Peranan Perekonomian Indonesia terhadap Ketidakseimbangan Global1
I. Pendahuluan Saat krisis keuangan global terjadi di tahun 2007 – 2008, yang bermula dari kegagalan produk keuangan yang disebut juga dengan sub-prime backed Collaterallized Debt Obligation (CDO), pertumbuhan ekonomi dan pengangguran di negara-negara yang terkena dampak krisis ini semakin memburuk. Amerika Serikat (AS) merupakan yang terkena dampak kegagalan CDO yang paling buruk (dimana CDO itu sendiri berasal dari pasar keuangan AS). Krisis keuangan yang berimbas kepada sulitnya likuiditas di pasar keuangan ditransmisikan ke sektor riil (main street), di mana perusahaan-perusahaan non-keuangan yang notabene tidak memiliki peran dalam krisis tersebut juga mengalami kesulitan likuiditas. Hal ini disebabkan karena industri perbankan yang berperan penting untuk mengintermediasikan sumber dana bagi perusahaan-perusahaan tersebut juga membutuhkan dana untuk memenuhi kewajiban (liabilities) mereka. Kegagalan CDO menjadi sumber utama karena sirkulasi dari produk derivatif beracun ini (toxic derivatives) ini sangatlah besar yang membuat sisi aset dari bank yang memiliki produk ini semakin menyusut. Dengan sulitnya likuiditas tersebut, maka perusahaan sektor riil di AS pun tidak lagi memiliki kemampuan untuk mendanai biaya operasional mereka, terutama untuk membayar upah dari karyawannya. Dampaknya, mereka terpaksa harus menghentikan operasional perusahaan yang kemudian berujung kepada meningkatnya pengangguran. Seperti yang ditunjukkan pada Grafik 4.1, seiring dengan peningkatan tingkat pengangguran, pertumbuhan ekonomi AS pun semakin memburuk hingga mencapai kurang lebih -3% di tahun 2009. Grafik 4.1. Pertumbuhan Ekonomi dan Tingkat Pengangguran di Amerika Serikat 2001 – 2011 12,00% 10,00%
Growth
Unemployment
8,00% 6,00% 4,00% 2,00% 0,00% ‐2,00%
2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011
‐4,00%
Sumber: International Financial Statistic, diolah kembali
Respon awal dari pemerintah AS saat menghadapi krisis adalah dengan mengeluarkan kebijakan paket stimulus yang mencapai hampir 700 miliar Dollar AS di tahun 2008, atau yang disebut dengan Troubled Asset Relief Program (TARP)2. Hal ini dilakukan oleh pemerintah AS dikarenakan adanya pelemahan pada sisi permintaan swasta, sehingga untuk mendorong pertumbuhan ekonomi maka pemerintah dirasa perlu untuk memberikan stimulus kepada perekonomian dengan meningkatkan pengeluarannya. Dengan kata lain, defisit 1
Hasil kajian Pusat Kebijakan Pembiayaan Perubahan Iklim dan Multilateral (PKPPIM) BKF. Draft awal analisis disiapkan oleh Rulyusa Pratikto.
2
http://money.cnn.com/news/storysupplement/economy/bailouttracker/index.html (akses 10 Mei 2013).
1
anggaran pemerintah AS pun semakin meningkat. Pada tahun 2008, defisit anggaran sebagai persentase terhadap Pertumbuhan Domestik Bruto (PDB) pemerintah AS meningkat menjadi -3.2% dari -1.2% di tahun 2007. Sebagai konsekuensi dari peningkatan paket situmulus terebut, maka pada tahun 2009, defisit kembali membengkak, kali ini menjadi -10.1%3. Krisis keuangan AS yang kemudian menjalar ke negara-negara lain di dunia (Eropa, Jepang, Singapura) berimbas juga kepada kebijakan pemerintah masing-masing negara untuk meningkatkan pengeluaran demi mendorong pertumbuhan ekonomi karena adanya pelemahan di sektor swasta. Kebijakan defisit anggaran yang semakin meluas ini membuat negara-negara G20 khawatir bahwa hal ini akan semakin mendorong ketidakseimbangan global, terutama dari sisi neraca perdagangan dunia (current account). Melemahnya pendapatan dunia menyebabkan permintaan terhadap barang-barang domestik masing-masing negara juga menurun, yang kemudian menimbulkan defisit pada neraca perdagangan masing-masing negara. Melemahnya permintaan terhadap barang ekspor domestik juga mengakibatkan pelemahan bagi mata uang masing-masing negara. Kebijakan defisit anggaran dengan pembiayaan dari hutang luar negeri yang berdampak kepada meningkatnya peredaran jumlah mata uang negara-negara defisit kemudian juga akan semakin memberikan tekanan depresiasi. Pada akhirnya, depresiasi dari mata uang negara-negara di dunia akan mempersulit pembenahan pada ketidakseimbangan global tersebut. Pada perekonomian Indonesia sendiri, dengan melemahnya pendapatan negara-negara tersebut maka dampak dari krisis global juga merambat melalui sektor perdagangan internasional. Dengan melemahnya pendapatan negara-negara tersebut yang notabene merupakan mitra dagang utama Indonesia, permintaan terhadap barang ekspor domestik menurun. Selanjutnya, dengan impor yang secara relatif stabil, maka hal ini berdampak kepada memburuknya kondisi neraca perdagangan Indonesia. Hal ini kemudian berimbas kepada melemahnya pertumbuhan ekonomi Indonesia. Pada tahun 2008, Indonesia mencetak pertumbuhan ekonomi sebesar 6.01% dari tahun 2007. Namun, pada tahun 2009, pertumbuhan ekonomi melemah ke angka 4.6% (Kementerian Keuangan, 2012). Secara relatif, performa ekonomi Indonesia sendiri lebih baik dibandingkan dengan beberapa negara di dunia karena masih mampu mencetak pertumbuhan ekonomi positif. Seiring dengan pelemahan pada sektor perdagangan internasional tersebut, defisit anggaran dari pemerintah Indonesia (realisasi) pun meningkat menjadi -1.6% terhadap PDB pada tahun 2009, dimana sebelumnya hanya sebesar -0.1% pada tahun 2008. Meski demikian, peningkatan defisit anggaran tersebut bukan dikarenakan peningkatan pada pengeluaran pemerintah, yang justru menurun dibandingkan tahun 2008 yang mencapai 4.9% Penurunan pada pendapatan pemerintah sebesar 13.5% dari tahun 2008 ke 2009 menjadi faktor utama peningkatan defisit tersebut (SEKI, 2013). Pada tahun 2010, defisit anggaran kembali mendekati keseimbangan, mencapai 0.7% dari PDB, untuk kemudian meningkat sekitar 40 basis poin pada tahun 2011. Terkait dengan komitmen Indonesia di bidang anggaran pemerintah ini, pada G20 Summit 2010 di Seoul Indonesia secara individu menyatakan bahwa mereka akan menurunkan defisit anggaran pada tahun 2011 menjadi 1.8% dari PDB4. Komitmen ini
3 4
White House historical tables 2013 http://www.mofa.go.jp/policy/economy/g20_summit/2010-2/commitments.pdf
2
tercapai bahkan berada dibawah level tersebut dimana defisit di tahun 2011 hanya 1.1% dari PDB (SEKI, 2013). Grafik 4.2. Defisit Anggaran terhadap PDB dan Pertumbuhan Ekonomi Indonesia 2004 – 2011 8,0% 6,0% 4,0% 2,0% 0,0% ‐2,0%
2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011
‐4,0% Deficit
GDP growth
Deficit(‐1)
Sumber: Statistik Ekonomi Keuangan Indonesia, diolah kembali
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, melemahnya permintaan pada sektor swasta merupakan kekhawatiran negara G20 terhadap meningkatnya defisit anggaran negaranegara di dunia. Dari Grafik 4.2, nampaknya pernyataan ini cukup beralasan, dimana hampir setiap episode dari peningkatan defisit anggaran diikuti oleh penurunan pada pertumbuhan ekonomi. Fenomena ini dapat dijelaskan oleh teori crowding-out effect, yang menyatakan bahwa peningkatan pengeluaran pemerintah yang berdampak kepada defisit anggaran akan berimbas kepada penurunan pada investasi swasta (Gartner, 1993). Namun, analisa deskriptif ini belum memperhitungkan adanya waktu tempuh (lag)dari suatu kebijakan untuk mencapai sasarannya. Seperti juga yang terlihat pada Grafik 4.2, hubungan antara defisit anggaran periode t-1 dengan pertumbuhan ekonomi periode t adalah searah/positif. Berdasarkan hal-hal tersebut, maka penulis akan menginvestigasi hubungan antara kebijakan fiskal dengan neraca perdagangan dan investasi di Indonesia. Kesimpulan yang diperoleh dalam tulisan ini akan dijadikan dasar pertimbangan mengenai bagaimana peranan Indonesia dalam G20 dan apakah kebijakan dari konsorsium tersebut memiliki dampak positif bagi kepentingan domestik dari perekonomian Indonesia. II. Pengukuran hubungan kebijakan defisit fiskal dengan perdagangan internasional dan investasi Dalam sebuah perekonomian makroekonomi terbuka, setiap perubahan dalam ekonomi domestik akan memiliki dampak terhadap perekonomian global, terutama bagi negara yang merupakan non-small open macroeconomics. Jalur transmisi perubahan kebijakan domestik terhadap perekonomian global sendiri adalah melalui perdagangan internasional (ekspor dan impor). Dengan demikian, maka untuk menjelaskan hubungan antara kebijakan defisit fiskal dengan perdagangan internasional, penulis akan menggunakan model akunting nasional sebagai berikut (Bernheim, 1988): Y = C + S +T
(1)
3
dimana Y pendapatan disposabel yang merupakan identitas dari C (konsumsi), S (tabungan) dan T (pajak). Dalam sebuah perekonomian makro terbuka, maka pendapatan total (dari sisi permintaan) dapat ditulis sebagai:
Y = C + I + G + (X − M )
(2)
dimana I adalah investasi swasta, G adalah pengeluaran pemerintah, X merupakan ekspor dan M adalah impor. Dengan melakukan subsitusi persamaan (1) ke (2), maka:
C + S +T = C + I + G + (X − M )
(3)
(T − G ) = ( I − S ) + ( X − M )
Persamaan (3) menunjukkan jika pemerintah menjalankan kebijakan surplus fiskal (T-G>0), maka akan terjadi surplus perdagangan dan/atau ekses investasi terhadap tabungan. Namun, apakah perubahan pada sisi kiri persamaan (3) berdampak ke salah satu (I-S) atau (X-M) atau bahkan keduanya merupakan pertanyaan yang belum dapat terjawab pada persamaan (3) tersebut. Dengan melakukan modifikasi pada persamaan (3) dan memasukkan variabel yang mempengaruhi masing-masing identitas: (T − G ) = ( I (i ) − S (Y )) + ( X (e, Y *) − M (e, Y ))
(4) I i < 0, SY > 0, X e > 0, X Y * > 0, M e < 0, M Y > 0
dimana i adalah suku bunga, e adalah nilai tukar dan Y * merupakan pendapatan luar negeri. Jika diasumsikan sebuah perekonomian menganut sistem nilai tukar mengambang dan aliran modal bebas, maka defisit anggaran akan berdampak kepada menurunnya jumlah tabungan nasional (S). Kelangkaan pada uang ini akan meningkatkan tingkat suku bunga, yang kemudian menimbulkan penurunan pada investasi (crowding-out). Dengan penurunan pada I dan S yang diasumsikan turun pada tingkat yang sama, maka (I-S) tidak mengalami perubahan. Ini mengindikasikan bahwa defisit fiskal hanya berpengaruh pada sisi neraca perdagangan (X-M). Hal ini dapat dijelaskan bahwa peningkatan suku bunga domestik akan menimbulkan aliran modal masuk (capital inflow), yang kemudian menimbulkan apresiasi pada nilai tukar. Menguatnya nilai tukar kemudian akan ditransmisikan ke ekspor yang menurun dan impor yang meningkat, sehingga sisi (XM) akan mengalami penurunan (Hallwood, MacDonald, 2000). III.
Metodologi Vector Autogressive
Pada penelitian ini penulis akan menggunakan metodologi Vector Autoregressive (VAR) untuk mengetahui dampak dari kebijakan defisit terhadap neraca perdagangan. Sedangkan untuk menginvestigasi apakah fenomena crowding-out terjadi di Indonesia, maka Vector Error Correction Model (VECM) menjadi metode pilihan. Pemilihan kedua model yang berbeda ini didasarkan kepada karakteristik data pada masing-masing model ekonomi. Penjelasan lebih terperinci terhadap permasalahan ini akan dijelaskan pada bagian temuan dan bahasan. Model ekonometri VAR untuk mengetahui dampak perubahan kebijakan fiskal terhadap neraca perdagangan (selanjutnya disebut Model Perdagangan) adalah sebagai berikut: 4
deft rt
ln reert ln nxt
p
p
p
p
j =1
j =1
j =1
j =1
p
p
p
p
j =1
j =1
j =1
j =1
p
p
p
p
j =1
j =1
j =1
j =1
p
p
p
p
j =1
j =1
j =1
j =1
= a10 + ∑ a11 j deft − j + ∑ a12 j rt − j + ∑ a13 j ln reert − j + ∑ a14 j ln nxt − j + e1t = a20 + ∑ a21 j deft − j + ∑ a22 j rt − j + ∑ a23 j ln reert − j + ∑ a24 j ln nxt − j + e2t
= a30 + ∑ a31 j deft − j + ∑ a32 j rt − j + ∑ a33 j ln reert − j + ∑ a34 j ln nxt − j + e3t = a40 + ∑ a41 j deft − j + ∑ a42 j rt − j + ∑ a43 j ln reert − j + ∑ a44 j ln nxt − j + e4t
...(5) dimana,
def
: persentase defisit anggaran terhadap PDB
lnreer : Real effective exchange rate dalam bentuk logaritma natural ln nx
: Net Ekspor (harga konstan) dalam bentuk logaritma natural
r
: suku bunga riil
Sedangkan, untuk menemukan apakah fenomena crowding-out terjadi di Indonesia (selanjutnya disebut Model Investasi), maka model ekonometri VAR adalah sebagai berikut: deft rt ln rit
p
p
p
j =1
j =1
j =1
p
p
p
j =1
j =1
j =1
p
p
p
j =1
j =1
j =1
= a10 + ∑ a11 j deft − j + ∑ a12 j rt − j + ∑ a13 j ln rit − j + e1t = a20 + ∑ a21 j deft − j + ∑ a22 j rt − j + ∑ a23 j ln rit − j + e2t = a30 + ∑ a31 j deft − j + ∑ a32 j rt − j + ∑ a33 j ln rit − j + e3t
...(6) dimana,
lnri
: investasi riil (harga konstan) dalam bentuk logaritma natural
Periode penelitian mencakup tahun 2000 kuartal pertama sampai dengan tahun 2012 kuartal ketiga. Karena data anggaran pemerintah Indonesia per kuartal tidak tersedia, maka data surplus/defisit kas (arus kas) akan digunakan sebagai proksi dari kebijakan fiskal. Suku bunga riil merupakan tingkat suku bunga Sertifikat Bank Indonesia dikurangi dengan tingkat inflasi (CPI). Data-data ini bersumber dari International Financial Statistics (IFS). Untuk mengukur elastisitas nilai tukar terhadap net eskpor (ekspor dikurangi impor), penulis menggunakan Real Effective Exchange Rate sebagai proksi nilai tukar. Ia merupakan pengukuran daya saing dari produk domestik yang lebih akurat untuk digunakan relatif terhadap nilai tukar nominal. Data REER ini diperoleh dari Bank of International Settlement (BIS)5, dimana peningkatan pada REER diterjemahkan sebagai apresiasi. Investasi, Ekspor 5
http://www.bis.org/statistics/eer/ (akses 25 Mei 2013)
5
dan Impor menurut harga konstan (riil) bersumber dari Statistik Ekonomi Keuangan Indonesia (SEKI). IV. Temuan dan Bahasan IV.1. Uji Akar Unit dan Kointegrasi Sebelum menganalisa model dalam konteks VAR, maka perlu dilakukan uji akar unit (unit root) untuk masing-masing variabel. Hal ini dikarenakan metode dasar VAR membutuhkan variabel yang stasioner agar memberikan hasil yang tidak menyesatkan, dengan kata lain spurious regression (Gujarati, 2003). Menurut Enders (2004), penggunaan data yang tidak stasioner akan menghasilkan regresi yang spurious—suatu regresi yang menggambarkan dua hubungan variabel atau lebih yang secara statistik signifikan, namun pada kenyataannya adalah tidak sebesar hasil dari regresi tersebut. Tabel 4.1. Hasil Uji Akar Unit Philips-Perron Variabel Def R Lnreer Lnnx Lnri
P-value 0.0000 0.0226 0.0243 0.0000 0.9831
Kesimpulan I(0) I(0) I(0) I(0) I(1)
Seperti yang terlihat pada Tabel 4.1, variabel investasi pada tingkat level terdeteksi memiliki unit root, dimana Mckinnon p-value yang lebih besar dari 5% menunjukkan bahwa hipotesa kedua variabel tersebut memiliki akar unit tidak dapat ditolak. Variabel lain memiliki integrasi pada tingkat level. Dengan demikian, seperti yang dikemukakan oleh Enders (2004), sebuah persamaan yang memiliki akar unit pada variabelnya memerlukan uji kointegrasi untuk mengetahui apakah persamaan tersebut memiliki hubungan jangka panjang diantara variabel-variabelnya. Model Perdagangan tidak diperlukan uji kointegrasi karena seluruh variabel yang digunakan pada model ini stasioner/tidak memiliki akar unit. Namun, permasalahan ini terdapat pada Model Investasi sehingga diperlukan uji kointegrasi. Uji kointegrasi dalam kerangka VAR multivariate ini menggunakan uji kointegrasi Johansen (1988). Tabel 4.2. Hasil Uji Kointegrasi Johansen Model Investasi Hypothesized No. of CE(s) Eigenvalue None * At most 1 At most 2
0.440333 0.194222 4.00E-05
Trace Statistic 38.22725 10.36739 0.001920
0.05 Critical Value Prob.** 29.79707 15.49471 3.841466
0.0042 0.2535 0.9618
Trace test indicates 1 cointegrating eqn(s) at the 0.05 level Hasil uji kointegrasi pada model investasi penulis sajikan pada Tabel 4.2. Output menunjukkan bahwa persamaan model investasi memiliki satu buah persamaan yang terkointegrasi, dengan kata lain memiliki rank = 1. Lebih lanjut, dengan mengacu kepada 6
Giles dan Mirza (1999) Jika terdapat persamaan yang terintegrasi dan tidak lebih besar dari jumlah variabel (0
Response of LREER to R
3
.06
2
.04
1
.02
0
.00
-1
-.02
Response of LNX to LREER .3
.2
.1
-2
.0
-.04 2
4
6
8
10
12
14
16
18
20
-.1 2
4
6
8
10
12
14
16
18
20
2
4
6
8
10
12
14
16
18
20
Grafik 4.3 menunjukkan IRF yang dihasilkan dari regresi VAR in level pada model perdagangan yang didasarkan dari tujuan penelitian. Shock positif pada defisit anggaran, yang berarti penurunan pada defisit berdampak kepada turunnya tingkat suku bunga riil. Hal ini mengartikan jika pemerintah meningkatkan defisit anggaran, maka tingkat suku bunga riil akan meningkat pula. Peningkatan suku bunga riil akan membuat REER terapresiasi. Selanjutnya, net ekspor mengalami penurunan karena adanya apresiasi REER tersebut, yang dikarenakan harga barang luar negeri yang secara relatif menurun berimbas ke peningkatan impor. Jalur transmisi ini sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa kebijakan defisit fiskal akan berdampak kepada penurunan pada net ekspor. Namun, apresiasi ini tidak serta merta menurunkan ekspor seperti yang ditunjukkan pada Grafik 4.4. Ini mengindikasikan bahwa beberapa barang ekspor dan impor bersifat komplemen (pelengkap) yang juga ditunjukkan oleh respon dari impor terhadap ekspor (positif) dan sebaliknya. Studi yang dilakukan oleh Pratikto (2013) menemukan bukti yang serupa dengan penelitian ini.
6
Hasil tidak disajikan. Pembaca dapat menghubungi penulis di
[email protected] untuk mendapatkan hasil uji tersebut. 7 VAR dengan lag 3 ini memenuhi kondisi stabilitas sehingga analisa impulse response bersifat kuat (robust).
7
Grafik 4.4.IRF Ekspansi Model Perdagangan Response of LEX to LREER
Response of LEX to LIM
.12
.12
.08
.08
.04
.04
.00
.00
-.04
-.04 2
4
6
8
10
12
14
16
18
20
2
4
Response of LIM to LREER
6
8
10
12
14
16
18
20
18
20
Response of LIM to LEX
.12
.12
.08
.08
.04
.04
.00
.00
-.04
-.04 2
4
6
8
10
12
14
16
18
20
2
4
6
8
10
12
14
16
Namun demikian, standard error yang tinggi pada IRF dari shock defisit terhadap suku bunga riil memiliki implikasi bahwa secara statistik, ia tidak signifikan8. Fenomena yang tidak sesuai dengan teori ini dapat dijelaskan melalui dugaan bahwa terdapat sinkronisasi kebijakan fiskal dan moneter di Indonesia. Suku bunga menjadi bersifat eksogen yang menjadi alat kebijakan moneter bagi Bank Indonesia. Sehingga, jika terjadi tekanan pada suku bunga karena adanya perubahan kebijakan fiskal, maka Bank Indonesia sebagai otoritas moneter akan melakukan intervensi. Grafik 4.5 adalah IRF dari hasil regresi model investasi dengan menggunakan VECM. Seperti juga yang dihasilkan oleh model perdagangan, kebijakan fiskal kontraktif berdampak kepada penurunan pada suku bunga riil. Namun, peranan dari pergerakan kebijakan fiskal terhadap suku bunga riil ini pun rendah, yang menegaskan temuan dari model perdagangan. Respon dari investasi terhadap suku bunga riil pun sesuai dengan teori, dimana IRF menunjukkan kejutan positif pada suku bunga riil (peningkatan) akan direspon dengan penurunan pada investasi. Grafik 4.5. IRF Model Investasi Response of LRI to R
Response of R to DEFREAL
Response of LRI to DEFREAL
2.0
.03
.03
1.5
.02
.02
.01
.01
.00
.00
-.01
-.01
1.0 0.5 0.0 -0.5
-.02
-1.0 5
10
15
20
25
30
-.02 5
10
15
8
20
25
30
5
10
15
20
25
30
Kesimpulan ini juga dipertegas dengan hasil forecast error variance decomposition (FEVD) bahwa shock dari defisit tidak memiliki peranan penting dalam pergerakan tingkat suku bunga riil. Pembaca dapat menghubungi penulis untuk mendapatkan hasil lengkap dari FEVD ini.
8
IRF juga menghasilkan konklusi bahwa kejutan positif dari kebijakan fiskal memiliki dampak negatif terhadap investasi terutama pada periode kuartal pertama. Bukti ini menunjukkan bahwa kebijakan defisit yang meningkat tidak menimbulkan efek crowdingout, namun sebaliknya. Kebijakan fiskal ekspansif memiliki implikasi bahwa ia justru mendorong permintaan pada sektor swasta. Periode penelitian yang mencakup tahun 2000 sampai dengan 2012 dapat memberikan penjelasan mengapa fenomena crowding-in ini terjadi. Pada periode tersebut, perekonomian Indonesia beberapa kali mengalami kejutan negatif yang mengganggu sektor swasta, seperti peningkatan harga bahan bakar minyak pada tahun 2005 dan krisis ekonomi global pada tahun 2007 – 2008. Seperti yang dinyatakan oleh Paul Krugman (2009), salah satu pemenang nobel ekonomi, determinan utama pada investasi swasta adalah kondisi perekonomian yang sehat. Saat pemerintah meningkatkan belanja negara kala terjadinya gangguan pada perekonomian terutama dari sektor eksternal dapat mendorong sisi permintaan. Selanjutnya, sektor swasta akan memenuhi permintaan tersebut dengan meningkatkan produksinya, yang notabene membutuhkan dana atau dengan kata lain, investasi. b. Kesimpulan Studi ini dilakukan atas kajian partisipasi Indonesia dalam G20, terutama atas komitmen bersama dan individu dari G20 dan Indonesia untuk menurunkan defisit anggaran pemerintah. Komitmen ini dicanangkan karena kekhawatiran dari negara anggota G20 bahwa defisit anggaran akan semakin memperburuk ketidakseimbangan global dari sisi neraca perdagangan dan investasi. Penulis menganalisa apakah terdapat hubungan jangka panjang antara kebijakan fiskal dengan neraca perdagangan dan investasi di perekonomian Indonesia. Uji akar unit dan kointegrasi memberikan kesimpulan bahwa terdapat hubungan jangka panjang diantara keduanya. Temuan penting dalam penelitan ini terdiri dari tiga poin utama. Pertama, meskipun kebijakan fiskal ekspansif berdampak kepada depresiasi nilai tukar riil efektif, namun depresiasi tersebut tidak serta merta mendorong ekspor karena adanya indikasi bahwa beberapa barang ekspor merupakan komplemen dari barang impor. Kedua, kebijakan fiskal tidak memiliki peranan signifikan dalam pergerakan suku bunga riil, sehingga transmisi terhadap nilai tukar dan neraca perdagangan juga tidak berjalan. Ketiga, kebijakan fiskal ekspansif ternyata memiliki efek crowding-in yang meningkatkan investasi karena adanya peningkatan pada sisi permintaan. Dengan demikian, maka komitmen dari G20 untuk mengurangi defisit anggaran tidak memiliki kesesuaian dengan struktur perekonomian Indonesia. Hal ini dikarenakan kebijakan fiskal ekspansif pemerintah Indonesia selama periode penelitian tidak berperan dalam menciptakan ketidakseimbangan global tersebut.
Daftar Pustaka Bank Indonesia. (2013). Statistik Ekonomi dan Keuangan Indonesia. Departemen Statistik dan Ekonomi, Divisi Pengelolaan dan Pengembangan Data dan Informasi, Bank Indonesia. Bernheim, Douglas B. (1988). “Budget Deficits and The Balance of Trade,” Tax Policy and The Economy, Volume 2, National Bureau of Economic Research. Enders, Walter J. (2004). Applied Econometric Time Series. John Wiley & Sons, Inc. 9
Gujarati, Damodar N. (2003). Basic Econometrics (4th Ed). New York : McGraw-Hill. Gartner, Manfred. (1993). Macroeconomic Under Flexible Exchange Rate. LSE Handbooks In Economics, Harvester Wheatsheaf. Hallwood, Paul C., dan Ronald MacDonald. (2000). International Money and Finance 3rd Ed. Blackwell Publishers Ltd. International Monetary Fund. (2013). International Financial Statistic. March 2013 Edition. International Monetary Fund. Kementerian Keuangan. (2013). Data Pokok APBN 2006 – 2012. Direktorat Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan Republik Indonesia. Krugman, Paul. (2009). The Conscience of a Liberal. W. W. Norton & Company, Inc. Johansen, S. (1988). “Statistical Analysis of Cointegration Vectors.” Journal of Economic Dynamics and Control 12, hal. 231 – 254. Pratikto, Rulyusa. (2013). “Dynamics of Indonesia’s International Trade.” Procedia Economics and Finance, Vol. 4, hal. 149 – 159.
10