DAMPAK PERCERAIAN DAN HUBUNGAN SOSIAL TERHADAP KESEJAHTERAAN PSIKOLOGIS IBU SEBAGAI ORANG TUA TUNGGAL
NURUL AIDA
DEPARTEMEN ILMU KELUARGA DAN KONSUMEN FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
ii
iii
PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Dampak Perceraian dan Hubungan Sosial terhadap Kesejahteraan Psikologis Ibu sebagai Orang Tua Tunggal adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Desember 2013 Nurul Aida NIM I24090042
ii
ABSTRAK NURUL AIDA. Dampak Perceraian dan Hubungan Sosial terhadap Kesejahteraan Psikologis Ibu sebagai Orang Tua Tunggal. Dibimbing oleh HERIEN PUSPITAWATI. Keluarga ibu orang tua tunggal yang terbentuk akibat perceraian seringkali membawa perubahan pada kesejahteraan ibu orang tua tunggal. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi karakteristik ibu sebagai orang tua tunggal, hubungannya dengan kesejahteraan psikologis, hubungan sosial, dan dampak perceraian serta menganalisis dampak perceraian dan hubungan sosial terhadap kesejahteraan psikologis di dua kondisi (enam bulan pertama dan lima tahun) paska perceraian. Analisis deskriptif dan inferensia (uji beda, korelasi Pearson, dan regresi linear berganda) digunakan dalam penelitian ini. Sebanyak enam puluh responden ibu orang tua tunggal yang telah bercerai lebih dari enam bulan dipilih dari dua desa di Kabupaten Cianjur. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kesejahteraan psikologis, hubungan sosial, dan dampak perceraian responden enam bulan pertama paska perceraian signifikan lebih rendah dibandingkan dengan kondisi saat ini. Hubungan signifikan ditemukan pada umur saat ini, jumlah tanggungan, pendapatan keluarga dengan dampak ekonomi, tingkat depresi, dukungan sosial. Berdasarkan uji regresi, ditemukan pengaruh negatif signifikan pada dampak perceraian terhadap kesejahteraan psikologis di kondisi enam bulan pertama dan saat ini. Adapun hubungan sosial terhadap kesejahteraan psikologis tidak ditemukan pengaruh yang signifikan. Kata kunci: dampak ekonomi, dukungan sosial, tingkat depresi
ABSTRACT NURUL AIDA. Impact Of Divorce and Social Relationship On Psychological Well-being Single Mother. Supervised by HERIEN PUSPITAWATI. Family with a single mothers who came from divorced, often bring the impact such as problem or change on a single mothers well-being. The aim of this research to indentify characteristics of single mother and relations with psychological well-being and social relations, and also analyze impact divorce on psychological well-being and social relations. Descriptive analysis, regression, and Pearson correlation was used in this study. The respondents were sixty single mother who come from the length divorced more than six month. The result showed that compare with present condition, psychological well-being, impact of divorce and social relation respondent are more significant lower than the first six month after divorce. There was relationship between age of present and divorce, family’s income, and size of family with level of depression, social support, and economic impact. Based on regression analysis we found there was negative effect of impact of divorce to psychological well-being at the first six month after divorce and the present. Other wise, we found there was not significant effect of divorce to social relationship. Keywords: economic impact, level of depression, social support
iii
DAMPAK PERCERAIAN DAN HUBUNGAN SOSIAL TERHADAP KESEJAHTERAAN PSIKOLOGIS IBU SEBAGAI ORANG TUA TUNGGAL
NURUL AIDA
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains pada Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen
DEPARTEMEN ILMU KELUARGA DAN KONSUMEN FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
iv
v
Judul Skripsi: Dampak Perceraian dan Hubungan Sosial terhadap Kesejahteraan Psikologis Ibu sebagai Orang Tua Tunggal Nama : Nurul Aida NIM : I24090042
Disetujui oleh
Dr. Ir. Herien Puspitawati, M.Sc., M.Sc Pembimbing
Diketahui oleh
Prof. Dr. Ir. Ujang Sumarwan, M.Sc Ketua Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen
Tanggal Lulus:
vi
PRAKATA Puji syukur atas rahmat dan semua bentuk kenikmatan yang diberikan Allah SWT karena atas kelimpahan-Nya saya dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Dampak Perceraian dan Hubungan sosial terhadap Kesejahteraan Psikologis Ibu Sebagai Orang tua Tunggal”. Penyelesaian skripsi ini tidak lepas dari bantuan dan dukungan dari banyak pihak. Penulis dengan segala hormat mengucapkan terima kasih kepada: 1. Dr. Ir. Herien Puspitawati M.Sc., M.Sc selaku dosen pembimbing yang telah bersedia meluangkan waktu dan pikirannya memberikan arahan, kritik, dan saran serta dorongan kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi. 2. Ir. Melly Latifah, M.Si selaku dosen pembimbing akademik bersedia meluangkan waktu dan pikirannya memberikan dorongan kepada penulis untuk menyelesaikan studi sarjana. 3. Irni Rahmayani Johan, SP., MM selaku dosen yang telah bersedia meluangkan waktu dan pikirannya memberikan arahan, kritik, dan saran serta dorongan kepada penulis untuk menyelesaikan proposal skripsi. 4. Agus Surachman S.Si, Fernando Tandayu dan Indri Irmawati selaku dosen pemandu seminar dan pembahas yang telah memberikan segala koreksi dan saran untuk perbaikan penyusunan skripsi. 5. Aparat desa beserta ketua RT Sukanagalih dan Sindang Laya, Kabupaten Cianjur atas keramahan, kerjasama, dan kesediannya dalam membantu pengambilan data. 6. Keluargaku yang tercinta atas segala dorongan, saran, bantuan, doa, dan kasih sayang yang tak henti diberikan sehingga skripsi dapat terselesaikan 7. Ibu Umas, Bapak Edi dan Ucu yang senantiasa membantu dalam proses pengambilan data contoh. 8. Teman-temanku yang tercinta yang telah banyak membantu dalam perjalanan penelitian: Lela Nesvi, Rena NL, Merisa, Rahmi D, Rahmi M, Susanti, Aila, Salsabila serta teman seperjuanganku sejak SMA: Nahdhiyah S, Winda S, Nurul Arifiani yang senantiasa memberikan dukungan yang diberikan kepada penulis. Akhir kata penulis berharap agar skripsi ini dapat berguna dan dapat dijadikan sebagai perbandingan maupun penambah pengetahuan para pembaca.
Bogor, Desember 2013 Nurul Aida
vii
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
viii
DAFTAR GAMBAR
viii
DAFTAR LAMPIRAN
viii
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Perumusan Masalah
2
Tujuan Penelitian
3
Manfaat Penelitian
4
KERANGKA BERPIKIR
4
TINJAUAN PUSTAKA
8
Pandangan Teori Struktural Fungsional
8
Perceraian
9
Kesejahteraan Psikologis
12
Hubungan Sosial
14
METODE
16
Desain, Tempat dan Waktu Penelitian
16
Jumlah dan Cara Pemilihan Contoh
16
Jenis dan Cara Pengukuran Data
17
Pengolahan dan Analisis Data
17
HASIL DAN PEMBAHASAN
20
Hasil
20
Pembahasan
27
SIMPULAN DAN SARAN
29
Simpulan
29
Saran
30
DAFTAR PUSTAKA
31
LAMPIRAN
35
RIWAYAT HIDUP
53
viii
DAFTAR TABEL 1. Sebaran karakteristik ibu dan keluarga 2. Sebaran alasan utama perceraian ibu orang tua tunggal 3. Sebaran perbedaan dampak perceraian ibu orang tua tunggal
berdasarkan waktu
20 22 23
4. Sebaran perbedaan kesejahteraan psikologis ibu orang tua tunggal
berdasarkan waktu
23
5. Sebaran perbedaan hubungan sosial ibu orang tua tunggal berdasarkan
waktu
24
6. Sebaran hubungan karakteristik ibu orang tua tunggal dan keluarga
dengan variabel dependen
25
7. Koefisien regresi hubungan sosial dan dampak perceraian terhadap
kesejahteraan psikologis paska perceraian
26
DAFTAR GAMBAR 1. Kerangka pemikiran dampak perceraian dan hubungan sosial
terhadap kesejahteraan psikologis ibu sebagai orang tua tunggal 2. Jumlah dan cara pemilillihan contoh
7 17
DAFTAR LAMPIRAN 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13.
Peta Lokasi Penelitian Penelitian Terdahulu Jenis data, variabel, alat dan cara pengukuran data skala data Data dan Cara Pengolahan Uji Reliabilitas Alasan Perceraian Uji korelasi karaktersitik ibu dengan dampak perceraian, hubungan sosial dan kesejahteraan psikologis saat ini (5 tahun), paska perceraian Uji korelasi dampak perceraian, hubungan sosial dan kesejahteraan psikologis ibu enam bulan pertama paska perceraian Uji korelasi dampak perceraian, hubungan sosial dan kesejahteraan psikologis ibu saat ini (5 tahun) paska perceraian Perbedaan dampak perceraian tiap item pertanyaan berdasarkan waktu Perbedaan kesejahteraan psikologis tiap item pertanyaan berdasarkan waktu Perbedaan hubungan sosial tiap item pertanyaan berdasarkan waktu Indepth Interview
35 35 39 40 42 43
44 45 45 47 48 49 50
1
PENDAHULUAN Latar Belakang Perceraian merupakan suatu pilihan yang dihindari dan tidak diinginkan oleh tiap pasangan di dalam pernikahannya. Berdasarkan data BPS Susenas Indonesia (2013) di tahun 2009 sampai dengan 2012, diketahui bahwa laju pernikahan dan perceraian di pedesaan jauh lebih tinggi dibanding di perkotaan. Selain itu juga diketahui bahwa jumlah perempuan yang berstatus cerai hidup lebih banyak dibanding laki laki dengan perbandingan 14:1 (BPS Susenas Indonesia 2013). Jawa Barat merupakan provinsi pertama (21.8%) yang paling banyak menikah dan masyarakatnya menempati urutan ketiga terbanyak (18.7%) dalam hal talak dan gugat cerai dibandingkan provinsi lainnya di Indonesia (BPS 2012). Salah satu kabupaten didalamnya, yakni Cianjur merupakan kabupaten yang menempati urutan keenam dengan pasangan bercerai terbanyak yang diinisiatori perempuan (Pengadilan Agama Cianjur 2012). Fenomena perceraian ini tidak hanya dapat berdampak positif, netral ataupun negatif pada anak saja, tetapi juga pada pasangan yang bercerai (Amato 2000), khususnya perempuan. Tidak termanajemennya peran ganda (instrumental dan ekspresif) yang diemban dan dilakukan oleh perempuan dengan status ibu sebagai orang tua tunggal, diduga merupakan awal dari munculnya permasalahan baru pada kondisi paska perceraian. Smock (1994), Seltzer (1991), dan Gerstel et al (1985) memaparkan bahwa dampak perceraian tidak hanya membawa perubahan pada kondisi fisik, ekonomi, dan psikologis, namun juga membawa perubahan pada kondisi sosial. Disamping itu, individu yang bercerai juga sejatinya merupakan seorang makhluk sosial yang dalam kesehariannya tidak terlepas dari interaksi sosial dengan orang-orang di sekelilingnya. Namun beberapa faktanya menunjukkan bahwa tidak sedikit dari individu yang bercerai kehilangan teman, sedangkan lainnya mengembangkan hubungan sosialnya ke arah yang baik. Berbeda dengan hal tersebut, Amato (2000) menyatakan bahwa perceraian memiliki pengaruh yang kuat terhadap kesejahteraan. Kondisi kesejahteraan paska perceraian menjadi hal yang seringkali dipertanyakan terutama oleh individu yang mengalami perceraian. Salah satu kesejahteraaan yang juga penting untuk dicapai dan diduga mengalami perubahan pada kondisi paska perceraian yakni kesejahteraan psikologis. Tanpa terpenuhinya kesejahteraan tersebut, individu akan mengalami keresahan maupun ketidakbahagiaan di kehidupannya dan akan sangat mungkin untuk melakukan tindakan kejahatan ataupun merusak diri. Perubahan yang dirasakan paska perceraian baik dampak yang ditimbulkan pada kondisi psikis, fisik, sosial, dan ekonomi maupun hubungan sosial diduga memengaruhi kesejahteraan psikologis ibu sebagai orang tua tunggal dan meskipun dampak dari perceraian diketahui akan menurun sejalan dengan berjalannya waktu (Booth & Amato 1991), namun perbedaan kondisi di enam bulan pertama dan saat ini paska perceraian, diduga tidak banyak
2
mengalami perubahan ke arah yang baik. Oleh karenanya di latarbelakangi oleh teori dan studi sebelumnya, penelitian ini dilakukan guna mengetahui dan menganalisis dampak perceraian serta hubungan sosial pada kesejahteraan psikologis ibu sebagai orang tua tunggal. Perumusan Masalah Berdasarkan data Pengadilan Agama Cianjur (2013), diketahui bahwa laju perceraian di Kabupaten Cianjur mengalami peningkatan sebesar 2.6 persen perkara cerai talak dan 16 persen cerai gugat di tahun 2011 sampai dengan 2012. Data tersebut kemudian diperjelas oleh data di tahun 2011, yang menunjukkan bahwa terdapat 203 perkara cerai talak dan 998 perkara cerai gugat, sedangkan di tahun 2012 meningkat menjadi 221 perkara cerai talak dan 1215 perkara cerai gugat. Sementara itu Euis (2013), memaparkan bahwa anggota perempuan kepala keluarga (Pekka) terbanyak diketahui berdomisili di Desa Sukanagalih, Kecamatan Pacet dan Desa Sindang Laya, Kecamatan Cipanas1. Lingkungan Desa Sindang Laya dan Sukanagalih diketahui memiliki lapangan pekerjaan yang lebih beragam dibandingkan desa lainnya seperti buruh villa, pabrik ataupun pasar, tidak lantas dapat dipastikan bahwa pendapatan yang diterima tinggi dan mampu menutupi kebutuhan keluarga. Apabila kondisi yang berkebalikannya terjadi dan pasangan yang tidak memiliki komitmen kuat pada pernikahan serta tidak mampu menyelesaikan permasalahan yang dihadapinya, keputusan untuk bercerai akan sangat mungkin diambil oleh pasangan. Perceraian yang terjadi sepanjang tahun 2011 sampai dengan 2013 di Cianjur, diketahui paling banyak diinisiatori oleh perempuan yang berstatus ibu rumah tangga (Pengadilan Agama Cianjur 2013). Banyaknya inisiator yang berasal dari ibu rumah tangga, menunjukkan bahwa dampak yang mungkin dirasakan paska perceraian akan lebih besar dirasakan oleh ibu, karena terdapatnya penambahan peran instrumental yang sebelumnya tidak diembannya, diduga akan menjadi celah munculnya permasalahan baru di kondisi paska perceraian. Ditambah dengan peran ekspresif yang juga harus dilaksanakan sejalan dengan perceraian khususnya terhadap anak-anaknya diduga akan memberikan dampak perceraian yang jauh lebih besar di paska perceraian. Dampak yang dirasakan ibu paska perceraian diketahui akan menurun sejalan dengan berjalannya waktu (Booth & Amato 1991) dan studi terdahulu yang menelaah dampak perceraian yang dirasakan ibu di kondisi enam bulan pertama dan kondisi saat ini, belum banyak diteliti. Namun diduga, dampak yang dirasakan di enam bulan pertama akan lebih besar dibanding kondisi saat ini. Bianchi et al (1999) menyatakan bahwa dampak dari perceraian yang dirasakan perempuan, salah satunya yakni penurunan standar hidup yang berpotensi menurunkan kondisi fisik individu (Kincaid & Caldwell 1991). Selain itu, penurunan kesejahteraan psikologis pada perempuan sebagai 1
Euis. 2013. Jumlah Cianjur
anggota perempuan kepala keluarga (Pekka) terbanyak.
3
dampak dari perceraian juga ditemukan pada studi sebelumnya (Bloom et al 1985; Matekasa 1994; Shapiro 1996) yang menunjukkan rendahnya kebahagiaan dan self esteem serta tingginya tingkat depresi (Simon & Marcussen 1999). Studi lainnya yang membuktikan bahwa perceraian dapat membawa resiko yang lebih besar untuk tidak bahagia, gangguan kesehatan, dan gangguan psikologis ditemukan oleh Amato (2000). Sementara itu, dampak dari penurunan ataupun rendahnya kesejahteraan psikologis ini juga membawa dampak traumatis (Hackey & Bernard 1990) pada individu yang bercerai di kondisi paska perceraian. Hal ini disebabkan oleh terdapatnya gangguan secara emosional yang bersifat temporer (William & Umberson 2004). Acock dan Demo (1994) menemukan bahwa banyak ibu yang bercerai mengembangkan kehidupan hubungan sosialnya dan mencari kebahagiaan pada kondisi paska perceraian. Namun, hal yang bertentangan ditunjukkan oleh Joung et al (1997) yang menemukan bahwa orang yang bercerai lebih banyak menutup diri dari lingkungan sekitarnya. Sementara itu, hasil penelitian Sarah (2012) menunjukkan bahwa hubungan jejaring sosial pada pasangan yang bercerai berhubungan dengan dukungan sosial yang diterima oleh orang di sekitar kehidupannya (mantan pasangan, keluarga, dan teman) dan semakin efektif dukungan yang diterima, semakin efektif hubungan yang berlangsung. Berdasarkan identifikasi rumusan masalah yang ada, timbul pertanyaan dari benak peneliti yaitu: 1. Bagaimana karakterisitik ibu orang tua tunggal, mantan pasangan, dan keluarga ibu orang tua tunggal di kondisi enam bulan pertama dan saat ini paska perceraian? 2. Bagaimana hubungan karakteristik ibu sebagai orang tua tunggal dan keluarga dengan hubungan sosial, dampak perceraian, dan kesejahteraan psikologi pada kondisi saat ini? 3. Bagaimana dampak perceraian dan hubungan sosial terhadap kesejahteraan psikologis ibu orang tua tunggal di enam bulan pertama dan saat ini paska perceraian? Tujuan Penelitian Tujuan Umum Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dampak perceraian dan hubungan sosial terhadap kesejahteraan psikologis ibu orang tua tunggal Tujuan Khusus 1. Mengidentifikasi karakteristik ibu sebagai orang tua tunggal, mantan pasangan, dan keluarga ibu orang tua tunggal pada dua kondisi (pra dan paska perceraian) 2. Menganalisis karakteristik ibu sebagai orang tua tunggal dan keluarga dengan hubungan sosial, dampak perceraian dan kesejahteraan psikologis di kondisi saat ini 3. Menganalisis dampak perceraian dan hubungan sosial terhadap kesejahteraan psikologis ibu orang tua tunggal di kondisi enam bulan pertama dan saat ini
4
Manfaat Penelitian Informasi pada penelitian ini diharapkan dapat digunakan oleh pemerintah untuk membuat suatu kebijakan dengan sasaran pasangan yang akan, baru maupun sudah menikah dan bercerai demi terciptanya sumber daya yang berkualitas. Disamping itu, hasil dari penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan informasi kepada masyarakat akan dampak yang ditimbulkan dari perceraian dan memberikan gambaran akan pengaruh dampakdari perceraian terhadap kesejahteraan psikologis ibu sebagai orang tua tunggal. Pada jangka panjangnya informasi tersebut dapat mengubah paradigma masyarakat tentang perceraian sebagai satu-satunya jalan yang mudah dilakukan untuk mengakhiri konflik. Kegunaan lainnya yang dapat diperoleh keluarga dari penelitian ini yakni menjadikan suatu gambaran umum akan kehidupan orang tua tunggal paska perceraian sehingga pasangan dapat menghindari dan menghadapi konflik pernikahan melalui stategi khusus yang dibuat oleh pasangan guna terhindar dari perceraian.
KERANGKA BERPIKIR Perceraian merupakan akumulasi dari permasalahan pasangan yang gagal melakukan penyesuaian dalam pernikahan dan tidak mampu lagi mencari penyelesaian masalah yang dapat memuaskan pasangan. Landasan teori pada penelitian ini mendukung teori struktural fungsional yang berpandangan bahwa keluarga merupakan institusi sosial yang memiliki peran dan fungsi penting dalam lingkungan sosialnya. Keseimbangan sistem yang stabil dalam keluarga dan sosial masyarakat merupakan hal yang penting untuk dijaga dan dipelihara. Demi mencapai keseimbangan dan keharmonisannya, setidaknya lima syarat harus dipenuhi oleh tiap keluarga keluarga, diantaranya yakni diferensiasi peran, alokasi solidaritas, alokasi ekonomi, alokasi politik dan alokasi integrasi dan ekspresi. Salah satu tanda dari terorganisasinya keluarga dengan baik yakni adanya kesatuan pada anggota didalamnya yang saling berkomunikasi dan menjalankan perannya masing masing dengan baik (Puspitawati 2013). Keluarga yang tidak memiliki kesatuan atau tidak terorganisasi dengan baik dapat menimbulkan terjadinya perpecahan keluarga yakni perceraian (Puspitawati 2013). Struktural fungsional berpandangan bahwa tingginya laju perceraian dan meningkatnya angka orang tua tunggal merupakan gambaran dari rusaknya institusi keluarga. Kerusakan pada intitusi keluarga merupakan masalah utama dalam timbulnya permasalahan sosial lainnya. Pada penelitian terdahulu menjelaskan bahwa status sosial ekonomi seperti pendidikan, pendapatan, dan status pekerjaan berhubungan terbalik dengan laju perceraian (Norton & Glick 1979). Jalovaara (2003) menjelaskan bahwa pasangan yang memiliki level pendidikan yang terendah memiliki resiko perceraian yang lebih rendah dibandingkan ekspektasi studi sebelumnya. Adapun menurut Kitson dan Rascke (1981), individu yang berasal dari keluarga yang bercerai memiliki resiko bercerai yang lebih
5
tinggi dibanding yang bukan berasal dari keluarga yang bercerai. Oleh karenanya sosial ekonomi pasangan dan riwayat perceraian menjadi hal perlu untuk dipertimbangkan sebagai faktor terjadinya perceraian. Sementara itu, dilihat dari perbedaan dampak yang dirasakan dilihat dari jenis kelaminnya, perempuan umumnya merasakan dampak yang lebih tinggi dibanding laki laki. Dampak dari perceraian hidup umumnya lebih besar dibanding perceraian yang diakibatkan karena pasangan meninggal. Hal ini dikarenakan sebelum dan sesudah perceraian hidup, umumnya individu yang bercerai merasakan sakit dan tekanan secara emosional. Studi sebelumnya mengenai perceraian, menunjukkan bahwa dampak perceraian yang sangat besar dirasakan individu yakni pada tahun pertama dan kemudian secara bertahap mengalami penurunan akibat penyesuaian diri pada berbagai masalah yang dihadapi. Sementara itu, dampak fisik, sosial, psikologis dan ekonomi (Smock 1994 & Gerstel et al 1985) yang ditimbulkan akibat perceraian memiliki efek yang tidak sama pada semua individu yang bercerai dan hal ini bergantung pada alasan yang melatarbelakangi terjadinya perceraian. Dampak perceraian umumnya dirasakan positif pada pasangan yang merasa beruntung. Namun kenyataannya mereka menghadapi masalah yang jauh lebih berat dibanding keuntungan dari perceraian. Dampak negatif yang disebabkan oleh perceraian, salah satunya yakni menurunnya kesejahteraan. Hal ini diperkuat oleh Booth dan Amato (1991) yang menyatakan bahwa perceraian merupakan pengalaman pahit yang akan mendorong penurunan kesejahteraan. Adapun menurut Puspitawati (2005) dalam Puspitawati (2013), dimensi kesejahteraan yang harus dipenuhi agar anggota maupun keluarga mampu mencapai tujuannya yakni kesejahteraan ekonomi, sosial, psikologi, dan fisik. Mirowsky et al (1989) menjelaskan pada studi sebelumnya bahwa orang yang bercerai memiliki kondisi kesejahteraan psikologis yang lebih rendah dibanding orang yang menikah dan umumnya memiliki resiko yang lebih besar untuk tidak bahagia, gangguan kesehatan, dan gangguan psikologis (Amato 2000). Hal ini menjadi krusial apabila salah satu kesejahteraan, khususnya kesejahteraan psikologis tidak terpenuhi karena dampak negatif yang ditimbulkannya dapat berpengaruh pada kehidupannya kelak, seperti gangguan mental, masalah kesehatan dan penyimpangan perilaku seperti melakukan tindakan kejahatan (Puspitawati 2013). Individu yang bercerai sekalipun juga merupakan makluk sosial yang melakukan interaksi yang positif dengan orang-orang disekitar kehidupannya. Interaksi sosial pada individu yang bercerai, diduga mengalami perubahan di paska perceraian. House et al 1988 menjelaskan hubungan sosial individu kedalam tiga subdivisi yakni integrasi sosial, jejaring sosial dan dukungan sosial. Apabila ketiganya dipenuhi dan berjalan sebagaimana mestinya, maka hubungan sosial yang dimiliki individu dikatakan baik. Wang dan Amato (2000) pun menjelaskan bahwa pasangan yang bercerai umumnya kehilangan teman dan hal ini diakibatkan oleh keinginannya untuk mencari lingkungan kehidupan yang baru setelah bercerai. Hubungan sosial tersebut duduga memengaruhi kesejahteraan
6
psikologis individu yang bercerai, khususnya pada ibu sebagai orang tua tunggal. Amato dan Cheadle (2005) belum menemukan bukti bahwa dampak dari perceraian semakin melemah seiring waktu. Berbeda dengan hal tersebut, Booth dan Amato (1991) menjelaskan bahwa dampak negatif yang dirasakan individu yang bercerai akan menurun seiring berjalannya waktu. Dilatarbelangi teori dan penelitian terdahulu, penelitian ini fokus pada dampak perceraian, kesejahteraan psikologis, dan hubungan sosial yang dilihat dari kondisi enam bulan pertama dan saat ini pada ibu orang tua tunggal. Kerangka pemikiran ini digambarkan secara lengkap pada Gambar 1.
KARAKTERISTIK IBU SEBAGAI ORANG TUA TUNGGAL - Usia menikah, bercerai, dan saat ini - Pendidikan - Pekerjaan - Pendapatan
HUBUNGAN SOSIAL IBU (Enam bulan pertama dan saat ini) - Integrasi Sosial - Jejaring Sosial - Dukungan Sosial
DAMPAK PERCERAIAN PADA IBU (Enam bulan pertama dan saat ini) Dampak Psikologis Dampak Ekonomi Dampak Sosial Dampak Fisik KARAKTERISTIK KELUARGA - Lama perceraian - Jumlah tanggungan - Jumlah anak - Pendapatan
KESEJAHTERAAN PSIKOLOGIS IBU (Enam bulan pertama dan saat ini) - Tingkat Depresi - Self esteem - Kebahagiaan
Gambar 1 Kerangka pemikiran dampak perceraian dan hubungan sosial terhadap kesejahteraan psikologis ibu sebagai orang tua tunggal
TINJAUAN PUSTAKA Keluarga Keluarga menurut UU Nomor 1 tahun 1992 adalah unit sosial terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami, istri, anak atau suami dan istri dan anak atau ayah dan anaknya atau ibu dan anaknya. Adapun menurut Puspitawati (2013) keluarga didefinisikan sebagai unit sosial terkecil dalam masyarakat yang merupakan landasan dasar dari semua institusi masyarakat dan Negara. Bentuk keluarga menggambarkan perbedaan sosial, tingkah laku, dan kultur serta gaya hidup. Sussman et al (1974) menjabarkan keluarga menjadi 7 bentuk yaitu (1) keluarga inti, (2) keluarga besar tradisional, (3) keluarga dengan orang tua tunggal (single parents), (4) individu dewasa yang hidup sendiri, (5) keluarga dengan orang tua tiri, (6) keluarga binuklear, (7) keluarga non tradisional. Keluarga dengan Orang Tua Tunggal (Single Parents) Putusnya perkawinan menurut GBHN Nomor 1 tahun 1974 dapat diakibatkan oleh kematian, perceraian, dan atas keputusan pengadilan. Keluarga dengan orang tua tunggal dicirikan dengan kepemilikan satu orang tua yakni ayah atau ibu yang umumnya menjadi satu-satunya orang yang terlibat dalam kehidupan dan perawatan anak (Zaidin 2010). Diketahui pula bahwa umumnya orang tua tunggal lebih banyak menghadapi masalah dengan tanggung jawab pekerjaan dan rumah tangga, peran yang terlalu berat, tekanan karena harus membuat keputusan sendiri, menemukan waktu yang cukup untuk anak dan kehidupan pribadi mereka, kebutuhan fasilitas perawatan anak yang cukup dan isolasi sosial. Namun hal ini tidak dapat dijadikan pedoman bahwa keluarga dengan orang tua tunggal merupakan keluarga yang tidak dapat menjalankan fungsi keluarganya dengan baik karena penelitian Nock (1988) membuktikan bahwa keluarga dengan orang tua tunggal dapat berfungsi secara efektif. Saat ini, jumlah keluarga dengan orang tua tunggal yang dikepalai oleh ibu cenderung meningkat karena berbagai alasan antara lain kemiskinan dan pergaulan bebas (Zaidin 2010). Pandangan Teori Struktural Fungsional Keluarga merupakan institusi sosial yang memiliki peran dan fungsi penting dalam lingkungan sosial. Keseimbangan sistem sosial yang stabil dalam keluarga dan masyarakat merupakan hal yang sangat penting untuk dijaga. Sistem sosial yang dimaksud yakni suatu sistem yang seimbang, harmonis, dan berkelanjutan. Demi menjaga keseimbangan dan juga keharmonisannya, keluarga harus memiliki kemampuan untuk memelihara stabilitas agar kelangsungan suatu sistem tetap terjaga dengan baik. Ketika keluarga tidak berperan sebagaimana mestinya, permasalahan sosial seperti kejahatan, menderita penyakit tertentu, penggunaaan narkoba sampai dengan berubahnya bentuk keluarga akan mungkin terjadi. Salah satu bentuk permasalahan sosial yang memiliki dampak pada perubahan bentuk institusi keluarga yakni permasalahan perceraian.
9
Teori struktural fungsional memiliki pandangan bahwa tingginya laju perceraian dan meningkatnya angka orang tua tunggal merupakan gambaran dari rusaknya institusi keluarga. Rusaknya institusi keluarga merupakan masalah utama dalam permasalahan sosial yang menjadi acuan timbulnya permasalahan sosial lainnya seperti tindakan kejahatan. Berbeda dengan hal tersebut diketahui pula bahwa teori struktural fungsional memandang bahwa peran gender berkontribusi dalam keberfungsian suatu keluarga dimana perempuan memiliki peran utama expressive yakni memanajemen tugas keluarga dan menyediakan perawatan emosional serta memelihara seluruh anggota keluarga, sedangkan laki-laki memiliki peran utama instrumental yang maksudnya adalah menjadi pencari nafkah utama dan pembuat keputusan utama di dalam keluarga. Berdasarkan pandangan tersebut dapat dijelaskan kembali bahwa keluarga dapat mengalami gangguan sehingga melemah disebabkan oleh perubahan yang terjadi di dalam keluarga seperti perubahan peran gender. Perubahan yang umumnya ditemukan dalam institusi keluarga yang mengakibatkan munculnya permasalahan sosial, perceraian, yakni penambahan fungsi perempuan yang utamanya expressive ditambah dengan instrumental. Perceraian Perceraian merupakan peristiwa runtuhnya pernikahan secara legal yang sebenarnya tidak direncanakan dan dikehendaki oleh dua orang individu yang terikat dalam pernikahan. Fenomena saat ini memperlihatkan bahwa perempuan lebih banyak yang berinisiatif untuk mengajukan percerian dibanding laki-laki. Perceraian juga menunjukkan jalan keluar dari perkawinan yang tidak bahagia dan membawa efek pembebasan yang lebih besar untuk perempuan yang ditunjukkan dengan banyaknya perempuan yang lebih sering mengambil inisiatif untuk bercerai atau gugat (Kitson 1992). Perceraian merupakan sesuatu yang tidak mudah untuk dijelaskan dan memiliki dampak kepedihan yang begitu besar secara emosional, finansial dan sosial pada pasangan. Berbeda dengan hal tersebut, Wheaton (1990) menganalisis dari data panel orang Kanada dan menemukan bahwa orang yang bercerai dengan banyak permasalahan mempunyai gejala-gejala stress yang lebih rendah 2-4 tahun setelah perceraian, sedangkan orang yang bercerai dengan permasalahan yang sedikit, memiliki tingkat stress yang lebih tinggi. Faktor yang berhubungan dengan perceraian Umumnya sosial dan budaya merupakan salah satu faktor yang menyebabkan perubahan fungsi, ekonomi, peran, pekerjaan dan pendapatan di dalam keluarga yang berdampak pada terbukanya kesempatan mengakhiri suatu pernikahan. Banyak peneliti yang menemukan bahwa karakteristik demografi seperti umur dan agama merupakan hal yang dipertimbangkan dalam mempertahankan ataupun mengakhiri pernikahan. Namun, disamping umur dan agama masih ada faktor lainnya yang berhubungan dengan perceraian seperti sosioekonomi.
10
1. Umur pasangan ketika menikah Booth dan Edwards (1985) mengatakan bahwa dari semua bukti yang ada memperlihatkan bahwa dalam suatu pernikahan dimana umur pasangannya terbilang muda, kemungkinan untuk berakhir dengan perceraian lebih besar, khususnya pasangan yang berumur dibawah 18 tahun. Berdasarkan data dari hasil penelitian di Amerika pada tahun 1995 diketahui bahwa resiko perceraian dapat dilihat dari umur pasangan ketika menikah. Peneliti membaginya menjadi empat kategori umur yaitu (1) dibawah 18 tahun (48%), (2)18-19 tahun (40%), (3) 20-24 tahun (29%), (4) diatas 25 tahun (24%). Kategori tersebut dapat diinterpretasikan bahwa perempuan yang ketika menikah berumur dibawah 18 tahun beresiko dua kali lipat untuk mengakhiri pernikahannya dengan bercerai dibanding perempuan yang berumur 25 tahun atau lebih tua ketika menikah. 2. Lama pernikahan Salah satu faktor yang dapat memprediksi terjadinya perceraian yakni berasal dari perhitungan lama pernikahan. Literatur terdahulu menunjukkan bahwa resiko perceraian lebih besar dialami ketika usia pernikahan satu sampai lima tahun dan resikonya menurun setelah usia sepuluh tahun pernikahan. Resiko pernikahan jika dihubungkan pada lama pernikahan dapat digambarkan pada diagram yang fluktuasi dimana resiko bercerai yang paling tinggi yakni ketika usia pernikahan 2-3 tahun dan resikonya menurun pada usia pernikahan 25 tahun. Setelah periode usia tersebut, perceraian masih mungkin dapat terjadi pada usia pernikahan 30-40 tahun. 3. Status sosial ekonomi Penelitian terdahulu menemukan bahwa orang dengan pendidikan dan pendapatan yang tinggi serta status pekerjaan yang bagus memiliki laju kehancuran pernikahan yang lebih rendah (Norton&Glick 1979). Adapun Ross dan Sawhill (1975) memaparkan bahwa terdapat hubungan positif antara stabilitas pernikahan dengan pendapatan dimana keluarga dengan pendapatan yang tinggi memiliki resiko bercerai lebih kecil. Selain itu, jika dilihat dari sektor pendidikan diketahui bahwa pasangan yang ketika menikah memiliki status pendidikan yang rendah berdampak pada resiko bercerai lebih besar. Stress akibat ketidakmampuan memenuhi kebutuhan hidup dan pencapaian pendidikan merupakan dua faktor yang berkontribusi dalam ketidakstabilan pada pernikahan (Glick & Norton 1977). Berbeda dengan literatur lainnya, berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Goode (1982) dan Kephart (1955) bahwa dari 5 kategori jenis pekerjaan laki-laki yakni (1) profesional, (2) sales atauservice, (3) pekerjaan yang terampil (petugas kebakaran), (4) pekerjaan yang cukup terampil, (5) pekerjaan tidak terampil, yang memiliki resiko bercerai lebih besar yakni berasal dari kategori pekerjaan tidak terampil. Alasan Perceraian Perceraian merupakan akhir dari tidak termanagenya konflik di dalam pernikahan. Studi terdahulu mengemukakan bahwa dari dua ratus kasus krisis perkawinan pada pasangan paruh baya disebabkan oleh masalah seksual antara suami dan istri dimana kondisi saat itu istri dalam kondisi
11
sudah menopause. Berkurangnya gairah seks istri inilah yang menyebabkan kualitas hubungan suami dan istri menurun dan suami cenderung mengambil keputusan berselingkuh dengan perempuan lain. Pernyataan yang hampir sama pun dipaparkan oleh Burgess dan Locke (1960) yang mengatakan bahwa sumber utama masalah hubungan suami istri adalah hubungan kasih sayang, seks, perbedaan pola budaya, peran sosial, kesulitan ekonomi, dan tidak adanya persahabatan yang menguntungkan. Adapun Goldsmith (1999) mengelompokkan alasan timbulnya konflik dan berakhir perceraian ke dalam tiga area yakni pekerjaan, uang, dan seksual. Pertengkaran suami istri yang disebabkan karena uang banyak terjadi terutama pada keluarga dengan tingkat ekonomi menengah ke bawah. Pertengkaran ini kemudian pada studi terdahulu dikelompokkan menjadi dua yakni kurangnya jumlah uang yang dibutuhkan untuk menutupi kebutuhan pada keluarga dengan tingkat menengah kebawah dan ketidakterbukaan keuangan yang sering muncul pada keluarga dengan tingkat ekonomi menengah ke atas. Berbeda dengan teori yang dipaparkan sebelumnya, Williamson (1972) menjelaskan bahwa perceraian dapat terjadi karena the conflict of trivia yakni pertengkaran yang diawali oleh hal sepele misalnya istri selalu menuntut peningkatan ekonomi dengan adanya tuntutan pembelian suatu barang sehingga suami merasa bosan dan tidak nyaman lagi tinggal bersama istrinya. Selain itu, di dalam hasil penelitian Raffela (2003) pun menjelaskan bahwa sumber dari konflik dalam perkawinan yakni adanya tekanan ekonomi yang tinggi dan umumnya berdampak pada timbulnya masalah keuangan, masalah anak, adaptasi terhadap pasangan, hubungan mertua dan ipar dan hubungan intim dengan pasangan. Adapun menurut Puspitawati (2013), mengatakan bahwa terdapat 5 faktor penyebab perceraian yakni (1) hidup berumah tangga dengan berbeda keyakinan, (2) krisis ekonomi dalam rumah tangga mengakibatkan tekanan ekonomi keluarga sehingga tidak tercukupinya kebutuhan keluarga seharihari, (3) istri tidak menarik lagi dimata suami sehingga suami beralih ke perempuan lain, (4) perselingkuhan yang diakibatkan adanya pihak ketiga yang merusak rumah tangga, (5) tidak mempunyai anak yang menyebabkan ketidaksempurnaan rumah tangga. Teori lainnya dari Mc Cubbin dan Patterson (1987) menjelaskan komponen kejadian kehidupan keluarga yang memengaruhi stres di dalam keluarga yakni dibagi menjadi 9 permasalahan yakni (1) masalah kesulitan pengasuhan, (2) kesulitan perkawinan, (3) kesulitan kehamilan dan membesarkan anak, (4) masalah keuangan dan usaha, (5) transisi pekerjaan keluarga, (6) kesulitan perawatan keluarga dan sakit, (7) kehilangan anggotan keluarga, (8) transisi keluar dan masuknya anggota keluarga, (9) masalah keluarga dan kaitannya dengan hukum. Dampak Perceraian Dampak yang disebabkan oleh perceraian memiliki efek yang tidak sama dirasakan oleh semua orang dewasa. Hal ini bergantung pada kondisi diri pasangan yang bercerai. Beberapa pasangan merasakan dampak yang negatif, sedangkan pasangan lain tidak merasakan dampak positif dari perceraian. Dampak positif yang mungkin dirasakan oleh pasangan,
12
berdasarkan suatu penelitian yakni meningkatnya autonomi, kemampuan pribadi, kepedulian diri, dan kesuksesan dalam pekerjaan dibanding menikah. Keuntungan ini mungkin berhubungan dengan kebebasan dan independen yang dimiliki pasangan serta dipengaruhi oleh dukungan sosial dari lingkungan pasangan. Adapun dilihat dari dampak negatifnya, perceraian dapat meningkatkan stress dalam kehidupan yang ditandai dengan hilangnya sesuatu yang berharga dan perubahan transisi kehidupan. Hal berharga yang hilang setelah paska bercerai yakni hilangnya nilai terhadap hubungan, emosional dan sumber daya dari adanya hubungan yang terputus. Selain itu, beberapa studi terdahulu pun menunjukkan bahwa perceraian membawa dampak pada tinggi ataupun rendahnya kesejahteraan pada pasangan. Salah satu analisis memaparkan bahwa pasangan yang bercerai dan berumur lebih tua memiliki dampak lebih negatif pada kesehatan laki-laki dibandingkan perempuan (Williams & Umberson 2004). Selain itu, perceraian juga memberikan efek negative pada kesehatan mental, fisik, dan kesejahteraan ekonomi perempuan (Smock 1994) serta memberikan efek negatif terhadap hubungan keluarga laki-laki (Seltzer 1991), jaringan dan integrasi sosial (Gerstel et al 1985). Dilihat dari perbedaan inisiator dan noninisiator dalam pengajuan gugatan perceraian, diketahui bahwa inisiator memiliki adaptasi paska bercerai yang lebih tinggi dibanding noninisiator sehingga dampak negatif yang diakibatkan oleh perceraian menjadi lebih rendah dirasakan oleh inisiator. Adapun jika dilihat dari jenis kelamin pasangan, diketahui bahwa perceraian lebih meningkatkan depresi pada perempuan dibandingkan lakilaki (Marks&Lambert 1998). Jika teori tersebut benar, maka fenomena perceraian saat ini dimana perempuan menjadi inisiator dalam menggugat cerai suaminya dapat berakibat positif maupun negatif bagi perempuan yang bercerai. Kesejahteraan Psikologis Penelitian terdahulu yang menguji efek transisi dari kehidupan dari konsekuensi perceraian karena tekanan psikologis menjadi sebuah topik utama untuk diteliti (Amato & Cheadle 2005). Jika dilihat dari studi secara keseluruhan, ditemukan bahwa perceraian menyebabkan distress psikologi dan berdampak pada kepemilikan kesejahteraan psikologi yang lebih rendah dibanding orang yang menikah (Mirowsky et al 1989). Hal ini dapat mengakibatkan pada terganggunya kesehatan mental seperti distress psikologi (Booth dan Amato 1991) dan depresi (Shapiro 1996) seperti terganggunya fisik (Gove 1972) dan bunuh diri. Di samping itu, dari penelitian sebelumnya pun memaparkan bahwa stress terhadap kehidupan dan ekonomi (Aneshensel et al 1991), konflik pernikahan (Horwitz & Davies 1994), kondisi rendah atau tingginya status pekerjaan (Lennon & Rosenfield 1994) berhubungan kuat dengan distress psikologi pada perempuan. Namun, hasil penelitian yang membandingkan antara perempuan dan laki-laki kadang-kadang tidak konsisten karena baik perempuan maupun laki-laki mempunyai cara yang berbeda untuk mengekspresikan stres psikologisnya (Simon 2000). Selain itu, menurut
13
Puspitawati (2005) indikator yang dapat digunakan untuk mengetahui kondisi kesejahteraan psikologis seseorang yakni diukur dari tingkat stress, sakit jiwa, tingkat bunuh diri, tingkat perceraian, tingkat aborsi, dan tingkat kriminal. Adapun Shapiro Adam (1999) menggunakan tiga buah indikator untuk mengukur kesejahteraan psikologis dari penelitian sebelumnya dan indikator tersebut yaitu self esteem, tingkat depresi dan kebahagiaan. Self esteem merupakan faktor yang penting dalam kehidupan individu karena dapat membuat individu merasa bahagia dan berdampak naik pada kesehatan individu, keputusan dalam berkarir, dan mencari jalan keluar yang dihadapi dalam kehidupan. Self esteem diartikan sebagai penilaian diri yang dipengaruhi oleh sikap, interaksi, penghargaan dan penerimaan orang lain terhadap individu. Selain itu, menurut Watts Franklin (2004) self esteem diartikan sebagai bagaimana individu memikirkan dan merasakan sesuatu tentang dirinya sendiri. Hal tersebut dapat diketahui dari bagaimana cara individu melihat, mengetahui kemampuan pribadi, berhubungan dengan orang lain, dan harapan individu terhadap masa depan. Self esteem merupakan suatu cara evaluasi diri baik secara positif maupun negatif. Evaluasi ini memperlihatkan bagaimana individu menilai dirinya sendiri dan diakui atau tidaknya kemampuan dan keberhasilan atas dirinya. Salah satu penelitian memaparkan bahwa seringkali terdapat ketimpangan antara bagaimana individu dipandang oleh lingkungan dengan bagaimana individu melihat dirinya sendiri. Penyesuian dan pengalaman distress setelah bercerai merupakan dua hal yang berhubungan dan dipengaruhi oleh berbagai faktor. Salah satu faktornya yakni persepsi individu terhadap pernikahan. Individu yang merasa pernikahan merupakan komitmen seumur hidup memiliki tingkat depresi yang lebih tinggi setelah bercerai dibanding individu yang berpandangan bahwa pernikahan merupakan hubungan yang dapat datang dan pergi. Secara umum, dapat diartikan individu yang sangat setuju bahwa adanya perilaku menyimpang setelah bercerai dilaporkan memiliki tingkat depresi yang lebih besar paska bercerai dibanding individu yang sedikit setuju dengan adanya perilaku menyimpang. Selain itu, hal lainnya yang ditemukan dari salah satu penelitian terdahulu menunjukkan bahwa individu yang bercerai dan berasal dari pernikahan yang memiliki tingakt stress yang tinggi dilaporkan mempunyai tingkat kebahagiaan yang baik sejalan dengan perceraian. Banyak orang yang berasumsi bahwa orang yang telah bercerai berarti telah keluar dari permasalahan besar dan membuat kehidupan kedepannya lebih bahagia. Salah satu studi longitudinal tentang perceraian menemukan bahwa umumnya perceraian tidak membawa pasangan pada kehidupan yang lebih baik (Hetherington & Kelly 2002). Hal ini ditemukan dari hasil penelitian terdahulu bahwa tiga dari sepuluh orang yang berakhir dengan bercerai memiliki kondisi kehidupanya yang menurun. Disamping itu, dibandingkan dengan individu yang menikah, individu yang bercerai memiliki tingkat kebahagiaan yang lebih rendah dan ditandai dengan besarnya distress psikologi, rendahnya konsep diri, dan merasa sendiri (David 2001). Selain itu, dilihat dari data internasional lainnya ditemukan bahwa setengah dari semua kasus perceraian yang ada diketahui tidak
14
memperlihatkan tingkat konflik yang tinggi tetapi salah satu atau pasangan diketahui masih merasa tidak bahagia (Amato & Hohmamn 2007). Di samping itu diketahui juga bahwa ketika individu yang mengakhiri pernikahannya dengan kondisi konflik yang tinggi, kebahagiaan dan kesejahteraan mereka cenderung meningkat. Hal ini juga berlaku untuk sebaliknya yakni ketika pernikahan berakhir karena konflik yang kecil maka kebahagiaan dan kesejahteraan mereka cenderung menurun. Penelitian terdahulu menjelaskan bahwa kontribusi bekerja dapat berdampak pada kesehatan mental apabila pendapatan seseorang dalam bekerja bertambah. Selain itu, Ross et al (1990) memaparkan bahwa kontribusi bekerja baik pada perempuan maupun laki-laki dapat berdampak dalam menurunkan level depresi, kecewa dan distress psikologi. Dilihat dari perbedaan jenis kelamin, dampak yang ditimbulkan karena perpisahan dan perceraian memiliki efek stress yang lebih besar pada perempuan yang menikah maupun perempuan tidak menikah (Campbell et al 1976). Selain itu, di dalam hasil penetian terdahulu pun ditemukan bahwa perceraian lebih berdampak pada kesejahteraan psikologis pada perempuan dibanding laki-laki. Hal ini dibuktikan dengan tingkat stress perempuan yang tinggi, sedangkan kebahagiaannya lebih rendah dibandingkan laki laki, sejalan dengan perceraian. Di samping itu, hasil penelitian Rogers (1999) yang memaparkan bahwa peningkatan pendapatan perempuan yang menikah secara signifikan juga diketahui berdampak pada kesejahteraan positif pada dirinya dan negatif pada laki-laki. Hubungan Sosial House et al (1988) memaparkan bahwa hubungan sosial berpengaruh pada kesehatan dan kesejahteraan individu. Jika dilihat dari dimensi di dalamnya, hubungan sosial dapat dijelaskan ke dalam tiga subdivisi yakni integrasi sosial, jejaring sosial, dan konten hubungan (House et al 1988). Integrasi sosial dan konten hubungan merupakan dua subdivisi yang dapat digunakan untuk mengukur kuantitas dan kualitas dari hubungan sosial, sedangkan jejaring sosial digunakan untuk melihat karakteristik hubungan yang berlangsung dan tipenya. Integrasi sosial dapat dijelaskan sebagaisuatu subdivisi yang digunakan untuk melihat kuantitas dari hubungan sosial dan biasanya diukur dari frekuensi hubungannya.Integrasi sosial juga dapat dikonseptualisasikan sebagai jumlah peran yang penting yang dimiliki seseorang seperti teman, bos, atau pernikahan (Thoits 1983). Selain itu, integrasi sosial dapat diukur dengan melihat integrasi sosial baik secara formal maupun informal dalam kehidupan seseorang (Veroff et al 1981). Studi terdahulu mendefinisikan konten hubungan yang didalamnya terdapat dukungan sosial sebagai kenyamanan, material pendukung dan informasi yang diterima baik formal dan informal selama berhubungan dengan individu lain atau grup. Dampak yang diterima individu yang memperoleh dukungan sosial yakni berkurangnya stressor yang dirasakan individu. Selain itu, dukungan sosial pun dijelaskan dapat menghilangkan ancaman yang dirasakan individu dan mengubah pandangan ancaman yang
15
diterima serta mengubah reaksi emosional individu. Pada permasalahan perceraian, dukungan sosial merupakan sub divisi yang berhubungan pada adaptasi pasangan paska bercerai. Hal ini didukung oleh Cohen (1985) yang memaparkan bahwa suatu individu yang memiliki dukungan dari teman dan keluarga yang positif akan berdampak lebih baik terhadap kesehatan tubuh. Jejaring sosial merupakan salah satu hal yang menjadi kekuatan pasangan di dalam pernikahan (Johnson 1991). Hal tersebut menunjukkan karakterisitik hubungan sosial individu seperti tipe hubungan individu, intensitas bertemu, dan aktivitas yang dilakukan ketika bertemu. Pada kondisi keluarga yang bercerai, perubahan yang signifikan bukan hanya berdampak pada hubungan pasangan saja, tetapi pada jejaring sosial pasangan juga. Contohnya yakni ketika pasangan bercerai, banyak pasangan yang kehilangan teman akibat berpindah tempat tinggal (Wang & Amato 2000). Di samping itu, jejaring sosial juga dipengaruhi oleh umur individu yang mana diketahui dari hasil penelitian Studi terdahulu pun menunjukkan bahwa individu yang lebih tua lebih sedikit memiliki teman dibanding individu yang lebih muda, meskipun hubungan kedekatannya jauh lebih dekat individu yang lebih tua. Orientasi yang dapat dijelaskan pada hubungan individu yang lebih tua yakni menginvestasikan waktu yang dimiliki dengan cara memperdalam dan menjaga hubungan yang telah terjalin karena dirinya menyadari bahwa kondisi fisiknya sudah tidak seperti sewaktu muda (Cartensen et al 1999). Berdasarkan penelitian di tahun 1970-an diketahui bahwa orang yang menikah memilki kesehatan mental yang lebih baik dibanding tidak menikah (Gove & Tudor 1973) dan hal yang sama pun dipaparkan oleh Gerstel, Reissman dan Rosenfield (1985) bahwa orang yang bercerai memiliki kesehatan mental yang kurang baik karena kehilangan integrasi sosial. Adapun jika dilihat dari aspek konten sosial, House et al (1988) menjelaskan bahwa dari ratusan studi yang ada ditemukan hubungan yang positif antara dukungan sosial dengan kesejahteraan, sedangkan dukungan sosial (positif) dan hubungan yang tegang (negatif) memiliki efek yang berlainan pada kesejahteraan. Pustaka yang digunakan dalam bab ini ialah acuan primer, diutamakan artikel jurnal dan paten yang relevan dengan bidang yang diteliti, terkini, dan asli (state of the art). Diktat dan buku ajar tidak termasuk acuan primer. Tinjauan pustaka memuat telaah singkat, jelas, dan sistematis tentang kerangka teoretis, kerangka pikir, temuan, postulat-postulat, prinsip, asumsi, dan hasil-hasil penelitian yang relevan yang melandasi masalah penelitian atau gagasan guna menggali pemahaman mengenai masalah penelitian dan pemecahan masalahnya. Oleh karena itu, dari tinjauan pustaka harus dapat diturunkan kerangka pikir, hipotesis penelitian, dan metode penelitian.
16
METODE Desain, Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini menggunakan desain penelitian cross sectional yang didalamnya juga menggunakan pendekatan retrospektif yakni, pengukuran variabel yang dilakukan dalam satu kali waktu yang bersamaan pada obyek yang berbeda dan menggunakan metode survei dengan menanyakan kondisi enam bulan pertama dan kondisi saat ini paska perceraian. Adapun pemilihan tempat dipilih secara purposive di Kabupaten Cianjur. Pertimbangan dari pemilihan lokasi tersebut yakni karena Kabupaten Cianjur menduduki peringkat ke-6 terbanyak di Jawa Barat dalam tingkat perceraian hidupnya (BPS 2012) dan dilihat dari kondisi demografinya diketahui masih kental dengan lingkungan pedesaan serta sebagian besar penduduknya bekerja di bidang pertanian. Adapun lokasi tepatnya keberadaan populasi, salah satu ketua serikat Provinsi Pekka (Perempuan Kepala Keluarga) Kabupaten Cianjur menyatakan bahwa sebanyak 70 persen dari kadernya merupakan orang tua tunggal dan diketahui lima dari kecamatan yang ada di Cianjur, terdapat dua desa dengan populasi anggota Pekka terbanyak2. Kedua desa tersebut yakni Desa Sukanagalih, Kecamatan Pacet dan Desa Sindang Laya, Kecamatan Cipanas. Penelitian ini dilakukan pada bulan Mei-Agustus 2013.
Jumlah dan Cara Pemilihan Contoh Contoh yakni ibu orang tua tunggal yang memiliki anak dan telah bercerai hidup lebih dari enam bulan serta tidak menikah lagi. Penetapan contoh ini dipilih secara convinience method, yakni didasarkan ketersediaan elemen dan kemudahan untuk mendapatkan contoh. Data ketersediaan contoh didapatkan dari tujuh belas rukun tetangga (RT) di Desa Sindang Laya dan Sukanagalih dengan pertimbangan, kedua desa tersebut merupakan desa dengan anggota Pekka terbanyak. Setelah data ibu sebagai orang tua tunggal dari tiap RT didapatkan, kemudiaan contoh dipilih sesuai dengan kriteria penelitian. Setelah contoh didapatkan, peneliti langsung mendatangi rumah contoh dan mewawancarainya jika diizinkan. Hal ini dilakukan sampai tercapainya target contoh sebanyak 60 orang. Selain itu, peneliti pun melakukan depth-interview kepada dua orang contoh yang dapat dilihat di Lampiran 13.
2
Euis. 2013. Persentase jumlah anggota Pekka di Cianjur. Cianjur
17
Kabupaten Cianjur
Purposive
Convinience method
Desa Sindang Laya, Kecamatan Pacet
Desa Sukanagalih, Kecamatan Cipanas
30 contoh
30 contoh
Gambar 2 Jumlah dan cara pemilillihan contoh Jenis dan Cara Pengukuran Data Jenis data yang dikumpulkan mencakup data primer dan sekunder. Data primer meliputi karakteristik ibu orang tua tunggal dan mantan pasangannya pra dan paska bercerai (umur, pendidikan, dan pendapatan), karakteristik keluarga (lama menikah, jumlah tanggungan, jumlah anak, dan pendapatan), dampak perceraian, kesejahteraan psikologis, dan hubungan sosial ibu orang tua tunggal. Semua data primer didapatkan melalui wawancara dengan menggunakan kuesioner dengan pertanyaan terbuka dan tertutup kepada contoh. Adapun data sekunder meliputi besarnya angka perceraian di Kabupaten Cianjur dan banyaknya kelompok Pekka di Kabupaten Cianjur. Instrumen pengukuran kesejahteraan psikologis diacu dari Shapiro Adam (1999) yang menggunakan 3 indikator pengukuran yakni tingkat depresi (CES-D), self esteem (Rosenberg1965), dan kebahagiaan (Shapiro Adam 1999). Adapun instrumen hubungan sosial didasarkan teori House et all (1988) yang mengukur dalam 3 indikator yakni hubungan sosial, jejaring sosial, dan dukungan sosial. Instrumen dukungan sosial diacu dari Zimet, Dahlem dan Farley (1988), sedangkan integrasi sosial diacu dari Umberson et al (1996) dan jejaring sosial dibuat berdasarkan teori House et al (1988). Sementara dampak perceraian pun dibuatberdasarkan teori Smock (1994) dan Gerstel et al (1985). Jenis dan pengukuran data dapat dilhat secara lengkap di Lampiran 3.
Pengolahan dan Analisis Data Pengolahan data dilakukan melalui beberapa tahapan yaitu verifikasi, coding, entry, cleaning, dan analisis. Verifikasi bertujuan untuk memeriksa konsistensi informasi yang terkumpul, sedangkan penyusunan coding merupakan pemberian kode tertentu yang disesuaikan dengan jawaban pertanyaan dalam kuisoner yang bertujuan untuk memudahkan peneliti dalam mengentri data. Setelah data dientri, dilakukan cleaning data untuk memastikan tidak ada kesalahan entri data. Selanjutnya data diolah dan
18
dianalisis menggunakan program Microsoft excel 2007 dan Statistical Program for Sosial Science (SPSS) version 16.0 for Windows. Pengolahan dan analisis secara deskriptif dan inferensia (uji regresi linear berganda dan korelasi Pearson (paired sample T-test) dilakukan menggunakan SPSS. Instrumen dibuat dalam dua kondisi yang berbeda yaitu enam bulan pertama paska perceraian dan kondisi saat ini dengan total item pertanyaan pada masing masing kondisi tersebut sama. Hasil pengujian reliabilitas pada instrumen pengukuran tersebut menunjukkan bahwa instrumen yang digunakan reliabel dengan cronbach alpha yakni 0.62 dan 0.75 pada hubungan sosial, 0.83 dan 0.67 pada dampak perceraian dan 0.89 dan 0.83 pada kesejahteraan psikologis di enam bulan pertama dan saat ini paska perceraian (Lampiran 5). Total pertanyaan pada pengukuran kesejahteraan psikologis yakni 31 item yang terdiri dari tingkat depresi (20), self esteem (10), dan kebahagiaan (1). Adapun pengukuran hubungan sosialtotal pertanyaannya 22 item yakni integrasi sosial (5), jejaring sosial (6), dan dukungan sosial (11). Pertanyaan yang diajukan pada instrumen kesejahteraan psikologis dan hubungan sosial dijawab dengan memilih satu dari tiga pilihan jawaban yaitu tidak pernah (skor 1), kadang-kadang (skor 2), sering (skor 3). Skor untuk mengukur kesejahteraan psikologis dan hubungan sosial yang didapatkan kemudian dijumlahkan dan dikategorikan menjadi tiga tingkatan berdasarkan interval kelas yakni tinggi, sedang dan rendah.Item pertanyaan pada kesejahteraan psikologis yaitu 31 buah dengan skor tertinggi 93 dan terendah 1, sedangkan dampak perceraian ada 32 buah pertanyaan dengan skor tertinggi 96 dan terendah 1. Adapun item pertanyaan hubungan sosial yakni ada 22 pertanyaan dengan skor tertinggi 66 dan terendah 1. Data dan cara pengolahan dapat dilhat secara lengkap di Lampiran 4. Interval kelas = Skor maksimum-skor minimum jumlah kategori Definisi Operasional Contoh adalah ibu yang berasal dari keluarga yang mengalami perceraian hidup dan berperan sebagai kepala keluarga dan tidak menikah kembali. Karakteristik keluarga adalah kondisi keluarga yang mencakup demografi dan sosial ekonomi keluarga. Hal ini dilihat dari usia orangtua, pendidikan, pekerjaan, pendapatan, riwayat perceraian, lama perceraian, dan jumlah anggota keluarga (besar keluarga). Pendapatan adalah penghasilan contoh ataupun mantan pasangan perbulan yang didapatkan dari upah atau gaji suatu pekerjaan yang dilakukannnya pada pra dan paska perceraian. Pendapatan keluarga adalah jumlah pendapatan contoh dan mantan suami tiap bulannya pada pra dan paska perceraian. Pendidikan adalah jenjang pendidikan formal terakhir (tahun) pada contoh ataupun mantan pasangan.
19
Pekerjaan adalah status pekerjaan contoh ataupun mantan suamiyang dikelompokkan menjadi tujuh kelompok jenis pekerjaanyakni tidak bekerja, buruh, berdagang atau jasa, wiraswasta, PNS, guru honorer dan lainnyapada pra dan paska perceraian. Umur adalah umur contoh ataupun mantan pasangan pada saat menikah, bercerai, dan saat pengambilan data dilakukan. Lama perceraian adalah lamanya waktu perpisahan pasangan terhitung dari keputusan untuk bercerai. Keluarga orang tua tunggal adalah keluarga yang cerai hidup secara hukum atau tidak dengan lama bercerai lebih dari enam bulan, tidak menikah kembali dan terdiri dari contoh dan anak. Dampak perceraian adalah keadaan sosial, ekonomi, psikologis dan fisik contoh yang dilihat di kondisi enam bulan pertama dan saat ini (5 tahun) paska perceraian. Hubungan sosial adalah kuantitas, kualitas dan kedekatan individu dalam berinteraksi dengan lingkungan sosial (keluarga, teman ataupun orang lain di sekitarnya) yang dilihat di kondisi enam bulan pertama dan saat ini (5 tahun) paska perceraian. Kesejahteraan Psikologis adalah kondisi terpenuhinya self esteem, kebahagiaan, dan rendahnya tingkat stress contoh di kondisi enam bulan pertama dan saat ini (5 tahun) paska perceraian. Dukungan sosial adalah dorongan baik materi maupun non materi yang diberikan oleh keluarga atau teman kepada contoh di kondisi enam bulan pertama dan saat ini (5 tahun) paska perceraian. Integrasi sosial adalah kuantitas dari hubungan sosial yang diukur dari frekuensi interaksi sosial contoh yang terjadi di kondisi enam bulan pertama dan saat ini (5 tahun) paska perceraian. Jejaring sosial adalah tipe hubungan individu, intensitas bertemu, dan aktivitas sosial yang dilakukan contoh di kondisi enam bulan pertama dan saat ini (5 tahun) paska perceraian. Kebahagiaan adalah kondisi senang (subyektif) yang dirasakan oleh contoh di kondisi enam bulan pertama dan saat ini (5 tahun) paska perceraian. Penerimaan diri (self esteem) adalah penilaian diri contoh yang dipengaruhi oleh sikap, interaksi, penghargaan dan penerimaan orang lain terhadap contoh di kondisi enam bulan pertama dan saat ini (5 tahun) paska perceraian. Tingkat depresi adalah level stress tertinggi dari contoh akibat perceraian di kondisi enam bulan pertama dan saat ini (5 tahun) paska perceraian.
20
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Karakteristik Ibu, Mantan Pasangan dan Keluarga Orang Tua Tunggal Sebanyak setengah dari seluruh ibu orang tua tunggal berasal dari keluarga yang memiliki riwayat bercerai dan satu dari tiga orang ibu memiliki riwayat teman yang sebelumnya mengalami perceraian. Karakteristik ibu dan keluarga yang ditunjukkan dalam Tabel 1 menunjukkan bahwa ibu paling banyak menikah di umur dewasa awal (1840 tahun) yakni sebesar 56.7 persen, sedangkan lainnya menikah diumur remaja (12-17 tahun). Adapun umur ibu ketika bercerai paling banyak berada dikategori umur yang sama (dewasa awal sebesar 91.70%), sedangkan lainnya berada pada kategori remaja dan dewasa madya. Saat ini sebagian besar (61.7%) umur ibu berada pada kategori umur dewasa awal. Selain itu, sebesar enam puluh persen ibu diketahui berpendidikan akhir SD (6.6 tahun) dan lebih dari sebagian besar ibu (58.3%) lulus dari tingkat pendidikan SD, SMP ataupun SMA. Sementara itu, jenis pekerjaan yang paling banyak dilakukan oleh ibu orang tua tunggal pada pra dan paska perceraian berturut turut yakni tidak bekerja (76.70%) dan buruh (35%) dengan pendapatan ibu rata-rata baik pra (Rp 93 083) maupun paska (Rp 659 844) perceraian berada pada kategori rendah. Pendapatan ibu pada pra perceraian terendah sebesar Rp 0, sedangkan tertinggi Rp 900 000. Pendapatan paling tinggi pada pra perceraian diketahui berasal dari ibu yang bekerja sebagai buruh fotokopi. Sementara pendapatan paska perceraian diketahui terendah yaitu Rp 0, sedangkan tertinggi yakni Rp 6 000 000. Pendapatan yang tertinggi berasal dari ibu yang bekerja sebagai penyanyi karaoke. Tabel 1 Sebaran karakteristik ibu dan keluarga Variabel Min Karakteristik ibu orang tua tunggal Umur menikah (th) Umur bercerai (th) Umur saat ini(th) Pendidikan (th) Pendapatan pra (Rp/bln) Pendapatan paska (Rp/bln) Karakteristik mantan pasangan Umur cerai (th) Umur saat ini (th) Pendidikan (th) Pendapatan pra (Rp/bln) Karakteristik Keluarga Lama perceraian
Max
Rata-rata ± SD
12 16 21 0
37 51 63 16
18.65±4.33 33.10±8.17 38.18±8.76 6.63±3.75
0
900000
93083±211794
0
6000000
659844±932 806
21 23 0
68 73 18
38.55±10.97 44.10±11.05 7.60±3.85
0
5000000
882526±1030187
1
13
5.20±3.821
21
Variabel (tahun) Jumlah tanggungan pra Jumlah tanggungan paska Jumlah anak pra Jumlah anak paska Pendapatan pra (Rp/bln) Pendapatan paska (Rp/bln)
Min
Max
Rata-rata ± SD
1
9
4.20±1.715
1
8
3.58±1.807
0 1
7 7
2.98±1.672 2.97±1.615
0
5300000
1072017±930930
0
6000000
814038±1093292
Lebih dari lima puluh persen mantan pasangan ketika bercerai dan saat ini berada pada kategori umur dewasa awal dan dewasa madya. Sementara pendidikan akhir yang ditempuh mantan pasangan yakni memasuki jenjang SMP kelas satu (7.6 tahun) dan sebesar 68.3 persen mantan pasangan lulus dari jenjang pendidikan SD, SMP, ataupun SMA. Adapun jenis pekerjaan yang paling banyak dilakukan oleh mantan pasangan pada pra perceraian yakni buruh dan sebagian besar (86.8%) pendapatan mantan pasangan berada dikategori rendah dengan pendapatan rata-rata Rp 882 526. Adapun pendapatan yang terendah yakni Rp 0, sedangkan tertinggi Rp 5 000 000. Pendapatan tertinggi berasal dari mantan pasangan yang bekerja sebagai guru. Karakteristik keluarga orang tua tunggal yang diantaranya lama menikah, jumlah tanggungan, jumlah anak, dan pendapatan, diketahui bahwa rata-rata lama perceraian ibu orang tua tunggal terkategori rendah (<6 tahun). Sementara itu, lama perceraian yang paling kecil yakni satu tahun, sedangkan paling besar yakni tiga belas tahun. Di samping itu, diketahui pula bahwa lama perceraian yang paling kecil yakni satu tahun berasal dari orang tua tunggal yang tidak lulus dari jenjang pendidikan tertentu dan lebih dari tujuh puluh persennya berasal dari ibu yang menikah di umur remaja (<18tahun). Adapun jumlah tanggungan rata rata pada saat terjadi perceraian yakni empat orang dengan jumlah tanggungan terkecil yakni satu orang dan terbesar sembilan orang. Adapun jumlah tanggungan rata-rata saat ini yaitu tiga orang dengan jumlah terkecil yakni satu orang dan terbesarnya delapan orang. Hampir sebagian besar keluarga orang tua tunggal ketika proses perceraian dan paska perceraian memiliki jumlah anak terkategori rendah (≤2 orang). Di samping itu, diketahui juga bahwa ketika proses perceraian, jumlah anak yang dimiliki ibu paling sedikit yakni nol orang atau ibu dalam kondisi mengandung, sedangkan paling banyak yakni tujuh orang. Sementara itu, dilihat dari kondisi paska perceraian, jumlah anak yang paling sedikit dimiliki yaitu satu orang, sedangkan paling banyak tujuh orang. Rata-rata ibu memiliki anak sebanyak tiga orang dan pada kondisi pra dan paska perceraian, lebih dari tiga perempat pendapatan keluarga ibu sebaagai orang tua tunggal berada pada kategori rendah. Rata-rata pendapatan keluarga pra perceraian (Rp 1 072 017) lebih tinggi dibanding paska perceraian (Rp 814 038). Hal ini menunjukkan bahwa perceraian membawa dampak pada penurunan pendapatan keluarga. Salah satu penyebab dari penurunan ini yakni karena hampir seluruh pendapatan utama
22
pra perceraian yang berasal dari mantan suami hilang atau tidak didapatkan kembali oleh ibu di paska perceraian, meskipun perceraian yang terjadi meninggalkan anak yang seharusnya masih harus dibiayai oleh mantan pasangan sebagai ayahnya. Alasan Utama Perceraian Berdasarkan Tabel 2, diketahui bahwa dari 33 buah alasan perceraian yang ditanyakan kepada ibu orang tua tunggal, lima buah alasan tertinggi yang menjadi penyebab terjadinya perceraian yakni karena ketidakcocokkan secara prinsip dan perilaku, pasangan tidak menarik lagi, sibuk memuaskan ego, pasangan berbohong dan hidupnya berantakan, tidak teratur, semaunya sendiri serta tidak melakukan peran dan fungsi sebagaimana mestinya. Kelima alasan utama tersebut dipilih oleh lebih dari sebagian besar ibu orang tua tunggal. Selain itu, jumlah alasan yang paling sedikit dari perceraian ibu yakni sebanyak satu alasan dan yang paling banyak yakni sebanyak tujuh belas alasan. Rata-rata ibu memiliki alasan sebanyak 9.9 buah yang melatarbelakangi perceraian yang terjadi. Secara lengkap, alasan utama perceraian dapat dilihat pada Lampiran 6. Tabel 2 Sebaran alasan utama perceraian ibu orang tua tunggal No
Alasan utama perceraian
Persentase Alasan Ya Tidak (%) (%) 16.7 83.3
Total (%)
1
Tidak ada kecocokkan lagi secara prinsip dan perilaku
2
Pasangan tidak menarik lagi
75.0
25.0
100.0
3
Sibuk memuaskan ego
73.3
26.7
100.0
4
Pasangan berbohong
68.3
31.7
100.0
Hidupnya berantakan, tidak teratur, semaunya sendiri Tidak melakukan peran dan fungsi sebagaimana mestinya
68.3
31.7
100.0
5
65.0
35.0
100.0
100.0
Perbedaan Dampak perceraian, Hubungan Sosial dan Kesejahteraan Psikologis Perbedaan Dampak Perceraian Berdasarkan Waktu Data dampak perceraian di kedua kondisi paska perceraian (enam bulan pertama dan saat ini (5 tahun), menunjukkan bahwa secara keseluruhan, dampak pada enam bulan pertama setelah perceraian lebih tinggi (66.10) dibandingkan dengan dampak yang dirasakan saat ini (54.70) walaupun dampak tersebut menjadikan standar hidup keluarga ibu rata-rata menurun dibandingkan pra perceraian. Selain itu, dilihat dari Sig (2-tailed) yang menunjukkan 0.00, menggambarkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara dampak enam bulan pertama paska perceraian dengan dampak yang dirasakan saat ini. Sementara itu, dilihat dari empat dimensi indikator dampak perceraian, diketahui bahwa ketiga dimensi (psikologis, ekonomi, dan fisik) memiliki perbedaan yang signifikan dengan Sig (2-tailed) 0.00, sedangkan pada
23
dampak sosial menunjukkan Sig (2-tailed) yang kurang dari 0.05. Hal ini dapat diartikan bahwa keempat dimensi dampak perceraian memiliki perbedaaan yang signifikan dan secara umum, dampak ke arah yang buruk yang dirasakan ibu orang tua tunggal akibat perceraian menurun seiring berjalannya waktu. Perbedaan dampak perceraian secara detail dapat dilihat pada Lampiran 10. Tabel 3 Sebaran perbedaan dampak perceraian ibu orang tua tunggal berdasarkan waktu Paska perceraian 6 bulan pertama Variabel
Dampak Perceraian -Psikologis
Kategori R S T (%) (%) (%)
Saat ini
Ratarata±SD
Kategori R S T (%) (%) (%)
Ratarata±SD
Sig (2tailed)
0.0
41.7
58.3
66.1±11.2
0.0
88.3
11.7
54.7±7.5
0.00**
1.7
38.3
60.0
23.7±6.1
1.7
90.0
8.3
17.1±3.8
0.00**
-Ekonomi
0.0
53.3
46.7
17.6±3.3
0.0
68.3
31.7
16.5±3.0
0.00**
-Sosial
0.0
50.0
50.0
14.5±2.5
0.0
58.3
41.7
13.8±2.4
0.02*
-Fisik 25.0 20.0 55.0 10.3±4.1 42.7 43.3 15.0 7.3 ±2.8 0.00** Keterangan: R (rendah), S (sedang), T (tinggi); dampak psikologis, ekonomi, sosial, dan fisik (semakin tinggi skor, makin besar dampaknya); *signifikan pada sig(2-tailed<0.05; ** signifikan pada sig(2-tailed)<0.01.
Perbedaan Kesejahteraan Psikologis Berdasarkan Waktu Data kesejahteraan psikologis di kedua kondisi yakni enam bulan pertama dan saat ini (Tabel 4), menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan (sig 2-tailed 0.00). Tabel 4 Sebaran perbedaan kesejahteraan psikologis ibu orang tua tunggal berdasarkan waktu Paska perceraian 6 bulan pertama Variabel
Kesejahteraan Psikologis Ibu - Tingkat Depresi
Kategori R S T (%) (%) (%)
Saat ini
Ratarata±SD
Kategori R S T (%) (%) (%)
Ratarata±SD
Sig (2tailed)
0.0
55.0
45.0
60.0±12.1
0.0
13.3
86.7
74.4±9.1
0.00**
46.7
53.3
0.0
39.6±8.8
86.7
13.3
0.0
49.0±6.2
0.00**
- Self esteem 0.0 71.7 28.3 18.6±4.2 0.0 30.0 70.0 23.0±3.7 0.00** - Tingkat 40.0 36.7 23.3 1.8 ±0.8 5.0 46.7 48.3 2.4 ±0.6 0.00** kebahagiaan Keterangan: Rendah (R), sedang (S), tinggi (T). Tingkat depresi (semakin tinggi skor, semakin baik tingkat depresinya/semakin rendah persentase, semakin baik tingkat depresinya), self esteem dan tingkat kebahagiaan (semakin tinggi skor, semakin baik self esteem dan tingkat kebahagiaannya);*signifikan pada sig(2-tailed<0.05; ** signifikan pada sig(2-tailed)<0.01.
Kesejahteraan psikologis termasuk tiga dimensi di dalamnya pada enam bulan pertama diketahui lebih rendah dibandingkan kondisi saat ini. Selain itu, semua dimensi yang diukur dalam kesejahteraan psikologis yakni tingkat depresi, self esteem dan tingkat kebahagiaan menunjukkan sig (2-
24
tailed) yang kurang dari 0.01. Hal ini dapat diartikan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara kesejahteraan psikologis enam bulan pertama dan saat ini paska perceraian. Perbedaan kesejahteraan psikologis secara detail dapat dilihat pada Lampiran 11. Perbedaan Hubungan Sosial Berdasarkan Waktu Hubungan sosial di kedua kondisi (enam bulan pertama dan saat ini), menunjukkan bahwa hubungan sosial saat ini (38.1) lebih tinggi dibandingkan dengan hubungan sosial yang dirasakan enam bulan pertama (34.7). Hal ini menunjukkan bahwa hubungan sosial ibu orang tua tunggal lebih baik pada kondisi saat ini dibandingkan enam bulan paska perceraian. Selain itu, dilihat dari Sig (2-tailed) dari hubungan sosial yang dua dari tiga dimensinya kurang dari 0.01 yakni 0.00 menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara hubungan sosial saat ini dengan hubungan sosial enam bulan pertama paska perceraian. Namun pada dimensi jejaring sosial, tidak ditemukan perbedaan yang signifikan atau dapat diartikan bahwa kondisi interaksi sosial ibu orang tua tunggal dengan teman pada enam bulan pertama dan kondisi saat ini memiliki kecenderungan yang sama. Perbedaan hubungan sosial secara detail dapat dilihat pada Lampiran 12. Tabel 5 Sebaran perbedaan hubungan sosial ibu orang tua tunggal berdasarkan waktu Paska Perceraian 6 bulan pertama Variabel
Kategori R S T (%) (%) (%)
Ratarata±SD
Saat ini Kategori R S T (%) (%) (%)
Ratarata±SD
Sig (2tailed)
Hubungan Sosial Ibu - Integrasi sosial
0.0
96.7
3.3
34.7±4.9
0.0
80.0
20.0
38.1±5.9
0.00**
25.0
73.3
1.7
6.9 ±1.7
6.7
83.3
10.0
8.0 ±1.8
0.00**
- Dukungan sosial
1.7
96.7
1.6
16.9±2.7
0.0
83.3
16.7
18.4±3.4
0.00**
- Jejaring sosial 1.7 80.0 18.3 11.0±2.1 1.7 66.7 31.7 11.7±2.2 0.06 Keterangan: Rendah (R), sedang (S), tinggi (T). Integrasi sosial, dukungan sosial, dan jejaring sosial (semakin tinggi skor, makin baik integrasi sosial, dukungan sosial, dan jejaring sosialnya).*signifikan pada sig(2-tailed<0.05; ** signifikan pada sig(2-tailed)<0.01.
Hubungan Karakteristik Ibu Orang Tua Tunggal dan Keluarga dengan Kesejahteraan Psikologis, Dampak Perceraian dan Hubungan Sosial pada Kondisi Saat Ini Berdasarkan Tabel 6, menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang negatif signifikan antara umur ibu saat cerai dan saat ini dengan hubungan sosial dimensi dukungan sosial. Hal ini dapat diartikan bahwa semakin tinggi umur ibu saat cerai dan saat ini, semakin rendah dukungan sosialnya. Ibu dengan umur yang semakin tinggi ketika bercerai diketahui berasal dari keluarga dengan latar belakang riwayat yang bercerai lebih dari satu kali. Oleh karenanya, ibu pada kondisi umur yang semakin tinggi umumnya cenderung menyimpan permasalahan yang dihadapinya sendiri ditambah
25
dengan pandangan negatif lingkungan sosial sekitarnya yang kemudian merespon terjadinya perceraian dengan acuh ataupun tidak memberikan dukungan kepada ibu. Hubungan antara umur ibu saat ini dengan kesejahteraan psikologis dimensi tingkat depresi ditemukan signifikan positif. Hal tersebut menunjukkan bahwa semakin tinggi umur ibu saat ini, semakin rendah tingkat depresinya. Ibu dengan umur yang lebih tinggi diketahui mempunyai alasan yang lebih banyak untuk bercerai. Selain itu, ibu dengan umur tersebut juga diketahui memiliki kecenderungan untuk menjadi inisiator dalam perceraian sehingga ketika memutuskan untuk bercerai, kesadaran akan dampak yang diterimanya paska perceraian menjadi lebih tinggi dan menggunakannya sebagai peluang untuk menjadi individu yang lebih baik. Hal inilah yang menyebabkan ibu sebagai orang tua tunggal dengan umur saat ini yang semakin tinggi namun tingkat depresinya makin rendah. Sementara itu, hubungan lainnya yang juga ditemukan yakni hubungan positif signifikan yang ditemukan antara jumlah tanggungan dengan dampak ekonomi. Hal ini menunjukkan bahwa semakin banyak jumlah tanggungan ibu dan semakin rendah pendapatan ibu, dampak ekonomi yang dirasakan ibu semakin besar. Dilihat dari riwayat pendapatan ibu rata-rata yang cukup rendah, tidak dapat dipungkiri bahwa dengan keadaan ekonomi tersebut ditambah dengan jumlah tanggungan yang banyak berdampak pada kondisi ekonomi ibu paska perceraian. Hubungan karaktersitik ibu sebagai orang tua tunggal dengan hubungan sosial, dampak perceraian dan kesejahteraan psikologis secara detail dapat dilihat pada Lampiran 7. Tabel 6 Sebaran hubungan karakteristik ibu orang tua tunggal dan keluarga dengan variabel dependen DP PSI EKO SOS Karakteristik ibu orang tua tunggal Umur .00 .13 .08 menikah Umur saat -.00 -.25 cerai .10 Umur saat .00 -.17 ini .13 Variabel
.06 -.19 Pendidikan Pendapatan .11 paska .00 Karakteristik keluarga Jumlah .14 .34** tanggungan Jumlah anak -.00 .08 Lama .04 menikah .07 Pendapatan .06 .37**
FIS
TIS
.09
-.06
.08
-.07
.04
-.08
-.17
.06
.24
-.23
.07
.04
HS TDS
TJS
TTD
KP TSE
TKE
DP
-.03 .29* .31*
-.03
.13
.12
.09
.04
-.09
.19
.22
-.06
-.00
.26*
.14
-.12
.09
.22
-.01
-.16
-.12
.09
.05
.08
-.07
.07
-.23
-.07
-.13
-.03
.17
-05
-.12
.01
-.06
-.25
-.07
.18
.15
-.06
.09
.11
-.07
-.08
.20
.24
-.10
-.08
-.04
.06
.06
-.09
.09
.06
-.03
.12
-13
-.00
.10 .11 .08 .00 .25 .08 .03 .22
TOTAL HS KP .05 .22 .20
.14 .21 .22
.21
.03
.13
.06
.16 .19
.04 .18
.01
.12
.04
.09
Keterangan : Dampak psikologis (PSI), dampak ekonomi (EKO), dampak sosial (SOS), dampak fisik (FIS). Tingkat integrasi sosial (TIS), tingkat dukungan sosial (TDS), tingkat jejaring sosial (TJS). Tingkat depresi (TTD), tingkat self esteem (TKE), tingkat kebahagiaan (TKE). Dampak perceraian (DP), hubungan sosial (HS), kesejahteraan psikologis (KP). Dampak perceraian (DP), hubungan sosial (HS), kesejahteraan psikologis (KP). *signifikan pada sig(2-tailed)<0.05; ** signifikan pada sig(2-tailed)<0.01).
26
Dampak Perceraian dan Hubungan Sosial terhadap Kesejahteraan Psikologis Paska Perceraian Dilihat dari keseluruhan Tabel 7, pada intinya menunjukkan bahwa perceraian membawa dampak pada kesejahteraan psikologis ibu di enam bulan pertama maupun saat ini paska perceraian, meskipun dampak yang dirasakan ke arah negatif dan semakin menurun sejalan dengan berjalannya waktu. Hal tersebut ditunjukkan dari dampak perceraian pada enam bulan pertama yang berpengaruh negatif signifikan (p<0.01) terhadap kesejahteraan psikologis dengan beta (β) sebesar 0.76. Nilai beta tersebut menggambarkan bahwa setiap kenaikan satu satuan dampak perceraian akan menurunkan kesejahteraan psikologis sebesar 0.76 poin. Adapun nilai adjusted R2 dampak perceraian terhadap kesejahteraan psikologis yakni 0.58 menunjukkan bahwa terdapat pengaruh sebesar 58.00 persen pada dampak perceraian di enam bulan pertama terhadap kesejahteraan psikologis, sedangkan sisanya yakni 42.00 persen dipengaruhi oleh variabel lain yang tidak diteliti. Dibandingkan dengan kondisi enam bulan pertama, dampak perceraian yang dirasakan saat ini ditemukan signifikan negatif (p<0.01) berpengaruh terhadap kesejahteraan psikologis dengan beta (β) sebesar 0.56. Hal ini menunjukkan bahwa setiap kenaikan satu satuan dampak perceraian akan menurunkan kesejahteraan psikologis sebesar 0.56 poin. Selain itu, nilai adjusted R2 dampak perceraian terhadap kesejahteraan psikologis saat ini yakni 0.30. Hal tersebut menunjukkan bahwa terdapat dampak perceraian berpengaruh sebesar tiga puluh persen terhadap kesejahteraan psikologis, sedangkan sisanya yaknitujuh puluh persen dipengaruhi oleh variabel lain yang tidak diteliti. Hubungan sosial tidak menunjukkan signifikan berpengaruh terhadap kesejahteraan psikologis pada dua kondisi paska perceraian. Walaupun tidak ditemukan signifikan berpengaruh, nilai beta (β) yang positif pada kedua kondisi paska perceraian menunjukkan bahwa peluang terdapatnya pengaruh signifikan pada hubungan sosial terhadap kesejahteraan psikologis akan mungkin terjadi apabila ibu memaksimalkan terjalinnya hubungan sosial pada paska perceraian. Tabel 7 Koefisien regresi hubungan sosial dan dampak perceraian terhadap kesejahteraan psikologis paska perceraian Variabel Dampak Perceraian Hubungan sosial R2 Adjusted R2
Kesejahteraan Psikologis Saat ini Enam bulan pertama β P β P -.76 -. 56 0.00** 0.00** .04 0.63 .08 0.50 .59 .58 41.30 0.00**
F P Keterangan:*signifikan pada P <0.05; ** signifikan pada P<0.01.
.32 .30 13.42 0.00**
27
Pembahasan Perceraian hidup merupakan permasalahan sosial yang timbul akibat rusaknya pernikahan yang terjalin (Stewart & Alison 2006). Permasalahan tersebut memberikan perubahan tersendiri pada kehidupan ibu sebagai orang tua tunggal, terutama ibu yang hidup dilingkungan pedesaan dan umumnya terlibat dalam kehidupan publik dan domestik (Zaidin 2010) di paska perceraian. Perubahan pada diri ibu tidak terlepas dari proses pengaruh dan memengaruhi lingkungan sekitar kehidupan (Bronfrenbrennner) paska perceraian dan meskipun telah melewati proses tersebut, dampak yang ditimbulkan akibat perceraian, diketahui tidak sepenuhnya memulihkan kondisi kehidupan ibu seperti kondisi sebelum perceraian. Perubahan yang terjadi pada tingkat hubungan sosial, ekonomi, fisik, psikis, maupun kesejahteraan psikologis ibu dirasakan secara keseluruhan di dua kondisi paska perceraian (enam bulan pertama dan saat ini). Selain itu, penelitian ini juga menemukan bukti bahwa dampak yang dirasakan pada kehidupan ibu paska perceraian umumnya bertolak belakang dengan ekspektasi yang dimiliki ibu pra perceraian bahwa sejalan dengan terjadinya perceraian, dirinya akan mendapatkan dampak positif yang jauh lebih tinggi dibanding dampak negatifnya. Namun faktanya menunjukkan bahwa perceraian berdampak lebih tinggi ke arah negatif dibandingkan dampak ke arah positif. Hal ini secara langsung membuktikan bahwa perceraian berdampak pada kehidupan ibu paska perceraian, walaupun berdampak lebih buruk. Dampak yang ditimbulkan akibat perceraian diketahui akan menurun sepanjang waktu (Booth & Amato 1991) dan bersifat temporer pada kesejahteraan (Williams & Umberson 2004). Sejalan dengan pernyataan tersebut, dibandingkan dengan kondisi kehidupan ibu pada tingkat hubungan sosial, ekonomi, fisik, psikis, maupun kesejahteraan psikologis, diketahui bahwa kondisi enam bulan pertama jauh lebih rendah dibandingkan saat ini (5 tahun). Hal tersebut menjelaskan bahwa teori yang menyatakan enam bulan pertama merupakan masa kritis untuk beradaptasi merupakan bukti yang benar adanya. Masa kritis yang ditandai dengan penurunan kondisi kehidupan secara keseluruhan di enam bulan pertama paska perceraian menggambarkan bahwa pada masa tersebut ibu sangat labil dan rentan dengan keburukan yang sangat mungkin berdampak padanya. Sementara itu, walaupun secara keseluruhan kondisi kehidupan ibu saat ini lebih baik dibanding enam bulan pertama, tetapi tidak berarti perubahan pada dampak yang dirasakan ibu dari awalnya jauh lebih buruk kemudian berganti secara keseluruhan menjadi baik seperti pra perceraian. Dampak buruk yang ditimbulkan akibat perceraian pada kondisi saat ini tidak dipungkiri memiliki keterkaitan dengan karakteristik ibu maupun keluarga itu sendiri. Keterkaitan antara keduanya digambarkan oleh ketidakberdayaan ekonomi paska perceraian yang semakin dirasakan ibu terutama pada ibu yang berasal dari latar belakang pendapatan keluarga yang makin rendah dan jumlah tanggungan yang makin besar. Ketidakberdayaan akibat perceraian tersebut, faktanya bukan hanya
28
berkaitan dalam lingkup kehidupan ekonomi ibu, tetapi juga lingkungan sosialnya. Rendahnya dukungan sosial saat ini pada ibu yang bercerai diumur lebih tua menunjukkan bahwa dirinya lebih sering menutup diri dari lingkungan sekitarnya (Lorentz et al 1997). Hal ini umumnya dilakukan ibu agar permasalahan yang dihadapinya tidak diketahui oleh lingkungan sekitarnya. Selain itu, perasaan enggan untuk diperlakukan sebagai orang yang tak berdaya juga menjadi alasan bagi ibu untuk menarik diri dari lingkungan sekitar. Pada akhirnya, respon yang ditimbulkan dari sikap ibu tersebut memberikan pandangan di lingkungan kehidupan ibu bahwa perubahan yang dialami akibat perceraian tidak begitu besar dirasakan oleh ibu sehingga jika lingkungan tidak memberikan dukungan padanya pun menjadi suatu hal yang tidak bermasalah bagi kehidupan ibu selanjutnya. Namun pada kenyataanya, dukungan sosial menjadi hal yang sangat penting bagi kesuksesan baik saat masa adaptasi maupun kehidupan ibu selanjutnya di kondisi saat ini paska perceraian. Walaupun pada dasarnya ibu memiliki pilihan untuk menerima maupun menolak (Cheuk et al 1998) atas dukungan yang diberikan, namun orang yang memberi dukungan juga perlu melihatnya dari sudut pandang ibu sebagai penerima sehingga rasa kesal ataupun merasa ditolak pun menjadi hilang. Selain itu, dampak perceraian juga diketahui memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kesejahteraan psikologis . Dampak perceraian yang dirasakan ibu ditemukan memiliki pengaruh yang kuat dengan kesejahteraan psikologis pada enam bulan pertama maupun kondisi saat ini. Gove (1972) memaparkan bahwa kesejahteraan psikologis orang yang bercerai dipengaruhi oleh kesehatan fisik dan sejalan dengan hal tersebut penelitian ini membuktikan bahwa permasalahan fisik seperti kehilangan berat badan, pusing, susah tidur pada enam bulan pertama (Stewart & Alison 2006) dan saat ini, paska perceraian berpengaruh terhadap kesejahteraan psikologis ibu. Pengaruh yang tidak ditemukan antara hubungan sosial dengan kesejahteraan psikologis, menggambarkan bahwa kehidupan sosial ibu yang cenderung menutup diri atau anti sosial, baik di pra maupun paska perceraian menjadikan suatu alasan dari tidak ditemukannnya pengaruh diantara keduanya. Tidak adanya pengaruh tersebut, didukung oleh Debra (1996) yang menjelaskan bahwa ketidakterlibatan ibu di lingkungan sosial, akan meningkarkan tingkat depresi dalam dirinya. Oleh karenanya, demi menurunkan tingkat depresi, meningkatkan self esteem dan kebahagiaan, ibu harus memaksimalkan hubungan sosial yang terjalin, disamping dukungan sosial yang juga harus tetap diberikan kepada ibu.
29
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Ibu sebagai orang tunggal dan mantan pasangannya paling banyak menikah dan bercerai dikategori dewasa awal dengan rata-rata lama bercerai 5.20 tahun. Sebagian besar ibu diketahui berpendidikan akhir SD, sedangkan mantan pasangannya SMP kelas 1. Kondisi pendapatan ibu dan mantan pasangannya, baik pra maupun paska perceraian, berada pada kategori rendah dan saat ini keduanya paling banyak bekerja sebagai buruh. Adapun jumlah tanggungan dan anak yang dimiliki, berturut-turut yaitu 3 dan 2 orang. Hubungan ibu sebagai orang tua tunggal dan keluarga dengan hubungan sosial, dampak perceraian, dan kesejahteraan psikologis pada kondisi saat ini, beberapa diantaranya memiliki hubungan yang kuat. Penelitian ini menemukan bahwa ibu yang saat bercerai ataupun saat ini berumur semakin tua, kondisi dukungan sosialnya saat ini, diketahui akan semakin menurun. Hal ini menjelaskan bahwa tidak hanya diri ibu sendiri yang merasakan dampak dari terjadinya perceraian, namun lingkungan sosial ibu juga merasakan dampak dari perceraian yang terjadi. Sementara itu, penelitian ini juga menemukan bahwa semakin besar tanggungan yang diemban ibu, dampak secara finansial akan semakin tinggi dirasakan. Namun, apabila kondisi pendapatan keluarga ibu semakin tinggi, dampak finansial yang dirasakan pun akan semakin rendah. Dampak perceraian baik sosial, psikologis, ekonomi, maupun fisik yang dirasakan ibu sebagai orang tua tunggal memiliki pengaruh yang kuat terhadap kesejahteraan psikologis ibu. Pengaruh tersebut menggambarkan bahwa semakin ibu merasakan dampak dari perceraian, pengaruh peningkatan ataupun penurunan kesejahteraan psikologis akan semakin besar. Pengaruh ini juga diketahui menurun sepanjang waktu. Sementara itu, penelitian ini tidak menemukan adanya pengaruh kuat antara hubungan sosial ibu dengan kesejahteraan psikologis. Namun adanya pengaruh yang positif walaupun tidak nyata menggambarkan bahwa peluang terdapatnya pengaruh yang besar diantara keduanya akan mungkin terjadi apabila ibu memaksimalkan terjalinnya hubungan sosial paska perceraian. Keterbatasan penelitian ini yaitu responden yang dipilih tidak dikontrol dalam hal lama perceraian sehingga beberapa data yang didapatkan menunjukkan perbedaan lama perceraian yang cukup jauh dan dikhawatirkan informasi yang disampaikan responden karena recall enam bulan pertama paska perceraian yang sudah terlampau lama akan menjadi bias. Selain itu, data yang didapatkan peneliti tentang mantan suami tidak ditanyakan langsung pada yang bersangkutan, tetapi ditanyakan pada ibu sehingga beberapa data yang diperoleh tidak lengkap karena ketidaktahuan ibu. Sementara itu, data tentang alasan perceraian yang juga hanya ditanyakan pada sudut pandang salah satu pasangan, juga dikhawatirkan beberapa informasi sebenarnya belum terungkap seluruhnya dan masih ditutup-tutupi.
30
Saran Keluarga utuh dengan manajemen yang baik akan jauh lebih baik dalam segala hal dibandingkan keluarga yang didalamnya dikepalai oleh orang tua tunggal, sekalipun dimanajemen dengan baik. Pada keluarga yang dikepalai orang tua tunggal, seringkali permasalahan yang ditimbulkan berasal dari ketidakseimbangan peran instrumental dan ekspresif sehingga mengakibatkan terlantaranya satu atau dua peran yang diembannya di dalam keluarga. Disamping itu, sekalipun individu yang telah bercerai merasakan kebebasan ataupun kebahagiaan setelah bercerai, namun faktanya permasalahan yang dihadapi di dalam pernikahan tidak selesai begitu saja setelah bercerai. Umumnya setelah bercerai, orang tua tunggal banyak menghadapi pemasalahan baru akibat hilangnya sosok suami ataupun ayah bagi dirinya ataupun anak-anaknya serta ditambah dengan adaptasi yang harus dilakukan paska perceraian. Beberapa faktor yang harus diperhatikan yang berhubungan dengan meningkatrnya peluang resiko perceraian yakni umur menikah, pendidikan, dan pekerjaan. Umur menikah dibawah 18 tahun diketahui dari berbagai teori memiliki resiko bercerai yang lebih tinggi dibanding individu yang menikah diatas umur tersebut. Salah satu sebab yang dapat dijelaskan yakni pada umur dibawah 18 tahun merupakan kondisi yang terlampau dini bagi fisik maupun mental untuk menikah dengan segala tantangan dalam menjalani pernikahan dan jika dilihat dari perkembangannya, pada umur tersebut individu memiliki ciri kondisi mental yang masih labil ditambah alat reproduksi yang masih belum dikatakan siap atau matang. Pernikahan pada umur dibawah 18 tahun seringkali berakhir dengan perceraian. Hal ini diakibatkan karena pasangan masih belum dapat mengontrol keegoisannya. Sementara itu, pendidikan yang tinggi juga perlu dimiliki oleh individu yang akan menikah karena pendidikan yang semakin tinggi menjadi tanda semakin tinggi pula pola ataupun cara berpikir yang kritis pada diri individu sehingga tantangan yang dihadapi di dalam pernikahan lebih banyak dapat diselesaikan dengan tuntas. Adapun pekerjaan menjadi salah satu faktor yang berhubungan dengan perceraian karena umumnya semakin terampil jenis pekerjaan yang digeluti semakin tinggi pendidikannya maupun pendapatannya sehingga memilih pekerjaan yang terampil dan didukung oleh latar belakang pendidikan yang tinggi menjadikan resiko bercerai lebih rendah. Penting bagi pemerintah untuk membuat upaya preventif demi menanggulangi perceraian, salah satunya diawali dari dukungan bagi tiap individu untuk mengenyam bangku sekolah sampai dengan jenjang pendidikan yang tinggi dan lulus serta meningkatkan kualitas keterampilan sejak dini pada tiap individu. Selain itu, penurunan kesejahteraan psikologis dan hubungan sosial yang dialami paska perceraian diketahui dapat berdampak pada kehidupan ekonomi, sosial dan psikologis, dan fisik serta keberlajutannya dapat menghambat kesejahteraan psikologis dan hubungan sosial ibu orang tua tunggal. Oleh karenanya, program pemberdayaan bagi keluarga yang utuh maupun tidak utuh demi terciptanya kesejahteraan keluarga yang merata penting untuk dilaksanakan demi terciptanya keluarga
31
yang mandiri. Sementara itu, bagi individu yang sudah dan akan menikah harus juga meyakini pentingnya keutuhan maupun kesatuan keluarga demi tercapainya tujuan dari keluarga, salah satunya dengan mempelajari ilmu tentang keluarga yang kedepannya dapat diaplikasikan di dalam kehidupan nyata. Apabila kebertahanan dalam pernikahan tidak dapat dicapai dan berakhir dengan perceraian, kemandirian dalam hal ekonomi penting dimiliki oleh ibu orang tua tunggal dan alasan tidak bekerja karena tidak memiliki keterampilan bukanlah suatu alasan untuk tidak bekerjanya diusia produktif. Namun, hal ini harus dijadikan semangat baru bagi awal kehidupan setelah bercerai demi mencapai kehidupan yang sejahtera bagi anak-anak maupun dirinya. Sementara itu, bagi mantan pasangannya harus tetap mendukung kesejahteraan anak-anak yang menjadi korban dari perceraian. Oleh karena itu, dukungan sosial yang besar dari lingkungannya sangat diperlukan dalam membantu kesuksesan adaptasi yang dilakukan ibu, terutama ibu yang bercerai di usia lebih tua
DAFTAR PUSTAKA Acock AC, Demo DH. 1994. Family diversity and well-being. Thousand Oaks. CA: Sage. Amato PR. 2000. The consequences of divorce for adults and children. Journal of Marriage and Family, 62(4): 1269-1287. _________ 2005. The impact of family formation change on the cognitive, social, and emotional well-being of the next generation. The Future of Children, 15(2): 75–96. Amato PR, Cheadle J. 2005. The long reach of divorce: divorce and child well-being across three generations. Journal of Marriage & Family, 67(1): 191-206. Amato PR, Hohmann Marriott B. 2007. A comparison of high-and lowdistress marriagesthat end in divorce. Journal of Marriage and Family, 69: 621–638. Aneshensel et al. 1991. Social structure, stress, and mental Health. American Sociological Review, 56: 166-178. Bianchi, Subaiya, Kahn. 1999. The gender gap in the economic well-being of nonresident fathers and ustodial mothers. Demoghraphy, 36: 195-203. Bloom BL et al. 1985. A preventative intervention program for the newly separated: final evaluations. American Journal of Orthopsychiatry, 55:926. Booth A, Amato PR. 1991. Divorce and psychologcal stress. Journal of Health and Sosial Behavior, 32: 396-407. Booth A, Edwards JN. 1985. Age at marriage and marital intability. Journal of Marriage and the Family, 47: 67-75. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2013. Susenas persentase penduduk menurut provinsi dan jenis kelamin; perkawinan dan perceraian menurut sebaran penduduk perkotaan dan pedesaan di Indonesia [internet]. [diunduh 2013 Nov 2]. Tersedia pada: http://www.bps.go.id.
32
Bramlett MD, Mosher WD. 2002. Cohabitation, marriage, divorce and remarriage in the United States. Vital Health Statistics, 23(22). Hyattsville MD: National Center for Health Statistics. Bronfenbenner U. 1977. Toward and experimental ecology of human development. American Psychologist, 32: 513-531. Burgess E, Locke H. 1960. The family: from institution to companionship. New York: American Book Company. Campbell A et al. 1981. The sense of well being in America. New York McGraw Hill. Cartesen LL, Isaacowitz DM, Charles ST. 1999. Taking time seriously: a life span theory of sosial selectivity. American Psychologist. Cheuk WH et al. 1988. The linkage between spurned help and burnout among practicing nurses. Current Psychology, 17: 188-196. Clarke Stewart, Alison. 2006. Divoce: causes and consequences. America. Cohen S, Symes S. 1985. Stress, social support and the buffering hypotesis. Psychological Bulletin, 98: 310-357. Deacon R, Firebaugh R. 1988. Family resource management: principles and applications. Boston: Allyn and Bacon. Demo, David H, Alan C Acock. 1996. Family structure, family process, and adolescent well-being. Journal of Research an Adolescene. David EC, Friel LV. 2001. Adolescent sexuality: disentangling the effects of family structure and family context. Journal of Marriage and Family, 63: 669–681; Gerstel N et al. 1985. Explaining the symptomatology of seperated and divorced women and men: the role of material conditions and social networks. Social forces, 64: 84-101. Glenn ND, Supancic M. 1984. The sosial and demoghraphic correlates of divorce and seperation in the United States: an update and reconsideration. Journal of Marriage and Family. Glick PC. 1957. American families. New York: John Wiley and Sons. Glick PC, AJ Norton. 1977. Marrying, divorcing and living together in the US today. Population Bulletin, 32: 1-5. Goldsmith EB. 1999. Resource management for individuals and families. USA: West Publishing Company. Goode WJ. 1982. The family. Englewood Cliffs NJ: Prentice Hall Gottman JM. 1993. A theory of marital dissolution and stability. Journal of Family Psychology, 7(1): 57-75. Gove W. 1972. The relationship between sex roles: marital roles, and mental ilness. Sosial Forbes, 51: 4-44. Gove WR, JF Tudor. 1973. Adult sex roles and mental illness. American Journal of Sociology, 78: 812-835. Hackney H & Bernard JM. 1990. Dyadic adjustment processes in divorce counseling. Journal of Counseling Development, 69: 134-143. Hetherington EM, Kelly J. 2002. For better or for worse: divorce reconsidered. New York: W. W. Norton. Horwitz Allan V, Lorraine Davies. 1994. Are emotional distress and alcohol problems differential outcomes to stress? an exploratory test. Social Science Quarterly, 75: 607-621 House et al. 1988. Structures and processes of social support. Annual Review of Sociology, 14: 293-318. House, James S, D Umberson, K Landis. 1988. Structures and processes of sosial support. Annual Review of Sociology.
33
Hughes M. 1989. Parenthood and psychological well-being among the formerly married: are children the primary source of psychological distress. Journal of Family Issues, 10: 463-481. Jalovaara, Marika. 2003. The joint effects of marriage partners’ socioeconomic positions on the risk of divorce. ProQuest. Johnson DW, Jhonson FP.1991. Joining together: group theory and group skills (Eds 4). London:Prentice Hall International. Joung IMA, Stronks K et al. 1997. The contibution of intermediary factors to marital status differences in self reported health. Journal of Marriage and the Family, 59: 476-490. Kincaid SB, Caldwell RA. 1991. Inisiator status, family support, and adjustment to marital separation: a test of an interaction hypotesis. Journal of Community Psychology, 19: 79-88. Kitson G. 1992. Potrait of divorce. New York: Guilford Press. Kitson GC, Raschke HJ. 1981. Divorce research: what we knows, what we need to know. Journal of Divorce, 4(3): 1-37. Korea National Statistical Office. 2008. Annual Report on Divorce Statistics. Lennon MC, Rosenfiels S. 1994. Relative fairness and the division of housework: the importance of options. American Journal of Sociology, 100: 506-531. Linda A Mooney, David Knox, Caroline Schacht. Understanding social problems. Canada: Nelson Education Ltd. Marks NR, Lambert JD. 1988. Marital status continuity and change among young and midlife adults. Journal of Family Issues, 19: 652-686. Matekasa A. 1995. The subjective well-being of the previously married: the importance of unmarries cohabitation and tiem since widowhood or divorce. Social Forces, 73:665-692. McCubbin HI, Patterson JM. 1987. Family adaptation to crisis. In HI McCubbin. AECauble. JM Patterson (Eds). Familystress, coping, and social support. Springfield, IL: Charles C. Thomas. McLanahan S, Sandefur G. 1994. Growing up with a single parents: what hurts, what helps. Cambridge, MA: Harvard University Press. Mirowsky et al. 1989. Sosial causes of psychological distress. New York: Aldines de Gyuter. Nock SL. 1988. The family and hierarchy. Journal of Marriage and the Family, 50:957-966. Norton A, Glick PC. 1979. Marital instability iin America: past, present, and future. Levinger and OC Moles (Eds). Divorce and seperation: context, causes, and consequences. New York: Basic Books. Pengadilan Agama. 2013. Angka perceraian menurut jenis kelamin dan pekerjaan [internet]. [diunduh 2013 Nov 2]. Tersedia pada: http://www.pa-cianjur.go.id. Puspitawati Herien. 2013. Ekologi keluarga: konsep dan lingkungan keluarga. Bogor: IPB Press. Power C et al. 1999. Heavy alcohol consumption and marital status: disentangling the relationship in a national study of young adults. Addictions, 94: 1477-1497. Raffela. 2003. Pengaruh tekanan ekonomi keluarga terhadap konflik perkawinan [skripsi]. Departemen Gizi Masyarakat Sumberdaya Keluarga. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Reis Harry T, Susan Sprecher. 1955. Enscyclopedia of human relationships. United State: SAGE Publications Inc.
34
Rogers SJ. 1999. Wive’s income and marital mutuality: are there reciprocal efeects?. Journal of Marriage and the Family, 61:123-132. Rosenberg M. 1965. Society and the adolescent self image. Princeton NJ: Priceton University Press. Ross CE et al. 1990. The impact of the family on health. Journal of Marriage and the family, 52: 1059-1078. Ross HL, IV Sawhill. 1975. Time of transition: the growth of families headed by women. Washington DC: The Urban Institute. Sarah, E Wilder. 2012. Risks and benefit of seeking and receiving emotional support during the divorce process: an examination of divorce individual adjustment, closeness, and relational satisfaction with multiple partners from a social network. Lincoln Nebraska: Proquest, Dissertation Publishing. Seltzer JA. 1991. Relationships between fathers and children who live apart: The father’s role after separation. Journal of Marriage and The Family, 53: 79-101. Shapiro Adam, James DL. 1999. Longitudinal effects of divorce on the quality of th father-child relationship and on father’s psychological wellbeing. Journal of Marriage and The Family, 61(2). Simon, Marcussen. 1999. Marital transitions, marital beliefs, and mental health. Journal of Health and Sosial behavior, 40: 111-125 Smock PJ. 1994. Gender and the short-run economic consequences of marital distruption. Social Forces, 73:24. Thoits PA. 1983. Multiple identities and psychological well-being: A reformulation of the sosial isolation hypothesis. American Sociological Review. Umberson et al. 1996. The effect of social relationships on psychological well-being: Are men and women really so different?. American Sociological Review, 61: 837-857. Veroff et al. 1981. Mental health in American: patterns of help-seeking from 1957 to 1976. New York: Basic Books. Wallerstein JS, Kelly JB. 1996. Surviving the breakup: how parents and children cope with divorce. New York: Basic Book. Wang H, Amato PR. Predictors of divorce adjustment: stressors, resources, and definitions. Journal of Marriage and the Family, 62: 655-668. Watts Franklin. 2004. Self esteem. United States: Smart Apple Media. Wheaton B. 1990. Life transitions, role histories and mental health. American Sociological Review, 55: 209-223. Wibowo, Cristine. 2006. Status single parent bukan akhir segalanya (Edisi ke- 5, Vol 1). Semarang: Nocosakti. Williams K, D Umberson. 2004. Marital status, marital transitions, and health: A gendered life course perspective. Journal Health and Social Behavior 45(1): 81-98. Williamson RC. 1972. Marriage and family relations. New york: Wiley. Zaidin, Haji. 2010. Pengantar keperawatan keluarga. Jakarta: Buku Kedokteran EGC. Zimet GD et al. 1988. The multidimentional scale of perceived social support. Journal of Personality Assesment, 52: 30-41.
35
LAMPIRAN Lampiran 1 Peta Lokasi Penelitian
Keterangan: lokasi penelitian (Sukanagalih, Kecamatan Pacet dan Sindang Laya, Kecamatan Cipanas, Kabupaten Cianjur) Lampiran 2 Penelitian Terdahulu No 1
2
3
Hasil Penelitian Pasangan yang menikah dengan kondisi status ekonomi yang rendah terutama apabila pemenuhan kebutuhan pangannya tidak terpenuhi seringkali merasakan stress pada pernikahnnya. Ketidakcukupan tersebut memungkinkan mengawali timbulnya konflik, tekanan, dan debat diantara pasangan sehingga pada akhirnya meningkatkan ketidakpuasan maupun ketidakbahagiaan di dalam kehidupan pernikahan dan berujung pada perceraian. Selain itu, dilihat dari hubungan pendidikan akhir perempuan dengan perceraian, diketahui bahwa perempuan yang berpendidikan rendah lebih mudah mengalami kehancuran dalam pernikahannya. Tidak cukup bukti yang menyatakan perceraian merupakan tren yang menurun ke generasi selanjutnya
Dampak yang ditimbulkan perceraian saat menjalani hidup dan membesarkan anak seorang diri tanpa dukungan pasangannya, status sebagai janda, masalah ekonomi, pekerjaan, peran ganda dan hubungan pribadi subjek dengan lingkungan setelah perceraian, salah satunya stress. Pengelolaan stress agar menurun, salah satunya yakni dengan meminta dukungan dalam bentuk nasehat ke orang
Sumber Journal of Comparative family Studies; Autumn 1998; 29; 3; ProQuest Sociology The Impact Of Race On Divorce In The United States By Augustine J. Kposowa.
No Trend In the Intergenerational Transmission Of Divoce. Jui Chung Allen Li and Lawrence L Wu Skripsi Psikologi, Univ Ahmad Dahlan Pengelolaan stres pada ibu single parent. Oleh Akmalia.
36
No
4
5
6
7
8
Hasil Penelitian terdekat, jalanbersama teman-teman, memperbanyak mendekatkan diri pada Allah Tidak ada bukti yang menunjukkan perbedaan dampak perceraian pada keturunannya atau dampaknya semakin melemah seiring waktu. Hasil lainnya juga mejelaskan bahwa perceraian memiliki konsekuensi untuk setiap generasi termasuk individu yang belum lahir saat bercerai.
Pasangan yang memiliki riwayat level pendidikan yang terendah memiliki resiko bercerai lebih rendah dibandingkan ekspektasi studi sebelumnya. Perempuan yang bekerja ataupun ibu rumah tangga dan pasangan yang bekerja umumnya memiliki kestabilan dalam pernikahan, sedangkan pasangan yang tidak bekerja memiliki resiko bercerai yang tinggi. Di samping itu, sebagai akibat dari perceraian menunjukkan bahwa peningkatan pendapatan laki laki dapat menurunkan resiko bercerai, sedangkan peningkatan pendapatan pada perempuan dapat meningkatkan resiko bercerai, terutama perempuan yang mana pendapatan perempuannya lebih besar dibanding laki laki. Perceraian berpotensi untuk menciptakan kekacauan pada hidup seseorang. Percerian membawa manfaat bagi beberapa orang, sedangkan lainnya mengalami penurunan pada kesejahteraan yang beberapa diantaranya tidak pulih seperti kondisi sebelum perceraian, Selain itu hasil lainnya juga menunjukkan bahwa terdapat pengaruh yang kuat perceraian terhadap kesejahteraan. Diantaranya yakni perceraian berdampak pada hilangnya dukungan emosi, tekanan ekonomi, dan meningkatnya jumlah kehidupan negative
Perceraian bukan hanya berdampak pada individu yang beradaptasi baru pada kondisi fisik dan psikologi, namun juga berdampak panjang pada banyak hubungan jejaring sosial. Hasil penelitian ini memaparkan bahwa semakin efektif dukungan yang diterima, diprediksi akan makin berkualitas hubungan dengan mantan pasangan , keluarga dan teman, tetapi tidak memprediksi adaptasi perceraian.
Psikologi pada perempuan lebih reaktif dibandingkan laki laki pada kualitas hubungannya. Selain itu jika perempuan tidak memiliki keterlibatan sosial yang tinggi dibanding laki-laki, ia akan menunjukkan level distress yang relatif lebih tinggi dibanding laki laki. Dukungan sosial berhubungan terbalik dengan stress psikologi yang mana apabila hubungan sosial yang terjalin lemah, level stress akan meningkat. Hubungan sosial baik formal maupun non formal pada integrasi sosial perempuan secara umum lebih tinggi. Dukungan sosial dari teman pada perempuan ditemukan lebih besar dibanding laki-laki. Selain itu, perempuan juga diketahui memiliki kenyamanan yang lebih tinggi. Dibandingkan laki-laki, perempuan memiliki
Sumber
Journal of Marriage and Family, 2005, ProQuest Sociology. The long Reach of Divorce: Divorce and Child Well-being across Three Generations By Paul R Amato&Jacob Cheadle. The Pennsylvania State University. Demography (pre2011); Feb 2003; 40, 1; ProQuest pg 67 The Joint Effects od Marriage Partners Socioeconomic Positions on the risk of divorce By Jalovaara, Marika. Journal of Marriage and the family. 2000. Proquest Sociology pg 1269 The Consequences of Divorce for Adults and Children By Paul R Amato. The Pennsylvania State University. Dissertation: Risks and benefits of seeking and receiving emotional support during the divorce process: an examination of divorcee individual adjustment, closeness, and relational satisfaction with multiple partners from a social network.. By Sarah E. Wilder International Journal (1996) The Effect of Social Relationships on Psychological Wellbeing: Are men and women are so different?By Debra etc
37
No
9
10
12
Hasil Penelitian keterlibatan hubungan sosial mendalam yang lebih tinggi. Namun jika dilihat dari integrasi sosialnya, laki laki lebih tinggi dibanding perempuan. Pada hubungan pemberian kepedulian, perempuan diketahui lebih peduli terhadap lingkungannya dibanding laki laki. Hubungan sosial keluarga: Perempuan mendapatkan dukungan sosial lebih banyak dari anak dewasanya dan semakin tinggi dukungan sosial yang berasal dari anak berhubungan dengan rendahnya tingkat depresi pada perempuan (ibu). Dibandingkan dengan laki laki, perempuan memiliki hubungan yang lebih rendah pada ayah dan mantan pasangannya. Selain itu juga rendah pada dukungan sosial yang diberikan mantan pasangannya. Tidak terdapat perbedaan dukungan sosial dari orang tua baik pada istri ataupun mantan pasangannya. Enam dari delapan indikator pengukuran hubungan sosial (informal sosial integrasi, formal sosial integrasi, dukungan sosial dari teman dan kerabat, nasehat integrasi berhubungan signifikan dengan depresi. Orang yang bercerai memiliki kesehatan mental yang lebih rendah atau dapat diartikan kesejahteraan psikologisnya rendah dibanding orang yang menikah. Di samping itu ditemukan pula bahwa kondisi tidak punya pekerjaan berhubungan dengan hilangnya substansi kesejahteraan psikologis pada individu. Hasil lainnya yakni dua tahun sebelum bercerai, tingkat stress pada perempuan lebih tinggi dibanding laki. Namun tahun dimana terjadi perceraian, kondisinya berkebalikan. Sementara itu, dua tahun setelah bercerai, perbedaaan kesejahteraan mental atau psikologis menunjukkan bahwa kondisi perempuan kembali lebih memiliki tingkat stress yang lebih tinggi dibanding laki-laki. Pendidikan merupakan variabel yang paling berhubungan dengan sikap terhadap perceraian dibandingkan pendapatan, agama, status pekerjaan, ataupun struktur keluarga.Perempuan yang berasal dari pendidikan Sarjana, memiliki sikap paling permisif terhadap perceraian dibandingkan perempuan dengan lulusan SD, SMP atau SMA
Perceraian merubah kehidupan orang yang terlibat didalmnya. Beberapa perubahabn tersebut membawa perubahan pada lingkungan kehidupan yang lebih baik bagi anak untuk tumbuh. Disamping itu, disamping dampak negatif yang dirasakan paska perceraian, terdapat juga dampak negatif. Selain itu, diketahui juga bahwa hubungan sosial antara ibu dan anak pada keluarga yang bercerai memiliki hubungan yang rendah sejalan dengan perceraian (Amato & Booth 1996)
13
Dukungan emosi dapat menurunkan tingkat depresi. Selain itu, ditemukan stress yang lebih tinggi pada perempuan yang mengalami perceraian
14
57% perempuan yang bercerai rata rata menikahnya yakni 6.8 tahun. Hampir seluruh perempuan mengatakan bahwa keterlibatan mantan pasangan dalam mememnuhi kebutuhan anaknya kurang dan sangat kurang pada kondisi paska perceraian. Sebesar 17% perempuan diketahui mengalami penurunan pada hubungan dirinya dengan anaknya. Hanya beberapa perempuan (8.7%) yang mengaku memiliki permasalahan keuangan paska perceraian. Hampir sebagian besar perempuan sedikit atau tidak mendapatkan bantuan dari mantan suaminya untuk kehidupan anaknya-anaknya.
Sumber
Journal of the Royal Statistical Society (2005) Do Divorcing Couples Become Happier By Breaking Up? By Jonathan & Andrew
Journal of Marriage and Family(2006)-Proquest Sosciology: Women’s Changing Attitudes Toward Divorce (1974-2002): Evidence for an Educational Crossover By Martin, Steven P, Parashar, Sangeeta A Thesis Submitted 2012. Masters of Arts Kean University. The Impact of Divorce On Parent Child Relationships By Jacqueline Massa, Ph.D Rural Sociology Society (2006) Stress, Social Resources, and Depression among Never-Married and Divorce Rural Mothers By Heather A Turner Single Mothers and Their Children After Divorce. A Study Of thse “Who Make It”
38
No 15
Hasil Penelitian Tingginya stresss pada ibu orang tua tunggal berhubungan kuat dengan rendahnya pendapatan. Hubungan keduanya diketahui dapat berdampak pada kesehatan mental perempuan
16
Kemiskinan pada keluarga ibu orang tua tunggal disebabkan oleh banyak faktor seperti pendapatan yang rendah, pengangguran, pendidikan yang rendah. Demi menurunkan angka kemiskinan pada ibu orang tua tunggal, model kewirausahaan yang didasarkan pada kemampuannya dibuat dengan konsep analisis berikut: Input: Bio ibu orang tua tunggal dan permasalahan yang dihadapi(keterampilan/pelatihan/pendidikan/motivasi/pengalaaman dengan memperhatikan lingkungan sosial/infrastruktur/dukungan jasa/ sosial budaya Analisis: Mengevaluasi potensi yang dimiliki oleh ibu orang tua tunggal kemudian membentuk perilaku berdasarkan faktor internal (percaya, budaya, antusias, dan manajemen yang baik) dan eksternal (lokasi yang tepat, dukungan pemerintah, teknik yang efisien) Output: Diawali dan diakhiri dengan inisiatif sendiri, tanggung jawab, kepemimpinan, komitmen, pengambil resiko, inovator, hubungan bisnis Penyebab perceraian terdiri dari sosial (ditinggal suami), ekonomi (kendala keuangan), psikologi (pihak ketiga, KDRT, perbedaan prinsip, dan faktor kejiwaan suami). Selain itu, adaptasi yang dilakukan perempuan yakni mencari dan menambah jumlah pekerjaan; meningkatkan frekuensi ibadah/ mengisi waktu dengan hal hal penting, mengikuti kegiatan organisasi ataupun mendekatkan diri pada teman. Perceraian yang berakhir karena banyak ketidakpuasan pernikahan atau kesalahan pada pasangan akan meningkatkan sedikt depresi dibandingkan dengan perceraian dikarenakan sedikit permasalahan. Agresi pada pernikahan dapat meningkatkan dampak negatif dari perceraian, terutama pada perempuan. Depresi yang diakibatkan perceraian lebih besar dirasakan pada perempuan, sedangkan pada laki laki dampak negatif tidak dirasakan. Disamping itu, rendahnya kualitas pernikahan ditemukan berhubungan lurus dengan tingkat depresi paska perceraian. Status inisiator ditemukan tidak signifikan berpengaruh terhadap adaptasi. Selain itu, umur saat cerai diketahui tidak signifikan berhubungan dengan adapatasi. Inisiator, ketidaksetiaan pasangan, dan kesejahteraan psikologi dapat memprediksi sebesar 38% adapatasi yang dilakukan perempuan yang bercerai. Sementara itu, kesejahteraan spiritual merupakan kontributor utama dalam memprediksi adapatasi perempuan yang bercerai. Pernikahan sukses di awal namun permasalahan yang dihadapi selanjutnya merupakan alasan utama yang melatarbelakangi perceraian. Untuk perempuan yang bekeja, gaji merupakan sebuah pendapatan bagi dirinya, sedangkan perempuan yang tidak bekerja, kehidupannya didukung secara penuh oleh orang tuanya. Permasalahan pada perempuan yang ditinggal ketika memiliki anak lebih besar dibandingkan yang tidak memiliki anak. Selain itu, secara keseluruhan perempuan yang bercerai menyalahkan mantan pasangannya atas perceraian yang terjadi dan tidak menyesal atas keputusan yang telah diambil dan hampir seluruh perempuan tidak ingin menikah kembali.
17
18
19
20
Sumber Single Mothers and Psychological Wellbeing : A Test Of The Stress and Vulnerability Hypothesis By Sara S Mc Lanahan (1984) Intenational Journal of Business and Social Science .Vol 2:17 Poverty Alleviation Among Single Mother In Malaysia: Building Rntrepreneurship Capacity By Rohayu etc
Skripsi IPB (2006): Penyebab Perceraian dan Sterategi Adaptasi Perempuan Bercerai. Santi SS
Journal of Marriage and Family (2006) Are the Negative Effects of Divorce on Well-being Dependent on Marital Quality? By Matthus Kalmun and Christian WS Monden Disertasi facuty of th School of Psychology&conseling, Regent University Efeect of Age, Inisiator Status, and Infidelity on Women’s Divorce Adjustment Study Home Com Sci, 6(2): 113-120. 2012. PG Department of Human Development, Women’s College, MA Road, Srinagar, Jammu, and Srinagar, India Study on Impact of Divorce upon the Attitude and Social Relations of Women in Srinagar District
39
Lampiran 3 Jenis data, variabel, alat dan cara pengukuran data skala data Jenis Data
Primer
Primer
Primer
Primer
Primer
Primer
Primer
Sekunder
Variabel
Alat & Cara Pengukuran
Karaktersitik Ibu 1. Umur Kuisoner dengan 2. Pendidikan wawancara 3. Kelulusan pendidikan tertulis dan 4. Pekerjaan Indepth 5. Pendapatan Interview Karaktersitik mantan pasangan 1. Umur Kuisoner dengan 2. Pendidikan wawancara 3. Kelulusan pendidikan tertulis dan 4. Pekerjaan Indepth 5. Pendapatan Interview Karaktersitik keluarga 1. Lama menikah Kuisoner 2. Jumlah tanggungan dengan wawancara 3. Jumlah anak tertulis dan 4. Pendapatan keluarga Indepth 5. Riwayat bercerai Interview Kuisoner dengan wawancara Alasan perceraian tertulis dan Indepth Interview Dampak perceraian Kuisoner (jumlah item) dengan 1. Ekonomi (9) wawancara 2. Sosial (7) tertulis dan 3. Psikologis (11) Indepth 4. Fisik (5) Interview Kesejahteraan psikologis Kuisoner (jumlah item) dengan 1. Tingkat depresi (20) wawancara 2. Self esteem (10) tertulis dan 3. Kebahagiaan (1) Indepth Interview Hubungan sosial (jumlah Kuisoner item) dengan 1. Integrasi sosial (5) wawancara 2. Dukungan sosial (11) tertulis dan 3. Jejaring sosial (6) Indepth Interview Data jumlah perceraian di Pengadilan Kabupaten Cianjur Agama dan BPS
Skala Data (jumlah item)
Cronbach’s Alpha
Responden
Interval Ordinal Nominal Nominal Interval
Ibu
Ordinal Ordinal Nominal Nominal Interval
Ibu
Interval Interval Interval Interval
Ibu
Nominal
Nominal (33)
Ibu
Interval (32)
0.83 & 0.67
Ibu
Interval (31)
0.89 &0.83
Ibu
Interval (22)
0.62 & 0.75
Ibu
Ordinal
40
Lampiran 4 Data dan Cara Pengolahan Variabel Karakteristik Ibu Orang Tua Tunggal 1. Umur
2. Pendidikan
3. Kelulusan pendidikan
4. Pekerjaan
5. Pendapatan
Karakteristik Mantan Pasangan 1. Umur
2. Pendidikan
3. Pekerjaan
4. Pendapatan
Karakteristik Keluarga 6.Lama menikah
7.Jumlah tanggungan
Kategori Dikelompokkan berdasarkan Hurlock (1980) menjadi: 1. Remaja (12-17 tahun) 2. Dewasa awal (18-40 tahun) 3. Dewasa madya (40-60 tahun) 4. Dewasa lanjut (>60 tahun) 1. 0 tahun 2. 1-6 tahun 3. 7-9 tahun 4. 10-12 tahun 5. >12 tahun 0. Tidak lulus (1-5 tahun;7-8 tahun; 10-11 tahun) 1. Lulus (6,9,12,16,18 tahun) 1. Tidak bekerja 2. Buruh 3. Berdagang/jasa 4. Wiraswasta 5. PNS 6. Guru honorer 7. Lainnya Dikelompokkan berdasarkan interval kelas Pra: 1. Rendah (≤Rp300 000) 2. Sedang (Rp300 001- Rp600 000) 3. Tinggi (>Rp600 000) Paska: 1. Rendah (≤Rp1 000 000) 2. Sedang (Rp1 000 001- Rp2 000 000) 3. Tinggi (>Rp2 000 000) 1. Remaja (12-17 tahun) 2. Dewasa awal (18-40 tahun) 3. Dewasa madya (40-60 tahun) 4. Dewasa lanjut (>60 tahun) 1. 0 tahun 2. 1-6 tahun 3. 7-9 tahun 4. 10-12 tahun 5. >12 tahun 1. Tidak bekerja 2. Buruh 3. Berdagang/jasa 4. Wiraswasta 5. PNS 6. Guru honorer 7. Lainnya Berdasarkan interval kelas Pra: 1. Rendah (≤Rp1 666 667) 2. Sedang (Rp1 666 668- Rp3 333 334) 3. Tinggi (>Rp3 333 334) Berdasarkan interval kelas 1. Rendah (≤6 tahun) 2. Sedang (7-12 tahun) 3. Tinggi (>12tahun) Berdasarkan interval kelas 1. Rendah (≤3 orang)
41
Variabel
8.Jumlah anak
9.Pendapatan keluarga
10. Riwayat bercerai
Alasan perceraian
Dampak negatif perceraian
Kategori 2. Sedang (4-6 orang) 3. Tinggi (>6 orang) 1. Rendah (≤2 orang) 2. Sedang (3-4 orang) 3. Tinggi (>4 orang) Berdasarkan interval kelas Pra: 1. Rendah (≤Rp1 766 667) 2. Sedang (Rp 1 766 668-Rp3 533 334) 3. Tinggi (>Rp3 533 334) Paska: 1. Rendah (≤Rp1 666 667) 2. Sedang (Rp 1 666 668-Rp3 333 334) 3. Tinggi (>Rp3 333 334) Riwayat keluarga dan teman ketika menikah 0. Tidak ada 1. Ada 0. Tidak dan ya, tetapi bukan menjadi alasan perceraian 1. Ya Berdasarkan interval kelas Dampak negatif perceraian 1. Rendah (≤32 poin) 2. Sedang (33-64 poin) 3. Tinggi (>64 poin) 1. 2. 3.
Dampak psikologis Rendah (≤11 poin) Sedang (12-22 poin) Tinggi (>22 poin)
1. 2. 3.
Dampak ekonomi Rendah (≤9 poin) Sedang (10-18 poin) Tinggi (>18 poin)
1. 2. 3.
Kesejahteraan psikologis
Dampak sosial Rendah (≤7 poin) Sedang (8-14 poin) Tinggi (>14 poin)
Dampak fisik 0. Rendah (≤5 poin) 1. Sedang (6-10 poin) 2. Tinggi (>10 poin) Berdasarkan interval kelas Kesejahteraan psikologis 1. Rendah (≤31 poin) 2. Sedang (32-62 poin) 3. Tinggi (>62 poin) 1. 2. 3.
Tingkat depresi Rendah (>40 poin) Sedang (21-40 poin) Tinggi (≤20 poin)
1. 2. 3.
Self esteem Rendah (≤10 poin) Sedang (11-20 poin) Tinggi (>20 poin)
42
Variabel
Hubungan sosial
Kategori Tingkat kebahagiaan 1. Rendah (≤1 poin) 2. Sedang (2 poin) 3. Tinggi (>2 poin) Berdasarkan interval kelas Hubungan sosial 1. Rendah (≤22 poin) 2. Sedang (23-44 poin) 3. Tinggi (>44 poin) 1. 2. 3.
Integrasi sosial Rendah (≤5 poin) Sedang (6-10 poin) Tinggi (>10 poin)
1. 2. 3.
Dukungan sosial Rendah (≤11 poin) Sedang (12-22 poin) Tinggi (>22 poin)
1. 2. 3.
Jejaring sosial Rendah (≤6 poin) Sedang (7-12 poin) Tinggi (>12 poin)
Lampiran 5 Uji Reliabilitas Pernyataan Kesejahteraan Psikologis Hubungan sosial Dampak perceraian Keterangan: Reliabel (Cronbach Alpha>0.6)
Cronbach’s Alpha Enam bulan Saat ini (5 tahun) pertama 0.89 0.83 0.62 0.75 0.83 0.67
43
Lampiran 6 Alasan Perceraian No 1 2 3 4
Alasan utama perceraian
Suami/istri berbohong dan tidak jujur Tidak ada kecocokan lagi secara prinsip dan perilaku Suami/istri selingkuh Tekanan ekonomi yang menyebabkan kesulitan hidup keluarga 5 Suami/istri sering bepergian/jarang pulang 6 Pasangan anda tidak melakukan peran dan fungsi sebagaimana mestinya 7 Pasangan anda tidak menerima anak dari hasil pernikahan pasangan sebelumnya 8 Terjadi kekerasan dalam rumah tangga antara suami dan istri 9 Ketidakpuasan seksual antara suami dan istri 10 Tidak mempunyai keturunan dari perkawinan yang dijalani 11 Ada pengaruh dari mertua/ saudara ipar 12 Ada pengaruh dari keluarga besar misalnya orang tua/ saudara kandung/anak 13 Ada perbedaan agama/kepercayaan antara suami/istri 14 Pasangan terlalu sibuk dengan memuaskan egonya sendiri 15 Pasangan anda kurang memperhatikan pengasuhan dan perlindungan anak 16 Pasangan anda terlalu bersifat material dan individual 17 Pasangan anda mempunyai karir dan kedudukan yang lebih tinggi dari anda 18 Pasangan anda hidupnya berantakan, tidak teratur, semaunya sendiri 19 Pasangan anda mabuk-mabukkan/ narkoba 20 Anda tidak mencintai pasangan anda dan sebaliknya 21 Anda dan pasangan anda berbeda budaya dan suku 22 Masalah pekerjaan/karir 23 Masalah ketidakterbukaan antara anda dan pasangan anda 24 Masalah kesehatan anggota keluarga 25 Masalah meninggalnya anggota keluarga 26 Pasangan anda tidak menarik lagi di mata anda 27 Karena belum mempunyai rumah sendiri (kontrak) 28 Pasangan anda tidak menganggap keberadaan anda 29 Karena tinggal dengan orang tua/mertua/saudara 30 Pasangan anda tidak mempunyai pekerjaan tetap 31 Pasangan anda terlalu menuntut ekonomi 32 Pasangan anda sakit dalam waktu yang lama 33 Pasangan anda terlalu sibuk dalam menyelesaikan pekerjaannya Min-max (jumlah alasan perceraian) Rata-rata±SD
Persentase Alasan Ya (%) 68.3 83.3 55.0
Tidak (%) 31.7 16.7 45.0
55.0
45.0
43.3
56.7
65.0
35.0
1.7
98.3
28.3
71.7
18.3 0.0 16.7
81.7 100.0 83.3
11.7
88.3
1.7 73.3
98.3 26.7
53.3
46.7
11.7
88.3
5.0
95.0
68.3
31.7
5.0 58.3 1.7 18.3 58.3 5.0 0.0 75.0 15.0 45.0 11.7 25.0 5.0 5.0
95.0 41.7 98.3 81.7 41.7 95.0 100.0 25.0 85.0 55.0 88.3 75.0 95.0 95.0
1.7
98.3 1-17 9.9-4.3
44
Lampiran 7 Uji korelasi karaktersitik ibu dengan dampak perceraian, hubungan sosial dan kesejahteraan psikologis saat ini (5 tahun), paska perceraian Variabel Umur menikah Umur bercerai Umur saat ini Selisih umur pasangan Pendidikan ibu Jumlah tanggungan Jumlah anak Lama menikah Alasan perceraian Pendapatan
UM
UB
USI
SUP
PI
JT
JA
LM
.22 .26*
.90**
.27*
.07
.01
.25
-.11
-.15
.39**
.16
.31*
.29*
.03
-.29*
-.21
.71**
.71**
.22
-.31*
.47**
.14
-.04
.39**
-.11
-.11
.02
.13
-.05
-.05
-.06
.04
.07
.08
.11
IS .06 .07 .08
.29* .31*
.03 .24 .23 .06 .07 -.05
.08
DS
JS
HBSS
TD
SE
KE
KPSI
DPSI
DEKO
DSOS
DFIS
DMPK
-.03
-.03
-.05
.13
.12
.09
.14
.00
.13
.08
-.09
.04
-.09
-.22
.19
.22
.21
-.10
-.00
-.25
.08
-.10
-.00
-.20
.26*
.14
.22
-.13
.00
-.17
.04
-.11
-.02
-.02
-.01
-.09
.03
.16
-.04
-.01
-.13
.12
.01
-.02
.09
.22
.21
-.01
.03
-.03
.06
-.19
-.17
.06
-.08
-.07
-.13
-.16
-.03
.16
.04
.14
.34**
.04
.07
.25
-.25
-.07
-.19
.18
.15
.18
-.08
-.00
-.12
.01
-.08
-.08
.20
.01
.24
.10
.13 .05 .06 .08
.12
-.07
.04
.09
-.11
-.03
.08
.05
.09
.10
.01
.13
.08
-.22
-.13
.05
-.06
-.17
.06 .12
.06 -.00 .11 -.23 .07 -.00 .07 Pendapatan .08 .04 .05 .15 .33** .02 .02 -.02 .06 -.09 -.00 -.04 .06 .12 .09 -.06 -.37** -.04 -.06 -.22 Keluarga .00 Keterangan: Umur menikah (UM), umur bercerai (UB), umur saat ini (USI), selisih umur pasangan (SUP), pendidikan ibu (PI), jumlah tanggungan (JT), jumlah anak (JA), lama menikah (LM). Integrasi sosial (IS), dukungan sosial (DS), jejaring sosial (JS), hubungan sosial (HBSS). Tingkat depresi (TD), self esteem (SE), kebahagiaan (KE), kesejahteraan psikologis (KPSI). Dampak psikologis (DPSI), dampak ekonomi (DEKO), dampak sosial (DSOS), dampak fisik (DFIS), dampak perceraian (DMPK). *signifikan pada sig(2-tailed <0.05; ** signifikan pada sig(2-tailed)<0.01. .10
.24
.10
-.10
.19
.11
.16
-.25
.16
-.12
.09
.13
.05
.08
45
Lampiran 8 Uji korelasi dampak perceraian, hubungan sosial dan kesejahteraan psikologis ibu enam bulan pertama paska perceraian Variabel IS
IS
DS
.46** .15
.29*
TD
.68** -.02
.85** -.01
.66** .18
.07
SE
.12
.13
.-.13
.03
.28* .01
.59**
KE
.38** .09
.30*
.44**
KPSI DPSI DEKO DSOS
.02 .07 -.09
.04 -.11 -.12
.27* -.05 .03
.15 -.06 -.08
.95** -.78** -.39**
-81** -.43** -.22
.43** -.29* -.13
-.73** -.37**
-.22 .01
-.02 -.10
-.21 -.13
-.18 -.11
-.15
-.12
-.02
-.05
-.32*
-.00 -.09
-.15
-.68**
-.61**
.49**
.34**
JS HBSS
DFIS
DS
JS
HBSS
TD
SE
KE
KPSI
DPSI
DEKO
DSOS
DFIS
DMPK
.46** .16
DMPK -.04 -.14 -.11 -.14 -.23 .25 -.83** -.44** -77** .86** .66** .77* Keterangan: Integrasi sosial (IS), dukungan sosial (DS), jejaring sosial (JS), hubungan sosial (HBSS). Tingkat depresi (TD), self esteem (SE), kebahagiaan (KE), kesejahteraan psikologis (KPSI). Dampak psikologis (DPSI), dampak ekonomi (DEKO), dampak sosial (DSOS), dampak fisik (DFIS), dampak perceraian (DMPK). *signifikan pada sig(2-tailed <0.05; ** signifikan pada sig(2-tailed)<0.01.
Lampiran 9 Uji korelasi dampak perceraian, hubungan sosial dan kesejahteraan psikologis ibu saat ini (5 tahun) paska perceraian Variabel IS DS
IS
DS
.43**
JS
.47**
.41**
HBSS
.73**
.86**
JS
.75**
HBSS
TD
SE
KE
KPSI
DPSI
DEKO
DSOS
DFIS
DMPK
46
Variabel
IS
DS
JS
HBSS
TD
SE
KE
KPSI
DPSI
DEKO
TD
-.07
.15
-.10
.03
SE
.17
.22
.05
.20
.56**
KE
-.02 .02 .13 -.02 -.13
.16 .20 -.24 .08 -.04
.00 -.05 -.05 .08 -.17
.09 .10 -.12 .07 -.13
.47** .93** -58** -.22 -.24
.59** .82** -.19 -.08 -.27*
.62** -.20 -.04 -.09
-.20 -.18 -.28
.22 .11
-.08
.14
-.04
.17
.08
-.46**
-.23
-.20
-.42**
.29*
.39**
KPSI DPSI DEKO DSOS DFIS
DSOS
DFIS
DMPK
.00
DMPK .07 -.12 .02 -.04 -.22 .68 -.63** -.30* -.56** .74** .64** .34** Keterangan: Integrasi sosial (IS), dukungan sosial (DS), jejaring sosial (JS), hubungan sosial (HBSS). Tingkat depresi (TD), self esteem (SE), kebahagiaan (KE), kesejahteraan psikologis (KPSI). Dampak psikologis (DPSI), dampak ekonomi (DEKO), dampak sosial (DSOS), dampak fisik (DFIS), dampak perceraian (DMPK). *signifikan pada sig(2-tailed <0.05; ** signifikan pada sig(2-tailed)<0.01.
47
Lampiran 10 Perbedaan dampak perceraian tiap item pertanyaan berdasarkan waktu Enam bulan pertama Variabel
Dampak Psikologis Sedih Tidak biasa Beban batin berat Trauma/stress Tidak bebas dari konflik Tidak ikhlas Tidak senang Tidak bangga Merasa dilabel jelek oleh masyarakat Kehilangan Bersalah Dampak Ekonomi Ekonomi kurang Kebutuhan tidak terpenuhi Keinginan tidak terpenuhi Biaya transportasi tidak terpenuhi Biaya kesehatan tidak terpenuhi Biaya belanja kurang Berhutang Aktivitas ekonomi tidak berjalan Waktu sehari hari lebih banyak digunakan untuk kepentingan ekonomi Dampak Sosial Tidak berkomunikasi dengan mantan suami Tidak berkomunikasi dengan keluarga mantan suami Tidak berkomunikasi dengan keluarga luas Tidak berkomunikasi dengan tetangga Tidak berkomunikasi dengan teman lama Tidak berkomunikasi dengan orang lain Berpikir untuk mengubah lingkungan
Saat ini
Rataan skor Enam bulan pertama
Saat ini (5 tahun)
Sig (2tailed)
T (%)
K (%)
S (%)
T (%)
K (%)
S (%)
30.0 31.7 33.3 33.3
18.3 11.7 8.3 16.7
51.7 56.7 58.3 50.0
60.0 65.0 51.7 41.7
31.7 16.7 26.7 40.0
8.3 18.3 21.7 18.3
2.2 ± 0.9 2.3 ± 0.9 2.3 ± 0.9 2.2 ±0.9
1.5 ± 0.7 1.5 ± 0.8 1.7 ± 0.8 1.8 ± 0.7
0.00** 0.00** 0.00** 0.00**
30.0
25.0
45.0
66.7
15.0
18.3
2.2 ± 0.9
1.5 ± 0.8
0.00**
50.0 13.3 6.7
26.7 30.0 20.0
23.3 56.7 73.3
91.7 46.7 26.7
8.3 41.7 21.7
0.0 11.7 51.7
1.7 ± 0.8 2.4 ± 0.7 2.7 ± 0.6
1.1 ± 0.3 1.7 ± 0.7 2.3 ± 0.9
0.00** 0.00** 0.00**
66.7
10.0
23.3
75.0
16.7
8.3
1.6 ± 0.9
1.3 ± 0.6
0.01*
30.0 40.0
16.7 18.3
53.3 41.7
76.7 60.0
16.7 33.3
6.7 6.7
2.2 ± 0.9 2.0 ± 0.9
1.3 ± 0.6 1.5 ± 0.6
0.00** 0.00**
25.0
15.0
60.0
31.7
23.3
45.0
2.4 ± 0.9
2.1 ± 0.9
0.08
28.3
40.0
31.7
35.0
51.7
13.3
2.0 ± 0.8
1.8 ± 0.7
0.02*
45.0
21.7
33.3
40.0
36.7
23.3
1.9 ± 0.9
1.8 ± 0.8
0.58
25.0
38.3
36.7
26.7
43.3
30.0
2.1 ± 0.8
2.0 ± 0.8
0.42
56.7
31.7
11.7
75.0
16.7
8.3
1.6 ± 0.7
1.3 ± 0.6
0.02*
25.0
30.0
45.0
25.0
26.7
48.3
2.2 ± 0.8
2.2 ± 0.8
0.74
56.7
21.7
21.7
58.3
33.3
8.3
1.7 ± 0.8
1.5 ± 0.7
0.16
31.7
18.3
50.0
38.3
31.7
30.0
2.2 ± 0.9
1.9 ± 0.8
0.04
61.7
13.3
25.5
51.7
25.0
23.3
1.6 ± 0.9
1.7 ± 0.8
0.45
6.7
18.3
75.0
3.3
21.7
75.0
2.7 ± 0.6
2.7 ± 0.5
0.72
11.7
25.0
63.3
8.3
28.3
63.3
2.5 ± 0.7
2.6 ± 0.6
0.70
53.3
25.0
21.7
71.7
20.0
8.3
1.7 ± 0.8
1.4 ± 0.6
0.00**
38.3
23.3
38.3
41.7
26.7
31.7
2.0 ± 0.9
1.9 ± 0.9
0.14
23.3
23.3
53.3
28.3
33.3
38.3
2.3 ± 0.8
2.1 ± 0.8
0.12
46.7
18.3
35.0
53.3
25.0
21.7
1.9 ± 0.9
1.7 ± 0.8
0.01*
76.7
5.0
18.3
68.3
15.0
16.7
1.4 ± 0.8
1.5 ± 0.8
0.35
48
Enam bulan pertama Variabel
pertemanan Dampak Fisik Nafsu makan menurun Berat badan menurun Kondisi fisik menurun Susah tidur Lemas/lesu
Saat ini
Rataan skor Enam bulan pertama
Saat ini (5 tahun)
Sig (2tailed)
T (%)
K (%)
S (%)
T (%)
K (%)
S (%)
45.0
1.7
53.3
80.0
10.0
10.0
2.1 ± 1.0
1.3 ± 0.6
0.00**
41.7
1.7
56.7
71.7
8.3
20.0
2.2 ± 1.0
1.5 ± 0.8
0.00**
58.3
1.7
40.0
75.0
11.7
13.3
1.8 ± 1.0
1.4 ± 0.7
0.00**
35.0 40.0
11.7 10.0
53.3 50.0
61.7 61.7
18.3 18.3
20.0 20.0
2.2 ± 0.9 2.1 ± 1.0
1.6 ± 0.8 1.6 ± 0.8
0.00** 0.00**
Keterangan: Tidak pernah (T),kadang-kadang (K), sering (S). Rataan skor T (1), K (2), S (3).*signifikan pada sig(2-tailed <0.05; ** signifikan pada sig(2-tailed)<0.01.
Lampiran 11 Perbedaan kesejahteraan psikologis tiap item pertanyaan berdasarkan waktu Enam bulan pertama Variabel
Tingkat Depresi Ringan melakukan pekerjaan/aktivitas yang biasa dilakukan Tidak kehilangan nafsu makan Hidup kedepan akan lebih baik, sekalipun tidak ada dorongan keluarga dan teman Saya orang yang baik seperti orang lain Tidak banyak menyimpan permasalahan tentang diri sendiri Tidak depresi Segala hal yang diperbuat paska, hasil usaha sendiri Banyak harapan dimasa datang Kehidupan saya tidak gagal Tidak merasa takut dari sebelumnya terhadap segala sesuatu Tidur dengan nyenyak, tidak gelisah Merasa hidup bahagia Tidak pendiam Tidak kesepian Orang sekeliling bersahabat Menikmati kehidupan Tidak banyak menangis Tidak sedih Orang disekeliling saya menyukai saya Pergi sesuka saya Self esteem Puas dengan diri sendiri Kondisi kini lebih baik dalam semua hal Hidup lebih berkualitas Mampu melakukan sesuatu sebaik kebanyakan orang
Saat ini
Rataan skor Sig (2tailed)
T (%)
K (%)
S (%)
T (%)
K (%)
S (%)
Enam bulan pertama
Saat ini (5 tahun)
41.7
8.3
50.0
16.7
13.3
70.0
2.1 ± 1.0
2.5 ± 0.8
0.00**
48.3
0.0
51.7
6.7
3.3
90.0
2.0 ± 1.0
2.8 ± 0.5
0.00**
21.7
18.3
60.0
13.3
18.3
68.3
2.4 ± 0.8
2.6 ± 0.7
0.86
41.7
30.0
28.3
26.7
31.7
41.7
1.9 ± 0.8
2.2 ± 0.8
0.00**
65.0
18.3
16.7
36.7
26.7
36.7
1.5 ± 0.8
2.0 ± 0.9
0.00**
38.3
16.7
45.0
3.3
23.3
73.3
2.1 ± 0.9
2.7 ± 0.5
0.00**
36.7
23.3
40.0
30.0
28.3
41.7
2.0 ± 0.9
2.1 ± 0.8
0.36
28.3
33.3
38.3
8.3
23.3
68.3
2.1 ± 0.8
2.6 ± 0.6
0.00**
40.0
33.3
26.7
25.0
30.0
45.0
1.9 ± 0.8
2.2 ± 0.8
0.00**
55.0
26.7
18.3
41.7
33.3
25.0
1.6 ± 0.8
1.8 ± 0.8
0.09
60.0
8.3
31.7
11.7
13.3
75.0
1.7 ± 0.9
2.6 ± 0.7
0.00**
45.0 35.0 36.7 13.3 38.3 56.7 55.0
38.3 10.0 15.0 31.7 45.0 8.3 16.7
16.7 55.0 48.3 55.0 16.7 35.0 28.3
6.7 13.3 5.0 3.3 5.0 8.3 8.3
45.0 23.3 23.3 28.3 43.3 26.7 28.3
48.3 63.3 71.7 68.3 51.7 65.0 63.3
1.7 ± 0.7 2.2 ± 0.9 2.1 ± 0.9 2.4 ± 0.7 1.8 ± 0.7 1.8 ± 0.9 1.7 ± 0.9
2.4 ± 0.6 2.5± 0.7 2.7 ± 0.6 2.7 ± 0.5 2.5 ± 0.6 2.6 ± 0.6 2.6 ± 0.6
0.00** 0.01* 0.00** 0.00** 0.00** 0.00** 0.00**
13.3
28.3
58.3
5.0
25.0
70.0
2.5 ± 0.7
2.7 ± 0.6
0.00**
38.3
13.3
48.3
23.3
13.3
63.3
2.1 ± 0.9
2.4 ± 0.8
0.00**
52.3
28.3
18.3
13.3
40.0
46.7
1.7 ± 0.8
2.3 ± 0.7
0.00**
28.3
36.7
35.0
31.7
36.7
31.7
2.1 ± 0.8
2.0 ± 0.8
0.58
58.3
31.7
10.0
20.0
43.3
36.7
1.5 ± 0.7
2.2 ± 0.7
0.00**
40.0
48.3
11.7
46.7
28.3
1.7 ± 0.7
2.0 ± 0.7
0.00**
25.0
Enam bulan pertama Variabel
Saat ini
Rataan skor Sig (2tailed)
T (%)
K (%)
S (%)
T (%)
K (%)
S (%)
Enam bulan pertama
51.7
31.7
16.7
28.3
25.0
46.7
1.7 ± 0.8
2.2 ± 0.9
0.00**
45.0 38.3
30.0 33.3
25.0 28.3
8.3 13.3
30.0 30.0
61.7 56.7
1.8 ± 0.8 1.9 ± 0.8
2.5 ± 0.7 2.4 ± 0.7
0.00** 0.00**
26.7
31.7
41.7
10.0
26.7
63.3
2.2 ± 0.8
2.5 ± 0.7
0.00**
38.3
35.0
26.7
28.3
30.0
41.7
1.9 ± 0.8
2.1 ± 0.8
0.02*
21.7
35.0
43.3
5.0
26.7
68.3
2.2 ± 0.8
2.6 ± 0.6
0.00**
40.0
36.7
23.3
5.0
46.7
48.3
1.8 ± 0.8
2.4 ± 0.6
0.00**
Saat ini (5 tahun)
lakukan Memilki hal yang dapat dibanggakan Merasa berguna Merasa berharga Dapat menghormati diri sendiri Kehidupan saya tidak gagal Mengambil sikap positif untuk kehidupan sendiri Kebahagiaan Merasa bahagia
Keterangan: Tidak pernah (T),kadang-kadang (K), sering (S). Rataan skor T (1), K (2), S (3).*signifikan pada sig(2-tailed <0.05; ** signifikan pada sig(2-tailed)<0.01.
Lampiran 12 Perbedaan hubungan sosial tiap item pertanyaan berdasarkan waktu Enam bulan pertama
Saat ini
Rataan skor
Variabel T (%) Integrasi Sosial Menghadiri grup/organisasi Mengikuti pengajian Berkumpul dengan teman atau tetangga Berbicara via telepon dengan teman atau tetangga Meminta pertolongan ke teman-teman Dukungan Sosial Dibantu oleh ‘orang spesial’ Bertukar kebahagiaan dan kesedihan dengan ‘orang spesial’ Keluarga berusaha menolong Keluarga memberikan pertolongan dan dukungan secara emosi Mendapat kenyamanan dari orang spesial Teman berusaha menolong Mengandalkan teman ketika sesuatu terjadi Membicarakan masalah yang tengah dihadapi dengan keluarga Bertukar kebahagiaan dan kesedihan dengan teman Orang spesial peduli dengan perasaan saya Membicarakan masalah dengan teman
K (%)
S (%)
T (%)
K (%)
S (%)
Enam bulan pertama
Saat ini (5 tahun)
Sig (2tailed)
91.7
6.7
1.7
88.3
10.0
1.7
1.1 ± 0.4
1.1 ± 0.4
0.42
53.3
30.0
16.7
40.0
50.0
10.0
1.6 ± 0.8
1.7 ± 0.6
0.48
70.0
20.0
10.0
50.0
31.7
18.3
1.4 ± 0.7
1.7 ± 0.8
0.00**
75.0
15.0
10.0
46.7
23.3
30.0
1.4 ± 0.7
1.8 ±0.9
0.00**
73.3
16.7
10.0
51.7
31.7
16.7
1.4 ± 0.7
1.7 ± 0.8
0.01*
88.3
10.0
1.7
70.0
26.7
3.3
1.1 ± 0.4
1.3 ± 0.5
0.01*
88.3
1.7
0.0
75.0
11.7
13.3
1.2 ± 0.6
1.4 ± 0.7
0.12
13.3
30.0
56.7
18.3
11.7
13.3
2.4 ± 0.7
2.4 ± 0.8
0.30
8.3
35.0
56.7
11.7
35.0
53.3
2.5 ± 0.7
2.4 ± 0.7
0.32
90.0
5.0
5.0
71.7
18.3
10.0
1.2 ± 0.5
1.4 ± 0.7
0.38
58.3
30.0
11.7
53.3
38.3
8.3
1.5 ± 0.7
1.6 ± 0.6
0.86
86.7
11.7
1.7
81.7
15.0
3.3
1.2 ± 0.4
1.2 ± 0.5
0.21
50.0
35.0
15.0
31.7
36.7
31.7
1.7 ± 0.7
2.0 ± 0.8
0.00**
55.0
25.0
20.0
46.7
33.3
20.0
1.7 ± 0.8
1.7 ± 0.8
0.47
91.7
5.0
3.3
70.0
11.7
18.3
1.1 ± 0.4
1.5 ± 0.8
0.00**
71.7
21.7
6.7
58.3
31.7
10.0
1.4 ± 0.6
1.5 ± 0.7
0.02*
50
Enam bulan pertama
Saat ini
Rataan skor
Variabel T (%) Jejaring Sosial Berusaha bersikap biasa pada teman lama Berusaha bersikap biasa pada teman dekat Berusaha mencari teman baru Berusaha menjalin hubungan yang lebih dekat dengan teman baru Berusaha menjalin hubungan yang lebih dalam dengan teman lama Berusaha menjaga hubungan dengan teman lama dibanding teman baru
K (%)
S (%)
T (%)
K (%)
S (%)
Enam bulan pertama
Saat ini (5 tahun)
Sig (2tailed)
6.7
8.3
85.0
3.3
10.0
86.7
2.8 ± 0.6
2.8 ± 0.5
0.52
6.7
3.3
90.0
5.0
3.3
91.7
2.8 ± 0.5
2.9 ± 0.5
0.67
75.0
15.0
10.0
53.3
21.7
25.0
1.4 ± 0.7
1.7 ± 0.8
0.02*
85.0
10.0
5.0
71.7
15.0
13.3
1.2 ± 0.5
1.4 ± 0.7
0.02*
76.7
6.7
16.7
76.7
8.3
15.0
1.4 ± 0.8
1.4 ± 0.7
0.89
71.7
15.0
13.3
66.7
20.0
13.3
1.4 ± 0.7
1.5 ± 0.7
0.64
Keterangan: Tidak pernah (T), kadang-kadang (K), sering (S). Rataan skor T (1), K (2), S (3).*signifikan pada sig(2-tailed ) <0.05; ** signifikan pada sig(2-tailed)<0.01.
Lampiran 13 Indepth Interview 1. Responden 1 Responden pertama ini merupakan ibu orang tua tunggal yang telah bercerai sebanyak tiga kali dengan orang yang sama. Perceraian yang ketiga kalinya terjadi ketika ibu berumur 33 tahun dan pada kondisi mengandung 7 bulan yang merupakan anak keempatnya. Inisiator dalam perceraian yang ketiga kalinya ini adalah ibu. Adapun alasan yang melatarbelakangi perceraian yaitu suami yang sering berbohong, tidak peduli dan memperhatikan keluarganya, mabuk-mabukkan serta tidak menjalankan fungsinya dengan baik selayaknya seorang ayah maupun suami. Dilihat riwayat pernikahannya diketahui bahwa ibu menikah pada umur yang terbilang muda yakni 19 tahun. Pernikahan tersebut merupakan keinginannya sendiri yang dilatarbelakangi oleh keinginan kuatnya untuk segera menikah dan dapat patuh terhadap sosok lelaki yang menjadi kepala keluargnya kelak. Kasih sayang yang tidak ia dapatkan dari sosok ayah semenjak orang tuanya bercerai, menjadi alasan tambahan baginya untuk segera menikah agar ia segera mendapatkan sosok lelaki yang mencintai, menyayangi dan menjaganya. Pada akhirnya ia menikahi lelaki yang ia cintai dengan selisih umur dua tahun lebih muda darinya dan bekerja sebagai buruh bangunan, sedangkan dirinya berstatus tidak bekerja. Adapun pendidikan pada saat menikah, diketahui ibu orang tua tunggal lebih rendah (SD) dari mantan pasangannya (SMP kelas 1).
Permasalahan awal di dalam pernikahannya yang kemudian membawa dirinya pada jenjang perceraian yakni dialami pada dua tahun pertama menikah. Saat itu, komunikasi yang berlangsung diantara keduanya dapat dikatakan jarang sekali. Hal ini diakibatkan oleh kesibukan suami dalam pekerjaannya dan sikap otoriter suami yang suka memerintah dan harus dituruti, contohnya yakni ibu tidak diperbolehkan keluar rumah sekalipun ke warung dekat rumah atau rumah saudara yang berdekatan dengan rumahnya. Hal tersebut yang mengawali ibu merasa tidak nyaman dengan keberadaan suaminya. Pada tahun ketiga, komunikasi pasangan mulai kembali berjalan intens, namun jarang pulang dengan alasan urusan pekerjaan yang lembur dan beberapa bulan berikutnya, hubungan pasangan ini kembali merenggang. Obrolan tetangga tentang perselingkuhan suaminya semakin terdengar, namun ibu masih tetap percaya dengan suaminya sehingga gosip tersebut tidak ia klarifikasikan kepada suaminya. Beberapa hari kemudian, salah satu saudara dari pihak suami mendatangi dirinya di rumah dan membeberkan semua kebenaran perselingkuhan suaminya dengan perempuan lain. Setelah itu, ia diajak oleh saudara tersebut ke rumah perempuan selingkuhan suaminya dan sampai di rumah tersebut, ia mendapatkan suaminya tengah bersama wanita selingkuhan walaupun sebelumnya terdapat kejadian kejar mengejar antara suami dengan saudaranya akibat tertangkap basah tengah berselingkuh. Sepulangnya ia dari rumah slingkuhan suaminya, ia memberanikan diri untuk meminta cerai dan permintaannya dikabulkan oleh suaminya. Semenjak bercerai dan mengurus berkas perceraian ke pengadilan agama, ia menempati rumah lamanya yang merupakan aset peninggalan untuk anak-anaknya akibat bercerai dan kini ia tinggal besama anak dan cucunya. Walaupun ini merupakan perceraian yang ketiga kalinya, tapi kesedihan masih tetap ia rasakan meskipun tidak terlalu besar dibandingkan perceraian yang pertama dan kedua. Hari-hari setelah perceraian ia lewati dengan cemoohan dari warga sekitar akan kegagalan pernikahan yang diakibatkan oleh ibu orang tua tunggal yang “nakal” dan anak-anaknya mulai terganggu dengan berita yang tidak benar merasa sangat sedih. Berita tersebut semakin meluas dengan kegiatan ‘nakal’ ibu yang pergi di pagi hari dan baru pulang di malam hari. Namun, ibu berusaha menenangkan anakanaknya dengan mengatakan agar dirinya tidak perlu memperdulikan obrolan orang tentang keluarganya dan menjelaskan bahwa perceraian ini sepenuhnya kesalahan dari mantan pasangannya. Setelah perceraian yang ketiga kalinya ini, mantan pasangannya diketahui menikah dengan selingkuhannya, namun kehidupan ekonominya menurun drastis karena ia dipecat oleh perusahaan tempat dimana ia bekerja. Akibat kejadian tersebut, diduga bahwa mantan pasangannya menyesal dengan keputusan yang telah dipilihnya dan ingin kembali menjalin hubungan dengan mantan istrinya
52
melalui pernikahan kembali. Namun ibu enggan untuk menikah kembali dan kini ia aktif sebagai konsultan ataupun pendamping di bidang perceraian PEKKA (Perempuan Kepala Keluarga). 2. Responden 2 Responden ini merupakan ibu orang tua tunggal yang telah bercerai sebanyak dua kali dengan laki laki yang sama dan bukan berasal dari keluarga yang memiliki riwayat bercerai. Inisiator dalam perceraiannya tersebut yakni ibu orang tua tunggal sendiri. Ia menikah diumur remaja (15 tahun) dengan laki laki yang memiliki pekerjaan sebagai buruh dagang, sedangkan dirinya berstatus tidak bekerja. Ia bercerai pada umur 36 tahun dan kini ia berumur 49 tahun. Pendidikan akhir ibu yakni dua SD, sedangkan mantan pasangannya lulus SD. Pada saat bercerai, ia memiliki anak sebanyak enam orang termasuk anak yang masih dalam kandungannya (9 bulan). Permasalahan yang mengakibatkan perceraian, diawali dari suami yang sering berbohong, kekerasan rumah tangga, jarang pulang dan tidak menafkahi keluarganya. Pada kondisi tersebut, ibu yang tidak tega melihat anak-anaknya terlantar tanpa dinafkahi oleh suaminya memutuskan untuk bekerja sebagai buruh di pabrik skala rumah tangga. Walaupun pendapatannya yang sangat kecil dan dapat dibilang tidak mencukupi untuk kebutuhan keluarganya, tetapi ibu tetap menjalankan pekerjaannya karena keterbatasan keterampilan yang ia miliki. Ditambah denagan keluarga besar yang hampir semuanya telah meninggal dan tinggal berjauhan, membuat dirinya semakin terpuruk karena tidak mendapatkan dukungan dari keluarganya pada enam bulan pertama paska perceraian. Selain itu, kesulitan paska perceraian semakin menjadi besar karena sebagian anakanaknya yang telah beranjak remaja sering membangkang pada dirinya. Sebelum perceraian ini sah dimata hukum, mantan pasangannya telah menikah kembali dengan perempuan yang katanya selama ini diselingkuhinya. Hari demi hari paska perceraian ia lewati dengan berat. Terkadang ia mendapatkan dirinya tidak memiliki uang untuk membeli makan untuk anak-anaknya sehingga ia memutuskan untuk berhutang pada teman atau menahan kelaparannya demi terpenuhinya asupan makanan untuk anaknya dengan bahan makanan yang tersisa di dapur rumahnya. Kini ia tinggal di rumah lamanya bersama anak-anak dan cucunya. Kehidupannya saat ini sudah jauh lebih baik dibanding sebelumnya dengan dukungan ekonomi dari anak-anaknya yang sudah bekerja sehingga ia tidak bekerja lagi sebagai buruh namun ia memberikan waktu di sore harinnya untuk mengajar anak-anak mengaji. Sementara itu, beberapa tahun paska perceraian sampai dengan saat ini pun ia aktif sebagai staff PEKKA.
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jakarta, Indonesia pada tanggal 29 Maret 1991 dari pasangan Bapak Nahrowi dan Ibu Siti Fatimah. Penulis merupakan putri kedua dari empat bersaudara. Penulis memulai pendidikannya di Taman Kanak-Kanak Tsunaeri, Jepang dan TKIT Sholahuddin, Bogor pada tahun 1993 sampai dengan 1997. Setelah penulis menyelesaikan studi di taman kanak-kanak, penulis meneruskan pendidikan dasarnya di SDN Polisi 5 Bogor dan lulus di tahun 2003. Penulis melalui pendidikan menengah pertama di SMP Negeri 4 Bogor di tahun 2006 kemudian meneruskan pendidikan ke jenjang selanjutnya di SMAN 5 Bogor dan lulus di tahun 2009. Selanjutnya, penulis melanjutkan pendidikannya di Ilmu Keluarga dan Konsumen di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Penulis sangat bersyukur dapat masuk dan menjadi salah satu mahasiswa di jurusan Ilmu Keluarga dan Konsumen. Selama menempuh pendidikan di Institut Pertanian Bogor, penulis pernah terlibat aktif sebagai staff di organisasi keislaman LDK AlHurriyyah pada tahun 2009 sampai 2011, terlibat dalam organisasi keislaman fakultas yakni FORSIA di tahun 2011. Selain itu, penulis juga pernah terlibat dalam kepanitiaan-kepanitiaan di lingkup kampus seperti Masa Pengenalan Kampus Mahasiswa Baru IPB (MPKMB) di tahun 2010 dan Penerimaan Mahasiswa Baru IPB di tahun 2011. Selama menempuh pendidikan setelah SMA, penulis pun senantiasa aktif terlibat dalam kegiatan keagamaan di SMA Negeri 5 Bogor yang berada dalam naungan organisasi alumni SMA yang bernama “AR-ROJAA”.