DAMPAK FLUKTUASI HARGA PANGAN HEWANI ASAL TERNAK TERHADAP INFLASI DI KABUPATEN BOGOR
FIKRIYAN NURIYATUL HASANAH
DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Dampak Fluktuasi Harga Pangan Hewani Asal Ternak terhadap Inflasi di Kabupaten Bogor adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Agustus 2014 Fikriyan Nuriyatul Hasanah NIM H44100105
ABSTRAK FIKRIYAN NURIYATUL HASANAH. Dampak Fluktuasi Harga Pangan Hewani Asal Ternak terhadap Inflasi di Kabupaten Bogor. Dibimbing oleh ADI HADIANTO. Inflasi di Kabupaten Bogor berfluktuatif. Kelompok yang berkontribusi besar yaitu kelompok bahan makanan, salah satunya pangan hewani asal ternak. Oleh karena itu, harga pangan hewani asal ternak menjadi isu penting di Kabupaten Bogor. Penelitian ini menganalisis harga komoditas pangan hewani asal ternak, yaitu daging ayam broiler (karkas), daging sapi has, daging sapi bistik, daging sapi murni, hati sapi, daging kambing/domba, telur ayam ras, telur ayam buras, telur itik, dan susu segar. Data yang digunakan adalah data time series bulanan periode Januari 2010 hingga Desember 2013. Tujuan penelitian ini adalah: 1) Menjelaskan perkembangan harga komoditas pangan hewani asal ternak di Kabupaten Bogor menggunakan analisis deskriptif; 2) Menganalisis dampak fluktuasi harga komoditas pangan hewani asal ternak terhadap inflasi di Kabupaten Bogor menggunakan model VAR (Vector Autoregression). Hasil dari analisis deskriptif menunjukkan bahwa selama 2010-2013, perkembangan harga komoditas daging ayam broiler (karkas), daging sapi has, daging sapi bistik, daging sapi murni, hati sapi, daging kambing/domba, dan telur ayam ras cenderung meningkat, sedangkan komoditas telur ayam buras, telur itik dan susu segar cenderung stabil. Hasil analisis VAR menunjukkan bahwa pada jangka panjang, fluktuasi harga berdampak terhadap inflasi terutama pada komoditas daging sapi murni dan telur ayam ras, diikuti oleh telur ayam buras, daging ayam broiler (karkas), daging sapi has, susu segar, telur itik, dan daging kambing/domba. Adapun komoditas daging sapi bistik dan hati sapi tidak berdampak secara signifikan terhadap inflasi.
Kata kunci: fluktuasi, harga pangan hewani asal ternak, inflasi, VAR
ABSTRACT FIKRIYAN NURIYATUL HASANAH. Effects of Food from Livestock Price Fluctuation to Inflation in Bogor District. Supervised by ADI HADIANTO. Bogor District has a fluctuative inflation. The highest inflation is contributed by food category, especially food from livestock. Therefore, the price of the food from livestock became an important issue in Bogor District. This research analyze the prices of food from livestock, such as broiler meat (carcass), filet beef, beefsteak, beef, beef livers, mutton, layer egg, native chicken egg, duck egg, and fresh milk. The data used are monthly time series data from January 2010 to December 2013. The purpose of this research are: 1) to describe the development of food from livestock price in Bogor District using descriptive analysis, 2) to analyze the effects of food from livestock price fluctuations on inflation in Bogor District using VAR (Vector Autoregression) model. The result of descriptive analysis shows that in 2010-2013 the prices of broiler meat (carcass), filet beef, beefsteak, beef, beef livers, goat meat, and layer egg have an upward trend, while native chicken egg, duck egg, and fresh milk have a stable trend. The result of VAR (Vector Autoregression) analysis shows that in the long term, price fluctuation effected on inflation of Bogor District, especially beef and layer egg, followed by native chicken egg, broiler meat (carcass), filet beef, fresh milk, duck egg, and mutton. The beefsteak and beef livers are not significantly effect on inflation. Keywords: fluctuation, inflation, food from livestock price, VAR
DAMPAK FLUKTUASI HARGA PANGAN HEWANI ASAL TERNAK TERHADAP INFLASI DI KABUPATEN BOGOR
FIKRIYAN NURIYATUL HASANAH
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan
DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
PRAKATA Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kepada Allah SWT, yang senantiasa melimpahkan ni’mah, hidayah, dan inayah-Nya sehingga penulis mampu menyelesaikan penyusunan skripsi yang berjudul “Dampak Fluktuasi Harga Pangan Hewani Asal Ternak Terhadap Inflasi di Kabupaten Bogor.” Shalawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW. Penyusunan skripsi ini bukan semata-mata untuk memenuhi syarat kelulusan, melainkan lebih dari itu penulis berharap skripsi ini dapat memberikan gambaran mengenai perkembangan harga pangan hewani asal ternak dan pengaruhnya terhadap inflasi. Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini tidak lepas dari bantuan dan dukungan banyak pihak. Penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan kepada: 1. Orangtua tercinta, Drs. Suranto dan Dra. Sulasih, serta Ashri Istijabah Azzahra dan Ni’mah Husnayya, adik-adik penulis, yang selalu berdo’a dan mencurahkan kasih sayang kepada penulis. 2. Bapak Adi Hadianto, SP, M.Si selaku dosen pembimbing yang telah memberikan arahan, saran dan masukan selama penulisan hingga penyelesaian skripsi ini. 3. Bapak Ir. Ujang Sehabudin selaku dosen penguji utama dan Bapak Kastana Sapanli, S.Pi, M.Si selaku dosen penguji dari perwakilan departemen yang telah memberikan saran dan masukan untuk penyempurnaan skripsi ini. 4. Kementrian Agama Republik Indonesia yang telah memberikan beasiswa full study selama penulis belajar di IPB. 5. Bapak Isep (Dinas Peternakan dan Perikanan Kab. Bogor) serta staff BPS Kab. Bogor yang telah membantu selama pengumpulan data. 6. Keluarga Besar Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan FEM IPB, khususnya dosen-dosen ESL atas arahannya dan rekan-rekan Green Fighter ESL 47 atas kebersamaan dan semangatnya. 7. CSS MoRA IPB, khususnya CSS 47 Ciecie yang selalu memberikan bantuan dan semangat. 8. Sahabat dekat, Debbie, Ii, Putri, Halimah, Iin, Fera, Hidayah, rekan-rekan seperjuangan Minor (Melin, Ulan, Melly, Andreas, Shella, Miranti), serta rekan-rekan satu bimbingan X-Factor 2014 (Entin Febriana, Dwi Saputra, Esya Shadrina, Atika Dewi, Ayu Amalia, Shiraz Fayeza, Niki Nurul, Nurul Puspita, Rita Pajarwati) atas kerjasama dan semangatnya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Agustus 2014 Fikriyan Nuriyatul Hasanah
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ..........................................................................................
xiii
DAFTAR GAMBAR .....................................................................................
xiv
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................
xv
I
PENDAHULUAN ..................................................................................
1
1.1 Latar Belakang .................................................................................
1
1.2 Perumusan Masalah ..........................................................................
4
1.3 Tujuan Penelitian ..............................................................................
5
1.4 Ruang Lingkup Penelitian ................................................................
5
TINJAUAN PUSTAKA .........................................................................
7
2.1 Inflasi ................................................................................................
7
2.2 Mekanisme Pembentukan Harga ......................................................
9
2.3 Pangan Hewani Asal Ternak ............................................................
10
2.4 Fluktuasi Harga Komoditas Pangan Hewani Asal Ternak ...............
13
2.5 Keterkaitan Harga Komoditas Pangan dan Inflasi ...........................
15
2.6 Vector Autoregression (VAR) ..........................................................
16
2.7 Penelitian Terdahulu ........................................................................
20
III KERANGKA PEMIKIRAN .................................................................
27
3.1 Kerangka Pemikiran Operasional .....................................................
27
IV METODE PENELITIAN ......................................................................
29
4.1 Jenis dan Sumber Data .....................................................................
29
4.2 Metode Analisis Data .......................................................................
29
II
V
4.2.1
Analisis Deskriptif .............................................................
29
4.2.2
Vector Autoregression (VAR) ...........................................
30
PERKEMBANGAN HARGA PANGAN HEWANI ASAL TERNAK DI KABUPATEN BOGOR ................................................................... 33 5.1 Perkembangan Harga Daging Ayam Brioler (Karkas) ....................
33
5.2 Perkembangan Harga Daging Sapi ..................................................
35
5.2.1 Perkembangan Harga Daging Sapi Has ..................................
37
5.2.2 Perkembangan Harga Daging Sapi Bistik ...............................
38
5.2.3 Perkembangan Harga Daging Sapi Murni ..............................
39
5.2 Perkembangan Harga Hati Sapi ........................................................
40
5.3 Perkembangan Harga Daging Kambing/Domba ..............................
41
5.4 Perkembangan Harga Telur Ayam Ras ............................................
43
5.5 Perkembangan Harga Telur Ayam Buras .........................................
45
5.6 Perkembangan Harga Telur Itik .......................................................
46
5.7 Perkembangan Harga Susu Segar .....................................................
47
VI DAMPAK FLUKTUASI HARGA PANGAN HEWANI ASAL TERNAK TERHADAP INFLASI DI KABUPATEN BOGOR ........
49
6.1 Uji Stasioner Data .............................................................................
49
6.2 Penentuan Lag Optimal ....................................................................
50
6.3 Uji Stabilitas Model VAR ................................................................
51
6.4 Uji Kointegrasi .................................................................................
51
6.5 Estimasi Vector Error Corection Model (VECM) ...........................
52
6.6 Analisis Impuls Response Function (IRF) ........................................
54
6.7 Analisis Forecast Error Variance Decomposition (FEVD) .............
56
VII SIMPULAN DAN SARAN ....................................................................
59
7.1 Simpulan ...........................................................................................
59
7.2 Saran .................................................................................................
59
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................
61
LAMPIRAN ...................................................................................................
66
RIWAYAT HIDUP ........................................................................................
95
DAFTAR TABEL Nomor 1
Halaman
Inflasi Menurut Kelompok Barang dan Jasa di Kabupaten Bogor Tahun 2009-2013 ...................................................................................
3
Inflasi Tahunan Kelompok Bahan Makanan Kabupaten Bogor Tahun 2009-2013 ...................................................................................
4
3
Matriks Penelitian Terdahulu .................................................................
21
4
Matriks Analisis Data .............................................................................
29
5
Rata-rata Perubahan Harga Komoditas Pangan Hewani Asal Ternak di Kabupaten Bogor Periode 2010-2013 ................................................
33
Pendugaan Produksi dan Konsumsi Daging Ayam Broiler di Kabupaten Bogor tahun 2008-2012 ...................................................
35
7
Kuota Impor Sapi dan Daging Sapi di Indonesia tahun 2009-2013 .......
36
8
Pendugaan Produksi dan Konsumsi Daging Sapi di Kabupaten Bogor tahun 2008-2012 .....................................................................................
37
Pendugaan Produksi dan Konsumsi Daging Kambing dan Domba di Kabupaten Bogor tahun 2008-2012 ...................................................
43
10 Pendugaan Produksi dan Konsumsi Telur Ayam Ras di Kabupaten Bogor tahun 2008-2012 ..........................................................................
44
11 Pendugaan Produksi dan Konsumsi Telur Ayam Buras di Kabupaten Bogor tahun 2008-2012 ..........................................................................
46
12 Pendugaan Produksi dan Konsumsi Telur Itik di Kabupaten Bogor tahun 2008-2012 .....................................................................................
47
13 Pendugaan Produksi dan Konsumsi Susu Segar di Kabupaten Bogor tahun 2008-2012 .....................................................................................
48
14 Hasil Uji Stasioner Data Pada Tingkat Level .........................................
49
15 Hasil Uji Stasioner Data Pada Tingkat First Difference ........................
50
16 Hasil Penetapan Lag Optimal .................................................................
50
17 Hasil Johansen Cointegration Test .........................................................
51
18 Hasil Estimasi VECM ............................................................................
53
2
6
9
DAFTAR GAMBAR Nomor
Halaman
1 Perbandingan Perkembangan Inflasi Umum Kabupaten Bogor dengan Inflasi Umum Indonesia Tahun 2009-2013 ................................
2
2 Ilustrasi Inflasi Akibat Tarikan Permintaan (Demand Pull Inflation) .....
8
3 Ilustrasi Inflasi Akibat Desakan Biaya (Cost Push Inflation) .................
9
4 Kurva Keseimbangan dalam Mekanisme Pembentukan Harga ..............
10
5 Ilustrasi Perubahan Harga Komoditas dari Sisi Penawaran ....................
14
6 Ilustrasi Perubahan Harga Komoditas dari Sisi Permintaan ....................
15
7 Skema Kerangka Pemikiran Operasional ................................................
28
8 Perkembangan Harga Daging Ayam Broiler (Karkas) di Kabupaten Bogor Periode Januari 2010-Desember 2013 ..........................................
34
9 Perkembangan Harga Daging Sapi Has di Kabupaten Bogor Periode Januari 2010-Desember 2013 ..................................................................
38
10 Perkembangan Harga Daging Sapi Bistik di Kabupaten Bogor Periode Januari 2010-Desember 2013 .....................................................
39
11 Perkembangan Harga Daging Sapi Murni di Kabupaten Bogor Periode Januari 2010-Desember 2013 .....................................................
40
12 Perkembangan Harga Hati Sapi di Kabupaten Bogor Periode Januari 2010-Desember 2013 ..................................................................
41
13 Perkembangan Harga Daging Kambing/Domba di Kabupaten Bogor Periode Januari 2010-Desember 2013 .....................................................
42
14 Perkembangan Harga Telur Ayam Ras di Kabupaten Bogor Periode Januari 2010-Desember 2013 ..................................................................
44
15 Perkembangan Harga Telur Ayam Buras di Kabupaten Bogor Periode Januari 2010-Desember 2013 .....................................................
45
16 Perkembangan Harga Telur Itik di Kabupaten Bogor Periode Januari 2010-Desember 2013 ..................................................................
46
17 Perkembangan Harga Susu Segar di Kabupaten Bogor Periode Januari 2010-Desember 2013 ..................................................................
48
18 Hasil Analisis Impuls Response Function (IRF) .....................................
55
DAFTAR LAMPIRAN Nomor 1
Halaman
Indeks Harga Konsumen (IHK) Umum dan Harga Komoditas Pangan Hewani Asal Ternak di Kabupaten Bogor..................................
67
2
Uji Stasioner Data ...................................................................................
69
3
Hasil Penetapan Lag Optimal..................................................................
74
4
Uji Stabilitas Model VAR .......................................................................
75
5
Uji Kointegrasi ........................................................................................
76
6
Hasil Estimasi VECM .............................................................................
90
7
Hasil Estimasi IRF ..................................................................................
93
8
Hasil Estimasi FEVD ..............................................................................
94
1
I 1.1
PENDAHULUAN
Latar Belakang Pangan merupakan komoditas strategis dalam pembangunan sumberdaya
manusia, yaitu untuk pemenuhan konsumsi utama. Undang-Undang No 18 tahun 2012 tentang Pangan menyatakan bahwa pemenuhan pangan merupakan bagian dari hak asasi manusia sebagai komponen dasar untuk mewujudkan sumberdaya manusia yang berkualitas. Menurut Anjarsari (2010), kandungan gizi dalam pangan sangat penting dalam membentuk suatu individu yang sehat dan produktif. Berdasarkan Direktorat Riset dan Kajian Strategis IPB (2009), konsumsi pangan masyarakat Indonesia pada umumnya masih belum seimbang. Proporsi konsumsi beras masih terlalu tinggi jika dibandingkan dengan proporsi konsumsi sayuran dan buah, kacang-kacangan serta pangan hewani asal ternak dan ikan dalam pola konsumsinya. Kabupaten Bogor merupakan kabupaten dengan jumlah penduduk terbanyak di Indonesia (BPS, 2013a). Berdasarkan sensus penduduk tahun 2010, jumlah penduduk Kabupaten Bogor tercatat 4 771 932 jiwa. Pendapatan perkapita masyarakat Kabupaten Bogor mengalami peningkatan yaitu Rp 6 816 201.42 pada tahun 2010 menjadi Rp 6 984 438.33 pada tahun 2011 (Bappeda Kabupaten Bogor, 2013). Menurut Tomek (2000), jumlah penduduk dan pendapatan berpengaruh positif terhadap permintaan pangan. Jumlah penduduk yang banyak serta meningkatnya pendapatan masyarakat menyebabkan permintaan pangan di Kabupaten Bogor terus meningkat. Berdasarkan Neraca Bahan Makanan Kabupaten Bogor, konsumsi perkapita protein hewani asal ternak masyarakat Kabupaten Bogor yaitu 5.25 Protein/hari atau setara dengan 12.659 Kg/tahun (Dinas Peternakan dan Perikanan Kab. Bogor, 2012). Harga pangan yang berfluktuasi berdampak terhadap perekonomian, seperti inflasi. Dalam Kebijakan Umum Ketahanan Pangan 2010-2014 disebutkan bahwa aspek keseimbangan ketahanan pangan, meliputi ketersediaan, aksesibilitas dan stabilisasi harga pangan (Dewan Ketahanan Pangan, 2011). Furlong dan Ingenito (1996) menyatakan bahwa fluktuasi harga pangan dapat dijadikan indikator inflasi karena mempunyai respon yang sangat cepat terhadap berbagai guncangan
2
ekonomi (economic shocks), seperti supply dan demand shocks, dan guncangan bukan ekonomi (non-economic shocks) seperti bencana alam. Inflasi merupakan salah satu indikator ekonomi yang digunakan untuk mengukur kestabilan ekonomi suatu wilayah. Tingkat inflasi tercermin dari naiknya harga barang-barang secara umum (Riyadh et al., 2009). Pengendalian inflasi dan stabilitas ekonomi masih menjadi salah satu tantangan di beberapa daerah di Indonesia, khususnya Kabupaten Bogor. Hal ini terbukti dari tingkat inflasi Kabupaten Bogor memiliki pola yang sama dengan inflasi Indonesia dengan
tingkat
perubahan
yang
tinggi
setiap
tahunnya.
Perbandingan
perkembangan inflasi umum Kabupaten Bogor dengan inflasi umum Indonesia selama lima tahun terakhir ditampilkan pada Gambar 1.
9 8
Tingkat Inflasi (%)
7 6 5
Indonesia
4
Kab. Bogor
3 2 1 0 2009
2010
2011
2012
2013
Sumber: BPS RI dan BPS Kabupaten Bogor, 2014
Gambar 1 Perbandingan Perkembangan Inflasi Umum Kabupaten Bogor dengan Inflasi Umum Indonesia Tahun 2009-2013 Berdasarkan kelompok barang dan jasa, inflasi Kabupaten Bogor yang paling berfluktuaktif adalah kelompok bahan makanan. Selama kurun waktu 2009-2013 tercatat inflasi kelompok bahan makanan terbesar terjadi pada tahun 2010 dengan nilai 15.06 %. Inflasi terkecil terjadi pada kelompok bahan makanan yang mencapai 1.24 % pada tahun 2012. Pada tahun 2013, kelompok bahan
3 makanan merupakan kelompok yang menyumbang inflasi terbesar dalam inflasi umum Kabupaten Bogor yaitu sebesar 30.82% (BPS Kabupaten Bogor, 2014c). Tabel 1 Inflasi Menurut Kelompok Barang dan Jasa di Kabupaten Bogor Tahun 2009-2013 Kelompok Barang dan Jasa Umum 1. Bahan Makanan 2. Makanan Jadi, Minuman, Rokok, dan Tembakau 3. Perumahan, Air, Listrik, Gas, Bahan Bakar 4. Sandang 5. Kesehatan 6. Pendidikan, Rekreasi dan Olah Raga 7. Transportasi, Komunikasi dan Jasa Keuangan
2009 2.77 5.66 7.54
Inflasi Tahunan (%) 2010 2011 2012 6.99 3.57 2.99 15.06 5.26 1.24 4.79 2.64 4.08
2013 8.57 10.64 1.36
0.92
3.04
3.41
3.74
3.88
2.70 3.21 3.26
5.63 1.93 8.12
6.36 3.88 1.48
7.55 2.39 5.12
3.33 3.50 4.43
-5.51
0.61
1.86
1.12
29.32
Sumber : BPS Kabupaten Bogor, 2013b
Pangan hewani asal ternak termasuk dalam kelompok bahan makanan. Berdasarkan BPS Kabupaten Bogor (2013c), selama tahun 2009-2013 komoditas pangan hewani asal ternak memiliki inflasi relatif stabil. Inflasi subkelompok daging dan hasil-hasilnya berkisar antara 5-10%, sedangkan telur, susu dan hasilhasilnya berkisar antara (-1) -9% (Tabel 2). Hal ini membuktikan bahwa subsektor peternakan mempunyai peran terhadap inflasi di Kabupaten Bogor. Tingkat inflasi berpengaruh terhadap perekonomian. Riyadh et al. (2009) menyatakan bahwa inflasi yang tidak terkendali akan mengakibatkan menurunnya daya beli masyarakat dan menciptakan ketidakpastian bagi pelaku ekonomi dalam pengambilan keputusan. Akibatnya, masyarakat sulit menentukan keputusan yang berkaitan dengan konsumsi, investasi dan produksi sehingga pada akhirnya berdampak pada penurunan pertumbuhan ekonomi suatu wilayah. Selain itu, daya beli masyarakat yang semakin menurun juga mengakibatkan penurunan standar hidup dan berdampak pada meningkatnya kemiskinan di suatu wilayah. Menurut Prastowo et al. (2008), kunci pengendalian inflasi yaitu kemampuan memitigasi gejolak harga komoditas pangan. Oleh karena itu, penting menganalisis fluktuasi harga pangan hewani asal ternak dan dampaknya terhadap inflasi di Kabupaten Bogor.
4
Tabel 2 Inflasi Tahunan Kelompok Bahan Makanan Kabupaten Bogor Tahun 2009-2013 Subkelompok Barang dan Jasa Bahan Makanan 1. Padi-padian, umbi-umbian dan hasilnya 2. Daging dan hasil-hasilnya 3. Ikan segar 4. Ikan awetan 5. Telur, susu dan hasilhasilnya 6. Sayur-sayuran 7. Kacang-kacangan 8. Buah-buahan 9. Bumbu-bumbuan 10. Lemak dan minyak 11. Bahan makanan lainnya
2009 5.66
Inflasi Tahunan (%) 2010 2011 2012 15.06 5.26 1.24
3.12
15.03
11.00
2.31
2.07
6.85 6.70 0.92
10.00 10.55 8.47
5.29 5.10 5.21
7.74 0.65 4.43
5.68 3.42 4.71
-0.81
5.11
3.40
8.54
7.12
11.63 3.44 17.76 17.08 1.41 2.80
33.60 3.90 7.67 46.09 7.89 2.38
14.14 6.16 4.86 -12.96 4.04 8.12
2.57 -3.06 2.50 -17.45 2.14 -1.39
25.56 12.48 52.24 18.57 3.96 7.54
2013 10.64
Sumber : BPS Kabupaten Bogor, 2013c
1.2
Perumusan Masalah Pangan merupakan komoditas utama dalam pemenuhan kebutuhan manusia.
Fluktuasi harga pangan menjadi permasalahan dalam perekonomian suatu wilayah, termasuk di Kabupaten Bogor. Kabupaten Bogor merupakan kabupaten dengan tingkat populasi terbanyak di Indonesia (BPS, 2013a). Pendapatan perkapita masyarakat Kabupaten Bogor yaitu Rp 6 816 201.42 pada tahun 2010 menjadi Rp 6 984 438.33 pada tahun 2011 (Bappeda Kab. Bogor, 2013). Banyaknya populasi dan meningkatnya pendapatan menyebabkan permintaan konsumsi pangan masyarakat Kabupaten Bogor meningkat. Selama kurun waktu 2009-2013, inflasi Kabupaten Bogor berdasarkan kelompok barang dan jasa yang paling berfluktuatif yaitu kelompok bahan makanan (BPS Kabupaten Bogor, 2013b). Subkelompok bahan makanan yang memiliki inflasi relatif stabil yaitu subkelompok daging dan hasil-hasilnya, dan telur, susu dan hasil-hasilnya (BPS Kabupaten Bogor, 2013c). Hal ini membuktikan bahwa subsektor peternakan mempunyai peran terhadap inflasi di Kabupaten Bogor. Kemampuan memitigasi fluktuasi harga komoditas pangan menjadi kunci utama pengendalian inflasi (Prastowo et al., 2008). Untuk itu, perlu diketahui
5 komoditas pangan hewani asal ternak yang memberikan kontribusi terbesar. Adapun permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini adalah bagaimana perkembangan harga pangan hewani asal ternak di Kabupaten Bogor. Perkembangan harga tersebut dianalisis untuk menjelaskan perkembangan masing-masing komoditas pangan hewani asal ternak. Setelah melakukan analisis perkembangan harga, selanjutnya perlu dianalisis pengaruh masing-masing fluktuasi harga komoditas pangan hewani asal ternak terhadap inflasi di Kabupaten Bogor. Analisis ini dilakukan untuk mengetahui komoditas pangan hewani asal ternak yang memberikan pengaruh paling besar terhadap inflasi di Kabupaten Bogor. Hasil analisis ini dibutuhkan untuk pertimbangan dalam pengambilan kebijakan yag berkaitan dengan upaya pengendalian inflasi di Kabupaten Bogor. Berdasarkan hal-hal yang telah dijelaskan, maka pertanyaan yang ingin dijawab dari penelitian ini adalah: 1.
Bagaimana perkembangan harga komoditas pangan hewani asal ternak di Kabupaten Bogor?
2.
Bagaimana dampak fluktuasi harga komoditas pangan hewani asal ternak terhadap inflasi di Kabupaten Bogor?
1.3
Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk:
1. Menjelaskan perkembangan harga komoditas pangan hewani asal ternak di Kabupaten Bogor. 2. Menganalisis dampak fluktuasi harga komoditas pangan hewani asal ternak terhadap inflasi di Kabupaten Bogor. 1.4
Ruang Lingkup Penelitian Adapun ruang lingkup pada penelitian ini adalah:
1. Komoditas pangan hewani asal ternak yang menjadi objek penelitian adalah daging ayam broiler (karkas), daging sapi has, daging sapi bistik, daging sapi murni, hati sapi, daging kambing/domba, telur ayam ras, telur ayam buras, telur itik, dan susu segar.
6
2. Data harga komoditas pangan hewani asal ternak yang diteliti merupakan data harga di tingkat konsumen. 3. Data inflasi yang digunakan yaitu data Indeks Harga Konsumen (IHK) umum Kabupaten Bogor dengan tahun dasar 2007.
7 II 2.1
TINJAUAN PUSTAKA
Inflasi Inflasi merupakan salah satu indikator dalam perekonomian yang digunakan
untuk mengukur stabilitas ekonomi suatu wilayah. Menurut Santoso (2011), inflasi dapat diartikan naiknya harga barang secara umum dalam waktu yang lama. Dari definisi tersebut, jika kenaikan harga barang atau jasa terjadi hanya pada satu atau dua komoditas, kondisi ini tidak bisa disebut inflasi. Kenaikan harga barang dan jasa juga tidak bisa disebut inflasi jika terjadi pada satu periode waktu yang sesaat. Tingkat inflasi dapat dilihat salah satunya dari Indeks Harga Konsumen (IHK), dimana perubahan IHK menunjukkan perubahan harga dari barang atau jasa. Barang dan jasa yang dihitung dalam IHK adalah 744 komoditas barang dan jasa yang termasuk dalam paket komoditas kebutuhan rumahtangga berdasarkan hasil Survei Biaya Hidup (SBH) tahun 2007. BPS Kabupaten Bogor juga mengelompokkan barang dan jasa menjadi tujuh kelompok, yaitu: 1. Kelompok Bahan Makanan, yang meliputi padi-padian, umbi-umbian dan hasilnya, daging dan hasil-hasilnya, ikan segar, ikan diawetkan, telur, susu dan hasil-hasilnya,
sayur-sayuran,
kacang-kacangan,
buah-buahan,
bumbu-
bumbuan, lemak dan minyak, serta bahan makanan lainnya. 2. Kelompok Makanan Jadi, Minuman, Rokok, dan Tembakau, meliputi makanan jadi, minuman yang tidak beralkohol, serta tembakau dan minuman beralkohol. 3. Kelompok Perumahan, Air, Listrik, Gas, dan Bahan Bakar, meliputi biaya tempat tinggal, bahan bakar, penerangan dan air, perlengkapan rumahtangga, serta penyelenggaraan rumahtangga. 4. Kelompok Sandang, meliputi sandang laki-laki, sandang wanita, sandang anak-anak, serta barang pribadi dan sandang lainnya. 5. Kelompok Kesehatan, meliputi jasa kesehatan, obat-obatan, jasa perawatan jasmani, serta perawatan jasmani dan kosmetika. 6. Kelompok Pendidikan, Rekreasi, dan Olahraga, meliputi pendidikan, kursuskursus / pelatihan, perlengkapan / peralatan pendidikan, rekreasi serta olahraga.
8
7. Kelompok Transportasi, Komunikasi dan Jasa Keuangan, meliputi transportasi, komunikasi dan pengiriman, sarana dan penunjang transport serta jasa keuangan. Komoditas pangan hewani asal ternak yang menjadi objek penelitian ini termasuk dalam kelompok bahan makanan. Mankiw (2000), membedakan inflasi berdasarkan penyebabnya menjadi dua, yaitu: 1. Inflasi tarikan permintaan (demand pull inflation), terjadi karena adanya peningkatan agregat permintaan barang dan jasa, sehingga akan menggeser kurva agregat demand ke kanan. Peningkatan permintaan tidak bisa diimbangi oleh produsen untuk meningkatkan penawaran atau kurva agregat supply tetap. Hal ini dikarenakan tenaga kerja dalam keadaan fullemployment atau hampir fullemploymment. Akibatnya, titik keseimbangan yang mencerminkan tingkat harga dan jumlah barang akan bergeser ke kanan mengikuti pergeseran kurva agregat demand dan membentuk keseimbangan baru. Jika kondisi ini berlangsung lama, akan berdampak pada terjadinya inflasi.
Harga
AS
P1
E1
P0
E0
AD1 AD0
0
Y0
Y1
Jumlah
Sumber: Mankiw, 2000
Gambar 2 Ilustrasi Inflasi Akibat Tarikan Permintaan (Demand Pull Inflation) 2. Inflasi desakan biaya (cost push inflation), terjadi karena adanya penurunan agregat penawaran yang diakibatkan oleh naiknya biaya produksi. Naiknya biaya produksi mendorong produsen untuk menaikkan harga barang dan jasa atau mengurangi jumlah produksi barang dan jasa, sehingga akan menggeser
9 kurva agregat supply ke kiri. Terjadinya inflasi akibat desakan biaya akan berdampak lebih berbahaya daripada inflasi akibat tarikan permintaan. Hal ini dikarenakan terjadinya inflasi akibat desakan biaya mengakibatkan daya beli masyarakat menurun.
Harga
AS1
P1
E1
AS0
P0
E0 AD 0
Y1
Y0
Jumlah
Sumber: Mankiw, 2000
Gambar 3 Ilustrasi Inflasi Akibat Desakan Biaya (Cost Push Inflation) Tingkat inflasi paling dirasakan bagi masyarakat yang berpenghasilan tetap. Masyarakat berpenghasilan tetap tidak memiliki penghasilan sampingan, sehingga memiliki ketergantungan yang besar terhadap penghasilannya. Pengendalian inflasi perlu dilakukan untuk menjaga stabilitas ekonomi. Menurut Riyadh, et al. (2009), inflasi yang tidak terkendali akan berakibat menurunnya daya beli masyarakat, serta menimbulkan ketidakpastian bagi pelaku ekonomi dalam menentukan keputusan. Prastowo, et al. (2008) menyebutkan bahwa kunci pengendalian inflasi yaitu kemampuan memitigasi fluktuasi harga komoditas pangan. 2.2
Mekanisme Pembentukan Harga Harga suatu barang ditentukan oleh permintan dan penawarannya.
Berdasarkan teori keseimbangan pasar, pembentukan harga terjadi dari keseimbangan
antara
permintaan
(demand)
dan
penawaran
(supply)
(Koutsoyiannis, 1977). Firdaus (2009) mendefinisikan demand sebagai keinginan konsumen untuk membeli suatu barang pada beberapa tingkat harga selama periode waktu tertentu. Supply didefinisikan sebagai penawaran produsen untuk
10
suatu barang pada beberapa harga selama periode waktu tertentu. Hukum permintaan-penawaran dengan asumsi mengabaikan faktor lain (cateris paribus), pada umumnya menyatakan bahwa semakin tinggi tingkat harga, maka permintaan akan barang tersebut semakin rendah.
Harga P2
S
P1
E
P0 0
D
Q
Jumlah
Sumber : Firdaus, 2009
Gambar 4 Kurva Keseimbangan dalam Mekanisme Pembentukan Harga Titik keseimbangan pada kurva ditunjukkan oleh huruf E. Pada keseimbangan tersebut, tingkat harga sebesar P1 dengan jumlah permintaan dan penawaran yang sama yaitu sebesar Q. Jika dilihat dari sisi produsen, terdapat keuntungan yang diterima oleh produsen yaitu sebesar P2EP1. Keuntungan ini disebut surplus produsen. Konsumen juga mendapatkan surplus konsumen sebesar P0EP1, yaitu kelebihan dari kemampuan membayar. 2.3
Pangan Hewani Asal Ternak Pangan menurut Undang-Undang No 18 tahun 2012 yaitu segala sesuatu
yang berasal dari sumber hayati produk pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, peternakan, perairan, dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lainnya yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan atau pembuatan makanan atau minuman. Berdasarkan sumbernya, bahan pangan dibedakan menjadi dua,
11 yaitu bahan pangan nabati dan bahan pangan hewani. Pangan nabati merupakan bahan pangan yang berasal dari hasil tumbuhan dan turunannya, seperti padi, tempe, dan buah-buahan. Pangan hewani merupakan bahan pangan yang berasal dari hewan dan turunannya, seperti ikan, daging, dan nugget. Komoditas pangan yang dianalisis pada penelitian ini adalah komoditas pangan hewani yang berasal dari peternakan, yaitu daging ayam broiler (karkas), daging sapi has, daging sapi bistik, daging sapi murni, hati sapi, daging kambing/domba, telur ayam ras, telur ayam buras, telur itik, dan susu segar. a. Daging Ayam Broiler (Karkas) Daging ayam broiler (karkas) menurut SNI no 3924 tahun 2009 merupakan bagian daging ayam broiler setelah dilakukan penyembelihan, pencabutan bulu dan pengeluaran jeroan, tanpa kepala, leher, kaki, paru-paru, dan atau ginjal. Rata-rata ukuran berat karkas utuh daging ayam broiler di Kabupaten Bogor yaitu 0.807 kg (Dinas Peternakan dan Perikanan Kab. Bogor). b. Daging Sapi Menurut SNI no 3932 tahun 2008, daging sapi merupakan bagian otot skeletal dari karkas sapi yang aman, layak dan lazim dikonsumsi oleh manusia, dapat berupa daging segar, daging segar dingin, atau daging beku. Berdasarkan karakteristiknya, daging sapi dibedakan menjadi tiga, yaitu daging sapi has, daging sapi bistik, dan daging sapi murni. Daging sapi has merupakan daging sapi yang berasal dari otot yang jarang digunakan yaitu bagian has dalam dan has luar, sehingga daging sapi has mempunyai tekstur lembut. Daging sapi bistik merupakan daging sapi dengan tekstur halus dan tidak liat, sedangkan daging sapi murni merupakan daging sapi dengan tekstur kasar dan liat. c. Hati Sapi Hati sapi merupakan produk ikutan dari pemotongan sapi berupa bagian jeroan yang dikeluarkan dari karkas. d. Daging Kambing/Domba Daging kambing/domba menurut SNI no 3948 tahun 1995 adalah urat daging yang melekat pada kerangka kecuali urat daging dari bagian bibir, hidung dan telinga yang berasal dari kambing/domba yang sehat waktu dipotong.
12
e. Telur Ayam Telur ayam dibagi menjadi dua yaitu telur ayam untuk pembibitan dan konsumsi. Telur ayam konsumsi menurut SNI no 3926 tahun 2008 merupakan telur ayam yang belum mengalami proses fortifikasi, pengawetan, dan proses pengeraman. Berdasarkan jenis induknya, telur ayam dibedakan menjadi dua yaitu telur ayam ras dan telur ayam buras (lokal). f. Telur Itik Telur itik merupakan telur yang belum mengalami fortifikasi, pengawetan, dan proses pengeraman, yang berasal dari induk itik. g. Susu segar menurut SNI no 3141.1 tahun 2011 merupakan cairan yang berasal dari ambing sapi sehat dan bersih, yang diperoleh dengan cara pemerahan yang benar, yang kandungan alamiahnya tidak dikurangi atau ditambah sesuatu apapun dan belum mendapat perlakuan apapun kecuali pendinginan. Peternakan merupakan salah satu subsektor pertanian yang berperan penting dalam pembangunan perekonomian (Bernadien, 2012, Rukmana, 2005), yaitu sebagai penyedia protein hewani, menyumbang ketahanan pangan, sumber pendapatan peternak, menyumbang pajak dan devisa negara, dan kontribusi dalam Pendapatan Asli Daerah (PAD). Selain itu, pangan hewani asal ternak juga berperan dalam peningkatan derajat kesehatan dan kecerdasan melalui kandungan asam amino essensial dalam protein yang lebih lengkap dan seimbang bila dibandingkan dengan protein nabati (Presetyo et al., 2005). Stabilisasi harga merupakan salah satu aspek dalam konsep ketahanan pangan. Stabilisasi harga pada sektor peternakan perlu dilakukan karena sektor peternakan memiliki hubungan dengan sektor-sektor lainnya. Menurut Arifin (2007), sektor peternakan mempunyai keterkaitan ke belakang (backward linkages) dan ke depan (forward linkages). Dalam keterkaitan ke belakang, sektor peternakan memiliki ketergantungan yang tinggi dengan industri pakan ternak. Sedangkan dalam keterkaitan ke depan, peternakan memiliki hubungan dengan sektor industri hasil makanan, industri hotel dan restoran, serta industri pariwisata.
13 2.4
Fluktuasi Harga Komoditas Pangan Hewani Asal Ternak Harga dapat berubah mengikuti perubahan faktor yang mempengaruhinya.
Perubahan harga terkait dengan waktu, musiman (seasonality), dan kualitas produk. Perubahan harga pada umumnya menggambarkan tentang perubahan supply dan demand, pendapatan petani, dan hubungan ekonomi lainnya (Hudson, 2007). Menurut Tomek dan Robinson (1990), produk pertanian mempunyai karakteristik yang berbeda dengan produk lainnya, diantaranya produk pertanian mengikuti proses produksi biologis, sifat produk pertanian yang mudah rusak, bersifat musiman, serta adanya distribusi lag. Faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan harga dibagi menjadi dua, yaitu perubahan pada sisi penawaran dan perubahan pada sisi permintaan. 1. Perubahan sisi penawaran Perubahan pada sisi penawaran lebih ditekankan pada produksi dan penyimpanannya. Industri peternakan membutuhkan waktu dalam proses biologis yang cukup lama untuk memproduksi daging, telur, dan susu, sehingga jika terjadi peningkatan permintaan tidak bisa dipenuhi dalam jangka pendek. Produksi peternakan juga dipengaruhi oleh kondisi lingkungan di luar kemampuan pengendalian petani, seperti cuaca, iklim, dan faktor alamiah lainnya (Hudson, 2007). Selain itu, peningkatan biaya produksi seperti meningkatnya harga BBM juga mengakibatkan adanya fluktuasi pada harga pangan hewani asal ternak. Faktor lainnya yang mempengaruhi perubahan harga dari sisi penawaran yaitu cara penyimpanan. Hal ini dikarenakan komoditas pangan hewani asal ternak bersifat mudah rusak dan busuk, sehingga proses penyimpanan yang tidak sesuai akan menurunkan kualitas produk. Penurunan kualitas tersebut pada akhirnya menyebabkan penurunan harga. Permintaan komoditas pangan pada masing-masing individu pada umunya bersifat inelastis, dimana permintaan
cenderung
stabil,
sehingga
perubahan
penawaran
lebih
berpengaruh terhadap perubahan harga. Ilustrasi mengenai perubahan harga komoditas pangan hewani asal ternak dari sisi penawaran disajikan pada Gambar 5.
14
Harga S1 P1
S0
E1
P0
E0 D Jumlah
0
Q1
Q0
Sumber : Firdaus, 2009
Gambar 5 Ilustrasi Perubahan Harga Komoditas dari Sisi Penawaran 2. Perubahan sisi permintaan Permintaan komoditas pangan pada individu bersifat inelastis, dimana peningkatan tingkat harga, relatif tidak berpengaruh terhadap jumlah permintaan. Namun, peningkatan jumlah populasi akan menyebabkan peningkatan jumlah permintaan secara agregat, sehingga mempengaruhi perubahan harga dari sisi permintaan. Peningkatan permintaan ini tidak disertai dengan peningkatan penawaran, karena komoditas peternakan pada umunya
membutuhkan
time
lag
dalam
produksinya.
Kondisi
ini
mengakibatkan naiknya harga komoditas pangan hewani asal ternak. Pendapatan masyarakat juga mempengaruhi perubahan harga komoditas pangan hewani asal ternak dari sisi permintaan. Hal ini dikarenakan ketika pendapatan meningkat, orang akan cenderung mengubah pola konsumsinya. Perubahan pola konsumsi yang pada umunya terjadi yaitu perubahan konsumsi beralih ke makanan yang mempunyai kelezatan yang lebih tinggi. Menurut Buckle et al. (1985), jenis bahan makanan yang dikonsumsi akan berubah dari serealia (biji-bijian) ke makanan yang bersumber dari ternak, mengandung lemak, atau karbohidrat sederhana. Ilustrasi mengenai perubahan harga komoditas pangan hewani asal ternak dari sisi permintaan ditampilkan pada gambar berikut:
15 Harga D1 P1
S
D0
P0
E1
E0
0
Q0
Q1
Jumlah
Sumber : Firdaus, 2009
Gambar 6 Ilustrasi Perubahan Harga Komoditas dari Sisi Permintaan 2.5
Keterkaitan Harga Komoditas Pangan dan Inflasi Penelitian yang dilakukan oleh Furlong dan Ingenito (1996) menyatakan
bahwa harga komoditas mempunyai hubungan yang kuat dengan inflasi. Penelitian tersebut juga menyimpulkan bahwa fluktuasi harga komoditas pangan dapat dijadikan indikator dalam inflasi. Hal ini dikarenakan harga komoditas pangan dapat merespon dengan cepat guncangan (shock) yang terjadi dalam perekonomian, baik guncangan ekonomi (economic shock) seperti peningkatan permintaan, maupun guncangan bukan ekonomi (non economic shock) seperti bencana alam. Jogwanich dan Park (2009) juga telah melakukan penelitian mengenai inflasi di 9 negara berkembang di Asia, diantaranya Indonesia. Hasil penelitian tersebut menyatakan bahwa inflasi merupakan tantangan makroekonomi terbesar bagi negara-negara berkembang. Laju inflasi tersebut disebabkan sebagian besar oleh adanya guncangan harga pada komoditas pangan. Di negara berkembang, masyarakat akan mengalokasikan sebagian besar pendapatannya untuk memenuhi konsumsi pangan. Akibatnya, kenaikan harga pada komoditas pangan akan menurunkan daya beli dan kesejahteraan masyarakat.
16
2.6
Vector Autoregression (VAR) Menurut Hadi (2003), VAR merupakan metode non-struktural yang dapat
digunakan dalam memahami adanya hubungan timbal balik (interrelationship) antara variabel-variabel ekonomi, seperti ketika kita mempunyai beberapa variabel di dalam data time series maka kita perlu menganalisis saling ketergantungan antarvariabel tersebut. Model VAR dibangun untuk memudahkan dalam menyelesaikan permasalahan yang terlalu kompleks jika dijelaskan dengan teori ekonomi, atau dalam simplifikasi dari teori yang terlalu kompleks. Oleh karena itu, model VAR merupakan model non-struktural atau tidak teoritis. Pada umumnya, konsep VAR mirip dengan konsep persamaan simultan, dimana masing-masing variabelnya bisa saling mempengaruhi. Perbedaannya, dalam VAR, masing-masing variabel dijelaskan oleh lag-nya sendiri, nilai saat ini serta nilai masa lampaunya. Untuk menghindari kesalahan dalam penentuan variabel eksogen dan endogennya, semua variabel dalam model VAR diperlakukan sebagai variabel endogen, sehingga dapat digunakan untuk menyelesaikan model dengan variabel eksogen dan endogen yang saling mempengaruhi (Mardiyanto, 2000). Menurut Firdaus (2011) terdapat beberapa keunggulan dari metode VAR diantaranya: 1.
Mengembangkan model secara bersamaan di dalam suatu sistem yang kompleks (multivariat) sehingga dapat menangkap hubungan keseluruhan variabel di dalam persamaan itu.
2.
Uji VAR yang multivariat bisa menghindarkan parameter yang bias akibat tidak dimasukkannya variabel yang relevan.
3.
Uji VAR dapat mendeteksi hubungan antarvariabel di dalam sistem persamaan, dengan menjadikan seluruh variabel sebagai endogen.
4.
Karena bekerja berdasarkan data, metode VAR terbebas dari berbagai batasan teori ekonomi yang sering muncul, termasuk gejala perbedaan palsu (spurious variable) di dalam model ekonometrika konvensional terutama pada persamaan simultan, sehingga menghindari penafsiran yang salah.
17 Adapun kelemahan dari metode VAR diantaranya (Gujarati, 2003): 1.
VAR dianggap ateoritis (tidak berdasarkan teori) karena menggunakan lebih sedikit informasi dan teori terdahulu.
2.
VAR tidak sesuai jika digunakan untuk menganalisis implikasi kebijakan. Hal ini dikarenakan analisis pada VAR ditekankan pada peramalan (forecasting).
3.
Pemilihan panjang lag menjadi tantangan besar, khususnya ketika variabel banyak dan lag panjang.
4.
Semua variabel dalam model VAR harus stasioner. Jika terdapat variabel yang tidak stasioner, perlu dilakukan uji lebih lanjut, salah satunya dengan diferensiasi derajat satu.
5.
Koefisien dalam estimasi VAR sulit untuk diinterpretasikan, sehingga sebagian besar peneliti melakukan interpretasi pada estimasi IRF dan FEVD. Terdapat dua hal yang perlu dilakukan sebelum menggunakan model VAR,
yaitu spesifikasi dan identifikasi model. Spesifikasi model berkaitan dengan penentuan variabel dan lag. Penentuan variabel harus berdasarkan teori ekonomi yang relevan. Identifikasi model berkaitan dengan identifikasi persamaan yang digunakan. Adapun model persamaan umum VAR dapat dituliskan sebagai berikut (Enders 2004): Yt = Ao + A1Yt-1 + A2Yt-2 + … + ApYt-p + et …………………………… (1) dimana: Yt
= vektor variabel endogen (Y1.t, Y2.t, Yn.t) berukuran (n.1)
Ao
= vektor intersep berukuran (n.1)
Ai
= matriks koefisien berukuran (n.n), i = 1,2,…p
p
= lag dalam persamaan
et
= vektor error (e1t, e2t, … ent) berukuran (n.1) Terdapat beberapa tahapan dalam melakukan analisis VAR, yaitu:
1. Uji Stasioner Data Dalam data deret waktu (time series), uji stasioner data sangat diperlukan karena data yang tidak stasioner akan menyebabkan adanya regresi
18
palsu (spurious regression). Data yang stasioner yaitu data yang variansnya tidak trelalu besar dan mempunyai kecenderungan untuk mendekati nilai rataratanya (Enders, 2004). Uji stasioner data dilakukan untuk menguji ada atau tidaknya akar unit (unit root) dalam model. Alat uji yang bisa digunakan yaitu Augmented Dickey Fuller (ADF). Hipotesis yang diuji yaitu H0 = terdapat unit root atau tidak stasioner, sedangkan H1 = tidak terdapat unit root atau data stasioner. Jika nilai ADFstatistik lebih kecil dari nilai kritis Mackinnon, data tersebut dapat dinyatakan stasioner karena tidak mengandung unit root. Sebaliknya, jika nilai ADFstatistik lebih besar dari nilai kritis Mackinnon, data tersebut dinyatakan tidak stasioner dan perlu dilakukan uji stasioner lanjutan yaitu dengan differensiasi derajat satu. 2. Penentuan Lag Optimal Setelah seluruh data dipastikan stasioner, tahapan berikutnya adalah menentukan lag optimal. Menurut Firdaus (2011), penentuan lag optimal bisa dilakukan dengan memanfaatkan beberapa kriteria, diantaranya Akaike Information Criterion (AIC), Schwarz Information Criterion (SC) dan Hannan-Quinn Criterion (HQ), Likelihood Ratio (LR), dan Final Prediction Error (FPE). Menurut Pindyck dan Rubinfield (1981), AIC merupakan cara obyektif dalam penentuan jumlah lag dalam model. Penentuan lag optimal penting dilakukan untuk melihat hubungan antar variabel dalam model VAR yang digunakan. Penentuan lag yang terlalu panjang mengakibatkan lebih banyak jumlah parameter yang harus diduga dan derajat bebas yang lebih sedikit. Penentuan lag yang terlalu sedikit juga akan mengakibatkan standar kesalahan tidak bisa diestimasi dengan baik, sehingga menghasilkan spesifikasi model yang salah. Dari tingkat lag yang berbedabeda tersebut, diambil lag yang paling optimal dan dipadukan dengan uji stabilitas model VAR. 3. Uji Stabilitas model VAR Uji stabilitas model VAR dilakukan dengan menghitung akar-akar dari fungsi polinomial (root of characteristic polinomial). Jika semua akar dari fungsi polinomial tersebut berada di dalam unit circle atau jika nilai
19 absolutnya kurang dari satu, maka model VAR tersebut dianggap stabil. Dengan demikian, Impuls Response Function (IRF) dan Forecast Error Variance Decomposition (FEVD) yang dihasilkan dianggap valid. 4. Uji Kointegrasi Kointegrasi yaitu kombinasi linear dari dua atau lebih variabel yang tidak stasioner yang menghasilkan variabel yang stasioner. Uji kointegrasi dapat dilakukan dengan metode Johansen. Firdaus (2011) menyatakan bahwa pengujian ini dilakukan untuk mengetahui variabel yang tidak stasioner terkointegrasi atau tidak. Hasil kointegrasi dapat diinterpretasikan sebagai hubungan keseimbangan jangka panjang diantara variabel, sehingga diketahui apakah metode Vector Error Corection Model (VECM) dapat digunakan atau tidak. Jika trace statistic lebih besar daripada critical value, maka model tersebut terkointegrasi. 5. Vector Error Corection Model (VECM) Setelah melakukan uji kointegrasi, tahap terakhir dari analisis VAR yaitu menganalisis hubungan jangka pendek antarvariabel terhadap jangka panjangnya. Jika variabel-variabel tidak terkointegrasi dan stasioner pada ordo yang sama, maka dapat diterapkan VAR standar yang hasilnya identik dengan OLS. Namun, jika dalam uji kointegrasi menyatakan bahwa terdapat kointegrasi, dapat digunakan ECM untuk single equation atau VECM untuk system equation. VECM merupakan VAR terestriksi yang digunakan untuk variabel yang non-stasioner tapi memiliki potensi untuk terkointegrasi. Hal ini dikarenakan dalam estimasi VECM kesalahan yang ada akan dikoreksi secara bertahap melalui penyesuaian parsial jangka pendek. Data time series, umumnya memiliki tingkat stasioner pada diferensiasi derajat satu. Spesifikasi model VECM dilakukan dengan memasukkan informasi restriksi dari hasil uji kointegrasi yang telah dilakukan sebelumnya. Adapun model persamaan VECM secara umum adalah sebagai berikut (Enders, 2004): ΔYt = µox + µ1xt + xYt-1 + ΣkΔYt-I + t ………..…………………. (2)
20
dimana: ΔYt = vektor yang berisi variabel dalam penelitian µ0x = vektor intercept µ1x = vektor koefisien regresi t
= tren waktu
x = x’ dimana ’ mengandung persamaan kointegrasi jangka panjang Yt-1 = variabel in-level = matriks koefisien regresi k-1 = ordo VECM dari VAR t
= error term Menurut Besimi, et al. (2006) dalam Firdaus (2011), hasil estimasi
VECM memberikan dua penafsiran, yaitu mengukur kointegrasi atau hubungan keseimbangan jangka panjang antarvariabel dan mengukur errorcorrection atau kecepatan masing-masing variabel dalam bergerak menuju keseimbangan jangka panjangnya. Hasil estimasi VAR sulit diinterpretasikan sehingga untuk menginterpretasikannya dilakukan analisis IRF (Impuls Response Function) dan FEVD (Forecast Error Variance Decomposition). 6. Analisis Impuls Response Function (IRF) Analisis IRF digunakan untuk melihat respon suatu variabel endogen pada nilai sekarang dan yang akan datang, akibat adanya shock pada variabel lainnya. Hal ini dikarenakan shock pada suatu variabel tidak hanya berpengaruh terhadap variabel itu sendiri, tetapi ditransmisikan ke variabel lainnya melalui struktur dinamis atau struktur lag dalam VAR. 7. Analisis Forecast Error Variance Decomposition (FEVD) FEVD merupakan suatu metode yang digunakan untuk melihat perubahan error variance suatu variabel, sebelum dan sesudah terjadinya shock. Hasil FEVD juga dapat menjelaskan kekuatan dan kelemahan masingmasing variabel dalam mempengaruhi variabel lainnya. 2.7
Penelitian Terdahulu Penelitian mengenai pengaruh harga pangan terhadap inflasi telah dilakukan
oleh beberapa peneliti sebelumnya, diantaranya Prastowo, et al. (2008), Rahmah
21 (2013), dan Christanty (2013). Persamaan dengan penelitian ini adalah kesamaan topik penelitian, yaitu harga komoditas pangan dan dampaknya terhadap inflasi. Perbedaannya, pada penelitian ini komoditas yang diteliti lebih difokuskan pada pangan hewani asal ternak. Penelitian mengenai pangan hewani asal ternak juga telah dilakukan oleh peneliti sebelumnya, diantaranya Prasetyo, et al. (2005), Mu’minah, et al. (2012), dan Burhani (2013). Penelitian yang telah dilakukan mempunyai kesamaan dengan penelitian ini yaitu pada komoditas yang diteliti. Namun, terdapat perbedaan yaitu pada penelitian ini bagian dari komoditas yang diteliti yaitu fluktuasi harga. Adapun penelitian menggunakan metode Vector Autoregression (VAR) telah dilakukan salah satunya oleh Respati (2005). Persamaan dengan penelitian ini yaitu metode yang digunakan. Perbedaannya, metode VAR pada penelitian ini lebih difokuskan pada respon inflasi akibat fluktuasi harga. Tinjauan penelitian terdahulu dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3 Matriks Penelitian Terdahulu No 1
Peneliti/Judul Penelitian Nama: E. Prasetyo, Mukson, T. Ekowati, dan A. Setiadi Tahun: 2005 Judul: Pengaruh faktor penawaran dan permintaan terhadap ketahanan pangan hewani asal ternak di Jawa Tengah
Tujuan
Metode
Hasil
Mengetahui tingkat 1. Data yang 1. Faktor penawaran pengaruh aspek digunakan yang terdiri penawaran dan didapatkan produksi daging, permintaan pangan dengan metode produksi telur, dan terhadap ketahanan survey produksi susu pangan hewani asal 2. Analisis data berpengaruh ternak di Jawa dilakukan signifikan dan Tengah dengan analisis positif terhadap Regresi Linear ketahanan pangan Berganda hasil ternak 2. Jumlah penduduk sebagai faktor permintaan berpengaruh signifikan dan negatif terhadap ketahanan pangan hasil ternak 3. Produk Domestik Regional Bruto sebagai faktor permintaan tidak berpengaruh signifikan terhadap
22
No
2
Peneliti/Judul Penelitian
Tujuan
Metode
Hasil
Nama: Efi 1. Mengkaji 1. Data yang 1. Respati penggunaan digunakan Tahun: 2005 model merupakan Judul: Analisis ekonometrik VAR data VAR guna membangun sekunder (Vector pemodelan harga time series Autodaging ayam bulanan regression) 2. Melakukan (1996-2004) untuk peramalan jangka 2. Metode 2. mekanisme pendek untuk penelitian pemodelan peubah harga yang harga daging ayam digunakan daging menggunakan adalah model ayam model VAR persamaan VAR
3.
3
Nama: Nugroho 1. Memperoleh 1. Data yang 1. Joko gambaran digunakan Prastowo, mengenai merupakan Tri Yanuarti, mekanisme data Yoni Depari pembentukan sekunder dan Tahun: 2008 harga dan pola primer yang Judul: Pengaruh distribusi dari diperoleh distribusi komoditas dengan dalam pangan, metode pembentukan khususnya survey 2. harga komoditas beras, 2. Analisis data komoditas gula pasir, minyak dilakukan dan goring, daging dengan implikasinya sapi dan cabe analisis terhadap merah deskriptif, 3. inflasi 2. Mengidentifikasi analisis pengaruh survey, dan
ketahanan pangan hasil ternak Model VAR cukup baik dalam menganalisis hubungan antar peubah yang mempengaruhi harga rata-rata daging ayam Harga rata-rata daging ayam secara nyata dipengaruhi oleh harga rata-rata ayam broiler hidup, harga ratarata pakan finisher, harga rata-rata telur, harga eceran tahu mentah dan tempe kedelai serta inflasi sub kelompok daging dan hasil-hasilnya Untuk peramalan jangka pendek, model VAR menghasilkan nilai ramalan yang tidak jauh berbeda dengan nilai aktualnya Komoditas pangan mempunyai peranan yang penting karena sumbangannya yang cukup signifikan dalam pembentukan inflasi Semakin cepat busuk/rusak suatu komoditas tingkat fluktuasi harganya semakin tinggi Manajemen stok suatu komoditas dapat mengurangi
23 No
Peneliti/Judul Penelitian
Tujuan distribusi dalam pembentukan harga komoditas pangan tersebut dan dampaknya terhadap inflasi
Metode
Hasil
analisis kuantitatif 4.
5.
6.
7.
4
Nama: Iin Mu’minah, Wahyu W. Pamungkas, Sofyan Sjaf
Membuat sistem 1. Pengumpulan 1. monitoring yang data dilakukan dapat menyediakan dengan survey informasi mengenai 2. Analisis data harga daging sapi di dilakukan
tekanan gejolak harga Pola produksi yang tidak dipengaruhi oleh faktor musiman dan pola distribusi yang bersifat lokal mengurangi fluktuasi harga Harga komoditas yang porsi eksporimpornya cukup tinggi terkait erat dengan perkembangan harga di pasar internasional Biaya transportasi yang diproksikan dengan harga BBM berpengaruh signifikan terhadap produk yang lebih cepat rusak (perishable) dan memakan tempat (bulky) dalam pengangkutan Jalur distribusi utama komoditas pertanian dengan melibatkan pedagang pengumpul, pedagang besar, dan pedagang pengecer cenderung lebih panjang jika dibandingkan dengan jalur distribusi oleh industri. Sistem didesain untuk pelaporan harian. Jika harga yang diprediksi melampaui batas,
24
No
5
6
Peneliti/Judul Tujuan Penelitian Tahun: 2012 seluruh Indonesia Judul: Sistem dan memantau secara monitoring harian dan teknik peramalan harga daging sapi di Indonesia
Metode
Hasil
dengan sistem akan metode memberikan alert Smoothing, 2. Pembentuk harga sedangkan daging sapi yaitu pembangunan komponen biaya di sistem tingkat produsen informasi (peternak), biaya dilakukan distribusi dan dengan desain penyimpanan, sistem dan volume arsitektur permintaan teknologi terhadap daging sapi (demand), volume persediaan daging sapi (supply), serta harga daging sapi impor, dan kurs mata uang rupiah 1. Data yang 1. Perkembangan digunakan harga komoditas merupakan pangan bersifat data sekunder positif dengan tren time series cenderung naik bulanan 2. Perubahan harga (2009-2012) ketiga komoditas 2. Analisis data pangan, yaitu dilakukan beras, gula pasir dengan dan kedelai, analisis berpengaruh nyata deskriptif, terhadap ARIMA, dan perubahan inflasi VAR di Jawa Barat
Nama: Lia Nur 1. Menjelaskan Alia Rahmah perkembangan Tahun: 2013 harga komdoitas Judul: Analisis pangan di Jawa fluktuasi Barat harga 2. Menganalisis komoditas kecenderungan pangan dan harga komdoitas pengaruhnya pangan di Jawa terhadap Barat di masa inflasi di mendatang Jawa Barat 3. Menganalisis pengaruh fluktuasi harga komoditas pangan terhadap inflasi di Jawa Barat Nama: Fadila 1. Menganalisis 1. Data yang 1. Volatilitas harga Jzuqynova proyeksi harga digunakan daging sapi potong Burhani daging sapi yaitu data dan daging ayam Tahun: 2013 potong dan daging time series broiler di masa Judul: Analisis ayam broiler di harian yang akan datang volatilitas Indonesia pada (Februari cenderung harga daging masa yang akan 2003-Februari semakin kecil dan sapi potong datang 2013). persistence dan daging 2. Mengidentifikasi 2. Analisis data (berlangsung ayam broiler faktor-faktor yang dilakukan dalam waktu yang di Indonesia mempengaruhi dengan lama) volatilitas harga analisis 2. Faktor-faktor yang daging sapi deskriptif dan mempengaruhi potong dan daging pendekatan volatilitas harga
25 No
7
Peneliti/Judul Penelitian
Tujuan
Metode
ayam broiler di Indonesia 3. Mengidentifikasi alternatif strategi terkait dengan volatilitas harga daging sapi potong dan daging ayam broiler di Indonesia
model ARCH/ GARCH
Nama:Hyldha 1. Mengetahui Christanty volatilitas harga Tahun: 2013 beras dan kentang Judul: Pengaruh pada empat pasar volatilitas (Giant, harga Hypermart, Pasar terhadap Dinoyo, Pasar inflasi di Besar) di Kota Kota Malang Malang: 2. Mengatahui
Hasil
daging sapi potong yaitu volatilitas satu periode sebelumnya dan varian harga satu periode sebelumny, sedangkan faktor yang mempengaruhi volatilitas harga daging ayam broiler hanya volatilitas pada satu periode sebelumnya 3. Alternatif strategi untuk menjaga stabilitas harga komoditas daging sapi potong dan daging ayam broiler di Indonesia yaitu pengaturan distribusi dan pemasaran daging, perumusan dan penentuan kembali titik keseimbangan supply dan demand daging, penanggulangan penyakit ternak, peningkatan kualitas infrastruktur, dan penganekaragaman konsumsi pangan 1. Data yang 1. Tingkat volatilitas digunakan harga tertinggi merupakan kedua komoditas data time tersebut terjadi di series Giant bulanan 2. Tingkat volatilitas (2010-2012) harga yang relatif 2. Analisis data tinggi di Giant dan dilakukan Pasar Dinoyo dengan mampu
26
No
Peneliti/Judul Penelitian pendekatan model ARCH/ GARCH
Tujuan pengaruh volatilitas harga komoditas beras dan kentang terhadap inflasi di Kota Malang
Metode pendekatan model ARCH/ GARCH
Hasil mengindikasikan bahwa volatilitas harga, khususnya harga komoditas pangan beras dan kentang berpengaruh terhadap inflasi di Kota Malang
27 III 3.1
KERANGKA PEMIKIRAN
Kerangka Pemikiran Operasional Fluktuasi
harga
pangan
menjadi
salah
satu
permasalahan
dalam
perekonomian makro di Kabupaten Bogor. Hal ini terbukti dari kelompok bahan makanan yang berkontribusi besar terhadap inflasi di Kabupaten Bogor. Diantara komoditas yang masuk dalam kelompok bahan makanan yaitu komoditas pangan hewani yang berasal dari peternakan. Perkembangan harga komoditas pangan hewani asal ternak dianalisis menggunakan metode Analisis Deskriptif. Hasil analisis tersebut menghasilkan informasi fluktuasi harga pangan hewani asal ternak di Kabupaten Bogor pada periode penelitian. Informasi fluktuasi harga pangan hewani asal ternak tersebut selanjutnya digunakan untuk menganalisis pengaruh fluktuasi harga masing-masing komoditas pangan hewani asal ternak terhadap inflasi di Kabupaten Bogor. Model yang digunakan dalam analisis ini yaitu model VAR (Vector Autoregression). Hasil analisis berupa IRF (Impulse Response Function) yang digunakan untuk mengetahui respon inflasi Kabupaten Bogor akibat adanya fluktuasi harga masing-masing komoditas pangan hewani asal ternak. Selain itu, analisis tersebut juga menghasilkan FEVD (Forecast Error Variance Decomposition) yang digunakan untuk mengetahui besarnya kontribusi dari fluktuasi harga masingmasing komoditas pangan hewani asal ternak dalam menjelaskan keragaman inflasi di Kabupaten Bogor. Skema kerangka pemikiran operasional dapat dilihat pada Gambar 7.
28
Fluktuasi Harga Komoditas Pangan Hewani Asal Ternak di Kabupaten Bogor
Inflasi
Analisis Perkembangan Harga Komoditas Pangan Hewani Asal Ternak Sumber Inflasi
Pengaruh Fluktuasi Harga Komoditas Pangan Hewani Asal Ternak terhadap Inflasi di Kabupaten Bogor
Analisis Deskriptif
Model VAR
Dampak Fluktuasi Harga Pangan Hewani Asal Ternak terhadap inflasi di Kabupaten Bogor
Gambar 7 Skema Kerangka Pemikiran Operasional
29 IV 4.1
METODE PENELITIAN
Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data time series bulanan
periode Januari 2010 hingga Desember 2013. Berdasarkan sumbernya, data yang digunakan merupakan data sekunder berupa data fluktuasi harga pangan hewani asal ternak di Kabupaten Bogor yang diperoleh dari Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Bogor, serta data IHK (Indeks Harga Konsumen) umum Kabupaten Bogor berdasarkan tahun dasar 2007 yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Bogor. Selain itu, berbagai data penunjang serta literatur-literatur yang relevan dan memuat berbagai konsep dan teori yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari berbagai sumber, seperti buku bacaan, jurnal ilmiah, dan internet. 4.2
Metode Analisis Data Data yang diperoleh dianalisis menggunakan metode dan alat analisis yang
sesuai. Tabel 4 Matriks Analisis Data Tujuan Penelitian 1. Menjelaskan perkembangan harga komoditas pangan hewani asal ternak di Kabupaten Bogor 2. Menganalisis pengaruh fluktuasi harga komoditas pangan hewani asal ternak terhadap inflasi di Kabupaten Bogor
Data yang Dibutuhkan Data time series bulanan harga komoditas pangan hewani asal ternak di Kabupaten Bogor periode Januari 2010 hingga Desember 2013 1. Data time series bulanan harga komoditas pangan hewani asal ternak di Kabupaten Bogor periode Januari 2010 hingga Desember 2013 2. Data time series bulanan IHK umum Kabupaten Bogor periode Januari 2010 hingga Desember 2013
Metode Analisis Data Analisis Deskriptif
Analisis VAR (Vector Autoregression) menggunakan software Eviews 6.
Sumber : Penulis, 2014
4.2.1 Analisis Deskriptif Analisis Deskriptif merupakan metode penelitian yang dilakukan dengan cara mengumpulkan data-data yang sesuai dengan sebenarnya kemudian data-data
30
tersebut disusun, diolah dan dianalisis untuk dapat memberikan gambaran mengenai masalah yang ada (Sugiyono, 2008). Adapun keunggulan dari metode analisis deskriptif adalah metodenya sederhana dan memiliki daya menerangkan cukup kuat. Analisis Deskriptif dalam penelitian ini digunakan untuk menjelaskan perkembangan harga komoditas pangan hewani asal ternak di Kabupaten Bogor selama periode penelitian. Analisis deskriptif dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak Microsoft 2010 dan dijelaskan dengan bantuan tabel dan grafik. 4.2.2 Vector Autoregression (VAR) Analisis Vector Autoregression (VAR) dalam penelitian ini digunakan untuk menganalisis dampak fluktuasi harga komoditas pangan hewani asal ternak terhadap inflasi di Kabupaten Bogor. Berdasarkan teori, yang akan dianalisis dalam penelitian ini adalah hubungan antara harga komoditas pangan hewani asal ternak yang menjadi objek penelitian, yaitu daging ayam broiler (karkas), daging sapi has, daging sapi bistik, daging sapi murni, hati sapi, daging kambing/domba, telur ayam ras, telur ayam buras, telur itik, dan susu segar, dengan Indeks Harga Konsumen (IHK) umum Kabupaten Bogor. Masing-masing variabel dihitung menggunakan logaritma natural. Hal ini dilakukan untuk memudahkan dalam perhitungan. Analisis VAR dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak Eviews 6. Dengan mengasumsikan bahwa VAR tersebut mengandung panjang lag 1, model yang digunakan dapat ditulis sebagai berikut: LnIHKt = A1 + A2LnIHKt-1 + A3LnDABt + A4LnDSHt + A5LnDSBt + A6LnDSMt + A7LnHSPt + A8LnDKDt + A9LnTARt + A10LnTABt + A11LnTITt + A12LnSSEt + e1t ………….......... (3) LnDABt = B1 + B2LnDABt-1 + B3LnIHKt + B4LnDSHt + B5LnDSBt + B6LnDSMt + B7LnHSPt + B8LnDKDt + B9LnTARt + B10LnTABt + B11LnTITt + B12LnSSEt + e2t ……………………………..... (4) LnDSHt = C1 + C2LnDSHt-1 + C3LnDABt + C4LnIHKt + C5LnDSBt + C6LnDSMt + C7LnHSPt + C8LnDKDt + C9LnTARt + C10LnTABt + C11LnTITt + C12LnSSEt + e3t ………………………….….... (5) LnDSBt = D1 + D2LnDSBt-1 + D3LnDABt + D4LnDSHt + D5LnIHKt + D6LnDSMt + D7LnHSPt + D8LnDKDt + D9LnTARt + D10LnTABt + D11LnTITt + D12LnSSEt + e4t …………….…. (6)
31 LnDSMt = E1 + E2LnDSMt-1 + E3LnDABt + E4LnDSHt + E5LnDSBt + E6LnIHKt + E7LnHSPt + E8LnDKDt + E9LnTARt + E10LnTABt + E11LnTITt + E12LnSSEt + e5t ….……………………….….... (7) LnHSPt = F1 + F2LnHSPt-1 + F3LnDABt + F4LnDSHt + F5LnDSBt + F6LnDSMt + F7LnIHKt + F8LnDKDt + F9LnTARt + F10LnTABt + F11LnTITt + F12LnSSEt + e6t ….………………………….… (8) LnDKDt = G1 + G2LnDKDt-1 + G3LnDABt + G4LnDSHt + G5LnDSBt + G6LnDSMt + G7LnHSPt + G8LnIHKt + G9LnTARt + G10LnTABt + G11LnTITt + G12LnSSEt + e7t ……………………….......….. (9) LnTARt = H1 + H2LnTARt-1 + H3LnDABt + H4LnDSHt + H5LnDSBt + H6LnDSMt + H7LnHSPt + H8LnDKDt + H9LnIHKt + H10LnTABt + H11LnTITt + H12LnSSEt + e8t …….………... (10) LnTABt = I1 + I2LnTABt-1 + I3LnDABt + I4LnDSHt + I5LnDSBt + I6LnDSMt + I7LnHSPt + I8LnDKDt + I9LnTARt + I10LnIHKt + I11LnTITt + I12LnSSEt + e9t ………………………….……. (11) LnTITt = J1 + J2LnTITt-1 + J3LnDABt + J4LnDSHt + J5LnDSBt + J6LnDSMt + J7LnHSPt + J8LnDKDt + J9LnTARt + J10LnTABt + J11LnIHKt + J12LnSSEt + e10t ……………………………………............ (12) LnSSEt = K1 + K2LnSSEt-1 + K3LnDABt + K4LnDSHt + K5LnDSBt + K6LnDSMt + K7LnHSPt + K8LnDKDt + K9LnTARt + K10LnTABt + K11LnTITt + K12LnIHKt + e11t ………....….. (13) dimana: LnIHKt
= Indeks Harga Konsumen (IHK) pada waktu t
LnDABt
= Harga daging ayam broiler (karkas) pada waktu t
LnDSHt
= Harga daging sapi has pada waktu t
LnDSBt
= Harga daging sapi bistik pada waktu t
LnDSMt
= Harga daging sapi murni pada waktu t
LnHSPt
= Harga hati sapi pada waktu t
LnDKDt
= Harga daging kambing/domba pada waktu t
LnTARt
= Harga telur ayam ras pada waktu t
LnTABt
= Harga telur ayam buras pada waktu t
LnTITt
= Harga telur itik pada waktu t
LnSSEt
= Harga susu segar pada waktu t
An, Bn, …..
= Parameter estimasi
et
= error term (sisaan)
32
Adapun tahapan analisis VAR yaitu: 1. Uji Stasioner Data Uji stasioner data dalam penelitian ini dilakukan pada seluruh variabel dalam model VAR, meliputi masing-masing harga komoditas pangan hewani asal ternak dan IHK. 2. Penentuan Lag Optimal Penelitian ini menggunakan kriteria AIC (Akaike Information Criterion), SC (Schwarz Information Criterion) dan HQ (Hannan-quinn Information Criterion) dalam penentuan lag optimal. 3. Uji Stabilitas Model VAR Uji stabilitas dilakukan dengan menguji apakah model VAR yang digunakan sudah stabil atau belum. 4. Uji Kointegrasi Uji kointegrasi dilakukan umtuk menguji variabel yang tidak stasioner di tingkat level terkointegrasi atau tidak. 5. Estimasi VECM (Vector Error Correction Model) Estimasi VECM dilakukan untuk mengetahui dampak fluktuasi harga pangan hewani asal ternak terhadap inflasi di Kabupaten Bogor dalam jangka pendek dan jangka panjang. 6. Analisis IRF Dalam penelitian ini, analisis IRF dilakukan untuk mengetahui respon inflasi akibat adanya guncangan pada inflasi itu sendiri dan fluktuasi pada harga pangan hewani asal ternak yang menjadi objek penelitian. 7. Analisis FEVD Analisis FEVD digunakan untuk mengetahui kontribusi harga pangan hewani asal ternak dalam menjelaskan keragaman inflasi. Selain itu, dari hasil analisis FEVD juga dapat diketahui variabel harga pangan hewani asal ternak yang paling dominan dalam menjelaskan keragaman inflasi di Kabupaten Bogor.
33
V
PERKEMBANGAN HARGA PANGAN HEWANI ASAL TERNAK DI KABUPATEN BOGOR Perkembangan harga komoditas pangan hewani asal ternak di Kabupaten
Bogor dijelaskan dengan mendeskripsikan perubahan harga komoditas pangan hewani asal ternak selama periode penelitian, yaitu Januari 2010 hingga Desember 2013. Analisis deskriptif dilakukan dengan bantuan grafik yang merupakan plot harga masing-masing komoditas pangan hewani asal ternak terhadap periode waktu. Grafik tersebut akan ditambah dengan keterangan yang menerangkan kondisi serta hal-hal yang mempengaruhi atau relevan dengan yang terjadi pada data yang dianalisis. Harga komoditas pangan hewani asal ternak selama tahun 2010-2013 cenderung mengalami peningkatan. Hal ini dikarenakan adanya kebijakan pemerintah untuk menaikkan harga BBM (Bahan Bakar Minyak). Kenaikan harga BBM berpengaruh pada naiknya biaya transportasi, sehingga berdampak pada naiknya harga barang-barang pada umumnya, termasuk juga komoditas pangan hewani asal ternak. Rata-rata perubahan harga komoditas pangan hewani asal ternak di Kabupaten Bogor dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5 Rata-rata Perubahan Harga Komoditas Pangan Hewani Asal Ternak di Kabupaten Bogor Periode 2010-2013 Komoditas Daging ayam broiler (karkas) Daging sapi has Daging sapi bistik Daging sapi murni Hati sapi Daging kambing/domba Telur ayam ras Telur ayam buras Telur itik Susu segar
2010 0.744 1.270 1.171 1.187 1.606 0.191 0.132 2.683 3.159 4.105
Perubahan Harga (%) 2011 2012 2013 -0.226 0.696 0.275 0.275 0.031 0.104 0.346 0.971 1.495 -2.001 -2.526 0.012
2.488 2.121 2.254 0.478 -0.314 0.959 2.292 0.475 0.594
0.079 0.129 0.151 0.375 0.274 0.137 0.094 0.084 0.078
Rata-rata 0.372 1.028 0.863 0.924 0.701 0.281 0.681 0.766 0.298 1.197
Sumber: Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Bogor, 2014 (diolah)
5.1
Perkembangan Harga Daging Ayam Brioler (Karkas) Harga daging ayam broiler (karkas) selama periode penelitian mengalami
perubahan rata-rata sebesar 0.372%. Harga tertinggi dicapai pada bulan September dan Oktober 2013 sebesar Rp 34 889/kg, sedangkan harga terendah
34
terjadi pada bulan Februari 2010 yaitu sebesar Rp 21 875/kg. Selisih antara harga tertinggi dan terendah adalah Rp 13 014/kg. Adapun harga rata-rata daging ayam broiler (karkas) selama periode penelitian yaitu Rp 26 539.19/kg. Perkembangan harga daging ayam broiler (karkas) di Kabupaten Bogor dapat dilihat pada Gambar 8. 40000 35000 Harga (Rp/kg)
30000 25000 20000 15000 10000 5000
Januari 2010 Maret Mei Juli September November Januari 2011 Maret Mei Juli September November Januari 2012 Maret Mei Juli September November Januari 2013 Maret Mei Juli September November
0
Sumber: Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Bogor, 2014
Gambar 8 Perkembangan Harga Daging Ayam Broiler (Karkas) di Kabupaten Bogor Periode Januari 2010-Desember 2013 Perkembangan harga daging ayam broiler (karkas) selama periode Januari 2010 hingga Desember 2013 memiliki kecenderungan yang meningkat. Perubahan harga rata-rata terbesar terjadi pada tahun 2010 yaitu sebesar 0.744%, sedangkan perubahan terkecil terjadi pada tahun 2011 sebesar -0.226%. Selain karena kenaikan harga BBM bersubsidi, peningkatan harga daging ayam broiler (karkas) hingga mencapai harga tertinggi terjadi karena kenaikan harga pada bibit ayam broiler (day old chick/DOC) dan harga pakan.1 Peningkatan harga DOC dan pakan ini diduga karena depresiasi nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika. Depresiasi nilai tukar rupiah berarti menurunnya nilai (daya beli) riil dari rupiah. Akibatnya, harga pakan dan DOC broiler yang mayoritas impor mengalami peningkatan.
1
Dalam 2 Minggu, Harga Ayam Potong Lompat Hampir 30%. http://finance.detik.com/read/2013/09/27/103147/2371035/4/dalam-2-minggu-harga-ayam-potonglompat-hampir-30. Diakses pada tanggal 8 Mei 2014.
35 DOC broiler dan pakan merupakan input utama dalam peternakan ayam broiler, sehingga kenaikan harga pada keduanya berdampak pada naiknya biaya produksi. Upaya yang dilakukan peternak untuk mengantisipasi kerugian karena naiknya biaya produksi yaitu dengan menaikkan harga output produksi yaitu daging ayam broiler (karkas). Adapun harga daging ayam broiler (karkas) terendah yang terjadi pada tahun 2010 diduga karena masih adanya dampak flu burung yang banyak ditemukan di Indonesia pada tahun 2003-2005 (Ilham dan Yusdja, 2010). Isu flu burung yang banyak terjadi pada tahun 2003-2005 membuat konsumen ketakutan akan bahaya mengkonsumsi produk unggas. Hal ini menyebabkan permintaan hasil peternakan unggas menurun. Akibatnya, harga hasil peternakan unggas juga menurun. Pendugaan produksi dan konsumsi daging ayam broiler di Kabupaten Bogor pada tahun 2008-2012 ditampilkan pada Tabel 6. Dari tabel diketahui bahwa produksi daging ayam broiler di Kabupaten Bogor setiap tahun mengalami surplus. Hal ini dikarenakan Kabupaten Bogor merupakan salah satu sentra produksi daging ayam broiler. Tabel 6 Pendugaan Produksi dan Konsumsi Daging Ayam Broiler di Kabupaten Bogor tahun 2008-2012 Tahun 2008 2009 2010 2011 2012
Produksi (kg) 68 486 233 71 540 084 78 340 100 85 090 822 87 620 069
Konsumsi (kg)* 17 253 567.000 18 589 732.992 19 459 938.696 21 214 703.550 22 634 202.180
Selisih Produksi dan Konsumsi (kg) 51 232 666.000 52 950 351.008 58 880 161.304 63 876 118.450 64 985 866.820
Sumber: BPS Kab. Bogor dan Dinas Peternakan dan Perikanan Kab. Bogor 2013 (diolah) Keterangan: * Konsumsi daging ayam broiler diperoleh dari rata-rata konsumsi daging ayam broiler per kapita per tahun dikali jumlah penduduk Kabupaten Bogor pada tahun berlaku
5.2
Perkembangan Harga Daging Sapi Selama periode penelitian, harga daging sapi mempunyai tren meningkat.
Harga daging sapi tertinggi terjadi pada bulan Agustus 2013. Terdapat dua faktor yang menyebabkan hal ini terjadi, yaitu pada bulan Agustus 2013 bertepatan dengan periode puasa dan kurangnya pasokan daging (Permana, 2013). Pada periode puasa, efek psikologis masyarakat untuk membeli pangan berlebih. Kenaikan harga pada periode puasa tahun 2013 dirasakan lebih tinggi jika dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, terutama pada komoditas
36
hortikultura dan daging sapi (Pusat Distribusi dan Cadangan Pangan, 2013a). Hal ini dikarenakan pada tahun-tahun sebelumnya, harga-harga pangan relatif turun pada periode menjelang puasa, sehingga kenaikan harga pada periode puasa dianggap wajar. Namun, pada periode menjelang puasa tahun 2013, harga-harga pangan sudah relatif meningkat akibat kenaikan harga BBM, sehingga pada periode puasa kenaikan harga pangan dirasakan tinggi. Kebutuhan daging sapi di Indonesia dipenuhi dari produksi dalam negeri dan impor (Riyanto, 2010). Mulai tahun 2012 pemerintah mengeluarkan kebijakan pemangkasan kuota impor dalam rangka menuju swasembada daging tahun 2014. Kebijakan pemangkasan kuota impor tersebut berdampak pada berkurangnya pasokan daging sapi di pasar (Permana, 2013). Pada Agustus 2013, produksi daging sapi di Indonesia mencapai 36 770 000 ton, lebih kecil dari kebutuhannya yaitu 45 300 000 ton (Pusat Distribusi dan Cadangan Pangan, 2013b). Dengan adanya kebijakan pemangkasan kuota impor, defisit daging sapi sebesar 8 530 000 ton pada bulan Agustus 2013 tidak dapat dipenuhi. Hal ini mengakibatkan harga daging sapi meningkat. Faktor teknis juga mempengaruhi produksi daging sapi, salah satunya perlu kehati-hatian dalam proses distribusi. Menurut Priyanto dan Hafid (2005), penanganan yang tidak baik sebelum pemotongan menyebabkan stress yang berakibat menurunkan kualitas dan kuantitas karkas yang dihasilkan. Adapun kuota impor sapi dan daging sapi di Indonesia ditampilkan pada Tabel 7. Tabel 7 Kuota Impor Sapi dan Daging Sapi di Indonesia tahun 2009-2013 Tahun 2009 2010 2011 2012 2013
Sapi (ribu ekor) 765 521 560 283 276
Daging sapi beku (ribu ton) 110 120 100 41 32
Sumber: Kementerian Pertanian, 2013
Pada umumnya, harga terendah daging sapi terjadi pada Januari-Maret 2010. Hal ini diduga karena stok daging sapi nasional, baik dari produksi dalam negeri maupun impor masih relatif banyak, sehingga kekurangan pasokan pada satu daerah masih bisa dipenuhi dari daerah lain. Dalam hal ini, permasalahan daging sapi terjadi pada proses distribusi. Lokasi antara sentra produksi dan konsumsi
37 daging sapi yang berbeda serta distribusi dalam bentuk hewan ternak sapi (bukan daging sapi) menimbulkan biaya transportasi yang lebih mahal (Ilham dan Yusdja, 2004, Prastowo et al., 2008). Naiknya biaya transportasi menyebabkan naiknya harga pada setiap periode. Periode Januari-Maret 2010 merupakan periode awal penelitian, sehingga memungkinkan biaya transportasi belum mengalami kenaikan yang tinggi. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Burhani (2013) yang menyatakan bahwa faktor yang mempengaruhi volatilitas harga daging sapi potong di Indonesia yaitu volatilitas satu periode sebelumnya dan varian harga satu periode sebelumnya. Pendugaan produksi dan konsumsi daging sapi di Kabupaten Bogor tahun 2008-2012 ditampilkan pada Tabel 8. Tabel 8 Pendugaan Produksi dan Konsumsi Daging Sapi di Kabupaten Bogor tahun 2008-2012 Tahun 2008 2009 2010 2011 2012
Produksi (kg) 8 311 289 11 153 409 10 790 992 9 299 322 8 477 289
Konsumsi (kg)* Selisih Produksi dan Konsumsi (kg) 11 849 619.60 -3 538 330.60 10 749 987.70 403 421.30 11 734 180.79 -943 188.79 9 780 421.34 -481 099.34 7 712 281.99 765 007.01
Sumber: BPS Kab. Bogor dan Dinas Peternakan dan Perikanan Kab. Bogor 2013 (diolah) Keterangan: * Konsumsi daging sapi diperoleh dari rata-rata konsumsi daging sapi per kapita per tahun dikali jumlah penduduk Kabupaten Bogor pada tahun yang berlaku
Harga daging sapi sesuai bagiannya dibedakan menjadi tiga, yaitu daging sapi has, daging sapi bistik, dan daging sapi murni. Pembedaan harga didasarkan pada karakteristik daging sapi. Daging sapi yang mempunyai tekstur paling lembut yaitu daging sapi has, karena dihasilkan dari bagian otot-otot yang jarang digunakan untuk bekerja. Daging sapi bistik merupakan daging sapi dengan tekstur halus dan tidak liat. Sedangkan daging sapi murni yaitu daging sapi dengan tekstur kasar dan liat. Adapun perkembangan harga daging sapi dijelaskan masing-masing oleh grafik. 5.2.1 Perkembangan Harga Daging Sapi Has Daging sapi has merupakan daging sapi yang bermutu tinggi, sehingga mempunyai tingkat harga yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan daging sapi jenis lain. Selama tahun 2010-2013 harga daging sapi has mempunyai selisih antara harga tertinggi dan terendah sebesar Rp 47 583/kg. Harga tertinggi
38
mencapai Rp 107 083/kg pada Agustus 2013, sedangkan terendah terjadi pada Januari 2010 yaitu sebesar Rp 59 500/kg. Harga rata-rata dicapai pada tingkat Rp 77 511.31/kg. Perkembangan harga daging sapi has di Kabupaten Bogor dapat dilihat pada Gambar 9. Perkembangan harga daging sapi has di Kabupaten Bogor selama tahun 2010-2013 memiliki tren naik dengan rata-rata perubahan sebesar 1.028%. Perubahan terbesar harga rata-rata daging sapi bistik terjadi pada tahun 2010 sebesar 2.488%, sedangkan perubahan harga terendah terjadi pada tahun 2013 sebesar 0.079%. Tingginya harga pada bulan Agustus 2013 disebabkan karena permintaan daging sapi has pada periode puasa hingga Hari Raya Idul Fitri meningkat, sementara produksi daging sapi has membutuhkan waktu yang cukup lama, sehingga tidak dapat memenuhi permintaan yang meningkat dalam waktu cepat. 120000
harga (Rp/kg)
100000 80000 60000 40000 20000
Januari 2010 Maret Mei Juli September November Januari 2011 Maret Mei Juli September November Januari 2012 Maret Mei Juli September November Januari 2013 Maret Mei Juli September November
0
Sumber: Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Bogor, 2014
Gambar 9 Perkembangan Harga Daging Sapi Has di Kabupaten Bogor Periode Januari 2010-Desember 2013 5.2.2 Perkembangan Harga Daging Sapi Bistik Daging sapi bistik merupakan daging dengan rata-rata tingkat harga kedua. Harga daging sapi bistik relatif lebih murah dibandingkan dengan harga daging sapi has, dan relatif lebih mahal dibandingkan harga daging sapi murni. Harga
39 daging sapi bistik selama periode penelitian memiliki kecenderungan meningkat dengan laju perubahan rata-rata 0.863%. Perubahan terbesar terjadi pada tahun 2012 sebesar 2.121%, sedangkan terkecil terjadi pada tahun 2011 yaitu sebesar 0.031%. Selisih antara harga tertinggi dan terendah yaitu sebesar Rp 45 000/kg. Harga tertinggi terjadi pada Agustus 2013 yaitu sebesar Rp 104 500/kg, sedangkan harga terendah terjadi pada Januari dan Februari 2010 sebesar Rp 59 500/kg. Adapun rata-rata harga daging sapi bistik selama periode penelitian yaitu mencapai Rp 74 812.5/kg. Perkembangan harga daging sapi bistik di Kabupaten Bogor dapat dilihat pada Gambar 10. 120000
Harga (Rp/kg)
100000 80000 60000 40000 20000
Januari 2010 Maret Mei Juli September November Januari 2011 Maret Mei Juli September November Januari 2012 Maret Mei Juli September November Januari 2013 Maret Mei Juli September November
0
Sumber: Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Bogor, 2014
Gambar 10 Perkembangan Harga Daging Sapi Bistik di Kabupaten Bogor Periode Januari 2010-Desember 2013 5.2.3 Perkembangan Harga Daging Sapi Murni Selama tahun 2010-2013 harga daging sapi murni memiliki kecenderungan meningkat dengan laju perubahan rata-rata 0.924%. Harga tertinggi dicapai pada tingkat harga Rp 102 222/kg yang terjadi pada Agustus 2013. Harga terendah dicapai pada Maret 2010 sebesar Rp 56 500/kg. Selisih antara harga tertinggi dan terendah yaitu Rp 45 722/kg. Adapun harga rata-rata daging sapi murni yaitu Rp 72 139.56/kg. Perkembangan harga daging sapi murni di Kabupaten Bogor dapat dilihat pada Gambar 11.
40
Perkembangan harga daging sapi murni selama periode penelitian mempunyai tren yang meningkat. Peningkatan rata-rata harga terbesar terjadi pada tahun 2012 sebesar 2.254%, sedangkan terkecil terjadi pada tahun 2011 sebesar 0.104%. Daging sapi murni merupakan daging sapi dengan tingkat harga terendah jika dibandingkan dengan daging sapi has dan bistik. Harga daging sapi murni yang relatif murah berdampak pada permintaannya yang banyak. 120000
Harga (Rp/kg)
100000 80000 60000 40000 20000 Januari 2010 Maret Mei Juli September November Januari 2011 Maret Mei Juli September November Januari 2012 Maret Mei Juli September November Januari 2013 Maret Mei Juli September November
0
Sumber: Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Bogor, 2014
Gambar 11 Perkembangan Harga Daging Sapi Murni di Kabupaten Bogor Periode Januari 2010-Desember 2013 5.2
Perkembangan Harga Hati Sapi Hati sapi merupakan bagian jeroan (di luar karkas) dari tubuh sapi yang
banyak dimanfaatkan untuk konsumsi. Perkembangan harga hati sapi selama periode penelitian cenderung mengalami peningkatan dengan selisih antara harga tertinggi dan terendah sebesar Rp 21 861/kg. Harga tertinggi terjadi pada September dan Oktober 2013 sebesar Rp 55 111/kg. Harga terendah terjadi pada Januari 2010 sebesar Rp 33 250/kg. Adapun rata-rata harga hati sapi selama periode penelitian yaitu Rp 40 978.85/kg. Perkembangan harga hati sapi di Kabupaten Bogor dapat dilihat pada Gambar 12. Selama tahun 2010-2013 perkembangan harga hati sapi berfluktuasi dengan laju perubahan rata-rata sebesar 0.701%. Perubahan harga tertinggi terjadi pada tahun 2010 sebesar 1.606% sedangkan terkecil pada tahun 2011 sebesar 0.346%.
41 Hati sapi merupakan hasil ikutan dari pemotongan sapi, sehingga produksinya kecil. Menurut Hafid (2005) dalam Hafid dan Rugayah (2009), presentase isi saluran pencernaan pada sapi maksimal hanya mencapai 30% dari bobot hidupnya. Harga hati sapi berfluktuasi mengikuti populasi penyembelihan sapi. Pada bulan September 2013 dimana daging sapi nasional banyak dipenuhi dari impor, sehingga stok hati sapi tidak mengalami peningkatan. Akibatnya, harga hati sapi meningkat. 60000
Harga (Rp/kg)
50000 40000 30000 20000 10000
Januari 2010 Maret Mei Juli September November Januari 2011 Maret Mei Juli September November Januari 2012 Maret Mei Juli September November Januari 2013 Maret Mei Juli September November
0
Sumber: Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Bogor, 2014
Gambar 12 Perkembangan Harga Hati Sapi di Kabupaten Bogor Periode Januari 2010-Desember 2013 5.3
Perkembangan Harga Daging Kambing/Domba Selama tahun 2010-2013 harga daging kambing/domba mengalami fluktuasi
dengan selisih antara harga tertinggi dan terendah sebesar Rp 24 450/kg. Pada Agustus 2013, harga daging kambing/domba mencapai harga tertinggi sebesar Rp 80 550/kg, sedangkan April dan Mei 2012 harga daging kambing/domba mencapai puncak terendah sebesar Rp 56 100/kg. Rata-rata harga daging kambing/domba selama periode penelitian yaitu Rp 62 332.81/kg. Perkembangan harga daging kambing/domba di Kabupaten Bogor dapat dilihat pada Gambar 13. Laju perubahan rata-rata harga daging kambing/domba selama periode penelitian sebesar 0.281%. Perubahan terbesar terjadi pada tahun 2011 sebesar
42
0.971% sedangkan terkecil terjadi pada tahun 2012 sebesar -0.314%. Daging kambing/domba merupakan substitusi dari daging sapi. Sepanjang tahun 20102012, harga daging kambing/domba relatif stabil. Harga terendah dicapai pada April 2012 dengan perubahan yang tidak jauh berbeda dengan harga pada periodeperiode sebelumnya. Namun, pada tahun 2013 harga mulai berfluktuasi. Hal ini dikarenakan adanya kenaikan harga BBM. 2 Kenaikan harga BBM berdampak pada meningkatnya biaya produksi, sehingga harga daging kambing/domba juga meningkat. Selain itu, Agustus 2013 bertepatan dengan periode puasa, sehingga permintaan daging kambing/domba meningkat. 90000 80000 Harga (Rp/kg)
70000 60000 50000 40000 30000 20000 10000 Januari 2010 Maret Mei Juli September November Januari 2011 Maret Mei Juli September November Januari 2012 Maret Mei Juli September November Januari 2013 Maret Mei Juli September November
0
Sumber: Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Bogor, 2014
Gambar 13 Perkembangan Harga Daging Kambing/Domba di Kabupaten Bogor Periode Januari 2010-Desember 2013 Adapun pendugaan produksi dan konsumsi daging kambing dan domba di Kabupaten Bogor tahun 2008-2012 ditampilkan pada Tabel 9. Dari tabel tersebut dapat dilihat bahwa konsumsi daging kambing/domba setiap tahun mengalami peningkatan. Peningkatan konsumsi daging kambing/domba di Kabupaten Bogor diduga karena tingginya jumlah penduduk dan meningkatnya pendapatan perkapita masyarakat Kabupaten Bogor. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian
2
Harga Daging Ayam Rp 35 Ribu per Kg, Pedagang Gulung Tikar. http://www.tribunnews.com/bisnis/2013/06/28/harga-daging-ayam-rp-35-per-kg-pedaganggulung-tikar. Diakses 5 April 2014.
43 Nurtini (1988) menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan daging kambing/domba yaitu harga daging kambing/domba dan pendapatan perkapita penduduk. Tabel 9 Pendugaan Produksi dan Konsumsi Daging Kambing dan Domba di Kabupaten Bogor tahun 2008-2012 Daging Kambing Tahun
Produksi (kg)
Daging Domba Selisih Produksi dan Konsumsi (kg)
Produksi (kg)
Konsumsi (kg)*
577 289.16
283 171.84
2 361 591
1 024 362.72
1 337 228.28
Konsumsi (kg)*
Selisih Produksi dan Konsumsi (kg)
2008
860 461
2009
796 475
940 232.16
-143 757.16
2 700 532
1 611 826.56
1 088 705.44
2010
869 807
1 541 334.04
-671 527.04
3 183 134
3 011 089.09
172 044.91
2011
1007 739
866 308.08
141 430.92
3 133 794
2 293 747.53
840 046.47
2012
1753 291
1 421 618.80
331 672.20
5 295 732
2 650 303.62
2 645 428.38
Sumber: BPS Kab. Bogor dan Dinas Peternakan dan Perikanan Kab. Bogor 2013 (diolah) Keterangan: * Konsumsi daging kambing/domba diperoleh dari rata-rata konsumsi daging kambing/domba per kapita per tahun dikali jumlah penduduk Kabupaten Bogor pada tahun berlaku
5.4
Perkembangan Harga Telur Ayam Ras Perkembangan harga telur ayam ras di Kabupaten Bogor selama periode
penelitian mengalami fluktuasi dengan selisih antara harga tertinggi dan terendah yaitu sebesar Rp 7 417/kg. Pada Agustus-Oktober 2013, harga telur ayam ras relatif konstan dan mencapai tingkat harga tertinggi yaitu sebesar Rp 20 167/kg. Harga terendah sebesar Rp 12 750/kg yang terjadi pada Maret 2010. Tingkat harga rata-rata telur ayam ras yaitu Rp 16 144.94/kg. Perkembangan harga telur ayam ras di Kabupaten Bogor dapat dilihat pada Gambar 14. Dari Gambar 11 dapat diketahui bahwa harga telur ayam ras di Kabupaten Bogor selama periode penelitian mengalami fluktuasi dengan tren meningkat. Laju perubahan rata-rata harga telur ayam ras di Kabupaten Bogor yaitu 0.681%. Perubahan harga rata-rata terbesar terjadi pada tahun 2011 sebesar 1.495% sedangkan terkecil terjadi pada tahun 2010 sebesar 0.132%. Pencapaian tingkat harga tertinggi terjadi pada periode puasa tahun 2013. Selain itu, adanya kenaikan harga BBM yang terjadi pada periode menjelang puasa juga diduga menjadi faktor penyebab tingginya harga telur ayam ras di Kabupaten Bogor. Pendugaan
44
produksi dan konsumsi telur ayam ras di Kabupaten Bogor tahun 2008-2012 ditampilkan pada Tabel 10. 25000
Harga (Rp/kg)
20000 15000 10000 5000
Januari 2010 Maret Mei Juli September November Januari 2011 Maret Mei Juli September November Januari 2012 Maret Mei Juli September November Januari 2013 Maret Mei Juli September November
0
Sumber: Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Bogor, 2014
Gambar 14 Perkembangan Harga Telur Ayam Ras di Kabupaten Bogor Periode Januari 2010-Desember 2013 Dari Tabel 10 dapat diketahui bahwa konsumsi telur ayam ras di Kabupaten Bogor masih bisa dipenuhi oleh produksinya. Hal ini dikarenakan Kabupaten Bogor merupakan salah satu daerah sentra peternakan unggas. Konsumsi telur ayam ras selain konsumsi langsung, juga banyak digunakan untuk bahan pembuatan roti, kue, dan produk makanan lainnya. Tabel 10 Pendugaan Produksi dan Konsumsi Telur Ayam Ras di Kabupaten Bogor tahun 2008-2012 Tahun 2008 2009 2010 2011 2012
Produksi (kg) 36 150 621 40 125 922 40 176 913 40 797 292 42 098 998
Konsumsi (kg)* 10 638 614.52 12 178 245.12 11 657 829.88 21 756 146.10 26 614 734.82
Selisih Produksi dan Konsumsi (kg) 25 512 006.48 27 947 676.88 28 519 083.12 19 041 145.90 15 484 263.18
Sumber: BPS Kab. Bogor dan Dinas Peternakan dan Perikanan Kab. Bogor 2013 (diolah) Keterangan: * Konsumsi telur ayam ras diperoleh dari rata-rata konsumsi telur ayam ras per kapita per tahun dikali jumlah penduduk Kabupaten Bogor pada tahun berlaku
45 5.5
Perkembangan Harga Telur Ayam Buras Selama tahun 2010-2013 harga telur ayam buras di Kabupaten Bogor
cenderung mengalami fluktuasi dengan selisih antara harga tertinggi dan terendah sebesar Rp 778/butir. Harga tertinggi sebesar Rp 2 278/butir yang terjadi pada September-Oktober 2013, sedangkan harga terendah sebesar Rp 1 500/butir pada Januari 2010 dan September-Desember 2011. Harga rata-rata telur ayam buras di Kabupaten Bogor selama periode penelitian yaitu Rp 1 915.88/butir. Perkembangan harga telur ayam buras di Kabupaten Bogor dapat dilihat pada Gambar 15.
2500
Harga (Rp/butir)
2000 1500 1000 500
Januari 2010 Maret Mei Juli September November Januari 2011 Maret Mei Juli September November Januari 2012 Maret Mei Juli September November Januari 2013 Maret Mei Juli September November
0
Sumber: Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Bogor, 2014
Gambar 15 Perkembangan Harga Telur Ayam Buras di Kabupaten Bogor Periode Januari 2010-Desember 2013 Perkembangan harga telur ayam buras selama tahun 2010-2013 mengalami fluktuasi dengan laju perubahan rata-rata yang positif yaitu 0.766%. Perubahan harga rata-rata terbesar terjadi pada tahun 2010 sebesar 2.683% sedangkan terkecil pada tahun 2011 sebesar -2.001%. Perubahan harga hingga mencapai tingkat tertinggi diduga terjadi karena adanya kenaikan harga BBM. Pendugaan produksi dan konsumsi telur ayam buras di Kabupaten Bogor tahun 2008-2012 ditampilkan pada Tabel 11.
46
Tabel 11 Pendugaan Produksi dan Konsumsi Telur Ayam Buras di Kabupaten Bogor tahun 2008-2012 Tahun 2008 2009 2010 2011 2012
Produksi (kg) 604 911 618 918 808 492 881 001 948 477
Konsumsi (kg)* 403 668.36 429 820.42 534 456.38 654 653.27 502 643.79
Selisih Produksi dan Konsumsi (kg) 201 242.64 189 097.58 274 035.62 226 347.74 445 833.21
Sumber: BPS Kab. Bogor dan Dinas Peternakan dan Perikanan Kab. Bogor 2013 (diolah) Keterangan: * Konsumsi telur ayam buras diperoleh dari rata-rata konsumsi telur ayam buras per kapita per tahun dikali jumlah penduduk Kabupaten Bogor pada tahun berlaku
5.6
Perkembangan Harga Telur Itik Perkembangan harga telur itik di Kabupaten Bogor selama periode
penelitian mengalami fluktuasi. Harga tertinggi telur itik terjadi pada September 2010 sebesar Rp 2 625/butir, sedangkan harga terendah sebesar Rp 1 700/butir pada Januari-Maret 2012. Harga rata-rata telur itik yaitu Rp 2 038.33/butir. Selisih antara harga tertinggi dan terendah yaitu sebesar Rp 925/butir. Perkembangan harga telur itik di Kabupaten Bogor dapat dilihat pada Gambar 16. 3000
Harga (Rp/butir)
2500 2000 1500 1000 500
Januari 2010 Maret Mei Juli September November Januari 2011 Maret Mei Juli September November Januari 2012 Maret Mei Juli September November Januari 2013 Maret Mei Juli September November
0
Sumber: Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Bogor, 2014
Gambar 16 Perkembangan Harga Telur Itik di Kabupaten Bogor Periode Januari 2010-Desember 2013 Perkembangan harga telur itik di Kabupaten Bogor selama periode penelitian cenderung stabil dengan laju perubahan rata-rata 0.298%. Perubahan terbesar terjadi pada tahun 2010 sebesar 3.159% sedangkan terkecil terjadi pada
47 tahun 2011 sebesar -2.526%. Perubahan harga ini dipicu karena kenaikan harga BBM. Pada umumnya, telur itik banyak diminta oleh industri kecil dan menengah untuk dijadikan telur asin. Telur asin merupakan produk turunan dari telur itik yang familiar bagi masyarakat Indonesia. Hal ini dikarenakan harga telur asin yang relatif terjangkau dan rasa asinnya yang khas (Nursamsiyah, 2000). Kenaikan harga BBM akan berdampak pada naiknya biaya produksi, sehingga harga telur itik juga meningkat. Pendugaan produksi dan konsumsi telur itik di Kabupaten Bogor tahun 2008-2012 disajikan pada Tabel 12. Tabel 12 Pendugaan Produksi dan Konsumsi Telur Itik di Kabupaten Bogor tahun 2008-2012 Tahun 2008 2009 2010 2011 2012
Produksi (kg) Konsumsi (kg)* Selisih Produksi dan Konsumsi (kg) 838 187 655 418.52 182 768.48 873 951 707 412.77 166 538.23 895 802 691 930.14 203 871.86 1 151 874 812 163.83 339 710.18 1 067 595 964 669.90 102 925.10
Sumber: BPS Kab. Bogor dan Dinas Peternakan dan Perikanan Kab. Bogor 2013 (diolah) Keterangan: * Konsumsi telur itik diperoleh dari rata-rata konsumsi telur itik per kapita per tahun dikali jumlah penduduk Kabupaten Bogor pada tahun berlaku
5.7
Perkembangan Harga Susu Segar Selama tahun 2010-2013 harga susu segar di Kabupaten Bogor cenderung
stabil. Harga rata-rata susu segar dicapai pada tingkat harga Rp 6 508.67/liter. Selisih antara harga tertinggi dan terendah yaitu sebesar Rp 3 050/liter. Pada April 2013, harga susu segar mengalami puncak tertinggi dengan tingkat harga sebesar Rp 7 250/liter. Adapun tingkat harga terendah susu segar terjadi pada JanuariFebruari 2010 yaitu sebesar Rp 4 200/liter. Perkembangan harga susu segar di Kabupaten Bogor dapat dilihat pada Gambar 17. Selama tahun 2010-2013, harga susu segar cenderung stabil. Namun, terjadi perubahan harga yang sangat besar pada tahun 2010 yaitu sebesar 4.105%. Perubahan harga yang tinggi pada tahun 2010 diduga karena produksi susu segar yang menurun. Penurunan produksi susu segar menyebabkan harga relatif meningkat. Adapun perubahan harga terkecil terjadi pada tahun 2011 yaitu sebesar 0.012%. Perubahan harga susu segar di Kabupaten Bogor relatif stabil. Peningkatan tertinggi yang terjadi pada bulan Februari-April 2010 diduga karena
48
adanya program impor induk produktif yang dilakukan dalam rangka pemenuhan konsumsi susu dalam negeri (Farid dan Sukesi, 2011). 8000 Harga (Rp/liter)
7000 6000 5000 4000 3000 2000 1000 Januari 2010 Maret Mei Juli September November Januari 2011 Maret Mei Juli September November Januari 2012 Maret Mei Juli September November Januari 2013 Maret Mei Juli September November
0
Sumber: Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Bogor, 2014
Gambar 17 Perkembangan Harga Susu Segar di Kabupaten Bogor Periode Januari 2010-Desember 2013 Pendugaan produksi dan konsumsi susu segar di Kabupaten Bogor disajikan pada Tabel 13. Dari tabel tersebut dapat dilihat bahwa konsumsi susu segar di Kabupaten Bogor sangat rendah jika dibandingkan dengan produksinya. Hal ini diduga dikarenakan masyarakat lebih memilih mengkonsumsi susu dalam bentuk olahan, seperti yoghurt dan susu UHT. Pemilihan ini didasarkan dengan pertimbangan bahwa produk olahan lebih tahan lama. Hasil penelitian Priyanti dan Saptati (2008) menyatakan bahwa elastisitas harga susu cukup tinggi. Hal ini mengindikasikan bahwa susu masih dianggap sebagai komoditas pangan berharga mahal. Tabel 13 Pendugaan Produksi dan Konsumsi Susu Segar di Kabupaten Bogor tahun 2008-2012 Tahun 2008 2009 2010 2011 2012
Produksi (l) 10 422 075 10 767 500 11 005 463 11 198 708 11 422 684
Konsumsi (l)* 529 543.44 662 639.81 553 544.11 551 286.96 583 879.15
Selisih Produksi dan Konsumsi (l) 9 892 531.56 10 104 860.19 10 451 918.89 10 647 421.04 10 838 804.85
Sumber: BPS Kab. Bogor dan Dinas Peternakan dan Perikanan Kab. Bogor 2013 (diolah) Keterangan: * Konsumsi susu segar diperoleh dari rata-rata konsumsi susu segar per kapita per tahun dikali jumlah penduduk Kabupaten Bogor pada tahun berlaku
49 VI DAMPAK FLUKTUASI HARGA PANGAN HEWANI ASAL TERNAK TERHADAP INFLASI DI KABUPATEN BOGOR Dampak fluktuasi harga pangan hewani asal ternak terhadap inflasi di Kabupaten Bogor dianalisis menggunakan model Vector Autoregression (VAR). Terdapat dua hal yang perlu dilakukan sebelum menggunakan model VAR, yaitu spesifikasi dan identifikasi model. Spesifikasi model berkaitan dengan pemilihan variabel dan lag yang digunakan. Identifikasi model berkaitan dengan identifikasi persamaan yang digunakan. Adapun tahap-tahap dalam melakukan analisis VAR, yaitu: (1) uji stasioner data, (2) penentuan lag optimal, (3) uji stabilitas model VAR, (4) uji kointegrasi. 6.1
Uji Stasioner Data Tahap awal analisis VAR yaitu uji stasioner data. Uji stasioner data
dilakukan pada setiap variabel yang terdapat dalam model VAR yang dianalisis. Uji Stasioner data diperlukan karena jika data tidak stasioner, akan menimbulkan regresi palsu (spurious regression). Kriteria yang digunakan adalah Augmented Dickey-Fuller (ADF), dengan taraf nyata 5%. Hipotesis yang diuji yaitu H0 = terdapat unit root atau tidak stasioner, sedangkan H1 = tidak terdapat unit root atau stasioner. Jika nilai ADF statistik lebih kecil dari MacKinnon critical value, keputusannya adalah tolak H0 atau data dinyatakan stasioner, sebaliknya jika nilai ADF statistik lebih besar dari MacKinnon critical value maka tidak tolak H0 sehingga data dinyatakan tidak stasioner. Tabel 14 Hasil Uji Stasioner Data Pada Tingkat Level Variabel
ADF statistic
In IHK In DAB In DSH In DSB In DSM In HSP In DKD In TAR In TAB In TIT In SSE
-1.117843 -1.796142 -0.972652 -0.993933 -0.978783 -2.145532 -1.928418 -1.623489 -2.693891 -1.671777 -4.901064
MacKinnon critical value 1% 5% 10% -4.165756 -3.508508 -3.184230 -3.577723 -2.925169 -2.600658 -4.165756 -2.925169 -3.184230 -4.165756 -2.925169 -3.184230 -4.156756 -2.925169 -3.184230 -3.577723 -2.925169 -2.600066 -3.577723 -2.925169 -2.600658 -3.577723 -2.925169 -2.600658 -3.577723 -2.925169 -2.600658 -3.577723 -2.925169 -2.600658 -3.577723 -2.925169 -2.600658
Keterangan Tidak stasioner Tidak stasioner Tidak stasioner Tidak stasioner Tidak stasioner Tidak stasioner Tidak stasioner Tidak stasioner Tidak stasioner Tidak stasioner Stasioner
50
Hasil uji stasioner data pada tingkat level ditampilkan pada Tabel 14. Hasil uji ADF pada tingkat level menunjukkan bahwa variabel susu segar memiliki nilai ADF statistik yang lebih kecil dari MacKinnon critical value pada taraf nyata 5%. Variabel selain susu segar memiliki nilai ADF statistik yang lebih besar dari MacKinnon critical value pada taraf nyata 5%. Dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa variabel susu segar sudah stasioner pada tingkat level, sedangkan variabel yang lain belum stasioner pada tingkat level, sehingga perlu dilakukan uji ADF pada first difference. Hasil uji ADF pada first difference menunjukkan bahwa semua variabel sudah stasioner karena memiliki nilai ADF statistik yang lebih kecil dari MacKinnon critical value (Tabel 15). Table 15 Hasil Uji Stasioner Data Pada Tingkat First Difference Variabel In IHK In DAB In DSH In DSB In DSM In HSP In DKD In TAR In TAB In TIT In SSE
6.2
ADF statistic -5.42396 -5.79357 -6.40485 -6.08437 -5.50896 -6.19633 -6.03947 -6.43480 -7.27244 -6.40777 -5.38338
MacKinnon critical value 1% 5% 10% -4.175640 -3.51308 -3.186854 -3.581152 -2.92662 -2.601424 -4.170583 -2.92662 -3.185512 -4.170583 -2.92662 -3.185512 -4.170583 -2.92662 -3.185512 -3.581152 -2.92662 -2.601424 -3.581152 -2.92662 -2.601424 -3.592462 -2.93140 -2.603944 -3.581152 -2.92662 -2.601424 -3.581152 -2.60142 -2.601424 -3.581152 -2.92662 -2.601424
Keterangan Stasioner 5% Stasioner 5% Stasioner 5% Stasioner 5% Stasioner 5% Stasioner 5% Stasioner 5% Stasioner 5% Stasioner 5% Stasioner 5% Stasioner 5%
Penentuan Lag Optimal
Tabel 16 Hasil Penetapan Lag Optimal Lag
LogL
LR
FPE
AIC
SC
HQ
0 1 2 3
-3810.583 -3490.575 -3362.090 -2975.610
NA 469.3450 125.6294 188.9460*
1.61e+60 2.68e+56 5.35e+56 1.98e+53*
169.8481 161.0033 160.6707 148.8715*
170.2898 166.3029 170.8281 163.8869*
170.0128 162.9789 164.4573 154.4691*
Keterangan: *lag optimal yang disarankan
Setelah melakukan uji stasioner data, tahapan analisis VAR berikutnya yaitu penentuan lag optimal. Penentuan lag optimal dalam penelitian ini menggunakan kriteria Akaike Information Criterion (AIC), Schwarz Information Criterion (SC), dan Hannan-quinn Information Criterion (HQ). Berdasarkan hasil perhitungan,
51 lag optimal yang disarankan oleh semua kriteria adalah lag ke-3, sehingga lag optimal yang dipilih dalam penelitian ini adalah lag optimal ke-3 (Tabel 16). 6.3
Uji Stabilitas Model VAR Uji stabilitas model VAR dilakukan dengan menguji akar-akar dari fungsi
polinomial atau roots of caracterictics polynomial. Jika semua akar dari fungsi polinomial tersebut berada dalam unit circle atau jika nilai absolutnya < 1 maka model VAR dinyatakan stabil. Model VAR yang stabil akan menghasilkan estimasi Impuls Response Functions (IRF) dan Forecast Error Variance Decomposition (FEVD) yang dianggap valid. Hasil uji stabilitas model VAR menunjukkan bahwa model VAR yang digunakan pada penelitian ini sudah stabil pada lag optimalnya, yaitu lag ke-3. Hal ini terbukti dari semua nilai modulusnya < 1. Adapun hasil pengujian stabilitas model VAR dapat dilihat pada Lampiran 4. 6.4
Uji Kointegrasi Uji kointegrasi dilakukan untuk mengetahui apakah variabel-variabel yang
tidak stasioner berkointegrasi atau tidak. Hasil uji kointegrasi juga menyatakan hubungan jangka panjang diantara variabel, sehingga diketahui Vector Error Correction Model (VECM) dapat digunakan atau tidak. Kriteria yang digunakan dalam uji kointegrasi ini yaitu Johansen Cointegration Test. Jika trace statistic lebih besar daripada critical value, maka model tersebut berkointegrasi. Tabel 17 Hasil Johansen Cointegration Test Hypothesized No. of CE(s) None* At most 1* At most 2* At most 3* At most 4 At most 5 At most 6 At most 7 At most 8 At most 9 At most 10
Eigenvalue 0.913593 0.791793 0.726569 0.673560 0.562484 0.435343 0.368621 0.298316 0.198991 0.122157 0.004050
Trace statistic 414.1605 301.5208 229.3365 169.6881 118.1907 80.12684 53.83612 32.68308 16.38657 6.179928 0.186678
0.05 Critical Value 285.1425 239.2354 197.3709 159.5297 125.6154 95.75366 69.81889 47.85613 29.79707 15.49471 3.841466
Keteranngan: *terdapat empat persamaan yang terkointegrasi pada taraf nyata 5%
Prob. ** 0.0000 0.0000 0.0005 0.0124 0.1297 0.3604 0.4687 0.5744 0.6848 0.6743 0.6657
52
Hasil perhitungan Johansen Cointegration Test disajikan pada Tabel 17. Hasil uji kointegrasi menunjukkan bahwa pada taraf nyata 5% terdapat empat persamaan yang memiliki nilai trace statistic yang lebih besar dari critical value. Berdasarkan hasil tersebut, disimpulkan bahwa terdapat empat persamaan yang berkointegrasi dalam jangka panjang, sehingga estimasi menggunakan VECM bisa dilakukan pada tahap berikutnya. 6.5
Estimasi Vector Error Corection Model (VECM) Model VECM digunakan untuk menganalisis hubungan jangka pendek
antarvariabel terhadap jangka panjangnya. VECM merupakan VAR yang terestriksi karena dalam estimasi VECM kesalahan yang ada akan dikoreksi secara bertahap melalui penyesuain parsial jangka pendek. Hasil estimasi VECM menginterpretasikan dua penafsiran, yaitu mengukur kointegrasi atau hubungan jangka panjang antarvariabel serta mengukur error-corection atau kecepatan masing-masing variabel dalam bergerak menuju keseimbangan jangka panjangnya (Besimi et al, 2006 dalam Firdaus, 2011). Hasil estimasi VECM dapat dilihat pada Tabel 18. Hasil estimasi VECM menunjukkan pengaruh harga masing-masing komoditas pangan hewani asal ternak terhadap inflasi Kabupaten Bogor yang dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu estimasi jangka panjang dan estimasi jangka pendek. Pada estimasi jangka pendek, tidak terdapat komoditas yang berpengaruh nyata terhadap inflasi Kabupaten Bogor. Hal ini dapat diterima karena suatu variabel bereaksi terhadap variabel lainnya membutuhkan waktu (lag), dan pada umumnya reaksi suatu variabel terhadap variabel lainnya terjadi dalam jangka panjang (Firdaus, 2011). Adanya mekanisme penyesuaian dari jangka pendek ke jangka panjang ditunjukkan oleh parameter kointegrasi kesalahan (CointEq1) yang bernilai negatif. Menurut Ariefianto (2012), model koreksi kesalahan adalah valid dan stabil jika nilai parameternya adalah negatif dengan nilai absolut kurang dari satu dan signifikan. Interpretasi dari nilai kointegrasi kesalahan sebesar -0.001844, yaitu terdapat adanya penyesuaian dari jangka pendek ke jangka panjang pada inflasi Kabupaten Bogor yang dikoreksi setiap bulannya sebesar 0.0018%.
53 Tabel 18 Hasil Estimasi VECM Jangka Panjang Variabel Koefisien Ln Daging Ayam Broiler (-1) 0.061455 Ln Daging Sapi Has (-1) 0.014140 Ln Daging Sapi Bistik (-1) -0.002200 Ln Daging Sapi Murni (-1) -0.020498 Ln Hati Sapi (-1) -0.003646 Ln Daging Kambing/Domba (-1) -0.006624 Ln Telur Ayam Ras (-1) -0.063760 Ln Telur Ayam Buras (-1) 0.275876 Ln Telur Itik (-1) -0.455406 Ln Susu Segar (-1) 0.121860 C -15.50750 Jangka Pendek Variabel Koefisien CointEq1 -0.001844 D(Ln Indeks Harga Konsumen (-1)) 0.222181 D(Ln Daging Ayam Broiler (-1)) 0.000425 D(Ln Daging Sapi Has (-1)) 1.78E-05 D(Ln Daging Sapi Bistik (-1)) 4.73E-05 D(Ln Daging Sapi Murni (-1)) -0.000147 D(Ln Hati Sapi (-1)) -0.000113 D(Ln Daging Kambing/Domba (-1)) 7.64E-05 D(Ln Telur Ayam Ras (-1)) -0.000224 D(Ln Telur Ayam Buras (-1)) -0.000387 D(Ln Telur Itik (-1)) 0.001902 D(Ln Susu Segar (-1)) -0.000802 C 0.550822
ʈ-statistik [8.78086]* [-7.87752]* [-0.78720] [-7.5202]* [-1.74284] [-5.14955]* [-10.1268]* [5.03800]* [-10.3486]* [14.7734]* ʈ-statistik [-0.50672] [1.36328] [1.94156] [0.22735] [0.34297] [-1.43035] [-1.30277] [0.56433] [-0.86574] [0.18762] [1.02001] [-1.57520] [3.17298]
Keterangan: *signifikan pada taraf nyata 5%
Menurut Perda DKI Jakarta no 1 tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah 2030, menyatakan bahwa Kabupaten Bogor termasuk dalam kawasan strategis nasional karena merupakan salah satu daerah administrasi sekitar ibukota. Hal ini berdampak pada sosial masyarakat di Kabupaten Bogor, diantaranya sebagian penduduk Kabupaten Bogor merupakan pendatang dari beberapa daerah di Indonesia. Penduduk pendatang mempunyai tradisi dan budaya sesuai dengan daerah asalnya, termasuk dalam konsumsi pangan. Akibatnya, tidak ada komoditas pangan hewani asal ternak yang secara dominan dikonsumsi oleh penduduk Kabupaten Bogor. Oleh karena itu, tidak ada komoditas pangan hewani
54
asal ternak yang berpengaruh secara signifikan terhadap inflasi di Kabupaten Bogor dalam jangka pendek. Dalam hubungan jangka panjang, terdapat delapan dari sepuluh variabel harga komoditas pangan hewani asal ternak yang secara signifikan mempengaruhi inflasi Kabupaten Bogor, yaitu daging ayam broiler (karkas), daging sapi has, daging sapi murni, daging kambing/domba, telur ayam ras, telur ayam buras, telur itik, dan susu segar. Adapun harga komoditas daging sapi bistik dan hati sapi tidak mempengaruhi inflasi Kabupaten Bogor secara signifikan pada taraf nyata 5%. Nilai koefisien pada komoditas daging sapi bistik, daging sapi murni, hati sapi, daging kambing/domba, telur ayam ras, dan telur itik menunjukkan nilai negatif. Hal ini membuktikan bahwa kenaikan harga pada enam komoditas tersebut akan menyebabkan peningkatan pada inflasi Kabupaten Bogor dalam jangka panjang. Hubungan tersebut sesuai dengan hipotesis penelitian ini, yaitu fluktuasi harga komoditas pangan hewani asal ternak berpengaruh positif terhadap inflasi Kabupaten Bogor. Hipotesis tersebut didasarkan karena harga komoditas pangan mampu merespon dengan cepat guncangan ekonomi seperti meningkatnya permintaan pada periode puasa. Selain itu, harga komoditas pangan juga mampu merespon dengan cepat guncangan bukan ekonomi, seperti wabah virus flu burung. Terjadinya inflasi akibat meningkatnya permintaan termasuk dalam demand pull inflation, sedangkan terjadinya inflasi akibat wabah virus flu burung dalam penelitian ini termasuk dalam cost push inflation. Menurut Gujarati (2003), model VAR bersifat ateoritis sehingga hasil estimasinya sulit untuk diinterpretasikan. Untuk menginterpretasikan, analisis yang harus dilakukan yaitu analisis Impuls Response Function (IRF) dan Forecast Error Variance Decomposition (FEVD). 6.6
Analisis Impuls Response Function (IRF) Analisis IRF digunakan untuk melihat respon inflasi terhadap guncangan
harga komoditas pangan hewani asal ternak yang dianalisis. Secara umum, hasil analisis IRF menyatakan bahwa guncangan harga komoditas pangan hewani asal ternak pada awal periode belum direspon oleh inflasi. Namun, pada periode berikutnya semua guncangan harga komoditas pangan hewani asal ternak direspon
55 oleh inflasi dan dalam jangka panjang mendekati suatu titik kestabilan. Hal ini menunjukkan bahwa fluktuasi harga pangan hewani asal ternak tidak menimbulkan dampak yang permanen. Response to Cholesky One S.D. Innovations Response of INIHK to INIHK
Response of INIHK to INDAB
Response of INIHK to INDSH
Response of INIHK to INDSB
1.0
1.0
1.0
1.0
0.5
0.5
0.5
0.5
0.0
0.0
0.0
0.0
-0.5
-0.5
-0.5
-0.5
2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24
2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24
Response of INIHK to INDSM
2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24
Response of INIHK to INHSP
2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24
Response of INIHK to INDKD
Response of INIHK to INTAR
1.0
1.0
1.0
1.0
0.5
0.5
0.5
0.5
0.0
0.0
0.0
0.0
-0.5
-0.5
-0.5
-0.5
2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24
2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24
Response of INIHK to INTAB
2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24
Response of INIHK to INTIT
Response of INIHK to INSSE
1.0
1.0
1.0
0.5
0.5
0.5
0.0
0.0
0.0
-0.5
-0.5
-0.5
2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24
2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24
2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24
2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24
Gambar 18 Hasil Analisis Impuls Response Function (IRF) Gambar 18 merupakan ilustrasi respon inflasi terhadap guncangan harga masing-masing komoditas pangan hewani asal ternak pada 24 periode ke depan dari periode penelitian (Januari 2014-Desember 2015). Dapat dilihat bahwa pada periode pertama belum ada guncangan harga komoditas pangan hewani asal ternak yang direspon oleh inflasi. Pada periode kedua, terdapat tujuh komoditas yang direspon negatif, yaitu daging sapi has, daging sapi bistik, daging sapi murni, hati sapi, daging kambing/domba, telur ayam ras, dan susu segar. Pada periode selanjutnya, guncangan harga pada komoditas daging sapi has, daging sapi bistik, daging sapi murni, daging kambing/domba, telur ayam ras dan
56
susu segar masih direspon negatif hingga mendekati titik kestabilan masingmasing. Namun, pada komoditas hati sapi mulai direspon positif hingga mendekati kestabilan pada periode ke-8 yaitu sebesar 1%. Adapun titik kestabilan daging sapi has yaitu pada periode ke-11 sebesar 13.4%, daging sapi bistik pada periode ke-9 sebesar 4.9%, daging sapi murni pada periode ke-11 sebesar 47%, daging kambing/domba pada periode ke-11 sebesar 1.1%, telur ayam ras pada periode ke-9 sebesar 22.2%, serta susu segar pada periode ke-8 sebesar 11.5%. Guncangan harga pada komoditas daging ayam broiler (karkas), telur ayam buras, dan telur itik direspon positif oleh inflasi pada periode ke-2 hingga mendekati kestabilan. Kestabilan komoditas daging ayam broiler (karkas) mulai didekati pada periode ke-11 sebesar 16.5%, telur ayam buras pada periode ke-11 sebesar 16.8%, serta telur itik pada periode ke-10 sebesar 9.7%. Hasil analisis impuls response model VECM pada 24 periode ke depan dari periode penelitian dapat dilihat pada Lampiran 7. Dari hasil analisis IRF dapat disimpulkan bahwa pada 24 periode ke depan dari periode penelitian, guncangan harga komoditas daging ayam broiler (karkas), hati sapi, telur ayam buras, dan telur itik sebesar satu standar deviasi yang terjadi pada periode ke-24 akan berdampak pada peningkatan inflasi Kabupaten Bogor. Sebaliknya, guncangan harga komoditas daging sapi has, daging sapi bistik, daging sapi murni, daging kambing/domba, telur ayam ras, serta susu segar sebesar satu standar deviasi yang terjadi pada periode ke-24 akan berdampak pada penurunan inflasi Kabupaten Bogor. 6.7
Analisis Forecast Error Variance Decomposition (FEVD) Analisis Forecast Error Variance Decomposition (FEVD) digunakan untuk
mengetahui besarnya kontribusi dari guncangan harga pada masing-masing komoditas pangan hewani asal ternak yang diteliti dalam menjelaskan keragaman inflasi di Kabupaten Bogor. Dari hasil analisis FEVD juga dapat diketahui komoditas pangan hewani yang paling dominan dalam mempengaruhi inflasi di Kabupaten Bogor. Hasil analisis FEVD pada 24 periode ke depan dari periode penelitian dapat dilihat pada Lampiran 8.
57 Berdasarkan hasil analisis FEVD, pada periode ke-1 keragaman inflasi Kabupaten Bogor masih dijelaskan 100% oleh inflasi itu sendiri. Pada periode ke2, keragaman inflasi dijelaskan 91.60% oleh inflasi, dan mulai dijelaskan pula oleh variabel-variabel lain, yaitu sebesar 0.46% dijelaskan oleh daging ayam broiler (karkas), 0.87% oleh daging sapi has, 0.44% dijelaskan oleh daging sapi bistik, 2.48% oleh daging sapi murni, dan 0.57% dijelaskan oleh hati sapi. Selain itu, variabel lainnya, daging kambing/domba menjelaskan inflasi sebesar 0.16%, telur ayam ras sebesar 1.82%, telur ayam buras sebesar 0.44%, telur itik sebesar 0.56%, dan susu segar sebesar 0.58%. Pada akhir periode ke-24, kontribusi inflasi Kabupaten Bogor dalam menjelaskan keragaman inflasi Kabupaten Bogor sendiri sudah berkurang menjadi 74.83%, sementara variabel lainnya cenderung meningkat. Dua komoditas pangan hewani asal ternak yang paling dominan dalam menjelaskan keragaman inflasi Kabupaten Bogor yaitu daging sapi murni sebesar 14.74% dan telur ayam ras sebesar 3.32%. Hal ini diduga karena kedua komoditas tersebut mempunyai efek pengganda pada industri makanan setengah jadi dan makanan jadi. Telur ayam ras digunakan sebagai bahan baku dalam pembuatan roti, kue dan makanan jadi lainnya, sedangkan daging sapi murni digunakan untuk pembuatan nugget, bakso, sosis, serta produk makanan jadi lainnya, seperti soto. Oleh karena itu, kenaikan harga daging sapi murni dan telur ayam ras akan berdampak pada naiknya harga produk makanan pada umumnya. Telur ayam buras, daging ayam broiler (karkas) dan daging sapi has menempati urutan ke-3, 4, dan 5 dalam menjelaskan keragaman inflasi Kabupaten Bogor, dengan presentase berturut-turut sebesar 1.85%, 1.35%, dan 1.95%. Telur ayam buras merupakan substitusi dari telur ayam ras, sehingga perubahan harga keduanya memiliki pengaruh terhadap industri makanan. Daging ayam broiler merupakan sumber protein pangan hewani yang paling mudah didapatkan di Kabupaten Bogor. Hal ini menyebabkan nilai konsumsi daging ayam broiler di Kabupaten Bogor relatif besar. Kontribusi daging sapi has dalam menjelaskan keragaman inflasi Kabupaten Bogor diduga karena daging sapi has masih dianggap sebagai barang mewah.
58
Adapun variabel komoditas pangan hewani asal ternak yang lain hanya memberikan kontribusi sebesar < 1%, yaitu susu segar sebesar 0.94%, telur itik sebesar 0.75%, daging sapi bistik sebesar 0.19%, hati sapi sebesar 0.05%, serta daging kambing/domba sebesar 0.03%. Kontribusi susu segar, telur itik, daging sapi bistik dan hati sapi dalam menjelaskan inflasi Kabupaten Bogor diduga karena adanya produk turunan. Susu segar dapat dikonsumsi dalam bentuk susu segar, susu pasteurisasi, yoghurt, serta keju. Telur itik biasa digunakan sebagai bahan baku telur asin, martabak telur, dan beberapa jenis makanan lainnya. Akibatnya, perubahan harga pada komoditas susu segar dan telur itik akan berdampak pada perubahan harga produk turunannya. Kontribusi daging sapi bistik, hati sapi, dan daging kambing/domba diduga karena beberapa hal. Daging sapi bistik merupakan substitusi dari daging sapi has, untuk membuat makanan seperti steak. Hati sapi digunakan sebagai tambahan pada beberapa masakan. Daging kambing/domba merupakan substitusi dari daging sapi. Selain itu, daging kambing/domba di Kabupaten Bogor, khususnya di Kecamatan Ciawi, banyak dijadikan sate sebagai makanan khas, salah satunya Sate Maranggi. Permintaan sate kambing/domba di Kecamatan Ciawi cukup tinggi karena Ciawi merupakan daerah destinasi wisata.
59 VII 7.1
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, diperoleh beberapa
kesimpulan sebagai berikut: 1.
Perkembangan harga komoditas pangan hewani asal ternak di Kabupaten Bogor pada tahun 2010-2013 pada umumnya memiliki kecenderungan meningkat. Identifikasi pola data terhadap harga komoditas daging ayam broiler (karkas), daging sapi has, daging sapi bistik, daging sapi murni, hati sapi, daging kambing/domba serta telur ayam ras menunjukkan tren meningkat, sedangkan pada harga komoditas telur ayam buras, telur itik, serta susu segar cenderung stabil.
2.
Dalam jangka pendek tidak terdapat komoditas pangan hewani asal ternak yang berdampak secara signifikan terhadap inflasi di Kabupaten Bogor. Dalam jangka panjang terdapat enam dari sepuluh komoditas yang berdampak positif terhadap inflasi Kabupaten Bogor, yaitu daging sapi bistik, daging sapi murni, daging kambing/domba, telur ayam ras, dan telur itik. Empat komoditas lainnya, yaitu daging ayam broiler (karkas), daging sapi has, telur ayam buras, hati sapi, dan susu segar berdampak negatif terhadap inflasi Kabupaten Bogor.
7.2
Saran Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, terdapat beberapa saran
yang dapat dipertimbangkan yaitu: 1.
Perkembangan harga komoditas pangan hewani asal ternak selama tahun 2010-2013 pada umumnya cenderung menunjukkan peningkatan. Oleh karena itu, perlu dilakukan upaya stabilisasi harga pangan hewani asal ternak. Upaya stabilisasi harga bisa dilakukan diantaranya dengan memperlancar distribusi dan operasi pasar.
2.
Inflasi Kabupaten Bogor merespon guncangan harga pada komoditas pangan hewani asal ternak. Oleh karena itu, harga komoditas pangan hewani asal ternak perlu dimasukkan dalam daftar komoditas strategis yang menjadi perhatian dalam upaya pengendalian inflasi yang dilakukan, khususnya oleh
60
Tim Pemantauan dan Pengendalian Inflasi Daerah (TPPID) Kabupaten Bogor. 3.
Diperlukan
penelitian
lebih
lanjut
mengenai
faktor-faktor
yang
mempengaruhi harga komoditas pangan hewani asal ternak di Kabupaten Bogor untuk lebih memperdalam analisis fluktuasi harga pangan hewani asal ternak di Kabupaten Bogor. Selain itu, perlu dipertimbangkan pula kebijakan serta variabel terkait lainnya yang mempengaruhi guncangan harga pada komoditas pangan hewani asal ternak.
61 DAFTAR PUSTAKA Anjarsari B. 2010. Pangan Hewani: Fisiologi Pasca Mortem dan teknologi. Yogyakarta: Graha Ilmu. Ariefianto D. 2012. Ekonometrika: Esensi dan Aplikasi dengan Menggunakan Eviews. Jakarta: Erlangga. Arifin B. 2007. Diagnosis Ekonomi Politik Pangan dan Pertanian. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. [Bappeda] Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Bogor. 2013. Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD) Kabupaten Bogor tahun 2013. Bogor: Bappeda Kabupaten Bogor. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2013a. Perbandingan Regional berdasarkan Hasil Sensus Penduduk tahun 2010. Jakarta: BPS Indonesia. _______________________. 2013b. Inflasi Kabupaten Bogor Menurut Kelompok Barang dan Jasa tahun 2009-2013. Bogor: BPS Kabupaten Bogor. _______________________. 2013c. Inflasi Tahunan Kelompok Bahan Makanan Kabupaten Bogor Tahun 2009-2013. Bogor: BPS Kabupaten Bogor. _______________________. 2013d. Jumlah Penduduk Kabupaten Bogor tahun 2008-2012. Bogor: BPS Kabupaten Bogor. ________________________. 2014a. Inflasi Umum Indonesia Tahun 2009-2013. Jakarta: BPS Indonesia. _______________________. 2014b. Inflasi Umum Kabupaten Bogor Tahun 2009-2013. Bogor: BPS Kabupaten Bogor. _______________________. 2014c. Statistik Daerah Kabupaten Bogor 2013. Bogor: BPS Kabupaten Bogor. [BSN] Badan Standardisasi Nasional. 1995. Standar Nasional Indonesia (SNI) no 3948 tentang Daging Kambing/Domba. Jakarta: Badan Standardisasi Nasional. _____________________________. 2008. Standar Nasional Indonesia (SNI) no 3926 tentang Telur Ayam Konsumsi. Jakarta: Badan Standardisasi Nasional. ______________________________. 2008. Standar Nasional Indonesia (SNI) no 3932 tentang Mutu Karkas dan Daging Sapi. Jakarta: Badan Standardisasi Nasional.
62
______________________________. 2009. Standar Nasional Indonesia (SNI) no 3924 tentang Mutu Karkas dan Daging Ayam. Jakarta: Badan Standardisasi Nasional. ______________________________. 2011. Standar Nasional Indonesia (SNI) no 3141.1 tentang Susu Segar Bagian 1: Sapi. Jakarta: Badan Standardisasi Nasional. Bernadien YM. 2012. Sikap dan Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pembelian Daging Sapi Impor (Studi Kasus di Kecamatan Setiabudi, Kotamadya Jakarta Selatan, DKI Jakarta). [skripsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Buckle KA, Edwards RA, Fleet GH, Wooton M. 1985. Ilmu Pangan. Hari Purnomo dan Adiono [penerjemah]. Jakarta: UI Press. Burhani FJ. 2013. Analisis Volatilitas Harga Daging Sapi Potong dan Daging Ayam Broiler di Indonesia. [skripsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Christanty H. 2013. Pengaruh Volatilitas Harga Terhadap Inflasi di Kota Malang: Pendekatan Model ARCH/GARCH. [skripsi]. Malang: Universitas Brawijaya. [DKP] Dewan Ketahanan Pangan. 2011. Kebijakan Umum Ketahanan Pangan 2010-2014. Jakarta: DKP Kementrian Pertanian Republik Indonesia. Direktorat Riset dan Kajian Strategis IPB. 2009. Agenda Riset Bidang Pangan 2010-2014. Bogor: IPB Press. [Disnak] Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Bogor. 2012. Neraca Bahan Makanan (NBM) tahun 2012. Bogor: Disnak Kabupaten Bogor. ________________________________________________. 2013. Neraca Bahan Makanan (NBM) tahun 2008-2012. Bogor: Disnak Kabupaten Bogor. ________________________________________________. 2014. Data Survey Perkembangan Harga Komoditi Ternak Tahun 2010-2013. Bogor: Disnak Kabupaten Bogor. Enders W. 2004. Applied Econometric Time Series. Second edition. Canada: John Wiley and sons. Farid M dan Sukesi H. 2011. Pengembangan Susu Segar Dalam Negeri untuk Pemenuhan Kebutuhan Susu Nasional. Buletin Ilmiah Litbang Perdagangan 5(2). Firdaus M. 2009. Manajemen Agribisnis. Jakarta: Bumi Aksara. ________. 2011. Aplikasi Ekonometrika untuk Data Panel dan Time Series. Bogor: IPB Press.
63 Furlong F dan Ingenito R. 1996. Comodity Prices and Inflation. Federal Reserve Bank of San Francisco (FRBSF) Economics Review no 2 hal. 27-47. Gujarati D. 2003. Basic Econometrics. Edisi ke-4. Singapura: McGrawb Hill. Hadi YS. 2003. Analisis Vector Auto Regression (VAR) Terhadap Korelasi Antara Pendapatan Nasional dan Investasi Pemerintah di Indonesia, 1983/1984-1999/2000. Jurnal Keuangan dan Moneter. 6(2):107-121. Hafid H dan Rugayah N. 2009. Persentase Karkas Sapi Bali pada Berbagai Berat Badan dan Lama Pemuasaan sebelum Pemotongan. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2009. Hudson D. 2007. Agricultural Market and Prices. Oxford: Blackwell Publishing. Ilham N dan Yusdja Y. 2010. Dampak Flu Burung terhadap Produksi Unggas dan Kontribusi Usaha Unggas terhadap Pendapatan Peternak Skala Kecil di Indonesia. Jurnal Agro Ekonomi. 28(1):39-68. Jogwanich J dan Park D. 2009. Inflation in Developing Asia. Journal of Asian Economics 20: 507-518. [Kementan] Kementerian Pertanian. 2013. Kuota Impor Sapi dan Daging Sapi di Indonesia tahun 2009-2013. Jakarta: Kemeterian Pertanian Republik Indonesia. Koutsoyiannis A. 1977. Theory of Econometrics. Second edition. United Kingdom: The Macmillan Press Ltd. Mankiw G. 2000. Teori Makroekonomi. Imam Nurmawan [penerjemah]. Jakarta: Erlangga. Mardiyanto A. 2000. Kajian Peramalan dengan Model Struktural dan Non Struktural (VAR dan ARIMA). [thesis]. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Mu’minah I, Pamungkas W, Sjaf S. 2012. Sistem Monitoring dan Teknik Peramalan Harga Daging Sapi di Indonesia. Seminar Nasional Informatika 2012. Yogyakarta: UPN Veteran. Nursamsiyah MR. 2000. Kajian Ekonomi Industri Telur Asin Brebes. [skripsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Nurtini S. 1988. Analisis Permintaan Daging Kambing di Kotamadya Yogyakarta. Laporan Penelitian Proyek UGM no kontrak UGM/572/M/08/14. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada. [Perda] Peraturan Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta no 1 tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah 2030. Jakarta: Pemerintah Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
64
Permana SH. 2013. Instrumen Pengendali Harga Daging Sapi. Info Singkat vol. V no 14/11/P3DI/Juli/2013. Prasetyo E, Ekowati MT, Setiadi A. 2005. Pengaruh Faktor Penawaran dan Permintaan terhadap Ketahanan Pangan Hewani Asal Ternak di Jawa Tengah. Journal of Animal Agricultural Socio-economics. 1(1):1-7. Prastowo NJ, Yanuarti T, Depari Y. 2008. Pengaruh Distribusi dalam Pembentukan Harga Komoditas dan Implikasinya terhadap Inflasi. Working paper Bank Indonesia. WP/07/2008. Priyanti A dan Saptati A. 2008. Dampak Harga Susu Dunia terhadap Harga Susu Dalam Negeri Tingkat Peternak: Kasus Koperasi Peternak Sapi Bandung Utara di Jawa Barat. Seminar Nasional Dinamika Pembangunan Pertanian dan Perdesaan: Tantangan dan Peluang bagi Peningkatan Kesejahteraan Petani. Priyanto R dan Hafid H. 2005. Identifikasi sifat-sifat karkas yang dapat digunakan untuk menduga komposisi karkas sapi. Jurnal Ilmiah Ilmu-Ilmu Peternakan. 8(1). Pusat Distribusi dan Cadangan Pangan, BKP. 2013a. Harga Pangan Tinggi Selama Puasa. Buletin Harga Pangan. Agustus 2013. _______________________________________. 2013b. Kondisi Pangan Dalam Negeri. Buletin Harga Pangan. September 2013. Rahmah LNA. 2013. Analisis Fluktuasi Harga Komoditas Pangan dan Pengaruhnya Terhadap Inflasi di Jawa Barat. [skripsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Republik Indonesia. 2012. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 tahun 2012 tentang Pangan. Respati E. 2005. Analisis VAR (Vector Autoregression) untuk Mekanisme Pemodelan Harga Daging Ayam. [thesis]. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Riyadh MI, Oktaviani R, Siregar H. 2009. Analisis Fluktuasi Nilai Tukar Rupiah dan Inflasi Indonesia Periode 1999-2006. Jurnal Form Pascasarjana IPB. 32(3):1-18. Riyanto E. 2010. Meningkatkan Produksi Ternak Potong di Indonesia. Pidato Pengukuhan diucapkan di Semarang, 22 April 2010 pada Upacara Penerimaan Jabatan Guru Besar dalam Ilmu Ternak Potong pada Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro. Rukmana R. 2005. Budidaya Rumput Unggul Hijauan Makanan Trenak. Yogyakarta: CV Kanisius.
65 Santoso T. 2011. Aplikasi Model GARCH pada Data Inflasi Bahan Makanan Indonesia Periode 2005. Jurnal Organisasi dan Manajemen. 5(1):38-52. Sugiyono. 2008. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung: CV Alfabeta. Tomek WG dan Robinson KL. 1990. Agricultural Product Price. Third edition. Ithaca: Cornell University Press. Tomek WG. 2000. Comodity Prices Revisited. Staff Paper 2000-05. New York : Cornell University.
66
LAMPIRAN
1
Lampiran 1 Indeks Harga Konsumen (IHK) Umum dan Harga Komoditas Pangan Hewani Asal Ternak di Kabupaten Bogor Bulan
IHK
DAB(Rp/kg)
DSH(Rp/kg)
DSB(Rp/kg)
DSM(Rp/kg)
HSP(Rp/kg)
DKD(Rp/kg)
TAR(Rp/kg)
TAB(Rp/butir)
TIT(Rp/butir)
SSE(Rp/liter)
Jan’10
115.61
24500
59500
59500
57000
33250
56750
13925
1500
1775
4200
Feb’10
116.44
21875
61000
59500
57250
34000
58500
13375
1525
1750
4200
Mar’10
116.78
22500
60000
61000
56500
35000
58500
12750
1800
1875
5550
Apr’10
116.62
23063
60000
60000
58750
36500
58000
13125
2000
2375
6500
Mei’10
116.95
23500
70000
65000
60000
38500
59000
12950
2000
2500
6500
Juni’10
117.44
23625
65000
65000
60000
38500
59000
13300
2000
2500
6500
Juli’10
118.96
26500
65000
65000
60000
37000
58000
15250
2000
2500
6500
Agust’10
120.76
27500
67250
67250
65000
43000
58000
15250
2000
2500
6500
Sept’10
121.65
28000
70250
70250
68750
46250
59000
13000
2250
2625
6500
Okt’10
122.04
26250
68000
68000
65000
39000
58000
13750
2000
2500
6500
Nov’10
122.23
24750
65750
65750
61250
37750
58000
13125
2000
2500
6500
Des’10
122.71
26250
68000
68000
65000
39000
58000
13750
2000
2500
6500
Jan’11
123.69
24750
70000
65000
59500
40000
60000
14750
2000
2500
6500
Feb’11
124.36
25000
70000
65000
59250
38500
60000
13750
2000
2500
6500
Mar’11
124.65
24250
70000
65000
59750
36250
59500
15000
1950
2400
6500
Apr’11
124.16
23500
70000
65000
59250
33500
62500
14250
1800
2100
6750
Mei’11
123.79
23250
70000
65000
59250
35000
62500
14500
1800
2100
6750
Juni’11
124.01
23500
70000
65000
59500
35000
65000
15125
1800
2100
6500
Juli’11
124.75
25750
70000
65000
61500
35000
65000
16625
1800
2100
6500
Agust’11
125.54
27750
71750
69500
68750
40000
65000
16250
2000
2338
6500
Sept’11
126.21
24750
75000
70000
65000
40000
65000
14750
1500
1750
6500
Okt’11
126.24
23000
75000
70000
65000
40000
65000
13850
1500
1750
6500
Nov’11
126.60
23250
70000
68000
65000
40000
65000
14875
1500
1750
Des’11
126.95
25000
70000
68000
65000
40000
65000
16000
1500
1750
6500 6500
67
2
Bulan
IHK
DAB(Rp/kg)
DSH(Rp/kg)
DSB(Rp/kg)
DSM(Rp/kg)
HSP(Rp/kg)
DKD(Rp/kg)
TAR(Rp/kg)
TAB(Rp/butir)
TIT(Rp/butir)
SSE(Rp/liter)
Jan’12
127.79
24444
66000
66000
62969
35639
56600
15653
1756
1700
5979
Feb’12
127.69
23958
65667
66000
62969
35278
56300
15986
1756
1700
5967
Mar’12
127.50
24347
65667
66000
64219
35278
56300
16083
1756
1700
5967
Apr’12
127.67
24333
66750
67800
66278
39044
56100
16458
1781
1753
6550
Mei’12
127.68
25111
69958
70800
67944
39822
56100
16403
1789
1746
6583
Juni’12
128.73
26111
71292
73000
69611
40156
57900
17181
1911
1767
6583
Juli’12
129.92
27056
76458
77450
75125
41572
59675
18236
1900
1758
6917
Agust’12
131.18
27278
79167
78650
77778
42794
61800
18097
1911
1767
6917
Sept’12
130.76
26319
76875
77975
76431
40961
60225
17264
1933
1833
6917
Okt’12
130.52
27528
86250
79575
78569
41628
58775
17681
1911
1811
6917
Nov’12
130.87
26889
91250
85100
83222
41572
60100
17847
1950
1853
6917
Des’12
131.21
27056
92917
87100
84528
41767
61850
17861
1944
1849
6917
Jan’13
132.44
30083
93667
87600
90889
42156
60000
19322
2033
1860
6917
Feb’13
133.23
29750
94500
88400
91889
47378
63075
18392
2053
1861
6917
Mar’13
134.15
28917
94500
88400
90639
46267
63225
18017
1997
1828
6917
Apr’13
134.02
29167
96667
91400
89528
48056
68150
18489
2056
1865
7250
Mei’13
134.33
29194
96667
91400
88417
48056
68150
18225
2067
1932
6583
Juni’13
136.29
30583
97500
92400
88778
45278
69400
18500
2222
2033
6583
Juli’13
141.87
33833
104583
101500
96944
52611
80400
19944
2222
2033
6917
Agust’13
142.02
34444
107083
104500
102222
54000
80550
20167
2222
2033
6917
Sept’13
141.77
34889
104583
99750
100833
55111
76550
20167
2278
2089
6917
Okt’13
141.94
34889
104583
100500
100000
55111
76550
20167
2278
2089
6917
Nov’13
142.88
28583
93542
87850
87139
44683
64100
17681
2067
2093
6583
Des’13
143.78
27056
92917
87100
84528
41767
61850
17861
1944
1849
6917
69
Lampiran 2 Uji Stasioner Data 1. IHK (Indeks Harga Konsumen) a. Uji stasioner pada tingkat level Null Hypothesis: LNIHK has a unit root
Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
t-Statistic
Prob.*
-1.117843 -4.165756 -3.508508 -3.184230
0.9150
t-Statistic
Prob.*
-5.423964 -4.175640 -3.513075 -3.186854
0.0003
t-Statistic
Prob.*
-1.796142 -3.577723 -2.925169 -2.600658
0.3779
t-Statistic
Prob.*
-5.793567 -3.581152 -2.926622 -2.601424
0.0000
b. Uji stasioner pada 1st difference Null Hypothesis: D(LNIHK) has a unit root
Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level 2. Daging Ayam Broiler a. Uji Stasioner data pada tingkat level Null Hypothesis: LNDAB has a unit root
Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level b. Uji Stasioner data pada 1st difference Null Hypothesis: D(LNDAB) has a unit root
Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
70
3. Daging Sapi Has a. Uji Stasioner data pada tingkat level Null Hypothesis: LNDSH has a unit root
Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
t-Statistic
Prob.*
-1.707387 -4.165756 -3.508508 -3.184230
0.7323
t-Statistic
Prob.*
-6.334237 -4.170583 -3.510740 -3.185512
0.0000
t-Statistic
Prob.*
-1.708484 -4.165756 -3.508508 -3.184230
0.7318
t-Statistic
Prob.*
-6.025548 -4.170583 -3.510740 -3.185512
0.0000
b. Uji Stasioner data pada 1st difference Null Hypothesis: D(LNDSH) has a unit root
Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level 4. Daging Sapi Bistik a. Uji Stasioner data pada level Null Hypothesis: LNDSB has a unit root
Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level b. Uji Stasioner data pada 1st difference Null Hypothesis: D(LNDSB) has a unit root
Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
71 5. Daging Sapi Murni a. Uji Stasioner data pada tingkat level Null Hypothesis: LNDSM has a unit root
Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
t-Statistic
Prob.*
-1.788336 -4.165756 -3.508508 -3.184230
0.6945
t-Statistic
Prob.*
-5.448412 -4.170583 -3.510740 -3.185512
0.0003
t-Statistic
Prob.*
-2.145532 -3.577723 -2.925169 -2.600658
0.2285
t-Statistic
Prob.*
-6.196328 -3.581152 -2.926622 -2.601424
0.0000
b. Uji Stasioner data pada 1st difference Null Hypothesis: D(LNDSM) has a unit root
Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level 6. Hati Sapi a. Uji Stasioner data pada tingkat level Null Hypothesis: LNHSP has a unit root
Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level b. Uji Stasioner data pada 1st difference Null Hypothesis: D(LNHSP) has a unit root
Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
72
7. Daging Kambing/Domba a. Uji Stasioner data pada tingkat level Null Hypothesis: LNDKD has a unit root
Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
t-Statistic
Prob.*
-1.928418 -3.577723 -2.925169 -2.600658
0.3168
t-Statistic
Prob.*
-6.039468 -3.581152 -2.926622 -2.601424
0.0000
t-Statistic
Prob.*
-1.480174 -3.577723 -2.925169 -2.600658
0.5348
t-Statistic
Prob.*
-6.246226 -3.592462 -2.931404 -2.603944
0.0000
b. Uji Stasioner data pada 1st difference Null Hypothesis: D(LNDKD) has a unit root
Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level 8. Telur Ayam Ras a. Uji Stasioner data pada tingkat level Null Hypothesis: LNTAR has a unit root
Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level b. Uji Stasioner data pada 1st difference Null Hypothesis: D(LNTAR) has a unit root
Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
73 9. Telur Ayam Buras a. Uji Stasioner data pada tingkat level Null Hypothesis: LNTAB has a unit root
Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
t-Statistic
Prob.*
-2.693891 -3.577723 -2.925169 -2.600658
0.0826
t-Statistic
Prob.*
-7.272442 -3.581152 -2.926622 -2.601424
0.0000
t-Statistic
Prob.*
-1.671777 -3.577723 -2.925169 -2.600658
0.4387
t-Statistic
Prob.*
-6.407766 -3.581152 -2.926622 -2.601424
0.0000
b. Uji Stasioner data pada 1st difference Null Hypothesis: D(LNTAB) has a unit root
Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level 10. Telur Itik a. Uji Stasioner data pada tingkat level Null Hypothesis: LNTIT has a unit root
Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level b. Uji Stasioner data pada 1st difference Null Hypothesis: D(LNTIT) has a unit root
Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
74
11. Susu Segar a. Uji Stasioner data pada tingkat level Null Hypothesis: LNSSE has a unit root
Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
t-Statistic
Prob.*
-4.901064 -3.577723 -2.925169 -2.600658
0.0002
t-Statistic
Prob.*
-5.383380 -3.581152 -2.926622 -2.601424
0.0000
b. Uji Stasioner data pada 1st difference Null Hypothesis: D(LNSSE) has a unit root
Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level Lampiran 3 Hasil Penetapan Lag Optimal
VAR Lag Order Selection Criteria Endogenous variables: LNIHK LNDAB LNDSH LNDSB LNDSM LNHSP LNDKD LNTAR LNTAB LNTIT LNSSE Exogenous variables: C Included observations: 45 Lag
LogL
LR
FPE
AIC
SC
HQ
0 1 2 3
-3810.583 -3490.575 -3362.090 -2975.610
NA 469.3450 125.6294 188.9460*
1.61e+60 2.68e+56 5.35e+56 1.98e+53*
169.8481 161.0033 160.6707 148.8715*
170.2898 166.3029 170.8281 163.8869*
170.0128 162.9789 164.4573 154.4691*
* indicates lag order selected by the criterion LR: sequential modified LR test statistic (each test at 5% level) FPE: Final prediction error AIC: Akaike information criterion SC: Schwarz information criterion HQ: Hannan-Quinn information criterion
75 Lampiran 4 Uji Stabilitas Model VAR Roots of Characteristic Polynomial Endogenous variables: D(LNIHK) D(LNDAB) D(LNDSH) D(LNDSB) D(LNDSM) D(LNHSP) D(LNDKD) D(LNTAR) D(LNTAB) D(LNTIT) D(LNSSE) Exogenous variables: C Lag specification: 1 3 Root -0.977374 -0.651255 + 0.700150i -0.651255 - 0.700150i 0.319629 + 0.891704i 0.319629 - 0.891704i 0.044848 - 0.916412i 0.044848 + 0.916412i -0.635430 + 0.647472i -0.635430 - 0.647472i -0.793800 + 0.363153i -0.793800 - 0.363153i 0.463594 - 0.733864i 0.463594 + 0.733864i -0.845690 + 0.169810i -0.845690 - 0.169810i -0.072152 + 0.851322i -0.072152 - 0.851322i -0.233631 + 0.793652i -0.233631 - 0.793652i 0.755916 + 0.315581i 0.755916 - 0.315581i 0.781655 + 0.098813i 0.781655 - 0.098813i 0.439255 - 0.647547i 0.439255 + 0.647547i 0.705063 + 0.248435i 0.705063 - 0.248435i -0.297053 + 0.560336i -0.297053 - 0.560336i -0.552229 0.419585 + 0.329845i 0.419585 - 0.329845i -0.289816 No root lies outside the unit circle. VAR satisfies the stability condition.
Modulus 0.977374 0.956213 0.956213 0.947258 0.947258 0.917509 0.917509 0.907188 0.907188 0.872925 0.872925 0.868030 0.868030 0.862570 0.862570 0.854374 0.854374 0.827326 0.827326 0.819146 0.819146 0.787876 0.787876 0.782472 0.782472 0.747552 0.747552 0.634206 0.634206 0.552229 0.533713 0.533713 0.289816
76
Lampiran 5 Uji Kointegrasi Included observations: 46 after adjustments Trend assumption: Linear deterministic trend Series: LNIHK LNDAB LNDSH LNDSB LNDSM LNHSP LNDKD LNTAR LNTAB LNTIT LNSSE Lags interval (in first differences): 1 to 1 Unrestricted Cointegration Rank Test (Trace) Hypothesized No. of CE(s)
Eigenvalue
Trace Statistic
0.05 Critical Value
Prob.**
None * At most 1 * At most 2 * At most 3 * At most 4 At most 5 At most 6 At most 7 At most 8 At most 9 At most 10
0.913593 0.791793 0.726569 0.673560 0.562848 0.435343 0.368621 0.298316 0.198991 0.122157 0.004050
414.1605 301.5208 229.3365 169.6881 118.1907 80.12684 53.83612 32.68308 16.38657 6.179928 0.186678
285.1425 239.2354 197.3709 159.5297 125.6154 95.75366 69.81889 47.85613 29.79707 15.49471 3.841466
0.0000 0.0000 0.0005 0.0124 0.1297 0.3604 0.4687 0.5744 0.6848 0.6743 0.6657
Trace test indicates 4 cointegrating eqn(s) at the 0.05 level * denotes rejection of the hypothesis at the 0.05 level **MacKinnon-Haug-Michelis (1999) p-values Unrestricted Cointegration Rank Test (Maximum Eigenvalue) Hypothesized No. of CE(s)
Eigenvalue
Max-Eigen Statistic
0.05 Critical Value
Prob.**
None * At most 1 * At most 2 * At most 3 At most 4 At most 5 At most 6 At most 7 At most 8 At most 9 At most 10
0.913593 0.791793 0.726569 0.673560 0.562848 0.435343 0.368621 0.298316 0.198991 0.122157 0.004050
112.6397 72.18427 59.64844 51.49743 38.06382 26.29071 21.15304 16.29651 10.20665 5.993250 0.186678
70.53513 64.50472 58.43354 52.36261 46.23142 40.07757 33.87687 27.58434 21.13162 14.26460 3.841466
0.0000 0.0079 0.0377 0.0612 0.2847 0.6826 0.6726 0.6405 0.7250 0.6141 0.6657
Max-eigenvalue test indicates 3 cointegrating eqn(s) at the 0.05 level * denotes rejection of the hypothesis at the 0.05 level **MacKinnon-Haug-Michelis (1999) p-values
1
(lanjutan) Unrestricted Cointegrating Coefficients (normalized by b'*S11*b=I): LNIHK 0.027273 0.173224 0.051301 -0.074430 0.625180 -0.057257 -0.053964 -0.223853 0.257642 -0.030598 0.257397
LNDAB 0.001676 -0.001839 0.001317 0.001380 -0.000662 -0.000523 0.001679 -4.97E-05 -0.000417 7.93E-05 -0.001211
LNDSH 0.000386 2.01E-05 0.000314 0.000619 -0.000140 0.000320 7.04E-05 -0.000161 -0.000296 8.59E-05 2.16E-05
LNDSB -6.00E-05 -0.000899 -0.000948 -0.000209 -0.000119 6.77E-05 0.000436 -8.61E-05 0.000303 -8.41E-05 -0.000254
LNDSM -0.000559 0.000740 0.000201 -0.000707 0.000401 -0.000542 -0.000402 0.000189 -0.000116 -0.000204 0.000324
LNHSP -9.94E-05 0.000571 6.15E-05 0.000271 -8.16E-05 0.000778 -0.000170 0.000182 0.000214 1.21E-06 6.58E-05
LNDKD -0.000181 0.000301 -1.38E-05 -0.000309 -7.59E-05 -0.000252 -0.000185 0.000138 -4.60E-05 0.000290 4.61E-05
LNTAR -0.001739 -0.000575 3.49E-05 -0.001251 -0.000456 0.001628 -0.001471 0.000207 0.000141 -0.000130 0.000581
LNTAB 0.007524 0.016036 -2.11E-05 0.011548 -0.012802 -0.007174 -0.005786 -0.002937 0.004567 0.007988 0.001998
LNTIT -0.012420 -0.003029 -0.002942 -0.015288 0.010612 0.005392 -0.003742 -0.002885 -3.65E-05 -0.005748 0.004111
LNSSE 0.003323 -0.000739 0.000271 -0.001038 -0.001441 -0.001249 0.000250 0.001797 -0.000931 0.000206 -0.001623
Unrestricted Adjustment Coefficients (alpha): D(LNIHK) D(LNDAB) D(LNDSH) D(LNDSB) D(LNDSM) D(LNHSP) D(LNDKD) D(LNTAR) D(LNTAB) D(LNTIT) D(LNSSE)
-0.067603 -110.4077 391.9097 195.4894 280.2973 -237.4436 675.2683 148.1979 -42.33852 -20.08162 -154.8150
-0.161107 -212.6691 -840.5500 -604.7938 -1350.372 -900.3934 187.0580 121.6812 -17.88780 -1.635490 0.708404
-0.147503 -1010.920 -706.9405 -705.7553 -1516.051 -816.2758 -724.1221 -544.5815 -47.25736 -40.38018 -28.72715
0.136266 218.7567 115.8479 729.7824 726.7742 344.2049 713.4493 135.5363 39.07144 41.69124 115.2251
-0.140990 -172.9735 -448.6659 -247.3528 -434.3818 -268.6321 -276.1381 177.8974 -6.692219 -38.02778 -7.677918
0.120060 -41.01395 -706.4850 -369.5888 -156.8752 -895.1884 -485.9888 -80.35372 4.487182 -14.00621 -41.09659
0.091255 -356.5828 -1082.249 -1194.723 -1048.336 -432.7535 -666.9379 -94.90293 9.712564 26.37301 -21.77693
-0.061348 69.70104 -13.32212 167.5270 85.94303 -142.6265 -498.8701 -0.814913 29.43666 25.47076 -45.40408
-0.074684 -148.6584 303.4085 -236.4931 -194.9431 -534.5438 -476.4015 18.53742 -7.859422 -3.307457 6.886341
-0.079610 0.035610 -37.86612 3.356260 -578.4461 36.40304 -332.7730 38.08458 -6.587733 6.518423 -185.9438 17.38395 -513.2869 38.17843 22.67093 10.59370 -8.784100 -2.565416 0.445305 -2.411166 4.006635 0.581028
67
2
1 Cointegrating Equation(s):
Log likelihood
-3596.412
Normalized cointegrating coefficients (standard error in parentheses) LNIHK LNDAB LNDSH LNDSB LNDSM 1.000000 0.061455 0.014140 -0.002200 -0.020498 (0.00700) (0.00180) (0.00279) (0.00264) Adjustment coefficients (standard error in parentheses) D(LNIHK) -0.001844 (0.00364) D(LNDAB) -3.011138 (6.84659) D(LNDSH) 10.68851 (14.8818) D(LNDSB) 5.331561 (13.3240) D(LNDSM) 7.644517 (14.9061) D(LNHSP) -6.475774 (12.0677) D(LNDKD) 18.41652 (13.3785) D(LNTAR) 4.041785 (3.63235) D(LNTAB) -1.154694 (0.51501) D(LNTIT) -0.547684 (0.55039) D(LNSSE) -4.222252 (0.89765)
LNHSP -0.003646 (0.00209)
LNDKD -0.006624 (0.00129)
LNTAR -0.063760 (0.00630)
LNTAB 0.275876 (0.05476)
LNTIT -0.455406 (0.04401)
LNSSE 0.121860 (0.00825)
3
2 Cointegrating Equation(s):
Log likelihood
-3560.320
Normalized cointegrating coefficients (standard error in parentheses) LNIHK LNDAB LNDSH LNDSB LNDSM 1.000000 0.000000 0.002181 -0.004748 0.000625 (0.00041) (0.00075) (0.00054) 0.000000 1.000000 0.194600 0.041461 -0.343715 (0.02188) (0.03991) (0.02911) Adjustment coefficients (standard error in parentheses) D(LNIHK) -0.029751 0.000183 (0.02287) (0.00032) D(LNDAB) -39.85061 0.205956 (43.5406) (0.61772) D(LNDSH) -134.9153 2.202264 (92.1820) (1.30782) D(LNDSB) -99.43347 1.439601 (83.6570) (1.18687) D(LNDSM) -226.2729 2.952535 (86.5251) (1.22756) D(LNHSP) -162.4459 1.257462 (72.5610) (1.02945) D(LNDKD) 50.81952 0.787866 (85.8308) (1.21771) D(LNTAR) 25.11994 0.024669 (23.0579) (0.32713) D(LNTAB) -4.253297 -0.038074 (3.26604) (0.04634) D(LNTIT) -0.830991 -0.030651 (3.53853) (0.05020) D(LNSSE) -4.099539 -0.260780 (5.77163) (0.08188)
LNHSP 0.002275 (0.00051) -0.096345 (0.02746)
LNDKD 0.000508 (0.00027) -0.116056 (0.01456)
LNTAR -0.012219 (0.00124) -0.838672 (0.06650)
LNTAB 0.119569 (0.01463) 2.543448 (0.78310)
LNTIT -0.081980 (0.00972) -6.076427 (0.52059)
LNSSE 0.014311 (0.00198) 1.750052 (0.10627)
79
4
80
3 Cointegrating Equation(s):
Log likelihood
-3530.496
Normalized cointegrating coefficients (standard error in parentheses) LNIHK LNDAB LNDSH LNDSB LNDSM 1.000000 0.000000 0.000000 -0.035135 0.025514 (0.00541) (0.00444) 0.000000 1.000000 0.000000 -2.669553 1.876731 (0.48612) (0.39928) 0.000000 0.000000 1.000000 13.93120 -11.41030 (2.55833) (2.10129) Adjustment coefficients (standard error in parentheses) D(LNIHK) -0.037318 -1.14E-05 -7.56E-05 (0.02336) (0.00036) (6.4E-05) D(LNDAB) -91.71167 -1.125366 -0.363951 (32.0037) (0.49307) (0.08715) D(LNDSH) -171.1819 1.271264 -0.087474 (93.3768) (1.43863) (0.25427) D(LNDSB) -135.6393 0.510162 -0.158122 (84.2236) (1.29760) (0.22934) D(LNDSM) -304.0476 0.955983 -0.394545 (76.1728) (1.17357) (0.20742) D(LNHSP) -204.3215 0.182474 -0.365679 (71.0048) (1.09395) (0.19335) D(LNDKD) 13.67142 -0.165761 0.037024 (86.4118) (1.33132) (0.23530) D(LNTAR) -2.817568 -0.692514 -0.111232 (16.6483) (0.25649) (0.04533) D(LNTAB) -6.677641 -0.100309 -0.031510 (3.05300) (0.04704) (0.00831) D(LNTIT) -2.902529 -0.083829 -0.020444 (3.45592) (0.05324) (0.00941) D(LNSSE) -5.573267 -0.298612 -0.068701 (5.94373) (0.09157) (0.01618)
LNHSP 0.005144 (0.00322) 0.159605 (0.28888) -1.315260 (1.52030)
LNDKD 0.005029 (0.00226) 0.287237 (0.20305) -2.072421 (1.06858)
LNTAR 0.058475 (0.01090) 5.468441 (0.97899) -32.41061 (5.15216)
LNTAB -0.260867 (0.11510) -31.39751 (10.3416) 174.4138 (54.4249)
LNTIT 0.288898 (0.07505) 27.01185 (6.74340) -170.0320 (35.4886)
LNSSE -0.096477 (0.01662) -8.133979 (1.49283) 50.79146 (7.85635)
5
4 Cointegrating Equation(s):
Log likelihood
-3504.747
Normalized cointegrating coefficients (standard error in parentheses) LNIHK LNDAB LNDSH LNDSB LNDSM 1.000000 0.000000 0.000000 0.000000 -0.000124 (0.00033) 0.000000 1.000000 0.000000 0.000000 -0.071256 (0.02470) 0.000000 0.000000 1.000000 0.000000 -1.244623 (0.11317) 0.000000 0.000000 0.000000 1.000000 -0.729706 (0.05713) Adjustment coefficients (standard error in parentheses) D(LNIHK) -0.047461 0.000177 8.77E-06 0.000260 (0.02479) (0.00039) (0.00010) (0.00017) D(LNDAB) -107.9937 -0.823537 -0.228545 1.110506 (33.7308) (0.53598) (0.13578) (0.22642) D(LNDSH) -179.8045 1.431105 -0.015766 1.377899 (100.749) (1.60090) (0.40554) (0.67628) D(LNDSB) -189.9570 1.517080 0.293596 1.048406 (87.4222) (1.38914) (0.35190) (0.58683) D(LNDSM) -358.1413 1.958750 0.055311 2.482215 (78.3722) (1.24533) (0.31547) (0.52608) D(LNHSP) -229.9407 0.657391 -0.152624 1.525375 (75.7536) (1.20372) (0.30493) (0.50850) D(LNDKD) -39.43052 0.818621 0.478632 0.328868 (90.0322) (1.43061) (0.36241) (0.60435) D(LNTAR) -12.90552 -0.505508 -0.027338 0.369775 (17.3636) (0.27591) (0.06989) (0.11655) D(LNTAB) -9.585723 -0.046400 -0.007326 0.055256 (3.01116) (0.04785) (0.01212) (0.02021) D(LNTIT) -6.005604 -0.026306 0.005362 0.032248 (3.44606) (0.05476) (0.01387) (0.02313)
LNHSP -0.000502 (0.00058) -0.269326 (0.04379) 0.923136 (0.20060) -0.160675 (0.10127)
LNDKD 0.000719 (0.00029) -0.040182 (0.02161) -0.363769 (0.09899) -0.122649 (0.04998)
LNTAR -0.012202 (0.00195) 0.098317 (0.14672) -4.386350 (0.67216) -2.011619 (0.33935)
LNTAB 0.067252 (0.01968) -6.466858 (1.48340) 44.31188 (6.79566) 9.338887 (3.43094)
LNTIT -0.046847 (0.01312) 1.501796 (0.98904) -36.90654 (4.53092) -9.555927 (2.28753)
LNSSE 0.032202 (0.00285) 1.643098 (0.21455) -0.230712 (0.98291) 3.662440 (0.49624)
81
6 82
Adjustment coefficients (standard error in parentheses) D(LNSSE) -14.14946 -0.139630 0.002621 (5.05284) (0.08029) (0.02034) 5 Cointegrating Equation(s):
Log likelihood
0.011809 (0.03392)
-3485.715
Normalized cointegrating coefficients (standard error in parentheses) LNIHK LNDAB LNDSH LNDSB LNDSM 1.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000
1.000000
0.000000
0.000000
0.000000
0.000000
0.000000
1.000000
0.000000
0.000000
0.000000
0.000000
0.000000
1.000000
0.000000
0.000000
0.000000
0.000000
0.000000
1.000000
Adjustment coefficients (standard error in parentheses) D(LNIHK) -0.135605 0.000270 2.85E-05 (0.08079) (0.00039) (9.9E-05) D(LNDAB) -216.1333 -0.709068 -0.204365 (110.333) (0.53923) (0.13571) D(LNDSH) -460.3015 1.728020 0.046953 (330.843) (1.61693) (0.40694) D(LNDSB) -344.5971 1.680771 0.328174 (289.123) (1.41303) (0.35562) D(LNDSM) -629.7083 2.246212 0.116034 (255.664) (1.24951) (0.31446) D(LNHSP) -397.8842 0.835164 -0.115072 (249.850) (1.22110) (0.30731) D(LNDKD) -212.0666 1.001361 0.517234 (297.506) (1.45400) (0.36593)
0.000277 (0.00016) 1.131065 (0.22378) 1.431225 (0.67101) 1.077805 (0.58640) 2.533844 (0.51853) 1.557304 (0.50674) 0.361689 (0.60340)
LNHSP -0.000383 (0.00025) -0.201174 (0.11041) 2.113538 (2.01954) 0.537241 (1.12583) 0.956436 (1.60216) -0.000264 (0.00015) -0.523221 (0.21034) -1.245567 (0.63072) -1.314229 (0.55118) -2.149560 (0.48739) -1.049215 (0.47631) -0.999971 (0.56716)
LNDKD 0.000271 (0.00016) -0.297223 (0.07254) -4.853475 (1.32688) -2.754902 (0.73969) -3.607280 (1.05265)
LNTAR -0.007568 (0.00109) 2.755732 (0.48142) 42.03034 (8.80572) 25.20185 (4.90890) 37.29376 (6.98584)
LNTAB 0.029642 (0.01057) -28.03259 (4.66159) -332.3738 (85.2651) -211.5067 (47.5325) -302.6503 (67.6434)
LNTIT -0.021737 (0.00706) 15.89985 (3.11529) 214.5822 (56.9817) 137.8884 (31.7654) 202.0601 (45.2053)
LNSSE 0.017627 (0.00164) -6.714249 (0.72309) -146.2073 (13.2261) -81.92163 (7.37313) -117.2858 (10.4927)
7
Adjustment coefficients (standard error in parentheses) D(LNTAR) 98.31246 -0.623235 -0.052207 (54.0083) (0.26396) (0.06643) D(LNTAB) -13.76957 -0.041971 -0.006390 (9.97668) (0.04876) (0.01227) D(LNTIT) -29.77982 -0.001140 0.010678 (10.5968) (0.05179) (0.01303) D(LNSSE) -18.94954 -0.134549 0.003694 (16.7674) (0.08195) (0.02062) 6 Cointegrating Equation(s):
Log likelihood
0.348631 (0.10954) 0.056051 (0.02023) 0.036768 (0.02149) 0.012722 (0.03401)
-0.126767 (0.10296) -0.029391 (0.01902) -0.042849 (0.02020) -0.003253 (0.03197)
-3472.570
Normalized cointegrating coefficients (standard error in parentheses) LNIHK LNDAB LNDSH LNDSB LNDSM 1.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000
LNHSP 0.000000
0.000000
1.000000
0.000000
0.000000
0.000000
0.000000
0.000000
0.000000
1.000000
0.000000
0.000000
0.000000
0.000000
0.000000
0.000000
1.000000
0.000000
0.000000
0.000000
0.000000
0.000000
0.000000
1.000000
0.000000
0.000000
0.000000
0.000000
0.000000
0.000000
1.000000
0.000285 (0.00016) 1.128287 (0.22387) 1.383364 (0.65163)
-0.000329 (0.00017) -0.500989 (0.22906) -0.862611 (0.66676)
Adjustment coefficients (standard error in parentheses) D(LNIHK) -0.142479 0.000207 6.69E-05 (0.07993) (0.00039) (0.00011) D(LNDAB) -213.7850 -0.687605 -0.217483 (110.654) (0.54589) (0.14586) D(LNDSH) -419.8507 2.097727 -0.179008 (322.091) (1.58897) (0.42458)
LNDKD -0.000239 (9.1E-05) -0.565481 (0.10596) -2.035144 (0.67758) -2.038509 (0.47514) -2.331906 (0.63710) -1.333466 (0.25779)
LNTAR -0.001109 (0.00076) 6.149404 (0.89093) 6.376337 (5.69704) 16.13894 (3.99495) 21.15932 (5.35671) 16.86935 (2.16746)
LNTAB -0.023662 (0.00678) -56.04254 (7.89444) -38.10058 (50.4810) -136.7052 (35.3989) -169.4834 (47.4653) -139.2325 (19.2057)
LNTIT 0.015180 (0.00483) 35.29844 (5.62141) 10.78009 (35.9461) 86.08387 (25.2066) 109.8339 (33.7987) 96.42698 (13.6758)
LNSSE 0.005035 (0.00113) -13.33108 (1.31287) -76.69067 (8.39515) -64.25115 (5.88695) -85.82751 (7.89363) -32.89112 (3.19396)
4.74E-05 (0.00012) -0.131210 (0.17021) -1.043984 (0.49544)
83
8 84
Adjustment coefficients (standard error in parentheses) D(LNDSB) -323.4357 1.874179 0.209965 (287.119) (1.41644) (0.37848) D(LNDSM) -620.7262 2.328306 0.065859 (256.007) (1.26296) (0.33747) D(LNHSP) -346.6288 1.303621 -0.401387 (228.878) (1.12912) (0.30171) D(LNDKD) -184.2406 1.255682 0.361796 (293.404) (1.44745) (0.38677) D(LNTAR) 102.9132 -0.581186 -0.077907 (53.4267) (0.26357) (0.07043) D(LNTAB) -14.02649 -0.044319 -0.004955 (10.0015) (0.04934) (0.01318) D(LNTIT) -28.97787 0.006190 0.006198 (10.5154) (0.05188) (0.01386) D(LNSSE) -16.59649 -0.113043 -0.009450 (16.1594) (0.07972) (0.02130) 7 Cointegrating Equation(s):
Log likelihood
1.052767 (0.58088) 2.523216 (0.51793) 1.496658 (0.46305) 0.328765 (0.59359) 0.343187 (0.10809) 0.056355 (0.02023) 0.035819 (0.02127) 0.009938 (0.03269)
-1.113890 (0.59436) -2.064524 (0.52996) -0.563970 (0.47380) -0.736536 (0.60737) -0.083210 (0.11060) -0.031824 (0.02070) -0.035257 (0.02177) 0.019024 (0.03345)
-0.477950 (0.44165) -0.782187 (0.39379) -1.121925 (0.35206) -0.167103 (0.45132) -0.019036 (0.08218) 0.005700 (0.01538) 0.002077 (0.01617) 0.013893 (0.02486)
INHSP 0.000000
INDKD 0.000000
-3461.993
Normalized cointegrating coefficients (standard error in parentheses) INIHK INDAB INDSH INDSB INDSM 1.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000
1.000000
0.000000
0.000000
0.000000
0.000000
0.000000
0.000000
0.000000
1.000000
0.000000
0.000000
0.000000
0.000000
0.000000
0.000000
0.000000
1.000000
0.000000
0.000000
0.000000
0.000000
0.000000
0.000000
0.000000
1.000000
0.000000
0.000000
0.000000
0.000000
0.000000
0.000000
0.000000
1.000000
0.000000
INTAR -0.004188 (0.00079) -1.124259 (0.42171) -19.80127 (3.58673) -10.08195 (1.96178) -8.835472 (2.58748) -0.282732 (1.17177)
INTAB -0.001440 (0.00797) -3.540316 (4.23896) 150.8527 (36.0532) 52.56043 (19.7194) 47.02283 (26.0089) -15.42664 (11.7784)
INTIT -0.000251 (0.00547) -1.157582 (2.90585) -120.4236 (24.7148) -45.33672 (13.5179) -40.50173 (17.8293) 10.45978 (8.07422)
INSSE 0.011297 (0.00137) 1.465677 (0.72989) -23.43776 (6.20786) -10.91019 (3.39541) -24.80933 (4.47837) 2.001226 (2.02808)
9
Normalized cointegrating coefficients (standard error in parentheses) 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000
0.000000
1.000000
-12.86278 (1.60689)
Adjustment coefficients (standard error in parentheses) D(LNIHK) -0.147404 0.000360 7.33E-05 (0.07951) (0.00044) (0.00010) D(LNDAB) -194.5422 -1.286345 -0.242604 (103.183) (0.57117) (0.13601) D(LNDSH) -361.4477 0.280516 -0.255251 (298.273) (1.65109) (0.39316) D(LNDSB) -258.9631 -0.131888 0.125797 (253.248) (1.40186) (0.33381) D(LNDSM) -564.1533 0.568038 -0.007995 (226.851) (1.25573) (0.29902) D(LNHSP) -323.2755 0.576981 -0.431875 (224.195) (1.24103) (0.29552) D(LNDKD) -148.2497 0.135822 0.314811 (284.233) (1.57337) (0.37465) D(LNTAR) 108.0346 -0.740538 -0.084593 (52.4845) (0.29053) (0.06918) D(LNTAB) -14.55062 -0.028011 -0.004271 (9.97274) (0.05520) (0.01315) D(LNTIT) -30.40108 0.050473 0.008056 (10.1059) (0.05594) (0.01332) D(LNSSE) -15.42131 -0.149609 -0.010985 (16.0192) (0.08867) (0.02112)
-0.000366 (0.00017) -0.357492 (0.22198) -0.427090 (0.64168) -0.633108 (0.54482) -1.642651 (0.48803) -0.389821 (0.48231) -0.468146 (0.61147) -0.045019 (0.11291) -0.035732 (0.02145) -0.045870 (0.02174) 0.027787 (0.03446)
3.19E-05 (0.00012) -0.070570 (0.16040) -0.859936 (0.46368) -0.274775 (0.39369) -0.603907 (0.35265) -1.048331 (0.34852) -0.053684 (0.44185) -0.002897 (0.08159) 0.004049 (0.01550) -0.002408 (0.01571) 0.017596 (0.02490)
-0.000113 (6.8E-05) -0.008280 (0.08874) 0.062269 (0.25653) -0.100121 (0.21781) -0.394595 (0.19511) 0.002891 (0.19282) -0.008822 (0.24446) -5.51E-05 (0.04514) -0.011564 (0.00858) -0.007625 (0.00869) 0.008009 (0.01378)
LNHSP 0.000000
LNDKD 0.000000
LNTAR 0.000000
8 Cointegrating Equation(s):
Log likelihood
0.000325 (0.00017) 0.972826 (0.21892) 0.911532 (0.63285) 0.531899 (0.53732) 2.066169 (0.48131) 1.307989 (0.47568) 0.037998 (0.60306) 0.301812 (0.11136) 0.060590 (0.02116) 0.047317 (0.02144) 0.000443 (0.03399)
92.84517 (16.1522)
-64.46899 (11.0725)
26.16666 (2.78118)
LNTAB -0.021690 (0.00999)
LNTIT 0.035896 (0.00516)
LNSSE 0.010044 (0.00376)
-3453.845
Normalized cointegrating coefficients (standard error in parentheses) LNIHK LNDAB LNDSH LNDSB LNDSM 1.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000
85
10
86
Normalized cointegrating coefficients (standard error in parentheses) 0.000000 1.000000 0.000000 0.000000 0.000000
0.000000
0.000000
0.000000
0.000000
0.000000
1.000000
0.000000
0.000000
0.000000
0.000000
0.000000
0.000000
0.000000
0.000000
1.000000
0.000000
0.000000
0.000000
0.000000
0.000000
0.000000
0.000000
0.000000
1.000000
0.000000
0.000000
0.000000
0.000000
0.000000
0.000000
0.000000
0.000000
1.000000
0.000000
0.000000
0.000000
0.000000
0.000000
0.000000
0.000000
0.000000
1.000000
0.000000
0.000000
0.000000
0.000000
0.000000
0.000000
0.000000
0.000000
1.000000
Adjustment coefficients (standard error in parentheses) D(LNIHK) -0.133671 0.000363 8.32E-05 (0.08362) (0.00044) (0.00011) D(LNDAB) -210.1450 -1.289808 -0.253836 (108.623) (0.56950) (0.13790) D(LNDSH) -358.4655 0.281178 -0.253105 (314.944) (1.65122) (0.39983) D(LNDSB) -296.4646 -0.140212 0.098802 (266.633) (1.39793) (0.33850) D(LNDSM) -583.3919 0.563768 -0.021844 (239.306) (1.25466) (0.30381) D(LNHSP) -291.3481 0.584068 -0.408892 (236.096) (1.23783) (0.29973) D(LNDKD) -36.57601 0.160608 0.395199 (293.953) (1.54117) (0.37319) D(LNTAR) 108.2170 -0.740497 -0.084462 (55.4187) (0.29055) (0.07036) D(LNTAB) -21.14011 -0.029474 -0.009014 (9.90575) (0.05193) (0.01258)
0.000330 (0.00017) 0.966826 (0.21868) 0.912679 (0.63403) 0.517477 (0.53677) 2.058770 (0.48176) 1.320268 (0.47530) 0.080947 (0.59177) 0.301882 (0.11157) 0.058055 (0.01994)
-0.000377 (0.00017) -0.344320 (0.22326) -0.429608 (0.64732) -0.601449 (0.54803) -1.626410 (0.49186) -0.416774 (0.48526) -0.562421 (0.60418) -0.045173 (0.11391) -0.030169 (0.02036)
2.07E-05 (0.00013) -0.057865 (0.16242) -0.862364 (0.47093) -0.244239 (0.39869) -0.588242 (0.35783) -1.074328 (0.35303) -0.144614 (0.43954) -0.003045 (0.08287) 0.009414 (0.01481)
-0.000121 (7.0E-05) 0.001311 (0.09104) 0.060436 (0.26396) -0.077067 (0.22347) -0.382769 (0.20056) -0.016736 (0.19787) -0.077471 (0.24636) -0.000167 (0.04645) -0.007513 (0.00830)
-8.976133 (3.45266) 55.11315 (37.6665) 3.813988 (20.9904) 4.303140 (19.0748) -16.79365 (5.38998) 30.65337 (28.6000) -4.835020 (2.01843) 0.000147 (0.00038) 0.556302 (0.49226) 0.275655 (1.42728) 0.373261 (1.20834) 0.829106 (1.08450) -0.256197 (1.06995) -1.986732 (1.33215) -0.588585 (0.25115) 0.035538 (0.04489)
8.545804 (1.78345) 50.47947 (19.4564) 41.67974 (10.8425) 35.75647 (9.85299) 12.90001 (2.78416) 46.54855 (14.7731) 8.630914 (1.04261)
1.129066 (1.29865) -29.36640 (14.1676) -13.92880 (7.89516) -27.45473 (7.17465) 1.916574 (2.02734) 22.31545 (10.7573) -0.299407 (0.75920)
11
Adjustment coefficients (standard error in parentheses) D(LNTIT) -36.10279 0.049207 0.003952 (10.2133) (0.05355) (0.01297) D(LNSSE) -5.257463 -0.147353 -0.003668 (15.9921) (0.08384) (0.02030) 9 Cointegrating Equation(s):
Log likelihood
0.045124 (0.02056) 0.004352 (0.03219)
-0.041057 (0.02099) 0.019207 (0.03287)
0.002235 (0.01527) 0.009320 (0.02391)
-0.004120 (0.00856) 0.001761 (0.01340)
-0.056690 (0.04629) 0.082931 (0.07247)
LNHSP 0.000000
LNDKD 0.000000
LNTAR 0.000000
LNTAB 0.000000
-3448.742
Normalized cointegrating coefficients (standard error in parentheses) LNIHK LNDAB LNDSH LNDSB LNDSM 1.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000
1.000000
0.000000
0.000000
0.000000
0.000000
0.000000
0.000000
0.000000
0.000000
0.000000
1.000000
0.000000
0.000000
0.000000
0.000000
0.000000
0.000000
0.000000
0.000000
0.000000
1.000000
0.000000
0.000000
0.000000
0.000000
0.000000
0.000000
0.000000
0.000000
0.000000
1.000000
0.000000
0.000000
0.000000
0.000000
0.000000
0.000000
0.000000
0.000000
0.000000
1.000000
0.000000
0.000000
0.000000
0.000000
0.000000
0.000000
0.000000
0.000000
0.000000
1.000000
0.000000
0.000000
0.000000
0.000000
0.000000
0.000000
0.000000
0.000000
0.000000
1.000000
0.000000
0.000000
0.000000
0.000000
0.000000
0.000000
0.000000
0.000000
0.000000
1.000000
Adjustment coefficients (standard error in parentheses) D(LNIHK) -0.152913 0.000395 0.000105 (0.08862) (0.00044) (0.00011) D(LNDAB) -248.4456 -1.227782 -0.209802 (114.194) (0.56524) (0.14340)
0.000308 (0.00017) 0.921766 (0.22061)
-0.000369 (0.00017) -0.327096 (0.22088)
4.72E-06 (0.00013) -0.089657 (0.16350)
-0.000118 (7.0E-05) 0.008149 (0.09005)
0.000137 (0.00038) 0.535376 (0.48591)
LNTIT 0.035045 (0.00625) 8.193256 (2.35634) 52.64411 (11.4311) 41.82953 (8.93491) 35.92548 (8.02357) 12.24042 (3.51164) 47.75250 (10.4532) 8.441013 (1.36874) -0.039276 (0.11731)
LNSSE 0.002194 (0.00426) -2.119363 (1.60738) -9.421167 (7.79777) -12.54854 (6.09498) -25.89744 (5.47331) -4.160984 (2.39548) 33.40879 (7.13071) -2.049183 (0.93369) -0.361896 (0.08003)
-0.001261 (0.00321) 1.994873 (4.13810)
87
12 88
Adjustment coefficients (standard error in parentheses) D(LNDSH) -280.2948 0.154584 -0.342977 (333.458) (1.65054) (0.41874) D(LNDSB) -357.3951 -0.041537 0.168853 (282.605) (1.39883) (0.35488) D(LNDSM) -633.6174 0.645106 0.035899 (253.874) (1.25662) (0.31880) D(LNHSP) -429.0689 0.807101 -0.250556 (242.012) (1.19791) (0.30391) D(LNDKD) -159.3169 0.359382 0.536313 (307.261) (1.52087) (0.38584) D(LNTAR) 112.9931 -0.748232 -0.089953 (59.0330) (0.29220) (0.07413) D(LNTAB) -23.16503 -0.026194 -0.006686 (10.5114) (0.05203) (0.01320) D(LNTIT) -36.95493 0.050587 0.004932 (10.8800) (0.05385) (0.01366) D(LNSSE) -3.483253 -0.150226 -0.005708 (17.0258) (0.08427) (0.02138) 10 Cointegrating Equation(s):
Log likelihood
1.004646 (0.64420) 0.445793 (0.54596) 1.999681 (0.49045) 1.158242 (0.46754) -0.063456 (0.59359) 0.307501 (0.11404) 0.055673 (0.02031) 0.044121 (0.02102) 0.006440 (0.03289)
-0.464762 (0.64498) -0.574048 (0.54662) -1.603823 (0.49105) -0.354840 (0.46810) -0.507223 (0.59431) -0.047321 (0.11418) -0.029259 (0.02033) -0.040674 (0.02104) 0.018409 (0.03293)
-0.797476 (0.47744) -0.294817 (0.40463) -0.629933 (0.36349) -1.188647 (0.34651) -0.246499 (0.43993) 0.000919 (0.08452) 0.007733 (0.01505) 0.001527 (0.01558) 0.010793 (0.02438)
0.046480 (0.26296) -0.066190 (0.22285) -0.373802 (0.20020) 0.007851 (0.19084) -0.055559 (0.24230) -0.001020 (0.04655) -0.007152 (0.00829) -0.003967 (0.00858) 0.001444 (0.01343)
0.318365 (1.41890) 0.339970 (1.20251) 0.801665 (1.08026) -0.331443 (1.02979) -2.053794 (1.30743) -0.585976 (0.25119) 0.034431 (0.04473) -0.057156 (0.04630) 0.083900 (0.07245)
9.321715 (12.0837) 11.37407 (10.2409) 0.489159 (9.19974) -1.890431 (8.76990) 26.50485 (11.1343) 3.578145 (2.13921) -0.278266 (0.38091) 0.649790 (0.39426) 0.861717 (0.61697)
LNHSP 0.000000
LNDKD 0.000000
LNTAR 0.000000
LNTAB 0.000000
LNTIT 0.000000
-3445.745
Normalized cointegrating coefficients (standard error in parentheses) LNIHK LNDAB LNDSH LNDSB LNDSM 1.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000
1.000000
0.000000
0.000000
0.000000
0.000000
0.000000
0.000000
0.000000
0.000000
0.000000
0.000000
1.000000
0.000000
0.000000
0.000000
0.000000
0.000000
0.000000
0.000000
0.000000
0.000000
0.000000
1.000000
0.000000
0.000000
0.000000
0.000000
0.000000
0.000000
0.000000
0.000000
0.000000
0.000000
1.000000
0.000000
0.000000
0.000000
0.000000
0.000000
LNSSE -0.034922 (0.00464) -10.79694 (1.45956) -65.17718 (7.70175) -56.85070 (6.45795) -63.94655 (6.54491)
13
Normalized cointegrating coefficients (standard error in parentheses) 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000
1.000000
0.000000
0.000000
0.000000
0.000000
0.000000
0.000000
0.000000
0.000000
0.000000
0.000000
1.000000
0.000000
0.000000
0.000000
0.000000
0.000000
0.000000
0.000000
0.000000
0.000000
0.000000
1.000000
0.000000
0.000000
0.000000
0.000000
0.000000
0.000000
0.000000
0.000000
0.000000
0.000000
1.000000
0.000000
0.000000
0.000000
0.000000
0.000000
0.000000
0.000000
0.000000
0.000000
0.000000
1.000000
Adjustment coefficients (standard error in parentheses) D(LNIHK) -0.150477 0.000388 9.85E-05 (0.08810) (0.00044) (0.00011) D(LNDAB) -247.2870 -1.230787 -0.213053 (114.186) (0.56485) (0.14387) D(LNDSH) -262.5952 0.108685 -0.392642 (325.226) (1.60881) (0.40978) D(LNDSB) -347.2127 -0.067942 0.140282 (279.542) (1.38282) (0.35222) D(LNDSM) -633.4158 0.644584 0.035334 (254.088) (1.25690) (0.32015) D(LNHSP) -423.3793 0.792347 -0.266520 (241.017) (1.19225) (0.30368) D(LNDKD) -143.6112 0.318654 0.492243 (300.252) (1.48527) (0.37831) D(LNTAR) 112.2994 -0.746433 -0.088006 (59.0101) (0.29191) (0.07435) D(LNTAB) -22.89625 -0.026891 -0.007441 (10.4586) (0.05174) (0.01318) D(LNTIT) -36.96855 0.050622 0.004970 (10.8891) (0.05387) (0.01372) D(LNSSE) -3.605850 -0.149908 -0.005364 (17.0323) (0.08425) (0.02146)
0.000314 (0.00017) 0.924948 (0.22078) 1.053268 (0.62884) 0.473765 (0.54051) 2.000235 (0.49129) 1.173872 (0.46602) -0.020310 (0.58055) 0.305596 (0.11410) 0.056412 (0.02022) 0.044084 (0.02105) 0.006103 (0.03293)
-0.000353 (0.00017) -0.319387 (0.22287) -0.347004 (0.63479) -0.506303 (0.54563) -1.602482 (0.49594) -0.316986 (0.47043) -0.402730 (0.58605) -0.051936 (0.11518) -0.027470 (0.02041) -0.040764 (0.02125) 0.017593 (0.03324)
4.63E-06 (0.00013) -0.089703 (0.16335) -0.798178 (0.46526) -0.295220 (0.39990) -0.629941 (0.36349) -1.188873 (0.34479) -0.247122 (0.42953) 0.000947 (0.08442) 0.007723 (0.01496) 0.001528 (0.01558) 0.010798 (0.02437)
-0.000141 (7.7E-05) -0.002814 (0.10035) -0.120997 (0.28581) -0.162537 (0.24566) -0.375709 (0.22329) -0.045985 (0.21180) -0.204170 (0.26386) 0.005544 (0.05186) -0.009695 (0.00919) -0.003838 (0.00957) 0.002604 (0.01497)
0.000147 (0.00037) 0.540307 (0.48587) 0.393688 (1.38387) 0.383303 (1.18948) 0.802523 (1.08117) -0.307230 (1.02555) -1.986955 (1.27760) -0.588928 (0.25109) 0.035575 (0.04450) -0.057214 (0.04633) 0.083378 (0.07247)
-0.001897 (0.00333) 1.692386 (4.31229) 4.700897 (12.2824) 8.715771 (10.5571) 0.436534 (9.59578) -3.375811 (9.10217) 22.40454 (11.3392) 3.759248 (2.22855) -0.348437 (0.39498) 0.653347 (0.41123) 0.893723 (0.64324)
-17.12496 (2.29786) -17.16646 (5.16703) -10.98916 (1.21867) -0.320298 (0.08259) 1.059112 (0.18213) -0.000875 (0.00291) 0.945040 (3.76889) -3.180625 (10.7346) -8.385201 (9.22677) -7.776921 (8.38660) -1.742360 (7.95519) -16.37851 (9.91032) -0.998063 (1.94773) 0.004422 (0.34521) -0.917902 (0.35941) 0.129730 (0.56218)
89
90
Lampiran 6 Hasil Estimasi VECM Vector Error Correction Estimates Included observations: 46 after adjustments Standard errors in ( ) & t-statistics in [ ] Cointegrating Eq:
CointEq1
LNIHK(-1) LNDAB(-1)
1.000000 0.061455 (0.00700) [ 8.78086] 0.014140 (0.00180) [ 7.87752] -0.002200 (0.00279) [-0.78720] -0.020498 (0.00264) [-7.75202] -0.003646 (0.00209) [-1.74284] -0.006624 (0.00129) [-5.14955] -0.063760 (0.00630) [-10.1268] 0.275876 (0.05476) [ 5.03800] -0.455406 (0.04401) [-10.3486] 0.121860 (0.00825) [ 14.7734] -15.50750
LNDSH(-1)
LNDSB(-1)
LNDSM(-1)
LNHSP(-1)
LNDKD(-1)
LNTAR(-1)
LNTAB(-1)
LNTIT(-1)
LNSSE(-1)
C
1
lanjutan Error Correction:
D(LNIHK)
CointEq1
-0.001844 (0.00364) [-0.50672] 0.222181 (0.16298) [ 1.36328] 0.000425 (0.00022) [ 1.94156] 1.78E-05 (7.8E-05) [ 0.22735] 4.73E-05 (0.00014) [ 0.34297] -0.000147 (0.00010) [-1.43035] -0.000113 (8.7E-05) [-1.30277] 4.64E-05 (8.2E-05) [ 0.56433] -0.000224 (0.00026) [-0.86574] -0.000387 (0.00206) [-0.18762]
D(LNIHK(-1))
D(LNDAB(-1))
D(LNDSH(-1))
D(LNDSB(-1))
D(LNDSM(-1))
D(LNHSP(-1))
D(LNDKD(-1))
D(LNTAR(-1))
D(LNTAB(-1))
D(LNDAB) D(LNDSH) D(LNDSB) D(LNDSM) D(LNHSP) -3.011138 (6.84659) [-0.43980] -66.08561 (306.665) [-0.21550] 0.068136 (0.41173) [ 0.16549] -0.060864 (0.14717) [-0.41356] -0.023354 (0.25943) [-0.09002] -0.060730 (0.19279) [-0.31501] -0.090781 (0.16348) [-0.55530] 0.211069 (0.15477) [ 1.36373] 0.346172 (0.48691) [ 0.71096] 2.705040 (3.88014) [ 0.69715]
10.68851 (14.8818) [ 0.71823] 536.0411 (666.570) [ 0.80418] -0.157240 (0.89494) [-0.17570] -0.000355 (0.31989) [-0.00111] -0.368214 (0.56389) [-0.65299] 0.409183 (0.41905) [ 0.97646] -0.130859 (0.35534) [-0.36826] 0.015349 (0.33642) [ 0.04562] 0.345658 (1.05835) [ 0.32660] -3.634409 (8.43391) [-0.43093]
5.331561 (13.3240) [ 0.40015] 871.1386 (596.793) [ 1.45970] -0.018685 (0.80126) [-0.02332] 0.367685 (0.28641) [ 1.28378] -0.590673 (0.50486) [-1.16997] 0.187336 (0.37518) [ 0.49932] -0.179012 (0.31815) [-0.56268] 0.114734 (0.30120) [ 0.38092] 0.364532 (0.94757) [ 0.38470] 2.579500 (7.55105) [ 0.34161]
7.644517 (14.9061) [ 0.51285] 919.4704 (667.657) [ 1.37716] 0.204489 (0.89640) [ 0.22812] 0.253634 (0.32042) [ 0.79158] -0.400016 (0.56481) [-0.70823] 0.061438 (0.41973) [ 0.14637] -0.222367 (0.35592) [-0.62476] 0.159252 (0.33697) [ 0.47261] 0.734168 (1.06008) [ 0.69256] 5.311149 (8.44767) [ 0.62871]
-6.475774 (12.0677) [-0.53662] 470.6006 (540.521) [ 0.87064] 0.565292 (0.72571) [ 0.77895] 0.193947 (0.25940) [ 0.74767] -0.468058 (0.45726) [-1.02362] 0.337278 (0.33981) [ 0.99256] -0.324613 (0.28815) [-1.12655] 0.000844 (0.27280) [ 0.00309] 0.366467 (0.85822) [ 0.42701] 1.205776 (6.83906) [ 0.17631]
D(lNDKD) D(LNTAR) D(lNTAB)
D(LNTIT)
D(LNSSE)
18.41652 (13.3785) [ 1.37658] 788.0270 (599.235) [ 1.31505] -0.998698 (0.80454) [-1.24133] 0.204191 (0.28758) [ 0.71003] -0.516674 (0.50693) [-1.01923] 0.560415 (0.37672) [ 1.48763] -0.300620 (0.31945) [-0.94107] 0.203428 (0.30243) [ 0.67264] 0.847773 (0.95144) [ 0.89104] 6.579677 (7.58195) [ 0.86781]
-0.547684 (0.55039) [-0.99508] -14.26269 (24.6525) [-0.57855] 0.031972 (0.03310) [ 0.96595] 0.013678 (0.01183) [ 1.15615] -0.009718 (0.02085) [-0.46600] -0.018414 (0.01550) [-1.18812] -0.003849 (0.01314) [-0.29285] 0.006843 (0.01244) [ 0.54997] -0.001016 (0.03914) [-0.02597] 0.443306 (0.31192) [ 1.42121]
-4.222252 (0.89765) [-4.70367] 61.23262 (40.2066) [ 1.52295] 0.004352 (0.05398) [ 0.08062] 0.060588 (0.01930) [ 3.14000] -0.063585 (0.03401) [-1.86944] 0.026457 (0.02528) [ 1.04671] -0.064855 (0.02143) [-3.02581] 0.015663 (0.02029) [ 0.77188] -0.148310 (0.06384) [-2.32321] 1.890222 (0.50872) [ 3.71563]
4.041785 (3.63235) [ 1.11272] -107.7346 (162.696) [-0.66218] 0.074303 (0.21844) [ 0.34016] -0.103175 (0.07808) [-1.32140] 0.081485 (0.13763) [ 0.59204] -0.020930 (0.10228) [-0.20463] -0.139817 (0.08673) [-1.61205] 0.134826 (0.08211) [ 1.64196] -0.163659 (0.25832) [-0.63354] 0.708452 (2.05855) [ 0.34415]
-1.154694 (0.51501) [-2.24210] -11.17438 (23.0676) [-0.48442] 0.035507 (0.03097) [ 1.14648] 0.018118 (0.01107) [ 1.63664] -0.012735 (0.01951) [-0.65262] -0.014356 (0.01450) [-0.98997] -0.004742 (0.01230) [-0.38564] 0.003331 (0.01164) [ 0.28612] 0.004715 (0.03663) [ 0.12873] 0.271042 (0.29187) [ 0.92865]
67 91
92
2
Error Correction:
D(LNIHK)
D(LNTIT(-1))
0.001902 (0.00186) [ 1.02001]
-0.105419 (3.50848) [-0.03005]
9.258803 (7.62605) [ 1.21410]
3.203883 (6.82776) [ 0.46924]
-2.117467 (7.63849) [-0.27721]
D(LNSSE(-1))
-0.000802 (0.00051) [-1.57520]
-0.293367 (0.95818) [-0.30617]
2.095834 (2.08271) [ 1.00630]
0.862633 (1.86469) [ 0.46261]
C
0.550822 (0.17360) [ 3.17298]
188.1404 (326.652) [ 0.57597]
223.1918 (710.013) [ 0.31435]
0.325108 0.079693 27.01939 0.904859 1.324725 -53.03318 2.871008 3.387798 0.594348 0.943223
0.178653 -0.120019 95666025 1702.636 0.598159 -399.8690 17.95083 18.46762 112.6304 1608.827
0.180663 -0.117278 4.52E+08 3700.864 0.606373 -435.5829 19.50360 20.02039 693.8478 3501.246
R-squared Adj. R-squared Sum sq. resids S.E. equation F-statistic Log likelihood Akaike AIC Schwarz SC Mean dependent S.D. dependent
Determinant resid covariance (dof adj.) Determinant resid covariance Log likelihood Akaike information criterion Schwarz criterion
D(LNDAB) D(LNDSH) D(LNDSB) D(LNDSM) D(LNHSP)
8.67E+55 2.25E+54 -3596.412 163.0614 169.1834
D(lNDKD) D(LNTAR) D(lNTAB)
D(LNTIT)
D(LNSSE)
-4.799171 (6.18397) [-0.77607]
1.335658 (6.85569) [ 0.19482]
1.573098 (1.86137) [ 0.84513]
-0.544598 (0.26391) [-2.06357]
-0.491383 (0.28204) [-1.74222]
-1.760490 (0.45999) [-3.82721]
1.258319 (2.08611) [ 0.60319]
2.773739 (1.68887) [ 1.64236]
-0.107923 (1.87232) [-0.05764]
-0.483529 (0.50835) [-0.95118]
0.099747 (0.07208) [ 1.38393]
0.219487 (0.07703) [ 2.84947]
0.441591 (0.12563) [ 3.51511]
-47.82239 (635.689) [-0.07523]
-97.79723 (711.171) [-0.13752]
-311.1129 (575.750) [-0.54036]
-617.3093 (638.290) [-0.96713]
226.6541 (173.300) [ 1.30787]
11.94619 (24.5710) [ 0.48619]
2.209572 (26.2592) [ 0.08414]
-8.884695 (42.8270) [-0.20746]
0.177908 -0.121034 3.62E+08 3313.458 0.595126 -430.4965 19.28246 19.79925 600.0000 3129.479
0.206463 -0.082096 4.53E+08 3706.902 0.715495 -435.6579 19.50686 20.02365 593.0000 3563.511
0.272826 0.008400 2.97E+08 3001.032 1.031765 -425.9408 19.08438 19.60117 168.8478 3013.715
0.188829 -0.106142 3.65E+08 3327.016 0.640160 -430.6843 19.29062 19.80741 72.82609 3163.366
0.285263 0.025358 26926846 903.3078 1.097568 -370.7110 16.68309 17.19988 97.52174 914.9836
0.266093 -0.000782 541296.1 128.0739 0.997071 -280.8520 12.77617 13.29296 9.108696 128.0238
0.318537 0.070732 618232.8 136.8734 1.285435 -283.9087 12.90907 13.42586 2.152174 141.9870
0.617931 0.478996 1644459. 223.2311 4.447644 -306.4096 13.88738 14.40417 59.06522 309.2674
3
Lampiran 7 Hasil Estimasi IRF Period
LNIHK
LNDAB
LNDSH
LNDSB
LNDSM
LNHSP
LNDKD
LNTAR
LNTAB
LNTIT
LNSSE
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24
0.904859 1.137450 1.115793 1.049719 1.013359 1.020542 1.029794 1.032104 1.030187 1.029353 1.029330 1.029475 1.029543 1.029526 1.029517 1.029513 1.029513 1.029513 1.029513 1.029514 1.029514 1.029513 1.029513 1.029513
0.000000 0.103467 0.177482 0.208508 0.172524 0.156414 0.159539 0.165501 0.166990 0.166039 0.165393 0.165390 0.165546 0.165586 0.165573 0.165562 0.165560 0.165562 0.165563 0.165563 0.165563 0.165563 0.165563 0.165563
0.000000 -0.141407 -0.223111 -0.172869 -0.145767 -0.123788 -0.129210 -0.134730 -0.136623 -0.135381 -0.134427 -0.134441 -0.134588 -0.134670 -0.134650 -0.134631 -0.134627 -0.134629 -0.134631 -0.134631 -0.134630 -0.134630 -0.134630 -0.134630
0.000000 -0.100290 -0.059656 -0.047182 -0.040839 -0.048850 -0.051490 -0.050112 -0.049159 -0.048923 -0.049238 -0.049308 -0.049284 -0.049255 -0.049252 -0.049257 -0.049258 -0.049258 -0.049258 -0.049258 -0.049258 -0.049258 -0.049258 -0.049258
0.000000 -0.239027 -0.504225 -0.547405 -0.501231 -0.464750 -0.459251 -0.468199 -0.471472 -0.471282 -0.470273 -0.469955 -0.470056 -0.470141 -0.470160 -0.470148 -0.470141 -0.470140 -0.470141 -0.470141 -0.470141 -0.470141 -0.470141 -0.470141
0.000000 -0.114699 0.035936 0.038086 0.020105 0.004899 0.004503 0.010179 0.010995 0.010333 0.009765 0.009813 0.009916 0.009942 0.009931 0.009921 0.009922 0.009923 0.009923 0.009923 0.009923 0.009923 0.009923 0.009923
0.000000 -0.061735 -0.055858 -0.004960 0.006191 -0.006533 -0.014217 -0.013551 -0.011454 -0.010968 -0.011271 -0.011499 -0.011495 -0.011453 -0.011443 -0.011446 -0.011449 -0.011450 -0.011449 -0.011449 -0.011449 -0.011449 -0.011449 -0.011449
0.000000 -0.204664 -0.236599 -0.230462 -0.218143 -0.215844 -0.223402 -0.223837 -0.222639 -0.222293 -0.222515 -0.222658 -0.222649 -0.222619 -0.222612 -0.222620 -0.222622 -0.222621 -0.222620 -0.222621 -0.222621 -0.222621 -0.222621 -0.222621
0.000000 0.101453 0.200341 0.203740 0.193045 0.171086 0.164210 0.166821 0.168914 0.169302 0.168723 0.168430 0.168421 0.168483 0.168502 0.168495 0.168489 0.168488 0.168488 0.168489 0.168489 0.168489 0.168489 0.168489
0.000000 0.114389 0.185081 0.138912 0.100366 0.087682 0.095014 0.098911 0.099025 0.097775 0.097266 0.097380 0.097477 0.097500 0.097480 0.097471 0.097470 0.097471 0.097471 0.097471 0.097471 0.097471 0.097471 0.097471
0.000000 -0.116455 -0.162045 -0.124035 -0.115247 -0.112714 -0.114378 -0.115528 -0.115788 -0.115539 -0.115371 -0.115365 -0.115375 -0.115397 -0.115397 -0.115394 -0.115392 -0.115392 -0.115392 -0.115393 -0.115393 -0.115392 -0.115392 -0.115392
Cholesky Ordering: LNIHK LNDAB LNDSH LNDSB LNDSM LNHSP LNDKD LNTAR LNTAB LNTIT LNSSE
93
94
4
Lampiran 8 Hasil Estimasi FEVD Period
S.E.
LNIHK
LNDAB
LNDSH
LNDSB
LNDSM
LNHSP
LNDKD
LNTAR
LNTAB
LNTIT
LNSSE
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24
0.904859 1.518634 2.012800 2.378926 2.664348 2.914574 3.148036 3.368083 3.574646 3.769518 3.954589 4.131376 4.300943 4.464084 4.621469 4.773664 4.921153 5.064349 5.203607 5.339233 5.471499 5.600641 5.726873 5.850381
100.0000 91.60163 82.87471 78.79903 77.28632 76.84598 76.57155 76.28343 76.02753 75.82680 75.67062 75.54235 75.43328 75.33932 75.25790 75.18676 75.12405 75.06833 75.01850 74.97366 74.93310 74.89625 74.86260 74.83177
0.000000 0.464193 1.041754 1.513988 1.626277 1.647028 1.668630 1.699174 1.726702 1.746807 1.762052 1.774737 1.785709 1.795164 1.803334 1.810465 1.816752 1.822341 1.827340 1.831837 1.835905 1.839602 1.842976 1.846069
0.000000 0.867027 1.722242 1.760964 1.703205 1.603695 1.543117 1.508086 1.484908 1.464333 1.446032 1.430819 1.418144 1.407393 1.398057 1.389871 1.382649 1.376234 1.370498 1.365337 1.360670 1.356427 1.352555 1.349006
0.000000 0.436126 0.336109 0.279949 0.246676 0.234231 0.227530 0.220908 0.215027 0.210213 0.206501 0.203450 0.200855 0.198616 0.196677 0.194983 0.193489 0.192162 0.190975 0.189907 0.188942 0.188064 0.187263 0.186528
0.000000 2.477361 7.685734 10.79692 12.14667 12.69319 13.00856 13.29670 13.54398 13.74292 13.90087 14.03061 14.14055 14.23505 14.31699 14.38861 14.45176 14.50786 14.55803 14.60318 14.64401 14.68112 14.71499 14.74603
0.000000 0.570444 0.356603 0.280916 0.229646 0.192190 0.164945 0.145010 0.129681 0.117371 0.107252 0.098834 0.091726 0.085640 0.080368 0.075757 0.071691 0.068078 0.064847 0.061939 0.059310 0.056920 0.054739 0.052740
0.000000 0.165258 0.171087 0.122912 0.098529 0.082839 0.073048 0.065433 0.059116 0.054009 0.049884 0.046481 0.043603 0.041132 0.038991 0.037120 0.035469 0.034003 0.032691 0.031512 0.030444 0.029474 0.028589 0.027778
0.000000 1.816261 2.415651 2.667814 2.797192 2.885955 2.977384 3.042722 3.089149 3.125767 3.156652 3.182735 3.204708 3.223444 3.239659 3.253859 3.266387 3.277517 3.287470 3.296425 3.304525 3.311886 3.318605 3.324763
0.000000 0.446294 1.244741 1.624566 1.820115 1.865576 1.871225 1.880029 1.892317 1.903441 1.911484 1.917599 1.922719 1.927200 1.931112 1.934525 1.937528 1.940194 1.942578 1.944724 1.946665 1.948429 1.950039 1.951515
0.000000 0.567365 1.168488 1.177464 1.080605 0.993528 0.942724 0.909808 0.884439 0.862638 0.844282 0.829129 0.816406 0.805528 0.796088 0.787827 0.780540 0.774067 0.768278 0.763069 0.758358 0.754077 0.750169 0.746587
0.000000 0.588040 0.982882 0.975474 0.964772 0.955782 0.951284 0.948699 0.947145 0.945695 0.944364 0.943247 0.942298 0.941506 0.940822 0.940220 0.939689 0.939216 0.938794 0.938414 0.938071 0.937759 0.937474 0.937212
Cholesky Ordering: LNIHK LNDAB LNDSH LNDSB LNDSM LNHSP LNDKD LNTAR LNTAB LNTIT LNSSE
95
RIWAYAT HIDUP Penulis lahir di Sukoharjo tanggal 11 Juni 1993. Ayahanda penulis bernama Suranto dan ibunda penulis bernama Sulasih. Penulis merupakan anak pertama dari tiga bersaudara, adik penulis bernama Ashri Istijabah Azzahra dan Ni’mah Husnayya. Penulis menempuh pendidikan menengah di SMP Al-Muayyad hingga lulus tahun 2007, dan SMA Al-Muayyad hingga lulus tahun 2010. Selama menempuh pendidikan menengah, penulis juga menimba ilmu di Pondok Pesantren AlMuayyad Surakarta. Penulis diterima di Mayor Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor melalui Program Beasiswa Santri Berprestasi (PBSB) jalur Beasiswa Utusan Daerah (BUD) Kementrian Agama Republik Indonesia pada tahun 2010. Untuk menunjang keilmuan, penulis mengikuti program Minor Pengelolaan Wisata Alam dan Jasa Lingkungan di Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata. Selama menjadi pelajar, penulis aktif dalam OSIS SMA Al-Muayyad, dibuktikan dengan menjabat sebagai Sekretaris II Badan Pelaksana Harian (BPH) Ikatan Pelajar Madrasah Al-Muayyad (IPMA) Cab. SMA periode 2007/2008 dan menjadi Ketua II BPH IPMA Cab. SMA periode 2008/2009. Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif di organisasi penerima beasiswa Kementrian Agama Republik Indonesia di IPB (CSS MoRA IPB) pada periode 2011/2012 sebagai Sekretaris Departemen Sosial Lingkungan, pada periode 2012/2013 sebagai Sekretaris Departemen Pengembangan Sumberdaya Manusia (PSDM), serta organisasi penerima beasiswa Kementrian Agama Republik Indonesia Nasional (Community of Santri Schoolars of Ministry of Religious Affairs/ CSS MoRA) sebagai anggota. Selain itu, penulis juga aktif dalam berbagai kegiatan, baik menjadi peserta maupun panitia, dari lingkup departemen, fakultas, institut, maupun ekstra kampus.