WP/2/2015
WORKING PAPER
DAMPAK SPILLOVER SHOCK EKSTERNAL PADA PEREKONOMIAN INDONESIA: PENDEKATAN GLOBAL VAR
Berry A. Harahap Pakasa Bary Linda Nurliana Redianto Satyanugroho
Juni, 2015
Kesimpulan, pendapat, dan pandangan yang disampaikan oleh penulis dalam paper ini merupakan kesimpulan, pendapat, dan pandangan penulis dan bukan merupakan kesimpulan, pendapat, dan pandangan resmi Bank Indonesia. 0
DAMPAK SPILLOVER SHOCK EKSTERNAL PADA PEREKONOMIAN INDONESIA: PENDEKATAN GLOBAL VAR
Berry A. Harahap, Pakasa Bary, Linda Nurliana, Redianto Satyanugroho1
Abstrak Tulisan ini mengkaji bagaimana dampak beberapa jenis eksternal shocks yang dinilai memberikan risiko pada variabel makroekonomi Indonesia. Setelah melakukan modifikasi model global VAR yang mencakup 33 negara menjadi dua variasi model dan dengan mempertimbangkan hubungan finansial dan perdagangan, analisis spillover dilakukan melalui impulse response dengan 1.000 replikasi bootstrap. Hasil impulse response secara umum menunjukkan respons variabel makroekonomi Indonesia sesuai dengan ekspektasi. Respons PDB yang terbesar muncul atas shock pertumbuhan ekonomi Tiongkok, sedangkan suku bunga AS terindikasi sebagai faktor yang memberikan risiko terbesar bagi depresiasi rupiah pada jangka pendek dengan efek yang lebih besar jika dibandingkan dengan tapering off. Selain itu, terdapat indikasi bahwa variasi inflasi jangka pendek dapat dijelaskan dari jalur nilai tukar, sedangkan pada jangka menengah bergantung pada PDB. Key word
: Spillover, Global VAR, Impulse Response
JEL Classification : C32, E17, F47
1
Peneliti Ekonomi Senior dan Peneliti Ekonomi di Grup Riset Ekonomi (GRE), Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter (DKEM), Bank Indonesia. Pandangan dalam paper ini merupakan pandangan penulis dan tidak semata-mata merefleksikan pandangan DKEM atau Bank Indonesia. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. Juda Agung, Dr. Solikin M. Juhro, Dr. Yoga Affandi, Dr. Telisa Aulia Falianty, Dr. Arindra A. Zainal, dan para peserta dalam pembahasan hasil penelitian ini di DKEM bulan Juni 2015.
1
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Sejak krisis finansial global pada tahun 2008, ekonom dan perumus kebijakan semakin menyadari risiko dan dampak potensial destabilisasi dari kebijakan dan shock dari negara maju terhadap negara lain. Integrasi ekonomi melalui hubungan keuangan dan perdagangan memungkinkan transmisi shock di negara maju merambat ke negara lainnya, termasuk Indonesia sebagai sebuah small open economy. IMF Spillover Report (2014) menyebutkan bahwa sumber utama spillover ekonomi global saat ini adalah pola pertumbuhan yang berbeda. Terdapat dua tren yang diperkirakan relevan terhadap ekonomi global. Yang
pertama
adalah
pulihnya
perekenomian
negara
maju
yang
mengindikasikan berhentinya pelonggaran kebijakan moneter atau normalisasi yang mengarah pada mengetatnya likuiditas global. Namun, pemulihan di negara maju tidak seragam yang mengindikasikan proses normalisasi di berbagai negara dapat terjadi pada waktu yang berbeda. Yang kedua adalah perlambatan pertumbuhan di negara berkembang yang berpotensi menyebabkan spillover pada tingkat global. Normalisasi kebijakan moneter di negara maju akan berdampak pada peningkatan suku bunga global. Dampak dari peningkatan suku bunga ini akan berbeda
tergantung
dari
faktor
penyebabnya
(underlying),
apakah
karena
pertumbuhan yang lebih kuat atau pengetatan kebijakan moneter yang tidak diantisipasi (unexpected monetary tigthtening). Di sisi lain, tren perlambatan di negara berkembang seperti Tiongkok, juga akan memiliki dampak spillover ke Indonesia, baik melalui jalur perdagangan maupun keuangan/investasi. Kedua tren global tersebut merupakan risiko yang mungkin terjadi pada waktu yang bersamaan dan dapat berinteraksi satu sama lain. Untuk itu, studi ini akan mengkaji dampak spillover dari kedua tren tersebut ke Indonesia. Penelitian mengenai dampak spillover di Bank Indonesia telah dilakukan sebelumnya dengan sumber shock, periode, dan metodologi yang berbeda. Metodologi yang digunakan adalah input output, estimasi ekononometrik, FAVAR, dan GVAR yang dilakukan secara manual. Penelitian ini akan menggunakan GVAR toolbox yang dikembangkan oleh Pesaran, Shuermann, dan Weiner (2004). 2
Penggunaan GVAR toolbox memungkinkan estimasi dilakukan dengan teknik yang lebih robust, dilakukannya replikasi bootstrap yang menghasilkan confidence interval, yang belum dapat dilakukan pada penelitian sebelumnya. Selain itu, berbeda dengan penelitian sebelumnya yang umumnya hanya menggunakan salah satu nilai untuk mewakili hubungan antarnegara, perdagangan atau finansial, penelitian ini akan menggunakan kedua hubungan tersebut. Penggunaan kedua hubungan tersebut diharapkan dapat lebih mewakili kondisi riel. Selain itu, penelitian ini akan menghitung dampak spillover jika beberapa shock terjadi secara bersamaan.
1.2 Tujuan Penelitian Adapun tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut. 1. Menganalisis dampak dari dua tren global, yaitu normalisasi kebijakan moneter di negara maju dan perlambatan di negara berkembang terhadap perekonomian Indonesia. 2. Merumuskan respons kebijakan terhadap spillover dari shock tersebut pada angka 1.
1.3 Batasan Penulisan 1. Skenario yang diteliti hanya mencakup: a. tapering off di Amerika Serikat, b. peningkatan suku bunga fed fund rate (FFR), c. pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat, d. perlambatan ekonomi Tiongkok, dan e. pelemahan mata uang Tiongkok. 2. Simulasi shock dilakukan secara individual dengan asumsi shock tersebut tidak saling berinteraksi dengan kemungkinan adanya spillback. 3. Pendalaman respons kebijakan mengacu pada penelitian lain yang relevan dan telah dilakukan sebelumnya.
3
1.4 Organisasi Penulisan Penulisan kajian ini akan dibagi ke dalam lima bab yang dimulai dengan Bab 1 mengenai pendahuluan dan tujuan, diikuti dengan Bab 2 yang berisi studi literatur, serta Bab 3 yang menguraikan mengenai metode dan data yang digunakan dalam penulisan kajian. Pada Bab 4 akan disajikan mengenai hasil empiris dan analisis, ditutup dengan Bab 5 berupa kesimpulan dan saran.
4
II. STUDI LITERATUR
2.1 Transmisi International Spillover Kebijakan moneter di negara maju dapat memiliki dampak spillover ke negara lainnya melalui beberapa jalur (channel). Seperti tampak pada Gambar 1, jalur pertama adalah jalur portfolio rebalancing pada ekonomi global. Pada saat normalisasi kebijakan moneter di negara maju, misalnya di Amerika Serikat, Chua et al. (2013) menjelaskan bahwa terjadi peningkatan yield dari US-long term bond. Hal itu menyebabkan investor mengalihkan asetnya dari negara berkembang ke aset negara maju yang memiliki risiko lebih rendah (return risk adjusted). Dampaknya terhadap negara berkembang adalah penurunan harga aset dan peningkatan suku bunga jangka panjang yang mengindikasikan mengetatnya kondisi keuangan di negara berkembang. Jalur yang kedua adalah jalur melalui pasar keuangan internasional yang merupakan kombinasi dari jalur likuiditas, harga aset, dan risk-taking channel. Dalam pasar global yang terintegrasi, tapering off dan kebijakan moneter yang mengetat (normalisasi) akan mengurangi likuiditas global dan meningkatkan suku bunga kebijakan di negara maju. Menurut Lavigne, Sarker, dan Vasishtha (2014) serta Dahlhaus dan Vasishtha (2014) hal tersebut akan mengurangi perbedaan suku bunga antara negara maju dan negara berkembang serta mengurangi insentif untuk melakukan carry trades. Seiring dengan hal tersebut, aliran modal yang semula masuk ke negara berkembang, berpindah ke negara maju setelah memperhitungkan return dan risk (return risk adjusted). Selanjutnya akan berdampak penurunan harga aset dan harga konsumen di negara berkembang. Jalur ketiga adalah melalui jalur nilai tukar. Menurut Mohanty (2014) normalisasi kebijakan moneter di negara maju dapat mendorong menguatnya nilai tukar negara maju dan terdepresiasinya nilai tukar negara berkembang. Hal itu dapat mendorong spekulasi yang akan memengaruhi jumlah dan volaitilias aliran modal. Selain itu, intervensi yang dilakukan bank sentral untuk menjaga nilai tukarnya dapat berdampak pada penurunan cadangan devisa dan menurunkan likuditas dan kredit domestik.
5
Gambar 1. Transmisi Spillover Normalisasi di Amerika Serikat Dampak riel normalisasi kebijakan moneter di negara maju dapat merambat langsung melalui jalur perdagangan internasional. Jika normalisasi di negara maju dipicu oleh pertumbuhan ekonomi yang kuat, sesuai dengan kondisi MarshallLerner, normalisasi tersebut dapat mendorong demand di negara maju atas barang dan jasa dari negara berkembang, terlebih dengan melemahnya nilai tukar negara berkembang. Namun, dampak tersebut tergantung dari tingkat elastisitas impor di negara maju.
Gambar 2. Transmisi Spillover melalui Jalur Perdagangan Transmisi perlambatan di negara berkembang ke ekonomi global dapat terjadi melalui hubungan perdagangan, pasar komoditas, dan hubungan keuangan, seperti yang dijelaskan oleh Sun et al (2013). Terhadap Indonesia, perlambatan di negara 6
berkembang utama (major emerging market), seperti Tiongkok dapat berdampak signifikan melalui hubungan perdagangan karena Tiongkok merupakan tujuan utama ekspor Indonesia. Perlambatan Tiongkok juga dapat menurunkan harga komoditas karena pengaruh Tiongkok yang tinggi terhadap harga komoditas. Penurunan harga komoditas akan berpengaruh ke Indonesia sebagai negara eksportir komoditas. Perlambatan Tiongkok juga dapat berpengaruh melalui jalur investasi ataupun pariwisata.
Gambar 3. Transmisi Spillover dari Major Emerging Markets
2.2 Penelitian Sebelumnya Studi yang meneliti dampak perekonomian global terhadap perekonomian domestik sudah beberapa kali dilakukan sebelumnya. Studi tersebut meneliti sumber shock sesuai dengan periodenya dan menggunakan metodologi yang berbeda. Iskandar dan Permata (2011) menggunakan pendekatan GVAR (manual) dalam meneliti dampak perlambatan ekonomi dan shock di pasar saham Amerika terhadap perekonomian Indonesia. Studi tersebut menemukan bahwa shock perlambatan
pertumbuhan
ekonomi
Amerika
Serikat
sebesar
1%
akan
menyebabkan penurunan pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 0,29% pada tahun pertama. Penurunan 10% harga saham di bursa Amerika Serikat juga akan berdampak negatif sebesar 22% terhadap pergerakan harga saham di Indonesia. 7
Pelemahan bursa saham di emerging markets yang melebihi gejolak di Amerika disebabkan oleh karakter pasar saham kawasan ini yang cenderung sensitif terhadap sentimen negatif di bursa Amerika Serikat. Harahap et al. (2013a) juga menggunakan pendekatan GVAR (manual) dalam meneliti shock yang berbeda sesuai dengan perkembangan perekonomian global pada tahun 2013--2014. Dampak yang diteliti adalah membaiknya perekonomian negara maju dan kemungkinan peningkatan suku bunga di negara maju. Studi tersebut menemukan bahwa peningkatan PDB Amerika Serikat sebesar 1% akan memberikan dampak yang positif terhadap perekonomian Indonesia, PDB akan meningkat maksimal sebesar 0,53% (yoy). Sentimen positif tersebut akan mengapresiasi nilai tukar rupiah maksimal sebesar 7,66% (yoy) dan menurunkan tekanan inflasi maksimal sebesar 0,76% (yoy). Seiring dengan menurunnya tekanan inflasi, suku bunga jangka pendek akan mengalami penurunan maksimal sebesar 0,57% (yoy). Peningkatan suku bunga jangka pendek Amerika Serikat sebesar 1% akan berdampak negatif terhadap PDB Indonesia maksimal sebesar 0,13% (yoy) pada triwulan ke-12. Sentimen negatif pasar keuangan diperkirakan menyebabkan capital outflow sehingga nilai tukar terdepresiasi maksimal mencapai 1,48% (yoy). Lesunya kegiatan perekonomian akan memberikan dampak berupa penurunan tekanan inflasi yg mencapai 0,15% (yoy). Guna meredam capital outflow yang lebih besar, suku bunga jangka pendek akan mengalami peningkatan maksimal sebesar 0,26% (yoy). Di sisi lain, peningkatan pertumbuhan perekonomian Tiongkok sebesar 1% akan mendorong pertumbuhan perekonomian Indonesia maksimal sebesar 0,26% (yoy). Peningkatan ini direspons positif oleh nilai tukar sehingga rupiah terapresiasi maksimal sebesar 4,10% (yoy) yang berdampak pada menurunnya tekanan inflasi dari sisi impor sehingga inflasi mengalami penurunan maksimal sebesar 0,39% (yoy). Dengan menggunakan pendekatan yang berbeda, yaitu FAVAR, Harahap et al. (2013b) juga meneliti dampak peningkatan fed fund rate (FFR), suku bunga jangka panjang Amerika Serikat, dan perbaikan ekonomi Amerika Serikat terhadap Indonesia. Peningkatan suku bunga di AS akan berdampak pada peningkatan suku bunga dometik di Indonesia serta penurunan aktivitas perekonomian di Indonesia. Sementara itu, peningkatan PDB Amerika Serikat akan mendorong pertumbuhan perekonomian Indonesia dalam skala moderat sehingga tidak disertai dengan peningkatan harga. Studi tersebut juga meneliti dampak harga komoditas terhadap perekonomian Indonesia. Peningkatan harga minyak bumi akan memberikan 8
dampak negatif terhadap kegiatan perekonomian. Meskipun demikian, dampak terhadap inflasi tidak terlalu nyata karena kebijakan subsidi harga bahan bakar minyak yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia. Sementara itu, peningkatan harga batu bara dan harga minyak kelapa sawit mentah (CPO) relatif tidak berpengaruh terhadap PDB Indonesia. Hal itu disebabkan peningkatan harga komoditas tersebut akan menurunkan permintaan dunia sehingga dampak positif dari kenaikan harga komoditas dinegasikan oleh menurunnya permintaan dunia. Jika dibandingkan besarannya, shock peningkatan harga komoditas memiliki implikasi yang lebih besar terhadap perekonomian Indonesia jika dibandingkan dengan shock peningkatan suku bunga dan peningkatan PDB Amerika Serikat. Ibrahim et al. (2012) dengan menggunakan pendekatan Asian-IO menemukan bahwa penurunan 1% PDB Tiongkok berdampak lebih besar terhadap PDB Indonesia (0,14%) jika dibandingkan dengan penurunan yang sama dari PDB Amerika Serikat (0,05%) dan PDB Eropa (0,07%). Anglingkusumo et al. (2014) dengan menggunakan pendekatan Dynamic Ordinary Least Square (DOLS) menemukan bahwa penurunan investasi sebesar 1% di Tiongkok akan berdampak pada pertumbuhan ekonomi 10 negara di kawasan Asia tersebut dalam jangka panjang (termasuk Indonesia), yaitu berupa penurunan sebesar 0,03%. Sementara itu, apabila indeks produksi di Tiongkok turun sebesar 1%, dampaknya lebih besar, yaitu turunnya pertumbuhan GDP sebesar 0,30%. Tingginya dampak indeks produksi menunjukkan bahwa barang-barang yg dieskpor ke Tiongkok lebih banyak berupa bahan baku untuk produksi. Selain itu, penurunan investasi sebesar 1% di Amerika Serikat berdampak terhadap pertumbuhan ekonomi 10 negara di kawasan Asia tersebut dalam jangka panjang (termasuk Indonesia) yaitu berupa penurunan sebesar 0,07%. Sementara itu, apabila konsumsi di Amerika Serikat turun sebesar 1%, dampaknya lebih besar, yaitu turunnya pertumbuhan PDB sebesar 0,46%. Hal itu menunjukkan bahwa ekspor ke Amerika Serikat lebih banyak berupa final goods dibandingkan barang antara atau raw material. Jika dibandingkan dengan riset spillover yang menggunakan pendekatan input output, research gap yang dijawab dalam penelitian ini adalah penggunaan metodologi GVAR yang merupakan sistem country-specific VAR--model dari berbagai negara yang saling berhubungan--untuk menangkap transmisi shock. Penggunaan variabel keuangan dan perdagangan dalam sistem ini memungkinkan untuk dilakukan asesmen shock dari variabel keuangan dan variabel perdagangan yang tidak dimungkinkan dengan pendekatan input output. 9
Sementara research gap terhadap riset spillover yang telah menggunakan pendekatan VAR adalah penggunaan GVAR toolbox yang memungkinkan dilakukan replikasi bootstrap sehingga dapat terbentuk confidence interval. Selain itu, untuk menggambarkan hubungan antarnegara akan digunakan hubungan perdagangan dan keuangan yang belum dilakukan pada penelitian sebelumnya. Penelitian sebelumnya hanya menggunakan data perdagangan untuk mewakili hubungan antarnegara. Dengan demikian, diharapkan lebih mewakili kondisi yang sebenarnya dan mendapatkan hasil yang lebih robust.
Tabel 1. Perbandingan Studi Literatur Penelitian Iskandar dan Permata
Tahun 2011
Judul Krisis AS dan Eropa, serta Dampak Rambatannya terhadap Perekonomian Indonesia
Harahap, et al.
2013a
Spillover Effects dari Perbaikan Ekonomi AS dan Eropa terhadap Indonesia
Harahap, et al.
2013b
Measuring Global Spillover to Indonesia: Pendekatan FAVAR
Ibrahim, et al.
2012
Anglingkusumo, et al.
2014
Transmisi Perlambatan Negara Tujuan Ekspor melalui International Trade: Pendekatan ASIAN-IO Dampak Spillover
Deskripsi Penggunaan pendekatan GVAR (manual) untuk mengetahui dampak krisis AS. Penggunaan pendekatan GVAR (manual) untuk mengetahui dampak perbaikan AS dan Eropa. Penggunaan pendekatan FAVAR untuk melihat dampak tapering off di US, perbaikan ekonomi di US dan Eropa serta harga komoditas. Penggunaan pendekatan IO untuk melihat dampak penurunan PDB AS dan Tiongkok. Penggunaan pendekatan
Research Gap Penggunaan metodologi GVAR dengan replikasi bootstrap. Penggunaan hubungan perdagangan dan keuangan. Penggunaan metodologi GVAR dengan replikasi bootstrap. Penggunaan hubungan perdagangan dan keuangan. Penggunaan metodologi GVAR dengan replikasi bootstrap Penggunaan hubungan perdagangan dan keuangan.
Penggunaan pendekatan GVAR yang memungkinkan asesmen shock dengan menggunakan variabel keuangan. Penggunaan pendekatan GVAR 10
Penelitian
Tahun
Judul Pelambatan Ekonomi Tiongkok dan US
Deskripsi DOLS untuk melihat dampak penurunan PDB AS dan Tiongkok
Research Gap yang memungkinkan asesmen shock dengan menggunakan variabel keuangan.
11
III. METODOLOGI DAN DATA
3.1 Global Vector Autoregression Metodologi yang digunakan dalam penelitian ini adalah metodologi model global vector auto regression (GVAR) yang dikembangkan oleh Pesaran, Schuermann, dan Weiner (2004) dan kemudian oleh DΓ©es et al. (2007). GVAR adalah teknik modelling yang mengombinasikan time series, panel data, serta teknik analisis faktor untuk menjelaskan isu-isu makroekonomi dan finansial. Menurut Smith dan Galesi (2014), GVAR mempunyai beberapa keunggulan, yaitu (1) memungkinkan hubungan timbal balik pada level nasional atau internasional secara transparan dan dapat diuji secara empiris; (2) memungkinkan hubungan jangka panjang yang sesuai dengan teori serta hubungan jangka pendek yang sesuai dengan data; dan (3) memungkinkan terciptanya solusi koheren sesuai teori terkait dengan seriusnya isu dimensi pada permodelan ekonomi global. Secara teknis GVAR merupakan model global yang menggabungkan model vector auto regression (VAR) dari setiap negara yang variabel domestiknya terkait dengan variabel foreign yang spesifik untuk tiap negara. Variabel foreign terhubung dengan variabel domestik negara tersebut melalui hubungan perdagangan, finansial, atau pola lainnya yang dinilai sesuai untuk negara yang diamati. Untuk setiap negara model VAR konvensional diperluas dengan tambahan set variabel foreign. Variabel foreign ini dibangun sebagai rata-rata tertimbang variabel yang sama dari mitra dagang negara tersebut. Misalnya, ada π + 1 negara di ekonomi global
dengan
indeks
tempat
i = 0, 1, 2, β¦ , N
negara
0
digunakan
sebagai
numeraire/reference country, ππ΄π
π β (ππ , ππ ) individual untuk setiap negara adalah sebagai berikut. π
π
β π π π₯ππ‘ = ππ0 + ππ1 π‘ + βπ =1 π·π π₯π,π‘βπ + βπ =0 Λπ π₯π,π‘βπ + πππ‘ , πππ‘ ~π. π. π (0, β π)
(1)
β π₯ππ‘ merupakan vektor variabel domestik ππ π₯1, dan π₯ππ‘ merupakan vektor
variabel foreign ππ π₯1 dengan β π₯ππ‘ = βπ π=0 πππ π₯ππ‘
(2)
πππ adalah bobot dengan βπ π=0 πππ = 0. Bobot πππ untuk negara π dibangun berdasarkan porsi flow dari negara π terhadap total flow yang diterima negara π yang 12
mewakili hubungan antara negara π dan negara π. Country-specific foreign variables β π₯ππ‘ dianggap sebagai weakly exogenous yaitu βlong run forcingβ di dalam model, yaitu
koefisien dari error correction term diset nol di dalam persamaan foreign variables, yang berarti bahwa dinamika foreign variables tidak dipengaruhi oleh longequlibrium path yang berbeda dengan variabel domestik. Selanjutnya, setiap model negara diestimasi melalui reduced rank regression dan OLS untuk memperoleh parameter negara individual. Adapun bobot πππ yang digunakan dalam penelitian ini didasarkan pada kombinasi hubungan perdagangan dan hubungan finansial antarnegara. Sejalan dengan Chen et al. (2015) bobot tersebut diperoleh melalui formula sebagai berikut: πππ
π π πΉ πΉ πππ,π‘ = π€π,π‘ πππ,π‘ + π€π,π‘ πππ,π‘
(3)
π πΉ πππ,π‘ dan πππ,π‘ masing-masing merupakan bobot dari perdagangan dan π πΉ hubungan finansial secara bilateral. π€π,π‘ dan π€π,π‘ masing-masing merupakan derajat
kepentingan relatif antara arus perdagangan dan arus finansial pada ekonomi. Dua variabel tersebut dibentuk dari nilai arus perdagangan (ekspor dan impor) dan arus finansial (inbound dan outbound) yang secara relatif dibandingkan nilai total kedua komponen. Bobot hubungan i dengan j yang bersifat fixed diperoleh melalui: π
1 πππ πππ = β πππ,π‘ π
(4)
π‘=1
Penelitian ini menggunakan dua versi model GVAR. Model 1 mengacu pada DΓ©es et al. (2007). Variabel yang digunakan meliputi PDB (π¦ππ‘ ), inflasi (βπππ‘ ), suku bunga jangka pendek (πππ‘ ), suku bunga jangka panjang (ππππ‘ ), nilai tukar riel (ππππ‘ ), serta indeks harga saham (ππππ‘ ). Sementara itu, pada model 2 variabel yang digunakan adalah PDB, inflasi, broad money atau M2 (ππππ‘ ), serta indeks harga saham. Selain itu, variabel eksogen yang digunakan pada kedua model tersebut adalah harga minyak, harga metal, serta harga bahan mentah. Penggunaan dua model itu disebabkan penelitian ini bertujuan, antara lain untuk mengevaluasi dampak kenaikan suku bunga nominal AS dan kebijakan tapering-off yang diwakili dengan broad money (M2). Secara formal, model 1 dapat dirumuskan sebagai berikut.
13
π¦ππ‘ βπππ‘ πππ‘ π₯ππ‘ = ππ , ππ‘ ππππ‘ ( ππππ‘ )
π¦ππ‘ βπππ‘ β π₯ππ‘ = πππ‘ ππππ‘ ( ππππ‘ )
(5)
Sementara itu, untuk model 2 dirumuskan sebagai berikut. π¦ππ‘ βπππ‘ π₯ππ‘ = ππππ‘ , ππππ‘ ππ ( ππ‘ )
π¦ππ‘ βπ ππ‘ β π₯ππ‘ = (ππ ) ππ‘ ππππ‘
(6)
Penggunaan variabel domestik dan foreign untuk tiap negara ditampilkan pada lampiran. Setelah model VAR untuk setiap negara diperoleh, dilakukan estimasi model GVAR. Meskipun estimasi dilakukan terpisah untuk tiap negara, model GVAR dipecahkan untuk seluruhnya (ππ Γ 1 vektor variabel global,
π = βπ π=0 ππ ) karena
ketergantungan pada periode yang sama antara variabel domestik π₯ππ‘ terhadap β variabel dan variabel foreign π₯ππ‘ . Solusi dari estimasi GVAR dapat digunakan untuk
memperoleh impulse response. β Jika π§ππ‘ = (π₯ππ‘ , π₯ππ‘ ), persamaan (1) dapat ditulis sebagai berikut: ππ
π΄π π§ππ‘ = ππ0 + ππ1 π‘ + β π΅ππ π§π,π‘βπ + πππ‘
(7)
π =1
π΄π = (πΌππ β Λπ0 ), π΅ππ = (π·ππ Λππ ). Dari persamaan (2) dapat diperoleh π§ππ‘ = ππ π₯π‘ , ππ merupakan matriks bobot berukuran (ππ +ππ ) Γ π yang didefinisikan dari bobot spesifik negara πππ sehingga, persamaan (7) dapat diubah bentuk menjadi: ππ
π΄π ππ π₯π‘ = ππ0 + ππ1 π‘ + β π΅ππ ππ π₯π‘βπ + πππ‘
(8)
π =1
dan model individu negara dikumpulkan bersama untuk menjadi model global π₯π‘ , yaitu: ππ
πΊπ π₯π‘ = π0 + π1 . π‘ + βπ =1 πΊπ π₯π‘βπ + ππ‘ ,
(9)
π00 π0π‘ π01 π΄00 π0 π΄0π π0 π π π΄ π π΄ π 10 ), π = ( 11 ), πΊ = ( 10 1 ), πΊ = ( 1π 1 ), π = ( π1π‘ ), π0 = ( β¦ β¦ β¦ π 0 π π‘ β¦ β¦ ππ0 ππ1 πππ‘ π΄π0 ππ π΄ππ ππ Dengan mengalikan (9) dengan πΊ0β1 , dapat diperoleh bentuk sebagai berikut: 14
π
π₯π‘ = πΊ0β1 π0 + πΊ0β1 π1 . π‘ + βπ =1 πΊ0β1 πΊπ π₯π‘βπ + πΊ0β1 ππ‘ ,
(10)
Spesifikasi (10) dapat dipecahkan secara rekursif untuk memperoleh nilai ke depan dan untuk memperoleh impulse response.
3.2 Aplikasi Global VAR dan Impulse Response Estimasi Global VAR dilakukan dengan menggunakan GVAR Toolbox 2.0 (Smith dan Galesi, 2014). Aplikasi ini menggunakan serangkaian prosedur Matlab dan terhubung langsung dengan Excel dengan fitur yang memungkinkan modifikasi model secara luas. Aplikasi ini juga telah menyediakan beberapa metode untuk pengujian asumsi dan fasilitas untuk replikasi bootstrap. Terdapat beberapa penyesuaian lanjutan pada estimasi GVAR, beberapa di antaranya mengikuti DΓ©es et al. (2007), yaitu (1) terkait dengan peran AS sebagai benchmark dari pasar finansial global, spesifikasi VARX AS tidak menyertakan foreign variables harga ekuitas, suku bunga, serta broad money dan (2) terkait perbedaan degree of integration, restriksi tidak adanya tren diberikan pada variabel suku bunga, inflasi, serta broad money. Selain itu, penelitian ini juga mengubah matriks bobot yang digunakan pada GVAR toolbox menjadi kombinasi bobot finansial dan perdagangan, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Fokus analisis dalam penelitian ini adalah analisis impulse response variabel makroekonomi Indonesia atas adanya shock di negara lainnya. Pemilihan jenis shock ini didasarkan atas kondisi dan prospek ekonomi global pada tahun 2015. Terdapat lima jenis shock yang dilakukan, yaitu (1) penurunan broad money AS sebagai proxy dari tapering off di negara tersebut; (2) kenaikan PDB AS; (3) kenaikan suku bunga AS; (4) penurunan PDB Tiongkok; dan (5) depresiasi mata uang Tiongkok. Sebagai tambahan, selain komparasi respons dari tiap shock akan juga dilakukan analisis terhadap shock gabungan atas dua jenis shock yang memberikan dampak negatif terhadap perekonomian Indonesia, yaitu kenaikan suku bunga AS yang dibarengi dengan penurunan PDB Tiongkok. Jenis impulse response yang dihasilkan adalah generalized impulse response function (GIRF) sebagaimana diusulkan oleh Pesaran dan Shin (1998). Metode tersebut merupakan alternatif dari orthogonalized impulse response function (OIRF). Pendekatan GIRF mempunyai keunggulan tidak membutuhkan prior belief yang 15
kuat atas urutan shock atau negara. Namun, GIRF tetap dapat memberikan informasi dinamika transmisi model atas adanya shock individual. Metode OIRF juga telah dilakukan dengan urutan variabel sesuai pendapat DΓ©eset al. (2007), yaitu harga minyak, suku bunga jangka pendek, harga ekuitas, inflasi, dan PDB. Hasil OIRF yang muncul relatif sama dengan GIRF sehingga tidak dilaporkan dalam tulisan ini. Angka impulse response diperoleh melalui median dari metode bootstrap dengan 1.000 replikasi. Selain itu, metode bootstrap juga memberikan confidence interval dari tiap-tiap impulse response. Selanjutnya, angka GIRF hasil keluaran GVAR toolbox yang masih terasosiasi dengan shock 1 standar deviasi dikonversi menjadi shock 1% dengan menggunakan angka residual VECMX dari tiap-tiap shock. Berdasarkan studi yang menggunakan GVAR sebelumnya yang dilakukan oleh Pesaran and Smith (2006), DΓ©es et al. (2007), Chudik and Fratzscher (2011), serta Chen et al. (2015), confidence interval dari IRF yang diperoleh cenderung lebar dan mengapit 0. Hal tersebut lebih disebabkan oleh terbatasnya degree of freedom dalam mengestimasi banyak variabel. Dengan mengacu pada mekanisme transmisi yang dijelaskan pada bab sebelumnya, berikut adalah alur pikir kemungkinan respons spillover dari skenario yang diteliti dalam penelitian ini.
Gambar 4. Hipotesa Jalur Transmisi Shock Eksternal terhadap Perekonomian Indonesia 16
3.3 Data Data yang digunakan berfrekuensi kuartalan dari triwulan II 1979 sampai dengan triwulan IV 2014. Seperti juga dijelaskan pada Tabel 3.1. Sumber data antara lain adalah IFS, CEIC, Bloomberg, dan OECD. Sebagian data kemudian dikonversi dalam bentuk log natural, kecuali untuk variabel-variabel yang telah dalam bentuk persentase. Data yang digunakan pada penelitian ini mencakup 33 negara yang terdiri atas Argentina, Australia, Austria, Belgia, Brazil, Kanada, Tiongkok, Chile, Finlandia, Perancis, Jerman, India, Indonesia, Italia, Jepang, Korea, Malaysia, Meksiko, Belanda, Norwegia, Selandia Baru, Peru, Filipina, Afrika Selatan, Saudi Arabia, Singapura, Spanyol, Swedia, Swiss, Thailand, Turki, Inggris, dan USA. Pemiilihan atas 33 negara tersebut telah mencakup 90% dari PDB dunia.
Tabel 2. Sumber Data Variabel
Sumber Data
PDB riel
IFS, NBS, PSS, Bloomberg, OECD
Inflasi (CPI)
IFS, NBS
Indeks harga saham
CEIC, Bloomberg
Nilai Tukar Riel
CEIC, Bloomberg
Suku bunga jangka pendek
IFS, Bloomberg
Suku bunga jangka panjang
IFS, Bloomberg
Broad Money
OECD
Harga minyak
Bloomberg
Harga Metal
IFS
Harga Bahan Mentah
IFS
International Bank Lending
BIS
Ekspor & Impor
IFS
Hubungan antarnegara diwakili dengan hubungan perdagangan dan finansial yang
menggunakan
rata-rata
dari
periode
tahun
2011--2014.
Hubungan
perdagangan didasarkan atas arus ekspor dan impor. Arus finansial diwakili oleh data international bank lending dari BIS. Selain itu, karena tidak lengkapnya data international bank lending pada negara tertentu pada waktu tertentu, data bobot finansial pada ekonomi tanpa data diasumsikan nol.
17
3.4 Perkembangan Tren Global Quantitative easing (QE) dilakukan bank sentral negara maju sebagai respons terhadap krisis keuangan global, di saat suku bunga kebijakannya telah mendekati dasar (batas nol) sehingga tidak efektif sebagai sinyal kebijakan. QE dilakukan dengan pembelian aset yang berdampak pada meningkatnya aset bank sentral dan menurunnya suku bunga jangka panjang. The Fed meluncurkan kebijakan QE sebanyak tiga kali, yaitu November 2008, November 2010, dan Agustus 2012. Pembelian aset tersebut berdampak pada peningkatan aset bank sentral sebagaimana tampak pada Gambar 5. Likuiditas meningkat sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 6, terdapat peningkatan broad money (M2) di Amerika di sekitar pengumuman QE. QE dipandang berhasil untuk menurunkan yield dari long term bond negara maju sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 11.
Sumber: The Fed St. Louis & Bloomberg, diolah
Gambar 5. Total Aset Bank Sentral
Sumber: The Fed St. Louis, diolah
Gambar 6. Pertumbuhan M2 Amerika Serikat
Di sisi lain, terdapat dampak spillover dari kebijakan ini terhadap emerging market, yaitu melalui likuiditas global dan capital flow. QE dipandang sebagai push factor dari capital inflow ke emerging market, termasuk Indonesia. Peningkatan aliran portfolio ke Indonesia terlihat pada periode-periode QE sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 8. Jika dilihat sumbernya, aliran yang masuk ke surat berharga dan saham, didominasi oleh Eropa dan Amerika Serikat (Gambar 9 dan Gambar 10). Kondisi tersebut juga mendorong penurunan yield dari long term bond di negara berkembang (Gambar 11).
18
Sumber: Bloomberg, diolah
Gambar 7. Long term Bond Yield AEs
Sumber: EPFR Global, diolah
Gambar 8. Total Portfolio Inflow ke Indonesia
Sumber: EPFR Global, diolah
Gambar 9. Sumber Portfolio Inflow ke Indonesia β Bond
Sumber: EPFR Global, diolah
Gambar 10. Sumber Portfolio Inflow ke Indonesia β Equity 19
Sumber: Bloomberg, diolah
Gambar 11. Long-term Bond Yield EMs
Sumber: IMF WEO, diolah
Gambar 12. Pertumbuhan Ekonomi Negara Maju
QE juga dipandang berkontribusi terhadap pemulihan di negara maju seiring dengan membaiknya pertumbuhan ekonomi di Amerika, Euro, dan Jepang sebagaimana terlihat pada Gambar 12. Pemulihan itu berimplikasi pada normalisasi kebijakan moneter yang ditandai dengan meningkatnya suku bunga kebijakan dan mengetatnya likuiditas global. Di sisi lain, sebagaimana disampaikan IMF (2014) dalam Global Spillover Report, terdapat tren global lain yang akan memengaruhi perekonomian dunia, selain normalisasi kebijakan moneter di negara maju, yaitu melambatnya perekonomian negara berkembang. Sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 13, tren perlambatan pertumbuhan ekonomi terjadi pascakrisis yang dapat berdampak spillover, baik pada perekonomian global maupun emerging market lainnya.
Sumber: IMF WEO, diolah
Gambar 13. Pertumbuhan Ekonomi Negara Berkembang
20
IV. HASIL DAN ANALISIS
4.1 Analisis Impulse Response Pada Bab ini akan dijabarkan mengenai analisis hasil empiris, yaitu impulse response yang dihasilkan dari properti dinamis atas dua model GVAR seperti yang dijelaskan pada Bab 3. Jenis impulse response yang dihasilkan adalah generalized impulse response function (GIRF) sebagaimana diusulkan oleh Pesaran dan Shin (1998). Impulse response juga dilengkapi dengan confidence interval yang dihasilkan melalui replikasi bootstrap. Impulse response tersedia untuk 40 periode setelah shock, tetapi analisis akan lebih difokuskan pada inovasi pada jangka waktu yang lebih pendek (4 triwulan, 8 triwulan, dan angka maksimum pada 12 triwulan). Pembahasan pada jangka waktu yang lebih pendek tersebut mengikuti beberapa penelitian sebelumnya (antara lain Sun et al., 2013; Chudik dan Smith, 2013; dan IMF, 2014), serta untuk lebih fokus pada jangka waktu untuk hasil yang kredibel (Sun et al., 2013). Beberapa ukuran menunjukkan bahwa model GVAR stabil dan model tersebut dapat digunakan untuk analisis, seperti tertera pada Lampiran 1, Lampiran 2, dan Lampiran 9. Uji weak exogeneity menunjukkan bahwa variabel eksternal bersifat weakly exogenous sekurangnya pada 93% kasus (hanya 16 dari 234 kasus yang ditemukan signifikan) untuk model 1 dan 97% kasus (hanya 5 dari 174 kasus yang ditemukan signifikan) untuk model 2. Contemporaneous effects pada variabel domestik secara umum searah dengan adanya shocks pada variabel eksternal yang sama, kecuali pada dua negara, yaitu India dan Peru. Selain itu, persistence profile atas system-wide shocks pada seluruh persamaan kointegrasi Indonesia turun menuju nol secara eksponensial. Indikasi cukup baiknya model GVAR dapat diperoleh melalui besarnya korelasi residual (DΓ©es et al., 2007). Korelasi residual pada tiap-tiap persamaan VECMX terlihat cukup kecil dengan kisaran 0β0,3 (Lampiran 3). Hal itu menunjukkan bahwa model GVAR yang diestimasi terindikasi cukup baik dalam memfasilitasi faktor-faktor yang memengaruhi variabel endogen. Selain itu, rendahnya korelasi residual juga mengindikasikan bahwa model GVAR cukup efektif dalam menjelaskan hubungan timbal balik antarnegara (Sun et al., 2013).
21
4.1.1 Dampak Shock Broad Money AS Kebijakan tapering off yang diwakili oleh penurunan pertumbuhan broad money di AS akan berdampak pada pengetatan likuiditas global yang memberikan tekanan depresiasi nilai tukar riel Indonesia dalam jangka pendek melalui capital outflow dari Indonesia. Mengingat tapering-off ekuivalen dengan penurunan QE, hal itu berarti sesuai dengan temuan Dahlhaus, Hess, dan Reza (2014), yaitu transmisi QE dari AS ke Kanada lebih dominan melalui jalur finansial daripada menggunakan jalur perdagangan. Capital outflow akan menyebabkan terkontraksinya PDB Indonesia (sebesar 0,18% pada tahun pertama dan 0,22% pada tahun kedua). Hal itu sejalan dengan Harahap et al. (2013b) dan Soares (2011) yang juga menemukan indikasi dominasi jalur finansial relatif terhadap jalur perdagangan. Selain itu, Druck, Magud, dan Mariscal (2015) menjelaskan PDB negara berkembang dapat turun karena apresiasi nilai tukar AS (terasosiasi dengan kontraksi moneter AS) akan menurunkan harga komoditas. Sebagai catatan, PDB sempat naik secara temporer yang menunjukkan bahwa transmisi jalur perdagangan lebih cepat daripada jalur finansial. Di sisi harga, inflasi Indonesia meningkat dalam jangka pendek karena adanya imported inflation dan karena mengikuti depresiasi nilai tukar yang terjadi. Selain itu, inflasi dan broad money akan turun seiring dengan penurunan PDB karena adanya penurunan output gap serta permintaan uang.
PDB
Inflasi
22
Nilai Tukar Riel
Broad Money
Gambar 14. Impulse Response terhadap Shock Broad Money AS Kontraksi PDB Indonesia yang terjadi lebih rendah dari negara-negara ASEAN lainnya (Malaysia, Filipina, Singapore, dan Thailand). Dampak secara umum relatif setara dengan hasil analisis GVAR yang dilakukan Chudik dan Smith (2013) dengan dampak 0,25% penurunan PDB UK atas shock tapering off. Depresiasi nilai tukar riel di Indonesia sebesar 0,31% pada tahun pertama, lebih rendah dari Brazil sebagai anggota fragile five, tetapi lebih tinggi dibandingkan Malaysia.
Tabel 3. Perbandingan IRF PDB terhadap Shock Broad Money AS Triwulan 4
Triwulan 8
Maksimum dalam 12 triwulan
Brazil
-0.12
-0.19
-0.20
Indonesia
-0.18
-0.22
-0.22
Japan
-0.07
-0.10
-0.10
Korea
-0.36
-0.33
-0.36
Malaysia
-0.32
-0.37
-0.37
Philippines
-0.25
-0.30
-0.30
Singapore
-0.49
-0.60
-0.62
Thailand
-0.32
-0.38
-0.38
23
Tabel 4. Perbandingan IRF Nilai Tukar Riel terhadap Shock Broad Money AS Triwulan 4
Triwulan 8
Maksimum dalam 12 triwulan
Brazil
1.37
1.29
1.37
Indonesia
0.31
-0.17
0.51
Japan
-0.13
-0.07
-0.06
Korea
0.90
0.83
0.90
Malaysia
0.22
0.22
0.23
Philippines
0.75
0.73
0.82
Singapore
0.49
0.73
0.78
Thailand
0.61
0.78
0.80
4.1.2 Dampak Shock Kenaikan PDB Amerika Serikat Hasil impulse response GVAR menunjukkan bahwa kenaikan PDB AS berpotensi mendorong permintaan ekspor ke Indonesia. Hal itu akan berpengaruh pada dua hal, yaitu(1) apresiasi nilai tukar riel, khususnya dalam satu tahun pertama serta (2) adanya peningkatan PDB Indonesia. Besarnya suatu negara akan memengaruhi sensitivitas partner dagang dalam merespons kenaikan PDB negara tersebut (Sun et al., 2013). Dalam hal ini, AS merupakan ekonomi terbesar dunia dan juga merupakan salah satu partner dagang utama Indonesia. Impulse response juga menunjukkan bahwa inflasi Indonesia akan turun sejalan dengan apresiasi nilai tukar riel yang terjadi melalui penurunan imported inflation. Dampak tersebut terjadi secara instan dan segera menjadi normal. Selanjutnya, pada tahun kedua inflasi Indonesia akan naik didorong oleh kenaikan PDB melalui kenaikan output gap. Secara keseluruhan, variasi dampak yang terjadi pada inflasi Indonesia tersebut menunjukkan bahwa transmisi yang terjadi melalui jalur nilai tukar cenderung lebih cepat dibandingkan melalui jalur sektor riel. Suku bunga nominal akan turun dalam satu tahun pertama karena terbukanya ruang penurunan suku bunga nominal tanpa mengubah suku bunga riel seiring dengan adanya apresiasi nilai tukar. Namun, suku bunga nominal selanjutnya akan naik karena adanya kenaikan inflasi.
24
PDB
Inflasi
Nilai Tukar Riel
Suku bunga jangka pendek
Gambar 4. Impulse Response terhadap Shock PDB AS Kenaikan PDB Indonesia yang terjadi adalah sebesar 0,32% pada tahun pertama dan 0,34% pada tahun kedua. Dampak tersebut relatif berada di tengah negara lainnya. Hasil impulse response ini juga cukup sejalan dengan temuan IMF (2014), yaitu 1% shock PDB negara maju akan direspons oleh PDB negara berkembang sebesar sekitar 0,4%--0,5% setelah empat triwulan. Di sisi lain, nilai tukar riel Indonesia diperkirakan terapresiasi sebesar 0,56% pada tahun pertama karena kenaikan PDB AS sebesar 1%. Dampak tersebut lebih rendah dari banyak negara, termasuk Brazil, Jepang, Korea, Filipina, Singapora, serta Thailand.
25
Tabel 5. Perbandingan IRF PDB terhadap Shock PDB AS Triwulan 4
Triwulan 8
Maksimum dalam 12 triwulan
Brazil
0.17
0.03
0.18
Indonesia
0.32
0.34
0.36
Japan
0.19
0.17
0.19
Korea
0.54
0.57
0.69
Malaysia
0.54
0.43
0.54
Philippines
0.13
0.03
0.15
Singapore
0.88
0.79
0.88
Thailand
0.56
0.46
0.56
Tabel 6. Perbandingan IRF Nilai Tukar Riel terhadap Shock PDB AS Triwulan 4
Triwulan 8
Maksimum dalam 12 triwulan
Brazil
-4.40
-4.96
-5.47
Indonesia
-0.56
-0.37
-0.66
Japan
1.05
1.00
0.05
Korea
-1.93
-1.86
-1.96
Malaysia
-0.26
-0.16
-0.26
Philippines
-1.34
-1.26
-1.34
Singapore
-0.77
-0.95
-0.97
Thailand
-1.09
-1.40
-1.55
4.1.3 Dampak Shock Kebijakan Suku Bunga Jangka Pendek Amerika Serikat Berdasarkan hasil impulse response GVAR, kenaikan suku bunga di AS akan mendorong adanya capital outflow sehingga akan memberikan tekanan terhadap depresiasi nilai tukar riel Indonesia dalam jangka pendek. Hal itu disebabkan berubahnya posisi suku bunga riel relatif antara Indonesia dan AS. Tingkat suku bunga nominal di Indonesia akan terdorong naik seiring dengan adanya tekanan capital outflow. Dampak terhadap suku bunga sejalan dengan hasil GVAR yang dilakukan oleh Chudik dan Smith (2013), yaitu kenaikan 20 bps suku bunga AS akan diikuti oleh 15 bps kenaikan suku bunga UK pada tahun pertama. Selain itu, Edwards (2010) juga menemukan bahwa kenaikan suku bunga AS
26
sebesar 50 bps akan meningkatkan suku bunga Asia sebesar 15 bps dalam waktu yang sama. Median dari impulse response menunjukkan bahwa kenaikan suku bunga AS berdampak
negatif
terhadap
PDB
Indonesia.
Walaupun
suku
bunga
AS
menyebabkan depresiasi sehingga dapat meningkatkan PDB melalui jalur perdagangan, tetapi PDB turun karena kenaikan suku bunga Indonesia sebagai respons pada jalur finansial. Hasil itu sejalan dengan temuan Harahap et al. (2013b) dan Soares (2011), yaitu transmisi kenaikan suku bunga AS lebih dominan melalui jalur finansial daripada jalur perdagangan. Namun, hasil replikasi bootstrap menunjukkan bahwa dampak terhadap PDB mempunyai deviasi (confidence interval) yang semakin besar seiring dengan waktu. Selain itu, Druck, Magud, dan Mariscal (2015) juga menjelaskan jalur yang tidak secara eksplisit muncul pada Global VAR ini, yaitu kenaikan suku bunga AS akan mendorong apresiasi nilai tukar AS dan akan menurunkan harga komoditas sehingga PDB negara berkembang turun. Inflasi akan meningkat dalam jangka pendek karena imported inflation mengikuti depresiasi yang terjadi. Seiring dengan inflasi, penyesuaian kembali yang berupa apresiasi nilai tukar riel secara gradual terjadi dalam jangka menengah.
PDB
Inflasi
Nilai Tukar Riel
Suku bunga jangka pendek
Gambar 5. Impulse Response terhadap Shock Suku Bunga Jangka Pendek AS
27
Penurunan PDB Indonesia yang terjadi adalah sebesar 0,04% pada tahun pertama, lebih besar dari negara lainnya secara umum. Depresiasi nilai tukar riel di Indonesia sebesar 0,06% pada tahun pertama. Dampak maksimum untuk dua belas triwulan pertama terlihat lebih tinggi jika dibandingkan dengan Malaysia, Thailand, Filipina, dan Singapura. Namun, perlu dicatat pada komparasi antarnegara ini bahwa kenaikan suku bunga AS dapat menimbulkan dampak yang bersifat asimetris antarnegara. Dengan kondisi price rigidity pada jangka pendek, respons nilai tukar riel yang instan dan besar secara implisit memberikan indikasi kuat bahwa suku bunga AS dapat menyebabkan overshooting pada nilai tukar nominal Indonesia. Dampak instan terjadi jika kondisi sesuai dengan model, yaitu kenaikan suku bunga AS bersifat unanticipated. Walaupun tidak dielaborasi secara khusus pada penelitian ini dan sesuai dengan model dornbusch overshooting pada kondisi anticipated dampak terhadap nilai tukar nominal tersebut, diperkirakan terjadi secara lebih gradual dan akan terealisasi secara penuh sesaat setelah shock terjadi.
Tabel 7. Perbandingan IRF PDB terhadap Shock Suku Bunga Jangka Pendek AS Triwulan 4
Brazil
Triwulan 8
Maksimum dalam 12 triwulan
0.26
0.08
-0.05
Indonesia
-0.04
-0.06
-0.14
Japan
-0.03
-0.03
-0.07
Korea
0.26
0.37
-0.13
Malaysia
0.07
0.04
-0.07
Philippines
0.19
0.12
-0.02
Singapore
0.41
0.29
-0.06
Thailand
0.07
-0.09
-0.14
28
Tabel 8. Perbandingan IRF Nilai Tukar Riel terhadap Shock Suku Bunga Jangka Pendek AS Triwulan 4
Brazil
Triwulan 8
Maksimum dalam 12 triwulan
-3.64
-4.97
-0.32
Indonesia
0.06
-0.09
0.70
Japan
2.07
2.01
2.10
Korea
-1.64
-1.53
0.01
0.23
0.27
0.33
Philippines
-0.81
-0.80
0.06
Singapore
-0.20
-0.26
0.02
Thailand
-0.59
-1.10
0.08
Malaysia
4.1.4 Dampak Shock Penurunan PDB Tiongkok Sesuai dengan transmisi melalui jalur perdagangan sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, hasil impulse response GVAR mengindikasikan bahwa penurunan PDB Tiongkok akan menurunkan permintaan ekspor ke Indonesia sehingga akan menurunkan PDB Indonesia. Temuan itu sesuai dengan pendapat Anglingkusumo et al. (2014) atas signifikansi penurunan PDB Tiongkok terhadap sepuluh negara Asia. Selain itu, penurunan ekspor Indonesia juga akan memberikan tekanan depresiasi pada nilai tukar riel. Dari sisi harga, inflasi akan naik dalam jangka pendek karena didorong oleh depresiasi nilai tukar. Namun, mulai satu tahun setelah shock, inflasi Indonesia akan turun yang disebabkan oleh adanya penurunan PDB dan output gap. Depresiasi nilai tukar juga direspons dengan kenaikan suku bunga nominal dalam jangka pendek untuk mempertahankan tingkat suku bunga riel serta real interest rate parity. Namun, suku bunga nominal kemudian akan turun karena adanya penurunan PDB dan inflasi.
29
PDB
Inflasi
Nilai Tukar Riel
Suku bunga jangka pendek
Gambar 6. Impulse Response terhadap Shock Penurunan PDB Tiongkok Penurunan PDB Indonesia yang terjadi adalah sebesar 0,52% pada tahun pertama dan 0,77% pada tahun kedua. Dampak tersebut lebih tinggi dari Brazil (0,15%), Korea (0,15%), dan Jepang (0,39%), tetapi lebih rendah daripada Malaysia (0,62%) dan Singapora (0,81%). Dampak di negara maju relatif sejalan dengan laporan IMF (2014) yang menyebutkan bahwa 1% penurunan PDB di negara berkembang akan menurunkan PDB di negara maju sebesar 0,2%. Di sisi lain, nilai tukar riel Indonesia diperkirakan terdepresiasi sebesar 1,03% pada tahun pertama. Hal itu berarti lebih tinggi jika dibandingkan dengan Filipina dan Malaysia, tetapi lebih rendah dari Brazil.
Tabel 9. Perbandingan IRF PDB terhadap Shock Penurunan PDB Tiongkok Triwulan 4
Triwulan 8
Maksimum dalam 12 triwulan
Brazil
-0.15
-0.22
-0.24
Indonesia
-0.52
-0.77
-0.89
Japan
-0.39
-0.49
-0.53
Korea
-0.15
-0.13
-0.17
Malaysia
-0.62
-0.76
-0.79
Philippines
-0.09
-0.12
-0.12
Singapore
-0.81
-1.02
-1.07
Thailand
-0.58
-0.81
-0.90
30
Tabel 10. Perbandingan IRF Nilai Tukar Riel terhadap Shock Penurunan PDB Tiongkok Triwulan 4
Triwulan 8
Maksimum dalam 12 triwulan
Brazil
1.48
2.10
2.49
Indonesia
1.03
0.91
1.29
Japan
1.02
1.09
1.14
Korea
0.73
1.06
1.13
Malaysia
0.25
0.27
0.27
Philippines
0.45
0.68
0.89
Singapore
0.70
1.15
1.37
Thailand
0.46
0.65
0.75
4.1.5 Dampak Shock Depresiasi Nilai Tukar Riel Tiongkok Pada
perekonomian
Tiongkok
depresiasi
nilai
tukar
riel
Tiongkok
diperkirakan akan mendorong ekspor dan PDB Tiongkok. Selain itu, dengan kondisi nilai tukar riel Indonesia yang konstan, depresiasi terhadap nilai tukar riel Tiongkok secara jangka pendek akan meningkatkan daya saing ekspor Tiongkok. Adanya kompetisi barang ekspor antara Indonesia dan Tiongkok akan mengurangi daya saing ekspor Indonesia relatif terhadap Tiongkok. Karena berkurangnya competitiveness barang ekspor Indonesia relatif terhadap Tiongkok, PDB Indonesia diperkirakan akan sedikit turun pada jangka pendek (sampai dengan satu tahun setelah shock). Namun, naiknya competitiveness Tiongkok akan meningkatkan PDB Tiongkok yang selanjutnya akan mendorong permintaan ekspor Indonesia dan menaikkan PDB Indonesia mulai tahun pertama. Pada nilai tukar riel, karena adanya pengaruh lanjutan depresiasi nilai tukar Tiongkok terhadap peningkatan ekspor Indonesia, depresiasi nilai tukar riel Tiongkok akan diikuti oleh apresiasi nilai tukar riel Indonesia. Apresiasi nilai tukar riel kemudian akan mendorong penurunan suku bunga nominal dan mengurangi inflasi melalui penurunan imported inflation. Namun, pada jangka panjang inflasi akan kembali naik seiring dengan peningkatan PDB dan output gap.
31
PDB
Inflasi
Nilai Tukar Riel
Suku bunga jangka pendek
Gambar 7. Impulse Response terhadap Shock Depresiasi Nilai Tukar Riel Tiongkok Respons PDB Indonesia terhadap nilai tukar riel Tiongkok diperkirakan relatif kecil. Dampak tersebut relatif sama dengan beberapa negara lainnya. Nilai tukar riel Indonesia diperkirakan terapresiasi sebesar 0,06% pada tahun pertama, dampak tersebut lebih tinggi jika dibandingkan dengan beberapa negara berkembang lainnya.
Tabel 11. Perbandingan IRF PDB terhadap Shock Depresiasi Nilai Tukar Riel Tiongkok Triwulan 4
Triwulan 8
Maksimum dalam 12 triwulan
Brazil
0.01
0.02
0.03
Indonesia
0.01
0.03
0.05
Japan
0.03
0.05
0.05
Korea
0.02
0.03
0.03
Malaysia
0.00
0.03
0.03
Philippines
0.00
0.00
0.00
Singapore
0.02
0.06
0.07
Thailand
0.02
0.05
0.06 32
Tabel 12. Perbandingan IRF Nilai Tukar Riel terhadap Shock Depresiasi Nilai Tukar Riel Tiongkok Triwulan 4
Triwulan 8
Maksimum dalam 12 triwulan
Brazil
-0.04
-0.14
-0.18
Indonesia
-0.06
-0.05
-0.07
Japan
-0.11
-0.14
-0.14
Korea
-0.07
-0.12
-0.12
0.06
0.05
0.04
Philippines
-0.02
-0.05
-0.06
Singapore
-0.02
-0.07
-0.09
Thailand
0.04
0.03
0.02
Malaysia
4.1.6 Komparasi Respons Antar-sumber Shock Terhadap nilai tukar riel Indonesia, kenaikan suku bunga jangka pendek AS terindikasi berpengaruh besar dan lebih berpengaruh dibandingkan penurunan broad money pada triwulan yang sama dengan shock. Selain itu, kenaikan suku bunga jangka pendek AS juga lebih berpengaruh jika dibandingkan dengan kenaikan PDB AS. Hal itu menunjukkan bahwa, untuk risiko dari AS, kenaikan suku bunga AS merupakan faktor utama yang hendaknya dipertimbangkan dalam mencermati volatilitas RER Indonesia dalam jangka pendek. Lebih lanjut, karena efek maksimum terjadi pada jangka waktu yang lebih pendek dan dengan asumsi rigiditas harga pada jangka pendek, suku bunga jangka pendek AS merupakan faktor utama yang memberikan risiko volatilitas nilai tukar nominal bagi Indonesia. Risiko volatilitas RER Indonesia juga muncul atas adanya shock dari Tiongkok, khususnya PDB Tiongkok. Elastisitas RER Indonesia atas adanya shock PDB Tiongkok terindikasi cukup tinggi. Penurunan PDB Tiongkok memberikan risiko depresiasi RER Indonesia yang lebih besar jika dibandingkan dengan kenaikan broad money AS. Shock penurunan PDB Tiongkok memberikan risiko yang paling besar pada penurunan PDB Indonesia jika dibandingkan dengan empat sumber shock lainnya, termasuk PDB AS. Hasil itu sedikit berbeda dengan temuan Anglingkusumo et al. (2014), tetapi penelitian tersebut melakukan komparasi hasil shocks dengan parameter yang sama untuk sepuluh negara Asia, tidak secara khusus untuk Indonesia. Oleh karena itu, secara implisit perbedaan tersebut mengindikasikan 33
bahwa dampak relatif antarnegara terhadap shock ekonomi dominan bersifat heterogen. Untuk shock yang berasal dari AS, shock pada PDB AS terindikasi lebih berpengaruh terhadap PDB Indonesia daripada suku bunga jangka pendek AS ataupun terhadap pertumbuhan broad money. Hal itu mengindikasikan bahwa transmisi shock variabel global yang secara langsung melalui jalur perdagangan lebih
dominan
jika
dibandingkan
dengan
variabel
finansial
global
dalam
memengaruhi PDB Indonesia. Terhadap suku bunga, shock yang paling dominan memberikan respons adalah kenaikan suku bunga AS. Dengan persentase yang sama shock broad money hanya memberikan respons seperempat dari shock suku bunga AS pada triwulan ke-8 serta untuk angka maksimum respons selama dua belas triwulan.
Tabel 13. Perbandingan Impulse Response Variabel Makro terhadap Lima Jenis Shock Jenis shock (1%)
Triwulan 4
Triwulan 8
Maksimum dalam 12 triwulan
-0.18
-0.22
-0.22
0.32
0.34
0.36
Kenaikan Suku Bunga AS
-0.16
-0.24
-0.56
Penurunan PDB Tiongkok
-0.52
-0.77
-0.89
Depresiasi RER Tiongkok
0.01
0.03
0.05
-0.01
-0.13
-0.14
Kenaikan PDB AS
0.00
0.05
0.05
Kenaikan Suku Bunga AS
0.24
-0.04
-0.16
Penurunan PDB Tiongkok
0.01
-0.07
-0.11
Depresiasi RER Tiongkok
-0.01
0.00
-0.01
Terhadap PDB Indonesia Penurunan Broad Money AS Kenaikan PDB AS
Terhadap Inflasi Indonesia Penurunan Broad Money AS
Tabel 13. (lanjutan) Jenis shock (1%)
Triwulan 4
Triwulan 8
Maksimum dalam 12 triwulan
Terhadap RER Indonesia 34
Jenis shock (1%)
Triwulan 4
Triwulan 8
0.31
-0.17
0.51
-0.56
-0.37
-0.66
Kenaikan Suku Bunga AS
0.24
-0.36
2.80
Penurunan PDB Tiongkok
1.03
0.91
1.29
Depresiasi RER Tiongkok
-0.06
-0.05
-0.07
Penurunan Broad Money AS*
-0.01
-0.12
-0.15
Kenaikan PDB AS
-0.01
0.11
0.13
Kenaikan Suku Bunga AS
0.28
0.48
0.60
Penurunan PDB Tiongkok
0.09
0.01
0.11
Depresiasi RER Tiongkok
0.00
-0.01
-0.01
Penurunan Broad Money AS Kenaikan PDB AS
Maksimum dalam 12 triwulan
Terhadap suku bunga Indonesia
*Khusus untuk shock ini, respons yang dimaksud adalah terhadap broad money Indonesia.
4.1.7 Dampak Shock Gabungan Sebagai dampak dari kombinasi shock tersebut, PDB Indonesia akan sedikit mengalami penurunan, yaitu sekitar 0,3%β0,4% setelah empat triwulan dan selanjutnya PDB masih berisiko semakin turun. Namun, hasil dari replikasi bootstrap menunjukkan bahwa efek tersebut cenderung tidak meyakinkan pada jangka panjang. Dari sisi competitiveness nilai tukar riel Indonesia akan terdepresiasi sekitar 1,5% dengan dampak yang cenderung instan. Depresiasi tersebut diperkirakan berlangsung setidaknya terjadi dalam tahun pertama setelah shock terjadi. Hal tersebut disebabkan oleh adanya capital outflows karena berubahnya posisi suku bunga relatif dengan AS. Lebih lanjut, batas atas dari hasil replikasi
menunjukkan
bahwa
depresiasi
RER
maksimum
yang
bersifat
fundamental atas dua shock ini adalah sekitar 3%. Inflasi akan mengalami kenaikan pada jangka pendek (sekitar 0,2%), yang dapat terjadi karena adanya imported inflation seiring dengan depresiasi nilai tukar yang terjadi. Kemudian, inflasi akan turun pada tahun kedua setelah shock terjadi karena adanya penurunan PDB yang menyebabkan penurunan tekanan inflasi dari sisi permintaan. Dari sisi finansial replikasi bootstrap menunjukkan bahwa suku
35
bunga jangka pendek maksimum akan naik sekitar 27 bps dan 31 bps masingmasing pada tahun pertama dan tahun kedua setelah shock terjadi.
PDB
Inflasi
Nilai Tukar Riel
Suku bunga jangka pendek
Gambar 8. Impulse Response terhadap Shock Gabungan Boks Asesmen Dampak Kebijakan Negara Maju terhadap Indonesia oleh Kantor Perwakilan Bank Indonesia di Luar Negeri Kebijakan yang dilakukan oleh negara maju, seperti Amerika Serikat, Jepang,
dan
Uni
Eropa
diperkirakan
akan
memberikan
dampak
pada
perekonomian Indonesia. Dari kegiatan survei dan in-depth interview yang dilakukan oleh kantor perwakilan Bank Indonesia di London, New York, Tokyo, dan Singapura terhadap investor dan investment banks di wilayah kerjanya, dapat disimpulkan bahwa (i) shock moneter (antara lain dari normalisasi) yang dilakukan The Fed akan sedikit menurunkan kegiatan investasi portofolio dan menyebabkan depresiasi rupiah meskipun capital reversal dalam jumlah masif diperkirakan tidak terjadi; (ii) kebijakan quantitative easing (QE) European Central Bank (ECB) diperkirakan tidak signifikan dan dampaknya jauh lebih kecil jika
36
dibandingkan dengan kebijakan QE yang dilakukan oleh The Fed; (iii) dampak perubahan ekonomi Jepang melalui abenomics, yang potensial meningkatkan PDB Jepang, diperkirakan terjadi melalui jalur perdagangan; dan (iv) besarnya interaksi finansial dan perdagangan antardua negara serta profil risiko investasi Indonesia akan berpengaruh terhadap besarnya dampak spillover. Hasil survei dan in-depth interview Kantor Perwakilan Bank Indonesia London (2015) mengungkapkan bahwa QE yang dilakukan oleh The Fed mengalir sangat banyak ke negara-negara emerging Asia. Sebaliknya, aliran dana yang bersumber dari QE ECB diprakirakan akan jauh lebih sedikit mengalir ke negaranegara emerging Asia. Hal itu disebabkan oleh tiga faktor utama, yaitu (i) secara kuantitas, nilai QE yang dilakukan oleh ECB yang jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan QE yang dilakukan oleh The Fed; (ii) peran Dolar Amerika Serikat (USD) sebagai mata uang internasional lebih kuat jika dibandingkan dengan Euro. Selain itu, kebutuhan mata uang USD dan aset dalam USD juga cukup besar; dan (iii) adanya isu home bias dari investor dan regulator di Eropa yang menyebabkan spillover QE ECB akan lebih banyak mengalir ke negaranegara emerging di Eropa. Selain itu, hasil survei dan in-depth interview juga mengungkapkan bahwa para klien dari bank dan fund manager di Eropa masih kurang familiar dengan Indonesia. Meskipun demikian, lembaga keuangan di Eropa masih memandang bahwa investasi ke emerging Asia, termasuk Indonesia, merupakan ceruk investasi yang menarik sebab emerging Asia menawarkan yield yang lebih tinggi.
Gambar 9. Tanggapan Responden mengenai Dampak QE oleh ECB terhadap Indonesia Hasil survei dan in-depth interview Kantor Perwakilan Bank Indonesia,New York (2015) menjelaskan bahwa sebagian responden survei memperkirakan bahwa kebijakan normalisasi The Fed tidak akan banyak berpengaruh terhadap ekonomi Indonesia. Pengaruh kebijakan tersebut akan terlihat pada besaran suku 37
bunga, baik suku bunga jangka panjang maupun suku bunga jangka pendek yang akan mengalami peningkatan. Sebagian responden meyakini bahwa kegiatan investasi portofolio akan sedikit menurun. Namun, sebagian responden mengindikasikan bahwa kemungkinan terjadinya capital reversal di Indonesia relatif kecil. Selanjutnya, sebagian besar responden memandang optimis terhadap kinerja direct investment meskipun The Fed menerapkan kebijakan normalisasi. Mayoritas responden meyakini bahwa nilai foreign direct investment di Indonesia pada tahun 2015 akan sama dengan tahun sebelumnya. Bahkan, sebagian responden menilai bahwa nilai foreign direct investment tahun 2015 ini akan lebih tinggi jika dibandingkan dengan tahun lalu. Namun, dari sisi lain, hampir seluruh responden
meyakini
bahwa
kebijakan
normalisasi
oleh
The
Fed
akan
menyebabkan nilai tukar rupiah mengalami depresiasi. Dalam menentukan tujuan investasi portofolio ke suatu negara, sebagian besar responden meyakini bahwa kedalaman pasar keuangan (depth of financial market) merupakan faktor utama. Yang selanjutnya, diikuti oleh faktor stabilitas pasar keuangan, imbal hasil (yield), stabilitas politik, dan pertumbuhan ekonomi. Upaya-upaya pendalaman pasar keuangan domestik yang saat ini telah dan sedang dilakukan oleh Bank Indonesia menjadi faktor penting dalam upaya menarik aliran modal masuk ke Indonesia. Terlebih lagi dengan adanya pandangan sejumlah investment bank di New York bahwa kebijakan normalisasi oleh The Fed akan menyebabkan nilai tukar rupiah terdepresiasi. Upaya ini diharapkan dapat mendukung momentum yang kondusif bagi pasar keuangan Indonesia, terutama setelah diumumkannya kebijakan QE oleh ECB. Hal itu diharapkan dapat meminimalkan potensi aliran modal keluar sebagai dampak dari kebijakan normalisasi The Fed. Hasil survei dan in-depth interview kantor perwakilan Bank Indonesiaβ Tokyo (2015) menjelaskan bahwa hubungan Jepang dengan Indonesia lebih didominasi oleh jalur perdagangan (ekspor dan impor) dan jalur investasi (foreign direct investment), sedangkan untuk investasi portofolio masih relatif terbatas. Dengan pola khas hubungan Jepang dengan Indonesia tersebut, beberapa investment bank dan investor lainnya memperkirakan bahwa perubahan ekonomi di Jepang akan memengaruhi perekonomian Indonesia, terutama pada indikator makro seperti PDB, melalui jalur perdagangan dan investasi. Sementara itu, untuk dampak likuiditas, suku bunga, dan nilai tukar kurang begitu besar pengaruhnya. Namun, saat ini mulai terjadi diversifikasi investasi ke dalam risky 38
asset (non-Japanese Government Bond) dan juga terdapat peningkatan kredit valuta asing oleh perbankan Jepang ke negara-negara Asia, termasuk Indonesia. Di sisi lain, pergeseran investasi ke arah risky asset serta peningkatan exposure kredit valuta asing ke negara-negara Asia akan berpotensi menimbulkan risiko interconnectedness bagi perbankan besar di Jepang. Terdapat empat faktor utama yang menjadi prioritas pertimbangan bagi investor di Jepang dalam memutuskan penempatan portofolio di Indonesia, yaitu PDB, return of investment (yield), stabilitas politik, dan credit rating.
Gambar 10. Tanggapan Responden mengenai Dampak Abenomics terhadap Indonesia Dalam tataran rekomendasi kebijakan, Kantor Perwakilan Bank Indonesia β Tokyo (2015) memberikan rekomendasi untuk meningkatkan pendalaman pasar uang untuk mendukung transaksi pembiayaan perdagangan dan investasi IDRJPY. Pendalaman pasar uang tersebut dapat dikembangkan dan dilakukan oleh perbankan di Indonesia dengan perbankan di Jepang serta didukung berbagai ketentuan yang dapat diusulkan oleh Bank Indonesia. Hal itu untuk mendorong pemanfaatan local currency settlement guna mendukung transaksi perdagangan dan investasi Jepang dengan Indonesia yang semakin meningkat pada lima tahun terakhir. Dalam kajiannya, kantor perwakilan Bank IndonesiaβSingapura (2015) menyatakan bahwa jalur utama yang mentransmisikan unconventional policy dari advanced economies ke Indonesia adalah jalur external account atau arus inflow portofolio. Kebijakan QE yang dilakukan oleh Bank of Japan dan ECB pada saat The Fed belum melakukan kebijakan normalisasi diyakini akan mendorong portfolio inflow yang lebih besar ke pasar domestik dan dapat menurukan profil interest rate pasar obligasi Indonesia. Dari sisi nilai tukar pelemahan nilai tukar tidak dapat dihindari seiring dengan terjadinya sentimen negatif defisit transaksi berjalan. Meskipun demikian, dalam jangka panjang diperkirakan dampaknya akan positif sejalan dengan meningkatnya daya saing ekspor.
39
Ekspektasi
pelemahan
nilai
tukar
dalam
emerging
markets
akan
mendorong pelaku pasar untuk lebih berhati-hati dalam menentukan strategi penempatan portofolio dengan memperhatikan beberapa faktor seperti (i) valuasi (relative value); (ii) winner/loser dari pelemahan harga minyak; dan (iii) komitmen suatu negara untuk melakukan reformasi. Risiko implementasi kebijakan normalisasi suku bunga oleh The Fed akan menyebabkan investasi pada aset Indonesia menjadi lebih rentan akibat tingginya bobot kepemilikan asing terhadap aset domestik yang saat ini telah mencapai hamper 40%. Berdasarkan hasil in-depth interview terhadap beberapa investment bank di Singapura, dapat disimpulkan bahwa strategi investasi oleh investor di pasar keuangan Indonesia dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu seperti (i) faktor makroekonomi global; (ii) kondisi dan outlook perekonomian domestik Indonesia; (iii) valuasi aset Indonesia terhadap aset negara lain yang memiliki credit rating yang sama dengan Indonesia; dan (iv) likuiditas pasar yang tingkat likuiditas pasar Indonesia berada di peringkat ketiga setelah Malaysia dan Thailand. Sehubungan
dengan
itu,
perlu
adanya
strategi
komunikasi
yang
mengedepankan transparasi dalam penyampaian kebijakan maupun outlook perekonomian. Selain itu, diperlukan juga regulasi finansial dan pasar yang memadai, seperti market conduct. Dalam konteks pendalaman pasar keuangan, diperlukan penyempurnaan regulasi yang memungkinkan lembaga dana pensiun untuk menambah alokasi investasi pada obligasi pemerintah Republik Indonesia dan obligasi korporasi serta menambah keragaman instrumen investasi di pasar domestik.
4.2 Rekomendasi Kebijakan Dampak spillover normalisasi kebijakan moneter di AS dan perlambatan Tiongkok dapat terjadi secara bersamaan dan saling berinteraksi. Pasar dapat mereassess prospek negara berkembang di tengah kondisi finansial yang mengetat, pasar yang βterguncangβ, depresiasi nilai tukar, dan capital flow reversals. Dampak final spillover yang akan terjadi merupakan kombinasi antara underlying shock dari negara asal dan kondisi lokal di negara yang terimbas dampaknya. IMF (2014) menyebutkan bahwa framework kebijakan yang tepat dan kondisi fundamental yang baik dapat bermanfaat sebagai buffer untuk memberikan ruang kebijakan dalam merespons spillover tersebut. Hasil simulasi yang dilakukan 40
menunjukkan
bahwa
normalisasi
kebijakan
moneter
dan
perlambatan
pertumbuhan ekonomi di Tiongkok berpotensi memberikan tekanan depresiasi pada rupiah akibat capital outflow dan perlambatan ekspor yang pada akhirnya memengaruhi pertumbuhan ekonomi. Dalam merespons risiko tersebut, laporan IMF (2014) menyebutkan bahwa respons yang sesuai untuk negara berkembang adalah melalui perumusan bauran kebijakan
makroekonomi
dengan
membiarkan
nilai
tukar
terdepresiasi,
meningkatkan suku bunga kebijakan, dan melonggarkan stance fiskal. Secara khusus, dalam menghadapi tekanan nilai tukar, bank sentral perlu menjaga kecukupan cadangan devisa, membiarkan nilai tukar merespons sebagai buffer dan jika cadangan devisa mencukupi, serta melakukan intervensi untuk mengurangi volatilitas nilai tukar yang eksesif. Meskipun demikian, depresiasi yang terus menerus akan membawa dampak negatif terhadap sektor riel dan sektor keuangan. Berdasarkan stress test yang dilakukan oleh Divisi Asesmen Makroekonomi (2015) terhadap 121 emiten dalam bursa efek Indonesia, depresiasi nilai tukar akan berdampak negatif terhadap penjualan sektor yang berorientasi domestik, sedangkan dampak depresiasi nilai tukar rupiah terhadap sektor yang berorientasi ekspor relatif kecil. Dengan skenario terburuk, mayoritas korporasi akan mencatat net-profit negatif. Di sisi lain, stress test terhadap perbankan yang dilakukan oleh Departemen Kebijakan Makroprudensial (2015) dengan menggunakan skenario terburuk menyimpulkan bahwa jumlah bank yang akan memiliki CAR di bawah risk profile mencapai 29 bank yang mayoritas didominasi oleh bank yang berasal dari BUKU 1 dan BUKU 2. Oleh karena itu, depresiasi nilai tukar rupiah dapat dilakukan untuk menjaga daya saing ekspor Indonesia, tetapi dengan ruang depresiasi yang terbatas. Dalam merespons tekanan terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia akibat normalisasi kebijakan moneter dan perlambatan di major emerging market, respons kebijakan yang perlu dilakukan Indonesia adalah melalui reformasi struktural untuk menarik foreign direct investment (FDI) dan meningkatkan peran Indonesia dalam global value chain. Reformasi struktural dapat dilakukan antara lain melalui pembangunan infrastruktur (listrik dan transportasi), meningkatkan pendidikan serta skill, dan meningkatkan kompetisi dan iklim bisnis. Koordinasi dengan pemangku kebijakan fiskal perlu diperkuat untuk memperkuat posisi fiskal agar mengurangi current account deficit. Jaring pengaman sosial juga perlu dipersiapkan apabila terjadi perlambatan pertumbuhan ekonomi lebih lanjut. 41
V. PENUTUP
5.1 Simpulan Penelitian ini telah menggunakan model GVAR pada 33 negara sebagaimana dilakukan DΓ©es et al. (2007) melalui GVAR Toolbox 2.0 (Smith dan Galesi, 2014) dengan dua variasi model dan modifikasi berupa matriks kombinasi bobot finansial dan perdagangan. Aplikasi model melalui impulse response dengan 1.000 replikasi bootstrap dilakukan untuk analisis spillover atas lima jenis shock eksternal yang berbeda dengan fokus analisis pada respons variabel makroekonomi Indonesia. Sesuai dengan pembahasan pada bab sebelumnya, penelitian ini memberikan beberapa temuan sebagai berikut. 1. Kebijakan kenaikan suku bunga AS maupun penurunan broad money AS dapat memengaruhi nilai tukar riel Indonesia dan suku bunga Indonesia. Efek melalui jalur finansial terindikasi sedikit lebih besar sehingga memberikan dampak negatif pada PDB. Hal ini sesuai dengan pendapat Dahlhaus, Hess, dan Reza (2014) dan Soares (2011) bahwa jalur transmisi yang lebih dominan atas shock suku bunga AS ke negara lain adalah melalui jalur finansial. Selain itu, temuan tersebut juga sejalan dengan Harahap et al. (2013b) untuk kasus Indonesia. Namun, untuk shock suku bunga AS efek tersebut tidak signifikan pada replikasi
bootstrap,
sedangkan
untuk
shock
broad money
AS
sempat
memberikan efek temporer pada kenaikan PDB. 2. Eksternal shock utama yang memberikan risiko pada pertumbuhan ekonomi Indonesia adalah pertumbuhan ekonomi Tiongkok. Efek tersebut lebih besar jika dibandingkan dengan tapering off, kenaikan suku bunga AS, ataupun kondisi alternatif jika perekonomian AS melambat. Lebih lanjut, dengan membandingkan hasil itu Anglingkusumoet al. (2014) menjelaskan bahwa terdapat indikasi respons relatif antarnegara, khususnya di kawasan Asia terhadap shock dari perekonomian dominan, yaitu respons yang bersifat heterogen. 3. Eksternal shock utama yang memberikan risiko pada nilai tukar Indonesia adalah suku bunga jangka pendek AS. Dengan besaran 1% pada suku bunga jangka pendek AS dan broad money AS, shock suku bunga jangka pendek memberikan dampak instan yang lebih tinggi daripada tapering off. Selain itu, 42
dengan kondisi price rigidity pada jangka pendek, respons nilai tukar riel yang instan dan besar secara implisit memberikan indikasi kuat bahwa suku bunga AS dapat menyebabkan overshooting pada nilai tukar nominal Indonesia. 4. Batas atas dari hasil replikasi menunjukkan bahwa depresiasi RER maksimum yang bersifat fundamental atas skenario kombinasi dua shock negatif (kenaikan suku bunga AS 25 bps dan perlambatan ekonomi Tiongkok 0,6%) adalah sekitar 3%. 5. Berdasarkan hasil impulse response secara umum, variasi inflasi yang berasal dari sektor eksternal bersumber dari dua hal, yaitu depresiasi nilai tukar untuk variasi jangka pendek serta perubahan pada PDB untuk variasi jangka menengah. 6. Hasil shock gabungan kenaikan suku bunga AS 25 bps dan penurunan PDB Tiongkok 0,6% akan direspons Indonesia pada tahun pertama dengan kenaikan suku bunga jangka pendek, depresiasi nilai tukar riel, penurunan PDB, serta kenaikan inflasi. Penelitian ini memberikan beberapa kontribusi sebagai berikut. 1. Dalam konteks internal Bank Indonesia, penelitian ini memberikan tambahan analisis spillover dengan metode yang relatif baru, yaitu aplikasi global VAR yang lebih mutakhir karena dilengkapi dengan (1) penyertaan 33 negara dalam model yang mencakup 90% PDB dunia; (2) penggunaan matriks bobot kombinasi hubungan finansial dan perdagangan, sedangkan GVAR Toolbox 2.0 (Smith dan Galesi, 2014) dan penelitian DΓ©eset al. (2007) hanya menggunakan matriks perdagangan; dan (3) analisis telah dilengkapi dengan 1.000 replikasi bootstrap untuk meningkatkan akurasi respons dan mengindikasikan tingkat keyakinan atas hasil. 2. Dalam konteks yang lebih luas, penelitian ini juga dilengkapi dengan pembahasan pada literatur-literatur sebelumnya terkait ruang lingkup analisis spillover, yaitu (1) impulse response atas adanya shock dari negara Tiongkok, yaitu perlambatan PDB Tiongkok dan nilai tukar riel Tiongkok; dan (2) pembahasan dampak makroekonomi yang dikhususkan pada ekonomi Indonesia dari lima jenis shocks eksternal sebagaimana telah dilakukan selama ini. 3. Bagi pengambil kebijakan, penelitian ini telah memberikan indikasi jenis shock utama yang patut diperhatikan dalam menjaga kestabilan sektor finansial dan
43
sektor riel, khususnya dalam menjaga kestabilan nilai tukar ataupun untuk mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan.
5.2 Saran Berdasarkan temuan penelitian serta keterbatasan pada penelitian ini, dapat direkomendasikan beberapa hal untuk penelitian selanjutnya, yaitu sebagai berikut. 1. Analisis spillover yang membedakan antara anticipated dan unanticipated external shocks. Analisis spillover pada penelitian ini hanya terbatas pada unanticipated external shocks, sedangkan kenaikan suku bunga AS yang potensial terjadi telah diantisipasi oleh pasar melalui berbagai pernyataan The Federal Reserve. Oleh karena itu, diperlukan suatu penelitian yang dapat membedakan pengaruh ekspektasi dalam mendahului keseluruhan realisasi respons, khususnya pada variabel makroekonomi Indonesia. 2. Analisis spillover dengan shock yang bersifat sekuensial dan repetitif. Penelitian ini membatasi analisis gabungan beberapa jenis shock yang terjadi secara bersamaan. Selain itu, saat ini nilai tukar AS telah memasuki fase siklus apresiasi (Druck, Magud, dan Mariscal, 2015) sehingga sangat mungkin terasosiasi dengan fase pengetatan moneter AS. Oleh karena itu, diperlukan analisis spillover dengan shock sekuensial dan repetitif sehingga dapat diperkirakan dampak jangka menengah atas prospek ekonomi global ini. 3. Analisis spillover dengan shock yang terjadi secara bersamaan dan mungkin saling berinteraksi (menguatkan atau melemahkan). Dalam meneliti dampak gabungan, penelitian ini membatasi dengan berasumsi bahwa tidak ada interaksi antar-shock yang terjadi secara bersamaan. Adanya model atau analisis yang memungkinkan interaksi antar-shock akan lebih mewakili kondisi riel.
44
DAFTAR PUSTAKA
Anglingkusumo, R., Anugrah, D. F., Fridayanti, Y. dan Hendharto, H. S. (2014). Perubahan Struktural dalam Perekonomian Global dan Dampaknya pada Perekonomian Indonesia melalui Jalur Perdagangan. Working Paper No. LHP/4/DKEM/2014, Bank Indonesia. Chen, Q., Filardo, A., He, D. dan Zhu, F. (2015). Financial Crisis, Unconventional Monetary Policy, and International Spillovers. Working Paper No. WP/15/85, International Monetary Fund. Chua, W. S., Endut, N., Khadri, N., and Sim, W. H. (2013). Global Monetary Easing: Spillovers and Lines of Defense. Bank Negara Malaysia Working Paper, (03). Chudik, A. dan Smith, V. (2013). The GVAR Approach and the Dominance of the US Economy. Working Paper No. 136, Federal Reserve Bank of Dallas. Dahlhaus, T., Hess, K. dan Reza, A. (2014). International Transmission Channels of U.S. Quantitative Easing: Evidence from Canada. Working Paper 2014-43, Bank of Canada. Dahlhaus, T. and Vasishtha, G. (2014). The Impact of U.S. Monetary Policy Normalization on Capital Flows to Emerging-Market Economies. Bank of Canada Working Paper, (53). DΓ©es S., di Mauro F., Pesaran M. H., dan Smith L. V. (2007). Exploring the international linkages of the Euro area: a global VAR analysis, Journal of Applied Econometrics 22: 1β38. Druck, P., Magud, N. E. dan Mariscal, R. (2015). Collateral Damage: Dollar Strength and Emerging Marketsβ Growth. Working Paper No. WP/15/179, International Monetary Fund. Edwards, S. (2010). The international transmission of interest rate shocks: The Federal Reserve and emerging markets in Latin America and Asia. Journal of International Money and Finance 29( 4): 685-703. Harahap, B. A., Maryaningsih, N., Panjaitan, L. N. dan Satyanugroho, R. (2013a). Spillover Effect dari Perbaikan Ekonomi AS dan Eropa terhadap Indonesia. Bank Indonesia Research Note, (5). Harahap, B. A., Panjaitan, L. N., Ariyanti, D., dan Khasananda, R. (2013b). Measuring Global Spillover to Indonesia: Pendekatan FAVAR. Bank Indonesia Working Paper, (7). IMF (2014). IMF Multilateral Policy Issues Report: 2014 Spillover Report. Washington D. C.: International Monetary Fund. IMF (2015). World Economic Outlook: April 2015. Washington D. C.: International Monetary Fund. Ibrahim, Tri Winarno, Melva Viva, dan Yanfitri (2012). Transmisi Perlambatan Negara Tujuan Ekspor melalui International Trade: Pendekatan ASIAN-IO. Bank Indonesia Working Paper, (6). Iskandar, C. L. dan Permata, M. I. (2011). Krisis AS dan Eropa, serta Dampak Rambatannya terhadap Perekonomian Indonesia. Bank Indonesia Working Paper, (17). 45
Kantor Perwakilan Bank Indonesia β London (2015). Dampak Perubahan Kebijakan Moneter/Makroprudensial Negara Maju terhadap Indonesia. Analytical Note. Kantor Perwakilan Bank Indonesia β New York (2015). Perubahan Kebijakan Moneter the Fed dan Dampaknya terhadap Indonesia. Kajian, (1). Kantor Perwakilan Bank Indonesia β Tokyo (2015). Dampak Perubahan Kebijakan Abenomic terhadap Perekonomian Indonesia. Analytical Note. Kantor Perwakilan Bank Indonesia β Singapura (2015). Dampak Perubahan Kebijakan Moneter Negara Maju terhadap Perekonomian Indonesia. Analytical Note, (3). Kurniati, Y. dan Permatasari, M. I. (2009). Transmisi Gejolak Eksternal ke dalam Perekonomian Indonesia. Bank Indonesia Working Paper, (7). Lavigne, R., Sarker, S., and Vasishtha, G. (2014). Spillover Effects of Quatitative Easing on Emerging-Market Economies. Bank of Canada Review. Mohanty, M. S. (2014). The Transmission of Unconventional Monetary Policy to the Emerging Markets. Bank for International Settlements Papers, (78). Pesaran, M.H., Schuermann, T., dan Weiner S. M. (2004). Modeling regional interdependencies using a global error-correcting macroeconometric model. Journal of Business and Economic Statistics 22: 129β162. Pesaran M. H. dan Shin Y. (1998). Generalized impulse response analysis in linear multivariate models. Economics Letters 58: 17β29. Silalahi, T., Wibowo, W. A., dan Panjaitan, L. N. (2012). Dampak Global Financial Shock terhadap International Bank Lending di Indonesia. Bank Indonesia Working Paper, (7). Smith, L. V. dan Galesi, A. (2014), GVAR Toolbox 2.0, https://sites.google.com/site/ gvarmodelling/gvar-toolbox. Soares, R. (2011), βAssessing Monetary Policy in the Euro Area: a Factor-Augmented VAR Approachβ, Banco de Portugal Working Papers No. 11. Sun, Y., Heinz, F. F., dan G. Ho (2013). Cross-Country Linkages in Europe: A Global VAR Analysis. Working Paper No. WP/13/194, International Monetary Fund.
46
LAMPIRAN
Lampiran 1. Weak Exogeneity Tests Terhadap Foreign Variables: Model 1 Country Argentina Australia Brazil Canada Tiongkok Chile Euro India Indonesia Japan Korea Malaysia Mexico Norway New Zealand Peru Philippines South Africa Saudi Arabia Singapore Sweden Switzerland Thailand Turkey United Kingdom USA Bold: Signifikan
F test F(2,118) F(5,120) F(2,125) F(3,122) F(2,125) F(2,114) F(2,123) F(2,124) F(3,124) F(2,123) F(4,121) F(2,124) F(3,124) F(3,122) F(2,123) F(4,123) F(2,124) F(3,122) F(2,126) F(2,124) F(2,123) F(3,122) F(3,123) F(1,126) F(3,122)
ys 0.8 1.0 2.7 5.6 0.2 0.2 3.5 5.1 0.5 2.7 0.7 3.0 0.4 4.0 1.1 0.5 0.1 0.1 0.6 0.5 1.0 5.1 0.5 0.1 3.5
Dps 1.6 2.7 0.5 2.1 0.5 0.1 0.3 2.2 1.0 1.1 0.4 2.8 2.6 1.3 0.4 0.9 1.7 0.5 1.6 1.5 0.6 1.5 0.3 0.5 0.7
F(2,127)
0.2
4.1
eqs 0.0 0.6 0.8 1.2 0.3 0.4 1.5 1.6 1.9 0.4 3.4 0.5 1.4 1.0 0.9 0.3 0.8 1.3 2.2 3.0 0.0 0.8 0.6 0.1 0.7
eps
0.2
rs 4.2 0.9 0.3 0.7 2.1 0.1 0.2 3.7 0.9 0.2 0.8 3.6 0.8 1.0 0.4 1.5 1.5 2.2 1.1 1.4 0.1 0.9 1.0 0.1 0.3
lrs 0.3 2.0 6.9 1.0 0.7 1.3 2.4 0.8 0.1 0.6 1.7 0.1 1.4 1.2 0.2 0.9 1.0 2.1 1.6 1.7 1.3 0.4 1.4 2.5 2.6
poil 1.7 0.3 1.5 1.3 1.7 0.8 0.1 1.4 1.3 0.4 1.0 0.7 1.5 0.3 1.0 0.4 1.6 0.8 0.2 2.6 0.4 0.7 0.3 0.7 0.7
pmat 2.4 0.9 0.1 0.4 0.3 0.7 0.0 0.4 0.8 0.7 0.8 1.7 1.5 0.7 0.1 1.6 0.5 0.0 2.7 0.1 0.5 1.1 0.1 0.0 1.0
pmetal 1.4 0.4 0.6 2.0 0.9 2.2 0.3 2.8 1.1 1.9 0.3 0.0 4.0 1.1 1.1 2.0 1.5 0.3 1.6 4.0 1.9 0.4 0.3 0.0 1.4
0.6
3.8
1.8
47
Lampiran 2. Weak Exogeneity Tests Terhadap Foreign Variables: Model 2 Country Argentina Australia Brazil Canada Tiongkok Chile Euro India Indonesia Japan Korea Malaysia Mexico Norway Peru Philippines South Africa Saudi Arabia Singapore Sweden Switzerland Thailand Turkey United Kingdom USA
F test F(1,126) F(3,124) F(1,114) F(2,126) F(2,126) F(1,127) F(1,126) F(1,126) F(3,125) F(1,126) F(1,126) F(1,126) F(3,125) F(2,126) F(3,125) F(2,126) F(1,127) F(2,127) F(2,125) F(1,126) F(2,125) F(3,124) F(1,127)
ys 0.6 1.5 0.1 3.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.4 0.9 2.3 2.5 0.2 1.0 0.6 0.0 0.1 1.4 0.2 0.0 1.8 2.0 0.1
Dps 3.4 2.2 1.8 0.9 0.8 0.0 0.1 0.2 0.7 0.0 0.3 0.0 1.4 1.0 1.3 2.4 0.9 0.1 2.8 2.3 2.9 0.2 0.0
eqs 4.7 0.1 0.9 0.8 0.1 0.1 0.8 2.7 3.6 0.1 0.6 1.4 1.9 0.6 0.7 0.7 0.3 1.8 1.9 0.0 1.0 1.4 0.7
F(1,126) 0.0 F(2,128) 1.0
0.4 4.4
0.0
eps
0.8
lrs 0.3 0.1 0.0 1.7 0.5 1.0 0.0 1.0 1.7 0.1 0.0 0.0 1.9 0.1 0.7 1.1 0.8 1.1 0.5 4.3 0.8 0.3 1.8
poil 7.7 1.3 2.5 0.1 0.1 0.2 0.5 1.4 1.8 0.7 1.0 1.4 2.0 1.9 0.4 0.9 0.6 0.5 1.5 0.9 0.1 0.2 0.1
pmat 0.5 0.8 0.0 0.3 0.1 0.1 0.0 0.2 0.8 0.3 0.3 0.1 2.3 0.3 1.4 1.4 0.0 3.3 0.6 0.2 1.7 0.7 0.2
pmetal 0.0 0.0 2.0 0.7 0.6 0.0 3.2 0.1 1.1 1.1 0.0 1.2 2.1 0.2 1.2 0.7 0.8 0.5 2.2 0.1 0.0 0.6 0.0
3.6
0.1 2.4
1.4 1.5
0.0 2.0
Bold: Signifikan
48
Lampiran 3. Contemporaneous Effects Terhadap Foreign Variables: Model 1 Negara Argentina Australia Brazil Canada Tiongkok Chile Euro India Indonesia Japan Korea Malaysia Mexico Norway New Zealand Peru Philippines South Africa Saudi Arabia Singapore Sweden Switzerland Thailand Turkey United Kingdom USA
y 0.10 0.25 0.19 0.52 0.59 0.58 0.50 -0.36 0.34 0.69 0.39 1.23 0.42 0.38 0.45 -0.62 0.11 0.29 0.66 1.30 1.31 0.43 0.63 1.56 0.59
Dp -3.06 0.50 2.27 0.42 0.12 0.11 0.16 0.51 0.73 -0.05 0.45 0.74 -0.04 0.86 0.55 4.07 -0.25 0.37 0.35 0.06 0.84 0.35 0.58 0.68 0.64
0.60
0.14
eq 1.54 0.81 0.91 0.58 1.06 0.72 0.75 0.85 1.19 1.01 0.72 1.03 0.85 1.19 1.10 0.91 1.14 0.82
ep
r 3.64 0.43 1.22 0.35 0.01 0.10 0.05 -0.13 0.09 -0.03 -0.16 0.01 -0.02 0.04 0.55 -0.16 0.57 0.07 0.19 0.25 0.13 0.22 1.61 0.08
lr 0.87 0.97 0.63 0.49 0.38 0.78 0.56 0.21 0.95 0.47 0.81
49
Lampiran 4. Contemporaneous Effects Terhadap Foreign Variables: Model 2 Negara Argentina Australia Brazil Canada Tiongkok Chile Euro India Indonesia Japan Korea Malaysia Mexico Norway New Zealand Peru Philippines South Africa Saudi Arabia Singapore Sweden Switzerland Thailand Turkey United Kingdom USA
y 0.17 0.32 0.43 0.73 0.25 0.82 0.55 -0.43 0.34 0.77 0.21 1.40 0.45 0.61 0.39 -0.05 0.02 0.31 0.71 1.14 1.30 0.55 0.70 1.39
Dp 0.80 0.25 1.04 0.52 0.17 0.04 0.15 0.15 0.64 0.06 0.15 0.65 -0.26 0.44 0.56 0.04 -0.04 0.23 0.09 0.21 0.97 0.32 0.17 0.50
eq 1.77 0.79
1.21 1.10 0.95 1.05
-0.24 0.30 0.94 -0.11 0.91
0.57 0.54
0.24 0.16
0.85
0.35
0.94 0.60 1.06 0.85 0.75 1.01 1.23 1.14 0.74
ep
bm 0.01 -0.01 1.27 -0.09 0.06 -0.20 -0.61 0.05 -0.22 -2.94 0.56 -0.21
0.90 0.84
50
Lampiran 5. Korelasi dari Residual VECMX: Model 1 Negara Argentina Australia Brazil Canada Chile Tiongkok Euro India Indonesia Japan Korea Malaysia Mexico New Zealand Norway Peru Philippines Saudi Arabia Singapore South Africa Sweden Switzerland Thailand Turkey United Kingdom USA
Dp 0.03 0.02 -0.04 0.05 0.01 -0.02 0.06 0.01 0.03 0.03 0.03 0.02 -0.01 0.02 0.02 -0.05 0.00 0.02 0.03 0.02 0.05 0.05 0.02 0.00 0.00 0.06
ep 0.04 0.19 0.10 0.15 0.15 0.04 0.26 0.15 0.08 0.11 0.13 0.18 0.02 0.24 0.27 0.05 0.12 0.01 0.22 0.18 0.23 0.26 0.19 0.12 0.19
eq -0.02 0.02
lr 0.00
0.04 0.04
-0.03
-0.12 -0.04
-0.06
-0.11 -0.04 0.02
-0.05 -0.05
-0.01 0.05
0.01 0.00
-0.01 0.01 0.06 -0.02 0.01 0.01
-0.01 0.02 0.03
-0.01 -0.01
-0.03 -0.01
r 0.00 0.03 -0.03 0.10 -0.03 0.01 0.07 0.05 0.04 0.00 0.04 0.04 0.01 0.01 0.01 0.04 0.02 0.03 0.03 0.00 0.01 0.05 0.03 0.05 0.04
y 0.00 0.01 0.03 -0.01 0.01 -0.08 -0.02 -0.01 -0.02 -0.03 0.00 -0.01 0.03 0.04 -0.02 0.02 0.01 -0.01 -0.02 0.04 0.03 0.02 0.00 0.00 -0.02 -0.04
51
Lampiran 6. Korelasi dari Residual VECMX: Model 2 Negara Argentina Australia Brazil Canada Chile Tiongkok Euro India Indonesia Japan Korea Malaysia Mexico New Zealand Norway Peru Philippines Saudi Arabia Singapore South Africa Sweden Switzerland Thailand Turkey United Kingdom USA
Dp -0.02 -0.04 0.01 0.04 -0.01 -0.02 0.01 0.01 0.00 0.02 0.02 -0.03 0.04 0.02 0.02 0.01 0.01 -0.01 0.03
ep 0.04 0.03 -0.05 0.03 0.02 -0.02 0.05 0.02 0.03 0.03 0.01 0.04 -0.01 0.05 0.06 -0.02 -0.01 0.03 0.02 0.00 0.03 0.04 0.03 -0.03 0.05 0.08
eq 0.05 0.25 0.13 0.20 0.16 0.05 0.30 0.17 0.15 0.17 0.19 0.22 0.00 0.26 0.30 0.03 0.13 0.03 0.29 0.24 0.26 0.30 0.22 0.15 0.25
lr -0.02 0.01 0.02 0.04 -0.11 -0.03 -0.10 -0.05 0.02 0.00 0.04 0.02 0.01 0.05 -0.01 -0.01 0.02 -0.02 0.00
bm -0.01 0.02 0.03 0.00 0.01 -0.09 -0.02 -0.01 -0.02 -0.04 -0.01 -0.01 0.03 0.05 -0.01 0.02 0.00 -0.01 -0.02 0.04 0.03 0.01 -0.01 -0.01 -0.02 -0.03
52
Lampiran 7. Variabel Domestik dalam Model VARX Masing-masing Negara Negara Argentina Australia Brazil Canada Tiongkok Chile Euro India Indonesia Japan Korea Malaysia Mexico Norway New Zealand Peru Philippines South Africa Saudi Arabia Singapore Sweden Switzerland Thailand Turkey United Kingdom USA
y 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
Dp 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
eq 1 1 0 1 0 1 1 1 0 1 1 1 0 1 1 0 1 1 0 1 1 1 1 0 1 1
ep 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0
r 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 1 1 1 1 1 1
lr 0 1 0 1 0 0 1 0 0 1 1 0 0 1 1 0 0 1 0 0 1 1 0 0 1 1
bm 1 1 1 0 1 0 1 1 1 1 1 1 1 0 0 1 0 0 0 1 1 1 1 1 1 1
53
Lampiran 8. Variabel Foreign dalam model VARX masing-masing Negara Negara Argentina Australia Brazil Canada Tiongkok Chile Euro India Indonesia Japan Korea Malaysia Mexico Norway New Zealand Peru Philippines South Africa Saudi Arabia Singapore Sweden Switzerland Thailand Turkey United Kingdom USA
y 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
Dp 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
eq 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
ep 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
r 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
lr 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
bm 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
1 1
1 1
1 0
0 1
1 0
1 0
1 0
Lampiran 9. Persistence Profile dari System-Wide Shocks pada Hubungan Kointegrasi β Indonesia, Median Bootstrap 1.2 1 0.8 CV1 0.6 0.4
CV2 CV3
0.2
0 1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23 25 27 29 31 33 35 37 39 41
54