendek (likuiditas). Namun demikian, indikator-indikator ini tetap memerlukan tambahan analisis kualitatif fiskal lainnya karena terkait dengan kebijakan makroekonomi lainnya. Beberapa analisis kualitatif fiskal yang diperlukan antara lain adalah track record dari negara yang bersangkutan dalam menurunkan defisit anggaran, besarnya defisit anggaran pemerintah pusat terhadap total sektor publik dan pengetahuan tentang off budget serta elastisitas penerimaan pemerintah.
46
3.2.2. Indikator Kesinambungan Fiskal (Fiscal Sustainability) Menurut Bappenas (2004), konsep kesinambungan fiskal diderivasikan dari kendala anggaran, yaitu : D iB Ei * (1 ) B* dB RdB * (1 ) dM
. . . . . . . . . . . (3.25)
dimana: D i B E i* µ B* d M
= = = = = = = = =
keseimbangan primer (primary deficit) tingkat bunga atas utang dalam negeri utang domestik sektor publik nilai tukar mata uang domestik vs mata uang luar negeri tingkat bunga utang luar negeri pemerintah besarnya porsi hibah dalam utang utang luar negeri pemerintah persentase perubahan uang primer
Manipulasi
dari
persamaan
diatas
akan
menghasilkan
kondisi
kesinambungan fiskal yaitu :
d / y s ** (r g ) (1 )( x / y) * (r * e x) 1/ ( g ) . . . (3.26) dimana: β β* r g x/y x e r* υ π
= = = = = = = = = =
rasio utang domestik pemerintah utang luar negeri pemerintah tingkat suku bunga riil laju pertumbuhan riil rasio ekspor terhadap PDB laju pertumbuhan ekspor nilai tukar riil tingkat suku bunga internasional riil inverse of the velocity of money demand tingkat inflasi.
Persamaan di atas menunjukkan bahwa terdapat tiga sumber pembiayaan yang berkelanjutan dari defisit dalam primary fiskal yaitu: (1) utang dalam negeri jika pertumbuhan ekonomi melebihi tingkat bunga riil domestik, (2) utang luar negeri jika laju pertumbuhan ekspor di atas tingkat bunga internasional ditambah dengan depresiasi nilai tukar, dan (3) mencetak uang yang sama dengan pendapatan pemerintah dari inflation tax (seigniorage). Indikator kesinambungan fiskal digunakan untuk menilai jumlah
47
penyesuaian yang diperlukan guna menjamin solvency dan mengukur jumlah penyesuaian fiskal yang dibutuhkan untuk stabilisasi rasio utang terhadap PDB. Terdapat 3 indikator kesinambungan yaitu: (1) positive net worth yaitu Present Discounted Value (PDV) dari primary fiscal balance lebih besar dari atau sama dengan stok utang. Ukuran penyesuaian fiskal yang diperlukan untuk menjamin sustainabilitas dalam pendekatan ini adalah selisih antara rasio utang terhadap PDB mula-mula dengan PDV dari keseimbangan primer (primary balance), (2) keseimbangan primer yang menstabilkan rasio utang terhadap PDB mula-mula dikurangi primary balance actual. Jika gap-nya positif maka penurunan fiskal diperlukan agar supaya rasio utang terhadap PDB stabil. Pengukuran ini membutuhkan paling tidak informasi mengenai primary balance actual, rasio utang terhadap PDB mula-mula, suku bunga riil, dan tingkat pertumbuhan. Indikator ini sesungguhnya sama dengan positive net worth ketika utang mula-mula distabilkan, dan (3) medium-term tax gap yang mengukur kebutuhan penyesuaian pada tax ratio untuk menstabilkan rasio utang terhadap PDB.
3.3.
Kesinambungan dan Kedinamisan Utang Dalam Bappenas (2004), disebutkan paling tidak terdapat dua pendekatan
untuk menjelaskan mengenai kesinambungan utang (debt sustainability) yang didasari oleh pendekatan perilaku (the behaviour-based approach). Pertama, pendekatan the behaviour-based approach dari sisi debitur (borrower) dan kedua, pendekatan the behaviour-based approach dari sisi kreditur (lender). IMF dan Bank Dunia mendefinisikan debt sustainability suatu negara dari kemampuan dan kemauannya untuk memenuhi kewajiban pembayaran kembali utang luar negeri sepenuhnya tanpa adanya permintaan penjadwalan kembali (rescheduling) atau penumpukan tunggakan dan tanpa kompromi terhadap pertumbuhan (Belloc dan Vertova, 2001). Definisi IMF dan Bank Dunia ini memfokuskan konsep sustainability dari sisi debitur. Pendekatan yang sama juga digunakan oleh Heavily Indebted Poor Country (HIPC). HIPC menekankan pentingnya debt sustainability baik dalam hal mendefinisikan negara-negara yang layak (eligible) dan penentuan pengurangan utang (debt relief) yang sesuai. Sementara itu pendekatan dari sisi kreditur, debt sustainability
48
didefinisikan sebagai tingkat supply pembiayaan luar negeri tertentu kepada negara-negara kreditur. Pendekatan ini menekankan bahwa tingkat supply tertentu sustainable jika memberikan ekspektasi bahwa untuk skenario yang akan datang debitur dapat terus membiayai defisit dari kreditur baik defisit fiskal maupun defisit neraca berjalan. Secara umum, analisis debt sustainability dapat dijabarkan melalui pendekatan utang pemerintah domestik. Misalkan utang pemerintah di masa lalu adalah bo ≥ 0, dan perekonomian dimulai pada periode 1 dimana diasumsikan tingkat bunga rill (r) dan PDB (n = 0) konstan. Negara debitur diasumsikan memaksimalkan utilitas imtemporalnya dalam jangka waktu tertentu. Jika pada periode T (1,2,...,T) rasio pengeluaran terhadap PDB adalah (gT) dan rasio penerimaan adalah (τT), maka tingkat utang pada tiap periode dapat diformulasikan sebagai berikut: b1 g1 1 (1 r )b0
b2 g 2 2 (1 r )b1 b2 g2 2 (1 r )( g1 1 ) (1 r )2 b0 b3 g3 3 (1 r )( g 2 2 ) (1 r )2 ( g1 1 ) (1 r )3 b0 bT gT T (1 r )( gT 1 T 1 ) .... (1 r )T 1 ( g1 1 ) (1 r )T b0
sehingga dapat dirumuskan: T
bT ( g t T )(1 r ) T 1 (1 r ) T b0
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . (3.27)
t 1
dimana tingkat utang pada akhir periode (T) adalah sama dengan tingkat utang awal (bo) yang diakumulasi pada tingkat bunga (r) selama periode (T) ditambah dengan jumlah defisit (surplus) primer dimana masing-masing diakumulasi pada tingkat bunga (r) dan selama periode (T- t). Misalnya dapat diketahui nilai defisit (surplus) primer anggaran pemerintah, present value, bT, adalah: T (gt t ) bT b0 T t (1 r ) t 1 (1 r )
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . (3.28)
49
Jika diasumsikan bahwa tingkat utang harus meningkat antar waktu dengan peningkatan lebih kecil dibandingkan dengan tingkat bunga, r, maka dapat dirumuskan tingkat utang awal (bo) adalah:
t gt
(1 r ) t 1
t
b0 . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . (3.29)
Kondisi tingkat utang harus meningkat antar waktu dengan peningkatan lebih kecil dibandingkan dengan tingkat bunga, r, dengan kata lain dapat dikatakan jika pemerintah ingin menggunakan seluruh penerimaannya untuk membayar kembali utang, pembayaran kembali ini tidak dapat dibayar dengan utang baru. Kondisi ini disebut juga sebagai No Ponzi Game. Lebih jauh lagi dijabarkan bahwa tingkat utang saat ini bisa saja positif dan terus tumbuh bahkan dengan pertumbuhan yang lebih kecil dari pada tingkat bunga riil. Namun dalam jangka panjang, tingkat utang saat ini (bt) harus sama dengan 0 pada waktu tertentu. Dengan kata lain, kondisi ini menjelaskan bahwa total penerimaan riil harus melebihi total pengeluaran riil dengan nilai sama dengan nilai utang pokok yang konsisten antar waktu. Nilai utang pokok yang konsisten dimaksud adalah nilai b1, b2, by ... bT yang mengikuti persamaan (3.27). Nilai utang pokok yang konsisten ini juga menjelaskan kedinamisan utang (debt dynamic) dimana nilai utang antar waktu akan berpengaruh antar waktu. Atau dengan kata lain, stok utang saat ini akan ditentukan oleh stok utang yang lalu dimana dengan tingkat bunga, surplus riil, dan pertumbuhan tertentu dapat memenuhi kondisi solvabilitas. Jika kemudian diasumsikan kembali bahwa pertumbuhan PDB konstan pada nilai tertentu (n > 0), maka persamaan (3.28) di atas dapat diformulasikan kembali sebagai berikut: T 1 r bT ( g t t ) 1 n t 1
T 1
1 r b0 1 n
T
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . (3.30)
1 r Jika n > r maka bT b0 meningkat terus dan menuju titik 0 untuk T → ∞. 1 n T
Dengan demikian jika pertumbuhan ekonomi lebih besar dari pada tingkat bunga riil, maka bT akan ditentukan oleh keseimbangan primer, bukan oleh utang
50
yang terkumpul di masa lalu. Dapat disimpulkan bahwa ketika pertumbuhan ekonomi lebih besar daripada tingkat bunga riil, maka suatu nilai utang tidak akan menimbulkan masalah sustainabilitas.
3.4.
Penelitian Terdahulu Utang pemerintah mulai menjadi bahan diskusi dan penelitian yang
intensif setelah banyak negara-negara miskin pengutang berat (Highly Indebted Poor Countries, ”HIPC”) mengalami kesulitan dalam membayar cicilan utang pokoknya. Di satu sisi, investasi dan pertumbuhan ekonomi negara-negara tersebut tidak memberikan pendapatan yang cukup untuk membayar utang, di sisi yang lain, tanpa sumber pendanaan baru, negara-negara tersebut tidak dapat melaksanakan pembangunannya. Pada umumnya penelitian yang dilakukan terdahulu banyak membahas kaitan antara utang pemerintah dengan pertumbuhan ekonomi dan investasi. Keberadaan utang memang menjadi dilema bagi banyak negara pengutang karena akan menimbulkan beban yang berat dalam pembayarannya kembali. Namun karena masih terbatasnya sumber pendanaan dalam negerinya, guna tetap mempertahankan kelangsungan pembangunannya, utang masih tetap dibutuhkan. Peneliti yang lain juga menemukan bukti bahwa utang dapat memacu pertumbuhan ekonomi negara yang bersangkutan dan mampu menjaga kesinambungan fiskalnya sehingga tidak menjadi masalah. Hansen (2001) melakukan penelitian cross-country regression dampak pinjaman dan utang luar negeri terhadap pertumbuhan ekonomi dan investasi di negara-negara berkembang dengan menggunakan data tahun 1970-1993. Diperoleh bukti yang kuat adanya hubungan positif antara utang dengan tingkat pertumbuhan GDP dan investasi. Namun analisa empiris juga menunjukkan adanya hubungan negatif. Khususnya terdapat hubungan negatif antara efektifitas makro ekonomi dari utang dengan tingkat stok utang. Akan tetapi, respon negatif ini berbeda antara negara yang satu dengan yang lain. Oleh karena itu implikasi kebijakan terhadap utang harus dilakukan dengan hati-hati. Pattillo et.al (2002) menyelidiki pengaruh non-linier utang luar negeri terhadap pertumbuhan dengan menggunakan data dari 93 negara-negara
51
berkembang antara tahun 1969-1998. Hasilnya umumnya sangat terkait antar beberapa metodologi ekonometrik yang digunakan, spesifikasi regresi dan indikator utang yang berbeda-beda. Untuk negara-negara dengan jumlah stok utang yang sedang, penambahan rasio utang sebesar dua kali akan menyebabkan turunnya pertumbuhan per kapita sebesar setengah sampai satu persen per tahun. Perbedaan pertumbuhan per kapita per tahun antar negara-negara dengan rasio utang terhadap ekspor dibawah 100 persen dan diatas 300 persen berkisar sekitar 2 persen per tahun. Untuk negara-negara yang menikmati pengurangan utang melalui skema HIPC Innitiative, pertumbuhan per kapitanya mencapai 1 persen, kecuali
negara-negara
tersebut
mengalami
distorsi
dalam pengelolaan
makroekonomi dan struktur ekonominya. Hasil yang lain juga menunjukkan bahwa dampak utang menjadi negatif sekitar 160-170 persen ekspor atau sekitar 35-40 persen GDP. Jumlah utang yang besar cenderung akan menurunkan pertumbuhan, terutama karena akan menurunkan efisiensi dalam berinvestasi daripada jumlah investasinya. Clements (2003) menganalisis pengaruh pengurangan dan penjadwalan utang
luar
negeri
terhadap
pertumbuhan
ekonomi
di
negara-negara
berpenghasilan rendah. Diperoleh kesimpulan bahwa pengurangan dan penjadwalan yang signifikan atas total stok utang luar negeri di negara-negara miskin pengutang berat (Highly Indebted Poor Countries, HIPC) akan langsung menaikkan pendapatan per kapita negara-negara tersebut sekitar 1 persen per tahun. Pengurangan dalam pembayaran cicilan pokok dan bunga utang juga dapat menjadi pendorong pertumbuhan ekonomi secara tidak langsung melalui dampak pada kenaikan dalam penanaman modal (investasi) publik. Jika sekitar setengah dari stok utang dan pembayaran cicilan utang negara-negara tersebut dikurangi melalui skema penjadwalan utang dengan mempertahankan defisitnya, maka pertumbuhan ekonomi negara-negara HIPC tersebut akan dapat tumbuh sekitar 0.5 persen per tahun. Dennis (2004) melakukan penelitian atas dampak penurunan plegde CGI untuk Indonesia terhadap strategi pencarian sumber pendanaan pembangunan ke depan, mengingat tingkat bunga pinjaman CGI jauh lebih rendah dari pinjaman komersial. Diperoleh kesimpulan bahwa diperlukan suatu kehati-hatian dan
52
kewaspadaan yang lebih tinggi serta pengawasan yang ketat atas pengelolaan utang. Pinjaman komersial umumnya lebih mudah didapat dengan syarat-syarat yang lebih ringan, namun umumnya mempunyai tingkat suku bunga yang tinggi dan grace period serta jangka waktu pengembalian yang lebih pendek. Radianti (2004) meneliti tentang keberlanjutan fiskal dan dampak ketergantungan utang terhadap APBN. Utang publik bukan hanya tanggung jawab pemerintah saja karena utang tersebut akan menjadi beban seluruh rakyat melalui kenaikan pajak. Sebagian pendapatan pajak yang diterima pemerintah akan ditransfer kepada kreditur di luar negeri untuk membayar cicilan pokok dan bunga utang sehingga yang diterima oleh masyarakat dalam bentuk pelayanan menjadi berkurang. Kebijakan pengurangan subsidi juga hanya akan menyelesaikan masalah kekurangan sumber pendanaan dalam jangka pendek dan jalan keluar sementara untuk mengatasi masalah likuiditas, namun bukan merupakan langkah yang berlanjut dalam rangka mengurangi beban berat akibat utang. Kebijakan fiskal seperti pengurangan pengeluaran, kenaikan pajak dan restrukturisasi BUMN juga merupakan kebijakan untuk keluar dari krisis moneter, namun hanya akan bersifat jangka pendek. Di samping itu, pemberantasan korupsi untuk menekan kebocoran dan inefisiensi harus menjadi prioritas kebijakan pemerintah. Perlu disadari bahwa kebijakan pemerintah guna menjaga kesinambungan fiskal dengan menurunkan stok utang akan mempunyai dampak memperlambat pertumbuhan ekonomi dan menurunkan pendapatan per kapita. Sugema dan Chowdhury (2005) mempelajari dampak bantuan luar negeri terhadap perilaku fiskal di Indonesia. Diperoleh empat kesimpulan sebagai berikut: (1) aliran masuk Bantuan Luar Negeri (BLN) umumnya terjadi karena kebutuhan untuk menutup kesenjangan fiskal (fiscal-gap), (2) bantuan proyek (project loan) dimaksudkan untuk membiayai kebutuhan pembangunan, namun berakibat meningkatkan pengeluaran. Oleh karena itu pinjaman proyek dapat diibaratkan seperti perangsang karena akan menyebabkan tambahan dana yang memungkinkan kenaikan pengeluaran di luar kebutuhan untuk pembangunan, (3) pinjaman program (program loan) cenderung memacu kenaikan pengeluaran rutin dan bukan untuk kebutuhan pembangunan karena tujuan dan sifatnya yang diperuntukan guna mendukung kekurangan pendanaan, dan (4) aliran masuknya
53 BLN cenderung menyebabkan pemerintah ”malas” memobilisasi sumber-sumber penerimaan dalam negeri melalui intensifikasi dan ekstensifikasi sistem perpajakan. Bafadal (2005) menganalisis dampak defisit dan utang pemerintah terhadap stabilitas makroekonomi. Data yang digunakan adalah data time series tiga bulanan tahun 1980-2003 dengan model ekonometrika time series Vector Error Correction Model (VECM). Hasil analisisnya menunjukkan bahwa utang dalam negeri Indonesia mulai berperan sebagai komponen pembiayaan anggaran sejak krisis tahun 1998. Kondisi fiskal adalah sustainable untuk jangka panjang baik untuk rasio defisit terhadap PDB maupun rasio total utang terhadap PDB. Peningkatan defisit saja akan meningkatkan ekspor bersih dan menurunkan pengangguran, sementara peningkatan cicilan utang saja akan menurunkan ekspor bersih disertai dengan peningkatan pengangguran. Namun, secara bersamaan peningkatan defisit dan cicilan utang akan menyebabkan inflasi dan menurunkan PDB baik untuk jangka pendek maupun jangka panjang. Selain itu, hasil analisis juga menunjukkan bahwa nilai tukar tidak memberikan dampak yang kuat terhadap stabilisasi ekspor bersih, sementara inflasi memberikan andil yang besar dalam menjelaskan kinerja makroekonomi. Oleh karena itu, menjaga stabilitas inflasi merupakan prasyarat dalam menjaga stabilitas makroekonomi secara keseluruhan. Strategi pembangunan sebaiknya diarahkan pada upaya peningkatan output dengan kebijakan fiskal yang mengurangi defisit anggaran.
IV. KERANGKA PEMIKIRAN 4.1.
Tahapan Utang Luar Negeri Pemerintah Mekanisme yang diberlakukan oleh Pemerintah Indonesia dalam
pengadaan utang luar negeri pemerintah diawali dengan adanya kebijakan prioritas penggunaan Pinjaman dan Hibah Luar Negeri (PHLN). Berdasarkan kebijakan tersebut instansi terkait mengajukan usulan kegiatan yang akan dibiayai dari utang luar negeri. Hasil evaluasi kelayakan atas usulan dengan mengacu pada kebijakan penggunaan PHLN dituangkan dalam Daftar Rencana Pinjaman dan Hibah Luar Negeri Jangka Menengah (DRPHLN-JM) selama 5 tahun. Selanjutnya calon kreditur menyusun lending program-nya, dengan mengacu kepada DRPHLN-JM pemerintah yang sudah disertai dengan indikasi pembiayaannya. Informasi pendanaan dari kreditur dan kemampuan fiskal pemerintah daerah (khusus untuk proyek yang akan di-on lending-kan), serta evaluasi atas kelayakan dan kesiapan terhadap kegiatan yang akan dilaksanakan pada tahun yang bersangkutan dituangkan dalam Dokumen Rencana Prioritas Pinjaman dan Hibah Luar Negeri (DRPPHLN) tahunan. Berdasarkan penilaian manajemen risiko atas keberlanjutan fiskal dan penilaian terms and conditions yang ditawarkan kreditur, dilakukan negosiasi antara pemerintah dengan kreditur atas proyek yang akan dilaksanakan pada tahun yang bersangkutan. Hasil kesepakatan yang tertuang dalam Naskah Perjanjian Pinjaman Luar Negeri (NPPLN) atau Naskah Perjanjian Hibah Luar Negeri (NPPLN) menjadi dasar bagi pelaksanaan suatu proyek dengan sumber pendanaan dari utang (loan) atau hibah (grant) dari luar negeri. Tahapan terjadinya utang luar negeri pemerintah tersebut dapat dilihat pada Gambar 3.
4.2.
Aliran Utang Luar Negeri Pemerintah Setelah NPPLN ditandatangani dan dinyatakan efektif, instansi pengusul
dapat mulai melaksanakan kegiatannya. Beberapa sektor utama yang akan diteliti meliputi sektor pendidikan, sektor kesehatan, sektor pertanian dan pengairan, sektor pertambangan dan energi serta sektor perhubungan dan transportasi.
55
Kreditur
Bappenas
Dep. Keuangan
K/L/Pemda/BUMN
Kebijakan Prioritas BLN (RKPLN) Usulan
Lending Program
Rencana Proyek BLN-JM (DRPHLN-JM)
Kemampuan Fiskal Daerah
Indikasi Pendanaan
Rencana Proyek BLN Tahunan (DRPPHLN)
Manajemen Resiko & Penilaian TOC
Komitmen Pendanaan
Negosiasi
Naskah PPLN
Konfirmasi Pendanaan
Pelaksanaan Proyek BLN
Gambar 3. Diagram Tahapan Utang Luar Negeri Pemerintah
Pembangunan di sektor-sektor tersebut, baik yang berupa investasi langsung yang dibiayai dari pengadaan utang oleh pemerintah maupun dalam rangka pembangunan kerangka regulasi diharapkan dapat mendatangkan penerimaan negara yang lebih besar di sektor tersebut baik yang berasal dari investasi langsung maupun dari pembangunan oleh masyarakat/ swasta akibat pengaturan yang kondusif serta pelayanan dan fasilitas pemerintah yang semakin baik di sektor yang bersangkutan. Pendapatan negara yang berasal dari sektorsektor tersebut digunakan oleh pemerintah untuk pembayaran cicilan pokok dan bunga utang serta untuk keperluan belanja negara lainnya. Dalam mengadakan utang baru tersebut, perlu diperhatikan syarat-syarat yang ditawarkan oleh kreditur dan kemampuan fiskal pemerintah dalam pembayarannya kembali. Dengan aliran utang seperti yang telah diuraikan di atas, diharapkan
penerimaan
negara
dari
pertumbuhan
sektor-sektor
yang
pembangunannya mendapatkan pembiayaan dari utang luar negeri tersebut dapat semakin lebih baik sehingga penerimaan negara dapat semakin meningkat,
56
sumber-sumber penerimaan dalam negeri dan kemampuan membayar utang juga akan semakin meningkat, dengan demikian ketergantungan terhadap utang semakin lama semakin dapat dikurangi. Aliran utang luar negeri pemerintah tersebut dapat dilihat pada Gambar 4.
Kebijakan Pemerintah
Sektor Pendidikan
Kebijakan Kreditur
Sektor Pertanian dan Pengairan Sektor Kesehatan
Bilateral
Kredit Komersial
Utang Dalam Negeri Pemerintah
Pendapatan Negara Lainnya
Sektor Pertambangan dan Energi
Sektor Perhubungan dan Transportasi
Multilateral
Sektor Lainnya
Kredit Ekspor
Leasing
Bonds and Notes
Pembayaran Utang
Utang Luar Negeri Pemerintah
Pendapatan Negara
Belanja Negara Lainnya
Gambar 4. Diagram Sederhana pada Aliran Utang Luar Negeri Pemerintah untuk pembangunan Sektor Pendidikan, Kesehatan, Pertanian dan Pengairan, Pertambangan dan Energi, serta Sektor Perhubungan dan Transportasi
57
4.3.
Analisis Ekonometrika Utang Luar Negeri Pemerintah Analisis ekonometrika utang luar negeri yang digunakan adalah
pendekatan permintaan dan penawaran utang luar negeri pemerintah. Model ekonometrika diestimasi dengan menggunakan teknik two-stage least square (2SLS). Persamaan-persamaan dalam model akan dibagi ke dalam persamaan struktural, identitas, dan intervensi kebijakan. Penentuan dan penggunaan sumber-sumber penerimaan utang luar negeri tidak dirinci berdasarkan kreditur, hal ini untuk menyederhanakan analisis karena pada umumnya kebijakan masing-masing kreditur tidak jauh berbeda antara satu dengan lainnya. Di pihak lain, pengelompokan utang luar negeri berdasarkan penggunaannya pada beberapa sektor utama akan lebih menarik untuk di analisis karena terkait dengan kemampuan dan kontribusi masing-masing sektor untuk pembayaran kembali cicilan pokok dan bunga utangnya. Seperti yang telah dijelaskan pada bagian-bagian sebelumnya, sektor-sektor utama yang akan diteliti adalah sektor pendidikan, kesehatan, pertanian dan pengairan, pertambangan dan energi, serta perhubungan dan transportasi.
4.3.1. Utang Luar Negeri Pemerintah untuk Pembangunan Beberapa Sektor Utama Untuk mengetahui kinerja dan manfaat utang luar negeri pada sektor-sektor yang akan diteliti, maka perlu diketahui hubungan alokasi anggaran pembangunan sektor-sektor tersebut baik yang berasal dari penerimaan dalam negeri, pengadaan utang luar negeri, maupun pembayaran utang di sektor-sektor tersebut.
4.3.1.1. Sektor Pendidikan Anggaran pendidikan selama lima tahun terakhir (2000-2004) telah mendapat prioritas tertinggi dalam pembangunan nasional. Hal ini ditunjukkan oleh penyediaan anggaran pembangunan dengan porsi yang terbesar jika dibandingkan penyediaan anggaran pada bidang-bidang pembangunan lainnya. Namun apabila dibandingkan dengan negara-negara lain, alokasi anggaran pendidikan di Indonesia masih sangat rendah. Data Human Development Report 2004 menunjukkan bahwa dalam kurun waktu 1999-2001 Indonesia hanya
58
mengalokasikan anggaran pendidikan sebesar 1.3 persen dari PDB. Sementara dalam kurun waktu yang sama, Malaysia, Thailand dan Filipina secara berturutturut telah mengalokasikan anggaran pendidikan sebesar 7.9 persen, 5.0 persen, dan 3.2 persen. Guna mengejar ketertinggalan di bidang pendidikan, diperlukan dana yang besar untuk dialokasikan di sektor pendidikan. Namun karena keterbatasan anggaran pemerintah, pencarian dana dari sumber lain termasuk pengadaan utang luar negeri untuk investasi di sektor pendidikan masih sangat diperlukan. Aliran alokasi anggaran untuk sektor pendidikan dapat diformulasikan sebagai berikut: Fungsi Penerimaan: PDIK = k (GDIK, IDIK) dimana: PDIK = Alokasi anggaran untuk sektor pendidikan GDIK = Penerimaan utang luar negeri pemerintah untuk sektor pendidikan IDIK = Input-input lainnya Fungsi Penggunaan: PDIK = GDIK + IDIK Pemaksimuman Penggunaan Utang Luar Negeri: E = k (GDIK, IDIK) – (GDIK + IDIK) dimana: E = Penggunaan maksimum GDIK = Pengeluaran untuk sektor pendidikan dari utang luar negeri IDIK = Pengeluaran untuk sektor pendidikan dari input lainnya
4.3.1.2. Sektor Kesehatan Pembangunan kesehatan merupakan upaya untuk memenuhi salah satu hak dasar rakyat, yaitu hak untuk memperoleh akses atas kebutuhan pelayanan kesehatan. Pembangunan kesehatan juga harus dipandang sebagai suatu investasi dalam kaitannya untuk mendukung peningkatan kualitas sumber daya manusia dan pembangunan ekonomi serta memiliki peran yang penting dalam upaya penanggulangan kemiskinan.
59
Pada beberapa tahun terakhir, dalam rangka meningkatkan kualitas kesehatan penduduk Indonesia, telah dicapai beberapa kemajuan penting di bidang pembangunan sektor kesehatan. Kemajuan ini dapat dilihat melalui angka kematian bayi yang menurun dari 46 (1997) menjadi 35 (2003) per 1000 kelahiran hidup. Angka usia harapan hidup telah meningkat dari 65.8 tahun (1999) menjadi lebih dari 66.2 tahun (2003). Prevalensi gizi kurang (underweight) pada anak balita telah menurun dari 37.5 persen (1989) menjadi 25.8 persen (2002). Namun demikian, masih banyak masalah yang harus dipecahkan sebagai akibat dari perubahan sosial ekonomi agar masyarakat dapat memperoleh pelayanan kesehatan yang lebih berkualitas. Dalam rangka mempercepat peningkatan derajat kesehatan masyarakat, diperlukan alokasi pendanaan pembangunan sektor kesehatan yang memadai. Namun mengingat keterbatasan penerimaan pemerintah dari sumber dana dalam negeri, masih dibutuhkan sumber dana luar negeri yang antara lain melalui utang luar negeri pemerintah untuk menutup kekurangan investasi untuk pembangunan sektor kesehatan. Aliran alokasi anggaran untuk pembangunan sektor kesehatan dapat digambarkan sebagai berikut: Fungsi Penerimaan: PKES = k (GKES, IKES) dimana: PKES = Alokasi anggaran untuk sektor kesehatan GKES = Penerimaan utang luar negeri pemerintah untuk sektor kesehatan IKES = Input-input lainnya Fungsi Penggunaan: PKES = GKES + IKES Pemaksimuman Penggunaan Utang Luar Negeri: E = k (GKES, IKES) – (GKES + IKES) dimana: E = Penggunaan maksimum GKES = Pengeluaran untuk sektor kesehatan dari utang luar negeri IKES = Pengeluaran untuk sektor kesehatan dari input lainnya
60
4.3.1.3. Sektor Pertanian dan Pengairan Sektor pertanian, yang mencakup tanaman bahan makanan, peternakan, hortikultura, perkebunan, perikanan, dan kehutanan, berperan besar dalam rangka penyediaan pangan untuk mendukung ketahanan pangan nasional dalam memenuhi hak rakyat atas pangan. Di dalam sektor pertanian, dimasukkan pula sub sektor pengairan, yang antara lain mencakup jaringan irigasi, rawa dan jaringan pengairan lainnya, yang sangat diperlukan dalam rangka mendukung program ketahanan pangan nasional. Berdasarkan hasil Sensus Pertanian, jumlah petani dalam kurun waktu 1983-2003 meningkat namun dengan jumlah lahan pertanian yang semakin menurun, sehingga rata-rata pemilikan lahan per petani menyempit dari 1.30 ha menjadi 0.70 ha. Hal ini merupakan tantangan besar dalam rangka mengamankan produksi padi/ beras dari dalam negeri untuk mendukung ketahanan pangan nasional. Mengingat tingginya ketergantungan masyarakat Indonesia pada beras, tuntutan terhadap peningkatan produksi padi menjadi semakin tinggi pula. Disamping itu, jaringan irigasi, rawa dan jaringan pengairan lainnya perlu dikelola dengan baik dalam rangka meningkatkan kebutuhan air untuk pertanian dan terkendalinya pemanfaatan air tanah untuk irigasi. Sampai dengan tahun 2002, jaringan irigasi yang telah terbangun di Indonesia berpotensi melayani 6.77 juta hektar sawah. Namun dari jaringan irigasi yang telah terbangun tersebut, diperkirakan sekitar 25 persen masih belum berfungsi dengan baik, yang disebabkan antara lain oleh belum lengkapnya sistem jaringan, ketidaktersediaan air, belum siapnya lahan sawah atau ketidaksiapan petani penggarap. Di sisi lain, pada jaringan irigasi yang telah berfungsi, terjadi banyak kerusakan yang terutama disebabkan oleh rendahnya kualitas operasi dan pemeliharaan. Diperkirakan total area kerusakan jaringan irigasi tersebut mencapai 30 persen, dan yang mengkhawatirkan kerusakan tersebut justru terjadi pada daerah-daerah penghasil beras nasional di P. Jawa dan P. Sumatera. Alokasi anggaran pembangunan untuk sektor pertanian dan pengairan yang bersumber dari penerimaan dalam negeri masih dirasakan sangat kurang dalam rangka mendukung pencapaian sasaran ketahanan pangan nasional. Guna menutup kebutuhan untuk pembiayaan pembangunan sektor tersebut, masih dibutuhkan
61
investasi, yang antara lain berasal dari utang luar negeri pemerintah. Aliran alokasi dana pembangunan untuk sektor pertanian dan pengairan dapat digambarkan sebagai berikut: Fungsi Penerimaan: PTAN = k (GTAN, ITAN) dimana: PTAN = Alokasi anggaran untuk sektor pertanian dan pengairan GTAN = Penerimaan utang luar negeri pemerintah untuk sektor pertanian dan pengairan ITAN = Input-input lainnya Fungsi Penggunaan: PTAN = GTAN + ITAN Pemaksimuman Penggunaan Utang Luar Negeri: E = k (GTAN, ITAN) – (GTAN + ITAN) dimana: E = Penggunaan maksimum GTAN = Pengeluaran untuk sektor pertahian dan pengairan dari utang luar negeri ITAN = Pengeluaran untuk sektor pertanian dan pengairan dari input Lainnya
4.3.1.4. Sektor Pertambangan dan Energi Ke dalam sektor pertambangan dan energi ini, selain sumber daya alam seperti energi minyak bumi, energi non minyak bumi khususnya gas dan batubara serta pemanfaatan energi baru dan terbarukan, juga dimasukkan ketenagalistrikan. Selain merupakan salah satu sumber penghasil devisa negara yang penting, energi juga merupakan unsur penunjang utama dalam pertumbuhan ekonomi yang mempengaruhi pula pertumbuhan sektor lainnya. Eksplorasi kekayaan bumi Indonesia harus senantiasa memperhatikan pengelolaan sumber daya alam agar selain memberikan manfaat untuk saat ini, juga harus dapat menjamin kehidupan dan ketersediaannya di masa mendatang. Karena terbatasnya cadangan energi fosil yang ada saat ini, maka dirasakan perlu untuk mulai memanfaatkan energi
62
alternatif secara bertahap. Di sisi lain, kebutuhan akan energi dan tenaga listrik terus meningkat dengan pesat seiring dengan peningkatan konsumsi energi dan tenaga listrik baik untuk industri, transportasi maupun rumah tangga. Guna memenuhi permintaan kebutuhan akan energi dan tenaga listrik ini, disamping dibutuhkan investasi yang berasal dari sumber penerimaan dalam negeri, masih dibutuhkan investasi dari sumber utang luar negeri. Aliran alokasi anggaran pembangunan sektor pertambangan dan energi ini dapat diikuti sebagai berikut: Fungsi Penerimaan: PTAM = k (GTAM, ITAM) dimana: PTAM = Alokasi anggaran untuk sektor pertambangan dan energi GTAM = Penerimaan utang luar negeri pemerintah untuk sektor pertambangan dan energi ITAM = Input-input lainnya Fungsi Penggunaan: PTAM = GTAM + ITAM Pemaksimuman Penggunaan Utang Luar Negeri: E = k (GTAM, ITAM) – (GTAM + ITAM) dimana: E = Penggunaan maksimum GTAM = Pengeluaran untuk sektor pertambangan dan energi dari utang luar negeri ITAM = Pengeluaran untuk sektor pertambangan dan energi dari input lainnya
4.3.1.5. Sektor Perhubungan dan Transportasi Pembangunan sektor perhubungan dan transportasi merupakan salah satu bagian yang penting dalam pembangunan nasional. Kendala yang dihadapi sektor perhubungan dan transportasi meliputi aspek kelembagaan dan peraturan, sumber daya manusia, teknologi, pendanaan investasi, kapasitas, serta operasi dan pemeliharaan. Dari aspek pendanaan, akibat karakteristik infrastruktur transportasi yang membutuhkan biaya investasi yang besar dan jangka waktu pengembalian
63
yang panjang, serta masih banyaknya penyelenggaraan infrastruktur transportasi yang dilakukan secara monopoli, maka peran pemerintah sebagai regulator dan sekaligus investor masih sangat diperlukan. Sektor perhubungan dan transportasi masih merupakan kebutuhan pokok bagi pelayanan distribusi komoditi perdagangan dan industri serta prasarana transportasi manusia. Selain itu, di era desentralisasi, prasarana dan sarana perhubungan dan transportasi merupakan perekat keutuhan bangsa dan negara dalam segala aspek sosial, budaya, ekonomi, politik dan keamanan. Dengan demikian, prasarana dan sarana perhubungan dan transportasi yang menjangkau seluruh wilayah tanah air merupakan tuntutan yang tidak dapat ditawar lagi. Kebutuhan pendanaan pembangunan sektor perhubungan dan transportasi yang sangat besar tidak dapat dipenuhi semuanya dari sumber dana dalam negeri. Oleh karena itu, sumber dana dari utang luar negeri untuk pembangunan sektor tersebut masih sangat diperlukan. Aliran alokasi pendanaan untuk pembangunan sektor perhubungan dan transportasi dapat digambarkan sebagai berikut: Fungsi Penerimaan: PHUB = k (GHUB, IHUB) dimana: PHUB = Alokasi anggaran untuk sektor perhubungan dan transportasi GHUB = Penerimaan utang luar negeri pemerintah untuk sektor perhubungan dan transportasi IHUB = Input-input lainnya Fungsi Penggunaan: PHUB = GHUB + IHUB Pemaksimuman Penggunaan Utang Luar Negeri: E = k (GHUB, IHUB) – (GHUB + IHUB) dimana: E = Penggunaan maksimum GHUB = Pengeluaran sektor perhubungan dan transportasi dari utang luar negeri IHUB = Pengeluaran sektor perhubungan dan transportasi dari input lainnya
64
4.3.2. Pengaruh Suku Bunga Dunia dan Perubahan Nilai Tukar Suku bunga dunia mempunyai kaitan yang erat dengan inflasi yang dipengaruhi oleh perkembangan tingkat harga komoditi internasional di pasar dunia dan permintaan agregat. Melemahnya permintaan agregat akan menurunkan inflasi yang pada gilirannya akan memacu turunnya tingkat suku bunga internasional. Kondisi makroekonomi di negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Jepang dan negara-negara Uni Eropa juga mempunyai pengaruh yang kuat atas kestabilan tingkat suku bunga dunia dan nilai tukar mata uang. Relatif stabilnya inflasi akan mendorong negara-negara maju untuk melakukan kebijakan suku bunga yang relatif tetap atau cenderung turun. Sementara itu, perkembangan nilai
tukar
sangat
terkait
dengan
perkembangan makroekonomi seperti kesenjangan antara penawaran dan permintaan valuta asing (supply-demand imbalance) maupun kondisi politik dan keamanan di dalam negeri. Fluktuasi suku bunga dunia dan nilai tukar mata uang akan berpengaruh pada nilai stok utang dan pembayaran kembali cicilan pokok dan bunga utang.
4.3.3. Intervensi Kebijakan Dari sisi kebijakan pemanfaatan utang, berdasarkan pengalaman empiris, paling tidak terdapat tiga intervensi kebijakan yang mempunyai pengaruh penting terhadap pengelolaan utang luar negeri pemerintah. Intervensi kebijakan tersebut terdiri dari dua intervensi kebijakan pemerintah melalui kebijakan fiskal dan pengelolaan kebocoran utang, serta satu intervensi kebijakan dari kreditur melalui ketentuan dalam Naskah Perjanjian Pinjaman (Loan Agreement), Pedoman Pengadaan Barang dan Jasa (Guidelines on Procurement), atau Nota Kesepakatan (Memorandum of Understanding) dalam penggunaan utang.
4.3.3.1. Intervensi Kebijakan Fiskal Pemerintah Kebijakan pemerintah dalam rangka meningkatkan porsi penerimaan pajak terhadap PDB (tax ratio) melalui usaha intensifikasi dan ekstensifikasi perpajakan merupakan salah satu kebijakan yang sangat penting dalam menjaga
65
kesinambungan fiskal jangka panjang dan dalam rangka meningkatkan pendapatan negara guna mengurangi defisit. Namun, kebijakan ini perlu dilakukan secara
hati-hati
agar
supaya
tidak
mengakibatan
disinsentif
dalam
mengembangkan investasi dan mengganggu peran stimulus fiskal untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi. Kebijakan pemerintah yang tepat dalam menentukan sektor-sektor yang diprioritaskan mendapatkan pembiayaan pembangunan melalui pengadaan utang luar negeri dapat membangkitkan perekonomian untuk meningkatkan pendapatan negara, sehingga dapat semakin mempercepat penurunan defisit anggaran negara.
4.3.3.2. Intervensi Kebijakan Pemerintah Terkait Dengan Kebocoran Utang Besarnya akumulasi stok utang Indonesia sampai saat ini telah menyebabkan banyak pendapat mengenai perlunya pengurangan jumlah utang sehingga Indonesia tidak terjebak dalam perangkap utang (debt trap). Banyak kalangan menilai bahwa utang pemerintah tersebut tidak banyak menyebabkan Indonesia menjadi lebih baik. Sementara itu, sebagian kalangan menilai bahwa utang luar negeri masih diperlukan untuk hal-hal yang produktif dan diyakini dapat menggerakkan perekonomian dalam meningkatkan penerimaan negara menjadi lebih besar sehingga mampu dipergunakan untuk membayar kembali utang-utang yang diadakan. Kelompok lain mempunyai argumen bahwa lambatnya kemajuan hasil pembangunan yang dilaksanakan dengan utang disebabkan karena banyak terjadi kebocoran dalam penggunaan utang. Dari pengamatan masyarakat, kebocoran penggunaan utang luar negeri pemerintah diperkirakan mencapai rata-rata 30 persen. Dalam rangka meningkatkan efisiensi dan efektifitas penggunaan utang luar negeri, pemerintah dapat melakukan interfensi kebijakan untuk menekan kebocoran penggunaan utang luar negeri ini melalui berbagai peraturan dan pedoman penggunaan utang luar negeri sehingga pengelolaan utang dapat lebih transparan, kredibel dan akuntabel. Transparansi dan akuntabilitas sangat penting artinya dalam pengelolaan utang pemerintah. Apabila instrumen kebijakan pemerintah diketahui publik dan
66
koordinasi diantara instansi pengelola utang publik dapat dijamin, maka hal tersebut akan memperkuat efektifitas dan efisiensi pemanfaatan utang.
4.3.3.3. Intervensi Kebijakan Terkait Dengan Kebijakan Kreditur Dalam mekanisme pelaksanaan utang luar negeri, terdapat forum aid coordination group. Forum ini pada dasarnya merupakan proses perencanaan bantuan internasional sehingga bantuan tersebut dapat mendukung strategi, prioritas dan tujuan nasional negara penerima bantuan, serta menghindari duplikasi dan tumpang tindih bantuan sehingga dapat meminimalkan beban yang akan ditanggung negara penerima. Namun, tanggung jawab atas koordinasi tersebut pada dasarnya berada pada negara penerima bantuan. Kapasitas kelembagaan yang kuat dan komitmen yang tinggi dari negara penerima akan mengarah pada country-driven arrangements, yang akan memberikan peluang bagi negara penerima untuk mengefektifkan utang untuk pembangunan. Sebaliknya, dengan kapasitas kelembagaan yang rendah dan komitmen negara penerima yang lemah akan menyebabkan negara tersebut mengarah pada donor-driven arrangements. Kebijakan pemerintah dalam hal ini dapat dilaksanakan melalui forum donor coordination meeting atau secara spesifik melalui naskah perjajian pinjaman luar negeri yang memungkinkan bisa dikendalikannya, misalnya penggunaan local content, suku bunga pinjaman, atau campur tangan kreditur.
4.4.
Pembayaran Utang Luar Negeri Pemerintah Pembayaran utang luar negeri pemerintah berasal dari penerimaan dalam
negeri baik yang diterima melalui pajak atas hasil investasi di sektor yang menerima utang luar negeri, maupun dari sumber-sumber penerimaan negara lainnya. Namun, selain untuk membayar utang luar negeri, penerimaan negara juga dipergunakan untuk membiayai belanja negara lainnya, seperti pembangunan di sektor-sektor lainnya yang tidak menerima utang luar negeri, pembayaran belanja daerah, subsidi, gaji dan upah pegawai, dan lain-lainnya, termasuk pembayaran utang dalam negeri. Dalam penelitian disertasi ini hanya akan dibahas pembayaran untuk utang pemerintah yang berasal dari luar negeri saja.
67
Kelancaran pembayaran utang luar negeri ini penting untuk mendapatkan perhatian karena terkait dengan kredibilitas pemerintah di mata kreditur dan kelancaran mendapatkan utang baru apabila masih diperlukan. Bagi pemenuhan kewajiban pembayaran utang luar negeri, kemampuan neraca pembayaran suatu negara merupakan suatu faktor yang sangat penting yang mencerminkan kemampuan pemerintahnya. Jika neraca pembayaran suatu negara secara struktural dan terus-menerus mengalami defisit, maka kemampuan negara tersebut untuk menyediakan devisa guna pembayaran cicilan pokok dan bunga utang luar negeri menjadi terbatas. Suatu alat pengukur yang sering dipergunakan dalam menilai kemampuan neraca pembayaran suatu negara untuk melunasi kewajibannya adalah ”Debt Service Ratio” (DSR). Oleh karena itu, yang perlu dilakukan oleh pemerintah Indonesia adalah menjaga DSR pada tingkat yang aman melalui kebijakan pengelolaan utang yang komprehensif guna mencapai tingkat utang yang ”sustainable”, menurunkan total stok utang, meningkatkan penerimaan negara termasuk pengelolaan pembayaran utang sehingga penerimaan devisa akhirnya melebihi kewajiban untuk membayar cicilan pokok dan bunga utang.
4.5.
Hipotesis Berdasarkan rumusan permasalahan dan tujuan penelitian serta penjelasan
tersebut di atas, maka dapat disusun hipotesa-hipotesa umum dari penelitian ini sebagai berikut: 1. Kenaikan tingkat suku bunga pinjaman atas pengadaan pinjaman luar negeri pemerintah yang baru berdampak negatif terhadap indikator makro ekonomi Indonesia dan indikator pembangunan sektoral. Tingkat bunga pinjaman (utang) luar negeri pada saat mengikat perjanjian utang dengan kreditur akan sangat berpengaruh terhadap jumlah cicilan pembayaran utang pokok tersebut di masa mendatang (setelah jatuh tempo) dan bunga utang pada masa kini. Semakin tinggi tingkat bunga pinjaman, maka akan semakin meningkatkan jumlah bunga utangnya. Jika ini terjadi,
68
jelas akan menyulitkan negara dalam upaya pengembalian utang tersebut yang pada akhirnya akan menjadikan stok utang luar negeri semakin menumpuk. 2. Kenaikan pendapatan pemerintah/ belanja pemerintah akan berdampak negatif/ positif terhadap pembiayaan defisit anggaran pemerintah. Sistem
APBN
dilaksanakan
dengan
mekanisme
belanja
pemerintah
dilaksanakan seiring dengan pencarian/ pengumpulan pendapatan pemerintah. Hal ini mengakibatkan rencana pendapatan pemerintah dapat disesuaikan sewaktu-waktu apabila terjadi gejolak perekonomian yang mempengaruhi asumsi dasar penyusunan pendapatan pemerintah. Demikian pula terhadap belanja pemerintah. Apabila terjadi perubahan rencana pendapatan pemerintah atau terdapat kegiatan prioritas yang tidak bisa ditunda karena muncul tiba-tiba dalam kondisi emergency dan harus segera ditanggulangi, pemerintah dapat menyesuaikan rencana belanjanya di tengah perjalanannya. Semua kebijakan ini akan berpengaruh terhadap besarnya pembiayaan defisit anggaran pemerintah. 3. Penurunan pinjaman baru pemerintah dari luar negeri yang akan diambil akan berdampak positif terhadap penyehatan kondisi fiskal pemerintah. Sampai dengan Triwulan I tahun 2005, stok utang luar negeri pemerintah telah mencapai jumlah sebesar USD 77.68 miliar. Total utang pemerintah pada tahun 2004 secara keseluruhan telah mencapai 54.3 persen dari PDBI. Hal ini menyebabkan ruang gerak fiskal pemerintah dan kemampuan mendanai belanja pembangunan menjadi berkurang. Penurunan pinjaman baru akan menurunkan stok utang luar negeri pemerintah yang pada gilirannya akan menurunkan belanja rutin yang memuat pembayaran cicilan utang pokok dan bunga utang luar negeri. Akibatnya belanja pembangunan pemerintah akan dapat semakin meningkat. 4. Kebijakan kreditur (lender driven) yang dominan dalam penyaluran dan/ atau penggunaan dana utang luar negeri pemerintah berdampak positif terhadap pertumbuhan perekonomian Indonesia. Intervensi kreditur dalam penggunaan pinjaman luar negeri pemerintah biasanya dilakukan pada sistem dan prosedur pengadaan barang dan jasa
69
melalui persyaratan-persyaratan yang tercantum dalam Loan Agreement dan Guidelines Lender. Ada sebagian barang-barang untuk pengadaan proyek infrastuktur yang sering tidak bisa didapatkan di dalam negeri, sehingga harus didatangkan dari negara yang diindikasikan oleh kreditur. Secara fisik tampaknya negara debitur tidak dirugikan, namun dari sisi peredaran uang (devisa) di dalam negeri akan berdampak negatif, karena sebagian uang yang berasal dari utang luar negeri akan kembali mengalir ke luar negeri. Di sisi lain, biasanya proses pengadaan barang dan jasa dilakukan melalui tender internasional. Ini jelas akan berdampak langsung terhadap konsultan dan kontraktor dalam negeri yang belum mempunyai banyak pengalaman internasional sehingga tidak dapat ikut berpartisipasi. Namun, dengan semakin banyaknya penambahan utang, hal ini akan berdampak positif terhadap pertumbuhan
makro
ekonomi
Indonesia
dan
pertumbuhan
indikator
keberhasilan pembangunan sektoral serta menurunkan angka pengangguran. 5. Pengurangan tingkat kebocoran penggunaan utang luar negeri berdampak positif terhadap kinerja ekonomi Indonesia. Kebocoran penggunaan utang luar negeri hanya mungkin dapat dikurangi atau dicegah dengan menerapkan pengetatan pengawasan pada pelaksanaannya. Tingkat kebocoran utang luar negeri jelas akan merugikan karena penggunaan dananya menjadi tidak optimal. Jika tingkat kebocoran tidak dapat ditekan atau
dikurangi
maka
pengaruh
langsung
adalah
turunnya
kualitas
pembangunan proyek yang diakibatkan antara lain oleh kurangnya penggunaan dana untuk pembangunan proyek-proyek tersebut akibat terjadinya penggelembungan biaya proyek (mark-up). 6. Peningkatan jumlah utang luar negeri pemerintah secara parsial di sektorsektor
utama
pembangunan
akan
meningkatkan
indikator-indikator
keberhasilan pembangunan di sektor-sektor tersebut. Pendanaan pembangunan sektor-sektor yang menjadi perhatian dalam penelitian ini berasal dari pendanaan domestik (rupiah murni) dan pinjaman luar negeri pemerintah. Semakin besar dana yang dialokasikan untuk pembangunan sektor-sektor tersebut akan meningkatkan kinerja sektor
70
tersebut yang pada gilirannya akan menaikkan indikator keberhasilan pembangunan sektor-sektor tersebut. Seluruh variabel dalam model secara individu akan diuji melalui uji statistik, yang meliputi uji signifikansi dengan tingkat signifikan 15 persen. Di samping itu, akan dilakukan juga uji terhadap homoskedastisitas, bentuk fungsi, kolinearitas, dan oto-korelasinya. Program piranti lunak (software) utama yang digunakan adalah Statistical Analysis System/ Estimation Time Series (SAS/ ETS) versi 6.12. Apabila diperlukan uji kestasioneran model melalui unit root setiap persamaan, akan digunakan piranti lunak (software) Microfit.
V. METODOLOGI PENELITIAN
Metodologi penelitian yang dilakukan meliputi pengumpulan data sekunder dari berbagai sumber yang dapat dipertanggungjawabkan, konstruksi model, prosedur analisis dan estimasi, model ekonometrika, pembentukan model ekonometrika struktural, identifikasi model dan estimasi, serta prosedur aplikasi model dengan unit analisis secara nasional. Hal ini mengingat model yang akan dibangun menyangkut kebijakan pemerintah yang perlu diambil dalam rangka meningkatkan efektivitas dan efisiensi pengelolaan utang luar negeri pemerintah guna mendorong pertumbuhan sektoral dan kinerja perekonomian Indonesia secara keseluruhan.
5.1.
Pengumpulan Data Sekunder Data yang akan digunakan dalam penelitian disertasi ini dikumpulkan
dari berbagai sumber, terutama data series (time series) dari tahun 1985 sampai dengan tahun 2005 (selama 21 tahun). Data tersebut meliputi data-data alokasi pos-pos anggaran pendapatan dan belanja pembangunan negara, serta data input yang dapat mempengaruhi output. Sedangkan data yang terkait aliran proses pencarian, penggunaan dan pembayaran utang luar negeri untuk beberapa sektor utama yang akan diteliti terdiri atas data-data pada sektor-sektor: (1) pendidikan, (2) kesehatan, (3) pertanian dan pengairan, (4) pertambangan dan energi, serta (5) sektor perhubungan dan transportasi, dapat diperoleh dari sumber-sumber seperti terlihat pada Tabel 10: Tabel 10. Data Sekunder yang Terkait dengan Utang Luar Negeri Pemerintah dan Asal Sumber Data
Jenis Data
Utang luar negeri Pemerintah Nilai Tukar Suku Bunga Internasional Pendapatan Negara Belanja Negara Data pendukung lainnya
Sumber Data Bappenas, Dep. Keuangan, Bank Indonesia, BPS, World Bank, ADB, JBIC, lembaga donor lainnya, jurnal ilmiah, hasil-hasil penelitian terdahulu, dan lain-lain.
Keterangan Konsistensi sumber data akan diperiksa dari berbagai sumber.
72
5.2.
Prosedur Analisis: Analisis Ekonometrika Mengingat luasnya cakupan penelitian dan beragamnya permasalahan
yang akan diteliti namun terkendala oleh ketersediaan data, maka alat analisis utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis ekonometrika. Analisis ekonometrika yang digunakan adalah ekonometrika time series yang berguna untuk mendiskripsikan dampak penggunaan utang luar negeri pada sektor pendidikan, kesehatan, pertanian dan pengairan, pertambangan dan energi, serta sektor perhubungan dan transportasi. Selain itu, ekonometrika timeseries juga digunakan untuk membangun model ekonomi aliran utang luar negeri pemerintah dengan pendekatan ekonometrika yang dikaitkan dengan kontribusi utang luar negeri pada beberapa sektor utama terhadap kinerja perekonomian Indonesia sesuai dengan tujuan kelima penelitian ini. Hal ini penting karena pada kenyataannya pembangunan sektor-sektor utama tersebut masih mengandalkan utang luar negeri sebagai sumber pendanaannya. Dengan
menggunakan
ekonometrika
time
series
akan
dapat
dikuantifikasikan dampak perubahan penerimaan negara terhadap pengurangan defisit anggaran pemerintah untuk mencapai kemandirian pembiayaan pembangunan. Disamping itu, akan diketahui pula dampak perubahan tingkat bunga pinjaman utang luar negeri dan kebijakan kreditur terhadap kemampuan pembayaran utang luar negeri. Dengan demikian alat analisa ini akan menjawab tujuan penelitian yang kesatu. Dari hasil pemantauan yang efektif atas pelaksanaan proyek-proyek yang dibiayai dari utang luar negeri dapat dikenali komposisi penggunaan utang berdasarkan kategori yang antara lain meliputi kategori technical assistance, civil works, training (termasuk negara tujuannya) dan capacity building. Untuk komponen training ke luar negeri (degree maupun non degree), negara tujuan training hampir semuanya adalah negara pemberi pinjaman (untuk sumber pendanaan bilateral) seperti yang tercantum dalam Loan Agreement. Demikian pula personil tenaga ahli, sebagian besar berasal dari negara pemberi pinjaman. Dengan menggunakan alat analisis di atas akan dapat diidentifikasi komponen/ porsi penggunaan utang yang kembali ke pihak peminjam. Alat analisis ini akan menjawab tujuan keempat dari penelitian ini.
73
Melalui alat analisis ini akan teridentifikasi pula pengaruh perubahan pendapatan dan belanja pemerintah terhadap keberadaan utang luar negeri pemerintah. Hal ini akan menjawab tujuan kedua dari penelitian ini. Tujuan ketiga dari penelitian ini adalah menganalisis pengaruh kebocoran penggunaan utang luar negeri terhadap upaya peningkatan efektivitas dan efisiensi penggunaan utang luar negeri dan kemampuan pembayaran utang untuk pengurangan stok utang luar negeri pemerintah. Debt Service Ratio Indonesia saat ini masih tergolong cukup tinggi, namun disisi lain anggaran pembangunan yang berasal dari sumber dalam negeri masih sangat terbatas. Dengan demikian diperlukan suatu strategi yang dapat menjamin utang luar negeri dipergunakan secara efektif dan efisien guna sebesar-besarnya mencapai tujuan pembangunan nasional. Dengan mengetahui hasil-hasil analisis tersebut di atas maka dapat diperoleh formulasi strategi kebijakan untuk mendukung pembangunan guna meningkatkan kinerja perekonomian pada sektor-sektor yang diteliti. Formulasi strategi kebijakan tersebut juga dapat dipergunakan sebagai model bagi pembangunan sektor-sektor yang lain yang pendanaannya bersumber dari utang luar negeri dalam rangka meningkatkan kontribusinya terhadap pembangunan nasional dan dalam rangka menuju kemandirian pembangunan melalui penurunan total stok utang secara bertahap.
5.3.
Sistem Utang Luar Negeri Pemerintah Utang pemerintah Indonesia dapat dipandang sebagai sebuah sistem yang
terdiri atas empat bagian, yaitu: (1) pinjaman/ utang dalam negeri, (2) pinjaman/ utang luar negeri, (3) pemberi pinjaman (kreditur), dan (4) penerima pinjaman (debitur). Pinjaman/ utang pemerintah yang berasal dari pasar dalam negeri banyak dipilih oleh kebanyakan negara di dunia, khususnya oleh negara-negara maju mengingat utang dalam negeri relatif lebih fleksibel dibanding dengan utang luar negeri. Alasan lainnya adalah bahwa utang dalam negeri tidak dipengaruhi oleh fluktuasi perubahan kurs/ nilai tukar mata uang. Pada pemerintahan Orde Baru, pemerintah seolah-olah ”menabukan” utang yang berasal dari dalam negeri
74 karena prinsip ”Anggaran Berimbang” yang dianut pemerintah seperti yang telah diuraikan pada bab-bab awal dari penelitian ini. Namun, disamping itu sumbersumber dana dari dalam negeri pada saat itu juga masih sangat terbatas, sehingga kemungkinan yang akan dilakukan pemerintah adalah dengan pencetakan uang. Dengan menempuh cara pembiayaan melalui pengadaan utang luar negeri, pemerintah Orde Baru telah berhasil menghindarkan diri dari pinjaman/ utang dalam negeri dan pencetakan uang baru sehingga pada akhirnya Indonesia dapat menghindarkan diri dari terjadinya hiperinflasi. Oleh karena keterbatasan sumber penerimaan dalam negeri yang masih sangat
dibutuhkan untuk
pembangunan
nasional,
pemerintah
akhirnya
menerapkan anggaran defisit, dan membiayai defisit tersebut dengan pengadaan utang luar negeri. Namun, utang luar negeri umumnya sangat dikendalikan oleh kreditur sehingga menyebabkan banyak pemerintah di dunia ini menjadi tergantung dengan utang luar negeri, yang kadang sangat menjerat dalam proses transaksi dan pembayarannya. Sementara itu, proses aliran dana pinjaman utang terdiri atas: (1) penerimaan dana (utang), (2) penggunaan dana, (3) sumber pendanaan, (4) pembayaran utang. Kelancaran pembayaran utang sangat tergantung pada kemampuan dalam negeri (negara peminjam) untuk menggali potensi kekayaan domestik, investasi dalam negeri dan luar negeri, dan tingkat transaksi perdagangan dalam negeri maupun luar negeri. Dengan kondisi yang demikian, maka kemampuan pemerintah dalam menerapkan strategi pinjaman utang luar negeri akan sangat tergantung dari kemampuan negosiasi internasional dan diplomasi ekonomi dengan negara kreditur. Persyaratan dalam perjanjian pengadaan utang seringkali memberatkan debitur, misalnya keharusan menggunakan barang-barang atau penggunaan konsultan yang ditentukan oleh kreditur. Tingkat suku bunga pinjaman akan mempengaruhi jumlah pengadaan utang (baru), sementara perubahan nilai tukar mata uang, juga akan sangat mempengaruhi kemampuan pemerintah dalam pengembalian cicilan utang luar negeri, terlebih lagi apabila terjadi fluktuasi perubahan nilai tukar mata uang yang sangat tajam.
75
5.4.
Model Ekonometrika Utang Luar Negeri Pemerintah Model ekonometrika utang luar negeri pemerintah secara sederhana dapat
diringkas menurut masing-masing sektor pembangunan adalah: (1) penerimaan utang, (2) penggunaan utang, (3) pembayaran utang, dan (4) intervensi pemerintah dan negara pemberi pinjaman. Keterkaitan antar variabel-variabel (endogen dan eksogen) dalam sistem utang luar negeri pemerintah disusun kedalam model utang luar negeri pemerintah. Struktur tersebut secara detail dapat dilihat pada Gambar 5. Satu garis panah mengindikasikan arah pengaruh dan panah ganda mengindikasikan hubungan simultan antar variabel. Dalam kaidah penggunaan utang pemerintah, dapat diasumsikan bahwa seluruh penerimaan utang akan digunakan habis untuk pembangunan proyek-proyek. Pendekatan sistem dalam model ekonometrika utang luar negeri pemerintah dilakukan terintegrasi dengan sistem APBN yang dikaitkan dengan sistem identitas perekonomian nasional. Variabel bedakala (lagged variables) dimasukkan sebagai bentuk bahwa model utang luar negeri menunjukkan model yang dinamis. Persamaan intervensi pemerintah dapat ditunjukkan pada variabel eksogen yang meliputi kebijakan dalam perubahan pendapatan dan belanja negara, penetapan target pertumbuhan sektoral serta pengurangan tingkat kebocoran utang luar negeri melalui asumsi yang masuk akal. Sedangkan intervensi negara kreditur (lender driven) utamanya dilakukan melalui persyaratan-persyaratan yang tertuang dalam Loan Agreement dalam penentuan penggunaan barang dan jasa menurut suatu konstanta. Asumsi konstanta ini dapat dicirikan oleh seberapa besar dana dari pinjaman luar negeri yang tidak dibelanjakan di dalam negeri tetapi kembali ke luar negeri. Model ekonometrika utang luar negeri pemerintah tersebut terdiri atas persamaan struktural, persamaan identitas, dan intervensi kebijakan baik oleh pemerintah maupun oleh kreditur. Model struktural mencirikan perilaku masingmasing variabel sebagai variabel endogennya. Tingkat intervensi menunjukkan kemampuan pemerintah atau kreditur dalam menjalankan kebijakannya untuk mempengaruhi alur sistem dan mekanisme utang luar negeri pemerintah.
76
CORDIK
RPDIK
UTDIK
IMP
PUDIK
GAPS
GLSEK
GAKB
GUHH
GTAN
CORKES
RPKES
UTKES
EXP
PUKES
TAXR
INTR
GOEXP
PGOEXP
RPTAN
UTTAN
INVEST
PUTAN
LDRIVE
DINC
EXCR
CORTAN
TAXEX OINC
PNBP TAXIM
CORENG
RPENG
UTENG
KONS
PUENG
GHUB
GENG
GOTS
PDBI
SAL
CORHUB
RPHUB
UTHUB
UTGOV
PUHUB
CDUM
DDUM
SULNP
DULNP
GOREV
COROTS
RPOTS
UTOTS
RPEM
PUOTS
= variabel endogen
= konstanta
= variabel eksogen
Gambar 5. Diagram Keterkaitan antar Variabel-variabel dalam Model Utang Luar Negeri Pemerintah
77
5.5.
Model Ekonometrika Struktural Model utang luar negeri pemerintah dikonstruksikan menurut masing-
masing
sektor
pembangunan.
Spesifikasi
model
ditentukan
dengan
pengelompokan semua variabel ke dalam variabel endogen dan variabel eksogen serta harapan tanda dalam parameter koefisien persamaan strukturalnya. Model dibangun berdasarkan teori-teori ekonomi yang ada, dari pengalaman empiris yang telah diuji kebenarannya, serta dari kenyataan di lapangan. Kesemuanya ini harus dapat dibuktikan secara statistik. Dinamika dari model yang dibangun dicirikan oleh adanya variabel-variabel bedakala yang masuk dalam model. Seluruh variabel dalam persamaan yang memiliki nilai baik dalam domestik maupun foreign currency dideflasi menurut harga konstan yang didasarkan pada harga konstan tahun 2000. Untuk tingkat suku bunga utang luar negeri, yang dipergunakan adalah rata-rata tingkat suku bunga pinjaman/ utang tersebut.
5.5.1. Persamaan Dalam Model Ekonometrika Utang Luar Negeri 1.
Konsumsi Rumah Tangga Pembelanjaan yang dilakukan oleh masyarakat untuk membeli barang dan
jasa kebutuhannya pada suatu tahun tertentu dinamakan konsumsi rumah tangga. Besarnya nilai konsumsi rumah tangga ini dipengaruhi oleh pendapatan disposebel, tingkat pengangguran serta oleh belanja rutin pemerintah. Variabel bedakala (lags) konsumsi rumah tangga dimasukkan ke dalam persamaan untuk melihat dinamikanya terhadap konsumsi rumah tangga tahun berjalan. Dengan demikian persamaan konsumsi rumah tangga dapat dispesifikasikan sebagai berikut: KONSt
= a1DINCt + a2UNEMt + a3BLJRTNt + a4KONSt-1 + u1 . . . (5.1)
dimana: KONSt DINCt UNEMt BLJRTNt KONSt-1 u1
= = = = = =
Konsumsi rumah tangga (juta rupiah) Pendapatan disposebel (juta rupiah) Angka pengangguran (ribu orang) Belanja rutin pemerintah (juta rupiah) Konsumsi rumah tangga bedakala satu tahun (juta rupiah) Terminologi gangguan
78
Harapan tanda pada koefisien-koefisien parameter dalam persamaan tersebut adalah sebagai berikut: a1, a3 > 0 2.
a2 < 1
0 < a4 < 1
Investasi Masyarakat Perilaku investasi masyarakat pada umumnya tergantung pada tingkat suku
bunga, dimana tingkat suku bunga yang tinggi akan menghambat investasi, sementara tingkat suku bunga yang rendah akan mendorong investasi. Suku bunga yang mempengaruhi investasi masyarakat adalah suku bunga domestik, yang perilakunya dipengaruhi oleh fluktuasi suku bunga dunia. Selain itu, investasi masyarakat juga dipengaruhi oleh besarnya belanja pembangunan pemerintah. Variabel bedakala (lags) investasi masyarakat diperhitungkan ke dalam persamaan untuk melihat dinamikanya terhadap nilai investasi pada tahun berjalan. Dengan demikian persamaan investasi masyarakat dan tingkat suku bunga domestik dapat dispesifikasikan sebagai berikut: INVESTt
= b0 + b1DINTRt + b2BLJPMBt + b3INVESTt-1 + u2 . . . . . (5.2)
DINTRt
= c0 + c1WINTRt + c2GMSPLYt + u3 . . . . . . . . . . . . . . . . . (5.3)
dimana: INVESTt DINTRt BLJPMBt WINTRt GMSPLYt INVESTt-1 u2,u3
= = = = = = =
Investasi masyarakat (juta rupiah) Tingkat suku bunga domestik (persen) Belanja pembangunan pemerintah (juta rupiah) Rata-rata tingkat suku bunga pinjaman luar negeri (persen) Pertumbuhan jumlah uang beredar (persen) Investasi masyarakat bedakala satu tahun (juta rupiah) Terminologi gangguan
Harapan tanda pada koefisien-koefisien parameter dalam persamaan tersebut adalah sebagai berikut: b2, c1 > 0 3.
b1, c2 < 0
0 < b3 < 1
Net Ekspor Besarnya nilai net ekspor Indonesia, yang merupakan selisih antara ekspor
dan impor diasumsikan merupakan fungsi dari nilai tukar (exchange rate) dan tingkat rata-rata suku bunga dunia. Variabel bedakala (lags) net ekspor diperhitungkan ke dalam persamaan untuk melihat dinamikanya terhadap nilai
79
net ekspor pada tahun berjalan. Dengan demikian persamaan net ekspor Indonesia dapat dispesifikasikan sebagai berikut: NXPRTt
= d1WINTRt + d2EXCRt + d3NXPRTt-1 + u4 . . . . . . . . . . . (5.4)
dimana: NXPRTt WINTRt EXCRt NXPRTt-1 u4
= = = = =
EXPRTt - IMPRTt = Nilai ekspor bersih (juta rupiah) Rata-rata tingkat suku bunga dunia (persen) Perbandingan nilai tukar mata uang USD terhadap Rupiah Nilai net ekspor bedakala satu tahun (juta rupiah) Terminologi gangguan
Harapan tanda pada koefisien-koefisien parameter dalam persamaan tersebut adalah sebagai berikut: d1, d 2 > 0 4.
0 < d3 < 1
Pendapatan Pemerintah Pendapatan pemerintah berasal dari penerimaan dalam negeri yang meliputi
penerimaan pajak dan bukan pajak, serta penerimaan hibah. Besarnya pendapatan pemerintah ini dipengaruhi oleh target belanja pemerintah yang akan dilakukan pada tahun yang bersangkutan. Disamping itu, besarnya pendapatan pemerintah pada tahun sebelumnya juga mempengaruhi keputusan pemerintah dalam menentukan besarnya pendapatan pemerintah tahun berjalan. Variabel bedakala (lags) pendapatan pemerintah diperhitungkan ke dalam persamaan untuk melihat dinamikanya terhadap nilai pendapatan pemerintah pada tahun berjalan. Dengan demikian persamaan pendapatan pemerintah pada tahun berjalan dapat dispesifikasikan sebagai berikut: GOREVt
= e0 + e1GOEXPt + e2DINTRt + e3GOREVt-1 + u5 . . . . . . (5.5)
dimana: GOREV t GOEXPt GOREVt-1 u5
= = = =
Pendapatan pemerintah (juta rupiah) Belanja pemerintah (juta rupiah) Pendapatan pemerintah bedakala satu tahun (juta rupiah) Terminologi gangguan
DINTRt telah didefinisikan sebelumnya. Harapan tanda pada koefisien-koefisien parameter pada persamaan tersebut adalah sebagai berikut: e1, e2 > 0
0 < e3 < 1
80
5.
Belanja Pembangunan Sektor Pendidikan Pembangunan di bidang pendidikan menjadi salah satu prioritas utama bagi
pemerintah dalam melaksanakan pembangunan nasional. Pendidikan menjadi landasan kuat yang diperlukan untuk meraih kemajuan bangsa di masa depan. Bahkan yang lebih penting lagi, pendidikan menjadi bekal dalam menghadapi era global yang sarat dengan persaingan antarbangsa yang berlangsung sangat ketat. Pembiayaan yang dibutuhkan untuk pembangunan sektor pendidikan tidak hanya berasal dari dalam negeri saja tetapi juga berasal dari utang luar negeri. Besarnya pembiayaan rupiah murni yang dialokasikan untuk pembangunan sektor pendidikan dipengaruhi oleh beberapa hal, yang antara lain adalah pendapatan pemerintah, alokasi belanja rutin (belanja mengikat), serta angka partisipasi sekolah dan angka lama tahun bersekolah pada tahun sebelumnya. Selain itu, pembangunan sektor kesehatan juga didanai dari utang luar negeri yang besarnya dipengaruhi oleh besarnya alokasi rupiah untuk sektor pendidikan, pembayaran utang luar negeri sektor pendidikan, kebijakan kreditur (lender driven) dalam pengelolaan piutangnya, serta tingkat suku bunga pinjaman/ utang luar negeri. Pinjaman yang diambil oleh pemerintah ini umumnya berasal dari lembaga multilateral dan bilateral yang tingkat bunganya menggunakan commercial reference sebagai basis, seperti World Bank melalui International Bank for Reconstruction and Development (IBRD), ADB melalui Ordinary Capital Resources (OCR), pinjaman non-ODA dari JBIC, dan lain-lain. Commercial reference yang sering digunakan oleh lembaga-lembaga tersebut adalah LIBOR (London InterBank Offered Rate) yang biasanya ditambah marjin tertentu. Contohnya IBRD dan OCR biasanya menawarkan tingkat bunga berdasarkan LIBOR ditambah marjin 30 - 50 basis points, tergantung dari suku bunga dunia dan peringkat kredit dari negara peminjam. Variabel bedakala (lags) diperhitungkan ke dalam persamaan untuk melihat dinamika pendanaan pada tahun berjalan. Dengan demikian persamaan belanja pembangunan sektor pendidikan dapat dispesifikasikan sebagai berikut: RPDIKt
= f1GOREVt + f2BLJRTNt + f3APSt-1 + f4GTHSEKt-1 + f5RPDIKt-1 + u6 . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . (5.6)
81
LIBORt
= g1WINTRt + g2RPREMt + g3LIBORt-1 + u7 . . . . . . . . . (5.7)
UTDIKt
= h1GRPDIKt + h2PUDIKt + h3DRVDIKt + h2LIBORt + h4UTDIKt-1 + u8 . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . (5.8)
dimana: RPDIKt APSt-1 GTHSEKt-1 RPDIKt-1 LIBORt RPREMt UTDIKt GRPDIKt PUDIKt DRVDIKt UTDIKt-1 u6, u7, u8
= Belanja pembangunan sektor pendidikan dari rupiah murni (juta rupiah) = Angka partisipasi sekolah anak kelompok usia 7-12 tahun bedakala satu tahun (persen) = Pertumbuhan angka lama bersekolah anak kelompok usia 13-15 tahun bedakala satu tahun (tahun) = Belanja pembangunan sektor pendidikan dari rupiah murni bedakala satu tahun (juta rupiah) = Tingkat bunga London InterBank Offered Rate (persen) = Peringkat kredit negara peminjam = Belanja pembangunan sektor pendidikan dari utang luar negeri (juta rupiah) = Pertumbuhan belanja pembangunan sektor pendidikan dari rupiah murni (juta rupiah) = Pembayaran utang luar negeri sektor pendidikan (juta rupiah) = Lender Driven sektor pendidikan (juta rupiah) = Belanja pembangunan sektor pendidikan dari utang luar negeri bedakala satu tahun (juta rupiah) = Terminologi gangguan
GOREVt, BLJRTNt, WINTRt telah didefinisikan sebelumnya. Harapan tanda pada koefisien-koefisien parameter dalam persamaan tersebut adalah sebagai berikut: f1, g1, g2 h2, h3 > 0 6.
f2, f3, f4, h1, h4 < 0
0 < f5, g3, h5 < 1
Belanja Pembangunan Sektor Kesehatan Pembangunan sektor kesehatan merupakan investasi untuk meningkatkan
kualitas sumber daya manusia. Dalam pengukuran Indeks Pembangunan Manusia (IPM), kesehatan menjadi salah satu komponen yang utama. Pembiayaan yang dibutuhkan untuk pembangunan sektor kesehatan tidak hanya berasal dari dana dalam negeri saja tetapi juga berasal dari utang luar negeri. Besarnya pembiayaan rupiah murni pembangunan sektor kesehatan ditentukan oleh pendapatan pemerintah, alokasi belanja rutin, serta besarnya angka kematian bayi dan angka usia harapan hidup tahun sebelumnya.
82
Disamping itu pendanaan yang efektif berasal dari utang luar negeri dipengaruhi oleh besarnya alokasi rupiah untuk sektor kesehatan, pembayaran utang luar negeri sektor kesehatan, kebijakan kreditur (lender driven) dalam pengelolaan piutangnya, serta tingkat bunga pinjaman utang luar negeri. Variabel bedakala (lags) diperhitungkan ke dalam persamaan untuk melihat dinamika pendanaannya pada tahun berjalan. Dengan demikian persamaan belanja pembangunan sektor kesehatan dapat dispesifikasikan sebagai berikut: RPKESt
= i1GOREVt + i2BLJRTNt + i3DAKBt + i4UHHt-1 + i5RPKESt-1 + u9 . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . (5.9)
UTKESt
= j1RPKESt + j2PUKESt + j3DRVKESt + j4LIBORt + j5UTKESt-1 + u10 . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . (5.10)
dimana: RPKESt
= Belanja pembangunan sektor kesehatan dari rupiah murni (juta rupiah) DAKBt = Selisih angka kematian bayi per 1000 kelahiran tahun sekarang dengan tahun sebelumnya (bayi) UHHt-1 = Angka usia harapan hidup bedakala satu tahun (tahun) RPKESt-1 = Belanja pembangunan sektor kesehatan dari rupiah murni bedakala satu tahun (juta rupiah) UTKESt = Belanja pembangunan sektor kesehatan dari utang luar negeri (juta rupiah) PUKESt = Pembayaran utang luar negeri sektor kesehatan (juta rupiah) DRVKESt = Lender Driven sektor kesehatan (juta rupiah) UTKESt-1 = Belanja pembangunan sektor kesehatan dari utang luar negeri bedakala satu tahun (juta rupiah) u9, u10 = Terminologi gangguan GOREVt, BLJRTNt, LIBORt telah didefinisikan sebelumnya. Harapan tanda pada koefisien-koefisien parameter dalam persamaan tersebut adalah sebagai berikut: i1, i3, i4, j2, j3 > 0 7.
i2, j1, j4 < 0
0 < i 5 , j5 < 1
Belanja Pembangunan Sektor Pertanian dan Pengairan Sektor pertanian dan pengairan mempunyai peranan yang besar dalam
penyediaan pangan untuk mendukung ketahanan pangan nasional dan menyumbang penerimaan dalam PDBI, serta dalam menyerap tenaga kerja. Namun usaha pembangunan di sektor ini masih menghadapi berbagai kendala antara lain masih rendahnya tingkat kesejahteraan petani, masih rendahnya
83
penguasaan teknologi pengolahan hasil-hasil pertanian, dan terbatasnya penyediaan air untuk irigasi. Oleh karena itu, sejak pemerintahan Orde Baru, sektor ini mendapat prioritas yang tinggi dalam pembangunan nasional. Di samping penyediaan dana pembangunan dari dalam negeri, pinjaman luar negeri juga cukup banyak dialokasikan untuk pembangunan sektor ini. Besarnya pembiayaan rupiah murni untuk pembangunan sektor ini dipengaruhi oleh besarnya pendapatan pemerintah, alokasi belanja rutin, serta pertumbuhan sektor pertanian dan pengairan pada tahun sebelumnya. Disamping itu pendanaan yang berasal dari utang luar negeri untuk pembangunan sektor ini dipengaruhi oleh besarnya alokasi rupiah untuk sektor pertanian dan pengairan, pembayaran utang luar negeri sektor ini, kebijakan kreditur (lender driven) dalam pengelolaan piutangnya, serta tingkat bunga pinjaman utang luar negeri. Variabel bedakala (lags) diperhitungkan ke dalam persamaan untuk melihat dinamika pendanaan pada tahun berjalan. Dengan demikian persamaan belanja pembangunan sektor pertanian dan pengairan dapat dispesifikasikan seperti: RPTANt
= k1GOREVt + k2BLJRTNt + k3GTANt-1 + k4RPTANt-1 + u11 . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . (5.11)
UTTANt
= l1RPTANt + l2PUTANt + l3DRVTANt + l4LIBORt + l5UTTANt-1 + u12 . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . (5.12)
dimana: RPTANt
= Belanja pembangunan sektor pertanian dan pengairan dari rupiah murni (juta rupiah) GTANt-1 = Angka pertumbuhan sektor pertanian dan pengairan bedakala satu tahun (persen) RPTANt-1 = Belanja pembangunan sektor pertanian dan pengairan dari rupiah murni bedakala satu tahun (juta rupiah) UTTANt = Belanja pembangunan sektor pertanian dan pengairan dari utang luar negeri (juta rupiah) PUTANt = Pembayaran utang luar negeri sektor pertanian dan pengairan (juta rupiah) DRVTANt = Lender Driven sektor pertanian dan pengairan (juta rupiah) UTTANt-1 = Belanja pembangunan sektor pertanian dan pengairan dari utang luar negeri bedakala satu tahun (juta rupiah) u11, u12 = Terminologi gangguan GOREVt, BLJRTNt, LIBORt telah didefinisikan sebelumnya.
84
Harapan tanda pada koefisien-koefisien parameter dalam persamaan tersebut adalah sebagai berikut: k1, l2, l3 > 0 8.
k2, k3, l1, l4 < 0
0 < k4 , l5 < 1
Belanja Pembangunan Sektor Pertambangan dan Energi Sektor pertambangan dan energi memegang peranan yang cukup penting
dalam perekonomian nasional. Hal ini terbukti dari besarnya peranan sektor pertambangan dan energi sebagai penyedia sumber energi, sumber devisa, penerimaan negara, sumber bahan baku industri, serta menciptakan lapangan pekerjaan dan pendorong pertumbuhan sektor-sektor lain. Namun, dalam beberapa tahun ke depan, sektor ini masih mempunyai permasalahan yang antara lain adalah: 1) masih adanya kesenjangan antara penyediaan dan konsumsi energi, 2) masih terbatasnya infrastruktur penyediaan energi, 3) masih besarnya ketergantungan pembangunan sektor pertambangan dan energi kepada investasi pemerintah, dan 4) belum tersusunnya perumusan konsep keamanan pasokan energi nasional (security of energy supply). Oleh karena itu pembangunan sektor pertambangan dan energi menjadi salah satu prioritas yang penting dalam pembangunan nasional sejak pemerintahan Orde Baru sampai sekarang. Di samping penyediaan dana pembangunan yang berasal dari dalam negeri, pinjaman luar negeri juga cukup banyak dialokasikan untuk pembangunan sektor pertambangan dan energi ini. Besarnya pembiayaan rupiah murni untuk pembangunan sektor ini dipengaruhi oleh besarnya pendapatan pemerintah, alokasi belanja rutin, serta pertumbuhan sektor ini pada tahun sebelumnya. Disamping itu pendanaan yang berasal dari utang luar negeri untuk pembangunan sektor ini dipengaruhi oleh besarnya alokasi rupiah murni untuk sektor ini, pembayaran utang luar negeri sektor ini, kebijakan kreditur (lender driven) dalam pengelolaan piutangnya, serta tingkat bunga pinjaman utang luar negeri. Variabel bedakala (lags) diperhitungkan ke dalam persamaan untuk melihat dinamika pendanaan pada tahun berjalan. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, persamaan belanja pembangunan sektor pertambangan dan energi dapat dispesifikasikan sebagai berikut:
85
RPENGt
= m1GOREVt + m2DBLJRTNt + m3GENGt-1 + m4RPENGt-1 + u13 . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . (5.13)
UTENGt
= n0 + n1RPENGt + n2PUENGt + n3DRVENGt + n4LIBORt + n5UTENGt-1 + u14 . . . . . . . . . . . . . . . (5.14)
dimana: RPENGt GENGt-1 UTENGt PUENGt DRVENGt UTENGt-1 u13, u14
= Belanja pembangunan sektor pertambangan dan energi dari rupiah murni (juta rupiah) = Angka pertumbuhan sektor pertambangan dan energi bedakala satu tahun (persen) = Belanja pembangunan sektor pertambangan dan energi dari utang luar negeri (juta rupiah) = Pembayaran utang luar negeri sektor pertambangan dan energi (juta rupiah) = Lender Driven sektor pertambangan dan energi (juta rupiah) = Belanja pembangunan sektor pertambangan dan energi dari utang luar negeri bedakala satu tahun (juta rupiah) = Terminologi gangguan
GOREVt, BLJRTNt, LIBORt telah didefinisikan sebelumnya. Harapan tanda pada koefisien-koefisien parameter dalam persamaan tersebut adalah sebagai berikut: m1, n2, n3 > 0 9.
m2, m3, n1, n4 < 0
0 < m4, n5 < 1
Belanja Pembangunan Sektor Perhubungan dan Transportasi Pembangunan sektor perhubungan dan transportasi merupakan salah satu
bagian yang penting dalam pembangunan nasional karena merupakan urat nadi penggerak perekonomian. Tujuan pembangunan sektor ini adalah untuk meningkatkan pelayanan jasa perhubungan dan transportasi secara lebih efisien, handal, berkualitas, aman dan dengan harga yang terjangkau. Tujuan lainnya adalah untuk mewujudkan sistem perhubungan dan transportasi nasional secara intermoda dan terpadu dengan pengembangan wilayahnya, dan menjadi bagian dari suatu sistem distribusi yang mampu memberikan pelayanan dan manfaat yang lebih bagi masyarakat luas. Dari aspek pendanaan, akibat karakteristik infrastruktur sektor perhubungan dan transportasi yang membutuhkan biaya investasi yang besar, sedangkan sebagian besar tarif yang dikenakan tidak dapat mencapai tingkat full cost recovery secara finansial, serta masih banyaknya penyelenggaraan infrastruktur
86
perhubungan dan transportasi yang dilakukan secara monopoli, maka peran pemerintah sebagai regulator sangat diperlukan. Peranserta swasta untuk memenuhi sumber pendanaan guna memenuhi kebutuhan pembangunan sektor tersebut belum berkembang sepenuhnya. Mengingat sumber pendanaan dalam negeri masih sangat terbatas, maka pemerintah masih membutuhkan pinjaman luar negeri untuk mempercepat pembangunan sektor ini. Besarnya pembiayaan rupiah murni untuk pembangunan sektor ini dipengaruhi oleh besarnya pendapatan pemerintah, alokasi belanja rutin pemerintah, serta pertumbuhan sektor ini pada tahun sebelumnya. Disamping itu pendanaan yang efektif berasal dari utang luar negeri untuk pembangunan sektor ini dipengaruhi oleh besarnya alokasi rupiah untuk pembangunan sektor ini, pembayaran utang luar negeri sektor ini, kebijakan kreditur (lender driven) dalam pengelolaan piutangnya, serta tingkat bunga pinjaman utang luar negeri. Variabel bedakala (lags) diperhitungkan ke dalam persamaan untuk melihat dinamika pendanaan pada tahun berjalan. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, persamaan belanja pembangunan sektor perhubungan dan transportasi dapat dispesifikasikan sebagai berikut: RPHUBt
= o1GOREVt + o2BLJRTNt + o3GHUBt-1 + o4RPHUBt-1 + u15 . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . (5.15)
UTHUBt
= p1GRPHUBt + p2PUHUBt + p3DRVHUBt + p4LIBORt + p5UTHUBt-1 + u16 . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . (5.16)
dimana: RPHUBt GHUBt-1 RPHUBt-1 UTHUBt GRPHUBt PUHUBt DRVHUBt
= Belanja pembangunan sektor perhubungan dan transportasi dari rupiah murni (juta rupiah) = Angka pertumbuhan sektor perhubungan dan transportasi bedakala satu tahun (persen) = Belanja pembangunan sektor perhubungan dan transportasi dari rupiah murni bedakala satu tahun (juta rupiah) = Belanja pembangunan sektor perhubungan dan transportasi dari utang luar negeri (juta rupiah) = Pertumbuhan belanja pembangunan sektor perhubungan dan transportasi dari rupiah murni (persen) = Pembayaran utang luar negeri sektor perhubungan dan transportasi (juta rupiah) = Lender Driven sektor perhubungan dan transportasi (juta rupiah)
87
UTHUBt-1
= Belanja pembangunan sektor perhubungan dan transportasi dari utang luar negeri bedakala satu tahun (juta rupiah) = Terminologi gangguan
u15, u16
GOREVt, BLJRTNt, LIBORt telah didefinisikan sebelumnya. Harapan tanda pada koefisien-koefisien parameter dalam persamaan tersebut adalah sebagai berikut: o1, p3 > 0
o2, p1, p2, p4 < 0
0 < o3, p5 < 1
10. Belanja Pembangunan Sektor Lainnya Pembangunan sektor lainnya merupakan bagian pembangunan yang tidak kalah pentingnya dengan pembangunan lima sektor utama. Namun karena banyaknya dan beragamnya sektor-sektor tersebut, untuk memudahkan penelitian ini, sektor-sektor tersebut dikelompokkan menjadi satu dalam sektor lainnya. Tujuan pembangunan sektor lainnya tersebut adalah untuk melengkapi dan mendukung pembangunan di lima sektor utama. Mengingat sumber-sumber pendanaan dalam negeri masih sangat terbatas, maka pemerintah juga masih mengandalkan pinjaman luar negeri untuk mempercepat pembangunan sektor lainnya tersebut. Besarnya pembiayaan rupiah murni untuk pembangunan sektor ini dipengaruhi oleh besarnya pendapatan pemerintah, alokasi belanja rutin pemerintah, serta pertumbuhan sektor ini pada tahun sebelumnya. Disamping itu pendanaan yang efektif berasal dari utang luar negeri untuk pembangunan sektor ini dipengaruhi oleh besarnya alokasi rupiah untuk pembangunan sektor ini, pembayaran utang luar negeri sektor ini, kebijakan kreditur (lender driven) dalam pengelolaan piutangnya, serta tingkat bunga pinjaman utang luar negeri. Variabel bedakala (lags) diperhitungkan ke dalam persamaan untuk melihat dinamika pendanaan pada tahun berjalan. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, persamaan belanja pembangunan sektor lainnya dapat dispesifikasikan: RPOTSt
= q1GOREVt + q2BLJRTNt + q3RPOTSt-1 + u17 . . . . . . . (5.17)
UTOTSt
= r0 + r1GRPOTSt + r2PUOTSt + r3DRVOTSt + r4LIBORt + r5UTOTSt-1 + u18 . . . . . . . . . . . . . . . . . (5.18)
dimana:
88
RPOTSt
= Belanja pembangunan rupiah murni sektor lainnya (juta rupiah) RPOTSt-1 = Belanja pembangunan rupiah murni sektor lainnya bedakala satu tahun (juta rupiah) UTOTSt = Belanja pembangunan sektor lainnya dari utang luar negeri (juta rupiah) GRPOTSt = Pertumbuhan belanja pembangunan rupiah murni sektor lainnya (persen) PUOTSt = Pembayaran utang luar negeri sektor lainnya (juta rupiah) DRVOTSt = Lender Driven sektor lainnya (juta rupiah) UTOTSt-1 = Belanja pembangunan sektor lainnya dari utang luar negeri bedakala satu tahun (juta rupiah) u17, u18 = Terminologi gangguan GOREVt, BLJRTNt, WINTRt telah didefinisikan sebelumnya. Harapan tanda pada koefisien-koefisien parameter dalam persamaan tersebut adalah sebagai berikut: q1, r3 > 0
q2, r1, r2, r4 < 0
0 < q3, r5 < 1
11. Pembayaran Utang Luar Negeri Sektor Pendidikan Pembangunan di bidang pendidikan selama lima tahun terakhir menjadi salah satu prioritas tertinggi dalam pembangunan nasional. Hal ini ditunjukkan oleh penyediaan anggaran dengan porsi yang lebih dibandingkan dengan bidangbidang pembangunan lainnya. Investasi pemerintah yang dilakukan di bidang pendidikan, baik yang bersumber dari penerimaan dalam negeri maupun pinjaman luar negeri, baik yang berupa investasi langsung maupun dalam kerangka regulasi guna mendorong partisipasi swasta dan masyarakat dalam pembangunan di bidang pendidikan, diharapkan dapat meningkatkan kinerja sektor pendidikan. Peningkatan tersebut berupa peningkatan pendapatan pemerintah dengan tetap memperhatikan peningkatan kualitas dan kuantitas sumber daya manusia, yang pada gilirannya akan dapat meningkatkan PDB. Oleh karena itu besarnya pembayaran utang luar negeri di sektor pendidikan umumnya sangat dipengaruhi oleh besarnya penerimaan pemerintah. Di samping itu, besarnya penggunaan utang luar negeri juga mempunyai pengaruh terhadap kemampuan pemerintah dalam menyediakan anggaran rupiah murni untuk pembayaran utang luar negeri sektor ini pada tahun berjalan.
89
Variabel bedakala (lags) yaitu pembayaran utang luar negeri pada tahun sebelumnya diperhitungkan ke dalam persamaan untuk melihat dinamikanya terhadap pembayaran utang luar negeri pada tahun berjalan. Dengan demikian persamaan
pembayaran
utang
luar
negeri
sektor
pendidikan
dapat
dispesifikasikan sebagai berikut: PUDIKt = s0 + s1GOREVt + s2UTDIKt-1 + s3PUDIKt-1 + u19 . . . . . (5.19) dimana: PUDIKt = Pembayaran utang luar negeri sektor pendidikan (juta rupiah) PUDIKt-1 = Pembayaran utang luar negeri sektor pendidikan bedakala satu tahun (juta rupiah) u19 = Terminologi gangguan GOREVt , UTDIKt telah didefinisikan sebelumnya. Harapan tanda pada koefisien-koefisien parameter dalam persamaan tersebut adalah sebagai berikut: s1 , s2 > 0
0 < s3 < 1
12. Pembayaran Utang Luar Negeri Sektor Kesehatan Pembangunan kesehatan merupakan upaya untuk memenuhi salah satu hak dasar rakyat, yaitu memperoleh akses atas kebutuhan pelayanan kesehatan secara memadai. Investasi pemerintah yang dilakukan di bidang kesehatan, baik yang menggunakan dana rupiah murni maupun pinjaman luar negeri, baik yang berupa investasi langsung maupun dalam kerangka regulasi guna mendorong partisipasi swasta dan masyarakat dalam pembangunan di bidang kesehatan, diharapkan dapat meningkatkan kinerja sektor kesehatan berupa peningkatan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat, yang pada gilirannya akan dapat meningkatkan PDB. Oleh karena itu besarnya pembayaran utang luar negeri di sektor kesehatan umumnya sangat dipengaruhi oleh besarnya penerimaan pemerintah. Di samping itu, besarnya penggunaan utang luar negeri juga mempunyai pengaruh terhadap kemampuan pemerintah dalam menyediakan anggaran rupiah murni untuk pembayaran utang luar negeri sektor ini pada tahun berjalan. Variabel bedakala (lags) yaitu pembayaran utang luar negeri pada tahun sebelumnya diperhitungkan ke dalam persamaan untuk melihat dinamikanya
90
terhadap pembayaran utang luar negeri pada tahun berjalan. Dengan demikian persamaan pembayaran utang luar negeri sektor kesehatan dapat dispesifikasikan sebagai berikut: PUKESt = t0 + t1GOREVt + t2UTKESt + t3PUKESt-1 + u20 . . . . . . . (5.20) dimana: PUKESt = Pembayaran utang luar negeri sektor kesehatan (juta rupiah) PUKESt-1 = Pembayaran utang luar negeri sektor kesehatan bedakala satu tahun (juta rupiah) u20 = Terminologi gangguan GOREVt , UTKESt telah didefinisikan sebelumnya. Harapan tanda pada koefisien-koefisien parameter dalam persamaan tersebut adalah sebagai berikut: t1, t2 > 0
0 < t3 < 1
13. Pembayaran Utang Luar Negeri Sektor Pertanian dan Pengairan Sektor pertanian dan pengairan mempunyai peran yang besar dalam perekonomian masyarakat Indonesia melalui sumbangannya terhadap: (1) produk domestik bruto, (2) ekspor, (3) penyediaan lapangan kerja, dan (4) penyediaan bahan pangan. Walaupun peranannya begitu penting, namun sampai saat ini sektor pertanian dan pengairan masih belum mampu memberikan pendapatan yang layak bagi produktivitas para petani. Produktivitas tenaga kerja di sektor pertanian dan pengairan masih lebih rendah dari pada produktivitas tenaga kerja di sektor-sektor lainnya. Kemiskinan yang terjadi di pedesaan umumnya terjadi pada rumah tangga pertanian. Oleh karena itu, sampai saat ini pembangunan sektor pertanian dan pengairan masih tetap menjadi prioritas pembangunan nasional. Investasi di sektor pertanian dan pengairan secara nasional berasal dari masyarakat/ swasta, kredit/ perbankan, pemerintah, serta utang luar negeri. Besarnya pembayaran utang luar negeri pemerintah di sektor pertanian dan pengairan umumnya sangat dipengaruhi oleh besarnya penerimaan pemerintah. Di samping itu, besarnya penggunaan utang luar negeri juga mempunyai pengaruh terhadap kemampuan pemerintah dalam menyediakan anggaran rupiah murni untuk pembayaran utang luar negeri sektor ini pada tahun berjalan.
91
Variabel bedakala (lags) yaitu pembayaran utang luar negeri pada tahun sebelumnya diperhitungkan ke dalam persamaan untuk melihat dinamikanya terhadap pembayaran utang luar negeri pada tahun berjalan. Dengan demikian persamaan pembayaran utang luar negeri sektor pertanian dan pengairan dapat dispesifikasikan sebagai berikut: PUTANt = v0 + v1GOREVt + v2UTTANt + v3PUTANt-1 + u21 . . . . . (5.21) dimana: PUTANt = Pembayaran utang luar negeri sektor pertanian dan pengairan (juta rupiah) PUTANt-1 = Pembayaran utang luar negeri sektor pertanian dan pengairan bedakala satu tahun (juta rupiah) u21 = Terminologi gangguan GOREVt , UTTANt telah didefinisikan sebelumnya. Harapan tanda pada koefisien-koefisien parameter dalam persamaan tersebut adalah sebagai berikut: v1, v2 > 0
0 < v3 < 1
14. Pembayaran Utang Luar Negeri Sektor Pertambangan dan Energi Dalam kehidupan modern saat ini, kesejahteraan manusia sangat ditentukan oleh ketersediaan, jumlah, harga dan mutu energi yang dapat dimanfaatkannya secara berkesinambungan oleh masyarakatnya. Selain merupakan salah satu sumber penerimaan devisa negara yang penting, energi juga merupakan unsur penunjang utama dalam pertumbuhan ekonomi, yang akan mempengaruhi pula pertumbuhan sektor lainnya. Dengan demikian pembangunan sektor ini, yang melibatkan kekayaan bumi Indonesia harus senantiasa memperhatikan pengelolaan sumber daya alam, agar selain dapat memberikan manfaat saat ini, juga dapat menjamin kehidupan dan ketersediaan sumber daya alam untuk masa datang. Sumber daya alam yang terbarukan harus dikelola sedemikian rupa sehingga fungsinya dapat dipertahankan lebih lama, sedangkan sumber daya alam yang tidak terbarukan harus pula digunakan sehemat mungkin dan diupayakan perlambatan penghabisan cadangannya. Investasi pemerintah yang dilakukan di bidang pertambangan maupun energi, baik yang menggunakan dana rupiah murni maupun pinjaman luar
92
negeri, baik yang berupa investasi langsung maupun dalam kerangka regulasi guna mendorong partisipasi swasta dan masyarakat dalam pembangunan di bidang energi, diharapkan dapat meningkatkan kinerja sektor pertambangan dan energi berupa peningkatan pendapatan pemerintah dengan tetap memperhatikan kelestarian sumber daya alam, yang pada gilirannya akan dapat meningkatkan produk domestik bruto. Besarnya pembayaran utang luar negeri di sektor pertambangan dan energi umumnya sangat dipengaruhi oleh besarnya penerimaan pemerintah, besarnya penggunaan utang luar negeri di sektor ini dan besarnya pembayaran utang luar negeri sektor ini pada tahun sebelumnya. Variabel bedakala (lags) yaitu pembayaran utang luar negeri pada tahun sebelumnya diperhitungkan ke dalam persamaan untuk melihat dinamikanya terhadap pembayaran utang luar negeri pada tahun berjalan. Dengan demikian persamaan pembayaran utang luar negeri sektor ini dapat dispesifikasikan: PUENGt
= w0 + w1GOREVt + w2UTENGt + w3PUENGt-1 + u22 . . (5.22)
dimana: PUENGt PUENGt-1 u22
= Pembayaran utang luar negeri sektor pertambangan dan energi (juta rupiah) = Pembayaran utang luar negeri sektor pertambangan dan energi bedakala satu tahun (juta rupiah) = Terminologi gangguan
GOREVt , UTENGt telah didefinisikan sebelumnya. Harapan tanda pada koefisien-koefisien parameter dalam persamaan tersebut adalah sebagai berikut: w1, w2 > 0
0 < w3 < 1
15. Pembayaran Utang Luar Negeri Sektor Perhubungan dan Transportasi Percepatan pembangunan infrastruktur di sektor perhubungan dan transportasi ditujukan untuk meningkatkan pelayanan secara lebih efisien, handal, berkualitas, aman dan terjangkau, serta untuk mewujudkan sistem transportasi nasional yang terpadu secara intermoda dan pembangunan wilayah serta pembangunan sektor-sektor lainnya.
93
Mengingat sektor perhubungan dan transportasi termasuk program yang bersifat cost recovery dan quick yield, maka investasi untuk pembangunan sektor perhubungan dan transportasi akan diupayakan baik dari sumber dalam maupun luar negeri dengan pelaku baik oleh pemerintah maupun oleh swasta, meskipun semuanya tetap harus dalam kendali pemerintah. Besarnya pembayaran utang luar negeri untuk proyek-proyek di sektor perhubungan dan transportasi umumnya sangat dipengaruhi oleh besarnya penerimaan pemerintah, besarnya penggunaan utang luar negeri di sektor ini dan besarnya pembayaran utang luar negeri sektor ini pada tahun sebelumnya. Variabel bedakala (lags) yaitu pembayaran utang luar negeri pada tahun sebelumnya diperhitungkan ke dalam persamaan untuk melihat dinamikanya terhadap pembayaran utang luar negeri sektor ini pada tahun berjalan. Dengan demikian persamaan pembayaran utang luar negeri sektor perhubungan dan transportasi dapat dispesifikasikan sebagai berikut: PUHUBt
= x0 + x1GOREVt + x2PUHUBt-1 + u23 . . . . . . . . . . . . . . (5.23)
dimana: PUHUBt PUHUBt-1 u23
= Pembayaran utang luar negeri sektor perhubungan dan transportasi (juta rupiah) = Pembayaran utang luar negeri sektor perhubungan dan transportasi bedakala satu tahun (juta rupiah) = Terminologi gangguan
GOREVt , UTHUBt telah didefinisikan sebelumnya. Harapan tanda pada koefisien-koefisien parameter dalam persamaan tersebut adalah sebagai berikut: x1, x2 > 0
0 < x3 < 1
16. Pembayaran Utang Luar Negeri Sektor Lainnya Tujuan pembangunan sektor lainnya tersebut adalah untuk melengkapi dan mendukung pembangunan di lima sektor utama. Mengingat banyaknya dan beragamnya sektor-sektor di luar sektor utama, untuk memudahkan penelitian ini, sektor-sektor tersebut dikelompokkan menjadi satu dalam sektor lainnya. Besarnya pembayaran utang luar negeri untuk proyek-proyek di sektor lainnya umumnya sangat dipengaruhi oleh besarnya penerimaan pemerintah,
94
besarnya penggunaan utang luar negeri di sektor ini dan besarnya pembayaran utang luar negeri sektor ini pada tahun sebelumnya. Variabel bedakala (lags) yaitu pembayaran utang luar negeri pada tahun sebelumnya diperhitungkan ke dalam persamaan untuk melihat dinamikanya terhadap pembayaran utang luar negeri sektor ini pada tahun berjalan. Dengan demikian persamaan pembayaran utang luar negeri sektor lainnya dapat dispesifikasikan sebagai berikut: PUOTSt
= y1GOREVt + y2UTOTSt + y3PUOTSt-1 + u24 . . . . . . . . (5.24)
dimana: PUOTSt = Pembayaran utang luar negeri sektor lainnya (juta rupiah) PUOTSt-1 = Pembayaran utang luar negeri sektor lainnya bedakala satu tahun (juta rupiah) u24 = Terminologi gangguan GOREVt , UTOTSt telah didefinisikan sebelumnya. Harapan tanda pada koefisien-koefisien parameter dalam persamaan tersebut adalah sebagai berikut: y1, y2 > 0
0 < y3 < 1
17. Angka Partisipasi Sekolah Pendidikan merupakan salah satu bidang yang sangat penting dan strategis dalam pembangunan nasional karena memberi kontribusi signifikan pada upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat. Salah satu indikator utama dalam pembangunan bidang pendidikan dicirikan dengan besarnya Angka Partisipasi Sekolah (APS) anak kelompok usia 7-12 tahun, yaitu perbandingan antara jumlah orang yang menempuh pendidikan formal sekolah dengan jumlah orang seluruhnya pada kelompok umur tersebut. Besarnya nilai APS ini dipengaruhi oleh besarnya alokasi pendanaan dari rupiah murni tahun sebelumnya untuk pembangunan sektor pendidikan, kebijakan kreditur dalam pengelolaan peminjaman utangnya di sektor pendidikan, serta utang luar negeri yang efektif digunakan di sektor ini. Variabel bedakala (lags) yaitu APS pada tahun sebelumnya diperhitungkan ke dalam persamaan untuk melihat dinamikanya terhadap APS pada tahun
95
berjalan. Dengan demikian persamaan angka partisipasi sekolah dapat dispesifikasikan sebagai berikut: APSt
= z0 + z1RPDIKt-1 + z2DRVDIKt + z3EFUTDIKt + z4APSt-1+ u25 . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . (5.25)
dimana: APSt EFUTDIKt u25
= Angka partisipasi sekolah anak kelompok usia 7-12 tahun (persen) = Jumlah pinjaman luar negeri yang efektif digunakan sektor pendidikan (juta rupiah) = Terminologi gangguan
RPDIKt-1, DRVDIKt, APSt-1 telah didefinisikan sebelumnya. Harapan tanda pada koefisien-koefisien parameter dalam persamaan tersebut adalah sebagai berikut: z1, z3 > 0
z2 < 0
0 < z4 < 1
18. Angka Tahun Lama Bersekolah Penyiapan anak untuk mengikuti pendidikan sejak dini sangat penting guna menyiapkan setiap anak agar dapat menempuh pendidikan secara lebih baik secara berjenjang dan bertahap. Angka Tahun Lama Bersekolah (THSEK) menunjukkan seberapa lama (tahun) anak usia 13-15 tahun telah menempuh pendidikan formal di sekolah. Angka ini penting karena selain merupakan salah satu indikator utama dalam pembangunan bidang pendidikan, juga dapat menggambarkan kualitas sumber daya manusia dan tenaga kerja yang ada. Besarnya angka THSEK ini ditentukan oleh besarnya alokasi pendanaan untuk pembangunan sektor pendidikan, baik yang berasal dari dana rupiah murni maupun dari utang luar negeri, serta oleh kebijakan kreditur dalam penyaluran pinjamannya. Persamaan THSEK dapat dispesifikasikan sebagai berikut: THSEKt
= aa0 + aa1RPDIKt + aa2DRVDIKt + aa3EFUTDIKt + aa4THSEKt-1 + u26 . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . (5.26)
dimana: THSEKt THSEKt-1 u26
= Angka tahun lama bersekolah anak kelompok usia 13-15 tahun (tahun) = Angka tahun lama bersekolah anak kelompok usia 13-15 bedakala satu tahun (tahun) = Terminologi gangguan
96
RPDIKt, DRVDIKt, EFUTDIKt telah didefinisikan sebelumnya. Harapan tanda pada koefisien-koefisien parameter dalam persamaan tersebut adalah sebagai berikut: aa1, aa3 > 0
aa2 < 0
0 < aa4 < 1
19. Angka Kematian Bayi Sesuai dengan amanat UUD 1945, pembangunan kesehatan merupakan upaya untuk memenuhi hak dasar rakyat, yaitu hak untuk memperoleh kesehatan. Dalam pengukuran IPM, kesehatan adalah salah satu komponen utama selain pendidikan dan ekonomi. Salah satu indikator pembangunan kesehatan yang penting adalah Angka Kematian Bayi (AKB), yaitu jumlah kematian bayi per 1000 kelahiran. Menurunnya angka kematian bayi dapat menunjukkan peningkatan keberhasilan pembangunan sektor kesehatan. Besarnya angka kematian bayi ini dipengaruhi oleh besarnya alokasi pendanaan untuk pembangunan sektor kesehatan, baik yang berasal dari dana rupiah murni maupun dari utang luar negeri, serta oleh kebijakan kreditur dalam pengelolaan peminjaman utangnya di sektor kesehatan. Variabel bedakala (lags) yaitu angka kematian bayi pada tahun sebelumnya diperhitungkan ke dalam persamaan untuk melihat dinamikanya terhadap angka kematian bayi pada tahun berjalan. Dengan demikian persamaan angka kematian bayi dapat dispesifikasikan sebagai berikut: AKBt
= ab0 + ab1RPKESt + ab2EFUTKESt + ab3AKBt-1 + u27 (5.27)
dimana: AKBt = Angka kematian bayi per 1000 kelahiran (bayi) EFUTKESt = Jumlah pinjaman luar negeri yang efektif digunakan sektor kesehatan (juta rupiah) AKBt-1 = Angka kematian bayi per 1000 kelahiran bedakala satu tahun (bayi) u27 = Terminologi gangguan RPKESt telah didefinisikan sebelumnya. Harapan tanda pada koefisien-koefisien parameter dalam persamaan tersebut adalah sebagai berikut: ab1, ab2 < 0
0 < ab3 < 1
97
20. Usia Harapan Hidup Pembangunan kesehatan merupakan investasi untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Dalam pengukuran IPM, kesehatan adalah salah satu komponen utama selain pendidikan dan ekonomi. Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan ditetapkan bahwa kesehatan adalah keadaan sejahtera jiwa dan raga yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomi. Salah satu indikator keberhasilan pembangunan kesehatan adalah semakin meningkatnya angka usia harapan hidup penduduk (UHH)-nya. Dari data-data empiris diketahui bahwa secara umum status kesehatan dan gizi masyarakat Indonesia terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, yang dapat dilihat dari indikator kesehatan, yang salah satunya adalah angka usia harapan hidup. Hal ini perlu terus dijaga dan ditingkatkan karena status kesehatan masyarakat Indonesia masih jauh dari sasaran Millennium Development Goals (MDGs). Besarnya angka usia harapan hidup ini dipengaruhi oleh besarnya alokasi pendanaan untuk pembangunan sektor kesehatan, baik yang berasal dari dana rupiah murni maupun dari utang luar negeri yang efektif digunakan untuk pembangunan sektor kesehatan, dan oleh kebijakan kreditur dalam pengelolaan peminjaman utangnya di sektor kesehatan. Variabel bedakala (lags) yaitu usia harapan hidup pada tahun sebelumnya diperhitungkan ke dalam persamaan untuk melihat dinamikanya terhadap usia harapan hidup pada tahun berjalan. Dengan demikian persamaan usia harapan hidup dapat dispesifikasikan sebagai berikut: UHHt
= ac0 + ac1RPKESt + ac2DRVKESt + ac3EFUTKESt + ac4UHHt-1 + u28 . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . (5.28)
dimana: UHHt = Usia harapan hidup (tahun) u28 = Terminologi gangguan RPKESt, DRVKESt, EFUTKESt, UHHt-1 telah didefinisikan sebelumnya. Harapan tanda pada koefisien-koefisien parameter dalam persamaan tersebut adalah sebagai berikut: ac1, ac3 < 0
0 < ac2 < 1
98
21. Pertumbuhan Sektor Pertanian dan Pengairan Jumlah penduduk Indonesia yang semakin bertambah dari tahun ke tahun membutuhkan ketersediaan bahan pangan yang mencukupi. Hal ini memerlukan pengamanan produksi pangan dalam negeri agar ketergantungan terhadap impor bahan pangan dapat semakin diperkecil. Selain itu hal ini juga dalam rangka mempertahankan stabilitas harga bahan pangan, dan menjamin permintaan pangan/ ketahanan pangan secara nasional. Untuk itu diperlukan peningkatan produksi pangan pokok terutama padi/ beras dan produktivitasnya serta sarana dan prasarananya. Besarnya angka pertumbuhan sektor pertanian dan pengairan dipengaruhi oleh besarnya alokasi pendanaan untuk pembangunan sektor ini, baik yang berasal dari dana rupiah murni maupun dari utang luar negeri, serta oleh kebijakan kreditur dalam pengelolaan peminjaman utangnya di sektor pertanian dan pengairan. Dengan demikian persamaan pertumbuhan sektor pertanian dan pengairan dapat dispesifikasikan sebagai berikut: GTANt
= ad0 + ad1RPTANt + ad2DRVTANt +ad3EFUTTANt + u29 . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . (5.29)
dimana: GTANt = Angka pertumbuhan sektor pertanian dan pengairan (persen) EFUTTANt= Jumlah pinjaman luar negeri yang efektif digunakan sektor pertanian dan pengairan (juta rupiah) u29 = Terminologi gangguan RPTANt, DRVTANt telah didefinisikan sebelumnya. Harapan tanda pada koefisien-koefisien parameter dalam persamaan tersebut adalah sebagai berikut: ad1, ad3 > 0
ad2 < 0
22. Pertumbuhan Sektor Pertambangan dan Energi Salah satu tantangan yang dihadapi oleh bangsa dan negara Indonesia di masa yang akan datang adalah ketergantungan terhadap minyak bumi yang semakin lama semakin sedikit cadangannya dan harganya yang sangat fluktuatif. Oleh karena itu intensifikasi pencarian sumber energi, diversifikasi dan
99
konservasi di sektor energi dan energi baru serta terbarukan perlu terus ditingkatkan dengan tidak melupakan faktor pengendalian lingkungan hidup. Besarnya angka pertumbuhan sektor pertambangan dan energi dipengaruhi oleh besarnya alokasi pendanaan untuk pembangunan sektor ini, baik yang berasal dari dana rupiah murni maupun dari utang luar negeri, serta oleh besarnya kebijakan kreditur dalam pengelolaan peminjaman utangnya di sektor ini. Dengan demikian persamaan pertumbuhan sektor pertambangan dan energi dapat dispesifikasikan sebagai berikut: GENGt
= ae1RPENGt + ae2EFUTENGt + ae3GENGt-1 + u30
. . . (5.30)
dimana: GENGt = Angka pertumbuhan sektor pertambangan dan energi (persen) EFUTENGt = Jumlah pinjaman luar negeri yang efektif digunakan sektor pertambangan dan energi (juta rupiah) u30 = Terminologi gangguan RPENGt, GENGt-1 telah didefinisikan sebelumnya. Harapan tanda pada koefisien-koefisien parameter dalam persamaan tersebut adalah sebagai berikut: ae1, ae2 > 0
0 < ae3 < 1
23. Pertumbuhan Sektor Perhubungan dan Transportasi Pembangunan sektor perhubungan dan transportasi ditujukan untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat dan mewujudkan sistem transportasi nasional yang terpadu secara intermoda dan terpadu dengan pembangunan wilayah serta pembangunan sektor lainnya. Namun pembangunan di sektor ini masih dihadapkan pada beberapa kendala antara lain: (1) menurunnya kualitas dan keberlanjutan infrastruktur, (2) belum optimalnya dukungan infrastruktur terhadap peningkatan daya saing sektor riil, serta (3) masih terbatasnya aksesibilitas pelayanan sektor ini dalam mengurangi kesenjangan antar masyarakat. Oleh karena itu pembangunan sektor perhubungan dan transportasi ini perlu terus ditumbuhkan. Besarnya pertumbuhan sektor perhubungan dan transportasi ini dipengaruhi oleh besarnya alokasi pendanaan untuk pembangunan sektor ini, baik yang
100
berasal dari dana rupiah murni maupun dari utang luar negeri, serta oleh kebijakan kreditur dalam pengelolaan peminjaman utangnya di sektor ini. Variabel bedakala (lags) yaitu pertumbuhan sektor perhubungan dan transportasi pada tahun sebelumnya diperhitungkan ke dalam persamaan untuk melihat dinamikanya terhadap pertumbuhan sektor ini pada tahun berjalan. Dengan demikian persamaan pertumbuhan sektor perhubungan dan transportasi dapat dispesifikasikan sebagai berikut: GHUBt
= af0 + af1RPHUBt + af2DRVHUBt +af3EFUTHUBt + af4GHUBt-1 + u31 . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . (5.31)
dimana: GHUBt
= Angka pertumbuhan sektor perhubungan dan transportasi (persen) EFUTHUBt = Jumlah pinjaman luar negeri yang efektif digunakan sektor perhubungan dan transportasi (juta rupiah) u31 = Terminologi gangguan RPHUBt, DRVHUBt, GHUBt-1 telah didefinisikan sebelumnya. Harapan tanda pada koefisien-koefisien parameter dalam persamaan tersebut adalah sebagai berikut: af1, af3 > 0
af2 < 0
0 < af4 < 1
24. Angka Pengangguran Angka pengangguran terbuka di Indonesia sampai dengan tahun 2005 masih tergolong cukup tinggi. Hal ini disebabkan pertumbuhan ekonomi Indonesia yang belum dapat menciptakan lapangan kerja baru bagi para pencari kerja. Akibatnya, upaya penciptaan kesempatan kerja seluas-luasnya dan penurunan angka pengangguran belum dapat dicapai sepenuhnya. Kenaikan harga pada beberapa komoditi strategis seperti bahan bakar minyak sangat berpengaruh terhadap kemampuan sektor riil untuk melakukan investasi baru atau mengembangkan investasinya, yang akan berpengaruh terhadap angka pengangguran. Kenaikan pendapatan pemerintah dan adanya investasi baru dari pemerintah yang dibiayai dari utang luar negeri diharapkan dapat menciptakan lapangan kerja baru yang dapat mengurangi jumlah pengangguran.
101
Variabel bedakala (lags) yaitu jumlah angka pengangguran pada tahun sebelumnya diperhitungkan ke dalam persamaan untuk melihat dinamikanya terhadap angka pengangguran pada tahun berjalan. Dengan demikian persamaan angka pengangguran dapat dispesifikasikan sebagai berikut: UNEMt
= ag0 + ag1GOREVt + ag2UTGOVt + ag3GPDBIt-1 + UNEMt-1 + u32 . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . (5.32)
dimana: UTGOVt GPDBIt UNEMt-1 u32
= Jumlah pinjaman luar negeri negeri pemerintah yang sedang berjalan (on going loan) (juta rupiah) = Pertumbuhan produk domestik bruto Indonesia (juta rupiah) = Angka pengangguran bedakala satu tahun (ribu orang) = Terminologi gangguan
UNEMt, GOREVt telah didefinisikan sebelumnya. Harapan tanda pada koefisien-koefisien parameter dalam persamaan tersebut adalah sebagai berikut: ag1, ag2, ag3 < 0
0 < ag4 < 1
25. Permintaan Utang Luar Negeri Pemerintah Sejalan dengan upaya pencapaian fiscal sustainability dan penyehatan APBN, pemerintah terus mengupayakan berbagai kebijakan dalam rangka meningkatkan pendapatan negara antara lain melalui peningkatkan pendapatan pemerintah. Namun, mengingat masih terbatasnya sumber penerimaan dalam negeri sementara kebutuhan dana pembangunan yang semakin terus meningkat, maka upaya yang ditempuh pemerintah salah satunya adalah kebijakan pembiayaan defisit. Salah satu cara menutup pembiayaan defisit adalah melalui pengadaan utang luar negeri. Besarnya permintaan utang luar negeri guna menutup kebutuhan pembiayaan defisit ditentukan oleh besarnya PDB, net ekspor, belanja pemerintah, selisih pembayaran utang luar negeri pemerintah tahun berjalan dengan tahun sebelumnya, dan tingkat suku bunga pinjaman luar negeri (Sachs, 1981 dan Alun, 1992). Sementara itu, untuk melihat kedinamisan permintaan utang luar negeri tahun yang bersangkutan perlu diperhatikan pengaruh permintaan utang luar negeri pada tahun sebelumnya. Oleh karena itu,
102
persamaan permintaan utang luar negeri pemerintah dapat dispesifikasikan sebagai berikut: DULNPt
= ag0 + ag1PDBIt + ag2NXPRTt + ag4GOEXPt + ag4DPUGOVt + ag5SPRDt +u33 . . . . . . . . . . . . . . . (5.33)
dimana: DUNLPt = Permintaan utang luar negeri pemerintah (triliun rupiah) PDBIt = Produk domestik bruto Indonesia (triliun rupiah) DPUGOVt = Selisih pembayaran utang luar negeri pemerintah tahun berjalan dengan tahun sebelumnya (triliun rupiah) SPRDt = Margin diatas LIBOR (persen) u33 = Terminologi gangguan NXPRTt, dan GOEXPt telah didefinisikan sebelumnya. Harapan tanda pada koefisien-koefisien parameter dalam persamaan tersebut adalah sebagai berikut: ag1, ag3, ag4 > 0
ag2, ag5 < 0
26. Produk Domestik Bruto Dalam perekonomian terbuka, Produk Domestik Bruto adalah jumlah konsumsi rumah tangga, investasi masyarakat, pembelanjaan pemerintah dan jumlah ekspor dikurangi impor (net ekspor). PDB ini dapat digunakan sebagai indikator untuk mengukur pendapatan setiap individu dalam perekonomian suatu negara. Selain itu, terdapat beberapa persamaan identitas lainnya, yang merupakan penjabaran lebih lanjut dari suatu variabel dalam sistem Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Persamaan PDB yang merupakan persamaan identitas tersebut, bersama dengan persamaan-persamaan identitas lainnya dalam sistem APBN untuk Indonesia dapat dinyatakan sebagai: PDBIt
= KONSt + INVESTt + GOEXPt + NXPRTt . . . . . . . . . . . (5.34)
RPMRNt
= RPDIKt + RPKESt + RPTANt + RPENGt + RPHUBt + RPOTSt . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . (5.35)
BLJPMBt = RPMRNt + PMBPRYt . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . (5.36) GOEXPt
= BLJRTNt + BLJPMBt . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . (5.37)
dimana: PDBIt
= Produk domestik bruto Indonesia (juta rupiah)
103
RPMRNt = Alokasi rupiah murni seluruh sektor (juta rupiah) PMBPRYt = Pembiayaan proyek dari PHLN (juta rupiah) KONSt, INVESTt, GOEXPt, NXPRTt, RPDIKt, RPKESt, RPTANt, RPENGt, RPHUBt, RPOTSt, BLJPMBt, BLJRTNt telah didefinisikan sebelumnya. 27. Utang Luar Negeri Pemerintah Utang Luar Negeri (ULN) pemerintah yang sedang berjalan merupakan bagian dari belanja pemerintah dan kebutuhan pendanaan untuk pembiayaan pembangunan apabila terjadi defisit anggaran. Manajemen pengelolaan ULN yang baik akan menentukan efektifitas penggunaan ULN. Disamping itu, adanya salah sasaran dalam pemanfaatan utang pemerintah juga mempengaruhi besarnya ULN pemerintah yang efektif digunakan untuk pembangunan. Persamaan utang luar negeri pemerintah dan persamaan lain yang terkait dengan defisit anggaran, yang merupakan persamaan identitas yang dapat dinyatakan sebagai: UTGOVt
= UTDIKt + UTKESt + UTTANt + UTENGt + UTHUBt + UTOTSt . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . (5.38)
PUGOVt
= PUDIKt + PUKESt + PUTANt + PUENGt + PUHUBt + PUOTSt . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . (5.39)
EFUTDIKt = UTDIKt - CORDIKt . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . (5.40) EFUTKESt = UTKESt - CORKESt . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . (5.41) EFUTTANt = UTTANt - CORTANt . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . (5.42) EFUTENGt = UTENGt - CORENGt . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . (5.43) EFUTHUBt = UTHUBt - CORHUBt . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . (5.44) EFUTOTSt = UTOTSt - COROTSt
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . (5.45)
FBt
= GOREVt - GOEXPt
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . (5.46)
BUGDEFt
= - (FBt/PDBIt) * 100 . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . (5.47)
dimana: PUGOVt = Jumlah pembayaran ULN pemerintah (juta rupiah) EFUTOTSt = Jumlah pinjaman luar negeri yang efektif digunakan sektor lainnya (juta rupiah) CORDIKt = Kebocoran penggunaan ULN sektor pendidikan (juta rupiah) CORKESt = Kebocoran penggunaan ULN sektor kesehatan (juta rupiah) CORTANt = Kebocoran penggunaan ULN sektor pertanian dan pengairan (juta rupiah)
104
CORENGt CORKESt COROTSt FBt BUGDEFt
= Kebocoran penggunaan ULN sektor energi dan pertambangan (juta rupiah) = Kebocoran penggunaan ULN perhubungan dan transportasi (juta rupiah) = Kebocoran penggunaan ULN sektor lainnya (juta rupiah) = Keseimbangan fiskal (juta rupiah) = Rasio defisit anggaran terhadap PDBI (persen)
UTGOVt, UTDIKt, UTKESt, UTTANt, UTENGt, UTHUBt, UTOTSt, PUDIKt, PUKESt, PUTANt, PUENGt, PUHUBt, PUOTSt, EFUTDIKt, EFUTKESt, EFUTTANt, EFUTENGt, EFUTHUBt, GOREVt, GOEXPt, PDBIt telah didefinisikan sebelumnya.
5.6.
Identifikasi Model Sebelum dilakukan estimasi model, terlebih dahulu dilakukan identifikasi
model (persamaan struktural), untuk menentukan metoda estimasi parameter yang tepat. Bentuk persamaan struktural dari seluruh sistem persamaan tersebut secara umum dapat dituliskan sebagai berikut: AYt + BXt = Ut
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . (5.48)
dimana: A Yt B Xt
= = = =
matriks koefisien (33 x 33) pada variabel endogen (current) vektor (33 x 1) pada variabel endogen (current) matriks koefisien (33 x 32) variabel bedakala endogen dan eksogen vektor (32 x 1) variabel bedakala endogen (lagged endogenous variable) dan eksogen Ut = Vektor (33 x 1) pada terminologi gangguan Untuk dapat memecahkan persamaan struktural tersebut variabel endogen (predetermined) harus diselesaikan terlebih dahulu dengan persamaan reduced form: Yt = -B A-1 Xt + A-1 Ut
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . (5.49)
atau, Yt = R Xt + Wt
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . (5.50)
dimana R = -B A-1 merupakan matriks koefisien reduced-form dan Wt = A1 Ut merupakan vektor terminologi gangguan reduced-form. Setelah koefisien parameter reduced-form diperoleh maka nilai-nilainya dapat digunakan untuk menduga nilai Yt. Selanjutnya dari nilai-nilai dugaan endogen sisi sebelah kanan persamaan struktural original, maka nilai-nilai
105
tersebut digunakan untuk menduga nilai-nilai persamaan struktural originalnya. Identifikasi model tersebut merupakan logika utama untuk mengestimasi, tidak hanya kedekatan hubungan pilihan metode estimasi saja melainkan juga untuk spesifikasi model persamaan simultan. Jika suatu persamaan atau model secara keseluruhan under-identified, maka tidak satupun metode ekonometrika yang dapat digunakan untuk mengestimasi semua parameter yang ada. Jika suatu persamaan exactlyidentified, maka metode yang paling tepat untuk mengestimasi parameter adalah metode Indirect Least Squares (ILS). Jika suatu persamaan atau model overidentified, maka berbagai metode estimasi dapat digunakan, antara lain adalah Two Stages Least Squares (2-SLS), Limited Information Maximum Likelihood (LIML), atau Three Stages Least Squares (3-SLS). Terdapat
dua
kondisi
yang
harus
dipenuhi
suatu
persamaan
teridentifikasi, yaitu kondisi ordo dan rank (order dan rank condition). Kondisi ordo untuk identifikasi model dinyatakan sebagai berikut: (K – M) ≥ (G – 1)
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . (5.51)
dimana: G = jumlah total variabel endogen (total persamaan) K = jumlah total variabel dalam model (endogen dan pre-determinan) M = jumlah variabel endogen dan eksogen dalam persamaan tertentu Dari setiap persamaan struktural, jika kondisi ordo (K – M) ≥ (G – 1) memuaskan maka persamaan-persamaan tersebut seluruhnya dinyatakan over identified. Seluruh persamaan bersifat linear, artinya tidak terdapat batasan nonlinear diantara parameter. Untuk menentukan pengidentifikasian pada suatu sistem persamaan, dua set kondisi perlu diperiksakan, yaitu kondisi ordo (order condition) dan kondisi peringkat (rank condition). Apabila kondisi ordo hanya merupakan kondisi perlu (necessary condition) dan tidak memenuhi syarat kecukupan (sufficiency condition), maka dapat dikatakan bahwa kondisi ordo tidak memuaskan, sehingga model tersebut tidak diidentifikasi. Dalam model utang luar negeri pemerintah yang dibangun pada penelitian ini, terdapat 47 persamaan yang terdiri dari 33 persamaan struktural
106
dan 14 persamaan identitas. Seluruh persamaan dalam model over-identified, yaitu memenuhi kondisi ordo (K – M) > (G – 1), dimana jumlah K sebanyak 85 variabel, jumlah M sebanyak 3 sampai 6 variabel, dan jumlah G sebanyak 30 variabel. Berdasarkan sampel data yang ada dan dimungkinkan spesifikasi model untuk alternatif simulasi kebijakan, maka metode 2-SLS akan digunakan untuk mengestimasi parameter struktural atas model yang sudah dispesifikasi. Metode 2-SLS lebih umum digunakan, sangat murah dan mudah penghitungannya untuk estimasi model over-identified (Johnson, 1972 dalam Koutsoyiannis, 1978).
5.7.
Metode Estimasi Pemilihan metode estimasi sangat tergantung pada data yang ada. Metode
estimasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode 2-SLS, yang merupakan pendekatan persamaan tunggal yang dapat diaplikasikan untuk satu persamaan dalam sistem pada suatu waktu tertentu. Prosedur pengestimasian 2SLS mengikuti dua tahap. Tahap pertama, masing-masing sisi sebelah kanan variabel endogen tahun berjalan (current endogenous variable) diregresikan pada semua variable pre-determinan dalam model dengan menggunakan OLS untuk memperoleh nilai-nilai teregresi pada variabel endogen tahun berjalan tersebut. Tahap kedua, variabel endogen tahun berjalan orisinal dalam sisi sebelah kanan pada persamaan struktural dimasukkan nilai-nilai yang terestimasi untuk memperoleh persamaan struktural yang tertransformasi. Penerapan OLS terhadap persamaan struktural yang tertransformasi tersebut memberikan estimasi 2-SLS pada parameter struktural.
5.8.
Validasi Model Untuk validasi model ekonometrika Utang Luar Negeri Pemerintah pada
periode sampel ini digunakan dengan metode Gauss-Seidel. Periode sampel diambil dari periode data yang mewakili terjadinya peristiwa-peristiwa sesuai dengan kebijakan yang diambil Pemerintah. Keseluruhan prosedur validasi atas model yang dibangun tersebut akan menggunakan program Statistical Analysis System/ Estimation Time Series (SAS/ ETS) versi 6.12.
107
5.8.1. Root Mean Square Percent Error Keragaan ramalan model yang dibangun akan dianalisa menggunakan statistik maupun teknis secara grafts. Dua validasi statistik, yaitu Root Mean Square Percent Error (RMSPE) dan R2, akan digunakan untuk semua variabel endogen persamaan utang luar negeri pemerintah. Di samping itu U-Theil juga dapat digunakan untuk validasi model. RMSPE untuk masing-masing variabel endogen dapat ditentukan sebagai berikut: n
RMSPE 100 * {1 / n[(Yt b Yt a ) / Yt a ]2 }
. . . . . . . . . . . . . . . . . (5.52)
t 1
dimana: Ya = nilai-nilai dasar yang disimulasi Yb = nilai-nilai aktual, dan N
= jumlah periode dalam simulasi
Jadi, RMSPE merupakan suatu ukuran deviasi pada variabel yang disimulasi dari nilai aktualnya dalam persentase. Dalam simulasi kebijakan, tingkat absolut variabel-variabel tidak terlalu menarik. Hal yang penting untuk diketahui adalah bagaimana suatu perubahan dalam variabel instrumen mempengaruhi variabel endogen dalam sistem. Dalam hal ini R2 juga sesuai untuk mengukur keragaan (daya) ramalan pada model tersebut. Apabila nilai RMSPE lebih kecil dari 20 persen, maka secara statistik hasil simulasi persamaan tersebut memuaskan. Jika nilai RMSPE di antara 20 90 persen maka hasil simulasi persamaan tersebut cukup memuaskan. Namun apabila nilai RMSPE di atas 90 persen maka secara statistik hasil simulasi persamaan tersebut tidak baik atau kurang memuaskan. Untuk nilai R2 (daya ramal) dinyatakan bahwa jika nilainya 0.70 atau lebih maka variable-variabel tersebut mampu menjelaskan simulasi persamaan secara memuaskan.
5.8.2. Uji Durbin-Watson Model yang paling sederhana dan umum digunakan adalah apabila gangguan (errors) ut dan ut-1 mempunyai korelasi e. Dalam model sederhana ini,
108
alat untuk menguji hipotesa tentang e pada basis ê, korelasi antara residual kuadrat terkecil ut dan ut-1, yang umum digunakan untuk maksud tersebut adalah statistik Durbin-Watson (DW), yang dinyatakan dengan d, yaitu:
d
(uˆ uˆ uˆ
t 1 2
t
)2
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . (5.53)
t
dimana ût adalah residual yang diestimasi pada periode t. Durbin-Watson (1950) membuat limit atas (dU) dan limit bawah (dL) terhadap tingkat signifikansi untuk d sebagai berikut: 1.
Jika d < dL, tolak hipotesa nol, berarti tidak ada autokorelasi
2.
Jika d > dU, terima hipotesa nol, berarti ada autokorelasi
3.
Jika dL < d < dU, uji tersebut tidak disimpulkan (inconclusive).
Dalam tabel DW dinyatakan bahwa jika d > 2 dan kita mengharapkan uji hipotesa p = 0 terhadap p < 0, kita nyatakan 4 - d dan menurut tabel DW dinyatakan sebagai uji terhadap autokorelasi positif.
5.9.
Simulasi Model Periode simulasi yang digunakan adalah mulai tahun 1985, dengan
pertimbangan bahwa sejak permulaan Pelita IV (1984/1985), utang luar negeri pemerintah telah mulai mengalami kenaikan yang cukup signifikan dalam pendanaan pembangunan nasional. Hal tersebut terjadi karena keterbatasan sumber pendanaan dari dalam negeri dan keinginan untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Simulasi model diarahkan pada evaluasi kebijakan dari pemerintah dan kebijakan dari kreditur. Skenario simulasi kebijakan tersebut meliputi: 1.
SIM-1: Kenaikan tingkat suku bunga pinjaman luar negeri sebesar 10 persen dari tingkat yang berlaku. Hal ini relevan digunakan mengingat hasil estimasi menunjukkan bahwa penggunaan pinjaman luar negeri dipengaruhi oleh fluktuasi suku bunga pinjaman. Selain itu dalam kenyataannya Indonesia adalah small open economy country yang cenderung hanya bisa bertindak sebagai price taker.
109
2.
SIM-2: Pengurangan utang luar negeri pemerintah sebesar 10 persen. Hal ini dilakukan melalui penurunan pinjaman luar negeri di masing-masing sektor pembangunan. Skenario ini relevan dilakukan mengingat pada tahun 2004 stok utang pemerintah telah mencapai 54.3 persen dari PDBI, sementara sampai dengan Triwulan I tahun 2005, stok utang luar negeri pemerintah telah mencapai jumlah nominal sebesar USD 77.68 miliar.
3.
SIM-3: Penurunan pengaruh kebijakan kreditur (lender driven) sebesar 10 persen. Hal ini dilakukan dengan cara menurunkan angka lender driven di masing-masing sektor pembangunan. Teknis pelaksanaannya dilakukan melalui penyempurnaan dan harmonisasi peraturan-peraturan tentang pengadaan pinjaman baru dan pelaksanaan pengadaan barang dan jasa.
4.
SIM-4: Penurunan tingkat kebocoran penggunaan utang luar negeri sebesar 10 persen. Hal ini dilakukan melalui pengurangan tingkat kebocoran di masing-masing sektor. Skenario ini relevan dilakukan mengingat banyaknya opini dari para ahli dan masyarakat yang menyatakan terdapat kebocoran penggunaan utang luar negeri yang diperkirakan mencapai 30 persen.
5.
SIM-5: Peningkatan pendapatan pemerintah sebesar 10 persen. Hal ini dilakukan melalui baik intensifikasi maupun ekstensifikasi perpajakan, mengingat tax ratio Indonesia saat ini masih cukup rendah.
6.
SIM-6: Peningkatan belanja pemerintah sebesar 10 persen. Skenario ini dilakukan mengingat seringnya terjadi gejolak perekonomian dunia yang sulit diprediksi yang sangat berpengaruh terhadap perekonomian nasional.
7.
SIM-7: Peningkatan target angka indikator pertumbuhan sektoral pada semua sektor yang dibahas dalam penelitian ini secara sendiri-sendiri. Hal ini relevan dilakukan mengingat untuk mencapai kesejahteraan masyarakat perlu ditetapkan target-target pembangunan sektoral yang akan dicapai.
8.
SIM-8: Skenario kebijakan simultan melalui peningkatan seluruh indikator pertumbuhan sektoral secara bersama-sama. Hal ini relevan dilakukan guna melihat dampaknya terhadap perekonomian Indonesia secara keseluruhan.
110
9.
SIM-10 = SIM-2 + SIM-3 + SIM-4: Skenario kebijakan simultan melalui penurunan jumlah utang luar negeri pemerintah, jumlah pengaruh lender driven, dan kebocoran utang luar negeri pemerintah secara bersama-sama.
10. SIM-11 = SIM-5 + SIM-6 + SIM-7: Skenario kebijakan simultan melalui kenaikan pertumbuhan sektor pertanian dan pengairan, serta kenaikan pendapatan dan belanja pemerintah secara bersama-sama.
5.10. Sumber dan Jenis Data Data yang digunakan pada penelitian ini sebagian besar adalah data sekunder yang berasal dari berbagai sumber sesuai dengan tugas dan kewenangan lembaga tersebut, baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Dalam mengestimasi model yang dibangun, data yang digunakan adalah data agregat time series dalam periode kurun waktu 1985 - 2005. Sumber data tersebut adalah: 1.
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS).
2.
Direktorat Jenderal Anggaran, Departemen Keuangan.
3.
Badan Pusat Statistik (BPS).
4.
Bank Indonesia (BI).
5.
Lembaga-lembaga Donor Multilateral (WB, ADB, IDB, dll).
6.
Negara Kreditur Bilateral (Jepang, Spanyol, Jerman, dll).
VI. HASIL DAN PEMBAHASAN
Model yang dibangun dalam penelitian diestimasi dengan menggunakan metode two stages least squares (2-SLS). Dari beberapa spesifikasi yang dilakukan, maka diperoleh hasil pendugaan yang secara ekonomi logis dan mempunyai arti serta dapat dibuktikan secara statistik. Dalam bab ini akan diuraikan keragaan umum hasil pendugaan dan hasil estimasi dari masingmasing persamaan yang dibangun pada penelitian ini.
6.1.
Keragaan Umum Hasil Pendugaan Model Utang Luar Negeri Hasil pendugaan ekonomi model utang luar negeri pemerintah Indonesia
dalam penelitian ini cukup baik sebagaimana terlihat dari nilai koefisien determinasinya (R²). Dari seluruh persamaan perilaku, setiap persamaan mempunyai nilai R2 yang berkisar antara 0.8276 sampai 0.9988. Hal ini menunjukkan bahwa secara umum peubah-peubah penjelas (explanatory variables/ exogenous variable/ independent variable) yang ada dalam persamaan perilaku mampu menjelaskan variasi atau perilaku peubah endogennya (endogenous variable/ dependent variable). Besaran nilai statistik uji (F) umumnya tinggi, yaitu berkisar antara 21.213 sampai 3869.492, yang berarti variasi peubah-peubah penjelas dalam setiap persamaan perilaku secara bersama-sama mampu menjelaskan dengan baik variasi peubah endogennya, pada taraf = 0.0001 dan 0.0081. Disamping itu setiap persamaan struktural mempunyai besaran parameter yang dari sudut pandang statistika tandanya sesuai dengan harapan dan cukup logis dari sudut pandang teori ekonomi (statistically significant and theoretically meaningful). Nilai statistik (t), digunakan untuk menguji apakah masing-masing peubah penjelas berpengaruh nyata terhadap peubah endogennya. Hasil statistik t yang diperoleh menunjukkan bahwa ada beberapa explanatory variables yang tidak signifikan atau tidak berpengaruh nyata terhadap peubah endogennya pada taraf =0.05. Dalam penelitian ini taraf yang digunakan cukup fleksibel, yaitu pada taraf kepercayaan 85 persen.
112
Berdasarkan hasil uji statistik Durbin-Watson, terdapat 8 persamaan perilaku yang mempunyai masalah serial korelasi. Menurut Pindyck dan Rubinfeld (1991), masalah serial korelasi hanya mengurangi efisiensi pendugaan parameter dan jika serial korelasi tersebut tidak menimbulkan bias parameter regresi, maka hasil dalam pendugaan model pada penelitian ini dapat dinyatakan cukup refresentatif dalam menggambarkan fenomena ekonomi utang luar negeri pemerintah Indonesia.
6.2.
Keragaan Model Utang Luar Negeri Setelah dilakukan beberapa alternatif spesifikasi model, akhirnya
diperoleh model Utang Luar Negeri Pemerintah Indonesia yang terdiri dari 33 persamaan perilaku. Berikut ini akan diuraikan respon masing-masing persamaan perilaku, sebagai berikut:
6.2.1. Respon Konsumsi Rumah Tangga Berdasarkan konsep ekonomi makro, konsumsi merupakan fungsi dari tingkat disposebel income (tingkat pendapatan yang siap dibelanjakan). Hasil estimasi menunjukkan bahwa perubahan tingkat pendapatan memiliki dampak yang positif terhadap tingkat konsumsi. Artinya peningkatan pendapatan akan menyebabkan meningkatnya tingkat konsumsi rumah tangga. Respon setiap variabel pada persamaan ini dapat diikuti pada Tabel 11. Tabel 11. Hasil Estimasi dan Elastisitas Konsumsi Variable
Parameter Estimate
Elastisitas ESR
ELR
Prob > |T|
Variable Label
DINC
0.307615
0.4038
1.2190
0.0051
Pendapatan Disposebel
UNEM
-19.97939
-0.1422
-0.4293
0.0122
Angka Pengangguran
BLJRTN
0.874642
0.1004
0.3031
0.0078
Belanja Rutin
LKONS
0.668766
-
-
0.0001
Lag KONS
Respon perubahan tingkat konsumsi rumah tangga atas perubahan pendapatan disposebel adalah inelastis untuk jangka pendek dan elastis untuk jangka panjang. Sedangkan terhadap perubahan tingkat pengangguran, responnya adalah inelastis baik untuk jangka pendek maupun jangka panjang.
113
Hal ini mengindikasikan bahwa untuk jangka pendek konsumsi pokok masih merupakan kebutuhan penduduk yang mendasar. Angka elastisitas tersebut dapat diartikan bahwa setiap peningkatan 1 persen pendapatan yang siap dibelanjakan, hanya akan meningkatkan konsumsi rumah tangga sebesar 0.4038 persen dalam jangka pendek dan 1.219 persen dalam jangka panjang. Ini berarti untuk jangka pendek kenaikan pendapatan yang dapat dibelanjakan bagi sebagian besar masyarakat tidak banyak merubah pola konsumsi rumah tangga. Artinya apabila pola konsumsi masyarakat, khususnya masyarakat miskin adalah kebutuhan pokok (sandang dan pangan), maka sebagian besar kenaikan pendapatan disposebel akan dikomsumsi untuk membeli tambahan kebutuhan pokok. Demikian pula dalam hal pengangguran. Hasil estimasi dapat diartikan bahwa setiap peningkatan 1 persen jumlah pengangguran akan menurunkan konsumsi rumah tangga sebesar 0.1422 persen untuk jangka pendek dan 0.4293 persen untuk jangka panjang. Faktor lain yang mempengaruhi konsumsi adalah peubah bedakala, dimana probabilitas peubah bedakala tersebut adalah signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa konsumsi rumah tangga membutuhkan waktu yang relatif lambat dalam merespon perubahan ekonomi.
6.2.2. Respon Investasi Masyarakat Tingkat investasi masyarakat terutama sangat dipengaruhi oleh tingkat suku bunga. Hipotesisnya adalah kenaikan suku bunga dalam negeri akan menurunkan tingkat investasi masyarakat karena pada kondisi demikian investor cenderung memilih menabung daripada menggunakan uangnya untuk investasi. Tabel 12. Hasil Estimasi dan Elastisitas Investasi Variable
Parameter Estimate
Elastisitas ESR
ELR
Prob > |T|
Variable Label
INTERCEP
305928
-
-
0.0001
Intercept
DINTR
-14381
-0.7254
-1.7850
0.0001
Suku Bunga Domestik
BLJPMB
0.419247
0.0474
0.1166
0.4128
Belanja Pembangunan
LINVEST
0.593621
-
-
0.0001
Lag INVEST
Hasil estimasi seperti yang dapat dilihat pada Tabel 12 menunjukkan bahwa kenaikan tingkat suku bunga domestik memang akan menurunkan tingkat
114
investasi masyarakat. Responnya adalah inelastis untuk jangka pendek namun elastis untuk jangka panjang, artinya setiap 1 persen kenaikan suku bunga domestik akan menurunkan investasi masyarakat masing-masing sebesar 0.7254 persen untuk jangka pendek dan 1.785 persen untuk jangka panjang. Faktor lain yang mempengaruhi investasi masyarakat adalah peubah bedakala, dimana probabilitas peubah bedakala tersebut adalah signifikan. Hal ini mengindikasikan bahwa investasi masyarakat membutuhkan waktu yang relatif lambat dalam merespon perubahan ekonomi yang terjadi.
6.2.3. Respon Net Ekspor Dalam penelitian ini diasumsikan bahwa Indonesia adalah negara kecil (small country) yang mengindikasikan bahwa apabila terjadi aliran arus modal dan uang maka Indonesia cenderung hanya sebagai pengikut harga (price taker). Indikasi dari small country mempunyai implikasi bahwa Indonesia tidak dapat mempengaruhi tingkat suku bunga dunia, atau dengan kata lain perubahan tingkat eksternal akan mempengaruhi kinerja perekonomian Indonesia. Tabel 13. Hasil Estimasi dan Elastisitas Net Ekspor Variable WINTR EXCR LNXPRT
Parameter
Elastisitas
Prob > |T|
Variable Label
Estimate
ESR
ELR
4270.736422
0.2673
0.4622
0.1115
Suku Bunga Pinjaman LN
4.986212
0.3795
0.6562
0.0612
Exchange Rate
0.42165
-
-
0.0264
Lag NXPRT
Dari hasil estimasi seperti terlihat pada Tabel 13 dapat diketahui bahwa perilaku ekspor bersih Indonesia dipengaruhi oleh suku bunga dunia dan nilai tukar mata uang dengan respon yang inelastis. Artinya kenaikan tingkat suku bunga dunia sebesar 1 persen, ceteris paribus, akan meningkatkan net ekspor Indonesia sebesar 0.2673 persen dalam jangka pendek dan 0.4622 persen dalam jangka panjang. Demikian pula, setiap terjadi depresiasi mata uang rupiah terhadap mata uang US dolar sebesar 1 persen, net ekspor Indonesia akan meningkat sebesar 0.3795 persen untuk jangka pendek dan 0.6562 persen untuk jangka panjang. Hal ini dapat dimengerti karena barang produksi Indonesia menjadi lebih murah dalam mata uang US dolar, sehingga ekspor meningkat
115
sementara impor akan menurun karena barang dari luar negeri menjadi lebih mahal dalam mata uang rupiah. Faktor lain yang mempengaruhi net ekspor Indonesia adalah peubah bedakala, dimana probabilitas peubah bedakala tersebut sangat signifikan pada taraf kepercayaan 97 persen. Hal ini mengindikasikan bahwa jika terjadi goncangan pada perekonomian, net ekspor Indonesia membutuhkan waktu yang relatif lambat untuk menyesuaikan kepada tingkat keseimbangannya.
6.2.4. Respon Pendapatan Pemerintah Dari hasil estimasi seperti yang terlihat pada Tabel 14 dapat diketahui bahwa pendapatan pemerintah dipengaruhi secara positif oleh belanja pemerintah. Artinya bahwa semakin tinggi tingkat belanja pemerintah, pendapatan pemerintah juga akan mengalami peningkatan. Dalam praktek kenegaraan di Indonesia, yang terjadi selama ini adalah pendapatan negara dicari bersamaan dengan rencana belanjanya. Hal ini menyebabkan pelaksanaan rencana pendapatan dan belanja sering mengalami penyesuaian ditengah perjalanannya. Apabila pemerintah mempunyai program mendesak yang sangat prioritas harus dibiayai pada tahun berjalan, maka pemerintah akan menyesuaikan rencana pendapatannya untuk membiayai kegiatan mendesak yang berada diluar rencana namun harus dibiayai. Demikian pula sebaliknya. Apabila terjadi gejolak perekonomian yang mempengaruhi asumsi dasar perencanaan pendapatan pemerintah, maka belanja pemerintah akan dapat disesuaikan ditengah perjalanannya. Tabel 14. Hasil Estimasi dan Elasitisitas Pendapatan Pemerintah Variable INTERCEP GOEXP DINTR LGOREV
Parameter Estimate
Elastisitas
Prob > |T|
Variable Label
ESR
ELR
-46555
-
-
0.0328
Intercept
0.59417
0.7302
2.2379
0.0001
Belanja Pemerintah
1202.90106
0.1856
0.5687
0.2891
Suku Bunga Domestik
-
-
0.0001
Lag GOREV
0.67372
Respon perubahan pendapatan pemerintah terhadap perubahan belanja pemerintah adalah sangat signifikan positif dan inelastis untuk jangka pendek,
116
namun elastis untuk jangka panjang. Artinya apabila pemerintah menaikkan belanjanya sebesar 1 persen, maka pemerintah harus menaikkan pendapatannya sebesar 0.7302 persen untuk jangka pendek dan sebesar 2.2379 persen untuk jangka panjang. Elastis untuk jangka panjang berarti secara prosentase dampak yang ditimbulkan oleh kenaikan belanja menyebabkan kenaikan yang lebih tinggi di sisi penerimaan. Faktor lain yang mempengaruhi pendapatan pemerintah adalah peubah bedakala dengan probabilitas yang sangat signifikan pada taraf kepercayaan 99 persen. Hal ini mengindikasikan bahwa pendapatan pemerintah membutuhkan waktu yang relatif lambat untuk menyesuaikan kembali kepada tingkat keseimbangannya dalam merespon perubahan ekonomi yang terjadi.
6.2.5. Respon Alokasi Rupiah Murni Sektor Pendidikan Besarnya alokasi pendanaan rupiah murni untuk pembangunan sektor pendidikan dipengaruhi oleh pendapatan pemerintah, belanja rutin pemerintah, Angka Partisipasi Sekolah (APS) anak kelompok usia 7-12 tahun pada tahun sebelumnya dan pertumbuhan angka lama Tahun Lama Bersekolah (THSEK) anak kelompok usia 13-15 tahun. Tabel 15. Hasil Estimasi dan Elasitisitas Rupiah Murni Sektor Pendidikan Variable
Parameter Estimate
Elastisitas ESR
ELR
Prob > |T|
Variable Label
GOREV
0.011422
0.3027
2.3073
0.137
BLJRTN
-0.004074
-0.0954
-0.7269
0.5735
Belanja Rutin
LAPS
-0.625885
-0.0169
-0.1286
0.8904
Lag APS
-57.532822
-0.0231
-0.1759
0.0997
Growth THSEK
-
-
0.0001
Lag RPDIK
GTHSEK LRPDIK
0.868793
Pendapatan Pemerintah
Dari Tabel 15 dapat dilihat bahwa kenaikan pendapatan pemerintah akan meningkatkan alokasi pendanaan rupiah murni untuk pembangunan sektor pendidikan, namun responnya inelastis untuk jangka pendek dan elastis untuk jangka panjang. Artinya setiap kenaikan pendapatan pemerintah sebesar 1 persen hanya akan menaikkan alokasi rupiah murni sektor pendidikan sebesar 0.3027 persen untuk jangka pendek dan 2.3073 persen untuk jangka panjang. Dalam
117
praktek kenegaraan hal ini berarti kenaikan pendapatan pemerintah tidak seluruhnya dialokasikan untuk meningkatkan pendanaan sektor pendidikan saja, tetapi juga dialokasikan untuk kebutuhan di luar sektor pendidikan. Disisi lain, perubahan belanja rutin pemerintah dan APS tahun sebelumnya ternyata secara positif tidak berpengaruh nyata terhadap perubahan alokasi rupiah murni di sektor pendidikan. Masih ada faktor-faktor lain yang mempengaruhi perubahan alokasi rupiah murni di sektor pendidikan, antara lain angka pertumbuhan THSEK yang mempunyai pengaruh negatif atas alokasi rupiah murni sektor pendidikan dengan respon yang elastis baik untuk jangka pendek maupun jangka panjang. Artinya apabila angka pertumbuhan THSEK naik, maka alokasi rupiah murni sektor pendidikan untuk tahun ini bisa dikurangi. Setiap 1 persen kenaikan pertumbuhan THSEK akan menurunkan alokasi rupiah murni sektor ini sebesar 0.0231 persen untuk jangka pendek dan 0.1759 persen untuk jangka panjang. Secara logika hal ini dapat dimengerti mengingat masih banyak sektor lain yang juga perlu mendapatkan tambahan alokasi anggaran. Faktor lain yang mempengaruhi alokasi rupiah murni sektor pendidikan adalah peubah bedakala dengan probabilitas yang sangat signifikan pada taraf kepercayaan 99 persen. Hal ini mengindikasikan bahwa alokasi rupiah murni sektor ini membutuhkan waktu yang relatif lambat untuk menyesuaikan kembali kepada tingkat keseimbangannya dalam merespon perubahan ekonomi.
6.2.6. Respon Alokasi Rupiah Murni Sektor Kesehatan Munculnya endemi, berbagai penyakit menular baru dan tingginya angka kematian bayi mengakibatkan pembangunan sektor kesehatan menjadi salah satu perhatian utama pemerintah dalam beberapa tahun terakhir ini. Perilaku alokasi pendanaan rupiah murni untuk pembangunan sektor kesehatan dipengaruhi oleh pendapatan pemerintah, alokasi pendanaan untuk belanja rutin dan selisih angka kematian bayi, serta angka usia harapan hidup tahun sebelumnya. Dari Tabel 16 dapat diketahui bahwa kenaikan pendapatan pemerintah akan meningkatkan alokasi rupiah murni untuk pembangunan sektor kesehatan dengan respon inelastis untuk jangka pendek dan elastis untuk jangka panjang.
118
Secara statistik hal ini dapat diartikan bahwa apabila pendapatan pemerintah meningkat sebesar 1 persen, maka sebagian peningkatan tersebut akan dialokasikan untuk sektor kesehatan sehingga alokasi rupiah murni sektor kesehatan akan meningkat sebesar 0.5454 persen dalam jangka pendek dan 1.7005 persen dalam jangka panjang. Tabel 16. Hasil Estimasi dan Elasitisitas Rupiah Murni Sektor Kesehatan Variable
Parameter Estimate
Elastisitas ESR
ELR
Prob > |T|
Variable Label
GOREV
0.015783
0.5454
1.7005
0.0857
Pendapatan Pemerintah
BLJRTN
-0.005983
-0.1826
-0.5694
0.4855
Belanja Rutin
DAKB
23.204579
-0.0140
-0.0436
0.6122
AKB - LAKB
LUHH
0.285089
0.0067
0.0208
0.971
LRPKES
0.679289
-
-
0.0025
Lag UHH Lag RPKES
Selain itu, dari hasil estimasi juga dapat diketahui bahwa variabel belanja rutin, selisih angka kematian bayi, dan angka usia harapan hidup tahun sebelumnya ternyata tidak mempunyai pengaruh, atau pengaruhnya sangat kecil atas perilaku alokasi rupiah murni di sektor kesehatan, meskipun secara logika arahnya sudah sesuai. Faktor lain yang mempengaruhi alokasi rupiah murni pada sektor kesehatan adalah peubah bedakala dengan taraf yang cukup signifikan. Hal ini mengindikasikan bahwa apabila terjadi perubahan kondisi perekonomian, alokasi rupiah murni sektor kesehatan membutuhkan waktu yang relatif lambat untuk menyesuaikan kembali kepada tingkat keseimbangannya. Fenomena ini dapat diartikan diartikan bahwa dalam praktek penyusunan anggaran rupiah murni sektor kesehatan tahun berjalan, pemerintah hanya memperhatikan besarnya alokasi anggaran rupiah murni sektor kesehatan tahun sebelumnya.
6.2.7. Respon Alokasi Rupiah Murni Sektor Pertanian dan Pengairan Sektor pertanian dan pertanian, yang didalamnya termasuk sub sektor pengairan mempunyai peranan yang besar dalam penyediaan pangan untuk mendukung ketahanan pangan nasional, mengurangi impor bahan makanan dan menyumbang penerimaan dalam PDBI, serta penyediaan lapangan kerja dan
119
pengurangan kemiskinan di pedesaan. Sektor ini juga menjadi andalan pemerintah untuk menekan arus urbanisasi. Besarnya alokasi rupiah murni untuk sektor pertanian dan pengairan dipengaruhi oleh besarnya pendapatan pemerintah, alokasi pembiayaan kegiatan rutin pemerintah dan besarnya angka pertumbuhan sektor pertanian dan pengairan pada tahun sebelumnya. Namun dari hasil estimasi seperti yang terlihat pada Tabel 17 dapat disimpulkan bahwa seluruh variabel penjelas pada persamaan ini (kecuali peubah bedakala) tidak mempunyai pengaruh yang signifikan atas perilaku variabel alokasi rupiah murni pada sektor pertanian dan pengairan. Namun, secara logika pengaruhnya sudah benar, yaitu apabila terjadi perubahan pada pendapatan pemerintah atau penurunan pada belanja rutin pemerintah dan angka pertumbuhan sektor pertanian dan pengairan, diperkirakan alokasi rupiah murni sektor pertanian dan pengairan akan mengalami peningkatan. Tabel 17. Hasil Estimasi dan Elasitisitas Rupiah Murni Sektor Pertanian dan Pengairan Variable GOREV BLJRTN LGTAN LRPTAN
Parameter Estimate
Elastisitas
Prob > |T|
Variable Label
ESR
ELR
0.024662
0.4945
2.0463
0.3819
Pendapatan Pemerintah
-0.009951
-0.1762
-0.7293
0.7627
Belanja Rutin
-199.054978
-0.0915
-0.3785
0.5857
Lag GTAN
-
-
0.0001
Lag RPTAN
0.758357
Satu-satunya peubah penjelas yang signifikan mempengaruhi perilaku dependent variable pada persamaan ini adalah peubah bedakala dengan taraf yang sangat signifikan. Hal ini mengindikasikan bahwa apabila terjadi perubahan kondisi perekonomian, alokasi rupiah murni sektor pertanian dan pengairan membutuhkan waktu yang relatif lambat untuk menyesuaikan kembali kepada tingkat keseimbangannya. Hasil ini juga menjelaskan bahwa dalam praktek penyusunan anggaran rupiah murni untuk sektor pertanian dan pengairan, faktor yang paling menentukan adalah besarnya alokasi anggaran rupiah murni sektor tersebut pada tahun sebelumnya. Kesimpulan ini didukung oleh data empiris Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara sampai tahun 2005 yang terlihat bahwa fluktuasi pengalokasian anggaran rupiah murni sektor
120
pertanian dan pengairan mempunyai pola yang sama dengan pengalokasian anggaran rupiah murni sektor tersebut pada tahun sebelumnya.
6.2.8. Respon Alokasi Rupiah Murni Sektor Pertambangan dan Energi Sektor pertambangan dan energi memegang peranan yang cukup penting dalam perekonomian nasional. Hal ini terbukti dari besarnya peranan sektor pertambangan dan energi sebagai penyedia sumber energi, sumber devisa, penerimaan negara, sumber bahan baku industri, serta menciptakan lapangan pekerjaan dan menjadi pendorong pertumbuhan sektor-sektor lainnya. Besarnya alokasi rupiah murni sektor pertambangan dan energi dipengaruhi oleh besarnya pendapatan pemerintah, selisih alokasi belanja rutin pemerintah dan angka pertumbuhan sektor ini pada tahun sebelumnya. Dari hasil estimasi seperti yang terlihat pada Tabel 18 dapat dijelaskan bahwa setiap kenaikan pendapatan pemerintah akan menaikkan besarnya alokasi pendanaan rupiah murni pada sektor pertambangan dan energi dengan respon yang inelastis untuk jangka pendek dan elastis untuk jangka panjang. Ini berarti setiap 1 persen kenaikan pendapatan pemerintah akan menaikkan alokasi rupiah murni sektor pertambangan dan energi sebesar 0.5038 persen dalam jangka pendek dan 1.5912 persen dalam jangka panjang. Hal ini juga dapat diartikan bahwa untuk jangka pendek, alokasi anggaran rupiah murni seluruh sektor belum sesuai dengan kebutuhannya, sehingga apabila terjadi kenaikan pendapatan pemerintah, anggarannya akan dibagikan ke semua sektor yang memang masih kurang alokasi pendanaannya. Tabel 18. Hasil Estimasi dan Elasitisitas Rupiah Murni Sektor Pertambangan dan Energi Variable GOREV DBLJRTN LGENG LRPENG
Parameter Estimate
Elastisitas
Prob > |T|
Variable Label
ESR
ELR
0.014362
0.5038
1.5912
0.0096
Pendapatan Pemerintah
-0.006226
-0.0241
-0.0761
0.6856
BLJRTN - LBLJRTN
-106.102816
-0.1411
-0.4455
0.1412
Lag GENG
-
-
0.0002
Lag RPENG
0.683358
121
Namun, respon perubahan alokasi rupiah sektor pertambangan dan energi terhadap perubahan pertumbuhan sektor ini adalah negatif dan inelastis baik untuk jangka pendek maupun untuk jangka panjang. Artinya setiap 1 persen kenaikan pertumbuhan sektor ini pada tahun lalu akan menurunkan 0.1411 persen alokasi rupiah murni sektor ini untuk jangka pendek dan sebesar 0.4455 persen untuk jangka panjang. Dalam praktek penyusunan alokasi anggaran pembangunan, hal ini berarti apabila sektor pertambangan dan energi pada tahun sebelumnya tumbuh positif, maka alokasi anggaran rupiah murni sektor ini pada tahun berjalan akan diturunkan untuk menambah investasi di sektor lain yang juga masih kekurangan pendanaan. Faktor lain yang mempengaruhi alokasi rupiah murni pada sektor pertambangan dan energi adalah peubah bedakala dengan taraf yang cukup signifikan. Hal ini mengindikasikan bahwa apabila terjadi perubahan kondisi perekonomian, alokasi rupiah murni sektor pertambangan dan energi membutuhkan waktu yang relatif lambat untuk menyesuaikan kembali kepada tingkat keseimbangannya.
6.2.9. Respon Alokasi Rupiah Murni Sektor Perhubungan dan Transportasi Tujuan pembangunan sektor perhubungan dan transportasi antara lain adalah untuk mewujudkan sistem perhubungan dan transportasi nasional secara intermoda dan terpadu dengan pengembangan wilayahnya, dan menjadi bagian dari suatu sistem distribusi yang mampu memberikan pelayanan dan manfaat bagi masyarakat luas. Dari aspek pendanaan, akibat karakteristik infrastruktur sektor perhubungan dan transportasi yang membutuhkan biaya investasi yang besar dan jangka waktu pengembalian yang panjang, sedangkan sebagian besar tarif yang dikenakan tidak dapat mencapai tingkat full cost recovery secara finansial, serta masih banyaknya penyelenggaraan infrastruktur perhubungan dan transportasi yang dilakukan secara monopoli, maka peran pemerintah sebagai regulator sangat diperlukan. Respon alokasi rupiah murni sektor perhubungan dan transportasi atas perubahan variabel-variabel endogennya dapat diikuti pada Tabel 19.
122
Dari Tabel 19 dapat diketahui bahwa kenaikan pendapatan pemerintah akan meningkatkan alokasi rupiah murni untuk pembangunan sektor perhubungan dan transportasi dengan respon yang inelastis untuk jangka pendek dan elastis untuk jangka panjang. Artinya setiap kenaikan 1 persen pendapatan pemerintah akan menaikkan alokasi rupiah sektor perhubungan dan transportasi sebesar 0.5588 persen untuk jangka pendek dan sebesar 2.1426 persen untuk jangka panjang. Sebaliknya besarnya angka pertumbuhan sektor perhubungan dan transportasi tahun lalu mempunyai pengaruh yang negatif atas alokasi pendanaan rupiah murni sektor perhubungan dan transportasi pada tahun ini dengan respon yang inelastis baik untuk jangka pendek maupun jangka panjang. Hal ini dapat dijelaskan bahwa apabila pada tahun lalu angka pertumbuhan sektor
perhubungan
dan
transportasi
meningkat
dibandingkan
angka
pertumbuhan tahun sebelumnya, maka pemerintah akan menurunkan alokasi pendanaan rupiah murni untuk sektor perhubungan dan transportasi tahun sekarang. Artinya setiap 1 persen kenaikan angka pertumbuhan sektor perhubungan dan transportasi pada tahun lalu akan menurunkan alokasi rupiah murni sektor tersebut pada tahun ini sebesar 0.146 persen untuk jangka pendek dan sebesar 0.5597 persen untuk jangka panjang. Tabel 19. Hasil Estimasi dan Elasitisitas Rupiah Murni Sektor Perhubungan dan Transportasi Variable
Parameter Estimate
Elastisitas ESR
ELR
Prob > |T|
Variable Label
GOREV
0.016993
0.5588
2.1426
0.0567
Pendapatan Pemerintah
BLJRTN
-0.005195
-0.1509
-0.5785
0.5425
Belanja Rutin
-256.864129
-0.1460
-0.5597
0.1775
Lag GHUB
-
-
0.0001
Lag RPHUB
LGHUB LRPHUB
0.739186
Faktor lain yang mempengaruhi alokasi rupiah murni pada sektor perhubungan dan transportasi adalah peubah bedakala dengan taraf yang cukup signifikan. Hal ini mengindikasikan bahwa apabila terjadi perubahan kondisi perekonomian, alokasi rupiah murni sektor perhubungan dan transportasi membutuhkan waktu yang relatif lambat untuk menyesuaikan kembali kepada tingkat keseimbangannya.
123
6.2.10. Respon Alokasi Rupiah Murni Sektor Lainnya Alokasi pendanaan rupiah murni sektor lainnya merupakan sisa dari belanja pembangunan dengan pendanaan rupiah murni setelah dialokasikan ke lima sektor utama yang menjadi obyek penelitian. Dari hasil estimasi seperti yang terlihat pada Tabel 20 dapat dijelaskan bahwa setiap kenaikan pendapatan pemerintah akan meningkatkan besarnya alokasi pendanaan rupiah murni pada sektor lainnya dengan respon yang inelastis untuk jangka pendek dan elastis untuk jangka panjang. Ini berarti setiap 1 persen kenaikan pendapatan pemerintah akan menaikan alokasi rupiah murni sektor lainnya sebesar 0.6923 persen dalam jangka pendek dan 1.7074 persen dalam jangka panjang. Sebaliknya, peubah penjelas belanja rutin pemerintah ternyata tidak begitu nyata mempengaruhi perilaku alokasi rupiah murni pada sektor lainnya. Ini berarti ada faktor-faktor lain di luar belanja rutin pemerintah yang lebih mempengaruhi perilaku variabel alokasi rupiah murni pada sektor lainnya ini. Tabel 20. Hasil Estimasi dan Elasitisitas Rupiah Murni Sektor Lainnya Variable
Parameter Estimate
Elastisitas ESR
ELR
Prob > |T|
Variable Label
GOREV
0.018187
0.6923
1.7047
0.0423
Pendapatan Pemerintah
BLJRTN
-0.009585
-0.3223
-0.7935
0.2495
Belanja Rutin
LRPOTS
0.593891
-
-
0.0001
Lag RPOTS
Faktor lain yang mempengaruhi alokasi rupiah murni pada sektor lainnya adalah peubah bedakala dengan taraf yang cukup signifikan. Hal ini mengindikasikan bahwa apabila terjadi perubahan kondisi perekonomian, alokasi rupiah murni sektor lainnya membutuhkan waktu yang relatif lambat untuk menyesuaikan kembali kepada tingkat keseimbangannya.
6.2.11. Respon Penggunaan Utang LN di Sektor Pendidikan Besarnya jumlah utang luar negeri pemerintah yang digunakan untuk pembangunan sektor pendidikan sangat dipengaruhi oleh pertumbuhan alokasi pendanaan rupiah murni yang dialokasikan untuk sektor pendidikan, jumlah
124
pembayaran utang luar negeri sektor pendidikan, intervensi donor, dan tingkat suku bunga pinjaman luar negeri. Dari hasil estimasi seperti yang terlihat pada Tabel 21 dapat diketahui bahwa pertumbuhan alokasi rupiah murni sektor ini dan tingkat suku bunga pinjaman luar negeri mempunyai dampak negatif terhadap utang luar negeri di sektor ini dengan respon yang inelastis baik untuk jangka pendek maupun jangka panjang. Sebaliknya jumlah pembayaran utang dan pengaruh kebijakan lender mempunyai dampak yang positif dengan respon yang inelastis baik untuk jangka pendek maupun jangka panjang. Selain itu, dari hasil estimasi juga dapat diketahui bahwa variabelvariabel penjelas yaitu pertumbuhan alokasi rupiah murni dan pembayaran utang luar negeri ternyata tidak mempunyai pengaruh yang nyata atas perilaku dependent variable utang luar negeri di sektor pendidikan. Demikian pula variabel penjelas LIBOR, meskipun menurut logika, tanda dari vaiabel-variabel ini sesuai dengan harapan. Hal ini dapat diartikan bahwa sektor pendidikan merupakan salah satu prioritas dalam pembangunan nasional, sehingga apabila pemerintah kekurangan sumber dana untuk pembangunan di sektor pendidikan, pemerintah akan mengadakan utang luar negeri di sektor pendidikan tanpa memperhatikan besarnya tingkat suku bunga pinjaman luar negeri saat itu. Tabel 21. Hasil Estimasi dan Elastisitas Utang LN di Sektor Pendidikan Variable
Parameter
Elastisitas
Prob > |T|
Variable Label
Estimate
ESR
ELR
-6.782503
-0.0123
-0.0194
0.1825
Growth RPDIK
PUDIK
0.457088
0.0683
0.1079
0.1878
Pemb. Utang S. Pendidikan
DRVDIK
2.150738
0.6072
0.9593
0.0001
Lender Driven S. Pendidikan
-17.58198
-0.0242
-0.0382
0.7203
Suku Bunga LIBOR
-
-
0.0022
Lag UTDIK
GRPDIK
LIBOR LUTDIK
0.3671
Variabel penjelas yang sangat signifikan mempengaruhi perilaku utang luar negeri di sektor pendidikan adalah pengaruh/ intervensi donor (Lender Driven) di sektor pendidikan yang secara statistik berbeda nyata dengan nol pada taraf kepercayaan 99 persen dan faktor peubah bedakala. Respon utang luar negeri di sektor pendidikan terhadap perubahan lender driven di sektor ini adalah inelastis baik dalam jangka pendek dan jangka panjang. Hal ini dapat
125
diartikan bahwa jika terjadi peningkatan lender driven di sektor pendidikan sebesar 1 persen, maka dampaknya adalah kenaikan jumlah utang luar negeri di sektor ini sebesar 0.6072 persen dalam jangka pendek dan 0.9593 persen dalam jangka panjang. Hal ini memperkuat asumsi sebelumnya bahwa Indonesia merupakan small country adalah benar. Artinya Indonesia masih lemah dalam diplomasi ekonomi, sehingga dalam setiap negosiasi maupun pelaksanaan loan, Indonesia cenderung tidak bisa berbuat apa-apa selain mengikuti ketentuanketentuan yang telah disiapkan oleh kreditur/lender. Lebih jauh lagi, dari perilaku peubah bedakala dapat diketahui bahwa jumlah utang luar negeri di sektor pendidikan mempunyai respon yang relatif lambat untuk mencapai titik keseimbangannya jika terjadi perubahan ekonomi.
6.2.12. Respon Penggunaan Utang LN di Sektor Kesehatan Penggunaan utang luar negeri di sektor kesehatan dipengaruhi oleh jumlah pendanaan rupiah murni yang dialokasikan untuk sektor kesehatan, pembayaran utang luar negeri dan intervensi donor dalam kebijakan pinjamannya di sektor tersebut, dan suku bunga pinjaman luar negeri. Perubahan alokasi pendanaan rupiah murni dan tingkat bunga pinjaman luar negeri di sektor kesehatan menimbulkan pengaruh yang negatif atas utang luar negeri di sektor tersebut. Sebaliknya besarnya pembayaran utang luar negeri dan intervensi donor di sektor kesehatan mempunyai pengaruh yang positif atas keberadaan utang luar negeri di sektor tersebut. Hasil estimasi dan elastisitas utang luar negeri di sektor kesehatan dapat diikuti pada Tabel 22. Tabel 22. Hasil Estimasi dan Elastisitas Utang LN di Sektor Kesehatan Variable
Parameter
Elastisitas
Prob > |T|
Variable Label
Estimate
ESR
ELR
RPKES
-0.063985
-0.0435
-0.0651
0.4606
Pengel. Rp S. Kesehatan
PUKES
0.461412
0.0728
0.1089
0.0236
Pemb. Utang S. Kesehatan
DRVKES
1.956491
0.7404
1.1077
0.0001
Lender Driven S. Kesehatan
-61.939128
-0.0882
-0.1320
0.1604
Suku Bunga LIBOR
-
-
0.0005
Lag UTKES
LIBOR LUTKES
0.331566
126
Respon perubahan utang luar negeri atas perubahan pembayaran utang luar negeri dan intervensi lender di sektor kesehatan adalah inelastis baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang dengan respon yang positif. Hal ini berarti setiap 1 persen kenaikan pada pembayaran utang luar negeri di sektor kesehatan akan menaikkan utang luar negeri sektor tersebut sebesar 0.0728 persen dalam jangka pendek dan 0.1089 persen dalam jangka panjang. Demikian pula, setiap 1 persen kenaikan pengadaan barang dan jasa yang dilaksanakan oleh rekanan luar negeri akan menaikkan jumlah pinjaman luar negeri baru sektor kesehatan sebesar 0.7404 persen dalam jangka pendek dan 1.1077 persen dalam jangka panjang. Hal ini juga dapat dijelaskan bahwa kemampuan sumberdaya manusia perencana pembangunan di sektor kesehatan masih belum menunjukkan dominasi dalam pembangunan bidang kesehatan, sehingga cenderung untuk mengikuti perencanaan yang sudah disiapkan oleh kreditur. Lebih jauh lagi, dari variabel peubah bedakala pada Tabel 22 dapat diketahui bahwa perilaku utang luar negeri di sektor kesehatan memerlukan waktu yang lama untuk mencapai titik keseimbangannya dalam merespon perubahan ekonomi yang terjadi. Artinya apabila terjadi gejolak perekonomian, utang luar negeri sektor kesehatan akan lambat kembali pada keseimbangannya.
6.2.13. Respon Penggunaan Utang LN di Sektor Pertanian dan Pengairan Di Indonesia, sektor pertanian dan pengairan masih tetap mempunyai peranan besar dalam hal kontribusi terhadap pertumbuhan PDBI, nilai tambah, penyerapan tenaga kerja dan pengurangan angka kemiskinan di pedesaan. Dengan demikian, sektor pertanian dan pengairan masih layak dan dapat diandalkan untuk dijadikan sebagai salah satu prioritas dalam mendukung pertumbuhan ekonomi. Namun, untuk mendorong pembangunan sektor pertanian dan pengairan tersebut diperlukan modal yang besar, baik yang bersumber dari pemerintah maupun dari swasta, baik yang berasal dari dana domestik maupun dari pinjaman/ hibah luar negeri. Hal ini sekaligus akan menjelaskan pendanaan pemerintah yang masih besar dibutuhkan untuk pembangunan sektor pertanian dan pengairan. Hasil estimasi utang luar negeri di sektor tersebut dapat dilihat pada Tabel 23.
127
Perubahan tingkat suku bunga pinjaman luar negeri di sektor pertanian dan pengairan mempunyai pengaruh yang negatif terhadap utang luar negeri, sementara perubahan alokasi rupiah murni tidak mempunyai pengaruh yang nyata atas keberadaan utang luar negeri di sektor ini, meskipun tandanya sesuai dengan harapan. Hal ini dapat diartikan bahwa setiap 1 persen kenaikan tingkat suku bunga pinjaman luar negeri akan menurunkan pinjaman luar negeri sebesar 0.3095 persen dalam jangka pendek dan 0.9727 persen dalam jangka panjang. Penjelasan lebih lanjut adalah investasi di sektor pertanian mempunyai rate of return dan multiplier effect yang rendah sedangkan pinjaman luar negeri adalah utang yang harus dibayar di kemudian hari. Dengan demikian Pemerintah akan memilih menggunakan dana rupiah murni untuk membangun sektor pertanian dan pengairan apabila terjadi kenaikan suku bunga pinjaman. Tabel 23. Hasil Estimasi & Elastisitas Utang LN Sektor Pertanian dan Pengairan Variable RPTAN PUTAN DRVTAN LIBOR LUTTAN
Parameter Estimate
Elastisitas
Prob > |T|
Variable Label
ESR
ELR
-0.012048
-0.0097
-0.0304
0.8467
Pengel. Rp S. Pertanian
0.27711
0.0528
0.1659
0.1572
Pemb. Utang S. Pertanian
3.242466
0.5895
1.8527
0.0001
Lender Driven S. Pertanian
-317.049439
-0.3095
-0.9727
0.0002
Suku Bunga LIBOR
-
-
0.0001
Lag UTTAN
0.681812
Sebaliknya, perubahan kebijakan lender dalam hal pengadaan barang dan jasa di sektor pertanian dan pengairan mempunyai pengaruh yang positif atas keberadaan utang di sektor ini dengan respon yang inelastis untuk jangka pendek tetapi elastis untuk jangka panjang. Hal ini berarti setiap 1 persen kenaikan pembayaran utang luar negeri di sektor pertanian dan pengairan akan menyebabkan kenaikan pinjaman luar negeri di sektor ini sebesar 0.0528 persen untuk jangka pendek dan 0.1659 persen untuk jangka panjang. Hasil estimasi ini sejalan dengan penelitian Sachs tahun 1981 dan 1982. Berdasarkan penelitian tersebut, negara yang mempunyai masalah dalam pelunasan utang luar negerinya cenderung untuk tidak menunda membayar utangnya karena pilihan menunda akan menghadapi risiko gangguan dalam perdagangan internasional dan arus modal masuk. Karena itu, kenaikan dalam pelunasan utang cenderung menaikan utang luar negeri.
128
Selain itu, setiap 1 persen kenaikan pengaruh lender dalam pelaksanaan pengadaan barang dan jasa akan menyebabkan kenaikan pinjaman luar negeri sebesar 0.5895 persen untuk jangka pendek dan 1.8527 persen untuk jangka panjang. Hal ini juga dapat diartikan bahwa kesiapan sumberdaya manusia Indonesia untuk pembangunan sektor pertanian dan pengairan masih lemah dan belum dapat mempengaruhi kebijakan pembangunan di bidang pertanian dan pengairan yang sudah disiapkan dengan baik oleh sumberdaya manusia lender/ kreditur. Faktor lain yang mempengaruhi perilaku utang luar negeri di sektor pertanian dan pengairan adalah variabel peubah bedakala dengan taraf yang cukup signifikan. Artinya apabila terjadi gejolak perekonomian, utang luar negeri di sektor pertanian dan pengairan akan membutuhkan waktu yang lambat untuk kembali pada keseimbangannya.
6.2.14. Respon Penggunaan Utang LN di Sektor Pertambangan dan Energi Dalam rangka memacu laju pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam kondisi keterbatasan penerimaan dalam negeri, pemerintah menempuh pembiayaan defisit yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Untuk mengurangi defisit anggaran tersebut, salah satu cara yang ditempuh adalah mengurangi belanja pemerintah yang antara lain melalui penghapusan subsidi bahan bakar minyak (BBM) untuk meningkatkan anggaran pendapatan guna meningkatkan investasi. Konsekuensi dari kebijakan pemerintah di bidang energi tersebut adalah meningkatnya permintaan konsumsi BBM untuk industri. Pesatnya penggunaan BBM sangat berperan dalam meningkatkan kegiatan ekonomi, namun hubungan sebab akibat antara jumlah energi yang dipakai dengan tingkat kegiatan ekonomi menjadi kabur karena tidak jelas apakah energi yang mendorong pertumbuhan ekonomi atau pertumbuhan ekonomi yang mendorong penggunaan energi (Departemen Pertambangan dan Energi, 1996). Terlepas dari hubungan sebab akibat tersebut, pemerintah telah menanggung utang luar negeri yang besar di sektor pertambangan dan energi. Hasil estimasi dampak utang luar negeri di sektor pertambangan akibat perubahan alokasi rupiah murni,
129
pembayaran utang luar negeri, intervensi donor di sektor itu, dan tingkat suku bunga utang luar negeri dapat dilihat di Tabel 24. Tabel 24. Hasil Estimasi & Elastisitas Utang di Sektor Pertambangan dan Energi Parameter
Variable INTERCEP
Elastisitas
Prob > |T|
Variable Label
Estimate
ESR
ELR
4925.230603
-
-
0.0314
Intercept
RPENG
-0.382542
-0.1240
-0.1707
0.3674
Pengel. Rp S. Energi
PUENG
0.352766
0.0367
0.0505
0.4435
Pemb. Utang S. Energi Lender Driven S. Energi
DRVENG LIBOR LUTENG
1.403051
0.5381
0.7407
0.0001
-500.094413
-0.3448
-0.4745
0.082
-
-
0.0057
0.273503
Suku Bunga LIBOR Lag UTENG
Perubahan tingkat suku bunga pinjaman luar negeri di sektor pertambangan dan energi mempunyai pengaruh negatif terhadap keberadaan utang luar negeri di sektor tersebut dengan respon yang inelastis baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Ini berarti setiap 1 persen kenaikan tingkat suku bunga pinjaman luar negeri akan menurunkan pinjaman luar negeri sebesar 0.3448 persen dalam jangka pendek dan 0.4745 persen dalam jangka panjang. Sektor pertambangan dan energi merupakan salah satu sektor yang terbesar
menggunakan
pinjaman
luar
negeri
untuk
pembangunannya.
Penambahan pinjaman luar negeri di sektor ini pada saat tingkat suku bunga pinjamannya tinggi akan sangat membebani keuangan pemerintah di masa yang akan datang. Oleh karena itu kenaikan suku bunga pinjaman luar negeri akan menyebabkan pemerintah mengurangi pinjaman luar negerinya di sektor ini. Di sisi lain, setiap 1 persen kenaikan pembayaran utang luar negeri sektor pertambangan dan energi akan menaikkan utang luar negeri sektor ini sebesar 0.0367 persen dalam jangka pendek dan 0.0505 persen dalam jangka panjang. Selain itu, utang luar negeri di sektor pertambangan dan energi juga dipengaruhi secara positif oleh intervensi donor (lender driven) dalam pengadaan barang dan jasa di sektor ini yang secara statistik sangat signifikan dan dengan respon yang inelastis baik dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang. Artinya setiap 1 persen kenaikan intervensi donor atas pengelolaan pinjaman luar negeri sektor tersebut akan menaikkan jumlah pinjaman luar negeri sebesar 0.5381 persen dalam jangka pendek dan 0.7407
130
persen dalam jangka panjang. Pembangunan di sektor pertambangan dan energi membutuhkan teknologi tinggi dimana Indonesia belum mampu menyediakan sepenuhnya. Dengan demikian pemerintah lebih banyak menerima ketentuanketentuan yang telah disiapkan oleh kreditur dalam Lender Guidelines, Handbook of Procurement, dan lain-lain. Faktor lain yang mempengaruhi perilaku utang luar negeri di sektor pertambangan dan energi adalah variabel peubah bedakala dengan taraf yang cukup signifikan. Artinya apabila terjadi gejolak perekonomian, utang luar negeri di sektor tersebut akan membutuhkan waktu yang lambat untuk kembali pada keseimbangannya.
6.2.15. Respon Penggunaan Utang LN di Sektor Perhubungan dan Transportasi Perilaku utang luar negeri pemerintah di sektor perhubungan dan transportasi tidak jauh berbeda dengan perilaku utang luar negeri pemerintah di sektor pertambangan dan energi. Hasil estimasi dampak utang luar negeri di sektor ini akibat perubahan variabel eksogennya dapat diikuti pada Tabel 25. Tabel 25. Hasil Estimasi dan Elastisitas Utang LN di Sektor Perhubungan dan Transportasi Variable GRPHUB PUHUB DRVHUB LIBOR LUTHUB
Parameter Estimate
Elastisitas
Prob > |T|
Variable Label
ESR
ELR
-2.21648
-0.0046
-0.0059
0.684
0.39825
0.0595
0.0772
0.2838
Pemb. Utang S. Perhubungan
1.907598
0.5663
0.7344
0.0001
Lender Driven S. Perhubungan
-126.586474
-0.1105
-0.1434
0.3265
Suku Bunga LIBOR
-
-
0.0004
Lag UTHUB
0.479525
Growth RPHUB
Dari tabel tersebut dapat dilihat bahwa jika pertumbuhan alokasi pendanaan rupiah murni di sektor perhubungan dan transportasi meningkat, maka pinjaman luar negeri baru di sektor ini akan mengalami penurunan dengan respon yang inelastis baik untuk jangka pendek maupun jangka panjang. Artinya setiap 1 persen kenaikan alokasi pendanaan rupiah murni di sektor perhubungan dan transportasi akan menurunkan pinjaman luar negeri di sektor ini sebesar 0.0046 persen dalam jangka pendek dan 0.0059 persen dalam jangka panjang.
131
Demikian pula dampak perubahan tingkat suku bunga pinjaman luar negeri terhadap utang luar negeri sektor perhubungan dan transportasi. Setiap 1 persen kenaikan alokasi pendanaan rupiah murni di sektor perhubungan dan transportasi akan menurunkan pinjaman luar negeri di sektor ini sebesar 0.1105 persen dalam jangka pendek dan 0.1434 persen dalam jangka panjang. Namun penurunan ini tidak signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa investasi di sektor ini masih menjadi salah satu prioritas pemerintah. Pembangunan sektor perhubungan dan transportasi merupakan salah satu bagian yang penting dalam pembangunan nasional karena merupakan urat nadi penggerak perekonomian. Intervensi donor di sektor perhubungan dan transportasi juga mempunyai pengaruh positif dan sangat signifikan atas keberadaan utang luar negeri di sektor ini dengan tingkat kepercayaan 99 persen, dengan respon inelastis dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang. Artinya setiap 1 persen kenaikan pada intervensi donor di sektor perhubungan dan transportasi akan menaikkan pinjaman luar negeri baru di sektor ini sebesar 0.5663 persen dalam jangka pendek dan 0.7344 persen dalam jangka panjang. Seperti halnya utang luar negeri di sektor pertambangan dan energi, utang luar negeri pemerintah di sektor perhubungan dan transportasi juga sarat dengan teknologi tinggi dimana Indonesia belum
mampu menyediakan sepenuhnya.
Dengan demikian
pemerintah lebih banyak menerima ketentuan-ketentuan yang telah disiapkan oleh kreditur dalam Lender Guidelines, Handbook of Procurement, dan lain-lain. Selain itu, variabel penjelas lainnya yaitu alokasi rupiah murni, pembayaran utang luar negeri sektor perhubungan dan transportasi, serta suku bunga pinjaman luar negeri ternyata tidak mempunyai pengaruh yang signifikan atas perilaku utang luar negeri di sektor perhubungan dan transportasi, meskipun tandanya sesuai dengan harapan. Faktor lain yang mempengaruhi perilaku utang luar negeri di sektor perhubungan dan transportasi adalah variabel peubah bedakala dengan taraf yang sangat signifikan. Artinya apabila terjadi gejolak perekonomian, utang luar negeri di sektor perhubungan an transportasi akan membutuhkan waktu yang lambat untuk kembali pada keseimbangannya.
132
6.2.16. Respon Penggunaan Utang LN di Sektor Lainnya Dalam penelitian ini yang dimaksud dengan utang luar negeri di sektor lainnya adalah utang luar negeri yang digunakan di sektor-sektor selain kelima sektor utama yang disebut dalam penelitian ini. Variabel-variabel penjelas yaitu pertumbuhan alokasi rupiah murni dan pembayaran utang luar negeri di sektor lainnya, serta suku bunga pinjaman luar negeri yang sebelumnya diperkirakan mempengaruhi perilaku penggunaan utang luar negeri pemerintah di sektor lainnya ini ternyata mempunyai pengaruh yang tidak signifikan, meskipun tandanya sesuai dengan harapan. Hasil estimasi dampak utang luar negeri di sektor ini akibat perubahan variabel-variabel alokasi rupiah murni, pembayaran utang luar negeri, lender driven, suku bunga dunia, dan variabel bedakalanya selengkapnya dapat diikuti pada Tabel 26. Tabel 26. Hasil Estimasi dan Elastisitas Utang di Sektor Lainnya Variable
Parameter Estimate
Elastisitas ESR
ELR
Prob > |T|
Variable Label
INTERCEP
642.75764
-
-
0.0745
Intercept
GRPOTS
-0.445855
-0.0021
-0.0029
0.7035
Growth RPOTS
PUOTS
-0.335042
-0.0778
-0.1070
0.2926
Pemb. Utang S. Lainnya
2.852328
0.6500
0.8947
0.0001
Lender Driven S. Lainnya
-64.510248
-0.1810
-0.2492
0.1484
Suku Bunga LIBOR
-
-
0.0005
Lag UTOTS
DRVOTS LIBOR LUTOTS
0.287731
Variabel penjelas yang sangat dominan mempengaruhi perilaku utang luar negeri di sektor ini hanya variabel lender driven dan peubah bedakala. Hal ini berarti kenaikan lender driven di sektor lainnya akan berdampak pada naiknya jumlah utang luar negeri di sektor lainnya dengan respon yang inelastis di semua periode waktu. Penjelasannya adalah setiap 1 persen kenaikan pengaruh lender dalam kebijakan pengadaan barang dan jasa di sektor lainnya akan berdampak pada naiknya utang luar negeri sektor lainnya sebesar 0.65 persen dalam jangka pendek dan 0.8947 persen dalam jangka panjang. Sekali lagi hal ini dapat diinterpertasikan bahwa posisi Indonesia dalam diplomasi ekonomi, termasuk didalamnya diplomasi dalam bernegosiasi loan masih lemah
133
sehingga kreditur lebih berperan dalam menentukan arah pengelolaan utang luar negeri di Indonesia. Lebih jauh lagi, dari variabel peubah bedakala pada Tabel 26 tersebut dapat diketahui bahwa perilaku utang luar negeri di sektor lainnya memerlukan waktu yang lama untuk mencapai titik keseimbangannya dalam merespon perubahan ekonomi yang terjadi.
6.2.17. Respon Pembayaran Utang LN di Sektor Pendidikan Pembayaran utang luar negeri pemerintah di sektor pendidikan tentu dipengaruhi oleh pendapatan pemerintah dan akumulasi utang luar negeri di sektor tersebut. Hal ini sesuai dengan teori bahwa semakin besar pendapatan pemerintah, akan semakin besar dana yang dapat dialokasikan untuk pembangunan, termasuk untuk pembayaran utang luar negeri. Hasil estimasi pada Tabel 27 menunjukkan bahwa kenaikan pendapatan pemerintah dan jumlah utang luar negeri pemerintah di sektor pendidikan mempunyai pengaruh yang positif atas pembayaran utang luar negeri di sektor ini dengan respon berturut-turut elastis dan inelastis baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang, serta sangat signifikan dan berbeda nyata dengan nol pada taraf kepercayaan 99 persen. Artinya setiap 1 persen kenaikan pendapatan pemerintah akan menaikkan pembayaran utang luar negeri pemerintah di sektor pendidikan sebesar 1.3507 persen untuk jangka pendek dan 1.7585 persen untuk jangka panjang, dengan tingkat kepercayaan yang sangat tinggi. Selain itu setiap kali pemerintah menaikkan 1 persen pinjaman utang luar negeri yang baru akan berdampak pada naiknya pembayaran utang luar negeri pemerintah di sektor pendidikan sebesar 0.3224 persen untuk jangka pendek dan 0.4197 persen untuk jangka panjang. Hal ini menunjukkan bahwa pendapatan pemerintah dan jumlah stok utang luar negeri pemerintah mempunyai pengaruh yang dominan atas pembayaran utang luar negeri sektor pendidikan. Oleh lender, hal ini juga dilihat sebagai salah satu kredibilitas pemerintah Indonesia dalam memenuhi kewajibannya, sehingga lender percaya untuk menambah pinjaman luar negeri yang dibutuhkan oleh pemerintah Indonesia.
134
Tabel 27. Hasil Estimasi & Elastisitas Pembayaran Utang LN Sektor Pendidikan Variable INTERCEP
Parameter
Elastisitas
Prob > |T|
Variable Label
Estimate
ESR
ELR
-509.921602
-
-
0.0001
Intercept
GOREV
0.008892
1.3507
1.7585
0.0001
Pendapatan Pemerintah
UTDIK
0.048173
0.3224
0.4197
0.0001
Utang S. Pendidikan
LPUDIK
0.231915
-
-
0.0445
Lag PUDIK
Disamping faktor penerimaan pemerintah, besarnya jumlah utang luar negeri luar negeri dan pembayaran utang luar negeri pemerintah di sektor pendidikan juga dipengaruhi secara signifikan oleh variabel bedakala pada level 5 persen. Hal ini mengindikasikan bahwa dalam merespon perubahan situasi ekonomi yang terjadi, pembayaran utang luar negeri pemerintah di sektor pendidikan relatif lambat atau memerlukan waktu yang lama dalam menyesuaikan diri kembali kepada tingkat keseimbangannya.
6.2.18. Respon Pembayaran Utang LN di Sektor Kesehatan Pembayaran utang luar negeri pemerintah di sektor kesehatan mempunyai perilaku yang serupa dengan pembayaran utang luar negeri pemerintah di sektor pendidikan, yaitu dipengaruhi oleh pendapatan pemerintah dan penggunaan utang luar negeri pemerintah di sektor kesehatan. Hasil estimasi pada Tabel 28 menunjukkan bahwa pendapatan pemerintah mempunyai pengaruh yang positif atas pembayaran utang luar negeri pemerintah di sektor kesehatan dengan respon yang elastis baik untuk jangka pendek maupun jangka panjang, dan secara statistik mempunyai tingkat kepercayaan yang sangat signifikan. Ini berarti ketika penerimaan pemerintah meningkat sebesar 1 persen, maka pembayaran utang luar negeri pemerintah di sektor kesehatan akan naik sebesar 1.2362 persen dalam jangka pendek dan 8.0805 persen dalam jangka panjang, yang secara statistik berbeda nyata dengan nol pada taraf kepercayaan 99 persen. Dengan kata lain pendapatan pemerintah mempunyai kontribusi yang besar atas pembayaran utang luar negeri pemerintah di sektor kesehatan pada setiap periode waktu. Selain itu, pemerintah menyadari bahwa investasi di sektor kesehatan merupakan pelayanan publik yang lambat membangkitkan revenue untuk
135
digunakan dalam pembayaran utang di sektor tersebut. Oleh karena itu begitu pemerintah mempunyai kelebihan pendapatan, utang di sektor kesehatan akan mendapat prioritas untuk segera dilunasi. Hasil estimasi terhadap perilaku pembayaran utang luar negeri pemerintah di sektor kesehatan akibat perubahan variabel-variabel eksogennya di sektor tersebut dapat diikuti pada Tabel 28. Tabel 28. Hasil Estimasi & Elastisitas Pembayaran Utang LN Sektor Kesehatan Variable INTERCEP
Parameter
Elastisitas
Prob > |T|
Variable Label
Estimate
ESR
ELR
-688.998111
-
-
0.0001
Intercept
GOREV
0.008303
1.2362
8.0805
0.0002
Pendapatan Pemerintah
UTKES
0.050627
0.3209
2.0976
0.0014
Utang S. Kesehatan
0.84702
-
-
0.0001
Lag PUKES
LPUKES
Dari Tabel diatas juga dapat diketahui bahwa besarnya pembayaran utang luar negeri pemerintah di sektor kesehatan dipengaruhi pula oleh besarnya penggunaan utang luar negeri pemerintah di sektor tersebut secara positif dengan respon yang inelastis dalam jangka pendek dan elastis dalam jangka panjang. Artinya setiap 1 persen kenaikan utang luar negeri pemerintah di sektor tersebut akan menaikkan pembayaran utang luar negerinya sebesar 0.3209 persen dalam jangka pendek dan 2.0976 persen dalam jangka panjang. Oleh lender, hal ini akan dilihat sebagai salah satu kredibilitas pemerintah Indonesia dalam memenuhi kewajibannya, sehingga lender percaya untuk menambah pinjaman. Faktor lainnya yang mempengaruhi perilaku pembayaran utang luar negeri pemerintah di sektor kesehatan adalah variabel bedakalanya. Hal ini mengindikasikan bahwa pembayaran utang luar negeri pemerintah di sektor kesehatan memerlukan waktu yang lama untuk menyesuaikan diri kembali kepada tingkat keseimbangannya ketika merespon perubahan situasi ekonomi.
6.2.19. Respon Pembayaran Utang LN di Sektor Pertanian dan Pengairan Perilaku pembayaran utang luar negeri pemerintah di sektor pertanian dan pengairan dipengaruhi oleh pendapatan pemerintah dan kumulatif utang luar negeri yang digunakan di sektor tersebut.
136
Perubahan pendapatan pemerintah mempunyai pengaruh yang positif atas pembayaran utang luar negeri pemerintah di sektor pertanian dan pengairan dengan respon yang elastis di semua periode, dan secara statistik berbeda nyata dengan nol pada taraf kepercayaan 99 persen. Artinya kemungkinan ketika penerimaan pemerintah meningkat sebesar 1 persen, maka pembayaran utang luar negeri pemerintah di sektor tersebut akan naik sebesar 1.0596 persen dalam jangka pendek dan 3.196 persen dalam jangka panjang sangat bisa dipercaya. Hal ini mengindikasikan bahwa kontribusi pendapatan pemerintah terhadap pembayaran utang luar negeri pemerintah di sektor kesehatan sangat dominan. Tabel 29. Hasil Estimasi dan Elastisitas Pembayaran Utang LN Sektor Pertanian dan Pengairan Variable INTERCEP
Parameter
Elastisitas
Prob > |T|
Variable Label
Estimate
ESR
ELR
-855.005784
-
-
0.0001
Intercept
GOREV
0.012531
1.0596
3.1960
0.0001
Pendapatan Pemerintah
UTTAN
0.038941
0.2045
0.6168
0.0009
Utang S. Pertanian
LPUTAN
0.668472
-
-
0.0001
Lag PUTAN
Lebih jauh lagi, dari Tabel 29 juga dapat diketahui bahwa besarnya pembayaran utang luar negeri pemerintah di sektor pertanian dan pengairan juga dipengaruhi oleh besarnya jumlah penggunaan utang luar negeri di sektor tersebut, dengan hubungan yang positif. Secara statistik besarnya utang luar negeri pemerintah di sektor ini berbeda nyata dengan nol terhadap pembayaran utang luar negerinya, namun demikian respon pembayaran utang luar negeri tersebut atas jumlah utang luar negerinya adalah inelastis baik dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang. Artinya setiap 1 persen kenaikan pada utang luar negeri pemerintah di sektor pertanian dan pengairan akan menaikkan pembayaran utang luar negeri pemerintah di sektor tersebut sebesar 0.2045 persen dalam jangka pendek dan sebesar 0.6168 persen dalam jangka panjang. Faktor lainnya yang mempengaruhi pembayaran utang luar negeri adalah variabel bedakalanya yang signifikan pada taraf kepercayaan 99 persen. Hal ini mengindikasikan bahwa pembayaran utang luar negeri di sektor pertanian memerlukan waktu yang lama dalam menyesuaikan diri kembali kepada tingkat keseimbangannya dalam merespon perubahan situasi ekonomi yang terjadi.
137
6.2.20. Respon Pembayaran Utang LN di Sektor Pertambangan dan Energi Perilaku
pembayaran
utang
luar
negeri
pemerintah
di
sektor
pertambangan dan energi identik dengan perilaku pembayaran utang luar negeri pemerintah di sektor pertanian dan pengairan. Dengan demikian pembayaran utang luar negeri pemerintah di sektor ini juga dipengaruhi oleh pendapatan pemerintah dengan respon yang elastis baik dalam jangka pendek dan jangka panjang. Artinya ketika penerimaan pemerintah meningkat 1 persen, maka pembayaran utang luar negeri pemerintah di sektor pertambangan dan energi akan mengalami kenaikan sebesar 1.0163 persen dalam jangka pendek dan 7.1084 persen dalam jangka panjang yang secara statistik berbeda nyata dengan nol. Hal ini menjelaskan bahwa pendapatan pemerintah tersebut memiliki kontribusi yang besar atas pembayaran utang luar negeri pemerintah di sektor pertambangan dan energi tersebut. Hasil estimasi terhadap perilaku pembayaran utang luar negeri di sektor pertambangan dan energi akibat perubahan pendapatan pemerintah dan stok utang luar negeri pemerintah di sektor tersebut dapat diikuti pada Tabel 28. Tabel 30. Hasil Estimasi dan Elastisitas Pembayaran Utang LN Sektor Pertambangan dan Energi Variable INTERCEP
Parameter
Elastisitas
Prob > |T|
Variable Label
Estimate
ESR
ELR
-600.048628
-
-
0.0004
Intercept
GOREV
0.009298
1.0163
7.1084
0.0001
Pendapatan Pemerintah
UTENG
0.00504
0.0484
0.3388
0.6195
Utang S. Energi
0.857022
-
-
0.0002
Lag PUENG
LPUENG
Dari Tabel 30 juga dapat diketahui bahwa besarnya pembayaran utang luar negeri pemerintah di sektor pertambangan dan energi juga dipengaruhi oleh besarnya jumlah utang luar negeri pemerintah di sektor tersebut secara positif dengan respon yang inelastis baik untuk jangka pendek maupun jangka panjang, namun secara statistik tidak cukup berbeda nyata dengan nol. Hal ini berarti setiap 1 persen kenaikan pada utang luar negeri pemerintah di sektor pertambangan dan energi akan menaikkan pembayaran utang luar negeri pemerintah di sektor ini sebesar 0.0484 persen dalam jangka pendek dan sebesar
138
0.3388 persen dalam jangka panjang. Hal ini juga dapat diartikan bahwa pemerintah tidak ingin menunda pelunasan utangnya apabila kondisi keuangan pemerintah memungkinkan untuk percepatan pembayaran utang. Selain kedua faktor tersebut, pembayaran utang luar negeri di sektor energi juga dipengaruhi oleh variabel bedakalanya yang secara statistik cukup signifikan. Hal ini mengindikasikan bahwa pembayaran utang luar negeri di sektor energi tersebut memerlukan waktu yang lama untuk menyesuaikan kembali kepada tingkat keseimbangannya dalam merespon perubahan situasi ekonomi yang terjadi.
6.2.21. Respon Pembayaran Utang LN di Sektor Perhubungan dan Transportasi Pembayaran utang luar negeri pemerintah di sektor perhubungan dan transportasi dipengaruhi oleh penerimaan pemerintah dengan respon yang positif dan secara statistik berbeda nyata dengan nol pada taraf kepercayaan 99 persen. Hal ini berarti ketika penerimaan pemerintah meningkat 1 persen, maka pembayaran utang luar negeri pemerintah di sektor ini juga akan mengalami kenaikan sebesar 1.3369 persen dalam jangka pendek dan 1.6493 persen dalam jangka panjang dengan keyakinan 99 persen terjadi. Ini juga dapat diartikan pendapatan pemerintah mempunyai pengaruh dominan atas pembayaran utang luar negeri pemerintah di sektor ini. Secara logika dan teori ekonomi fenomena tersebut adalah benar. Pemerintah cenderung untuk tidak menunda pembayaran utang luar negerinya yang sudah jatuh tempo (berikut bunga utang), atau mengajukan penundaan pembayaran atas utang-utangnya (rescheduling), karena hal ini hanya akan memindahkan beban ke masa yang akan datang. Tabel 31. Hasil Estimasi dan Elastisitas Pembayaran Utang LN Sektor Perhubungan dan Transportasi Variable INTERCEP
Parameter
Elastisitas
Prob > |T|
Variable Label
Estimate
ESR
ELR
-460.552286
-
-
0.0001
Intercept
GOREV
0.013877
1.3369
1.6493
0.0001
Pendapatan Pemerintah
LPUHUB
0.189395
-
-
0.1395
Lag PUHUB
139
Dari Tabel 31 juga dapat diketahui bahwa selain dipengaruhi oleh faktor penerimaan pemerintah, pembayaran utang luar negeri pemerintah di sektor perhubungan dan transportasi juga dipengaruhi oleh variabel bedakalanya, yang secara statistik cukup signifikan. Hal ini mengindikasikan bahwa pembayaran utang luar negeri pemerintah di sektor perhubungan dan transportasi tersebut memerlukan waktu yang lama untuk menyesuaikan diri kembali kepada tingkat keseimbangannya dalam merespon perubahan situasi ekonomi yang terjadi.
6.2.22. Respon Pembayaran Utang LN di Sektor Lainnya Dalam penelitian ini yang dimaksud dengan pembayaran utang luar negeri di sektor lainnya adalah pembayaran utang luar negeri yang digunakan di sektor-sektor selain kelima sektor utama yang disebut dalam penelitian ini. Besarnya pembayaran utang luar negeri pemerintah di sektor lainnya dipengaruhi secara positif oleh jumlah kumulatif utang luar negeri pemerintah di sektor lainnya dengan respon yang positif juga baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Artinya, setiap 1 persen kenaikan pinjaman luar negeri di sektor lainnya akan menaikkan pembayaran utang luar negerinya sebesar 0.1715 persen dalam jangka pendek dan 0.6102 persen dalam jangka panjang. Hasil estimasi dampak perubahan pendapatan pemerintah dan utang luar negeri pemerintah di sektor lain atas pembayaran utang luar negeri di sektor lainnya dapat diikuti pada Tabel 32. Tabel 32. Hasil Estimasi dan Elastisitas Pembayaran Utang LN Sektor Lainnya Variable
Parameter Estimate
Elastisitas ESR
ELR
Prob > |T|
Variable Label
GOREV
0.000549
0.1095
0.3896
0.5232
Pendapatan Pemerintah
UTOTS
0.039804
0.1715
0.6102
0.1586
Utang S. Lainnya
LPUOTS
0.718935
-
-
0.0004
Lag PUOTS
Hasil pada Tabel 32 tersebut juga dapat diartikan bahwa pemerintah berusaha untuk selalu menurunkan stok utang luar negerinya. Dari data empiris dalam diketahui bahwa dalam praktek penyusunan anggaran belanja, pemerintah selalu berusaha untuk menurunkan jumlah stok utang luar negeri pemerintah yang sudah besar, dengan cara penambahan porsi pinjaman luar negerinya selalu
140
diupayakan lebih kecil dari jumlah pembayaran utang luar negerinya. Dengan demikian diharapkan bahwa ke depan, jumlah stok utang luar negeri pemerintah semakin lama akan semakin menurun. Lebih jauh lagi, dari variabel peubah bedakala pada Tabel 32 tersebut juga dapat diketahui bahwa perilaku pembayaran utang luar negeri di sektor lainnya memerlukan waktu yang lama untuk mencapai titik keseimbangannya dalam merespon perubahan ekonomi yang terjadi.
6.2.23. Respon Angka Partisipasi Sekolah Berdasarkan praktek penyusunan anggaran pembangunan dalam anggaran pendapatan dan belanja negara, diduga perilaku variabel Angka Partisipasi Sekolah (APS) dipengaruhi secara positif oleh besarnya alokasi anggaran rupiah murni di sektor pendidikan pada tahun sebelumnya dan utang luar negeri pemerintah yang efektif digunakan di sektor pendidikan. Selain itu, APS diduga juga dipengaruhi oleh pengaruh lender driven tapi dengan respon yang negatif. Hasil estimasi dampak perubahan alokasi rupiah murni sektor pendidikan tahun sebelumnya, perubahan kebijakan lender dan perubahan utang luar negeri yang efektif digunakan di sektor tersebut terhadap angka partisipasi sekolah dapat diikuti pada Tabel 33. Tabel 33. Hasil Estimasi dan Elastisitas Angka Partisipasi Sekolah Parameter
Variable
Estimate
Elastisitas
Prob > |T|
Variable Label
ESR
ELR
22.011029
-
-
0.1171
Intercept
LRPDIK
0.000253
0.0089
0.0331
0.4125
Lag RPDIK
DRVDIK
INTERCEP
-0.000022173
-0.0003
-0.0010
0.9889
Lender Driven S. Pendidikan
EFUTDIK
0.000855
0.0258
0.0953
0.3579
Efektif Utang S. Pendidikan
LAPS
0.729332
-
-
0.0002
Lag APS
Dari hasil estimasi di atas diketahui bahwa ketiga variabel penjelas tersebut ternyata tidak signifikan mempengaruhi perilaku APS. Meskipun demikian, secara bersama-sama variabel-variabel penjelas tersebut mampu menjelaskan dengan memuaskan perilaku peubah endogennya. Hal ini
141 dibuktikan oleh tingginya koefisien determinasinya (R2) yang mencapai 0.9252. Namun, ini berarti ada faktor-faktor lain di luar ketiga peubah penjelas tersebut yang signifikan mempengaruhi perilaku APS. Pembangunan sektor kesehatan tidak hanya disumbang oleh investasi langsung dari pemerintah, namun juga oleh investasi swasta yang berkembang karena regulasi dari pemerintah yang kondusif bagi swasta untuk berinvestasi di bidang pendidikan. Faktor-faktor ini yang kemungkinan besar mempengaruhi perilaku dari APS. Satu-satunya variabel yang mempunyai pengaruh atas perilaku APS adalah variabel bedakalanya yang secara statistik sangat signifikan. Hal ini mengindikasikan bahwa perilaku APS, yaitu perbandingan antara jumlah anak kelompok usia 7-12 tahun yang menempuh pendidikan formal di sekolah dengan jumlah anak seluruhnya pada kelompok umur tersebut memerlukan waktu yang lama untuk menyesuaikan kembali kepada tingkat keseimbangannya dalam merespon perubahan situasi ekonomi yang terjadi. Selain itu, hal ini juga menjelaskan bahwa dalam praktek penyusunan anggaran pembangunan selama ini, pemerintah kurang mempertimbangkan keberadaan variabel-variabel penjelas yang lain, namun lebih terfokus pada kondisi APS pada tahun-tahun sebelumnya.
6.2.24. Respon Angka Tahun Lama Bersekolah Berdasarkan hasil estimasi model dalam penelitian ini dapat diketahui bahwa perilaku peubah-peubah penjelas, yaitu alokasi rupiah murni dan pengaruh kebijakan lender di sektor pendidikan ternyata tidak mempunyai pengaruh yang cukup signifikan terhadap perilaku peubah endogennya, yaitu angka Tahun Lama Bersekolah (THSEK). Namun, secara statistik pengaruh/ tandanya sesuai dengan harapan. Hal ini berarti ada variabel lain yang tidak masuk dalam model tetapi mempunyai pengaruh yang signifikan atas perilaku variabel THSEK. Peubah penjelas dalam model yang dibangun, yang mempunyai pengaruh yang cukup signifikan atas perilaku THSEK adalah variabel utang luar negeri yang efektif digunakan di sektor kesehatan. Responnya inelastis di semua periode. Ini berarti setiap kenaikan 1 persen utang luar negeri yang efektif
142
digunakan di sektor pendidikan akan menaikkan THSEK sebesar 0.0925 persen dalam jangka pendek dan sebesar 0.2261 persen dalam jangka panjang. Dengan kata lain utang luar negeri pemerintah di sektor pendidikan mempunyai sumbangan dalam meningkatkan angka THSEK. Hasil estimasi dampak perubahan alokasi rupiah murni, intervensi lender dan utang luar negeri sektor ini atas perilaku THSEK dapat diikuti selengkapnya pada Tabel 34. Tabel 34. Hasil Estimasi dan Elastisitas Angka Tahun Lama Bersekolah Variable
Parameter
Prob > |T|
Variable Label
ESR
ELR
-
-
0.0392
Intercept
0.000030184
0.0146
0.0357
0.6041
Pengel. Rp S. Pendidikan
DRVDIK
-0.000176
-0.0280
-0.0686
0.5469
Lender Driven S. Pendidikan
EFUTDIK
0.000234
0.0925
0.2261
0.1381
Efektif Utang S. Pendidikan
LTHSEK
0.591089
-
-
0.0026
Lag THSEK
INTERCEP RPDIK
Estimate
Elastisitas
2.362143
Hasil estimasi juga menunjukkan bahwa variabel peubah bedakala pada Tabel 34, yaitu angka lama tahun bersekolah anak usia 13-15 tahun memerlukan waktu yang lama untuk mencapai titik keseimbangannya dalam merespon perubahan ekonomi yang terjadi. Selain itu, fenomena ini juga menjelaskan bahwa besarnya angka lama tahun bersekolah pada tahun sebelumnya mempunyai pengaruh yang cukup signifikan atas besarnya angka lama tahun bersekolah pada tahun yang sedang berjalan.
6.2.25. Respon Angka Kematian Bayi Berdasarkan pengalaman empiris dan kebiasaan dalam penyusunan anggaran pembangunan, dapat dibangun model persamaan dimana perilaku variabel endogen Angka Kematian Bayi (AKB) dipengaruhi oleh alokasi rupiah murni dan jumlah utang luar negeri yang efektif digunakan di sektor kesehatan sebagai variabel eksogennya. Hasil estimasi menunjukkan bahwa ke dua variabel penjelas tersebut secara statistik terbukti mempunyai pengaruh yang negatif dan signifikan dengan respon yang inelastis baik untuk jangka pendek maupun jangka panjang terhadap perilaku AKB. Hal ini berarti setiap 1 persen kenaikan
143
alokasi rupiah murni dan kenaikan utang luar negeri yang efektif digunakan di sektor tersebut berturut-turut akan menurunkan jumlah angka kematian bayi sebesar 0.0928 persen dalam jangka pendek dan sebesar 0.1576 persen dalam jangka panjang, serta 0.2018 persen dalam jangka pendek dan sebesar 0.3429 persen dalam jangka panjang. Dampak perubahan alokasi rupiah murni sektor kesehatan dan perubahan utang luar negeri yang efektif digunakan di sektor tersebut terhadap perilaku angka kematian bayi dapat diikuti pada Tabel 35. Tabel 35. Hasil Estimasi dan Elastisitas Angka Kematian Bayi Variable INTERCEP RPKES EFUTKES LAKB
Dari
Parameter
Elastisitas
Prob > |T|
Variable Label
Estimate
ESR
ELR
43.086791
-
-
0.0001
Intercept
-0.00174
-0.0928
-0.1576
0.0025
Pengel. Rp S. Kesehatan
-0.003677
-0.2018
-0.3429
0.0001
Efektif Utang S. Kesehatan
0.411452
-
-
0.0003
Lag AKB
Tabel
tersebut
dapat
ditarik
penjelasan
bahwa
dalam
mengalokasikan anggaran rupiah murni untuk pembangunan sektor kesehatan, pemerintah akan melihat kondisi AKB yang ada. Demikian pula dalam menentukan pinjaman baru untuk sektor kesehatan, pemerintah juga akan memperhatikan besarnya AKB yang telah dicapai. Selain itu, faktor lain yang turut mempengaruhi perilaku AKB adalah variabel bedakalanya yang secara statistik cukup signifikan. Hal ini mengindikasikan bahwa perilaku angka kematian bayi tersebut memerlukan waktu yang lama untuk menyesuaikan kembali kepada tingkat keseimbangannya dalam merespon perubahan situasi ekonomi yang terjadi.
6.2.26. Respon Angka Usia Harapan Hidup Dari hasil estimasi yang dibangun untuk persamaam perilaku angka Usia Harapan Hidup (UHH) dapat diketahui bahwa respon angka usia harapan hidup manusia Indonesia terhadap fluktuasi alokasi rupiah murni dan utang luar negeri yang efektif digunakan di sektor kesehatan adalah positif dengan respon yang
144
inelastis baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang, dan secara statistik cukup signifikan dengan tingkat kepercayaan diatas 95 persen. Hal ini dapat diartikan bahwa setiap 1 persen kenaikan alokasi rupiah murni di sektor kesehatan akan menaikkan angka usia harapan hidup sebesar 0.0309 persen dalam jangka pendek dan sebesar 0.0397 persen dalam jangka panjang dengan tingkat kepercayaan sebesar 98 persen. Demikian pula, setiap kenaikan 1 persen utang luar negeri yang efektif digunakan di sektor kesehatan akan menaikkan angka usia harapan hidup sebesar 0.089 persen dalam jangka pendek dan sebesar 0.1144 persen dalam jangka panjang dengan tingkat kepercayaan sebesar 99 persen. Selain itu, dari hasil estimasi ini juga dapat dijelaskan bahwa kondisi UHH yang ada sangat mempengaruhi kebijakan pemerintah dalam pengalokasian anggaran pembangunan di sektor kesehatan, baik yang berasal dari dana rupiah murni maupun pinjaman luar negeri. Respon angka usia harapan hidup terhadap perubahan alokasi rupiah murni sektor kesehatan dan perubahan utang luar negeri yang efektif digunakan di sektor tersebut dapat diikuti pada Tabel 36. Tabel 36. Hasil Estimasi dan Elastisitas Angka Usia Harapan Hidup Variable
Parameter
Elastisitas
Prob > |T|
Variable Label
Estimate
ESR
ELR
40.524163
-
-
0.0002
Intercept
0.000732
0.0309
0.0397
0.0147
Pengel. Rp S. Kesehatan
DRVKES
-0.000208
-0.0049
-0.0063
0.8438
Lender Driven S. Kesehatan
EFUTKES
0.002046
0.0890
0.1144
0.0107
Efektif Utang S. Kesehatan
0.22214
-
-
0.1501
Lag UHH
INTERCEP RPKES
LUHH
Selain itu, perubahan kebijakan donor di sektor kesehatan scara statistik tidak mempunyai pengaruh yang nyata terhadap perilaku UHH dengan tingkat kepercayaan sebesar 85 persen atau dengan peluang kejadian yang hanya sekitar 15 persen. Meskipun demikian, ditinjau dari sisi ilmu ekonomi, hubungan tanda antara kedua variabel ini sesuai dengan harapan, yaitu apabila terjadi perubahan positif pada kebijakan donor atas pengadaan barang dan jasa pemerintah di sektor kesehatan, maka angka usia harapan hidup akan menurun baik untuk jangka pendek maupun jangka panjang, namun dengan peluang terjadinya kemungkinan tersebut hanya sebesar 15 persen.
145
Lebih jauh lagi, dari variabel peubah bedakala pada Tabel 36 dapat diketahui bahwa perilaku angka usia harapan hidup memerlukan waktu lama untuk mencapai titik keseimbangannya dalam merespon perubahan ekonomi yang terjadi.
6.2.27. Respon Pertumbuhan Sektor Pertanian dan Pengairan Dari hasil estimasi atas model persamaan yang dibangun dapat diketahui bahwa perilaku pertumbuhan sektor pertanian dan pengairan dipengaruhi secara positif oleh alokasi rupiah murni dan pinjaman luar negeri yang efektif digunakan untuk investasi di sektor ini. Respon pertumbuhan sektor ini atas pengaruh kedua variabel tersebut adalah inelastis, dan cukup signifikan. Hal ini dapat diartikan bahwa kenaikan alokasi rupiah murni di sektor pertanian dan pengairan sebesar 1 persen akan meningkatkan pertumbuhan sektor ini sebesar 0.1652 persen, sementara kenaikan penggunaan pinjaman luar negeri yang efektif digunakan di sektor ini sebesar 1 persen akan meningkatkan angka pertumbuhannya sebesar 1.8536 persen. Perilaku angka pertumbuhan sektor pertanian dan pengairan terhadap perubahan alokasi rupiah murni, kebijakan lender, dan utang luar negeri yang efektif digunakan di sektor pertanian dan pengairan dapat diikuti di Tabel 37. Tabel 37. Hasil Estimasi dan Elastisitas Pertumbuhan Sektor Pertanian dan Pengairan Variable INTERCEP
Parameter Estimate
ESR
ELR
Prob > |T|
Variable Label
-
-
0.0001
Intercept
0.000077615
0.1652
-
0.0023
Pengel. Rp S. Pertanian
DRVTAN
-0.000116
-0.0559
-
0.3376
Lender Driven S. Pertanian
EFUTTAN
0.000999
1.8536
-
0.0001
Efektif Utang S. Pertanian
RPTAN
-2.023579
Elastisitas
Sebaliknya, peubah penjelas lainnya yaitu intervensi donor dalam pengadaan barang dan jasa publik di sektor pertanian dan pengairan ternyata tidak mempunyai pengaruh yang signifikan atas pertumbuhan sektor pertanian dan pengairan, meskipun apabila ditinjau dari pengalaman empiris dan
146
mekanisme pemerintah dalam kebijakan pengalokasian anggaran, hubungan antara kedua variabel ini sesuai dengan harapan.
6.2.28. Respon Pertumbuhan Sektor Pertambangan dan Energi Perilaku variabel endogen, yaitu pertumbuhan sektor pertambangan dan energi ditentukan secara positif oleh alokasi rupiah murni dan utang luar negeri yang efektif digunakan di sektor tersebut dengan respon yang inelastis untuk jangka pendek maupun dan elastis jangka panjang. Namun secara statistik, pengaruh alokasi rupiah murni di sektor pertambangan dan energi tidak terlalu signifikan mempengaruhi pertumbuhan sektor ini, sementara perubahan utang luar negeri di sektor ini mempunyai pengaruh yang cukup signifikan. Perilaku angka pertumbuhan sektor pertambangan dan energi atas perubahan variabel eksogennya dapat diikuti pada Tabel 38. Tabel 38. Hasil Estimasi dan Elastisitas Pertumbuhan Sektor Pertambangan dan Energi Variable
Parameter
Elastisitas
Prob > |T|
Variable Label
Estimate
ESR
ELR
0.000025349
0.0189
0.0653
0.8831
Pengel. Rp S. Energi
EFUTENG
0.000159
0.2561
0.8849
0.0851
Efektif Utang S. Energi
LGENG
0.710617
-
-
0.0001
Lag GENG
RPENG
Hasil pada tabel tersebut dapat diartikan bahwa setiap 1 persen kenaikan alokasi rupiah murni di sektor ini akan menaikkan pertumbuhannya sebesar 0.0189 persen untuk jangka pendek dan 0.0653 persen untuk jangka panjang. Di sisi lain, setiap 1 persen kenaikan pinjaman luar negeri yang efektif digunakan untuk investasi di sektor ini akan meningkatkan angka pertumbuhannya sebesar 0.2561 persen untuk jangka pendek dan 0.8849 persen untuk jangka panjang. Dari hasil estimasi tersebut juga dapat diketahui bahwa faktor lain yang turut mempengaruhi angka pertumbuhan sektor pertambangan dan energi adalah variabel bedakalanya yang signifikan secara statistik. Hal ini mengindikasikan bahwa perilaku pertumbuhan sektor pertambangan dan energi tersebut memerlukan waktu yang lama untuk menyesuaikan kembali kepada tingkat keseimbangannya dalam merespon perubahan situasi ekonomi yang terjadi.
147
6.2.29. Respon Angka Pertumbuhan Sektor Perhubungan dan Transportasi Dari model persamaan perilaku yang dibangun untuk pertumbuhan sektor perhubungan dan transportasi ini dapat diketahui bahwa perilaku pertumbuhan sektor ini dipengaruhi secara positif oleh alokasi rupiah murni dan utang luar negeri yang efektif digunakan untuk pembangunan sektor ini, tetapi dipengaruhi secara negatif oleh intervensi donor, serta variabel bedakala peubah endogennya. Secara bersama-sama, variabel-variabel eksogen ini dapat menjelaskan dengan baik perilaku variabel endogennya, yang dicerminkan dari koefisien determinasinya (R2) yang cukup tinggi, yaitu mencapai 0.9127. Namun, dari hasil estimasi atas model persamaan perilaku yang dibangun seperti terlihat pada Tabel 39 ditemukan bahwa semua variabel penjelas pada persamaan perilaku ini (kecuali variabel bedakala) tidak dapat secara signifikan menjelaskan perilaku variabel pertumbuhan sektor ini. Hal ini berarti perilaku variabel endogen pada persamaan ini dipengaruhi oleh variabel lain di luar model persamaan yang dibangun. Meskipun demikian, variasi variabel-variabel penjelas atas variabel endogen pada persamaan ini dalam praktek penyusunan anggaran sesuai dengan harapan. Tabel 39. Hasil Estimasi dan Elastisitas Pertumbuhan Sektor Perhubungan dan Transportasi Parameter
Variable
Elastisitas
Prob > |T|
Variable Label
Estimate
ESR
ELR
0.00007188
0.1289
0.4519
0.3507
Pengel. Rp S. Perhubungan
DRVHUB
-0.000199
-0.2418
-0.8479
0.3586
Lender Driven S. Perhubungan
EFUTHUB
0.000119
0.3410
1.1955
0.2753
Efektif Utang S. Perhubungan
LGHUB
0.714795
-
-
0.0008
Lag GHUB
RPHUB
Dari hasil estimasi dapat diketahui bahwa satu-satunya variabel yang mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap perilaku pertumbuhan sektor ini adalah variabel peubah bedakalanya. Hal ini berarti pertumbuhan sektor ini memerlukan waktu yang lama untuk mencapai titik keseimbangannya dalam merespon perubahan ekonomi yang terjadi. Selain itu hasil estimasi atas persamaan perilaku yang dibangun ini menjelaskan bahwa dalam menetapkan
148
target pertumbuhan sektor perhubungan dan transportasi, pemerintah hanya mempertimbangkan kondisi pertumbuhannya pada tahun sebelumnya.
6.2.30. Respon Angka Pengangguran Tingkat pengangguran terbuka di Indonesia sampai dengan tahun 2005 masih tergolong cukup tinggi. Hal ini disebabkan karena pertumbuhan ekonomi Indonesia yang belum dapat mengimbangi pertumbuhan angkatan kerja baru. Akibatnya, upaya penciptaan kesempatan kerja seluas-luasnya guna menampung angkatan kerja baru tersebut tidak dapat dicapai sepenuhnya. Berdasarkan teori ekonomi tentang hubungan tingkat pengangguran dan PDB, serta berdasarkan pengalaman empiris, dalam penelitian ini dibangun persamaan perilaku yang akan mencari hubungan antara tingkat pengangguran sebagai independent variable dengan pendapatan pemerintah, utang luar negeri pemerintah, dan pertumbuhan PDBI sebagai dependent variables atas tingkat pengangguran. Dari hasil estimasi dapat diketahui bahwa tidak satupun variabel-variabel penjelas secara sendiri-sendiri dapat menjelaskan perilaku tingkat pengangguran yang terjadi di Indonesia. Namun, apabila dilihat secara bersama-sama, variabelvariabel penjelas ini mampu menjelaskan dengan baik perilaku peubah endogennya, yaitu tingkat pengangguran di Indonesia, yang dicerminkan dari cukup tingginya koefisien determinasi (R2) persamaan perilaku angka tingkat pengangguran ini, yang mencapai 0.8878. Selain itu, berdasarkan teori ekonomi tentang hubungan antara variabel endogen dengan variabel-variabel endogennya pada persamaan ini, didapatkan hasil yang sesuai dengan harapan. Tabel 40. Hasil Estimasi dan Elastisitas Angka Pengangguran Variable INTERCEP
Parameter
Elastisitas
Prob > |T|
Estimate
ESR
ELR
1268.782216
-
-
0.449
Variable Label Intercept
GOREV
-0.002223
-0.0406
-0.7583
0.8525
Pendapatan Pemerintah
UTGOV
-0.018855
-0.1128
-2.1075
0.7074
Total Utang LN Pemerintah
GPDBI
-45.699159
-0.0630
-1.1767
0.4848
Growth PDBI
-
-
0.0016
Lag UNEM
LUNEM
0.953536
149
Satu-satunya variabel penjelas yang mempunyai pengaruh yang secara statistik cukup signifikan atas perilaku tingkat pengangguran di Indonesia adalah variabel bedakala-nya. Hasil estimasi selengkapnya atas model persamaan struktural tingkat angka pengangguran ini dapat diikuti pada Tabel 40. Dari tabel tersebut dapat diindikasikan perilaku tingkat pengangguran di Indonesia memerlukan waktu yang lama untuk menyesuaikan kembali kepada tingkat keseimbangannya dalam merespon perubahan ekonomi yang terjadi.
6.3.
Keragaan Khusus Indikator Pertumbuhan Sektoral Dari hasil pendugaan atas seluruh perilaku indikator pertumbuhan
sektoral atas perubahan variabel-variabel eksogennya dapat disimpulkan bahwa perubahan alokasi pendanaan rupiah murni di sektor perhubungan dan transpotasi secara prosentase memberikan dampak yang paling besar atas perubahan angka pertumbuhannya, disusul oleh sektor pertambangan dan energi. Demikian pula utang luar negeri yang digunakan di sektor pertanian dan pengairan, secara prosentase memberikan dampak yang paling besar atas perilaku pertumbuhan sektoral, disusul oleh sektor perhubungan dan transportasi, serta oleh sektor pertambangan dan energi. Sebaliknya, perubahan kebijakan lender dalam aturan pengadaan barang dan jasa di sektor perhubungan dan transportasi secara prosentase memberikan pengaruh yang paling dominan atas perubahan pertumbuhan sektoralnya, disusul oleh sektor pertanian dan pengairan. Hasil/ temuan dalam penelitian ini ternyata sejalan dengan laporan Bank Dunia: World Development Report 2008: “Agricultural for Development”. Di dalam laporan tersebut Bank Dunia menyampaikan bahwa di banyak negara miskin di dunia, sektor pertanian memberikan kontribusi yang paling besar atas GDP dan penyediaan lapangan kerja di negaranya. Tetapi kontribusi ini akan semakin menurun dan bergeser ke sektor industri seiring dengan kemajuan dan peningkatan GDP per kapita negara yang bersangkutan. Namun, sektor pertanian masih merupakan instrumen yang paling menjanjikan dalam mengurangi kemiskinan. Pergeseran ke sektor industri disebabkan karena investasi di sektor pertanian high risk, seasonal dan rate of return-nya rendah.
150
Untuk Indonesia, yang termasuk dalam Lower Middle Income Countries (LMC) dengan GDP/ kapita sebesar USD 906 - 3.595, maka sektor pertanian dan pengairan masih sangat perlu mendapat perhatian utama. Pemerintah memegang kunci utama dalam menciptakan kondisi yang kondusif bagi sektor swasta dan masyarakat untuk berusaha/ berinvestasi di sektor pertanian dan pengairan. Seiring dengan berjalannya era desentralisasi, pengembangan sektor pertanian dan pengairan perlu diarahkan kepada community-driven development (CDD). Revitalisasi Pertanian yang sedang dijalankan perlu terus digerakkan dari pembangunan lokal menuju pembangunan global.
6.4.
Peramalan Nilai Variabel Tahun 2006 - 2009 Model persamaan Utang Luar Negeri Pemerintah Indonesia yang
dibangun melalui beberapa persamaan dalam penelitian ini digunakan untuk mempelajari perilaku dan fenomena ekonomi utang luar negeri pemerintah yang terjadi di dunia nyata. Setelah hasil dalam pendugaan model pada penelitian ini dapat dinyatakan cukup refresentatif dalam menggambarkan fenomena ekonomi utang luar negeri pemerintah Indonesia, model ini selanjutnya dapat digunakan untuk meramalkan perkembangan nilai-nilai variabel endogen tersebut pada masa yang akan datang. Hasil peramalannya dapat digunakan oleh para pengambil keputusan sebagai salah satu bahan pertimbangan dalam membuat suatu kebijakan publik. Dengan adanya reformasi di bidang keuangan negara melalui 3 paket undang-undang di bidang keuangan negara ( Undang-undang No. 17 Tahun 2003, Undang-undang No. 1 Tahun 2004 dan Undang-undang No. 15 Tahun 2004), sistem dan prosedur penyusunan, pengelolaan dan pertanggungjawaban anggaran pendapatan dan belanja negara mengalami banyak perubahan. Oleh karena itu peramalan yang akan dilakukan pada penelitian ini hanya untuk tahun 2006 sampai dengan tahun 2009, yaitu sampai dengan berakhirnya periode pelaksanaan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2004 2009. Hasil pendugaan nilai variabel endogen pada model Utang Luar Negeri Pemerintah ini untuk periode tahun 2006 - 2009 dapat dilihat pada Lampiran 3.
VII. ANALISIS VALIDASI DAN SIMULASI MODEL Dalam penelitian ini, model yang dibangun untuk seterusnya disebut sebagai Model Utang Luar Negeri Pemerintah Indonesia. Sebelum model tersebut dapat digunakan untuk simulasi kebijakan, terlebih dahulu perlu dilakukan pengujian daya prediksi/ validasi dari model tersebut, guna melihat apakah nilai dugaan masing-masing variabel endogen sesuai dengan atau mendekati nilai aktualnya (Pindyck dan Rubinfield, 1991). Oleh karena itu, validasi terhadap model dilakukan guna mencari model dimana variabel endogen (dependent variables) mempunyai keterkaitan yang tepat sebagai fungsi dari satu atau lebih variabel eksogen (independent variables). Ketepatan ini ditentukan oleh kriteria goodness of fit statistics tertentu. Sementara itu simulasi kebijakan dilakukan untuk menganalisis dampak berbagai alternatif kebijakan dengan cara mengubah nilai variabel eksogen atau variabel yang merupakan alat kebijakan.
7.1.
Validasi Model Utang Luar Negeri Pemerintah Indonesia Model utang luar negeri pemerintah dalam penelitian ini telah diuji
dengan suatu simulasi dasar untuk periode sampel pengamatan 1985-2005. Indikator validasi statistik yang digunakan adalah Root Mean Square Error (RMSE) dan Root Mean Square Percent Error (RMSPE) untuk mengukur seberapa dekat nilai masing-masing peubah endogen hasil pendugaan mengikuti nilai data aktualnya selama periode pengamatan, atau dengan kata lain seberapa jauh penyimpangannya dalam ukuran persen. Pada dasarnya jika nilai RMSE dan RMSPE semakin kecil maka pendugaan model akan semakin baik. Selain itu, untuk keperluan validasi digunakan juga statistik proporsi bias (UM), proporsi regresi (UR), proporsi distribusi (UD), proporsi varians (US), proporsi kovarians (UC) dan juga statistik Theil’s inequality coefficient (U) untuk mengevaluasi kemampuan model bagi analisis simulasi historis maupun peramalan (historical and ex-ante simulation). UM adalah proporsi bias yang menunjukkan kesalahan sistematis untuk mengukur penyimpangan nilai rata-rata estimasi dengan nilai rata-rata aktualnya. Nilai UM yang baik untuk model berkisar antara 0.1 - 0.2.
152
UR adalah komponen regresi yang menunjukkan deviasi kemiringan (slove) regresi aktual dengan nilai-nilai estimasi. Jika prediksi sempurna maka kemiringan regresi = r. Sa/Sp akan mengambil nilai satu, artinya regresi yang diestimasi tidak berpotongan dengan regresi aktual. Jika nilai r. Sa/Sp = 1 maka nilai UM dan UR akan hilang atau sama dengan nol. UD merupakan komponen kesalahan-kesalahan yang tidak sistematik. Suatu model dikatakan baik jika nilai UM dan UR sangat kecil dan nilai UD mendekati satu. US adalah proporsi varians yang menunjukkan kemampuan model menyerupai (replicate) tingkat perubahan variabel endogen. Jika US sangat besar maka model perlu diperbaiki. UC adalah proporsi kovarians untuk mengukur kesalahan yang tidak sistematis. UC ini berfungsi untuk menjelaskan kesalahan yang tersisa. Secara ideal kesalahan-kesalahan terdistribusi pada UC jika U lebih besar dari nol. Nilai koefisien U berkisar antara 0 dan 1. Jika U = 0 maka pendugaan model sempurna, sebaliknya jika U = 1, maka pendugaan model naif. Hasil validasi model utang Indonesia dalam penelitian ini disajikan pada Tabel 41. Pada tabel tersebut dapat diketahui bahwa dari 47 persamaan dalam model, persamaan yang memiliki nilai RMSPE lebih kecil dari 50 persen berjumlah 37 persamaan, sedangkan 10 persamaan lainnya mempunyai nilai RMSPE lebih besar dari 50 persen. Tingginya nilai RMSPE pada beberapa variabel tersebut sulit dihindarkan karena beberapa variabel dalam model tersebut berbentuk persamaan identitas. Disamping itu, dalam membangun model tersebut juga dipertimbangkan pula kriteria ekonomi, sehingga dalam beberapa persamaan digunakan restriksi (tanpa intersep). Ditinjau berdasarkan kriteria U-Theil’s, terdapat 40 persamaan yang mempunyai nilai U lebih kecil dari 0.20, dan 7 persamaan sisanya mempunyai nilai U lebih besar dari 0.20. Nilai U-Theil’s tertinggi adalah 0.3802, yaitu pada persamaan defisit anggaran (BUGDEF). Namun persamaan ini mempunyai nilai proporsi bias (UM) yang cukup kecil, yaitu 0.103. Dengan demikian, jika dilihat secara keseluruhan maka model ini cukup baik digunakan sebagai model pendugaan, dan oleh karena itu
153
model struktural yang telah dirumuskan tersebut juga dapat digunakan untuk simulasi alternatif kebijakan. Hasil Pengujian validasi Model Utang Luar Negeri Pemerintah Indonesia selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 41. Tabel 41. Hasil Pengujian Validasi Model Utang Luar Negeri Pemerintah No.
Variable
RMS Error
RMS % Error
Corr (R)
Bias (UM)
Reg (UR)
Dist (UD)
Var (US)
Covar (UC)
U
1
PDBI
187046
15.1332
0.979
0.756
0.088
0.156
0.114
0.130
0.0845
2
KONS
175805
23.3001
0.984
0.842
0.106
0.052
0.120
0.038
0.1373
3
INVEST
26738
11.3268
0.952
0.016
0.008
0.977
0.059
0.925
0.0469
4
GOEXP
6238
7.0349
0.994
0.058
0.000
0.942
0.002
0.940
0.0256
5
NXPRT
37482
79.5994
0.737
0.009
0.089
0.901
0.447
0.544
0.2401
6
DINTR
1.0379
6.2237
0.925
0.000
0.000
1.000
0.039
0.961
0.0368
7
LIBOR
0.6601
12.1191
0.885
0.002
0.041
0.957
0.002
0.997
0.0590
8
GOREV
13749
18.1331
0.972
0.207
0.014
0.779
0.051
0.742
0.0662
9
FB
12725
56.9700
0.680
0.139
0.028
0.832
0.321
0.539
0.2789
10
BUGDEF
1.4555
10.9100
0.217
0.103
0.033
0.564
0.177
0.420
0.3802
11
BLJPMB
6238
20.5273
0.655
0.058
0.064
0.878
0.031
0.911
0.1002
12
DULNP
13813
68.0969
0.516
0.452
0.400
0.148
0.172
0.375
0.2640
13
RPMRN
6238
49.4105
0.546
0.058
0.010
0.932
0.180
0.762
0.1700
14
RPDIK
1038
64.1293
0.629
0.006
0.010
0.984
0.331
0.664
0.1477
15
RPKES
948.8826
67.1498
0.597
0.009
0.000
0.990
0.233
0.758
0.1738
16
RPTAN
1640
44.4532
0.535
0.098
0.007
0.895
0.190
0.712
0.1831
17
RPENG
990.4565
61.6973
0.673
0.108
0.002
0.890
0.136
0.756
0.1883
18
RPHUB
985.2411
54.7055
0.595
0.051
0.012
0.937
0.143
0.806
0.1756
19
RPOTS
914.6377
49.8419
0.381
0.089
0.153
0.758
0.037
0.874
0.1944
20
UTDIK
601.8633
13.4014
0.964
0.000
0.007
0.992
0.002
0.997
0.0662
21
UTKES
447.166
16.9998
0.984
0.070
0.036
0.894
0.011
0.919
0.0501
22
UTTAN
647.9876
12.8784
0.964
0.049
0.025
0.925
0.084
0.867
0.0545
23
UTENG
1043
16.3961
0.961
0.020
0.017
0.963
0.000
0.980
0.0594
24
UTHUB
1202
20.3192
0.922
0.024
0.001
0.975
0.030
0.946
0.0882
25
UTOTS
236.1018
18.4515
0.985
0.056
0.084
0.860
0.139
0.806
0.0511
26
UTGOV
2833
10.7493
0.981
0.008
0.153
0.839
0.232
0.760
0.0444
27
PUDIK
129.2403
28.9181
0.970
0.035
0.005
0.960
0.003
0.962
0.0833
28
PUKES
212.3459
27.6370
0.985
0.378
0.067
0.554
0.038
0.583
0.0970
29
PUTAN
226.5588
33.1101
0.979
0.154
0.026
0.820
0.005
0.842
0.0787
30
PUENG
152.7715
21.5778
0.991
0.119
0.283
0.598
0.340
0.541
0.0655
31
PUHUB
241.341
44.1581
0.953
0.022
0.001
0.977
0.014
0.964
0.1007
32
PUOTS
238.47
61.3350
0.330
0.123
0.193
0.684
0.022
0.855
0.2646
33
PUGOV
974.6254
30.3702
0.978
0.182
0.015
0.803
0.001
0.817
0.0818
34
APS
2.0325
2.2606
0.877
0.015
0.001
0.984
0.082
0.903
0.0110
35
THSEK
0.4039
5.5838
0.779
0.007
0.014
0.980
0.054
0.940
0.0287
154
No.
Variable
RMS Error
RMS % Error
Corr (R)
Bias (UM)
Reg (UR)
Dist (UD)
Var (US)
Covar (UC)
U
36
AKB
3.5325
8.0744
0.956
0.065
0.018
0.917
0.077
0.858
0.0350
37
UHH
1.3872
2.1706
0.959
0.068
0.002
0.930
0.035
0.897
0.0113
38
GTAN
0.741
23.9609
0.891
0.060
0.000
0.939
0.048
0.891
0.1475
39
GENG
1.2341
78.0588
0.616
0.002
0.001
0.996
0.276
0.722
0.1674
40
GHUB
0.6458
35.9696
0.066
0.201
0.104
0.694
0.209
0.590
0.2249
41
UNEM
3200
82.5393
0.939
0.792
0.109
0.099
0.075
0.133
0.2227
42
EFUTDIK
601.8633
19.1448
0.928
0.000
0.039
0.960
0.000
1.000
0.0945
43
EFUTKES
447.166
22.6664
0.972
0.070
0.060
0.871
0.018
0.912
0.0669
44
EFUTTAN
647.9876
18.3978
0.924
0.049
0.001
0.949
0.054
0.897
0.0783
45
EFUTENG
1043
21.8615
0.932
0.020
0.048
0.932
0.001
0.979
0.0789
46
EFUTHUB
1202
27.0923
0.860
0.024
0.026
0.950
0.011
0.965
0.1179
47
EFUTOTS
236.1018
23.0644
0.975
0.056
0.061
0.883
0.124
0.821
0.0638
7.2.
Skenario Simulasi Kebijakan Skenario kebijakan yang dilakukan dalam penelitian ini ditentukan
berdasarkan pengalaman empiris. Skenario kebijakan yang dilakukan adalah: 1.
SIM-1: Kenaikan tingkat suku bunga pinjaman luar negeri sebesar 10 persen dari tingkat yang berlaku. Hal ini relevan digunakan mengingat hasil estimasi menunjukkan bahwa penggunaan pinjaman luar negeri dipengaruhi oleh fluktuasi suku bunga pinjaman. Selain itu dalam kenyataannya Indonesia adalah small open economy country yang cenderung hanya bisa bertindak sebagai price taker.
2.
SIM-2: Pengurangan utang luar negeri pemerintah sebesar 10 persen. Hal ini dilakukan melalui penurunan pinjaman luar negeri di masing-masing sektor pembangunan. Skenario ini relevan dilakukan mengingat pada tahun 2004 stok utang pemerintah telah mencapai 54.3 persen dari PDBI, sementara sampai dengan Triwulan I tahun 2005, stok utang luar negeri pemerintah telah mencapai jumlah nominal sebesar USD 77.68 miliar.
3.
SIM-3: Penurunan pengaruh kebijakan kreditur (lender driven) sebesar 10 persen. Hal ini dilakukan dengan cara menurunkan angka lender driven di masing-masing sektor pembangunan. Teknis pelaksanaannya dilakukan melalui penyempurnaan dan harmonisasi peraturan-peraturan tentang pengadaan pinjaman baru dan pelaksanaan pengadaan barang dan jasa.
155
4.
SIM-4: Penurunan tingkat kebocoran penggunaan utang luar negeri sebesar 10 persen. Hal ini dilakukan melalui pengurangan tingkat kebocoran di masing-masing sektor. Skenario ini relevan dilakukan mengingat banyaknya opini dari para ahli dan masyarakat yang menyatakan terdapat kebocoran penggunaan utang luar negeri yang diperkirakan mencapai 30 persen.
5.
SIM-5: Peningkatan pendapatan pemerintah sebesar 10 persen. Hal ini dilakukan melalui baik intensifikasi maupun ekstensifikasi perpajakan, mengingat tax ratio Indonesia saat ini masih cukup rendah.
6.
SIM-6: Peningkatan belanja pemerintah sebesar 10 persen. Skenario ini dilakukan mengingat seringnya terjadi gejolak perekonomian dunia yang sulit diprediksi yang sangat berpengaruh terhadap perekonomian nasional.
7.
SIM-7: Peningkatan target angka indikator pertumbuhan sektoral pada semua sektor yang dibahas dalam penelitian ini secara sendiri-sendiri. Hal ini relevan dilakukan mengingat untuk mencapai kesejahteraan masyarakat perlu ditetapkan target-target pembangunan sektoral yang akan dicapai.
8.
SIM-8: Skenario kebijakan simultan melalui peningkatan seluruh indikator pertumbuhan sektoral secara bersama-sama. Hal ini relevan dilakukan guna melihat dampaknya terhadap perekonomian Indonesia secara keseluruhan.
9.
SIM-10 = SIM-2 + SIM-3 + SIM-4: Skenario kebijakan simultan melalui penurunan jumlah utang luar negeri pemerintah, jumlah pengaruh lender driven, dan kebocoran utang luar negeri pemerintah secara bersama-sama.
10. SIM-11 = SIM-5 + SIM-6 + SIM-7: Skenario kebijakan simultan melalui kenaikan pertumbuhan sektor pertanian dan pengairan, serta kenaikan pendapatan dan belanja pemerintah secara bersama-sama.
7.2.1. Kenaikan Suku Bunga Pinjaman LN Sebesar 10 Persen Hasil simulasi akibat terjadinya kenaikan tingkat suku bunga pinjaman luar negeri terhadap perubahan indikator makro ekonomi Indonesia dan indikator pembangunan sektoral selengkapnya disajikan pada Tabel 42.
156
Ditinjau dari sudut makro ekonomi Indonesia, kenaikan tingkat suku bunga pinjaman luar negeri sebesar 10 persen ini akan menyebabkan pemerintah menurunkan pinjaman luar negerinya sebesar 2.381 persen. Namun guna mempertahankan agar roda pembangunan tetap berjalan, pemerintah akan menutup kebutuhan dana investasi pembangunannya melalui kenaikan alokasi pembiayaan rupiah murni sebesar 2.601 persen. Akibatnya belanja pemerintah akan naik sebesar 0.474 persen. Kenaikan belanja pemerintah ini menyebabkan pemerintah akan mengintensifkan penerimaan dalam negerinya sehingga menambah pendapatan negara sebesar 1.675 persen. Kenaikan anggaran pendapatan negara yang secara prosentase lebih besar dari kenaikan belanja negara ini mengakibatkan turunnya defisit anggaran pemerintah terhadap PDB sebesar 0.04 persen. Tabel 42. Dampak Kenaikan Suku Bunga Pinjaman LN Sebesar 10 Persen
No.
Variabel
Nilai Dasar
WINTR ↗ 10% Predicted
%
1
Produk Domestik Bruto
978457
969604
-0.905
2
Konsumsi Rumah Tangga
530602
524787
-1.096
3
Investasi Masyarakat
271245
266716
-1.670
4
Belanja Pemerintah
108873
109389
0.474
5
Nilai Ekspor Bersih
67738
68712
1.437
6
Pendapatan Pemerintah
87920
89393
1.675
7
Defisit Anggaran
2.1019
2.0624
-0.040
8
Pembiayaan Rupiah Murni
16687
17121
2.601
9
Pengel. Rp S. Pendidikan
3322
3402
2.408
10
Pengel. Rp S. Kesehatan
2518
2580
2.449
11
Pengel. Rp S. Pertanian
3939
4044
2.666
12
Pengel. Rp S. Energi
2282
2339
2.483
13
Pengel. Rp S. Perhubungan
2527
2598
2.796
14
Pengel. Rp S. Lainnya
2100
2159
2.810
15
Total Utang LN Pemerintah
29174
28479
-2.381
16
Utang LN S. Pendidikan
3951
3886
-1.654
17
Utang LN S. Kesehatan
3715
3642
-1.956
18
Utang LN S. Pertanian
5442
5307
-2.481
19
Utang LN S. Energi
8022
7783
-2.979
20
Utang LN S. Perhubungan
6049
5878
-2.827
21
Utang LN S. Lainnya
1994
1983
-0.535
22
Total Pemby. ULN Pemerintah
4107
4218
2.704
157
No.
Variabel
Nilai Dasar
WINTR ↗ 10% Predicted
%
23
Pemb. Utang S. Pendidikan
570
588
2.992
24
Pemb. Utang S. Kesehatan
493
506
2.722
25
Pemb. Utang S. Pertanian
987
1019
3.204
26
Pemb. Utang S. Energi
789
812
2.916
27
Pemb. Utang S. Perhubungan
901
926
2.750
28
Pemb. Utang S. Lainnya
367
368
0.269
29
Angka Partisipasi Sekolah
91.9711
91.6524
-0.319
30
Angka Lama Bersekolah
7.0334
7.0012
-0.458
31
Angka Kematian Bayi
48.8447
49.1254
0.575
32
Angka Usia Harapan Hidup
61.4597
61.307
-0.248
33
Growth Sektor Pertanian
3.0619
2.5201
-0.542
34
Growth Sektor Energi
5.4076
4.9730
-0.435
35
Growth Sektor Perhubungan
6.2840
5.9697
-0.314
36
Angka Pengangguran
7732
7950
2.819
Disamping itu, naiknya tingkat suku bunga pinjaman luar negeri sebesar 10 persen ini pada gilirannya akan menaikkan tingkat suku bunga domestik yang menyebabkan masyarakat akan mengalihkan lebih banyak dananya untuk ditabung. Akibatnya adalah turunnya investasi masyarakat sebesar 1.67 persen, yang akan diikuti dengan turunnya konsumsi rumah tangga sebesar 1.096 persen. Di sisi lain, naiknya tingkat suku bunga pinjaman, yang mempunyai korelasi positif dengan suku bunga dunia akan memacu ekspor namun menurunkan impor. Akibatnya ekspor bersih akan meningkat sebesar 1.437 persen. Dampak penurunan dan kenaikan komponen-komponen PDB ini secara keseluruhan akan menurunkan tingkat pertumbuhan PDB sebesar 0.905 persen. Terhadap indikator pertumbuhan sektoral, kenaikan tingkat suku bunga pinjaman luar negeri sebesar 10 persen dari tingkat sebelumnya ini, yang menyebabkan pemerintah menurunkan pinjaman barunya, akan mengakibatkan turunnya seluruh indikator pertumbuhan sektoral meskipun alokasi pendanaan rupiah murni meningkat. Penurunan indikator-indikator pembangunan sektoral ini dicerminkan oleh turunnya angka partisipasi sekolah, angka tahun lama bersekolah, angka usia harapan hidup, angka pertumbuhan sektor pertanian dan pengairan, sektor pertambangan dan energi, serta sektor perhubungan dan transportasi, berturut-turut masing-masing sebesar 0.319 persen, 0.458 persen,
158
0.248 persen, 0.542 persen, 0.435 persen, dan 0.324 persen, serta naiknya angka kematian bayi sebesar 0.575 persen. Secara simultan dampak yang signifikan adalah naiknya angka pengangguran sebesar 2.819 persen. Hal ini menunjukkan bahwa, ceteris paribus, apabila tingkat suku bunga pinjaman luar negeri sedang dalam posisi yang murah, pemerintah dapat meningkatkan pembiayaan pembangunan dari utang luar negeri sebagai salah satu sumber pendanaan pembangunan untuk mendorong percepatan pertumbuhan ekonomi. Dampak terbesar penurunan indikator pertumbuhan sektoral salah satunya adalah di sektor pertanian. Ini menunjukkan bahwa sektor tersebut dapat diandalkan menjadi pemacu pertumbuhan ekonomi sektor-sektor lainnya.
7.2.2. Pengurangan Utang LN Pemerintah Sebesar 10 Persen Kebijakan pemerintah dalam pengurangan utang luar negeri pemerintah sebesar 10 persen akan mengakibatkan turunnya jumlah pendanaan rupiah murni yang harus dialokasikan untuk semua sektor. Hal ini menunjukkan bahwa umumnya ketentuan dalam Loan Agreement selalu mensyaratkan adanya sharing budget dalam pembiayaan proyek pembangunan, dengan cara pemerintah harus menyediakan dana pendamping atau dana pendukung dari rupiah murni untuk pembiayaan setiap proyek yang dibiayai dari loan. Lender tidak akan menyediakan loan sebesar 100 persen dari seluruh kebutuhan biaya untuk pembangunan suatu proyek. Namun, karena target pertumbuhan ekonomi yang sudah ditetapkan perlu terus dipertahankan, pemerintah akan berupaya untuk meningkatkan belanja investasinya, melalui peningkatan alokasi pendanaan rupiah murni sebesar 7.107 persen. Peningkatan ini, namun yang disertai dengan penurunan pinjaman luar negeri menyebabkan belanja pemerintah secara keseluruhan turun sebesar 1.934 persen. Selain itu, pengurangan utang luar negeri, dimana didalamnya termasuk pengurangan komponen hibah (grant aid) menyebabkan pemerintah akan memacu sumber-sumber penerimaan dalam negeri lainnya untuk meningkatkan penerimaan negara. Hal ini terlihat dari adanya peningkatan pada pendapatan pemerintah sebesar 1.936 persen.
159
Terhadap indikator makro ekonomi, pengurangan utang luar negeri tersebut akan menurunkan konsumsi rumah tangga sebesar 2.122 persen dan investasi masyarakat sebesar 0.382 persen, serta ekspor bersih sebesar 1.934 persen. Mengingat konsumsi masyarakat merupakan komponen terbesar dalam struktur PDB, maka penurunan utang luar negeri sebesar 10 persen ini pada akhirnya akan menurunkan PDB Indonesia sebesar 1.359 persen. Hasil selengkapnya dari simulasi akibat kebijakan pemerintah yang menurunkan jumlah utang luar negeri sebesar 10 persen ini dapat diikuti pada Tabel 43. Tabel 43. Dampak Pengurangan Utang LN Pemerintah Sebesar 10 Persen
No.
Variabel
Nilai Dasar
UTLN ↙ 10% Predicted
%
1
Produk Domestik Bruto
978457
965164
-1.359
2
Konsumsi Rumah Tangga
530602
519344
-2.122
3
Investasi Masyarakat
271245
270209
-0.382
4
Belanja Pemerintah
108873
106767
-1.934
5
Nilai Ekspor Bersih
67738
68844
1.633
6
Pendapatan Pemerintah
87920
89622
1.936
7
Defisit Anggaran
2.1019
1.7764
-0.326
8
Pembiayaan Rupiah Murni
16687
17873
7.107
9
Pengel. Rp S. Pendidikan
3322
3542
6.636
10
Pengel. Rp S. Kesehatan
2518
2644
5.002
11
Pengel. Rp S. Pertanian
3939
4227
7.308
12
Pengel. Rp S. Energi
2282
2486
8.928
13
Pengel. Rp S. Perhubungan
2527
2770
9.604
14
Pengel. Rp S. Lainnya
2100
2204
4.963
15
Total Utang LN Pemerintah
29174
26257
-10.000
16
Utang LN S. Pendidikan
3951
3556
-10.00
17
Utang LN S. Kesehatan
3715
3344
-10.00
18
Utang LN S. Pertanian
5442
4898
-10.00
19
Utang LN S. Energi
8022
7220
-10.00
20
Utang LN S. Perhubungan
6049
5444
-10.00
21
Utang LN S. Lainnya
1994
1795
-10.00
22
Total Pemby. ULN Pemerintah
4107
4049
-1.407
23
Pemb. Utang S. Pendidikan
570
551
-3.396
24
Pemb. Utang S. Kesehatan
493
477
-3.324
25
Pemb. Utang S. Pertanian
987
978
-0.883
26
Pemb. Utang S. Energi
789
788
-0.114
27
Pemb. Utang S. Perhubungan
901
898
-0.366
160
No.
Variabel
28
Pemb. Utang S. Lainnya
29
Angka Partisipasi Sekolah
30
Angka Lama Bersekolah
31
Nilai Dasar
UTLN ↙ 10% Predicted
%
367
358
-2.536
91.9711
91.0315
-0.940
7.0334
6.8352
-2.818
Angka Kematian Bayi
48.8447
49.812
1.980
32
Angka Usia Harapan Hidup
61.4597
60.5409
-1.495
33
Growth Sektor Pertanian
3.0619
2.7889
-0.273
34
Growth Sektor Energi
5.4076
5.1764
-0.231
35
Growth Sektor Perhubungan
6.2840
6.1299
-0.154
36
Angka Pengangguran
7732
8059
4.228
Dari hasil simulasi pada penelitian disertasi ini diketahui adanya hubungan negatif antara tingkat pertumbuhan PDB dengan investasi. Hasil ini sesuai dengan analisa empiris yang dilakukan oleh Hansen (2001), yang melakukan penelitian cross-country regression untuk mengetahui dampak pinjaman luar negeri terhadap pertumbuhan ekonomi dan investasi di negaranegara berkembang dengan menggunakan data tahun 1970-1993. Diperoleh bukti yang kuat adanya hubungan positif antara utang dengan tingkat pertumbuhan PDB dan investasi. Namun analisa empiris juga menunjukkan adanya hubungan yang negatif. Akan tetapi, respon negatif ini berbeda antara negara yang satu dengan yang lain. Disisi lain, kebijakan ini menimbulkan selisih peningkatan pendapatan pemerintah dan penurunan belanja pemerintah per PDB yang menurun bila dibandingkan dengan sebelum ada kebijakan. Dengan kata lain persentase defisit anggaran pemerintah terhadap PDB menurun sebesar 0.326 persen. Dari tabel tersebut juga dapat diketahui bahwa pengurangan utang luar negeri pemerintah sebesar 10 persen tersebut akan berdampak pada perubahan indikator-indikator pembangunan sektoral, yaitu turunnya berturut-turut APS sebesar 0.94 persen, THSEK sebesar 2.818 persen, UHH sebesar 1.495 persen, serta naiknya AKB sebesar 1.98 persen. Pertumbuhan sektor pertanian dan pengairan, sektor pertambangan dan energi, serta sektor perhubungan dan transportasi masing-masing akan turun sebesar 0.273 persen, 0.231 persen, dan 0.154 persen. Secara simultan dampak yang signifikan adalah meningkatnya angka pengangguran sebesar 4.228 persen.
161
7.2.3. Penurunan Pengaruh Lender Driven Sebesar 10 Persen Lender driven atau intervensi lender dalam penelitian ini didefinisikan sebagai pengaruh lender atas pelaksanaan pinjaman luar negeri pemerintah, yang dilakukan melalui persyaratan-persyaratan yang tercantum dalam Loan Agreement atau dokumen-dokumen lain seperti Lender Guidelines for Procurement, Memorandum of Understanding, dan lain-lainnya. Peraturanperaturan tersebut memuat persyaratan-persyaratan dalam pengadaan barang dan jasa, sehingga pada akhirnya membuat kesulitan bagi kontraktor, konsultan dan supplier dalam negeri untuk bersaing dengan perusahaan/ konsultan/ supplier dari luar negeri dalam international bidding karena kalah dalam kualifikasi. Besarnya angka lender driven dikumpulkan dari bagian setiap loan yang dibelanjakan untuk kegiatan procurement dalam pengadaan barang dan jasa. Umumnya pemenang pelelangan internasional adalah perusahaan luar negeri. Hasil simulasi kebijakan penurunan lender driven dapat dilihat pada Tabel 44. Tabel 44. Dampak Penurunan Pengaruh Lender Driven Sebesar 10 Persen DRIVEN ↙ 10% No.
Variabel
Nilai Dasar
Predicted
%
1
Produk Domestik Bruto
978457
974377
-0.417
2
Konsumsi Rumah Tangga
530602
525979
-0.871
3
Investasi Masyarakat
271245
271463
0.080
4
Belanja Pemerintah
108873
109132
0.238
5
Nilai Ekspor Bersih
67738
67803
0.096
6
Pendapatan Pemerintah
87920
88275
0.404
7
Defisit Anggaran
2.1019
2.1405
0.039
8
Pembiayaan Rupiah Murni
16687
16947
1.557
9
Pengel. Rp S. Pendidikan
3322
3350
0.837
10
Pengel. Rp S. Kesehatan
2518
2534
0.635
11
Pengel. Rp S. Pertanian
3939
4092
3.879
12
Pengel. Rp S. Energi
2282
2303
0.911
13
Pengel. Rp S. Perhubungan
2527
2556
1.140
14
Pengel. Rp S. Lainnya
2100
2113
0.600
15
Total Utang LN Pemerintah
29174
28518
-2.249
16
Utang LN S. Pendidikan
3951
3875
-1.934
17
Utang LN S. Kesehatan
3715
3623
-2.471
18
Utang LN S. Pertanian
5442
5239
-3.727
19
Utang LN S. Energi
8022
7900
-1.526
162
No.
Variabel
Nilai Dasar
DRIVEN ↙ 10% Predicted
%
20
Utang LN S. Perhubungan
6049
5921
-2.119
21
Utang LN S. Lainnya
1994
1961
-1.675
22
Total Pemby. ULN Pemerintah
4107
4095
-0.302
23
Pemb. Utang S. Pendidikan
570
570
-0.147
24
Pemb. Utang S. Kesehatan
493
482
-2.225
25
Pemb. Utang S. Pertanian
987
976
-1.132
26
Pemb. Utang S. Energi
789
797
0.999
27
Pemb. Utang S. Perhubungan
901
907
0.651
28
Pemb. Utang S. Lainnya
367
363
-0.918
29
Angka Partisipasi Sekolah
91.9711
91.8126
-0.158
30
Angka Lama Bersekolah
7.0334
7.0048
-0.406
31
Angka Kematian Bayi
48.8447
49.4856
1.312
32
Angka Usia Harapan Hidup
61.4597
61.1869
-0.444
33
Growth Sektor Pertanian
3.0619
3.2593
0.197
34
Growth Sektor Energi
5.4076
5.6340
0.226
35
Growth Sektor Perhubungan
6.2840
6.0231
-0.261
36
Angka Pengangguran
7732
7832
1.298
Kebijakan pemerintah untuk menurunkan pengaruh lender driven sebesar 10 persen mengakibatkan jumlah kumulatif stok utang pemerintah menurun sebesar 2.249 persen. Karena target pertumbuhan ekonomi nasional harus tetap dicapai, penurunan lender driven ini menyebabkan pemerintah harus menaikkan alokasi rupiah murni di setiap sektor pembangunan. Namun dampak dari penurunan lender driven dan kenaikan alokasi belanja pembangunan untuk setiap sektor berbeda. Hal ini menunjukkan sensitifitas tiap sektor pembangunan tidak sama dalam merespon fenomena tersebut diatas. Dampak selanjutnya dari kebijakan pemerintah mengurangi intervensi lender sebesar 10 persen adalah naiknya alokasi rupiah murni untuk pembiayaan pembangunan sebesar 1.557 persen. Hal ini akan mengakibatkan naiknya anggaran belanja pemerintah sebesar 0.238 persen. Kebutuhan pendanaan akibat naiknya belanja ini harus ditutup pemerintah dengan meningkatkan pendapatan pemerintah sebesar 0.404 persen. Selain itu, kebijakan pemerintah ini secara tidak langsung akan menyebabkan berkurangnya pendapatan masyarakat sehingga akan menurunkan konsumsi rumah tangga sebesar 0.871 persen.
163
Di sisi lain, mesyarakat mempunyai peluang yang lebih baik dalam berinvestasi sehingga angka investasi akan meningkat. Dampak yang lebih jauh adalah turunnya PDB sebesar 0.417 persen. Kenaikan pendapatan dan belanja pemerintah yang disertai dengan turunnya PDB akan meningkatkan rasio keseimbangan fiskal pemerintah terhadap PDB, yang dicirikan dengan meningkatnya defisit anggaran pemerintah sebesar 0.039 persen. Selanjutnya, turunnya PDB akibat kebijakan pemerintah menurunkan lender driven sebesar 10 persen, ternyata disumbang oleh turunnya indikatorindikator keberhasilan pembangunan sektoral, yaitu angka partisipasi sekolah menurun sebesar 0.158 persen, tahun lama bersekolah turun sebesar 0.406 persen, angka kematian bayi naik sebesar 1.312 persen, angka usia harapan hidup turun sebesar 0.444 persen, dan angka pertumbuhan sektor perhubungan dan transportasi turun sebesar 0.261 persen. Selain itu, kebijakan pemerintah menurunkan pengaruh intervensi lender ini justru akan meningkatkan angka pertumbuhan sektor pertanian dan pengairan sebesar 0.197 persen dan angka pertumbuhan sektor pertambangan dan energi sebesar 0.226 persen. Dari hasil simulasi ini dapat ditunjukkan bahwa intervensi kreditur dalam kebijakan pembangunan yang dibiayai dari pinjaman luar negeri pada beberapa sektor ternyata menimbulkan dampak yang positif. Hal tersebut dikarenakan sumber daya manusia dan kemampuan perusahaan-perusahaan internasional yang berasal dari luar negeri relatif memang masih lebih baik. Hal yang merugikan adalah banyak perusahaan nasional yang tidak mempunyai kesempatan berkompetisi dalam international bidding dan rendahnya pembelanjaan porsi loan di dalam negeri. Keberadaan pinjaman luar negeri masih kurang mendukung penciptaan lapangan kerja baru. Namun hal tersebut lebih disebabkan karena kurang siapnya sumber daya manusia Indonesia memasuki kompetisi global. Secara simultan dampak yang signifikan dari kebijakan ini adalah meningkatnya angka pengangguran sebesar 1.298 persen.
7.2.4. Penurunan Kebocoran Utang LN Pemerintah Sebesar 10 Persen Dalam penelitian ini, kebocoran utang didefinisikan sebagai tidak efektif dan efisiennya utang luar negeri pemerintah digunakan untuk pembangunan
164
karena terjadinya mark-up harga, salah sasaran pembangunan, tidak dibutuhkan beneficieries, atau di korupsi, yang menyebabkan masih rendahnya kinerja penggunaan utang luar negeri pemerintah untuk berperan secara optimal dalam mendukung pembangunan di Indonesia. Kebijakan pemerintah untuk menekan kebocoran penggunaan utang luar negeri pemerintah sebesar 10 persen dari asumsi kebocoran yang terjadi dapat dilakukan melalui pengefektifan fungsi instansi/ aparat pengawasan internal pemerintah dan eksternal pemerintah, aparat pengawasan fungsional, dan mengintensifkan fungsi pengawasan oleh masyarakat, dengan punishment yang tegas namun adil. Dampak kebijakan pemerintah menurunkan kebocoran utang sebesar 10 persen terhadap kinerja perekonomian Indonesia adalah naiknya porsi utang luar negeri pemerintah yang efektif digunakan untuk pembangunan, yaitu sebesar 2.362 persen. Tersedianya lebih banyak sumber dana dari pinjaman luar negeri untuk pembangunan ini menyebabkan turunnya alokasi rupiah murni yang digunakan untuk pembangunan, yaitu sebesar 2.322 persen. Akibatnya total belanja pemerintah akan menurun sebesar 0.199 persen. Namun penurunan kebocoran ini hanya efektif menurunkan jumlah utang di sektor kesehatan serta sektor perhubungan dan transportasi saja, sementara di sektor lain, kebutuhan pendanaan dari utang luar negeri masih dibutuhkan guna meningkatkan pertumbuhan sektor tersebut. Hal ini sekaligus menjelaskan bahwa utang luar negeri masih dibutuhkan dalam membiayai pembangunan di saat pembiayaan dari rupiah murni masih terbatas. Hasil simulasi dari kebijakan ini selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 45. Tabel 45. Dampak Penurunan Kebocoran ULN Pemerintah Sebesar 10 Persen
No.
Variabel
Nilai Dasar
COR ↙ 10% Predicted
%
1
Produk Domestik Bruto
978457
984904
0.659
2
Konsumsi Rumah Tangga
530602
537556
1.311
3
Investasi Masyarakat
271245
271027
-0.080
4
Belanja Pemerintah
108873
108656
-0.199
5
Nilai Ekspor Bersih
67738
67665
-0.108
6
Pendapatan Pemerintah
87920
88672
0.855
165
No.
Variabel
Nilai Dasar
COR ↙ 10% Predicted
%
7
Defisit Anggaran
2.1019
2.0290
-0.073
8
Pembiayaan Rupiah Murni
16687
16300
-2.322
9
Pengel. Rp S. Pendidikan
3322
3266
-1.686
10
Pengel. Rp S. Kesehatan
2518
2486
-1.271
11
Pengel. Rp S. Pertanian
3939
3837
-2.589
12
Pengel. Rp S. Energi
2282
2191
-3.988
13
Pengel. Rp S. Perhubungan
2527
2454
-2.909
14
Pengel. Rp S. Lainnya
2100
2066
-1.619
15
Total Utang LN Pemerintah
29174
29178
0.014
16
Utang LN S. Pendidikan
3951
3952
0.025
17
Utang LN S. Kesehatan
3715
3716
0.027
18
Utang LN S. Pertanian
5442
5424
-0.331
19
Utang LN S. Energi
8022
8053
0.386
20
Utang LN S. Perhubungan
6049
6038
-0.182
21
Utang LN S. Lainnya
1994
1995
0.050
22
Total Pemby. ULN Pemerintah
4107
3984
-3.000
23
Pemb. Utang S. Pendidikan
570
561
-1.587
24
Pemb. Utang S. Kesehatan
493
457
-7.306
25
Pemb. Utang S. Pertanian
987
959
-2.890
26
Pemb. Utang S. Energi
789
753
-4.572
27
Pemb. Utang S. Perhubungan
901
889
-1.385
28
Pemb. Utang S. Lainnya
367
366
-0.350
29
Angka Partisipasi Sekolah
91.9711
92.3028
0.332
30
Angka Lama Bersekolah
7.0334
7.0959
0.889
31
Angka Kematian Bayi
48.8447
48.1521
-1.418
32
Angka Usia Harapan Hidup
61.4597
61.5386
0.128
33
Growth Sektor Pertanian
3.0619
3.6985
0.637
34
Growth Sektor Energi
5.4076
5.9548
0.547
35
Growth Sektor Perhubungan
6.2840
6.7985
0.515
36
Angka Pengangguran
7732
7574
-2.050
Akibat kebijakan ini, secara keseluruhan, utang luar negeri pemerintah masih akan meningkat sebesar 0.014 persen, kecuali utang di sektor pertanian dan pengairan yang menurun sebesar 0.331 persen, serta sektor perhubungan dan transportasi yang menurun sebesar 0.182 persen. Dampak lain dari kebijakan pemerintah menurunkan kebocoran utang luar negeri sebesar 10 persen ini akan meningkatkan indikator keberhasilan pembangunan sektoral yaitu angka partisipasi sekolah naik sebesar 0.332 persen,
166
angka lama tahun bersekolah naik 0.889 persen, angka kematian bayi turun 1.418 persen, dan angka usia harapan hidup naik sebesar 0.128 persen. Sementara itu pertumbuhan sektor pertambangan dan energi serta sektor perhubungan dan transportasi akan naik, berturut-turut sebesar 0.547 persen dan 0.515 persen. Yang menarik adalah fenomena di sektor pertanian. Meskipun akibat penurunan kebocoran ini utang di sektor pertanian menurun, namun pertumbuhannya naik sebesar 0.637 persen. Hal ini mengindikasikan bahwa pinjaman luar negeri tidak terlalu dibutuhkan di sektor pertanian yang relatif tidak membutuhkan skills dan teknologi yang tinggi. Investasinya cukup dengan pendanaan dari sumber dalam negeri. Hal ini sejalan dengan Laporan Bank Dunia tahun 2008: ”Agriculture for Development” yang menyampaikan bahwa dalam dua dekade terakhir, Official Development Assistance (ODA) untuk sektor pertanian di seluruh dunia menurun dengan tajam. Dari sekitar 18 persen pada tahun 1979 menjadi 3.5 persen pada tahun 2004. Penurunan terjadi tidak hanya share-nya saja tetapi juga nilai absolutnya. Dari USD 8 juta pada tahun 1984 menjadi USD 3.4 juta pada tahun 2004. Hal ini menunjukkan banyak negara di dunia yang semakin mengurangi utang luar negerinya untuk membiayai pembangunan di sektor pertanian dan pengairan. Selain itu, kebijakan pemerintah menurunkan kebocoran utang luar negeri sebesar 10 persen pada akhirnya akan meningkatkan pertumbuhan PDB sebesar 0.659 persen. Secara simultan dampak yang signifikan dari kebijakan ini adalah turunnya angka pengangguran sebesar 2.05 persen.
7.2.5. Kenaikan Belanja Pemerintah Sebesar 10 Persen Dari Tabel 46 dapat diketahui bahwa kenaikan belanja pemerintah akan berdampak langsung pada kenaikan alokasi pendanaan belanja rutin dan belanja pembangunan, yang antara lain melalui kenaikan pembayaran utang luar negeri pemerintah dan kenaikan pada alokasi pembiayaan rupiah murni untuk semua sektor pembangunan. Kebijakan pemerintah untuk menaikkan belanja pemerintah sebesar 10 persen akan dibiayai dengan cara menaikkan pendapatan pemerintah sebesar
167
5.924 persen. Kenaikan pendapatan ini akan mengakibatkan naiknya alokasi pendanaan rupiah murni untuk seluruh sektor sebesar 3.683 persen. Selain itu, kenaikan belanja pemerintah ini juga disumbang oleh naiknya pinjaman luar negeri pemerintah sebesar 3.349 persen. Dampak lain yang akan timbul akibat kenaikan belanja pemerintah ini adalah peningkatkan pembayaran utang luar negeri pemerintah sebesar 2.743 persen. Hal ini akan menjadi catatan bagi pemerintah dalam pengelolaan utangnya agar tidak terjebak dalam debt trap, mengingat jumlah stok utang pemerintah saat ini sudah cukup tinggi. Setiap mempunyai kesempatan, pemerintah perlu mempercepat pembayaran utang pokok yang telah jatuh tempo berikut bunganya. Bahkan apabila keuangan negara menungkinkan, pemerintah dapat mempercepat pembayaran utang yang masih berjalan. Clements (2003) dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa pengurangan yang signifikan atas total stok utang luar negeri di negara-negara miskin pengutang berat (Highly Indebted Poor Countries, HIPC) akan langsung menaikkan pendapatan per kapita negara-negara tersebut sekitar 1 persen per tahun. Percepatan dalam pembayaran cicilan pokok dan bunga utang juga dapat menjadi pendorong pertumbuhan ekonomi secara tidak langsung melalui dampak pada kenaikan dalam penanaman modal (investasi) publik. Tabel 46. Dampak Kenaikan Belanja Pemerintah Sebesar 10 Persen GOEXP ↗ 10% No.
Variabel
Nilai Dasar
Predicted
%
1
Produk Domestik Bruto
978457
1002254
2.432
2
Konsumsi Rumah Tangga
530602
537708
1.339
3
Investasi Masyarakat
271245
275801
1.680
4
Belanja Pemerintah
108873
119760
10.00
5
Nilai Ekspor Bersih
67738
68985
1.841
6
Pendapatan Pemerintah
87920
93128
5.924
7
Defisit Anggaran
2.1019
2.6572
0.555
8
Pembiayaan Rupiah Murni
16687
17302
3.683
9
Pengel. Rp S. Pendidikan
3322
3454
3.974
10
Pengel. Rp S. Kesehatan
2518
2605
3.453
11
Pengel. Rp S. Pertanian
3939
4091
3.867
12
Pengel. Rp S. Energi
2282
2374
4.036
13
Pengel. Rp S. Perhubungan
2527
2631
4.127
168
No.
Variabel
14
Pengel. Rp S. Lainnya
15
Total Utang LN Pemerintah
16
Nilai Dasar
GOEXP ↗ 10% Predicted
%
2100
2146
2.184
29174
30151
3.349
Utang LN S. Pendidikan
3951
4050
2.506
17
Utang LN S. Kesehatan
3715
4078
9.771
18
Utang LN S. Pertanian
5442
5776
6.137
19
Utang LN S. Energi
8022
8045
0.287
20
Utang LN S. Perhubungan
6049
6218
2.794
21
Utang LN S. Lainnya
1994
1984
-0.502
22
Total Pemby. ULN Pemerintah
4107
4220
2.743
23
Pemb. Utang S. Pendidikan
570
590
3.431
24
Pemb. Utang S. Kesehatan
493
504
2.246
25
Pemb. Utang S. Pertanian
987
1024
3.687
26
Pemb. Utang S. Energi
789
803
1.846
27
Pemb. Utang S. Perhubungan
901
913
1.294
28
Pemb. Utang S. Lainnya
29
Angka Partisipasi Sekolah
30
Angka Lama Bersekolah
31
367
386
5.230
91.9711
93.788
1.817
7.0334
7.1877
2.194
Angka Kematian Bayi
48.8447
47.1958
-3.376
32
Angka Usia Harapan Hidup
61.4597
61.974
0.837
33
Growth Sektor Pertanian
3.0619
4.4664
1.405
34
Growth Sektor Energi
5.4076
6.7134
1.306
35
Growth Sektor Perhubungan
6.2840
7.2847
1.001
36
Angka Pengangguran
7732
7146
-7.579
Terhadap indikator makro ekonomi Indonesia, kebijakan menaikkan belanja pemerintah sebesar 10 persen ini akan mendorong masyarakat meningkatkan investasinya sebesar 1.68 persen. Selain itu, peningkatan belanja pemerintah ini juga akan meningkatan pendapatan rumah tangga, sehingga mendorong peningkatan konsumsi sebesar 1.339 persen. Ekspor bersih pemerintah juga akan terdorong naik sebesar 1.841 persen. Akibat lebih lanjut adalah naiknya pertumbuhan PDB sebesar 2.432 persen, namun diikuti dengan naiknya persentase defisit anggaran terhadap PDB sebesar 0.555 persen. Dai simulasi kebijakan pada penelitian ini ternyata ditemukan hasil yang sama dengan penelitian yang dilakukan oleh Sugema dan Chowdhury (2005). Dalam penelitian yang mempelajari dampak bantuan luar negeri terhadap perilaku fiskal di Indonesia tersebut diperoleh kesimpulan antara lain: (1) aliran
169
masuk BLN umumnya terjadi karena kebutuhan untuk menutup kesenjangan fiskal (fiscal-gap), (2) bantuan proyek (project loan) dimaksudkan untuk membiayai
kebutuhan
pembangunan,
namun
berakibat
meningkatkan
pengeluaran, dan (3) pinjaman program (program loan) cenderung memacu kenaikan pengeluaran rutin dan bukan untuk kebutuhan pembangunan karena tujuan dan sifatnya yang diperuntukan guna mendukung kekurangan pendanaan. Kebijakan pemerintah menaikkan anggaran belanjanya juga akan menimbulkan perubahan pada indikator keberhasilan pembangunan sektoral. Jika pemerintah menaikkan anggaran belanjanya sebesar 10 persen, akibatnya adalah naiknya APS sebesar 1.817 persen, naiknya THSEK sebesar 2.194 persen, turunnya AKB sebesar 3.376 persen, dan naiknya UHH sebesar 0.837 persen. Tingkat
pertumbuhan sektor
pertanian dan pengairan,
sektor
pertambangan dan energi, serta sektor perhubungan dan transportasi juga mengalami peningkatan, yaitu berturut-turut naik sebesar 1.405 persen, 1.306 persen, dan 1.001 persen. Dari angka-angka hasil simulasi seperti tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa sektor pertanian dan pengairan mempunyai multiplier effect terbesar sehingga dapat diandalkan untuk meningkatkan pertumbuhan perekonomian Indonesia. Secara simultan dampak yang signifikan akibat kebijakan pemerintah meningkatkan anggaran belanjanya sebesar 10 persen adalah menurunnya angka pengangguran sebesar 7.579 persen.
7.2.6. Kenaikan Pendapatan Pemerintah Sebesar 10 Persen Kebijakan fiskal merupakan kebijakan yang dominan dari pemerintahan negara-negara yang sedang berkembang. Meskipun keseimbangan fiskal menjadi indikator yang berguna untuk penilaian makro ekonomi suatu negara, namun umumnya negara-negara yang sedang berkembang menempuh cara pembiayaan defisit untuk mempercepat pembangunannya. Defisit anggaran menunjukkan keadaan dimana belanja pemerintah lebih besar daripada pendapatannya. Saat ini pemerintah masih banyak menemui kendala dalam mengumpulkan penerimaan yang bersumber dari dalam negeri, sehingga selalu kurang dari yang dibutuhkan untuk membiayai pembangunannya. Sebetulnya defisit anggaran pemerintah
170
dapat diperkecil dengan cara mengurangi kegiatan pembangunan. Namun hal ini akan memperparah kondisi ekonomi dan sosial masyarakat yang saat ini masih memprihatinkan. Oleh karena itu pembiayaan defisit banyak ditempuh oleh negara-negara di dunia, namun dengan meningkatkan pengelolaannya agar negara tidak semakin terperosok kedalam situasi yang lebih menyulitkan. Defisit anggaran umumnya dibiayai dari utang, dimana banyak negara di dunia memilih pembiayaan dari pinjaman luar negeri. Akumulasi pinjaman yang digunakan untuk membiayai defisit anggaran dari waktu ke waktu tersebut merupakan utang pemerintah. Utang tersebut akan menjadi beban bagi pemerintah pada masa yang akan datang. Sebagian besar negara berkembang telah berhasil mempercepat tingkat pembangunan yang lebih tinggi sehingga mampu membayar utang, tetapi sebagian negara berkembang lainnya tidak mampu membayar utang yang semakin besar, bahkan cenderung masuk kedalam debt trap. Meskipun ternyata terdapat banyak negara yang berhasil mempercepat pembangunan negaranya dengan menggunakan utang, namun sikap yang perlu dicegah adalah apabila terjadi penggunaan utang secara berlebihan sehingga membawa pengaruh pada beban pelunasan kembali pada masa datang. Tujuan utama penggunaan utang luar negeri adalah agar negara tersebut terbebas dari utang luar negeri (The ultimate goal of foreign assistance is to make the recipient country free from foreign assistance). Teori Keynes menegaskan pentingnya intervensi pemerintah dalam menjaga stabilitas ekonomi dan keberlanjutan kinerja ekonomi makro yang baik. Salah satu instrumen yang digunakan pemerintah dalam mempengaruhi kinerja ekonomi nasional adalah kebijakan fiskal. Ada tiga sasaran yang ingin dicapai pemerintah
melalui
instrumen
kebijakan
fiskal,
yaitu:
(1)
stabilitas
makroekonomi, (2) pengurangan ketergantungan pada bantuan luar negeri, serta (3) pemerataan pendapatan, yaitu melalui instrumen pajak dan subsidi. Berdasarkan arah perubahan indikator makro yang akan dijadikan target, kebijakan fiskal dapat bersifat kontraktif maupun ekspansif. Kebijakan fiskal yang bersifat kontraktif akan menurunkan kegiatan ekonomi terutama pada kondisi perekonomian yang sedang mengalami overheating. Sebaliknya, kebijakan ekspansi fiskal bertujuan untuk menstimulus kegiatan ekonomi yang
171
sangat diperlukan pada saat kondisi perekonomian melemah. Pemerintah mempunyai tugas untuk menggerakkan pertumbuhan ekonomi sektor swasta apabila sedang berada pada tingkat yang melemah. Melemahnya kondisi perekonomian, yang dicirikan melalui penurunan permintaan agregat dan tingginya tingkat pengangguran akan berdampak pada penurunan produksi nasional dan pertumbuhan ekonomi, yang merupakan tolok ukur utama keberhasilan ekonomi. Dalam kondisi yang demikian sangat diperlukan peningkatan variabel-variabel makro pendukung pertumbuhan seperti peningkatan konsumsi rumah tangga, investasi masyarakat, peningkatan ekspor, atau peningkatan belanja pemerintah. Dengan demikian akan dicapai kembali peningkatan produksi nasional dan pertumbuhan ekonomi. Namun fakta menunjukkan bahwa dalam kondisi perekonomian melemah kinerja komponen pendukung produksi nasional juga mengalami penurunan, terutama investasi masyarakat. Dari hasil simulasi dapat diketahui bahwa apabila pemerintah menetapkan kebijakan untuk menaikkan pendapatan pemerintah sebesar 10 persen, maka dampak pertama dari kebijakan tersebut adalah naiknya belanja pemerintah sebesar 7.837 persen. Kenaikan pendapatan pemerintah tersebut, selanjutnya akan direspon dengan peningkatan belanja rutin dan belanja pembangunan, masing-masing antara lain melalui kenaikan pembayaran cicilan pokok dan bunga utang luar negeri (sebesar 3.122 persen) serta peningkatan alokasi pendanaan rupiah murni (sebesar 3.745 persen). Hasil selengkapnya dari simulasi kebijakan fiskal, yaitu melalui kenaikan pendapatan pemerintah sebesar 10 persen ditampilkan pada Tabel 47. Tabel 47. Dampak Kenaikan Pendapatan Pemerintah Sebesar 10 Persen
No.
Variabel
Nilai Dasar
GOREV ↗ 10% Predicted
%
1
Produk Domestik Bruto
978457
999177
2.118
2
Konsumsi Rumah Tangga
530602
537915
1.378
3
Investasi Masyarakat
271245
274796
1.309
4
Belanja Pemerintah
108873
117405
7.837
5
Nilai Ekspor Bersih
67738
69061
1.953
6
Pendapatan Pemerintah
87920
96712
10.00
172
No.
Variabel
Nilai Dasar
GOREV ↗ 10% Predicted
%
7
Defisit Anggaran
2.1019
2.0710
-0.031
8
Pembiayaan Rupiah Murni
16687
17312
3.745
9
Pengel. Rp S. Pendidikan
3322
3453
3.943
10
Pengel. Rp S. Kesehatan
2518
2616
3.892
11
Pengel. Rp S. Pertanian
3939
4124
4.697
12
Pengel. Rp S. Energi
2282
2353
3.111
13
Pengel. Rp S. Perhubungan
2527
2614
3.443
14
Pengel. Rp S. Lainnya
2100
2152
2.476
15
Total Utang LN Pemerintah
29174
28667
-1.738
16
Utang LN S. Pendidikan
3951
3869
-2.075
17
Utang LN S. Kesehatan
3715
3618
-2.611
18
Utang LN S. Pertanian
5442
5336
-1.948
19
Utang LN S. Energi
8022
7916
-1.321
20
Utang LN S. Perhubungan
6049
5976
-1.207
21
Utang LN S. Lainnya
1994
1952
-2.106
22
Total Pemby. ULN Pemerintah
4107
4235
3.122
23
Pemb. Utang S. Pendidikan
570
589
3.252
24
Pemb. Utang S. Kesehatan
493
507
2.852
25
Pemb. Utang S. Pertanian
987
1035
4.850
26
Pemb. Utang S. Energi
789
806
2.196
27
Pemb. Utang S. Perhubungan
901
917
1.755
28
Pemb. Utang S. Lainnya
367
381
3.932
29
Angka Partisipasi Sekolah
91.9711
92.597
0.626
30
Angka Lama Bersekolah
7.0334
7.0911
0.820
31
Angka Kematian Bayi
48.8447
48.1935
-1.333
32
Angka Usia Harapan Hidup
61.4597
62.0368
0.939
33
Growth Sektor Pertanian
3.0619
4.3239
1.262
34
Growth Sektor Energi
5.4076
6.5509
1.143
35
Growth Sektor Perhubungan
6.2840
7.2695
0.986
36
Angka Pengangguran
7732
7222
-6.596
Dilihat secara makro, variabel yang memiliki kontribusi terbesar dalam pertumbuhan ekonomi nasional adalah konsumsi rumah tangga dan investasi masyarakat. Kebijakan kontraksi fiskal tersebut menyebabkan kenaikan tingkat konsumsi dan tingkat investasi berturut-turut sebesar 1.378 persen dan 1.309 persen. Dampak menyeluruh dari kebijakan kontraksi makro melalui kenaikan pendapatan pemerintah adalah naiknya pertumbuhan ekonomi Indonesia, yang tercermin dari kenaikan pertumbuhan PDBI sebesar 2.118 persen.
173
Selain itu, kebijakan pemerintah meningkatkan pendapatan pemerintah juga akan mendorong peningkatan indikator pertumbuhan sektoral, seperti angka partisipasi sekolah yang meningkat sebesar 0.626 persen, tahun lama bersekolah yang naik sebesar 0.82 persen, angka kematian bayi yang menurun sebesar 1.333 persen, dan angka usia harapan hidup yang meningkat sebesar 0.939 persen. Selanjutnya seluruh indikator pertumbuhan sektoral juga meningkat, yaitu sektor pertanian dan pengairan meningkat sebesar 1.262 persen, sektor pertambangan dan energi naik sebesar 1.143 persen, serta sektor perhubungan dan transportasi meningkat sebesar 0.986 persen. Secara simultan dampak yang signifikan dari kebijakan pemerintah ini adalah turunnya angka pengangguran sebesar 6.596 persen.
7.2.7. Kenaikan Indikator Pembangunan di Sektor Pendidikan Salah satu prioritas utama bagi pemerintah dalam melaksanakan pembangunan nasional adalah pembangunan di bidang pendidikan. Kualitas pendidikan menjadi landasan kuat yang diperlukan untuk meraih kemajuan bangsa di masa depan. Bahkan yang lebih penting lagi adalah pendidikan menjadi bekal dalam menghadapi era global yang sarat dengan persaingan antarbangsa yang berlangsung dengan sangat ketat. Kebijakan pemerintah untuk meningkatkan indikator pertumbuhan sektor pendidikan akan membutuhkan investasi yang besar, yang bisa berasal dari investasi langsung pemerintah baik melalui pendanaan rupiah murni atau pinjaman luar negeri, maupun investasi swasta melalui kerangka regulasi penciptaan iklim yang kondusif untuk berinvestasi di sektor pendidikan. Indikator utama yang dipergunakan untuk menilai pembangunan sektor pendidikan adalah angka partisipasi sekolah dan angka tahun lama bersekolah. Apabila pemerintah menerapkan kebijakan untuk menaikkan angka partisipasi sekolah sebesar 1 persen (Alt.1) atau angka tahun lama bersekolah sebesar 5 persen (Alt.2), maka investasi pemerintah di sektor pendidikan baik yang didanai dari rupiah murni maupun pinjaman luar negeri akan naik, masing-masing sebesar 0.244 persen dan 0.152 persen (Alt.1), serta 1.276 persen dan 0.021 persen (Alt.2). Akibat lebih lanjut adalah naiknya total belanja pemerintah
174
masing-masing sebesar 0.074 persen (Alt.1) dan 0.084 persen (Alt. 2). Hal ini disebabkan karena sumbangan belanja pemerintah dari sektor-sektor di luar sektor pendidikan secara bersama-sama cukup kuat mempengaruhi perilaku belanja pemerintah. Hasil simulasi akibat kebijakan pemerintah menetapkan target angka indikator yang harus dicapai dalam pembangunan sektor pendidikan, yaitu partisipasi sekolah naik 1 persen dan angka tahun lama bersekolah naik sebesar 5 persen ini selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 48. Tabel 48. Dampak Kenaikan Angka Partisipasi Sekolah Sebesar 1 Persen dan Angka Tahun Lama Bersekolah Sebesar 5 Persen No.
Variabel
Nilai Dasar
APS ↗ 1% Predicted
%
THSEK ↗ 5% Predicted
%
1
Produk Domestik Bruto
978457
980161.1
0.174
980076
0.165
2
Konsumsi Rumah Tangga
530602
532053
0.273
531902
0.245
3
Investasi Masyarakat
271245
271392
0.054
271378
0.049
4
Belanja Pemerintah
108873
108953
0.074
108964
0.084
5
Nilai Ekspor Bersih
67738
67763
0.037
67832
0.139
6
Pendapatan Pemerintah
87920
88197
0.315
88168
0.282
7
Defisit Anggaran
2.1019
2.1176
0.016
2.1219
0.020
8
Pembiayaan Rupiah Murni
16687
16814
0.763
16843
0.932
9
Pengel. Rp S. Pendidikan
3322
3330
0.244
3364
1.276
10
Pengel. Rp S. Kesehatan
2518
2529
0.437
2527
0.361
11
Pengel. Rp S. Pertanian
3939
3962
0.584
3968
0.736
12
Pengel. Rp S. Energi
2282
2332
2.191
2328
2.020
13
Pengel. Rp S. Perhubungan
2527
2546
0.752
2543
0.633
14
Pengel. Rp S. Lainnya
2100
2115
0.729
2112
0.567
15
Total Utang LN Pemerintah
29174
29228
0.183
29216
0.143
16
Utang LN S. Pendidikan
3951
3957
0.152
3952
0.021
17
Utang LN S. Kesehatan
3715
3727
0.328
3724
0.253
18
Utang LN S. Pertanian
5442
5454
0.224
5451
0.173
19
Utang LN S. Energi
8022
8039
0.212
8039
0.212
20
Utang LN S. Perhubungan
6049
6055
0.099
6054
0.084
21
Utang LN S. Lainnya
1994
1995.1
0.055
1995
0.056
22
Total Pemby. ULN Pemerintah
4107
4171
1.558
4160
1.289
23
Pemb. Utang S. Pendidikan
570
574
0.622
573
0.529
24
Pemb. Utang S. Kesehatan
493
513
4.109
510
3.376
25
Pemb. Utang S. Pertanian
987
1001
1.436
999
1.160
26
Pemb. Utang S. Energi
789
809
2.577
805
2.128
27
Pemb. Utang S. Perhubungan
901
906
0.534
906
0.484
175
No.
Variabel
28
Pemb. Utang S. Lainnya
29
Nilai Dasar
APS ↗ 1% Predicted
%
THSEK ↗ 5% Predicted
%
367
368
0.187
367
0.132
Angka Partisipasi Sekolah
91.9711
92.9711
1.00
92.6518
0.681
30
Angka Lama Bersekolah
7.0334
7.0374
0.057
7.3851
5.00
31
Angka Kematian Bayi
48.8447
48.1113
-1.501
48.0941
-1.537
32
Angka Usia Harapan Hidup
61.4597
61.7899
0.537
61.7743
0.512
33
Growth Sektor Pertanian
3.0619
3.0854
0.023
3.0842
0.022
34
Growth Sektor Energi
5.4076
5.4284
0.021
5.4267
0.019
35
Growth Sektor Perhubungan
6.2840
6.2978
0.014
6.2966
0.013
36
Angka Pengangguran
7732
7690
-0.543
7692
-0.516
Naiknya kemampuan pemerintah untuk membiayai belanja pemerintah menyebabkan naiknya jumlah total pembayaran utang luar negeri di setiap sektor pembangunan, masing-masing sebesar 1.558 persen (Alt.1) dan 1.289 persen (Alt.2). Kenaikan pemerintah dalam pembayaran utang (cicilan pokok dan bunga) ini menyebabkan rating pemerintah di mata donor meningkat, sehingga secara total pinjaman luar negeri pemerintah juga akan meningkat sebesar 0.183 persen (Alt.1) dan 0.143 persen (Alt.2). Ditinjau dari indikator makro ekonomi Indonesia, dampak dari kebijakan penetapan angka indikator sektor kesehatan yang harus dicapai ini adalah meningkatnya konsumsi rumah tangga masing-masing sebesar 0.273 persen (Alt.1) dan 0.245 persen (Alt.2). Sementara itu investasi masyarakat juga akan meningkat sebesar 0.054 persen (Alt.1) dan 0.049 persen (Alt.2). Peningkatan investasi masyarakat ini khususnya dalam partisipasinya di bidang pembangunan sektor pendidikan. Selanjutnya, peningkatan investasi ini pada akhirnya akan mendorong peningkatan pendapatan pemerintah, dimana masing-masing akan naik sebesar 0.315 persen (Alt.1) dan 0.282 persen (Alt.2). Namun, kenaikan belanja pemerintah yang lebih besar daripada kenaikan pendapatan pemerintah ini pada akhirnya akan meningkatkan persentase defisit anggaran terhadap PDB, dimana masing-masing akan naik sebesar 0.016 persen (Alt.1) dan 0.02 persen (Alt.2). Selanjutnya, kebijakan pemerintah ini akan mendorong naiknya ekspor bersih masing-masing sebesar 0.037 persen (Alt.1) dan 0.139 persen (Alt.2). Pada akhirnya rangkaian perubahan ini menghasilkan kenaikan PDB berturutturut sebesar 0.174 persen (Alt.1) dan 0.165 persen (Alt.2).
176
Dilihat dari perkembangan indikator pembangunan sektoral, kebijakan pemerintah menaikkan angka partisipasi sekolah sebesar 1 persen (Alt.1) ini akan menyebabkan angka tahun lama bersekolah naik sebesar 0.057 persen, angka kematian bayi turun 1.501 persen, dan angka usia harapan hidup naik sebesar 0.537 persen. Sementara itu pertumbuhan sektor pertanian dan pengairan akan meningkat sebesar 0.023 persen, pertumbuhan sektor pertambangan dan energi naik sebesar 0.021 persen, dan pertumbuhan sektor perhubungan meningkat sebesar 0.014 persen. Secara simultan dampak yang signifikan dari kebijakan ini adalah turunnya angka pengangguran sebesar 0.543 persen. Di sisi lain, kebijakan pemerintah menaikkan angka tahun lama bersekolah sebesar 5 persen (Alt.2) akan berdampak pada naiknya angka partisipasi sekolah sebesar 0.681 persen, angka kematian bayi turun sebesar 1.537 persen, dan angka usia harapan hidup naik sebesar 0.512 persen. Sementara itu pertumbuhan sektor pertanian dan pengairan akan meningkat sebesar 0.022 persen, pertumbuhan sektor pertambangan dan energi naik sebesar 0.019 persen, dan pertumbuhan sektor perhubungan dan transportasi meningkat sebesar 0.013 persen. Secara simultan dampak yang signifikan dari kebijakan ini adalah turunnya angka pengangguran sebesar 0.516 persen. Ke dua simulasi kebijakan seperti tersebut di atas menunjukkan bahwa pencapaian pertumbuhan indikator pembangunan sektoral dapat dicapai tanpa harus melalui intervensi langsung di bidang pembangunan yang terkait, tetapi juga bisa dicapai melalui kerangka regulasi yang dapat menggerakkan peranserta masyarakat dan swasta dalam pembangunan.
7.2.8. Penurunan/Kenaikan Indikator Pembangunan di Sektor Kesehatan Pembangunan di sektor kesehatan merupakan salah satu investasi untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Dalam pengukuran Indeks Pembangunan Manusia (IPM), kesehatan menjadi salah satu komponen yang utama, yang dicirikan melalui angka kematian bayi dan angka usia harapan hidup sebagai indikatornya. Hasil simulasi kebijakan atas penurunan angka kematian bayi sebesar 5 persen (Alt.1) dan kenaikan usia harapan hidup sebesar 5 persen (Alt.2) selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 49.
177
Tabel 49. Dampak Penurunan Angka Kematian Bayi Sebesar 5 Persen dan Kenaikan Angka Usia Harapan Hidup Sebesar 5 Persen No.
Variabel
Nilai Dasar
AKB ↙ 5% Predicted
%
UHH ↗ 5% Predicted
%
1
Produk Domestik Bruto
978457
980323
0.191
980073
0.165
2
Konsumsi Rumah Tangga
530602
532112
0.285
532008
0.265
3
Investasi Masyarakat
271245
271446
0.074
271318
0.027
4
Belanja Pemerintah
108873
108992
0.109
108985
0.103
5
Nilai Ekspor Bersih
67738
67773
0.052
67762
0.035
6
Pendapatan Pemerintah
87920
88261
0.388
88233
0.356
7
Defisit Anggaran
2.1019
2.1147
0.013
2.1174
0.015
8
Pembiayaan Rupiah Murni
16687
16846
0.953
16868
1.087
9
Pengel. Rp S. Pendidikan
3322
3337
0.452
3335.4
0.403
10
Pengel. Rp S. Kesehatan
2518
2548
1.191
2573
2.184
11
Pengel. Rp S. Pertanian
3939
3962
0.584
3963
0.609
12
Pengel. Rp S. Energi
2282
2331
2.147
2331
2.147
13
Pengel. Rp S. Perhubungan
2527
2552
0.989
2549
0.871
14
Pengel. Rp S. Lainnya
2100
2116
0.762
2117
0.810
15
Total Utang LN Pemerintah
29174
29234
0.206
29317
0.490
16
Utang LN S. Pendidikan
3951
3958
0.177
3955
0.101
17
Utang LN S. Kesehatan
3715
3727
0.323
3761
1.238
18
Utang LN S. Pertanian
5442
5456
0.257
5456
0.257
19
Utang LN S. Energi
8022
8039
0.212
8039
0.212
20
Utang LN S. Perhubungan
6049
6056
0.116
6108
0.975
21
Utang LN S. Lainnya
1994
1998
0.201
1998
0.201
22
Total Pemby. ULN Pemerintah
4107
4181
1.802
4173
1.607
23
Pemb. Utang S. Pendidikan
570
575
0.798
575
0.798
24
Pemb. Utang S. Kesehatan
493
515
4.474
513
4.069
25
Pemb. Utang S. Pertanian
987
1003
1.608
1001
1.406
26
Pemb. Utang S. Energi
789
812
2.957
809
2.577
27
Pemb. Utang S. Perhubungan
901
908
0.756
907
0.645
28
Pemb. Utang S. Lainnya
367
368
0.323
368
0.323
29
Angka Partisipasi Sekolah
91.9711
92.0251
0.054
92.0253
0.054
30
Angka Lama Bersekolah
7.0334
7.0375
0.058
7.0376
0.060
31
Angka Kematian Bayi
48.8447
46.4025
-5.00
48.0621
-1.602
32
Angka Usia Harapan Hidup
61.4597
61.8015
0.556
64.5327
5.00
33
Growth Sektor Pertanian
3.0619
3.0872
0.025
3.0864
0.024
34
Growth Sektor Energi
5.4076
5.4294
0.022
5.4284
0.021
35
Growth Sektor Perhubungan
6.2840
6.2974
0.013
6.2973
0.013
36
Angka Pengangguran
7732
7686
-0.595
7692
-0.515
178
Upaya pemerintah untuk mengurangi angka kematian bayi dan menaikkan angka usia harapan hidup akan membutuhkan investasi yang besar, yang bisa berasal dari investasi langsung pemerintah baik melalui alokasi pendanaan rupiah murni maupun pinjaman luar negeri, atau investasi dari swasta melalui intervensi kerangka regulasi yang kondusif di sektor kesehatan. Dampak dari kebijakan pemerintah menurunkan angka kematian bayi sebesar 5 persen adalah naiknya investasi langsung pemerintah di sektor kesehatan melalui kenaikan alokasi pendanaan rupiah murni di sektor ini sebesar 1.191 persen dan naiknya pinjaman luar negeri di sektor ini sebesar 0.323 persen. Sementara itu dampak dari kenaikan angka usia harapan hidup sebesar 5 persen adalah naiknya alokasi pendanaan rupiah murni di sektor kesehatan sebesar 2.184 persen dan naiknya pinjaman luar negeri di sektor ini sebesar 1.238 persen. Secara total belanja pemerintah dan pendapatan pemerintah akan naik masing-masing menjadi sebesar 0.109 persen dan 0.388 persen akibat kebijakan Alt.1, serta kenaikan sebesar 0.103 persen dan 0.356 persen akibat kebijakan pemerintah Alt.2. Selain itu, naiknya belanja pemerintah ini disebabkan juga oleh sumbangan naiknya belanja rutin antara lain melalui naiknya total pembayaran utang luar negeri sebesar 1.802 persen akibat kebijakan Alt.1, dan sebesar 1.607 persen akibat kebijakan Alt.2. Kenaikan pendapatan dan belanja pemerintah ini menyebabkan keseimbangan fiskal pemerintah berubah sehingga menimbulkan dampak yaitu persentase defisit anggaran terhadap PDB naik masing-masing sebesar 0.013 persen akibat kebijakan Alt.1, dan sebesar 0.015 persen akibat kebijakan Alt.2. Akibatnya selanjutnya, indikator ekonomi makro Indonesia juga mengalami perubahan, antara lain konsumsi rumah tangga akan naik, masing-masing sebesar 0.285 persen akibat kebijakan Alt.1 dan sebesar 0.265 persen akibat kebijakan Alt.2, sementara investasi masyarakat akan naik masing-masing sebesar 0.074 persen akibat kebijakan Alt.1 dan sebesar 0.027 persen akibat kebijakan Alt.2. Namun, kebijakan pemerintah menurunkan angka kematian bayi sebesar 5 persen ini akan meningkatkan total pinjaman baru pemerintah dari luar negeri
179
sebesar 0.206 persen, sementara kebijakan meningkatkan angka usia harapan hidup sebesar 5 persen akan meningkatkan total pinjaman baru pemerintah dari luar negeri sebesar 0.49 persen. Sebagai dampak akhir adalah kenaikan tingkat pertumbuhan PDB sebesar 0.191 persen akibat kebijakan pemerintah menurunkan angka kematian bayi sebesar 5 persen, dan kenaikan tingkat pertumbuhan PDB sebesar 0.165 persen akibat kebijakan pemerintah menaikkan angka usia harapan hidup sebesar 5 persen. Dilihat dari pengaruhnya terhadap indikator pembangunan sektoral, kebijakan pemerintah menurunkan angka kematian bayi sebesar 5 persen akan meningkatkan indikator pertumbuhan sektoral, dimana angka partisipasi sekolah akan naik sebesar 0.054 persen, angka tahun lama bersekolah akan naik 0.058 persen, angka usia harapan hidup akan naik 0.556 persen, pertumbuhan sektor pertanian dan pengairan, sektor pertambangan dan energi, serta sektor perhubungan dan transportasi, masing-masing akan naik sebesar 0.025 persen, 0.022 persen, dan 0.013 persen. Di sisi lain, kebijakan pemerintah menaikkan angka usia harapan hidup sebesar 5 persen akan meningkatkan angka partisipasi sekolah sebesar 0.054 persen, angka tahun lama bersekolah naik 0.06 persen, pertumbuhan sektor pertanian dan pengairan, sektor pertambangan dan energi, serta sektor perhubungan dan transportasi, masing-masing akan naik sebesar 0.024 persen, 0.021 persen, dan 0.013 persen. Secara simultan dampak yang signifikan dari kebijakan pemerintah dalam intervensi di indikator sektor kesehatan ini adalah turunnya angka pengangguran sebesar 0.595 persen (jika angka kematian bayi diturunkan 5 persen), dan turun sebesar 0.515 persen (jika angka usia harapan hidup dinaikkan 5 persen).
7.2.9. Kenaikan Angka Pertumbuhan Sektor Pertanian dan Pengairan Sebesar 1 Persen Sektor pertanian dan pengairan mempunyai peranan yang besar dalam penyediaan pangan untuk mendukung ketahanan pangan nasional dan menyumbang penerimaan dalam PDBI, serta dalam menyerap tenaga kerja.
180
Namun usaha pembangunan di sektor ini masih menghadapi berbagai kendala antara lain masih rendahnya tingkat kesejahteraan petani, masih rendahnya penguasaan teknologi pengolahan hasil-hasil pertanian, dan terbatasnya penyediaan air untuk irigasi. Oleh karena itu, sejak pemerintahan Orde Baru, sektor ini mendapat prioritas yang tinggi dalam pembangunan nasional. Kebijakan pemerintah yang mentargetkan pertumbuhan sektor pertanian dan pengairan naik 1 persen akan berdampak pada naiknya investasi langsung pemerintah di sektor tersebut baik melalui alokasi pendanaan rupiah murni di sektor tersebut yang naik sebesar 7.565 persen, maupun melalui kenaikan pinjaman luar negeri di sektor tersebut yang naik sebesar 0.202 persen. Dampak ini akan berlanjut dengan naiknya pembiayaan rupiah murni di seluruh sektor pembangunan sebesar 3.703 persen dan pinjaman luar negeri pemerintah sebesar 0.323 persen. Kenaikan pendanaan pembangunan di seluruh sektor ini (baik rupiah murni maupun pinjaman luar negeri) akan berdampak pada naiknya belanja pemerintah sebesar 1.027 persen. Alokasi untuk investasi yang semakin besar ini akan menyebabkan kenaikan pertumbuhan sektor-sektor yang lain, yaitu sektor pertambangan dan energi serta sektor perhubungan dan transportasi yang masing-masing akan tumbuh sebesar 0.093 persen dan 0.065 persen. Pertumbuhan ini akan meningkatkan ekspor bersih sebesar 0.279 persen dan memacu pertumbuhan investasi masyarakat sebesar 0.37 persen. Indeks Pembangunan Manusia (IPM), yang dicirikan melalui indikator di sektor pendidikan dan kesehatan juga mengalami kemajuan, yang tercermin pada kenaikan-kenaikan angka partisipasi sekolah sebesar 0.158 persen, angka tahun lama bersekolah sebesar 0.257 persen, angka usia harapan hidup sebesar 0.109 persen, serta turunnya angka kematian bayi sebesar 0.552 persen. Akibatnya pendapatan pemerintah akan meningkat sebesar 1.91 persen. Kenaikan ini menyebabkan penghasilan masyarakat juga akan meningkat yang menyebabkan mereka mampu untuk menambah pengeluarannya, yang diindikasikan oleh meningkatnya konsumsi rumah tangga sebesar 0.82 persen. Hasil simulasi akibat dari kebijakan pemerintah meningkatkan pertumbuhan sektor pertanian dan pengairan ini dapat diikuti pada Tabel 50.
181
Tabel 50. Dampak Kenaikan Pertumbuhan Sektor Pertanian dan Pengairan Sebesar 1 Persen
No.
Variabel
Nilai Dasar
GTAN ↗ 1% Predicted
%
1
Produk Domestik Bruto
978457
985118
0.681
2
Konsumsi Rumah Tangga
530602
534951
0.820
3
Investasi Masyarakat
271245
272249
0.370
4
Belanja Pemerintah
108873
109991
1.027
5
Nilai Ekspor Bersih
67738
67927
0.279
6
Pendapatan Pemerintah
87920
89599
1.910
7
Defisit Anggaran
2.1019
2.0700
-0.032
8
Pembiayaan Rupiah Murni
16687
17305
3.703
9
Pengel. Rp S. Pendidikan
3322
3412
2.709
10
Pengel. Rp S. Kesehatan
2518
2588
2.780
11
Pengel. Rp S. Pertanian
3939
4237
7.565
12
Pengel. Rp S. Energi
2282
2309
1.183
13
Pengel. Rp S. Perhubungan
2527
2594
2.651
14
Pengel. Rp S. Lainnya
2100
2165
3.095
15
Total Utang LN Pemerintah
29174
29268
0.323
16
Utang LN S. Pendidikan
3951
3961
0.253
17
Utang LN S. Kesehatan
3715
3750
0.942
18
Utang LN S. Pertanian
5442
5453
0.202
19
Utang LN S. Energi
8022
8040
0.224
20
Utang LN S. Perhubungan
6049
6067
0.298
21
Utang LN S. Lainnya
1994
1997
0.156
22
Total Pemby. ULN Pemerintah
4107
4305
4.823
23
Pemb. Utang S. Pendidikan
570
590
3.398
24
Pemb. Utang S. Kesehatan
493
523
6.109
25
Pemb. Utang S. Pertanian
987
1040
5.356
26
Pemb. Utang S. Energi
789
854
8.242
27
Pemb. Utang S. Perhubungan
901
929
3.114
28
Pemb. Utang S. Lainnya
29
Angka Partisipasi Sekolah
30
Angka Lama Bersekolah
31
367
369
0.662
91.9711
92.1288
0.158
7.0334
7.0515
0.257
Angka Kematian Bayi
48.8447
48.5749
-0.552
32
Angka Usia Harapan Hidup
61.4597
61.5268
0.109
33
Growth Sektor Pertanian
3.0619
4.0619
1.00
34
Growth Sektor Energi
5.4076
5.5008
0.093
35
Growth Sektor Perhubungan
6.2840
6.3489
0.065
36
Angka Pengangguran
7732
7568
-2.124
182
Kemampuan keuangan pemerintah yang semakin meningkat ini menyebabkan pemerintah mampu menyisihkan sebagian pendapatannya untuk menambah pembayaran utang luar negerinya sebesar 4.823 persen. Selanjutnya, akibat kenaikan dari pendapatan pemerintah yang persentasenya lebih besar dari persentase kenaikan belanja pemerintah tersebut menyebabkan keseimbangan fiskal pemerintah menurun sehingga defisit anggaran pemerintah per PDB juga akan menurun sebesar 0.032 persen. Selain
itu,
kebijakan
pemerintah
menetapkan
target
kenaikan
pertumbuhan sektor pertanian yang akhirnya dapat memacu pertumbuhan sektorsektor lainnya ini, berdampak pada meningkatnya pertumbuhan PDB sebesar 0.681 persen. Dari simulasi kebijakan ini lebih lanjut dapat dijelaskan bahwa kenaikan pinjaman luar negeri di sektor pertanian hanya mampu meningkatkan pertumbuhan sektor pertanian sebesar 1 persen. Kemungkinan penyebabnya adalah penggunaan utang luar negeri atau investasi di sektor pertanian ini salah sasaran. Hal ini sejalan dengan Laporan Bank Dunia tahun 2008 tentang Agriculture for Development bahwa diduga telah terjadi under-investment dan mis-investment di sektor pertanian. Namun, secara simultan dampak yang signifikan adalah turunnya angka pengangguran sebesar 2.124 persen.
7.2.10. Kenaikan Angka Pertumbuhan Sektor Pertambangan dan Energi Sebesar 1 Persen Sektor pertambangan dan energi memegang peranan yang cukup penting dalam perekonomian nasional. Hal ini terbukti dari besarnya peranan sektor pertambangan dan energi sebagai penyedia sumber energi, sumber devisa, penerimaan negara, sumber bahan baku industri, serta penciptaan lapangan pekerjaan dan pendorong pertumbuhan sektor-sektor lain. Oleh karena itu pembangunan sektor pertambangan dan energi menjadi salah satu prioritas yang penting dalam pembangunan nasional sejak pemerintahan Orde Baru sampai pemerintahan yang sekarang. Kebijakan
pemerintah
untuk
mempercepat
pembangunan
sektor
pertambangan dan energi melalui peningkatan angka pertumbuhan sektor ini akan berdampak pada naiknya penyediaan alokasi rupiah murni dan pinjaman
183
luar negeri pemerintah untuk pembangunan sektor tersebut. Dari hasil simulasi diketahui bahwa setiap 1 persen kenaikan pertumbuhan sektor pertambangan dan energi akan menyebabkan kenaikan alokasi rupiah murni di sektor ini sebesar 6.312 persen dan kenaikan pinjaman luar negeri pemerintah di sektor ini sebesar 1.21 persen. Selanjutnya dampak lain dari kenaikan alokasi pendanaan rupiah murni di sektor ini adalah naiknya alokasi pembiayaan pembangunan dari dana rupiah untuk seluruh sektor pembangunan sebesar 2.198 persen dan juga naiknya pinjaman luar negeri pemerintah seluruh sektor sebesar 0.636 persen. Dampak lengkap atas kebijakan pemerintah yang menaikkan target pertumbuhan sektor pertambangan dan energi 1 persen lebih tinggi, terhadap perkembangan indikator ekonomi makro Indonesia dan indikator pertumbuhan seluruh sektor pembangunan selengkapnya dapat diikuti pada Tabel 51. Tabel 51. Dampak Kenaikan Pertumbuhan Sektor Pertambangan dan Energi Sebesar 1 Persen
No.
Variabel
Nilai Dasar
GENG ↗ 1% Predicted
%
1
Produk Domestik Bruto
978457
984117
0.578
2
Konsumsi Rumah Tangga
530602
533453
0.537
3
Investasi Masyarakat
271245
272874
0.601
4
Belanja Pemerintah
108873
109813
0.863
5
Nilai Ekspor Bersih
67738
67977
0.353
6
Pendapatan Pemerintah
87920
88960
1.183
7
Defisit Anggaran
2.1019
2.1190
0.017
8
Pembiayaan Rupiah Murni
16687
17054
2.198
9
Pengel. Rp S. Pendidikan
3322
3376
1.623
10
Pengel. Rp S. Kesehatan
2518
2561
1.709
11
Pengel. Rp S. Pertanian
3939
3964
0.632
12
Pengel. Rp S. Energi
2282
2426
6.312
13
Pengel. Rp S. Perhubungan
2527
2581
2.136
14
Pengel. Rp S. Lainnya
2100
2146
2.188
15
Total Utang LN Pemerintah
29174
29360
0.636
16
Utang LN S. Pendidikan
3951
3962
0.277
17
Utang LN S. Kesehatan
3715
3747
0.862
18
Utang LN S. Pertanian
5442
5473
0.569
19
Utang LN S. Energi
8022
8119
1.210
20
Utang LN S. Perhubungan
6049
6064
0.247
21
Utang LN S. Lainnya
1994
1995
0.035
184
No.
Variabel
22
Total Pemby. ULN Pemerintah
23
Nilai Dasar
GENG ↗ 1% Predicted
%
4107
4266
3.870
Pemb. Utang S. Pendidikan
570
583
2.234
24
Pemb. Utang S. Kesehatan
493
528
7.012
25
Pemb. Utang S. Pertanian
987
1028
4.185
26
Pemb. Utang S. Energi
789
839
6.403
27
Pemb. Utang S. Perhubungan
901
919
1.978
28
Pemb. Utang S. Lainnya
29
Angka Partisipasi Sekolah
30
Angka Lama Bersekolah
31
367
369
0.494
91.9711
92.0995
0.128
7.0334
7.0449
0.164
Angka Kematian Bayi
48.8447
48.5699
-0.563
32
Angka Usia Harapan Hidup
61.4597
61.8661
0.661
33
Growth Sektor Pertanian
3.0619
3.2271
0.165
34
Growth Sektor Energi
5.4076
6.4076
1.00
35
Growth Sektor Perhubungan
6.2840
6.4565
0.173
36
Angka Pengangguran
7732
7593
-1.802
Selanjutnya, kenaikan pengeluaran pembangunan rupiah murni dan utang luar negeri di seluruh sektor ini akan mendorong meningkatnya belanja pemerintah sebesar 0.863 persen, yang menyebabkan meningkatnya angka pertumbuhan sektor pertanian dan pengairan serta sektor perhubungan dan transportasi masing-masing sebesar 0.165 persen dan 0.173 persen. Pertumbuhan ini juga akan mengangkat angka IPM melalui kenaikan APS sebesar 0.128 persen, angka tahun lama bersekolah sebesar 0.164 persen, dan angka usia harapan hidup sebesar 0.661 persen, serta menurunkan angka kematian bayi sebesar 0.563 persen. Peningkatan pertumbuhan sektor-sektor ini pada gilirannya akan mendorong tumbuhnya nilai ekspor bersih sebesar 0.353 persen, yang akan berdampak pada meningkatnya pendapatan pemerintah sebesar 1.183 persen. Kenaikan pendapatan pemerintah yang secara persentase lebih tinggi dibanding naiknya belanja pemerintah menyebabkan turunnya keseimbangan fiskal, yang berarti turunnya defisit anggaran per PDB sebesar 0.017 persen. Dampak lain dari kenaikan pendapatan pemerintah ini adalah meningkatnya kemampuan membayar utang luar negeri yang telah jatuh tempo berikut bunganya sebesar 3.87 persen. Peningkatan pendapatan pemerintah ini juga akan mendorong meningkatnya pendapatan masyarakat, yang tercermin
185
dari naiknya meningkat konsumsi rumah tangga sebesar 0.537 persen. Hal ini akan meningkatkan pertumbuhan PDBI sebesar 0.578 persen. Secara simultan dampak yang signifikan dari kebijakan ini adalah turunnya angka pengangguran sebesar 1.802 persen.
7.2.11. Kenaikan Angka Pertumbuhan Sektor Perhubungan dan Transportasi Sebesar 1 Persen Tujuan pembangunan sektor perhubungan dan transportasi adalah untuk meningkatkan pelayanan jasa perhubungan dan transportasi secara lebih efisien, handal, berkualitas, aman dan dengan harga yang terjangkau. Tujuan lainnya adalah untuk mewujudkan sistem perhubungan dan transportasi nasional secara intermoda dan terpadu dengan pengembangan wilayahnya, dan menjadi bagian dari suatu sistem distribusi yang mampu memberikan pelayanan dan manfaat bagi masyarakat luas dalam kegiatan perekonomiannya. Kebijakan pemerintah menaikkan pertumbuhan sektor ini sebesar 1 persen akan membawa dampak pada meningkatnya alokasi pendanaan rupiah murni pada sektor ini sebesar 9.22 persen dan meningkatnya pinjaman luar negerinya sebesar 3.207 persen. Dampak menyeluruh atas kebijakan pemerintah yang menaikkan angka pertumbuhan sektor perhubungan dan transportasi sebesar 1 persen ini selengkapnya dapat diikuti pada Tabel 52. Tabel 52. Dampak Kenaikan Pertumbuhan Sektor Perhubungan dan Transportasi Sebesar 1 Persen
No.
Variabel
Nilai Dasar
GHUB ↗ 1% Predicted
%
1
Produk Domestik Bruto
978457
982911
0.455
2
Konsumsi Rumah Tangga
530602
533075
0.466
3
Investasi Masyarakat
271245
272089
0.311
4
Belanja Pemerintah
108873
109848
0.896
5
Nilai Ekspor Bersih
67738
67899
0.238
6
Pendapatan Pemerintah
87920
89307
1.578
7
Defisit Anggaran
2.1019
2.0898
-0.012
8
Pembiayaan Rupiah Murni
16687
17214
3.158
9
Pengel. Rp S. Pendidikan
3322
3379
1.716
10
Pengel. Rp S. Kesehatan
2518
2567
1.946
11
Pengel. Rp S. Pertanian
3939
4071
3.351
186
No.
Variabel
Nilai Dasar
GHUB ↗ 1% Predicted
%
12
Pengel. Rp S. Energi
2282
2326
1.928
13
Pengel. Rp S. Perhubungan
2527
2760
9.220
14
Pengel. Rp S. Lainnya
2100
2111
0.524
15
Total Utang LN Pemerintah
29174
29460
0.981
16
Utang LN S. Pendidikan
3951
3958
0.177
17
Utang LN S. Kesehatan
3715
3739
0.646
18
Utang LN S. Pertanian
5442
5467
0.459
19
Utang LN S. Energi
8022
8058
0.449
20
Utang LN S. Perhubungan
6049
6243
3.207
21
Utang LN S. Lainnya
1994
1995
0.065
22
Total Pemby. ULN Pemerintah
4107
4282
4.268
23
Pemb. Utang S. Pendidikan
570
586
2.768
24
Pemb. Utang S. Kesehatan
493
537
8.998
25
Pemb. Utang S. Pertanian
987
1030
4.343
26
Pemb. Utang S. Energi
789
836
5.981
27
Pemb. Utang S. Perhubungan
901
924
2.552
28
Pemb. Utang S. Lainnya
367
369
0.511
29
Angka Partisipasi Sekolah
91.9711
92.1032
0.132
30
Angka Lama Bersekolah
7.0334
7.0485
0.215
31
Angka Kematian Bayi
48.8447
48.5227
-0.659
32
Angka Usia Harapan Hidup
61.4597
61.685
0.367
33
Growth Sektor Pertanian
3.0619
3.5664
0.505
34
Growth Sektor Energi
5.4076
5.8491
0.442
35
Growth Sektor Perhubungan
6.2840
7.2840
1.00
36
Angka Pengangguran
7732
7623
-1.416
Kebijakan pemerintah di sektor perhubungan dan transportasi yang menyebabkan kenaikan alokasi rupiah murni dan pinjaman luar negeri di sektor ini, akan berdampak pada naiknya belanja pembangunan pemerintah sebesar 0.896 persen. Kenaikan belanja ini direspon oleh pemerintah dengan menaikkan pendapatan pemerintah sebesar 1.578 persen, yang akan mengakibatkan turunnya keseimbangan fiskal, yang pada gilirannya akan menurunkan defisit anggaran pemerintah per PDB sebesar 0.012 persen. Lebih lanjut, kenaikan pendapatan pemerintah ini memicu meningkatnya pendapatan masyarakat, yang tercermin melalui peningkatan konsumsi rumah tangga sebesar 0.466 persen. Selain itu, kenaikan pendapatan pemerintah ini menyebabkan pemerintah lebih mempunyai ruang gerak dalam mempercepat turunnya stok utang
187
pemerintah dengan cara menaikkan pembayaran cicilan utang pokok sebesar 4.268 persen. Selain digunakan untuk membayar cicilan utang, kenaikan pendapatan ini juga digunakan untuk menambah investasi di setiap sektor pembangunan. Dampak yang timbul adalah naiknya angka pertumbuhan sektor pertanian dan pengairan sebesar 0.505 persen serta sektor pertambangan dan energi sebesar 0.442 persen. Penambahan investasi ini juga mendorong meningkatnya angka partisipasi sekolah, angka tahun lama bersekolah, dan angka usia harapan hidup masing-masing sebesar 0.132 persen, 0.215 persen dan 0.367 persen. Disamping itu, angka kematian bayi akan menurun sebesar 0.659 persen. Dampak akhir dari hasil simulasi ini adalah meningkatnya pertumbuhan PDB sebesar 0.455 persen yang diiringi dengan menurunnya tingkat pengangguran sebesar 1.416 persen.
7.2.12. Penurunan Angka Pengangguran Sebesar 10 Persen Angka pengangguran terbuka di Indonesia sampai saat ini masih tergolong cukup tinggi. Meskipun dari tahun ke tahun perkembangan ekonomi menunjukkan perbaikan dibandingkan dengan tahun sebelumnya, namun perkembangan ekonomi tersebut belum dapat mengimbangi meningkatnya angkatan kerja yang masuk ke pasar kerja. Bahkan ada kecenderungan jumlah pengangguran terbuka di Indonesia semakin meningkat. Oleh karena itu menjadi tugas pemerintah untuk menciptakan lapangan kerja, baik melalui investasi langsung maupun melalui regulasi sehingga dunia swasta dapat terus tumbuh dan berkembang dengan iklim yang baik sehingga bisa menciptakan lapangan kerja guna mengurangi pengangguran. Kebijakan pemerintah menurunkan angka pengangguran sebesar 10 persen dari tahun sebelumnya dilakukan melalui kenaikan investasi langsung pemerintah di seluruh sektor pembangunan. Kenaikan tersebut didorong oleh naiknya alokasi pendanaan rupiah murni untuk seluruh sektor sebesar 2.277 persen, yang disebabkan oleh naiknya alokasi pendanaan rupiah murni di sektor pendidikan sebesar 2.017 persen, di sektor kesehatan sebesar 1.509 persen, di sektor pertanian dan pengairan sebesar 3.808 persen, di sektor pertambangan dan energi sebesar 1.358 persen, dan di sektor perhubungan sebesar 3.126 persen.
188
Selain itu, kenaikan investasi langsung pemerintah tersebut juga didukung oleh naiknya pinjaman luar negeri pemerintah yang terjadi di seluruh sektor pembangunan. Kenaikan pinjaman luar negeri tersebut terjadi di sektor pendidikan sebesar 0.124 persen, di sektor kesehatan sebesar 0.163 persen, di sektor pertanian dan pengairan sebesar 0.165 persen, di sektor pertambangan dan energi sebesar 0.215 persen, di sektor perhubungan dan transportasi sebesar 0.098 persen serta di sektor lainnya sebesar 0.358 persen. Akibat dari kenaikan investasi pemerintah ini adalah bergeraknya sektor swasta untuk meningkatkan investasinya sebesar 2.836 persen dan naiknya konsumsi rumah tangga sebesar 3.761 persen, serta naiknya nilai ekspor bersih sebesar 2.067 persen. Dampak lain dari penurunan angka pengangguran ini adalah turunnya total pembayaran utang luar negeri pemerintah sebesar 1.342 persen karena pemerintah menggunakan sebagian pendapatan pemerintah untuk menambah investasi langsungnya dengan menaikkan belanja pembangunannya sebesar 2.136 persen. Kenaikan belanja ini menyebabkan pemerintah harus mencari tambahan pendapatan pemerintah sebesar 1.459 persen. Namun, akibat persentase kenaikan belanja pemerintah yang lebih tinggi dari kenaikan pendapatan pemerintah, keseimbangan fiskal pemerintah menjadi meningkat sehingga persentase defisit anggaran pemerintah terhadap PDB membengkak sebesar 0.076 persen. Dampak selengkapnya kebijakan pemerintah menurunkan angka pengangguran sebesar 10 persen terhadap indikator ekonomi makro Indonesia dan indikator pembangunan sektoral dapat dilihat pada Tabel 53. Tabel 53. Dampak Penurunan Angka Pengangguran Sebesar 10 Persen
No.
Variabel
Nilai Dasar
UNEM ↙ 10% Predicted
%
1
Produk Domestik Bruto
978457
1009830
3.206
2
Konsumsi Rumah Tangga
530602
550556
3.761
3
Investasi Masyarakat
271245
278938
2.836
4
Belanja Pemerintah
108873
111198
2.136
5
Nilai Ekspor Bersih
67738
69138
2.067
6
Pendapatan Pemerintah
87920
89203
1.459
7
Defisit Anggaran
2.1019
2.1781
0.076
8
Pembiayaan Rupiah Murni
16687
17067
2.277
9
Pengel. Rp S. Pendidikan
3322
3389
2.017
189
No.
Variabel
Nilai Dasar
UNEM ↙ 10% Predicted
%
10
Pengel. Rp S. Kesehatan
2518
2556
1.509
11
Pengel. Rp S. Pertanian
3939
4089
3.808
12
Pengel. Rp S. Energi
2282
2313
1.358
13
Pengel. Rp S. Perhubungan
2527
2606
3.126
14
Pengel. Rp S. Lainnya
2100
2114
0.667
15
Total Utang LN Pemerintah
29174
29223
0.169
16
Utang LN S. Pendidikan
3951
3956
0.124
17
Utang LN S. Kesehatan
3715
3721
0.163
18
Utang LN S. Pertanian
5442
5451
0.165
19
Utang LN S. Energi
8022
8039
0.215
20
Utang LN S. Perhubungan
6049
6055
0.098
21
Utang LN S. Lainnya
1994
2001
0.358
22
Total Pemby. ULN Pemerintah
4107
4052
-1.342
23
Pemb. Utang S. Pendidikan
570
567
-0.682
24
Pemb. Utang S. Kesehatan
493
482
-2.180
25
Pemb. Utang S. Pertanian
987
973
-1.476
26
Pemb. Utang S. Energi
789
768
-2.576
27
Pemb. Utang S. Perhubungan
901
896
-0.572
28
Pemb. Utang S. Lainnya
367
366
-0.177
29
Angka Partisipasi Sekolah
91.9711
93.225
1.254
30
Angka Lama Bersekolah
7.0334
7.0995
0.940
31
Angka Kematian Bayi
48.8447
48.11948
-1.485
32
Angka Usia Harapan Hidup
61.4597
62.1905
1.189
33
Growth Sektor Pertanian
3.0619
4.9283
1.866
34
Growth Sektor Energi
5.4076
5.9754
0.568
35
Growth Sektor Perhubungan
6.2840
7.4220
1.138
36
Angka Pengangguran
7732
6959
-10.00
Dampak yang lain dari kebijakan pemerintah ini adalah berubahnya angka indeks pembangunan manusia, yang dicirikan melalui naiknya angka partisipasi sekolah, angka tahun lama bersekolah, dan angka usia harapan hidup masing-masing sebesar 1.254 persen, 0.94 persen, dan 1.189 persen. Disamping itu, angka kematian bayi juga menurun sebesar 1.485 persen. Ditinjau dari indikator perekonomian makro Indonesia, kebijakan pemerintah menurunkan angka pengangguran sebesar 10 persen ini pada akhirnya akan menyebabkan pertumbuhan PDB meningkat sebesar 3.206 persen.
190
7.2.13. Kombinasi Kebijakan Simultan 7.2.13.1. Kenaikan/ Penurunan Angka Indikator Pertumbuhan Sektoral Pemerintah dapat melakukan alternatif kebijakan melalui kombinasi kebijakan tanpa intervensi langsung terhadap instrumen anggaran dengan cara menaikkan/ menurunkan indikator pertumbuhan sektoral yang secara terpisah telah disimulasikan sebelumnya. Dampak dari kebijakan tersebut adalah naiknya belanja pemerintah sebesar 0.451 persen. Kondisi ini disebabkan karena pemerintah harus menaikkan alokasi dana pembangunan baik yang berasal rupiah murni maupun dari pinjaman luar negeri. Sumbangan kenaikan pendanaan pembangunan dari rupiah murni (sebesar 1.828 persen) berasal dari kenaikan alokasi rupiah murni di setiap sektor pembangunan, yaitu sektor pendidikan naik 1.203 persen, sektor kesehatan naik 1.516 persen, sektor pertanian dan pengairan naik 2.009 persen, sektor pertambangan dan energi naik 2.561 persen, sektor perhubungan dan transportasi naik 2.465 persen, serta sektor lainnya naik 1.239 persen. Untuk menutup kebutuhan belanja ini, pemerintah hanya mampu meningkatan pendapatannya sesuai dengan kemampuannya, yaitu sebesar 0.859 persen. Selebihnya akan dibiayai dari pinjaman luar negeri. Dampak yang timbul akibat kebijakan pemerintah tersebut selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 54. Tabel 54. Dampak Kenaikan/ Penurunan Indikator Pertumbuhan Sektoral KOMBINASI 1 No.
Variabel
Nilai Dasar
Predicted
%
1
Produk Domestik Bruto
978457
981826
0.344
2
Konsumsi Rumah Tangga
530602
532793
0.413
3
Investasi Masyarakat
271245
271821
0.212
4
Belanja Pemerintah
108873
109364
0.451
5
Nilai Ekspor Bersih
67738
67848
0.162
6
Pendapatan Pemerintah
87920
88675
0.859
7
Defisit Anggaran
2.1019
2.1072
0.005
8
Pembiayaan Rupiah Murni
16687
16992
1.828
9
Pengel. Rp S. Pendidikan
3322
3362
1.203
10
Pengel. Rp S. Kesehatan
2518
2556
1.516
11
Pengel. Rp S. Pertanian
3939
4018
2.009
12
Pengel. Rp S. Energi
2282
2340
2.561
191
KOMBINASI 1 No.
Variabel
Nilai Dasar
Predicted
%
13
Pengel. Rp S. Perhubungan
2527
2589
2.465
14
Pengel. Rp S. Lainnya
2100
2126
1.239
15
Total Utang LN Pemerintah
29174
29297
0.423
16
Utang LN S. Pendidikan
3951
3958
0.166
17
Utang LN S. Kesehatan
3715
3739
0.656
18
Utang LN S. Pertanian
5442
5459
0.306
19
Utang LN S. Energi
8022
8053
0.390
20
Utang LN S. Perhubungan
6049
6092
0.718
21
Utang LN S. Lainnya
1994
1996
0.110
22
Total Pemby. ULN Pemerintah
4107
4220
2.745
23
Pemb. Utang S. Pendidikan
570
580
1.592
24
Pemb. Utang S. Kesehatan
493
520
5.450
25
Pemb. Utang S. Pertanian
987
1015
2.785
26
Pemb. Utang S. Energi
789
823
4.409
27
Pemb. Utang S. Perhubungan
901
914
1.438
28
Pemb. Utang S. Lainnya
367
368
0.376
29
Angka Partisipasi Sekolah
91.9711
92.9711
1.00
30
Angka Lama Bersekolah
7.0334
7.3851
5.00
31
Angka Kematian Bayi
48.8447
46.4025
-5.00
32
Angka Usia Harapan Hidup
61.4597
64.5327
5.00
33
Growth Sektor Pertanian
3.0619
4.0619
1.00
34
Growth Sektor Energi
5.4076
6.4076
1.00
35
Growth Sektor Perhubungan
6.2840
7.2840
1.00
36
Angka Pengangguran
7732
7649
-1.073
Karena kebutuhan belanja yang lebih besar dari pendapatannya, pemerintah masih akan tetap menjalankan pembangunannya dengan cara pembiayaan defisit. Akibatnya persentase defisit anggaran pemerintah per PDB naik menjadi 0.005 persen. Defisit anggaran ini akan ditutup oleh pemerintah dengan menaikkan pinjaman luar negerinya sebesar 0.423 persen, yang berasal dari kenaikan pinjaman sektor pendidikan sebesar 0.166 persen, sektor kesehatan sebesar 0.656 persen, sektor pertanian dan pengairan sebesar 0.306 persen, sektor pertambangan dan energi sebesar 0.39 persen, sektor perhubungan dan transportasi sebesar 0.718 persen, serta sektor lainnya sebesar 0.11 persen. Namun, untuk mendapatkan pinjaman luar negeri yang baru, pemerintah perlu menunjukkan kredibilitasnya dengan meningkatkan pembayaran utang luar negerinya. Kenaikan tersebut berturut-turut di sektor pendidikan sebesar 1.592
192
persen, sektor kesehatan sebesar 5.45 persen, sektor pertanian dan pengairan sebesar 2.785 persen, sektor pertambangan dan energi sebesar 4.409 persen, serta sektor perhubungan sebesar 1.438 persen. Dari hasil simulasi diatas juga dapat dijelaskan bahwa peningkatan pertumbuhan
sektor-sektor
pembangunan
tersebut
akan
menggerakkan
partisipasi masyarakat dan swasta untuk meningkatkan investasinya, yang akan naik sebesar 0.212 persen. Hal ini akan memacu peningkatan ekspor, sehingga ekspor bersih meningkat sebesar 0.162 persen, yang pada gilirannya akan meningkatkan konsumsi rumah tangga sebesar 0.413 persen. Kebijakan pemerintah menetapkan target pertumbuhan sektor-sektor pembangunan tersebut pada akhirnya akan dapat meningkatkan pertumbuhan PDB sebesar 0.344 persen, yang diikuti dengan turunnya angka pengangguran sebesar 1.073 persen.
7.2.13.2. Penurunan Utang LN, Pengaruh Lender Driven dan Kebocoran Utang LN Sebesar 10 Persen Apabila pemerintah tidak mempunyai lagi ruang untuk menerapkan kebijakan fiskal yang secara langsung dapat mempengaruhi besaran angka APBN, maka pemerintah dapat mencoba melakukan kebijakan menurunkan jumlah utang luar negeri disertai dengan penurunan lender driven dan pengurangan kebocoran utang luar negeri secara bersama-sama. Kebijakan pemerintah menurunkan utang luar negeri, disertai dengan penurunan pengaruh lender dan kebocoran utang masing-masing sebesar 10 persen akan menyebabkan turunnya utang luar negeri pemerintah di semua sektor sebesar 10 persen. Namun guna mempertahankan jalannya roda pembangunan dalam rangka mempercepat tercapainya kesejahteraan rakyat, pemerintah akan meningkatkan belanja pembangunannya melalui kenaikan alokasi pendanaan dari sumber dalam negeri. Pembiayaan rupiah murni untuk pembangunan akan meningkat sebesar 7.22 persen. Kenaikan ini disumbang oleh kenaikan alokasi rupiah murni di semua sektor pembangunan, yaitu sektor pendidikan naik sebesar 7.026 persen, sektor kesehatan naik sebesar 6.528 persen, sektor pertanian dan pengairan naik sebesar 8.009 persen, sektor
193
pertambangan dan energi naik sebesar 7.048 persen, sektor perhubungan dan transportasi naik sebesar 7.742 persen, serta sektor lainnya sebesar 6.38 persen. Penurunan jumlah utang luar negeri ini juga akan berdampak pada menurunnya pembayaran utang luar negeri sebesar 1.57 persen. Akibatnya belanja pemerintah akan turun sebesar 0.632 persen. Untuk menahan membengkaknya defisit anggaran, pemerintah akan memacu pendapatannya melalui peningkatan penerimaan dalam negeri, yang diperkirakan akan meningkat sebesar 1.634 persen. Dengan demikian, persentase defisit anggaran per PDB akan menurun sebesar 0.17 persen. Dampak yang timbul akibat kebijakan ini, baik terhadap indikator perekonomian makro Indonesia maupun terhadap indikator sektoral dapat dilihat selengkapnya pada Tabel 55. Tabel 55. Dampak Penurunan Utang LN, Pengaruh Lender Driven dan Kebocoran Utang LN Sebesar 10 Persen KOMBINASI 2 No.
Variabel
Nilai Dasar
Predicted
%
1
Produk Domestik Bruto
978457
974815
-0.372
2
Konsumsi Rumah Tangga
530602
527626
-0.561
3
Investasi Masyarakat
271245
270900
-0.127
4
Belanja Pemerintah
108873
108185
-0.632
5
Nilai Ekspor Bersih
67738
68104
0.540
6
Pendapatan Pemerintah
87920
89356
1.634
7
Defisit Anggaran
2.1019
1.9315
-0.170
8
Pembiayaan Rupiah Murni
16687
17892
7.220
9
Pengel. Rp S. Pendidikan
3322
3555
7.026
10
Pengel. Rp S. Kesehatan
2518
2682
6.528
11
Pengel. Rp S. Pertanian
3939
4254
8.009
12
Pengel. Rp S. Energi
2282
2443
7.048
13
Pengel. Rp S. Perhubungan
2527
2723
7.742
14
Pengel. Rp S. Lainnya
2100
2234
6.380
15
Total Utang LN Pemerintah
29174
26257
-10.000
16
Utang LN S. Pendidikan
3951
3556
-10.00
17
Utang LN S. Kesehatan
3715
3344
-10.00
18
Utang LN S. Pertanian
5442
4898
-10.00
19
Utang LN S. Energi
8022
7220
-10.00
20
Utang LN S. Perhubungan
6049
5444
-10.00
21
Utang LN S. Lainnya
1994
1795
-10.00
22
Total Pemby. ULN Pemerintah
4107
4043
-1.570
23
Pemb. Utang S. Pendidikan
570
561
-1.710
194
KOMBINASI 2 No.
Variabel
Nilai Dasar
Predicted
%
24
Pemb. Utang S. Kesehatan
493
472
-4.285
25
Pemb. Utang S. Pertanian
987
971
-1.635
26
Pemb. Utang S. Energi
789
779
-1.229
27
Pemb. Utang S. Perhubungan
901
898
-0.367
28
Pemb. Utang S. Lainnya
367
362
-1.268
29
Angka Partisipasi Sekolah
91.9711
91.7156
-0.255
30
Angka Lama Bersekolah
7.0334
6.9786
-0.779
31
Angka Kematian Bayi
48.8447
49.1499
0.625
32
Angka Usia Harapan Hidup
61.4597
61.0888
-0.603
33
Growth Sektor Pertanian
3.0619
3.2489
0.187
34
Growth Sektor Energi
5.4076
5.5884
0.181
35
Growth Sektor Perhubungan
6.2840
6.3172
0.033
36
Angka Pengangguran
7732
7822
1.159
Dari simulasi kebijakan diatas dapat dilihat bahwa meskipun pemerintah menurunkan alokasi pendanaan pembangunan yang berasal dari luar negeri, namun alokasi pembiayaan rupiah murni meningkat. Hal ini akan memacu pertumbuhan pembangunan secara sektoral. Akibatnya, angka partisipasi sekolah turun 0.255 persen, tahun lama bersekolah turun 0.779 persen, angka kematian bayi naik 0.625 persen, dan usia harapan hidup turun 0.603 persen. Sebaliknya peningkatan terjadi pada sektor pertanian dan pengairan, sektor pertambangan dan energi, serta sektor perhubungan dan transportasi berturutturut sebesar 0.187 persen, 0.181 persen, dan 0.033 persen. Dilihat dari sisi indikator perekonomian makro Indonesia, peningkatan pertumbuhan sektoral ini akan memacu turunnya investasi masyarakat sebesar 0.127 persen, yang juga disumbang oleh dana masyarakat yang disisihkan untuk ditabung. Dampaknya adalah turunnya konsumsi rumah tangga sebesar 0.561 persen namun disertai dengan meningkatnya ekspor bersih sebesar 0.54 persen. Dari hasil simulasi diatas dapat disimpulkan bahwa kebijakan pemerintah menurunkan utang luar negeri sebesar 10 persen, yang bersamaan dengan penurunan lender driven dan kebocoran utang luar negeri masing-masing sebesar 10 persen akan menyebabkan turunnya tingkat pertumbuhan PDB sebesar 0.372 persen yang diikuti dengan naiknya angka pengangguran sebesar 1.869 persen.
195
7.2.13.3. Kenaikan Pertumbuhan Sektor Pertanian dan Pengairan Sebesar 1 Persen disertai Kenaikan Pendapatan dan Belanja Pemerintah Sebesar 10 Persen Dalam menyusun suatu rencana pembangunan, pemerintah perlu mempertimbangkan tidak hanya alasan ekonomi saja, namun kondisi sosial dan politik juga perlu dipertimbangkan dan harus menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam suatu proses perencanaan pembangunan nasional. Dengan demikian suatu kebijakan pemerintah harus juga mengacu pada kepentingan publik dan dapat dilaksanakan dan dijalankan (implementable and doable). Unsur pertumbuhan ekonomi yang menjadi motor penggerak roda ekonomi perlu dibarengi dengan unsur pemerataan yang bersifat populis, dalam rangka mencapai kesejahteraan rakyat banyak. Oleh karena itu kebijakan pemerintah dalam pelaksanaan rencana pembangunan tidak dapat berdiri sendiri-sendiri, melainkan harus menjadi bagian yang terintegrasi dan komprehensif sejak proses penyusunan rencana pembangunan dimulai. Dalam simulasi kebijakan ini, dicoba diterapkan kebijakan yang merupakan kombinasi kebijakan yang mengintegrasikan beberapa simulasi kebijakan yang telah dianalisis sebelumnya secara bersama-sama, yaitu penetapan target pertumbuhan sektor pertanian dan pengairan sebesar 1 persen, disertai dengan peningkatan pendapatan dan belanja negara masing-masing sebesar 10 persen. Dampak dari kebijakan pemerintah ini terhadap indikator perekonomian makro Indonesia dan terhadap indikator pembangunan sektoral selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 56. Tabel 56. Dampak Kenaikan Pertumbuhan Sektor Pertanian dan Pengairan Sebesar 1 Persen, serta Kenaikan Pendapatan dan Belanja Pemerintah Sebesar 10 Persen KOMBINASI 3 No.
Variabel
Nilai Dasar
Predicted
%
1
Produk Domestik Bruto
978457
998360
2.034
2
Konsumsi Rumah Tangga
530602
531559
0.180
3
Investasi Masyarakat
271245
277880
2.446
4
Belanja Pemerintah
108873
119760
10.00
5
Nilai Ekspor Bersih
67738
69160
2.099
6
Pendapatan Pemerintah
87920
96712
10.00
196
KOMBINASI 3 No.
Variabel
Nilai Dasar
Predicted
%
7
Defisit Anggaran
2.1019
2.0247
-0.077
8
Pembiayaan Rupiah Murni
16687
17306
3.709
9
Pengel. Rp S. Pendidikan
3322
3433
3.334
10
Pengel. Rp S. Kesehatan
2518
2599
3.226
11
Pengel. Rp S. Pertanian
3939
4172
5.924
12
Pengel. Rp S. Energi
2282
2336
2.378
13
Pengel. Rp S. Perhubungan
2527
2608
3.218
14
Pengel. Rp S. Lainnya
2100
2157
2.713
15
Total Utang LN Pemerintah
29174
28461
-2.444
16
Utang LN S. Pendidikan
3951
3862
-2.262
17
Utang LN S. Kesehatan
3715
3560
-4.181
18
Utang LN S. Pertanian
5442
5367
-1.380
19
Utang LN S. Energi
8022
7810
-2.643
20
Utang LN S. Perhubungan
6049
5930
-1.968
21
Utang LN S. Lainnya
1994
1933
-3.060
22
Total Pemby. ULN Pemerintah
4107
3838
-6.541
23
Pemb. Utang S. Pendidikan
570
525
-8.001
24
Pemb. Utang S. Kesehatan
493
458
-7.147
25
Pemb. Utang S. Pertanian
987
921
-6.717
26
Pemb. Utang S. Energi
789
738
-6.433
27
Pemb. Utang S. Perhubungan
901
821
-8.936
28
Pemb. Utang S. Lainnya
367
376
2.622
29
Angka Partisipasi Sekolah
91.9711
92.6607
0.690
30
Angka Lama Bersekolah
7.0334
7.0955
0.882
31
Angka Kematian Bayi
48.8447
48.1348
-1.453
32
Angka Usia Harapan Hidup
61.4597
61.7661
0.499
33
Growth Sektor Pertanian
3.0619
4.0619
1.00
34
Growth Sektor Energi
5.4076
6.0665
0.659
35
Growth Sektor Perhubungan
6.2840
6.8130
0.529
36
Angka Pengangguran
7732
6845
-6.337
Kebijakan pemerintah yang dilakukan secara simultan seperti tersebut diatas akan menyebabkan alokasi pendanaan rupiah murni seluruh sektor pembangunan meningkat sebesar 3.709 persen, yang disumbang dari sektor pendidikan sebesar 3.334 persen, sektor kesehatan sebesar 3.226 persen, sektor pertanian dan pengairan sebesar 5.924 persen, sektor pertambangan dan energi sebesar 2.378 persen, sektor perhubungan dan transportasi sebesar 3.218 persen, dan sektor lainnya sebesar 2.713 persen.
197
Ditinjau dari sisi belanja rutin, kebijakan pemerintah ini akan membawa dampak turunnya pembayaran total utang luar negeri pemerintah sebesar 6.541 persen, dimana pembayaran utang di sektor pendidikan turun sebesar 8.001 persen, di sektor kesehatan turun sebesar 7.147 persen, di sektor pertanian dan pengairan turun sebesar 6.717 persen, di sektor pertambangan dan energi turun sebesar 6.433 persen, serta di sektor perhubungan dan transportasi turun sebesar 8.936 persen. Sementara itu, kenaikan alokasi rupiah murni di seluruh sektor pembangunan yang cukup tinggi ini menyebabkan pemerintah dapat mengurangi jumlah utang luar negerinya secara total sebesar 2.444 persen, yang terlihat dari turunnya utang luar negeri di sektor pendidikan sebesar 2.262 persen, sektor kesehatan sebesar 4.181 persen, sektor pertanian dan pengairan sebesar 1.38 persen, sektor pertambangan dan energi sebesar 2.643 persen, sektor perhubungan dan transportasi sebesar 1.968 persen, dan sektor lainnya sebesar 3.06 persen. Peningkatan alokasi belanja pemerintah yang disertai dengan penetapan target pertumbuhan sektor pertanian secara simultan ini akan berdampak pada bangkitnya investasi masyarakat sebesar 2.446 persen, yang pada gilirannya akan meningkatkan ekspor bersih sebesar 2.099 persen. Selain itu, dampak yang lain adalah meningkatnya konsumsi rumah tangga sebesar 0.18 persen. Kebijakan pemerintah seperti tersebut diatas juga akan mendorong meningkatnya indikator pertumbuhan sektoral seperti angka partisipasi sekolah naik sebesar 0.69 persen, angka tahun lama bersekolah meningkat sebesar 0.882 persen, usia harapan hidup meningkat sebesar 0.499 persen, angka pertumbuhan sektor pertambangan dan energi serta sektor perhubungan dan transportasi masing-masing meningkat sebesar 0.659 persen dan 0.529 persen. Selain itu, angka kematian bayi akan menurun sebesar 1.453 persen. Pada akhirnya, kebijakan pemerintah menetapkan target pertumbuhan sektor pertanian sebesar 1 persen ini, yang diikuti dengan penetapan target penerimaan dan belanja pemerintah sebesar 10 persen ini akan dapat meningkatkan pertumbuhan PDB sebesar 2.034 persen, yang diikuti dengan turunnya angka pengangguran sebesar 6.337 persen.
VIII. KESIMPULAN DAN SARAN
8.1.
Kesimpulan Dari hasil penelitian yang telah dilakukan terhadap konstruksi model
utang luar negeri pemerintah Indonesia dan dampak simulasi kebijakan pemerintah terhadap kinerja ekonomi makro Indonesia dapat diperoleh kesimpulan sebagai berikut: 1. Perubahan tingkat suku bunga pinjaman luar negeri, yang berarti penurunan jumlah pinjaman luar negeri akan mempengaruhi angka pertumbuhan sektoral. Hal ini ditunjukkan oleh hubungan yang negatif antara kenaikan tingkat suku bunga pinjaman dengan penurunan indikator pertumbuhan sektoral. Ini menunjukkan bahwa utang luar negeri pemerintah masih memberikan sumbangan terhadap pertumbuhan sektor-sektor pembangunan. 2. Penurunan jumlah utang luar negeri pemerintah secara kumulatif akan menyebabkan turunnya angka-angka indikator petumbuhan sektoral. Hal ini memperkuat kesimpulan sebelumnya bahwa utang luar negeri pemerintah mempunyai peranan yang cukup besar dalam meningkatkan pertumbuhan pembangunan sektoral dan perekonomian makro secara nasional. 3. Peningkatan efektifitas dan efisiensi penggunaan utang luar negeri melalui penurunan kebocoran utang luar negeri akan berdampak pada meningkatnya angka-angka indikator pertumbuhan sektoral. Hal ini disebabkan karena meningkatnya porsi utang yang dapat dimanfaatkan untuk pembangunan. 4. Intervensi kreditur dalam pengadaan barang dan jasa publik dengan sumber dana dari pinjaman luar negeri (lender driven) secara umum mempunyai pengaruh yang positif atas indikator makro ekonomi Indonesia dan kinerja pembangunan sektoral. Lender driven dalam penelitian ini didefinisikan sebagai pengaruh kreditur/ donor dalam hal kebijakan pengadaan barang dan jasa dengan dana dari utang. Setiap penurunan 10 persen lender driven akan menurunkan PDBI sebesar 0.417 persen dan menurunkan indikator pertumbuhan sektoral.
199
5. Utang luar negeri pemerintah paling efektif digunakan untuk pembangunan di sektor perhubungan dan transportasi. Menyusul berturut-turut di sektor pertambangan dan energi, sektor pertanian dan pengairan, sektor kesehatan dan sektor pendidikan. Setiap kenaikan utang luar negeri sebesar 10 persen di masing-masing sektor-sektor tersebut akan meningkatkan angka indikator pertumbuhannya berturut-turut di sektor perhubungan dan transportasi sebesar 5.195 persen, di sektor pertambangan dan energi sebesar 2.373 persen, serta di sektor pertanian dan pengairan sebesar 1.529 persen. 6. Perubahan tingkat konsumsi rumah tangga, investasi masyarakat dan belanja pemerintah mempunyai pengaruh yang nyata terhadap tingkat perubahan Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia. Selain itu, setiap 1 persen kenaikan/ penurunan PDB akan dapat menurunkan/meningkatkan tingkat pengangguran sekitar 3.12 persen. 7. Pengalokasian dana pembangunan baik yang bersumber dari rupiah murni maupun pinjaman luar negeri paling dominan ditentukan oleh besarnya anggaran yang diakokasikan pada tahun-tahun sebelumnya, dan kurang memperhitungkan variabel-variabel eksogen lainnya yang cukup signifikan mempengaruhi variabel endogennya.
8.2.
Saran
8.2.1. Saran Kebijakan 1. Dalam penyusunan alokasi anggaran rupiah murni untuk seluruh sektor pembangunan, pemerintah perlu mempunyai pola analisis yang jelas. Exercise yang dilakukan tidak hanya didasarkan atas besarnya dana yang telah dialokasikan pada tahun-tahun sebelumnya, tetapi perlu dilihat kinerja pelaksanaannya dan mengacu pada rencana yang telah ditetapkan serta resource envelope yang tersedia. 2. Pencarian pinjaman luar negeri untuk menutup defisit anggaran pemerintah perlu dilakukan selektif dan diprioritaskan untuk sektor-sektor yang memberikan leverage yang tinggi, yaitu sektor perhubungan dan transportasi, sektor pertambangan dan energi serta sektor pertanian dan
200
pengairan, dengan telah memperhitungkan tingkat suku bunga pinjaman, nilai tukar mata uang, rencana penarikan (disbursement plan), kemampuan daya serap (absorption capacity), upaya pengurangan defisit dan kumulatif stok utang, serta resiko yang akan terjadi. Pinjaman luar negeri perlu dikelola secara hati-hati dan prudent serta masih dalam batas-batas kemampuan keuangan negara untuk mengembalikannya, agar Indonesia tidak terjebak ke dalam debt trap. 3. Guna mengurangi resiko yang ditimbulkan oleh faktor eksternal, perlu difikirkan pencarian sumber pendanaan dari utang dalam negeri. Meskipun utang luar negeri (khususnya yang berupa concessional loan) mempunyai tingkat bunga yang rendah, grace period (4 - 10 tahun), dan repayment (18 40 tahun) yang panjang, namun utang luar negeri rawan terhadap fluktuasi nilai tukar mata uang. 4. Peran serta institusi pengawasan pembangunan baik internal, eksternal maupun pengawasan fungsional oleh masyarakat perlu semakin ditingkatkan untuk menekan kebocoran, sehingga penggunaan utang luar negeri dapat semakin efektif, efisien, transparan, dan akuntabel. 5. Institusi pengelola data-data variabel/ indikator perekonomian nasional perlu selalu mengadakan rekonsiliasi data sehingga data-data tersebut layak, kredibel
dan
mempunyai
tingkat
kepercayaan
yang tinggi
untuk
dipublikasikan kepada publik dan digunakan untuk penelitian. 8.2.1. Saran Untuk Penelitian Lanjutan Penelitian ini dilakukan dengan beberapa keterbatasan, terutama adalah keterbatasan data dan perbedaan nilai untuk variabel yang sama, namun telah dicoba diintegrasikan maupun didisagregasikan kedalam beberapa sektor dan dibangun dalam suatu model utang luar negeri pemerintah. Pada penelitian lebih lanjut disarankan pengembangan model, yang meliputi: 1. Agregasi/disagregasi sektor-sektor pembangunan menurut nomenklatur bidang-bidang pembangunan sesuai dengan dokumen perencanaan yang paling mutakhir.
201
2. Memasukkan data pinjaman dalam negeri pemerintah yang telah terstruktur dengan baik sejak tahun 2001 kedalam penelitian, karena pinjaman dalam negeri pemerintah sudah mulai diperhitungkan sebagai salah satu sumber pembiayaan defisit anggaran. 3. Guna mendapatkan gambaran yang lebih komprehensif atas dampak utang terhadap perekonomian Indonesia, bila memungkinkan dapat dicoba untuk memasukkan utang yang dilakukan oleh sektor swasta. Utang oleh swasta ini disinyalir menjadi salah satu penyebab parahnya perekonomian Indonesia ketika terjadi krisis multidimensi pada sekitar tahun 1998. 4. Apabila memungkinkan dapat dilakukan disagregasi data kebocoran penggunaan utang luar negeri secara lebih ilmiah, misalnya melalui pemilahan data tentang penggunaan utang laur negeri yang efektif digunakan untuk pembangunan dan data tentang utang luar negeri yang telah terbukti di korupsi. 5. Dilakukan penelitian tentang manfaat proyek-proyek pembangunan yang telah dibangun sejak pemerintah mulai menstrukturkan utang luar negeri kedalam anggaran pendapatan dan belanja negara, karena utang luar negeri umumnya bersifat jangka panjang, baik masa pembangunannya (multi years), maupun tenggat waktu masa pengembalian pinjamannya (grace period dan re-payment).
----------------
DAFTAR PUSTAKA Agenor, P. J. and P. J. Montiel. 1996. Development Macroeconomics. Princeton University Press, New Jersey. Alun, T. 1992. Analisa Ekonomi Utang Luar Negeri. LP3ES, Jakarta. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. 2003. Kajian dan Rekomendasi Kebijakan: Keberadaan dan Peran Consultative Group for Indonesia (CGI). Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Jakarta. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. 2004. Kajian Strategi Pendanaan Luar Negeri. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Jakarta. Badan Pusat Statistik. 2005. Statistik Indonesia Tahun 1985 - 2005. Badan Pusat Statistik, Jakarta. Bafadal, A. 2005. Dampak Defisit dan Utang Pemerintah Terhadap Stabilitas Makroekonomi. Disertasi Doktor. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Bank Indonesia. 2005. Government External Debt. Laporan Bank Indonesia VII(1): 1-123. Jakarta. Bangura, S. and D. Kitabire and R. Powell. 2000. External Debt Management in Low-Income Countries. IMF Working Paper WP/00/196. International Monetary Fund Website. Central Bank of Sri Lanka. 2005. Annual Financial Statement Report 2004. Central Bank of Sri Lanka, Ceylon. Challen, D. W. and A. J. Hagger. 1983. Macroeconometric Systems : Construction, Validation and Applications. Macmillan Press Ltd. , London. Champ, B. and S. Freeman. 1990. Money, Output and Nominal National Debt. The American Economic Review, 80(3): 390-397. Clements, B. et.al. 2003. External Debt Public, Public Investment and Growth in Low-Income Countries. IMF Working Paper WP/03/249. International Monetary Fund Website. Cuddington, J.T. 1996. Analysing the Sustainability of Fiscal Deficits in Developing Countries. Economics Department Georgetown University, Washington, D.C. Daryanto, A. 2003. Hutang Luar Negeri Indonesia: Masalah dan Alternatif Solusinya. Agrimedia, 7(1): 16-23.
203
Dornbusch, R. and S. Fischer. 1987. Macroeconomics. Fourth Edition. Mc Graw-Hill, New York. Enders, W. 1995. Applied Econometric Time Series. John Wiley & Sons, New York. Fischer, S. and W. Easterly. 1990. The Economics of the Government Budget Constraint. World Bank Research Observer, 5(2): 127-142. Frances, P.H. 1998. Time Series Models For Business And Economic Forecasting. Cambridge University Press, Cambridge. Fry, M. 1995. Money, Interest, and Banking in Economic Development. Second Edition. John Hopkins University Press, Baltimore. Hakkio, C. S. 1996. The Effects of Budget Deficit Reduction on the Exchange Rate. American Economic Review, 81(3): 21-38. Hakkio, C. S. and M. Rush. 1991. Is the Budget Deficit "Too Large?". Economic Inquiry, 29(3): 429-445. Hamilton, J. D. and M.A. Flavin. 1986. On the Limitation of Government Borrowing : A Framework for Empirical Testing. American Economic Review, 76(3): 808-819. Hansen, H. 2001. The Impact of Aid and External Debt on Growth and Investment: Insight from Cross-Country Regression Analysis. Paper presented on Wider Conference on Debt Relief, Helsinki Agustus 17-18, 2001. Helsinki. Harinowo, C. 2001. Utang Pemerintah: Perkembangan, Pengelolaannya. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Prospek
dan
Haryati, E. 2001. Dampak Defisit APBN terhadap Pertumbuhan Ekonomi. INDEF, Jakarta. Helpman, E. 1989. The Simple Analytics of Debt-Equity Swaps. The American.Economic Review, 79(3): 440-451. Hossain, A. and A. Chowdhury. 1998. Open Economy Macroeconomics for Developing Countries. Edward Elgar Publishing Limited, Cheltenham. IMF and World Bank. 2001. Guidelines for Public Debt Management. Prepared by the Staff of the International Monetary Fund and the World Bank, March, 21. International Monetary Fund Website. Intriligator, M. D., R. G. Bodkin and C. Hsiao. 1996. Econometric Models, Techniques and Applications. Second Edition. Prentice-Hall Inc., New York.
204
Johnston, J. and Dinardo. 1997. Econometric Methods. Fourth Edition. McGrawHill, New York. Judge, G. G. , R. C. Hill, W. E. Griffiths, H. Lutkephol and T. C. Lee. 1982. Introduction to the Theory and Practice of Econometrics. John Wiley and Sons, New York. Koutsoyiannis, A. 1977. Theory of Econometrics: An Introductory Exposition of Econometric Methods. Second Edition. The Macmillan Press Ltd., London. Labys, W. C. 1973. Dynamic Commodity Models : Specification. Estimation and Simulation. D. C. Health Co. , Lexington, Mass. Mankiw, N.G. 2000. Macroeconomics. Worth Publishers, New York. Mayer, E. 1985. International Lending: Country Risk Analysis. Prentice Hall, Virginia. McLeod, R. H. 1996. Indonesian Foreign Debt: A Comment. Bulletin of Indonesian Economic Studies, 32(2): 119-131. Montiel, P. J. 2005. Public Debt Management and Macroeconomic Stability: An Overview. World Bank Research Observer, 20(2): 259-281. Moye, M. 2001. Overview of Debt Conversion. Debt Relief International Ltd, London. OECD Statistical Database. 2004. Central Government Debt. Statistical Yearbook 1980 - 2003. Organisation for Economic Co-operation and Development, Paris. Partillo, P. H. and Ricci, L. 2001. External Debt and Growth. IMF Working Paper, August, 10, 2001. International Monetary Fund Website. Pougue, T. F. and L. G. Sgontz. 1978. Government and Economic Choice An Introduction to Public Finance. Houghton Mifflin Company, Boston. Pindyck, R. S. and D. L. Rubinfeld. 1991. Econometric Models and Economic Forecasts. Third Edition. McGraw-Hill, New York. Prawiro, R. 1988. Indonesia’s Struggle for Economics Development: Pragmatism in Action. Oxford University Press, Oxford.
Radianti, J. 2004. Modeling Government External Debt and Sustainability of Fiscal Policy. Paper presented at the 2004 International System Dynamics Conference. Oxford, United Kingdom.
205 Rao, B. B. (Editor) 1994. Cointegration For the Applied Economist. St. Martin’s Press, New York. Ramli, R. 2003. Manajemen Hutang Luar Negeri Indonesia Dalam Perspektif Kebijakan Fiskal. Agrimedia, 7(1): 30-35. Sugema, I. 2003. Utang Luar Negeri: Good Time Friend, Bad Time Enemy. Agrimedia, 7(1): 20-27. Sugema, I. and A. Chowdhury. 2005. How Significant and Effective has Foreign Aid to Indonesia been?. Discussion Paper No. 0505. Center for International Economics Studies. University of Adelaide Website. Sugema, I. and A. Chowdhury. 2005. Aid and Fiscal Behaviour in Indonesia: The Case of a Lazy Government. Discussion Paper No. 0506. Center for International Economics Studies. University of Adelaide Website. Tambunan, T.H. 2001. Perekonomian Indonesia: Teori dan Temuan Empiris. Penerbit Ghalia Indonesia, Jakarta. The World Bank. 2004. Global Development Finance 2003. The World Bank Group, Washington, D.C. _____________ 2005. Global Development Finance 2004. The World Bank Group, Washington, D.C. _____________ 2008. World Development Report 2008: Agriculture for Development. The World Bank Group, Washington, D.C. Thomas, R. L. 1997. Modern Econometrics: An Introduction. Addison Wesley, Harlow. Verbeek, M. 2000. A Guide to Modern Econometrics. John Wiley & Sons, Chichester.
LAMPIRAN
207 Lampiran 1. Hasil Estimasi The SAS System The SAS System SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model: KONS Dependent variable: KONS Konsumsi Rumah Tangga Analysis of Variance Sum of Squares
Mean Square
Source
DF
Model Error U Total
4 1.0539374E13 2.6348436E12 16 10894841152 680927571.97 20 1.0548107E13 Root MSE 26094.58894 Dep Mean 690439.87400 C.V. 3.77942
R-Square Adj R-SQ
F Value
Prob>F
3869.492
0.0001
0.9990 0.9987
NOTE: The NOINT option changes the definition of the R-Square statistic to: 1 - (Residual Sum of Squares/Uncorrected Total Sum of Squares). Parameter Estimates
Variable DINC UNEM BLJRTN LKONS
DF
Parameter Estimate
Standard Error
T for H0: Parameter=0
Prob > |T|
1 1 1 1
0.307615 -19.979390 0.874642 0.668766
0.094866 7.075657 0.287845 0.130239
3.243 -2.824 3.039 5.135
0.0051 0.0122 0.0078 0.0001
Durbin-Watson (For Number of Obs.) 1st Order Autocorrelation
1.505 20 0.225
Variable Label Pendapatan Disposebel Angka Pengangguran Belanja Rutin Lag KONS
208 Lampiran 1. Lanjutan The SAS System SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model: INVEST Dependent variable: INVEST Investasi Masyarakat Analysis of Variance Sum of Squares
Mean Square
Source
DF
Model Error C Total
3 143196587370 47732195790 16 3983225992.7 248951624.54 19 148290220685 Root MSE 15778.20093 Dep Mean 274471.01600 C.V. 5.74859
R-Square Adj R-SQ
F Value
Prob>F
191.733
0.0001
0.9729 0.9679
Parameter Estimates
Variable
DF
Parameter Estimate
Standard Error
T for H0: Parameter=0
Prob > |T|
INTERCEP DINTR BLJPMB LINVEST
1 1 1 1
305928 -14381 0.419247 0.593621
40322 1781.155689 0.498598 0.051113
7.587 -8.074 0.841 11.614
0.0001 0.0001 0.4128 0.0001
Durbin-Watson (For Number of Obs.) 1st Order Autocorrelation
1.201 20 0.374
Variable Label Intercept Suku Bunga Domestik Belanja Pembangunan Lag INVEST
209 Lampiran 1. Lanjutan The SAS System SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model: NXPRT Dependent variable: NXPRT Nilai Net Ekspor Analysis of Variance Sum of Squares
Mean Square
Source
DF
Model Error U Total
3 113887008694 37962336231 17 23725256845 1395603343.8 20 137612265540 Root MSE Dep Mean C.V.
37357.77488 64106.70550 58.27436
R-Square Adj R-SQ
F Value
Prob>F
27.201
0.0001
0.8276 0.7972
NOTE: The NOINT option changes the definition of the R-Square statistic to: 1 - (Residual Sum of Squares/Uncorrected Total Sum of Squares). Parameter Estimates
Variable WINTR EXCR LNXPRT
DF
Parameter Estimate
Standard Error
T for H0: Parameter=0
Prob > |T|
1 1 1
4270.736422 4.986212 0.421650
2544.292473 2.487312 0.173486
1.679 2.005 2.430
0.1115 0.0612 0.0264
Durbin-Watson (For Number of Obs.) 1st Order Autocorrelation
1.533 20 0.169
Variable Label Suku Bunga Pinjaman LN Exchange Rate Lag NXPRT
210 Lampiran 1. Lanjutan The SAS System SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model: DINTR Dependent variable: DINTR Suku Bunga Domestik Analysis of Variance
Source
DF
Sum of Squares
Mean Square
Model Error C Total
2 17 19
127.18209 21.54680 148.72889
Root MSE Dep Mean C.V.
1.12581 13.84450 8.13186
F Value
Prob>F
63.59105 1.26746
50.172
0.0001
R-Square Adj R-SQ
0.8551 0.8381
Parameter Estimates
Variable
DF
Parameter Estimate
Standard Error
T for H0: Parameter=0
Prob > |T|
INTERCEP WINTR GMSPLY
1 1 1
7.711819 1.529821 -0.000310
0.662199 0.163876 0.011919
11.646 9.335 -0.026
0.0001 0.0001 0.9796
Durbin-Watson (For Number of Obs.) 1st Order Autocorrelation
1.971 20 -0.011
Variable Label Intercept Suku Bunga Pinjaman LN Growth MSPLY
211 Lampiran 1. Lanjutan The SAS System SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model: LIBOR Dependent variable: LIBOR Suku Bunga LIBOR Analysis of Variance
Source
DF
Sum of Squares
Mean Square
Model Error U Total
3 17 20
622.36788 8.06522 630.43310
Root MSE Dep Mean C.V.
0.68878 5.44050 12.66032
F Value
Prob>F
207.45596 0.47442
437.279
0.0001
R-Square Adj R-SQ
0.9872 0.9849
NOTE: The NOINT option changes the definition of the R-Square statistic to: 1 - (Residual Sum of Squares/Uncorrected Total Sum of Squares). Parameter Estimates
Variable WINTR RPREM LLIBOR
DF
Parameter Estimate
Standard Error
T for H0: Parameter=0
Prob > |T|
1 1 1
0.754915 0.083253 0.115879
0.132524 0.015975 0.121312
5.696 5.211 0.955
0.0001 0.0001 0.3529
Durbin-Watson (For Number of Obs.) 1st Order Autocorrelation
1.297 20 0.286
Variable Label Suku Bunga Pinjaman LN Risk Premium Lag LIBOR
212 Lampiran 1. Lanjutan The SAS System SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model: GOREV Dependent variable: GOREV Pendapatan Pemerintah Analysis of Variance Sum of Squares
Mean Square
Source
DF
Model Error C Total
3 49453366665 16484455555 16 1426713170.5 89169573.158 19 50863139987 Root MSE Dep Mean C.V.
9442.96421 89744.35700 10.52207
R-Square Adj R-SQ
F Value
Prob>F
184.866
0.0001
0.9720 0.9667
Parameter Estimates
Variable
DF
Parameter Estimate
Standard Error
T for H0: Parameter=0
Prob > |T|
INTERCEP GOEXP DINTR LGOREV
1 1 1 1
-46555 0.594170 1202.901060 0.673720
19921 0.090689 1097.164820 0.130726
-2.337 6.552 1.096 5.154
0.0328 0.0001 0.2891 0.0001
Durbin-Watson (For Number of Obs.) 1st Order Autocorrelation
1.194 20 0.402
Variable Label Intercept Belanja Pemerintah Suku Bunga Domestik Lag GOREV
213 Lampiran 1. Lanjutan The SAS System SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model: RPDIK Dependent variable: RPDIK Pengel. Rp S. Pendidikan Analysis of Variance Sum of Squares
Mean Square
Source
DF
Model Error U Total
5 259208527.71 51841705.541 15 5311939.1246 354129.27497 20 264390200.25 Root MSE Dep Mean C.V.
595.08762 3386.05050 17.57468
R-Square Adj R-SQ
F Value
Prob>F
146.392
0.0001
0.9799 0.9732
NOTE: The NOINT option changes the definition of the R-Square statistic to: 1 - (Residual Sum of Squares/Uncorrected Total Sum of Squares). Parameter Estimates
Variable GOREV BLJRTN LAPS GTHSEK LRPDIK
DF
Parameter Estimate
Standard Error
T for H0: Parameter=0
Prob > |T|
1 1 1 1 1
0.011422 -0.004074 -0.625885 -57.532822 0.868793
0.007270 0.007080 4.467581 32.783793 0.116717
1.571 -0.575 -0.140 -1.755 7.444
0.1370 0.5735 0.8904 0.0997 0.0001
Durbin-Watson (For Number of Obs.) 1st Order Autocorrelation
1.454 20 0.176
Variable Label Pendapatan Pemerintah Belanja Rutin Lag APS Growth THSEK Lag RPDIK
214 Lampiran 1. Lanjutan The SAS System SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model: RPKES Dependent variable: RPKES Pengel. Rp S. Kesehatan Analysis of Variance Sum of Squares
Mean Square
Source
DF
Model Error U Total
5 155100375.08 31020075.015 15 7799215.2753 519947.68502 20 162614539.90 Root MSE Dep Mean C.V.
721.07398 2597.17000 27.76383
R-Square Adj R-SQ
F Value
Prob>F
59.660
0.0001
0.9521 0.9362
NOTE: The NOINT option changes the definition of the R-Square statistic to: 1 - (Residual Sum of Squares/Uncorrected Total Sum of Squares). Parameter Estimates
Variable GOREV BLJRTN DAKB LUHH LRPKES
DF
Parameter Estimate
Standard Error
T for H0: Parameter=0
Prob > |T|
1 1 1 1 1
0.015783 -0.005983 23.204579 0.285089 0.679289
0.008578 0.008367 44.825242 7.722183 0.187067
1.840 -0.715 0.518 0.037 3.631
0.0857 0.4855 0.6122 0.9710 0.0025
Durbin-Watson (For Number of Obs.) 1st Order Autocorrelation
1.649 20 0.135
Variable Label Pendapatan Pemerintah Belanja Rutin AKB - LAKB Lag UHH Lag RPKES
215 Lampiran 1. Lanjutan The SAS System SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model: RPTAN Dependent variable: RPTAN Pengel. Rp S. Pertanian Analysis of Variance Sum of Squares
Mean Square
Source
DF
Model Error U Total
4 446102842.08 111525710.52 16 23131672.962 1445729.5601 20 468144946.02 Root MSE Dep Mean C.V.
1202.38495 4476.01350 26.86285
R-Square Adj R-SQ
F Value
Prob>F
77.141
0.0001
0.9507 0.9384
NOTE: The NOINT option changes the definition of the R-Square statistic to: 1 - (Residual Sum of Squares/Uncorrected Total Sum of Squares). Parameter Estimates
Variable GOREV BLJRTN LGTAN LRPTAN
DF
Parameter Estimate
Standard Error
T for H0: Parameter=0
Prob > |T|
1 1 1 1
0.024662 -0.009951 -199.054978 0.758357
0.027426 0.032402 357.817562 0.141604
0.899 -0.307 -0.556 5.355
0.3819 0.7627 0.5857 0.0001
Durbin-Watson (For Number of Obs.) 1st Order Autocorrelation
1.785 20 0.053
Variable Label Pendapatan Pemerintah Belanja Rutin Lag GTAN Lag RPTAN
216 Lampiran 1. Lanjutan The SAS System SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model: RPENG Dependent variable: RPENG Pengel. Rp S. Energi Analysis of Variance Sum of Squares
Mean Square
Source
DF
Model Error U Total
4 155896261.32 38974065.331 16 7103737.2764 443983.57977 20 162813650.62 Root MSE Dep Mean C.V.
666.32093 2558.14650 26.04702
R-Square Adj R-SQ
F Value
Prob>F
87.783
0.0001
0.9564 0.9455
NOTE: The NOINT option changes the definition of the R-Square statistic to: 1 - (Residual Sum of Squares/Uncorrected Total Sum of Squares). Parameter Estimates
Variable
DF
Parameter Estimate
Standard Error
T for H0: Parameter=0
Prob > |T|
GOREV DBLJRTN LGENG LRPENG
1 1 1 1
0.014362 -0.006226 -106.102816 0.683358
0.004888 0.015098 68.549577 0.139663
2.938 -0.412 -1.548 4.893
0.0096 0.6856 0.1412 0.0002
Durbin-Watson (For Number of Obs.) 1st Order Autocorrelation
1.827 20 0.015
Variable Label Pendapatan Pemerintah BLJRTN - LBLJRTN Lag GENG Lag RPENG
217 Lampiran 1. Lanjutan The SAS System SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model: RPHUB Dependent variable: RPHUB Pengel. Rp S. Perhubungan Analysis of Variance Sum of Squares
Mean Square
Source
DF
Model Error U Total
4 169552832.20 42388208.051 16 7834745.7948 489671.61218 20 177093428.70 Root MSE Dep Mean C.V.
699.76540 2728.96750 25.64213
R-Square Adj R-SQ
F Value
Prob>F
86.565
0.0001
0.9558 0.9448
NOTE: The NOINT option changes the definition of the R-Square statistic to: 1 - (Residual Sum of Squares/Uncorrected Total Sum of Squares). Parameter Estimates
Variable GOREV BLJRTN LGHUB LRPHUB
DF
Parameter Estimate
Standard Error
T for H0: Parameter=0
Prob > |T|
1 1 1 1
0.016993 -0.005195 -256.864129 0.739186
0.008272 0.008348 182.103916 0.125907
2.054 -0.622 -1.411 5.871
0.0567 0.5425 0.1775 0.0001
Durbin-Watson (For Number of Obs.) 1st Order Autocorrelation
1.876 20 -0.012
Variable Label Pendapatan Pemerintah Belanja Rutin Lag GHUB Lag RPHUB
218 Lampiran 1. Lanjutan The SAS System SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model: RPOTS Dependent variable: RPOTS Pengel. Rp S. Lainnya Analysis of Variance Sum of Squares
Mean Square
Source
DF
Model Error U Total
3 118767328.91 39589109.638 17 7634476.4826 449086.85192 20 126009243.45 Root MSE Dep Mean C.V.
670.13943 2357.62550 28.42434
R-Square Adj R-SQ
F Value
Prob>F
88.155
0.0001
0.9396 0.9289
NOTE: The NOINT option changes the definition of the R-Square statistic to: 1 - (Residual Sum of Squares/Uncorrected Total Sum of Squares). Parameter Estimates
Variable GOREV BLJRTN LRPOTS
DF
Parameter Estimate
Standard Error
T for H0: Parameter=0
Prob > |T|
1 1 1
0.018187 -0.009585 0.593891
0.008283 0.008039 0.107663
2.196 -1.192 5.516
0.0423 0.2495 0.0001
Durbin-Watson (For Number of Obs.) 1st Order Autocorrelation
1.730 20 0.088
Variable Label Pendapatan Pemerintah Belanja Rutin Lag RPOTS
219 Lampiran 1. Lanjutan The SAS System SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model: DULNP Dependent variable: DULNP Permintaan Utang LN Analysis of Variance Sum of Squares
Mean Square
Source
DF
Model Error C Total
5 758137409.15 151627481.83 14 11777206.229 841229.01636 19 769342557.13 Root MSE Dep Mean C.V.
917.18538 19863.87750 4.61735
R-Square Adj R-SQ
F Value
Prob>F
180.245
0.0001
0.9847 0.9792
Parameter Estimates
Variable
DF
Parameter Estimate
Standard Error
T for H0: Parameter=0
Prob > |T|
INTERCEP PDBI NXPRT GOEXP DPUGOV SPRD
1 1 1 1 1 1
3136.814452 0.013788 -0.005990 0.010827 0.716782 -0.082564
1389.583461 0.001946 0.007453 0.025354 0.630411 0.372361
2.257 7.084 -0.804 0.427 1.137 -0.222
0.0405 0.0001 0.4350 0.6758 0.2746 0.8277
Durbin-Watson (For Number of Obs.) 1st Order Autocorrelation
1.637 20 0.131
Variable Label Intercept Produk Domestik Bruto Nilai Net Ekspor Belanja Pemerintah PUGOV - LPUGOV Spread diatas LIBOR
220 Lampiran 1. Lanjutan The SAS System SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model: UTDIK Dependent variable: UTDIK ULN S. Pendidikan Analysis of Variance Sum of Squares
Mean Square
Source
DF
Model Error U Total
5 409978758.73 81995751.746 15 4677144.5294 311809.63529 20 414662728.04 Root MSE Dep Mean C.V.
558.39917 3953.59400 14.12384
R-Square Adj R-SQ
F Value
Prob>F
262.967
0.0001
0.9887 0.9850
NOTE: The NOINT option changes the definition of the R-Square statistic to: 1 - (Residual Sum of Squares/Uncorrected Total Sum of Squares). Parameter Estimates
Variable GRPDIK PUDIK DRVDIK LIBOR LUTDIK
DF
Parameter Estimate
Standard Error
T for H0: Parameter=0
Prob > |T|
1 1 1 1 1
-6.782503 0.457088 2.150738 -17.581980 0.367100
4.852096 0.331232 0.312894 48.177939 0.099583
-1.398 1.380 6.874 -0.365 3.686
0.1825 0.1878 0.0001 0.7203 0.0022
Durbin-Watson (For Number of Obs.) 1st Order Autocorrelation
1.559 20 0.147
Variable Label Growth RPDIK Pemb. ULN S. Pendidikan LD ULN S. Pendidikan Suku Bunga LIBOR Lag UTDIK
221 Lampiran 1. Lanjutan The SAS System SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model: UTKES Dependent variable: UTKES ULN S. Kesehatan Analysis of Variance Sum of Squares
Mean Square
Source
DF
Model Error U Total
5 401503291.71 80300658.343 15 3170264.8196 211350.98797 20 404709957.93 Root MSE Dep Mean C.V.
459.72926 3820.60250 12.03290
R-Square Adj R-SQ
F Value
Prob>F
379.940
0.0001
0.9922 0.9896
NOTE: The NOINT option changes the definition of the R-Square statistic to: 1 - (Residual Sum of Squares/Uncorrected Total Sum of Squares). Parameter Estimates
Variable RPKES PUKES DRVKES LIBOR LUTKES
DF
Parameter Estimate
Standard Error
T for H0: Parameter=0
Prob > |T|
1 1 1 1 1
-0.063985 0.461412 1.956491 -61.939128 0.331566
0.084489 0.183094 0.199270 41.937044 0.074398
-0.757 2.520 9.818 -1.477 4.457
0.4606 0.0236 0.0001 0.1604 0.0005
Durbin-Watson (For Number of Obs.) 1st Order Autocorrelation
1.463 20 0.188
Variable Label Pengel. Rp S. Kesehatan Pemb. ULN S. Kesehatan LD ULN S. Kesehatan Suku Bunga LIBOR Lag UTKES
222 Lampiran 1. Lanjutan The SAS System SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model: UTTAN Dependent variable: UTTAN ULN S. Pertanian Analysis of Variance Sum of Squares
Mean Square
Source
DF
Model Error U Total
5 727952224.06 145590444.81 15 4150996.4034 276733.09356 20 732067186.01 Root MSE Dep Mean C.V.
526.05427 5573.11700 9.43914
R-Square Adj R-SQ
F Value
Prob>F
526.104
0.0001
0.9943 0.9924
NOTE: The NOINT option changes the definition of the R-Square statistic to: 1 - (Residual Sum of Squares/Uncorrected Total Sum of Squares). Parameter Estimates
Variable RPTAN PUTAN DRVTAN LIBOR LUTTAN
DF
Parameter Estimate
Standard Error
T for H0: Parameter=0
Prob > |T|
1 1 1 1 1
-0.012048 0.277110 3.242466 -317.049439 0.681812
0.061261 0.186077 0.416263 63.395858 0.070157
-0.197 1.489 7.789 -5.001 9.718
0.8467 0.1572 0.0001 0.0002 0.0001
Durbin-Watson (For Number of Obs.) 1st Order Autocorrelation
1.396 20 0.216
Variable Label Pengel. Rp S. Pertanian Pemb. ULN S. Pertanian LD ULN S. Pertanian Suku Bunga LIBOR Lag UTTAN
223 Lampiran 1. Lanjutan The SAS System SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model: UTENG Dependent variable: UTENG ULN S. Energi Analysis of Variance Sum of Squares
Mean Square
Source
DF
Model Error C Total
5 260103964.96 52020792.991 14 14856457.343 1061175.5245 19 274440897.25 Root MSE Dep Mean C.V.
1030.13374 7891.94550 13.05298
R-Square Adj R-SQ
F Value
Prob>F
49.022
0.0001
0.9460 0.9267
Parameter Estimates
Variable
DF
Parameter Estimate
Standard Error
T for H0: Parameter=0
Prob > |T|
INTERCEP RPENG PUENG DRVENG LIBOR LUTENG
1 1 1 1 1 1
4925.230603 -0.382542 0.352766 1.403051 -500.094413 0.273503
2059.522771 0.410721 0.447315 0.161971 266.944280 0.083971
2.391 -0.931 0.789 8.662 -1.873 3.257
0.0314 0.3674 0.4435 0.0001 0.0820 0.0057
Durbin-Watson (For Number of Obs.) 1st Order Autocorrelation
1.902 20 0.005
Variable Label Intercept Pengel. Rp S. Energi Pemb. ULN S. Energi LD ULN S. Energi Suku Bunga LIBOR Lag UTENG
224 Lampiran 1. Lanjutan The SAS System SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model: UTHUB Dependent variable: UTHUB ULN S. Perhubungan Analysis of Variance Sum of Squares
Mean Square
Source
DF
Model Error U Total
5 944305187.08 188861037.42 15 20214015.497 1347601.0332 20 964214805.77 Root MSE Dep Mean C.V.
1160.86219 6230.00000 18.63342
R-Square Adj R-SQ
F Value
Prob>F
140.146
0.0001
0.9790 0.9721
NOTE: The NOINT option changes the definition of the R-Square statistic to: 1 - (Residual Sum of Squares/Uncorrected Total Sum of Squares). Parameter Estimates
Variable GRPHUB PUHUB DRVHUB LIBOR LUTHUB
DF
Parameter Estimate
Standard Error
T for H0: Parameter=0
Prob > |T|
1 1 1 1 1
-2.216480 0.398250 1.907598 -126.586474 0.479525
5.339883 0.358296 0.338656 124.793038 0.105166
-0.415 1.112 5.633 -1.014 4.560
0.6840 0.2838 0.0001 0.3265 0.0004
Durbin-Watson (For Number of Obs.) 1st Order Autocorrelation
1.135 20 0.418
Variable Label Growth RPHUB Pemb. ULN S. Hub LD ULN S. Perhubungan Suku Bunga LIBOR Lag UTHUB
225 Lampiran 1. Lanjutan The SAS System SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model: UTOTS Dependent variable: UTOTS ULN S. Lainnya Analysis of Variance Sum of Squares
Mean Square
Source
DF
Model Error C Total
5 30860725.403 6172145.0807 14 644757.59147 46054.11368 19 31489462.954 Root MSE Dep Mean C.V.
214.60222 1938.64050 11.06973
R-Square Adj R-SQ
F Value
Prob>F
134.019
0.0001
0.9795 0.9722
Parameter Estimates
Variable
DF
Parameter Estimate
Standard Error
T for H0: Parameter=0
Prob > |T|
INTERCEP GRPOTS PUOTS DRVOTS LIBOR LUTOTS
1 1 1 1 1 1
642.757640 -0.445855 -0.335042 2.852328 -64.510248 0.287731
333.573564 1.147684 0.306373 0.225914 42.170969 0.063992
1.927 -0.388 -1.094 12.626 -1.530 4.496
0.0745 0.7035 0.2926 0.0001 0.1484 0.0005
Durbin-Watson (For Number of Obs.) 1st Order Autocorrelation
2.220 20 -0.227
Variable Label Intercept Growth RPOTS Pemb. ULN S. Lainnya LD ULN S. Lainnya Suku Bunga LIBOR Lag UTOTS
226 Lampiran 1. Lanjutan The SAS System SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model: PUDIK Dependent variable: PUDIK Pemb. ULN S. Pendidikan Analysis of Variance Sum of Squares
Mean Square
Source
DF
Model Error C Total
3 5346859.9277 1782286.6426 16 35938.24199 2246.14012 19 5421838.8848 Root MSE Dep Mean C.V.
47.39346 590.81300 8.02174
R-Square Adj R-SQ
F Value
Prob>F
793.489
0.0001
0.9933 0.9921
Parameter Estimates
Variable
DF
Parameter Estimate
Standard Error
T for H0: Parameter=0
Prob > |T|
INTERCEP GOREV UTDIK LPUDIK
1 1 1 1
-509.921602 0.008892 0.048173 0.231915
40.257631 0.000734 0.005937 0.106387
-12.666 12.107 8.114 2.180
0.0001 0.0001 0.0001 0.0445
Durbin-Watson (For Number of Obs.) 1st Order Autocorrelation
2.747 20 -0.434
Variable Label Intercept Pendapatan Pemerintah ULN S. Pendidikan Lag PUDIK
227 Lampiran 1. Lanjutan The SAS System SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model: PUKES Dependent variable: PUKES Pemb. ULN S. Kesehatan Analysis of Variance Sum of Squares
Mean Square
Source
DF
Model Error C Total
3 17101950.731 5700650.2438 16 142146.69965 8884.16873 19 17311859.094 Root MSE Dep Mean C.V.
94.25587 602.79100 15.63658
R-Square Adj R-SQ
F Value
Prob>F
641.664
0.0001
0.9918 0.9902
Parameter Estimates
Variable
DF
Parameter Estimate
Standard Error
T for H0: Parameter=0
Prob > |T|
INTERCEP GOREV UTKES LPUKES
1 1 1 1
-688.998111 0.008303 0.050627 0.847020
130.239492 0.001702 0.013121 0.157689
-5.290 4.879 3.858 5.371
0.0001 0.0002 0.0014 0.0001
Durbin-Watson (For Number of Obs.) 1st Order Autocorrelation
2.177 20 -0.131
Variable Label Intercept Pendapatan Pemerintah ULN S. Kesehatan Lag PUKES
228 Lampiran 1. Lanjutan The SAS System SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model: PUTAN Dependent variable: PUTAN Pemb. ULN S. Pertanian Analysis of Variance Sum of Squares
Mean Square
Source
DF
Model Error C Total
3 20257828.353 6752609.4509 16 155073.84496 9692.11531 19 20443126.043 Root MSE Dep Mean C.V.
98.44854 1061.35350 9.27575
R-Square Adj R-SQ
F Value
Prob>F
696.712
0.0001
0.9924 0.9910
Parameter Estimates
Variable
DF
Parameter Estimate
Standard Error
T for H0: Parameter=0
Prob > |T|
INTERCEP GOREV UTTAN LPUTAN
1 1 1 1
-855.005784 0.012531 0.038941 0.668472
68.555805 0.001398 0.009520 0.122094
-12.472 8.966 4.090 5.475
0.0001 0.0001 0.0009 0.0001
Durbin-Watson (For Number of Obs.) 1st Order Autocorrelation
1.469 20 0.218
Variable Label Intercept Pendapatan Pemerintah ULN S. Pertanian Lag PUTAN
229 Lampiran 1. Lanjutan The SAS System SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model: PUENG Dependent variable: PUENG Pemb. ULN S. Energi Analysis of Variance Sum of Squares
Mean Square
Source
DF
Model Error C Total
3 15911096.149 5303698.7164 16 218734.51078 13670.90692 19 16142476.495 Root MSE Dep Mean C.V.
116.92265 821.02050 14.24114
R-Square Adj R-SQ
F Value
Prob>F
387.955
0.0001
0.9864 0.9839
Parameter Estimates
Variable
DF
Parameter Estimate
Standard Error
T for H0: Parameter=0
Prob > |T|
INTERCEP GOREV UTENG LPUENG
1 1 1 1
-600.048628 0.009298 0.005040 0.857022
133.611412 0.001849 0.009953 0.174276
-4.491 5.028 0.506 4.918
0.0004 0.0001 0.6195 0.0002
Durbin-Watson (For Number of Obs.) 1st Order Autocorrelation
0.901 20 0.534
Variable Label Intercept Pendapatan Pemerintah ULN S. Energi Lag PUENG
230 Lampiran 1. Lanjutan The SAS System SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model: PUHUB Dependent variable: PUHUB Pemb. ULN S. Perhubungan Analysis of Variance Sum of Squares
Mean Square
Source
DF
Model Error C Total
2 12198097.821 6099048.9104 17 300166.44644 17656.84979 19 12494904.585 Root MSE Dep Mean C.V.
132.87908 931.53200 14.26457
R-Square Adj R-SQ
F Value
Prob>F
345.421
0.0001
0.9760 0.9732
Parameter Estimates
Variable
DF
Parameter Estimate
Standard Error
T for H0: Parameter=0
Prob > |T|
INTERCEP GOREV LPUHUB
1 1 1
-460.552286 0.013877 0.189395
60.776117 0.001201 0.122164
-7.578 11.551 1.550
0.0001 0.0001 0.1395
Durbin-Watson (For Number of Obs.) 1st Order Autocorrelation
2.341 20 -0.182
Variable Label Intercept Pendapatan Pemerintah Lag PUHUB
231 Lampiran 1. Lanjutan The SAS System SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model: PUOTS Dependent variable: PUOTS Pemb. ULN S. Lainnya Analysis of Variance Sum of Squares
Mean Square
Source
DF
Model Error U Total
3 4391370.7683 1463790.2561 17 530998.20170 31235.18834 20 4921733.2908 Root MSE Dep Mean C.V.
176.73480 449.93000 39.28051
R-Square Adj R-SQ
F Value
Prob>F
46.864
0.0001
0.8921 0.8731
NOTE: The NOINT option changes the definition of the R-Square statistic to: 1 - (Residual Sum of Squares/Uncorrected Total Sum of Squares). Parameter Estimates
Variable GOREV UTOTS LPUOTS
DF
Parameter Estimate
Standard Error
T for H0: Parameter=0
Prob > |T|
1 1 1
0.000549 0.039804 0.718935
0.000843 0.026993 0.162871
0.652 1.475 4.414
0.5232 0.1586 0.0004
Durbin-Watson (For Number of Obs.) 1st Order Autocorrelation
1.871 20 0.052
Variable Label Pendapatan Pemerintah ULN S. Lainnya Lag PUOTS
232 Lampiran 1. Lanjutan The SAS System SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model: APS Dependent variable: APS Angka Partisipasi Sekolah Analysis of Variance
Source
DF
Sum of Squares
Mean Square
Model Error C Total
4 15 19
325.32372 26.29286 351.61657
Root MSE Dep Mean C.V.
1.32396 91.77250 1.44265
F Value
Prob>F
81.33093 1.75286
46.399
0.0001
R-Square Adj R-SQ
0.9252 0.9053
Parameter Estimates
Variable
DF
Parameter Estimate
Standard Error
T for H0: Parameter=0
Prob > |T|
INTERCEP LRPDIK DRVDIK EFUTDIK LAPS
1 1 1 1 1
22.011029 0.000253 -0.000022173 0.000855 0.729332
13.238601 0.000301 0.001573 0.000901 0.147948
1.663 0.843 -0.014 0.949 4.930
0.1171 0.4125 0.9889 0.3579 0.0002
Durbin-Watson (For Number of Obs.) 1st Order Autocorrelation
1.631 20 0.110
Variable Label Intercept Lag RPDIK LD ULN S. Pendidikan Eff. ULN S. Pendidikan Lag APS
233 Lampiran 1. Lanjutan The SAS System SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model: THSEK Dependent variable: THSEK Angka Lama Bersekolah Analysis of Variance
Source
DF
Sum of Squares
Mean Square
Model Error C Total
4 15 19
6.95008 1.22864 8.14050
Root MSE Dep Mean C.V.
0.28620 7.00450 4.08593
F Value
Prob>F
1.73752 0.08191
21.213
0.0001
R-Square Adj R-SQ
0.8498 0.8097
Parameter Estimates
Variable
DF
Parameter Estimate
Standard Error
T for H0: Parameter=0
Prob > |T|
INTERCEP RPDIK DRVDIK EFUTDIK LTHSEK
1 1 1 1 1
2.362143 0.000030184 -0.000176 0.000234 0.591089
1.045448 0.000056980 0.000285 0.000150 0.164389
2.259 0.530 -0.616 1.566 3.596
0.0392 0.6041 0.5469 0.1381 0.0026
Durbin-Watson (For Number of Obs.) 1st Order Autocorrelation
1.605 20 0.129
Variable Label Intercept Pengel. Rp S. Dik LD ULN S. Pendidikan Eff. ULN S. Pendidikan Lag THSEK
234 Lampiran 1. Lanjutan The SAS System SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model: AKB Dependent variable: AKB Angka Kematian Bayi Analysis of Variance
Source
DF
Sum of Squares
Mean Square
Model Error C Total
3 16 19
2588.10499 80.84799 2664.14017
Root MSE Dep Mean C.V.
2.24789 48.72250 4.61365
F Value
Prob>F
862.70166 5.05300
170.731
0.0001
R-Square Adj R-SQ
0.9697 0.9640
Parameter Estimates
Variable
DF
Parameter Estimate
Standard Error
T for H0: Parameter=0
Prob > |T|
INTERCEP RPKES EFUTKES LAKB
1 1 1 1
43.086791 -0.001740 -0.003677 0.411452
6.505863 0.000486 0.000534 0.089123
6.623 -3.579 -6.887 4.617
0.0001 0.0025 0.0001 0.0003
Durbin-Watson (For Number of Obs.) 1st Order Autocorrelation
2.527 20 -0.311
Variable Label Intercept Pengel. Rp S. Kesehatan Eff. ULN S. Kesehatan Lag AKB
235 Lampiran 1. Lanjutan The SAS System SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model: UHH Dependent variable: UHH Angka Usia Harapan Hidup Analysis of Variance
Source
DF
Sum of Squares
Mean Square
Model Error C Total
4 15 19
422.45568 24.56302 446.17918
Root MSE Dep Mean C.V.
1.27966 61.49250 2.08100
F Value
Prob>F
105.61392 1.63753
64.496
0.0001
R-Square Adj R-SQ
0.9451 0.9304
Parameter Estimates
Variable
DF
Parameter Estimate
Standard Error
T for H0: Parameter=0
Prob > |T|
INTERCEP RPKES DRVKES EFUTKES LUHH
1 1 1 1 1
40.524163 0.000732 -0.000208 0.002046 0.222140
8.172909 0.000265 0.001039 0.000702 0.146459
4.958 2.757 -0.201 2.914 1.517
0.0002 0.0147 0.8438 0.0107 0.1501
Durbin-Watson (For Number of Obs.) 1st Order Autocorrelation
1.410 20 0.146
Variable Label Intercept Pengel. Rp S. Kesehatan LD ULN S. Kesehatan Eff. ULN S. Kesehatan Lag UHH
236 Lampiran 1. Lanjutan The SAS System SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model: GTAN Dependent variable: GTAN Growth S. Pertanian Analysis of Variance
Source
DF
Sum of Squares
Mean Square
Model Error C Total
3 16 19
49.83677 0.43613 50.23498
Root MSE Dep Mean C.V.
0.16510 2.10250 7.85257
F Value
Prob>F
16.61226 0.02726
609.442
0.0001
R-Square Adj R-SQ
0.9913 0.9897
Parameter Estimates
Variable
DF
Parameter Estimate
Standard Error
T for H0: Parameter=0
Prob > |T|
INTERCEP RPTAN DRVTAN EFUTTAN
1 1 1 1
-2.023579 0.000077615 -0.000116 0.000999
0.162134 0.000021473 0.000117 0.000030484
-12.481 3.615 -0.988 32.760
0.0001 0.0023 0.3376 0.0001
Durbin-Watson (For Number of Obs.) 1st Order Autocorrelation
0.952 20 0.487
Variable Label Intercept Pengel. Rp S. Pertanian LD ULN S. Pertanian Eff. ULN S. Pertanian
237 Lampiran 1. Lanjutan The SAS System SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model: GENG Dependent variable: GENG Growth S. Energi Analysis of Variance
Source
DF
Sum of Squares
Mean Square
Model Error U Total
3 17 20
262.99917 21.18853 284.20700
Root MSE Dep Mean C.V.
1.11642 3.43000 32.54856
F Value
Prob>F
87.66639 1.24638
70.337
0.0001
R-Square Adj R-SQ
0.9254 0.9123
NOTE: The NOINT option changes the definition of the R-Square statistic to: 1 - (Residual Sum of Squares/Uncorrected Total Sum of Squares). Parameter Estimates
Variable
DF
Parameter Estimate
Standard Error
T for H0: Parameter=0
Prob > |T|
RPENG EFUTENG LGENG
1 1 1
0.000025349 0.000159 0.710617
0.000170 0.000087230 0.118888
0.149 1.828 5.977
0.8831 0.0851 0.0001
Durbin-Watson (For Number of Obs.) 1st Order Autocorrelation
2.356 20 -0.209
Variable Label Pengel. Rp S. Energi Eff. ULN S. Energi Lag GENG
238 Lampiran 1. Lanjutan The SAS System SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model: GHUB Dependent variable: GHUB Growth S. Perhubungan Analysis of Variance
Source
DF
Sum of Squares
Mean Square
Model Error U Total
4 16 20
47.56854 4.55147 52.14620
Root MSE Dep Mean C.V.
0.53335 1.52200 35.04299
F Value
Prob>F
11.89213 0.28447
41.805
0.0001
R-Square Adj R-SQ
0.9127 0.8908
NOTE: The NOINT option changes the definition of the R-Square statistic to: 1 - (Residual Sum of Squares/Uncorrected Total Sum of Squares). Parameter Estimates
Variable
DF
Parameter Estimate
Standard Error
T for H0: Parameter=0
Prob > |T|
RPHUB DRVHUB EFUTHUB LGHUB
1 1 1 1
0.000071880 -0.000199 0.000119 0.714795
0.000074771 0.000210 0.000105 0.174318
0.961 -0.945 1.129 4.101
0.3507 0.3586 0.2753 0.0008
Durbin-Watson (For Number of Obs.) 1st Order Autocorrelation
2.292 20 -0.187
Variable Label Pengel. Rp S. Hub LD ULN S. Perhubungan Eff. ULN S. Perhubungan Lag GHUB
239 Lampiran 1. Lanjutan The SAS System SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model: UNEM Dependent variable: UNEM Angka Pengangguran Analysis of Variance Sum of Squares
Mean Square
Source
DF
Model Error C Total
4 152565595.90 38141398.975 15 19289797.482 1285986.4988 19 171752295.00 Root MSE Dep Mean C.V.
1134.01345 4914.50000 23.07485
R-Square Adj R-SQ
F Value
Prob>F
29.659
0.0001
0.8878 0.8578
Parameter Estimates
Variable
DF
Parameter Estimate
Standard Error
T for H0: Parameter=0
Prob > |T|
INTERCEP GOREV UTGOV GPDBI LUNEM
1 1 1 1 1
1268.782216 -0.002223 -0.018855 -45.699159 0.953536
1632.220068 0.011751 0.049288 63.790435 0.273268
0.777 -0.189 -0.383 -0.716 3.855
0.4490 0.8525 0.7074 0.4848 0.0016
Durbin-Watson (For Number of Obs.) 1st Order Autocorrelation
2.333 20 -0.187
Variable Label Intercept Pendapatan Pemerintah Total ULN Pemerintah Growth PDBI Lag UNEM
240 Lampiran 2. Variance Inflation The SAS System
The SAS System Model: MODEL1 Dependent Variable: KONS
Konsumsi Rumah Tangga Parameter Estimates
Variable
DF
Parameter Estimate
Standard Error
T for H0: Parameter=0
Prob > |T|
Variance Inflation
INTERCEP DINC UNEM BLJRTN LKONS
1 1 1 1 1
69496 0.335046 -4.779784 0.677944 0.438941
16239.610689 0.06211583 4.30519810 0.17220118 0.10505716
4.279 5.394 -1.110 3.937 4.178
0.0007 0.0001 0.2844 0.0013 0.0008
0.00000000 11.30560022 8.54131327 5.22537240 6.67614599
The SAS System Model: MODEL7 Dependent Variable: RPDIK
Pengel. Rp S. Pendidikan Parameter Estimates
Variable
DF
Parameter Estimate
Standard Error
T for H0: Parameter=0
Prob > |T|
Variance Inflation
INTERCEP GOREV BLJRTN LAPS GTHSEK LRPDIK
1 1 1 1 1 1
-3027.672301 0.015489 -0.009893 32.639916 -57.326456 0.895119
12654.758078 0.02152568 0.02769473 138.47011066 40.53542861 0.14969873
-0.239 0.720 -0.357 0.236 -1.414 5.979
0.8144 0.4836 0.7263 0.8171 0.1791 0.0001
0.00000000 9.51207681 12.26313287 8.94564246 1.69407450 1.81374174
The SAS System Model: MODEL8 Dependent Variable: RPKES
Pengel. Rp S. Kesehatan Parameter Estimates
Variable
DF
Parameter Estimate
Standard Error
T for H0: Parameter=0
Prob > |T|
Variance Inflation
INTERCEP GOREV BLJRTN DAKB LUHH LRPKES
1 1 1 1 1 1
-3794.852515 0.026323 -0.018753 3.875907 65.541656 0.622336
5312.1734973 0.01818695 0.02066657 52.44120635 90.96411975 0.20525216
-0.714 1.447 -0.907 0.074 0.721 3.032
0.4867 0.1698 0.3796 0.9421 0.4831 0.0090
0.00000000 9.32481791 10.31956224 1.69386182 6.48471827 1.71197079
241 Lampiran 2. Lanjutan
The SAS System Model: MODEL9 Dependent Variable: RPTAN
Pengel. Rp S. Pertanian Parameter Estimates
Variable
DF
Parameter Estimate
Standard Error
T for H0: Parameter=0
Prob > |T|
Variance Inflation
INTERCEP GOREV BLJRTN LGTAN LRPTAN
1 1 1 1 1
2039.100399 -0.031732 0.051552 -958.942586 0.711555
1103.7242390 0.03814622 0.04331740 503.10481049 0.15303044
1.847 -0.832 1.190 -1.906 4.650
0.0845 0.4185 0.2525 0.0760 0.0003
0.00000000 9.38606094 10.12023587 9.28066829 1.25066622
The SAS System Model: MODEL11 Dependent Variable: RPHUB
Pengel. Rp S. Perhubungan Parameter Estimates
Variable
DF
Parameter Estimate
Standard Error
T for H0: Parameter=0
Prob > |T|
Variance Inflation
INTERCEP GOREV BLJRTN LGHUB LRPHUB
1 1 1 1 1
2529.962004 0.002086 0.008087 -1146.249260 0.438403
607.56720901 0.00693999 0.00677576 247.85749049 0.11541376
4.164 0.301 1.194 -4.625 3.799
0.0008 0.7679 0.2512 0.0003 0.0017
0.00000000 10.11610788 8.08899915 1.51191316 1.27293555
The SAS System Model: MODEL13 Dependent Variable: DULNP
Permintaan Utang LN Parameter Estimates
Variable
DF
Parameter Estimate
Standard Error
T for H0: Parameter=0
Prob > |T|
Variance Inflation
INTERCEP PDBI NXPRT GOEXP DPUGOV SPRD
1 1 1 1 1 1
2763.199912 0.013444 -0.002872 0.019600 0.500495 -0.126400
1312.8197085 0.00190205 0.00667355 0.02322110 0.57647398 0.36587138
2.105 7.068 -0.430 0.844 0.868 -0.345
0.0539 0.0001 0.6735 0.4128 0.3999 0.7349
0.00000000 8.23205528 2.98000800 9.27067431 10.96267921 5.29304356
242 Lampiran 2. Lanjutan
The SAS System Model: MODEL20 Dependent Variable: PUDIK
Pemb. ULN S. Pendidikan Parameter Estimates
Variable
DF
Parameter Estimate
Standard Error
T for H0: Parameter=0
Prob > |T|
Variance Inflation
INTERCEP GOREV UTDIK LPUDIK
1 1 1 1
-533.703262 0.009509 0.051254 0.141604
39.42420399 0.00072426 0.00582377 0.10518779
-13.537 13.129 8.801 1.346
0.0001 0.0001 0.0001 0.1970
0.00000000 12.43307061 1.61281563 9.04823569
The SAS System Model: MODEL21 Dependent Variable: PUKES
Pemb. ULN S. Kesehatan Parameter Estimates
Variable
DF
Parameter Estimate
Standard Error
T for H0: Parameter=0
Prob > |T|
Variance Inflation
INTERCEP GOREV UTKES LPUKES
1 1 1 1
-831.634146 0.010271 0.061642 0.664719
131.50923625 0.00172823 0.01301881 0.16055181
-6.324 5.943 4.735 4.140
0.0001 0.0001 0.0002 0.0008
0.00000000 10.50081522 2.32766107 8.68298624
The SAS System Model: MODEL22 Dependent Variable: PUTAN
Pemb. ULN S. Pertanian Parameter Estimates
Variable
DF
Parameter Estimate
Standard Error
T for H0: Parameter=0
Prob > |T|
Variance Inflation
INTERCEP GOREV UTTAN LPUTAN
1 1 1 1
-857.535026 0.013489 0.037644 0.579809
67.51800080 0.00144996 0.00939752 0.12700032
-12.701 9.303 4.006 4.565
0.0001 0.0001 0.0010 0.0003
0.00000000 11.36941425 1.04107380 9.39079759
243 Lampiran 2. Lanjutan
The SAS System Model: MODEL23 Dependent Variable: PUENG
Pemb. ULN S. Energi Parameter Estimates
Variable
DF
Parameter Estimate
Standard Error
T for H0: Parameter=0
Prob > |T|
Variance Inflation
INTERCEP GOREV UTENG LPUENG
1 1 1 1
-652.142868 0.010216 0.008573 0.765870
139.14190683 0.00197190 0.01025716 0.18635078
-4.687 5.181 0.836 4.110
0.0002 0.0001 0.4156 0.0008
0.00000000 11.68369431 2.14369898 8.88918170
OBS
YEAR
TYPE
LEAD
PDBI
KONS
INVEST
GOEXP
NXPRT
DINTR
17
2001
ACTUAL
0
1418536
886736
299792.7
99856.0
132151.4
12.83
18
2002
ACTUAL
0
1523585
920750
327584.6
131333.6
143917.1
11.64
19
2003
ACTUAL
0
1667570
956593
359431.1
180904.1
170641.8
10.55
20
2004
ACTUAL
0
1622372
994109
366248.7
220065.7
41948.5
10.04
21
2005
ACTUAL
0
1726247
1043805
384625.6
281695.9
16120.5
10.01
22
2006
FORECAST
1
1735507
1056071
402134.2
247373.9
29927.9
10.119711
23
2007
FORECAST
2
1752753
1066928
418227.4
227981.4
39616.2
9.760078
24
2008
FORECAST
3
1771436
1076872
433365.8
218027.3
43170.9
9.400442
25
2009
FORECAST
4
1797155
1086228
447859.9
214040.1
49027.1
9.040805
OBS
LIBOR
GOREV
FB
BUGDEF
BLJPMB
DULNP
RPMRN
RPDIK
RPKES
5.18
62116.50
-37739.5
2.66045
13055.18
24301.54
7574.99
3221.05
824.07
18
5.08
96199.18
-35134.4
2.30604
20799.26
25779.44
13757.72
3409.24
1969.50
19
5.01
147867.90
-33036.2
1.98110
31366.99
27102.27
22115.27
3854.06
3531.54
20
4.91
192270.08
-27795.6
1.71327
36484.88
30040.09
26621.78
4862.44
4294.83
21
4.54
267335.99
-14359.9
0.83186
40262.99
35156.20
29813.78
5533.37
4961.82
22
4.276047
222709.66
-24417.3
1.55258
37692.64
30765.96
27771.51
5594.68
4496.346
23
4.08331
196081.49
-31587.0
2.06726
35885.33
31806.35
26595.72
5385.98
4253.101
24
3.924063
180815.73
-36914.2
2.44840
34617.28
32846.74
25984.97
5181.12
4144.066
25
3.780565
172723.20
-41065.7
2.74301
33730.32
33887.13
25742.66
5112.79
4116.088
244
17
Lampiran 3. Hasil Peramalan Nilai Variabel Tahun 2006 - 2009
PERAMALAN NILAI VARIABEL PADA PERSAMAAN SISTEM UTANG LUAR NEGERI PEMERINTAH TAHUN 2006 - 2009
RPTAN
RPENG
RPHUB
17
1159.55
860.87
843.01
18
2720.23
2110.68
19
4529.81
20
RPOTS
UTKES
UTTAN
UTENG
UTHUB
666.45
6678.76
6402.16
7822.31
9674.50
8298.57
2018.34
1529.73
6215.81
6002.28
8126.33
9061.64
8491.75
3854.23
3602.14
2743.49
6570.19
5876.51
8136.37
9102.37
8919.09
5220.61
4658.77
4333.02
3252.11
4689.82
6790.11
8042.80
7608.84
7530.11
21
5765.68
5158.85
4912.75
3481.31
2321.47
4566.70
5597.45
5380.18
5090.88
22
6060.71
4751.02
4481.98
2934.65
4480.44
5999.59
6848.06
7998.19
6689.64
23
5676.84
4554.89
4251.05
2655.98
5784.29
6927.08
7734.94
9646.57
9343.01
24
5189.16
4486.79
4142.55
2512.38
6620.06
7581.01
8393.31
10733.90
11055.90
25
4677.25
4496.11
4109.07
2436.87
7199.60
8086.88
8908.14
11496.61
11493.74
OBS
UTOTS
UTGOV
PUDIK
PUKES
PUTAN
PUENG
PUHUB
PUOTS
PUGOV
17
4343.39
43219.69
415.17
421.48
533.41
504.17
411.71
421.41
2707.35
18
4278.15
42175.96
715.13
738.02
1078.09
903.48
799.07
697.34
4931.13
19
3983.39
42587.92
1305.41
1641.37
1834.12
1553.16
1542.07
694.36
8570.49
20
2997.06
37658.72
1553.11
2430.12
2980.41
2504.88
2316.56
437.37
12222.45
21
1852.44
24809.12
2327.45
3810.71
4687.87
4028.74
3633.41
497.31
18985.49
22
2635.97
34389.54
1906.41
2968.95
3578.287
3048.87
2810.87
530.52
15007.56
23
3156.04
40886.52
1684.99
2530.85
2985.301
2567.52
2355.01
555.28
12863.63
24
3522.14
45499.88
1580.34
2323.82
2685.935
2352.89
2113.45
574.96
11787.81
25
3798.28
48962.63
1543.94
2249.07
2553.456
2280.99
1997.16
591.61
11334.04
245
UTDIK
Lampiran 3. Lanjutan
OBS
APS
THSEK
AKB
UHH
GTAN
GENG
GHUB
UNEM
17
96.91
7.46
36.21
65.51
3.61
5.06
1.84
8010
18
96.55
7.32
37.47
64.27
3.75
4.41
1.77
9130
19
97.21
8.05
38.76
64.04
3.86
4.22
1.63
10100
20
97.18
8.03
31.54
69.11
3.75
4.01
1.49
8960
21
97.14
8.01
32.31
69.02
2.33
3.82
1.37
22
97.41616
8.045185
29.90172
70.47208
3.173263
4.028371
1.385291
10260 10089
23
97.71691
8.105138
27.81158
69.80876
3.750609
4.192486
1.218772
9876
24
98.24406
8.178957
25.86732
70.05726
4.169898
4.327392
1.327134
9571
25
98.95851
8.260539
23.98998
70.17754
4.495241
4.443014
1.357699
9124
Lampiran 3. Lanjutan
OBS
246
TAHUN
Konsumsi Rumah Tangga (Juta Rp)
Investasi Masyarakat (Juta Rp)
Ekspor (Juta Rp)
Impor (Juta Rp)
Jumlah Uang Beredar (Miliar Rp)
Pendapatan Disposebel (Juta Rp)
Pajak Penghasilan (Juta Rp)
Pajak Bukan Penghasilan (Juta Rp)
Pajak Perdagangan Internasional (Juta Rp)
KONS
INVEST
EXPRT
IMPRT
MSPLY
DINC
TAXPPH
TAXNPPH
TAXLN
314958.02
105118.24
201879.74
221533.55
24168
349721.14
41100.29
25458.5
5563.32
1986
328377.14
115383.87
233690.13
230776.82
28491
341680.01
37005.02
23949.59
2435.77
1987
349093.82
127527.34
261750.59
235338.37
35660
368030.60
27114.46
32804.52
2862.82
1988
374203.93
147004.67
264420.77
193752.56
44167
389259.56
28361.99
33548.34
3883.84
1989
402117.9
176977.58
291947
216170.42
64367
434533.19
24673.38
41629.6
4937.98
1990
472533.05
198431.17
301744.04
266235.31
81124
548267.04
26833.86
40215.92
5175.05
1991
510731.67
221932.67
358404.59
308105.51
100796
609752.45
30983.65
40563.52
5563.66
1992
542541.01
240248.09
407545.68
334868.17
123161
669852.03
26348.26
48642.66
5858.48
1993
586352.5
256103.55
432438.97
348861.25
148829
747738.25
24963.77
50683.28
5174.23
1994
632248.89
291332.4
475428.55
419663.4
181701
872592.53
21873.07
53771.71
5080.85
1995
711813.41
332103.98
512137.21
507536.76
232493
946659.20
22940.4
56116.53
5318.3
1996
781008.2
380306.85
550854.88
542377.93
294581
1111230.90
13032.71
48342.91
3332.54
1997
842086.79
412891.55
593821.42
622194.14
449824
1141183.35
8748.09
43054.54
2012.85
1998
790144.21
276603.7
660229.51
589279.24
603325
1047653.91
7399.52
24164
1424.73
1999
826753.56
283009.1
451517.95
349588.5
656451
1278626.71
6823.26
29029.24
1804.6
2000
856798.3
291881.2
569490.3
423317.9
689935
1270590.53
18941.64
14431.56
2060.55
2001
886736
299792.7
573163.4
441012
791392
1248462.71
19008.86
16684.03
2161.34
2002
920749.6
327584.6
566188.4
422271.4
860965
1272697.69
32929.56
32310.15
3970.12
2003
956593.4
359431.05
599516.4
428874.6
913616
1320123.74
52961.23
51858.8
5429.84
2004
994109
366248.65
615962.5
574014
305903.99
1235842.41
64056.95
61853.71
5740.28
2005
1043805.1
384625.6
635920.1
619800
377139.05
1269943.42
88078.96
89693.85
8657.35
247
1985
Lampiran 4. Data Perekonomian Model Utang Luar Negeri Pemerintah Indonesia Tahun 1985 - 2005
DATA PEREKONOMIAN MODEL UTANG LUAR NEGERI PEMERINTAH INDONESIA TAHUN 1985 - 2005
PNBP
HIBAH (Juta Rp)
Belanja Rutin Pemerintah (Juta Rp)
Belanja Rp Murni Sektor Pendidikan (Juta Rp)
Belanja Rp Murni Sektor Kesehatan (Juta Rp)
Belanja Rp Murni Sektor Pertanian (Juta Rp)
Belanja Rp Murni Sektor Energi (Juta Rp)
Belanja Rp Murni Sektor Pehubungan (Juta Rp)
Belanja Rp Murni Sektor Lainnya (Juta Rp)
HIBAH
BLJRTN
RPDIK
RPKES
RPTAN
RPENG
RPHUB
RPOTS
3667.08
26.11
43477.7
2726.54
2424.34
5358.96
1889.94
2733.8
4400.62
1986
3541.63
300.95
42089.12
2002.89
1932.95
4255.59
1562.03
2165.32
3285.59
1987
4572.86
474.01
44637.91
1053.78
1275.78
2846.11
1067.98
1408.89
1762.47
1988
4033.09
388.48
50457.44
1194.77
943.97
2133.29
799.93
1044.04
1176.27
1989
7622.48
223.63
51495.98
1305.42
1038.72
2319.15
891.89
1141.75
1218.45
1990
6370.52
7180.02
53090.24
2369.82
1089.46
2395.66
987.51
1199.26
1210.97
1991
5843.59
3173.96
53784.82
3272.66
2638.68
5652.92
2361.74
2865.8
2784.37
1992
7009.7
2835.91
54854.68
3885.55
3151.34
6642.58
2921.79
3402.71
3070.55
1993
6258.75
4004.73
55890.63
4146.86
3332.03
6924.98
3119.87
3603.46
3141.91
1994
10003.25
2266.02
58329.32
4135.78
3355.6
6805.59
3222.84
3582.66
2843.49
1995
11365.7
3612.15
59943.07
5032.3
3368.65
6427.6
3289.26
3576.91
2872.48
1996
7472.14
4471.87
58208.25
5370.29
3526.21
6372.65
3425.27
3698.46
2977.24
1997
5357.58
3100.21
54512.15
4609.32
3728.86
6647.07
3704.75
3917.55
3024.89
1998
5157.91
1704.88
49255.84
2701.58
2156.11
3597.04
2204.19
2268.96
1814.3
1999
8624.35
2315.8
55241.37
2848.29
3034.31
4519.68
3104.78
3155.39
2797.06
2000
17975.82
803.43
71610.3
2911.54
1788.97
2584.48
1855.7
1838.94
1499.38
2001
23586.07
676.2
86800.82
3221.05
824.07
1159.55
860.87
843
666.45
2002
25917.93
1071.42
110534.34
3409.24
1969.5
2720.23
2110.68
2018.34
1529.73
2003
35920.08
1697.95
149537.11
3854.06
3531.54
4529.81
3854.23
3602.14
2743.49
2004
58385.24
2233.9
183580.82
4862.44
4294.83
5220.61
4658.77
4333.02
3252.11
2005
77434.94
3470.89
241432.91
5533.37
4961.82
5765.68
5158.85
4912.75
3481.31
248
1985
Lampiran 4. Lanjutan
TAHUN
Penerimaan Negara Bukan Pajak (Juta Rp)
Utang Lama Sektor Kesehatan (Juta Rp)
Utang Lama Sektor Pertanian (Juta Rp)
Utang Lama Sektor Energi (Juta Rp)
Utang Lama Sektor Perhubungan (Juta Rp)
Utang Lama Sektor Lainnya (Juta Rp)
Utang Dalam Negeri (Juta Rp)
Utang Baru Sektor Pendidikan (Juta Rp)
Utang Baru Sektor Kesehatan (Juta Rp)
Utang Baru Sektor Pertanian (Juta Rp)
UTLDIK
UTLKES
UTLTAN
UTLENG
UTLHUB
UTLOTS
UTDN
UTBDIK
UTBKES
UTBTAN
708.59
378.98
4148.6
3261.67
3418.53
725.93
0
0
0
0
1986
933.05
667.48
3740.71
3362.03
1884.13
660.54
0
83.94
95.89
387.61
1987
1448.03
1542.84
3773.74
3040.54
2274.58
1047.1
0
0
0
0
1988
1647.1
1754.93
3669.57
3742.68
3198
1069.12
0
285.63
304.33
636.37
1989
2269.56
1279.09
3695.57
6453.22
5757.34
1469.12
0
135.39
76.3
220.45
1990
2861.5
2590.04
3268.33
7444.14
6620.01
1592.32
0
152.11
147.16
159.52
1991
2186.25
1599.01
3215.54
4244.44
3453.45
792.22
0
356.15
360.48
523.82
1992
2366.82
2027.75
2890.93
4191.29
3092.64
630.38
0
302.43
304.75
507.05
1993
2286.84
1434.57
2736.28
3642.7
3053.72
596.42
0
468.25
293.74
570.27
1994
1852.75
1157.89
1856.43
5300.65
2893.39
728.31
0
485.54
319.68
617.16
1995
1644.63
1281.55
2179.93
5554.19
2583.95
827.66
0
0
0
0
1996
1435.69
1331.59
1948.59
5968.88
2167.91
842.82
0
1994.79
1817.53
2868.2
1997
1379.52
1277.39
2431.56
4606.27
2631.73
564.01
0
2987.88
2703.73
5914.69
1998
2124.83
2132.8
2080.21
3353.26
3594.55
374.47
0
5774.11
5796.52
5638.66
1999
2024.21
1765
2228.88
2589.15
2638.32
399.91
0
6553.66
5737.89
7197.77
2000
1011.77
1104.94
1506.1
1683.58
1454.63
624.63
10723.48
5543.42
5869.42
7273.14
2001
776.38
724.09
992.59
1342.77
1082.63
561.73
12023.72
5902.38
5678.07
6829.72
2002
918.31
864.53
1399.53
1635.1
1491.56
732.51
13219.63
5297.5
5137.75
6726.8
2003
1287.46
1060.49
1799.9
2115.99
2056.01
931.87
14512.2
5282.73
4816.02
6336.47
2004
1024.94
1752.5
2186.44
2036.12
2008.84
854.26
9585.98
3664.86
5037.61
5856.36
2005
1119.24
1837.83
2212.89
2280.99
2057.17
941.09
7108.08
1202.23
2728.87
3384.56
249
1985
Lampiran 4. Lanjutan
TAHUN
Utang Lama Sektor Pendidikan (Juta Rp)
Utang Baru Sektor Perhubungan (Juta Rp)
Utang Baru Sektor Lainnya (Juta Rp)
Kebocoran Utang Sektor Pendidikan (Juta Rp)
Kebocoran Utang Sektor Kesehatan (Juta Rp)
Kebocoran Utang Sektor Pertanian (Juta Rp)
Kebocoran Utang Sektor Energi (Juta Rp)
Kebocoran Utang Sektor Perhubungan (Juta Rp)
Kebocoran Utang Sektor Lainnya (Juta Rp)
UTBENG
UTBHUB
UTBOTS
CORDIK
CORKES
CORTAN
CORENG
CORHUB
COROTS
0
0
0
212.577
94.745
1244.58
815.4175
854.6325
145.186
1986
394.84
291.82
54.37
305.097
190.8425
1238.496
939.2175
543.9875
142.982
1987
0
0
0
434.409
385.71
1132.122
760.135
568.645
209.42
1988
649.04
554.59
185.41
579.819
514.815
1291.782
1097.93
938.1475
250.906
1989
384.96
343.45
87.64
721.485
338.8475
1174.806
1709.545
1525.1975
311.352
1990
235.56
220.55
28.99
904.083
684.3
1028.355
1919.925
1710.14
324.262
1991
791.43
562.58
129.06
762.72
489.8725
1121.808
1258.9675
1004.0075
184.256
1992
706.61
507.31
105.85
800.775
583.125
1019.394
1224.475
899.9875
147.246
1993
745.87
625.27
122.11
826.527
432.0775
991.965
1097.1425
919.7475
143.706
1994
803.23
673.6
170.59
701.487
369.3925
742.077
1525.97
891.7475
179.78
1995
0
0
0
493.389
320.3875
653.979
1388.5475
645.9875
165.532
1996
9714.25
3241.68
985.23
1029.144
787.28
1445.037
3920.7825
1352.3975
365.61
1997
11964.81
6471.59
719.1
1310.22
995.28
2503.875
4142.77
2275.83
256.622
1998
9218.02
9899.43
1480.36
2369.682
1982.33
2315.661
3142.82
3373.495
370.966
1999
8331.58
8486.34
1441.86
2573.361
1875.7225
2827.995
2730.1825
2781.165
368.354
2000
7894.16
7093.04
3588.78
1966.557
1743.59
2633.772
2394.435
2136.9175
842.682
2001
8331.73
7215.94
3781.66
2003.628
1600.54
2346.693
2418.625
2074.6425
868.678
2002
7426.54
7000.19
3545.64
1864.743
1500.57
2437.899
2265.41
2122.9375
855.63
2003
6986.38
6863.08
3051.52
1971.057
1469.1275
2440.911
2275.5925
2229.7725
796.678
2004
5572.72
5521.27
2142.8
1406.94
1697.5275
2412.84
1902.21
1882.5275
599.412
2005
3099.19
3033.71
911.35
696.441
1141.675
1679.235
1345.045
1272.72
370.488
250
1985
Lampiran 4. Lanjutan
TAHUN
Utang Baru Sektor Energi (Juta Rp)
Lender Driven Sektor Kesehatan (Juta Rp)
Lender Driven Sektor Pertanian (Juta Rp)
Lender Driven Sektor Energi (Juta Rp)
Lender Driven Sektor Perhubungan (Juta Rp)
Lender Driven Sektor Lainnya (Juta Rp)
Angka Partisipasi Sekolah (Persen)
Tahun Lama Bersekolah (Tahun)
Angka Kematian Bayi (Bayi)
Usia Harapan Hidup (Tahun)
DRVDIK
DRVKES
DRVTAN
DRVENG
DRVHUB
DRVOTS
APS
THSEK
AKB
UHH
224.54
204.37
1225.09
1545.73
1513.57
184.56
87.95
6.23
63.61
55.11
1986
333.22
418.76
1206.5
1971.53
804.02
169.69
88.57
6.31
62.7
55.63
1987
492
851.76
974.24
1135.15
864.99
267.32
88.86
6.42
61.83
57.25
1988
694.3
1169.96
1183.57
1713.09
1476.66
331.6
89.09
6.54
60.18
58.29
1989
895.24
659.49
959.92
2940.68
2457.82
414.46
89.33
6.62
64.27
56.09
1990
1191.47
1365.83
794.05
3567.62
2799.06
451.48
89.56
6.74
60.15
57.88
1991
775.48
932.27
877.87
1876.16
1479.11
187.7
88.08
6.43
62.12
57.1
1992
824.73
1213.35
782.28
1804.49
1202.26
135.69
87.81
6.49
53.92
59.27
1993
876.38
838.67
752.13
1184.4
1327.8
121.12
87.93
6.52
54.45
57.97
1994
646.77
676.6
508.24
1725.42
1118.64
195.91
86.65
6.42
55
57.25
1995
428.33
472.53
329.11
1493.34
573.03
159.82
85.97
6.25
56.4
56.36
1996
980.84
1192.17
1050.74
7588.91
1351.7
432.58
89.23
6.61
50.9
60.25
1997
1289.14
1679.1
1874.73
8853.85
2633.61
218.26
90.21
6.86
48.95
61.74
1998
2514.67
3713.56
1478.49
5449.18
5588.44
407.39
96.07
7.76
35.61
68.44
1999
3152.92
3161.71
1963.33
4095.93
3516.81
388.1
97.24
7.91
35.73
67.76
2000
1760.72
2314.78
1375.19
2927.15
2292.31
1088.24
95.86
7.34
35.95
66.65
2001
1847.47
1994.17
906.3
3116.29
1419.26
1170.88
96.91
7.46
36.21
65.51
2002
1302.54
1784.27
981.22
2733.56
1855.12
1057.4
96.55
7.32
37.47
64.27
2003
1410.14
1643.79
1106.48
2882.42
2211.27
936.38
97.21
8.05
38.76
64.04
2004
658.79
1923.48
865.11
2122.12
1332.79
545.98
97.18
8.03
31.54
69.1
2005
247.01
911.47
294.74
1357.42
684.19
155.57
97.14
8.01
32.31
69
251
1985
Lampiran 4. Lanjutan
TAHUN
Lender Driven Sektor Pendidikan (Juta Rp)
Growth Sektor Energi (Persen)
Growth Sektor Perhubungan (Persen)
Pembayaran Utang Sektor Pendidikan (Rp Juta)
Pembayaran Utang Sektor Kesehatan (Rp Juta)
Pembayaran Utang Sektor Pertanian (Rp Juta)
Pembayaran Utang Sektor Energi (Rp Juta)
Pembayaran Utang Sektor Perhubungan (Rp Juta)
Pembayaran Utang Sektor Lainnya (Rp Juta)
GTAN
GENG
GHUB
PUDIK
PUKES
PUTAN
PUENG
PUHUB
PUOTS
1.41
3.24
1.95
192.44
94.93
657.67
370.06
492.67
14.19
1986
1.23
3.93
2.07
170.07
58.82
637.33
272.22
480.23
183.63
1987
0.86
4.35
2.19
198.82
74.22
642.73
289.83
519.14
203.37
1988
1.09
4.27
1.97
208.71
95.38
673.28
300.16
573.65
228.35
1989
0.71
4.12
1.88
288.79
109.59
729.41
320.7
718.02
420.52
1990
0.23
2.15
1.01
375.69
114.71
763.48
399.94
821.5
463.8
1991
0.76
1.56
0.9
410.85
132.32
782.61
433.06
912.84
559.99
1992
0.61
1.48
0.81
475.37
234.42
805.81
517.9
1048.09
605.3
1993
0.54
1.37
0.88
505.01
288.77
833.04
615.67
1162.56
654.34
1994
0.26
1.21
0.95
470.99
267.52
808.57
597.69
798.18
979.6
1995
0.14
1.14
0.89
515.64
351.31
1013
852.84
1236.92
521.25
1996
1.91
1.08
0.77
424.7
251.98
708.94
727.31
538.18
472.94
1997
4.27
5.52
2.68
395.44
223.39
596.28
559.18
399.94
291.01
1998
3.32
4.05
1.53
335.56
204.73
328.43
308.88
207.71
318.61
1999
4.54
5.03
1.75
351.54
271.78
370.05
336.22
219.31
110.67
2000
4.28
5.82
2.06
372.81
335.18
420.21
394.38
291.55
237.43
2001
3.61
5.06
1.84
415.17
421.48
533.41
504.17
411.71
421.41
2002
3.75
4.41
1.77
715.13
738.02
1078.09
903.48
799.07
697.34
2003
3.86
4.22
1.63
1305.41
1641.37
1834.12
1553.16
1542.07
694.36
2004
3.75
4.01
1.49
1553.11
2430.12
2980.41
2504.88
2316.56
437.37
2005
2.33
3.82
1.37
2327.45
3810.71
4687.87
4028.74
3633.41
497.31
252
1985
Lampiran 4. Lanjutan
TAHUN
Growth Sektor Pertanian (Persen)
Permintaan Utang Luar Negeri (Juta Rp)
Nilai Tukar (USD/Rp)
UNEM
DULNP
EXCR
LIBOR (Persen)
Spread Tingkat Suku Bunga (Persen)
Suku Bunga Dunia (Persen)
Suku Bunga Domestik (Persen)
Tingkat Inflasi (Persen)
Peringkat Kredit
Risk Premium (Persen)
LIBOR
SPRD
WINTR
DINTR
INFL
PRKT
RPREM
1370
8478.31
1110
8.4
0.24
7.49
18.7
4.74
86
9.9
1986
1860
9911.15
1289
6.86
0.25
5.97
17.8
9.92
84
9.6
1987
1840
10787.36
1244
6.18
0.21
5.83
17.3
9.28
80
8.8
1988
2080
13683.54
1187
7.98
0.19
6.67
17.99
8.05
84
17.9
1989
2080
14360.11
1872
7.28
0.18
6.52
16.76
7.42
82
17.8
1990
1950
15232.79
1748
7.11
0.17
6.31
16.12
5.82
80
17.6
1991
2030
15419.47
2551
5.99
0.23
5.41
15.12
7.41
80
17.5
1992
2190
16706.47
2081
4.86
0.24
3.46
13.49
8.54
78
16.4
1993
2250
17099.57
2025
4.29
0.25
3.02
12.62
7.69
77
15.9
1994
3740
18231.52
2162
3.74
0.26
3.01
12.46
8.51
75
15.7
1995
6250
19069.27
2049
3.64
0.27
2.91
11.87
6.43
74
14.9
1996
4410
20045.42
2343
3.51
0.17
2.87
11.64
7.97
73
14.8
1997
4200
21199.69
2866
3.42
0.15
2.73
11.03
11.79
71
13.7
1998
5060
19107.16
9804
7.84
0.14
4.82
18.81
22.15
86
34.1
1999
6030
21277.37
7882
5.73
0.13
4.66
14.52
2.01
81
33.4
2000
5860
22767.12
10294
5.66
0.13
4.53
13.93
9.35
76
31.1
2001
8010
24301.54
9794
5.18
0.13
3.9
12.83
12.55
71
28.4
2002
9130
25779.44
9240
5.08
0.15
2.67
11.64
10.01
66
27.4
2003
10100
27102.27
9350
5.01
0.15
2.13
10.55
7.11
64
26.7
2004
8960
30040.09
8900
4.91
0.16
1.62
10.4
6.4
62
26.85
2005
10260
35156.2
8910
4.54
0.17
1.21
10.01
10.43
61
26.47
253
1985
Lampiran 4. Lanjutan
TAHUN
Angka Pengangguran (Ribu Orang)